jurusan tafsir hadits fakultas ushuluddin dan …

79
TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Disusun Oleh: ADIH 104034001155 JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA 2011

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Disusun Oleh:

ADIH

104034001155

JURUSAN TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDYATULLAH

JAKARTA

2011

Page 2: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Theologi Islam ( S.Th.I)

Disusun Oleh:

ADIH

104034001155

Pembimbing

Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, M.A.

NIP : 19550725 200012 2 001

JURUSAN TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDYATULLAH

JAKARTA

2011

Page 3: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …
Page 4: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbi al-‘âlamîn, puji syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT. yang telah memberi izin dan nikmat-Nya kepada penulis untuk

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat dan salam semoga selalu tercurah

keharibaan Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa risalah untuk pencerahan

bagi seluruh umat manusia.

Merupakan suatu kebahagiaan bagi penulis telah menyelesaikan penulisan

skipsi ini, walaupun sedikit tersendat-sendat, demi merampungkan studi di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan yang terdapat

dalam tulisan ini. Untuk itu permintaan maaf penulis sampaikan apabila dalam

karya tulis ini terdapat banyak kejanggalan, kedangkalan dan kesalahan analisis.

Kendati demikian penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk

menyelesaikan tulisan ini. Disadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan

skripsi ini tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang ikut

membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, di antaranya:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

yang telah memberikan apresiasi kepada mahasiswa yang ingin

menyelesaikan program studinya.

Page 5: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

ii

2. Prof. Dr. Zainun Kamal (Dekan Fakultas Ushuluddin), Prof. Dr. M. Ikhsan

Tanggok (Pudek I), Dr. M. Suryadinata, MA (Pudek II), Prof. Dr. Masri

Mansoer, MA (Pudek III). Terimakasih penulis ucapkan, telah

memberikan waktu dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan

studi ini.

3. Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA. Sebagai dosen pembimbing yang

telah meluangkan banyak waktunya untuk membina, menelaah dan

memberikan kritikan serta nasehatnya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat ini. Terimakasih

ibu, semoga ibu selalu mendapatkan perlindungan dan rahmat Allah SWT.

4. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir- Hadits yang telah

memberiakan nasehat serta arahan kepada penulis, dan Dr. Lilik Ummi

Kaltsum, MA selaku Sekjur Tafsir-Hadits, terimakasih atas waktu dan

kesempatan yang ibu berikan.

5. Seluruh Dosen dan Staff pengajar pada program studi Tafsir-Hadits (TH).

Atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan

pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi.

6. Kepala Pempinan Perpustakaan Utama Dan Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan

Iman Jama Lebak Bulus berserta para staffnya. Terimakasih atas ruangan

yang sejuk, nyaman dan damai, sehingga dapat mengobati rasa haus

penulis akan ilmu.

Page 6: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

iii

7. Ungkapan syukur dan pujian terimakasih sebesar-besarnya penulis

haturkan kepada keluarga tercinta, Ibunda Semi serta kakanda-kakanda

penulis: Rusmanah, Rusiyanah, Muslih, Muslim, Mulyanih, Mulyadi. Jasa

kalian tidak akan pernah terbatas oleh apapun yang ada di dunia ini.

Semoga skripsi ini dapat menjadi sebuah kebanggaan dalam hati kalian.

Mohon maaf jika penulis belum dapat memberikan yang terbaik dan belum

dapat membahagiakan kalian semua. Dan keponakan-keponakan penulis:

Usman, Moe_2n, Dzaki, Dzikri, Aini, Dzaka, Fikri, Salsa, Ardi, Manda

Haedar Ulil Aidy dan Zaskia. Bersama kalian hidup ini terasa sederhana,

menarik serta ceria penuh warna.

8. Dan yang tidak kurang sumbangannya dalam penyelesaian karya maupun

jenjang studi penulis, adalah peran dari seorang perempuan yang bernama,

Siti Maryam. Kehadirannya, bagaikan buku yang tak pernah tamat penulis

baca, bersamanya ruang ini tersa luas dan waktu seakan tak terbatas.

Ketika ia bercerita dengan iringan canda, serta berdiskusi dengan sebuah

tanya, menjadi inspirasi dan semangat tersendiri, yang bagi penulis sangat

berarti.

9. Rekan-rekan Mahasiswa/i Tafsir-Hadits A angkatan 2004: Ifeh, Zizah,

Yanah, Bubah, Dewi, Laily, Yunita, Dedy, Thory, Ardi, Ramdani, Hafidz,

Muhyi, Macho, Ade, Fuad, Anas, Syarif, TB, Hary, Syarif Ndut, Angga,

Syafaat, Aa Gyn dan khususnya kepada Baehaqi dan Zulkarnain Thanks

atas perpustakaan dan motivasinya, mohon maaf apabila ada kesalahan

nama atau gelar.

Page 7: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

iv

10. Rekan-rekan IRMAS Jami’ Darurrahman, Pemuda/i Kp. Buaran Timur,

Kel. Jelupang. Terimakasih atas dukungan moril maupun materil yang

rekan-rekan berikan. Semoga Allah SWT. Membalas kebaikan kalian

semua.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, semoga

jasa dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada penulis menjadi pemberat

timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Amîn Yâmujiba as-Sailîn

Serpong Utara, 26 Februari 2011

Penulis

Page 8: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

TRANSLITERASI ........................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

2. Perumusan dan Pembatasan Masalah.................................. 10

3. Tujuan Penelitian ................................................................ 11

4. Metodologi Penelitian ......................................................... 11

5. Sistematika Penulisan ......................................................... 12

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG TAQLÎD

A. Definisi Taqlîd

a. Menurut Bahasa ............................................................ 14

b. Menurut Istilah .............................................................. 15

c. Definisi Operasional...................................................... 18

B. Kosa Kata Taqlîd dalam al-Quran

a. Ittiba` ............................................................................. 20

b. Akhadza ......................................................................... 21

c. Taqfu ............................................................................. 23

Page 9: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

vi

C. Pembagian Taqlîd

1. Taqlîd yang diperbolehkan ........................................ 24

a. Taqlîd Syahksi ..................................................... 24

b. Taqlîd Mutlak ...................................................... 26

2. Taqlîd yang dilarang .................................................. 26

a. Taqlîd Mahdhi ..................................................... 26

b. Taqlîd Jamid ........................................................ 26

BAB III TAQLID AQIDAH DALAM AL-QURAN

A. Aspek-aspek yang diperintahkan untuk ber-taqlîd ............. 32

1. Taqlîd kepada perintah Allah atau al-Quran ............. 32

2. Taqlîd kepada Rasulullah .......................................... 35

a. Nabi Sebagai Penjelas Al-Quran ........................ 37

b. Rasul Sebagai seorang yang patut diteladani ..... 40

c. Rasul Wajib ditaati .............................................. 41

3. Taqlîd kepada Ahl al-Dzikr ....................................... 47

B. Aspek-aspek yang dilarang untuk ber-taqlîd ......................

1. Taqlîd kepada nenek moyang .................................... 50

2. Larangan mengikuti ajaran ruhban ........................... 51

3. Taqlîd kepada ke-Syirikan ........................................ 55

4. Taqlîd “Buta” tanpa dasar informasi yang jelas ...... 56

C. Analisa terma Taqlîd dalam al-Quran ................................. 57

Page 10: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

vii

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 61

B. Saran .................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 65

Page 11: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin.

PADANAN AKSARA

HURUF

ARAB

HURUF

LATIN KETERANGAN

Tidak dilambangkan

B Be

T Te

Ts Te dan Se

J Je

H Ha dengan garis di bawah

Kh Ka dan Ha

D De

Dz De dan Zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy Es dan Ye

S Es dengan garis di bawah

D De dengan garis di bawah

T Te dengan garis di bawah

Z Zet dengan garis di bawah

` Koma terbalik di atas hadap kanan

Gh Ge dan Ha

F Ef

Q Qi

K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

‘ Apostrof

Y Ye

Page 12: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

ix

VOKAL

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal pada bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah

I Kasrah

å U Damah

Vokal Rangkap

Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

AI A dan I و

AU A dan U ي

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vocal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 A dan topi di atas ـــــــــــا

Î I dengan topi di atas ــــــــــــي

Û U dengan topi di atas ـــــــــــــو

Kata Sandang

Kata sandang yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, menggandakan

huruf yang diberi tanda tasydid itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf

yang menerima tanda tasydid itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah.

Page 13: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Indonesia adalah salah satu Negara dengan penduduk Muslim paling

banyak di dunia. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang banyak dan

persentase penduduk yang beragama Islam pun tinggi. Kondisi ini yang kemudian

berpeluang terjadinya banyak pemahaman terhadap praktik keagamaan di

Indonesia. Kelompok tertentu dipandang mampu untuk memahami hukum yang

dibebankan kepadanya yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Terlepas dari

bagaimana mereka mendapatkan pemahaman itu, baik secara langsung mengkaji

dua sumber itu atau melalui imam-imam madzhab tertentu yang terakui ilmunya.

Namun di sisi lain ada sekelompok masyarakat yang tidak berpedoman terhadap

dalil yang jelas ketika mengamalkan sesuatu. Mereka cukup mendengar dari orang

yang mereka anggap mumpuni di bidang hukum mengenai hukum tertentu yang

kemudian diamalkan tanpa memikirkan dari mana sang mufti tadi

memperolehnya. Dan yang ironis lagi adalah mereka jauh dari nilai-nilai agama

dalam perilakunya walaupun notabene mereka beragama Islam. Hal ini mungkin

karena mereka buta akan Islam atau ada faktor lainya.

Menanggapi hal itu dirasa perlu memberikan pemahaman kepada

masyarakat luas akan pentingnya menjalankan ajaran agama secara keseluruhan

dan penuh dengan kesadaran. Semua itu dilakukan demi sebuah pengabdian dan

rasa syukur manusia akan karunia tuhannya. Dan untuk mengetahui hukum-

hukum dan kewajiban yang dibebankan kepada manusia (mukallaf) diwajibkan

Page 14: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

2

untuk menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu diharapkan mampu memahami

perintah dan larangan yang harus dilaksanakan dan dijauhi serta termotivasi untuk

mempratikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah letak urgensi thalab al-

‘ilmi bagi seorang muslim demi mempertahankan eksistensinya sebagai orang

yang taat beragama dan peduli terhadap dirinya.

Bagi seorang muslim yang sudah terlanjur beragama Islam karena adat dan

lingkungan, wajib melakukan perenungan agar imannya makin mantap, tidak

goyah sehingga terjerumus kesifat setan atau binatang. Sementara itu, siapapun

juga, muslim maupun kafir pada dirinya telah Allah SWT berikan akal yang pada

saatnya yaitu usia aqil baligh akan berfungsi untuk mencari kebenaran.1

Setiap orang menyadari bahwa ia mempunyai akal dan perasaan yang

sehat yang terletak atau berpusat pada otak yang digunakan untuk berpikir.

Kemampuan berpikir dan merasa ini merupakan nikmat anugerah Tuhan yang

paling besar dan ini pulalah yang membuat manusia merupakan makhluk

istimewa dan mulia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Karena akal itu

merupakan alat untuk menuntut ilmu dan dengan ilmu manusia dapat

membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Dalam keadaan sehat, manusia sering kali tidak menyadari apakah yang

dijalankannya atau yang diperbuatnya itu berdasarkan pada ilmu pengetahuan atau

tidak. Sebab sesuatu yang yang dilakukan tanpa berdasarkan pada ilmu, maka

perbuatannya itu diragukan akan kebenarannya. Apalagi jika yang diperbuatnya

itu hanya berdasarkan kepada peniruan saja.

1 Palgunadi T. Setyawan, Daun Berserakan (Sebuah Renungan Hati), Jakarta : Gema

Insani Fress, 2004, cet. I, h. 115.

Page 15: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

3

Tingkah laku seseorang di dalam kehidupanya yang didasarkan kepada

upaya meniru dan mengikuti perbuatan orang lain tanpa didasari kepada al-Quran

dan al-Hadits atau dalil-dalil yang membenarkan, itu sangat dicela dan dilarang

Allah SWT. Selain daripada itu, di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang

isinya jelas menunjukkan bahwa orang yang ber-taqlîd dalam urusan agama

(akidah, ibadah dan hukum), itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan

yang membawa ke arah kesesatan.2 Sebagaimana tersebut dalam firman Allah

SWT dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 170 dan surat al-Maidah ayat 104 :

Artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah

diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya

mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang

kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang

mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Artinya :

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang

diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah

untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya".

dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun

nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)

mendapat petunjuk?.

Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan kepada kita, bahwa orang-orang yang

sudah ber- taqlîd dan menjadi pak turut itu sangat dijelekkan dan dicela oleh Allah

SWT. Karena mereka itu apabila diajak kembali mengikuti pimpinan Allah dan

KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, (Jakarta : Bulan

Bintang, 1989), h. 342

Page 16: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

4

kepada tuntunan Rasul, mereka menjawab : “Hanya kami akan menurut saja cara-

cara yang telah dilakukan oleh orang-orang tua kami, nenek moyang kami”, atau

“Cukuplah bagi kami agama yang telah dijalankan dan dikerjakan oleh nenek

moyang kami dan datuk-datuk kami.” Mereka berkata yang sedemikian itu,

karena sudah penuh sangkaan dan anggapan, bahwa cara-cara dan agama yang

telah dikerjakan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut

pimpinaan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta

keterangan yang menunjukan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek

moyang mereka itu.3

Bahwa kecaman dalam firman Allah itu ditunjukan hanya bagi orang yang

ber-taqlîd kepada orang-orang kafir dan nenek moyang mereka yang tidak

berakal sedikit pun serta tidak mendapatkan petunjuk, dan orang yang ber-taqlîd

kepada ulama yang memperoleh hidayah tidaklah dikecam, bahkan diperintahkan

untuk bertanya kepada orang-orang yang mengerti, yakni para ulama.4

Meniru dan mengikuti perbuatan orang lain dalam melakukan kebaikan

memang itu diharuskan, tetapi harus didasarkan kepada dalil-dalil yang

membenarkan terlebih dalam masalah ubudiyah. Kalau yang ditirunya itu

menyimpang dari apa yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits akan membawa

kesesatan meskipun orang yang ditiru itu adalah orang tuanya sendiri.

Sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT dalam al-Quran surat Luqman

ayat 15 :

3 KH. Moenawar Chalil, h. 343

4 Al-Imam Ibn Qayyim, Risaalah At-Taqliid, terj. Ibn Ibrahim (Jakarta : Pustaka Azzam,

2000), cet. 1, h. 20

Page 17: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

5

Artinya :

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan

aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah

kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan

baik.

Ayat tersebut menggambarkan bahwa tidak diperbolehkan mengikuti

sesuatu ajaran atau sesuatu perbuatan yang mana perbuatan yang ditirunya itu

menyimpang dari ajaran Allah SWT meskipun yang melakukannya itu orang

tuanya sendiri.

Allah SWT dan Rasulullah SAW menyebut bagi orang-orang yang hanya

mengikut-ikuti orang lain atau pemuka agama dalam hal-hal yang mereka

kerjakan bagai mereka menjadikan orang yang diikutinya itu sebagai tuhan-tuhan

selain Allah5 sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi di masa

lalu yang tergambar dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 31:

Artinya :

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka

sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih

putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang

Esa.

Maksud dari menuhankan selain Allah dalam ayat tersebut ialah mereka

mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan

membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh berbuat

5 KH. Moenawar Chalil, h. 346.

Page 18: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

6

maksiat atau mengharamkan yang halal. Hal ini terkandung dalam hadis Nabi

SAW yang berbunyi :

Artinya :

Dari Adiy bin Hatim : “aku pernah datang kepada Rasulullah Saw

pada leherku ada salib, maka beliau bersabda kepadaku : “hai Adiy

lemparkan arca ini dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi,” dan beliau

membaca ayat : (dari surat at-Taubah ayat 31)

Kata adiy : aku berkata : “ya Rasulullah, kami tidak menjadikan

tuhan-tuhan kepada pendeta-pendeta itu. “Nabi Saw Bersabda : “bukankah

mereka menghalalkan bagi kamu barang yang diharamkan Allah atas kamu,

lalu kamu menghalalkannya; dan mereka mengharamkan atas kamu barang

apa yang dihalalkan Allah kepada kamu, lalu kamu mengharamkannya?”

Kata Adiy : “bahkan, ya Rasulullah.” Nabi bersabda : “demikian itulah

ibadah kepada mereka.” (HR. al-Thabrany)

Keterangan di atas menggambarkan bahwa dengan mengikuti dan meniru

kebiasaan orang lain tanpa mengetahui makna dan tujuannya atau tanpa adanya

dalil-dalil yang membenarkan merupakan perbuatan yang tidak baik.

6 Sulaiman bin Ahmad Abu Qasim al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabîr, (Ttp.: Maktabah

al-„Ulum wa al-Hikm, 1983), Jil. 10, h. 116

Page 19: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

7

Ini memang berangkat dari kenyataan, masih banyaknya orang yang

mengetahui sesuatu kebenaran tanpa mempelajarinya terlebih dahulu dan sesuatu

yang dikatakan benar itu diperoleh dengan hanya melihat dari perbuatan orang

lain, atau dari kebiasaan yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya. Hal inilah

yang merupakan suatu permasalahan yang ingin dikaji oleh penulis. Sebagaimana

Allah SWT menjelaskan dalam surat al-Isra' ayat 36 :

Artinya :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Ayat di atas banyak memberikan gambaran tentang dilarangnya segala

perbuatan yang tidak diketahui akan kebenarannya dan apa-apa yang dilakukan

manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir nanti.

Pada hakikatnya, al-Quran di turunkan oleh Allah SWT bagi umat manusia

agar menjadi panduan bagi mereka agar dapat terbebas dari belenggu kebodohan

dan supaya manusia dapat memperoleh bimbingan keselamatan dalam kehidupan

di dunia maupun di akhirat. Secara fundamental bahkan yang harus kita sadari

ialah bahwa al-Quran ialah firman Allah SWT yang menjadi sumber aqidah kita.7

Al-Quran ialah perkataan yang paling agung dan mulia yang penuh dengan

petunjuk kebenaran di dalamnya yang diturunkan oleh Allah SWT pencipta dari

7

Muhammad Syauman ar-Ramli. Keajaiban Membaca al-Quran, terj. Arif Rahman

Hakim, Lc, (Sukoharjo: Insan Kamil, 2007), h. 27

Page 20: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

8

segala yang ada, bukan sekedar perkataan manusia dalam buku-buku hikmah atau

motivasi.

Selain al-Quran, agama Islam memiliki satu buah lagi sumber ajaran dan

hukum, yakni al-Sunnah atau yang sering disebut juga al-Hadits yang menjadi

penjabaran, contoh kongkrit dalam tingkahlaku, sikap dan ketetapan mutlak yang

dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw yang menjadi pedoman bagi umat

manusia hingga akhir zaman.8

Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal harus bertindak bertanggung

jawab kepada Allah SWT karena Allah senantiasa mengawasi segala perbuatan

manusia sendiri. Sebab tanggung jawab itu perlu untuk kelangsungan kehidupan

dan tanggung jawab itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Dengan

demikian manusia dididik untuk bertindak secara bertanggung jawab, meskipun

demikian, kalau tindakan bertanggung jawab itu tidak dilaksanakan atau tidak

dikembangkan niscaya ia akan kurang bermakna di dalam kehidupannya.

Tanpa petunjuk dari Allah SWT manusia tidak akan mampu meningkatkan

pemahamannya tentang alam semesta, kecuali dengan ilmu pengetahuan dengan

akal yang telah diberikan oleh Allah SWT, manusia dapat mengembangkan ilmu

pengetahuan, dapat memahami alam semesta dan menjalani hidup dengan tata

cara yang baik, akan tetapi ilmu pengetahuan tidak akan dapat berkembang di

8 H. Said Agil Husin al-Munawwar. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,

(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 181

Page 21: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

9

dalam kerterbatasan manusia itu sendiri.9 Oleh karena hal-hal tersebut, taqlîd atau

mengikuti perilaku, ajaran atau pengetahuan dari orang lain, tanpa mengetahui

terlebih dahulu ilmu yang melatar belakanginya, serta mencari pengetahuan dari

al-Quran dan al-Sunnah menjadi sangat dianjurkan untuk tidak dilakukan sama

sekali.

Kalau sikap taqlîd senantiasa menjadi kebiasaan umat, bagaimana

mungkin umat Islam dapat menjawab tantangan dari kemajaun jaman yang

mengakibatkan terjadinya perubahan. Kehidupan sosial, pemikiran, dan

kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan jaman tersebut. Bila

tidak lagi umat ini mau dengan sadar mencari ilmu, gambaran jauhnya, bagaimana

cara kita untuk mempertahankan agama Islam dan mewujudkan nilai-nilai

kesempurnaan agama ini, bahwa kemajuan dan perubahan itu tidak lantas

berkontradiksi dengan kesempurnaan Islam untuk tetap menjadi agama yang

relevan disetiap tempat maupun zaman.10

Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas. Maka penulis terdorong untuk

menyusun skripsi dengan judul : TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL-

QURAN

9 Fuad Amsary, Mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema Insani

Press, 1997. Jilid I, hal. 192.

10

Muhammad „Imarah. Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur,

M.A, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 238.

Page 22: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

10

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah.

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, banyak

orang yang telah diberi akal oleh Allah SWT tapi tidak menggunakannya, sebab

dengan akal itu seseorang dapat mempelajari terlebih dahulu apa yang diikutinya.

Dengan kelebihan akal itulah Allah SWT memerintahkan untuk berpikir,

belajar dan menelaah apa yang akan diperbuatnya. Dengan menggunakan itu

semua, maka apa yang dilarang seseorang tidak akan menjerumuskanya kepada

kesesatan. Kembali kepada ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya, maka akan

menjadikan seseorang tenang dalam menjalani kehidupannya.

Melihat uraian di atas, maka penulis dapat membatasi permasalahan-

permasalahan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan taqlîd ?

2. Apa saja yang diperbolehkan untuk dijadikan objek taqlîd ?

3. Apa saja yang dilarang untuk dijadikan objek taqlîd ?

Permasalahan taqlîd dapat masuk ke dalam berbagai bidang ajaran agama,

seperti fikih, aqidah dan lain-lain. Melihat hal tersebut dan agar skripsi ini terarah

dan tidak keluar dari tujuan penulis. Maka perlu kiranya penulis merumuskan

masalah yaitu: BAGAIMANA AL-QURAN BERBICARA TENTANG

TAQLÎD DALAM MASALAH AQIDAH ?

Page 23: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

11

C. Tujuan Penulisan.

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah:

a. Memberi pemahaman tentang taqlîd, objek taqlîd yang diperbolehkan

maupun yang dilarang.

b. Untuk memperkaya khazanah keilmuan dibidang agama yang sesuai

dengan pemahaman al-Quran dan al-Hadits.

c. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program strata satu

(S1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif

Hidayatullah dalam meraih gelar S.Th.I (Sarjana Theologi Islam).

D. Metodologi Penulisan.

Dalam melakukan penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis

melakukan pengumpulan data dengan metode penelitian kepustakaan (library

research), yakni mencari dan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan

dalam pokok pembahasan. Pengumpulan data yang penulis lakukan terbagi pada

dua bagian, yaitu melalui data primer dan sekunder. Rujukan yang penulis jadikan

sebagai data primer adalah al-Quran al-Karim, kitab-kitab tafsir al-Quran dan

kitab-kitab hadits.

Adapun acuan sekunder yang dipakai dalam penulisan ini adalah sejumlah

kitab dan buku yang masih berkaitan dengan objek penulisan, seperti kitab-kitab

tafsir tematik, tafsir al-Quran, buku-buku maupun jurnal serta bahan-bahan

rujukkan lain yang relevan dalam pokok masalah yang dibahas. Hal ini

Page 24: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

12

dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap agar dapat

menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting.

Sebagaimana rumusan masalah di atas dan untuk mengetahui kesimpulan

yang akan penulis ambil setelah itu, maka metode yang akan digunakan adalah

metode tematik atau metode maudhû`i yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang

bertemakan taqlîd.

Secara teknis penulisan skripsi ini bersandarkan pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta (2007)” dan Pedoman Buku Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat 2007.

E. Sistematika Penulisan.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan suatu sistematika

yang di dalamnya terdiri dari bab-bab yang satu sama lain saling berhubungan,

yaitu :

Pada bab pertama pendahuluan

Bab ini yang menjadi pengantar umum kepada skripsi. Berisi Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan,

Metodologi Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Pada bab kedua pandangan umum tentang taqlîd.

Pada bab ini penulis mengemukakan tentang definisi taqlîd, kosa kata

taqlîd, dan pembagian taqlîd.

Page 25: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

13

Pada bab ketiga penulis mencoba mengenal lebih jauh tentang tema taqlîd

aqidah dalam al-Quran. Seperti beberapa aspek yang diperintahkan untuk ber-

taqlîd, Aspek-aspek yang dilarang untuk ber-taqlîd dan analisa tentang terma

taqlîd dalam al-Quran.

Pada bab keempat penulis akan mengambil kesimpulan berdasarkan hasil

kajian dari bab kedua dan ketiga serta memberikan saran-saran jika dibutuhkan.

Page 26: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

14

BAB II

PANDANGAN UMUM TENTANG TAQLÎD

A. Definisi Taqlîd

a. Menurut Bahasa

Kata taqlîd berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)

(Qallada – Yuqallidu – Taqlidah)1, sepanjang bahasa artinya bermacam-macam,

menurut letak dan rangkaian katanya, di antaranya adalah : “Menyerahkan –

Menghiasi – Menyelempangkan – Meniru – Menuruti seseorang dan Menerima

Piutang”. Misalnya :

Ia menghiasi leher dengan kalung Ia menyerahkan pekerjaan,

Ia menyelempangkan pedang Ia meniru padanya demikian

. Ia menurut seseorang tentang itu Ia menerima piutang

dari fulan )2.

Ada juga sebagian ulama ahli bahasa yang menjelaskan kata taqlîd diambil

dari kata (Qilâdah) yang artinya kalung atau rantai yang diikatkannya pada

lainya.

1 A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka

Progressif, 2002), h. 1147.

2 KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1989), h. 340.

Page 27: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

15

Dalam bahasa Indonesia kata taqlîd dapat diartikan peniruan, keikutan

atau pegangan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yang sudah, tanpa

mengetahui dasar atau alasan. Ber-taqlîd berarti :

1. Berpegang kepada pendapat ahli hukum yang sudah-sudah.

2. Tunduk atau percaya pada kata orang (mengikuti atau menuruti

orang lain (meladeni).

3. Meniru atau mengikuti suatu paham tanpa mengetahui dalil-dalil

ataupun alasan.3

Kata taqlîd juga sering diartikan mengikuti, kemudian makna kata

mengikuti sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ikut atau turut serta,

ikut-ikutan, mengikuti saja (pikiran, perbuatan orang lain), mengikuti, menurutkan

(sesuatu yang berjalan dahulu, yang telah ada)4

b. Menurut Istilah

Adapun definisi taqlîd menurut istilah, sebagaimana para ulama

memberikan pengertian sebagai berikut :

1. Imam Abu Abdillah Khuwaz Mandad al-Maliki berkata :

“Taqlîd artinya pada syara adalah kembali berpegang kepada

perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya.”

2. Imam al-Ghazali taqlîd adalah :

3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. 1, h. 887.

4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 323.

Page 28: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

16

“Taqlîd adalah menerima perkataan tidak dengan alasan.”

3. Imam ash-Shan’ani berkata :

“Taqlîd adalah mengambil pada perkataan orang lain yang tidak

dengan hujjah.”5

4. Imam as-Syaukani berkata6 :

“Taqlîd ialah menerima pendapat orang yang tidak berdiri

dengannya hujjah.”

5. Abu Hamid dan Abu Mansur 7:

“Menerima suatu ucapan tanpa mengetahui kehujjahan yang

menjelaskan perkataan orang yang di ikutinya.”

6. Abi Zakaria al-Anshori8 :

5 KH. Moenawar Chalil, h. 341.

6 Muhammad bin Ali in Muhammad As-Syaukani, Irsyadul Fuhul, (Jeddah : Al-

haramain, tt) h. 265.

7 Muhammad bin Ali in Muhammad As-Syaukani, h. 265.

8 Abi Zakaria Al-Anshori, Gayat al-Wushul Syarah Lubbu al-Ushul, (Surabaya: Sarikat

Ahmad Bin Saad bin Nababan, tt ), h. 150.

Page 29: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

17

“Mengambil suatu perkataan orang lain tanpa mengetahui

dalilnya.”

7. K. H. Iding Sarhidi

“Menerima perkataan dari orang yang membicarakan tanpa

mengetahui dari apa yang ditanyakannya.”9

8. Abdul Hamid Hakim :

“Menerima perkataan dari orang yang memberikan pembicaraan

dan kamu tidak mengetahui darimana asal (kehujjahan) perkataan orang

tersebut.”10

9. Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman berpendapat bahwa arti dari

taqlîd adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan

cara pengambilan hukumnya (Istinbât al-ahkâm)11

.

10. Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo berpendapat taqlîd adalah12

:

Taqlîd yaitu meniru atau mengikuti faham/ ajaran seseorang dengan tidak

mengetahui dasar, bukti ataupun alasan-alasannya.

9 Iding Sarhidi, Matan Lathaif al-_Irsyaad Fi Fanni Ushul Fiqh, (Jakarta : Sa’adiyah

Putra, tt), h. 32.

10

Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta : Sa’adiyah Putra. tt), h. 21.

11

Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. ttp, h. 409

12

Nogarsyah Moede Gayo, Buku Pintar Islam, Ladangpustaka & Intimedia, Jakarta. tt, H.

447.

Page 30: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

18

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha di dalam kitab al-Manar memberikan

pengertian sebagai berikut: Taqlîd yaitu mengikuti orang terhormat atau

terpercaya dalam suatu hukum dengan tidak memeriksa lagi benar atau salahnya,

baik atau buruknya, manfaat atau madharatnya hukum itu13

.

c. Definisi Operasional

Di atas telah penulis bahas pengertian taqlîd baik dari sisi bahasa mau pun

dari sisi istilah yang banyak dikemukakan oleh para ulama ahli fikih dan telah

penulis ulas secara panjang lebar mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan

masalah taqlîd. Secara teks, al-Quran tidak ada yang mencantumkan sebuah kata

taqlîd atau pun derivasinya, tapi itu bukan merupakan alasan, bahwa pembicaraan

mengenai taqlîd yang diisyaratkan oleh al-Quran itu tidak ada. Oleh karenanya

dibutuhkan sebuah definisi “baru” yang dapat menjembataninya, seperti definisi

operasional.

Definisi operasional adalah semacam petunjuk kepada kita tentang

bagimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional merupakan

informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin melakukan

penelitian dengan menggunakan variabel yang sama. Karena berdasarkan

informasi itu, ia akan mengetahui bagaimana caranya melakukan pengukuran

terhadap variabel yang dibangun berdasarkan konsep yang sama.14

Berdasarkan pengertian dari definisi operasional di atas, penulis akan

mencari variabel yang ada di beberapa ayat yang ada hubungannya dengan taqlîd

13

KH. Moenawar Chalil, h. 342. 14

http://suhartoumm.blogspot.com/2009/07/pengertian-variabel-variabel-definisi_30.html

Page 31: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

19

atau yang bisa dikatakan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang maknanya juga

berbicara tentang taqlîd.

Menurut penulis, ada tiga ayat yang bisa dijadikan dasar untuk

menentukan variabel makna talîd dalam penelitian kali ini, yaitu:

Artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah

diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya

mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang

kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang

mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"

(Q.S al-Baqarah:70)

Artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang

diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya)

mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan

Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan

itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Q.S

Luqman:21) dan

Artinya :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. (Q.S al-Isra:36)

Dari dua ayat pertama dapat digarisbawahi, bahwa orang-orang yang

hanya mengikuti apa “warisan” ajaran nenek moyang mereka, tanpa ada keinginan

mencari tahu sumber pijakan atau dasar dalil yang digunakan oleh para leluhur

mereka itu, dapat dikatakan sebagai orang yang bertaqlîd. Asumsi ini muncul

Page 32: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

20

apabila kedua ayat tersebut dikaitkan dengan definisi taqlîd yang telah penulis

paparkan di atas yang dikuatkan lagi dengan ayat 36 dari surat al-Isra` dan dari

sinilah definisi operasional yang penulis maksudkan diambil.

Dari semua pengertian di atas dapat diambil benang merah dari definisi

taqlîd adalah menerima, mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa

mengetahui landasan dan basis argumentasi yang digunakan.15

Memang dalam

arti taqlîd menurut istilah penulis kebanyakan mengambil referensi dari buku-

buku atau kitab-kitab fiqh, dikarenakan penulis tidak menemukan arti taqlîd

menurut istilah di dalam kitab-kitab tafsir maupun hadis.

B. Kosa Kata Taqlîd dalam al-Quran

Banyak sekali ayat-ayat dalam al-Quran yang berkaitan dengan taqlîd.

Akan tetapi penulis tidak menemukan satu kosa kata taqlîd di dalam al-Quran,

namun terdapat beberapa kata yang maknanya mengacu kepada kata taqlîd, yakni

ittiba`, akhadza, dan taqfu sebagai berikut:

a. Ittiba`

Kata ittiba` berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il) –

(Tabi`a - Taba`an – Watabâ`an – Watabâ`atan) yang artinya mengikuti,

atau menyusul.16

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat

15

Aceng Abdul Aziz, dkk, Islam Ahlussunnah Wal Jama`ah di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Ma`rif NU, 2007), h. 46.

16

A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 128.

Page 33: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

21

170 :

Artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah

diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya

mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang

kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang

mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Dan terdapat juga dalam surat Luqman ayat 21 yang berbunyi :

Artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang

diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya)

mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya".

dan Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun

syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala

(neraka)?

Dan juga terdapat di pertengahan ayat 15 dalam surat Luqman :

Artinya :

.....Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian

hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang

telah kamu kerjakan.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Quran yang menggunakan asal kata

(Tabi`a), yang penulis tidak bisa sebutkan semuanya di dalam skripsi ini.

b. Akhadza

Page 34: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

22

Kata akhadza berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)

ا (Akhadza – Akhdzan – Wata’khâdzan) yang artinya mengambil.17

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yâsîn ayat 74 :

Artinya :

Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka

mendapat pertolongan.

Dan juga dalam surat al-`Ankabût ayat 41 :

Artinya :

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung

selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan

Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau

mereka mengetahui.

Dan terdapat juga pada surat at-Taubah ayat 31 yang berbunyi :

Artinya :

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka

sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih

putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang

Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah

dari apa yang mereka persekutukan.

Dan masih banyak sekali dalam al-Quran yang pada ayat-ayatnya

menggunakan kata yang berasal dari (Akhadza), tetapi di dalam skripsi ini

17

A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 11.

Page 35: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

23

penulis tidak memaparkan semuanya, hanya beberapa permisalan saja.

c. Taqfu

Kata taqfu berasal dari bahasa Arab, ا (Qafâ – Qafwan –

Waqufuwan), yang artinya mengikuti, atau (Qafâ atsarahu :

Tabi`ahu) yang artinya mengikuti, atau (Iqtafâ atsarahu) yang berarti

mengikuti jejaknya atau juga (Taqaffâ bifulânin) yang artinya berlebih-

lebihan dalam menghormatinya18

. berarti mengikuti jejak, kemana orang

pergi, kesanalah juga orang lain mengikuti.19

Sebagaimana Allah SWT berfirman

dalam surat al-Isra’ ayat 36 :

Artinya :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya.

Dalam hal ini, tidak banyak contoh yang penulis berikan, karena penulis

hanya menemukan satu ayat saja di dalam al-Quran yang menggunakan kata yang

berasal dari (Qafâ).

C. Pembagian Taqlîd

Setelah menginventarisir ayat-ayat yang berkaitan dengan tema taqlîd,

18

A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 1144. 19

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1993), Juz. XIII-XIV, h. 64.

Page 36: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

24

untuk mempermudah pembahasan maka penulis mengelompokkannya kepada :

1. Taqlîd yang diperbolehkan

Sebagaimana yang tertuang dalam salah satu kitab karangan Yusuf

Qardhawi (Dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Jihad), secara garis besar

taqlîd terbagi menjadi empat bagian, antara lain :

a. Taqlîd Syakhsi.

Taqlîd Syakhsi adalah taqlîd yang langsung kepada Rasul atau merupakan

bentuk taqlîd terhadap Rasulullah, baik itu perkataan, perbuatan maupun

ketetapannya20

. Hal ini dikarenakan pribadi Rasulullah yang dapat dijadikan suri

tauladan bagi seluruh umat Islam. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat

al-Ahzab ayat 21.

Artinya :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu.

Al-Quran adalah merupakan kitab yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad melalui malaikat Jibril untuk menjelaskan berbagai masalah agama

kepada kaum muslim. Al-Quran mengajarkan kepada setiap muslim untuk

melaksanakan perintah dan menauladani Rasul dengan ikhlas dan sepenuh hati,

dan mengembalikan segala sesuatu permasalahan hanya kepada Allah dan Rasul.

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 59 :

20

Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Ijtihad, h. 16.

Page 37: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

25

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan

Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al

Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada

Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan

lebih baik akibatnya.

Ayat ini diturunkan mengenai Abdullah bin Hudzafah yang keluar

bersama pasukannya. Suatu ketika Abdullah bin Hudzafah marah-marah lalu

menyalakan api dan memerintahkan pasukannya untuk terjun kedalam kobaran

api tersebut, lalu sebagian pasukannya ada yang menolak perintahnya dan adapula

yang hampir terjun. Pada saat itu para pasukan mengalami kebingungan dan

memerlukan petunjuk terhadap apa yang harus mereka lakukan, maka turunlah

ayat ini. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa apabila ada suatu permasalahan diantara

kaum muslimin, maka permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada al-Quran

dan Hadits.21

Dan juga berdasar petunjuk Ilahi, termasuk sunnah Rasul yang

sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat al-Imran ayat 31:

Artinya :

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah

Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."

21

Al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Quran, terj. M.

Abdul Mujieb. AS (ttp. Darul Ihya Indonesia, 1986), h. 163.

Page 38: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

26

Berdasarkan beberapa ayat di atas yang menunjukan bahwa umat manusia

diharuskan mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga hal inilah

yang mewajibkan taqlîd syakhsi.

b. Taqlîd Mutlak.

Taqlîd Mutlak ini adalah bagian dari cara taqlîd (mengikuti) orang lain

atau madzhab tanpa mengikatkan kepada satu madzhab apapun, atau dalam arti ia

tidak terikat kepada satu madzhab saja, ia membebaskan kepada muqallid untuk

mengikuti pendapat mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakuinya22

.

2. Taqlîd yang dilarang

a. Taqlîd Mahdhi

Taqlîd Mahdhi adalah suatu bentuk taqlîd kepada suatu madzhab tertentu

dan menetap tidak berpindah-pindah selama hidupnya. Dalam arti bahwa muqallid

tidak mengikuti atau mengambil pendapat selain daripada imam madzhab yang

dipegangnya, atau boleh diartikan bahwa bentuk taqlîd mahdhi ini adalah bentuk

keterikatan pada satu madzhab saja.

b. Taqlîd Jamid

Taqlîd Jamid adalah merupakan bentuk ekstrim dari taqlîd mahdhi yakni

taqlîd atau keterikatan kepada suatu madzhab tertentu secara fanatik. Taqlîd ini

hanya mengikuti pendapat satu madzhab saja dan menganggap pendapat satu

madzhab saja dan menganggap pendapat madzhab lain salah. Disisi lain ia

menganggap bahwa hanya pendapat madzhabnya yang paling benar. Hal ini

22

Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Ijtihad, h. 16.

Page 39: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

27

bertentangan dengan semangat taqlîd, yakni harus mengikuti pribadi Rasulullah.

Akan tetapi yang terjadi ia mengikuti pendapat salah seorang imam madzhab saja

dan menganggap madzhab lain adalah salah. Taqlîd ini juga bertentangan dengan

ijma’ sahabat, tabi’in dan para mujtahid golongan salaf.23

Manusia tidak boleh mengikuti apa-apa yang telah diambil dari kebiasaan

atau perbuatan leluhurnya. Karena leluhurnya belum tentu atau bahkan tidak

mendapatkan petunjuk dari Allah SWT mengenai perbuatan yang mereka lakukan

itu. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 170 :

Artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah

diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya

mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang

kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang

mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat

petunjuk?".

Mengikuti orang tua adalah sesuatu yang wajar, bahkan merupakan

sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia, khususnya ketika ia masih kecil. Saat

itu boleh jadi ia mengikuti atau meniru sebagian dari apa yang dilakukan ayah

atau ibunya, atau bahkan kakek dan neneknya. Tetapi para orang tua tidak

mustahil keliru dalam tindakkannya, baik akibat kelengahan, kebodohan, atau

keterpercayaan oleh syetan. Buktinya ada yang dilakukan kakek neneknya yang

tidak dilakukan ayah dan ibunya. Saat itu seorang anak bisa bingung. Nah, dari

sini Allah SWT dari saat kesaat mengutus para Nabi membawa petunjuk-

23

Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taklid dan Ijtihad, h. 17.

Page 40: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

28

petunjuk-Nya untuk meluruskan kekeliruan serta mengantar kejalan yang benar.

Dari sini juga, setiap ajaran yang dibawa oleh para Nabi tidak membatalkan

semua tradisi masyarakat, tetapi ada yang dibatalkannya, ada yang sekedar

diluruskan kekeliruannya, disamping ada juga yang dilestarikan. Pembatalan,

pelurusan, dan pelestarian itu, ketiganya termasuk dalam apa yang dinamai “apa

yang di turunkan Allah SWT.”

Di sisi lain manusia mengalami perkembangan dalam pemikiran dan

kondisi sosialnya. Ilmu pengetahuan yang diperolehnya pun dari saat ke saat

bertambah, atau harus diluruskan. Itu semua melahirkan perubahan. Perubahan ini

menuntut pula perubahan tuntunan, yang sedikit atau banyak berbeda dengan

tuntunan yang pernah diberikan kepada orang tua. Tuntunan Ilahi, atau nilai-nilai-

Nya yang mengandung perubahan itu, termasuk juga dalam pengetian “ apa yang

di turunkan Allah”.

Dari sini sungguh keliru bila ada yang menjawab “Kami hanya mengikuti

apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Karena tidak

satu generasipun yang dapat luput dari kesalahan, sebagaimana tidak ada generasi

yang tidak mengalami perubahan.

Kekeliruan ucapan itu lebih jelas lagi jika orang tua dan nenek moyang

mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan akal sehat atau

tuntunan petunjuk Ilahi, yakni tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak juga

mendapat petujuk. Itulah yang dimaksud dengan penutup ayat ini “apakah mereka

akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu

apapun, dan tidak mendapat petunjuk?

Page 41: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

29

Ayat ini memberi isyarat bahwa tradisi orang tua sekalipun, tidak dapat

diikuti kalau tidak memiliki dasar-dasar yang dibenarkan oleh agama, atau

pertimbangan akal yang sehat. Jika demikian, kecaman ini tertuju kepada mereka

yang mengikuti tradisi tanpa dasar, bukan terhadap mereka yang mengikutinya

berdasar pertimbangan nalar, termasuk di dalamnya yang berdasar ilmu yang

dapat dipertanggung jawabkan.24

sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat

al-Maidah ayat104 :

Artinya :

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang

diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah

untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya".

dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun

nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)

mendapat petunjuk ?.

Ayat ini bukan berarti bahwa bila mereka memiliki pengetahuan, maka

mereka boleh mengikuti kesesatan orang tua mereka. Pengetahuan dan kesesatan

adalah dua hal yang bertolak belakang dan tidak mungkin dapat bertemu,

sehingga bila mereka mengikuti orang tua mereka, pastilah mereka tidak memiliki

pengetahuan. Ayat di atas menggunakan redaksi demikian untuk mencatat

kemanfaatan yang menyelubungi keadaan mereka, yaitu kebodohan dan kejahuan

petunjuk Ilahi25

.

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran),

Jakarta : Lentera Hati, 2002, h. 381-383.

25

M. Quraish Shihab,

Page 42: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

30

BAB III

TAQLID AKIDAH DALAM AL-QURAN

Pada bab kedua, penulis telah menjelaskan panjang lebar mengenai

definisi taqlîd, baik secara bahasa atau pun istilah, sesuai dengan apa yang

dibicarakan oleh ahli bahasa. Di dalam pembahasan tersebut, sangat jelas bahwa

kegiatan ber-taqlîd merupakan hal negatif sehingga menjadikan orang yang

melakukan taqlîd adalah orang-orang yang dianggap bodoh dan jauh dari ilmu

serta pemahaman yang mendalam, karena tidak mau menggunakan akalnya untuk

memikirkan ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi.

Selain terjerumus ke “jurang” kebodohan, ber-taqlîd juga memiliki dampak

negatif, bukan hanya kepada orang tersebut sebagai personal, akan tetapi

berdampak kepada hal yang lebih besar lagi, yaitu kemunduran bagi umat Islam,

sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh dalam bukunya Risalah

Tauhid.

“dan benarlah ucapan yang mengatakan: bahwa taqlîd itu, sebagaimana ia

terdapat dalam perkara yang hak, yang memiliki nilai manfaat. Tentu ia datang

juga dengan membawa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan

sendiri merasakan keberatan terhadapnya, karena memang taqlîd itu tidak

membawa kepada kemajuan terhadap umat Islam ”1

Menurut penulis, “label” muqallid kepada seseorang yang melakukan

taqlîd tidak mesti menjadikan orang tersebut dianggap bodoh, malah justru

sebaliknya, dia adalah termasuk orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi di

1 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, penerjemah: Firdaus A.N., (Jakarta: Bulan

Bintang, 1963), h. 17

Page 43: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

31

hadapan Allah swt, karena mengikuti setiap perintah dan larangan Allah SWT

yang tercatat di dalam al-Quran. Dan dia juga termasuk orang-orang yang

menjaga diri dari kesalahan dalam memahami setiap hukum yang di-syari`at-kan

oleh Allah SWT dan rasul-Nya dengan mengikuti apa yang dikatakan oleh orang

yang ahli dibidangnya, seperti menentukan hukum-hukum. Walaupun Abdullah

bin Baz melarang keras perbuatan tersebut. Dia mengatakan “ilmu yang dimiliki

oleh seorang imam yang empat atau yang lain, mutlak tidak wajib mengikutinya,

karena kebenaran itu ada pada mengikuti al-Quran dan al-Sunnah, bukan ber-

taqlîd kepada seorang manusia”.2

Bagi penulis, pandangan Abdullah bin Baz tersebut sangat berbahaya,

kerena semua orang akan dapat menentukan hukum-hukum Islam semaunya

mereka, tanpa dasar pengetahuan sama sekali. Dan orang yang mengatakan,

bahwa “praktek taqlîd dapat mengakibatkan terhambatnya dinamika pemikiran

sebagai alat pencari kebenaran”3. Tidak perlu diterima juga secara mentah-

mentah, karena dalam satu kondisi taqlîd itu diperlukan dan dalam kondisi yang

lain tidak diperlukan.

Melihat posisi seorang muqallid yang berada di antara makna kebodohan

dan kemuliaan dikarenakan ber-taqlîd. Oleh karenanya harus ada sebuah garis

pembeda yang jelas di antara keduanya. Sehingga akan mudah diketahui mana

yang berada dalam kebodohan dan mana yang berada dalam kemuliaan. Dan

untuk mengetahui garis pembeda tersebut, dapat ditentukan dari, kepada siapa

2 Muhammad Ibn Hadi al-Madkhali, al-Iqna` bimâ jâ a `an aimmati al-da`wah min al-

aqwâl fi ittibâ`, penerjemah: Abu Ismail Fuad (Yogyakarta: Pustaka al-Haura, 2006), t.t.h, h. 117

3 Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, editor: Abdul

Munir Mulkhan, (Yogyakarta: SIPRES, 1999), cet 1, h. 4

Page 44: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

32

seorang muqallid itu bersandar dan berpegang dalam menjalankan nilai-nilai

agama.

Dengan demikian, agar lebih jelas siapa yang harus diikuti dan siapa yang

harus dijauhi. Maka penulis membagi hal tersebut kedalam dua aspek, yaitu antara

perintah dan larangan ber-taqlîd beserta poin-poinnya yang akan dipaparkan

sebagaimana berikut:

A. Aspek yang diperintahkan dalam ber-taqlîd

1. Taqlîd kepada perintah Allah atau al-Quran

Di bagian awal pendahuluan dalam buku Mazhab Tafsir, Ignaz Goldziher

mengatakan “Setiap arus pemikiran yang muncul dalalam perjalanan sejarah Islam

senantiasa cenderung mencari mencari justifikasi kebenaran bagi dirinya pada

kitab suci ini (al-Quran) dan menjadikan kitab ini sebagai sandaran untuk

menunjukkan kesesuaian pemikirannya dengan Islam dan dengan apa yang

dibawa Rasulullah saw.”4 Begitulah kitab Suci Al-Quran yang merupakan otoritas

tertinggi dalam Islam. Ia adalah sumber fundamental bagi akidah, ibadah, etika

dan hukum.5

Ucapan Ignaz tersebut di atas, bagi penulis adalah sebuah bukti bahwa al-

Quran akan terus menjadi sebuah rujukan baik dari awal kemunculannya sampai

hari kiamat nanti. Di balik itu semua, al-Quran ternyata memiliki daya tarik

tersendiri yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain, seperti Taurat, Injil dan Jabur.

Daya tarik inilah yang membuat al-Quran selalu ingin dikaji dan digali makna-

4 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, Penerjemah: M. Alaika

Salamullah dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet, 3, h. 3

5 Muhammad Abdul Halim, Menafsirkan al-Quran dengan Al-Quran, (Bandung: Nuansa,

2008) cet, 1, h. 21

Page 45: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

33

maknanya, baik oleh kalangan Islam maupun kalangan non Islam yang disebut

orientalis.

Al-Quran dengan segala makna yang terkandung di dalamnya, ternyata

tidak hanya memancarkan daya tariknya pasa saat sekarang saja, akan tetapi pada

awal kemunculannya daya tarik itu telah terpancar yaitu dari gaya bahasa yang ia

tampilkan. Di Mekkah wahyu yang diturunkan dinominasi oleh surat-surat yang

ber-ayat pendek yang di dalamnya tidak terkandung hukum syari`at, berita ghaib

dan sudah barang tentu tidak mengandung semua keistimewaan yang tersebar di

dalam al-Quran secara lengkap? Begitulah yang ditanyakan oleh Said Qutb, lalu ia

pula yang menjawabnya, “Sesungguhnya surat-surat pendek ini telah mempesona

orang-orang arab sejak detik pertamanya, padahal di dalamnya tidak terkandung

ketetapan hukum syariat dan tidak pula tujuan-tujuan yang besar. Tetapi, justrus

surat-surat pendek inilah yang memukau perasaan mereka dan membuat mereka

terkagum-kagum kepadanya.

Kalau demikian, berarti sudah pasti bahwa surat-surat yang pendek ini

telah mengandung unsur pemikat yang memukau para pendengarnya, dan

mengalahkan semua orang, baik yang mukmin maupun yang kafir. Apabila

pengaruh al-Quran diperhitungkan sebagai faktor utama yang menggiring orang-

orang kafir masuk Islam, maka tidak salah lagi, surat-surat pendek ini mempunyai

andil yang besar betapa pun jumlah kaum muslimin masih sedikit pada masa itu,

Page 46: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

34

demikian itu karena kebanyakan dari mereka itu terpengaruh oleh al-Quran

semata lalu mereka mau beriman”.6

Terlepas dari daya tarik al-Quran yang mengagumkan di atas yang dapat

diketahui dari berbagai macam arah disiplin ilmu pengetahuan yang menurut

penulis adalah sebuah “kemasan” yang sangat apik agar manusia mau menjadikan

al-Quran sebagai pegangan hidup dan menjadikan Allah SWT sebagai satu-

satunya Tuhan yang wajib diibadahi. Selain itu juga, pada prinsipnya semua isi al-

Quran mulai dari surat al-Fâtihah sampai al-nâs, menurut penulis kesemuanya

akan mengerucut kepada penegasan peng-esa-an Allah SWT, bahwa hanya Dia-

lah Tuhan yang wajib disembah dan juga ditaati dengan berbagai macam bentuk

dan cara ketaatan. Sebuah contoh, ketika seseorang yang mengamalkan sepotong

ayat dari al-Quran dan tentu adalah orang yang beriman kepada Allah SWT yang

mana ayat tersebut tidak ada kalimat perintah secara eksplisit, hal itu menandakan

bahwa dia telah melakukan taat kepada Allah SWT. Seperti ia ingin mengamalkan

ayat yaitu ingin termasuk menjadi orang-orang

bertaqwa, kalimat “lilmuttaqîn” adalah kalimat berita sekaligus memiliki isyarat

kalimat perintah agar umat manusia khususnya umat Islam harus menjadi orang-

orang bertakwa sedangkan perintah tersebut harus ditaati.

Sebagaimana prinsip dasar yang telah penulis kemukakan tadi, dan ayat-

ayat yang berbicara tentang keharusan patuh kepada setiap perintah dan larangan

Rasul, keharusan bertanya kepada ahl Dzikr, meninggalkan ketergantungan taqlîd

6 Sayyid Qutb, Keindahan al-Quran yang Menabjubkan, penerjemah: Bahrun Abu Bakar,

(Jakarta: Robbani Press, 2004), cet 1,h. 29

Page 47: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

35

kepada nenek moyang, ruhbân, kesyirikkan dan juga kepada ketergantungan

terhadap informasi yang tidak berdasar sama sekali yang akan dibahas pada poin-

poin selanjutnya, menurut penulis adalah ayat-ayat yang secara tidak langsung

memerintahkan, agar patuh kepada Allah SWT.

2. Taqlîd kepada Rasulullah

Tidak sempurna keimanan seseorang yang hanya mengaku beriman

kepada Allah tanpa mengaku akan kenabian Muhammad saw. selain itu juga ia

tidak mau mengikuti semua yang dibawa oleh baginda Rasul. Apabila kejadianya

seperti itu, maka dengan demikian keimanannya tertolak dan sudah pasti dia

masih tetap berada dalam jurang kekufuran. Karena firman Allah:

Artinya:

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan

ingkar terhadap sebahagian yang lain? (QS. al-Baqarah: 85)

Sebuah pertanyaan inkari dari Allah kepada orang-orang Israil tentang

penerimaan dan penolakan mereka terhadap sebagian ayat-ayat yang ada di dalam

Taurat. Pertanyaan ini pun juga diajukan kepada orang-orang yang mengaku

beriman kepada Allah dan tidak mau mengikuti perintah Rasul. Karena apabila

seseorang yang mangaku beriman kepada Allah tetapi dia tidak beriman kepada

Nabi Muhammad s.a.w dalam artian tidak mau mengikuti ajaran-ajaran beliau

dengan alasan merasa cukup dengan berpegang teguh terhadap al-Quran saja.

Perbuatan seperti ini sama seperti memilah-milah ayat dan beriman kepada ayat

satu dan tidak beriman kepada ayat yang lain. Sebagaimana diketahui banyak

ayat-ayat dalam al-Quran sendiri terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang

Page 48: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

36

perintah untuk mentaati setiap para rasul, khususnya Nabi Muhammad saw,

seperti ayat berikut ini:

Artinya:

Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati

dengan seizin Allah (QS: al-Nisa: 64)

Membaca arti dari ayat di atas, sangat mudah memahami maksud ayat

tersebut, akan tetapi alangkah lebih baik, jika melihat apa dan bagaimana

pandangan para mufassir terhadap ayat tersebut. Penulis memulai dengan

pendapat Al-Baidâwî: “ ” memahami ayat ini

dia mengatakaan “dengan sebab izin Allah SWT utusan tersebut ditaati dan Allah

SWT juga memerintahkan kepada orang atau kelompok yang diutus agar

menataati dia. Ini adalah dasar dalil untuk menolak orang-orang yang tidak mau

berhukum dengan apa yang telah Ia tetapkan”7.

Sama halnya Al-Baidâwî, al-Râzî dengan “spirit” makna yang tak jauh

berbeda juga memahami demikian ayat tersebut. tetapi point plus-nya al-Râzî

dalam kitab tafsirnya Mafâtih al-Ghaib, secara langsung mengkritik alira-aliran

kepercayaan yang berkembang pada masanya, yaitu, dengan mengutip apa yang

telah dikatakan `Alî al-Jabâî, bahwa makna ayat tersebut (seolah-olah Allah

mengatakan) “Saya tidak mengutus seorang rasul kecuali saya berkeinginan agar

dia itu ditaati serta diakui kebenarannya dan saya tidak mengutusnya agar

dilanggar.” Dan masih menurut al-Jabâî, ia mengatakan “dan ini adalah petunjuk

7 Al-Badâwî, tafsîr al-Badâwî, juz 1, h. 468

Page 49: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

37

akan kesesatan kelompok al-Mujabbarah yang mengatakan: Allah SWT mengutus

seorang rasul agar tidak ditaati, dan ketidaktaatan menunjukan bahwa mereka

kekal di dalam kekufuran. Jadi dalam ayat ini Allah telah mencatat kebohongan

mereka, walaupun di dalam al-Quran tidak secara jelas menunjukkan batalnya

ucapan mereka, akan tetapi ayat ini telah mencukupinnya. Kelompok al-

Mujabbarah juga mengatakan “diutusnya seorang rasul agar ditaati sekaligus

dilanggar” hal tersebut menunjukkan kemaksiatan mereka kepada rasul, adalah

sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah SWT dan Allah tidak menginginkan

kecuali Ia ditaati.8

Ayat-ayat yang berhubungan dengan taqlîd kepada Rasulullah

a. Nabi sebagai penjelas al-Quran

Tugas Nabi Muhammad saw sebagai seorang utusan, tidak hanya sebatas

menyampaikan pesan-pesan Allah kepada umat manusia. Dia juga bertugas

menjelaskan apa yang yang sekiranya belum dipahami oleh para pengikutnya.

Tugas inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surat al-Nahl ayat 44 yang

berbunyi:

Artinya:

Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kami menerangkan

kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan

supaya mereka memikirkan. QS. al-Nahl, 44

Ayat 44 dari surat al-Nahl di atas sangat berkaitan erat dengan ayat

sebelumnya, yaitu ayat 43 yang berbunyi:

8 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 264

Page 50: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

38

Artinya:

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang

lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada

orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.

Al-Qurtubî mejelaskan bahwa, ayat tersebut di turunkan untuk orang-

orang musyrik Mekkah yang ingkar akan kenabian Muhammad saw., lalu mereka

berkata “Allah sangatlah Maha Agung untuk mengutus seorang manusia (kepada

kami), kenapa Allah tidak mengutus seorang malaikat saja?”. Untuk membantah

mereka, maka Allah menurunkan ayat tersebut

Adapun makna kalimat , menurut al-Qurtubî yaitu

seolah-olah Allah mengatakan “Hai Muhammad! Kami tidak mengutus kepada

umat-umat terdahulu, kecuali seorang utusan yang berasal dari kalangan bangsa

Adam sendiri. Dengan demikian, ini merupakan sebuah berita bahwa semua

utusan Allah adalah manusia biasa.9 Bagi penulis sendiri, diutusnya seorang

utusan yang berasal dari kalangan manusia adalah anugerah dan rahmat yang tak

terhingga. Bisa dibayangkan, seandainya utusan itu adalah malaikat yang tidak

makan, tidak minum, tidak tidur, tidak ada rasa lelah dalam beribadah dan umat

manusia disuruh untuk mengikuti segala tindak tanduk malaikat tersebut, sudah

tentu sebagai manusia yang memiliki batas jenuh tanaga, tidak akan mampu

mengikutinya.

Melanjutkan penjelasan ayat 44 dari surat al-Nahl, ketika Allah mengutus

Nabi Muhammad saw ke tengah-tengah umatnya, Dia juga membekalinya dengan

9 Al-Qurtubi, Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`an, Muhaqqiq: Hisyâm Samîr al-Bukârî (Riyad, dâr

„âlam al-kutub, 2003), juz 10 h. 108

Page 51: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

39

kitab agar bisa dijadikan pegangan dan petunjuk dalam meniti jalan menuju-Nya.

kitab tersebut bernama al-Quran yang memiliki nama lain yaitu, al-Dzikr

(pengingat). Dan tugas dari baginda Rasul adalah menjelaskan setiap makna ayat-

ayat dari al-Quran.

Berkaitan dengan tugas untuk menjelaskan ayat-ayat yang diemban oleh

Rasulullah. Pada saat sampai di firman Allah “ ” al-Qurtubî

mengatakan: “di dalam al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang

hukum-hukum, janji, ancaman, apa yang engkau ucapkan dan engkau lakukan,

maka Rasul saw menjelaskan tentang apa yang Allah swt maksudkan yang masih

bersifat global baik itu ayat-ayat tentang hukum-hukum, salat zakat dan lain-lain

yang belum ada perinciannya”10

Artinya:

Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu kitab, kecuali agar

engkau menjelaskan kepada mereka hal-hal mereka perselisihkan, serta

sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.QS. al-anhl:

64

Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad saw: ”kami tidak mengutus

engkau hai Muhammad (dengan membawa kitab yang telah ada padamu) sebagai

seorang Rasul kepada hamba-hamba kami, kacuali engkau menjelaskan kepada

mereka apa yang perselisihkannya, berkaitan dengan masalah agama Allah,

sehingga mereka mengetahui kebenaran antara yang hak dan yang batil dan

10

Al-Qurtubi, Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`an (Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003), juz 10 h. 109

Page 52: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

40

mereka juga dapat berdiri di atas kebenaran dari bukti-bukti kebenaran Allah yang

dengannya Dia telah mengutusmu”11

Dan adapun firman Allah swt “ ” yaitu bahwa kitab

tersebut atau al-Qur‟an adalah sebagai penjelas, sehingga nampak mana yang

sesat dan itu merupakan sebuah rahmat bagi orang-orang yang beriman kepadanya

Diantara tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan-baik dengan lisan

maupun perbuatan-hal-hal yang masih global dan sebagainya di dalam al-Quran.

Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt, tentu saja penjelasan terhadap isi

al-Quran itu bukanlah sekedar membaca. Banyak ayat-ayat al-Quran yang

memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw.12

b. Rasul sebagai seorang yang patut diteladani

Artinya:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasullah itu suri teladan yang

baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat dan

kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah. QS.al-Ahzâb:21

11

Abû Ja‟far Al-Tabarî,Jâmi‟ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad

Muhammad Syâkir (Muassasah al-Risâlah, 2000) cet 1, juz 17, h. 236

12

MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa

Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),cet, 4, h.27

Page 53: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

41

Artinya:

Dari Sa‟ad Ibn Hisyâm dia berkata, “Aku pernah mendatangi „Âîsyah dan

bertanya kepadanya, hai Umm al-Mu‟minîn ceritakan kepadaku mengenai akhlak

Rasulullah saw, lalu beliau menjawab: Akhlak Rasul adalah al-Qur`an. Apakah

kamu tidak membaca firman Allah di dalam al-Qur‟an { dan

aku pun berkata lagi, sesungguhnya aku ingin membujang selamanya, lalu

„Âîsyah menjawab “jangan kamu melakukan itu, apakah kamu tidak membaca

firman Allah di dalam al-Quran?”

Sungguh Rasul saw juga menikah dan juga memiliki ana. Riwayat Ahmad

c. Rasulullah Wajib Ditaati

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-

Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu

mendengar (perintah-perintah-Nya), QS. al-anfâl:20

Membahas firman Allah ,al-Qurtubîî

mengatakan “Objek yang diajak pada ayat tersebut adalah orang-orang mukmin

dan kelompok yang memeiliki derajat al-Musaddiqîn. Dan mereka adalah satu-

satunya khitâb selain kelompok munafik, karena Allah ingin mengagungkan

mereka. Allah memperbaharui perintah kepada mereka agar mematuhi Allah dan

Rasul dan melarang mereka untuk berlaing darinya” menurut al-Qurtubî, apa yang

dia kemukakan di atas sesui dengan pandangan juhûr ulama ahli tafsir. Tetapi ada

Page 54: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

42

sebagain kelompok yang berpandangan lain, mereka mengatakan “khitâb atau

seruan ajakan dari ayat tersebut, objeknya adalah orang-orang munafik. Jadi

seolah-olah maksud ayat itu berbunyi: Hai orang-orang yang hanya beriman

dengan lisan mereka saja”. Pendapat kelompok ini, dibantah oleh Ibn „Atiyyah,

dia mengatakan ”seandainya pandangan dari kelompok tadi maknanya adalah

bagian dari ayat itu, maka ini merupakan pandangan yang lemah, karena Allah

swt mensifati orang yang menjadi ojek seruan dengan kata-kata iman, dan iman

sendiri adalah membenarkan. Sedangkan orang-orang munafik tidak memiliki

sifat itu sama sekali”13

Artinya:

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah

mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka

Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. QS. al-

Nisa:80

Mengenai ayat al-Alusi mengatakan, “ini

adalah penjelasan hukum tentang risalah Rasul saw, sebuah jejak penjelas yang

sangat nyata. Hal tersebut sangat perlu, karena yang memerintah dan melarang

pada hakekatnya adalah hak progratif Allah swt. Sedangkan Rasul sendiri sekadar

menyampaikan apa yang diperintah dan dilarang, maka bukanlah disebut harus

taat kepada diri Rasul, akan tetapi harus taat kepada Dzat yang telah menyuruhnya

untuk menyampaikan.”14

13

Al-Qurtubi, Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`an (Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003), juz 7, h. 387

14

Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 4. H.

148

Page 55: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

43

Melihat pemaparan al-Alusî, penulis memahami bahwa yang dimaksud taat

kepada Rasul adalah bukan taat kepada seseorang yang bernama Muhammad Ibn

Abdullah, akan tetapi ketaatan itu dilihat dari sisi Muhammad Ibn Abdullah yang

berposisi sebagai seorang Rasul atau utusan Allah.

Sejarah banyak berbicara yang direkam di dalam hadis-hadis Nabi, bahwa

tidak semua perintah yang di ucapkan Rasul kepada para sahabat-sahabatnya itu

dituruti oleh mereka, seperti contoh dalam hadis yang diriwayat oleh imam

Ahmad.

Artinya:

Dari „Âîsyah r.a. (dia bercerita): (pada suatu waktu) Usâmah

tergelincir atau terjatuh di depan pintu dan Rasulullah saw. menyuruh

saya “(hai „Âîsyah) bersihkan kotoran itu dari wajahnya!!” (karena merasa

jijik) maka saya menolak permintaan beliau. Lalu Rasul saw, mencuci

wajahnya sambil berkata: “bila Usâmah seorang perempuan, aku akan

menghiasinya dengan perhiasan-perhiasan dan akan mengeluarkan uang

untuknya”

Dari hadis di atas dapat dilihat, bahwa penolakan „Âîsyah atas perintah

Rasul bukanlah sebuah bentuk pembangkangan terhadap utusan Allah, karena

dalam seperti kasus di atas, posisi Muhammad Ibn Adullah bukan berstatus

Page 56: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

44

sebagai seorang Rasul, akan tetapi seorang manusia biasa yang berperan sebagai

suami bagi bunda „Âîsyah.

Masih melanjutkan penjelasan al-Alûsi, dia mengatakan “dalam sebagian

riwayat yang bersumber dari Muqâtil, bahwa Nabi saw bersabda: Siapa yang

mencintaiku maka dia telah mencintai Allah Ta`âla dan siapa yang taat kepadaku

maka dia telah taat kepada Allah, mendengar sabda tersebut, orang-orang

munafik pun berkata: apakah kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan

oleh laki-laki ini? Uncapan yang mendekati kesyirikan. Dia melarang untuk tidak

menyembah kepada selain Allah, (tapi lihat ) apa yang dia mau? Dia ingin kami

menjadikannya sebagai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Umat Nasranî

terhadapa „Îsâ „Alaihi al-Salâm, maka turunlah ayat tersebut.15

Berkaitan dengan surat al-Nisâ` ayat 80 di atas, sebelumnya pada surat Alu

„Imrân ayat 31, Allah swt telah memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan

sebagaimana firman-Nya:

Artinya:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,

niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S Alu „Imrân: 31

Mengenai penjelasan ayat ini, penulis akan mengutip penafsirannya

Wahbah al-Zuhailî. Dia mengatakan “bentuk cintanya Allah terhadap hamba-Nya

adalah dengan memberikannya nikmat berupa ampunan, karena pada tempat lain,

15

Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 4. H.

148

Page 57: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

45

yakni dalam surat al-Rûm ayat 45 Allah telah berfirman

(artinya: sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir) yang maksudnya

yaitu: Allah tidak akan mengampuni mereka.16

Dalam ayat ini, lanjut wahbah, Allah mengatakan “katakan kepada

mereka hai Muhammad, jika kalian benar-benar cinta kepada Allah dan berharap

pahala darinya, maka kerjakan setiap apa yang telah Allah turunkan melalui

wahyu, yakin Allah akan meridoi dan mengampuni kalian, dengan kata lain kalian

akan mendapatkan hal yang lebih besar atas cinta kalian kepada Allah, yaitu

berupa cinta Allah kepada kalian dan ini adalah lebih besar dari yang pertama”17

Telah panjang lebar penulis mengutip ayat-ayat Allah tentang keharusan

mengikuti Rasul beserta penafsiran para ulama mengenainya. Untuk menguatkan

hal tersebut, maka penulis juga membawakan firman Allah, yang dengan tegas

memerintahkan:

Artinya:

Apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu maka

terimalah (kerjakanlah) ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka

tinggalkanlah QS. al-Hasyr:7

Perintah untuk ber-taqlîd kepada Rasul sudah sangat jelas termaktub

dalam al-Qur`an. Lalu apa balasan bagi orang taat kepada Rasul?. Menjawab

pertanyaan ini sekaligus mengakhiri pembahasan taqlîd kepada Rasul, sekali lagi

16

Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 3, h. 206

17

Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 3, h. 207

Page 58: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

46

penulis akan mengutip apa yang telah dikatakan oleh ar-Razî, ketika dia

menafsirkan firman Allah yang berbunyi:

Artinya:

Dan barang siapa yang mengikuti Allah dan Rasul-Nya, mereka itu

akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh

Allah, yaitu para nabi, para shiddiqîn, orang-orang yang mati syahid dan

orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-

baiknya.QS. al-Nisa: 69

Ketahuilah, bahwa ketika Allah memerintahkan untuk taat kepada Allah

dan al-Rasûl dengan berfirman

59 ] kemudian diulangi lagi dengan berfirman

[ } 64 setelah itu, Allah memberikan kabar gembira atas ketaatan itu

pada surat yang sama di ayat selanjutnya dengan berfirman:

}66 68

18

Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 273

Page 59: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

47

Setelah berbicara panjang lebar mengenai sebab-sebab turunnya dari tiap-

tiap ayat diatas19

, al-Razî lalu mengatakan dengan mengutip perkataan para

peneliti hadis pada masanya “kami tidak mengingkari sahihnya riwayat-riwayat

ini, karena ada hal yang lebih besar dari penyebab turunnya sebuah sebuah ayat,

yaitu taat kepada utusan dan kabar gembira bagi yang mentaatinya. Engkau telah

mengetahui bahwa khususnya sebab tidak merusak ke umuman lafaz. Dan ayat ini

sangatlah umum untuk setiap para mukallaf, yakni, setiap orang yang taat kepada

Allah dan al-Rasûl , maka akan bahagia dengan derajat yang tinggi dan

kedudukan yang mulia di sisi Allah ta`âlâ”

3. Taqlîd kepada ahl-Dzikr

Bertaklîd kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban yang tak bisa

ditawar-tawar lagi, semuanya tersebar di dalam al-Quran dan terekam di dalam

kitab-kitab hadis. Tetapi, tidak semua orang mampu untuk memahami, paling

19

Berikut ini, penulis mengutip perkataan al-Razî secara lengkap, berkaitan dengan

sebab-sebab turunnya ayat yang ia maksud:

س جع اىفسش أ ثبب ى سسه الله : الأه : رمشا ف سبب اىزه جب

صي الله عي سي مب شذذ اىحب ىشسه الله صي الله عي سي قيو اىصبش ع ، فأحب ب قذ حغش

ج حو جس عشف اىحز ف ج ، فسأى سسه الله صي الله عي سي ع حبى ، فقبه ب

سسه الله ب ب جع غش أ ئرا ى أسك اشخقج اىل اسخحشج حشت شذذة حخ أىقبك ، فزمشث

اخشة فخفج أ لا أساك بك ، لأ ئ أدخيج اىجت فأج حن ف دسجبث اىب أب ف دسجت اىعبذ

ئ بسب : قبه اىسذ : اىثب . فلا أساك ، ئ أب ى أدخو اىجت فحئز لا أساك أبذا ، فزىج ز ات

. ب سسه الله ئل حسن اىجت ف أعلاب ، ح شخبق اىل ، فنف صع؟ فزىج ات : الاصبس قبىا

ب سسه الله ئرا خشجب : زىج ف سجو الاصبس قبه ىيب صي الله عي سي : قبه قبحو : اىثبىث

عذك ئى أبىب اشخقب اىل ، فب فعب شء حخ شجع اىل ، ث رمشث دسجخل ف اىجت ، فنف ىب

بشؤخل ئ دخيب اىجت؟ فأزه الله ز ات ، فيب حف اىب صي الله عي سي أح الاصبس ىذ

اىي أع حخ لا أس شئب بعذ ئى أ : ف حذقت ى فأخبش بث اىب صي الله عي سي ، فقبه

ئ اىإ : قبه اىحس : اىشابع . أىقب ، فع نب ، فنب حب اىب حبب شذذا فجعي الله ع ف اىجت

بىب ل ئلا اىذب ، فبرا مبج اخشة سفعج ف الأى فحز اىب صي الله عي : قبىا ىيب عي اىسلا

سي حزا ، فزىج ز ات

20 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 273

Page 60: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

48

tidak mendekati kebenaran apa yang dimaui oleh Allah dan juga Rasul-nya.

Ketidak mampuan ini yang mengharuskan seseorang bertanya kepada orang yang

memang berkompoten dalam bidangnya. Firman Allah swt

Artinya:

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang

lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada

orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Q.S. al-

Nahl:43

Menafsirkan ayat ini, terutama mengenai kalimat al-

Tabarî dalam tafsirnya mengutip beberapa riwayat yang menceritakan makna dari

ayat tersebut. agar tidak teralu panjang penyebutan para perawinya, maka di sini,

penulis hanya akan merangkum apa yang telah ditulis oleh al-Tabarî. Jadi yang

dimaksud ahl Dzikr adalah: ahl al-Taurâh dan ahl Injîl atau ahl al-Kitâb.

Kemudian al-Tabarî menceritakan: “ketika Allah menjadikan Muhammad sebagai

seorang rasul, orang-orang Arab pada waktu itu mengingkarinya atau ada di

antara mereka ada yang mengingkarinya, lalu mereka berkata:Allah sangat

Agung untuk menjadikan manusia seperti Muhammad sebagai utusan-Nya” untuk

membantah ucapa mereka, maka Allah menurunkan ayat:

Bertanyalah kepada ahl al-Dzikr yaitu para ahli kitab terdahulu, apakah

para utusan yang telah datang kepadamu adalah manusia ataukah malaikat.

Page 61: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

49

Apabila mereka terbukti malaikat, maka kalian boleh mengingkari dan apabila

mereka adalah manusia, maka janganlah kalian mengingkari Muhammad sebagai

seorang utusan.21

Sejalan dengan Abû Ja‟far Al-Tabarî, Al-Alusi mengatakan, bahwa yang

dimaksud ahl Dzikr dalam surat al-Nahl ayat 43 di atas adalah ahlul kitab dari

kelompok Yahudi dan Nasrani, dan ini adalah pendapat yang ia kutip dari Ibn

Abbâs, al-Hasan dan lain-lain.22

Akan tetapi berbeda halnya dengan al-Qurtubî

setelah mengutip pendapatnya Ibn Abbâs dan Mujâhid, yang berpendapat bahwa,

makna ahl al-Dzikr adalah ahl-Al-Qur`an dan pendapat sebagian kelompok yang

menafsirkan ahl al-Dzikr sebagai ahl al-„Ilm. Melihat kedua pendapat tersebut, al-

Qurtubî mengatakan “bahwa kedua makna tersebut tidak jauh berbeda”23

Mengetahui sebab turunnya ayat sangatlah perlu, karena dengan begitu,

akan menguatkan pemahaman terhadap makna-makna yang terkandung di dalam

al-Quran. Ini merupakan pendapat Abû al-Fath al-Qusyairî yang dikutip oleh al-

Zamakhsyarî dalam kitabnya al-Burhân.24

Penulis tidak menolak pendapat di atas, akan tetapi ketika melihat

kenyataan bahwa al-Qur‟an diperuntukan kepada seluruh manusia, dari zaman

ketika diturunkannya sampai hari kiamat nanti, maka penulis lebih cenderung

kepada makna ahl al-Dzikr sebagai ahl „Ilm. Karena ahl „Ilm bentuknya lebih

21

Abû Ja‟far Al-Tabarî,Jâmi‟ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad

Muhammad Syâkir (Muassasah al-Risâlah, 2000) cet 1, juz 17, h. 209

22

Lihat tafsir al-alusi, juz 10 hal. 171

23

Al-Qurtubi. H. 108

24

Al-Zamakhsyarî, al-Burhân, juz 1, h. 32

Page 62: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

50

umum dan berlaku sampai sekarang dari pada memakai makna ahl Kitab.

Sehingga wajar imam al-Suyûtî lebih memilih makna yang diambil dari

keumuman lafaz (ayat) dari pada makna yang diambil dari sebab turunnya ayat

yang bersifat khusus.25

B. Aspek yang dilarang dalam ber-taqlid

1. Taqlîd kepada tradisi nenek moyang

(170)

Artinya:

Dan apabila dikatakan kepda mereka: “ikutilah apa yang telah

diturunkan Allah,” mereka menjawab: “tidak, kami akan tetap mengikuti

apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami” (apakah

mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak

mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?

Menurut al-Tabarî yang dimaksud oleh firman Allah dalam kalimat:

” yaitu seolah mengajak “Amalkanlah oleh kalian apa-apa yang

telah Allah turunkan di dalam kitabnya kepada rasulnya, oleh karenanya,

halalkanlah apa yang ia halalkan dan haramkanlah apa yang ia haramkan dan

jadikanlah ia sebagai imam yang kalian ikuti dan tetap mengikuti apa yang telah ia

hukumi”26

Lebih lanjut al-Tabarî mengatakan, “orang-orang kafir itu apabila diajak,

makanlah dari apa-apa yang telah Allah halalkan kepada kalian dan jauhilah

25

Al-Suyûtî, al-Itqân fî al-„Ulûm al-Qur`an, muhaqqiq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm

(Mesir: al-Hai`ah al-Misriyyah al-„Âmah lil kutub, 1973), juz 1, h. 110

26

Muhammad Ibn Jarâr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, muhaqqiq:

Ahmad Muhammd Syâkir, (Muassasah al-Risalah, 2000)cet, 1 juz 3 h. 306

Page 63: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

51

langkah-langkah syaitan serta jalan-jalannya. Dan beramalah dengan apa yang

telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya saw di dalam kitab-Nya (al-Quran).

Mereka itu membangkang atas seruan kebenaran lalu berkata “tidak!! Kami turut

dan mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami, kami akan

menghalalkan apa yang mereka halalkan dan mengharamkan apa yang mereka

harmkan juga”27

Adapun ayat Menurut al-Tabarî yaitu: nenek moyang

orang-orang kafir tersebut yang telah lebih dulu kafir kepada Allah Yang Maha

Agung yaitu mereka tidak mengetahui tentang agama Allah dan

kefarduan-kefaduannya, baik itu berupa perintah maupun larangannya, walaupun

demikian mereka tetap mengikuti laku, perbuatan dan jalan hidup mereka, orang-

orang yang tidak mendapat petunjuk dan juga tidak bisa memberikan petunjuk

kepada orang lain. Berdasarkan ayat ini, Allah seperti “mengejek” mereka dengan

berkata “Hai manusia, bagaimana kalian mau mengikuti mereka dengan keadaan

mereka seperti itu?”28

2. Larangan mengikuti mengikuti ajaran Ruhbân

Penulis sebelumnya telah membicarakan kebolehan untuk bertanya kepada

orang yang lebih ahli di bidangnya, jika mengikuti bahasa yang dipakai al-Qur‟an

yaitu ahl Dzikr, ketika seseorang merasa tidak mampu dalam menyelesaikan

27

Muhammad Ibn Jarâr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 3 h 307

28

Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 3 h 307

Page 64: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

52

permasalahannya, lalu tumbuh menjadi sebuah tanda tanya besar di pikirannya

yang tak berkesudahan, apabila tidak ditanyakan.

Kebolehan ini tidak berarti memilik nilai bebas untuk mengikuti setiap

ucapan dari seorang ahli atau pun seorang ulama, atas jawaban dari pertanyaan

tersebut, sehingga kepada hal yang bertetangan dengan akal sehat dan juga

batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Isyarat agar tidak mengikuti ucapan atau fatwa-fatwa yang bertentangan

dengan ketentuan dasar al-Qur‟an dan al-Hadîts, dapat dilihat dari bagaimana

Allah menceritakan, kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengikuti

setiap perkataan ulama-ulama meraka, walaupun itu menyalahi kitab-kitab mereka

sendiri. Dan ini adalah bentuk lain dari kesyikirikan29

, Firman Allah:

Artinya:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka

sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih

putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang

Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah

dari apa yang mereka persekutukan.(Q.S al-Taubah: 31)

Ahbâr adalah sebutan bagi ulama Yahudi, sedangkan Ruhbân adalah

ulama Nasrani30

mereka merupakan orang-orang yang dipercayakan ber-ijtihâd

dalam urusan keagamaan.31

Kata ruhbân adalah bentuk jamak dari kata râhib

yang berarti orang-orang yang takut, karena saking takutnya, mereka

29

Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 7, h. 186

30

Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 7, h.

210.

31

Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 17, h. 208

Page 65: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

53

meninggalkan kesibukan urusan dunia, menjauhi kenikmatan-kenikmatan,

melakukan zuhud, uzlah dan ada pula sebagian dari mereka melakukan keberi,

juga menyiksa diri dengan cara mengikat rantai di leher mereka dan penyiksaan-

penyiksaan lain. Maka dari sinilah alasan Rasul mengatakan “tidak ada kerahiban

di dalam Islam”32

Pada ayat 31 dari surat al-Taubah tersebut, Allah swt menyamakan

mengikuti ucapan para ahbâr serta ruhbân dan mentuhankan nabi „Îsâ adalah

salah satu bentuk penyekutuan terhadap Allah. Ucapan yang dimaksud adalah

sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabarî dalam tafsirnya yaitu:

Artinya:

Kata al-Tabari, teleh bercerita kepada kami Abû Kuraib dan Ibn

Wakî‟, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Mâlik Ibn

Ismâ;il=

Telah bercerita kepada kami Ahmad Ibn Ishaq, dia berkata: telah

bercerita kepada kami Abu Ahmad= Yang semuanya bersumber dari Abd

32

Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 7, h.

210.

Page 66: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

54

Al-Salâm Ibn Harb, dia berkata telah bercerita kapada kami Ghatîf Ibn

A‟yun dari Mus‟ab Ibn Sa‟ad dari „Adî Ibn Hâtim dia berkata: “Saya

pernah mendatangi Rasulullah saw, dan saya waktu itu sedang memakai

kalung salib emas dileher saya, lalu Rasul bersabda: Hai „Adî buang

berhala itu dari leher kamu, kemudian saya membuangnya. Pada saat itu

juga, beliau membaca surat al-Barâ‟ah (al-Taubah) yaitu ayat ini:

(mendengar ayat tersebut, dengan

maksud protes) saya berkata kepada beliau: Hai Rasulullah, kami tidak

menyembah mereka, lalu Nabi menjawab: bukankah mereka

mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan kalian pun ikut

mengharamkannya dan mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan

oleh Allah dan kalian juga ikut menghalalkannya? Lalu aku menjawab, ya

benar. Terus Nabi bersabda “Nah, itulah bentuk Ibadah mereka”33

Menurut pandangan wahbah Zuhailî, Mereka melakukan hal tersebut,

karena untuk meninggalkan hukum-hukum Allah. Seperti diketahui, bahwa orang-

orang Yahudi telah mencampur hukum-hukum buatan ulama-ulama mereka ke

dalam taurat, sedangkan orang-orang Nasrani telah merubah hukum-hukum dalam

kitab taurat, lalu membuat hukum-hukum baru dalam bidang ibadah dan

muamalah.34

33

Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 17, h. 210

34

Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 7, h. 183

Page 67: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

55

3. Taqlîd kepada kesyirikan

Syirik merupakan kebalikan dari iman kepada ke-Tuhan-an Allah swt. Apabila

iman merupakan peng-esa-an Allah, maka beribadah semata-mata karena Allah

adalah sesuatu sangat penting dan sangat besar.35

Dalam urutan tingkatan dosa,

Syirik berada di posisi pertama dan teratas yang pelakunya tidak akan diampuni

oleh Allah swt sebagaimana Firman-Nya;

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia

mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang

dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka

sungguh ia telah berbuat dosa yang besar Q.S al-Nisâ: 48

Pada ayat lain, Allah mengkisahkan cara luqmân mendidik anaknya.

Pelajaran pertama yang ia kasih adalah jangan sekali-kali mensektukan Allah,

karena perbuatan demikian merupakan suatu kezaliman yang sangat besar, Firman

Allah:

Artinya:

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia

memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu

mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah

benar-benar kezaliman yang besar" Q.S Luqmân: 13

35

Abd al-„Azîz Ibn Muhammad Âlu „Abd al-Tîf, al-Tauhîd li al-Nâsyi‟ah wa al-

Mubtadi`în, (Mekkah: Wizârah al-Syu`ûn wa al-Auqâf wa al-Da`wah al-Irsyâd, 1422H), cet, 1, h.

37

Page 68: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

56

Mengetahui betapa besarnya dosa perbuatan syirik, seseorang yang apa

bila diajak untuk melakukannya maka wajib dia menolaknya, walaupun itu orang

tuanya sendiri. Penegasan ini telah ditetapkan oleh Allah, masih dalam Surat

Luqmân sebagaimana berikut.

Artinya:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan

aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah

kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan

baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya

kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah

kamu kerjakan Q.S Luqmân 15

4. Taqlîd “buta” tanpa dasar informasi yang benar

Pada bagian keempat ini, merupakan poin kunci seluruh pembahasan yang

berkaitan dengan taqlîd, baik itu berupa kewajiban ber- taqlîd maupun

larangannya. Karena pada dasarnya, seseorang itu dituntut untuk mencari ilmu

pengetahuan agar keimanannya kepada Allah serta cara beribadah kepada-Nya

tetap terjaga dan dia juga tidak terjerumus kepada jurang kebodohan.

Untuk mencapai ilmu dan pengetahuan, Allah telah memberikan bekal

untuk hal itu, berupa pendengaran, penglihatan dan hati. Yang mana dengan

mendengar kita dapat memperoleh pengetahuan, begitu juga dengan analisis

penglihatan dan penelitian, sampai pada tingkat supranatural, maka disitu peran

hati yang dominan. Dan orang yang tidak menggunakan bekal tersebut, akan

mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, sebagaimana Firman Allah.

Page 69: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

57

Artinya:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Q.S al-Isrâ‟ : 36

Al-Alûsi dalam menafsirkan ayat di atas, telah mengutip riwayat Ibn Jarîr

dan selainnya yang bersumber dari Qatâdah, ia berkata: bahwa maksuf ayat ini

adalah jangan mengatakan kamu telah mendengar padahal kamu tidak mendengar

dan juga jangan kamu katakana kamu telah melihat pada kenyataannya kamu

tidak melihat. Kemudian dia berkesimpulan, bahwa lafaz dari ayat tersebut

sangatlah umum yang mencakup kesemua bidang. Maka tidak ada makna yang

menunjukkan untuk ber-taqlîd. 36

C. Analisa Term Taqlîd dalam al-Quran

Telah diulas pada poin-poin di atas mengenai siapa yang wajib untuk di

taqlîdi dan yang dilarang. Kini sampai kepada menganalisa lebih jauhlagi

mengenai term taqlîd yang terdapat didalam al-Quran yang mencakup semua

pembahasan larangan ber-taqlîd yang sebenarnya selain dari definisinya yang

telah dibicarakan pada bab kedua.

Penulis melihat adanya benang merah dari ayat-ayat yang berbicara

tentang larangan mengikuti ajaran-ajaran nenek moyang yang tidak bisa

dipertanggungjawabkan keabsahannya, larangan untuk ikut kepada setiap fatwa-

fatwa kebolehan dan pelarangan yang “ditelorkan” oleh para ahli juru fatwa dari

kalangan Yahudi dan Nasrani, di samping ketidak bolehan mengikuti kesyirikan

dan informasi yang tidak jelas asal-usulnya.

36

Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 10,

h.452

Page 70: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

58

Benang merah ini muncul bukan hanya dari para pelaku taqlîd itu sendiri,

akan tetapi juga bersumber dari orang-orang yang di- taqlîdi, asumsi penulis

tersebut bersandar dari apa sebenarnya yang melandasi para pelaku taqlîd untuk

melakukannya dan para muqallid dengan keadaan sadar membiarkan mereka,

yang tanpa ada perasaan akan mempertanggungjawabkan sama sekalidihadapan

Allah SWT. landasan dominan yang mengitari hari mereka adalah hawa nafsu.

Sebagaimana firman Allah SWT.:

Artinya:

Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan

(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah

kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya

(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan

kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".

Membahas dan mendikusikan ayat di atas, al-Baghawi mengatakan,

adapun firman Allah yang berbunyi : { }

Maksudnya adalah janganlah kalian melewati batas (yang telah ditentukan

oleh Allah SWT dengan cara) berlebih-lebihan atau mengurangi sesuatu yang

telah dibatasi, keduanya merupakan perbuatan yang sangat dicela dalam agama.37

Dan sudah barang tentu, perbuatan yang dicela oleh Allah adalah hal yang

bertolak belakang atau bertentangan dengan-Nya. Inilah yang dimaksudkan ;oleh

37

Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, muhaqqiq: Muhammad `Abdullah al-Namr (Dar-

al-Taybah:1997) Cet. 1, Juz. 8, h. 3

Page 71: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

59

al-Baghawî tentang makna dari kalimat Selanjutnya kalimat (

al-ahwâ` adalah Jamak dari kata hawâ`, yaitu sesuatu yang

menunjukan akan adanya dorongan terhadap keinginan Syahwat.39

Ketika sampai

pada kalimat al-Baghawi mengatakan, yaitu mereka adalah para

pemimpin dari kelompok Yahudi dan Nasrani, akan tetapi objek yang diajak

becara adalah orang-orang yang ada pada masa Rasullulah, mereka dilarang untuk

mengikuti tindak tanduk leluhur-leluhur (yang sesat) sehingga mereka

menyesatkan banyak orang yang mengikuti mereka

Surat al-Maidah ayat 77 dan penjelasan Al-Baghawî tentangnya sudahlah

merangkum apa yang penulis maksudkan dengan ayat yang secara global

membicarakan larangan bertaqlid terhadap orang-orang yang sesat lagi

menyesatkan, dikarenakan mengikuti keinginan atau hawa nafsu mereka dalam

menjalani semua ritual-ritual keagamaan.

Pada ayat lain, Allah mensifati orang-orang yang mengikuti hawa nafsu

mereka sebagai orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya, orang-orang yang

38

Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3

39

Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3

40

Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3

Page 72: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

60

tidak beriman kepada hari kiamat dan juga mereka mempersekutukan Allah. Ayat

yang penulis maksud adalah sebagaimana yang tertera di bawah ini.

Artinya :

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa

nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-

Nya. dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan

meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan

memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka

mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dan hal yang sangat mendasi larangan bertaqlid adalah karena orang-

orang tersebut telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan mereka dengan

mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsu-nafsu rendah mereka.

Page 73: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

61

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di akhir bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan dari apa yang telah

dibahas yang berkaitan dengan Taqlîd, yaitu:

1. Definisi Taqlid

Sepanjang bahasa Arab Taqlîd bermacam-macam, menurut letak dan

rangkaian katanya, di antara adalah : “Menyerahkan – Menghiasi – Meniru –

Menuruti seseorang dan Menerima Piutang”. Misalnya : Ia menghiasi leher

dengan kalung ( ) Ia menyerahkan pekerjaan, ) . Ia

menyelempangkan pedang () Ia meniru padanya demikian (

ا ). Ia menurut seseorang tentang itu ) , Ia menerima piutang dari

fulan ( ).

Adapun dalam bahasa Indonesia kata taqlîd dapat diartikan peniruan,

keikutan atau pegangan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yang sudah,

tanpa mengetahui dasar atau alasan.

Secara terminologi taqlîd adalah menerima, mengambil atau mengamalkan

pendapat orang lain tanpa mengetahui landasan dan basis argumentasai yang

digunakan.

Page 74: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

62

Di samping (2) dua definisi di atas, penulis juga menggunakan definisi

operasional.

Definisi operasional adalah semacam petunjuk kepada kita tentang

bagimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional merupakan

informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin melakukan

penelitian dengan menggunakan variabel yang sama. Karena berdasarkan

informasi itu, ia akan mengetahui bagaimana caranya melakukan pengukuran

terhadap variabel yang dibangun berdasarkan konsep yang sama

2. Kosa Kata Taqlîd

Di dalam al-Quran penulis tidak menemukan kosa kata taqlîd, tetapi

penulis menggunakan kata yang artinya serupa, seperi kata Ittiba’, Akhadza,

Taqfu.

Secara teks, al-Quran tidak ada yang mencantumkan sebuah kata taqlîd

atau pun derivasinya, tapi itu bukan merupakan alasan, bahwa pembicaraan

mengenai taqlîd yang diisyaratkan oleh al-Quran itu tidak ada

3. Pembagian Taqlîd

A. Taqlîd yang diperbolehkan

a. Taqlîd Syakhsi

Taqlîd Syakhsi adalah taqlîd yang langsung kepada Rasul atau

merupakan bentuk taqlîd terhadap Rasulullah, baik itu perkataan,

perbuatan maupun ketetapannya.

b. Taqlîd Mutlak

Page 75: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

63

Taqlîd Mutlak ini adalah bagian dari cara taqlîd

(mengikuti) orang lain atau madzhab tanpa mengikatkan pada satu

madzhab apapun, atau dalam arti ia tidak terikat kepada suatu madzhab

saja, ia membebaskan kepada muqallid untuk mengikuti pendapat

mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakuinya.

B. Taqlîd yang dilarang

a. Taqlîd Mahdhi

Taqlîd Mahdhi adalah suatu bentuk taqlîd kepada suatu

madzhab tertentu dan menetap tidak berpindah-pindah selama hidupnya.

Dalam arti bahwa muqallid tidak mengikuti atau mengambil pendapat

selain daripada imam madzhab yang dipegangnya, atau boleh diartikan

bahwa bentuk taqlîd mahdhi ini adalah bentuk keterikatan pada satu

madzhab saja.

b. Taqlîd Jamid

Taqlîd Jamid adalah merupakan bentuk ekstrim dari taqlîd

mahdhi yakni taqlîd atau keterikatan kepada suatu madzhab tertentu secara

fanatik. Taqlîd ini hanya mengikuti pendapat satu madzhab saja dan

menganggap pendapat satu madzhab saja dan menganggap pendapat

madzhab lain salah. Disisi lain ia menganggap bahwa hanya pendapat

madzhabnya yang paling benar. Hal ini bertentangan dengan semangat

taqlîd, yakni harus mengikuti pribadi Rasulullah. Akan tetapi yang terjadi

ia mengikuti pendapat salah seorang imam madzhab saja dan menganggap

Page 76: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

64

madzhab lain adalah salah. Taqlîd ini juga bertentangan dengan ijma’

sahabat, tabi’in dan para mujtahid golongan salaf

Pada bab III penulis mengulas tentang poin-poin yang memperbolehkan

atau kepada siapa saja manusia diharuskan dan dilarang untuk bertaqlîd. Sehingga

penulis dapat mengambil benang merah dari pembahasan mengenai taqlîd.

Benang merah ini muncul bukan hanya dari para pelaku taqlîd itu sendiri,

akan tetapi juga bersumber dari orang-orang yang di- taqlîdi, asumsi penulis

tersebut bersandar dari apa sebenarnya yang melandasi para pelaku taqlîd untuk

melakukannya dan para muqallid dengan keadaan sadar membiarkan mereka,

yang tanpa ada perasaan akan mempertanggungjawabkan sama sekali dihadapan

Allah SWT. landasan dominan yang mengitari hari mereka adalah hawa nafsu.

B. Saran-saran

Apa yang penulis bahas di dalam skripsi ini, masih sangat jauh dari

kesempurnaan, terutama yang berkaitan dengan taqlîd dan penulis sadar akan hal

itu.

Akan lebih baik, jika ada yang ingin meneliti lebih jauh tentang

pembahasan taqlîd agar tertutup ketidaksempurnaan penulis, karena di sana masih

ada mutiara yang belum terungkap tuntas. Wallahu `alam.

Page 77: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

65

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Tîf, Abd al-‘Azîz Ibn Muhammad Âlu ‘al-Tauhîd li al-Nâsyi’ah wa al-

Mubtadi`în, (Mekkah: Wizârah al-Syu`ûn wa al-Auqâf wa al-Da`wah al-

Irsyâd, 1422H), cet, 1.

Abduh, Muhammad Risalah Tauhid, penerjemah: Firdaus A.N., (Jakarta: Bulan

Bintang, 1963),

Al-Baghdadi, Mahmud al-Alusyi. Ruhul Ma`ani Fi Tafsiri al-Quran al-`Azhim

Wa as-Sab`u al-Matsani, (Bairut : Darul Fikri), jilid 8.

Alusî, Al- Rûh al-M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz

4

Amsary, Fuad Mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema

Insani Press, 1997. Jilid I.

Anshori, Al- Abi Zakaria Gayat al-Wusul Syarah Lubbu al-Ushul, (Surabaya:

Sarikat Ahmad Bin Saad Bin Nababan), tt.

Azami, MM. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa

Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),cet, 4

Azhar, Muhammad dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, editor:

Abdul Munir Mulkhan, (Yogyakarta: SIPRES, 1999), cet 1

Aziz, Aceng Abdul dkk, Islam Ahlussunnah Wal Jama`ah di Indonesia, (Jakarta :

Pustaka Ma`rif NU, 2007)

Baghawî, Al-Ma`âlim al-Tanzîl, muhaqqiq: Muhammad `Abdullah al-Namr (Dâr-

al-Taybah: 1997) cet. 1

Chalil, KH. Moenawar Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, (Jakarta :

Bulan Bintang, 1989)

Gayo, Nogarsyah Moede Buku Pintar Islam, Ladangpustaka & Intimedia, Jakarta.

tt

Goldziher, Ignaz Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, Penerjemah: M.

Alaika Salamullah dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet, 3

Hakim, Abdul Hamid Mabadi Awaliyah, (Jakarta : Sa’adiyah Putra. tt),

Halim, Muhammad Abdul Menafsirkan al-Quran dengan Al-Quran, (Bandung:

Nuansa, 2008) cet, 1

Page 78: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

66

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1993), Juz. XIII-XIV.

Hanbal, Ahmad Ibn Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Muhaqqiq: Syu`aib al-

Arnâut, dkk. (Muassasah ar-Risâlah: 1999)

http://suhartoumm.blogspot.com/2009/07/pengertian-variabel-variabel-

definisi_30.html

`Imarah, Muhammad Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah

Maufur, M.A, (Jakarta: Robbani Press, 1998)

Madkhali, Muhammad Ibn Hadi al- al-Iqna` bimâ jâ a `an aimmati al-da`wah

min al-aqwâl fi ittibâ`, penerjemah: Abu Ismail Fuad (Yogyakarta:

Pustaka al-Haura, 2006), t.t.h

Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. ttp,

Munawwar, al- H. Said Agil Husin Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).

Munawwir, A. W. al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka

Progressif, 2002),

Qardhawi, Yusuf Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam (Tâqlid dan Ijtihad),

Qayyim, Al-Imam Ibn Risaalah At-Taqliid, terj. Ibn Ibrahim (Jakarta : Pustaka

Azzam, 2000), cet. 1

Qurtubi, Al- Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an (Riyad, dâr ‘âlam al-kutub, 2003), juz 10

Qutb, Sayyid Keindahan al-Quran yang Menabjubkan, penerjemah: Bahrun Abu

Bakar, (Jakarta: Robbani Press, 2004), cet 1

Ramli, Muhammad Syauman ar- Keajaiban Membaca al-Quran, terj. Arif

Rahman Hakim, Lc, (Sukoharjo: Insan Kamil, 2007)

Sarhidi, Iding Matan Lathaif al-_Irsyaad Fi Fanni Ushul Fiqh, (Jakarta :

Sa’adiyah Putra, tt)

Setyawan, Palgunadi T. Daun Berserakan (Sebuah Renungan Hati), Jakarta :

Gema Insani Fress, 2004,

Shihab, M. Quraish Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran),

Jakarta : Lentera Hati, 2002.

Suyûtî, Al- al-Itqân fî al-‘Ulûm al-Qur`an, muhaqqiq: Muhammad Abû al-Fadl

Ibrâhîm (Mesir: al-Hai`ah al-Misriyyah al-‘Âmah lil kutub, 1973), juz

1.

Page 79: JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN …

67

Suyuti, Al-Imam Jalaluddin as- Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Quran, terj.

M. Abdul Mujieb. AS (ttp. Darul Ihya Indonesia, 1986)

Syaukani, Muhammad bin Ali in Muhammad As- Irsyadul Fuhul, (Jeddah : Al-

haramain, tt)

Tabarî, Al- Abû Ja’far Jâmi’ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad

Muhammad Syâkir (Muassasah al-Risâlah, 2000) cet 1, juz 17

Thabrani, Sulaiman bin Ahmad Abu Qasim al- al-Mu’jam al-Kabîr, (Ttp.:

Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikm, 1983), Jil. 10

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. 1

Zuhailî, Al- Wahbah at-Tafsir al-Munir (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) Jus III