kata pengantar -...

263
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315 i KATA PENGANTAR Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, atas karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta. Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan karakter bangsa pada berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2016 mengambil tema “Implementasi Pembelajaran Inovatif Matematik Dalam Mengambangkan Kemampuan Pedidik dan Peserta Didik untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” yang diselenggarakan di Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 07 Desember 2016. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas penyelenggaraan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik, khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Upload: hoangcong

Post on 03-Feb-2018

314 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

i

KATA PENGANTAR

Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, atas karunia-Nya Prosiding

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini akhirnya dapat diselesaikan.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika merupakan kegiatan rutin yang

diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap

tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan

matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara

peserta.

Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan

terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka

masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan

karakter bangsa pada berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun

internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan

perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak

produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian

telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat.

Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya

dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar Nasional

Matematika dan Pendidikan Matematika 2016 mengambil tema “Implementasi Pembelajaran

Inovatif Matematik Dalam Mengambangkan Kemampuan Pedidik dan Peserta Didik untuk

Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” yang diselenggarakan di Kampus STKIP

Siliwangi Bandung pada tanggal 07 Desember 2016.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi

atas penyelenggaraan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini sehingga

berhasil dengan baik, khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua

STKIP Siliwangi Bandung beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan

Matematika, Steering Committee serta semua panitia yang telah membantu demi

terselenggaranya kegiatan seminar ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam

penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan

Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

ii

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

iii

SAMBUTAN KETUA PANITIA

SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

STKIP SILIWANGI BANDUNG

Assalamu’alaikum wr wb,

Salam sejahtera bagi kita semua.

Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia.

Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah SWT karena telah mempertemukan

kita pada acara Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di STKIP Siliwangi

Bandung dalam keadaan sehat wal’afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan

memberikan manfaat bagi kita semua, Amiin.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema, “Implementasi

Pembelajaran Matematika Inovatif dalam Mengembangkan Kemampuan Pendidik dan

Peserta Didik untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” yang bertujuan 1)

untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan (khususnya pendidikan matematika) dalam

menerapkan pembelajaran inovatif yang relevan dan bersinergi dengan pendidikan nilai dan

karakter khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)., 2)

mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam lingkup matematika dan pendidikan

matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan, dan lembaga

penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran

matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan

seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP

Siliwangi Bandung.

Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut

adalah Ibu Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si, Bapak Dr. H. Sufyani Prabawanto, M.Ed, dan

Ibu Prof. Dr. Hj. Utari Sumarmo. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya

dalam setiap sesi yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerim.

makalah dari pemakalah berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel. Seminar ini

juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi

dunia pendidikan.

Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta

Jajarannya, Bapak Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika STKIP

Siliwangi Bandung, Bapak/Ibu Pengurus Organisasi Profesi Indo-MS yang telah membantu

menjadikan seminar ini sebagai agenda resmi kegiatan seminar yang ada di Indo-MS sehingga

seminar ini dapat menjadi fasilitator bagi para anggota Indo-MS dalam mempublikasikan karya-

karya ilmiah baik hasil penelitian maupun kajian teori pada bidang matematika. Selain itu, kami

atas nama panitia juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam

penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan

Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Akhirnya, kami berharap seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini

khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Bandung, 07 Desember 2016

Ketua Panitia

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. .............. i

KATA SAMBUTAN .............................................................................................................................. iii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ......................... iv

PEMBICARA UTAMA

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA INOVATIF MELALUI DESIGN

RESEARCH

Oleh : Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si ...............................................................................

1

RESILIENSI MATEMATIK(MATHEMATICAL RESILIENCE)

Oleh : Utari Sumarmo ...........................................................................................................................

23

PEMAKALAH

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN

RESILIANASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMA

Oleh : Adi Nurjaman1, Indah Puspita Sari

2 ........................................................................................

43

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP DENGAN

PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING

Oleh : M. Afrilianto1, Tina Rosyana

2 ...................................................................................................

50

PEMBELAJARAN BILANGAN DESIMAL MENGGUNAKAN KONTEKS PENGUKURAN DI

KELAS V

Oleh : Ari Puspita Rahayu 1, Ratu Ilma Indra Putri

2, Darmawijoyo

2 .............................................

54

PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA

Oleh : Asep Ikin Sugandi ......................................................................................................................

62

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI REFLEKSI MENGGUNAKAN MOTIF KAIN BATIK

UNTUK SISWA KELAS VII

Oleh : Dina Novrika1)

, Ratu Ilma Indra Putri2)

dan Yusuf Hartono2)

..............................................

73

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SMK

DENGAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING.

Oleh : Eka Senjayawati .........................................................................................................................

88

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI MERANCANG MODEL MATEMATIKA DARI

MASALAH PROGRAM LINEAR DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

Oleh : Eli Yuliana ………………..........................................................................................................

95

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN DISKURSIFUNTUK MENGEMBANGKAN

PEMBUKTIAN MATEMATIS DAN HABITS OF MIND MAHASISWA

Oleh : Elsa Komala.................................................................................................................................

104

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME GUNA MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KOMPETENSI STRATEGIS SISWA SMP

Oleh : Eva Dwi Minarti .........................................................................................................................

111

TABEL RASIO DAN GRAFIK DALAM DESAIN PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI UNTUK

MENGEMBANGKAN PENALARAN PERBANDINGAN (PROPORTIONAL REASONING)

Oleh : Haniful Muttaqin1, Ratu Ilma Indra Putri

2 ............................................................................

119

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

v

PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR

REFLEKTIFMATEMATIS SISWA SMADENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC DISERTAI

STRATEGI WHAT IF

Oleh : Harry Dwi Putra .........................................................................................................................

131

PEMBELAJARAN PERKALIAN PECAHAN MENGGUNAKAN PLASTIK MIKA DI KELAS V

Oleh : Helni Indrayati1, Ratu Ilma Indra Putri

2, Somakim

3 ………………………………………

139

PENGEMBANGAN SOAL OPEN-ENDED PADA POKOK BAHASAN LUAS PERMUKAAN

DAN VOLUME BALOK

Oleh : Henry Kurniawan1, Ratu Ilma Indra Putri

2, Yusuf Hartono

2 ……………………………..

145

PENGGUNAAN LENGHT MODELSDAN METODE BALANCING PADA PEMBELAJARAN

PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL

Oleh: Hermaini1 Ratu Ilma

2, Darmawijoyo

3 ......................................................................................

152

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS MAHASISWA

Oleh: Ika Wahyu Anita .........................................................................................................................

161

PENGARUH VISUAL BASIC APPLICATION FOR EXCEL TERHADAP KEMAMPUAN

KREATIF MAHASISWA TENTANG DEFINISI DAN TEOREMA MATEMATIKA

Oleh: Martin Bernard............................................................................................................................

167

ANALISA TERHADAP KECEMASAN MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA

Oleh: Masta Hutajulu.............................................................................................................................

176

PENERAPAN PENDEKATAN INDUKTIF TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA

Oleh: Maya Siti Rohmah .......................................................................................................................

183

PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN

PERSONALIZED SYSTEM OF INSTRUCTION

Oleh: Ratni Purwasih ............................................................................................................................

187

PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER UNTUK MENGEMBANGKAN

KEMAMPUAN PEMAHAMAN OPERASI PERKALIANSISWA SEKOLAH DASAR

Oleh: Siti Chotimah................................................................................................................................

197

OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA

MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALLY

REPETITION (AIR)

Oleh: Sukasno, Drajat Friansah, & Intiana Hijrah Yumanif .......................................................

202

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI RUANG MELALUIPROBLEM BASED

LERNING (PBL) BERBANTUAN GEOGEBRA 5.0 UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

VISUAL-SPATIAL THINKING MAHASISWA

Oleh: Sumarni 1)

, Anggar Titis Prayitno2)

...........................................................................................

210

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK PADA

MATERI VOLUME KUBUS UNTUK SISWA SMP

Oleh: Tarsudin1, Zulkardi

2, Darmawijoyo

2 ........................................................................................

221

OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIDEO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh: Usman Aripin ...............................................................................................................................

225

PENERAPAN METODE CONNECTING ORGANIZING REFLECTING EXTENDING

TERHADAP DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP

Oleh: Wahyu Setiawan ..........................................................................................................................

232

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

vi

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR TIGA VARIABEL

DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

Oleh: Yuliarti Effendy1)

, Ratu Ilma Indra Putri2)

, Ely Susanti3)

…...................................................

241

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP

Oleh: Gida Kadarisma ..........................................................................................................................

251

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

vii

PEMBICARA

UTAMA

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA 2015 Program Studi Pendidikan Matematika

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 1

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA INOVATIF

MELALUI DESIGN RESEARCH

Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

2 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 3

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

4 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 5

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

6 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 7

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

8 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 9

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

10 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 11

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

12 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 13

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

14 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 15

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

16 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 17

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

18 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 19

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

20 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 21

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

22 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 23

RESILIENSI MATEMATIK(MATHEMATICAL RESILIENCE)

Utari Sumarmo, STKIP Siliwangi Bandung

[email protected],id

[email protected]

A. Pendahuluan: Rasional Pentingnya Resiliensi Matematik

Beberapa studi (antara lain Ashcraft, 2002, Baloglu, dan Koçak, 200, dan Hoffman 2010,

dalam Johnston-Wilder, Lee, 2010a) menemukan banyak siswa mengalami kesulitan dan

ketidaksukaan dalam belajar matematika, misalnya mereka menunjukkan rasa cemas dan

menghindar dari kegiatan yang memerlukan penalaran matematik. Rasa cemas dalam belajar

matematika juga dilaporkan dalam beberapa studi lain (misalnya, Ashcraft, 2002 and

Rodarte-Luna & Sherry 2008, dalam Johnston-Wilder, Lee, 2010a) yang menunjukkan

bahwa banyak siswa belajar matematika dengan rasa takut. Demikian pula sejumlah studi

menemukan bahwa siswa sekolah menengah masih mengalami kesulitan dalam memecahkan

masalah matematik (Hulukati, 2006, Mudrikah, 2013, Nurcholis, 2012, Offirston, 2012,

Rachmat, 2014, Rohendi, 2009, Yonandi, 2010) dan dalam penalaran matematik

(Abdurachman, 2014, Armiati, 2011, Bernard, 2015, Budiyanto, 2014, Herman, 2006,

Koswara, 2012, Offirston, 2012, Rosliawati, 2014, Rusmini, 2008, Setiawati, 2014,

Supriyanti, 2010). Namun setelah mendapat pembelajaran inovatif yang melibatkan

pendidikan nilai dan karakter, kemampuan pemecahan masalah, penalaran, dan kemampuan

matematik siswa lainnya meningkat dan siswa menunjukkan sikap positif terhadap belajar

matematika.

Pada dasarnya, ketika guru memilih dan melaksanakan pendekatan pembelajaran

matematika tertentu selain mereka berusaha membantu siswa mengatasi kesulitan mencapai

kemampuan matematik, mereka juga berusaha mengembangkan sikap positif terhadap

matematika dan belajar matematika. Sikap positif tersebut antara lain termuat dalam rasa

percaya diri (self confidence), kemampuan diri (self efficacy), konsep diri (self concept),

tekun dan tangguh menghadapi tantangan atau kesulitan dalam belajar matematika.

Johnston-Wilder, Lee, (2010a) menamakan sikap tekun dan tangguh tersebut dengan istilah

resiliensi matematik (Mathematical Resilience).

Resiliensi matematik diperlukan ketika guru bermaksud mendidik siswa menggunakan

matematika, dan berpikir serta bersikap secara matematik dan bukan sekadar memperoleh

nilai baik atau lulus ujian matematika saja. Siswa dengan resiliensi yang kuat selain ia akan

memiliki kemampuan matematik yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan ujian, yang

lebih penting adalah mereka juga memilki keterampilan matematik yang diperlukan di luar

sekolah dan berkeinginan menerapkannya kapan saja ketika diperlukan. Pengembangan

resiliensi matematik juga memerlukan sikap reflektif dan peka terhadap belajar matematika.

Siswa dengan resiliensi matematik yang baik, sadar bahwa andai mereka berpikir keras,

berdiskusi dengan temannya, membaca idea-idea matematik dan merefleksi pengetahuan

yang diperolehnya, maka mereka juga akan tangguh dan dapat mengatasi hambatan dalam

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

24 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

belajar matematik serta mampu menyelesaikan masalah matematik yang sulit (Johnston-

Wilder, Lee, 2010a).

B. Pengertian Resiliensi Matematik

Beberapa pakar mendefinisikan istilah resiliensi matematik (mathematical resilience) dalam

pengertian yang hampir serupa. Dweck (2000, dalam Lee and Johnston-Wilder, 2010a)

mengemukakan resiliensi matematik memuat sikap tekun atau gigih dalam menghadapi

kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki keterampilan

berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik, dan menguasai teori belajar

matematik. Siswa dengan resiliensi matematik yang kuat, akan berhasil baik dalam

matematika di sekolah meskipun dalam kondisi yang kurang disenangi. Mereka memiliki

sikap: adaptif atau dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan; dapat menghadapi

ketidakpastian, masalah dan tantangan; menyelesaikan masalah secara logis dan fleksibel;

mencari solusi kreatif terhadap tantangan; bersifat ingin tahu dan belajar dari pengalaman;

memiliki kemampuan mengontrol diri; sadar akan perasaannya; memiliki jaringan sosial

yang kuat dan mudah memberi bantuan. (Adolphs, R. & Damasio, A. R. 2001, dalam

Johnston-Wilder, Lee, Garton, Goodlad, dan Brindley , 2013).

Pakar lain (Newman, 2004, Johnston-Wilder dan Lee, 2010a) mendefinisikan resiliensi

matematik sebagai sikap bermutu dalam belajar matematika yang meliputi: percaya diri akan

keberhasilannya melalui usaha keras; menunjukkan tekun dalam menghadapi kesulitan;

berkeinginan berdiskusi, merefleksi, dan meneliti. Dengan resiliensi tersebut memungkinkan

siswa dapat mengatasi hambatan dalam belajar matematik. Pada dasarnya, dalam belajar

apapun diperlukan resiliensi. Namun bukan berarti bahwa resiliensi matematik sebagai

akibat beragam faktor seperti jenis pembelajaran, hakekat matematika, dan pandangan

bahwa kemampuan matematik bersifat tetap (Newman, 2004, Johnston-Wilder, Lee, 2010a).

Selanjutnya Johnston-Wilder dan Lee (2010a) mengemukakan bahwa resiliensi matematik

memiliki empat faktor yaitu: (a) percaya bahwa kemampuan otak dapat ditumbuhkan; b)

pemahaman personal terhadap nilai-nilai matematika; (c) pemahaman bagaimana cara

bekerja dalam matematika; dan (d) kesadaran akan dukungan teman sebaya, orang dewasa

lainnya, ICT, internet, dan lain-lainnya. Mereka juga mengemukakan bahwa pengembangan

resiliensi matematik memerlukan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan sikap di

atas tumbuh dan menciptakan suasana kelas matematik yang positif sehingga siswa dapat

mengatasi hambatan dalam mencapai konsep-konsep matematika (Lee, Johnston-Wilder,

2013, dalam Lugalia, Johnston-Wilder dan Goodall, 2013)

Selain itu, untuk mengembangkan cara berpikir (mindset), Lee, dan Johnston-Wilder (2013,

dalam Lugalia, Johnston-Wilder dan Goodall, 2013), mengemukakan tiga faktor kunci

untuk mengembangkan resiliensi matematik yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk:

(a) memilih dan menetapkan sesuatu yang akan dikerjakannya selama di kelas; (b) melatih

mereka sendiri sebagai bagian dari lingkungannya; dan (c) merasakan dirinya terlibat dalam

proses belajar, baik dalam sikap dan nilai. Dalam lingkungan seperti itu, siswa termotivasi

bersikap tekun dan gigih dalam menghadapi kesulitan, dan memahami nilai bekerja secara

kolaboratif dengan teman sebaya, mencapai kemampuan berbahasa untuk menyatakan

pemahaman matematik mereka, memeriksa pertanyaan, dan memiliki keyakinan yang

tangguh dan efektif serta berusaha lebih keras untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 25

Kooken, J., Welsh, M. E., Mccoach, D. B., Johnson-Wilder, S. and Lee, C. (2013)

mengkonsepkan resiliensi mattematik sebagai sikap adaptif positif terhadap matematika

yang memberi kesempatan siswa tetap melanjutkan belajar matematika meski menghadapi

kesulitan. Beberapa faktor sikap positif tersebut di antaranya adalah: nilai, daya juang atau

resiliensi dan pertumbuhan. Sikap positif yang kuat seperti di atas akan mendukung siswa

bersikap tekun dan gigih menghadapi kesulitan atau hambatan, sedangkan siswa yang rendah

sikapnya akan kehilangan sikap tekun dan gigih atau menyerah ketika menghadapi kesulitan.

Dengan kata lain, resiliensi matematik merupakan serangkaian sikap yang memberikan

respons positif terhadap belajar matematika.

C. Mengukur Resiliensi Matematik

Berikut ini disajikan contoh kuesioner untuk mengukur resiliensi matematik yang digunakan

dalam studi Johnston-Wilder dan Lee (2010b). Kuesioner meliputi beberapa komponen

yaitu: a) Pendapat terhadap inteligensi dan belajar secara umum; b) Pendapat terhadap

belajar matematika; c) Kepercayaan terhadap belajar matematika .

1. Pendapat terhadap inteligensi dan belajar dalam pelajaran secara

keseluruhan

1) Pikirkan semua pengalamanmu selama di sekolah dan jawablah pertanyaan berikut.

Bubuhkan tanda v pada kalimat yang Anda pandang benar

___ ketika saya mendapat tugas baru di sekolah, biasanya saya mampu mempelajarinya

___ ketika saya mendapat tugas baru di sekolah, saya sering berpikir bahwa saya tidak dapat

mempelajarinya.

Sekarang nyatakan pendapatmu terhadap pernyataan berikut. Bacalah tiap kalimat dan

lingkarilah bilangan yang menunjukkan derajat kesetujuan anda terhadap kalimat yang

bersangkutan. Ingatlah bahwa tak ada pilihan jawaban anda yang benar atau yang salah

2) Andai saya tahu bahwa saya tidak mampu mengerjakan suatu tugas dengan baik,mungkin

saya tidak akan mengerjakannya meskipun saya harus mempelajarinya.

1 2 3 4 5 6

Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat

setuju setuju tidak setuju tidak setuju

3) Meskipun saya benci mengakuinya saya kadang-kadang lebih suka mendapat nilai baik

daripada banyak belajar

1 2 3 4 5 6

Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat

setuju setuju tidak setuju tidak setuju

4) Saya dapat mempelajari pengetahuan baru namun saya tidak dapat mengubah inteligensi

dasar saya.

1 2 3 4 5 6

Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat

setuju setuju tidak setuju tidak setuju

5) Andaikan saya harus memilih antara memperoleh “nilai baik” dan memperoleh

tantangan di kelas, saya akan memilih:

5.1 “nilai baik” 5.2. “Merasa tertantang”

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

26 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

a. Betul sekali a. Betul sekali

b. Betul b. Betul

c. Hampir betul c. Hampir betul

2. Pendapat terhadap belajar matematika (a) Bubuhkan tanda V sesuai dengan pendapat anda

___ ketika saya mendapat tugas matematik baru, biasanya saya yakin dapat mempelajarinya

___ ketika saya mendapat tugas matematik baru, seringkali saya berpikir tidak dapat

mempelajarinya

Lingkari nomor yang paling sesuai dengan pendapat anda.

6. Saya akan dapat lebih pandai matematika bila saya bekerja keras.

1 2 3 4 5 6

Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat

setuju setuju tidak setuju tidak setuju

3. Pendapat terhadap belajar matematika (b)

Bubuhkan tanda V yang melukiskan pendapat anda. Anda dapat membubuhkan sebanyak

yang anda suka. Apapun jawaban anda tidak ada yang salah.

Pendapat 1: Menyelesaikan soal matematik membutuhkan waktu yang lama. a. Penyelesaian masalah matematika yang perlu waktu lama tidak akan mengganggu saya

b. Saya merasa dapat menyelesaikan soal matematika yang memerlukan waktu lama

c. Saya dapat mengerjakan soal matematika yang sukar bila saya gigih (tekun)

d. Bila saya tidak dapat menyelesaikan soal matematika dalam waktu singkat, mungkin

saya tidak dapat mengerjakannya

e. Bila saya tidak dapat cepat menyelesaikan soal matematika, saya akan berhenti mencoba

menyelesaikannya

f. Saya tidak begitu pandai dalam menyelesaikan soal matematika dan perlu beberapa waktu

untuk membayangkannya.

Pendapat 2: Mengenai pemahaman matematika a. Diperlukan waktu yang cukup untuk menemukan alasan bahwa suatu solusi masalah

matematika memenuhi

b. Seseorang yang tidak memahami bahwa suatu jawab adalah benar, menunjukkan ia tidak

paham masalah yang bersangkutan

c. Untuk menemukan suatu jawab yang benar, adalah penting memahami mengapa jawab

tersebut itu benar.

d. Adalah suatu yang tidak penting mengetahui kebenaran suatu prosedur sepanjang

memberikan jawab yang benar.

e. Menemukan suatu jawab yang benar adalah lebih penting daripada memahami alasan

jawab tersebut benar

f. Adalah tidak masalah apakah saya memahami suatu soal matematika selama saya

memperoleh jawab yang benar

Pendapat 3: Mengenai kegunaan matematika a. Saya mempelajari matematika karena saya tahu manfaatnya

b. Memahami matematika membantu saya menjalani hidup

c. Matematika adalah mata pelajaran yang berguna dan penting

d. Matematika tidak berguna dalam pekerjaan saya

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 27

e. Matematika tidak relevan dengan kehidupan saya

f. Belajar matematika menghamburkan waktu.

Berdasarkan pendapat pakar pada Bagian B, Sumarmo (2015) merangkumkan indikator

resiliensi matematik sebagai berikut: a) menunjukkan sikap tekun, yakin/percaya diri,

bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan, dan

ketidakpastian; b) menunjukkan keinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan,

berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya; c) memunculkan

ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan; d) menggunakan pengalaman

kegagalan untuk membangun motivasi diri; e) memiliki rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti,

dan memanfaatkan beragam sumber; f) memiliki kemampuan mengontrol diri; sadar akan

perasaannya.

Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi Matematik yang disusun dengan respons

derajat kesetujuan (Model A) dan respons derajat frekuensi terlaksananya kegiatan/perasaan

(Model B) seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2. Butir-butir pernyataan, kegiatan, dan atau

perasaan berikut dapat dimodifikasi sesuai dengan kemampuan matematik, konten

matematika, serta subyek penelitian yang bersangkutan.

TABEL 1

CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)

(MODEL A)

Petunjuk:

Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda

menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat

Anda. Nyatakan kesetujuan Anda terhadap pernyataan berikut.

Keterangan: SS: Sangat setuju TS : Setuju

S: Setuju STS: Sangat tidak setuju

No. Pernyataan Respons

A. Indikator: Sikap tekun, yakin/percaya diri, bekerja keras,

tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan

dan ketidakpastian

SS S TS STS

1. Saya yakin dapat bertahan mempelajari materi matematika yang

sulit meski dalam waktu yang lama (+)

2. Saya malas menuliskan rumus yang digunakan pada tiap

langkah penyelesaian soal matematika (-)

3. Saya berusaha mengerjakan sendiri masalah matematika

sampai selesai meski perlu kerja keras (+)

4. Saya percaya dapat memeriksa sendiri kebenaran penyelesaian

soal matematika yang kompleks (+)

5. Saya yakin akan berhasil dalam tes matematika yang akan

datang setelah gagal pada tes sebelumnya (+)

6. Saya ragu dapat menyusun masalah matematika sebaik

pekerjaan teman lain (-)

7. Saya menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah

matematik yang beresiko gagal (-)

8. Saya sengaja memilih soal latihan pembuktian matematika

yang sulit sebagai latihan berpikir (+)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

28 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

9. Saya frustasi menghadapi ulangan matematika setelah mendapat

nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-)

10. Saya berusaha memperbaiki tugas matematika yang belum

sempurna meski perlu kerja keras (+)

B. Indikator: berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi

bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi

dengan lingkungannya

Ss S TS STS

11. Saya senang menjelaskan penyelesaian tugas matematika yang

sulit kepada teman lain (+)

12. Saya merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang

mengalami kesulitan belajar matematika (-)

13. Saya merasa nyaman berdiskusi matematika dengan teman

sebaya yang baru kenal (+)

14. Saya merasa sukar mencari teman untuk diminta bantuan

mengatasi kesulitan belajar matematika (-)

15. Saya berusaha menyesuaikan diri ketika belajar matematika di

lingkungan baru (+)

16. Saya merasa sungkan menyampaikan kesulitan belajar

matematika kepada teman baru (-)

C. Indikator: memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi

kreatif terhadap tantangan

SS S TS STS

17. Saya berani menawarkan gagasan baru ketika belajar kelompok

matematika (+)

18. Saya mencoba cara yang berbeda dari contoh yang ada di buku

teks matematika (+)

19. Saya merasa lebih aman mengerjakan tugas seperti tugas teman

yang pandai matematika (-)

20 Saya menghindar menyelesaikan soal matematika yang memiliki

beragam cara penyelesaiannya (-)

21. Saya sengaja memilih soal latihan matematika yang bersifat

open-ended sebagai latihan berpikir kreatif (+)

22. Saya mengelak mengerjakan soal matematika yang menuntut

memberi beragam alasan (-)

D. Indikator: Menggunakan pengalaman kegagalan untuk

membangun motivasi diri,

SS S TS STS

23. Saya berusaha mencari cara baru menyelesaikan ma-salah

matematika ketika gagal dengan cara lama (+)

24. Saya cemas belajar matematika setelah mendapat nilai buruk

dalam ulangan matematika yang lalu (-)

25. Saya berlatih lagi lebih keras setelah salah menyelesai-kan

masalah matematika yang sulit (+)

26. Saya berpendapat kegagalan dalam ujian matematika yang lalu

menjadi pengalaman berharga (+)

27. Saya malas menyelesaikan soal pembuktian matema-tika setelah

gagal dalam soal pembuktian yang lalu (-)

28. Saya mengerjakan ulang penyelesaian soal matematika yang

salah meski perlu waktu lama (+)

29. Semangat belajar menurun setelah kalah dalam seleksi siswa

berprestasi matematik antar sekolah (-)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 29

E. Indikator: Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi,

meneliti, memanfaatkan beragam sumber

SS S TS STS

30. Saya mencoba membandingkan penjelasan topik matematika

yang sama dari beragam buku (+)

31. Saya bosan mempelajari matematika dari beragam buku

(-)

32. Saya bersyukur menemukan artikel melalui internet yang

relevan dengan tugas matematika saya (+)

33. Saya berpendapat mempelajari beragam buku sumber

matematika akan menguatkan pemahaman (+)

34. Saya bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari

beragam buku matematika (-)

35. Saya putus asa mencari sumber yang relevan untuk

menyelesaikan tugas matematika (-)

36. Saya mencoba merangkum kajian topik matematika tertentu

dari beberapa buku sumber yang relevan (+)

37. Saya menghindar mencoba cara baru membuktikan masalah

matematik yang belum tahu hasilnya (-)

F. Indikator: memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri

dan sadar akan perasaannya.

SS S TS STS

38. Saya kesal ketika mendapat kritik keras terhadap pekerjaan

matematika saya (-)

39. Saya memahami perasaan teman saya yang gagal menyelesaikan

soal matematika yang sukar (+)

40. Saya merasa sulit mengungkapkan pemahaman matematik saya

kepada orang lain (-)

41. Saya merasa percaya diri mampu menjelaskan secara lisan

tugas matematika yang sudah dikerjakan (+)

42. Saya putus asa ketika gagal mempertahankan idea

(menyelesaikan soal) matematika di depan kelas (-)

TABEL 2

CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)

(MODEL B)

Petunjuk:

Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda

menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat

Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.

Keterangan SS: Sering sekali JR: Jarang

SR: Sering JS : Jarang sekali

A. Indikator: Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak

mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan

ketidakpastian

SS

SR

JR

JS

1. Merasa yakin dapat bertahan mempelajari materi mate-matika

yang sulit meski dalam waktu yang lama (+)

2. Merasa malas menyertakan rumus yang digunakan pada tiap

langkah penyelesaian soal matematika yang sulit (-)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

30 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

3. Berusaha mengerjakan sendiri masalah matematika sampai

selesai meski perlu kerja keras (+)

4. Yakin mampu memeriksa sendiri kebenaran proses

penyelesaian soal matematika yang kompleks (+)

5. Merasa yakin akan berhasil dalam tes matematika yang akan

datang setelah gagal pada tes sebelumnya (+)

6. Merasa ragu dapat menyusun masalah matematika sebaik

pekerjaan teman lain (-)

7. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah

matematik yang beresiko gagal (-)

8. Sengaja memilih soal latihan pembuktian matematika yang sulit

sebagai latihan berpikir (+)

9. Merasa frustasi menghadapi ulangan matematika sete-lah

mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-)

10. Berusaha memperbaiki tugas matematika yang belum

sempurna meski perlu kerja keras (+)

B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi

bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi

dengan lingkungannya

SS

SR

JR

JS

11. Merasa senang menjelaskan penyelesaian tugas matematika

yang sulit kepada teman lain (+)

12. Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami

kesulitan belajar matematika (-)

13. Merasa nyaman berdiskusi matematika dengan teman yang

baru kenal (+)

14. Merasa sukar mencari teman untuk diminta bantuan mengatasi

kesulitan belajar matematika (-)

15. Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar matematika di

lingkungan baru (+)

16. Merasa sungkan menyampaikan kesulitan belajar matematika

kepada teman baru (-)

C. Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi

kreatif terhadap tantangan

SS

SR

JR

JS

17. Berani menawarkan gagasan baru ketika belajar kelompok

matematika (+)

18. Mencoba cara yang berbeda dari contoh yang ada di buku teks

matematika (+)

19. Merasa lebih aman mengerjakan tugas seperti tugas teman yang

pandai matematika (-)

20. Menghindar menyelesaikan soal matematika yang memiliki

beragam cara penyelesaiannya (-)

21. Sengaja memilih soal latihan matematika yang bersifat open-

ended sebagai latihan berpikir kreatif (+)

22. Mengelak mengerjakan soal matematika yang menuntut

memberi beragam alasan (-)

D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk

membangun motivasi diri, dan kontrol diri

SS

SR

JR

JS

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 31

23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah

matematika ketika gagal dengan cara lama (+)

24. Merasa cemas belajar matematika setelah mendapat nilai buruk

dalam ulangan matematika yang lalu (-)

25. Berlatih lagi lebih keras setelah salah menyelesaikan masalah

matematika yang sulit (+)

26. Berpendapat kegagalan dalam ujian matematika yang lalu

menjadi pengalaman berharga (+)

27. Malas menyelesaikan soal pembuktian matematika setelah gagal

dalam soal pembuktian yang lalu (-)

28. Mengerjakan ulang penyelesaian soal matematika yang salah

meski perlu waktu lama (+)

29. Merasa semangat belajar menurun setelah kalah dalam seleksi

siswa berprestasi mateamatik antar sekolah (-)

E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, mere-fleksi,

meneliti, memanfaatkan beragam sumber

SS

SR

JR

JS

30. Mencoba membandingkan penjelasan topik matematika yang

sama dari beragam buku (+)

31. Merasa bosan mempelajari matematika dari beragam buku

(-)

32. Bersyukur menemukan artikel baru melalui internet yang

relevan dengan tugas matematika dihadapi (+)

E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, mere-fleksi,

meneliti, memanfaatkan beragam sumber

SS

SR

JR

JS

33. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber matematika

akan menguatkan pemahaman (+)

34. Merasa bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari

beragam buku matematika (-)

35. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan

tugas matematika (-)

36. Mencoba merangkum kajian topik matematika tertentu dari

beberapa buku sumber yang relevan (+)

37. Menghindar mencoba cara baru membuktikan masalah

matematik yang belum tahu hasilnya (-)

F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol

diri dan sadar akan perasaannya.

SS

SR

JR

JS

38. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap pekerjaan

matematika saya (-)

39. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal

matematika yang sukar (+)

40. Merasa sulit mengungkapkan pemahaman matematik saya

kepada orang lain (-)

41. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas

matematika yang sudah dikerjakan (+)

42. Putus asa ketika gagal mempertahankan idea (menyelesaikan

soal) matematika di depan kelas (-)

Catatan:1) Pilihan respons netral atau kadang-kadang dapat ditiadakan sesuai dengan

keinginan peneliti

2) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang

3) Susun skala kembali dengan butir-butir pernyataan/kegiatan/perasaan secara acak

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

32 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Berikut ini disajikan contoh modifikasi Skala Resiliensi Tabel 2 yaitu Tabel 3 yang

dikaitkan dengan kemampuan berpikir kreatif matematik dan problem posing pada konten

matriks dan deret pada subyek siswa SMA.

TABEL 3

CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)

(MODEL B)

Petunjuk:

Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda

menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat

Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.

Keterangan SS: Sering sekali JS : Jarang sekali

SR: Sering JR : Jarang

No. Kegiatan, Perasaan, Pendapat Respons

A. Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak

mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan

ketidakpastian

SS

SR

JR

JS

1. Merasa yakin dapat bertahan menyelesaikan masalah deret tak

hingga yang sulit meski dalam waktu yang lama (+)

2. Merasa malas menyusun pertanyaan yang relevan untuk soal

penerapan matriks dalam masalah sehari-hari yang sulit (-)

3. Berusaha berlatih menyusun pertanyaan sendiri tentang deret

yang tidak sederhana meski perlu kerja keras (+)

A. Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak

mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan

ketidakpastian

SS

SR

JR

JS

4. Merasa yakin mampu merinci langkah-langkah proses

perhitungan penerapan deret dalam geometri (+)

5. Merasa ragu akan berhasil dalam ulangan matriks yang akan

datang setelah gagal pada ulangan sebelumnya (-)

6. Merasa cemas dapat menyusun pertanyaan sebelum

menyelesaikan masalah deret sebaik pertanyaan teman lain (-)

7. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan soal matriks

yang mungkin gagal (-)

8. Sengaja memilih soal latihan penerapan deret dalam masalah

sehari-hari yang mempunyai beragam cara sebagai latihan

berpikir (+)

9. Merasa frustasi merinci masalah yang kompleks tentang matriks

ke dalam masalah bagiannya yang lebih sederhana (-)

10. Merasa kehabisan akal memperbaiki tugas masalah deret dalam

geometri dengan cara yang tidak biasa karena perlu kerja keras

(-)

B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi

bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi

dengan lingkungannya

SS

SR

JR

JS

11. Merasa senang menjelaskan cara menyusun beragam pertanyaan

dari serangkaian informasi tentang matriks yang sulit kepada

teman lain (+)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 33

12. Merasa terganggu membantu teman yang mengalami kesulitan

menyatakan suatu pertanyaan ke dalam bentuk pertanyaan lain

tentang deret (-)

13. Merasa nyaman berdiskusi penerapan matriks dalam masalah

sehari-hari dengan teman yang baru kenal (+)

14. Merasa sukar mendapat teman untuk mengatasi kesulitan

menyusun pertanyaan tentang penerapan deret (-)

15. Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar penerapan deret pada

masalah sehari-hari di lingkungan baru (+)

16. Merasa sungkan menyampaikan kesulitan menyelesaikan soal

deret tak hingga kepada teman baru (-)

C.. Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi

kreatif terhadap tantangan

SS

SR

JR

JS

17. Berani menawarkan gagasan baru tentang penerapan deret ketika

belajar kelompok (+)

18. Mencoba mengajukan pertanyaan yang berbeda terhadap

serangkaian informasi tentang matriks (+)

19. Merasa lebih aman mengerjakan perhitungan limit yang sulit

seperti tugas teman yang pandai matematika (-)

20. Menghindar menyelesaikan soal penerapan deret tak hingga

yang memiliki beragam cara penyelesaian (-)

21. Sengaja memilih latihan beragam pertanyaan tentang operasi

pada matriks sebagai latihan berpikir kreatif (+)

22. Mengelak menyusun pertanyaan lanjutan setelah mendapat

solusi masalah deret (-)

D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk

membangun motivasi diri, dan kontrol diri

SS

SR

JR

JS

23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah matriks

setelah gagal dengan cara lama (+)

24. Merasa cemas belajar penerapan deret pada masalah geometri

setelah mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-)

25. Berlatih lagi lebih keras setelah salah merinci langkah-langkah

penyelesaian masalah deret disertai aturan yang digunakan (+)

26. Berpendapat kegagalan dalam ulangan matriks yang lalu

menjadi pengalaman berharga (+)

27. Malas merinci suatu masalah deret yang kompleks ke dalam

masalah bagian-bangiannya yang lebih sederhana (-)

28. Mengerjakan ulang tugas menyusun pertanyaan tentang matriks

yang salah meski perlu waktu lama (+)

29. Merasa semangat belajar menurun setelah gagal dalam ulangan

matriks yang lalu (-)

E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi,

meneliti, memanfaatkan beragam sumber

SS

SR

JR

JS

30. Mencoba membandingkan uraian tentang penerapan deret

dalam geometri yang sulit dari beragam buku (+)

31. Merasa bosan mempelajari matriks dari beragam buku (-)

32. Bersyukur menemukan beberapa artikel melalui internet

yang relevan dengan tugas merangkum uraian tentang deret (+)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

34 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

33. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber tentang matriks

akan menguatkan pemahaman (+)

34. Merasa bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari

beragam uraian tentang deret tak hingga (-)

35. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesai-kan

tugas penerapan matriks pada masalah sehari-hari (-)

36. Mencoba merangkum kajian penerapan deret dalam masa-lah

geometri dari beberapa buku sumber yang relevan (+)

37. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah

penerapan matriks yang belum pasti hasilnya (-)

F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol

diri dan sadar akan perasaannya.

38. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap tugas

kelompok menyusun pertanyaan tentang deret (-)

39. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal

matriks yang sukar (+)

40. Merasa sulit menyatakan pertanyaan tentang penerapan anti

turunan ke dalam bentuk pertanyaan yang lain (-)

41. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas tentang

deret yang sudah dikerjakan (+)

42. Putus asa ketika gagal menyusun pertanyaan lanjutan setelah

memperoleh solusi kepada teman lain (-)

Catatan: 1) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang

2) Susun pernyataan/kegiatan/perasaan sesuai dengan konten dan kemampuan

matematik yang diteliti

Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi (Tabel 4) yang berkaitkan dengan kemampuan

berpikir kritis dan berpikir kreatif matematik pada konten peluang pada subyek siswa SM

yang dimodifikasi dari Skala Resiliensi Matematik pada Tabel 3

TABEL 4

CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)

(MODEL B)

Petunjuk:

Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda

menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat

Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.

Keterangan SS: Sering sekali JS : Jarang sekali

SR: Sering JR : Jarang

No Kegiatan, Perasaan, Pendapat Respons

A. Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak mudah

menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian

dalam berpikir kritis dan kreatif matematik

SS

SR

JR

JS

1. Merasa yakin dapat bertahan latihan mengajukan pertanyaan

tentang kombinasi disertai dengan alasan meski perlu waktu yang

lama (+)

2. Menghindar mengajukan beberapa alternatif penyelesaian

masalah yang berbeda ketika belajar permutasi yang sulit (-)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 35

3. Berusaha mengerjakan sendiri soal penerapan konsep kombinasi

dan permutasi sampai selesai meski berbeda dengan jawaban teman

dan perlu kerja keras (+)

4. Merasa ragu dapat memeriksa kebenaran tiap langkah proses

perhitungan peluang dua kejadian (-)

5. Merasa takut mempertahankan pendapat sendiri tentang kombinasi

beberapa unsur yang berbeda dengan pendapat teman dalam

diskusi kelompok (-)

6. Merasa yakin dapat menyusun pertanyaan mengenai kombinasi

dan permutasi sebaik pertanyaan teman lain (+)

7. Berani mencoba cara baru menyelesaikan soal peluang kejadian

yang saling lepas meski beresiko gagal (+)

8. Takut memilih soal latihan memeriksa kebenaran proses

perhitungan peluang beberapa kejadian yang rumit (-)

9. Merasa frustasi mendapat tugas merinci langkah-langkah

menyelesaikan soal peluang disertai dengan aturan yang

digunakan (-)

10. Merasa kehabisan akal memperbaiki tugas analogi tentang

kombinasi dan permutasi yang belum sempurna karena perlu kerja

keras (-)

B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi

bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi

dengan lingkungannya

SS

SR

JR

JS

11. Merasa senang menjelaskan cara menyederhanakan masalah

matematika yang ruwet ke dalam bagian-bagiannya yang lebih

sederhana kepada teman baru (+)

12. Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami

kesulitan menyelesaikan perhitungan peluang kejadian yang tidak

sederhana (-)

B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi

bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi

dengan lingkungannya

SS

SR

JR

JS

13. Merasa nyaman berdiskusi masalah peluang dalam peristiwa

sehari-hari dengan teman yang baru kenal (+)

14. Merasa sukar mendapat teman untuk mengatasi kesulitan

menyusun pertanyaan tentang kombinasi dan permutasi (-)

15. Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar penerapan kombi-nasi

dan permutasi pada masalah sehari-hari di lingkungan baru (+)

16. Merasa sungkan menyampaikan kesulitan mengidentifikasi data

yang relevan dalam masalah sehari-hari kepada teman baru (-)

C. Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi

kreatif terhadap tantangan

SS

SR

JR

JS

17. Berani menawarkan cara baru menerapkan konsep peluang dalam

masalah sehari-hari ketika belajar kelompok (+)

18. Mencoba mengajukan pertanyaan yang berbeda dari serangkaian

informasi matematika yang diberikan (+)

19. Merasa lebih aman mengerjakan perhitungan permutasi yang sulit

seperti tugas teman yang pandai matematika (-)

20. Menghindar menyelesaikan soal penerapan konsep kombinasi yang

memiliki beragam cara penyelesaian (-)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

36 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

21. Sengaja memilih soal latihan peluang dengan cara yang tidak biasa

sebagai latihan berpikir kreatif (+)

22. Mengelak memilih soal latihan peluang dua kejadian yang

mempunyai beragam cara penyelesaian (-)

D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk

membangun motivasi diri, dan kontrol diri

SS

SR

JR

JS

23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah kombi-nasi

dan permutasi setelah gagal dengan cara lama (+)

24. Merasa cemas belajar penerapan konsep peluang pada masa-lah

sehari-hari setelah gagal dalam soal sebelum-nya (-)

25. Merasa semangat belajar menurun setelah gagal dalam memeriksa

kebenaran suatu pernyataan kombinasi beberapa unsur (-)

26. Berpendapat kegagalan dalam ulangan peluang yang lalu menjadi

pengalaman berharga (+)

27. Mengerjakan ulang tugas memeriksa kebenaran proses perhitungan

peluang yang salah dengan cara lain meski perlu waktu lama (+)

E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti,

memanfaatkan beragam sumber

SS

SR

JR

JS

28 Mencoba membandingkan penjelasan konsep kombinasi beberapa

unsur yang sulit dari beragam buku (+)

29. Merasa bosan mempelajari konsep peluang dari beragam buku

(-)

30. Bersyukur menemukan artikel baru melalui internet yang

relevan dengan tugas menyusun pertanyaan tentang peluang

kejadian yang saling lepas (+)

31. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber peluang akan

menguatkan pemahaman (+)

32. Merasa bingung mempelajari penjelasan konsep kombinasi yang

berbeda dari beragam buku (-)

33. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan tugas

penerapan konsep peluang pada masalah sehari-hari (-)

34. Mencoba merangkum kajian konsep permutasi dan kombinasi dari

beberapa buku sumber yang relevan (+)

No. Indikator f): memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri

dan sadar akan perasaannya.

SS

SR

JR

JS

35. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap penyelesaian

soal kombinasi yang saya kerjakan (-)

36. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal peluang

beberapa kejadian yang sukar (+)

37. Merasa sulit menyatakan suatu pertanyaan tentang kombinasi ke

dalam bentuk pertanyaan yang lain (-)

38. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas peluang yang

sudah dikerjakan (+)

39. Putus asa ketika gagal menjelaskan penyelesaian soal pene-rapan

konsep permutasi dan kombinasi kepada teman lain (-)

40. Menghindar menjelaskan cara baru menyelesaikan masalah peluang

yang belum pasti hasilnya (-)

Catatan:1) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang

2). Susun pernyataan/kegiatan/perasaan sesuai dengan konten dan kemampuan

matematik

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 37

yang diteliti

Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi Matematik (Tabel 5) yang berkaitan dengan

kemampuan berpikir kritis, dan problem posing matematik untuk mahasiswa dalam konten

Peluang

TABEL 5

CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK MATHEMATICAL RESILIENCE)

(MODEL B)

Petunjuk:

Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda

menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat

Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.

Keterangan Ss : Sering sekali Js : Jarang sekali

Sr : Sering Jr : Jarang

No.

Kegiatan, Perasaan, Pendapat Respons

Indikator : sikap tekun, yakin, dan tidak mudah menyerah

menghadapi masalah dan kegagalan.

Ss Sr Jr Js

1. Bertahan mempelajari materi peluang yang sulit meski dalam waktu

yang lama (+)

2. Menghindar menyelesaikan soal peluang yang disertai dengan alasan

yang relevan (-)

3. Memilih sendiri soal latihan masalah peluang yang rumit meski

perlu kerja keras (+)

4. Merasa ragu dapat memeriksa kebenaran proses penyelesaian soal

materi peluang yang non-rutin (-)

5. Merasa yakin akan berhasil baik dalam tes materi peluang yang

akan datang (+)

6. Merasa ragu dapat menyusun pertanyaan dalam materi peluang

sebaik pertanyaan teman lain (-)

7. Merasa cemas dapat memeriksa kerelevanan data dalam soal materi

peluang yang kompleks (-)

8. Merasa malas menyertakan rumus/aturan yang digunakan dalam

menyelesaikan soal materi peluang (-)

9. Mengelak memilih soal latihan menyusun pertanyaan yang memiliki

beragam jawab dalam materi peluang (-)

A. Indikator : sikap tekun, yakin, dan tidak mudah menyerah

menghadapi masalah dan kegagalan.

Ss Sr Jr Js

10. Berlatih menyusun pertanyaan disertai alasan yang relevan dalam

materi peluang (+)

11. Merasa cemas mendapat tugas menyusun masalah berkaitan dengan

pemecahan masalah materi peluang (-)

12. Berusaha menyempurnakan penyelesaian soal peluang yang sulit

meski perlu kerja keras (+)

13. Menghindar mencoba cara penyelesaian soal peluang yang berbeda

dengan contoh dari dosen (-)

14. Menyerah ketika menghadapi tugas memeriksa kebenaran proses

penyelesaian soal materi peluang (-)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

38 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

15. Menghindar dari tugas merinci masalah utama ke dalam sub-

masalah yang berkaitan dengan materi peluang (-)

B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi dan berdiskusi dengan

lingkungannya; beradaptasi

SS SR JR JS

16. Merasa cemas menyampaikan kesulitan menyelesaikan soal materi

peluang kepada teman (-)

17. Berdiskusi dengan teman kelompok kerja mencari cara baru menye-

lesaikan soal peluang setelah gagal dengan cara yang lama (+)

18. Merasa senang menjelaskan cara menyusun masalah dari

serangkaian informasi dalam materi peluang kepada teman lain (+)

19. Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami

kesulitan menyatakan suatu masalah ke dalam bentuk lainnya dalam

materi peluang (-)

20. Merasa senang berdikusi membahas beragam pemecahan masalah

materi peluang disertai alasan yang relevan(+)

21. Merasa sukar mencari teman untuk memeriksa kebenaran proses

perhitungan yang sulit dalam materi peluang (-)

22. Merasa canggung belajar materi peluang dengan teman yang

pandai dalam materi peluang (-)

23. Merasa nyaman berdiskusi tentang menyusun masalah dalam materi

peluang dengan siapapun (+)

24. Merasa sukar beradaptasi dalam situasi belajar baru ketika memulai

perkuliahan peluang (-)

25. Merasa cocok belajar dengan siapapun untuk menyusun masalah

dalam materi peluang (+)

C. Indikator : Memunculkan ide/cara baru dalam menyelesaikan

masalah matematik

SS SR JR JS

26. Berani mengemukakan gagasan ketika belajar kelompok memeriksa

kebenaran proses penyelesaian masalah peluang (+)

27. Menghindar mencoba cara yang berbeda dari cara penyele-saian

masalah peluang yang diberikan dosen (-)

28. Menghindar menyelesaikan soal peluang yang memiliki beragam

cara penyelesaiannya (-)

29. Mengelak cara baru menyelesaikan soal peluang yang menuntut

memberi alasan yang relevan (-)

30. Sengaja memilih beragam soal latihan menyusun masalah dalam

materi peluang sebagai latihan berpikir kreatif (+)

D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk

membangun motivasi diri

SS SR JR JS

31. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan soal peluang setelah

gagal dengan cara lama (+)

32. Merasa cemas atas kegagalan dalam memeriksa kebenaran proses

perhitungan dalam materi peluang yang lalu (-)

33. Berlatih lagi setelah gagal menyusun masalah dalam materi peluang

(+)

34. Berpendapat kegagalan dalam tes dalam materi peluang yang lalu

menjadi pengalaman berharga (+)

35. Menjadi malas menyusun masalah materi peluang setelah gagal

dalam tugas yang lalu (-)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 39

36. Mengerjakan ulang soal menyusun perkiraan dalam materi peluang

yang salah (+)

37. Menghindar tugas memeriksa kebenaran pernyataan dalam materi

peluang setelah salah dalam tugas sebelumnya (-)

38. Merasa semangat belajar menurun ketika gagal menyatakan suatu

masalah ke bentuk masalah lainnya dalam materi peluang (-)

39. Terdorong belajar lebih keras setelah gagal merinci pertanyaan

utama ke dalam sub-pertanyaan tentang materi peluang (+)

E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti,

memanfaatkan beragam sumber

SS SR JR JS

40. Merasa senang membandingkan penjelasan materi peluang yang

sama dari beragam buku (+)

41. Berpendapat bahwa mempelajari materi peluang dari beragam buku

adalah memboroskan waktu (-)

42. Mengucap syukur menemukan penjelasan baru tentang materi

peluang melalui internet (+)

43. Merasa putus asa mencari sumber yang relevan untuk tugas

menyusun makalah dalam materi peluang (-)

44. Merasa bingung mempelajari penjelasan materi peluang yang

berbeda dari beragam buku sumber (-)

F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri

dan sadar akan perasaannya.

SS SR JR JS

45. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap penyelesaian

soal peluang yang sudah dikerjakan (-)

46. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal peluang

beberapa kejadian yang sukar (+)

47. Merasa sulit menyatakan suatu pertanyaan tentang peluang ke

dalam bentuk pertanyaan yang lain (-)

48. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas peluang yang

sudah dikerjakan (+)

49. Putus asa ketika gagal menjelaskan penyelesaian soal pene-rapan

konsep permutasi dan kombinasi kepada teman lain (-)

50. Menghindar menjelaskan cara baru menyelesaikan masalah peluang

yang belum pasti hasilnya (-)

Daftar Pustaka

Abdurachman, D. (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi serta

Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Pembelajaran inkuiri Terbimbing. Tesis pada

Pascasarjana UPI: tidak diterbitkan.

Armiati. (2011). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis, Komunikasi Matematis,

dan Kecerdasan Emosional Mahasiswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.

Disertasi pada SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Bernard, M. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Serta Disposisi

Matematik Siswa SMK dengan Pendekatan Kontekstual Melalui Game Adobe Flash

Cs 4.0. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi. Tidak diterbitkan.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

40 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Budiyanto, A.M. (2014). Meningkatkan kemampuan berpikir logis dan kreatif matematik

serta kemadirian belajar siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.Tesis

magister pada Program Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung. Sebagian tesis

dipublikasikan dalam International Journal of Education Vol.8, No. 1. Desember

2014. pp 54-63. Graduate School, Indonesia University of Education.

Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan

Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.

Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak

dipublikasi.

Hulukati, E. (2006). Mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah

matematis siswa SMP melalui pembelajaran generatif. Disertasi pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. tidak dipublikasi.

Johnston-Wilder, S. & Lee, C. (2010a). “Mathematical Resilience”. Mathematics Teaching,

218, 38–41.

Johnston-Wilder, S. & Lee, C. (2010b). Developing Mathematical Resilience. Paper

presented at the BERA annual conference at Warwick University.

Johnston-Wilder,S., Lee, C., Garton, E. , S. Goodlad, J. Brindley

,(2013). Developing

Coaches For Mathematical Resilience. Laporan suatu Proyek Percobaan Penelitian

Joubert, M. (Ed.) Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics

28(3), November 2008. From Informal Proceedings 28-3 (BSRLM) available at

bsrlm.org.uk © the author – 54. Does Articulation Matter when Learning

Mathematics?

Kooken, J., Welsh, M. E., Mccoach, D. B., Johnson-Wilder, S. and Lee, C. (2013).

Measuring mathematical resilience: an application of the construct of resilience to the

study of mathematics. In: American Educational Research Association (AERA) 2013

Annual Meeting: Education and Poverty: Theory, Research, Policy and Praxis, 27

April - 1 May 2013, San Francisco, CA, USA.

Koswara, U. (2012). “Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis

Siswa SMA melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Program

Autograph”. Tesis pada PPS UPI Bandung. Makalah dimuat dalam Educationist:

Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan Vol VI. No.2, 125-

131, July 2012

Lugalia M., Sue Johnston-Wilder, S. and Goodall, J.(2013), The Role of ICT in Developing

Mathematical Resilience in Learners. Laporan Penelitian di The University of

Warwick, Institute of Education, Coventry (UNITED KINGDOM).

Mudrikah, A. (2013). Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan Komputer untuk

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah dan Disposisi

Matematik Siswa SMA. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia. tidak dipublikasi.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 41

Mulyana, A. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran serta

Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masala.

Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi, Bandung. Tidak diterbitkan.

Nurcholis, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense dan Pemecahan Masalah

Matematik Siswa SMA melalui Pendekatan Berbasis Masalah Berbantuan Komputer.

Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah dimuat

dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan

Vol VI. No.2, 125-131, July 2012.

Offirston. T. (2012). “Pendekatan Inkuiri Berbantuan Software Cinderella untuk

Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

MTs” Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah

dimuat dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen

pendidikanVol VI. No.2, 101-106, July 2012

Rachmat, U,S. (2014). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah

Matematik serta Kepercayaan Diri Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual

berbantuan Mathematical Manupulative. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi,

Bandung, tidak dipublikasi.

Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah.

Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas melalui

Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

Rusmini, (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa

SMP melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Cabri Geometry II.

Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

Setiawati, E. (2014). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif, dan Habit of

Mind Matematis, melalui Pembelajaran berbasis Masalah. Disertasi pada Sekolah

pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan

Supriyanti, N. R. (2010). Keefetifan Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams A

Chievement Division (STAD) Berbantuan Macromedia Flash Terhadap Kemampuan

Penalaran dan Komunikasi Pada Materi Pokok Dimensi Tiga Kelas X. Semarang:

Under Graduates Thesis Universitas Negeri Semarang.

Yonandi (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah

Matematik melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa

Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia, tidak dipublikasi.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

42 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PEMAKALAH

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA 2015

Program Studi Pendidikan Matematika

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

STKIP Siliwangi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 43

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK

MENINGKATKAN RESILIANASI DAN PEMAHAMAN

MATEMATIK SISWA SMA

Adi Nurjaman1, Indah Puspita Sari

2

STKIP Siliwangi

ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi resiliansi (sikap mempertahankan) dan kemampuan

matematika siswa yang masih kurang dalam pembelajaran ini didasakan kepada

emosional dan karakter yang ditunjukan oleh dirinya sendiri. Metode dalam

penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretes-

postes yang melibatkan paling tidak dua kelompok. Metode eksperimen digunakan

karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat

pembelajaran melalui pembelajaran berbasis masalah dan kelas yang lain

mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi

tes. Pencapaian dan peneningkatan kemampuan pemahaman matematik dan

resiliansi matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan

pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan

cara biasa. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan

resiliansi matematik.

Kata Kunci : Pemahaman Matematik, Pembelajaran Berbasis Masalah, Resiliansi

Matematik

A. Pendahuluan

Sikap siswa dalam melakukan pembelajaran berbeda antara siswa satu dengan yang lainnya

ini didasakan kepada emosional dan karakter yang ditunjukan oleh dirinya sendiri.

Membangun sikap siswa yang tangguh tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit

begitu pula dengan perlakuan yang pasti akan berbeda untuk setiap siswa. Johnston-Wilder,

S., & Lee, C. (2010) mengemukakan, ketahanan (resiliansi) sangatlah diperlukan untuk

membangun mental yang baik untuk menghadapi hambatan dalam matematik.

Sikap positif seperti itulan yang sangat diperlukan oleh siswa ini bertujuan untuk mengatasi

setiap kesulitan atau masalah yang dihadapi oleh siswa. Kemampuan resiliansi menunjukan

bahwa bagaimana sikap siswa dalam mempertahakannya. Dweck (Johnston-Wilder, S., &

Lee, C.(2010)) mengemukakan, resiliansi metematik memuat sikap tekun atau gigih dalam

menghadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki

keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik dan menguasai teori

belajar matematik. Ini berbading lurus dengan siswa yang resiliansi kuat akan berhasil baik

dalam menghadapi masalah matematik di sekolah ataupun pada kondisi yang kurang

disenangi.

Selain itu, dalam membangun sikap siswa yang tangguh tentu saja diperlukan kemampuan

pemahaman yang baik pula sehingga tercipta harmonisasi antara sikan dengan kemampuan

pemahaman matematik. Polya (Ahmad, 2005 : 15) dengan jelas menyatakan bahwa tahapan

pertama dalam memecahkan masalah matematika adalah memahami masalah matematika itu

sendiri. Salah satu model pembelajaran yang dapat menunjang proses kreatif matematis

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

44 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

siswa adalah pembelajaran berbasis masalah, baik masalah sehari-hari maupun masalah

matematika. Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk berfikir secara logis,

rasional dan kreatif

Dewey (Trianto, 2007:67) “belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan

respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan

memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistim saraf

otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat

diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dapat dicari pemecahannya dengan baik

Berdasarkan uraian di atas penulis mengambil judul “Penerapan Pembelajaran Berbasis

Masalah Untuk Meningkatkan Resilianasi dan Pemahaman Matematik Siswa SMA. Adapun

rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah pencapaian dan

peningkaan resiliansi dan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya melalui

pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada cara biasa?, Apakah ada asosiasi antara

kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik Siswa SMA?

B. Kajian Teori

1. Resiliansi Matematik

Dalam beberapa istilah para pakar memberikan pengertian tentang resiliansi Dweck

(Sumarmo, 2016) mengemukakan resiliansi matematik memuat sikap rekun atau teguh

dalam mengahadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya,

memiliki keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik, dengan

menguasai teori belajar matematik. Newman (Sumarmo, 2016) sebagai sikap bermutu

dalam belajar matematik yang meliputi: percaya diri akan keberhasilannya melalui usaha

keras, menunjukan tekun dalam menghadapi kesulitan, berkeinginan berdiskusi, merefleksi,

dan meneliti.

Johnston-Wilder, S., & Lee, C.(2010) mengemukakan bahwa resiliansi matematik memiliki

empat indicator: 1) percaya bahwa kemampuan otak dapat ditumbuhkan, 2) pemahaman

personal terhadap nilai nilai matematik, 3) pemahaman bagaimana cara bekerja dalam

matematika, dan 4) kesadaran akan dukungan teman sebaya.

2. Pemahaman Matematik

Pemahaman matematik adalah ranah kemampuan kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang

menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.

Ruseffendi (2006:221). Dinyatakan, ada tiga macam pemahaman, a) Pengubahan

(translation) misalnya mengubah soal kata-kata ke dalam symbol dan sebaliknya, b)

Pemberian arti (interpretation) misalnya mampu mengartikan suatu kesamaan, c) Pembuatan

ekstrapolasi (extrapolation) misalnya mampu memperkirakan suatu kecenderungan dari

diagram.

Polya (Sumarmo, 2012:6) membedakan empat jenis pemahaman, 1) Pemahaman mekanikal :

dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau perhitungan sederhana, 2)

Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa

sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa, 3) Pemahaman rasional: dapat membuktikan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 45

kebenaran sesuatu, 4) Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa

ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.

Kemampuan siswa dalam pemahaman matematik memiliki indikator tertentu. NCTM

(Hendriana. 2009:17) menyatakan, Pemahaman siswa terhadap konsep matematika dapat

dilihat dari: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi dan

membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan symbol-simbol

untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk

lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-

sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan

dan membedakan konsep-konsep.

3. Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah salah satu pendekatan yang efektif dalam proses berfikir.

Dalam pembelajaran ini siswa dihadapkan kepada suatu permasalaha yang memerluakan

penyelesaian yanh baik sehingga akan didapatkan hasil yang maksimal. Arens (Trianto,

2007) karakteristik pembelajaran berbasis masalah adalah: 1) pengajuan pertanyaan, 2) fokus

pada keterkaitan ilmu, 3) penyelidikan yang autentik, 4) dapat mengahasilkan serta

memperlihatkan hasil karya, 5) belajar berkolaborasi.

Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam membantu guru untuk memberikan

berbagai informasi sebanyak banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah

dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan

masalah dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan

mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajaran yang otonom dan

mandiri (Triantio, 2007).

Dalam perkembangannya pembelajarn berbasis masalah memeiliki kelebihan dan

kekurangan menurut Sudjana (Trianto, 2007) kelebihan pembelajaran berbasis masalah 1)

realistic, 2) konsep yang sesuai, 3) memupuk inquiry, 4) memupuk kemampuan problem

solving, selain itu terdapat pula kekuranganya 1) persiapan pemebelajaran yang kompleks, 2)

sulit mencari permasalahan yang rekevan, 3) terjadi salah konsep, 4) waktu yang panjang.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian Tabel 1.1

Rekapitulasi Hasil Penelitian Kemampuan Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Pretes % Postes % Gain Pretes % Postes % Gain

Pemahaman

Matematik

7.83 30.05 17.58 69.95 0.79 5.17 29.10 14.28 61.40 0.64

s 1.45 2.23 0.17 1.34 2.87 0.13

SMI 20 1 20 1

Resiliansi

77.83 67 72.48 63

s 9.72 9.22

SMI 120 120

Terlihat pada Tabel 1.1 rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman matematik kelompok

eksperimen 7.83 dan kelompok kontrol 5.17. Dari kedua skor tersebut terlihat bahwa selisih

rata-rata antara kedua kelompok tersebut adalah 2.66 yang artinya rata-rata skor kemampuan

pemahaman matematik kedua kelas tidak jauh berbeda. Simpangan baku rata-rata pretes

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

46 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

kemampuan pemahaman matematis kelompok eksperimen 1.45 sedangkan kelompok kontrol

1.34. Selisih simpangan baku antara kedua kelompok tersebut adalah 0,11 yang berarti

kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki sebaran data yang relatif sama.

Dilihat dari persentase rataan skor pretes kemampuan pemahaman matematis kelompok

eksperimen 30.05% dan kelompok kontrol 29.10%, yang artinya persentase kemampuan

pemahaman matematik kelompok eksperimen sedikit lebih tinggi daripada kelompok

kontrol.

Selanjutnya rata-rata nilai postes kemampuan kreatif matematis kelompok eksperimen

adalah 17.58 dan kelompok konrol 14.28 menunjukkan selisih 3.30 yang berarti ada

perbedaan antara rata-rata kemampuan pemahaman matematik kedua kelompok tersebut

setelah diberi perlakuan. Dilihat dari simpangan baku rata-rata postes kemampuan kreatif

matematis kelompok eksperimen 2.23sedangkan kelompok kontrol 2.87 berarti sebaran data

kelompok kontrol lebih besar daripada kelompok eksperimen. Setelah diberi perlakuan,

persentase rataan skor postes kemampuan kreatif matematis siswa kelas eksperimen dan

kelas kontrol masing-masing menjadi 69.95% dan 61.40% yang artinya persentase

kemampuan pemahaman matematik kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan

persentase kelompok kontrol

Tabel 1.2

Analsis Data Pretes Kemampuan Pemahaman Matematik

Kelas

St.

Dev

Normalitas

Tes

Uji Mann

Whitney Kesimpulan

Eksperimen 7.83 1.45 0.049 0.875

Tidak terdapat

perbedaan Kontrol 5.17 1.34 0.200

Berdasarkan tabel 1.2, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen

0.049 < 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 > 0.05 kedua data berbeda atau tidak

normal, sehingga dilanjutkan dengan uji mann whitney data pretes kelompok

eksperimen dan kontrol menunjukkan nilai 0.875 > 0.05, sehingga terima H0 dengan

kata lain tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pemahaman matematik siswa

yang yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang

menggunakan pmebelajaran biasa.

Tabel 1.3

Analisis data Postes Kemampuan Pemahaman Matematik

Kelas

St.

Dev

Normalitas

Tes

Uji Mann

Whitney Kesimpulan

Eksperimen 17.58 2.23 0.035 0.037

Tidak terdapat

perbedaan Kontrol 14.28 2.87 0.200

Berdasarkan tabel 1.3, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen

0.035 < 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 kedua data berbeda atau tidak normal,

sehingga dilanjutkan dengan uji mann whitney data pretes kelompok eksperimen dan

kontrol menunjukkan nilai 0.037 < 0.05, sehingga tolak H0 dengan kata lain

pencapaian kemampuan pemahaman matematik siswa yang mendapat pembelajaran

berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 47

Tabel 1.4

Analisis data Gain Kemampuan Pemahaman Matematik

Kelas

St.

Dev

Normalitas

Tes

Homogenitas

Varians

Uji t Kesimpulan

Eksperimen 0.79 0.17 0.200 0.225 0.008 H0 ditolak

Kontrol 0.64 0.13 0.200

Berdasarkan tabel 1.4, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen

0.200 > 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 > 0.05 kedua data berdistribusi normal,

sehingga dilanjutkan dengan homogenitas varians diperoleh sig 0.225 > 0.05

sehingga kedua data homogeny, selanjutnya dilakukan uji t diperoleh sig 0.008 <

0.05 sehingga H0 ditolak maka peningkatan kemampuan pemahaman matematik

siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran biasa.

Tabel 1.5

Asosiasi Kemampuan Pemahaman dengan Resiliansi Metematik

Kemampuan Resiliansi

Total Tinggi Sedang Rendah

Pemahaman Tinggi 5 14 0 19

Sedang 0 8 5 13

Rendah 0 0 4 4 Total 5 22 9 36

Berdasarkan Tabel 1.5 kemampuan resiliansi matematika berpengaruh terhadap kemampuan

pemahaman matematik, hal tersebut ditunjukan tidak terdapat siswa kemampuan rendah

tehadap pembelajaran termasuk kedalam kategori sedang kemampuan pemahaman

matematik, dan kemampuan resiliansi matematik brepengaruh terhadap kemampuan

pemahaman matematik tinggi hal ini ditunjukan dengan banyaknya siswa yang mempunyai

kemampuan resiliansi tinggi pada kemampuan pemahaman, dan hanya sedikit siswa dengan

kemampuan pemahaman rendah yang memiliki resiliansi matematik.

Tabel 1.6

Hasil Uji Chi-Squere Kemampuan Pemahaman dan Resiliansi Matematik

Statistic Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Pearson Chi-Square 16.702a 4 .001

Likelihood Ratio 15.589 4 .002

Linear-by-Linear Association 11.461 1 .000

N of Valid Cases 36

Tabel 1.7

Hasil Uji Koefisien Kontingensi Kemampuan Pemahaman dan Resiliansi Matematik Statistic Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .534 .001

N of Valid Cases 36

Dari hasil analisis diatas, karena nilai Sig.Chi square = 0.001 < 0.05 maka tolak H0 atau

terima H1 dengan kata lain Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik

dengan kemampuan resiliansi matematik. Adapun ukuran aosiasi kemampuan pemahaman

dan resiliansi matematik sebesar 0.534 dengan interpretasi cukup kuat.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

48 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apakah pencapaian dan peningkatan pemahaman

matematik siswa yang pembelajarannya berbasis masalah lebih baik daripada cara

biasa, apakah ada asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi

matematik siswa SMA.

Berdasarkan hasil pengolahan data pretes di bagian terdahulu diperoleh kesimpulan bahwa

kemampuan awal pemahaman matematik siswa tidak memiliki perbedaan secara signifikan.

Kualifikasi rerata pretes kemampuan pemahaman matematik kedua sampel pada kategori

kurang, karena peresntase rerata dari skor ideal masing-masing sampel kurang dari 60%.

Setelah diberikan perlakuan pembelajaran yang berbeda kepada masing-masing sampel, hasil

postes menunjukan perbedaan yang signifikan antara kedua sampel. Pencapaian kemampuan

pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis

masalah berdasarkan kualifikasi rerata skor postes berada pada kategori baik, sedangkan

pada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa berada pada kategori cukup.

Peningkatan kemampuan pemahaman matematik kedua sampel berdasarkan gain

ternormalisasi yang diformulasikan oleh Meltzer (Noer, 2007:14) masing-masing

peningkatan berada kategori sedang. Meskipun kegori peningkatan kemampuan pemahaman

matematik setelah dilakukan pengujian perbedaan rerata gain ternormalisasi kemampuan

pemahaman matematik siswa pada kedua sampel tersebut menunjukan perbedaan secara

signifikan.

Hasil pengujian perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematik kedua sampel,

diperoleh kesimpulan bahwa : peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang

pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang

pembelajarannya menggunakan cara biasa.

Menurut Hiebert, dkk (Herman, 2006:53) bukti menunjukkan jika siswa belajar dengan

mengingat dan latihan prosedural, mereka akan kesulitan dalam memperoleh pemahaman

konsep-konsep metematika secara mendalam.

Hasil analisis menunjukan adanya asosiasi yang signifikan antara: kemampuan pemahaman

matematik dengan resiliansi matematik, serta hasil analisis menunjukan adanya asosiasi yang

signifikan antara: kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik, terhadap

pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran berbasis masalah memperlihatkan

tanggapan yang tinggi.

Berdasarkan hasil analisis terhadap hipotesis, resiliansi matematik siswa selama proses

pembelajaran menunjukan terdapat perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal kemampuan

pemahaman matematik setelah siswa mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan

pembelajaran berbasis masalah

Pencapaian dan peneningkatan kemampuan pemahaman matematik dan resiliansi matematik

siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada

siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Terdapat asosiasi antara kemampuan

pemahaman matematik dengan resiliansi matematik

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 49

Daftar Pustaka

Ahmad. (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SLTP

dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: Tidak diterbitkan

Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah

Pertama. Disertasi UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Disertasi pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan.

Johnston-Wilder, S., & Lee, C. (2010). Mathematical Resilience. Mathematics Teaching,

218, 38-41.

Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-ended untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kreatif. (studi eksperimen

pada salah satu siswa SMPN Bandar Lampung). Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak

diterbitkan

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:

Tasiro.

Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung:

Tidak diterbitkan.

Sumarmo U. (2016). Resiliansi Matematik. Tersedia : http://utari sumarmo.dosen.

stkipsiliwangi. ac.id /e-learning/materi-perkuliahan/[diunduh tanggal 20 september

2016]

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta :

Prestasi Pustaka

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

50 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK

SISWA SMP DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL

THINKING

M. Afrilianto1, Tina Rosyana

2

[email protected], [email protected]

STKIP Siliwangi Bandung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi

matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical

thinking dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran biasa. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam

penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat. Sampelnya

diambil dua kelas VII dari salah satu SMP di Batujajar Kabupaten Bandung Barat.

Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol.

Instrumen penelitian ini yaitu tes kemampuan komunikasi matematik berbentuk

uraian. Pengolahan data untuk uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan metaphorical thinking lebih baik daripada

yang memperoleh pembelajaran biasa.

Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Metaphorical Thinking.

A. Pendahuluan

Pengalaman mempelajari matematika sangat penting dimiliki siswa. Menurut Sumarmo

(2015:75), matematika memiliki beberapa karakteristik bergantung pada cara pandang orang

yang melaksanakannya. Karakteristik matematikia sebagai suatu kegiatan manusia yang

dikenal dengan sebutan “mathematics as a human activity”.

Berdasarkan NCTM dan KTSP (Hendriana dan Sumarmo, 2014:29) komunikasi matematik

merupakan kemampuan matematik esensial yang tercantum dalam kurikulum matematika

sekolah menengah. Komponen tujuan pembelajaran matematika tersebut antara lain: dapat

mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau ekspresi matematik untuk

memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika

dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalm mempelajari matematika,

serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dari uraian di atas, terdapat satu hal yang menekankan siswa untuk mengkomunikasikan

masalah matematik. Komunikasi itu sendiri merupakan cara berbagai ide dan memperjelas

pemahaman. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan mempermanenkan

ide dan proses komunikasi juga dapat mempublikasikan ide. Namun saat ini kenyataan di

lapangan masih belum sesuai. Hasil survey Programme for International Student Assessment

(PISA) pada tahun 2012 menyatakan bahwa matematika siswa Indonesia berada pada

peringkat 64 dari 65 negara (OECD, 2013). Sebagai alternatif untuk mengatasi rendahnya

kemampuan komunikasi matematik siswa khususnya pada jenjang SMP yaitu dengan

menggunakan pendekatan metaphorical thinking.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 51

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah peningkatan kemampuan komunikasi

matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking

lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa?

B. Kajian Teori dan Metode

1. Komunikasi Matematik

Sumarmo (2015:453) mengidentifikasi indikator komunikasi matematik yang meliputi

kemampuan: a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide

matematika; b) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan

dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam

bahasa atau simbol matematika; d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang

matematika; e) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika; f) Menyusun

konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; g) Mengungkapkan

kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.

2. Pendekatan Metaphorical Thinking

Pendekatan metaphorical thinking merupakan pendekatan pembelajaran untuk memahami,

menjelaskan dan mengkomunikasikan konsep-konsep abstrak menjadi hal yang lebih konkrit

dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan

maupun yang tidak berhubungan (Afrilianto, 2012).

Prosedur pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking menurut Afrilianto (2012)

yaitu dengan menyajikan pembelajaran dalam tahap-tahap sebagai berikut:

1) Tahap pertama, kegiatan awal

Pada tahap ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa

dan materi yang akan dipelajari, memberi motivasi kepada siswa, melakukan apersepsi

dan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok yang heterogen. Setiap kelompok

terdiri dari 4 sampai 5 siswa.

2) Tahap kedua, kegiatan inti

Pada tahap ini, guru memberikan materi pengantar sesuai pokok bahasan yang akan

diajarkan, memberi contoh memetaforakan masalah matematika, memberi kesempatan

kepada siswa dalam kelompok untuk mencari dan memikirkan metafora lain, dan

membagikan LKS. Pada saat siswa berdiskusi dalam kelompoknya, guru berkeliling dan

memberikan bimbingan. Selanjutnya, siswa diberikan kesempatan untuk

menyampaikan hasil diskusi kelompok berupa jawaban soal latihan dan metafora yang

tepat untuk menggambarkan masalah matematika yang ada.

3) Tahap ketiga, kegiatan penutup

Pada tahap ini, bersama-sama membuat rangkuman hasil diskusi. Guru memberikan

evaluasi menyeluruh terhadap hasil kegiatan siswa. Selanjutnya, siswa diberikan

kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang materi yang sudah dipelajari.

Penjelasan dilengkapi dengan metafora yang tepat. Kemudian guru bersama siswa

membuat kesimpulan dan melakukan refleksi. Langkah terakhir adalah guru

memberikan PR untuk dapat dikerjakan siswa.

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam

penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat, sedangkan sampelnya

diambil dua kelas VII dari salah satu SMP di Batujajar Kabupaten Bandung Barat pada

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

52 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

semester ganjil Tahun Ajaran 2015/2016. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas

lagi sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini yaitu tes kemampuan komunikasi

matematik berbentuk uraian

D. Hasil Penelitian

Berikut ini data deskriptif hasil penelitian sebelum dan setelah pembelajaran disajikan dalam

tabel rekapitulasi berikut ini.

Tabel 1.

Statistik Deskriptif

Kelas Tes Stat. Kemampuan Komunikasi

Matematik

Eksperimen

(KPMT)

Pretes

3,84

s 2,59

Postes

10,42

s 2,28

Gain

0,32

s 0,16

Kontrol

(KPB)

Pretes

2,55

s 1,89

Postes

7,72

s 2,73

Gain

0,23

s 0,15

Dari data desktiptif di atas, kemudian data diolah secara statistik inferensial untuk

mengetahui peningkatan kemampuannya. Uji statistik menggunakan uji-t, dengan hipotesis:

H0 ( ): Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa KPMT tidak lebih

baik atau sama dengan KPB.

H1 ( ): peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa KPMT lebih baik

daripada KPB.

Dengan menggunakan taraf signifikan maka kriteria pengujiannya:

Jika P-value maka HO diterima, Ha ditolak.

Jika P-Value < maka HO ditolak, Ha diterima.

Berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t diperoleh:

Tabel 2.

Hasil Uji Perbedaan Rataan Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik

Komunikasi Matematik

P-Value (hasil uji

satu pihak) 0,012

H0 Tolak

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 53

Pada Tabel 2 H0 ditolak, sehingga hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang

memperoleh pembelajaran biasa

E. Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik

daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.

Diharapkan pendekatan metaphorical thinking dapat digunakan sebagai salah satu

alternatif pendekatan pembelajaran untuk diimplementasikan dalam pengembangan

pembelajaran matematika di kelas, terutama untuk meningkatkan kemampuan matematik.

Daftar Pustaka

Afrilianto, M. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metaphorical Thinking

untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa

SMP. Tesis UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Hendriana, H., dan Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung:

Refika Aditama.

OECD. (2013). PISA: Snapshot of Performance in Mathematics, Reading and Science

(Online). Tersedia: http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/PISA-2012-results-snapshot-

Volume-I-ENG.pdf. (Diakses 1 Desember 2016).

Sumarmo, U. (2015). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya.

Kumpulan Makalah. UPI. Bandung: Tidak diterbitkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

54 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PEMBELAJARAN BILANGAN DESIMAL MENGGUNAKAN

KONTEKS PENGUKURAN DI KELAS V

Ari Puspita Rahayu 1, Ratu Ilma Indra Putri

2, Darmawijoyo

2

1Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya

2Dosen Magister Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar pembelajaran bilangan desimal.

Subjek penelitian adalah kelas V SD Negeri 141 Palembang sebanyak 38 siswa.

Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah Pendidikan Matematika Realistik

Indonesia (PMRI). Metode penelitian yang digunakan yaitu design research, dugaan

lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory) dikembangkan dari serangkaian

aktivitas pembelajaran menggunakan konteks pengukuran. Pelaksanaan penelitian ini

dilakukan dalam 3 tahap yakni merancang aktivitas pembelajaran (preparing for

experiment), melaksanakan pembelajaran (the design experiment), dan melakukan

analisis retrospektif (retrospective analysis) dalam rangka memberi kontribusi

terhadap teori pembelajaran lokal (Local Instruction Theory) untuk mendukung siswa

dalam mempelajari bilangan desimal. Data dikumpulkan melalui dokumentasi video,

hasil kerja siswa (Lembar Aktivitas Siswa, tes awal dan tes akhir) dan wawancara.

Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang telah dirancang kemudian

dibandingkan dengan Actual Learning Trajectory (ALT) siswa yang sebenarnya

selama pelaksanaan pembelajaran untuk menganalisis apakah siswa belajar atau tidak

dari apa yang telah dirancang di rangkaian pembelajaran. Analisis retrospektif

terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa penggunaan konteks

pengukuran dapat membantu siswa dalam memahami bilangan desimal.

Kata Kunci: Pendekatan PMRI, bilangan desimal, pengukuran.

1. Pendahuluan

Bilangan desimal merupakan cara lain melambangkan pecahan dan juga merupakan

perpanjangan sistem nilai tempat. Hal ini berdasarkan pernyataan CTE Resource Center

(2002) bahwa bilangan desimal termasuk bagian terpenting dari bilangan rasional dan sangat

bermanfaat dalam berbagai macam aturan pengukuran, seperti pengukuran menggunakan

sistem metrik, persen dan uang.Di Sekolah Dasar, bilangan desimal masih dirasakan sulit

seperti yang dinyatakan oleh Galen, Feijs, Figueiredo, Gravemeijer, Herpen, & Keijzer

(2008) dalam bukunya bahwa “the fact that the topics-fractions, percentages, decimals and

ratios-are some of the most difficult parts of the primary school curriculum”. Pernyataan

tersebut didukung oleh Sembiring, Hadi, & Dolk (2008) yang menyatakan bahwa

pembelajaran bilangan desimal telah lama menjadi problema di banyak negara seperti

diketahui banyak siswa harus bersusah payah menyelesaikan perhitungan yang melibatkan

pecahan.

Menurut National Math + Science Initiative (2013) beberapa kesalahan umum pada konsep

pembelajaran bilangan desimal antara lain siswa kurang memahami hubungan antara

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 55

pecahan dan bilangan desimal juga siswa tidak memahami konsep nilai tempat sehingga

berdampak ketika siswa membandingkan dan mengurutkan bilangan desimal mereka

menganggap bahwa 0,19 lebih dari 0,2 karena kesalahan dalam menerapkan nilai tempat

bilangan bulat ke bilangan desimal. Kesulitan dalam memahami nilai tempat tersebut akan

mempengaruhi pemahaman siswa tentang operasi hitung bilangan desimal, terutama operasi

hitung pengurangan bilangan desimal yang akan dibahas dalam penelitian ini. Seperti yang

dinyatakan oleh Mistutik (2009) bahwa materi bilangan desimal sulit dipahami karena siswa

belum menguasai teknik meminjam pada pengurangan dan belum mampu mengubah

pecahan biasa menjadi pecahan bilangan desimal. Kemudian dalam penelitian Standiford,

Klein, & Tatsuoka (1982) menjelaskan bahwa, permasalahan pada pengurangan desimal

tersebut yaitu siswa mengurangkan ke bawah dengan menulis angka rata kanan, lalu

menempatkan tanda koma tidak selaras. Selanjutnya siswa menghilangkan tanda koma dan

juga siswa menggunakan "aturan perkalian" untuk menempatkan tanda koma tersebut.

Permasalahan yang terjadi pada penyelesaian operasi pengurangan desimal tersebut dapat

diatasi dengan konteks yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Irwin (2001)

bahwa siswa yang mengerjakan masalah bilangan desimal dengan konteks yang dikenalnya

sehari-hari, pengetahuannya lebih meningkat secara signifikan dibandingkan siswa yang

mengerjakan masalah bilangan desimal non kontekstual. Pembelajaran yang

menghubungkan antara konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari merupakan

penekanan pembelajaran yang menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

Indonesia (PMRI). Pernyataan tersebut didukung oleh Putri (2011) bahwa PMRI dapat

menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi sendiri melalui

pengetahuan sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti situasi

“real”.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudiani, Zulkardi, Hartono, & Amerom

(2011)menjelaskan bahwa kegiatan pengukuran dapat mendukung pemahaman siswa

terhadap bilangan desimal, yang kemudian memancing pemikiran siswa terhadap ide

penggunaan garis bilangan sebagai model untuk menempatkan besaran bilangan desimal.

Maka dari itu direkomendasikan menggunakan PMRI karena sangat cocok untuk diterapkan

sebagai pendekatan dalam belajar bilangan desimal. Selanjutnya (Afriansyah, 2013) meneliti

di MIN 1 Palembang dengan topik operasi penjumlahan bilangan desimal menemukan

bahwa serangkaian kegiatan pembelajaran membangun pemahaman siswa pada sifat operasi

penjumlahan bilangan desimal melalui penerapan konsep nilai tempat bilangan desimal

dapat membawa siswa dari situasi kontekstual menuju situasi yang lebih formal. Siswa tidak

lagi berpikir sistem bilangan bulat ketika mengerjakan soal bilangan desimal. Mereka dapat

mengerjakan berbagai soal kontekstual dengan disertai alasan. Lintasan pembelajaran pada

penelitian yang menggunakan PMRI sebagai dasar pada desain dari seluruh konteks dan

kegiatan tersebut, berjalan dengan baik sehingga pantas untuk digunakan pada pembelajaran

di sekolah.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penelitian bertujuan untuk

menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran bilangan desimal menggunakan

konteks pengukuran di kelas V.

2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode design research yang

bertujuan untuk membuktikan teori-teori pembelajaran dan mengembangkan Local

Instructional Theory (LIT) dengan kerjasama peneliti dan guru untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran(Gravemeijer & Cobb, 2006).Menurut Gravemeijer & Cobb (2006), design

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

56 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

research terdiri dari 3 tahap yaitu (1) preparing for the experiment, (2) the design

experiment, dan (3) retrospective analysis.

Pada tahap preparing for the experiment (persiapan penelitian), peneliti melakukan kajian

literatur mengenai bilangan desimal dan penggunaan PMRI sebagai pendekatan

pembelajaran. Selain itu, peneliti juga meneliti kemampuan awal siswa dengan melakukan

wawancara kepada beberapa siswa sebagai pengetahuan awal mengenai prasyarat

pembelajaran. Hasilnya digunakan untuk mendesain serangkaian aktivitas pembelajaran

yang berisi dugaan lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory). HLT yang didesain

bersifat dinamis sehingga terbentuk sebuah proses siklik (cyclic process) yang dapat berubah

dan berkembang selama proses teaching experiment.

Tahap keduathe design experiment (desain percobaan) yang terdiri dari dua siklus yakni

siklus 1 (pilot experiment) dan siklus 2 (teaching experiment). Enam orang siswa dengan

kemampuan bernalar heterogen (2 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan

sedang, 2 siswa berkemampuan rendah) dilibatkan pada siklus pertama (pilot experiment),

disini peneliti berperan sebagai guru. Hasil dari siklus pertama digunakan untuk merevisi

HLT versi awal untuk satu kelas berpartisipasi dalam siklus kedua (teaching experiment).

Pada siklus kedua oleh guru mereka sendiri sebagai guru model (pengajar) dan peneliti

bertindak sebagai observer pada aktivitas pembelajaran.

Tahap ketiga retrospective analysis, data yang diperoleh dari tahap teaching experiment

dianalisis digunakan untuk mengembangkan desain pada aktivitas pembelajaran berikutnya.

HLT dibandingkan dengan aktivitas pembelajaran siswa sesungguhnya (Actual Learning

Trajectory) untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari retrospective analysis

secara umum adalah untuk mengembangkan Local Instructional Theory (LIT).

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa hal meliputi observasi, membuat rekaman

video tentang kejadian di kelas dan kerja kelompok, mengumulkan hasil kerja siswa,

memberikan tes awal dan tes akhir, dan mewawancarai siswa. HLT yang telah dirancang

kemudian dibandingkan dengan lintasan belajar siswa yang sebenarnya selama peaksanaaan

pembelajaran untuk dilakukan analisis secara retrospektif apakah siswa belajar atau tidak

dari apa yang telah dirancang di rangkaian pembelajaran. Analisis data diikuti oleh peneliti

beserta pembimbing untuk meningkatkan vvaliditas dan reliabilitas. Validitas dilakukan

untuk melihat kualitas sekumpulan data yang berpengaruh pada penatikan kesimpulan dari

penelitian ini. Reliabilitas menggambarkan penelitian yang dilakukan sehingga suatu

kesimpulan dapat diambil.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil

Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran bilangan

desimal dengan menggunakan konteks pengukuran. Untuk mengetahui kemampuan awal

peneliti memberikan tes awal (pre test) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Hasil pre

test menunjukkan bahwa siswa kesulitan membedakan nilai tempat bilangan bulat dan nilai

tempat bilangan desimal serta kesulitan dalam mengurangkan bilangan desimal.

Setelah mengetahui kemampuan awal siswa dari hasil pre test dilakukanlah siklus 1 tahap

pilot experiment. Pada tahap ini 6 siswa (dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing

kelompok heterogen) berpartisipasi dan peneliti sebagai guru model. Sebelum

menyelesaikan masalah operasi pengurangan bilangan desimal, siswa harus mengetahui

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 57

unsur-unsur dari bilangan desimal sehingga pada pertemuan pertama siswa diberikan

masalah seputar nilai tempat bilangan desimal. Berikut permasalahan pertama dapat dilihat

pada gambar 1.

Gambar 1. Menuliskan data berkaitan dengan kehidupan sehari-hari

Gambar 1 merupakan permasalahan pertama yang diberikan. Ada bermacam-macam benda

yang ada di lingkungan sekitar kita. Pada permasalahan ini, peneliti meminta siswa

mengukur panjang dan memperkirakan lama waktu. Untuk permasalahan ini peneliti

membuat dugaan jawaban siswa, yakni:

Siswa mengukur panjang benda dan memperkirakan lama waktu.

Siswa menuliskan dalam bilangan bulat, kemudian menuliskannya dalam bilangan

desimal.

Untuk mengetahui strategi yang digunakan siswa dalam menyelesaikan paermasalahan yang

diberikan, peneliti sebagai guru mewawancarai siswa.

01 Guru : Bagaimana kelompok elsa, penyelesaiannya?

02 Siswa 1

Siswa 2

:

:

Aku ukur pengapus dulu yo. 3 cm panjangnyo. Nulisnyo cakmano?

(bertanya pada teman sekelompoknya)

Kan kalo ado lebihnyo pake koma nulisnyo. Ini katek lebihnyo kan. Pas

3 cm. Berarti kan nak nulis desimal, tulis be 3,0.

03 Guru : Coba ditulis yang kalian diskusikan.

04 Siswa 2

Siswa 3

Siswa 1

:

:

:

(mengukur buku gambar) ini 29 cm lebih 5 garis kecik. berarti cakmano

yo tulis 29,5 kan.

Nah kalo lamo istirahat kito kan setengah jam. Cakmano nulisnyo?

(bertanya pada teman sekelompoknya)

Setengah kan satu per duo biar jadi desimal jadi 5/10. 0,5 jam kalu ye

dak? (bertanya pada teman sekelompoknya)

Iyo kan setengah tu 0,5.

Lanjut lama belajar di rumah. Aku Cuma sejam. Tulis 1,0 ye.

05 Guru : Apakah ada kesulitan?

06 Siswa 1

Siswa 2

:

:

Caknyo katek buk kesulitan. Biso kami jawabnyo buk.

Terakhir lama tidur 8 jam setengah. Tulis 8,5 jam.

Oke dak? (bertanya pada teman sekelompoknya)

Oke okeee

Transkrip Percakapan 1. Kelompok Elsa

Berdasarkan Transkrip Percakapan 1 terlihat kelompok elsa sudah bisa memberikan alasan

dalam menjawab pertanyaan. Dalam soal pertama ini, siswa berdiskusi mengenai dari

bilangan bulat ke bilangan desimal.Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

58 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Gambar 2. Jawaban siswa permasalahan pertama

Permasalahan kedua, siswa dihadapkan pada konteks isian pensil mekanik. Pada soal tesebut

terdapat dua pilihan isian pensil mekanik yakni 0,5 mm dan 0,7 mm. Pertama siswa diminta

membuat gambaran bagaimana ukuran 0,5 dan 0,7 tersebut. Kemudian siswa menentukan

mana yang lebih tebal hasil tulisannya, agar masalah terselesaikan. Untuk permasalahan

kedua peneliti telah membuat dugaan jawaban siswa, yakni:

Siswamengkonversikan bilangan desimal ke pecahan

Siswa mengaplikasikan pecahan ke strip basis sepuluh yang telah disediakan

Berikut hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan jawaban kedua.

Gambar 3. Jawaban Siswa pada Permasalahan Kedua

Adapun jawaban siswa pada kelompok bunga melati pada Transkrip Percakapan 2 di bawah

ini.

07 Guru : Bagaimana kelompok bunga elsa, penyelesaiannya?

08 Siswa : 0,5 dan 0,7 pilih isi yang mano ye buk?

09 Guru : Iya. Bagaimana langkah awalnya untuk membandingkan kedua bilangan

itu?

10 Siswa 1

Siswa 2

Siswa 3

:

:

:

0,5 tu samo dengan berapo ye?

Jadike pecahan dulu berapo itu? 5/10 dak? (bertanya pada teman

sekelompoknya)

Iyo 5/10 trus cakmano?

11 Guru : Itu kotak yang tersedia ada berapa?

12 Siswa : Ado... (menghitung) 100 kotak buk. Nah iyo berarti gek jadike per

seratus jugo.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 59

13 Guru : Coba dibuat.

14 Siswa 1

Siswa 2

:

:

5/10 = 50 /100. Arsir kan biar biso kejingok‟an mano banyak 0,5 atau

0,7. Berarti gek yg 0,7 jugo diarsir.

Iyo gek aku be gantian yg arsir.

Transkrip percakapan 2. Kelompok Elsa

Dari transkrip percakapan 2 diatas dapat dilihat bahwa dari diskusi siswa, siswa sudah

mengerti akan maksud dari soal dan bagaimana cara menyelesaikannya. Siswa sudah

mengerti 0,5 = 5/10 = 50/100. Juga 0,7 = 7/10 = 70/100. Sehingga siswa dapat

mengaplikasikannya pada strip basis sepuluh.

Permasalahan ketiga, siswa diminta menentukanjarak yang belum ditempuh. Diketahui jarak

keseluruhan yang harus ditempuh 2,4 km dan jarak yang telah ditempuh 1,8 km. Untuk

permasalahan ketiga peneliti telah membuat dugaan jawaban siswa, yakni:

Siswa memahami maksud dari soal

Siswamemperkirakan operasi hitung yang akan digunakan

Siswa mengaplikasikan pengurangn desimal pada strip basis sepuluh

Adapun percakapan antara siswa dan guru sebagai berikut.

15 Guru : Bagaimana kelompok melati, penyelesaiannya?

16 Siswa 1

Siswa 2

:

:

Ini kan kalo ke monumen 2,4 km. Trus lah jalan 1,8 km. Siso berapo

lagi, kan? Oy cakmano? (bertanya pada teman sekelompoknya)

Yo berarti dikurang ye dak.

17 Guru : Kalo ditanya sisa, biasanya bagaimana?

18 Siswa 3 : Dikurang, benerla. Kurangke ke bawah be. Cubo aku nulisnyo. (siswa

menulis pengurangan dengan jalan ke bawah)

19 Guru : Bagaimana cara mengurangkannya?

20 Siswa 2 : Kurangke bae buk. Dapetnyo 0,6.

21 Guru : Jadi kalo menggunakan kotak seratus itu, bagaimana?

22 Siswa : Nah untuk apo ini yo?

Transkrip Percakapan 3. Kelompok Melati

Transkrip Percakapan 3 di atas dapat dilihat bahwa kelompok melati sudah dapat memahami

maksud soal. Namun saat menentukan hasil pengurangan, mereka masih menggunakan cara

jalan ke bawah. Strip basis sepuluh yang tersedia belum dimanfaatkan. Berikut di bawah ini

jawaban dari kelompok melati.

Gambar 4. Jawaban siswa kelompok elsa pada permasalahan ketiga

Pada masalah pertama, kedua dan ketiga dapat dilihat bahwa siswa telah memahami

permasalahan pada operasi pengurangan dan pembelajaran bersesuaian dengan HLT yang

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

60 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

telah dirancang. Siswa sudah belajar untuk menyelesaikan permasalahan dengan konteks

pengukuran menggunakan strip basis 10 dan menyelesaikan pengurangan bilangan desimal.

Hasil penelitian pilot experiment yang didapatkan menunjukkan Actual Learning Trajectory

(ALT) yakni proses selama pembelajaran berlangsung bersesuaian dengan HLT yang telah

dirancang.

3.2 Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam mengembangkan

sebuah Local Instructional Theory (LIT) dengan mendesain serangkaian aktivitas

pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep operasi pengurangan

bilangan desimal.

Pembelajaran yang didesain berdasarkan prinsip-prinsip dan lima karakteristik PMRI, yakni

(a)use of contexts for phenomenologist exploration dalam mendesain pembelajaran ini

dipilih konteks yang dekat dengan siswa, (b)using models and symbols for progressive

mathematization penggunaan model dan simbol dalam menyelesaikan permasalahan

dilakukan siswa selama proses penyelesaian masalah, (c) using student own contributin and

production selama proses pembelajaan guru memberi kebebasan siswa dalam

mengungkapkan dan menjawab pertanyaan, dapat dlihat dari beragam jawaban siswa dalam

menyelesaikan permasalahan, (d) interactivity interaktivitas tidak terjadi antara guru dan

siswa tetapi juga dengan sesama siswa bentuk interaksi ini dapat berupa diskusi, memberika

penjelasan, komunikasi, koopratif dan evaluasi, (e) intertwining mathematics concept, aspect

and unit maksudnya adalah matematika yang diajarkan kepada siswa akan menjadi lebih

bermakna jika terkait dengan topik pembelajaran lainnya.

4. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dalam menyelesaikan permasalahan

operasi pengurangan bilangan desimal menggunakan konteks pengukuran, melalui aktivitas

yang dirancang dapat membantu siswa memperoleh pemahaman dari intuitifnya secara

informal menuju penyelesaian permasalahan secara formal. Siswa dapat memahami dan

menyelesaikan permasalahan.

Daftar Pustaka

Afriansyah, E. A. (2013). Design Research: Konsep Nilai Tempat pada operasi Penjumlahan

Bilangan Desimal di Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika, 7 (2),

13-23.

CTE Resource Center. (2002). Thinking Rationally aboutFractions, Decimals, and

Percent:Instructional Activities for Grades 4 through 8. Richmond, Virginia:

Virginia Department of Education.

Galen, F. v., Feijs, E., Figueiredo, N., Gravemeijer, K., Herpen, E. v., & Keijzer, R. (2008).

Fractions, Percentages, Decimals and Proportions; A LEARNING-TEACHING

TRAJECTORY FOR. Netherlands: Sense Publishers.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 61

Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective.

Dalam J. V. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenny, & N. Nieveen, Educational

Design Research (hal. 17-51). London and New York: Routledge Taylor & Francis

Group.

Irwin, K. C. (2001). Using Everyday Knowledge of Decimals to Enhance Understanding.

Journal for Research in mathematics Education , 399-420.

Mistutik, S. M. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan Desimal

Melalui Penggunaan Blok Desimal Siswa Kelas V SDN Winongan Lor II. Malang:

Perpustakaan Digital Universitas Negeri Malang.

National Math + Science Initiative. (2013). Elementary Math. United States: Creative

Commons Attribution NonCommercial-NoDerivs.

Pramudiani, P., Zulkardi, Hartono, Y., & Amerom, B. v. (2011). A Concrete Situation For

Learning Decimals. IndoMS. J.M.E, 2 (2), 215-230.

Putri, R. I. (2011). Professional Development of Mathematics Primary School Teacher in

Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education Approach.

Lymasol, Cyprus: Proceeding of International Congress for school Effectiveness and

Improvement (ICSEI).

Sembiring, R. K., Hadi, S., & Dolk, M. (2008). Reforming mathematics learning in

Indonesian classrooms through RME. ZDM Mathematics Education , 927–939.

Standiford, S. N., Klein, M. F., & Tatsuoka, K. K. (1982). Decimal Fraction Arithmetic :

Logical Error Analysis and Its Validation

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

62 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH

TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA

Asep Ikin Sugandi

[email protected] STKIP Siliwangi Bandung

ABSTRAK

Artikel ini melaporkan hasil temuan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes awal

dan akhir kelompok kontrol untuk menelaah penerapan pendekatan Berbasis Masalah

terhadap kemampuan pemecahan masalah dan diposisi matematik . Studi ini

melibatkan 78 siswa dari salah satu SMP sedang di kota Cimahi. Instrumen penelitian

terdiri dari satu set soal , yaitu satu set soal mengenai kemampaun pemecahan masalah

matematis dan satu set angket untuk menukur disposisi matematika . Penelitian ini

menemukan bahwa: (1) Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada

pembelajaran biasa secara (a) Keseuruhan (b) berdasarkan Tingkat Kemampuan Awal

Siswa (TKAS). (2) Disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan

pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pembelajaran biasa secara secara (a)

keseluruhan (b) TKAS (3) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan

TKAS terhadap kemamapuan pemecahan masalah matematis (4) Terdapat interaksi

antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap disposisi matematis (5)

Terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dan diposisi matematis pada

kelas yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah.

Kata Kunci : Pemecahan masalah, disposisi matematik, pendekatan berbasis masalah

A. Pendahuluan

Kemampuan Pemecahan masalah dan disposisi matematis merupakan dua hal yang penting

dalam pendidikan matematika, dan perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang

pendidikan dasar sampai menengah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

(Sumarmo, 2012 : 5) tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika adalah:

(1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam

pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan

pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang

diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam

mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Disamping itu kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan. hal ini sesuai dengan

pendapat NCTM (2000) mengataan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan

fokus dari pembelajaran matematika. Tidak saja kemampuan untuk untuk memecahkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 63

masalah menjadi alasan untuk mempelajari matematika, tetapi kemampuan pemecahan

masalah memberikan suatu konteks dimana konsep-konsep dan kecakapan-kecakapan dapat

dipelajari. Pentingnya kepemilikan kamampuan pemecahan masalah pada matematika

dikemukakan oleh Branca (Sumarmo, 2012 : 9) sebagai berikut : (1) kemampuan

penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai

jantungnya matematika, (2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur, strategi dalam

pemecahan masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (3)

pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Demikian pula

Pentingnya kepemilikan kemampauan pemecahan masalah sejalan dengan pendapat Cooney

(2012 : 9) mengemukakan bahwa pemilikan kemampaun pemecahan masalah membantu

siswa berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari dan mampu

membantu meningkatkan kemampaun berpikir kritis dalam menghadapi situasi baru.

Berdasarkan pendapat Branca tersebut, maka kita dapat memandang pemecahan masalah

dalam matematika sebagai suatu tujuan, proses dan kemampuan dasar. Adapun pemecahan

masalah dalam matematika sebagai tujuan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, 1)

mengapa matematika diajarkan? dan 2) apa tujuan pengajaran matematika tersebut? Jawaban

dari kedua pertanyaan tersebut dikemukakan oleh Sumarmo (1994 : 9) adalah karena

matematika merupakan bidang studi lain dan kehidupan sehari-hari yang berhubungan

dengan matematika; matematika sebagai alat untuk membangkitkan serta melatih

kemampuan pemecahan masalah.

Lebih lanjut Polya (Sumarmo. 2012 : 9) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah

sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang

tidak dengan bigitu saja segera dicapai. Lebih lanjut Polya menyatakan bahwa dalam

matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan (problem to find)

dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Adapun kegiatan dalam pemecahan

masalah adalah :

(1) Memahami masalah (understanding the problem), hal ini meliputi : (a). apa yang

diketahui ? (b). apa yang ditanyakan ? (c). apakah kondisi permasalahan yang diberikan

cukup atau tidak cukup lengkap untuk mencari apa yang ditanyakan ?

(2) Membuat rencana pemecahan/merencanakan penyelesaian (devising a plan), hal ini

meliputi : (a). teori apa yang dapat digunakan dalam masalah ini ? (b). apakah harus

dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal tadi atau menyatakan dalam bentuk lain

?

(3) Melakukan perhitungan (carrying out the plan), hal ini meliputi : (a). pelaksanaan

penyelesaian dengan cara memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum ?

(b). melakukan pembuktian bahwa langkah yang dipilih sudah benar.

(4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back), pada bagian ini lebih

ditekankan bagaimana cara memeriksa jawaban yang telah didapat

Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa-

siswa Indonesia masih rendah dan belum memuaskan. Terlihat dari rendahnya persentase

jawaban benar siswa-siswi SMP Indonesia dalam dua indikator hasil belajar internasional

yaitu Trends in International Mathematics and Science Study TIMSS (1999) dan 2003 serta

dalam Program for International Students Assessment (PISA) 2003 (OECD PISA, 2003).

Data yang diperoleh dari TIMSS, kelemahan siswa-siswi Indonesia terletak pada bagian

menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang memerlukan justifikasi atau pembuktian,

pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi atau

konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau akta yang diberikan. Sedang dari

data yang diperoleh PISA, letak kelemahan siswa Indonesia yaitu dalam hal menyelesaikan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

64 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

soal-soal yang difokuskan pada literature matematika yaitu berupa kemampuan siswa dalam

menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam

kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kedua fakta tersebut, kemampuan pemecahan masalah,

kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif siswa pada umumnya masih tergolong

rendah.

Disamping itu pembelajaran matematika saat ini masih berpusat pada guru, guru sebagai

sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi, hal ini menyebabkan pembelajaran

terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Siswa tidak banyak diberi kesempatan

untuk berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran lebih beorientasi

pada hasil dari pada beorientasi pada proses.

Selain aspek kognitif perlu juga dikembangkan aspek afektif yang disebut dengan disposisi

matematik yang mempunyai indikator sebagai berikut : (a) rasa percaya diri, (b) fleksibel,

(c) gigih, tekun mengerjakan tugas matematik, (d) berminat, rasa ingin tahu dan daya temu

dalam melakukan tugas matematik, (e) memonitor, merefleksikan penampilan dan penalaran

sendiri, (f) bergairah dan perhatian serius dalam belajar matematik, (g) mengaplikasikan

matematika ke situasi lain, (h) mengapresiasi peran matematika, (i) berekpek dan

metakognisi, (j) berbagi pendapat dengan orang lain (Hendriana dan Sumarmo, 2014:97).

Dengan demikian disposisi matematik merupakan faktor penting dalam meningkatkan

kesuksesan pendidikan.

Mengingat matematika adalah ilmu yang terstruktur artinya untuk menguasai suatu konsep

matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya, maka kemampuan

kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam tingkat kemampuan awal siswa (TKAS) terhadap

matematika memegang peranan yang sangat penting untuk penguasaan konsep baru

matematika, maka dalam penelitian ini akan dilihat pengaruh kemampuan awal siswa

terhadap kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa.

Temuan mengenai kemampuan pemecahan masalah yang masih rendah, aktivitas siswa yang

kurang memuaskan, dan disposisi matematik siswa yang masih perlu pengembangan

mendorong para peneliti mencari alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu

alternatif tersebut adalah diadakannya penelitian mengenai penerapan pendekatan

pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa untuk belajar baik secara mental, fisik mapun

sosial. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang diprediksi dapat efektif dalam

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, aktivitas siswa dalam belajar dan disposisi

matematik siswa adalah Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah.

Pembelajaran berbasis masalah yang berasal dari bahasa inggris Problem-based Learning

adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah,

tetapi untuk menyelesaikan masalah itu mahasiswa (siswa) memerlukan pengetahuan baru

untuk dapat menyelesaikannya. Lebih lanjut Moffit (Ratnaningsih, 2007) bahwa Belajar

Berbasis Masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara

optimal, memungkinkan siswa melakukan eksplorasi, observasi, eksperimen, investigasi,

komunikasi yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep-konsep dasar dari berbagai

konten area

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah

pembelajaran diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah dan siswa dituntut untuk

menyelesaikan masalah tersebut dengan pengetahuan yang dimilikinya. Masalah dalam

kegiatan pembelajaran menggunakan masalah dunia nyata dan dalam pembelajaran ini

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 65

kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau

tim yang sistematis, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya.

Fase-fase dalam PBM meliputi: Fase 1: memberikan orientasi tentang permasalahan kepada

siswa, fase 2: mengorganisasikan siswa untuk meneliti, fase 3: membantu investigasi mandiri

dan kelompok, fase 4: mengembangkan dan mempresentasikan artefak atau exhibit, fase 5:

menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka rumusan dan batasan

masalah pada tulisan ini adalah :

1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya

menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan

konvensional dilihat secara (a) keseluruhan, (b) Tingkat Kemampuan Awal Siswa

(TKAS)

2. Disposisi matematsi siswa yang pembelajaranya menggunakan pendekatan berbasis

berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional dilihat secara (a)

keseluruhan, (b) TKAS

3. Apakah terdapat interaksi antara pendektan pembelajaran dengan TKAS terhadap

kemampuan pemecahann masalah matematis:

4. apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap

Disposisi matematis siswa

5. Apakah terdapat interaksi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan

disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunkn pendekatan berbasis

masalah?

B. Metode dan Prosedur

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan

didasain sebagai berikut :

O X O

---------

O X O

Keterangan :

A : Pengambilan sampel secara acak

X : Penerapan Pendekatan Berbasis Masalah

O : Tes awal/Tes Akhir

Populasi dalam Penelitian ini adalah seluruh Siswa SMP yang mempunyai kemampuan

matematika sedang di Kota Cimahi. Sampelnya diambil siswa kelas VIII dari salah satu SMP

Negeri di Kota Cimahi sebanyak 78 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa satu

perangkat tes berbentuk essai untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan satu set

angket untuk mengukur disposisi matematik siswa.

C. Hasil Penelitian

1. Hasil Peneliatian Mengenai Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Dari Hasil pengolahan data terhadap kemampuaan pemecahan masalah matematis didapat

sebagai berikut :

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

66 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Tabel 1

Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

TKAS

Pendekatan Pembelajaran Total

Berbasis Masalah Bisa

Sd

n

Sd N

Sd n

Tinggi 44,93 2,73 14 38,00 4,69 11 41,88 5,05 25

Sedang 41,61 1,88 18 35,64 4,54 22 38,22 4,66 40

Rendah 35,67 4,46 6 33,71 5,34 7 34,62 4,86 13

Total 41,89 4,09 38 35,95 4,82 40 38,85 5,36 78

Skor Maksimum : 50

1) Secara keseluruhan rata-rata kemampuan Pemecahan Masalah matematis siswa adalah

38,85 (dari skor maksimum 50). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa secara keseluruhan termasuk kategori tinggi (77%).

2) Skor kemampuan pemecahan matematis siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis

pembelajaran (Berbasis Masalah dan biasa) adalah 41,89 dan 35,95 ; simpangan baku

masing-masing 4,09 dan 4,82; dan jumlah siswa 38 dan 40. Hal ini menunjukkan

bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya

menggunakan pendektan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa.

3) Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan TKAS (atas,

sedang, rendah) adalah : 41,88 ; 38,22 dan 34,62 simpangan baku 5,05 ; 4,66 dan

4,86 , jumlah siswa 25, 40 dan 13. Hal ini menunjukkan kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa bersifat ajeg terhadap pengklasifikasiaan TKAS siswa

berdasarkan tes kemampuan matematis secara umum.

Berdasarkan Hasil Uji Anova dua jalur kemampuan pemecahan matematis dengan faktor

pendekatan pembelajaran dan TKAS didapat hasil sebagai berikut :

Tabel 2

Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

dengan Faktor Pendekatann Pembelajaran dan TKAS Sumber Jumlah

Kuadrat

Dk Rata-rata

Kuadarat

F Sign. Keterangan

Pembelajaran 385,24 1 385,24 25,66 0,000 Ho ditolak

TKAS 393,92 2 196,99 13,12 0,000 Ho ditolak

Interaksi 55,249 2 27,62 1,84 0,166 Diterima

Dari perhitungan pada Tabel 2 , didapat analisis kemampaun pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan beberapa :

1) Berdasarkan Pendekata Pembelajaran

Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut :

Ho : 21

H1 : 21

Kriteria pengujian terima Ho, Jika sign. > 0,05

Dari hasil uji F dengan menggunakan anova didapat sign. 0,000, karena sign. < 0,05,

maka Ho ditolak. Hal ini berrti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

pembelajarannya menggunakan pendekatan Berbasis Masalah lebih baik dari pada

pendekatan biasa.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 67

2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis matematis siswa hal ini dapat dilihat bahwa

nilai sign = 1,84 > 0,05.

3) Berdasarkan TKAS

Adapun hipotesis yang aan diuji diformulasikan ebagai berikut :

Ho : 321

H1 : Paling tidak ada satu kelompok berbeda dari yang lainnya dalam hal kemampuan

pemecahan masalah

Kriteria pengujian, Terima Ho jika sign. >0,05

Dari hasil uji F dengan menggunakan anova didapat sign. 0,00 karena sign. < 0,05, maka Ho

ditolak. Hal ini berarti paling sedikit ada satu kelompok berbeda dengan yang lainnya.

Untu mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dalam hal kemampaun

pemecahan masalah, maka digunakan uji Scheffe, hasil perhitungan disajikan pada Tabel 3

Tabel 3

Uji Schffe Rata-rata Kemampuan Pwemecahan Masalah Matematis Berdasarkan

TKAS

Pemb.I Pemb. II Perbedaan

Rata-rata

P Ho

Tinggi Sedang 3,56 0,003 Ditolak

Rendah 7,26 0,000 Ditolak

Sedang Rendah 3,71 0,014 Ditolak

Pada Tabel 3 terlihat bahwa p < 0,05 untuk setiap pasangan TKAS maka hipotesis nol

ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan

matematis siswa pada TKAS tinggi lebih baik daripada siswa pada TKAS sedang dan level

rendah. Demikian pula, kemampuan pemecahan matematis pada TKAS sedang lebh baik

dari pada TKAS rendah.

2. Hasil Penelitian Mengenai Disposisi matematis

Dari Hasil pengolahan data terhadap Disposisi matematis siswa didapat sebagai

berikut :

Tabel 4

Deskriptif Kemampuan Disposisi Matematis Siswa

TKAS

Pendekatan Pembelajaran Total

Berbasis Masalah Biasa

Sd

n

Sd n

Sd n

Tinggi 84,14 16,98 14 76,00 9,38 11 80,56 14,48 25

Sedang 83,22 3,76 18 71,27 9,08 22 76.65 9,31 40

Rendah 71,33 8,91 6 67,43 10,69 7 69,23 9,71 13

Total 81,68 11,80 38 71,90 9,65 40 76,67 11,76 78

Skor Maksimum : 100

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

68 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

1) Secara keseluruhan rata-rata disposisi matematis siswa siswa adalah 76,67 (dari skor

maksimum 150). Hal ini menunjukkan bahwa disposisi matematis siswa secara

keseluruhan termasuk kategori tinggi (76,67%).

2) Skor disposisi matematisa siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis pembelajaran

(Berbasis Masalah dan biasa) adalah 81,68 dan 71,90, simpangan baku masing-masing

11,80 dan 9,65 dan jumlah siswa 38 dan 40. Hal ini menunjukkan bahwa disposisi

matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendektan Berbasis Masalah

lebih baik dari pada pendekatan biasa.

3) Skor disposisi matematis siswa berdasarkan TKAS (atas, sedang, rendah) adalah :

80,56; 76,65 dan 69,23 , simpangan baku 14,48; 9,31 dan 9,71, jumlah siswa 25, 40 dan

13. Hal ini menunjukkan disposisi matematis siswa bersifat ajeg terhadap

pengklasifikasiaan TKAS siswa berdasarkan tes kemampuan tes matematis secara

umum.

Berdasarkan Hasil Uji Anova dua jalur kemandirin belajar dengan faktor pendekatan

pembelajaran dan TKAS didapat hasil sebagai berikut :

Tabel 5

Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Disposisi matematis dengan Faktor

Pendekatann Pembelajaran dan TKAS

Sumber Jumlah

Kuadrat

Dk Rata-rata

Kuadarat

F Sign. Keterangan

Pembelajaran 1005,22 1 1005,22 9,42 0.003 Ho ditolak

TKAS 982,87 1 491,44 4,605 0,013 Ho ditolak

Interaksi 171,64 2 65,82 0,80 0,451 Ho diterima

Dari perhitungan pada Tabel 5 , didapat analisis disposisi matematis siswa berdasarkan

beberapa :

1) Berdasarkan Pendekata Pembelajaran

Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut :

Ho : 21

H1 : 21

Kriteria pengujian terima Ho, Jika sign. > 0,05

Dari hasil uji F dengann menggunakan anova didapat sign. 0,000, karena sign. < 0,05, maka

Ho ditolak. Hal ini berarti disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan

pendekatan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa.

2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap

disposisi matematis siswa hal ini dapat dilihat bahwa nilai sign = 0,451 > 0,05.

3) Berdasarkan TKAS

Adapun hipotesis yang aan diuji diformulasikan ebagai berikut :

Ho : 321

H1 : Paling tidak ada satu kelompok berbeda dari yang lainnya dalam hal disposisi

matematis siswa

Kriteria pengujian, Terima Ho jika sign. >0,05

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 69

Dari hasil uji F dengannn menggunakan anova didapat sign. 0,00, karena nilai sign. <

0,05, maka Ho ditolak. Hal ini berarti paling sedikit ada satu kelompok berbeda dengan

yang lainnya.

Untuk mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dalam hal disposisi

matematis, maka digunakan uji Scheffe, hasil perhitungan disajikan pada Tabel 6

Tabel 6

Uji Schffe Rata-rata Disposisi matematis siswa Berdasarkan TKAS

Pemb.I Pemb. II Perbedaan

Rata-rata

P Ho

Tinggi Sedang 9,47 0,002 Ditolak

Rendah 19,500 0,000 Ditolak

Sedang Rendah 10,30 0,007 Ditolak

Pada Tabel 6 terlihat bahwa p < 0,05 untuk setiap pasangan TKAS maka hipotesis

nol ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa disposisi matematis

siswa pada TKAS tinggi lebih baik daripada siswa pada TKAS sedang dan level

rendah. Demikian pula, disposisi matematis siswa pada TKAS sedang lebih baik dari

pada TKAS rendah.

3. Perhitungan asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis

dengan disposisi matematis

Untuk melihat ada tidaknya asosiasi antara kualifikasi kemampuan pemecahan masalah

matematis masalah dengan disposisi matematis, nilai kemampuan pemecahan masalah dan

disposisi matematis dikelompokan dahulu menjadi tinggi, sedang dan rendah. Hasilnya dapat

dilihat Pada Tabel 7 di bawah ini :

Tabel 7

Asosiasi Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis

DISPOSISI

Total TINGGI SEDANG

PM TINGGI 36 0 36

SEDANG 1 1 2

Total 37 1 38

Untuk melihat apakah terdapat asosiasi antara kemampuan penalaran dan kemandirian

belajar dilakukan uji koefisien kontingensi dengan hasil seperti pada Tabel 8 di bawah ini :

Tabel 8

Hasil Koefisien Kontingensi

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .572 .000

N of Valid Cases 38

Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut :

Ho : Tidak Terdapat asosiasi antara kemampuan Pemecahan masalah dengan

Disposisi matematis

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

70 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

H1 : Terdapat Asosiasi antara kemampuan Pemecahan masalah dengan Disposisi

matematis

Berdasarkan hasil pada Tabel 8 didapat nilai sign. = 0,000 < 0,05 jadi Ho ditolak artinya

terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dengan disposisi matematis siswa,

sedangkan dari Tabel 8 Koefisien kontinegnsi C= 0,572 dan Cmak = 0.816. Jadi didapat C =

0,69 C mak, yang termasuk dalam kriteria cukup tinggi.

C. Pembahasan

Dari hasil pengolahan data didapat bahwa kemampuan pemecahan masalah, dan

kemandirian belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis

masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional. Hal ini disebabkan oleh beberapa

hal, diantaranya :

a) Dilihat dari sajian Bahan ajar

Bahan ajar yang disajikan dalam bentuk permasalahan, memungkinan siswa untuk

memperoleh kesempatan untuk mengembangkan konsep, prosedur, serta prinsip dalam

metematika melalui suatu aktivitas belajar secara bervariasi meliputi kegiatan yang bersifat

individual, kelompok maupun kelas. Setiap kegiatan yang dikembangkan diawali dengan

sajian masalah yang berfungsi sebagai salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir.

Berarti masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep

pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi dan

pemecahan masalah. Pada saat melakukan eksplorasi dan investigasi siswa berusaha

mengaitkan suatu konsep matematika dengan konsep yang lainnya dan mampu merumuskan

suatu konsep dengan kata-katanya sendiri. Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah

dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa.

b) Dalam fase model pembelajaran berbasis masalah ini banyak mengharuskan mereka

untuk saling bertukar pikiran sehingga melatih kemampuan berpikir yang mereka miliki.

Dimulai dari orientasi siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar,

membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan

hasil karya dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Langkah pertama adalah orientasi siswa pada masalah. Pada langkah ini, guru menjelaskan

tujuan pembelajaran dan menjelaskan hal-hal yang diperlukan selama pelajaran serta

memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas pemecahan masalah dengan contoh situasi

masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Langkah

selanjutnya adalah guru mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada langkah ini guru

membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah, hal ini sesuai dengan langkah pada pemecahan masalah yaitu

memahami masalah, pada tahap ini siswa dibimbing untuk mengetahui apa yang diketahui

dan apa yang ditanyakan.

Langkah selanjutnya membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Dalam

langkah ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan

permasalahan yang dihadapi siswa, siswa dituntun untuk membuat rencana penyelesaian

masalah yang dihadapi, hal ini sesuai dengan langkah pemecahan masalah yang

Langkah selanjutnya adalah mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Dalam tahap ini,

beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dengan bimbingan dari

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 71

guru dan kelompok lain menanggapi. Melalui proses pembelajaran ini, siswa akan terlibat

aktif dan diberikan kesempatan untuk melaksanakan penyelesaian dengan cara memeriksa

setiap langkah apakah sudah benar atau belum dan melakukan pembuktian bahwa langkah

yang dipilih sudah benar, hal sesuai dengan langkah pemecahan masalah yaitu melakukan

perhitungna.

Langkah yang terakhir adalah menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Pada langkah ini, guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi serta

mengklarifikasi hasil diskusi kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi yang telah

dipelajari. Hal ini sesuai dengan langkah pemecahan masalah yang keempat yaitu

memeriksa kembali hasil.

Dari uraian di atas jelas bahwa langkah –langkah dalam pembelajaran berbasis masalah

sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah, Dalam situsi seperti itu kemampuan

pemecahan matematis siswa tergali secara maksimal, karena siswa akan menfaatkan

kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari solusi dan konfirmasi terhadap pengetahuan

yang ada dalam pikiran mereka.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kemampuan pemecahan matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan

pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa dilihat dari

keseluruhan dan TKAS.

2. Disposisi matematis siswa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan

berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa dilihat dari keseluruhan dan

TKAS

3. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap

kemampuan pemecahan matematis.

4. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap

disposisi matematis siswa

5. Terdapat asosiasi yang cukup tinggi antara kemampaun pemecahan masalah

matematis siswa dengan disposisi matematis siswa.

E. Saran-Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai beikut :

1. Seyogyanya para guru dapat menerapkan pendekatan berbasis masalah dalam

pembelajaran matematika khususnya untuk topik-topik terpilih dan esesnsial dalam

matematika guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.

2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan penerapan pembelajaran berbasis masalah

untuk tingkat sekolah yang lain dan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya.

Daftar Pustaka

Hendriana, H dan Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung :

Refika Aditama

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan

Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah

Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

72 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2

Pendidikan Matematika.Diktat Kuliah. Bandung : STKIP Siliwangi Bandung.

TIMSS. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss

1999i/pdf/T99i_math_01.pdf. 1999.

OECD-PISA. First Results from PISA 2003 (executive summary). www.pisa.oecd.org. 2003

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 73

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI REFLEKSI

MENGGUNAKAN MOTIF KAIN BATIK UNTUK SISWA

KELAS VII

Dina Novrika1)

, Ratu Ilma Indra Putri2)

dan Yusuf Hartono2)

1Mahasiswi Program Studi Magister Pendidikan Matematika (FKIP UNSRI)

2Dosen Program Studi Magister Pendidikan Matematika (FKIP UNSRI)

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar untuk membantu siswa

memahami konsep refleksi menggunakan motif kain batik untuk kelas VII.Penelitian

ini berdasarkan PMRI yang dikaitkan dengan pembelajaran kurikulum 2013 revisi

2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah design research type

validation study yang bertujuan untuk membuktikan teori-teori pembelajaran.

Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri Betung dengan melibatkan siswa kelas VII

sebanyak 36 orang. Aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dilakukan siswa meliputi:

1) memahami konsep pencerminan suatu obyek, 2) menemukan dan memahami

konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat, dan 3) menemukan dan memahami

konsep pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat. Hasil dari penelitian

ini menunjukkan bahwa melalui serangkaian aktivitas yang telah dilakukan membantu

siswa dalam pembelajaran materi refleksi.

Kata kunci: Refleksi, Design research, konteks motif kain batik, Pendekatan PMRI

A. Pendahuluan

Geometri merupakan bagian matematika yang membahas tentang bentuk dan ukuran, posisi,

arah dan gerakan dari suatu obyek yang memiliki keteraturan tertentu serta mempelajari

titik, garis, bidang, angka planar, ruang, dan hubungan antara ini serta ukuran geometris

seperti panjang, sudut, luas dan volume sehingga dapat di aplikasikan dalam dunia kerja

yang membutuhkan instruksi canggih seperti seni, arsitektur, desain interior dan ilmu

pengetahuan, dan aplikasinya dalam karir teknis seperti pertukangan, pipa dan menggambar

serta kehidupan sehari-hari yang juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan bentuk-

bentuk matematika (Clemens, 1998 ; Copley, 2000 ; Baykul, 2000 ; Shielack, 1987).Menurut

Hollebrands (2003), ada tiga alasan penting untuk mempelajari geometri transformasi dalam

matematika sekolah yaitu memberikan kesempatan bagi siswa untuk berpikir konsep-konsep

matematika yang penting (misalnya fungsi, simetri), menyediakan konteks di mana siswa

dapat melihat matematika sebagai disiplin ilmu yang saling berhubungan, dan memberikan

kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam melakukan aktivitas penalaran tingkat tinggi

menggunakan berbagai representasi.

Geometri transformasi mendorong siswa untuk menyelidiki ide-ide geometris melalui

pendekatan informal dan intuitif. Pendekatan ini menekankan sensitivitas, dugaan,

transformasi dan rasa ingin tahu. Transformasi dapat mengarahkan siswa untuk

mengeksplorasi konsep-konsep matematika yang abstrak yaitu kekongruenan, simetri,

kesamaan,dan kesebangunan serta dapat memperkaya siswa geometris pengalaman, pikiran

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

74 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

dan imajinasi serta dapat meningkatkan kemampuan keruangan mereka (Peterson,1973).

Adapun kegunaan mempelajari transformasi dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai

sarana untuk mengembangkan keterampilan spasial dan untuk mengintegrasikan topik

matematika yang secara tradisional telah dipelajari secara terpisah (Bennie, Kate et al, 1999).

Salah satu aplikasi tersebut dalam ilmu menggunakan geometri adalah Geometri

Transformasi. Geometri Transformasi adalah bagian dari geometri di mana siswa belajar

untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pergerakan bentuk (Kirby& Boulter,

1999).Geometri Transformasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti konstruksi

geometri, seni, arsitektur, pertukangan, elektronik, mekanik, desain pakaian, geografi dan

navigasi (Boulter & Kirby, 1994).Geometri Transformasi terlihat dalam seni dan konsep

yang terpadu dalam arkeologi dalam studi desain diterapkan pada tembikar dan artefak

lainnya di berbagai budaya dan era yang berbeda (Crowe & Thompson, 1987).Geometri

Transformasi menghubungkan sifat-sifat transformasi dari benda dan dapatdicirikan sebagai

studi objek geometris pada bidang dan sifat-sifattransformasi memungkinkan seseorang

untuk menemukan dan membuktikan sifat-sifat benda-benda geometris untuk membentuk

pola seperti mawar, dan wallpaper, untuk mengklasifikasikan benda-benda geometris,

danmerasakan bentuk geometris dari suatu objek (Bouckaert, 1995 : 4). Transformasi

geometri lebih menekankan pada refleksi, rotasi, simetri yang merupakan perpindahan

bentuk-bentuk disekitarnya. Pendekatan geometri bisa diaplikasikan pada bidang arkeologi

seperti pada pot yang dihiasi atau pecahan tembikar dimana menggunakan desain “motif”

yang diklasifikasikan sebagai segitiga, lingkaran dan sejenisnya, kemudian motif tersebut

diatur dengan pola berulang sehingga terbentuklah pola yang simetris (Thompson, 1987 :

106).

Berdasarkan model Van Hiele yang dikembangkan oleh Zazkis menetapkan dua elemen

yaitu visualisasi dan analisis sebagai dua kerangka berpikir. Kegiatan visualisasi sebagai

konstruksi mental dari objek-objek eksternal atau proses, atau konstruksi eksternal dari objek

atau proses dariindividual. Kegiatan analisis atau pemikiran analitik adalah manipulasi

mental dari objek atau proses dengan atau tanpa bantuan smbol, dimana kegiatan visualisasi

yang terkait dengan konstruksi objek yang digambarkan pada koordinat cartesius, kemudian

kegiatan analisis melibatkan manipulasi dengan bantuan simbol-simbol bisa dalam bentuk

aljabar maupun titik-titik pada koordinat cartesius. (Zazkis et al. 1996: 441-442).

Implementasi kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan

pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal tersebut menuntut keaktifan guru

dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah

diprogramkan.Kurikulum 2013 menuntut pembelajaran yang menyenangkan, efektif dan

bermakna sehingga peserta didik perlu dilibatkan secara aktif, karena mereka adalah pusat

dari kegiatan pembelajaran.Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan

strategi yang tepat guna, sehingga mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar

(Mulyasa, 2013).Salah satu upayanya adalah mengelola kegaiatan pembelajaran secara

kontekstual.Salah satu pendekatan yang menggunakan kontekstual adalah PMRI. Konteks

dapat dijadikan starting point dalam menuju proses pembelajaran (Zulkardi &Putri, 2006).

Menurut Sembiring (2010) PMRI dapat dikembangkan menyesuaikan dengan konteks

budaya lokal dan kondisi yang terjadi di Indonesia.Salah satu konteks yang dekat dengan

peserta diidik adalah konteks budaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Uy (1996, dalam

Mayadiana, 2009: 49) bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan konteks budaya

dapat memberikan kesempatan untuk memaknai matematika, memperlihatkan keakuratan

matematika dan budaya lain, dan membuat siswa lebih termotivasi dan bekerja sama dalam

mempelajari matematika.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 75

Salah satu gagasan matematis yang kegiatan tertanam sebagai konteks budaya yaitu

Ethnomathematics (ethnomathematicology).Mempelajari matematika budaya ini

menawarkan kesempatan yang unik bagi siswa untuk "mengalami kegiatan matematika

multikultural yang mencerminkan pengetahuan dan perilaku orang-orang dari lingkungan

budaya yang beragam" (D‟ Ambrosio, 1990). Bentuk-bentuk geometri dan transformasi

geomerti seperti refleksi bisa ditemukan pada dinding rumah masyarakat di Afrika selatan

dimana dindingnya dihias dengan campuran lumpur yang diwarnai dengan bahan yang alami

(Gerdes, Paulus : 1998). Penelitian lain yang dilakukan oleh Anileen Gray dan Reza

Sarhangi dengan mempelajari desain pada potongan tembikar, kain tenun, dan dalam karya

seni yang dilakukan oleh banyak perempuan Afrika untuk menghiasi dinding rumah

keluarga, siswa dapat menjadi akrab dengan konsep-konsep seperti simetri, transformasi,

pola dekorasi, dan pembangunan geometris angka menggunakan kompas. Dalam studi yang

dilakukan Lina Fonseca dan Isabel, transformasi geometri bisa dikonstruksi dari sebuah

motif menggunakan ubin persegi yang tidak harus memiliki sumbu koordinat, menggunakan

“pentominoe” dan pola polygon dari perekatan kertas berwarna berbentuk persegi panjang

yang berbeda.

Guven (2012) mengatakan bahwa beberapa studi (Clements & Burns; Edwards; Olson,

Zenigami & Okazaki; Rollick) menunjukkan bahwa siswa mengalami berbagai kesulitan

dalam memahami konsep dan perbedaan dalam penyelesaian dan mengidentifikasi

transformasi yang mencakup translasi, refleksi, rotasi dan kombinasi dari berbagai jenis

transformasi.Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan konteks motif kain batik

sebagai starting point dan inovasi dalam pembelajaran transformasi geometri. Proses

pembelajarannya Kain Batik merupakan salah satu kerajinan asli Indonesia dimana memiliki

ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam

sebagai bahan perintang warna.

Bentukgeometriyangdapatdijumpaipadabatikberupatitik,garisdanbidangdatar.Bidangdatar

tersebut misalnyalingkaran, elips, segiempat dan sebagainya. Bentuk-bentuk geometri bisa

juga ditemukan pada kain tradisional asli Indonesia yang lain. Akan tetapi tidak semua kain

tradisional tersebut bisa digunakan sebagai konteks materi geometri transformasi. Salah satu

yang bisa dijadikan konteks dalam mentransformasikan titik, garis atau bidang datar melalui

refleksi (pencerminan) adalah kain batik.

Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

Indonesia. Penelitian yang mengaitkan antara geometri dan konteks budaya diantaranya

dilakukan oleh Wijaya (2008) dengan menggunakan konteks permainan tradisional “Gundu”

dan Benthik” serta Zainab (2013) yang memunculkan pola barisan bilangan melalui motif

kain tajung Palembang.

Berdasarkan pendahuluan tersebut, peneliti akan mendesain pembelajaran materi

transformasi geometri dengan menggunakan motif kain batik melalui pendekatan PMRI

untuk siswa kelas VII.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana lintasan belajar yang dapat membantu siswamemahami materi refleksi

melalui aktivitas pembelajaran menggunakan konteks motif kain batik untuk kelas VII ?

2. Bagaimana konteks motif kain batik dapat mendukung peserta didik dalam memahami

konsep refleksi?

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

76 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

C. Tinjauan Pustaka

PMRI merupakan inovasi pendidikan matematika yang merupakan hasil adaptasi dari

Realistic Mathematics Education (RME) yang telah diselaraskan dengan kondisi budaya,

geografi dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya (Soedjadi, 2007 : 2). PMRI lebih

memperhatikan adanya potensi pada diri siswa yang harus dikembangkan. Freudenthal (de

Lange, 1987 : 98) berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive

receivers of ready-made mathematics (Penerima pasif matematika yang sudah jadi). Dua

pandangan yang penting dari Freudenthal tentang PMRI adalah (1) Mathematics must be

connected to reality; and (2) Mathematics as human activity. (Zulkardi & Ilma,

2010).Pertama, matematika seharusnya dekat dengan siswa dan berkaitan dengan kehidupan

siswa sehari-hari.Kedua, ditekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga

siswa seharusnya diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep

matematika dengan bimbingan orang dewasa atau guru.

PMRI tidak hanya mementingkan hasil akhir, lebih menekankan pada proses yang terjadi

selama pembelajaran berlangsung. PMRI lebih menekankan kepada keterampilan proses,

keaktifan dalam berdiskusi, berkolaborasi maupun berinteraksi selama proses pembelajaran

berlangsung..Menurut Gravemeijer (Soedjadi, 2007 : 4-5) dalam pembelajaran PMRI

terdapat tiga prinsip yaitu : 1) Guided Re-invention and progressive mathematizing. Prinsip

ini menekankan penemuan kembali secara terbimbing melalui topuk-topik tertentu yang

disajikan, siswa diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan

konsep-konsep matematika.2) Didactical Phenomenology ,Prinsip ini menekankan fenomena

pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual

untuk memperkenalkan topick-topik matematika kepada siswa, 3) Self-developed

model.Prinsip ini berperan dalam menjembatani jurang pemisah diantara pengetahuan

informal dan formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah

dari situai yang dekat dengan alam siswa dengan melalui generalisasi dan formalisasi model

tesebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut kemudian akan bergeser ke model

for selanjutnya akan berakhir menjadi model formal matematika.

Ada lima Karakteristik PMRI (Zulkardi; 2010: 5) yaitu :1) Menggunakan masalah

kontekstual, 2)Menggunakan model, 3) Menggunakan kontribusi siswa, 4) Interaktivitas, 5)

Keterkaitan dengan topik pembelajaran lainnya ( Intertwinning)

Menurut Asmin (2003) pengembangan materi dengan menggunakan pendekatan PMRI yang

perlu mendapatkan perhatian adalah konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa,

bahasa yang digunakan juga jelas serta gambar juga harus mendukung konsep. Hal ini

sejalan dengan pendapat Zulkardi dan Ilma (2006) mengatakan bahwa situasi atau fenomena

atau kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari dapat

diartikan konteks. Konteks dalam pendidikan matematika realistic bertujuan untuk

membangun atau menemukan kembali suatu konsep matematika melalui proses matematisasi

yang akan terjadi jika konteks bisa dibayangkan oleh siswa serta memungkinkan siswa untuk

memahami dan bekerja dengan konteks tersebut menggunakan pengetahuan dan pengalaman

yang sudah dimiliki oleh siswa.

Menurut Wikipedia , Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”.

Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak – menggunakan canting atau cap

dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak “malam” (wax)

yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Batik secara

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 77

historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan

dilukis pada daun lontar.Saat itu motif batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan

tanaman.Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari

corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang

menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Melalui penggabungan corak

lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti sekarang ini. Bahan

kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan

pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara

lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta

garamnya dibuat dari tanah lumpur. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak,

namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang

amat beragam.Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong

lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.

Transformasi yaitu pemetaan satu-satu dari himpunan semua titik dalam suatu bidang pada

himpunan itu sendiri. Transformasi adalah perubahan pada posisi atau ukuran bentuk (Walle,

2008 : 173 ) . Hasil dari transformasi disebut bayangan. Ada empat jenis transformasi, yaitu

translasi, refleksi, rotasi dan dilatasi (Kemdikbud, 2014 : 101-123).

a. Refleksi atau pencerminan adalah salah satu jenis transformasi yang memindahkan

setiap titik pada suatu bidang dengan menggunakan sifat bayangan cermin dari titik-

titik yang dipindahkan.

b. Translasi atau pergesaran adalah transformasi yang memindahkan semua titik suatu

bangun dengan jarak dan arah yang sama.

c. Rotasi atau perputaran adalah transformasi yang memutar setiap titik pada gambar

sampai sudut dan arah tertentu terhadap titik yang tetap. Titik tetap ini disebut pusat

rotasi.

d. Dilatasi adalah transformasi yang mengubah ukuran sebuah gambar. Dilatasi

membutuhkan titik pusat dan faktor skala.

Menurut Gravemeijer dan Eerde (2009), design research adalah suatu metode penelitian

yang bertujuan mengembangkan Local Instruction Theory dengan kerja sama peneliti dan

pendidik guna untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Aktivitas siswa selama

pembelajaran berlangsung terdiri dari konjektur strategi dan pemikiran siswa akan

dikembangkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti mendesain materi transformasi

dengan konteks motif kain batik yang mengutamakan aktivitas pengalaman siswa.

Design Research mempunyai lima karakteristik, yaitu (Akker et al, 2006) :

1. Interventionist Nature

Design Research bersifat fleksibel karena desain aktivitas pembelajaran dapat diubah

selama penelitian untuk mengatur situasi pembelajaran.

2. Process Oriented

Desain berdasarkan rencana pembelajaran dan alat atau perangkat yang digunakan

untuk membantu pembelajaran tersebut.

3. Reflective Component

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

78 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Setelah implementasi desain aktivitas pembelajaran, konjektur dari tiap analisa proses

pembelajaran dibandingkan dengan proses pembelajaran yang sebenarnya.

4. Cyclic Character

Adanya proses evaluasi dan revisi. Proses pembelajaran yang sebenarnya digunakan

sebagai dasar untuk merevisi aktivitas berikutnya.

5. Theory Oriented

Desain berdasarkan teori harus berhubungan dengan uji coba pengajaran. Pada design

research terdapat dua aspek penting, dimana keduanya diarahkan pada aktivitas dalam

kegiatan pembelajaran siswa. Dua aspek tersebut sebagai berikut :

a. Local Instruction Theory (LIT)

Menurut Gravemeijer dan Van Eerde (2009) LIT merupakan sebuah teori tentang

proses dimana siswa mempelajari suatu topik matematika dan teori tentang media atau

perangkat yang digunakan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran topik

tersebut. Dikatakan teori local karena teori tersebut hanya membahas pada ranah

spesifik yaitu spesifik topik matematika. Guru dalam merancang sebuah bentuk suatu

topic matematika dengan memilih aktivitas dengan dugaan-dugaan yang muncul pada

proses pembelajaran dari LIT (Wijaya, 2012)

b. Hypothetical Learning Trajectory (HLT)

Menurut Bakker (2004) HLT merupakan hubungan antara sebuah teori pembelajaran

(instruction theory) dan uji coba pengajaran (teaching experiment) yang

sebenarnya.Dari hubungan tersebut terdapat konjektur yang dapat direvisi dan

dikembangkan untuk aktivitas pembelajaran berikutnya berdasarkan retrospective

analysis setelah teaching experiment.Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) HLT

merupakan suatu hipotesa atau dugaan pemikiran dan strategi siswa yang berkembang

dari suatu konteks menuju pengetahuan formal pada aktivitas pembelajaran. HLT terdiri

dari tiga komponen yaitu : (1) tujuan pembelajaran matematika bagi siswa yang

mendefinisikan arah atau tujuan pembelajaran; (2) aktivitas pembelajaran dan konteks

yang diginakan dalam proses pembelajaran; dan (3) hipotesis proses belajar untuk

memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam

konteks kegiatan belajar.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan menggunakan metode penelitian design research yang

mendesain materi transformasi geometri dengan pendekatan PMRI menggunakan konteks

motif kain batik untuk kelas VII. Pada pelaksanaan penelitian design research merupakan a

cyclical process of thought experiment and instruction experiment (Gravemeijer, 1994;

Sembiring, Hoogland dan Dolk, 2010). Proses siklik (berulang) adalah dari eksperimen

pemikiran kemudian ke eksperimen pembelajaran dalam bentuk diagram dengan ilustrasi ide

percobaan dari Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, 2006) yang terlihat pada gambar di

bawah ini:

Gravemeijer dan Cobb (2006: 19-43) menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pelaksanaan

penelitian design research, yaitu:

1. Preparing for the Experiment/Preliminary Design (Persiapan untuk penelitian/Desain

Pendahuluan)

Sebelum mendesain berbagai aktifitas dalam penelitian, peneliti akan melakukan kajian

literature untuk memperoleh ide awal sebagai informasi untuk penelitian informasi yang

didapatkan akan digunakan untuk merancang serangkaian kegiatan yang didalamnya terdapat

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 79

konjektur atau dugaan strategi pemikiran siswa. Peneliti akan menjelaskan 3 bagian tahapan

ini yaitu:

Kajian Literatur

Pada tahap ini dilakukan kajian literatur mengenai materi pembelajaran yaitu transformasi

geometri, pendekatan PMRI, dan design research sebagai dasar perumusan dugaan dengan

strategi awal siswa dalam pembelajaran transformasi geometri dan menyesuaikan dengan

literatur pendekatan PMRI, serta desain riset sebagai dasar perumusan dugaan strategi awal

siswa dalam pembelajaran mengenai transformasi geometri. Kemudian peneliti melakukan

diskusi dengan guru kelas mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian, memilih observer,

menyesuaikan jadwal, dan cara pelaksanaan penelitian dengan guru yang bersangkutan.

Meneliti Kemampuan Awal Siswa

Dalam tahap ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan beberapa siswa untuk

dijadikan infomasi mengenai sejauh mana pemahaman siswa yang berkaitan dengan materi

prasyarat pembelajaran. Hasil tersebut akan digunakan peneliti sebagai bahan dalam

mendesain aktivitas siswa sehingga desain instruksionalnya menjadi lebih sesuai.

Mendesain Dugaan Lintasan Belajar

Pada tahap ini, peneliti membuat rancangan Learning Trajectory dan Hypothetical Learning

Trajectory mengenai strategi yang akan digunakan siswa dalam proses perkembangan

berpikir dan memprediksi jawaban yang muncul. Hipotesis ini akan dikembangkan

berdasarkan literature dan dapat disesuaikan pada saat penelitian berlangsung.

2. The Design Experiment (Desain Percobaan)

Preliminary Teaching Experiment (Pilot Experiment)

Pada tahap ini bertujuan untuk mengujicobakan HLT yang telah didesain dengan tujuan

untuk mengetahui sejauh mana konjektur dan instrumen yang telah dibuat peneliti sehingga

dapat terlaksana.Uji coba penelitian ini dilakukan untuk beberapa orang siswa kelas non

subjek. Hasil uji kelas non subjek akan digunakan untuk merevisi aktifitas dan konjektur

siswa sebelum dilakukan penelitian sesungguhnya.

Teaching Experiment

Pada tahap teaching experiment merupakan tahap inti dari sebua desain riset.Pada tahap ini

HLT yang telah didesain dan diperbaiki pada tahap sebelumnya diujicobakan di kelas

sesungguhnya yang menjadi subjek penelitian. Guru bertindak sebagai pengajar sedangkan

peneliti mengobservasi dan menganalisis setiap aktivitas belajar siswa selama proses

belajar berlangsung.

3. Restrospective Analysis

Data yang diperoleh dari seluruh aktivitas pembelajaran di kelas selama pilot experiment dan

teaching experiment akan dianalisis. Kemudian, HLT yang telah didesain dibandingkan

dengan proses pembelajaran yang berlangsung untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

Tujuan dari Retrospective Analysis secara umum adalah untuk mengembangkan local

instructional theory. Oleh karena itu, feedback dari guru sangatlah bermanfaat guna

memberikan informasi kepada peneliti mengenai perbedaan cara mengajar yang secara teori

dapat disesuaikan pada berbagai macam keadaan di kelas, sehingga akan diperoleh desain

pembelajaran yang lebih baik lagi.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

80 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah LAS refleksi.Data yang dikumpulkan

adalah dengan cara sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara dilakukan baik pada tahap pembuatan HLT maupun setelah pelaksanaan

pelaksanaan teaching experiment. Tahap wawancara akan dilakukan dengan guru model

sebelum dan sesudah proses pembelajaran tentang kecukupan waktu, ketergunaan materi dan

kemudahan penggunaan desain pembelajaran yang telah dirancang. Wawancara juga

dilakukan pada siswa untuk mengetahui strategi pemecahan masalah terhadap materi yang

dipelajari.

b. Video dan Foto

Rekaman video digunakan dalam penelitian ini untuk merekam aktivitas peserta didik dalam

menggunakan LAS baik individu maupun kelompok.Selain itu, juga merekam interaksi

peserta didik dengan peserta didik sehingga strategi pemecahan masalah dan aktivitas peserta

didik dapat diukur dan diobservasi.Rekaman video dilaksanakan pada tahap pilot experiment

dan teaching experiment yang ditujukan untuk merekam seluruh kegiatan yang terjadi

didalam kelas baik secara individu, kelompok, maupun diskusi kelas. Peneliti juga

menggunakan foto dalam penelitian ini sebagai bukti yang terkait dalam pelaksanaan

penelitian baik dalam proses pembelajaran, diskusi dan hasil jawaban siswa.

c. Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan dari

pembelajaran yang telah didesain. Proses observasi dilakukan selama proses pembelajaran

berlangsung dengan bantuan observer menggunakan lembar observasi dan video.

d. Tes Tertulis

Tes tertulis dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan lembar aktivitas

siswa yang dirancang sendiri oleh peneliti untuk membimbing siswa memahami konsep

refleksi. Selain lembar aktivitas siswa, peneliti juga merancang pre-test dilaksanakan

sebelum pembelajaran pada waktu penelitian pilot experiment dan teaching experiment yang

bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman awal siswa yang dijadikan subjek penelitian

dan apa yang seharusnya mereka pelajari. Data ini berupa jawaban, strategi dan alasan yang

digunakan peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Peneliti juga

merancang post-test yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran baik pada penelitian

pilot experiment dan teaching experiment yang bertujuan untuk mengetahui tingkat

pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan dengan desain yang dirancang dan apa

saja yang telah dipelajari. Data ini berupa jawaban, strategi, dan alasan yang digunakan

siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara retrospektif yang beracuan pada

HLT.Analisis data dilakukan peneliti dan bekerjasama dengan pembimbing. HLT dalam

restrospective analysis yang telah dirancang kemudian dibandingkan dengan proses

pembelajaran yang dilakukan siswa sehingga dapat dilakukan penyelidikan , analisis dan

dijelaskan bagaimana siswa memperoleh konsep refleksi yang ditimbulkan dengan

menggunakan motif kain batik.

Menurut Doorman (dalam Wijaya, 2008), hasil dari design research adalah bukan merancang

pekerjaan itu tetapi bagaimana dan mengapa suatu pekerjaan tersebut dirancang.Pada analisis

data ini, rekaman video merupakan data utama yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan

penelitan. Rekaman video menunjukkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Video

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 81

kegiatan ditranskip untuk mengetahui sejauh mana kemampuan matematika siswa mulai

tampak dan berkembang, terlihat dari aktivitas, strategi, pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan siswa serta jawaban-jawaban siswa dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

menggunakan LAS, baik pada saat pembelajaran maupun pada saat wawancara.Penelitian ini

dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2015/2016.Subjek penelitian ini adalah siswa

kelas VII MTs Negeri Betung.Penelitian ini melibatkan guru yang berperan sebagai guru

model untuk mengajarkan materi transformasi geometri.

E. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini menghasilkan lintasan belajar untuk pembelajaran pencerminan dengan

menggunakan konteks motif kain batik. Pada bab ini, peneliti menguraikan data atau hasil

yang diperoleh dari setiap tahap penelitian. Ada beberapa tahap yang dilalui dalam penelitian

ini, yaitu tahap persiapan untuk penelitian (preparing for the experiment), desain percobaan

(the design experiment), dan analisis retrospektif (retrospective analysis). Pada tahap desain

pendahuluan yang merupakan tahap untuk mendesain HLT (Hypothetical Learning

Trajectory) pencerminan untuk kelas VII yang hasilnya akan diujicobakan pada tahap desain

percobaan pembelajaran. Tahap desain percobaan, dilaksanakan dua tahap yaitu pilot

experiment dan teaching experiment. Setelah tahap percobaan pembelajaran selesai, peneliti

melakukan retrospective analysis terhadap apa yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya

pada bagian pembahasan.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis retrospektif yang telah dilakukan, lintasan belajar

yang telah dirancang dan dilakukan oleh peneliti yaitu lintasan belajar untuk menemukan

konsep pencerminan suatu obyek maupun garis-garis pada bidang koordinat kartesius.

Ketiga aktivitas belajar tersebut meliputi : memahami konsep pencerminan suatu obyek

(menggunakan motif kain batik melalui kegiatan mengamati obyek mana yang memiliki

hasil bayangan yang sesuai), memahami konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat

adapun terlihat dalam aktivitas siswa sebagai berikut

Gambar diatas menunjukkan siswa beriskusi mengamati beberapa motif kain batik yang akan

dientukan hasil bayangannya.

Aktivitas kedua, siswa memahami konsep pencerminan suatu obyek melalui potongan motif

kain batik yang digunakan saat pembelajaran berlangsung.Dengan menggunakan motif kain

batik dan diiringi dengan LAS, siswa dapat menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu

koordinat. Pemahaman siswa mengenai konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

82 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

terlihat pada hasil aktivitas siswa di LAS dan post-test, dimana siswa dapat menemukan

aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat

Pada gambar diatas menunjukkan strategi siswa menggunakan potongan motif dalam

menentukan hasil bayangan suatu obyek yang dicerminkan terhadap sumbu koordinat. Siswa

sudah bisa menentukan hasil bayangan suatu titik yang dicerminkan terhadap sumbu x dan

y. Berikut kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan

pencerminan terhadap sumbu koordinat. Hal ini terlihat pada gambar 4 bahwa jika suatu titik

(x,y) dicerminkan terhadap sumbu x maka koordinat titik y yang berubah tandanya dan jika

suatu titik (x,y) dicerminkan terhadap sumbu y maka koordinat titik x yang berubah

tandanya.

Aktivitas ketiga membimbing siswa agar dapat memahami konsep pencerminan terhadap

garis-garis pada bidang koordinat menggunakan motif kain batik.Setelah siswa mengamati

beberapa motif kain batik, siswa dapat menemukan konsep pencerminan terhadap garis-garis

pada bidang koordinat dan siswa diajak menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan

pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat terlihat pada gambar berikut ini:

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 83

Pada gambar diatas terlihat bahwa siswa sudah bisa menentukan pasangan motif yang akan

ditempelkan terhadap garis dan siswa juga tidak mengalami kesulitan yang berarti,

siswa sudah mulai terarah dalam menentukan bayangan titik yang dicerminkan terhadap

garis sesuai dengan permasalahan yang diberikan. Berikut kesimpulan siswa

mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu

koordinat. Hal ini terlihat pada gambar 4.15 bahwa jika suatu titik (x,y) dicerminkan

terhadap garis maka koordinat titik y menjadi dan koordinat titik x menjadi .

Pada gambar diatas siswa sudah dapat menemukan aturan pencerminan terhadap garis

dan garis dengan menggunakan konsep jarak bayangan ke sumbu koordinat yaitu x

dan y, dimana jarak bayangan ke sumbu koordinat adalah jarak bayangan ke cermin

ditambah jarak cermin ke benda ditambah jarak titik asal benda ke sumbu koordinat.Berikut

kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan

terhadap sumbu koordinat. bahwa jika suatu titik (x,y)dicerminkan terhadap garis

maka menjadi dan jika suatu titik (x,y)dicerminkan terhadap garis

maka menjadi .

Secara umum pembelajaran berlangsung interaktif karena siswa berdiskusi. Hadi (2005)

menyatakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI pengajaran berlangsung

secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang

diberikannya, memahami jawaban temannya, setuju terhadap jawaban temannya,

menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan

refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

84 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Proses pembelajaran berlangsung menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dalam

penelitian ini adalah lembar aktivitas. Sebelum dan sesudah melakukan serangkaian aktivitas

pembelajaran, siswa diberikan pretest dan postest. Dari kedua tes ini, peneliti memperoleh

informasi bahwa hasil pekerjaan siswa menunjukkan adanya perbedaan antara pretest dan

postest dalam memahami pencerminan atau refleksi. Selanjutnya didalam pembelajaran ini

menunjukkan bagaimana karakteristik PMRI menjadi dasar dalam mendesain setiap

aktivitas. Menurut de Lange (Zulkardi, 2002) ada lima karakteristik PMRI yang

berhubungan dengan pembelajaran ini yaitu:

Karakteristik yang pertama adalah menggunakan masalah kontekstualyang dekat dengan

kehidupan siswa adalah sebagai aplikasi dan titik awal dalam pembelajaran matematika

sehingga konteks yang digunakan dalam pembelajaran refleksi adalah motif kain batik.

Karakteristik yang kedua adalah menggunakan model.Siswa diarahkan untuk

mengembangkan model, skema, dan simbolisasi bukan mendapatkan transfer rumus atau

matematika formal dari guru.Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari

pengetahuan dan matematika tingkat kongkrit menuju pengetahuan matematika tingkat

formal. Menurut Gravemeijer (Zulkardi & Ilma, 2010) terdapat level dalam pembelajaran

PMRI yaitu (a) level situasional dimana strategi-strategi dan pengetahuan yang bersifat

situasional digunakan di dalam penyelesaian konteks yang sajikan, (b) level referensial

dimana model-model dan strategi-strategi mengacu pada situasi yang menggambarkan

permasalahan, (c) level general yang berfokus pada strategi-strategi yang sudah bersifat

matematika dari level referensial, (d) level formal yang bekerja dengan prosedur-prosedur

konvensional dan notasi. Penggunaan motif kain batik merupakan level situasional dimana

peneliti menggunakan konteks yang disajikan dalam proses pembelajaran. Siswa kemudian

menggunakan kemasan produk untuk memahami materi refleksi atau pencerminan.

Karaktersitik yang ketiga adalah menggunakan kontribusi siswa.Dalam proses pembelajaran,

siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan pemikiran mereka seluas-luasnya

kemudian memberikan kontribusi yang diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang

mengarahkan dari metode informal kearah yang lebih formal atau standar.

Karaktersitik yang keempat adalah interaktivitas.Interaksi antar siswa dan siswa dengan guru

merupakan hal penting dalam PMRI yang berguna bagi berlangsungnya proses pembelajaran

secara maksimal. Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa negosiasi eksplisit, intervensi,

kooperatif dan evaluasi sesama siswa dan guru. Proses belajar seseorang bukan hanya

sebagai suatu proses individu melainkan juga merupakan proses sosial. Ketika siswa saling

mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan siswa maka proses belajar siswa menjadi lebih

bermakna.

Karakteristik yang kelima adalah keterkaitan dengan topik pembelajaran lainnya (

Intertwinning). Proses pembelajaran menggunakan PMRI diharapkan bisa mengenalkan dan

membangun lebih dari satu konsep matematika dalam waktu bersamaan bahkan dalam

hubungannya dengan pengetahuan lainnya.

Penelitian ini juga mencerminkan tiga prinsip PMRI pada proses pembelajaran yaituguided

reinvention and progressive mathematizing.Prinsip ini menekankan penemuan kembali

secara terbimbing melalui topuk-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan

untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika.

Berdasarkan prinsip guided reinvention, siswa dalam proses pembelajaran materi refleksi

(pencerminan) diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama mengenai konsep

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 85

refleksi melalui bimbingan guru dengan penggunaan motif kain batik. Prinsip kedua adalah

didactical phenomenology.Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat

mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-

topik matematika kepada siswa.Tantangan dalam prinsip ini yaitu menemukan fenomena

yang bisa dihubungkan dengan konsep matematika.Dalam penelitian ini, konteks

penggunaan motif kain batik digunakan sebagai fenomena dalam pembelajaran materi

refleksi (pencerminan).Selanjutnya prinsip ketiga adalah self-developed model. Prinsip ini

berperan dalam menjembatani jurang pemisah diantara pengetahuan informal dan formal.

Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah dari situai yang dekat

dengan alam siswa dengan melalui generalisasi dan formalisasi model tesebut akan berubah

menjadi model-of masalah tersebut kemudian akan bergeser ke model for selanjutnya akan

berakhir menjadi model formal matematika.Hal ini dapat terlihat pada saat siswa

menyelesaikan permasalahan pada LAS 1 dan LAS 2.

F. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa

penggunaan motif kain batik sangat membantu siswa dalam memahami materi refleksi

(pencerminan) baik refleksi suatu obyek maupun refleksi terhadap garis-garis pada koordinat

kartesius.. Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan, beberapa saran yang dapat

direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Diharapkan guru dapat menerapkan lintasan belajar materi refleksi ini sebagai

alternative dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat pembelajaran guru diharapkan lebih

aktif menggali kemampuan siswa dan dapat memberikan kesempatan kepada siswa

untuk menyediakan berbagai motif kain batik yang dapat digunakan pada saat proses

pembelajaran.

b) Diharapkan siswa hendaknya lebih berpartisipasi aktif dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran dan lebih mengembangkan pola pikirnya dalam menyelesaikan

permasalahan yang diberikan.

c) Bagi peneliti lain, dapat melanjutkan penggunaan motif kain batik untuk materi

transformasi geometri yang lainnya misalnya rotasi, translasi dan dilatasi.

Daftar Pustaka

Akker, J. V. D, Gravemeijer, K, M, Susan and Nieven.(2006). Educational

DesignResearch.London : Routledge Taylor and Francis Group.

Asmin.(2003). Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang

muncul dilapangan.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 044.Pusat Data dan

Informasi Pendidikan, Balitbang-Depdiknas (online).Tersedia

:http://www.depdiknas.go.id/jurnal/44/asmin.html. Diakses tanggal 5 Juli 2014.

Baykul,Y. (1999). Teaching of Mathematics at Primary Education 1 and 5.Grade. Ankara:

Anı Publishing, p.35-92.

Bennie, Kate, et al. (1999). Transformations.Malati. Open Society Foundation for South

Africa.

Bouckaert, Charlotte. ( 1995).Transformation geometry in Primary School According to

Michel Demal.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

86 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Boulter, D. R. & Kirby, J. R. (1994). Identification of strategies used in solving

transformational geometry problems. Journal of Educational Research, 87 (5), 298-

303.

Clements, Douglas H, ed. (1998). Geometric and Spatial Thinking in YoungChildren.

Arlinggton: Virginia. Tersedia :http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED436232.pdf.

Diakses tanggal 2 Juli 2014.

Copley, Juanita V. (2000). Geometry and Spatial Sense in the Early ChildhoodCurriculum:

Chapter 6 Math Kindergarden Primary. National Association for the Education of

Young Children.

Crowe, D. W. & Thompson, T. M. (1987). ).Transformation and Archaeology.Learning and

teaching Geometry, K-12:1987 yearbook(pp 106-109). Reston, VA : National

Council of Teachers of Mathematics.

D‟Augustine, C. & Smith, C. W. 1992.Teaching Elementary School mathematics. Boston:

Harpe Collins Publisher Inc.

De Lange, J. (1987). Mathematica, Insight and Meaning.Utrecht : OW & OC, The

Netherlands.

Dreyfus, T. (1991).On the status of visual reasoning in mathematics and mathematics

education.In F. Furinghetti (Ed.), Proceedings of the 15thAnnual Conference of the

International Group for the Psychology of Mathematics Education.Italy (Vol. 1, pp.

32-48)

Fujita, T. and Jones, K. (2002). Opportunities for the Development of Geometrical

Reasoning in Current Textbooks in the UK and Japan, Proceedings of the British

Society for Research into Learning Mathematics,22(3), 79-84.

Gerdes, Paulus. 1998. Ethnomathematics as a new research field, illustrade by studies

ofmathematical ideas in African history.

Gravemeijer, K. & Eerde, V. S. (2009).Design research as a Means for Building

aKnowledge Base fo Teaching in Mathematics Education. The Elementary School

Journal.Volume 109 Number 5.

Gravemeijer, K. & Cobb, P. (2006).Design Research from a Learning DesignPerspective. In

Jan Van den Akker, et. Al. K. Gravemeijer, Susan Mc K, & Nienke, N (Eds).

Educational Design research. London and New York : Routledge.

Gray, Anileen. & Sarhangi, R. Study and Application of African Designs for Use

inSecondary Education.

Guven, B. (2012). Using Dynamic Geometry Software to Improve Eight Grade bStudents‟

Understanding of Transformation Geometry. Australian Journal of Educational

Technology, 28(2): 364-382.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 87

Hollebrands, K.F. (2003). High school students understanding of geometrictransformations

in the context of a technological environments. Journal of Mathematical Behavior,

22, 55-72.

Kemdikbud.(2014). Buku MATEMATIKA KELAS VII.Jakarta : Kemdikbud.

Kirby, J.R. & Boulter, D.R. (1999).Spatial ability and transformational geometry. European

Journal of Psychology of Education, 14 (2), 283-294.

Knight, Kathleen Chesley. (2006). An Investigation Into The Change in The VanHiele Levels

of Understanding Geometry of Pre-service Elementary and Secondary Mathematics

Teachers.Thesis Maine University. Maine USA: Maine University.

Permendikbud, 65 A. (2013).Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Pusbangprodik.

Peterson, J. C. (1973). Informal geometry in grades 7-14. In K.B. Henderson (Ed), Geometry

in the mathematics curriculum: Thirty-sixth yearbook. pp. 52-91. Washington, DC:

NCTM.

Shielack Jr., V. P. (1987). Mathematical Application of Geometry. Lindquist, M. Mand

Shulte, A. P. (Eds). Learning and teaching Geometry, K-12. 1987.Yearbook. Reston.

VA : NCTM.

Soedjadi, R. (2007). Inti Dasar-dasar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Jurnal

Pendidikan Matematika. I(2). 1-5.

Van de Walle, J. A. (2008). Matematika Sekolah Dasar danMenengah:Pengembangan

Pengajaran. Jakarta : Erlangga.

Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif

PendekatanPembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Wesley, Addison. (2005). Math Makes Sense. Canada : Pearson Education Canada Inc.

Zazkis, R., Dautermann, J & Dubinsky, E. (1996).Coordinating visual and analytical

strategies.A study of students‟understanding of the group D4.Journal for Research

in Mathematics Education, 27 : 435-457.

Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic MathematicsEducation

for Indonesian Student Teachers.Doctoral Thesis of Twente University. Enschede:

Twente University.

.(2009). The “P” in PMRI: Progress and Problems. In Proceddings of ICMA 2009

Mathematics Education, pp. 773-780.Yogyakarta : IndoMs.

.(2010). How to Design Mathematics Lessons based on the Realistic

Approach?.www.reocities.com/ratuilma/rme.html. Diakses 5 Juli 2014.

Zulkardi & Ilma, R. (2006). Mendesain Sendiri Soal Kontekstual MatematikaProsiding

KNM13. Semarang : Indonesia

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

88 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

MATEMATIK SISWA SMK DENGAN PENDEKATAN

CREATIVE PROBLEM SOLVING.

Eka Senjayawati

STKIP SILIWANGI BANDUNG

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya kemampuan berpikir kreatif matematik

siswa SMK. Kenyataan di lapangan, siswa terbiasa dengan soal-soal rutin yang mudah

dikerjakan dengan satu solusi sehingga menghambat proses berpikir kreatif

matematiknya. Tujuan penelitian ini untuk menelaah apakah peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

pendekatanCreative Problem Solving lebih baik daripada yang menggunakan

pembelajaran dengan pendekatan konvensional.Penelitian ini berbentuk metode kuasi

eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes postes. Kelas eksperimen

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creatve problem solving dan kelas

kontrol memperoleh pendekatan secara konvensional. Instrumen berupa tes

kemampuan berpikir kreatif matematik. Populasi penelitian ini adalah siswa SMK

Teknik di Kota Cimahi. Sampel dipilih kelas XI TKJ 1 sebagai kelas eksperimen dan

XI TKJ 2 sebagai kelas kontrol. Analisis data dilakukan secara kuantitatif, untuk

melihat perbedaan rata-rata kedua kelas dengan uji-t.Berdasarkan hasil perhitungan

diperolehbahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solving lebih baik

daripada yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Kata Kunci: Pendekatan Creative Problem Solving, Berpikir Kreatif Matematik

A. Pendahuluan

Matematika memiliki peranan penting dalam proses berpikir siswa yaitu untuk membentuk

kemampuan menganalisis, berpikir kreatif, kritis, logis, dan sistematis. Munandar (2009:7)

menyatakan bahwa kemajuan teknologi menuntut individu untuk beradaptasi secara kreatif.

Perkembangan ilmu dan teknologi menuntut kita agar memiliki kreatifitas dalam

mengembangkan berbagai macam inovasi baru baik dalam pendidikan maupun non

pendidikan. Semiawan (Sumarmo,2012:37) mengemukakan bahwa kreativitas adalah

kemampuan menyusun idea baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah dan

kemampuan mengidentifikasi asosiasi antara dua idea yang kurang jelas. Kreativitas

diperlukan tidak hanya dalam hal seni atau sastra saja tetapi dalam mempelajari dan

memahami pembelajaran matematika juga kita dituntut untuk berpikir lebih kreatif. Hal ini

selaras dengan pernyataan Mahmudi, (2010:3) yang menyatakan bahwa kreativitas tidak

hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu seperti: seni, sastra, atau sains, melainkan juga

ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk matematika. Untuk itu proses berpikir

kreatif atau melakukan kreatifitas dinilai sangat perlu dalam menyelesaikan masalah pada

pembelajaran matematika. Kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya,

yakni proses berpikir kreatif matematik. Kenyataan di lapangan kemampuan berpikir siswa

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 89

masih terikat pada budaya menghafal rumus dan mengerjakan soal rutin yang mudah ditebak

atau dikerjakan dengan satu solusi. Hal ini menghambat kemampuan berpikir kreatif siswa.

Perlu adanya metoda atau suatu pendekatan yang mendukung hal tersebut. Pendekatan

Creative Problem Solving adalah suatu pembelajaran yang berpusat pada keterampilan siswa

dalam memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan

dengan pertanyaan atau permasalahan, siswa dapat melakukan keterampilan untuk memilih

dan mengembangkan solusi dalam menyelesaikannya. Tidak hanya dengan cara menghafal

tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir siswa.

Pembelajaran seperti ini akan membuat siswa lebih aktif dan lebih efektif karena siswa lebih

mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit dengan mendiskusikan

masalah tersebut dengan rekannya.Kelebihan dari Creative Problem Solving adalah siswa

dilatih untuk:

1. Menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah.

2. Menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah.

3. Mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan

kriteria-kriteria yang ada.

4. Memilih suatu pilihan solusi yang optimal.

5. Mengembangkan ide dan pemikirannya.

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut,

1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan pendekatan creative problem solvinglebih baik daripada yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional?

B. Landasan Teori

1. Pendekatan Creative Problem Solving

PendekatanCreative Problem Solving (CPS) merupakan pendekatan pembelajaran yang

difokuskan pada keterampilan siswa dalam memecahkan masalah atau suatu pembelajaran

yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan

kreatifitas. Seperti yang diungkapkan oleh Pepkin (Suryani, 2013:30) bahwa CPS merupakan

suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan

pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Tidak hanya dengan cara

menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah dapat memperluas berpikir

kreatif pesertadidik. CPS merupakan variasi pemecahan masalah dengan teknik yang

sistematik.Sintaks pembelajaran CPS (Huda, 2014:298):

Langkah 1 : Objective Finding

Siswadibagi kedalam kelompok-kelompok. Siswa mendiskusikan situasi permasalahan yang

diajukan guru dan membrainstorming sejumlah tujuan atau sasarna yang bisa digunakan

untuk kerja kreatif siswa.

Langkah 2 : Fact Finding

Siswa membrainstorming semua fakta yang mungkin berkaitan dengan sasaran tersebut.

Langkah 3 :Problem Finding

Salah satu aspek kreatifitas adalah mendefinisikan kembali permasalahan agar siswa lebih

dekat dengan masalah sehingga memungkinkannya untuk menemukan solusi lebih jelas.

Langkah 4 :Idea Finding

Pada langkah ini gagasan siswa didaftar agar terlihat kemungkinan menjadi solusi dari suatu

permasalahan. Setelah gagasan terkumpul, sortir gagasan yang potensial dan tidak potensial

sebagai solusi. Evaluasi gagasan secara cepat agar menjadi pertimbangan solusi lebih lanjut.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

90 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Langkah 5: Solution Finding

Gagasan yang memliki potensi terbesar dievaluasi bersama. Salah satu caranya dengan

membrainstorming criteria yang dapat menentukan seperti apa solusi terbaik seharusnya.

Kriteria ini dievaluasi hingga menghasilkan penilaian secara final.

Langkah 6 : Acceptance Finding

Siswa mulai mempertimbangkan isu-isu nyata dengan cara berpikir yang sudah mulai

berubah. Siswa diharapkan sudah memiliki cara baru untuk menyelesaikan berbagai masalah

secara kreatif . Gagasan-gagasan mereka diharapkan sudah bisa digunakan tidak hanya untuk

menyelesaikan masalah tetapi juga untuk mencapai kesuksesan.

Langkah-langkah atau sintaks pembelajaran Creative Problem Solving dalam pembelajaran

secara umum dirangkum oleh Suryani (2013:32) adalah sebagai berikut:

a. Klarifikasi Masalah

Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang

diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan.

b. Pengungkapan Gagasan

Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi

penyelesaian masalah.

c. Evaluasi dan Seleksi

Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok

untuk menyelesaikan masalah.

d. Implementasi

Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian

menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.

2. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik

Berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas yang terkait dengan kepekaan terhadap

masalah,mengkaji masalah, mengemukakan informasi baru dan ide-ide yang tidak biasanya

dengan suatu pikiran terbuka, serta dapat membuat hubungan-hubungan dalam

menyelesaikan masalah tersebut. Nicholl (Rohaeti, 2008 : 18) mengatakan bahwa langkah-

langkah yang harus dilakukan untuk menjadi orang kreatif adalah: mengumpulkan informasi

sebanyak-banyaknya; berpikir empat arah; memunculkan banyak gagasan; mencari

kombinasi terbaik dari gagasan-gagasan itu; memutuskan mana kombinasi terbaik; dan

melakukan tindakan.

Menurut Hariman (Huda, 2011) berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang berusaha

menciptakan gagasan yang baru. Silver dan Sriraman (Sumarmo, 2012) mendefinisikan

kreativitas matematik sebagai kemampuan pemecahan masalah dan berpikir matematik

secara deduktif dan logis. Kemudian Coleman dan Hammen (Sumarmo, 2012) menyatakan

bahwa berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam

konsep, pengertian, penemuan dan karya seni. Berpikir kreatif dapat juga diartikan sebagai

suatu kegiatan mental yang digunakan untuk membangun ide atau pemikiran yang

baru.Pendapat lain dari Pehkonen (Huda, 2011), memandang berpikir kreatif sebagai suatu

kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih

dalam kesadaran. Maksud berpikir divergen sendiri adalah memberikan bermacam-macam

kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang sama. Berpikir kreatif adalah kemampuan

menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,. Semakin tinggi tingkat

berpikir kreatif seseorang, ia akan pandai menunjukkan berbagai variasi atau berbagai cara

dalam penyelesaian masalah bahkan tertuang ide-ide dan inovasi yang baru.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 91

Indikator-indikator kemampuan berpikir kreatif dirangkum sebagai berikut:

a. Kepekaan (Problem Sensitivity) adalah kemampuan mendeteksi (mengenali dan

memahami) serta menanggapi suatu pernyataan, situasi dan masalah.

b. Kelancaran (Fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan.

c. Keluweasan (Flexibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam

pemecahan atau pendekatan terhadap masalah.

d. Keaslian (Originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara

yang asli, tidak klise dan jarang diberikan kebanyakan orang.

e. Elaborasi (Elaboration) adalah kemampuan menambah situasi atau masalah sehingga

menjadi lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya dapat berupa tabel,

grafik, gambar, model dan kata-kata.

C. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain,

O X O (Ruseffendi, 2005 : 53)

O O

Keterangan :

O : Tes Kemampuan berpikir kreatifmatematik

X : Perlakuan dengan Creative Problem Solving

D. Analisis dan Pembahasan

1. Analisis Data

a. Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Untuk menguji kenormalan data pretes digunakan uji statistik kolmogorov-smirnov dengan

taraf signifikansi 0,05 dengan hipotesis sebagai berikut:

: sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

: sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol:

Tabel 4. 1

Hasil Analisis Uji Normalitas Data Pretes

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik

Kelas Pretes

Statistic Df Sig.

Eksperimen 0,181 30 0,015

Kontrol 0,117 30 0,021

Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut:

1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak

2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima

Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa

nilai signifikansi untuk kelas eksperimen lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,015 artinya ditolak

atau sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Nilai signifikansi pada

kelas kontrol pun lebih kecil dari 0, 05 yaitu 0, 021 artinya ditolak atau sampel berasal

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

92 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Karena kedua data sampel berasal dari

populasi yang tidak berdistribusi normal, maka selanjutnya harus di uji non parametrik yaitu

uji Mann Whitney.

b. Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik

Setelah di uji normalitasnya, kedua sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi

normal, maka dilanjutkan ke uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney. Hipotesis

pengujiannya adalah,

: = , tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir

kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol

: , terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir kreatif

matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol

Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney data pretes adalah:

1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak

2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima

Berikut ini adalah hasil uji Mann Whitneydata pretes kemampuan berpikir kreatif matematik,

Tabel 4.2

Hasil Analisis Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif

Matematik

Sig Hipotesis

Berpikir Kreatif

Matematik

0,651 Terima

Dari hasil analisis Tabel 4.2 diperoleh bahwa nilai signifikansi lebih besar dari 0, 05 yaitu

0,651 maka diterima artinya tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara

kemampuan awal berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

c. Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Terlebih dahulu data gain di uji normalitasnya dengan uji statistik kolmogorov-smirnov

dengan hipotesis sebagai berikut:

: sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

: sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut:

1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak

2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima

Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol,

Tabel 4.3

Hasil Analisis Uji Normalitas Data Gain

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik

Kelas Gain

Statistic Df Sig.

Eksperimen 0,115 30 0,052

Kontrol 0,720 30 0,006

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 93

Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.3 di atas, terlihat bahwa

nilai signifikansi salah satu kelas yaitu kelas kontrol lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,006 artinya

ditolak atau sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Maka,

dilakukan uji Mann Whitney.

d. Uji Mann Whitney Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Hipotesis penelitian yang diajukan yaitu, “Peningkatan kemampuan berpikir kreatif

matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem

solving lebih baik secara signifikan daripada yang memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan konvensional”.

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan uji satu pihak yang dirumuskan sebagai berikut,

: ≤

: >

: Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih

baik secara signifikan atau sama dengan kelas kontrol

: Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen lebih baik

secara signifikan daripada kelas kontrol

Tabel 4.4

Hasil Uji Mann Whitney Data Gain

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik

Sig Hipotesis

Berpikir Kreatif 0,001 Tolak

Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney data gain sebagai berikut:

1) Jika nilai sig.(2-tailed) lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak

2) Jika nilai sig.(2-tailed) lebih besar dari 0,05 maka diterima

Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh Sig.(2-tailed) = 0,000 maka nilai sig.(2-tailed) =

0,0005dalam Uyanto (2009:145). Sesuai dengan kriteria pengambilan keputusan maka nilai

signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya ditolak. Hal ini berarti bahwa peningkatan

kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

E. Kesimpulan Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran

dengan pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang menggunakan

pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Daftar Pustaka

Huda, C. (2011). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan

Masalah Matematika dengan Model Pembelajaran Treffinger pada Materi Pokok

Keliling dan Luas Persegipanjang. [Online]. Tersedia: http://digilib.sunan-

ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptiain--chotmilhud-9908.html

(Di akses pada 12 September 2015).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

94 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Huda, M. (2014). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran:Isu-Isu Metodis dan

Paradigmatis.Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Mahmudi, A. (2010). Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah,

Yogyakarta.

Munandar, U. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.Jakarta: PT. Rineka Cipta

Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran Dengan Pendekatan Eksplorasi Untuk

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah

Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak

Diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian dan Bidang Non-Eksakta. Bandung:Tarsito

Sumarmo, U. (2012). Bahan Ajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2

Pendidikan Matematika STKIP SILIWANGI. Bandung:Tidak diterbitkan.

Suryani, A. (2013). Keefektifan Creative Problem Solving (CPS) dengan Pemanfaatan CD

Pembelajarandan Alat Peraga terhadap Sikap Kreatif dan Hasil Belajar Peserta

Didik Kelas VII MTS Miftahul Khoirot Tahun Pelajaran 2011/2012 pada Materi

Pokok Persegi dan Belah Ketupat. [Online]. Tersedia:

http://lib.unnes.ac.id/17440/1/4101408080.pdf. (Diakses 8 Juli 2015).

Uyanto, S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta:Graha Ilmu

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 95

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI MERANCANG MODEL

MATEMATIKA DARI MASALAH PROGRAM LINEAR DI

SEKOLAH MENENGAH ATAS

Eli Yuliana

Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya

[email protected]

ABSTRAK

Pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

tidak hanya menciptakan pembelajaran menjadi bermakna tetapi juga diharapkan

dapat mendorong minat siswa untuk belajar. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini

bertujuan untuk membuat siswa dapat mempresentasikan model matematika dari

masalah program linear yaitu pembuatan pagar sekolah dan merencanakan lintasan

belajar merancang model matematika dari masalah program linear dengan konteks

pembuatan pagar sekolah pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.

Penelitian melalui tiga tahap yaitu Preliminary Design, pilot eksperiment dan teaching

eksperiment, Retrospective Analysis dengan menggunakan dua kelompok siswa yaitu

kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan PMRI dalam pembelajaran

dengan konteks pembuatan pagar sekolah dan kelompok kontrol yang menggunakan

pendekatan konvensional ataupun klasikal yaitu pembelajaran berbasis buku teks.

Rancangan lintasan belajar akan diujikan pada tahap pilot eksperiment, dibandingkan

dengan kejadian sebenarnya, kemudian diperbaiki dan diujikan kembali pada tahap

teaching eksperiment

Kata kunci : Program linear, PMRI, Lintasan Belajar, Konteks pembuatan pagar

sekolah.

A. Pendahuluan

Dantzig (1963) menyatakan bahwa “linear programming is a technique for the optimization

of a linear objective function, subject to linear equality and linear inequality constrains”

yang berarti bahwa program linear adalah teknik untuk optimasi fungsi tujuan linear,

mengikuti aturan persamaan linear dan kendala pertidaksamaan linear. Sedangkan menurut

Rao, S (2011), program linear adalah teknik matematika sebagai alokasi optimum terhadap

sumber daya seperti tenaga kerja, material, modal, energi, dan lain sebagainya.

Berdasarkan BNSP (2006), Materi program linear diajarkan di kelas XII. Materi ini

merupakan aplikasi aljabar yang sangat penting untuk dipahami sebagai prasyarat untuk

dapat memahami materi lanjut. Pentingnya pemahaman tentang materi ini karena materi ini

selalu diujikan dalam ujian nasional dan tes masuk ke perguruan tinggi. Menurut Supranto

(2005), materi program linear merupakan cabang matematika yang salah satunya sering

dipakai dalam kehidupan sehari-hari yaitu : bidang ekonomi, perindustrian, dan

perdagangan. Sehingga dengan mempelajari materi ini, siswa dapat mempelajari bagaimana

cara mendapatkan keuntungan maksimal ataupun modal minimum menggunakan sumber

daya yang terbatas.

Mengingat pentingnya materi program linear untuk dipelajari siswa dan melihat data

Puspendik (2014) laporan hasil Ujian Nasional matematika SMA program IPS yang

memperlihatkan terjadinya penurunan daya serap pada kompetensi fungsi persamaan dan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

96 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

pertidaksamaan yang didalamnya terdapat materi program linear. Hal tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 1. Daya Serap Matematika IPS tahun 2012, 2013, dan 2014

KOMPETENSI 2012 2013 2014

LogikaMatematika 81.61 64.78 54.16

BarisandanDeret 83.48 59.87 56.42

Eksponen, Barisan, danDeret 84.24 65.38 62.08

FungsiPersamaandanPertidaksamaan 81.86 60.89 55.20

Matriks 81.30 65.85 59.14

Kalkulus 71.58 59.72 59.50

StatistikadanPeluang 72.11 52.84 43.38

Sumber : Pusat Penilaian Pendidikan (2014), Laporan Hasil Ujian Nasional 2014

Menurunnya hasil Ujian Nasional matematika SMA program IPS pada kompetensi fungsi

persamaan dan pertidaksamaan yang memuat materi program linear sejalan dengan yang

dikatakan oleh Stebens & Palocsay (2004) “In recent years, student continue no have great

difficulty with the process of constructing a linear programming model” bahwa dalam

beberapa tahun terakhir siswa terus memiliki kesulitan besar dalam merumuskan model dari

permasalahan program linear. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, menurut

penelitian Afgani, Darmawijoyo, & Purwoko (2008) menyatakan bahwa masih banyak

kesalahan yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah program linear, masih banyak

siswa yang salah dalam menentukan daerah himpunan penyelesaian, hal ini dikarenakan

siswa tidak memahami perkataan „biaya serendah-rendahnya atau untung sebesar-besarnya‟.

Asih (2011) juga mengatakan bahwa beberapa kesalahan lain yang dilakukan siswa adalah

kesalahan menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan soal, kesalahan membuat model

matematika, kesalahan menuliskan tanda pertidaksamaan , kesalahan memanipulasi aljabar,

kesalahan dalam perhitungan dan juga kesalahan pada penarikan kesimpulan. Sedangkan

Hidayat & Zanaton (2014) mengatakan bahwa kesalahan siswa yang paling dominan adalah

akibat dari kesulitan siswa memahami soal cerita terkait masalah sehari-hari sehingga terjadi

kesalahan konsep dalam pemecahan masalah program linear.

Permasalahan diatas terjadi juga pada siswa kelas XII IPS SMA N 2 Talang Ubi ketika

belajar materi program linear. Kesulitan memahami program linear terutama memahami

kalimat matematika, seperti merubah soal cerita menjadi model matematika. Problematika

pembelajaran program linear di SMA terutama kelas XII IPS adalah sebagian besar siswa

merasa kesulitan memahami program linear terutama dalam memahami kalimat

matematikanya. Hal ini sangat dimungkinkan karena program linear berkaitan dengan sistem

pertidaksamaan. Sistem pertidaksamaan merupakan langkah awal merumuskan model

matematika.

Menurut Siswanto (2007), Sallan, Lordan, Fernandez (2015), hal terpenting untuk

merumuskan model matematika dari masalah program linear adalah menentukan empat

unsur utamanya yaitu : (1) variabel keputusan, yaitu variabel yang mempengaruhi nilai

tujuan yang hendak dicapai, (2) fungsi tujuan, yaitu fungsi yang harus berbentuk linear.

Fungsi tujuan adalah fungsi yang akan di optimumkan, (3) fungsi kendala, adalah pembatas

terhadap variabel keputusan yang dibuat , (4) fungsi non negative yaitu fungsi yang

menyatakan bahwa setiap variabel dari program linear tidaklah negative.

Sudah banyak metode pengajaran program linear yang dikembangkan untuk dapat

merumuskan model matematika dan menyelesaikannya. Nurmalia, Hartono, Putri (2013)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 97

mendesain bahan ajar program linear menggunakan konteks makanan tradisional Palembang

yaitu pembuatan srikaya dan kojo. Dengan menggunakan konteks pembuatan srikaya dan

kojo tersebut siswa dapat menemukan cara merumuskan model matematika dan menemukan

penyelesainnya. Powers, Kalder (2006) mengajarkan program linear dengan menggunakan

permasalahan dunia nyata melalui pembelajaran kooperatif. Stevens & Paloscay (2004)

menggunakan pendekatan terjemahan untuk pengajaran program linear yaitu bagaimana

menterjemahkan masalah dunia nyata kedalam bahasa matematika melalui langkah-langkah

yang terdefinisi dengan baik, dari langkah-langkah menterjemahkan tersebut siswa mampu

membuat model matematika dan menyelesaikannya.

Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, maka salah satu usaha untuk membuat

pembelajaran program linear lebih bermakna dan siswa tertarik untuk belajar program

linear, dapat menggunakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan dunia

nyata sebagai konteks pembelajaran yaitu pendekatan matematika realistik. Di Indonesia

lebih dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).

Gavemeijer (1994) menyatakan bahwa dengan matematika relistik dapat membantu guru dan

siswa dalam proses pembelajaran dikelas mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.

Hal ini sesuai dengan prinsip utama dari PMRI, yaitu : (1) guided reinvention and

progressive mathematizing, penemuan kembali dengan bimbingan dan matematika progresif,

(2) didactical phenomology, fenomenaa didaktik, (3) self developed models, pengembangan

model sendiri.

Dengan mengaitkan pembelajaran ke dunia nyata, siswa diharapkan akan tertarik untuk

mempelajarai materi yang diajarkan. Salah satu konteks yang bisa dilihat siswa dalam

kehidupan sehari-hari adalah rencana pembuatan pagar. Dalam penelitian ini konteks

rencana pembuatan pagar yang dipakai adalah rencana pembuatan pagar sekolah. Konteks

pembuatan pagar tersebut dispesifikan lagi bahwa rencana pembuatan pagar sekolah adalah

dengan membuat kombinasi dua jenis pagar yaitu pagar teralis dan pagar benton, dengan

batasan anggaran pembelian bahan dan anggaran upah pasang tukang. Luas masing-masing

pagar yang akan dibuat sudah ditentukan. Dari permasalahan tersebut, siswa mempelajari

materi program linear.

Terdapat tiga kompetensi dasar pada program linear untuk kurikulum KTSP yaitu, (1)

Menyelesaikan sistem pertidaksamaan linear dua variabel, (2) Merancang model matematika

dari masalah program linear, (3) Menyelesaikan model matematika dari masalah program

linear dan penafsirannya.

Gaspersz (2004) mengatakan bahwa Linear Programming (LP) merupakan teknik riset

operasi yang telah dipergunakan secara luas dalam berbagai jenis masalah manajemen

perencanaan. Hilier & Lieberman (2001) mengatakan bahwa pemograman linear adalah

suatu model matematis untuk menggambarkan masalah yang dihadapi. Kata sifat „linear‟

bahwa semua fungsi matematis dalam model ini merupakan fungsi linear, sedangkan kata

„pemrograman‟ adalah sinonim dari perencanaan. Perencanaan yang dimaksud umumnya

adalah perencanaan aktifitas kegiatan ekonomi. Sehingga rencana pembuatan pagar sekolah

dapat dijadikan konteks pembelajaran materi program linear.

Pada pembuatan pagar sekolah, siswa membuat perencanaan untuk pembuatan dua jenis

pagar yaitu pagar teralis dan pagar beton. Anggaran untuk pembelian bahan dan upah pasang

tukang diketahui. Luas masing-masing pagar yang akan dibuat sudah ditentukan. Melalui

tahapan pemodelan siswa dapat menentukan biaya minimum yang akan dikeluarkan sekolah.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

98 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Pembelajaran program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah bertujuan untuk

membuat pembelajaran lebih menarik dan bermakna untuk siswa dan berhubungan dengan

kehidupan nyata sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini bertujuan untuk mendesain pembelajaran materi program linear dalam aspek

merancang model matematika dan menyelesaikannya dengan menggunakan konteks

pembuatan pagar sekolah. Kegiatan pembelajaran terdiri dari beberapa aktifitas berdasarkan

tahap-tahap pemodelan matematika sampai penyelesaiannya. Dari tahapan tersebut, siswa

akan berdiskusi menyelesaikan permasalahan dan mencari biaya minimum yang dikeluarkan

sebagai solusi dari permasalahan program linear. Peneliti mengangkat judul “Desain

Pembelajaran Materi Merancang Model Matematika dari Masalah Program Linear di

Sekolah Menengah Atas “

Dari uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana

masalah pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa

mempresentasikan model matematika dari masalah program linear ? dan

bagaimana lintasan belajar merancang model matematika dari masalah program linear

dengan konteks pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI di Sekolah Menengah

Atas ?

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah siswa dapat

mempresentasikan model matematika dari masalah program linear yaitu pembuatan pagar

sekolah dengan pendekatan PMRI dan Merencanakan lintasan belajar merancang model

matematika dari masalah program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah pada

pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi : (1) siswa, siswa menjadi lebih

termotivasi dalam memecahkan masalah program linear karena didesain dengan menarik dan

bermakna. (2) guru, dapat dijadikan sebagai bahan tambahan informasi dalam inovasi

pembelajaran dan meningkatkan profesionalisme guru dalam strategi pengajaran bagi

pembelajaran matematika materi program linear dengan pendekatan PMRI dalam

pembelajaran. (3) peneliti lainnya, sebagai masukan untuk meneliti dan mengembangkan

pembelajaran matematika materi program linear.

B. Subjek, Tempat dan Waktu Penelitian

Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa kompetensi yang akan dicapai siswa adalah

merancang model matematika dari masalah program linear dengan menggunakan objek-

objek yang tertera dalam kurikulum sekolah menengah atas (SMA) maka subjek dalam

penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA. Jumlah subjek adalah 34 dimana 6 siswa

berpartisipasi dalam preliminary desigrn dan 28 siswa berpartisipasi dalam teaching

experiment. Preliminary design dan teaching experiment akan dijelaskan pada bagian

selanjutnya. Penelitian ini dilakukan di semester genap tahun ajaran 2016/2017 di SMAN 2

Talang Ubi Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan.

C. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menciptakan lintasan belajar yang empiris dalam pada

materi program linear serta kontribusinya dalam mendukung kemampuan pemecahan

masalah siswa. Oleh karenanya, Design Research dipilih sebagai pendekatan penelitian ini

karena sejalan dengan tujuan penelitian.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 99

Terdapat tiga fase utama dalam penelitian ini. Dalam proses penelitian ini, peneliti mengikuti

tiga fase penelitian (Gravemeijer dan Cobb, 2006). Penjelasan tahapan penelitian tersebut

seperti berikut ini:

tahap 1 : Preliminary Design

Sebelum mendesain berbagai aktivitas dalam penelitian, peneliti memperoleh ide awal dari

berbagai kajian literatur. Informasi yang diperoleh melalui observasi kelas digunakan untuk

merancang serangkaian kegiatan pembelajaran yang berisi dugaan strategi pemikiran siswa.

Selanjutnya peneliti akan menjelaskannya dalam 3 bagian, yaitu :

a. Kajian Literatur

Pada tahap ini dilakukan kajian literatur mengenai materi pembelajaran yaitu program linear,

bagaimana membangun topik tersebut agar dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah siswa, PMRI, dan desain riset sebagai dasar perumusan dugaan strategi awal siswa

dalam pembelajaran .

b. Observasi Kelas dan Wawancara dengan Guru

Peneliti melakukan pengamatan terhadap kegiatan belajar siswa di kelas. Tujuan diadakan

pengamatan kelas adalah untuk mengetahui kondisi siswa, kondisi kelas, norma yang

berlaku di kelas. Hal ini meliputi jumlah siswa, kebiasaan kelas, aktivitas guru dan siswa di

kelas, interaksi guru dengan siswa dan interaksi antar-siswa, proses pembelajaran di kelas.

Wawancara kepada guru memberikan informasi mengenai guru mengajar. Tujuannya adalah

agar kegiatan pembelajaran yang dibuat sesuai dengan guru. Daftar pertanyaan dalam

wawancara diarahkan untuk menggali informasi mengenai latar belakang guru,

pengalamannya dalam mengajar, pengetahuannya tentang PMRI, pengetahuan tentang

pengajaran(managemen kelas, pendekatan pembelajaran, dan penilaian) dan konsep guru

dalam mengajarkan program linear.

c. Mendesain Hypothetical Learning Trajectory (HLT)

Sebelum pelaksanaan penelitian, serangkaian aktivitas pembelajaran yang berisi dugaan

tentang strategi siswa dan perkembangan cara berpikir siswa dari tahap formal ke informal

dirancang. Pendesainan HLT bersifat dinamis dan dapat direvisi sewaktu-waktu serta dapat

disesuaikan saat penelitian sedang berlangsung (teaching experiment).

Tahap II: Teaching Experiment

a. Pilot Experiment - Siklus 1

Pilot Experiment bertujuan untuk mengujicobakan HLT yang telah didesain guna

mengumpulkan data untuk menyesuaikan dan merevisi (jika diperlukan) HLT awal pada

tahap teaching experiment nantinya. Dalam penelitian percobaan ini dilakukan diskusi

dengan guru model agar HLT tersebut dapat mencapai sasaran dari tujuan pembelajaran.

Adanya saran dari guru model sangat membantu peneliti dalam penyesuaian pendesainan

HLT awal karena guru lebih mengetahui kondisi siswa yang menjadi sampel pada penelitian.

b. Teaching Experiment - Siklus 2

Tahap teaching experiment merupakan tahap inti dari Desain Riset karena pada tahap ini

HLT yang telah didesain dan diperbaiki pada tahap sebelumnya diujicobakan di kelas

sesungguhnya yang menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian dari tahap ini adalah untuk

menjawab pertanyaan penelitian. Guru bertindak sebagai pengajar sedangkan peneliti

mengobservasi setiap aktivitas belajar siswa. Sebelum kegiatan pembelajaran (teaching

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

100 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

experiment) dimulai, peneliti dan guru model berdiskusi tentang kegiatan pembelajaran pada

hari tersebut. Selama proses pembelajaran berlangsung, ide-ide dan dugaan-dugaan dapat

dimodifikasi sebagai revisi untuk aktivitas berikutnya. Selanjutnya, setelah aktivitas

pembelajaran selesai, peneliti dan guru model melakukan pencerminan dari kegiatan

pembelajaran yang telah dilakukan guna perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dalam

pelaksanaan teaching experiment, peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara

mendokumentasikan kegiatan belajar siswa melalui rekaman video dan foto, serta

mengumpulkan hasil kerja siswa, dan memilih beberapa siswa untuk diwawancarai.

Tahap III: Retrospective Analysis

Data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dianalisis pada tahap ini kemudian hasil

analisa tersebut digunakan untuk mengembangkan desain pada aktivitas pembelajaran

berikutnya. HLT dibandingkan dengan aktivitas pembelajaran siswa yang sesungguhnya

untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari retrospective analysis secara

umum adalah untuk mengembangkan Lintasan Belajar. Oleh karena itu, feedback dari guru

sangatlah bermanfaat guna memberikan informasi kepada peneliti mengenai perbedaan cara

mengajar yang secara teori dapat disesuaikan pada berbagai macam keadaan di kelas.

Dengan demikian diperoleh desain pembelajaran yang lebih baik.

D. Teknik Pengumpulan Data Selama melakukan penelitian, berbagai data mulai dari data tertulis, hasil kerja siswa, foto,

rekaman video dan sebagainya dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki HLT yang

telah didesain. Berikut akan dijelaskan beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan

pada setiap tahap dalam penelitian ini.

E. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan untuk membandingkan aktivitas siswa selama

proses teaching experiment (siklus 2) dan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary

design (desain pendahuluan). Doorman dalam Wijaya (2008) menyatakan bahwa hasil dari

sebuah penelitian desain adalah bukan desain yang bekerja tetapi prinsip-prinsip dasar yang

menjelaskan bagaimana dan mengapa desain tersebut bekerja. Oleh karena itu, dalam tahap

retrospective analysis HLT yang telah dirancang dibandingkan dengan pembelajaran siswa

di kelas untuk menyelidiki dan menjelaskan bagaimana siswa dapat merancang model

matematika dari masalah program linear yang berada di sekitar siswa.

F. Hypothetical Learning Trajectory (HLT)

Sebagai bagian terpenting dalam design research, peneliti mengembangkan desain

pembelajaran yang di dalamnya terdapat HLT. Simon (1995) memberikan syarat tentang

pengertian HLT bahwa guru harus membayangkan cara-cara di mana siswa mungkin terlibat

ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran tertentu, dan kemudian mencatat

potensi siswa dalam berargumentasi dimana mereka dianggap mewakili karakter komunitas

kelas, terkait dengan tujuan pembelajaran yang dipilih. Dalam pengertian ini, HLT berperan

penting sebagai cara untuk menjelaskan aspek pokok perencanaan pelajaran matematika

yang mengutamakan pengembangan konsep-konsep matematika baru siswa, dan mendukung

pengajaran matematika untuk pemahaman.

Selain itu, Simon memperkenalkan deskripsi HLT meliputi tujuan pembelajaran, deskripsi

aktifitas pembelajaran, dugaan lintasan belajar (Simon, & Tzur, 2004). Seperti dijelaskan

sebelumnya, HLT adalah suatu wahana untuk perencanaan belajar siswa khususnya konsep-

konsep matematika. Simon (1995) menjelaskan bahwa istilah "hipotesis" adalah didasarkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 101

pada kenyataan bahwa lintasan pembelajaran yang sebenarnya belum menjadi pengetahuan

siswa. Itu berarti bahwa guru tidak pernah bisa yakin apa yang siswa akan pikirkan dan

melakukan atau apa dan bagaimana mereka akan membangun interpretasi baru, ide-ide dan

strategi sampai mereka benar-benar bekerja pada masalah (Fosnot & Dolk, 2001). Dalam

pengertian ini, desainer harus membayangkan lintasan belajar di mana siswa mungkin

terlibat dengan tujuan matematika tertentu dalam pikiran. Selain itu, istilah "lintasan"

mungkin juga memiliki konotasi linear (Bakker, 2004). Meskipun kami bertujuan untuk arah

tertentu, lintasan pembelajaran bukanlah struktur yang kaku dan tidak harus linear. Para

siswa dapat bebas ke berbagai arah seperti mereka mengeksplorasi, memahami, dan

menafsirkan dunia secara matematis (Fosnot & Dolk, 2001).

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah mendorong siswa

mahir dalam merancang model matematika untuk memacahkan masalah materi program

linear . Rancangan kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini meliputi pengembangan

Lembar Aktifitas Siswa , Panduan guru, dan solusi Rencana Pembelajaran. Pertama mereka

dapat mengembangkan pemahamannya tentang permasalahan program linear dan dapat

merancang model matematikanya. Kedua, Siswa dapat meningkatkan kemampuan

pemecahaan masalahnya dari bagaimana tahap-tahap siswa tersebuat merancang model

matematika dari permasalahan program linear yang ada.

HLT ini dilaksanakan selama fase percobaan mengajar di kelas dua belas sekolah menengah

atas di kabupaten PALI, Indonesia. HLT ini berisi dua aktivitas pembelajaran dalam

periode dua minggu pengajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan studi ini. Dalam

setiap pelajaran, kita menggambarkan pemahaman awal siswa, tujuan pembelajaran,

kegiatan matematika, dan dugaan berpikir siswa dan penalaran. HLT dirancang untuk

mempelajari kemampuan pemecahan masalah pada materi program linear yang tertanam

dalam kegiatan pembelajaran yang dijelaskan dalam bab selanjutnya.

G. Penutup

Pembelajaran akan menjadi lebih bermakna apabila guru mampu mempersiapkan

pembelajaran sedemikian rupa agar siswa mau dan bersemangat untuk mengikuti proses

pembelajaran. Hal ini dapat terjadi apabila guru mampu mendesain pembelajaran dengan

menggunakan hal-hal yang dianggap baru bagi siswa dan membawaa manfaat untuk siswa.

Pendekatan pembelajaran yang masih baru dan membawa manfaat bagi siswa adalah PMRI.

Hal itu terjadi karena PMRI menggunakan konteks dunia nyata yang familiar dengan siswa.

Ini sejalan dengan materi program linear yang umumnya berkaitan dengan masalah sehari-

hari siswa dalam hal perencanaan kegiatan ekonomi, perdagangan dll.

Daftar Pustaka

Afgani, M. W., Darmawijoyo, & Purwoko. (2008). Pengembangan Media Website

Pembelajaran Materi Program Linear untuk Siswa Sekolah

Asih, I. M. (2011). Peningkatan Kemampuan Siswa SMAN 8 Denpasar dalam

Menyelesaikan Soal Cerita Pokok Bahasan Program Linear Mata Pelajaran

Matematika. Jurnal Udayana Mengabdi , 67-71.

Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education:on Symbolizing and Computer

Tools.Utrect,The Netherlands:Freudenthal Institute.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

102 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

BSNP. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar

Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional

Pendidikan.

Cobb,dkk. (2003). Desaign Experiments and Educational Research. American Educational

Research Association, 32-9.

Cooney, T.J. (1994). Research and Teacher Education : In Seacrh of Command Ground.

Journal for Research in Mathematics Education, 25(6), 608-636.

Dantzig, G.B. (1963). Linear Programming and Extension. RAND Corporation.

Depdiknas, (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional.

Edelson, D.C. (2006). Balancing Innovation and Risk: Asessing Design Research Propsals,

in : Van Den Akker,J. Gravenmeijer,K, Meckenney,S. Nieveen, N. (Eds). (2006).

Educational Design Research. London : Routledge,100-106.

Eddy. (2008). Manajemen Operasi. Edisi Ketiga. Jakarta. Grasindo

Frudenthal, H. (1991). Revisting Mathematics Education. Dordrecht. Kluwer Academic

Publishers.

Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Gravenmeijer & van Erde. (2009).Desaign Research as a Means for Building a Knowladge

Base for Theacher and Teaching in Mathematics Educations.The Elementry School

Journal, 109-5.

Hidayat, R., & Zanaton. (2014). Misconception of Linear Programming in Senior High

School. Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Hillier & Lieberman. (2001). Introduction to Operations Research.The McGraw-Hill

Companies.

Hudoyo. (1979). Perkembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan

Kelas.Malang : Grasindo.

Johanes Suoranto. (2005). Ekonometrika Buku I. Bogor : Ghalia Indonesia.

Nieveen, N., McKenney, S., van den Akker (2006). “Educational Design Research”

dalamEducationalDesign Research.New York : Routledge

Nurmalia, Hartono, Putri. (2013).Pendesaian Pembelajaran Materi Program Linear SMK

Menggunakan Konteks Makanan Tradisional Palembang.Palembang. Universitas

Sriwijaya.

Panhuizen, M. V. (2000). The Didactical use of Models in Realistic Mathematics

Educations: An Example from A Longitudinal Trajectory on Percentage. Journal

Educational Studies in Mathematics , 9-35.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 103

Plomp. (2007). " Educational Design Research :An Introduction", dalam An Introduction tp

Educational Research. Enschede, Netherland : National Institute for Curriculum

Development.

Plomp & Nieveen. (2007). An Introduction to Educational Design Research : Prossiding of

the Seminar Conducted at The East China NormalUniversity, Shanghai : PR China,

23-26.

Puspendik.2014. Laporan Hasil Ujian Nasional tahun 2014. Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan. Jakarta

Putri, R.I.I. 2011.Improving Mathematics Comunication Ability Of StudentsIn Grade 2

Through PMRI Approach. International Seminar and the Fourth National

Conference on Mathematics Education. Department of Mathematics Education,

Yogyakarta State University.

Putri, R.I.I 2011. Propesional Development of Mathematics Primary School Teachers in

Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education

Approach.Proceeding of the International Conggress for School Effectiveness and

Improvement (ICSEI), Limassol, Cyprus.

Sallan, Lordan, Fernandez. 2015. Modeling and Solving Linear Programming With R.

Catalunya: Omnia Science.

Stevens & Palocsay.2004. A Translation Appriach To Teaching Linear Program

Formulation. Journal INFORMS Transactions on Education.Maryland : USA, 38-

54.

Siswanto. 2007. Pengantar Manajemen. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Raealistik: Suatu Alternatif Pendekatan

Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zulkardi. (2002). Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education

for Indonesian Student Teachers. Enschede: University of Twente.

Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2010). Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan

Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI). Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP). 2(1). 1 – 24.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

104 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN

DISKURSIFUNTUK MENGEMBANGKAN PEMBUKTIAN

MATEMATIS DAN HABITS OF MIND MAHASISWA

Elsa Komala

Universitas Suryakancana

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menelaah pengaruh

pembelajaran dengan pendekatan diskursif terhadap kemampuan pembuktian

matematis dan kebiasaan berpikir (habits of mind) mahasiswa. Desain penelitian ini

adalah The Nonequivalent Posttest-Only Control Group Design. Kelompok

eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursifdan kelompok

kontrol memperoleh pembelajaran konvensional.Populasi penelitian ini adalah seluruh

mahasiswa jurusan pendidikan matematika FKIP UNSUR Cianjur, dengan sampel dua

kelas pada mahasiswa semester II dipilih dengan teknik purposive sampling. Untuk

mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan

mengenai pembuktian matematis dan angket untuk mengetahu habits of mind

mahasiswa. Berdasarkan analisis data, hasil penelitian menunjukkan bahwa

kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran

dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada kemampuan pembuktian matematis

mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kebiasaan berpikir (habit

of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif dengan pembelajaran

konvensional tidak bisa dibedakan secara signifikan.

Kata Kunci: Pendekatan Diskursif, Pembuktian Matematik, Habit of Mind.

1. Pendahuluan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Suryakancana (UNSUR)

Cianjur merupakan salah satu pencetak calon dosen matematika di provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan hasil pengamatan di kelas diperoleh fakta bahwa mahasiswa jurusan Pendidikan

UNSUR khususnya tingkat I, cendrung masih pasif dalam proses pembelajaran. Mahasiswa

masih menjadi pendengar dan menerima apa yang disampaikan oleh dosen-dosennya. Tanpa

mereka melakukan klarifikasi atau mendalami apa yang diajarkan. Mahasiswa yang

bertanyapun masih sangat jarang. Selain itu hal-hal yang masih menjadi kendala dalam

proses pembelajaran adalah masih kurangnya kemandirian belajar, bekerjasama dalam

kelompok untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Bahkan sampai setelah dilaksanakan

Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester hasilnya masih belum mencapai harapan

berdasarkan data yang peneliti miliki berdasarkan semester sebelumnya.

Sejalan dengan Umar (2013: 12) menyatakan bahwa kemampuan yang harus dikembangkan

dalam pembelajaran matematika tidak hanya mencakup kemampuan kognitif tetapi juga

kemampuan afektif, harus dimiliki oleh setiap mahasiswa.Orientasi dari pembelajaran selain

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa, yaitu mengembangkan

sikap.Sikap merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku atau aksi seseorang

dalam menghadapi tugas, termasuk tugas akademik. Ini berarti bahwa dalam proses

pembelajaran matematika, ranah sikap perlu dan terus ditumbuh kembangkan secara optimal

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 105

pada diri mahasiswa. Hal ini dikarenakan dalam belajar matematika dan menjalani

kehidupan sehari-hari, mahasiswa selalu berhadapan dengan multi persoalan.

Tugas seorang dosen adalah membantu mahasiswanya mendapatkan informasi, ide-ide,

keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, dan cara -cara berpikir serta mengemukakan

pendapat. Namun, tugas dosen yang paling penting dan menentukan adalah membimbing

para mahasiswa tentang bagaimana menumbuhkembangkan kbiasaan berpikir (habits of

mind) matematis. Karena itu, tujuan jangka panjang pembelajaran adalah untuk

meningkatkan kemampuan para mahasiswa agar ketika mereka sudah meninggalkan bangku

sekolah, mereka akan mampu mengembangkan diri mereka sendiri dan mampu

menyelesaikan masalah yang muncul.

Costa dan Kallick (2012) menyebutkan bahwa kebiasaan bukanlah perilaku yang kita

gunakan atau letakkan secara seenaknya atau semaunya kita.Kebiasaan ialah perilaku yang

kita tunjukkan dengan baik disaat-saat yang tepat dan bekerja begitu saja tanpa kita repot-

repot berusaha. Pada akhirnya pembiasaan pengaturan proses berpikir ialah sebuah cara

untuk membuka ruang pikiran sebagai tempat proses tersebut berlangsung. Memandang

pernyataan Costa dan Kallick sebelumnya, habits of mind mahasiswa benar-benar menjadi

landasan mahasiswa dalam berlangsungnya sebuah pembelajaran.

Salah satu alternatif pemecahannya diperlukan suatu proses pembelajaran matematika yang

membantu mahasiswa dalam mengembangkan dan meningkatkan kompetensi strategis

mereka, proses pembelajaran harus berpusat pada mahasiswa, mahasiswa harus mengalami

dan mengkonstruksi sendiri ilmu pengetahuan, sehingga proses pembelajaran akan lebih

bermakna. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan

partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran sehingga diharapkan mahasiswa tersebut

tidak hanya memiliki pengetahuan saja tetapi mampunyai kemandirian, mampu

memunculkan gagasan, ide kreatif dan mampu menghadapi tantangan dan mengatasinya dan

tentunya cakap dalam menyelesaikan permasalahan matematika terutama pembuktian

matematik.

Pendekatan diskursif dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan terpacu dengan

berbagai aktivitas, seperti pengajuan pertanyaan, mendengarkan ide orang lain, menulis,

maupun melakukan percakapan berbagai arah untuk sampai pada pemahaman matematika.

Aktivitas tersebut dilakukan mahasiswa ketika menyusun rencana dalam menyelesaikan

masalah matematis yang sedang dimiliki mahasiswa sehingga bisa menyelesaiakan nya baik.

Demikian pula pembelajaran dengan pendekataan diskursif di kelas, dilakukan dengan

melakukan berbagai kegiatan seperti intervensi dosen, pengambilan keputusan pengaturan

kelas dan pembelajaran dengan tujuan tercapai kualitas lingkungan yang memadai, mampu

membuat mahasiswa berpartisipasi aktif, mendorong mengembangkan intelektual mahasiswa

serta bisa membantu menjawab permasalahan yang dihadapi mahasiswa, sehingga hal

tersebut dapat meningkatkan kemampuan pembuktian matematis. Masalah yang diberikan

ini digunakan untuk mengikat mahasiswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang

dimaksud.Hal ini tentunya membutuhkan pengembangan kebiasaan berpikir (habits of mind)

mahasiswa.

Costa dan Kallick (2012) menyebutkan bahwa kebiasaan bukanlah perilaku yang kita

gunakan atau letakkan secara seenaknya atau semau kita.Kebiasaan ialah perilaku yang kita

tunjukkan dengan baik disaat-saat yang tepat dan bekerja begitu saja tanpa kita repot-repot

berusaha. Pada akhirnya pembiasaan pengaturan proses berpikir ialah sebuah cara untuk

membuka ruang pikiran sebagai tempat proses tersebut berlangsung. Memandang pernyataan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

106 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Costa dan Kallick sebelumnya, habits of mind mahasiswa benar-benar menjadi landasan

mahasiswa dalam berlangsungnya sebuah pembelajaran dan bisa menyelesaikan

permasalahanya terutama dalam pembuktian matematik. mahasiswa perlu memiliki

kebiasaan berpikir yang baik agar mampu merespon setiap masalah yang muncul dalam

pembelajaran. Kebiasaan berpikir mahasiswa pada saat pembelajaran menjadi hal yang

fundamental ketika mereka mendapat sekelumit permasalahan dan mereka harus mencari

solusi penyelesaiannya seperti apa. Habits of mind juga sangatmendukung penampilan

mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari.Kebiasaan berpikir (habits of mind) merupakan akar

kekuatan mahasiswa dalam melatih kemampuan mereka dalam menentukan solusi

penyelesaian dalam suatu permasalahan.

Kelas merupakan sebuah kondisi atau lingkungan yang mereka tempati pada saat mereka

belajar. Oleh karena itu, dosen benar-benar harus bisa melihat kebiasaan berpikir mahasiswa

tersebut ketika terjadi proses pembelajaran dan dosen memiliki peranan penting minimal

untuk mengingatkan mahasiswa akan pentingnya kebiasaan berpikir, sehingga mereka

terbantu dalam menyelesaikan berbagai tugas termasuk dalam pembuktian matematis.

Berdasarkan pemaparan mengenaipembelajaran dengan pendekatan diskursif, penelitian

difokuskan pada pembelajaran dengan pendekatan diskursif untuk mengembangkan

pembuktian matematik dan habis of mind mahasiswa. Adapun tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui: 1) Apakah kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang belajar

dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada mahasiswa yang belajar dengan

konvensional; 2) Kebiasaan berpikir (habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan

diskursif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar dengan konvensional.

Pendekatan Diskursif

Menurut Sierpinska (2003: 4), pendekatan diskursif berfokus pada komunikasi berupa debat,

alasan-alasan logis secara tertulis, dan komunikasi matematis sehingga pendekatan ini

memandang mahasiswa dalam kelas sebagai masyarakat belajar yang berinteraksi satu sama

lain.

Pendekatan diskursif dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan terpacu dengan

berbagai aktivitas, seperti pengajuan pertanyaan, mendengarkan ide orang lain, menulis,

maupun melakukan percakapan berbagai arah untuk sampai pada pemahaman matematika.

Aktivitas tersebut dilakukan mahasiswa ketika menyusun rencana dalam membuktikan

matematis yang sedang dilakukan mahasiswa sehingga bisa menyelesaiakan pembuktian

matematis dengan baik. Demikian pula pembelajaran dengan pendekataan diskursif di kelas,

dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti intervensi dosen, pengambilan

keputusan pengaturan kelas dan pembelajaran dengan tujuan tercapai kualitas lingkungan

yang memadai, mampu membuat mahasiswa berpartisipasi aktif, mendorong

mengembangkan intelektual mahasiswa serta bisa membantu menjawab permasalahan yang

dihadapi mahasiswa, sehingga hal tersebut dapat mengembangkan kemampuan pembuktian

matematis mahasiswa.

Kemampuan Membuktikan Matematis Hanna dan Barbeau (dalam Van Spronsen, 2008) menyatakan bahwa bukti adalah langkah-

langkah yang bersifat logis dari apa yang diketahui untuk mencapai suatu kesimpulan

dengan menggunakan aturan inferensia yang dapat diterima. Secara tradisional, peran bukti

adalah untuk memverifikasi kebenaran pernyataan matematika.Bukti ini digunakan untuk

menghilangkan ketidakpastian tentang proposisi matematika dan meyakinkan suatu

pernyataan.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 107

Menurut Mason (dalam Sumarmo, 2011), tiga level verifikasi dalam berpikir matematis

tingkat lanjut yaitu: 1) Meyakinkan diri sendiri (convice yourself): meyakinkan mengapa

suatu pernyataan bernilai benar; 2) Meyakinkan teman (convice a friend): meyakinkan orang

lain disertai dengan argumen yang terorganisasi secara koheren; 3) Meyakinkan lawan

(convice an enemy): meyakinkan orang lain disertai dengan argumen yang terorganisasi

secara koheren, dianalisis dan diperhalus sehingga siap untuk dikritisi. Indikator kemampuan

pembuktian matematis yang diukur dalam penelitian ini yaitu: 1) membaca pembuktian

matematis; 2) melakukan pembuktian matematissecara langsung, tak langsung, atau dengan

induksi matematis; dan 3) mengkritik pembuktian denganmenambah, mengurangi atau

menyusun kembali suatu pembuktian matematis.

Kebiasaan Berpikir (Habits of Mind)

Menurut Aristotle (Canfields & Watkins, 2008), kesuksesan individu sangat ditentukan oleh

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.Terdapat beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh

individu sukses dan kreatif sehingga membedakannya dengan individu-individu pada

umumnya. Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan semakin kuat dan menetap

pada diri individu sehingga sulit diubah.

Dalam hal ini kebiasaan tersebut telah membudaya pada diri individu.Salah satu jenis

kebiasaan yang dipandang sangat mempengaruhi kesuksesan individu adalah kebiasaan

berpikir (habit of mind).Habits of mind mengisyratkan bahwa perilaku membutuhkan suatu

kedisiplinan pikiran yang dilatih sedemikian rupa, sehingga menjadi kebiasaan untuk

berusaha terus melakukan tindakan yang lebih bijak dan cerdas.Hal ini dapat dipahami

karena segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang individu merupakan konsekuensi

dari kebiasaan berpikirnya.

Costa dan Kallick (2008) mendefinisikan kebiasaan berpikir sebagai kecenderungan untuk

berperilaku secara intelektual atau cerdas ketika menghadapi masalah, khususnya masalah

yang tidak dengan segera diketahui solusinya.Ketika menghadapi masalah, mahasiswa

cenderung membentuk pola perilaku intelektual tertentu yang dapat mendorong kesuksesan

individu dalammenyelesaikan masalah tersebut.

Kemudian, Costa dan Kallick (2008) mengidentifikasi enambelas karakteristik kebiasaan

berpikir tersebut yaitu sebagai berikut: 1) Bertahan atau pantang menyerah; 2) Mengatur kata

hati. Individu yang dapat mengatur kata hatinya akan berpikir reflektif dan berhati-hati; 3)

Mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati; 4) Berpikir luwes; 5) Berpikir

metakognitif; 6) Berusaha bekerja teliti dan tepat; 7) Bertanya dan mengajukan masalah

secara efektif; 8) Memanfaatkan pengalaman lama untuk membentuk pengetahuan baru; 9)

Berpikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat; 10) Memanfaatkan indera dalam

mengumpulkan dan mengolah data; 11) Mencipta, berkayal, dan berinovasi; 12)

Bersemangat dalam merespons; 13) Berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko; 14)

Humoris; 15) Merasa saling bergantung/ membutuhkan; 16) Belajar berkelanjutan

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Populasi penelitian ini adalah

mahasiswa pendidikan matematika UNSUR, dengan sampel dua kelas mahasiswa tingkat II

pada mata kuliah teori bilangan tahun ajaran 2015/ 2016 dengan penentuan sampel dilakukan

dengan menggunakan teknik “Purposive Sampling”, satu kelas eksperimen yang terdiri dari

26 mahasiswa yang memperoleh pendekatan diskursif dan satu kelas kontrol yang terdiri dari

32 mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

108 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Untuk mengukur kemampuan pembuktian matematis digunkana tes yang terdiri dari 5 soal

tes tertulis dalam bentuk uraian yang dilakukan pada saat Ujian Akhir Semester. Angket

diberikan kepada mahaiswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol pada akhir kegiatan

bertujuan untuk mengetahui habits of mind mahasiswa dalam pembelajaran. Angket

menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S),

Tidak Tentu (TT), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS) dengan skor 4, 3, 2, 1 dan 0

untuk pernyataan positif, untuk pernyataan negatif skor merupakan kebalikannya.

3. Hasil Dan Pembahasan Kemampuan pembuktian matematis dalam penelitian ini dilihat dari nilai UAS

mahasiswa.Berdasarkan Tabel 1 ditemukan bahwa rerata nilai kelas eksperimen lebih tinggi

daripada rerata kelas kontrol.

Tabel 1. Statistik Deskriptif Kemampuan Pembuktian Matematis

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Eksperimen 26 60.00 100.00 82.31 12.92

Kontrol 32 60.00 98.00 75.94 11.45

Pengujian kemampuan pembuktian matematis yang belajar dengan pendekatan diskursif

lebih baik dari pada mahasiswa yang belajar dengan konvensional menggunakan uji-

t.Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data kedua kelas

dengan menggunakan Shapiro-Wilk.Berdasarkan tabel 2. Hasil uji nomalitas adalah nilai

kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-

masing berasal dari populasi yang berdistribusi yang tidak normal dengan nilai Sig berturut-

turut adalah 0,014 dan 0,046. Karena kedua data tidak berdistribusi normal untuk

mengetahui signifikansi perbedaan rerata kedua kelas data digunakan uji statistik dengan

Mmann Tithneyyang disajikan pada tabel 3, diperoleh sig(2-tailed) = 0,055. Nilai sig(1-

tailed) = ½ sig(2-tailed) berarti sig(1-tailed) = ½ (0,055) = 0,028 (Widhiarso, 2008).

Selanjutnya dipearoleh sig(1-tailed) < 0,05. Dengan demikian terdapat perbedaan signifikan

pada kedua kelas.Berarti, kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas eksperimen

lebih baik daripada kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas kontrol.

Tabel 2. Tests of Normality Kemampuan Pembuktian Matematis

Kelompok

Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig.

Nilai Eksperimen .898 26 .014

Kontrol .933 32 .046

Tabel 3. Test Statisticsa Kemampuan Pembuktian Matematis

Nilai

Mann-Whitney U 293.500

Wilcoxon W 821.500

Z -1.917

Asymp. Sig. (2-tailed) .055

Skor habits of mind mahasiswa diperoleh dengan cara mengasumsi data ordinal ke dalam

data interval. Pengujian habits of mind mahsiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 109

lebih baik daripada habits of mind mahaiswa yang belajar dengan konvensional

menggunakan uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas

data kedua kelas dengan menggunakan Shapiro-Wilk. Hasil uji nomalitas adalah skor habits

of mind mahasiswa kedua kelas masing-masing berasal dari populasi yang berdistribusi

normal dengan nilai Sig berturut-turut adalah 0,181 dan 0,142. Sealanjutnya, pada uji

kesamaan varians dengan Levene sebesar 0,567 dengan sig = 0,454. Nilai sig tersebut lebih

besar 0,05 berarti dinyatakan bahwa varians populasi kedua kelas adalah homogen.

Berdasarlkan tabel 4. untuk mengetahui signifikansi perbedaan rerata kedua kelas data

digunakan uji statistik, untuk pasangan data yang homogen digunakan uji-t dengan asumsi

varians sama (Equal variances assumed) dan diperoleh thitung = 5,280 dengan df = 56 dan

sig(2-tailed) = 0,759. Selanjutnya dipearoleh sig(1-tailed) = 0,3759 > 0,05. Dengan demikian

habits of mindmahasiswa yang menunjukkan bahwa H0 diterima, artinya kebiasaan berpikir

(habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif tidak lebih baik

dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Belum berkembangnya habits of mind mahasiswa pada kelas ekeperimen disebabkan oleh

penelitian yang relatif singkat, padahal habits of mind mahasiswa tidak dapat dikembangkan

hanya dalam waktu yang relatif singkat dan dengan pengaruh dari proses pembelajaran di

kampus saja, melainkan dibutuhkan tanggung jawab bersama untuk mengembangkan habits

of mind mahasiswa.Hal ini sejalan dengan penelitian Safitri (2013) yang menyatakan bahwa

tidak terdapat berbeda secara signifikan antara siswa kelas ekperimen dengan siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.Ini sesuai dengan yang pendapat oleh Costa dan

Kallick (2012) yaitu pengajaran “kebiasan berpikir” merupakan tugas kelompok.Karena

kebiasaan-kebiasaan yang ada pada pendekatan diskursif ini membutuhkan banyak latihan

dalam waktu yang lama. Jika kebiasaan-kebiasaan ini terus diterapkan mahasiswa dalam

aktivitas sehari-hari, habits of mind akan menjadi modal dasar dalam membentuk

kepribadian yang sangat baik. Dan tentunya akan bermanfaat untuk kehidupan selanjutnya.

Sehingga kebiasaan-kebiasaan itu menjadi guide yang memandu dan mengarahkan

mahasiswa untuk berperilaku efektif, tegas, dan kooperatif.

4. Simpulan Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Kemampuan pembuktian matematis

mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada

mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional; 2) kebiasaan berpikir (habits of

mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif tidak lebih baik dibandingkan

dengan pembelajaran konvensional.

Tabel 4. Independent Samples Test Habits of Mind

t-test for Equality of Means

T df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Differenc

e

Std. Error

Differenc

e

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Habits of

mind

Equal

variances

assumed

-.309 56 .759 - .556 1.797 -4.207 3.096

Equal

variances

not

assumed

-.309 33.919 .759 - .556 1.797 -4.207 3.096

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

110 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Daftar Pustaka

Canfield, Jack & Watkins, D.D. 2008.The Secrets Law of Attraction.Panduan Sederhana

untuk Menciptakan Kehidupan yang Anda Impikan Agar Orang Lain Mau

Membantu Hidup Anda. Bandung: Jabal

Costa, A. & Kallick, B. 2008.Describing 16 Habits of Mind.[Online]. Tersedia:

http://www.habits-of-mind.net/pdf/16HOM2.pdf. [17 April 2013].

Costa & Kallick. 2012. Belajar dan Memimpin dengan Kebiasaan Pikiran. Jakarta: Indeks.

Safitri, Prahesti T. 2013. Pembelajaran Quick on The Draw Untuk Meningkatkan

Kemampuan Penalaran Matematis dan Habits of Mind Siswa Sekolah Menengah

Pertama. Skropsi UPI: tidak diterbitkan.

Sierpinska, A. 2002. Language and Communication in Mathematics Education. “Discursing

Mathematcial Away”. Talk at lula Tecniska Universitet.

Sumarmo, U. 2011. Pembinaan Budaya dan Karakter serta Pengembangan Kemampuan

Disposisi Matematik: Pengertian dan Implementasinya dalam Pembelajaran.

Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, pada tanggal 15

Oktober 2011.UNSIL Tasikmalaya.

Umar, W. 2013.Pengembangan MathematicalThinking Berorientasi pada Gaya Kognitif dan

Budaya Siswa.Makalah diterbitkan pada jurnal pendidikan Matematika UM.

Malang.

Van Spronsen, H. D. 2008. Proof Processes of Novice Mathematics Proof Writers. Disertasi.

Missoula: Tidak dipublikasikan.

Widhiarso, W. 2008.Perbandingan Ketepatan Estimasi antar Koefisien Reliabilitas

Multidimensi. Jurnal Psikologi INSAN

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 111

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME GUNA

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMPETENSI STRATEGIS

SISWA SMP

Eva Dwi Minarti

Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data apakah kemampuan dan

peningkatan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan

konstruktivisme lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan

pembelajaran biasa, Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi

eksperimen. Pengumpul data menggunakan teknik tes kemampuan kompetensi

strategis siswa yang sebelumnya dihitung telebih dahulu validitas, reliabilitas,

indeks kesukaran dan daya pembeda. Analisis data dilakukan dengan uji t dan

uji gain ternormalisasi. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh

kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan kompetensi strategis siswa yang

menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan siswa

SMP yang mendapatkan pembelajaran biasa; (2) Peningkatan kemampuan

kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan

konstruktivisme lebih baik dibandingkan siswa yang mendapatkan

pembelajaran biasa.

Kata Kunci: pendekatan konstruktivisme, kompetensi strategis

1. Latar Belakang

Salah satu kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa dalam pembelajaran

matematika adalah kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal tersebut sejalan dengan

Posamentir dan Stepelmen (Irvansyah, 2005: 5) bahwa kemampuan serta keterampilan dalam

memecahkan suatu masalah akan bermanfaat dalam menghadapi permasalahan keseharian

serta dalam situasi-situasi pengambilan keputusan yang akan selalu dialami seluruh

kehidupan individu.

Wahyudin (1999) mengemukakan kelemahan yang dimiliki oleh para siswa dalam atau

menyelesaikan persoalan matematik, diantaranya: (1)kurang memahami dan kurang

menggunakan kaidah-kaidah atau aturan-aturan matematika dengan tepat dan semestinya;

(2)kurang memiliki kemampuan berfikir deduktif yang baik, sehingga jika diberikan

persoalan matematika bertemakan buktikan, tunjukkan, perlihatkan, maka mereka kesulitan

untuk menuliskan langkah-langkahnya; (3)kurang memiliki kemampuan dalam

menyelesaikan soal dengan memakai prosedur atau langkah-langkah yang logis, sehingga

yang terpikirkan oleh mereka hanyalah hasil akhir yang diperoleh, tidak peduli apapun

langkah ataupun prosedurnya; dan (4)jarang sekali memeriksa atau menyimak kembali

sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak).

Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan

dalam merumuskan permasalahan, mempresentasikan, dan menyelesaikannya. Kemampuan

semacam ini dikenal sebagai kompetensi strategis (strategic competence) (Klipatrick et al,

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

112 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

2001: 124). Kemampuan tersebut dapat dikembangkan dengan menggunakan berbagai

pendekatan dan model pengajaran yang tepat dan menekankan pada proses berfikir siswa.

Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan konstruktivisme.

Nurhadi (2003:33) mengemukakan, pendekatan konstruktivisme merupakan suatu

pendekatan yang berkenaan dengan peserta didik harus mampu menemukan dan

mentransformasikan suatu infomasi komplek ke situasi lain, apabila dikehendaki informasi

itu menjadi milik mereka sendiri. Peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka

melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajarannya dan peserta didik menjadi pusat

kegiatan pembelajaran. Konstruktivisme memandang pengetahuan bukanlah seperangkat

fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus

mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik

perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi

dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Pendekatan kostruktivisme adalah pendekatan yang

bersifat membangun pengetahuan dengan mengaitkan ilmu yang sudah ada sehingga peserta

didik dapat mengkolaborasikannya dengan ilmu baru yang didapat.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti, Penerapan Pendekatan

Konstruktivisme guna meningkatkan kemampuan kompetensi Strategis siswa SMP.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalah yang dikaji sebagai

berikut:

a. Apakah kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan

pendekatankonstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa?

b. Apakah peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang

menggunakan konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa?

3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menelaah kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan

pendekatankonstruktivisme dan pembelajaran biasa.

b. Menelaah peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang

menggunakan konstruktivisme dan pembelajaran biasa.

4. Definisi Operasional a. Kemampuan kompetensi strategis siswa adalah kemampuan siswa untuk

merumuskan, menyajikan, serta menyelesaikan permasalahan matematika.

b. Pendekatan Konstruktivisme adalah suatu pendekatan yang mendorong: (1)peserta

didik membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada, (2)dalam

konteks pembelajaran, peserta didik seharusnya membina sendiri pengetahuan

mereka; (3)pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri

melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan

pembelajaran terbaru; (4) membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara

membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

5. Hipotesis Penelitian a. Kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan

pendekatankonstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 113

b. Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan

konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.

6. Metode dan Desain Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen karena adanya keterbatasan hal

mengkontrol factor-faktor yang kemungkinan dapat mengintervensi situasi pembelajaran

yang dilakukan. Disain eksperimen yang digunakan adalah disain kelompok kontrol non-

ekuivalen sebagai berikut:

O X O

O O … (Ruseffendi, 1994)

Keterangan:

O = Pretes = Postes

X = Pendekatan kontruktivisme

7. Subjek Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMP di kota Bandung.

Sampel penelitian ini sebanyak dua kelas yaitu kelas VIII-B sebagai kelas eksperimen dan

VIII-E sebagai kelas kontrol.

8. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam jenis instrumen

yaitu soal tes tertulis mengenai kompetensi strategis matematis yang dibuat dalam bentuk

uraian, dan berupa bahan ajar yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dan

pembelajaran biasa.

9. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tes, data yang berkaitan dengan kompetensi

strategis matematis siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes). Teknik analisis

melituti, data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa hal sebagai

berikut:

a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem

penskoran yang digunakan.

b. Menghitung Peningkatan kompetensi yang terjadi sebelum dan sesudah

pembelajaran yang dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (N-Gain), yaitu:

Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai

berikut:

c. Menyajikan statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain yang

meliputi skor terendah (Xmin), skor tertinggi (Xmaks), rata-rata , dan simpangan

baku (S).

d. Melakukan uji normalitas pada data pretes dan N-Gain kompetensi strategis

matematis.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

114 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

e. Menguji homogenitas varians data skor pretes dan N-Gain kompetensi strategis

matematis.

10. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh dalam setiap tahap penelitian yang telah

dilakukan. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif . Data kuantitatif

diperoleh dari hasil pretes dan postes kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengolahan data

kuantitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS 23 for Windows.

Berdasarkan data yang diperoleh, yaitu data pretes, postes, dan N-gain kemampuan

kompetensi strategis matematis secara deskriptif tampak pada tabel di bawah ini:

Tabel 2

Deskriptif Statistik Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis Siswa

Variabel Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Pretes Postes N-gain Pretes Postes N-gain

Kemampuan

Kompetensi

Strategis

Matematis

N 36 36 36 35 35 35

xmaks 34 96 0,94 33 79 0,76

xmin 7 58 0,42 7 65 0,28

20,89 80,06 0,75 21,20 64,97 0,55

S 7,86 9,84 0,13 7,31 8,67 0,11

SMI=100

Tampak bahwa rerata kemampuan awal siswa pada kemapuan kompetensi strategis siswa

relatif sama. Tetapi nampak pada kemampuan akhir reratanya lebih besar kelas yang

mendapatkan pendekatan konstruktivisme dibanding dengan kelas yang mendapat

pembelajaran biasa. Rata-rata peningkatan lebih besar kelas yang mendapatkan pendekatan

konstruktivisme dibanding dengan kelas yang mendapat pembelajaran biasa. Simpangan

baku setiap data baik pretes, postes, maupun n-gain pada kedua kelas relatif tidak jauh

berbeda.

Selanjutnya akan dilakukan uji statistik untuk mengetahui kemampuan awal siswa kelas

eksperimen dan siswa kelas kontrol memiliki rataan yang sama. Kemudian akan dilanjutkan

dengan menganalisis gain ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk

memastikan apakah peningkatan kemampuan kompetensi strategis matematis kedua kelas

tersebut berbeda secara signifikan atau tidak. Untuk melihat uji rataan, terlebih dahulu

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, dengan derajat signifikansi setiap uji sebesar

0,05 atau tingkat kepercayaan sebesar 95%.

Dibawah ini merupakan hasil uji nomalitas, homogenitas dan rerata pretes, postes dan n-gain

kemampuan kompetensi strategis siswa, hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS.

Hipotesis untuk uji normalitas:

H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 : sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

Kriteria pengujian, jika p value (sig.) lebih dari sama dengan α maka H0 diterima dan jika p

value (sig.) kurang dari α maka H0 ditolak, dengan taraf signifikan sebesar α = 0,05

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 115

Tabel 3

Uji Normalitas Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis Siswa

Kelas Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Pretes Eksperimen ,144 36 ,057 ,952 36 ,118

Kontrol ,120 35 ,200* ,959 35 ,214

Postes Eksperimen ,096 36 ,200* ,966 36 ,330

Kontrol ,136 35 ,099 ,968 35 ,385

Gain Eksperimen ,104 36 ,200* ,955 36 ,154

Kontrol ,131 35 ,133 ,947 35 ,090

Baik dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov maupun Shapiro-Wilk data pretes, postes

maupun n-gain di kedua kelas tidak berdistribusi normal, sehingga untuk menghitung

reratanya, digunakan uji non parametrik.

Adapun hipotesis statistik untuk data pretes kemampuan kompetensi strategis matematis

siswa sebagai berikut:

H0 :

H1 :

Keterangan :

H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas

eksperimen dan kelas kontrol.

H1 : Terdapat perbedaan kemampuan kompetensi strategis matematis matematis siswa

kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Hipotesis statistik untuk uji data postes sebagai berikut:

H0 : Kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen tidak lebih baik

dari kelas kontrol.

H1 : Kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari

kelas kontrol.

Hipotesis statistik untuk uji data n-gain sebagai berikut:

H0 : Peningkatan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen

tidak lebih baik dari kelas kontrol.

H1 : Pemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari

kelas kontrol.

Kriteria pengujian, jika p value (sig.) lebih dari sama dengan α maka H0 diterima dan jika p

value (sig.) kurang dari α maka H0 ditolak, dengan taraf signifikan sebesar α = 0,05

Tabel 4

Uji Rerata Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis

Pretes Postes Gain

Mann-Whitney U 623,000 162,000 157,50

0

Wilcoxon W 1289,00

0

792,000 787,50

0

Z -,081 -5,387 -5,435

Asymp. Sig. (2-tailed) ,936 ,000 ,000

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

116 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Monte Carlo Sig. (2-

tailed)

Sig. ,915b ,000

b ,000

b

95%

Confidence

Interval

Lower Bound ,851 ,000 ,000

Upper Bound ,980 ,041 ,041

Monte Carlo Sig. (1-

tailed)

Sig. ,451b ,000

b ,000

b

95%

Confidence

Interval

Lower Bound ,335 ,000 ,000

Upper Bound ,566 ,041 ,041

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi dengan Mann-Whitney U adalah 0,936

lebih dari 0,05 untuk data pretes, maka H0 diterima, sehingga tidak terdapat perbedaan secara

signifikan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa dari kedua kelas tersebut.

Dengan kata lain antara kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak terdapat perbedaan

kemampuan awal.

Sedangkan untuk data postes dihitung dengan uji sig. 1 tailed dan didapatkan signifikasi

reratanya adalah 0,000 dengan kata lain H0 di tolak, artinya kemampuan kompetensi strategis

siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dari pada siswa yang

menggunakan pembelajaran biasa.

Perhitungan untuk gain ternormalisasipun sama, menggunakan uji signifikansi satu pihak

dan didapatkan signifikasi reratanya adalah 0,000 dengan kata lain H0 di tolak, artinya

peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa menggunakan pendekatan

konstruktivisme lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa.

Hasil analisis data tersebut didukung dengan pendapat ahli bahwa belajar adalah suatu

aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor interen pada diri pebelajar dengan

faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Belajar

merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait

bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Wheatley (1991: 12) mengemukakan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori

belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi

secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan

membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum yang menyebabkan

seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.

3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling

memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara

aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah

ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini

berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau

sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman

pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 117

Tytler (1996: 20) mengemukakan rancangan pembelajaran dalam mengimplementasikan

teori belajar konstruktivisme, sebagai berikut: (1)memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri; (2)memberi kesempatan kepada siswa

untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif:

(3)memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru: (4)memberi

pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa; (5)mendorong

siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka: dan (6)menciptakan lingkungan belajar

yang kondusif. Hal-hal tersebut di atas mendorong kelas yang menggunakan pendekatan

konstruktivisme lebih aktif dalam pembelajaran dibandingkan kelas yang menggunakan

pembelajaran biasa.

Pembelajaran biasa dalam penelitian ini berupa pembelajaran kovensional, yang memiliki

kekhasan lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada keterampilan

berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru

(Ruseffendi, 2006: 294). Langkah-langkah dalam model pembelajaran konvensional

Ruseffendi (2006: 351) antara lain: (1)guru menerangkan suatu konsep; (2)guru memberikan

contoh soal dan penyelesaiannya; (3)guru memberikan soal latihan; (4)siswa menyimak,

mencatat, dan mengerjakan tugas-tugas serta ulangan atau tes yang diberikan guru.

Secara umum pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran dengan pendekatan

konstruktivisme dan pembelajaran biasa berjalan sesuai dengan tujuan yang telah

direncanakan dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Aktivitas guru pada tiap

pertemuan selalu ada peruabahan ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan aktivitas

siswa, semakin menunjukkan aktivitas positif yang relevan dengan pembelajaran yang

sedang berlangsung. Namun hasil yang didapat kemampuan akhir dan peningkatan

kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan

pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan pembelajaran biasa.

11. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dikemukakandi atas, dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berkut:

(1) Kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan

konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.

(2) Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan

konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.

Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran berhubungan dengan penelitian ini, adalah

sampel penelitian yang diambil hanya dua kelas sehingga hasil penelitian ini belum tentu

sesuai dengan sekolah atau daerah lain yang memiliki karakteristik dan psikologi siswa yang

berbeda. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih

besar, dengan tujuan memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih

akurat.

Datar Pustaka

Hake R, Richard. (1999). Analyzing Change/Gain Score. American Educational Research

Association‟s Division Measurement and Research Methodology.

Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik.

Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan

Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan

.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

118 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Irvansyah. (2005). Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Open-Ended untuk

Meningkatkan Kompetensi Strategis Siswa SMA. Laporan Penelitian UPI. Bandung.

Tidak diterbitkan.

Klipatrick, J., Wafford, J., dan Findell, B. (2001). Andding It Up: Helping Childern Learn

Mathematics. Washington, DS: National Academy Press.

Meltzer,D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual

Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores.

American Journal of Physics. Vol. 70 (12) 1259 - 1268. Tersedia:

http://www.physics.iastate. edu/per /docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf

Nuhadi, dkk. (2003). Pembelajaran Kontekstual (Cooperative Learningdi Ruang

Kelas).Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Ruseffendi, E.T.(1994). Dasar-dasar Penelitian dan Pendidikan Bidang Non Eksakta

Lainnya. Cetakan Pertama.Semarang. IKIP Semarang Press.

.(2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:

Tarsito.

Tytler, R. (1996). Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science.

Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa

dalam Pelajaran Matematika (Disertasi). Bandung: IKIP Bandung.

Wheatley, G. H. (1991). Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning.

Journal of Research in Science Teaching. New York: John Wiley & Sons, Inc. 35 (1)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 119

TABEL RASIO DAN GRAFIK DALAM DESAIN

PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI UNTUK

MENGEMBANGKAN PENALARAN PERBANDINGAN

(PROPORTIONAL REASONING)

Haniful Muttaqin1, Ratu Ilma Indra Putri

2

1Yayasan Subulussalam OKU Timur

[email protected] 2Universitas Sriwijaya

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi perbandingan,dimana

salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya kemampuan penalaran

perbandingan (proportional reasoning). Tujuan penelitian ini adalah untuk

membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran perbandingan. Strategi

solusi dalam penelitian ini adalah tabel rasio dan grafikmenggunakan pendekatan

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) konteks OKU Timur. Penelitian

ini dilaksanakan di MTs Subulussalam 2 Sriwangi Ulu OKU Timur. Metode

penelitian yang digunakan adalahdesign research dengan tiga tahapan, yaitu

preliminary experiment, design experiment, dan retrospective analysis. Pada tahap

preliminary experiment, peniliti mendesain hipotesis lintasan pembelajaran atau

Hypothetical Learning Trajectory(HLT).Pada tahap design experiment, HLT diuji

cobakan pada siswa untuk mengembangkan pengetahuan informal menjadi

pengetahuan formal matematika melalui aktivitas. Hasil uji coba dianalisis pada

tahap retrospective analysis sehingga dihasilkan lintasan belajar atau Learning

Trajectory (LT).

Kata kunci: Tabel rasio dan grafik, PMRI, penalaran perbandingan (proportional

reasoning).

1. Pendahuluan

Masalah perbandingan merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, materi perbandingan sangat penting untuk dipelajari. Dalam

matematika, sebagai contoh pemecahan masalah dan perhitungan yang melibatkan skala,

peluang, persen, tarif dasar, trigonometri, kesebangunan, pengukuran, geometri dan aljabar,

dapat dibantu melalui pengetahuan tentang perbandingan (Dole, Wright, Clarke & Campus,

2009).

Sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam

penerapan rasio dan perbandingan (ratio and proportion) (Livy &Vale, 2011). Studi terbaru

di Palembang Indonesia, seperti penelitian yang dilakukan Rahmawati (2015), Utari (2015),

dan Ningsih (2016) juga menunjukkan masih terdapat kesulitan siswa dalam memahami

konsep perbandingan. Kesulitan siswa memahami konsep perbandingan disebabkan

beberapa faktor, di antaranya kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning)

yang rendah. Siswa sulit bernalar dalam menggunakan perkalian untuk menyelesaikan

masalah matematika dari situasi perbandingan (Singh, 2000; Dole Wright, Clarke &

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

120 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Campus, 2009). Kesulitan anak dengan ciri tersendiri penalaran perbandingan mungkin

terlalu berat aturan dalam perbandingan (Mix, Levine, & Huttenlocher, 1999; Wynn, 1997

dalam Boyer et al, 2008).

Menyelesaikan masalah perbandingan dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya

berdasarkan harga satuan,berdasarkan nilai perbandingan, dengan cara langsung, dan dengan

menggunakan pola kelipatan (Nurharini & Wahyuni, 2008; Manik, 2009; Hardi, Hudiono, &

Mirza, 2010). Dalam NCTM (2013) dijelaskan bahwa ada lima cara/strategi yang dapat

digunakan untuk menyelesaikan masalah perbandingan, yaitu (1) dengan menemukan harga

satuan (unit rate) kemudian dikalikan atau dibagi untuk menemukan jawaban; (2) dengan

menuliskan masalah ke dalam tabel rasio (ratio table); (3) dengan menggunakan sebuah

metode yang disebut diagram pita (tape diagram); (4) dengan menyusun perbandingan

sebagai persamaan dua rasio (equality between two ratios) kemudian menyelesaikannya

dengan perkalian silang (cross-multiplication); dan (5) dengan membuat grafik (graphing).

Dalam penelitian ini, strategi solusi yang digunakan adalah tabel rasio dan grafik,

menggunakanpendekatanPMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).Dengan

strategi table rasio dan grafik dan pendekatan PMRI, peniliti akan mendesain hipotesis

lintasan pembelajaran atau Hypothetical Learning Trajectory(HLT) yang disusun

berdasarkan pengetahuan informal dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa kemudian

berkembang menjadi suatu pengetahuan formal matematika melalui suatu proses pemodelan.

HLT ini dicobakan pada siswa selama penelitian kemudian direvisi sehingga menghasilkan

lintasan belajar atau Learning Trajectory(LT).

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Perbandingan(Ratio and Proportion)

Perbandingan istilah ilmiah adalah rasio dan proporsi (ratio and proportion). Rasio adalah

perbandingan dua atau lebih kuantitas dari jenis yang sama (Shelley, Dole, Malcolm,

&Shield, 2002). Sedangkan perbandingan dua atau lebih kuantitas dari jenis yang berbeda

disebut rate. Rasio dapat ditulis sebagai a : b, atau sebagai pecahan , atau sebagai

persentase. Algortima standar untuk situasi perbandingan adalah representasi dari persamaan

rasio, yaitu = (Karplus, Pulos, & Stage,1983; Langrall dan Swafford, 2000; Silvestre &

da Ponte, 2012; dan Touriniare & Pulos, 1985).

Proporsidalam arti perbandingan menyatakan kesamaan dua rasio. Proporsi ditulis = atau

a : b = c : d (Kershaw, 2014). Prosedur solusi standar untuk menyelesaikan persamaan

perbandingan adalah “perkalian silang” (Lesh, Post, & Behr, 1988). Dalam proporsi = , b

dan c disebut means, sedangkan a dan d disebut extremes.

Gambar 1. Diagram Means dan Extremes pada Perkalian Silang (Kershaw, 2014)

Menurut Cramer & Post (1993), menggunakan algoritma perkalian silang dalam

menyelesaikan persamaan perbandingan adalah efisien, akan tetapi sedikit bermakna bagi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 121

siswa. Cara mengajarkan perbandingan dengan memberikan perkalian silang tidak berarti

bagi siswa (Sumarto, van Galen, Zulkardi, Darmawijoyo, 2014). Menurut Van de Walle

(2008), untuk memahami masalah perbandingan hendaknya siswa fokus pada pengembangan

kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning).

2.2. Penalaran Perbandingan (Proportional Reasoning)

Kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning) merupakan kemampuan yang

penting untuk membangun pondasi matematika tingkatan selanjutnya dan kemampuan

bernalar dalam aljabar (Langrall, Cynthia,& Swafford, 2000). Proportional reasoning telah

dirujuk sebagai pecapaian utama dari kurikulum dan fondasi dari aljabar dan pengetahuan

sesudahnya (Lesh, Post, & Behr, 1988).

Menurut Shannon (2003) “Proportional reasoning is the ability to compare ratios or the

ability to make statements ofequality between ratios. Sedangkan menurut Tabart, Skalicky,

& Watson, (2005) “proportional reasoning is a challenging yet central concept for students

in the middle grades, and lays an important foundation for the mathematics that is studied

later in high school”. Karplus, Pulos, & Stage (1983) mendefinisikan penalaran

perbandingan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan penalaran dalam sistem dua variabel

antara hubungan fungsi linier. Penalaran perbandingan dapat juga didefinisikan sebagai

sebuah kemampuan untuk memahami bentuk matematika yang multiplikatif dalam

perbandingan.

Menurut Van de Walle (2008) untuk mengembangkan kemampuan penalaran perbandingan,

guru dapat melakukan hal-hal berikut: (1) menyediakan tugas-tugas rasio dan perbandingan

dalam konteks luas, salah satunya mencakup situasi yang melibatkan penentuan harga; (2)

mendorong siswa untuk melakukan diskusi dan percobaan dalam memprediksi dan

membandingkan rasio; (3) membantu siswa menghubungkan penalaran perbandingan

dengan proses-proses yang sudah ada.

2.3. Tabel rasio dan Grafik

Menurut Aprianti (2011), siswa mengalami beberapa hambatan dalam proses pembelajaran

perbandingan. Ada tiga macam hambatan epistemologi, yaitu terkait: (1) variasi bentuk soal

dan informasi yang tersedia dalam soal; (2) kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal

perbandingan yang disajikan dalam bentuk grafik; dan (3) koneksi pemahaman konsep

perbandingan dengan konsep matematika yang lain.

Utami (2012) menyatakan bahwa materi perbandingan dapat dimulai dari pembelajaran

melihat pola. Tabel rasio dapat menunjukkan pola perbandingan. Sedangkan grafik

perbandingan berbentuk garis lurus/linier yang melalui pusat koordinat. Dalam aljabar, ini

dinyatakan dengan formula y = mx (Cetin & Ertekin, 2011).Sumarto (2014) mengatakan

“tabel rasio bersama dengan konteks dapat membantu siswa mengembangkan penalaran

perbandingan sekaligus strategi pemecahan masalah perbandingan, baik missing value

problem maupun comparison problem”. Hancock (2014) menyatakan bahwa penggunaan

tabel rasio dan grafik dapat membantu siswa untuk mengembangkan penalaran

perbandingan.

Ada hubungan antara tabel rasio dan grafik perbandingan. Pola-pola dalam tabel ditemukan

untuk mendapatkan sebuah hubungan untuk pola titik pada grafik Semua situasi

perbandingan dapat dinyatakan dengan persamaan linier y = mx, dimana m menunjukkan

kemiringan garis (Tabart, Skalicky, & Watson, 2005). Dan dasar yang kuat dalam penalaran

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

122 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

perbandingan dapat membantu pemahaman siswa dalam memahami fungsi dan persamaan

linier dalam bentuk y = mx dan y = mx + c (NCTM, 2013).Guru dapat menaikkan kapasitas

kemampuan penalaran perbandingan siswa dengan menyeimbangkan kemampuan dan

konsep, dan dengan menunda mengajarkan perkalian silang sampai siswa memperoleh

pengalaman dengan membentuk rasio dan pemahaman perbandingan sebagai persamaan

rasio (NCTM, 2013).

2.4. PMRI

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)adalah salah satu inovasi dalam

pembelajaran matematika yang dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001 (Zulkardi &

Ilma, 2010). PMRI adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang bertitik tolak

dari hal-hal yang bersifat„real‟bagi siswa. PMRI dilaksanakan dengan menggunakan konteks

dunia nyata, model-model, produksi dan konstruksi, interaktif, dan

keterkaitan(intertwinment) (Fauzan, Slettenhaar, dan Plomp, 2002). Penggunaan konteks

dunia nyata memungkinkan siswa memanfaatkan pengalamannya untuk penguasaandan

penjelajahan pengalaman baru.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa PMRI dapat meningkatkan kemampuan siswa

menyelesaikan soal-soal perbandingan (Sudarman, 2006); memiliki pengaruh yang

cenderung besar terhadap memori siswa pada sub materi perbandingan (Atiqa dan Kusrini,

2000); meningkatkan kemempuan komunikasi siswa pada pokok bahasan perbandingan

(Askin dan Junaedi, 2013); membantu siswa menyelesaikan masalah perbandingan dengan

strategi dan pemisalan yang dibuat siswa sendiri (Ningsih, 2013 dan Ningsih, 2016);

mendukung kemampuan bernalar siswa (Utari, 2015); dan meningkatkan pemahaman siswa

terhadap pembelajaran perbandingan senilai (Rahmawati, 2015).

Menurut Freudental dalam Zulkardi (2005) ada tiga prinsip PMRI yang dapat dijadikan

sebagai acuan oleh peneliti dalam pendesainan perangkat pembelajaran baik itu materi

maupun produk pendidikan lainnya. Ketiga prinsip tersebut dijelaskan seperti berikut:

a) Penemuan terbimbing melalui matematisasi (guided reinvention through

mathematization).

b) Fenomena mendidik (didacitical phenomenology).

c) Model-model siswa sendiri (self-develoved models).

Adapun karakteristik PMRI sebagaimana yang dikemukakan Zulkardi (2002) yaitu:

a) Penggunaan konteks atau ekploration phenomenology

Konteks dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan

konsep matematika yang sedang dipelajari. Atau masalah yang dapat dibayangkan

(imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa (Wijaya, 2012).

Gambar 2. Konsep Matematika (Zulkardi, 2002)

b) Penggunaan model yang menjembatani dengan instrumen vertikal

Empat tingkat model pembelajaran dan mengajar dalam PMRI:

1) Tingkat Situasional. Penggunaan situasi atau konteks real bagi siswa;

MatematisasidanRefleksi

Real BagiSiswa

AbstraksidanFormalisasi

MatematisasidalamAplikasi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 123

2) Tingkat Referensial atau Model-of (model dari situasi). Siswa membuat model untuk

menggambarkan situasi atau konteks;

3) Tingkat General/umum atau model-for (model untuk penyelesaian masalah). Siswa

melakukan generalisasi terhadap sekumpulan model dan strategi/solusi yang didapat;

4) Tingkat Formal. Siswa bekerja dengan prosedur konvensional, menggunakan

notasi/simbol, dan representasi matematis.

Gambar 3. Representasi Matematis (Zulkardi, 2002)

c) Adanya kreasi dan konstribusi siswa

Siswa harus diminta membuat hal-hal konkret dengan membuat “produksi bebas”, atau siswa

dipaksa merefleksikan proses belajar mereka.

d) Interaktivitas

Interaksi antar siswa dan antara siswa dan guru merupakan bagian penting dalam proses

instruksional.Siswa terlibat menjelaskan, membenarkan, setuju, tidak setuju,

mempertanyakan alternatif atau refleksi.

e) Keterkaitan dengan berbagai topik matematika

Hal ini sering disebut pendekatan holistik, yang menggabungkan aplikasi (animasi), dan

menyiratkan bahwa unit belajar tidak harus ditangani dengan entitas yang terpisah dan

berbeda. Sebaliknya jalinan berbagai topik belajar Matematika dimanfaatkan dalam

memecahkan masalah kehidupan nyata.

2.5. Hypotethical Learning Trajectory (HLT)

Menurut Gravemeijer dan Cobb (2006), HLT merupakan suatu hipotesa atau dugaan

pemikiran dan strategi siswa yang berkembang dari sutu konteks menuju pengetahuan formal

pada aktivitas pembelajaran.HLT terdiri dari tiga komponen, yaitu tujuan pembelajaran,

aktivitas pembelajaran, dan hipotesis proses belajar siswa. Bagian-bagian tersebut dimuat

dalam suatu jalur yang diharapkan terlaksana sehingga terlihat dengan jelas dan baik untuk

mengemukaan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan.

3. Metodologi Penelitian

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini adalahdesign research. Menurut Cobb. et. al

(2003),design researchmerupakan bagian dari penelitian pengembangan (development

research) karena berkaitan dengan pengembangan materi pembelajaran dan/ataubahan ajar.

Barab dan Squire (2004) mendefinisikan design researchsebagai serangkaian pendekatan

dengan maksud untuk menghasilkan teori-teori baru, artefak, dan model praktis yang

menjelaskan dan berpotensi berdampak pada pembelajaran dengan pengaturan yang alami

(naturalistic). Sementara menurut Plomp & Nieveen (2007) design research adalah suatu

kajian sistematis tentang merancang, mengembangkan dan mengevaluasi intervensi

pendidikan (seperti program, stategi dan bahan pembelajaran, produk, dan sistem) sebagai

solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik pendidikan, yang juga

Situasional

Referensial

General

Formal

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

124 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

bertujuan untuk memajukan pengetahuan tentangkarakteristik dan intervensi tersebut serta

proses perancangan dan pengembangannya.

Karakteristik design research menurut Cobb et al. (2003) danvan den Akker (2006),

a) Interventionist: penelitian bertujuan untuk merancang suatu intervensi dalam dunia nyata;

b) Iterative: penelitian menggabungkan pendekatan siklikal (daur) yang meliputi

perancangan, evaluasi dan revisi;

c) Process Oriented: model kontak hitam pada pengukuran input-output diabaikan, tetapi

difokuskan pada pemahaman dan pengembangan model intervensi;

d) Utility oriented: keunggulan dari racangan diukur untuk bisa digunakan secara praktis

oleh pengguna;

e) Theory oriented: rancangan yang dibangun didasarkan pada preposisi teoritis kemudian

dilakukan pengujian lapangan untuk memberikan konstribusi pada teori.

Ada tiga motif atau tujuan penggunaan design research (Van den Akker, 2006), yaitu:

a) Meningkatkan relevansi penelitian;

b) Mengembangkan landasan teori secara empiris;

c) Meningkatkan kekokohan penerapan rancangan.

Design research dalam penelitian ini dilakukan dengan mendesain pembelajaran

perbandingan senilai menggunakan pendekatan PMRI.Pelaksanaan penelitian dipandu oleh

suatu instrumen yang disebut Hypothetical Learning Trajectory (HLT). Ketika pembelajaran

yang dilakukan tidak sesuai dengan desain yang dirancang, maka perlu dilakukan

pendesainan kembali (thought experiment) kemudian dilakukan pengujian kembali terhadap

HLT tersebut. Inti dari design research adalah proses siklik (cyclic process) dari kegiatan

mendesain atau mengujikan serangkaian aktivitas pembelajaran dan aspek-aspek lain.

Menurut Fruedental dalam Ilma(2012) disebutkan bahwa siklik proses dalam design

research terdiri dari eksperimen gagasan atau ide (thought experiment) dan eksperimen

pembelajaran (instruction experiment) seperti yang ditunjukan oleh gambar di bawah ini:

Gambar 4. Cyclic Prosess (Gravemeijer dan Cobb, 2006)

3.2. Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yang dilakukan secara berulang-ulang sampai

ditemukannya teori baru yang merupakan hasil revisi dari teori pembelajaran yang dicobakan

(Charitas, Zulkardi, & Hartono, 2012).

Ada tiga tahap dalam design research (Gravemeijer dan Cobb, 2006) yaitu:

a. Tahap 1 :Preliminary Experiment

Pada tahap ini, sederetan aktivitas yang memuat konjektur pemikiran siswa dikembangkan

oleh peneliti melalui hypothetical learning trajectory (HLT).

b. Tahap II : Design Eksperiment

1)Siklus 1: Pilot experiment

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 125

Pilot experiment dilakukan untuk menguji cobakan HLT. Uji coba pada tahap ini dilakukan

terhadap enam orang siswa yang tidak berasal dari kelas yang akan dilakukan teaching

experiment. Dari hasil tahapini peneliti memperoleh gambaran mengenai kondisi dan

kemampuan siswa sebagai subyek penelitian.

2)Siklus 2: Teaching Experiment

Teaching experiment bertujuan untuk menguji coba HLT yang telah direvisi setelah diuji

coba pada siklus 1. Pada tahap ini, HLT merupakan pedoman utama yang menjadi fokus

dalam proses pembelajaran. Data yang dikumpulkan pada tahap ini dianalisis untuk

menjawab pertanyaan penelitian dan rumusan masalah.

c. Tahap III : Restrospective Analysis

Restrospective analysis adalah analisis data yang diperoleh pada setiap tahapnya, mulai dari

pre-test, pilot experiment, teaching experiment, dan post-test.Hasil analisis setiap tahap

tersebut digunakan untuk merancang aktivitas pada pembelajaran dan tahap berikutnya.

Analisis pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana siswa dapat

menggeneralisasikan aktivitas-aktivitas yang telah dirancang.

3.3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Berdasarkan metode dan prosedur penelitian yang digunakan, maka teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Foto dan Rekaman Video

b. Wawancara

c. Tes awal (pre-test)

d. Tes akhir (post-test)

Data hasil penelitian dianalisis setiap tahapnya secara retrospektif.Analisis data dilakukan

dengan mengacupada HLT. Secara kualitatif,analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Triangulasi Data

Triangulasi data adalah teknik yang digunakan untuk melihat keterkaitan yang diperoleh dari

sumber data berupa catatan lapangan, lembar observasi, dan rekaman video terhadap HLT

yang menjadi panduan pelaksanaan penelitian.

b. Interpretasi Silang

Interpretasi silang digunakan untuk meminta petimbangan pembimbing untuk memberi saran

mengenai data yang diperoleh seperti lembar observasi dan rekaman video. Interpretasi

silang dilakukan untuk mengurangi subjektivitas peneliti dalam menginterpretasikan

datahasil penelitian yang diperoleh di lapangan.

3.4. Subjek, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada November 2016. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII

MTs Subulussalam 2 Sriwangi Ulu OKU Timur yang berjumlah 62 (32 VIIA + 30 VIIB)

siswa.

4. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan pada dua siklus, yaitu siklus pertama pilot experiment dan siklus

kedua teaching experiment. Pada siklus pertama, penelitian dilakukan pada 6 siswa dengan

kemampuan berbeda (2 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 2

siswa berkemampuan rendah) yang diambil dari kelas 30 siswa VII B. Mereka dibagi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

126 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

menjadi 2 kelompok kecil (small group). Pada siklus pertama ini guru menguji coba HLT

yang telah disusun sebelumnya. Hasil pada siklus pertama digunakan sebagai dasar untuk

merevisi HLT yang kemudian HLT hasil revisi diujicobakan pada siklus kedua.

Pada siklus kedua, penelitian dilakukan pada kelas besar yaitu kelas VII A yang berjumlah

32 siswa. Pada awal pertemuan, guru memberikan pre-test kepada setiap siswa. Kemudian

guru membentuk siswa menjadi beberapa kelompok secara acak, dimana setiap kelompok

terdiri dari 3-4 siswa, sehingga terbentuk8 kelompok dengan anggota 3 siswa dan 2

kelompok dengan anggota 4 siswa.

Dalam setiap siklus, siswa melakukan 4 aktivitas dimana setiap aktivitas dipandu oleh

lembar aktivitas siswa (LAS). Pada aktivitas pertama, siswa mengidentifikasi masalah

perbandingan senilai, membuat tabel rasio dan menemukan definisi perbandingan senilai dan

faktor pengali. Pada aktivitas kedua, siswa menemukan perbandingan sebagai persamaan

rasio. Pada aktivitas ketiga, siswa membuat grafik perbandingan senilai. Pada aktivitas ini

siswa menemukan bahwa grafik perbandingan senilai berbentuk garis lurus atau linier

melalui pusat koordinat dengan persamaan y = mx. Pada aktivitas keempat siswa

menyelesaikan dua jenis masalah perbandingan senilai, yaitu missing value problem dan

comparison problem.

Kemudian setelah siswa melalukan 4 aktivitas, guru memberikan post-testyang terdiri dari 3

soal pada setiap siswa.Dari data hasil post-testyang diperoleh, guru melalukan analisis

retrospektif yang dijabarkan sebagai berikut:

Soal yang pertama:

Buku Matematika tebalnya 124 halaman. Sedangkan Buku Bahasa Indonesia tebalnya 96

halaman.

a. Berapakah rasio tebal sebuah buku matematika dengan tebal sebuah buku Bahasa

Indonesia?

b. Berapakah rasio tebal 7 buah buku Matematika dengan tebal 7 buah buku Bahasa

Indonesia?

Jawaban Siswa:

Gambar 5. Jawaban Siswa pada Soal Pertama Post-test

Hasil penyelesaiannya32 siswa,28siswa benar, 3 siswa kurang tepat dan hanya ada 1 yang

salah. Dilihat dari cara menyelesaikan ada 28siswa yang jawabannya benar, mereka sudah

bisa menulis rasio kedalam bentuk perbandingan dan pecahan, bisa menyederhanakan.

Sementara 3 siswa yang jawabannya kurang tepat karena mereka lemah atau kesulitan dalam

menyederhanakan rasio atau pecahan.

Soal yang kedua:

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 127

Perbandingan umur Dono dan Dini adalah 4 : 5. Jika Umur Dono 40 tahun. Berapakah

umur Dini?

Jawaban Siswa:

Gambar 6. Jawaban siswa Soal Kedua Post-test

Hasil penyelesaiannya32 siswa semuanya benar. Dilihat dari cara penyelesaiannya, ada yang

menggunakan perkalian silang ada juga yang langsung mengalikan 5 dengan 10 dengan

alasan karena 40 dibagi 4 sama dengan 10.

Soal yang ketiga:

Diketahui rasio dua besaran adalah 2 : 3. Lengkapi tabel rasio berikut dan buatlah

grafiknya!

Tabel rasio

x y (x, y)

2 3 (2, 3)

... 6 ...

6 ... ...

8 ... ...

... 15 ...

Jawaban Siswa:

Gambar 7. Jawaban Siswa pada Soal Ketiga Post-test

Dilihat dari hasil penyelesaian 32 siswa, 30 siswa jawabannya benar, 1 siswa jawabannya

kurang tepat dan 1siswa menjawab salah. 30 siswa yang jawabannya benar bisa mengisi

tabel rasio dengan tepat dan mereka sudah mampu melihat tabel rasio sebagai pola kelipatan.

Mereka juga sudah bisa membuat grafik dengan tepat, berupa garis lurus dengan persamaany

= mx. 1 siswa yang jawabannya salah adalah karena kelemahan dalam menginterpretasikan

tabel ke dalam grafik.

5. Penutup

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan

bahwa siswa mampu menyelesaikan soal post-test dengan baik menggunakan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

128 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

cara/metode/strategi mereka sendiri setelah mereka melakukan aktivitas-aktivitas dalam

pembelajaran dengan pendekatan PMRI.Ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran

perbandingan (proportional reasoning) mereka telah berkembang. Dengan aktivitas-

aktivitas, pembelajaran perbandingan senilai menjadi lebih bermakna bagi siswa.

5.2. Saran

Peneliti berharap penerapan PMRI pada materi pembelajaran perbandingan senilai dapat

digunakan sebagai salah satu model pembelajaran pada materi perbandingan dan dapat

menggembangkan penerapan PMRI pada materi pembelajaran.

Daftar Pustaka

Aprianti, E.N. 2011. Identifikasi Learning Obstacles pada Topik Perbandingan. Makalah

pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.

Atiqa, Y & Kusrini. 2000. Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Mmeori

Siswa pada Sub Materi Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai di Kelas VII SMPN 5

Tuban. Jurnal Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya.

Barab, S. & Squire, K. 2004. Design-Based Research: Putting a Stake in the Ground. The

Journal of the Learning Sciences, 13(1), 1-14. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Boyer, et. al.2008. Development of Proportional Reasoning: Where Young Children Go

Wrong. Vol. 44, No. 5. 1478-1490.

Cetin, H., Ertekin, E. 2011. The Relationshp Between Eighth Grade Primary School

Students‟ Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations.

International Journal of Instruction e-ISSN: 1308-1470. Turkey: Selcuk University

Charits, R.; Zulkardi; Hartono, Y. 2012. Learning Multiplication Using Indonesian Game in

Third Grade. IndoMS. J.M.E Vol. 3 No. 2

Cobb, P. et. al. 2003. Design Experiment in Education Research. Journal of Educational

Researcher.

Cramer, K. & Post, T. 1993. Making Connection: A Case for Proportionality. The

Arithmatics Teachers, 342-346

Dole, S., Wright, T., Clarke, D., & Campus, P. 2009. Proportional Reasoning: Making

Connections in Science and Mathematics (MCSAM), 1-18. The University of

Queensland: Australia.

Gravemeijer, K., & Cobb, P. 2006. Design Research from a Learning Design Perspective. In

J. V. D Akker, K.P.E. Gravemeijer, S. McKenney, N. Nieven (Eds), Educational

Design Research (pp. 17-51). London : Routledge

Hardi, J., Hudiono, B., & Mirza, A. 2010. Deskripsi Pemahaman Siswa pada Permasalahan

Perbandingan dan Strategi Solusi dalam Menyelesaikannya. Jurnal Pendidikan

Matematika FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak.

Hancock, M.J. 2014. Common Core State Standars for Mathematics: Flip Book Grade 7.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 129

Ilma, R. 2012. Pendisainan Hypohtetical Learning Trajectory (HLT) Cerita Malinkundang

pada Pembelajaran Matematika. Dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan

Pendidikan Matematika, Yogyakarta, tanggal 10 November 2012. Universitas Negeri

Yogyakarta

Karplus, R., Pulos, S., & Stage, E.K. 1983. Early Adolescents‟ Proportional Reasoning on

„Rate‟ Problems. Educational Studies in Mathematics, 14, 219-233.

Kershaw, J. 2014. CK-12 Middle School Math – Grade 7. US : Flexbook.

Langrall, Cynthia W & Swafford, J. 2000. Three Balloons for Two Dollars: Developing

Proportional Reasoning. Mathematics Teaching in The Middle School, 6(4), 254-261

Lesh, R., Post, T., & Behr, M. 1988. Proportional Reasoning. In A. Kelly & R. Lesh (Eds).

Number Concept and Operations in The Middle Grades (pp.93-118). Hillsdale, NJ:

Lawrence Eelbaum, and Reston, VA: National Council of Teacher Mathematics, NY:

State University of New York Press.

Livy, S. and Vale, C. 2011. First Year Pre-service Teachers‟ Mathematical Content

Knowledge: Methodes of Solution for a Ratio Question. Vol. 13.2, 22-43. Mathematics

Teacher Education and Development: Victoria University.

Manik, D.R. 2009. Penunjang Belajar Matematika untuk Kelas VII (BSE). Jakarta: Pusat

Perbukuan Depdiknas

NCTM (National Council of Teachers of Mathematics). 2013.Teaching Ratio and

Proportion in The Middle Grades. Ratio and Proportion Research Brief. Nedherland:

Enchede.

Ningsih, P.R. 2013. Penerapan Metode Realistic Mathematic Education (RME) pada Pokok

Bahasab Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai di Kelas VII E SMP IPIEMS

Surabaya. Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum

Jombang. Gamatika Vol. III

Ningsih, R.P. 2016. Desain Pembelajaran Perbandingan Senilai Berbasis Pendekatan

Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama.

Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Unsri.

Nurharini, D. & Wahyuni, T. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya (BSE). Jakarta:

Pusat Perbukuan Depdiknas

Plomp, & Nieveen. 2007. An Introduction to Educational Design Research. Netherlands :

Enschede.

Rahmawati. 2005. Desain Pembelajaran Perbandingan dengan Menggunakan Kertas

Berpetak di Kelas VII. Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Universitas

Sriwaijaya.

Shannon, M. 2003. Effect of Modeling Instruction on Development of Proportional

Reasoning II: Theoretical Background. Permission to copy or disseminate all or part of

this material is grantedprovided that the copies are not made or distributed for

commercial advantage, and the copyright and its date appear.To disseminate otherwise,

to republish, or to place at another website (instead of linking

to<http://modeling.asu.edu/modeling-HS.html>) requires written permission.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

130 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Shelley, Dole, Malcolm, Shield. 2002. Investigating Texbook Presentations of Ratio and

Proportion: Proceedings Mathematics in The South Pasific. The 25th Annual

Conference of The Mathematics Education Research Group of Australasia, pages pp.

608-615, University of Aucland.

Silvestre, A.I., & Da Ponte, J.P. 2012. Missing Value and Comparison Problems: What

Pupils Know before The Teaching of Proportion. PNA, 6(3), 73-83.

Singh, P. 2000. Understanding the Concepts of Proportion and Ratio Constructed by Two

Grade Six Students. Educational Studies in Mathematics, 271-292.

Sudarman. 2006. Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Soal Perbandingan

dengan Pembelajaran Matematika Realistik Siswa SMPN 4 Palu. Jurnal Pendidikan

Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu. ISSN: 0216-3144

Sumarto, S.N., van Galen, F., Zulkardi, Darmawijoyo. 2014. Proportional Reasoning: How

to the 4th Grades Use Their Intuitive Understanding. Canadian Center of Science and

Education.

Tabart, P., Skalicky, J., Watson, J. 2005. Modelling Proportional Thinking with Threes and

Twos. APMC

Tourniaire, F. & Steven, P. 1985.Proportional Reasoning: A Review of The Literature

Educational Studies in Mathematics, 16,181-204. California: Group in Science and

Mathematics Education, Lawrence Hall of Science, University of California.

Utami, T.H. 2012. Pembelajaran Konsep Perbandingan. J-TEQIP Tahun III Nomor I:

Universitas Malang.

Utari, R.S. 2015. Desain Pembelajaran Materi Perbandingan Menggunakan Konteks Khas

Palembang untuk Mendukung Kemampuan Bernlar Siswa SMP. Tesis Magister

Pendidikan Matematika FKIP Universias Sriwijaya.

Van de Walle, J.A. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan

Pengajaran. Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga.

Van den Akker, Jan et al.2006.Educational Design Research. Routledge: London and New

York.

Wijaya, A. 2012. Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan

Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Zulkardi. 2002. Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for

Indonesian Student Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of Twente.

Zulkardi. 2005. Developing a „rich‟ Learning Environment on Realistic Mathematics

Education (RME) for Student Teachers in Indonesia. FKIP Unsri.

Zulkardi & Ilma, R. 2010. Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan Guru

Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 131

Pengembangan Instrumen untuk Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMA dengan Pendekatan

Scientific Disertai Strategi What If Not NOT

Harry Dwi Putra

Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi

[email protected]

ABSTRAK

Kemampuan berpikir reflektif matematis merupakan salah satu kompetensi berpikir

tingkat tinggi yang juga sangat penting dikembangkan pada siswa, karena mereka

akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka dan toleran terhadap

ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis,

penuh rasa ingin tahu, dewasa dalam berpikir, serta dapat berpikir kritis secara

mandiri. Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang memfasilitasi siswa agar

memperoleh pengetahuan dan keterampilan berdasarkan metode ilmiah, yaitu

mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring (menyimpulkan,

menyajikan, serta mengkomunikasikan). Melalui strategi what if not terjadi proses

berpikir siswa dalam menganalisis masalah, mempertentangkan kondisi pada masalah,

dan memeriksa kebenaran penyelesaian. Oleh karena itu, diperlukan instrumen untuk

meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis melalui pendekatan scientific

disertai strategi what if not. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang

akan menghasilkan produk berupa instrumen. Metode penelitian terdiri dari tahap-

tahap, yaitu: pendahuluan (studi pustaka, observasi, dan wawancara), pengembangan

produk (instrumen), validitas dari tim ahli, dan uji coba terbatas pada siswa kelas XI

di SMA Negeri Cimahi dengan kriteria sekolah tinggi, sedang, dan rendah.

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa instrumen yang dikembangkan

meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan tes kemampuan

berpikir reflektif matematis. Silabus mengenai materi aturan pencacahan. RPP disusun

sesuai dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not. Tes disusun sesuai

dengan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis. Setelah dilakukan uji coba

terbatas, diperoleh instrumen yang valid.

KataKunci: Instrumen,Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis, Pendekatan

Scientific, StrategiWhatIfNot.

1. Pendahuluan

1.1. Latar belakang

Kemampuan berpikir matematis menjadi fokus dalam pembelajaran matematika di sekolah.

Guru mestinya memfasilitasi siswa agar dapat melatih kemampuan berpikir matematis

tingkat tinggi siswa, salah satunya adalah kemampuan berpikir reflektif matematis. Garrison,

et al (2004) menyatakan bahwa apabila kemampuan berpikir reflektif dikembangkan pada

siswa, mereka akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka, toleran terhadap

ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa

ingin tahu, dewasa dalam berpikir, dan berpikir secara mandiri.

Namun, hasil penelitian Nindiasari (2011) pada siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA) di

Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa hampir 60% siswa belum memberikan hasil

memuaskan dalam mengerjakan soal-soal yang memuat indikator proses berpikir reflektif

matematis. Ini menunjukkan bahwa tes kemampuan berpikir reflektif matematis jarang

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

132 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

dilatihkan guru pada siswa. Menurut Herman (2012) bahwa tugas matematika yang

diberikan kepada siswa harus dapat membuat siswa melakukan aktivitas mengamati dan

mengeksplorasi fenomena-fenomena matematika sehingga menuntut siswa berpikir secara

optimal sesuai kemampuannya.

Dalam kurikulum 2013 yang diterapkan saat ini menekankan guru menggunakan pendekatan

scientific dalam pembelajaran. Dalam pendekatan scientific terdapat aktivitas mengamati,

menanya, mencoba, menalar, dan menyimpulkan (Kemdikbud, 2013). Berdasarkan

wawancara dengan tiga guru di SMAN Cimahi, siswa kesulitan dalam mengajukan

pertanyaan terhadap permasalahan yang dihadapi. Untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan

strategi what if not dengan cara mengubah informasi atau data, menambah informasi pada

data, mengubah nilai data yang ada dengan pertanyaan yang sama, dan mengubah

pertanyaan dengan data yang sama.

Melalui strategi ini siswa dapat membuat pertanyaan berdasarkan permasalahan yang mereka

hadapi dan melakukan refleksi untuk memeriksa kebenaran dari jawaban atas pertanyaan

tersebut. Mengingat begitu pentingnya kemampuan berpikir reflektif untuk dilatihkan pada

siswa, perlu disusun instrumen untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis

siswa SMA melalui pendekatan scientific disertai strategi what if not.

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan instrumen

kemampuan berpikir reflektif matematis pada siswa SMA dengan pendekatan scientific

disertai strategi what if not?

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan tersusunnya instrumen kemampuan berpikir reflektif

matematis siswa SMA dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not..

1.4. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi guru dan pihak yang terkait untuk

menggunakan instrumen ini dalam mengukur kemampuan berpikir reflektif matematis siswa

sekolah menengah pada materi aturan pencacahan. Selain itu, siswa menjadi berkembang

kemampuan berpikir matematis tingkat tingginya dalam menyelesaikan tes kemampuan

berpikir reflektif matematis.

2. Metode Penelitian

2.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang menghasilkan instrumen untuk

meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa. Instrumen yang disusun

divalidasi oleh tim ahli. Instrumen yang telah valid diujicobakan di tiga sekolah menengah

dengan peringkat tinggi, sedang, dan rendah, yaitu SMAN 2, 3, dan 4 Cimahi.

2.2. Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah dua orang tim ahli yang akan memvalidasi instrumen, tiga

guru yang mengajar matematika di masing-masing sekolah menengah untuk diwawancara,

dan sepuluh siswa kelas XII yang telah mempelajari materi aturan pencacahan untuk uji coba

instrumen.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 133

2.3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu studi pendahuluan, pengembangan

instrumen, serta uji ahli dan terbatas. Studi pendahuluan bertujuan untuk menelaah teori

tentang kemampuan berpikir reflektif matematis, pendekatan scientific, dan strategi what if

not. Pada tahap pengembangan tersusun instrumen yang sesuai dengan kajian teori yang

dirujuk.

2.4. Instrumen Penelitian Instrumen yang dihasilkan dari penelitian ini terdiri dari silabus mengenai materi aturan

pencacahan, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan pendekatan scientific disertai

strategi what if not, dan tes kemampuan berpikir reflektif matematis. Untuk memperoleh

seperangkat instrumen yang valid digunakan pedoman wawancara, catatan lapangan, dan

lembar penilaian. Pedoman wawancara untuk mewawancarai guru dalam memperoleh

masukan terhadap instrumen. Catatan lapangan untuk mencatat masukan dari guru dan siswa

terhadap instrumen yang digunakan. Lembar penilaian untuk memperoleh nilai dari dua

orang tim ahli sebagai validator terhadap layak atau tidaknya instrumen yang dipakai. Tes

digunakan untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran dari

kelima butir soal.

2.5. Teknik Analisis Data

2.5.1. Data Pedoman Wawancara dan Catatan Lapangan..

Dianalisis dengan memisahkan data yang penting dan tidak penting serta menyusun data

untuk diinterpretasikan sebagai pedoman melakukan perbaikan instrumen

.

2.5.2. Lembar penilaian.

Dianalisis dengan mengklasifikasi pilihan kedua validator pada masing-masing butir

penilaian untuk melihat layak atau tidaknya instrumen. Rumus yang digunakan untuk

menentukan kelayakan instrumen (Purwanto, 2010), yaitu:

100% k

NNk

Keterangan:

N : Persentase aspek

k : Jumlah nilai dari aspek

Nk : Jumlahnilai yang harus dicapai

Kriteria kelayakan ditetapkan, sebagai berikut:

Sangat layak : 83,5% - 100%

Layak : 64% - 83%

Cukup layak : 44,5% - 63%

Tidak layak : 25% - 44%

2.5.3. Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis.

Tes yang telah diujicobakan pada siswa dihitung validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan

tingkat kesukaran denganrumus (Ruseffendi, 2005). Untuk menentukan validitas butir soal

digunakan rumus, sebagai berikut:

2 22 2

xy

N XY X Yr

N X X N Y Y

Keterangan:

X : Nilai rata-rata soal-soal tes pertama perorangan

ΣX : Jumlah nilai-nilai X

ΣX² : Jumlah kuadrat nilai-nilai X

Y : Nilai rata-rata soal-soal tes kedua perorangan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

134 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

ΣY : Jumlah nilai-nilaiY

ΣY² : Jumlah kuadrat nilai-nilai Y

XY : Perkalian nilai-nilai X dan Y perorangan

ΣXY : Jumlah perkalian nilai X dan Y

N : Banyaknya pasangan nilai

Kriteria validitas butir soal ditetapkan, sebagai berikut:

Sangattinggi : 0,90   1,00xyr

Tinggi : 0,70 0,90xyr

Sedang : 0,40 0,70xyr

Rendah : 0,20 0,40xyr

Sangatrendah : 0,00 0,20xyr

Untuk menentukan reliabilitas tes digunakan rumus, sebagai berikut: 2 2

21

j i

p

j

DB DBbr x

b DB

dengan

222 i ii

X XDB

N N

dan

222

j

Y YDB

N N

Keterangan:

: Koefisien reliabilitas tes

b : Banyaksoal

: Variansi skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan

: Variansi skor soal tertentu (soal ke-i)

∑ : Jumlah variansi skor seluruh soal menurut skor soal tertentu

Kriteria reliabilitas tes ditetapkan, sebagai berikut:

Sangattinggi : 0,90   1,00pr

Tinggi : 0,70 0,90pr

Sedang : 0,40 0,70pr

Rendah : 0,20 0,40pr

Sangatrendah : 0,00 0,20pr

Untuk menentukan daya pembeda butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:

   

A Bp

A

JB JBD

JS SMI

Keterangan:

Dp : Indeks daya pembeda

: Jumlah skor kelas atas

: Jumlah skor kelas bawah

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 135

JSA : Jumlah skor kelas atas atau bawah(25% dari jumlah seluruh peserta tes)

SMI : Skor maksimal ideal

Kriteria daya pembeda butir soal ditetapkan, sebagai berikut:

Sangatbaik : 0,70  1,00pD

Baik : 0,40 0,70pD

Sedang : 0,20 0,40pD

Kurangbaik : 0,00 0,40pD

Tidakbaik : 0,00pD

Untuk menentukan tingkat kesukaran butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:

Keterangan:

IK : Indeks kesukaran

: Banyaknya jawaban benar kelompok atas

: Banyaknya jawaban benar kelompok bawah

JSA : Jumlah skor kelas atas atau bawah(25% dari jumlah seluruh peserta tes)

SMI : Skor maksimal ideal

Kriteria tingkat kesukaran butir soal ditetapkan, sebagai berikut:

TerlaluSukar : 0,00kI

Sukar : 0,00 0,30kI

Sedang : 0,30 0,70kI

Mudah : 0,70 1,00kI

TerlaluMudah : 1,00kI

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1. Hasil Penelitian

Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan.

3.1.1. Studi Pustaka.

Pada kegiatan ini, dilakukan kajian teori mengenai penyusunan silabus dan RPP berdasarkan

Kurikulum 2013 pada materi aturan pencacahan menggunakan pendekatan scientific disertai

strategi what if not. Menentukan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis yang

diadaptasi dari indikator berpikir kritis (Sumarmo, 2010). Indikator dari kemampuan berpikir

reflektif matematis yang telah ditetapkan, yaitu membedakan data relevan dan tidak relevan

mengenai aturan perkalian; menganalisis dan mengklarifikasi jawaban mengenai aturan

perkalian; menggeneralisasi dan menganalisis generalisasi mengenai permutasi dan

kombinasi; menginterpretasikan suatu kasus berdasarkan konsep peluang; memeriksa

kebenaran suatu argumen mengenai peluang; serta menarik analogi dari dua kasus peluang

yang serupa.

3.1.2. Observasi ke Lapangan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru di SMAN 2, 3, dan 4 Cimahi,

diperoleh bahwa soal tes kemampuan berpikir reflektif matematis masih jarang dilatihkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

136 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

kepada siswa. Guru biasanya menggunakan soal-soal pada buku pegangan siswa sebagai

latihan. Soal yang terdapat pada buku tersebut hanya bersifat soal pemecahan masalah biasa,

belum melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir reflektif mereka.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru di tiga sekolah tersebut telah menerapkan

pendekatan scientific meliputi aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan

menyimpulkan. Pada aktivitas menanya, siswa sedikit yang aktif mengemukakan

pendapatnya. Mereka bingung dalam menyusun pertanyaan. Untuk mengatasi ini, pada

aktivitas menanya dapat menggunakan strategi what if not dengan merubah data, menambah

data, mengubah data tetapi pertanyaan sama, atau mengubah pertanyaan dengan data yang

sama.

3.1.3. Penyusunan Instrumen.

Berdasarkan studi pustaka dan hasil wawancara selanjutnya dapat disusun silabus, RPP, dan

kisi-kisi tes kemampuan berpikir reflektif. Silabus berkenaan dengan materi aturan

pencacahan, terdiri dari aturan perkalian, faktorial, permutasi, kombinasi, binomial newton,

dan peluang. RPP disesuaikan dengan langkah-langkah pendekatan scientific disertai dengan

strategi what if not. Penyusunan kisi-kisi dan tes berdasarkan indikator kemampuan berpikir

reflektif matematis yang terdiri dari 5 butir soal.

3.1.4. Validasi Tim Ahli

Berikut ini disajikan hasil validasi dari dua dosen pembimbing mengenai soal tes

kemampuan berpikir reflektif matematis yang telah disusun.Kriteria penilaian butir soal

terdiri dari isi, penyajian, dan kebahasaan.

Tabel 1.Hasil Uji Kelayakan Instrumen Tes Berpikir Reflektif

No. Ahli Kriteria Kelayakan Soal (%)

1 2 3 4 5

1. Validator 1 62,50 60,42 56,25 62,40 58,33

2. Validator 2 58,33 56,25 64,58 62,50 56,25

Rerata 60,42 58,33 62,50 61,46 57,29

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rerata persentase kelayakan soal berada di antara

44,50% 83,00% berarti bahwa tes kemampuan berpikir reflektif cukup layak (valid)

untuk diujicobakan pada siswa..

3.1.5. Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis.

Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan rekapitulasi hasil uji coba terbatas tes kemampuan

berpikir reflektif matematis yang diberikan kepada 10 siswa kelas XII yang telah memahami

materi aturan pencacahan. Tes terdiri dari 5 soal dengan skor maksmimum ideal adalah 14.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis

Soal Validitas Kriteria Reliabilitas Kriteria DP Kriteria IK Kriteria

1. 0.53 Sedang

0.54 Sedang

0.22 Cukup 0.44 Sedang

2. 0.45 Sedang 0.33 Cukup 0.50 Sedang

3. 1.07 Sangat Tinggi 0.67 Baik 0.67 Sedang

4. 0.64 Sedang 0.67 Baik 0.67 Sedang

5. 0.97 Sangat Tinggi 0.33 Cukup 0.61 Sedang

Skor maksimum ideal dari kelima soal kemampuan berpikir reflektif matematis adalah 14.

Apabila siswa menjawab dengan benar pada soal pertama bernilai 2, soal kedua bernilai 2,

soal ketiga bernilai 2, soal keempat bernilai 4, dan soal kelima bernilai 4. Pada soal pertama,

sebanyak 40% siswa memperoleh skor 2 dan sebanyak 60% siswa memperoleh skor 1. Pada

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 137

soal kedua, sebanyak 50% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 40% siswa memperoleh skor

1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena tidak memberikan jawaban.

Pada soal ketiga, sebanyak 50% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 40% siswa memperoleh

skor 1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah.

Pada soal keempat, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 3, sebanyak 30% siswa

memperoleh skor 2, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 1, dan sebanyak 10% siswa

memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah. Pada soal kelima, sebanyak 10%

siswa memperoleh skor 3, sebanyak 80% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 10% siswa

memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah.

Pada Tabel 2 di atas, terlihat bahwa soal nomor 3 dan 5 memiliki validitas sangat tinggi,

sedangkan soal nomor 1, 2, dan 4 memiliki validitas sedang. Kelima soal tersebut memiliki

reliabilitas sedang. Daya pembeda pada dua soal (nomor 3 dan 4) sudah baik, sedangkan tiga

soal (nomor 1, 2, dan 5) memiliki daya pembeda cukup baik. Tingkat kesukaran soal adalah

sedang. Dapat disimpulkan bahwa tes kemampuan berpikir reflektif matematis sudah valid

dan dapat digunakan pada siswa kelas XI di SMA Negeri 2, 3, dan 4 Cimahi untuk

mengetahui peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis mereka sebelum dan

setelah pembelajaran. Pada Tabel 3 berikut ini disajikan data pretest, posttest, dan

peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa.

Tabel 3. Hasil Pretest dan Posttest Kemampuan Mathematical Problem Posing

Kelas Jumlah Pretest Posttest N-gain Kriteria

XI MIPA 2 SMA 2 31 4,83 11.15 0,69 Sedang

XI MIPA 1 SMA 3 35 4,73 10,68 0,64 Sedang

XI MIPA 4 SMA 4 37 4,76 10,51 0,62 Sedang

Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada

pada 0,30 0,70 yang berarti peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada

kriteria sedang. Siswa belum terbiasa menjawab soal yang berkaitan dengan memeriksa data

relevan atau tidak terhadap informasi dari soal, memeriksa kebenaran pernyataan berkaitan

dengan soal, serta menganalisis generalisasi dan analogi dari suatu permasalahan yang

diberikan.

3.2. Pembahasan

Instrumen yang telah disusun diberikan kepada tim ahli untuk memberikan masukan

terhadap perbaikan instrumen. Menurut tim ahli, silabus mengenai aturan pencacahan sudah

sesuai dengan panduan kurikulum 2013. Dalam RPP sudah memuat langkah-langkah

pendekatan scientific dengan strategi what if not pada aktivitas menanya. Pada aktivitas

pembelajaran dalam RPP mesti siswa yang dominan, jangan terlalu sering menuliskan

aktivitas guru. Soal kemampuan berpikir reflektif yang terdiri dari 5 soal sudah memenuhi

indikator yang ditetapkan.

Kalimat pada soal ada yang mesti diperbaiki agar tidak membuat siswa bingung dalam

memahami informasi dari soal. Misalnya: kalimat pada soal “Dari kota Padalarang ke kota

Cimahi dilalui 4 jenis angkot”. Bagi siswa yang tidak pernah ke Padalarang dan Cimahi akan

membuat mereka menjadi bingung. Untuk itu nama kota disimbolkan saja dengan Kota P

dan Kota C, sehingga soal diperbaiki menjadi “Dari kota P ke kota C dilalui oleh 4 jenis

angkot”.

Penilaian dari reviewer menunjukkan bahwa instrumen tes kemampuan berpikir reflektif

matematis cukup layak digunakan. Dalam membuat soal berpikir reflektif matematis

memang tidak mudah. Indikator dalam kemampuan berpikir ini mengharuskan untuk

membuat soal mengenai memeriksa data relevan atau tidak, memeriksa kebenaran, serta

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

138 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

menganalisis generalisasi dan analogi dari suatu permasalahan. Soal dengan indikator ini

dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir reflektif.

Peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada kriteria sedang. Siswa yang

berada pada sekolah dengan peringkat tinggi memiliki peningkatan kemampuan yang lebih

besar daripada siswa dengan peringkat sekolah sedang. Begitu pula, siswa dengan peringkat

sekolah sedang juga memiliki peningkatan kemampuan yang lebih besar daripada siswa

dengan peringkat sekolah rendah. Ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki pemahaman

konsep yang baik memiliki kemampuan berpikir reflektif matematis yang juga baik.

Instrumen yang telah disusun dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa dengan cukup

baik.

4. Simpulan dan Saran

4.1. Simpulan

Instrumen yang dikembangkan meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),

dan Tes. Silabus mengenai materi aturan pencacahan. RPP disusun sesuai dengan

pendekatan scientific disertai strategi what if not. Tes disusun sesuai dengan indikator

kemampuan berpikir reflektif matematis. Setelah dilakukan uji coba terbatas, diperoleh

instrumen yang valid.

4.2. Saran

Dalam menyusun instrumen berupa tes mesti memenuhi indikator yang telah ditentukan.

Soal-soal pada tes mesti dapat mengembangkan kemampuan yang diinginkan, sehingga

ketika diujicobakan tes tersebut memiliki validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks

kesukaran yang baik, yaitu diantara sedang dan tinggi. Selain itu, perlu dikembangkan

instrumen berpikir reflektif untuk materi lain dan tingkat sekolah yang lain agar kemampuan

berpikir reflektif siswa dapat terus ditingkatkan.

Referensi

Garrison, D. R., Anderson, T., dan Archer, W. (2004). Critical Thinking, Cognitive

Presence, Computer Conferencing in Distance Learning. [Online]. Tersedia di:

http://communityofinquiry.com/files/CogPres_Final.pdf. Diakses 23 Maret 2015.

Herman, T. (2012). Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. [Online]. Tersedia di:

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1962101119101

1-TATANG-HERMAN/Artikel. Diakses 2 November 2014.

Kemdikbud. (2013). Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta:

Pusbangprodik.

Nindiasari, H. (2011). Pengembangan Bahan Ajar dan Instrumen untuk Meningkatkan

Berpikir Reflektif Matematis Berbasis Pendekatan Metakognitif pada Siswa

Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan

Pendidikan Matematika UNY. Yogyakarta, UNY Press: 251-263.

Purwanto (2010). Evaluasi Hasil belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta

Lainnya. Bandung: Tarsito.

Sumarmo, U. (2010). Pengembangan Berpikir dan Disposisi Krititis, Kreatif pada Peserta

Didik dalam Pembelajaran Matematika. (Makalah). Sekolah Pascasarjana, Universitas

Pendidikan Indonesia, Bandung.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 139

PEMBELAJARAN PERKALIAN PECAHAN MENGGUNAKAN

PLASTIK MIKA DI KELAS V

Helni Indrayati1, Ratu Ilma Indra Putri

2, Somakim

3

STKIP Muhammadiyah Pagaralam1,

Dosen Universitas Sriwijaya 2.

Dosen Universitas Sriwijaya3.

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan plastik mika dalam membantu

siswa untuk menemukan konsep perkalian pecahan dengan menggunakan pendekatan

PMRI. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi desain validasi, yang terdiri

dari tiga tahap; persiapan untuk penelitian (Preparing for the Experiment) dan desain

pendahuluan (Preliminary design), fase desain percobaan (The design experiment)

desain yang terdiridari Pilot experiment dan Teaching experiment, dan analisis

retrospektif. Apa yang akan dibahas dalam makalah ini hanya bagian dari

mempersiapkan percobaan terdiri dari desain awal yang merancang Hypothetical

learning trajectory (HLT) dan Pilot experiment. Subjek dalam penelitian ini adalah

siswa kelas V SD N 55 Pagaralam sebesar 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda,

ada dua siswa dalam kemampuan tinggi, dua siswa dalam kemampuan sedang dan dua

siswa dalam kemampuan rendah. Penelitian ini menghasilkan pembelajaran lintasan

yang mencakup serangkaian proses pembelajaran dengan menggunakan plastik mika

dalam empat kegiatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan video,

observasi, testertulis, dokumentasi dan catatan selama kegiatan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa peran plastik mika dengan menggunakan pendekatan PMRI

diproduksi lintasan pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk memahami

konsep perkalian pecahan.

Kata Kunci:Pendekatan PMRI, Perkalian Pecahan, Plastik Mika

1. Pendahuluan

Perkalian pecahan adalah salah satu operasi hitung pada pecahan, untuk menyelesaikan

perkalian pecahan perlu mengingat kembali bahwa penyebut merupakan sebuah pembagian

yang memungkinkan kita menemukan bagian-bagian factor lainnya (Walle, 2010:58).

Menurut Rey (2007) menjelaskan bahwa penyelesaian hasil perkalian dari dua pecahan

tampaknya mudah untuk diajarkan dan dipelajari, karena kita hanya perlu mengalikan

pembilang dengan pembilang untuk mendapatkan hasil dari pembilang yang baru, dan

dengan menggalikan penyebut dengan penyebut untuk mendapatkan hasil penyebut yang

baru. Selanjutnya Walle (2010; 73) menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan perkalian

pecahan dapat menggunakan rectangle multiplication. Rectangle multiplication merupakan

perkalian persegi atau persegi panjang, menunjukkan model area untuk perkalian dari dua

sembarang dua pecahan.

Konsep pecahan dianggap salah satu konsep yang sulit dijelaskan oleh guru dan sulit

dipahami oleh siswa. Konsep bilangan pecahan dan operasinya lebih sulit diajarkan kepada

siswa disbanding konsep bilangan bulat dan operasinya, atau bilangan cacah dan operasinya.

Salah satu konsep dalam pecahanya itu tentang perkalian pecahan. Mereka cenderung untuk

berpikir bahwa perkalian itu menghasilkan bilangan yang lebih besar, sedangkan dalam

perkalian pecahan dengan pecahan, hasilnya dapat berupa bilangan yang lebih besar atau

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

140 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

lebih kecil. (Khairunnisak, 2012). Sementara itu, jika siswa belajar untuk melakukan operasi

ini hanya menggunakan aturan, mereka mungkin akan mengerti sangat sedikit tentang makna

dibalik operasi hitung tersebut. Siswa mungkin tahu bagaimana untuk memperbanyak

pecahan dengan jumlah keseluruhan sebagai 2/3 x 1/2 atau 1/2 x 2/3 juga mereka memiliki

mempelajari aturan, tapi masih tidak bias menginterprestasikan ide di dunia nyata sebagai

dasar untuk memecahkan masalah (copeland, 1976). Namun, setelah mereka melupakan

aturan, siswa tidak dapat memecahkan masalah tentang perkalian pecahan dengan jumlah

keseluruhan (Kennedy, 1980).

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006) dalam kurikulum KTSP pembelajaran

matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi

(contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara

bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Salah satu pendekatan

pembelajaran yang berkaitan dengan dunia nyata siswa dengan Pendekatan Pendidikan

Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI) adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang diterapkan di Indonesia yang juga

dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) untuk diluar Indonesia. PMRI

mengacu pada konsep Freudenthal dalam Realistic Mathematics Education (RME). Dua

pandangan yang penting dari freudenthal adalah (1) mathematics must be connected to

reality; and (2) mathematics as human activity”(Zulkardi & Putri, 2010). Pertama,

matematika seharusnya dekat dengan siswadan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari

siswa. Kedua, ditekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga siswa

seharusnya diberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas pembelajaran disetiap topik

dalam matematika ( Putri, 2011).

Putri (2011) menjelaskan bahwa PMRI adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang

akan menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi sendiri

melalui pengetahuan sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-harinya,

dengan menemukan sendiri konsep tersebut, maka diharapkan belajar siswa menjadi

bermakna. Dalam menemukan konsep tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu konteks.

Menurut Wijaya (2012:21), konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa

dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut

bermakna dan bisadibayangkan dalam pikiran siswa. Ullya, Zulkardi dan Putri (2010) Proses

pembelajaran siswa dengan menggunakan bahan ajar penjumlahan pecahan berbasis PMRI

sangat menuntun siswa untuk mengembangakan ide-ide dan menumbuhkan kreativitas siswa

dalam menyelesakan masalah, dilihat dari proses yang dilakukan oleh siswa dalam

menyelesaikan masalah. Khairunnisak, Maghfirotun, Juniati, dan Haan (2012) mendukung

siswa memperluas pemahaman mereka tentang makna perkalian pecahan dengan bilangan

bulat. Tasman, Hertog, Zulkardi, dan Hartono (2011) kemampuan siswa untuk penataan

situasi dan kemampuan siswa untuk menyatakan jumlah objek pada model persegi panjang

ke kalimat perkalian menggiring siswa kepada penjumlahan berulang dan mendorong

mereka untuk mengubahnya menjadi kalimat perkalian.

Dari uraian di atas maka, peneliti akan mendesain dan mengembangkan Local Instructional

Theory (LIT) dengan menerapkan teori Rectangle Multiplication menggunakan plastik mika

mengambil judul “Pembelajaran perkalian pecahan menggunakan plastik mika di kelas V”.

2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian desain pembelajaran (design research) yang

merupakan suatu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan peneliti dan mencapai tujuan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 141

dari penelitian. Menurut Bakker (2004), tujuan utama dari design research adalah untuk

mengembangkan teori-teori bersama-sama dengan bahan ajar. Dalam penelitian ini hanya

akan dibahas siklus satu yaitu tahap pilot eksperimen yang terdiri atas 4 aktivitas dan subjek

dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD N 55 Pagaralam yang berjumlah 6 orang.

3. Hasil Dan Pembahasan

Preliminary Design

Tahap ini telah menghasilkan suatu HLT yang diujicobakan pada tahap Preliminary

Teaching Experiment (siklus 1). HLT yang didesain terdiri dari empat aktivitas yang masing-

masing aktivitas memuat jenis aktivitas, pemikiran awal, tujuan yang akan dicapai, deskripsi

aktivitas dan konjektur pemikiran siswa. Keempat aktivitas tersebut adalah a) mengamati

video pemotongan tahu; b) mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami

teori rectangle multiplication (perkalian persegi panjang); c) menggambarka perkalian

persegi panjang pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan; d) Menyelesaikan

masalah soal cerita berkaitan dengan perkalian pecahan. Berikut ini disajikan aktivitas-

aktivitas HLT 1 yang diujikan pada Preliminary Teaching Experiment.

Preliminary teaching Experiment (Siklus 1)

Pada tahap ini peneliti mengujikan HLT pertama pada small group yang dilaksanakan di SD

N 55 Pagaralam, terdiri dari 6 orang siswa. Dimana enam orang siswa tersebut memiliki

kemampuan yang berbedada – beda yaitu 2 orang siswa berkemampuan tinggi, 2 orang siswa

berkemampuan sedang dan 2 orang siswa berkemampuan rendah. Peneliti berperan sebagai

guru pada siklus I. Dalam pembelajaran siswa dibagi menjadi 2 kelompok masing – masing

kelompok terdiri dari 3 orang siswa dengan kemampuan berbeda. Observasi beserta analisis

tentang segala sesuatu yang terjadi selama Preliminary teaching Experiment (Siklus 1)dibuat

dan konjektur yang ada di aktivitas pembelajaran dievaluasi berdasarkan temuan untuk

memperbaiki HLT.

Siklus 1 terdiri dari empat aktivitas yaitu adalahadalah a) mengamati video pemotongan

tahu; b) mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori rectangle

multiplication (perkalian persegi panjang); c) menggambarkan perkalian persegi panjang

pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan; d) Menyelesaikan masalah .soal

cerita berkaitan dengan perkalian pecahan. Sebelum mengadakan peneliti mengadakan tes

awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentangmateri Perkalian Pecahan, dari hasil

tes awal diperoleh data dari 3 soal yang diberikan untuk soal pertama 3 orang menjawab

benar dan tiga orang menjawab salah, soal kedua dua orang menjawab dengan benar , 4

orang menjawab salah sedangkan soal ketiga belum ada siswa yang menjawab benar tetapi

ada beberapa yang hampir benar. Selanjutnya, berikut uraian aktivitas-aktivitas selama siklus

1.

Aktifitas 1 : Mengamati Video Pemotongan Tahu

Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk mengamati video pemotongan

tahu telah disediakan, kemudian setelah selesai mengamati video tersebut dengan baik,

kemudian selanjutnya masing – masing kelompok diminta untuk dapat menyimpulkan hasil

darivideo yang telah mereka amati.

Aktifitas 2 : Mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori

rectangle multiplication (perkalian persegi panjang)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

142 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk mengambar persegi panjang

pada 2 plastik mika yang telah disediakan, kemudian setelah selesai mengambarpersegi

panjang tersebut dengan benar sesuai dengan gambar yang diinginkan, maka selanjutnya

masing – masing kelompok diminta untuk menyelesaikan lembar aktivitas 2.

Pada soal aktivitas 2 masing – masing kelompok sudah bisa menentukan bentuk dari gambar

yang mereka susun tadi, seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar. 1

Retrospective Analysis Aktifitas 2

Pada aktivitas kedua, siswa sudah bisa menyelesaikan soal – soal tersebut dengan benar,

walaupun ada beberapa soal yang perlu bimbingan guru. Dari aktivitas – aktivitas tersebut

terlihat siswa masih ada yang belum bisa menarik kesimpulannya.

Aktifitas 3 : Menggambarkan perkalian persegi panjang pada kertas untuk memahami

konsep perkalian pecahan

Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk membuat gambar persegi

panjang sesuai dengan soal pada lembar aktivitas 2 yang telah diberikan. Pada soal pertama,

mereka sudah bisa menentukan gambar yang akan dibuat pada kertas tersebut, seperti terlihat

pada gambar 2.

Gambar. 2

Pada soal kedua masing – masing kelompok sudah bisa menentukan gambar dan jawaban

dari soal tersebut, sepeti pada gambar 3 berikut ini.

Gambar. 3

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 143

Pada penyelesaian soal kedua, siswa juga dapat menjawab soal tersebut dengan benar.

Pada soal terakhir ada kelompok yang belum bisa menarik kesimpulan soal pada aktivitas

tersebut

Retrospective Analysis Aktifitas 3

Pada saat menyelesaikan aktivitas 3 setiap kelompok sudah bisa menyelesaikan soal tersebut

dan dapat menyimpulkan hasil dari soal yang mereka kerjakan.

Aktifitas 4 : Menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan Perkalian Pecahan

Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diberikan 2 permasalahan yang terdapat pada

aktivitas 4, setelah masing – masing kelompok diberikan lembar aktivitas kemudian masing

– masing kelompok mulai menyelesaikan permasalahan pada aktivitas tersebut.

Pada soal no 1 masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan tersebut,

tanpa menggunakan persegi panjang untuk mengambarkan soal yang mereka kerjakan

tersebut. Seperti pada gambar 4 berikut ini.

Gambar 4.

Sedangkan pada soal no 2 masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan

permasalahan tersebut, dan tidak menggunakan lagi gambar persegi panjang pada saat

menjawab soal tersebut, seperti pada gambar 5 berikut ini.

Gambar 5.

Retrospective Analysis Aktifitas 4

Pada aktivitas keempat, masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan

– permasalan pada aktivitas 4. Namun ada salah satu kelompok yaitu kelompok 2 yang pada

awalnya tidak membuat kesimpulan dengan lengkap namun setelah mendapat arahan dari

guru mereka bisa menyelesaikan soal tersebut sampai kesimpulan.

4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas terlihat bahwa plastik mika dapat

membantu siswa dalam menemukan konsep perkalian pecahan, dari beberapa aktivitas yang

dilakukan siswa ada beberapa kesulitan yang dihadapi siswa. Seperti pada aktivitas 1 siswa

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

144 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

kesulitan menjelaskan video yang telah mereka perhatikan, namun setelah diarahkan mereka

bisa menjelaskan. Sedangkan pada aktivitas kedua siswa sudah bisa menyelesaikan soal

tersebut namun masih ada yang belum bisa menarik kesimpulan pada aktivitas tersebut. Pada

aktivitas ketigasiswa sudah bisa menyelesaikan soal tersebut sampai pada kesimpulan.

Terakhir diaktivitas ke 4 ada salah satu kelompok yang menyelesaikan permasalahan pada

aktivitas mereka belum lengkap dalam membuat kesimpulannya, namun setelah diarahkan

mereka bisa menyelesikannya.

Berdasarkan hasil penelitian dan pemabahasan maka dapt disimpulkan bahwa penggunaan

jigsaw puzzles berperan penting dalam menemukan konsep FPB.

Daftar Pustaka

Bakker, A. (2004). Design research in statistics education on symbolizing and

computertools. Amersfoort: Wilco Press.

Kershaw, J. (2014). CK-12 Middle School Math-Grade 6. U.S: FlexBook.

Kershaw, J. (2014). CK-12 Middle School Math-Grade 6 Concept Collection. U.S:

FlexBook.

Putri, R.I.I. (2011).Improving Mathematics Comunication Ability Of StudentsIn Grade 2

Through PMRI Approach. International Seminar and the Fourth National

Conference on Mathematics Education. Department of Mathematics Education,

Yogyakarta State University.

Putri, R.I.I (2011). Propesional Development of Mathematics Primary School Teachers in

Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education

Approach.Proceeding of the International Conggress for School Effectiveness and

Improvement (ICSEI), Limassol, Cyprus.

Walle, J. A. (2010). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Jilid 2 "Pengembangan

Pengajaran" (Vol. VI). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan

Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu

Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2010). Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan

Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI). Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP).2(1). 1 – 24

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 145

PENGEMBANGAN SOAL OPEN-ENDED PADA POKOK

BAHASAN LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BALOK

Henry Kurniawan1, Ratu Ilma Indra Putri

2, Yusuf Hartono

2

1Mahasiswa Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya

2Dosen Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian Design Research tipe Develompent Studyyang

bertujuan untuk menghasilkan soal-soal open-ended yang valid dan praktis.

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan analisis data walk through dan

analisis dokumen. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa penelitian ini

telah menghasilkan suatu produk soal open-ended yang valid dan praktis. Kevalidan

dilihat dari hasil penilaian validator, yaitu validator telah menyatakan bahwa konten,

konstruk, dan bahasa soal sudah baik. Selain itu kevalidan soal tergambar setelah

dilakukan analisis validasi butir soal pada siswa sebanyak 36 orang non subjek

penelitian. Praktis tergambar dari hasil uji coba small group dimana sebagian besar

siswa dapat menyelesaikan soal open-ended yang diberikan.

Kata Kunci: Design Research, Develompent Study, SoalOpen-Ended, Balok

I. Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Salah satu materi dalam pelajaran matematika yang berperan penting dalam kehidupan

sehari-hari adalah luas permukaan dan volume balok. Oleh karena itu, siswa perlumemahami

konsep luas permukaan dan volume balok(Purwatiningsi, 2013). Namun dalam

kenyataannya, siswa tidak dapat memahami keterkaitan antar konsep volume dan luas

permukaan yang merupakan bekal dalam memecahkan permasalahan sehari-hari(Nurlatifah,

2013).

Kesulitan siswa dalam proses belajar diperkirakan berkaitan dengan cara guru mengajukan

pertanyaan atau memberikan latihan soal di kelas yang kurang bervariasi, sebagian besar

guru matematika jarang memberikan soal-soal matematika kepada siswanya dalam bentuk

non-rutin. Dengan demikian, perlu adanya standar soal-soal yang dapat melatih pemahaman

tingkat tinggi sehingga siswa dapat berpikir kritis dan kreatif (Tandilling, 2012). Sementara

itu, menurut Emilya (2010) masalah-masalah matematikaterbuka (open problems) sendiri

jarang disentuhpada saat penyajian soal-soal dalam prosespembelajaran matematika di

sekolah. Akibatnyabila ada soal atau permasalahan itu dianggap “salah soal” atau soal yang

tidak lengkap.

Di dalam KTSP disebutkan bahwa fokus dalam pembelajaran matematika hendaknya

menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup solusi

tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal dan masalah dengan berbagai macam

penyelesaian (permendiknas, 2006). Ada 5 Standar Proses didalam KTSP yaitu pemecahan

masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi. Hal tersebut

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

146 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

sesuai dengan Permendiknas no. 14 tahun 2007 (BNSP, 2007) tentang tujuan mata pelajaran

matematika yaitu memahami konsep matematika, menggunakan penalaran matematika,

memecahkan masalah matematika, mengkomunikasikan gagasan, memiliki sikap

menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,

perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dan

pemecahan masalah. Namun pada kenyataannya tidak sejalan dengan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil studi TIMMS dan PISA

yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMP khususnya dalam bidang matematika

masih dibawah standar internasional. Hasil terbaru TIMSS 2011 menempatkan Indonesia di

peringkat ke-38 dari 42 negara (HSRC & IEA, 2012) dan yang lebih memprihatinkan lagi

hasil terbaru PISA 2012 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 65 negara

(OECD, 2013).

Maka dari itu untuk memaksimalkan pembelajaran matematika, penggunaan soal terbuka

perlu dibudayakan dalam pembelajaran karena soal terbuka mempunyai potensi yang kaya

untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Mahmudi, 2008). Shimada (1997) mengatakan

dengan memberikan permasalahan terbuka (open-ended problems) diharapkan pula dapat

membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang

potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dan

supaya matematika dapat disenangi dan dipelajari oleh semua siswa, maka permasalahan

tertutup (closed problem) yang menuntut satu jawaban yang benar hendaknya diganti dengan

permasalahan terbuka (open-ended problems). Dengan demikian pembelajaran akan

mengembangkan kemampuan memecahkan masalah matematika.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Pengembangan Soal Open-Ended Pada Pokok Bahasan Luas Permukaan Dan Volume

Balok”.

I.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik soal open-ended

pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis?”

I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan soal open-ended pada pokok bahasan

luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis.

I.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Siswa, memberikan pengalaman pada siswa dalam mengerjakan soal open-ended, dan

dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan matematikanya.

2. Guru, menambah pengetahuan tentang pengembangan soal, khususnya soal open-ended

dan mampu menerapkannya di kelas.

II. Metode Penelitan

Penelitian ini adalah development research(pengembangan) yang bertujuan untuk

menghasilkan soal open-ended pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang

valid dan praktis. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 147

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode pengembangan atau development

research tipe formative research (Tessmer, 1993). Pengembangan ini dilakukan dalam dua

tahapan utama yaitu preliminary study dan formative evaluation. Tahap preliminary study

meliputi analisis (analisis siswa, analisis kurikulum, dan analisis materi) dan pendesaian

(prototyping). Sedangkan tahap formative evaluation meliputi tahap seperti gambar berikut:

Gambar 1. Alur desain formative evauation (Tessmer, 1993)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu pengumpulan data Walk through dan

pengumpulan data melalui dokumen. Walkthroughmerupakan validasi data yang melibatkan

seorang ahli atau lebih untuk keperluan pengecekan atau pembanding sebagai dasar untuk

merevisi prototipe.Dokumen adalah data yang mendukung dalam penelitian yang dapat

berupa instrumen, komentar/saran dalam validasi dengan pakar ataupun pada saat one-to-one

dan small group, dan juga foto dan video dalam penelitian tersebut. Dokumen digunakan

untuk memperoleh data keefektifan yaitu dengan menganalisis hasil soal-soal yang diberikan

kepada siswa. Analisis dokumen ini digunakan untuk mengetahui kemampuan matematika

siswa pada materi luas permukaan dan volume balok, yang dalam hal ini menggunakan soal-

soal open-ended.

III Hasil dan Pembahasan

Tahappreliminary dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tahap analisis dan desain. Pada tahap

analisis, siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu siswa kelas VIII.2 sebanyak 35 anak.

Dari hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika di kelas menyatakan bahwa

terdapat kurang lebih 40% siswa berkemampuan tinggi, 30% sedang, dan 30%

rendah.Selanjutnya pada tahappendesainan, peneliti merancang soal-soal open-ended

sebanyak 10 butir soal esai materi luas permukaan dan volume balok dengan satu tipe soal

yaitu satu cara banyak jawaban. Peneliti juga membuatkisi-kisi, kartu soal,dan rubrik

penskoran dari soal-soalopen-endedyang telah dibuat.Pada tahap preliminary ini diperoleh

prototype awal berupa soal-soal open ended sebanyak 10 soal.

Selanjutnya adalah tahap formative evaluation yang terdiri dari 2 tahapan yaitu self

evaluation dan prototyping.Pada tahap self evaluation, peneliti menelaah kembali soal dan

instrumen yang telah dibuat.Pada tahapan ini tidak terdapat perubahan pada soal open ended

yang dibuat. Hasil dari self evaluation ini merupakan soal-soal open endedprototype awal.

Kemudian peneliti memasuki tahap berikutnya yaitu tahap prototyping(expert review, one-

to-onedan small group).

Tahap expert review dan one to one dilakukan secara bersamaan. Pada tahap expert review,

prototype awal divalidasikan kepada seorang pakar yaitu Dr. Rahmah Johar, M.Pd. dari

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Berdasarkan komentar pakar, secara konten soal open

Small Group

Revise Field Test

Revise Self

Evaluation

Expert

Review

Revise

One to one

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

148 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

ended ini telah sesuai dengan standar kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), pencapaian

kompetensi pada KTSP dan telah sesuai dengan level kompetensi siswa siswa kelas VIII.

Secara konstruk, ada perbaikan yang harus dilakukan pada soal-soal open ended diantaranya

beberapa rumusan kalimat pada soal perlu disesuaikan dengan karakteristik soal open ended

dan dituntut untuk lebih banyak penyelesaiannya. Saran tersebut sesuai dengan Shimada

(1997) yang menyatakan bahwa dengan memberikan permasalahan terbuka (open-ended

problems) diharapkan pula dapat membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan

banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses

menemukan sesuatu yang baru. Secara bahasa, ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan

pada soal-soal open ended diantaranya penghilangan kata yang kurang sesuai, susunan

kalimat diperbaiki, penggunaan tanda baca yang benar. Dan pada tahap one to one, peneliti

memberikan soal dari prototype awal kepada 3 orang siswa dengan kemampuan tinggi,

sedang, dan rendah. Berdasarkan tahapan ini, semua siswa tidak mengalami kesulitan untuk

memahami maksud soal. Permasalahan mereka terdapat pada kemampuan masing-masing

siswa untuk mengerjakan soal tersebut. Menurut ketiga siswa tersebut, soal-soal open ended

ini menarik dan merupakan hal baru bagi mereka.

Kemudian peneliti melakukan analisis butir pada Prototype awal iniuntuk menguji validitas

soal dan reliabilitas soal secara kuantitatif. Sebagai subjek penelitian adalah siswa kelas

VIII.4 SMP Negeri 55 Palembang sebanyak 36 siswa (r tabel = 0,329). Uji Validitas

menggunakan rumus korelasi Product Moment Pearson dan reliabilitas menggunakan rumus

Cronbach Alpha. Perhitungan validitas butir soal dan reliabilitas soal dilakukan dengan

menggunakan bantuan soft ware microsoft excel. Data dan hasil perhitungan validitas butir

soal dan reliabilitas ditunjukkan tabel berikut.

Tabel 1. Data hasil perhitungan validitas butir soal

Butir

Soal rhitung

Keterangan

(valid jika rhitung>rtabel)

1 0,781 Valid

2 0,053 Tidak Valid

3 0,657 Valid

4 0,497 Valid

5 0,308 Tidak Valid

6 0,438 Valid

7 0,596 Valid

8 0,436 Valid

9 0,445 Valid

10 0,590 Valid

Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan r11 sebesar 1,104574. Menurut sudjiono (2011), soal

memiliki reliabelitas tinggi jika r11 sama dengan atau lebih besar daripada 0,70. Jadi dapat

disimpulkan bahwa soal ini memiliki reliabilitas yang tinggi karena 1,104574> 0,70.

Setelah ituprototype awal ini direvisi berdasarkan saran dan komentar pada tahap expert

review, one to one, dan pertimbangan dari hasil perhitungan validitas butir soal. Pada

tahapan ini, peneliti menghapus 2 buah soal yaitu soal nomor 2 dan 10, dan memasukkan

sebuah soal baru yang diambil dari saran pakar. Soal nomor dua dihapus karena soal tersebut

hampir sama dengan soal nomor 4. Sedangkan soal nomor 10 dianggap kurang menantang

bagi siswa SMP. Gambar 2 berikut merupakan soal yang diganti.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 149

sebelum revisi

setelah revisi

Gambar 2. Soal yang diganti

Soal open ended yang telah direvisi berdasarkan saran dan komentar yang diperoleh pada

tahap expert review dan one to one evaluation selanjutnya disebut dengan prototype 1.

Pada tahap small group, peneliti memberikan prototype 1soal-soal open-ended yang terdiri

dari 9 soal kepada enam orang siswa SMP Negeri 1 Belitang III dengan 2 orang siswa

kemampuan tinggi, 2 orang siswa kemampuan sedang, dan 2 orang siswa kemampuan

rendah.Dalam hal ini, keenam siswa tersebut diminta untuk menjawab soal-soal tersebut

secara bersama-sama dan berdiskusi. Siswa yang berkemampuan tinggi menjelaskan kepada

siswa yang belum mengerti maksud dari soal yang diberikan.

Setelah mereka selesai menjawab soal, peneliti meminta keenam siswa tersebut untuk

memberikan komentar terhadap soal-soal yang telah mereka kerjakan tersebut. Berikut

beberapa komentar siswa.

Gambar 3. komentar siswa small group

Setelah siswa menjawab soal dan memberikan komentarnya, kemudian peneliti menganalisis

dan merevisi soal yang dianggap bermasalah.

Berdasarkan komentar siswa pada saat mengerjakan soal open ended yang diberikan,

beberapa siswa mengeluhkan mengenai maksud dari soal. Salahs atu soal yang kurang bisa

dipahami siswa adalah soal nomor 9. Soal nomor 9 merupakan soal yang beorientasi pada

kemampuan siswa dalam merancang sesutau. Dalam hal ini siswa diminta untuk merancang

sebuah akuarium dengan ukuran tertentu. Berikut ini soal yang megalami revisi pada

susunan kalimatnya agar lebih udah dipahami siswa.

Sebelum revisi

Setelah revisi

Gambar 4. Sebelum dan setelah revisi soal 9

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

150 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Dapat dilihat pada Gambar 4 diatas, perubahan pada soal nomor 9 yaitu peneliti memperjelas

arah soal yang bertujuan agar siswa menjawabnya dengan satu cara saja.

IV Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini mengembangkan soal-soal open ended menggunakan alur formative evaluation

dengan tahapan preliminary dan prototyping yang menghasilkan soal-soal open ended yang

valid dan praktis. Berdasarkan hasil dari tahapan self evaluation, expert review, one to one

evaluation dan uji reliabilitas, diperoleh bahwa soal open ended ini telah valid secara konten,

konstruk dan bahasa. Secara konten soal open ende telah sesuai dengan standar kompetensi

(SK), Kompetensi Dasar (KD), pencapaian kompetensi pada KTSP dan telah sesuai dengan

level kompetensi siswa siswa kelas VIII. Secara konstruk, rumusan kalimat telah disesuaikan

dengan karakteristik soal open ended, menuntut banyak penyelesaian dan memiliki arahan

yang jelas dalam pengerjaan soalnya. Sedangkan secara bahasa, soal open ended telah

menggunakan bahasa yang sesuai dengan EYD, kalimatnya mudah dimengerti dan tidak

ambigu. Sedangkan berdasarkan hasil tahapan small group, diperoleh karakteristik

kepraktisan soal-soal open ended yang menarik bagi siswa dan mudah digunakan untuk

mengetahui kemampuan siswa dalam mengerjakan soal.

Adapun beberapa saran dari peneliti antara lain: 1) untuk guru, disarankan untuk

menggunakan soal-soal open ended sebagai bahan pengayaan bagi siswa. 2) untuk peneliti

lain, jika ingin mengembangkan soal sebaiknya menyesuaikan jumlah soal dengan waktu

yang tersedia untuk siswa dalam mengerjakan soal tersebut.

Daftar Pustaka

BNSP. (2007). Permendiknas No. 14 Tahun 2007. Dipetik 10 15, 2014, dari BNSP

Indonesia: http://bsnp-indonesia.org/id/

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Direktorat

Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Emilya, D. (2010). Pengembangan Soal-Soal Open Ended Materi lingkaran untuk

Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa Kelas VIII Sekoolah Menengah Pertama

Negeri 10 Palembang. Palembang: Program Studi Pendidikan Matematika PPs Unsri.

Mahmudi, A. (2008). Mengembangkan Soal Terbuka (Open-Ended Problem) dalam

Pembelajaran Matematika. Seminar Nasional Matematika. Yogyakarta: UNY.

OECD. (2013). Indonesia Students Performance (PISA 2012). Dipetik 5 11, 2015, dari

gpseducation: http://gpseducation.oecd.org

Purwatiningsi, S. (2013). Penerapan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan

Hasil Belajar Siswa Pada Materi Luas Permukaan Dan Volume Balok. Jurnal

Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako .

Shimada, S., & Becker, J. (1997). The open-ended approach : A new Proposal for Teaching

Mathematics. Virginia: National Caucil of Teachers of Mathematics.

Sudjiono, A. (2011). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 151

Tandilling, E. (2012). Pengembangan Instrumen Untuk Mengukur Kemampuan Matematik,

Pemahaman Matematik, Dan Self-Regulated Learning Siswa Dalam Pembelajaran

Matematika Di Sekolah Menengah Atas. Jurnal Penelitian Pendidikan Universitas

Tanjungpura .

Tessmer, M. (1993). Planning and Conducting Formative Evaluation. London: Kogan Page

Limited.

TIMSS, H. &. (2012). Highlight from TIMMS 2011, The South African Perspective. Dipetik

5 12, 2015, dari hsrc: http://www.hsrc.ac.za/

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

152 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PENGGUNAAN LENGHT MODELSDAN METODE BALANCING

PADA PEMBELAJARAN PERSAMAAN LINEAR SATU

VARIABEL

Hermaini1

Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika

PPS Universitas Sriwijaya

[email protected]

Ratu Ilma 2, Darmawijoyo

3

Dosen Universitas Sriwijaya 2,3

[email protected] , [email protected]

3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana lenght models yang

dikombinasikan dengan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa

tentangPersamaan Linear Satu Variabel (PLSV). Metode yang digunakan adalah

design research yang melaui tiga tahap, preparing for the experiment, design

experiment, dan retrospective analysis. Penelitian ini dilaksanakan dilaksanakan

dikelas VII 5 SMP Negeri 22 Palembang yang terdiri atas 6 siswa pada tahap pilot.

PMRI mendasari desain konteks dan aktivitas pada penelitian ini. Pengumpulan data

dilakukan dengan wawancara, rekaman video, mengumpulkan hasil kerja siswa, pre-

test dan post-test. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh lintasan belajar (HLT)yang

dapat mendukung konsep persamaan linear satu variabel yaitu makna “sama dengan”

dan variabel pada persamaan, menggunakan metode balancing untuk menentukan

bentuk setara serta penggunaan lenght models yang merupakan alat representasi yang

mendukung models of ke model forpada pendekatan PMRI. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa melalui serangkaian aktivitas yang telah dilakukan dapat

mendukung pemahaman siswa untuk menemukan solusi formaldaripersamaan linear

satu variabel

Kata kunci:PLSV,lenght models, metode balancing, desain research, PMRI, HLT

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Persamaan linier satu variabel dapat digunakan untuk memahami pembelajaran dan

pemikiran siswa sebagai transisi dari aritmatika ke dalam bentuk aljabar (Jupri, Drijevers &

Heuvel Panhuizen, 2014). Namun Proses transisi inilah yang dapat menimbulkan banyak

masalah, dikarenakan isi dari aljabar yang berbeda dengan aritmatika yang sering ditemukan

oleh siswa, seperti yang dijelaskan oleh Tall, D (1992) bahwa“Approaching algebra as

generalised arithmetic through patterns has a number of difficulties”. Siswa biasanya

mengabungkan konstanta dan variabel (Huntley, M., Marcus, R., Kahan, J., & Miller, J. L,

2007).

Selanjutnya menurut Jupri, Drijevers & Heuvel Panhuizen (2014) bahwa siswa kesulitan

memahami arti yang berbeda dari tanda sama (=), pada aritmatika, simbol sama dengan (=)

sering ditemukan sebagai hasil dari perhitungan atau jawaban, sedangkan dalam aljabar,

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 153

simbol sama dengan (=) mengarah pada bentuk setara (equivalen), misalnya 2 + 3 = 5

sebagai penjumlahan 2 dan 3 untuk mendapatkan jawaban 5, sedangkan dalam aljabar,

simbol sama dengan (=) mengarah pada bentuk setara, misalnya x + 2 = 3x + 4 setara

dengan x = 3x + 2, 5) siswa kesulitan membuat model matematika untuk menyelesaikan

masalah persamaan linier satu variabel karena siswa di Indonesia kurang terlatih dalam

menyelesaikan soal-soal kontekstual, yang menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas

dalam menyelesaikannya.

Pembelajaran yang sesuai untuk membantu siswa memahami soal-soal kontekstual tersebut

adalah PMRI. Pernyataan tersebut didukung oleh Putri (2011), bahwa PMRI merupakan

pendekatan pembelajaran yang akan menggiring siswa memahami konsep matematika

dengan mengkonstruksi pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Selain tahapan situasi yang “real”. PMRI juga memiliki beberapa tahapan yaitu model of dan

model for, pada tahapan ini dibutuhkan alat representasi yang baik yang dapat mendukung

pergeseran menuju tahap formal (Gravemeijer, 1994). Alat representasi yang dipilih oleh

peneliti adalah lenght models.

Lenght models adalah salah satu alat manipulative yang dapat digunakan untuk mendukung

pembelajaran aljabar berupa garis batang dan garis bilangan (McClung, 1998). Menurut

Dickinson & Eade (2004) bahwa garis bilangan tidak hanya memungkinkan siswa untuk

mengekspresikan solusi matematika mereka tetapi juga memfasilitasi solusi mereka, dengan

prosedur seperti menandai langkah-langkah pada garis bilangan, ini menunjukkan operasi

penyelesaian yang akan dilakukan, garis bilangan juga dapat mendukung pergeseran

bertahap dari model of ke model for dan garis bilangan mendukung makna “sama dengan

(=)” yang memenuhi sifat kesetaraan pada persamaan linear satu variabel.

Selain itu peneliti juga menggunakan metode balancing. Menurut Merzbach & Boyer (2011)

bahwa metode balancingdigunakan untuk menghilangkan suku-suku pada sisi-sisi yang

berlawanan pada persamaan. Sehingga diharapkan dengan menggunakan metode tersebut,

siswa dapat mengetahui nilai yang tidak diketahui (variabel) pada persamaan linear satu

variabel. Sehingga berdasarkan deskripsi diatas maka peneliti tertarik untuk merancang

desain pembelajaran persamaan linier satu variabel dengan pendekatan PMRI yang

dikolaborasikan menggunakan lenght models dan metode balancing sehingga diharapkan

menjadi pembelajaran matematika yang bermakna serta dapat digunakan untuk mengetahui

perkembangan pemahaman siswa terhadap materi tersebut mulai aktivitas informal menuju

aktivitas formal.

Ada banyak metode pembelajaran aljabar yang telah dikembangkan, diantaranya adalah

Saraswati, S., Putri, R.I.I & Somakim (2016) menggunakan pendekatan PMRI yang

didukung dengan alat manipulative berupa algebra tiles untuk membantu siswa memahami

dan menyelesaikan persamaan linear satu variabel dinilai cukup berhasil. Selanjutnya

Khuluq, M.H., Zulkardi &Darmawijoyo (2015)juga meneliti tentang persamaan linear satu

variabel dengan kegiatan menyeimbangkan, kegiatan ini berhasil membantu siswa untuk

lebih luwes dalam menerapkan strategi pemecahan masalah aljabar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana lenght models dan metode

balancing dapat mendukung pemahaman siswa dalam memecahkan persamaan linear satu

variabel. Oleh karena itu peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana lenght

models dan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa dalam memecahkan

persamaan linear satu variabel di kelas VII SMP?

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

154 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat diantaranya guru dapat

menerapkan desain pembelajaran dengan pendekatan PMRI sebagai strating point dalam

pembelajaran matematika di kelas VII SMP serta siswa dapat meningkatkan kemampuan

penalaran, mengembangkan strategi penyelesaian dan mengemukkan ide melalui

penggunaan lenght models yang difokuskan pada garis bilangan dan metode balancing.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 22 Palembang dikelas VII. Metode penelitian yang

digunakan adalah Design Research (Penelitian Desain), yaitu mendesain pembelajaran

persamaan linier satu variabel dengan pendekatan PMRI menggunakan garis bilangan.

Menurut Akker, Gravemeijer, McKenney, Nieveen (2006) desain riset bertujuan untuk

mengembangkan lintasan pembelajaran atau HLT.Bakker (2004), Gravemeijer & Cobb

(2006), Gravemeijer & Eerde, (2009) menyatakan bahwadesign researchdapat terdiri dari

beberapa tahap yaitu preparing for the experiment, (2) teaching experiment in the classroom,

dan (3) conducting retrospective analysis.

Tahap pertama yaitu Preparing for the experiment. Peneliti membuat kajian literatur dengan

melakukan diskusi dengan guru kelas mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian, memilih

observer, menyesuaikan jadwal dan cara pelaksanaan penelitian dengan guru yang

bersangkutan. Selanjutnya meneliti kemampuan awal siswa dengan melakukan wawancara

dengan beberapa siswa untuk dijadikan informasi mengenai sejauh mana pemahaman siswa

yang berkaitan dengan materi prasyarat pembelajaran. Hasil tersebut akan digunakan peneliti

sebagai bahan dalam mendesain aktivitas untuk siswa dan mendesain HLT.

Tahap kedua yaitu Teaching experiment in the classroom. Peneliti mengimplementasikan

desain pembelajaran yang telah didesain pada tahap pertama dengan tujuan untuk

mengeksplorasi, mengetahui strategi dan pemikiran siswa dalam mempelajari konsep-konsep

persamaan linear satu variabel. Ada 2 siklus pada tahap ini yaitu pilot experiment (siklus 1)

dan teaching experiment (siklus 2) dengan masing-masing siklus terdiri dari 4 aktivitas yang

dilakukan.

Tahap ketiga, Retrospective Analysis. Data yang telah diperoleh pada tahap kedua dianalisis

dan hasil analisis ini digunakan untuk merencanakan kegiatan dan mengembangkan

rancangan kegiatan pada pembelajaran berikutnya. Tujuan dari retrosprective analysis secara

umum adalah untuk mengembangkan local instructional theory. Pengumpulan data

dilakukan melalui rekaman video, lembar aktivitas siswa dan wawancara kemudian

dianalisis untuk memperbaiki HLT yang telah didesain. Data dianalisis secara retrospektif

dengan HLT sebagai acuan. Untuk analisis data, peneliti melakukan diskusi dengan

pembimbing dan guru model untuk meningkatkan reliabilitas dan validitas pada penelitian

ini.

Selama melakukan penelitian, beberapa teknik pengumpulan data seperti pre-test dan post-

test, observasi, wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan dikumpulkan dan dianalisis

untuk memperbaiki dan merevisi HLT yang telah didesain. Design research merupakan

penelitian kualitatif sehingga analisis data dilakukan secara kualitatif. Analisis data

dilakukan oleh peneliti dan bekerjasama dengan pembimbing untuk meningkatkan kalibrasi

penelitian ini mulai tahap preliminary design, pilot experiment(siklus 1), dan teaching

experiment(siklus 2).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 155

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

PembelajaraninimenghasilkanlintasanbelajarpadaPembelajaranPersamaan Linear Satu

Variabel(PLSV) di kelas VII.PembelajaranPLSV menggunakanlenght models dan metode

balancing dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

dapatmembantusiswamemahamimateriPLSV. Terdapat4aktivitasyaitu aktivitas pertama

siswa menggunakan karton warna pink, biru, dan kuning untuk mengukur karton putih yang

bertujuan untuk memahami makna variabel dan tanda “sama dengan (=)” pada persamaan.

Aktivitas kedua siswa diminta menyelesaikan soal kontekstual menggunakan metode

balancing untuk menemukan bentuk seimbang dari kedua sisi persamaan. Aktivitas ketiga

siswa mengkalaborasikan metode balancing dengan lenght models dan aktivitas keempat

siswa memodelkan dan menyelesaikan beberapa soal yang berkaitan dengan PLSV. Semua

aktivitas dilakukan secara berkelompok dengan setiap kelompok terdiridari 3 siswa. Setiap

kelompok memiliki kemampuan akademik yang heterogen.

Aktivitas pertama, pembelajarandimulaidenganmemberikanapersepsimengenaikalimat

terbuka yang merupakan materi prasyarat sebelum memahami PLSV karena persamaan

merupakan kalimat terbuka yang memuat variabel dan tanda “sama dengan (=)”. Siswa

diminta untuk berdiskusi dengan masing-masing kelompok untuk menyelesaikan dan

melakukan aktivita ssesuai Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang telah dibagikan. Siswa

melakukan kegiatan mengukur panjang karton putih sesuai dengan perintah pada LAS 1,

siswa menempelkan beberapa karton biru, pink dan kuning untuk menutupi karton putih

seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 1. Kelompok 1dan kelompok 2 melakukan kegiatan pada LAS 1

Pada saat siswa melakukan kegiatan pengukuran, guru menjelaskan bahwa siswa boleh

menggunakan berbagai karton warna sesuai dengan strategi masing-masing kelompok.

Kemudiansiswa menganalisis hasil pengukuran tersebut dan menjawab beberapa soal pada

LAS 1. Guru membantu siswa memahami soal-soal yang diberikan. Guru mengamati dan

memberikan arahan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Selanjutnya siswa diarahkan

untuk menyimpulkan kegiatan yang dilakukan pada LAS 1, yaitu memahami penggunaan

variabel, dan makna “sama dengan (=)”. Berikut dialog percakapan guru dengan siswa dalam

melakukan aktivitas.

Dialog memahami penggunaan variabel sebagai berikut:

1. Guru : Sekarang coba, tau ngak panjangnya karton ini (sambil

menunjukan satu karton warna pink)

2. Bela, Agung: Tidak tau & Nathasa

3. Guru : Nah, makanya tadikalau tidak tau, diapakan?

4. Nathasa : Disimbolkan dengan variabel

5. Guru : Iya disimbolkan

6. Bela : Jadi variabel adalah ukuran yang tidak diketahui

Dialog memahami makna “sama dengan (=)” sebagai berikut :

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

156 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

7. Guru : Dari kegiatan kalian tadi apa? Artinya “sama dengan”.

8. Agung : “Sama dengan” adalah

9. Bela : O.. sama dengan adalah bahwa kedua karton memiliki panjang

yang sama

10. Guru : Cubo maksudnya cagmano?

11. Bela : Nah.. cak keduo karton ini kan panjangnya samowalaupun

menggunakan kombinasi warna yang berbeda(sambil

menunjukkan 2 karton putih yang telah ditempel dengan beberapa

karton warna)

Pada pertemuan kedua guru memberikan apersepsi dengan mengulangi makna “sama dengan

(=)‟ pada persamaan. Menjelaskan tujuan pembelajaran yaitu untuk menyelesaikan PLSV

dapat digunakan menggunakan metode balancing. Pada awalnya siswa kebingungan karena

kata balancing merupakan hal baru bagi mereka, selanjutnya guru menjelaskan bahwa

metode balancing adalah metode menyeimbangkan atau menyetarakan kedua sisi yang

berbeda, seperti pada timbangan. Pertemuan kedua ini konteks yang digunakan adalah

menyetarakan kedua susunan tripleks untuk menyesuaikan ukuran panjang teras rumah.

Selanjutnya siswa dibagi menjadi 2 kelompok seperti pada pertemuan sebelumnya. Guru

membagikan LAS 2. Siswa bekerja secara berkelompok dan berdiskusi untuk menyelesaikan

permasalahan pada LAS 2.

Gambar 2. Siswa berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan pada LAS 2

Selama kegiatan berlangsung,guru mengamati, memberi arahan dan membantu siswa jika

mengalami kesulitan. Kegiatan balancing ini digunakan sebagai pengetahuan dasar bagi

siswa untuk menentukan bentuk seimbang atau setara pada persamaan dan menjadi langkah

awal untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel. Pada kegiatan ini terlihat siswa

memahami makna seimbang bahwa kedua ruas (dalam konteks susunan tripleks) harus sama-

sama dikurangi dengan jumlah tripleks yang sama banyak agar tetap memiliki susunan

tripleks yang sama panjang.

Berikut dialog percakapan siswa yang berdiskusi dalam melakukan aktivitas LAS 2

12. Bela : Ya sama, kan samo-samo dipotong cak tadi

13. Nathasa : Hmmm...(sambil berfikir)

14. Bela : Nah.. inikan dikurang 1 (menunjukkan susunan 1 dan susunan 2

tripleks pada soal). Samo-samo dikurang 1.

15. Nathasa : Kalau misalnya?

16. Agung : Kalau misalnya ini dikurang 1 (menunjuk soal)

17. Bela&Agung : Iyo tetap samo

18. Nathasa : iya (mengangguk)

Selain strategi mengurangi siswa menemukan strategi menyeimbangkan (balancing) pada

kedua susunan tripleksyang lain seperti dialog dibawah ini:

19. Guru : Ada lagi ngak?

20. Bela : Dikurang juga bisa (mengulangi strategi yang sudah ada)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 157

21. Agung : Dibagi..

22. Guru : Dibagi dengan apa misalnya?

23. Nathasa : Dibagi 2..hehhe..

24. Guru : Dibagi 2 (meyakinkan siswa), nah cubo kalau dibagi 2?

25. Bela : Kalau dibagi 2, batas sini (menunjuk batasan yang akan dibagi

menggunakan jari pada kedua susunan tripleks), samo-

samo dibagi 2.

26. Guru : Selain dibagi, diapain lagi

27. Nathasa : Dikali misalnya

28. Guru : Misalnya susunan 1 dikaliin?

29. Bela : Dikali 2, bearti ditambah sepanjang ini (menunjukkan susunan

tripleks)

30. Guru : iya..sipp

Setelah memahami strategi yang dapat digunakan untuk menyetarakan kedua susunan

tripleks tersebut, maka pertemuan ketiga siswa diperkenalkan dengan lenght models yaitu

alat representasi yang menggunaka garis batang dan garis bilangan. Penggunaan lenght

models ini diharapkan dapat membantu siswa untuk menyelesaikan soal-soal yang berkaitan

dengan PLSV. Pada LAS 3, siswa diberikan masalah kontekstual. Masalah 1 yaitu mengenai

panjang jembatan gantung yang rusak dengan cara melihat 2 kemungkinan susunan yang

ada. Langkah pertama siswa mengelompokkan susunan kayu yang memiliki permukaan

berbentuk persegi dan persegi panjang, selanjutnya siswa diminta menghitung panjang kayu

persegi panjang jika panjang kayu persegi adalah 1 meter. Pada gambar berikut ini siswa

menunjukkan bahwa panjang kayu persegi panjang adalah 3 meter, karena 1 kayu persegi

panjang mewakili 3 kayu persegi. Jawaban tersebut didapat siswa dengan cara metode

balancingpada pertemuan sebelumnya yaitu kedua susunan sama-sama dikurang 3 kayu

persegi dan 1 kayu persegi panjang. Sehingga didapatlah panjang jembatan gantung tersebut

adalah 15 meter. Secara keseluruhan siswa tidak mengalami kesulitan untuk memahami

masalah 1.

Gambar 3. Jawaban siswa pada LAS 3

Selanjutnya siswa diberikan masalah 2 dengan menggunakan konteks lompatan kelinci

(penggunaan garis bilangan). Namun ketika siswa menyelesaikan masalah 2, siswa

kelompok 2 mengalami kesulitan, karena kesalahan memahami soal. Pada soal diberikan

informasi bahwa dua kelinci (Lala dan Pow) akan disergap oleh seekor ular, sehingga kedua

kelinci harus menghindar. Pada lompatan pertama Lala melompat sejauh 90 cm selanjutnya

melompat 6 kali sedangkan Pow pada lompatan pertama melompat sejauh 60 cm dan

kemudian melompat tujuh kali, pertanyaannya berapakah jarak 1 lompatan. Permasalahan

tersebut menjadi pemahaman yang ganda bagi siswa. Siswa menggangap bahwa untuk

lompatan kedua dan lompatan selanjutnya, siswa menambahkan 6 cm setelah lompatan

pertama Lala, sehingga lompatan keduanya menjadi 101 cm dan lompatan kedua pada Pow

menjadi 67 cm.

Berikut dialog percakapan siswa yang mengalami kesulitan memahami soal pada LAS 3:

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

158 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

31. Guru : Nah ini (menunjuk hasil jawaban siswa) kenapa 101 nak?

32. Oksi : 95 ditambah 6. 6 kali lompatan Lala tadi.

Sehingga untuk tahapan selanjutnya peneliti menganti soal dengan menambahkan kata

“sebanyak 6 lompatan” dan “sebanyak 7 lompatan”

Gambar 4. Lembar jawaban siswa pada LAS 3

Guru memberikan arahan kepada siswa untuk memahami selanjutnya siswa dapat

menyelesaikan LAS 3 dengan menjawab bahwa setiap lompatan memiliki jarak 35 cm.

Jawaban tersebut didapat dari hasil pengamatan pada diagram garis bilangan yang telah

diberikan oleh guru.

Pada pertemuan keempat guru membagikan LAS 4. Siswa diminta memodelkan dan

menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan PLSV. Pada kegiatan ini

peneliti menemukan permasalahan baru. Siswa mengalami kesulitan ketika membuat

persamaan pada permasalahan yang diberikan. Hal ini dikarena pertanyaan pada soal kurang

dimengerti, sehingga siswa menjawab soal no 1 dan no 2dengan menggunakan penyelesaian

langsung (menggunakan garis bilangan) tanpa membuat persamaan terlebih dahulu.

Gambar 5. Siswa berdiskusi untuk menjawab permasalahan pada LAS 4

Pada soal no 3, siswa tidak diminta membuat persamaan tetapi siswa dapat menyelesaikan

PLSV menggunakan garis bilangan. Siswa mengamati dan menganalisa soal dengan cara

berdiskusi bersama kelompoknya. Berikut jawaban siswa pada kelompok 1 dan kelompok 2.

Gambar 6. Jawaban kelompok 1 pada soal no 3 LAS 4

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 159

Gambar 7. Jawaban kelompok 2 pada soal no 3 LAS 4

Dari jawaban kedua kelompok tersebut, siswa memiliki jawaban yang hampir sama. Kedua

kelompok tersebut menggunakan metode balancingyang telah diperkenalkan pada

pertemuan sebelumnya namun siswa lebih terbiasa menggunakan kata “dipotong”

dibandingan kata “dikurang”. Maka untuk perbaikannya peneliti akan mengajak siswa untuk

lebih sering menggunakan kata dikurang walaupun kata dipotong memiliki makna yang

sama. Sehingga secara keseluruhan siswa sudah bisa memahami penggunaan garis bilangan

sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan PLSV.

4. Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa siswa

dapat menggunakan lenght modelsyang dibantu dengan metode balancinguntuk

menyelesaikan persamaan linear satu variabel dengan cara formal serta penggunaan lenght

modelsdapat meminimalkan kesalahan umum yang terjadi ketika memecahkan persamaan

linear dengan satu variabel. Pemahaman siswa dikembangkan dari informal tingkat formal.

4.2 Saran

Guru dapat menggunakan metode balancing dan lenght models dibantu dengan masalah

kontekstual yang dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa untuk mendukung pemahaman

siswa memecahkan persamaan linear dengan satu variabel, Bahkan, melalui

penggunaanlenght models dan metode balancing, siswa dapat meningkatkan kemampuan

penalaran, mengembangkan strategi penyelesaian dan mengemukkan ide sertadapat

membuat proses belajar menjadi bermakna.

Daftar Pustaka

Akker, J.V.D., Gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (2006). Educational design

research. London dan New York : Routledge Taylor and Francis Group.

Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer

Tools. Amersfoort: Wilco Press.

Dickinson, P. & Eade, F. (2004). Using The Number Line to Investigate The Solving of

Linear Equations. For the Learning of Mathematics.FLM Publishing Association,

Kingston, Ontario, Canada. 24 (2): 41-47.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

160 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Gravemeijer, K. (2004). Creating Opportunities For Students To Reinvent Mathematics.

ICME. Regular Lecture.

Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. In

J. V. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenny, & N. Nieveen, Educational Design

Research (pp. 17-51). London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Gravemeijer, K., & van Eerde, D. (2009). Design Research as a Means for Building a

Knowledge Base for Teaching in Mathematics Education. The Elementary School

Journal, 109 (5).

Huntley, M., Marcus, R., Kahan, J., & Miller, J. L. (2007). Investigating high school

students‟ reasoning strategies when they solve linear equations. Journal of

Mathematical Behavior. 26(2): 115-139. Retrieved from the ScienceDirect database.

Jupri, A., Drijvers, P., & Van Den Heuvel Panhuizen, M. (2014). Difficulties in Initial

Algebra Learning in Indonesia.Mathematics Education Research Journal, 1-28. DOI

: 10.1007/S13394-013-0097-0.

Khuluq, M.H., Zulkardi & Darmawijoyo. (2015). Enhancing Student‟s Strategies to Solve

Linear Equations with One Variable Through Balancing Activities. Proceeding the

3rd SEA-DR International conference (pp.1-10), Sriwijaya University, Palembang.

McClung, Lewis W. (1998). A Study on the Use of Manipulatives and Their Effect on

Student Achievement in a High School Algebra I Class.University Salem Teikyo.A

ThesisPresentedtoThe Faculty of the Graduate SchoolSalemTeikyo University.

Merzbach, U.C., & Boyer, C.B. (2010). A History of Mathematics. John Wiley & Sons, Inc.

Hoboken. New Jersey.

Putri, R. I. I. (2011). Professional Development of Mathematics Primary School Teacher in

Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education

Approach.Lymasol, Cyprus: Proceeding of International Congress for school

Effectiveness and Improvement (ICSEI).

Saraswati, S., Putri, R.I.I.& Somakim. (2016). Supporting Students‟ Understanding of Linear

Equations with One Variable Using Algebra Tiles. Jurnal IndoMS. J.M.E, 7(1), 19-

30.

Tall, D. (1992). The Transition from Arithmetic to Algebra:Number Patterns, or Proceptual

Programming?. Published in New Directions in Algebra Education, Queensland

University of Technology, Brisbane, 213–231

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 161

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER

OF TWO UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR

KRITIS MATEMATIS MAHASISWA

Ika Wahyu Anita

Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Studi ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kemampuan berpikir kritis matematis

mahasiswa calon guru saat menghadapi mata kuliah analisis, sehingga perlu

dikembangkan sebuah pembelajaran yang diharapkan mampu mendorong mahasiswa

aktif dan kooperatif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Studi ini

berbentuk penelitian tindakan kelas ini disusun dalam tiap lima kali pertemuan untuk

setiap siklusnya.Sampel diambil pada mahasiswa calon guru pendidikan matematika

yang menempuh mata kuliah Struktur Aljabar di STKIP Siliwangi Bandung.

Instrumen penelitian berupa tes berbentuk uraian dan angket tertutup. Studi ini

menunjukkan bahwa pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twoberhasil

memunculkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, serta menunjukkan antusiasme

mahasiswa dalam berpatner mempelajari mata kuliah.

Kata kunci: The power of two, Berpikir Kritis Matematis

1. Pendahuluan

Efek berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah makin dirasakan saat ini.

Tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi makin nyata, terutama oleh para lulusan perguruan tinggi. Seseorang akan survive

bersaing dengan tenaga ahli dari dalam dan luar negeri, apabila ia menguasai tidak hanya

ilmu pengetahuan secara teoritis. Penguasaan terhadap skilldan pengalaman sangat

dibutuhkan, selain itu kematangan pola pikir yang akan berpengaruh pada bagaimana

seseorang mengambil keputusan dan berprilaku. Hal ini yang melatarbelakangi Perpres RI

no.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyatakan

bahwa kualitas lulusan yang dihasilkan harus sesuai dengan pencapaian pembelajaran

lulusan.Setiap universitas dan sekolah tinggi harus membekali mahasiswa lulusannya tidak

hanya dengan ilmu secara teoritis, namun juga ketrampilan, konsep pola pikir yang matang

dan penguasaan lapangan Menyesuaikan dengan arahan KKNI, program studi pendidikan

matematika STKIP Siliwangi Bandung menyusun misi yaitu menyelenggarakan pendidikan

dan pengajaran untuk menghasilkan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi, berdaya

saing nasional, mampu mengembangkan diri, tanggap dan dapat mengikuti dan

menyesuaikan diri terhadap perubahan dan kemajuan IPTEK khususnya yang menyangkut

pendidikan matematika (Tim SPMI, 2014). Misi ini yang harus senantiasa dijadikan patokan

bagi dosen untuk mengajar. Perkuliahan harus diarahkan salah satunya untuk membentuk

pola pikir mahasiswa sehingga berpengaruh pada kemampuan untuk menjadi problem solve

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

162 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Setiap mata kuliah yang diajarkan seyogyanya mahasiswa terus didorong untuk mampu

mengembangkan pola pikirnya hingga pada tahap berpikir tingkat tinggi (High Order

Thinking). Mata kuliah Struktur Aljabar adalah salah satu mata kuliah yang menuntut

mahasiswa untuk mampu menganalisis dan menemukan pembuktian dan penyelesaian

merujuk pada konsep-konsep berupa definisi, aksioma, dan teorema, bukan sekedar

penggunaan rumus dan melakukan perhitungan operasional, sehingga perlu penajaman

proses berpikir kritis matematis. Hal ini sejalan dengan yang tertuang dalam tujuan

pembelajaran BSNP bahwa matematika digunakan sebagai cara bernalar (berpikir logis,

analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama) (Hidayat, 2012).

Konsep berpikir kritis yang diambil pada penelitian ini sejalan dengan pendapat Sumarmo

(2012) bahwa berpikir kritis adalah berpikir evaluatif yang melibatkan kriteria yang relevan

dalam mengakses informasi disertai dengan ketepatan, relevansi, kepercayaan, konsistensi

dan konsep bias. Berpikir kritis ini dimungkinkan akan efektif jika dilakukan dengan

pembelajaran dalam kelompok kecil. Selanjutnya Sumarmo pada tulisan yang sama juga

menyebutkan indikator kemampuan berpikir kritis yaitu: 1) memusatkan pada suatu

pertanyaan, 2) menganalisa argumen, 3) bertanya dan menjawab untuk klarifikasi, 4)

menggunakan sumber yang terpercaya, 4) menggunakan sumber terpercaya, 5) mengamati

dengan kriteria, 6) deduksi da induksi, 7) membuat pertimbangan, 8) bertanya secara jelas

dan beralasan, 9) berusaha memahami dengan baik, 10) menilai sesuatu secara menyeluruh,

11) tetap relevan ke masalah pokok, 12) berusaha mencari alternatif.

Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two merupakan pembelajaran yang

menunjukkan manfaat bersinergi bersama. Pembelajaran ini menitikberatkan pada belajar

bersama dalam kelompok sangat kecil berjumlah dua orang. Pembelajaran ini bertujuan

untuk menumbuhkan kerjasama secara maksimal melalui kegiatan pembelajaran oleh teman

sendiri untuk mencapai kompetensi (Mafatih, 2007). Dari hasil penelitian yang dilakukan

Asmawati tahun 2012 dan Suprihatin tahun 2013pada siswa di sekolah, menunjukkan

pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar dan pencapaian siswa.

Pembelajaran dengan konsep The Power of Two membagi peserta didik belajar bersama

dalam kelompok kecil secara heterogen baik kemampuan, ras, jenis kelamin, dan satu sama

lain saling membantu (Trianto, 2007). Hal ini dimungkinkan untuk mahasiswa berdiskusi

dengan lebih efektif. Dosen memberi stimulasi berupa permasalahan yang harus dianalisis

dan disusun pembuktian-pembuktian dan penyelesaiannya. Sehingga judul penelitian ini

yaitu “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe The Power of Two Untuk Mengembangkan

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa”.

Tujuan dari penelitian ini yaitu: untuk mengetahui dan menelaah perkembangan kemampuan

berpikir kritis matematis mahasiswa melalui penerapan pembelajaran Kooperatif tipe The

Power of Two.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini berupa penelitian tindakan kelas untuk mencari formula terbaik melalui

pembelajaran berulang yang terus menerus dan berkesinambungan. Penelitian ini terdiri dari

dua siklus pembelajaran dimana setiap siklus terdapat rantai kegiatan yang berulang, yaitu

rencana, tindakan, observasi/ pengamatan dan refleksi. Tidak ada pembatasan banyaknya

siklus pembelajaran, sehingga dosen dapat menghentikan siklus jika dirasa tujuan telah

tercapai.Penelitian yang direncanakan yaitu lima kali pertemuan untuk setiap siklus. Model

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 163

tindakan kelas diambil dari model Kemmis dan Mc. Taggart (Hendriana dan Afrilianto,

2014) seperti gambar berikut:

Gambar 1

Model Kemmis dan Taggart

Sampel penelitian adalah mahasiswa calon guru matematika program studi pendidikan

matematika di STKIP Siliwangi Bandung berjumlah 39 orang yang menempuh mata kuliah

Struktur Aljabar pada tahun ajaran 2016/2017.

Sesuai dengan tipe siklus yang dipilih, tahap perencanaan dilakukan

denganmenyiapkanseluruh perangkat pembelajaran dan instrumen. Tahap pelaksanaan

tindakan yaitu pembentukan kelompok kecil berjumlah dua orang dengan pola pembagian

acak, dimana dosen membagi patner belajar tanpa dasar tertentu. Kemudian dosen memberi

stimulus berupa penjelasan mengenai konsep yang dipalajari, setelah itu beberapa

permasalahan diberikan yang harus dipecahkan bersama. Pada tahap ini juga dilakukan

tahap observasi, dimana dosen berkeliling untuk melihat bagaimana mahasiswa beradaptasi

dengan patnernya untuk merumuskan penyelesaian dari permasalahan yang diberikan.

Tahap refleksi berisi kegiatan presentasi dari beberapa kelompok yang memiliki

penyelesaian yang berbeda dengan kelompok lain dilanjutkan dengan pengambilan

keputusan penyelesaian mana yang paling tepat, paling sesuai dan paling mudah dipahami

seluruh mahasiswa. Kegiatan evaluasidilakukan dosen berdasar proses kerja selama waktu

diskusi dan presentasi,serta tugas.

Instrumen berupa lembar observasi keaktifan dan sikap mhasiswa selama proses

perkuliahan berlangsung dengan jawaban ya atau tidak. Dimana jawaban “ya” diberi skor 1

dan jawaban “tidak” diberi skor 0. Analisis observasi dilakukan dengan deskriptif

kuantitatif. Kedua data hasil observasi dan hasil tes tertulis dipersentase kemudian dilihat

pengelompokan berdasar kriteria yang telah ditetapkan.

Tabel 1

Pedoman Kualifikasi Hasil Observasi

Persentase (p) Kriteria

0% ≤ x ≤ 25% Kurang baik

26% ≤ x ≤ 50% Cukup

51% ≤ x ≤ 75% Baik

76% ≤ x ≤ 100% Sangat baik

(Barbara dan Hariastuti, 2011)

Siklus 1

Rencana

Tindakan

Observasi

Refleksi

Siklus 2

Rencana

Tindakan

Observasi

Refleksi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

164 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Soal tes terdiri dari dua jenis, yaitu soal mengukur kemampuan awal mahaasiswa terhadap

materi prasyarat dan soal kemampuan berpikir kritis matematis. Tes kemampuan berpikir

kritis matematis diberikan pada setiap akhir siklus dengan skor maksimal 4.

Tabel 2

Kriteria Tes Kemampuan Matematis (%)

Persentase (x) Kriteria

0% ≤ x ≤ 33,32% Rendah

33,33% ≤ x ≤ 66,65% Sedang

66,66% ≤ x ≤ 100% Tinggi

(Rofiah dalam Pramesti et all, 2014)

3. Hasil Penelitian

Sebelum pelaksanaan siklus tindakan kelas pada pertemuan pertama, dosen menjelaskan

model pembelajaran yang akan dilaksanakan selama perkuliahan. Dosen mengajak

mahasiswa untuk membuat peraturan bersama dalam perkuliahan. Kemudian dosen

mengingatkan kembali tentang beberapa materi prasyarat pada mata kuliah ini. Di akhir,

dosen melakukan tes awal untuk mengukur penguasaan mahasiswa terhadap materi

prasyarat. Dosen berusaha untuk menekankan pada mahasiswa untuk dapat berperan aktif

dalam pembelajaran jika ingin berhasil pada mata kuliah Struktur Aljabar.

Tes awal menunjukkan bahwa kemampuan awal mahasiswa dengan kriteria tinggi sebesar

19,11%, kriteria sedang sebesar 35,23% dan kriteria rendah sebesar 45,66% dengan rata-rata

nilai tes yang dicapai yaitu 15,5. Sedangkan pada pra siklus kualifikasi hasil observasi hanya

sebesar 19,02% artinya bahwa respon mahasiswa kurang baik terhadap pembelajaran. Hasil

tinjauan kegiatan pra siklus ini menunjukkan mahasiswa kurang termotivasi dan

menganggap bahwa pembelajaran kurang menyenangkan. Dosen diharap terus memotivasi

dan memberi penguatan positif pada mahasiswa untuk berusaha lebih baik lagi selama

pembelajaran.

Siklus pertama dilakukan dalam lima kali pertemuan. Pertemuan pertama materi yang

disampaikan adalah teori himpunan, pertemuan kedua membahas operasi biner dan sifat-

sifatnya, pertemuan ketiga membahas tentang relasi, fungsi, pemetaan dan relasi ekuivalen,

pertemuan keempat membahas grup dan subgrup. Selama empat pertemuan, dosen memberi

penugasan dirumah. Hal ini dilakukan agar setiap mahasiswa makin terbiasa dengan

patnernya masing-masing. Pertemuan kelima dilakukan tes kemampuan berpikir kritis

matematis.

Analisis data dan hasil observasi pada siklus pertama menunjukkan bahwa kriteria tinggi

sebesar 29,01%, kriteria sedang sebesar 40,65% dan kriteria rendah sebesar 30,34% dengan

rata-rata nilai tes yang dicapai yaitu 18,5. Sedangkan kualifikasi hasil observasi sebesar

40,39%. Hasil observasi menunjukkan peningkatan aktifitas mahasiswa yang cukup besar

dibanding dengan hasil observasi pra siklus.

Siklus kedua juga dilakukan dalam 5 kali pertemuan. Perencanaan dan tindakan yang

disusun hampir sama dengan pelaksanaan pada siklus pertama, namun dilakukan beberapa

perbaikan dan penambahan waktu diskusi. Dosen memberi kesempatan lebih banyak pada

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 165

mahasiswa untuk berinteraksi baik dengan dosen maupun antar kelompok. Dosen juga

mendorong untuk setiap mahasiswa lebih banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan teman

sekelompoknya, salah satu cara yang diambil adalah dengan memberi banyak tugas yang

harus diselesaikan bersama. Pada pertemuan pertama pada siklus kedua ini materi yang

dibahas adalah grup abelian dan sifat-sifatnya, pertemuan kedua membahas grup permutasi,

pertemuan ketiga membahas subgrup permutasi, sedangkan pertemuan keempat membahas

grup siklik dan pertemuan kelima dilakukan tes kemampuan berpikir kritis matematis

mahasiswa yang kedua.

Analisis data pada siklus kedua menunjukkan bahwa 41,27% dengan kriteria tinggi, 44,06%

kriteria sedang dan 14,67% mahasiswa dengan kriteria rendah dengan rata-rata nilai tes

25,75. Sedangkan kualifikasi hasil observasi meningkat sebesar 50,09%. Dari hasil

perbandingan antara pra siklus, siklus pertama dan siklus kedua menunjukkan adanya

peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa. hal ini menunjukkan bahwa

pola pikir kritis mahasiswa sudah mulai berkembang walau masih perlu dikembangkan lebih

lanjut.Dapat dilihat bahwa mahasiswa secara keseluruhan berada pada kategori sedang, ini

dimungkinkan untuk melakukan studi lebih lanjut untuk lebih meningkatkan tingkat

perkembangan pola pikir kritis mahasiswa.

Hasil observasi menunjukkan keaktifan dan aktivitas mahasiswa cenderung meningkat, hal

ini menunjukkan bahwa pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two ini dapat

meningkatkan keterlibatan dan keaktifan belajar. Hal ini juga menunjukkan bahwa belajar

bersama akan lebih efektif daripada belajar secara individu. Studi ini dapat dijadikan rujukan

oleh mahasiswa untuk lebih meningkatkan hubungan dengan teman sejawatnya dalam

belajar sehingga dapat saling memberi semangat dan motivasi dan saling memberi engaruh

yang positif satu sama lain.

4. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh yaitu:

1) Perkuliahan dengan pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two yang dilaksanakan

berjalan dengan cukup baik;

2) Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twodapat mengembangkan kemampuan

berpikir kritis matematis mahasiswa;

3) Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twodapat meningkatkan keterlibatan serta

keaktifan mahasiswa dikelas serta menjadikan hubungan antar mahasiswa terjalin

dengan lebih baik, sehingga pada akhirnya akan mendukung pencapaian pembelajaran

yang lebih merata karena adanya saling kerjasama yang positif.

Daftar Pustaka

Barbara, F.Y. & Hariastuti, R. T. (2011). Meningkatkan Partisipasi Siswa Mengikuti

Layanan Informasi Melalui Penggunaan Media Permainan. Jurnal Psikologi

Pendidikandan Bimbingan, 12 (2), 1-13.

Hendriana, H. & Afrilianto, M. (2014). Panduan bagi Guru, Penelitian Tindakan Kelas

Suatu Karya Tulis Ilmiah. Bandung: Refika Aditama

Hidayat, W. (2012). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa

SMA Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW). Makalah pada

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. UNY

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

166 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Mafatih, A. B. H. (2007). Makalah Strategi Belajar dengan Cara Kooperatif (Bidang Studi

IPS). Tersedia di http://media.diknas.go-id. Diakses pada tanggal 01 Desember

2016.

Pramesti, G. et all. (2014). Pengembangan Media Game Intraktif Bilingual Berbasis

Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Atas.

Infinity, Vol.3, no.1, 1-17.

Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses berpikir Matematika Program S2

Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung.

Tim SPMI. (2014). Profil STKIP Siliwangi Bandung. Bandung: STKIP

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.

Surabaya: Prestasi Pustaka

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 167

PENGARUH VISUAL BASIC APPLICATION FOR EXCEL

TERHADAP KEMAMPUAN KREATIF MAHASISWA TENTANG

DEFINISI DAN TEOREMA MATEMATIKA

Martin Bernard

Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

[email protected]

Abstrak

Microsoft Excel merupakan software pengolahan data berupa angka yang sering

digunakan orang pada umumnya, dan software tersebut sangat mudah ditemui. Karena

berhubungan dengan angka sebenarnya dapat dibuat menjadi alat bantu untuk

mengajarkan mata kuliah matematika terutama membantu untuk menjelaskan tentang

definisi dan teorema matematika yang merupakan hambatan yang sulit dipelajari oleh

kebanyakan mahasiswa. Beberapa kunci yang mereka haru menguasai definisi dan

teorema matematika yaitu pertama memahami langkah-langkah algoritma bahasa

program Visual Basic, bisa dikatakan bahwa bahasa tersebut mudah dimengerti

dibandingkan bahasa program lainnya dan bahasa tersebut sudah tersedia di dalam

program Microsoft Excel itu sendiri, kedua menulis dan merencakan semua

keterangan tentang definisi atau teorema secara teliti setelah itu memasukan ke dalam

bahasa program untuk memproses hasil yang akan di tampilkan ke dalam layar pada

Microsoft Excel dan ketiga dibutuhkan kreatif mahasiswa untuk menyusun bahasa

program dari masing-masingnya untuk menciptakan suatu karya dengan hasil sesuai

dengan definisi dan teorema matematika dan tujuannya untuk melihat pengaruh

kemampuan kreatif mahasiswa untuk memberikan contoh dari definisi dan

membuktikan teorema.

Kata Kunci : Microsoft Excel, Visual Basic, Kemampuan Kreatif

A. Pendahuluan

Pada umumnya pelajaran matematika merupakan pelajaran yang dikatakan cukup sulit karena

mahasiswa pada awalnya belum mengerti sesungguhnya kegunaan dari matematika yang

diaplikasikan kedalam aktivitas sehari-hari dan kebanyakan dari mereka bahwa matematika

hanya dihubungkan dengan angka dan rumus saja. Oleh sebab itu saat ditanyakan tentang

definisi keterkaitan dengan mata kuliah mereka masih belum bisa mengerti dan butuh

diberikan beberapa contoh secara lisan atau tertulis tetapi mahasiswa membutuhkan banyak

bukti yang lebih, apalagi membuktikan tentang teorema yang dikaitkan dengan definisi dan

teorema lain yang sudah dibuktikan dengan tepat, pastinya dibutuhkan untuk memunculkan

kemampuan kreatif mahasiswa.

Untuk memunculkan kemampuan kreatif, mahasiswa dibutuhkan adanya contoh berupa

media pembelajaran yang mampu dapat menyampaikan kepada mahasiswa tentang definisi

dan pembuktian matematika, salah satu media tersebut adalah berbasis TIK dengan

menggunakan software Microsort Excel yaitu software yang banyak menggunakan

pengolahan data, dengan fungsi-fungsi khusus untuk membuat hasil secara automatis. Oleh

sebab itu fungsi-fungsi Microsoft Excel dapat dimanfaatkan dengan beberapa banyak cara

penjelasan mengenai pembuktian teorema dan memahami definisi matematika.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

168 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Agar media pembelajaran tentang pembuktian teorema dan memahami definisi matematika

lebih menarik dan interaktif maka dibutuhkan software yang membantu untuk langkah-

langkah sampai terbuktinya hasil yang sesuai dengan perintah apakah teorema tersebut dapat

dibuktikan atau tidak. Sehingga memunculkan ide dan gagasan baru untuk memecahkan

masalah pada teorema-teorema lain dengan menngunakan bahasa program dengan berbagai

cara pada tujuan yang dicapai.

B. Kajian Pustaka

1. Kemampuan Kreatif Mahasiswa

Berpikir kreatif mahasiswa merupakan proses berpikir mahasiswa untuk memunculkan ide

atau gagasan yang baru untuk menyelasaikan suatu masalah yang diberikan. Johnson

(Riyanto, 2007:214-215) mengatakan, “Berpikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran

yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan

kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan

membangkitkan ide-ide yang tidak terduga”.

Indikator berpikir kreatif, menurutMunandar (Anisa, 2012:9) yaitu,

a. Berpikir Lancar (Fluency),

b. Berpikir Luwes (Flexibility),

c. Berpikir Orisinal (Originality),

d. Berpikir Elaboratif (Elaboration).

2. Visual Basic For ExcelPembelajara Matematika

Visual Basic for Application for Exceladalah suatu program yang dirancang untuk kebutuhan

aplikasi Microsoft Office (Birnbaum, 2004:1). Tujuannya yaitu untuk mempermudah

pengerjaan yang yang hubungannya dengan pengolahan data, mempercapat akses dari

microsoft ke program lain, merancang program menjadi lebih interaktif. Sebenarnya VBA

untuk Microsoft Excel dibuat untuk mempermudah pengolahan data angka, tetapi sekarang

VBA tersebut dapat dimanipulasikan kebentuk lain seperti membuat animasi dalam

pembelajaran matematika supaya lebih interaktif. Alasan kuat bahwa mengapa sofware

Microsoft Excel lebih cocok dalam bidang pendidikan Matematika, alasannya, kebanyakan

pembelajaran matematika lebih banyak teori dan rumus-rumus yang diajarkan belum dapat

dipahami hanya cukup dihafalkan dan belum memahami cara bagaimana

mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari apalagi jika disuruh membuktikan soal

matematika yang dihadapi mahasiswa terlalu sulit untuk cara merancang strategi yang tepat,

maka cocok sekali jika gambaran tersebut dapat dituangkan ke dalam bentuk gambar atau

tampilan yang lebih interaktif serta tidak memakan waktu yang banyak untuk menjelaskan

dibandingkan dengan pembelajaran cara biasa. Dan tidak perlu khawatir untuk mencari

mencari banyak software karena software tersebut lebih banyak ditemukan di dalam program

komputer (Jacobson, 2012:93)

C. Pembahasan

Ada beberapa contoh langkah-langkah untuk membuat definisi dan pembuktian teorema yaitu

bagaimana menjelaskan tentang definisi tentang bilangan prima. Pertama definisi bilangan

prima (Burton, 2011,39) adalah seatu bilangan bulat jika dan hanya jika pembagi

positif adalah 1 dan p. Dan suatu bilangan bulat lebih besar 1 bukan prima adalah Komposit.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 169

Jika dilihat dari definisi bahwa bilangan prima merupakan bagian dari bilangan asli, sekarang

buat algoritma bahasa program untuk bilangan Asli.

Gambar 1. Membuat Tampilan Bilangan Asli

Perhatikan pada gambar 1, harus disesuaikan bahwa bilangan Asli merupakan himpunan

bagia dari bilangan bulat positif yang dimulai dari 1. Maka kita deklarasikan terlebih

dahulu a dan b merupakan bilangan bulat dimana Dim a,b As Integer merupakan fungsi

untuk menjelaskan a dan b adalah bilangan bulat dimana a merupakan nilai terakhir

bilangan asli atau batasannya sedangkan b berfungsi untuk menambah satu-satu dimulai

dari angka 1 sampai 100 fungsi untuk menkonter adalah

For b = 1 To a

Range("A" & 1 + b) = b

Next b

Fungsi range adalah menampilkan angka di jendela Microsoft Excel. Setelah itu pilih

diantara bilangan asli yang merupakan bilangan prima lalu ber warna untuk melihat

perbedaan. Yang perlu dibutuhkan sebelum membuat tampilan bilangan prima,terlebih

dahulu mahasiswa merancang definisi bilangan prima sehingga bisa ditampilkan ke

dalam jendela Microsoft Excel.

Gambar2. Diagram Definisi Bilangan Prima

Setelah membuat rancangan bilangan prima baru masukan ke dalam bahasa program

Visual Basic Application for Excel.

Klik 2 kali

Masukan kode VBA

Bilangan Prima

Bilangan Bulat Bilangan lebih

besar dari 1

Bilangan yang bisa

dibagi 1 dan bilangan

itu sendiri

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

170 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Gambar 3. Menampilkan Bilangan Prima

Private Sub CommandButton2_Click()

Dim a, b, c As Integer

a = Range("C2")

Range("A3").Interior.Color = vbRed

For b = 1 To a

c = Range("A" & 1 + b)

For d = 2 To b - 1

e = c Mod d

If e = 0 And d <> b - 1 Then

Range("A" & 1 + b).Interior.Color = vbGreen

Exit For

Else

If e <> 0 And d = b - 1 Then

Range("A" & 1 + b).Interior.Color = vbRed

Exit For

End If

End If

Next d

Next b

End Sub

Membuktikan Teorema Sisa Bagi (Chinese Reminder)

Gambar 4. Memberikan contoh Soal

Klik 2 kali

Masukan kode VBA

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 171

Mahasiswa diberikan salah satu contoh soal dari teori bilangan yaitu tentang soal sisa bagi

dan dari pernyataan diatas mahasiswa diperintahkan untuk mencari berapa banyak nilai yang

munkin diperoleh.

Gambar 5. Hasil Diskusi dari ide Mahasiswa

Mahasiswa membuat ide atau gagasan baru yang dituangkan ke dalam tulisan di

Whiteboard sebagai gambaran beberapa kemungkinan cara.

Gambar 6. Memasukan langkah-langkah ke Kode VBA

Membuat rancangan dengan menggunakan tabel dimana ide-ide tersebut dihubungkan

dengan bahasa program Visaul Basic, dalam bentuk tulisan di dalam Whiteboard.

Tujuannya agar mahasiswa memahami hubungan definisi matematika ke fungsi Visual

Basic.

Gambar 7. Membuat Rancangan ke Tampilan Excel

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

172 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Berdiskusi dengan mahasiswa jika ada beberapa kesalahan-kesalahan atau ide tambahan lagi

asalakan tidak mengurangi aturan yang sesuai dengan definisi-definisi dan teorema-teorema

matematika yang sudah disepakati. Dari sini mahasiswa akan memunculkan ide-ide baru dari

banyak pendapat mahasiswa.

Gambar 8. Membuat VBA dengan ide lain

Setelah selesai membuat tulisan bahasa program di Whiteboard, mahasiswa mencoba

memasukan tulisan tersebut ke dalam Visual Basic for Excel untuk melihat tampilan hasil di

Microsoft Excel

Gambar 8. Hasil dari Mahasiswa

Hasil pengerjaan dapat dilihat saat program tersebut dijalankan, hal ini mahasiswa

memahami dan dapat memberikan kesimpulan cara langkah-langkah untuk menemukan

bilangan dari sisa bagi dengan bantuan Microsoft Excel. Hasil Visal Basic untuk Excel dapat

dilihat di bawah ini.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 173

D. Kesimpulan

Gambar 10. Hasil Tampilan dari Mahasiswa

Private Sub CommandButton1_Click()

On Error Resume Next

Dim a As Integer

Dim b As Integer

Dim c As Integer

Dim d As Integer

Dim e As Integer

Dim f As Integer

Dim g As Integer

Range("H2") = Range("H2") + 1

a = Range("H2")

Range("D" & 2 + a) = Range("A3") * a + Range("B3")

b = Range("D" & 2 + a) Mod Range("A4")

If b = Range("B4") Then

Range("I2") = Range("I2") + 1

c = Range("I2")

Range("E" & 2 + c) = Range("D" & 2 + a)

d = Range("E" & 2 + c) Mod Range("A5")

If d = Range("B5") Then

Range("J2") = Range("J2") + 1

e = Range("J2")

Range("F" & 2 + e) = Range("E" & 2 + c)

f = Range("F" & 2 + e) Mod Range("A6")

If f = Range("B6") Then

Range("K2") = Range("K2") + 1

g = Range("K2")

Range("G" & 2 + g) = Range("F" & 2 + e)

End If

End If

End If

End Sub

Klik 2 kali

Masukan kode VBA

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

174 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Private Sub CommandButton2_Click()

Dim a As Integer

a = Range("H2")

For i = 0 To a

Range("D3:G" & 2 + Range("H2")) = ""

Next i

Range("H2:K2") = 0

End Sub

D. Hasil MahasiswaSetelah Pembelajaran dan Pembuktian Matematika dengan

menggunakan Visual Basic Application for Excel

Gambar 11. Hasil Buatan Mahasiswa untuk membuat Projek

Setelah memahami cara bagaimana penerapan Visual Basic untuk Microsoft Excel dari

berbagai contoh, mahasiswa disuruh membuat projek yang dapat bermanfaat dalam

pembelajaran matematika yang berkaitan dengan definisi-definisi dan teori-teori matematika

dalam mata kuliah Aplikasi TIK dalam Pembelajaran Inovatif Matematika.

E. Kesimpulan

Visual Basic For Excel merupakan software yang pengolahan angka yang dapat

dimanipulasikan kedalam bentuk pembelajaran matematika untuk membantu mahasiswa

memahami langkah-langkah untuk mencari hasil yang dinginkan dari teorema-teorema

matematika yang bagi mahasiswa sulit dipecahkan. Selai itu juga membantu mahasiswa

dapat memunculkan ide-ide dan gagasan baru yang bisa membuat aplikasi dalam

pembelajaran matematika.

Referensi

Anisa, Y. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dengan Metode

Improve.STKIP Siliwangi. Cimahi: Tidak diterbitkan.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 175

Birnbaum, D. (2005). Microsoft Excel VBA Programming for the Absolute Biginner Second

Edition. Thomson Course Technology PTR. Boston

Burton, M. D. (2011). Elementary Number Theory. McGrawHill Companies Inc. University

of New Hampshire. New Hampshire

Jacobson, R (2007). Step by Step Office Excel 2007 Visual Basic for Applications. Online

Training Solution inc. Washington

Riyanto, Y. (2007). Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Learning Center

(MLC)

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

176 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

ANALISA TERHADAP KECEMASAN MAHASISWA CALON

GURU MATEMATIKA

Masta Hutajulu

STKIP Siliwangi Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Kecemasan adalah bagian hidup manusia. Penelitian ini mengamati kecemasan

mahasiswa calon guru matematika yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Prestasi

para calon guru selama berkuliah dan keaktifan mereka berorganisasi semasa kuliah,

tidak menjadikan mereka manusia yang tidak memiliki kecemasan. Masalah

keuangan, berubahan status dari mahasiswa menjadi guru, tanggung jawab, hidup

jauh dari keluarga, dan yang lainnya; adalah hal-hal yang dicemaskan para calon guru.

Kata Kunci: Kecemasan, Mahasiswa Calon Guru Matematika.

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembentukan dan

pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi era globalisasi.

Sumber daya manusia yang dimaksudkan perlu memiliki keterampilan yang meliputi

berpikir kritis, sistematis, logis, dan mampu bekerja sama, serta mengembangkan kreativitas

dan inovasi serta kemampuan untuk berargumentasi atau mengemukakan ide-ide untuk

memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan. Untuk itu, pendidikan di Indonesia

harus ditingkatkan supaya tercipta sumber daya manusia yang memiliki keterampilan-

keterampilan tersebut.

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia adalah dengan

mencetak para pendidik yang berkualitas. Guru sebagai pendidik yang akan memfasilitasi

siswa dalam menemukan pengetahuan haruslah memiliki kualitas yang memadai. Para calon

pendidik ini ditempa dalam suatu pendidikan untuk calon guru, yang pada saat ini banyak

terdapat di Indonesia.

Tuntutan perkuliahan dan tantangan dunia kerja setelah menyelesaikan perkuliahan menjadi

tantangan tersendiri bagi setiap mahasiswa calon guru. Menyelesaikan perkuliahan tepat

waktu dan memasuki dunia kerja adalah suatu hal yang ditunggu setiap mahasiswa. Bukan

hanya para mahasiswa yang telah berjuang dalam perkuliahan yang menantikan hal ini,

orang tua dan keluarga juga mengharapkan hal tersebut segera terwujud. Tantangan yang

dihadapi beragam oleh masing-masing individu. Tidak jarang dalam menghadapi

kesemuanya itu terdapat rasa cemas. Menurut Wilson (Makur, 2015: 2), kecemasan

matematika pada calon guru merupakan isu penting karena berpengaruh sangat penting pada

persiapannya menjadi guru kelak. Demikian pula, Uusimaki dan Nason (Makur, 2015: 2)

menjelaskan bahwa kecemasan matematika mahasiswa calon guru matematika jika dibiarkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 177

akan ditularkan kepada siswanya nanti dan tentunya akan berakibat pada kecemasan

matematika yang tidak berujung.

Mahasiswa setelah menyelesaikan kuliah akan menghadapi tahapan baru dalam

kehidupannya. Mahasiswa diharapkan memiliki tanggung jawab yang lebih dalam tahapan

hidupnya yang baru, setelah ia tamat kuliah. Hal yang sama berlaku bagi mahasiswa calon

guru, hanya kelebihannya adalah seorang mahasiswa calon guru atau mahasiswa fakultas

pendidikan telah dibekali dengan pengalaman mengajar, setidaknya selama satu semester

pada waktu ia mengikuti PPL(Program Pelatihan Lapangan). Hal ini tentu merupakan

pengalaman yang berharga baginya sehingga ia sudah memiliki sedikit pengalaman tentang

apa yang akan dihadapinya di dunia kerja.

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecemasan dari para mahasiswa senior untuk

memulai tahap yang baru dalam hidupnya (Rockler-Gladen, 2008), dan ada juga kecemasan

guru dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam pendidikan (Sunarto,2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian untuk menganalisis

kecemasan yang dihadapi oleh mahasiswa calon guru matematika, dengan judul “Analisa

Terhadap Kecemasan Mahasiswa Calon Guru Matematika”

a. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan

peneliti adalah

1. Bagaimanakah prestasi dari para mahasiswa calon guru ?

2. Apakah para mahasiswa calon guru matematika mengalami kecemasan?

3. Apakah mahasiswa calon guru yang berprestasi baik mengalami kecemasan?

b. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini untuk :

1. Mengetahui prestasi belajar mahasiswa calon guru

2. Menggali hal-hal yang mencemaskan mahasiswa calon guru matematika.

3. Menggali kecemasan mahasiswa calon guru yang berprestasi

2. Definisi operasional 1. Mahasiswa calon guru Matematika adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas

pendidikan program studi matematika

2. Kecemasan adalah suatu emosi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan rasa

takut atau khawatir akan sesuatu yang menyebabkan kenaikan detak jantung,

keringat dingin ataupun gemetar.

1.2 Mahasiswa Calon Guru Matematika

Mahasiswa calon guru Matematika adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas pendidikan

program studi matematika. Mereka adalah calon tenaga pendidikan seperti yang dimaksud

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang system

Pendidikan Nasional, yang menyatakan :

Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk

menunjang penyelenggaraan pendidikan, yang tugasnya adalah (1) melaksanakan

administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk

menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, (2) sebagai tenaga profesional yang

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

178 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,

melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

1.3 Kecemasan

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus”

yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Kecemasan sebagai keadaan

mental yang tidak enak berkenaan dengan dengan sakit yang mengancam atau yang

dibayangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, ketidakenakan dan perasaan yang tidak

baik, yang tidak dapat dihindari oleh seseorang.

Kecemasan merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan dan ditandai dengan

aktifnya sistem saraf pusat (Post, 1978). Freud (Syamsu, 2006) mengatakan bahwa

kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi

psikologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan, dengan kata lain

kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. Kecemasan adalah suatu

keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda kognitif,

motorik, afektif, dan somatik utamanya yang menyebabkan terjadinya hiperaktifitas sistem

saraf otonom (Tresna, 2011).

Menurut Taylor (2006), kecemasan merupakan suatu pengalaman subjektif mengenai

ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan

menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman. Perasaan yang tidak menyenangkan

umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung

meningkat, dan lain-lain) dan gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat

berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Atkinson (1996) kecemasan adalah emosi yang

tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan,

dan rasa takut yang kadang-kadang dialami individu dalam tingkatan yang berbeda-beda.

Chaplin (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya kecemasan akan menyertai di setiap

kehidupan manusia terutama bila dihadapkan pada hal-hal yang baru maupun adanya sebuah

konflik.

Menurut beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu

emosi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan rasa takut atau khawatir akan sesuatu

yang menyebabkan kenaikan detak jantung, keringat dingin ataupun gemetar.

II. Metodologi Penelitian

A. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif eksploratif, yang bertujuan untuk menggali

informasi sebanyak-banyaknya kemudian menggambarkan keadaan dan mengungkapkan

fakta yang ada dari informasi yang diperoleh dan selanjutnya menjelaskan secara deskriptif

tentang fakta yang bersangkutan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang

menggambarkan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau

melukiskan keadaan subyek ataupun obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-

fakta yang nampak dan sebagaimana adanya, yang meliputi interpretasi data-data dengan

analisis data (Nawawi, 2000:63).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 179

B. Tempat dan Sampel Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan STKIP Siliwangi Bandung. Subjek penelitian adalah 6 orang

Semester 3 program studi pendidikan matematika.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah :

a) Pedoman observasi

Pedoman observasi berupa aspek-aspek yang akan diamati selama kuliah matematika

berlangsung. Observasi yang dilakukan yaitu melalui cara pengamatan yang tidak berperan

serta. Observasi dilakukan untuk mengetahui lebih dekat prestasi dan aktivitas para

partisipan.

b) Angket

Angket berupa butir-butir pernyataan yang akan diajukan kepada calon guru matematika.

Sebelum membuat pedoman angket, peneliti terlebih dulu membuat kisi-kisi pedoman

angket yang dikaitkan dengan karakteristik kecemasan apa saja yang dihadapi para calon

guru matematika.

c) Pedoman wawancara

Pedoman wawancara dalam penelitian ini berisi daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan

ditanyakan secara lisan oleh peneliti. Dalam wawancara ini peneliti melakukan wawancara

dengan menggunakan instrumen wawancara yang terarah, dan hasil wawancara direkam

menggunakan tape-recorder. Sesudahnya dilakukan klarifikasi.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode observasi,

metode angket, metode wawancara dan dokumentasi.

a) Observasi

Observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara

teliti serta pencatatan secara sistematis. Observasi yang dilakukan yaitu melalui cara

pengamatan yang tidak berperan serta. Observasi dilakukan untuk mengetahui lebih dekat

prestasi dan aktivitas para partisipan. Observasi ini dipandu dengan pedoman observasi yang

telah dibuat.

b) Angket

Angket dalam penelitian ini diberikan kepada siswa untuk mengidentifikasi kecemasan

mahasiswa calon guru matematika. Angket digunakan untuk melengkapi dan memperkuat

data yang telah diperoleh dari instrumen lain. Angket dalam penelitian ini adalah angket

tertutup, yaitu butir-butir angket yang disajikan sudah tersedia alternatif jawaban sehingga

mahasiswa calon guru tinggal memilih jawaban yang sesuai.

c) Wawancara

Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun. Wawancara

digunakan untuk mengungkap tentang pemikiran atau gagasan guru tentang usaha-usaha

yang dilakukan guru dalam mengatasi kesulitan siswa guna melengkapi serta untuk

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

180 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

melakukan crosscheck data yang telah diperoleh dari observasi. Wawancara juga dilakukan

kepada mahasiswa calon guru yang mangalami kecemasan.

d) Dokumentasi

Dokumentasi adalah cara memperoleh data dengan melihat dan meneliti dokumen atau

catatan yang berupa foto atau tulisan. Dalam penelitian ini studi dokumentasi dilakukan

terhadap transkrip partisipan, atau data hasil belajar para partisipan. Dilakukan untuk

mengetahui prestasi belajar mereka.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi selama peneliti berada bersama-sama para partisipan dan studi

dokumentasi yang dilakukan didapati beberapa hal yang menjadi data diri partisipan sebagai

berikut:

Tabel 4.1. Data diri partisipan

NO NAMA PARTISIPAN IPK BERORGANISASI DAERAH TUJUAN

MENGAJAR

1 Mahasiswa 1 3,56 Sangat Aktif Kabupaten Bandung

Barat

2 Mahasiswa 2 3,47 Sangat Aktif Cimahi dan Sekitarnya

3 Mahasiswa 3 3,33 Aktif Kabupaten Bandung

Barat

4 Mahasiswa 4 3,23 Aktif Cimahi dan Sekitarnya

5 Mahasiswa 5 3,17 Aktif Bandung dan Sekitarnya

6 Mahasiswa 6 3,03 Tidak Aktif Kabupaten Bandung

Barat

Berdasarkan hasil wawancara dan angket didapati bahwa para mahasiswa calon guru ini

tidak cemas tentang bagaimana mereka akan mendapat pekerjaan, hal ini disebabkan karena

mereka yakin ada banyak sekolah di daerahnya masing-masing dan akan segera bias

mengajar di sekolah setelah mereka menyelesaikan perkuliahannya. Tetapi untuk hal-hal

lainnya yang berhubungan dengan kehidupan seorang guru, mereka memiliki kecemasan

yang tidak sama menghadapinya. Berikut adalah beberapa hal yang mereka cemaskan.

1. Partisipan mencemaskan hal dimana siswa-siswa yang akan mereka ajar akan memiliki

sedikit saja ketertarikan dalam belajar. Mungkin karena banyaknya faktor lain

yang lebih menarik perhatian mereka, mungkin karena sifat siswa yang

tidak suka belajar, atau mungkin karena mereka sekolah hanya karena disuruh oleh

orang-tuanya, hal sering terjadi pada siswa di daerah pedalaman. (Semua

partisipan yang mencemaskan hal ini )

2. Partisipan mencemaskan lingkungan baru yang akan mereka hadapai, orang- orang atau

guru-guru yang lebih dewasa atau bahkan yang sudah tua; yang mungkin sulit bagi

mereka untuk beradaptasi karena selama ini mereka lebih sering bergaul dengan orang-

orang muda seusia mereka. (Ada 4 partisipan yang mencemaskan hal ini)

3. Partisipan kuatir tidak dapat dengan sempurna atau mantap dalam menjalankan

tanggung jawab yang diberikan pertama kali pada mereka. Khususnya jika diminta

mengajar pada level siswa yang berbeda dengan siswa yang mereka ajar waktu

mengikuti PPL, yang berarti suatu pengalaman baru bagi mereka. (Semua partisipan

sedikit banyak mencemaskan hal ini )

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 181

4. Partisipan mencemaskan hal keuangan, sanggupkah mereka mengatur

penggunaannya agar mencukupi kebutuhan mereka? Hal ini mengingat selama ini

mereka tidak pernah bermasalah dengan masalah uang sekolah dimana mereka

tidak membayarnya sendiri, dan juga mereka selalu dibantu oleh orang tua

mereka dalam pemenuhan kebutuhan mereka. (Ada 3 partisipan yang

mencemaskan hal ini)

5. Partisipan mencemaskan kemonoton-an dalam pekerjaan mereka sebagai guru,

dimana mereka harus mengajar setiap hari . (Ada 3 partisipan yang mencemaskan

hal ini)

6. Partisipan mencemaskan jika harus mengajar bersama guru lain secara bergantian

pada kelas yang sama, yang memungkinkan terjadinya ketidak-cocokan atau

persaingan (Semua partisipan mencemaskan hal ini)

7. Karena kurangnya guru di tujuan mereka, partisipan mencemaskan jika kepada

mereka diberikan kepercayaan menjadi guru tunggal, misalnya di SMP atau SMA

kelas 1,2,3. Khususnya jika harus mengajar siswa kelas 3 yang akan menghadapi

UN; atau diberikan banyak tanggung jawab. (Ada 3 partisipan mencemaskan hal

ini)

8. Partisipan mencemaskan kondisi jauh dari rumah akan membuat mereka rindu pada

keluarga dan tidak dapat berbagi permasalahan dengan keluarga. (Dua partisipan

yang semasa kuliahnya tinggal dekat dengan keluarganya mencemaskan hal ini)

Diskusi dan Kesimpulan

Prestasi para mahasiswa calon guru dalam penelitian ini dan keaktifan mereka berorganisasi

tidak menjadikan mereka manusia yang tidak memiliki kecemasan. Mereka menyadari

keterbatasan mereka selaku orang-orang muda yang belum berpengalaman, yang masih perlu

banyak belajar untuk dapat menjadi guru yang baik.

Kecemasan mereka tentang keuangan, berubahan status dari mahasiswa menjadi guru,

tanggung jawab, dan hidup jauh dari keluarga, semuanya tercakup juga dalam penelitian

yang dilakukan oleh Rokler-Gladen (2008) yang berjudul College Senior Year Graduation

Blues. Pada penelitian ini Rokler-Gladen menjelaskan tentang bagaimana mahasiswa yang

tidak gembira di hari wisudanya karena cemas memikirkan tentang masalah-masalah

keuangan, identitas mereka yang baru, kurikulum, nilai akademik, mencari pekerjaan,

kerinduan pada rumah, perubahan status, dan tanggung jawab, yang akan mereka hadapi.

Walau mengungkapkan berbagai kecemasan seperti yang telah dinyatakan diatas, para

mahasiswa calon guru dalam penelitian ini menyatakan juga bahwa menjadi guru yang baik

memerlukan suatu proses dan mereka menyatakan siap untuk menghadapi tantangan dari

tugas mereka menjadi guru di waktu mendatang.

Daftar Pustaka

Atkinson dkk. (1996). Pengantar Psikologi.Jilid Kedua. Edisi Kedelapan, Jakarta: Erlangga.

Chaplin,J.F. (2001). Kamus Lengkap Psikologi, Terjemahan. Jakarta: Rajawali.

Diknas (2003) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang system

Pendidikan Nasional

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

182 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Makur, A.P & Prahmana, R.C.I. (2015). Penyebab Kecemasan Matematika Mahasiswa

Calon Guru Asal Papua. Jurnal Elemen, Vol 1. No. 1. Hal 1-12.

Nawawi, H. (2000). Penelitian terapan. Yogyakarta : Gajah Mada University.

Post. (1978). Definisi Kecemasan.(online). Tersedia:

http//www.definisikecemasan//pengertian.com.

Rokler-Gladen (2008) College Senior Year Graduation Blues. Tersedia :

http://campuslife.suite101.com/article.cfm/senior_year_graduation_blues#ixzz0EbxS

z2Pe&B

Sunarto (2008) Membangun Kompetensi Guru Efektif . Tersedia :

http://www.google.co.id/search?q=kecemasan+calon+guru&ie=utf-8&oe=utf-

8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

Syamsu,Yusuf,L.N. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Taylor,S.E. (2006). Health Psychology. Singapore: Mc.Graw Hill. Inc.

Tresna. (2011). Efektivitas Konseling Behavioral dengan Teknik Desensitisasi Sistematis

untuk Mereduksi Kecemasan Menghadapi Ujian.Edisi khusus 1 Agustus 2011:90-

104

Wahyudin (2009) Metodologi penelitian Pendidikan. Bandung : UPI

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 183

PENERAPAN PENDEKATAN INDUKTIF TERHADAP HASIL

BELAJAR MAHASISWA

Maya Siti Rohmah

STKIP Siliwangi

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran induktif terhadap

hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah aljabar umum. Penelitian kuasi eksperimen

ini mengambil populasi mahasiswa STKIP Siliwangi semester I tahun ajaran

2015/2016, dengan sampel 2 kelas. Satu kelas menggunakan pembelajaran dengan

pendekatan induktif, dan satu kelas lainnya dengan pembelajaran konvensional. Hasil

penelitianmenunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa yang menggunakan

pembelajaran induktif lebih baik daripada hasil belajar yang menggunakan

pembelajaran konvensional.

Kata Kunci:Pendekatan Induktif, hasil belajar

1. Pendahuluan

Pendidikan matematika, sebagai bagian dari pendidikan nasional dipelajari di setiap tingkat

pendidikan. Terlebih pada tingkat perguruan tinggi yang menjuruskan mahasiswanya untuk

mempelajari matematika. Program studi pendidikan matematika STKIP Siliwangi adalah

salah satunya. Mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di program studi pendidikan

matematika STKIP Siliwangi sangatlah beragam dengan tujuan untuk menghasilkan calon-

calon pendidik yang memiliki kualitas yang baik sebagai salah satu upaya untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berangkat dari tujuan di atas, kemampuan dasar matematika haruslah baik. Salah satu mata

kuliah yang mengajarkan kemampuan dasar matematika adalah aljabar umum. Dalam mata

kuliah ini, mahasiswa dilatih untuk menguasai dasar-dasar aljabar, seperti logaritma, fungsi,

dan deret. Mengingat keberagaman latar belakang mahasiswa, perlu dilakukan suatu

pembelajaran yang dapat melatih kemampuan berfikir. Banyak model pembelajaran yang

dapat dilakukan untuk mata kuliah ini, salah satunya model pembelajaran induktif.

Model pembelajaran induktif merupakan model pembelajaran dari khusus ke umum. Pada

model pembelajaran ini, bahan-bahan yang diajarkan dimulai dari hal yang konkrit atau

contoh-contoh nyata, kemudian secara perlahan mahasiswa diarahkan dan dihadapkan

menuju materi yang kompleks dan sukar.

Model pembelajaran induktif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, ini berarti model ini

juga dapat mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Model ini pertama kali oleh Taba.

Asumsi yang mendasari model ini adalah proses berfikir dapat dipelajari, proses berfikir

adalah suatu transaksi aktif antara individu dan data, dan mengembangkan proses berfikir

dengan urutan yang “sah menurut aturan”. (Joyce, et all, 2000).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

184 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah hasil

belajar mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan model induktif lebih baik daripada

mahasiswa yang pembelajarannya konvensional?.

Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar mahasiswa yang

pembelajarannya menggunakan model induktif lebih baik daripada mahasiswa yang

pembelajarannya konvensional?. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan alternatif

dalam pemilihan pendekatan pembelajaran di kelas.

2. Metode Penelitian 2.1 Desain Penelitian

Penelitian merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain posttest only control group

design. (Ruseffendi, 2010) sebagai berikut:

X O

O

Keterangan:

X : Perlakuan menggunakan pendekatan induktif

O : Tes hasil belajar

2.2 Populasi dan Instrumen

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa STKIP Siliwangi semester I tahun

ajaran 2015/2016 dengan sampel dua kelas, kelas A2 sebagai kelas eksperimen dan kelas A1

sebagai kelas kontrol. Adapun instrumen yang digunakan adalah seperangkat soal tes hasil

belajar yang berupa soal uraian.

2.3 Pengolahan Data

Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif dan diolah dengan menggunakan SPSS 22.

Normalitas rerata dihitung dengan menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov dan uji perbedaan

rerata dihitung dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

3. Hasil dan Pembahasan

Tabel 1. Tes Hasil Belajar

Pembelajaran N Hasil Tes

S

Induktif 45 48,6889 14,5161

Konvensional 35 34,8 21,472

Keterangan :Skor Ideal Tes = 100

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rerata nilai hasil belajar mahasiswa yang menggunakan

model pembelajaran induktif lebih baik daripada rerata nilai hasil belajar mahasiswa yang

menggunakan pembelajaran konvensional.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 185

Hasil perolehan di atas selanjutnya diuji dengan menggunakan uji perbedaan rerata untuk

mendukung dekripsi hasil belajar.

3.1 Uji Normalitas Rerata N-gain Hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan SPSS 22 terhadap rerata data N-gain,

dengan taraf kepercayaan 95% disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Data Uji Normalitas Rerata Hasil Belajar

Pembelajaran Kolmogorov-Smirnov

Kesimpulan N Sig. Ket.

Hasil Belajar Induktif 39 0,011 Ho Ditolak Tidak Normal

Konvensional 35 0,188 Ho Diterima Normal

Ho : data sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

Tabel 2 menunjukkan kedua data tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu pengujian

perbedaan dua rerata dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

3.2 Uji Perbedaan Rerata Hasil Belajar

21: oH

21: aH Kriteria pengujian : jika sig.> 0,05 maka diterima

Adapun hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3. Data Uji Perbedaan Rerata Hasil Belajar

Pembelajaran

Sig.

Mann-Whitney

(2-pihak)

Sig.

Mann-Whitney

(1-pihak)

Ket. Kesimpulan

Hasil

Belajar

Induktif 0,001 0,0005 Ho Ditolak Ha Diterima

Konvensional

Hasil perhitungan uji perbedaan rerata pada Tabel 3 menunjukkan signifikansi (2-pihak)

hasil perhitungan uji Mann-Whitney dari data N-gain adalah 0,001. Sehingga dapat dihitung

sig. (1-pihak) = 0,001 = 0,0005. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari 0,05, maka Ho

ditolak. Artinya, hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan

induktif secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar mahasiswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

3.3 Pembahasan

Rerata skor hasil belajar mahasiswa di kelas dengan pendekatan induktif berbeda cukup jauh

dengan rerata skor hasil belajar mahasiswa di kelas konvensional. Setelah diuji dengan

menggunakan uji perbedaan rerata, ternyata hasil belajar mahasiswa di kelas dengan

pendekatan induktif lebih baik daripada hasil belajar siswa di kelas konvensional. Hal ini

dapat dilihat dari nilai sig.< 0,05.

Menurut Yamin (2011 : 97) belajar merupakan proses peserta didik membangun gagasan/

pemahaman sendiri, maka kegiatan pembelajaran hendaknya mampu memberikan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

186 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri

secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan pembelajar. Joyce, et.al (2009:114)

mengemukakan bahwa model berpikir induktif meyakini bahwa siswa sebagai peserta didik

merupakan konseptor ilmiah. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan induktif di kelas

dapat membuat hasil belajar menjadi lebih baik.

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya, diperoleh kesimpulan hasil

belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan induktif secara

signifikan lebih baik daripada hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

Daftar Pustaka

Joyce, et all.(2000). Models of Teaching. Amerika: A. Pearson Education Copmpany.

Joyce, et all. (2009). Models of Teaching. (Edisi Kedelapan) (Achmad Fawaid & Ateilla

Mirza, penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ruseffendi, E. T. (2010). Dasar-DasarPenelitianPendidikandanBidang Non-

EksaktaLainnya.EdisiCetakPertama. Bandung.:Tarsito.

Yamin M,. (2011). Paradigma Baru Dalam Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 187

PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA

MELALUI PEMBELAJARAN PERSONALIZED SYSTEM OF

INSTRUCTION

Ratni Purwasih

STKIP Siliwangi

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilatar belakangi karena kemandirian belajar mahasiswa masih rendah

dan penulis mempunyai gagasan untuk menciptakan kemandirian belajar mahasiswa

dan hasil belajar meningkat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan hasil

sebelum dan sesudah kemandirian belajar mahasiswa melalui pembelajaran

personalized system of instruction. Model Pembelajaran Personalized System of

Instruction (PSI) adalah model pengajaran individual atau model pembelajaran

personal dan pembelajaran tuntas (mastery learning) yang lebih menekankan pada

interaksi siswa dengan materi/objek belajar, serta siswa dibantu oleh seorang tutor

yang dapat berupa guru atau teman satu kelasnya untuk mencapai ketuntasan

belajarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan metode penelitian tindakan kelas untuk mengetahui seberapa

meningkat kemandirian belajar mahasiswa dengan menggunakan Pembelajaran

Personalized System of Instruction. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa kelas A1

angkatan 2016. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kemandirian/ belajar

mahasiswa pra siklus adalah 52,91% tingkat rendah. Sedangkan hasil siklsus I dan II

berturut turut sebesar 51.92% tingakt sedang dan sebesar 55,76% level tinggi. Hal ini

berarti dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Personalized System of Instruction

mampu meningkatkan kemandirina belajar mahasiswa kelas A1 angkatan 2016.

Kata Kunci: Personalized System of Instruction, Kemandirian Belajar

A. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Dalam era informasi sekarang dan suasana bersaing yang semakin ketat, dalam upaya

memiliki kemampuan, keterampilan, dan perilaku positif dalam matematika, siswa perlu

memiliki kemandirian belajar. Menurut Hargis dan Kerlin (Sumarmo, 2014:338)

mengemukakan bahwa kemandirian belajar (self regulated learning) merupakan proses

perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam

menyelesaikan suatu tugas akademik, serta siswa yang memiliki kemandirian belajar yang

tinggi cenderung lebih baik dalam pengawasannya sendiri, mampu memantau,

mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif; menghemat waktu dalam

menyelesaikan tugasnya; dan mengatur belajar dan waktu secara efisien.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat tiga langkah utama dalam kemandirian belajar

(Sumarmo, 2014:338, yaitu: 1) merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya, 2)

memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya: dan 3) memantau kemajuan

belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu.

Selain cara mengajar guru, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan lemahnya siswa

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

188 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

dalam kemampuan dasar matematika lainnya serta sikap belajar siswa yang kurang baik.

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada siswanya.

Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan. Apalagi pada mahasiswa,

dalam dunia kerja mereka dituntut untuk bisa lebih meningkatkan kemandirian kerja sesuai

aturan dan sistem yang berlaku. Untuk itulah harus diupayakan sebuah metode atau model

pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan situasi siswa saat ini. Pembelajaran Personalized

of System Instruction sebagai solusi permasalahan yang telah dikemukakan di atas. Menurut

Majid (2013:167) bahwa Personalized System of Instruction (PSI) merupakan model

pembelajaran yang dikembangkan oleh Freds Keller yang pada awalnya lebih dikenal

dengan nama The Keller Plan, yang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan

materi atau objek belajar. Personalized System of Instruction (PSI) ini termasuk jenis

pengajaran individual dan pembelajaran tuntas (mastery learning). Model pembelajaran PSI

ini berisi tujuan instruksional khusus tentang unit yang dipelajari dan bertindak sebagai

penghubung antara buku teks (materi buku) dengan pertanyaan-pertanyaan (Ruseffendi,

2006:372). Model pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih jalur

unit yang akan dipelajarinya serta siswa diberi keleluasaan untuk belajar sesuai dengan

kecepatannya (Ruseffendi, 2006:372). Sebagai suatu metode yang menerapkan sistem

ketuntasan belajar, PSI sangat mementingkan perhatian terhadap perbedaan individu dalam

menguasai materi yang dipelajari. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran

PSI ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematik

siswa, karena dengan model pembelajaran Personalized System of Instruction ini guru dapat

mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas

pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi siswa yang lambat agar

menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti sejauh mana meningkatkan kemandirian

belajar mahasiswa melalui model pembelajaran personalized system of Instruction.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah penggunaan model pembelajaran Personalized System of Instruction pada mata

kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD akan meningkatkan kemandirian belajar

mahasiswa kelas A1 2016 Pendidikan Matematika?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menelaah peningkatkan kemandirian belajar dan hasil belajar mahasiswa kelas A1

2016 Pendidikan Matematika melalui penggunaan model pembelajaran Personalized System

of Instruction pada mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memperluas wawasan guru tentang startegi pembelajaran matematika untuk

menambah hasil belajar siswanya.

b. Meningkatkan kreatifitas guru menciptakan pembelajaran yang menarik

c. Memperkaya pengalaman guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran

matematika sesuai dengan kemampuan matematis yang akan dikembangkan.

1.5. Definisi Operasional

a. Kemandirian Belajar Siswa Kemandirian belajar (self regulated learning) merupakan proses perancangan dan

pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 189

suatu tugas akademik. Indikator atau tiga langkah utama dalam (self regulated learning) atau

kemandirian belajar yaitu:

a. merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya.

b. memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya.

c. memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan

d. dibandingkan dengan standar tertentu.

b. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction

Model Pembelajaran Personalized System of Instruction adalah model pengajaran individual

atau model pembelajaran personal dan pembelajaran tuntas (mastery learning) yang lebih

menekankan pada interaksi siswa dengan materi/objek belajar, serta siswa dibantu oleh

seorang tutor yang dapat berupa guru atau teman satu kelasnya untuk mencapai ketuntasan

belajarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Adapun Langkah-langkah

pembelajaran PSI (Personalized System of Instruction):

a. Sebelum KBM, siswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soal-

soalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM.

b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan

apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa.

c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan.

d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok.

e. Presentasi hasil kerja kelompok.

f. Evaluasi dan refleksi.

g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru

dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.

B. Kajian Teoritis

2.1. Kemandirian Belajar

Kemandirian belajar memiliki kesamaan karakteristik arti dengan beberapa istilah diranah

kognitif lainnya. Istilah tersebut antara lain diantaranya self regulated learning, self regulated

thinking, self directed learning, self efficacy, dan self-esteem. Kemandirian belajar menurut

ahli psikologi memiliki pengertian yang beragam, yang pertama Menurut Montalvo dan

Torres (Sugandi, 2010:31) memberikan pengertian kemandirian belajar sebagai gabungan

antara keterampilan dan kemauan. Kemudian Wolters, Pintrich, dan Karabenick (Sugandi,

2010:31) menegaskan bahwa kemandirian belajar adalah suatu proses konstruktif dan aktif

dimana siswa menentukan tujuan dalam belajar, dan perilaku dengan dibimbing dan dibatasi

oleh tujuan dan karakteristik kontekstual dalam lingkungan.

Demikian pula menurut Hargis dan Kerlin (Sumarmo, 2014:110) SRL (self regulated

learning) didefinisikan sebagai upaya memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif

dalam suatu bidang tertentu, dan memantau serta meningkatkan proses pendalaman yang

bersangkutan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa SRL merupakan proses perancangan

dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan

suatu tugas akademik. Dalam hal ini SRL bukan merupakan kemampuan mental atau

kemampuan akademik tertentu seperti kefasihan membaca, namun merupakan proses

pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke dalam keterampilan

akademik.

Selanjutnya Bandura (Sumarmo, 2014:110) mendefinisikan SRL (self regulated learning)

sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri dan merupakan kerja-keras personality

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

190 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

manusia. Hampir serupa dengan Bandura, Schunk dan Zimmerman (1998) mendefinisikan

SRL (self regulated learning) sebagai proses belajar yang terjadi karena pengaruh dari

pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri yang berorientasi pada pencapaian tujuan.

Menurut Sumarmo (2014:113) dari berbagai karakterisitik yang telah dipaparkan oleh para

pakar di atas dirumuskan tiga karakteristik yang serupa yang termuat dalam pengertian SRL,

adalah: 1) Individu merancang belajarnya sendiri sesuai dengan keperluan atau tujuan

individu yang bersangkutan; 2) Individu memilih strategi dan melaksanakan rancangan

belajarnya: kemudian 3) Individu memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi

hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu.

Paris dan Winograd (Sumarmo, 2014:109) mengemukakan karakteristik lain yang termuat

dalam SRL (self regulated learning) dan SRT (self regulated thinking) yaitu: kesadaran

akan berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang berkelanjutan. SRL tidak hanya

berpikir tentang berpikir, namun membantu individu menggunakan berpikirnya dalam

menyusun rancangan, memilih strategi belajar, dan menginterpretasi penampilannya

sehingga individu dapat menyelesaikan masalahnya secara efektif. Rochester Institute of

Techonology (2000), mengidentifikasi beberapa karakteristik lain dalam SRL (self regulated

learning) yaitu:

a. Memilih tujuan belajar;

b. Memandang kesulitan sebagai tantangan;

c. Memilih dan menggunakan sumber yang tersedia;

d. Bekerjasama dengan individu lain;

e. Membangun makna;

f. Memahami pencapaian keberhasilan tidak cukup hanya dengan usaha dan

g. kemampuan saja namun harus disertai dengan kontrol diri.

Istilah lain yang berelasi dengan SRL, dikemukakan oleh Lowry (Sumarmo, 2014:110)

yaitu self directed learning (SDL) yang didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu:

berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; mendiagnosa kebutuhan belajarnya

sendiri, merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat

digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian dalam belajar

adalah perubahan dalam diri seseorang dalam proses belajar secara mandiri tanpa tergantung

pada orang lain untuk memecahkan suatu permasalahan. Berdasarkan pendapat para ahli di

atas tentang indikator/karakteristik dari kemandirian belajar, dapat disimpulkan bahwa

indikator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2015) adalah:

a. Berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain;

b. Mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri;

c. Merumuskan/memilih tujuan/target belajar;

d. Memilih dan menggunakan sumber;

e. Memilih strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya;

f. Bekerjasama dengan orang lain;

g. Membangun makna; dan

h. Mengontrol diri.

Adapun indikator yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Berinisiatif belajar atau merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya;

b. Memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya; dan

c. Memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan

d. dibandingkan dengan standar tertentu.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 191

2.2. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction

Freds Keller (Majid, 2013:167) mengatakan bahwa Personalized System of Instruction (PSI)

merupakan model pembelajaranyang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan

materi atau objek belajar. Pembelajaran tuntas (mastery learning)dan pembelajaran personal

atau individual merupakan sistem pengajaran pada model pembelajaran Personalization

System of Instruction (PSI). Tipe ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memilih

jalur unit yang akan dipelajarinya serta siswa diberi keleluasaan untuk belajar sesuai dengan

kecepatannya dan siswa dapat meminta soal tes bila ia sudah siap untuk menempuhnya. Bila

hasil ulangannya tidak memuaskan ia dapat mengulanginya. Model pembelajaran

Personalized System of Instruction (PSI) ini berisi tujuan instruksional khusus tentang unit

yang dipelajari dan bertindak sebagai penghubung antara buku teks (materi buku) dengan

pertanyaan-pertanyaan (Nurpratama, 2014:13). Langkah-langkah pembelajaran PSI

(Personalized System of Instruction) menurut (Susilawati, 2012:195):

a. Sebelum KBM, siswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soal-

soalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM.

b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran

dengan apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang

dimiliki siswa.

c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan.

d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok.

e. Presentasi hasil kerja kelompok.

f. Evaluasi dan refleksi.

g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru

dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.

Ciri-ciri pembelajaran PSI (Personalized System Instruction) menurut Sukarto (Nurpratama,

2014:22) yaitu:

a. Memungkinkan siswa maju menurut kemampuan masing-masing;

b. Adanya persyaratan penguasaan yang sempurna bagi setiap unit pembelajaran

c. sebelum maju ke unit pelajaran berikutnya;

d. Menggunakan ceramah dan demonstrasi sebagai alat untuk memberikan

e. motivasi kepada siswa;

f. Komunikasi guru siswa ditekankan pada penggunaan materi-materi

g. pembelajaran tertulis dalam bentuk program;

h. Menggunakan system proctor, yaitu pemberian tes secara berulang-ulang untuk

memberikan penilaian secara cepat dan sebagai umpan balik bagi pemberian bantuan

kepada siswa yang membutuhkan;

i. Menggunakan siswa tutor, yaitu siswa yang pandai memberi bimbingan belajar

kepada siswa yang kurang atau lemah;

j. Memungkinkan adanya aspek personal dan sosial dalam proses pendidikan.

Prosedur Pelaksanaan Personalized System Instruction menurut Sukarto (Nurpratama,

2014:22) yaitu:

a. Merumuskan sejumlah tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh siswa;

b. Menentukan patokan penguasaan atau materi pembelajaran yang akan dipelajari;

c. Merumuskan satuan pelajaran yang merupakan pokok - pokok bahasa yang

akan dipelajari dalam rangka mencapai tujuan;

d. Pokok-pokok bahasa itu dipecah ke dalam bagian bagian lebih kecil sehingga dapat

dipelajari secara tuntas;

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

192 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

e. Prosedur pembelajaran ditentukan untuk dilakukan siswa dalam rangka mencapai

tujuan.

Salah satu keberhasilan pembelajaran personalized system of instructiondapat dilihat dari

prestasi akademik yang dicapai oleh mahasiswa. Nilai mahasiswa dinyatakan dalam bentuk

huruf A, B, C, D, dan E. Nilai matakuliah Dalam Daftar Nilai Ujian terdapat informasi

tentang IPK yang merupakan rata- rata nilai yang diperoleh dalam setiap semester.

3. Metode Penelitian

3.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (action research) yang terdiri

dari 2 (dua) siklus dengan 6 minggu efektif pada setiap siklusnya.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Subyek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika kelas A1 STKIP

Siliwangi yang menempuh mata kuliah metode pembelajaran matematika SD pada semester

ganjil tahun ajaran 2016/2017.

3.3 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah (1) Tes prestasi belajar,

untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi perkuliahan, (2) Angket

kemandirian belajar mahasiswa, untuk mengukur apakah model pembelajaran yang

diberikan dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa, dan (3) Angket tanggapan

mahasiswa, untuk mengukur keterlaksanaan pembelajaran personalized system of intruction.

3.4 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dari Kemmis dan Targgart yang terdiri

atas empat tahap yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (act), pengamatan

(observe) dan kemudian refleksi (reflect).

1. Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan, peneliti mempersiapkan materi-materi perkuliahan Metode

Penelitian Matematika SD yang akan disajikan melalui pembelajaran personalized system of

instruction dengan kompetensi dasar yang harus dicapai mahasiswa, instrumen penelitian,

dan rencana tindakan.

2. Tahap Pelaksanaan

Penelitian ini terdiri dari siklus–siklus, kegiatan setiap siklusnya adalah Pada pembelajaran

personalized system of instruction awal siklus pertama, dosen menjelaskan dan

mendiskusikan rencana perkuliahan meliputi gambaran pelaksanaan perkuliahan, sistem

penilaian, metode pembelajaran, dan hal–hal teknis seperti bagaimana mahasiswa dapat

mengikuti perkuliahan di kelas melalui pembelajaran personalized system of intruction,

mengumpulkan tugas, berdiskusi dan bertanya dalam kelas dengan teman sebaya maupun

dengan dosen selama satu semester.

Adapun langkah pembelajaran personalized system of intructionsebagai berikut ini:

a. Sebelum KBM, mahasiswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soal-

soalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM.

b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan

apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 193

c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan.

d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok.

e. Presentasi hasil kerja kelompok.

f. Evaluasi dan refleksi.

g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh

guru dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.

3. Tahap Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap proses tindakan, bagaimana perkulihan berlangsung,

kesulitan apa saja yang dihadapi mahasiswa selama proses perkuliahan. Pengaruh tindakan

terhadap peningkatan kemandirian dan hasil belajar juga diamati serta pengamatan terhadap

hasil tindakan yang dilakukan, dan seberapa jauh tindakan membantu pencapaian tujuan

penelitian. Pengamatan dilakukan oleh observer. Diskusi antara peneliti dengan observer

dilakukan setelah akhir pembelajaran dan digunakan untuk pembelajaran berikutnya.

4. Tahap Refleksi

Setelah siklus I berakhir, dilakukan refleksi oleh peneliti dan observer. Refleksi dilakukan

berdasarkan seluruh hasil pengamatan, tugas, ujian sisipan mahasiswa dan angket

kemandirian mahasiswa. Hasil dari refleksi tersebut menjadi salah satu dasar dalam

penyusunan rencana tindakan pada siklus II. Apabila evaluasi pada siklus II terdapat

peningkatan kemandirian dan hasil belajar mahasiswa maka siklus dihentikan. Namun

apabila terjadi perkembangan sehingga peneliti memandang perlu diberikan tambahan

tindakan untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan penelitian maka diberikan tindakan

berikutnya pada siklus III.

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk mendekripsikan tanggapan

mahasiswa terhadap model pembelajaran persoanlized system of instruction, digunakan

angket yang diberikan kapada mahasiswa. Hasil angket dianalisis dengan cara sebagai

berikut mahasiswa dikatakan mempunyai tanggapan yang positif terhadap model

pembelajaran persoanlized system of instructionjika jumlah persentase mahasiswa yang

memilih kategori sangat setuju dan sangat setuju lebih besar dari jumlah persentase

mahasiswa yang memilih kategori ragu–ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Dari

penjumlahan seluruh skor dari items angket kemandirian masing-masing mahasiswa, guna

memberi interpretasi skor dilakukan kategorisasi mahasiswa yaitu mahasiswa dengan

kemandirian belajar tinggi, sedang, dan rendah. Mahasiswa dikategorikan mempunyai self

regulated learning yang tinggi jika melakukan strategi–strategi self regulated learning.

Analisis deskriptif persentase digunakan untuk menggambarkan fenomena penelitian yaitu

motivasi belajar dan kemadirian belajar mahasiswa.

Rumus yang digunakan adalah:

P =

Keterangan:

P = Persentase nilai yang diperoleh

n = Jumlah skor yang diperoleh

N = Jumlah seluruh nilai ideal, dicari dengan cara jumlah aitem dikalikan nilai ideal tiap

item (Ali 1993).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

194 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Hasil kuantitatif dari perhitungan dengan rumus tersebut selanjutnya diubah dan ditafsirkan

dengan kalimat yang bersifat kualitatif. Variabel kemadirian belajar mahasiswa ditafsirkan

secara kualitatif ke dalam lima kriteria. Menurut Hendrayana, dkk (2014) adapun langkah-

langkah untuk menentukan jenjang kriteria tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Menetapkan persentase maksimal yaitu (5 : 5) x 100% = 100%

b. Menetapkan persentase minimal yaitu (1 : 5) x 100% = 20%

c. Menetapkan rentang persentase, Rentang persentase diperoleh dengan cara

mengurangi persentase tertinggi (100%) dengan persentase terendah (20%) yaitu 80%

d. Menetapkan panjang kelas interval persentase

Panjang kelas interval persentase diperoleh dengan cara membagi rentang persentase

dengan banyaknya kriteria. Banyaknya kriteria yang dipakai adalah sejumlah lima

kriteria yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah sehingga panjang

kelas interval persentasenya adalah 80% : 5 = 16%.

e. Menetapkan jenjang kriteria

Berdasarkan hasil perhitungan dengan tahapan-tahapan tersebut, maka jenjang kriteria

penilaian tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar dapat dilihat pada Tabel 1 .

Tabel 1

Kriteria Penilaian Kemandirian Belajar

Interval Kriteria

85%-100% Sangat Tinggi

69%-84% Tinggi

53%-68% Sedang

37%-52% Rendah

20%-36% Sangat Rendah

Kriteria penilaian kemandirian belajar pada Tabel 1, dapat mempermudah peneliti dalam

menentukan gambaran tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar mahasiswa.

3. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar

mahasiswa kelas A1 mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD yang disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2

Hasil Evaluasi Pra Siklus

KrKriteria Kemandirian Belajar

Jumlah Presentase

Sangat Tinggi 3 5,77

Tinggi 10 19,23

Sedang 12 23,08

Rendah 27 51,92

Sangat Rendah 0 0

Berdasarkan Tabel 2penelitian tentang kemandirian belajar mahasiswa menunjukkan bahwa

rata- rata tingkat kemandirian mahasiswa termasuk dalam kriteria rendah dengan persentase

51,92%. Banyak faktor yang mempengaruhi kontribusi terhadap pencapaian nilai rata- rata

mahasiswa, salah satunya motivasi belajar. Motivasi belajar sangat penting dalam proses

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 195

pembelajaran karena proses belajar membutuhkan interaksi dan partisipasi aktif dari peserta

didik untuk berhasil. Tingkat motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam faktor yang

mendukung dalam diri mereka untuk berprestasi.

Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa mahasiswa dengan tingkat kemandirian belajar

yang berada di kriteria yang rendah harus dilakukan siklus I untuk perbaikan melaksanakan

pembelajaran dengan menekankan belajar mandiri dalam proses pembelajaran. Kesiapan dari

individu yang mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendirinya masih kurang.

Adapun hasil dari siklsu I adalah sebagai berikut ini:

Tabel 3

Hasil Evaluasi Siklus I

KrKriteria Kemandirian Belajar

Jumlah Presentase

Sangat Tinggi 7 13,46

Tinggi 18 34,61

Sedang 27 51,92

Rendah 0 0

Sangat Rendah 0 0

Adapun hasil dari siklus II adalah sebagai berikut ini:

Tabel 4

Hasil Evaluasi Siklus II

KrKriteria Kemandirian Belajar

Jumlah Presentase

Sangat Tinggi 8 15,38

Tinggi 29 55,76

Sedang 15 28,86

Rendah 0 0

Sangat Rendah 0 0

Uraian tabel 1 dan 2 menunjukan bahwa tingkat kemandirian belajar mahasiswa setelah

pembelajaran personalized system of intruction memperlihatkan ada peningkatan yang

signifikan. Hal ini berarti penggunaan pembelajaran personalized system of intruction dapat

meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa A1 2016 STKIP Siliwangi tahun ajaran

2016/2017.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran personalized system of intruction dapat

meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa kelas A1 2016 STKIP Siliwangi tahun ajaran

2016/2017.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan yaitu Pembelajaran

matematika dengan personalized system of intructidapat dijadikan salah satu alternatif

pembelajaran matematika di sekolah.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

196 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Daftar Pustaka

Ali M. (1993). Strategi penelitian pendidikan. Bandung: Angkasa.

Hendrayana, A. S., Thaib, D., Rosnenty,R. (2014). Motivasi Belajar, Kemandirian Belajar

dan Prestasi Belajar Mahasiswa BeasiswaBidikmisi dI UPBJJ UT Bandung.

Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 15, Nomor 2, September

2014.

Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nurpratama, A.S. (2014). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMK

melalui Model Pembelajaran Personalized System of Instruction. Skripsi STKIP

Siliwangi Bandung. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek

Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.Bandung.Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Guru Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung : Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar – dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksekta

lainnya. Bandung : Tarsito.

Sudijono, A. (2013). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers.

Sugandi, A.I. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Setting Kooperatif

Tipe Jigsaw Terhadap Pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi

dan Kemandirian Belajar Siswa SMA. Disertasi UPI. Bandung : Tidak

dipublikasikan.

Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk melaksanakan Evaluasi

Pendidikan Matematika. Bandung : Wijayakusumah.

Suherman, E. (2003). Desain Pembelajaran Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta.

Susilawati, W. (2012). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung : CV. Insan

Mandiri.

Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar : Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan

pada Peserta Didik. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak

dipublikasikan.

Sumarmo, U. (2014). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta

Pembelajarannya.FPMIPA UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Sumarmo, U. dan Hendriana, H. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung :

PT. Refika Aditama.

Sumarmo, U. (2015). Hand Out Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika. Pasca

Sarjana STKIP Siliwangi Bandung. Bandung : Tidak dipublikasikan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 197

PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER UNTUK

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN OPERASI

PERKALIANSISWA SEKOLAH DASAR

Siti Chotimah

[email protected]

Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

ABSTRAK

Latarbelakang kajian ini yaitu ingin mengembangkan kemampuan pemahaman

matematik siswa tentang operasi perkalian dengan menggunakan alat peraga tulang

napier. Walaupun ada alat peraga lain tapi saya terinspirasi ingin menggunakan tulang

napier sebagai medianya. Keterampilan siswa dalam perkalian mampu mendukung

pemahaman siswa terhadap ilmu lain dalam matematika seperti ilmu menghitung,

mengukur, dan lain-lain. Namun kenyataannya, operasi perkalian merupakan salah

satu pokok bahasan yang kebanyakan tidak disukai oleh siswa sekolah

dasar.Kemampuan pemahaman matematik merupakan salah satu kemampuan yang

diperlukan dalam memahami operasi perkalian. Tulang napier adalah salah satu alat

peraga yang dapat menyajikan suatu konsep matematika. Dengan bantuan media atau

alat peraga tulang napier diharapkan siswa mampu menghitung operasi perkalian

dengan cepat dan mudah serta paham cara menggunakan tulang napier.Alat peraga

Tulang Napier diharapkan dapat membantu pemahaman siswa dalam belajar

matematika khususnya siswa Sekolah Dasar, sehingga tidak memandang matematika

itu menakutkan dan membosankan.

Kata kunci: kemampuan pemahaman, operasi perkalian, tulang napier

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan awal dari seorang anak mengenyam dunia

pendidikan formal. Dimana seorang anak dalam usia dini memiliki kemampuan daya ingat

kognitif yang tinggi. Pada anak usia sekolah dasarantara 7 tahun sampai 12 tahun, tahap

berpikir mereka cenderung ingin tahu dan mencoba-coba. Hal ini yang mendasari, bahwa di

sekolah dasar merupakan pusat dinamika pendidikan yang utama. Anak usia sekolah dasar

lebih peka dan tajam dalam menyerap segala pengetahuannya.

Matematika merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Menurut Sundayana (2014), matematika merupakan salah satu komponen dari serangkaian

mata pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam pendidikan, matematika merupakan

salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang merasa matematika sebagai mata pelajaran

yang sulit, tidak menyenangkan, bahkan momok yang menakutkan. Hal ini dikarenakan

masih banyak siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengerjakan soal-soal

matematika.

Johnson dan Myklebust (Sundayana, 2014) mengemukakan bahwa Matematika merupakan

bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

198 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

kuantitatif dan keruangan. Sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berpikir.

Dengan kata lain, matematika adalah bekal bagi peserta didik untuk berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis, dan kreatif. Sebagai bahasa simbolis, ciri utama matematika ialah penalaran

secara deduktif namun tidak mengabaikan cara penalaran induktif. Selain sebagai bahasa

simbolis, matematika juga merupakan ilmu yang kajian obyeknya bersifat abstrak.

Perkalian merupakan salah satu kosep dalam matematika yang mulai diperkenalkan di kelas

III SD dengan teknik penyampaiannya masih sangat rendah. Teknik berhitung perkalian yang

masih sering diajarkan dikelas adalah cara menghafal tabel perkalian 1 sampai 10.

Sedangkan untuk bilangan yang besarnya diatas 10 masih menggunakan teknik perkalian

bersusun.

Dalam NCTM (2000: 60) menjelaskan bahwa, pembelajaran matematika harus memberi

kesempatan kepada siswa untuk: 1) mengorganisasi dan mengkonsolidasikan pemikiran dan

ide matematika dengan cara mengkomunikasikanya; 2) mengkomunikasikan pemikiran

matematika mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru dan orang lain; 3)

menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika orang lain; 4) menggunakan bahasa

matematika untuk menyatakan ide-ide mereka dengan tepat.

Menurut Markaban (2006), “tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih

dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri.” Hal ini berarti pemahaman seorang siswa

dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selanjutnya,

Bruner (Markaban, 2006) menyatakan, pembelajaran matematika merupakan usaha untuk

membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui proses, karena mengetahui

adalah suatu proses, bukan suatu produk. Hal ini sejalan dengan Vygotsky (Marhaeni, 2007)

yang menyatakan bahwa, konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial

bersama orang lain yang lebih mengerti dan paham akan pengetahuan tersebut. Proses

tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya

untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya. Dari beberapa pendapat

ini dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pemahaman diperoleh oleh siswa melalui suatu 19

rangkaian proses yang dilalui oleh siswa saat belajar dan interaksi yang terjadi saat belajar

bersama orang lain, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan pemahaman dari apa

yang dialaminya.

Semua kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa tidak serta merta dapat

terwujud hanya dengan mengandalkan proses pembelajaran yang selama ini terbiasa ada di

sekolah kita, dengan urutan-urutan langkah seperti, diajarkan teori/definisi/teorema,

diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses belajar seperti ini

tidak membuat anak didik berkembang dan memiliki kemampuan bernalar berdasarkan

pemikirannya, tapi justru lebih menerima ilmu secara pasif. Dengan demikian, langkah

langkah dan proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh para guru di

sekolah adalah kurang tepat, karena justru akan membuat anak didik menjadi pribadi yang

pasif.

2. Landasan Teori

2.1. Kemampuan Pemahaman Matematik

Bloom (Ruseffendi, 2006:221) mengklasifikasikan pemahaman menjadi tiga bagian,

1) Pengubahan (translation), mengubah konsepsi abstrak menjadi suatu model;

2) Pemberian arti (interpretation), kemampuan untuk mengenal dan memahami ide;

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 199

3) Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation), menerjemahkan dan menafsirkan, menuntut

kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Dalam matematika misalnya mampu

mengubah (translation) soal-soal ke dalam simbol dan sebaliknya, mampu

mengartikan (interpretation) suatu kesamaan, mampu memperkirakan (ekstrapolasi)

suatu kecenderungan dari diagram.

Sedangkan menurut Skemp (Sumarmo, 2012:6-7), kemampuan pemahaman digolongkan

dalam dua tingkat,

1) Pemahaman instrumental: hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya,

dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan

secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.

2) Pemahaman relasional: mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip

lainnya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi

2.2. Media dan Alat Peraga Tulang Napier

Dalam dunia pendidikan media sangat diperlukan pembelajaran, hal ini bertujuan untuk

mempermudah proses pembelajaran khususnya untuk pembelajaran matematika. National

Education Association(Sadiman, dkk., 1986) mengatakan, media sebagai bentuk-bentuk

komunikasi baik terletak maupun audio-visual dan peralatannya. Sedangkan Gagne dan

Briggs (Arsyad, 2002) secara emplisit mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi

alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran antara lain buku,

tape-recorder, kaset, video camera, film, slide (gambar bingkai), foto gambar, grafik,

televise, dan computer. Media mengandung arti sebagai komponen sumber belajar yang

mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk

belajar.

Menurut Ali (1989), Alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menyatakan pesan merangsang pikiran, perasaan, dan perhatian dan kemauan siswa sehingga

dapat mendorong proses belajar. Sedangkan Ruseffendi (1990) mendefinisikan alat peraga

adalah alat untuk menerangkan atau mewujudkan konsep matematika.

Pada dasarnya anak dalam belajar melalui hal yang kongkrit. Menurut Ruseffendi (1990),

untuk memahami konsep abtrak anak memerlukan benda-benda kongkrit (real) sebagai

perantara visualisasinya. Selanjutnya Ruseffendi (1990) mengatakan, konsep abstrak yang

baru dipahaminya itu akan mengendap, melekat, dan tahan lama bila ia belajar melalui

berbuat dan pengertian, bukan melalui mengingat-ingat fakta. Alat peraga sangat diperlukan

dalam pembelajaran matematika terutama untuk sekolah dasar, diantara manfaatnya adalah

proses belajar mengajar termotivasi, konsep abstrak matematika yang tersajikan dalam

bentuk konkret yang mudah dipahami.

Menurut Ruseffendi (1990), kriteri alat peraga yang baik adalah: 1) tahan lama; 2) bentuk

dan warnanya menarik; 3) sederhana dan mudah dikelola; 4) ukurannya sesuai (seimbang)

dengan ukuran pisik anak; 5) dapat menyajikan konsep matematika; 6) sesuai dengan

konsep; 7) dapat menunjukkan konsep matematika dengan jelas; 8) peragaan itu supaya

merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep abstrak; 9) menjadikan siswa belajar aktif dan

mandiri dengan memanipulasi alat peraga; 10) bila mungkin berfaedah lipat (banyak).

Salah satu alat peraga yang akan saya paparkan dalam makalah ini adalah tulang napier. Alat

peraga tulang ditemukan oleh John Napier. Dia seorang ahli matematika dari Skotlandia.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

200 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

John Napier menemukan set batang yang kemudian disebut Bones, karena terbuat dari

tulang. Dia seorang ahli matematika yang menemukan logaritma, membuat alat yang

membatu mencari hasil kali suatu bilangan. Alat ini pertama kali diperuntukkan bagi

perkalian dalam sistem desimal. Tulang Napier ini terdiri atas sepuluh angka yaitu: 0, 1, 2, 3,

4, 5, 6, 7, 8, 9.

Perhatikan cara kerja tulang napier, pada gambar berikut!

Berikut contohmenghitungperkalian

Berikut contoh menghitung perkalian

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 201

3.1. Kesimpulan

Alat peraga Tulang Napier merupakan alat bantu hitung untuk menyelesaikan permasalahan

yang berkaitan dengan operasi perkalian dan menjumlahkan angka-angka pada setiap petak

menurut diagonalnya.Alat peraga Tulang Napier diharapkan dapat membantu pemahaman

siswa dalam belajar matematika khususnya siswa Sekolah Dasar, sehingga tidak memandang

matematika itu menakutkan dan membosankan. Kekurangan dari sistem perkalian ini tidak

bisa mengoperasikan penjumlahan dan pembagian dengan menggunakan alat hitung tulang-

tulang napier. Penulis menyarankan sepertinya menarik jika sistem perkalian tulang-tulang

napier ini dikembangkan untuk sistem penjumlahan dan pembagian.

Daftar Pustaka

Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Marhaeni, I. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka

Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif. Makalah dalam

Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Universitas Udayana.

Markaban (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan

Terbimbing.Yogyakarta: PPPG Matematika

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA:NCTM.

Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini untuk Guru dan

PGSD D2. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia; Konstatasi Keadaan Masa

Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti. Depdiknas

Soemarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung:

Tidak diterbitkan.

Sundayana, R. (2014). Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika.

Bandung:`Alfabeta

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

202 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP

MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALLY

REPETITION (AIR)

Sukasno, Drajat Friansah, & Intiana Hijrah Yumanif

STKIP-PGRI Lubuklinggau

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep

matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklnggau, serta untuk melihat

respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory

I ntellectually Repetition (AIR). Populasinya seluruh siswa kelas XI IPS SMA

Xaverius Lubuklinggau dan sebagai sampelnya kelas XI IPS-1 yang diambil secara

acak. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan angket respon. Data yang

terkumpul dianalisis menggunakan uji-t satu sampel pada taraf kepercayaan

. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa Kemampuan

akhir pemahaman konsep matematika siswa kelas kelas XI IPS SMA Xaverius

Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran matematika menggunakan model AIR

termasuk dalam kategori “Sangat Baik” dengan skor rata-rata sebesar 33,43 dan siswa

memberikan respon yang baik terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model

AIR.

Kata Kunci : Pemahaman Konsep, Auditory I ntellectually Repetition

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Pembelajaran matematika di sekolah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional RI No 22 Tahun 2006 agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: a)

memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan

konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; b)

menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam

membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan

matematika; c) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang

diperoleh; d) mengomunisasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah; e) memiliki sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat

dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Sejalan dengan hal di atas Lerner (dalam Abdurrahman, 2012: 204) mengemukakan bahwa

kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yaitu : 1) konsep, 2)

keterampilan dan 3) pemecahan masalah. Jika dicermati, salah satu tujuan tersebut

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 203

menekankan pada kemampuan pemahaman konsep matematika. Hal ini cukup beralasan

mengingat jika pemahaman konsep matematika tidak sesuai dengan yang semestinya hal ini

akan berpengaruh kepada aplikasi dan pemecahan masalah matematika ataupun aplikasi

dan pemecahan ilmu lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara kepada salah satu guru mata pelajaran matematika kelas XI

IPS di SMA Xaverius Lubuklinggau, diperoleh informasi bahwa siswa kurang menyukai

materi pada pelajaran matematika yang memiliki banyak rumus dalam setiap

pembahasannya. Melalui data hasil ulangan harian siswa kelas XI IPS untuk pelajaran

matematika guru harus mengadakan remidial secara klasikal karena 80% siswa memperoleh

nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 75.

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti melalu hasil tes soal pemahaman konsep

matematika dengan memberikan 4 soal kepada siswa-siswa kelas XI IPS SMA Xaverius

Lubuklinggau, dari 24 siswa hanya 5 siswa yang mampu menyelesaikan 1 soal dari 4 soal

yang diberikan oleh peneliti secara tepat, sedangkan untuk 3 soal lainnnya tidak terdapat

siswa yang menjawab secara tepat untuk memenuhi indikator pemahaman konsep yang

diinginkan, dilihat dari indikator pemahaman konsep matematika masih banyak siswa

merasa bingung sehingga keliru dalam menyelesaikan soal padahal sebelumnya guru telah

memberikan penjelasan tentang materi tersebut. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa siswa

masih sulit untuk menyelesaikan soal karena kurang paham terhadap konsep materi yang

diberikan.

Untuk mengatasi masalah tersebut peneliti memilih model pembelajaran Auditory

Intellectually Repetition (AIR). Ainia, dkk (2012:711) menyatakan bahwa model

pembelajaran AIR adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pada tiga aspek

yaitu auditory (mendengar), intellectually (berpikir), repetition (pengulangan), yang

bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara pemberian tugas atau kuis.

Auditory berarti belajar dengan berbicara dan mendengarkan. Rose (dalam Hamzah,

2014:26) mengungkapkan bahwa dengan memberikan tekanan auditory pada suatu bahan

yang sedang dipelajari akan membantu melekatkannya pada pikiran dalam jangka waktu

yang cukup panjang. Sehingga auditory bermakna bahwa belajar haruslah dengan melalui

mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat,

dan menanggapi yang dapat membantu melekatkan bahan pembelajaran pada pikiran dalam

jangka waktu yang cukup panjang. Intellectually yang bermakna bahwa belajar haruslah

menggunakan kemampuan berpikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran

dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan,

mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan (Ngalimun, 2014:166).

Repetition adalah mengulang suatu perbuatan berkali-kali. Burhan, dkk (2014:7) menyatakan

bahwa pengulangan diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan

luas. Oleh karena itu dengan adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke

dalam memori jangka panjang.

Menurut Shoimin (2014:30) keunggulan model pembelajaran AIR adalah: 1) siswa

berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan sering mengemukakan pendapatnya; 2) peserta

didik memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan

keterampilan secara baik; 3) peserta didik dengan kemampuan rendah dapat merespon

permasalahan dengan cara mereka sendiri; 4) peserta didik dari dalam dirinya termotivasi

untuk memberikan bukti atau penjelasan; 5) peserta didik memilki pengetahuan banyak

untuk menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

204 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka yang menjadi rumusan masalah

pada penelitian ini yaitu: 1) Apakah kemampuan pemahaman konsep matematika siswa

kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran menggunakan

Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk kategori baik?; 2) Bagaimana respon

siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually

Repetition (AIR)?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika

Siswa Kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklnggau, serta untuk melihat respon siswa terhadap

kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR).

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Siswa, dapat mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika sesuai

dengan indikator-indikator pemahaman konsep matematika yang diharapkan dan

minimal dalam kriteria baik.

2) Guru, sebagai tambahan informasi dan sebagai alternatif dalam pembelajaran

matematika dengan penggunaan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR)

merupakan solusi pembelajaran dalam upaya mengoptimalkan kemampuan pemahaman

konsep.

3) Sekolah, sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi lebih baik.

2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu dengan desain

eksperimen berbentuk pre-test and post-test group desain yang memiliki pola:

O1 X O2

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau

tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 71 orang. Sedangkan sebagai sampel adalah

kelas XI IPS-1 SMA Xaverius Lubuklinggau yang diambil secara acak. Pengumpulan data

dilakukan dengan teknik tes dan teknik angket. Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan

data tentang kemampuan pemahaman konsep matematika siswa. Tes yang digunakan dalam

penelitian ini berbentuk uraian (essay) sebanyak enam soal dengan materi pokok Statistika.

Angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang respon siswa terhadap proses

pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition

(AIR). Angket tersebut berbentuk checklist dan berisi pernyataan atau pertanyaan tertulis

untuk menjaring informasi dari responden.

Teknik analisis data untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t satu sampel pada taraf

kepercayaan α = 0,05. Teknik analisis data hasil angket respon siswa terhadap

pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition

(AIR) dilakukan dengan menggunakan percentages correction. Adapun pedoman

penelitian untuk menentukan tinggi rendahnya persentase data angket respon siswa bisa

dilihat pada tabel 1:

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 205

Tabel 1

Pedoman Penilaian Angket

Persentase Data Angket Predikat

82 – 100 Sangat Baik

63 – 81 Baik

44 – 62 Cukup Baik

25 - 43 Kurang Baik

Sumber: dimodifikasi dari Khabibah (dalam Sukinah, 2013:10)

Adapun klasifikasi nilai kemampuan pemahaman konsep matematika siswa (modifikasi

Nizarwati, 2009:64) yaitu:

75% < x 100% : sangat baik

50% < x 75% : baik

25% < x 50% : cukup

0% < x 25% : kurang baik

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1. Hasil Penelitian

Kemampuan Awal

Pre-test dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang pemahaman konsep

matematika sebelum dilaksanakan pembelajaran dengan materi statistika. Berdasarkan hasil

perhitungan data pre-test menunjukkan bahwa dari 23 siswa yang mengikuti pre-test dengan

perolehan skor tertinggi yaitu 18 dan skor terendah yaitu 2. Kemudian terdapat 6 dari 23

siswa atau 26% siswa mempunyai kemampuan pemahaman konsep dengan kategori

“Cukup” dan selebihnya 17 siswa atau 74% siswa mempunyai kemampuan pemahaman

konsep dengan kategori “Kurang”. Adapun rata-rata skor kemampuan pemhaman konsep

matematika yaitu 6,87 (kategori kurang baik).

Kemampuan Akhir

Berdasarkan hasil perhitungan data postes dapat dijabarkan bahwa rata-rata skor pemahaman

konsep matematika 33,43 (79,6%) dengan perolehan skor tertinggi 41 dan skor terendah 20.

Kemudian terdapat 17 siswa (74%) mempunyai kemampuan pemahaman konsep matematika

dikategorikan “Sangat Baik”, 5 siswa (22%) dikategorikan “Baik” sedangkan sisanya 1 siswa

(4%) termasuk dalam kategori “Cukup”. Adapun rata-rata skor kemampuan pemahaman

konsep matematika dalam kategori “Sangat Baik”. Berdasarkan hasil pengujian statistik data

postes pada taraf kepercayaan dapat disimpulkan bahwa Kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah

mengikuti pembelajaran menggunakan Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk

kategori baik.

Berdasarkan hasil analisis data angket respon siswa, sikap siswa terhadap pelajaran

matematika menunjukan minat yang baik, begitupun respon siswa terhadap cara guru

mengajar mereka sangat antusias dan menghargai serta memberikan sikap yang begitu

positif terhadap pembelajaran matematika menggunakan model Auditory Intellectually

Repetition (AIR). Setelah seluruh indikator penilaian dijumlahkan maka rata-rata persentase

respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model AIR sebesar 70%, sehingga

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

206 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

dapat disimpulkan bahwa secara umum siswa memberikan respon yang baik terhadap

pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition

(AIR).

3.2. Pembahasan

Kegiatan penelitian dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan, dengan rincian satu

pertemuan untuk pretes, tiga pertemuan pemberian perlakuan pembelajaran, dan satu

pertemuan untuk postes. Sebelum diberikan perlakuan, peneliti membagi siswa menjadi

lima kelompok heterogen berdasarkan hasil pretest. Tujuan peneliti membentuk kelompok

pada saat pembelajaran agar pelaksanaan kegiatan efektif dan efisien. Berdasarkan aktivitas-

aktivitas auditory dan intellectually yang akan dilaksanakan pada proses pembelajaran, maka

akan lebih efisien jika pembelajaran dilakukan secara berkelompok sehingga peniliti lebih

mudah membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dari pada jika

siswa belajar individu. Menurut Huda (2013:290) siswa yang auditories lebih mudah

belajar dengan cara berdiskusi dengan orang lain.

Pada perlakuan pertama diisi dengan kegiatan penjelasan materi mengenai tabel distribusi

frekuensi oleh peneliti dan pemberian permasalahan kepada setiap kelompok. Pada proses

auditory terdapat dua kelompok yang mampu menyampaikan maksud permasalahan

dengan cukup baik kepada anggotanya. Setelah itu melalui proses intellectually dan disertai

auditory mereka bekerjasama dalam menyelesaikan permasalahan tentang cara menyusun

tabel distribusi frekuensi dan unsur-unsurnya. Setiap kelompok masih terlihat kebingungan

menyelesaikan soal tentang pemahaman konsep materi ajar tersebut dan peneliti

memfasilitasi bagi kelompok-kelompok yang belum begitu paham. Hasil dari diskusi

tersebut dituangkan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami dan prosedur yang

mereka pilih dan bersiap untuk dipresentasikan di kelas. Pada saat maju untuk presentasi,

masih terdapat anggota kelompok yang belum percaya diri untuk maju menjelaskan hasil

diskusinya.

Untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan,

pada 10 menit terakhir peneliti memberikan kuis. Pemberian kuis dan pekerjaan rumah

merupakan proses pengulangan (repetition) dalam pembelajaran, namun masih terdapat

siswa yang keliru dalam menafsirkan maksud soal sehingga masih kurang tepat dalam

pencapaian konsepnya. Hal ini merupakan penyesuaian karena model Auditory Intellectually

Repetition (AIR) merupakan model pembelajaran baru bagi mereka sehingga perlu adaptasi

terlebih dahulu.

Pada pertemuan kedua membahas materi ajar tentang penyajian data dalam bentuk

histogram, polygon dan ogif. Pada kesempatan ini setiap siswa diberikan permasalahan

untuk menyajikan data dalam bentuk histogram, polygon dan ogif secara berkelompok. Pada

saat proses presentasi untuk kelompok pembicara dan kelompok pendengar, setiap kelompok

antusias untuk maju mempresentasikan hasil diskusinya kedepan kelas. Pada saat kelompok

menyajikan data dalam bentuk histogram beberapa anggota lain berdebat karena terdapat

kekeliruan dalam penggunaan nilai frekuensi dan frekuensi kumulatif. Para anggota

kelompok telah mampu mengembangkan syarat perlu dalam penyajian data yang merupakan

salah satu indikator dalam pemahaman konsep matematika.

Kemudian pada perlakuan terakhir, siswa sudah terbiasa belajar dalam bentuk tim.

Peneliti menjelaskan materi ajar mengenai ukuran pemusatan data tunggal. Kegiatan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 207

selanjutnya setiap kelompok diberikan permasalahan dengan masalah sehari-hari yang

mereka biasa temui dan dituntut untuk bekerjasama seperti biasa dan mempresentasikan

hasil diskusinya ke kelas. Secara umum mereka telah paham mengenai konsep pemusatan

data tunggal, mengerti simbol dan rumus yang ada dan prosedur penyelesaian soal yang

diaplikasikan ke dalam permasalahan matematika. Hal ini ditandai dengan tidak terlalu

banyak perbedaan pendapat saat kelompok pembicara menyampaikan hasil diskusinya.

Sebagian besar siswa mampu menjelaskan dan memberi contoh sesuai dengan pembentukan

pemahaman yang mereka miliki dengan tetap mengikuti indikator kemampuan pemahaman

konsep yang ditentukan.

Rata-rata skor total dari postes untuk setiap indikator mengalami peningkatan ketika

dibandingkan dengan hasil pretes. Peningkatan ketercapaian pemahaman konsep

matematika sesuai dengan indikatornya dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2

Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika

No Indikator Peningkatan

1. Kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep 5,52

2. Mengklasifikasi objek menurut sifat tertentu sesuai

dengan konsepnya

4,83

3. Memberi contoh dan non contoh dari konsep 2,57

4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk

representasi matematika

5,17

5. Kemampuan mengembangkan syarat perlu atau

syarat cukup dari suatu konsep

4,13

6. Kemampuan menggunakan, memanfaatkan dan

memilih prosedur tertentu

2,39

7. Kemampuan mengaplikasikan konsep/algoritma ke

pemecahan masalah matematika

1,96

Peningkatan skor kemampuan pemahaman konsep matematika paling rendah terletak pada

indikator kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep/algoritma ke pemecahan masalah.

Hal ini terjadi karena indikator tersebut membutuhkan kemampuan berpikir yang tinggi,

yaitu kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Sedangkan peningkatan

tertinggi pada indikator kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep, dimana indikator ini

menginginkan kemampuan mengingat kembali konsep yang sudah dipelajari. Pengulangan

memiliki peran yang besar untuk melatih ingatan dan pemahaman siswa, karena dengan

adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke dalam memori jangka panjang.

Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang

sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan.

Dengan pemberian soal dan tugas siswa akan mengingat informasi-informasi yang

diterimanya dan terbiasa dalam permasalahan-permasalahan matematis (Burhan, 2014:7).

Secara keseluruhan berdasarkan rekapitulasi data angkat respon siswa dapat disimpulkan

bahwa rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model Auditory

Intellectually Repetition (AIR) adalah 70,2% yang artinya respon siswa terhadap

pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition

(AIR) dikategorikan baik. Berdasarkan rekapitulasi hasil analisis angket respon siswa

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

208 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

diperoleh 90,3% siswa berminat untuk mengikuti kegiatan belajar berikutnya dengan

menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR).

4. Simpulan dan Saran

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa kemampuan akhir

pemahaman konsep matematika siswa kelas kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau

setelah mengikuti pembelajaran matematika menggunakan model Auditory Intellectually

Repetition (AIR) termasuk dalam kategori “Sangat Baik” dengan skor rata-rata sebesar

33,43 (79,6%) dikategorikan “Sangat Baik”. Siswa memberikan respon yang baik

terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition

(AIR) dengan skor rata-rata sebesar 70,2% dan sebesar 90,3% siswa berminat untuk

mengikuti kegiatan belajar berikutnya dengan menggunakan model AIR

4.2. Saran

Melalui hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti menyampaikan saran-

saran sebagai berikut: 1) Bagi pembaca, hendaknya mencari referensi yang lebih mendalam

mengenai model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) sehingga tidak

mengalami kesulitan pada saat penerapannya di kelas; 2) Bagi pendidik,

diharapkan model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) dapat menjadi

alternatif model pembelajaran yang dilaksanakan di kelas sebagai upaya meningkatkan

kemampuan pemahaman konsep matematika siswa sehingga hal tersebut akan berpengaruh

terhadap mutu pendidikan yang ada di sekolah; 3) Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan

memperbanyak referensi tentang model Auditory Intellectually Repetition (AIR), ketika

merencanakan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition

(AIR) mampu menyiapkan permasalahan yang dekat dengan kehidupan siswa serta

menghindari kegiatan- kegiatan yang jarang ditemui oleh siswa sedangkan untuk menyikapi

siswa yang berkemampuan akademik tinggi maka siasati dengan memberikan mereka

peranan lebih banyak dalam kelompok diskusi dengan membimbing anggota kelompok

lainnya sehingga dapat menghindari kebosanan akibat pengulangan.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan

Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Ainia, Qurotuh, dkk. 2012. Eksperimentasi Model Pembelajaan Auditory Intellectually

Repetition (AIR) terhadap Prestasi Belajar Matematka ditinjau dari Karakter

Belajar Siswa Kelas VII SMPN se-kecamatan Kaligesing tahun 2011/2012.

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA

UNY, hal.709-716.

Burhan, Arini Viola, dkk. 2014. Penerapan Model AIR Pada Pembelajaran Matematika

Siswa Kelas VII SMPN 18 Padang. Jurnal Pendidikan Matematika. Part 1 Vol. 3

No.1 (6-11).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 209

Hamzah, Nur., dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Auditory Intellectully Repetition

(AIR) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Fisika

Kelas X IPA 3 SMA Negeri 3 Purworejo tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal UMY

Purworejo. Vol.4 No.1 (26-27).

Huda, Miftahul. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Ngalimun. 2014. Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Nizarwati, dkk. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme

untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X SMA.

Jurnal PendidikanMatematika. Vol.3 No.2 (57-72)

Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.

Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Sukinah. 2013. Meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII-D SMP Negeri 33

Surabaya dalam pelajaran Matematika melalui media berbantuan komputer. E-

jurnal Pendidikan Kota Surabaya. ISSN:2337-3253, 3, 1-16

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

210 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI RUANG

MELALUIPROBLEM BASED LERNING (PBL) BERBANTUAN

GEOGEBRA 5.0 UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

VISUAL-SPATIAL THINKING MAHASISWA

Sumarni 1)

, Anggar Titis Prayitno2)

Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Kuningan

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperolehbahan

ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0 yang sesuai dengan prinsip Problem

Based Learning (PBL), (2) memperoleh bahan ajar Geomteri Ruang melalui PBL

berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan memenuhi kriteria valid dan praktis,

(3) memperoleh bahan ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0

yang dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa. Keluaran

penelitian ini berupa draft laporan penelitian, publikasi ilmiah, bahan ajar untuk

mahasiswa, dan instrumen untuk mengukur kemampuan visual-spatial

thinking.Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah research and

development. Draft awal bahan ajar dan draft awal instrumen visual-spatial thinking

yang telah dikembangkan selanjutnya divalidasi oleh ahli, serta diujicobakan pada

kelompok terbatas (skala kecil) sehingga diperoleh bahan ajar dan instrumen yang

valid dan praktis, yang sesuai dengan prinsip PBL dan dapat meningkatkan

kemampuan visual-spatial thinking.Pengumpul data menggunakan teknik wawancara,

validasi ahli, validasi empirik, dan penerapan/uji coba bahan ajar.Analisis data secara

deskriptif kualitatif dilakukan terhadap hasil wawancara, observasi, catatan lapangan

(video record), analisis dokumen lembar validasi.Serta analisis kuantitatif (statistik)

hasil pretes dan postes kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa yang

menggunakan bahan ajar LKM geometri ruang berbantuan GeoGebar 5.0 melalui

pendekatan PBL. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai

berikut: (1) Berdasarkan penilaian validator, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL

berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL; (2)

Berdasarkan hasil validasi teoritik oleh validator bahan ajar geometri ruang berbasis

PBL berbantuan GeoGebra 5.0 dalam kategori baik dengan presentase keidealan 79,15

%; (3) Hasil uji coba lapangan, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan

GeoGebra 5.0 Perhitungan secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g)

sebesar 0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking

termasuk dalam kategori sedang.

Kata Kunci: Pendekatan Problem Based Learning(PBL), GeoGebra 5.0, Kemampuan

Visual-Spatial Thinking

A. Pendahuluan

Geometri adalah salah satu cabang matematika yang diajarkan di bangku sekolah, dari

sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi.Geometri juga merupakan bidang

penting dari matematika.Menurut Schwartz (2010) geometri merupakan sebuah konsep yang

menghubungkan berbagai bidang dalam matematika.National Academy Science (2006)

berpendapat bahwa setelah melaksanakan pembelajaran geometri, peserta didik harus

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 211

mempunyai 4 kemampuan yaitu: (1) menganalisis karakteristik dan sifat-sifat bentuk

geometri dua dan tiga dimensi dan mengembangkan argumen-argumen matematika tentang

hubungan geometri itu; (2) menetapkan lokasi dan menjelaskan hubungan spasial

menggunakan koordinat geometri dan sistem representasi lainnya; (3) memakai transformasi

dan menggunakan simetri untuk menganalisis situasi matematika; (4) menggunakan

visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta

didik dalam pembelajaran geomerti adalah kemampuan visualisasi dan spasial. Giaquinto

(2007) menyatakan bahwa “Visual imagination seems to play an important role in extending

geometrical knowledge.” Artinya imajinasi visual memiliki peran penting dalam memperluas

pengetahuan geometri.Menurut Sword (2005), ada tiga cara berpikir, yaitu: berpikir audio

(audiotory thinking), berpikir visual (visual thinking), dan berpikir kinestetik (kinesthetic

thinking).Visualisasi merupakan bagian dari berpikir visual (visual thinking).Ismi dan

Hidayatulloh (2011), berpendapat bahwa visual thinking memegang peran penting dalam

keberhasilan pembelajaran geometri sebab peserta didik yang belajar tanpa menggunakan

kemampuan visual thinking rawan mengalami miskonsepsi, kemampuan visual thinking

berperan untuk memecahkan masalah dari soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat

tinggi.Jika kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung dari matematika, maka

visualisasi merupakan inti pemecahan masalah matematika.Selain kemampuan visual

thinking, kemampuan spasial juga dibutuhkan dalam mempelajari geometri. Menurut Black

(2005), kemampuan spasial adalah suatu kemampuan dalam merepresentasikan,

mentransformasi, membangun, dan memanggil kembali informasi simbolik tidak dalam

bentuk bahasa.

Geometri dianggap sebagai bidang kajian matematika yang sulit.Kariadinata (2010)

mengemukakan bahwa banyak persoalan geometri yang sulit diselesaikan dan pada

umumnya dalam mengkonstruksi bangun ruang geometri.Gumilar (2012) menyatakan hal

yang serupa bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami

geometri, terutama geometri ruang yang merupakan materi matematika yang tidak disukai

oleh peserta didik.

Fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami

kesulitan dalam bidang kajian geometri terlebih geometri ruang/dimensi tiga.Kesulitan-

kesulitan tersebut berkaitan erat dengan rendahnya kemampuan visual-spatial thinking yang

merupakan syarat untuk dapat memahami keabstrakan geometri.Yuliardi (2010) yang

menjelaskan bahwa penghambat pembelajaran geometri ruang (akibat rendahnya

kemampuan visual-spatial thinking) di antaranya terdapat 2 alasan utama.Pertama, pendidik

seringkali dihadapkan pada materi yang membutuhkan daya visualisasi dan imajinasi yang

tinggi dari peserta didik, benda aslinya sulit diperlihatkan dan dieksplorasi oleh peserta didik

langsung.Alasan yang kedua berkaitan keefektifan waktu.Jika pendidik mencoba

menerangkan konsep geometri melalui metode pembelajaran konvensional maka pendidik

menggambarkan bangun ruang di papan tulis, lalu menguraikan bagian-bagiannya. Hal ini

jelas akan banyak menyita waktu, sedangkan jam pelajaran terbatas. Sehingga apabila

ditinjau dari segi keefektivitasan waktu, metode pembelajaran konvensional saja tidaklah

cukup untuk meraih hasil yang optimal dalam tujuan pembelajaran yang ingin

dicapai.Selanjutnya menurut Hidayati (2010), salah satu penyebab kesulitan peserta didik

memahami konsep geometri adalah faktor eksternal.Faktor eksternal yang dimaksud adalah

alat peraga yang tidak membantu peserta didik untuk membayangkan objek geometri yang

abstrak. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu alat bantu untuk memahami geometri ruang.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

212 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Alternatif solusi untuk meningkatkan rendahnya kemampuan tersebut salah satunya adalah

penggunaan bahan ajar yang memfasilitasi peserta didik mengembangkan kemampuan

visual-spatial thinkingdan menciptakan lingkungan belajar yang melibatkan peran peserta

didik dalam menghadapi masalah baru yang ditemukan dalam kehidupan nyata, menurut

Smaldino et al. (2012), pembelajaran seperti ini disebut problem based learning (PBL).

Kemudian Smaldino et al. (2012) menambahkan teknologi dapat menjadi “rekan intelektual”

karena teknologi melibatkan dan mendukung peserta didik dalam pembelajaran.Teknologi

merupakan lingkungan yang melibatkan peserta didik untuk menggunakan strategi belajar

kognitif dan kemampuan berpikir kritis.

GeoGebra 5.0 adalah salah satu perangkat lunak dinamis-geometri yang dapat digunakan

untuk membantu peserta didik dan pendidik untuk mengatasi beberapa kesulitan dan

membuat belajar geometri dimensi tiga (geometri ruang) menjadi lebih mudah dan menarik.

Keunggulan yang dimiliki GeoGebra 5.0adalah terdapat fasilitas/menu tampilan grafik 3D

diperkirakan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, yaitu dengan objek geometri

pada GeoGebra 5.0 yang dapat diubah kedudukannya sehingga membantu peserta didik

menentukan kedudukan objek geometri dalam ruang.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul: Pengembangan Bahan Ajar Geometri Ruang Melalui Problem Based Learning

(PBL) Berbantuan GeoGebra 5.0 untuk Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial

Thinking.penelitian ini bertujuan untuk (1) Mempreolehbahan ajar Geometri Ruang

berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL; (2) Memperoleh

bahan ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan

memenuhi kriteria valid dan praktis; (3) Memperoleh bahan ajar PBL berbantuan GeoGebra

5.0 yang dikembangkan dapat meningkatkan visual-spatial thinking mahasiswa.

B. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development.Penelitian

ini berfokus pada pengembangan bahan ajar Geometri Ruang melalui Pendekatan Problem

Based Learning (PBL) berbantuan GeoGebra 5.0 dan pengembangan instrument untuk

mengukur visual-spatial thinking.

Prosedur penelitian yang dilakukan adalah analisis kebutuhan; pengembangan produk (bahan

ajar); validasi ahli dan revisi produk; dan uji Coba lapangan skala kecil.Pengumpulan data

menggunakan teknik wawancara, validasi ahli, validasi empirik, dan penerapan bahan

ajar.Teknik wawancara digunakan dalam tahap analisis kebutuhan.Validasi ahli digunakan

pada tahap validasi ahli dan revisi produk bahan ajar dan instrumen yang telah

dikembangkan.Penerapan bahan ajar ini merupakan pengumpulan data untuk tahap uji coba

bahan ajar, untuk melihat kepraktisan dan pengaruh dari penerapan bahan ajar geoetri ruang

berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL terhadap peningkatan kemampuan

visual-spatial thinking mahasiswa.Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan

terhadap hasil wawancara, observasi, catatan lapangan (video record), analisis dokumen

lembar validasi.Serta analisis kuantitatif (statistik) hasil pretes dan postes kemampuan

visual-spatial thinking mahasiswa yang menggunakan bahan ajar LKM geometri ruang

berbantuan GeoGebar 5.0 melalui pendekatan PBL.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 213

C. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Berikut dipaparkan hasil penelitian Pengembangan bahan ajar Geometri Ruang melalui

Pendekatan Problem Based Learning (PBL) Berbantuan GeoGebra 5.0 untuk Meningkatkan

kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa.

1. Tahap Analisis Kebutuhan

Berdasarkan hasil pengamatan awal dilakukan dengan menganalisiskebutuhan mahasiswa

peneliti memperoleh informasi sebagai berikut: 1) mahasiswa masih kurang aktif dalam

pembelajaran di kelas, hal ini menyebabkan dosen lebih banyak memberikan informasi di

depan kelas, menulis dan menjelaskan materi menggunakan metode ceramah dan pemberian

contoh-contoh soal, sementara itu mahasiswa mencatat materi yang dosen tulis di papan

tulis; 2) pembelajaran tidak didukung dengan bahan ajar yang memadai. Umumnya

mahasiswa tidak memiliki buku pegangan sebagai sumber belajar, mahasiswa hanya

mengandalkan materi yang diberikan oleh dosen pada saat proses pembelajaran. Sehingga

mahasiswa tidak memiliki gambaran tentang materi yang akan dipelajari sebelum proses

pembelajaran berlangsung. 3) nilai mahasiswa pada mata kuliah geometri ruang masih

tergolong rendah, dikarenakan mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam memahami

konsep geometri.

2. Tahap Pengembangan Produk (Bahan Ajar)

Pada tahap ini dikembangkan bahan ajar Geometri Ruang berbantuan Software GeoGebra

5.0 untuk meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa sesuai dengan

tahapan problem based learning. Bahan ajar yang dikembangkan berupa lembar kerja

mahasiswa untuk membimbing dan mengarahkan mahasiswa dalam mengkonstruksi konsep

geometri ruang dengan berbantuan Software GeoGebra. Bahan ajar yang dikembangkan

terdiri lima lembar kegiatan mahasiswa (LKM) yang memfasilitasi mahasiswa dalam

pembelajaran Geometri ruang. LKM 1 (Garis Tegak Lurus dan Proyeksi (1)) ; LKM 2 (Garis

Tegak Lurus dan Proyeksi (2)) ; LKM 3 (Jarak Titik, Garis dan Bidang (1)); LKM 4 (Jarak

Titik, Garis dan Bidang (2)); dan LKM 5 (Sudut antara Garis dan Bidang). Selain

pengembangan bahan ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0, dalam penelitian ini

juga dikembangkan instrument kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa.Struktur

bahan ajar LKM yang dikembangkan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1.Struktur Bahan Ajar Geometri Ruang Berbantuan Software GeoGebra

5.0.

No Bagian Isi

1 Judul Lembar Kegiatan

Mahasiswa

Judul Materi yang dipelajari, tujuan pembelajaran,

kolom identitas mahasiswa, petunjuk pengisian

lembar kegiatan mahasiswa

2 Permasalahan dan tugas –

tugas

Permasalahan kontekstual (konsep) sesuai dengan

materi dan tujuan pembelajaran, tugas-tugas berupa

pertanyaan yang menuntun mahasiswa

mengkonstruksi konsep sesuai tujuan pembelajaran

dengan menggunakan tool pada GeoGebra 5.0

3 Ayo Berlatih Soal-soal susuai materi yang dipelajari dan soal untuk

meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

214 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

3. Validasi Ahli dan Revisi Produk

Secara umum hasil validasi para ahli terhadap instrument penelitian diperoleh sebagai

berikut.

1) Draft bahan ajar (LKM) dengan kriteria baik sehingga dapat digunakan dengan sedikit

revisi

2) Soal tes kemampuan visual-spatial thinking dengan kriteria baik sehingga dapat

digunakan dengan sedikit revisi

Berdasarkan validator, nilai rata-rata validasi kualitas bahan ajar yang dikembangkan

termasuk pada kategori baik.Berdasarkan indikator validasi bahan ajar maka bahan ajar yang

dikembangkan dikatakan valid.Sehingga bahan ajar yang dikembangkan dapat diuji coba di

lapangan.Rekapitulasi nilai validasi bahan ajar oleh validator disajikan pada tabel berikut.

Table 2. Rekapitulasi Nilai Validasi Bahan Ajar oleh Validator

N

No

Komponen

Bahan Ajar

Validator Jumlah Prosentase Krieteia

I I

I

III

1

1

Komponen

Kelakayakan Isi

52 40 39 131 72,78 Baik

2

2

Komponen

Kebahasaan

62 60 58 180 80,00 Baik

2

3

Komponen

Penyajian

45 42 40 127 84,67 Baik

Rata-rata 79,15 Baik

Penilaian validator terhadap bahan ajar didasarkan pada indikator-indikator yang termuat

dalam validasi bahan ajar.Penjelasan lebih lengkap tentang revisi yang dilakukan terhadap

bahan ajar dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 3.Revisi Bahan Ajar Berdasarkan masukan Validator N

No. Sebelum direvisi Setelah direvisi

1

.

Masih terdapat kesalahan dalam

pengetikan.

Kesalahan pengetikan sudah diperbaik

2

.

Belum menggunakan icon-icon tool

GeoGebra saat memberikan petunjuk

dalam mengkonstruksi gambar

GeoGebra

Sudah memberikan icon-icon tool

GeoGebra saat memberikan petunjuk

dalam mengkonstruksi gambar GeoGebra

3

.

Belum memberikan informasi tentang

tool apa saja yang digunakan dalam

mengkonstruksi sebuah gambar

Sudah memberikan informasi tentang tool

apa saja yang digunakan dalam

mengkonstruksi sebuah gambar

4. Belum meminta mahasiswa untuk

menentukan ukuran garis ortogonal,

bidang frontal, sudut surut yang

digunakan dalam menggambar secara

manual.

Sudah meminta mahasiswa untuk

menentukan ukuran garis ortogonal,

bidang frontal, sudut surut yang digunakan

dalam menggambar secara manual.

5. LKM belum dilengkapi dengan

konteks/situasi realistik untuk setiap

konsep sebelum masuk ke dalam

konsep matematisnya.

LKM sudah dilengkapi dengan

konteks/situasi realistik untuk setiap

konsep sebelum masuk ke dalam konsep

matematisnya.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 215

5. Uji Coba Lapangan Skala Kecil Berikut pemaparan terkait kegiatan uji coba bahan ajar dalam skala kecil.

1) Uji Kepraktisan Bahan Ajar

Bahan Ajar Geometri ruang melalui PBL Berbantuan Software GeoGebra 5.0 yang

dikembangkan yang melaui tahap validasi teoritik oleh tiga ahli dan validasi empirik,

selanjutnya diujicobakan sebagai bahan ajar pada mahasiswa prodi pendidikan matematika

tingkat 2 tahun ajaran 2016-2017 Universitas Kuningan. Kegiatan uji coba lapangan ini

dilakukan sebanyak tujuh kali pertemuan (satu kali pertemuan pemberian pretes

menggunakan soal tes kemampuan visual-spatial thinking yang dikembangkan, lima kali

pertemuan pembelajaran menggunakan LKM geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0

melalui pendekatan PBL yang telah dikembangkan dan satu kali pertemuan pemberian

postes menggunakan soal tes kemampuan visual-spatial thinkingyang dikembangkan).

2) Peningkatan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa

Berdasarkan hasil uji coba bahan ajar yang telah dikembangkan dalam skala kecil dianalisis

dengan melihat peningkatan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa menggunakan

uji gain ternormalisasi berdasarkan hasil pretes dan postes mahasiswa.Berikut ini merupakan

deskripsi data kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa sebelum dan sesudah

pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui

pendekatan PBL.

Tabel 4.Statistik Deskriptif Hasil Tes Kemampuan Visual-Spatial Thinking

Mahasiswa

Kemampuan

Visual-Spatial

Thinking

Skor Ideal

Postes

SD xmin xmaks

Sebelum 60 17,033 6,900 3 35

Sesudah 60 33,333 8,801 12 52

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dilihat bahwa rerata kemampuan visual-spatial thinking

mahasiswa siswa secara keseluruhan, sebelum pembelajaran dan sesudah pembelajaran

mengalami peningkatan.

Rata-rata klasikal skor Normalitas Gain (g) dapat ditentukan berdasarkan rata-rata skor

kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa yang diukur berdasarkan skor motivasi

belajar mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri

ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL. Berdasarkan data skor

kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran

menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL,

maka rata-rata klasikal skor normalitas gain (g) adalah:

Jadi secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar 0,38 yang berarti

tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk dalam kategori sedang.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

216 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

3) Uji Beda Skor Pretes dan Postes

Uji beda skor pretes dan postes digunakan untuk mengetahui perbedaan kemampuan visual-

spatial thinking mahasiswa sebelum belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang yang

dikembangkan berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL dan kemampuan visual-

spatial thinking mahasiswa sesudah belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang yang

dikembangkan berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL.

Adapun rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut.

Ho : η 1= η2, Tidak terdapat perbedaan skor pretes dan postes kemampuan visual-spatial

thinking secara signifikan.

Ha : η 1≠ η2, Terdapat perbedaan skor pretes dan postes kemampuan visual-spatial

thinking secara signifikan.

Berikut rangkuman hasil uji perbedaan rataan skor pretes.

Tabel 4.Uji Perbedaan Rataan Skor Pretes Kemampuan Visual-Spatial Thinking

Statistik Keterangan

Mann-Whitney U Z Asymp. Sig. (2-tailed)

59,500 -5,778 0,000 Ho Ditolak

Dari hasil uji Mann-Whitney U di atas, diperoleh nilai p-valueatau Sig. (2-tailed) yaitu 0,000

< ( = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor pretes dan skor postes kemampuan visual-spatial thinkingmahasiswa

kelas yang menggunakan bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0.

Pembahasan

Berikut pemaparan pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan

sebelumnya.

1. Keseuaian Bahan Ajar Geometri Ruang Berbantuan GeoGebra 5.0 yang

Dikembangkan dengan Prinsip PBL

Prinsip-prinsip PBL yang dikemukakan olehSanjaya (2010) bahwa PBL merupakan

pendekatan pembelajaran yang mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks

bagi peserta didik untuk belajar berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan

memperoleh pengetahuan mengenai esensi materi pembelajaran. Sehingga peserta didik

dituntut aktif menemukan konsepnya sendiri. Berikut pemaparan tentang kesesuaian bahan

ajar geometri ruang berbantuang geogebra 5.0 yang dikembangkan dengan prinsip PBL:

LKM yang dikembangkan menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi peserta didik

untuk belajar berpikir kritis.Pada bagian awal LKM disajikan masalah terkait konsep yang

akan dipelajari. Mahasiswa mendiskusikan masalah yang diberikan dalam kelompok.

Mereka mengklarifikasi fakta, mendefinisikan apa masalahnya. Menggali gagasan

berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Menemu-kenali apa yang mesti diketahui (dipelajari)

untuk memecahkan masalah itu (isu belajar terletak di sini). Bernalar melalui masalah dan

menentukan apa tindakan atas masalah tersebut.Dalam hal ini bahan ajar (LKM) yang

dikembangkan disusun untuk kegiatan belajar kelompok, setiap kelompok terdapat 4-5

mahasiswa.Tugas tugas yang diberikan juga menuntut untuk menggali gagasan berdasarkan

pengetahuan sebelumnya. Bernalar melalui masalah dan menentukan apa tindkan atas

masalah yang diberikan.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 217

2. Validitas dan Kepraktisan dari Bahan Ajar Geometri Ruang melalui PBL

berbantuan GeoGebra 5.0

Bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan

divalidasi baik validasi secara teoritis. Validasi teoritis dilakukan oleh tiga validator,

persentase rata-rata penilaian terhadap bahan ajar yang dikembangkan sebesar 79,15 dengan

krtiteria baik. Penilaian validator terhadap bahan ajar didasarkan pada indikator-indikator

yang termuat dalam validasi bahan ajar yaitu komponen kelayakan isi, komponen

kebahasaan, dan komponen penyajian.Berdasarkan kesimpulan dan masukan validator,

selanjutnya dilakukan revisi terhadap bahan ajar. 1) Kesalahan pengetikan; 2) Penggunaan

icon-icon tool GeoGebra saat memberikan petunjuk dalam mengkonstruksi gambar

GeoGebra; 3) Pemberian informasi tentang tool apa saja yang digunakan dalam

mengkonstruksi sebuah gambar; 4) meminta mahasiswa untuk menentukan ukuran garis

ortogonal, bidang frontal, sudut surut yang digunakan dalam menggambar secara manual; 5)

LKM harus dilengkapi dengan konteks/situasi realistik untuk setiap konsep sebelum masuk

ke dalam konsep matematisnya.

Hasil penilaian terhadap LKM yang dikembangkan bahwa LKM memfasilitasi kemampuan

visual-spatial thinking melalui karena LKM mampu 1) Mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam mengubah informasi menjadi objek geometri; 2) Mengembangkan

kemampuan mahasiswa dalam membayangkan posisi suatu obyek geometri sesudah obyek

tersebut mengalami rotasi, refleksi, atau dilatasi; 3) Mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam membandingkan kaitan hubungan logis dari unsur-unsur suatu bangun

ruang; 4) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menduga secara akurat bentuk

suatu obyek dipandang dari sudut pandang tertentu; 5) Mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam menentukan obyek yang cocok pada posisi tertentu dari sederetan obyek

bangun geometri ruang atau mengenal pola; 6) Mengembangkan kemampuan mahasiswa

dalam merepresentasikan model-model bangun geometri yang digambarkan pada bidang

datar; dan 7) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menemukan informasi dari

visual berupa obyek sederhana dalam konteks keruangan yang kompleks. Sedangkan untuk

cakupan materi, akurasi materi termasuk dalam kriteria baik, untuk komponen kebahasaan

termasuk dalam kriteria baik. Begitu juga komponen penyajian sudah sesuai dengan prinsip-

prinsip PBL.

Pada pertemuan pertama dosen memberikan pretes kepada mahasiswa subjek peneltian hal

ini bertujuan untuk memperoleh data kemampuan awal visual-spatial thinking mahasiswa.

Pada pertemuan kedua dosen memberikan instruksi kepada mahasiswa untuk duduk sesuai

kelompok yang telah diinformasikan pada pertemuan sebelumnya. Mahasiswa dibagi ke

dalam 7 kelompok, sehingga terdapat lima kelompok yang beranggotakan 4 mahasiswa dan

dua kelompok yang beranggotakan 5 mahasiswa.

Pada pertemuan kedua terlihat mahasiswa masih beradaptasi untuk belajar secara

berkelompok dan sekaligus menyelesaikan masalah dengan bantuan GeoGebra 5.0.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada siswa pada akhir pembelajaran siswa

mengaku bahwa mereka jarang sekali melaksanakan pembelajaran secara berkelompok

untuk mata kuliah ilmu matematika dengan menggunakan LKM sehingga kesulitan

berinteraksi dalam kelompok. Mahaiswa juga belum pernah terlibat dalam pembelajaran

matematika yang menggunakan bantuan program komputer.Namun mahasiswa terlihat

antusias untuk belajar geometri ruang.Mereka tertarik dengan penggunaan GeoGebra 5.0.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

218 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Selanjutnya pada pertemuan ketiga mahasiswa mulai beradaptasi dengan aktivitas

pembelajaran berbasis masalah berbantuan GeoGebra 5.0.adaptasi ini terus terjadi pada

pertemuan-pertemuan berikutnya. Siswa tetap bersemangat dan semakin terbiasa melakukan

pembelajaran dengan LKM dan menggunakan GeoGebra 5.0. Komunikasi dengan rekan

dalam kelompok dan komunikasi dengan dosen sebagai fasilitator juga berjalan dengan baik.

Kondisi ini membuktikan kebenaran pendapat Xiuping (Pitriani, 2014) yang menyatakan

bahwa beberapa karakteristik PBL di antaranya masalah-masalah yang disajikan justru akan

memotivasi belajar siswa dan juga mampu membawa siswa untuk fokus pada proses belajar

itu sendiri sebab siswa diminta untuk melakukan refleksi. Selain itu mahasiswa juga lebih

memahami konsep geometri ruang.Hal ini sejalan dengan temuan dari penelitian-penelitian

penerapan teknologi yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan bantuan komputer dapat

menjadi suatu metode yang efektif bagi para siswa dan berpengaruh positif terhadap

pembelajaran matematika mereka (Li dan Edmonds, 2005).Selanjutnya pada pertemuan

terakhir (pertemuan ketujuh) adalah pemberian postes kemampuan visual-spatial thinking.

Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa setelah

belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL.

Secara keseluruhan mahasiswa menunjukkan perhatian dan ketertarikan yang lebih dalam

proses pembelajaran menggunakan bahan ajar yang dikembangkan, karena mahasiswa tidak

hanya mencatat dan berlatih soal – soal yang diberikan oleh dosen. Mahsiswa sangat

antusias karena proses pembelajaran menggunakan kemajuan teknologi dalam hal ini

penggunaan software geogebra 5.0 untuk mengkonstruksi konsep-konsep dalam geometri

ruang. Dengan beragam fasiltasi yang dimiliki, GeoGebra 5.0 dapat dimanfaatkan sebagai

media pembelajaran, mahasiswa dapat mendemonstrasikan atau memvisualisasikan konsep-

konsep matematis serta sebagai alat bantu untuk mengkonstruksi konsep-konsep geometri

ruang. Software GeoGebra 5.0 berfungsi sebagai media gambar yang dinamis sehingga

mahsiswa dapatmelakukan geseran titik, garis dan bidang serta membuat garis tegak lurus

untuk membuat proyeksi baik titik terhadap garis maupun titik terhadap bidang ataupun

melakukan pengukuran ruas garis dan besar sudut yang terbentuk.

Mahsiswa melalui LKM geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan

PBLmendapat pengalaman langsung dalam belajar, selain itu melalui pemberian masalah

dan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam LKM berbantuan GeoGebra 5.0 melalui

pendekatan PBLmendukung kegiatan penemuan konsep dan dapat meningkatkan

kemampuan Visual-Spatial Thinking mahsiswa dalam belajar Geometri ruang.

3. Peningkatan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa

Setelah dilakukan penelitian, yaitu berupa uji coba skala kecil terhadap bahan ajar geometri

ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 terhadap mahasiswa tingkat 1 semester 2

tahun ajaran 2015/2016 prodi pendidikan matematika Universitas Kuningan sebagai subjek

penelitian, kemudian dilakukan analisis data hasil penelitian yaitu terhadap hasil tes

kemampuan visual-spatial thinking.

Peneliti juga melakukan uji beda skor pretes dan postes untuk melihat peningkatan

kemampuan visual-spatial thinking mahasiswayang menggunakan bahan ajar gemoetri ruang

berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL. Hasil uji beda menunjukkanpenggunaan bahan ajar

gemoetri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL berpengaruh pada peningkatan

kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa. Hal ini berdampak padakemampuan

pemahaman konsep bangun ruang mahasiswa.Seperti pendapat Accascina dan Rogora

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 219

(2006), yang menyatakan kesalahan mahasiswadalam memahami bentuk dimensi tiga dapat

menyebabkan kesalahan dalampenyelesaian soal yang diberikan.

Gambar 1. Aktivitas Diskusidan Presentasi Kelompok Pembelajaran Geometri Ruang

berbantuan GeoGebra melalui PBL

Kegiatan diskusi dan presentasi mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran berbasis masalah

berbantuan GeoGebra 5.0dapat meningkatkan interaksi antar mahasiswa, yangsecara tidak

langsung dan efektif dalam membangun lingkungan belajar yangberpikir.Seperti pendapat

Sabandar (2008), yang menyatakan bahwa diperlukan upaya pendidik secara sengaja agar

terwujud dan tercipta suatu kelas yang berpikiryaitu mengembangkan kemampuan berpikir

matematika peserta didik.Kemampuan berpikir di sini salah satunya adalah kemampuan

visual-spatial thinking sehingga berdasarkan penjelasan di atas jelaslah alasan peningkatan

kemampuan kemampuan visual-spatial thinking siswa di kelas yang pembelajarannya

menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian pengembangan ini adalah telah

dikembangkan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL

melalui tahapan: 1) analisis kebutuhan; 2) pengembangan produk (bahan ajar); 3) validasi

ahli dan revisi produk; 4) uji Coba lapangan skala kecil. Melalui langkah-langkah tersebut

maka dihasilkan bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0

Berkaitan dengan kualitas bahan ajar berdasarkan penilaian validator dan uji coba lapangan,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

a. Berdasarkan penilaian validator, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan

GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL

b. Berdasarkan hasil validasi teoritik oleh validator bahan ajar geometri ruang berbasis

PBL berbantuan GeoGebra 5.0 dalam kategori baik dengan presentase keidealan 79,15

%.

c. Hasil uji coba lapangan, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra

5.0 Perhitungan secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar

0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk

dalam kategori sedang.

Saran Peneliti menyarankan agar bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL

yang dikembangkan:

a. Di ujicobakan kembali di beberapa kelas untuk mendapatkan hasil yang lebih beragam

sehingga bahan ajar yang dikembangkan lebih baik lagi

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

220 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

b. Digunakankan dalam pembelajaran mata kuliah geometri ruang.

Daftar Rujukan

Black, A. A. (2005). Spatial Ability and Earth Science Conceptual

Understanding.Springfield: Missouri State University. [Online]. Tersedia:

http://www.redorbit.com/news/science/268601/spatial_ability_and_earth_science_con

ceptual_understanding/ [25 Oktober 2013].

Giaquinto, M. (2007).Visual Thinking in Mathematics An Epistemological Study. United

States: Oxford University Press Inc., New York.

Gumilar.(2012). Pembelajaran Geometri dengan Wingeom untuk Meningkatkan

Kemampuan Spasial dan Penalaran Matematis Siswa.Tesis pada SPs UPI.Tidak

diterbitkan.

Hidayati, F. (2010).Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta

dalam Mempelajari Aljabar.Skripsi Pendidikan Matematika UNY Yogyakarta.Tidak

diterbitkan.

Ismi, I. N. & Hidayatulloh, B. (2012).Pentingnya Visual Thinking dalam Pembelajaran

Geometri SMP.[Online]. Tersedia: http://ohmymath.wordpress.com/category/jurnal-

dan-artikel/ [19 Oktober 2013].

Kariadinata, R. (2010). Aplikasi Berbasis Komputer dalam

PembelajaranMatematika.Disertasi Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI

Bandung.Tidak diterbitkan.

Li, Q. & Edmonds, K. A. (2005). Mathematics and At-Risk Adult Learners: Would

Technology Help? Journal of Research on Technology in Education Vol. 38 No. 2.

National Academy of Science (2006).Learning to Think Spatially. Washington DC: The

National Academics Press.

Sabandar, J. (2008). Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di

Sekolah.Makalah Pada Seminar Matematika. Bandung.

Sanjaya, W. (2010).Strategi Pembelajarran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Schwartz, J.E. (2010). Why Learn Geometry? [Online] Update on Jul 20, 2010. Tersedia:

http://www.education.com/reference/article/why-learn-geometry-mathematics/ [3 Juni

2014].

Smaldino, S. E., Lowther, D. L., & Russel, J. D. (2012). Instructional Technology & Media

for Learning. Jakarta: Kencana.

Sword, L. K. (2005).The Power of Visual Thinking.[Online].

Tersedia:http://www.tempinformationsheets.apduk.org.uk/HTMLobj-

210/Power_of_Visual_Thinking.pdf [20 Oktober 2013].

Yuliardi, R. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Interaktif Berbasis

Komputer Tipe Drill untuk Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense Siswa SMP

dalam Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung.Skripsi FPMIP UPI Bandung.Tidak

diterbitkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 221

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS

PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI VOLUME KUBUS

UNTUK SISWA SMP

Tarsudin1, Zulkardi

2, Darmawijoyo

2

1Mahasiswa Program Magister PendidikanMatematikaUniversitasSriwijaya

2Dosen Program Magister PendidikanMatematikaUniversitasSriwijaya

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lembar kerja siswa dengan pendekatan

saintifik yang valid dan praktis. Jenis penelitian ini adalah Design Research tipe

development study dengan metode penelitian yang digunakan adalah formative

evaluation. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary (tahap

persiapan dan tahap desain) dan tahap formatif evaluation (tahap expert reviews, one-

to-one, small group, dan field test). Penelitian ini melibatkan siswa kelas VIII SMP

Negeri 55 Palembang sebagai subjek uji coba one-to-one dan small group. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah walk through dan dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa LKS yang

dikembangkan memenuhi karakteristik kevalidan dan kepraktisan.

Kata kunci : LKS, Pendekatan Saintifik, Volume Kubus

1. Pendahuluan

Dalam standar isi pendidikan dasar dan menengah, salah satu materi matematika yang

diajarkan pada siswa SMP adalah geometri yang didalamnya termasuk bangun ruang

(Permendikbud, 2016) . Salah satu indikator yang ada dalam materi bangun adalah

menentukan volume. Hasil penelitian (Rostika, 2008) tentang pembelajaran volume bangun

ruang menunjukan bahwa siswa mengalami kejenuhan karena pembelajaran yang kurang

menarik, guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif memanipulasi

benda-benda secara langsung, sehingga sebagian besar siswa suka rmemahami setiap konsep

yang diajarkan. Selain itu, (Heruman, 2008) juga menyatakan bahwa siswa jarang sekali

diajak untuk mencari dan menemukan sendiri rumus dari volume bangun ruang. Padahal,

jika saja siswa diarahkan untuk bisa menemukan sendiri rumus tersebut, pengajaran topik itu

akan lebih bermakna dan membuat siswa lebih mengerti.

Salah satu solusi yang bisadilakukan oleh guru adalah dengan menerapkan pembelajaran

yang bisa menciptakan keaktifan siswa, baik untuk menemukan konsep dari materi

pembelajaran, memecahkan persoalan, serta menerapkan apa yang telah dipelajari untuk

menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan

merasakan suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan pembelajaran akan lebih

bermakna. Dalam menerapkan pembelajaran aktif, guru bisa memilih salah satu pendekatan

pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan

saintifik dipilih karena pembelajaran dengan pendekatan saintifik berpusat pada siswa, serta

pembelajaran membentuk students‟ self concept (Kemdikbud, 2013).

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

222 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Dalam menerapkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, maka guru memerlukan

bahan ajar. Salah satu bahan ajar yang bisa digunakan untuk menerapkan pembelajaran

saintifik adalah lembar kerja siswa (LKS). Guru harus mengembangkan LKS yang sesuai

dengan pendekatan saintifik sehingga pembelajaran aktif yang diharapkan bisa tercapai.

Menurut (Risnawati, Mardianita, & Rahmawati, 2015) bahwa penggunaan LKS membuat

siswa aktif dalam belajar, ditandai dengan saling berdiskusi dalam kelompoknya membahas

soal-soal LKS, bertanya kepada guru jika ada yang belum jelas, mengerjakan dengan tepat

waktu, adanya perhatian penuh dari seluruh siswa pada saat siswa lain presentasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul

“Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Pendekatan Saintifik pada Materi Volume

Kubus untuk Siswa SMP”.

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik lembar kerja

siswa berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi volume kubus untuk

siswa SMP kelas VIII?”. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah

untuk menghasilkan lembar kerja siswa berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis

pada materi volume kubus untuk siswa SMP.

2. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah design research tipe development study. Metode penelitian yang

digunakan dalam pengembangan LKS ini adalah yaitu formative evaluation. Penelitian ini

dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary (tahap persiapan dan tahap desain) dan

tahap formatif evaluation (tahap self evaluation, expert reviews, one-to-one, small group,

dan field test) (Tessmer, 1993 ; Zulkardi, 2002). Alurdesain formative evaluation dapat

dilihat beriku tini.

Gambar 1. Alurdesain formative evaluation (Tessmer, 1993; Zulkardi, 2002)

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah walk through

dan dokumentasi. Walk through berupa lembar validasi dan lembar komentar dan saran

expert, sedangkan dokumentasi berupa lembar komentar atau saran siswa pada tahap uji coba

one-to-one dan small group.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang valid

dan praktis pada materi volume kubus untuk siswa SMP. Proses pengembangan bahan ajar

ini yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap preliminary dan tahap formative evaluation.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 223

Tahap preliminary terdiri dari 2 tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pendesainan.Tahap

persiapan yang dilakukan oleh peneliti meliputi analisis siswa, analisis kurikulum, analisis

materi, serta berkolaborasi dengan guru dalam rangka persiapan penelitian. Setelah

melakukan analisis, selanjutnya peneliti mendesain LKS yang difokuskan pada konten,

konstruk, dan bahasa.

Setelah LKS didesain, selanjutnya peneliti mengevaluasi sendiri (self evaluation) LKS yang

telah dibuat. Pada tahap ini peneliti juga mengkonsultasikan LKS kepada dosen

pembimbing. Peneliti mendapatkan masukan dari dosen pembimbing dan kemudian merevisi

LKS. Hasil yang diperoleh dari tahap ini adalah LKS prototype pertama. Selanjutnya LKS

prototype pertama dievaluasi melalui empat tahap yaitu taha pexpert review, one-to-one,

small group, dan field test.

Prototype pertama yang telah dihasilkan dari tahap self evaluation kemudian dikirimkan

pada 2 orang expert untuk divalidasi. Expert memberikan penilaian terhadap LKS dari segi

konten, konstruk, dan bahasa. Dari segi konten, LKS yang telah dikembangkan telah sesuai

indikator materi pembelajaran, sesuai konten dengan tujuan pembelajaran. Dari segi

konstruk, LKS telah sesuai dengan level siswa kelas VIII, dan sesuai dengan langkah-

langkah pendekatan saintifik. Dari segi bahasa, ketepatan bahasa telah sesuai dengan EYD,

dan penggunaan rumusan kalimat yang tepat sehingga tidak menimbulkan makna ganda atau

salah pengertian. Selain memberikan penilaian dari segi konten, konstruk, dan bahasa,

Expert juga memberikan komentar dan saran terhadap LKS yang dikembangkan.

Bersamaan dengan proses validasi, LKS juga diuji cobakan pada one-to-one. Uji coba one-

to-one dilakukan pada 3 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang yang

berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa diminta untuk membaca kalimat pada LKS

serta menyelesaikan permasalahan pada LKS. Selanjutnya siswa diminta untuk memberikan

komentar dan saran terutama mengenai kalimat yang kurang dimengerti dan gambar kurang

jelas.

Setelah melalui taha pexpert reviews dan one-to-one, selanjutnya peneliti merevisi LKS

berdasarkan komentar dan saran yang diberikan. LKS yang telah direvisi disebut dengan

prototype kedua dan LKS kedua ini dapat dikatakan sebagai LKS yang valid. Valid dilihat

dari hasil penilaian expert, dimana 2 orang expert menyatakan baik berdasarkan konten,

konstruk, danbahasa, serta hasil uji coba one-to-one.

Selanjutnya bahan ajar prototype kedua di uji cobakan pada small group yang terdiridari 6

orang siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang yang masing-masing terdiri dari 2 orang

siswa berkemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah. Siswa pada tahap small group ini

berasal dari kelas yang berbeda dengan siswa pada tahap one-to-one. Secara berkelompok,

siswa menyelesaikan permasalahan pada LKS dimulai dari permasalahan yang ada pada

langkah mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, hingga mengkomunikasikan. Setelah

menyelesaikan permasalahan pada LKS, kemudian siswa diminta untuk memberikan

komentar dan saran. Selanjutnya peneliti merevisi LKS berdasarkan komentar dan saran

siswa dari tahap small group ini. LKS yang telah direvisi disebut dengan LKS prototype

ketiga. LKS prototype ketiga merupakan LKS yang praktis. Hal ini dilihat dari keterpakaian

dan kemudahan siswa dalam menggunakan LKS yang dikembangkan saat uji coba small

group. Siswa secara aktif mengerjakan LKS yang telah dikembangkan dengan baik dan

mandiri tanpa ada bantuan yang berarti dari peneliti.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

224 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini

telah menghasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi

volume kubus untuk siswa SMP. Kevalidan LKS dilihat dari segi konten, konstruk, dan

bahasa. Sedangkan kepraktisan LKS dilihat dari keterpakaian dan kemudahan siswa dalam

menggunakan LKS yang dikembangkan.

Daftar Pustaka

Heruman. (2008). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Kemdikbud. (2013). Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013 Pendekatan Saintifik.

Jakarta: Kemdikbud

Permendikbud. (2016). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor

21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta:

Kemdikbud

Risnawati, Mardianita, W., & Rahmawati, R. (2015). Pengembangan Bahan Ajar Dimensi

Tiga Menggunakan Pendekatan Open-Ended di Kelas VIII MTs. Suska Journal of

Mathematics Education , 51.

Rostika, D. (2008). Pembelajaran Volume Bangun Ruang Melalui Pendekatan

Konstruktivisme untuk Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar , 9 - April

2008.

Zulkardi. 2002. Developing A Learning Environment on RME for Indonesian Student

Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of twente. Tersedia

di:http://projects.edte.utwente.nl/cascade/imei/dissertation/disertasi.html.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 225

OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIDEO DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Usman Aripin

STKIP Siliwangi Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Artikel ini dilatar belakangi oleh kesulitan-kesulitan siswa dalam memahami

matapelajaran Matematika.Kesulitan siswa tersebut terjadi karena kurangnya motivasi

dalam belajar matematika.Banyak faktor yang menyebabkan motivasi belajarnya

kurang salah satu diantaranya karena kurangnya kemampuan awal siswa, situasi

pembelajara kurang menarik dan pengaruh penggunaan Gadget.Dalam mengatasi

permasalahan tersebut maka secara teoritik penggunaan video merupakan salahsatu

solusinya.Melalui video pembelajaran siswa dapat belajar kapanpun dan dimanapun

dengan memanfaatkan gadget dan media sosial yang mereka miliki.Pembelajaran

menggunakan video sangat bersinergi dengan situasi saat ini bahwasaannya gadget

dan media sosial bisa dimanfaatkan untuk belajar. Artikel ini merupkan hasil kajian

teori.Adapun rumusan masalahnya apakah pembelajan matematika menggunakan

video lebih optimal?Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji secara teoritis

optimalisasi penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Manfaat yang

diharapkan dari artikel ini adalah memberikan pemahaman kepada guru dalam hal

penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Hasil kajian teori disimpulkan

bahwa penggunaan video dapat membantu siswa dalam memahami pembelajaran

matematika.Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi perhatian bagi guru untuk

memanfaatkan gadget dan media sosial dalam pembelajaran matematika.

Kata kunci : Penggunaan Video, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu matapelajaran yang dianggap sulit bagi kebanyakan siswa

bahkan diaanggap matapelajaran menakutkan karena tak jarang rata-rata yang nilainya

paling kecil diantara matapelajaran lain adalah matematika. Olehkarena itu matematika

dianggap salahsatu matapelajaran yang sulit.Namun bagi sebagian kecil orang justru

sebaliknya matematika merupakan pelajaran yang menyenagkan, menantang dan penuh teka-

teki.Sebagian siswa yang menyukai matematika karena siswa tersebut memahami dan

menguasai matematika.Bagi sebagian siswa yang menganggap sulit itu karena tidak

menguasai suatu pokok bahasan di matematika.Oleh karena itu perlu sebuah situasi

pembelajaran yang dapat meningkan hasil belajar matematik siswa. Ketika hasil belajar

siswa mengalami peningkatan akan berimplikasi pada minat siswa belajar matematika.

Pembelajaran Matematika saat ini menghadapi tantangan yang sangat besar karena rangking

Indonesia selama 10 tahun terkahir ini masih belum memuaskan.Berdasarkan hasil studi

Program for International Student Assessment(PISA) tahun 2015 yang menunjukkan

Indonesia baru bisa menduduki peringkat 69 dari 76 negara (Sarnapi, 2016). Kemudian hasil

TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), menurut Ruri (Sarnapi,

2016) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara dalam hal

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

226 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

melakukan prosedur ilmiah.Hal ini menunjukan masih perlu peningkatan kwalitas

pembelajaran.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu alternatif solusinya adalah pembelajaran

dengan menggunakan video.Menurut (Hiebert & Lefevre, 1986) matematika mempunyai dua

komponen penting yaitu pengetahuan konsep yang berisi hubungan atau jaringan ide dan

pengetahuan prosedur itu pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah matematika. Seorang siswa untuk memahami matematika haruslah

memahami konsepnya terlebih dulu kemudian menjalankan prosedur dengan benar.Pada

tahap pemahaman konsep pencapaiannya bervariasi ada yang sangat cepat, sedang, dan

lambat memahami suatu konsep.Melalui video siswa bisa mengulang-ulang berapakali untuk

melihat dan memahami suatu konsep matematika.

Perkembangan teknologi saat ini sangatlah berkembang cepat oleh karena itu pembelajaran

matematika haruslah mempunyai inovasi untuk menghadapai tantangan perkembangan saat

ini. Saat ini penggunaan smartphonesudah menjadi kebiasaan dan menjadi gaya hidup.

Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2016) “Pengguna

smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Lembaga riset digital marketing

Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih

dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan

pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika”.

Sering berkemabngnya teknologi saat ini salah satu inovasi pembelajaran saat ini melalui

pembelajaran dengan video.Dengan memanfaatkan smartphone dan media sosial yang

dimiliki siswa seorang guru dapat membagikan video yang berisi materi pembelajaran

sebelum pembelajaran dimulai.Kemudian siswa dapat melihat materi yang ada divideo

tersebut kapan pun dan dimanapun video itu dapat dilihat artinya siswa dapat belajar

fleksibel tidak hanya disekolah dan kelebihannya apabila siswa tidak mengerti materinya

siswa dapat mengulang-ulang videonya supaya lebih paham tentang materi yang

disampaikan.Kemudian ketika pertemuan dikelas guru bisa merefleksi apakah ada bagian

yang tidak dimengerti dan dapat memberikan soal-soal yang levelnya lebih tinggi.Melalui

pembelajaran menggunakan video ini diharpakan hasil belajar matematika lebih optimal.

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahannya di rumuskan apakah pembelajaran

matematika menggunakan video lebih optimal?Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk

mengkaji secara teoritis optimalisasi penggunaan video dalam pembelajaran

matematika.Manfaat yang diharapkan dari artikel ini adalah memberikan pemahaman kepada

guru dalam hal penggunaan video dalam pembelajaran matematika.

2. Pembahasan

2.1 Pengertian Media Video

Media merpukan suatu bentuk ataupun saluran yang digunakan untuk mempermudah

tercapinya suatu tujuan. Kata media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari

kata “medium”. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti "perantara" atau "pengantar",

yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia media adalah alat, sarana komnuikasi.

Hamidjojo dan Latuheru (Azhar Arsyad, 2011: 4) mengemukakan bahwa media sebagai

bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide,

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 227

gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai

pada penerima yang dituju. Berdasarkan beberapa pengertian tenatng media diatas dapat

disimpulkan bahwa media adalah suatu alat sarana untuk menyambung, menyalurkan atau

menyampaikan sebuah pesan atau informasi.

Video menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bagian yang memancarkan gambar

pada pesawat televisi atau rekaman gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan

lewat pesawat televisi.Video berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya

melihat (mempunyai daya penglihatan) dapat melihat (K.Prent, 1969: 926). Azhar Arsyad

(2011 : 49) menyatakan bahwa video merupakan gambar-gambar dalam frame, di mana

frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar

terlihat gambar hidup. Jadi pada kesimpulannya video merupakan rekaman gambar hidup

yang tervisualisasikan melalui sebuah alat elektronik.

2.2 Karakteristik Video dalam Pembelajaran

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebuah video dapat digunakan

sebagai media pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar

siswa.Menggunakan video juga dapat menjadi daya tarik seorang guru agar dapat

memotivasi siswa supaya lebih antusias dalam belajar.Menurut Riyana (2007:8-11) untuk

menghasilkan video pembelajaran yang mampu meningkatkan motivasi dan efektivitas

penggunanya maka pengembangan video pembelajaran harus memperhatikan karakteristik

dan kriterianya. Karakteristik video pembelajaran yaitu:

a. Clarity of Massage (kejalasan pesan)

Dengan media video siswa dapat memahami pesan pembelajaran secara lebih bermakna dan

informasi dapat diterima secara utuh sehingga dengan sendirinya informasi akan tersimpan

dalam memori jangka panjang dan bersifat retensi.

b. Stand Alone (berdiri sendiri).

Video yang dikembangkan tidak bergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan

bersama-sama dengan bahan ajar lain.

c. User Friendly (bersahabat/akrab dengan pemakainya).

Media video menggunakan bahasa yang sedehana, mudah dimengerti, dan menggunakan

bahasa yang umum.Paparan informasi yang tampil.bersifat membantu dan bersahabat dengan

pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan

keinginan.

d. Representasi Isi

Materi harus benar-benar representatif, misalnya materi simulasi atau demonstrasi.Pada

dasarnya materi pelajaran baik sosial maupun sain dapat dibuat menjadi media video.

e. Visualisasi dengan media

Materi dikemas secara multimedia terdapat didalamnya teks, animasi, sound, dan video

sesuai tuntutan materi.Materi-materi yang digunakan bersifat aplikatif, berproses, sulit

terjangkau berbahaya apabila langsung dipraktikkan, memiliki tingkat keakurasian tinggi.

f. Menggunakan kualitas resolusi yang tinggi

Tampilan berupa grafis media video dibuat dengan teknologi rakayasa digital dengan

resolusi tinggi tetapi support untuk setiap spech system komputer.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

228 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

g. Dapat digunakan secara klasikal atau individual

Video pembelajaran dapat digunakan oleh para siswa secara individual, tidak hanya dalam

setting sekolah, tetapi juga dirumah.Dapat pula digunakan secara klasikal dengan jumlah

siswa maksimal 50 orang bisa dapat dipandu oleh guru atau cukup mendengarkan uraian

narasi dari narator yang telah tersedia dalam program.

Adapun tujuan penggunaan media video dalam pembelajaran menurut Anderson (1987: 104)

yaitu sebagi berikut :

a. Tujuan Kognitif

Dapat mengembangkan kemampuan kognitif yang menyangkut kemampuan mengenal

kembali dan kemampuan memberikan rangsangan berupa gerak dan sensasi.Kemudian

mempertunjukan serangkaian gambar diam tanpa suara sebagaimana media foto dan

film bingkai meskipun kurang ekonomis. Selain itu video digunakan untuk menunjukan

contoh cara bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan khususnya meyangkut

interaksi manusiawi.

b. Tujuan Afektif

Menggunakan efek dan teknik, video dapat menjadi sarana yang sangat baik dalam

mempengaruhi sikap dan emosi

c. Tujuan Psikomotorik

Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan contoh keterampilan yang

menyangkut gerak.Melalui video siswa langsungmendapat umpan balik secara visual

terhadap kemampuan mereka sehingga mampu mencoba keterampilan yang menyakut

gerak.

Setiap memunculkan sebuah inovasi tentunya mesti ada kelebihannya maupun

kekuranganya.Menurut Daryanto (2011: 79), mengemukakan beberapa kelebihan

penggunaan media video, antara lain :

a. Video menambah suatu dimensi baru di dalam pembelajaran, video menyajikan gambar

bergerak kepada siswa disamping suara yang menyertainya.

b. Video dapat menampilkan suatu fenomena yang sulit untuk dilihat secara nyata.

Sedangkan kekurangannya, antara lain :

1) Opposition

Pengambilan yang kurang tepat dapat menyebabkan timbulnya keraguan penonton dalam

menafsirkan gambar yang dilihatnya.

2) Material pendukung

Video membutuhkan alat proyeksi untuk dapat menampilkan gambar yang ada di dalamnya.

3) Budget

Membuat video membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu menurut Anderson (1987: 105) media video memiliki kelebihan,antara lain :

a. Dengan menggunakan video (disertai suara atau tidak), kita dapat menunjukkan kembali

gerakan tertentu.

b. Dengan menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik proses belajar maupun nilai

hiburan dari penyajian itu.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 229

c. Dengan video, informasi dapat disajikan secara serentak pada waktu yang sama di lokasi

(kelas) yang berbeda dan dengan jumlah penonton atau peserta yang tak terbatas dengan

jalan menempatkan monitor di setiap kelas.

d. Dengan video siswa dapat belajar secara mandiri.

Dimana ada keuntungan pasti ada kerugian. Penggunaan video mempunyai keterbatasan

diantaranyasebagai berikut :

a. Biaya produksi video sangat tinggi dan hanya sedikit orang yang mampu

mengerjakannya.

b. Layar monitor yang kecil akan membatasi jumlah penonton, kecuali jaringan monitor

dan sistem proyeksi video diperbanyak.

c. Ketika akan digunakan, peralatan video harus sudah tersedia di tempat penggunaan.

d. Sifat komunikasinya bersifat satu arah dan harus diimbangi dengan pencarian bentuk

umpan balik yang lain.

Berdasarkan paparan diatas bahwa pembelajaran menggunakan media video mempunyai

kelebihan diantaranya sebagai berikut

a. Menarik perhatian siswa

b. Waktu yang digunakan lebih efisien dalam memaksimalkan tujuan pebelajaran.

c. Distribusi video lebih mudah karena banyak yang menggunakan smartphonemelalui

media sosial yang mereka miliki.

d. Sangat bersinergi dengan kondisi saat ini dimana pengguna smartphone di Indonesia

sangatlah banyak karena Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif

smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

e. Siswa dapat belajar mandiri dan dapat berdiskusi dengan teman sekelasnya didalam

ataupun diluar sekolah

f. Video dapat diberikan sebelum pembelajaran dimulai akibatnya siswa dapat belajar

kapanpun dan dimanapun.

g. Menjadi aktif mengerjakan latihan-latihan soal

h. Dapat diulang-ulang sampai beberapakalipun. Artinya ketika siswa tidak mngerti sekali

menonton video siswa tersebut dapat memutar kembali supaya lebih paham akan materi

yang diajarkan oleh guru.

i. Guru dapat membahas soal yang lebih tinggi pemahamanya ketika dikelas

Adapun kelemahanya sebagai berikut :

1. Membutuhkan biaya untuk membeli alat-alat yang digunakan dalam pembuatan video

2. Terlalu sering diberikan video akan mengakibatkan kejenuhan

3. Tidak dapat melihat siswa saat belajar dengan video tersebut apakah sungguh-sungguh

dalam belajanya ataupun tidak.

2.3 Pengunaan Video dalam Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran menggunakan video ini mempunyai beberapa langkah yang harus

dilakukan agar pembelajaran lebih optimal. Adapun langkah-langkah penggunaanya sebagai

berikut :

a. Distribusikan Video

Video di distribusikan tentunya sebelum atau sesuadah pembelajaran dapat dilakukan.Cara

mendistribusikanya yaitu dengan bantuan akun media sosial yang siswa gunakan.Selanjutnya

guru mengupload video yang berisikan materi pembelajaran yang akan dipelajari pada

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

230 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

pertemuan selanjutnya dan beberapa soal latihan untuk dikerjakan siswa. Kemudian

mengecek kehadiran siswa dengan cara mengkomentari video yang didistribusikan.

Gambar 1. Contoh Pendistribusian Video Pembelajaran

Tahap selanjutnya siswa dapat melihat video dan mempelajari materi yang terdapat di video

tersebut dan mengerjakan beberapa soal latihan. Siswa dapat melihat video itu kapanpun,

dimanapun dan berpakalipun video itu diputar. Dengan ini siswa akan lebih memahami

materi karena dapat berualng-ulang dilihat sampai siswa paham materi tersebut.

b. Refleksi dan Pendalaman Materidikelas

Setelah video di distribusikan tahap selanjutnya yaitu refleksi materi yang terdapat di video

didalam kelas. Guru mengecek apakah materi yang terdapat divideo dapat dipahami atau

tidaknya. Setelah video distribusikan ada tiga kemungkinan yaitu siswa paham materi dan

dapat mengerjakan soal, paham materi namun ada beberapa soal tidak dapat diselesaikan dan

ada yang mungkin sama sekali memahami materi yang terdapat dalam video pembelajaran.

Pada tahap ini tugas guru dikelas menguatkan kembali materi supaya siwa lebih memahami

materi pembelajaran.Tugas guru dalam mengajar menjadi lebih ringan karena siswa sudah

memiliki pemahaman saat melihat video yang sebelumya didistrisbusikan. Adapun untuk

siswa yang belum memahami materi guru dapat mengulangi materi untuk menguatkan

pemahaman siswa. Walapun masih ada siswa yang belum paham saat melihat video,

mengajar seperti ini akan lebih baik daripada siswa tidak samasekali belum mengetahui

materi karena sedikitnya siswa sudah membaca materi itu artinya sedikitnya sudah ada

memliki dasar.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 231

Apabila materi sudah tersampaikan dan terkuasai dengan baik guru dapat melakukan

pendalaman materi atau memberikan materi pengayaan dikelas. Pembelajaran menggunakan

video akan dapat mengoptimalkan kegiatan pembelajaran karena materi dapat dibahas

mendalam dan lebih efisien dalam mengejar materi. Setelah pembelajaran dikelas selesai

tahap selanjutnya adala guru membuat lagi video untuk pertemuan selanjutnya.

3. Metode Penulisan

Artikel ini merupakan hasil kajian teori yang di kumpulkan dari beberapa referensi yang

berkaitan dengan karakteristik pembelajaran matematika menggunakan video.Selain itu

artikel ini mengkaji optimasilasi penggunaan video pembelajaran dalam pembelajaran

matematika.

4. Kesimpulan dan Saran

Menurut (Hiebert & Lefevre, 1986) matematika mempunyai dua komponen penting yaitu

pengetahuan konsep yang berisi hubungan atau jaringan ide dan pengetahuan prosedur itu

pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

matematika. Berlandaskan teori tersebut secara konsep dan prosedur dalam matematika

penggunaan video dapat mengoptimalkan pemahaman konsep dan prosedur menyelesaikan

masalah matematika karena siswa dapat mengulang-ulang materi sampai siwa tersebut

memaham materi yang disampaikan. Walapun terdapat siswa yang belum memahami

setelah video di distribusikan guru dapat menguatkan pemahaman siswa pada saat

pembelajaran dikelas.Dapat disimpulkan bahwa penggunaan video dapat membantu siswa

dalam memahami pembelajaran matematika.

Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi perhatian bagi guru untuk memanfaatkan gadget

dan media sosial dalam pembelajaran matematika karena sangat bersinergi dengan kondisi

saat ini dimana pengguna smartphone di Indonesia yang semakin banyak.

Daftar Pustaka

Anderson, R.H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran.Jakarta :

CV Rajawali.

Arsyad, Azhar. (2011). Media Pembelajaran.Jakarta : Rajawali Pers

Daryanto (2011).Media Pembelajaran.Bandung : Nurani Sejahtera

Hiebert, J & Lefevre, P. (1986).Conseptual and Procedural knowledge in Mathematics : An

Introductory Analisis. Hillsdalem NJ. & London: Erlbaum

K.Prent dkk.1969, Kamus Latin-Indonesia. Semarang: Jajaran Kanisius.

Kominfo (2016).Indonesia Raksasa Teknologi Digital Asia. [online]. Tersedia

:https://kominfo.go.id/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-digital-

asia/0/sorotan_media

Riyana, C. 2007. Pedoman Pengembangan Media Video. Jakarta: P3AI UPI.

Sarnapi (2016). Peringkat Pendidikan Indonesia Masih Rendah.[online]. Tersedia

:http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-

indonesia-masih-rendah-372187

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

232 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PENERAPAN METODE CONNECTING ORGANIZING

REFLECTING EXTENDING TERHADAP DISPOSISI

MATEMATIK SISWA SMP

Wahyu Setiawan

STKIP Siliwangi Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya disposisi matematik di tingkat SMP

yang belum tertangani dengan baik.Oleh karena itu, guru harus menentukan metode

pembelajaran yang tepat sehingga dapat mempermudah siswa mengembangkan

disposisi matematiknya.Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan

menerapkan metode CORE.Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen

dengan desain yang digunakan adalah “kelompok kontrol postes”.Sampel dalam

penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP di salah satu SMP di kota Cimahi dengan

satu kelas kelompok eksperimen dan satu kelas kelompok kontrol. kelompok

eksperimen diberi perlakuan pembelajaran metode CORE, dan kelompok kontrol

mendapatkan pembelajaran biasa (konvensional). Setelah dilakukan pembelajaran

pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selama enam kali pertemuan,

dilanjutkan dengan pengumpulan data.Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan

data penelitian ini adalah tes berupa angket untuk mengetahui respon siswa mengenai

metode CORE.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan

metode CORE dapat mencapai disposisi matematik siswa SMP.Pembelajaran

matematika dengan metode CORE menunjukkan respon yang positif terhadap

pembelajaran yang telah dilakukan.Hal ini ditunjukkan melalui angket skala disposisi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pembelajaran matematika dengan metode

CORE dapat dijadikan sebagai alternatif metode pembelajaran yang dapat diterapkan

dalam upaya meningkatkan disposisi matematik..

Kata kunci:Metode CORE, Disposisi Matematik Siswa.

A. Pendahuluan

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagiperkembangan dan

perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsadan negara.Oleh karena itu,

perubahan atau perkembangan pendidikan adalah halyang memang seharusnya terjadi

sejalan dengan perubahan budaya kehidupan.Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan

pada semua tingkat perlu terusmenerusdilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.

Seperti yang dikemukakan Trianto (2010:2) yangmenyatakan bahwa : “Pendidikan yang

mampu mendukung pembangunan di masa mendatangadalah pendidikan yang mampu

mengembangkan potensi peserta didik,sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan

memecahkanproblema kehidupan yang dihadapinya.”

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mendudukiperanan penting dalam

pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari alokasi waktu matapelajaran matematika di sekolah

lebih banyak dibandingkan mata pelajaran lain.Mata pelajaran Matematika perlu diberikan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 233

untuk membekali peserta didik dengankemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,

kreatif, serta kemampuanbekerjasama.Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik

dapat memilikikemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi

untukbertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan

kompetitif.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syaban (2009) menyimpulkan

bahwa saat ini, daya dan disposisi matematik siswa belum tercapai sepenuhnya. Hal ini

terlihat dari temuan yaitu adanya indikasi akan rendahnya disposisi matematik siswa.

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesumawati (2009) menemukan bahwa

dari 297 siswa SMP sebagai sampel penelitiannya diperoleh 58% yang digolongkan

memiliki disposisi matematik yang rendah.Untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman,

koneksi dan disposisi matematik siswa khususnya pada siswa kelas VIII SMPN 4 Cimahi,

perlu untuk dicarikan solusi. Solusinya adalah dengan menggunakan metode pembelajaran

CORE.CORE (Connecting, Organizing, Reflecting and Extending) diterapkan dalam

pembelajaran untuk menghubungkan, mengorganisasikan, menggambarkan dan

menyampaikan pengetahuan yang ada dalam pikiran siswa serta memperluas pengetahuan

mereka dengan melakukan diskusi pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dengan

Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru yang akan

dipelajari dengan pengetahuannya terdahulu. Organizingmembawa siswa untuk dapat

mengorganisasikan pengetahuannya.Kemudian dengan Reflecting, siswa dilatih untuk dapat

menjelaskan kembali informasi yang telah mereka peroleh dan Extending, siswa dapat

memperluas pengetahuan mereka pada saat diskusi berlangsung.

Dalam metodeCORE siswa berdiskusi untuk menghubungkan pengetahuan yang baru

dengan apa yang telah mereka ketahui, mengkonstruksi pengetahuan, meningkatkan

kemampuan berpikir dan membantu memperluas pengetahuan mereka. Sejalan dengan hal

tersebut, Calfee et al., (Jacob, 2005) mengatakan bahwa ada empat hal yang dibahas dalam

pembelajaran dengan metodeCORE yaitu: Pertama, diskusi menentukan koneksi untuk

belajar. Kedua, diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan.Ketiga, diskusi yang baik

dapat meningkatkan berpikir reflektif dan Keempat, diskusi membantu memperluas

pengetahuan siswa. Hal ini, akan menimbulkan motivasi dan pengetahuan yang akan

menghasilkan pemaknaan dan pemahaman dalam pembelajaran. Dengan demikian

pembelajaran dengan metodeCORE ini diduga dapat bermanfaat bagi usaha-usaha perbaikan

proses pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan disposisi matematik siswa

SMP. Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi

dan dirumuskan sebagai berikut: “Apakah disposisi matematik siswa SMP yang

pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa SMP

yang pembelajarannya menggunakan metode biasa.

Disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan

perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan

masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain

dengan indikator yang sebagai berikut :(1) Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar

matematika. (2) Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika. (3)

Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan. (4) Menunjukkan rasa percaya

diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.(5) Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.

(6) Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.Metode pembelajaran CORE

dalam pembelajaran matematika adalah metode pembelajaran yang mencakup empat aspek

kegiatan yaitu connecting, organizing, reflecting, dan extending. Adapun keempat aspek

tersebut adalah :Connecting (C) Merupakan kegiatan mengoneksikan informasi lama dan

informasi baru dan antar konsep. Organizing (O) Merupakan kegiatan mengorganisasikan

ide-ide untuk memahami materi. Reflecting (R) Merupakan kegiatan memikirkan kembali,

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

234 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

mendalami dan menggali informasi yang sudah didapat. Extending (E) Merupakan kegiatan

untuk mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilaksanakan adalah kuasi eksperimen.Penggunaandesain dilakukan

dengan pertimbangan bahwa kelas yang ada telah terbentuksebelumnya sehingga tidak

dilakukan lagi pengelompokan secara acak.Kuasieksperimen adalah metode yang tidak

memungkinkan peneliti melakukanpengontrolan penuh terhadap variabel dan kondisi

eksperimen. Subjekdikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa

adanya(Ruseffendi, 2005). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desain

Kelompok Kontrol Postes (Ruseffendi, 2010:50).Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua)

kelasyang dipilih yaitu kelas pertama dijadikan kelas kontrol ataukelompok kontrol, kelas

kedua dijadikan kelas eksperimen yang diberikanperlakuan yaitu menggunakan

pembelajaran dengan Metode COREdalam kegiatan belajar di kelas, sedangkan kelompok

kontrol tidak diberikanperlakuan. Pemilihan desain ini bertujuan untuk melihat pengaruh

pembelajaranmetode terhadap kelas eksperimen. Adapun desain penelitiannya adalah

sebagaiberikut:

X O

O

O = Postes angket disposisi matematik

X = Perlakuan berupa pembelajaran dengan metodeCORE

= subjek tidak dikelompokan secara acak

Penelitian ini menggunakan instrumenjenis non-tes adalah skala disposisi

matematiksiswa.Skala sikap yang digunakan untuk mengetahui sikap siswa

terhadappembelajaran matematika dengan metodepembelajaran CORE, sikap siswa terhadap

soal-soalkemampuan pemahaman dan koneksi matematik. Pada penelitian ini,skala sikap

disusun dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang terdiri dari 24 butirdengan rincinan 12

butir pernyataan positif dan 12 butir pernyataan negatif. Metode skala sikap yang digunakan

adalah metode skala sikap Likert. Siswadiharapkan dapat memberikan jawaban yang

sesungguhnya, karena skala sikapdiberikan pada siswa kelas eksperimen yang telah

mengalami proses pembelajaran Skala sikap yang digunakan pada penelitian ini, diberikan

pada saat postes. Skala yang dipakai adalah skala Likert dengan pilihan jawaban Sangat

Sering (SS), Sering (Sr), jarang (J), dan Tidak Pernah (TP). Skala sikap ini bertujuan untuk

mengetahui disposisi matematik siswa terhadap proses pembelajaran yang menggunakan

metodeCORE.Skala sikap disposisi matematik yang disusun dalam penelitian ini memuat

enam indikator, yaitu; 1).Rasa percaya diri; 2).fleksibel dalam pembelajaran; 3). Gigih dan

ulet; 4).Rasa ingin tahu yang tinggi; 5). Refleksi terhadap cara berpikir; 6). Menghargai

aplikasi matematika dalam bidang lain dan kehidupan sehari-hari.

Langkah-langkah Pelaksanaan Eksperimen dalam penelitian ini adalah:

a. Kedua kelas diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode CORE pada kelas

eksperimen dan pembelajaran biasa pada kelas kontrol.

b. Memberikan angket disposisi matematik pada siswa di kedua kelas, untuk mengetahui

sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan metode CORE dan pembelajaran

biasa.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 235

c. Mengolah dan menganalisis data yang diperoleh setelah penelitian berakhir.

C. Hasil Penelitian

Untuk mengetahui respon dan sikap siswa terhadap pencapaian kemampuan pemahaman

dan koneksimatematik baik siswa dengan menggunakan metode pembelajaran CORE dan

pembelajaran biasa, peneliti menganalisis skala disposisi yang diberikan terhadap kedua

kelas tersebut untuk melihat perbedaan disposisi matematik antara siswa yang menerima

perlakuan pembelajaran CORE dan pembelajaran biasa.

Angket tersebut diberikan setelah seluruh pembelajaran selesai diajarkan (postes) pada

kedua kelas. Indikator skala disposisi yang di ukur antara lain : a. antusias, b. perhatian yang

serius, c. gigih, d. percaya diri, e.rasa ingin tahu yang tinggi, f. kemampuan berbagi dengan

orang lain. Pernyataan-pernyataan tersebut terdiri atas pernyataan positif dan pernyataan

negatif. Skala yang digunakan yaitu skala likert, yang terdiri atas jawaban Selalu (SL),

Sering (SR), Jarang (J), Tidak Pernah (TP).

Deskripsi statistik untuk disposisi matematik meliputi, rata-rata, standar deviasi, nilai

maksimum dan minimum serta jumlah siswa dapat dilihat pada Tabel. 1.

Tabel. 1

Hasil Tes Skala Likert Disposisi Matematik

Berdasarkan Tabel 1 di atas didapat bahwa perbedaan nilai rata-rata disposisi matematik

kelas eksperimen dan kelas kontrol 9,77, dan juga didapatkan standar deviasi disposisi

matematik kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, hal ini berarti bahwa

nilai kelas kontrol lebih bervariasi dibandingkan kelas eksperimen. Sebelum data diproses

lebih lanjut, distribusi datanya diuji terlebih dahulu kenormalannya dan diperiksa

homogenitas variansinya

.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah skor skala disposisiyang diperoleh dari

kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau

tidak. Di samping itu, uji normalitas dilakukan untuk keperluan analisis data selanjutnya

yaitu menggunakan statistik parametrik atau non-parametrik, dengan bentuk hipotesis

sebagai berikut:

: Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

: Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kelas Jumlah siswa(n)

SD

Eksp 30 74,30 8,80

Kontrol 30 65,23 5,09

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

236 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Karena ukuran sampel masing-masing lebih kecil atau sama dengan 40 maka uji statistik

yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (Ruseffendi, 1993) dengan mengambil taraf

signifikansi (α) sebesar 0,05. Sedangkan untuk kriteria penerimaan hipotesisnya adalah:

Jika P – value < α, maka ditolak

Jika P – value ≥ α, maka diterima

Setelah dianalisis dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh hasil pada Tabel.2 dibawah ini.

Tabel. 2

Uji Normalitas Skala Disposisi Matematik

Kelas dengan Model

Pembelajaran

Statistik N Sig. Interpretasi

CORE 0.210 30 0.002 H0 ditolak

Biasa 0.104 30 0.200 H0 diterima

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa kelas yang menggunakan metode pembelajaran CORE

memiliki signifikansi < 0,05, yang artinya sampel berasal dari populasi yang tidak

terdistribusi normal, sedangkan kelas yang menggunakan metode pembelajaran biasa

memiliki signifikansi > 0,05. Karena data dari salah satu kelas tidak normal, maka dilakukan

uji rata-rata kedua kelas dengan uji non parametrik yaitu Uji Mann - Whitney.

b. Uji Rata-rata Disposisi Matematik

Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan bahwa salah satu kelas mempunyai data yang

tidak berdistribusi normal, selanjutnya akan dilakukan uji non parametrik disposisi

matematik. bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0 : µA= µB (Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode

CORE tidak lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa).

: (Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode

CORE lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa).

Dengan mengambil taraf signifikansi (α) sebesar 0,05, maka kriteria penerimaan hipotesis

adalah: Tolak jika nilai signifikansi α, Terima jika nilai signifikansi α

Setelah dianalisis dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh hasil pada Tabel. 4.11 dibawah

ini

Tabel 4.11

Uji Rata-rata Non Parametrik DisposisiMatematik

Disposisi

Matematis

Interpretasi

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asymp. Sig. (2-tailed

196.000

661.000

-3.762

.000

H0 ditolak

Berdasarkan Tabel 4.11 didapat bahwa sig hitung adalah 0,000 untuk 2 pihak, sehingga nilai

signifikansinya harus dibagi menjadi dua, menjadi Sehingga didapatkan sig

hitung < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak, artinya rata-rata

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 237

disposisi matematik kelas kontrol dan kelas eksperimen terdapat perbedaan. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa disposisi matematik kelas eksperimen lebih baik daripada disposisi

matematik kelas kontrol.

D. Pembahasan

1. Proses Pembelajaran

Pada proses belajar mengajar selama 6 kali pertemuan, langkah-langkah metode

pembelajaran CORE,dirasakan oleh siswa ini merupakan sesuatu yang baru dikenal, karena

selama ini yang dikenal oleh siswa hanyalah metode ekspositori saja. Beberapa siswa

mengalami perubahan kemampuan pemahaman dan koneksi matematika, tetapi beberapa

siswa lainnya masih belum nampak perubahannya.Proses adaptasi yang cukup lama sedikit

menghambat proses belajar. Proses connecting yang seharusnya berlangsung kurang lebih 15

menit, pada kenyataannya berlangsung lebih dari 30 menit, sehingga untuk melanjutkan ke

tahap berikutnya waktu yang tersedia tidak cukup lama untuk melanjutkan ke proses-proses

berikutnya. Tetapi hal itu hanya berlangsung selama dua kali pertemuan, untuk pertemuan

ketiga dan seterusnya proses yang membutuhkan waktu lama hanya ada pada tahap

reflecting dan extending.

Hambatan selanjutnya yang muncul pada metode CORE ini, adalah materi bangun ruang sisi

datar yang cukup padat harus disesuaikan dengan enam kali pertemuan.Untuk itu peneliti

mencoba mengelompokan materi-materi tersebut untuk dibahas pada kelompok yang

berbeda, ada satu kelompok yang membahas luas kubus, kelompok satu lagi membahas

tentang luas balok, hal ini dilakukan supaya seluruh materi bisa dibahas oleh semua siswa.

Ada beberapa siswa yang tidak mengikuti kegiatan ini dengan baik misal ngobrol saat

kelompok lain menerangkan, kurang aktifnya beberapa siswa dalam diskusi dan tidak

terbiasanya mereka melakukan proses presentasi di depan dirasa cukup menghambat proses

belajar mengajar yang menggunakan metode CORE ini.

2. Disposisi Matematik

Respon dan sikap siswa terhadap kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa

dengan menggunakan metode CORE cukup baik, hal ini terlihat dari uji signifikansi

kemampuan disposisi matematik siswa yang kurang dari 0,041, sehingga mengakibatkan

adanya perbedaan kemampuan disposisi matematik siswa antara siswa yang mendapatkan

pembelajaran dengan metode CORE dan pembelajaran biasa.

Walaupun metode pembelajaran CORE lebih baik digunakan pada kelas eksperimen, guru

masih perlu memberikan perhatian, arahan dan bimbingan yang lebih bagi siswa secara

keseluruhan.Siswa terbiasa dengan penjelasan guru untuk penerapan konsep, dan soal-soal

sesuai contoh yang diberikan guru. Sehingga ketika proses tahapan pembelajaran CORE

diterapkan mereka belum bisa mengikuti secara optimal tahapan pembelajaran CORE yang

dilakukan. Kegiatan yang disajikan dalam LKS dan diskusi kelompok pun bagi siswa dengan

kategori rendah masih kurang optimal, karena hanya siswa yang memiliki kemampuan

dengan kategori tinggi dan sedang saja yang bisa mengikuti proses pembelajaran CORE.

Sehingga soal-soal kemampuan pemahaman dan koneksi yang diberikan terhadap siswa

tidak dapat berkembang bagi siswa dengan kemampuan kategori rendah.Berdasarkan hasil

pengamatan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode CORE, didapatkan

adanya peningkatan hasil belajar siswa selama enam kali pertemuan. Peningkatan juga

terlihat pada aktivitas siswa secara kelompok jika dibandingkan dengan aktivitas siswa

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

238 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

secara individual. Hal tersebut membuktikan bahwa siswa cenderung lebih menyukai

pembelajaran matematika yang dilakukan secara kelompok. Karena dengan cara

berkelompok, siswa dapat berdiskusi dan saling bertukar fikiran, ide atau gagasan dengan

teman yang lainnya tentang cara dan strategi penyelesaian masalah dalam mengerjakansoal,

Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diberikan oleh guru.

Dalam proses pembelajaran dengan metodeCORE ini, guru memiliki peranuntuk

memberikan berbagai motivasi kepada siswa agar siswa mau berinteraksi baikdengan guru

maupun dengan teman-temannya, guru senantiasa mendorong supaya siswamau bekerja

secara aktif dan kreatif dalam setiap penyelesaian masalah, kemudianbeberapa anggota

kelompok menyajikan jawaban dengan menjelaskan danmengkomunikasikan alasan serta

bukti dari setiap jawaban yang disampaikan. Adapunkelompok yang lain diarahkan agar

menyimak kelompok yang sedang mempresentasikanjawabannya, kemudian kelompok

tersebut memberikan tanggapan atas jawaban darikelompok lainnya. Berdasarkan hasil

penelitian menunjukkan bahwa sikap siswa pada awalpembelajaran masih kurang begitu

tertarik, dengan menunjukkan sikap kurang responsive terhadap masalah yang dibahas, pada

saat bekerja secara kelompok mereka kurangberusaha mencari tahu pada setiap penyelesaian

jawaban yang diajukan oleh kelompoklain apabila jawaban yang disajikan tidak sesuai

dengan jawaban yang ditampilkanolehkelompoknya. Hal itu jelas menunjukkan bahwa,

respon secara lisan kurang berhasil.Tetapi pada pertemuan selanjutnya mulai terlihat adanya

ketertarikan terhadap materiyang diberikan. Sedangkan hasil penelitian pada pertemuan

terakhir telah menunjukkanadanya sikap yang baik dan responsif dari siswa. Sehingga

pembelajaran dapat dinilaipositif dan mengalami peningkatan.

E. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada keseluruhan tahap penelitian, diperoleh

kesimpulan bahwa:Disposisi Matematik siswa SMP yang mendapatkan metode

pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan metode pembelajaran

biasa

Dari hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, maka dapat disarankan beberapa hal

sebagai berikut:

a. Dalam implementasi metodepembelajaran CORE sebaiknya sejak awal dipersiapkan

sebaik mungkin lembar aktivitas siswa yang sesuai dengan indikator, penggunaan

bahasa, dan efektivitas waktu perlu menjadi pertimbangan yang serius, mengingat pada

pelaksanaannya pembelajaran terkadang tidak sesuai dengan apa yang telah

direncanakan.

b. Sebelum melakukan penelitian lebih baik peneliti mengetahui terlebih dahulu

bagaimana kemampuan awal dari kedua kelas yang akan diteliti. Hal ini sangat penting

untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kemampuan awal dari kelas yang akan diteliti.

c. Untuk materi-materi yang berhubungan dengan prinsip atau materi yang memerlukan

aplikasi matematika, untuk membantu pengenalan konsep awal secara abstrak,

metodepembelajaran CORE bisa dijadikan sebagai metode pembelajaran yang

membantu siswa.

d. Dalam penelitian ini materi yang digunakan adalah materi Bangun Ruang Sisi Datar.

Maka penulis menyarankan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian

yang serupa untuk memilih materi pelajaran yang berbeda dengan kemampuan

matematika dan tingkatan sekolah yang berbeda pula.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 239

Daftar Pustaka

Ansari, Bansu Irianto. (2009). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman Dan

Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi PPS

UPI Bandung:tidak diterbitkan.

Crockcroft, W. (1981).Mathematics Count: Report Into The Teaching of Mathematics in

School under The Chairmanship of W. H. Crockcroft. London, UK: HMSO.

NCTM.(1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

Reston, V.A: Author.

NCTM (2000).Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM.

Rusefendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam

Pengajaran Matematika.Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek

Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi

Ruseffendi, E.T.(2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-

EksaktaLainnya. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangakan

Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan Cara Belajar

Siswa Aktif (CBSA). Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta

Lainnya. Bandung: PT. Tarsito Bandung

Suherman, et al. (2003).Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.JICA FPMIPA

UPI.

Suherman, et al. (2003).Evaluasi Pembelajaran matematika. Bandung: JICA-UPI

Sugiono. (2012), Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumarmo U. (2003).Daya dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana

Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada

Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB, Oktober

2003.(http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=6

2 Jurnal Pendidikan dan budaya).

Syahban,M. 2008. Menggunakan open ended untuk memotivasi berpikir matematika..

Tersedia pada: http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_

Syaban, M. (2009).Menumbuhkembangkan Daya Matematik Siswa. Bandung: UPI Press.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

240 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Trianto.(2010). Metode-Metode Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.

Jakarta: prestasi pustaka.

Wahyudin.Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata

Pelajaran Matematika. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 241

DESAIN PEMBELAJARAN MATERI SISTEM

PERSAMAAN LINEAR TIGA VARIABEL DENGAN

PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH MENENGAH

ATAS

Yuliarti Effendy1)

, Ratu Ilma Indra Putri2)

, Ely Susanti3)

SMA N 1 Tanjung Raja1)

[email protected]

Dosen FKIP, Universitas Sriwijaya2)

[email protected]

Dosen FKIP, Universitas Sriwijaya3)

[email protected]

ABSTRAK

Belajar aljabar bukanlah sekedar menentukan nilai x dan y, tetapi merupakan cara

berpikir dengan mengontruksi sebaik mungkin pemahaman aljabar yang tidak hanya

fokus kepada menghafal prosedur penyelesaian. Penelitian ini bertujuan mendesain

pembelajaran sistem persamaan linear tiga variabel menggunakan pendekatan PMRI

dengan konteks toko sepeda, membantu siswa merepresentasikan sistem persamaan

linear tiga variabel, membuat lintasan belajar (LIT). Sebelum proses pembelajaran

terlebih dahulu mendesain perangkat pembelajaran yaitu berupa HLT (lintasan

belajar), Ice berg, silabus, RPP, LKS. Pembelajaran pemodelan sistem persamaan

linear tiga variabel ini menggunakan empat aktivitas yaitu, mengidentifikasi masalah

nyata, merumuskan model matematika, menentukan penyelesaian dari model

matematika dengan metode eliminasi dan substitusi, menyelesaikan model

matematika dengan metode determinan. Dari hasil pembelajaran menunjukkan bahwa

dengan menggunakan gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga dan sepeda tandem

dan langkah-langkah sistem persamaan linear tiga variabel mudah dipahami dan

dimengerti siswa serta mampu menjelaskan kebermaknaan dari nilai variabel yang

didapat.

Kata kunci: SPLTV, toko sepeda, eliminasi dan substitusi, determinan

1. Pendahuluan

Belajar aljabar bukanlah sekedar menentukan nilai x dan y, tetapi merupakan cara berpikir

dengan mengontruksi sebaik mungkin pemahaman aljabar yang tidak hanya fokus kepada

menghafal prosedur penyelesaian (Husna, Zulkardi, Somakim, 2014). Kemudian

Mengajarkan sistem persamaan linear banyak menemui kendala. Penyelesaian sistem

persamaan linear adalah kesalahan yang sering dibuat siswa dalam menggunakan metode

substitusi dan eliminasi karena ketidakpahaman tahap-tahap penyelesaian (Husna, Zulkardi,

Somakim, 2014). Kemudian juga melalui hasil TIMSS 2007, Jupri & Djivers (2014a)

menyatakan bahwa siswa Indonesia mengalami kesulitan belajar aljabar yang terdiri dari

kesulitan penggunaan operasi aritmatika, pemahaman dalam penyimbolan, pemahaman

ekspresi aljabar, pemahaman tentang tanda penghubung, dan matematisasi.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

242 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Beberapa penelitian sebelumnya telah menyajikan solusi untuk mengajarkan sistem

persamaan linear tiga variabel yaitu, Gharib (2015) menyatakan bahwa sistem persamaan

linear tiga variabel dapat diselesaikan dengan metode Gauss Jordan dan teori

matrik.Selanjutnya Prince & Angelo (2015) menyatakan bahwa untuk membuat sistem

persamaan linear tiga variabel lebih menarik perlu diajarkan salah satu aplikasi dari sistem

persamaan linear yang menyangkut sebuah model matematika alami dari berbagai variasi

aplikasi dunia nyata. Bluman (2004) juga menyatakan bahwa “when you solve an algebra

word problem, you must first be able to translate the conditions of the problem into an

equation involving algebraic expressions”.

Berdasarkan penjelasan di atas, hendaknya siswa diberikan pembelajaran yang bermakna

yaitu, tidak langsung dihadapkan kepada prosedur-prosedur formal (Husna, Zulkardi,

Somakim, 2014). Pemahaman siswa berkenaan dengan penyelesaian aljabar dapat

dikontruksi dengan memberikan permasalahan dan meminta siswa untuk menyelesaikan

permasalahan dengan caranya sendiri terlebih dahulu. Walcott (2011) menggunakan the

cycle shop untuk mengajarkan sistem persamaan linear pada siswa tingkat menengah pada

aktivitas pembelajaran.

Penelitian yang membahas pembelajaran sistem persamaan linear telah dilaksanakan oleh

Ogbuehi (2006), Firiani (2013), Husna, Zulkardi, Somakim (2014), danKhuluq, Zulkardi,

Darmawijoyo (2015). Dengan demikian peneliti akan mengangkat penelitian sistem

persamaan linear tiga variabel dengan konteks toko sepeda di sekolah menengah atas. Pada

toko sepeda tersebut peneliti menyajikan beberapa gambar sepeda roda dua, sepeda roda

tiga, dan sepeda tandem untuk meminta siswa mengamati dan mengidentifikasi unsur-unsur

sistem persamaan linear tiga variabel serta mengontruksi model matematika yang akan

diselesaikan dengan metode gabungan dan determinan matrik pada kurikulum 2013 di kelas

X SMA.

Sepeda-sepeda tersebut dituangkan pada aktivitas-aktivitas pembelajaran yang didesain

sedemikian hingga pada lembar aktivitas siswa menggunakan pendekatan PMRI. Judul dari

penelitian ini adalah “Desain Pembelajaran Materi Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel

dengan Pendekatan PMRI Di Sekolah Menengah Atas”

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, peneliti mengajukan rumusan

masalah sebagai berikut:

Rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah,

1. Bagaimana konteks toko sepeda dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa

merepresentasikan penyelesaian sistem persamaan linear tiga variabel di Sekolah

Menengah Atas?

2. Bagaimana lintasan belajar Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan konteks toko

sepeda pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas?

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan:

1. Membangun pemahaman siswa dari konteks toko sepeda pada Sistem Persamaan Linear

Tiga Variabel dengan pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas,

2. Merancang lintasan belajar Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan konteks toko

sepeda pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 243

2. Kajian Literatur

2.1.Pendekatan PMRI

PMRI mengacu pada konsep fundamental dalam Realistic mathematics Educations (RME).

Dua pandangan yang penting dari fundamental adalah (1) mathematics must be conected to

reality; and (2) mathematics as human activity (dalam Zulkardi, 2010). Ide utama dari

pendekatan matematika realistik adalah peserta dididk harus diberi kesempatan untuk

menemukan kembali (re-invention) ide dan konsep matematika melalui penjelajahan

berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world dengan bimbingan orang dewasa

dan secara bertahap berkembang menuju kepemahaman matematika.

Pada perancangan sistematika intruksional kegiatan pembelajaran ini, guru berpedoman pada

ide pendidikan matematika realistik. Rangkaian kegiatannya yaitu kegiatan pembelajaran

diawali dengan situasi nyata untuk siswa diantaranya pengenalan informasi mengenai toko

sepeda, dan jenis-jenis sepeda.. Tujuan digunakannya situasi kontekstual ini yaitu supaya

siswa mampu membawa pengetahuan informal mereka dari situasi yang diberikan guru. Dari

rangkaian kegiatan tersebut diharapkan mampu menjembatani siswa dari pengetahuan yang

bersifat nyata menuju tahap yang lebih formal dalam penggunaan model dan simbol.

Pada kegiatan tersebut siswa diberi keleluasaan untuk berdiskusi mengenai strategi

pemecahan masalah. Oleh karena itu, Design Research dipilih sebagai jenis penelitian yang

tepat dalam rangka memenuhi tujuan yang akan dicapai guru.

Ada tiga fase yang dilaksanakan dalam design research, yaitu: preliminari design, teaching

eksperiment, dan retrospective analysis.

2.2.Sistem Persamaan Linear

Persamaan linear adalah bentuk kalimat terbuka yang memuat variabel dengan derajat

tertinggi adalah satu. Sedangkan sistem persamaan linear adalah beberapa persamaan linear

yang mempunyai hubungan satu sama lainnya dalam nilai-nilai variabelnya. Anton (1991)

menyatakan bahwa sistem persamaan linear adalah sebuah himpunan berhingga dari

persamaan-persamaan linear dalam peubah .

Bentuk umum persamaan linear adalah

dengan

Dengan

dinamakan koefisien

dinamakan peubah

b dinamakan suku konstan

Perhatikan bahwa pangkat dari peubah hanya satu, tidak ada perkalian antar peubah dan

peubah tidak muncul sebagai argumen untuk fungsi trigonometrik, fungsi logaritmik, atau

untuk fungsi ekponensial (Anton, 1991). Penyelesaian sistem persamaan linear adalah

sehimpunan bilangan terurut yang jika disubstitusikan kedalam persamaan linear akan

menjadi valid.

Sistem persamaan linear (SPL) adalah sehimpunan persamaan linear yang menjadi satu

kesatuan, antar persamaan linear saling terikat.

Bentuk umum sistem persamaan linear (disingkatSPL) yang terdiri dari m persamaan dan n

variable x1,x2,…,xn dapat ditulis sebagai:

a11 x1+ a12x2+…+a1nxn=b1

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

244 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

a21x1+ a22x2+…+a2nxn=b2

:

am1x1+ am2x2+…+amnxn=bm,

Sistem persamaan linear diatas mempunyai n peubah dan m persamaan.

Metode dasar untuk memecahkan sebuah sistem persamaan-persamaan linear adalah untuk

mengganti sistem yang diberikan dengan sebuah sistem baru yang mempunyai himpunan

pemecahan yang sama, tetapi lebih mudah untuk memecahkannya. Sistem tersebut bisa

diselesaikan menggunakan matriks.

Cara menyelesaikan SPLTV dengan cara determinan yaitu sebagai berikut: Sistem

persamaan :

r iz hy gx

q fz ey dx

p cz by ax

diubah menjadi bentuk susunan bilangan sebagai berikut dan diberi notasi : D, Dx, Dy, dan

Dz.

D =

ihg

fed

cba

Dx =

ihr

feq

cbp

Dy =

irg

fqd

cpa

Dz =

rhg

qed

pba

x = D

Dx y =

D

D y z =

D

Dz

1) Determinan cara sarrus

- - -

D =

ihg

fed

cba

hg

ed

ba

= aei + bfg + cdh – gec – hfa – idb

2) Determinan cara cramer

D =

ihg

fed

cba

= aih

fe - b

ig

fd + c

hg

ed

= a(ei-fh) – b(di-fg) + c(dh-eg)

= aie – afh – bdi + bfg + cdh – ceg

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 245

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan desain riset (design

research). Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah guru dan 30 siswa kelas X IIS

3 SMA N 1 Tanjung Raja, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia. Penelitian

dilaksanakan pada semseter ganjil tahun akademik 2016/2017. Berdasarkan metode dan

tahapan penelitian yang telah dijelaskan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini untuk setiap tahap akan diuraikan sebagai berikut:

1. Preliminary Design

a. Observasi Kelas

b. Wawancara dengan Guru

2. Penelitian Pendahuluan (Pilot Experiment)

a. Tes

b. Observasi

c. Wawancara

d. Dokumentasi

3. Teaching Experiment

Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan untuk membandingkan aktivitas siswa selama

proses teaching experiment dan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary design

(desain pendahuluan).

4. Pembahasan Penelitian ini menghasilkan desain pembelajaran materi sistem persamaan linier tiga variable

dengan menggunakan konteks toko sepeda. Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil dari

penelitian. Dimana pada saat penelitian ini dilakukan melewati beberapa tahap, tahapan

pertama dalam penelitian ini adalah desain pendahuluan (preliminary design), tahapan kedua

yaitu percobaan pembelajaran (the design exsperiment), dan tahapan ketiga yaitu analisis

retrospektif (retrospective analysis).

Tahap Premilinary Design

Pada tahap pendahuluan (premliminary design)kegiatan yang dilakukan oleh peneliti terdiri

atas:

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

246 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

a. Kajian Literatur

Peneliti mengkaji literatur tentang materi sistem persamaan linier tiga variabel, pendekatan

PMRI, dan design research yang digunakan sebagai metode penelitian. Selain itu, peneliti

juga mengobservasi siswa untuk melaksanakan pilot experiment dan bekerjasama dengan

guru matematika yang akan dijadikan model sehingga didapatkan enam orang siswa dengan

masing-masing dua siswa berkemampuan rendah, dua siswa berkemampuan sedang dan dua

siswa berkemampuan tinggi.

Sebelum pilot experiment, peneliti juga mengumpulkan data untuk subjek penelitian

sehingga didapatkan satu kelas untuk teaching experiment. Adapun data yang dikumpulkan

berupa jadwal pelajaran dan diskusi bersama guru model.

b. Pendesainan HLT

Di dalam HLT terdapat tujuan pembelajaran bagi siswa, aktivitas terencana, dan dugaan

berkembang pada siswa selama aktivitas proses pembelajaran berlangsung. Selain HLT

sebagai panduan dalam menjawab pertanyaan penelitian pada tahap retrospective analysis,

peneliti juga merancang perangkat pembelajaran berupa pre-test dan post-test, lembar

aktivitas siswa (LAS), RPP, dan petunjuk guru.

Selanjutnya HLT didesain menjadi empat aktivitas yakni 1) Menyusun konsep system

persamaan linier tiga variable, 2) Menemukan syarat sistem persamaan linier tiga variable.

3) Menyelesaikan masalah kontextual sistem persamaan linier tiga variable dengan

menggunakan metode eliminasi dan substitusi, 4) Menyelesaikan masalah kontextual system

persamaan linier tiga variable dengan menggunakan metode determinan. Keempat aktivitas

tersebut menggunakan konteks toko sepeda. Setiap aktivitas diuraikan pengetahuan awal

siswa, tujuan yang ingin dicapai, deskripsi aktivitas, dan konjektur berfikir siswa yang

kesemuanya agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi sistem

persamaan linier tiga variabel.

Proses Pembelajaran

1. Aktivitas pertama

Pada aktifitas ini siswa secara berkelompok diberikan LAS 1 yang berisi masalah awal

dengan konteks gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga dan sepeda tandem. Siswa

diminta untuk mengidentifikasi jumlah komponen-komponen penyusun sepeda tersebut.

Gambar 1. Macam-macam Sepeda

Gambar 2. Jawaban siswa Aktivitas 1

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 247

Gambar tersebut merupakan jawaban siswa pada aktivitas 1. Siswa mengidentifikasi gambar

dan menjawab pertanyaan

2. Aktivitas kedua

Pada aktifitas ini siswa diminta untuk merumuskan model matematika dari jumlah

komponen-komponen tiap gambar yang tersedia. Siswa menentukan sendiri variabel apa

yang dipakai.

Gambar 3. Soal aktivitas 2

Gambar 3. Jawaban siswa aktivitas 2

3. Aktivitas ketiga

Pada aktifitas ini siswa berdiskusi dalam kelompoknya menentukan penyelesaian yang akan

digunakan untuk mendapatkan nilai dari variabel yang belum diketahui dengan metode

eliminasi dan substitusi.

Gambar 5. Jawaban siswa aktivitas 3

Pada gambar di atas siswa mengalami kesulitan membuat model matematika, setelah

mendapat pengarahan guru siswa mengerti dan bisa membuat model matematika dan

menyelesaikannya dengan metode eliminasi dan substitusi.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

248 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

4. Aktivitas keempat

Pada aktivitas ini, siswa menyelesaikan model sistem persamaan linear tiga variabel

dengan metode determinan matrik. Dengan penyelesaian tersebut siswa mengetahui

jumlah sepeda yang tersedia di toko.

Gambar 6. Jawaban siswa aktivitas 4

Pada Gambar 6. Di atas merupakan jawaban siswa menyelesaikan sistem persamaan linear

tiga variabel menggunakan metode determinan.

5. Kesimpulan

Dengan menggunakan pendekatan PMRI dan metode Design Research pembelajaran sistem

persamaan linear tiga variabel dengan konteks toko sepeda yang terdiri dari sepeda roda dua,

sepeda roda tiga, dan sepeda tandem diasumsikan pembelajaran yang menarik. Sebelum

proses pembelajaran terlebih dahulu mendesain perangkat pembelajaran yaitu berupa HLT

(lintasan belajar), Ice berg, silabus, RPP, LKS. Dari hasil pembelajaran menunjukkan bahwa

dengan tahap-tahap pemodelan matematika pembelajaran sistem persamaan linear tiga

variabel lebih bermakna dan dapat diaplikasikan pada masalah kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Akker, J. V., Gravemeijer, K., McKenney, S., &Nieveen, N. (2006).Educational Design

Research. London: Routledge.

Anton, H. (1991). Aljabar Linear Elementer. Jakarta: Erlangga.

Ayyers, Schmidt. (2004). Matematika Universitas Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga

Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer

Tools. Amersfoort: Wilco Press.

Bluman, A. G. (2004). Math Word Problems Demystified. USA: McGrow-Hill Professional

Publishing.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 249

Burrill, J. (1999). Teaching Algebra Concepts in The Early Grades. Journal Fruedenthal

Institute.

Fatoni, Putri, Hartono. (2014). Desain Pembelajaran Konsep Pengukuran Panjang

Menggunakan Permainan Tradisional Batok Kelapa di Kelas II Sekolah Dasar. Tesis

PPS Pendidikan Matematika: UNSRI.

Freudenthal. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht, the

Netherlands: Kluwer Academic Publisers.

Gharib et al. (2015). System of Linear Equations, Guassian Elimination. Journal of computer

science and technology. Vol:15. ISSN: 0975-4350.

Gravemeijer, K. & Cobb, P. (2006). Design research from the learning design perspective.

Educational Design Research (pp. 17-51). London:Routledge.

Husna, Zulkardi, Somakim. (2014). Desain Pembelajaran Materi Sistem Persamaan Linear

Dua Variabel Menggunakan Pendekatan Ilmiah di Kelas VIII SMP. Tesis PPS

Pendidikan Matematika: UNSRI.

Imrona. (2009). Aljabar Linear Dasar. Jakarta: Erlangga.

Kalman, D. (2004). Elementary Math Models: College Algebra Topics and a Liberals Arts

Apporoach. Article Ideas and Project That Work Par:t 1

Kaino, L.M. (2005). Teaching Linear Equations using matematica at senior secondary high

school. Journal faculty of educations university Bostwana.

Kaur, B. (1997). Difficulties With Problem Solving In Mathematics. Journal The

Mathematics Educator Vol.2, No. 1: 93-112.

Kemdikbud.(2011). Survei International PISA. Diaksesdari

http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa pada 19

November 2015

Kemdikbud (2012).Bahan Uji Publik Kurikulum 2012. Diaksesdari

http://118.98.166.62/application/media/file/Laman%202012/Bahan%20Uji%20Publi

k%20Kurikulum%202013.pdf pada 6 November 2015

Kemdikbud. (2013). Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah

Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta.

Khuluq, M., Zulkardi, Darmawijoyo. (2015). Develoving Stunetds‟ Understanding of Linear

Equation with One Variable Trough Balancing Activities. Tesis PPS Pendidikan

Matematika: UNSRI.

Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview. Journal The Ohio

State University Vol. 41, No.4.

Mursita. D. (2010). Aljabar Linear. Bandung: Rekayasa Sains.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

250 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Prince & Angulo. (2015). Aplication OF Linear Equations And Gauss Jordan Eliminations

To Environmental Science In Class Room Setting. Journal of Sop Transactions on

Apllied Mathematics. Vol: 2. ISSN: 2373-8480.

Sutojo, et al. (2010). Teori dan Aplikasi Aljabar Linear dan Matriks. Yogyakarta: CV Andi

Offset.

Xin, Y. (2012). Conceptual Model Based Problem Solving. Netherlands: Sense publisher

Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic Mathematics Education

For Indonesian Student Teachers. Doctoral Thesis of Twente University. Enschede:

Twente University.

Zulkardi & Putri. (2006). Mendesain Sendiri Soal Kontekstual Matematika. Prosiding

KNMI3. Semarang: Indonesia.

Zulkardi & Putri (2010). Pengembangan Blog Support Untuk Membantu Siswa dan Guru

Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).

Tersedia online:

http://eprint.unsri.ac.id/540/1/Prof.Dr.Zulkardi_Dr.Ratuilma_di_JIPP-Balitbang.pdf

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 251

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN

MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP

Gida Kadarisma STKIP Siliwangi Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan pemahaman matematika

siswa SMP di Kab. Sumedangi, hal ini berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti

lakukan sebelumnya. Peneliti mengajukan Pendekatan Matematika Realistik sebagai

alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Tujuan Penelitian ini untuk

mengetahui peningkatan pemahman matematika siswa SMP yang pembelajarannya

menggunakan PMR dengan yang menggunakan pembelajaran biasa Sampel dari

penelitian ini adalah dua kelas dari salah satu SMP di Kab. Sumedang yang dipilih

secara acak, kelas pertama mendapatkan pembelajaran dengan PMR sedangkan kelas

kedua sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini berupa soal uraian

sebanyak 7 soal. Hasil dari penelitian ini menunjukan peningkatan pemahaman

matematika siswa yang menggunkan pendekatan matematika realistik lebih baik dari

yang menggunaka pembelajaran biasa.

Kata Kunci:Pemahaman Matematik, Pendekatan Matematika Realistik.

1. PENDAHULUAN

Belajar matematika salah satunya adalah untuk melatih pola berpikir yang deduktif

sebaimana Ruseffendi (2010) menyatakan Hakekat matematika itu bisa berupa studi

deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas manusia. Alasan utama

mengapa matematika dijarkan di sekolah ialah karena kegunaannya untuk berkomunikasi di

antara manusia-manusia itu sendiri (Ruseffendi, 2002).

Menurut Bloom (Armiza, 2007) Pada dasarnya belajar matematika merupakan belajar

konsep. Konsep-konsep pada matematika menjadi kesatuan yang bulat dan

berkesinambungan. Agar dapat memahami suatu konsep siswa harus membentuk konsep

sesuai dengan stimulus yang diterimanya dari lingkungan atau sesuai dengan pengalaman

yang diperoleh semasa hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang harus dilalui oleh siswa

merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dapat menunjang terbentuknya konsep-

konsep tersebut. Dalam pemahaman konsep siswa tidak sebatas hanya mengenal tetapi siswa

harus dapat menghubungkan antara satu konsep dan konsep lainnya .

Pemahaman matematis merupakan landasan penting untuk berfikir dalam menyelesaikan

permasalahan-permasalahan matematika maupun permasalahan-permasalahan dalam

kehidupan sehari-hari. Seseorang yang telah paham tentang suatu permasalahan matematika

akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan tersebut daripada orang yang belum

memahaminya

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

252 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Pemahaman matematik juga dipengaruhi oleh aktivitas matematisasi dalam belajar

matematika. Freudenthal (dalam Panhuizen, 1985) menyebutkan dua jenis matematisasi

yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Matematisasi horisontal menyangkut proses

transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi

vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri.

Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas terdapat empat pendekatan yang

dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik (tidak vertikal dan

tidak horizontal), empiristik (hanya horizontal saja), strukturalistik (hanya vertikal saja) dan

realistik (vertikal dan horizontal).

Di Indonesia Pemahaman matematik siswa tingkat tinggi masih rendah, Kondisi ini secara kasat

mata ditunjukkan oleh hasil survey internasionalThe Third International Mathematicsand Science

Study (TIMSS) bahwa kemampuan siswa SMP kelas dua Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak

rutins angat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur

(Mullis, Martin, Gonzales, Gregory, Garden,O‟Connor, Krostowski, & Smith, 2000)

Rendahnya pemahaman matematik siswa tingkat tinggi tersebut mungkin dikarenakan pendekatan yang

digunakan di Indonesia semula adalah pendekatan mekanistik (konvensional) kemudian matematika modern

dan akhirnya Cara Belajar Siwa Aktif (CBSA). Tetapi terlihat guru-guru seperti kembali kepada metode yang

lama yaitu pengajaran konvensional. Berbeda dengan Belanda yang sebelum menerapkan RME mereka itu

sepenuhnya menganut pendekatan mekanistik.

Pemilihan metode mengajar yang tepat adalah salah satu faktor utama untuk meningkatkan pemahaman dan

kreativitas siswa. Tetapi metode mengajar yang diterapkan itu harus efektif dan efesien. Ruseffendi ( 2006)

mengatakan, metode mengajar dikatakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan kata lain, tujuannya tercapai.

Jadi kelihatannya yang dapat meningkatkan pemahaman matematik dan kreativitas siswa ialah caranya yang

harus menjadi budaya mereka dan guru. Caranya yang bisa seperti itu antara lain adalah pendekatan Pendidikan

Matematika Realistik (PMR).

Pendidikan Matematika Realistik menghubungkan pengetahuan informal matematika yang

diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari dengan konsep formal matematika. Realistik tidak

hanya bermakna keterkaitan dengan fakta atau kenyataan tetapi juga berarti permasalahan

kontekstual yang dipakai harus bermakna bagi siswa. Seperti yang telah diuraikan

sebelumnya bahwa dalam pendekatan realistik terkandung matematis vertikal dan horizontal.

Berdasar hal ini tampak bahwa jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain pembelajaran

matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada

kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal.

Selain itu peneliti sudah melakukan observasi pembelajaran dengan PMRI di MIN Cicendo

dengan pokok bahasan jaring-jaring kubus. Peneliti dapat melihat secara langsung

bagaimana penerapan kontekstual dengan terlebih dahulu guru menghubungkan topik

dengan benda-benda di dalam kelas yang berbentuk kubus dan balok. Bahan ajar yang dibuat

yaitu model kubus dari karton kemudian kontribusi siswa dapat dilihat ketika siswa berkreasi

membentuk jaring-jaring dari kertas persegi warna-warni; berbagai bentuk jaring-jaring

tercipta dari kreativitas mereka. Siswa aktif dan interaktif mengeluarkan pendapatnya. Disini

guru pun dituntut untuk kreatif mengembangkan bahan ajar. Setelah pembelajaran selesai

mereka mengaku lebih memahami jaring-jaring kubus dengan baik.

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 253

Karena itu peneliti ingin memecahkan permasalahan rendahnya pemahaman dan siswa SMP

dengan PendekatanPendidikan Matematika Realistik.

2 Metode Penelitian

2.1 Metode dan Desain Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian

perlakuan, dimana kelas yang pertama memperoleh pembelajaran dengan pendekatan

matematika realistik dan kelas yang kedua memperoleh pembelajaran biasa. Pada awal dan

akhir pembelajaran kedua kelas diberi tes. Sehingga desain penelitiannya adalah sbb :

A O X O

A O O

Dimana

A : Pengambilan sampel secara acak menurut kelas

O : Pre tes = post tes

X : Perlakuan dengan pembelajaran PMR

2.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di Kab. Sumedang, sedangkan sampel

dipilih dua kelas dari sekolah yang dipilih acak (dilotre)

2.3 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah soal uraian (essay) sebanyak 7 soal yang telah diuji

coba terlebih dahulu dan dikonsultasikan kepada ahlinya. Peneliti memilih istrumen berupa

soal uraian agar dapat melihat sejauh mana siswa memahami materi melalui proses yang

terlihat dari jawaban siswa.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1 Hasil Penelitian

Setelah peneliti melakukan eksperimen kepada kedua kelas sebanyak 7 kali pertemuan

termasuk pretes dan postes, berikut statistika deskriptifnya :

Tabel 3.1 Statistika Deskriptif Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen

Kelas Eksperimen Kontrol

SB Min Max n

SB Min Max N

Pretes 41,48 11,58 20 60 27 38,03 13,07 20 65 28

Postes 54,44 15,33 30 80 43,39 16,10 20 80

Gain 0,23 0,16 0,00 0,54 0,09 0,11 0,00 0,44

Dari tabel 3.1 kita dapat menganalisIS pretes eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol

walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kemudian pada tes akhir atau postes rata-

rata kelas eksperimen 54,44 lebih besar daripada kelas kontrol yaitu 43,39, yang menjadi

fokus dalam penelitian ini adalah gain atau peningkatan dari kedua kelas, pada kelas

ekspeimen peningkatan sebesar 0,23 sedangkan pada kelas kontrol 0,09. Uji perbedaan rata-

rata dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan rata-rata peningkatan kedua kelas,

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

254 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

sebelumnya telah diuji normalitas dan homogenitasnya dan didapat kedua data berdistribusi

normal dan homogen. Berikut hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS

Dari Tabel 3.2 dapat dilihat Sig (2-tailed) sebesar 0.001, maka Sig (1-tailed) sebesar 0.0005,

ini lebih kecil dari alpha 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya peningkatan

kemampuan pemahaman matematik siswa SMP yang menggunakan PMR lebih baik dari

yang menggunakan pembelajaran biasa.

3.2 Pembahasan

Penelitian dilakukan untuk melihat peningkatan pembelajaran antara yang menggunakan

PMR dengan yang menggunakan pembelajaran biasa. Pada awal pembelajaran siswa masih

belum bisa beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran yang baru yaitu PMR, namun

setelah beberapa kali pertemuan siswa malah merasa antusias mengikuti pembelajaran,

sayangnya peneliti tidak fokus kepada bagaimana sikap siswa pada saat pembelajaran,

mungkin akan menjadi fokus pada penelitian berikutnya. Pada pembelajaran dengan

pendekatan matematika realistik siswa berfikir dari informal kepada yang formal, sehingga

pengetahuan tidak begitu saja siswa dapatkan melainkan melalui proses berpikir yang

sedimikan rupa yang terjadi pada diri siswa. Peneliti jelas mengutamakan kepada 3 prinsip

dari PMR yaitu, Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan terbimbing

dan matematika progresf). Prinsip ini sesuai dengan konstruktivisme yang menghendaki

bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, guru tidak hanya sekedar transfer ilmu

kepada siswa saja seperti menuangkan air ke gelas kosong dari masalah konstektual yang

diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa

diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan

kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana ketika

konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan.

Prinsip yang kedua yaitu Didactical phennomenology (fenomena didaktik). Prinsip ini terkait

dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam

menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan

metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan.Prinsip yang ketiga

adalah Self development models ( Diri sendiriyang membangun model), dalam prinsip ini,

model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan informal dan formal

matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk menemukan

sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai

Tabel 3.2Uji Perbedaan Dua Rata-rata Peningkatan Pemahaman Matematik

t-test for Equality of Means

95% Confidence

Interval of the

Difference

t Df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Difference

Std.

Error

Differe

nce Lower Upper

Gain Equal variances

assumed

3.572 53 .001 .13516 .03784 .05926 .21106

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 255

konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun

siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah

kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus

menunjukan bahwa sifat bottom up(dari bawah ke atas) mulai terjadi. Dengan adanya model-

model yang dilibatkan dalam pembelajaran siswa akan sampai kepada tahap berpikir formal

4. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan pemahaman matematim

siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik lebih baik

daripada yang menggunakan pembelajaran biasa

Daftar Pustaka

Armiza (2007). Model Siklus Belajar Abduktif Empiris untuk Meningkatkan

Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa SMP pada Materi

Pemantulan Cahaya. Tesis pada PPS UPI. Bandung : tidak diterbitkan.

Mullis, dkk. T.A. (2000).TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: ISC

Ruseffendi E.T. (2002). Dasar-Dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Edisi

5. Bandung : Tarsito.

Ruseffendi E.T.(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung :

Tarsito

Ruseffendi E.T. (2010). Perkembangan Pendidikan Matematika. Jakarta : Universitas

Terbuka.

Van den Heuvel – Panhuizen, M. (1985). Assesment and Realistic Mathematics Education.

Freudenthal Institute. Utrecht University

Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315

256 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi