laporan praktikum uji ketoksikan akut

21
LAPORAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI DASAR “UJI KETOKSIKAN AKUT” Disusun oleh: Nama/NIM : Agatha Novita Ika (078114040) Christina Ramya Hening (088114013) Dessy Jayanti (088114019) Wiria Sende Paiman (088114025) Franciska Williasari (088114037) Eureka Gracia Letitia (088114044) Aloysius Singgih (088114058) Kelompok prak. : D 1 Hari, tgl prak. : Kamis, 16 September 2010 PJ Laporan : LABORATORIUM TOKSIKOLOGI

Upload: yosephinedhitavidyarani

Post on 29-Jun-2015

4.947 views

Category:

Documents


213 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

LAPORAN PRAKTIKUM

TOKSIKOLOGI DASAR

“UJI KETOKSIKAN AKUT”

Disusun oleh:

Nama/NIM : Agatha Novita Ika (078114040)

Christina Ramya Hening (088114013)

Dessy Jayanti (088114019)

Wiria Sende Paiman (088114025)

Franciska Williasari (088114037)

Eureka Gracia Letitia (088114044)

Aloysius Singgih (088114058)

Kelompok prak. : D1

Hari, tgl prak. : Kamis, 16 September 2010

PJ Laporan :

LABORATORIUM TOKSIKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

Page 2: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pestisida telah digunakan secara luas untuk meningkatkan produksi pertanian,

perkebunan, dan memberantas vector penyakit. Penggunaan pestisida untuk keperluan

di atas, terutama sintetik telah menimbulkan dilema. Pestisida sintetik di satu sisi

sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan produksi pangan untuk menunjang

kebutuhan yang semakin meningkat dan di satu sisi penggunaanya juga berdampak

negatif baik pada manusia, hewan, mikroba dan lingkungan.

Menurut data WHO, paling tidak ditemukan 20.000 orang meninggal karena

keracunan pestisida dan sekitar 5.000 – 10.000 mengalami dampak yang sangat

berbahaya seperti kanker, cacat, mandul dan hepatitis dalam setiap tahunnya

(Priyanto, 2009).

Sidametrin (Sipermetrin) merupakan salah satu contoh pestisida yang biasanya

digunakan untuk membasmi hama pertanian. Uji ketoksikan akut dirasa penting untuk

senyawa ini karena uji ini dapat memperkirakan kisaran dosis letal atau dosis toksik

obat terkait.

Uji ketoksikan akut merupakan parameter derajat efek toksik suatu senyawa

yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan

waktu yang dimaksud dalam uji ketoksikan akut ini adalah 24 jam setelah pemejanan.

Karena sifatnya yang akut dan dalam waktu singkat, maka uji ini sangat penting

dipelajari untuk mengantisipasi akibat terburuk yang akan terjadi.

B. PERMASALAHAN

1. Apakah tujuan, sasaran luaran, dan manfaat dari uji ketoksikan akut sidametrin?

2. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan uji ketoksikan akut obat sidametrin?

3. Berapakah nilai LD50 dari obat sidametrin?

4. Bagaimanakah spektrum efek toksik obat sidametrin pada beberapa fungsi vital

tubuh, seperti penapasan, gerak, dan perilaku?

Page 3: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

C. MANFAAT

1. Praktikan dapat mengetahui serta menerapkan metode penentuan dosis yang

berbahaya bagi tubuh.

2. Praktikan dapat menghitung LD50 dengan menggunakan berbagai metode.

3. Praktikan dapat mengamati gejala klinis dan morfologi efek toksik senyawa uji

Sidametrin (Sipermetrin).

D. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, luaran, dan manfaat dari uji

ketoksikan akut, serta tata cara pelaksanaan uji ketoksikan akut obat sidametrin

tersebut.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu menentukan nilai LD50 dari obat sidametrin dengan

menggunakan Metode Farmakope Indonesia Edisi III, Metode Litchfield-

Wilcoxon, Thompson-Weil, dan metode Miller-Tainter.

b. Mahasiswa mampu menetapkan potensi ketoksikan akut dari obat sidametrin.

c. Mahasiswa mampu menetapkan spektrum efek toksik obat sidametrin pada

beberapa fungsi vital tubuh, seperti pernapasan, gerak, dan perilaku.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Uji Toksisitas

Uji toksisitas dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu uji toksisitas tak

khas dan uji toksisitas khas. Uji toksisitas tak khas adalah uji toksisitas yang

dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka

Page 4: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam golongan ini adalah uji toksisitas akut, uji

toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis. Sedangkan yang dimaksud dengan

uji toksisitas khas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek

khas suatu senyawa pada aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam golongan uji

potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji kemutagenikan, uji keteratogenikan, uji

reproduksi, uji kulit, dan uji perilaku (Donatus, 1990).

2. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas dengan pemberian suatu

senyawa pada hewan uji pada suatu saat. Maksud uji tersebut adalah untuk

menetukan gejala yang timbul sebagai akibat pemberian suatu senyawa dan untuk

menentukan tingkat letalitasnya (Loomis, 1978).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa

dalam waktu singkat setelah pemejanan. Uji ketoksikan dikerjakan dengan

memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2

jenis hewan uji roden dan miroden, jantan maupun betina). Takaran dosis yang

dianjurkan paling tidak 4 peringkat dosis dari dosis rendah yang tidak mematikan

hewan uji sampai dosis tertinggi yang mematikan seluruh hewan uji. Pengamatan

yang dilakukan meliputi gejala klinis, jumlah hewan yang mati dan histopatologi

organ (Donatus, 2001).

Tujuan dari uji ketoksikan adalah menggambarkan ketoksikan intrinsik dari

suatu zat kimia untuk memperkirakan resiko atau ketoksikan pada spesies target,

mengidentifikasikan organ target, menyediakan informasi tentang desain dan

pemilihan tingkat dosis, untuk penelitian dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Yang terpenting ialah menyediakan infomasi untuk keperluan klinis dalam

memperkirakan, mendiagnosis dan meresepkan pengobatan zat kimia yang secara

akut beracun (Hayes, 2001).

Data yang diperoleh dari uji ketoksikan akut berupa data kuantitatif yang

berupa LD50 sedangkan data kualitatif berupa penampakan klinis dan morfologi

efek toksik senyawa uji. Data LD50 yang diperoleh digunakan untuk potensi

ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain dan untuk memperkirakan

takaran dosis uji toksikologi lainnya (Donatus, 2001).

LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik

diharapakan akan membunuh 50% hewan coba, juga dapat menunjukkan organ

Page 5: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan

petunjuk dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama.

Evaluasi juga terhadap kelainan tingkah laku, stimulasi atau depresi SSP, aktivitas

motorik dan pernapasan untuk mendapat gambaran tentang sebab kematian

(Donatus, 2001 ).

3. Kekerabatan Dosis-Respon

Konsep dasar dalam toksikologi bahwa tidak ada zat kimia yang benar-

benar aman, demikian juga bahwa tidak ada zat kimia yang tidak akan

menimbulkan efek jika jumlah yang berinteraksi dengan jaringan biologi belum

cukup untuk dapat menimbulkan efek, sehingga dapat dikatakan ada hubungan

antara kadar zat kimia dengan respon yang ditimbulkan atas mekanisme biologi

tertentu (Loomis, 1978).

Data respon yang dapat diamati dari suatu percobaan toksisitas dapat

digolongkan menjadi 2 tipe:

a. Data tipe sama sekali ada atau sama sekali tidak ada respon, biasa juga disebut

respon kuantal, yaitu respon yang mana efek yang diamati hanya ada dua

kemungkinan: ada atau tidak ada respon. Misalnya pada uji toksisitas data

respon berupa kematian atau tetap hidup.

b. Data tipe bertingkat atau respon gradual, yang mana respon yang diberikan

hewan uji akan bertingkat sesuai dengan intensitas pemejanan pada hewan uji.

Sejauh ini, hubungan kurva dosis-respon merupakan suatu hubungan antara

respon jaringan dengan adanya kenaikan kosentrasi obat. Hubungan tersebut

dikenal sebagai respon kuantal.

4. Kondisi Efek Toksik

Kondisi efek toksik adalah faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan

absorbsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun di dalam tubuh, sehingga akan

menetukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran serta

toksisitasnya, atau keefektifan antaraksinya dengan sel sasaran. Kondisi efek

toksik adalah kondisi pemejanan yang meliputi jenis pemejanan (akut-kronis),

jalur pemejanan (intravaskular atau ekstravaskular), lama dan kekerapan

pemejanan, saat pemejanan dan takaran atau dosis pemejanan. Selain itu,

termasuk pula dalam kondisi efek toksik ialah subyek atau makhluk hidup yang

Page 6: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

meliputi keadaan fisiologis (berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan

pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis

kelamin, keadaan patologi seperti penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, hati dan

ginjal) (Donatus, 1990).

5. Mekanisme Aksi Efek Toksik

Zat beracun setelah masuk ke dalam tubuh akan mengalami distribusi

sampai cairan ekstrasel atau intrasel. Karena itu, berdasarkan sifat dan tempat

kejadiannya, mekanisme efek toksik zat kimia dibagi menjadi dua yaitu

mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel

adalah luka-luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat beracun atau

metabolitnya pada tempat aksi tertentu di dalam sel sasaran. Karena itu,

mekanisme ini disebut juga mekanisme langsung atau mekanisme primer.

Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Artinya, zat beracun pada

awalnya bereaksi di lingkungan luar sel dengan akibat terjadinya luka di dalam

sel. Karenanya, mekanisme ini disebut juga mekanisme tidak langsung atau

sekunder. Dengan memahami mekanisme aksi toksik zat beracun, maka dapat

diketahui penyebab timbulnya keracunan yang berkaitan dengan wujud dan sifat

efek toksik yang terjadi (Donatus, 1990).

6. Potensi Ketoksikan

Kriteria yang dapat dipergunakan untuk melukiskan ketoksikan adalah

dosis (kuantitas zat kimia yang terlibat) yang dapat dinyatakan sebagai potensi

untuk menimbulkan toksisitas (tingkat keberbahayaan).

Penggolongan potensi ketoksikan, berdasarkan Loomis, 1978:

a. Luar biasa toksik (1 mg/kgBB atau kurang)

b. Sangat toksik (1-50 mg/kgBB)

c. Cukup toksik (50-500 mg/kgBB)

d. Sedikit toksik (0.5-5 g/kgBB)

e. Praktis tidak toksik (5-15 g/kgBB)

f. Relatif kurang berbahaya (lebih 15 g/kgBB)

Page 7: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

7. Sipermetrin

Sipermetrin, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida non-sistemik ini

bekerja sebagai racun kontak dan racun perut, efektif-terutama-untuk

mengendalikan Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Hemiptera, dan kelas-kelas

lainnya. Sipermetrin digunakan di bidang pertanian, rumah tangga, kesehatan

masyarakat, dan kesehatan hewan. LD50 (tikus) sekitar 250-4.150 mg/kg; LD50

dermal (tikus) > 4.920 mg/kg agak menimbulkan iritasi kulit dan mata; LC50

inhalasi (4 jam, tikus) 2,5 mg/liter udara; NOEL (2 tahun, tikus) 7,5 mg/kg; dan

ADI 0,05 mg/kg bb (Djojosumarto, 2008).

B. LANDASAN TEORI

Toksisitas merupakan suatu sifat relatif yang biasa digunakan untuk

membandingkan apakah zat kimia yang satu lebih toksik dari zat kimia yang lain.

Sipermetrin merupakan insektisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun

kontak dan racun perut. Sipermetrin banyak digunakan pada bidang pertanian,rumah

tangga, kesehatan, masyarakat serta kesehatan hewan.

Untuk menentukan efek toksik suatu senyawa dalam waktu singkat setelah

pemejanan perlu dilakukan suatu uji toksisitas akut. Uji ketoksikan dikerjakan dengan

memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2 jenis

hewan uji roden dan miroden, jantan maupun betina). Takaran dosis yang dianjurkan

paling tidak 4 peringkat dosis dari dosis rendah yang tidak mematikan hewan uji

sampai dosis tertinggi yang mematikan seluruh hewan uji. Pengamatan yang

dilakukan meliputi gejala klinis, jumlah hewan yang mati dan histopatologi organ.

Data yang diperoleh dari uji ketoksikan akut berupa data kuantitatif yang

berupa LD50 sedangkan data kualitatif berupa penampakan klinis dan morfologi efek

toksik senyawa uji data. LD50 yang diperoleh digunakan untuk potensi ketoksikan akut

senyawa relatif terhadap senyawa lain dan untuk memperkirakan takaran dosis uji

toksikologi lainnya.

C. HIPOTESIS

1. LD50 sidametrin adalah 7 mg/ 20g BB mencit

Page 8: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

2. Pada hewan uji mencit, pemberian sidametrin pada peringkat dosis I tidak

menyebabkan kematian (tingkat toksisitasnya rendah).

3. Pada pemberian sidametrin peringkat dosis II dan III, terjadi kematian setengah

atau sepertiga jumlah populasi dari hewan uji mencit yang dapat dilihat dari nilai

LD50-nya dan penampakan klinis serta morfologis efek toksis dari senyawa uji.

4. Pada pemberian sidametrin peringkat dosis IV atau maksimum, hewan uji mencit

mengalami kematian secara total dari keseluruhan jumlah populasi.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni sederhana yang dilakukan

dengan memberikan perlakuan pada subyek uji.

B. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel utama

i. Variabel bebas

Tingkat pemberian dosis pada mencit, yaitu:

ii. Variabel tergantung

1. Kondisi setelah pemberian sidametrin.

2. Jumlah mencit yang mati.

2. Variabel pengacau

i. Variabel terkendali

1. Bobot mencit.

2. Jenis kelamin mencit.

ii. Variabel tidak terkendali

1. Kondisi hewan uji (mencit).

Page 9: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

2. Umur mencit

3. Galur pada mencit.

C. ALAT DAN BAHAN

Alat :

1. Timbangan analitik

2. Alat – alat gelas (beker glass, pipet tetes, labu ukur, pipet ukur, pengaduk, dll).

3. Spuit injeksi oral

Bahan :

1. Aquadest

2. Sidametrin

D. HEWAN UJI

Mencit putih galur Swiss @ kelompok 5 ekor

E. SKEMA KERJA

1. Pemilihan hewan uji

Dipilih hewan uji mencit galur Swiss, dewasa sehat, jenis kelamin betina, beratnya

seragam dalam range 25-30 gram (variasi yang diperbolehkan ± 10%).

Dipilih 5 ekor untuk tiap meja.

2. Pengelompokan hewan uji

Hewan yang dipilih paling tidak diadaptasikan di laboratorium selama seminggu.

Penimbangan berat badan mencit dilakukan 1 hari sebelum percobaan.

Hewan dibagi beberapa kelompok sesuai peringkat dosis yang diberikan ditambah

kelompok kontrol negatif.

3. Tata cara pemberian/pemejanan dosis sediaan uji

LD50 Sidametrin pada mencit p.o adalah 7 mg/20g BB mencit (setelah dikonversi

dari LD50 sidametrin pada tikus p.o. 250 mg/kg BB tikus) (Djojosumarto, 2008).

Page 10: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

Sedapat mungkin senyawa uji dipersiapkan dalam sediaan larutan terdiri dari 4

peringkat dosis:

Dosis I : 3,5 mg/20gBB

Dosis II : 7,0 mg/20gBB

Dosis III : 14 mg/20gBB

Dosis IV : 28 mg/20gBB

Diberikan secara p.o. terhadap hewan uji mencit.

4. Pengamatan

Masa pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus-kasus tertentu

dapat selama 7-14 hari.

Pengambilan meliputi pengamatan fisik terhadap gejala klinis (blanko data),

jumlah hewan yang mati dan hispatologi seluruh organ (warna).

5. Analisis dan evaluasi hasil

Dari gejala klinis yang nampak pada fungsi vital secara kualitatif, dipakai untuk

mengevaluasi mekanisme penyebab kematian.

Data hispatologi digunakan untuk mengevaluasi 5 spektrum efek toksik.

Data jumlah yang mati pada kelompok, secara kuantitatif digunakan menghitung LD50

mengikuti salah satu cara dalam pendahuluan.

Bila sampai batas volume maksimum tidak menimbulkan kematian hewan uji, maka

dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu.

F. ANALISIS HASIL

Pengukuran LD50 menggunakan metode Hiller-Tainter, Farmakope Indonesia III,

Litchfield-Wilcoxon, dan Thompson-Weil.

1. Metode Hiller-Tainter

Page 11: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

RL antara log dosis (x) dengan nilai probit (y).

2. Metode Farmakope Indonesia III

Log LD50 = a-b (pi –0,5)

Keterangan:

a = log dosis yang menyebabkan jumlah kematian 100% hewan uji

b = logaritma ratio dosis yang berurutan

pi= jumlah hewan mati yang menerima dosis dibagi jumlah hewan seluruhnya

yang menerima dosis

3. Metode Litchfield-Wilcoxon

RL antara log dosis (x) dengan % mati (y).

4. Metode Thompson-Weil

log LD50 = log Do + (d(f+1))

Keterangan:

Do = peringkat dosis rendah

d = faktor kelipatan dosis

f = tetapan berdasarkan jumlah kematian hewan uji sesuai tabel Thompson-Weil

G.

Page 12: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 709, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta

Anonim, 2008, Propranolol HCl, www.diskes.jabarprov.go.id, diakses tanggal 9 September

2009

Djojosumarto, P., 2008, Pestisida dan Aplikasinya, 109, Agro Media Pustaka, Jakarta

Donatus, I. A., 1990, Audiovisual Toksikologi Dasar, 36-53, Laboratorium Farmakologi dan

Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta

Donatus, I. A., 2001, Toksikologi Dasar, 1, 200, 201, Laboratorium Farmakologi dan

Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta

Hayes, A, W., 2001, Principles and Methods of Toxicology, Ed 4, Taylor & Francis, United

States of America

Loomis, T. A., 1978, Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh: Imono Argo Donatus, Edisi III,

20-23, 83-86, 206-208, 228-232, IKIP Semarang-Press, Semarang

Priyanto, 2009, Toksikologi : Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko, 99,

Lembaga Studi Dan Konsultasi Farmakologi Indonesia, Jawa Barat

Page 13: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

TUGAS

1. Perbedaan tata cara perhitungan LD50 antara metode-metode :

a. Metode Miller Tainter

Persamaan yang digunakan untuk menghitung log LD50 adalah regresi linear

antara log dosis setiap kelompok hewan uji vs probit. Persamaan log LD50

digunakan untuk menentukan nilai x LD50. setelah didapatkan nilai x,

kemudian dikonversikan ke nilai antilognya. Kadar yang didapat adalah LD50

bagi mencit mg/kg BB. Untuk perhitungan LD50 bagi manusia perlu dilakukan

onversi dosis dari mencit ke manusia.

No Log dosis Σ mati % mati probit

b. Metode Thompson Weil

Rumus yang digunakan :

Log LD50 = log D0 + { log d ( f + 1)}

Keterangan : D0 = peringkat dosis yang terendah

d = faktor kelipatan dosis

f = harga tetapan berdasarkan jumlah kematian hewan

uji berdasarkan tabel Thompson Weil

c. Metode Litchfield Wilcoxon

Persamaan dihitung dengan regresi linier hubungan log dosis dan % mati.

LD50 adalah kadar obat yang mematikan 50% populasi hewan uji.

No Log dosis Σ mati % mati probit

d. Farmakope Indonesia III

Rumus yang digunakan :

LD50 = a-b ( Σ pi – 0,5 )

Page 14: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT

Keterangan : a = log dosis terendah yang mematikan 100% populasi

tiap hewan uji

b = beda logaritma berurutan

pi = jumlah hewan yang mati dibagi jumlah hewan

seluruhnya yang menerima dosis

2. Tujuan, sasaran, luaran, dan manfaat uji ketoksikan akut

a. Tujuan : untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal

atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan uji atau lebih serta untuk

menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan

mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji.

b. Sasaran : tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisara dosis letal/toksik) dan tolok

ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik)

c. Luaran : penilaian keamanan obat terkait bila digunakan untuk manusia,

meliputi nilai potensi ketoksikan (LD50) dan potensi keefektifan (ED50) obat

terkait.

d. Manfaat : pengetahuan tentang potensi ketoksikan akut dimanfaatkan untuk

merancang uji ketoksikan subkronis atau kronis, maupun untuk

memperkirakan dosis awal atau dosis terapi penelitian yang lain (5-10%LD50)

3. perbedaan harga LD50 dengan LC50

LD50 : dosis obat /senyawa kimia yang menyebabkan kematian 50% hewan

uji.

LC50 : konsentrasi obat/senyawa kimia (dalam udara/air) yang menyebabkan

kematian 50% hewan uji

Page 15: LAPORAN PRAKTIKUM UJI KETOKSIKAN AKUT