makalah respiratory system
DESCRIPTION
paper respiratoryTRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK
BLOK : RESPIRATORY SYSTEM
SEMESTER : 4
Nama : Shalini a/p Shanmugalingam
NIM : 080100402
Kelas Tutorial : B9
Nama fasilitator : dr. Jessy Chrestella , Sp.PA
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
2010
1
2
KONTEKS MUKA SURAT
PENGHARGAAN 3
PENDAHULUAN 4
SALINAN PEMICU DAN MORE INFO 5
BIOKIMIA DAN FISIOLOGI ASAM-BASA 7
PEMERIKSAAN FISIK PARU 9
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS 15
HAEMOPHILUS INFLUENZA 27
ULASAN 29
KESIMPULAN 30
DAFTAR PUSTAKA 31
Puji dan syukur senantiasa ke hadirat tuhan atas rahmat dan karuniaNya kepada saya karena
makalah blok respiratory system dapat disiapkan pada tempoh yang ditetapkan .
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi - tingginya kepada tutor kelompok B-9 yaitu
dr. Jessy Chrestella, Sp. PA karena telah banyak membimbing saya sewaktu tutorial dan
bagaimana untuk membuat makalah . Beliau juga telah membantu saya untuk lebih memahami
tentang penyakit paru obstruktif kronis. Tanpa pertolongan beliau tidak mungkin saya boleh
menyiapkan makalah ini . Beliau telah banyak memberi dorongan agar saya lebih semangat
untuk menyiapkan makalah ini . Beliau juga menjadikan proses pembelajaran lebih senang
bagi saya dan teman – teman saya kelompok tutorial B-9 .
Pada kesempatan ini juga , saya ingin mengucapkan jutaan terima kasih kepada ibu dan bapa
saya karena telah menyokong saya dari segi kewangan yaitu membiayai segala perbelanjaan
sewaktu membuat makalah ini . Mereka juga telah banyak memberi semangat kepada saya
sewaktu membuat makalah ini . Kata – kata semangat mereka telah menyebabkan saya
membuat makalah ini bersungguh-sungguh . Tidak lupa juga kepada teman – teman saya yang
banyak menolong saya dalam memberi idea untuk membaiki makalah saya dan memberi
sokongan agar makalah ini dapat disiapkan dapat tempoh yang ditetapkan.
Medan , 24 MEI 2010
-----------------------------------------------
SHALINI SHANMUGALINGAM3
NIM : 080100402
Di tutorial pemicu kedua pada blok respiratory system ini yaitu tentang penyakit paru obstruktif kronis . Pada pemicu ini, saya telah mempelajari tentang biokimia dan fisiologi asam basa, pemeriksaan fisik paru, definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, gejala klinis, patogenesis, patofisiologi, pemeriksaan, diagnosa banding, penatalaksanaan untuk penyakit paru obstruktif serta patogenesis, pemeriksaan dan penatalaksanaan untuk haemophilus influenza
Selain itu juga, dengan bantuan dr.Jessy Chrestella, Sp. PA saya telah menda lami kasus penyakit jantung koroner . Manakala pada perjumpaan kedua, dr. Jessy Chrestella, Sp. PA memicu kami kelompok tutorial B-9 untuk berfikir secara kritis yaitu bukan belajar dari kasus malah belajar secara meluas tentang blok respiratory system ini. Di pemicu ini juga saya telah mempelajari eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronis. Saya juga telah mempelajari patofisiologi gejala klinis dalam kasus ini secara mendalam yaitu batuk kronis dalam PPOK merupakan satu kompensasi tubuh. Ternyata pemicu telah menyebabkan saya mempelajari blok respiratory system ini secara kritis dan mendalam.
Penulisan loparan hasil diskusi kelompok adalah untuk mengetahui pencapaian pembelajaran. Sebagai mahasiswa, saya telah mengambil kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin. Penulisan laporan ini sangat bermanfaat untuk belajar menulis loparan ilmiah untuk secara benar dan baik. Laporan ini menjaring kemampuan mahasiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran mengenai penyakit paru obstruktif kronis.Laporan ini mengandung hal berkaitan penyakit paru obsrtuktif kronis.Diharapkan makalah ini akan menjadi satu bahan rujukan di masa akan datang.
Sekian, terima kasih.
Medan , 24 MEI 2010
---------------------------------------
SHALINI SHANMUGALINGAM
4
NIM : 080100402
1. Nama atau tema blok :
Blok respiratory system
2. Fasilitator / Tutor :
dr. Jessy Chrestella, Sp. PA
3. Data pelaksanaan :
A. Tanggal tutorial :27 April 2010 dan 30 April 2010
B. Pemicu ke-2
C. Pukul : 09.30-12.00 Wib
D. Ruangan : Ruang Tutorial 9
4. Pemicu :
A, seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sesak nafas yang
berbunyi sejak 3 hari yang lalu. Sesak nafas dirasakan semakin memberat dalam 1 hari ini dan
sesak nafas juga semakin memberat walaupun hanya melakukan aktivitas ringan. A
sebenarnya telah menderita sesak nafas ini sejak 2 tahun yang lalu, dan kadang-kadang
disertai batuk. Batuk dialami A sejak 1 minggu yang lalu dengan volume banyak dan dahak
yang berwarna hijau. A biasanya mengonsumsi obat yang dijual bebas di warung untuk
mengobati sesak nafasnya, namun A merasa keluhan sesak nafasnya hanya berkurang saja
dan tidak bisa hilang secara tuntas. A juga mengalami demam 1 minggu ini, tidak terlalu, namun
saat ini demamnya sudah berkurang. A telah merokok sejak umur 30 tahun dengan 20 batang/
hari dan sudah berusaha untuk mengurangi jumlah rokoknya.
Apakah yang terjadi dengan A?
More Info :
Pada pemeriksaan tanda vital TD: 120/80 mmHg, RR: 28 x/menit, denyut nadi: 96x/menit, temp:
37°C. Pada inspeksi secara keseluruhan tampak pursed lips breathing. Pemeriksaan toraks: 5
inspeksi: terdapat otot-otot bantu abdomen dan leher; bentuk toraks: barrel chest; palpasi: stem
fremitus melemah pada kedua lapangan paru; perkusi: Hipersonor pada kedua lapangan paru;
auskultasi: suara pernafasan melemah pada kedua lapangan paru disertai ekspirasi
memanjang dan suara tambahan mengi pada seluruh lapangan paru. pada foto toraks: dijumpai
gambaran hiperlusen pada kedua lapangan paru, bentuk jantung pendulum dan diafragma letak
rendah.Pada pemeriksaan darah rutin: Hb 13,8 gr/dl, leukosit 13000/mm3, trombosit
200.000/mm3, dan LED 20 mm/jam. Dokter juga melakukan pemeriksaan analisa gas darah
arteri. Hasilnya adalah pH: 7,32; PCO₂:55mmHg; PO₂:79mmHg, BE (Base Excess):3,
bikarbonat:29 dan saturasi oksigen 95%.Faal ginjal dan faal hati: normal. KGD: normal. Hasil
kultur sputum ditemukan Haemophillus influenza.Pemeriksaan spirometri: VEP1= 55%
VEP1/KVP=65%
Bagaimana pendapat anda mengenai A sekarang ? Bagaimana penatalaksanaan yang
harus diberikan kepada ? Pemeriksaan apalagi yang perlu diberikan ?
5. Tujuan pembelajaran :
A. Memahami tentang biokimia dan fisiologi asam-basa.
B. Mengetahui pemeriksaan fisik paru.
C. Memahami tentang penyakit emfisema.
D. Memahami tentang penyakit bronkitis kronis.
E. Memahami tentang infeksi haemophilus influenza.
6. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat:
A. Bagaimana biokimia dan fisiologi asam basa ?
B. Bagaimana pemeriksaan fisik paru ?
C. Apakah definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, gejala klinis, patogenesis, patofisiologi,
pemeriksaan, diagnosa banding, penatalaksanaan untuk penyakit paru obstruktif kronis ?
D. Apakah patogenesis, pemeriksaan dan penatalaksanaan untuk haemophilus influenza?
6
7. Jawaban atas pertanyaan :
A. BIOKIMIA DAN FISIOLOGI ASAM-BASA
(Fluid and Acid-Base Balance in Lauralee Sherwood. Human Physiology from cells to
systems 6th edition. United States of America: Thomson Higher Education 10 Davis Drive,
2007; 559-573)
Nilai pH darah normal adalah 7,4 + 0,05. Konsentrasi pH ditentukan oleh ion Hidrogen (H+), ion
H+ berasal dari oksidasi karbohidrat atau hidrat arang yang tidak sempurna,oksidasi asam
lemak bebas yg tidak sempurna (ketosis), NH3 dari deaminasi oksidatif asam amino NH3 (urea)
dan proses pengangkutan CO2 dari jaringan ke paru-paru terdapat ion H+ dalam darah. Eritrosit
dan sel tubulus ginjal mengandung enzim karbonat anhidrase, mengkatalisa; CO2 + H2O Û
H2CO3 .. Pertahanan pertama terhadap perubahan pH adalah buffer kimia yaitu sistem buffer
fosfat, sistem buffer protein dan sistem buffer bikarbonat manakala pertahanan kedua terhadap
perubahan pH mekanisme respiratory dengan mengekskresi CO2 dan mekanisme ginjal dengan
mengekskresi H+ . Apabila tekanan partial CO2 darah meningkat ini menyebabkan tekanan
partial CO2 sel tubulus meningkat sehingga menyebabkan ion [H+] meningkat dan ini
menyebabkan sekresi H+ ke lumen juga meningkatkan serta ini menyebabkan antiport H+- Na+
mereabsorbsi HCO3 dan atau diekskresi melalui urine. Manakala H+ dilumen berguna untuk
reabsorbsi HCO3 , H+ juga bereaksi dengan buffer HPO4= atau H2PO4
- dan menjadi penukar Na+
pada Na2HPO4 menjadi NaH2PO4 (penghematan Na ) serta H+ juga bereaksi dengan NH3
( deaminasi oksidatif asam-asam amino disel tubulus ) dan membentuk NH4+ ( pKa = 9,6 untuk
dapat menetralisir asam kuat ( sulfat dan fosfat ) yang akan diekskresi untuk melindungi
mukosa saluran kemih.
Asidosis metabolik paling banyak ditemukan dan penurunan [ HCO3- ] , karena banyak
digunakan menanggulangi kelebihan asam asam organik sisa metabolism. Ditemukan pada
penderita diabetes, gagal ginjal, gastroenteritis ( dehidrasi ), tirotoksikosis dan sebagainya.
Apabila mekanisme kompensasi dapat mengembalikan pH normal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik terkompensasi dan konsentrasi bikarbonat meningkat. Kompensasi tubuh
7
terhadap asidosis metabolik adalah peningkatan H+ disangga HCO3- plasma dan Hb ,
peningkatan ventilasi yang dapat menurunkan PCO2 , peningkatan H+ disangga HCO3- intertisial
juga kompensasi tubuh dan juga terjadi peningkatan H+ disangga protein dan fosfat intra sel
serta penghematan dan pembentukan HCO3- oleh ginjal
Alkalosis metabolik adalah akibat peningkatan HCO3- karena konsumsi atau hilangnya
substansi asam yang berlebihan dan keadaan ini ditemukan pada pamakai obat-obat ulkus
peptikum yang lama, obstruksi usus ( muntah ) dan sebagainya. Kompensasi tubuh berupa
pernapasan lambat dan dangkal untuk retensi CO2 dan mengurangi ekskresi H+ dengan
ekskresi garam NaHCO3 dan Na2HPO4 serta menekan pembentukan NH3.
Asidosis respiratorik ditandai dengan peningkatan PCO2 karena gangguan fungsi paru dan
menyebabkan retensi CO2 dan biasanya ditemukan pada pneumonia, emfisema, keracunan
morfin dan barbiturat dan sebagainya. Bikarbonat yang dibentuk dari CO2 yang meninggi
karena asidosis respiratorik ( CO2 + H2O = H2CO3 = H+ + HCO3- ) tidak dapat membantu
menyangga H+ . Kompensasi tubuh terhadap peningkatan H+ disangga oleh Hb eritrosit dan
peningkatan H+ disangga oleh protein dan fosfat intrasel serta peningkatan ekskresi H+ dengan
peningkatan pembentukan amoniak ditubuli distal dan pembentukan bikarbonat baru oleh ginjal.
Alkalosis respiratorik ditandai dengan penurunan PCO2 karena gangguan fungsi paru
(hiperventilasi) dan keadaan ini juga ditemukan pada keadaan keracunan salisilat, demam
tinggi, histeria dan sebagainya. Kompensasi tubuh dengan penurunan ekskresi H+ oleh ginjal
. Kompensasi respiratorik untuk gangguan-gangguan metabolik berlangsung sempurna dalam
24 jam sedangkan kompensasi ginjal untuk gangguan-gangguan respiratorik lebih lambat,
memerlukan waktu 2 – 6 hari
8
Sumber :
Peter J. Kennelly, PhD & Victor W. Rodwell, phD. Water & pH in Robert K.Murray, Daryl
K.Granner, Peter A.Mayes, Victor W.Rodwell. Harper’s Illustrated Biochemistry 27th
edition. United States of America : McGraw-Hill Companies,2006; 5-13
Fluid and Acid-Base Balance in Lauralee Sherwood. Human Physiology from cells to
systems 6th edition. United States of America: Thomson Higher Education 10 Davis Drive,
2007; 559-573
The Regulation of Acid-Base Status in Michael G. Levitzky. Pulmonary Physiology 7th
edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007;163-187
Regulation of Extracellular Fluid Composition and Volume. William F. Ganong. Review of
Medical Physiology. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007; 730-
738
B. PEMERIKSAAN FISIK PARU
9
Kelainan Ph [CO2] [HCO3-] [HCO3
-] / [CO2]
Normal Normal Normal Normal 20/1
Asidosis metabolik
tidak dikompensasi
Menurun Normal Menurun 10/1
Asidosis metabolik
dikompensasi
Normal Menurun Menurun 15/0.75 (20/1)
Asidosis respiratori
tidak dikompensasi
Menurun Meningkat Normal 20/2 (10/1)
Asidosis respiratori
dikompensasi
Normal Meningkat Meningkat 40/2 (20/1)
Alkalosis metabolik
tidak dikompensasi
Meningkat Normal Meningkat 40/1
Alkalosis metabolik
dikompensasi
Normal Meningkat Meningkat 25/1.25 (20/1)
Alkalosis respiratori
tidak dikompensasi
Meningkat Menurun Normal 20/0.5 (40/1)
Alkalosis respiratori
dikompensasi
Normal Menurun Menurun 10/0.5 (20/1)
(Talley N, O’connor S. Respiratory system and breast examination. Clinical examination.
A Systemic Guide to Physical Diagnostic 5th edition. Australia. Elsevier 2006: 93-125)
Pertama harus mengobservasi pasien saat masuk ruang, pasien disuruh duduk diatas
tempat tidur , baju dibuka atau dilepas.
Kemudian diteruskan dengan melakukan pemeriksaan inspeksi yang dimulai dari kepala,
dilihat matanya adakah ptosis, lidah adakah sianosis, adakah pernapasan cuping hidung.
Seterusnya di lihat kedua tangan adakah terdapat clubbing fingers, sianosis dan dilihat juga
adakah terdapat pitting edema pada kedua kakinya. Kemudian dilihat bentuk dada adakah
barrel chest, pigeon chest, pectum excavatum chest, kifosis, skoliosis. Dada normal diameter
transversal lebih besar dari diameter anteroposterior (2;1 atau 7;5). Seterusnya dilihat dada
simetris atau tidak dan dilihat juga pola pernapasan apakah thoracoabdominal atau
abdominothoracal. Biasanya pola pernapasan padawanita thoracoabdominal dan pria ialah
abdominothoracal. Dilihat juga pasien ada tidak ketinggalan bernapas dan ada tidak pemakaian
otot-otot pernapasan tambahan. serta ada tidak pembengkakan pada daerah leher dan wajah.
Kemudian diteruskan kepada pemeriksaan palpasi.Dimulai dengan mempalpasi kelenjar
getah bening yang dimulai dari daerah sub mental, sub mandibular, rantai yugular bagian atas,
tengah, bawah, supra klavikula dan trigonum posterior leher. Bila ditemukan benjolan,
perhatikab lokasi, jumlah, permukaan, konsistensi, konglumerasi, batas, pergerakan, ukuran
dan ditanyakan dengan pasien benjolan itu nyeri atau tidak. Seterusnya dilakukan perabaan
posisi trakea . Kemudian diletakkan kedua telapak tangan pada dinding toraks atas kanan dan
kiri dan pasien diminta mengatakan 77 berulang-ulang sambil memindahkan posisi telapak
tangan pada seluruh dinding toraks (atas, tengah dan ke bawah) dan menilai getaran suara
terjadi pada dinding toraks pasien. Selepas itu menilai ekspansi dinding toraks pasien dengan
meletakkan tangan pada posisi ujung scapula kiri dan kanan dan diteruskan dengan meraba
emphysema subcutis.
Selepas itu, diteruskan dengan melakukan perkusi pada pasien dengan meletakkan jari
tengah kiri diatas dinding toraks pasien lalu memukul jari tersebut dengan jari tengah lengan
kanan dan berganti posisi dari toraks kanan kemudian bergeser ke kiri dan kemudian ke bawah,
mulai dari toraks atas, tengah dan bawah. Menilai batas paru-hati. Pada lokasi sekitar diatas
hepar, perkusi toraks sambil pasien disuruh ekspirasi dan tahan napas hingga perkusi berubah
dari sonor ke beda dan diberi tanda. Kemudian sambil diperkusi pasien disuruh tarik napas
dalam kemudian ditahan dan lokasi perkusi sonor menjadi beda diberi tanda. Menilai sura
perkusi yang terjadi pada dinding toraks pasien
10
Seterusnya dilakukan auskultasi dengan meletakkan stetoskop pada dinding toraks pasien
dan pasien disuruh melakukan inspirasi dan ekspirasi dalam secara terus menerus. Kemudian
diletakkan posisi stetoskop pada seluruh dinding toraks secara sistematis lapangan atas,
tengah dan bawah dari paru kanan ke paru kiri dan menilai suara pernapasan dan suara
tambahan yang terdengar dari stetoskop.
Pada akhir pemeriksaan fisik paru, dicatat dan didokumentasikan hasil pemeriksaan pada
status pasien.
Pemeriksaan auskultasi paru, Udara yang mengalir cepat menimbulkan suara yang berbisik
dan berpola turbulen. Aliran yang lambat bersifat tidak berbisik dan berpola laminer. Udara
napas mengalir paling cepat dan turbulen ditrakea dan percabangan awal bronki , jadi suara
napas normla paling mungkin terjadi disini. Auskultasi toraks senantiasa harus dikerjakan dalam
ruangan yang tenang radio dan televise harus dipadamkan.Sedapatnya jangan meletakkan
stetoskop diatas bulu-bulu dada. Sebab, gesekan bulu dada pada diafragma stetsoskop
menimbulkan suara derikan yang sangat mirip kondisi patologik paru-paru tertentu. Jika hal ini
sulit dihindari (dada pasien berbulu lebat), membasahi bulu dada tadi dapat mengurangi atau
melenyapkan gangguan itu. Pada toraks normal dapat didengar empat jenis suara pernapasan
yaitu; vesikuler normal, bronkial, bronkovesikuler, trakea. Vesikuler normal adalah bunyi yang
relatif lembut, bernada rendah, kadang kala dideskripsikan sebagai bunyi helaan napas atau
desiran lembut. Suara ini terdengar pada sebagian besar bagian perifer paru-paru. Fase
inspirasi jelas lebih panjang dibandingkan fase ekspirasi, perbandingan sekitar 3:1. Bronkial
adalah suara dengan karakteristik keras dan bernada tinggi ini menyerupai suara udara yang
bertiup melewati suatu pipa kosong. Fase ekspirasinya lebih keras dan panjang dibandingkan
fase inspirasinya. Bronkovesikuler. Ini adalah gabungan suara bronkial dan vesikular. Fase
inspirasi maupun ekspirasinya hampir sama panjang (perbandingannya 1:1). Trakea adalah
suara ini, biasanya tidak didengar dalam auskultasi, terdapatnya dibagian trakea diluar rongga
toraks. Secara kasar suara-suara ini bagi dalam dua golongan besar adalah bunyi-bunyi
tambahan seperti ronki basah (crackles), bunyi mengi (wheeze) , bunyi gesekan pleura (pleural
friction rub); hippocrates succusion. Suara yang disebarkan secara abnormal seperti amphorik,
stridor, egofoni, whispered pektoriloquy, bronkofoni, pernapasan bronkial dan suara napas yang
melemah abnormal. Ronki basah adalah suara nonmusik yang pendek dan meledak-ledak.
Ronki basah halus, sedang dan kasar tergantung besarnya bronkus yang terkena dan
umumnya terdengar pada inspirasi. Early inspiratory crackles (ronki basah inspiratori dini)
biasanya menunjukkan airway (bronkitis kronis, asma dan emfisema).Late / pan - inspiratory
crackles (ronki basah inspirasi lambat) merupakan tanda khas penyakit paru restriktif
misalnya fibrosis interstitial, asbestosis, pneumonia. Mengi (wheeze) adalah suara musik
11
paru. Ini disebabkan akibat aliran udara yang melewati saluran napas mengalami penyempitan
akibat konstriksi atau edema atau obstruksi saluran napas parsial. Pleural Friction Rub adalah
suara yang terdengar berkeretak (cracking) dan bergesek (grating) yang timbul karena
pergesekan pleura visceralis dan pleura parietalis selama pernapasan. Ketika inspirasi sering
terdengar dibandingkan ekspirasi. Hippocrates succusion adalah suara cairan pada
hidropneumotoraks yang terdengar bila si pasien digoyang-goyangkan. Stridor adalah suara
musik keras, terbanyak terdapat pada saat inspirasi dan terdengar sangat jelas pada jarak jauh
dari penderita.Amphorik biasanya terjadi jika terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan
berhubungan terbuka dengan bronkus akan terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.
Salah satu pemeriksaan auskultasi dimana penderita diminta untuk mengucapkan atau
membisikkan “satu-dua-tiga” atau “sembilan-puluh-sembilan” sambil pemeriksa mendengarkan
penghantaran suara tersebut pada dinding dada dengan stetoskop.Interpretasi normal fremitus
suara akan terdengar bising halus yang tidak jelas. Ada 3 karakter vokal fremitus.Egofoni
seperti bicara hidung atau mengembik yang disalurkan melewati jaringan paru yang padat
(misalnya pneumonia).Bronkofoni pada penderita menyuarakan “sembilan puluh sembilan”
dan interpretasi abnormal jika kata ini jelas terdengar dan bukan berupa suara campur aduk
yang tak jelas. Whispered pectoriloquy sewaktu berbisik, pita suara tidak bergetar.Suara bisik
yang tak terdengar pada dada yang normal ketika melakukan auskultasi.Interpretasi kelainan
jika kita mendengarkan penderita berbisik “ satu-dua-tiga” terdengar jelas.
Gambar 1 – menunjukkan ptosis
Sumber; Respiratory examination in David L. Simel, Drummond Rennie.
The rational Clinical Examination United States of America:
The McGraw-Hill Companies, 2008; 536 (e-book)
12
Gambar 3 menunjukkan barrel chest Gambar 4 menunjukkan kifosis
Sumber gambar 2 dan 3 ; Respiratory examination in David L. Simel,
Drummond Rennie.The rational Clinical Examination
United States of America:The McGraw-Hill Companies,
2008; 540 & 541 (e-book)
13
Gambar 4 menunjukkan Gambar 5 menunjukkan skoliosis
pectum excavatum chest Sumber; Respiratory examination in
Sumber; Pectum excavatum in Mayo David L. Simel,
Foundation for Medical Education and Drummond Rennie.
Research, 2003 (http//:www.mayoclinic.com) The rational Clinical
Examination
United States of America:The McGraw-
Hill Companies,2008; 541
(e-book)
Sumber:
Patel H, Gwilt C. Respiratory System 3rd edition , 2008. Elsevier. Philadelphia: 187-207
Talley N, O’connor S. Respiratory system and breast examination. Clinical examination.
A Systemic Guide to Physical Diagnostic 5th edition. Australia. Elsevier 2006: 93-125
Presentation of the patient with Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel.
Principles of Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 19-27
Pectum excavatum in Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2003
(http//:www.mayoclinic.com) (gambar 4)
14
Respiratory examination in David L. Simel, Drummond Rennie.The rational Clinical
Examination United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2008; 530-545
(e-book) (gambar 2,3 dan 5)
C. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109 )
Definisi emfisema
(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1635)
Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif tidak reversibel. Penyakit paru obstruktif
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan dari keduanya.
Epidemiologi penyakit paru obstruktif kronis
PPOM dalam Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press. 2010; 231
Di Indonesia tidak ada data jumlah penyakit paru obstruktif kronis yang akurat. Survei
Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 mengklasifikasi asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan
utama. SKRT Depkes RI 1992 menyatakan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia.Manakala di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita
emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat
menimbulkan gangguan aktifitas. 65 % laki-laki dan 15 % wanita.
15
Klasifikasi emfisema
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 95-96)
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.Berdasarkan tempat terjadinya
proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi tiga yaitu sentri-asinar (sentrilobular/CLE)
Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan
daerah sekitar asinus, pan-asinar (panlobular) dimana kerusakan terjadi merata di seluruh
asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khasnya adalah tersebar merata di seluruh
paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering
timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin dan iregular yaitu kerusakan pada
parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.Emfisema dapat bersifat
kompensatorik atau obstruktif dimana emfisema kompensatorik,terjadi di bagian paru yang
masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya
karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks dan emfisema obstruktif terjadi karena
tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh, hingga terjadi mekanisme
ventil.
Etiologi emfisema
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 91-94)
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi,
infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.Rokok secara patologis rokok dapat menyebabkan
gangguan pergerakkan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar,
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi
makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta
infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi
jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah.Disamping itu, merokok akan
merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik), dan
menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
aktifitas keduanya. Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi.
Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia,
16
menghambat fungsi makrofag alveolar. Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan
paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma
bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emfisema. Manakala faktor genetik adalah karena defisiensi Alfa-1 anti
tripsin.
Faktor resiko emfisema
(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1635-1636)
Faktor resiko adalah kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara dilingkungan dan tempat
kerja. Selain itu, faktor genetik adalah karena defiensi alfa-1 antitripsin dan juga infeksi HIV
merupakan faktor resiko untuk terkena emfisema.
Gejala klinis emfisema
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 102-103)
Gejala klinis emfisema adalah batuk berulang-ulang dengan dahak sedikit,sesak napas dengan
atau tanpa bunyi mengi, pursed-lips breathing, barrel chest, penggunaan otot napas, hipertrofi
otot bantu napas, pelebaran sela iga, penampilan pink puffer dan biasa penampilan pasien
kurus, dan biasanya dijumpai bau asap rokok dan kesan nikotin pada kuku jari tangan pada
pasien emfisema yang merokok.
Patogenesis emfisema
(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1637-1639)
Merokok merupakan etiologi utama yang menyebabkan emfisema. Oleh karena itu, A yang
merupakan perokok sedang selama 25 tahun dan ini menyebabkan banyak spesies oksigen
reaktif dalam tubuh A dan ini mengurangi mekanisme antioksidant sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan. Kandungan nikotin dalam rokok dan spesies oksigen reaktif ini
mengaktifkan ‘chemoattractant’ dan apabila terjadi injuri oksidatif akan terjadi inaktivasi
antiproteinases yang menyebabkan defiensi terhadap ‘alfa-1-antitrypsin’ walaupun pada pasien
17
ini tidak mengalami defiensi enzim tersebut. ‘Histone deacetylase-2’ menjadi inaktif akibat
paparan terhadap spesies oksigen reaktif yang memindahkan sisa terhadap acetylated atau
kromatin bebas. Ini menyebabkan tempat ‘factor nuclear ’ terpapar dan menyebabkan
transkripsi ‘matriks metalloproteinase-9’, proinflammatorik sitokin interleukin 8 (IL-8), ‘tumor
nekrosis factor’ (TNF-) dan leukotriene B (LTB) sehingga memicu dan mengatifkan neutrofil
pada respiratorik bronkiole dan alveoli. Sel T CD8+ juga dipicu dalam respon terhadap merokok
dan membebaskan ‘interferon inducible protein-10’ yang menyebabkan produksi makrofag oleh
‘makrofag elastase’ (matriks metalloproteinase-12). Neutrofil yang terkumpul pada alveolus
yang diaktivasi membebaskan granul yang kaya dengan proteases (‘neutrofil elastase’,
‘proteinase 3’ dan ‘cathepsin G’. ‘Neutrofil elastase’ yaitu ‘matriks metalloproteinase’ dan ‘serine
proteinase’ kerja bersama dengan inhibitor degredasi yang lain sehingga merusakkan jaringan.
Hasil dari ‘proteolytic’ ini juga berfungsi sebagai ‘chemokine macrophage ‘ yang menyebabkan
‘feedback’ positif terhadap destruksi. Selain itu, aktiviti ‘elastase’ pada makrofag tidak dihambat
oleh ‘1-antitrypsin’ yang membolehkan elastase makrofag untuk memacahkan antiprotease
secara proteolik yang kemudian menyebabkan destruksi lebih banyak. Merokok yang lama
akan menyebabkan kehilangan cilia pada infeksi bakteri karena pertahanan tubuh sudah
berkurang sehingga menyebabkan pasien emfisema rentan terkena infeksi. Kolagenase (MMP-
1, MMP-13 ) akan memicu pemecahan kolagen interstitial yang juga dipicu oleh sel-sel
inflamasi dan sel struktur pada emfisema. Gangguan terhadap kolagen ini menyebabkan unit
alveolar obliterasi dan terjadi peningkatan konten kolagen pada paru emfisema terutamanya
dengan akumulasi pada salur pernapasan submukosa. Sel inflamasi proteinases mendegradasi
MMP yang mengakibatkan kehilangan sel dan menyebabkan apoptosis sehingga menyebabkan
terjadi pembesaran pada bagian acinus dan tidak reversible.
Patofisiologi emfisema
(Valentina L. Brashers. Alterations of Pulmonary Disease in Kathryn L. McCance, Sue E.
Huether, Valentina L. Brashers, Neal S. Rote. Pathophysiology The biologic Basis for
Disease in Adults and Children. Philadephia. Mosby Elsevier. 2010 ; 1286-1290)
Oleh karena terjadi gangguan kolagen sehingga menyebabkan tekanan elastic recoil berkurang
dan ini menyebabkan tekanan transpulmonari lebih kurang berbanding tekanan atmosphere
sehingga menyebabkan udara untuk ekshalasi lebih sukar yang sekaligus menyebabkan
volume residual meningkat . Ini akan menyebabkan terjadi hiperinflatasi yaitu peningkatan
jumlah kapasitas paru, hiperinflatasi akan mendorong diafragma ke bawah dan hiperinflatasi ini
menyebabkan barrel chest kerana peningkatan kapisitas paru dan terjadi peningkatan udara
pada paru sehingga menyebabkan pembesaran diameter antero-posterior menjadi sebanding
dengan diameter transversal. Penggunaan otot bantu pernapasan dan pursed-lips breathing
18
menunjukkan sesak napas dan pasien sedang berusaha untuk mengeluarkan CO2. Pursed lips
breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang dan sikap ini terjadi akibat mekanisme tubuh untuk mengeluarkan CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik. Disebabkan udara merupakan penghantar bunyi yang lemah berbanding padat maka
pada paru yang hiperinflatasi menyebabkan palpasi stem fremitus melemah serta pada perkusi
terjadi hipersonar . Suara pernapasan melemah pada pasien emfisema karena tekanan elastic
recoil berkurang. Terdapat suara tambahan mengi adalah akibat aliran udara yang turbulen
pada salur udara yang sempit. Manakala letak jantung pendulum adalah akibat posisi
diafragma telah turun sehingga menyebabkan jantung tidak lagi disokong diafragma dan
menyebabkan jantung tergantung.
Patofisiologi sesak napas berbunyi
(Valentina L. Brashers. Alterations of Pulmonary Disease in Kathryn L. McCance, Sue E.
Huether, Valentina L. Brashers, Neal S. Rote. Pathophysiology The biologic Basis for
Disease in Adults and Children. Philadephia. Mosby Elsevier. 2010 ; 1267)
Disebabkan elastic recoil berkurang maka ini akan menghambat pengaliran udara sewaktu
ekshalasi dan ini menyebabkan volume ekspirasi paksa berkurang dan residual volume
meningkat sehingga menyebabkan hipercapnia (kadar CO2 meningkat ) dan dikompensasi oleh
ginjal sehingga menyebabkan bikarbonat meningkat supaya pH boleh kembali ke normal. Pada
masa yang sama pada emfisema terjadi destruksi pada septa alveolus sehingga menyebabkan
luas permukaan berkurang dan ini menyebabkan gangguan terhadap pertukaran gas. Oleh
karena terjadi gangguan terhadap ventilasi per perfusi maka ini dideteksi oleh chemoreseptor
perifer sehingga menyebabkan impuls efferent dari pusat pernapasan dan menyebabkan otot
pernapasan yang utama dan otot pernapasan tambahan berkontraksi dengan lebih banyak.
Selain itu, keadaan ini menyebabkan terjadi pursed-lips breathing. Namun pada emfisema
terjadi ‘mucus plugging’ akibat metaplasia sel goblet serta terjadi kompensasi tubuh agar CO2
dapat dikeluarkan dari paru maka terjadi penyempitan saluran pernapasan supaya tekanan
intrapulmonari menjadi lebih tinggi berbanding tekanan atmosphere sehingga kaedaan ini
menyebabkan resistensi jalan napas meningkat dari aliran udara berubah dari laminar menjadi
turbulen sehingga menyebabkan penggeseran aliran udara terhadap jalan napas dan
menyebabkan bunyi mengi.
19
Patofisiologi batuk kronis
(Presentation of the patient with Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel.
Principles of Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 23-24)
Merokok menyebabkan metaplasia sel goblet sehingga pengeluaran mukus terhambat. Selain
itu juga, terjadi gangguan ekspirasi pada pasien emfisema sehingga batuk merupakan satu
mekanisme tubuh agar mukus dan CO2 dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan. Maka,
signal efferent, dibawa ke recurrent syaraf laryngeal sehingga sewaktu inspirasi mendalam
glottis terbuka secara tiba-tiba dan menyebabkan kontraksi otot ekspirasi membawa keluar
mukus dan CO2 secara tiba-tiba dan dipaksa keluar sehingga menyebabkan batuk-batuk.
Namun karena emfisema tidak reversible sepenuhnya menyebabkan penderita batuk lebih dari
6 minggu (batuk kronis) untuk mengeluarkan CO2 dan mukus.
Definisi bronkitis kronis
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 97-98)
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya
(tanpa ditemukannya tumor jalan napas, infeksi akut atau kronik, atau penyakit jantung tidak
terkontrol).
Klasifikasi bronkitis
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:101-102 )
Bronkitis akut: Kurang daripada 3 bulan. Tetapi biasanya akan menghilang dalam 10-14
hari.Bronkitis kronik: Lebih daripada 3 bulan. 2 Tahun berturut-turut.
Classification of COPD
Stage Characteristics
I Mild COPD∗ FEV1 80% predicted
II Moderate COPD∗ FEV1 50%–79% predicted
III Severe COPD∗ III Severe COPD∗ FEV1 30%
to 49% predicted
20
IV Very Severe COPD∗ FEV1 <30% predicted or
<50%
predicted with room air
PaO2 <60 mm Hg (8.0 kPa)
Etiologi bronkitis kronik
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008: )
Bakteri yang boleh menyebabkan bronkitis akut adalah Mycoplasma, Pneumococcus,
Klebsiella, Hemophilus . Manakala kalau infeksi virus seperti Rhinovirus, Influenza virus dapat
menyebabkan bronkitis akut. Bahan kimia, pollution juga boleh menyebabkan bronkitis akut
Manakala bronkitis kronik disebabkan merokok, asma, cystic fibrosis, sindrom diskinetik.
Faktor resiko bronkitis kronik
(A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,
MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 32-36)
Faktor resiko bronkitis kronik adalah merokok, imunitas rendah dan terekspos kepada iritan.
Gejala klinis bronkitis kronik
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 90 – 109)
Gejala klinis untuk bronkitis kronik adalah demam, batuk, dyspnea, wheezing, sianosis pada
bibir.
21
22
MANIFESTASI KLINIS CHRONIC BRONCHITIS EMPHYSEMA
UMUR 40-45 60-75
DYSPNEA Ringan , akhir penyakit Parah , awal penyakit
BATUK Awal penyakit disertai
banyak sputum
Akhir penyakit dan sedikit
sputum
RECOIL ELASTIK normal kurang
INFEKSI sering Kadang-kadang
PENAMPILAN Blue-bloater Pink puffer
INSUFFIENSI RESPIRATORI berulang pada terminal
Cor Pulmonale sering Jarang , pada terminal
BARREL CHEST Kadang-kadang Sering
EKSPIRASI YANG
MEMANJANG
sering sering
RESISTEN ALIRAN UDARA meningkat Normal atau meningkat
sedikit
HIPOVENTILASI YANG
KRONIS
sering Pada terminal
RADIOGRAFI DADA Pembuluh darah semakin
kelihatan dan pembesaran
jantung
Hiperinflasi dan jantung
mengecil
Patogenesis bronkitis kronik
(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1635-1643)
Bahan iritan, infeksi menyebabkan hipertrofi kalenjar mukus dan jumlah sel goblet bertambah.
Mukus banyak, lebih melekit sehingga menyebabkan bakteri mudah membuak menyebabkan
reaksi imun sehingga menyebabkan proses inflamasi dan ini menyebabkan infiltrasi sel T
CD8+, makrofag , neutrofil. Fungsi cilia terganggu sehingga menyebabkan mukus tidak
dikeluarkan dan terperangkap. Dinding bronkiol menjadi tebal akibat edema dan inflamatori.
Hipertrofi persisten dan infeksi rekuren menyebabkan bronkospasm dan penyempitan saluran
nafas secara permanen.
Pemeriksaan penyakit paru obstruktif kronis
(Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current
diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 84-90)
Radiologi,foto toraks kelihatan hiperlusen dan diafragma mendatar. Manakala pemeriksaan faal
Paru ,FEV1 rendah dan TLC & RV meningkat. Analisa Gas Darah Arteri dan Laboratium; Pa O2
23
normal atau sedikit menurun (65-75mmHg) dan pa CO2 sedikit menurun (35-40 mmHg). Sa O2
normal saat istirahat.Haemoglobin dan hematokrit normal. Pemeriksaan α1 antitripsin untuk
mengetahui ada kelainan genetik.
Diagnosa banding penyakit paru obstruktif kronis
(Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current
diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 90)
Diagnosa banding asma bronkial dan sesak nafas bersifat reversibel, bronkiektasis sering
disertai recurrent pneumonia adanya hemoptysis, clubbing finger, adanya kelainan atau
gambaran foto thoraks yang khas. Cystic fibrosis terjadi pada anak dan dewasa muda dan
kadar Na dan Cl lebih dari 60 miliEq/L. Bronchopulmonary mycosis sering pada penderita asma
ditandai dengan eosinophilia , adanya reaksi skin test positif thd Aspergillus antigen, dan kadar
IgE meningkat.
Penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronis
(A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,
MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 32-106)
Penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronis secara umum meliputi penatalaksanaan
umum, pemberian obat-obatan, terapi oksigen, latihan fisik, rehabilitasi, fisioterapi.
Penatalaksanaan umum yang termasuk di sini adalah pendidikan terhadap keluarga dan
penderita, menghindari rokok dan zat inhalasi serta menghindari infeksi saluran nafas.
Manakala pemberian obat-obatan dengan bronkodilator yaitu derivat Xantin dan obat golongan
teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase
sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang
tinggi ex : teofilin, aminofilin. Obat golonganAgonis ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor
beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik
cAMP yang menyebabkan bronkodilatasi.Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat
yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol. Ekspectoran
dan mucolitik diberi sebagai usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan
yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang
biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan
eksaserbasi.Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang
melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans. Antibiotik diberi
karena infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada
keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk.
24
Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit.
Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang
bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama
7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan
mikroorganisme. Terapi oksigen diberi pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55
mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja.Latihan fisik
merupakan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada pasien yang sesak
nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini membutuhkan staf
dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan pernapasan sendiri tidak
menunjukkan manfaat. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas
dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan
untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya.
Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus
lambat tapi teratur. Fisioterapi bertujuan dari fisioterapi adalah membantu mengeluarkan
sputum dan meningkatkan efisiensi batuk, mengatasi gangguan pernapasan pasien dan
memperbaiki gangguan pengembangan thoraks serta meningkatkan kekuatan otot-otot
pernapasan.Selain itu juga, fisioterapi dapat mengurangi spasme otot leher.
Komplikasi penyakit paru obstruktif kronis
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:
Komplikasi penyakit paru obstruktif kronis adalah kor pulmonale disebabkan oleh peningkatan
tekanan darah di arteri paru, yang membawa darah dari jantung ke paru-paru. Hal ini
menyebabkan pembesaran dan kegagalan selanjutnya dari sisi kanan jantung. COPD
eksaserbasi akut , secara sederhana, eksaserbasi dapat didefinisikan sebagai memburuknya
gejala PPOK. Banyak orang dengan PPOK menderita beberapa episode eksaserbasi akut
setahun, yang sering menimbulkan rawat inap di rumah sakit meningkat, kegagalan pernapasan
dan bahkan kematian. Paru Hipertensi terjadi bila ada tekanan abnormal tinggi di dalam
pembuluh darah paru-paru. Biasanya, darah mengalir dari jantung melewati paru-paru, di mana
sel-sel darah mengambil oksigen dan mengirimkannya ke tubuh. Pada hipertensi paru, arteri
paru menebal. Ini berarti darah kurang mampu mengalir melalui pembuluh darah.
Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara atau gas di ruang antara paru-paru dan
dinding dada. pneumotoraks terjadi karena lubang yang berkembang di paru-paru, yang
memungkinkan udara untuk melarikan diri dalam ruang di sekitar paru-paru, menyebabkan
paru-paru hancur sebagian atau seluruhnya. Orang yang memiliki PPOK memiliki risiko lebih
25
besar untuk pneumotoraks karena struktur paru-paru mereka yang lemah dan rentan terhadap
perkembangan spontan dari jenis lubang. Sekunder polisitemia diperoleh dari kelainan langka
yang dicirikan oleh kelebihan produksi sel darah merah dalam darah. Bila terlalu banyak sel
darah merah yang diproduksi, darah menjadi tebal, menghalangi jalan melalui pembuluh darah
yang lebih kecil. Pada pasien dengan COPD, polisitemia sekunder bisa terjadi sebagai tubuh
mencoba untuk mengkompensasi penurunan jumlah oksigen dalam darah. Kegagalan
Respiratori terjadi ketika paru-paru tidak dapat berhasil ekstrak oksigen yang cukup dan / atau
menghapus karbon dioksida dari tubuh. Kegagalan pernafasan dapat disebabkan oleh
beberapa alasan, termasuk PPOK atau pneumonia.
Eksasebasi dibagi menjadi tiga yaitu tipe 1 (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas,tipe 2
(eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas dan tipe 3 (eksaserbasi ringan), memiliki 1
gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.Penyebab eksaserbasi akut dibagi menjadi dua
lagi yaitu primer dan sekunder. Penyebab primer adalah infeksi trokeobronkial (infeksi virus)
manakala penyebab sekunder adalah pneumonia, gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia,
emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-
obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit),
nutrisi buruk, lingkungan memburuk/polusi udara, aspirasi berulang dan stadium akhir penyakit
respirasi (kelelahan otot respirasi)
Prognosis penyakit paru obstruktif kronis
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis
waktu berobat.Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan sesak ringan, 5 tahun
kemudian akan terlihat ada perbaikan. Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan
sesak lebih berat dan meninggal.
SUMBER :
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109
John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
26
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1635-1645
PPOM dalam Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press. 2010; 231-232
A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,
MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 1-107
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008: 101-115
Penyakit paru obstruktif kronik dalam Jeremy P.T. Ward, Jane Ward, Richard M. Leach
dan Charles M. Wiener. At a Glance Sistem Respirasi edisi kedua. 2008 : 58-59
Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current
diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 83-91
Aliya N. Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of
Disease. Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687
D. HAEMOPHILUS INFLUENZA
(Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of
Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :
152-153)
Patogenesis
(Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of
Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :
152-153)
27
H.Influenza hanya menginfeksi manusia dan tidak menggunakan hewan perantaraan.
Bakteri gram negatif ini masuk melalui saluran pernapasan atas yang menyebabkan kolonisasi
asimptomatik atau infeksi seperti otitis media, sinusitis atau pneumonia. Bakteri ini
menproduksi Ig A protease yang mendegradasi sekresi Ig A, sehingga menyebabkan
perlengketana pada respirotori mukosa.Faktor virulensi H. Influenza pada kapsul
polisakaridanya yang berperandalam patogenesis molekular dan sistem imun.Strain kapsul tipe
b merupakan penyebab yang berhubungan dengan infeksi infasif. Dinding sel H. Influenza
mengandung lipopolisakarida (LPS) yang dapat menyebabkan ia rentan terhadap makrofag .
LPS menyebabkan endotoxin. Pili, fibril dan protein pada Hia merupakan mediasi perlekatan
Hib terhadap mukosa saluran pernapasan.
Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium bergantung pada isolasi bakteri pada agar coklat yang
diperkaya oleh 2 faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk proses respirasi bakteri yaitu faktor
X ( merupakan komponen heme) dan faktor V (NAD). Darah yang digunakan pada agar coklat
dipanaskan unutk menginaktifkan inhibitor tidak spesifik pertumbuhan H. Influenza . Organisme
yang bertumbuh hanya dengan 2 faktor pertumbuhan diidentifikasi sebagai H.Influenza.
Pengkulturan bakteri boleh juga dilakukan tes resistensi antibiotik.
Penatalaksanaan
Antibiotik Penghambat Sintesis Dinding Sel Mikroba (Antibiotik ß-Laktam), mekanisme
kerjanya obat bergabung dengan Penicillin Binding Protein (PBPs) pada bakteri dan terjadi
hambatan dalam sintesis dinding sel bakteri karena proses transpeptidase antar rantai
peptidoglikan terganggu. Kemudian terjadi aktivitas enzim proteolitik pada dinding sel. Selain
itu akibat terganggunya sintesis dinding sel bakteri maka selnya akan melemah dan lisis.
Ampisilin dan Amoksisilin merupakan golongan aminopenisilin berspektrum luas.Tetapi
dewasa ini ada beberapa bakteri yang resisten terhadap ampisilin dikarenakan obat ini dirusak
oleh betalaktamase yang dihasilkan bakteri. Enzim penisilase ini bekerja dengan memecah
cincin betalaktam penisilin.Perbedaan amoksisilin dari ampisilin ialah kurang efektivitas
terhadap shigelosis. Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus Influenza penghasil
enzim betalaksamase (penisilase) harus diobati dengan kombinasi amoksisilin-asam klavunalat
(mis: pada infek saluran nafas bawah) atau ampisilin-sulbaktam. Efek samping kombinasi
amoksisilin-asam klavulanat adalah diare jika dosis >250 mg, menggangu fungsi hati (sembuh
bila obat dihentikan). Sementara pemberian kombinasi ampisilin sulbaktam pada anak-anak
28
harus berusia diatas 12 tahun. Dosis Ampisilin terdapat dalam 3 bentuk sediaan yaitu oral
(tablet/kapsul), bubuk suspensi sirup, dan suntikan. Dewasa, untuk penyakit ringan sampai
sedang 2-4 hari dibagi untuk 4 kali pemberian, untuk penyakit berat sebaiknya diberikan
parenteral (suntikan) sebanyak 4-8 gr sehari, dosis lebih tinggi lagi pada mengitis. Dosis
Amoksisilin tersedia dalam bentuk kapsul atau tablet berukuran 125, 250, dan 500 mg dan sirup
125 mg/5 mL. Dosis sehari lebih kecil dari ampisilin karena absorpsinya lebih baik dari ampisilin
yakni 3 kali 250-500 mg sehari.Efek samping adalah Alergi dan umumnya tidak bersifat toksik
pada manusia. Sefalosforin yang aktif terhadap H.influenza adalah generasi II (Sefamandol,
Sefaklor, Sefuroksim), generasi III (Sefotaksim, Seftriakson) , generas III sangat aktif pada H.
influenza penghasil enzim penisilase.Sefotaksim 150-200 mg/kg/hari secara intravena akan
memberikan hasil yang baik. Generasi IV Sefepim, Sefpirom) dan generasi IV dipakai jika
bakteri resisten terhadap generasi III. Antibiotik Penghambat Sintesis Protein Sel Mikroba
untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein
berlangsung di dalam ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri
atas 2 subunit yakni ribosom 30S dan ribosom 50S. Untuk berfungsi pada sintesis protein,
kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.
Kloramfenikol, obat ini akan berikatan dengan ribosom 50S bakteri dan menghambat enzim
peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein bakteri.
Indikasi adalah mengobati demam tifoid ( 4 kali 500 mg sehari selama 2 minggu ) dan
meningitis oleh H. Influenza. Antimikroba Penghambat Sintesis Asam Nukleat Sel Mikroba
yaitu Fluorokuinolon dengan mekanisme kerja yauitu menghambat kerja enzim
topoisomerase II (= DNA graise) dan IV pada bakteri. Enzim topomirase II berfungsi untuk
menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoling (pilinan positif yang
berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topomirase IV berfungsi dalam
pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.Obat ini ada
dalam bentuk sediaan oral karena baik diserap dan dalam bentuk parenteral (infeksi berat pada
infeksi gram negatif).
SUMBER :
Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of
Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :
152-153
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:104-109
29
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 97-107
John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1635-1645
Timoty F. Murphy. Haemophilus Infection in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo,
Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States
of America: McGraw-Hill Companies. 2008; 923-925
8. ULASAN :
A. Ditemukan perbedaan antara Aliya N. Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and
Aster. Pathologic Basis of Disease. Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687 dan buku
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109 tentang
pembagian penyakit paru obstruktif kronis dimana buku Aliya N. Husain. The Lung in Kumar,
Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of Disease. Philadephia: Saunders
Elsevier.2010; 684-687 menyatakan penyakit paru obstruktif kronis adalah termasuk bronkitis
kronis, bronkietasis, emfisema, dan asma. Manakala , buku Chronic Obstructive Pulmonary
Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of Pulmonary Medicine 5th edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109 menyatakan penyakit paru obstruktif kronik
Cuma terdiri dari emfisema dan bronkitis kronik. Setelah merujuk buku lain seperti buku John J.
Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of
Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-Hill Companies. 2008; 1635-
1645 dan jurnal A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio
Anzueto, MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 1-107 (PDF)
didapati bahwa penyakit paru obstruktif kronik cuma terdiri dari emfisema dan bronkitis kronik,
asma telah dikeluarkan karena asma adalah reversible. Perbedaan maklumat pada buku Aliya N.
Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of Disease.
Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687 dan buku-buku lain karena ia belum mengupdate
informasi yang terbaru.
30
B. Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal ini karena keterbasan kepustakaan dan
kesulitan materi yaitu pemeriksaan untuk mengetahui ‘reversibility’. Setelah mendapat penjelasan
dari narasumber dalam pleno disimpulkan bahwa digunakan bronkodilator untuk mengetahui
‘reversibility’ dan pada penyakit paru obstruktif kronis apabila digunakan bronkodilator tidak
‘reversible’ dan progresif manakala untuk asma apabila digunakan bronkodilator volume ekspirasi
paksa meningkat lebih dari 20 % sebab asma merupakan penyakit ‘reversible’ .
C. Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal ini karena keterbasan kepustakaan dan kesulitan
materi yaitu kenapa bronkietasis tidak digolongan kedalam penyakit paru obstruktif kronis ?
Setelah mendapat penjelasan dari narasumber dalam pleno disimpulkan bahwa bronkietasis tidak
dimasukkan kedalam penyakit paru obstruktif kronis karena bronkietasis tidak merupakan penyakit
obstruktif.
9. KESIMPULAN :
A. A mengalami emfisema stadium sedang dan dieksaserbasi oleh infeksi Haemophilus
Influenza.
B . Harus dilakukan pemeriksaan resistensi antibiotik.
C. A harus diberi -agonist yang dikombinasi dengan anticholinergic dan antiobiotik serta
ekspektoran
10. DAFTAR PUSTAKA :
1. Peter J. Kennelly, PhD & Victor W. Rodwell, phD. Water & pH in Robert K.Murray, Daryl
K.Granner, Peter A.Mayes, Victor W.Rodwell. Harper’s Illustrated Biochemistry 27th
edition. United States of America : McGraw-Hill Companies,2006; 5-13
31
2. Fluid and Acid-Base Balance in Lauralee Sherwood. Human Physiology from cells to
systems 6th edition. United States of America: Thomson Higher Education 10 Davis
Drive, 2007; 559-573
3. The Regulation of Acid-Base Status in Michael G. Levitzky. Pulmonary Physiology 7th
edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007;163-187
4. Regulation of Extracellular Fluid Composition and Volume. William F. Ganong. Review
of Medical Physiology. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007;
730-738
5. Patel H, Gwilt C. Respiratory System 3rd edition , 2008. Elsevier. Philadelphia: 187-207
6. Talley N, O’connor S. Respiratory system and breast examination. Clinical examination.
A Systemic Guide to Physical Diagnostic 5th edition. Australia. Elsevier 2006: 93-125
7. Presentation of the patient with Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel.
Principles of Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 19-27
8. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of
Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109
9. John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.
Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-
Hill Companies. 2008; 1635-1645
10. PPOM dalam Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty. Dasar-dasar ilmu penyakit paru.
Surabaya: Airlangga University Press. 2010; 231-232
11. A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,
MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 1-107
12. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory
Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008: 101-115
32
13. Penyakit paru obstruktif kronik dalam Jeremy P.T. Ward, Jane Ward, Richard M. Leach
dan Charles M. Wiener. At a Glance Sistem Respirasi edisi kedua. 2008 : 58-59
14. Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of
Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :
152-153
15. Timoty F. Murphy. Haemophilus Infection in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo,
Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States
of America: McGraw-Hill Companies. 2008; 923-925
16. Aliya N. Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of
Disease. Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687
17. Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current
diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 83-91
18. Pectum excavatum in Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2003
(http//:www.mayoclinic.com) (gambar 4)
19. Respiratory examination in David L. Simel, Drummond Rennie.The rational Clinical
Examination United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2008; 530-545 (e-
book) (gambar 2,3 dan 5)
33