majalah frasa

40
Frasa EDISI 8 TAHUN PERTAMA | MAJALAH DIGITAL | RABU, 30 JANUARI 2013 Cerpen Ematul Hasanah | Puisi Thoni Mukarrom I.A dan Zidni Arfia Rahman | Cerpen Teenlit Muhammad Asqalani eNeSTe | Puisi Teenlit Muhammad Yusuf Abdillah, Moh. Fauzan dan Syahara Niyya | Fiksimini Yoan Fa | Puisimini Moh. Ghufron Cholid, Inunk El-asta dan Wahyu Wibowo Art Cover: Internet MENGUBAH PARADIGMA SASTRA KAMPUNG(AN)”

Upload: majalah-frasa

Post on 20-Feb-2016

311 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Edisi 8 Tahun Pertama

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Frasa

FrasaE d i s i 8 Ta h u n p E r Ta m a | m a j a l a h d i g i Ta l | r a b u, 30 j a n ua r i 2013

Cerpen Ematul hasanah | puisi Thoni mukarrom i.a dan Zidni arfia rahman | Cerpen Teenlit muhammad asqalani enesTe | puisi Teenlit muhammad Yusuf abdillah, moh. Fauzan dan syahara niyya | Fiksimini Yoan Fa | puisimini moh.

ghufron Cholid, inunk El-asta dan Wahyu WibowoArt Cover: Internet

Mengubah ParadigMa“sasTra Kampung(an)”

Page 2: Majalah Frasa

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Pemimpin Umum : Makmur HMPemimpin Redaksi : M Asqalani eNeSTeWakil Pemipin Redaksi : Delvi AdriTim Redaksi : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana Nia Nurul Syahara Putu Gede Pradipta Design Tata Letak : Makmur HM Sekretaris Redaksi : Jhody M Adrowi

m a j a l a h d i g i T a lFrasa

Assalamualaikum dan salam hangat Frasa

untuk kita semua...

Pembicaraan menge-nai sastra Indonesia yang samapi saat ini masih belum berkarakter terus saja men-galir dari mulut ke mulut, dari pertemuan ke per-temuan dan dari berbagai kalangan sastrawan. Sastra Indonesia sampai detik ini masih sering diklaim seba-gai sastra kampung(an) yang notabene mengikut-ikut sastra luar atau sastra barat.

Hal itu juga pernah jadi bahan perbincangan panas beberapa tahun lalu yang salah satu artikelnya kami muat pada edisi ke 8 tahun pertama ini dengan judul Megubah Paradigma “Sas-tra Kampung(an)” yang ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda.

Pada rubrik Sastra Dun-ia masih memuat artikel

sebelumnya yang sempat terpotong. Di Sastra Indo-nesia ada Moralitas (dan) Kepengarangan. Di Sastra Religi ada Melacak Definisi Nilai Religiusitas dalam Sas-tra Pesantren.

Rubrik Komunitas kali ini memuat salah satu komu-nitas menulis yang bermas-tautin di Kota Pekanbaru, yaitu Competer (Commu-nity Pena Terbang) yang juga merupakan komuni-tas binaan salah seorang redaksi MSD FRASA.

Cerpen memuat karya Ematul Hasanah dengan judul Wanita Bening.

Puisi ada Puisi Thoni Mukarrom I.A dan Zidni Arfia Rahman. Dan masih banyak karya-karya menarik lainnya yang sangat sayang jika ditinggalkan.

Terakhir, redaksi ucapkan:Selamat membaca!

redaksi

Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan

di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibuku-

kan setiap edisi akhir tahun.email: [email protected]

TariF iKlan Full Colour pEr Edisi1/4 halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000

alamaT rEdaKsi / KonTaK Email: [email protected] Phone: 0852 6536 9405 Blog: http://majalahfrasa.blogspot.com/

hal

2 salam

Wapimred mSd Frasa, delvi adri saat berpose bersama kelu-arga usai wisuda, Sabtu (26/1) lalu.

Page 3: Majalah Frasa

Frasa Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

hal

3daFTar isi

halaman 6utama: mengubah paradigma “sastra Kampung(an)”

halaman 10Kritik marxist dalam sastra ( bagian 2)

halaman 12moralitas (dan) Kepengarangan

halaman 14melacak definisi nilai religiusitas dalam sastra pesantren

halaman 18Komunitas: menulis dunia, menerbangkan nama; Community pena

Terbang (CompETEr)

halaman 20Cerpen Ematul hasanah: Wanita bening

halaman 24puisi Thoni mukarrom i.a dan Zidni arfia rahman

halaman 26sastradukasi: memahami “sastra”

halaman 28-28lentera budaya: ritual Kehamilan masyarakat dayak dan

permainan Tradisional Cublak-cublak suweng

halaman 30Cerpen Teenlit muhammad asqalani enesTe: jangan meng-sms siapapun

halaman 32-33puisi Teenlit muhammad Yusuf abdillah, moh. Fauzan

dan syahara niyya

halaman 34Fiksimini Yoan Fa: mawar-mawar merah

halaman 35puisimini moh. ghufron Cholid, inunk El-asta dan Wahyu Wibowo

halaman 36inspiring: Kahlil gibran, Cinta Tak pernah bersua

Page 4: Majalah Frasa

hal

4 nEXT issuE

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Korupsi menjadi polemik dan bencana dan ruang kehidupan bangsa ini. Mengh-adapi polemik ini, sastra bertugas mem-beri wawasan segar dan pencerahan kreatif kepada publik luas, agar menghindar dari jerat korupsi.

Virus korupsi seolah menggerakkan energi iblis untuk melahirkan setan-setan baru yang menghancurkan negara dan tatanan kehidu-pan. Masa depan bangsa ini dihimpit suram-nya badai korupsi. Di tengah badai, sastra bertugas menangkis korupsi dengan mengin-spirasi pembaca sebanyak-banyaknya agar menghindar dari terjangan korupsi.

Karya sastra yang lahir untuk mencerdas-kan bangsa ini, hendaknya menempatkan antikorupsi sebagai wacana yang terus dikam-panyekan. Tanggung jawab sosial sastrawan adalah mengupayakan perbaikan hidup den-gan menjelaskan kondisi kritis yang mereng-gut masa depan bangsa ini. Maka, karya sas-tra yang menggambarkan perlawanan terh-adap tradisi korupsi patut didukung dengan pemikiran dan gerakan kongkret.***

puisi, Korupsi dan KriTiK Tradisi

oleh: munawir aziz

Page 5: Majalah Frasa

hal

5CornEr

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

bEgiTulah, pahit memang sebuah perjuangan itu. Kadang kita lupa, sehingga tidak menya-dari perjuangan itulah sebenarnya awal dari kebahagiaan kita. Apa pun itu, entah itu perjuan-gan dalam berkarir, mau pun perjuangan dalam pendidikan yang saya rasakan hingga pada akhirnya diwisuda pada 26 Januari 2013 dan mendapatkan embel-embel “S.Pd” yang menan-cap di belakang nama Delvi Adri. Saya sadari, perjuangan itu datang bukan hanya dari saya pribadi, orang tua pun ikut serta berjuang. Dengan keringat dan doa mereka, ya. Itulah ben-tuk perjuangan mereka untuk pendidikan kita. Tidak hanya itu saja, saudara-saudara, kerabat, teman, dan para sahabat pun ikut berjuang lewat doa-doa mereka.

Saya teringat kata-kata abah (Alm) kepada saudara sepupunya, yang juga mempunyai anak, yang mengecap pendidikan di tempat saya mendapatkan embel-embel (S.Pd). Kira-kira begi-ni kata-katanya “caklah kito iduik susah, nan pontiang anak kito sampai sikolahnyo”. Maknanya begini “Biarlah kita hidup susah, yang penting anak kita selesai sekolahnya (sarjana)”. Barang-kali itu sebabnya, abah (Alm) menyanggupi permintaan kami anak-anaknya untuk melan-jutkan pendidikan di bangku kuliah hingga selesai meski pun perekonomian keluarga serba pas-pasan dan walau pun harus ada yang mengalah untuk menganggur pendidikan di antara kami agar bisa menamatkan kakak pertama saya yang kala itu sedang skripsi.

Dalam kesempatan ini, saya hanya bisa berterimakasih banyak, terutama kepada Allah Swt, kedua orang tua saya M. Yamar (Alm) dan Andat, serta tiga saudara kandung saya. Tidak lupa pula kepada wanita spesial (ayu) yang selalu menemani selama hampir 4 tahun, sahabat-sahabat yang tak bisa disebut keseluruhan, juga My Bratvas Jhody M. Adrowi, Makmur HM, dan Muhammad Asqalani Eneste, dan juga tim redaksi Majalah Frasa; Yohana Fitri, Nia Nurul Syahara, dan Putu Gede Pradipta. Terimakasih banyak untuk semangat yang diberikan kepada saya.

Khusus untuk Makmur HM dan Muhammad Asqalani Eneste, cepat nyusul wisuda ya, sob. Hehehe

TTD,

dElVi adri

Perjuangan Adalah Awal dari Kebahagiaan

Page 6: Majalah Frasa

hal

6 uTama

mEngubah paradigma “sasTra Kampung(an)”

oleh: ahmadun Yosi herfanda

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Jika Nusantara ini adalah kampung, maka sastra indonesia adalah ‘sastra kampung’. penempatan indonesia sebagai bagian dari Kampung Nusantara,

cukup tepat mengingat makin terpuruknya bangsa ini menjadi underdog negara-negara adidaya, terutama aS. dalam ekonomi kita didekte oleh imF, dalam politik kita didekte oleh aS, dalam kebudayaan kita didekte oleh Hol-

lywood, dalam pemikiran sastra banyak di antara kita yang bernafas di ketiak derrida dan Faucoul.

Page 7: Majalah Frasa

hal

7uTama

Begitulah, kurang lebih, nasib ‘negara kampung’ bernama Indonesia, dengan orang-orang kampung yang bermental kampung. Mental orang kampung adalah mental yang suka meniru orang kota. Ketika orang-orang kota menyemir rambut jadi blonde, maka orang-orang kampung pun ikut memblonde rambut mereka. Ketika orang-orang kota nge-punk, orang-orang kampung pun tidak ketinggalan. Kota adalah simbol modermitas. Maka, dalam psikolo-gi orang kampung, agar disebut modern, harus meniru orang kota. Modernitas yang ‘salah kaprah’ memberhala di hampir semua aspek kehidupan masyarakat dalam mengekspresikan dirinya seba-gai ‘orang kota’.

Dalam lingkup negara, kampung itu bernama Indonesia, dan kotanya adalah AS. Kita, sehari-hari, dapat menyaksikan bagaimana para artis dan remaja kita dengan bangganya bergaya tank top dengan puser terbuka, sebagaimana dipa-merkan oleh Britney Spears dan Christina Aquil-era. Kita juga dapat melihat bagaimana para-noianya anak-anak muda kita berhura-hura di diskotik dalam gaya artis-artis Hollywood yang serba hedonis. Kita bisa melihat juga bagaimana bangganya para intelektual politik kita memuja demokrasi ala Amerika, meskipun tidak kunjung mampu menyelesaikan persoalan keadilan, HAM, dan kedaulatan rakyat.

Nyaris begitulah sebenarnya posisi serta nasib sastra Indonesia di tangan orang-orang ‘kampung Indonesia’ yang membawa psikologi orang kampung di tengah sastra dunia (Barat). Sejak zaman Pujangga Baru, begitu lahapnya para sastrawan kita mengadopsi teori, estetika dan filsafat Barat ke dalam karya-karya mereka sejak filsafat eksistensialisme pada era Chairil Anwar sampai feminisme dan posmodernisme pada era Ayu Utami agar dapat disebut sebagai ‘sastra kota’ (modern). Lihat pula bagaimana bangganya para teoritisi sastra kita mengutip-ngutip teori sastra Barat ke dalam retorika dan kritik sastra Indonesia.

Jadi, sastra Indonesia sejujurnya adalah sastra kampung, sastra yang bersemangat orang kam-pung, atau ‘sastra kampungan’ sastra yang kurang pede pada jati dirinya sendiri, sebagaimana ‘orang kampung’ yang kurang pede jika tidak meniru gaya orang kota. Sebagaimana orang kampung yang ingin (sok) modern dan ‘sok kota’ yang lupa pada persoalan budaya kampungnya sendiri, sastra Indo-nesia pun telah lama tercerabut dari akar budaya kampungnya sendiri: Nusantara.

Sehingga, ketika muncul wacana estetika ‘kem-

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

sastra indonesia sejujurnya adalah sastra kampung, sastra yang bersemangat orang kampung, atau ‘sastra kampungan’ sastra

yang kurang pede pada jati dirinya sendiri, sebagaimana ‘orang kampung’ yang

kurang pede jika tidak meniru gaya orang kota. sebagaimana orang kampung yang

ingin (sok) modern dan ‘sok kota’ yang lupa pada persoalan budaya kampungnya

sendiri, sastra indonesia pun telah lama tercerabut dari akar budaya kampungnya

sendiri: nusantara.

Page 8: Majalah Frasa

hal

8 uTama

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

bali ke Timur’ pada tahun 1970-an atau wacana ‘kembali ke warna lokal’ belakangan ini, menjadi wacana baru yang begitu menarik dan membuat banyak sastrawan jadi ‘gegap gembita’. Padahal, estetika Timur atau warna lokal mestinya sejak dulu sudah menjadi darah daging sastra Indonesia. Agaknya benar tesis Nirwan Dewanto, bahwa sastra Indonesia adalah ‘sastra dunia’ (baca: sastra Barat) yang berbahasa Indonesia.

Karena itu, untuk mencari ‘sastra kampung’ seba-gaimana dimaksud oleh penggagas Ode Kampung Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara 2006 kita tidak perlu repot-repot mencari karya-karya sastra dari kampung-kampung pedalaman, atau gang-gang sempit pinggiran kota. Sebab, sastra kam-pung sudah bertebaran di sekitar kita, dan tiap saat dapat kita baca. Sejak dulu banyak di antara sastrawan yang berob-sesi untuk mendorong karya-karya sastra Indo-nesia sastra kampung itu menjadi ‘mendunia’ dan suatu saat dapat meraih Nobel Sastra.

P e r t a n y a a n n y a , adakah di antara karya-karya sastra kampung itu yang mendunia, yak-ni diakui sebagai karya ‘berkelas dunia’ dan popular di komunitas sastra internasional, seperti karya-karya peraih Nobel Sastra, semacam karya-karya Najib Mahfoudz (Mesir), Rabindranat Tagore (India) dan Kenzabu-ro Oe (Jepang). Atau, setidaknya sekelas karya-karya Jalaluddin Rumi (Turki) dan Kahlil Gibran (Libanon-AS), yang begitu mendunia meskipun tanpa Nobel Sastra.

Dari sastra kampung (Indonesia), yang pal-ing gampang disebut sebagai karya yang cukup mendunia adalah Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Selain telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, novel anti-borjuis yang sangat memikat itu bahkan berkali-kali sempat menempatkan Pram sebagai nominator peraih Nobel Sastra.

Selain karya Pram, sebenarnya banyak juga karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris. Tetapi, rata-rata adalah karya sas-tra yang canggung untuk berkomunikasi di forum internasional, karena masih mengidap psikologi

orang kampung yang kurang pede, sebab tidak mengekspresikan jati dirinya sendiri, namun han-ya meniru ‘sastra kota’ (dunia), alias tidak mengek-spresikan budayanya sendiri.

Jika kita amati, karya-karya sastra yang ber-hasil mendunia dan khususnya peraih Nobel rata-rata adalah karya sastra yang pede pada jati dirinya sendiri dan sangat kental dengan warna budaya lokal. Novel-novel Najib Mahfoudz, mis-alnya, sangat kental warna lokal (Mesir). Begitu juga karya-karya Tagore, dan Kenzaburo Oe. Karya-karya mereka menjadi kanon-kanon sastra di negerinya sendiri, sekaligus kanon sastra dunia karena keunggulan kualitas kesastraan sekaligus unikum sosial-budaya lokal yang diangkatnya. Begitu juga, kurang lebih, karya-karya Pramudya

Ananta Toer.Dalam semangat Ode

Kampung, agaknya, kita harus membalik para-digma tentang kam-pung dan kota, tentang tradisi dan modermitas, tentang ‘sastra kam-pung’ dan ‘sastra kota’. Sastra kampung tidak perlu terus meniru sas-tra Barat untuk menjadi ‘sastra kota’, tapi cukup memperkuat jati dirinya

sendiri. Sebab, hanya dengan demikian, sastra Indonesia akan dilirik sebagai ‘sastra alternatif ’ yang tidak ‘seragam’ dengan sastra Barat, dan karena itu patut diperhitungkan, termasuk untuk meraih Nobel Sastra. Jika tetap menjadi sastra Barat yang berbahasa Indonesia, seperti sinyale-men Nirwan Dewanto, maka sastra Indonesia akan tetap menjadi underdog.

Karya-karya sastra yang mendunia sudah cukup membuktikan bahwa penghargaan yang mampu mensejajarkan karya sastra suatu negara dengan karya sastra besar kelas dunia lainnya itu hanya bisa diraih oleh karya-karya sastra yang bangga pada keunggulan jati dirinya sendiri, kekuatan budaya lokalnya sendiri.(www.publiksastra.net)

*) Tulisan ini adalah prasaran untuk sesi diskusi dalam Ode Kampung, Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara 2006az, di Rumah Dunia, Serang, Banten,

5 Februari 2006.

dari sastra kampung (indonesia), yang paling gampang disebut sebagai karya

yang cukup mendunia adalah bumi manusia-nya pramoedya ananta Toer. selain telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, novel anti-

borjuis yang sangat memikat itu bahkan berkali-kali sempat menempatkan pram sebagai nominator peraih nobel sastra.

Page 9: Majalah Frasa

hal

9uTama

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

BUKU BARU

sepotong rindu dalam sarungPenulis: jhodi m adrowi-muhammad asqalani enesTe, dkk

Kesemua puisi dalam antologi puisi Sep-eotong Rindu Dalam Sarung, berkualitas dan sangat bagus. Sangat menjanjikan masa depan kepenyairan dari pemuisi-pemuisi ini, yang relatif usia muda.

Hardcover, 133 hal, ISBN 978-602-17041-9-6

Harga: rp40.000 (belum termasuk ongkir)

pesan melalui:http://minangkabauonline.com/buku/en/home/29-epotong-rindu-dalam-sarung.html

sajak sembilu tentang Teh ribuan gelas

Penulis: muhammad asqalani enesTe

Selain membangun puisi-puisinya den-gan kultur bahasa yang santun, Asqalani juga menyelipkan faktor religi pada bait-bait puisinya.

Paging: 115 (Hardcover)ISBN 978-602-7903-00-5

Harga: rp39.000 (belum termasuk ongkir)

pesan melalui:http://minangkabauonline.com/buku/en/home/30-sajak-sembilu-tentang-teh-ribuan-gelas.html

Page 10: Majalah Frasa

sasTra dunia

Pengunggulan realisme dalam karya-kary-anya sempat merangsang perdebatan panjang dengan Bertolt Brecht. Bagi Brecht, realisme mendamaikan kontradiksi di dalam totali-tas yang merupakan sikap reaksioner. Seba-liknya Lukacs berpendapat bahwa kontradiksi semacam itu justru perlu diungkap lebih tajam dalam kesenian yang akan meransang manusia untuk membebaskan diri dari kontradiksi itu dalam dunia nyata.

Lukacs menggunakan istilah refleksi yang merupakan ciri khusus keseluruhan karyan-ya. Dengan menolak naturalisme bersahaja novel baru Eropa waktu itu, ia kembali ke pandangan realis lama bahwa novel mencer-minkan realitas. Pencerminan itu bukan mela-lui pelukisan wajah yang tampak dari per-

mukaan saja, melainkan memberikan pada kita sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, dan lebih hidup. Menu-rut Lukacs, pencerminan itu bisa saja lebih atau kurang konkret. Sebuah novel mungkin akan membawa pembaca ke arah pandangan yang lebih konkret kepada realitas. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing, tetapi proses hidup yang penuh. Pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu bukan realitas sendiri melainkan merupakan bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Oleh sebab itu menurut Lukacs, sebuah pencerminan realita yang benar memerlukan lebih dari sekedar perwujudan luar.

Selain Lukacs, kritikus Marxis yang lain ada-lah Lucien Goldmann yang terkenal dengan rumusan model strukturalisme genetik. Gold-

Kritik marxist dalam sastra (2)

hal

10

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

oleh: sastri sunarti

sambungan Edisi 7 Tahun i

Page 11: Majalah Frasa

sasTra duniamann menolak bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual melainkan bahwa teks-teks sastra merupakan struktur-struktur mental trans-individual; milik kelompok-kelompok ter-tentu yang kemudian menghasilkan suatu pan-dangan dunia.

Goldmann percaya bahwa penemuannya tentang homolog (persamaan bentuk) struk-tural diantara bermacam-macam bagian tata masyarakat, membuat teori kemasyarakatan-nya khas Marxis. Dalam hal ini, karyanya meru-pakan kelanjutan teori Lukacs dari aliran Marx-isme Hegel.

Kritikus Marxis yang lain adalah Walter Ben-jamin dari aliran Frank-furt. Pertemuan sing-katnya dengan Adorno, memberi alasan untuk menyebutnya sebagai Marxsis meski pun cap itu sangat pribadi sifat-nya.

Eseinya yang terke-nal adalah Karya Seni dalam Abad Reproduksi Meka-nisyang memperli-hatkan sebuah pan-dangan kebudayaan modern yang bertentangan dengan Adorno. Benjamin berpendapat bahwa inovasi tehnik modern telah mengubah secara mendalam status karya seni yang waktu dulu hanya dap-at dinikmati oleh elit borjuis. Adorno melihat hal tersebut sebagai perendahan nilai seni oleh komersialisasi.

Sebelumnya telah disinggung mengenai efek alienasi dalam sastra yang sebenarnya dikembangkan oleh Bertold Brecht. Drama-dra-ma awal Brecht radikal, anarkistik, anti borjuis tetapi tidak anti kapitalis. Sesudah membaca Marx, jiwa remajanya berubah menjadi ket-erlibatan politik . Pada tahun 1930 ia menulis drama yang ditujukan pada kelas pekerja tetapi ia terpaksa meninggalkan Jerman ketika kaum Nazi berkuasa.

Brecht menolak jenis kesatuan bentuk for-mal yang dipuji oleh Lukacs. Menurutnya, tidak

ada bentuk yang bagus yang dapat bertahan selamanya dengan kata lain, tidak ada hukum estetik yang abadi.

Berdasarkan pandangan Engels men-genai hubungan sastra dan masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam karya sas-tra besar, maksud pengarang tersembunyi. Sebaliknya Lenin mempunyai pandangan bahwa sastra harus sejalan dengan garis partai. Perbedaan pandangan ini menim-bulkan adanya dua jalur dalam kritik sastra Marxis yaitu kritik para Marxis yang ber-pegang pada pendapat Engels dan kritik kaum Ortodoks yang perpegang pada Lenin

(Steiner, 1967:305–324).

P e r k e m b a n g a n teori Marxis di Rusia akhirnya menjadi bagian yang tak terpi-sahkan dari ideologi dan pemerintahan Komunis. Di bawah Stalin, kritik di Rusia tidak bisa berbuat apa-apa. Lukacs pun dicerca oleh par-tai dan pandangan Engels ditolak oleh

anggota partai. Akhirnya sastra diredusir menjadi sekrup dalam mekanisme negara totaliter dan sangat sesuai dengan pandan-gan Lenin yang menyatakan bahwa tugas kritik hanya dua yaitu sebagai penafsir dog-ma partai dan pengganyang kaum murtad.Ideologi Marxist-Leninis ini kemudian juga pernah diterapkan di Indonesia oleh kelom-pok Lembaga Kebudayaan Rakyat (lebih pop-uler dengan sebutan LEKRA) pada masa-masa 60-an sebelum meletusnya gerakan 30 Sep-tember 1965. Pada masa itu muncul sebuah jargon di kalangan seniman dan penulis yang menyatakan bahwa sastra adalah panglima. Dan pengganyangan terhadap kelompok yang berseberangan dengan ideologi Lekra terhadap kelompok Manifestasi Kebudayaan juga sempat terjadi pada masa itu.***(www.publiksastra.net)

hal

11

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Eseinya yang terkenal adalah Karya seni dalam abad reproduksi mekanisyang memperlihatkan sebuah pandangan

kebudayaan modern yang bertentangan dengan adorno. benjamin berpendapat

bahwa inovasi tehnik modern telah mengubah secara mendalam status

karya seni yang waktu dulu hanya dapat dinikmati oleh elit borjuis. adorno melihat hal tersebut sebagai perendahan nilai seni

oleh komersialisasi.

Page 12: Majalah Frasa

moralitas (dan) Kepengaranganoleh: nelson alwi

Nah, pada gilirannya saya pun merasa terpang-gil mengetengahkan catatan-catatan yang per-nah saya buat cuplikan wawancara, ceramah serta riwayat hidup berisi proses kreatif yang diperoleh dari pelbagai sumber yang untuk sekian lama ter-simpan di arsip pribadi. Adapun catatan-catatan dimaksud mendedahkan moralitas (dan) kepen-garangan sejumlah tokoh terkenal yang berkecim-pung di arena olah sastra Indonesia.

Mochtar Lubis mengungkapkan bahwa dalam berkarya ia lebih fokus pada wawasan sastranya sendiri, masalah sosial-kemasyarakatan serta kema-nusiaan zamannya. Hasilnya, secara sadar atau tidak sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh pandan-

gan hidup dan kepekaan hati nurani menangkap aktualitas persoalan yang mengemuka.

Sedangkan Toeti Heraty menyatakan, eksis-tensinya membutuhkan kejujuran radikal dan posisi narsistik. Ia selalu bertolak dari berbagai kece-masan, karena merasa disingkirkan lingkungan ke sudut marginal.

Sementara N.H. Dini mengatakan, pengarang harus toleran terhadap alternatif bersikap yang diambilnya. Tersebab itu ia senantiasa berinisiatif mempertimbangkan segala sesuatu pengertian yang tidak terlalu berjarak dengan realita yang ada demi mencapai sasaran cerpen maupun novel-novelnya: masyarakat pembaca. Tapi menurut Arifin

pEndapaT mereka yang telah berhasil memberi arti keberadaannya bisa jadi pedoman dalam upaya memformulasikan alternatif-alternatif baru menyangkut hidup dan kehidupan. Atau, setidaknya akan memperluas cakrawala pengetahuan generasi penerus yang tengah menapak mencari (ke)jatidiri(an). Pengertian demikian, tak termungkiri telah mendorong banyak penulis mempublikasikan sebutlah memoar atau (auto)biografi, yang menghimpun gagasan, visi, misi, motivasi dan atau perjuangan publik figur dalam dan luar negeri.

hal

12 sasTra indonEsia

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Page 13: Majalah Frasa

C. Noer, yang penting orientasi sastra itu sendiri. Orientasi dimaksud menyangkut arti sastra bagi manusia yang bermartabat.

Melalui puisi, prosa atau drama W.S. Rendra berkomitmen merefleksikan kehidupan yang dihayatinya. Semua anak bangsa punya hak serta kewajiban untuk ikut menentukan kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Justru itu, ia melawan feodalisme dan memberontaki kepincangan yang terjadi di sekitarnya untuk kembali ke asas yang dianut bangsa: demokrasi.

Dalam pada itu Kuntowijoyo mengingatkan per-lunya sastra transendental. Sastra transendental adalah kesadaran balik melawan arus dehumanisasi dan subhumanisasi. Untuk itu, yang pertama-tama harus dilakukan ialah melepaskan diri dari aktuali-tas yang dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan yang mengakibatkan umat manu-sia tercerabut dari autentisitas peradaban dan atau eksistensinya.

Sementara Gerson Poyk meyakini sastra adalah sebuah alternatif menghadapi dunia yang semakin penuh beban. Namun sastra harus ditinjau dari kadar atau tingkat integritas dan intensitas artistik yang diusungnya. Karenanya, sastra mesti terbuka untuk refleksi-refleksi Barat yang etis-moderat, agar aktivitas berlabel sastra tidak bersifat absolut.

Laiknya seorang penyair yang tengah kasma-ran menggarap puisi, Taufiq Ismail mengintroduksi kepiawaiannya memainkan kata-kata (bersayap) dan atau berargumentasi. Secara lugas ia mengi-syaratkan bahwa urusan syair-menyair bagaikan berdiri di depan cermin goyang; sosok yang ter-pantul dari cermin ikut bergoyang serta tidak dapat diraba atau diajak ngomong.

Idiom paradoksal yang nyaris niskala nyatanya juga mencuat alias tersirat dari perumpamaan yang ditaja oleh seorang novelis seperti Putu Wijaya. Perihal karang-mengarang baginya bahkan jadi begitu menukik mendalam lagi aneh; ibarat meng-gorok leher sendiri dan atau siapa saja, tetapi tidak menyakiti bahkan kalau bisa tanpa diketahui oleh yang bersangkutan.

Lain pula dengan Leon Agusta, yang selalu mera-sa digerakkan oleh suatu panggilan buat mencipta. Tetapi ia menyadari, karyanya menjelma setelah adanya semacam rentangan benang-benang pen-galaman yang saling menjalin. Kalaulah kehadiran puisi atau prosanya punya hubungan tertentu den-gan sebuah konsep maka itu hanyalah merupakan faktor kebetulan belaka.

Dan persoalan yang kurang lebih sama seolah-olah dipertegas oleh Budi Darma, yang secara

terang-terangan mengemukakan kekonvensional-annya. Bahan-bahan karangan, disadari atau tidak telah ada dalam benaknya sebelum dituliskan. Saat menulis bayang-bayang atau kejadian-kejadian sekian tahun yang lalu muncul begitu saja ke per-mukaan dan berkelojotan, mencari bentuknya.

Sedangkan Darman Moenir mengungkapkan, sungguh tak terbilang banyak momen yang ber-sumber pada suasana (alam) maupun lingkungan yang membuat ia terangsang untuk berfantasi, dan itu harus diseleksi secara ketat. Karena menurut-nya menulis karya sastra membutuhkan penalaran, inspirasi, kemauan serta imajinasi dalam mengonk-retkan (ke)hidup(an) yang serba abstrak.

Bicara tentang kepenyairannya Rusli Marzuki Saria menengarai, meski merasa dikejar-kejar wak-tu dan atau dihantui kompleksitas keinginan manu-siawi yang berwarna-warni, ia terus belajar, berkon-templasi dan bergulat mengasah kemampuannya. Membuat puisi toh ada suka-duka atau seninya, namun yang paling utama ialah ketekunan serta kesetiaan menggelutinya.

Adapun Umar Kayam justru mensinyalir bah-wa pada mulanya, menulis adalah semata-mata menyangkut kemauan yang pribadi sekali sifatnya. Masalah determinasi, dan selanjutnya, apa saja boleh ikut terjadi. Dalam bahasa lain, perihal kepen-garangan seseorang tak perlu diutik-utik, sebab kreativitas maupun produktivitas dalam berkarya sama afdalnya dengan situasi kemandekannya.

Dan dalam salah satu orasinya Subagio Sastro-wardoyo menganalog(i)kan proses mengarang tak ubahnya dengan pengalaman seks atau pen-galaman mistik, yang harus dirasakan dan dihayati secara individual untuk benar-benar dapat meya-kinkan nikmat atau hambarnya. Pengalaman sejenis (mengarang) boleh jadi dialami oleh ban-yak orang, tapi intensitas serta cita-rasanya niscaya akan berbeda, tergantung kualitas kepekaan dan kedewasaan masing-masing pribadi yang men-jalaninya.

Tak terbantahkan, bahwa yang mendasari aktivi-tas dan atau profesi mengarang adalah kemandi-rian seorang pengarang. Individualisme murni, yang tak bakalan disertai bayangan atau pengaruh apa dan dari siapapun kecuali ingin berlaku jujur terhadap diri sendiri. Soal penyajian tema, peng-garapan tokoh, pemilihan diksi, pembentukan alur berikut lain sebagainya, jelas, merupakan sisi tersendiri yang seyogianya dapat meyakinkan pembaca.***

Nelson Alwi Pencinta Sastra, Tinggal di Padang

hal

13sasTra indonEsia

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Page 14: Majalah Frasa

hal

14 sasTra rEligi

melacak definisi nilai religiusitas dalam sastra pesantren

oleh: sobih adnan

lagi-lagi, saat membicarakan tentang apa dan bagaimana sastra pesantren sebenarnya?, Semuan-ya memang harus dikembalikan dan dibiarkan untuk berjalan dan berkembang secara dinamis, agar ruh utama dalam sastra yang bernilai kebe-basan menemukan keleluasaaan di dalamnya. Namun lagi-lagi, jika berdasarkan tuntutan peta kesusasteraan dunia, sastra pesantren juga harus mampu menunjukkan terlebih lagi menjelaskan tit-ik khas, originalitas, otentitas, sekaligus geneuinitas yang terdapat dalam dirinya sendiri.

Mungkin, jika harus ditemukan dalam satu titik pasti, sastra pesantren akan sedikit merasakan kenyamanannya di dalam apa yang pernah di ung-kapkan oleh D. Zawawi Imron. Bahwa sastra pesant-ren ialah geliat kesusastraan yang memiliki satu ciri, yakni merujuk pada sebuah nilai kesadaran; kesa-daran tauhid.

Namun sesekali akan ditemukan pula (teruta-ma dalam perkembangan sastra pesantren mod-ern) sesuatu yang oleh umum tidak bisa terbaca dengan singkat sebagai sebuah bagian sastra

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Page 15: Majalah Frasa

hal

15sasTra rEligipesantren, hal tersebut tentu jika hanya mengacu pada satu titik muara yang diungkapkan di atas. Nilai kesadaran “tauhid” tersebut harus dibaca dan dipahami secara lebih mendalam saat men-imbang maha karya Ahmad Tohari “Ronggeng Dukuh Paruk”, atau Adibah El-Khaleiqy dalam Geni Jora-nya, terlebih saat membaca Kuda Ran-jang – Binhad Nurrahmat.

Dari contoh-contoh tersebut, nilai dan pesan kebudayaan terutama tentang pesan perlawanan dan perubahan akan lebih ketara dibanding saat melacak seberapa besar kekuatan nilai ketauhi-dan yang ada di dalamnya. Maka, sastra pesantren yang terdapat dalam karya-karya luar biasa terse-but akan lebih mudah dimasukkan ke dalam ruan-gan sastra pesantren jika yang diukur hanyalah tentang siapa yang berhasil menyuguhkan karya-karya hebat tersebut, tentu mereka adalah santri atau tokoh-tokoh pesantren. Dan ini tentu bukan merupakan hal yang cukup, dan tidak akan sah jika harus membatasi kehebatan maksud D.Zawawi Imron sebagai nilai ketauhidan.sastra islam Vs sastra pesantren

Belakangan, kerap kali terdengar penyair atau para pembaca yang secara sekilas membentuk dan menempelkan label keIslaman dalam sebuah karya sastra. Membaca dan memasukkan sebuah karya dalam ruang sastra Islam hanya terukur melalui seberapa besar istilah-istilah keagamaan itu ter-muat di dalamnya, atau tema peng-hamba¬an yang total harus lebih mudah ditemui dalam satu contoh puisi misalnya. Dan hal seperti inilah yang mungkin setiap benak orang mendefinisikan secara sederhana tentang nilai religiusitas dalam karya sastra. Karya sastra yang memiliki nilai reli-giusitas yang kuat adalah sebuah karya yang mam-pu menghantarkan hasrat penghambaan secara total manusia sebagai makhluk kepada “Allah” Tuhannya.

Lebih sederhananya lagi, sastra Islam biasa diukur dengan seberapa banyak dalam karya tersebut menggunakan dan melibatkan istilah keIslaman (Arab) secara real terminologi, pela-falan, bahkan pengembangan tema-tema yang bersifat ritual dalam agama. Di sanalah muncul sebuah kekhawatiran dalam diri penyair lain. Bahwa sastra keagamaan tidak bisa dilarikan secara total kepada konteks ketuhanan belaka, melainkan bagaimana pesan-pesan kehidu-pan sosial yang sudah tercover dalam nilai-nilai keagamaanpun turut hadir di dalamnya. Pesan kemanusiaan, kritik ketidak-adilan, gagasan pembaruan, dan instrumen-instrumen penting

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

sastra islam biasa diukur dengan seberapa banyak dalam karya tersebut menggu-

nakan dan melibatkan istilah keislaman (arab) secara real terminologi, pelafalan, bahkan pengembangan tema-tema yang bersifat ritual dalam agama. di sanalah

muncul sebuah kekhawatiran dalam diri penyair lain. bahwa sastra keagamaan tidak

bisa dilarikan secara total kepada konteks ketuhanan belaka, melainkan bagaimana pesan-pesan kehidupan sosial yang sudah tercover dalam nilai-nilai keagamaanpun

turut hadir di dalamnya.

Page 16: Majalah Frasa

hal

16 sasTra rEligilainnyapun boleh ditawarkan oleh sebuah karya sastra, dengan tujuan membumikan pesan kema-nusiaan agama untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Lalu, di sinilah akan muncul sebuah sedikit masalah, kreativitas para pelaku sastra pesantren telah menjangkau hal-hal tersebut selangkah lebih jauh, hingga pada titik akhirnya sebuah karya sastra pesantren secara modern membutuhkan pemaha-man yang mendalam, bermuatan kritik yang segar, serta tidak terkesan terlalu melambung ke awang-awang.

Seperti halnya istilah sastra pesantren yang semenjak awal kemunculannya menuai kri-tik dan pro-kontra. Maka sastra yang menurut mereka “Islami” pun layak kita baca dan defi-nisikan ulang. Saya ajukan sebuah pendapat penyair muda yang kritis, Baequni Moh. Hari-rie yang telah membukukan karyanya dalam antologi Surat untuk Tuhan. Dia mengatakan tentang kerancuan kemunculan istilah sas-tra Islami yang gencar diklaim oleh beberapa penyair, “Sejak kapan sastra dipisah-pisahkan mengikuti istilah-istilah agama?”.

Menguatkan pendapat tersebut, bahwa setiap karya sastra memang sudah mengandung pesan-pesan keagamaan yang kuat. Sekalipun ia terlepas dari istilah “Sastra Islam/Islami”. Karena dalam sebuah karya sastra disamping harus memiliki kes-an metafor, rima, dan estetika yang baik, di dalam-nya juga mesti terdapat nilai moral, religiusitas (apapun bentuknya), dan kekuatan kritis terhadap fakta kemanusiaan. Berbeda dengan pengistilahan sastra pesantren, karena tentang hal ini dirasa dap-at memacu kekuatan tradisi pesantren yang telah menikahkan pesan keagamaan dengan kearifan lokal yang akan memperkuat warna kesusasteraan nusantara.

Religiusitas, Nilai Kritis, dan Pesan KemanusiaanSampai di sini telah sedikit terbaca, bahwa

sastra pesantren tidak serta merta menyampai-kan pesan keagamaan secara formalistik bahkan pengistilahan-pengistilahan keagamaan dalam diksi-diksinya belaka. Tapi saat merujuk substansi tujuan disuguhkannya sebuah karya sastra, sas-tra pesantren mencoba menempuhnya mela-lui pesan moral yang kuat, nalar kritis yang luar biasa, serta pembacaan terhadap pesan keadilan yang terus berkembang sesuai dengan kebutu-han. Dan ini bisa dikatakan sebuah hasil pen-sari-an di mana agama akan tetap sesuai dan dibu-tuhkan sebagai pedoman manusia untuk selama-selamanya.

Nilai religiusitas dalam sastra pesantren dapat

diukur pula sebagai ruh yang terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan jiwa dan psikologi yang dialami pembacanya. Maka tidak aneh, jika sebuah karya sastra yang berkekuatan tradisi pesantren dapat dinikmati secara lebih umum, sekalipun oleh kalangan pembaca non-muslim misalnya. Inilah aset yang sebenarnya menjadi beban tanggung jawab dalam dunia sastra kepesantrenan, harus mampu memunculkan kekuatan universalitas dalam produk sastranya.

Selain itu, satu hal terpenting yang tak luput dalam pembacaan karya-karya sastra yang ditulis dan disuguhkan oleh kalangan pesantren adalah nilai kritis dan kepekaan terhadap keadilan. Puisi-puisi Gus Mus misalnya, hampir sebagian besar menunjukkan pesan kebangsaan dan kritik ter-hadap ketidak-adilan yang ada. Karena mungkin kalangan pesantren mampu memahami bahwa media sastra adalah media dakwah sekaligus saluran kritik yang baik. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Husein Muhammad, intelek-tual muslim di Cirebon, bahwa jika hal-hal yang lain sudah tidak dapat mengungkapkan apa-apa, maka sastralah yang masih dapat dipercaya untuk berbicara.

Selebihnya, meskipun sastra pesantren ada-lah bukan sebuah jiwa sastra yang memuncul-kan wajah agama secara formalistis dan simb-olis belaka melalui diksi-diksinya. Namun terka-dang ciri khas kepesantrenan-pun mau tidak mau terwakli oleh hal-hal tersebut. Salah satu antologi puisi karya generasi-generasi pesant-ren yang berjudul Jadzab misalnya, Usman Arrumi seolah memang mencoba memuncul-kan wajahnya melalui diksi-diksi yang erat dan lekat dalam tradisi kepesantrenan, namun asing secara dunia keumuman.

Namun sekali lagi, inilah ciri khas sastra pesant-ren yang tidak dapat dibatasi dan mesti terus diga-gas-kembangkan. Yang menjadi garis besarnya hanyalah bagaimana cara memaknai nilai religiusi-tas dalam sastra. Bukan simbolik, bersifat universal, sarat kritik, serta mengandung pesan moral dan kemanusiaan.(www.publiksastra.net)

Sobih Adnan adalah Pegiat di Komunitas Seni-man Santri (KSS), Lembaga Kebudayaan Mahasiswa

(LKM) Rumba Grage ISIF – Cirebon, Direktur LAND-SKAPE (Lembaga Kajian Seni, Sastra, dan Kebu-

dayaan Pesantren) Cirebon. Alumni Pondok Pesant-ren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-ien (MTM) Kempek –

Cirebon, dan masih nyantri di Fak. Ushuludin Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Page 17: Majalah Frasa

hal

17sasTra rEligi

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

m a j a l a h s a s T r a d i g i Ta lFrasa

MengucapkanSelamat atas diwisudanya Wakil Pemimpin Redaksi

Majalah Sastra Digital: FRASA

DELVI ADRI, S.Pdpada 26 Januari 2013

Tertanda

Pemimpin RedaksiMSD FRASA

m asqalani enesTe

Sekretaris RedaksiMSD FRASA

jhodi m adrowi

Pemimpin UmumMSD FRASA

makmur hm

Page 18: Majalah Frasa

23 april 2012, adalah Muhammad Asqalani eNeSTe sering berpikir yang “bukan-bukan”. Bagaimana kalau saya menjadikan puisi layaknya saya mengajar private. Dibayar. Ini sebuah tantangan yang wajib saya coba. Saya rasa ini unik dan –mungkin- belum terpikirkan oleh orang lain. Imajinasi itu kemudian saya realisasikan den-gan mengambil beberapa puisi terbaik –menurut- saya. Lantas menulis biodata saya sepanjang dan semenarik mungkin. Kemudian membuat formulir sekaligus info apa dan mengenapa komunitas didirikan.

Saya terlalu banyak bermimpi singgah di belahan benua atau negara yang tak pernah saya kenal. Atau setidaknya ranah negeri ini yang dengan segala kehidu-

pan nyatanya. Maka terciptalah kata Community Pena Terbang (COMPETER), sebagaimana slogannya menulis dunia menerbangkan nama. COMPETER sendiri berarti pesaing/orang yang memiliki jiwa kompetisi. Dari kata compete (Inggris).

Kenapa Community dan Tidak Komunitas?, ini tak lain adalah petunjuk betapa universalnya niat komunitas ini didirikan. Community diambil dari bahasa nomor satu dunia (Bahasa Inggris).

Terbukti bahwa COMPETER membagi dirinya men-jadi dua: COMPETER Dunia Nyata dan COMPETER Dunia Maya. Anggota dunia maya tidak hanya diisi oleh manu-sia di berbagai peta Indonesia. Tapi juga teman-teman dari Taiwan (Hongkong) yang notabene berkecimpung di FLP Taiwan.

Pena = Karya dan Nama. Terbang, jelajahlah apa pun yang ada di bawah keluasan bumi tuhan. Dengan karyamu. Terbang dan hinggapilah media mana pun yang ingin kau hinggapi, asal kau tidak menyerah lalu berhenti kalah.

Awal Mei 2012, Asrina Putri menjadi partner saya yang mendatangi orang-orang (Mahasiswa UIR) yang tampak sedang senggang. Apakah di bawah pohon, di kursi taman, atau bahkan di teras mesjid. Maka terkumpullah sejumlah mahasiswa yang paham dan yang bingung arti pentingnya menjadi penulis. Tergabunglah mereka di COMPETER.

Hadirlah pulalah Delvi Adri, May Moon Nasution yang ikut memberikan materi-materi kepada siswa COMPETER.

Kami punya kelas- hanya istilah, toh pada nyatanya kami tak pernah belajar dalam ruangan. Sekali pun-. Kelas Senin, Kamis dan Jumat. Dalam 1 minggu ada siswa yang masuk dua kali, dan minimal satu kali. Tiap minggu kita punya tema. Misalnya minggu pertama; “mengenal ciri-ciri karya yang dilirik media, dan cara mengimelkan karya” nah di situ anak-anak akan disuguhkan sejumlah

KomuniTashal

18

penulis: muhammad asqalani eNeSTe

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

menulis dunia, menerbangkan nama; Community pena Terbang (CompETEr)

COmpeTer sebelum baca puisi pada milad aKLamaSi ke 19 2012.

XpreSi siswa COmpeTer saat difoto usai diskusi mencatat Nama-nama Sastrawan dan membaca Sekilas Karyanya.

Page 19: Majalah Frasa

KomuniTas hal

19

Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]Frasa Frasa

puisi yang terbit di berbagai media, koran misalnya. Seusai membaca mereka diar-ahkan menulis. secara detail diajarkan cara melampirkan file, menulis biodata dan mengirimnya ke media. Terkesan berlebihan, tapi ternyata anak-anak ban-yak yang setelah itu baru paham.

Sebelum bergabung, dalam formulir mereka diiming-imingi akan terbit di media, menang lomba dan memiliki buku.

Kami memulainya dengan lomba. Dalam komunitas kami mengadakan lomba cipta puisi kecil-kecilan. Seperti lomba cipa puisi Guru Sayap Favorite (GSF) yang langsung dijurii oleh 3 orang Guru COMPETER Dunia Maya; Lailatul Kiptiyah (Jakarta), Cosmas Kopong Beda (Jakarta) dan Putu Gede Pradipta (Bali). Lomba ini khusus siswa COMPETER Dunia Nyata. Yang dimenangi Yeni Al-Birru, Yuanda Junior, Laura Rafti. Di lain momen kami membuat Apresias Guru Sayap Gui, Gui atau leng-kapnya Susan Gui adalah guru COMPETER Dunia Maya (Jakarta). Lomba ini dibuka untuk semua penghuni COM-PETER, Maya-Nyata. Tak ayal, ini kami lakukan agar anak-anak bisa memahami aturan dan keinginan setiap pen-gada lomba – yang mau tak mau harus diperhatikan-.

Ada pun media yang telah mereka tembus di antaran-

ya; X-Presi Riau Pos, KOMPAS.com, Kuflet.com, Metro Riau dll. Sementara buku; Flows Into the Sink Into the Gutter, Seikat Darah Ukhwah dalam MAe Kematianku, Ayat-Ayat Ramdhan, Sepotong Rindu dalam Sarung dll.

Sejumlah guru COMPETER telah memulai mengikuti berbagai iven sastra; Lailatul Kiptiyah (Guru Sayap) mengikuti TSI 4 di Ternate 2011, Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi 2011 dll. Putu Gede Pradipta (Guru Sayap) mengikuti Temu Sastrawan Indonesia 4 di Ternate 2011 dll. Moh. Ghufron Cholid (Guru Paruh)

mengikuti Dari Sragen Memandang Indonesia 2012, dan beberapa kali mamebacakan puisinya di Malaysia.

Selain bergelut di bidang sastra guru COMPETER pun ada; Delvi Adri (Guru Sayap) Wartawan Metro Riau. Makmur HM (Guru Cakar) Lay Outer surat kabar dan majalah. Yoan Fa (Guru Paruh) Redaktur Sastra Teen Metro Riau. Yogi S. Memeth (Guru Paruh) Guru Bahasa Indonesia di Lombok.

Tak puas hanya menumpang nama di rubrik-rubrik sastra Nasional dan Internasional. Kami pun mememiliki sejumlah media (tuan rumah media) seperti Metro Riau, Majalah Sastra Digital FRASA, Majalah Kapass dan Al-Bratva Blog.

Belum juga terwujud pertemuan bulan ke-3 kami, dengan tema “Mencatat Keganjilan Mal dalam Puisi” tiba-tiba kami vakum. Meski saya masih mengontrol sejumlah siswa dan karyanya (Laura Rafti, Azizah Nur Fitriana, Ria Dwi Sutriani, Moh. Fauzan; sekedar absen ). Kini COM-PETER Dunia Nyata akan kembali aktif mulai pertenga-han Februari 2013. Hanya kelas Minggu pkl 15.00 (tiap minggu). GRATIS! –kecuali daftar masuk- Hub. 0878 9302 3072 & 0857 6748 3580. Gabung Yukkkk. Menulis puisi-lah, maka terbang bebaslah...

Muhammad Asqalani eNeSTe,Mahasiswa Pend. Bahasa Inggris Universitas Islam Riau

(UIR). Buku kumpulan puisi tunggalnya yang akan terbit adalah “ABUSIA”. Belajar dan mengajar menulis di Commu-

nity Pena Terbang (COMPETER)COmpeTer saat buka bareng 2012.

Yoan Fa delvi adri & makmur Hm may moon Nst putu Gede pradipta

Page 20: Majalah Frasa

hal

20 CErpEn: EmaTul hasanah

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

BeningWanita

Page 21: Majalah Frasa

hal

21

“Mbak, aku menyukaimu.” Tiba-tiba saja uca-pan itu terlontar dari bibirku.

“Mbak juga menyukaimu, karena kamu adalah anak yang baik.” Jawabnya sambil menoleh ke arahku sekilas kemudian kembali menatap layar laptopnya.

“Mbak, aku menyukaimu bukan seperti aku menyukai seorang guru, tapi aku menyukaimu seperti seorang lelaki yang menyukai perem-puan.” Lanjutku meluahkan rasa yang telah lama kupendam sejak pertama kali aku mengenalnya.

“Andis…” kulihat raut kaget dari wajahnya.“Bolehkah aku mencintaimu Mbak?”Hening Ia hanya diam, kali ini tanpa menoleh ke arah-

ku sedikitpun.Hanya dalam hitungan menit, tiba-tiba ia pergi

begitu saja dengan diam seribu bahasa.Sejak itulah sikapnya mulai berubah. Dia selalu

menghindar dariku sampai perpisahan itu hadir, dia masih tidak ingin berbicara denganku, hanya sepucuk surat yang ia tinggalkan.

Dik Andis maafkan Mbak jika sikap Mbak tidak seramah dulu karena Mbak tidak ingin dik Andis mempunyai perasaan lebih kepada Mbak. Sampai kapanpun Mbak akan tetap menjadi Mbak untuk dik Andis, begitupun Andis akan tetap menjadi adik selamanya.

Sederet kalimat surat darinya seperti duri

yang menusuk hatiku. Tidak ada sedikitpun cela harapan yang ia berikan untukku. Masih saja ia mengagapku sebagai seorang adik padahal umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Ya umur kami hanya terpaut tiga tahun. Aku menyuakinya ketika aku baru memasuki umur 17 tahun sedangkan dia ketika itu masih berumur 20 tahun. Dia adalah wanita yang per-tama kali kusukai karena hanya dia satu-satu-nya orang yang mengagap kehadirnku ada di dunia ini.

“Banci…Banci…Banci…” teriakan itu sudah biasa kudengarkan sejak aku menduduki bang-ku SD. Semua teman-teman yang seumuran denganku mengagapku seorang banci, karena memang karekterku seperti seorang cewek. Sejak kecil aku tidak suka bermain bola, tidak suka berpergian jauh, tidak suka panas, dan tidak suka berantem seperti yang dilakukan oleh anak-anak lelaki seumuran denganku. Aku lebih suka bermain dengan perempuan. Bermain boneka, berlatih rebbana, bermain masak-masak, tapi itupun tidak lama kerena teman-teman peremuanku tidak ingin men-gajak seorang lelaki bermain dengan mereka. Dan satu-satunya teman bermainku adalah Ibu. Wanita lembut yang sangat mengerti dengan kondisiku. Sedangkan Ayah tidak pernah pedu-li terhadapku karena aku adalah anak yang tak

CErpEn

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Ayu Anggraini, wanita bening yang kukenal tiga tahun yang lalu masih tersusun rapi di ruang hatiku. Walaupun aku tidak pernah lagi bertemu dengannya . Sepenggal kisah

tiga tahun yang lalu seolah menari kembali di pelupuk mataku.

Page 22: Majalah Frasa

hal

22 CErpEn

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

diinginkan Ayah. Dulu saat Ibu mengandung, Ayah sangat berharap

yang lahir adalah anak perempuan, tapi kenyataan berkata lain yang lahir adalah anak lelaki. Ayah san-gat kecewa dengan kehadiranku. Hingga aku tidak bisa dekat dengan Ayah. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, yang kuraskan hanya kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi kasih sayang itu tak bisa kuraskan lagi ketika aku mendudki kelas 2 SMPN. Ibu meninggalkanku untuk selamanya. Hanya tinggal aku dengan duniaku yang sepi tanpa warna. Hingga kemu-dian wanita bening itu hadir menawarkan warna baru dalam hidupku.

“Assalamu’alaikum.” Sapanya lembut saat aku duduk sendirian di taman sekolah.

“Waalaikumsalam.” Jawabku menoleh ke arahnya“Boleh duduk di sini?”“Boleh.” Jawabku sambil mengahapus bulir-bulir hangat

yang mengalir ke pipiku.“Kenapa menangis?” Tanyanya lagi.Aku tak menjawab.“Lelaki itu harus kuat, tidak boleh cengeng,” tegurnya. Seulas senyum mengembang di wajahku dengan hati

yang mulai terasa hangat. Karena baru pertama kalinya wanita yang peduli denganku setelah kepergiaan Ibu.

“Nah, gitu donk! Siapa namanya dik?”“Andis Kurniawan.” Jawabku sambil mengulurkan tan-

ganku.Ia hanya tersenyum sambil menelungkupkan kedua

tangannnya ke arahku. Mungkin tanganku kotor, makanya ia tidak menjabat tanganku, pikirku saat itu.

Itu lah pertemuan pertamaku dengannya. Kemu-dian pertemuan kami terus berlanjut setalah kutahu dia adalah guru sementaraku. Dia adalah mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN di desaku. Walaupun hanya sementara, tapi ia mampu merubah hidupku. Semakin lama aku mengenalnya semakin berdecak pula kekagumanku kepadanya. Dimataku dia sangat anggun dengan jilbab lebar yang selalu ia gunakan untuk menutupi rambutnya sehingga tak sehelai ram-butpun pernah kulihat walaupun saat aku berkun-jung ke poskonya. Bahkan telapak kakinya pun tak pernah kulihat karena selalu di tutupi dengan kaus kaki. Bukan hanya itu dia juga tidak pernah bersentu-han denganku, menatapku lama. Walaupun saat itu

Page 23: Majalah Frasa

hal

23CErpEn

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

aku tidak tahu kenapa dia harus berpenampi-lan dan bersikap seperti itu, tapi aku semakin menyukainya. Dia berbeda dengan wanita-wanita lain.

“Mbak ingin suatu hari nanti Andis menjadi lelaki sejati.” Kata-kata itu yang selalu ia ucapkan setiap kali bertemu denganku.

Dan sekarang kata-kata itulah yang telah membawaku menjadi lelaki sejati. Tidak ada lagi kudengar teriakan yang mengata-kan seorang Andis adalah banci. Tapi salam persahabatan dan pujian kekaguman yang selalu kudapatkan sebagai aktivis kampus yang sudah dua tahun di amanhakan seba-gai gubernur fakultas. Semenjak di bangku perkulihan aku melibatkan diri dengan organ-isasi keislaman hingga merubahku menjadi lelaki sejati, bukan lelaki, tapi seorang ikh-wan. Aku mulai tahu kenapa dulu Mbak Ayu tidak ingin bersentuhan denganku, tidak ingin menatapku, menghindar dariku setalah ia tahu persaanku karena dia ingin menjaga kesuciaannya. Tidak salah jika aku memang-gilnya wanita bening.

Ayu Anggraini, nama itu terus melintas di benakku. Aku tahu tidak seharusnya kubiarkan rindu ini berkembang, aku harus segera men-gakhirinya. Besok aku akan menjumpainnya dan meminta ia mau menjadi istriku. Tabungan hasil dari usaha rental computer yang telah kubangun hampir dua tahun kurasa cukup untuk biaya pernikahanku dan juga kebutuhan kami nanti-nya. Masalah umur aku tidak peduli, bukankah Rasullah menikahi khadijah dengan jarak umur yang sangat jauh. Aku telah siap untuk mem-bimbingnya.

***Matahari masih terasa hangat. Kulirik jam yang

melingkar di pergelangan tanganku telah menun-jukkan jam 9.00. Aku rapikan lagi penampilanku dengan kaca mata minus yang membuatku terli-hat semakin beribawa. Aku telah siap berangkat menuju alamat yang kudapat dari salah seorang sahabat. Untuk menjemputmu wanita bening.

“Assalmu’alaikum.” Sapa Bang Arman, lela-

ki berjenggot tipis itu adalah senior sekaligus murobbi yang telah mengenalkanku pada Kaf-fahnya islam.

“Walaikumslam.”“Mau kemana antum rapi-rapi begini?”“Ada sedikit agenda Bang.” Jawabku dengan

senyum yang merona.“Ada apa Bang?”“ini ana cuma mau kasih undangan,” ucapnya

sambil mengeluarkan undangan berwarna mer-ah hati.

“Wah, udah mau menikah ya Bang, siapa akh-watnya Bang?”

“Antum baca aja sendiri namanya,” jawabnya dengan senyum yang tak kalah merona dengan senyumku.

Tiba-tiba dadaku terasa sesak saat kuda-pati nama Ayu Anggraini yang tertera di dalam undangan.

“Antum bisa datangkan?” Kejut Bang Arman.“Ya insyaAllah.” Jawabku gugup.“Bang, ana ke kamar mandi dulu ya?” Aku per-

gi meninggalkan Bang Arman yang terlihat bin-gung melihat perubahan sikapku.

Kubuka kembali undangan berwarna merah hati itu.

Arman Maulan, ST dan Ayu Anggraini ,SpdHatiku kembali ditusuk seribu duri, kali ini leb-

ih perih dibandingkan tiga tahun yang lalu.***

EMATul HASANAH merupakan nama pena dari Jasmawati. Alumni Mahasiswa Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN SUSKA Riau.

Memulai karir menulisnya sejak menjadi anggota FLP Pekanbaru . Beberapa cerpen dan puisinya

pernah terbit di beberapa media Riau dan media Kampus. Juga pernah memenangkan lomba

menulis tingkat Universitas, Provinsi, dan Nasional. Dan masih aktif bergiat di organisasi di organisasi

internal maupun eksternal kampus di antaranya di bidang syiar dan pelayanan kampus Fkii Asy-

sayams dan juga koordinator kajian sastra dan FLP Pekanbaru. Bisa disapa lewat FB Ematul Hasanah/

No Hp: 085365100824.

Page 24: Majalah Frasa

hal

24 puisi Thoni muKarrom i.a

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

di KaCa jEndEla rumah KaCa

kitalah awan yang mencari angin untuk pulangmembeku di atap kamar lelaki sepilalu dengan terpaksa memakan udarayang menghembus dari satu langit ke langit lainmencari pohon mana yang butuh dihamili jalan memang begitu indah, sayangmatilah tapi jangan saat kesepian.

Mei 2012

sETElah Tidur siang;kepada kawan

Lama sudah. Tubuh teronggok di atas kasur. Kepala terasa hilang. Keringat menyengat hidung. Kepadamu tak pernah tahu. Panas itu adalah hati. Yang menjadi kata pada set-iap mimpi. Membakar diri, menanak tubuh dalam tungku rindu. Meramu kamu.

Haruskah perpisahan menjadi aroma sangit. Yang dibakar nenek menjelang tubuhnya menggaram.

Jika pernah ada tubuh teraduk di saat perih. Menjadi adalah rahasia. Kepada jalan bengkok di depan dan lalu di belakang. Kau menjadi aku, jatuh satu-satu di kamar masingmasing.Saling menata diri menjadi duri dan saling menya-kiti.

Begitulah kenangan membentukmu. Semacam pahit, merasuk dalam busuk kamar. Mengakrabi-nya sepanjang jalan malam panjang. Dan jalan menjadi ah!

Mei 2012

di jalan suaTu KETiKa

Aku masih tersesat di kota ini dikerubungi pekat asap dan bising knalpotMerayap di tiap detik napas Menarik ulur mata yang enggan diteteskanJalan memang begitu memuakkanKetika kita tak pernah menemu ujung dari penan-tianKe arah mana kita akan berlariAtau tersesat di antara kerinduan yang rasanya telah basi

Di sini semua berkumpul saling berdesakanBerebut tempat agar bisa hidup nyamanDi saat semua sunyi menari sendiriSeperti mainan murahan yang dibelikan ibu di pasar malam

Begitulah kawan, kita hendak lari namun harus ke manaUdara terlalu panas dan angin terlalu hempasKita berjalan saja, siapa tahu di depan ada halteAtau stasiun atau kantor polisiMungkin kita bisa bertanya;-Ke mana arah hidup? Ke mana tubuh tak saling bunuh?-

Lalu kita terus saja berjalanMenapaki kerikil yang betah sekali memeluk kakiCeceran putung rokok yang kita kumpulkanYa, kita akan terus berjalan Menelusuri hariMenghabiskan mimpi

TBJT, 16052012

Page 25: Majalah Frasa

hal

25Zidni arFia rahman puisi

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

saaT duduK di dEpan Kamar opErasi

Bau obat dan bunyi ranjang yang diseret mem-bawa pasien. Membawaku pada dua puluh tahun lalu. Aroma obat bius dan daging ter-panggang. Bau keringat ibu tiada lelah meng-gerakkan sobekan kardus ke tubuh ayah. Sebu-lan lamanya. Dan kini kuterpatung. Menunggu detak-detak waktu untuk menghilangkan rasa sakit. Menyekat nikmat yang datang. Segumpal daging dibungkus plastik keluar dari tangan dokter. “Sudah kucabut kecemasan. Buanglah ke laut. Biar ikan-ikan memakannya.”

Sebentar kemudian dengan ranjang beroda, keluar seorang dengan mata berkunang. “Telah dicabut kecemasanku. Buanglah ke laut. Biar ombak menghempaskannya.” Jam bergerak sempoyongan. Kamar menyim-pan panas siang. Aku rebah. Tertidur sejenak. Ternyata hari masih terang.

Oktober 2012

Thoni Mukarrom I.A., Lahir pada 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Beberapa karyanya diu-

mumkan media lokal dan nasional (Akbar, Warta Tuban, Surabaya Post, Jawa Pos, Bali Post, Sumut

Pos, Radar Bojonegoro, Sagang, Mayara, dan lainnya), beberapa antologi; Bulan Kebabian

(Belistra 2011), antologi pelajar Mimpi Kecil (2011) Nyanyian Kesetiaan (STAIN Purwokerto 2012).

Igau Danau (Sanggar Imaji, Jambi, 2012) Woman In the Mist (Diva Press 2011) Dari Sragen Meman-

dang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen. 2012) serta antologi tunggalnya “Kisah Seekor Kupu-

kupu” terbit di Shell-jagat Tempurung (2012)

di baWah bulan purnama

Kita pernah mencintai malam yang samabulan yang sama. Di sebuah kotayang mencatat percakapan kita.

Terminal sepi telah berkali tersinggahi keasinganyang kita padatkan dalam pelukan.

Ketika purnama di atas kepala kitakemesraan berderai seperti lagusejumput rindu tertanam:malam jadi pertemuan paling kasmaran.

Suara-suara mengisi kekosongan celah-celah subuhsementara angin membisikkan dingin pada tubuh.Di sinilah, kita pernah sama-sama menjadi pengantinmengeluh pada ranjang yang bergetar.

2012

Zidni Arfia Rahman. Lahir di Bandung, 07 Oktober 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

Beberapa karyanya pernah dimuat di Radar Tasikma-laya, Kabar Priangan, Pikiran Rakyat, Majalah Cakra,

dan Buletin Langkah. Juga dalam antologi puisi bersama, diantaranya Bersama Gerimis (MSB, 2011),

Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2010), Jejak Sajak (BPSM, 2012), dan Di Kamar Mandi (2012). Bergiat

di Majelis Sastra Bandung (MSB), Arena Studi Apre-siasi Sastra (ASAS), dan Sanggar Seni dan Kreatifitas

Banjaran (SSKB).

Page 26: Majalah Frasa

hal

26 sasTraduKasi

mEngapa ada “sastra”? Sebab, menurut para filsuf,manusia adalah “animal simbolorum” (mahluk yangmembutuhkan simbol-simbol). Dan simbol menjadi gumpalan ekspresi atau ungkapan yang tercetuskan untukkebutuhan ada bersama dengan yang lain, atau sekedar memenuhi kelahiran cita-rasa jiwa manusia. Simbolitulah bahasa.

Tetapi itu pun belum menjawab pertanyaan di atas. Penulis mencoba bertanya lagi, mulai dengan menukik pada apa itu hakekat “sastra”.

Sastra adalah ungkapan jiwa dalam wujud bahasa, entah lisan entah tertulis. Dalam wujudnya yang paling kasar adalah kata-kata. Dalam wujud-nya yang lebih tertata adalah cerita sebagai rang-kaian kata-kata. Lalu, dalam wujudnya yang lebih terkhususkan lagi adalah karya sastra dengan uku-ran-ukuran estetikanya. Sebab tidak

Semua kata dan cerita adalah sastra. Sastra seba-gai sebuah karya tulis dan olah bahasa mengand-

ung daya kreatif dan daya pelahir imajinasi yang multidimensional. Ketika seorang ibu mengatakan kepada anaknya, “Tangkap tikus-tikus itu!”, tentu saja itu hanya memiliki satu kandungan arti tentang perintah untuk menangkap binatang yang disebut-nya tikus. Akan tetapi, bila seorang penyair menga-takan yang sama, “Tangkap tikus-tikus itu!”, artinya akan lebih kaya daripada sekedar sebuah referensi pada binatang tikus. Dan juga kata “tangkap” pun bisa jauh lebih mengundang multi-interpretasi.

Jadi, mengapanya sebuah kelahiran sastra itu melibatkan seluruh kekuatan yang ada diri pela-hirnya. Itulah kekuatan daya imajinasi. Imajinasi sebagai sebuah daya itu bagaikan lingkaran yang bergasing menciptakan sebuah cermin kebenaran (mungkin lebih baik disebut “kasunyatan”).

Mengapa lahir “sastra” lalu dapat ditemukan jawabannya dalam kekuatan daya jiwa manusia menyampaikan laku-gulatnya dengan

mEmahami “sasTra”

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

oleh: Tangkisan letug

Page 27: Majalah Frasa

hal

27sasTraduKasi

“sunyata”. Dalam pergulatan jiwa manusia den-gan realitas (sunyata) adanya di dunia itulah rahim sastra berada.

Lalu, jika demikian, memahami sastra itu tak lain adalah memahami suatu pergulatan manusia den-gan sunyata. Dalam filsafat bahasa kita bisa belajar bahwa apa yang dimaksudkan dengan “memaha-mi” itu adalah “bertemunya dua pengalaman yang serupa”. Atau dalam bahasa klasiknya sering dikata-kan “yang sama mengenal yang sama”.

Tidaklah mengherankan apabila sastra belum tentu bisa dipahami oleh seseorang, karena per-gulatan dalam dirinya sendiri tentang kasunyatan belumlah setara. Seorang anak akan memahami kisah Mahabarata dalam kacamata dunia anak-anak. Mungkin yang ditangkap hanyalah “baik dan buruk” saja. Namun, makin orang menjadi dewasa sebagai manusia yang bergulat dengan realitas hidupnya sehari-hari, makin kaya pula ia memaha-mi sebuah sastra. Tetapi, tidak jarang, orang-orang dewasa pun masih berjalan di tempat dalam mema-hami sastra. Kiranya, sebabnya adalah jauhnya kes-adaran akan pergulatan dirinya sendiri. Kesadaran sebagai sebuah “laku” sering dirasa berat. Sehingga banyak orang cenderung “membunuh” kesadaran dalam kesibukan. Atau, kesadaran sebagai laku dianggap hanya membuang energi dan waktu saja. Lalu orang enggan melakukan refleksi, menjaga jarak barang sejenak, untuk melihat hidup dan ker-janya sehari-hari. Orang enggan melihat realitas.

Memahami “sastra” adalah sebuah olah kesa-daran, dimana kita bercermin pada kisah yang tertulis di sana, dan menemukan pengalaman kita sendiri. Memahami “sastra” itu membutuhkan kebe-saran jiwa. Dan, pada gilirannya, memahami “sas-tra” itu sekaligus memacu manusia untuk memiliki kebesaran dan keluasan jiwa atau kesadaran (mag-nanimity). Membaca dan menikmati sastra lalu bisa disebut juga sebagai laku-olah kesadaran, yang pada gilirannya memacu jiwa bergulat sendiri den-gan kenyataan.

Bergaul dengan sastra itu lalu bisa berarti men-didik kebesaran jiwa. Dalam sejarah, telah banyak terbukti bahwa para pemimpin-pemimpin besar dunia memiliki kebesaran jiwa lewat sastra. Tak kalah pula, para mistikus dari berbagai agama, mampu mencapai kehidupan mulia meski kadang tragedi ditemuinya, karena mampu

ber-olah sastra. Sastra telah menjadi pengasah jiwa mereka.(www.publiksastra.net)

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

memahami “sastra” adalah sebuah olah kesadaran, dimana kita bercermin pada

kisah yang tertulis di sana, dan menemukan pengalaman kita sendiri. memahami “sastra” itu membutuhkan kebesaran jiwa. dan, pada gilirannya, memahami “sastra” itu sekaligus memacu manusia untuk memiliki kebesaran dan keluasan jiwa atau kesadaran (magna-

nimity). membaca dan menikmati sastra lalu bisa disebut juga sebagai laku-olah

kesadaran, yang pada gilirannya memacu jiwa bergulat sendiri dengan kenyataan.

Page 28: Majalah Frasa

hal

28 lEnTEra budaYa

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Ritual Kehamilan masyaRaKat DayaK

masYaraKaT Dayak di Kalimantan Ten-gah meyakini bahwa masa kehamilan memerlukan upacara khusus. Ritual terse-

but dilakukan ketika seorang ibu positif hamil dan ketika usia kandungan berumur tiga bulan, tujuh bulan, dan sembilan bulan.

Ritual untuk usia kandungan tiga bulan disebut Paleteng Kalangkang Sawang. Ritual ini bertujan agar ibu yang hamil tidak diganggu oleh roh jahat dari dalam air. Ritual usia kandungan tujuh bulan disebut Nyaki Ehet atau Nyaki Dirit. yang hakikat-nya untuk memilih leluhur mana yang akan meny-

ertai dan melindungi ibu dan anak yang dikandung. Kemudian, ritual pada usia kandungan sembilan bulan disebut Mangkang Kahang Badak, bertujuan agar bayinya tidak lahir prematur.

Sebagai tanda permohonan agar persalinan ber-jalan normal, dipasanglah lilitan seperti stagen dari kuningan berisi manik-manik dan dilingkarkan di pinggang ibu. Syarat-syarat ritual untuk semua usia kandungan adalah hewan kurban (ayam dan babi) manik-manik untuk ehet, tambak, behas tawur, sesa-jen, dan manik-manik lilis dan manas untuk dipasang pada ibu yang hamil.(www.budaya-indonesia.org)

Page 29: Majalah Frasa

hal

29lEnTEra budaYa

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]Frasa

pErmainan TradisionalCublaK-CublaK suWEng

Cara Bermain Cublak-cublak Suweng Permainan ini dimainkan olehbeberapa anak/orang, tetapi minimal tiga orang. Akan tetapi lebih baik antara 6 sampai delapan orang. Tujuan dari permainan ini adalah Pak Empo menemukan anting (suweng) yang disembunyikan seseorang.

Pada awal permaianan beberapa orang ber-kumpul dan mengundi/ menentukan salah satu dari mereka untuk menjadi Pak Empo. Biasanya pengundiannya melalui pingsut/encon/undian biasa. Setelah ada yang berperan sebagai pak Empo. Maka mereka semua duduk melingkar. Sedangkan Pak Empo berbaring telungkup di tengah-tengah mereka. Masing-masing orang menaruh telapak tangannya menghadap ke atas di punggung pak Empo.

Salah seorang dari mereka mengambil kerikil atau benda (benda ini dianggap sebagai anting). Lalu mereka semua bersama-sama menyanyikan cublak-cublak suweng sambil memutar kerikil dari telapak tangan yang satu ke yang lainnya. begitu terus sampai lagu tersebut dinyanyikan beberapa kali (biasanya 2-3 kali).

Setelah sampai di bait terakhir ...Sir-sir pong dele gosong pak Empo Bangun dan pemain lain-nya pura-pura memegang kerikil. Tangan kanan dan kiri mereka tertutup rapat seperti menggeng-gam sesuatu. Hal ini untuk mengecoh pak Empo yang sedang mencari “suwengnya”. Masing-masing pemain mengacungkan jari telunjuk dan meng-gesek-gesekkan telunjuk kanan dan kiri (gerakan-nya) persis seperti orang mengiris cabe. Mereka semua tetap menyanyikan Sir-sir pong dele gos-ong secara berulang-ulang sampai pak Empo menunjuk salah seorang yang dianggap menyem-bunyikan anting.

Ketika pak Empo salah menunjuk maka per-mainan dimulai dari awal lagi (pak Empo berbar-ing). Dan ketika pak Empo berhasil menemukan orang yang menyembunyikan antingnya maka orang tersebut berganti peran menjadi pak Empo. Permainan selesai ketika mereka sepakat menyele-saikannya. (www.budaya-indonesia.org)

Page 30: Majalah Frasa

hal

30 TEEnliT CErpEn

Jangan meng-sms siapa pun. Tulisan itu terpampang gajah di dinding kamarku. Beuh! Begitu susahkah untuk tidak meng-sms. Hingga tulisan itu kutulis di dindingku?

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

oleh: muhammad asqalani enesTe

JANGAN MENG-SMS SIAPAPUN

Page 31: Majalah Frasa

hal

31TEEnliT CErpEn

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]Frasa

Namaku Gegana. Tadi malam aku dapat sms dari Rama

“Hei bro, berhentilah untuk meng-smsku” hh,,,

Bagaiman bisa? Dia adalah orang paling kurindu setelah Mama dan Rina. Tapi baiklah, akan kucoba.

“Kamu sms apa sih Gana? Bingung Mama.” Aduh! Mama juga berkata hal yang senada.

“Beb, jangan meng-sms aku dulu!” hah Rina, benarkah apa yang kau katakan barusan?

Ya sudah, aku tidak akan meng-sms kalian. Aku masih punya Risah, Bobi, Marle, Pion dan lain-lain.

“Pion, kamu cantik deh!” sent message….“ Hello Gana…,jangan meng-sms aku lagi

ya. Pusing tahu gak sih? ““ Bob, main ke rumah ya.” Sent message35 menit kemudian… “ Sorry, rulez, gue sibuk buanget neh.

No Reply ya” huh! Pake dilarang balas lagi.Marle, Risah dan yang lain-lain tak perlu

kujelaskan apa yang kukirim dan apa yang kuterima dari mereka.

Oho, ada sih yang slalu standby membalas smsku. Makhluk yang punya motto “Kukan slalu ada untukmu”

Dina Dino, manusia tak berjenis kelamin ini akan selalu mereply smsku. Bahkan tanpa disms pun dia akan meng-sms aku. Pernah suatu ketika inboxku penuh. Hampir semua sms itu dari Dina Dino. Aku sengaja tak meng-hapusnya. Kata-katanya bagus.

“Dina Dino siapa sih Beb? “ Rina memasang muka cuka

“O, Dino…” jawabku tanpa perasaan.“ Iya,inboxmu penuh dengan sms dari dia

semua. Sebel! Huh!”(CUT! CUT! CUT!)Back to point story“Gana ge ngap’s?”“Ge bawa pisau, mau bunuh kamu!” Dina

Dino diam telak.Aku tak percaya. D I N A D I N O si raja/ratu

sms itu akan hening.

“Aku ge mz kamu” sent to Dino“Ge ma-em” sent to Dino“Hi….” Sent to Dino“Balez doooong!” sent to DinoBETE!KENAPA TAK ADA YANG MAU MENG-SMS

AKU???Maka terpampang gajahlah “jangan meng-

SMS siapa pun!” di dinding kamarku.Pembaca dapat bayangkan betapa kesalnya

aku. Betapa dalam rasa kecewaku. Semua kontak di HP kuDELETE. Inbox,

sent item kuDELETE. Hanya draft yang tersisa. Karena di sanalah file rasa kesalku berdiam. Jumlahnya 95 teks. Tidak hanya itu, aku pun melepas batrai HPku. Dan membuka beberapa baut. Obeng jadi saksi.

3 hari berlalu….26 Mei 2012Sehari selepas ulang tahunku, aku benar-

benar rindu HPku.“Honey, tadi malam aku meng-sms kamu.

Sepuluh kali dengan kata-kata yang sama. Tapi tak satu pun yang kau balas” Rina mendaratkan ciuman mautnya di pipiku. Sejurus kemudian dia berbalik pulang. Dia tampak berbunga. Bahagia.

(CUT! CUT! CUT!)Back to point sroryAku cari-cari obeng…“Heapi beirt Dei Gegana!” satu-satunya sms

yang sempat kubaca.Ada 283 sms lainnya di HPku. Tak satu pun

tertera namanya. Amnesiaku kambuh. Tiba-kepalaku berputar. Aoleng!

Muhammad Asqalani eNeSTe, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Riau (UIR). Pernah belajar menulis cerpen. Lebih giat berproses pada puisi. Tapi kecintaannya pada sastra menjadikan ia penikmat huruf demi huruf pada lembaran Novel dan Esai. Suka memasak dan Hobi mengkoleksi foto bayi lelaki dari inter-net (Baby Boy Fanatic). Buku puisi tunggal ke3-nya yang akan terbit ia sebut “ABUSIA”

JANGAN MENG-SMS SIAPAPUN

Page 32: Majalah Frasa

hal

32 TEEnliT puisi

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

aku dia Kamu

Aku dia kamu kita bedaAku dia kamu kita beda ragaTapi...Aku dia kamu kita satu jiwa

Aku dia kamu, kita bagai hujanPohon dan tanah saling berkaitan

Aku dia kamu memang bedaTapi rasa kita sama Bersama kita kuat Bersama kita hebat

Aku dia kamu jangan lepas dari ikat

Ruang Hati, 16-01-2013

Kucing Manja dan nakal tapi tak mengeong Doraemon tak berkantung ajaib

Pusing, bingung saat ‘ku di dekatnya Ekspresif, unik tingkahnya

Kucingku bukan kucing biasa Kau cerdas serba bisa

Mojokert0, 17-01-13

Muhammad Yusuf Abdillah, Puisinya dimuat Linggau Pos, Al-Bratva dan Metro Riau. Menulis

puisi baginya seperti melukis diari. Sudah bertinta sejak SMP. Masih setia bermukin di kota onde-

onde (Mojokerto-Jatim)

Tarian anak desa

serumpun padi yang kau tanamtergenggam erat pada waktu,sementara waktu berseteru menderu haru hingga birubiru hilang luka berdendangdendang luruh abdikan rindurindu rimbun rerumpun suara,yang kini mengendap tiada lagi tertatap

tarimentari menarik seluruh cuacaanakmenanak gelisah mendesah,

luruhkan sejenak keabadian pada sunyi,bumikan sepi panjatkan kami

Canditunggal’12

Moh. Fauzan, masih setia mendengarkan cera-mah puisi dari orang-orang terdekatnya. Begitulah

semangat ia bertinta. Suatu kala puisinya terbit di sebuah koran Malaysia.

Page 33: Majalah Frasa

hal

33TEEnliT puisi

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

remuk03

Serasa remuk balutan iniNyaris mati hatiBenar keras laraMenghampir di kerut-kerut batokAdzan teriak acuhSudahlah.

remuk04

Grog grog grogRentak meremukNapas tersedakKuat memberatNapas tersedak, lagi Terserak menjadi-jadiTerpenggal, tersenggal

remuk05

Kukatakan berulangKulakukan berulang Berulang pula menyerdangRampas renggut mendulang Hak melang-langRindu buih-buih melayangBiarkan saja terbangLewati kandangYang remuk serampang

Syahara Niyya, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris semester 3. Pernah meraih jaura 1 dalam Lomba Cipta Puisi di FLP Riau. Ia suka berpose di

depan kamera.

Page 34: Majalah Frasa

hal

34 FiKsimini Yoan Fa

bunga mawar memang sangat indah. Merekah merah wanginya pun semerbak. Pastinya akan menarik hati siapa saja yang menghirup aromanya. Seperti gadis yang memetiknya dari kebun sebelah. Rambut pirangnya yang terlihat ikal natural ditam-bah cahaya matanya pastinya membuat pria jatuh cinta. Akupun memandangnya dari kejauhan.

Gadis sederhana itu begitu lugu. Yang ia tahu adalah memelihara mawar-mawar cantik itu dan memetiknya. Dia juga terlihat rajin membersihkan rumah. Tak heran bila Domingus anak si tuan tanah begitu tertarik padanya. Akh, aku pun sedikit patah hati. Aku cuma anak tetangga gadis itu. Tentunya pasti kalah saingan dengan Domingus yang punya limusin mewah setiap kali datang pada gadis itu. Tapi tidak, aku sangat tahu kalau Scarlett bukan wanita yang mata duitan. Ia selalu ramah padaku.

Hari itu Tuan Roberto memesan bunga mawar 300 ikat. Diantar akhir pekan nanti segar dan dibuat men-jadi beberapa bagian. Tuan Roberto orang kaya di desa ini. Si Tuan tanah , ayahnya Domingus. Mungkin tuan itu punya acara jamuan seperti biasanya.

Sabtu itu, gadis itu begitu bersemangat meny-iapkan pesanan si Tuan. Sebagai tetangga yang baik akupun ikut membantunya. Gaun biru pucat itu modelnya sedikit kuno , tapi gadis pirangku ini tetap cantik. Bandana putih di kepalanya mem-buatnya terlihat makin anggun.

Dengan motor bututku kami mengantarkan bunga ke Villa Primavera milik tuan Roberto. Sangat

ramai undangan yang datang tampaknya. Mobil yang sangat mewah berjejeran. Sejenak gadis pirangku terpana. Ia tampak deg-degan.

Bunga itu untuk dibagikan. Nyonya rumah san-gat ramah mempersilakan kami masuk. Walaupun baju kami tak semewah tamu lainnya. Aku lega Scarlett sedikit lebih percaya diri. Aku pun mem-bantu membawa ikat besar bunga.

Hingga ke bagian depan. Tampak Domingus tampan sekali. Diiringi gadis bergaun putih mahal. Pengantinnya. Tak jauh dari itu gadis pirangku membagikan bun ga dan sejurus ia bertatapan dengan Domingus yang sedikit terkejut.

Aku diam tanpa kata. Tak bergeming. Aku takut gadisku terluka. Selama ini bajingan itu memper-mainkan gadisku. Pria paling bajingan yang pernah kukenal.

Sekarang sampailah Scarlett di hadapan pen-gantin. Ia grogi. Akupun akan membiarkan Domin-gus ditamparnya. Pria yang tidak jantan.

Cahaya mata gadisku berkurang. Seraya ia mem-berikan seikat mawar merah pada pengantin wan-ita dan tersenyum kecil. Dibalas dengan senyum pengantin wanita.

Persetan kau Domingus. Aku tak mau melihat mukamu. Kau menyakiti gadisku. Perlahan air mat-aku berlinang. Tak sanggup lagi kupandangi gadis pirangku. Ia masih bisa tersenyum yang tanpa sandiwara.***

Yoan Fa, Januari 2013

Mawar-Mawar Merah

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Page 35: Majalah Frasa

hal

35puisimini

Mawar-Mawar Merah

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]Frasa

TEnTang CinTa

Manggis

Kamar Cinta, 1999-2012

TEnTang pEngamEn

Raung aksaraBocah cari surga

Guyur hujan di langit mataMerdeka sebatas kata

Kamar Cinta, 1996-2012

doa aKhir Tahun buaT indonEsia

Semoga merdeka semekar bunga

Kamar Cinta, 31 Desember 2012

MoH. GHuFRoN CHolId, penyuka puisi, cerpen dan aneka tulisan lain, tinggal di Madura.

KEpada iETha bluEs

Sebab aku memahamimu,tangis-tangis pecah dalam doa.

10-11-2012

inunK El-asTa lahir di Sumenep-Madura 1991. Mantan pimred mading Detak OSIS MA Muba. Karya-karyanya sering dimuat KOMPAS.com dan di majalah lokal. Suka bermetaforaria tapi lebih rajin memakannya sendiri ketimbang berbagi.

ThE FirsT alonE

Elangelang mengisi awang awan Ramai dan sahajaTak serupaTak berupaNyawanyawa kehilangan darah di peredaran waktunya

2o11

WahYu WiboWo, selain menyukai puisi ia juga menyukai kata dan berkata motivasi. Puisinya termuat di sejumlah media lokal dan tersuhuf di sejumlah Amtologi.

Page 36: Majalah Frasa

hal

36 inspiring

Cinta Tak Pernah BersuaFrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Kahlil Gibran

Page 37: Majalah Frasa

hal

37inspiring

KISAHKu

Dengarkan kisahku... .Dengarkan, tetapi jangan menaruh belas kasihan padaku: kerana belas kasihan menyebabkan kelemahan, padahal aku masih tegar dalam penderitaanku..Jika kita mencintai, cinta kita bukan dari diri kita, juga bukan untuk diri kita. Jika kita bergembira, kegembiraan kita bukan berada dalam diri kita, tapi dalam Hidup itu sendiri. Jika kita menderita, kesakitan kita tidak terletak pada luka kita, tapi dalam hati nurani alam.Jangan kau anggap bahawa cinta itu datang kerana pergaulan yang lama atau rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan dari generasi ke generasi. Wanita yang menghiasi tingkah lakunya dengan keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran, yang terbuka namun rahsia; ia hanya dapat difahami melalui cinta, hanya dapat disentuh dengan kebaikan; dan ketika kita mencuba untuk menggambarkannya ia menghilang bagai segumpal wap.

siapa yang tak kenal dengan Kahlil Gibran. Puisinya yang romantis kerap jadi bahan rayuan pria untuk menggombal. Puisinya sangat cerdas, menyentuh tanpa terlihat dibuat-buat. Romantisme yang telah ia tebarkan sayangnya tak seindah kisah cintanya yang tak pernah bersua hingga akhir hayat.

Kahlil Gibran atau Jubran Khalil Jubran adalah salah seorang sas-trawan perantauan (Mahjar) beraliran romantik. Lahir 6 Januari 1883 di sebuah desa bernama Besharri, Lebanon Utara dan meninggal pada 1931 di usia 48 tahun.

Gibran adalah salah seorang pengikut Gereja Katholik Maronit. Ia berasal dari keluarga terpandang kakeknya termasuk tokoh masyarakat di Besharri— namun hidup dalam kondisi kemiskinan secara ekonomis. Ayahnya bernama Khalil bin Gibran, seorang gem-bala yang memiliki kebiasaan memainkan Taoula, merokok narjille (pipa air), mengunjungi teman-temannya untuk sekedar mengo-brol. Kadangkala ia juga minum arak dan berjalan-jalan di padang luas pegunungan Lebanon.

Sedangkan ibunya, Kamila, adalah anak terakhir dari seorang pendeta Maronit, Estephanos Rahmi, yang berstatus janda sebelum menikah dengan Khalil. Pernikahan Kamila dengan suami perta-manya, Hanna Abdel Salam, dikaruniai seorang putra bernama Peter.

Kahlil Gibran atau Jubran Khalil Jubran adalah salah seorang

sastrawan perantauan (Mahjar) beraliran romantik. Lahir 6

Januari 1883 di sebuah desa bernama Besharri, Lebanon

Utara dan meninggal pada 1931 di usia 48 tahun.

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]Frasa

Page 38: Majalah Frasa

hal

38 inspiring

Sedangkan dari perkaw-inannya dengan suami kedua, yaitu Khalil bin Gibran, Kamila dianugera-hi tiga anak. Selain Gibran diberi nama sama dengan nama ayahnya, Kamila juga melahirkan dua anak perempuan, yakni Mari-ana, dan Sultana.

Akan tetapi, dalam kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan tidak menyurutkan ger-ak Gibran untuk meng-enyam bangku sekolah. Mula-mula ia belajar ban-yak hal, terutama bahasa, musik, dan sedikit men-genal tentang seni lukis dari ibunya yang polyglot (menguasai bahasa Arab, Perancis, dan Inggris). Tatkala usianya masih terla-lu kecil, si ibu memperkenalkan sebuah kisah dari negeri Arab yang cukup tersohor, Kisah Seribu Satu Malam, juga Tembang Perburuan (Hunting Song) karya Abu Nawas. Ini artinya, sejak kecil Gibran bergelut dengan pelajaran sastra.

Didasari keinginan kuat untuk mengurangi beban kemiskinan keluarga, pada tahun 1894, Peter, saudara tiri Gibran yang saat itu berusia 18 tahun mengutarakan keinginan untuk berimigra-si ke Amerika. Semula ibunya menolak rencana itu. Namun akhirnya sang ibu menyetujui den-gan syarat keluarganya dapat berangkat secara bersama-sama. Hanya saja sang ayah menolak dengan alasan memelihara sedikit harta yang mereka miliki. Tetapi penolakan sang ayah itu tidak mengurangi niat Kamila, Gibran dan kedua saudaranya dengan dimotori Peter untuk terus berangkat ke Amerika.

Langkah tersebut memang lazim dilakukan oleh para penduduk Lebanon. Sebab, ada tiga alasan penting yang menjadi faktor pendorongnya, yaitu:

Pertama, keinginan untuk melepaskan diri dari tin-dakan represif Turki Usmani. Kedua, untuk mencari modal atau memperbaiki perekonomian keluarga. Ketiga, untuk kedua tujuan tersebut sekaligus.

Setelah menginjakkan kaki di Amerika, mere-ka menuju Boston di mana banyak penduduk asli Besharri dan Syiria membentuk koloni di China-town. Sang ibu, Peter, dan dua saudara perempuan Gibran bekerja mencari uang. Dia sendiri terpaksa

masuk sekolah untuk memperoleh pendidikan lebih. Selama dua tahun bersekolah itulah, tampak kecerdasan dan kecemerlangan otak Gibran memu-kau gurunya. Ia selalu memperoleh nilai tertinggi di antara teman-teman “asing”nya di sana. Oleh sang guru, Gibran kemudian disarankan untuk meny-ingkat namanya menjadi “Kahlil Gibran” dari nama semula “Jubran Khalil Jubran”.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Amerika, Gibran bermaksud kembali ke Lebanon guna mendalami bahasa aslinya (bahasa Arab) dan mengenal banyak karya pemikir dan sastrawan Arab terdahulu. Setelah keinginannya dikabulkan oleh ibunya, dalam rentang waktu antara tahun 1896–1901, Gibran menempuh pendidikan di sebuah sekolah terkemuka, Madrasah Al-Hikmah, yang terletak di Beirut sekarang.

Di madrasah itu, Gibran belajar Hukum Interna-sional, ketabiban, musik dan sejarah Agama. Sela-ma periode 1898 dia menjadi penyunting pada majalah sastra dan filsafat, Al Hakekat. Dengan bekal kemampuan Gibran dalam seni lukis dan didasari kekagumannya pada para pemikir besar Arab yang diketahuinya dalam kelas, pada 1900 Gibran membuat sketsa wajah penyair Islam peri-ode awal seperti Abu Nawas, al-Mutanabbi, al-Farid dan Khansa (penyair besar perempuan dari Arab), juga wajah para filosof seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina.

Selama itu pula ada sebuah kenangan indah yang mempengaruhi jiwanya secara mendalam, yaitu kisah cinta pertamanya dengan Hala Daher,

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

Page 39: Majalah Frasa

hal

39inspiring

seorang putri dari sebuah keluarga aistokrat di Leb-anon. Oleh Gibran kisah itu lalu diabadikan dalam novelnya, The Broken Wings (1912)

Tetapi ketidaksetaran status sosial telah menjadi tembok yang membatasi cinta keduanya. Sejak saat itu, Kahlil berubah secara drastis. Hati dan cintanya yang terluka telah menjadikan dirinya sebagai ses-eorang yang membenci seluruh kehidupan tradisi perkawinan ketimuran yang diatur dalam “kasta-kasta” sosial.

Menginjak usianya ke-18 tahun, Gibran telah menyelesaikan studinya di Madrasah al-Hikmah dengan hasil sangat memuaskan. Namun, kar-ena didorong keinginan memperluas ilmu dan wawasan serta mendalami seni lukis, dia memutus-kan untuk berangkat ke Paris. Dalam perjalanannya itu, Gibran menyempatkan diri singgah di Yunani, Italia, dan Spanyol pada 1901.

Di Paris, Kahlil Gibran tinggal selama dua tahun. di kota inilah dia menulis buku Spirits Rebellious, sebuah buku yang terkenal dengan kritikannya ter-hadap keadaan sosial, para pejabat tinggi, pengu-rus keagamaan, juga cintanya yang kandas. Karena bukunya itu, Gibran sempat dikucilkan pihak Gere-ja Maronit dan diasingkan oleh pemerintah Turki di Lebanon. Keduanya juga membakar karyanya di berbagai tempat di Beirut.

Kemalangan Gibran tidak cukup sampai di sini. Tahun 1903 dia menerima surat dari saudaranya, Peter, yang memintanya untuk segera kembali ke Boston sebab adiknya, Sultana, meninggal aki- bat terserang penyakit Tuber C u l o s a (TBC) dan ibu-nya menderita sakit berat. Pada tahun yang sama di bulan M a r e t , P e t e r j u g a menin-g g a l a k i -b a t

wabah serupa. Kepedihan Gibran serasa bertumpuk sete-

lah ibunya yang tercinta turut menyusul kedua saudaranya menghadap Yang Kuasa, tepat tiga bulan setelah kematian Peter. Kehilangan sang

ibu yang dicintainya membuat Gibran amat terpukul dan patah arang. Baginya, kini hanya tinggal Mariana, adik sekaligus

kawan yang setia menemani di negeri orang. Secara historis, tampak bahwa

realitas kemalangan yang dialaminya di Boston telah mempengaruhi seluruh kary-

anya di kemudian hari.Ia mulai aktif menulis termasuk menu-

lis beberapa artikel yang tersebar di berb-agai media massa. Tulisan-tulisannya mam-

pu mencengangkan pengagum sastra dunia, termasuk kritikus sastra Arab terkemuka, May Zaidah. Bermula dari polemik di media massa sejak 1912, ternyata sentuhan cinta keduan-ya mampu merekatkan jarak Amerika-Arab meski sampai akhir hayatnya, mereka tidak

pernah saling bertemu. (www.dedisyapu-tra.wordpress.com)

Frasa Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]Frasa

Page 40: Majalah Frasa

hal

40 X-CoVEr

FrasaEdisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]

baCa dan doWnload majalah Frasa dihttp://www.majalahfrasa.blogspot.com/

Kirim KarYa anda [email protected]