perkembangan hadits

Upload: misrah-djaka

Post on 13-Jul-2015

405 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

A.

Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW. Periode ini disebut Ashr Al-wahyi wa At-taqwin (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal, af al, dan taqrir) Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur an untuk menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat islam. Periode ini berlangsung cukup singkat sekitar 23 tahun mulai beliau diangkat menjadi Rasul sampai wafat pada tahun 11 H; para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pernyataan para sahabat. Adapun penerimaan secara langsung adalah mendengar dari sahabat lain atau dari utusan-utusan, baik utusan yang dikirim Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.[1] Ada beberapa cara Rasul SAW. Menyampaikan hadis kepada para sahabat yang di sesuaikan dengan kondisi mereka: 1. Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis al-ilmi. 2. Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikan kepada orang lain. 3. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada dan futuh makkah. 4. Melaui perbuatan langsung yang di saksikan oleh para sahabatnya ( jalan musyahadah ), seperti yang berkaitan dengan praktik ibadah dan muamalah.[2] Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh ( dimansukh ) dengan hadis yang member izin yang dating kemudian. Ketika Rasulullah wafat, al-Qur an telah dihafal dengan sempurna oleh sahabat, selain itu ayat-ayat alQur an talah lengkap di tulis, tapi belum dikumpulkan dalam bentuk sebuah mushaf, adapun hadis belum memiliki perhatian dalam penulisannyaketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya al-Qur an, penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak ada perintah Rasul, sebagaimana Beliau memerintahkan mereka untuk menulis al-Qur an.[3] Diantara sahabat-sahabat Rasulullah memiliki catatan hadis Rasul, di antaranya yaitu Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang bernama As-Sadiqah, sebagian sahabat ada yang keberatan dengan beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda: Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hapuslah (HR. Muslim) Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah. Wahai Rasulullah. Engkau memerintahkan menulis kepadaku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.dalam riwayat lain disebutkan, menulis kamu kepada Abu Syah. Kemudian Nabi member izin menulis hadis secara umum, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, Rsulullah bersabda:[4] Tulislah apa yang kamu dengar dariku, Demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran . Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah : a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur an dan hadits Rasul bagi orangbaru masuk Islam. orang yang

b. c.

Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela ah Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja[5]

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rsulullah tidak menghalang usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi, mereka memahami hadis Rasul SAW. Diatas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah di tujukan kepada mereka yang khawatir mencampur adukkan hadis dengan alQur an, sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadis dengan al-Qur an, oleh karena itu, setelah al-Qur an ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan menulis hadis.[6] Pada masa Nabi SAW. Sudah ada sahabat Nabi yang bisa baca tulis akan tetapi masih sangat sedikit, oleh karena itu Nabi menerangkan untuk menghafal, memahami, mematenkan, dan mengamalkna hadits pasa kehidupan sehari-hari. Diantara nama sahabat yang menulis hadits, antara lain: 1. Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah. 2. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain 3. Anas Ibn Malik.[7] B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Periode ini disebut Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan mengeditkan riwayat). Nabi SAW. Wafat pada tahun 11 hijriah. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua dua pegangan sebagai dasar bgi pedoman hidup, yaitu Al-Qur an dan Hadits (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tersebut secara terbatas. Penulisan hadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi, bahkan Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan menekankan agar sahabat mengerahkan perhatiannyauntuk menyebarluasakan Al-Qur an. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadits, yaitu: 1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi 2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal asli dari Nabi SAW.[8] Setelah daerah islam meluas yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun 93 H, meluas hingga spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, sehingga banyak sahabat yang menyebar ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadits kepada sahabat yang lain.[9] C. Hadits Pada Masa Tabien Mereka dengan setia mengikuti jejak langkah sahabat sebagai guru mereka. Walaupun Al-Qur an berhasil dibukukan secara resmi pada masa sahabat, bukan berarti persoalan yang dihadapi para tabien tidak begitu hebat. Pada masa tabien muncul persoalan baru baru yaitu masalah pergolakan politik sebagai akibat dari perpecahan kaum muslimin setelah perang shiffin yang berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H. Pada masa al-Khalafa al-Rasyidin, para sahabat ahli hadits banyak yang menyebar ke berbagai daerah kekuasaan islam. Hal ini merupakan kesempatan bagi para tabien untuk memperoleh hadist dari mereka. Apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, kekuasaan islam membentang dari perbatasan Cina (tahun 96) bagian timur ke Spanyol (tahun 93) bagian barat termasuk Afrika bagian utara, seperti Mesir, Tunis, Libia,Al-jazair dan Maroko. Sejalan dengan pesatnya perluasan kekuasaan

Islam, maka pengiriman atau penyebaran para sahabat ke berbagai daerah juga semakin tinggi. Secara otomatis penyebaran hadits juga semakin meningkat. Mereka sangat tekun dan gigih dalam melaksanakan dan mengemban tugas sucinya dengan mendirikan masjid sebagai pusat kegiatannya. Dari sana mereka menyebarkan ajarannya , mengajarkan Al-Qur an dan hadits. Sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap tinggal bersama kaumnya di daerah-daerah tertentu. Yang pada akhirnya daerah/kota-kota tersebut menjadi pusat ilmu pengetahuan.[10] D. Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselanggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadits dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulakn dalam buku-buku hadits dari para perawinya, ada kemungkinan hadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghafanya kealam barzakh. Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H), untuk membukukan hadits Rasul.[11] Disamping itu, Umar mengirimkan surat secara khusus kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Syihab AzZuhri, kemudian Sihab Az-Zuhri memulai melaksanakan perintah khalifah tersebut, dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.[12] Adapun sistematika penulisan kitab hadis mereka ialah dengan menghimpun hadis-hadis yang tergolong dalam satu munasabah, atau hadis-hadis yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya dihimpun dalam satu bab, kemudian di susun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Para ulama abad kedua membukukan hadits tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadits-hadits saja, tetapi fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya. Oleh karena iu, dalam kitab-kitab itu terdapat hadits-hadits Marfu , hadits-hadits Mauquf, dan hadits-hadits Maqthu . Kitab hadits seperti itu dan mudah kita dapatkan adalah Al-Muwaththa, susunan Imam Malik. Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi hadits dan dalam masa ini telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh Farh Wata dil, di antaranya adalah Syu ban Ibn Al-Hajjaj (160 H), Ma mar, Hisyam Ad-Dastaway (154 H), Al-Auuza i (156 H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), dan masih banyak tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik, Yahya Ibn Sa id Al-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-tsauri, Ibnu Uyainah, Syu ban Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman Ibn Mahdi, Al-Auza i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi i. Abad ketiga Hijriah ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani Abbas, muncul periode seleksi hadis karena pada periode sebelumnya, yakni periode takwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu dari hadis marfu , begitu pula belum bias memisahkan beberapa hadis dhaif dari yang sahih.[13] Pada abad ini merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadits, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syaratsyarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulamapun melakukan hal-hal berikut:

1. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain. 2. Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadits yang dha if yakni dengan men-tashih-kan hadits.[14] Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. AlBukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jamius Shahih.[15] Pembukuan hadis sahih pada prinsipnya dimaksukan untuk menambah kedhabitan hadis dan ketelitian disamping sebagai wujud pengabdian terhadap sunah Rasul.[16]Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.[17] Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H)[18] Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab alMuwaththa karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu Abdullah bin Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)[19] kitab-kitab itu kemudian dikenal dikalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah. Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas sebagai berikut: 1. Al-Jami ash Shahih susunan Al-Bukhari. 2. Al-Jami ash Shahih susunan Muslim. 3. As-Sunan susunan Abu Daud. 4. As-Sunan susunan At-Turmudzi. 5. As-Sunan susunan An-Nasa i. 6. As-Sunan susunan Ibn Majah.[20] E. Perkembangan Hadits Abad IV hingga Tahun 656 H Periode abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdid wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-fami . Setelah abad ketiga berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari Mutaakhirin . Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddiman.

Di antara usaha-usaha ulam hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: 1. Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. 2. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam 3. Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab 4. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab Athraf.[21] Pada periode ini muncul usaha-usaha Istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadits dari Al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya denga sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim. Pada peiode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syaratsyarat Bukhari dan Musliim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai Mustadrak. Di antaranya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar AlHarawy.[22]

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Keberadaan hadits dimulai sejak keberadaan Nabi Muhammad SAW. Beliau meriwayatkan hadits kepada para sahabatnya, sejak saat itulah sumber hukum kedua muncul, perkembangan hadits sejak zaman Nabi ke Zaman sahabat ke zaman tabien dan seterusnya berkembang dengan pesat dan baik, banyak para sahabat dan tabien yang berpindah tempat untuk menemukan/mengetahui hadits Rasul yang telah tersebar. Pada zaman sahabat hadits belum dilakukan secara resmi karena mereka masih memfokuskan terhadap pelafalan, penghafalan, dan pembukuan Al-Qur an. Setelah pada masa tabien, hadits mulai dibukukan secara resmi dan perkembangan dalam penulisan hadits semakin baik. Meski pada saat itu pengumpulan hadits masih belum terdapat penyaringan antara hadits shahih, daif, mudu , dan sebagainya sampai pada abad kedua hijriah. Banyak para ulama yang mempelajari hadits dan membuat kitab hadits dan pada zaman ketiga hijriah mulailah ada penyaringan hadits yang pertma kali dilakukan oleh Imam Bukhari. Beliau menulis hadits shahih saja dalam bukunya Al-Janius Shahih dan disusul muridnya Muslim serta para ulama yang lain. Pada abad keempat para ulama tetap terus berupaya menyusun dan mengumpulkan hadits yang belum diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan melakukan Istikhraj dan Istidrak. Daftar pustaka [1] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia.2009. hlm. 32 [2] Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits, (cet.1:Bogor, Ghalia Indonesia). 2010, hlm. 50-51 [3]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998. hlm. 29 [4] Prof. Dr. Muhammad Alwi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (terj), Drs Adnan Qohar Dari Judul Asli , AlManhalu Al-Latifu Fi Ushulin Al-hadisi Al-Syarifi, cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hlm. 15-16 [5] Hasan Sulaiman Abbas Alwi, (Terj.) Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Surabaya : Mutiara Ilmu hlm. 16 [6] Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis,.hlm.31 [7] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis,. hlm. 32 [8] Ibid., hlm.35 [9] Ibid., hlm. 36 [10] Jamal Abd nasir. Pengantar ilmu hadits. Pamekasan. Stain Pamekasan.2006. hlm. 54 [11] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadi,.hlm. 38 [12] Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 1998. Hlm. 34 [13] Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits,, hlm, 68 [14] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis,.hlm. 43 [15] Ibid., [16] Prof. Dr. Muhammad Alwi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis., hlm.43 [17] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis,.hlm. 37 [18] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, hlm. 115 [19] Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, hlm. 36 [20] Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits ,. hlm, 69 [21] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadi,.hlm. 38 [22] Ibid., hlm. 47

DAFTAR PUSTAKA Solahudin. Agus, Suyadi. Agus. M.., Ulumul Hadis. Pustaka Setia. Bandung. 2009 Abd. Nasir. Jamal, Pengantar ilmu hadits. Stain Pamekasan. Pamekasan. 2006 Sahrani. Sohari, Drs., M.M,M.H, Ulumul Hadits, cet.I: Ghalia Indonesia, Bogor. 2010 Muhammad Alwi al-Maliki, Prof. Dr., Ilmu Ushul Hadis, (terj.) Drs Adnan Qohar Dari Judul Asli , AlManhalu Al-Latifu Fi Ushulin Al-hadisi Al-Syarifi, cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009 Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, (Terj.) Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Mutiara Ilmu, Surabaya. 1995 Ahmad. Muhammad. Drs. H., Mudzakir. Drs., Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung.1998

ILMU HADITS ( BAG I - MODIFIKASI HADITS )oleh Dzikroyat L Hubby ( Kh Yusuf Salim Faqih Attijany ) pada 29 Maret 2011 jam 0:16 Bismillahirrohmanirrohim Allohumma Sholly A'laa Sayyidina Muhammad Dalam pengkajin hadits selayaknya kita harus mengetahui ilmu ilmunya terlebih dahulu .Dan dari ilmu hadits kita akan memperoleh berbagai hadits dari berbagai segi yaitu dari segi kualitas dan kuantitas. Berangkat dari ini, maka kami akan menjabarkan sistematika pembagian hadits yang jumlahnya sangat banyak dari pengklasifikasian melalui sanad dan matan karena dari ini akan diketahui termasuk apakah hadits tersebut shohih, hasan ataupun dlo if. Dan hubungannya dengan khalayak umum hadits tersebut berhubungan dengan hukum ataupun amal maka dengan mengetahui semua itu maka seorang ahli hukum akan dapat memecahkan masalah yang tidak ditemukan dalam Alqur an yaitu dengan menggunakan hadits khususnya hadits shohih Berdasarkan kata ar Rabi ibn khaitsam (khutsaim) bahwasanya diantara hadits, ada hadits yang bersinar sebagaimana sinar matahari kita dapat mengetahuinya dengan sinaran itu. Dan bahwa diantara hadits ada hadits yang gelap, sebagaimana gelapnya malam, kita mengetahuinya dengan dia itu Dari itu, maka kita akan semakin mantap dalam menjalankan hadits nabi demi mencari ridlo, anugerah dari Allah lantaran Rosulullah Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Quran. Dan umat Islam siwajibkan mengikuti hadist sebagaimana diwajibkan mengikuti AlQuran. Al-quran dan hadist merupakan dua sumber hukum syariat Islam yang tepat, yang orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tesebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satudari keduanya. Umat Islam tidak akan pernah dapat menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan atau praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melalui hadits-

haditsnya. Hadits sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan dari Al-Qur an, karena hukum dan kewajiban yang terdapat dalam Al-Qur an hanya bersifat umum dan global, tidak rinci. Dari uraian diatas, pemakalah mencoba untuk menjelaskan lebih lanjut kedalam seebuah makalah yang berjudul Ulumul Hadits. Dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan mengenai Al-Qur an. Amien

MODIFIKASI HADITSPengertian : Hadits menurut bahasa ialah Al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru dan merupakan lawan dari AlQadim (yang lama). Sedangkan menurut istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.seperti pengertian hadits menurut ushul fiqh dan ahli hadits. Menurut ahli hadits, pengertian hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan ihwalnya Nabi Muhammad SAW. Adapun menurut ushul fiqh, ialah segala perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berhubungan dengan hukum. Sejarah dan Perkembangan Hadits : Penulisan Hadits pada abad 1 Hijriyah Di masa Nabi SAW masih hidup : Pada waktu Nabi masih hidup hadits tidak ditulis, hanya diriwayatkan/ disampaikan dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan karena Nabi melarang untuk menulisnya, yang disuruh ditulis hanyalah Al Qur an, sebagaimana sabdanya berbunyi: Janganlah sekali-kali kamu sekalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Qur an, dan barang siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al Qur an maka hendaklah menghapusnya.......... (HR.Muslim) Berdasarkan Haits tersebut, maka para sahabat tidak menulis hadits, akan tetapi mereka hanya menghafal saja semua Hadits yang mereka terima dari Nabi, karena para sahabat terkenal dengan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Begitu pula dalam menyampaikan Hadits itu kepada sahabat yang lain langsung dari hafalan merka dengan tulisan. Meskipun demikian, ada juga beberapa sahabat yang menulisnya sehingga mereka mempunyai lembaran-lembaran tulisan hadits. Adanya sebagian sahabat yang menuliskan hadits (meskipun ada larangan dari Nabi), karena mereka mendapat izin khusus dari Nabi. Sebagaimana sabda Nabi yang berbunyi: Tulislah olehmu sesuatu dariku. Maka demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.

Kelihatan antara hadits ynag pertama dengan yang kedua tampak konradiksi, namun hakikatnya tidak. Para ulama menganalisa kedua hadits tersebut sebagai berikut: a) Larangan itu bersifat umum, karena dikhawatirkan akan terjadinya campur aduk antara Al Qur an dengan Hadits Nabi. Dan ijin penulisan hadits hanya diberikan kepada orang- orang tertentu saja. b) Yang dilarang itu adalah penulisan secara umum atau secara pembukuan resmi seperti penulisan Al Qur an. Sedangkan ijin penulisan hadits hanya diberikan untuk kepentingan pribadi. c) Ijin penulisan hadits itu dimungkinkan setelah hilangnya keraguan bercampurnya Hadits dengan Al Qur an. Hadits pada masa sahabat : Pada masa khulafaur Rasyidin, Hadits telah tersebar luar ke berbagai pelosok negeri dibawa oleh sahabat-sahabat Nabi yang berpencar meninggalkan madinah setelah Nabi wafat. Meskipun demikian para sahabat tidak ada yang berani memulai menulisnya, bahkan Abu Bakar dan Umar keduanya masih tertuju perhatianya kepada Al Qur an. Demikian pula pada masa Khalifah Usman dan Ali, meskipun Al Qur an telah selesai ditulis dibukukan hadits tetap belum ditulis apalagi dibukukan dengan alasan: a) Hadits-hadits itu tersebar luas, sehingga sulit untuk ditentukan berapa yang telah dihafal dan berapa yang belum. b) Lafal-lafal hadits itu kuang terpelihara dari kemungkinan bertambah atau berkurang. c) Para ulama berbeda pendapat mengenal lafal-lafal dan susunan kalimat hadits, karena itu mereka menganggap tidak shah membukukan hadits yang masih diperselisihkan d) Jika dibukukan hadits-hadits yang tidak diperselisihkan dan meninggalkan hadits-hadits yang diperselisihkan, dikhawatirkan bahwa yang tidak ditulis itu akan didustakan, padahal hadits-hadits itu masih banyak yang penting dan tinggi nilainya sertawajib dijadikan pedoman. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad ke II H : Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia , jika tidak segera dibukukan maka hadits-hadits itu akan lenyap bersamasama para perawi / penghafalnya. Kitab-kitab hadits yang disusun pada abad ke II H. Ialah : (1) Al Muwatto karya Imam Malik (2) Al Maroghi, karya Muhammad bin Ishaq (3) Al Jami , karya Abdurrazad (4) Al Musannaf, karya Al Auza i (5) Al Musnad, karya Asy-Syafi i, dsb. Penulisan pada zaman tabiin ini masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat serta tabiin, seperti dalam kitab Muwatta yang disusun Imam Malik. Para ulama hadits ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadits ini termasuk kategori musnad ( kitab yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadits dari Nabi SAW) dan adapula yang memasukkannya kedalam kategori al-jami (kitab hadits yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum,tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela) atau al mu jam ( kitab yang memuat hadits menurut nama sahabat, guru, kabilah, atau tempat hadits itu didapatkan; yang diurutkan secara alfabetis).

Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad III H Awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi in. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama- nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad). Mereka uang mula-mula menyusun kitab-kitab secara Musnad antara lain: 1.Abdullah bin Musa Al Abbasi. 2.Musaddad bin Marahad Pada pertengahan abad III H. Memperhatikan para perawi dan mensyaratkan penerimaan haditsnya, sehingga timbullah usaha-usaha mereka berupa: 1. Membahas keadaan para perawi hadits dari segi adil atau cacatnya, sifat-sifatnya, tahu masa hidupnya, gurunya dan teman-teman hidupnya. 2. Mentashihkan Hadits( memisahkan antara hadits Shaheh dengan Hadits Dlaif) Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad IV H : Ulama Muttaqodimin, yaitu ulama yang hidup antara abad pertama sampai abad ketiga hijriyah, mereka disibukkan oleh pencarian, penulisan dan pembukuan Hadits. Maka ulama Mutaakhirin (ulama yang hidup pada abad keempat dan sesudahnya) dihadapkan kepada perkembangan baru yaitu: 1. Meneliti kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh para ulama mutaqoddimin. 2. Mengumpulkan hadits-hadits shahih yang belum terdapat pada kitab-kitab hadits abad ketiga. 3. Mengahafalkan hadits-hadits yang telah ada pada kitab-kitab shahih terdahulu. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad V H dan sesudahnya : Pada abad kelima dan sesudahnya tidak banyak berbeda dengan kitab-kitab hadits yang disusun pada abad keempat, karena hanya bersifat menyempurnakan penyusunan materi haditsnya maupun teknik pembukuan . Kitab-kitab Hadits yang terkenal pada abda kelima hijriah: 1) As-Sunanul Kubra 2) As Sunanush Shughra ( Kedua kitab ini Karya Imam Baihaqi) 3) Al Jami Bainash Shahihaini karya Ismail Ibnu Ahmad A. Perkembangan Ilmu Hadits Pada dasarnya, hampir semua kajian keislaman sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadits sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis Ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Musthalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu Hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar merasa bahwa informasi tersebut

janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.[1] Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya larangan ini dihapus[2]. Hal ini jugalah yang nantinya dijadikan kambing hitam oleh para orientalis sebagai sebuah alasan untuk menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam. Beberapa penyebab yang menyebabkan tidak populernya pembukuan Hadis-hadis itu ke dalam suatu kitab, antara lain, (1) umumnya Hadis-hadis yang berada dalam memori hafalan para ulama yang menyandang gelar dil (berkarakteristik moral baik) dan tsiqah (terpercaya) dianggap masih otentik tanpa perubahan; (2) faktor-faktor pendukung untuk upaya pembukuan belum terasa diperlukan; dan (3) adanya larangan menuliskan (baca: pembukuan) apapun selain al-Qur an. B. Masa Keemasan Ilmu Hadits Ilmu Hadits mengalami perkembangan yang sangat luar biasa pada awal-awal abad ke-3 Hijriah. Sayangnya, perkembangan itu masih berkutat pada upaya untuk mengetahui Hadis yang bisa diterima (al-maqbul) dan Hadis yang tertolak (al-mardud). Karenanya, pembahasan seputar periwayat (al-rawi) dan Hadis yang diriwayatkan (al-marwi) selalu diacu berdasarkan sudut pandang itu. Perkembangan ini berupa pembukuan, yang sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan yang terjadi pada pembukuan matan Hadis, yang merupakan proyek Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ulama Hadits yang terkenal pada masa ini yaitu al-Syafi ie yang terkenal dengan kitabnya Al-Risalah. Selain al-Risalah, karya al-Syafi i lainnya yang juga memberikan perhatian terhadap ilmu Hadis adalah kitab al-Umm. Ciri dari buku ini bercampurnya kajian hadits dengan kajian disiplin lainnya, seperti ilmu fikih dan ushul fikih. Ciri lain yang juga terdapat dalam kedua karya ini adalah bahwa ilmu Hadis baru dibahas sebatas kesesuaian dan keterkaitan antara ilmu Hadis dengan ilmu lain yang kebetulan dikaji secara bersamaan dalam kedua kitab itu. Dari pemotretan di atas, secara umum yang menjadi ciri khas kajian ilmu Hadis pada abad-abad awal, khususnya masa al-Syafi I : Ilmu Hadis dijadikan sebagai alat untuk memilah antara Hadis yang shahih dengan yang saqim; Ilmu Hadis merupakan alat bantu dalam memahami Hadis; dan Menkanter serangan yang dilancarkan kalangan munkir al-sunnah, meskipun pada masa-masa ini belum cukup populer. Pada perkembangan selanjutnya, ilmu hadits sudah terpisah dengan disiplin ilmu yang lain. Begitu pula dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain sudah berdiri sendiri dan tidak tercampur dengan disiplin ilmu yang lain. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-4 Hijriah. Ilmu Hadis telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mapan. Perkembangan ini terjadi akibat semakin marak lahirnya disiplin-disiplin ilmu baru dan persinggungan budaya dengan bangsa lain yang kian mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri. Dalam disiplin ilmu Hadis, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya al-Qadli Abu Muhammad bin al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khalan bin al-Ramahurmuzi (w. 360 H), Al-Muhaddis al-Fashil baina

al-Rawi wa al-Wa i, yang memuat beberapa cabang penting dari ilmu Hadis. Namun upayanya itu belum maksimal, karena masih banyak cabang penting lainnya dalam ilmu Hadis yang belum diapresiasi dalam karya itu. Selanjutnya, ulama yang banyak memberikan andil besar dalam ilmu hadits yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H). Beliau banyak menulis buku-buku yang berkaitan tentang ilmu hadits yang selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama-ulama sesudahnya. Perkembangan kajian ilmu Hadis mencapai puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri. Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah (w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis, yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibn al-Shalah. Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya. C. Gejolak Perkembangan Kajian Hadits Kontemporer dan Corak Kajiannya Kajian hadits sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad (abad 13-19 H). Namun, kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadits dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien (Studi Islam).[3] Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadits terdahulu[4]. Ia juga membahas sebuah metode baru untuk menentukan valid tidaknya sebuah hadis yang lebih menitik beratkan pada metode kritik matan. Pada dasarnya, Kritik Hadits yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. telah dimulai oleh para ulama. Bahkan hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad SAW.maupun masa sahabat. Namun, hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadits. Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oeh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahh alBukhr dimana menurutnya, al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher, hadits itu ternyata palsu.[5] Goldziher juga orang pertama yang menuduh Az-Zuhri sebagai seorang pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa ad dan Ibn al-Asakir. Kata ahadits dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, Inna haulai al-umara akrahuna ala kitabah ahadits yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma rifah), yaitu al-ahadits . Ini tampaknya bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai al , maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai al . Pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan

Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis Hadis yang belum pernah ada saat itu.[6] Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujuakan utama yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga diangap sakral oleh mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahanya harus diberangus dari dunia. Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadits oleh orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadits Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadits nabawi terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah.[7] Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori Projecting Back yaitu memproyeksikan periwayatan hadits kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia menyatakan bahwa isnd, yakni rangkaian para periwayat hadits yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadits memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Menurutnya isnd berawal dari bentuk yang sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada nabi. Inilah yang dinamakan teori projecting back.[8] D. Teori Common Link G.H.A. Juynboll Kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori common link-nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatn hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.[9] Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnd-cum-matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem penanggalan hadits ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical approach). Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnd yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnd hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.[10]

E. Sanggahan terhadap Orientalis Gencarnya kritikan terhadap ilmu hadits dari para orientalis tentunya tidak serta merta membuat para ulama Islam berdiam diri. Tersebutlah sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba i dalam bukunya alSunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964). Keduanya secara terpisah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh yang selalu kami juluki sebagai Pendekar dari India , Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara komprehensif membantah teori-teori orientalis tentang Hadis Nabawi, terutama Goldziher dan Schact. Al-Siba i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan karyanya, meskipun secara terpisah, keduanya telah menangkis pikiran-pikiran orientalis Ignas Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis dan membantah pendapat-pendapat yang dilontarkan Goldziher tersebut secara ilmiah. Sedangkan Azami adalah orang yang membabat habis semua argument dan pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadis. Secara terpadu Azami telah mematahkan argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Bukunya yang berjudul Studies in Early Hadith Literature, seakan-akan menelanjangi para orientalis. Mereka pun dibuat tidak berkutik karena argument-argumen yang ditulisnya di buku tersebut memang benar-benar vaid karena berdasrkan penelitian yang mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena keahliannya inilah, dunia Islam mengakui keunggulan Azami sebagai seorang ahli hadits yang hebat dan tangguh. Wajar jika ia menerima Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam yang diberikan kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof. A.J. Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris, mengungkapkan secara terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan, keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah karya Azami itu. [11] F. Corak Hadits Kontemporer Lainnya Selain kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer, reorientasi istilah-isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran Hadis (tahammul al-Hadits) juga menjadi corak lain dari kajian hadits kontemporer. Munculnya kajian ini disebabkan karena adanya pemahaman bahwa penyebaran hadis tidak hanya dilakukan melalui lisan namun juga melalui tulisan. Memang pada masa-masa sebelumnya banyak kalangan yang menggangap bahwa hadis itu tersebar hanya melalui lisan, hal ini tidak lepas kerena adanya shigah-shigah tahammul hadis yang menunjukan transmisi hadis seolah-olah hanya dilakukan dengan lisan mislanya kata-kata Akhbarana, Haddatsana, dll., yang menujukan bahwa tranmisi hadis itu dilakukan dengan lisan (oral transmission). Padahal sebenarnya tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istilah itu juga membuktikan adanya penyebaran Hadis secara tertulis. Beliau juga membuktiakan bahwa hadis telah ditulis oleh para sahabat sejak zaman nabi sehingga missing link yang terjadi pada penulisan hadis dapat disanggah.[12] Corak lain yang tentunya tidak bisa dikesampingkan yaitu metode Takhrij Hadits. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian Hadis kontemporer. Saat ini, telah muncul metode takhrij yang mudah dan sederhana sehingga memudahkan bagi siapa saja yang berkeinginan melakukan takhrij terhadap sebuah hadis, dapat melakukannya dengan mudah. Meskipun tidak mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang hadits, asalkan ditunjangan dengan kitab-kitab penunjang yang memadai. Memang corak yang satu ini dulunya cuma populer dikalangan ulama hadits. Namun, sekarang ini orang

yang pengetahuan hadits-nya pas-pasan pun sudah mengenal corak kajian ini. Tentunya hal ini tidak lepas dari kegigihan DR. Mahmud Thahan yang berjasa mengembangkan kajian takhrij hadits dengan bukunya yang terkenal Ushul Takhrij wa Dirasatul Asanid. KESIMPULAN Perkembangan ilmu hadits mencapai masa keemasan mulai abad ke-3 Hijriyah, dengan ulama yang terkenal di masanya yaitu : Imam Al-Syafi I, al-Ramahurmuzi, al-Khatib al-Baghdadi, dan Ibnu Shalah. Para orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadits diantaranya : Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A. Juynboll. Corak kajian Hadits kontemporer yaitu kritik hadits (sanad & matan), takhrij hadits, metodologi tahammul hadits. DAFTAR RUJUKAN Azami, Muhammad Mustafa, Prof.Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Alih bahasa H.Ali Mustafa Ya qub, M.A. ( Pustaka Firdaus : Jakarta ). 1994. Al-Qaththan, Syiekh Manna , Mabhits F Ulm Al-Hadts. terj. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Alih bahasa Mifdhol Abdurrahman, Lc. (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta). 2008. Masrur, Ali, Dr., Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (LKiS : Yogyakarta),2007. Thahan, Mahmud, Dr., Ilmu Hadits Praktis. Alih Bahasa Abu Fuad. (Pustaka Thariqul Izzah : Bogor). 2009. Ya qub, Ali Mustafa, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus : Jakarta), 2008. [1] Ali Mustafa Ya qub, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus : Jakarta), 2008. Hal.1. [2] Misalnya hadis yang dinukil oleh Prof Azami dalam bukunya Studies In Early Litelature (terjemah oleh Prof Ali Mustafa Ya qub) dari Said bin Khudari yang berbunyi: Jangan kamu tulis ucapan-ucapanku barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur an maka hendaknya ia menghapusnya . Meskipun nantinya hadis ini dinaskh dengan hadis lain. Khatib al-Bagdadi telah membahas masalah ini dengan sangat terperinci dalam kitabnya Taqyid Al- Ilm. [3] Prof.KH . Ali Mustafa Ya qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.8. [4] Manna Al-Qatthan dalam Mabahits Fi Ulumil Hadis mengatakan bahwa syarat diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua rowinya Adil, ketiga rowinya dhobit baik dhobit secara hafalan maupun tulisan, keempat tidak ada cacat/ illat dalam matannya, kelima tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih unggul. (hal.117). [5] Prof.KH . Ali Mustafa Ya qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.15 [6] Prof.KH . Ali Mustafa Ya qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.10. [7] Prof.KH . Ali Mustafa Ya qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.20. [8]Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. (Lkis : Yogyakarta). 2007. Hal.2. [9] Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Hal.x [10] Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi.hal. 3. [11] Azami, Muhammad Mustafa, Prof. Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, ( Pustaka Firdaus : Jakarta ). 1994. Hal. vii. [12] Prof.KH . Ali Mustafa Ya qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.29-30. BAB I PENDAHULUAN

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS MASA KODIFIKASI ABAD 3 (Mencakup: Awal Abad dan Pertengahan Abad 3, Tokoh, Karya & Ciri-ciri Kitabnya) BAB II: PEMBAHASAN A. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad 3 Abad III H merupakan abad di dalam periode kelima. Di mana, pada periode ini merupakan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu tadir. Pada awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi in. Akan tetapi mereka tidak memisahkan hadits-hadits yakni mencampurkan hadits sahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha if. Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan kesahihannya, atau kehasanannya, atau kedha ifannya. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad) yaitu Abdullah Ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musaddad Ibn Musarhad al-Bashry, As ad Ibn Musa al-Amawy, Nu aim Ibn Hammad al-Khuza y, Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, Usman Ibn Abi Syaibah. B. Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashhihan Hadits Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan AlMuwaththa Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju. Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke3, keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah. Ringkasnya, al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya. Pada mulanya ulama menerima hadits dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu . Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha if yakni menshahihkan hadits. Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), Illat- illat hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.

Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits). Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada , melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan. C. Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih saja Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak. Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih. Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan AtTirmidzy) dan AnNasa y (sunan an-Nasa y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah). Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad. D. Dasar -dasar Pentashhihan Hadits Untuk mentashhihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai. Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits. al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali. Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik

Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru. Al-allamah muhammad zahijd al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah alBukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits imam Asy-Syafi y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara ta liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan Asy-Syafi y padahal sanad inni dipandang paling sah, selain dari empat hadits. E. Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerimah riwayat, syaratsyarat menolaknya, syarat shahih dan dha if, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu). Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha if, khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata maudhu. Adapun langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengkritik jalan-jalan menerimah hadits sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersikan dari segala lumpur yang mengotorinya ialah mengisnadkan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima kepada para ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadits, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu . 1. Mengisnadkan Hadits Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai. Para tabi in dengan tidak tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakan ummat untuk menganut paham tasyayyu (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan keturunannya). Mereka ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah. Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi in berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan mereka. Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), para sahabat dan tabi in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu? sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari

Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid ah, ditolaklah hadits itu. Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah. Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, apakah sebabnya anda tijdak mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan? Ibnu Abbas menjawab, Dahulu, apabila mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui. Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para tabi in memintakan isnad. Abu Aliyah berkata, kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat. Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits. 2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi in dan imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah: Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak ada) pada saya. Ibnu Abbas berkata, Seorang anak yang jujur, saya akan memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar). Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum Ali. Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak benar, berkata, demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali dia sesat. Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para tabi in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya. Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits. 3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan segan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum. Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah? Yahya menjawab, Saya lebih suka menjadi seteru

mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya, mengapa kamu tidak membela sunnahku? Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta dil atau Ilmu Mizan ar-Rijal. 4. Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha if. Mereka membuat kaidah- kaidah untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha if-kannya. Dengan perkataan lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat. Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya, syarat-syarat shahih, dha if. 5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan dha if dari maudhu , yang dipandang seburuk-buruk hadist dha if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits maudhu itu. Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan. F. Tokoh-tokoh Hadits pada Abad 3 Di antara tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhmmad Ibn Sa ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, al-Bukhary, Muslim, An-Nasa y, Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury. G. Perkembangan Kitab-kitab Hadits Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 Hijrah. 1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H). 2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H). 3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H). 4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at (202-275 H). 5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai (215-303 H). 6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri (181-255 H). 7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H). 8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H). 9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H). 10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H). 11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).

12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H). 13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H). 14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H). 15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H). 16. Al-Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H). 17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H). 18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307 H). 19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H). 20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H). 21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H). 22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H). 23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H). 24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H). 25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228). Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini. BAB III: PENUTUP Kesimpulan Proses kodifikasi hadits adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah SAW. masih hidup. Pada abad 3 ini proses kodifikasi hadits lebih tertumpu pada pentashhihan dan penyusunan kaidahkaidah supaya tidak tercampur lagi hadits-hadits shahih dengan yang tidak shahih. Sehinggakan pada pertengahan abad ke-3, kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya dikalangan masyarakat Arab mula meningkat. Ulama-ulama pada abad 3 dan pertengahan abad 3 ini juga telah memberikan banyak manfaat khususnya dalam pemeliharaan hadits dari orang-orang musyrik yang cuba untuk menyelewengkan hadits di dalam agama Islam. Hasil daripada usaha ulama-ulama hadits ini, telah terhasilnya banyak karya-karya atau kitab-kitab yang dapat menjadi panduan dan rujukan umat Islam sehingga sekarang. Wallahu alam... Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadits. Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu : * Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH 11 SH ). * Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ). * Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi in dan sahabat-sahabat muda : 41 H akhir abad 1 H * Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ). * Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai. * Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ). * Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ). Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab : * Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi. * Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu. * Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.

* Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur an. * Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da wah yang sangat penting. Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar bin Abdul Azis, khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan hadits itu. Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada sa at generasi tabi in mencari hadits-hadits itu. Diantara sahabat-sahabat itu ialah : Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah. Abdullah bin Umar bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah. Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 buah. Abdullah bin Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 buah. Aisyah Ummul Mu minin, meriwayatkan sebanyak 2210 buah. Jabir bin Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 buah. Abu Sa id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah. Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi. Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahankesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah : Barangsiapa berdusta atas namaku maka siapsiap saja tempatnya dineraka . Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut. Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut. Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.

Perkembangan Kitab-kitab Hadits

A. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain : 1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam : * Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim. * Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa I, dan sebagainya. 2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua macam : * Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad. * Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah. * Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya. * Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya. 3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir. B. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke I H. 1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib. 2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin Ash. 3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 124 H ). 4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin. Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggung-jawabkan. C. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H. 1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu man ( wafat 150 H ). 2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 179 H ). 3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi I ( 150 204 H ). 4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi I ( 150 204 H ). 5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 203 H ). 6. Al-Jami oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan ani ( wafat 311 H ). 7. Mushannaf oleh Imam Syu bah bin Jajaj ( 80 180 H ). 8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa ud ( 94 175 H ).

9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin Uyaina ( 107 190 H ). 10. as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin Amr al-Auza i ( wafat 157 H). 11. as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi. Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.

Perkembangan Kitab-kitab Hadits D. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari ( 194 256 H ). 2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj ( 204 261 H ). 3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi ( 209 279 H ). 4. 4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy at ( 202 275 H ). 5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya ab an-Nasai ( 215 303 H ). 6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 255 H ). 7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah ( 209 - 273 H ). 8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 241 H). 9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ). 10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ). 11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa id bin Manshur ( wafat 227 H ). 12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa id bin Manshur ( wafat 227 H ). 13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari ( wafat 310 H ). 14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi ( wafat 276 H ). 15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ). 16. Al-Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ). 17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ). 18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya la ( wafat 307 H ). 19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ). 20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani ( wafat 287 H ). 21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi amrin Muhammad bin Yahya Aladani ( wafat 243 H ). 22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ). 23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu aib an-Nasai ( wafat 303 H ). 24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari ( wafat 280 H ). 25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ). Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini. E. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H. 1. Al-Mu jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani ( wafat 360 H ). 2. As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ). 3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban ( wafat 354 H ). 4. Ash-Shahih oleh Imam Abu Awanah Ya qub bin Ishaq ( wafat 316 H ). 5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq ( wafat 311 H ).

6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa id bin Usman al-Baghdadi ( wafat 353 H ). 7. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ). 8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ). 9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ). 10. Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ). 11. Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ). 12. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ). 13. Al-Mustadrak ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim anNaisaburi ( 321 405 H ). F. Tingkatan Kitab Hadits. Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut : 1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja. 2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha if ( yang tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha ifannya. 3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara hadits-hadits yang shahih, yang dha if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja. g. Kitab-kitab Shahih Selain Bukhari Muslim. Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih sebagaimana yang ditempuh oleh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits, ternyata kitabkitab mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim. Para ulama yang menyusun Kitab Shahih tersebut ialah : 1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih. 2. Abu Awanah dalam kitab ash-Shahih. 3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarba. 4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. 5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa. 6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitabnya al-Mukhtarah.

Menurut sebagian besar para ulama hadits, diantara kitab-kitab hadits ada 7 ( tujuh ) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu : 1. Ash-Shahih Bukhari. 2. Ash-Shahih Muslim. 3. Ash-Sunan Abu-Dawud. 4. As-Sunan Nasai. 5. As-Sunan Tirmidzi. 6. As-Sunan Ibnu Majah. 7. Al-Musnad Imam Ahmad. Perkembangan Ilmu Hadits Ilmu Hadits yang kemudian populer dengan ilmu mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi ( wafat 260 ), walaupun normanorma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masingmasing penulis hadits. Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi kepada dua macam yaitu : ilmu hadits riwayatan dan ilmu hadits dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti : * Ilmu rijalul hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits. * Ilmu jarh wat-ta dil, yaitu ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa-pembawa hadits. * Ilmu panilmubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits. * Ilmu tashif wat-tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya. * Ilmu ilalil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat menjatuhkan kwalitas hadits tersebut. * Ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits. * Ilmu asbabi wurudil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits. * Ilmu talfiqil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits yang nampaknya bertentangan. * Dan lain-lain. Seleksi Hadits Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk, dan kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu : * Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan. * Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits dha if / lemah dan hadits maudhu / palsu.

Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu : a. Matan ( materi hadits ). Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi bertentangan isi materinya dengan al-Qur an : 1. Hadits yang mengatakan bahwa Seorang mayat akan disiksa oleh Tuhan karena ratapan ahli warisnya , adalah bertentangan dengan firman Allah : Wala taziru waziratun wizra ukhra yang artinya Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain ( al-An an : 164 ). 2. Hadits yang mengatakan : Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan punya hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya , adalah bertentangan dengan firman Allah : Wa allaisa lil insani illa ma-sa a , yang artinya : Dan seseorang tidak akan mendapatkan pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri . ( an-Najm : 39 ). Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : Apabila Qur an dan hadits bertentangan, maka ambillah Qur an . b. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ). Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas tertentu berguru. Tidak boleh ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits itu. Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul. c. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) : Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat : 1. Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan membiasakan dosa. 2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas ) ulama berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-Shahih Imam Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat memberikan seleksinya dengan pedomanpedoman diatas. Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah : 1. Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas. 2. Perhatikan kitab pengambilannya ( rowahu = diriwayatkan atau ahrajahu = dikeluarkan ). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan.

Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-kata : * Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama ah. * Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7. * Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6. * Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ). * Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun alaihi ). * Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja. * Diriwayatkan oleh ..dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim. * Diriwayatkan oleh ..dengan syarat Bukhari atau Muslim. 3. Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan pun 2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu seperti : Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya. Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapatkan penilaian berbeda / bertentangan antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah : dahulukan yang mencela sebelum yang memuji ( Al-jarhu Muqaddamun alat ta dil ). Hal ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Artinya sesuatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan katakata dan dishahihkan oleh Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih ( belum tentu shahih ). 4. Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya digunakan norma-norma umum seleksi, seperti yang diterangkan diatas, yaitu menyelidiki langsung tentang sejarah para rawi dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu sejumlah buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan para pembawa hadits, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya adDhu afa ( kumpulan orang-orang yang lemah haditsnya ). 9. Masalah Hadits-hadits Palsu ( Maudhu ) Perpecahan dibidang politik dikalangan ummat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, Khalifah ke-3 dari khulafa ur rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan pendukung Mu awiyah bin Abu Sufyan, telah mempunyai pengaruh yang cukup besar kearah timbulnya usaha-usaha sebagian ummat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik. Golongan Syi ah sebagai pendukung setia kepemimpinan Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkirkan dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya. Golongan ini termasuk golongan yang paling utama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok ummat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha yang demikian. Golongan Rafidhah ( salah satu sekte Syiah ) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu itu. Diantara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi

kemurnian ajaran Islam, pertama-tama yalah yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja untuk mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan ummatnya. Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong orang Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif pembuatan hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut : * Karena politik dan kepemimpinan; * Karena fanatisme golongan dan bahasa; * Karena kejahatan untuk sengaja mengotori ajaran Islam; * Karena dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama; * Karena keanehan-keanehan sejarah dan lain-lain; * Karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam; * Dan lain-lain. Keadaan demikian telah mendorong para ulama saleh untuk tampil ke depan berusaha mengadakan seleksi dan koreksi serta menyusun norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang baik dan normanorma dalam memilih hadits-hadits yang palsu. Mereka sempat mengumpulkan sejumlah nama-nama orang yang baik dan sejumlah nama-nama orang yang biasa membuat hadits palsu. Mereka menyusun kitab-kitab khusus yang membahas hadits-hadits yang baik. Untuk mengetahui bahwa sesuatu hadits itu adalah hadits palsu, kita dapat mengenal beberapa ciri-cirinya antara lain : a. Pengakuan pembuatnya. Di dalam catatan sejarah sering terjadi para pembuat hadits palsu berterus terang atas perbuatan jahatnya. Baik karena terpaksa maupun karena sadar dan taubat. Abu Ismah Nuh bin Maryam ( bergelar Nuh al-Jami ) telah berterus terang mengakui perbuatannya dalam membuat hadits-hadits palsu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan surat al-Qur an. Ia sandarkan hadits-haditsnya itu kepada Ibnu Abbas. Maisarah bin Abdi Rabbih al-Farisi, juga telah berterus-terang mengakui perbuatannya membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan al-Qur an dan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Dalam hal ini memang perlu kita catat bahwa tidak semua pengakuan itu lantas harus secara otomatis kita percayai. Sebab mungkin saja pengakuannya itu justru adalah dusta dan palsu. b. Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat hadits-hadits maudhu , dan hadits atau keterangan lain yang baik / tidak ada sama sekali ( dalam soal yang sama ). c. Isi atau materinya bertentangan dengan akal pikiran yang sehat. Sebagai contoh hadits-hadits sebagai berikut : Sesungguhnya perahu Nuh bertawaf tujuh kali mengelilingi Ka bah dan shalat di makam Ibrahim dua raka at . Sesungguhnya Allah tatkala menciptakan huruf, maka bersujudlah ba dan tegaklah alif d. Isinya bertentangan dengan ketentuan agama, aqidah Islam. Aku adalah penghabisan Nabi-nabi. Tidak ada Nabi sesudahku kecuali dikehendaki Allah . Alllah menciptakan malaikat dari rambut tangan dan dada .

e. Isinya bertentangan dengan ketentuan agama yang sudah qath i seperti hadits-hadits : Anak zina tidak masuk sorga hingga tujuh turunan . Barangsiapa yang memperoleh anak , dan kemudian diberi nama Muhammad, maka dia dan anaknya akan masuk sorga . f. Isinya mengandung obral pahala dengan amal yang sangat sederhana. Seperti hadits-hadits : Barangsiapa membaca La ilaha illallah maka Allah akan menjadikan baginya seekor burung yang mempunyai tujuh puluh lidah. Pada tiap-tiap lidah tujuh puluh ribu bahasa yang memohon ampun kepada Allah untuk orang tersebut . Barangsiapa menafakahkan satu tali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di yaumil qiyamah . g. Isinya mengandung kultus-kultus individu. Seperti hadits-hadits : Di tengah ummatku kelak akan ada orang yang diberi nama Abu Hanifah an-Nu man, ia adalah pelita ummatku . Abbas itu adalah wasiatku dan ahli warisku . h. Isinya bertentangan dengan fakta sejarah. Seperti hadits-hadits yang menerangkan bahwa nabi pernah diberi semacam buah dari sorga pada sa at mi raj. Setelah kembali dari mi raj kemudian bergaul dengan Khadijah dan lahirlah Fathimah dan seterusnya. Hadits ini bertentangan dengan fakta sejarah sebab mi raj itu terjadi setelah wafatnya Khadijah dan setelah Fathimah lahir. 10. Contoh-contoh Hadits-hadits Palsu ( Maudhu ) berdasarkan Motifnya. a. Motif Politik dan Kepemimpinan. Apabila kamu melihat Mu awiyah diatas mimbarku, maka bunuhlah . hanyalah tiga. Aku, Jibril dan Mu awwiyah . b. Motif Zindik ( untuk mengotorkan agama Islam ). Melihat muka yang cantik adalah ibadah . Rasulullah ditanya : Dari apakah Tuhan kita itu ? Jawabnya : Tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda kemudian dijalankannya sampai berkeringat. Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut . c. Motif ta assub dan fanatisme. Sesungguhnya Allah apabila marah , maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah menurunkannya dalam bahasa Parsi . Dikalangan ummatku akan ada seorang yang bernama Abu Hanifah an-Nu man. Ia adalah pelita ummatku . Di kalangan ummatku akan ada seorang yang diberi nama Muhammad bin Idris. Ia adalah yang menyesatkan ummatku lebih daripada iblis . d. Motif faham-faham fiqh. Barangsiapa mengangkat dua tangannya di dalam shalat maka tidak sah shalatnya . Berkumur dan mengisap air bagi junub tiga kali tiga kali adalah wajib . Jibril mengimamiku di depan Ka bah dan mengeraskan bacaan bismillah . e. Motif senang kepada kebaikan tapi bodoh tentang agama. Orang yang berkepercayaan

Barangsiapa menafahkan setali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di yaumil akhir . Seperti hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat Qur an, obral pahala dan sebagainya. f. Motif penjilatan kepada pemimpin. Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha i al-Kufi pernah masuk ke rumah Mahdi ( salah seorang penguasa )yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, coba terangkan kepada amirul mukminin tentang sesuatu hadits, maka berkatalah Ghiyas ; Tidak ada taruhan melainkan pada anak panah, atau unta atau kuda, atau burung . 11. Persoalan-persoalan yang diterapkan oleh Hadits-hadits Maudhu . Untuk menjelaskan persoalan-persoalan tersebut disini penulis kutipkan uraian ustadz Abdul Qadir Hassan dalam buku Ilmu Hadits, Juz 2. 1. Hadits yang menyuruh orang sembahyang pada malam Jum at 12 raka at dengan bacaan surat alIkhlas 10 kali. 2. Hadits yang memerintahkan orang sembahyang malam Jum at 2 raka at dengan bacaan surat Zalzalah 15 kali ( ada juga yang menerangkan 50 kali ). 3. Hadits-hadits sembahyang pada hari Jum at 2 raka at, 4 raka at, dan 12