makalah sindrom gawat nafas
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah
yang digunakan unyuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan keerlambatan perkembangan
maturitas paru(Whalley dan wong,1995). Gangguan ini biasanya juga di kenal
denga nama hyaline membrane disease(HMD) atau penyakit membrane
hyaline, karena pada penyakit ini selalu ditemukn membran hialin yang
melapisi alveoli.
RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding
terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia
kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya,
semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi
pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup
bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada
bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi
perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada
bayi yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi darah uterus selama
kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta
perdarahan antepartum.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang,maka dapat dirumuskan
masalahnya “Sindrom Gawat Napas”
1
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Tujuan pembuatan makalah ini untuk memperoleh
pengetahuan mengenai Sindrom Gawat Napas
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa/mahasiswi di Siti
Khadijah mengenai Sindrom Gawat Napas.
2. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/mahasiswi Siti
Khadijah Palembang mengenai Sindrom Gawat Napas.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Menambah khasanah ilmu terutama dalam keperawatan
khususnya mengenai respiratory distress syndrome.
1.4.2 Secara Praktis
1. Bagi Kelompok
Untuk memperoleh pengalaman dan wawasan mengenai
respiratory distress syndrome sehingga terpacu untuk
meningkatkan potensi diri sehubungan dengan penaggulangan
Sindrom Gawat Napas.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Bagi pendidikan ilmu keperawatan sebagai bahan bacaan
dan menambah wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya
mahasiswa ilmu keperawatan dalam hal pemahaman perkembangan
dan upaya pencegahan yang berhubungan dengan Sindrom Gawat
Napas yang sebaiknya dimulai sedini mungkin.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindrom distress pernapasan dapat dibagi menjadi :
1. Sindrom Distres Pernapasan Dewasa ( ARDS )
2. Sindrom Distres pernapasan Idiopatik Bayi Baru Lahir ( IRDS )
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas
alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu
gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas.
Hyaline Membrane Disease dikenal juga sebagai respiratory distress
sydrome yang idiopatik, merupakan keaadaan akut yang terutama ditemukan
pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi
dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500
gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu mengalami
RDS.
Respiratory distres syndrome adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae.
RDS adalah keadaan hipoksia dan cedera paru yang terjadi akibat
atelektasis primer yang luas.
Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi
respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada
masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan
memadai. Surfactan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli,
mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja respirasi dengan
menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfactan, tegangan
permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya
komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga
terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory. Reduksi pada
ventilasi akan menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi
buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia. Hipoksia jaringan dan acidosis
3
metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis dan kegagalan pernafasan
yang progresif.
Atelektasis primer mengacu kepada keadaan kolapsnya alveolus
secara substansial yang dijumpai pada bayi baru lahir. Dengan kolapsya
alveolus maka ventilasi berkurang. Timbul hipoksia yang menyebabkan
cedera paru dan terpacunya reaksi peradangan. Peradangan menyebabkan
edema dan pembengkakkan ruang interstisium yang semakin menurunkan
pertukaran gas antara kapiler dan alveolus yang masih berfungsi. Peradangan
juga menyebabkan terbentuknya membran-membran hialin yang merupakan
akumulasi fibrin putih di alveolus. Pengendapan fibrin tersebut semakin
menurunkan pertukaran gas serta compliance paru maka usaha bernapas
meningkat.
Penurunan ventilasi alveolus menyebabkan penurunan V/Q dan
vasokonstriksi arteriol paru. Vasokonstriksi paru dapat menyebabkan
peningkatan volume dan tekanan jantung kanan, sehingga terjadi pirau darah
dari atrium kanan, melalui foramen ovale bayi baru lahir yang masih paten,
langsung ke atrium kiri. Demikian juga, resistensi paru yang tinggi juga dapat
menyebabkan darah deoksigenasi melewatkan paru dan langsung di salurkan
ke sisi kiri tubuh melalui duktus arteriosus dan menyebabkan pirau kanan ke
kiri. Pirau kanan ke kiri memperburuk keadaan hipoksia, sehingga timbul
sianosis berat.
Untuk setiap usaha melakukan ventilasi pada alveolus yang kolaps,
bayi harus mengeluarkan sejumlah besar energi. Pengeluaran energi tersebut
akan diiringi oleh peningkatan kebutuhan oksigen yang semakin memperah
sianosis. Seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen bayi terperangkap
dalam suatu siklus umpan balik positif.
Pada awalnya bayi akan memperlihatkan napas yang cepat dan
dangkal sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan oksigennya yang tinggi,
sehinga pada analisis gas darah mula-mula terjadi alkalosisi respiratorik
karena karbon dioksida terbuang. Namun, bayi akan segera kelelahan karena
kesulitan mengembangkan alveolus dan parunya dan tidak dapat
mempertahankan usaha respirasinya. Apabila hal ini terjadi, maka usaha
4
bernapas melambat dan gas darah memperlihatkan asidosis respiratorik dan
dimulainya kegagalan pernapasan.
Maka dijelaskan dengan skema ini
Peningkatan Usaha Bernapas
+ +
Peningkatan Kebutuhan Oksigen
Sewaktu usaha bernapas meningkat maka kebutuhan oksigen juga
meningkat yang kemudian meningkatkan usaha bernapas.
2.2 Etiologi
2.2.1 IRDS
1. Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32
minggu) dan tidak adanya, gangguan atau defisiensi surfactant
2. Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar
3. Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi
matur atau prematur.
2.2.2 ARDS
Terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru atau
alveolus.Namun karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat
maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan
destruksi yang lain.Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim
litik oleh sel-sel yang mati,serta reaksi peradangan yang terjadi setelah
cedera dan kematian sel.contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi
kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
5
1. Destruksi Kapiler
Apabila kerusakan berawal di membran kapiler,maka akan
terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah keruangan
interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus di tempuh
oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi, sehingga kecepata
pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di cairan
interstisium bergerak ke dalam alveolus,mengencerkan surfaktan
dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang di perlukan
untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat.
Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan
pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis
kompresi yang luas, sehingga compliance paru berkurang. Hal ini
kemudian menyebabkan penurunan ventilasi dan hipoksia.
Penyebab kerusakan kapiler paru antara lain adalah septicemia,
pancreatitis dan uremia. Pneumonia, inhalasi asap, trauma dan
tenggelam juga dapat merusak kapiler.
2. Destruksi Alveolus
Apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan,
maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas
berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun.
Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia,
aspirasi dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen yang timbul setelah
24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab
kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal
bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami
hipoksia sehingga semakin memyebabkan cedera dan kematian
sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi
peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan
pembengkakan ruang interstisium serta kerusakan kapiler dan
alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS,
terbentuk membran hialin didalam alveolus. Membran ini adalah
6
pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progresif dan
semakin mengurangi pertukaran gas.Akhirnya terjadi fibrosis
menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi
semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar
50%.
2.3 Faktor Resiko
1. Prematuritas
2. Kelompok bayi baru lahir
Semakin prematur bayi semakin tinggi terjadi IRDS, sel-sel
alveolus penghasil surfaktan belum matang sampai usia gestasi antara 28
dan 32 minggu.
Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :
Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk
Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang
sangat tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan
atelektasis primer yang dijumpai pada IRDS
Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-
lipat
Ini merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus
dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan
Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum
berkembang
Mustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan
alveolusnya dari waktu ke waktu,napas demi napas.
3. Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS
adalah bayi yang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependen-insulin.
Tampaknya isulin yang disuntikkan menghambat pembentukkan
surfaktan.
2.4 Gambaran Klinis ( biasanya sejak lahir )
1. Dispnoe Berat
2. Penurunan Compliance Paru
7
3. Pernapasan yang dangkal dan cepat pada mulanya yang
menyebabkan alkalosis respiratorik karena ( CO2 ) karbondioksida banyak
terbang.
4. Peningkatan kecepatan penapasan
5. Kulit kehitaman akibat hipoksia
6. Retraksi antargia atau dada setiap kali bernapas
7. Napas cuping hidung
8. Banyak bayi selamat dari IRDS, dimana gejala mereda dan
menghilang biasanya dalam 3 hari.
9. Takipnea ( > 60x/mnt)
10. Mendengkur
Didapatkan gejala lain seperti :
1. Bradikardi
2. Hipotensi
3. Kardiomegali
4. Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki
5. Hipotermi
6. Tonus otot yang menurun
2.5 Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan
fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya
surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan teganagn permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu
menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu
kesehatan anak, 1985 ).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar
yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan
menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat
8
ekspirasi. Tkanpa surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap
mengembang. Oleh karena itu perlu usaha yang keras untuk mengembangkan
parunya.pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan
disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali bernapas menjadi
sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya
janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini
daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan
meningkatnya kelelahan bayi akan ktidakmampuan mempertahankan
pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary
vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan
aliran darah pulmonal. Di samping itu peningkatan PVR juga menyebabkan
pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri
melalui duktus arterious dn foramen ovale.
Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah
konstruksi vaskularisasi pulmonal yag menimbulkan penurunan oksigenisasi
jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobic. Metabolisme
anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis
metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi
ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jarngan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran ialin ini
melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atlektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan
karbondioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik.
Penurunan PH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan
penurunan sirkulasi paru dan dan perfusi alveolar , PaO2 akan menuru tajam,
9
PH juga akan menurun tajam serta materi yang diperlukan untuk produksi
surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi
normal. Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam
hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat
menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma
akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanna pernapasan
yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut.
RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa
deteriosasi ( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan
membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan
meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.6.1 Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik,
seperti :
1. Darah
2. Urine dan glukosa darah ( untuk mengetahui hipoglikemia )
3. Kalsium serum ( untuk meningkatkan hipokalsemia )
4. Analisis gas darah ( menentukan PH serum )
5. PaO2 ( tes untuk hipoksia )
2.6.2 Diagnostik prenatal
Untuk menentukan maturitas paru dilakukan pemeriksaan ( tes
cairan amnion ) yang disebut rasio L/S ( lesitin banding
spingomielin ). Rasio L/S ini berguna untuk menentukan maturitas
paru. Fosfolipid disintesis di sel alveolar dan kinsentrasi dalam cairan
amnion selalau berubah selama masa kehamilan. Pada mulanya
spingomielin lebih banyak, tetapi kira-kira pada usia kehamilan 32-33
minggu konsenrasi menjadi seimbang kemudian spingomielin
berkurang dan lesitin meningkat secara berarti sampai usia kehamilan
35 minggu dengan rasio 2:1.
10
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Keperawatan
1. Pengobatan RDS diarahkan untuk pencegahan
Pencegahan Penyebab lain dari kematian bayi antara lain adalah
perhatian terhadap di mana dan dalam posisi apa bayi ditempatkan
dan usaha-usaha untuk mencegah penganiyayaan anak.
2. Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase akut
penyakit, karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum
dapat diberikan melalui parenteral.
3. Tindakan Pendukung yang Krusial
Mempertahankan ventilasi dan oksigenisasi adekuat
Mempertahankan keseimbangan asam-basa
Mempertahankan suhu lingkungan netral
Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat
Mencegah hipotermia
Mempertahankan cairan dan elektrolit yang adekuat
4. Pertimbangan Keperawatan
Dalam merawat bayi RDS perawat harus melakukan
observasi cermat dan intensif, masalah kompleks yang
berhubungan dengan terapi pernapasan harus diperhatikan terutama
pengobatan yang kontinu terhadap hipoksemia dan asidosis. Fungsi
keperawatan yang paling penting adalah mengamati respon bayi
terhadap terapi, mucus mungkin terkumpul di saluran pernapasan
yang akan menghambat saluran pernapasan dan srlang endotrakea
(ET). Pengisapan hanya dilakukan bila diperlukan dan berdasarkan
pertimbangan terhadap bayi tersebut. Pertimbangan terhadap
pengisapan termasuk auskultasi dada, pembuktian bahwa
11
oksigenisasi rendah, kelebihan kelembaban paada selang ET dan
kepekaan bayi.
Pada saat melakukan pengisapan mukus, perawat harus
menyadari dan waspada tentang hal berikut.
Pengisapan bukan prosedur yang aman karena dapat
menyebabkan spasme bronkus, bradikardia karena stimulasi saraf
fagal, hipoksia, dan peningkatan tekanan intracranial sehingga
mendorong bayi pada keadaan hemoragi intraventrikular. Tindakan
ini tidak boleh dilakukan secara rutin, tehnik pengisapan ini dapat
menyebabkan infeksi, kerusakan jalan pernapasan bahkan
pneumotoraks.
Penting diperhatiakn bahwa pengisapan yang terus menerus
akan ikut mengeluakan udara bersamaan dengan keluarnya mucus.
Oleh karena itu sekali pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik
( pengisapan menyebabkan saluran udara terambat )
Tujuan pengisapan jalan napas buatan adalah menjaga
terbukanya jalan napas, bukan bronkus. Pengisapan yang dilakukan
di luar ET dapat menyebabkan lesi trauma pada trakea.
Awasi oksigenisasi atau oksimeter denyut nadi sebelum,
selama dan sesudah pengisapan untuk memberi penilaian yang
terus menerus terhadap status oksigenisasi dan untuk menghindari
hipoksemia.
2.7.2 Medis
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit
RDS adalah :
1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan
menurunkan cairan paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen
5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan
untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik
12
6. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaanya
adalah pemberian surfaktan eksogen.
Surfakatan eksogen adalah derivate dari sumber alami misalnya
manusia ( di dapat dari cairan amnion atau paru sapi,tetapi bisa
juga berbentuk surfakatan buatan )
2.8 Komplikasi
Sebagian bayi yang selamat dari RDS kemudian mengidap displasia
bronkupulmonaris, yaitu suatu penyakit pernapasan kronik yang ditandai oleh
pembentukkan jaringn parut di alveolus, peradangan alveolus dan kapiler, dan
hipertensi paru.
Tanda-tanda dispnu dan hipoksia dapat berlanjut dan menyebabkan
kelelahan, kegagalan pernapasan, dan kematian bayi, biasanya dalam 3 hari.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas
alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu
gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi
pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup
bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada
bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi
perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada
bayi yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi darah uterus selama
kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta
perdarahan antepartum.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari makalah ini adalah laksanakanlah
penatalaksanaan yang sebaik-baiknya pada neonatus dengan sindroma gawat
nafas ini, sehingga pada akhirnya akan dapat menurunkan angka kematian
neonatus
- Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat melakukan pengkajian yang lebih
lengkap untuk mendapatkan hasil yang optimal dan mampu memberikan
asuhan yang kompeten bagi pasien. Mahasiswa juga diharapkan dapat
mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama proses pembelajaran di
lapangan.
- Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan bimbingan yang seoptimal mungkin dari pendidik
lapangan dalam membimbing mahasiswa di lapangan dalam memberikan
14
asuhan kebidanan dan keperawatan bagi pasien sehingga mahasiswa dapat
mengevaluasikan teori dan praktek yang telah diperolehnya.
- Bagi pasien dan keluarga
Diharapkan kepada klien agar menerapkan asuhan kebidanan yang
telah diberikan baik berupa tindakan pencegahan maupun dalam
pelaksanaannya
15
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Surasmi, Asrinin. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC
http://hyaline.membrane.disease/
respiratory.distress.syndrome.blogspod.com/html Sabtu : 25-10-2009/11.15 WIB
FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: EGC
Ladewig,patricia,dkk.2006.Buku Saku Asuhan Keperawatan Ibu Bayi Baru
Lahir Edisi 5.Jakarta: EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB
untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
Ngatisyah.2005.Perawatan Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober 2004)
Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
16
DAFTAR ISI
KATA PNGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi................................................................................... 3
2.2 Etiologi................................................................................... 5
2.3 Faktor Resiko........................................................................ 7
2.4 Gambaran Klinis ( biasanya sejak lahir )........................... 7
2.5 Patofisiologi........................................................................... 8
2.6 Pemeriksaan Diagnostik....................................................... 10
2.7 Penatalaksanaan .................................................................. 11
2.8 Komplikasi ............................................................................ 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................ 14
3.2 Saran ..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
17
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Penulis dapat
menyusun makalah ini yang berjudul "Sindrom Gangguan Nafas Pada
Neonatus" tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan
dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
untuk itu dalam kesempatan ini Penulis menghaturkan rasa hormat dan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing dan semua pihak
yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya, untuk itu Penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca, atas kritik dan sarannya, Penulis mengucapkan
terimakasih.
Pariaman, Desember 2012
Penulis
18
i
ii