jurnal kelautan nasional

80

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Page 2: JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Page 3: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

i

KATA PENGANTAR

Jurnal Kelautan Nasional (JKN) adalah jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian dan

Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan

dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,

atas terbitnya JKN Volume 10, No. 2, Agustus 2015, dengan baik.

Sesuai hasil evaluasi Panitia Penilai Majalah Ilmiah-LIPI, pada tanggal 15 Juli 2015 JKN kembali

memperoleh Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah berdasarkan Kutipan Keputusan Kepala LIPI

Nomor 818/E/2015, yang berlaku sejak Agustus 2015 – Agustus 2018. Atas pencapaian tersebut,

tidak lupa kami memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, disamping itu kami juga

menghaturkan ucapan terima kasih kepada Dewan Redaksi dan Redaksi Pelaksana yang telah

meluangkan waktu dan tenaganya sehingga akreditasi JKN dapat dipertahankan.

Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal edisi kali ini sebanyak 5 (lima) artikel yang meliputi: Bakteri

Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken; Uji

Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air

pada Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus; Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera

Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit; Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk

Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul; dan

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng, Yogyakarta.

Artikel yang terdapat dalam JKN pada edisi ini diharapkan mampu menambah khasanah informasi

di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan perikanan Indonesia. Kami sangat

mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan jurnal ini ke depan. Semoga jurnal ini

bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan

perikanan di Indonesia.

Redaksi

Page 4: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

ii

Page 5: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih

Abstrak

i

iii

v

vii

Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-

Nina di Pulau Bunaken

Associated Bacteria of Scleractinian Coral in Connection with Phenomena of La-

Nina in Bunaken Island

Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho …………….........

55-63

Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap

Kondisi Kualitas Air pada Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus

Performance Test of Recirculating Aquaculture System (RAS) Technology to Water

Quality Condition in Spiny Lobster Panulirus homarus Nursery

Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas …………………………………………….

65-73

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan

Data Insitu dan Satelit

Convergence Zone Displacement in Western Pacific Ocean Based on Insitu and

Satellite Data

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan ….………….…….

75-90

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir

(Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul

Sea Cage Effectiveness Test for Spiny Lobster (Panulirus homarus) in Sepanjang

Coast, Gunung Kidul District

Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo ...............

91-102

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng,

Yogyakarta

Operational Design Suitaibility of an Inkamina 163 Fishing Vesel Based in Sadeng

Fishing Port, Yogyakarta

Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar ..............................

103-112

Page 6: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

iv

Page 7: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Redaksi menyampaikan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah menelaah naskah yang dimuat

pada edisi ini

Prof. Dr. Ir. Yanuar, M.Eng., M.Sc. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. Ir. Ita Widowati, DEA Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang

Dr. Kukuh Nirmala Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Page 8: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

vi

Page 9: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

vii

No ABSTRAK

1. BAKTERI ASOSIASI PADA KARANG SCLERACTINIA KAITANNYA DENGAN

FENOMENA LA-NINA DI PULAU BUNAKEN

UDC: 639.62:551.351.5

Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

Halaman 55-62

Penelitian tentang karang keras (Scleractinian coral) yang terkontaminasi bakteri relatif masih kurang

dilakukan khususnya di perairan Indonesia. Untuk itu dilakukan kegiatan penelitian di Taman Nasional

Bunaken pada dua periode yakni Mei 2010 (musim peralihan I) dan Agustus 2011 (Monsoon II). Penelitian

ini difokuskan pada kontaminasi bakteri gram positif (+) dan gram negatif (-). Metode yang dilakukan untuk

pengambilan sampel di lapangan adalah time swim dimana menyelam pada kedalaman 5-10 meter selama

kurang lebih 30 menit dan mengambil sampel mucus karang secara acak/random dengan menggunakan

siring atau mengambil sampel secara langsung pada karang (fraksi cabang) pada lokasi yang sama. Sampel

dianalisis dengan proses isolasi bakteri di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Mei

2010 bakteri gram positif lebih mendominasi dari gram negatif, sebaliknya Agustus 2011 bakteri gram

negatif yang lebih dominan dari gram positif. Indikasi faktor penyebab terjadinya bakteri gram positif yang

lebih dominan khususnya di tahun 2010 ialah fenomena La-Nina yang terjadi selama periode tersebut.

Perubahan suhu rata-rata yang terjadi pada kedua musim tersebut menjadi salah satu faktor yang merangsang

pertumbuhan kedua kelompok bakteri ini. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya dalam

menentukan jenis bakterinya dan pengambilan sampel pada setiap musim.

Kata kunci: Bakteri, Scleractinian coral, gram positif dan negatif, La-Nina

2. UJI PERFORMANSI TEKNOLOGI RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM

(RAS) TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR PADA PENDEDERAN LOBSTER

PASIR Panulirus homarus

UDC: 639.3:595.384

Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

Halaman 63-71

Pendederan lobster Panulirus homarus dimaksudkan untuk memperoleh bibit yang adaptif dan seragam

sebelum dibudidayakan dalam keramba. Pendederan lobster dapat dilakukan secara indoor dengan

menggunakan teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS). Penggunaan teknologi RAS dimaksudkan

untuk mengontrol beberapa parameter kualitas air agar memenuhi syarat kualitas air untuk budidaya. Tujuan

dari penelitian ini adalah menganalisis parameter kualitas air pada pendederan lobster Panulirus homarus

dengan menggunakan teknologi RAS. Filter yang digunakan pada RAS ini disusun dari beberapa media yang

terdiri dari susunan batu biocrystal, batu koral, zeolit dan karbon aktif. Parameter kualitas air yang diuji

meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, CO2, nitrit, nitrat dan amonia. Secara keseluruhan, parameter kualitas air

selama penelitian yang diuji, masih memenuhi syarat untuk kegiatan pendederan lobster Panulirus homarus.

Kata kunci: RAS, kualitas air, pendederan, lobster, Panulirus homarus

Page 10: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

viii

No ABSTRAK

3. PERGERAKAN ZONA KONVERGENSI DI SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT

BERDASARKAN DATA INSITU DAN SATELIT

UDC: 639.2.053.1

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan

Halaman 73-88

Samudera Pasifik berperan penting dalam siklus El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan berpengaruh

signifikan pada kegiatan penangkapan tuna di Indonesia, khususnya ikan Cakalang. Penelitian ini bertujuan

mengetahui pola pergerakan zona konvergensi di Samudera Pasifik bagian Barat dengan mengamati

pergerakan parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, klorofil-a, dan produktivitas primer. Data parameter

oseanografi tersebut terdiri dari data insitu, data satelit maupun hasil pemodelan. Hasil analisis menunjukan

adanya pergerakan zona konvergensi di Barat Pasifik yang dicirikan variabel proksi yaitu isotermal 29°C,

isohalin 34,6 psu, konsenrasi klorofil-a sebesar 0,1 mg/m3

dan NPP 300 mgC/m2/day. Pola pergerakan zona

konvergensi baik secara horisontal maupun vertikal dipengaruhi oleh ENSO. Pada saat terjadi La-Nina massa

air dengan suhu yang hangat bergeser ke arah Barat yang diikuti dengan meningkatnya kesuburan perairan.

Pergerakan vertikal massa air hangat terjadi pada kedalaman 25-75 m (suhu) dan 50 m (salinitas). Namun

pada saat El-Nino massa air hangat bergerak ke arah Timur Samudera Pasifik. Fluktuasi produksi tangkapan

ikan Cakalang di perairan Indonesia Timur mengikuti pola pergerakan zona konvergensi tersebut.

Peningkatan jumlah produksi ikan Cakalang di Kota Sorong meningkat seiring dengan keberadaan zona

konvergensi di bagian Barat (La-Nina), namun di Propinsi Papua menunjukan pola sebaliknya.

Kata kunci: zona konvergensi, Samudera Pasifik, ENSO

4. UJI EFEKTIVITAS KOMPARTEMEN DASAR UNTUK PEMBESARAN LOBSTER

PASIR (Panulirus homarus) DI PANTAI SEPANJANG, KABUPATEN GUNUNG

KIDUL

UDC: 595.384

Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

Halaman 89-100

Tingginya permintaan lobster laut di pasar nasional maupun internasional serta adanya pembatasan ukuran

lobster yang boleh ditangkap dari alam menyebabkan tingkat ketersediaan lobster di pasaran menjadi

berkurang, di sisi lain, kegiatan budidaya maupun pembesaran lobster belum berkembang dengan baik. Oleh

karena itu, diperlukan suatu penelitian terkait dengan pembesaran lobster. Penelitian pembesaran lobster di

alam tidak terlepas dari teknologi kompartemen yang digunakan, untuk itu penelitian mengenai rekayasa

teknologi kompartemen pembesaran lobster laut penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah

mengetahui tipe kompartemen yang paling efektif untuk pembesaran lobster pasir di Pantai Sepanjang,

Yogyakarta dengan melakukan pengukuran berat dan panjang karapaks lobster. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa kompartemen lobster yang paling efektif untuk pembesaran lobster pasir adalah

kompartemen berbentuk silinder, dengan ukuran 200 lt dan diameter lubang pada selimut tabung 3 cm

dibandingkan dengan kompartemen kontrol dan seluruh kompartemen modifikasi.

Kata Kunci: Kompartemen dasar, lobster pasir (Panulirus homarus), Pantai Sepanjang

Page 11: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

ix

No ABSTRAK

5. KESESUAIAN DESAIN OPERASIONAL KAPAL INKAMINA 163 BERBASIS DI PPP

SADENG, YOGYAKARTA

UDC: 639.2.081

Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

Halaman 101-110

Nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ragu untuk

mengoperasikan kapal ikan bantuan sampai batas maksimum ZEEI. Keraguan nelayan terletak pada

kemampuan operasional kapal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian kapasitas muat yang

tersedia di atas kapal dengan rencana target operasional kapal, dan menganalisis area kerja di lantai dek

kapal. Metode yang digunakan adalah metode studi kasus. Kapal Inkamina 163 menjadi objek penelitian.

Data dianalisis dengan cara comparative-numeric untuk mengkaji kesesuaian desain kapal dan untuk

mengetahui area kerja pada dek kapal. Analisis kesesuaian desain juga dilakukan dengan mengacu pada

KEPMENKP No. 21/2004. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kapal Inkamina 163 memiliki kapasitas muat

yang sebagian besar sudah dapat memenuhi rencana target operasional kapal. Tata letak muatan di lantai dek

kapal Inkamina 163 telah sesuai dengan kebutuhan area kerja ABK. Kapal tersebut telah memenuhi 7 dari 8

syarat yang dijadikan acuan dalam KEPMENKP No. 21/2004.

Kata kunci: Inkamina, kapal ikan, kapasitas muat, comparative numeric

Page 12: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

x

No ABSTRACT

1. ASSOCIATED BACTERIA OF SCLERACTINIAN CORAL IN CONNECTION WITH

PHENOMENA OF LA-NINA IN BUNAKEN ISLAND

UDC: 639.62:551.351.5

Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

Page 55-62

Research on Scleractinian Coral with bacteria contamination is relatively few explored in Indonesia. The

research study was located in Bunaken National Park in period May 2010 and August 2011. Research focused

on gram positive (+) and gram negative (-) bacteria. For sampling procedure by using SCUBA equipment with

time swim at depth 5-10 meters at least 30 minutes and collected randomly coral mucus. In the Laboratory

samples were analyzed by Isolation bacteria processes. Results show that in May 2010 gram-positive bacteria

were more dominant than gram-negative, whereas in August 2011 gram-negative bacteria were more dominant

than gram-positive. Indications factors causing the dominancy of gram-positive bacteria, especially in the year

2010 was the La-Nina phenomena that occurred during this period. Changes in average temperature that

occur in both seasons are the one of factors that stimulates the growth of these two groups of bacteria. Further

research needs to be done, especially in determining the type of bacteria and sampling of each season.

Keywords: Bacteria, Scleractinian coral, gram positive, gram negative, La-Nina

2. PERFORMANCE TEST OF RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM (RAS)

TECHNOLOGY TO WATER QUALITY CONDITION IN SPINY LOBSTER Panulirus

homarus NURSERY

UDC: 639.3:595.384

Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

Page 63-71

Panulirus homarus seed nursery is an effort to yield adaptive and uniform quality lobster seed, prior to

seacages rearing. Land based spiny lobster nursery can use Recirculating Aquaculture System technology

(RAS). RAS technology is intended to control several water quality parameters in order to meet the water

quality requirements for lobster seed cultivation. The purpose of this study was to analyze water quality

parameters in Panulirus homarus nursery using RAS technology. Filters used in RAS are composed of

biocrystal stone, coral, zeolites and activated carbon. Water quality parameters recorded include temperature,

pH, dissolved oxygen, CO2, nitrite, nitrate and ammonia. Overall, water quality parameters during the study

were qualify for Panulirus homarus nursery activities.

Keywords: RAS, water quality, nursery, lobster, Panulirus homarus

Page 13: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

xi

No ABSTRACT

3. CONVERGENCE ZONE DISPLACEMENT IN WESTERN PACIFIC OCEAN BASED ON

INSITU AND SATELLITE DATA

UDC: 639.2.053.1

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan

Page 73-88

Pacific Ocean have an important role on El-Nino Southern Oscillation (ENSO) phenomena that have

significant relationship with tuna fisheries in Indonesian waters, especially for skipjack tuna. The aim of this

study is to determine convergence zone displacement in Western Pacific Ocean based on oceanography

parameters such as temperature, salinity, chlorophyll-a, and net primary productivity from insitu, satellite and

model data. The convergence zone displacement in Western Pacific Ocean were characterized by proxies

variable of isotherm 29 °C, isohaline 34,6 psu, chlorophyll-a concentration 0,1 mg/m3 and NPP 300 mg

C/m2/day. Whole of these displacement influenced by ENSO event. The warm pool displacement westerly

during La-Nina event accompanied with increasing marine primary productivity. The vertical movement of

warm pool occurred on 25-75m depth for temperature and 50 m depth for salinity. Otherwise, during the El-

Nino event the warm pool move to eastward. The fluctuation of skipjack tuna production in eastern of

Indonesian Waters following the convergence zone displacement in Western Pacific Ocean. The increasing of

skipjack tuna productions in Sorong increase due to convergence zone in the western part of Pacific (La-Nina),

meanwhile for the Papua’s skipjack tuna production show the opposite.

Keywords: convergence zone, Pacific Ocean, ENSO

4. SEA CAGE EFFECTIVENESS TEST FOR SPINY LOBSTER (Panulirus homarus) IN

SEPANJANG COAST, GUNUNG KIDUL DISTRICT

UDC: 595.384

Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

Page 89-100

The high demand of sea lobster and the restrictions on the size of lobsters that can be captured caused lobster

on the market to be a rarity, on the other hand lobster’s mariculture activities are not developed yet. Therefore,

a study related to the growing-out lobster is needed. Research of lobster’s grow-out can not be separated from

the compartment technology, the study of engineering technology of lobster enlargement become an important

research to do. The aim of this research was to determine the best fixed seacage type for scalloped spiny

lobster enlargement in Sepanjang Coast, Yogyakarta City through measuring the weight and length of the

lobster’s carapace. The results shown that the most effective lobster fixed seacage to enlarge scalloped spiny

lobster were cylinder, with 200 liters of size and 3 cm diameter of hole in the blanket tube compared to the

control fixed seacage and the entire fixed seacage modification.

Keywords: fixed seacage, scalloped spiny lobster (Panulirus homarus), Sepanjang Coast

Page 14: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

xii

No ABSTRACT

5. OPERATIONAL DESIGN SUITABILITY OF AN INKAMINA 163 FISHING VESEL BASED

IN SADENG FISHING PORT, YOGYAKARTA

UDC: 639.2.081

Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

Page 101-110

Fishermen in Sadeng Fishing Port, of DI Yogyakarta Province, are still in doubt to operate Inkamina vessels

until ZEEI in the Indian Ocean. Fishermen are doubt about the operational ability of fishing vessels. This

research aimed to analyze the suitability of loading capacity available on board of the ship, with operational

plan target, and analyze suitability of the layout on the vessel deck. Case study method is used in this research

in which Inkamina 163 fishing vessels become the object of research. Data were analyzed by means of

comparative-numeric to assess the suitability of the design of the ship and to know the working area on deck. In

addition, analysis of the suitability of the design is also refers to KEPMENKP No. 21/2004. The results showed

that Inkamina 163 fishing vessel has a load capacity largely been able to fulfill the plan of the ship operational

target. Working area on the main deck crew is already met. This ship has satisfied 7 from 8 requirements in

KEPMENKP No. 21/2004.

Keywords: Inkamina, fishing vessel, load capacity, comparative numeric

Page 15: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X

Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018

xiii

Page 16: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan

Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

55

BAKTERI ASOSIASI PADA KARANG SCLERACTINIA KAITANNYA DENGAN

FENOMENA LA-NINA DI PULAU BUNAKEN

ASSOCIATED BACTERIA OF SCLERACTINIAN CORAL IN CONNECTION WITH PHENOMENA

OF LA-NINA IN BUNAKEN ISLAND

Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho Kementerian Kelautan dan Perikanan – Balai Penelitian dan Observasi Laut

Tim Perubahan Iklim, Jl. Baru Perancak, Negara-Jembrana, Bali 82251, Indonesia E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]

Diterima tanggal: 25 Februari 2014, diterima setelah perbaikan: 24 April 2015, disetujui tanggal: 27 Mei 2015

ABSTRAK

Penelitian tentang karang keras (Scleractinian coral) yang terkontaminasi bakteri relatif masih kurang dilakukan

khususnya di perairan Indonesia. Untuk itu dilakukan kegiatan penelitian di Taman Nasional Bunaken pada dua periode

yakni Mei 2010 (musim peralihan I) dan Agustus 2011 (Monsoon II). Penelitian ini difokuskan pada kontaminasi

bakteri gram positif (+) dan gram negatif (-). Metode yang dilakukan untuk pengambilan sampel di lapangan adalah

time swim dimana menyelam pada kedalaman 5-10 meter selama kurang lebih 30 menit dan mengambil sampel mucus

karang secara acak/random dengan menggunakan siring atau mengambil sampel secara langsung pada karang (fraksi

cabang) pada lokasi yang sama. Sampel dianalisis dengan proses isolasi bakteri di laboratorium. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada Mei 2010 bakteri gram positif lebih mendominasi dari gram negatif, sebaliknya Agustus

2011 bakteri gram negatif yang lebih dominan dari gram positif. Indikasi faktor penyebab terjadinya bakteri gram

positif yang lebih dominan khususnya di tahun 2010 ialah fenomena La-Nina yang terjadi selama periode tersebut.

Perubahan suhu rata-rata yang terjadi pada kedua musim tersebut menjadi salah satu faktor yang merangsang

pertumbuhan kedua kelompok bakteri ini. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya dalam menentukan jenis

bakterinya dan pengambilan sampel pada setiap musim.

Kata kunci: bakteri, Scleractinian coral, gram positif dan negatif, La-Nina.

ABSTRACT

Research on Scleractinian Coral with bacteria contamination is relatively few explored in Indonesia. The research

study was located in Bunaken National Park in period May 2010 and August 2011. Research focused on gram positive

(+) and gram negative (-) bacteria. For sampling procedure by using SCUBA equipment with time swim at depth 5-10

meters at least 30 minutes and collected randomly coral mucus. In the Laboratory samples were anlayzed by Isolation

bactery processes. Results show that in May 2010 gram-positive bacteria were more dominant than gram-negative,

whereas in August 2011 gram-negative bacteria were more dominant than gram-positive. Indications factors causing

the dominancy of gram-positive bacteria, especially in the year 2010 was the La-Nina phenomena that occured during

this period. Changes in average temperature that occur in both seasons are the one of factors that stimulates the growth

of these two groups of bacteria. Further research needs to be done, especially in determining the type of bacteria and

sampling of each season.

Keywords: bacteria, Scleractinian coral, gram positive, gram negative, La-Nina.

PENDAHULUAN

Terumbu karang merupakan ekosistem yang

mewakili khususnya keanekaragaman hayati laut

di planet ini, akan tetapi habitatnya di dunia

mengalami penurunan secara drastis akibat ulah

manusia yakni eksploitasi secara berlebihan,

polusi, perubahan iklim dan timbulnya penyakit

(De’ath et al., 2009; Hoegh-Goeldberg et al.,

2007). Ekosistem terumbu karang yang mengalami

penurunan luas penutupan karang adalah akibat

kejadian penyakit karang yang timbul di bagian

Indo-Pacific (Raymond et al., 2005; Myers &

Raymond, 2005; Willis et al., 2004; Sato et al.,

Page 17: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63

56

2009; Haapkyla et al., 2010) dan berdasarkan

laporan tahunan terjadi kurang lebih 1% dan

meningkat 2% diantara tahun 1997 dan 2003

(Bruno & Selig, 2007). Penyakit pada karang

mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap

menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang

(Harvel et al., 2004). Beberapa patogen yang

berkembang pada ekosistem terumbu karang

adalah bakteri, virus dan jamur (Weil et al., 2006;

Muller et al., 2012). Penurunan luas tutupan

karang juga dapat distimulasi oleh situasi ekstrim

yang terjadi akibat dominasi alga pada suatu

ekosistem sehingga mengakibatkan menurunnya

luasan karang hidup (Bruckner & Hill 2009,

Aronson & Precht, 2011).

Berlimpahnya serta beranekaragamnya komunitas

mikroorganisme prokariotik yang bersimbiosis

pasif dengan terumbu karang terjadi jika kondisi

lingkungan sekitarnya terganggu (Santavy, 1995;

Kushmaro et al., 1996; Santavy & Peters 1997;

Rohwer et al., 2002). Salah satu adaptasi yang

dilakukan oleh biota karang adalah mensekresikan

cairan atau lapisan mucus atau mucopolysacharide

layer yang mengandung glycoprotein, hydrated

yang membentuk gel viscoelastik (Ritchie &

Smith, 1997). Ritchie & Smith (1997) menjelaskan

bahwa sekresi mucus akan berubah secara

kuantitas serta kandungan alaminya jika karang

mengalami stres. Beberapa komunitas

mikroorganisme prokariotik tersebut bersifat

patogen bagi hewan karang. Keberadaan lapisan

mucus ini memberikan ruang bagi mikroorganisme

prokariotik salah satunya adalah bakteri untuk

bersimbiosis dengan karang.

Penyakit (disease) pada biota karang dapat

disebabkan oleh mikroorganisme pathogen,

tekanan lingkungan, dan melemahnya biota karang

akibat kehilangan sistem imunitas inangnya.

Bourne et al. (2009) menyebutkan bahwa komplek

simbiosis antara hewan karang, algae endobiotik

dan beranekaragam mikroorganisme prokariotik

dapat mengganggu integritas ”coral holobiont”.

Kejadian tersebut dapat merangsang terjadinya

pemutihan atau bleaching. Komunitas bakteri yang

berasosiasi dengan biota karang telah banyak

diketahui memiliki diversitas dan kelimpahan yang

tinggi (Ritchie & Smith 1995, 1997; Santavy,

1995; Kushmaro et al., 1996; Santavy & Peters,

1997; Rohwer et al., 2002; Frias-Lopez et al.,

2002). Dinamika komunitas bakteri

mengeksploitasi sejumlah ruang pada hewan

karang termasuk mucus yang dihasilkan pada

permukaan karang, ruang atau relung intraselluler

di dalam jaringan hewan karang, ruang pada

rangka hewan karang dan air laut di sekitarnya

(Raina et al., 2009).

Rohwer et al. (2002) berhasil mengisolasi bakteri

(mikroorganisme prokariotik) yang bersimbiosis

pada tiga karang yaitu Montastraea franksi,

Diploria strigosa dan Porites astreoides dari dua

lokasi terpisah dan menemukan tingginya

keanekaragaman mikroba dengan beberapa bentuk

bakteri yang bersiombiosis pada karang. Salah satu

metoda sederhana untuk mengelompokkan

tingginya keanekaragaman bakteri menurut Pelczar

& Chan (2005), yaitu dengan teknik pewarnaan

gram. Metode tersebut dapat mengelompokkan

bakteri menjadi bakteri gram positif dan bakteri

gram negatif berdasarkan pada perbedaan dari

komposisi dan struktur dinding selnya.

Bakteri gram-negatif adalah bakteri yang tidak

mempertahankan zat warna metil ungu pada

metode pewarnaan Gram. Bakteri gram-positif

akan mempertahankan warna ungu gelap setelah

dicuci dengan alkohol, sementara bakteri gram-

negatif tidak. Pada uji pewarnaan Gram, suatu

pewarna penimbal (counterstain) ditambahkan

setelah metil ungu, yang membuat semua bakteri

gram-negatif menjadi berwarna merah atau merah

muda. Pengujian ini berguna untuk

mengklasifikasikan kedua tipe bakteri ini

berdasarkan pada perbedaan struktur dinding sel

mereka. Banyak spesies bakteri gram-negatif yang

bersifat patogen, yang berarti mereka berbahaya

bagi organisme inang. Sifat patogen ini umumnya

berkaitan dengan komponen tertentu pada dinding

sel gram-negatif, terutama lapisan lipopolisakarida

(dikenal juga dengan LPS atau endotoksin).

Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding

sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis

berkisar antara 10-15 nm. Komposisi dinding sel

bakteri gram negatif ini terdiri dari lipid dan

peptidoglikan. Konsentrasi lipid pada dinding sel

bakteri gram negatif berkisar antara 11-22 %.

Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan

terhadap penisilin, kurang resisten terhadap

gangguan fisik, dan persyaratan nutriennya relatif

sederhana (Pelczar & Chan, 2005). Kurangnya

informasi terkait dengan kelompok bakteri yang

Page 18: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan

Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

57

menyebabkan beberapa peristiwa penyakit

(disease) dan pemutihan karang (bleaching) yang

terjadi pada beberapa ekosistem terumbu karang di

perairan Indonesia telah mendorong dilakukannya

penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi

komposisi bakteri gram positif dan bakteri gram

negatif rata-rata periode Mei 2010 dan Agustus

2011; dan (ii) menentukan perbedaan kelompok

bakteri mana yang paling dominan dari 2 periode

tersebut.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian Pengambilan sampel dilakukan pada Mei 2010 dan

Agustus 2011 di salah satu pulau di Taman

Nasional (TN) Bunaken, Sulawesi Utara

1° 40′ 0″ N, 124° 39′ 0″ E yakni di Pulau Bunaken

di 6 lokasi berbeda (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan data di Pulau

Bunaken Figure 1. Location data acquisition in

Bunaken Island Sumber: Google, 2011

Pengambilan Data Lapangan Pengambilan sampel mucus dilakukan secara

acak/random pada kedalaman 5-10 m dengan

menggunakan peralatan SCUBA diving dengan

metode time swim. Untuk menganalisis bakteri

gram + dan gram – pada karang keras yang

mengalami pemutihan (bleaching) dan penyakit

(disease). Mukus karang diambil dengan

menggunakan siring (Gambar 2) dan disimpan

dalam ziper bag yang kemudian dibawa ke

laboratorium untuk dianalisis (Gambar 3).

Gambar 2. Pengambilan mukus pada karang dengan

menggunakan siring.

Figure 2. Sampling of coral mucus by using skim. Sumber: Koleksi pribadi

Gambar 3. Sampel mukus disimpan di kantong plastik

untuk analisa di laboratorium.

Figure 3. Mucus stored in plastic bags for analysis in

the laboratory. Sumber: Koleksi pribadi

Metode yang digunakan untuk isolasi bakteri dari

karang yang mengalami pemutihan dan penyakit

adalah metode gores, tuang dan tanam

menggunakan media agar dengan urutan kerja

sebagai berikut: pembuatan media agar (Gambar

4), isolasi dan isolasi penyegaran bakteri (Gambar

5).

Untuk penghitungan nilai total perbedaan gram

positif dan negatif dilakukan analisis test statistik

dengan uji-T atau t-Test yang dipergunakan untuk

menguji kebenaran atau kepalsuan hipotesis

nol/nihil (Ho) yang menyatakan bahwa diantara

dua buah rerata sampel yang diambil secara

random dari populasi yang sama tidak terdapat

perbedaan yang signifikan (Legendre & Legendre,

1998). Dari analisis dengan menggunakan t-Test

(Tabel 3), didapatkan hasil bahwa ada perbedaan

antara bakteri gram + dan gram – dari periode 2

(dua) tahun penelitian yakni pada Mei 2010 gram +

(positif) lebih tinggi/dominan, sedangkan Agustus

2011 gram – (negatif) yang lebih tinggi/dominan

Page 19: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63

58

dari setiap genus karang keras yang diambil secara

acak di 6 lokasi survei.

Isolasi Bakteri pada Sampel Karang dan Mucus

Karang

Isolasi bakteri dari karang yang mengalami

bleaching (metode gores, tuang dan tanam)

menggunakan media agar dengan urutan kerja

sebagai berikut: (i) pembuatan media agar dan (ii)

isolasi dan penyegaran bakteri (Pelczar & Chan,

2005).

Gambar 4. Proses uji pewarnaan gram dari isolat

bakteri.

Figure 4. The process of gram stain test of bacterial

isolates Sumber: Koleksi pribadi

Pembuatan Media Agar

Proses pembuatan media agar dimulai dengan

menimbang dengan timbangan elektrik 10 gram

nutrient agar (NA) lalu dimasukkan ke dalam

wadah berupa gelas ukur volume 1.000 ml, lalu

dilarutkan dengan 500 ml aquades kemudian

dipanaskan dan diaduk hingga larut. Setelah

melarut sempurna, larutan dimasukkan ke dalam

cawan petri dengan volume kurang lebih 17 ml dan

kemudian disimpan agar memadat pada suhu

kamar.

Isolasi dan Penyegaran Bakteri

Tahapan isolasi dan penyegaran bakteri dimulai

dengan menyiapkan sampel karang lunak tanpa

pencucian serta cairan mucus yang dihasilkan

diletakkan ke dalam cawan petri lalu timbang 0,5

gram sampel, kemudian diletakkan di dalam wadah

beaker glass dan diinokulasikan pada media agar

yang telah padat dengan metode gores langsung

dari sampel karang yang mengalami bleaching,

metode tuang untuk cairan mucus yang ter-

dissolved pada air media, serta 0,5 gram sampel

yang ditanam langsung pada media agar padat,

semua proses isolasi dilakukan dalam ruang atau

ruangan khusus. Proses selanjutnya adalah

inkubasi selama ± 24 jam pada suhu 25 0C.

Setelah terlihat koloni, kemudian koloni dengan

pigmentasi dan morfologi yang berbeda dipisahkan

dan dibuat isolat murninya. Diperlukan proses

penyegaran untuk meregulasi pertumbuhan sel

bakteri pada media baru sehingga diperoleh isolat

bakteri dengan kondisi pertumbuhan yang

optimum. Bakteri uji yang akan disegarkan diambil

satu ose, lalu digoreskan pada media agar miring

yang baru lalu diinkubasikan selama 24 jam.

Isolasi mikroorganisme dari hewan karang dan

mukus karang dilakukan seluruhnya di

Laboratorium Riset Kelautan (LRK), Balai Riset

dan Observasi Kelautan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil isolasi bakteri dan identifikasi awal dengan

teknik pewarnaan gram untuk 18 sampel dari 8

genus karang serta mucus karang yang diperoleh

dari 5 titik pengambilan sampel di lokasi penelitian

(TN Bunaken) pada Mei 2010 menunjukkan bahwa

bakteri isolat yang termasuk ke dalam kelompok

bakteri gram positif (13 sampel) dan bakteri gram

negatif (5 sampel), juga terlihat bahwa dari genus

karang yang sama dengan 3 perlakuan isolasi

menunjukkan kelompok bakteri yang berbeda

seperti yang terlihat pada Porites nigrescens dari

lokasi Rons Point (Tabel 1). Frias-Lopez et al.

(2002) menemukan bakteri yang berada di kolom

perairan berbeda dengan bakteri yang berasosiasi

pada karang. Beberapa hasil penelitian yang

dilakukan oleh Santavy (1995), Frias-Lopez (2002)

serta Rohwer et al. (2002) menunjukkan

keanekaragaman kelompok bakteri yang

bersimbiosis pada biota karang.

Hasil identifikasi dengan metode pewarnaan gram

dari mikroorganisme yang berhasil diisolasi

disajikan dalam Tabel 1 (2010) dan Tabel 2

(2011). Isolat bakteri dari karang jenis Porites

nigrescens termasuk dalam kelompok bakteri gram

positif untuk bakteri yang diisolasi dengan metode

gores langsung dari air media hidupnya, sedangkan

Page 20: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan

Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

59

untuk metode gores dari karang dan potongan

karang yang ditanam pada media agarnya diketahui

termasuk ke dalam kelompok bakteri gram negatif.

Hasil yang sama juga dijumpai pada jenis

Pocillopora verrucosa dari lokasi pengambilan

sampel di Celah Celah. Pada penelitian Efrony et

al. (2007) terhadap karang jenis Pocillopora

damicornis dan Favia favus ditemukan adanya

indikasi infeksi oleh bakteri jenis Vibrio

coralliilyticus dan Thalosomonas loyaeana dari

kelompok bakteri gram negatif yang menyebabkan

terjadinya bleaching dan lissis jaringan serta

penyakit the white plague.

Jenis Goniopora tenuidens dari lokasi Lekuan 1

dan Montipora danae dari lokasi pengambilan di

Celah Celah menunjukkan kelompok bakteri gram

negatif untuk isolat yang dilakukan dengan

melakukan goresan dari air media hidupnya.

Kelompok isolat bakteri gram positif ditemukan

pada lokasi pengambilan sampel karang dan mukus

karang yaitu Rons Point, Celah Celah, Lekuan 1,

Lekuan 2, Muka Kampung dan Fukui.

Hasil isolasi bakteri dan identifikasi awal dengan

teknik pewarnaan gram untuk 25 sampel dari 8

genus karang serta dari mucus karang yang

diperoleh dari 6 titik pengambilan sampel pada

lokasi penelitian (TN Bunaken) pada Agustus 2011

menunjukkan bahwa bakteri isolat termasuk ke

dalam kelompok bakteri gram positif (9 sampel)

dan bakteri gram negatif (16 sampel). Isolat bakteri

dari karang jenis Porites termasuk dalam

kelompok bakteri gram negatif untuk bakteri yang

diisolasi dengan metode gores langsung dari air

media hidupnya, metode gores dari karang dan

potongan karang yang ditanam pada media agar.

Hasil yang sama juga dijumpai pada jenis Favites

sp dari lokasi pengambilan sampel. Penggunaan

metode untuk mendapatkan isolat bakteri yang

berbeda dilakukan untuk melihat keanekaragaman

kelompok bakteri di sekitar lokasi pengambilan

sampel.

Kelompok bakteri gram negatif menginfeksi genus

karang lebih tinggi pada 2011 (Agustus), kondisi

sebaliknya terjadi pada 2010. Perbedaan kelompok

bakteri yang ditemukan pada kedua musim

(peralihan I dan Monsoon II) mengindikasikan

bahwa perbedaan temperatur telah menjadi salah

satu faktor yang merangsang perkembangan kedua

kelompok bakteri yang berbeda (Banin et al.,

2000). Pada pertengahan 2010 terjadi La Nina

yang berdampak pada terjadinya musim hujan di

beberapa wilayah Indonesia, hal ini terlihat pada

bulan-bulan pertengahan pada 2010 yang

seharusnya berlangsung musim kemarau namun

sebaliknya turun hujan deras di berbagai daerah.

Tabel 1. Hasil identifikasi bakteri total dengan metode

pewarnaan gram positif dan negatif pada Mei 2010

Table 1. The results of total bacterial identification with

positive and negative gram stain method in May 2010 Genus

Karang

Gram (+)

2010 %

Gram (-)

2010 %

Acropora 3 33 1 6

Favites 0 0 0 0

Seriatopora 0 0 0 0

Stylophora 0 0 0 0

Porites 8 89 0 0

Goniopora 1 11 3 19

Montipora 1 11 1 6

Pachyseris 0 0 0 0

Jumlah Genus 13 144 5 31

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel 2. Hasil identifikasi bakteri total dengan metode

pewarnaan gram positif dan negatif pada Agustus 2011

Table 2. The results of total bacterial identification with

positive and negative gram stain method in August

2011

Genus Karang Gram (+)

2011 %

Gram (-)

2011 %

Acropora 2 22 3 19

Favites 0 0 2 13

Seriatopora 3 33 2 13

Stylophora 1 11 5 31

Porites 0 0 4 25

Goniopora 0 0 0 0

Montipora 1 11 0 0

Pachyseris 2 22 0 0

Jumlah Genus 9 100 16 100

Sumber: Hasil pengolahan data

Sifat hujan selama musim hujan pada 2011/2012 di

sebagian besar daerah yaitu 267 ZOM (78,07 %)

diprakirakan normal dan 40 ZOM (11,70 %) atas

normal, sedangkan yang bawah normal 35 ZOM

(10,23 %). Kecenderungan cuaca di Indonesia pada

2011 relatif stabil (www.bmkg.go.id). Berdasarkan

data dari BMKG tersebut diketahui bahwa pada

2010 telah terjadi La Nina yang berimbas pada

tingginya curah hujan lalu pada 2011 ternyata

Page 21: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63

60

kecenderungan curah hujan normal. Data tersebut

mengindikasikan bahwa dari tahun 2010 ke 2011

telah terjadi perubahan suhu di sekitar lokasi

pengambilan data. Peningkatan suhu sebesar 1-2 0C dalam jangka waktu yang lama bagi biota

karang dapat menstimulasi terjadinya pelepasan

zooxanthella dari karang (Jokiel & Coles, 1990).

A

B

Gambar 5. Struktur gram positif = A (+) dan

gram negatif = B (-) dilihat dari mikroskop = 5,5

Micronmetric (mm).

Figure 5. The structure of gram-positive = A (+)

and gram negative = B (-) seen from the

microscope = 5.5 Micronmetric (mm) Sumber: Hasil pengolahan data

Gambar 6. Grafik perbandingan analisis bakteri gram

positif dan negatif 2010-2011.

Figure 6. Comparative analysis graph of gram positive

and negative bacteria 2010-2011 Sumber: Hasil analisis

Hasil pengambilan sampel pada dua tahun ini

mengindikasikan bahwa perubahan suhu pada

lokasi pengambilan sampel telah menjadi salah

satu faktor yang menstimulasi berkembangnya

kelompok bakteri gram positif dan bakteri gram

negatif.

Dari hasil analisis diketahui bahwa pada 2010

ditemukan secara dominan kelompok bakteri gram

positif yang memiliki dinding sel lebih tebal

dibandingkan dengan gram negatif. Sebaliknya

pada 2011yang lebih dominan adalah bakteri gram

negatif. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 6 tentang

perbandingan bakteri gram positif dan negatif pada

2010-2011 (Ampou et al., 2011). Kedua koloni

bakteri (gram positif dan gram negatif)

teridentifikasi pada kedua waktu pengamatan (pada

2010 dan 2011) dari isolat bakteri pada karang

yang mengalami pemutihan dan penyakit. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa kedua koloni

bakteri yaitu gram positif dan gram negatif

berpotensi bersifat pathogen pada karang yang

diamati. Pelczar & Chan (2005) menyatakan

bahwa bakteri gram negatif yang bersifat patogen

lebih berbahaya dari pada bakteri gram positif,

karena membrane luar pada dinding selnya dapat

melindungi bakteri dan sistem pertahanan inang

dan menghalangi masuknya obat-obatan antibiotik.

Senyawa lipopolisakarida pada membran luar

bakteri gram negatif dapat bersifat toksik (racun)

bagi inang. Menurut Pelczar & Chan (2005)

bakteri laut 95 % adalah bakteri gram negatif,

sebagian aktif bergerak sedangkan bakteri gram

positif sebagain besar berada pada sedimen.

Waktu pengamatan pada 2010 terjadi fenomena

La-Nina (berdasarkan data dari BMKG) yang

diindikasikan dengan tingginya curah hujan.

Tingginya curah hujan pada 2010 mengindikasikan

telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan di

sekitar pengambilan sampel karang yang

mengalami pemutihan. Salah satu dampak dari

tingginya curah hujan adalah rendahnya tingkat

kecerahan di sekitar ekosistem terumbu karang

karena teraduknya substrat atau sedimen oleh arus.

Terangkatnya sedimen atau substrat akibat

meningkatnya kecepatan arus di sekitar ekosistem

terumbu karang pada lokasi pengamatan diduga

salah satu faktor yang merangsang dominansi

koloni bakteri gram positif pada 2010.

Fenomena yang memicu terjadinya pemutihan dan

penyakit pada karang sangat bervariasi dan

Page 22: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan

Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

61

sebagian besar tak terduga dan faktor penyebabnya

sangat kompleks (Grimsditch & Salm, 2006).

Faktor-faktor penyebabnya diantaranya adalah:

meningkatnya (paling sering terjadi) atau

menurunnya suhu air laut, meningkatnya radiasi

matahari (Saxby et al., 2003), perubahan kimia air

laut (Johnson & Marshall, 2007), peningkatan

sedimentasi (Rogers, 1990), karang terdedah/

terekspose akibat surutnya air laut (Anthony &

Kersewel, 2007) dan infeksi bakteri (Kushmaro et

al., 1997). Namun demikian proses kelangsungan

hidup dari setiap individu karang sangat tergantung

pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan

perubahan lingkungan di sekitarnya (Grimsditch &

Salm, 2006). Dalam hal ini sangat terkait dengan

kemampuan suatu individu dalam ekosistem untuk

resistance, yaitu kemampuan ekosistem untuk

menahan gangguan tanpa mengalami pergeseran

fase atau kehilangan struktur atau fungsinya

(Odum, 1989) dan resilience, yaitu kemampuan

sistem untuk menyerap atau pulih dari gangguan

dan perubahan, tetap menjaga fungsinya

(Carpenter et al., 2001).

Tabel 3. Hasil analisis total gram positif dan negatif

tahun 2010 & 2011 dengan Uji-T

Table 3. The results total of analysis gram positive and

negative in 2010 & 2011 with T-Test

t-Test: Paired Two

Sample for Means

Gram + Gram -

Mean 1.5 2

Variance 1.428571429 3.714285714

Observations 8 8

Pearson Correlation -0.434121571

Hypothesized Mean

Difference 0

df 7

t Stat -0.529150262

P(T<=t) one-tail 0.306530076

t Critical one-tail 1.894578604

P(T<=t) two-tail 0.613060152

t Critical two-tail 2.364624251

Tolak H0= Ada perbedaan antara gram+ dan gram - di 6

titik lokasi survey dimana gram - lebih dominan Sumber: Hasil analisis

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada musim peralihan I (Mei 2010) ditemukan

dominan kelompok bakteri gram positif, sedangkan

pada Monsoon II (Agustus 2011) adalah kelompok

bakteri gram negatif. Perubahan suhu yang terjadi

pada kedua musim menjadi salah satu faktor yang

merangsang perkembangan kedua kelompok

bakteri gram positif dan gram negatif pada lokasi

pengambilan sampel. Kurangnya frekuensi

penelitian menyarankan agar perlunya dilakukan

penelitian pada setiap musim untuk menguji jenis

(spesies) bakteri secara lebih detail.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai

Penelitian dan Observasi Laut (BPOL yang

sebelumnya bernama Balai Riset dan Observasi

Kelautan) atas dukungan dana lewat dana DIPA.

Kami berterima kasih juga kepada Kepala BPOL

atas saran dan masukkannya, teman-teman Tim

Perubahan Iklim, DKP Provinsi Sulut, BTN-

Bunaken dan semua pihak yang mendukung

sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ampou, E.E., Triyulianti, I., Widagti, N., Hamzah,

F. & Manessa, M.D.M.. (2011). Studi

operasional oseaonografi untuk konservasi

ekosistem terumbu karang. Laporan

Penelitian. Tim Perubahan Iklim, Balai

Penelitian dan Observasi Laut.

Anthony, K.R.N. & Kerswell, A.P. (2007). Coral

mortality following extreme low tides and

high solar radiation. Marine Ecology

Progress Series, 151 (5): 1623–1631.

doi:10.1007/s00227-006-0573-0.

Aronson, RB., & Precht WF. (2001). White-band

disease and the changing face of Caribbean

coral reefs. Hydrobiologia, 460: 25–38.

Banin, E., Ben-Haim, Y., Israely, T., Loya, Y., &

Rosenberg, E. (2000). Effect of the

environment on the bacterial bleaching of

corals. Water, Air and Soil Pollution, (123):

337-352.

Bourne, D.G., Garren, M., Work, T.M., Rosenberg,

E., Smith, G.W. & Harvell, C.D. (2010).

Page 23: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63

62

Microbial disease and the coral holobiont.

Trends in Microbiology, (12) : 554 – 562.

Bruckner, A.W., & Hill, R.L. (2009). Ten years of

change to coral communities off Mona and

Desecheo Islands, Puerto Rico, from disease

and bleaching. Diseases of Aquatic

Organisms, 87: 19–31.

Bruno, J.F., & Selig, E.R. (2007). Regional decline

of coral cover in the Indo-Pacific: Timing,

extent, and subregional comparisons. PLoS

ONE 2: e711.

Carpenter, S., Walker, B., Anderies, J.M., & Abel,

N. (2001). From metaphor to measurement:

Resilience of what to what? Ecosystems, 4,

765-781.

De’ath, G., Lough J. M. & Fabricius, K.E. (2009).

Declining coral calcification on the Great

Barrier Reef. Science, 323: 116–119.

Efrony, R., Loya, L., Bacharach, E. & Rosenberg.

(2007). Phage therapy of coral disease.

Coral Reefs, (26) : 7 – 13.

Frias-Lopez, J., Zerkle, A.L., Bonheyo, G.T. &

Fouke, B.W. (2002). Par-titioning of

bacterial communities between seawater and

healthy, black band diseased, and dead coral

surfaces. Appl Environ Microbiol, 68: 2214–

2228.

Grimsditch, Gabriel D., & Salm, Rodney V.

(2006). Coral reef resilience and resistance

to bleaching. IUCN, Gland, Switzerland.

52pp.

Harvell, C.D., Jordan-Dahlgren, E., Merkel, S.,

Rosenberg, E., Raymundo, L., Smith, G.,

Weil, E. & Willis, B. (2007). Coral disease,

environmental drivers, and the balance

between coral and microbial associates.

Oceanograpy, 20: 172–195.

Hoegh-Guldberg, O, Mumby, P.J., Hooten, A.J.,

Steneck, R.S., & Greenfield, P. (2007). Coral

reefs under rapid climate change and ocean

acidification. Science, 318: 1737–1742.

Johnson, J.E., & Marshall, P.A. (2007). Climate

change and the Great Barrier Reef: A

vulnerability assessment. Townsville, Qld.:

Great Barrier Reef Marine Park Authority.

ISBN 978-1-876945-61-9.

Jokiel, P.L., & Coles, L. (1990). Response of

Hawaiian and other Indo Pacific reef corals

to elevated temperature. Coral Reefs, 8: 155-

162.

Kushmaro, A., Loya, Y., Fine, M., & Rosenberg,

E. (1996). Bacterial infection and coral

bleaching. Nature, 380:396.

Kushmaro, A., Rosenberg, E., Fine, M., & Loya,

Y. (1997). Bleaching of the coral Oculina

patagonica by vibrio AK-1. Marine Ecology

Progress Series, 147: 159–165.

doi:10.3354/meps147159.

Legendre, L., & Legendre, P. (1998). Numerical

ecology. Elsevier Scientific Publishing

Company. 853 p.

Muller, E.M., Raymundo, L.J., Willis, B.L.,

Haapkyla, J., Yusuf, S., Wilson, J.R., &

Harvell, D.C. (2012). Coral health and

disease in The Spermonde Archipelago and

Wakatobi, Sulawesi. Journal of Indonesia

Coral Reefs, 1(3), 149-159.

Odum, E.P. 1989. Ecology and our endangered

life-support systems. Sinauer Associates

Inc: Sunderland (USA)

Pelczar, M.J., & Chan, E.C.S. (2005). Dasar-dasar

Mikrobiologi 2. Jakarta: UI-Press.

Raina, J.E., Tapiolas, D., Willis, B.L., & Bournei,

D.G. (2009). Coral associated bacteria and

their role in the biogeochemical cycling of

sulfur. Applied and Environmental

Microbiology, (75): 3492 – 3501.

Rogers, S.R. (1990). Responses of coral reefs and

reef organisms to sedimentation. Marine

Ecology Progress Series, 62: 185–202.

doi:10.3354/meps062185.

Rohwer, F., Seguntan, V., Azan, F., & Knoulton,

N. (2002). Diversity and distribution of

coral-assosiated bacteria. Marine Ecology

Progress Series, 243: 1-10.

Santavy, D.L. (1995). The diversity of

microorganisms associated with marine

invertebrates and their roles in the mainte-

nance of ecosystems. In: Allsopp D, Colwell

RR, Hawks-worth DL (Eds). Microbial

diversity and ecosystem func-tion. CAB

International, Wallingford, p 211–229.

Santavy, D.L., & Peters, E.C. (1997). Microbial

pests: coral disease in the Western Atlantic.

Proc 8th Int Coral Reef Symp, 1: 607–612.

Saxby, T., Dennison, W.C., & Hoegh-Guldberg, O.

(2003). Photosynthetic responses of the

coral Montipora digitata to cold temperature

stress". Marine Ecology Progress Series,

248: 85. doi:10.3354/meps248085.

Turak, E., & De Vantier, L. (2003). Reef building

corals of Bunaken National Park, north

Page 24: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan

Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho

63

Sulawesi, Indonesia: Rapid Ecological

Assesement of biodiversity and status. Final

Report to the International Ocean Institute

Regional Centre for Australian and the

western pacific.

Weil, E., Smith, G., & Gil-Agudelo, D.L. (2006).

Status and progress in coral reef disease

research. Diseases of Aquatic Organism,

69(1):1-7.

http://whc.unesco.org/en/tentativelists/2002/. State

Minister for The Environment. (2005).

Bunaken National Park, diakses pada

tanggal, 2 Februari 2012.

http://www.bmkg.go.id/BBMKG_Wilayah_3/Lain_

Lain/Artikel/HUJAN_DI_MUSIM_KEMARA

U_DAMPAK_LA_NINA.bmkg. BMKG.

(2010). Diakses pada tanggal 9 Maret 2012.

Page 25: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63

64

Page 26: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan

Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

65

UJI PERFORMANSI TEKNOLOGI RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM (RAS)

TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR PADA PENDEDERAN LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

PERFORMANCE TEST OF RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM (RAS) TECHNOLOGY

TO WATER QUALITY CONDITION IN SPINY LOBSTER Panulirus homarus NURSERY

Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

Pusat Pengkajian Perekayasaan Teknologi Kelautan Perikanan-Balitbang-KKP

Jl Pasir Putih I Ancol, Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 22 Januari 2015, diterima setelah perbaikan: 11 Juni 2015, disetujui tanggal: 26 Juni 2015

ABSTRAK

Pendederan lobster Panulirus homarus dimaksudkan untuk memperoleh bibit yang adaptif dan seragam sebelum

dibudidayakan dalam keramba. Pendederan lobster dapat dilakukan secara indoor dengan menggunakan teknologi

Recirculating Aquaculture System (RAS). Penggunaan teknologi RAS dimaksudkan untuk mengontrol beberapa

parameter kualitas air agar memenuhi syarat kualitas air untuk budidaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis

parameter kualitas air pada pendederan lobster Panulirus homarus dengan menggunakan teknologi RAS. Filter yang

digunakan pada RAS ini disusun dari beberapa media yang terdiri dari susunan batu biocrystal, batu koral, zeolit dan

karbon aktif. Parameter kualitas air yang diuji meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, CO2, nitrit, nitrat dan amonia. Secara

keseluruhan, parameter kualitas air selama penelitian yang diuji, masih memenuhi syarat untuk kegiatan pendederan

lobster Panulirus homarus.

Kata kunci: RAS, kualitas air, pendederan, lobster, Panulirus homarus

ABSTRACT

Panulirus homarus seed nursery is an effort to yield adaptive and uniform quality lobster seed, prior to seacages

rearing. Land based spiny lobster nursery can use Recirculating Aquaculture System technology (RAS). RAS technology

is intended to control several water quality parameter, in order to meet the water quality requirements for lobster seed

cultivation. The purpose of this study was to analyze water quality parameters in Panulirus homarus nursery using RAS

technology. Filters used in RAS are composed of biocrystal stone, coral, zeolites and activated carbon. Water quality

parameters recorded include temperature, pH, dissolved oxygen, CO2, nitrite, nitrate and ammonia. Overall, water

quality parameters during the study were qualify for Panulirus homarus nursery activities.

Keywords: RAS, water quality, nursery, lobster, Panulirus homarus

PENDAHULUAN

Recirculating Aquaculture Systems (RAS) adalah

sebuah sistem produksi perikanan yang mengolah

kembali air yang digunakan agar memenuhi syarat

kualitas air untuk kegiatan budidaya (P3TKP,

2013). Teknologi RAS merupakan salah satu

pilihan teknologi yang banyak digunakan untuk

kegiatan budidaya perikanan secara intensif

beberapa tahun ini. Aplikasi dan pengembangan

teknologi RAS pada berbagai jenis ikan telah

banyak dilakukan oleh Norwegia selama kurun

waktu 20-30 tahun ini. Beberapa jenis ikan yang

dibudidayakan adalah Salmon (Salmo salar),

Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss), Sidat

(Anguilla anguilla), Pike Perch (Stizostedion

lucioperca), Arctic Char (Salvelinus alpinus),

Sturgeon (order Acipenseriformes), Nila

(Oreochromis niloticus), dan Lobster Homarus

Page 27: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73

66

gammarus (Dalsgaard, Lund, Thorarinsdottir,

Drengstig, Arvonen, & Pedersen, 2013).

Kegiatan budidaya lobster Homarus gammarus

skala besar di Norwegia telah menggunakan land-

based RAS untuk memproduksi lobster ukuran

konsumsi. Fasilitas budidaya ini mempunyai

persediaan induk dan pembenihan untuk

memproduksi bibit juvenil lobster tingkat IV.

Sistem yang digunakan pada pembesaran lobster

adalah ‘single cage technology with moving bed

biofilters’, dimana sistem resirkulasi dirancang

secara intensif untuk manajemen penggunaan air

(Drengstig dan Bergheim, 2013).

Kegiatan budidaya lobster sedang marak dilakukan

oleh beberapa negara ASEAN. Lobster yang

umum dibudidayakan adalah lobster pasir

Panulirus homarus. Pada budidaya lobster di

Vietnam, benih lobster yang tertangkap dipelihara

selama 30-60 hari terlebih dahulu, sebelum

dibudidaya dalam keramba di laut (Chau, Ngoc, &

Nhan, 2008). Budidaya pembesaran lobster di

Indonesia menggunakan keramba jaring apung

telah banyak dilakukan di kawasan Pelabuhan Ratu

dan Lombok. Salah satu permasalahan dalam

budidaya pembesaran lobster ini adalah rendahnya

kelangsungan hidup benih lobster yang

dibudidayakan. Hal ini karena benih yang

digunakan tidak melalui proses aklimatisasi

terlebih dahulu seperti di Vietnam. Selain itu, pada

kegiatan pembesaran lobster ini, benih yang

ditebar memiliki ukuran sangat beragam.

Keberagaman ukuran benih yang digunakan

menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme

semakin tinggi (Johnston et al., 2006). Larva

lobster bersifat sangat kanibal karena ketika

menemukan sebuah objek mereka akan menguji

apakah benda tersebut dapat dimakan atau tidak

(Burton, 2003). Tingkat kematian benih lobster

yang tinggi tentunya dapat mengurangi keuntungan

pembudidaya. Salah satu cara untuk mengatasi

permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan

kegiatan pendederan benih lobster, sebelum

dilakukan penebaran di keramba.

Kegiatan pendederan lobster air laut, dapat

dilakukan secara indoor menggunakan teknologi

RAS. Penggunaan RAS secara intensif dapat

mengurangi secara signifikan konsumsi air dan

konsentrasi nutrien melalui perbaikan dan

pengembangan teknologi secara berkelanjutan.

RAS dapat digunakan untuk mengontrol beberapa

parameter kualitas air penting seperti oksigen

terlarut, karbon dioksida, amonia, nitrit, nitrat, pH,

salinitas, dan padatan tersuspensi. Hal ini

memungkinkan terciptanya kondisi pemeliharaan

yang baik untuk pertumbuhan dan pemanfaatan

pakan yang lebih optimal (Dalsgaard et al., 2013).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menganalisis parameter kualitas air pada

pendederan lobster Panulirus homarus dengan

menggunakan teknologi RAS.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan November 2013

sampai dengan Januari 2014, di Laboratorium

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Jalan

Pasir Putih 1 Ancol Timur, Jakarta Utara.

Benih lobster yang digunakan dalam penelitian ini

didapat dari wilayah Lombok Selatan sebanyak

760 ekor. Berat benih lobster yang digunakan

dalam peneltian ini 2,12±0,02 gram/ekor. Jenis

lobster yang digunakan adalah lobster pasir

Panulirus homarus. Padat tebar benih lobster

dalam penelitian ini adalah 95 ekor/ m2. Selama

penelitian, pemberian pakan ikan teri sebesar 10 %

dilakukan satu kali dalam sehari (Johnston et al.,

2006). Pemeliharaan benih selama penelitian

dilakukan selama 70 hari.

Pada penelitian ini digunakan 10 bak. 8 buah bak

digunakan untuk perlakuan kemudian 2 bak

lainnya masing-masing digunakan sebagai

tampungan effluen dan tampungan hasil filter. 9

bak percobaan terbuat dari plastik, masing-masing

berdimensi 1,2 x 0,95 x 1 m dan 1 bak fiber bentuk

lingkaran dengan diameter 1,5 m dan tinggi 0,75

m. Pada penelitian ini, digunakan sistem

resirkulasi, dengan mengoperasikan 2 pompa

submersible masing-masing kapasitas 5500 L/jam

(Gambar 1). Aerasi dilakukan dengan

menggunakan aerator jenis diffuser, dengan jumlah

titik aerasi sebanyak 3 titik pada masing-masing

bak perlakuan. Filter yang digunakan tersusun dari

beberapa media yang terdiri dari batu biocrystal

sebanyak 71,0 cm3, batu koral sebanyak 71,5 cm

3,

zeolit sebanyak 271,1 cm3dan karbon aktif

sebanyak 480,3 cm3 (Gambar 2). Jenis perlakuan

pada bak pendederan adalah menggunakan shelter

jaring, lubang angin, paralon dan tanpa shelter.

Page 28: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan

Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

67

Pengujian parameter fisika-kimia air dilakukan

untuk mengetahui kinerja RAS yang digunakan.

Pengujian parameter fisika air dilakukan setiap hari

meliputi pengujian parameter pH, salinitas,

temperatur dan DO. Pengamatan parameter kimia

air dilakukan pada hari ke-0, 1, 3, 7, kemudian

setiap 7 hari. Pengujian parameter kimia meliputi

parameter amonia, nitrit, nitrat, CO2. Metode

pengujian parameter fisika-kimia air mengacu pada

APHA (1990).

Gambar 1. Instalasi RAS pada pendederan lobster Panulirus homarus

Figure 1. RAS installation of lobster Panulirus homarus nursery

Sumber: Koleksi pribadi

Gambar 2. Susunan media filter

Figure 2. Filter media composition Sumber: Koleksi pribadi

Page 29: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73

68

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Suhu selama penelitian cenderung fluktuatif

berkisar antara 27,33–28,88 ºC. pH selama

penelitian berkisar antara 7,07-7,86. Pada awal

penelitian pH cenderung lebih tinggi dibanding

selama penelitan. Oksigen terlarut (DO) selama

penelitian pada pukul 09.00 WIB cenderung

fluktuatif berkisar antara 5,26–7,09 mg/L, dan

pada pukul 16.00 WIB berkisar antara 5,15-7,17

mg/L. Tren kondisi oksigen terlarut pada awal

penelitian sampai akhir penelitian mengalami

sedikit peningkatan. Kondisi suhu, pH dan oksigen

terlarut selama penelitian dapat dilihat pada

Gambar 3.

Keterangan:

Bak perlakuan dengan shelter jaring

Bak perlakuan menggunakan shelter paralon

Bak perlakuan menggunakan shelter lubang angin

Bak perlakuan tanpa shelter

Effluen

Filtrat

Gambar 3. Parameter suhu, pH dan oksigen terlarut selama penelitian

Figure 3. Temperature, pH and dissolved oxygen parameter throughout the study Sumber: Hasil pengolahan data

Salinitas selama penelitian berkisar antara 34,14–

37,71 ppt. Kondisi salinitas cenderung mengalami

kenaikan dari awal penelitian sampai akhir

penelitian. Karbon dioksida (CO2) selama

penelitian berkisar antara 0,39–5,19 mg/L. Kondisi

CO2 menunjukkan kecenderungan penurunan dari

awal penelitian sampai akhir penelitian. Nitrit

selama penelitian berkisar antara 0,22–3,14 mg/L.

Grafik nitrit selama penelitian mempunyai

kecenderungan naik kemudian mengalami

penurunan. Kondisi nitrat selama penelitian

berkisar antara 0,11 x 10-1

–6,78 mg/L. Tren grafik

menunjukkan, pada awal penelitian (sampai hari

ke-21) konsentrasi nitrat mengalami peningkatan

perlahan. Konsentrasi nitrat kemudian cenderung

mengalami peningkatan sampai akhir penelitian.

Kondisi amonia selama penelitian berkisar antara

0,67 x 10-3

– 0,55 x 10-1

mg/L. Tren grafik amonia,

pada awal penelitian cukup rendah, berkisar antara

0,67 x 10-3

– 0,15 x 10-2

(hari ke-0 sampai 14).

Pada hari ke-21 sampai 35, konsentrasi amonia

mengalami peningkatan. Konsentrasi amonia

kemudian cenderung mengalami penurunan sampai

pada akhir penelitian. Kondisi salinitas, CO2, nitrit,

nitrat, dan amonia selama penelitian dapat dilihat

pada Gambar 4.

(Pukul 09:00 WIB) (Pukul 16:00 WIB)

Page 30: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan

Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

69

Keterangan:

Bak perlakuan dengan shelter jaring

Bak perlakuan menggunakan shelter paralon

Bak perlakuan menggunakan shelter lubang angin

Bak perlakuan tanpa shelter

Effluen

Filtrat

Gambar 4. Parameter salinitas, CO2, nitrit, nitrat, dan amonia selama penelitian

Figure 4. Salinity, CO2, nitrite, nitrate and Ammoia parameter throughout the study Sumber: Hasil pengolahan data

Pembahasan

Batu koral pada filter yang mengandung kapur

berfungsi untuk mempertahankan pH selama

proses pemeliharaan/pendederan. Filter fisik

digunakan untuk memisahkan padatan dari air

secara fisika (berdasarkan ukuran) dengan cara

menangkap atau menyaring sehingga kandungan

bahan tersebut menjadi berkurang. Fungsi dari

filter fisik adalah untuk menurunkan turbiditas di

air yang disebabkan oleh mikroorganisme dan

partikel lain, untuk menurunkan tingkat koloid

organik, dan untuk menyingkirkan detritus dari

filter biologi. Meskipun filter fisik dapat

memisahkan partikel tersuspensi secara efisien,

namun tidak efektif untuk memisahkan partikel-

partikel yang terlarut (Yudha, 2009).

Karbon aktif berfungsi sebagai filter kimiawi.

Karbon aktif digunakan untuk menyaring dan

menghilangkan klorin, sedimen, bau dan senyawa

organik Volatile Organic Compounds atau (VOC)

dari air (Endarko et al., 2013). Ukuran partikel dan

luas permukaan merupakan hal yang penting dalam

karbon aktif. Ukuran partikel karbon aktif

mempengaruhi kecepatan adsorpsi, tetapi tidak

mempengaruhi kapasitas adsorpsi yang

berhubungan dengan luas permukaan karbon. Luas

permukaan total mempengaruhi kapasitas adsorpsi

Page 31: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73

70

total sehingga meningkatkan efektifitas karbon

aktif dalam penyisihan senyawa organik dalam air

buangan. Ukuran partikel tidak terlalu

mempengaruhi luas permukaan total sebagian

besar meliputi pori-pori partikel karbon. Struktur

pori-pori karbon aktif mempengaruhi perbandingan

antara luas permukaan dan ukuran partikel

(Kasam, Yulianto dan Sukma, 2005). Adsorpsi

umumnya digunakan untuk menghilangkan klorin

dan kotoran organik. Hal ini dilakukan biasanya

dengan karbon aktif granular (APHA, 1999).

Sumber amonia di perairan adalah pemecahan

nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen

anorganik oleh mikroba dan jamur yang terdapat di

dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi

bahan organik (buangan metabolisme, sisa pakan)

(Effendi, 2003). RAS mengandalkan nitrifikasi

untuk mengkonversi amonia dan nitrit yang

bersifat toksik menjadi nitrat. Nitrifikasi dapat

berlangsung dalam biofilter oleh bakteri nitrifikasi.

Kegagalan dalam biofilter dapat menghasilkan

amonia atau nitrit yang sangat tinggi, yang

keduanya beracun untuk hewan air dan dapat

menyebabkan masalah kesehatan, menekan

pertumbuhan, dan menyebabkan kematian (Kuhn

et al., 2010). Penggunaan biocrystal dimaksudkan

sebagai media biofilter, untuk tempat

menempelnya bakteri nitirifikasi.

Zeolit berfungsi sebagai filter kimia. Zeolit bekerja

dengan memanfaatkan kemampuan pertukaran ion.

Zeolit adalah penukar kation yang efektif, yang

memiliki nilai kemampuan tukar kation (KTK)

sebesar 200-500 cmolc/kg. Terdapat berbagai

macam zeolit dengan klinoptilolit memiliki afinitas

yang tinggi terhadap amoiak dan telah berhasil

digunakan sebagai pembersih amoniak pada sistem

akuakultur air tawar (Silaban, et al., 2012). Ketika

air buangan melewati zat ini, ion-ion tertentu pada

air buangan tersebut melakukan pertukaran dengan

ion-ion pada zat tersebut, karena memiliki afinitas

yang kuat terhadap zat tersebut.

Suhu selama penelitian sangat fluktuatif. Hal ini

disebabkan pengaruh cuaca pada saat penelitian.

Apabila cuaca hujan maka suhu udara dalam ruang

menjadi lebih rendah, sehingga menyebabkan

temperatur air mengalami penurunan, demikian

juga sebaliknya. Menurut Phillips dan Kittaka

(2000), pertumbuhan tercepat pada juvenil

Panulirus homarus terdapat pada suhu sebesar 28

ºC, dengan panjang karapaks yang dicapai sebesar

60 mm dalam waktu 18 bulan. Kondisi suhu

selama penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan

lobster, karena berada pada rentang 27,33–28,88

ºC.

Menurut Boyd dan Tucker (1998), nilai pH yang

disarankan untuk kegiatan akuakultur berkisar

antara 6,5-9, sedangkan pH yang optimum untuk

biota laut berkisar antara 7,5-8,5. Crustacea pada

perairan payau umumnya mempunyai nilai

toleransi pH yang lebih luas. Penelitian pada udang

panaeid menunjukkan pH yang optimum untuk

pertumbuhan berkisar antara 5,5-8,5. Menurut

Wickins dan Lee (2002), nilai pH yang disarankan

untuk lobster clawed dan lobster spinny masing-

masing sebesar 7,8-8,2 dan 8,0-8,5. Secara

keseluruhan, nilai pH masih sesuai untuk

pendederan lobster karena masih berada pada

kisaran 7,07-7,86.

Kondisi oksigen terlarut pada pukul 09.00 WIB

mempunyai kecenderungan lebih rendah dibanding

pada pukul 16.00 WIB. Hal ini karena adanya

aktifitas fotosintesis fitoplankton pada siang hari,

sehingga konsentrasi oksigen terlarut mengalami

peningkatan. Tren oksigen terlarut selama

peneltian menunjukkan, konsentrasi oksigen yang

terdapat pada filtrat relatif lebih tinggi

dibandingkan pada bak perlakuan dan effluen. Hal

ini, disebabkan pada filtrat, air telah mengalami

aerasi selama kontak dengan media filter yang

digunakan, sehingga terjadi peningkatan

konsentrasi oksigen terlarut. Selain itu, konsumsi

oksigen terlarut oleh benih lobster pada bak

perlakuan, menyebabkan level oksigen terlarut

mengalami penurunan dieffluen. Menurut Boyd

dan Tucker (1998), konsentrasi oksigen terlarut

yang disarankan untuk kegiatan perikanan adalah >

5 mg/L. Tingkat konsumsi oksigen terlarut oleh

lobster dipengaruhi oleh berat, temperatur dan

salinitas. Pada juvenil lobster Panulirus japanicus,

tingkat konsumsi oksigen terlarut pada saat

istirahat adalah sekitar 0,02 mgO2/berat badan/jam

(suhu 12 ºC) dan 0,11 mgO2/berat badan/jam (suhu

27 ºC) (Phillips dan Kittaka, 2000). Kondisi

oksigen terlarut selama penelitian masih sesuai

untuk syarat optimal lobster tumbuh karena berada

pada kisaran > 5 mg/L.

Kondisi salinitas yang terukur cenderung

mengalami peningkatan karena adanya proses

Page 32: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan

Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

71

evaporasi air bak pemeliharaan, sehingga volume

air mengalami penurunan tetapi kandungan total

padatan terlarut tetap. Namun secara keseluruhan

nilai salinitas tersebut, masih sesuai untuk

kehidupan lobster. Menurut Phillips dan Kittaka

(2000), juvenil lobster P. polyphagus dan P.

Cygnus mempunyai toleransi rentang salinitas

yang cukup luas, yaitu masing-masing sebesar 17-

50 dan 25-45 ppt. Kondisi salinitas optimal pada

lobster spinny dilaporkan pada kisaran 32-36 ppt

(Wickins dan Lee, 2002). Salinitas selama

penelitian masih memenuhi syarat untuk

kehidupan lobster karena masih berada pada

kisaran 34,14-37,71 ppt.

Karbondioksida bebas dapat memberikan pengaruh

yang merugikan pada ikan yang dipelihara jika

konsentrasinya bertambah besar pada saat oksigen

terlarut rendah. Kandungan CO2 bebas sekitar 12

mg/L dapat menyebabkan stres pada ikan,

sedangkan pada konsentrasi 30 mg/L,

menyebabkan beberapa jenis ikan mengalami

kematian. Penelitian lain menunjukkan,

konsentrasi CO2 yang disarankan untuk budidaya

lobster air tawar adalah < 5 mg/L (Boyd dan

Tucker, 1998). Secara keseluruhan konsentrasi

CO2 selama penelitian masih sesuai untuk

kehidupan lobster karena masih < 5 mg/L. Tren

grafik CO2 selama penelitian mempunyai

kecenderungan penurunan. Pada awal penelitian

konsentrasi CO2 relatif lebih tinggi. Hal ini

disebabkan kemungkinan lobster mengalami

tingkat stres yang lebih tinggi di awal penelitian

karena belum beradaptasi, sehingga produk sisa

metabolisme seperti CO2 yang dihasilkan juga

mengalami peningkatan. Penurunan CO2 selama

penelitian ini juga berkaitan dengan tingkat

kelangsungan hidup lobster yang dipelihara.

Semakin lama waktu penelitian, tingkat

kelangsungan hidup juga akan semakin rendah,

sehingga konsentrasi CO2 yang dihasilkan juga

semakin rendah.

Kondisi nitrit selama penelitian berkisar antara

0,22-3,14 mg/L. Secara keseluruhan konsentrasi

nitrit selama penelitian masih sesuai untuk

kehidupan lobster. Menurut Drengstig dan

Bergheim (2013), kandungan nitrit yang

disarankan pada budidaya lobster Homarus

gammarus menggunakan sistem resirkulasi adalah

< 5 mg/l. Penelitian lain menunjukkan, juvenil P.

monodon mempunyai toleransi nitrit pada

konsentrasi sebesar 3,8 mg/L dengan salinitas 20

ppt (Boyd dan Tucker, 1998). Tren grafik nitrit

selama penelitian mempunyai kecenderungan naik

kemudian mengalami penurunan. Pada penelitian

sampai dengan hari ke-28, konsentrasi nitrit

mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan adanya

akumulasi sisa pakan dan feses lobster, sementara

bakteri pengkonversi nitrit menjadi nitrat belum

terbentuk dengan baik, sehingga menyebabkan

konsentrasi nitrit mengalami peningkatan. Pada

hari ke-35 sampai akhir penelitian, konsentrasi

nitrit cenderung mengalami penurunan. Hal ini

menunjukkan, konversi nitrit menjadi nitrat oleh

bakteri Nitrobacter mulai berjalan.

Ion nitrat dibentuk oleh oksidasi lengkap dari ion

amonium oleh mikroorganisme yang ada di tanah

ataupun di dalam air atau akibat dari proses

nitrifikasi amonia. Bakteri yang berperan dalam

proses nitrifikasi untuk mengubah nitrit menjadi

nitrat adalah Nitrobacter. Bakteri tertentu mungkin

pula mengubah nitrat menjadi nitrogen bebas (N2)

yang dapat terlepas dari sistem sebagai gas (Spotte,

1996). Secara keseluruhan konsentrasi nitrat

selama penelitian masih sesuai untuk kehidupan

lobster karena berada pada kisaran 0,11 x 10-1

– 6,

78 mg/L. Pada budidaya lobster J. Edwardsii

menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan

Kittaka, 2000) dan budidaya lobster spinny

(Wickins dan Lee, 2002), konsentrasi nitrat yang

disarankan sebaiknya kurang dari 100 mg/L.

Tren grafik menunjukkan, pada awal penelitian

(sampai hari ke-21) konsentrasi nitrat mengalami

peningkatan perlahan. Konsentrasi nitrat kemudian

cenderung mengalami peningkatan sampai akhir

penelitian, meskipun fluktuatif. Peningkatan

konsentrasi nitrat ini menunjukkan proses

nitrifikasi oleh bakteri telah berjalan. Menurut

Boyd dan Tucker (1998), nitrifikasi adalah

oksidasi berurutan amonia menjadi nitrat yang

dilakukan oleh dua kelompok bakteri kemoautotrof

dalam kondisi aerobik. Proses nitrifikasi

berlangsung melalui persamaan reaksi sebagai

berikut:

NH4+ + 1,5 O2 NO2

- + 2H

+ + H2O

(dibantu Nitrosomonas)................................(1)

NO2 - + 0,5 O2 NO3

-

(dibantu Nitrobacter).........................................(2)

Page 33: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73

72

Sesuai dengan persamaan (1) di atas, amonia

dikonversi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomas.

Nitrit kemudian dikonversi menjadi nitrat oleh

bakteri Nitrobacter. Nitrifikasi menyebabkan kadar

amonia dalam air mengalami penurunan, dan

konsentrasi nitrat mengalami peningkatan.

Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi

(unionized) bersifat toksik terhadap organisme

akuatik. Amonia lebih toksik saat kandungan

oksigen terlarut turun. Konsentrasi sublethal dari

NH3 menyebabkan perubahan patologi pada organ

dan membran ikan (Boyd dan Tucker, 1998). Pada

crustacea, amonia menyumbang 60% dari total

nitrogen yang dieksresikan. Tingkat ekskresi

dipengaruhi oleh pakan, temperatur, berat, level

nutrien, salinitas, moulting, dan konsentrasi

oksigen ambien (Phillips dan Kittaka, 2000).

Kondisi amonia selama penelitian berkisar antara

0,67 x 10-3

– 0,55 x 10-1

mg/L. Secara keseluruhan,

konsentrasi amonia tersebut masih memenuhi

syarat untuk kehidupan lobster. Pada budidaya

lobster J. Edwardsii menggunakan sistem

resirkulasi (Phillips dan Kittaka, 2000), dan lobster

spinny (Wickins dan Lee, 2002), konsentrasi

amonia disarankan tidak lebih dari 0,1 mg/L.

Tren grafik amonia, pada awal penelitian cukup

rendah, berkisar antara 0,67 x 10-3

– 0,15 x 10-2

(hari ke-0 sampai 14). Hal tersebut menunjukkan,

ekskresi amonia oleh lobster (sisa pakan dan feses)

belum banyak terakumulasi di air. Pada hari ke-21

sampai 35, konsentrasi amonia mengalami

peningkatan, sebagai indikasi meningkatnya

akumulasi buangan sisa pakan dan feses.

Konsentrasi amonia kemudian cenderung

mengalami penurunan sampai pada akhir

penelitian. Hal ini disebabkan, proses nitrifikasi,

yaitu konversi amonia menjadi nitrit dan nitrat oleh

bakteri mulai berjalan, sehingga konsentrasi

amonia mengalami penurunan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan teknologi Recirculating Aquaculture

System (RAS) dengan menggunakan filter dari

kombinasi susunan biocrystal, batu koral, zeolit

dan karbon aktif, mampu menghasilkan kualitas air

yang memenuhi syarat untuk budidaya pendederan

lobster Panulirus homarus.

Saran

Perlunya dilakukan kajian tentang standar desain,

komposisi, dimensi dan analisis ekonomi RAS

untuk pendederan budidaya lobster.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan

kepada bapak Eddy Supriyono dan Kukuh Adiyana

atas bimbingannya dalam penyusunan karya tulis

ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan

kepada KKP yang telah memberikan pendanaan

dari sumber APBN 2013 untuk terlaksananya

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA [APHA] American Public Health Association. (1990).

Standard methods for the examination of water

and wastewater. 20th edition. Washington DC

(US): APHA Pr.

[APHA] American Public Health Association. (1999).

Standard methods for the examination of water

and wastewater. Washington DC (US): APHA

Pr

Boyd, C.E., & Tucker, CS. (1998). Pond aquaculture

water quality management. New York (US):

Springer Science+Business Media.

Burton, C.A. (2003). Lobster hatcheries and stocking

programmes: An introductory manual. Sea Fish

Industry Authority Aquaculture Development

Service. Seafish Report SR552. ISBN: 0 903941

66 X.

Chau, N.M., Ngoc, N.T.B., & Nhan, L.T. (2008). Effect

of different types of shelter on growth and

survival of Panulirus ornatus Juveniles. Di

dalam: Williams KC, editor. Spiny Lobster

aquaculture in the Asia-Pacific region; 2008 Des

9-10; Nha Trang, Vietnam. Canberra (AU):

Australian Centre for International Agricultural

Research. hlm 85-88.

Dalsgaard, J., Lund, I., Thorarinsdottir, R., Drengstig,

A., Arvonen, K., & Pedersen, P.B. (2013).

Farming different species in RAS in Nordic

countries: Current status and future perspectives.

Journal of Aquacultural Engineering, 53, 2–13.

Drengstig, A., & Bergheim, A. (2013). Commercial

land-based farming of European lobster

(Homarus gammarus L.) in Recirculating

Aquaculture System (RAS) using a single cage

Page 34: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan

Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas

73

approach. Journal of Aquacultural Engineering,

53, 14– 18.

Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air. Yogyakarta

(ID): Kanisius.

Endarko, Putro, T., Nuzula, N.I., Armawati, N.,

Wardana, A., Rubiyanto, A., dan Muntini, M.S.

(2013). Rancang bangun sistem penjernihan dan

dekontaminasi air sungai berbasis biosand filter

dan lampu ultraviolet. Berkala Fisika, 16, 75-84.

Johnston, D., Melville-Smith, R., Hendriks, B.,

Maguire, G.B., & Phillips, B. (2006). Stocking

density and shelter type for the optimal growth

and survival of Western Rock Lobster Panulirus

cygnus (George). Journal of Aquaculture, 260,

114–127.

Kasam, Yulianto, A., dan Sukma, T. (2005). Penurunan

COD (chemical oxygen demand) dalam limbah

cair laboratorium menggunakan filter karbon

aktif arang tempurung kelapa. LOGIKA, 2(2), 3-

17.

Kuhn, D.D., Drahosb, D.D., Marsha, L., & Flick Jr, G.J.

(2010). Evaluation of nitrifying bacteria product

to improve nitrification efficacy in recirculating

aquaculture systems. Journal of Aquacultural

Engineering, 43, 78–82.

Phillips, B.F., & Kittaka, J. (2000). Spinny lobster:

Fisheries and culture. Osney Mead (GB):

Blackwell Science.

Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan

dan Perikanan [P3TKP]. (2013). Laporan akhir

penelitian rekayasa shelter untuk pendederan air

laut. Jakarta: Kementerian Kelautan dan

Perikanan.

Silaban, T.F., Santoso, L., dan Suparmono. (2012).

Pengaruh penambahan zeolit dalam peningkatan

kinerja filter air untuk menurunkan konsentrasi

amonia pada pemeliharaan Ikan Mas (Cyprinus

carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi

Budidaya Perairan, I(1), 47-56.

Spotte, H.S., (1996). Fish and Invertebrate Culture.

Water Management in Closed System. New York

(US): Willey Interscience.

Wickins, J.F., & Lee, D.O.C. (2002). Crustacean

farming ranching and culture. Blackwell Science

Ltd.

Yudha, A.P. (2009). Efektifitas penambahan zeolit

terhadap kinerja filter air dalam sistem

resirkulasi pada pemeliharaan Ikan Arwana

Sceleropages formosus di akuarium. Skripsi.

Dept. BDP, FPIK, Institut Pertanian Bogor.

Page 35: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73

74

Page 36: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 75

PERGERAKAN ZONA KONVERGENSI DI SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT

BERDASARKAN DATA INSITU DAN SATELIT

CONVERGENCE ZONE DISPLACEMENT IN WESTERN PACIFIC OCEAN

BASED ON INSITU AND SATELLITE DATA

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang KP, KKP

Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali 82251

E-mail: [email protected] dan [email protected]

Diterima tanggal: 3 Maret 2014, diterima setelah perbaikan: 24 Juni 2015, disetujui tanggal: 26 Juni 2015

ABSTRAK

Samudera Pasifik berperan penting dalam siklus El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan berpengaruh signifikan pada

kegiatan penangkapan tuna di Indonesia, khususnya ikan Cakalang. Penelitian ini bertujuan mengetahui pola pergerakan

zona konvergensi di Samudera Pasifik bagian Barat dengan mengamati pergerakan parameter oseanografi seperti suhu,

salinitas, klorofil-a, dan produktivitas primer. Data parameter oseanografi tersebut terdiri dari data insitu, data satelit

maupun hasil pemodelan. Hasil analisis menunjukan adanya pergerakan zona konvergensi di Barat Pasifik yang

dicirikan variabel proksi yaitu isotermal 29°C, isohalin 34,6 psu, konsenrasi klorofil-a sebesar 0,1 mg/m3

dan NPP 300

mgC/m2/day. Pola pergerakan zona konvergensi baik secara horisontal maupun vertikal dipengaruhi oleh ENSO. Pada

saat terjadi La-Nina massa air dengan suhu yang hangat bergeser ke arah Barat yang diikuti dengan meningkatnya

kesuburan perairan. Pergerakan vertikal massa air hangat terjadi pada kedalaman 25-75 m (suhu) dan 50 m (salinitas).

Namun pada saat El-Nino massa air hangat bergerak ke arah Timur Samudera Pasifik. Fluktuasi produksi tangkapan

ikan Cakalang di perairan Indonesia Timur mengikuti pola pergerakan zona konvergensi tersebut. Peningkatan jumlah

produksi ikan Cakalang di Kota Sorong meningkat seiring dengan keberadaan zona konvergensi di bagian Barat (La-

Nina), namun di Propinsi Papua menunjukan pola sebaliknya.

Kata kunci: zona konvergensi, Samudera Pasifik, ENSO.

ABSTRACT

Pacific Ocean have an important role on El-Nino Southern Oscillation (ENSO) phenomena that have significant

relationship with tuna fisheries in Indonesian waters, especially for skipjack tuna. The aim of this study is to determine

convergence zone displacement in Western Pacific Ocean based on oceanography parameters such as temperature,

salinity, chlorophyll-a, and net primary productivity from insitu, satellite and model data. The convergence zone

displacement in Western Pacific Ocean were characterized by proxies variable of isotherm 29 °C, isohaline 34,6 psu,

chlorophyll-a concentration 0,1 mg/m3 and NPP 300 mg C/m

2/day. Whole of these displacement influenced by ENSO

event. The warm pool displacement westerly during La-Nina event accompanied with increasing marine primary

productivity. The vertical movement of warm pool occurred on 25-75m depth for temperature and 50 m depth for

salinity. Otherwise, during the El-Nino event the warm pool move to eastward. The fluctuation of skipjack tuna

production in eastern of Indonesian Waters following the convergence zone displacement in Western Pacific Ocean.

The increasing of skipjack tuna productions in Sorong increase due to convergence zone in the western part of Pacific

(La-Nina), meanwhile for the Papua’s skipjack tuna production show the opposite.

Keywords: convergence zone, Pacific Ocean, ENSO.

Page 37: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

76

PENDAHULUAN

Samudera Pasifik berperan penting dalam siklus

El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan iklim

dunia (Lehodey et al., 1997). Fenomena ENSO

memberikan pengaruh yang signifikan kepada

kegiatan penangkapan di Indonesia. Hal ini erat

kaitannya dengan adanya pergerakan kolam air

hangat di Samudera Pasifik bagian Barat yang

sangat dipengaruhi oleh pola angin pasat (trade

wind). Pada kondisi normal angin pasat berhembus

dari Timur dan Tenggara menuju ke Samudera

Pasifik bagian Barat yang membangkitkan arus

permukaan dan aliran massa air dari Timur ke

Barat di sepanjang ekuator Samudera Pasifik.

Kondisi ini menyebabkan tumbuhnya permukaan

air hangat di Samudera Pasifik bagian Barat yang

dikenal sebagai kolam air hangat Pasifik Barat

(West Pacific Warm Pool). Selain itu angin

menyebabkan terjadinya percampuran air

permukaan yang hangat dengan lapisan yang lebih

dalam (mixed layer) yang dicirikan dengan lapisan

termoklin pada kedalaman sekitar 100 meter atau

lebih di Samudera Pasifik bagian Barat. Sementara

itu di Samudera Pasifik bagian Timur, massa air

yang dingin yang berasal dari lapisan yang lebih

dalam naik di lepas pantai Amerika Selatan untuk

mengisi massa air yang terbawa ke Barat dan

menghasilkan lapisan termoklin yang dangkal,

sekitar 10-50 meter (Setiawan, 2002).

Kolam air hangat Pasifik Barat memiliki zona

konvergensi permanen di bagian Timurnya. Zona

konvergensi ini dicirikan oleh adanya front suhu

dan salinitas permukaan laut, pola arus dan

konsentrasi nutrien sebagai akibat pertemuan dua

massa air yang berbeda yaitu massa air dingin

dengan salinitas yang lebih tinggi dari Samudera

Pasifik ekuatorial bagian Tengah dan Timur yang

bertemu dengan massa air hangat dengan salinitas

rendah dari Samudera Pasifik ekuatorial bagian

Barat. Perpindahan massa air secara zonal (Barat-

Timur) dari zona konvergensi tersebut terjadi

mengikuti siklus ENSO. Pada saat El-Nino zona

konvergensi ini berpindah ke arah Timur,

sebaliknya pada saat La-Nina berpindah ke arah

Barat (Lehodey et al., 1997).

Sebagaimana diketahui, zona konvergensi dan

front merupakan kombinasi mekanisme yang

sangat penting bagi plankton dan mikronekton dan

tuna sebagai salah satu predatornya. Lehodey et al.

(1997), menyatakan pergerakan kolam air hangat

di Samudera Pasifik bagian Barat mempengaruhi

kelimpahan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

di Perairan Indonesia bagian Timur. Supangat et

al. (2004) menyatakan bahwa terdapat korelasi

antara kelimpahan relatif ikan cakalang dengan

variabel proksi untuk zona konvergensi yang

meliputi isotermal 29°C suhu permukaan laut,

isohaline 34,6 psu dan kejadian ENSO. Variabel

proksi ini digunakan karena data time series yang

bersifat menerus baik terhadap waktu dan ruang.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pola

pergerakan zona konvergensi di Samudera Pasifik

bagian Barat. Selain itu pengetahuan mengenai

pola pergeseran kolam air hangat dapat digunakan

sebagai dasar penentuan prediksi keberadaan ikan

cakalang hingga beberapa bulan ke depan.

BAHAN DAN METODE

Identifikasi pola pergerakan zona konvergensi

menggunakan analisis hovmoller diagram

berdasarkan front suhu permukaan laut,

konsentrasi klorofil-a, salinitas dan produktivitas

primer perairan. Hovmoller diagram mampu

menggambarkan data-data oseanografi secara time

series berdasarkan longitude maupun latitude

dengan lebih baik. Lokasi penelitian difokuskan di

Samudera Pasifik bagian Barat (Warm Pool West

Pacific) dan Perairan Indonesia bagian Timur

seperti Utara Papua, Laut Maluku, Laut

Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda (Gambar

1).

Gambar 1. Lokasi penelitian

Figure 1. Study site Sumber: http://www.pmel.noaa.gov/tao/

Analisis hovmoller diagram menggunakan

rasterVis package pada perangkat lunak R

(Lamigueiro & Hijmans, 2013). R adalah

perangkat lunak tak berbayar untuk komputasi

Page 38: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 77

statistik dan grafik (http://www.r-project.org/).

Batasan penggambaran hovmoller diagram

meliputi area antara 5 0N-5

0S dan 120

0E-120

0W

(Gambar 1) yang merupakan daerah zona

konvergensi (Lehodey et al., 1997). Periode waktu

pangamatan mulai bulan Juli 2002 sampai dengan

Desember 2012. Nilai rata-rata variabel data suhu

permukaan laut (SPL), salinitas (SAL), konsentrasi

klorofil-a (CHL), dan Net Primary Production

(NPP) pada longitude yang sama kemudian

digambarkan pada hovmoller diagram.

Data suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-

a menggunakan citra Aqua MODIS bulanan Level

3 Global Standard Mapped Image (SMI). Data

tersebut memiliki ukuran grid 4320 x 8640 dengan

resolusi 1/24 derajat (4 km) baik latitude maupun

longitude. Data tersebut dapat di unduh melalui

portal: http://oceandata.sci.gsfc.nasa.gov/. Data

produktivitas primer perairan menggunakan data

hasil model Standart-Vertically Generalized

Production Model (VGPM). VGPM adalah standar

model untuk mengestimasi produktifitas primer

(mgC/m2/day) yang “berbasis klorofil-a” dengan

menggunakan data konsentrasi klorofil-a dan suhu

permukaan laut (MODIS), Photosynthetically

Available Radiation (seaWiFS) dan kedalaman

zona eufotik (Behrenfeld & Falkowski, 1997).

Data VGPM memiliki ukuran grid 2160 x 4320

dengan resolusi 1/12 derajat baik latitude maupun

longitude dalam format hdf diunduh melalui

http://www.science.oregonstate.edu/ocean.producti

vity/index.php.

Selain analisis pergerakan massa air di permukaan

juga dilakukan analisis profil vertikal suhu dan

salinitas menggunakan data pengukuran mooring

TAO/TRITON di Samudera Pasifik. Data suhu dan

salinitas diunduh melalui portal

http://www.pmel.noaa.gov/tao/. Dalam penelitian

ini, kedalaman yang diambil adalah 1 m, 25 m, 50

m, 75 m dan 100 m. Hal ini dilakukan berdasarkan

pada habitat ikan Cakalang di lapisan tercampur di

atas termoklin (Lehodey et al., 1997). Periode

waktu pangamatan mulai bulan Januari 2000

sampai dengan Desember 2012. Data suhu dan

salinitas berupa data rata-rata harian dalam format

ASCII. Data suhu dan salinitas kemudian dirata-

ratakan selama satu tahun di tiap kedalaman

berdasarkan posisi lintang dan tahun.

Gambar 2. Southern Oscillation Index, 2000-2013.

Figure 2. Southern Oscillation Index, 2000-2013 Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml

Analisis pengaruh pergerakan zona konvergensi

terhadap volume produksi tangkapan ikan cakalang

di Perairan Indonesia bagian Timur melalui data

pendaratan ikan cakalang di Provinsi Papua dan

Kota Sorong. Pendataan masing-masing dilakukan

oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua

dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong.

Data tangkapan ikan cakalang yang digunakan

adalah data rata-rata bulanan dari tahun 2007-2012.

Analisis data tangkapan ikan Cakalang bulanan

tersebut dikaitkan dengan Southern Oscillation

Index (SOI). SOI memberikan informasi mengenai

indikasi dan intensitas kejadian El-Nino dan La-

Nina di Samudera Pasifik berdasarkan perbedaan

tekanan di Tahiti dan Darwin (Treenberth,

1997). Periode El Nino ditandai oleh nilai SOI

negatif (SOI < -8), sedangkan periode La-Nina

ditandai oleh nilai SOI positif (SOI > +8). Nilai

SOI selama kurun waktu 2000-2013 disajikan pada

Gambar 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pergerakan massa air di laut dapat terjadi secara

horizontal maupun vertikal, masing-masing proses

tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda

untuk suhu, salinitas, atmosfer, dan tekanan.

Perbedaan karakteristik tersebut akan berpengaruh

terhadap kondisi atau habitat ikan. Pada umumnya

ikan mempunyai karakteristik tersendiri terhadap

lingkungannya di laut. Apabila ikan-ikan tersebut

bergerak di luar habitat mereka, maka

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidupnya

akan menurun. Ikan Cakalang umumnya

beradaptasi pada lapisan permukaan yang hangat,

sedangkan big eye mempunyai habitat di lapisan

dalam yang dingin (Brill et al., 2005).

Page 39: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

78

Pergerakan Horizontal Zona Konvergensi

Hasil analisa data citra dengan menggunakan

hovmoller diagram terhadap parameter SPL, CHL,

NPP dan SAL periode tahun 2002-2012 pada area

5 0N-120

0E, 5

0S-120

0W terlihat dengan jelas

adanya pergerakan massa air di sepanjang ekuator

Samudera Pasifik. Pada Gambar 3a, ditunjukkan

adanya perbedaan nilai SPL di bagian Barat Pasifik

dengan Timur Pasifik. Pada bagian Barat Pasifik

memiliki SPL lebih hangat (> 28,5 0C), sedangkan

bagian Tengah dan Timur Pasifik cenderung lebih

dingin. Perbedaan tersebut ditandai oleh isoterm 29 0C. Pola yang sama juga dapat dilihat pada

hovmoller diagram salinitas (Gambar 3b), dimana

pergerakan salinitas ke arah Barat dan Timur

Pasifik menunjukan terjadinya ENSO. Bagian

Barat Pasifik dicirikan oleh nilai salinitas yang

rendah (33,5-34,6 psu), sedangkan bagian Tengah

dan Timur Pasifik dicirikan oleh salinitas yang

tinggi (> 35,2 psu). Perbedaan massa air tersebut

ditandai oleh isohaline 34,6 psu.

Pola pergerakan isoterm 29 0C dan isohalin 34,6

psu mengikuti perubahan nilai SOI. Pada saat

lapisan isoterm 29 0C menuju ke bagian Tengah

dan Timur Pasifik, nilai SOI negatif yang

mengindikasikan terjadinya El-Nino seperti terjadi

pada tahun 2010. Pada tahun 2008 lapisan isoterm

29 0C bergeser menuju ke Barat Pasifik dan nilai

SOI positif yang mengindikasikan terjadinya La

Nina (Gambar 3a). Hal yang sama juga terjadi

pada tahun 1990-1991 dan 1995 saat terjadi La-

Nina dan tahun 1992-1994 saat terjadi El-Nino.

Pada saat terjadi La-Nina, SOI naik dari 0 hingga -

1,5 saat terjadi El-Nino berkisar antara 0 hingga -1

(Lehodey et al., 1997). Daerah zona konvergensi

yang diamati setiap tahunnya berubah berdasarkan

bujur. Jika dilihat kembali hovmoller diagram SPL,

pergerakan massa air pada saat El-Nino dan La-

Nina mempunyai batas pada bujur 160 0E-160

0W.

Pada saat La Nina (2006, 2008, dan 2011-2012),

zona konvergensi mempunyai batas 160 0E. Pada

saat El Nino (2007 dan 2010), zona konvergensi

mempunyai ujung batas hingga bujur 160 0W.

Pergerakan massa air dipengaruhi oleh angin pasat

(trade wind) yang berasal dari Timur dan Tenggara

Pasifik, baik North Equatorial Current (NEC) dan

South Equatorial Current (SEC), yang menuju ke

bagian Barat Pasifik dan kembali lagi dari Barat

menuju ke Tengah dan Timur Pasifik (Stewart,

2002). Semakin besar angin dari Barat Pasifik

berhembus, maka daerah zona konvergensi yang

terbentuk juga akan semakin besar. Sebaliknya,

semakin kecil angin dari Barat berhembus, maka

zona konvergensi yang terbentuk akan semakin

kecil.

Rendahnya nilai salinitas pada bagian Barat Pasifik

merupakan implikasi ENSO (Picaut et al., 1996).

Pada saat El Nino (Juli 2002, 2005 dan 2010),

salinitas bergerak ke arah Tengah dan Timur

Pasifik. Namun berbeda saat La Nina (2006, 2008

dan 2012), massa air dengan salinitas rendah

bergerak kearah Barat Pasifik. Perpindahan secara

zonal salinitas lebih terlihat dan bervariasi pada

bujur 140 0E-160

0W. Pada Gambar 3e (hasil

tumpang tindih Gambar 3a dan 3b) dengan

parameter salinitas 34,6 psu, dapat dilihat pula

adanya proses adveksi (gerakan transfer horisontal)

dari Barat Pasifik yang ditandai oleh suhu yang

hangat (29 0C) dan salinitas yang rendah (34,6

psu) dan bertemu dengan massa air dari Tengah-

Timur Pasifik dengan suhu yang lebih rendah (<

28 0C) dan salinitas lebih tinggi (> 34,6 psu). Hal

ini bisa dilihat lebih rinci melalui Gambar 3e pada

Juli 2002, 2005, 2007, dan 2010. Picaut et al.,

(1996), mengobservasi proses ini dengan cara

memasang buoy-drifter dengan lokasi 4 0S-4

0N

pertengahan 1988-1993 dan hasilnya adalah

trajektori buoy drifter ini mengikuti pergerakan

pinggir Timur warm pool khususnya pada suhu 29 0C dan salinitas 34,6 psu. Proses adveksi tersebut

akan berasosiasi dengan El Nino dan La Nina serta

variasi arus permukaan yang nantinya akan

menumbuhkan suatu zona konvergensi di bagian

pinggir kolam air hangat (eastern edge of warm

pool) yang kaya akan produktivitas primer (Picaut

et al., 1996).

Berdasarkan Gambar 3c dan 3d, terlihat adanya

pergerakan massa air kearah Timur-Barat Pasifik

yang mempengaruhi kesuburan perairan yang

ditandai oleh pergerakan CHL (0,1 mg/m3) dan

NPP (300 mgC/m2/day). Pergerakan massa air

yang membawa CHL dan NPP dari arah Timur

Pasifik menuju Barat dapat dilihat pada tahun

2006, 2008 dan 2011-2012. Sedangkan tahun

2003, 2005, 2007, 2010 dan pertengahan 2012,

terjadi pergerakan zona konvergensi yang

membawa CHL dan NPP dari Barat Pasifik

menuju Tengah dan Timur. Wilayah pergerakan

CHL berada pada batas160 0E-160

0W. Pengaruh

pergerakan massa air tersebut sangat dipengaruhi

oleh daerah divergen di Pasifik bagian Tengah dan

Page 40: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 79

Timur dimana massa air dingin dari lapisan dalam

akan bergerak menuju ke permukaan dan

membawa nutrien yang tinggi. Selain itu, karena

pasokan nutrien yang tinggi, maka fitoplankton

akan tumbuh subur di daerah ini dan akan banyak

ikan-ikan kecil yang memakan plankton tersebut.

Hal ini akan mengundang predator pelagis (tuna,

billfish dan hiu) bergerak ke lapisan permukaan

untuk memakan ikan kecil tersebut (Grandperrin,

1978). Dengan adanya angin pasat, maka daerah

divergen akan bergerak kearah Barat Pasifik.

Konsentrasi CHL dan NPP sepanjang bujur 130 ⁰E

dari pertengahan tahun 2002 hingga 2012

mempunyai nilai yang tinggi (Gambar 3c dan

Gambar 3d). Daerah ini merupakan Perairan

Indonesia yang subur meliputi Laut Arafura, Laut

Halmahera dan Laut Maluku. Hal yang sama juga

dapat dilihat pada bujur 130 ⁰W dimana nilai NPP

tinggi dan mencapai kisaran 400-700 mgC/m2/day

(Gambar 3d). Tingginya nilai CHL dan NPP di

wilayah Perairan Indonesia sangat dipengaruhi

oleh angin monsun dan diduga menjadi salah satu

faktor yang menyebabkan terkonsentrasinya ikan

cakalang di wilayah tersebut. Bunyamin (1981),

menyatakan bahwa penyebaran ikan cakalang

terdapat pada lintang 10 0S-5

0S yang meliputi Laut

Sulawesi, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut

Flores, Laut Sawu, Laut Timor, Laut Arafura dan

Perairan utara Papua dengan batas antara 5 0N–1

0S

dan 131–146 0E. Daerah potensial penyebaran ikan

cakalang di perairan utara Papua tersebar antara

10S-4

0N, tetapi lebih terkonsentrasi pada daerah

antara 0-20N (Waas, 2004).

Daerah Pasifik bagian Barat merupakan

oligotropik yang miskin akan nutrien, namun

kelimpahan ikan cakalang di daerah ini sangat

tinggi (Lehodey et al., 1997). Hal ini lebih

disebabkan oleh adanya zona konvergensi yang

luas yang mampu mendukung kelangsungan hidup

ikan cakalang. Zona konvergensi ditandai oleh

mikronekton dan bahan organik. Sebagian nutrien

dan fitoplankton yang berasal dari zona divergen di

bagian Pasifik Tengah akan terbawa oleh massa air

menuju daerah konvergensi hingga jarak 1800-

2500 km (Lehodey et al., 1997).

Maes et al., (2010) meneliti mengenai kandungan

klorofil-a di bagian Barat Pasifik yang dilakukan

pada saat survey Frontalis-3 tahun 2005, hasil

observasi tersebut menunjukan nilai klorofil-a

tinggi pada kedalaman 60-100 m yang berasal dari

bagian Tengah Pasifik. Massa air yang

mengandung klorofil-a tersebut bergerak dari

tengah menuju Barat Pasifik (zona konvergensi),

terutama pada wilayah 160 0E-163

0E. Tingginya

nilai klorofil-a tersebut disebabkan oleh stabilitas

massa air yang kuat pada kolom perairan dan juga

dikontrol oleh salinitas. Stratifikasi ini dihasilkan

sama dengan efek sebagai lapisan batas (barrier

layer) dan mencegah masuknya massa air dingin

ke lapisan permukaan yang berasal dari lapisan

termoklin yang kedalamannya lebih dari 100 m

(Maes et al., 2010). Nutrien yang berasal dari

lapisan bawah tidak mampu naik ke permukaan

(eufotic zone) dan tidak dapat meningkatkan

produktivitas primer pada perairan tersebut.

Matsumoto & Ando (2009), menemukan hubungan

yang erat antara proses fisik dan proses biologi

pada lapisan permukaan di Barat Pasifik. Hasil

yang sama juga telah dilakukan oleh Maes et al.

(2010) yang menggunakan data argo float tahun

2002-2004 serta data citra SeaWIFS dan

Modis/Aqua dimana hasilnya adalah konsentrasi

klorofil-a yang tinggi. Hasil penelitian Maes et al.,

(2010) menunjukan bahwa selama periode 1998-

2006, perpindahan secara zonal klorofil-a lebih

terlihat dan bervariasi pada bujur 140 0E-160

0W.

Zona konvergensi yang dibatasi oleh suhu, nutrien

dan front salinitas dapat dijadikan sebagai

monitoring ENSO. Hal tersebut di deteksi oleh

daerah pinggir paling timur kolom air hangat.

Berdasarkan data klorofil-a, daerah pinggir paling

timur kolam air hangat bisa dideteksi jika

konsentrasinya adalah 0,1 mg/m3

(Maes et al.,

2010). Pada diagram hovmoller CHL juga

menunjukan pergerakan Barat-Timur pada

konsentrasi 0,1 mg/m3. Fenomena ENSO yang

kuat pada periode tahun 1997-1998, berpengaruh

pada proses biogeokimia di ekuatorial Pasifik

(Chavez et al., 1999). Daerah transisi pada Barat

Pasifik bisa dikenali pada pada suhu perairan yang

hangat yaitu lebih dari 28 0C (Maes et al., 2010).

Pada periode tersebut, CHL akan bergeser hingga

20 derajat ke arah Barat dibandingkan dengan

menggunakan isoterm 28 0C. Hal yang berbeda

dengan yang dilakukan oleh Waliser (1996) dalam

Maes et al., (2010), dimana daerah transisi pada

Barat Pasifik memiliki suhu lebih panas dari 29,75 0C. Pada umumnya, keterkaitan pergerakan CHL

pada daerah transisi selain dipengaruhi oleh arus,

juga dipengaruhi oleh variabilitas salinitas.

Page 41: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

80

Pergerakan vertikal massa air

Hasil pengolahan dan analisis profil suhu dan

salinitas pada kedalaman 0-100 m dari data TAO

array yang terletak pada lintang 0N, 2S, 2N, 5N

dan 5S pada bujur 150 0E-110

0W selama kurun

waktu sepuluh tahun terakhir (2000-2011)

menunjukkan adanya pergerakan vertikal massa air

di Samudera Pasifik bagian Barat. Pada Gambar 4,

Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8

memperlihatkan profil suhu, pada daerah Ekuator

(0N) menunjukkan terjadinya pergerakkan masa air

hangat (isoterm 28-29 0C) baik secara vertikal dan

horizontal. Pergerakkan kolom massa air hangat

suhu 29 0C di daerah ekuator lintang 0

0N

menunjukan pergerakan horizontal kearah Barat

dan pergerakan vertikal dari layer 25 m hingga

layer 65 m dari tahun 2000 ke tahun 2001. Hal

yang sama juga terlihat pada lintang 5N, 2N, 2S,

a)

c)

b)

d)

29

29

34,6

34,6

0.1

0.1

300

300

e)

34.6

Gambar 3. Diagram Hovmoller SPL (a), Salinitas

(b), CHL (c), NPP (d) dan SPL Vs Salinitas (34,6

psu) (e) di Samudera Pasifik Bagian Barat. Garis

hitam adalah nilai isoterm 290C, isohaline 34,6

psu, Chl-a 0,1 mg/m3 dan NPP 300mgC/m

2/day

Figure 3. Hovmoller diagram of SST (a), Salinity

(b), CHL (c), NPP (d) and Salinity Versus salinity

at 34,6 psu in Western Pacific Ocean. Black line

show the isotherm 29oC, isohaline 34,6 psu, Chl-a

0,1mg/m3, NPP 300mgC/m

2/day

Sumber: Hasil pengolahan data

Page 42: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 81

dan 5S. Pola pergerakan massa air pada tahun 2000

secara horizontal mempunyai batas kolom air

hangat berada di sekitar 1700E. Pada tahun 2001,

2002 dan 2003 kolam air hangat bergeser kearah

Timur di sekitar 160 0W. Batas kolom air hangat

kemudian bergeser ke Barat di sekitar 180 0E pada

tahun 2004-2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan

2011 batas kolom air hangat bergeser kembali ke

arah Barat di sekitar 170 0E, sementara itu pada

tahun 2009 dan 2010 batas tersebut kembali

bergeser ke Timur berada disekitar 170 0W.

Pergeseran batas kolom air hangat secara vertikal

sangat erat hubungannya dengan kejadian La-Nina

dan El-Nino. Pada kondisi normal, kolom air

hangat di Ekuator Samudera Pasifik berada di

sekitar 170 0W. Pada saat El-Nino, batas kolom air

hangat tersebut bergerak menuju Timur, sedangkan

pada saat La-Nina, kolom air hangat tersebut

bergerak kearah Barat. Pergerakan tersebut juga

bisa dilihat berdasarkan SOI. Pada tahun 2002-

2003 terjadi El-Nino (SOI<-8) dan ini

menyebabkan kolam air hangat bergerak kearah

Timur. Hal yang sama juga diduga dengan

pergerakan ikan cakalang dimana akan bermigrasi

mengikuti pergerakan massa air dari barat menuju

timur (Lehodey et al., 1997). Pada saat El-Nino,

adanya pergerakan massa air dengan suhu yang

lebih hangat menuju Timur (Pasifik bagian

Tengah) kemudian bagian pinggir dari warm pool

akan berosilasi pada 180 0W dengan perpindahan

massa air yang besar dari timur dan ini akan

berkorelasi dengan sinyal ENSO, kadang

perpindahan tersebut lebih dari 50 derajat

(Lehodey et al., 1997). Pada tahun 2007-2008

(SOI>8) dan 2010-2011 (SOI>8) terjadi La-Nina,

pada saat itu kolom air hangat bergerak menuju

barat dan diduga penyebaran ikan cakalang akan

berada di bagian Barat Samudera Pasifik. Lehodey

et al. (1997), memperlihatkan pergerakan ikan

cakalang pada saat La Nina ke arah Barat Pasifik.

Ikan cakalang tersebut ditandai (tagging) pada

Maret 1992, kemudian ditangkap kembali sebelum

Oktober 1992 dengan dominansi pergerakan

menuju kearah Barat Pasifik.

Jika massa air pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar

6, Gambar 7, dan Gambar 8 dilihat secara spasial,

semakin kearah Barat Samudera Pasifik, suhu

umumnya menjadi lebih hangat (>28 0C) dan

mempunyai variabilitas musiman kurang dari 1 0C.

Di daerah Tengah dan Timur Samudera Pasifik,

massa air lebih dicirikan oleh suhu yang rendah

dibandingkan suhu di sebelah Barat Samudera

Pasifik. Proses divergensi di bagian Tengah hingga

timur diduga sebagai penyebab hal di atas. Proses

ini diduga membawa nutrien yang tinggi hingga ke

permukaan. Massa air juga membawa khlorofil-a

yang tinggi dan mengindikasikan tingkat

produktivitas primer. Daerah tersebut sering

dikenal dengan istilah “cold tongue”. Bagian Barat

Samudera Pasifik yang lebih hangat, salinitas dan

nutrien yang rendah akan bergerak menuju ke

Timur dan dipengaruhi oleh angin barat dan daerah

bagian Timur yang berbatasan dengan cold tongue

dikenal dengan istilah tropical convergence zone.

Zona ini bisa diidentifikasi dengan front salintas

dan suhu isoterm 29 0C. Supangat et al., (2004)

juga menganalisa daerah konvergensi di Pasifik

pada tahun 1993 dengan mengidentifikasi front

salinitas dan isoterm 28-29 0C dimana daerah

konvergensi begerak pada 163 0E-150

0W dan 13

0S-6

0N pada bulan Januari-Maret. Pada bulan

April daerah konvergensi bergerak ke Barat dan

berada pada 165 0E-158

0 W dan 8

0S-5

0N hingga

bulan Mei mencapai 156 0E. Pada periode

September-Desember, daerah konvergensi semakin

ke arah selatan (163 0E-164

0W dan 13

0S-3

0N).

Keberadaan daerah potensial ikan cakalang satu

daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Suhu

optimal untuk ikan cakalang di Pasifik bagian

Barat berada pada kisaran 29 0C (Lehodey et al.,

1997), hal ini berbeda dengan di bagian Selatan

pesisir Brazil dimana ikan cakalang yang

ditangkap berada pada kisaran suhu 17-30 0C

(Andrade & Garcias, 1999). Di perairan Tasmania

dan Tenggara Australia, ikan cakalang ditangkap

pada suhu 15-18 0C, di Perairan Jepang dan

Selatan Amerika pada suhu 20-24 0C serta di

Selatan India pada suhu 28-29 0C (Barkley et al.,

1978). Di Perairan Indonesia, ikan cakalang bisa

tumbuh pada suhu 26–32 0C, dan suhu yang ideal

untuk melakukan pemijahan adalah pada 28–29 0C

dengan salinitas 33 psu (Gunarso, 1985). Di

Perairan Teluk Palabuhan Ratu, ikan cakalang

banyak tertangkap pada kisaran suhu 25–29 0C

(Limbong, 2008). Dizon (1977) menganalisis suhu

15 0C merupakan batas bawah lethal untuk ikan

cakalang. Jika suhu dibawah 15 0C, maka ikan

cakalang tidak bisa hidup. Batas maksimal ikan

cakalang mampu hidup adalah 33 0C. Ikan

cakalang mempunyai sistem metabolisme untuk

beradaptasi dengan lingkungannya terutama

perbedaan suhu dengan menggunakan insang.

Selain itu, ikan cakalang juga sangat bergantung

Page 43: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

82

pada kandungan oksigen terlarut. Umumnya ikan

cakalang menyukai perairan yang memiliki nilai

oksigen terlarut sekitar 4,5 ml O2/L atau 6,4 ppm

(Barkley et al., 1978).

Gambar 4. Rata-rata tahunan suhu (

0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 0

0.

Figure 4. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 0

0

Sumber: Hasil pengolahan data

Page 44: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 83

Gambar 5. Rata-rata tahunan suhu (0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 2

0N

Figure 5. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 2

0N

Sumber: Hasil pengolahan data

Page 45: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

84

Gambar 6. Rata-rata tahunan suhu (

0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 2

0S.

Figure 6. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 2

0S

Sumber: Hasil pengolahan data

Page 46: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 85

Gambar 7. Rata-rata tahunan suhu (0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 5S.

Figure 7. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 5

0S

Sumber: Hasil pengolahan data

Page 47: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

86

Gambar 8. Rata-rata tahunan suhu(0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 5N.

Figure 8. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 5

0N

Sumber: Hasil pengolahan data

Page 48: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 87

a) b)

c) d)

e) f)

g) h)

i) j)

k)

Gambar 9. Profil vertikal salinitas pada lintang 5N (a-c), 5S (d-e), 2N (f-h), 2S (i) dan 0N (j-k).

Figure 9. Vertical profiles of salinity on longitude 5N (a-c), 5S (d-e), 2N (f-h), 2S (i) and 0N (j-k) Sumber: Hasil pengolahan data

Page 49: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

88

Kondisi oseanografi selain suhu seperti salintas

juga mempengaruhi keberadaan ikan cakalang.

Pada daerah konvergensi, sangat ditentukan oleh

suhu yang hangat (26-29 0C) serta nilai salinitas

yang rendah. Umumnya front salinitas yang berada

di daerah tersebut berada pada isohalin 34,6 psu

(Supangat et al., 2004). Nilai salinitas yang lebih

rendah pada suhu hangat (warm low salinity)

sangat disukai oleh ikan cakalang. Hasil

pengolahan salinitas pada lintang 5N, 5S, 2N, 2S

dan 0N menunjukan variabilitas pada tiap

kedalaman. Pada Gambar 9, terlihat nilai salinitas

yang lebih rendah berada pada kedalaman 1-50 m;

terutama pada tahun 2005, 2007, dan 2011. Hal

tersebut mengindikasikan adanya pergerakan

massa air vertikal berdasarkan tingkat salinitas dan

fenomena La Nina.

Pada lokasi mooring TAO array yang dipetakan

salinitasnya, memiliki massa air bersalinitas rendah

dan terjadi pada tahun 2003, 2005, 2007 dan 2011.

Fenomena ENSO, berdasarkan indeks SOI pada

tahun 2003 (Gambar 2) terjadi El-Nino namun

intensitasnya tidak kuat, hal yang sama juga terjadi

pada tahun 2005. Pada tahun 2007, 2010 dan tahun

2011 terjadi La Nina. Kejadian La Nina yang kuat

pada bulan Desembar 2010 berpengaruh terhadap

ekuatorial Pasifik. Efeknya masih berpengaruh

hingga tahun 2011 namun intensitasnya tidak

sekuat tahun 2010. Daerah front terbentuk pada

periode pergerakan zona konvergensi tahun 2002-

2004 (Maes et al., 2006). Hasil analisis di atas

menunjukkan daerah Barat Pasifik yang dicirikan

oleh salinitas rendah yaitu 34,2-34,6 psu dan

daerah Tengah hingga Timur Pasifik yang ditandai

oleh nilai salinitas yang lebih tinggi (> 35,2 psu).

Perbedaan tersebut juga lebih dikarenakan oleh

fenomena ENSO. Front salinitas yang terbentuk

adalah berkisar 34,6-35 psu dan berada pada 2-3

derajat dari daerah konvergen (Maes et al., 2005).

Terdapat hubungan yang kuat antara salinitas

dengan klorofil-a di Samudera Pasifik. Nilai

klorofil yang tinggi umumnya akan berasosiasi

dengan salinitas yang rendah. Semakin tinggi

stratifikasi salinitas, maka nilai klorofil-a akan

semakin rendah (Maes et al., 2010). Maes et al.,

(2006) mengobservasi korelasi salinitas pada bujur

3 0N–3

0S di daerah ekuatorial dan hasilnya adalah

terdapat gradien salinitas pada daerah 165 0E dan

ditemukannya front salinitas dengan selang 34,6-

35 psu lebih dari 2-3 derajat daerah transisi

(eastern edge of equatorial pacific warm pool).

Pengaruh angin juga sangat berpengaruh pada nilai

salinitas. Front salinitas diatas merupakan lapisan

yang terbentuk karena adanya pertemuan 2 (dua)

massa air (subduksi) dari massa air yang

bersalinitas tinggi yang berasal dari Tengah dan

Timur Pasifik dengan massa air bersalinitas rendah

dari Barat Pasifik.

Pengaruh zona konvergensi terhadap hasil

tangkapan ikan cakalang

Pergerakan zona konvergensi di Barat Pasifik

tentunya akan berpengaruh terhadap tangkapan

ikan cakalang terutama di wilayah Indonesia,

Kepulauan Filipina dan daerah sekitar 160 0W

(Lehodey et al., 2003). Uktolseja et al. (1989),

penyebaran ikan cakalang di Indonesia meliputi

Samudera Hindia (Perairan Barat Sumatera,

Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan

Indonesia bagian timur (Laut Sulawesi, Maluku,

Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan

Samudera Pasifik (Perairan Utara Irian Jaya).

Pengaruh pergerakan zona konvergensi terhadap

hasil tangkapan ikan cakalang dapat diketahui

dengan melakukan analisa hubungan pergerakan

zona konvergensi terhadap hasil tangkapan ikan

cakalang di perairan Indonesia bagian Timur.

Gambar 10 menunjukkan hasil tangkapan ikan

cakalang di Perairan Indonesia bagian Timur yang

didaratkan di Kota Sorong maupun Provinsi Papua

selama periode tahun 2007-2012 jika dikaitkan

dengan fenomena ENSO. Pendataan hasil

tangkapan ikan cakalang dilakukan oleh Dinas

Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Papua

dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong.

Menurut data DKP tersebut, pada saat La-Nina,

hasil tangkapan ikan cakalang cenderung menurun.

Pada tahun 2008 saat terjadi La-Nina SOI berada

pada batas atas threshold (> 8). Fenomena La-Nina

mempunyai intensitas yang tinggi pada awal tahun

2008 kemudian melemah hingga bulan Juli 2008.

La-Nina yang terjadi ini berdampak pada

perikanan cakalang di Provinsi Papua, dimana

hasil tangkapan ikan cakalang menurun hingga

1.611 kg khususnya pada bulan Januari 2008.

Seiring dengan berkurang atau melemahnya La-

Nina, ikan cakalang yang tertangkap di Papua

meningkat hingga puncaknya mencapai pada bulan

Mei 2008 dengan hasil tangkapan mencapai 33.183

kg. Berbeda dengan tangkapan di Provinsi Papua,

hasil tangkapan yang didaratkan di Kota Sorong

Page 50: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -

Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 89

menunjukan pola yang terbalik. Pada saat La-Nina,

hasil tangkapan meningkat pada tahun 2008

khususnya pada bulan Maret yang mencapai

18.480 kg. Pada saat La-Nina melemah, hasil

tangkapan cenderung menurun hingga mencapai

3.745 kg pada bulan Juli 2008. Efek dari kejadian

La-Nina terhadap hasil tangkapan ikan cakalang

terjadi juga pada bulan September 2009-Januari

2010 dimana terdapat hubungan positif dan negatif

terhadap musim tangkapan di kedua kota tersebut.

Gambar 10. Hubungan hasil tangkapan ikan

cakalang dengan SOI di Kota Sorong dan Provinsi

Papua tahun 2007-2012.

Figure 10. Relationship between skipjack tuna

catchment in Sorong City and Papua Province

related to SOI during 2007-2012 Sumber: Hasil analisis

Berdasarkan Gambar 10, fenomena El-Nino terjadi

mulai bulan Juni tahun 2009 hingga mencapai

puncaknya pada bulan Desember 2009 - Februari

2010. Pada saat itu, SOI memperlihatkan nilai di

bawah batas (< -8). Jika dikaitkan pengaruh El-

Nino, hasil tangkapan ikan cakalang di Kota

Sorong berfluktuasi. Pada bulan Juli 2009, hasil

tangkapan ikan cakalang mencapai 14.010 kg

kemudian berfluktuasi hingga bulan Januari 2010

sebesar 12.700 kg. Walaupun El-Nino mulai

melemah, ikan cakalang yang tertangkap masih

menunjukan nilai yang tinggi. Hal ini bisa dilihat

pada bulan Maret 2010 dimana hasil tangkapan

mencapai 22.765 kg. Pola yang linear antara SOI

dengan hasil tangkapan di kedua lokasi pendaratan

ikan terlihat pada pertengahan 2012. Pendaratan

ikan cakalang di Kota Sorong pada periode

tersebut mencapai 30.325 kg dan di Provinsi Papua

mencapai 21.625 kg.

KESIMPULAN DAN SARAN

Zona konvergensi bergeser ke arah Timur Barat

Pasifik akibat pengaruh ENSO. Pergerakan

horizontal massa air hangat kearah Barat Pasifik

dan pergerakan vertikal dari kedalaman 25 m

hingga 75 m khususnya pada isoterm 29 0C terjadi

saat La Nina. Hal yang sama juga terjadi pada

salinitas dimana nilai yang rendah bergerak secara

vertikal hingga kedalaman 50 m.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan di

Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang KP,

KKP. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibu

Mutiara R. Putri dan Bapak Budi Nugraha atas

diskusinya terkait dengan penelitian ini dan

Suliskania Safitri atas bantuan pengolahan data

TAO/TRITON.

DAFTAR PUSTAKA

Andrade, H.A., & Garcias, C.A.E. (1999). Skipjack tuna

fishery in relation to sea surface temperature off

the southern Brazilian coast. Fisheries

Oceanography, 8:4, 245-254.

Barkley, R.A., Neil, W.N., & Gooding, R.M. (1978).

Skipjack tuna, katsuwunos pelamis, habitat based

on temperature and oxygen requirements. Fish

Bull, 78(3), 653-662.

Behrenfeld, M.J., & Falkowski, P.G. (1997).

Photosynthetic rates derived from satellite-based

chlorophyll concentration. Limnology and

Oceanography, 42(1), 1-20.

Brill, R., Bigelow, K., Musyl, M., Fritsches, K., &

Warrant, E. (2005). Bigeye tuna (Thunnus

obesus) behavior and physiology and their

relevance to stock assessment and fishery

biology. Collected Volume of Scientific Papers,

International Commission for the Conservation

of Atlantic Tunas, 57(2), 142–161.

Bunyamin, E.K. (1981). Suatu studi tentang Skipjack

dan penyebarannya di perairan Sorong dan

sekitarnya. Skripsi. Fakultas Perikanan, IPB

Bogor. 108 hal.

Chavez, F.P., Strutton, P.G., Freidrich, G.E., Feely, R.

A., Feldman, G.C., Foley, D.G., & McPhaden,

M.J. (1999). Biological and chemical response of

the equatorial Pacific Ocean to the 1997-98 El

Nino. Science, 286, 2126-2131.

Dizon, A.E. (1977). Effect of dissolved oxygen

concentration and salinity on swimming speed of

Page 51: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90

90

two species of tunas. Fish. Bull., U.S., 75, 649-

653.

Grandperrin, R. (1978). Influence of currents on the

production of tropical seas: consequences for

fisheries. Fisheries Newsletter, No. 17, South

Pacific Commission, Noumea, New Caledonia.

pp 14 -20.

Gunarso, W. (1985). Tingkah laku ıkan dalam

hubungannya dengan alat, metode dan taktik

penangkapan. Skripsi. Fakultas Perikanan.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hal.

http://oceandata.sci.gsfc.nasa.gov/.diakses pada tanggal

29 Januari 2013.

http://pmel.noaa.gov/tao/.diakses pada tanggal 11 Juni

2013.

http://science.oregonstate.edu/ocean.productivity/index.

php. diakses pada tanggal 31 Januari 2013.

http://www.r-project.org/. diakses pada tanggal 2 Juni

2013.

Lamigueiro, O.P., & Hijmans, R. (2013). RasterVis:

Visualization methods for the raster package. R

package version 0.20-07. http://CRAN.R-

project.org/package=rasterVis

Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A., &

Picaut, J. (1997). El Nino Southern Oscillation

and Tuna in Western Pacific. Nature, 389, 715-

718.

Lehodey, P., Chai, F., & Hampton, J. (2003).

Modelling climate-related variability of tuna

populations from a coupled ocean

biogeochemical-population dynamics model.

Fish. Oceanogr., 12, 483-494.

Limbong, M. (2008). Pengaruh suhu permukaan laut

terhadap jumlah dan ukuran hasil tangkapan

ikan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu

Jawa Barat. Skripsi. Departemen Pemanfaatan

Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

77 hal.

Maes, C., Picaut, J., & Belamari, S. (2005). Importance

of salinity barrier layer for the buildup of El

Nino. Journal of Climate, 18, 104-118.

Maes, C., Ando, K., Delcroix, T., Kessler, W.S.,

McPhaden, M.J., & Roemmich, D. (2006).

Observed correlation of surface salinity,

temperature and barrier layer at Eastern edge of

Western Pasific Warm Pool. Geophysical

Research Letter, 33, L06601, 1-4.

Maes, C., Sudre, J., & Veronique, G. (2010). Detection

of the Eastern of the Equatorial Warm Pool using

satellite-based ocean color observations. Sola, 6,

129-132.

Matsumoto, K., & Ando, K. (2009). Use of

cyanobacterial pigments to charachterize the

ocean surface mixed layer in the Pacific Warm

Pool. J. Mar. Syst., 75, 245-252.

Picaut, J., Loualalen, M., Menkes, C., Delcroix, T., &

McPhaden, M.J. (1996). Mechanism of zonal

displacement of the Pacific warm pool:

implication for ENSO. Science, 274, 1486-1489.

Setiawan, A. (2002). Analysis of meteorology-

oceanography parameters variability in the

maritime continent of Indonesia and their

relationship to the ENSO and dipole mode

phenomena. Master thesis. Bandung Institute of

Technology. 60p.

Stewart, R.H. (2002). Introduction to Physical

Oceanography. Spring 2002 Edition, 341 pp

Supangat, A., Adi, T.R., Pranowo, W.S., & Ningsih,

N.S. (2004). Predicting movement of the Warm

Pool, the salinity front and the convergence zone

in the Western and Central part of Equatorial

Pacific using a coupled hydrodinamical-

ecological model. The twelfth OMISAR

Workshop on Ocean Model. 11, 1-11.

Uktolseja, J.C.B., Purwasasmita, R., Susanto, K., &

Sulistiadji, A.B. (1989). Sumberdaya ikan

pelagis besar. Dalam Potensi dan penyebaran

sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.

Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya

Ikan Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

dan Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Hal

40-88.

Waas, H.J.D. (2004). Analisis daerah potensial

penangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

dan Madidihang (Thunnus albacares) di

perairan Utara Papua, Pasifik Barat. Tesis.

Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Bogor. 102 hal.

Page 52: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

91

UJI EFEKTIVITAS KOMPARTEMEN DASAR UNTUK PEMBESARAN LOBSTER

PASIR (Panulirus homarus) DI PANTAI SEPANJANG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL

SEA CAGE EFFECTIVENESS TEST FOR SPINY LOBSTER (Panulirus homarus)

IN SEPANJANG COAST, GUNUNG KIDUL DISTRICT

Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Gedung II Balitbang KP lantai 5, Jl. Pasir Putih I,

Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 Indonesia

Tel: (+62-21) 64700926, Fax: (+62-21) 64700926

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Diterima tanggal: 4 Maret 2015, diterima setelah perbaikan: 20 Juli 2015, disetujui tanggal: 30 Juli 2015

ABSTRAK

Tingginya permintaan lobster laut di pasar nasional maupun internasional serta adanya pembatasan ukuran lobster yang

boleh ditangkap dari alam menyebabkan tingkat ketersediaan lobster di pasaran menjadi berkurang, di sisi lain, kegiatan

budidaya maupun pembesaran lobster belum berkembang dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian

terkait dengan pembesaran lobster. Penelitian pembesaran lobster di alam tidak terlepas dari teknologi kompartemen

yang digunakan, untuk itu penelitian mengenai rekayasa teknologi kompartemen pembesaran lobster laut penting untuk

dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tipe kompartemen yang paling efektif untuk pembesaran lobster

pasir di Pantai Sepanjang, Yogyakarta dengan melakukan pengukuran berat dan panjang karapaks lobster. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa kompartemen lobster yang paling efektif untuk pembesaran lobster pasir adalah

kompartemen berbentuk silinder, dengan ukuran 200 lt dan diameter lubang pada selimut tabung 3 cm dibandingkan

dengan kompartemen kontrol dan seluruh kompartemen modifikasi.

Kata kunci: kompartemen dasar, lobster pasir (Panulirus homarus), Pantai Sepanjang.

ABSTRACT

The high demand of sea lobster and the restrictions on the size of lobsters that can be captured caused lobster on the

market to be a rarity, on the other hand lobster’s mariculture activities are not developed yet. Therefore, a study related

to the growing-out lobster is needed. Research of lobster’s grow-out can not be separated from the compartment

technology, the study of engineering technology of lobster enlargement become an important research to do. The aim of

this research was to determine the best fixed seacage type for scalloped spiny lobster enlargement in Sepanjang Coast,

Yogyakarta City through measuring the weight and length of the lobster’s carapace. The results shown that the most

effective lobster fixed seacage to enlarge scalloped spiny lobster were cylinder, with 200 liters of size and 3 cm

diameter of hole in the blanket tube compared to the control fixed seacage and the entire fixed seacage modification.

Keywords: fixed seacage, scalloped spiny lobster (Panulirus homarus), Sepanjang Coast.

PENDAHULUAN

Lobster laut merupakan komoditas yang bernilai

tinggi baik di pasar nasional maupun internasional.

Secara global, permintaan lobster laut naik sekitar

15 % per tahun. Kenaikkan permintaan ini

digerakkan oleh pasar internasional, terutama Cina.

Di Indonesia, lobster diekspor oleh pusat-pusat

niaga di Bali dan Surabaya (Jones, 2008).

Teknologi perekayasaan sarana budidaya lobster

laut telah dilakukan di beberapa negara dunia, akan

tetapi belum dapat diaplikasikan secara global. Hal

ini dikarenakan perbedaan jenis lobster dan

kesesuaian dengan kondisi lingkungan di berbagai

negara. Indonesia sebagai negara kepulauan

dengan beragam kondisi pantai merupakan daerah

endemik udang karang atau biasa disebut lobster.

Di Indonesia terdapat sekitar enam jenis lobster

yang merupakan spesies asli, diantaranya

Page 53: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102

92

Panulirus homarus, P. longipes longipes, P.

ornatus, P. penicillatus, P. polyphagus dan P.

versicolor. Lobster yang umum dibudidaya adalah

lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster

mutiara (P. ornatus). Lobster pasir merupakan

spesies yang dominan dan populasinya 3 hingga 9

kali lebih besar dari lobster mutiara (Jones, 2008).

Keberagaman jenis lobster yang banyak menjadi

modal bagi Indonesia untuk menjadi salah satu

pengekspor lobster terbesar di Asia, hal ini

tentunya harus didukung dengan inovasi teknologi

yang mendukung kegiatan industrialisasi budidaya

lobster.

Kegiatan budidaya lobster berskala komersial dan

ekperimental telah dimulai oleh sejumlah negara

diantaranya New Zealand, Jepang, Australia, India

dan Vietnam (Jeff & Davis, 2003). Bebeberapa

diantaranya menggunakan sistem sea cage dengan

berbagai material dan desain. Beberapa faktor yang

menentukan keberhasilan budidaya udang karang

dengan sistem sea cage adalah desain dan

pemilihan lokasi budidaya (Mohammed et al.,

2010). Penggunaan material penyusun sea cage

yang digunakan di berbagai negara sangat

beragam, India mengembangkan sea cage dengan

bahan dasar rangka High Density Polyetylen

(HDPE) yang dilengkapi dengan net berbahan

nilon. New Zealand mengembangkan sea cage

skala eksperimen berbahan dasar HDPE berbentuk

silinder dan kotak untuk memelihara bibit lobster

dengan ukuran panjang karapaks 40-55mm (Jeff &

James, 2001). Vietnam mengembangkan sea cage

sistem submerge dari material kayu dan besi serta

material lain yang mudah dijumpai di daerah

budidaya (Hung & Tuan, 2009).

Di Indonesia kegiatan budidaya maupun

pembesaran lobster laut belum banyak dilakukan,

sebagian besar lobster laut diperoleh dengan

penangkapan lobster laut dari alam. Pembesaran

lobster mulai berkembang di beberapa daerah

antara lain Lombok, Pelabuhan Ratu dan Aceh.

Sistem pembesaran lobster pada kawasan tersebut

menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA)

dengan material dari bambu dan kayu. Di wilayah

Kabupaten Sukabumi, khususnya kecamatan

Pelabuhan Ratu sudah dikembangkan usaha

pembesaran lobster dengan menggunakan KJA

berbahan dasar HDPE. Saat ini, penggunaan KJA

untuk pembesaran lobster dianggap tidak optimal

karena lobster hanya mendiami dasar kolom air.

Berdasarkan keadaan ini, maka diperlukan inovasi

untuk pembesaran lobster yang lebih baik. Inovasi

tempat pembesaran/kompartemen dasar lobster

diharapkan menjadi bagian penyelesaian dalam

melakukan pembesaran lobster laut.

Perairan pantai selatan Kabupaten Gunung Kidul

dan Kabupaten Pacitan merupakan daerah

penangkapan dan pemanfaatan lobster laut

(Hargiyanto et al., 2013). Persentase produksi

lobster pasir (Panulirus homarus) di daerah ini

mengalami penurunan dari tahun 2001-2008 (Pusat

Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi

Sumberdaya Ikan, 2012). Penurunan produksi ini

diduga merupakan salah satu akibat dari tekanan

penangkapan yang terjadi. Dampak lain dari

tekanan penangkapan adalah semakin mengecilnya

ukuran lobster yang tertangkap (Hargiyanto et al.,

2013). Untuk mengantisipasi fenomena tersebut

dan kemungkinan terjadinya ‘lost generation’

lobster, maka pada tanggal 7 Januari 2015,

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melarang

penangkapan dan penjualan lobster dengan ukuran

karapaks di bawah 8 cm melalui Permen-KP No

1/PERMEN-KP/2015. Lobster kecil yang

tertangkap oleh nelayan harus dibesarkan terlebih

dahulu hingga mencapai ukuran yang diijinkan

untuk dijual. Penggunaan kompartemen dasar

untuk pembesaran lobster yang ditempatkan di

laut, diharapkan dapat menghasilkan pertumbuhan

lobster yang tinggi dengan tingkat kelangsungan

hidup yang tinggi pula. Hal ini dimungkinkan

karena pembuatan kompartemen dan

penempatannya diusahakan untuk mendekati

kondisi alamiah pertumbuhan lobster. Penelitian

teknologi kompartemen pembesaran lobster yang

efektif menjadi penting untuk dilakukan dan

diperhatikan.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Pantai

Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan data

dilakukan pada Bulan Oktober-Desember 2014.

2.1 Persiapan

a. Pembuatan Kompartemen Dasar Lobster

Kompartemen lobster beserta pemberatnya

dibuat dengan memodifikasi bentuk yang

sudah dipakai selama ini di lokasi

penelitian. Pembudidaya lobster pasir di

Kabupaten Gunung Kidul selama ini

melakukan pembesaran lobster pasir

Page 54: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

93

menggunakan silinder (blong) 30 liter

berbahan HDPE, sedangkan pemberat

dibuat menggunakan semen dengan

kerangka besi. Modifikasi kompartemen

lobster dikembangkan berdasarkan

kompartemen lobster yang sudah dipakai

di lokasi. Modifikasi dilakukan pada

ukuran tabung dan diameter lubang pada

selimut tabung. Dalam penelitian ini dibuat

4 tipe kompartemen dan 1 tipe

kompartemen kontrol. Setiap tipe

kompartemen dibuat 2 buah dengan

spesifikasi dan kondisi lingkungan perairan

yang diasumsikan sama. Secara detail,

modifikasi kompartemen lobster disajikan

dalam Tabel 1, sedangkan desain rekayasa

kompartemen disajikan dalam Gambar 1.

Tabel 1. Modifikasi kompartemen dasar budidaya lobster pasir

Table 1. Fixed seacage modification for scalloped spiny lobster mariculture

Kode Bentuk Volume

(Lt)

Diameter lubang

(cm)

Pola lubang Jarak antar titik

pusat lubang (cm)

Bahan

A Silinder 30 0.5 Tidak teratur 2 Plastik HDPE

B Silinder 30 2 Teratur 4 Plastik HDPE

C Silinder 30 3 Teratur 4 Plastik HDPE

D Silinder 200 2 Teratur 4 Plastik HDPE

E Silinder 200 3 Teratur 4 Plastik HDPE Sumber: Hasil pengukuran

(a)

(b) Gambar 1. Disain prototipe keramba dasar dengan diameter lubang 3 cm (a) dan 2 cm (b)

Figure 1. Fixed seacage design with hole’s diameter 3 cm (a) and 2 cm (b) Sumber: Hasil perancangan

Page 55: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102

94

Sedangkan jumlah lobster yang dibesarkan untuk

tiap-tiap kompartemen disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah lobster dalam kompartemen

Table 2. The number of lobsters in the seacage

Tipe Kompartemen Jumlah Lobster (ekor)

A 9

B 10

C 10

D 15

E 15 Sumber: Hasil pengukuran

b. Bibit Lobster

Pengujian efektifitas kompartemen untuk

pembesaran lobster menggunakan lobster

pasir sebagai spesies yang diujicobakan.

Spesies ini dipilih karena tingginya

kemampuan adaptasi lobster pasir terhadap

perbedaan lingkungan perairan (Thao,

2012). Bibit lobster pasir didatangkan dari

Lombok, Nusa Tenggara Barat

menggunakan metode pengiriman kering.

Lobster yang digunakan sebagai benih

berukuran 20-50 gr per ekor. Rata-rata

berat benih yang digunakan 31,45 gr

dengan simpangan baku 10,54 gr. Setelah

sampai di lokasi dilakukan aklimatisasi

dalam kolam selama 24 jam.

2.2 Pembesaran Lobster

a. Penempatan Kompartemen Dasar Lobster

Kompartemen diikatkan pada pemberat

yang terbuat dari beton, kemudian

diletakkan di area pantai sepanjang yang

berkontur kubangan sehingga terlindung

dari gelombang di saat air laut pasang.

Sedangkan pada saat air laut surut di area

kubangan ini masih terdapat air laut.

Penempatan kompartemen dasar lobster di

lokasi penelitian ditunjukkan dalam

Gambar 2.

Gambar 2. Penempatan kompartemen dasar lobster di lokasi penelitian

Figure 1. The placement of fixed cage at the study site

Sumber: Hasil perancangan

b. Pembesaran Lobster

Pembesaran lobster dalam kompartemen

dilakukan dengan terlebih dahulu

meletakkan kompartemen beserta

pemberatnya di lokasi budidaya.

Pengambilan data berat lobster dilakukan

selama 42 hari dengan interval 7 hari.

Masing-masing kompartemen diambil 2

sampel lobster dari masing-masing

kompartemen untuk diukur panjang

karapaks dan beratnya secara acak.

Pemeliharaan lobster dengan memberi

makan 1 kali sehari sesuai waktu surut

perairan Pantai Sepanjang dengan jenis

makanan yang bervariasi yaitu kerang

hijau, gurita dan ikan rucah, pemberian

pakan ditakar sebanyak 30-40 % berat

lobster di dalam kompartemen dasar.

c. Pengambilan data kualitas fisik perairan

Pengambilan data kualitas fisik perairan

meliputi data kecepatan gelombang, suhu

permukaan, salinitas, kecerahan air,

kedalaman, Dissolved Oxygen (DO) dan

pH.

2.3 Analisis Data

a. Penentuan kecepatan pertumbuhan

panjang dan berat lobster

Data berat dan panjang lobster yang

didapatkan kemudian dikorelasikan

Page 56: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

95

dengan waktu budidaya (umur pembesaran

lobster). Berat dan panjang lobster diduga

akan menghasilkan fungsi linear saat

dihubungkan dengan waktu budidaya.

Persamaan umum fungsi linear adalah

(Sugiyono, 2011):

f(x) = ax + b (1)

Dimana:

f(x) = Variabel terikat

X = variabel bebas

a = konstanta

b = intersep {harga f(x) jika x=0}

Nilai konstanta (a) merupakan koefisien

regresi atau gradien atau kemiringan

(Sugiyono, 2008). Nilai konstanta (a)

menentukan kemiringan garis fungsi x

curam atau landai. Semakin curam garis

maka semakin besar pula nilai konstanta

(a). Semakin besar nilai koefisien regresi

atau gradien dapat digunakan sebagai

indikator kecepatan pembesaran lobster.

Dalam penelitian ini, semakin curam garis

fungsi x maka akan didapatkan nilai

konstanta (a) atau gradien yang semakin

besar yang berarti semakin cepat pula

pembesaran yang terjadi.

b. Penentuan tipe kompartemen yang paling

efektif untuk pembesaran lobster

Tipe kompartemen yang paling sesuai

untuk pembesaran lobster dapat ditentukan

dengan membandingkan nilai koefisien

regresi panjang dan berat lobster terhadap

waktu budidaya pada tiap tipe

kompartemen, baik kompartemen kontrol

maupun kompartemen yang telah

dimodifikasi. Koefisien regresi panjang

dan berat kontrol didapatkan dari data

panjang dan berat lobster yang dibesarkan

pada kompartemen yang memiliki tipe

yang sama dengan yang digunakan

masyarakat. Nilai koefisien regresi yang

paling besar menunjukkan kecepatan

pembesaran yang paling tinggi, artinya

kompartemen tersebut paling sesuai untuk

pembesaran lobster.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul

merupakan pantai karst yang langsung

berhubungan dengan Samudera Hindia sehingga

mempunyai energi gelombang yang kuat yaitu 43,3

m/dt (Damayanti & Ranum, 2008). Penelitian

tahun 2008 oleh Damayanti et al. di pantai karst

Kabupaten Gunung Kidul baru merekomendasikan

pemanfaatan Pantai Sepanjang sebagai daerah

budidaya rumput laut/tanaman obat dan wisata

alam. Sekitar tahun 2010 usaha pembesaran lobster

laut mulai dikembangkan di wilayah Pantai

Sepanjang dengan menggunakan kolam di dalam

ruangan dan kompartemen dasar. Struktur dasar

Pantai Sepanjang adalah batu karang dan pasir

putih. Pada struktur batuan karang terdapat

beberapa zona berbentuk kubangan/kolam yang

pada saat surut zona tersebut masih terdapat

genangan air laut. Kondisi ini sesuai sebagai lokasi

pembesaran lobster (Thao, 2012).

Pengukuran kualitas fisik perairan Pantai

Sepanjang menunjukkan bahwa lokasi ini

memenuhi persyaratan sebagai lokasi budidaya

seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kesesuaian kualitas fisik perairan pantai sepanjang sebagai lokasi budidaya

Table 3. Suitability of physical water quality in Sepanjang Beach as location of mariculture

Parameter Hasil Pengukuran

Parameter

Kriteria Baku *)

Gelombang Kurang dari 2 m Kurang dari 2 m

Suhu permukaan air (oC) 26,88– 28,03 26 - 32

Salinitas (o/oo) 32.56 – 34.27 Fluktuasi < 3

Kecerahan air (cm) 76 - 98 Lebih dari 3 m

Kedalaman air (cm) 76 – 98 Lebih dari 5

DO (mg/l) 4.82 – 5.52 4 – 6

pH 7.34 – 7.84 7 - 9 Sumber: Hasil pengukuran

*) Gunarso (1985); Ahmad et al.(1991) dan Imanto (2000).

Page 57: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102

96

Tabel 3 menunjukkan bahwa parameter kualitas

fisik perairan masih berada pada kisaran yang

layak untuk dijadikan lokasi pembesaran lobster

dalam kompartemen dasar. Adanya hamparan batu

karang yang terbentang membentuk pulau-pulau

karang dan adanya cekungan diantara batu karang,

melindungi pembesaran lobster keramba dasar dari

gelombang dan arus keras yang berasal dari

Samudera Hindia. Karang berpasir, merupakan

lokasi yang cukup ideal untuk lokasi budidaya laut.

Rentang suhu perairan tidak fluktuatif, yaitu

berkisar antara 26,88-28,03 0C, sesuai untuk

kegiatan budidaya (Gunarso, 1985; Ahmad et al.,

1991 dan Imanto, 2000).

Pemilihan bibit lobster pasir yang akan dibesarkan

dalam kompartemen tidak memperhatikan

perbandingan jumlah lobster jantan dan betina.

Hubungan panjang dan berat lobster tidak

dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Hal ini

berdasarkan hasil penelitian dengan spesies lobster

pasir (Hargiyanto et al., 2013) dan spesies lobster

batu (Fauzi et al., 2013) bahwa tidak ada

perbedaan yang nyata hubungan panjang berat

antara jantan dan betina sehingga untuk

perhitungan panjang dan berat data dapat

digabungkan.

Tabel 2 memperlihatkan jumlah lobster yang

dibesarkan dalam tiap kompartemen lobster. 10

ekor lobster dibesarkan untuk kompartemen

dengan volume 30 liter, jumlah ini mendekati

jumlah lobster yang dibesarkan dalam

kompartemen kontrol 30 liter yaitu 9 ekor. Jumlah

tidak bisa disamakan karena keterbatasan

ketersediaan bibit. Sedangkan dalam kompartemen

200 liter, dibesarkan lobster dengan jumlah 15 ekor

atau 50% lebih banyak daripada kompartemen 30

liter. Dengan demikian, kepadatan lobster pada

kompartemen 30 liter adalah 1/3 lobster/lt atau

0,33 lobster/lt, sedangkan kepadatan lobster pada

kompartemen 200 liter adalah 3/40 lobster/lt atau

0,075 lobster/lt. Dilihat dari nilai kepadatan

lobster, hipotesa yang dikembangkan adalah bahwa

lobster pada kompartemen 200 liter akan memiliki

pertumbuhan yang lebih cepat daripada lobster

pada kompartemen 30 liter dengan asumsi faktor

lingkungan periaran dianggap sama atau tidak

menjadi pembatas. Semakin luas ruang gerak maka

kondisi pembesaran lobster dalam kompartemen

semakin mendekati habitat aslinya.

Berat awal lobster pasir yang digunakan dalam

penelitian ini antara 20-50 gr. Ukuran ini dipilih

karena dalam budidaya lobster, pemindahan lobster

dari kompartemen untuk pendederan ke

kompartemen pembesaran lobster hingga diperoleh

ukuran yang layak dijual adalah pada saat lobster

tersebut memiliki berat kurang lebih 30 gr

(Williams, 2004).

Pengambilan data berat pada kegiatan pembesaran

lobster dalam kompartemen dasar pertama kali

diukur pada saat pemindahan lobster dari kolam

aklimatisasi ke kompartemen dasar. Selanjutnya

data didapatkan dengan mengukur 2 sampel lobster

yang diambil secara acak untuk tiap tipe

kompartemen dalam interval 7 hari hingga

mencapai 42 hari. Selama waktu pembesaran,

lobster diberi makanan kerang hijau, gurita dan

ikan rucah sebanyak 30-40% berat lobster di dalam

kompartemen dasar berselang seling dengan

frekuensi 1 kali setiap hari. Pemberian pakan pada

kegiatan budidaya berpengaruh pada kualitas

lingkungan perairan karena adanya nitrogen

anorganik terlarut dan sisa pakan. Kegiatan

pembesaran lobster menggunakan Keramba Jaring

Apung (KJA) maupun kompartemen dasar tidak

akan berpengaruh buruk terhadap kualitas

lingkungan perairan sepanjang tidak dilakukan

dengan padat tebar yang sangat tinggi (Leel et al.,

2014).

Informasi mengenai kenaikan berat lobster dalam

pembesaran kompartemen dasar dilakukan dengan

merata-ratakan berat lobster tiap tipe kompartemen

pada setiap waktu pengambilan. Gambar 2

menunjukkan kecenderungan kenaikan berat dan

panjang karapaks lobster selama masa pembesaran

pada kopartemen A. Kompartemen A sebagai

kompartemen kontrol, merupakan kompartemen

yang sama dengan kompartemen lobster yang

selama ini digunakan masyarakat Kab.Gunung

Kidul untuk pembesaran lobster pasir. Data dari

kompartemen A ini digunakan sebagai kontrol

terhadap keberhasilan modifikasi kompartemen

yang dilakukan.

Page 58: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

97

(a)

(b)

Gambar 3. Kenaikan berat (a) dan panjang karapaks (b) lobster kompartemen tipe A

Figure 3.The weight (a) and carapace length (b) increase of the lobsters in fixed seacage type A Sumber: Hasil pengukuran

Gambar 3 menunjukkan bahwa pembesaran lobster

dengan kompartemen seperti yang digunakan

selama ini, yaitu silinder plastik HDPE dengan

lubang tidak beraturan memiliki angka linearitas

0,552. Dari Gambar 3 diketahui bahwa seri data

panjang karapaks dan berat tubuh pembesaran

lobster dengan kompartemen kontrol didapatkan 2

persamaan linear, yaitu :

Fungsi panjang karapaks :

f(x) = 0,048x + 2,374 (2)

Fungsi berat tubuh :

f(x) = 0,161x + 22,88 (3)

Nilai konstanta (a) dalam persamaan (2) dan (3)

adalah 0,048 dan 0,161. Nilai konstanta (a) ini

merupakan konstanta kontrol untuk data panjang

karapaks dan berat tubuh karena merupakan data

hasil pembesaran lobster menggunakan

kompartemen yang selama ini digunakan oleh

masyarakat Pantai Sepanjang. Rekayasa

kompartemen dasar lobster dinilai memiliki

performa yang lebih baik dari performa

kompartemen kontrol apabila nilai konstanta (a)

untuk panjang karapaks dan berat tubuh lebih besar

daripada nilai konstanta (a) panjang karapaks dan

berat tubuh kompartemen kontrol.

y = 0.161x + 22.885 R² = 0.5528

Ber

at T

ub

uh

(gr

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.0488x + 2.3741 R² = 0.8043

Pan

jan

g K

arap

aks

(cm

)

Waktu Budidaya (Hari)

Page 59: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102

98

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Kenaikan berat dan panjang karapaks lobster (a). Kompartemen tipe B; (b). Kompartemen tipe C;

(c). Kompartemen tipe D; (d). Kompartemen tipe E

Figure 4. The weight and carapace length increase of the lobsters (a). Fixed seacage type B (b). Fixed seacage type C;

(c) Fixed seacage type D; (d) Fixed seacage type E Sumber: Hasil pengukuran

Gambar 4(a) dan 4(b) menunjukkan kenaikan berat

badan dan panjang karapaks lobster yang

dibesarkan dalam kompartemen tipe B dan C.

Kompartemen tipe B dan C berbentuk silinder

berukuran 30 liter. Kompartemen B memiliki

lubang pada selimutnya dengan diameter lubang 2

cm, sedangkan kompartemen C memiliki lubang

dengan diameter 3 cm. Kedua tipe kompartemen

ini diisi lobster dengan jumlah mendekati jumlah

lobster pada kompartemen kontrol seperti terlihat

pada Tabel 2. Perekayasaan terletak pada

keteraturan pembuatan lubang dan diameter lubang

y = 0.0829x + 26.713 R² = 0.6578

Ber

at T

ub

uh

(gr

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.0178x + 3.1283 R² = 0.3147

Pan

jan

g K

arap

aks

(cm

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.1205x + 28.373 R² = 0.2621

Ber

at T

ub

uh

(gr

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.0382x + 2.9756 R² = 0.6687

Pan

jan

g K

arap

aks

(cm

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.0361x + 3.1737 R² = 0.5994

Pan

jan

g K

arap

aks

(cm

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.1133x + 31.344 R² = 0.6637

Ber

at T

ub

uh

(gr

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.2963x + 50.792 R² = 0.2433

Ber

at t

ub

uh

(gr

)

Waktu Budidaya (Hari)

y = 0.048x + 3.4804 R² = 0.7159

Pan

jan

g K

arap

aks

(cm

)

Waktu Budidaya (Hari)

Page 60: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

99

untuk sirkulasi air. Dilihat dari konstanta

persamaan (a) yang didapatkan, maka terlihat

bahwa rekayasa kompartemen tipe B dan C

menunjukkan performa yang tidak lebih baik

daripada kompartemen kontrol.

Gambar 4(c) dan 4(d) menunjukkan kenaikan berat

badan dan karapaks lobster yang dibesarkan dalam

kompartemen tipe D dan E. Kompartemen tipe D

dan E berbentuk silinder berukuran 200 liter.

Kompartemen D memiliki lubang pada selimutnya

dengan diameter lubang 2 cm, sedangkan

kompartemen E memiliki lubang dengan diameter

3 cm. Kedua tipe kompartemen ini diisi lobster

dengan jumlah lebih banyak 50 % daripada

kompartemen yang berukuran 30 liter.

Perekayasaan kompartemen dari kompartemen

kontrol terletak pada keteraturan pembuatan

lubang, diameter lubang untuk sirkulasi air dan

perbesaran volume. Dibandingkan dengan nilai

konstanta karapaks dan berat kompartemen

kontrol, nilai konstanta karapaks dan berat lobster

kompartemen D masih di bawah kompartemen

kontrol. Sedangkan untuk kompartemen E,

konstanta berat lebih tinggi daripada kompartemen

kontrol, sedangkan bila dilihat dari konstanta

karapaks, maka nilai konstanta karapaks

kompartemen E sama dengan kompartemen

kontrol. Dengan demikian, kompartemen D

memiliki performa di bawah kompartemen kontrol,

sedangkan kompartemen E memiliki performa di

atas kompartemen kontrol. Diduga diameter yang

besar dan ukuran silinder sangat mempengaruhi

pertumbuhan berat lobster, dengan lebih mudahnya

sirkulasi air laut sehingga oksigen terlarut dapat

selalu ada dan sisa pakan dapat terbuang lebih

lancar/baik.

Secara keseluruhan, pembesaran lobster pasir

menggunakan kompartemen E berhasil menambah

berat lobster paling besar dibandingkan dengan

seluruh kompartemen yang digunakan dalam

penelitian ini. Gambar 5 menunjukkan selisih berat

rata-rata sebelum dan setelah pembesaran dengan

tipe kompartemen yang berbeda. Dari data tersebut

diketahui bahwa lobster yang dibesarkan dalam

kompartemen E memiliki perbedaan berat yang

paling besar yaitu 11,375 gr atau dengan kata lain

pada kompartemen E, pertumbuhan berat lobster

lebih cepat dibandingkan dengan kompartemen

lainnya.

Gambar 5. Pertumbuhan berat lobster menurut tipe kompartemen

Figure 5. The growth of lobster’s weight by different type of fixed seacage Sumber: Hasil pengukuran

Dalam penelitian ini, penentuan kompartemen

yang paling efektif untuk pembesaran dengan

memantau pertumbuhan berat mutlak, yaitu

pertumbuhan mutlak yaitu ukuran rata-rata yang

dicapai oleh lobster dalam satuan waktu tertentu.

Sedangkan pemantauan data pertumbuhan berat

nisbi yang merupakan ukuran panjang atau berat

yang dicapai dalam periode pembesaran yang di

hubungkan dengan panjang atau berat pada

sebelum periode pembesaran (Pusluh KKP, 2011)

tidak dilakukan.

Pertumbuhan secara umum dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal meliputi sifat genetis dan kondisi

fisiologi. Sementara faktor eksternal berkaitan

dengan lingkungan yang menjadi media

pemeliharaan, antara lain kimia air, substrak dasar,

B

erat

Tu

bu

h (

gram

)

Tipe Kompartemen

Page 61: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102

100

suhu air, dan ketersediaan pakan (Pusluh KKP,

2011). Penelitian ini merekam pertumbuhan lobster

pasir yang diakibatkan faktor eksternal berupa

kompartemen dasar lobster. Faktor eksternal lain

seperti kimia air, substrat dasar, suhu air dianggap

tidak berbeda karena keseluruhan kompartemen

lobster ditempatkan di satu lokasi. Tingkat

ketersediaan pakan dianggap sama karena seluruh

kompartemen diberikan variasi makanan yang

sama dengan prosentase yang sama. Faktor internal

pertumbuhan yang meliputi sifat genetis dan

kondisi fisiologi sama lobster dengan berat 20 gr

dan 50 gr dikatagorikan sebagai benih yang

memiliki bentuk sama dengan lobster dewasa

(Yusnaini et al., 2009; Halthius, 1981).

Keseluruhan bibit lobster didatangkan dari

Lombok, NTB dan memiliki kesamaan spesies

yaitu lobster pasir (Panulirus homarus). Hasil

penelitian menunjukkan secara umum bahwa

hipotesa yang dikembangkan benar, bibit lobster

yang dibesarkan dalam kompartemen yang

berukuran 200 lt dengan diameter lubang 3 cm

memiliki tingkat pertumbuhan berat yang lebih

cepat dibandingkan kompartemen lainnya.

Pembesaran lobster di Pantai Sepanjang

menggunakan kompartemen dasar yang paling

optimum dapat meningkatkan berat lobster dengan

kecepatan pertumbuhan 0,27 gr/hari. Bila

dibandingkan dengan percepatan pertumbuhan

lobster menggunakan desain kompartemen di

beberapa negara lain, percepatan pertumbuhan

menggunakan kompartemen dasar di Pantai

Sepanjang masih di bawah pertumbuhan lobster di

negara lain. Pembesaran lobster di India mampu

membesarkan lobster dengan kecepatan

pertumbuhan 0,89 gr/hari (Vijayakumaran et al.,

2009) sedangkan di Filipina, pertumbuhan lobster

dengan keramba meningkatkan berat lobster

sebesar 2,70 gr/hari (Philipose et al., 2012).

Pertumbuhan lobster pasir di Pantai Sepanjang

memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Hal

ini diketahui dengan mengolah data panjang dan

berat lobster berdasarkan persamaan yang

dinyatakan oleh Bal & Rao (1984) dan King

(1995):

W = aLb (4)

dimana W adalah berat lobster (gr), L adalah

panjang karapas (mm), a adalah konstanta dan b

adalah nilai eksponensial. Nilai b yang diperoleh

digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan.

Jika nilai b=3 berarti pola pertumbuhan bersifat

isometrik, b<3 pola pertumbuhan bersifat

allometrik negatif dan b>3 pola pertumbuhan

bersifat allometrik positif.

Hubungan antara panjang dan berat lobster pasir

yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang

ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan berat dan panjang karapaks lobster pasir

Figure 6. Length-weight relationship of spiny lobster Sumber: Hasil analisis

Be

rat

tub

uh

(g

ram

)

Panjang karapaks

(cm)

Page 62: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo

101

Dari grafik didapatkan persamaan :

y = 3,07468 x0,15346

(5)

maka diketahui nilai b = 0,15346 (nilai b<3).

Dengan demikian dapat digolongkan pola

pertumbuhan lobster pasir bersifat allometrik

negatif yang berarti pertambahan panjang karapaks

lobster lebih cepat daripada pertambahan beratnya.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Aisyah et al. (2009), Aisyah &

Setya (2010) dan Hargiyanto et al. (2013)

mengenai pola pertumbuhan lobster pasir di pesisir

Yogyakarta yang memiliki pola allometrik negatif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kondisi parameter perairan Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, sesuai

untuk kegiatan budidaya pembesaran lobster laut

dengan pola pertumbuhan allometrik negatif.

Kompartemen dasar bentuk silider dengan volume

200 liter dan diameter 3 cm dapat digunakan dalam

pembesaran lobster di perairan ini, sesuai dengan

kontur dasar dari perairan. Metode pemantauan

pertumbuhan mutlak pada pengukuran berat dan

panjang karapaks dapat digunakan sebagai uji coba

efektifitas kompartemen dasar untuk pembesaran

lobster pasir.

Saran

Kegiatan kompartemen dasar ini perlu dilakukan

penelitian lanjutan untuk melihat tingkat

keberhasilan kompartemen dasar bentuk silinder

ini dengan kondisi dan kontur perairan yang

berbeda.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kegiatan ini merupakan hasil riset Rekayasa

Teknologi dalam Mendukung Industrialisasi

Perikanan yang dilaksanakan di Pantai Sepanjang,

Kabupaten Gunung Kidul, Tahun Anggaran 2014,

Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi

Kelautan dan Perikanan. Ucapan terima kasih

disampaikan kepada Kepala Pusat Pengkajian dan

Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan,

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul

dan semua pihak yang telah membantu

terlaksananya kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Achmad, T., Imanto, P.T., Muchori, M., Basyarie, A.,

Sunyoto, P., Slamet, B., Mayunar, Purba, R.,

Diani, S., Rejeki, S., Pranowo, S.A., &

Murtiningsih, S. (1991). Pedoman teknis

operasional pembesaran kerapu dalam keramba

jaring apung. Maros: Balai Penelitian Perikanan

Pantai.

Aisyah, Badrudin & Triharyuni, S. (2009). Lobster seed

resources in south coast of Yogyakarta. AARD.

MMAF. (Laporan tidak dipublikasikan)

Aisyah, & Triharyuni, S. (2010). Production, size

distribution and length-weight relationship of

lobster landed in south coast of Yogyakarta,

Indonesia. Ind. Fish. Res. J., 16(1), 15-24.

Bal, D.V., & Rao, K.V. (1984). Marine fisheries. Tata

Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited,

New Delhi.

Damayanti, A., & Ranum, A. (2008). Karakteristik fisik

dan pemanfaatan pantai karst Kabupaten Gunung

Kidul. Jurnal Makara Teknologi, 12(2), 91-98.

Fawzi, M., Andhika, P.P., Ignatius, T.H., Fayakun, S.,

& Andria, A.U. (2013). Hubungan panjang-berat

dan faktor kondisi lobster batu (Panulirus

penicillatus) di perairan selatan Gunung Kidul

dan Pacitan. BAWAL, 5(2), 97-102.

Gunarso, W. (1985). Tingkah laku ikan dalam

hubungannya dengan alat, metode dan taktik

penangkapan. Bogor: Fakultas Perikanan IPB.

Hargiyanto, I.T., Fayakun, S., Andika, P.P., & Fauzi, M.

(2013). Hubungan panjang-berat dan faktor

kondisi lobster pasir (Panulirus homarus) di

perairan Yogyakarta dan Pacitan. BAWAL, 5(1),

41-48.

Holthuis, L.B. (1981). FAO Species Catalogue. Vol. 13.

Marine lobsters of the world. An annotated and

illustrated catalogue of species of interest to

fisheries known to date. FAO Fisheries Synopsis.

13 (125): 292. Hung, L.V., & Tuan, L.A. (2009). Lobster seacage

culture in Vietnam. In ‘Spiny lobster aquaculture

in the Asia–Pacific region’, ed. by K.C.

Williams. ACIAR Proceedings No. 132, 10–17.

Canberra: Australian Centre for International

Agricultural Research.

Imanto, P.T. (2000). Budidaya ikan laut. Loka Gondol:

Penelitian Perikanan Pantai.

Jeffs, A., & Davis, M. (2003). An assessment of the

aquaculture potential of the Carribean spiny

lobster, Panulirus argus. Proceeding of Gulf

Caribbean Fisheries Institute. 54, 413-426.

Page 63: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102

102

Jeffs, A.G. & James, P. (2001). Sea-cage culture of the

spiny lobster Jasus edwardsii in New Zealand.

Journal of Marine and Freshwater Research, 52,

1419-1424.

Jones, C. (2008). Studi kelayakan: Meningkatkan

pembesaran dan nutrisi lobster di Nusa

Tenggara Barat. Laporan penelitian ACIAR-

SADI. Australia Indonesia partnership.

King, M. (1995). Fisheries biology, assessment and

management. Fishing New Books.

Lee, S., Hartstein, N.D., & Jeffs, A. (2014). Modelling

carbon deposition and dissolved nitrogen

discharge from sea cage aquaculture of tropical

lobster. Journal of Marine Science. UK: Oxford.

Mohammed, G., Syda Rao, G. & Ghosh, S. (2010).

Aquaculture of spiny lobsters in sea cages in

Gujarat, India. J. Mar. Biol. Ass. India, 52 (2):

316-319.

Philipose, K.K., Jayasree, L.S.R., Krupesha, S., & Divu

D. (2012). Open sea cage culture. Handbook.

Central Marine Fisheries Research Intitute.

Karwar Research Centre. India.

Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi

Sumberdaya Ikan (P4KSI). (2012). Developing

new assessment and policy framework for

indonesia’s marine fisheries, including the

control and management of illegal, unregulated

and unreported fishing. Laporan Teknis. 111 p.

Pusluh KKP. (2011). Materi Penyuluhan Kelautan dan

Perikanan. Pusat Penyuluhan Kementerian

Kelautan dan Perikanan.

www.pusluh.kkp.go.id/index.php/arsip/.../lobster.

pdf/

Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif,

kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alphabeta.

Sugiyono. (2008). Metode penelitian bisnis. Cetakan

keduabelas 2008. Bandung: CV. Alphabeta.

Thao, N. (2012). Opportunities and challenges in

lobster marine aquaculture in Vietnam: the case

of Nha Trang Bay. Master Thesis. The

Norwegian College of Fishery Science.

University of Tromso, Norway & Nha Trang

University, Vietnam.

Vijayakumaran, M., Vankatesan, R., Murugan, S.T.,

Kumar, T.S., Kumar, J.H.A.D., Remany, M.C.,

Thilakam, J.M.L., Jahan, S,S., Dharani, S.,

Kahtiroli, & Selvani, K. (2009). Farming of

spiny lobster in sea cages in India. New Zealand

Journal of Marine and Freshwater Research,

43(2), 623-634.

Willams, K.C. (2004). Spiny lobster ecology and

exploitation in the South China Sea region.

Proceedings of a workshop held at the Institute

of Oceanography. Nha Trang, Vietnam.

Yusnaini, Nessa, M.N., Djawad, M. I., & Trijuno, D.D.

(2009). Ciri Morfologi Jenis Kelamin dan

Kedewasaan Lobster Mutiara Panulirus ornatus.

Torani Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan,

19(3), 166– 174.

Page 64: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,

Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

103

KESESUAIAN DESAIN OPERASIONAL KAPAL INKAMINA 163 BERBASIS

DI PPP SADENG YOGYAKARTA

OPERATIONAL DESIGN SUITABILITY OF AN INKAMINA 163 FISHING VESEL BASED

IN SADENG FISHING PORT, YOGYAKARTA

Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,

Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680, Indonesia

E-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 13 Nopember 2014, diterima setelah perbaikan: 26 Juli 2015, disetujui tanggal: 30 Juli 2015

ABSTRAK

Nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ragu untuk mengoperasikan

kapal ikan bantuan sampai batas maksimum ZEEI. Keraguan nelayan terletak pada kemampuan operasional kapal.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian kapasitas muat yang tersedia di atas kapal dengan rencana target

operasional kapal, dan menganalisis area kerja di lantai dek kapal. Metode yang digunakan adalah metode studi kasus.

Kapal Inkamina 163 menjadi objek penelitian. Data dianalisis dengan cara comparative-numeric untuk mengkaji

kesesuaian desain kapal dan untuk mengetahui area kerja pada dek kapal. Analisis kesesuaian desain juga dilakukan

dengan mengacu pada KEPMENKP No. 21/2004. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kapal Inkamina 163 memiliki

kapasitas muat yang sebagian besar sudah dapat memenuhi rencana target operasional kapal. Tata letak muatan di lantai

dek kapal Inkamina 163 telah sesuai dengan kebutuhan area kerja ABK. Kapal tersebut telah memenuhi 7 dari 8 syarat

yang dijadikan acuan dalam KEPMENKP No. 21/2004.

Kata kunci: Inkamina, kapal ikan, kapasitas muat, comparative numeric.

ABSTRACT

Fishermen in Sadeng Fishing Port, of DI Yogyakarta Province, are still in doubt to operate Inkamina vessels until ZEEI

in the Indian Ocean. Fishermen are doubt about the operational ability of fishing vessels. This research aimed to

analyze the suitability of loading capacity available on board of the ship, with operational plan target, and analyze

suitability of the layout on the vessel deck. Case study method is used in this research in which Inkamina 163 fishing

vessels become the object of research. Data were analyzed by means of comparative-numeric to assess the suitability of

the design of the ship and to know the working area on deck. In addition, analysis of the suitability of the design is also

refers to KEPMENKP No. 21/2004. The results showed that Inkamina 163 fishing vessel has a load capacity largely

been able to fulfill the plan of the ship operational target. Working area on the main deck crew is already met. This ship

has satisfied 7 from 8 requirements in KEPMENKP No. 21/2004.

Keywords: Inkamina, fishing vessel, load capacity, comparative numeric.

PENDAHULUAN

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

merupakan salah satu provinsi penerima kapal

penangkap ikan bantuan dari pemerintah. Kapal

bantuan ini dinamakan kapal Inkamina. Kapal

Inkamina yang ada di Provinsi DIY

ditambatlabuhkan di Pelabuhan Perikanan Pantai

(PPP) Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul. Kapal-

kapal Inkamina yang ada di pelabuhan tersebut

jarang digunakan oleh nelayan untuk melakukan

operasi penangkapan ikan. Nelayan di PPP Sadeng

meragukan kemampuan operasional kapal tersebut.

Operasi penangkapan ikan terjauh dilakukan di 60

mil. Mereka belum dapat mengoperasikan kapal

tersebut hingga 200 mil di ZEEI. Potensi perikanan

laut pada perairan ZEEI di Provinsi DIY belum

dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Page 65: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112

104

Salah satu faktor yang menentukan dalam desain

suatu kapal penangkap ikan adalah kesesuaian

kapasitas muat kapal dengan rencana target operasi

penangkapan dan keselamatan kerja di atas kapal.

Setiap kapal penangkap ikan harus dapat

memenuhi faktor tersebut untuk menunjang

keberhasilan dan keamanan suatu operasi

penangkapan.

Beberapa penelitian mengenai desain kapal dan

keselamatan kerja di laut telah dilakukan. Usaha

perbaikan kualitas kapal ikan PSP 01 oleh Susanto

(2010), dilakukan dengan cara simulasi terhadap

modifikasi dimensi utama kapal agar diperoleh

acuan untuk redesign. Marjoni (2009) melakukan

penelitian menggunakan kapal purse seine yang

mendominasi di Pelabuhan perikanan Pantai

Lampulo. Kapal-kapal tersebut hanya dioperasikan

pada 12 mil sehingga potensi perikanan laut di

perairan Provinsi Nangro Aceh Darussalam pada

jarak lebih dari 12 mil belum dapat dikelola secara

maksimal.

Ketersediaan luas area kerja di dek kapal harus

mencukupi kebutuhan ABK karena dapat

mempengaruhi keamanan kerja. Piniella et al.

(2008) mengemukanan dalam penelitiannya bahwa

telah banyak penelitian yang menganalisis

mengenai rendahnya tingkat keamanan kerja pada

perikanan tangkap seperti: Chau-vin and Lebouar

(2007) melakukan penelitian mengenai kecelakaan

kerja di industri perikanan laut Perancis; Murray

and Tilley (2006) melakukan penelitian pada

kolompok nelayan di Newfoundland, Canada;

Brooks (2005) di Australia; dan Jin & Thunberg

(2005) di daerah penangkapan ikan Timur Laut

Amerika Serikat.

Berdasarkan pemaparan di atas, perlu dilakukan

suatu kajian untuk menganalisis kesesuaian desain

kapal Inkamina ditinjau dari kapasitas muat dan

tata letak di dek kapal yang terkait dengan

ketersediaan area kerja. Tujuan penelitian ini

adalah: 1) menganalisis kesesuaian kapasitas muat

yang tersedia di atas kapal dengan rencana target

operasional kapal, dan 2) menganalisis area kerja

di lantai dek kapal.

Pencapaian untuk tujuan pertama penelitian ini

dilakukan analisis perbandingan dimensi utama

kapal dan coefficient of fineness terhadap kapal

tipe encircling gear di Indonesia, operational

general arrangement, dan kapasitas muat kapal.

Tujuan kedua pada penelitian ini menghubungkan

antara ketersediaan area kerja dengan kebutuhan

ABK di dek utama kapal Inkamina 163.

Hasil kajian dalam penelitian ini dapat digunakan

sebagai bahan acuan untuk redesign agar kapal

Inkamina 163 dan juga kapal penangkap ikan yang

lain dapat memenuhi target operasi.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai

dengan bulan Mei 2014 di Pelabuhan Perikanan

Pantai (PPP) Sadeng, Kelurahan Pucung,

Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul,

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Alat dan Metode

Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu: roll

meter (20 m), tali kenur,tali rafia, pemberat

(bandul), waterpass, senter, penggaris 20 dan 60

cm, senter, digital camera, alat tulis, kertas

millimeter block (1x1 m), dan laptop. Penelitian ini

menggunakan metode studi kasus. Fokus kajian

dilakukan terhadap kapal Inkamina 163 yang

berbasis di PPP Sadeng, DIY. Jenis dan metode

pengambilan data disajikan pada Tabel 1.

Analisis Data

Data dianalisis dengan cara comparative-numeric.

Analisis comparative-numeric yang pertama

dilakukan dengan membandingkan antara volume

ruang yang telah terpasang di kapal dengan volume

ruang tersebut berdasarkan estimasi secara teoritis.

Analisis comparative-numeric yang kedua

dilakukan dengan membandingkan luas area

terpakai dengan luas area tersedia di atas lantai dek

kapal. Selain itu, analisis juga dilakukan dengan

mengacu pada KEPMENKP No. 21 (2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desain Kapal

Kapal ikan bantuan yang dijadikan objek penelitian

adalah Kapal Inkamina 163 berukuran 32 GT yang

berbasis di PPP Sadeng, Provinsi DIY. Dimensi

utama kapal tersebut adalah sebagai berikut: Lpp

Page 66: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,

Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

105

(13,65 m), B (4,74 m), D (2,04 m), dan d (1,632

m).

Perbandingan ukuran dimensi utama kapal

Inkamina 163 disajikan pada Tabel 2. Kisaran nilai

perbandingan dimensi utama kapal ikan di

Indonesia yang telah dilakukan oleh Iskandar dan

Pujiati (1995) dijadikan pembanding rasio dimensi

utama kapal Inkamina 163.

Tabel 1. Metode pengambilan data dari tiap jenis data

Table 1. The data collection method for each type of data

Jenis data Metode pengambilan data

Tujuan 1 : Menganalisis kesesuaian kapasitas muat yang tersedia di atas kapal dengan rencana target

operasional kapal

Palka Pengukuran langsung

Tangki BBM Pengukuran langsung

Tangki air tawar Pengukuran langsung

Ruang ABK Pengukuran langsung

Rata-rata jumlah hasil tangkapan maksimum

per trip Data hasil tangkapan di KUB

Rata-rata pemakaian BBM per trip Data pemakaian BBM di KUB

Jumlah ABK dan rata-rata ukuran tubuhnya Perhitungan dan pengukuran langsung

Tujuan 2 : Kesesuaian tata letak muatan di dek kapal

Luas area di lantai dek Pengukuran langsung

Luas area yang terpakai Pengukuran langsung

Kondisi bagian kapal Pengecekan langsung Sumber: Koleksi pribadi

Tabel 2. Perbandingan ukuran dimensi utama kapal

Table 2. Size comparison of vessel main dimension

Rasio dimensi

utama

Kapal

Inkamina

163

Kelompok kisaran ukuran kapal ikan di Indonesia*)

Static gear Encircling

gear Towed gear

Multi-

purpose

L/B 2.88 2,83-11,12 2.06-9.30 2,86-8,30 2,88-9,42

L/D 6.96 4.58-17.28 4.55-17.43 7,20-15,12 8,69-17,55

B/D 2.32 0.96-4.68 0.5-5.00 1,25-4,41 0,35-6,09

Sumber: Hasil pengukuran

Keterangan : *) Iskandar dan Pujiati, 1995.

Rasio dimensi utama

Menurut Iskandar (2007) mendesain kapal ikan

yang terbuat dari bahan kayu, perhatian utama

ditujukan pada dimensi kapal panjang antara garis

tegak (L), lebar kapal (B), dan dalam kapal (D).

Perbandingan dimensi tersebut merupakan

parameter awal menggambarkan bentuk dan jenis

kapal.

Berdasarkan data pada Tabel 2, dimensi utama

kapal Inkamina 163 masuk dalam dua kelompok

kisaran ukuran jenis kapal ikan di Indonesia yakni

kelompok static gear dan encircling gear. Hasil

perbandingan tersebut menyatakan bahwa dimensi

kapal ikan ini pada umumnya digunakan oleh

nelayan di Indonesia untuk mengoperasikan alat

tangkap baik jenis encircling gear maupun jenis

static gear.

Coefficient of Finenness

Iskandar dan Pujiati (1995) telah melakukan

pengelompokan kisaran nilai koefisien bentuk

(coefficient of fineness) kapal ikan yang ada di

Indonesia. Tabel 3 menunjukkan perbandingan

Page 67: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112

106

nilai coefficient of fineness kapal Inkamina 163

dengan kisaran nilai coefficient of fineness kapal-

kapal ikan di Indonesia.

Menurut Gillmer dan Johnson (1911), bentuk

proporsi bagian kapal yang terendam air dapat

dilihat dengan jelas untuk menentukan gemuk atau

langsing, atau sedang, dari hasil perbandingan

dimensi atau nilai koefisien bentuk (coefficient of

fineness). Dari hasil perbandingan nilai koefisien,

kapal Inkamina 163 memiliki badan kapal yang

cenderung gemuk. Kapal tersebut cenderung lebih

ramping untuk tipe kapal encircling gear, namun

cenderung gemuk untuk tipe kapal static gear di

Indonesia.

Operational General Arrangement

Pengaturan tata ruang dan muatan kapal Inkamina

163 saat kondisi siap beroperasi, dapat dilihat

melalui operational general arrangement yang

disajikan pada Gambar 1.

Tabel 3. Perbandingan kisaran nilai coefficient of

fineness Kapal Inkamina 163 dengan kapal ikan di

Indonesia

Table 3. Comparison of the coefficient of fineness value

range Inkamina 163 with fishing vessel in Indonesia

Coefficient Kapal

Inkamina

163

Kisaran nilai coefficient

of fineness kapal ikan di

Indonesia*)

Encircling

gear Static gear

Cb 0,57 0,56-0,67 0,39-0,70

Cp 0,75 0,60-0,79 0,56-0,80

Cw 0,86 0,78-0,88 0,65-0,85

C⊗ 0,78 0,84-0,96 0,63-0,91

Cvp 0,66 0,68-0,86 0,60-0,82

Sumber: Hasil pengukuran

Keterangan : *) Iskandar dan Pujiati, 1995.

Keterangan :

1. Gudang

2. Palka ikan

3. Pelampung lampu

4. Jaring purse seine

5.. Roller

6. Ruang mesin

7. Mesin

8. Tangki BBM

9. Tangki air tawar

10. Ruang perbekalan

11. Kursi nahkoda

12. Tempat ABK

13. Tempat memasak

Gambar 1. Operational general arrangement Kapal Inkamina 163, (A) tampak atas, dan (B) tampak samping

Figure 1. General arrangement of Inkamina 163 fishing vessel, (A) above view, and (B) side view Sumber: Koleksi pribadi

(A)

(B)

Page 68: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,

Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

107

Kapasitas Muat Kapal

Kapasitas muat kapal (load capacity) merupakan

daya tampung kapal untuk berbagai jenis muatan

pada setiap ruang yang ada. Perbandingan antara

volume terpasang dan volume estimasi dilakukan

untuk mengetahui keefektifan dan keefisienan

dimensi ruang. Volume terpasang adalah volume

ruang eksisting di kapal, dan volume estimasi

adalah volume ruang yang diestimasi berdasarkan

faktor-faktor desain yang ada. Nilai volume

terpasang dan estimasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan volume terpasang pada Kapal

Inkamina 163 dengan volume estimasi

Table 4. Comparison of the mounted volume with a

estimated volume on Inkamina 163

Ruang

Volume

terpasang

(m3)

Volume

estimasi

(m3)

Persentase

perbandingan

Palka

ikan

23,5 17,75 >32,39 %

Ruang

mesin

60,52 21,59 >180,37 %

Tangki

BBM

3,11 2,79 >11,46 %

Tangki

air

tawar

2,27 0,825 >175,15 %

Ruang

ABK

9,06 m2 14,04 m

2 <64,5 %

Sumber: Hasil analisis

Keterangan:

< = Volume terpasang lebih besar dari volume estimasi,

> = Volume terpasang lebih kecil dari volume estimasi.

Palka ikan merupakan ruangan di bawah dek yang

digunakan untuk tempat menyimpan hasil

tangkapan (Wahyono, 2011). Volume estimasi

palka ikan diperoleh dari hasil perhitungan volume

rata-rata jumlah ikan hasil penangkapan

maksimum selama kapal Inkamina 163 beroperasi.

Hasil perbandingan volume palka ikan

menunjukkan bahwa volume palka yang terpasang

lebih besar dari volume palka estimasi. Kondisi ini

dapat ditolerir karena mempertimbangkan hasil

tangkapan maksimum yang pernah diperoleh

hingga palka penuh.

Perkiraan volume ruang mesin kapal yang ideal

adalah jika memenuhi faktor keamanan dan

kenyamanan kerja ABK. Hal ini dipengaruhi oleh

ketersediaan area kerja ABK, dimensi mesin,

pelepasan panas dan gas buang, serta sirkulasi

udara. Area kerja ABK dan dimensi mesin menjadi

faktor perhitungan untuk volume estimasi ruang

mesin Kapal Inkamina 163. Volume terpasang

ruang mesin kapal tersebut lebih besar dari volume

estimasi.

Volume estimasi tangki BBM kapal Inkamina 163

diperoleh dari hasil perhitungan laju konsumsi

BBM beserta bahan bakar cadangan jika

dioperasikan di perairan ZEEI yakni pada jarak

200 mil. Tangki BBM Kapal Inkamina 163

memiliki volume terpasang lebih besar dari

volume estimasi. Volume terpasang tangki BBM

yang berlebih (11,46 %) dapat memuat 350 liter

solar (310,07 kg) dapat digunakan untuk

menempuh jarak +25 mil dengan kecepatan rata-

rata 7 knot. Akimov (1970) menyatakan bahwa

dalam tangki BBM harus tersedia minimal 3-5 %

ruang kosong dari volume total tangki. Hal ini

bertujuan untuk memberikan ruang pemuaian

BBM.

Terdapat 4 buah drum tangki air tawar di kapal

Inkamina 163. Tiap drum berkapasitas 0,520 m3

(520 liter) air tawar. Volume estimasi tangki air

tawar diperoleh dari hasil perhitungan jumlah air

tawar yang dikonsumsi oleh seluruh ABK (13

orang) selama satu trip. Hasil perbandingan

menyatakan bahwa volume terpasang lebih besar

dari volume estimasi. Daya tampung air tawar pada

volume terpasang yang lebih besar ini setara

dengan 3,978 ton air tawar. Berat air tawar ini

digunakan sebagai water ballast pada kapal.

Kapal ikan yang memiliki palka ikan hidup akan

dipengaruhi oleh efek free surface saat rolling.,

Keberadaan free surface akan meningkatkan

damping moment coefficient kapal (Lee et al.,

2005). Menurut Novita (2011), permukaan muatan

cair (liquid) yang masih dapat bergerak bebas

dapat mempengruhi kualitas stabilitas kapal.

Tangki penampungan air tawar yang ditempatkan

di atas dek kapal Inkamia 163 dapat memberikan

efek free surface pada kapal. Tangki-tangki air

tawar yang ada pada kapal Inkamina 163 memiliki

diameter yang kecil sehingga efek free surface

yang akan ditimbulkan tidak terlalu mempengaruhi

stabilitas kapal tersebut.

Letak titik berat mempengaruhi stabilitas kapal.

Penelitian yang dilakukan Manulang (2008)

Page 69: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112

108

menyatakan bahwa jika berat muatan yang berada

di bawah dek kapal berkurang dan terjadi

penambahan muatan di atas dek maka titik berat

akan bergerak ke atas. Letak titik berat (KG)

mempengaruhi besar kecilnya lengan penegak GZ

yang terbentuk pada saat mengalami keolengan.

Peletakan muatan di atas dek berupa tangki air

tawar pada kapal Inkamina 163 akan lebih

cenderung mengganggu stabilitas kapal karena titik

berat kapal akan berpindah ke atas atau nilai KG

menjadi semakin besar.

Kapal Inkamina 163 tidak memiliki desain ruang

khusus untuk ABK. Tempat ABK beristirahat yang

ada merupakan modifikasi ABK. Luas estimasi

untuk tempat ABK diperoleh dari hasil perhitungan

rata-rata ukuran tubuh nelayan. Luas tempat ABK

yang terpasang ini 64,5 % lebih kecil dari luas

estimasi dan hanya dapat menampung 5 orang dari

13 orang ABK.

Kondisi tempat ABK pada kapal Inkamina 163

yang kurang memadai tersebut dapat berdampak

pada kondisi fisik para ABK. Kapal yang bergerak

pada enam sumbu (buritan kedepan, lateral,

vertikal, roll, pitch dan yaw), dapat mengganggu

kegiatan dan kesehatan ABK. Lebih dari 79 %

ABK yang mengalami kelelahan dan permasalahan

tidur (Haward et al., 2009). Aktifitas kerja yang

intens dan berkepanjangan yakni dalam hal

penangkapan ikan dapat menyebabkan kelelahan.

Kelelahan ini merupakan faktor umum penyebab

kecelakaan kerja pada pekerjaan penangkapan ikan

(ILO, 1999).

Area Kerja di Dek Kapal Inkamina 163

Dek merupakan lingkungan kerja nelayan yang

berbahaya karena merupakan pijakan yang terus-

menerus mengalami pergerakan dan tidak stabil

(Husberg et al., 2001). Berdasarkan distribusi jenis

kegiatan di dek, Fyson (1985) melakukan

perencanaan pembagian area pada dek kapal

menjadi 5 bagian area kerja: dek buritan, dek

samping, rumah kemudi, dek kerja utama (main

working deck), dan dek haluan. Analisis area kerja

dilakukan di dek utama (main deck) dan di dek

kerja utama (main working deck).

Bangunan dan muatan yang berada di main deck

kapal Inkamina 163 mulai dari arah haluan ke

buritan, dipaparkan pada Tabel 5. Gambaran letak

bangunan timbul dan muatan kapal ini dapat dilihat

kembali pada operational general arrangement di

Gambar 1.

Tabel 5. Bangunan timbul dan muatan di dek kapal

Inkamina 163

Table 5. Arise Building and cargo on the deck of

Inkamina 163

Bangunan

timbul Muatan

Keterangan letak di

dek

Tutup palka

gudang

di bagian depan dek

utama dan di

belakang ruang

kemudi

Tutup palka

ikan

di sepanjang dek

utama

Ruang

kemudi di midship

Tangki air

tawar

sisi kiri di belakang

setelah midship dan

bagian tengah

buritan kapal

Dapur di sisi kiri buritan

Pelampung

lampu

sisi kiri di bagian

depan dek utama

Jaring

memanjang dari

depan rumah dek

hingga 3/4 bagian

dek utama

Sumber: Hasil identifikasi

Area tutupan merupakan daerah terpakai pada dek

yang ditempati oleh muatan atau bangunan. Area

bebas pada kapal adalah daerah sisa yang tidak

ditempati oleh bangunan maupun muatan apapun.

Perbandingan luas area tutupan dan area bebas di

main deck kapal Inkamina 163, disajikan pada

Gambar 3.

Gambar 2. Perbandingan luas area tutupan dan area

bebas pada dek keseluruhan

Figure 2. Comparison of cover area and free area on

main deck Sumber: Hasil analisis

Tutup

palka

23,59%

Wheel

house

13,56%

Dapur

2,14%

Tangki air

tawar

6,0%

Jaring

16,20%

Pelampun

g lampu

2,23%

Dek

haluan

3,57%

Dek yang

tersisa

32,70%

Page 70: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,

Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

109

Pengkajian juga dilakukan pada dek kerja utama

(main working deck). Main working deck pada

umumnya merupakan bagian dek dengan area

paling luas di dek utama (main deck) kapal ikan.

Analisis area kerja pada main working deck

dilakukan karena dek ini merupakan tempat ABK

melakukan pekerjaan meliputi pengoperasian alat

tangkap, penanganan alat tangkap dan penyortiran

ikan. Seluruh ABK yang bekerja di main working

deck memiliki tingkat resiko bahaya yang tinggi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Antao dkk (2008)

yang menyatakan bahwa mayoritas pekerjaan yang

dilakukan oleh ABK berada di main working deck

kapal penangkap ikan. Dek yang selalu bergerak

menyebabkan kondisi ABK yang selalu berada

dalam keadaan yang tidak seimbang saat bekerja.

Sebagian besar waktu kerja berada dalam keadaan

basah dan berada pada area yang berbahaya karena

terdapat berbagai peralatan untuk operasi

penangkapan ikan.

Juragan panggung merupakan pekerjaan paling

berbahaya kemudian disusul oleh penarik jaring

dan juru mudi (Suryanto, 2012). Menurut Suryanto

et al. (2013), kondisi pekerja yang paling

berbahaya adalah ABK yang menarik jaring di

kapal pukat cincin di Selat Bali.

Perbandingan luas area tutupan dan area bebas di

main working deck disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Perbandingan luas area tutupan dan area

bebas pada dek utama

Figure 3. Comparison of cover area and free area on

main deck Sumber: Hasil analisis

Luas total dek Kapal Inkamina 163 mulai dari

haluan hingga buritan adalah sebesar 62,98 m2.

Luas area bebas adalah sebesar 32,70 % (20,59 m2)

dari luas main deck. Hal ini menggambarkan

bahwa dari luas main deck yang tersedia, terdapat

32,70 % bagian yang dapat dijadikan tempat ABK

berpijak dan melakukan kegiatan.

Luas area bebas yang tersisa di main working deck

adalah sebesar 48,76 % (17,94 m2). Area sisa

tersebut masih mencukupi kebutuhan kerja 12

ABK. Area kerja untuk ABK pada main working

deck telah tercukupi, namun masih diperlukan

kewaspadaan serta kehati-hatian para ABK saat

melakukan pekerjaan. Kondisi letak muatan di area

kerja pada main working deck kapal Inkamina 163

yang tidak teratur dapat mengganggu aktifitas

bahkan dapat mengancam keselamatan ABK.

Kecelakaan kerja pada kapal penangkap ikan jenis

seine netting, sering kali disebabkan oleh peletakan

muatan yang tidak tepat pada dek kapal (Piniella et

al., 2008). Dalam penelitian tersebut diungkapkan

bahwa kecelakaan yang terjadi pada jenis kapal

tersebut disebabkan oleh luka bakar atau kebakaran

akibat minyak atau gas dari lampu.

Lincoln et al. (2006) menyatakan bahwa 23 %

nelayan cedera disebabkan karena terjerat atau

terbentur pada perlengkapan seperti tali alat

tangkap, katrol, winch, atau peralatan yang berada

di atas geladak. Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Dickey dan Ellis (2006) tercatat

selama tahun 1994-2004, 641 nelayan meninggal

di Amerika Serikat. Nelayan yang meninggal

tersebut, 332 nelayan (52 %) meninggal karena

kapal tenggelam dan 184 (29 %) kematian akibat

terjatuh ke laut, serta selebihnya disebabkan karena

berbagai penyebab termasuk 51,8 % cidera saat

bekerja di geladak. Wang et al. (2005) menyatakan

bahwa penyebab terbesar kecelakaan kapal ikan

adalah kelalaian ABK, pengangkatan peralatan,

dan peralatan untuk menagkap ikan. Seluruh

bangunan timbul dan peralatan yang ada pada main

deck dapat menjadi ancaman terjadinya kecelakaan

kerja. Kemungkinan kecelakaan yang disebabkan

oleh human error dapat diminimalisisr dengan cara

melakukan penataan seluruh perlatan dengan benar

dan rapi.

Menurut Tsai dan Su (2004) dari banyaknya

tingkat kecelakaan kapal penangkap ikan yang

terjadi, tidak ada hubungan yang positif antara

tingkat kecelakaan dengan akibat yang ditimbulkan

oleh kecelakaan tersebut.

Tutup

palka

34,14%

Dek haluan

5,58%

jaring

8,03%

Pelampung

lampu

3,49%

Dek yang

tersisa

48,76%

Page 71: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112

110

Tabel 6. Syarat desain dan peralatan kapal penangkap ikan

Table 6. Terms of design and equipment of fishing vessels

No. Persyaratan KEP.21/MEN/2004/Terms of KEP.21/MEN/2004

Kesesuaian pada Kapal

Inkamia 163/ Conformance on

Inkamia 163

1 Persyaratan minimal untuk kapal penangkap ikan :

a. Mempunyai dek atau dek untuk penerimaan dan penanganan yang

dirancang dan di tata sedemikian rupa sehingga cukup luas untuk

melakukan penanganan, penampungan, dan pemisahan setiap hasil

tangkapan; mudah dibersihkan serta melindungi produk dari sinar

matahari dan sumber kotoran atau kon taminasi;

Sesuai

b. Sistem pemindahan hasil tangkapan dari tempat penerimaan ke

tempat penanganan harus memenuhi persyaratan higienis; **)

c. Tempat penanganan untuk preparasi hasil tangkapan harus cukup

luas dan memenuhi persyaratan higienis. Ruang tersebut harus

dirancang dan ditata sedemikian rupa untuk mencegah kontaminasi

terhadap produk;

**)

d. Tempat penyimpanan produk akhir harus cukup luas dan dirancang

sedemikian rupa agar mudah dibersihkan; Sesuai

e. Apabila dilakukan penanganan limbah, maka limbah tersebut harus

ditampung di tempat pembuangan khusus; **)

f. Tempat untuk menyimpan bahan pengepak harus terpisah dari

tempat penanganan; **)

g. Mempunyai peralatan khusus yang kedap air untuk membuang

limbah atau secara langsung dibuang ke laut; Sesuai

h. Mempunyai tempat penampungan air untuk keperluan penanganan

hasil tangkapan; Sesuai

i. Mempunyai ruang ganti, tempat mencuci tangan, dan toilet dalam

jumlah yang cukup. Toilet tidak boleh berhubungan langsung ke

tempat penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan. Tempat cuci

tangan harus dilengkapi dengan keran air mengalir, sabun, dan

pengering tangan.

Tidak sesuai

2 Ruang yang digunakan untuk penanganan atau pembekuan hasil perikanan harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. Lantai tidak boleh licin, mudah dibersihkan dan dilengkapi dengan

system pembuangan air. Penempatan peralatan tidak boleh

menghalangi pembersihan limbah padat dan limbah cair.

Sesuai

b. Dinding dan langit-langit mudah dibersihkan terutama bila terdapat

pipa-pipa, aliran listrik atau kabel listrik; Sesuai

c. Penempatan dan penggunaan mesin hydrolik harus ditata

sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan terjadinya

kebocoran minyak yang dapat mengkontaminasi produk;

**)

d. Mempunyai ventilasi dan/atau sirkulasi udara yang cukup untuk

mencegah terjadinya kondensasi; **)

e. Mempunyai penerangan yang cukup; **)

f. Mempunyai peralatan untuk pembersihan dan sanitasi; Sesuai

g. Mempunyai peralatan untuk mencuci tangan dengan kran yang

tidak dioperasikan dengan tangan serta menggunakan pengering

sekali pakai.

**)

3

Peralatan dan perkakas seperti meja pemotong, wadah, ban berjalan,

Mesin pembuangan isi perut atau mesin pemfiletan harus tahan

karat, mudah dibersihkandan dirawat.

**)

Sumber: Hasil analisis

Keterangan : **) tidak terdapat ruang atau peralatan tersebut karena tidak diperlukan pada kapal Inkamina 163

Page 72: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,

Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar

111

Hal ini berarti tingkat kecelakaan yang tinggi tidak

berarti konsekuensi kecelakaan yang tinggi juga.

Kesesuaian desain dan peralatan kapal Inkamina

163 sebagai kapal penangkap ikan menurut

KEPMENKP No.21 (2004) disajikan pada Tabel 6.

Dari ke-17 poin persyaratan pada peraturan

pemerintah tersebut, terdapat 8 poin persyaratan

yang dapat dijadikan acuan penilaian. Terdapat 7

poin yang sesuai dan 1 poin yang tidak sesuai

dengan persyaratan kesesuaian desain dan

peralatan pada KEPMENKP No.21/2004.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Mengacu pada tujuan dan hasil analisis data, maka

dapat disimpulkan bahwa:

1. Kapal Inkamina 163 memiliki kapasitas muat

yang sebagian besar sudah dapat memenuhi

rencana target operasional kapal.

2. Luas area yang tersisa dari tata letak muatan

yang ada, masih mencukupi area kerja ABK di

dek kerja utama (main working deck).

Saran

Volume ruang mesin yang terlalu besar dari

volume estimasi, dapat dikurangi sebagai

tambahan ruang ABK. Perubahan desain kapal

ikan yang meliputi penambahan, pengurangan,

atau pergeseran ruang yang ada dan perubahan tata

muatan pada kapal ikan dapat dilakukan. Hal ini

dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dilakukan

perhitungan stabilitas kapal akibat adanya

perubahan tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didukung atas bantuan dana

penyelesaian studi dari Bupati Kabupaten Mamasa,

Provinsi Sulawesi Barat. Terima kasih

disampaikan kepada Bapak Untung Leksono, Pak

Ngatno, Pak Agrip Madi, dan teman-teman

seangkatan penulis di SD Bobkrigondolayu

Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Akimov, P. (1970). Marine power plant. Troitsky

A, penerjemah. Moscow (RUS): Peace

Publishers. Terjemahan dari: СУДОВЫЕ

СИЛОВЫЕ УСТΑНОВКИ. 137.

Antao, P., Almeida, T., Jacinto, C. and Soares,

C.D. (2008). Causes of occupational

accidents in the fishing sector in Portugal.

Safety Science, 46(6), 885-899.

doi:10.1016/j.ssci.2007.11.007.

Barras, B. and Derret, B. (2006). Ship stability for

master and mates. 6th

ed. Oxford(UK):

Butterworth-Heinemann.

Brooks, B. (2005). Not drowning, waving!: safety

management and occupational culture in an

Australian commercial fishing port. Safety

science, 43(10), 795-814.

Chauvin, C. and Le Bouar, G. (2007).

Occupational injury in the French sea fishing

industry: a comparative study between the

1980s and today. Accident Analysis &

Prevention, 39(1), 79-85.

Dickey, D.H. and Ellis, Q. P. (2006). Analysis of

fishing vessel casualties. A Review of Lost

Fishing Vessels and Crew Fatalities, 1994-

2004. Washington DC: United States Coast

Guard, Compliance Analysis Division.

Fyson, J. 1985. Design of small fishing vessels.

England (UK): Fishing News Book Ltd.

Gillmer, T.C. and Johnson, B. (1982). Introduction

to naval architecture. Maryland (USA):

Naval Intitute Press.

Haward, B.M., Lewis, C.H. and Grifin, M.J. 2009.

Motions and crew responses on an offshore

oil production and storage vessel. Applied

Ergonomics. 40 (5):904-

914.doi:10.1016/j.apergo.2009.01.001.

Husberg, B.J., Lincoln, J.M. and Conway, G.A.

(2001). On-deck dangers in the alaskan

commercial fishing industry. Proceedings -

U.S. Safety at Sea, 58(2), 23–24.

ILO. (1999). Safety and health in the fishing

industry. Report for discussion at the

tripartite meeting on safety and health in the

fishing industry, Geneva.

Iskandar, B.H. (2007). Stabilitas Statis Dan

dinamis kapal latih stella maris. Buletin PSP,

16(1), 31-49. Fakultas Perikanan, Institut

Pertanian Bogor.

Iskandar, B.H. dan Pujiati, S. (1995). Keragaan

teknis kapal perikanan di beberapa wilayah

Page 73: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112

112

Indonesia. Laporan penelitian. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Jin, D. and Thunberg, E. (2005). An analysis of

fishing vessel accidents in fishing areas off

the northeastern United States. Safety

Science, 43(8), 523-540.

[KKP] Keputusan Menteri Kelautan dan

Perikanan. (2004). Persyaratan kapal

penangkap ikan. No. 21. Lampiran 1.

Tentang persyaratan desain dan peralatan.

Lee, S.K., Surendran, S. and Lee, G. (2005). Roll

performance of small fishing vessel with live

fish tank. Ocean engineering, 32(14), 1873-

1885. doi:10.1016/j.oceaneng.2004.11.011.

Lincoln, J.M., Husberg, B.J. and Mode, N.K.

(2006). Severe injuries on commercial

fishing vessels in Alaska. Third

International Fishing Industry Safety and

Health Conference. India.

Manullang, S.L. (2008). Kajian stabilitas

operasional kapal longline 60 GT. Tesis.

Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian

Bogor.

Marjoni. (2009). Stabilitas statis dan dinamis

kapal purse seine di pelabuhan perikanan

pantai lampulo kota Banda Aceh Nangroe

Aceh Darussalam. Tesis. Sekolah

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Murray, M., and Tilley, N. (2006). Promoting

safety awareness in fishing communities

through community arts: An action research

project. Safety Science, 44(9), 797-808.

Novita, Y. (2011). Pengaruh free surface terhadap

stabilitas kapal pengangkut ikan hidup.

Buletin PSP, 19(2).

Piniella, F., Soriguer, M.C and Walliser, J. (2008).

Analysis of the specific risk in the different

artisanal fishing methods in Andalusia,

Spain. Safety Science, 46(8), 1184-1195.

doi:10.1016/j.ssci.2007.08.006.

Suryanto. (2012). Pengaruh tinggi geladak

terhadap keselamatan anak buah kapal pukat

cincin yang beroperasi di Selat Bali. Jurnal

Kelautan Nasional, 7(2), 109-119.

Suryanto, Hagriyatno, I.T. dan Siwi, W.E.R.

(2013). Hubungan variabilitas parameter

keamanan dan kenyamanan kerja ABK dan

hasil tangkapan ikan pada pukat cincin yang

beroperasi di Selat Bali. Jurnal Kelautan

Nasional, 8(1), 017-026.

Susanto, A. (2010). Evaluasi desain dan stabilitas

kapal penangkap ikan di Palabuhanratu

(studi kasus kapal PSP 01). Tesis. Sekolah

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Tsai, M.C. and Su, C.C. (2004). Scenario analysis

of freight vehicle accident risk in Taiwan.

Accident analysis & prevention, 36(4), 683-

690. doi:10.1016/j.aap.2003.05.001.

Wahyono, A. (2011). Kapal perikanan

(Membangun kapal kayu). Semarang (ID):

Balai Besar Pengembangan Penangkapan

Ikan.

Wang, J., Pillay, A., Kwon, Y.S., Wall, A.D. and

Loughran, C.G. (2005). An analysis of

fishing vessel accidents. Journal of Accident

Analysis and Prevention, 37(6), 1019–1024.

doi:10.1016/j.aap.2005.05.005.

Page 74: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

(Times New

Roman, 10 pt,centered)

PEDOMAN PENULISAN JURNAL KELAUTAN NASIONAL

JUDUL (Times New Roman, all caps, 12 pt, bold, centered)

TITLE (Times New Roman, all caps, 12 pt,italic, centered)(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Penulis TunggalNama Institusi

Alamat, nomor telepon dan faksE-mail: [email protected]

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3

1 Nama InstitusiAlamat, nomor telepon dan faks

E-mail: [email protected](kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Diterima tanggal: ....., diterima setelah perbaikan: ....., disetujui tanggal: ........(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

ABSTRAK (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, untukbastrak bahasa Indonesia ditulis tegak, sedangkan abstrak bahasa inggris ditulis italic, spasi tunggal. Abstrak merupakanringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250kata dalam bahasa Indonesia dan 150 kata dalam bahasa Inggris.(kosong satu spasi tunggal 10 pt).

Kata kunci: 3-5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

ABSTRACT (12 pt, bold, italic)(kosong satu spasi 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic for English andnormal for Indonesian, single spasing. Abstract is a full and complete summary that describe content of the paper Itshould contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It consists of one paragraphand should be no more than 250 words in bahasa Indonesia and 150 words in English(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

Keywords: 3-5 keywords (Times New Roman, 10 pt, italic)(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

PENDAHULUAN (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)

Petunjuk penulisan ini disusun untuk keseragamanformat penulisan dan kemudahan bagi penulis

dalam proses penerbitan naskah di Jurnal KelautanNasional. Penulis bisa menggunakan bahasaIndonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalambahasa Indonesia harus sesuai dengan EYD yang

(Times NewRoman, 12 pt,bold, centered)

Page 75: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknyamemenuhi standard tata bahasa Inggris baku.

Penulis dapat mengirim artikel ilmiah ke alamat e-mail: [email protected].

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4(210 mm x 297 mm) dengan margin atas danbawah masing-masing 3 cm, margin kiri dan kananmasing-masing 2 cm. Setiap paragraf ditulisdengan format justify. Jarak antara paragraf adalahsatu spasi tunggal. Isi tulisan ditulis dengan jenishuruf Times New Roman, ukuran 11 pt. Panjangnaskah minimal 6 halaman dan maksimal 15halaman, termasuk lampiran.

Format naskah menggunakan aturan sebagaiberikut:a) Pada saat pengiriman awal, naskah ditulis

dalam format 1 kolom.b) Setelah naskah dinyatakan layak terbit, penulis

harus merubah format naskah menjadi 2 kolomdengan jarak antar kolom 1 cm.

Judul naskah harus mencerminkan inti dari isisuatu tulisan. Judul hendaknya menonjolkanfenomena (obyek) yang diteliti, bukan metode danbukan kegiatan (proyek). Judul bersifat informatif,spesifik, efektif dan maksimal 15 kata. Jika naskahdalam bahasa Indonesia, ditulis terlebih dahulujudul bahasa Indonesia kemudian diikuti juduldalam bahasa Inggris. Sebaliknya, jika naskahdalam bahasa Inggris, ditulis dahulu judul bahasaInggris kemudian diikuti judul dalam bahasaIndonesia.

Nama penulis ditulis secara lengkap di bawahjudul tanpa menyebutkan gelar. Di bawahnya,dicantumkan nama lembaga dan alamat lengkaptempat penulis bekerja beserta alamat e-mailpenulis pertama untuk korespondensi. Jika penulislebih dari satu orang dan bekerja di lembaga yangsama, maka pencantuman satu alamat telahdianggap cukup mewakili alamat penulis lainnya.

Keterangan naskah ditulis setelah identitas penulis.Ditulis miring dengan jenis huruf jenis hurufTimes New Roman, ukuran 9 pt.

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasaInggris yang masing – masing dilengkapi dengankata kunci (keywords). Kata kunci dapat berupakata tunggal atau kata majemuk (terdiri lebih dari

satu kata). Penulisan kata kunci antara tiga sampailima (3 – 5) kata dan dapat mengikuti klasifikasisebagai berikut: metode teoritis, metodeeksperimen, fenomena, obyek penelitian danaplikasinya.

Naskah disusun dalam 4 subjudul yaitu:Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil danPembahasan, Kesimpulan dan Saran, DaftarPustaka, dan Lampiran (jika ada). Subjudulditulis dengan huruf besar cetak tebal dan tidakdiberi nomor. Subjudul untuk naskah bahasaInggris sebagai berikut: Introduction, Tools andMethods, Results and Discussion, Conclusionsand Suggestion, References dan Appendix (jikaada). Penggunaan subsubjudul sebaiknya dihindari,apabila diperlukan diberi nomor bertingkat denganangka latin seperti contoh berikut: 1., 1.1. 1.2., …dan seterusnya.

Pendahuluan hendaklah mencakup hal-hal berikutini: latar belakang, perumusan masalah, tujuan,teori, dan hipotesis (jika ada). Untuk penemuan-penemuan ilmiah yang telah dipublikasikansebelumnya baik oleh diri-sendiri maupun oranglain dan berkaitan dengan penelitian yangdikerjakan, bisa dimasukkan di dalam subjudulpendahuluan ini.

Metode penelitian yang digunakan harus ditulissesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empirisdan sistematis. Seyogyanya disebutkan waktu dantempat penelitian secara jelas, berikut data maupunalat dan bahan yang dipakai dalam penelitian.

Hasil dan pembahasan berisi hasil analisisfenomena di wilayah penelitian yang relevandengan tema kajian. Hasil penelitian hendaknyadibandingkan dengan teori dan temuan penelitianyang relevan

Kesimpulan bisa berupa kesimpulan khusus dankesimpulan umum. Kesimpulan khusus merupakanhasil analisa data atau hasil uji hipotesa tentangfenomena yang diteliti. Kesimpulan umum sebagaihasil generalisasi atau keterkaitan denganfenomena serupa di wilayah lain dari publikasiterdahulu. Hal yang perlu diperhatikan adalahsegitiga konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulanharus konsisten).

Penggunaan catatan kaki tidak diperkenankan.Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten.

Page 76: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatanharus dituliskan secara lengkap pada saatdisebutkan pertama kali, setelah itu bisa dituliskata singkatnya.

Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10pt dan berjarak satu spasi dibawah judul tabel.Judul tabel ditulis dengan bahasa Indonesia danterjemahan bahasa Inggris di bawahnya. Judultabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt danditempatkan diatas tabel. Penomoran tabelmenggunakan angka Latin (1,2,…..). Tabeldiletakkan segera setelah disebutkan di dalamnaskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atasatau paling bawah dari setiap halaman dan tidakdiapit oleh kalimat. Apabila tabel memilikilajur/kolom cukup banyak, bisa digunakan formatsatu kolom atau satu halaman penuh. Setiap tabelharus mencantumkan sumber.

(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)

Tabel 1. Kriteria umum stabilitas kapal ikan .Table 1. Common criteria fishing vessel stability

Kriteria Nilai Kriteria IMO00 – 300 ≥ 3,151 m.deg00 – 400 ≥ 5,157 m.deg300– 400 ≥ 1,719 m.degGZ max pada sudut 300 atau lebih ≥ 0,2 msudut GZ max ≥ 25 degGM0 ≥ 0,150 mSumber: IMO, 2002

(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)

Gambar 1. Parameter DO (warna biru), parametersalinitas (warna jingga), parameter suhu (warna hijau)

dari telemetri buoy PLUTO.Figure 1. DO parameter (blue color), salinity

parameter (violet color), temperature parameter (greencolor) from buoy PLUTO’s telemetry.

Sumber: Hasil pengukuran

(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)

Gambar diletakkan segera setelah disebutkandalam naskah. Gambar diletakkan pada posisipaling atas atau paling bawah dari setiap halamandan tidak boleh diapit kalimat. Gambar diletakkansimetris dalam kolom. Apabila gambar cukupbesar, bisa digunakan format satu kolom.Penomoran gambar menggunakan angka latin.Penulisan judul gambar menggunakan huruf TimesNew Roman berukuran 10 pt dan diletakkan dibagian bawah, seperti pada contoh diatas. Judulgambar ditulis dengan bahasa Indonesia danterjemahan bahasa Inggris di bawahnya dalamtanda kurung dan cetak miring. Setiap gambarharus menyebutkan sumbernya. Jika gambar yangditampilkan merupakan milik pribadi, maka ditulis“Sumber: Dokumentasi pribadi”

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis,diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaandiletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, danpenomoran dilakukan secara berurutan. Apabilaterdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satubaris, maka penulisan nomor diletakkan pada baristerakhir. Penunjukkan persamaan dalam naskahdalam bentuk singkatan, seperti Pers. (1).

(kosong satu spasi tunggal 11 pt)

y

v

x

uka (1)

(kosong satu spasi tunggal 11 pt)

Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulissemuanya secara detail, hanya dituliskan bagianyang terpenting, metode yang digunakan dan hasilakhirnya.

Pengutipan/sitasi pustaka di dalam naskahmengacu pada pedoman sebagai berikut: Kutipan atau keterangan yang bersumber dari

naskah yang ditulis oleh penulis tunggal,sitasinya ditulis dengan menyebutkan namabelakang penulis diikuti dengan tahunpenerbitan naskah. Contoh: Walker (2007)atau (Walker, 2007).

Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh 2-5 penulis, padasitasi awal ditulis dengan menyebutkan semuanama belakang penulis diikuti dengan tahunpenerbitan naskah. Sedangkan sitasiselanjutnya, cukup ditulis nama penulis

Page 77: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

pertama diikuti dengan et al dan tahunpenerbitan naskah. Contoh:o Sitasi awal: Walker, Allen, Bradley,

Ramirez dan Soo (2008) atau (Walker,Allen, Bradley, Ramirez dan Soo, 2008).

o Sitasi selanjutnya: Walker et al. (2008)atau (Walker et al., 2008).

Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh 6 penulis atau lebih,sitasinya ditulis dengan menyebutkan namabelakang penulis pertama diikuti dengan et aldan tahun penerbitan naskah. Contoh:Wasserstein et al. (2005) atau (Wasserstein etal., 2005)

Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh institusi, lembaga ataugrup yang memiliki singkatan, pada sitasi awalditulis dengan menyebutkan nama lengkapinstitusi, lembaga atau grup diikuti dengantahun penerbitan naskah. Sedangkan sitasi

selanjutnya, cukup ditulis dengan singkatannyadiikuti dengan tahun penerbitan naskah.Contoh:o Sitasi awal: Kementerian Kelautan dan

Perikanan (2010) atau (KementerianKelautan dan Perikanan, 2010).

o Sitasi selanjutnya: KKP (2010) atau (KKP,2010).

Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh institusi, lembaga ataugrup yang tidak memiliki singkatan, sitasinyaditulis dengan menyebutkan nama institusi,lembaga atau grup diikuti dengan tahunpenerbitan naskah. Contoh: University ofPittsburgh (2005) atau (University ofPittsburgh, 2007).

Teknik sitasi tersebut dapat dilihat perbedaannyamelalui tabel di bawah ini.

Teknik sitasi di dalam teks

DAFTAR PUSTAKA(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)

Penulisan daftar pustaka sesuai dengan urutanpengutipannya dalam naskah. Jumlah sumberacuan dalam satu tulisan paling sedikit 15 (limabelas) sumber acuan, dengan 80% merupakansumber acuan primer dan 80% merupakan terbitan5 tahun terakhir. Sumber acuan primer adalahsumber acuan yang langsung merujuk pada bidangilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudahteruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan

dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasionalmaupun nasional terakreditasi, hasil penelitian didalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku(textbook), termasuk dalam sumber acuansekunder.

Daftar pustaka disusun menurut abjad, tanpamenggunakan nomor urut, dengan ukuran font 10.Penulisan setiap acuan, menjorok (indent) 1 cmmulai baris kedua.

Page 78: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Gaya penulisan daftar pustaka mengacu pada APAstyle yang dikembangkan oleh AmericanPsychological Association, seperti contoh berikutini:

Paper dalam jurnala. Artikel dalam jurnal (1 penulis)

Handayani, A. S. (2010). Analisis daerah endemikbencana akibat cuaca ekstrim di SumateraUtara, Jurnal Meteorologi dan Geofisika,11(1), 52-57.

b. Artikel dalam jurnal (2 - 6 penulis)Suryanto, W., Nurdiyanto, B., & Pakpahan, S.

(2010). Implementasi perhitungan receiverfunction untuk gempa jauh menggunakanMatlab. Jurnal Meteorologi dan Geofisika,11(1), 66-72.

c. Artikel dalam jurnal (lebih dari 6 penulis)Subagyono, K., Sugiharto, B., Purwani, E. T.,

Susilokarti, D., Las, I., Unadi, A., et. al.(2010). Technology needs assessment (TNA)for climate change mitigation in agriculturesector: criteria, prioritizing and barriers.Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 11(2), 96-105.

Bukua. Buku (1 penulis)

Shearer, P. M. (1999). Introduction to seismology.Cambridge: Cambridge University Press.

b. Buku (2-6 penulis)Trewartha, G. T., & Horn, L. H. (1980). An

introduction to climate. New York:McGraw-Hill.

c. Buku (lebih dari 6 penulis)Johnson, L., Lewis, K., Peters, M., Harris, Y.,

Moreton, G.,…Morgan, B. (2005). How faris far? London: McMillan.

d. Buku tanpa penulisArt Students International. (1988). Princeton, NJ:

Educational Publications International.e. Buku tanpa bab

Skinner, B. F. (1969). Contingencies ofreinforcement. New York: Appleton-Century- Crofts.

Bremner, G., & Fogel, A. (Eds.). (2001). Blackwellhandbook of infant development. Malden,MA: Blackwell.

f. Buku dengan babHarlow, H. F. (1958). Biological and biochemical

basis of behavior. In D. C. Spencer (Ed.),Symposium on interdisciplinary research(pp. 239-252). Madison: University ofWisconsin Press.

g. Buku dengan edisi/versiStrunk, W., Jr., & White, E. B. (1979). The

elements of style (3rd ed.). New York:Macmillan.

Cohen, J. (1977). Manual labor and dream analysis(Rev. ed.). New York: Paradise Press.

American Psychiatric Association. (1994).Diagnostic and statistical manual of mentaldisorders (4th Ed.). Washington, DC:Author.

h. Buku terjemahanNybakken, J. W. (1988). Biologi laut: Suatu

pendekatan ekologis. Terj. dari Marinebiology: An ecological approach (Eidman,M., Koesoebiono, D. G. Bengen, M.Hutomo & S. Sukardjo, Penerjemah).Jakarta: PT. Gramedia.

i. Buku dengan beberapa volumeWilson, J. G., & Fraser, F. (Eds.). (1988-1990).

Handbook of wizards (Vols. 1-4). NewYork: Plenum Press.

j. Artikel atau bab dalam bukuFremerey, M. (2006). Resistance to change in

higher education: Threat or opportunity? InM. Fremerey, & M. Pletsch-Betancourt.(Eds.) Prospects of change in highereducation: Towards new qualities &relevance. Frankfurt: IKO-Vlg fur Interkult,GW/Transaction Pubs.

Jahr, V., & Teichler, U. (2002). Employment andwork of former mobile students. In U.Teichler (Ed.) ERASMUS in the SOCRATESprogramme, finding of an evaluation study(pp. 117-135). Bonn: Lemmens.

ProsidingMeilano, I., Abidin, H. Z., & Natawidjaya, D. H.

(2009). Using 1-Hz GPS data to measuredeformation caused by Bengkulu earthquake.Proceeding of International Symposium onEarthquake and Precursor, 153-158.Bukittinggi: Research and Development Center,BMKG.

Makalah seminar, lokakaryaIbnu, S. (2011). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah

disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaandan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang:Universitas Negeri Malang.

Skripsi, disertasi, tesisRiyadi, M. (1996). Pemodelan gaya berat tiga dinensi

untuk melokalisir jebakan timah di daerahPemali-Bangka. Tesis. Fakultas MIPA:Universitas Indonesia.

Laporan penelitianSumaryanto. (2008). Karakteristik sosial ekonomi

petani pada berbagai agroekosistem. Laporanpenelitian, Pusat Analisis Ekonomi danKebijakan Pertanian. Bogor: KementrianPertanian.

Page 79: JURNAL KELAUTAN NASIONAL

Sumber digitala. Buku elektonik dari perpustakan digital

Wharton, E. (1996). The age of innocence.Charlottesville, VA: University of VirginiaLibrary. Diakses 6 Maret 2001, darinetLibrary database.

b. Artikel Jurnal dari perpustakaan digitalSchraw, G., & Graham, T. (1997). Helping gifted

students develop metacognitive awareness.Roeper Review, 20, 4-8. Diakses 4November 1998, dari Expanded AcademicASAP database.

c. Artikel Majalah atau Koran dari Internet (bukandari perpustakaan digital)Sarewitz, D., & Pielke, R. (2000, July). Breaking

the global warming gridlock [Electronicversion]. The Atlantic Monthly, 286(1), 54-64.

d. Artikel e-JournalBilton, P. (2000, January). Another island, another

story: A source for Shakespeare's TheTempest. Renaissance Forum, 5(1). Diakses28 Agustus 2001, darihttp://www.hull.ac.uk/renforum/current.html

e. Halaman WebShackelford, W. (2000). The six stages of cultural

competence. In Diversity central: Learning.Diakses 16 April 2000, darihttp://www.diversityhotwire.com/learning/cultural_insights.html

f. Web Site dari organisasiAmerican Psychological Association. (n.d.)

APAStyle.org: Electronic references.Diakses 31 Agustus 2001, darihttp://www.apa.org/journals/webref.html

Page 80: JURNAL KELAUTAN NASIONAL