lp ivo ruang 13
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
KRANIOTOMI
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Pendidikan Profesi Departemen Surgical)
Disusun Oleh :
Ivo Feorentina (NIM. 0910720047)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEPERAWATAN
2013
Laporan Pendahuluan Kraniotomi
1. Definisi
Kraniotomi adalah setiap tindakan bedah dengan cara membuka sebagian
tulang tengkorak (kranium) untuk dapat mengakses struktur intrakranial.
Kraniotomi berarti membuat lubang (-otomi) pada tulang kranium. Operasi
dilakukan di rumah sakit yang memiliki departemen bedah saraf dan ICU.
2. Tujuan
Kraniotomi paling sering dilakukan untuk mengambil tumor otak. Prosedur ini
dapat pula ditujukan untuk menghilangkan hematoma, mengontrol perdarahan
dari pembuluh darah yang ruptur (aneurysma cerebri), memperbaiki malformasi
arteriovena (hubungan abnormal pembuluh darah), mengeluarkan abses
cerebri, untuk menurunkan tekanan intrakranial, untuk melakukan biopsi
ataupun untuk menginspeksi otak. Pembedahan dilakukan untuk
menghilangkan gejala atau manifestasi tersebut yang tidak mungkin diatasi
dengan obat-obatan biasa.
3. Indikasi Kraniotomi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
o Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
o Mengurangi tekanan intrakranial.
o Mengevakuasi bekuan darah .
o Mengontrol bekuan darah, dan
o Pembenahan organ-organ intrakranial.
o Tumor otak
o Perdarahan (hemorrage)
o Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
o Peradangan dalam otak
o Trauma pada tengkorak.
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial pada cedera kepala
adalah sebagai berikut :
a) Segera (emergency)
- Hematoma ekstraserebral (epidura, subdura) dengan efek desak ruang
(ketebalan lebih dari 10 mm, dan atau dengan garis tengah yang bergeser lebih
dari 5 mm, dan atau ada penyempitan cistern perimencephalic atau ventriculus
tertius).
- Hematoma intraserebral dengan efek pendesakan dan di lokasi yang dapat
dilakukan tindakan bedah.
- Fraktur terbuka, dengan fragmen impresi, dengan atau tanpa robekan dura.
- Tanda-tanda kompresi saraf optik.
b) Elektif / terprogram
- Fraktur impresi tertutup, dengan defisit neurologik minimal dan pasien stabil.
- Hematoma intrakranial dengan efek masa dan defisit neurologik yang minimal,
dan pasien stabil.
4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
Ø Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya,
ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak,
hemoragik.
Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
Ø Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di
potongan lain.
Ø Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
Ø Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan trauma
Ø Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
Ø Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
Ø Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
Ø Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid
Ø Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
Ø Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
Ø Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran
Ø Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang (Doenges, Marilynn.E, 1999)
5. Penatalaksanaan Medis
PRAOPERASI
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang
pascaoperasi. Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan
untuk mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik
(manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena segera
sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air,
yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter
urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk
mengalirkan kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk
memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik
bila serebral sempat terkontaminasi atau deazepam pada praoperasi untuk
menghilangkan ansietas.
Kulit kepala di cukur segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi)
sehingga adanya abrasi superfisial tidak semua mengalami infeksi.
PASCAOPERASI
Jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP) dapat dipasang untuk
memantau tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien mungkin atau tidak
diintubasi dan mendapat terapi oksigen tambahan.
Mengurangi Edema Serebral : Terapi medikasi untuk mengurangi edema
serebral meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan
menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini
kemudian dieksresikan malalui diuresis osmotik. Deksametason dapat
diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ;
selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.
Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang : Asetaminofen biasanya diberikan
selama suhu di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan
mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf kulit
kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat
parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi
antikonvulsan (fenitoin, deazepam) diresepkan untuk pasien yang telah
menjalani kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah
prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk
mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
Memantau Tekanan Intrakranial : Kateter ventrikel, atau beberapa tipe
drainase, sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk
tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke sistem drainase eksternal.
Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat
di kaji dengan menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke selang
bertekanan dan tranduser. TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok.
Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada
semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk
menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps
ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan
ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter
tanpak tersumbat.
Pirau ventrikel kadang dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk
mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior
6. Komplikasi Pasca Bedah
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca bedah intracranial
atau kraniotomi adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan tekanan intrakranial
2) Perdarahan dan syok hipovolemik
3) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
4) Nyeri
Nyeri pasca kraniotomi sering terjadi dan derajat nyerinya mulai dari sedang
sampai berat. Nyeri ini dapat dikontrol dengan penggunaan: scalp infiltrations,
pemblokiran saraf kulit kepala, pemberian parexocib dan morphine – morphine
merupakan pereda rasa nyeri yang paling efektif.
5) Infeksi
Meningitis bakterial terjadi pada sekitar 0,8 – 1,5 % dari sekelompok individu
yang menjalani kraniotomi.
6) Kejang
Pasien diberikan obat anti kejang selama tujuh hari pasca operasi. Biasanya
pasien diberikan Phenytoin, akan tetapi penggunaan Levetiracetam semakin
meningkat karena risiko interaksi obat yang lebih rendah.
7) Kematian
Pada 276 pasien cedera kepala tertutup yang telah menjalani kraniotomi, angka
kematian mencapai 39%.17 Setengah dari total jumlah pasien tersebut dengan
hematoma subdura akut meninggal setelah menjalani kraniotomi.
Pasien usia lanjut dengan gangguan neurologis memiliki angka kematian
tertinggi setelah dilakukan tindakan kraniotomi. Sebagian besar kematian pasca
operasi disebabkan oleh komplikasi neurologis seperti hematoma, edema disertai
herniasi, atau progresi tumor.Pada studi lain disebutkan bahwa persentase kematian
dapat mencapai 65% pada pasien kraniotomi terbuka dengan indikasi evakuasi
hematoma intraserebral. Kematian dapat terjadi saat pasien sedang dibawah pengaruh
anesthesia dari beberapa reaksi yang sangat jarang terjadi, dengan persentase
dibawah 1%.
Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Kraniotomy
PENGKAJIAN
a) Primery survey (ABCDE) meliputi :
1. Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi
memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya
hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut.
Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada,
merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway. Airway (jalan napas) yaitu
membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal
kollar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal, bersihkan
jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi
yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow
Coma Scale) < 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak
mencapai 90%.
Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara
napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
Feel (raba)
2. Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap
pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di
evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada,
palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi
untuk menentukan adanya darah atau udara ke dalam paru.
Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu
mungkin menunjukkan kekurangan oksigen
Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang
adekuat.
3. Circulation dengan kontrol perdarahan
a. Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan
cardiac output walaupun stroke volum menurun
b. Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan
diastolik)
c. Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah
hipotensi
d. Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan balut tekan pada
daerah tersebut
e. Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal MAE (Meatus
Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau darah mengalir
keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial)
f. Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya
koagulopati dan gangguan irama jantung.
4. Disability.
a. GCS setelah resusitasi
b. Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c. Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5. Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh
penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling dengan harus
menghindari terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS)
b) Secondary survey
1. Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi rambut kulit
kepala), palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan,
nyeri tekan, fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa), tiroid),
palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2. Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan kesimetrisan
ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik pada saat dada bergerak
atau pada saat diem, terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan
pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada dinding dada,
nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi
yang dapat teraba yang dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang
berbicara)
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara
(pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapatb pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang trakeobronkeal dan
untuk mengetahui adanya sumbatan aliran udara. Auskultasi juga berguna untuk
mengkaji kondisi paru-paru dan rongga pleura.
3. Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultan untuk
mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan (heaves). Palpasi
dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi jantung mulai area aorta, area
pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan tetapi dengan
adanya foto rontgen, maka perkusi pada area jantung jarang dilakukan karena
gambaran jantung dapat dilihat pada hasil foto torak anteroposterior. (Priharjo, 1996)
4. Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas bersangkutan,
antara lain yaitu ;
a. Cedera pembuluh darah
b. Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku
c. Crush injury
d. Sindroma kompartemen
e. Dislokasi sendi panggul
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a. Pusasi arteri tidak teraba
b. Pucat (pallor)
c. Dingin (coolness)
d. Hilangnya fungsi sensorik dan motorik
e. Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala sedapat mungkin
dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda dapat meningkatkan resiko
ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat. Fiksasi dini pada
fraktur tulang panjang yang menyertai cedera kepala dapat menurunkan insidensi
ARDS.
FOKUS INTERVENSI
NO Diagnosa
KeperawatanTujuan / Kriteria hasil Rencana Intervensi Rasional
1. Gangguan perfusi
jaringan perifer
· Meningkatkan tingkat
kesadaran biasa /
perbaikan, ognisi dan
fungsi motorik-sensori.
· Mendemonstrasikan
tanda vital stabil dan
tanda-tanda peningkatan
TIK
· Mandiri
1. Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan keadaan tertentu
atau yang menyebabkan
koma/penurunana perfusi jaringan otak
dan potensial peningkatan TIK.
2. Pantau/catat status neurologis
secara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar (misalnya skala koma
Glascow).
3. Evaluasi kemampuan membuka
mata, seperti spontan (sadar penuh)
membuka hanya jika diberi
rangsangan nyeri, atau tetap tertutup
(koma).
4. Kaji respon verbal ; catat apakah
Menentukan pilihan intervensi. Penurunan
tanda dan gejala neurologis atau
kegagalan dalam pemulihannya setelah
serangan awal mungkin menunjukkan
bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke
perawatan intensif untuk memantau
tekanan TIK dan atau pembedahan
Mengkaji adanya kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan potensial
peninkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
Menentukan tingkat kesadaran.
Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan
pasien sadar, orientasi terhadap orang,
tempat dan waktu baik atau malah
bingung; menggunakan kata-kata/
frase yang tidak sesuai.
5. Kaji respon motorik terhadap
perintah yang sederhana, gerakan
yang bertujuan (patuh terhadap
perintah, berusaha untuk
menghilangkan rangsang nyeri yang
diberikan) dan gerakan yang tidak
bertujuan (kelainan postur tubuh).
menunjukkan tingkat kesadaran. Jika
kerusakan (dari pembedahan/insisi) yang
terjadi sangat kecil pada korteks serebral,
pasien mungkin akan bereaksi dengan
baik terhadap rangsangan verbal yang
diberikan tetapi mungkin juga
memperlihatkan seperti ngantuk berat atau
tidak kooperatif. Kerusakan yang lebih
luas pada korteks serebral mungkin akan
berespon lambat pada perintah atau tetap
tertidur ketika tidak ada perintah,
mengalami disorientasi dan stupor.
Kerusakan pada batang otak, pons dan
medulla ditandai dengan adanya respon
yang tidak sesuai terhadap rangsang.
Mengukur kesadaran secara keseluruhan
dan kemampuan untuk berespon pada
rangsangan eksternal dan merupakan
petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada
pasien yang metanya tertutup sebagai
akibat dari trauma atau pasien yang
afasia. Pasien dikatakan sadar apabila
Catat gerakan anggota tubuh dan catat
sisi kiri dan kanan secara terpisah.
6. Pantau TD ; catat adanya hipertensi
sistolik secara menerus dan tekanan
nadi yang semakin berat.
7. Frekuensi jantung; catat adanya
bradikardi, takikardia, atau bentuk
paien dapat meremas atau melepaskan
tangan pemeriksa ata dapat
menggerakkan tangan sesuai dengan
perintah. Gerakan yang bertujuan dapat
meliputi mimik kesakitan atau gerakan
menarik/menjauhi rangsangan nyeri atau
gerakan yang disadari paien (seperti
duduk, fleksi abnormal dari ekstremitas
tubuh). Tidak adanya gerakan spontan
pada salah satu sisi tubuh menandakan
kerusakan pada jalan motorik pada
himisfes otak yang berlawanan.
Peningkatan tekanan darah sistemik yang
diikuti oleh penurunan tekanan darah
diastolik (nadi yang membesar)
merupakan tanda terjadinya peningkatan
TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat
kesadaran. Hipovelemia atau hipertensi
dapat mengakibatkan kerusakan / iskemia
serebral.
Perubahan pada ritme (paling serig
bradikardi) dan disritmia dapat timbul yang
disritmia lainnya.
8. Pantau pernafasan meliputi pola dan
iramanya, seperti adanya periode
apnea setelah hiperventilasi yang
disebut pernafasan Cheyne Sroke.
9. Kaji perubahan pada penglihatan,
seperti adanya penglihatan yang
kabur, ganda, lapang pandang
menyempit dan kedalaman persepsi.
10. Catat ada/tidaknya refleks-refleks
tertentu seperti menelan, batuk dan
babinskidan sebagainya.
11. Pantau suhudan atur lingkungan
sesuai indikasi. Batasi penggunaan
selimut, berikan kompres hangat saat
mencermikan adanya depresi atau trauma
pada batang otak pasien (berhubungan
dengan luasnya insisi) yang tidak
mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Nafas yang tidak teratur dapat
menunjukkan lokasi adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK dan memerlukan
intervensi yang lebih lanjut termasuk
kemungkinan dukungan nafas buatan.
Gangguan penglihatan yang dapat
diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik
pada otak, mempunyai konsekuensi
terhadap keamanan dan juga akam
mempengaruhi pilihan intervensi.
Penurunan refleks menandakan adanya
kerusakan pada tingkat otak tengah atau
batang otak dan sangat berpengaruh
langsung terhadap keamanan pasien.
Demam dapat mencerminkan kerusakan
hipothalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi
(terutama saat demam dan menggigil)
demam timbul. Tutup ekstremitas
dengan selimut jika menggunakan
selimut hipotermia (selimut dingin).
12. Pantau pemasukan dan pengeluaran.
Ukur berat badan sesuai indikasi.
Catat turgor kulit dan keadaan
membran mukosa.
13. Pertahankan kepala/leher pada posisi
yang benar, sokong dengan gulungan
handuk kecil atau bantal pada kepala.
yang selanjutnya dapat menyebabkan
peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai indikator dari cairan
total tubuh terintegrasi dengan pefusi
jaringan.
Kepala yang miring pada salah satu sisi
akan menekan daerah insisi dan menekan
vena jugularis dan menghambat aliran
darah vena, yang selanjutnya akan
meningkatkan TIK.
2. Resiko tinggi
terhadap infeksi
berhubungan
dengan invasi MO
o Mempertahankan
nonmotermia, bebas
tanda-tanda infeksi
o Mencapai penyembuhan
luka (craniotomi) tepat
pada waktunya.
· Mandiri
1. Berikan perawatan aseptik dan
antiseptik, pertahankan teknik cuci
tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan (seperti luka,
garis jahitan), daerah yang terpasang
alat invasi (terpasang infus dan
sebagainya), catat karakteristik dari
drainase dan adanya inflamasi.
Cara pertama untuk menghidari infeksi
nosokomial.
Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melekukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur.
Catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi
mental (penurunan kesadaran).
4. Batasi pengunjung yang dapat
menularkan infeksi atau cegah
pengunjung yang mengalami infeksi
saluran napas bagian atas.
· Kolaborasi
1. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
2. Ambil bahan pemeriksaan
(spesimen) sesuai indikasi.
Dapat mengindikasikan perkembangan
sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
Menurunkan pemajanan terhadap
“pembawa kuman penyebab infeksi”.
Terapi profilaktik dapat digunakan pada
pasien yang mengalami trauma (luka,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan risiko
terjasdinya infeksi nasokomial).
Kultur/sensivitas. Pewarnaan Gram dapat
dilakukan untuk memastikan adanya
infeksi dan mengidentifikasi organisme
penyebab dan untuk menentukan obat
pilihan yang sesuai.
3. Gangguan rasa
nyaman Nyeri
o Melaporkan nyeri
hilang/terkontrol.
o Mengungkapkan metode
yang memberikan
penghilangan.
o Mendemontrasikan
penggunaan
keterampilan relaksasi
dan aktivias hiburan.
· Mandiri
1. Kaji intensitas, gambaran dan
lokasi/penyebaran nyeri, atau adanya
perubahan sensasi.
2. Kaji kembali manifestasi yang
timbul/perubahan dalam intensitas
nyeri.
3. Izinkan pasien untuk mendapatkan
posis yang nyaman jika diperlukan.
Gunakan rogroll selama melakukan
perubahan posisi.
Mungkin sedang sampai berat dengan
penyebaran ke daerah seluruh kepala atau
intrakranial, daerah oksipital. Kesemutan
yang tidak nyaman mungkin merupakan
cerminan kembalinya sensasi setelah
dekompresi saraf atau sebagai akibat dari
perkembangan edema dari penekanan
saraf/daerah operasi.
Perkembangan/resolusi edema dan
inflamasi pada fase awal pascaoperasi
dapat mempengaruhi penekanan pada
berbagai saraf dan menyebabkan
perubahan pada derajat nyeri (terutama 3
hari setelah operasi), ketika spasme
otot/perbaikan sensasi saraf
mengintesifkan nyeri.
Posisi disesuaikan dengan kebutuhan
fisiologis tipe operasinya. Posisi yang
sesuai membantu dalam menghilangkan
menurunkan kelemahan otot dan rasa
tidak nyaman (nyeri).
4. Demonstrasikan penggunaan
keterampilan relaksasi, seperti
bernapas dalam atau visualisasi.
5. Berikan diet makanan lunak,
pelembab ruangan, anjurkan untuk
tdak berbicara setelah dilakukan
bedah.
6. Teliti keluhan pasien mengenai
munculnya kembali nyeri.
· Kolaborasi
1. Berikan obat analgesik, sesuai
kebutuhan.
Narkotik, seperti morfin, kodein,
meperidin (demerol) :oksikodom (Tylox
:hidrokondon (vieodine): asetamenofen
(tylenol) dengan kodein.
Relaksan otot, seperti siklobenzaprin
(flexeril): diazepam (valium).
Dengan menfokuskan kepala perhatian
tertentu, menurunkan ketegangan otot,
meningkatkan rasa memiliki dan kontrol /
menurunkan rasa kurang nyaman.
Menurunkan rasa tidak nyaman yang
berhubungan dengan sakit pada daerah
kranial dan kesulitan menelan.
Sebagai tanda adanya komplikasi kolaps
intrakranial.
Diberikan untuk menghilangkan /
menurunkan nyeri.
Narkotik digunakan selama beberapa hari
pertama pascaoperasi, kemudian
diberikan obat bukan dari jenis narkotik
sesuai dengan penurunan intensitas nyeri.
Dapat digunakan untuk menghilangkan
spasme otot sebagai akibat iritasi saraf
intraoperasi.
2. Bantu dengan ADP.
3. Pasang unit TENS sesuai
kebutuhan.
Memberikan kontrol terhadap pengobatan
(biasanya narkotik) untuk mendapatkan
tingkat kenyamana yang lebih konstan
yang selanjutnya dapat meningkatkan
proses penyembuhan.
Dapat digunakan untuk nyeri insisi atau
ketika saraf tetap terkena setelah
penyembuhan.
4. Syok hivopolemik
berhubungan
dengan resiko
perdarahan
Setelah dilakukan
tindakan asuhan
keperawatan selama 1 X
24 jam diharapkan tidak
terjadi syok
1. Auskultasi nadi apical. Awasi
kecepatan jantung atau irama bila EKG
kontinue ada.
2. Kaji kulit terhadap dingin, pucat,
berkeringat, pengisian kapiler lambat
dan nadi perifer lemah.
3. Catat keluaran urin dan berat jenis.
Perubahan disritmia dan iskemia dapat
terjadi sbagai akibat hipotensi, hipoksia,
asidosis, ketidakseimbangan elektrolit atau
pendinginan dekat area jantung bila laase
air dingin digunakan untuk mengontrol
perdarahan.
Asokonstriksi adalah respon simpatis
terhadap penurunan volume sirkulasi dan
atau dapat terjadi sebagai efek
vasopressin.
Penurunan perfusi sistemik dapat
menyebabkan iskemia atau gagal ginjal
dimanifestasikan dengan penurunan
keluaran urin, ATN dapat terjadi jika
4. Catat laporan nyeri abdomen
khususnya tiba-tiba, nyeri hebat
menyebar ke bahu.
5. Observasi kulit untuk pucat,
kemerahan. Pijat dengan minyak, ubah
posisi dengan sering..
6. Beri oksigen tambahan sesuai
indikasi.
7. Awasi GDA atau nadi oksimetri.
8. Berikan cairan IV sesuai indikasi.
hipovolemik memanjang.
Nyeri disebabkan ulkus gaster sering
hilang setelah perdarahan akut karena
efek buffer darah. Nyeri berat berlanjut
atau tiba-tiba dapat menunjukkan iskemia
sehubungan dengan terapi asokonstriksi,
perdarahan kedalam traktus bilier
(hematobilia), atau perforasi atau
timbulnya peritonitis.
Gangguan pada sirkulasi perifer
meningkatkan resiko kerusakan kulit.
Mengobati hipoksia dan asidosis laktat
selama perdarahan akut.
Mengidentifikasi hipoksemia, keefektifan
atau kebutuhan untuk terapi.
Mempertahankan volume sirkulasi dan
perfusi.
5. Gangguan pola
napas
Menunjukkn perbaikan
ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan
GDA dalam rentang
· Mandiri
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan. Catat napas sesuai
indikasi.
Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmunal (umumnya mengikuti
cedera otak postoperasi) atau
normal dan bebas gejala
distres pernafasan.
2. Catat kompetensi refleks gangguan
menelan dan kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas sendiri.
Pasang jalan napas sesuai indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai
aturannya, posisi miring sesuai
indikasi.
4. Anjurkan pasien untuk melakuakan
napas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
5. Lakukan perhisapan dengan ekstra
hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan
dari sekret.
menandakan lokasi/luasna keterlibatan
otak. Pernapasan lambat, periode apnea
dapat menandakan perlunya ventilasi
mekanis.
Kemampuan memobilisasi atau
membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan nafas. Kehilangan
refleks menelan atau batuk menandakan
perlunya jalan napas buatan atau intubasi.
Untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
Mencegah dan menurunkan atelektasis.
Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat membersihkan
jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada
trakea yang lebih dalam harus dilakukan
dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut
6. Auskultasi suara napas, perhatikan
daerah hipoventilasi dan adanya
suara-suara tambahan yang tidak
normal (seperti adanya suara
tambahan yang tidak normal seperti
krekels, ronki dan mengi).
7. Pantau penggunaan obat-obat
depresan pernapasn, seperti sedatif.
· Kolaborasi
1. Pantau atau gambarkan analisan gas
darah, tekanan oksimetri.
2. Lakukan rotgen toraks ulang.
dapat menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi
yang padda akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi serebral.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah
paru seperti atelektasis kongesti atau
obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi serebral dan
menandakan terjadinya infeksi paru
(umumnya merupakan koplikasi dari
craniotomi postoperasi).
Dapat meningkatkan gangguan/
komplikasi pernapasan.
Menentukan kecukupan pernapasan,
keseimbangan asam-basa dan kebutuhan
akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan
tanda-tanda komplikasi yang berkembang
(seperti atelektasis atau
bronkopneumonia)
3. Berikan oksigen.
4. Lakukan fisioterapi dada jika ada
indikasi.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri
dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan
mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan peningkatan TIK fase akut
namun tindakan ini seringkali berguna
pada fase akut rehabilisasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan
napas dan menurunkan risiko atelektasis
atau komplikasi paru lainnya.
6. Gangguan
integritas kulit
berhubungan
dengan kerusakan
jaringan
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 1 x 24 jam
diharapakan klien dapat
mempertahankan
integritas kulit dengan
kriteria hasil :
1. kulit klien tidak
menunjukkan
kemerahan atau iritasi.
2. Mengidentifikasi faktor
1. Inspeksi seluruh area kulit, catat
pengisian kapiler, adanya kemerahan,
pembengkakan.
2. Lakukan massase dan lubrikasi pada
kulit dengan losion/minyak
3. Hindari pakaian ketat
Kulit biasanya cenderung rusak karena
perubahan sirkulasi perifer,
ketidakmampuan untuk merasakan
tekanan.
Meningkatkan sirkulasi dan melindungi
permukaan kulit, mengurangi terjadinya
ulserasi.
Karena dapat menyebabkan area tertekan
Untuk mencegah kerusakan kulit
resiko individual
3. Mengungkapkan
pemahaman tentang
kebutuhan tindakan.
4. Berpartisipasi pada
tingkat kemampuan
untuk mencegah
kerusakan kulit
5. Menunjukkan perilaku
peningkatan
penyembuhan.
4. Bersihkan dan bedaki permukaan
kulit beberapa kali per hari
5. Pisahkan permukaan kulit dengan
kapas halus
6. Gunakan penghilang tekanan atau
matras atau tempat tidur penurun
tekanan sesuai kebutuhan.
7. Beri salep seperti seng oksida
8. Hindari menggunakan tissue basah
yang dijual bebas yang mengandung
alkohol.
Untuk mencegah kerusakan kulit
Untuk mencegah ulkus.
Untuk melindungi kulit dari iritasi (tipe salep
dapat bervariasi untuk setiap klien dan
memerlukan periode percobaan.
Karena akan menyebabkan rasa
menyengat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner and Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, vol. 3. EGC: Jakarta;
2002.
2. Doenges, Marilyn E., Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC; 1999.
Kraniotomi Efek anastesi
Hygiene luka buruk
Infasi kuman
Resti infeksi
Jar kulit rusak
Kerusakan integritas kulit
Ujung 2 syaraf
Reseptor nyeri
nyeri
perdarahan
Gangguan perfusi jaringan
↓ vol darah
Kekurangan volume cairan
Menekan pusat nafas
↓ kerja organ pernafasan
↓ ekspansi paru
Suplay O2 tidak adekuat
Pola nafas tidak efektif
Penumpukan sekret
Bersihan jalan nafas tidak efektif
System perkemihan
↓ fungsi ginjal
↓ reflek berkemih
inkontinensia
Perubahan pola berkemih
System GI
Stimulasi medula
Reflek muntah
Nausea,vomiting
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Path Way