laporan bantimurung

83
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi terbaik dengan keanekaragaman, keunikan, kekhasan dan keindahan flora/fauna endemik, langka dan dilindungi, termasuk keindahan dan keajaiban fenomena alam. Taman nasional mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pelestarian keanekaragaman hayati sehingga penunjukan dan penetapannya diupayakan sedapat mungkin mencakup perwakilan semua tipe ekosistem yang berada dalam tujuh wilayah biogeografi pulau di Indonesia. Bioregion Wallacea merupakan kawasan yang secara biogeografi berbeda dengan kawasan lainnya di dunia. Ekspedisi pertama dengan hasil yang mengagumkan telah dilakukan oleh A.R. Wallace pada tahun 1854-1862, yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara keanekaragaman hayati bagian barat dan bagian timur. Garis yang memisahkan kedua bagian ini kemudian di kenal dengan garis Wallace. Pulau Sulawesi sebagai “Jantung Wallacea” terbentuk dari campuran berbagai bagian benua yang aslinya berasal dari Asia bagian barat dan Australia bagian timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea dan secara geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran 1

Upload: gigihekaparatama

Post on 03-Jul-2015

2.824 views

Category:

Documents


35 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan bantimurung

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi terbaik dengan

keanekaragaman, keunikan, kekhasan dan keindahan flora/fauna endemik, langka

dan dilindungi, termasuk keindahan dan keajaiban fenomena alam. Taman

nasional mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pelestarian

keanekaragaman hayati sehingga penunjukan dan penetapannya diupayakan

sedapat mungkin mencakup perwakilan semua tipe ekosistem yang berada dalam

tujuh wilayah biogeografi pulau di Indonesia.

Bioregion Wallacea merupakan kawasan yang secara biogeografi berbeda

dengan kawasan lainnya di dunia. Ekspedisi pertama dengan hasil yang

mengagumkan telah dilakukan oleh A.R. Wallace pada tahun 1854-1862, yang

menunjukkan adanya perbedaan nyata antara keanekaragaman hayati bagian barat

dan bagian timur. Garis yang memisahkan kedua bagian ini kemudian di kenal

dengan garis Wallace.

Pulau Sulawesi sebagai “Jantung Wallacea” terbentuk dari campuran

berbagai bagian benua yang aslinya berasal dari Asia bagian barat dan Australia

bagian timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea dan secara

geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran Oriental

dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik.

Contohnya, dari delapan jenis primata yang ditemukan di Sulawesi, seluruhnya

adalah jenis endemik (Supriatna & Wahyono 2000 dalam Comalasari 2006).

Taman Nasional Bantimurung bulusaraung (TN Babul) merupakan taman

nasional yang penunjukkannya dilakukan oleh Menteri Kehutanan melalui SK

Nomor 398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Taman Nasional

Bantimurung bulusaraung dengan luas + 43.750 ha, merupakan gabungan dari

Cagar Alam (CA) Karaenta, CA Bantimurung, CA Bulusaraung, Taman Wisata

Alam (TWA) Bantimurung dan TWA Pattunuang. Saat ini, TN Babul merupakan

habitat yang baik bagi flora fauna maskot Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu julang

sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan lontar (Borassus flabelliber). Keistimewaan

1

Page 2: Laporan bantimurung

lainnya, bahwa Bantimurung dijuluki ”Kingdom of Butterfly” oleh A.R. Wallace.

Tercatat setidaknya 103 jenis kupu-kupu pada tahun 1977 walaupun menurun

menjadi 80 jenis pada tahun 1995, tetapi pada kawasan ini dijumpai Papilio

satapses yang endemik Bantimurung.

Keanekaragaman hayati yang tinggi serta berbagai jenis khas dan endemik

di kawasan TN Babul, menjadikan kawasan ini menjadi penting untuk dikelola

secara intensif, agar kelestariannya dapat terjaga serta dapat memberikan manfaat

yang besar bagi kawasan tersebut. Oleh karena itu diperlukan data yang akurat

dan terbaru mengenai potensi yang ada di TN Babul agar dapat dibuat rencana

pengelolaan yang paling tepat, sehingga perlu dilakukan inventarisasi terhadap

potensi yang ada. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan data

terbaru tersebut yaitu dengan melakukan praktek kerja lapang profesi.

Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) bagi mahasiswa Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) merupakan praktek

lapang yang dikembangkan dalam mencapai visi, misi, dan tujuan yang telah

dicanangkan oleh DKSHE. Kegiatan ini dilakukan agar mahasiswa memahami

pengetahuan yang telah diperoleh dalam perkuliahan dan menambah wawasan

lapang serta mengimplementasikannya dalam kegiatan pengelolaan kawasan

konservasi berupa Taman Nasional, sedangkan bagi mahasiswa DKSHE, kegiatan

praktek ini akan lebih mempererat kerjasama di bidang konservasi dengan instansi

Taman Nasional yang selama ini sudah dilaksanakan. Dengan praktek kerja

lapangan ini diharapkan dapat menghasilkan data yang dapat digunakan untuk

dasar perencanaan pengelolaan kawasan selanjutnya dan dapat memberikan

masukan yang positif.

1.2 Tujuan

Praktek Kerja Lapang Profesi mahasiswa DKSHE dimaksudkan untuk

menambah wawasan serta memenuhi kompetensinya dalam rangka meningkatkan

kemampuan praktek kerja lapang di bidang konservasi. Tujuan khusus

pelaksanaan kegiatan ini adalah :

1. Mengetahui pengelolaan dan struktur kelembagaan kawasan Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung

2

Page 3: Laporan bantimurung

2. Pengelolaan jenis kupu-kupu, burung dan mamalia di Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung.

3. Identifikasi potensi tumbuhan sebagai pakan dan habitat kupu-kupu.

4. Identifikasi pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar oleh masyarakat

sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

5. Pemanfaatn jasa lingkungan (Hidrologi), dikawasan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung

6. Pengembangan objek wisata di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung.

1.3 Manfaat

Manfaat dari kegiatan Praktikum Kerja Lapang Profesi mahasiswa

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang akan dilakukan

di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Propinsi Sulawesi Selatan adalah :

1. Dapat menghasilkan data dan informasi mengenai potensi sumberdaya

alam hayati dan non-hayati di kawasan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung sehingga dapat digunakan untuk dasar pengelolaan yang

lestari.

2. Memberikan rekomendasi pengelolaan pariwisata kupu-kupu berdasarkan

data potensi dan kesesuaian habitat TN Bantimurung Bulusaraung.

3. Menjadi media untuk mempererat kerjasama DKSHE di bidang konservasi

dengan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

3

Page 4: Laporan bantimurung

II. KONDISI UMUM LOKASI

2.1 Sejarah Kawasan

Salah satu diantara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah

Republik Indonesia, yaitu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha yang terletak di wilayah

administratif Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :

SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004.

Sebelum berubah fungsi menjadi taman nasional, kawasan ini berfungsi

sebagai cagar alam seluas ± 10.282,65 Ha, taman wisata alam seluas ± 1.624,25

Ha, hutan lindung seluas ± 21.343,10 Ha, hutan produksi tetap seluas ± 10.355 Ha

serta hutan produksi terbatas seluas ± 145 Ha. Alih fungsi kawasan-kawasan

tersebut menjadi taman nasional didasarkan atas pertimbangan bahwa kawasan

tersebut merupakan ekosistem karst yang memiliki keanekaragaman hayati yang

tinggi dengan jenis-jenis flora dan fauna endemik, unik dan langka, keunikan

fenomena alam yang khas dan indah serta ditujukan untuk perlindungan sistem

tata air.

2.2 Letak Kawasan

TN Babul adalah kawasan konservasi alam di daerah Makassar yang terletak

di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, yang

memiliki luas ± 43.750 ha dengan letak geografis 4033’-5002’ Lintang Selatan dan

119038’-119057’ Bujur Timur. TN Babul termasuk dalam wilayah kerja seksi

konservasi wilayah II tepatnya di Kabupaten Maros pada BKSDA Sulsel I,

wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Maros-Pangkep.

TN Babul terletak di wilayah Kabupaten Maros-Pangkep dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barru dan Bone

Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bone

Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros

Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Pangkep

4

Page 5: Laporan bantimurung

2.3 Kondisi Fisik

Keadaan bentuk/topografi lapangan pada kawasan TN Babul adalah mulai

daratan, perbukitan dan pegunungan. Daerah daratan dicirikan oleh bentuk

topografi datar, relief rendah dan tekstur topografi halus. Daerah perbukitan dapat

dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan sediment dan perbukitan

karst. Daerah pegunungan terletak di bagian utara, tengah dengan puncak tertinggi

adalah Gunung Bulusaraung setinggi 1.300 mdpl.

Kawasan TN Babul tersusun atas beberapa geologi. Formasi yang

didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi batuan tersebut antara lain adalah

Formasi Balang Baru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa dan Formasi Camba.

Pada bukit kapur Maros-Pangkep terdapat dua jenis tanah yang kaya akan kalsium

dan Magnesium, yaitu Rendolis dan Eutripepts.

Berdasarkan data iklim yang tercatat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika

Stasiun Klimatologi Kelas I Panakukang, Maros-Sulawesi Selatan (2006), iklim

Bantimurung termasuk tipe iklim C (Schmidth-Ferguson), dengan iklim basah

berlangsung selama delapan bulan yaitu Oktober-Mei, bulan kering selama tiga

bulan yaitu Juli-September dan bulan lembap berlangsung pada bulan Juni. Suhu

udara rata-rata berkisar 26,50C-27,80C dan kelembapan udara berkisar 66%-87%

(Mustari 2007). Kecepatan angin rata-rata 3 knot dan maksimum 20 knot.

2.4 Kondisi Biologi

Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung

merupakan ekosistem karst Maros – Pangkep. Kawasan ini memiliki berbagai

jenis flora, antara lain bintangur (Calophyllum sp.), beringin (Ficus sp.), nyatoh

(Palaquium obtusifolium), lontar (Borassus flabelliber) dan flora endemik

Sulawesi yaitu kayu hitam (Diospyros celebica).

Berbagai jenis satwaliar yang khas dan endemik Sulawesi dapat ditemukan

di TN BaBul. Diantaranya yaitu monyet hitam (Macaca maura), kuskus sulawesi

(Phalanger celebencis) dan musang sulawesi (Macrogolidia musschenbroecki).

Jenis mamalia lain diantaranya yaitu rusa timor (Cervus timorensis) serta berbagai

jenis kelelawar buah maupun kelelawar goa.

Diantara jenis burung yang ada yaitu julang sulawesi (Rhyticeros cassidix),

kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), kakatua jambul-kuning (Cactua

5

Page 6: Laporan bantimurung

sulphurea), kakatua hijau danga (Tanycnatus sumatranus), punai (Treron sp.),

serta ayam hutan (Gallus gallus). Berbagai jenis reptili yang ada yaitu ular sanca

(Phyton reticulatus), ular daun, biawak (Varanus salvator) dan kadal terbang.

Selain itu, terdapat berbagai jenis kupu-kupu. Diantara jenis yang terkenal adalah

Papilio blumei, Papilio satapses, Troides halipton, Troides Helena dan Graphium

androcles.

2.5 Potensi Wisata

Kawasan TN Babul memiliki obyek wisata yang dapat dikembangkan untuk

dilestarikan oleh masyarakat antara lain air terjun, keindahan pemandangan bukit

karst, keindahan jenis flora dan fauna serta potensi goa.

2.7 Keadaan Sosial - Ekonomi dan Budaya

Masyarakat sekitar kawasan TN Babul didominasi oleh etnis Bugis dan

Makassar. Dalam komunikasi sehari-hari mereka menggunakan bahasa Bugis dan

Makassar, akan tetapi keduanya dapat saling berkomunikasi dan saling mengerti

kedua jenis bahasa tersebut. Adat istiadat yang mereka laksanakan dalam

kehidupan sehari-hari pun sangat dipengaruhi oleh kedua etnis tersebut. Mayoritas

masyarakat kawasan ini menganut agama Islam.

2.8 Aksesibilitas

TN Babul terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep merupakan

kawasan konservasi yang memiliki aksesibilitas cukup mudah. Rute perjalanan

dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat kendaraan beroda dua

ataupun beroda empat yang berjarak 30 km dari Makassar (Comalasari 2006)

6

Page 7: Laporan bantimurung

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktek Kerja Lapang ini akan dilaksanakan dari tanggal 21 Februari s.d. 21

Maret 2011 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros-

Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan ini difokuskan di tiga tempat.

Lokasi Pertama yaitu di Dusun Panaikang, Desa Kallabirang, Resort

Bantimurung. Lokasi Kedua di Dusun Kampoang dan Dusun Bulu-bulu, Desa

Tompobulu, Resort Balocci serta lokasi ketiga dilakukan di daerah wisata air

terjun bantimurung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang akan digunakan dalam praktek ini diantaranya adalah:

1. Alat tulis

2. Kalkulator

3. Kamera

4. Kompas

5. Golok

6. Tali rafia

7. Tali tambang

8. Pita ukur

9. Meteran gulung

10. Thermometer

11. Jaring kupu-kupu

12. GPS

13. Binokuler

7

Page 8: Laporan bantimurung

Bahan yang akan digunakan adalah sumberdaya alam yang ada di Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung termasuk flora dan faunanya.Selanjutnya

digunakan pula alkohol dan fieldguide mengenai burung, mamalia, kupu-kupu

serta tumbuhan.

3.3 Jenis Data dan Metode Pengambilan Data

Pengambilan data difokuskan kepada enam aspek yaitu :

1. Pengelolaan dan struktur kelembagaan kawasan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung.

2. Pengelolaan jenis kupu-kupu, burung dan mamalia di Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung.

3. Identifikasi potensi tumbuhan sebagai pakan dan habitat kupu-kupu.

4. Identifikasi pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar oleh masyarakat

sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

5. Pemanfaatan jasa lingkungan (Hidrologi), dikawasan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung

6. Pengembangan objek wisata di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

8

Page 9: Laporan bantimurung

Tabel 1 Pengambilan Data Aspek Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional

No Jenis Data Metode Uraian

1 Mandat pengelolaan Penelusuran dokumen TN Wawancara dengan pihak TN

a) Mempelajari mandat pengelolaan taman nasional berdasarkan surat keputusan penunjukan atau penetapannya dan pelaksanaan program-program yang terkait dengan mandat tersebut

b) Mempelajari mandate pengelolaan global yang ada pada taman nasionalc) Menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan organisasi taman

nasional2 Organisasi Penelusuran dokumen TN

Wawancara dengan pihak TNa) Mempelajari bentuk organisasi pengelola taman nasional dan dasar atau kriteria

penetapan organisasi tersebutb) Mempelajari struktur organisasi yang meliputi tugas dan wewenang bagian dari

struktur organisasic) Menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan organisasi taman

nasional3 Sumberdaya manusia Penelusuran dokumen TN

Wawancara dengan pihak TNa) Mempelajari kebutuhan dan kecukupan sumberdaya manusia pengelola taman

nasionalb) Menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan sumberdaya

manusia taman nasional4 Mitra kerja Penelusuran dokumen TN

Wawancara dengan pihak TNa) Menginventarisir mitra kerja dan program-program mitra kerja taman nasionalb) Menganalisis manfaat kerjasama dan dampak tehadap pengelolaan taman nasional

5 Program rutin dan keproyekan

Penelusuran dokumen TN Wawancara dengan pihak TN

Menginventarisir program rutin dan keproyekan dalam 5 tahun terakhir

Tabel 2 Inventarisasi Jenis Kupu-kupu dan Satwaliar LainNo Jenis

SatwaJenis Data Metode Uraian

1 Kupu-kupu Manajemen populasi metode time-search a) menginventarisasi jenis kupu-kupu dalam satuan waktu yang telah ditentukan, tidak ada batasan jarak dan luas pada setiap plot pengamatan

Manajemen habitat metode time- search

a) Mengetahui komponen habitat yang paling penting bagi kehidupan kupu-kupu (cahaya, udara dan air sebagai materi yang dibutuhkan untuk kelembaban lingkungan dimana kupu-kupu tersebut hidup dan berkembang

9

Page 10: Laporan bantimurung

biak)b) Mengetahui vegetasi yang disukai kupu-kupu

2 Burung Populasi Pengamatan Wawancara Studi pustaka

Perhitungan populasi burung menggunakan metode Indeks Point of Abundance (IPA).

Keanekargaman jenis Pengamatan Wawancara Studi pustaka

Keanekaragaman jenis burung dilakukan dengan metode indeks keragaman shanon wienner.

Identifikasi jenis Wawancara Studi pustaka Pengamatan

langsung.

Identifikasi jenis satwa target, status populasi, dilindungi/tidak dilindungi, pentingnya satwa.

3 Mamalia Inventarsisasi jenis Pengamatan Wawancara Studi pustaka

Inventarisasi mamalia dilakukan dengan menggunakan metode strip transect dan Rapid assesment. Metode ini mencatat data jenis mamalia yang ditemukan selama berada di lokasi pengamatan

Identifikasi jenis Wawancara Studi pustaka Pengamatan

langsung.

Identifikasi jenis satwa target, status populasi, dilindungi/tidak dilindungi, pentingnya satwa.

Tabel 3 Identifikasi Potensi Tumbuhan sebagai Pakan dan Habitat Kupu-kupuNo Jenis Data Metode Uraian1 Tipe-tipe ekosistem Penelusuran dokumen

Wawancara pihak pengelola Verifikasi data di lapangan

Analisis deskriptif mengenai tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan Taman Nasional.

2 Kondisi masing-masing ekosistem di berbagai zona

Penelusuran dokumen Wawancara pihak pengelola Verifikasi data di lapangan

Analisis deskriptif tentang kondisi tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan Taman Nasional.

3 Bentuk gangguan terhadap ekosisitem

Penelusuran dokumen Wawancara pihak pengelola Verifikasi data di lapangan

Analisis mengenai gangguan terhadap masing-masing tipe ekosistem pada berbagai zona di kawasan Taman Nasional

4 Identifikasi potensi tumbuhan

Penelusuran dokumen Wawancara pihak pengelola

Mengidentifikasi potensi tumbuhan yang berada di dalama kawasan Taman Nasional yang dapat berfungsi sebagai habitat dan pakan kupu-kupu.

10

Page 11: Laporan bantimurung

Verifikasi data di lapangan

Tabel 4 Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar In situNo Jenis Data Metode Uraian1 Pelaku pemanfaatan jenis Studi pustaka

Wawancara dengan pihak-pihak terkait

Observasi lapang

a) Menganalisis pelaku-pelaku yang memanfaatkan jenis flora dan fauna, meliputi :

Latar belakang pelaku yang memanfaatkan Tujuan pemanfaatan jenis oleh pelaku

b) Sosial budaya pelaku yang memanfaatkan2 Bentuk atau cara

pemanfaatan Studi pustaka Wawancara dengan pihak-pihak

terkait Observasi lapang

a) Identifikasi bentuk pemanfaatan jenis yang pernah/sedang dan yang akan dilakukan

b) Mengetahui jumlah, musim/waktu, penggunaan dan harga jenis yang dimanfaatkan

c) Identifikasi kebijakan perizinan pemanfaatan jenis 3 Jenis-jenis yang

dimanfaatkan Studi pustaka Wawancara dengan pihak-pihak

terkait Observasi lapang

a) Identifikasi jenis-jenis yang sering dimanfaatkanb) Kebijakan terkait kuota pemanfaatan

Tabel 5 Penyedia Jasa Lingkungan HutanNo Jenis Data Data yang diambil Metode1 Data hidrologi Volume

Kecerahan Debit Erosi

Obeservasi lapang dan pengambilan data sekunder.

Tabel 6 Pengambilan Data Aspek Manajemen EkowisataNo Jenis Data Metode Uraian1 Manajemen pengunjung Wawancara

Observasi lapangPenelusuran dokumen TN

Sistem informasi pada pengunjungPenyebaran pengunjungInterpretasi pada pengunjungKeselamatan pengunjung

11

Page 12: Laporan bantimurung

2 Manajemen sumberdaya Wawancara Observasi lapang

Penelusuran dokumen TN

Pengelolaan Ekosistem wisataPengelolaan obyek-obyek ekowisata yang adaPengelolaan jalur ekowisata yang adaPengelolaan tapak ekowisata yang ada

3. Manajemen pelayanan ekowisata

Wawancara Observasi lapang

Penelusuran dokumen TN

Perencanaan kawasan dan tapakPengelolaan bahaya dan dampakKerjasama dengan para pihakKompetensi Sumberdaya ManusiaSarana dan Prasarana Pendukung ekowisata

12

Page 13: Laporan bantimurung

3.4 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan sesuai dengan aspek data yang diambil, antara lain:

3.4.1 Kelembagaan dan pengelolaan Taman Nasional

Data tentang kelembagaan dan pengelolaan Taman Nasional yang didapatkan dari

wawancara dan studi pustaka diolah dan ditelaah secara deskriptif.

3.4.2 Manajemen satwaliar in-situ

Indeks keanekaragaman jenis (H’)

Ludwig dan Reynold (1998) dalam Irianto (2004) menyatakan bahwa

keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman

Shannon–Wiener dengan rumus :

H’= -∑pi ln pi; dimana pi =

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-

Wiener

ni = Jumlah individu setiap jenis

N = Jumlah individu seluruh jenis

pi = Kelimpahan setiap jenis

Untuk menentukan keanekaragaman jenis kupu-kupu, maka digunakan klasifikasi

nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners seperti tabel I berikut:

Tabel 7 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener

Nilai indeks Shanon-Wiener

Kategori

> 3

1 – 3

< 1

Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi

Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang

Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

Kemerataan Jenis

Indeks kemerataan jenis (evenness) digunakan untuk mengetahui gejala dominansi

diantara spesies dalam suatu komunitas. Persamaan yang digunakan adalah:

13

Page 14: Laporan bantimurung

keterangan:

E = Indeks kemerataan jenis (0 – 1)

H’ = Indeks Shannon

S = Jumlah jenis

Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa apabila setiap jenis memiliki jumlah

individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai evenness

maximal. Sebaliknya apabila nilai evenness tersebut kecil maka dalam komunitas

tersebut terdapat jenis dominan, sub dominan dan jenis tidak dominan.

Indeks Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan metode Margalef

(Ludwig & Reynolds, 1998). Persamaan untuk menemukan jumlah kekayaan jenis

adalah :

Dmg=S−1

ln(N )

Keterangan : Dmg = Indeks Margalef

N = Jumlah Individu seluruh jenis

S = Jumlah jenis mamalia

Kelimpahan jenis relatif

Untuk mengetahui kelimpahan jenis relatif, digunakan persamaan Persentase

Kelimpahan Relatif (Brower & Zar, 1997):

keterangan :

Psi = Nilai persen kelimpahan jenis ke-i

n = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu total

3.4.3 Pemanfaatan spesies satwaliar in-situ.

Data yang diperoleh dari hasil wawancara, studi pustaka, dan observasi

langsung ke lapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif.

3.4.4 Manajemen jasa lingkungan hutan.

14

Psi= ni/N x 100%

Page 15: Laporan bantimurung

Data yang diperoleh dari hasil wawancara, studi pustaka, dan observasi langsung

ke lapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif.

Analisis Hidrologi

Data yang diambil dari aspek air meliputi jenis sumber air (alami, buatan, asal

sumber air), karakteristik air (debit volume, kejernihan dan kondisi secara umum)

dan pengelolaan air. Data tersebut diperoleh melalui kegiatan pengukuran

langsung maupun tidak langsung (wawancara pengelola). Pengukuran kecapatan

air dilakukan dalam 3 kali ulangan menurut masing-masing sumber air.

Analisis data aspek air dilakukan secara kuantitatif dan deskriptif. Analisis data

secara kuantitatif dihitung secara terpisah menurut sumber air. Rumus yang

digunakan, yaitu:

a. Menghitung kecepatan (v) air adalah :

Kecepatan air (v)= Panjang lintasanair (meter )

Waktu (sekon )

b. Total kecepatan air = ∑ kecepatan air masing-masing sumber air (meter).

c. Rataan kecepatan diperoleh melalui rumus:

Rataan v= Totalkecepatan air air(meter )

Rataanwaktu (sekon)

d. Persentase kecepatan air masing-masing sumber air diperoleh melalui

rumus:

%v=Rataaan Kecepatan satu jenis sumber air( m

s)

Totalrataan sumber air x 100%

e. Lebar sumber air diperoleh melalui rumus:

lb = ∑ lb satu jenis sumber air (meter)

f. Rataan lebar (lb) sumber air diperoleh melalui rumus:

Rataan lb= Total lebar satu jenis sumber air air (meter )

Jumlah satu jenis sumber air

g. Persentase lebar masing-masing sumber air diperoleh melalui rumus:

% lb=Rataaan lebar satu jenis sumber air (meter )

Total lebar satu jenis sumber air x 100%

h. Kedalaman (dl) sumber air diperoleh melalui rumus:

dl = ∑ dl satu jenis sumber air (meter)

i. Rataan kedalaman sumber air diperoleh melalui rumus:

15

Page 16: Laporan bantimurung

Rataan dl= Totalkedalaman satu jenis sumber air air (meter )

Jumlah satu jeniskedalaman sumber air

j. Persentase kedalaman masing-masing sumber air diperoleh melalui rumus:

% lb=Rataaan kedalamansatu jenis sumber air

Total kedalamansatu jenis sumber air x 100%

k. Luas penampang air (ls) diperoleh melalui rumus:

Ls= lb (meter) x dl (meter)

l. Total luas penampang

Total ls= ∑ luas penampang masing-masing sumber air (m2).

m. Rataan luas penampang (ls)

Rataan ls = Total ls masing−masing sumber air(m2)

Jumlah satu jenis ls sumber air

n. Persentase ls masing-masing sumber air

% ls=Rataaan ls satu jenis sumber air

Total ls satu jenis sumber air x 100%

o. Debit air (Q) masing-masing sumber air

Q (m3/s) = v (m/s) x ls (m2)

p. Total debit air (Q)

Total Q=∑ Q masing-masing sumber air (m3/s).

q. Rataan debit air (Q)

Rataan Q = TotalQ masing−masing sumber air(m3/ s)

Jumlah satu jenisQ sumber air

r. Persentase Q masing-masing sumber air

% Q=RataaanQ satu jenis sumber air

TotalQ satu jenis sumber air x 100%

s. Persentase kondisi sumber air

% kondisi=jumlah sumber air yang (baik ataurusak atauterganggau )

jumlahseluruh sumber air yangdiamatix100%

Analisis secara deskriptif dilakukan dengan untukmenggambarkan kondisi

masing-masing sumber air dan hasil wawancara mengenai pengelolaan yang

mencakup aspek air.

3.4.5 Potensi Wisata Alam di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

16

Page 17: Laporan bantimurung

Data yang diperoleh mengenai potensi wisata alam di Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis

dengan dua metode, yakni:

1. Metode skoring

Metode skoring yang digunakan dalam praktek ini merupakan modifikasi dari

penilaian potensi-potensi wisata yang dianalisis dengan menggunakan

Pedoman Analisa Daerah Operasi dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-

ODTWA) tahun 2003 dari Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Setiap lokasi objek wisata yang

teridentifikasi diberikan nilai untuk setiap unsur kriteria penilaian yang

kemudian dijumlahkan untuk setiap kriteria penilaian, yang terdiri dari daya

tarik, aksesibilitas, sarana, kondisi sekitar kawasan, hubungan dengan objek

wisata lain di sekitar Taman Nasional, keamanan, daya dukung kawasan, dan

pengaturan pengunjung. Jumlah nilai-nilai unsur pada kriteria penilaian

kemudian dikalikan dengan bobot nilainya untuk mendapatkan skor setiap

lokasi objek wisata (Dirjen PHKA 2003):

S = N x B

Keterangan :

S = Skor atau nilai

N = Jumlah nilai unsur-unsur pada kriteria penilaian

B = Bobot nilai

Setelah itu, untuk setiap lokasi objek wisata dilakukan penilaian kelayakan

pengembangan wisatanya yang dikelompokkan ke dalam kategori-kategori kurang

potensial, potensial, dan sangat potensial dengan menggunakan persamaan (Dirjen

PHKA 2003):

S maks – S minK

Keterangan:

Selang = Nilai selang dalam penetapan selang klasifikasi

S maks = Nilai skor tertinggi

S min = Nilai skor terendah

K = Banyaknya klasifikasi penilaian

17

Selang =

Page 18: Laporan bantimurung

2. Metode Deskriptif

Metode deskriptif merupakan gambaran mengenai potensi wisata di Taman

Nasional Sebangau (Kelurahan Kereng Bangkirai) sehingga diperoleh

identifikasi potensi wisata yang dapat digunakan sebagai gambaran

pengembangan jenis wisata di lokasi tersebut.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung

4.1.1. Kelembagaan

Setelah penunjukan kawasan, pemangkuan dan pengelolaan Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk sementara dilaksanakan oleh Balai

Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan I berdasarkan Keputusan

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor :

SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004. Pada tahun 2006, Menteri

Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia menyetujui usulan

pembentukan unit kerja pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan

kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan membentuk Balai

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung beserta 15 balai taman nasional baru

lainnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional.

Pada tanggal 1 Februari 2007, Menteri Kehutanan Republik Indonesia

menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang kemudian

menjadi dasar pengelolaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat

ini. Walaupun telah ditetapkan pengelolanya dan diserahterimakan

pengelolaannya sejak November 2006, Balai Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung secara efektif baru beroperasional melaksanakan tugas-tugas

kepemerintahan dan pembangunan sejak April 2007 karena personil dan sarana

18

Page 19: Laporan bantimurung

prasarana pendukungnya baru tersedia pada saat itu. Balai Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman

nasional setingkat Eselon III pada Kementerian Kehutanan yang berada di bawah

dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam.

Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bertugas melakukan

penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan

pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Balai Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :

1. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan

evaluasi pengelolaan kawaan taman nasional.

2. Pengelolaan kawasan taman nasional.

3. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional.

4. Pengendalian kebakaran hutan.

5. Promosi dan informasi konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

6. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya.

7. Kerja sama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya serta pengembangan kemitraan.

8. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional.

9. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam.

10. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

4.1.1.1 Visi, Misi dan Tujuan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Pada awal pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Balai Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung menetapkan visi pengelolaan yang difokuskan pada

pemantapan prakondisi pengelolaan kawasan yang didukung oleh kelembagaan

yang mantap menuju keseimbangan dan keserasian. Visi yang dituangkan dalam

Rencana Strategis 2007-2009 ini dapat direalisasikan dengan cukup baik,

19

Page 20: Laporan bantimurung

meskipun masih ada beberapa sasaran yang belum tercapai secara optimal.

Melanjutkan capaian kinerja pengelolaan hingga tahun 2009 dan dengan

mempertimbangkan peluang, kekuatan, hambatan dan kelemahan yang ada, maka

ditetapkan visi Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung periode 2010-

2014, yaitu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai sarana rekreasi

dan edukasi masyarakat yang dikelola secara profesional, mandiri dan akuntabel

untuk menjamin kelestarian produksi dan sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

Dalam langkahnya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan,

diperlukan misi sebagai bentuk nyata implementasinya yang dilaksanakan

secara berjenjang sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan. Dengan

demikian, ditetapkan misi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung sebagai berikut :

1. Memantapkan status hukum kawasan dan pengelolaan konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

2. Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum.

3. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian.

4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka

pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya.

Tujuan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara

umum dari tahun ke tahun adalah melakukan pengelolaan sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya.

4.1.1.2 Organisasi

Struktur organisasi yang terdapat di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Balai Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung dengan No. SK. 01/BTNBABUL-1/2011 tentang

struktur organisasi dan penempatan personil Balai Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung.

20

Page 21: Laporan bantimurung

Pelaksanaan tugas dan wewenang serta permasalahan yang ada terkait

pengorganisasian dapat berjalan lancar walaupun dengan kuantitas yang minim

(75 orang sudah termasuk pegawai kontrak). Sehingga masih adanya peran ganda

dalam pelaksanaan tugas dan wewenang. Namun, hal tersebut dapat diantisipasi

dengan peningkatan kualitas para pengelola melalui manajemen SDM (Sumber

Daya Manusia) yang baik, yaitu mekanisme pengaliran tugas sesuai tugas pokok

dan fungsi (Tupoksi).

Jumlah yang minim tidak menjadi hambatan apabila etos kerja terus

ditingkatkan. Personil di lapangan lebih banyak dibutuhkan daripada di kantor,

mengingat kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang luas serta

merupakan Taman Nasional baru yang masih banyak diperlukan data potensi

kawasan dan data dasar lainnya.

Pengetahuan secara personal pada setiap pengelola Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung terkait konservasi, taman nasional, potensi dan tata

batas kawasan, dapat dikatakan cukup baik. Melalui pengadaan literatur serta

pendelegasian pada beberapa kegiatan seputar keanekaragaman hayati.

4.1.2 Pengelolaan

Program utama pengelolaan taman nasional yaitu konservasi dan

perlindungan keanekaragaman hayati. Sejak penetapan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung, pengembangan yang ada dapat dikategorikan cukup

baik. Mengingat baru 4 (empat) tahun silam taman nasional ini efektif

beroperasional. Semua program yang direncanakan dapat terealisasi walaupun

output yang dihasilkan tidak semuanya mencapai 100% karena hambatan yang

ada. Dalam melakukan perencanaan pengelolaan kawasan agar terlaksana dengan

baik, biasanya dilakukan dengan melihat hasil evaluasi capaian kerja terakhir dan

saran yang telah ada sebelumnya.

4.1.2.1 Tata Batas dan Zonasi Kawasan

Proses pengukuhan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

belum terselesaikan hingga penetapan kawasan. Di dalam kawasan ini terdapat 3

areal enclave, yaitu Enclave Pattanyamang, Enclave Bonto Marannu dan Enclave

Minggi. Ketiga kawasan enclave tersebut telah ditata batas hingga temu gelang.

21

Page 22: Laporan bantimurung

Sebagian besar batas luar dan batas enclave kawasan meupakan hasil pelaksanaan

tata batas pada tahun 1980-an. Batas-batas tersebut sudah banyak yang rusak,

sehingga di masa yang akan datang, direncanakan untuk melaksanakan

pemeliharaan batas agar status hukum kawasan dan bukti-bukti fisiknya di

lapangan dapat tetap terjaga.

Rekonstruksi tata batas dilaksanakan pada tahun 2007 s.d. 2009. Pada

tahun 2009, telah dilakukan pemancangan batas sementara pada sisa panjang batas

yang belum ditata batas yaitu sepanjang batas yang belum ditata batas yaitu

sepanjang 45,70 km. Penataan batas luar/batas fungsi kawasan yang direncanakan

selesai/temu gelang pada tahun 2010 ini, ternyata belum bisa terealisasikan hingga

100%. Pemancangan batas definitif yang telah dilengkapi dengan Berita Acara

Tata Batas baru sepanjang 432,52 km atau 90,44 % dari keseluruhan panjang

batas sepanjang 478,22 km.

Dari hasil rekonstruksi tata batas, kemudian dirancang zonasi kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Rancangan zonasi yang telah dibuat

telah disosialisasakan kepada publik sampai tingkat kecamatan. Pada tahun 2011

rencananya akan sampai pada tingkat kabupaten dan propinsi. Zona yang

direncanakan berupa zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainnya

(tradisional, religi, khusus dan rehabilitasi). Permasalahan terkait zonasi yang

masih belum diselesaikan adalah di Desa Tallasa. Masyarakat di desa tersebut

tidak bersedia apabila lahan tempat tinggal mereka dijadikan zona khusus, karena

tidak adanya hak milik.

Pengakuan kawasan oleh para pihak lainnya yang berada jauh dari lokasi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum sepenuhnya mengetahui akan

keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Oleh karenanya masih

diadakan sosialisasi.

4.1.2.2 Pengembangan Sarana dan Prasarana

Untuk kepentingan efektifitas pengelolaan kawasan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan setidaknya 1 (satu) unit kantor balai taman

nasional berukuran 600 m2 dan 2 (dua) unit kantor seksi pengelolaan taman

nasional wilayah yang berukuran 400 m2. Karena pengelolaan kawasan taman

nasional dilakukan hingga kepada unit-unit terkecil maka telah dibentuk 7 (tujuh)

22

Page 23: Laporan bantimurung

resort taman nasional yang keseluruhan juga membutuhkan pondok kerja masing-

masing berukuran 70 m2. Dalam rangka peningkatan efektifitas perlindungan dan

pengamanan kawasan, dibutuhkan pula pos-pos jaga pengamanan hutan di

sekeliling kawasan. Untuk kebutuhan tersebut, pada kawasan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan sedikitnya 10 (sepuluh) unit pos jaga

pengamanan hutan.

4.1.2.3 Perlindungan dan Pengamanan Hutan

Salah satu upaya preventif lain yang dilakukan dalam rangka perlindungan

dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah

patroli di dalam dan sekitar kawasan serta penjagaan pada tempat-tempat strategis.

Kegiatan ini dilaksanakan oleh seluruh personil yang tersedia dan tersebar sampai

ke resort pengelolaan. Untuk kepentingan ini pula, maka penguatan sumber daya

perlu dilakukan sampai ke tingkat resort, bahkan apabila memungkinkan dapat

dijadikan prioritas.

Personil yang tersedia untuk keperluan perlindungan dan pengamanan

kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung masih sangat terbatas apabila

dibandingkan dengan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan. Mengatasi

keterbatasan tersebut, upaya pengamanan dan perlindungan kawasan dibantu oleh

empat orang Tenaga Pegawai Tidak Tetap (TPHL) yang masing-masing berada di

SPTN Wilayah I dan II serta direkrut dari masyarakat sekitar kawasan. Untuk

keperluan perlindungan dan pengamanan kawasan, Balai Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung secara bertahap berupaya untuk memenuhi kebutuhan

sarana dan prasarana perlindungan hutan tersebut.

4.1.2.4 Kerja Sama

Partisipasi masyarakat sejauh ini terkait diinisiasikannya zonasi yang

belum ditetapkan adalah ikut melaksanakan aturan setiap zona dan memberi

usulan yang membangun bagi kelestarian zona tersebut. Selain itu pula, ada

beberapa desa binaan, yang telah berhasil dibina, yaitu Desa Samanggi dan Desa

Pattanyamang. Setiap tahunnya pengelola mengadakan binaan pada lokasi desa

yang berbeda. Pengelolaan lainnya terangkum dalam wadah kerja sama tapi belum

berjalan efektif. Pengelola bersama-sama dengan masyarakat ikut berupaya

menuju desa konservasi.

23

Page 24: Laporan bantimurung

Pendidikan konservasi bagi masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai

wadah. Upaya untuk menjadikan pendidikan konservasi sebagai muatan lokal

pada program pendidikan dasar dan menengah adalah suatu hal yang penting

untuk dilakukan. Dengan demikian, maka upaya konservasi tidak hanya

dilaksanakan oleh pengelola kawasan konservasi melainkan juga menjadi bagian

yang terintegrasi di dunia pendidikan.

Metode lain yang dapat ditempuh untuk memasyarakatkan upaya

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah dengan membentuk

kader-kader penggerak upaya konservasi di kalangan masyarakat. Untuk itulah

kemudian diperlukan upaya pembentukan kader konservasi serta pembinaan

kalangan pecinta alam. Kader-kader konservasi dan pecinta alam ini akan turut

menyuarakan pentingnya konservasi secara mandiri, dan dengan demikian maka

pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya

menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah.

Pengelolaan kolaboratif dengan Pemerintah Daerah (Pemda)

menguntungkan dari segi penambahan kuantitas, namun dari segi kualitas daya

dukung dapat dikatakan menjadi kurang baik. Dalam hal ini pengelolaan Taman

Wisata Alam (TWA) Bantimurung yang dikelola Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengalami kepadatan

pengunjung, dimana sirkulasi pengunjung di tempat wisata tersebut tidak diatur

dan dikelola dengan baik sesuai daya dukung yang ada.

Pengembangan kerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi

juga perlu dirintis dengan baik agar kontinuitas kegiatan penelitian dan

pengembangan di dalam kawasan dapat berjalan dengan baik. Pendidikan

konservasi bagi masyarakat lokal menjadi esensial peranannya dan perlu

diupayakan terus-menerus. Jika memungkinkan, pendidikan konservasi bagi

masyarakat ini dilakukan sejak usia dini sehingga kesadaran konservasi dan

pentingnya pengelolaan lingkungan yang baik sudah menjadi bagian dari hidup

generasi bangsa ini.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga melakukan penelitian

keanekaragaman hayati. Penelitian yang akan dilakukan sebagai program yang

telah direncanakan, sebelumnya harus dibuat Rencana Pelaksanaan Kegiatan

24

Page 25: Laporan bantimurung

(RPK) yang membahas metode, tim pelaksana kegiatan dan data yang akan

diambil beserta rencana anggaran biaya yang diperlukan. Hasil penelitian yang

telah dilaksanakan diserahkan kepada perpustakaan sebanyak 1 (satu) rangkap

sebagai media publikasi dan dokumentasi. Selain itu dilakukan presentasi hasil

kegiatan, dimasukkan ke dalam website dan ditulis untuk media publikasi berupa

jurnal.

4.2 Manajemen Satwaliar In-situ

4.2.1 Kondisi habitat

Secara umum kegiatan inventarisasi keanekaragaman satwaliar di Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) dibagi atas dua jalur pengamatan.

Setiap jalur pengamatan merupakan perwakilan dari tipe habitat berbeda dengan

ciri khas berdasarkan komposisi floranya. Kedua tipe habitat tersebut adalah:

4.2.1.1 Hutan Riparian

Habitat riparian di Panaikang memiliki komposisi vegetasi yang umumnya

terdiri atas semak-semak dan pepohonan dengan tajuk agak terbuka. Habitat ini

berada di pinggiran sungai berpasir dengan aliran air yang cukup deras dan jernih

berasal dari hutan yang masih tertutup rapat di sekitarnya. Kondisi riparian adalah

daerah terbuka hasil sedimentasi yang membentuk daratan dengan struktur batuan

sungai di bagian pinggir, kemudian berupa pasir dan hutan pada daerah tertutup.

Beberapa jenis tumbuhan yang ditemukan diantaranya adalah tempuyung

(Sonchus arvensis), asam (Tamarindus indica) dan bingkuru (Morinda

brancteae).

25

Page 26: Laporan bantimurung

Gambar 2 Jalur pengamatan pada habitat riparian.

4.2.1.2 Hutan Sekunder

Topografi hutan sekunder relatif bervariasi dari datar hingga curam dengan

kondisi tutupan vegetasi rapat. Hutan sekunder yang dimaksud adalah hutan yang

pernah mengalami gangguan disebabkan perambahan. Ketinggian lokasi

pengamatan 200-250 mdpl. Didominasi oleh pohon tinggi hasil suksesi sehingga

sinar matahari sulit menembus hingga tanah menyebabkan lantai hutan bersih.

Habitus lainnya yang ditemukan selain pohon berupa liana dan perdu. Beberapa

spesies tumbuhan diantaranya adalah sirih hutan (Piper sp), jambu biji (Psidium

guajava), jeruk bali (Cytrus maxima) dan Mangga hutan (Mangifera sp).

Gambar 3 Jalur pengamatan di hutan sekunder.

4.2.2 Mamalia

4.2.2.1 Keanekaragamn Jenis Mamalia

26

Page 27: Laporan bantimurung

Berdasarkan hasil inventarisasi mamalia yang dilakukan di Dusun

Panaikang Desa Kalabbirang, Resort Bantimurung Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung (TNBB) diperoleh 4 jenis mamalia. Beberapa jenis mamalia tersebut

diperolah pada tipe habitat reparian skunder. Jenis-jenis mamalia yang

diindentifikasi pada jalur pengamatan yakni monyet sulawesi (Macaca maura)

dan babi sulawesi (Sus celebensisi) yang diidentifikasi melalui jejak kaki serta

kubangan. Selain dari hasil pengamatan, beberapa mamalia juga diidentifikasi

berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk yang tinggal di sekitar kawasan

kawasan TNBB adalah Tarsius spectrum dan kuskus sulawesi (Strigocuscus

celebensis). Jenis mamalia yang ditemukan di tempat ini relatif sedikit karena

dapat dipengaruhioleh aktivitas manusia. Menurut Alikodra (2010) ancaman

terhadap satwa dikarenakan jumlah manusia yang semakin bertambah dalam

pemanfaatan lahan. Sedangkan dari hasil wawancara cukup banyak diidentifikasi

karena pada umumnya masyarakat sekitar mengenal kondisi kawasan lebih

banyak, sehingga pengetahuan mengenai keberadaan satwa lebih banyak pula.

Tabel 8 Jenis Mamalia di Dusun Panaikang Desa Kalabbirang

No. Jenis Mamalia Nama Latin Jenis Identifikasi

Famili Phalangeridae1. Kuskus sulawesi Strigocuscus celebensis Wawancara

Famili Suidae2. Babi hutan sulawesi Sus celebensis Jejak

Famili Tarsiidae3. Tarsius Tarsius spectrum Wawancara

Famili Cerchopitechidae4. Monyet dare Macaca maura Langsung

Sedangkan identifikasi yang dilakukan di Dusun Kampoang Desa

Tompobulu, Resort Balocci dapat diidentifikasi sebanyak enam jenis mamalia.

Dari enam jenis mamalia tersebut terdapat empat jenis mamalia yang ditemukan

di dalam jalur pengamatan, tiga diantaranya temukan secara langsung yakni bajing

tiga warna (Callosciurus prevosti pluto), tenggalung malaya (Viverra tengalunga),

dan monyet sulawesi (Macaca maura). Sedangkan terdapat satu spesies

diidentifikasi melalui jejak yakni babi sulawesi (Sus celebensis). Selain itu

terdapat dua jenis mamalia yang diidentifikasi melalui wawancara yakni rusa

timor (Cervus timorensis) dan Tarsius tarsier.

27

Page 28: Laporan bantimurung

Tabel `9 Jenis Mamalia di Dusun Kampoang Desa Tompobulu

No. Jenis Mamalia Nama Latin Jenis IdentifikasiFamili Sciuridae

1. Bajing tiga warna Callosciurus prevostii pluto LangsungFamili Viverridae

2. Tenggalung Malaya Viverra tangalunga Langsung & JejakFamili Cervidae

3. Rusa timor Cervus timorensis WawancaraFamili Suidae

4. Babi hutan sulawesi Sus celebensis JejakFamili Tarsiidae

5. Tarsius Tarsius spectrum WawancaraFamili Cerchopitechidae

6. Monyet dare Macaca maura Langsung

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian di atas dan data dari

beberapa sumber yang telah ada yakni RPTN Bantimurung Bulusaraung (2007)

dan Himakova (2007), keanekaragaman mamalia di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung terdapat dua belas jenis mamalia.

Tabel 10. Jenis Mamalia di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

No. Famili Jenis Mamalia Nama Latin

1. Soricidae Munggis rumah Suncus murinus 2. Sciuridae Bajing Kelapa Callosciurus notatus

3. Bajing tiga warna Callosciurus prevostii pluto

4. Viverridae Tenggalung Malaya Viverra tangalunga

5. Musang Luwak Paradoxurus hermaphroditus

6. Musang sulawesi Macrogalidia musschenbroekii

7. Phalangeridae Kuskus sulawesi Strigocuscus celebensis

8. Phalangeridae Kuskus beruang Ailurops ursinus

9. Cervidae Rusa timor Cervus timorensis

10. Suidae Babi hutan sulawesi Sus celebensis

11. Tarsiidae Tarsius Tarsius spectrum

12. Cerchopitechidae Monyet sulawesi /Dare Macaca maura

28

Page 29: Laporan bantimurung

4.2.2.2 Dominansi, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan

Jenis Mamalia

Keanekaragaman jenis mamalia di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung perlu dipertahankan. karena memiliki indeks keanekaragaman

sedang namun memiliki jenis yang endemik sub Sulawesi, diantaranya adalah

musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii), kuskus sulawesi (Strigocuscus

celebensis), babi sulawesi (Sus celebensis), Tarsius spectrum, dan monyet

sulawesi (Macaca maura). Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik

tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan

untuk menyatakan struktur komunitas (Soegianto, 1994). Dari hasil penelitian

yang dilakukan indeks keanekaragaman di Dusun Panaikang dan Dusun

Kampoang mencapai nilai 1,33 dan 1,02. Berdasakan Shanon-Wiener yang

menyatakan nilai indeks >1 dan <3 merupakan keanekaragaman jenis sedang.

Hal ini, akan mencipkan ekosistem yang stabil (Ludwig dan Reynold 1998), yakni

keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan

kestabilan komunitas sedang. Keanekaragaman jenis mamalia tergolong sedang

ini dikarena dengan kondisi habitat yang dipengarungi oleh kawasan kars, yang

dipengarungi oleh tajuk kurang rapat serta banyak didominasi oleh vegersi yang

dominan. Nanum, dalam hal ini habitat masih cenderung stabil karena tidak

terdapat gangguan habitat secara signifikan. Keadaan stabil dapat dipengarungi

oleh transfer energi dan materi dapat berjalan dengan lancar. Namun, tidak semua

ekosistem ditentukan oleh adanya keanekaragaman hayati yang tinggi, karena

terdapat beberapa ekosistem yang memiliki keanekaragaman jenis yang rendah

namun berada pada kondisi yang stabil. Untuk itu, perlu adanya pengelolaan

habitat yang lestari untuk menjaga kestabilan lingkungan. Menurut Alikodra

(2010) pengelolaan habitat dapat dilakukan dengan mengatur produktivitas

makanan, sumber-sumber air, sumber-sumber garam mineral, tempat-tempat

berlindung satwa, mencegah terjadinya pencemaran, serta mencegah kerusakan

yang diakibatkan faktor lain.

29

Page 30: Laporan bantimurung

Index Keanekaragaman (H') Index Kemerataan (E)0.000.200.400.600.801.001.201.40 1.33

0.961.02

0.57

Panaikang Kampoang

Gambar 10. Index keanekaragaman dan index kemerataan mamalia di Dusun

Panaikang dan Dusun Kampoang.

Selain nilai kekayaan dan keanekaragaman jenis, nilai kemerataan juga

perlu diperhitungkan. Nilai indeks kemeratan merupakan ukuran keseimbangan

kearah suatu komunitas satu dengan yang lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh

jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas ( Ludwig and Reynolds, 1988).

Semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis di suatu habitat, maka keseimbangan

komunitasnya juga akan semakin tinggi. Nilai kemerataan menunjukan besarnya

kemerataan suatu jenis mamalia di suatu area. Dari hasi penelitian yang dilakukan

di lokasi, diketahui bahwa nilai kemerataan di Dusun Panaikang dan Dusun

Kampoang bernialai 0,96 dan 0,57. Hal ini, menunjukkan bahwa kemerataan jenis

mamalia di Dusun Panaikang tergolong tinggi, sedangkan di Dusun Kampoang

tergolong sedang. Kondisi kemerataan di dua lokasi tersebut masih tergolong

baik. Karena dari ketersedian habitat masih cukup baik. Seperti tersedianya air

yang cukup melimpah, pakan masih stabil, serta kondisi cover yang masih baik.

Kondisi baik ini karena masih minim adanya gangguan oleh manusia. Gangguan

tempat berlindung merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan

mamalia. Mamalia yang dikenal sensitif terhadap gangguan, akan menghindar jika

ganguan dari luar, seperti aktivitas manusia di dalam kawasan (Alikodra 2002).

Gangguan dari aktivitas manusia lama kelamaan dapat menimbulkan

hilangnya keanekaragaman hayati. Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya

berdampak pada punahnya salah satu jenis saja. Apabila populasi tumbuhan dan

hewan di suatu tempat sudah habis, maka keanekaragaman genetika yang terdapat

dalam setiap jenis yang memberi kemampuan bagi jenis tersebut untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya juga hilang. Oleh karena itu, setiap jenis

30

Page 31: Laporan bantimurung

perlu dijaga kelestariannya agar tidak terjadi kepunahan misal terhadap makhluk

hidup.

4.2.2.3 Status Perlindungan dan endemisitas jenis Mamalia

Dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati, Indonesia telah

meratifikasi lima konvensi terkait keanekaragaman hayati. Kelima konvensi

tersebut antara lain Konvensi RAMSAR, CITES, Konvensi Keanekaragaman

Hayati, Protocol Kyoto, dan Konvensi Bio-safety (Noerdjito et al 2005).

Disamping itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa aturan

perundang-undangan dalam mendukung upaya konservasi sumberdaya alam dan

kehutanan. Aturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut;

1. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

2. Undang-undang RI No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan

3. Peraturan pemerintah RI No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan

satwa.

Keanekaragaman jenis mamalia di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung terdapat 12 jenis mamalia, terdiri dari 9 Famili dan 7 Ordo. Dari 12

jenis tersebut terdapat 4 Spesies dilindungi PP No. 7 Tahun 1999, 3 Jenis

termasuk dalam Appendix II CITES. Selain itu menurut status IUCN versi 3.1

tahun 2011 terdapat 5 Spesies Konsentrasi rendah (Least concern=LC), 5 Spesies

Rawan (vulnerable = VU), 1 Spesies Mendekati terancam (Near threatened = NT)

, dan 1 Spesies Genting (endangered = EN).

Tabel 11. Status perlindungan mamalia di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung

NO. Jenis Mamalia Nama Latin Status PerlindunganIUCN CITES PP No.7/99

Famili Soricidae1. Munggis rumah Suncus murinus LC - -

Famili Sciuridae2. Bajing Kelapa Callosiciurus notatus LC - - 3. Bajing tiga warna Callosciurus prevostii pluto LC - -

Famili Viverridae4. Tenggalung Malaya Vivera tangalunga LC - - 5. Musang Luwak Paradoxurus hermaphrodites LC - - 6. Musang sulawesi Macrogalidia

musschenbroekiiVu - √

31

Page 32: Laporan bantimurung

Famili Phalangeridae7. Kuskus sulawesi Strigocuscus celebensis Vu - -

Famili Phalangeridae8. Kuskus beruang Ailurops ursinus Vu - -

Famili Cervidae9. Rusa timor Cervus timorensis Vu - √

Famili Suidae10. Babi hutan sulawesi Sus celebensis NT APP

II -

Famili Tarsiidae11. Tarsius Tarsius spectrum Vu APP

II √

Famili Cerchopitechidae12. Monyet dare Macaca maura En APP

II √

Keterangan : Keterangan :

NT = Near Threatened, LC = Least Concern, DD = Data Deficien,

VU = Vulnerable, EN = Endangered, App= Appendix

4.2.3 Burung

4.2.3.1 Keanekaragaman jenis burung

Berdasarkan hasil pengamatan selama 17 hari di kedua lokasi yaitu

Dusun Panaikang Desa Kalabirang Kecamatan Bantimurung, Maros pada tanggal

23 Februari- 3 Maret 2011 tercatat 34 jenis burung dari 24 suku dan Dusun

Kampoang Desa Tompobulu Kecamatan Balocci, Pangkep pada tanggal 7-14

Maret 2011 tercatat 41 jenis burung dari 24 suku (Tabel 10).

Tabel 12. Penemuan jenis burung di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

No Nama Ilmiah Nama JenisLokasi Status

1 2Ardeidae

1 Egretta garzetta (Linnaeus, 1766) Kuntul Kecil √ AB

2 Bubulcus ibis (Linnaeus, 1758) Kuntul Kerbau √ AB

3 Ardeola speciosa (Horsfield, 1821) Blekok Sawah √ B

Ciconidae    

4 Ciconia episcopus (Boddaert, 1783) Bangau Sandang-lawe √ AB

Accipitridae    

5 Spilornis rufipectus Gould, 1858 Elangular Sulawesi √ √ II,AB

6 Ictinaetus malayensis (Temminck, 1822)

Elang Hitam√

II,AB

7 Spizaetus lanceolatus Temminck & Schlegel, 1844

Elang Sulawesi√

II,AB

Falconidae    

8 Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) Alapalap Sapi √ II,AB

32

Page 33: Laporan bantimurung

Turnicidae    

9 Turnix suscitator (Gmelin, 1789) Gemak Loreng √  

Rallidae    

10 Amaurornis isabellina (Schlegel, 1865)

Kareo Sulawesi √

 

11 Amaurornis phoenicurus (Pennant, 1769)

Kareo Padi√

 

Columbidae    

12 Ptilinopus melanospila (Salvadori, 1875)

Walik Kembang√

 

13 Macropygia amboinensis (Linnaeus, 1766)

Uncal Ambon√

 

14 Streptopelia chinensis (Scopoli, 1786)

Tekukur Biasa√

 

15 Chalcophaps indica (Linnaeus, 1758)

Delimukan Zamrud√

 

16 Chalcophaps stephani Pucheran, 1853

Delimukan Timur√

 

Psittacidae    

17 Loriculus stigmatus (S. Müller, 1843)

Serindit Sulawesi√

II

Cuculidae    

18 Rhamphococcyx calyorhynchus Temminck, 1825

Kadalan Sulawesi √ √

 

19 Centropus celebensis Quoy & Gaimard, 1830

Bubut Sulawesi√

 

Tytonidae    

20 Tyto alba Scopoli, 1769 Serak Jawa √ II

Strigidae    

21 Otus manadensis Quoy & Gaimard,1830

Celepuk sulawesi√

II,A

Caprimulgidae    

22 Eurostopodus macrotis Vigors, 1831 Taktarau Besar √  

Apodidae    

23 Collocalia infuscatus Salvadori, 1880

Walet Maluku√

 

24 Collocalia esculenta (Linnaeus, 1758)

Walet Sapi√ √

 

25 Collocalia linchi (Horsfield & F. Moore, 1854)

Walet Linci√ √

 

Hemiprocnidae    

26 Hemiprocne longipennis Rafinesque, 1802

Tepekong Jambul√

 

Alcedinidae    

27 Alcedo meninting Horsfield, 1821 Rajaudang Meninting √ √ AB

28 Ceyx fallax (Schlegel, 1866) Udangmerah Sulawesi √ NT, AB

29 Halcyon chloris Boddaert, 1783 Cekakak Sungai √ AB

Bucerotidae    

30 Penelopides exarhatus Temminck, 1823

Kangkareng Sulawesi √

II,AB

31 Aceros cassidix (Temminck, 1823) Julang Sulawesi √ II,AB

Picidae    

33

Page 34: Laporan bantimurung

32 Mulleripicus fulvus Quoy & Gaimard, 1830

Pelatuk Kelabu-Sulawesi

√ √ 

33 Dendrocopos temminckii Malherbe, 1849

Caladi Sulawesi √

 

Hirundinidae    

34 Hirundo tahitica Gmelin, 1789 Layanglayang Batu √  

Campephagidae    

35 Lalage leucopygialis Walden, 1872 Kapasan Sulawesi √  

Pycnonotidae    

36 Pycnonotus aurigaster (Jardine & Selby, 1837)

Cucak Kutilang√ √

 

Dicruridae    

37 Dicrurus montanus (Riley, 1919) Srigunting Sulawesi √  

38 Dicrurus hottentottus (Linnaeus, 1766)

Srigunting Jambul-rambut

√ √ 

Oriolidae    

39 Oriolus chinensis Linnaeus, 1766 Kepudang Kuduk-hitam

√ √ 

Corvidae    

40 Corvus enca (Horsfield, 1821) Gagak Hutan √ √  

Timaliidae    

41 Trichastoma celebense (Blyth, 1845) Pelanduk Sulawesi √ √  

Silviidae    

42 Gerygone sulphurea Remetuk Laut √ √  

Muscicapidae    

43 Hypothymis azurea Kehicap Ranting √ √  

Sturnidae    

44 Aplonis panayensis (Scopoli, 1786) Perling Kumbang √  

45 Basilornis celebensis G. R. Gray, 1861

Rajaperling Sulawesi√

 

46 Streptocitta albicollis (Vieilot, 1818) Blibong Pendeta √  

47 Scissirostrum dubium (Latham, 1801)

Jalak Tunggir-merah√

 

Meliphagidae    

48 Myza celebensis (A. B. Meyer & Wiglesworth, 1894)

Cikarak Sulawesi√

AB

Nectarinidae    

49 Anthreptes malacensis (Scopoli, 1786)

Burungmadu Kelapa√ √

AB

50 Leptocoma sericea (Lesson, 1827) Burungmadu Hitam √ √ AB

51 Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) Burungmadu Sriganti √ AB

52 Aethopyga siparaja (Raffles, 1822) Burungmadu Sepah-raja

√AB

Zosteropidae    

53 Zosterops consobrinorum A. B. Meyer, 1904

Kacamata Sulawesi√

 

Dicaeidae    

54 Dicaeum celebicum S. Müller, 1843 Cabai Panggul-kelabu √ √  

55 Dicaeum aureolimbatum (Wallace, 1865)

Cabai Panggul-kuning√

 

34

Page 35: Laporan bantimurung

Ploceidae    

56 Lonchura molucca (Linnaeus, 1766) Bondol Taruk √ √  

57 Passer montanus (Linnaeus, 1758) Burunggereja Erasia √  

Keterangan : A. Dilindungi menurut PP No. 5/1990B. Dillindungi menurut PP No.7/1999II. Appendix IINT. Near Threatened

`Hasil pengamatan menunjukkan penemuan jenis burung banyak tercatat

di lokasi kedua yaitu Dusun Kampoang. Jika dilihat dari tutupan vegetasi, pada

lokasi kedua memiliki tipe habitat hutan sekunder dengan tingkat kerapatan dan

komposisi jenis yang lebih tinggi, berbeda dengan lokasi pertama yaitu Dusun

Panaikang memiliki tipe habitat hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan

hutan tanaman jati yang mendominasi sehingga komposisi vegetasi menjadi

kurang beragam. Hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat keanekaragaman

satwa, karena sutau lokasi yang memiliki tingkat keanekaragaman tumbuhan yang

tinggi akan menyediakan daya dukung habitat yang lebih tinggi pula dan menjadi

habitat yang digemari banyak satwa (Ewusie 1990).

Terdapat perbedaan jenis burung yang ditemukan pada kedua lokasi yang

diamati. Perbedaan tingkat keanekaragaman jenis burung tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor seperti ketersediaan pakan, waktu aktivitas, dan tipe habitat.

Faktor-faktor tersebut juga akan berpengaruh pada komposisi jenis burung yang

dapat ditemukan pada suatu lokasi. Menurut Odum (1994), menyatakan bahwa

keanekaragaman spesies hewan termasuk burung dipengaruhi oleh tingkat

ketersediaan makanan. Sehingga akan ada perbedaan keanekaragaman jenis

burung yang disebabkan tingkat ketersediaan makanan bagi burung. Bahkan

beberapa kelompok burung dapat hidup lestari hingga saat ini disebabkan telah

berhasil menciptakan relung yang khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi

kompetisi atas kebutuhan sumber daya dan sebagai bentuk adaptasi terhadap

kondisi lingkungan.

Perbedaan pola dan cara memperoleh mangsa ini diduga mampu

menciptakan kebersamaan antara beberapa jenis burung untuk dapat hidup dan

mencari mangsa bersama-sama pada waktu dan lokasi yang sama. Kerusakan

hutan juga dapat mempengaruhi kehidupan burung liar atau dapat memaksa

burung-burung tersebut untuk keluar dari relung ekologinya, baik untuk mencari

35

Page 36: Laporan bantimurung

tempat berbiak atau mencari makanan. Pada umumnya habitat dapat mengalami

perubahan kondisi musiman dalam sturktur dan ketersediaan pakan. Kerusakan

habitat atau perubahannya merupakan faktor utama perpindahan burung ke habitat

lainnya (Baral dan Ramji 2002)

Jenis burung yang banyak ditemui secara keseluruhan pada lokasi

pengamatan yaitu dari suku Columbidae. Secara umum, kurva penemuan jenis

burung berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan peningkatan yang cukup

curam (Gambar 9). Kecuraman tersebut menggambarkan kekayaan jenis dan

menentukan kemungkinan penemuan terhadap jenis burung yang belum tercatat

(MacKinnon et al. 1998).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 100

10

20

30

40

50

60

Daftar ke-

Jum

lah

Jeni

s

Gambar 9 Kurva penemuan jenis dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon.

4.2.3.2 Dominansi, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan

Jenis Burung

Jenis burung yang dominan merupakan jenis yang sering tercatat pada

saat pengamatan dan dapat menunjukkan bahwa jenis burung tersebut mudah atau

umum dijumpai pada tipe habitat tertentu. Penentuan dominansi jenis burung

menggunakan rumus menurut van Helvoort (1981). Jenis yang dominan memiliki

nilai dominansi ≥ 5. Terdapat beberapa jenis dominan yang sama di dua lokasi

pengamatan (Tabel 13).

Tabel 13. Rekapitulasi dominansi jenis burung.

Lokasi Jenis Dominan

Panaikang Collocalia linchi, Pycnonotus aurigaster, Oriolus chinensis.

36

Page 37: Laporan bantimurung

Kampoang Collocalia linchi, Scissirostrum dubium, Dicrurus hottentotus, Oriolus chinensis, Pycnonotus aurigaster, Loriculus sigmatus, Streptocitta albicollis, Leptocoma sericea.

Jenis-jenis dominan ini dianggap sebagai jenis umum pada habitat

tersebut, dan habitat tempat ditemukan jenis dominan tersebut merupakan habitat

yang tepat bagi jenis burung tersebut. Dalam hal ini, habitat yang tepat mencakup

ketersediaan pakan dan cover (tempat berlindung termasuk tempat bersarang).

Indeks keanekaragaman menurut Margalef (1972) dalam Maguran (1988)

berkisar antara 1.50 sampai 3.50. Di Dusun Panaikang nilai indeks

keanekaragamannya 1,47 sedangkan di dusun Kampoang nilai indeks

keanekaragamannya adalah 2.76. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis

burung dipengaruhi oleh pengambilan sampel saat pengamatan, makin banyak

sampel yang diambil maka nilai indeks keanekaragaman jenis burung akan

cenderung lebih tinggi (Rahayuningsih 2009).

Indeks kemerataan jenis burung menunjukkan sebaran individu dari

setiap jenis burung pada suatu habitat tertentu. Nilai indeks kemerataan jenis

burung yang tercatat di dua lokasi pengamatan berkisar antara 0.54 sampai 0.82

(Tabel 11). Suatu komposisi jenis burung dikatakan merata, jika nilai indeks

kemerataan jenis burung tersebut makin mendekati satu , sebaliknya jika nilai

indeks kemerataan jenis burung mendekati angka nol maka semakin tidak merata.

Semakin merata suatu komposisi jenis burung, maka dapat dikatakan hanya

sedikit jenis yang mendominasi.

Tabel 14. Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (E’) jenis

burung

Lokasi H' E'

Panaikang 1,47 0,59

Kampoang 2,76 0,82

4.2.3.3 Status Perlindungan dan endemisitas jenis burung

37

Page 38: Laporan bantimurung

Beradasarkan jenis-jenis yang ditemukan selama pengamatan,

diantaranya terdapat berbagai jenis yang dilindungi. Secara keseluruhan tercatat

18 jenis burung yang dilindungi berdsarkan UU No. 5 tahun 1990, dan PP No. 7

tahun 1999. Tercatat 1 jenis termasuk dalam kategori Near Threatned (IUCN), 9

jenis termasuk dalam Appendix II CITES (Tabel 10).

Dari jenis-jenis yang dilindungi tersebut terdapat jenis yang merupakan

suatu indikator bagi keutuhan hutan yaitu dari suku Bucerotidae (Koop dalam

Priatna 2002). Selain itu, terdapat beberapa jenis burung yang memiliki wilayah

penyebaran yang terbatas hanya terdapat di sub-kawasan Sulawesi, antara lain

Spilornis rufipectus, Spizaetus lanceolatus, Amaurornis isabellina, Loriculus

stigmatus, Rhamphococcyx calyorhynchus, Centropus celebensis, Otus

manadensis, Ceyx fallax, Penelopides exhartus, Aceros cassidix, Mulleripicus

fulvus, Dendrocopus temminckii, Lalage leucopygialis, Dicrurus montanus,

Trichastoma celebense, Basilornis celebensis, Streptocitta albicollis,

Scissirostrum dubium, dan Myza celebensis.

Secara keseluruhan, hasil inventarisasi di dua lokasi berhasil mencatat 57

jenis burung, 51 genus dari 32 suku. Berdasarkan nilai Indeks Keanekaragaman

Jenis burung pada keseluruhan lokasi, tingkat keanekaragaman jenis burungnya

tergolong sedang, dan hanya pada satu lokasi yang memiliki tingkat

keanekaragamn yang tinggi. Jenis-jenis burung yang ditemukan secara

keseluruhan tersebar secara merata.

4.2.4 Kupu-kupu

4.2.4.1 Kondisi habitat kupu-kupu

Keberadaan kupu-kupu pada suatu habitat dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain ketinggian tempat, iklim, vegetasi dan waktu harian (Suantara

2000). Dalam suatu habitat memungkinkan hidup beberapa jenis kupu-kupu, ada

yang memiliki anggota yang sangat besar dan ada pula yang terdiri dari beberapa

individu saja. Semua individu-individu jenis di dalam habitat tersebut membentuk

suatu populasi untuk mempertahankan hidupnya.

38

Page 39: Laporan bantimurung

Jumlah individu kupu-kupu pada jalur sungai (riparian) yang berada di lokasi

Panaikang. Sungai-sungai yang terdapat pada jalur pengamatan ini umumnya

cukup lebar dengan aliran air yang tidak terlalu. Habitat riparian ini sangat

mendukung untuk kehadiran kupu-kupu karena memiliki semua komponen habitat

yang dibutuhkan oleh kupu-kupu seperti sumber mineral, sinar matahari yang

cukup dan di sekitar pinggiran sungai banyak ditumbuhi vegetasi pakan

kupu-kupu diantaranya bingkuru (Morinda brancteae) yang menjadi

pakan kupu-kupu dari famili Hesperiidae. Jumlah kupu-kupu yang dapat

ditemukan pada habitat ini sebanyak 75 individu yang terdiri dari 40 spesies.

Jalur kedua merupakan jalur hutan sekunder yang berada di lokasi

Kampoang. Banyaknya kupu-kupu yang berhasil diamati pada jalur ini karena

terdapat banyak pohon dan tumbuhan berbunga yang menjadi pakan kupu-kupu

berada di sepanjang jalur pengamatan. Beberapa vegetasi dominan pakan kupu-

kupu dari famili Papilionidae diantaranya adalah sirih hutan (Piper sp), kayu putih

(Melaleuca leucadendra) dan jambu biji (Psidium guajava). Terdapat juga

tumbuhan ketepeng (Cassia alata) dan mangga hutan (Mangifera sp) sebagai

pakan kupu-kupu dari famili Nymphalidae Jumlah kupu-kupu yang ditemukan

pada habitat ini sebanyak 241 individu yang terdiri dari 65 spesies.

4.2.4.2 Keanekaragaman jenis kupu-kupu

Jenis kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN

Babul) yang ditemukan pada dua lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 2.

Jumlah total kupu-kupu yang teramati sebanyak 80 spesies (316 individu) yang

terbagi dalam 6 famili, yaitu: Papilionidae 17 spesies (58 individu), Pieridae 10

spesies (54 individu), Nymphalidae 34 spesies (140 individu), Danaidae 10

spesies (51 individu), Lycaenidae 6 spesies (9 individu) dan Hesperiidae 3 spesies

(3 individu). Berikut data jenis kupu-kupu yang ditemukan disajikan pada Tabel

Tabel 15. Jenis kupu-kupu yang ditemukan

No Nama ilmiah Panaikang Kampoang JumlahPapilionidae

1 Graphium agamemnon 0 5 52 Graphium androcles 0 1 13 Graphium codrus 0 1 14 Graphium dorcus 0 1 15 Graphium meyeri 4 1 56 Graphium milon 7 3 10

39

Page 40: Laporan bantimurung

No Nama ilmiah Panaikang Kampoang Jumlah7 Graphium sarpedon 0 1 18 Lamproptera meges 3 0 39 Pachliopta polyphontes 0 1 110 Papilio ascalapus 1 4 511 Papilio blumei 1 0 112 Papilio fuscus 0 2 213 Papilio gigon 2 15 1714 Papilio peranthus 1 1 215 Troides haliphron * 0 1 116 Troides helena* 1 1 217 Troides hypolitus* 0 1 1

Pieridae18 Appias zarinda 1 1 219 Catopsilia pomona 5 10 1520 Cepora fora 0 2 221 Cepora celebensis 1 4 522 Eurema alitha 0 1 123 Eurema celebensis 0 2 224 Eurema tominia 1 5 625 Gandaca butyrosa 0 1 126 Hebomoia glaucippe 3 7 1027 Pareronia tritaea 2 8 10

Nymphalidae28 Aoa affinis 1 0 129 Bletogona mycalesis 1 0 130 Cethosia biblis 0 6 631 Cethosia myrina * 1 1 232 Charaxes affinis 0 1 133 Charaxes solon 0 1 134 Chersonesia rahria 1 0 135 Cupha maeonides 0 1 136 Cyrestis strigata 1 6 737 Cyrestis thyonneus 0 1 138 Euthalia aconthea 1 0 139 Faunis menado 6 16 2240 Hypolimnas diomea 1 2 341 Junonia atlites 2 0 242 Junonia hedonia 4 8 1243 Lamasia lyncides 0 1 144 Lasippa neriphus 3 3 645 Lexias aeetes 0 5 546 Lohora decipiens 0 8 847 Melanitis leda 2 6 848 Moduza libnites 1 2 349 Moduza lymire 1 1 250 Mycalesis janardana 0 1 151 Neptis ida 2 8 1052 Phalanta alcippe 0 7 753 Rhinopalpa polynice 0 1 154 Rohana macar 0 1 155 Tarattia lysanias 0 2 256 Tirumala choaspes 0 3 357 Tirumala hamata 0 1 158 Vindula dejone 3 12 1559 Vindula erota 1 0 160 [Sp 3] 0 1 161 [Sp 4] 0 2 2

40

Page 41: Laporan bantimurung

No Nama ilmiah Panaikang Kampoang JumlahDanaidae

62 Euploea algea 0 10 1063 Euploea configurata 0 4 464 Euploea eleusina 1 0 165 Euploea hewitsonii 0 9 966 Euploea phaenareta 1 0 167 Euploea westwoodi 1 12 1368 Idea blanchardi ^ 1 0 169 Ideopsis juventa 1 3 470 Ideopsis vitrea 0 7 771 Parantica cleona

Lycaenidae0 1

1

72 Arhopala argentea 0 1 173 Caleta caleta 0 1 174 Euchrysops cnejus 2 0 275 Ionolyce helicon 0 3 376 [Sp 2] 1 0 177 [Sp 5]

Hesperiidae0 1

1

78 Pelopidas mathias 1 0 179 Pseudocoladenia dan eacus 0 1 180 [Sp 1] 1 0 1

Jumlah jenis 40 65 80Jumlah individu 75 241 316

Keterangan : [Sp] = jenis kupu-kupu yang belum teridentifikasi * = jenis kupu-kupu yang dilindungi (Appendix II CITES)

Ukuran keanekaragaman jenis merupakan salah satu ukuran dalam menilai

kekayaan alam hayati pada kawasan tertentu. Dalam kegiatan observasi

keanekaragaman jenis kupu-kupu di TN Babul ini digunakan ukuran keragaman

jenis dengan indeks Shannon-Wienner yang sesuai untuk pengukuran metode

time-search yang merupakan salah satu inventarisasi pengambilan sample secara

acak (random).

Index Shannon-Wienner merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa

besar ketidaktentuan (uncertainty) spesies-spesies yang terkandung dalam suatu

lokasi. Sehingga semakin besar indeks, semakin banyak spesies yang mungkin

dapat ditemukan. Sebaliknya, nilai nol (0) mengindikasikan bahwa spesies yang

akan ditemukan sudah dapat dipastikan, dengan kata lain hanya akan ada 1 spesies

pada lokasi tersebut. Hasil perhitungan tingkat keanekaragaman kupu-kupu di TN

Babul dapat dilihat pada tabel 3.

Nilai Evenness merupakan nilai kemerataan dengan nilai minimal nol (0)

yang mengindikasikan bahwa setiap jenis yang ditemukan pada lokasi tersebut

41

Page 42: Laporan bantimurung

memiliki jumlah individu yang berbeda banyaknya (tidak pernah sama

jumlahnya), sedangkan nilai maksimal satu (1) mengindikasikan bahwa setiap

jenis yang ditemukan pada lokasi tersebut memiliki jumlah individu yang sama

banyaknya. Hasil perhitungan tingkat kemerataan kupu-kupu TN Babul dapat

dilihat pada tabel 9 di bawah.

Tabel 16 Kekayaan Jenis Kupu-kupu di TN. Babul

sLokasi Shannon-Wienner EvennessHutan riparian 3,45 0,94Hutan sekunder 3,75 0,90

Nilai indeks keanekaragaman yang didapatkan yaitu sebesar 3.45 untuk

hutan riparian dan 3.75 untuk hutan sekunder, yang artinya keanekaragaman

kupu-kupu di jalur hutan riparian dan hutan sekunder tergolong tinggi dengan

penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas kupu-

kupu tinggi. Perbedaan tingkat keanekaragam di setiap jalur pengamatan dapat

dilihat pada gambar 5.

Dari hasil perhitungan indeks kemerataan (Evenness) diketahui bahwa

kedua tipe habitat yakni hutan riparian dan hutan sekunder memiliki nilai

kemerataan yang tinggi yaitu 0.94 dan 0.90, artinya jumlah individu per jenis

yang ditemukan pada lokasi tersebut cukup merata. Perbedaan tingkat kemerataan

di setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada gambar 5.

Panaikang Kampoang0.000.501.001.502.002.503.003.504.00

3.453.75

0.94 0.90

Index Keanekaragaman (H') Index Kemerataan (E)

Gambar 5. Diagram nilai keanekaragaman dan kemerataan.

Jalur pengamatan di lokasi pertama merupakan habitat riparian. Habitat

riparian memiliki potensi tinggi sebagai tempat hidup kupu-kupu, hal ini

42

Page 43: Laporan bantimurung

disebabkan tersedianya sumber air, vegetasi yang terbuka dan intensitas sinar

matahari yang tinggi. Kupu-kupu yang banyak dijumpai berasal dari famili

Nymphalidae dan Papilionidae. Famili Nymphalidae diantaranya jenis Faunis

menado, Junonia hedonia dan Vindula dejone.. Sedangkan famili Papilionidae

yang dominan diantaranya jenis Graphium milon dan Graphium meyeri.

Pada daerah riparian tepatnya di bagian pinggir sungai dijumpai kupu-

kupu mati pada tumpukan pasir di atas bebatuan. Di sepanjang jalur pengamatan

banyak ditemukan letak tumpukan pasir dengan adanya bekas urine manusia yang

terdapat bangkai kupu-kupu. Bangkai kupu-kupu tersebut terdiri dari beberapa

jenis dengan jumlah sekitar 10 individu setiap tumpukan pasir. Kupu-kupu mati di

bebatuan pada daerah pinggiran sungai dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6 Sekumpulan kupu-kupu mati di bebatuan.

Kegiatan pengamatan di lokasi kedua yakni pada habitat hutan sekunder

dimulai pada pukul 09.00 WITA setelah cahaya matahari dapat menembus lantai

hutan. Jalur pengamatan dibuat menyusuri hutan dengan kondisi vegetasi rapat

dan berkanopi tertutup. Lokasi ini merupakan jalur terbanyak ditemukannya kupu-

kupu karena terdapat banyak vegetasi pakan kupu-kupu. Jumlah kupu-kupu yang

berhasil diamati sebanyak 241 individu terdiri dari 65 spesies. Jenis-jenis yang

mendominasi diantaranya adalah Papilio gigon dari famili Papilionidae,

Catopsilia Pomona dari famili Pieridae, Cethosia biblis dari famili Nymphalidae

dan Euploea westwoodi dari famili Danaidae .

Secara keseluruhan ada beberapa jenis kupu-kupu yang mendominasi

disetiap habitatnya, antara lain pada tipe habitat hutan riparian adalah jenis Faunis

menado dan Vindula dejone. Sedangkan pada habitat sekunder adalah Papilio

43

Page 44: Laporan bantimurung

gigon dan Euploea westwoodi. Secara keseluruhan nilai dominansi setiap kupu-

kupu dapat dilihat pada gambar 7.

Faunis menadoPapilio gigon

Vindula dejone Euploea westwoodiCatopsilia pomona

Euploea algeaEuploea hewitsonii

Pareronia tritaeaJunonia hedonia Lohora decipiens

Neptis ida Hebomoia glaucippe

Phalanta alcippeIdeopsis vitreaCethosia biblis

Cyrestis strigata Melanitis leda

Graphium agamemnonEurema tominia

Lexias aeetes

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

6.646.22

4.984.98

4.154.15

3.733.323.323.323.32

2.902.902.90

2.492.492.49

2.072.072.07

Gambar 7 Tingkat dominansi setiap jenis kupu-kupu.

4.2.4.3 Aktivitas kupu-kupu

Kehidupan kupu-kupu dipengaruhi oleh temperatur lingkungannya. Sinar

matahari pagi diperlukan kupu-kupu untuk mengeringkan sayapnya yang lembab

sehingga sayap dapat digunakan untuk terbang (Novak 1999). Sedangkan menurut

Sihombing (1999) pada cuaca dingin kupu-kupu meningkatkan pembukaan

sayapnya untuk mendapatkan cahaya matahari dan meningkatkan temperatur

tubuh dengan cara terus berjemur. Pada saat inilah kupu-kupu senantiasa

merentangkan sayapnya agar kering sehingga dapat terbang dengan ringan dan

mudah. Bila temperatur tubuh meningkat kupu-kupu akan mencari tempat

berteduh.

44

Page 45: Laporan bantimurung

Gambar 4. kupu-kupu yang sedang berjemur.

Berdasarkan hasil pengamatan pada kedua tipe habitat, kupu-kupu di TN

Babul secara umum memulai aktivitasnya pada pagi hari hingga mendekati siang

yakni sekitar pukul 09.00-12.00 WITA. Pada pagi hari kupu-kupu hinggap di

permukaan daun dan di pucuk-pucuk tumbuhan yang terkena sinar matahari pada

pagi hari. Pada saat inilah kupu-kupu berjemur dengan merentangkan sayapnya

agar kering sehingga dapat terbang dengan ringan dan mudah. Ketika pengamatan

pada pagi hari dijumpai pula kupu-kupu yang sedang melakukan perkawinan, hal

ini diketahui karena pada saat pengidentifikasian kupu-kupu yang telah ditangkap

tersebut ternyata berjenis kelamin berbeda.

Saat siang kupu-kupu hinggap di batu-batuan atau di atas daun-daunan

pada tumbuhan dengan sayap terlipat yang mungkin bertujuan untuk mengurangi

penguapan akibat sinar matahari yang terik. Kupu-kupu akan menghentikan

aktivitasnya pada malam hari dengan beristirahat dibalik daun atau ranting pohon

dan ditempat-tempat yang sulit dijangkau oleh pemangsa.

4.2.4.4 Jenis kupu-kupu dilindungi

Habitat hutan sekunder dengan vegetasi pakan kupu-kupu yang cukup

banyak memberikan potensi besar untuk kehadiran kupu-kupu sayap burung.

Kupu-kupu sayap burung atau yang lebih dikenal dengan nama Birdwing (famili

Papilionidae) umumnya adalah golongan kupu-kupu dilindungi. Di Indonesia

terdapat beberapa aturan perlindungan kupu-kupu yang berlaku, diantaranya

adalah CITES dan PP No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis satwa dan

tumbuhan.

45

Page 46: Laporan bantimurung

Pada jalur pengamatan hutan sekunder ditemukan jenis kupu-kupu yang

termasuk jenis kupu dilindungi dalam daftar Appendix II CITES, yaitu Cethosia

myrina, Troides haliphron, Troides hypolitus dan Troides helena (Gambar 8).

Gambar 8 Troides helena.

Troides helena merupakan spesies umum yang dapat dijumpai hingga

ketinggian 1.000 mdpl. Kupu-kupu ini dapat terbang tinggi namun seringkali

turun dan hinggap pada bunga pohon yang rendah dan semak-semak (Soehartono

& Mardiastuti 2003). Jenis Helena Birdwing ini ditemukan sedang hinggap pada

tumbuhan sirih hutan. Troides helena memiliki ukuran panjang sayap 70 mm,

sayap depan berwarna coklat tua kehitaman, terdapat sisik-sisik halus berwarna

kuning yang tersusun membentuk garis. Pada jantan bagian ujung sayap depan

bewarna hitam dan pada bagian sayap bawah terdapat titik hitam yang terpisah.

Sayap belakang berwarna kuning emas dengan vena berwarna hitam.

4.3 Tumbuhan Insitu

4.3.1 Tipe Ekosistem

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki tipe ekosistem yang unik

dengan bentang alam berupa kawasan karst yang menjulang tinggi dan berjajar

membentuk tower karst yang telah dikenal dunia Internasional sebelum perang

Dunia II sebagai “The Spectacular Tower Karst” ( RPTN Babul 2008). Bentuk

susunan ekosistem TN Babul dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Arief

(1994) faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap susunan

ekosistem hutan dikelompokkan menjadi dua formasi, yaitu formasi klimatis dan

formasi edafis.

46

Page 47: Laporan bantimurung

Formasi klimatis merupakan formasi hutan yang dalam pembentukannya

dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, misalnya temperatur, kelembaban udara,

intensitas cahaya dan angin (Indriyanto 2006). Iklim di TN Babul memiliki 3 tipe,

yaitu Iklim tipe D, C dan B. Iklim D terletak di wilayah Bengo-bengo,

karaenta,Biseang, Labboro, Tonasa. Iklim C terletak di wilayah te’ne. Iklim B

terletak di wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa (RPTN Babul 2008). Kondisi

curah hujan di TN Babul dibagi menjadi 4 zona, yaitu curah hujan 2.250 mm,

2.750 mm, 3.250 mm dan 3.750 mm.

Formasi edafis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat

dipengaruhi oleh keadaan tanah, misalnya sifat-sifat fisika, sifat kimia dan sifat

biologi tanah (Indriyanto 2006). Jenis tanah di TN Babul dibagi menjadi dua,

yaitu tanah yang kaya akan kalium dan tanah yang kaya akan magnesium (RPTN

babul 2008). Pembentukan jenis tanah ini juga di pengaruhi oleh formasi geologi

yang mendominasi pembentukan ekosistem TN Babul. Formasi geologi tersebut,

meliputi formasi balang baru, batuan gunung api terpropilitkan, formasi Mallawa,

formasi Tonasa, formasi Camba, batuan Gunung Api Formasi Camba, batuan

Gunung Api Baturape-Cindako, batuan Terobosan dan batuan aluvium.

Faktor lingkungan tersebut mempengaruhi tipe ekosistem TN Babul, 75%

kawasan TN Babul berupa kawasan karst dan 25% berupa ekosistem hutan non

karst yang berupa ekosistem hutan, seperti di Panaikang, Pattunuang dan

Bantimurung yang berupa hutan riparian dan di Bulusaraung berupa hutan

pegunungan.

A. Kondisi Tipe Ekosistem berdasarkan sistem Zonasi

Sistem zonasi TN Babul 75% didominasi oleh zona inti yang tersusun atas

bentang alam karst, sedangkan 25% terdiri dari zona rimba, zona penyangga dan

zona pemanfaatan. Ekosistem hutan disetiap zonasi memiliki tingkat

keanekaragaman hayati yang tinggi. Kondisi ini mempengaruhi keanekaragaman

hayati disetiap ekosistem yang ada di TN Babul, seperti ekosistem yang ada di

hutan riparian maupun hutan pegunungan.

Hutan riparian di sekitar kawasan Panaikang, Pattunuang dan Bulusaraung

memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora maupun

faunanya. Di daerah Panaikang jenis fauna yang dominan adalah kupu-kupu,

47

Page 48: Laporan bantimurung

burung dan babi hutan sulawesi (Sus celebensis), sedangkan flora yang sering

ditemukan adalah jati (Tectona grandis) dan kopi (Coffea robusta) sebagai hutan

tanaman yang dikelola oleh warga Panaikang. Wilayah hutan di Panaikang sering

dijadikan sebagai wilayah pengembalaan sapi bali (Bos sondaicus) yang ditandai

dengan adanya padang pengembalaan yang berada di tepi riparian.

Gambar 9. Penggembalan sapi bali secara liar di hutan Panaikang

Kawasan hutan di wilayah Pattunuang berada di tepian areal riparian sungai

Pattunuang. Di sebelah kanan maupun kiri areal riparian di batasi oleh tebing-

tebing karst yang menjulang tinggi. Ekosistem hutan di sepanjang jalan kawasan

riparian Pattunuang di dominasi oleh pohon-pohon yang tinggi dan

beranekaragam jenisnya, satwa yang sering dijumpai adalah soa-soa

(Hydrosaurus amboinensis). Kawasan hutan riparian ini telah digunakan sebagai

jalan penghubung antara jalan raya Patunuang dan desa Pattunuang yang terletak

di dalam hutan.

Kawasan hutan riparian Bantimurung terletak di sekitar area ekowisata

Bantimurung. Pemanfatan sebagian kawasan sebagai area ekowisata telah

mengkibatkan hilangnya keanekaragaman flora fauna khas yang dulunya sering

ditemukan. Jenis flora yang ditemukan di daerah ini adalah jenis liana, epifit dan

jenis-jenis pohon yang tinggi. Jenis fauna endemik yang ditemukan adalah burung

rangkong (Aceros cassidix) yang hanya dapat dijumpai pada sore hari di atas

tebing.

Hutan pegunungan dapat ditemukan di sekitar dusun Kampoang Desa

Tompobulu Kecamatan Bulusaraung Kabupaten Pangkajene Kepulauan

(Pangkep). Ekosistem hutan Kampoang termasuk ekosistem hutan pegunungan

48

Page 49: Laporan bantimurung

yang memiliki tingkat biodiversitas flora dan fauna yang tinggi. Jenis flora yang

sering dijumpai di Kampoang, meliputi kemiri (Aleurites moluccana), Aren

(Arenga pinnata), ketepeng (Cassia alata), mangga hutan (Mangivera sp),

barunganga (Leea sp.), dan kayu putih (Melaleuca leucadendra). Jenis fauna

beraneka ragam, meliputi Dare (Macaca maura), kupu-kupu dan burung. Area

hutan ini merupakan area hutan sekunder, akan tetapi semakin tinggi ketinggian

semakin mendekati area hutan primer yang ditandai dengan tingginya tingkat

pohon-pohon yang rindang, tinggi dan berdiamer besar dan semakin sedikitnya

tingkat tumbuhan bawah.

B. Gangguan Ekosistem

Gangguan terhadap ekosistem sering diakibatkan oleh gangguan dari manusia

yang menyebabkan penyempitan habitat dari flora mapun fauna sekitar. Gangguan

itu berupa penebangan liar. Akibat dari berkurangnya habitat ini, Macaca maura

yang sering masuk ke areal perkebunan maupun pertanian warga Tompobulu.

Selain itu, keanekaman hayati dan keindahan kupu-kupu telah diganggu oleh

aktifitas penangkapan liar kupu-kupu oleh warga sekitar yang mayortas dilakukan

oleh kaum anak muda. Hal ini mempengaruhi tingkat keanekaragaman hayati di

ekosistem hutan TN babul menjadi semakin berkurang.

Gambar . Penangkapan kupu-kupu melalui jebakan air kencing diatas pasir

C. Identifikasi Potensi tumbuhan

Jenis tumbuhan di kawasan TN Babul berpotensi sebagai area berlindung dan

sumber pakan bagi kupu-kupu. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan di dua

lokasi yaitu di Panaikang dan Kampoang.

49

Page 50: Laporan bantimurung

Berdasarkan hasil praktek lapang telah ditemukan 24 jenis tumbuhan di

kawasan hutan Panaikang. Potensi tumbuhan sebagai pakan kupu-kupu terdapat

11 jenis.

Tabel 17. Potensi pakan kupu-kupu di kawasan hutan Panaikang

Famili kupu-kupu Famili Tumbuhan Nama latin Nama lokal

Papilionidae Asteraceae Sonchus arvensis Tempuyung

  Piperaceae Piper sp Sirih hutan

  Rutaceae Cytrus hystris Jeruk purut

Troides Piperaceae Piper sp Sirih hutan

  Capparaceae Cleome speciosa Maman

  Fabaceae Tamarindus indica Asam

Nympalidae Caesalpiniaceae Cassia siamea Johar

Hesperidae Rubiaceae Coffea robusta Kopi-kopi

    Morinda sp Bakang

    Morinda brancteae Bingkuru

  Fabaceae Tamarindus indica asam

Habitat di sekitar hutan Panaikang cocok untuk pertumbuhan famili

Piperaceae, Asteraceae, Rutaceae sebagai pakan Papilionidae dan Capparaceae,

Fabaceae, dan Piperaceae sebagai pakan Troides. Untuk jenis Nympalidae dan

Hesperidae memiliki kelimpahan jenis yang tidak melimpah. Berdasarkan

tingkatan spesies, potensi pakan Hesperidae yang mendominasi, yaitu 37%.

Sedangkan potesi pakan Troides dan Papilionidae seimbang, yaitu 27%. Hal ini

mempengaruhi tingkatan keanekaragaman kupu-kupu di daerah Panaikang.

50

Page 51: Laporan bantimurung

27%

27%9%

36%

Jumlah pakan kupu-kupu berdasarkan spesies tumbuhan

PapilionidaeTroidesNympalidaeHesperidae

Gambar 11. Jumlah pakan kupu-kupu berdasarkan spesies.

Kawasan hutan Kampoang yang terletak di desa Tompobulu memiliki

keanekaragaman jenis tumbuhan sebagai potensi pakan kupu-kupu yang lebih

banyak daripada Panaikang. Dai 63 jenis tumbuhan antara yang telah

teridentifikasi dan yang belum teridentifikasi terdapat 18 jenis tumbuhan yang

berpotensi sebagai pakan kupu-kupu.

Tabel 18. Jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pakan kupu-kupu

Famili Kupu-kupu

Famili Spesies Nama lokal

Papilionidae Myristicaceae Knema cinerea Jileng-jileng  Piperaceae Piper sp sirih hutan    Macropiper sp Eppoh    Piper sp mrica-mrica

  MyrtaceaeMelaleuca leucadendra kayu putih

    Psidium guajava jambu biji  Rutaceae Cytrus maxima Jeruk bali    Cytrus sinensis Jeruk buahTroides sp Piperaceae Piper sp Sirih hutan    Macropiper sp Eppoh    Piper sp Mrica-mricaSatirydae Poaceae   Rumput tulang

NymphaliydaeCaesalpiniaceae

Cassia alataKetepeng

  Anacardiaceae Mangifera sp. Mangga hutan

51

Page 52: Laporan bantimurung

  Moraceae Ficus fistulosa buah batu    Ficus hispida Lambere    Ficus virgata      Ficus annulata Kajuara

Dari 18 jenis tumbuhan potensi pakan terbesar adalah potensi pakan bagi

Papilionidae yang mencapai 45%. Famili jenis pakan tersebuut meliputi famili

Myristicaceae, myrtaceae, rutaceae dan piperaceae. Jenis ini sering ditemukan di

habitat hutan pegunungan daerah Kampoang dan di sekitar jalan menuju desa

Tompobulu, serta di sekitar area riparian aliran sungai Kampoang.

Berdasarkan tingkatan spesies, jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai

pakan kupu-kupu adalah pakan Papilionidae sebanyak 44% diikuti jenis pakan

Nympalidae. Jenis papilionidae merupakan jenis kupu-kupu yang indah dan

banyak diminati pengunjung sebagai souvenir ofset kupu-kupu. Dan di kampoang

terdapat banyak jenis Papilionidae beserta potensi pakan dan habitat yang

mendukung. Hal ini didukung oleh tidak adanya kegiatan penangkapan kupu-kupu

yang mampu mengurangi keanekaragaman jenis kupu-kupu dan pola kebudayaan

sekitar masyarakat yang masih menjaga kearifan tradisional dalam menjaga

ekosistem flora fauna daerah sekitar Tompobulu, Kampoang dan sekitarnya.

44%

17%

6%

33%

Jumlah pakan kupu-kupu berdasarkan spesies tumbuhan

PapilionidaeTroidesStirydaeNymphaliydae

Gambar 12. Jumlah pakan kupu-kupu berdasarkan spesies tumbuhan

52

Page 53: Laporan bantimurung

4.4 Jasa Lingkungan

4.4.1 Debit Air Sungai

Debit air sungai adalah tinggi permukaan air sungai yang terukur oleh alat

ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan

pengertian yang lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk

volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu.

Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per

detik (m3/dt). Perlu diingat bahwa distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak

sama arah horisontal maupun arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran

pada tepi alur tidak sama dengan tengah alur, dan kecepatan aliran dekat

permukaan air tidak sama dengan kecepatan pada Dasar alur.

Salah satu kegiatan pengamatan jasa lingkungan yang dilakukan adalah

pengukuran debit air sungai, namun pengukuran ini hanya dilakukan pada lokasi

pengamatan dua yaitu Dusun Kampoang Kecamatan Balochi. Hal ini diakibatkan

kondisi lapang yang tidak memungkinkan. Curah hujan yang tinggi di Dusun

Panaikang mengakibatkan volume air sungai meningkat sangat tinggi dan sangat

berbahaya jika dipaksakan untuk mengukur debit air.

Debit air sungai Kampoang diukur dengan menggunakan Velocity

method. Prinsip metode ini yaitu dengan mengukur luas penampang sungai dan

mengukur kecepatan arus sungai Kampoang. Pada prinsipnya, pengukuran

dilakukan terhadap luas penampang basah dan kecepatan aliran. Penampang basah

(A) diperoleh dengan pengukuran lebar permukaan air dan pengukuran kedalaman

dengan tongkat pengukur atau kabel pengukur. Sedangkan untuk mengukur

kecepatan aliran sungai dengan menggunakan metode apung.

Formula untuk menghitung Debit air dengan Velocity method yaitu :

Q = V.A Dimana : Q = Debit Air (m3/s)V = Kecepatan aliran sungai (m/s)A = Luas Penampang sungai (m2)

53

Page 54: Laporan bantimurung

Debit air yang merupakan komponen penting dalam pengeloaan Daerah Aliran

Sungai (DAS), oleh karena itu perhitungan debit aliran sungai harus dilakukan

seteliti mungkin.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dapat diketahui bahwa

debit air rata-rata sungai Kampoang adalah 0,162523 m3/sekon atau sekitar

585,0824 m3/jam, 14041,9776 m3/hari dan 5055112,1 m3/tahun. Jumlah tersebut

dapat diartikan bahwa terdapat 0,162523 m3 air yang mengalir dalam setiap

detiknya atau mencapai 5055112,1 m3 dalam satu tahun . Angka ini dapat

dikatakan cukup kecil. Kecilnya jumlah debit air yang terukur disebabkan karena

kondisi sungai yang memang merupakan sungai berbatu dan memiliki luas yang

tidak terlalu besar. Selain itu, kondisi sungai yang berbatu juga mempengaruhi

kecepatan laju air dalam tiap sekonnya. Berdasarkan rumus yang dipakai, maka

dapat diketahui bahwa beberapa hal yang dapat mempengaruhi besar kecilnya

debit air sungai adalah lebar sugai, kedalaman sungai, dan kecepatan laju bola

atau waktu tempuh. Selain faktor tersebut, curah hujan kawasan juga merupakan

hal yang dapat mempengaruhi jumlah debit air yang ada. Profil sungai yang tidak

terlalu lebar bahkan cenderung sempit dan kedalaman yang rendah serta kondisi

berbatu dan ditambah dengan crah hujan yang tidak terlalu rendah mengakibatkan

debit air sungai Kampoang tidak terlalu besar.

4.4.2 Potensial Hidrogen (pH)

Parameter lain yang juga diukur dalam aspek jasa lingkungan adalah pH

(potensial hidrogen) air sungai. Ph air sungai merupakan salah satu parameter

kimia yang dapat diukur untuk mengetahui kualitas air. Hal ini sesuai dengan

yang dijelaskan dalam PP RI No.82 tahun 2001 dalam Subchan (2008) bahwa

parameter kualitas air dapat meliputi parameter fisika seperti suhu, kekeruhan,

padatan terlarut, dan sebagainya ; parameter kimia yang meliputi pH, oksigen

terlarut, BOD5, kadar logam dan lain-lain; serta paramater mikrobiologi yang

meliputi keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya.

pH merupakan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam suatu cairan

(Subchan 2008). PH atau potensial hidrogen dapat dipengaruhi oleh beberapa

parameter antara lain aktifitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-

ion. Aktifitas biologi yang menghasilkan gas CO2 akan membentuk ion buffer

54

Page 55: Laporan bantimurung

atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod

1978 dalam Azwir 2001). Menurut Brook et al (1989) dalam Fakhry (2000)

menyebutkan bahwa perairan sudah dianggap tercemar apabila memiliki nilai pH

dengan kisaran pH<4,8 dan >9,2. Sedangkan menurut Sastrawijaya (1991) jika pH

air < 7 dan >8,5 kemungkinan pencemaran sudah terjadi pada sungai tersebut.

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada Dusun Kampoang Kecamatan

Balochi didapatkan data bahwa pH sumber mata air yang digunakan oleh warga

sekitar memilki nilai pH 6,2. Hal ini berarti kondisi sumber mata air sungai Dusun

Kampoang masih tergolong baik jika menggunakan patokan yang dibuat oleh

Brook et al namun sudah termasuk tercemar jika menggunakan ukuran skala yang

digunakan oleh Sastrawijaya. Jika dilihat dari tingkat kecerahan yang masih tinggi

dan banyaknya vegetasi yang hidup di pinggiran sungai maka dapat dikatakan

bahwa sungai kampoang masih dalam keadaan baik. Selain itu, dalam pustaka

yang lain juga menyebutkan bahwa nilai pH 6,5 – 7,5 masih merupakan nilai pH

untuk air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan fithria (2010). Dengan

nilai pH 6,2 maka sumber air sungai yang berada di dusun Kampoang masih

aman untuk digunakan sebagai air minum baik bagi satwa maupunbagi

masyarakat sekitar. Keadaan sungai yang masih baik ini memberikan dampak

yang positif bagi kehidupan satwa yang ada baik kupu-kupu, mamalia mauoun

burung. Hal ini dikarenakan dengan adanya sumber air yang baik, maka vegetasi

yang menjadi sumber pakan bagi satwa-satwa tersebut dapat tumbuh dengan baik.

4.4.2 Suhu Udara

Suhu udara diukur di dua lokasi yaitu Dusun Panaikang dan Kampoang

dengan dua kali pengulangan yaitu berkisar pada pukul 10.00 WITA-10.30 WITA

dan pada sore harinya pada pukul 15.00 WITA-15.30 WITA.

Suhu udara rata-rata pada lokasi pertama adalah 250C pada pagi hari dan

26,30C pada sore hari. Suhu ini termasuk normal bahkan relatif lebih rendah jika

dibandingkan dengan suhu udara kota Makassar yang mencapai 340C salah satu

faktor yang mempengaruhinya adalah curah hujan yang cukup tinggi. Hujan yang

turun setiap hari menyebabkan suhu udara menjadi rendah dan kelembaban naik.

Selain faktor hujan, suhu lingkungan juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

55

Page 56: Laporan bantimurung

yang lainnya seperti letak lintang, ketinggian tempat serta kondisi lingkungan

(Kastolani 2007).

Lokasi pengamatan yang diambil memiliki ketinggian sekitar ..??? dan dengan

tutupan vegetasi yang cukup rapat sehingga suhu udaranya menjadu cukup

rendah. Kelembaban udara tempat tersebut adalah 81,667%. Angka ini lebih

tinggi jika dibandingkan dengan kelembaban udara pada lokasi pengamatan yang

kedua yang hanya 77,2%.

56