laporan
DESCRIPTION
dhfTRANSCRIPT
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 34 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Kp. Pangerangan No.21 B
Tanggal masuk : 20-3-2012
II. AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam 5 hari SMRS.
Keluhan Tambahan : Pusing, sakit kepala, pegal-pegal, nyeri uluhati,
mual & muntah.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam 5 hari SMRS. Demam yang
dirasakan timbul mendadak setelah minum obat demam turun, kemudian naik
lagi. Pasien juga mengeluhkan pusing & sakit kepala. Pusing dirasakan seperti
terputar-putar. Sakit kepala dirasakan seperti tertusuk-tusuk terutama bagian
depan & belakang. Seluruh tubuh terasa pegal-pegal. 2 hari SMRS pasien
merasakan meriang (keringat dingin). Nyeri uluhati, mual & muntah dirasakan
juga oleh pasien. 1 hari SMRS pasien muntah sebanyak 2 x, berisi cairan yang
dimakan. Selama pasien sakit, nafsu makan menurun. Keluhan BAB & BAK
tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini.
Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-), Penyakit Jantung (-), Typhoid (-), Asma
(-), Malaria (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-), Penyakit Jantung (-), Typhoid (-),
Asma (-), Malaria (-).
Riwayat Pengobatan
Pasien biasanya mengkonsumsi obat penurun panas (Paracetamol).
Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan
Riwayat Psikososial
Pasien sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan swasta. Pola makan
pasien tidak teratur, kadang 2 atau 3 kali sehari. Merokok (-), Minum alkohol
(-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : TD : 110/70 mmHg ; Nadi : 85 x/menit
Suhu : 38,90C ; Pernafasan : 21 x/menit
Berat Badan : 56 kg
Tinggi Badan : 162 cm
Status Generalis
Kepala : Normochepal
Rambut : Lurus hitam tidak rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), Sklera ikterik (-)/(-), Cekung
(-)/(-)
Hidung : Normotia, sekret (-)
Telinga : Normal, serumen (-)/(-)
Mulut : Bibir kering, sianosis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis
(-), tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar Tiroid (-)
Dada
◦ Inspeksi : Simetris, retraksi intercostae (-), tidak tampak
adanya bagian dada yang tertinggal saat
inspirasi
◦ Palpasi : Tidak ada bagian dada yang tertinggal
◦ Perkusi : Paru kanan sonor menjadi pekak pada ics 9
◦ Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
Jantung
◦ Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
◦ Palpasi : Ictus cordis teraba pada ics 6
◦ Perkusi : - Batas kanan jantung pada linea parasternal
dekstra
- Batas kiri jantung pada linea midclavicula
sinistra
- Batas paru jantung setinggi ICS 4
◦ Auskultasi : Bunyi Jantung I & II murni, mur-mur (-),gallop (-)
Abdomen
◦ Inspeksi : Datar, distensi abdomen (-)
◦ Palpasi : Nyeri tekan abdomen (+), Spleenomegali (-)
hepatomegali (-)
◦ Perkusi : Timpani di ke empat kuadran abdomen
◦ Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas Atas : Petekie (+)
◦ Akral : Hangat
◦ Edema : (-)
◦ RCT : < 2 detik
Ekstremitas Bawah : Ras konvaklesense (+)
◦ Akral : Hangat
◦ Edema : (-)
◦ RCT : < 2 detik
◦ Nadi kaki : Pulsasi Kuat
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab. (20-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 18,5 g/dL
Hematokrit 53 %
Leukosit 7,44 /mm3
Trombosit 11.000 /mm3
Lab. (21-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 16,5 g/dL
Hematokrit 48 %
Leukosit 7,30 /mm3
Trombosit 36.000 /mm3
Lab. (22-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 14,7 g/dL
Hematokrit 43 %
Leukosit 8,68 /mm3
Trombosit 18.000 /mm3
Lab. (23-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 14,4 g/dL
Hematokrit 43 %
Leukosit 6.40 / mm3
Trombosit 28.000/mm3
Lab. (24-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 11,5 g/dL
Hematokrit 33,5 %
Leukosit 4,96/ mm3
Trombosit 66.000/mm3
Lab. (25-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 12,2 g/dL
Hematokrit 42 %
Leukosit 5,25 / mm3
Trombosit 72.000/mm3
Lab. (26-3-2012) Nilai
Hemoglobulin 14,5 g/dL
Hematokrit 42 %
Leukosit 5,52 /mm3
Trombosit 86.000 /mm3
V. DAFTAR MASALAH
- Dengue Haemorrhagic Fever Tipe 2
- Demam Typhoid
VI. TERAPI
- Cek darah lengkap per 8 jam
- Cairan RL 22 tpm
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Ranitidin 2 x 20 mg
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) ialah
penyakit demam akut disertai manifestasi perdarahan, trombositopenia, dan
hemokonsentrasi yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di
seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di
atas permukaan air laut.
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang masih
menimbulkan masalah kesehatan di negara sedang berkembang, khususnya Indonesia.
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan dari berbagai negara bervariasi dan
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologist.
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968,
akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1970. Sejak itu penyakit tersebut
menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia
kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit ini. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah
kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah
yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19
per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun
2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit,
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman
baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya
vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang
bersirkulasi sepanjang tahun.
Berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan vektor telah dilakukan
Departemen Kesehatan, namun berbagai hal menjadi kendala diantaranya adalah :
kepadatan penduduk dan mobilitas penduduk antar wilayah, tingkat kepadatan nyamuk
Aedes aegypti yang masih tinggi, belum optimalnya upaya pemberantasan sarang nyamuk
dan tingkat kesadaran masyrakat yang masih rendah.
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus.
Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat
asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien
DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa
bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain
seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan
pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang
(laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorragic Fever (DHF) ialah penyakit
demam akut disertai manifestasi perdarahan, trombositopenia, dan hemokonsentrasi
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus.
ETIOLOGI
Virus Dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4. Virus tersebut termasuk dalam genus flavivirus (grup Arbovirus B),
famili Flaviviridae, berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi
oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 ºC.
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 telah diisolasi dari darah
penderita. Dari hasil surveilans virologis pada DBD di Jakarta, Jogjakarta dan
Surabaya pada tahun 1995-1996, virus dengue tipe 3 berhasil diisolasi (48,6%),
disusul oleh berturut-turut virus dengue tipe 2 (28,6%), virus dengue tipe 1 (20%) dan
virus dengue tipe 4 (2,9%).
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
lain.Viremia berakhir 4-5 hari setelah timbulnya panas.
Vektor DBD
Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes sebagai vektor utama dengue yaitu :
1. Aedes aegypti
Paling sering ditemukan
Adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang
biak di dalam rumah yaitu di tempat penampungan air jernih atau tempat
penampungan air disekitar rumah.
Nyamuk bewarna hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian
badannya terutama pada kakinya.
Biasanya nyamuk dewasa betina menisap darah pada pagi hari (8.00 – 10.00)
dan sore hari (15.00-17.00).
Jarak terbang 100 meter
1. Aedes albopictus
Tempat habitatnya di tempat air jernih. Biasanya disekitar rumah atau pohon-
pohon, dimana tertampung air hujan yang besih yaitu pohon pisang, pandan,
kaleng bekas, dll.
Menggigit pada waktu siang hari
Jarak terbang 50 meter
EPIDEMIOLOGI
Epidemi dengue dilaporkan pertama kali di Batavia oleh David Bylon pada tahun
1779. Penyakit ini disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble
atau knokkel koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871-1873 di Zanzibar
kemudian di pantai Arab dan terus menyebar ke Samudera Hindia.
Quintoss dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus DBD di Manila pada anak-
anak, kemudian disusul negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam. Pada
dekade enam puluhan penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara,
antara lain: Singapura, Malaysia, Srilanka dan Indonesia. Penyakit DBD hingga saat
ini terus menyebar luas di negara-negara tropis dan subtropics.
Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk terinfeksi
virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan
demam dengue atau demam berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap
tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia.
Letusan/wabah penyakit ini mempunyai dampak kerugian bidang sosial – ekonomi
sebagai dampak dari berkurangnya devisa dari sektor pariwisata.
Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya
dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang pada tahun 1968. Tahun-tahun
selanjutnya kasus DBD berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung
meningkat. Demikian juga wilayah yang terjangkit bertambah luas.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan
jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-
95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan
usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak anak berumur
5-11 tahun. Proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun 1984
meningkat.
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita DBD tetapi
penyebab kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, tetapi secara garis
besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September
sampai Februari yang mencapai puncaknya di bulan Januari. Di daerah urban
berpenduduk padat puncak penderita ialah bulan Juni/Juli bertepatan dengan awal
musim kemarau.
Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/ kematian oleh suatu penyakit menular tertentu yang bermakna secara
epidemiologis, pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Khusus pada DBD,
kriteria KLB-DBD bila terjadi peningkatan dua kali atau lebih jumlah kasus DBD
dalam suatu wilayah, dalam kurun waktu 1 minggu/1 bulan yang sama pada tahun
yang lalu.
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19
per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun
2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Penyebaran DBD di beberapa propinsi di Indonesia dengan jumlah sebagai
berikut :
Tahun 1996 : Jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak
1.234 orang
Tahun 1998 : Jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak
1.414 orang ( terjadi ledakan)
Tahun 1999 : Jumlah kasus 21.134 orang
Tahun 2000 : Jumlah kasus 33.443 orang
Tahun 2001 : Jumlah kasus 45.904 orang
Tahun 2002 : Jumlah kasus 40.377 orang
Tahun 2003 : Jumlah kasus 50.131 orang
Tahun 2004 : sampai tanggal 5 maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai
26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang.
PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversi. Dua teori
yang umum dipakai dalam menjelaskan patogenesis pada DBD dan DSS, yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat terjadi bila
seseorang setelah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat re-infeksi virus dengue
lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga
menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi) yang
tinggi.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue secara genetik dapat berubah
sebagai akibat dari tekanan pada seleksi sewaktu virus melakukan replikasi pada
tubuh manusia maupun nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi dan viremia, virulensi, dan
potensi terjadi wabah.
Terdapatnya kompleks virus – antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal-
hal sebagai berikut :
1. Aktivitas sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin C3a dan C5a
yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular (plasma leakage).
2. Agregasi trombosit sehingga jumlah trombosit menurun, apabila kejadian terus
berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi
sel trombosit muda dari sumsum tulang
3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang/mengaktivasi
faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut diatas dapat menyebabkan :
Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan plasma,
hipovolemia, dan syok.
Kelainan homeostatis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan
koagulopati, sehingga mengakibatkan perdarahan hebat.
PATOFISIOLOGI
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan
gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh
badan, hiperemia di tenggorok, timbul ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada
sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan
membedakan DD dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena
penglepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein
yang mengakibatkan ekstravasasi cairan intravaskular. Hal ini menyebabkan
berkurangnya volume plasma sehingga terjadi hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada saat renjatan. Pada
pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi
dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Penyebab kematian lainnya adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul
setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi. Perdarahan pada DBD
dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem
koagulasi.
Infeksi Virus Dengue
Tombositopeni
Demam Hepatomegali komplek AgAbAnoreksia komplemenMuntah Manifestasi permeabilitas
Perdarahan vaskular naik I
Dehidrasi kebocoran plasma : Hemokonsentrasi Hipoproteinemia II Efusi plura Asites
Demam dengue Derajat
Hipovolemia
DIC syok III
Perdarahan saluran Anoksia asidosis IV cerna
meninggal
Demam Berdarah Dengue derajat I-II-III-IV
Patofisiologi infeksi dengue
GAMBARAN KLINIS
Infeksi virus dengue memperlihatkan gambaran klinis yang bervariasi, dari derajat
ringan sampai berat. Infeksi dengue yang paling ringan dapat tidak menimbulkan
gejala (silent dengue infection), atau demam tanpa penyebab yang jelas
(undifferentiated febrile illness), diikuti oleh demam dengue (DD), dan demam
berdarah dengue (DBD). Manifestasi klinis DBD dapat berupa demam akut,
perdarahan, serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa
inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.
Pada pasien DBD dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5 berupa
petekie, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati umumnya
membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya penyakit. Pada
pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin,
sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki,
serta dijumpai penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu
demam atau saat demam turun antara hari ke – 3 dan hari ke – 7 penyakit.
Infeksi virus dengue
Asimtomatik Simtomatik
Demam yang tak Demam dengue Demam berdarahjelas penyebabnya dengue (sindrom virus) (kebocoran plasma)
Tanpa Dengan perdarahan perdarahan
DBD tanpa DBD dengan Syok syok(DSS)
Demam dengue Demam berdarah dengue
Manifestasi infeksi virus dengue
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah
Pada DBD dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Masa pembekuan
dalam batas normal, tetapi masa perdarahan biasanya memanjang. Pada analisa
kuantitatif ditemukan penurunan faktor II, V, VII, IX dan X. Pada pemeriksaan
kimia darah tampak hipoproteinemia, hiponatremia, serta hipokloremia,
SGOT/SGPT, ureum dan pH darah mungkin meningkat reserve alkali merendah.
2. Air seni
Mungkin ditemukan albuminuria ringan
3. Sumsum tulang
Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari
ke-5 dengan gangguan maturasi sedangkan hari ke-10 biasanya sudah kembali
normal untuk semua sistem.
4. Serologi
Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi
fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau
lebih). Ada 6 pemeriksaan serologi yang dianggap sebagai dasar yaitu :
Uji HI ( hemagglutination Inhibition Test = HI test)
Uji ini merupakan uji yang paling sering dipakai secara rutin dan dipakai
sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Antibodi HI akan lama berada
di dalam darah (>48 tahun), maka uji ini dipergunakan pada studi
epidemiologi.
Antibodi HI biasanya akan timbul pada kadar yang dapat terdeteksi yaitu
titer 10 pada hari ke 5/6 dari perjalanan penyakit, sedang antibodi konvalesen
biasanya akan mencapai titer 640 atau dibawahnya pada infeksi primer. Pada
infeksi sekunder atau tertier akan terjadi reaksi anamnestik yang cepat dan
titer antibodi konvalesen akan naik tinggi pada hari pertama dari jalannya
penyakit mencapai 5210 sampai 10240 atau bahkan lebih. Adanya titer yang
tinggi, 1280 atau lebih pada spesimen akut, menunjukkan adanya dugaan
infeksi baru (recent infection) dan dianggap sebagai diduga keras infeksi
dengue baru. Titer HI yang tinggi biasanya berlangsung selama 2-3 bulan
pada beberapa pasien, tetapi secara umum titer HI akan mulai menurun pada
hari ke 30-40.
Keuntungan : sederhana, mudah, murah, sensitif ,dan ideal untuk
seroepidemiologi
Kerugian : memerlukan spesimen akut dan konvalesen sehingga
menunggu waktu yang lama, tidak spesifik dalam
menentukan serotipe virus.
Interprestasi Uji Inhibisi Hemaglutinasi
Respon Interval Titer Interprestasi
antibodi S1-S2* konvalesen
- Naik 4 X lipat ≥ hari ke 7 ≤1:1280 Infeksi flavivirus akut,
primer
- Naik 4 X lipat Sembarang ≥1:2560 Infeksi flavivirus akut,
spesimen sekunder
- Naik 4 X lipat < hari 7 ≤1:1280 Infeksi flavivirus akut,
baik primer atau sekunder
- Tidak ada Sembarang >1:2560 Infeksi flavivirus
terakhir, perubahan
spesimen sekunder
- Tidak ada ≥ hari ke 7 ≤1:1280 Bukan dengue
perubahan
- Tidak ada < hari ke 7 ≤1:1280 Tak dapat
perubahan diinterprestasikan
- Tak ada Spesimen ≤1:1280 Tak dapat
perubahan tunggal diinterprestasikan
*S1 = Serum akut S2 = Serum konvalesen
Uji Pengikatan Komplemen (Complement Fixation test = CF test)
Uji ini jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin.. Antibodi
Pengikat Komplemen (CF antibodi) biasanya timbul setelah antibodi HI
timbul dan sifatnya lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya cepat
menghilang dari darah (2-3 tahun).
Keuntungan : lebih spesifik dan dapat memastikan infeksi dengue pada
pasien dengan spesimen yang diambil pada akhir infeksi.
Kerugian : paling kurang sensitif, cara pemeriksaan agak rumit
prosedurnya dan memerlukan tenaga pemeriksa yang
berpengalaman.
Uji Neutralisasi (Neutralization test = NT)
Uji ini memakai cara yang disebut plaque reduction neutralization test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Umumnya
antibodi netralisasi timbul bersamaan atau sedikit lebih lambat dari antibodi
HI tetapi lebih cepat dari timbulnya antibodi pengikatan komplemen.
Antibodi netralisasi juga akan bertahan lama di dalam darah (>48 tahun).
Keuntungan : uji paling sensitif dan spesifik dibanding uji serologi lain.
Kerugian : mahal, cara pemeriksaan rumit dan memerlukan waktu yang
lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
Uji IgG Elisa
Uji ini sebanding dengan uji HI namun sedikit lebih sensitif.
Keuntungan : sederhana, mudah dilakukan dan sangat mudah untuk
memeriksa sampel dalam jumlah banyak
Kerugian : sangat tidak spesifik, banyak reaksi silang dengan flavivirus
yang lain, tidak dapat menentukan serotipe
Uji ELISA (IgM captured ELISA = Mac.ELISA)
Uji berdasarkan atas adanya antibodi IgM pada serum penderita yang
ditangkap oleh goat anti human IgM pada suatu permukaan kasar. Antibodi
anti-dengue IgM akan timbul lebih dulu daripada antibodi anti-dengue IgG,
dan biasanya sudah terdeteksi pada hari ke 5. Pada infeksi primer, titer IgM
dapat juga lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada beberapa
infeksi primer IgM dapat bertahan didalam darah sampai 90 hari setelah
infeksi, tetapi biasanya IgM sudah menurun dan hilang pada hari ke 60.
Keuntungan : sederhana, tidak memerlukan alat canggih, kurang sensitif
dibanding HI tetapi hanya menggunakan spesimen akut saja.
Kerugian : waktu pengambilan spesimen harus tepat, tidak selalu dapat
menentukan secara pasti adanya infeksi baru.
Interprestasi Uji MAC-ELISA
IgM Interval Rasio IgM Interprestasi
Spesimen I-II terhadap IgG
- Fraksi 2-14 hari tinggi Infeksi flavivirus
akut,
Molar meningkat primer
rendah Infeksi flavivirus akut,
sekunder
- Fraksi molar 2-14 hari tinggi Infeksi flavivirus baru,
meningkat, tetap primer
atau menurun rendah Infeksi flavivirus baru,
sekunder
- Meningkat spesimen tunggal tinggi Infeksi flavivirus baru,
primer
rendah Infeksi flavivirus baru,
kemungkinan sekunder
Uji cepat dalam bentuk kit
Saat ini beredar uji cepat dalam bentuk kit untuk mendeteksi antibodi
IgM/IgG. Contoh : Dengue rapid dari Panbio, Australia.
Keuntungan : sangat sederhana, tidak membutuhkan peralatan dan
keahlian, serta dapat dibaca dalam beberapa menit.
Kerugian : ketelitian uji ini masih belum banyak diketahui dan perlu
standarisasi.
Imunokromatografi cepat/panBio
IgM IgG Interprestasi
+ - Infeksi primer
+ + Infeksi sekunder
- + Kemungkinan DBD atau infeksi
sekunder
5. Isolasi virus
Bahan pemeriksaan adalah spesimen darah/serum, plasma atau cairan buffy coat,
dari fase akut jaringan-jaringan baik dari pasien hidup (melalui biopsi), maupun
fase akut jaringan autopsi dari kasus yang meninggal terutama dari hati, limpa,
timus, dan nyamuk yang dikumpulkan di alam.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.
DIAGNOSIS
Gejala dini infeksi dengue :
Demam
Sakit kepala
Nyeri otot
Nyeri sendi
Nafsu makan menurun
Mual
Muntah
Indikator fase syok :
Hari sakit ke 4-5
Suhu turun
Nadi cepat tanpa demam
Takanan nadi turun/hipotensi
Leukopenia < 5.000/mm³
Kriteria klinis DBD menurut WHO (1997) :
1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini :
uji torniquet positif
petekie, ekimosis, atau purpura
perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain
hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (≤ 100.000/mm³)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage oleh karena peningkatan
permeabilitas kapiler berikut :
Hematokrit meningkat ≥20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis
kelamin, dan populasi yang sama
Hematokrit turun hingga ≥20% dari hematokrit awal, setelah pemberian
cairan
Terdapat efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia
Derajat DBD (WHO 1997) :
Berdasarkan beratnya penyakit, DBD dibagi menjadi 4 derajat :
Derajat I (Ringan)
Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas: manifestasi perdarahan
hanya berupa uji torniquet positif
Derajat II (sedang)
Derajat I diseratai perdarahan spontan, dapat berupa perdarahan bawah kulit atau
jenis perdarahan lainnya.
Derajat III (berat)
Terdapat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah atau
hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah.
Derajat IV
Renjatan yang ditandai dengan tekanan darah tidak terukur dan nadi yang tidak
dapat diraba.
DBD derajat III dan IV digolongkan dalam Dengue Shock Syndrom (DSS)
DIAGNOSIS BANDING
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri
maupun virus, seperti demam tifoid, malaria dan sebagainya. Pemeriksaan LED
dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara
DBD dengan penyakit lain.
2. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan hepatitis akut dan leptospirosis
4. Idiophatic thrombpcytopenic purpurae (ITP)
Pada ITP sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan
demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari pertama, diagnosis ITP
sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD
jumlah trombosit lebih cepat kembali normal dari ITP.
5. Leukemia atau anemia
Pada Leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan tampak
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas
diagnosis leukemia.
Pada anemia aplastik tampak sangat anemik, demam timbul karena infeksi
sekunder. Pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit,
hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat,
pemeriksaan foto toraks dan/ atau kadar protein dapat membantu menegakkan
diagnosis, pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda
rembesan plasma.
6. Demam chikugunya (DC)
Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip influenza. DC mempunyai serangan demam mendadak, masa demam
lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjuntiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji torniquet
positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
7. Korean haemorragic fever
Korean haemorragic fever adalah salah satu tipe berat dari Haemorragic fever
with renal syndrome (HFRS). HFRS disebabkan oleh adanya kontak sekresi
tikus (Apedomus agrarius) yang terinfeksi virus yang termasuk dalam genus
Hantavirus dari famili Bunyaviridae. Gejala khas HFRS adalah demam, gagal
ginjal dan perdarahan. Gejala lainnya yaitu lemas, sakit kepala, menggigil, nyeri
otot, nyeri punggung, nyeri perut, mual dan muntah.
KOMPLIKASI
Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan karena perdarahan, tetapi dapat pula terjadi pada DBD tanpa
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat
ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan
oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular yang menyeluruh. Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien
menurun menjadi apati dan somnolen, dapat disertai atau tanpa kejang. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT dan APTT memanjang, kadar gula darah turun, alkalosis
pada analisa gas darah, dan hiponatremia (bila mungkin periksa amoniak darah)
Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Pada keadaan syok
berat sering dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin
dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi perembesan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan.
Penatalaksanaan DBD tanpa penyulit adalah :
A. Nonfarmakologis
1. Tirah baring
2. Makanan lunak dan bila belum nafsu makan diberi minum 1,5-2 liter/24 jam
(susu, air dengan gula, sirop) atau air tawar ditambah garam.
B. Farmakologis
1. Medikamantosa yang bersifat simtomatis
Obat antipiretik atau kompres di kepala, ketiak, dan inguinal dapat
diberikan bila diperlukan. Untuk menurunkan suhu < 39°C, dianjurkan
pemberian antipiretik golongan asetaminofen, eukinin, atau dipiron.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat
menyebabkan gastritis, perdarahan atau asidosis.
2. Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder3. Cairan intravena (rekomendasi WHO) :
a. Kristaloid
Kristaloid diberikan 500 cc (1 kolf) tiap 4-6 jam. Jenis kristaloid :
- Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
laktat (D5/RL)
- Larutan ringer asetat ( RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA)
- Larutan NaCl 0,9 % (Garam Faali= GF) atau dekstrosa 5 % dalam
larutan Faali (D5/GF)
b. Koloid
Koloid diberikan pada DBD derajat III dan IV bila diperlukan. Dosis
10-20ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Jenis
koloid :
- Dekstran 40
- Plasma
Indikasi tranfusi darah dilakukan pada :
Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena)
Pasien DSS yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan penurunan kadar
Hb dan Ht
Indikasi transfusi trombosit :
Perdarahan dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai DIC.
Perdarahan dengan jumlah trombosit <50.000/mm3 tanpa disertai DIC.
Tanpa adanya perdarahan, profilaksis transfusi trombosit diindikasikan jika
jumlah trombosit 10.000 – 20.000/mm3 (10-20ml/kg dari trombosit atau
0,4u/m2).
Indikasi rawat pasien DBD :
Adanya tanda-tanda syok
Sangat lemah sehingga asupan oral tidak dapat mencukupi
Perdarahan
Hitung trombosit ≤ dengan 100.000/mm3 dan atau peningkatan Ht 10-20%
Perburukan ketika penurunan suhu
Nyeri abdominal akut hebat
Tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit pada fase kritis (berlangsung 24-
48 jam) sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5 perjalanan penyakit.
Umumnya fase ini pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena
anoreksia atau muntah
Pasien DBD perlu diobservasi terhadap penemuan dini tanda renjatan :
Keadaan umum memburuk
Hati makin membesar
Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia
Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala
Pada pasien dengan renjatan dilakukan :
1. Pemasangan infus dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan
diatasi.
2. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan tiap jam,
serta Hb dan Ht tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Pada pasien DSS diberikan cairan intravena yang diberikan dengan
diguyur, seperti NaCl, ringer laktat yang dipertahankan selama 12-48 jam setelah
renjatan teratasi. Bila tak tampak perbaikan dapat diberikan plasma atau plasma
ekspander atau dekstran atau preparat hemasel sejumlah 15-29 ml/kgBB dan
dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan teratasi. Bila pada pemeriksaan
didapatkan penurunan Hb dan Ht maka diberikan tranfusi darah. Terapi oksigen 2
liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Kriteria untuk memulangkan pasien :
Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi
antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Hematokrit stabil
Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok
Tidak ada distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)
Jumlah trombosit ≥ 50.000/mm³
PROGNOSIS
Mortalitas pada penyakit DBD cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.
PENCEGAHAN
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat menangkal virus dengue
dengan berbagai serotipe. Satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian
dengue adalah dengan memerangi nyamuk Aedes aegypti yang berperan sebagai
vektor penularan virus dengue. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode yang tepat yaitu :
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Pencegahan dapat dilakukan dengan langkah 3 M
yaitu:
Menguras bak air sekurang-kurangnya sekali seminggu
Menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak
nyamuk
Mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan adu/ ikan cupang), dan bakteri ( Bt.H-14)
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan :
Pengasapan/ fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
tertentu.
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti: gentong air, vas bunga kolam dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara diatas, yang disebut “3 M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent,
memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai kondisi
setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Soedarmo. Sumarmo S. poorwo dkk, 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Jakarta. IDII
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Halaman 1709-1713.
Gubler DJ. Kuno G. Dengue and Dengue Haemorrhagic. New York : CAB
International 1997.
Nimmannitya S. Dengue and Dengue Haemorrhagic. In : Cook GC. Manson’s
Tropical Diseases. London : WB Saunders Co. 1996 p.721-729.