laporan pendahuluan hendra fiks

Upload: hendradwicahyono

Post on 10-Oct-2015

86 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hhii

TRANSCRIPT

25

LAPORAN PENDAHULUAN GRAVES DISEASE DENGAN HIPERTIROID DAN DM Di Ruang 26 ipdRUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Oleh :HENDRA DWI CAHYONO105070201111016

JURUSAN ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2014A. Definisi Graves DiseasePenyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison, 2000).

B. Etiologi Graves DiseasePenyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy (Karasek dan Lewinski, 2003).Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun (Shahab, 2002; Harrison, 2000).Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).1. Faktor genetikPenyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit graves. Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang Jepang HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti dilaporkan oleh Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk membuat TSAb.2. Faktor imunologisPenyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid stimulating antibody atau TSAb). Teori imunologis penyakit graves :a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktifb. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic khususc. rendahnya sel T dengan fungsi suppressord. adanya cross reacting epitopee. adanya ekspresi HLA yang tidak tepatf. adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasig. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel Th. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun tidak bereaksi atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut mempunyai toleransi imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan.Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh:a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti TNF-, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor infeksi.2. Trauma PsikisPada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid justru turun. Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper, meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.3. Radiasi Tiroid eksternalDilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset sel T, yang mendorong disregulasi imun. 4. Chorionic Gonadothropin HormonHipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unuit alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai efek TSH pun dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.

C. Patofisiologi Graves DiseasePada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves (Shahab, 2002).Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves (Shahab, 2002).Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002). Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab, 2002).

Gambar 1: Patogenesis Penyakit Graves

D. Gambaran Klinis Graves Disease1. Gejala dan Tanda Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS): a. Tidak ada gejala dan tandab. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)c. Perubahan jaringan lunak orbitad. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocularf. Perubahan pada kornea (keratitis)g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3, ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan (Shahab, 2002).Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan (Shahab, 2002).Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut:Tabel 1: Indeks WayneIndeks Wayne

NoGejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah BeratNilai

1Sesak saat kerja+1

2Berdebar+2

3Kelelahan+2

4Suka udara panas-5

5Suka udara dingin+5

6Keringat berlebihan+3

7Gugup+2

8Nafsu makan naik+3

9Nafsu makan turun-3

10Berat badan naik-3

11Berat badan turun+3

NoTandaAdaTidak Ada

1Tyroid teraba+3-3

2Bising tyroid+2-2

3Exoptalmus+2-

4Kelopak mata tertinggal gerak bola mata+1-

5Hiperkinetik+4-2

6Tremor jari+1-

7Tangan panas+2-2

8Tangan basah+1-1

9Fibrilasi atrial+4-

10Nadi teratur< 80x per menit80 90x per menit> 90x per menit --+3-3--

Hipertyroid jika indeks 20

E. Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan LaboratoriumAutoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab, 2002). Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).Pemeriksaan Penunjang LainDiagnosis laboratorik : a. Pemeriksaan metabolisme basalpemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah, untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit (severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut, penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher, pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab laind. Sidik tiroid jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan. Graves selalu dengan gondok hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAbe. Pemeriksaan terhadap antibodi. Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai berikut: 1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb (yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali fosfatase meningkat.

F. Penatalaksanaan Graves DiseaseFaktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).1. Obat obatana. Obat Antitiroid : Golongan TionamidTerdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikisPropylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut:1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal. 2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah. 3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti, 2001; Shahab, 2002).b. Obat Golongan Penyekat BetaObat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol (Subekti, 2001; Shahab, 2002).Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase (Subekti, 2001; Shahab, 2002).c. Obat-obatan LainObat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif (Shahab, 2002).Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT (Shahab, 2002). 2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksinYang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7% pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001). 3. Pembedahan Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).4. Terapi Yodium Radioaktif Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di dalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif (Shahab, 2002). Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT (Shahab, 2002). Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab, 2002). Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme (Shahab, 2002).Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah:1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131 2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi) 3. Gastritis radiasi (jarang terjadi) 4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung. Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).5. Pengobatan Oftalmopati GravesDiperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata (Shahab, 2002). Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya (Shahab, 2002).6. Pengobatan Krisis TiroidPengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu (Shahab, 2002).

G. KomplikasiKrisis tiroid (Thyroid storm)Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain: Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain. Terapi yodium radioaktif. Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat. Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard. Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi: Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis. Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung. Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma. Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus. Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid (Shahab, 2002). Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi (Shahab, 2002).Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).

H. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Aktivitas/istirahatGejala: insomnia, sensitivitas meningkat, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat. Tanda: Atrofi otot. SirkulasiGejala: palpitasi, nyeri dada (angina)Tanda: disritmia (Fibrilasi atrium), irama gallop, murmur, peningkatan tekanan darah dengan tekanan nada yang berat, takikardia saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tirotoksikosis). EliminasiGejala: urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feses (diare) Integritas egoGejala: Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisikTanda: Emosi labil (euforia sedang sampai delirium), depresi Makanan / cairanGejala: Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsumakan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntahTanda: Pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial NeurosensoriTanda: Bicaranya cepat dan parau, gangguan status mental dan perilaku, seperti: bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang, delirium, psikosis, stupor, koma, tremor halus pada tangan, tanpa tujuan, beberapa bagian tersentak sentak, hiperaktif reflekstendon dalam (RTD) Nyeri / kenyamananGejala: nyeri orbital, fotofobia PernafasanTanda: frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis) KeamananGejala: tidak toleransi teradap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan)Tanda: suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan emerahan, rambut tipis, mengkilat, lurus, eksoftalmus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah SeksualitasTanda: penurunan libido, hipomenore, amenore dan impoten Penyuluhan / pembelajaranGejala: adanya riwayat keluarga yang mengalami masalah tiroid, riwayat hipotiroidisme, terapi hormon toroid atau pengobatan antitiroid, dihentikan terhadappengobatan antitiroid, dilakukan pembedahan tiroidektomi sebagian, riwayat pemberian insulin yangmenyebabkan hipoglikemia, gangguan jantung atau pembedahan jantung, penyakit yang baru terjadi (pneumonia), trauma, pemeriksaan rontgen foto dengan kontras

2. Diagnosa keperawatan Penurunan curah jantung Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan Intoleransi aktivitas

3. Intervensi keperawatan Penurunan Curah JantungTujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, klien akan mempertahankan curah jantung yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh.Kriteria hasil: Nadi perifer dapat teraba normal Tanda-tanda vital dalam batas normal Tidak ada disritmia Pengisian kapiler normalIntervensi :

INTERVENSIRASIONAL

Pantau tekanan darah pada posisi baring, duduk dan berdiri jika memungkinkan. Perhatikan besarnya tekanan nadi Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari vasodilatasi perifer yang berlebihan dan penurunan volume sirkulasi

Periksa kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan pasien. Merupakan tanda adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot jantung atau iskemia

Kaji nadi atau denyut jantung saat pasien tidurMemberikan hasil pengkajian yang lebih akurat untuk menentukan takikardia

Auskultasi suara nafas. Perhatikan adanya suara yang tidak normal (seperti krekels) S1 dan murmur yang menonjol berhubungan dengan curah jantung meningkat pada keadaan hipermetabolik

Pantau EKG, catat atau perhatikan kecepatan atau irama jantung dan adanya disritmiaTakikardia mungkin merupakan cerminan langsung stimulasi otot jantung oleh hormone tiroid. Disritmia seringkali terjadi dan dapat membahayakan fungsi jantung atau curah jantung

Observasi tanda dan gejala haus yang hebat, mukosa membran kering, nadi lemah, penurunan produksi urine dan hipotensi Dehidrasi yang cepat dapat terjadi yang akan menurunkan volume sirkulasi dan menurunkan curah jantung

Catat masukan dan haluaran Kehilangan cairan yang terlalu banyak dapat menimbulkan dehidrasi berat

Berikan cairan melalui IV sesuai indikasiUntuk memperbaiki volume sirkulasi tetapi harus diimbangi dengan perhatian terhadap tanda gagal jantung

Berikan obat sesuai indikasi, seperti : Penyekat beta seperti propanolol, atenolol, nadolol

Hormone tiroid antagonis seperti metimazol (Tapazole) Ntrium iodide (lugol) atau saturasi kalium iodideMengendalikan pengaruh tirotoksik terhadap takikardia, tremor, dan gugup. Menurunkan frekuensi/kerja jantung oleh daerah reseptor penyekat beta adrenergic dan konversi dari T4 ke T3Memblok sintesis hormone tiroid dan menghalangi perubahan T4 ke T3Mencegah pengeluaran hormone tiroid kedalam sirkulasi dengan meningkatkan jumlah penyimapanan hormone tiroid dalam kelenjar tiroid

Pantau hasil Lab sesuai indikasi Kalsium serum

Kalium serumRasional : Terjadinya peningkatan dapat mengubah kontraksi jantung Hipokalemi sebagai akibat dari kehilangan melalui GI

T

Ketidakseimngketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhanTujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam, klien menunjukkan tanda-tanda pemulihan nutrisiKriterian Hasil: Menunjukkan berat badan stabil dan asupan tetap adekuat Nilai laboratorium normal dan terbebas dari tanda-tanda malnutrisiIntervensi:IntervensiRasional

Catat dan laporkan adanya anoreksia, kelelahan umum/nyeri, nyeri abdomen, munculnya mual & muntahPeningkatan aktivitas adrenergik dpt menyebabkan gangguan sekresi insulinatau terjadi resisten yang mengakibatkan hiperglikemia, perubahan kecepatan dan kedalaman pernapasan

Pantau masukan makanan setiapp hari dan timbang berat badan setiap hari serta laporkan adanya penurunan berat badanPenurunaan berat badan terus menerus dalam keadaan masukan kalori yang cukup merupakan indikasi kegagalan terhadap terapi anti tiroid

Dorong pasien untuk makan dan meningkatkan jumlah makan dan juga makanan kecil, dengan menggunakan makanan tinggi kalori yang mudah dicernaMembantu menjaga pemasukan kalori cukup tinggi untuk menambahkan kalori tetap tinggi pada penggunaan kalori yang disebabkan oleh adanya hipermetabolik

Hindari pemberian makanan yang dapat meningkatkan peristaltik usus Peningkatan motilitas saluran cerna dapat mengakibatkan diare dan ganggun absorpsi nutrisi yang diperlukan

Konsulatsikan dengan ahli gizi untuk memberikan diet tinggi kalori, protein, karbohidrat, dan vitaminMungkin memerlukan bantuan untuk menjamin pemasukan zat dan makanan yang adekuat serta mengidentifikasikan makanan pengganti yang paling sesuai

Berikan obat sesuai indikasi Glukosa, vitamin B kompleks Insulin (sesuai dosis dengan dosis kecil) Glukosa dibutuhkan klien untuk proses metabolisme tubuh Insulin dibutuhkan oleh klien untuk proses metabolisme sel.

Intoleransi AktivitasTujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6x24 jam klien mengungkapkan secara verbal peningkatan energiKriteria Hasil: klien menunjukkan perbaikan untuk berpartisipasi dalam melakukan aktivitasIntervensi :INTERVENSIRASIONAL

Pantau TTV dan catat nadi saat istirahat maupun aktivitas. Nadi secara umum meningkat, bahkan saat istirahat. Takikardi (> 160 kali/menit) mungkin akan ditemukan.

Catat berkembangnya takipnea, dispnea, pucat, sianosis. Kebutuhan dan konsumsi oksigen yang meningkat pada keadaan hipermetabolik merupakan potensi terjadi hipoksia saat melakukan aktivitas.

Berikan lingkungan tenang: ruangan dingin, turunkan stimulasi sensori, warna-warna yang sejuk, musik yang santai. Menurunkan stimulasi yang kemungkinan besar dapat menimbulkan agitasi, hiperaktif, insomnia.

Sarankan untuk mengurangi aktivitas dan meningkatkan istirahat di tempat tidur. Membantu melawan pengaruh dari peningkatan metabolisme.

Beri tindakan kenyamanan: sentuhan / masase, bedak sejuk. Dapat menurunkan energi dalam saraf yang selanjutnya meningkatkan relaksasi.

Berikan aktivitas pengganti yang menyenangkan dan tenang: membaca, mendengarkan radio, menonton TV. Memungkinkan untuk menggunakan energi dengan cara konstruktif dan mungkin juga akan menurunkan ansietas.

Berikan obat sesuai indikasi: sedative misalnya fenobarbital; tranquilizer misalnya klordiazepoksida Untuk mengatasi keadaan (gugup), hiperaktif, dan insomnia

DAFTAR PUSTAKA

Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease, Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5Weetman P. A., Graves Disease. The New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2000.