pengembangan modul masalah matematika ... -...

106
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978 Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 340 Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat PENGEMBANGAN MODUL MASALAH MATEMATIKA BERBOBOT (RICH TASKS) UNTUK GURU MATEMATIKA SMP DI KOTA MATARAM Baiq Rika Ayu Febrilia 1 ; Eliska Juliangkary 2 1,2 Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Mataram e-mail: [email protected] Abstrak: Pengembangan soal-soal/permasalahan non rutin yang bersifat terbuka dan lebih kaya atau yang disebut rich task dalam pembelajaran matematika mampu mendorong siswa untuk berpikir kreatif dan bekerja secara logis. Melalui tugas yang kaya, mereka dapat mengkomunikasikan ide, mensintesis hasil, menganalisis ide-ide, mencari kesamaan dan mengevaluasi temuan. Kurangnya kemampuan guru dalam mengembangkan soal- soal/permasalahan yang lebih berbobot ini membuat siswa lebih sering dalam menghadapi soal- soal yang bersifat tertutup. Penyebabnya adalah karena kurangnya literasi guru mengenai soal- soal rich tasks dan bagaimana mengembangkannya. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan modul matematika berbobot ( rich task) yang valid dan praktis yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan diri dan kualitas pembelajaran siswa. Metode yang digunakan adalah metode penelitian pengembangan dengan desain penelitian pengembangan ADDIE. Instrumen yang digunakan meliputi lembar kevalidan dan kepraktisan modul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul yang dikembangkan valid dan praktis, dimana prosentase hasil validasi dan kepraktisan modul secara berturut-turut sebesar 93.53% dan 88.18%. Kata Kunci: Pengembangan Modul, Masalah Matematika Berbobot (Rich Tasks) PENDAHULUAN Pembelajaran matematika di kelas sebagian besar masih dilaksanakan dengan menggunakan metode konvensional. Biasanya siswa disajikan berbagai macam permasalahan yang bersifat tertutup untuk diselesaikan baik di kelas maupun di rumah. Hal semacam ini akan berdampak kepada timbulnya persepsi yang agak keliru terhadap matematika, di mana matematika dianggap sebagai pengetahuan yang pasti, terurut dan prosedural (Suandito, Darmawijoyo & Purwoko, 2009). Anggapan ini mengakibatkan pembelajaran matematika di mata siswa menjadi sesuatu hal yang menjenuhkan. Mereka hanya akan terpaku pada satu jawaban yang dianggap benar oleh guru. Logika dan kreatifitas siswa kurang berkembang dan mereka merasa bahwa matematika tidak dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu solusi yang bisa diambil guru untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas adalah dengan mengembangkan soal- soal/permasalahan non rutin yang bersifat terbuka dan lebih kaya dalam proses penyelesaiannya, yang disebut rich task. Rich task atau yang sering dikenal dengan permasalahan matematika berbobot yaitu permasalahan matematika yang non rutin (tidak bisa dikerjakan dengan cara yang yang biasa), mangaitkan antar topik matematika atau antar disiplin ilmu (Clarke & Clarke, 2002), biasanya ini diindikasikan dengan adanya berbagai level tingkat kesulitan, berbagai metode serta berbagai jawaban yang berbeda-beda (Mcdonald & Watson, 2010). Karakteristik rich task juga disebutkan oleh Mcdonald & Watson (2010) yang menyatakan bahwa rich task ditandai dengan adanya berbagai level tingkat kesulitan, berbagai metode serta berbagai jawaban yang berbeda- beda. Rich task digunakan untuk menstimulus pemikiran matematis siswa, memberikan siswa tantangan pada tingkat tertentu dan mengakibatkan kontribusi tak terduga dari siswa dengan berbagai kemampuan (Secondary National Strategy, 2007). Gilderdale & Kiddle (2014) merangkum tulisan Piggott (2008) dan mendefinisikan rich task sebagai permasalahan yang: 1) Dapat diakses oleh berbagai siswa, 2) Menarik siswa dengan titik awal yang menarik atau penemuan awal yang menarik, 3) Menantang siswa untuk berpikir sendiri, 4) Menawarkan berbagai tingkat tantangan (dari tingkat yang rendah sampai tingkat tinggi), 5) Memungkinkan siswa untuk mengajukan pertanyaan mereka sendiri, 6) Memungkinkan untuk berbagai metode dan berbagai tanggapan, 7) Menawarkan kesempatan untuk mengidentifikasi

Upload: doduong

Post on 02-Mar-2019

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 340

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENGEMBANGAN MODUL MASALAH MATEMATIKA BERBOBOT (RICH TASKS)

UNTUK GURU MATEMATIKA SMP DI KOTA MATARAM

Baiq Rika Ayu Febrilia1; Eliska Juliangkary

2

1,2 Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Mataram

e-mail: [email protected]

Abstrak: Pengembangan soal-soal/permasalahan non rutin yang bersifat terbuka dan

lebih kaya atau yang disebut rich task dalam pembelajaran matematika mampu mendorong siswa

untuk berpikir kreatif dan bekerja secara logis. Melalui tugas yang kaya, mereka dapat

mengkomunikasikan ide, mensintesis hasil, menganalisis ide-ide, mencari kesamaan dan

mengevaluasi temuan. Kurangnya kemampuan guru dalam mengembangkan soal-

soal/permasalahan yang lebih berbobot ini membuat siswa lebih sering dalam menghadapi soal-

soal yang bersifat tertutup. Penyebabnya adalah karena kurangnya literasi guru mengenai soal -

soal rich tasks dan bagaimana mengembangkannya. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan

modul matematika berbobot (rich task) yang valid dan praktis yang dapat digunakan guru untuk

meningkatkan kemampuan diri dan kualitas pembelajaran siswa. Metode yang digunakan adalah

metode penelitian pengembangan dengan desain penelitian pengembangan ADDIE. Instrumen

yang digunakan meliputi lembar kevalidan dan kepraktisan modul. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa modul yang dikembangkan valid dan praktis, dimana prosentase hasil validasi dan

kepraktisan modul secara berturut-turut sebesar 93.53% dan 88.18%.

Kata Kunci: Pengembangan Modul, Masalah Matematika Berbobot (Rich Tasks)

PENDAHULUAN

Pembelajaran matematika di kelas sebagian besar masih dilaksanakan dengan menggunakan

metode konvensional. Biasanya siswa disajikan berbagai macam permasalahan yang bersifat

tertutup untuk diselesaikan baik di kelas maupun di rumah. Hal semacam ini akan berdampak

kepada timbulnya persepsi yang agak keliru terhadap matematika, di mana matematika dianggap

sebagai pengetahuan yang pasti, terurut dan prosedural (Suandito, Darmawijoyo & Purwoko, 2009).

Anggapan ini mengakibatkan pembelajaran matematika di mata siswa menjadi sesuatu hal yang

menjenuhkan. Mereka hanya akan terpaku pada satu jawaban yang dianggap benar oleh guru.

Logika dan kreatifitas siswa kurang berkembang dan mereka merasa bahwa matematika tidak dapat

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu solusi yang bisa diambil guru untuk dapat

meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas adalah dengan mengembangkan soal-

soal/permasalahan non rutin yang bersifat terbuka dan lebih kaya dalam proses penyelesaiannya,

yang disebut rich task. Rich task atau yang sering dikenal dengan permasalahan matematika

berbobot yaitu permasalahan matematika yang non rutin (tidak bisa dikerjakan dengan cara yang

yang biasa), mangaitkan antar topik matematika atau antar disiplin ilmu (Clarke & Clarke, 2002),

biasanya ini diindikasikan dengan adanya berbagai level tingkat kesulitan, berbagai metode serta

berbagai jawaban yang berbeda-beda (Mcdonald & Watson, 2010). Karakteristik rich task juga

disebutkan oleh Mcdonald & Watson (2010) yang menyatakan bahwa rich task ditandai dengan

adanya berbagai level tingkat kesulitan, berbagai metode serta berbagai jawaban yang berbeda-

beda. Rich task digunakan untuk menstimulus pemikiran matematis siswa, memberikan siswa

tantangan pada tingkat tertentu dan mengakibatkan kontribusi tak terduga dari siswa dengan

berbagai kemampuan (Secondary National Strategy, 2007).

Gilderdale & Kiddle (2014) merangkum tulisan Piggott (2008) dan mendefinisikan rich task

sebagai permasalahan yang: 1) Dapat diakses oleh berbagai siswa, 2) Menarik siswa dengan titik

awal yang menarik atau penemuan awal yang menarik, 3) Menantang siswa untuk berpikir sendiri,

4) Menawarkan berbagai tingkat tantangan (dari tingkat yang rendah sampai tingkat tinggi), 5)

Memungkinkan siswa untuk mengajukan pertanyaan mereka sendiri, 6) Memungkinkan untuk

berbagai metode dan berbagai tanggapan, 7) Menawarkan kesempatan untuk mengidentifikasi

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 341

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

solusi yang lebih efisien, 8) Memberikan potensi untuk memperluas kemampuan siswa atau

memperdalam pemahaman matematika mereka, 9) Mendorong kreativitas dan penerapan

pengetahuan imajinatif, 10) Memiliki potensi untuk mengungkapkan pola atau menyebabkan

generalisasi, 11) Mendorong kolaborasi dan diskusi, dan 12) Mendorong peserta didik untuk

mengembangkan kepercayaan dan kemandirian. Secara lebih khusus Piggott (2008) menyatakan

bahwa rich task mendorong siswa untuk berpikir kreatif, bekerja secara logis, mengkomunikasikan

ide, mensintesis hasil mereka, menganalisis sudut pandang yang berbeda, mencari kesamaan dan

mengevaluasi temuan. Rich task memberi kesempatan pada peserta didik untuk mempertanyakan

dan mengembangkan pemahaman mereka tentang gagasan matematika, dan untuk mendapatkan

kepercayaan diri untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam berbagai konteks, bahkan yang

tidak mereka kenal (Gilderdale & Kiddle, 2014).

Dengan mengembangkan rich task, siswa dimungkinkan untuk dapat menggunakan berbagai

metode dan respon yang berbeda dalam menyelesaikan masalah, memberikan siswa kesempatan

untuk mengidentifikasi solusi yang lebih efisien, memberikan potensi untuk memperluas

kemampuan siswa dan/atau memperdalam dan memperluas pengetahuan konten matematika,

mendorong kreativitas dan penerapan pengetahuan imajinatif, meningkatkan potensi siswa untuk

mengungkapkan pola atau menyebabkan generalisasi atau hasil yang tidak diharapkan,

meningkatkan kemampuan siswa untuk mengungkapkan prinsip-prinsip dasar atau membuat

hubungan antara bidang matematika, mendorong kolaborasi dan diskusi, mendorong siswa untuk

mengembangkan kepercayaan dan kemandirian sekaligus menjadi pemikir kritis. Pada intinya, rich

task mendorong siswa untuk berpikir kreatif, bekerja secara logis, mengkomunikasikan ide,

mensintesis hasil mereka, menganalisis sudut pandang yang berbeda, mencari kesamaan dan

mengevaluasi temuan (Piggott, 2008).

Pengembangan kapasitas guru seperti dalam merancang permasalahan yang lebih kaya

sangatlah penting, karena dengan begitu kualitas proses belajar mengajar di kelas akan menjadi lebih

baik. Pengembangan kapasitas ini dapat dilakukan secara informal maupun formal. Bisa dengan

mengikuti pelatihan pengembangan profesionalitas diri yang diadakan oleh instansi tertentu atau

dengan mengadakan diskusi santai bersama teman sejawat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan

adalah dengan mengaktifkan kegiatan diskusi antar guru matematika pada forum Musyawarah Guru

Mata Pelajaran (MGMP). MGMP merupakan merupakan suatu wadah asosiasi atau perkumpulan

bagi guru mata pelajaran yang berada di suatu sanggar, kabupaten/kota yang berfungsi sebagai

sarana untuk saling berkomunikasi, belajar, dan bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka

meningkatkan kinerja guru sebagai praktisi/pelaku perubahan reorientasi pembelajaran di kelas.

Tujuan Umum MGMP yaitu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam meningkatkan

profesionalisme guru. Sedangkan tujuan khusus MGMP, yaitu: 1) memperluas wawasan dan

pengetahuan guru mata pelajaran dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang efektif dan efisien.

2) mengembangkan kultur kelas yang kondusif sebagai tempat proses pembelajaran yang

menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskan siswa. 3) membangun kerja sama dengan

masyarakat sebagai mitra guru dalam melaksanakan proses pembelajaran (Sutrisno, 2014). Dengan

demikian, MGMP menjadi salah satu wadah untuk guru matematika belajar dan berdiskusi.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa forum MGMP masih belum banyak diberdayakan. Hal

ini diduga karena kurangnya bahan literasi yang digunakan saat kegiatan MGMP berlangsung.

Terlebih literasi mengenai rich tasks. Topik ini menjadi topik asing bagi guru karena kebanyakan

yang selama ini dibahas adalah mengenai strategi dan metode pembelajaran. Berdasarkan hasil

observasi dan wawancara dengan beberapa guru matematika MGMP di Kota Mataram, guru masih

kekurangan bahan untuk merancang pembelajaran/permasalahan matematika yang lebih berbobot.

Hal ini berpengaruh terhadap kurangnya kemampuan guru dalam merancang soal/permasalahan yang

lebih berbobot yang dapat mendorong siswanya dalam mengembangkan kemampuan matematis dan

pengetahuan kontennya.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan modul

matematika berbobot (rich task) yang valid dan praktis yang dapat digunakan guru dalam merancang

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 342

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

aktivitas pengajarannya di kelas. Beberapa bagian yang disajikan yaitu tentang masalah matematika

berbobot, baik itu ciri-ciri masalah matematika berbobot, merancang masalah matematika berbobot

dan membahas mengenai contoh serta membuat soal-soal/permasalahan matematika berbobot untuk

materi matematika SMP. Diharapkan modul ini dapat menjadi salah satu bahan belajar guru

matematika dan membantu guru mengembangkan kualitas mengajar matematika, khususnya guru

dalam mengembangkan rancangan pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran

matematika di kelas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan. Metode penelitian dan

pengembangan (Research and Development) adalah metode penelitian yang digunakan untuk

menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2014).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menghasilkan dan mengembangkan suatu modul

matematika berbobot (rich task), yang dikembangkan dengan menggunakan desain penelitian

pengembangan berdasarkan langkah-langkah penelitian pengembangan ADDIE (Analysis, Design,

Development, Implementation, Evaluation). Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian

bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk menilai produk. Untuk itu,

dikembangkan instrumen yang meliputi: (1) lembar validasi produk (2) lembar evaluasi

modul/lembar kepraktisan modul (3) lembar observasi (4) angket pendapat guru matematika (5)

wawancara guru matematika.Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:

a. Validasi Produk

Prosedur analisis data hasil validasi adalah sebagai berikut: 1) merekap skor setiap

pernyataan dari semua validator, 2) menyeleksi, memfokus dan menyederhanakan semua data yang

diperoleh, 3) menghitung skor total dari masing-masing validator, 4) menjumlah skor total dari

semua validator, 5) menghitung prosentase rata-rata hasil validasi dengan menggunakan rumus

(Sahertian, 2000):

.

b. Kepraktisan modul

Analisis data ini dilakukan setelah memperoleh data dari lembar evaluasi modul untuk guru

matematika di MGMP Matematika Kota Mataram. Prosedur analisisnya yaitu: 1). Tabulasi data

oleh guru matematika di MGMP Matematika Kota Mataram. 2) Menghitung persentase skor yang

diperoleh menggunakan rumus (Arikunto, 2014):

.

c. Angket respon guru

Analisis data ini dilakukan untuk mendeskripsikan respon guru terhadap penggunaan

modul yang telah dikembangkan. Perolehan data dari lembar observasi dianalisa menggunakan

rumus (Adaptasi dari Sukardjo dalam Andrian, 2014):

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menghasilkan modul matematika berbobot (rich task), yang dikembangkan

dengan menggunakan desain penelitian pengembangan berdasarkan langkah-langkah penelitian

pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa proses pengembangan produk. Adapun

deskripsi proses penelitian pengembangan modul matematika berbobot (rich task) sebagai berikut:

(1) Analisis: Peneliti melakukan analisis kebutuhaan dan analisis materi dengan melakukan

wawancara, diskusi serta melakukan observasi terhadap guru-guru MGMP yang ada di Kota

Mataram. Pada tahapan ini, peneliti melakukan analisis mengenai soal rich tasks dan non rich

tasks berdasarkan beberapa sumber.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 343

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 1. Soal Rich Tasks dan Non Rich Tasks

Peneliti kemudian mencoba untuk merancang dua soal rich tasks dan instrumen untuk soal tersebut

kemudian mengujicobakannya di sekolah.

Gambar 2. Desain Soal Rich Tasks

Gambar 2. Desain Soal Rich Tasks

Upaya ini dilakukan untuk memperdalam pemahaman peneliti mengenai soal rich tasks

sebelum peneliti merancang, mengembangkan dan memberikan materi mengenai rich tasks

pada kegiatan MGMP Matematika.Uji coba dilakukan untuk melihat apakah semua indikator

rich tasks muncul saat siswa mengerjakan permasalahan tersebut.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 344

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 3. Uji Coba Rich Tasks

Berdasarkan hasil evaluasi uji coba, ditemukan bahwa dari sepuluh indikator rich tasks, hanya tujuh

indikator yang diyakini muncul selama uji coba berlangsung. Tiga indikator lainnya masih perlu

didiskusikan lebih lanjut karena redaksional kalimat dari ketiga indikator ini masih kurang bisa

dipahami. Hasil ini juga bisa menjadi pertimbangan bagi peneliti untuk memperaiki soal agar dapat

memenuhi semua indikator rich tasks. Hasil uji coba juga menunjukkan bahwa desain soal berhasil

membuat siswa tertarik untuk mau mengerjakannya. Task semacam ini dinilai baru dan di luar dari

kebiasaan yang selama ini mereka lakukan. Dari segi pemahaman siswa, permasalahan ini mampu

mendorong kemampuan siswa dalam mengintegrasikan beberapa jenis bangun datar untuk

memperoleh bangun datar baru dan memparsial suatu jenis bangun datar menjadi beberapa bangun

datar yang sama atau berbeda. Lebih jauh lagi, pemahaman semacam ini dapat dijadikan sebagai

batu loncatan dalam membawa siswa kepada konsep fundamental luas bangun datar.

(2) Perancangan: Pada tahapan ini peneliti melakukan perancangan penulisan dengan

mempersiapkan outline penulisan selanjutnya digunakan sebagai panduan dalam penyusunan

draf modul masalah matematika berbobot (rich task).

(3) Pengembangan: Peneliti melakukan pengembangan modul masalah matematika berbobot (rich

task). Modul ini terdiri atas beberapa bagian, diantaranya ringkasan materi mengenai masalah

matematika berbobot (rich tasks) termasuk hubungannya dengan kemampuan berpikir tingkat

tinggi (HOTS), bahan presentasi (capture power point) yang akan disajikan pada kegiatan

MGMP Matematika dan lampiran-lampiran berupa Lembar Kerja Guru (LKG), lembar refleksi

serta bahan-bahan yang digunakan selama kegiatan MGMP berlangsung.

Gambar 4. Cover dan Daftar Isi Modul MGMP Rich Tasks

Modul yang telah dikembangkan selanjutnya divalidasi oleh dua orang validator. Hasil analisis

validasi modul matematika berbobot (rich task) oleh ahli diperoleh aspek Tampilan sebesar

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 345

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

91,67%, aspek Isi sebesar 95% dan aspek Bahasa sebesar 87,5%. Selanjutnya membuat

kesimpulan kevalidan modul sebesar 93,53%. Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan

kriteria persentase skor rata-rata hasil validasi yaitu 75% ≤ SR ≤ 100 % menyatakan valid

tanpa revisi.

(4) Implementasi: Peneliti melakukan ujicoba produk yaitu modul masalah matematika berbobot

(rich task). Pelatihan tentang Masalah Matematika Berbobot (rich task) untuk Guru Matematika

SMP di MGMP Kota Mataram dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 29 September 2018

berlokasi di MTsN 2 Mataram.

Gambar 5. Kegiatan Implementasi Modul MGMP Rich Tasks

(5) Evaluasi: Pada model pengembangan ADDIE terdapat dua evaluasi yang dilakukan yaitu

evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Pada tahapan ini peneliti melakukan evaluasi formatif.

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kualitas modul matematika berbobot (rich task) ditinjau

dari hasil respon Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram terhadap modul dalam

bentuk angket, lembar evaluasi modul/lembar kepraktisan modul, serta lembar observasi

pelaksanaan ujicoba modul. Hasil respon Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram

terhadap modul dilaksanakan setelah proses uji coba yang dilakukan pada Guru peserta MGMP

Kota Mataram sebagai subjek penelitian yang akan memberikan penilaian melalui angket yang

telah diberikan setelah menggunakan modul Masalah Matematika Berbobot (Rich Task).

Adapun hasil uji coba angket pengembangan modul modul Masalah Matematika Berbobot (Rich

Task). diperoleh aspek karakteristik sebesar 81 %, elemen mutu sebesar 74 %, kebahasaan

sebesar 79 %, dan keaktifan pengguna modul sebesar 86%. Rata-rata hasil pengembangan

modul Masalah Matematika Berbobot (Rich Task) diperoleh persentase sebesar 80 % guru

berpendapat modul ini sangat baik.

Hasil analisis lembar evaluasi modul/lembar kepraktisan modul yang diisi oleh pengguna

modul yaitu Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram setelah ujicoba diperoleh aspek

Tampilan sebesar 87,5% , aspek Isi sebesar 86,4% dan aspek Bahasa sebesar 90,6%.

Selanjutnya membuat kesimpulan kepraktisan modul berada pada 80% ≤ P ≤ 100 % berada

pada kategori sangat baik.

Berikutnya analisis keterlaksanaan kegiatan ujicoba dapat dinilai berdasarkan lembar

observasi. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat

aktivitas fasilitator sebagai pemateri dalam pelatihan menggunakan modul Masalah

Matematika Berbobot (Rich Task). Pada kegiatan ini, peneliti berperan secara langsung sebagai

fasilitator. Berdasarkan lembar observasi fasilitator diperoleh hasil aktivitas fasilitator secara

berturut-turut sebesar 78,57% dan 89,29 % artinya aktivitas fasilitator berjalan sangat baik

sesuai dengan alur Modul Masalah Matematika Berbobot (Rich Task).

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 346

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

KESIMPULAN

Penelitian pengembangan ini berorientasi untuk menghasilkan produk yaitu Modul Masalah

Matematika Berbobot (Rich Task), dengan menggunakan langkah-langkah penelitian

pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Berdasarkan

hasil analisis validasi modul matematika berbobot (rich task) oleh ahli diperoleh untuk aspek

Tampilan sebesar 91,67% , aspek Isi sebesar 95% dan aspek Bahasa sebesar 87,5%. Selanjutnya

membuat kesimpulan kevalidan modul sebesar 93,53%. Kesimpulan analisis data disesuaikan

dengan kriteria persentase skor rata-rata hasil validasi yaitu 75% ≤ SR ≤ 100 % menyatakan valid

tanpa revisi. Hasil analisis lembar evaluasi modul/lembar kepraktisan modul yang diisi oleh

pengguna modul yaitu Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram setelah ujicoba diperoleh

aspek Tampilan sebesar 87,5%, aspek Isi sebesar 86,4% dan aspek Bahasa sebesar 90,6%.

Selanjutnya membuat kesimpulan kepraktisan modul berada pada 80% ≤ P ≤ 100 % berada pada

kategori sangat baik.

Adapun saran yang peneliti sampaikan terkait dengan hasil penelitian ini adalah:

Modul matematika berbobot (rich task) adalah modul yang perlu disiapkan bagi guru yaitu modul

yang menyediakan pengetahuan mengenai pentingnya merancang suatu aktivitas pembelajaran yang

berbobot, bagaimana ciri-cirinya, macam aktivitas yang berbobot dan bagaimana cara merancang

aktivitas berbobot tesebut. Sehingga perlu disiapkkan modul matematika berbobot (rich task) yang

baik.

DAFTAR RUJUKAN

Andrian, J. (2014). Pengembangan Lembar Kerja Siswa Mata Pelajaran Matematika Materi Bentuk

Aljabar Dengan Pendekatan Kontekstual untuk Siswa SMP kelas VIII. Skripsi. [Online],

Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/13206. [11 November 2016].

Arikunto. (2014). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.

Clarke, D & Clake, B. (2002). Using Rich Assessment Tasks in Mathematics to Engage Students and

Inform Teaching. In proceeding of seminar for Upper Secondary Teachers. Stockholm

September 2002.

Gilderdale, C. & Kiddle, A. (2014). What are Rich Tasks?. [Online], Tersedia:

https://nrich.maths.org/11249. [17 Juni 2017]

Mcdonald, S & Watson, A. (2010). What’s in a task? Generating mathematically rich activity,

University of Oxford. [Online], Tersedia:

http://www.nationalstemcentre.org.uk/elibrary/resource/4775/linked-pair-of-gcses-pilot-

suport-materials. [20 Desember 2016].

Piggott, J. (2008). Rich Task and Contexts. [Online], Tersedia: https://nrich.maths.org/5662. [17 Juni

2017].

Sahertian, P. A. (2000). Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Secondary National Strategy. (2007). Mathematics at KeyStage 4: developing your scheme of work.

Department for Education and Skills (DfES).

Suandito, B., Darmawijoyo, D. & Purwoko. (2009). Pengembangan Soal Matematika Non Rutin di

SMA Xaverius 4 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(2), 1-13.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.

Bandung : Alfabeta.

Sutrisno, B. (2014). MGMP: Inovasi Pendidikan. [Online], Tersedia:

http://mgmpkwugunkid.blogspot.co.id/2014/01/manfaat-mgmp-bagi-guru.html. [1 Juni 2017]

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 347

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

ANALISIS CAMPUR KODE PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA

KELAS VII DI SMP NEGERI 5 PRAYA TIMUR KABUPATEN LOMBOK TENGAH

TAHUN PELAJARAN 2018/2019

Arpan Islami Bilal

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Mataram

e-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini merupakan kajian tentang peristiwa campur kode bahasa yang

terdapat dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur

Kabupaten Lombok Tengah yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan faktor penyebab

campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Rancangan penelitian ditujukkan untuk

mendeskripsikan bentuk dan faktor penyebab campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Metode penentuan subjek penelitian dilakukan dengan menetapkan populasi (seluruh siswa kelas

VII SMPN 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah) dan sampel (siswa kelas VII.B yang

berjumlah 34 orang) sebagai informan. Metode pengumpulan data yakni metode obsevasi,

kemudian dilanjutkan dengan metode dokumentasi, dan wawancara. Metode untuk menganalisis

data adalah metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil simpulan:

(1) campur kode yang terdapat dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dalam bentuk pergantian

unsur-unsur berupa kata, kelompok kata, kata ulang, dan pergantian unsur yang berwujud klausa

(2) faktor penyebab terjadinya campur kode secara ekstralinguistik disebabkan (a) kebiasaan guru

dan siswa menggunakan bahasa daerah sehingga kebiasaan tersebut terbawa-bawa dalam kegiatan

pembelajaran, (b) siswa lebih paham apabila guru menggunakan bahasa campuran/daerah ketika

menjelaskan materi pembelajaran, (c) pergantian unsur bahasa tertentu ditujukan untuk

pengormatan dan penghalusan. Adapun faktor penyebab terjadinya campur kode secara

intralinguistik dikarenakan beberapa kosakata tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.

Kata Kunci: Analisis Campur Kode, Bentuk, Faktor Penyebab

PENDAHULUAN

Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan manusia dan tidak perlu diragukan lagi.

Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi bahasa juga dipergunakan

untuk menjalankan aktivitas hidup manusia. Seperti penelitian, penyuluhan, pemberitaan bahkan

untuk menyampaikan pikiran, pandangan, dan perasaan. Bahasa sangat diperlukan karena hanya

dengan bahasa manusia dapat mengkomunikasikan segala hal. Wujud komunikasi dan interaksi

antara sesama manusia yang terhimpun dalam komunitas besar manusia yang disebut masyarakat.

Satu hal mutlak yang dibutuhkan dalam proses komunikasi itu ialah bahasa.

Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa

dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena di dalam

kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai

masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam

bertutur akan selalu dipengaruhi oleh sesuatu dan kondisi disekitarnya (Wijana dan Rohmadi,

2010: 7).

Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran utama bahasa adalah

pelaksanaan fungsinya sebagai alat komunikasi.Satu hal yang tidak dapat dihindari dari

implementasi peran bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat adalah terjadinya kontak

bahasa. Kontak bahasa yang dimaksud adalah bertemunya dua bahasa atau lebih dalam suatu proses

komunikasi sosial.

Kontak bahasa baik yang bersifat individual (bilingual) maupun sosial (diglosia)

menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi, integrasi, pidgin, kreol,

alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa.Jadi kontak bahasa merupakan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 348

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

kondisi sosiolinguistik yang memungkinkan terjadinya tindakan spontan seorang penutur

untuk mengganti kode bahasa yang sedang digunakan dalam suatu proses komunikasi

(Wijana dan Rohmadi, 2010: 6).

Penggantian kode bahasa tersebut dapat terjadi secara keseluruhan, memasukkan unsur bahasa

lain dalam bahasa yang sedang digunakan atau pergantian variasi sebuah bahasa. Hal ini di

latarbelakangi oleh suatu alasan tertentu yang memungkinkan suatu komunikasi dapat dipahami

oleh lawan tutur. Saat berinteraksi antara manusia dengan manusia lainnya, pada keadaan tertentu

akan didapati manusia yang mampu berbicara lebih dari satu bahasa, disebut dengan istilah

bilingual atau bahkan ada manusia yang multilingual.

Berkaitan dengan pemilihan bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajar,

khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok

Tengah. Guru dalam hal ini cenderung berdwibahasa (bilingualism) dalam menyampaikan materi

pelajaran. Dengan kata lain, guru bercampur kode (code mixing) dari bahasa Indonesia ke bahasa

daerah yang dikuasai sebagian besar siswanya. Maka upaya guru dalam mengatasi kesulitan-

kesulitan tersebut guru cenderung berdwibahasa (bilingualism) dalam menyampaikan materi

pelajaran. Dengan kata lain, guru mencampurkan kedua bahasa tersebut yaitu bahasa Indonesia ke

bahasa daerah yang dikuasai sebagian besar siswanya. Oleh karena itu, campur kode tidak dapat

dihindari. Adapun alasan pemilihan pada pembelajaran bahasa Indonesia karena peneliti

menganggap guru dalam interaksi belajar mengajar di kelas harus menggunakan bahasa Indonesia

yang baik dan benar. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap

penggunaan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5

Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut.

1. Bagaimanakah bentuk campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di

SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019?

2. Faktor apakah yang menyebabkan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa

kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran

2018/2019?

TUJUAN PENELITIAN

Setiap melakukan kegiatan penelitian tentu mempunyai tujuan,demikian pula halnya dengan

penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mendeskripsikan bentuk campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di

SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019.

2. Mendeskripsikan faktor penyebab campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa

kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran

2018/2019.

LANDASAN TEORI

Campur Kode

a. Pengertian campur kode

Campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah

bahasa dari suatu masyarakat tutur. Kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa

memiliki fungsi otonomi masing-masing yang dilakukan dengan sadar. Sedangkan campur

kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan

keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah

berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotomian sebagai sebuah kode

(Chaer dan Agustina, 2010:114).

Campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal

ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan

tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud (Rahman, 2013: 20). Jadi

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 349

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa

dalam suatu kehendak bahasa. Tanpa adanya situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran

bahasa itu hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya yang dituruti.

b. Bentuk campur kode

Campur kode memiliki berbagai bentuk/wujud. Campur kode yang berwujud kata, kata

ulang, kelompok kata, idiom maupun berwujud klausa. Mengacu dari teori, maka akan

diuraikan peristiwa campur kode dalam Rubrik Wacana Solo Ngudarasa Solopos (RWSNS)

berdasarkan wujud campur kodenya.

1. Campur kode berwujud kata.

Campur kode yang terjadi dalam RWSNS memiliki berbagai bentuk/wujud yang

bermacam-macam.Salah satunya adalah campur kode yang bewujud kata.Sebagai contoh

perhatikan tuturan kalimat berikut ini.

(a) Soal nasib Naker nganggur akibat kerusuhan “Semoga Pemda turun tangan” Agus, 30,

warga Banjarsari.

Tuturan kalimat (a) mengalami peristiwa campur kode yang berwujud kata. Kata

nganggur yang diucapkan oleh warga Banjarsari yang ingin mengungkapkan pendapatnya

tentang nasib pengangguran khususnya di kota Solo.

(b) “Tega banget yang bikin susah kayak begini, otomatis pengangguran bertambah banyak,

habis kalau kantor rusak yah terpaksa di rumah saja.” (RWSNS/20 Mei 1998/046)

Peristiwa campur kode dalam kalimat (b) berwujud kata yaitu banget (terlalu), bikin

(membuat), dan yah (ya). Penulis dalam kalimat (b) bercampur kode seperti itu dengan

tujuan untuk mengekspresikan perasaannya kepada pembaca tentang nasib pengangguran

akibat kerusuhan yang dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

(c) “Idealnya memang pemilihan ketua SM UNS harus diulang, tetapi saya kira di sini itu

impossible dilakukan’. (RWSNS/20 Mei 1998/003)

Peristiwa campur kode dalam kalimat (c) berwujud kata yang bersumber dari bahasa

asing, yaitu bahasa Inggris. Pemilihan unsur bahasa Inggris impossible dengan tujukan

kepada mahasiswa UNS yang dianggap memiliki pengetahuan bahasa Inggris yang cukup

sehingga mereka akan mengerti maksud yang disampaikan penulis (Wijana dan Rohmadi,

2010:172-173).

METODE PENELITIAN

1. Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif berusaha

mendeskripkan bentuk dan faktor penyebab terjadinya campur kode dalam pembelajaran

bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah

tahun pelajaran 2018/2019.

2. Metode Penentuan Subjek Penelitian

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 5 Praya

Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019

b. Sampel

Sampel adalah sebagian wakil dari populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2006: 104),

Furchan mengatakan karena tujuan penarikan sampel dan populasi itu adalah untuk

memperoleh informasi mengenai populasi, maka penting sekali diusahakan agar individu-

individu yang dimaksudkan dalam sampel itu merupakan contoh refresentatif, yang benar-

benar mewakili semua individu yang ada didalam populasi (dalam Rahman, 2013: 47).

3. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif kualitatif.

Metode deskriptif kualitatif dapat diartikan sebagai cara menganalisis data yang berupa kutipan

data dan penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci Moeleong (2007: 11).

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 350

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Campur Kode Berwujud Kata

Pertama kata ndek artinya “tidak” pada tuturan guru: “Kamu ndek dengar kata ibu tadi.

Kedua Kata ndak dan bale artinya “Tidak” dan “Rumah” pada tuturan siswa: “Ndak ada bu

guru di bale saja”. Ketiga Kata mauq artinya “dapat” pada tuturan guru: “Nilai rapot kalian

kemarin siapa saja yang dapat nilai A? Ovi berapa kamu mauq nilai bahasa Indonesia?”

2. Campur kode berwujud kelompok kata

Kelompok kata alhamdulillah artinya “Segala puji bagi Allah” pada kalimat guru: “Syukur

alhamdulillah kalau sehat semuanya. Bagaimana liburannya kemarin, kalian ke mana saja?”

KESIMPULAN

Berdasarkan data dan pembahasan dalam analisis, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1) Bentuk campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5

Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019 yaitu bentuk campur kode

yang berwujud kata, kelompok kata, kata ulang, dan klausa. Adapun bentuk campur kode yang

mendominasi ialah bentuk campur kode yang berwujud kata.

2) Faktor penyebab terjadinya campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII

di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019

disebabkan oleh 2 faktor yakni faKtor ekstralingustik dan intralinguistik, merupakan gejala

campur kode yang berkaitan dengan kode-kode estetik atau etika perilaku penutur yang

dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di luar penutur tersebut. Faktor ekstralinguistik dipengaruhi

oleh hal-hal di luar kebahasaan yaitu penutur itu sendiri, adapun faktor intralinguistik yang

mempengaruhi campur kode yang dilatarbelakangi oleh kompetensi atau kemampuan berbahasa

yang dimiliki penutur sehingga memungkinkan ia melakukan campur kode. Pertama karena

penutur itu sendiri dalam hal ini guru dengan sengaja melakukan campur kode dalam

pembelajaran guna untuk menjelasakan kepada siswa tentang apa yang disampaikan, kedua

karena kebiasaan lingkungan sekitar yang sering menggunakan bahasa daerah maupun bahasa

Arab dan Inggris yang sangat sulit diubah.

SARAN

Berdasarkan pembahasan dan simpulan hasil penelitian, dapat disarankan pada guru-guru,

terutama guru bahasa Indonesia, hendaknya mengembangkan kebiasaan menggunakan bahasa

Indonesia secara lebih tertib dalam mengelola proses belajar mengajar. Oleh karena itu, dalam

proses belajar mengajar, guru hendaknya meminimalkan (mengurangi) penggunaan campur kode

dalam pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Anwar. 2006. Bentuk Peristiwa Campur Kode Pemaikan Bahasa Indonesia Pengajian Tuan Guru

Bajang (KH.M. Zainul Majdi, M.A). Mataram: Fakultas Bahasa Dan Sastra Universitas

Mataram.

Aprilia, V. 2009. Analisis Alih Kode Dalam Lirik Lagu Baby Don’t Cry Oleh Namie Amuro.

Mataram: Fakultas Bahasa Dan Sastra Universitas Mataram.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

_______, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi. Revisi, Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Chaer, A. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, A. Dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gulo. W. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia

Hadi.A. 1998. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Idrus. 2009. Campur Kode Dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Di Lingkungan Telaga Mas

Ampenan Utara. Mataram: Fakultas Bahasa Dan Sastra SSUniversitas Mataram.

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: ROSDA.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 351

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Keraf, G. 2004. Komposisi. Flores, NTT: Penerbit Nusa Indah.

Khoiri, I. 2007. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Pemahaman. Yogyakarta: Fajar Pustaka.

Maulidini, R. 2007. Campur Kode Sebagai Strategi Komunikasi Customer Service: Study Kasus

Nokia Care Center Bima Sakti Semarang (Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas

Diponegoro Diambil Tanggal 1 April 2014

Moeleong, L. J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik

Indonesia. 2009. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan: Dan

Uraian Sederhana Tentang Gaya Bahasa Dan Majas. Yogyakarta: Indonesia Tera.

Rahman, H. 2013. Analisis Tindak Bahasa Campur Kode Di Pasar Labuhan Sumbawa Pendekatan

Sosiolinguistik. Sumbawa: Fakultas Bahasa Dan Sastra Diambil 25 Agustus 2014

Rohmani, S. 2012. Analisis Alih Kode Dan Campur Kode Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad

Fuadi. PBS FKIP UNS Diambil Tanggal 1 April 2014 (Lib.Uns.Ac.Id).

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D.

Bandung: CV Alphabet.

Tim Penyusun Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. 2010. Sistem Pendidikan Nasional.

Bandung: Fokus Media.

Tim Penyusun. 2014. Buku Pedoman Penulisan Skripsi Mahasiswa FKIP UM Mataram. Mataram:

UM Mataram Press.

Wijana, D.P, Dan Muhammad Rohmadi. 2010. Sosiolinguistik Kajian Teori Dan Analisis.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 352

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

ANALISIS SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL DI SMA ISLAM

SWASTA DI KOTA MATARAM : SEBAGAI DASAR UNTUK

PENINGKATAN MUTU PESERTA DIDIK

D. Setiadi1; Nym Sridana

2; S. Wilian

3

Prodi Magsiter Administrasi Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Mataram

Abstrak: Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) satuan pendidikan menengah merupakan

sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan oleh seluruh komponen dalam satuan pendidikan.

SPMI di SMA Islam swasta perlu dikaji dan dicarikan penyelesaian agar kualitas proses dan hasil

belajar peserta didik bisa setara dengan sekolah lain. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk

mengetahui pemahaman SPMI, Program-program sistem penjaminan mutu internal dan kendala-

kendala yang dihadapi. Subjek penelitian guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data

dilakukan melalui analisis dokumen, angket dan wawancara dengan sumber data seperti guru,

kepala sekolah dan tenaga kependidikan. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan tahapan

Pengumpulan data, Persiapan analisis data, Membaca semua, Mengkode data, Mengkode teks untuk

deskripsi dan tema yang digunakan dalam laporan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa

tenaga pendidik dan kependidikan secara keseluruhan belum memahami secara menyeluruh

tentang SPMI satuan pendidikan menengah. Selain itu, program program penjaminan mutu belum

terorganisir dengan baik terkait dengan SPMI untuk bisa memenuhi standar pendidikan, kendala

yang dihadapi untuk di SMA Islam swasta, semua warga sekolah belum memiliki pemahaman yang

baik tentang SPMI dan tim penjamin mutu yang baik. Sehingga program-program sekolah tidak

mengarah pada peningkatan mutu secara bertahap untuk mencapai dan melebihi standar nasional

pendidikan. Kedua sekolah sampel perlu diberikan pemahaman dan pembimbingan terkait dengan

tahapan peningkatan mutu sekolah sesuai dengan visi misi sekolah dan standar nasional pendidikan.

Sebagai langkah awal SMA Islam swasta perlu membentuk SPMI yang sesuai persyaratan agar

bisa meningkatkan kualitas proses administrasi dan pembelajaran.

PENDAHULUAN

Sistem penjaminan mutu internal merupakan sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan di

dan oleh satuan pendidikan tertentu dan melibatkan seluruh komponen dalam satuan pendidikan.

Secara nasional, mutu pendidikan menengah di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Hasil

pemetaan mutu pendidikan secara nasional menunjukkan hanya sekitar 16% satuan pendidikan

yang memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah. 2016). Sebagian besar satuan pendidikan lain belum memenuhi SNP, bahkan terdapat

sejumlah satuan pendidikan yang masih belum memenuhi stándar pelayanan minimal (SPM).

Standar kualitas pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah berbeda dengan standar yang

dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Standar yang digunakan oleh sebagian besar sekolah jauh di

bawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, kualitas lulusan yang dihasilkan oleh

satuan pendidikan tidak memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah.

Masih banyak tim pengelola pendidikan yang tidak memahami secara baik makna standar

mutu pendidikan. Selain itu, sebagian besar satuan pendidikan belum memiliki kemampuan untuk

bisa manjamin segala proses yang dilaksanakan memenuhi standar kualitas. Satuan pendidikan

harus mengimplemetasikan penjaminan mutu pendidikan secara baik dan mandiri serta

berkelanjutan. Menurut Pemerintah RI (2003) dalam bentuk Undang-undang Nomor 20 Tahun

2003 bahwa Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling

terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Selain itu, setiap satuan

pendidikan diharuskan melakukan penjaminan mutu pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi

atau melampaui SNP.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 353

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Sistem penjaminan mutu internal pendidikan menengah, merupakan suatu kesatuan unsur

yang terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan yang

dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan menengah untuk menjamin terwujudnya pendidikan

bermutu yang memenuhi atau melampaui SNP. Usaha untuk peningkatan dan penjaminan mutu

pendidikan adalah tanggung jawab satuan pendidikan. Untuk peningkatan mutu sekolah secara utuh

khususnya SMA swasta di Mataram dibutuhkan pendekatan khusus agar seluruh komponen-

komponen sekolah secara bersama-sama bisa memiliki budaya mutu.

Untuk dapat melakukan penjaminan mutu pendidikan, satuan pendidikan perlu membentuk

SPMI. Berdasarkan studi pendahuluan di SMA swasta di Kota Mataram yang dijadikan sampel

menunjukan bahwa di sekolah-sekolah tersebut belum memiliki sistem penjaminan mutu yang baik

sesuai dengan stándar dan aturan yang berlaku walaupun dilihat dari nilai akreditasi mencapai

stándar tertinggi. Hal tersebut akan berdampak pada mutu lulusan yang tidak bisa memenuhi SNP

sementara sejumlah sekolah lain baik negeri maupun swasta sudah bisa melebihi SNP.

Dengan demikian diperlukan kajian terkait dengan sistem penjaminan mutu internal di

sekolah-sekolah tersebut agar secara bertahap bisa memenuhi SNP atau bahkan melebihinya.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang sistem penjaminan mutu

internal di SMA swasta di Kota Mataram sebagai dasar untuk penyusunan atau pengembangan

program-program mutu di satuan pendidikan tersebut.

METODE

Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

dimana peneliti mengenal keadaan partisipan, bertanya luas, pertanyaan umum, dan pengumpulan

data terdiri atas teks secara luas dari partisipan, menjelaskan dan menganalisis teks untuk tema serta

melakukan inkuiri, bersifat subjektif (Creswell, 2008). Selain itu, peneliti sebagai instrumen kunci,

teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil

penelitian lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2008a; 2008b).

Penelitian dilaksanakan mulai dari akhir bulan Mei 2018 sampai dengan akhir September

2018. Sampel penelitian adalah SMA Muhammadiyah, SMA NW (Nahdatul Wathan) Mataram

dengan fokus permasalahan pada pelaksanaan sistem penjaminan mutu internal. Sumber data adalah

tenaga pendidik dan kependidikan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui analisis dokumen,

wawancara, dan angket. Instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman wawancara, angket,

pedoman analisis dokumen. Data dianalisis dan diinterpretasi secara kualitatif dengan tahapan:

Pengumpulan data, Persiapan analisis data, Membaca semua data, Mengkode data, Mengkode teks

untuk deskripsi yang digunakan dalam laporan penelitian dan Analisis deskriptif data.

HASIL PEMBAHASAN

Sebelum membahas tetang sistem penjaminan mutu internal (SPMI) di sekolah sampel

terlebih dahulu disampaikan tentang pemahaman tenaga pendidik dan kependidikan yang terlibat

langsung dalam implementasi SPMI. Hasil menunjukan bahwa pemahaman kepala sekolah tentang

sistem penjaminan mutu internal menunjukan skor 2,20 atau pada tingkat kurang, sedangkan

tenaga kependidikan lain dengan skor pemahaman 2,85 lebih tinggi dari kepala sekolah tetapi

masih pada tingkatan kurang. Sama halnya pemahaman tenaga pendidik terhadap SPMI mencapai

skor 2,13 masih pada tingkat kurang. Selain itu pendidik dan tenaga kependidikan belum

memahami secara baik tentang konsep dan prinsip, tujuan dan cakupan SPMI satuan pendidikan,

hal tersebut penting bagi pelaksana penjaminan mutu internal, karena jika kurang memahami

tentang SPMI tersebut pihak pengelola tidak akan bisa melaksanakannya secara maksimal sesuai

dengan rohya SPMI. Solusinya seperti yang dikemukakan oleh Lamosi dan Mukonyi (2015) yang

merekomendasikan bahwa kepala sekolah memperkuat manajemen kualitas alternatiff seperti

teacher appraisal, use of internal quality assurance officers by capacity building on requisite

knowledge and skills.

SPMI terkait dengan 8 standar nasional pendidikan dan dengan tugas guru, maka akan

terkait terutama dengan standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standard evaluasi

dan standard pendidik sendiri. Berikut disampaikan tingkat keterpahaman pendidik terhadap

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 354

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

standar kompetensi lulusan skor 3,04, Standar Isi skor 3,6, Standar Proses skor 3,0, dan standar

Evaluasi skor 3,43. Selain itu yang terkait dengan standar tenaga pendidik mencapai skor 3,8.

Keterpahaman tersebut baru mencapai tingkat cukup tetapi untuk standar tenaga pendidik

mendekati baik. Namun demikian untuk bisa terlaksananya proses dan evaluasi yang sesuai

dengan standard maka tingkat pemahaman tenaga pendidik harus di atas baik. Selain itu bahwa

guru diterima didasarkan pada pengetahuan konten kurikulum, kualifikasi professional yang telah

ditentukan oleh pemerintah (Onuma, dan Okpalanze, 2017).

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan SPMI di sekolah yang menjadi lokasi penelitian

mencakup siklus SPMI yang terdiri dari 5 tahap, Pertama, Pemetaan mutu pendidikan yang

dilaksanakan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. Pihak tenaga

kependidikan dan tenaga pendidik sekolah belum memahami secara detail tentang tahapan

pemetanaan mutu pendidikan mulai dari menyusunan instrumen dan pengumpulan data serta

analisis data hasil pemetaaan yang akan terkait dengan pembuatan rencana untuk tahap berikutnya

dari siklus SPMI. Kegiatan pada tahap ini termasuk evaluasi internal dan bisa dilakukan dengan

tahapan Plan, Do, Check dan Act (Nelson, Ehren, dan Godfrey. (2015).

Kedua, Pembuatan rencana peningkatan mutu yang dituangkan dalam Rencana Kerja

Sekolah, pihak sekolah tidak mengetahui caranya bagaimana membuat rencana peningkatan mutu

yang terkait dengan standar nasional pendidikan. Pembuatan rencana sekolah terkait dengan

peningkatan mutu yang harus disusun berdasarkan potret diri sekolah dari kondisi mutu saat

evaluasi diri dilakukan, kemudian menyusun sejumlah rencana kerja yang secara keseluruhan

berorientasi pada peningkatan mutu proses administrasi dan pembelajaran.

Ketiga, pelaksanaan pemenuhan mutu baik dalam pengelolaan satuan pendidikan maupun

proses pembelajaran, pada tahap ini juga pihak pengelola satuan pendidikan belum secara

menyeluruh memahami tahap ini dari siklus SPMI, hal ini terkait dengan tingkat pemahaman tahap

sebelumnya, oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam terkait dengan implementasi SPMI

untuk pemenuhan mutu dalam manajemen satuan pendidikan dan proses pembelajaran secara luas.

Hal tersebut memerlukan kebersaman semua warga sekolah untuk bersama–sama melaksananaan

program sekolah yang berhubungan dengan pemenuhan mutu pendidikan sesuai standar.

Keempat, Monitoring dan evaluasi proses pelaksanaan pemenuhan mutu yang telah

dilakukan, tahap ini pihak sekolah masih membutuhkan pengetahuan secara baik terkait peran dan

fungsi monitoring dan evaluasi untuk setiap program pemenuhan mutu, sehingga akan bermanfaat

untuk proses selanjutnya tentang penysusunan standar baru dan strategi untuk pencapaian mutu

yang telah direncanakan.

Terakhir, Penetapan standar baru dan penyusunan strategi peningkatan mutu berdasarkan

hasil monitoring dan evaluasi. Pihak pengelola satuan pendidikan belum memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang baik tentang penyusunan standar mutu baru termasuk strategi pencapaiannya.

Pihak sekolah pun masih harus belajar dan menyiapkan diri terkait dengan tahapan terakhir dari

siklus SPMI. Dalam penyusunan program harus secara total holistic process concerned with

ensuring integrity of outcomes (Adegbesan, 2011).

Pihak sekolah secara keseluruhan belum memiliki tim khusus yang melaksanakan

mengontrol program penjaminan mutu internal, sehingga akan kesulitan dalam meningkatkan status

mutu sekolah berdasarkan kualitas pencapaian mutu. Oleh karena itu perlu dimulai dengan

merancang SPMI sekolah sesuai dengan kondisi dan daya dukung sumber daya sekolah, tidak perlu

membuat target dan indikator yang terlalu tinggi dan sulit dicapai, tetapi program-program mutu

tersebut harus sesuai kondisi sekolah, pencapaian mutu dilakukan secara bertahap dan tetap fokus

untuk memenuhi SNP secara baik, kemudian jika sudah memiliki daya dukung yang lebih baik

maka dilanjutkan untuk menjadi sekolah model bahkan mungkin sekolah rujukan. Namun

demikian modal awal adalah komitmen warga sekolah memiliki kemauan untuk maju dan

berkualitas melalui kerja sama yang baik dalam berbagai kegiatan program mutu sesuai

dikemukakan Praraksa, dkk. (2015) bahwa team work is the vital factor for the schools in order to

improve internal quality assurance operational effectiveness since team work supports

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 355

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

performance, quality of working life, interaction, collaboration and it is the instrument in

organizational development.

Program-program dalam rencana pengembangan sekolah belum secara jelas terkait dengan

program mutu dari sitem penjaminan mutu internal sekolah. Hal tersebut disebabkan pihak sekolah

belum memiliki sistem penjaminan mutu internal secara baik dan berkelanjutan. Sehingga perlu

pengkajian bersama secara menyeluruh menyangkut sumber daya yang dimiliki sekolah untuk bisa

lebih meningkatkan kualitas sekolah melalui program-program mutu yang dikelola oleh tim system

penjaminan mutu internal. Selain itu terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi penjaminan

mutu internal berupa four factors of direct effect were administrators’ instructional leadership,

innovation culture of organization, opened climate of organization and teachers’ leadership

(Praraksa, dkk.. 2015). Juga tergantung pada motivation of teachers is a quality assurance practice

in secondary schools (Onuma, dan Okpalanze, 2017) dan quality assurance component aims to

enhance teaching and learning as an integral feature of school improvement (Caesar, 2013),

termasuk juga the emphasizing understanding and not memorization, the need for more group work

and dialogue, restoring the visual-spatial aspects of learning, re-thinking curriculum balance, and

re-examining national examination systems (Almadani, Reid, dan Rodrigues, 2011).

Penyusunan program terkait dengan peningkatan mutu perlu memperhatikan sejumlah faktor

yang akan berpengaruh sperti disampaikan di atas terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan

bahkan termasuk peserta didik yang merupakan faktir yang sangat menentukan keberhasilan

peningkatan mutu, sehingga dengan pertimbangan tersebut tingkat kegagalan akan bisa

diminimalisir

Dalam konteks implementasi penjaminan mutu internal, penentuan program dan

pelaksanaan sperti dikemukakan oleh Uchtiawati, dan Zawawi (2014) bahwa Sekolah melalui

mekanisme yang telah ditentukan dapat menentukan tahap-tahap pelaksanaan jaminan mutu sebagai

berikut: yaitu: plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan melakukan tahap evaluation

(mengevaluasi), secara berkelanjutan. Selain itu, diperlukan dukungan adequate facilities and

equitable educators will have a significant impact on the implementation of the internal quality

assurance system in schools (Darman, Darwin, dan Yusnadi, 2017). Juga untuk lebih meningkatkan

penjaminan kualitas dalam hubungannya dengan proses pembelajaran ditunjukan dengan students

expressed high satisfaction with the state of learning resources and the competence of the academic

staff available to them (Essel1, Boakye-Yiadom, dan Kyeremeh, 2018) dan harus fokus pada

economical, technical, and organizational dimensions as main dimensions of feasibility system

(Amir, 2015).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berupa dukungan dari pemerintah should continue to

provide adequate infrastructures and facilities in the schools to create a conducive teaching and

learning environment for both teachers and the students (Oyewole, 2013), intensified and possibly

private participation in the practice should be encouraged (Olufunke, Joseph, dan Adetayo, 2012).

Juga memerlukan systems of quality control with regard to the actors, i.e. the stakeholders instead

of the institutional configurations: (1) state control and accountability by bureaucratic means and

legal regulations, (2) professional control and accountability, and (3) consumer control and

accountability (Huber dan Gördel, 2006).

KESIMPULAN

Tingkat pengetahuan warga sekolah terkait dengan SPMI masih pada tingkat rendah yang

masih perlu dikembangkan sebelum membentuk sistem penjaminan mutu internal satuan

pendidikan. Selain itu pemahaman pendidik terkait standar pendidikan nasional yang sangat

berhubungan dengan tugasnya masih pada tingkat cukup sehingga masih perlu peningkatan

pemahaman agar bisa melaksananakan proses dan evaluasi sesuai dengan standar. Perlu

pengembangan bagi tenaga pendidik dan kependidikan dalam hal pengetahuan dan keterampilan

dalam implementasi penjaminan mutu internal melalui tim khusus dari eksternal satuan pendidikan

sampai sekolah tersebut siap untuk bisa melaksanakan sistem penjaminan mutu internal.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 356

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

DAFTAR RUJUKAN

Adegbesan, S. O. 2011. Establishing Quality Assurance in Nigerian Educationsystem: Implication

for Educational Manage . Educational Research and Reviews Vol. 6(2), 147-151.

Almadani, K., Reid, N. dan Rodrigues, S. 2011. Quality Assurance: A Pressing Problem For

Education in the 21st

Century. Problems of Education in the 21st Century. Vol. 32.

Amir, F. 2015. Developing Structure for Management of Quality in Schools: Steps towards Quality

Assurance Systems. American Journal of Educational Research, Vol. 3, 8, 977-981

Caesar, C. (2013). Framework for Delivery of Quality Education: Examination of quality concepts

to inform a framework for improving education quality in St Lucia a member of the

Organization of Eastern Caribbean states (OECS). American Academic & Scholarly Research

Journal Vol. (5). 1.

Creswell, J.W. (2008). Educational Research, Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative

and Qualitative Research. New Jersey : Pearson Education Inc.

Darman, Darwin, dan Yusnadi. 2017. Implication of Internal Quality Assurance System of Schools

Implementation Against the Accreditation rating of State Senior High Schools of Natuna, Riau

Island Province. Journal of Research & Method in Education Volume 7, Issue 5 36-39

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2016a. Pedoman Umum Sistem Penjaminan

Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2016b. Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan

Mutu Oleh Satuan Pendidikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Essel1, H. B., Boakye-Yiadom, M. dan Kyeremeh, F. A. 2018.Assessing Students’ Experiences of

Internal Quality Assurance Practices in Selected Private Higher Education Institutions.

International Journal of Science and Research (IJSR). Volume 7 Issue 1.

Huber, S. G. dan Gördel, B. 2006. Quality Assurance in the German School System.European

Educational Research Journal, Vol. 5, 3

Lumosi, B. A. dan Mukonyi, P. W. 2015. Quality Monitoring in Secondary Education in Kenya: A

Comparative Analysis of Public Schools in Kakamega East and Kakamega Central Sub-

Counties of Kakamega County. International Journal of Education and Research Vol. 3 No.

1.

Nelson, R., Ehren, M. dan Godfrey, D. 2015. Literature Review on Internal Evaluation. London:

Institute of Education.,

Olufunke, O. I., Joseph, K. S. dan Adetayo, O. A. 2012. Quality Assurance and Effectiveness of

Lagos State Junior Secondary Schools. International Journal of Humanities and Social

Science. Vol. 2 No. 15.

Onuma, N. dan Okpalanze, N. P.. 2017. Assessment of Quality Assurance Practices inSecondary

Schools in Enugu State Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research 25 (8): 1695-

1714.

Oyewole, B.K. 2013. Repositioning Secondary School Administration for QualityAssurance in

Ekiti State, Nigeria. Journal of Management and Sustainability; Vol. 3, 3

Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.

Praraksa, P., Sroinam, S., Inthusamith, M., dan Pawarinyanon,M. 2015. Model of Factors

Influencing Internal Quality Assurance Operational Effectiveness of the Small Sized

Primary Schools in Northeast Thailand. Social and Behavioral Sciences 197 1586 – 1590.

Sugiyono. (2008a). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.

Sugiyono. (2008b). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan RT & D.

Bandung : Alfabeta

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 357

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Uchtiawati1, S. dan Zawawi, I . 2014. Penerapan Penjaminan Mutu Pendidikan pada Sekolah

Menengah Atas berstandar Internasional. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan

Vol.2 (1),52-56.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 358

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENEREPAN PEMBELAJARAN EPA(EKSPLORASI, PENGENALAN, DAN APLIKASI

KONSEP) UNTUK MENINGKATKAN HASIL DAN EFEKTIVITAS BELAJAR

Dewi Silviana1; Andang

2; Dewi Sartika

3

1,2,3Sekolah Tinggi Keguruan dan ilmu Pendidikan (STKIP) Bima

e-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini mengarah pada masalah bagaimanakah penerapan metode

pembejaran EPA (ekplorasi, pengenalan dan aplikasi konsep). Metode yang digunakan yaitu

penilitian tindakan kelas (PTK) yang berlangsung dalam dua siklus. Masing-masing siklus

dilaksanakan sesuai skenario pembelajaran dan dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap perencanaan, tahap

pelaksanaan, tahap observasi dan evaluasi, serta tahap refleksi. Tujuan penelitian yaitununtuk

meningkatkan hasil dan efektivitas belajar siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu yang berjumlah

30 orang siswa. Setiap masing-masing siklus dapat dilihat peningkatan ketuntasan belajar, yang

dapat dilihat pada perolehan dari nilai rata-rata siswa pada siklus I sebesar 67 dengan ketuntasan

belajar sebesar 70% dan nilai rata-rata pada siklus II meningkat sebesar 77,16 dengan ketuntasan

belajar 86.66%. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran EPA (Ekplorasi,

Pengenalan, dan Aplikasi Konsep) pada sub materi operasi bilangan bulat dapat meningkatkan hasil

dan efektivitas belajar matematika siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun pelajaran

2018/2019.

Kata Kunci: EPA, Efektivitas Belajar, Hasil Belajar

PENDAHULUAN

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah adalah memperbaiki proses

pembelajaran. Berbagai metode dan strategi baru dalam proses pembelajaran di sekolah telah

muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses

pembelajaran ataupun kegiatan belajar mengajar tidak bisa lepas dari keberadaan guru. Tanpa

adanya guru pembelajaran akan sulit dilakukan, apalagi dalam rangka pelaksanaan pendidikan

formal, guru menjadi pihak yang sangat vital. Guru memiliki peran yang paling aktif dalam

pelaksanaan pendidikan demi mencapai tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Guru

melaksanakan pendidikan melalui kegiatan pembelajaran dengan mengajar peserta didik atau siswa.

Dalam proses pembelajaran, guru harus bisa memilih dan menentukan berbagai strategi agar

siswa dapat belajar secara efektif dan efesien sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Sanjaya

(2003:44) mengemukakan bahwa seorang guru perlu menggunakan beberapa metode dalam

menyampaikan suatu pokok bahasan tertentu. Dengan variasi beberapa metode, penyajian

pengajaran menjadi lebih hidup. Misalnya pada awal pengajaran, guru memberikan suatu uraian

dengan metode ceramah, kemudian menggunakan contoh-contoh melalui peragaan dan diakhiri

dengan diskusi atau tanya jawab. Disini bukan hanya guru yang aktif bicara, melainkan siswapun

terdorong untuk berpartisipasi.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru bidang studi matematika pada saat observasi

awal, permasalahannya yaitu rendahnya hasil belajar siswa kelas VII disebabkan karena masih

banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika yang diajarkan

khususnya pada materi operasi bilangan bulat. Hasil belajar siswa masih rendah disebabkan oleh

beberapa faktor antara lain, faktor internal siswa seperti kesiapan siswa, minat, motivasi, dan

kemampuan awal siswa sebelum masuk pada materi operasi bilangan bulat dan faktor eksternal

seperti metode dan pendekatan yang diterapkan oleh guru tidak sesuai dengan materi yang

diajarkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 359

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Informasi yang diperoleh dari guru matematika kelas VII SMP Negeri 2 lambu, operasi

bilangan bulat merupakan materi yang dianggap sulit dimengerti dan dipahami siswa. Penguasan

siswa terhadap materi bahan pembelajaran, kemampuan menerapkan materi pada situasi yang

berbeda dan keterampilan siswa dalam menggunakan materi untuk memecahkan masalah yang

timbul merupakan kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki siswa. Untuk mencapai tujuan

pembelajaran tersebut, tidaklah cukup jika siswa hanya mengikuti pembelajaran secara pasif.

Melainkan harus aktif melakukan kegiatan yang diperlukan untuk memahami dan menguasai bahan

yang dipelajari dengan cara membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas

belajar yang berhubungan dengan masalah.

Dalam materi penyelesaian masalah matematika dan tentunya terjadi pula pada materi

bilangan bulat jenis-jenis kesalahan sebagai berikut (Astuty dkk, 2013 : 2) : (1) kesalahan konsep

adalah suatu kesalahan yang diperbuat oleh siswa dikarenakan kesalahan dalam memahami konsep;

(2) kesalahan operasi hitung adalah kesalahan yang diperbuat akibat kecerobohan siswa dalam

melakukan operasi hitung; (3) kesalahan acak adalah adalah suatu kesalahan yang diperbuat oleh

siswa dikarenakan ketidak tahuan siswa terhadap soal yang sedang dikerjakan sehingga jawaban

siswa tidak sesuai dengan soal.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

dengan melakukan inovasi dalam pembelajaran, diantaranya adalah dengan cara menerapkan

metode EPA. Metode EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi Konsep) merupakan metode yang

memperhatikan kemampuan awal siswa untuk memperoleh kemampuan baru. Metode EPA

(Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi Konsep) dalam pelaksanaannya melewati tiga tahap yaitu

tahap eksplorasi, tahap pengenalan, dan aplikasi konsep. Tahap eksplorasi berupa identifikasi

permasalahan yang ingin diketahui siswa dan pengetahuan awal siswa mengenai konsep yang

diajarkan. Tahap pengenalan konsep berupa kegiatan eksperimen untuk memecahkan masalah yang

diajukan siswa pada tahap eksplorasi, pada tahap aplikasi konsep berupa pekerjaan soal-soal

berdasarkan eksperimen, yang memungkinkan adanya penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Tinjauan Tentang Metode Pembelajaran EPA a. Metode Pembelajaran EPA

Ide dasar pemikirannya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus

menerus menemukan sendiri melalui kegiatan nyata di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran dengan

metode EPA melalui tiga tahap yaitu eksplorasi, tahap pengenalan, dan tahap aplikasi konsep (Dwi

F H, 2008 : 16).

Tahap eksplorasi berupa identifikasi permasalahan yang ingin diketahui siswa dan pengetahuan

awal siswa atau disebut entry behavior pada dasarnya merupakan keadaan pengetahuan atau

keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh siswa sebelum dia mempelajari pengetahuan

atau keterampilan baru (Ali, 2002 : 74).

Pada tahap pertama yaitu tahap eksplorasi, bertujuan untuk menggali fakta-fakta dan konsep yang

telah dimiliki siswa. Pada tahap ini guru memberikan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui

sampai mana batas pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa yang dapat dijadikan dasar untuk

menerima program pembelajaran yang akan diberikan. Dalam hal ini guru tidak melakukan

pembetulan atau penyalahan jawaban siswa. Hasil tes akan memberikan informasi kepada guru

tentang tingkat pemahaman siswa yang tentunya akan bervariasi.

Tahap pengenalan konsep berupa kegiatan eksperimen untuk memecahkan masalah yang

diajukan siswa. Tahap pengenalan konsep menurut teori Van Hiele (Depdiknas, 2004 :25) biasa

disebut tingkat visualisasi. Dimana pada tingkat ini siswa mengamati suatu bangun sebagai suatu

keseluruhan, sesuatu yang wholistic. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah memecahkan

masalah yang muncul pada tahap eksplorasi. Bentuk pengenalan konsep dengan melakukan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 360

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

eksperimen kelompok menggunakan alat peraga dan pekerjaan LKS (Lembar Kerja Siswa) dengan

bimbingan guru, sehingga siswa akan memperoleh pengalaman langsung dari eksperimen tersebut.

Pada tahap aplikasi konsep berupa pekerjaan soal-soal berdasarkan hasil eksperimen, yang

memungkinkan adanya penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi konsep berfungsi untuk

memperkuat ingatan siswa atau daya simpan informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang

dikemukakan oleh Sudjana (2009:163), bahwa prinsip aplikasi penting untuk menggapai hasil

belajar siswa yang tahan lama dan sifatnya integral tiga ranah pendidikan yaitu pengetahuan, sikap

dan keterampilan.

Jadi, Metode EPA adalah pembelajaran yang memperhatikan kemampuan awal siswa

sebelum memberikan pengetahuan baru. Metode ini menekankan pada kegiatan pembelajaran yang

dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap eksplorasi, tahap pengenalan, dan aplikasi konsep.

b. Pendekatan Dalam Metode Pembelajaran EPA

Pembelajaran dengan metode EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi Konsep)

menggunakan pendekatan keterampilan proses. Alasan dari penggunaan keterampilan proses adalah

karena adanya ahli psikologi umumnya sependapat bahwa anak-anak muda memahami konsep-

konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh yang konkrit atau contoh yang

sesuai dengan situasi yang dihadapi. Pendekatan keterampilan proses didefinisikan sebagai upaya

untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik dan mental anak sehingga anak mampu

menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep sehingga menumbuhkan dan

mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut dalam belajar (Semiwan.dkk, 1989 : 14-18).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah yaitu:

Bagaimanakah penerapan metode pembelajaran EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi

konsep) pada sub materi operasi bilangan bulat dalam meningkatkan hasil belajar matematika kelas

VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun pelajaran 2018/2019 dan Bagaimanakah penerapan metode

pembelajaran EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi konsep) pada sub materi pokok bilangan

bulat dalam meningkatkan efektivitas belajar matematika kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun

pelajaran 2018/2019?. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil dan efektivitas belajar

siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun pelajaran 2018/2019 dengan menerapkan metode

pembelajaran EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi konsep) pada sub materi operasi bilangan

bulat. Metode EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi konsep) memiliki manfaat yaitu dengan

penerapan EPA dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar matematika dan dapat merangsang

kemampuan berfikir siswa dalam pemecahan masalah, serta meningkatkan hasil belajar siswa.

Selain itu bagi guru akan memberikan wawasan baru bagi guru sebagai suatu alternatif model

pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada sub materi operasi bilangan

bulat.

METODE PENELITIAN

a. Waktu dan tempat penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 2 Lambu Tahun pelajaran 2018/2019.

Penelitian ini dilakukan pada semester I tahun pelajaran 2018/2019.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diperoleh dari hasil evaluasi yang akan memberikan

jawaban mengenai berhasil atau tidaknya proses pembelajaran, sedangkan pendekatan kualitatif

diperoleh dari hasil observasi yang akan memberikan gambaran tentang kegiatan guru dan siswa

terhadap proses pembelajaran.

c. Instrumen Penelitian

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 361

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Adapun instumen penelitian yang digunakan adalah skenario pembelajaran, pedoman

observasi, dan tes. Adapun kisi-kisi pedoman observasi belajar siswa sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Observasi Belajar Siswa

No Item yang Diobservasi

1. Tahap Ekplorasi

a. Mendengar tujuan pelajaran yang disampaikan guru

b.Mengerjakan soal tes awal secara individu

c. Menyimak jawaban yang benar dari guru dan mengoreksi hasil

pekerjaan teman sebangku

d.Memperhatikan penjelasan guru dan bertanya hal-hal yang belum

dipahami

e. Menggabungkan diri dengan teman satu kelompok

2. Tahap pengenalan

a. Melakukan percobaan dan menggunakan alat peraga secara

berkelompok

b.Mengisi dan mendiskusikan LKS bersama dengan teman kelompok

c. Memperesentasikan hasil diskusi kelompok

d.Memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi kelompok lain yang

masih belum dimengerti

e. Membuat kesimpulan

3. Tahap aplikasi konsep

a. Mengerjakan soal latihan secara individu

b.Mengerjakan soal dipapan tulis bagi siswa yang ditunjuk

c. Memperhatikan guru dan bertanya tentang hal-hal yang belum

dimengerti

d.Memperhatikan penjelasan guru dan mencatat PR

d. Analisis Data

Penelitian ini akan menentukan jenis kesulitan yang kemudian akan ditentukan

persentasenya. Pada penelitian ini ada dua jenis data yang akan dianalisis, yaitu data hasil

observasi, data hasil tes, dan data efektifitas belajar siswa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1.Deskripsi Data

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat prestasi siswa kelas VII-A Semester I

tahun pelajaran 2018/2019 di SMP Negeri 2 Lambu serta kegiatan guru dan siswa dengan

menerapkan metode EPA (Ekplorasi, Penerapan, dan Aplikasi konsep) pada sub operasi

bilangan bulat. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dan empat kali pertemuan dari

tanggal 9 sampai dengan tanggal 30 agustus 2018. Dari hasil observasi pelaksanaan

pembelajaran diperoleh data kualitatif yang akan memberikan gambaran tentang kegiatan yang

dilakukan oleh guru dan siswa selama proses belajar mengajar berlangsung dan data kuantitatif

berupa hasil belajar siswa pada akhir tiap-tiap siklus. Data-data tersebut kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode dan rumus yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan

pembelajaran pada tiap-tiap siklus akan dipaparkan sebagai berikut:

2.Hasil penelitian siklus I

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 362

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Proses pembelajaran pada siklus I berlansung dalam dua kali pertemuan, dimana tiap-tiap

pertemuan berlangsung selama 2 x 35 menit, dan kegiatan evaluasi selama 1 x 35 menit pada

pertemuan selanjutnya. Pada siklus I pertemuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 9

agustus 2018 dengan materi yang dibahas adalah bilangan bulat, pengertian bilangan bulat.

Sedangkan pada pertemuan kedua dilaksanakan pada tanggal 22 agustus 2018 dengan materi

yang diberikan adalah penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat. Dan pada pertemuan

ketiga digunakan untuk evaluasi dan membahas soal-soal evaluasi, kegiatan pada siklus I terdiri

dari beberapa tahap yaitu:

a. Tahap Perencanaan

Kegiatan yang dilakuakan guru (peneliti) pada tahap perencanaan ini adalah sebagai berikut:

1.Mensosialisasikan pelaksanaan metode pembelajaran EPA pada siswa kelas VII-A pada tanggal

8 agustus 2018.

2.Menyiapkan skenario pembelajaran yang berorientasi pada siswa.

3.Menyiapkan pedoman observasi untuk mencatat kegiatan belajar siswa dan kegiatan guru

selama pembelajaran berlansung. Membuat tes awal, LKS, soal tes dan evaluasi belajar.

Menyiapkan pedoman penskoran soal evaluasi siklus II.

4.Menyiapkan analisis hasil belajar.

b.Tahap Pelaksanaan

Kegiatan yang dilakuakan pada tahap pelaksanaan tindakan ini yaitu melaksanakan kegiatan

belajar dan mengajarkan dikelas dengan menerapkan metode EPA sesuai dengan rencana yang telah

dituangkan dalam skenario pembelajaran. Metode EPA yang dilaksanakan yaitu tahap eksplorasi,

tahap pengenalan, dan tahap aplikasi konsep.

Pada pertemuan I pada tahap ekplorasi dilakukan tes awal untuk mengetahui pengetahuan

awal siswa, materi pendukung yang dibahas tersebut termuat dalam soal tes awal. Berdasarkan

pengamatan guru pada pertemuan pertama siswa belum terbiasa melakukan percobaan yang ada

pada LKS sehingga siswa terlihat sedikit bingung. Namun pada pertemuan kedua siswa sudah dapat

mengikuti dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan cukup baik. Setiap pertemuan situasi

kelas belum dapat dikendalikan oleh guru, para siswa masih ribut dan belum terbiasa dengan

diskusi kelompok sehingga masih belum dapat bekerja sama dengan baik antara anggota

kelompoknya.

c. Tahap Observasi

Kegiatan observasi dilakukan secara kontinu setiap kali pembelajaran berlangsung dalam

pelaksanaan tindakan dengan mengamati kegiatan belajar siswa dan kegiatan guru. Berdasarkan

pedoman observasi dan diskusi dengan guru mata pelajaran, terdapat beberapa kekurangan dan

hal-hal yang mendukung dalam pelaksanaan skenario pembelajaran siklus I. Adapun

kekurangan-kekurangan pada proses pembelajaran berdasarkan pedoman observasi yaitu:

1. Masih ada kelompok yang belum mampu mengerjakan LKS dengan baik.

2. Kurangnya kerja sama siswa dalam diskusi kelompok serta dalam melakukan percobaan, hal

ini disebakan karena siswa kurang memperhatikan petunjuk untuk melakukan percobaan.

3. Penggunaan waktu kurang efektif, karena waktu yang dibutuhkan untuk menjelaskan materi

pendukung masih kurang.

4. Adanya penemuan kesalahan dalam penyelesaian masalah pada operasi bilangan bulat yaitu

kesalahan konsep, kesalahan operasi, dan kesalahan acak.

Adapun hal-hal yang mendukung pembelajaran berdasarkan hasil diskusi dalam observasi yaitu:

1. Berdasarkan hasil tes awal, sebagian siswa masih mengingat tentang konsep dan operasi

bilangan bulat.

2. Pada masing-masing kelompok siswa yang serius dalam mengerjakan LKS, sehingga dapat

mengajak anggota kelompok yang lain untuk tetap berdiskusi dalam mengerjakan LKS.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 363

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

1. Data Hasil Observasi efektivitas Siswa

Data Hasil Observasi Efektivitas Belajar Siswa Siklus I dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Data Hasil Observasi Efektivitas Siswa Siklus I

No Indikator Skor Indikator

Pertemuan I Pertemuan II

1 Antusias siswa dalam mengikuti pelajaran 2 3

2 Interaksi siswa dengan guru 2 2

3 Interaksi siswa dengan siswa 3 3

4 Aktivitas siswa dalam diskusi kelompok 3 3

5 Partsipasi siswa dalam menyimpulkan materi

yang dibahas

3 3

6 Jumlah Skor 13 14

7 Nilai Rata-rata 2,6 2,8

8 Total Nilai Rata-rata 5,4

9 Nilai Rata-rata siklus I 2,7

10 Kategori kegiatan siswa dinyatakan Cukup Aktif

Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kategori efektivitas belajar siswa pada

pertemuan I dengan nilai 2,6, pertemuan II dengan nilai 2,8 dan total nilai rata-rata siklus I adalah

2,7 berada pada kategori cukup aktif.

2. Data Hasil Observasi Efektivitas Guru

Data Hasil Observasi Efektivitas Guru Siklus I dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Data Hasil Observasi Efektivitas Guru Siklus I

No Indikator Skor Indikator

Pertemuan I Pertemuan II

1 Membangkitkan minat dan motivasi siswa

dalam belajar

2 3

2 Pemberian apersepsi kepada siswa 2 3

3 Pembagian materi kepada siswa 3 3

4 Pengaturan waktu untuk kegiatan siswa dalam

menyelasaikan tugas

2 2

5 Perhatian guru kepada siswa 3 3

6 Kemampuan guru dalam mengelolah kelas 3 3

7. Bersama-sama siswa membuat kesimpulan 2 2

Jumlah Skor 17 19

Nilia Rata-rata 2,42 2,71

Total Nilai Rata-rata 5,13

Nilai Rata-rata siklus I 2,57

Kategori kegiatan gutu dinyatakan Cukup Baik

Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kategori efektivitas guru pada pertemuan I

dengan nilai 2,42 dan pertemuan II dengan nilai 2,71 dan total nilai rata-rata siklus I adalah 2,57

berada pada kategori cukup baik.

d.Tahap Evaluasi

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 364

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap akhir siklus dalam memberikan tes dalam bentuk

essay yang dikerjakan secara individu. Data lengkap hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel

hasil evaluasi belajar siswa siklus I, data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga diperoleh data-

data sebagai berikut:

Tabel 4. Data Hasil Evaluasi Belajar Siswa Tentang Bilangan Bulat Kelas.

No Hasil Belajar Skor

1 Total nilai 2010

2 Banyaknya siswa 30

3 Banyaknya siswa yang tuntas 21

4 Banyaknya siswa yang tidak tuntas 9

5 Nilai rata-rata 67

6 Persentase jumlah siswa yang tuntas 70%

Dari tabel diatas dapat dilihat nilai rata-rata yang diperoleh dari siklus I adalah 67 dengan

presentase ketuntasan belajar siswa adalah 70% presentase tersebut belum mencapai target

ketuntasan siswa secara klasikal.

e. Tahap Refleksi

Penelitian ini merupakan penilitian tindakan kelas, maka proses perenungan kembali

(Refleksi) pada siklus proses pembelajaran merupakan hal yang sangat penting, sehingga

kekurangan pada kegiatan pembelajaran dapat diberikan tindakan perbaikan, berdasarkan

kekurangan-kekurangan yang ada pada kegiatan belajar siswa dan kegiatan guru maka rencana

perbaikan-perbaikan pada siklus I adalah sebagai berikut:

1.Mengkoreksi hasil pekerjaan siswa, sehingga:

Terdapat kesalahan konsep dalam operasi bilangan bulat, pada soal nomor 1 misalnya 2-7-9 =

14. Ketika salah satu dari anggota kelompok disuruh mengerjakan soal ke depan atau papan

tulis. Tampak siswa menghitung dengan cara membalikan 7-2 = 5 dan tinggal diberi tanda

negatif (-) menjadi -5. Selanjutnya untuk -5-9= 14. Siswa langsung menambahkan bilangan itu

dengan menganggap minus ketemu minus sama dengan plus sehingga hasil akhirnya 14.

Terdapat kesalahan acak dalam operasi bilangan bulat, pada soal nomor 2 yaitu -30+45+12= -

87. Ketika salah satu dari anggota kelompok disuruh mempersentasikan hasil dari pekerjaannya

di depan atau papan tulis. Tampak siswa menghitung dengan menambahkan 30 + 45 = 75 dan

tinggal diberi tanda negatif (-) sehingga menjadi -75 selanjutnya siswa menjawab dengan cara

menjumlahkan -75 dengan 12 diperoleh hasil 87.

Terdapat kesalahan operasi hitung dan kesalahan konsep, pada soal nomor 5 yaitu 25-60+18= -

53. Ketika salah satu dari anggota kelompok disuruh mempersentasikan hasil dari

pekerjaannya di depan atau papan tulis. Tampak siswa mengerjakan atau menghitung dengan

cara membalik angka yang lebih besar dikurangi angka yang lebih kecil yaitu 60-25= 35

kemudian diberikan tanda negatif (-), selanjutnya -35+ 18 diperoleh hasil 53 dan diberi tanda (-)

sehingga menjadi -53.

2.Merevisi LKS yang telah disusun atau merancang LKS dengan memperhatikan kesalahan siswa

dalam menyelesaikan soal-soal operasi bilangan bulat. Menuliskan penguatan tentang cara

penyelesaian soal dengan berbagai jenis soal yang ada, serta memberikan panduan tentang cara

mengerjakan LKS sebelum diskusi dimulai.

3.Memotivasi siswa untuk lebih aktif bekerja sama dalam diskusi kelompok dan melakukan

percobaan, dengan mengingatkan siswa agar lebih memperhatikan petunjuk untuk melakukan

percobaan.

4.Merencanakan alokasi waktu yang lebih baik lagi, dengan menambah alokasi waktu untuk

menyampaikan materi pendukung.

3.Hasil penelitian siklus II

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 365

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Pelaksanaan penelitian untuk siklus II berlangsung dalam dua kali pertemuan masing-masing

selama 2 x 35 menit, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi selama 1 x 35 menit. Pada siklus II,

guru memberikan materi tentang perkalian bilangan bulat akan diberikan pada pertemuan

pertama yang dilaksanakan pada tanggal 23 agustus 2018. Sedangkan materi tentang pembagian

bilangan bulat akan diberikan pada pertemuan kedua yang dilaksanakan pada tanggal 14 agustus

2018.

Kegiatan pada siklus II terdiri dari beberapa tahap yaitu:

a. Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan penelitian pada siklus II tidak berbeda dari siklus I, dalam tahap ini tindakan yang

dilakukan guru adalah melakukan skenario pembelajaran dengan menerapkan metode EPA yang

telah disusun dan tentunya dengan perbaikan-perbaikan yang telah direncanakan pada akhir

siklus I. Secara situasi pembelajaran berjalan dengan baik. Guru mengawasi dan membimbing

kelompok mengerjakan LKS dan mengerjakan latihan soal yang diberikan guru yang diambil

dari buku pegangan siswa.

b.Tahap Observasi

Bedasarkan pengamatan pedoman observasi) dan diskusi dengan observer, terdapat beberapa

kekurangan dan hal-hal yang mendukung dalam pelaksanaan skenario pembelajaran siklus II.

Adapun kekurangan-kekurangan pada pembelajaran siklus II adalah :

1.pada saat proses pembelajaran siswa masih ribut, hal ini disebabkan oleh masih kurangnya

penguasaan kelas oleh guru.

2.Masih ada siswa yang belum berani untuk tampil didepan kelas, baik dalam penyampaian hasil

diskusi maupun dalam mengerjakan soal dipapan tulis.

3.Siswa masih merasa malu untuk bertanya sehingga komunikasi dua arah antara siswa dengan

guru masih tampak kurang.

Adapun hal yang mendukung pembelajaran berdasarkan hasil diskusi guru dengan observer yaitu:

1.Berdasarkan hasil tes awal, sebagai meteri pendukung dalam mengerjakan LKS dan soal-soal

pada siklus II sebagian siswa telah banyak yang menguasai tentang konsep dan operasi bilangan

sehingga ingatan-ingatannya tentang materi bilangan bulat mulai jelas.

2.Pada masing-masing kelompok, dengan LKS yang baru hasil revisi tampak siswa serius dalam

mengerjakan LKS, sehingga dapat mengajak anggota kelompok yang lain untuk tetap berdiskusi

dalam mengerjakan LKS sehingga terjadi kondisi belajar yang baik.

1.Data Hasil Observasi Efektivitas Siswa

Data Hasil Observasi Aktivitas Belajar Siswa Siklus II dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5. Data Hasil Observasi Efektivitas Belajar Siswa Siklus II

No. Indikator Skor Indikator

Pertemuan I Pertemuan II

1 Antusias siswa dalam mengikuti pelajaran 4 4

2 Interaksi siswa dengan guru 3 4

3 Interaksi siswa dengan siswa 3 3

4 Aktivitas siswa dalam diskusi kelompok 3 3

5 Partsipasi siswa dalam menyimpulkan materi

yang dibahas

3 3

Jumlah Skor 16 17

Nilai Rata-rata 3,2 3,4

Total Nilai Rata-rata 6,6

Nilai Rata-rata Siklus II 3,3

Kategori kegiatan aktivitas siswa dinyatakan Aktif

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 366

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kategori Efektivitas belajar siswa pada pertemuan I

dengan nilai 3,2 dan pertemuan II dengan nilai 3,4 dan total nilai rata-rata siklus II adalah 3,3

berada pada kategori aktif.

2.Data Hasil Observasi Efektivitas Guru

Data Hasil Observasi efektivitas Guru Siklus II Pertemuan I dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Data Hasil Observasi efektivitas Guru Siklus II

No Indikator Skor Indikator

Pertemuan I Pertemuan II

1. Membangkitkan minat dan motivasi

siswa dalam belajar

3 4

2. Pemberian apersepsi kepada siswa 3 4

3. Pembagian materi kepada siswa 4 4

4. Pengaturan waktu untuk kegiatan

siswa dalam menyelasaikan tugas

3 3

5. Perhatian guru kepada siswa 3 3

6. Kemampuan guru dalam mengelolah

kelas

3 4

7. Bersama-sama siswa membuat

kesimpulan

3 3

Jumlah Skor 22 25

Nilia Rata-rata 3,14 3,57

Total Nilai Rata-rata 6,71

Nilai Rata-rata Siklus II 3,36

Kategori kegiatan aktivitas guru dinyatakan Baik

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kategori efektivitas belajar siswa pada pertemuan I

dengan nilai 3,14 dan pertemuan II dengan nilai 3,57 dan total nilai rata-rata siklus I adalah 3,36

berada pada kategori baik.

c. Tahap Evaluasi

Setelah pembelajran pada siklus II selesai, guru melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan

memberikan tes dalam bentuk essay sebanyak 4 soal. Data lengkap hasil belajar siswa siklus II) data

tersebut diolah sedimikian rupa sehingga diperoleh data-data sebagai berikut.

Tabel 7. Data Hasil Evaluasi Belajar Siswa Tentang Bilangan Bulat

No Hasil Belajar Skor

1 Total nilai 2315

2 Banyaknya siswa 30

3 Banyaknya siswa yang tuntas 26

4 Banyaknya siswa yang tidak tuntas 4

5 Nilai rata-rata 77,16

6 Persentase jumlah siswa yang tuntas 86,66%

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus II adalah

77,16 dengan persentase ketuntasan belajar siswa adalah 86,66 %. Persentase tersebut sudah

mencapai target ketuntasan belajar siswa secara klasikal. Dengan demikian pelaksanaan penelitian

dihentikan sampai siklus II.

d. Tahap Refleksi

Pada tahap evaluasi siklus II masih ada 4 siswa yang belum dikatakan tuntas karena mendapatkan

nilai lebih kecil dari 65. Oleh karna itu, siswa tersebut masih memerlukan bimbingan guru secara

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 367

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

intensif. Berdasarkan hasil evaluasi dan observasi kegiatan siswa dan kegiatan guru pada siklus II,

bahwa hasil yang diperoleh sudah memenuhi indikator kerja yang telah ditentukan sebelumnya.

Dimana sudah mencapai ketuntasan klasikal.

PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil dan

efektivitas belajar matematika siswa pada mata pelajaran bilangan bulat dengan menerapkan

metode pembelajaran EPA. Penelitian ini dilakukan dengan prosedur penelitian tindakan kelas

(PTK) yang telah ditetapkan sebelumnya, dilakukan dalam enam kali pertemuan pada sub materi

pokok bilangan bulat dengan menerapkan metode EPA (Eksplorasi, Penerapakan, Aplikasi konsep).

Untuk menyampaikan materi pada setiap siklus dilakukan dalam dua kali pertemuan dan satu kali

digunakan untuk evaluasi. Pelaksanaan siklus I untuk pertemuan pertama dan kedua dilaksanakan

berdasarkan skenario pembelajaran yang telah direncanakan. Selama proses pembelajaran

berlansung dilakukan observasi terhadap kegiatan guru dan kegiatan belajar siswa yang dicatat pada

pedoman observasi guru dan siswa.

Berdasakan analisis data tiap-tiap siklus pada tabel diatas, terlihat bahwa hasil dari siklus-

kesiklus mengalami peningkatan. Data hasil observasi pada siklus I menunjukkan bahwa nilai rata-

rata efektivitas siswa sebesar 2,7 dan megalami peningkatan pada sisklus II yaitu sebasar 3,3. Data

hasil observasi pada siklus I manunjukkan bahwa nilai rata-rata aktivitas guru 2,57, megalami

peningkatan pada siklus II yaitu sebasar 3,36. Dan analisis hasil balajar siklus I menunjukan bahwa

nilai rata-rata siswa sebesar 67dengan persentase ketuntasan belajar siswa sebesar 70%. Pada siklus

II mengalami peningkatan nilai rata-rata siswa sebesar 77,16 dengan presentase ketuntasan belajar

86,66%. Ini berarti ketuntasan belajar siswa telah sesuai dengan ketuntasan belajar yang diharapkan

yaitu menimal 85 %.

Belum tercapainya ketuntasan belajar secara klasikal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

antara lain penggunaan waktu yang kurang efektif karena hanya ada sebagian siswa saja yang

masih mengingat materi bilangan bulat sehingga guru menjelaskan ulang materi tersebut sebab

materi bilangan bulat merupakan materi pendukung. Banyaknya waktu yang tersisa untuk

menjelaskan pada siswa tentang materi bilangan bulat, menyebabkan pengalokasian waktu tidak

baik sehingga berpengaruh pada kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Selain itu banyak

waktu yang terpakai untuk diskusi dalam mengerjakan LKS, karena masih banyak kelompok yang

belum dapat menggunakan alat peraga yang diberikan untuk mempermudah mengerjakan LKS.

Selama proses belajar berlangsung dilakukan observasi terhadap kegiatan guru dan siswa

yang dicatat pada pedoman observasi. Hasil observasi menunjukan bahwa proses pembelajaran

sudah berjalan cukup baik, dilihat dari sudah terlaksananya kegiatan sesuai skenario pembelajaran.

Siswa juga sudah dapat bekerja sama dengan baik antara anggota kelompok, siswa aktif dalam

diskusi, siswa dapat menyimpulkan dengan baik sesuai bahasanya sendiri, serta guru mampu

manjelaskan dengan baik.

Dari dua siklus yang dilakukan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

hasil belajar siswa yaitu berdasarkan hasil evaluasi masing-masing siklus rata-rata nilai siswa yang

diperoleh dari siklus kesiklus terus meningkat. Peningkatan hasil belajar siswa didukung dengan

peningkatan efektivitas belajar siswa pada saat proses pembelajaran. Ini berarti jika metode

pembelajaran EPA (Eksplorasi, Penerapan, dan Aplikasi konsep) diterapkan secara optimal sesuai

dengan karakteristik pada pembelajaran matematika sub materi operasi bilangan bulat, maka hasil

belajar siswa dapat ditingkatkan sampai mencapai ketuntasan dalam belajar.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran dengan

menerapkan metode EPA dapat meningkatkan hasil dan efektivitas belajar matemátika pada sub

materi operasi bilangan bulat siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu Tahun ajaran 2018/2019.Hal

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 368

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

ini dapat dilihat dari dua siklus. Pada siklus I nilai rata-rata efektivitas belajar siswa yaitu sebesar

2,7 (kategori cukup aktif) dan pada silkus II meningkat menjadi 3,3 (kategori aktif), pada siklus I

nilai rata-rata efektivitas guru yaitu sebesar 2,57 (cukup baik) dan pada siklus II meningkat menjadi

3,36 (kategori aktif). Setelah dilakukan perhitungan diperoleh presentase pada siklus I adalah 70%

dan nilai rata-rata siswa adalah 67. Sedangkan pada siklus II diperoleh presentase adalah 86,66%

dan nilai rata-rata siswa 77,16 dengan demikian ada peningkatan presentase belajar yang signifikan

dari siklus I ke siklus II.

Materi bilangan bulat adalah konsep dasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa sebelum

mempelajari materi pada jenjang yang lebih tinggi, sehingga menjadi dasar untuk siswa dalam

menyelesaikan masalah-masalah matematika yang akan dihadapi di proses pembelajaran di sekolah

maupun di lingkungannya. Sangat penting bagi guru untuk membuat inovasi dalam membantu dan

mencari solusi agar siswa dapat mudah memahami materi operasi bilangan bulat. Konsep, sifat,

prinsip, serta prosedur yang ada kaitannya dengan bilangan bulat agar mereka tidak terus

melakukan kesalahan kesalahan dalam menyelesaikan masalah yang selalu melibatkan operasi

bilangan bulat. Guru juga harus mampu mempersiapkan, menyediakan dan menciptakan aktivitas

serta pengalaman belajar yang dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan bulat. Guru harus

cermat dalam menganalisis dan merefleksi terhadap kesalahan-kesalahan siswa dalam

menyelesaikan suatu masalah, agar guru dapat mengetahui kesalahan yang kerap kali dilakukan

siswa serta dapat menentukan tindak lanjut yang pas dengan masalah yang terjadi, sehingga guru

dapat memperbaiki cara mengajarnya, memotivasi dan mendukung siswa untuk memperbaiki atau

menghindari kesalahan dalam menyelesaikan soal.

DAFTAR RUJUKAN

Ali, A. 2002. menguap Tabir Hukum. Jakarta: PT Toko gunung agung.

ASTUTY, K. Y. (2013). Analisis Kesalahan Siswa Kelas V Dalam Menyelesaikan Soal Matematika

Pada Materi Pecahan di SDN Medokan Semampir I/259 Surabaya. MATHEdunesa, 3(2).

Dwi, F, H. 2008. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: UPP Stim YKPN.

Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah

Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

Sanjaya.2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta : Kencana

Prenada Media.

Semiwan. Dkk. 1989. Pendekatan Keterampilan Proses. Gamadia.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 369

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENGARUH INFORMATION, MEDIA, DAN TECHNOLOGY LITERACY TERHADAP

KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

Dewi Sulistiyarini1; Febrianto Sabirin

2

1,2Prodi Pendidikan Teknologi Informasi dan Komputer, Fakultas Pendidikan MIPA dan

Teknologi,IKIP-PGRI Pontianak

e-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh information literacy,

technology literacy, dan media literacy secara bersama-sama terhadap kemampuan pedagogik guru

Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Kubu Raya. Penelitian akan dilakukan pada guru Sekolah

Menengah Pertama di Kabupaten Kubu Raya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode ex-

post facto dengan bentuk penelitian yaitu correlational comparative. Jumlah populasi penelitian

sebesar 1041 orang yang tersebar di 5 kecamatan. Sampel yang digunakan sebesar 290 orang dan

dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara information literacy, technology literacy, dan media

literacy terhadap kompetensi pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu Raya.

Besarnya pengaruh adalah 52,3% dengan model regresi yaitu Y = 2,114 + 0,816X1 + 0,186X2 +

0,183X3 yang dapat digeneralisasikan ke populasi penelitian.

Kata Kunci: Information Literacy, Media Literacy, Technology Literacy, Kompetensi Pedagogik

PENDAHULUAN

Guru merupakan garda terdepan dalam memajukan pendidikan di suatu daerah, tidak

terkecuali Kabupaten Kubu Raya. Meskipun dalam kenyataannya, untuk memajukan pendidikan di

Kabupaten Kubu Raya perlu dukungan dari berbagai pihak seperti Pemerintah Daerah melalui

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penyedia Tenaga Keguruan (LPTK), masyarakat, dan

peserta didik itu sendiri. Akan tetapi, guru merupakan seorang yang langsung berhubungan dengan

peserta didik itu sendiri dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karena hal itulah guru merupakan

komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di suatu daerah.

Pada era teknologi informasi dan komunikasi saat ini guru tentunya dituntun untuk mampu

memanfaatkan dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar

mengajarnya. Tuntutan tersebut tentunya membawa peluang dan tantangan baru bagi para guru. Hal

ini juga tentunya terjadi pada guru-guru yang ada di SMP di Kabupaten Kubu Raya dimana

merupakan daerah yang langsung berbabatasan dengan Ibukota Provinsi Kalimatan Barat sehingga

dari sisi teknologi seharusnya tidaklah tertinggal. Kemajuan teknologi tersebut tentunya menjadi

peluang karena teknologi memberikan kemudahan bagi para guru SMP di Kabupaten Kubu Raya

dalam mengembangkan pengetahuan, memperbaiki kualitas pembelajaran, memberikan kemudahan

dalam evaluasi. Selain peluang, kemajuan teknologi ini juga merupakan tantangan bagi guru karena

guru perlu untuk terus mempelajari dan mengaktualisasi diri dalam upaya menguasai teknologi

yang terus berkembang.

Terkait dengan kemajuan teknologi setidaknya ada tiga kecakapan (literacy) yang perlukan

pada abad 21 yaitu information literacy (literasi informasi), media literacy (literasi media), dan

technology literacy (literasi teknologi) (Kivunja, 2015: 181). Ketiga literasi ini menjadi penting saat

ini, dimana kemajuan teknologi sangat mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosial dari masyarakat

tak terkecuali dibidang pendidikan dan guru khususnya. Apabila tiga literasi tersebut dapat dikuasi

oleh guru SMP di Kabupaten Kubu Raya tentunya akan membantu kinerja guru terkait dengan

perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, hingga evaluasi hasil pembelajaran.

Literasi informasi menjadi kecakapan yang memiliki peran sentral pada era teknologi

informasi dan komunikasi. Sejak meledaknya penggunaan perangkat genggam dalam satu dekade

terakhir dan diikuti dengan menyebarnya jaringan internet di Kabupaten Kubu Raya, arus informasi

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 370

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

yang mengalir menjadi sangat tidak terbendung. Menurut penelitian yang dilakukan secara kualitatif

(Nitsos, 2015: 226) maupun kuantitatif (Feng & Ha, 2016: 1653; Sunaga, 2016: 49; Ezziane, 2007:

191) menunjukkan literasi informasi merupakan komponen yang penting dalam dunia pendidikan

khususnya seorang guru. Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa literasi informasi

berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis seorang guru (Saglam, et. al, 2017: 31) dan efektifitas

pembelajaran di kelas (Xu & Chen, 2016; 335).

Terkait dengan literasi informasi, literasi yang berdampingan yaitu liteasi media. Apabila

literasi informasi terkait dengan bagaimana informasi diperoleh dan digunakan, literasi media

terkait dengan cara menyampaikan informasi. Guru sebagai pendidik dan pembelajar selain harus

mampu memperbaharui informasi perlu juga untuk menyampaikan informasi yang telah

didapatkannya kepada peserta didik, hal ini bertujuan agar siswa sebagai peserta didik mendapatkan

informasi yang benar dan reliabel dalam proses belajar mengajar. Hubungan antara literasi media

dan pengajaran (Meehan, et. al, 2015: 81) adalah literasi media digunakan sebagai cara untuk

menyebarkan, membagikan, bahkan mendemonstrasikan informasi menggunakan cara-cara lama

(teacher centered), sedangkan penelitian Jolls (2015: 65) menunjukkan bahwa pemanfaatan literasi

media dapat mengubah cara belajar menjadi pembelajaran yang berorientasi pada guru bergerak

menjadi pembelajaran yang berorientasi pada siswa.

Literasi terakhir yang berkaitan dengan penggunaan teknologi atau technology literacy.

Teknologi yang ditekankan disini adalah teknologi informasi dan komunikasi atau information and

communication technology (ICT). Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Makinde, et. al. (2013)

yang menunjukkan bahwa literasi teknologi merupakan keterampilan yang dibutuhkan pada sektor

pendidikan, hal ini tentunya perlu ditanggapi oleh guru SMP di Kabupaten Kubu Raya dengan

memanfaatkan teknologi untuk memperoleh dan mengelola informasi yang telah didapatkan.

Kemajuan teknologi tersebut sejatinya harus digunakan sebaik mungkin untuk mempermudah

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Penelitian studi kasus (Digby & Bey, 2014),

kuantitatif (Oluwatumbi, 2015: 21; Correos, 2014: 1), survei (Obasuyi, 2015: 63) menunjukkan

bahwa penggunaan teknologi khususnya ICT memegang peranan penting dalam proses

pembelajaran.

Berdasarkan penjabaran mengenai kecakapan yang diperlukan pada era teknologi informasi,

maka penting untuk dilakukan penelitian yang dapat mengetahui apakah literasi informasi, literasi

media, dan literasi teknologi dapat memberikan pengaruh terhadap proses belajar mengajar guru di

kelas, terutama di kabupaten Kubu Raya yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan

ibu kota provinsi.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode ex-post facto. Metode ex-post facto

merupakan metode penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan atau pengaruh dari variabel

yang diteliti. Menurut Sukardi (2012 : 165) metode ex-post facto merupakan metode yang dimana

pada saat penelitian dilakukan, variabel bebas telah terjadi dan mulai melakukan pengamatan terkait

variabel terikat. Bentuk penelitian yang digunakan yaitu correlational comparative. Correlational

comparative yaitu bentuk penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan sebab akibat dari

variabel penelitian.

Penelitian akan dilakukan pada guru–guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berada di

Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Populasi penelitian yaitu guru SMP di Kabupaten Kubu

Raya yang telah mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) yaitu sebanyak 1041 orang. Berdasarkan

tabel Issac & Michael dengan jumlah populasi sebesar 1041 orang, diketahui jumlah sampel yang

akan digunakan dalam penelitian adalah sebesar 290 orang. Pemilihan sampel penelitian dilakukan

dengan teknik simple random sampling.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, maka perlu dilakukan prosedur yang sesuai

dengan kaidah-kaidah penelitian kuantitatif khususnya penelitian Ex Post Facto. Adapun prosedur

dari penelitian ini adalah: (1) Perumusan masalah yang diangkat dari fenomena-fenomena didukung

hasil-hasil penelitian berkaitan dengan information literacy, media literacy, technology literacy, dan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 371

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

kompetensi pedagogik guru. (2) Mengajukan hipotesis yang dapat menerangkan hubungan antara

variabel-variabel yang diteliti. (3) Pembuatan alat pengumpul data yang valid secara isi, konstruksi,

dan empiris. (4) Pengelompokkan data yang memiliki karakteristik yang menjadi konsen penelitian.

(5) Pengumpulan data yang berhubungan dengan variabel yang diteliti yaitu information literacy,

media literacy, technology literacy, dan kompetensi pedagogik guru. (6) Analisis data yang

digunakan terdiri dari analisis statistik inferensial berupa uji multivariat. (7) Penafsiran hasil data

dilakukan dengan memperhatikan hasil analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan

masalah.

Teknik dan alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian adalah teknik komunikasi

tidak langsung berupa kuesioner (angket) tertutup. Kuesioner atau angket digunakan untuk

mengumpulkan data information literacy, technology literacy, media literacy, dan kemampuan

pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu Raya. Teknik kuesioner yang

digunakan menggunakan kuesioner tertutup dengan empat alternatif jawaban. Alternatif jawaban

yang digunakan menggunakan Skala Likert.

Alat pengumpul data information literacy menggunakan indikator yang dikembangkan oleh

Pradeepa Wijetunge (2003) yang telah disesuaikan untuk penelitian ini, media literacy

menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Simons, et. al (2017) yang telah disesuaikan

untuk penelitian ini, technology literacy menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Katz

(2007) yang telah dikembangkan untuk penelitian ini, dan kemampuan pedagogik menggunakan

indikator berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun

2007.

Sebelum digunakan dalam penelitian, alat pengumpul data dilakukan uji validitas dan

reliabilitas. Uji validitas dilakukan secara isi, konstruksi, dan empirik. Validitas isi dan konstruksi

dilakukan oleh expert judgment dan validitas secara empirik dilakukan menggunakan rumus produk

momen. Berdasarkan uji validitas yang telah dilakukan maka butir pernyataan untuk information

literacy berjumlah 32, media literacy berjumlah 21, technology literary berjumlah 29, dan

kompetensi pedagogik berjumlah 35. Adapun uji reliabilitas menggunakan alpha cronchbach

dengan hasil pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Variabel R Kategori

Information Literacy 0.940 Sangat Kuat

Media Literacy 0,880 Sangat Kuat

Technology Literacy 0,657 Kuat

Kompetensi Pedagogik 0,972 Sangat Kuat

Berdasarkan tabel 1, maka dapat diketahui bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian

ini memiliki reliabilitas dalam kategori sangat kuat dan kuat.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah statistik inferensial yaitu

perhitungan regresi linear ganda. Regresi linear ganda digunakan untuk mengetahui besarnya

pengaruh antara variabel bebas secara bersama–sama terhadap variabel terikat. Berikut rumus

perhitungan regresi :

Keterangan:

Y = Variabel terikat

X1, X2, X3 = Variabel bebas

a = Konstanta

b1, b2, b3 = parameter regresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bedasarkan masalah yang telah dikemukakan, maka dala penelitian ini dapat disusun

hipotesis sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 372

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

H0 : Tidak terdapat pengaruh information literacy, media literacy, dan technology literacy

terhadap kompetensi pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu

Raya

Ha : Terdapat pengaruh information literacy, media literacy, dan technology literacy

terhadap kompetensi pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu

Raya

Dalam pengujian hipotesis dalam penelitian ini perlu dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji

multikolineritas, uji linearitas, uji normalitas, dan uji heterokedastisitas. Uji normalitas dan

heterokedastisitas untuk membuktikan bahwa data hasil penelitian dapat digeneralisasikan. Untuk

uji multikolineritas dan lineritas dapat dilakukan sebelum melakukan analisis regresi ganda,

sedangkan uji normalitas dan uji heterokedastisitas dilakukan setelah melakukan analisis regresi

ganda. Uji normalitas dan uji heterokedastisitas dilakukan setelah melakukan uji regresi ganda

karena menggunakan data residual.

Uji lineritas bertujuan untuk mengetahui apakah data dari variabel bebas yaitu information

literacy, media literacy, dan technology literacy mempunyai hubungan yang liner dengan variabel

terikat yaitu kompetensi pedagogik. Data yang baik seharusnya terdapat hubungan yang liner antara

variabel bebas dan variabel terikat. Hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Linearitas

Variabel Deviation from linearity Signifikansi Kesimpulan

Information Literacy –

Komptensi Pedagogik

0,090 0,05 Linear

Media Literacy –

Komptensi Pedagogik

0,148 0,05 Linear

Technology Literacy –

Komptensi Pedagogik

0,144 0,05 Linear

Bedasarkan tabel 2 maka diketahui ketiga variabel bebas memiliki hubungan yang linear

dengan variabel terikat.

Uji selanjutnya adalah uji multikolinearitas yang dimaksudkan untuk mengetahui ada

tidaknya multikolinearitas antar variabel bebas sebagai syarat uji regresi berganda. Uji

multikolinearitas bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya hubungan linear antara variabel bebas

dengan variabel bebas lainnya. Uji multikolenieritas dalam peneliti ini dilakukan dengan melihat

nilai variance inflation factor (VIF) dan juga melihat nilai tolerance. Hasil pengujian

multikolinearitas dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas

Variabel Collinearity Statistic Kesimpulan

Tollerance VIF

Information Literacy 0.718 1,393 Tidak terjadi multikolinearitas

Media Literacy 0.811 1,234 Tidak terjadi multikolinearitas

Technology Literacy 0.680 1,471 Tidak terjadi multikolinearitas

Berdasarkan tabel 3. maka diketahui ketiga variabel bebas memiliki hubungan yang linear

dengan variabel terikat. Oleh karena ada hubungan yang linear antara variabel bebas dengan

variabel terikat dan tidak adanya hubungan linear antara variabel bebas maka dapat dilakukan

pengujian regresi ganda guna menjawab hipotesis penelitian.

Dalam melihat regresi ganda pertama-tama akan dilihat besarnya koefisien determinan dari

variabel bebas (information literacy, media literacy, dan technology literacy) terhadap variabel

terikat (kompetensi pedagogik) maka digunakan model summary dengan melihat nilai R dan R

Square (R2). Hasil pengujian koefisien determinan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Koefisen Determinan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

The Estimate

1 0.723 0.523 0.518 9.281

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 373

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Berdasarkan tabel 4 maka dapat diketahui bahwa nilai rhitung antara variabel bebas

(information literacy, media literacy, dan technology literacy) terhadap variabel terikat (kompetensi

pedagogik) sebesar 0.723 dengan arah korelasi yaitu positif. Koefisien deterimanasi (KD) yaitu

sebesar (Rhitung)2 yaitu 0.523 atau 52.3% yang berarti information literacy, media literacy, dan

technology literacy memberikan pengaruh sebesar 52.3% terhadap kompetensi pedagogik guru

SMP di Kabupaten Kubu Raya, sedangkan 47,7% dipengaruhi variabel lain.

Untuk mengetahui apakah pengaruh dari variabel bebas signifikan atau tidak maka dilakukan

pengujian ANOVA. Hasil Pengujian ANOVA dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pengujian ANOVA

Model Sum of

Squares

Df Mean

Square

F Sig

1 Regresion

Residual

Total

26989.767

23636.664

51626.431

3

286

289

8996.589

86.142

104.439 0.000

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui apakah terdapat pengaruh yang nyata (signifikan) antara

variabel bebas (information literacy, media literacy, dan technology literacy) terhadap variabel

terikat (kompetensi pedagogik). Dari output pada tabel 5 diketahui bahwa nilai Fhitung = 104,439

dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 yang berarti nilai signifikansi lebih kecil dari taraf

signifikansi (0.000< 0.05). Hal ini berarti Ha diterima dan Ho ditolak atau terdapat pengaruh

information literacy, media literacy, dan technology literacy secara bersama-sama yang signifikan

terhadap komptensi pedagogik guru SMP di Kabupaten Kubu Raya. Oleh karena itu, model regresi

ini dapat dipakai untuk memprediksi variabel kompetensi pedagogik guru SMP di Kabupaten Kubu

Raya.

Untuk melihat nilai koefisien dari masing-masing variabel digunakan tabel koefisensi

pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil Koefisien Pengaruh Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat

Model Unstandardized

Cofficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std.

Error

Beta

1 (Constant)

Information Literacy

Media Literacy

Technology Literacy

2,114

0,816

0,186

0,163

0,592

0,069

0,070

0,049

0,568

0,070

0,165

3.571

11,771

2,655

3,340

0,001

0,000

0,008

0,001

Berdasarkan tabel. 6 diketahui bahwa nilai konstanta (a) = 2,114, nilai regresi (b) untuk

Information Literacy (X1)= 0,816, nilai regresi (b) untuk Media Literacy (X2)= 0,186, dan nilai

regresi (b) untuk Technology Literacy (X3)= 0,163. Untuk melihat apakah masing-masing koefisien

regresi mempunyai pengaruh yang signifikan atau tidak maka perlu dilihat nilai signifikansinya.

Pada tabel 6 nilai signifikansi dari variabel bebas dan konstanta lebih kecil 0,005 sehingga dapat

dikatakan konstanta dan variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan. Berdasarkan data

tersebut maka persamaan regresinya adalah: Y = 2,114 + 0,816X1 + 0,186 X2 +0,183 X3

Nilai konstanta sebesar 2,114 menunjukkan bahwa jika tidak ada variabel information

literacy, media literacy, dan technology literacy maka skor kompetensi pedagogik guru adalah

2,114. Berdasarkan model yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan satu skor

information literacy, media literacy, dan technology literacy maka kompetensi pedagogik akan

bertambah 0.816 + 0.186 + 0,183 = 1,185.

Untuk mengetahui apakah persamaan regresi yang telah dihasilkan dapat digeneralisasikan

atau tidak maka perlu dilakukan uji normalitas dan uji heterokedastisitas. Apabila data berasal dari

sampel yang berdistribusi normal dan tidak terjadi heterokedastisitas maka persamaan regresi dapat

generalisasikan ke populasi penelitian.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 374

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov. Uji

One Sample Kolmogorov-Smirnov digunakan karena jumlah sampel yang besar (lebih dari 200

responden). Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan menggunakan data residual

dari data penelitian. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji Normalitas

Variabel Asymp. Sig

(2-taile)

Signifikansi Kesimpulan

Residual 0.714 0.05 Normal

Berdasarkan tabel 7 nilai signifikansi dari residual data penelitian sebesar 0.174. Nilai

signifikasi diketahui lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan data dari berasal dari sampel yang

berdistribusi normal.

Uji Heterokedastisitas dilakukan untuk menilai apakah ada ketidaksamaan varian dari residual

untuk model regresi liner. Apabila heterokedastisitas tidak terpenuhi maka model regresi tidak

dapat digunakan sebagai alat peramal. Uji heterokedastisitas yang digunakan dalam penelitian ini

adalah menggunakan uji Park. Untuk melakukan Uji Park data perlu ditransformasi menggunakan

logaritma natural (ln) pada variabel bebas dan memasukkan logaritma natural dari kuadrat residual

sebagai variabel terikat. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil Uji Heterokedastisitas

Model Unstandardized

Cofficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std.

Error

Beta

1 (Constant)

Information Literacy

Media Literacy

Technology Literacy

2,751

2,012

-0,735

-1,347

6,721

1,664

1,024

0,887

0,084

-0,047

-0,107

1,209

-0,718

-1,518

0,228

0,473

0,130

Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa nilai signifikansi dari ketiga variabel bebas lebih besar

dari taraf signifikansi (>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala

heteroskedastisitas dalam variabel bebas.

Setelah melakukan uji normalitas dan uji heterokedastisitas maka dapat disimpulkan bahwa

model regresi yang telah dibuat dapat digeneralisasikan ke dalam populasi penelitian.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kivunja (2015) dimana

dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa tenaga kerja pada abad 21 perlu dibekali dengan

information literacy, media literacy, dan technology literacy dan dalam penelitian ini menujukkan

bahwa untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru perlu dibekali dengan kecakapan terkait

Informasi, media, dan teknologi. Menurut Koltay manusia perlu melakukan pembaruan konsep dan

komptensi secara konstan sesuai dengan perubahan lingkungan dan tidak hanya menguasai satu

literasi saja. Dari pendapat Koltay tersebut dapat dikatakan bahwa seorang guru saat ini perlu

menguasai tidak hanya satu kecakapan saja, tetapi perlu menguasai kecakapan dibidang informasi,

media, dan teknologi, terutama pada era teknologi informasi saat ini.

Penelitian-penelitian lain yang mendukung information literacy, media literacy, technology

literacy terhadap komptensi pedagogik guru lebih banyak dilakukan secara parsial. Penelitian Feng

& Ha, Enrich & Popescu menunjukkan bahwa literasi pada bidang informasi memberikan dampak

pada proses belajar dan pembelajaran, sementara penelitian Geraee, dkk menunjukkan bahwa

penguasan media literasi akan membantu penguatan siswa dalam memperoleh pengetahuan, dan

penelitian Ezziane menunjukkan bahwa penguasaan literasi teknologi informasi oleh guru akan

mendorong siswa untuk menguasai teknologi informasi. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan

secara parsial tersebut dapat dilihat bahwa literasi informasi, media, dan teknologi dapat membantu

guru dalam proses belajar mengajar di kelas.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 375

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data dari penelitian Analisis Information

Literacy, Technology Literacy, dan Media Literacy Terhadap Kompetensi Pedagogik Guru Sekolah

Menengah Pertama di Kabupaten Kubu Raya dapat simpulkan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara Information Literacy, Technology Literacy, dan Media Literacy terhadap

Kompetensi Pedagogik Guru SMP di Kabupaten Kubu Raya. Penguatan Information Literacy,

Media Literacy, dan Technology Literacy perlu menjadi konsen untuk meningkatkan komptensi

guru terkait dengan proses belajar mengajar, hal ini tidak lain karena pada era teknologi informasi

saat ini guru perlu menguasai literasi yang berkembang saat ini yaitu literasi yang terkait dengan

teknologi informasi dan komunikasi.

DAFTAR RUJUKAN

Depdiknas. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, tentang

Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Digby, C. & Bey, A. (2014). Technology literacy assessments and adult literacy programs:

pathways to technology competence for adult educators and learners. Journal of Literacy and

Technology, Volume 15, Number 3. 28-57

Ezziane, Z. (2007). Information Technology Literacy: Implications on Teaching and Learning.

Educational Technology & Society, 10 (3). 175-191

Feng, L. & Ha, J.L. (2016). Effects of Teachers’ Information Literacy on Lifelong Learning and

School Effectiveness. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 12(6),

1653-1663

Jolls, T. (2015). The New Curricula: How Media Literacy Education Transforms Teaching and

Learning. Journal of Media Literacy Education, 7(1). 65 -71

Katz, I. R. (2007). Testing Information Literacy in Digital Environments: ETS's iSkills Assessment.

Information Technology and Libraries, 26(3), 3-12

Kivunja, C. (2015). Unpacking the Information, Media, and Technology Skills Domain of the New

Learning Paradigm. International Journal of Higher Education, Vol 4, No. 1. 166-181

Makinde, S. O., et. al. (2013). ICT Literacy of Language Teachers in Selected Lagos State

Secondary Schools, Nigeria. African Journal of Teacher Education.

https://journal.lib.uoguelph.ca/index.php/ ajote/article/view/2782/3256

Meehan, J., et. al. (2015). Media Literacy in Teacher Education: A Good Fit Across the Curriculum.

Journal of Media Literacy Education, 7(2). 81-86

Nitsos, I. (2015). Teachers’ views of information literacy practices in secondary education: A

qualitative study in the Greek educational setting. Journal of Librarianship and Information

Science, Vol. 47, Issue: 3. 226-241

Obasuyi, L. O. (2015). Information and Communication Technology Literacy Skills and Class

Instruction: a Comprehensive Perception Survey of University of Benin First Year Students.

Nordic Journal Of Information Literacy I N Higher Education, Vol. 7, issue 1. 63-79

Oluwatumbi, O. S. (2015). ICT Literacy Among Vocational and Technical Education Teacher in

Kogi State Technical and Vocational Collages: Skill Gaps. British Journal of Education, Vol.3,

No.5, 21-30.

Sunaga, K. (2016). The survey of the information literacy among students and teachers. Education

Reform Journal, Vol. 1 No 2. 49-55

Saglam, A. C., et. al. (2017). The Effect of Information Literacy on Teachers’ Critical Thinking

Disposition. Journal of Education and Learning. Vol. 6, No. 3. 31-40

Simons, M., Meeus, W., & T'sas, J. (2017). Measuring Media Literacy for Media Education:

Development of a Questionnaire for Teachers' Competencies. Journal of Media Literacy

Education. 9(1), 99-115

Wijetunge, P. (2003). Empowering 8: the Information Literacy Model Developed in Srilanka to

Underpin Changing Education Pradigms of Sri Langka. Arilanka Journal Of Librarianship,

1(1), 31-41.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 376

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Xu, A. & Chen, G. A Study on the Effects of Teachers’ Information Literacy on Information

Technology Integrated Instruction and Teaching Effectiveness. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology Education, 12(2), 335-346

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 377

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA SMP DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING

Edi Wahyudi1

1 STKIP Weetebula Sumba Barat Daya

e-mail: [email protected]

Abstrak: Berdasarkan hasil observasi pra-penelitian yang dilakukan peneliti dalam

pembelajaran matematika siswa SMP diperoleh self-efficacy pada kriteria sangat rendah 3.13%,

kriteria rendah 9.38%, kriteria sedang 71.88%, kriteria tinggi 15.63% dan kriteria sangat tinggi 0%.

Penelitian ini bertujuan meningkatkan self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika melalui

penerapan pembelajaran Problem Based Learning. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam

dua siklus, indikator keberhasilan penelitian ini adalah terjadi peningkatan self-efficacy siswa untuk

tiap siklus dan mencapai target yang sudah dibuat yaitu 15 % kategori sangat tinggi, 50 % kategori

tinggi, 30% kategori sedang, 5% kategori rendah dan 0% kategori sangat rendah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa self-efficacy siswa untuk siklus I dan II berturut-turut adalah 96.60 (sedang)

dan 106.55 (tinggi), sedangkan rata-rata ketuntasan klasikal siklus I dan II berturut-turut adalah

76.47% dan 80,29%. Rata-rata nilai hasil evaluasi siklus I dan II berturut-turut adalah 76 dan 80.

Melihat keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based

Learning dapat meningkatkan self-efficacy siswa.

Kata Kunci: Problem Based Learning (PBL), Self-Efficacy, Penelitian Tindakan Kelas

PENDAHULUAN

Merujuk dari sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan tidak terlepas dari proses belajar

mengajar secara terencana antara pendidik dengan peserta didik yang dilakukan secara sadar akan

pentingnya proses pembelajaran. Semua pihak mengharapkan proses pendidikan disetiap jenjang

pendidikan dapat menghasilkan kualitas yang benar-benar sesuai dengan yang telah ditetapkan,

karena maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan bangsa itu sendiri. Salah

satu sekolah menengah pertama yang menjadi perhatian yaitu SMP Negeri 14 Yogyakarta, dimana

salah satu kelasnya memiliki tingkat self-efficacy perlu untuk ditingkatkan. Berdasarkan dari

paparan yang disampaikan oleh guru mata pelajaran matematika ketika melakukan observasi awal

menyatakan bahwa tingkat keyakinan diri atau self-efficacy siswa pada kelas VIII A masih kurang

dan perlu untuk ditingkatkan.

Berdasarkan hasil observasi pra-penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada siswa kelas

VIII A SMP Negeri 14 Yogyakarta untuk tingkat self-efficacy siswa masih tergolong pada kategori

sedang dalam pembelajaran matematika. Hal ini dapat dilihat dari hasil respon siswa terhadap

keyakinan diri yang dimiliki dalam mengerjakan tugas, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan

tugas di depan sambil menjelaskan teman-temannya. Munculnya permasalahan tersebut

menunjukkan bahwa siswa belum yakin dalam menyelesaikan tugas, siswa tidak yakin terhadap

kemampuan yang dimiliki, tindakan untuk memperoleh hasil yang diharapkan dan seberapa besar

usaha siswa dalam belajar matematika.

Dari paparan di atas tidak jauh berbeda dari hasil pengisian angket self-efficacy siswa dalam

pembelajaran matematika yang dilakukan di kelas VIII A. Dilihat dari hasil angket diperoleh bahwa

siswa yang memiliki self-efficacy pada kriteria sangat rendah sebesar 3.13%, untuk persentase

kriteria rendah sebesar 9.38%, sedangkan pada kriteria sedang ini menduduki persentase tertinggi

yaitu sebesar 71.88%, pada persentase kriteria tinggi hanya terdapat 15.63% dan untuk kriteria

sangat tinggi belum ada atau 0%. Hasil dari analisis angket tersebut dapat dilihat pada Tabel 1

sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 378

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tabel 1. Data Angket Self-Efficacy Siswa Sebelum Penelitian

Interval Skor Kriteria Persentase

Sangat Tinggi 0%

Tinggi 15.63%

Sedang 71.88%

Rendah 9.38%

Sangat Rendah 3.13%

JUMLAH 100%

Tabel 1. Memberikan gambaran bahwa dari 32 siswa yang mengisi angket, terdapat 70%

siswa untuk tingkat self-efficacy dalam pembelajaran matematika tergolong sedang. Sehingga

sebagai seorang pendidik perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan self-efficacy siswa

dalam pembelajaran matematika dan target yang akan dicapai pada kategori tinggi sekitar 50%, dan

kategori sangat tinggi 20%. Ketika siswa mempunyai self-efficacy yang tinggi atau sangat tinggi

maka akan memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh siswa kelas VIII A SMP Negeri 14

Yogyakarta khususnya terkait dengan self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika maka

guru harus mencari solusi sehingga dapat meningkatkan self-efficacy siswa. Guru sebagai pendidik

atau sebagai pelaksana pembelajaran harus memiliki keterampilan dan menerapkan pendekatan atau

model pembelajaran yang tepat. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan self-

efficacy siswa adalah dengan pendekatan Problem Based Learning (PBL). Model PBL merupakan

salah satu model pembelajaran yang mudah dan dapat memberikan keyakinan diri siswa dalam

belajar matematika. Dengan Problem Based Learning dapat membuat proses pembelajaran lebih

memotivasi siswa untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan

meyakini siswa bahwa mereka dapat mengerjakan berbagai soal-soal matematika.

Melalui Problem Based Learning ini, siswa diminta untuk berfikir dalam menyelesaikan

permasalahan matematika yang diberikan baik itu pemecahan masalah yang dilakukan dengan

kelompok maupun pemecahan masalah secara individu sehingga dapat menjadi solusi dalam

mengatasi self-efficacy siswa yang tergolong sedang. Adapun tahapan-tahapan dalam pembelajaran

PBL yaitu mampu meningkatkan keyakinan atau kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran

matematika. Oleh sebab itu, guru berkolaborasi dengan peneliti untuk melakukan penelitian

tindakan kelas (PTK) dengan judul “Meningkatkan self-efficacy Siswa dalam Pembelajaran

Matematika dengan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) di Kelas VIII A SMP

Negeri 14 Yogyakarta”.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan

secara bersama-sama (kolaboratif) antara guru mata pelajaran matematika dan peneliti yang

dilakukan di SMP Negeri 14 Yogyakarta.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIIA di SMP Negeri 14 Yogyakarta dan objek

penelitian ini adalah keseluruhan proses dan hasil pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran

Problem Based Learning (PBL) sebagai upaya meningkatkan self-efficacy siswa kelas VIIIA SMP

Negeri 14 Yogyakarta.

Instrumen Pengumpulan Data

1. Angket Self-Efficacy Siswa

Angket digunakan untuk mengetahui peningkatan self-efficacy siswa yang terjadi antar siklus

dalam pembelajaran matematika.

2. Observasi/Pengamatan

Lembar observasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati setiap

kejadian yang sedang berlangsung dan mencatatnya secara sistematis. Observasi dilakukan

berdasarkan pada lembar observasi untuk mengamati keterlaksanaan pembelajaran sesuai dengan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 379

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

sintaks pembelajaran PBL yang terjadi di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung.

Observer mencatat segala kegiatan yang terjadi selama proses pembelajaran pada lembar

observasi yang telah disiapkan.

3. Catatan di Kelas

Hasil dari refleksi merupakan perubahan atau perbaikan yang dilakukan berdasarkan pada

catatan di kelas selama pembelajaran berlangsung.

4. Soal Evaluasi/Tes

Ketercapaian kompetensi dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran matematika

dikumpulkan dari hasil pre-tes dan pos-tes siswa yang berbentuk soal pilihan ganda. Soal

evaluasi untuk siklus I terdiri dari 20 soal pilihan ganda dan soal pada siklus II terdiri dari 15

soal pilihan ganda.

Teknik Analisis Data

a. Angket

Setiap butir pernyataan angket di kelompokkan sesuai dengan aspek yang diamati, kemudian

dihitung jumlah skor pada setiap butir sesuai dengan pedoman penskoran yang dibuat. Jumlah

hasil skor yang diperoleh dipersentase dan dikategorikan sesuai dengan kualifikasi hasil angket

kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika. Pilihan pernyataan dalam angket terdiri

dari lima pilihan jawaban yaitu selalu (SL), sering (SR), Kadang-kadang (KD), jarang (J) dan

tidak pernah (TP) yang berturut-turut nilai penskorannya adalah 5, 4, 3, 2, dan 1. Untuk

pernyataan positif, dan 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk pernyataan negatif, dan 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk

pernyataan negatif. Adapun kisi-kisi angket self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika

sebagai berikut:

Tabel 2. Kisi-Kisi Angket Self-Efficacy Siswa dalam Pembelajaran Matematika

Aspek Indikator Nomor Pernyataan

Jumlah Positif Negatif

Efikasi-diri

untuk

mengerjakan

tugas

matematika

Keyakinan menyelesaikan tugas 1,2,3 4,5,6 6

Keyakinan terhadap kemampuan

mengatasi kesulitan

7,8,9 10,11,12 6

Keyakinan terhadap kemampuan

dalam belajar

13,14,15 16,17,18 6

Efikasi-diri

dalam belajar

matematika

Tindakan untuk memperoleh

hasil yang diharapkan

19,20,21 22,23,24 6

Seberapa besar usaha yang

dilakukan dalam belajar

25,26,27 28,29,30 6

Jumlah 15 15 30

Hasil angket self-efficacy siswa dikategorikan seperti pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Pedoman Kategorisasi Hasil Skor Angket Self-Efficacy Siswa

Interval Skor Kriteria

> 1,5 σ X > 120 Sangat Tinggi

0,5 σ < ≤ + 1,5 σ 100 < X ≤ 120 Tinggi

-0,5 σ < ≤ + 1,5 σ 80 < X ≤ 100 Sedang

-1,5 σ < ≤ -1,5 σ 60 < X ≤ 80 Rendah

≤ -1,5 σ X ≤ 60 Sangat Rendah

(Saifudin Azwar, 2012: 148)

Keterangan:

Standar deviasi/simpangan baku ideal

Rata-rata ideal

b. Lembar Observasi

Dalam penelitian ini, yang diamati adalah keterlaksanna tahap-tahap pembelajaran Data

observasi yang telah diperoleh dihitung, kemudian dipersentasekan sehingga dapat diketahui

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 380

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

seberapa besar peningkatan kepercayaan diri siswa selama proses pembelajaran. Hasil analisis

data observasi kemudian disajikan secara deskriptif. Untuk menghitung presentase keterlaksanaan

pembelajaran yang diamati dengan menggunakan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran

dapat dihitung dengan:

Persentase (P) =

c. Hasil Tes Evaluasi Siklus I dan Siklus II

Hasil tes belajar siswa siklus pertama maupun siklus lanjutan mencerminkan sejauh mana

tingkat ketercapaian kompetensi siswa pada materi tertentu dan ketuntasan siswa selama proses

pembelajaran. Cara menghitung persentase skor yaitu:

Persentase (P) =

Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan merupakan patokan untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan

atau program. Sesuai dengan karakteristik penelitian ini, maka penelitian ini dikatakan berhasil jika

memenuhi tiga aspek berikut yaitu:

1. Terjadi peningkatan self-efficacy siswa untuk tiap siklusnya dan mencapai target yang sudah

dibuat yaitu 15 % untuk kategori sangat tinggi, 50 % untuk kategori tinggi, 30% untuk kategori

sedan, 5% untuk kategori sedang dan 0% untuk kategori sangat rendah.

2. Nilai atau skor siswa yang mencapai KKM mencapai 80%.

3. Keberhasilan dari keterlaksanaan pembelajaran mencapai 85%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterlaksanaan pembelajaran siklus I pertemuan pertama dari 30 item pernyataan untuk

aktivitas guru dan siswa secara keseluruhan mencapai 76,66%, keterlaksanaan pembelajaran siklus I

pertemuan kedua dari 30 item pernyataan aktivitas guru dan siswa mencapai 86,67%, untuk

keterlaksanaan pembelajaran siklus I pertemuan ketiga aktivitas guru dan aktivitas siswa dipisah

masing-masing terdiri 28 item aktivitas guru dan 28 item aktivitas siswa masing-masing 92,85%

(aktivitas siswa) dan 89,28% (aktivitas siswa), selanjutnya pertemuan keempat aktivitas guru dan

aktivitas siswa dipisah masing-masing terdiri 28 item aktivitas guru dan 28 item aktivitas siswa

masing-masing 89,28% (aktivitas siswa) dan 92,85% (aktivitas siswa). Rincian dari proses

keterlaksanaan guru dan siswa dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Keterlaksanaan Siklus I Aktivitas Guru dan Siswa

Pertemuan

Ke-

Banyak Item Keterangan

Guru Siswa Terlaksana Tidak Terlaksana

1 30

Guru 23

Guru 7

Siswa Siswa

76,66% 23,33%

2 30

Guru 26

Guru 4

Siswa Siswa

86,66% 13,33%

3 28 28 Guru 26 92,85% Guru 2 7,14%

Siswa 25 89,28% Siswa 3 10,33

4 28 28 Guru 25 89,28% Guru 3 10,71

Siswa 26 92,85% Siswa 2 7,14%

Keterlaksanaan pembelajaran siklus I pertemuan terakhir untuk aktivitas guru 89,28% dan

aktivitas siswa mencapai 92.85%. Akhir pembelajaran siklus I, peneliti melakukan post-test atau

memberikan soal evaluasi kepada siswa untuk mengukur sejauh mana pemahaman dan penguasaan

materi masing-masing individu pada kompetensi dasar menentukan gradien, persamaan dan grafik

garis lurus yang dilaksanakan pada hari Kamis, 17 November 2016 pukul 07.00-07.20 WIB.

Sebelum dilakukan post-test kepada siswa, terlebih dahulu peneliti memberikan soal pre-tes

sebanyak 20 butir soal pilihan ganda yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Oktober 2016. Hasil

pre-test dan pos-tes siswa kelas VIIIA dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 381

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tabel 5. Hasil Pre-Test dan Post-Test Siklus I Siswa Kelas VIIIA

Pre-Test Post-Test

Rata-Rata Siswa 33.24 68.53

Nilai Maksimum

Siswa

45 90

Nilai Minimum Siswa 3 35

Ketuntasan Klasikal 0% 76.47%

*(skala penskoran mulai dari 0 – 100)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ketuntasan klasikal dari hasil post-test mencapai

76.47% dari jumlah siswa keseluruhan dengan jumlah siswa yang di atas KKM sebanyak 26 siswa

dan di bawah KKM 8 siswa. Hasil yang diperoleh pada siklus I masih di bawah nilai rata-rata

ketuntasan klasikal yaitu 80% sehingga peneliti memberikan remidi kepada 8 anak siswa yang

belum tuntas di luar jam pelajaran. Sedangkan untuk rata hasil afektif dalam hal ini self-efficacy

siswa untuk pra penelitian sebesar 89.87 termasuk dalam kategori sedang dan setelah siklus I rata-

rata self-efficacy siswa meningkat menjadi 96,60 namun masih berada pada kategori sedang

sehingga peneliti melanjutkan ke siklus II.

Hasil observasi oleh observer terhadap proses kegiatan pembelajaran siklus II diperoleh

keterlaksanaan pembelajaran untuk aktivitas guru mencapai 96.43% dan aktivitas siswa 96.43%.

Dilihat dari persentase keterlaksanaan pembelajaran untuk aktivitas guru dan siswa sudah mencapai

atau berada di atas target yang telah ditentukan yaitu 85%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6. Keterlaksaan Pembelajaran Siklus II

Pertemuan

Ke-

Banyak Item Keterangan

Guru Siswa Terlaksana Tidak Terlaksana

1 28 28 Guru 25 89.28% Guru 2 10,33%

Siswa 26 92.85% Siswa 3 7,14%

2 28 28 Guru 27 96.43% Guru 1 3.57%

Siswa 27 96.43% Siswa 1 3.57%

Keterlaksanaan pembelajaran siklus II pertermuan terakhir untuk aktivitas guru 96.43% dan

aktivitas siswa mencapai 96.43%. Akhir pembelajaran siklus II, peneliti melakukan post-test atau

memberikan soal evaluasi kepada siswa untuk mengukur sejauh mana pemahaman dan penguasaan

materi masing-masing individu pada kompetensi dasar menyelesaikan sistem persamaan linear dua

variabel pada hari Sabtu, 26 November 2016 pukul 07.15-07.35 WIB. Sebelum dilakukan post-test

kepada siswa, terlebih dahulu peneliti memberikan soal pre-tes berupa pilihan ganda yang

dilaksanakan pada hari Kamis, 17 November 2016. Hasil pre-test dan pos-tes siswa kelas VIIIA

dapat dilihat pada Tabel 7 di basah ini:

Tabel 7. Hasil Pre-Test dan Post-Test Siklus I Siswa Kelas VIIIA

Pre-Test Post-Test

Rata-Rata Siswa 18.08 80

Nilai Maksimum Siswa 30 93.33

Nilai Minimum Siswa 5 40

Ketuntasan Klasikal 0% 85.29

*(skala penskoran mulai dari 0 – 100)

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa ketuntasan klasikal dari hasil post-test mencapai

85.29% dari jumlah siswa keseluruhan dengan jumlah siswa yang di atas KKM sebanyak 29 siswa

dan di bawah KKM 5 siswa. Hasil yang diperoleh pada siklus II sudah berada dia atas nilai

ketuntasan klasikal yaitu 80% sehingga peneliti melakukan pembelajaran sampai dengan siklus II.

Sedangkan untuk rata hasil afektif dalam hal ini self-efficacy siswa untuk siklus I sebesar 89.87

termasuk dalam kategori sedang dan setelah siklus II rata-rata self-efficacy siswa meningkat

menjadi 106.55 termasuk dalam kategori tinggi.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 382

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Secara umum, siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi pasti mempunyai keyakinan

belajar yang lebih dibandingkan dengan siswa yang memiliki efikasi rendah. Para siswa dengan

self-efficacy yang rendah dalam belajar menghindari tugas yang diberikan, sedangkan untuk para

siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan lebih bersemangat dan berpartisifasi jika

diberikan tugas. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Schunk (2012: 146)

bahwa para siswa yang mampu belajar dengan baik memiliki kepercayaan diri terhadap

kemampuan-kemampuan mereka dalam belajar dan mengharapkan hasil-hasil yang positif dari usah

yang telah meraka lakukan. Efikasi berhubungan dengan keyakinan siswa bahwa dirinya mampu

menyelesaiakan tugas tertentu (Anderson & Krathwohl 2001: 59). Bandura (1999: 2-3) mengartikan

self-efficacy mengacu atau memuat keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengatur dan

melakukan tindakan yang diperlukan terhadap situasi yang akan datang

Peningkatan self-efficacy siswa dalam beberapa siklus menyebabkan hasil belajar matematika

siswa juga meningkat dari siklus ke siklus berikutnya. Bandura mendefinisikan self-efficacy

(harapan terhadap efikasi) berhubungan dengan keyakinan-keyakinan seseorang tentang

kemampuan-kemampuan dirinya untuk belajar atau melakukan tindakan sesuai tingkatan yang

ditentukan (Schunk: 2012: 146). Self-efficacy telah terbukti menjadi responsif terhadap perbaikan

metode belajar siswa terutama yang melibatkan lebih self-regulation dan prediksi hasil prestasi

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan

adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika dengan model Problem Based

Learning (PBL) di kelas VIIIA SMP Negeri 14 Yogyakarta dapat dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Pembelajaran dilakukan dengan diskusi kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri

dari 2-4 orang

b. Masing-masing kelompok mengerjakan LKS yang disusun berdasarkan model pembelajaran

Problem Based Learning.

c. Setelah semua kelompok selesai mengerjakan LKS, perwakilan dari 3-4 siswa dari kelomok

yang berbeda mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan kelompok yang lain

memberikan tanggapan atau perbaikan dari kelompok yang presentasi di depan kelas.

2. Setelah pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) siswa kelas VIIIA SMP

Negeri 14 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2016/2017 deperoleh rata-rata persentase ketuntasan

klasikal siswa pada siklus I dan siklus II berturut-turut yaitu 76.47% dan 85.29%.

3. Proses pembelajaran mengalami perbaikan pada akhir pembelajaran di setiap siklus sehingga

diperoleh persentase dari siklus I sampai dengan siklus II mengalami peningkatan yaitu untuk

siklus satu diperoleh keterlaksanaan pembelajaran aktivitas guru 89.29% dan siswa 92.86%.

Sedangkan siklus II diperoleh keterlaksaan pembelajaran aktivitas guru 96.43% dan siswa

96.43%.

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: A

revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York. Longman.

Bandura, A. (1999). Self-efficacy in changing societies. New York, NY: Cambridge University

Press.

Saifuddin A. (2010). Tes Prestasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Schunk, D. H. (2012). Learning teories: An educational perspective. (6­th ed.). Upper Saddle

River, NJ: Person Education..

Zimmerman, B. J., & Kovach, R. (1996). Developing self-regulated learners: Beyond achievement

to self-efficacy. Washington DC: American Psychology Association.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 383

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

BILANGAN PRIMA DAN BILANGAN TAK TEREDUKSI PADA

BILANGAN BULAT GAUSS

Fariz Maulana1; I Gede Adhitya Wisnu Wardhana

2; Ni Wayan Switrayni

3; Qurratul Aini

4

1,2,3,4Program Studi Matematika FMIPA Universitas Mataram

e-mail: [email protected], [email protected],

[email protected], [email protected]

Abstrak: Bilangan bulat Gauss merupakan bilangan kompleks yang bagian real dan

imajinernya berupa bilangan bulat. Bilangan bulat Gauss dengan penambahan biasa dan

penggandaan bilangan kompleks membentuk suatu Derah Integral yang disimbolkan dengan . Bilangan Prima merupakan hal yang menarik untuk dibahas dalam teori kode atau kriptografi.

Dalam makalah ini akan dibahas hubungan bilangan prima dengan bilangan tak tereduksi pada

Bilangan bulat Gauss serta akan diberikan beberapa sifat yang berkaitan dengan bilangan prima dan

bilangan tak tereduksi pada Bilangan bulat Gauss.

Kata Kunci: Bilangan Bulat Gauss, Bilangan Prima, Bilangan Tak Tereduksi

PENDAHULUAN

Kriptografi adalah salah satu cabang ilmu matematika yang banyak digunakan pada sistem

keamanan digital. Kriptografi itu sendiri berkaitan pada bilangan bulat dan sifat-sifatnya, terutama

bilangan prima. Lebih spesifik, beberapa algoritma penting seperti RSA, sangat bergantung pada

faktorisasi prima dari bilangan bulat yang sangat besar. Oleh karena itu sangat menarik mengkaji

bilangan prima pada sistem matematika yang lebih abstrak, salah satunya bilangan bulat Gauss.

Bilangan bulat Gauss merupakan bilangan kompleks yang bagian real dan imajinernya berupa

bilangan bulat. Bilangan bulat Gauss dengan penambahan biasa dan penggandaan bilangan

kompleks membentuk suatu Derah Integral yang disimbolkan dengan . Bilangan prima dan

bilangan tak tereduksi merupakan definisi yang sama pada Daerah Integral , belum tentu berlaku

pada daerah integral yang lain. Pada makalah ini akan dilihat beberapa sifat bilangan prima dan

bilangan tak tereduksi pada bilangan bulat Gauss yang merupakan perumuman dari bilangan bulat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bilangan Prima dan Bilangan Tak Tereduksi

Definisi 1.1 Suatu elemen dari ring komutatif dengan unsur satuan disebut unit jika membagi

1 atau dengan kata lain memiliki invers perkalian. Dua elemen berasosiasi di jika

dimana adalah suatu unit di .

Definisi 1.2 Suatu elemen tak nol dan bukan unit dari suatu Daerah Integral disebut tak

tereduksi di jika setiap pemfaktoran di hanya terpenuhi bila atau adalah unit.

Definisi 1.3 Suatu elemen tak nol dan bukan unit dari suatu Daerah Integral disebut Prima jika

untuk setiap , berimplikasi atau 2. Daerah Ideal Utama, Daerah Faktorisasi Tunggal dan Daerah Euclid

Definisi 2.1 Suatu Daerah Integral disebut Daerah Faktorisasi Tunggal bila memenuhi kondisi

berikut:

a. Setiap elemen yang bukan nol ataupun unit bisa difaktorkan menjadi perkalian hingga

bilangan tak tereduksi.

b. Jika dan adalah dua faktorisasi berbeda dari suatu unsur di maka

dan faktorisasi dapat diurutkan kembali sehingga dan berasosiasi.

Definisi 2.2 Suatu Daerah Integral merupakan suatu Daerah Ideal Utama jika setiap idealnya

merupakan ideal utama.

Teorema 2.1 Suatu ideal pada Daerah Faktorisasi Tunggal merupakan ideal maksimal jika

dan hanya jika tak tereduksi.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 384

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Bukti. Diberikan ideal maksimal dari suatu daerah faktorisasi tunggal Andaikan di ,

maka Jika maka dan berasosiasi, sehingga merupakan unit.

Jika maka haruslah karena ideal maksimal, sehingga

dan berasosiasi. Akibatnya unit. Sehingga , dimana atau merupakan unit. Jadi tak

tereduksi.

Sebaliknya, andaikan tak tereduksi di Jika kita dapatkan .

Jika unit, maka . Jika bukan unit, maka harus unit, sehingga terdapat

sehingga . Akibatnya , jadi dan kita dapatkan

. Selanjutnya berimplikasi atau dan

atau unit. Jadi ideal maksimal.

Lemma 2.1 Di Daerah Faktorisasi Tunggal, jika elemen tak tereduksi membagi maka atau

Bukti. Diberikan suatu Daerah faktorisasi tunggal, tak tereduksi di dan . Karena

maka . Karena tak tereduksi maka ideal maksimal. Karena setiap ideal maksimal

merupakan ideal prima, berimplikasi atau . Artinya atau

Lemma 2.2 Di Daerah Integral , jika prima di maka tak tereduksi di .

Bukti. Misal artinya , karena prima maka atau . Karena maka

atau . Akibatnya dan atau dan . Sehingga atau untuk suatu unit

. Jadi unit atau unit.

Teorema 2.2 Setiap Daerah Ideal Utama merupakan Derah Faktorisasi Tunggal.

Bukti. Jika merupakan suatu Daerah Ideal Utama, maka terdapat dimana bukan nol

ataupun unit, mempunyai faktor-faktor tak tereduksi

Untuk menunjukkan ketunggalan, misalkan

Merupakan faktor-faktor lain tak tereduksi.

Kemudian kita dapatkan berimplikasi . Tanpa mengurangi perumuman, kita

asumsikan atau maka dan karena tak tereduksi maka unit. Jadi dan

berasosiasi. Kita dapatkan

Berdasakan hukum pembatalan diperoleh

Dengan cara yang sama, diperoleh

Karena tak tereduksi, maka haruslah

Definisi 2.3 Suatu Norma Euclid pada suatu Daerah Integral adalah suatu fungsi yang

memetakan elemen tak nol ke bilangan bulat tak negatif yang memenuhi kondisi berikut :

a. Untuk setiap terdapat sehingga , dimana atau

b. Untuk setiap berlaku

Suatu Daerah Integral merupakan Daerah Euclid bila terdapat norma Euclid pada .

Teorema 2.3 Setiap Daerah Euclid merupakan Daerah Ideal Utama.

Bukti. Diberikan suatu Daerah Euclid dengan norma Euclid , dan diberikan suatu ideal di .

Jika maka dan ideal utama. Untuk , maka ada di Pilih

sehingga merupakan minimal dari semua untuk . Kita klaim bahwa .

Diberikan sehingga berdasarkan kondisi 1 definisi norma Euclid, terdapat dan sehingga

, dima atau . Sekarang dan sehingga Karena suatu ideal, sehingga tidak mungkin. Jadi haruslah sehingga .

Karena merupakan semua elemen dari , maka

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 385

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Teorema 2.4 Setiap Daerah Euclid merupakan Daerah Faktorisasi tunggal.

Bukti. Berdasarkan Teorema 2.3 dan Teorema 2.2 maka jelas Teorema 2.4 terbukti.

Teorema 2.5 Untuk suatu Daerah Euclid dengan norma Euclid , (1) adalah minimal dari semua

untuk elemen tak nol , and adalah unit jika dan hanya jika .

Bukti. Perhatikan bahwa untuk berlaku Karena unit, berlaku juga , untuk suatu unit .

Sebaliknya, andaikan ada elemen tak nol dimana . Dengn menggunakan algoritma

pembagian, terdapat sehingga berlaku

Dimana atau . Karena adalah minimal dari semua untuk

elemen tak nol , tidak mungkin terjadi, karena maka haruslah .

Jadi adalah unit di

3. Bilangan bulat Gauss

Definisi 3.1 Bilangan bulat Gauss adalah suatu bilangan kompleks dengan . Untuk

bilangan bulat Gauss , norma dari ialah .

Lemma 3.1 Dalam , fungsi norma untuk setiap berlaku beberapa sifat sebagai

berikut :

a. .

b. jika dan hanya jika c.

Bukti.

Misalkan dan

a.

, jelas .

b.

terpenuhi jika dan hanya jika ( .

c.

Teorema 3.1 Fungsi diberikan oleh untuk adalah norma Euclid pada

, selanjutnya disebut Daerah Euclid.

Bukti. Perhatikan bahwa untuk ,

, jelas . Sehingga

untuk setiap di , . Ini membuktikan kondisi 2 pada

definisi Norma Euclid.

Selanjutnya akan dibuktikan kondisi 1 pada definisi Norma Euclid. Diberikan dengan

dan , dimana . Kita harus menemukan sehingga

dimana atau

. Diberikan

untuk .

Diberikan bilangan bulat di yang mendekati bilangan rasional dan . Diberikan dan . Jika bukti selesai. Jika tidak, dari kontruksi , kita tahu bahwa

dan

. Sehingga (

) ( )

(

)

(

)

Kita dapatkan ( (

)) (

)

Jadi kita dapatkan,

Lemma 3.2 adalah Daerah Integral.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 386

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Bukti. Jelas bahwa merupakan Ring komutatif dengan unsur satuan. Kita akan menunjukkan

bahwa tidak memiliki pembagi 0. Jika maka

Berimplikasi atau , sehingga berimplikasi atau . Jadi tidak

memilik pembagi nol sehingga merupakan Daerah Integral.

Lemma 3.3 Unit di hanya dan . Bukti. Karena merupakan minimal dari untuk setiap elemen tak nol dengan dan . Berdasarkan Teorema 2.5, maka semua yang

memenuhi merupakan unit. Karena , maka haruslah

dan atau dan Jadi unit di hanya dan .

Teorema 3.2 (teorema Fermat )

Diberikan suatu bilangan prima ganjil, untuk jika dan hanya jika .

Bukti. Perhatikan bahwa , karena ganjil maka dan tidak boleh keduanya ganjil

atau keduanya genap, sehingga haruslah yang satu genap dan lainnya ganjil. Misalkan dan

diperoleh Jadi .

Sebaliknya, perhatikan bahwa . Grup perkalian dari elemen tak nol lapangan

berhingga adalah siklik dan memiliki order . Sejak 4 merupakan pembagi , kita

dapatkan mengandung suatu elemen berorde . Itu berakibat berorde 2, sehingga

di . Selanjutnya di kita dapatkan , jadi membagi di Z.

Pandang dan n2+1 di , kita dapatkan membagi = .

Andaikan tak tereduksi di , maka harus membagi atau . Jika membagi

maka untuk suatu . Kita dapatkan , tidak dapat terjadi

karena bilangan prima ganjil. Begitu pula jika membagi maka

untuk suatu Kita dapatkan , tidak dapat terjadi karena bilangan prima ganjil.

Pengandaian bahwa tak tereduksi pada salah, jadi haruslah tereduksi pada . Karena tereduksi pada , maka dimana atau bukan

unit.

Dengan mengambil normanya, dimana tidak ada satupun

atau . Sehingga kita dapatkan = .

Akibat 3.1 Diberikan suatu bilangan prima ganjil di , tak tereduksi di jika dan hanya jika

.

Bukti. Dari Teorema Fermat, dapat dikembangkan menjadi:

Diberikan suatu bilangan prima ganjil, untuk setiap jika dan hanya jika

.

Perhatikan bahwa , artinya atau .

Untuk atau , tidak mungkin karena merupakan bilangan prima

ganjil, maka haruslah .

Karena tidak dapat ditulis dalam bentuk , maka hanya dapat ditulis dalam bentuk

atau atau atau Karena merupakan unit di , berimplikasi tak tereduksi pada

Lemma 3.4 Jika tak tereduksi di maka bilangan prima di . Bukti. Misalkan , karena merupakan Daerah faktorisasi tunggal dan tak terduksi di

maka atau . Jadi merupakan bilangan prima.

Lemma 3.5 Jika bilangan prima di maka tak tereduksi di Bukti. Karena merupakan Daerah Integral dan prima di . Berdasarkan Lemma 2.2 maka

tak tereduksi di

Teorema 3.3 Di , bilangan prima jika dan hanya jika tak tereduksi.

Bukti. Berdasrkan Lemma 3.4 dan Lemma 3.5, jelas Teorema 3.3 terbukti.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 387

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Teorema 3.4 Diberikan suatu bilangan prima ganjil di , prima di jika dan hanya jika

.

Bukti. Berdasarkan Akibat 3.1 dan Teorema 3.3, maka jelas Teorema 3.4 terbukti.

Teorema 3.5 Jika tak tereduksi di , maka dan – juga tereduksi di Bukti. Karena tak tereduksi, maka setiap faktor hanya terpenuhi bila unit atau unit.

Perhatikan bahwa dan merupakan unit sehingga dan juga merupakan tak tereduksi.

Akibat 3.2 Jika bilangan prima di , maka dan – juga bilangan prima di Bukti. Berdasarkan Teorema 3.3, maka jelas Akibat 3.2 terbukti.

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Unit di hanya dan 2. Diberikan bilangan prima di , tak tereduksi di jika dan hanya jika .

3. Diberikan bilangan prima di , bilangan prima di jika dan hanya jika .

4. Di tak tereduksi jika dan hanya jika bilangan prima

5. Jika tak tereduksi di , maka – dan – juga tereduksi di

6. Jika bilangan prima di , maka dan – juga bilangan prima di DAFTAR RUJUKAN

Durbin, John R. 2000. Modern Algebra An Introduction, Fourth Edition.New York : John Wiley &

Sons.

Fraleigh, John. 1997. A First Course In Abstract Algebra, Seventh Edition. United States of

America : Pearson Education Limited.

Herstein, I. N. 1975. Topics in Algebra, Second Edition. Singapura : John Wiley & Sons.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan Profesionalisme

Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 388

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

IMPLEMENTASI TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN EKSPRESIF DALAM

PEMBELAJARAN

Habiburrahman1; Nurmiwati

2

1,2Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram

e-mail: [email protected]

Abstrak: Kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap

sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau menggunakan tuturan terjadi tindak tutur.

Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud

dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur

(percakapan atau wacana) yang terjadi dalam interaksi sosial. Uraian tentang tindak tutur dalam

pembelajaran ini didasari dari penelitian yang pernah penulis lakukan sehingga penjabarannya

dibatasi untuk mendeskripsikan dan menjelaskan penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan

ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Impelementasi tindak tutur direktif dan ekspresif

dalam pembelajaran menunjukkan penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas

berupa fungsi permintaan, fungsi perintah, fungsi pertanyaan, fungsi larangan, fungsi

pengizinan, dan fungsi nasihat. Di samping itu, penggunaan fungsi ekspresif guru dalam

pembelajaran di kelas berupa fungsi memuji, fungsi menghargai, fungsi simpati, fungsi

mengkritik, dan fungsi mengeluh. Penggunaan fungsi direktif relevan juga dengan paradigma

pembelajaran, student centered (pembelajaran berpusat pada peserta didik). Paradigma

pembelajaran tersebut orientasi pembelajarannya semula berpusat pada guru (teacher centered)

beralih dan berpusat pada peserta didik (student centered); metodologi yang semula lebih

didominasi ekspositori berganti menjadi partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih

banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan

untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Hakikat

paradigma pembelajaran student centered, yaitu siswa berfungsi sebagai subjek dalam

pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan para

siswanya agar dapat menemukan pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses

pembelajaran.

Kata Kunci: Tindak Tutur Guru, Pembelajaran

PENDAHULUAN

Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau fungsi

(maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Demikian juga tindak tutur guru dalam

pembelajaran di kelas, seperti tindak tutur direktif dan ekspresif. Saat mengelola kelas, guru

meminta siswa untuk tertib dengan tuturan secara langsung melarang siswa ribut; saat menutup

pelajaran, guru memberikan tugas dengan tegas; dan saat memberi penguatan, guru

mengapresiasi jawaban siswa dengan langsung menerima jika benar dan menyalahkan secara

langsung bila salah. Kondisi dalam pembelajaran tersebut tentu mengancam muka mitratutur

(siswa). Hal tersebut berimplikasi terhadap psikologi siswa seperti tegang atau panik karena

takut .

Guru sebagai insan akademik dengan beragam tuntutan profesional mesti memperhatikan

kesantutan tindak tutur tersebut. Secara sadar kesantutan tersebut akan membantu kesuksesan

guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Seideal dan seoptimal apapun guru merancang

pembelajaran bila tidak didukung dengan bahasa dalam menyampaikan maksud tentu akan

menghambat dan mengganggu proses pembelajaran. Hal inilah yang menjadi perhatian sehingga

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-

1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |

389

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

artikel berjudul Implementasi Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Pembelajaran cukup

relevan dan urgen.

Richard (1995:6 dalam Arifin 2012) menjelaskan bahwa kegiatan bertutur adalah suatu

tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau

menggunakan tuturan terjadi tindak tutur. Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang

dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak

tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur (percakapan atau wacana) yang terjadi dalam

interaksi sosial.

Selain mengembangkan hipotesis bahwa setiap tuturan mengandung tindakan, Searle

(1975) juga membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu tindak

lokusioner „utterance act‟ atau „locutionary act‟, tindak ilokusioner „ilocutionary act‟, dan

tindak perlokusioner „perlocutionary act‟ (Nadar, 2009: 14 ). Austin juga mengatakan bahwa

secara analitis dapat dibedakan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak dalam

sebuah ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Sumarsono, 2009:181).

Wijana (1996:19) menjelaskan bahwa tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk

memahami tindak tutur. Sebagai bahan penunjang akan dibicarakan klasifikasi tindak tutur

berdasarkan fungsi dan berdasarkan kriteria yang beragam. Tarigan (2007:42) kemudian

menjelaskan klasifikasi tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu dengan mengutip

penjelasan seorang pakar kawakan dalam bidang ini, J.R. Searle (1979), mengklasifikasikan

tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu berupa: fungsi asertif, direktif, komisif,

ekspresif, dan deklaratif.

Pendekatan yang berbeda terhadap pemilahan tipe tindak tutur ini dapat dibuat

berdasarkan strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di antara ketiga tipe umum

tindak tutur yang diberikan dalam Bahasa Inggris, ada 3 tipe kalimat dasar. Seperti yang

ditunjukkan dalam (20), dengan mudah dapat diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk

struktural (deklaratif, interogatif, dan imperatif) dan tiga fungsi komunikasi umum (pernyataan,

pertanyaan, perintah/permohonan) Yule (2006:95).

Para ahli umumnya membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu

strategi langsung dan tidak langsung. Blum-Kulka (1989 dalam Arifin 2008) mengatakan bahwa

strategi langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur berkaitan

dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi pilihan pada isi.

Sopan santun sering diartikan secara dangkal sebagai suatu ‘tindakan yang sekadar

beradab’ saja, namun makna yang lebih penting yang diperoleh dari sopan santun ialah, sopan

santun merupakan mata rantai yang hilang antara Pk dengan masalah bagaimana mengaitkan

daya dengan makna (Leech, 1982:161).

Meskipun teori kesantunan dibedakan dengan konsep kesopanan dalam kajian

sosiolinguistik, tetapi ada keterkaitan yang erat pada kedua konsep tersebut. Hal ini ditunjukkan

dengan teori kesantunan yang dipaparkan oleh Brown dan Levinson (1978). Brown dan

Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka, demikian juga

konsep ‘kesopanan’ sebagaimana dijelaskan oleh Wardhaugh (1998:293) bahwa konsep

‘kesopanan’ banyak meminjam dari karya asli Goffman (1967) tentang ‘wajah’. Dalam

membahas kesopanan, konsep yang menjadi perhatian mereka, Brown dan Levinson

mendefinisikan wajah sebagai citra diri pada khalayak yang diinginkan oleh setiap anggota atas

dirinya sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hubungan erat kedua konsep tersebut bahwa

kajian kesantunan tidak dapat dipisahkan secara mutlak dengan kajian pragmatik, pertimbangan

sosiolinguistik juga perlu diperhatikan. Berarti konsep kesantunan harus dipahami dengan kedua

pendekatan tersebut, yaitu pragmatik dan sosiolinguistik atau lebih tepatnya pendekatan

sosiopragmatik.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-

1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |

390

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

METODE

Penelitian tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas merupakan salah satu penelitian

dalam kajian pragmatik. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif. Data peneltian

terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan dan (2) data catatan lapangan. Data catatan lapangan

meliputi catatan lapangan deskriptif dan catatan lapangan reflektif.

Tuturan yang digunakan sebagai data adalah tuturan yang bersumber dari guru sebagai

penutur (Pn) dalam proses pembelajaran di kelas. Sumber data tersebut adalah tiga orang guru

kelas X MAN 2 Mataram. Pemilihan kelas X disesuaikan dengan keadaan guru yang mengajar.

Dalam hal ini, guru tidak banyak terganggu oleh aktivitas pemantapan ujian nasional. Sementara

itu, psikologi siswa kelas X belum begitu akrab dengan lingkungan baru karena mereka baru

diterima sebagai siswa baru di sekolah tersebut sehingga untuk memberikan kesan yang baik,

tindak tutur guru harus diperhatikan dengan baik.

Pengumpulan data dalam penelitian ini berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: (1)

persiapan pengumpulan data, (2) teknik observasi, dan (3) teknik wawancara. Teknik observasi

dilakukan terhadap aktivitas komunikasi berupa gesture dan konteks tuturan dalam KBM di

kelas. Teknik observasi yang dilakukan berupa kegiatan observasi nonpartisipatif. Artinya,

peneliti tidak ikut secara aktif dalam aktivitas KBM, tetapi cukup di kelas bagian belakang

sambil mengamati dan melakukan pencatatan pada lembaran observasi yang sudah disiapkan.

Sebagai penunjang untuk mengumpulkan data selama kegiatan observasi digunakan teknik

perekaman. Melalui teknik perekaman ini diusahakan semaksimal mungkin mendapatkan

rekaman tuturan yang sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam KBM yang

terjadi.

Alat perekaman yang digunakan berupa handycam yang peka dalam perekaman suara.

Untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan, handycam beserta cas tetap

disiapkan dalam tiap kali perekaman. Dengan teknik perekaman tersebut, data yang terkumpul

dapat dikatakan cukup memadai untuk kepentingan analisis data dan penelitian secara

keseluruhan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data berupa motivasi dan persepsi

penggunaan tindak tutur direktif dan ekspresif yang tidak terekam dengan handycam dan tidak

teramati atau tidak tercatat saat observasi. Dalam hal ini, teknik wawancara sangat diperlukan

untuk memperoleh data, seperti alasan penggunaan tindak tutur guru saat KBM berlangsung di

kelas.

Dalam penelitian ini, intrumen kunci atau instrumen utama adalah peneliti. Artinya,

peneliti sendiri yang berperan aktif dalam pengumpulan, pengidentifikasian, penyeleksian, dan

penafsiran data. Data dianalisis melalui empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi

data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas meliputi: (1)

penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran Hasil penelitian

ini dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.

1) Penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas sangat variatif. Sejumlah fungsi

direktif tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

(a) Fungsi permintaan, melalui fungsi direktif ini guru meminta siswa untuk melakukan

sesuatu. Fungsi permintaan ini mencakup: meminta, memohon, mengajak, mendorong,

dan menekan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas,

fungsi permintaan diwujudkan guru untuk meminta kepada siswa melakukan sesuatu saat

pembelajaran dimulai. Misalnya, guru meminta siswa untuk maju ke depan membacakan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-

1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |

391

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

pokok-pokok informasi tentang pembangunan kampung budaya gerbang karawang.

Permintaan tersebut wajar dilakukan guru untuk mengelola kelas sehingga proses KBM

berlangsung sebagaimana diharapkan.

(b) Fungsi perintah, melalui fungsi direktif ini guru memerintah siswa untuk melakukan

sesuatu. Fungsi perintah ini mencakup: memerintah, menuntut, mendikte, mengarahkan,

mengatur, dan menyaratkan. Fungsi direktif berupa perintah ini dalam pembelajaran di

kelas disampaikan sesuai kondisi saat pembelajaran berlangsung. Misalnya, saat memulai

pembelajaran yang diawali dengan perintah kepada setiap siswa wajib untuk maju

membacakan hasil rangkuman mereka sebagai bahan penilaian guru. Tuturan direktif

tersebut bersifat menekan setiap siswa untuk wajib mengikuti perintah yang sampaikan

guru dengan adanya otoritas guru sebagai pendidik dan juga mengevaluasi tugas individu

siswa selama pembelajaran.

(c) Fungsi pertanyaan, melalui fungsi direktif ini guru menanyakan sesuatu kepada siswa.

Fungsi pertanyaan ini mencakup: bertanya dan mengintrogasi. Fungsi pertanyaan

dituturkan guru dalam berbagai konteks pembelajaran. Misalnya, saat membuka pelajaran

yang diawali dengan apersepsi, saat menyampaikan materi dengan metode tanya jawab,

saat memberi penguatan selalu diawali dengan pertanyaan, bahkan saat mengelola kelas

fungsi pertanyaan tersebut sering digunakan untuk membuat kondisi kelas menjadi terarah,

disisplin, dan terkendali.

(d) Fungsi larangan, melalui fungsi direktif ini guru melarang siswa melakukan sesuatu.

Fungsi larangan ini mencakup: melarang dan membatasi. Fungsi larangan ini dapat

dituturkan dalam konteks yang beragam, sperti saat mengelola kelas. Guru berusaha

membatasi tindakan siswa untuk mengembalikan dan mempertahankan perhatian siswa

dari waktu ke waktu. Fungsi larangan yang dituturkan guru wajar dilakukan sebagai

pendidik untuk mengendalikan kondisi selama kegiatan pembelajaran di kelas. Demikian

juga pada tuturn 78, fungsi larangan mulai intensif dituturkan agar kondisi pembelajaran

tetap kondusif sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran.

(e) Fungsi pengizinan, melalui fungsi direktif ini guru mengizinkan siswa melakukan sesuatu.

Fungsi pengizinan ini mencakup: memberi izin, membolehkan, mengabulkan,

membiarkan, melapaskan, meperkankan, memberi wewenang, dan menganugerahkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi pengizinan

digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat menyampaikan materi dengan

teknik tanya jawab, saat menutup pelajaran yang ditandai dengan pemberian tugas akhir,

dan saat mengelola kelas. Dalam konteks menutup pelajaran, fungsi pengizinan digunakan

guru saat memberikan tugas yang diikuti mengumpulkan tugas tersebut. Saat

mengumpulkan tugas terxebut, penggunaan fungsi pengizinan yaitu memberikan

kebebasan kepada siswa untuk menentukan warna kertas yang dipakai menjilid tugas

mereka.

(f) Fungsi nasehat, melalui fungsi direktif ini guru menasehati siswa untuk melakukan

sesuatu. Fungsi nasehat ini mencakup: menaehati, memperingatkan, mengusulkan,

membimbing, dan menyarankan. Penggunaan fungsi nasehat dalam pembelajaran di kelas

disesuaikan dengan konteksnya. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa fungsi nasehat

digunakan oleh guru dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, mengelola kelas, dan

menutup pelajaran. Dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, fungsi nasehat

dominan dilakukan sebagai bentuk pengarahan, bimbingan, peringatan, dan saran

2) Penggunaan fungsi ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas bervariasi. Sejumlah fungsi

ekspresif tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-

1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |

392

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

(a) Fungsi memuji, melalui tindak ekspresif ini, guru memuji tindakan siswa supaya

meningkatkan prestasinya. Fungsi memuji ini mencakup: mendukung dan menyetujui

tindakan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi

memuji digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat memberi penguatan yang

diawali dengan tanya jawab dan saat menyampaikan materi pelajaran dengan metode tanya

jawab. Dalam konteks memberi penguatan, guru menggunakan fungsi memuji saat

menanggapi jawaban siswa supaya mereka meningkatkan prestasinya. Hasil penelitian

menunjukkan, penggunaan fungsi memuji saat memberi penguatan dapat berupa

menyetujui dan mendukung.

(b) Fungsi menghargai, melalui tindak ekspresif ini, guru menghargai tindakan siswa supaya

meningkatkan prestasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di

kelas fungsi menghargai digunakan guru dalam 2 konteks. Konteks pertama, saat memberi

penguatan yang diawali teknik tanya jawab. Konteks kedua, saat menutup pelajaran yang

ditandai dengan evaluasi peserta didik terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran.

(c) Fungsi simpati, melalui tindak ekspresif ini, guru simpati dengan kondisi siswa. Fungsi

simpati ini mencakup: rasa prihatin, belasungkawa, dan rasa sedih. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi simpati digunakan guru

membuka pelajaran dan saat menyampaikan materi pelajaran. Dalam konteks membuka

pelajaran yang selalu diawali dengan pertanyaan terhadap kondisi peserta didik dan kedua

dengan memperhatikan kondisi peserta didik dalam pembelajaran.

(d) Fungsi mengkritik, melalui tindak ekspresif ini, guru mengevaluasi tindakan siswa. Fungsi

mengkritik ini mencakup: memprotes, menolak, dan mengevaluasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi mengkritik digunakan guru

berupa penolakan terhadap tindakan siswa. Di samping itu, fungsi mengkritik juga

digunakan guru untuk mengevaluasi dan memprotes tindakan siswa dalam kegiatan

pembelajaran. Misalnya, saat memberi penguatan yang diawali teknik tanya jawab dan

saat menutup pelajaran yang ditandai dengan penolakan dan evaluasi peserta didik

terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran.

(e) Fungsi mengeluh, melalui tindak ekspresif ini, guru menggerutu atau kecewa dengan

tindakan siswa. Fungsi mengeluh ini mencakup: rasa kecewa, rasa bingung, rasa marah,

dan rasa muak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi

mengeluh digunakan guru berupa rasa kecewa dan bingung dengan sikap siswa dalam

pembelajaran di kelas. Fungsi mengeluh dapat tampak dalam beberapa konteks, saat

bertanya dan memberikan penguatan, dan saat menutup pelajaran. Dalam konteks inilah,

fungsi mengeluh digunakan guru berupa rasa bingung dengan sikap siswa yang tiba-tiba

dalam pembelajaran diam tampa komentar dan tidak ribut. Fungsi mengeluh tersebut

dituturkan guru dengan nada main-main untuk menghindari tekanan psikologis siswa

dalam pembelajaran sehingga rasa bingung tersebut muncul sesaat yang juga bisa sebagai

candaan untuk menyegarkan suasana pembelajaran.

Data hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat

penggunaan fungsi direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Dari 194 jumlah

data tuturan guru, sebanyak 155 (79,89%) data tuturan berupa fungsi direktif dan sebanyak 39

(20,10%) data tuturan berupa fungsi ekspresif. Rekapitulasi data di atas, secara jelas

menunjukkan bahwa penggunaan fungsi direktif dominan digunakan oleh guru dalam

pembelajaran di kelas dibandingkan dengan penggunaan fungsi ekspresif .

Penggunaan fungsi direktif relevan juga dengan paradigma pembelajaran, student

centered (pembelajaran berpusat pada peserta didik). Paradigma pembelajaran tersebut orientasi

pembelajarannya semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih dan berpusat pada

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-

1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |

393

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

peserta didik (student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti

menjadi partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah

menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu

pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan.

Hakikat paradigma pembelajaran student centered, yaitu siswa berfungsi sebagai subjek

dalam pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan

para siswanya agar dapat menemukan pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses

pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Arifin. 2012. Bahan Ajar Pragmatik. Universitas Pendidikan Ganesha. Tidak Diterbitkan.

_____, 2008. Penggunaan Tindak Tutur Siswa dalam Percakapan di Kelas. Disertasi PPs.

Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan.

Leech, Geoffrey. 1982. Prinsip-prinsip Pragmatik (Terjemahan). Jakarta: Universitas

Indonesia.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta:Graha Ilmu

Sumarsono. 2010. Buku Ajar Pragmatik. Universitas Pendididkan Ganehsa.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta. Pustaka

Pelajar.

Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sosiolinguistiks (Terjemahan). USA: Beckwell

Publisher Inc.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Jakarta: Andi.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 394

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN

SIKAP BERPIKIR KRITIS SISWA SEKOLAH DASAR

Haifaturrahmah1; Yuni Mariyati

2; Sukron Fujiaturrahman

3

1,2,3Dosen PGSD, UMMAT

Abstrak: IPA terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait yaitu sikap ilmiah,

keterampilan proses dan pengetahuan. Transfer pengatahuan lebih mendominasi, sehingga

penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap berpikir kritis siswa SD melalui

penerapan pembelajaran berbasis masalah. Metode penelitian yang digunakan adalah

tindakan kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini siswa kelas V di SDN 46 Mataram

Tahun pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 27 orang. Teknik pengumpulan data

menggunakan teknik tes, observasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan

adalah analisis diskriptif interaktif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

pada siklus I jumlah siswa yang memperoleh nilai ≥ 70 pada kondisi awal sebanyak 9

siswa (33%). Selanjutnya meningkat pada siklus I, dimana siswa yang memperoleh nilai ≥

70 sebanyak 17 siswa (63%), dan meningkat tajam pada siklus II, dimana siswa yang

memperoleh nilai ≥ 70 sebanyak 24 siswa (89%). Berdasarkan hasil analisis data

menggunakan gain standar rumus Hake, nilai sikap kritis lebih > 0,3 sehingga termasuk

dalam kategori sedang (0,3). Berdasarkan hasil penelitian, sikap berpikir kritis siswa

sekolah dasar dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan

melalui proses pembiasaan yang rutin.

Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Sikap Berpikir Kritis

PENDAHULUAN

Setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai penting yang menjadi perhatian siswa.

Pada pembelajaran IPA, nilai-nilai tersebut terdapat dalam sikap ilmiah. Sikap ilmiah (scientific

attitude) dibedakan dari sekedar sikap (attitude) terhadap suatu objek, dalam hal ini adalah sikap

terhadap IPA. Sikap ilmiah merupakan aspek tingkah laku yang tidak diajarkan pada suatu

pembelajaran, akan tetapi tingkah laku yang diperoleh melalui contoh-contoh positif berkenaan

dengan proses yang dilakukan, sehingga dapat diubah atau dibentuk melalui proses belajar.

Sikap ilmiah dapat dimulai dengan adanya beberapa masalah yang meragukan atau

membingungkan siswa sehingga mereka dapat menyadari keterbatasan pengetahuan, memiliki rasa

ingin tahu untuk menggali berbagai pengetahuan baru dan akhirnya mengaplikasikannya dalam

kehidupan. Sikap ilmiah tersebut dapat dikembangkan ketika siswa melalui berbagai kegiatan nyata

dengan alam sehingga memungkin terjadinya proses yang aktif dan kritis.

IPA merupakan cara mencari tahu tentang alam sekitar secara sistematis. Berkenanaan dengan

proses pembelajaran, IPA mengarahkan pada proses kebiasaan berpikir ilmiah dan berpikir kritis

untuk mencari tahu sehingga siswa memperoleh pemahaman yang lebih tentang fenomena dan

perubahan-perubahan di lingkungan sekitar dirinya. Salah satu pembelajaran yang terkait dengan

proses berpikir ilmiah dan mendukung siswa untuk mampu bersikap ilmiah adalah pembelajaran

berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah pembelajaran yang cocok untuk

diterapkan dalam pembelajaran IPA, karena berdasarkan pada masalah-masalah yang dihadapi

siswa di lingkungan sekitar. Masalah yang dimaksud bersifat nyata atau sesuatu yang menjadi

pertanyaan pelik bagi siswa.

Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan berbagai

masalah yang perlu dipecahkan. Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk

menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi

(Made Wena, 2014; 52). Oleh karena itu, IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk

memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.

Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana untuk menjaga dan memelihara kelestarian

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 395

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

lingkungan sekitar. Melalui kemampuan memecahkan masalah, siswa mampu menggunakan

kemampuan tersebut untuk menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional,

dan kreatif.

Pendidikan dasar memiliki tanggung jawab untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi

seorang manusia agar dapat menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan mandiri dalam menghadapi

proses kehidupannya. Maslichah Asy’ari (2006: 38) mengemukakan bahwa siswa sekolah dasar

mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, siswa bereaksi secara positif terhadap unsur-unsur yang

baru, aneh, tidak layak, atau misterius dalam lingkungannya dengan bergerak ke arah benda

tersebut, memeriksanya, atau mempermainkannya. Hal ini berarti bahwa siswa sekolah dasar

berpotensi untuk memiliki sikap ilmiah.

Siswa sekolah dasar merupakan aset bangsa yang harus dipersiapkan dengan baik sejak dini,

karena mereka kelaklah keberlangsungan atau kepunahan kehidupan yang akan datang. Sikap

ilmiah yang menjadi perhatian dalam penelitian adalah terbatas pada sikap berpikir kritis khususnya

terhadap lingkungan. Tidak hanya dilingkungan masyarakat umum, dilingkungan sekolah juga

mulai dijumpai dengan ditandai sering ditemuinya sikap dan perilaku siswa yang membuang

sampah sembaragan tanpa berpikir akan akibatnya kelak. Hal ini menandakan bahwa siswa tidak

lagi berpikir kritis dan sensitif terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu penanaman sikap ilmiah

harus dilakukan dalam kegiatan pembelajaran khususnya sejak sekolah dasar agar siswa mampu

menghadapi setiap permasalahan di dalam hidupnya.

METODELOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah tindakan kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini

siswa kelas V di SDN 46 Mataram Tahun pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 20 orang. Teknik

pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, tes dan dokumentasi. Teknik

analisis data yang digunakan adalah analisis diskriptif interaktif. Dimana peneliti ini menggunakan

dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan , observasi dan

refleksi. Alat Pengumpulan Data yang diperlukan adalah skor dari nilai hasil belajar, dan lembar observasi berpikir kritis siswa. cara pengumpulan data dengan tes tindakan dan pengamatan,

instrumen pengumpulan data berupa butir soal dan lembar pengamatan tertutup. penskoran untuk

menghitung skor rata-rata kelas, dengan rumus berikut;

Keterangan : SR = Skor rata-rata kelas

Fi = jumlah siswa yang memperoleh nilai rentangan

Xi = Rata-rata nilai rentangan

N = Jumlah siswa

Selanjutnya untuk mengetahui persentase siswa yang sudah tuntas belajar secara klasikal

digunakan rumus :

Keterangan :

PKK = Persentase ketuntasan klasikal

T = Banyak siswa yang mendapatkan nilai ≥ 70

N = Banyak siswa yang diteliti

Secara individu dikatakan tuntas belajar jika SR ≥ 70 dan suatu kelas dikatakan tuntas apabila

PKK ≥ 80%

Data observasi meliputi data sikap berpikir kritis siswa dapat dianalisis dengan menggunakan

rumus: (Hake, 1998:3)

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 396

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Klasifikasi gain standar sebagai berikut:

g tinggi : (g) > 0,7

g sedang : 0,3 > (g) > 0,7

g rendah : (g) < 0,3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penetapan SDN 46 Mataram sebagai lokasi penelitian karena terletak didekat Kali Jangkok

sehingga memungkinkan siswa melihat secara langsung aktivitas masyarakat sekitar yang

berhubungan dengan kali jangkok khususnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitar.

Dengan demikian, peneliti dapat melihat secara langsung kebiasaan siswa terhadap lingkungan,

dimana masyarakat yang menjadi role model mereka.

Tabel 1. Data Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

No Interval

Nilai Frekuensi (fi) Nilai Tengah (xi) fi.xi % Keterangan

1 90-100 0 0 0 0 -

2 79-89 4 84 336 15 Diatas KKM

3 68-78 5 73 365 19 Diatas KKM

4 57-67 6 62 372 22 Dibawah KKM

5 46-56 7 51 357 26 Dibawah KKM

6 35-45 5 40 200 19 Dibawah KKM

Jumlah 27 1630 100

Nilai rata-rata = 1630 : 27 = 60.4

Ketuntasan Klasikal = (9 : 27) x 100 % = 33%

Berdasarkan rumus ketuntasan belajar siswa secara klasikal diperoleh: PKK = (9:27) ×

100% = 33%. Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diketahui bahwa dari 27 orang siswa

sebanyak 18 orang siswa atau sekitar 67% yang mendapatkan hasil belajar rendah atau tidak

tuntas, dan sebanyak 9 orang siswa atau sekitar 33% yang masuk dalam katagori tuntas belajar

terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada tema manusia dengan lingkungan.

Dari tabel 1 menunjukkan kemampuan berpikir kritis khususnya terkait dengan

lingkungan siswa masih rendah yaitu dengan rata-rata kelas 60,4 untuk itu perlu dilakukan

perencanaan untuk melanjutkan siklus I. Setelah diberi perlakuan selama beberapa pertemuan,

data frekuensi nilai kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini.

Tabel 2. Data Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Siklus I

No Interval Nilai Frekuensi (fi) Nilai Tengah

(xi) fi.xi % Keterangan

1 90-100 2 95 190 7 Diatas KKM

2 79-89 4 84 336 15 Diatas KKM

3 68-78 11 73 803 41 Diatas KKM

4 57-67 5 62 310 19 Dibawah KKM

5 46-56 3 51 153 11 Dibawah KKM

6 35-45 2 40 80 7 Dibawah KKM

Jumlah 27 1872 100

Nilai rata-rata = 1872 : 27 = 69,3

Ketuntasan Klasikal = (17 : 27) x 100 % = 63%

Berdasarkan rumus ketuntasan belajar siswa secara klasikal diperoleh: PKK = (17:27) ×

100% = 63%. Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diketahui bahwa dari 27 orang siswa

sebanyak 10 orang siswa atau sekitar 37% yang mendapatkan hasil belajar rendah atau tidak

tuntas, dan sebanyak 17 orang siswa atau sekitar 63% yang masuk dalam katagori tuntas belajar

terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada tema manusia dengan lingkungan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 397

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Sesuai hasil temuan selama proses pembelajaran siklus I, ada beberapa hambatan dalam

prosesnya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama proses pelaksanaan tindakan,

peneliti menemukan bahwa kemauan siswa untuk menerima pelajaran masih kurang terlihat,

siswa masih belum begitu antusias terhadap pembelajaran yang dilaksanakan, siswa kurang

aktif menjawab pertanyaan guru karena masih saja mengobrol dengan teman lain di luar materi

pelajaran dan keberanian siswa maju menyampaikan pendapat masih rendah. Dalam proses

pembelajaran, siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk menganilisis materi dikaitkan

dengan fakta yang ada sesuai lingkungannya sehingga siswa kurang membiasakan diri untuk

berpikir kritis. Selain itu, masih banyak siswa yang sering membuang sisa makanan

disembarang tempat.

Dengan demikian dapat direnungkan bahwa penelitian dalam siklus I belum

menunjukkan keberhasilan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan permasalahan yang telah

dipaparkan di atas, maka peneliti mencari solusi dengan memberikan arahan kembali kepada

siswa tentang mengkaitkan materi dengan apa yang mereka lihat dilingkungan sekitar, dan

menceritakan kembali di kelas sesuai dengan apa diketahui. Pada saat pembelajaran peneliti

meminta siswa maju untuk menyampaikan kondisi lingkungan tempat tinggal khususnya yang

dekat dengan kali jangkok. Selain itu, peneliti memberikan konsep lingkungan dan hubungan

dengan aktivitas makhluk hidup.

Berdasarkan hasil temuan diatas, walaupun keberhasilan proses belajar mengajar pada

siklus I belum sesuai dengan target nilai yang ingin dicapai yaitu target nilai ketuntasan di atas

80%. Untuk itu peneliti melakukan penelitian sampai hasil belajar mengalami perubahan

kepada kategori ketuntasan. Sehingga perlu diadakan kembali perbaikan pembelajaran yang

memungkinkan dapat memaksimalkan hasil belajar siswa maka dilanjutkan pelaksanaan siklus

II.

Data frekuensi nilai kemampuan berpikir kritis siswa siklus dapat dapat dilihat pada tabel

3 dibawah ini.

Tabel 3. Data Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Siklus II

No Interval Nilai Frekuensi

(fi) Nilai Tengah (xi) fi.xi % Keterangan

1 90-100 6 95 570 22 Diatas KKM

2 79-89 10 84 840 37 Diatas KKM

3 68-78 8 73 584 30 Diatas KKM

4 57-67 2 62 124 7 Dibawah KKM

5 46-56 1 51 51 4 Dibawah KKM

6 35-45 0 40 0 0 Dibawah KKM

Jumlah 27 2169 100

Nilai rata-rata = 2169 : 27 = 80,3

Ketuntasan Klasikal = (24 : 27) x 100 % = 89%

Berdasarkan rumus ketuntasan belajar siswa secara klasikal diperoleh: PKK = (24:27) ×

100% = 89%. Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diketahui bahwa dari 27 orang siswa

sebanyak 3 orang siswa atau sekitar 11% yang mendapatkan hasil belajar rendah atau tidak

tuntas, dan sebanyak 24 orang siswa atau sekitar 89% yang masuk dalam katagori tuntas belajar

terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada tema manusia dengan lingkungan.

Dari tabel 3 di atas, maka peneliti mengulas bahwa berdasarkan indikator kinerja yang

ditetapkan, peneliti dikatakan berhasil bila hasil belajar siswa untuk mengukur kemampuan

berpikir kritis secara individu menunjukkan sekurang-kurangnya 70 dan klasikal menunjukkan

80%. Dilihat dari nilai rata-rata kelas pembelajaran berbasis masalah terkait dengan manusia

dan lingkungan dikatakan sudah berhasil, dimana jumlah siswa secara individu yang

mendapatkan nilai sekurang-kurangnya 70 (KKM) sudah mencapai 80% dan secara klasikal

nilai rata-rata siswa dikategorikan lebih dari cukup. Dari fakta tersebut maka penelitian

tindakan kelas ini dianggap cukup dan diakhiri pada siklus II.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 398

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Peningkatan terlihat dari perhitungan rata-rata nilai belajar yang diperoleh siswa setelah

dilaksanakan tindakan siklus I dan siklus II yang masing-masimg siklusnya dilaksanakan dua

kali pertemuan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 seperti berikut:

Tabel 4. Rerata Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

No Deskripsi Nilai Rerata

1 Pra siklus 60,4

2 Siklus I 69,3

3 Siklus II 80,3

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peningkatan skor berpikri kritis siswa melalui

observasi berdasarkan perhitungan gain, maka peneliti merangkum hasil perolehan gain skor

siklus I dan siklus II pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5. Rerata Giant Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Variable Siklus I Siklus II Gain Standar

Bepikir kritis 22,60 25,10 0,31

Dari Tabel 5 diatas, nilai gain standar sikap berpikir kritis berada dalam kategori rendah.

Meskipun demikian, terjadi peningkatan sebesar 2.50 poin. Berdasarkan hasil observasi di beberapa

kelas yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar siswa lebih terfokus untuk mencatat

dan mendengarkan, sehingga proses pembentukan sikap khususnya berpikir kritis kurang maksimal

melalui proses pembelajaran yang digunakan selama ini.

Dalam pembelajaran IPA, sikap berpikir kritis dibutuhkan untuk menganalisis gejala-gejala

maupun fenomena-fenomena yang muncul dilingkungan sekitar. Berpikir kritis adalah sebuah

proses sistematis saat siswa membuat suatu keputusan tentang apa yang ia percaya dan kerjakan

(Ennis, 1996), sehingga memungkinkan siswa untuk merumuskan, mengevaluasi keyakinan dan

pendapat mereka sendiri. Dimana sikap berpikir kritis akan memotivasi siswa untuk merefleksi

terkait apa yang telah dilakukan dan mengenai ide yang muncul selama kegiatan pembelajaran

berlangsung. Menurut Patta Bundu (2006:42) refleksi yang dilakukan oleh siswa memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan beberapa alternatif dalam sutau solusi pemecahan

masalah dan kemudian memunculkan sikap berani mengemukakan pendapat yang berbeda dari

teman sekelasnya berdasarkan dari data serta fakta yang ia temukan. Pada akhirnya, siswa akan

terbiasa untuk memilah-milah informasi dengan argumen yang logis sesuai dengan fakta.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pembelajaran berbasis

masalaha dapat meningkatkan sikap berpikir kritis siswa dan hasil belajar pada siswa kelas V SDN

46 Mataram tahun pelajaran 2017/ 2018. Meskipun demikian, berdasarkan hasil data giant standar,

sikap berpikir kritis siswa masih dalam kategori sedang. Hal ini terkait dengan proses pembiasaan

yang dilakukan oleh guru terhadap siswa melalui pembelajaran didalam kelas. karena, proses

pembiasaan siswa untuk mampu berpikiri kritis dan menjaga lingkungan membutuhkan waktu.

Saran

IPA terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait yaitu sikap ilmiah, keterampilan proses dan

pengetahuan. Seyogyanya, proses pembelajaran memperhatikan karakteristik perkembangan siswa

sekolah dasar tanpa mengurangi kualitas maupun kuantitas aspek dalam pendidikan. Dengan

demikian, semua pengetahuan maupun keterampilan yang dimiliki oleh siswa akan memiliki makna

bagi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.

DAFTAR RUJUKAN

Abruscato, J. (1995). Teaching children science: A discovery approach. (4th

ed). Boston: Allyn and

Bacon, inc.

Anderson, Lorin W. (1981). Assessing affective characteristics in the schools. Boston: Allyn and

Bacon, Inc.

Asep Herry Hernawan., dkk. (2010). Materi pokok: Pengembangan kurikulum dan pembelajaran.

(cet.6). Jakarta: Universitas Terbuka.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 399

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Baharuddin & Esa N. W. (2010). Teori belajar dan pembelajara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Collette, A.T., & Chiappetta, E.L. (1994). Science teaching in the middle and secondary schools.

(3rd

ed). New York: Maxwell Macmillan, Inc.

Ennis, R.H. 2011. The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions

and Abilities. Prentice Hall: University of Illinois.

Hackket, J.K., Moyer, R.H., & Adams, D.K. (1989). Science. Ohio: Merril Publishing Company.

Hamzah B. Uno. (2012). Perencanaan pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Made Wena. (2014). Strategi pembelajaran inovatif kontemporer. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Maslichah Asy’ari. (2006). Penerapan pendekatan sains-teknologi-masyarakat dalam

pembelajaran sains di sekolah dasar. Jakarta: Depdiknas.

Moh. Amien. (1987). Mengajarkan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan menggunakan metode

“discovery” dan “inquiry”. Jakarta: Depdiknas.

Patta Bundu. (2006). Penilaian keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam pembelajaran sain

sekolah dasar. Jakarta: Depdiknas.

Shumway R. J. (1980) (Eds.).Research in mathematics education. Reston: National Council

Teachers of mathematics.

Sudjana, Nana. (2013). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung:PT Remaja Rosdakarya

Suharsimi Arikunto. (2015). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka

Cipta

Sugiyono. (2016). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Wina Sanjaya. (2014). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 400

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

SEBAGAI KETERAMPILAN PEMBELAJARAN DAN INOVASI

PESERTA DIDIK ABAD 21

Hariadi Ahmad

Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram

e-mail: [email protected]

Abstrak: Setiap individu memiliki cara-cara tersendiri dalam menghadapi masalah, cara

tersebut dipengaruhi oleh faktor belajar dan pengalaman. Pelayanan bimbingan dan konseling

komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas-tugas perkembangan, perkembangan

potensi, dan penguasaan masalah-masalah konseli. Konselor di tuntut harus mempunyai sosok

kompetensi konselor yang utuh yang mencakup kopetensi akademik dan profesional sebagai satu

keutuhan yang merupakan landasan ilmiah dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.

Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kemampuan individu

dalam mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi masalah, mengetahui sebab-akibat masalah,

mengambil keputusan, menyampikan pilihan, berani mengambil dan menerima resiko. Langkah-

langkah dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yaitu: Kesadaran akan adanya

masalah, mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah, mencari alternatif pemecahan,

mempertimbangkan alternatif dan membuat pilihan, menerapkan pilihan, dan mengevaluasi pilihan.

PENDAHULUAN

Setiap individu memiliki cara-cara tersendiri dalam menghadapi masalah, cara tersebut

dipengaruhi oleh faktor belajar dan pengalaman yang diperoleh dari masa kanak-kanak. Artinya,

seseorang akan menggunakan startegi penyelesaian masalah tertentu, karena sudah terbiasa

menggunakannya (Ahmad dan Aluh, 2016). Perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan

konseling yaitu dari pendekatan yang berorentasi tradisional, klinis, remedial, dan terpusat pada

konselor, kepada pendekatan yang berorentasi perkembangan atau pelayanan bimbingan dan

konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas-tugas perkembangan,

perkembangan potensi, dan penguasaan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan

dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli sehingga pendekatan ini disebut

standar kopetensi kemandirian peserta didik (ABKIN, 2007).

Dalam pelaksanaan tugas sebagai seorang konselor dalam sistem pendidikan nasional,

konselor di tuntut harus mempunyai sosok kompetensi konselor yang utuh yang mencakup

kopetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan yang merupakan landasan ilmiah dalam

pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi

pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli

yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling, (3)

menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4)

mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan (Permen Diknas RI No

27 Tahun, 2008). Mencermati kompetensi akademik dan rambu-rambu peyelengaraan bimbingan

dan konseling diatas maka aspek perkembangan kematangan intelektual yang berhubungan dengan

komponen Pemecahan Masalah dan Pengambilan keputusan.

PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Van Reusen (1996) mengatakan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan

keputusan merupakan kemampuan individu dalam mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi

masalah, mengetahui sebab-akibat masalah, mengambil keputusan, menyampikan pilihan, berani

mengambil dan menerima resiko.

Terdapat bebrapa startegi dalam menyelesaikan masalah antara lain:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 401

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

(1) Penghindaran, merupakan cara menghadapi masalah dengan menganggap masalah seperti tidak

ada. Kedua belah pihak enggan untuk membicarakan permasalahan dan membiarkan masalah

berlalau dengan sendirinya.

(2) Pembahasan dan keputusan masalah, merupakan cara menyelesaikan masalah dengan

membahas dan mengambil keputusan permasalahan. Terdapat empat metode yang digunakan

dalam starategi ini yaitu:

a. Negosiasi, merupakan metode penyelesaian masalah yang dilakukan oleh kedua belah pihak

dengan membicarakan permasalahan secara bersama dan langsung sehingga tercapai

keputusan masalah yang disepakati bersama. Kedua belah pihak bersama-sama atas dasar

saling pemahaman meninformasikan, mebahas, dan mengambil keputusan masalah dalam

suatu perundingan. Mereka sepakat untuk saling mencapai keuntungan bersama dan

mengurangi hal-hal yang saling merugikan, dengan tetap membina hubungan baik. Fokus

negosiasi adalah pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan kedua belah pihak

yang saling memuaskan.

b. Mediasi, merupakan metode penyelesaian masalah dengan cara pihak ketiga secara netral

membantu menfasilitasi pengambilan keputusan yang disepakati bersama oleh kedua belah

pihak yang bermasalah. Mediasi dilakukan ketika cara negosiasi tidak bisa ditempuh, oleh

karena itu pihak ketiga menfasilitasi upaya-upaya pertemuan bersama untuk membahas dan

mengambil keputusan. Fokus mediasi adalah pihak ketiga menfasilitasi tercapainya

kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan kedua belah pihak yang saling bisa diterima dan

memuaskan

c. Arbitasi, merupakan proses penyelesaian masalah dengan phak ketiga secara netral

mengeluarkan keputusan penyelesaian masalah setelah mengkaji berbagai bukti dan

mendengarkan argumen kedua belah pihak. Fokus arbitasi adalah hukuman, aturan, tata-

tertib, dan nilai-nilai kebenaran yang lain.

d. Litigasi, merupakan kombinasi atara mediasi da arbitursai artinya, sejak awal para pihak

yang terlibat dalam konflik mencoba untu melakukan mediasi, tetapi jika tidak ditemukan

pemecahannya amaka ditempuh cara arbiturasi.

e. Agresi, penyelesaian masalah dengan cara menggunakan kekuatan untuk mengalahkan

lawan, agresi dapat berupa perkelahian fisik sampai peperangan untuk menaklukkan lawan.

Cara ini sering disebut sebagai berusaha untuk memenagkan diri dan mengalahkan yang

lain. pada dasrnya ini merugikan kedua belah pihak yaitu keduanya kehilanagn keuntungan

hubungan kerja sama, pengurasan energi dan sumber daya, terbengkalainya tujuan, dan

potensi masalah tumbuh lagi.

Dubrin (2009) mengatakan terdapat enam langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan yaitu : (1) Kesadaran akan adanya masalah, (2) mengidentifikasi penyebab

terjadinya masalah, (3) mencari alternatif pemecahan, (4) mempertimbangkan alternatif dan

membuat pilihan, (5) menerapkan pilihan, dan (6) mengevaluasi pilihan. Langkah-langkah

pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diatas dapat dilihat dalam gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Menurut

Dubrint (2011).

Repeat the process if required

Awareness of the problem

Identifiy causes of the problem

Find creative alternative

Weigh alternatives and make the choice

Implement the choice

Evaluate choice

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 402

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Dalam Ahmad dan Aluh (2016) dipaparkan langkah-langkah dalam pemecahan

masalah antara lain:

1) Analisis konteks pemecahan masalah; langkah ini terdiri dari (1) menilai faktor yang

berhubungan dengan keberhasilan dalam proses pemecahan masalah; pada tahap ini ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan (a) apakah peserta dapat berkomitmen untuk terlibat

dalam pemecahan masalah, (b) apa yang akan terjadi bila masalah tersebut tidak

ditangani?, (c) apakah peserta memiliki kemampuan yang diperlukan dalam mengatasi

masalah?, (d) apakah masalah itu seimbang dengan waktu dan kemampuan dalam

mengatasi masalah; (2) membuat keputusan bersama orang lain apakah pemecahan

masalah secara interpersonal merupakan pendekatan yang tepat.

2) Identifikasi masalah; (1) mencari data dan informasi dari berbagai sumber sehingga dapat

menjelaskan masalah, serta menjaga pandangan dan pikiran yang berbeda pada peserta

yang ikut dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan masalah sebagai dasar penyataan

dan bahasa yang secara spesifik, (3) memastikan bahwa semua peserta menyetujui diskrifsi

dan identifikasi masalah yang akan dibahas.

Dalam menidentifikasi masalah, terlebih dahulu kita harus mencari penyebab terjadinya

masalah tersebut. Terdapat beberapa tanda terjadinya suatu masalah antara lain: (1) adanya

pandangan yang berbeda-beda (divergen), (2) ketidak sesuaian dan pertentangan

pandangan, (3) upaya penghalangan pencapaian tujuan, keinginan, harapan dari kedua

pihak yang saling berlawanan (Dubrin, 2009). Terdapat empat paktor penyebab terjadinya

masalah yaitu: (1) perbedaan pendapa antara pihak yang masing-masing menganggap

dirinya paling benar, (2) kesalahpahaman menempatkan seseorang dalam cara pandang

yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya, (3) tindakan yang dianggap merugikan pihak

lain, (4) perasaan yang terlalu sensitif yang mengarah pada pemikiran negatif.

Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam pemecahan masalah, pada tahap ini,

pertanyaan penting yang harus dijawab adalam menentukan masalah seperti apakah yang

sedang dialami? Untuk memperoleh gambaran masalah itu, kita perlu mengidentifikasi

masalah yang merupakan mengembngkan penertian seperti apakah masalah yang terjadi,

ada beberapa pertanyaan yang menunjang langkah ini antara lain: Apa yang saya inginkan;

Mengapa saya menginginkan hal tersebut; Apa yang saya fikirkan tentang cara-cara untuk

mencapai keinginan saya; Apa yang diinginkan pihak lain; Mengapa mereka

menginginkannya; Apa yang pihak lain fikirkan tentang cara-cara untuk mencapai

keinginan tersebut; Apakah saya dan pihak lain memiliki saling pengertian yang baik

tentang masing-masing keinginan, alsan-alasananya, keyakinan-keyakainannya dan

perasaan-perasannya; Apakah masalah ini didasarkan pada salah pengertian atau

merupakan masalah interes, keyakinan-keyakinan, prefrensi-prefensi, atau nilai-nilai;

Seperti apakah detail hal tersebut.

3) Memilih solusi yang cocok; langkah-langkahnya sebagai berikut (1) menggunakan

berbagai strategi khusus dalam mengusulkan solusi sebanyak mungkin untuk penyelesaian

masalah, (2) membuat aturan seluas mungkin yang dapat diterima dalam mendorong

berpikir, dan pandangan yang berbeda: termasuk mengevaluasi perbedaan soulusi, ide

solusi yang bisa dan tidak bisa untuk dicatat secara tertulis.

Dalam memilih solusi masalah, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah

brainstorming, dalam hal ini berbagai pihak menyajikan berbagai ide-ide kreatif dan

mendorong memikirkan solusi yang terbaik yang saling dapat diterima. Masing-masing

bebas menyatakan pendapat apa saja tampa ada komentar terhadapt ide yang dinyatakan.

Dengan cara ini diharapkan masing-masing menyatakan ide sebanyak-banyaknya dan

mendaftarnya. Selanjutnya dari ide-ide yang terdaftar itu dilakukan penyortiran terhadap

ide mana yang dipilih dan diaplikasikan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 403

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan ada bebrapa starategi yang dapat

digunakan, menurut Jhonson (1993) yang menggunakan perumpamaan karateristik hewan

dalam pemecahan masalah, antara lain: pertama, The trule (withdrawing) seperti kura-kura

yang menarik diri untuk memasuki rumahnya dalam upaya mengindari masalah. Hal ini

dilakukan disaat individu tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah,

mereka mempunyai kepercayaan lebih baik menarik diri dari pada menghadapinya. Kedua,

The shark (forcing) atau seperti ikan hiu yang memaksa, yaitu mencoba menundukkan

lawan dengan memaksa dan melawan kekuatan mereka dalam menyelesaikan masalah.

Dimana individu lebih mementingkan tujuan dari pada hubungan dengan orang lain.

Ketiga, The teddy bear (Smooting) yaitu seperti beruang yang lebih mementingkan

hubungan dari pada tujuan. Individu berpikir masalah dihindari karena dapat merusak

hubungannya dan jika masalah berlanjut akan mendapatkan luka. Lebih mementingkan

minta maaf bukan berarti bersalah. Keempat, The Fox (compromosing) seperti rubah dalam

mencapai tujuan. Individu melakukan kompromi dengan cara memperhatikan pihak lain,

tujuan dan hubungan sama-sama pentingnya. Kelima, The Owl (confronting) meletakkan

nilai tertinggi pada tujuan dan hubungan. Individu memandang masalah yang dapat

dipecahkan dan dicari penyelesaiannya yang berdasarkan kemampuan tujuan yang dicapai.

4) Evaluasi potensi pemecahan masalah; (1) menghilangkan solusi yang tidak mungkin

untuk dilaksanakan dalam menghadapi masalah yang dihadapi, (2) mempertimbangkan

solusi yang tidak digunakan dengan menggunakan strategi kusus dan mempertimbangkan

masing-masing kekurangan, (3) memilih salah satu atau lebih dari solusi yang potensial

untuk dilaksanakan dan dipertimbangkan secara rinci, (4) membuat rencana secara rinci

untuk solusi yang akan dilaksanakan, (5) mengatur waktu pelasanaan secara efektif dari

berbagai solusi yang dipilih. Jika alteranatif solusi sudah dapat teridentifikasi, langkah

selanjutnya adalah mengevaluasi beberapa opsi atau alterantif yang ditemukan dan

melakukan pemilihan solusi. Ini melibatkan berbagai pertimbangan individual termasuk

prefensi-prefrensi. Pertimbangan utama adalah kebermanfaatan bagi masing-masing.

5) Penerapan solusi masalah; (1) melaksanakan solusi yang telah direncanakan, (2)

memantau konsitensi pelaksanaan. Melaksanakan solusi yang telah direncanakan,

memantau konsitensi pelaksanaan. Setelah solusi terbaik dibuat segala keputusan harus

dituangkan dalam persetujuan bersama (argretmen). Persetujuan ditulis dalam lembar

kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak yang bermasalah. Kejujuran dan

kesiapan menanggung resiko terhadap keputusan merupakan hal penting. Saling pengertian

harus dibangun dan diarahkan menjadi saling kemauan untuk berkomitmen untuk

menjalankan keputusan tersebut.

6) Evaluasi hasil; (1) menggunakan data, untuk menentukan apakah solusi yang

diimplementasikan itu tepat atau memiliki efek yang diinginkan, (2) membuat keputusan

untuk (a) melanjutkan pelaksaan, (b) menghentikan solusi karena masalah sudah dapat

teratasi, (c) mervisi solusi untuk meningkatkan pengaruh pada hasil, atau (d) menghentikan

karena solusi yang tidak efektif untuk dilaksanakan, (3) jika solusi yang ditawarkan tidak

efektif, menentukan alasan dan kembali memasuki pada titik proses pemecahan masalah

(contoh, menghasilkan solusi yang lebih baik), (4) memiliki koneksi selama pemecahan

masalah sehingga dapat membantu lebih banyak, sebagai contoh: dapat menggunakan

bahan-bahan dari luar dalam mencari rincian materi permasalahan yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. 2007. Rambu-Rambu Penyelengaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan

Formal. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.

Ahmad. H dan Aluh. H. 2016. Panduan Pelatihan Self Advocacy Siswa SMP untuk Konselor

Sekolah. Mataram. LPP Mandala.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 404

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi

Konselor. Jakarta.

DuBrin, A, J. 2009. Human Relations Interprersonal Job Oriented Skills. Tenth edition. New

jersey. Pearson Prentice Hall.

DuBrin, A, J. 2011. Human Relations for Career and Personal Sucess, Consepts, Application, and

Skill. Boston. Pearson Prentice Hall.

Van Reusen, A. K. 1996. The Self-Advocacy Strategy for Education and Transition Planning.

Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32. No.1. 49 – 54.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 405

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

GRUP AUTOMORFISMA DARI GRAF BIPARTIT LENGKAP DAN KOMPLEMENNYA

Harwandi1, Mamika Ujianita Romdhini

2, Qurratul Aini

3

1,2,3Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Mataram

e-mail : [email protected]

Abstrak: Salah satu konsep yang cukup menarik dalam teori graf adalah automorfisma graf.

Automorfisma dari graf G merupakan isomorfisma dari graf G ke dirinya sendiri. Dengan kata lain,

automorfisma dari graf G merupakan suatu permutasi dari himpunan titik-titik atau sisi-sisi

dari graf G, . jika ϕ adalah suatu automorfisma dari graf G dan , maka . Himpunan semua automorfisma dari graf G membentuk grup automorfisma,

dilambangkan dengan Aut (G) atau . Automorfisma dari dinotasikan dengan ,

sedangkan automorfisma dari EG dinotasikan dengan . Penelitian ini bertujuan untuk

mencari rumus umum grup automorfisma dari graf bipartit lengkap beserta komplemennya, serta

melihat hubungan antara keduanya. Berdasarkan hasil penelitian, graf bipartit lengkap maupun

komplemennya membentuk grup automorfisma yang serupa, dimana bentuk grup automorfisma

dari kedua graf ini membentuk dua pola. Kedua pola ini diperoleh berdasarkan partisi dari graf

bersangkutan. Untuk graf bipartit lengkap dengan , grup automorfisma yang dibentuk

adalah , sedangkan graf dengan memiliki automorfisma sebanyak .

Kata Kunci: Grup, Grup Permutasi, Automorfisma Graf, Graf Bipartit Lengkap, Komplemen

Graf

PENDAHULUAN

Salah satu konsep yang cukup penting di dalam teori graf adalah automorfisma graf. Suatu

automosfisma dari graf G adalah sebuah permutasi dari himpunan simpul G dengan sifat, untuk

setiap dan simpul graf G, (dibaca: bertetangga dengan ) jika dan hanya jika

. Dengan kata lain, automorfisma dari graf G adalah suatu permutasi dari himpunan titik-

titik dari G yang bersifat mengawetkan ketetanggaan.

Dengan konsep automorfisma graf ini kita dapat membuat graf-graf baru seperti graf transitif

titik, graf transitif sisi, graf simetrik dan lain sebagainya. Dengan konsep automorfisma ini juga,

kita bisa mengkaji spektrum dari graf yang bersangkutan serta hubungan spektrum ini dengan grup

automorfismanya. (Suryoto, 2001)

Rosyidah (2010), dalam skripsinya menulis tentang automorfisma dari graf lengkap dan graf

sikel, di mana graf lengkap dengan n simpul memiliki automorfisma sebanyak , sedangkan graf

sikel memiliki automorfisma sebanyak . Selanjutnya, Damayanti (2011), dalam tulisannya juga

membahas tentang automorfisma graf. Lebih khususnya, tentang automorfisma dari graf bintang

dan graf lintasan. Dalam tulisannya, dapat disimpulkan bahwa graf bintang memiliki

automorfisma sebanyak , sedangkan graf lintasan dengan n simpul memiliki automorfisma

sebanyak 2. Lebih jauh, kedua graf ini merupakan graf bipartit.

Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilakukan penelitian. Graf bintang dan graf lintasan,

kedua graf ini merupakan graf bipartit, di mana graf bintang merupakan graf bipartit ,

sedangkan graf lintasan merupakan graf bipartit untuk dan graf bipartit untuk

. Selanjutnya, bagaimana bentuk grup automorfisma dari sebarang graf bipartit ?

Hal inilah yang menjadi alasan utama yang melatarbelakangi penulis meneliti tentang “Grup

Automorfisma dari Graf Bipartit Lengkap dan Komplemennya”.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui bentuk

grup automorfisma dari graf bipartit lengkap; 2) Mengetahui bentuk grup automorfisma dari

komplemen graf bipartit lengkap; 3) Mengetahui hubungan antara automorfisma graf dengan

komplemennya pada graf bipartit lengkap.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 406

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

LANDASAN TEORI

Definisi 2.1 (Munir, 2009)

Graf G didefinisikan sebagai pasangan himpunan (V, E), yang dalam hal ini:

V = himpunan tidak-kosong dari simpul-simpul (vertices atau node)= { v1 , v2 , ... , vn }

E = himpunan sisi (edges atau arcs) yang menghubungkan sepasang simpul = {e1 , e2 , ... ,

en } atau dapat ditulis singkat notasi G = (V, E).

Definisi 2.2. (Munir, 2009)

Graf G yang himpunan simpulnya dapat dikelompokkan menjadi dua himpunan bagian V1 dan

V2, sedemikian sehingga setiap sisi di dalam G menghubungkan sebuah simpul di V1 ke sebuah

simpul di V2 disebut graf bipartit dan dinyatakan sebagai G ( V1, V2 ). Dengan kata lain, setiap

pasang simpul di V1 (demikian pula simpul-simpul di V2) tidak bertetangga. Apabila setiap simpul

di V1 bertetangga dengan semua simpul di V2, maka G ( V1, V2 ) disebut sebagai graf bipartit lengkap

(complete bipartite graphs), dilambangkan dengan Km,n . jumlah sisi pada graf bipartit lengkap

adalah mn.

Definisi 2.3. (Chartrand dan Lesniak, 1986)

Automorfisma pada suatu graf G adalah isomorfisma dari graf G ke G sendiri. Dengan kata lain

automorfisma dari graf G merupakan suatu permutasi dari himpunan titik-titik V(G ) atau sisi-sisi

dari graf G, atau E(G ). Jika ϕ adalah suatu automorfisma dari G dan v V (G ) maka d (ϕ(v))=d

(v).

Definisi 2.4 (Raisinghania dan Aggarwal, 1991)

Misalkan G adalah himpunan yang tidak kosong dan operasi # pada G adalah suatu operasi

biner. Himpunan G bersama-sama dengan operasi biner # atau ditulis ⟨ ⟩ adalah suatu

grup , bila memenuhi aksioma berikut, yaitu:

1. Operasi # bersifat assosiatif

∀ a, b, c G, berlaku (a # b )# c = a #( b # c )

2. G memuat elemen identitas, misal e.

∃ e G, sehingga ∀ a G berlaku a # e = e # a = a .

3. Setiap unsur G mempunyai invers di dalam G pula.

∀ a G, ∃ G , di mana adalah invers dari a, sedemikian sehingga a # = #

a = e.

Jika (G, #) suatu grup yang memenuhi sifat komutatif, yaitu ∀ a, b G, berlaku a # b = b # a,

maka (G, #) disebut grup komutatif atau grup abelian.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian pustaka (studi literatur),

yakni dengan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan judul yang telah diangkat oleh

penulis. Penelitian dilakukan dengan mengkaji buku-buku, jurnal-jurnal, ataupun makalah yang

memuat topik ataupun materi yang berkaitan dengan teori graf, struktur aljabar, dan beberapa teori

yang akan dibutuhkan untuk menunjang skripsi ini. Langkah selanjutnya adalah meliputi:

1. Kajian Pustaka

Menjelaskan definisi dari graf, automorfisma graf, operasi biner, grup, grup automorfisma graf,

dan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini

2. Analisis Graf Bipartit Lengkap dan komplemennya

Dalam langkah ini akan diambil beberapa graf yang dapat digunakan untuk merepresentasikan

graf tersebut secara umum sehingga didapatkan pola-pola grup automorfismanya untuk

mendapatkan bentuk umum grup automorfisma dari graf bersangkutan.

3. Menganalisis Automorfirma Graf dari sampel langkah no 2

Selanjutnya dalam langkah ini, dari beberapa graf yang telah ditetapkan sebagai sampel, akan uji

semua pemetaan yang bijektif yang merupakan automorfisma dari graf bersangkutan.

4. Menentukan grup automorfisma graf

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 407

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dari serangkaian langkah di atas, ini merupakan langkah terakhir dalam penelitian ini, dimana

pada bagian ini, semua automorfisma dari graf bersangkutan yang berbentuk himpunan

permutasi akan diuji secara aljabar. Lebih khusus, semua permutasi ini akan diuji berdasarkan

aksioma-aksioma grup aljabar.

5. Menarik Kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Automorfisma dari suatu graf G adalah isomorfisma dari graf G ke dirinya sendiri. Dengan

kata lain, automorfisma dari graf G merupakan suatu permutasi dari himpunan titik-titik V(G) atau

sisi-sisi dari graf G, E(G) yang menghasilkan graf yang isomorfik dengan dirinya sendiri. Misalkan

adalah suatu automorfisma dari G ke G dan v V(G) maka degG ( (v)) = degG(v).

Himpunan semua automorfisma dari graf G disebut grup automorfisma dari graf G,

dilambangkan dengan Aut (G) atau . Automorfisma dari VG dinotasikan dengan ,

sedangkan automorfisma dari EG dinotasikan dengan .

Beberapa graf yang diambil untuk merepresentasikan grafnya yang lebih luas akan digunakan

graf bipartite lengkap dengan 4 simpul yaitu dan .

Gambar 1. Graf bipartit lengkap K1,3 Gambar 2. Graf komplemen dari graf

bipartit lengkap K1,3

Graf bipartit lengkap dan Graf komplemen dari graf bipartit memiliki 4 simpul

, sehingga automorfima diperlihatkan dalam hasil berikut :

1

Atau dapat ditulis

(

)

2

Atau dapat ditulis

(

)

3

Atau dapat ditulis

(

)

4

Atau dapat ditulis

(

)

5

Atau dapat ditulis

(

)

6

Atau dapat ditulis

(

)

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 408

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa automorfisma dari graf dan komplemennya

merupakan grup. adalah himpunan yang tidak kosong dan operasi °

pada G adalah suatu operasi biner, dapat dilihat dari tabel cayley berikut:

Tabel 1. Tabel Cayley Automorfisma Graf Bipartit Lengkap

Berdasarkan tabel cayley himpunan automorfisma graf dan komplemennya maka

himpunan G di atas bersama-sama dengan operasi biner ° atau ditulis ⟨ ⟩ adalah suatu grup,

karena telah memenuhi aksioma berikut, yaitu:

(i) Operasi ° bersifat tertutup : , ∀ ,

(ii) G memuat elemen identitas. : merupakan identitas dari ⟨ ⟩ (iii) Setiap unsur G mempunyai invers di dalam G pula.

merupakan invers dari , merupakan invers dari , merupakan invers

dari , merupakan invers dari , merupakan invers dari , dan

merupakan invers dari .

Gambar 3. Graf bipartit lengkap K2,2 Gambar 4. Graf komplemen dari graf

bipartit lengkap K2,2

Graf bipartit lengkap memiliki 4 simpul , sehingga

automorfisma dapat diperlihatkan pada hasil berikut.

1

Atau dapat ditulis

(

)

2

Atau dapat ditulis

(

)

3

Atau dapat ditulis

(

)

4

Atau dapat ditulis

(

)

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 409

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

5

Atau dapat ditulis

(

)

6

Atau dapat ditulis

(

)

7

Atau dapat ditulis

(

)

8

Atau dapat ditulis

(

)

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa automorfisma dari graf merupakan grup. adalah himpunan yang tidak kosong dan operasi ° pada G adalah

suatu operasi biner, dapat dilihat dari tabel cayley berikut:

Tabel 2. Tabel Cayley Automorfisma Graf Bipartit Lengkap

Berdasarkan tabel cayley himpunan automorfisma graf dan komplemennya maka

himpunan G di atas bersama-sama dengan operasi biner ° atau ditulis ⟨ ⟩ adalah suatu grup,

karena telah memenuhi aksioma berikut, yaitu:

(i) Operasi ° bersifat tertutup : , ∀ ,

(ii) G memuat elemen identitas. : merupakan identitas dari ⟨ ⟩ (iii) Setiap unsur G mempunyai invers di dalam G pula.

merupakan invers dari , merupakan invers dari , merupakan

invers dari , merupakan invers dari , merupakan invers dari ,

merupakan invers dari , merupakan invers dari , dan

merupakan invers dari .

Dari uraian grup automorfisma graf bipartit lengkap beserta komplemennya di atas, graf

bipartit lengkap beserta komplemennya memiliki automorfisma graf yang sama. Grup

automorfisma (himpuna semua automorfisma graf) dari kedua jenis graf ini membentuk dua buah

pola automorfisma yang berbeda. Pola yang pertama yakni untuk partisi graf , atau dapat

ditulis sebagai . Pola grup automorfisma yang dibentuk diperlihatkan pada tabel berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 410

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tabel 3. Tabel Pola Grup Automorfisma dari Graf Bipartit Lengkap dan Komplemennya

Partisi

graf

Gambar Banyak

automorfisma

Pola grup

automorfisma

(1, 1)

2 1!*1!+1!*1!=2

(2, 2)

8 2!*2!+2!*2!=8

(3, 3)

72 3!*3!+3!*3!=72

Jadi, berdasarkan uraian grup automorfisma di atas, dapat ditentukan berapa banyak

automorfisma dari sebarang graf bipartit lengkap . Misalkan untuk sebarang graf bipartit

lengkap , maka banyak automorfisma yang dapat dibentuk oleh graf tersebut adalah sebanyak

. hal ini dikarenakan graf memiliki sebanyak n simpul di partisi satu dan juga n

simpul di partisi lainnya yang saling terhubung. Akibatnya di partisi satu terdapat sebanyak permutasi, di partisi lainnya juga terdapat sebanyak permutasi untuk simpulnya. Sehingga

permutasi yang dibentuk dari kedua partisi sebanyak . Selanjutnya, pola grup automorfisma kedua yang dibentuk untuk graf bipartit lengkap dengan

partisi dan diperlihatkan pada tabel berikut:

Tabel 4. Tabel Pola Grup Automorfisma dari Graf Bipartit Lengkap dan Komplemennya

Partisi

graf

Gambar Banyak

automorfisma

Pola grup

automorfisma

(1, 2)

2 1!*2!=2

(1, 3)

6 1!*3!=6

(2, 3)

12 2!*3!=12

Berdasarkan tabel pola grup automorfisma di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk sebarang

graf bipartit lengkap dengan partisi dan , automorfisma yang dapat dibentuk

adalah sebanyak . Hal ini dikarenakan, graf bipartit lengkap memiliki sebanyak p simpul

di partisi satu dan q simpul di partisi lainnya yang saling terhubung. Akibatnya, dipartisi satu

terdapat sebanyak cara penempatan simpul yang merupakan permutasi, dan dipartisi lainnya

terdapat sebanyak permutasi yang merupakan automorfisma dari graf bersangkutan. Sehingga,

semua automorfisma yang dapat dibentuk adalah sebanyak . KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang grup automorfisma dari graf bipartit lengkap

beserta komplemennya, secara umum dapat diambil kesimpulan:

1. Graf bipartit lengkap memiliki simpul. Banyaknya grup automorfisma yang dapat

dibentuk tergantung pada partisi simpul dari graf tesebut, yakni:

a. Untuk , banyaknya automorfisma yang dibentuk adalah sebanyak atau

dapat juga ditulis sebagai , karena .

b. Untuk , banyaknya automorfisma yang dibentuk adalah sebanyak .

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 411

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

2. Komplemen dari graf bipartit lengkap membentuk grup automorfisma yang sama dengan

graf bipartit lengkap . Hal ini berlaku untuk maupun .

DAFTAR RUJUKAN

Arifin, A, 2000, Aljabar, ITB Bandung Press, Bandung.

Chartrand, G. dan Lesniak, L., 1986, Graph and Digraph 2nd Edition, Wadsworth, Inc, California.

Damayanti, Reni T., 2011, Automorfisme Graf Bintang dan Graf Lintasan, Jurnal Cauchy, Fakultas

Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Fraleigh, J. B., 1994, A First Course in Abstract Algebra, 5th Edition, Addison Wesley Publishing

Company, USA.

Herstein, I. N., 1996, Abstract Algebra, 3th Edition, Jhon and Wileyn Sons, New York.

Grimaldi, R. P., 2004, Discrete And Combinatorial Mathematics, 5th Edition, Adisson Wesley,

USA.

Mardiyono, S.,1996,MatematikaDiskret, Yogyakarta, FMIPA IKIP Yogyakarta.

Munir, Rinaldi, 2009, Matematika Diskrit, Edisi Ketiga, Informatika, Bandung.

Raisinghania, M. D. dan R.S. Aggarwal, 1980,Modern Algebra, S. Chan and Combany LTD, New

Delhi.

Suryoto, 2011, Automorfisma Graph, Jurnal Matematika dan Komputer, Vol 4 No. 3, Jurusan

Matematika FMIPA UNDIP, Semarang.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 412

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

DALAM MATERI SHOWING EXPRESSION PADA SISWA KELAS 8A

SMPN 2 LABUAPI

Hidayati1; Eva Sofia Sari

2

1Tenaga Pengajar FKIP UMMAT,

2Guru MaPel SMPN 2 Labuapi

Abstrak: Dalam dunia pendidikan, media disebut juga alat bantu pembelajaran. Media

tersebut ada yang bersifat audio, visual dan audio visual, artinya alat yang dapat didengar, dilihat

dan dapat didengar sekaligus dilihat. Alat-alat ini dapat dipakai dalam pengajaran dengan maksud

untuk membuat cara berkomunikasi yang lebih efektif dan efisien sehingga suasana belajar menjadi

lebih mantap dan terarah sesuai dengan sasaran dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk membuat sebuah penelitian yang

mengacu pada media pembelajaran dengan tujuan khusus yaitu untuk mendeskripsikan kemampuan

siswa sebelum menggunakan media pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri dan

mendeskripsikan peningkatan kemampuan siswa dengan menggunakan media pembelajaran siswa

kelas 8A SMPN 2 Labuapi. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi showing expression. Tindakan yang

digunakan adalah dengan menggunakan media pembelajaran berbasis visual khususnya media

gambar berseri. Proses tindakan ini melalui tiga tahap secara daur (sebagai siklus) mulai dari: (1)

tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan tindakan dan observasi, (3) tahap evaluasi, dan (4)

refleksi. Adapun hasil kemampuan individu pada siklus pertama adalah kemampuan tinggi sebesar

6,25%, kemampuan sedang: 31,25% dan kemampuan rendah: 62,50% namun pada siklus kedua

dengan menggunakan media maka peningkatan kemampuan siswa yaitu kemampuan tinggi: 31,65,

kemampuan sedang: 68,75 dan tidak ada lagi yang memiliki kemampuan rendah. Adapun

kemampuan kelompok pada siklus 1 adalah 54,375 dan siklus kedua mengalami peningkatan

sebesar 64,687. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan media

pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri dapat meningkatkan kemampuan siswa

dalam memahami materis showing expressin pada kelas 8A SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran

2018/2019.

Kata Kunci: Media Pembelajaran, Materi Showing Direction

PENDAHULUAN

Dalam dunia pendidikan, media disebut juga alat bantu pembelajaran. Media tersebut ada

yang bersifat audio, visual dan audio visual, artinya alat yang dapat didengar, dilihat dan dapat

didengar sekaligus dilihat. Alat-alat ini dapat dipakai dalam pengajaran dengan maksud untuk

membuat cara berkomunikasi yang lebih efektif dan efisien sehingga suasana belajar menjadi lebih

mantap dan terarah sesuai dengan sasaran dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selanjutnya

Hamalik (2002:67) mengatakan bahwa tujuan proses pembelajaran dapat tercapai dengan baik bila

ditunjang oleh berbagai faktor, antara lain media pembelajaran. Media merupakan salah satu faktor

yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran, karena membantu siswa dan guru dalam

menyampaikan materi pembelajaran sehubungan dengan tujuan pembelajaran yang telah

dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran.

Namun berdasarkan observasi yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa kemampuan

siswa masih terbatas khususnya dalam memahami materi showing expression masih memiliki

kompetensi yang rendah. Faktor penyebabnya antara lain adalah karena kurangnya perhatian dan

respon siswa terhadap materi yang disajikan, para siswa sebagian besar tidak suka atau senang

dengan materi tersebut sehingga kegiatan ini menjadi membosankan bagi siswa dan sering terjadi

interbidang yaitu dua atau lebih bidang yang secara bersama-sama dipelajari dalam satu

keterampilan berbahasa, terbatasnya media pembelajaran yang tersedia sehingga para pengajar

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 413

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

jarang menggunakannya, dan ditambah pula dengan minimnya peralatan pendukung yang ada.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah

terbatasnya kemampuan siswa dalam memahami materi showing expression, namun akan lebih

dibatasi dengan penggunaan media pembelajaran berbasis visual yaitu gambar berseri. Dan

sekaligus menggunakannya sebagai judul yaitu “Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis

Visual: Gambar Berseri Untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Materi Showing

Expression” pada siswa kelas 8A di SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran 2018/2019.

Adapun rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimanakah kemampuan memahami materi showing expression sebelum menggunakan

media pembelajaran berbasis visual gambar berseri pada siswa kelas 8A di SMPN 2 Labuapi

tahun pembelajaran 20108/2019?

2. Bagaimanakah peningkatan kemampuan memahami materi showing expression dengan

menggunakan media pembelajaran berbasis visual: gambar berseri pada siswa kelas 8A di

SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran 20108/2019?

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah

diatas adalah:

1. Mendeskripsikan kemampuan memahami materi showing expression sebelum menggunakan

media pembelajaran berbasis visual gambar berseri pada siswa kelas 8A di SMPN 2 Labuapi

tahun pembelajaran 20108/2019

2. Mendiskripsikan peningkatan kemampuan memahami materi showing expression dengan

menggunakan media pembelajaran berbasis visual: gambar berseri pada siswa kelas 8A di

SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran 20108/2019

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan riset yang bersifat eksploratif dan bertujuan untuk menggambarkan

status fenomena utamanya dalam hal ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan pada bab I yaitu mendeskripsikan data tentang peningkatan kemampuan memahami

materi showing expression dengan menggunakan media pembelajaran berbasis visual khususnya

gambar berseri, sehingga peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Selain itu peneliti

menggunakan metode deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

kemampuan, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah secara deskriptif kualitatif

dibantu kuantitatif. Dalam hal ini peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan

dengan keadaan sesuatu untuk menggambarkan suatu kemampuan dengan cara pengumpulan,

penyusunan, analisis dan interpretasi (Arikunto, 2002:245).

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

mahasiswa dalam menulis wacana narasi. Tindakan yang digunakan adalah dengan menggunakan

media pembelajaran berbasis visual khususnya media gambar berseri. Proses tindakan ini melalui

tiga tahap secara daur (sebagai siklus) mulai dari:(1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan

tindakan dan observasi, (3) tahap evaluasi, dan (4) refleksi.

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan

sekunder. Data primer adalah media pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri. Data

sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumbernya yaitu siswa dari

hasil observasi selama proses pembelajaran berlangsung. Peneliti merupakan instrumen dalam

penelitian ini. Dalam pengumpulan data, penulis berperan serta (observation-participation) dalam

kegiatan penelitian tindakan kelas ini. Selain itu, peneliti juga mengadakan observasi atau

pengamatan yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang dibantu oleh 1 orang observer untuk

memperoleh informasi tentang kemampuan menulis wacana narasi mahasiswa dengan

menggunakan media pembelajaran berbasis visual. Pelibatan langsung dilakukan oleh peneliti

karena terlibat langsung sebagai tenaga pengajar dalam proses pembelajaran dalam penelitian ini.

Disamping itu, alat bantu lain yang diperlukan berupa alat-alat tulis dan format obdervasi yang

berguna untuk pencatatan pelaksanaan proses dan hasil dalam pembelajaran menulis.

Instrumen lainnya yang digunakan adalah tes ialah serentetan pertanyaan atau latihan serta

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 414

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

alat yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau

bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi, 2002:127).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan penelitian tentang “Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual: Gambar

Berseri untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Materi Showing Expression pada siswa kelas

8A di SMPN 2 Labuapi dapat dijelaskan sebagai berikut: Tahap persiapan yang dilakukan oleh

peneliti adalah dengan terkebih dahulu menyampaikan surat ijin penelitian dan mengadakan

koordinasi baik dengan dosen pengampu mata kuliah sebelumnya, dosen lain yang mata kuliahnya

paralel, peneliti dan observer yang akan membantu proses penelitian tindakan kelas. Hal lain yang

dipersiapkan adalah kurikulum, silabus, penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, materi atau

sumber belajar mahasiswa, media pembelajaran berbasis visual yang digunakan dalam penelitian

yang dalam hal ini adalah gambar berseri, lembar observasi, pedoman wawancara, bentuk evaluasi

yang akan dilakukan selama proses pembelajaran dalam penelitian. Pengumpulan data pada

penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, observasi, dan tes.

Data dokumentasi diperoleh dengan cara mencari informasi tentang gambaran umum lokasi

penelitian seperti data mahasiswa, dosen, karyawan, sarana dan prasarana di perguruan tinggi.

Dokumentasi yang diperoleh juga berupa daftar nama siswa kelas 8A, silabus dan RPP yang akan

dilaksanakan dalam penelitian serta dokumen lain yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian.

Data observasi diperoleh dengan cara mengamati proses penelitian berlangsung. Data yang

diperoleh dari pengamatan terhadap mahasiswa meliputi tingkat antusiasme dan tanggung jawab

terhadap tugas dalam kegiatan pembelajaran, kerjasama dengan teman sekelas, keaktifan siswa

dalam proses pembelajaran dan disiplin selama pembelajaran berlangsung.

Data tes atau penugasan mahasiswa berupa materi teks yang kemudian dianalisis

berdasarkan form daftar penilaian mahasiswa dalam memahami materi showing expression sebelum

dan sesudah penggunaan media pembelajaran berbasis visual. Bentuk tes yang digunakan disini

adalah tertulis, jenis tes adalah uraian/essay dengan instruksi soal adalah tes yang diberikan adalah

(1) pada putaran I pada siklus II, tes yang diberikan berupa gambar seri yang masih acak, namun

telah disuguhkan kalimat topik dan kalimat penjelas. Setiap subjek diberikan seperangkat tes ini dan

tugas mereka adalah mengurutkan gambar seri yang masih acak tersebut sesuai dengan kronologi

(urutam waktu dan kejadian) dan mereka memahami materi showing expression tersebut

berdasarkan urutan yang mereka lakukan namun terlebih dahulu mereka menentukan judulnya.

Setelah persiapan penelitian ini selesai, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan penelitian

dengan judul “ Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual: Gambar Berseri untuk

Meningkatkan Kemampuan Memahami Materi Showing Expression pada siswa kelas 8A di SMPN

2 Labuapi.”

4.1 Penyajian Data

Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat disajikan data observas berdasarkan data

pada table 4.1, dapat kita ketahui bahwa rata-rata dari hasil observasi kegiatan mahasiswa dalam

proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

1. Keaktifan siswa = 9 : 16 x 100% = 56,25%

2. Disiplin = 14 : 16 x 100% = 87,50%

3. Ketekunan = 11 : 16 x 100% = 68,75%

4. Tanggung jawab = 14 : 16 x 100% = 87,50%

5. Antusiasme = 12 : 16 x 100% = 75,00%

4.1.1 Pembelajaran Memahami Materi Showing Expression

4.1.1.1 Siklus I

Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Masing-masing siklus akan dipaparkan sebagai

berikut:

A. Persiapan Pembelajaran

Pada umumnya peneliti mempersiapkan administrasi mengajar, antara lain: Program Silabus,

Satuan Acuan Pembelajaran (SAP). SAP yang dibuat pada siklus I ini tidak disesuaikan dengan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 415

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

kebutuhan penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual yang dalam penelitian ini

menggunakan gambar berseri.

B. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran

Selanjutnya pada pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan pengamatan secara cermat.

Pelaksanaan pemnbelajaran menulis wacana narasi pada siklus I ini oleh peneliti adalah

memberikan materi tentang materi showing expression tanpa menggunakan gambar berseri. Adapun

langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran terlampir

Hal ini berdasarkan analisis aktivitas belajar siswa pada siklus I, dimana jumlah skor

maksimal ideal (SMi) = 60, maka sesuai dengan penetapan kategori aktivitas belajar mahasiswa,

maka aktivitas belajar mahasiswa pada siklus I berkategori rendah. Hal ini belum mencapai target

dari proses pembelajaran yang diinginkan oleh peneliti yaitu berkategori tinggi/aktif.

Dari hasil pembelajaran pada table 4.2 di atas, nilai rata-rata (Mean) yang dicapai

mahasiswa 54,375, dengan nilai tertinggi yang dicapai adalah 70 sebanyak 1 orang mahasiswa atau

06,25%, nilai sedang dicapai oleh 5 orang mahasiswa atau 31,25%, nilai rendah sebanyak 10 orang

atau 62,50%. Melihat hasil tersebut diatas masih dikatakan mereka memiliki kompetensi kurang

atau rendah. Secara rinci dari evaluasi pembelajaran menulis wacana narasi mahasiswa sebelum

menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang dilaksanakan pada siklus I ini diperoleh

prestasi siswa pada siklus I ini, untuk kemampuan individu dengan kemampuan tinggi mencapai

06,25%, kemampuan sedang 31,25% dan kemampuan rendah adalah 62,50%. Sedangkan untuk

kemampuan kelompok IPK mencapai 54,375 dengan kategori rendah.

C. Refleksi

Dari data hasil table evaluasi terhadap hasil yang harus diperbaiki, antara lain:

1. Peneliti sekaligus sebagai tenaga pengajar dalam hal ini Dosen akan menjelaskan kembali

beberapa materi yang akan ditulis dan dipahami oleh mahasiswa. Sehingga pada pertemuan

berikutnya, dosen akan memberikan kembali ulangan materi yang masih belum dipahami oleh

siswa.

2. Siswa yang masih belum bisa memahami materi tanpa menggunakan media pembelajaran

seperti pada siklus I akan ditingkatkan dengan menggunakan media pembelajaran khususnya

gambar berseri. Sehingga untuk pertemuan berikutnya dosen akan memperhatikan mahasiswa

tersebut dan akan menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang dalam hal ini peneliti

memilih menggunakan gambar berseri.

4.1.1.2 Siklus II

Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus. Pada siklus II ini juga akan dipaparkan sebagai

berikut:

A. Persiapan Pembelajaran

Peneliti kembali melakukan koordinasi kembali untuk mempersiapkan administrasi mengajar,

antara lain: Program Silabus, dan Satuan Acuan Pembelajaran (SAP). SAP yang dibuat disesuaikan

dengan kebutuhan penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual yang dalam penelitian ini

menggunakan gambar berseri untuk meningkatkan kemampuan siswa dengan gambar berserinya

masih acak. Pada lembar test yang diberikan pada siswa tersebut masih acak namun telah

disuguhkan kalimat topik dan kalimat penjelas dalam bahasa Indonesia. Setiap subjek penelitian

atau sample diberikan seperangkat test ini. Tugas siswa adalah mengurutkan gambar seri yang

masih acak sesuai dengan kronologi (urutan waktu berdasarkan gambar berseri yang diberikan).

Namun mereka harus menentukan terlebih dahulu judul dari media gambar berseri yang terdapat

pada soal tes tersebut. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti melakukan koordinasi dengan

observer yang membantu peneliti dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini tentang observasi

yang harus dilakukan dengan memberi checklist “√” sesuai dengan format observasi yang ada.

B. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran

Selanjutnya pada pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan pengamatan secara cermat.

Pelaksanaan pemnbelajaran pada siklus II ini oleh peneliti adalah memberikan materi tentang

pengertian materi showing expression, jenis dan teknik menulis percakapan namun dengan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 416

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

menggunakan media pembelajaran yaitu gambar berseri. Adapun langkah-langkah pelaksanaan

pembelajaran terlampir.

C. Observasi

1. Hasil Observasi Aktivitas Siswa

Berdasarkan hasil observasi, diperoleh data sebagai berikut:

a. antusiasme mahasiswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran cukup aktif

b. kerja sama dalam kelompok mahasiswa cukup aktif

c. interaksi antara mahasiswa cukup aktif

d. aktivitas mahasiswa dalam mengerjakan tugas cukup aktif

Hal ini berdasarkan analisis aktivitas belajar siswa pada siklus II, jumlah skor maksimal

ideal (SMi) = 60, maka sesuai dengan penetapan kategori aktivitas belajar mahasiswa, maka

aktivitas belajar mahasiswa pada siklus II berkategori sedang. Hal ini belum mencapai target dari

proses pembelajaran yang diinginkan oleh peneliti yaitu berkategori tinggi/aktif.

2. Hasil Observasi Aktivitas Dosen

Dari pengamatan observasi diperoleh data aktivitas dosen sebagai berikut:

a. membangkitkan minat dan motivasi mahasiswa dalam belajar aktif

b. pemberian apersepsi dan apresiasi pada mahasiswa aktif

c. menyampaikan materi pada siswa sangat aktif

d. kemampuan menciptakan suasana kelas yang kondusif aktif

e. bersama mahasiswa membuat kesimpulan cukup aktif

D. Evaluasi

Menilai keterampilan menulis wacana narasi mahasiswa pada akhir proses pembelajaran.

Dari hasil pembelajaran pada table 4.4 di atas, nilai rata-rata (Mean) yang dicapai mahasiswa

64,687, dengan nilai tertinggi yang dicapai adalah 70 sebanyak 5 orang mahasiswa atau 31,25%,

nilai sedang dicapai oleh 11 orang mahasiswa atau 68,75%, nilai rendah 0%. Melihat hasil tersebut

diatas masih dikatakan mereka memiliki kompetensi kurang atau rendah. Secara rinci dari evaluasi

pembelajaran memahami materi dengan menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang

dilaksanakan pada siklus II ini diperoleh hasil untuk perolehan prestasi mahasiswa pada siklus II

ini, untuk kemampuan individu dengan kemampuan tinggi mencapai 31,25%, kemampuan sedang

68,75% dan kemampuan rendah adalah 0%. Sedangkan untuk kemampuan kelompok IPK

mencapai 64,687 dengan kategori normal.

E. Refleksi

Dari data hasil table evaluasi terhadap hasil yang harus diperbaiki, antara lain:

a. Peneliti sekaligus sebagai tenaga pengajar dalam hal ini Dosen akan menjelaskan kembali

beberapa materi yang akan ditulis dan dipahami oleh mahasiswa. Sehingga pada pertemuan

berikutnya, dosen akan memberikan kembali ulangan materi yang masih belum dipahami oleh

siswa tersebut pada pembelajaran bahasa inggris dengan menggunakan media pembelajaran.

b. Dosen meminta siswa untuk menulis kata-kata terlebih dahulu yang berhubungan dengan

gambar berseri dalam pembelajaran memahami materi showing expression yang ada di lembar

kerja siswa dan di papan tulis kemudian menghubungkannya ke dalam kalimat-kalimat yang

kemudian ditambah dengan aspek-aspek yang akan mendukung dalam percakapan pendek dan

sederhana. Sehingga pada pertemuan berikutnya dosen akan lebih mempertimbangkan untuk

lebih memperhatikan dan membimbing siswa dalam pembelajaran memateri tersebut.

c. Mahasiswa yang masih belum bisa menulis dengan baik wacana narasi tanpa menggunakan

media pembelajaran seperti pada siklus II akan ditingkatkan dengan menggunakan media

pembelajaran juga yaitu gambar berseri yang sama namun dengan menggunakan strategi lain.

Sehingga untuk pertemuan berikutnya dosen akan memperhatikan mahasiswa tersebut dan akan

menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang dalam hal ini peneliti memilih

menggunakan gambar berseri dengan menggunakan strategi dan tehnik pembelajaran menulis

dengan menggunakan gambar berseri.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 417

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

KESIMPULAN

Hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini disimpulkan:

1. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media berbasis visual khususnya gambar

berseri dapat meningkatkan kemampuan memahami materi showing expression.

2. Penggunaan media pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri juga mampu

mendukung proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran bahasa inggris dalam penelitian

ini dapat tercapai.

3. Penggunaan media pembelajaran hendaknya pula disesuaikan dengan strategi dan tehnik

pembelajaran, sehingga media pembelajaran dapat lebih berfungsi dan memberikan solusi untuk

meningkatkan kemampuan siswa khususnya dan ketiga aspek kebahasaan yang lain pada

umumnya.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT.Rineka

Cipta.

Arsyad, Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Cetakan Kedua. Jakarta : Rajawali Pers.

Aqib, Zainal. 2007. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru. Cetakan III:September 2007.Bandung :

Yrama Widya

-------. 2008. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru, SMP, SMA, SMK. Bandung : Yrama Widya

Basyirudin Usman, asnawir. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Delia Citra Utama

“Bikin Iklan Bagus Perlu Perang Dulu” dalam http://groups. Yahoo.com/group/free speech.

(diunduh tanggal 23 Maret 2011)

Brown, R dan Bellugi. 1985. Tiga Proses dalam Penguasaan Kalimat pada Anak. Dalam

Sumarsono (alih bahasa, 1985). Psikolinguistik: Kumpulan Artikel. Singaraja:FKIP

Universitas Udayana.

Douglas, Brown. 2004. Language Assesment, Priciples, and Classroom Practises. Harefa, A. 2001.

Mutiara Pebelajar. Jogjakarta:Gloria CyberMinistries. New York: Longman.

Chaer, Abdul. 1988. Tatabahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta : Bharata Karya Aksara.

Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan. Cetakan ke-7. Bandung : PT. citra Aditya Bakti.

Nurkencana,dkk. 2000. Pengantar Statistik Pendidikan. Surabaya:SIC.

Poerwadarminta, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.

Praptomo, Baryadi I. 2003. Dasar-Dasar Analisis Bahasa Wacana dalam Ilmu Bahasa.

Yogyakarta:Pustaka Gondho Suli.

Pringgawidagda. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Jogjakarta:Adicita Karya Nusa.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 418

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERAKTIF MODEL INQUIRI DENGAN

STRATEGI KOMPLIK KOGNITIF

Hulyadi1; Ali Imran

2

1Dosen Program sutudi Pendidikan Kimia

2Dosen Program Studi Pendidikan Biologi

e-mail: [email protected] [email protected]

Abstrak: Kajian Materi IPA SMP khususnya yang mengandung konten kimia meliputi atom,

molekul, senyawa, asam dan basa. Kajian materi ini sangat abstrak sehingga berimplikasi pada

tingkat penguasan konsep yang masih rendah. Aplikasi model dan strategi yang masih fokus pada

guru dengan metode ceramah dan diskusi membuat mata pelajaran IPA semakin sulit untuk

dipahami. Berdasarkan permasalahan yang ditemuan studi pendahuluan yang telah dilakukan

diperlukan model, pendekatan dan media pembelajaran yang tepat. Model dengan pendekatan

saintifik merupakan solusi yang paling tepat untuk menumbuhkan dan memperkuat pemahaman

siswa pada mata pelajaran IPA. Model inquiri adalah salah satu model dengan pedekatan saintifik

yang menekan aspek kemampuan berfikir dalam merumuskan masalah dan kegiatan ilmiah yang

terstruktur dalam menemukan konsep yang menjadi masalah dalam pembelajaran. Strategi konflik

kognitif dibutuhkan untuk mempertajam dan menguji kemampuan berfikir siswa. Media komputasi

koputasi dibutuhkan untuk menampilkan sisi mikroskopis pada konten IPA yang bersifat

mikroskopis. Kolaborasi model inquiri, strategi konfilik kognitif, dan media komputasi diharapkan

dapat menumbuhkan kemampuan berfikir kritis. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan

multimedia interaktif model inquiri dengan strategi konflik kognitif serta implikasinya terhadap

kemampuan berfikir kritis pada mata pelajaran IPA SMP. Penelitian ini termasuk penelitian

pegembangan model ADDIE. Analisis dalam penelitian meliputi analisis prangkat, model, konten,

pasilitas, dan tingkat berfikir siswa pada pembelajaran IPA konsentrasi kimia. Hasil analisis ini

dijadikan dasar untuk mendifinisikan dan mengembangkan multimedia. Penelitian dibatasi sampai

tahap pengembangan (Depelopmen). Hasil penelitian meunjukkan multimedia yang telah

dikembangkan memenuhi kritia valid, sehingga bisa diuji coba untuk mengevaluasi respon siswa

terhadap multimedia yang telah dikembangkan. Respon siswa setelah dibelajarkan dengan

multimedia yang telah divalidasi 68% setuju, 20% sangat setuju, 6 % kurang setuju, dan 6% tidak

setuju.

Kata Kunci: Multimedia, Inkuiri, Konflik Kognitif

PENDAHULUAN

Pembelajaran IPA SMP khusus materi yang berkaitan dengan konten kimia dianggap mata

pelajaran yang sulit bagi siswa. Kesulitan dalam mempelajari konten kimia disebabkan karena

kajiannya yang abstrak. Lee dan Osman (2012) menyatakan ilmu kimia merupakan topik yang sulit

dipahami karena bersifat abstrak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simulasi dan animasi

menggunakan teknologi informasi dapat membantu siswa dalam memvisualisasi topik kimia yang

abstrak. Donlly (2013) melaporkan bahwa studi kasus berbasis program komputer dapat

meningkatkan capaian kompetensi belajar kimia dan kemampuan membuat gambar untuk

mengembangkan kemampuan menghubungkan konsep tekstual dengan gambar visual. Konten IPA

SMP khususnya kimia mengkaji tentang atom, unsur, senyawa, asam dan basa yang sangat abstrak.

Hanya level simbolik dan gejala yang teramati oleh indra (level makroskopis) sementara sisi

mikroskopisnya tidak bisa teramati. Tidak menyatunya ketiga level ini dalam satu pembelajaran

menyebabkan miskonsepsi dan rendahnya kemampuan berfikir siswa. Hadirnya media komputasi

dalam pembelajaran adalah solusi yang tepat dalam menjawab permasalahan pendidikan kita saat

ini.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 419

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Media terkini yang sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan adalah media yang tidak hanya

menyajikan, gambar tiga dimensi, grafik dan video audio visual secara parsial tetapi dibutuhkan

media yang mampu mengintegrasikan semua komponen di atas menjadi satu kesatuan yang utuh

sehingga menghasil multimedia pembelajaran yang menarik. Rahim, dkk (2015) melaporkan

multimedia merupakan alat pengintegrasi teks, grafik, audio, video dan anamasi untuk membuat

pembelajaran lebih menarik dan mudah dipahami. Liliasari, (2011) melaporkan Pada abad ke-21 ini

belajar kimia bukan lagi waktunya belajar konsep-konsep dan hanya menjadi sebuah pengetahuan

tetapi pembelajaran didesain sebagai belajar cara berfikir untuk meningkatkan kemampuan berpikir.

Multimedia dengan model saintifik diperlukan untuk melatih dan menumbuhkan kemampuan

berfikir tingkat tinggi. Multimedia interaktif dengan strategi konfilk kognitif menjadi salah satu

pilihan yang tepat dalam menjawab permasalah pembelajaran IPA SMP khususnya yang

mengandung konten kimia yang bersifat sangat abstrak. Salah satu model yang tepat dalam

menumbuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi adalah model inquiri.

Rahayu dan Yonata (2013) melaporkan melalui model pembelajan inkuiri dapat melatih

keterampilan berfikir, siswa mampu mengembangkan konsep yang dipelajari secara logis, kritis,

sistematis dan objektif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan dalam kehidupan sehari-hari

maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan serta meningkatkat hasil belajar. Selain

model yang tepat dibutuhkan strategi yang tepat dalam menumbuhkan kemampuan berfikir tingkat

tinggi khususnya kemampuan berfikir kritis.

Setyowati, dkk (2011) melaporkan implementasi pendekatan konflik kognitif efektif digunakan

dalam menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep siswa. Temuan lain juga

merpertegas bahwa strategi konfilik kognitif dapat mempenagruhi gaya kognitif selama proses

pembelajaran. Andayani (2013) melaporkan terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara

strategi pembelajaran dengan gaya kognitif terhadap remidasi miskonsepsi dalam pembelajaran

kimia.

Setiawan, dkk (2014) melaporkan simulasi interaktif phet molecule shapes dapat

meningkatkan kemampuan berfikir kritis pada kemampuan mengiduksi dan menganalisis argumen.

Temuan lainnnya adalah multimediayang digunakan belum banyak menggunakan program terutama

program tiga dimensi yang lebih memotivasi siswa dalam mengkaji struktur kimia organik.

Program yang dipakai biasanya molymod dan cham draf yang belum banyak menyajikan data yang

membantu siswa untuk mengkaji konsep-konsep yang mikroskopik. Kaberman, et al. (2007)

menyatakan pembelajaran kimia berdasarkan kasus dengan pemodelan molekul tiga dimensi dapat

meningkatkan kemampuan berfikir siswa, dari serangkain proses penyelidikan dan ekpolorasi

menggunakan program komputasi dalam memanipulasi beragam molekul, gambar, membuat

koneksi, simbol, mikroskopik, dan makroskopik. Berdasarkan kajian di atas diperlukan

pengembangan multimedia interaktif IPA model inquiri dengan pendekatan konflig kognitif yang

berimpilikasinya positif terhadap keterampilan berfikir kritis siswa.

METODE

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan pendidikan (Educational Research

and Development). Model pengembangan yang digunakan adalah model ADDIE yang meliputi

tahap Analisy, Decine, Developmen, Impelementation, dan Evaluation. Adapun tahapan-tahapan

dalam penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tahapan seperti yang dijelaskan diatas dalam pengembangan model, desain pembelajaran, maupun

evaluasi lebih dikenal dengan model ADDIE. Gambar 1. menampilkan tahapan pengembangan

media yang diadaptasi dari model ADDIE.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 420

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Evalution

Gambar 1. Tahapan Penelitian ADDIE

Subjek penelitian ini adalah Siswa SMP Islam Al Azhar NW Kayangan. Kecamatan Batu Layar

NTB. Siswa yang dilibatkan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelas

eksperimen dan kelas kontrol.Variabel penelitiannya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu

variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas penelitian ini adalah multimedia interaktif model

inquiri dengan strategi konflik kognitif sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan berfikir

kritis. Dalam rangka memperoleh data yang lengkap dan demi ketajaman analisis data maka dalam

penelitian digunakan beberapa instrumen penelitian, yaitu:

1. Angket Validasi meteri, media, dan bahasa bahan ajar.

2. Tes kemampuan berfikir kritis dalam bentuk soal uraian sebanyak 10 soal.

3. Angket skala Likert, dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan siswa dan guru terhadap

multimedia interaktif yang digunakan dalam proses pembelajaran.

Terdapat lima jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yaitu: data kemampuan

berfikir kritis, tanggapan guru terhadap media pembelajaran, dan tanggapan siswa terhadap media

pembelajaran. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk menemukan

kecenderungan-kecenderungan yang muncul pada saat penelitian sedangkan data kuantitatif

dianalisis dengan uji statistik. Teknik analisis data meliputi teknik kualitatif maupun kuantitatif

tergantung jenis data yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Multimedia pembelajaran sebelum diujicobakan kepada siswa, dilakukan validasi oleh ahli

materi dan ahli media untuk mengetahui kelayakan dari produk pengembangan dalam penelitian ini.

Validasi oleh ahli materi dilakukan melalui panel experts. Dari hasil penilaian ahli ini, kemudian

dilakukan perhitungan tingkat validitas multimedia sebagaimana terangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Skor Penilaian Ahli Materi dan Media

Validator Skor Rata-Rata Kriteria Saran

Ahli Materi 3.41 Dapat digunakan

dengan sedikit revisi

Keterbacaan multimediaperlu diuji

cobakan

Ahli Media 3,58 Dapat digunakan

dengan sedikit revisi

Setiap tahap pembelajaran perlu

dilengkapi dengan kunci jawaban

sehingga lebih interaktif.

Setelah multimedia divalidasi selanjutnya diaplikasikan kepada siswa untuk melihat respon

siswa terhadap multimedia yang telah divalidasi. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2.

Analisis

Design

Implementation

Development

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 421

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 2. Respon Siswa Terhadap Multimedia Yang Telah Divalidasi

Gambar 2 menunjukkan aplikasi multimedia mendapat respon baik dari siswa. Awalnya siswa

mengalami kesuliatan dalam mengikuti pembelajaran dengan model inkuiri dengan strategi konflik

kognitif. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa dengan model dan pendekatan yang

digunakan tetapi pada pertemuan kedua siswa sangat antosias dalam belajar hal ini disebabkan

karena materi yang kontekstual. Kemampuan berfikir siswa juga mengalami perkembangan yang

signifikan dengan strategi konflik diawal pembelajaran siswa menimbulkan rasa ingin tahu siswa

meningkat.

Evektifitas multimedia ini tidak terlepas dari desain proses pembelajaran dengan pendekatan

makroskopis melalui praktikum dan mikroskopis melalui media komputasi sangat

membantusiswadalam menghubungkan representasi kimia. Penyeajian konflik menantang siswa

untuk berfikir karena masalah diberikan dikaitkan dengan pengelaman dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini diperkuat juga melalui kegiatan praktikum dengan penggunaan isu sosial sebagai wahana

pengamatan sisi makroskopis. Gilbert dan Treagust (2009) merangkum dari berbagai penelitian

mengenai masalah yang dihadapi siswa yaitu: (1) lemahnya pengalaman pada level makroskopik,

karena tidak tersedianya pengalaman praktik yang tepat atau tidak terdapatnya kejelasan apa yang

harus mereka pelajari melalui kerja laboratorium, (2) terjadinya miskonsepsi pada level

submikroskopik, karena kebingungan pada sifat-sifat partikel, materi, dan tidak mampu untuk

memvisualisasikan entitas dan proses pada level submikroskopik, (3) lemahnya pemahaman

terhadap kompeleksitas proses yang digunakan untuk merepresentasikan level simbolik, (4) ketidak

mampuan bergerak antara ketiga level representasi.

Aplikasi multimedia terbukti mampu menghubungkan level makroskopis dan mikroskopis

dalam satu media pembelajaran. Pembelajaran kimia yang banyak mengkaji level mikroskopik

suata materi sangat membutuhkan model, pendekatan, teknik dan program pembelajaran yang tepat.

Lee dan Osman (2012) melaporkan ilmu kimia merupakan topik yang sulit dipahami karena bersifat

abstrak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simulasi dan animasi menggunakan teknologi

informasi dapat membantu siswa dalam memvisualisasi topik kimia yang abstrak. Donlly (2013)

menemukan bahwa studi kasus berbasis program komputer dapat meningkatkan capaian kompetensi

belajar kimia dan kemampuan membuat gambar untuk mengembangkan kemampuan

menghubungkan konsep tekstual dengan gambar visual. Salah satu matakuliah yang sangat

membutuhkan media dalam proses pembelajarannya adalah kimia dasar karena banyak mengkaji

sifat fisikokimia molekul, fenomena reaksi yang melibatkan serah terima elektron dan gejala yang

bisa diamati oleh indra. Media dibutuhkan dalam menggambarkan grafik, struktur, pergerakan

elektron dalam mekanisme reaksi sehingga level makroskopis, mikroskopis dan simboliknya

menyatu dalam satu proses pembelajaran.

Penelitian yang telah dilakukan oleh (Doymus, Karacop & Simsek, 2010; Gois & Giordan,

2009; Lerman & Morton, 2009) menunjukkan bahwa penggunaan media animasi dan simulasi

menggunakan teknologi informasi dapat membantu siswa untuk memahami konten kimia yang

0

5

10

15

20

S SS KS TS

20

6

2 2 S

isw

a

Kriteria

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 422

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

abstrak. Penggunaan multimedia dapat membantu siswa dalam memvisualisasi konten kimia yang

abstrak melalui proses media animasi dan video untuk menggambarkan level makroskopis,

mikroskopis, dan simbolik (Bowen, 1998; Burke, Greenbowe & Windschitl, 1998).

Asaii dan Orgill (2009) menyatakan bahwa bahan azar yang dilengkapi dengen fitur-fitur yang

dilengkapi dengan pertanyaan sangat mendukung proses inkuiri dalam melakukan analisis data,

pegembangan pengetahuan berdasarkan fakta-fakta dan mehubungkan hasil investigasi dengan

prinsip-pripsip ilmiah. Pendekatan inkuiri yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu

mahasiswa, dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan berfikir mahasiswa, dalam

mengkaji konsep organik yang bersifat abstrak.siswadiberi pengalaman belajar dengan mengkaji isu

sosial dengan serangkaian kerja ilmiah yang dirancang olehsiswadengan bimbingan dosen dan

peneliti sebelum mereka mengaplikasikannya di laboratorium. Isu sosial menjadi daya tarik sendiri

dalam proses pembelajaran karenasiswamerasa ilmu kimia yang mereka dapatkan lebih bermakna

dan kontekstual. Rahma (2012) menyatakan perangkat membelajaran model inkuiri dapat

meningkatkan kemampuan berfikir kritis ini dilihat dari pencapaian skor rata-rata indikator berfikir

kritis pada kegiatan praktikum sebesar. Hal senada juga ditemukan dalam penelitiannya, Rahayu

dan Yonata (2013) menyatakan bahwa kemampuan kognitif siswa pada tingkat analisis, evaluasi,

dan kreasi rata-rata memperoleh penilain baik dengan penerapan model pembelajaran inkuiri.

Hasil temuan dari beberapa peneliti menujukkan pengunaan multimedia pendekatan konflik kognitif

terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif mahasiswa (Hulyadi,

2017; Khaeruman & Hulyadi, 2016). (Lee & Osman, 2012; Dahlan & Rohayati, 2012; Nilson &

Castro, 2013). Konflik kognitif yang disajikan dalam multimedia terbukti mampu meningkatkan

pemahaman siwa (Lin, 2010). Andayani (2013) menemukan terdapat pengaruh interaksi yang

signifikan antara strategi pembelajaran dengan gaya kognitif terhadap remidasi miskonsepsi dalam

pembelajaran kimia.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa multimedia yang telah dikembangkan

memperoleh kriteria valid dan mendapat respon positif dari siswa dengan 68% setuju, 20% sangat

setuju, 6 % kurang setuju, dan 6% tidak setuju.

Saran

Saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah: (1) perlu penambahan level mikroskopis

dalam multimedia yang telah dikembangkan, (2) pada setiap tahap pembelajaran sebaiknya

diberikan kunci jawaban untuk memicu interaktif siswa dalam menggunakan multimedia

pembelajaran yang telah dibuat.

DAFTAR RUJUKAN

Adnyani,N.W., Sadia, I.W., dan Natajaya, I.N. 2013. Pengaruh strategi pembelajaran konflik

kognitif terhadap penurunan miskonsepsi fisika ditinjau dari gaya kognitif siswa kelas x di

SMA Negeri 1 Bebandem. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan

Ganesha Program Studi Administrasi Pendidikan. Vol 4.

Asay, A.D., Orgill, M., 2009. Analysis of Essential Features of Inquiry Found in Articles Published

in The Science Teacher 1997-2007. Journal scient Teacher Education.

Colomuc, A., Tekin, S. 2011. Chemistry Teachers’ Misconceptions Concerning Concept of

Chemical Reaction Rate. Eurasian J. Phys. Chem. Educ. 3(2): 84-101.

Doymus, K., Karacop, A., & Simsek, U. (2010). Effects of jigsaw and animation techniques on

students’ understanding of concepts and subjects in electrochemistry. Education Technology

Research & Development, 58, 671-691. http://dx.doi.org/10.1007/s11423-010-9157-2.

Donlly, O’reilly., Mc Garr. 2013. Enhancing the Student Experiment Experience: Visible Scientific

Inquiry Through a Virtual Chemistry Laboratory. Research Science Education. 43: 1571-

1592 .

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 423

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gois, J. Y., & Giordan, M. (2009). Evolution of virtual learning environments in chemistry

education. In: Enseñanza de las Ciencias, Número Extra VIII Congreso Internacional sobre

Investigación en Didáctica de las Ciencias, Barcelona, pp. 2864-2867.

Gunawan dan Liliasari, 2012. Model virtual laboratory fisika modern untuk meningkatkan disposisi

berpikir kritis calon guru. Cakrawala Pendidikan, Juni 2012, Th. XXXI, No. 2: 185-199.

Gunawan, 2015. Model Pembelaran Sains Berbasis ICT. FKIP Unram. Mataram: Universitas

Negeri Mataram.

Haeruman., & Hulyadi. 2017. Pengembangan Model Multimedia Interaktif Serta Implikasinya

Terhadap Keterampilan Generik Sains Dan Kompetensi Calon Guru Kimia. Jurnal

Hidrogen. Vol. 2. Nomor 1. Juli 2017.

Hulyadi. 2017. Pengembangan MultimediaKimia Organik Berbantuan Media Komputasi Terhadap

Kemampuan Berpikir Kreatif. Jurnal Hidrogen. Vol. 2. Nomor 1. Juli 2017.

Kaberman, Z., & Dori, YJ. 2007. Question Posing, Inquiry, And Modeling Skills Of Chemistry

Students In The Case-Based Computerized Laboratory Environment. Journal of Science

and Mathematics Education. Taiwan.

Lee, T.T., Osman, K. 2012. Interactive Multimedia Bahan ajare with Pedagogical Agents.

International Education Studies. Vol. 5, No. 6: 50-64.

Liliasari. (2011). Pengembangan Keterampilan Generik Sains untuk Meningkatkan Keterampilan

Berpikir Kritis Peserta Didik. Makalah Semnas UNNES 2011. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Nilsson, W., & Castro, B. (2013). Simulation Assisted Learning in Statistics: How important are

students’ characteristics? (p. 23). Retrieved from

http://econpapers.repec.org/paper/ubideawps/56.htm.

Rahayu, T., Yonata, B. 2013. Kemampuan Kognitif Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 18

Surabaya Pada Tingkat Analisis, Evaluasi, dan Kreasi Pada Materi Titrasi Asam Basa

Dengan Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri. UNESA Jurnal Of Chemical Education.

2(2): 12-16.

Rahim, Ab.R., Norr, N.Md., dan Zaid, N.M., 2015. Meta-analysis on Element of Cognitive Conflict

Strategies with a Focus on Multimedia Learning Material Development. International

Education Studies. Vol. 8, No. 13: 73-78.

Setyowati, A., Subali, B., dan Mosik. 2011. Implementasi pendekatan konflik kognitif dalam

Pembelajaran fisika untuk menumbuhkan kemampuan berpikir Kritis siswa smp kelas VIII.

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7: 89-96.

Stiawan, E., Liliasari., dan Rohman, I. 2014. Pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa sma

pada topik teori domain elektron melalui simulasi interaktif Phet molecule shapes. Jurnal

Pengajaran MIPA, Volume 19, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 257-265.

Wijaya, I.K. BW., Kirna, I.M., dan Suardana, I.N. 2012. Model demonstrasi interaktif berbantuan

multimedia dan hasil belajar IPA aspek kimia siswa SMP. Jurnal Pendidikan dan

Pengajaran, Jilid 45, Nomor 1, hlm.88-98

Kirna, I M. 2011. Determinasi Proposisi Pembelajaran Pemhaman Konsep Kimia melalui

Implementasi Pembelajaran Sinkronisasi Kajian Makroskopis dan Submikroskopis. Jurnal

Pendidikan dan Pengajaran, 43. Nomor 3. hlm. 185-19.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 424

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENINNGKATAN HASIL DAN MOTIVASI BELAJAR SEJARAH SISWA KELAS XI IPS

2 SMAN 1 KURIPAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL DISCOVERY

LEARNING PADA POKOK BAHASAN DAMPAK PERKKEMBANGAN

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME DI INDONNESIA

TAHUN AJARAN 2018/2019

Ilmiawan1; Wiwik Evi Anggraeni

2

1Dosen Pendidikan Sejarah FKIP UMMMAT;

2Guru Sejarah SMAN 1 Kuripan Lobar

e-mail: [email protected] [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah adapeninngkatan hasil dan

motivasi belajar sejarah siswa kelas XI IPS 2 SMAN 1 kuripan dengan menggunakan model

DiscoveryLearning pada pokok bahasan dampak perkembangan kolonialisme dan imperialisme di

Indonnesia tahun ajaran 2018/2019. Metode yang digunakan pada penelitian ini

adalahmenggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dalam tiga

siklus.PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa tindakan, yang sengaja

dilakukan pada sebuah kelas secara bersama.kelas bukan wujud ruangan, tetapi sekelompok siswa

yang sedang belajar.Dengan demikian. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada

proses belajar mengajar siswa kelas XI IPS 2 SMAN1 Kuripan setelah dilakukan tindkan selama

dua siklus dengan menggunakan model pembelajaran DiscoveryLearningmampu meningkatkan

hasil belajarnya, berdasrkan hasil evaluasi pada siklus I menunjukan bahwa persentase siswa yang

mendapat nilai 75 keatas sebanyak 17 orang persentase 54,83% ini berarti indikator penelitian

belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data tersebut terdapat 14 orang siswa

yang memiliki nilai kurang dari 75 dengan persentase 45,17% dan nilai rata-ratanya 68,32.

Sedangkan untuk nilai motivasi belajar siswa pada siklus I, menunjukan bahwa persentase siswa

yang mendapat nilai 75 keatas adalah20 orang dengan persentase64,51%, selanjutnya yang tidak

mencapai ketuntasan berjumlah 11 orang dengan persentase 35,48% dan nilai rata-rata 68,32. ini

berarti indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Kemudian

dilanjutkan tindakan pada siklus II siswa yang mencapai ketuntasan dengan persentase 90,32%,

sedangkan yang tidak mencapai ketuntasan persentasenya 9,67% dengan nilai rata-rata kelas 88,23.

Selanjutnya nilai motivasi belajar siswa sebanyak 29 orang mencapai ketuntasan dengan persentase

93,54%, sedangkan siswa yang belum mencapai ketuntasan 2 orang dengan persentase 6,45%,

dengan nilai rata-rata kelas 90,57.

Kata Kunci: Hasil Belajar, Motivasi Belajar, Model Discovery Learning

PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan Lombok Barat

bahwa guru sejarah belum sepenuhnya memanfaatkan model atau metode yang mampu

memberikan motivasi belajar siswa.Seorang guru dituntut kreativitasnya untuk mampu memilih

model atau metode belajar yang inovatif, variatif, menarik, kontekstual, dan sesuai dengan tingkat

kebutuhan peserta didik.Tentunya yang paling paham mengenai kebutuhan peserta didik adalah

guru pada satuan pendidikan yang bersangkutan.Proses belajar mengajar yang dilakukan merupakan

penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Siswa yang terlibat dalam proses

belajar mengajar diharapkan mengalami perubahan baik dalam bidang pengetahuan, pemahaman,

keterampilan, nilai dan sikap. Dalam proses belajar-mengajar guru akan menghadapi siswa yang

mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga guru tidak akan lepas dengan masalah hasil

dan motivasi belajar siswa. Keberhasilan dalam proses belajar mengajar disekolah tergantung

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 425

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

kepada beberapa aspek yaitu sarana prasarana, guru, siswa dan metode pembelajaran yang

diajarkan. Aspek yang dominan dalam proses belajar mengajar adalah guru dan siswa. Kegiatan

yang dilakukan guru dan siswa dalam hubungannya dengan pendidikan disebut kegiatan belajar

mengajar. Guru sebagai motivator dan fasilitator sedangkan siswa sebagai penerima informasi yang

diharapkan dapat lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam daya upaya yang dilaksanakan

oleh guru untuk meningkatkan hasil dan motivasi belajar siswa, maka dalam proses belajar

mengajar, guru harus mampu merencanakan,melaksanakan serta mengevaluasi hasil belajar siswa.

Dalam kegiatan ini guru harus bisa menciptakan situasi yang memungkinkan pembelajaran menjadi

aktif dan efektif.Selain itu guru juga dapat berperan sebagai pengelola kelas agar dapat menciptakan

pembelajaran aktif, efektif dan menyenangkan.Kedua peran tersebut dalam pembelajaran saling

mendukung. Salah satu komponen penting bagi proses pembelajaran adalah kemampuan guru

dalam mengembangkan metode, variasi model, dan mengaplikasikan isi dari bahan pelajaran di

kelas. Pemilihan yang tepat terhadap model-model tersebut akan meningkatkan apresiasi, imajinasi,

kreativitas dan kemampuan berpikir peserta didik. Kompetensi profesional ini didasarkan atas teori-

teori yang selama ini dipraktikan.Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari instruction, yang

banyak dipakai dalam dunia pendidikan.Pembelajaran itu sendiri mempunyai arti suatu kombinasi

yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang

saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.

Pada saat ini, pengajaran sejarah sangat dituntut untuk dapat memberikan pengajaran yang

mudah untuk dipahami.Karena terdapat kesan umum bahwa metode yang digunakan guru dalam

mengajar sejarah di sekolah kurang menarik sehingga siswa merasa bosan untuk mempelajari

sejarah.Apalagi dengan kurikulum yang pada akhir-akhir ini sering berubah-ubah, menuntut siswa

untuk menguasai materi yang ada sehingga tujuan pendidikan tercapai. Menurut Widja (1989: 91),

Pembelajaran sejarah dirasakan sebagai uraian fakta-fakta kering berupa urutan-urutan tahun dan

peristiwa belaka. Guru menempati kedudukan yang paling utama karena peranannya sebagai

pengajar. Guru harus mampu menterjemahkan dan menjabarkan nilai-nilai yang terdapat dalam

kurikulum, kemudian mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada siswa melalui proses belajar

di sekolah (Sudjana, 2002:1). Harus diakui juga bahwa guru merupakan faktor utama dalam proses

pendidikan. Apabila tidak ditunjang oleh keberadaan guru yang berkualitas, maka mustahil proses

belajar mengajar tercapai secara maksimal. Guru dituntut untuk semakin berkualitas dari waktu ke

waktu. Guru yang berkualitas akan melahirkan siswa-siswa yang berkualitas juga (Nurdin,

2008:49).

Menurut Kochhar, 2008: 393, Guru sejarah memiliki peranan penting dalam keseluruhan

proses pembelajaran sejarah. Selain mengembangkan bentuk-bentuk alat bantu pembelajaran secara

mekanis dan mengembangkan pendidikan yang berfokus pada kemajuan siswa, guru sejarah juga

memegang peranan penting dalam membuat pelajaran sejarah menjadi hidup dan menarik bagi para

siswa.

Berangkat dari teori dan permasalahan di atas, maka peneliti dan guru sejarah tertarik untuk

melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “ Peninngkatan Hasil dan Motivasi Belajar

Sejarah Siswa Kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan Dengan Menggunakan Model Discovery Learning

Pada Pokok Bahasan Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Di Indonnesia Tahun

Ajaran 2018/2019”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (classroom action

research).PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa tindakan, yang

sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.kelas bukan wujud ruangan,

tetapi sekelompok siswa yang sedang belajar.Dengan demikian, PTK dapat dilakukan tidak hanya

di ruang kelas, tetapi di mana saja yang penting ada sekelompok anak yang sedang belajar

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 426

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

(Wiriaatmadja, 2009: 4).Dalam penelitian tindakan ini, peneliti melakukan sesuatu tindakan yang

secara khusus diamati terus menerus, dilihat plus minusnya, kemudian diadakan pengubahan

terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam bentuk tindakan yang paling tepat.

HASIL PENELITIAN

Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Perencanaan

Sebelum proses belajar mengajar dimulai pada siklus I, perangkat pembelajaran yang telah

dipersiapkan terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran dan soal evaluasi untuk mendukung

kelancaran proses belajar mengajar.

Pelaksanaan Tindakan

Pelaksanaan Tindakan siklus I dilakukan pertemuan yang ke tiga dan ke empat serta ke lima

yaitu pada tanggal 18 September 2018 dilakukan proses pembelajaran dengan materi yang dibahas

adalah pada kompetensi dasar 2.1 yaitu Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi

Dagang dengan alokasi waktu 2 x 45 menit. Pertemuan keempat tanggal 19 September 2018 dengan

sub materi yang dibahas adalah masih pada kompetensi dasar 2.1 yaitu dengan indikator

menjelaskan Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.

Pertemuan ke lima dilakukan evaluasi akhir siklus yang dilaksanankan tanggal 26 September 2018.

Pada pelaksanaan pembelajaran siklus I terlihat siswa masih terpengaruh terhadap media yang

digunakan oleh guru sebelumnya sehingga siswa agak kebingungan pada saat guru menerapkan

Model Discovery Learning.

Evaluasi Setelah proses belajar mengajar pada siklus I dengan menggunakan media Model Discovery

Learning yang kemudian dilakukan proses evaluasi yang berupa tes tertulis dengan menggunakan

model soal pilihan ganda pada tanggal 26 September 2018 dengan waktu 2 x 45 menit.

Adapun hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus I dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Secara rinci sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Evaluasi Pada Siklus I

Item Hasil Yang Diperoleh

Jumlah siswa seluruhnya 31

Jumlah siswa yang ikut tes 31

Nilai rata-rata kelas 68,32

Jumlah siswa yang tuntas 17

Jumlah siswa yang tidak tuntas 14

Persentase ketuntasan 54,83%

Berdasarkan nilai rata-rata kelas dan persentase pada tabel diatas dapat dilihat pada Diagram

persentase ketuntasan Siklus I di bawah ini:

Gambar 1. Diagram Persentase Ketuntasan Siklus I

siswa yangtuntas 54,83%

siswa yangtidak tuntas45,17%

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 427

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Hasil evaluasi menunjukan bahwa persentase siswa yang mendapat nilai 75 keatas adalah54,83%

ini berarti indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data

tersebut terdapat 14 orang siswa yang memiliki nilai kurang dari 75.

Tabel 2. Motivasi Belajar Siswa Siklus I

Item Hasil yang Diperoleh

Jumlah siswa seluruhnya 31

Jumlah siswa yang ikut tes 31

Nilai rata-rata kelas 70,45

Jumlah siswa yang tuntas 20

Jumlah siswa yang tidak tuntas 11

Persentase ketuntasan 64,51%

Berdasarkan nilai pada tabel diatas dapat dilihat pada diagram persentase ketuntasan motivasi

belajar siswa pada Siklus I di bawah ini:

Gambar 2. Diagram Persentase Ketuntasan Motivasi Belajar Siswa

Berdasarkan Hasil observasi menggunakan angket motivasi belajar siswa pada Siklus I

menunjukan bahwa persentase siswa yang mendapat nilai 75 keatas adalah20 orang dengan

persentase64,51%, dan yang tidak mencapai ketuntasan yang berjumlah 11 orang dengan persentase

35,48% ini berarti indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%.

REFLEKSI

Refleksi dilaksanakan pada akhir siklus. Pada tahap ini peneliti bersama guru yang bertindak

sebagai observer mengkaji pelaksanaan proses belajar mengajar pada siklus I sebagai acuan dalam

tahap refleksi ini adalah hasil observasi dan evaluasi. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar

untuk memperbaiki serta menyempurnakan proses belajar mengajar pada siklus berikutnya.

Berdasarkan refleksi terhadap proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan pada siklus I,

maka perlu diadakan perbaikan terhadap kendala-kendala yang terjadi pada siklus I. Adapun

perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan antara lain :

1.Guru harus mampu memberikan penguatan terhadap siswa agar siswa dapat merasa senang dalam

mengikuti proses belajar mengajar.

2.Guru harus mampu membimbing siswa dalam mengerjakan latihan soal.

3.Guru harus aktif mendampingi siswa dalam memfasilitasi kegiatan kelompok yang masih kurang

pemahamannya, terutama membantu kelompok yang masih kesulitan dalam menemukan konsep.

4.Guru harus mampu meminimalisasi kondisi yang dapat mengganggu kegiatan pembelajaran

sehingga siswa dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik.

Persentase nilai ketuntasan

motivasi belajar siswa Siklus I

Siswa ygtuntas64,51%

Siswa ygtidak tuntas35,48%

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 428

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

5.Guru harus aktif dalam mengatur jalannya diskusi.

6.Guru mengarahkan siswa untuk memanfaatkan waktu seefisien mungkin.

7.Guru harus mampu mengarahkan dan membimbing siswa untuk mendengarkan materi yang telah

disampaikan.

Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Perencanaan

Sebelum proses belajar dimulai pada siklus II, perangkat pembelajaran yang telah

dipersiapkan terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran dan soal evaluasi untuk mendukung

kelancaran proses belajar mengajar.

Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan siklus II dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2018 dengan sub materi pokok

Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di indonesia dengan alokasi waktu 2 x 45

menit.

Berdasarkan data-data yang diperoleh terlihat adanya perubahan kearah yang lebih baik dari

pelaksanaan proses belajar mengajar pada siklus I dan hasil siklus II dibandingkan dengan siklus I,

dimana siswa sudah terbiasa dengan penerapanModel Discovery Learning yang digunakan oleh

guru pada proses belajar mengajar.

Evaluasi Setelah proses belajar mengajar pada siklus II dengan menggunakan metode demonstrasi

dan eksperimen yang kemudian dilakukan proses evaluasi yang berupa tes tertulis.

Adapun hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II dapat dilihat pada tabel berikut. Secara

ringkas hasilnya sebagai berikut

Tabel 3. Hasil evaluasi pada siklus II

Item Hasil yang Diperoleh

Jumlah siswa seluruhnya 31

Jumlah siswa yang ikut tes 31

Nilai rata-rata kelas 88,23

Jumlah siswa yang tuntas 28

Jumlah siswa yang tidak tuntas 3

Persentase ketuntasan 90,32%

Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi adapun nilai rata-rata kelas dan persentase pada

tabel diatas dapat dilihat pada diagram persentase ketuntasan Siklus II di bawah ini:

Gambar 3. Diagram Persentase Ketuntasan Siklus II

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa persentasenyamendapatkan nilai 75 adalah 90,32%. Ini

berarti bahwa indikator penelitian sudah mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data

tersebut terdapat 28 siswa yang memiliki nilai 75 dan 3 siswa yang mendapat nilai <75.

siswa yangtuntas padasiklus II90,32%siswa yangtidak tuntaspada siklus II9,67%

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 429

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tabel 4. Motivasi Belajar Siswa pada siklus II

Item Hasil yang Diperoleh

Jumlah siswa seluruhnya 31

Jumlah siswa yang ikut tes 31

Nilai rata-rata kelas 90,57

Jumlah siswa yang tuntas 29

Jumlah siswa yang tidak tuntas 2

Persentase ketuntasan 93,54%

Berdasarkan nilai hasi observasi melalui angket mtivasi belajar siswa pada tabel diatas dapat

dilihat pada diagram persentase ketuntasan motivasi belajar siswa pada Siklus II di bawah ini:

Gambar 4. Diagram Persentase Ketuntasan Motivasi Belajar Siswa

Berdasarkan Hasil observasi menggunakan angket motivasi belajar siswa kelas XI IPS 1

SMAN 1 Kuripan menunjukkan bahwa persentasenya mendapatkan nilai 75 adalah 93,54%. Ini

berarti bahwa indikator penelitian sudah mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data

tersebut terdapat 29 orang siswa yang memiliki nilai 75 sedangkan 2 orang siswa dengan

persentase 6,45% yang mendapat nilai <75.

Refleksi

Berdasarkan refleksi terhadap proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan pada siklus

II, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap kendala-kendala yang terjadi. Adapun perbaikan yang

harus dilakukan antara lain :

1. Guru harus mampu memberikan penguatan terhadap siswa

2. Guru harus mampu menarik perhatian siswa agar siswa mau lebih berkosentrasi dalam

pembelajaran

PEMBAHASAN

Sebelum melaksanakan proses belajar mengajar guru menyampaikan tujuan pembelajaran,

setelah itu guru memulai pelajaran dengan menyampaikan materi pebelajaran dengan bantuan

media peta konsep. Kemudian guru membuat kelompok diskusi dimana setiap kelompok terdiri dari

lima orang siswa. Guru membagikan LKS kepada siswa. Guru mengontrol setiap kegiatan

kelompok selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa diberikan kesempatan untuk

mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Guru menutup pelajaran dengan membimbing

siswa dalam merangkum jawaban yang benar.

Setelah diterapkan media Model Discovery Learning pada sisklus I ternyata belum

mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu minimal 85% siswa yang mendapat nilai 75 .

Berdasarkan hasil observasi, aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran masih kurang aktif

dan hal itu perlu diperbaiki pada siklus berikutnya. Hanya sebagian siswa saja yang aktif dan

Persentase Nilai Ketuntasan

pada Motivasi Belajar Siswa

Siswa yg tuntas93,54%Siswa yg tidaktuntas 6,45%

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 430

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

antusias dalam melakukan eksperimen dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru dan yang

berani mengemukakan pendapat baik dalam interaksi dengan guru maupun antar sesama temannya

dalam melakukan diskusi. Siswa yang mempunyai kemampuan lebih belum mampu memberikan

bimbingan kepada siswa yang kurang mengerti konsep pada materi tersebut. Mereka cendrung

mendiskusikan dengan teman-temannya yang mempunyai kemampuan sama. Oleh karena itu siswa

yang kemampuannya lebih rendah tidak mengalami perubahan apapun.

Kekurangan guru pada proses pembelajara adalah pemberian penguatan atau motivasi,

pengaturan waktu, pendampingan dalam mengerjakan soal, menciptakan pembelajaran yang

menarik dan menyenangkan, juga pada saat menutup kegiatan pembelajaran tidak bisa dilakukan

seefisien mungkin, sehingga tujuan yang diharapkan dalam proses pembelajaran tidak maksimal.

Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan seperti pada refleksi siklus I. Berdasarkan hasil

evalusi menunjukkan dari 26 siswa rata-rata skor 69. Hal ini disebabkan karena siswa masih

terpengaruh terhadap media peta konsep yang digunakan oleh guru sebelumnya sehingga siswa

agak kebingungan pada saat guru menggunakan metode demonstrasi dan eksperimen. Dari hasil ini

belum mencapai standar ketuntasan klasikal, untuk itu penelitian dilanjutkan pada siklus II dengan

materi yang berbeda.

Pada siklus II guru berusaha memperbaiki setiap kekurangan yang ada pada siklus I,

berdasarkan evaluasi dapat dilihat hasilnya Hasil evaluasi menunjukan bahwa persentase siswa

yang mendapat nilai 75 keatas adalah54,83% ini berarti indikator penelitian belum mencapai

standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data tersebut terdapat 14 orang siswa yang memiliki

nilai kurang dari 75. Sedangkan nilai motivasi belajar siswa dapat lihat hasilnya sebagai berikut

Berdasarkan Hasil observasi menggunakan angket motivasi belajar siswa pada Siklus I menunjukan

bahwa persentase siswa yang mendapat nilai 75 keatas adalah20 orang dengan persentase64,51%,

dan yang tidak mencapai ketuntasan yang berjumlah 11 orang dengan persentase 35,48% ini berarti

indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Setelah dilakukan

perbaikan pada siklus II terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Ini menunjukkan dari hasil

evaluasi belajar siswa pada siklus II dimana rata-rata hasil evaluasi sebesar 88,23 dengan ketuntasan

hasil belajar siswa mencapai 90,32%. Hal ini berarti siklus II telah mencapai ketuntasan klasikan

yakni 85%. Ini terjadi karena adanya perubahan kearah yang lebih baik, dimana eksperimen dan

diskusi kelompok sudah mulai berjalan dengan baik dan komunikasi diantara masing-masing

kelompok sudah mulai terjalin dimana peran siswa yang pandai sangat membantu dalam

memberikan pemahaman kepada siswa yang belum mengerti terhadap materi. Sedangkan nilai

motivasi belajar siswa pada siklus II dapat di lihat sebagai berikut:Berdasarkan Hasil observasi

menggunakan angket motivasi belajar siswa kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan menunjukkan bahwa

persentasenya mendapatkan nilai 75 adalah 93,54%. Ini berarti bahwa indikator penelitian sudah

mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data tersebut terdapat 29 orang siswa yang

memiliki nilai 75 sedangkan 2 orang siswa dengan persentase 6,45% yang mendapat nilai <75.

Karena sudah mencapai peningkatan hasil belajar dan ketuntasan secara klasikal maka

penelitian dihentikan dengan alasan bahwa hasil belajar yang diproleh cukup memberikan informasi

untuk menarik kesimpulan.

Secara keseluruhan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Model

Discovery Learning. pada materi pokok imperialisme dan kolonialisme sangat cocok karena dengan

media Model Discovery Learning. ini terbukti siswa dapat meningkatkan hasil belajar yang

ditunjukkan dari hasil evaluasi dalam tiap siklusnya. Selain itu siswa bukan lagi hanya sebagai

penerima informasi namun mereka sudah dapat menggali informasi dari yang ditampilkan dan

kecendrungan yang ada siswa menjadi lebih termotivasi dalam proses pembelajaran.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh guru sejarah yang mengatakan bahwa dengan

Model Discovery Learningdapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPS 2 di SMAN 1

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 431

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kuripan. Juga siswa dapat mengamati dan memperhatikan pada apa yang diperhatikan guru selama

pelajaran berlangsung. Penggunaan Model Discovery Learning sangat menunjang proses interaksi

belajar mengajar dikelas. Keuntungan yang diperoleh ialah dengan media peta konsep perhatian

siswa lebih dapat terpusatkan pada pelajaran yang sedang diberikan, kesalahan-kesalahan yang

terjadi bila pelajaran itu diceramahkan dapat diatasi melalui pengamatan dan contoh konkrit. Jadi

dengan

Model Discovery Learning siswa dapat berpartisipasi aktif, dan memperoleh pengalaman langsung,

serta dapat mengembangkan kecakapannya

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah dengan

menggunakan Model Discovery Learningpada mata pelajaran sejarahdapat meningkatkan hasil dan

motivasi belajar siswa kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan Lombok Barat tahun Ajaran 2018/2019.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, Saifuddin. 1997. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi

Aksara

Munib, Achmad dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS.Rusman. 2014.

Model model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjana. 2009. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Susanto, Ahmad. 2014. Teori Belajar dan

Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Widya, I Gde Widya. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi serta metode Pengajaran Sejarah.

Jakarta: Depdikbu

Wiriatmaja, R. 2009. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosada Karya

Mulyoto.1999. Meningkatkan Pembelajaran Sejarah.Dwijawarta.FKIP UNS. Jilid 5 Nomor 10.

Halaman: 95-104.

Sariyatun. 2010. Inovasi Pembelajaran Sejarah Melalui Desain Ulang Metode Pembelajaran.

Candi.Volume 1.Nomor 1. Halaman: 136-149.

Sugiyaryo, Sutoyo. 2003. Profesionalisme Guru Ditinjau Dari Latar Belakang Pendidikan dan

Pengalaman Mengajar.Paedagogia. FKIP UNS. Jilid 6. Nomor 1. Halaman: 9-20.

.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 432

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF BAHASA ISYARAT

ANAK TUNARUNGU

Indriaturrahmi1; Farida Fitriani

2; Wiwiek Zainar Sri Utami

3

1,2 Teknologi Pendidikan FIP IKIP Mataram

3 Bimbingan Konsling FIP IKIP Mataram

e-mail: [email protected]

Abstak: Cara belajar anak penyandang tuna rungu berbeda dengan cara belajar anak normal

pada umumnya. Pemahaman bahasa dan pembendaharaan kata tidak dapat dijelaskan dan

ditangkap melalui indera pendengaran karena tergangunya fungsi pendengaran yang dialami olen

tuna rungu. Salah satu cara pembelajran yang dapat dimaksimalkan pada anak tuna rungu adalah

melalui indera pengelihatan. indera pengelihatan sebagai alat bantu untuk merangsang informasi

bahasa dan penggunaan bahasa isyarat sebagai cara melatih komunikasi berbahasa bagi tunarungu.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan media pembelajaran bahasa isyarat bagi

anak tuna rungu, untuk mengetahui kelayakan dari media pembelajaran dan untuk meningkatkan

kemampaun berbahasa bagi anak tunarungu. Penelitian ini adalah Penelitian dan Pengembangan

(RnD) dengnan model ADDIE (Analysis, Decide, Design, Implementasi dan Evaluasi). Hasil dari

penelitan ini adalah menghasilkan media pembelajaran bahasa isyarat bagi anak tunarungu.

Kata Kunci: Media Pembelajran Interaktif, Bahasa Isyarat, anak Tuna Rungu, RnD, ADDIE.

PENDAHULUAN

Anak tunarungu merupakan kondisi dimana sesorang anak memiliki gangguan pada indera

pendengaranya. Gangguan tersebut mengakibatkan terhambatnya kemampuan pendengaaran.

Menurut Hernawati (2007) mengungkapkan anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan

pada indera pendengaran sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mendengar, mulai dari

tingakatan ringan sampai berat sekali yang diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang dengar

(hard of hearing). Sedangkan menurut Tin suharmini (2009) tunarungu adalah keadaan seorang

individu yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa

menangkap berbagai suara atau rangsangan lain melalui pendengaran. Selain itu dapat diartikan

anak tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan informasi secara lisan sehingga tidak dapat

menangkap berbagai rangsangan secara lisan.

Dampak langsung yang dialami oleh anak penyandang tunarungu, selain ketidakmampuan

dalam mendengar adalah kemampuan dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena kemampuan

mendengar sangat mempengaruhi kemampun berbahasa. Anak tunarungu adalah anak yang

mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan

atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya sehingga ia mengalami

hambatan dalam perkembangan bahasa (Suryana,1996). Oleh sebab itu anak tunarungu selain

kehilangan kemampuan mendengar juga kehilangan kemampuan berbahasa.

Anak tunarungu dapat dikategorikan sebagai Anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan

perhatian lebih untuk meningkatkan fokus terhadap proses belajar, dengan cara mengabaikan

kekurangan yang dimiliki dan memaksimalkan potensi daya tangkap indera lainnya, sehingga

proses belajarnya tepat dan dapat menghasilkan prestasi belajar yang memuaskan. Oleh karena itu,

diperlukan pembelajaran yang menarik, sehingga siswa merasa termotivasi dan berminat untuk

belajar. Anak tunarungu mempunyai keterbatasan dalam berbicara dan juga mendengar, sehingga

media pembelajaran yang cocok digunakan untuk anak tuna rungu adalah media visual. Cara

menerangkan media visual kepada anak tuna rungu yaitu dengan bahasa bibir, gerakan bibir, dan

penggunaan bahasa isyarat. Menurut Mardiyani,Dkk (2012) menyatakan bahasa isyarat adalah

metode komunikasi untuk orang-orang yang tunarungu atau tuli dimana gerakan tangan, gerakan

tubuh dan ekspresi wajah menyampaikan struktur tata bahasa dan makna. Bahasa isyarat adalah

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 433

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

bahasa yang tidak menggunakan suara tetapi bahasa yang mengutamakan komunikasi manual,

bahasa tubuh dan gerak bibir.

Metode pengajaran yang digunakan masih menggunakan metode konvensional atau manual

yang sudah biasa diberikan di sekolah pendidikan khusus dan inklusi kepada siswa tunarungu

metode ini masih kurang efektif. Pengajaran secara konvesional dampaknya belum bisa secara

menyeluruh memberikan pemahaman kepada siswa tunarungu untuk memahami pelajaran yang

diajarkan khususnya dalam hal membaca. Metode pengajaran secara konvensional ini biasanya

hanya berupa pengajaran yang sederhana yang meliputi seorang guru yang mengajarkan materi

menggunakan papan tulis dan bahasa isyarat. Hal ini tentu dapat membuat siswa tunarungu menjadi

tidak memahami sepenuhnya materi yang diajarkan.

Penelitian ini bertujuan mengembangkan media pembelajaran interaktif bahasa isyarat bagi

anak tunarungu. Media pembeajaran interaktif merupakan salah satu alat bantu untuk menciptakan

pembelajran yang lebih variatif (Pariatin dan ashari,2014). Variasi dalam pembelajaran dapat

membantu pengajaran lebih menarik, menyenangkan, dan mudah dipahami. Media pembelajaran

interaktif melibatkan unsur multimedia antara lain teks, gambar, animasi, audio dan video. Dengan

unsur multimedia tersebut memungkinkan terciptanya media pembelajaran interaktif bahasa isyarat

yang memiliki tampilan visual menarik dan interktif yang sesuai dengan kebutuhan penerima atau

audience. Tujuan dari pengembangan media interaktif bahasa isyarat anak tunarungu adalah dapat

memberikan salah satu bentuk media yang menarik bagi tunarungu tentang materi bahasa isyarat,

memberikan visualisasi bahasa isyarat yang menarik sehingga meningakatkan minat belajar dan

menciptakan suasana belajar yang menyenangkan serta mampu meningkatkan kemampuan

berbahasa bagi anak tunarungu.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan (Research and

Development) disingkat dengan nama RnD. Metode ini digunakan untuk menghasilkan produk

tertentu dan untuk menguji kelayakan serta keefektifan produk tertentu (Sugiyono,2013). Model

pengembangan menggunakan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation ang

Evaluation). Model ini terdiri dari 5 langkah yaitu, 1) Analisis (Anaysis), 2) Perancangan (Design),

3) Pengembangan (Development), 4) Implementasi (Implementation), 5) Evaluasi (Evaluation)

(Tegeh dkk,2014). Berikut tahapan pengembaan media pembelajran menggunakan model ADDIE:

1. Tahap Analisis (analysis) : Pada tahapan ini dilakukan analisis permasalahan, tujuan, sasaran

hingga kelayakan dari pengembangan media pembelajaran yang akan dihasilkan. Tahapan ini

menghasilkan rancangan solusi dari peramasalahan, analisa kebutuhuan antara lain, Sumber

Daya Manusia(SDM), analisa kebutuhan audience, analisa kebutuhan hardware dan software

serta berupa instrument angket dan kuesioner untuk evaluasi.

2. Tahap Perancangan (Design) : pada tahapa ini dalakukan desain perancangan konten dari media

pembelajaran. Tahapan ini menghasilkan desain flowchart, screen design dan ouline isi dari

media pembelajaran yang akan dihasilkan.

3. Tahap Pengembangan (Development): pada tahapan ini dilakukkan pembuatan konten

menggunakan materi-materi serta file-file multimedia yang telah disipakan disesuai dengan

desain perancangan. Tahapan ini menghasilkan produk media pembelajaran bahasa isyarat anak

tunarungu.

4. Tahap Implementasi (Implementation): pada tahapan ini dilakukan implementasi atau uji coba

produk media pembelajran yang sudah dikembangkan. Uji coba dan review dari tim validasi

ahli sebagai acuan dalam perbaikan produk.

5. Tahap Evaluasi (Evaluation): pada tahapan ini dilakukan evalauasi pengguanan produk media

pembelajaran. Tahapan in menghasilkan evaluasi untuk mengukur ketercapaiannaya tujuan

pengembangan produk dan sebagai bahan untuk perbaikan serta pengembangan selanjutnya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 434

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menghasilkan Produk Media Pembelajaran Interaktif Bahasa Isyarat Bagi Anak

Tunarungu. Penggunaan media pembelajaran bagi anak tuna rungu merupakan sesuatu yang mutlak

harus diupayakan mengingat anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami ujaran guru

(Hernawati,2015). Pengembangan produk media pembelajaran interaktif bahasa isyarat bagi anak

tunarungu menggunakan model ADDIE. ADDIE merupakan salah satu model desain pembelajaran

untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannnya luas, seperti desain sistem suatu

pelatihan, kurikulum sekolah dan lain-lain (Sari,2017). Model ini menggunakan 5 tahapan dalam

pengembangan antara lain: 1) Analysis (Analis), 2) Design (Desain Atau Perancangan), 3)

Development (Pengembangan). 4) Implementation (Impelentasi) Dan 5) Evaluation (Evaluasi).

Hasil dari penelitian ini fokus pada tahapan Development (Pengembangan). Tahapan ini

menghasilkan realisasi dari desain dan perancangan media yang telah disusun serta dilengkapi

dengan unsur multimedia seperti teks, gambar, animasi dan video (tanpa audio) yang telah

dipersipakan. Tahapan ini menghasilkan produk dari media pembelajaran bahasa isyarat bagi anak

tunarungu yang siap diimplementasikan. Materi dari pengembangan media pembelajaran interaktif

yang dihasilkan berupa media pembelajaran bahasa isyarat abjad, bahasa isyarat angka, video

bahasa isyarat abjad dan angka, serta evaluasi dalam bentuk tebak gambar. Adapun tampilan dari

produk media pembelajaran interaktif bahasa isyarat anak tunaungu adalah sebabai berikut:

1. Tampilan awal, ketika memulai menjalankan media pembelajaran. Klik “Mulai” untuk

melanjutkan.

Gambar 1. Tampilan Awal

2. Tampilan home. Halaman ini berisi menu-menu yang terdapat pada media pembelajaran

interaktif. Menu- menu tersebut antara lain: Panduan, Isyarat Abjad, Isyarat Angka, Gallery

Video, Tebak Gambar dan Profil Creator. Klik pada salah satu gambar menu untuk membuka

tampilan.

Gambar 2. Tampilan Home

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 435

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

3. Tampilan Panduan. Halaman ini menampilan panduan dalam menjalankan media pembelajaran

interaktif.

Gambar 3. Tampilan Panduan

4. Tampilan Isyarat Abjad. Halaman ini menampilkan isyarat abjad.

Gambar 4. Tampilan Isyarat Abjad

5. Tampilan isyarat angka. Halaman ini menampilkan isyarat angka.

Gambar 5. Tampilan Isyarat Angka

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 436

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

6. Tampilan gallery video. Halaman ini menampilan bahasa isyarat abjad dan angka dalam bentuk

video

Gambar 6. Tampilan Gallery Video

7. Tampilan Tebak Gambar. Halaman ini menampilkan permainan tebak gambar bahasa isyarat.

Gambar 7. Tampilan Tebak Gambar

8. Profil Creator

Gambar 8. Profil Creator

SIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan tentang

pengembangan media pembelajaran interaktif bahasa isyarat anak tuanrungu adalah sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 437

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

1. Telah dikembangkan produk media pembelajaran bahasa isyarata bagi anak tunarungu yang

berisi tentang materi bahasa isyarat meliputi bahasa isyarat angka dan huruf, materi bahasa

isyarat dalam bentuk video dan evaluasi dengan permainan tebak gambar.

2. Produk media pembelajaran bahasa isyarat anak tunarungu telah dikembangkan dan selanjutnya

dapat diimplementasikan.

DAFTAR RUJUKAN

Hernawati, Tati. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak

tunarungu.JASSI_anakku Volumen 7, Nomor 1 Juni 2007 hlm 101-110

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196302081987032-

TATI_HERNAWATI/jurnal.pdf), diakses 19 Oktober 2018.

Hernawati, T. et al. (2015). Pendidikan Anak Tuna Rungu III. Bandung.

Mardiyani, Atik. Dkk. 2012. Pengenalan Bahasa Isyarat Menggunakan Metode PCA dan Haar Like

Feature. http://digilib.its.ac.id/ITS-paper-22021120001149/21869. Diakses pada tanggal 15

Oktober 2017

Pariatin, Yeni., Ashari,Yuda.Z. Rancangan Media Pembelajran Interaktif Mata Pelajaran PKN

Untuk Penyandang Tunarungu Berbasis multimedia (Studi Kasus di Kelas VII SMPLB

Negeri Garut Kota). Jurnal Algoritma Sekolah Tinggi Teknolgogi Garut. Volume 11,

nomor.01 Tahun 2014 (http://sttgarut.ac.id/jurnal/index.php/algoritma/article/view/106)

diakses pada tanggal 20 Oktober 2018

Sari, Binatri Kratika. Desain Pembelajaran model ADDIE dan Implementasinya dengan Teknik

Jigsaw. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, Tema “Desain Pembelajaran di Era ASEAN

Economic Community (AEC) untuk Pendidikan Indoensia Berkemajuan”. Fakultas Keguruan

dan Ilmu

Suryana. (1996) . Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK . Jakarta : EGC.

Sugiyono.(2013).Metode Penelitian Kuantiatif Kualitatif dan R&D.Bandung:Alfabeta

Tegeh, I. M., dkk. 2010. Metode Penelitian Pengembangan Pendidikan. Buku Ajar. Singaraja:

Undiksha

Tin Suharmini. (2009). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Pendidikan. Universistas Muhammadiyah sidoarjo.18 Maret 2017. ISBN 978-602-70216-2-4.

http://eprints.umsida.ac.id/432/.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 438

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Upaya Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa dan Kerjasama Siswa Melalui Model

Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Map and Maping Pada Mata Pelajaran

PPKn Kelas VII SMP Muhammadiyah Mataram

Kamluddin1; Irma Kusuma Wardani

2

1,2Univeristas Muhammadyah Mataram

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah bagaimana cara meningkatkan keaktifan belajar dan

kerja sama siswa melalui penerapan pembelajaran Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe

Map and Maping (Peta Konsep) pada mata pembelajaran PPKn Kelas VII SMP Muhammadiyah

Mataram pada mata pelajaran PPKn, Metode penelitian Jenis penelitian ini adalah Penelitian

Tindakan Kelas (Classroom Action Reasarch). Penelitian ini dilakukan oleh peneliti bersama-sama

dengan guru PPKn (mitra) melalui berbagai kegiatan yang telah direncanakan dan didiskusikan

sebelumnya. Instrument penelitan ini menggunakan instrument test yaitu soal pilihan ganda

sejumlah 25 item untuk mengukur hasil belajar kognitif siswa dan angket untuk mengukur indikator

keaktifan belajar dan kerjasama siswa. Hasil menunjukkan diperoleh terdapat pada siklus ke III

yaitu indikator keaktifan belajar siswa 85,70%, indikator kerjasama 100%, indikator Penerapan

Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Map and Maping 97,25% dan hasil belajar siswa

93,75%

Kata Kunci: Hasil Belajar Kognitif, Cooperative Learning, Kancing Gemerincing

PENDAHULUAN

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 1 dinyatakan

bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Sosok guru sebagai salah satu unsur pembelajaran yang juga turut mendukung keberhasilan

suatu pendidikan. Guru juga sebagai salah satu penyelenggara pendidikan dituntut memiliki

kemampuan dalam mengembangkan pelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan berfikir siswa

dalam proses pembelajaran. Guru yang mampu mengajar dengan baik tentu akan menghasilkan

kualitas siswa yang baik pula. Pada kenyataan di lapangan banyak guru yang masih saja

menggunakan model pembelajaran secara konvensional atau tradisional dengan cara ceramah saja

agar dapat menyelesaikan tujuan pembelajaran sehingga melupakan hal yang paling utama

bagaiamana penerimaan siswa terhadap materi tersebut. Di lain sisi juga guru yang hanya

mengandalkan ceramah tidak akan melihat atau mimikirkan bagaimana penerimaan anak setelah

proses pembelajaran akan menghasilkan anak yang memilki potensi yang sesuai dengan kurikulum

baik itu KI 1 (Kompetensi religius), KI 2 (Kompetensi Sosial), KI 3 (Kompetensi Pengetahuan),

dan KI 4 (Kompetensi Keterampilan)

Salah satu pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru untuk meningkatkan keaktifan

siswa dalam proses pembelajaran adalah metode Cooperative Learning Tipe Map and Maping atau

Peta Konsep berpaduan dengan memperaktikkan pembelajaran. Di dalam Map and Maping ini

siswa diajak bersama-sama untuk berfikir secara aktif, dimana guru terlebih dahulu menyampaikan

tujuan pembelajaran apa yag akan di capai pada pertemua tersebut, selanjutnya secara bersama-

sama guru dan siswa membahas materi yang akan dilaksanakan. Pada proses pembelajaran guru

tidak mendominasi maelainkan guru dengan secara sengaja memberikan stimulus berupa

pertanyaan secara langsung kepada siswa agar siswa aktif dalam pembelajaran baik dengan

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 439

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

menjawab secara langsung mapun menjawab soal dengan melihat sumber belajar. Setalah guru

dengan sengaja memberikan pertanyaan langsung, guru dengan siswa akan membentuk sebuah peta

konsep berupa kotak yang memberikan ketertarikan siswa dan menyambungkan materi yang umum

menjadi khusus, selain dari itu juga untuk ketertarikan terus menjawab dan meyelesaikan materi

dengan peta konsep. Manfaat dari pembelajaran peta konsep ini guru bukan menjadi satu-satunya

pusat pembelajaran, siswa pun bisa menjadikan pusat pembelajaran dikarenakan siswa aktif untuk

berfikir dan menjawab pertanyaan secara langsung. Teknik ini juga memberikan kesempatan pada

siswa untuk lebih aktif berkomunikasi dengan guru atau siswa lainnya di dalam kelas, sehingga

tejadilah suatu pembelajaran yang hidup di dalam kelas.

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana

cara meningkatkan keaktifan belajar dan kerja sama siswa melalui penerapan pembelajaran Model

Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Map and Maping (Peta Konsep) pada mata pembelajaran

PPKn Kelas VII SMP Muhammadiyah Mataram pada mata pelajaran PPKn. Sejalan dengan

rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keaktifan belajar, kerja

sama, dan hasil belajar kognitif siswa melalui penerapan pembelajaran Model Pembelajaran

Cooperative Learning Tipe Map and Maping (Peta Konsep) pada mata pembelajaran PPKn Kelas

VII SMP Muhammadiyah Mataram pada mata pelajaran PPKn.

Berdasarkan hasil observasi peneliti selama di sekolah dan pengalaman peneliti menjadi

siswa, pembelajaran PPKn di lapangan bertolak belakang dengan tujuan pembelajaran PPKn yang

sebenarnya, hal tersebut dapat dilihat melalui proses pembelajaran yang ada selama ini belum

optimal karena siswa masih belum bisa aktif dalam pembelajaran di kelas. Siswa hanya duduk diam

mendengarkan penjelasan dari guru, pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru hanya

pembelajaran yang berpusat kepada guru saja, hanya guru yang sangat aktif dalam proses

pembelajaran sedangkan siswa sangat pasif dalam proses pembelajaran berlangsung hanya

menerima dan mendengarkan penjelasan dari guru. Guru hanya menerapkan pembelajaran secara

konvensional atau metode ceramah dan diskusi saja dan tidak menerapkan model pembelajaran

yang beragam.

Tanpa mengalihkan atau melupakan faktor yang lain, sekiranya faktor penggunaan model

pembelajaran merupakan faktor yang yang di duga menjadi penyebab rendahnya hasil belajar

kognitif dan juga memiliki pengaruh terhadap hasil belajar kognitif belajar PPKn siswa. Model

pembelajaran menurut Soekanto dkk (Nurulwati, 2000: 10) “merupakan kerangka konseptual yang

melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalam belajar untuk mencapai

tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar

dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar’’. Karakteristik pembelajaran yang baik di dalam

kelas adalah pembelajaran yang menerapkan atau menggunakan model pembelajaran yang berpusat

pada siswa, bukan yang berpusat pada guru.

METODE

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Reasarch). Penelitian ini

dilakukan oleh peneliti bersama-sama dengan guru PPKn (mitra) melalui berbagai kegiatan yang

telah direncanakan dan didiskusikan sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan

permasalahan yang ditemukan oleh peneliti di kelas VII SMP Muhammadiyah Mataram yaitu

tentang rendahnya kemampuan keaktifan berpikir siswa pada mata pelajaran PPKn sehingga perlu

dilakukan penelitian tindakan kelas untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian tindakan

kelas ini dilakukan di SMP Muhammadiyah Mataram siswa kelas VII pada tahun ajaran 2018/2019

dengan jumlah siswa sebanyak 16 orang. Pelaksanaan tindakan kelas ini “Secara garis besar

terdapat empat tahap yang lazim dilalui, yaitu: (1) Perencanaan; (2) Pelaksanaan; (3) Pengamatan,

dan; (4) Refleksi“ (Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi 2010:16). Tehnik yang digunakan untuk

mengumpulkan data dalam penelitian tindakan kelas ini yaitu: 1) Dokumentasi; 2)

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 440

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Observasi/pengamatan; 3) Tes Tulis; 4) Wawancara. Tehnik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini berupa tehnik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif yang berupa

statistik deskriptif untuk mecari nilai rerata, persentasi keberhasilan belajar, dan lain sebagainya.

Teknik analisis data kualitatif yang digunakan adalah tehnik analisis data kualitatif yang

dikembangkan Miles dan Huberman “terdiri dari tiga komponen kegiatan yang saling terkait satu

sama lain: reduksi data, beberan (display) data, dan penarikan kesimpulan” (Fuad & Hamam, 2012;

22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dan setiap siklus dilaksanakan dalam dua kali

pertemuan dengan rincian siklus I dilaksanakan pada hari Rabu, 3 Agustus 2017 dan 9 Agustus

2017. Kemudian siklus II dilaksanakan pada hari Rabu, 23 Agustus 2017 dan 30 Agustus 2017.

Setiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu: (a) perencanaan; (b) pelaksanaan; (c) observasi; (d)

analisis dan refleksi. Berdasarkan rangkaian kegiatan dokumentasi, observasi, wawancara dan tes

tulis pada siklus I, II dan III diperoleh data hasil penelitian sebagai berikut:

Tabel 1. Keaktifan Siswa Pada Proses Pembelajaran

Siklus Jumlah

Siswa

Siswa

Yang

Aktif

Persentase Siswa

Yang Aktif

Siswa Yang

Tidak Aktif

Persentase

Siswa Yang

Tidak Aktif

I 16 9 56,20% 7 43,75%

II 16 11 68,75% 5 31,25%

III 16 15 93,75% 4 6,25%

Gambar 1. Grafik Keaktifan Siswa pada Proses Pembelajaran

Tabel 2. Deskriptor Keaktifan Belajar Siswa

Siklus Jumlah

Deskriptor

Deskriptor

Yang

Muncul

Persentase

Deskriptor

Yang

Muncul

Deskriptor

Yang

Tidak

Muncul

Persentase

Deskriptor Yang

Tidak Muncul

I 7 4 42,8 3 42,80%

II 7 5 71,42% 2 28,57%

III 7 6 85,70% 1 6,25%

0

20

40

60

JumlahSiswa

Siswa YangAktif

PersentaseSiswa Yang

Aktif

Siswa YangTidak Aktif

PersentaseSiswa YangTidak Aktif

Grafik Keaktifan Siswa Pada Proses Pembelajaran

III

II

I

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 441

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 2. Grafik Keaktifan Siswa pada Proses Pembelajaran

Tabel 3. Indikator Sikap Kerjasama

Gambar 3. Grafik Keberhasilan Siswa Sikap Kerjasama Kelompok

JumlahDeskriptor

DeskriptorYang Muncul

PersentaseDeskriptor

Yang Muncul

DeskriptorYang Tidak

Muncul

PersentaseDeskriptorYang Tidak

Muncul

I 7 4 42.8 3 42.80%

II 7 5 71.42% 2 28.57%

III 7 6 85.70% 1 6.25%

05

1015202530354045

Axi

s Ti

tle

Deskriptor Keaktifan Belajar Siswa

0%20%40%60%80%

100%

Siswa YangKerjasama

PersentaseSiswa YangKerjasama

Siswa YangTidak

Kerjasama

PersentaseSiwa Yang

TidakKerjasama

Grafik Keberhasilan siswa dalam sikap kerjasama kelompok

III

II

I

Siklus Siswa yang

Kerjasama

Persentase Siswa

yang Kerjasama

Siswa yang

Tidak

Kerjasama

Persentase Siwa

yang Tidak

Kerjasama

I 13 81,25% 3 18,75%

II 13 81,25% 3 18,75%

III 16 100% 0 0%

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 442

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tabel 4. Indikator Sikap Kerjasama

Gambar 4. Grafik Deskriptor Sikap Kerja

Tabel 5. Penerapan Model Pembelajaran Map and Maping

Siklus Jumlah

Deskriptor

Deskriptor

yang Muncul

Deskriptor

yang Tidak

Muncul

Persentase

Deskriptor yang

Muncul

I 40 33 7 83%

II 40 33 7 83%

III 40 40 0 100%

0123456

Grafik Deskriptor Sikap Kerjasama

I

II

III

Siklus Jumlah

Deskriptor

Deskriptor

yang

Muncul

Persentase

Deskriptor

yang Muncul

Deskriptor

yang Tidak

Muncul

Persentase

Deskriptor yang

Tidak Muncul

I 6 3 50% 3 50%

II 6 4 66,66% 2 33%

III 6 6 100,00% 1 0%

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 443

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 5. Grafik Penerapan Model Pembelajaran Map dan Maping

Tabel 6. Hasil Belajar Kognitif Siswa SMP Muhammadiyah Mataram

Siklus Lulus Persentase Lulus Tidak Lulus Persentase Tidak

Lulus

I 13 81,25% 3 18,75%

II 14 87,50% 2 12,15%

III 15 93,75% 1 6,25%

Gambar 6. Grafik Hasil Belajar Kognitif Siswa SMP Muhammadyah Mataram

DAFTAR RUJUKAN

05

10152025303540

JumlahDeskriptor

DeskriptorYang Muncul

DeskriptorYang Tidak

Muncul

PersentaseDeskriptor

Yang Muncul

Grafik Penerapan Model Pembelajaran Map and Maping

I

II

III

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Lulus PersentaseLulus

Tidak Lulus PersentaseTidak Lulus

Grafik Hasil Belajar Kognitif Siswa SMP Muhammadiyah Mataram

I

II

III

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 444

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Abdurrahman Wahid, 2016. Upaya meningkatkan keaktifan dan hasil belajar kognitif siswa kelas

XI IPS 1 SMA Negeri 2 Labu Api Pada Mata Pelajaran Pkn Melalui Penerapan

Pembelajaran Kombinasi Model Cooperative Learning Tipe Jigsaw dan Snawball

Throwing. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan

Kewarganegaraan Universitas Mataram

Amri Rosmawarni, 2016. Peningkatan Kerjasama Dan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran

PPKn Melalui Model Pembelajaran Berbasis Fotofolio Di Kelas XI IPA 5 SMAN 1

Narmada Tahun Pelajaran 2015/2016. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi

S1 Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.

Arifin, Z. 2014. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S. 2014. Prosedur Penelitia Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Astuti. 2013. Pengaruh Penggunaan Pendekatan Cooperative Learning Tipe Number Heads

Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Pkn Pada Siswa Kelas VII Di SMPN 5 Mataram

Tahun 2012/2013. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan

Kewarganegaraan Universitas Mataram.

Bardi. 2012. Penerapan metode pembelajaran pada peta konsep tipe pohon jaringan untuk

meningkatkan hasil belajar kognitif PKn siswa kelas VII A SMP Negeri 14 Mataram.

Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan Kewarganegaraan

Universitas Mataram.

Budianingsih, C. Asri. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Candra Mega Permatasari. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Kancing

Gemerincing Sebagai Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Sosiologi Siswa Kelas XII IPS 6

SMAN 8 Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014. Skripsi diterbitkan. Surakarta: Program

Studu Pendidikan Sosiologi Universitas Sebelas Maret. FITK UIN Syarif

Hidayatullah.(Online). Tersedia pada: https://media.neliti.com/media/publications/13677-

ID-penerapan-model-pembelajaran-kooperatif-teknik-kancing-gemerincing-sebagai-

upaya.pdf. diakses pada tanggal 19 April 2017

Dahlan. 2015. Upaya Meningkatkan Tanggung Jawab Dan Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan

Metode Problem Based Learning (PBL) Pada Mata Pelajaran PPKn Kelas VIII C Di SMPN

1 Kediri Tahun 2014/2015. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1

Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.

Dalyono. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Eni Sufianti. 2010. Upaya Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Pembelajaran PKn Melalui

Penerapan Cooperative Learning Teknik Kancing Gemerincing di Kelas VIII.D SMPN 11

Mataram Tahun 2009/2010. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1

Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.

Faturrahman, M. 2015. Model-Model Pembelajaran Inovatif Alternatif Desain Pembelajaran yang

Menyenangkan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Fuji Hastuti. 2015. Penerapan Metode Pembelajaran Kancing Gemerincing Dalam Meningkatkan

Hasil Belajar IPS Siswa kelas VII-3 MTs Negeri Tanggerang II Pamulang. Skripsi

diterbitkan. Jakarta: Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Islam

Negeri Syarif. FITK UIN Syarif Hidayatullah.(Online). Tersedia pada:

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29706/1/FUJI%20HASTUTI-

FITK.pdf. Diakses pada tanggal 14 April 2017

Hake, R.R.. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. (online):

http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf, Diakses tanggal 13

Februari 2015.

Hartono, R. 2014. Ragam Model Mengajar Yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: DIVA Press.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 445

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Huda, M. 2011. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran (cetakan ke III). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Huda, M. 2015. Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur Dan Model Penerapan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Isjoni, 2007. Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfceta Cv

Lie, A. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.

Nurulwati. 2000. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktifistik. (online).

(http://www.slidshare.net/210389/restu-kurikulum)). diakses pada tanggal 7 Januari 2015.

Purwanto. 2008. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Purwanto. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya

Rahmawati, S. 2011. Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa dan kerjasama siswa Kelas VII C

SMPN 10 Mataram Pada Mata Pelajaran PKn dengan Pendekatan Cooperative Learning

tipe Jigsaw. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan

Kewarganegaraan Universitas Mataram.

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Fajar Interpratam Offset.

Sardirman. 2011. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipto.

Slavin, Robert. E. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Sudjana, Nana. 2005. Metode dan Tehnik Pembelajaran Partisipasi. Bandung: Falah Production.

Sudjana, Nana. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).

Bandung: ALFABETA.

Sugiyono. 2014. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: ALFABETA.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sukerta, I. M. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Konstektual Terhadap Prestasi Belajar Ditinjau

dari Sikap Demokrasi Pada Para Siswa Kelas X di SMA Negeri 1 Petang. (online).

(http//pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index.php/jurnal_ap/article/download/431/223). Diakses

pada tanggal 2 Desember 2014.

Suryabarata, Sumadi. 2014. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. rajagrafindo Persada.

Sutikno, S. 2013. Belajar Dan Pembelajaran “Upaya Kreatif Dalam Mewujudkan Pembelajaran

Yang Berhasil”. Lombok: Holistica.

Zulfitri, Gimin, Sri Erlinda. 2013. Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Kancing Gemerincing Terhadap Minat Belajar PKn Siswa Kelas VII Di SMPN Satu Atap

Pauh Angit Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Sangingi. Skripsi diterbitkan. Riau:

Program Studi PKn Universitas Riau. FITK UIN Syarif Hidayatullah.(Online). Tersedia

pada:

http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4795/ZULFITRI.pdf?sequenc

e=1&isAllowed=y. diakses pada tanggal 14 April 2017

Zulkarnain, 2015. Pengaruh Penerapan Model Discovery Learning Tehadap Prestasi Belajar siswa

SMAN 1 Gunung Sari Pada Mata Pelajaran PPKn. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram:

Program Studi S1 Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.