majalah sagang

68
No. 175zAPRIL 2013ztahun XV z www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir) Esei: Pernaskahan Melayu oleh Dr. Mu’jizah Lunturnya Tradisi Mendongeng oleh Indra KS Pernaskahan Melayu oleh Dr. Mu’jizah Lunturnya Tradisi Mendongeng oleh Indra KS Cerita-pendek Hasan Junus Pengantin Boneka (The Puppet Bride) Cerita-pendek: Air Mata Mitnah oleh Purwanto Sajak: - Kerudung Puisi - Muhammad Esqalani eNeSTe Tokoh: Khalil Gibran Rehal: Sepuluh Drama Pendek Samuel Beckett

Upload: rudi-yulisman

Post on 22-Mar-2016

279 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Dari sinilah Mengalir Sastra Dunia!

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Sagang

halaman KULITi

No. 175 APRIL 2013 tahun XV www.majalahsagang.com

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia!(Henri Chambert-Loir)

Esei:Pernaskahan Melayuoleh Dr. Mu’jizah

Lunturnya TradisiMendongengoleh Indra KS

Pernaskahan Melayuoleh Dr. Mu’jizah

Lunturnya TradisiMendongengoleh Indra KS

Cerita-pendek Hasan JunusPengantin Boneka(The Puppet Bride)

Cerita-pendek:Air Mata Mitnaholeh Purwanto

Sajak:- Kerudung Puisi- Muhammad Esqalani eNeSTe

Tokoh:Khalil Gibran

Rehal:Sepuluh Drama PendekSamuel Beckett

Page 2: Majalah Sagang

halaman KULITii

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK

PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ

PAKET INFO PRODUKMenginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja,anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya.Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami(Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan.Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinyadi koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafi kaDivisi Komersial Printing

Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru

Offi ce +62 761 - 566810

Fax +62 761 - 64636

Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010

Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990

An: PT Riau Graindo

E-mail riauposgrafi [email protected]

"SHOW OFF YOUR BUSINESS!"mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

Page 3: Majalah Sagang

halaman 1

Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers

SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998

ISSN: 1410-8690

Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas

KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, IndonesiaTelepon Redaksi: (0761) 566810

Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636

www.majalahsagang.come-magazine

Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-

No. 175 APRIL 2013 tahun XV

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH

Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani.Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keter-angan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

Seni Tari "Perjuangan Cinta"merupakan judul kertas kerja Lilis Suryani

untuk memperoleh gelar Diploma IIIdi Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)

Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-

No. 175 APRIL 2013L tahun XV

Daftar Isi

Schiller dan Beethoven

(kolaborasi duo seniman) .........................2

Esei

- PernaskahanMelayu

Oleh Dr. Mu’jizah ..................................3

- Lunturnya Tradisi Mendongeng

oleh Indra KS .......................................10

Cerita-pendek

Hasan Junus (Alm)

Pengantin Boneka................................ 13

The Puppet Bride ................................. 21

Cerita-Pendek

Air Mata Mitnah oleh Purwanto .........29

Sajak

- Kerudung Puisi ....................................33

- Muhammad Esqalani eNeSTe ............. 41

Tokoh

Khalil Gibran ...................................... 48

Rehal

Sepuluh Drama Pendek

Samuel Beckett ....................................58

Tokoh

Bei Dao ................................................. 61

Illustrasi

Halaman 29 karya Purwanto

Page 4: Majalah Sagang

halaman 2

tajuk

LUDWIG VAN BEETHOVEN memberikan gambaran tentang sebuah puisi yang bagus lebih sulit untuk mengatur musik dari yang sekadar baik, karena komposer harus di atas lebih ti nggi dari penyair, dan bagi komposer handal ini sajak Goethe jauh lebih mudah dilakukan musikalnya daripada yang dilakukannya dalam kasus Schiller, seperti karya Beethoven yang terkenal dalam simfoni kesembilan-nya (Symphony No. 9 in D minor,Op. 125). Sajak Schiller An die Freude atau Ode to Joy yang ditulis tahun 1785 dan direvisi untuk pengaturan musiknya oleh komponis terkenal ini menjadi bagian dari simfoni kesembilan-nya itu. Empat penyanyi solo dan paduan suara membuat simfoni ini menjadi contoh simfoni pertama yang memakai paduan suara (vokal):

Wo Dein sanft er Flügel weilt.Seid umschlungen, Millionen!Diesen Kuß der ganzen Welt!

Selain Schiller dan Beethoven, seniman dunia lainnya seperti Goethe dan Wagner menjadi contoh kolaborasi yang baik bagi dunia seni. Di dunia musik Melayu, kolaborasi duo seniman, seorang musisi terkenal sekelas P, Ramlee, banyak memakai sajak Jamil Sulong dan Sudarmaji pada lagu-lagunya yang indah dan terkenal. Ada lagu Melayu yang juga sangat indah dan bagus lirik dan musiknya, yang sangat disukai oleh Idrus Tinti n dan Hasan Junus (alm) dan juga Al azhar yaitu Disebut Jangan Dikenang Jangan. Pada mulanya disangka lagu ini ditulis oleh P. Ramlee bersama Jamil Sulong atau Sudarmadji, tetapi rupanya ditulis oleh kolaborasi duo seniman Ibrahim Bachik pada lagu atau musiknya dan Rosley Haji Yusuf pada lirik atau seni-katanya. Bagaimana lagu indah ini dapat menyentuh perasaan banyak orang terutama liriknya, dapat disimak bait terakhir syairnya:

Sebuti r embun meniti sSeribu kuntum mengembangSepatah ku berjanjiKu sebut kau ulang-ulang

Mencurah hujan membatuMeresap di telan bumiSegala sumpah janjimuTak satu yang kau tepati

Schiller dan Beethoven (kolaborasi duo seniman)

Chorus :Tiada kuduga Tiada ungkitanBagimu tuanKu rela dilupakanKu diumpat janganDikenang jangan

Berlalu kisah di tamanBak mimpi diganggu siangDisebut diingat janganTak guna di kenang-kenang

Kalau ditulis kolaborasi duo seniman dalam dunia musik dan sastra ini, akan memenuhi semua halaman majalah ini, karena itu patutlah beberapa penyair terkenal mengabadikan sajak epitaph-nya di batu nisan seniman terkenal sahabatnya, seperti halnya Conrad Ferdinand Meyer (1825-1898), seorang penyair dan novelis sejarah Swiss mengabadikan sajak epitaph-nya di batu nisan Schiller yang meninggal dalam usia ti dak terlalu tua (45 tahun) di Saxe-Weimar, Jerman:

“Two dim and paltry torches that the raging stormAnd rain at any moment threaten to put out.A waving pall. A vulgar coffi n made of pineWith not a wreath, not e'en the poorest, and no train –As if a crime were swift ly carried to the grave!The bearers hastened onward. One unknown alone, Round whom a mantle waved of wide and noble fold, Followed this coffi n. 'Twas the Spirit of Mankind”

Dua obor bersahaja redup keti ka amukan badaiDan hujan seti ap saat mengancam padam.Sebuah selubung melambai. Sebuah peti mati dari kayu pinus terdedahTak memakai karangan bunga, tak sebuah kemiskinan, dan tak ada kereta api -Kejahatan bagai kilat dibawa ke kuburan!Penghela terus melaju. Ketahuilah hanya satu saja, Mantel menggelebang melambai lebar dan mulia melipat, Mengikuti peti mati ini. Sungguh Roh Manusia.***

Redaksi

Page 5: Majalah Sagang

halaman 3

1. Pengantar

Produk budaya Nusantara dalam

bentuk sastra mencakupi tiga hal,

yakni sastra cetak termasuk di dalamnya

sastra modern, sastra lama dalam bentuk

tulis tangan yang disebut naskah, dan

sastra lisan yang hidup dalam tradisi lisan.

Dalam makalah ini penyusunan program

difokuskan pada program pengembangan

hasil tradisi tulis yang disebut naskah

(manuscript). Tradisi ini tersebar luas di

beberapa daerah dan menjadi kekayaan

Nusantara. Naskah ini ditulis dalam aksara

dan bahasa daerah dan sudah berkembang

kurang lebih 1,5 milenium, termasuk di

dalamnya prasasti, sedangkan tradisi tulis

dalam bentuk naskah berusia seribu tahun

lebih. Sebagian besar naskah-naskah itu

saat ini tersimpan dalam koleksi publik

yang jumlahnya mencapai puluhan ribu

dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang

menjadi koleksi pribadi.

Dari sekitar 726 bahasa di Indonesia ada

kurang lebih 13 bahasa yang mempunyai

sistem tulisan dan meninggalkan dalam

PernaskahanMelayu

Oleh Dr. Mu’jizah(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)

esei

Page 6: Majalah Sagang

halaman 4

bentuk naskah tertulis. Ketiga belas bahasa

itu adalah (1)Aceh, (2) Batak, (3) Melayu,

(4) Minangkabau, (5) Bahasa-bahasa

Melayu di Sumatra Tengah dan Selatan,

(6) Sunda, (7) Jawa, (8) Madura, (9) Bali,

(10) Bugis, (11) Sasak, (12) Makassar, (13)

Buton.

Khazanah naskah tertulis yang menjadi

peninggalan masyarakat Riau adalah Me-

layu yang ditulis dalam aksara Jawi dalam

bahasa Melayu. Naskah Melayu ini bukan

hanya ada di daerah Riau, melainkan

penyebarannya sangat luas di beberapa

daerah di Indonensia, seperti (1) Aceh,

(2) Minangkabau, (3) Riau, (4) Siak, (5)

Bengkulu, (6) Sambas, (7) Kutai, (8) Ternate,

(9) Ambon, (10) Bima (11) Palembang, dan

(12) Banjarmasin. Naskah-naskah tersebut

saat ini disimpan di lembaga-lembaga,

seperti museum daerah, Perpustakaan Na-

sional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid,

dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.

Di Perustakaan Nasional naskah mencapai

9.626 dalam berbagai bahasa. Bagaimana

dengan jumlah naskah Melayu? Pendataan

yang pasti belum pernah ada karena jumlah

terus bertambah dengan ditemukannya

koleksi-koleksi baru dan terus berkurang

karena banyak naskah yang rusak dan

tidak terawat. Mengenai jumlah naskah

Melayu Ismail Husein (1974) pernah

mengemukakan angka 5.000, Chambert-

Loir (1980) mengemukakan 4.000, dan

Russel Jones sampai pada angka 10.000

(Mulyadi, 1994). Sampai saat ini naskah

Melayu tersimpan hampir di 29 negara (1)

Afrika Selatan, (2) Amerika, (3) Austria,

(4) Australia, (5) Belanda, (6) Belgia, (7)

Brunei, (8) Ceko-Slovakia, (9) Denmark,

(10) Hongaria, (11) India, (12) Indonesia,

(13) Inggris, (14) Irlandia, (15) Italia, (16)

Jerman Barat, (17) Jerman Timur, (18)

Malaysia, (19) Mesir, (20) Norwegia, (21)

Polandia, (22) Perancis, (23) Rusia, (24)

Singapura, (25) Spanyol, (26) Srilangka,

(27) Swedia, (28) Swiss, dan (29) Thailand

(Chambert-Loir, 1999). Bagaimana dengan

naskah Melayu, khusus Riau. Di mana

saja naskah tersebut disimpan? Berbagai

penelusuran sudah mulai dilakukan. Naskah

Melayu yang begitu besar jumlahnya harus

segera ditangani dengan perencanaan kerja

yang matang. Program pengembangan,

pengkajian, dan pemibaan harus terus

dipacu sebab kita berpacu dengan waktu.

Semakin lama tidak tertangani, semakin

rapuh pula naskah, khususnya naskah

yang menjadi koleksi masyarakat (pribadi).

Pemeliharaan naskah menjadi prioritas

utama karena sampai saat ini sudah banyak

naskah yang hilang dan rusak. Hilangnya

naskah berarti hilang pula hasil pemikiran

bangsa. Padahal di dalam naskah itu

berbagai hal yang menjadi kekayaan bangsa

ada di situ, seperti politik, sosial, budaya,

keagamaan, sejarah, dan bahasa. Karena

penelitian masih kurang dan sosialisasinya

belum maksimal, masyarakat saat ini

kurang mengenal warisan budaya mereka.

Padahal kekayaan ini sangat penting bagi

pengambangan kebudayaan.

Sampai saat ini sebenarnya penanganan

pernaskahan Melayu dengan kegiatan pe-

ngembangan, penelitian, dan pembinaan

sudah dilakukan oleh berbagai lembaga

di Indonesia, baik lembaga pendidikan

maupun lembaga penelitian, negeri dan

sawasta. Namun, agaknya kegiatan itu harus

terus digalakkan dengan berbagai upaya.

Kerja sama dengan lembaga terkait dan

lembaga swasta baik dalam dan luar negeri

harus segera dijalin bagi penyelamatan

warisan budaya ini.

Page 7: Majalah Sagang

halaman 5

2. Program Pengembangan

Pernaskahan Melayu

Program kegiatan yang harus segera

dilakukan dalam pengembangan dunia

pernaskahan Melayu adalah (1) Inven-

tarisasi dan pembuatan katalog, (2) doku-

mentasi naskah, (3) penyusunan buku seba-

gai bahan bacaan bagi khalayak ilmiah dan

khalayak umum, (4) pangkalan data (data

base)

A. Inventariasai dan Penyusunan

Katalog

Sampai saat ini naskah Melayu Riau,

tempat penyimpanannya sangat tersebar.

Upaya penelusuran harus terus dilanjutkan.

Berdasarkan informasi Rudjiati Mulyadi

(almarhum) di Daek Lingga juga banyak

tersimpan naskah. Untuk itu. Untuk itu

buku Naskah Melayu Kuno Daerah Riau

I—III yang disusu Hamidy (1985) harus

diperkaya lagi dengan data naskah Riau

yang lain. Dalam Penelusuran Penyalinan

Naskah Riau: Kajian Kodikologis (Mu’-

jizah 1999), tercatat sekitar 44 naskah

koleksi Yayasan Indra Sakti dan dalam

koleksi Perpustakaan Nasional sekitar 13.

Jumlah yang 13 itu masih harus ditelusur

lagi dalam koleksi naskah yang diwariskan

Von de Wall, yaitu orang Jerman yang

bekerja untuk Pemerintah Hindia-Belanda

yang pada tahun 1858 bertugas di Riau.

Pada masa itu, ia adalah pengayom untuk

kegiatan pernaskahan di Riau. Saat ini

koleksinya disimpan di Perpustakaan Na-

sional. Pada tahun 2003, sebagai penelitian

lanjutan saya mendata naskah Riau yang

menjadi koleksi Perpustakaan Universitas

Leiden dan Perpustakaan KITLV. Dari

kedua tempat tercatat sekitar 45-an naskah

yang berasal dari daerah Riau. Usaha

ini harus terus dilakukan sehingga kita

mendapat gambaran yang jelas tentang

kekayaan naskah Melayu Riau. Usaha yang

dilakukan Chambert-Loir (1999) agaknya

perlu diikuti dengan penelusuran naskah

Riau yang berada dalam koleksi lembaga

(dalam dan luar negeri) dan koleksi pribadi

(masyarakat).

Penyusunan katalog memang bukan

penelitian mudah karena untuk kegiatan

ini diperlukan tim peneliti khusus yang me-

mahami dunia pernaskahan. Langkah

awal yang bisa dilakukan adalah mengin-

ventarisasi lebih dahulu semua naskah

Riau berdasarkan informasi dari berbagai

daftar dan katalog yang ada. Setelah

itu, diadakan penelitian lapangan untuk

penyusunan katalog. Katalog yang ideal

yang banyak membantu peneliti adalah

katalog deskriptif, sebuah katalog yang

lebih terurai isinya dari hanya suatu daftar.

Katalog deskriptif naskah Melayu yang

pernah disusun, di antanya susunan S. Van

Ronkel (1909) yang berisi khazanah naskah

Melayu koleksi Perpustakaan Nasional (dulu

adalah koleksi Bataviaasch Genootschap

van Kunsten en Wetenscahppen). Katalog

naskah Melayu lain yang rinciannya

paling lengkap adalah yang dibuat oleh

Wieringa (1998) Catalogue of Malay

and Minangkabau Manuscripts. Katalog

ini sangat membantu dalam pelacakan

berbagai topik yang berhubungan dengan

naskah karena disertai dengan indeks

judul, indeks tempat atau daerah, cap

kertas (watermarks), cap kertas tandingan

(countermarks), dan indeks surat. Katalog

deskriptif naskah Melayu yang lebih baru

dan lebih sederhana uraiannya dibuat oleh

tim Yanassa (Yayasan Naskah Nusantara)

yang diketuai oleh Prof. Achadiati. Lem-

baga ini bekerja sama dengan Toyota Foun-

dation menyusun Katalog Naskah Buton

Page 8: Majalah Sagang

halaman 6

(2001). Koleksi yang didata adalah naskah

milik pribadi, yakni milik Abdul Mulku

Zahari. Tahun 2004, lembaga ini juga

bekerja sama dengan Tokyo University Of

Foreign Studies menyusun Katalog Naskah

Palembang. Naskah yang dikatalogkan juga

sebagian besar milik pribadi yang disimpan

oleh 10 pemilik,.

Dalam penyusunan katalog naskah

selain keahlian diperlukan juga kesabaran

dan ketekunan. Sebelumnya kita bisa me-

nyiapkan formulir yang bisa kita isi dengan

data setiap naskah. Setelah formulir ini

terisi, kita tinggal menarasikan. Pokok-

pokok penting yang didata dalam pe-

nyusunan ini pokok yang berkaitan dengan

hal umum, gambaran fi sik, dan ringkasan

isi naskah. (1) Tempat penyimpan nas-

kah adalah nama lembaga (yayasan, per-

pustakaan, masjid, kantor) atau nama

pengoleksi naskah (pemilik/perorangan).

(2) Judul naskah biasanya terdapat pada

halaman judul (halaman awal teks). Kalau

tidak ada, peneliti dapat mencatatkan judul

berdasarkan bacaan teksnya. (3) Nomor

naskah adalah nomor yang tercatat pada

sampul muka, punggung naskah, halaman

sampul belakang. Catat pula nomor lama

jika naskah tersebut memang mempunyai

nomor baru. Jika naskah belum dinomori,

peneliti bisa memberikannya. (4) Jumlah

teks, apakah terdiri atas satu, dua, kum-

pulan.(5) Jenis naskah adalah genre

naskah, hikayat, syair, atau jenis lain.(6)

Bahasa apa yang digunakan dalam naskah.

(7) Tanggal penulisan merupakan waktu

penulisan yang tercatat dalam teks. (8)

Tempat penulisan adalah nama tempat

yang tercatat dalam teks. (9) Catat nama

penulis/penyalin yang tertera dalam teks.

(10) Tuliskan daftar atau katalog lain yang

pernah mendata naskah ini.

Hal-hal yang berkaitan dengan fi sik

naskah yang perlu dicatat adalah seperti

berikut. (1) Bahan naskah adalah alas yang

dipakai untuk menulis, jika kertas, kertas

apa yang digunakan. (2) Cap kertas dapat

dilihat dengan mengangkat kertas dan

memberikan cahaya. Cap kertas sangat

beragam. Untuk sementara mungkin cap

kertas dideskripsi saja lebih dahulu,

kemudian deskripsi itu dapat dicocokkan

dengan daftar cap kertas. Daftar cap

kertas yang agak lengkap adalah Churchill

(1935) atau Heawood (1924). (3) Kondisi

naskah adalah keadaan naskah saat diteliti,

deskripsikan dengan cermat dan rinci

sehingga pembaca mendapat gambaran

bagaimana keadaan naskah tsb. (4) Jumlah

halaman dihitung mulai dari awal hingga

akhir naskah. (5) Jumlah baris pada

halaman kedua, biasanya jumlah halaman

awal dan akhir berbeda dengan halaman

berikutnya. (6) Ukuran halaman dihitung

panjang kali lebar. (7) Penomoran halaman

biasanya ditemukan pada pias atas atau

pias bawah, biasa ditulis dengan angka

Arab atau dengan kata alihan (catcword),

yaitu kata yang menjadi penanda halaman

berikutnya.

Hal yang berkaitan dengan tulisan

yang perlu dicatat adalah (1) aksara atau

huruf yang digunakan, (2) hiasan huruf

adalah kata yang penulisannya dihias, ada

pula yang ditulis dalam bentuk kaligrafi ,

(3) Iluminasi (gambar atau hiasan pada

halaman naskah) dapat dicatat dengan

menyebutkan halamannya dan bentuk

gambarnya.

Informasi lain yang perlu didata adalah

(1) bahan sampul yang dipakai, (2) ukuran

sampul dihitung panjang kali lebar. Selain

itu, catat pula (3) kolofon, yakni catatan

yang menjelaskan waktu, penulis/penyalin,

Page 9: Majalah Sagang

halaman 7

dan tempat penulisan. Bagian ini biasanya

ada yang bagian ini seperti apa adanya

dalam teks.(4) Kepemilikan adalah nama

lembaga atau perorangan yang pernah

memiliki naskah ini. Informasi sering

ditemukan pada bagian sampul (depan atau

belakang), halaman pelindung, atau bagian

lain. Hal yang berkaitan dengan isi adalah

(1) ringkasan isi merupakan rangkuman

bagian isi; bagian ini dapat dinyatakan

minimal dalam satu paragraf, (2) kutipan

teks awal minimal tiga baris, dan (3) teks

akhir juga minimal tiga baris saja. Ideanya

rincian naskah ini juga dilengkapi dengan

foto naskah yang dianggap penting.

B. Dokumentasi

Selain katalog, idealnya sebagai bahan

pendamping adalah dokumentasi naskah

dalam bentuk foto, mikrofi lm atau mikrofi s.

Dokumentasi ini sangat penting agar naskah

tidak punah. Warisan budaya dalam bentuk

naskah di daerah tropis seperti Indonesia

ini sangat rentan dari kerusakan, terutama

alas naskah sebab alas seperti kertas dan

lontar tidak dapat bertahan terhadap iklim.

Di samping itu serangan serangga juga

mengancam keberadaan naskah. Untuk

itu, perawatan naskah menjadi prioritas

utama. Namun, pada kenyataannya pe-

rawatan pada benda budaya ini sangat

minim, apalagi pada naskah-naskah yang

masih disimpan di dalam koleksi pribadi

(masyarakat). Untuk menanggulangi ke-

punahan ini dokumentasi harus segera

dilakukan. Beberapa puluh tahun yang la-

lu dokumentasi dalam bentuk mikrofi lm

sudah banyak dilakukan, namun perawatan

mikrofi lm itu juga belum memadai sehingga

mikrofi lmnya yang dibuat lebih dahulu

punah daripada naskahnya.

Saat ini dengan kemajuan teknologi

begitu pesat, pendokumentasi lebih mudah

dilakukan, yakni dengan pembuatan foto

digital. Dokumentasi ini lebih sederhana

dilakukan daripada pembuatan mikrofi lm

atau mikrofi s. Yang dibutuhkan adalah

fotografer profesional sehingga foto

yang dihasilkan berkualitas. Idealnya

dokumentasi ini dilakukan seiring de-

ngan pembuatan katalog karena pada

saat itu, kita dapat memilih naskah-

naskah yang menjadi prioritas utama

untuk diselamatkan. Jika naskah sudah

didokumentasi dalam bentuk foto, tentu

perawatannya juga harus diupayakan.

C. Penyusunan Buku sebagai Bahan

Bacaan

Naskah warisan nenek moyang ini

layaknya jangan hanya ditimang-timang,

tetapi harus diolah. Olahan itu bisa ber-

bentuk penelitian dan penyusunan bahan

bacaan lain sehingga isinya dapat diketahui

masyarakat. Informasi ini penting agar

berbagai hasil pemikiran yang ada di

dalamnya diketahui masyarakat. Caranya

adalah dengan pengadaan berbagai bahan

bacaan. Bacaan itu dapat disajikan untuk

khalayak ilmiah dan khalayak umum

tergantung kepentingannya. Penyusunan

itu bisa dalam bentuk (1) edisi Teks, (2)

bacaan remaja, (3) antologi atau bunga

rampai.

Edisi teks merupakan salah satu cara

menginformasikan isi naskah, hanya pem-

bacanya lebih terbatas, yakni khalayak

ilmiah. Terbitan ini bisa berbentuk edisi

faksimile dan edisi kritis. Usaha Manuscripta

Indonesica perlu ditiru. Terbitan yang

dikelola Universitas Leiden ini berbentuk

edisi faksimile, yaitu terbitan naskah dalam

Page 10: Majalah Sagang

halaman 8

bentuk apa adanya. Belum dilakukan alih

aksara, yang diperlukan hanya pengantar

yang lengkap tentang naskah yang dipilih.

Salah satu naskah Riau yang berada

dalam koleksi universitas tersebut, yakni

Tawarikh Alwusta pernah dimuat dalam

terbitan ini. Edisi kritis adalah edisi yang

banyak dilakukan diperguruan tinggi dan

lembaga-lembaga penelitian. Dalam edisi

ini, teks sudah dialihaksarakan dan diberi

catatan yang pertangungjawaban jika ada

beberapa perubahan yang dilakukan atas

teks asli. Biasanya dalam edisi ini jika

teks memakai bahasa daerah, terjemahan

juga perlu dilakukan agar pembaca dapat

mengerti isinya. Biasanya dalam edisi

ini para peneliti menambahkan dengan

kajian isi. Topik-topik yang sedang menjadi

perhatian digali dari khazanah teks yang

ada.

Penyusunan bahan bacaan bagi remaja

yang bersumber pada naskah juga harus

dilakukan agar mereka sebagai generasi

penerus bisa mengapresiasi dan mempunyai

wawasan pengetahuan dari budaya asalnya.

Berbagai edisi ilmiah yang sudah ada

bisa dipakai sebagai sumber. Upaya yang

dilakukan Inggris dalam memperkenalkan

Hamlet dan Shakespeare kepada anak-anak

muda perlu ditiru. Tahun ini Pusat Bahasa

bekerja sama dengan sastrawan membuat

saduran yang bersumber pada naskah.

Usaha ini diharapkan berhasil sehingga

penulis-penulis muda mengetahui motis-

mitos yang menjadi kekayaan daerahnya

dan mereka mengungkapkan kembali

dalam karya-karya mereka sehingga terjadi

kesinambungan. Upaya ini juga diharapkan

dapat menambah krativitas remaja dan

membangkitkan minat serta pertumbuhan

sastra. Selain itu, bahan bacaan ini dapat

juga menjadi alternatif sebagai bahan

pengajaran sastra di sekolah.

Penyusunan antologi atau bunga

rampai merupakan salah satu upaya

pemasyarakatan dan penyebaran informasi.

Berbagai penelitian dan edisi yang sudah

dilakukan bisa diolah dalam bentuk yang

lebih pendek. karya-karya dalam naskah

dan memperkenalkan serta meneruskan

nilai-nilai dan hasil pemikiran yang ada

di dalamnya perlu suatu pengolahan dari

karya-karya yang sudah ada, baik edisi yang

sudah diterbitkan maupun bahan-bahan

kajian. Pengolahan itu dapat berbentuk

antologi atau bunga rampai. Sebuah ikhtisar

dari karya-karya terpilih bisa dimasukkan

dalam kegiatan ini. Sebuah olahan yang

didasarkan pada pemilihan pokok tertentu

dan memperkenalkan tokoh-tokoh tertentu

juga bisa masuk dalam kelimpok ini. Olahan

ini biasa dikenal dengan Pokok dan Tokoh.

Sebuah olahan yang diambil dari berbagai

kajian naskah yang sudah ada juga patut

diambil, seperti yang sudah dilakukan Al

Azhar dan Elmustian, 2001 Kandil Akal di

Pelataran Budi. Upaya ini dilakukan untuk

menembus khalayak pembaca umum yang

sudah tidak mengenal bahasa dan aksara

dalam naskah. Untuk menembus pembaca

ini juga perlu diupayakan kumpulan ikhtisar

dari beberapa karya yang dianggap penting

dan dikumpulkan dalam sebuah buku.

Bunga rampai seperti ini bisa menembus

pembaca di kalangan remaja sebagai bahan

pelajaran.

Dalam teknologi informasi yang ber-

kembang pesat, rasanya pangkalan data

(data base) tentang kekayaan khazanah

karya Melayu perlu segara dibuat. Pangkalan

data ini memudahkan pencarian bahan

bagi berbagai kegiatan pengembangan,

pembinaan dan pengkajian.

Page 11: Majalah Sagang

halaman 9

3. Penutup

Akhirul kata, perkembangan sastra

Melayu, khususnya Riau, menjadi tanggung

jawab masyarakatnya ada dua kegiatan lagi

yang sudah harus dilakukan juga, yakni

sosialisasi UU no.5 tahun 1992 tentang

pemeliharaan dan pelestarian cagar budaya.

Undang-undang ini harus dimasyarakatkan

khususnya kepada para pemilik naskah

yang jumlahnya belum banyak diketahui.

Dengan UU ini diharapkan tidak terjadi

lagi perdagangan naskah.

Upaya yang juga memerlukan ketekunan

dan kesabaran adalah pemerkasaan Aksara

Jawi. Aksara ini akan hilang sebagai

warisan budaya Melayu jika tidak segera

diperkenalkan kepada generasi penerus,

baik tingkat sekolah dasar, menengah, dan

atas. Upaya ini bisa dilakukan dengan kerja

sama pada instansi terkait, pemda atau

dikmenum.

Daftar Pustaka

Al Azhar dan Elmustian. 2001. Kandil Akal di Pelataran Budi. Pekan Baru: Yayasan Kata.Chambert-Loir. 1999. Panduan Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Ding Choo Ming. 1999. Raja Aisyah Sulaiman: Pengarang Ulung Wanita Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Melaysia.Hamidy, UU. 1985. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III. Pekanbaru.Gallop, Annabel Teh. 1994. The Legacy of the Malay Letter. London: The British Library.Ikram, Achadiati dkk. 2001. Katalog Naskah Buton. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta.------. 2004. Katalog Naskah Palembang. Tokyo University of Foreign Studies.Junus, Hasan H. dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji: Sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tanjung Pinang: Pemerintah Provinsi Riau.Matheson, VirgineaMcGlynn, John H. dkk. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta:Yayasan Lontar.Mu’jizah. 1999. Penelusuran Penyalinan Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI. Mulyadi, S.W.R. 1994. Kodikologi Melayu Jakarta: FSUI.Putten, Jan van der. 1995. Di dalam Berkekalan Persahabatan. Leiden: Department of Languages and Cultures of South-east and Oceania.Sham, Abu Hasan. 1999. Syair-Syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.Churchill, 1935. Watermarks in Paper. 1935.

Page 12: Majalah Sagang

halaman 10

“Tadi malam waktu aku mau bobo, aku

didongengkan ibu Kancil dan Keong,

ceritanya menarik sekali loh teman-

teman.” apabila yang keluar kata-kata

itu dari mulut anak yang sedang bermain

dengan teman-temannya. Pastilah amat

indah sekali.

Pada tahun 90-an sepertinya kita

masih akrab dengan dongeng. Orang tua

selalu aktif memberikan dongeng sebagai

pengantar tidur anak-anaknya. Tetapi pada

saat ini, kita sangat jarang menjumpai

orang tua yang mau mendongeng untuk

anaknya. Anak-anak lebih banyak yang

tertidur di depan layar kaca televisi ataupun

tidur dengan kehampaan di tempat tidur

dan didongengi oleh suara derik jangkrik

atau binatang malam lainnya. Dongeng

(folktales, folklore) menurut Nurgiyantoro

(2004: 115) merupakan salah satu bentuk

dari cerita tradisional. Istilah “tradisional”

dalam kesastraan (traditional literature

atau folk literature) menunjukkan bah-

wa bentuk itu berasal dari cerita yang

telah mentradisi, tidak diketahui kapan

mulainya dan siapa penciptanya, dan di-

kisahkan secara turun-temurun secara

lisan. Jadi dapat disimpulkan mendongeng

merupakan kegiatan yang telah mentradisi

pada masyarakat sejak dahulu.

Namun tradisi mendongeng lambat laun

akan hilang dengan sendirinya, apabila

orang tua tidak melakukan kegiatan

mendongeng seperti yang dilakukan

nenek moyang dahulu. Oleh sebab itu,

untuk menjaga tradisi yang diwariskan

nenek moyang kita harus menggiatkan

mendongeng kembali. Walaupun untuk

zaman sekarang dirasa sulit dengan beribu

alasan.

Salah satu faktor yang menyebabkan

para ibu atau orang tua enggan untuk

memberikan dongeng kepada anak-

anaknya beranekaragam. Misalnya, tidak

Lunturnya Tradisi Mendongeng

oleh Indra KS

esei

Page 13: Majalah Sagang

halaman 11

adanya waktu karena sang ibu kerja sampai

malam, kecapaian, ataupun karena tidak

dapat mendongeng. Kita tahu saat ini

banyak kaum ibu yang menjadi wanita

karier tidak seperti dahulu yang tahunya

hanya dapur, sumur, dan kasur. Jadi

wajar saja kalau sang ibu mengalami

kecapaian sehingga tidak ada waktu untuk

memberikan dongeng kepada anaknya.

Bahkan ada ibu yang kerjanya sampai

malam. Maka saat pulang anaknya telah

tidur dengan nyenyak.

Faktor lain karena sang ibu tidak

dapat mendongeng yang disebabkan

ketidaktahuan tentang dongeng itu sendiri.

Ini terjadi karena waktu kecil sama sekali

tidak pernah mendengarkan dongeng.

Untuk masalah ini sebenarnya ada

solusinya sebab berbagai cerita tradisional

dewasa ini telah banyak yang dikumpulkan,

dibukukan, dan dipublikasikan secara

tertulis, antara lain dimaksudkan agar

cerita-cerita tersebut tidak hilang dari

masyarakat mengingat kondisi masyarakat

yang telah brubah. Jadi tidak ada alasan

untuk tidak memberikan dongeng dengan

dalih tidak dapat mendongeng, sebab buku

dongeng saat ini telah banyak beredar

di pasaran. Ibu dapat dengan mudah

mendongeng dengan membacakannya.

Kita tahu Indonesia kaya akan dongeng.

Oleh karena itu, orang tua tidak akan

kehabisan dongeng setiap malamnya.

Dongeng yang akrab di telinga kita antara

lain Bawang Merah Bawang Putih, Kancil

dan Keong, Kancil dan Buaya, dan lain

sebagainya. Dongeng tersebut mengandung

ajaran moral yang dapat mendukung

perkembangan anak. Contohnya pada

dongeng Kancil dan Keong. Pada dongeng

tersebut diceritakan tentang Kancil yang

sombong dan pada akhirnya Ia termakan

oleh kesombongannya sendiri. Jadi dapat

dipetik pelajaran bahwa sombong itu tidak

baik.

Tingkah laku anak juga akan berbeda,

antara anak yang suka mendengarkan

dongeng dengan anak yang sama sekali

tidak pernah mendengarkan dongeng.

Anak yang suka mendengarkan dongeng

cenderung lebih pintar, kreatif, dan kaya

tentang bahasa. Misalnya apabila anak

sedang bergaul dengan teman bermainnya

lalu Ia bercerita tentang kancil, anak lain

yang tidak pernah diberikan dongeng

tentang kancil pastilah tidak akan tahu

tentang kancil yang merupakan salah satu

dari hewan berkaki empat yang mirip

dengan rusa tetapi tidak bertanduk.

Jangan biarkan anak-anak tertidur di

depan layar kaca yang acara di dalamnya

belum tentu sesuai dengan perkembangan

anak walaupun ada acara yang memang

dikemas untuk anak. Misalnya kartun

atau acara anak lainnya. Tapi kita lihat

acara tersebut, pada kenyataannya banyak

yang menampilan perkelahian ataupun

kekerasan. Jadi tidaklah salah apabila

kebanyakan anak saat ini berperilaku nakal.

Dengan mendongeng setidaknya kita

juga ikut menjaga warisan budaya nenek

moyang yang tak ternilai harganya ini.

Selain itu kita secara tidak langsung juga

dapat mengubah topik pembicaraan anak di

lingkungan bermainnya dari yang tadinya

saling bercerita tentang fi lm-fi lm kartun

atau bahkan lagu untuk dewasa beralih

topik ke negeri dongeng.***

Indra KSLahir di desa Tanggeran, 5 Oktober 1989. Tulisannya terbit di Riau Pos, Padang Ekspres, dan sebagainya. Aktif di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Tunas Kata (TK).

Page 14: Majalah Sagang

halaman 12

cerita-pendek

Pengantar RedaksiTak terasa setahun sudah, tepatnya 30 Maret 2012 lalu, almarhum

Hasan Junus (HJ) berpulang menghadap yang Maha Kuasa. HJ, seorang

sastrawan penulis yang boleh dikata hampir sebahagian besar perjalanan

usianya, ia dedikasikan untuk kepenti ngan kebudayaan dan kepenulisan

kreati f. Berbagai tulisan telah ia lahirkan, sebagai buah dari pemikiran

yang didasarkan pada upaya yang kerap ia lafazkan pada berbagai kesem-

patan, “cari sesuatu yang baru dan teruslah membaharu” dan ucapannya

ini terlihat jelas pada sosok karya-karya HJ.

Sebagai salah satu bentuk kenangan yang kami suguhkan kepada para

pembaca majalah budaya “Sagang”, pada nomor ini kami muatkan karya

cerita pendek almarhum HJ bertajuk “Penganti n Boneka”. Sebuah karya

penuh dengan kepiawaian memberi makna kekinian (present meaning)

dari sebuah tradisi masa lalu. Sekaligus kami muatkan juga, terjemahan

cerita pendek tersebut ke dalam bahasa Inggris yang dikerjakan oleh: Jea-

nett e Lingard, dalam Diverse Lives - Contemporary Stories from Indonesia,

Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995.

Page 15: Majalah Sagang

halaman 13

ORANG Barat itu begitulah penduduk menyebutnya seperti biasa

memulai acara paginya dengan berenang di pantai. Sudah tiga bu-

lan ia tinggal di pulau kecil itu untuk menyiapkan risalah ilmiahnya

tentang duabelas cerita wayang cecak.

Dalam simbahan matahari pagi, ia menyelam, berenang dan

bersenandung lagu kampungnya di negeri jauh. Tidak seorang pun

memperhatikannya lagi. Sudah biasa.

Tiba-tiba ia menjerit sejadi-jadinya, bergegas menuju ke darat.

Teriakannya mengejutkan perempuan-perempuan yang sedang

mencuci di perigi dekat pantai, dan para nelayan yang baru saja pu-

lang dari menangkap ikan malam tadi. Teriak paniknya bersambut

dengan gaung di sana sini. Orang-orang berlarian, berkerumun di

pinggir air.

Di air sedalam pinggang, ia menggendong Nenek Lamah, perem-

puan tertua di pulau itu. Rambut si nenek tergerai mengalun pu-

tih. Lelaki asing itu terus saja menggumamkan kata-kata yang tak

dipahami penduduk. Padahal biasanya ia fasih sekali berbahasa se-

tempat. Selangkah demi selangkah ia mendekati kerumunan orang

yang makin lama makin bertambah banyak.

Permulaannya? Dimulai dari perkawinan. Bukan perkawinan

sebenarnya. Hanya permainan. Semacam sandiwara. Ceritanya

semua berakhir dengan kematian. Begitulah hidup!

Seperti di depan sebuah cermin nyinyin fantasmagoris peristiwa

demi peristiwa muncul dan lenyap secara mengejut dalam kehidu-

pannya. Masa kanak-kanak, masa remaja yang kepergiannya selalu

ditangisi, menjadi isteri, menjadi janda, semuanya tidak lama. Bah-

kan usianya yang sudah hampir satu abad itupun terasa baginya ti-

dak lama. Tidaklah lama. Tapi setiap peristiwa selalu melekat dalam

ingatannya seperti goresan paku pada permukaan kaca.

Di pulau kecil yang dulunya menjadi pusat pemerintahan kera-

jaan kepulauan itulah dia dilahirkan. Ayahnya, yang cepat sekali

menjadi duda karena kelahirannya, memberinya nama Salamah,

perempuan pembawa damai. Akan tetapi kita semua tahu nama bu-

kanlah jaminan nasib orang.

Nasib baikkah yang mendatanginya ketika dia dikawinkan den-

gan Encik Muhammad, seorang pegawai mahkamah kerajaan? Na-

Pengantin BonekaOleh Hasan Junus

Page 16: Majalah Sagang

halaman 14

mun empat bulan setelah kawin, sang suami pergi ke Mekah untuk

memperdalam ilmu nahu dan fi qih. Lelaki itu meninggal dunia nun

di negeri tempatnya menuntut ilmu.

Salamah tak tahu persis tahun berapa semua itu terjadi. Dia

hanya dapat menyandingkan dengan beberapa kejadian. Dia kawin

ketika ...Tunggu dulu! Cerita ini harus bermula dari perkawinan yang

lain. Bukan perkawinan sebenarnya. Hanya permainan. Semacam sandiwara.

Sejak masa gadisnya yang singkat, Salamah sudah dilatih oleh neneknya membuat boneka dari perca kain sepanjang kira-kira se-jengkal. Boneka perca kain inilah yang menjadi pemegang peranan dalam sandiwara boneka tradisional daerah itu yang dinamakan ‘wayang cecak’. Kepandaian itu diturunkan oleh Nenek Anjung, perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil dengan keras, mulai dari segala macam pekerjaan rumah tangga, adab sopan santun, sampai menghafal dialog cerita wayang cecak yang tak boleh salah walau sedikitpun.

Ada duabelas cerita wayang cecak itu. Semuanya dimulai dari perkawinan dan berakhir dengan kematian. “Begitulah hidup!” kata Salamah menirukan ucapan neneknya setiap mengakhiri cerita. Dia sudah mengucapkan kata-kata itu entah berapa ribu kali selama hidupnya.

Pertunjukan resminya yang pertama, setelah hampir satu tahun berlatih, dilakukan pada suatu malam di ruang tengah rumahnya yang besar. Para penonton terdiri dari kira-kira duapuluh orang perempuan dan anak-anak. Tentu saja dengan didahului sebuah upacara.

Sore tadi dia disuruh mandi berlangir oleh si nenek karena mens-truasinya yang pertama berakhir hari itu. Salamah disolek cantik seperti pengantin kanak-kanak. Bau wangi pakaiannya berasal dari asap dupa dan bunga rampai yang dibuat oleh tangan yang ahli.

Dalam benderang cahaya lilin yang bertengger pada empat buah tempat-lilin bercabang lima, Salamah memainkan cerita wayang cecaknya yang pertama, ‘Pengantin Duyung’.

Sambil meletakkan satu per satu boneka perca kain ke atas ran-jang miniatur tembaga yang berkilau-kilau, dengan suara beningagak gemetar, gadis yang sudah tidak sunti lagi itu mengucapkan prolog yang sudah dihafalnya sekian lama. Suatu hari, seekor lum-ba-lumba betina yang hamil tua tersadai di beting pasir, lengah karena terpesona oleh hangatnya matahari pagi, sampai lupa pada laut yang terus berangkat surut. Hingga senja tiba, dia masih meng-hempas-hempaskan tubuhnya di pantai yang kering timpas itu, bergelut sia-sia, sementara lumba-lumba yang jantan berenang ber-

Page 17: Majalah Sagang

halaman 15

putar-putar di laut yang jauh redam, tak berdaya hendak menolong betinanya. Lemah oleh letih dan sakit, di atas beting pasir itulah sang betina melahirkan sepasang anak, yang dengan susah payah merangkak ke darat, dan menjadi anak manusia. Malam datang bersama bulan cemerlang mengantar pasang. Dengan menangis kedua lumba-lumba itu berenang pulang ke lubuknya, tanpa kedua anak mereka. Beribu-ribu tahun kemudian ...

Karena cerita ini dimulai dari perkawinan, upacara perkawi-nanlah yang berlangsung di atas pentas ranjang miniatur tembaga itu. Pentas yang bersemarak. Pengantin-perempuan duduk di atas pelamin, di depan nasi-hadap: nasi pulut yang dikuningkan dengan kunyit, dihiasi bunga-telur warna warni yang dibuat dari manik-manik.

Meskipun sang dalang hanya dapat menggerakkan dua buah boneka,tapi kononnya karena suasana magis, wangi setanggi dan mantera-mantera, boneka-boneka perca kain itu seperti berjiwa.

Tak ada bunyi-bunyian mengiringi pertunjukan wayang cecak itu. Tapi ketika Salamah meningkah keramaian dengan nyanyian pengantin berarak, ruangan itu seperti bergemuruh dengan tabu-han rebana dan tiupan nafi ri. Penonton terpukau bagaikan menyak-sikan upacara perkawinan yang sebenarnya. Mereka menyaksikan lakon yang diperankan oleh manusia-manusia kecil, tapi kadang-kdang terasa seperti merekalah yang menciut jadi sebesar boneka-boneka perca kain itu.

Ruang tengah rumah besar itu menjadi sepi sekali ketika sampai pada adegan mempelai bersuap-suap makan nasi-hadap. Perem-puan pengiring pengantin mengambil sejemput pulut kuning, men-gupas telur, meletakkannya ke tangan pengantin-perempuan dan membawakan tangan itu ke mulut pengantin-lelaki. Kemudian si pengiring itu mengambil pula sejemput pulut, mengupas telur, me-letakkannya ke tangan pengantin-lelaki dan membawa tangan itu ke mulut pengantin-perempuan. Para penonton bersorak riang.

Lalu terjadilah hal yang mengerikan. Tiba-tiba pengantin-lelaki jatuh tersungkur. Mulutnya memuntahkan darah, berselekeh men-gotori pelamin. Pengantin-perempuan terkejut, bangkit dan men-jerit. Di antara hadirin, seorang perempuan berdiri mendakwa, “Pengantin-perempuan itu telah meracuni suaminya. Lihatlah jari-manisnya berkuku panjang, tempat racun itu disimpannya!”

Dengan air mata bercucuran, si pengantin-perempuan pergi ke-luar meninggalkan ruangan yang hingar. Dia melangkah dengan gontai, telapak kakinya seperti tak jejak di tanah, menuju pantai yang kering kerontang bagaikan padang tandus, karena air surut timpas. Kakinya yang halus dan telanjang tidak lagi merasakan tajam kerikil. Dia melangkah terus ke pinggir air, dan duduk di atas

Page 18: Majalah Sagang

halaman 16

sebungkah batu-karang. Matahari merah kian redup dan bayangan

lebam malam sudah mulai membayang. Bulan pucat siap menggan-

tikan si matahari.

Pengantin itu mengorak sanggulnya. Rambutnya yang tergerai

panjang mengalun dalam angin. Telah dia tolak air pasang dengan

tangisan. Tapi kemudian alam menjadi gelisah dan tak sudi dika-

lahkan oleh tangisan perempuan. Air-mata pengantin itu pun habis,

tinggallah sedu-sedan yang kering. Dan itu terasa lebih pedih.

Air laut yang mulai pasang menggelitik telapak kakinya. Pengan-

tin perempuan itu telah meracuni suaminya. Lihatlah jari manisnya

berkuku panjang tempat racun itu disimpannya! Air mulai menyapu

pergelangan kakinya. Perempuan itu memandang kaku jari-manis-

nya yang panjang. Dia membungkuk dan menikam telapak kakinya

berkali-kali dengan kukunya itu. Air laut di sekitar kakinya berkuah

darah. Lututnya sudah dijejaki air. Lalu pinggangnya. Lalu dada-

nya. Digoresnya belikat dan ketiaknya dengan kuku yang panjang

itu. Air telah sampai ke lehernya. Getah darah di sekeliling batu-

karang tempat perempuan itu duduk telah berbancuh dengan war-

na malam. Luka-luka di telapak-kaki, belikat dan ketiaknya telah

berubah menjadi sisik dan sirip: kulit dan sirip ikan duyung. Sekali

lagi dia memandang ke daratan, coba menangis, tapi tetaplah yang

tinggal hanya sedu-sedan yang kering, lebih pedih dari semua luka.

Lalu dia pun berenang ke dalam laut dan malam.

Di ruangan tempat pengantin bersanding yang penuh panik,

tiba-tiba masuk mendedas seorang lelaki dengan suara menggel-

egar, “Mana pengantin-perempuan? Aku pamannya. Sudah kukira

ini akan terjadi, karena itu kuletakkan penawar racun pada kuku

jari-manis kemanakanku tanpa diketahuinya. Pada kukunya itulah

tersimpan obat untuk suaminya.” Lalu lelaki itu mendakwa perem-

puan yang tadi menuduh pengantin-perempuan telah meracuni

suaminya itu yang meracuni pengantin-lelaki dengan bantuan si

pengiring-pengantin. “Mana pengantin-perempuan itu. Carilah

dia!”

Orang-orang segera sadar bahwa pengantin-perempuan telah

meninggalkan ruangan itu. Seorang bocah berkepala gundul yang

sejak tadi berdiri dekat pintu berkata, “Saya lihat dia duduk di atas

batu-karang di pantai. Ketika matahari terbenam dan air laut naik

pasang, dia pun berenang ke dalam laut dan malam.”

Lilin duapuluh batang yang menerangi ruangan itu sudah pendek

sekali. Tujuh di antaranya telah padam. Yang lain bakal menyusul

sebentar lagi. Cahaya malap lilin-lilin sisa itu seperti sengaja men-

gantarkan kisah itu ke ujungnya. Dari jendela masuk cahaya bulan

Page 19: Majalah Sagang

halaman 17

yang dingin. Tak ada lagi asap setanggi mengepul, tinggal baunya yang masih melekat di udara.

Cerita itu memang hampir selesai. Adegan penghabisan meng-gambarkan ibu dan ayah pengantin-lelaki memasuki ruangan itu. Si ibu mendekati anaknya, duduk dan meriba kepalanya, mengu-sap-usapnya dengan sayang. Sekali-sekali dia menyeka air-mata. Si ayah duduk di samping isterinya, memegang lengan anaknya. Ia juga menyeka air-mata. Paman pengantin-perempuan pergi ke samping pintu dan duduk di situ. Ia menunduk. Dan ia menyeka air-matanya. Satu per satu hadirin menyeka air-mata.

Dengan sekali sentuh, jari-kelingking Salamah melepaskan kait tabir di sebelah depan ranjang miniatur tembaga itu. Tabir itupun jatuh menutup pemandangan di atas pentas. “Begitulah hidup!” ka-tanya menutup cerita. Ceritanya yang pertama.

Salamah belum sempat mementaskan cerita wayang cecak yang keduabelas ketika dia dikawinkan. Sekali ini bukan pengantin bone-ka wayang cecak yang diarak beramai-ramai. Bukan permainan. Bukan semacam sandiwara. Perkawinan yang sebenarnya.

Lalu suaminya berangkat ke Mekah. Beberapa bulan sesudah itu Salamah diundang ke istana untuk memainkan wayang cecak di depan keluarga sultan. Dan hal itu terjadi berulang-ulang entah berapa kali. Tapi cerita wayang cecak yang keduabelas ‘Amuk si Bir-ing Kuning’ tak dapat diselesaikan karena ketika sedang memen-taskannya orang memberitahu Nenek Anjung meninggal. Sebelum air-matanya kering datang pula dari Mekah tentang kematian sua-minya. Lalu waktu bergerak seperti terbang. Seluruh pulau kecil itu pada suatu pagi dipenuhi oleh serdadu asing. Sultan pergi mening-galkan pusat pemerintahannya. Pulau yang molek itu dijarah, ista-na dan gedung-gedung menjadi puing, hanya tinggal sebuah mesjid yang dipelihara dengan baik oleh penduduk. Raja-raja dan pembe-sarnya makhluk fana seperti orang lain, hanya Tuhan yang abadi. Waktu benar-benar terbang laju sekali.

Dan pada suatu hari seorang pemuda asing diperkenalkan kepa-da Nenek Lamah, panggilan untuk Salamah yang berubah menurut waktu. Ia telah beberapa bulan tinggal di pulau itu. Ia mengetahui tentang wayang cecak sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, kecuali cerita yang keduabelas. Bermacam-macam alasan telah dikemuka-kannya kepada Nenek Lamah agar mau menceritakan atau kalau mungkin mementaskan cerita yang keduabelas itu. Telah ia gunak-an bujukan, uang, dan pengaruh orang-orang lain. Akhirnya ia me-makai senjata terakhir menghadapi perempuan tua yang ingatan-

nya sesegar gadis remaja itu. Ia memperlihatkan foto-foto suami

Salamah dan buku-buku karangannya, surat-suratnya, dan juga

catatan tentang wayang cecak. Di pinggir keputusasaan pemuda as-

Page 20: Majalah Sagang

halaman 18

ing itu berhasil.

Bersama dengan sepuluh orang penduduk pulau mungil itu si

pemuda asing menyaksikan Nenek Lamah mementaskan cerita

wayang cecak yang keduabelas malam tadi. Setanggi dibakar,

mantera pembuka dibaca oleh si nenek dengan suara tuanya yang

gemetar. Tapi dari mana perempuan itu mendapatkan suara gadis

remaja ketika ia mulai mendendangkan prolog:

Hidup ini seperti embun di daun

Seperti embun di atas daun

Embun di ujung daun ......

Dan dalam embun Tuhan

Mari mandikan diri

Cuci-cuci!

Ketika iringan pengantin lelaki berarak hendak memasuki hala-man rumah pengantin-perempuan, si Biring Kuning, ayam-jantan milik pengantin-lelaki yang tak pernah berpisah dengan tuannya itu menjeritkan kokok, “Kukukuuuuuk si Biring Kuning ... Bawa sirih bekal jauh!”

Setiap langkah mendekati tempat pengantin-perempuan di pela-min, si ayam sabungan terus menjeritkan kokok, sehingga langkah pengantin-lelaki itu tersandung-sandung, namun diteruskannya juga dengan khawatir.

Karena merasa tak diperdulikan, ayam-jantan itu tiba-tiba me-ronta, melepaskan diri dari tali pengikatnya. Si Biring Kuning ter-bang dengan murka, ke tengah gelanggang perkawinan, mengamuk dengan dahsyat.

Ayam itu seperti telah berubah menjadi rajawali. Dia menyambar ke sana ke mari. Orang-orang semua tengkurap di tanah, ketakutan. Diporakperandakannya segala yang ada di depan matanya. Tabir-tabir koyak, telur dan nasi kuning berhamburan menaburi tubuh pengantin-perempuan yang tergolek pingsan. Hanya pengantin-lelaki, tuan si Biring Kuning, yang tegak berdiri, bingung sendiri.

Penat mengamuk, ayam itu menyembah tuannya. Pengantin-lelaki itu menghardik, “Biring Kuning, mengapa kau ini?”

“Tuan tidak paham bahasa isyarat. Telah saya beritahu dengan tanda, tapi yang tuan maukan masih juga kata-kata, benda yang lebih tajam dari sembilu, lebih menikam dari belati. Dan inilah dia: Ini perkawinan sumbang! Tak boleh dilanjutkan. Banjir dan gempa akan melanda, sial dan celaka seperti mega di langit menurunkan air mautnya. Pengantin-perempuan itu adik tuan. Boleh tanyakan kepada bunda tuan yang tinggal di ujung tanjung sana.”

Page 21: Majalah Sagang

halaman 19

Pengantin-lelaki itu menggendong ayamnya. Selangkah demi se-langkah ia tinggalkan tempat itu. Tapi di gerbang halaman, ayah pengantin-perempuan meneriakkan perintah, “Penghinaan! Kejar! Tangkap!”

Tiga puluh lelaki berseragam hitam muncul dengan keris dan tombak di tangan. Mereka bergegas mengejar pengantin-lelaki itu.

Bersama si Biring Kuning, si pengantin-lelaki merobohkan keti-gapuluh orang itu dengan mendapat tigapuluh liang luka di badan-nya sendiri. Duapuluh sembilan kali si Biring Kuning memuntahkan cairan obat dari paruhnya, yang akhirnya kering juga. Kini tuannya terbaring di samping mayat para penyerangnya tak jauh dari ujung tanjung yang menahan amukan gelombang dari laut besar.

Malam datang. Pengantin-perempuan siuman. Dia tinggalkan ruangan tempat bersanding itu menuju pantai. Berteman cahaya bulan dia mencari suaminya.

Di sepanjang pasir pantai berserakan mayat-mayat. Pengantin-perempuan memeriksa mayat-mayat itu satu per satu. Seorang perempuan datang mendekatinya dari tengah temaram malam yang ditingkah debur gelombang. Dialah ibu pengantin-lelaki, ibu tiri pengantin-perempuan. Berdua mereka meratapi mayat lelaki yang mereka sayangi.

Di pinggir air tiba-tiba terdengar kokok ayam, suara si Biring Kuning yang putus kedua kepaknya, namun masih sempat berkokok sebelum diseret gelombang.

Tabir di depan ranjang miniatur tembaga itu jatuh kena sentuh jari-kelingking Nenek Lamah. “Begitulah hidup!” terdengar suara perempuan itu seperti gemetar dalam angin.

Pemuda asing dan tamu-tamu yang menemaninya tadi sudah pulang semua. Dengkur dua orang perempuan yang tinggal bersa-ma Nenek Lamah dalam rumahnya yang besar itu makin keras ter-dengar. Perempuan tua itu masih duduk di depan ranjang miniatur tembaga yang menjadi pentas sandiwara bonekanya.

Satu demi satu boneka-boneka perca kain itu disusunnya di de-pan pentas. Rebana dan nafi ri terdengar, mula-mula sayup, lalu makin mendekat bunyinya, makin gemuruh hingar. Semua boneka wayang cecak itu berbaris-berarak menuju pintu samping yang pel-antarnya menghadap ke laut. Si Biring Kuning berkokok, disambut oleh seribu ekor ayam-jantan. Pengantin Duyung membuka pintu yang menghala ke laut, lalu sambil memimpin tangan Nenek La-mah menuruni tangga ke air yang tenang. Bersama dengan semua pengantin boneka dalam duabelas cerita wayang cecak, Nenek La-mah menari di atas permukaan laut yang benderang oleh cahaya

bulan.***

Page 22: Majalah Sagang

halaman 20

int

Page 23: Majalah Sagang

halaman 21

The Puppet BrideBy Hasan Junus

THE Westerner, as the locals called him, started his day as usu-

al with a swim at the beach. For three months, he’d been staying on

that small island doing research on the twelve stories of the cecak-

puppet theatre. Bathed in the morning sunlight, he dived, swam,

and hummed a song of his far-away homeland. No one took any

notice of him any more. They were all used to him.

Suddenly, he cried out at the top of his voice and raced toward

the shore. His shouts starled the women who were doing their

washing at the well near the beach and the fi shermen on the way

home after fi shing all night. His cry of panic was echoed here and

there and people came running and gathered at the water’s edge.

The Westerner waded in through the waist-deep water, carry-

ing in his arms Grannie Lamah, the oldest woman in the village.

Her long white hair hung loosely. The foreigner was mumbling in-

telligibly to the people, although usually he was very fl uent in the

local language. Step by step, he neared the crowd that grew larger

by the minute.

***

Where did it begin? It began with a wedding. Not a real one.

Only a game. A kind of play.

Stories all end with death. That’s life!

***

As though standing in front of a phantasmagoric mirror maze,

each episode in her life came and went quickly. Childhood, youth,

becoming a wife, then a widow, all fl ashed past. Even her age,

which was almost a century, didn’t seem long to her. It may not

have seemed long, but every incident was fi xed in her memory like

nail scratches on the surface of a mirror.

She was born on the small island which was formerly the centre

of government of that island kingdom. Her father, who had sud-

denly become a widower when she was born, called her Salamah,

which means ‘she who brings peace’. But we all know a name is no

guarantee of a person’s fate.

Was fate kind to her because she married Encik Muhammad,

an offi cial in the high court of the kingdom? Whether it was or not,

Terjemahan Inggris

Page 24: Majalah Sagang

halaman 22

four months after they were married, her husband went to Mecca

to deepen his knowlwdge of Koranic interpretation and Islamic

law. He died there, far away in the country where he’d gone to

seek knowledge.

Salamah couln’t remember exactly what year all that happened.

She could only try to link it with some other incident. She was mar-

ried when ...

But wait.

This story has to begin with another wedding. Not a real wed-

ding. Just a game, a kind of play.

Since her brief childhood, Salamah had been trained by her

grandmother to make dolls from scraps of cloth about a hand’s

span in length. It was the dolls that played the parts in the tradi-

tional puppet theatre of that region which was called the cecak-

puppet theatre.

Grannie Anjung, the old woman who raised her strickly from

the time she was small, handed the skill down, training her in ev-

erything from houseworks, good manners, and correct behaviour,

to memorizing the dialogue of the puppet theatre stories, which

had to be word perfect.

There were twelve of these stories. They all began with a wed-

ding and ended with death. ‘That’s life!’ Salamah would say, copy-

ing her grandmother’s words every time she ended a story. She

must have said those words thousands of times in her lifetime.

Her fi rst offi cial performance, after almost a year of practice,

was held oen night in the main room of her large house. The au-

dience consisted of twenty women and children. Naturally, there

was a ceremony before the performance.

Earlier, she’d been told by her grandmother to bathe and sham-

poo her hair because her fi rst menstruation had ended that day.

Salamah was dressed up like a child bride. Her clothes were fra-

grant from incense and pot-pourri of fl owers made by skilled

hands.

By the light of the candles in four fi ve-branched candelabra, Sal-

amah performed her fi rst puppet story, called ‘The Dolphin Bride’.

Placing the cloth puppets one by one on the miniature stage of

gleaming copper, the young girl, who had now reached puberty,

spoke the prologue which she had been memorizing for so long.

‘One day a female dolphin that was very pregnant lay in the

shallows, careless because she was enchanted by the warmth of

the morning sun. She forgot that the tide always goes out. At dusk,

she was still thrashing around on the dry sand, struggling in

Page 25: Majalah Sagang

halaman 23

vain, while the male dolphin swam round and round in the deep

water, powerless to help his mate. Weak from exhaustion and pain,

in the shallows, the female gave birth to a pair of young that with

great diffi culty crawled up on to the land and turned into humans.

Night came and with it the bright moon to accompany them.

Weeping, the dolphins swam back to their deep pool without

their babies.

‘Thousands of years later ...’

The story began with a wedding, so it was a wedding that took

place on the miniature copper stage. A stage that gleamed. The

puppet bride sat on the bridal dais, and in front was ceremonial

glutinous rice, which was coloured yellow with turmeric, and dec-

orated with eggs and coloured fl owers made of beads.

Although the puppeteer could only move two puppets at a time,

it was said that because of the magical atmosphere, the fragrance

of incense and the mantras, the cloth puppets seemed to be alive.

Everyone was watching the performance in silence but when

Salamah raised the level of excitement with the song of the weed-

ing procession, it was as though the room thundered with the rat-

tling of tambourines and the blowing of trumpets. The audience

was mesmerized, as though witnessing a real wedding ceremony.

They were watching a drama acted by tiny people but they that

it was they who had shrunk to the size of the cloth puppets.

The large room was hushed with silence in the scene where the

bridal couple fed each other a mouthful of the special rice. The

bride’s attendant took a little rice in fi ngers, peeled a egg, placed

them in the bride’s hand, and raised that hand to the groom’s

mouth. Then she did the same for groom and raised his hand to the

bride’s mouth. The audience cheered and clapped.

Then something terrifying happened. Suddenly, the groom col-

lapsed, vomiting blood. The bride was shocked and leapt to her

feet, screaming. A woman among the wedding guests stood up and

said accusingly, ‘The bride has poisoned her husband. Look at the

long nail on her ring fi nger. That’s where she hid the poison!’

With tears streaming down her face, the puppet bride left the

room that was in uproar. She walked slowly, as though her feet

were not touching the ground, and headed for the beach that was

as dry as a bone, like an arid desert because the water had all dried

up. Her soft, bare feet no longer felt the sharp pebbles. She walked

straight to the water’s edge and sat on a rock. The red sun faded

and the purple shadows of the night began to appear. The pale

moon made ready to replace the sun.

Page 26: Majalah Sagang

halaman 24

The bride undid the bun in her hair. Her long, loose hair stirred

in the breeze. She kept the tide at bay with her tears. But nature

became inpatient and unwilling to be defeated by a woman’s tears.

They dried up and dry sobs remained which were more painful

than the tears.

The tide which had begun to come in lapped the soles of her

feet. ‘The bride has poisoned her husband! Look at the long nail of

her ring fi nger where she hide the poison!’ Water started to brush

her ankles. She looked at her long fi nger-nail, bent forward, and

stabbed the soles of her feet several times with it. Blood mingled

with the water around her feet. The water came up to her knees,

then her waist, then her chest. She scratched her shoulder blades

and armpits with the long nail. The water was up to her neck. The

sticky blood around the rock where she was sitting mingled with

colour of the night. The wounds on her feet, shoulder blades, and

armpits turned into scales and fi ns, the scales dan fi ns of a dolphin.

Once again, she looked at the land and tried to weep but all that re-

mained were the dry sobs, more painful than all the wounds. Then

she swam off into the sea and the night.

At the wedding ceremony, there was panic. Suddenly, a man

rushed in and in a thundering voice said, ‘Where is the bride? I am

her uncle. I had a premonition something would happend tonight.

As a precaution, I put some antidote under my niece’s fi nger-nail

without her knowing. It was medicine for her husband that was

under her nail.’ The he pointed to the woman who’d accused the

bride, and accused her of poisoning the groom with the help of the

bride’s attendant. ‘Where is the bride? Find her!’

It wasn’t till then that everyone realized that the bride had gone.

A boy who had been standing near the door said, ‘I saw her sitting

on a rock on the beach. When the sun set and the tide came in, she

swam away into the sea and the night.’

The story was almost fi nished. The closing scene showed the par-

ents of the groom entering the room. THe mother sat and touched

her son’s head, stroking it lovely and wiping her tears.

The father sat beside his wife, holding his son’s arm. He too

brushed tears from his eyes. The bride’s uncle went and sat by the

door, and bowed his head, wiping his tears. And one by one the

guests wiped their tears too.

With one touch of her little fi nger, Salamah release the catch

of the screen at the front of the miniature stage. The screen came

down and hid the stage. ‘That’s life!’ she said, ending the story. Her

fi rst story.

Page 27: Majalah Sagang

halaman 25

***

Before Salamah ever had the chance to perform the twelfth sto-

ry she got married. This time it wasn’t the puppets which were in

the festive bridal procession. It wasn’t game or a kind of play.

It was a real wedding.

Then her husband went to Mecca. A month or so after that, Sal-

amah was invited to the palace to perform the show in front of

the Sultan’s family. And that happened many times. But she was

unable to fi nish the twelfth story which was called ‘Biring Kun-

ing’s Rampage’ because when she was performing it, she received

news that Grannie Anjung had died. Before her tears were dry,

the news also arrived from Mecca about the death of her husband.

Then time seemed to fl y. One morning, the small island was full

of foreign soldiers. The Sultan left his centre of government. The

beautiful island was looted and the buildings fell into ruin. All that

remained was the mosque which people looked after carefully.

Kings and their high offi cials are fl eeting creatures, only God is

eternal. Time raced by.

One day, a young foreign man was introduced to Grannie La-

mah, as Salamah was now called with the passing of time. He’d

been living on the island for a few months. He knew every tiny

detail about the cecaktheatre except the twelfth story. He tried

in all sorts of ways to persuade Grannie Lamah to tell or may-

be even perform the twelfth story. He tried fl attery, money, and

other people’s infl uence. Finally, he used his trump card against

the old woman whose memory was as fresh as a young girl’s. He

produced photos of Salamah’s husband, and books of his writing,

and his letters and notes about the puppet theatre. On the brink of

despair, the young man was successful. She agreed.

Together with ten people from that lovely island, the foreigner

hadwitnessed Grannie Lamah performing the twelfth story the

previous evening.

Incense was burnt and the opening mantra was recited by the

old woman in a trembling voice. But from where did she get the

voice of a young woman when she began to chant the prologue:

Life is like dew on the leaves

Dew on the surface of leaves

Dew on the tips of leaves

And in that God-given dew

Let us bathe ourselves

And be cleansed.

Page 28: Majalah Sagang

halaman 26

When the groom’s party came in procession to enter the

grounds of the bride’s home, his champion fi ghting cock, Biring

Kuning, which never left his master’s side, started crowing loudly,

Biring Kuning is here ... bringing the ceremonial betel from afar!’

But as they got closer to the dais where the bride was waiting,

the cock seemed to become agitated and crowed more and more

loudly. Concerned by this, the bridegroom faltered in his steps, but

then continued moving toward the dais.

Because he felt he was being ignored, Biring Kuning suddenly

struggled and broke free from the tie that was binding him. He

fl ew furiously into the centre of the bridal area, and went horrify-

ingly berserk.

The cock seemed to become like a huge hawk. He swooped in

all directions. Everyone lay face down on the ground, terrifi ed. He

wrought havoc with everything in sight. Curtains were ripped, the

eggs and yellow rice were scattered and spilt on the body of the

bride who had fainted. Only the groom, Biring Kuning’s master,

stood fi rm, but he was confused.

Exhausted by his rampage, the cock made obeisance to his mas-

ter. The groom snapped angrily, ‘Biring Kuning, why did you do

this?’

‘You did not understand my signals. I tried to tell you with signs

but you still want words, things sharper than a blade, more pierc-

ing than a dagger. Well, here they are. This is an incestuous mar-

riage! It cannot continue. Floods and earthquakes will strike, mis-

fortune and disaster will be like clouds raining death upon us. The

bride is your young sister! If you don’t believe me, you can ask the

old woman who lives at the end of the headland there.’

The groom picked up the bird and walked slowly away from the

place. But when they had reached the gates, the bride’s father called

out, ‘They have humiliated me! Go after them! Capture them!’

Thirty men dressed in black uniforms with krisses and spears in

their hands appeared and chased after the bridegroom.

In the ensuing battle, with Biring Kuning’s help, the groom killed

the thirty men, but was himself stabbed thirty times, and mortally

wounded. Biring Kuning too sustained many wounds and blood

dribbled from his beak. Now his master lay beside the bodies of his

attackers, not far from the end of the headland that was buffeted

by the raging waves from huge seas.

Night fell. The bride regained consciousness. She left the bridal

chamber and and hurried to the beach. By the friendly moonlight,

she searched for her husband.

Page 29: Majalah Sagang

halaman 27

Bodies lay strewn along the shore. The bride examined them,

one by one. A woman approached her in the gloom of the night that

was rent by the roarof the waves. It was the mother of the groom,

the bride’s stepmother. Together, the two women mourned over

the body of the man they loved.

Suddenly, at the water’s edge, a cock crow was heard. It was

Biring Kuning. Although his wings were broken, he still managed

to crow one more time before being dragged into the waves.

The screen in front of the miniature copper stage fell at the

touch of Lamah’s fi nger. As though trembling in the wind, the old

woman’s voice was heard saying, ‘That’s life!’

***

It was late. The young foreigner and the guests who accompa-

nied him earlier had all gone home. The snoring of the two women

who lived with Grannie Lamah in the big house got louder and

louder. The old woman was still sitting in front of the miniature

copper platform which was the stage for her puppet play.

Then, one by one, she arranged the puppets at the front of the

stage. The tambourine and the trumpet were heard, faintly at fi rst,

then louder as they got closer. All the puppets lined up in proces-

sion and headed for the side door that led to the sea. Biring Kun-

ing crowed and was answered by the crows of a thousand cocks.

Taking Lamah’s hand, the Dolphin Bride opened the door that led

to the sea and went down the steps and out into the peaceful night.

In company with all the puppet brides in the twelve stories, Lamah

danced upon the sea in the bright moonlight.

***

Page 30: Majalah Sagang

halaman 28

Air Mata Mitnaholeh Purwanto

cerita-pendek

Page 31: Majalah Sagang

halaman 29

BELUM kering-kering juga air mata Mitnah menangisi kepergian

suaminya Sarmuni, H. Sarmuni Muntil, SE lengkapnya. Air mata

yang sebelumnya sejuk dan bening bak air telaga di bawah bukit, kini

berubah menjadi gelombang yang menghempas, marah dan lebat

mengucur dari kedua mata Mitnah. Seolah ada yang memompa dari

dalam matanya. Mitnah masih terus menangis setiap hari sehingga

membuat air mata itu semakin membanjir ke lantai marmer rumahnya

yang licin mengkilap. Semakin lama semakin tinggi merendam apa

saja yang ada. Karpet merah di depan pintu yang biasa dilalui sang

suami, kini sudah mengapung dan berayun-ayun dimainkan irama air

matanya. Begitu juga dengan kursi kayu Jati berukir kepala burung

Garuda di ruang tamu, sudah tinggal separohnya yang kelihatan.

Pokoknya air mata Mitnah kini sudah hampir merendam semua yang

ada di dalam rumah itu. Rumah mewah bergaya Eropa yang dibangun

oleh almarhum sang suami.

Air mata Mitnah masih belum juga berhenti mengalir. Entah sudah

berapa hari ia menangis. Bahkan iapun tidak menyadari kalai air mata

itu sekarang sudah hampir merendam badannya sendiri. Ia memang

sengaja membiarkan air mata itu menenggelamkan rumahnya yang

mewah. Baginya tak ada bedanya lagi sekarang, setelah sang suami

pergi untuk selama-lamanya, lebih baik iapun mati tenggelam di air

matanya sendiri.

Sambil menangis ia terus berusaha memanggil El Maut agar

menghampirinya, lalu ia meminta untuk diajak terbang ke langit ke

tujuh tempat semua roh berkumpul, termasuk roh suaminya, Sarmuni.

Mitnah tidak rela ditinggal sendirian di dunia ini. Ia benar-benar tidak

mau sepeninggal suaminya, dirinya akan menjadi gunjingan orang-

orang. Ia juga tidak siap untuk dikucilkan dari pergaulan, apalagi

sekarang ia harus menghadapinya sendiri ; sendiri tanpa Sarmuni

suaminya ! Dengan harta melimpah justru akan menyulitkan posisinya

di pergaulan. Orang-orang akan bertanya dari mana harta sebanyak itu

didapat. Kenapa secepat itu ia menjadi kaya raya. Padahal untuk ukuran

pegawai seperti suaminya babak perjalanan kekayaan Sarmuni-Mitnah

itu baru saja dimulai. Masih banyak cerita di belakang yang nantinya

akan bercerita sendiri tentang asal-muasal semua itu. Mitnahpun sadar

akan hal itu, makanya ia memilih untuk berdamai dengan sang Maut

agar secepat mungkin menjemputnya untuk menyusul sang suami.

“Hai sang Maut! Mengapa kau tak juga datang? Huuu….Huuuu…

aaaa !!!” begitulah kata-kata yang selalu diucapkan; setiap menit,

setiap jam, setiap hari….

Padahal El-Maut terus-menerus memperhatikan setiap gerak dan

permintaan Mitnah. Dengan jubah api yang berkobar-kobar dan mata

Page 32: Majalah Sagang

halaman 30

yang membara, El-Maut setia menunggu kapan waktu yang pas untuk

menjemput Mitnah. Ia biarkan aroma kematian Sarmuni tetap melang-

lang di sekitar Mitnah. Biar Mitnah tahu bahwa kematian Sarmuni

adalah kematian yang telah direncanakan dan telah ditulis di buku

taqdirnya. Tak ada yang kebetulan, pun tak ada yang tak disengaja.

Mitnah harus tahu bahwa iapun sedang menunggu giliran. Giliran

dijemput. Meski bagi Mitnah, ia mau giliran itu dihapuskan, sehingga

ia bisa langsung memintanya “segera” !

“El-Maut, kalau tidak secepatnya kau jemput aku…. Aku takut nanti

bang Muni sudah semakin jauh meninggalkanku…. hua…. haaaaa….!”

“Apa perlu kusogok dulu dengan semua uangku agar kau segera

datang ? Iya ?!” kata Mitnah setengah menjerit.

“Kau mau berapa ? semilyar, dua milyar atau seratus…?”

“Ayo katakan !” ia semakin hiteris.

Tak perlu basa-basi untuk urusan orang seperti Mitnah. Dengan

satu jentikan jari yang penuh kobaran api saja pasti semua beres.

Masalahnya sekarang, waktu itu betul yang belum datang. Jadwal

kematian Mitnah masih belum tiba. Bagi El-Maut tidak ada alasan

untuk mempercepat atau memperlambatnya walau sedetik. Semuanya

tepat waktu. El-Maut memang tidak berhak merubah jadwal kerjanya,

termasuk jadwal kapan ia harus menjemput Mitnah. Ia tidak diizinkan

bekerja tanpa jadwal.

***

Semasa hidup Sarmuni, Mitnah adalah type istri yang setia. Banyak

rahasia sang suami yang dia pegang rapat. Karena rahasia suami

adalah rahasianya juga. Siapapun Sarmuni sebenarnya, tak ada orang

lain tahu kecuali Mitnah. Ia menyimpan rahasia itu di dalam hati yang

digembok dengan kunci rahasia. Namun begitu hati Mitnah tetap

punya ruang berapapun banyaknya rahasia tentang Sarmuni. Begitu

aman dan lapangnya hati Mitnah, sampai-sampai tidak ada kecurigaan

sedikitpun di hati Sarmuni. Ia bisa kapan saja mengintip hati yang

digembok itu, apakah masih tetap terjaga atau tidak. Kadang-kadang

Sarmuni masuk sendiri menyusun rahasia-rahasianya di rak hati

Mitnah. Mitnahpun dengan rela membiarkan suaminya berbuat itu. Ia

tahu tak mungkin suaminya akan berbuat macam-macam kepadanya.

Sebab hampir semua ruangan di dalam hatinya telah manjadi milik

suaminya.

“Bang, saya akan menyimpan rahasia-rahasia ini sampai saya mati,

Bang. Abang tak perlu khawatir.” Kata Mitnah suatu hari.

“Aku percaya padamu, Mitnah !” sambil dikecupnya kening istrinya

itu. “Besok abang harus jadi tikus lagi ?” tanya Sarmuni lembut. Istrinya

hanya tersenyum sedikit sambil mengangguk meng-iyakan.

Page 33: Majalah Sagang

halaman 31

Bagi Sarmuni untuk merubah menjadi seekor tikus tidaklah susah.

Dengan sedikit mantera dan taktik yang dipelajari secara otodidak, tak

perlu memakan waktu semenit pasti sudah berubah. Begitu menjadi

seekor tikus, seketika itu juga Sarmuni tidak ingat apa-apa lagi. Ia

tidak ingat namanya sendiri, tidak ingat waktu, tidak ingat Tuhan,

apalagi ingat nasehat-nasehat ibunya waktu kecil saat akan pergi

mengaji di kampungnya dulu. Pokoknya ia tidak ingat apa-apa….

Yang ia tahu hanyalah mengendus-endus dengan moncong hidungnya

yang panjang, lalu…happpp, happ, happp! Melahap semua yang

dihadapannya.

Tikus Sarmuni paling tahu aroma uang. Di moncongnya aroma

uang adalah aroma paling menggiurkan dan paling tidak pernah disia-

siakan. Ia tidak pernah kenyang walau entah sudah berapa banyak

menelannya. Uang memang tidak pernah mengenyangkan! Apalagi

dari dorongan dan desakan sang istri yang sangat dicintai, membuat ia

semakin menikmati cara hidupnya itu.

***

Sekarang Mitnah sudah hampir tenggelam dengan air matanya

sendiri. Air matanya itu sekarang sudah separas dagu. Ia semakin

bersemanagt menangis, agar bisa secepatnya tenggelam. Dengan

begitu tidak ada alasan lagi bagi El-Maut untuk tidak menjemputnya.

Ia sudah tidak sabar menyusul Sarmuni di “syurga”!

Di balik jendela kaca bergrafi r motif bunga, tampak jelas kesunyian

di luar rumah megah itu. Tak satupun burung mau mencicit, jangkrik-

jangkrik yang selalu rajin menyanyi dari balik rerumputan juga begitu.

Semuanya membisu seribu bahasa. Suara-suara mereka kini menjadi

beku bak es batu, semakin lama semakin keras dan keras.

Entah kebetulan entah memang ada perintah dari “atas” mereka

juga tidak tahu. Padahal suara itu semakin hari semakin ingin meledak.

Tapi karena mungkin indra keenam makhluk Tuhan ini masih

berfungsi baik, mereka dapat merasakan aroma kematian yang begitu

dekat mengintip. Tatapan El-Maut begitu menyeramkan, sampai-

sampai mereka tak boleh bersuara dan bernyanyi, karena kematian di

alam nyata tidak sama dengan di sinetron yang harus diiringi musik.

Kematian tidak butuh back ground musik untuk menjalankannya.

Maka semuanya harus diam !

Sambil terus menunggu, Mitnah sudah benar-benar siap untuk

dijemput El-Maut. Meski tetap menangis ia membayangkan

pertemuannya nanti dengan Sarmuni suaminya di “surga”. Ia

membayangkan sebuah pertemuan yang romantis di atas awan.

Dengan pakaian serba putih mereka bergandengan tangan melayang

sambil diiringi musik paling merdu yang berlum pernah mereka dengar

Page 34: Majalah Sagang

halaman 32

sebelumnya. Mereka akan menghabiskan waktu dengan berduaan saja

tanpa harus takut dikucilkan tetangga, tanpa harus takut diperiksa

oleh yang berwenang tentang asal-muasal kekayaannya. Di atas awan

yang serba putih itu mereka benar-benar berdua…!

Sambil membayangkan pertemuan itu, Mitnah tersenyum dan

seketika berhenti mengangis!, pikiranya kini dipenuhi angan-angan

indah bersama sang suami. Senyuman yang sebelumnya tersungging

sedikit, kini mulai berubah menjadi merekah dan tiba-tiba saja berubah

menjadi tawa. Mitnah tertawa !

“Bang, aku datang, Bang…!”

“Ha…ha… bang, ini aku datang, Bang…!”

Sekarang, air mata yang tadinya hampir menenggelamkannya,

sudah semakin menyurut. Dari separas dagu menjadi hampir separas

dada, terus menyurut, menyurut dan menyurut…. Perabotan yang

tadinya sudah mengapung, sekarang perlahan-lahan kembali ke posisi

semula. Begitu juga dengan karpet merah yangh digelar di depan pintu,

sudah tergelar seperti sedia kala. Air mata Mitnah telah kering kembali.

“Bang, sekarang kita bersama lagi. Abang jangan tinggalkan Mitnah,

ya ?” Dipeluknya foto Sarmuni erat-erat lalu diciumi berkali-kali.

“Na…naa…naaa Abang sayang….”

Begitulah akhinya Mitnah. Rambutnya yang dulu terawat dan selalu

rapi, sekarang sudah acak-acakan tak dihiraukan. Pakaiannya yang

dulu selalu mewah dan rapi, kini semakin kumal dan bau. Berhari-

hari , berbulan-bulan Mitnah terus mendekap foto sang suami, sambil

sesekali menyanyi. Kadang matanya berbinar gembira tapi tak jarang

tiba-tiba saja berubah menjadi kesedihan luar-biasa. Memang sekarang

hati mereka telah bersatu di suatu tempat yang hanya mereka yang

tahu. Mungkin di “surga”, atau mungkin di neraka. Wallahu’alam !

***

Di luar rumah burung-burung dan jangkirk-jangkrik sudah berani

bersuara. Bayangan kematian yang disebar El-Maut tak lagi terasa.

Memang sudah ada kesepakatan antara Mitnah dan El-Maut sejak

Mitnah masih di dalam rahim ibunmya, tentang kapan mereka bertemu.

Pertemuan yang tak sedetikpun bergeser dari jadwal, tapi pertemuan

yang pasti akan berlangsung. Mitnah tetap harus menunggu giliran,

seperti yang lainnya….

***

Page 35: Majalah Sagang

halaman 33

Kerudung Puisi (Bellinda Puspita Dara).Mahasiswa UNRI FKIP Ekonomi program S1.

Ia adalah anggota FLP Cabang Wilayah Pekanbaru Angkatan 8, dan anggota COMPETER.

Memiliki motto hidup“Selagi bisa berusaha sendiri kenapa harus mengharap orang lain,

selalu berusaha memberikan manfaat untuk orang lain sekecil apapun,lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang jangan menunda-nunda”

Kerudung Puisi

“Hanya Puting Beliung”Kata Anak Muda

Aliran SesatAmanat Kami (Bebek-bebek)

Putra MahkotaKembang SetamanBalada Anak Jelata

Swara Durhaka

sajak

Page 36: Majalah Sagang

halaman 34

“Hanya Puting Beliung” Kata Anak Muda

Hanya pusaran angin tergopoh datang

Anggap saja tamu nakal tak diundang

Memburu pelarian penyamun malam kelam

Begitu konyol terang-terangan disulap siluman

Sangat leluasa para buronan perwira tuan

Hanya mainan baru tak begitu menggebu

Disana sini sekedar tanda dunia kelabu

Kenyataan kita lebih suka fi lem biru

Dari langit biru atau samudra biru bahkan darah biru

Dibalik kelambu begitu mengharu biru qelabu!

Konon yang masqul hanya tukang bakul

Sebab tak kebagian jatah getah “berpikul-pikul”

Walau bau nan lengket namun mudah harum bekatul

Pemikir tak beranjak demi kolot dikumuhi takhayul

Kejayaan masa lalu berlalu didramatisir hilang timbul

Tak terpungkiri ada terselip rasa takabur

Kamu, kamu dan kamu pernah ngelindur

Dibawah sadar tampil memukau walau ngawur

Cobalah mulai berkiprah dengan “laku terukur”

Agar gelak tawa, canda ria tak lagi ngelantur

Page 37: Majalah Sagang

halaman 35

Aliran Sesat

Gerabah lama jadi pusaka

Keramik pernik jadi antik

Ka’bah tetap jadi poros dunia

Pemilik islami jadi pemantik

Ajaran sesat sesaat pesat

Al-Qiyadah, Almadiyah begitu mewabah

Isilah yang esa berkehendak tamat

Dalam hitungan detik musnah mudah

Manusia modern yang pongah!

Sebenarnya sungsang gelisah gesang

Bila tampil juru selamat tengadah

Serta merta berhamburan datang menjelang

Dalam gentai gamang berkurang

Tempias bara bagai telaga bagai telaga menggoda

Saat dikejar kian jauh terbelakang

Dahaga asa kian terasa nestapa

Kerling indah jadi tawar

Saat mawar terpijak tercampak

Tebur mahligai dinanti sabar

Melati pengantin atau pusaka sepetak

Page 38: Majalah Sagang

halaman 36

Amanat Kami (Bebek-bebek)

Negeriku nampak berkabut

Awan-awan hitam bergumpal-gumpal bergayut

Angin kencang yang dingin pun berhembus-hembus

Gemuruhnya bagai pertanda bakal datang bencana

Guntur pun berselang-selang bergelegar-gelegar

Diiringi kilatan-kilatan putra yang mengerikan

Akankah negeriku akan porak poranda?

Tangis dan rintih si miskin ibarat lagu wajib

Keluhan panjang, ratapan derita ibarat nyanyian jeraka

Lolongan insan terjepit ibarat lagu merayap

Pekikan jeritan, histeris ibarat lagu rock hura-hura

Tuan-tuan yang berkuasa menyapa hanya menonton?

Ini bukan tontonan, ini bukan drama pementasan

Kami betul-betul menderita, betul-betul sengsara

Kami betul-betul merasa disisihkan oleh beruang

Kami betul-betul merasa ditindas oleh macan-macan

Kami betul-betul merasa dibohongi oleh slogan-slogan

Memang kami hanya sekedar bebek-bebek

Tapi janganlah memandang kami dengan sorot begitu

Kami pun dapat restu tuhan untuk sama-sama makan

Kami pun punya hak hidup seperti tuan-tuan

Begitulah kami walau setetes itu minuman segar

Begitulah kami walau sesuap itu makanan lezat

Wahai tuan-tuan yang berkuasa!

Sekali-kali memalingkan muka dari kami

Atau memasabodohkan nasib kami

Atau menelantarkan pengharapan kami

Sebab ini berarti pengkhianatan terhadap pahlawan-pahlawan

Adalah pula pengkhianatan terhadap amanat-amanat kami

Janganlah sampai kami berdoa yang akan menyusahkan tuan-tuan

Page 39: Majalah Sagang

halaman 37

Putra Mahkota

Bagi orang-orang bisnis

Bagi penguasa-penguasa kelas atas

Dia bagai malaikat maut yang membawa vonis

Dia bagai dewan-dewan yang tak boleh dilawan

Dia bagai pangeran-pangeran yang tak boleh dibantah

Orang bilang negeriku bukan negeri tirani

Tapi ternyata banyak pangeran-pangeran mengangkat diri

Perangkat-perangkat negara pun tunduk terhadap mereka

Terlebih bagi rakyat jelata yang bagai bebek-bebek

Berkompetisi dengan pangeran-pangeran orbitan babeh-babeh

Jangan harap menang walau sekalipun!

Negeriku sebenarnya sedang mencari identitas diri

Konfi gurasi yang diciptakan tanpa kompromi

Niscaya akan tercipta konfl ik dan konfrontasi

Konsesus atau kebulatan tekad sebenarnya tidak berdasar

Itu hanya kreasi oporturis dan penjilat-penjilat

Tunggulah masanya kreditor-kreditor menuntut kompensasi

Dan kawan-kawan religiius beserta masyarakat luas

Menelorkan komitmen suci yang kompak

Pasti akan datang massanya meledak

Kebathilan diruntuhkan oleh kebenaran

Sebab pada hakekatnya hukum Tuhan tak terkalahkan

Hanya belum banyak orang yang tahu

Page 40: Majalah Sagang

halaman 38

Kembang Setaman

Harapan nan menggumpal

Tak juga cair didekat perapian

Kulit sudah kian keriput

Kening malah berkerut-kerut

Kelopak mata berlipat-lipat

Monumen bertahta nama-nama dua “tanda”

Tetap kokoh walau kian kusam

Pengenduspun sudah separuh perjalanan

Kembang setaman yang dulu kutanam

Masih saja kau genggam dalam kelam

Beribu senja temaram tidak lagi kita nikmati

Berjuta bintang gemintang telah lama tak dicermati

Fajar demi fajar telah melarutkan bermilyaran butir embun

Bergulirnya waktu demi waktu ku tetap berusaha tersenyum

Walau sering tertatih, tak terasa sudah separuh jalan tertimbun

Harapan kian menggumpal

Akankah hanya membuncah sia-sia?

Penghibur jiwa penyejuk rasa kian jauh bersebrangan

Sepersekian detik demi sepersekian detik alunan nafas kita menguap

Jejak pesona, harum bunga mawar dalam tas sekolah tetap tercium

Wewangian kasmaran yang tidak pernah pudar di tepis musim

medium

Kelopak mawar yang berguguran, terus tumbuh menguncup

mengembang lagi

“Pohon pengantin” terus mengerling-ngerling tiada henti peduli

Sepanjang “kembang setaman” bersemayam dalam singgasana

kenangan

Page 41: Majalah Sagang

halaman 39

Balada Anak Jelata

Anak Jelata menelan air liur

Ketika berada didepan restoran VIP

Sejoli pasangan muda bercengkrama

Dibalik kaca yang tembus pandang

Sambil nikmati panggang ayam dan sate kambing

Betapa nikmatinya mereka menyantap

Anak Jelata terbengong-bengong

Ketika dibawa masuk oleh seseorang

Ke sebuah bank bonafi t yang megah

Betapa berada didalamnya sangat membingungkan

Hampir menubruk kaca pematang

Selalu sempoyongan dalam lift

Selalu terkagum-kagum menjumpai segala kemewahan

Berdecak-decak heran dan takjub

Dan terkesima pula oleh hilir-mudik

Bidadari-bidadari metropolitan mendekap map-map

Anak Jelata piun iri

Manakala setiap saat menatap sedan

Terutama yang dikemudikan oleh dara metropolitan

Ngeceng-mejeng mereka bercakap

Menambah banyak saja air liur yang ditelan

Mungkin inilah yang menciptakan kecemburuan sosial

Sebab selalu pamer kemewahan dan kekayaan

Berkesan ria dan angkuh

Malam pun menjelang

Dalam keadaan setengah lapar

Disudut ibu kota

Aku terlelap dalam tidur

Page 42: Majalah Sagang

halaman 40

Swara Durhaka

Eksotika jadi senjata

Erotis jadi swara cara

Dunia semarak pesta pora

Pesona sesat berselimut budaya

Hura-hura gelepar-gelepar

Jingkrak-jingkrak konyolan-konyolan

Paha betis berserakan

Mengundang syahwat dalam remang

Selera tinggi kalangan atas

Tidak selalu tanpa batas

Nilai moral selalu adil

Meski penganut pendawa agal

Represing pengobat pening

Melepas beban dari penat

Tidak harus memporoti hati nurani

Tidak harus membius hati sanubari

Seni apapun bercorak bebas

Swara durhaka cap yang pas

Misi bagus yang berkumandang

Rusak akhlak yang nyata datang

Page 43: Majalah Sagang

halaman 41

Muhammad Esqalani eNeSTe

Reuni SunyiMekar Ingkar I

Mekar Ingkar IIKaligrafi SunyiOrangorangan

Gemah Ripah Loh JenawiPotongan Mimpi Shofi a

Dari Izka Ke IzkaMengitari Fasih Lengang 3

Sepasang Mata Cahaya

sajak

Muhammad Asqalani eNeSTe (Ibnu Thamrin Al-Asqalani A.G)Lahir di Paringgonan 25 Mei 1988.

Menulis Puisi sejak 2006. Meraih Gelar “Penulis dan Pembaca Puisi

Muda Terpuji Riau 2011” Oleh MMG.Masuk dalam Daftar Peyair versi SiksaMata.

Juara I Lomba Penulisan Puisi Remaja se-Riau Xpresi Riau Pos 2010.Meramaikan Media seperti: Riau Pos, Batam Pos, Majalah Sagang, dll.

Kumpulan Puisi bersamanya, "Kutukan Negeri Rantau","Festival Bulan Purnama Majapahit", dll.

Kumpulan Puisi Tunggalnya ke-3nya yang akan terbit "ABUSIA".

Page 44: Majalah Sagang

halaman 42

Reuni Sunyi : Stovvi Salman Leaz

kau tancapkan lagi epitaf negeri sunyi

di sepanjang kanal besi tawafan nahari

sesekali terlihat halusinasi kafan, menari

nari di pusara bagasi tubuh, memetafi sikakan

nar demi nar memberangus situs seluruh ruh

Mekar Ingkar I

ada cincin cinta di nadi

yang kaulingkarkan di waktu kiri

aku membuangnya ke lepas janji

agar tak terpenjara rindu ke suci

Mekar Ingkar II

di suatu subuh kumenari

di bawah alunan misk nurani

di lekat lantun ayat ilahi

kau telah pergi

tapi masih tersimpan Adam dalam diri

meski terasa asing dan nyeri

Page 45: Majalah Sagang

halaman 43

Kaligrafi Sunyi : Gui Susan

Laa Roiba fi ihi hudal lil Muttakiin

tidak ada keraguan padanya,

ketika masamasa futur berserpihan

di mana dada terasa kehilangan ruang

nafas terasa lelah difi uhkan

lengang memagar kamar bathin

kita bertanya tentang lembaranlembaran

dalam genggaman

yang kita jadikan peta menuju pertanggungjawaban

ketika orangorang

bertanya bagaimana kita memandang tuhan

haruskah aku menjawabnya kawan?

ketika aku mulai kehabisan makna ruh dalam badan?

ketika aku mulai tak sanggup membedakan

garis yang memisah siang dan malam?

ketika lembaralembaran dalam genggamanku

terbiar lusuh?

ini kutitipkan padamu alarm

yang juga tersambung ke denyut nadi

Alladzi na yukminuu nabil ghoibi wayukimu nassholata

wa mimma rozaq nahum yunfi quuun

baca lagi, baca! biarkan segala memiuh dalam jiwajiwa yang

tenang

maka kembalilah bertanya. mungkin tentang siapa dan mengapa

kita

ada!

Page 46: Majalah Sagang

halaman 44

Orangorangan

di sawah kehabisan marwah

hingga tak dapat ia bahasakan tegah

kala kera bersetubuh dengan lintah

Gemah Ripah Loh Jenawi

mayat jelata terkapar sunyi di tiap lorong

tak dapat lagi sekadar memukat kata tolong

pun akan sia(l)sia,

takkan ada yang mendengarnya dengan telinga nurani

dan ketajaman mata jiwa

lapar adalah hak autentik jelata

ketika karung tak dapat lagi diusung

diisi dengan alatalat buntung atau lalat puntung

kelaparan adalah penjara nyata dera

tak perlu menangguk ceruk demi ceruk airmata

hal itu akan memudahkan penguasa untuk menghanyutkan rupiah

ke muara mana yang ia suka, mungkin ke muara tempat

kaumengais

segala sisa yang masih dapat dipisah dari tinja

Page 47: Majalah Sagang

halaman 45

Potongan Mimpi Shofi a

seandainya ayah dan ibu pulang

aku takkan merindui Adam

hanya karena ketakutan yang tak kunjung tenggelam

sebelum pejam

*

seandainya Adam tahu apelnya kusimpan

ia takkan lagi menapaki hutan larangan

dan demi menemukan pakaian kami yang hilang

di rimbun dedaunan

*

seandainya Ababil datang sebelum pejam

aku takkan terus berlarilari dan mencari Adam

hingga bertemu dengan tuhan

*

sendainya aku Hawa dan bukan Shofi a

aku takkan bertemu lagi dengan Izazil untuk kali kedua

hingga dadaku terguncang, wajahku bagai hilang

*

Ayah dan Ibu, Apel dan Adam datanglah…

aku tak sanggup memakan sekian tempayan kesendirian

Page 48: Majalah Sagang

halaman 46

Dari Izka Ke Izka

salam pada pepohonan

salam jawab daundaun

pagi yang tak berembun

bergelimbun minta ampun

---

musafi rmusafi r tanpa bekal

melintasi Taiwan..

melewati hewan-hewan liar

di taman yang telah ditinggalkan

berabadabad silam

jauh sebelum angan diciptakan

---

bibir siapa yang bertakbir

di Padang Pasir

Oase bersuara kering dan parau

---

dari Izka ke Izka

berapa jauhkah?

tanya Pelepah Kurma

mari kita ta’aruf kata angin bunting

desau menggunting percakapan

kita orang Alim sekaligus Lalim

begitulah perjalanan dari Izka ke Izka

terjebak di antara dosa dan pahala

---

bumi bergoyang, sekian kaki tumbang

siapa sebenarnya yang berjalan?

---

air berhenti mengalir

segala yang getir tumbuh

dari Izka ke Izka

Page 49: Majalah Sagang

halaman 47

Mengitari Fasih Lengang 3

serigala pulang

kepalanya hilang

bulan sepenggal

malam tak berbadan

langit gerimis darah

ada yang lebih amis dari kematian

Sepasang Mata Cahaya

kapan lagi matahari tebit dari langit hatimu yang terbelah dua?

saat kemilau musim gugur terkubur dengkur laila perkasa

reranting pohon poplar terbakar dalam ingatanmu yang

berserakan

suara sampan menjohu dari biru darahmu tersikat jejaring benalu

tun, maafkan aku diam-diam berlari aliri reruntuhan hujan

berkarat

terbang hinggap kelelawar taat dalam keheningan dzikir rakaat

tamat

demikian kita sudahi belenggu hantu belau waktu di kompas

nafasmu

nunnnn, jauh mengharu derudesau risau luluh tersapu debu

Page 50: Majalah Sagang

halaman 48

Khalil Gibran (nama lahir Gibran Khalil Gibran, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883  –meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir saat Lebanon masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.

Khalil Gibran lahir dari keluarga katholik-maronit. Tempat kelahirannya merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Dampaknya adalah, kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya,

seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berbondong-bondong datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit

tokoh

Khalil Gibran

kat.eluarga katholik-nya merupakan hi badai, gempasejak kecil, mata ngkap fenomena-h yang nantinya isan-tulisannya

ama ibu dan ibran pindah erika Serikat.

n Gibran kecil

ami oleh para ondong-bondong da akhir abad ke-ku sekolah umum asa akulturasinya

dibentuk oleh Namun, proses

nya berlangsung ah itu dia kembali di College de la lik-Maronit

sejak tahun 1899 sampai 1902.Selama awal masa remaja, visinya tentang

tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafi k organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat

int

Page 51: Majalah Sagang

halaman 49

ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena Tuberkolosis.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena penyakit yang sama dengan adiknya Sultana. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s

Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografi nya.

Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat

Page 52: Majalah Sagang

halaman 50

dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Karya dan kepengarangan Gibran.Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap

meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “Th e Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam “Th e Madman”. Setelah “Th e Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”, 1919; “Th e Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan

Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “Th e Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “Th e Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “Th e Garden of the Propeth”.

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”

Page 53: Majalah Sagang

halaman 51

Beberapa Mutiara Kata Karya Kahlil Gibran

“...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu...” (Kahlil Gibran)

“...kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang” (Kahlil Gibran)

“Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan...” (Kahlil Gibran)

“Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan” (Kahlil Gibran)

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...” (Kahlil Gibran)

“Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini... pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang” (Kahlil Gibran)

“Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya” (Kahlil Gibran)

Page 54: Majalah Sagang

halaman 52

Puisi-puisi Cinta Kalil Gibran

Cinta Yang Agung

Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan MASIH peduli terhadapnya..Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu MASIH menunggunya dengan setia..Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’Apabila cinta tidak berhasil…BEBASKAN dirimu…Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnyadan terbang ke alam bebas LAGI ..Ingatlah…bahwa kamu mungkin menemukan cinta dankehilangannya..tapi..ketika cinta itu mati..kamu TIDAK perlu mati bersamanya…Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu menang..MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh

Page 55: Majalah Sagang

halaman 53

Waktu

Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.

Page 56: Majalah Sagang

halaman 54

Cinta

AKU bicara perihal Cinta ????… Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,Walau jalannya sukar dan curam.Dan pabila sayapnva memelukmu menyerahlah kepadanya.Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.Dan kalau dia bicara padamu percayalah padanya.Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman.Karena sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia kan menyalibmu. Sebagaimana dia ada untuk pertumbuhanmu, demikian pula dia ada untuk pemaksamu.Sebagaimana dia mendaki kepuncakmu dan membelai mesra ranting-rantingmu nan paling lembut yang bergetar dalam cahaya matahari.Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan mengguncang-guncangnya di dalam cengkeraman mereka kepada kami.Laksana ikatan-ikatan dia menghimpun engkau pada dirinya sendiri.Dia menebah engkau hingga engkau telanjang.Dia mengetam engkau demi membebaskan engkau dari kulit arimu.Dia menggosok-gosokkan engkau sampai putih bersih.Dia merembas engkau hingga kau menjadi liar;Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya. Sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan.Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta,

Page 57: Majalah Sagang

halaman 55

supaya bisa kaupahami rahasia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta. Maka lebih baiklah bagimu kalau kau tutupi ketelanjanganmu dan menyingkir dari lantai-penebar cinta.Memasuki dunia tanpa musim tempat kaudapat tertawa, tapi tak seluruh gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri.Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki; Karena cinta telah cukup bagi cinta.Pabila kau mencintai kau takkan berkata, “Tuhan ada di dalam hatiku,” tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati Tuhan”.Dan jangan mengira kau dapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta, pabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan, biarlah ini menjadi aneka keinginanmu: Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali, yang menyanyikan melodinya bagai sang malam. Mengenali penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.Merasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tenung cinta;Dan meneteskan darah dengan ikhlas dan gembira.Terjaga di kala fajar dengan hati seringan awan dan mensyukuri hari haru penuh cahaya kasih; Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap; Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;Dan lalu tertidur dengan doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sebuah gita puji pada bibirmu.

Page 58: Majalah Sagang

halaman 56

Persahabatan

Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang persahabatan.Dan dia menjawab:Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian.Bila dia berbicara, mengungkapkan fi kirannya, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya”.Dan bilamana dia diam, hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fi kiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung

Page 59: Majalah Sagang

halaman 57

daripada tanah ngarai dataran.Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan gairah segar kehidupan.

(Marrylina Yonita, dari berbagai sumber)

Page 60: Majalah Sagang

halaman 58

rehal

Judul Buku : Sepuluh Drama

Pendek Samuel Beckett

Penulus : Samuel Beckett

Penerbit : BUKUPOP

Tahun Tebit : 2006

Jumlah Halaman : 137 hal

Bahasa : Indonesia

ISBN : 979-1012-00-8

Sepuluh Drama Pendek

Samuel Beckett

int

Page 61: Majalah Sagang

halaman 59

Ringkas Tentang Samuel Beckett

(catatan redaksi)

SAMUEL BECKETT kelahiran Dublin,

Irlandia tahun 1906, tutup usia tahun

1989 di Paris, Prancis.

Beckett menurut para pengamat adalah

salah satu pengarang/penulis abad ke-20

yang sangat inovatif dengan karya-karyanya

yang berpengaruh. Hal ini ditunjang oleh

keyakinannya yang selalu tampak jelas

pada karya-karya yang dihasikannya,

keyakinannya itu ialah, bahwa hidup

manusia adalah absurb, tidak jelas, keras,

dan akhirnya tidak memiliki tujuan. Secara

pribadi, ia gigih menyuarakan metafora-

metafora tentang malaise. Depresi Besar

yang mempengaruhi hidup dan berdampak

krisis moral.

Beckett terutama dikenal sebagai penulis

drama, tetapi ia juga menulis novel dan

puisi. Ia telah menulis enam novel, empat

naskah drama serta tak terhitung fragmen

yang pendek, selain sebuah esai dan satu

kumpulan puisi. Namuni yang membuat

namanya dikenal adalah karya drama

Waiting for Godot (1952) yang disebut-

sebut sebagai drama paling penting dalam

abad ke-20 dan dipentaskan di hampir

serata dunia.

Dalam keterangan pers-nya, Akademi

Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel

Kesusastraan pada Beckett sebagai

pengakuan: “….untuk karangan-

karangannya yang dalam, serta

mengungkap kekurangan manusia

modern, mendapatkan tempat yang

luhur lewat bentuk novel dan drama gaya

baru….”

Beckett adalah sastrawan kedua Irlandia

(setelah William Butler Yeats tahun 1923)

yang memperoleh penghargaan tersebut.

Atau sastrawan ketiga setelah George

Bernard Shaw (tahun 1925) yang kemudian

hijrah dan menjadi warga negara Inggris.

Buku Sepuluh Drama Pendek Samuel

Beckett, berisi sepuluh terjemahan naskah

drama pendeknya, antara lain:

1. Sketsa Teater I

Dipenghujung 1950, ditulis dalam

bahasa Perancis berdasar naskah asli

berbahasa Inggris. Naskah aslinya

dipublikasikan pertama kali dalam bahasa

Inggris oleh Grove Press, New York, tahun

1976, dipertunjukkan pertama kali di

Schiller Theater, Hamburg, Mei 1979.

2. Laku Tanpa Kata I

Ditulis dalam bahasa Prancis 1956,

dengan musik John Beckett, keponakannya

sendiri. Pertama kali dipublikasikan

tahun 1957. Oleh penulisnya sendiri,

diterjemahkan dalam bahasa Inggris untuk

diterbitkan oleh Grove Press, New York,

tahun 1958. Pertama kali dipentaskan di

Royal Court Theatre, London, 3 April 1957.

int

Page 62: Majalah Sagang

halaman 60

3. Laku Tanpa Kata II

Menutur Beckett, ditulis hampir

bersamaan dengan Act Without Words /

(1956). Oleh penulisnya diterjemahkan

dalam bahasa Prancis. Diterbitkan tahun

1959 dalam New Departures. Dipentaskan

pertama kali di Institut Seni Kontemporer

pada Januari 1960.

4. Rekaman Terakhir Krapp

Ditulis di Inggris awal tahun 1958.

Pertama kali dipublikasikan di Evergreen

Review musim panas 1958. Pertama

kali dipentaskan di Royal Court Theatre

London, 28 Oktober 1958.

5. Bara

Ditulis sebagai drama radio dan

diselesaikan pada awal 1959. Pertama

terbit dalam Evergreen Review akhir 1959.

Pertama disiarkan oleh Third Programme

BBC tanggal 24 Juni 1959.

6. Datang dan Pergi

Ditulis di Inggris, awal 1965. Pertama

kali dipublikasikan di Prancis dalam

edisi de Minuit, Paris 1966. Pertama kali

dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh

Calder and Boyars, London 1967. Pertama

kali diproduksi dengan judul Commen

und Gehen, diterjemahkan oleh Elmar

Tophoven, di Schiller Theatre Werkstatt,

Berlin 14 Januari 1966. Pertama kali

dipertunjukkan dalam bahasa Inggris

di Peacock Theatre, Dublin, 28 Februari

1968 dan di Royal Festival Hall, London, 9

Desember 1968.

7. Napas

Pertama kali dipublikasikan 1970, dan

dipertunjukkan di Eden Theatre New York

16 Juni 1969, kemudian di Close Theatre

Club, Oktober 1969.

8. Kursi Goyang

Ditulis dalam dalam bahasa Inggris di

tahun 1980. Pertama kali pertunjukkan di

Buffalo, New York di tahun 1981 dengan

aktris terkenal Billie Whitelaw sebagai w dan

v, disutradarai Alan Schneider, produksi

Dan Labaeille. Pertama dipublikasikan oleh

Grove Press tahun 1981.

9. Bencana

Ditulis dalam bahasa Prancis di tahun

1982. Pertama kali dipentaskan di Festival

Avignon di tahun 1982, menyambung

setahun kemudian di Paris 15 September

1983, 13 Agustus 1984 di Edinburgh

Festival. Dipublikasikan pertama kali di

New York, USA, 1983 dan Faber Faber,

London, 1984.

10. Malam dan Mimpi-mimpi

Malam dan Mimpi Mimpi (Nacht

und Treume) ditulis dan diproduksi oleh

Sueddeutscher Rundfunk tahun 1982.

Dipancarkan 19 Mei 1983.

Buku ini layak dimiliki mahasiswa seni

(jurusan teater/fi lm, pemerhati dunia

teater pada umumnya, maupun seniman

teater khususnya.***

(red. 4-2013, Dari berbagai Sumber)

Page 63: Majalah Sagang

halaman 61

“Di satu sisi puisi itu tak berguna, ia tak bisa mengubah dunia secara material. Di lain pihak, puisi adalah bagian dari eksistensi manusia.”

(Bei Dao)

“Jika seribu penantang berlutut di bawah kaki-mu,Hitung aku sebagai yang ke seribu satu.”

(Bei Dao, “The Answer” /Jawabannya)

tokoh

Bei Dao

Zao Zhenkai (Bei Dao) lahir di Beijing

pada 2 Agustus 1949. Nama samarannya

Bei Dao yang secara harfi ah berarti “Pulau

Utara,” nama yang disarankan oleh

seorang teman sebagai referensi untuk

asal sang penyair dari Cina Utara serta

sebagai identitas atas kesendiriannya. Bei

Dao memperoleh pendidikan yang baik di

Sekolah Menengah Ke-empat. Pada usia

17 tahun dia bergabung dengan Revolusi

Kultural dan karena itu studinya tertunda.

Dari 1969 sampai 1980 dia menjadi

pekerja konstruksi. Pada awal 1970-an

Bei Dao mulai menulis beberapa puisi.

Pada 1976 sajak-sajak Dao mulai diakui

di kalangan Gerakan Demokrasi. Bei Dao

mengekspresikan keinginan besar akan

kebebasan namun kecewa karena keinginan

itu tak terpenuhi. Dia ikut mendirikan

majalah sastra tak resmi, Jintian, yang

mengumpulkan penyair muda dan

pembangkang. Majalah ini terbit antara

1978 dan 1980. Pada saat itu karya-karya

Dao bebas dari bentuk-bentuk ortodoks

resmi. Para pengecamnya menganggap

puisi-puisinya nihilistik. Dao juga berusaha

Page 64: Majalah Sagang

halaman 62

memecahkan masalah perbedaan antara

bahasa ucap dengan bahasa tulis Cina pada

sajak-sajak eksperimentalnya. Majalah itu

kemudian dilarang pada tahun 1980. Dao

mulai terkenal secara internasional lewat

sajaknya, “Jawaban,” yang diterbitkan

dalam jurnal puisi Shi Kan pada 1980.

Pada awal 1980-an Dao bekerja di Foreign

Language Press di Beijing. Dia menjadi

sasaran utama dalam Kampanye Polusi

Anti Spiritual dari pemerintah, tetapi pada

1983 dia berhasil bertemu secara rahasia

dengan penyair Amerika, Allen Ginsberg.

Pada 1983 sajak-sajak Dao dipublikasikan

dalam seri East Asia Papers dari Cornell

University East Asia Program dan dalam

Renditions di Hongkong. Puisi-puisinya

juga muncul di Bulletin Concerned Asian

Scholars (1984) dan dalam Contemporary

Chinese Literature, yang diedit oleh

Michael Duke (1985). Sejak pertengahan

1980-an sajak-

s a j a k n y a

m e n j a d i

hahahah lamamaaannnnnnnnnnnn nn nnnnnnnnnnnnn 66666666666666666626262626222222666666666262226666662626266626622226662266266266666626626222

1980-an sajak-k

s a j a k n y aa

m e n j a d ii

semakin pesimistik, dan berpuncak dalam

Bai Ri Meng (1986). Buku Bei Dao Shi

Xuan (1986), koleksi puisi yang ditulis

antara 1970 dan 1986, diterima dengan

antusias tetapi buku itu kemudian dilarang

oleh penguasa.

Selain puisi Bei Dao juga menulis novel;

Bodong menjadikan Dao sebagai novelis

modernis Cina yang terkemuka. Ceritanya

tentang “generasi yang hilang” dari Revolusi

Budaya. Pada 1989 Bei Dao bersama

33 intelektual lainnya menandatangani

sebuah surat untuk NPC dan Komite

Pusat, meminta pembebasan tahanan

politik, antara lain aktivis demokratik

Wei Jingsheng. Ketika demonstran di

Tiananmen dibantai, Dao sedang berada

di Berlin. Beberapa sajaknya beredar

ditengah-tengah demonstran tahun

1989 itu dan dia dituduh ikut memicu

huru-hara. Bei Dao memilih hidup di

pengasingan dan menghidupkan kembali

Jintian, yang kemudian menjadi majalah

sastra Cina yang berpengaruh di luar

negeri. Setelah sempat mengajar di

Denmark, Swedia, dan Jerman

dia pergi Amerika dan mengajar

di Universitas Michigan. Dia

pernah berkata: “Di satu sisi

puisi itu tak berguna, ia tak bisa

mengubah dunia secara material.

Di lain pihak, puisi adalah bagian

dari eksistensi manusia.” Pada

2001 terbit koleksi puisi dari 1991-

1996 dalam edisi bilingual, At the

Sky’s Edge: Poems 1991-1996 (2001).

Pada tahun 2006, Bei Dao diizinkan untuk

pindah kembali ke China. ***

int

Page 65: Majalah Sagang

halaman 63

Puisi Bei Dao

Jawabannya

Kehinaan adalah kata dasar segala jalan,

Aristokrat adalah nisan untuk mereka yang mulia.

Tengok bagaimana langit yang disalut sepuh

Dengan bayang-bayang berpintal melayang dari orang-orang yang

telah mati.

Era beku kini tiada lagi,

Mengapa ada tangis dimerata tempat?

Tanjung harapan indah sudah dijumpai

Mengapa beradu beribu-ribu pelayaran ke laut mati?

Aku tiba ke dunia ini

Hanya membawa kertas, tali dan sebersit bayang,

Untuk menyampaikan di sidang penghakiman

Suara yang telah dihakimi:

Biar kuberitakan kepada kau, dunia,

Aku-tak-percaya!

Page 66: Majalah Sagang

halaman 64

Jika seribu penantang berlutut di bawah kaki-mu,

Hitung aku sebagai yang ke seribu satu.

Aku tak percaya langit itu biru;

Aku tak percaya pada gema guruh;

Aku tak percaya mimpi-mimpi itu palsu;

Aku tak percaya bahawa kematian tiada pembalasan.

Jika laut itu ditakdirkan menjembatani tebing-tebing

Biarkan semua air payau itu tertumpah di jantung-mu;

Jika daratan itu ditakdirkan bangkit

Biarkan kemanusiaan memilih puncak bagi kewujudannya sekali

lagi.

Penyatuan baru dan bintang-bintang berkerdipan

Menghiasi langit yang kini tak terhalang;

Mereka adalah lukisan di dinding gua dari lima ribu tahun silam.

Mereka adalah mata-mata pemerhati bagi orang-orang masa depan.

(Red. Dari berbagai sumber dengan terjemahan sajak Bei Dao

dari teks berbahasa Inggris “The Answer” ke bahasa Indonesia

oleh: Rudiman Yulis).

Page 67: Majalah Sagang

halaman lxvww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

ww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

ww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

ww

w.to

kobu

ku17

1.co

m “...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat : Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau

Pusat PenjualanPekanbaru : Kompleks Metropolitan City Giant, Blok A 19 & 20, Jl. HR Soebrantas Km 12

Dumai : Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171 Batam : Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996

Tanjung Pinang : Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039

Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768

Bukit Tinggi : Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar

Page 68: Majalah Sagang

halaman lxvi