mpk ii 10 teori kuali prof x

25
1. Teori Fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) Fenomenologi transedental (kadang disebut fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang fisikawan dan ahli matematika yang kemudian memfokuskan dirinya pada isu-isu fundamental mengenai bagaimana kita dapat mengetahui dunia. Fokus perhatiannya adalah tesis bahwa dalam keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur dengan konsep- konsep yang diterima begitu saja (taken for granted) yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum. Contohnya, interaksi kita di meja makan pada saat makan malam mungkin dikatakan sebagai sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggota keluarga, namun kita biasanya menerima interaksi ini begitu saja-serta makna yang mereka dapatkan. Karena kekaburan esensi dari pengalaman ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha fenomenologi

Upload: fauzan-nurrachmat

Post on 03-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1. Teori Fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938)

Fenomenologi transedental (kadang disebut fenomenologi klasik)

dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang fisikawan dan ahli

matematika yang kemudian memfokuskan dirinya pada isu-isu fundamental

mengenai bagaimana kita dapat mengetahui dunia. Fokus perhatiannya

adalah tesis bahwa dalam keseharian hidup kita, esensi dari objek dan

pengalaman menjadi kabur dengan konsep-konsep yang diterima begitu saja

(taken for granted) yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum.

Contohnya, interaksi kita di meja makan pada saat makan malam mungkin

dikatakan sebagai sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggota

keluarga, namun kita biasanya menerima interaksi ini begitu saja-serta

makna yang mereka dapatkan. Karena kekaburan esensi dari pengalaman ini,

Husserl percaya bahwa “inti usaha fenomenologi adalah menerjemahkannya

sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara cermat dan dalam

rangka menggambarkan serta memperhitungkan struktur esensialnya”

(Natanson; 1966, hal. 3).

Tujuan dari pemurnian ini, menurut Husserl telah dicapai melalui metode

epoche. Metode ini meliputi pemberian tanda kurung (bracketing) atau

menunda sikap sikap alamiah dari hal hal kehidupan yang diterima begitu

saja dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih murni dari fenomena

yang diinvestigasi. Menurut aliran fenomenologi transedental, pemahaman

yang benar atas sebuah fenomena dapat dinilai hanya jika bias bias personal,

sejarah, nilai, dan ketertarikan dapat dimurnikan (meletakannya dalam

sebuah satuan pengalaman berdasarkan waktu investigasi).

Berdasarkan pemikiran fenomenologi transedental ini, filsuf-filsuf lain

kemudian bergerak ke sebuah pemikiran yang aktif terhadap dunia sosial

dari pengalaman keseharian. Dalam wilayah yang dikenal sebagai

fenomenologi sosial itu, tulisan Alfred Shutz (1899-1959) telah mempunyai

pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuwan sosiologi dan komunikasi. Schutz

menerima banyak prinsip dasar yang dibangun Husserl, kecuali ajaran

tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas kehidupan dunia agar

kemurnian dapat diperoleh. Dia membahas cara-cara agar intersbujektivitas

kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Dengan kata lain, Schutz lebih

menitikberatkan pada intensitas pembelajaran tentang lebenswelt, bukan

pada prinsip pemberian tanda kurung atasnya (penundaan makna dan definisi

kita atas realitas). Menurut Schutz, keseharian kehidupan dunia ini dapat

dipahami dalam term-term yang kemudian disebutnya sebagai

perlambangan/penipean (typications) yang digunakan untuk

mengorganisasikan dunia sosial.

Penipean (typication) ini adalah konstruk interpretasi yang berubah-ubah

berdasarkan latar kehidupan seseorang, kelompok budayanya, dan konteks

sosial tertentu. Contohnya, penipean untuk perilaku berkencan akan berubah-

ubah bergantung pada bangsa dan etnis budaya, kehidupan individu dan

konteks hubungan yang khusus.

2. Teori Fenomenologi Schutz

Pada bagian ini kita membahas dua garis besar dalam pemikiran

fenomenologi: fenomenologi transedental seperti yang digambarkan dalam

kerja Edmund Husserl dan fenomenologi sosial yang digambarkan oleh

Alfred Schutz. Meski dua pemikiran ini punya tujuan dan metode yang

berbeda, mereka mempunyai kesamaan dari sudut pandang fenomenologi

yang telah digarisbawahi oleh Deetz dalam hubungannya dengan studi

komunikasi.

Pertama dan prinsip dasar fenomenologi-yang secara jelas dihubungkan

dengan idealisme Jerman dalam bab ini-adalah bahwa pengetahuan tidak

dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran

individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman

subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan

universal. Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau

pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna

sebuah pohon yang tumbuh di halaman belakang dapat berkisar dalam

makna indahnya dalam dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung

yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk

menyatukan konstruksi makna tersebut.

Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan

bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup.

Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami-dan makna

dibangun-melalui bahasa. Asumsi ini mengikuti pendapat kalangan

konstruksionisme sosial yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Ketiga

dasar fenomenologi ini mempunyai perbedaan derajat signifikansi,

bergantung pada aliran tertentu pemikiran fenomenologi yang akan dibahas.

3. Teori Tindakan Sosial Max Weber.

Perilaku para pengemis, seperti juga pelaku sosial lainnya, dapat

dianggap bagian dari, apa yang disebut Weber, tindakan sosial. Max Weber

merupakan salah seorang perintis Sosiologi dari Jerman yang lahir pada

tahun 1864 dan meninggal tahun 1920, berpengaruh besar dalam lahirnya

pemahaman mengenai keterkaitan antara etika protestan dan munculnya

kapitalismedi Eropa Barat. Selain itu melalui konsep”tindakan sosial”,

Weber telah memberi acuan bagi dikembangkannya teori sosiologi yang

membahas mengenai interaksi sosial.

Menurut Weber, tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan

sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan

tersebut dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi

pada perilaku orang lain. Jadi, tindakan sosial merupakan perilaku manusia

yang mempunyai makna subjektif bagi perilakunya.

Tindakan sosial menurut Weber adalah:

action which ‘takes of the behaviour of others and is thereby oriented in

its course’. Social action, then, is subjectively meaningful behaviour which is

influenced by, or oriented towards the behaviours of others.

4. Teori Interaksi Simbolik Mead.

Meski mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori

interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran lowa banyak yang

menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Kita tidak akan

membahas aliran lowa disini, sebaiknya kita memfokuskan pada para

pemikir yang ada dalam aliran Chicago yang banyak melakukan pendekatan

interpretif berdasarkan rintisan pemikiran Mead. Khususnya Herbert

Blummer, yang dijuluki “Rasul Mead” dan yang paling banyak

mengartikulasikan bagian teori interaksionisme simbolik ini.

Karya Mead paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society

(Mead; 1934), menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam

menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal

pertama yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling

memengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu,

pemikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain)

digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society)

dimana kita hidup. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970): “makna berasal

dari interaksi dan tidak dari cara yang lain” (jlm. 259).

Pada saat yang sama, ‘pikiran’ dan ‘diri’ timbul dalam konteks sosial

masyarakat. Pengaruh timbal-balik antara masyarakat, pengalaman individu

dan interaksi menjadi bahan bagi penelaahan teoretis dalam tradisi teori

interaksionisme simbolik seperti ringkasan Holstein dan Gibrium (2001)

berikut ini:

”Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-

orang merespons makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi

satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial,

yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia

juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan

hubungan yang bermakna yang memengaruhi mereka” (Miller. 2002:51).

5. Teori Interaksi Simbolik Herbert Blummer.

6. Teori Konsep Diri Charles Hearten Cooley.

7. Teori Konstruksi Sosial Atas Realitas Peter L. Berger dan Thomas Lucman.

Konsep awal mengenai teori ini dikemukakan oleh Alfred Schutz melalui

konsep fenomenologi, yang dikembangkan dalam buku “The Social

Construction of RealityI”oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann. Dengan

dukungan dari aliran interaksi simbolis dan fenomenologi Schutz, Berger

berpendapat bahwa konstruksi realitas secara sosial memusatkan

perhatiannya pada proses ketika individu menanggapi kejadian di sekitarnya

berdasarkan pengalaman mereka.

Asumsi yang mendasarkan konstruksi realitas secara sosial adalah:

1. Realitas tidak hadir dengan sendirinya, tetapi diketahui dan dipahami

melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa.

2. Realitas dipahami melalui bahasa yang tumbuh dari interaksi sosial

pada saat dan tempat tertentu.

3. Bagaimana realitas dipahami bergantung pada konvensi-konvensi

sosial yang ada.

4. Pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk

banyak aspek yang penting dalam kehidupan, seperti aktivitas

berpikir, dan berperilaku,

Berdasarkan asumsi diatas, teori konstruksi realitas secara sosial berhasil

menemukan hubungan antara bahasa, interaksi sosial dan kebudayaan.

8. Teori Dramaturgi dari Erving Goffman.

Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul ”The Presentational of Self in

everyday Life” pertama kali memperkenalkan konsep dramaturgi. Menurut

Goffman, perilaku orang dalam interaksi sosial selalu melakukan permainan

informasi, agar orang lain mempunyai kesan yang lebih baik. Sehingga penting

untuk menganalisis perilaku nonverbal yang ditampilkan, mengingat kebenaran

informasi lebih banyak terletak pada perilaku nonverbal.

Goffman berpendapat bahwa perilaku yang umum ditampilkan oleh individu

merupakan perilaku yang telah diatur oleh kehidupan sosial. Jadi dalam

kehidupan ini, terdapat aturan-aturan perilaku yang secara implisit mengatur

perilaku dalam masyarakat dan beberapa area kelompok. Aturan ini juga

memiliki kemampuan untuk menjatuhkan sanksi bagi mereka yang tidak

mengindahkannya.

Dalam bukunya, Goffman banyak mengadopsi bahan-bahan linguistik

seperti kosa kata. Goffman juga banyak berbicara tentang perilaku nonverbal,

baik dari linguistik, maupun dari antropologi, seperti intonasi dari linguistik, dan

gerakan tubuh dari dari antropologi. Sehingga bidang kajian dari dramaturgi

banyak mengambil fokus pada individu yang melakukan interaksi atay

komunikasi.

Seperti halnya etnometodologi. dramaturgi ini banyak memberikan

sumbangan bagi etnografi komunikasi ketika menganalisis proses interaksi yang

terjad.

9. Teori Etnografi dari Malinovsky.

Etnografi menjadi bagian dari metode modern antropologi sosial, setelah

diperkenalkan oleh Malinowky dengan metodenya yang terkenal yaitu

penelitian lapangan dan observasi partisipan. Sebetulnya sudah banyak ahli

antropologi yang menggunakan metode ini, tetapi Malinowsky lah yang

pertama mensistematisasikannya. Apa yang dilakukan Malinowsky ini

menjadi polemik di kalangan ilmuwan antropologi, karena sebelum

Malinowsky mempublikasikan penelitiannya yang pertama (Agronauts of the

Western Pacific, 1992), penelitian antropologi dilakukan tidak di lapangan

(armchair theorising). Setelah itu barulah pemikiran beberapa ahli

antropologi yang beranggapan, bahwa penelitian manusia haruslah dilakukan

dalam lingkungan alamiahnya, mulai diterima sebagai metode penelitian

modern dalam antropologi.

Penggunaan metode observasi partisipan dan penelitian lapangan dalam

etnografi, berasal dari aliran Chicago. Aliran ini yang menjadi dasar para

ahli sosiologi dalam mengembangkan pandangan kehidupan sosial manusia

sebagai laboratorium alamiah. Aliran ini juga yang pertama kali

menggunakan metode ini untuk memahami objek kajiannya. Sehingga

Malinowsky dapat dikatakan telah mengawinkan konsep antropologi dan

sosiologi dalam etnografi.

Ciri khas penelitian lapangan etnografi adalah bersifat holistik, integratif,

thick descriptioni, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s poit of

view. Sehingga teknik pengumpulan data yang utamanya adalah observasi-

partisipasi dan wawancara terbuka secara mendalam, dalam jangka waktu

yang relatif lama dan akan sangat berbeda dengan penelitian survey.

Etnografer (orang yang melakukan penelitian etnografi) akan berbulan-

bulan, bahkan bertahun-tahun tinggal bersama masyarakat yang diteliti,

sehingga metode penelitian etnografi sangat berguna untuk mempelajari

bagaimana individu mengkategorikan pengalamannya. Kemudian akan pula

dipahami konsep dan makna yang dimiliki oleh suatu masyarakat, sehingga

memberikan pengertian yang dalam mengenai pandangan hidup yang

dimilikinya, termasuk kebudayaan yang dianutnya. Sehingga faktor utama

yang penting dalam penelitian etnografi adalah soal waktu. Etnografer perlu

mempertimbangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan, dari mulai

persiapan sampai penulisan laporan.

10. Teori Kritis (Teori Konflik dari Karl Marx).

Karl Marx (1818-1883) merupakan filsuf yang memiliki pengaruh yang

mendalam dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Walaupun

terdapat banyak kritik dan keberatan terhadap teori-teori Marx, namun

sampai saat ini beberapa teori Marx terus memberikan inspirasi bagi ilmu

sosial, juga ilmu komunikasi. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa

gagasan-gagasan Marx yang telah mempunyai relevansi khusus bagi

pengembangan teori kritis dalam komunikasi.

Marx memandang bahwa teori kritik Hegel masih kabur dan

membingungkan, karena Hegel memahami sejarah secara abstrak.

Sejarahnya Hegel adalah sejarah kesadaran, bukannya sejarah konkret dar

manusia yang berdarah-daging. Sejarah model seperti itu tidak akan

menghasilkan apa-apa bagi prasis karena tidak jelas sasaran pragmatisnya.

Marx mengkonkretkan idealisme Hegel ke dalam materialisme sejarah yang

bersifat emansipatoris (tindak nyata yang membebaskan).

Marx menegaskan bahwa yang dimaksud sejarah adalah sejarah

perkembangan alat-alat produksi dan sejarah hubungan-hubungan produksi.

Sejarah manusia dikembangkan berdasarkan pada alat apa yang

digunakan dalam memproduksi kebutuhan hidup manusia. Misalnya, sejarah

berkembang dari berkembang dari zaman berburu ketika ditemukan alat

produksi pertania, dan seterusnya.

Bila sejarah ditentukan oleh perkembangan alat produksi, maka sejarah

ditentukan dari alat pemilik produksi itu. Siapa yang memiliki dan

mengendalikan alat produksi, dialah yang akan menentukan gerak sejarah

suatu masyarakat.

Daftar Pustaka

1. Fenomenologi dari Husserl

(Fenomenologi, Engkus, hal 9)

2. Fenomenologi dari Schutz

(Fenomenologi, Engkus, hal 17)

3. Tindakan sosial dari Weber

(Fenomenologi, Engkus, hal 109)

4. Interaksi Simbolis dari Mead

(Ilmu, teori, dan filsafat komunikasi, Effendy Onong, hal 391)

5. Interaksi Simbolik dari Blummer

(Ilmu, teori, dan filsafat komunikasi, hal 393)

6. Konsep diri dari Cooley

7. Konstruksi realitas secara sosial dari Peter dan Luckmann

(Etnografi, Engkus, hal 22)

8. Dramaturgi dari Goffman

(Etnografi, Engkus, hal 24)

9. Etnografi dari Milanowsky

(Etnografi, Engkus, hal 32)

10. Teori konflik dari Karl Marx