kumpulan artikel aliran dana bi

Upload: nasta-aulia-listi

Post on 10-Oct-2015

79 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

g

TRANSCRIPT

Aliran Dana ke Penegak Hukum

www.zeilla.wordpress.com

Aliran Dana ke Penegak Hukum

Anwar Nasution Akui Kirimkan Laporan BPK soal BI ke KPK

Jakarta, Kompas - Dana dari Bank Indonesia atau BI, sesuai laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan, diduga tak hanya mengalir kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Dana BI mengalir ke penegak hukum, terutama untuk biaya penanganan perkara dugaan korupsi yang menyangkut petinggi BI.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, yang dihubungi Jumat (9/11) malam saat di Mexico City, mengakui, ia memang mengirimkan hasil audit BPK terhadap BI kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu untuk menunjukkan betapa buruknya oknum kelembagaan di negeri ini.

Dalam surat Anwar kepada KPK disebutkan ada indikasi yang menimbulkan sangkaan korupsi dalam penggunaan dana BI tahun 2004. Apalagi, sesuai dengan keterangan pihak terkait, dana itu diserahkan kepada oknum penegak hukum.

Semalam, Badan Kehormatan (BK) DPR kembali mengadakan pertemuan dengan Koalisi Penegak Citra DPR di Jakarta. Pertemuan itu untuk mempertegas aduan koalisi kepada BK DPR tentang dugaan penerimaan dana dari BI oleh sejumlah anggota DPR periode 1999-2004.

Pertemuan berlangsung tertutup, selama satu jam, dipimpin Wakil Ketua BK DPR T Gayus Lumbuun. Gayus mengutarakan, koalisi kali ini mengajukan data tambahan, salah satunya salinan surat permintaan persetujuan pengeluaran dana. Bukti itu akan dikaji dan diselidiki BK.

Tunggu KPK

Anwar mengatakan, hingga kini masih menunggu tindak lanjut hasil pemeriksaan KPK terhadap laporan BPK terkait keuangan tahunan BI tahun 2004 itu. Laporan BPK itu disampaikan pertengahan November 2006. Surat Ketua BPK juga ditembuskan ke Jaksa Agung dan Kepala Polri.

Dengan laporan itu, BPK berharap ada perbaikan kelembagaan, karena ada indikasi oknum penegak hukum dan instansi lain menggunakan dana BI secara tidak benar. "Ini hanya satu contoh betapa buruknya oknum kelembagaan kita itu," ujar Anwar.

Dalam suratnya, Anwar menyebutkan BPK menyimpulkan ada temuan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp 68,5 miliar untuk pemberian bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi gubernur BI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kredit ekspor, dan kasus lain. Penggunaan dana itu berindikasikan menimbulkan sangkaan korupsi dan penyuapan karena YPPI dibentuk untuk bidang pendidikan.

YPPI diputuskan mengeluarkan dana Rp 100 miliar. Sebesar Rp 68,5 miliar digunakan untuk pemberian bantuan hukum dan Rp 31,5 miliar diserahkan ke Komisi IX DPR Bidang Perbankan periode tahun 2003 untuk penyelesaian masalah BLBI dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Dana itu dikeluarkan tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI. BI juga mengeluarkan Rp 27,75 miliar dari anggarannya untuk bantuan hukum.

Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, Jumat, menuturkan, lembaganya memang menyelidiki aliran dana BI, yang dipakai untuk biaya perubahan UU BI dan bantuan hukum bagi petinggi BI yang terkena masalah hukum.

Ruki mengaku tak hafal angka dalam laporan audit BPK terhadap BI itu. "Persoalannya, wajarkah BI mengeluarkan dana sebesar itu untuk bantuan hukum bagi petinggi atau mantan petingginya. Wajarkah dana sebesar itu untuk biaya mengubah UU. Kami masih menyelidiki," katanya lagi.

Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Budi Mulya tidak bersedia berkomentar saat dikonfirmasi mengenai aliran dana BI ke DPR atau institusi lain.

Kuasa hukum tiga direktur BI yang terkena kasus hukum, Indriyanto Seno Adjie di Jakarta, mengakui, ia pernah diperiksa BPK terkait dengan penerimaan dana BI. "Saya memang benar menerima dari BI Rp 1,4 miliar. Itu pembayaran, sebab saya mendampingi Pak Paul Sutopo cs di tingkat banding dan kasasi. Lagi pula kontrak penunjukan sebagai pengacara ada," katanya.

Indriyanto membantah dana itu ada yang dialirkan ke hakim.

Juru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko juga menegaskan tidak pernah mendengar adanya aliran dana ke hakim dalam perkara terkait pimpinan BI. "Jumlah itu (Rp 68 miliar) terlalu fantastis," katanya lagi. (ANA/VIN/A13/FAJ/HAR/TRA)

-----------------------------

Aliran Dana BI, KPK Mulai Periksa Mantan Anggota DPR

JAKARTA--MEDIA: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin mengintensifkan penyelidikan kasus dugaan aliran dana Bank Indonesia (BI) dengan mulai memanggil mantan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004.

Hari ini mantan Ketua Sub Komisi Perbankan Komisi IX DPR periode 1999-2004, Antony Zeidra Abidin, dimintai keterangan di Gedung KPK, Jakarta. Antony yang kini menjabat Wakil Gubernur Jambi itu mulai dimintai keterangan sejak pukul 10.00 WIB.

Pemeriksaan terhadap Antony masih berlangsung sampai saat ini.

Antony sebelumnya sudah membantah menerima dana BI senilai Rp31,5 miliar yang mengalir ke Komisi IX untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan diseminasi berbagai paket UU Perbankan, termasuk amandemen UU BI.

Juru bicara KPK, Johan Budi SP, mengatakan KPK membutuhkan keterangan Antony guna mengetahui kebenaran aliran dana tersebut ke DPR.

Dalam kasus aliran dana BI, KPK telah memeriksa 19 pejabat BI, di antaranya Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom, serta Deputi Gubernur BI, Bun Bunan Hutapea.

KPK juga berencana memanggil Ketua BPK Anwar Nasution yang pada 2003 masih menjabat Deputi Gubernur Senior BI.

Pada 22 Juli 2003, rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.

Namun, dana itu pada akhirnya diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.

Sedangkan yang selebihnya, Rp68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan deputi gubernur senior BI dalam kasus BLBI.

KPK sampai saat ini belum mencapai kesimpulan bahwa aliran dana tersebut merupakan perbuatan korupsi dan masih memerlukan bahan dan keterangan dari berbagai pihak yang diduga mengetahui aliran tersebut. (Ant/OL-1)

--------------------------------------

BPK Bantah Rekayasa Kasus Aliran Dana BI

Penulis: Heni Rahayu

JAKARTA--MEDIA: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membantah telah melakukan rekayasa dalam kasus alioran dana Bank Indonesia (BI) dan menegaskan memiliki bukti pengambilan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).

"Tidak ada rekayasa, tim kami punya bukti pengambilan uang itu.

Karena itu, kami serahkan KPK untuk menelusuri bukti-bukti yang kami dapat. Jadi, uangnya itu bisa dipertanggungjawabkan," kata Auditor Utama III BPK Soekoyo kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/11).

Menurutnya, transaksi ini tidak dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara akuntansi. Transaksi itu hanya dibuktikan dengan satu tanda bukti.

"Auditor BPK menanyakan bukti yang menerima uang ini siapa, itu enggak ada. Padahal, ada bukti transaksi. Itu tidak hanya di satu kuitansi, tapi ada beberapa kuitansi," ujarnya.

Ia menjelaskan, aliran dana BI baru diketahui setelah BPK menerima laporan khusus tahun 2004. Laporan itu diterbitkan sendiri dan terpisah dari Laporan Keuangan BI.

"Nah, di situ disebutkan ada pengeluaran-pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahun 2003, ada transansi Rp31 miliar plus Rp68 miliar," katanya. (Ray/OL-06)

---------------------------------------

Diduga Terkait dengan Pemilihan Gubernur BI

Minggu, 05-Agustus-2007

Tiap anggota kabarnya menerima Rp 250 juta.

Kasus aliran dana dari Bank Indonesia ke Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 diduga tidak hanya menyangkut pembahasan sejumlah undang-undang, tapi juga berkaitan dengan pergantian Gubernur Bank Indonesia saat itu. Seorang sumber Tempo yang pada periode tersebut menjadi anggota Komisi Keuangan dan Perbankan menyebutkan pada 2003 ia mendengar bank sentral menyiapkan sejumlah dana khusus. Tiap anggota (total 65 orang) kabarnya mendapat Rp 250 juta, kata sumber ini.

Pada 2003 sedang terjadi proses pemilihan Gubernur Bank Indonesia. Saat itu kandidat yang akan menjalani uji kelayakan oleh DPR adalah Burhanuddin Abdullah--kemudian terpilih sebagai gubernur bank sentral. Adapun yang digantikan adalah Syahril Sabirin.

Ihwal aliran dana dari bank sentral ke parlemen ini terungkap ke publik setelah Kamis lalu Indonesia Corruption Watch menyerahkan sejumlah dokumen ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Dokumen itu berisi catatan aliran dana yang diduga berasal dari Bank Indonesia untuk anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pada 2004. Dana Rp 4,4 miliar itu digunakan untuk memuluskan proses sejumlah rancangan undang-undang, anggaran Bank Indonesia, dan menjamu anggota Dewan di hotel berbintang di Jakarta (Koran Tempo, 3 Agustus 2007).

Menanggapi dugaan tersebut, Agus Condroprayitno, mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari PDI Perjuangan, mengatakan tidak ingat soal ada-tidaknya dana dari bank sentral ke parlemen saat pembahasan empat undang-undang perbankan. Namun, dia mengakui selama satu tahun menjadi anggota Komisi Keuangan, pada masa akhir jabatan 2004, dia menerima uang dari sesama anggota Dewan. Dia mengaku tidak tahu dari mana sumber uang itu. Jumlahnya tidak besar, sekitar Rp 5 juta, ujarnya.

Secara terpisah, mantan Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan Faisal Ba'asyir menyatakan tidak tahu-menahu soal dana Bank Indonesia bagi Dewan, apalagi sejumlah Rp 250 juta per anggota yang dikaitkan dengan proses pergantian gubernur bank sentral. Haram bagi saya menerima dana seperti itu, ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.

Menanggapi semua isu itu, Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Budi Mulya membantah adanya dana yang mengalir ke Dewan baik untuk kepentingan pembahasan undang-undang maupun berkaitan dengan proses pencalonan gubernur. Dia memastikan setiap dana keluar selalu berdasarkan rencana anggaran. Dana keluar pun, kata dia, selalu diaudit oleh lembaga internal ataupun eksternal.

Sedangkan Ketua Fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo kemarin menilai munculnya isu aliran dana ke parlemen ini berkaitan dengan suksesi di Bank Indonesia, yang akan berlangsung pada 2008 nanti. IMRON ROSYID | RR ARIYANI | POERNOMO GONTHA RIDHO

Sumber: Koran Tempo, 5 Agustus 2007

------------------------------

Dana BI ke DPR Sesuai Aturan

Kamis, 09-Agustus-2007,

BPK menyatakan,aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR terkait pembahasan sejumlah RUU pada 2004 sesuai dengan peruntukan anggaran dana. Anggota BPK Baharuddin Aritonang menegaskan, dengan demikian, tidak ada penyimpangan dalam aliran dana tersebut.

Secara akuntansi itu benar.Yang penting dana yang ke luar sesuai peruntukan yang sudah dianggarkan dan digunakan, maka itu sah-sah saja, tegas Baharuddin Aritonang di Jakarta,kemarin. Menurut dia, sesuai hasil audit BPK terhadap laporan keuangan BI tahun 2004, tidak ditemukan adanya penyelewengan anggaran. Karena itu, BPK mengeluarkan penilaian wajar terhadap laporan keuangan tersebut. Memang semua yang dianggarkan sudah sesuai peruntukannya, jelasnya.

Pengamat Ekonomi INDEF Aviliani mengatakan, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menggunakan hasil laporan BPK tentang laporan keuangan BI tersebut sebagai bahan pemeriksaan kasus pemberian dana BI ke DPR. Laporan BPK terhadap BI tahun 20042005 kan bersih, jadi seharusnya KPK bisa mempercayai laporan itu, katanya. Selain itu,dia juga menilai,jika data yang menyebutkan BI memberikan dana ke DPR adalah benar, itu adalah hal biasa yang dilakukan semua lembaga atau departemen setiap berhubungan dengan DPR.

Sistem yang berlaku saat ini menjadikan semua lembaga dan departemen melakukan hal yang sama untuk sosialisasi pembahasan RUU. Saya tidak yakin kalau lembaga atau departemen tidak memberikan uang maka RUU yang dibahas bisa selesai, katanya.Kondisi seperti ini, lanjut Aviliani, secara ekonomi sangat menghambat. Sebab, semua yang berurusan dengan DPR harus mengeluarkan uang.Untuk itu, Aviliani meminta sistem ini segera dibenahi dengan melibatkan berbagai pihak terkait seperti pemerintah dan DPR. Yang tidak adilnya, kalau ada kasus seperti ini anggota DPR yang menerima dana tidak pernah kena.

Sementara untuk lembaga atau departemen yang memberi dana tinggal tunggu saja sewaktu-waktu bisa muncul, tegasnya.Terkait laporan kasus ini oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) ke KPK,Aviliani juga menilai KPK saat ini yang terbuka menerima laporan dugaan korupsi justru menjadi kelemahan lembaga itu. Sebab, bukan tidak mungkin KPK akan dimanfaatkan berbagai pihak untuk menjatuhkan lawan bisnis atau lawan politik. Aviliani menduga, pengungkapan data kasus aliran dana BI ke DPR ini tidak lepas dari persaingan pejabat-pejabat BI.

Hal itu terkait pemilihan Deputi Gubernur pada November 2007 dan pemilihan Gubernur BI pada Mei 2008. Ada orang dalam BI yang memanfaatkan kondisi di KPK untuk melakukan black campaign,tandasnya. Bank Indonesia sebelumnya juga telah menyatakan bahwa data yang dipakai sebagai sumber dari kasus ini tidak otentik karena tidak mencantumkan tanda tangan, cap, dan kepala surat Bank Indonesia. Menanggapi hal ini,Koordinator Badan Pekerja ICW Adnan Topan Husodo mempertanyakan penilaian BPK yang mengatakan aliran dana BI ke DPR tidak bermasalah.

Dasarnya apa, kalau memang aliran dana tersebut tidak bermasalah apakah ada dasar peraturan yang melandasinya? tanyanya. Menurut dia, tidak ada peraturan yang membolehkan DPR menerima dana dari instansi lain.Terutama instansi yang berkepentingan dengan DPR. Kalau ternyata pendapat BPK dilandasi peraturan yang membolehkan itu (pemberian dana dari BI ke DPR). Dan memang peraturannya ada ya tidak masalah. Sekarang yang jadi pertanyaan apakah ada peraturan yang melegalkan pemberian itu, katanya. Dia mengungkapkan, laporan ICW ke KPK dilandasi tidak adanya aturan yang melegalkan penerimaan dana dari pihak berkepentingan.

Sebab, hal itu akan mempengaruhi independensi DPR, ujarnya. Meski demikian, dia juga menginginkan agar BPK membuka audit atas aliran dana tersebut. Sementara itu, Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan, masih mendalami informasi laporan aliran dana BI ke DPR untuk pembahasan sejumlah RUU,termasuk Undang- Undang Likuidasi Bank. (kholil/ant/nurmayanti)

Sumber: Koran Sindo, Kamis, 09/08/2007

-------------------------

Gubernur Bank Indonesia Bungkam Soal Dugaan Suap ke Dewan

Senin, 27-Agustus-2007

Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah menolak berkomentar atas dugaan suap Bank Indonesia pada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat sejumlah Rp 31,5 miliar pada 2003. Dana tersebut diduga digunakan untuk memuluskan pembahasan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(Koran Tempo, 27/8).

Tentang hal itu, sebaiknya saya tidak berkomentar karena sudah banyak orang lain yang berkomentar, kata Burhanudin Abdullah, Senin(27/8), usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Kepresidenan Jakarta.

Dari dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diterima Tempo, diketahui dana itu diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) senilai Rp 100 miliar. Kedua yayasan itu ada di bawah naungan Bank Indonesia.

Dari jumlah itu, Rp 31,5 miliar di antaranya dibagi-bagikan ke sejumlah anggota DPR. Sisanya, Rp 68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum mantan pejabat Bank Indonesia. Pada saat itu sejumlah mantan petinggi BI, seperti J. Sudradjad Djiwandono, Heru Supraptomo, Hendrobudianto, dan Paul Sutopo, sedang tersangkut kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Menurut laporan itu, penggunaan dana tersebut adalah hasil keputusan rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam dua kali pertemuan. Dalam pertemuan pertama, 3 Juni 2003, diputuskan penggunaan dana LPPI senilai Rp 100 miliar untuk membiayai kegiatan yang insidental dan mendesak di Bank Indonesia. Rapat ini diputuskan antara lain oleh Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Aslim Tadjudin. Kemudian, pada rapat 22 Juli 2003 diputuskan Bank Indonesia akan memberikan bantuan peningkatan modal kepada LPPI sebesar Rp 100 miliar untuk menggantikan penyisihan dana itu.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin mengaku tak tahu-menahu soal aliran dana ke DPR itu. Saya tidak tahu itu, ujarnya.

Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan membenarkan adanya permintaan bank sentral kepada LPPI senilai Rp 100 miliar itu. Menurut dia, tidak ada yang salah dengan permintaan tersebut. Karena dana yang ada di LPPI adalah milik Bank Indonesia. Jadi itu bukan milik negara, katanya. Soal penggunaan dana tersebut, Aulia mengaku tidak mengetahuinya. Saat itu memang tak spesifik untuk apa, banyak. SUTARTO

Sumber: Tempo Interaktif, Senin, 27 Agustus 2007 | 12:07 WIB

---------------------------------------

Anwar Nasution: Jumlahnya Fantastis

Senin, 27-Agustus-2007

Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (1999-2004) ini menyatakan tak tahu-menahu ihwal pengucurannya.

Keabsahan dokumen aliran dana dari Bank Indonesia ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dikonfirmasi oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution. Namun, kepada tim Tempo dan Liputan-6 SCTV, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (1999-2004) ini menyatakan tak tahu-menahu ihwal pengucurannya. Berikut ini petikannya.

Benarkah hasil audit BPK terhadap BI menemukan adanya aliran dana kepada sejumlah anggota DPR?

Ada, dalam audit Mei 2005. Kami telah meminta keterangan BI dalam management letter siapa yang menerima dan apa buktinya. Sampai sekarang belum ada jawaban. Jumlahnya memang tidak material dari seluruh transaksi BI.

Sudah ada jawaban?

Belum. Kami masih menunggu jawaban BI supaya bisa menyelesaikan auditnya. Yang jelas, dalam standar kami, kalau diduga melanggar hukum, kami serahkan ke penegak hukum.

Dari dokumen yang kami miliki, diketahui ada aliran dana Rp 36 miliar ke DPR untuk pembahasan Undang-Undang BI. Ini benar hasil audit BPK? (Anwar melihat dokumen yang diperoleh Tempo)

Iya, ini bagian dari surat saya kepada lembaga penegak hukum. Audit yang seperti ini tidak terbuka untuk umum, hanya kami sampaikan kepada penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, ataupun kepolisian. Kami sudah melaporkan setahun yang lalu.

Pendapat Anda soal ini?

Jumlahnya fantastis juga, lebih dari Rp 100 miliar. Lebih besar dari kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan.

Pencairan dana ini diputuskan dalam rapat Dewan Gubernur BI pada 23 Juni 2003, sewaktu Anda menjadi Deputi Gubernur Senior BI. Anda ikut menyetujuinya?

Lihat dulu tanggalnya (rapat itu). Bisa saja saat itu saya di luar negeri.

Ke luar negeri ke mana?

Aduh, saya lupa. Kamu tanya sama protokoler BI.

Jadi Anda tidak pernah sekali pun mendengar soal ini?

Tidak. Di BI, saya ini kan orang indekosan, ha-ha-ha....

Tapi ini menyangkut UU Bank Indonesia, Anda mestinya ikut dalam rapat.

Iya saya diajak ngomong, tapi soal substansinya. Saya ke DPR dengan konsultan-konsultan IMF. Kalau soal sogok-menyogok, nggak tahu saya.

Sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari penegak hukum tentang laporan Anda?

Setahu saya belum.

Sumber: Koran Tempo, 27 Agustus 2007

---------------------------------

Kasus Aliran Dana BI Harus Jadi Prioritas KPK

Penulis: Ita Malau

JAKARTA--MEDIA: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berani menjadikan kasus dugaan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke institusi penegak hukum dan DPR sebagai prioritas penyelesaian perkara.

Demikian ditegaskan anggota Badan Pekerja (BP) Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Junto dalam perbincangan dengan Media Indonesia, Sabtu (10/11).

Menurut dia, masa kerja Pimpinan KPK yang akan berakhir Desember 2007 harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam menangani kasus BI tersebut. "Selama kepemimpinan KPK yang sekarang belum pernah sekalipun mereka menyentuh kasus-kasus perbankan. Sehingga, sekarang saatnya KPK membuktikan bahwa mereka memang memiliki keberanian menangani kasus yang melibatkan petinggi-petinggi yang berpengaruh," tukasnya.

Untuk itu, lanjut Emerson, ICW mendesak KPK untuk menyelidiki aliran dana BI terutama ke penegak hukum. Sebab, lanjutnya, kasus aliran dana BI itu sudah memenuhi hampir semua persyaratan yang ditentukan undang-undang untuk ditangani KPK. Diantaranya, dugaan kerugian negara di atas Rp1miliar, menarik perhatian publik, dan melibatkan penyelenggara negara.

"KPK sebenarnya tidak bisa berkelit lagi dan harus menyelesaikan kasus ini," tambah Emerson.

Jika Pimpinan KPK yang masih aktif mampu memberikan kinerja yang baik dalam menangani kasus BI itu, maka masyarakat akan memberikan penilaian positif di masa mereka melepas jabatannya.

Ketua KPK, Taufiequrrahman Ruki mengatakan pihaknya memang tengah menyelidiki kasus adanya penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) untuk membiayai bantuan hukum kepada petinggi BI yang ada perkara.

"Ini hasil pengembangan laporan kedua (Anwar). Itu masih dalam penyelidikan," kata Ruki.

Emerson mensinyalir bantuan hukum yang diberikan tersebut tidak mungkin hanya sebatas bantuan pengacara. "Duit itu pasti mengalir juga ke polisi, kejaksaan, sampai ke pengadilan. Lihat saja, pimpinan-pimpinan BI selalu lolos dari jeratan hukum," katanya. (Dia/OL-06)

Eks Anggota Dewan Sangkal Terima Suap BI

Rabu, 29-Agustus-2007

Wakil Gubernur Jambi menyatakan siap diperiksa aparat.

Sejumlah mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat membantah telah menerima kucuran dana Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia pada 2003.

Mantan Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan Faisal Baasyir mengatakan tak tahu-menahu ihwal aliran dana tersebut. Saya tak pernah berurusan dengan Bank Indonesia kecuali pada forum atau rapat resmi, katanya kepada Tempo.

Anggota komisi yang sekarang menjabat Wakil Gubernur Provinsi Jambi Antony Zeidra Abidin juga menyangkal. Dia bahkan menegaskan siap diperiksa aparat penegak hukum yang menyelidiki kasus dugaan suap ini.

Saya pasti bersedia jika aparat penegak hukum mau memeriksa dan meminta keterangan, ujar mantan Ketua Subkomisi Perbankan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR ini di Jambi kemarin.

Antony juga merasa bingung dengan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyebutkan dialah yang menerima pencairan dana Rp 31,5 miliar dari pejabat bank sentral. Coba tanya langsung kepada anggota DPR Komisi IX periode 2003, pernah tidak menerima uang dari saya. Saya tidak tahu-menahu, tapi kenapa saya dituding seperti ini?

Rizal Djalil, yang ketika itu juga menjadi anggota Komisi IX, menyatakan bantahan senada. Saya lebih banyak di Jambi saat itu, katanya.

Sebagaimana telah diberitakan, kasus ini terungkap dari dokumen hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diperoleh Tempo.

Dokumen itu menjelaskan dana Rp 31,5 miliar tersebut diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, yang berada di bawah naungan BI. Dana tersebut dicairkan oleh seorang pejabat bank sentral dan selanjutnya diserahkan ke Antony Zeidra Abidin.

Peruntukan dana ini ditulis buat menjaga kepentingan BI dalam pembahasan amendemen Undang-Undang BI dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam catatan Tempo, dalam proses amendemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ada beberapa hal krusial yang berkaitan dengan kewenangan BI. Salah satunya adalah usul pemisahan otoritas moneter dan fiskal. Pada saat bersamaan, usul penyelidikan kembali dugaan korupsi dalam kasus BLBI juga sedang bergaung di DPR.

Untuk mengusut kasus ini, Faisal Baasyir menyarankan supaya prosesnya dimulai dari BI. Jika DPR duluan, agak sulit. Harus dibuktikan dulu ada pengeluaran, baru ada penerimaan, ujarnya. Sambil proses itu berjalan, masih kata Faisal, yang kini tak lagi duduk di kursi parlemen, Badan Kehormatan DPR bisa mulai memeriksa anggota DPR yang masih menjabat. AGOENG WIJAYA | SYAIPUL BAKHORI

Sumber: Koran Tempo, 29 Agustus 2007

-----

Mempersoalkan RUU 'Pesanan'

Rabu, 29-Agustus-2007

Indikasi kuat terjadinya transaksi uang di balik proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat kembali terungkap. Koalisi Penegak Citra DPR, yang terdiri atas beberapa lembaga swadaya masyarakat, kembali melaporkan ke Badan Kehormatan DPR aliran dana Rp 4,5 miliar ke Komisi IX, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Perbankan, dan panitia anggaran sekitar September 2004. Ini tentu saja bukan barang baru. Menurut hitungan penulis, yang terungkap sebagai kasus saja sudah mencapai lebih dari tujuh buah. Sudah saatnya pemimpin DPR mengambil tindakan nyata menyikapi derasnya aliran dana mitra kerjanya dalam mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi DPR. Jika tidak, DPR hanya akan menjadi lembaga yang terus bekerja karena pesanan alih-alih bekerja karena kepentingan konstituen.

Program kerja

Kerja sebuah lembaga negara tidak dapat dipisahkan dari program kerja yang disusunnya untuk periode tertentu. Program kerja ini juga merupakan turunan dari rencana kerja jangka panjang ataupun jangka menengah dengan tujuan-tujuan strategis yang hendak dicapai dalam periode tertentu hingga masa kerjanya berakhir. Rencana kerja yang jelas dan terukur kemudian tidak hanya menjadi pedoman dalam bekerja, tapi juga dalam mengevaluasi kerja-kerja yang belum atau sudah dilakukan.

Selama ini DPR terlihat reaktif tanpa arahan kerja yang jelas. Dalam konteks legislasi, tujuan-tujuan strategis apa yang hendak dicapai oleh lembaga rakyat ini belum jelas terbaca. Padahal persoalan yang mesti dijawab sebagai kebutuhan mendesak rakyat sangat banyak. Ambil contoh soal keterbukaan informasi. Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik sudah ngendon di DPR selama hampir tujuh tahun tanpa hasil yang jelas. Jika DPR benar paham bahwa iklim kebijakan yang transparan akan memiliki dampak mengurangi korupsi dan mendorong terjadinya efisiensi dan efektivitas anggaran, tentu saja sangat patut bagi DPR mendorong selesainya undang-undang ini.

Tapi alih-alih diperjuangkan dengan serius, DPR malah menyambut lebih dulu pembahasan atas RUU Kerahasiaan Negara yang memiliki semangat berseberangan dengan RUU Kebebasan Informasi. Ini jelas menunjukkan bahwa DPR belum atau bahkan tidak menempatkan dirinya di sisi masyarakat yang memilihnya, tapi lebih menjadi kaki-tangan pemerintah. Dalam konteks ini, bukannya negara tidak boleh memiliki rahasia, tapi ketidakjelasan posisi DPR menunjukkan ketiadaan target legislasi dan tujuan strategis yang jelas dalam ranah ini di mata DPR. Publik kemudian dengan cepat membaca DPR tak ubahnya segolongan elite yang berupaya melindungi elite yang lain untuk memperkuat struktur oligarki kekuasaan.

Terungkapnya skandal aliran dana dalam hampir setiap pembahasan undang-undang, terutama yang diinisiasi oleh pemerintah, kemudian semakin memperburuk persepsi publik tentang DPR, lebih jauh lagi partai politik. DPR kini tak ubahnya lembaga negara yang bekerja atas pesanan. Yang penting, ada pamrih dalam bentuk setoran dana lewat pribadi-pribadi anggota, yang kemudian juga menjadi lumbung bagi partai politik.

Ketimpangan anggaran

DPR sering berkelit untuk menciptakan argumen-argumen pembenar praktek suap di balik pelaksanaan fungsi DPR. Alasan yang paling sering digunakan adalah alasan ketimpangan anggaran. Rendahnya alokasi anggaran untuk legislasi di DPR dibandingkan dengan alokasi yang sama di pemerintahan dipandang sebagai pangkal masalah. Selama bertahun-tahun alasan ini yang terus mengemuka, hingga DPR sempat meminta agar Undang-Undang tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003) diubah dengan memberikan otonomi lebih luas bagi DPR dalam menentukan anggarannya sendiri.

Fenomena ini menjadi lucu dan menggelikan, mengingat DPR sebenarnya memiliki fungsi penganggaran (budgeting). Dalam konteks penganggaran, DPR tidak hanya dapat mengintervensi anggaran buat dirinya sendiri, tapi juga dapat mengintervensi anggaran di pemerintah, baik departemen maupun lembaga negara. Pertanyaannya, kenapa DPR terus merestui alokasi untuk pembuatan undang-undang di pemerintah dengan alokasi yang besar? Kenapa tidak justru sebaliknya? Hal ini juga disebabkan oleh ketiadaan visi yang jelas bagi DPR soal legislasi. Undang-undang apa saja yang harus dibahas dalam satu periode anggaran, berapa jumlahnya, serta mana yang mesti diprioritaskan tidak pernah jelas bagi DPR. Inisiatif lebih banyak dari pemerintah.

Malah terkesan kondisi ini sengaja disiapkan sedemikian rupa agar DPR memang memiliki sumber dana segar di pemerintah. Indikasi ini sebenarnya samar, tapi mulai terbaca dengan jelas dari beberapa kasus aliran dana dalam pembahasan undang-undang. Indikasi salah satunya dapat dibaca dari judul alokasi anggaran di pemerintahan. Dalam kasus dana Bank Indonesia, misalnya, alokasinya diberi judul Dana Bantuan kepada Komisi IX DPR untuk Sosialisasi dan Diseminasi Pembinaan Hubungan Baik. Ada juga yang ditulis, dana bantuan kepada anggota panja sebagai dukungan serta tetap membina hubungan baik. Hal ini menunjukkan indikasi kuat bahwa sebenarnya anggaran ini bukan mengalir untuk menunjang kegiatan yang diperlukan dalam pembahasan anggaran atau RUU, melainkan lebih kepada orang per orang. Peningkatan ongkos legislasi ternyata juga tidak dipergunakan untuk membangun sistem pendukung (supporting system) di DPR, seperti peningkatan jumlah anggota staf ahli, tapi justru diberikan buat anggota DPR sebesar Rp 1 juta setiap ada pengesahan undang-undang.

Maraknya kembali kasus RUU pesanan akan semakin memperburuk citra DPR. Padahal harapan masyarakat sangat besar agar lembaga ini bisa menjadi bagian dari penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Sementara itu, di sisi lain, mekanisme internal, seperti Badan Kehormatan, terbukti semakin tidak efektif jika harus memeriksa anggota jemaah DPR yang banyak, karena terjadi secara sistemis dan menyangkut teman-teman seperjuangan di partai politik. Pemimpin DPR harus berbesar hati memulai perubahan yang fundamental. Penulis setuju jika format anggaran DPR harus diubah dan alokasi harus ditambah. Tapi harus berdasarkan prinsip kinerja anggaran dengan hasil-hasil yang terukur. Hal ini dapat dimulai dengan memperterang rumusan visi dan misi DPR.

Ibrahim Fahmy Badoh, KOORDINATOR DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 29 Agustus 2007

------------------------------------

Aliran Dana BI ke DPR; BK DPR Akan Panggil ICW

Selasa, 30-Oktober-2007

Badan Kehormatan (BK) DPR akan segera memeriksa anggota dan mantan anggota DPR yang diduga menerima dana sebesar Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia (BI) tahun 2004. Sehabis masa reses DPR yang berakhir 5 November 2007 ini, kita akan memulai pemeriksaan, kata Wakil Ketua BK DPR, Gayus Lumbuun, kepada SP, Selasa (30/10).

Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, yang pertama yang akan dimintai keterangan oleh BK DPR adalah pelapor kasus itu seperti para aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Selanjutnya dari anggota DPR dan pihak BI.

Gayus berterima kasih kepada pimpinan DPR yang telah meminta BK DPR untuk segera mengusut kasus tersebut. Kita bekerja kalau ada yang mengadu dan atas permintaan pimpinan DPR. Oleh karena itu, kita berterima kasih kepada pimpinan DPR yang telah memberikan dukungan kepada BK DPR, kata pengajar ilmu hukum administrasi negara di Universitas Indonesia itu.

Akhir pekan lalu, Ketua DPR Agung Laksono meminta BK DPR segera mengusut kasus penyuapan sejumlah anggota DPR oleh pihak BI. Pengusutan kasus tersebut, kata Agung, harus menjadi agenda utama BK DPR seusai masa reses. Menurut Agung, BK DPR agak lambat dalam menelusuri kasus ini. BK DPR seharusnya berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), katanya.

Periksa Pejabat BI

Pada Jumat (26/10), penyidik KPK memeriksa Deputi Gubernur BI, Bun Bunan EJ Hutapea terkait kasus tersebut. Sehari sebelumnya, Kamis (25/10), penyidik KPK juga memeriksa dua pejabat BI terkait kasus yang sama. Dua pejabat yang diperiksa itu adalah Kepala Biro Gubernur yang sekarang sebagai Direktur Pengawasan Bank, Rusli Simanjuntak, dan Kepala Biro Humas BI, Rizal A Djaafara. Mereka diperiksa baru pertama kali dan masih dalam status sebagai saksi, karena memang masih dalam proses penyelidikan, kata Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pekan lalu.

Ketika ditanya, kapan anggota dan mantan anggota DPR yang diperiksa terkait hal itu, Johan menjawab tidak tahu. Anggota DPR belum ada yang diperiksa, dan saya tidak tahu kapan mereka diperiksa, kata dia.

Skandal aliran dana dari BI ke DPR itu terungkap dari laporan ICW kepada KPK dan dokumen BPK atas laporan Keuangan BI tahun buku 2004, sebagaimana sudah tersebar di kalangan wartawan. Dalam dokumen BPK itu dijelaskan, dana Rp 31,5 miliar itu diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang berada di bawah naungan BI.

Laporan BPK itu, juga menjelaskan, dana Rp 31,5 miliar itu dicairkan oleh Rusli Simanjuntak, yang selanjutnya diserahkan kepada anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Anthony Zeidra Abidin. BI menyalurkan dana itu, demikian dokumen itu menerangkan, untuk memuluskan pembahasan amendemen UU BI dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sementara anggota Badan Pekerja ICW, Adnan Topan Husodo, mendesak KPK agar segera memeriksa anggota dan mantan anggota DPR yang diduga menerima dana tersebut. Kita berharap, KPK harus memeriksa juga anggota DPR, dan kalau mereka terbukti bersalah harus tetapkan mereka menjadi tersangka, kata Adnan. [E-8]

Sumber: Suara Pembaruan, 30 Oktober 2007

------------

Aliran Dana Bank Indonesia; Badan Kehormatan Gelar Rapat

Senin, 05-Nopember-2007

Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat rencananya hari ini akan melakukan rapat internal Badan untuk membahas dugaan aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR. Rapat ini akan menentukan siapa saja yang akan dipanggil untuk dimintai keterangan.

Besok (hari ini) baru diputuskan, belum bisa disebutkan sekarang, kata Wakil Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun ketika dihubungi Tempo kemarin.

Gayus mengatakan Badan Kehormatan akan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut masalah ini. Tidak benar kalau dikatakan masalah ini adalah hanya masalah etika dan tak ada kaitannya dengan KPK, katanya.

Sebelumnya, Ketua DPR Agung Laksono mendesak Badan Kehormatan segera mengusut kasus ini.

Kasus kucuran dana Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia ke sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu terungkap dalam audit terhadap Laporan Keuangan BI Tahun Buku 2004. Dalam audit itu diketahui pencairan dana diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia atau Lembaga Perkembangan Perbankan Indonesia, yang berada di bawah naungan bank sentral.

Dalam pemeriksaan dugaan aliran dana BI ke anggota DPR ini, Gayus mengatakan pemeriksaan yang dilakukan Badan Kehormatan dan KPK dilakukan terpisah dan Badan Kehormatan tidak perlu menunggu keputusan hukum dari KPK. Menurut dia, pemeriksaan bisa dilakukan secara bersamaan atau bisa lebih dulu dari KPK.

Mengenai kerja sama yang dijalin dengan KPK, Gayus mengatakan tergantung kebutuhan, Saling memberi informasi dengan memberikan keterangan atau dokumen terkait yang dibutuhkan, katanya.

KPK telah meminta keterangan kepada sejumlah pejabat BI, di antaranya Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom, Deputi Gubernur Bun Bunan E.J. Hutapea, Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin, dan mantan Direktur Pengawasan Rusli Simanjuntak.

Adapun juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan KPK akan memanggil siapa pun yang mengetahui kasus ini. Mereka yang tahu akan dimintai keterangan, ujarnya. ARI ASTRI YUNITA | SHINTA EKA P

Sumber: Koran Tempo, 5 November 2007

------------------------------------

Aliran Dana Bank Indonesia; Badan Kehormatan Gelar Rapat

Senin, 05-Nopember-2007

Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat rencananya hari ini akan melakukan rapat internal Badan untuk membahas dugaan aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR. Rapat ini akan menentukan siapa saja yang akan dipanggil untuk dimintai keterangan.

Besok (hari ini) baru diputuskan, belum bisa disebutkan sekarang, kata Wakil Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun ketika dihubungi Tempo kemarin.

Gayus mengatakan Badan Kehormatan akan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut masalah ini. Tidak benar kalau dikatakan masalah ini adalah hanya masalah etika dan tak ada kaitannya dengan KPK, katanya.

Sebelumnya, Ketua DPR Agung Laksono mendesak Badan Kehormatan segera mengusut kasus ini.

Kasus kucuran dana Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia ke sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu terungkap dalam audit terhadap Laporan Keuangan BI Tahun Buku 2004. Dalam audit itu diketahui pencairan dana diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia atau Lembaga Perkembangan Perbankan Indonesia, yang berada di bawah naungan bank sentral.

Dalam pemeriksaan dugaan aliran dana BI ke anggota DPR ini, Gayus mengatakan pemeriksaan yang dilakukan Badan Kehormatan dan KPK dilakukan terpisah dan Badan Kehormatan tidak perlu menunggu keputusan hukum dari KPK. Menurut dia, pemeriksaan bisa dilakukan secara bersamaan atau bisa lebih dulu dari KPK.

Mengenai kerja sama yang dijalin dengan KPK, Gayus mengatakan tergantung kebutuhan, Saling memberi informasi dengan memberikan keterangan atau dokumen terkait yang dibutuhkan, katanya.

KPK telah meminta keterangan kepada sejumlah pejabat BI, di antaranya Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom, Deputi Gubernur Bun Bunan E.J. Hutapea, Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin, dan mantan Direktur Pengawasan Rusli Simanjuntak.

Adapun juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan KPK akan memanggil siapa pun yang mengetahui kasus ini. Mereka yang tahu akan dimintai keterangan, ujarnya. ARI ASTRI YUNITA | SHINTA EKA P

Sumber: Koran Tempo, 5 November 2007

------------------------------------

Aliran Dana BI ke DPR Harus Diusut Tuntas

Jakarta (ANTARA News) - Kalangan DPR mendesak pihak terkait agar mengusut tuntas dugaan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR pada periode 1999-2004 dan siapa pun yang diduga terkait, termasuk yang masih menjabat di kabinet maupun yang menjadi anggota DPR periode saat ini, harus diperiksa.

Demikian disampaikan Ketua Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, Wakil Ketua Komisi II DPR, Idrus Marham, dan anggota Komisi II DPR, Suparlan di Gedung DPR/MPR Jakarta,.Senin.

Kalangan DPR mendukung langkah Badan Kehormatan (BK) DPR mengusut dugaan kucuran dana dari BI ke Komisi IX DPR periode 1999-2004.

Selain dilakukan kepada mereka yang berada di kabinet, pemeriksaan juga harus dilakukan kepada anggota DPR periode lalu yang diduga terkait dan saat ini kembali menjadi anggota DPR periode 2004-2009.

"Selama ini BK cukup baik dan kredibel. Belum pernah ada dalam sejarahnya, dua anggota DPR diberhentikan karena adanya rekomendasi dari institusi di internal DPR," kata Trimedya.

Namun demikian, Trimedya mengakui bahwa proses di BK DPR cukup panjang dan harus diverifikasi lebih mendalam.

"Karena tugas BK ini `kan seperti hakim, harus teliti, harus melalui verifikasi dan harus dipertangungjawabkan," katanya.

Idrus Marham mendesak pemerintah serius dan konsisten dalam menangani dugaan aliran dana Bank Indonesia ke DPR. Dalam penegakan hukum hendaknya jangan tebang pilih dan hanya untuk kepentingan menaikkan citra.

"Pokoknya siapa pun yang terlibat, dihantam, dong. Pemerintah yang penting konsisten," kata Idrus Marham, fungsionaris Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR. Dia menegaskan jika ada anggota fraksinya yang terlibat, maka orang itu tidak akan dilindungi.

Hal senada diungkapkan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Suparlan.

"Pemerintah harus serius, jangan hanya dibuat-buat opini. Berani nggak pemerintah serius. Jangan karena menghadapi kekuatan politik, terus mundur," katanya.

Pemerintah juga jangan tebang pilih, imbuhnya.

"Jangan hanya yang lemah, yang tidak memiliki kekuatan politik kuat saja yang dilibas. Pokoknya yang penting pemerintah konsisten," ujarnya. (*)

-----------------------------

KASUS DANA BI KPK Diminta Selidiki Aliran Dana ke Aparat

Sabtu, 10/11/2007

Jaksa Agung Hendarman Supandji mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap aliran dana Bank Indonesia (BI) yang diduga juga mengalir ke aparat penegak hukum.

JAKARTA (SINDO) Hendarman mengatakan, dirinya belum menerima secara langsung laporan hasil audit BPK terhadap BI tersebut. "Laporan itu kan ditujukan ke KPK, tapi saya hanya mendengar. Silakan KPK sesuai dengan ketentuan UU menindaklanjutinya," katanya di sela menghadiri upacara peringatan Hari Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta,tadi pagi.

Menurut Hendarman,terkait kasus tersebut,Kejaksaan Agung hingga saat ini hanya akan memonitor perkembangannya. Jika kemudian Kejaksaan harus menindaklanjutinya, akan ditindaklanjuti. Namun, karena laporan hasil audit itu ditujukan ke KPK terlebih dulu, maka KPK-lah yang harus menindaklanjutinya sesuai ketentuan UU. "Sebelum jauh, putuskan apakah KPK mau mengoordinasikan dengan kejaksaan," katanya.

Ketika ditanya apakah Kejaksaan Agung akan membuat tim khusus terkait kasus tersebut,Hendarman mengatakan, pihaknya belum memutuskan hal itu karena pihaknya masih akan melihat perkembangan kasusnya. Surat berisi Laporan hasil audit BPK terhadap BI disampaikan pada pertengahan November 2006 kepada KPK, dengan tembusan kepada Jaksa Agung dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto.

Dalam laporan tersebut, BPK mengungkap adanya temuan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.Sebanyak Rp68,5 miliar di antaranya digunakan untuk pemberian bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi gubernur BI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kredit ekspor,dan kasus lain.

Sedangkan sisanya sebesar Rp31,5 miliar diserahkan ke Komisi IX (Perbankan) DPR periode tahun 2003 untuk penyelesaian masalah BLBI dan perubahan UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Dana itu dikeluarkan tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI.

Penggunaan dana itu berindikasikan menimbulkan dugaan korupsi dan penyuapan karena YPPI dibentuk BI untuk bidang pendidikan. Selain itu, BI juga mengeluarkan Rp27,75 miliar dari anggarannya untuk bantuan hukum. Sementara itu, mantan Ketua Komisi IX Emir Moeis mengatakan siap diperiksa terkait dugaan aliran dana BI periode 19992004.

Politikus PDIP ini menegaskan, kasus dugaan dan BI itu harus diusut dengan tuntas aparat hukum agar tidak banyak isu negatif yang berkembang. KPK dan kepolisian, katanya, harus mengusut tuntas dugaan aliran dana BI ini sehingga masyarakat tidak terbiasa dengan isu-isu yang menyesatkan.

Jika saya bersalah dalam dugaan dana BI,silakan diperiksa oleh KPK, Kejaksaan Agung ataupun kepolisian. Namun jika tidak, apa yang mau diperiksa, katanya kepada SINDO, tadi pagi.

Ketua Panitia Anggaran DPR ini menyatakan,permasalahan yang ada bukan siap diperiksa atau tidak,namun pada substansi persoalan yakni benar tidaknya laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut. Menurut dia, siapa saja oknum anggota DPR yang telah menerima aliran dana BI harus diperiksa aparat hukum.

Mantan anggota Komisi IX Baharuddin Aritonang enggan berkomentar soal dugaan aliran dana BI.Baharuddin yang kini menjabat anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini menyatakan akan memberikan komentar selain masalah BI tersebut. Tidak ada komentar soal BI itu. Tanya yang lain saja,ujarnya.

Seperti diberitakan SINDO pagi, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Gayus Lumbuun mengatakan sudah menerima laporan dari Koalisi Penegak Citra DPR antara lain dari ICW. Anggota komisi III ini mengaku tidak dapat menyebutkan nama-nama yang dilaporkan oleh koalisi tersebut. Dugaan aliran dana BI ini menjadi prioritas BK dan secepatnya kami akan memanggil nama-nama tersebut seperti laporan dari masyarakat ,katanya.

Dia menegaskan, ada dua aduan yang menjadi fokus BK yakni aduan berdasarkan jabatan dan perbuatan.Misalnya di komisi IX itu terdapat empat orang pimpinan, maka BK akan memeriksanya berdasarkan jabatannya, ujarnya.

Gayus menyebutkan, BK juga akan bekerja sama dengan BI dan lembaga terkait. Kerja sama itu, lanjutnya, dilakukan agar kasus dugaan dana BI ini bisa tuntas sebelum masa reses berakhir. Selain itu, BK juga akan melakukan pemeriksaan bukti-bukti dan dokumen yang terkait dengan kasus BI . Kami ingin kasus BI ini cepat selesai dan BK menjadikan kasus ini skala prioritas, ungkapnya. (eko budiono/ant)

----------------------------------

Jaksa Agung Persilakan KPK Tindaklanjuti Aliran Dana BI ke Penegak Hukum

Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Hendarman Supandji mempersilakan KPK menindaklanjuti laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap aliran dana Bank Indonesia (BI) yang diduga juga mengalir ke aparat penegak hukum.

Ditemui di sela menghadiri upacara peringatan Hari Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Sabtu, Jaksa Agung mengatakan, dirinya belum menerima secara langsung laporan hasil audit BPK terhadap BI tersebut.

"Laporan itu kan ditujukan ke KPK, tapi saya hanya mendengar saja. Silakan KPK sesuai dengan ketentuan UU menindaklanjutinya," katanya.

Menurut Hendarman, terkait kasus tersebut Kejaksaan Agung hingga saat ini hanya akan memonitor perkembangannya. Jika kemudian Kejaksaan harus menindaklanjutinya, maka akan ditindaklanjuti.

Akan tetapi, lanjutnya, karena laporan hasil audit itu ditujukan ke KPK terlebih dulu maka KPK yang harus menindaklanjutinya sesuai ketentuan UU.

"Sebelum jauh, putuskan apakah KPK mau mengkoordinasikan dengan kejaksaan," katanya.

Ketika ditanya apakah Kejaksaan Agung akan membuat tim khusus terkait kasus tersebut, Hendarman mengatakan, Kejakgung belum memutuskan hal itu, karena masih akan melihat perkembangan kasusnya.

Surat berisi Laporan hasil audit BPK terhadap BI disampaikan pada pertengahan November 2006 kepada KPK, dengan tembusan kepada Jaksa Agung dan Kepala Polri Jenderal Sutanto .

Dalam laporan tersebut, BPK mengungkap adanya temuan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.

Sebanyak Rp68,5 miliar di antaranya digunakan untuk pemberian bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi gubernur BI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kredit ekspor, dan kasus lain.

Sedangkan sisanya sebesar Rp31,5 miliar diserahkan ke Komisi IX DPR Bidang Perbankan periode tahun 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI.

Dana itu dikeluarkan tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI.

Penggunaan dana itu berindikasikan menimbulkan dugaan korupsi dan penyuapan karena YPPI dibentuk BI untuk bidang pendidikan. Selain itu, BI juga mengeluarkan Rp27,75 miliar dari anggarannya untuk bantuan hukum. (*)

-----------------------------------------------

Sikapi Laporan Aliran Dana BI, BK DPR Terpecah

Penulis: Hillarius U Gani

JAKARTA--MEDIA: Badan Kehormatan (BK) DPR terpecah menyikapi laporan tentang aliran dana Bank Indonesia (BI) ke Komisi IX DPR periode 1999-2004.

Perpecahan itu tampak dari penjelasan Ketua BK Irsyad Sudiro (F-PG) yang bertolak belakang dengan penjelasan Wakil Ketua BK Gayus Lumbuun (F-PDIP) tentang kesahihan laporan Koalisi Penegak Citra Dewan.

Isyad mengatakan, laporan koalisi itu sulit untuk ditindaklanjuti karena laporan tersebut tidak menyebut nama anggota Komisi IX yang menerima dana tersebut.

"Selama mereka tidak melengkapi laporannya dengan menunjukan bukti mengenai nama penerima dana, kita tidak bisa menindaklanjuti laporan itu," kata Irsyad di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (15/11).

Menurutnya, tugas BK adalah melakukan pengusutan etika yang berkaitan dengan kepatutan anggota dewan. Obyek pemeriksaan BK adalah orang atau anggota DPR. Artinya, obyek itu harus jelas siapa nama orang yang menerima dana itu.

Ia menuturkan, laporan yang diterima BK hanya berupa fotokopi dokumen antara lain surat permintaan dana dari bawahan kepada atasan di BI. Ia mengakui bahwa dalam dokumen itu disebutkan permintaan dana itu untuk kepentingan biaya proses revisi UU BI di Komisi IX tapi tidak disebutkan nama-nama yang menerima dana tersebut.

Sementara Gayus Lumbuun memberikan penjelasan sebaliknya. Menurutnya, laporan yang diterima BK sejak awal sudah dilengkapi dengan nama 16 anggota Komisi IX sebagai penerima dana BI.

"Kalau ada yang mengatakan tidak ada nama berarti dia tidak tahu proses penanganan kasus ini di BK," kata Gayus.

Gayus menjelaskan, 16 nama itu terdiri dari dua kelompuk, yakni yang saat ini masih menjadi anggota DPR dan mantan anggota DPR. "Kalau dibilang laporan belum lengkap itu tidak benar. Buktinya hari ini kita mulai periksa karyawan sekretariat Komisi IX," ucap Gayus. (Hil/OL-06)

---------------------------

Aliran Dana BI; KPK Sebaiknya Fokus ke DPR

Aliran dana dari Bank Indonesia (BI) yang disinyalir sebagai gratifikasi kepada sejumlah anggota DPR RI harus menjadi prioritas utama pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika ini tidak dilakukan, fenomena calo anggaran akan tetap merajalela tanpa tersentuh hukum sama sekali.

Demikian disampaikan Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widiyoko saat dihubungi SH, Senin (12/11). DPR harus menjadi domain utama. KPK harus punya target utama ke DPR karena DPR itu merupakan ujung dari serangkaian korupsi, katanya.

Dia menilai, sejak KPK berdiri, banyak dugaan korupsi yang melibatkan anggota DPR tidak pernah tersentuh. Selama ini, KPK hanya melakukan tindakan hukum kepada birokrasi dan pimpinan proyek (pimpro). Kegiatan mereka padahal juga melibatkan anggota Dewan. Akibat dari pemeriksaan tebang pilih tersebut, kasus pemberian dana kepada anggota Dewan maupun percaloan terus muncul. BI sendiri dalam penggunaan dana tersebut memang terkesan menutup-nutupi. Penggunaan dana yayasan untuk mengalirkan dana ke pejabat negara maupun penegak hukum sebenarnya disengaja untuk mengaburkan tindakan tersebut dari jeratan tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan dana yayasan itu pula, kerugian negara dapat diminimalkan.

Selama ini KPK belum berhasil mendorong DPR, padahal banyak contohnya, seperti dana DKP, dana taktis di KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan sekarang dana BI. Makanya, BI ini harus menjadi pintu masuk KPK supaya penyelesaian kasus ini tuntas, katanya.

Antony dan Hamka Yamdu Sementara itu, mantan Ketua Sub Komisi Bidang Perbankan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat periode 2003, Antony Zeidra Abidin, mengungkapkan dirinya bersama anggota Komisi IX Hamka Yamdu pernah menjelaskan soal tudingan aliran dana BI kepada dirinya dan sejumlah anggota Komisi IX itu kepada BPK. Saya sudah jelaskan kepada BPK bahwa tuduhan soal aliran dana BI itu tidak benar. Di samping itu, banyak hal janggal yang dituduhkan. Pada saatnya, saya akan mengungkap semua, ujar Antony, Minggu (11/11) petang. Saat ini, Antony menjabat Wakil Gubernur Jambi.

Pemberitaan soal ini telah membuat tugas-tugas pemerintahan di daerahnya terganggu dan banyak orang yang tak mengerti menuduh dirinya menerima jumlah uang yang sangat besar itu.

Sementara itu, Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memfokuskan agenda penyelidikan internal khususnya di bagian kesekjenan DPR guna menyelidiki agenda dan alur rapat-rapat di Komisi IX kala itu. Dugaan gratifikasi uang Bank Indonesia kepada sejumlah anggota Dewan periode 1999-2004, salah satunya disinyalir mengalir melalui rapat-rapat komisi.

Wakil Ketua BK DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Gayus Lumbuun kepada SH, Senin (12/11) pagi, mengatakan, dari hasil pertemuan dengan Koalisi Penegak Citra DPR akhir pekan lalu, BK kemudian memutuskan untuk terlebih dahulu melakukan penyelidikan internal sebelum pada akhirnya memanggil pihak-pihak yang diduga terkait dengan kasus ini, untuk dimintai keterangannya.

Pekan ini fokus kita (BK) lebih kepada penyelidikan internal. Kita akan menggali informasi dari biro administrasi seputar rapat-rapat di Komisi IX waktu itu. Selanjutnya, kita akan minta keterangan pihak-pihak terkait lainnya, kata Gayus.

Ditanya seputar pertemuan BK dengan Koalisi Penegak Citra DPR pekan lalu, Gayus menuturkan pihak pengadu, dalam hal ini Indonesian Corruption Watch yang tergabung dalam Koalisi Penegak Citra DPR, bersikukuh agar BK mengusut tuntas kasus gratifikasi uang Bank Indonesia (BI) yang melibatkan mantan maupun anggota Dewan yang masih aktif, mengingat dokumen yang diserahkan kepada BK bukanlah dugaan atau asumsi melainkan fakta. Hanya saja, ketika didesak menyebutkan sumber yang menyerahkan dokumen tersebut Koalisi Penegak Citra DPR menolak menyebutkannya.

Pasalnya dokumen itu, kata Gayus, tidak terdapat tanda tangan. Meski demikian, pihaknya memahami alasan keengganan Koalisi Penegak Citra DPR menyebutkan sumber dimaksud.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku penyelidik dan penyidik harus bertidak adil terhadap kasus dugaan penyelewengan penggunaan dana BI yang mengalir ke panitia anggaran DPR periode 1999-2004. KPK tidak perlu terjebak pada polemik siapa yang harus diperiksa terlebih dahulu karena hal itu merupakan teknis penyelidikan.

Tidak perlu ada diskusi siapa yang terlebih dahulu diperiksa. Itu masalah teknis. Jangan kaburkan masalah, kata Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Sjamsuddin di Jakarta, Senin (12/11) pagi. Menurut Aziz, tidak ada pengaruhnya KPK akan memeriksa siapa terlebih dahulu.(suradi/rafael sebayang-Oleh Tutut Herlina/Inno Jemabut)

Sumber: Sinar Harapan, 12 November 2007

Aliran Dana BI; Usut Juga Para Pengacara dan Mafia Peradilan

Senin, 12-Nopember-2007

Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut tuntas penyaluran dana Bank Indonesia kepada aparat penegak hukum. KPK juga diminta untuk memeriksa para pengacara yang mendampingi para mantan direktur Bank Indonesia yang terjerat perkara, termasuk menelusuri apakah ada praktik mafia peradilan dalam penanganan perkara itu.

Hal itu diungkapkan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat), Minggu (11/11). Desakan yang sama diungkapkan Anung Karyadi dari Transparency International Indonesia (TII).

KPK harus melihat ada indikasi suap (atau) tidak dalam penyaluran dana BI itu. Sudah menjadi rahasia umum keluarnya SP3 sarat dengan praktik transaksi, kata Benny.

Anung Karyadi dari TII berpendapat praktik ini tidak hanya dilakukan BI, tetapi juga oleh semua pemerintah daerah di Indonesia.

Mengenai keterlibatan para pengacara yang diduga ikut andil menyalurkan dana kepada aparat penegak hukum, Anung mengatakan, hal itu sebagai praktik yang biasa terjadi. Dana bantuan atau pembinaan hukum itu dibungkus dengan model fee atau komisi sesuai kontrak dengan pengacara tertentu, katanya.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengatakan, Saya kira penerimaan fee atau komisi oleh seorang advokat itu sah dan tidak ada masalah. Kalau kemudian uang fee tersebut mengalir ke penegak hukum, maka harus dibuktikan oleh penyidik.

Mantan Ketua Sub-Komisi Bidang Perbankan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2003 Antony Zeidra Abidin menilai surat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution tertanggal 14 November 2006 kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai rekayasa.

Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengharapkan KPK bertindak adil, jangan hanya gemar memanggil dan menindak anggota DPR, tetapi melupakan otak di belakangnya. (VIN/SUT)

Sumber: Kompas, 12 November 2007

---------------------

Jaksa BLBI Bantah Terima Uang Suap dari BI

Senin, 12-Nopember-2007

Mantan jaksa yang menangani kasus korupsi BLBI membantah pernah menerima dana selama menyidangkan para terdakwa yang merupakan mantan pejabat Bank Indonesia (BI). Tak terkecuali, apakah dana itu berasal dari BI maupun Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).

Y.W. Merre, salah seorang jaksa penuntut umum (JPU) yang menyidangkan terdakwa mantan Gubernur BI Syahril Sabirin, menyatakan terkejut atas tudingan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution. Itu di luar sepengetahuan saya, ujarnya kemarin (11/11).

Dia menegaskan, jaksa dilarang menerima dana dari siapa pun dalam menangani kasus Syahril. Meski Syahril dibebaskan Pengadilan Tinggi (PT) DKI dan Mahkamah Agung (MA), Merre menegaskan bahwa jaksa telah maksimal membuktikan keterlibatan dia. Saya menuntut Pak Syahril selama empat tahun. Kami tidak main-main.

FX Suhartono, JPU yang menyidangkan mantan Direktur BI Hendro Budianto, justru tertawa mendengar pernyataan Anwar. Aparat itu kan bisa pengacara. Dan, saat menangani kasus itu, saya pernah mendengar bahwa tim pengacaranya dibayar miliaran rupiah, ungkapnya saat dihubungi terpisah kemarin.

Dia lantas mengungkapkan pengakuan pengacara mantan direktur BI, Indriyanto Seno Aji, yang pernah menerima lebih dari Rp 1 miliar saat menangani perkara BLBI.

Mantan Wakajati Jawa Timur itu menyatakan menangani kasus BLBI pada 2002, sedangkan pengucuran dana BI untuk penanganan kasus BLBI terjadi pada Juli 2003. Selain itu, tak logis jaksa dituduh menerima uang. Sebab, kami menuntut berat para terdakwa, yakni lima tahun, tegas Suhartono.

Di tempat terpisah, salah seorang mantan pejabat BI yang terseret kasus korupsi mengaku seluruh biaya perkaranya ditanggung BI. Dia tak mengeluarkan sepeser pun untuk membiayai sewa pengacara. Saya tahunya uang itu dari BI. Saya tidak tahu kalau dari YPPI, kata mantan pejabat yang menolak namanya dikorankan tersebut.

Dia berharap aparat bisa mengusut tuntas kemungkinan adanya aliran dana BI dan YPPI untuk menyuap aparat dalam kasus yang pernah ditanganinya tersebut.

Emerson Yuntho, koordinator bidang hukum ICW, menegaskan, jaksa agung harus turun tangan menyikapi tudingan Ketua BPK Anwar Nasution itu. Jaksa agung tidak perlu menunggu pengiriman hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jaksa agung tidak boleh kehilangan momentum untuk menjaga citranya, ujarnya.

Menurut dia, tudingan Anwar tersebut tentu tidak main-main dan pasti berdasar hasil audit.

Dugaan keterlibatan anggota penegak hukum muncul setelah Ketua BPK Anwar Nasution menemukan angka lumayan besar untuk pos bantuan hukum. Selain uang Rp 68,5 miliar yang dikeluarkan dari kas YPPI tanpa melalui mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI, dalam anggaran BI sudah ada anggaran bantuan hukum yang dipatok Rp 27,75 miliar.

Sebagian dana tersebut, kata Anwar, mengalir ke sejumlah aparat hukum. Jaksa Agung Hendarman Supandji mempersilahlahkan KPK memeriksa anak buahnya yang diduga menerima uang tersebut.

Dalam kasus itu, beberapa pejabat BI sudah dimintai keterangan, termasuk Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom. Sebagai mantan pejabat BI, KPK juga akan meminta keterangan dari Anwar. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 12 November 2007

-------------------------

Badan Kehormatan Panggil Bekas Pejabat BI

Senin, 12-Nopember-2007

Terkait dengan dugaan suap terhadap anggota DPR senilai Rp 4,4 miliar dan Rp 31,5 miliar.

Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat akan meminta keterangan pejabat Bank Indonesia periode 1999-2004 yang terkait dengan pengucuran dana bank sentral ke sejumlah anggota Dewan.

Semua pejabat negara ataupun pemerintah yang saat itu memiliki kewenangan dalam rencana dan pengeluaran dana tersebut akan dipanggil, kata Wakil Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun ketika dihubungi Tempo di Jakarta kemarin.

Ada dua kasus aliran dana bank sentral kepada anggota DPR yang sedang diselidiki Badan Kehormatan. Pertama, dana Rp 4,4 miliar yang dikeluarkan pada September 2004 untuk melancarkan pembahasan tiga rancangan undang-undang, yakni RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan RUU Kepailitan.

Kedua, aliran uang dari BI senilai Rp 31,5 miliar kepada sejumlah anggota Dewan pada 2003. Dana ini digunakan untuk pembahasan amendemen UU Bank Indonesia dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Pejabat bank sentral yang akan dipanggil, menurut Gayus, adalah pejabat yang memiliki kewenangan terkait dengan pengucuran dana ke anggota DPR. Nama-nama itu, kata dia, berdasarkan pengaduan dari Koalisi Penegak Citra Parlemen, yakni pejabat yang mengeluarkan memo untuk menyerahkan sejumlah uang ke anggota Dewan.

Gayus menegaskan pejabat negara yang dipanggil Badan Kehormatan wajib datang. Pejabat setingkat Deputi Gubernur BI pun, kata dia, akan dimintai keterangan jika bawahannya tidak mampu memberikan keterangan yang dibutuhkan.

Rencananya, pekan ini Badan Kehormatan juga akan memanggil anggota Staf Sekretariat Jenderal DPR yang ketika kasus ini terjadi sedang bertugas di sekretariat Komisi Keuangan. Pegawai negeri sipil yang akan dipanggil ini adalah anggota staf bidang rapat dan keuangan. Kalau tidak jujur, ada sanksinya dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Sekretaris Negara, ujar Gayus.

Komisi Pemberantasan Korupsi menghargai langkah Badan Kehormatan DPR yang hendak meminta keterangan pejabat bank sentral. Perlu kita apresiasi, kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.

Komisi sebelumnya juga sudah meminta keterangan Deputi Gubernur BI Bun Bunan Hutapea, Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom, dan Direktur BI Rusli Simanjuntak. Siapa yang berikutnya akan dipanggil Komisi, Johan mengaku belum tahu. KURNIASIH BUDI | RINI KUSTIANI

Sumber: Koran Tempo, 12 November 2007

-------------------------

KPK Diminta Terus Usut Kasus Aliran Dana BISenin, 12 November 2007

TEMPO Interaktif, Jakarta:Komisi Pemberantasan Korupsi diminta terus memproses kasus aliran dana Bank Indonesia kepada para penegak hukum. Meskipun anggota Komisi akan diganti, tetapi Komisi sebagai institusi harus melanjutkannya.

"Kalau ada pergantian harus ada memori jabatan," kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono di Jakarta, Senin (12/11).

Menurut Agung, tindak lanjut kasus ini harus dilakukan oleh lembaga bukan pribadi, meski nantinya berganti anggota penyelesaian kasus harus terus dilanjutkan.

Apalagi, kata Agung, kasus ini berkaitan dengan para penegak hukum, Komisi harus membuktikan tidak ada tebang pilih maupun diskriminasi."Harus buktikan obyektifitas," katanya.

Agung juga meminta KPK melanjutkan proses pengusutan secara terbuka kepada publik dan diproses secara cepat.

KPK saat ini tengah mengusut aliran dana BI ke DPR pada 2004 untuk melancarkan pembahasan tiga rancangan undang-undang, yakni RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan RUU Kepailitan.

Sejumlah pejabat BI juga telah dimintai keterangan oleh KPK, di antaranya Deputi Gubernur BI Bun Bunan Hutapea, Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom dan Direktur BI Rusli Simanjuntak.

Aqida Swamurti

-------------------------

Advokat Tak Tahu Aliran Dana; Soal BI Jangan Diselesaikan Adat

Selasa, 13-Nopember-2007

Sejumlah advokat, yang pernah mendampingi petinggi Bank Indonesia yang disangka melakukan korupsi, mengaku tidak mengetahui adanya dana yang diduga disalurkan kepada penegak hukum. Mereka hanya menerima honor bantuan hukum, sesuai kontrak resmi dengan BI, dan tak tahu ada dana lainnya.

Advokat Indriyanto Seno Adji dan Luhut MP Pangaribuan yang dihubungi terpisah, Senin (12/11) di Jakarta, mengaku hanya menerima dana sesuai dengan kontrak untuk memberikan bantuan hukum kepada (mantan) petinggi BI. Tak ada dana lain yang dialirkan melalui mereka.

Saya, seperti kontrak bantuan hukum resmi BI, menerima Rp 1,43 miliar. Saya satu tim dengan Albert Hasibuan dan Pradjoto. Dana yang kami terima dari BI, ya, sesuai kontrak, ujar Luhut.

Selain dirinya, kata Luhut, Albert menerima Rp 1,43 miliar dan Pradjoto menerima Rp 551,1 juta sebagai honor mendampingi mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Ia tidak mengetahui bahwa ada Rp 25 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) bagi kliennya itu. Jika ada Rp 25 miliar, kami tak tahu dan tak pernah menerimanya pula, kata Luhut lagi.

Indriyanto mengakui firma hukumnya mendampingi mantan Direktur BI Paul Sutopo, Heru Supraptomo, dan Hendrobudianto di tingkat banding dan kasasi. Sesuai kontrak dengan BI, firma hukumnya menerima honor Rp 3,314 miliar. Yang saya terima .........

Namun, Indriyanto mengaku tidak tahu-menahu YPPI yang dimiliki BI mengeluarkan dana Rp 30 miliar untuk membantu penanganan perkara ketiga mantan direktur itu. Kami menerima sesuai kontrak saja, katanya. Indriyanto dan Luhut juga tak tahu dana YPPI untuk apa dan siapa.

Advokat Maiyasyak Johan juga membenarkan firma hukumnya, Maiyasyak, Rahardjo, and Partnerts, pernah memberikan bantuan hukum kepada Paul Sutopo. Namun, ia tak mau mengungkapkan honor yang diterimanya.

Berapa saya dibayar BI, itu rahasia hubungan pengacara dengan klien. Saya kira tidak patut dijelaskan. Yang pasti hubungan kantor saya dengan BI bersifat kontraktual antara pemberi jasa dan penerima jasa, ujarnya.

Maiyasyak, yang kini anggota Komisi III DPR, menegaskan, ia ketika itu tidak hanya mendampingi Paul, tetapi juga Gubernur BI Syahril Sabirin. Untuk itu, ia menerima kontrak kerja dan surat kuasa dari BI.

Dalam surat Ketua BPK Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 14 November 2006, saat mendampingi Paul, firma hukum Maiyasyak menerima honor Rp 6,748 miliar. Dana itu dari anggaran BI. Namun, YPPI juga mengeluarkan dana Rp 10 miliar.

Penyelesaian adat

Secara terpisah, Senin, Wakil Ketua MPR AM Fatwa meminta Presiden tidak menyelesaikan secara adat dugaan penyelewengan dana BI, yang mengalir lewat sejumlah pejabat dan mantan pejabat BI kepada penegak hukum atau anggota DPR periode 1999-2004. Hentikan penyelesaian adat. Kuncinya di KPK, ujarnya.

Fatwa juga mengingatkan anggota KPK yang masa jabatannya akan segera berakhir agar bekerja konsisten dan tidak pilih-pilih. Ini ujian bagi KPK. Momen terakhir ini akan menunjukkan karakter dan konsistensi KPK. Manusia juga yang paling banyak dinilai justru di masa akhir hidupnya, ujarnya mengingatkan.

Sebagai Wakil Ketua DPR periode 1999-2004, Fatwa juga menegaskan, Dewan terbuka untuk diperiksa. Ia berharap lembaga lain pun membuka diri.

Mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR Ali Masykur Musa, yang ditemui terpisah, mengakui adanya uang dari BI untuk diseminasi pembahasan undang-undang (UU). Namun, hal itu harus dibedakan dengan gratifikasi.

Ia mencontohkan, BI sering mengadakan seminar untuk sosialisasi UU dan hampir semua anggota Komisi IX yang dianggap memahami persoalan diundang sebagai pembicara. Mereka disetarakan dengan ahli. Kalau ada pemberian uang, itu sebatas tiket pesawat kelas bisnis dan honor.

Honor pun tidak lebih dari Rp 5 juta, papar Ali Masykur. Menurut dia, yang harus dikejar adalah pihak BI karena dalam laporan BPK angkanya menjadi luar biasa besar, yaitu mencapai Rp 31,5 miliar yang diduga dialirkan kepada anggota DPR. Dana itu fantastis, katanya.

Mantan anggota Komisi IX DPR Agus Condro Prayitno juga mengaku tidak tahu-menahu adanya dana Rp 31,5 miliar dari BI. Ia baru masuk Komisi IX pada akhir tahun 2003. Usut saja yang tuntas. Kalau terbukti, kenai tindakan hukum, ucapnya.

Sekitar 20 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 kini masih aktif menjadi anggota DPR. Ada juga yang kini duduk di kabinet, yaitu Paskah Suzetta, Baharuddin Aritonang menjadi Wakil Ketua BPK, serta Antony Zeidra Abidin yang kini Wakil Gubernur Jambi. (SUT/VIN/TRA)

Sumber: Kompas, 13 November 2007

13/11/07

Pengawas BI Tidak Temukan Aliran Dana ke DPR

Jakarta (ANTARA News) - Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) yang melakukan kajian tiap tahun menyatakan tidak pernah menemukan hasil audit BPK yang berisi aliran dana Bank Indonesia ke penegak hukum dan DPR.

Anggota BSBI Romli Atmasasmita di Jakarta, Selasa, mengatakan pihaknya sebagai pengawas BI setiap tahun selalu melakukan telaah terhadap laporan keuangan BI yang telah diaudit BPK.

"Kita juga tidak mengerti mengapa hasil audit BPK itu tidak ada pada laporan keuangan BI 2003. Jadi kita kesulitan untuk menindaklanjuti," kata Romli.

Padahal, seharusnya seluruh hasil audit BPK itu lengkap dilaporkan kepada semua pihak termasuk DPR dan Kejaksaan Agung.

Oleh karena itu, Romli mempertanyakan kepentingan Anwar langsung mengirimkan surat kepada KPK dan bukan kepada DPR dan Kejakgung terlebih dahulu.

Dalam surat Ketua BPK Anwar Nasution yang dikirimkan kepada KPK November 2006, BPK menyebutkan laporannya itu bersumber dari audit lanjutan terhadap laporan keuangan BI tahun 2003.

Anwar menyatakan ada aliran dana sekitar Rp100 miliar yang berasal dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), yayasan di bawah BI kepada penegak hukum dan DPR. Aliran ke penegak hukum dimaksudkan untuk membantu para pejabat BI yang sedang mengalami masalah hukum.

Sementara aliran dana ke DPR untuk memberikan apresiasi terhadap sikap DPR yang mengakomodasi keinginan BI dalam beberapa pembahasan undang-undang.

Romli menyatakan ia mendukung pihak KPK memeriksa terlebih dahulu Anwar Nasution agar persoalan menjadi jelas. "BSBI sudah pernah diperiksa KPK. Dan kita katakan bahwa kita tidak mengetahui hal itu. Sehingga kalau KPK mau periksa Anwar itu akan lebih baik," katanya.

KPK dalam waktu dekat juga akan memanggil Anwar Nasution terkait kasus ini, untuk dimintai keterangannya mengenai keterlibatan Anwar selama dia menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior di BI sejak tahun 1999 - 2004.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, Anwar dibutuhkan keterangannya bukan sebagai Ketua BPK maupun soal surat yang dilayangkannya kepada Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki pada November 2006 tentang aliran dana BI.

Anwar, lanjut dia, dimintai keterangan karena pada 2003 ia masih menjabat Deputi Gubernur Senior BI yang juga mengetahui pencairan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.

Sebagai Deputi Gubernur Senior BI, Anwar diduga mengetahui keputusan rapat Dewan Gubernur BI pada 22 Juli 2003 untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada YPPI senilai Rp100 miliar.

Dana itu pada akhirnya diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.

Sedangkan yang selebihnya, Rp68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan deputi gubernur senior BI dalam kasus BLBI.(*)

------------------------------------

Ketua BK Ingin Tutup Kasus Aliran Dana BI

Rabu, 14-Nopember-2007

Ketua Badan Kehormatan DPR Irsyad Sudiro dari Fraksi Partai Golkar berniat menutup kasus dugaan aliran dana dari Bank Indonesia ke anggota Dewan. Alasannya, gabungan lembaga swadaya masyarakat Koalisi Penegak Citra DPR sebagai pelapor tidak menyebutkan anggota DPR yang diduga menerima dana itu.

Jika pelapor tak memberikan nama, ya akan dihentikan, kata Irsyad, seusai Rapat Paripurna DPR, Selasa (13/11) di Jakarta.

Namun, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Bidang Pengusutan Gayus Lumbuun dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menegaskan, BK terus berupaya menyelidiki kasus aliran dana BI itu.

Menurut Gayus, Kamis besok BK akan meminta keterangan dari mantan Kepala Bagian Sekretariat Komisi IX DPR dan Kepala Subbagian Sekretariat Komisi IX. Jika dalam pemeriksaan ditemukan ada pihak luar yang merusak citra DPR, BK akan menyerahkannya kepada aparat hukum. Senin pekan depan, BK diundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), paparnya.

Anggota BK dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, Darus Agap, pun membenarkan rencana konsultasi dengan KPK itu.

Sebelumnya, anggota BK dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Yunus Yosfiah juga menegaskan, BK tak akan mendiamkan pengaduan dana aliran BI yang diduga melibatkan anggota DPR periode 1999-2004 itu.

Fahmi Badoh, Koordinator Korupsi Bidang Politik Indonesian Corruption Watch (ICW), Selasa, menegaskan, BK DPR perlu memverifikasi daftar yang diserahkan ICW. Dalam daftar itu, ICW memang tak menyebutkan nama anggota DPR yang diduga terlibat, tetapi BK saat ini mengantongi sembilan nama anggota DPR yang diduga terlibat.

19 pejabat BI diperiksa

Dalam suratnya kepada KPK tertanggal 14 November 2006, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution mencantumkan nama anggota Komisi IX DPR yang tahun 2003 menerima dana dari BI senilai Rp 31,5 miliar. Nama pegawai BI yang menyerahkan uang itu tercantum pula.

Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Tumpak H Panggabean menuturkan, 19 pejabat BI sudah diperiksa KPK sejak September 2007. KPK memeriksa mantan Direktur BI yang menerima dana Yayasan Pembangunan Perbankan Indonesia (YPPI), ujarnya, dalam diskusi media, Selasa.

Surat Ketua BPK juga menyebut nama mantan pejabat BI yang menerima dana bantuan hukum dari YPPI, termasuk orang kepercayaan yang mewakilinya serta pejabat BI yang menyerahkan dana itu. Mantan pejabat BI itu diperiksa semua. Namun, mereka membantah dana itu untuk bantuan hukum, kata Panggabean.

Jawaban mantan pejabat BI beragam. Menurut Panggabean, ada yang menjawab dana itu dipakai memperbaiki citra BI melalui seminar, menulis buku. KPK belum meyakini jawaban itu, masih intensif menyelidikinya.

Advokat Harry Pontoh dan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, honor pengacara dalam menangani suatu perkara amat relatif. Pengacara melanggar kode etik jika ia menyalurkan dana kepada penegak hukum lain. (VIN/A14/SUT/A13)

Sumber: Kompas, 14 November 2007

------------------------------------

Aliran Dana BI; Antony ZA Bantah Laporan BPK

Kamis, 15-Nopember-2007

Mantan anggota Komisi IX DPR Antony Zeidra Abidin membantah ada aliran dana Bank Indonesia ke Komisi IX DPR, seperti disebut dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap BI yang disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia justru menilai audit itu konyol dan cacat hukum.

Tak ada yang mengatakan ada aliran dana itu. Nama saya salah, semua salah, ujar Antony, Rabu (14/11) di Jakarta, seusai diperiksa KPK.

Antony, yang kini Wakil Gubernur Jambi, diperiksa penyidik KPK hingga pukul 19.00. Ia datang ke Gedung KPK pukul 10.00. Dalam surat Ketua BPK Anwar Nasution ke KPK, tertanggal 14 November 2006, Antony disebut pada tahun 2003 menerima dana BI senilai Rp 31,5 miliar untuk penyelesaian kasus bantuan likuiditas BI dan perubahan Undang-Undang BI. Dana itu disebutkan untuk anggota DPR.

Menurut Antony, audit itu memiliki banyak kelemahan, antara lain salah menuliskan nama dan jabatannya. Antony Zeidra Abidin ditulis Antoni Zainal Abidin dan jabatannya Ketua Sub-Komisi Perbankan ditulis Ketua Panitia Perbankan. Audit itu juga menyebutkan tanggal penerimaan dana olehnya, tetapi saat itu ia mengaku berada di luar negeri.

Pengacara pintu masuk

Anggota Badan Supervisi BI (BSBI) Romli Atmasasmita mengaku belum menerima salinan laporan audit BPK terhadap BI. Selama ini BSBI menerima laporan yang baik-baik saja.

Dalam laporan audit BI, kata Romli, juga tak tercantum dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), yang disebutkan dialirkan ke penegak hukum dan anggota DPR.

Sebaliknya, anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat) mengingatkan, KPK harus berkemauan kuat untuk menyelidiki dugaan penyelewengan dana BI, yang melibatkan aparat hukum dan anggota DPR. Pintu masuknya adalah dengan memeriksa pengacara yang mendampingi mantan pejabat BI yang diduga korupsi, yang mengakui menerima aliran dana BI. Dari pengacara bisa dicek lagi ke mana aliran dana BI.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Arbab Paproeka menuturkan, KPK bisa memverifikasi dana yang diterima pengacara dari laporan pajaknya. Kalau ada aliran dana ke aparat hukum, harus diselidiki juga melalui siapa, katanya.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi, secara terpisah, mendesak KPK menjelaskan kepada publik bagaimana laporan Ketua BPK tertanggal 14 November 2006 mengendap setahun dan baru ditindaklanjuti September 2007. Apakah ada orang yang mencoba menghalangi penyidikan? Apakah ada yang memalsu atau memilah laporan? kata guru besar hukum pidana itu.

Menurut Muladi, kunci penuntasan kasus itu ada di BI karena mereka yang punya data. Dugaan aliran dana BI itu memprihatinkan dan harus dituntaskan.

Kalau Anwar Nasution diduga terlibat, dia juga harus diperiksa. Kasus ini pelecehan terhadap rasa keadilan rakyat. Uang itu gratifikasi, kata Muladi.

Muladi juga menyayangkan sikap Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Irsyad Sudiro dari Partai Golkar yang akan menutup kasus itu karena Koalisi Penegak Citra DPR sebagai pelapor tidak menyebutkan nama anggota DPR yang diduga terlibat. Namanya sudah jelas. BK jangan defensif dan melindungi orang yang bersalah. Mereka bertanggung jawab menjaga perilaku anggota DPR, katanya lagi.

Muladi meminta BK DPR bersikap antisipatif dan mencari bukti sendiri. Dalam surat BPK jelas siapa yang menerima dan menyerahkan dana itu. Keberadaan BK DPR seharusnya bisa memperkuat proses penegakan hukum dan bukan malah menghentikan, ujarnya.

Di Jakarta, Rabu, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui menerima tembusan surat BPK ke KPK. Karena kasus aliran dana BI itu sudah ditangani KPK, kejaksaan mengikuti perkembangan penanganannya saja.

Soal penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus dugaan korupsi dengan tersangka mantan Gubernur BI Soedrajat Djiwandono dan Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata tahun 2003, kata Hendarman, apabila dalam pengusutan KPK ditemukan indikasi pidana, pengeluaran SP3 itu dapat dipraperadilankan. Namun, kejaksaan belum akan memeriksa jaksa atau mantan jaksa yang menangani kasus itu.(ANA/SUP/IDR/DWA/A14/SUT/TRA)

Sumber: Kompas, 15 November 2007

-----------------------------

BK Kantongi 16 Nama Anggota; Nama dalam Laporan BPK Terindikasi Korupsi

Jumat, 16-Nopember-2007

Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat atau BK DPR mengantongi 16 nama anggota DPR periode 1999-2004 yang diduga menerima aliran dana dari Bank Indonesia. Namun, BK menolak mengumumkan nama mereka karena akan diperiksa.

Menurut Wakil Ketua BK DPR T Gayus Lumbuun, Kamis (15/11) di Jakarta, Koalisi Penegak Citra DPR yang melaporkan dugaan penerimaan dana BI menyerahkan tujuh nama baru anggota DPR yang diduga menerima dana itu. Total, BK DPR kini memiliki 16 nama anggota DPR periode 1999-2004 yang akan diperiksa.

Gayus menolak menyebutkan nama wakil rakyat yang diadukan itu. Data yang diperoleh Kompas, anggota DPR yang diadukan itu berasal dari Fraksi Partai Golkar (empat orang), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (dua orang), Fraksi Kebangkitan Bangsa (satu orang), dan masing-masing tiga orang dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Reformasi, dan Fraksi TNI/Polri. Sebagian dari mereka kini masih menjadi wakil rakyat di Senayan.

Menurut Gayus, bukti yang disampaikan Koalisi Penegak Citra DPR tidak serta-merta dianggap benar. Tugas BK DPR menginvestigasi dan mengklarifikasinya.

Ketua BK DPR Irsyad Sudiro secara terpisah juga menegaskan, BK akan menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR yang menerima dana BI. Kamis, BK DPR memanggil mantan Kepala Bagian dan Kepala Subbagian Sekretariat Komisi IX DPR, Usiono dan Wagianto, untuk dimintai keterangan.

Anggota BK Imam Syudja menuturkan, sebelum pemeriksaan terjadi perdebatan alot di antara anggota BK DPR. Sejumlah anggota BK menghendaki pemeriksaan dilakukan dengan menuntaskan dahulu pengadu, baru memanggil pihak lainnya.

Gayus menambahkan, dari pemeriksaan, Sekretariat Komisi IX mencatat semua rapat di hotel atau di DPR, termasuk yang diduga terkait aliran dana BI. Senin depan, BK bertemu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk koordinasi.

Terindikasi korupsi

Ditemui terpisah, anggota Badan Supervisi BI Romli Atmasasmita menegaskan, nama siapa pun yang disebutkan dalam surat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution kepada KPK, tanggal 14 November 2007, harus dibaca terindikasi korupsi atau penyuapan. Surat Anwar itu menyebut sejumlah nama pejabat dan mantan pejabat BI, anggota DPR, dan penegak hukum.

Surat Ketua BPK itu, kan, melaporkan dugaan penyuapan atau korupsi. Jadi, semua nama yang disebutkan dalam surat itu dapat diperiksa karena, sesuai laporan BPK, diindikasi korupsi atau penyuapan, ujar Romli, guru besar hukum pidana internasional dari Universitas Padjadjaran, Bandung.

Dalam suratnya, Anwar menduga adanya penggunaan dana BI dan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang tidak tepat. Dana senilai Rp 100 miliar dari YPPI, yayasan yang dimiliki BI, dipakai untuk membantu penanganan hukum terhadap mantan pejabat BI sebesar Rp 68,5 miliar dan disalurkan ke DPR senilai Rp 31,5 miliar. BI juga mengeluarkan dana Rp 27,747 miliar untuk bantuan hukum pada mantan petinggi BI.

Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menambahkan, KPK tetap melanjutkan pemeriksaan dugaan penyimpangan dana BI. KPK juga akan meminta keterangan Ketua BPK jika sudah kembali dari luar negeri.

Namun, yang harus dipahami masyarakat, KPK tidak bisa menindaklanjuti laporan dan memeriksa seseorang hanya atas dasar prasangka. Dibutuhkan data dan bukti sehingga perlu waktu, kata Ruki lagi.

Sebaliknya, Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch Teten Masduki mengingatkan, tak ada alasan bagi KPK menyatakan kesulitan untuk merumuskan persoalan aliran dana BI ke penegak hukum dan anggota DPR. Sebab, jika dirunut dari hasil rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 hingga rapat 22 Juli 2003, jelas aliran dana BI yang berasal dari YPPI adalah sebuah penyimpangan yudisial dan membeli kepentingan politik (political buying) dalam rangka mengegolkan rencana anggaran dan legislasi.

Menurut Teten, KPK jangan mundur karena political buying ini tampaknya menjadi kebiasaan lembaga negara, bukan hanya BI. Penyelidikan oleh KPK dan BK DPR juga harus dijadikan momentum untuk terus memperbaiki lembaga otonom, seperti BI dan institusi negara lainnya.(A14/SUT/HAR/TRA)

Sumber: Kompas, 16 November 2007

--------------------------------------------

Golkar Semestinya Percaya kepada BK DPR

Kamis, 22-Nopember-2007

Instruksi Ketua Umum DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla agar membentuk tim untuk mengusut dugaan kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR mendapat banyak respons. Selain publik, anggota Badan Kehormatan (BK) DPR sendiri pun kaget dengan instruksi tersebut.

Direktur Eksekutif, Indonesian Legal Resource Center, Uli Parulian Sihombing di Jakarta, Selasa (20/11), mengatakan, tim seperti itu boleh-boleh saja. Namun yang paling penting adalah tim tersebut jangan sampai mempengaruhi BK DPR untuk tidak menuntaskan kasus tersebut. BK DPR harus independen dalam menyelidiki kasus tersebut, kata dia.

Uli mengatakan, tidak salah kalau sebagian masyarakat beranggapan, tim khusus yang dibentuk Partai Golkar itu justru akan melindungi sejumlah anggota DPR yang menerima dana itu, terutama anggota DPR dari Partai Golkar. Partai Golkar semestinya percaya sepenuhnya dan mendukung BK DPR. Tidak perlu bentuk tim seperti itu, kata dia.

Terkait itu, Uli mendesak KPK agar mengusut tuntas kasus tersebut. KPK, kata dia, harus membuktikan kepada masyarakat, KPK tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum.

Wakil Ketua BK DPR, Gayus Lumbuun ketika dikonfirmasi tentang pembentukan tim tersebut, mengaku sangat kaget. Kalau Golkar mau mengkaji sendiri silakan, tapi BK DPR tidak akan berhenti mengusut kasus tersebut, katanya.

Untuk itu, pada Kamis (22/11) besok, pihaknya akan memanggil auditor senior BPK, Surachmin sebagai saksi ahli untuk menjelaskan tentang kebijakan keuangan di lembaga-lembaga negara, terutama di BI.

Darus Agap, anggota BK dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD), mengatakan, tidak ada masalah jika Golkar ingin membuat tim sendiri, selama tidak mencampuri kerja BK. Silakan kalau Golkar mau bentuk tim untuk menertibkan anak buahnya sendiri, ujarnya.

Tapi BK tidak akan terpengaruh, dan tim Golkar itu tidak boleh mengintervensi penanganan kasus yang sedang dikerjakan oleh BK, tandasnya. Hal itu penting, mengingat Ketua BK Irsyad Sudiro, berasal dari Fraksi Partai Golkar. [E-8/B-14]

Sumber: Suara Pembaruan, 21 November 2007

-----------

Syahril Sabirin Kucurkan Rp 15 Miliar

Selasa, 11-Desember-2007

Anwar Nasution dan anggota Dewan Gubernur lain ikut menyetujui.

Dana bantuan hukum bagi para mantan pejabat bank sentral yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ternyata sudah dikucurkan Dewan Gubernur BI sejak di bawah kepemimpinan Syahril Sabirin. Sebelumnya telah terungkap bahwa rapat yang dipimpin Gubernur BI setelah Syahril, Burhanuddin Abdullah, memutuskan mengucurkan dana Rp 100 miliar untuk keperluan serupa dan untuk dana lobi bank sentral di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam laporannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution mensinyalir adanya tindak pidana suap di balik arus dana ini.

Sebuah dokumen yang didapat Tempo menyebutkan keputusan di masa Syahril itu diambil saat rapat Dewan Gubernur BI dengan Direktorat Hukum BI pada 20 Maret 2003. Rapat memutuskan bantuan dana Rp 15 miliar untuk tiga mantan pejabat BI, yakni Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo.

Dari dokumen itu diketahui bantuan dana diberikan atas permintaan ketiga pejabat tersebut tiga hari sebelumnya. Uang diberikan langsung kepada yang bersangkutan dan dibebankan pada anggaran Direktorat Hukum. Ketiga pejabat dinyatakan tak perlu mempertanggungjawabkan penggunaannya.

Selain Syahril, keputusan rapat ditandatangani oleh Deputi Gubernur Senior BI Anwar Nasution dan jajaran Deputi Gubernur BI, yakni Miranda S. Goeltom, Aulia Pohan, Bun Bunan J. Hutapea, Maman Soemantri, serta Direktur Hukum Oey Hoey Tiong.

Saat dimintai konfirmasi kemarin, Syahril membenarkan adanya rapat pada Maret 2003 itu. Namun, dia mengaku tidak ingat kapan dan apa hasilnya. Masalah itu (bantuan dana), saya tidak ingat, ujarnya. Dia mengatakan mungkin saja dia ikut menandatangani. Sewaktu menjabat, saya hanya menandatangani (dokumen) yang resmi-resmi saja, tuturnya.

Syahril menjelaskan peraturan BI membenarkan pemberian bantuan hukum bagi mantan pejabat BI yang terkena masalah hukum sampai di tingkat kasasi. Ia pun menyatakan siap memberikan keterangan jika dipanggil KPK, Kalau diperiksa, tidak apa-apa karena semuanya resmi.

Anwar Nasution pun mengaku lupa soal rapat pada Maret 2003 itu. Yang mana itu? Ia balik bertanya (Koran Tempo, 10 Desember).

Bun Bunan J. Hutapea menolak memberi penjelasan, Tanyakan ke Humas BI saja. Oey Hoey Tiong pun begitu. Saya sedang rapat, jangan diganggu, ya, katanya singkat.

Adapun Miranda Goeltom, kini Deputi Gubernur Senior BI, dan Aulia Pohan, yang sudah pensiun, tak dapat dimintai konfirmasi.

Suatu kali Aulia pernah membenarkan pengucuran dan penggunaan dana Rp 100 miliar oleh BI. Menurut dia, tidak ada yang salah dengan hal itu. Karena dana yang ada di LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia) adalah milik BI. Jadi itu bukan milik negara, katanya.

Sebulan lalu, kepada Tempo Miranda menyatakan tak tahu-menahu dan tak bisa memberikan keterangan soal kasus ini. Alasannya, keputusan itu dibuat saat dia tak lagi menjadi Deputi Gubernur BI. Tugas saya sebagai Deputi Gubernur selesai pada 17 Mei 2003, katanya.

Terkait dengan kasus aliran dana bank sentral kepada sejumlah anggota Dewan, hari ini Badan Kehormatan DPR mengagendakan pertemuan dengan Ketua BPK Anwar Nasution di gedung BPK. Eko Nopiansya