kajian 120402 - fitrah

8
  1 FITRAH : Watak Kesucian Primordial Celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah? Dan hanya kepada-Nya kami menyembah. Q.S. al-Baqarah (2) :138 ”Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu sekali ia dibunuh, ia mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya seratus kali pun ia dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu,” ungkap Will Durant, penulis yang cenderung tidak mempercayai agama mana pun, dalam karyanya The Lesson Of History. Tentu saja ungkapan itu dilontarkan berdasarkan berbagai fakta dan data historis yang mengisyaratkan bahwa agama merupakan salah satu fenomena sosial yang selaras dengan keinginan dan kebutuhan sosial manusia, sehingga dengan demikian kehidupan manusia tidak pernah lepas dari agama. Menurut ajaran Islam, hidup beragama adalah tabiat azali manusia, bawaan sejak lahir. Al-Qur`an menyebutnya  fithrah (ciptaan asli), di mana Allah ”mendesain” dan menciptakan jati diri manusia sesuai dengan ”desain” penciptaan agama yang hanif  yang diciptakan-Nya untuk manusia (Q.S. al-Rum 30:30). Fitrah ini banyak dikaji para mufassir, ahli pendidikan, dan kaum sufi. Di sini kita akan melihat fitrah dari perspektif psiko-spiritual yang dikemukan kaum sufi. Pandangan ini tentu saja bertolak dari asumsi sufi bahwa realitas manusia adalah rohani atau spiritualnya, bukan jasmaninya; jasmani hanyalah rumah bagi ruh. Karenanya segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia harus bertolak dari realitas spiritualnya. Fitrah adalah salah satu bagian penting dari spiritual itu. Lalu, apa itu fitrah? Bagaimana perannya dalam kehidupan manusia? Makna dan Hakikat Fitrah Kata ’fitrah’ telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, berarti sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan. Sebenarnya kata fitrah itu berasal dari kosa kata Arab,  fathara-yafthuru-yafthiru-fithrah, yang berarti membelah, merobek, mengoyak, mencipta, muncul atau terbit, memerah susu dengan ujung jari tangan. Fithrah dipakai pula sebagai sinonim jablah (dibaja juga jiblah, jabalah dan  jibilah), thahi`ah, dan sajiyyah, yang berarti tabiat asli yang dibawa sejak lahir. Kata Fithrah dapat pula berarti kesucian lahiriyah (thuhr ). Pengertian ini didasarkan pada hadis, ”Ada lima macam yang termasuk fitrah (kesucian), yaitu

Upload: evamuchtar

Post on 18-Jul-2015

405 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 1/8

 

1

FITRAH : Watak Kesucian Primordial

Celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah?

Dan hanya kepada-Nya kami menyembah.

Q.S. al-Baqarah (2) :138 

”Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu sekali ia dibunuh, ia mati

untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya seratus kali pun ia dibunuh, ia

akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu,” ungkap Will Durant, penulis

yang cenderung tidak mempercayai agama mana pun, dalam karyanya The

Lesson Of History. Tentu saja ungkapan itu dilontarkan berdasarkan berbagai

fakta dan data historis yang mengisyaratkan bahwa agama merupakan salah

satu fenomena sosial yang selaras dengan keinginan dan kebutuhan sosial

manusia, sehingga dengan demikian kehidupan manusia tidak pernah lepas dariagama.

Menurut ajaran Islam, hidup beragama adalah tabiat azali manusia,

bawaan sejak lahir. Al-Qur`an menyebutnya fithrah (ciptaan asli), di mana Allah

”mendesain” dan menciptakan jati diri manusia sesuai dengan ”desain”

penciptaan agama yang hanif yang diciptakan-Nya untuk manusia (Q.S. al-Rum

30:30).

Fitrah ini banyak dikaji para mufassir, ahli pendidikan, dan kaum sufi.

Di sini kita akan melihat fitrah dari perspektif psiko-spiritual yang dikemukan

kaum sufi. Pandangan ini tentu saja bertolak dari asumsi sufi bahwa realitasmanusia adalah rohani atau spiritualnya, bukan jasmaninya; jasmani hanyalah

rumah bagi ruh. Karenanya segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia

harus bertolak dari realitas spiritualnya. Fitrah adalah salah satu bagian penting

dari spiritual itu. Lalu, apa itu fitrah? Bagaimana perannya dalam kehidupan

manusia?

Makna dan Hakikat Fitrah

Kata ’fitrah’ telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, berarti sifat asal,

kesucian, bakat, pembawaan. Sebenarnya kata fitrah itu berasal dari kosa kataArab,  fathara-yafthuru-yafthiru-fithrah, yang berarti membelah, merobek,

mengoyak, mencipta, muncul atau terbit, memerah susu dengan ujung jari

tangan. Fithrah dipakai pula sebagai sinonim jablah (dibaja juga jiblah, jabalah dan

 jibilah), thahi`ah, dan sajiyyah, yang berarti tabiat asli yang dibawa sejak lahir.

Kata Fithrah dapat pula berarti kesucian lahiriyah (thuhr ). Pengertian ini

didasarkan pada hadis, ”Ada lima macam yang termasuk fitrah (kesucian), yaitu

Page 2: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 2/8

 

2

berkhitan, menggunting rambut, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu

ketiak. ” ( H.R. Bukhari dan Muslim). Selain itu , kata fitrah dapat pula berarti

kesucian batin (ikhlas), seperti diungkapkan dalam hadis, ”Tiga hal yang

menyelamatkan, yaitu ikhlas yang berupa fitrah Allah di mana manusia diciptakan

sesuai dengannya, salat yang merupakan tiang agama, dan taat yang berupa benteng penjagaan”. (H. R. Ibn Humaid).

Istilah fitrah dalam wacana keilmuan, seperti makna kebahasaannya,

dipakai untuk beberapa pengertian. Secara umum, pengertian itu dipakai

mengacu kepada tabiat alami atau sifat dasar manusia yang dibawanya sejak

lahir. Tabiat itu, menurut ajaran nasrani, telah dimuati oleh dosa asal yang

diwarisi oleh setiap insan dari dosa Adam. Oleh sebab itu, setiap bayi yang lahir

telah membawa beban dosa secara fitri. Untuk menebus dosa asal itu, manusia

harus melalui penyelamatan (salvation) dengan penyatuan keimanan bersama

Yesus sebagai juru selamat dan penebus dosa. Doktrin dosa asal itu bertolakbelakang dengan teori psikologi Behaviorisme yang muncul pada abad ke-20,

yang melihat bahwa manusia tidak memiliki suatu kecenderungan asal tertentu

(netral).

Di samping itu, ada yang berpendapat bahwa fitrah manusia memiliki

sejumlah muatan berupa kecenderungan-kecenderungan alami, seperti

cenderung beragama, berilmu, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Ada pula

yang melihat, fitrah hanya memiliki konotasi agamis, berupa kecenderungan

kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan; sementara tabiat-tabiat asasi yang lain

mereka sebut  gharizah (naluri atau instink). Memang terdapat perbedaan antarafitrah dan instink. Fitrah mungkin lebih mendasar daripada instink. Fitrah

menempati dunia ruhaniyah manusia yang terdalam, sementara instink lebih

banyak terkait dengan dimensi fisik manusia dalam hubungannya dengan dunia

psikis. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh umunya para ulama tafsir

dan kalangan sufi. Alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa Al-Qur`an

dan hadis yang berbicara tentang fitrah dalam kaitannya dengan agama dan

tabiat alami manusia. Al-Qur`an mengungkapkan secara eksplisit :

 Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (yang benar), mengikuti kecenderungankepada kebenaran; (sesuai dengan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas

 fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum 30 : 30).

Nabi saw. juga mengungkap tentang fitrah, ”Setiap anak dilahirkan atas

fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau

Page 3: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 3/8

 

3

Majusi.” (H.R. Muslim). Ketika Abu Hurairah r.a. meriwayatkan hadis ini, ia

menghubungkannya dengan ayat di atas sebagai isyarat bahwa fitrah yang ada

pada diri manusia adalah tabiat alami yang suci dan inheren dengan agama

Allah yang suci.

Dengan demikian, kata fitrah akhirnya lebih dominan disebut dalamterminologi ilmu-ilmu agama daripada ilmu-ilmu lain. Akan tetapi, sekalipun

Al-Qur`an dan hadis menyebutkan kata fitrah secara eksplisit,

pengungkapannya sendiri masih dalam bentuk umum, sehingga memunculkan

sederetan penafsiran dan konsep. Tafsiran dan konsep yang paling populer dan

dianut oleh mayoritas ulama ialah pandangan positif yang melihat bahwa fitrah

manusia adalah tabiat alami yang dibawa sejak lahir dan cenderung kepada

kebaikan, kebenaran, dan tauhid. Tetapi, karena berbagai pengaruh, baik dari

luar maupun dari dalam, mengakibatkan manusia terasing dari fitrahnya itu.

Pengaruh-pengaruh hawa nafsu, setan , dan lingkungan sosial teleh membuatmanusia dapat menyeleweng dari fitrahnya, tetapi fitrah yang asli itu akan

senantiasa hidup dalam dirinya. Jika disebutkan, ”tidak ada perubahan pada ciptaan

 Allah ”( Q.S. al-Rum 30:30), maka berarti tabiat dasar manusia yang suci itu tidak

pernah berubah, kendati dia telah terseret jauh dari tabiat universalnya itu. Oleh

sebab itu, di saat Fir`un akan meninggal dunia menjelang tenggelam di laut

Merah, ia masih tersadar kepada fitrahnya yang suci. (Surat Yunus 10 ayat 90)

Fitrah Perspektif Psikospiritual Sufi

Kaum sufi melihat manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda :Ruhani dan jasmani. Keduanya diciptakan pada waktu yang berbeda. Menurut

al-Makki, penciptaan ruhani jauh lebih mendahului jasmani. Ruhani adalah

makhluk azali, ia tercipta jauh sebelum jasad dan bahkan sebelum adanya

waktu. Ibn `Atha` mengungkapkan bahwa ruh lebih dahulu diciptakan daripada

 jasad berdasarkan ayat, ” Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu, lalu Kami

bentuk tubuhmu.” (Al-A`raf 7:11). Menurut Ibn `Atha`, ungkapan, ”Kami telah

menciptakan kamu” dalam ayat itu mengandung makna ”telah menciptakan

ruhmu” sedangkan ungkapan ”lalu Kami bentuk tubuhmu” mengandung makna

menciptakan jasad, setelah lebih dahulu menciptakan ruh. Jadi, sebelum berada dalam jasad, ruh manusia itu telah merupakan

wujud mandiri, yang disebut oleh al-Junaid al-Baghdadi dengan wujud rabbani.

Wujud ruhani itu berada di sisi Tuhan dan telah mengenal-Nya secara langsung,

seperti diisyaratkan ayat :

Page 4: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 4/8

 

4

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari

sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (sembari

berfirman), ’Bukankah Aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ’Benar (Engkau Tuhan

kami), kami bersaksi.’ (Al-A`raf 7:172).

Bagi kaum sufi, hakikat manusia ialah wujud ruhaninya. Dengan

demikian, insaniyah (kemanusiaan) bukan terletak pada kesempurnaan fisik,

tetapi para kesempurnaan ruhani. Oleh sebab itu, betapa pun tidak

sempurnanya fisik seseorang, ia masih tetap dipandang memiliki nilai

kemanusiaan. Jadi, yang menentukan nilai kemanusiaan adalah ruhani manusia.

Kita sering menemui orang-orang yang tuli, buta, lumpuh, dan kekurangan-

kekurangan fisik lainnya, namun mereka tidak dikatakan kekurangan pada

kebajikan dan kepribadiannya. Socrates, filosuf Yunani yang masyhur dan sering

disejajarkan dengan para Nabi, adalah seorang yang buruk rupa. Akan tetapi,kekurangan itu tidak menafikan keutamaannya. Abu al-Ala al- Ma`arri dan

Thaha Husayn adalah dua ilmuan dan sastrawan muslim yang tuna netra,

namun kekurangan itu tidak mengurangi kebesaran mereka.

Sufi besar Jalal al-Din Rumi (w. 672 H) ingin menunjukkan kepada

khalayak bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah pada ruhani. Beliau

mengundang beberapa tokoh, lalu memanggil salah seorang tabib dan

memerintahkan sang tabib agar memotong nadi beliau dan membiarkan

darahnya tumpah sampai habis. Sang tabib pun melakukannya, sehingga darah

terkuras habis dari tubuh sang Mawlana. Beliau bangkit, lalu berwudhu,kemudian memasuki taman bunganya dan memulai tarian sakralnya. Suatu hal

yang menakjubkan.

 Jadi, bagi kaum sufi, hakikat manusia adalah ruhaninya. Namun

demikian, ruh tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai abdi Tuhan secara

sempurna, melainkan dengan eksistensi jasmani. Jasmani adalah alat yang

melengkapi fungsi-fungsi ruhani. Maka, ketika ruh telah dipanggil

meninggalkan jasad, maka manusia telah kehilangan hakikatnya, sehingga tidak

memiliki daya apa pun.

Karena ruhani yang paling dominan menentukan jalan hidup manusia,maka bagi kaum sufi, corak ruhani yang menentukan tinggi-rendahnya

kedudukan manusia. Warna kulit, bentuk wajah, postur tubuh, dan lain

sebagainya, hanyalah corak lahiriyah, semuanya bukan hal yang menentukan

bagi kepribadian dan kemanusiaan seseorang. Apalagi hal-hal yang lebih semu

dari itu, yang hanya melekat buat sementara pada manusia, dia bukan penentu

Page 5: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 5/8

 

5

hakiki bagi manusia, dan fungsinya tidak lebih dari sekedar topeng-topeng yang

segera akan ditanggalkan dari kepribadian manusia.

Firtah adalah warna dasar ruhani yang tidak pernah hilang dari diri

manusia. Lalu bagaimana fitrah asasi itu? Atau bagaimana warna dasar ruhani

manusia itu?

Fitrah : Desain Ilahi

 Jasad berasal dari tanah dan ruh langsung ditiupkan Allah dari diri-Nya

(Al-Hijr 15 :28-29). Maka, tabiat dasar itu sesuai asal-usulnya. Jasad, karena

berasal dari tanah, memiliki tabiat dasar sebagaimana tanah, dan ruh, karena

langsung berasal dari ruh Ilahi, maka memiliki tabiat dasar Ilahiyah. Karena

 jasad terikat oleh tabiat material tanah, maka akan senantiasa akan menyeret

manusia kepada hal-hal yang bersifat material dan kasar. Lain halya dengan ruh,

karena memiliki tabiat dasar keilahian, maka senantiasa ingin membawa kepadahal-hal yang bersifat spiritual dan halus. Ruh senantiasa cenderung kepada

tabuat aslinya, rindu kepada kebenaran, kebaikan, dan kesucian.

Al-Qur`an menyebutkan bahwa manusia diciptakan Allah sesuai

dengan fitrahnya (Rum 30:30). Dengan kata lain, manusia diciptakan atas

”desain Ilahi”, di mana warna keilahian merupakan warna dasar ruhani

manusia, sebagaimana disinyalir oleh Kitab Suci, ” Celupan Allah, dan siapakah

yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah? Dan hanya kepada-Nya kami

menyembah.( Q.S. al-Baqarah (2) :138). Menurut Abu al-Aliyah, yang dimaksud

dengan ”celupan Allah” dalam ayat ini adalah fitrah ilahi yang mewarnai ruhanimanusia. Fitrah ilahiah yang menjadi warna dasar ruhani manusia itu

digambarkan Al-Qur`an sebagai bentuk yang sebaik-baiknya, ”Sesungguhnya

Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Tin 95:4).

Dalam menjelaskan makna ayat ini, Kamal al-Din Husayn al-Kasyifi, sufi abad

ke-9 H (15 M) menulis bahwa hal itu berarti ”Tuhan menciptakan manusia

sebagai alamat Tuhan yang paling lengkap dan sempurna, pentas yang paling

universal, di mana bermain segala lakon ketuhanan, sehingga dengan begitu ia

mampu menjadi pembawa amanat Tuhan dan sumber dari pancaran yang tak

terbatas.Fitrah inilah yang menjadi warna dasar ruhani manusia, yang

sebenarnya telah didesain oleh Allah mengacu kepada citra-Nya sendiri,

sebagaimana disebutkan hadis : ”sesungguhnya Adam telah didesain oleh Allah

mengacu kepada citra-Nya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Tuhan mendesain

manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri karena keinginan-Nya untuk melihat

citra diri-Nya di luar diri-Nya, maka diciptakan-Nya manusia sebagai wadah

Page 6: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 6/8

 

6

tajalli-Nya (manifestasi) yang paripurna, seperti terungkap dalam hadis qudsi

yang populer di kalangan sufi : ”Aku adalah perbendaharaan terpendam yang belum

dikenal; Aku senang (love) untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk; Aku pun

memperkenalkan diri kepada mereka, sehingga mereka mengenal-Ku”. 

 Jadi, pada diri manusia sebenarnya terdapat potensi-potensi suci dimana Tuhan menampakkan sifat-sifat dan asma-Nya. Dengan demikian,

manusia tidak lain adalah pancaran (tajalli) yang menggambar citra Tuhan secara

utuh dan paripurna. Akan tetapi, hal itu baru dalam bentuk potensi terpendam

yang menyatu dengan ruh manusia. Orang yang mampu mengaktualisasikan

potensi inilah yang dipandang oleh kaum sufi sebagai manusia yang paling

sempurna –Insan Kamil.

Ketika Ibn `Arabi menjawab pertanyaan apakah fitrah itu, secara

metafor ia mengatakan, ”fitrah adalah cahaya (nur) yang membelah kegelapan

mumkinat (alam yang serba mungkin) dan berfungsi membedakan beragambentuk.” Nur melambangkan kecerahan dan kesucian. Ruhani manusia yang

terdalam biasa pula disebut ”hati nurani” yang berarti ”hati yang bercahaya”.

Karena, fitrah yang mewarnainya adalah fitrah ilahiah yang suci dan

menyinarkan cahaya bagi manusia, sehingga dengan itu manusia dapat

menggapai kebenaran. Oleh sebab itu, suara hati nurani adalah suara kebenaran,

kejujuran dan itulah manifestasi suara Ialhi.

Tertutupnya Suara Hati Nurani

Benar, ruhani manusia pada mulanya cerah dan suci, tetapi kecerahandan kesucian itu dapat tertutup oleh kegelapan atau kotoran-kotoran, terutama

setelah ruh suci itu ditempatkan dalam jasad, yang dilengkapi dengan nafsu dan

akal, sehingga mewujud menjadi sosok manusia, terdiri atas ruhani dan jasmani.

Ketika telah mencapai kesempurnaan wujud demikian, lalu Tuhan

mengilhamkan kepada manusia ketakwaan dan kefasikan (al-Syams 91 :7-8).

Ketakwaan adalah benteng nurani yang senantiasa menjaga kecerahan dan

kesuciannya, sementara kefasikan adalah kegelapan dan kotoran yang akan

menutup nurani.

Dalam hadis tentang fitrah di atas dijelaskan bahwa manusia dapattertutup dari fitrahnya karena pengaruh orang tua dan lingkungan sosial,

sehingga seseorang berubah menjadi penentang kebenaran. Hal demikian dapat

kita saksikan dalam sejarah manusia, terdapat nama, suku, dan umat yang

membangkang terhadap kebenaran. Lalu, mereka menerima kehancurannya.

Kalau demikian, dapatkah fitrah itu berubah?

Page 7: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 7/8

 

7

Meski telah terperosok kepada kegelapan dan telah berlumur dengan

kotoran, suara nurani sebenarnya masih tetap ada. Namun, jeritan nurani itu

sering tak terdengar karena ditelan oleh gemuruhnya suara nafsu angkara (al-

nafsu al-ammarah), sehingga telinga batin tidak mampu untuk menerima dan

mendengar getaran jeritan nurani itu. Memang, manusia tidak dapatmembohongi suara nuraninya yang suci itu, namun karena telah terbelenggu

oleh kehendak-kehendak hawa-nafsu, maka jeritan suci itu dibaikannya. Allah

menegaskan bahwa fitrah itu tidak berubah, ”tidak ada perubahan pada (fitrah)

ciptaan Allah.” (Al-Rum 30:30).

Ingat ketika Yusuf a.s. mendapatkan godaan berat dari Zulaiha yang

hampir saja menjerumuskannya kepada perbuatan mesum, sebagaimana

diungkapkan Al-Qur`an, ”Sesungguhnya wanita itu telah berhasrat (melakukan

 perbuatan mesum) dengan dia (Yusuf), dan dia (Yusuf) telah berhasrat pula

(melakukannya).” (Yusuf 12:24). Ketika itu, pandangan, pendengaran, dan pikiranYusuf telah tertutup oleh gelapnya nafsu, sehingga hampir saja dia terjebak ke

dalam dosa. Hanya suara suci nurani yang menyadarkannya bahwa dia sedang

dalam bahaya, seperti diungkapkan Al-Qur`an, ”Hanya saja dia (Yusuf) melihat

burhan Tuhannya”. (sambungan ayat surah Yusuf 12:24), Itulah bisikan suci

nurani yang menyimpan fitrah ilahiah.

Kembali Kepada Fitrah

Fudhayl ibn `Iyadh (w 803 M ) masyhur sebagai seorang perampok

ulung yang mengepalai segerombolan perampok di padang pasir antaraAbyuward (baward) dan Sarakhs. Suatu malam, ketika dia sedang memanjat

rumah kekasihnya, lewatlah suatu kafilah dan di antara mereka ada yang sedang

membaca ayat Al-Qur`an. Terdengarlah oleh Fudhayl ayat, ”Belum tibakah

saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?” 

(Al-hadid 57 : 16)

Ayat itu bagaikan anak panah menembus jantung Fudhayl, seakan

sebuah tantangan yang berseru ke lubuk nuraninya, ”Wahai Fudhayl, berapa

lama lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan

membegalmu!”Fudhayl terjatuh dan berseru, ”Memang telah tiba saatnya, bahkan

hampir terlambat!”. Fudhayl merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah

setumpuk puing. Ternyata di situ berkemah satu kafilah. Di antara mereka

berkata, ”Marilah kita melanjutkan perjalanan!” Tetapi, yang lain mencegah,

”Tidak mungkin, Fudhayl sedang menunggu dan akan menghadang kita.”

Page 8: Kajian 120402 - Fitrah

5/16/2018 Kajian 120402 - Fitrah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-120402-fitrah 8/8

 

8

Mendengar pembicaraan mereka, Fudhayl berseru, ”Gembiralah kalian,

Fudhayl telah tobat!”

Dua Program Ilahi :Taklifi atau Takwini

Manusia yang telah terasing dari fitrahnya berarti terjauhkan dari jatidirinya yang hakiki dan universal, sehingga tidak pernah merasakan

kebahagiaan hidup. Nuraninya terkubur dalam lumpur hawa nafsu, sehingga

hidup dalam kegelapan. Sebenarnya Allah memiliki dua program yang

berfungsi agar fitrah manusia tetap terjaga dan sebagai terapi bagi yang telah

terasing dari fitrahnya. Kedua program itu adalah program taklifi atau tasyri`i 

dan program takwini. Program taklifi adalah berupa perintah dan larangan agama

yang diturunkan-Nya melalui wahyu yang ditaklifkan (dibebankan) kepada

manusia. Dan agama yang dipersiapkan Allah itu, sebagaimana telah

disebutkan, memang telah didesain sesuai dengan fitrah manusia. Dengandemikian, setiap aturan yang bersumber dari agama Allah senantiasa sesuai

dengan fitrah manusia. Maka, dengan menjalankan taklif (perintah dan

larangan) agama itu, manusia dapat mempertahankan fitrah kesuciannya,

seperti dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya, bahwa Dia menciptakan

manusia sebaik-baik bentuk. Lalu mereka terjatuh ke dalam kerendahan.

Kecuali, orang yang tetap beriman dan melakukan amal saleh (Q.S. al-Tin 95: 4-

6). Menjalankan taklif agama juga menyadarkan manusia akan fitrahnya,

sehingga ia mampu mendengar bisikan nuraninya.

Program takwini berupa penciptaan fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta, baik dalam kehidupan sosial maupun

pada alam lingkungannya. Segalanya itu adalah untuk menyadarkan manusia

agar senantiasa teguh dalam kesucian fitrahnya dan agar orang-orang yang telah

terjauhkan dari fitrahnya kembali kepada jati dirinya. Dengan menyadari jati

dirilah manusia dapat mengenal Tuhan dan merasakan kehadiran-Nya dalam

hidup, ” man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu” , Barang siapa mengenal dirinya,

niscaya dia mengenal Tuhannya.

 Wallaahu a’lam bish shawwab