makalah respiratory system

47
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK BLOK : RESPIRATORY SYSTEM SEMESTER : 4 Nama : Shalini a/p Shanmugalingam NIM : 080100402 Kelas Tutorial : B9 Nama fasilitator : dr. Jessy Chrestella , Sp.PA 1

Upload: shalini-shanmugalingam

Post on 03-Jan-2016

144 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

paper respiratory

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Respiratory System

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

BLOK : RESPIRATORY SYSTEM

SEMESTER : 4

Nama : Shalini a/p Shanmugalingam

NIM : 080100402

Kelas Tutorial : B9

Nama fasilitator : dr. Jessy Chrestella , Sp.PA

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

2010

1

Page 2: Makalah Respiratory System

2

KONTEKS MUKA SURAT

PENGHARGAAN 3

PENDAHULUAN 4

SALINAN PEMICU DAN MORE INFO 5

BIOKIMIA DAN FISIOLOGI ASAM-BASA 7

PEMERIKSAAN FISIK PARU 9

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS 15

HAEMOPHILUS INFLUENZA 27

ULASAN 29

KESIMPULAN 30

DAFTAR PUSTAKA 31

Page 3: Makalah Respiratory System

Puji dan syukur senantiasa ke hadirat tuhan atas rahmat dan karuniaNya kepada saya karena

makalah blok respiratory system dapat disiapkan pada tempoh yang ditetapkan .

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi - tingginya kepada tutor kelompok B-9 yaitu

dr. Jessy Chrestella, Sp. PA karena telah banyak membimbing saya sewaktu tutorial dan

bagaimana untuk membuat makalah . Beliau juga telah membantu saya untuk lebih memahami

tentang penyakit paru obstruktif kronis. Tanpa pertolongan beliau tidak mungkin saya boleh

menyiapkan makalah ini . Beliau telah banyak memberi dorongan agar saya lebih semangat

untuk menyiapkan makalah ini . Beliau juga menjadikan proses pembelajaran lebih senang

bagi saya dan teman – teman saya kelompok tutorial B-9 .

Pada kesempatan ini juga , saya ingin mengucapkan jutaan terima kasih kepada ibu dan bapa

saya karena telah menyokong saya dari segi kewangan yaitu membiayai segala perbelanjaan

sewaktu membuat makalah ini . Mereka juga telah banyak memberi semangat kepada saya

sewaktu membuat makalah ini . Kata – kata semangat mereka telah menyebabkan saya

membuat makalah ini bersungguh-sungguh . Tidak lupa juga kepada teman – teman saya yang

banyak menolong saya dalam memberi idea untuk membaiki makalah saya dan memberi

sokongan agar makalah ini dapat disiapkan dapat tempoh yang ditetapkan.

Medan , 24 MEI 2010

-----------------------------------------------

SHALINI SHANMUGALINGAM3

Page 4: Makalah Respiratory System

NIM : 080100402

Di tutorial pemicu kedua pada blok respiratory system ini yaitu tentang penyakit paru obstruktif kronis . Pada pemicu ini, saya telah mempelajari tentang biokimia dan fisiologi asam basa, pemeriksaan fisik paru, definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, gejala klinis, patogenesis, patofisiologi, pemeriksaan, diagnosa banding, penatalaksanaan untuk penyakit paru obstruktif serta patogenesis, pemeriksaan dan penatalaksanaan untuk haemophilus influenza

Selain itu juga, dengan bantuan dr.Jessy Chrestella, Sp. PA saya telah menda lami kasus penyakit jantung koroner . Manakala pada perjumpaan kedua, dr. Jessy Chrestella, Sp. PA memicu kami kelompok tutorial B-9 untuk berfikir secara kritis yaitu bukan belajar dari kasus malah belajar secara meluas tentang blok respiratory system ini. Di pemicu ini juga saya telah mempelajari eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronis. Saya juga telah mempelajari patofisiologi gejala klinis dalam kasus ini secara mendalam yaitu batuk kronis dalam PPOK merupakan satu kompensasi tubuh. Ternyata pemicu telah menyebabkan saya mempelajari blok respiratory system ini secara kritis dan mendalam.

Penulisan loparan hasil diskusi kelompok adalah untuk mengetahui pencapaian pembelajaran. Sebagai mahasiswa, saya telah mengambil kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin. Penulisan laporan ini sangat bermanfaat untuk belajar menulis loparan ilmiah untuk secara benar dan baik. Laporan ini menjaring kemampuan mahasiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran mengenai penyakit paru obstruktif kronis.Laporan ini mengandung hal berkaitan penyakit paru obsrtuktif kronis.Diharapkan makalah ini akan menjadi satu bahan rujukan di masa akan datang.

Sekian, terima kasih.

Medan , 24 MEI 2010

---------------------------------------

SHALINI SHANMUGALINGAM

4

Page 5: Makalah Respiratory System

NIM : 080100402

1. Nama atau tema blok :

Blok respiratory system

2. Fasilitator / Tutor :

dr. Jessy Chrestella, Sp. PA

3. Data pelaksanaan :

A. Tanggal tutorial :27 April 2010 dan 30 April 2010

B. Pemicu ke-2

C. Pukul : 09.30-12.00 Wib

D. Ruangan : Ruang Tutorial 9

4. Pemicu :

A, seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sesak nafas yang

berbunyi sejak 3 hari yang lalu. Sesak nafas dirasakan semakin memberat dalam 1 hari ini dan

sesak nafas juga semakin memberat walaupun hanya melakukan aktivitas ringan. A

sebenarnya telah menderita sesak nafas ini sejak 2 tahun yang lalu, dan kadang-kadang

disertai batuk. Batuk dialami A sejak 1 minggu yang lalu dengan volume banyak dan dahak

yang berwarna hijau. A biasanya mengonsumsi obat yang dijual bebas di warung untuk

mengobati sesak nafasnya, namun A merasa keluhan sesak nafasnya hanya berkurang saja

dan tidak bisa hilang secara tuntas. A juga mengalami demam 1 minggu ini, tidak terlalu, namun

saat ini demamnya sudah berkurang. A telah merokok sejak umur 30 tahun dengan 20 batang/

hari dan sudah berusaha untuk mengurangi jumlah rokoknya.

Apakah yang terjadi dengan A?

More Info :

Pada pemeriksaan tanda vital TD: 120/80 mmHg, RR: 28 x/menit, denyut nadi: 96x/menit, temp:

37°C. Pada inspeksi secara keseluruhan tampak pursed lips breathing. Pemeriksaan toraks: 5

Page 6: Makalah Respiratory System

inspeksi: terdapat otot-otot bantu abdomen dan leher; bentuk toraks: barrel chest; palpasi: stem

fremitus melemah pada kedua lapangan paru; perkusi: Hipersonor pada kedua lapangan paru;

auskultasi: suara pernafasan melemah pada kedua lapangan paru disertai ekspirasi

memanjang dan suara tambahan mengi pada seluruh lapangan paru. pada foto toraks: dijumpai

gambaran hiperlusen pada kedua lapangan paru, bentuk jantung pendulum dan diafragma letak

rendah.Pada pemeriksaan darah rutin: Hb 13,8 gr/dl, leukosit 13000/mm3, trombosit

200.000/mm3, dan LED 20 mm/jam. Dokter juga melakukan pemeriksaan analisa gas darah

arteri. Hasilnya adalah pH: 7,32; PCO₂:55mmHg; PO₂:79mmHg, BE (Base Excess):3,

bikarbonat:29 dan saturasi oksigen 95%.Faal ginjal dan faal hati: normal. KGD: normal. Hasil

kultur sputum ditemukan Haemophillus influenza.Pemeriksaan spirometri: VEP1= 55%

VEP1/KVP=65%

Bagaimana pendapat anda mengenai A sekarang ? Bagaimana penatalaksanaan yang

harus diberikan kepada ? Pemeriksaan apalagi yang perlu diberikan ?

5. Tujuan pembelajaran :

A. Memahami tentang biokimia dan fisiologi asam-basa.

B. Mengetahui pemeriksaan fisik paru.

C. Memahami tentang penyakit emfisema.

D. Memahami tentang penyakit bronkitis kronis.

E. Memahami tentang infeksi haemophilus influenza.

6. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat:

A. Bagaimana biokimia dan fisiologi asam basa ?

B. Bagaimana pemeriksaan fisik paru ?

C. Apakah definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, gejala klinis, patogenesis, patofisiologi,

pemeriksaan, diagnosa banding, penatalaksanaan untuk penyakit paru obstruktif kronis ?

D. Apakah patogenesis, pemeriksaan dan penatalaksanaan untuk haemophilus influenza?

6

Page 7: Makalah Respiratory System

7. Jawaban atas pertanyaan :

A. BIOKIMIA DAN FISIOLOGI ASAM-BASA

(Fluid and Acid-Base Balance in Lauralee Sherwood. Human Physiology from cells to

systems 6th edition. United States of America: Thomson Higher Education 10 Davis Drive,

2007; 559-573)

Nilai pH darah normal adalah 7,4 + 0,05. Konsentrasi pH ditentukan oleh ion Hidrogen (H+), ion

H+ berasal dari oksidasi karbohidrat atau hidrat arang yang tidak sempurna,oksidasi asam

lemak bebas yg tidak sempurna (ketosis), NH3 dari deaminasi oksidatif asam amino NH3 (urea)

dan proses pengangkutan CO2 dari jaringan ke paru-paru terdapat ion H+ dalam darah. Eritrosit

dan sel tubulus ginjal mengandung enzim karbonat anhidrase, mengkatalisa; CO2 + H2O Û

H2CO3 .. Pertahanan pertama terhadap perubahan pH adalah buffer kimia yaitu sistem buffer

fosfat, sistem buffer protein dan sistem buffer bikarbonat manakala pertahanan kedua terhadap

perubahan pH mekanisme respiratory dengan mengekskresi CO2 dan mekanisme ginjal dengan

mengekskresi H+ . Apabila tekanan partial CO2 darah meningkat ini menyebabkan tekanan

partial CO2 sel tubulus meningkat sehingga menyebabkan ion [H+] meningkat dan ini

menyebabkan sekresi H+ ke lumen juga meningkatkan serta ini menyebabkan antiport H+- Na+

mereabsorbsi HCO3 dan atau diekskresi melalui urine. Manakala H+ dilumen berguna untuk

reabsorbsi HCO3 , H+ juga bereaksi dengan buffer HPO4= atau H2PO4

- dan menjadi penukar Na+

pada Na2HPO4 menjadi NaH2PO4 (penghematan Na ) serta H+ juga bereaksi dengan NH3

( deaminasi oksidatif asam-asam amino disel tubulus ) dan membentuk NH4+ ( pKa = 9,6 untuk

dapat menetralisir asam kuat ( sulfat dan fosfat ) yang akan diekskresi untuk melindungi

mukosa saluran kemih.

Asidosis metabolik paling banyak ditemukan dan penurunan [ HCO3- ] , karena banyak

digunakan menanggulangi kelebihan asam asam organik sisa metabolism. Ditemukan pada

penderita diabetes, gagal ginjal, gastroenteritis ( dehidrasi ), tirotoksikosis dan sebagainya.

Apabila mekanisme kompensasi dapat mengembalikan pH normal ini akan menyebabkan

asidosis metabolik terkompensasi dan konsentrasi bikarbonat meningkat. Kompensasi tubuh

7

Page 8: Makalah Respiratory System

terhadap asidosis metabolik adalah peningkatan H+ disangga HCO3- plasma dan Hb ,

peningkatan ventilasi yang dapat menurunkan PCO2 , peningkatan H+ disangga HCO3- intertisial

juga kompensasi tubuh dan juga terjadi peningkatan H+ disangga protein dan fosfat intra sel

serta penghematan dan pembentukan HCO3- oleh ginjal

Alkalosis metabolik adalah akibat peningkatan HCO3- karena konsumsi atau hilangnya

substansi asam yang berlebihan dan keadaan ini ditemukan pada pamakai obat-obat ulkus

peptikum yang lama, obstruksi usus ( muntah ) dan sebagainya. Kompensasi tubuh berupa

pernapasan lambat dan dangkal untuk retensi CO2 dan mengurangi ekskresi H+ dengan

ekskresi garam NaHCO3 dan Na2HPO4 serta menekan pembentukan NH3.

Asidosis respiratorik ditandai dengan peningkatan PCO2 karena gangguan fungsi paru dan

menyebabkan retensi CO2 dan biasanya ditemukan pada pneumonia, emfisema, keracunan

morfin dan barbiturat dan sebagainya. Bikarbonat yang dibentuk dari CO2 yang meninggi

karena asidosis respiratorik ( CO2 + H2O = H2CO3 = H+ + HCO3- ) tidak dapat membantu

menyangga H+ . Kompensasi tubuh terhadap peningkatan H+ disangga oleh Hb eritrosit dan

peningkatan H+ disangga oleh protein dan fosfat intrasel serta peningkatan ekskresi H+ dengan

peningkatan pembentukan amoniak ditubuli distal dan pembentukan bikarbonat baru oleh ginjal.

Alkalosis respiratorik ditandai dengan penurunan PCO2 karena gangguan fungsi paru

(hiperventilasi) dan keadaan ini juga ditemukan pada keadaan keracunan salisilat, demam

tinggi, histeria dan sebagainya. Kompensasi tubuh dengan penurunan ekskresi H+ oleh ginjal

. Kompensasi respiratorik untuk gangguan-gangguan metabolik berlangsung sempurna dalam

24 jam sedangkan kompensasi ginjal untuk gangguan-gangguan respiratorik lebih lambat,

memerlukan waktu 2 – 6 hari

8

Page 9: Makalah Respiratory System

Sumber :

Peter J. Kennelly, PhD & Victor W. Rodwell, phD. Water & pH in Robert K.Murray, Daryl

K.Granner, Peter A.Mayes, Victor W.Rodwell. Harper’s Illustrated Biochemistry 27th

edition. United States of America : McGraw-Hill Companies,2006; 5-13

Fluid and Acid-Base Balance in Lauralee Sherwood. Human Physiology from cells to

systems 6th edition. United States of America: Thomson Higher Education 10 Davis Drive,

2007; 559-573

The Regulation of Acid-Base Status in Michael G. Levitzky. Pulmonary Physiology 7th

edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007;163-187

Regulation of Extracellular Fluid Composition and Volume. William F. Ganong. Review of

Medical Physiology. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007; 730-

738

B. PEMERIKSAAN FISIK PARU

9

Kelainan Ph [CO2] [HCO3-] [HCO3

-] / [CO2]

Normal Normal Normal Normal 20/1

Asidosis metabolik

tidak dikompensasi

Menurun Normal Menurun 10/1

Asidosis metabolik

dikompensasi

Normal Menurun Menurun 15/0.75 (20/1)

Asidosis respiratori

tidak dikompensasi

Menurun Meningkat Normal 20/2 (10/1)

Asidosis respiratori

dikompensasi

Normal Meningkat Meningkat 40/2 (20/1)

Alkalosis metabolik

tidak dikompensasi

Meningkat Normal Meningkat 40/1

Alkalosis metabolik

dikompensasi

Normal Meningkat Meningkat 25/1.25 (20/1)

Alkalosis respiratori

tidak dikompensasi

Meningkat Menurun Normal 20/0.5 (40/1)

Alkalosis respiratori

dikompensasi

Normal Menurun Menurun 10/0.5 (20/1)

Page 10: Makalah Respiratory System

(Talley N, O’connor S. Respiratory system and breast examination. Clinical examination.

A Systemic Guide to Physical Diagnostic 5th edition. Australia. Elsevier 2006: 93-125)

Pertama harus mengobservasi pasien saat masuk ruang, pasien disuruh duduk diatas

tempat tidur , baju dibuka atau dilepas.

Kemudian diteruskan dengan melakukan pemeriksaan inspeksi yang dimulai dari kepala,

dilihat matanya adakah ptosis, lidah adakah sianosis, adakah pernapasan cuping hidung.

Seterusnya di lihat kedua tangan adakah terdapat clubbing fingers, sianosis dan dilihat juga

adakah terdapat pitting edema pada kedua kakinya. Kemudian dilihat bentuk dada adakah

barrel chest, pigeon chest, pectum excavatum chest, kifosis, skoliosis. Dada normal diameter

transversal lebih besar dari diameter anteroposterior (2;1 atau 7;5). Seterusnya dilihat dada

simetris atau tidak dan dilihat juga pola pernapasan apakah thoracoabdominal atau

abdominothoracal. Biasanya pola pernapasan padawanita thoracoabdominal dan pria ialah

abdominothoracal. Dilihat juga pasien ada tidak ketinggalan bernapas dan ada tidak pemakaian

otot-otot pernapasan tambahan. serta ada tidak pembengkakan pada daerah leher dan wajah.

Kemudian diteruskan kepada pemeriksaan palpasi.Dimulai dengan mempalpasi kelenjar

getah bening yang dimulai dari daerah sub mental, sub mandibular, rantai yugular bagian atas,

tengah, bawah, supra klavikula dan trigonum posterior leher. Bila ditemukan benjolan,

perhatikab lokasi, jumlah, permukaan, konsistensi, konglumerasi, batas, pergerakan, ukuran

dan ditanyakan dengan pasien benjolan itu nyeri atau tidak. Seterusnya dilakukan perabaan

posisi trakea . Kemudian diletakkan kedua telapak tangan pada dinding toraks atas kanan dan

kiri dan pasien diminta mengatakan 77 berulang-ulang sambil memindahkan posisi telapak

tangan pada seluruh dinding toraks (atas, tengah dan ke bawah) dan menilai getaran suara

terjadi pada dinding toraks pasien. Selepas itu menilai ekspansi dinding toraks pasien dengan

meletakkan tangan pada posisi ujung scapula kiri dan kanan dan diteruskan dengan meraba

emphysema subcutis.

Selepas itu, diteruskan dengan melakukan perkusi pada pasien dengan meletakkan jari

tengah kiri diatas dinding toraks pasien lalu memukul jari tersebut dengan jari tengah lengan

kanan dan berganti posisi dari toraks kanan kemudian bergeser ke kiri dan kemudian ke bawah,

mulai dari toraks atas, tengah dan bawah. Menilai batas paru-hati. Pada lokasi sekitar diatas

hepar, perkusi toraks sambil pasien disuruh ekspirasi dan tahan napas hingga perkusi berubah

dari sonor ke beda dan diberi tanda. Kemudian sambil diperkusi pasien disuruh tarik napas

dalam kemudian ditahan dan lokasi perkusi sonor menjadi beda diberi tanda. Menilai sura

perkusi yang terjadi pada dinding toraks pasien

10

Page 11: Makalah Respiratory System

Seterusnya dilakukan auskultasi dengan meletakkan stetoskop pada dinding toraks pasien

dan pasien disuruh melakukan inspirasi dan ekspirasi dalam secara terus menerus. Kemudian

diletakkan posisi stetoskop pada seluruh dinding toraks secara sistematis lapangan atas,

tengah dan bawah dari paru kanan ke paru kiri dan menilai suara pernapasan dan suara

tambahan yang terdengar dari stetoskop.

Pada akhir pemeriksaan fisik paru, dicatat dan didokumentasikan hasil pemeriksaan pada

status pasien.

Pemeriksaan auskultasi paru, Udara yang mengalir cepat menimbulkan suara yang berbisik

dan berpola turbulen. Aliran yang lambat bersifat tidak berbisik dan berpola laminer. Udara

napas mengalir paling cepat dan turbulen ditrakea dan percabangan awal bronki , jadi suara

napas normla paling mungkin terjadi disini. Auskultasi toraks senantiasa harus dikerjakan dalam

ruangan yang tenang radio dan televise harus dipadamkan.Sedapatnya jangan meletakkan

stetoskop diatas bulu-bulu dada. Sebab, gesekan bulu dada pada diafragma stetsoskop

menimbulkan suara derikan yang sangat mirip kondisi patologik paru-paru tertentu. Jika hal ini

sulit dihindari (dada pasien berbulu lebat), membasahi bulu dada tadi dapat mengurangi atau

melenyapkan gangguan itu. Pada toraks normal dapat didengar empat jenis suara pernapasan

yaitu; vesikuler normal, bronkial, bronkovesikuler, trakea. Vesikuler normal adalah bunyi yang

relatif lembut, bernada rendah, kadang kala dideskripsikan sebagai bunyi helaan napas atau

desiran lembut. Suara ini terdengar pada sebagian besar bagian perifer paru-paru. Fase

inspirasi jelas lebih panjang dibandingkan fase ekspirasi, perbandingan sekitar 3:1. Bronkial

adalah suara dengan karakteristik keras dan bernada tinggi ini menyerupai suara udara yang

bertiup melewati suatu pipa kosong. Fase ekspirasinya lebih keras dan panjang dibandingkan

fase inspirasinya. Bronkovesikuler. Ini adalah gabungan suara bronkial dan vesikular. Fase

inspirasi maupun ekspirasinya hampir sama panjang (perbandingannya 1:1). Trakea adalah

suara ini, biasanya tidak didengar dalam auskultasi, terdapatnya dibagian trakea diluar rongga

toraks. Secara kasar suara-suara ini bagi dalam dua golongan besar adalah bunyi-bunyi

tambahan seperti ronki basah (crackles), bunyi mengi (wheeze) , bunyi gesekan pleura (pleural

friction rub); hippocrates succusion. Suara yang disebarkan secara abnormal seperti amphorik,

stridor, egofoni, whispered pektoriloquy, bronkofoni, pernapasan bronkial dan suara napas yang

melemah abnormal. Ronki basah adalah suara nonmusik yang pendek dan meledak-ledak.

Ronki basah halus, sedang dan kasar tergantung besarnya bronkus yang terkena dan

umumnya terdengar pada inspirasi. Early inspiratory crackles (ronki basah inspiratori dini)

biasanya menunjukkan airway (bronkitis kronis, asma dan emfisema).Late / pan - inspiratory

crackles (ronki basah inspirasi lambat) merupakan tanda khas penyakit paru restriktif

misalnya fibrosis interstitial, asbestosis, pneumonia. Mengi (wheeze) adalah suara musik

11

Page 12: Makalah Respiratory System

paru. Ini disebabkan akibat aliran udara yang melewati saluran napas mengalami penyempitan

akibat konstriksi atau edema atau obstruksi saluran napas parsial. Pleural Friction Rub adalah

suara yang terdengar berkeretak (cracking) dan bergesek (grating) yang timbul karena

pergesekan pleura visceralis dan pleura parietalis selama pernapasan. Ketika inspirasi sering

terdengar dibandingkan ekspirasi. Hippocrates succusion adalah suara cairan pada

hidropneumotoraks yang terdengar bila si pasien digoyang-goyangkan. Stridor adalah suara

musik keras, terbanyak terdapat pada saat inspirasi dan terdengar sangat jelas pada jarak jauh

dari penderita.Amphorik biasanya terjadi jika terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan

berhubungan terbuka dengan bronkus akan terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.

Salah satu pemeriksaan auskultasi dimana penderita diminta untuk mengucapkan atau

membisikkan “satu-dua-tiga” atau “sembilan-puluh-sembilan” sambil pemeriksa mendengarkan

penghantaran suara tersebut pada dinding dada dengan stetoskop.Interpretasi normal fremitus

suara akan terdengar bising halus yang tidak jelas. Ada 3 karakter vokal fremitus.Egofoni

seperti bicara hidung atau mengembik yang disalurkan melewati jaringan paru yang padat

(misalnya pneumonia).Bronkofoni pada penderita menyuarakan “sembilan puluh sembilan”

dan interpretasi abnormal jika kata ini jelas terdengar dan bukan berupa suara campur aduk

yang tak jelas. Whispered pectoriloquy sewaktu berbisik, pita suara tidak bergetar.Suara bisik

yang tak terdengar pada dada yang normal ketika melakukan auskultasi.Interpretasi kelainan

jika kita mendengarkan penderita berbisik “ satu-dua-tiga” terdengar jelas.

Gambar 1 – menunjukkan ptosis

Sumber; Respiratory examination in David L. Simel, Drummond Rennie.

The rational Clinical Examination United States of America:

The McGraw-Hill Companies, 2008; 536 (e-book)

12

Page 13: Makalah Respiratory System

Gambar 3 menunjukkan barrel chest Gambar 4 menunjukkan kifosis

Sumber gambar 2 dan 3 ; Respiratory examination in David L. Simel,

Drummond Rennie.The rational Clinical Examination

United States of America:The McGraw-Hill Companies,

2008; 540 & 541 (e-book)

13

Page 14: Makalah Respiratory System

Gambar 4 menunjukkan Gambar 5 menunjukkan skoliosis

pectum excavatum chest Sumber; Respiratory examination in

Sumber; Pectum excavatum in Mayo David L. Simel,

Foundation for Medical Education and Drummond Rennie.

Research, 2003 (http//:www.mayoclinic.com) The rational Clinical

Examination

United States of America:The McGraw-

Hill Companies,2008; 541

(e-book)

Sumber:

Patel H, Gwilt C. Respiratory System 3rd edition , 2008. Elsevier. Philadelphia: 187-207

Talley N, O’connor S. Respiratory system and breast examination. Clinical examination.

A Systemic Guide to Physical Diagnostic 5th edition. Australia. Elsevier 2006: 93-125

Presentation of the patient with Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel.

Principles of Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 19-27

Pectum excavatum in Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2003

(http//:www.mayoclinic.com) (gambar 4)

14

Page 15: Makalah Respiratory System

Respiratory examination in David L. Simel, Drummond Rennie.The rational Clinical

Examination United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2008; 530-545

(e-book) (gambar 2,3 dan 5)

C. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109 )

Definisi emfisema

(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1635)

Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan

aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif tidak reversibel. Penyakit paru obstruktif

terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan dari keduanya.

Epidemiologi penyakit paru obstruktif kronis

PPOM dalam Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:

Airlangga University Press. 2010; 231

Di Indonesia tidak ada data jumlah penyakit paru obstruktif kronis yang akurat. Survei

Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 mengklasifikasi asma, bronkitis kronik dan emfisema

menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan

utama. SKRT Depkes RI 1992 menyatakan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan

emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di

Indonesia.Manakala di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita

emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat

menimbulkan gangguan aktifitas. 65 % laki-laki dan 15 % wanita.

15

Page 16: Makalah Respiratory System

Klasifikasi emfisema

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 95-96)

Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara

distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.Berdasarkan tempat terjadinya

proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi tiga yaitu sentri-asinar (sentrilobular/CLE)

Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan

daerah sekitar asinus, pan-asinar (panlobular) dimana kerusakan terjadi merata di seluruh

asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khasnya adalah tersebar merata di seluruh

paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering

timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin dan iregular yaitu kerusakan pada

parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.Emfisema dapat bersifat

kompensatorik atau obstruktif dimana emfisema kompensatorik,terjadi di bagian paru yang

masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya

karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks dan emfisema obstruktif terjadi karena

tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh, hingga terjadi mekanisme

ventil.

Etiologi emfisema

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 91-94)

Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi,

infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.Rokok secara patologis rokok dapat menyebabkan

gangguan pergerakkan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar,

menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi

makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta

infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi

jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah.Disamping itu, merokok akan

merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik), dan

menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara

aktifitas keduanya. Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.

Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi.

Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia,

16

Page 17: Makalah Respiratory System

menghambat fungsi makrofag alveolar. Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan

paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma

bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan terjadinya emfisema. Manakala faktor genetik adalah karena defisiensi Alfa-1 anti

tripsin.

Faktor resiko emfisema

(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1635-1636)

Faktor resiko adalah kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara dilingkungan dan tempat

kerja. Selain itu, faktor genetik adalah karena defiensi alfa-1 antitripsin dan juga infeksi HIV

merupakan faktor resiko untuk terkena emfisema.

Gejala klinis emfisema

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 102-103)

Gejala klinis emfisema adalah batuk berulang-ulang dengan dahak sedikit,sesak napas dengan

atau tanpa bunyi mengi, pursed-lips breathing, barrel chest, penggunaan otot napas, hipertrofi

otot bantu napas, pelebaran sela iga, penampilan pink puffer dan biasa penampilan pasien

kurus, dan biasanya dijumpai bau asap rokok dan kesan nikotin pada kuku jari tangan pada

pasien emfisema yang merokok.

Patogenesis emfisema

(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1637-1639)

Merokok merupakan etiologi utama yang menyebabkan emfisema. Oleh karena itu, A yang

merupakan perokok sedang selama 25 tahun dan ini menyebabkan banyak spesies oksigen

reaktif dalam tubuh A dan ini mengurangi mekanisme antioksidant sehingga menyebabkan

kerusakan jaringan. Kandungan nikotin dalam rokok dan spesies oksigen reaktif ini

mengaktifkan ‘chemoattractant’ dan apabila terjadi injuri oksidatif akan terjadi inaktivasi

antiproteinases yang menyebabkan defiensi terhadap ‘alfa-1-antitrypsin’ walaupun pada pasien

17

Page 18: Makalah Respiratory System

ini tidak mengalami defiensi enzim tersebut. ‘Histone deacetylase-2’ menjadi inaktif akibat

paparan terhadap spesies oksigen reaktif yang memindahkan sisa terhadap acetylated atau

kromatin bebas. Ini menyebabkan tempat ‘factor nuclear ’ terpapar dan menyebabkan

transkripsi ‘matriks metalloproteinase-9’, proinflammatorik sitokin interleukin 8 (IL-8), ‘tumor

nekrosis factor’ (TNF-) dan leukotriene B (LTB) sehingga memicu dan mengatifkan neutrofil

pada respiratorik bronkiole dan alveoli. Sel T CD8+ juga dipicu dalam respon terhadap merokok

dan membebaskan ‘interferon inducible protein-10’ yang menyebabkan produksi makrofag oleh

‘makrofag elastase’ (matriks metalloproteinase-12). Neutrofil yang terkumpul pada alveolus

yang diaktivasi membebaskan granul yang kaya dengan proteases (‘neutrofil elastase’,

‘proteinase 3’ dan ‘cathepsin G’. ‘Neutrofil elastase’ yaitu ‘matriks metalloproteinase’ dan ‘serine

proteinase’ kerja bersama dengan inhibitor degredasi yang lain sehingga merusakkan jaringan.

Hasil dari ‘proteolytic’ ini juga berfungsi sebagai ‘chemokine macrophage ‘ yang menyebabkan

‘feedback’ positif terhadap destruksi. Selain itu, aktiviti ‘elastase’ pada makrofag tidak dihambat

oleh ‘1-antitrypsin’ yang membolehkan elastase makrofag untuk memacahkan antiprotease

secara proteolik yang kemudian menyebabkan destruksi lebih banyak. Merokok yang lama

akan menyebabkan kehilangan cilia pada infeksi bakteri karena pertahanan tubuh sudah

berkurang sehingga menyebabkan pasien emfisema rentan terkena infeksi. Kolagenase (MMP-

1, MMP-13 ) akan memicu pemecahan kolagen interstitial yang juga dipicu oleh sel-sel

inflamasi dan sel struktur pada emfisema. Gangguan terhadap kolagen ini menyebabkan unit

alveolar obliterasi dan terjadi peningkatan konten kolagen pada paru emfisema terutamanya

dengan akumulasi pada salur pernapasan submukosa. Sel inflamasi proteinases mendegradasi

MMP yang mengakibatkan kehilangan sel dan menyebabkan apoptosis sehingga menyebabkan

terjadi pembesaran pada bagian acinus dan tidak reversible.

Patofisiologi emfisema

(Valentina L. Brashers. Alterations of Pulmonary Disease in Kathryn L. McCance, Sue E.

Huether, Valentina L. Brashers, Neal S. Rote. Pathophysiology The biologic Basis for

Disease in Adults and Children. Philadephia. Mosby Elsevier. 2010 ; 1286-1290)

Oleh karena terjadi gangguan kolagen sehingga menyebabkan tekanan elastic recoil berkurang

dan ini menyebabkan tekanan transpulmonari lebih kurang berbanding tekanan atmosphere

sehingga menyebabkan udara untuk ekshalasi lebih sukar yang sekaligus menyebabkan

volume residual meningkat . Ini akan menyebabkan terjadi hiperinflatasi yaitu peningkatan

jumlah kapasitas paru, hiperinflatasi akan mendorong diafragma ke bawah dan hiperinflatasi ini

menyebabkan barrel chest kerana peningkatan kapisitas paru dan terjadi peningkatan udara

pada paru sehingga menyebabkan pembesaran diameter antero-posterior menjadi sebanding

dengan diameter transversal. Penggunaan otot bantu pernapasan dan pursed-lips breathing

18

Page 19: Makalah Respiratory System

menunjukkan sesak napas dan pasien sedang berusaha untuk mengeluarkan CO2. Pursed lips

breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang

memanjang dan sikap ini terjadi akibat mekanisme tubuh untuk mengeluarkan CO2 yang terjadi

sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas

kronik. Disebabkan udara merupakan penghantar bunyi yang lemah berbanding padat maka

pada paru yang hiperinflatasi menyebabkan palpasi stem fremitus melemah serta pada perkusi

terjadi hipersonar . Suara pernapasan melemah pada pasien emfisema karena tekanan elastic

recoil berkurang. Terdapat suara tambahan mengi adalah akibat aliran udara yang turbulen

pada salur udara yang sempit. Manakala letak jantung pendulum adalah akibat posisi

diafragma telah turun sehingga menyebabkan jantung tidak lagi disokong diafragma dan

menyebabkan jantung tergantung.

Patofisiologi sesak napas berbunyi

(Valentina L. Brashers. Alterations of Pulmonary Disease in Kathryn L. McCance, Sue E.

Huether, Valentina L. Brashers, Neal S. Rote. Pathophysiology The biologic Basis for

Disease in Adults and Children. Philadephia. Mosby Elsevier. 2010 ; 1267)

Disebabkan elastic recoil berkurang maka ini akan menghambat pengaliran udara sewaktu

ekshalasi dan ini menyebabkan volume ekspirasi paksa berkurang dan residual volume

meningkat sehingga menyebabkan hipercapnia (kadar CO2 meningkat ) dan dikompensasi oleh

ginjal sehingga menyebabkan bikarbonat meningkat supaya pH boleh kembali ke normal. Pada

masa yang sama pada emfisema terjadi destruksi pada septa alveolus sehingga menyebabkan

luas permukaan berkurang dan ini menyebabkan gangguan terhadap pertukaran gas. Oleh

karena terjadi gangguan terhadap ventilasi per perfusi maka ini dideteksi oleh chemoreseptor

perifer sehingga menyebabkan impuls efferent dari pusat pernapasan dan menyebabkan otot

pernapasan yang utama dan otot pernapasan tambahan berkontraksi dengan lebih banyak.

Selain itu, keadaan ini menyebabkan terjadi pursed-lips breathing. Namun pada emfisema

terjadi ‘mucus plugging’ akibat metaplasia sel goblet serta terjadi kompensasi tubuh agar CO2

dapat dikeluarkan dari paru maka terjadi penyempitan saluran pernapasan supaya tekanan

intrapulmonari menjadi lebih tinggi berbanding tekanan atmosphere sehingga kaedaan ini

menyebabkan resistensi jalan napas meningkat dari aliran udara berubah dari laminar menjadi

turbulen sehingga menyebabkan penggeseran aliran udara terhadap jalan napas dan

menyebabkan bunyi mengi.

19

Page 20: Makalah Respiratory System

Patofisiologi batuk kronis

(Presentation of the patient with Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel.

Principles of Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 23-24)

Merokok menyebabkan metaplasia sel goblet sehingga pengeluaran mukus terhambat. Selain

itu juga, terjadi gangguan ekspirasi pada pasien emfisema sehingga batuk merupakan satu

mekanisme tubuh agar mukus dan CO2 dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan. Maka,

signal efferent, dibawa ke recurrent syaraf laryngeal sehingga sewaktu inspirasi mendalam

glottis terbuka secara tiba-tiba dan menyebabkan kontraksi otot ekspirasi membawa keluar

mukus dan CO2 secara tiba-tiba dan dipaksa keluar sehingga menyebabkan batuk-batuk.

Namun karena emfisema tidak reversible sepenuhnya menyebabkan penderita batuk lebih dari

6 minggu (batuk kronis) untuk mengeluarkan CO2 dan mukus.

Definisi bronkitis kronis

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 97-98)

Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam

setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya

(tanpa ditemukannya tumor jalan napas, infeksi akut atau kronik, atau penyakit jantung tidak

terkontrol).

Klasifikasi bronkitis

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:101-102 )

Bronkitis akut: Kurang daripada 3 bulan. Tetapi biasanya akan menghilang dalam 10-14

hari.Bronkitis kronik: Lebih daripada 3 bulan. 2 Tahun berturut-turut.

Classification of COPD

Stage Characteristics

I Mild COPD∗ FEV1 80% predicted

II Moderate COPD∗ FEV1 50%–79% predicted

III Severe COPD∗ III Severe COPD∗ FEV1 30%

to 49% predicted

20

Page 21: Makalah Respiratory System

IV Very Severe COPD∗ FEV1 <30% predicted or

<50%

predicted with room air

PaO2 <60 mm Hg (8.0 kPa)

Etiologi bronkitis kronik

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008: )

Bakteri yang boleh menyebabkan bronkitis akut adalah Mycoplasma, Pneumococcus,

Klebsiella, Hemophilus . Manakala kalau infeksi virus seperti Rhinovirus, Influenza virus dapat

menyebabkan bronkitis akut. Bahan kimia, pollution juga boleh menyebabkan bronkitis akut

Manakala bronkitis kronik disebabkan merokok, asma, cystic fibrosis, sindrom diskinetik.

Faktor resiko bronkitis kronik

(A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,

MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 32-36)

Faktor resiko bronkitis kronik adalah merokok, imunitas rendah dan terekspos kepada iritan.

Gejala klinis bronkitis kronik

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 90 – 109)

Gejala klinis untuk bronkitis kronik adalah demam, batuk, dyspnea, wheezing, sianosis pada

bibir.

21

Page 22: Makalah Respiratory System

22

MANIFESTASI KLINIS CHRONIC BRONCHITIS EMPHYSEMA

UMUR 40-45 60-75

DYSPNEA Ringan , akhir penyakit Parah , awal penyakit

BATUK Awal penyakit disertai

banyak sputum

Akhir penyakit dan sedikit

sputum

RECOIL ELASTIK normal kurang

INFEKSI sering Kadang-kadang

PENAMPILAN Blue-bloater Pink puffer

INSUFFIENSI RESPIRATORI berulang pada terminal

Cor Pulmonale sering Jarang , pada terminal

BARREL CHEST Kadang-kadang Sering

EKSPIRASI YANG

MEMANJANG

sering sering

RESISTEN ALIRAN UDARA meningkat Normal atau meningkat

sedikit

HIPOVENTILASI YANG

KRONIS

sering Pada terminal

RADIOGRAFI DADA Pembuluh darah semakin

kelihatan dan pembesaran

jantung

Hiperinflasi dan jantung

mengecil

Page 23: Makalah Respiratory System

Patogenesis bronkitis kronik

(John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1635-1643)

Bahan iritan, infeksi menyebabkan hipertrofi kalenjar mukus dan jumlah sel goblet bertambah.

Mukus banyak, lebih melekit sehingga menyebabkan bakteri mudah membuak menyebabkan

reaksi imun sehingga menyebabkan proses inflamasi dan ini menyebabkan infiltrasi sel T

CD8+, makrofag , neutrofil. Fungsi cilia terganggu sehingga menyebabkan mukus tidak

dikeluarkan dan terperangkap. Dinding bronkiol menjadi tebal akibat edema dan inflamatori.

Hipertrofi persisten dan infeksi rekuren menyebabkan bronkospasm dan penyempitan saluran

nafas secara permanen.

Pemeriksaan penyakit paru obstruktif kronis

(Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current

diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 84-90)

Radiologi,foto toraks kelihatan hiperlusen dan diafragma mendatar. Manakala pemeriksaan faal

Paru ,FEV1 rendah dan TLC & RV meningkat. Analisa Gas Darah Arteri dan Laboratium; Pa O2

23

Page 24: Makalah Respiratory System

normal atau sedikit menurun (65-75mmHg) dan pa CO2 sedikit menurun (35-40 mmHg). Sa O2

normal saat istirahat.Haemoglobin dan hematokrit normal. Pemeriksaan α1 antitripsin untuk

mengetahui ada kelainan genetik.

Diagnosa banding penyakit paru obstruktif kronis

(Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current

diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 90)

Diagnosa banding asma bronkial dan sesak nafas bersifat reversibel, bronkiektasis sering

disertai recurrent pneumonia adanya hemoptysis, clubbing finger, adanya kelainan atau

gambaran foto thoraks yang khas. Cystic fibrosis terjadi pada anak dan dewasa muda dan

kadar Na dan Cl lebih dari 60 miliEq/L. Bronchopulmonary mycosis sering pada penderita asma

ditandai dengan eosinophilia , adanya reaksi skin test positif thd Aspergillus antigen, dan kadar

IgE meningkat.

Penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronis

(A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,

MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 32-106)

Penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronis secara umum meliputi penatalaksanaan

umum, pemberian obat-obatan, terapi oksigen, latihan fisik, rehabilitasi, fisioterapi.

Penatalaksanaan umum yang termasuk di sini adalah pendidikan terhadap keluarga dan

penderita, menghindari rokok dan zat inhalasi serta menghindari infeksi saluran nafas.

Manakala pemberian obat-obatan dengan bronkodilator yaitu derivat Xantin dan obat golongan

teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase

sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang

tinggi ex : teofilin, aminofilin. Obat golonganAgonis ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor

beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik

cAMP yang menyebabkan bronkodilatasi.Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat

yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol. Ekspectoran

dan mucolitik diberi sebagai usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan

yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang

biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan

eksaserbasi.Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang

melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans. Antibiotik diberi

karena infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada

keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk.

24

Page 25: Makalah Respiratory System

Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit.

Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang

bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama

7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan

mikroorganisme. Terapi oksigen diberi pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55

mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus

memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja.Latihan fisik

merupakan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada pasien yang sesak

nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini membutuhkan staf

dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan pernapasan sendiri tidak

menunjukkan manfaat. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas

dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan

untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya.

Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus

lambat tapi teratur. Fisioterapi bertujuan dari fisioterapi adalah membantu mengeluarkan

sputum dan meningkatkan efisiensi batuk, mengatasi gangguan pernapasan pasien dan

memperbaiki gangguan pengembangan thoraks serta meningkatkan kekuatan otot-otot

pernapasan.Selain itu juga, fisioterapi dapat mengurangi spasme otot leher.

Komplikasi penyakit paru obstruktif kronis

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:

Komplikasi penyakit paru obstruktif kronis adalah kor pulmonale disebabkan oleh peningkatan

tekanan darah di arteri paru, yang membawa darah dari jantung ke paru-paru. Hal ini

menyebabkan pembesaran dan kegagalan selanjutnya dari sisi kanan jantung. COPD

eksaserbasi akut , secara sederhana, eksaserbasi dapat didefinisikan sebagai memburuknya

gejala PPOK. Banyak orang dengan PPOK menderita beberapa episode eksaserbasi akut

setahun, yang sering menimbulkan rawat inap di rumah sakit meningkat, kegagalan pernapasan

dan bahkan kematian. Paru Hipertensi terjadi bila ada tekanan abnormal tinggi di dalam

pembuluh darah paru-paru. Biasanya, darah mengalir dari jantung melewati paru-paru, di mana

sel-sel darah mengambil oksigen dan mengirimkannya ke tubuh. Pada hipertensi paru, arteri

paru menebal. Ini berarti darah kurang mampu mengalir melalui pembuluh darah.

Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara atau gas di ruang antara paru-paru dan

dinding dada. pneumotoraks terjadi karena lubang yang berkembang di paru-paru, yang

memungkinkan udara untuk melarikan diri dalam ruang di sekitar paru-paru, menyebabkan

paru-paru hancur sebagian atau seluruhnya. Orang yang memiliki PPOK memiliki risiko lebih

25

Page 26: Makalah Respiratory System

besar untuk pneumotoraks karena struktur paru-paru mereka yang lemah dan rentan terhadap

perkembangan spontan dari jenis lubang. Sekunder polisitemia diperoleh dari kelainan langka

yang dicirikan oleh kelebihan produksi sel darah merah dalam darah. Bila terlalu banyak sel

darah merah yang diproduksi, darah menjadi tebal, menghalangi jalan melalui pembuluh darah

yang lebih kecil. Pada pasien dengan COPD, polisitemia sekunder bisa terjadi sebagai tubuh

mencoba untuk mengkompensasi penurunan jumlah oksigen dalam darah. Kegagalan

Respiratori terjadi ketika paru-paru tidak dapat berhasil ekstrak oksigen yang cukup dan / atau

menghapus karbon dioksida dari tubuh. Kegagalan pernafasan dapat disebabkan oleh

beberapa alasan, termasuk PPOK atau pneumonia.

Eksasebasi dibagi menjadi tiga yaitu tipe 1 (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas,tipe 2

(eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas dan tipe 3 (eksaserbasi ringan), memiliki 1

gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,

peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%

baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.Penyebab eksaserbasi akut dibagi menjadi dua

lagi yaitu primer dan sekunder. Penyebab primer adalah infeksi trokeobronkial (infeksi virus)

manakala penyebab sekunder adalah pneumonia, gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia,

emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-

obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit),

nutrisi buruk, lingkungan memburuk/polusi udara, aspirasi berulang dan stadium akhir penyakit

respirasi (kelelahan otot respirasi)

Prognosis penyakit paru obstruktif kronis

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis

waktu berobat.Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan sesak ringan, 5 tahun

kemudian akan terlihat ada perbaikan. Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan

sesak lebih berat dan meninggal.

SUMBER :

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109

John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

26

Page 27: Makalah Respiratory System

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1635-1645

PPOM dalam Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:

Airlangga University Press. 2010; 231-232

A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,

MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 1-107

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008: 101-115

Penyakit paru obstruktif kronik dalam Jeremy P.T. Ward, Jane Ward, Richard M. Leach

dan Charles M. Wiener. At a Glance Sistem Respirasi edisi kedua. 2008 : 58-59

Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current

diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 83-91

Aliya N. Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of

Disease. Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687

D. HAEMOPHILUS INFLUENZA

(Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of

Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :

152-153)

Patogenesis

(Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of

Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :

152-153)

27

Page 28: Makalah Respiratory System

H.Influenza hanya menginfeksi manusia dan tidak menggunakan hewan perantaraan.

Bakteri gram negatif ini masuk melalui saluran pernapasan atas yang menyebabkan kolonisasi

asimptomatik atau infeksi seperti otitis media, sinusitis atau pneumonia. Bakteri ini

menproduksi Ig A protease yang mendegradasi sekresi Ig A, sehingga menyebabkan

perlengketana pada respirotori mukosa.Faktor virulensi H. Influenza pada kapsul

polisakaridanya yang berperandalam patogenesis molekular dan sistem imun.Strain kapsul tipe

b merupakan penyebab yang berhubungan dengan infeksi infasif. Dinding sel H. Influenza

mengandung lipopolisakarida (LPS) yang dapat menyebabkan ia rentan terhadap makrofag .

LPS menyebabkan endotoxin. Pili, fibril dan protein pada Hia merupakan mediasi perlekatan

Hib terhadap mukosa saluran pernapasan.

Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium bergantung pada isolasi bakteri pada agar coklat yang

diperkaya oleh 2 faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk proses respirasi bakteri yaitu faktor

X ( merupakan komponen heme) dan faktor V (NAD). Darah yang digunakan pada agar coklat

dipanaskan unutk menginaktifkan inhibitor tidak spesifik pertumbuhan H. Influenza . Organisme

yang bertumbuh hanya dengan 2 faktor pertumbuhan diidentifikasi sebagai H.Influenza.

Pengkulturan bakteri boleh juga dilakukan tes resistensi antibiotik.

Penatalaksanaan

Antibiotik Penghambat Sintesis Dinding Sel Mikroba (Antibiotik ß-Laktam), mekanisme

kerjanya obat bergabung dengan Penicillin Binding Protein (PBPs) pada bakteri dan terjadi

hambatan dalam sintesis dinding sel bakteri karena proses transpeptidase antar rantai

peptidoglikan terganggu. Kemudian terjadi aktivitas enzim proteolitik pada dinding sel. Selain

itu akibat terganggunya sintesis dinding sel bakteri maka selnya akan melemah dan lisis.

Ampisilin dan Amoksisilin merupakan golongan aminopenisilin berspektrum luas.Tetapi

dewasa ini ada beberapa bakteri yang resisten terhadap ampisilin dikarenakan obat ini dirusak

oleh betalaktamase yang dihasilkan bakteri. Enzim penisilase ini bekerja dengan memecah

cincin betalaktam penisilin.Perbedaan amoksisilin dari ampisilin ialah kurang efektivitas

terhadap shigelosis. Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus Influenza penghasil

enzim betalaksamase (penisilase) harus diobati dengan kombinasi amoksisilin-asam klavunalat

(mis: pada infek saluran nafas bawah) atau ampisilin-sulbaktam. Efek samping kombinasi

amoksisilin-asam klavulanat adalah diare jika dosis >250 mg, menggangu fungsi hati (sembuh

bila obat dihentikan). Sementara pemberian kombinasi ampisilin sulbaktam pada anak-anak

28

Page 29: Makalah Respiratory System

harus berusia diatas 12 tahun. Dosis Ampisilin terdapat dalam 3 bentuk sediaan yaitu oral

(tablet/kapsul), bubuk suspensi sirup, dan suntikan. Dewasa, untuk penyakit ringan sampai

sedang 2-4 hari dibagi untuk 4 kali pemberian, untuk penyakit berat sebaiknya diberikan

parenteral (suntikan) sebanyak 4-8 gr sehari, dosis lebih tinggi lagi pada mengitis. Dosis

Amoksisilin tersedia dalam bentuk kapsul atau tablet berukuran 125, 250, dan 500 mg dan sirup

125 mg/5 mL. Dosis sehari lebih kecil dari ampisilin karena absorpsinya lebih baik dari ampisilin

yakni 3 kali 250-500 mg sehari.Efek samping adalah Alergi dan umumnya tidak bersifat toksik

pada manusia. Sefalosforin yang aktif terhadap H.influenza adalah generasi II (Sefamandol,

Sefaklor, Sefuroksim), generasi III (Sefotaksim, Seftriakson) , generas III sangat aktif pada H.

influenza penghasil enzim penisilase.Sefotaksim 150-200 mg/kg/hari secara intravena akan

memberikan hasil yang baik. Generasi IV Sefepim, Sefpirom) dan generasi IV dipakai jika

bakteri resisten terhadap generasi III. Antibiotik Penghambat Sintesis Protein Sel Mikroba

untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein

berlangsung di dalam ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri

atas 2 subunit yakni ribosom 30S dan ribosom 50S. Untuk berfungsi pada sintesis protein,

kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.

Kloramfenikol, obat ini akan berikatan dengan ribosom 50S bakteri dan menghambat enzim

peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein bakteri.

Indikasi adalah mengobati demam tifoid ( 4 kali 500 mg sehari selama 2 minggu ) dan

meningitis oleh H. Influenza. Antimikroba Penghambat Sintesis Asam Nukleat Sel Mikroba

yaitu Fluorokuinolon dengan mekanisme kerja yauitu menghambat kerja enzim

topoisomerase II (= DNA graise) dan IV pada bakteri. Enzim topomirase II berfungsi untuk

menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoling (pilinan positif yang

berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topomirase IV berfungsi dalam

pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.Obat ini ada

dalam bentuk sediaan oral karena baik diserap dan dalam bentuk parenteral (infeksi berat pada

infeksi gram negatif).

SUMBER :

Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of

Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :

152-153

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008:104-109

29

Page 30: Makalah Respiratory System

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 97-107

John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1635-1645

Timoty F. Murphy. Haemophilus Infection in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo,

Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States

of America: McGraw-Hill Companies. 2008; 923-925

8. ULASAN :

A. Ditemukan perbedaan antara Aliya N. Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and

Aster. Pathologic Basis of Disease. Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687 dan buku

Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109 tentang

pembagian penyakit paru obstruktif kronis dimana buku Aliya N. Husain. The Lung in Kumar,

Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of Disease. Philadephia: Saunders

Elsevier.2010; 684-687 menyatakan penyakit paru obstruktif kronis adalah termasuk bronkitis

kronis, bronkietasis, emfisema, dan asma. Manakala , buku Chronic Obstructive Pulmonary

Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of Pulmonary Medicine 5th edition.

Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109 menyatakan penyakit paru obstruktif kronik

Cuma terdiri dari emfisema dan bronkitis kronik. Setelah merujuk buku lain seperti buku John J.

Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive Pulmonary Disease

in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of

Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-Hill Companies. 2008; 1635-

1645 dan jurnal A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio

Anzueto, MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 1-107 (PDF)

didapati bahwa penyakit paru obstruktif kronik cuma terdiri dari emfisema dan bronkitis kronik,

asma telah dikeluarkan karena asma adalah reversible. Perbedaan maklumat pada buku Aliya N.

Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of Disease.

Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687 dan buku-buku lain karena ia belum mengupdate

informasi yang terbaru.

30

Page 31: Makalah Respiratory System

B. Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal ini karena keterbasan kepustakaan dan

kesulitan materi yaitu pemeriksaan untuk mengetahui ‘reversibility’. Setelah mendapat penjelasan

dari narasumber dalam pleno disimpulkan bahwa digunakan bronkodilator untuk mengetahui

‘reversibility’ dan pada penyakit paru obstruktif kronis apabila digunakan bronkodilator tidak

‘reversible’ dan progresif manakala untuk asma apabila digunakan bronkodilator volume ekspirasi

paksa meningkat lebih dari 20 % sebab asma merupakan penyakit ‘reversible’ .

C. Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal ini karena keterbasan kepustakaan dan kesulitan

materi yaitu kenapa bronkietasis tidak digolongan kedalam penyakit paru obstruktif kronis ?

Setelah mendapat penjelasan dari narasumber dalam pleno disimpulkan bahwa bronkietasis tidak

dimasukkan kedalam penyakit paru obstruktif kronis karena bronkietasis tidak merupakan penyakit

obstruktif.

9. KESIMPULAN :

A. A mengalami emfisema stadium sedang dan dieksaserbasi oleh infeksi Haemophilus

Influenza.

B . Harus dilakukan pemeriksaan resistensi antibiotik.

C. A harus diberi -agonist yang dikombinasi dengan anticholinergic dan antiobiotik serta

ekspektoran

10. DAFTAR PUSTAKA :

1. Peter J. Kennelly, PhD & Victor W. Rodwell, phD. Water & pH in Robert K.Murray, Daryl

K.Granner, Peter A.Mayes, Victor W.Rodwell. Harper’s Illustrated Biochemistry 27th

edition. United States of America : McGraw-Hill Companies,2006; 5-13

31

Page 32: Makalah Respiratory System

2. Fluid and Acid-Base Balance in Lauralee Sherwood. Human Physiology from cells to

systems 6th edition. United States of America: Thomson Higher Education 10 Davis

Drive, 2007; 559-573

3. The Regulation of Acid-Base Status in Michael G. Levitzky. Pulmonary Physiology 7th

edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007;163-187

4. Regulation of Extracellular Fluid Composition and Volume. William F. Ganong. Review

of Medical Physiology. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2007;

730-738

5. Patel H, Gwilt C. Respiratory System 3rd edition , 2008. Elsevier. Philadelphia: 187-207

6. Talley N, O’connor S. Respiratory system and breast examination. Clinical examination.

A Systemic Guide to Physical Diagnostic 5th edition. Australia. Elsevier 2006: 93-125

7. Presentation of the patient with Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel.

Principles of Pulmonary Medicine. Philadephia: Saunders Elsevier. 2008; 19-27

8. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Weinberger, Cockrill, Mandel. Principles of

Pulmonary Medicine 5th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008; 90-109

9. John J. Reilly, Jr., Edwin K. Silverman, Steven D. Shapiro. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo.

Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States of America: McGraw-

Hill Companies. 2008; 1635-1645

10. PPOM dalam Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty. Dasar-dasar ilmu penyakit paru.

Surabaya: Airlangga University Press. 2010; 231-232

11. A. Sonia Buist, MD, Chair, Roberto Rodriguez Roisin, MD, Co-Chair, Antonio Anzueto,

MD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007; 1-107

12. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harmanjit Singh Hira. Manual of Respiratory

Medicine. New Dehli. Jaypee Brother Medical Publishers. 2008: 101-115

32

Page 33: Makalah Respiratory System

13. Penyakit paru obstruktif kronik dalam Jeremy P.T. Ward, Jane Ward, Richard M. Leach

dan Charles M. Wiener. At a Glance Sistem Respirasi edisi kedua. 2008 : 58-59

14. Gram-Negative Rods Related to the Respiratory Tract in Warren Levinson. Review of

Medical Microbiology and Immunology tenth edition. United States of America. 2008 :

152-153

15. Timoty F. Murphy. Haemophilus Infection in Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo,

Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine volume II . United States

of America: McGraw-Hill Companies. 2008; 923-925

16. Aliya N. Husain. The Lung in Kumar, Abbas, Fausto and Aster. Pathologic Basis of

Disease. Philadephia: Saunders Elsevier.2010; 684-687

17. Thomas L. Petty, MD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Lange current

diagnosis and treatment of pulmonary medicine. McGraw-Hill ; 83-91

18. Pectum excavatum in Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2003

(http//:www.mayoclinic.com) (gambar 4)

19. Respiratory examination in David L. Simel, Drummond Rennie.The rational Clinical

Examination United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2008; 530-545 (e-

book) (gambar 2,3 dan 5)

33