jurnal demokrasi & ham isiphilips j. vermonte, reformasi pbb 1 jurnal demokrasi & ham vol....

92
Daftar Isi JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni Amerika Serikat 7 Riza Sihbudi Pasca Agresi Amerika ke Irak 29 Philips J. Vermonte Reformasi PBB, Masalah Keamanan dan Perdamaian Internasional: Isu dan Pemecahannya 55 Ninok Leksono Dunia dan Isu Pertahanan Pasca Perang Teluk II 74 TELAAH BUKU Rahadi T. Wiratama Bangsa: Antara Bayangan dan Realitas 85 BIODATA PENULIS 91

Upload: vanhanh

Post on 28-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

1Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

Daftar IsiJURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

ANALISIS

Dewi Fortuna AnwarTatanan Dunia Baru di bawah HegemoniAmerika Serikat 7

Riza SihbudiPasca Agresi Amerika ke Irak 29

Philips J. VermonteReformasi PBB, Masalah Keamanan danPerdamaian Internasional: Isu dan Pemecahannya 55

Ninok LeksonoDunia dan Isu Pertahanan Pasca Perang Teluk II 74

TELAAH BUKU

Rahadi T. WiratamaBangsa: Antara Bayangan dan Realitas 85

BIODATA PENULIS 91

Page 2: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

2 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

JURNAL DEMOKRASI & HAM

Terbit sejak 20 Mei 2000ISSN: 1411-4631

Penanggungjawab:Dr. Ahmad Watik Pratiknya

Dewan Redaksi:Prof. Dr. Muladi, SH. (Ketua),

Dr. Indria Samego, Dr. Dewi Fortuna Anwar,Umar Juoro, MA. MAPE., Ade Armando, MA.

Pimpinan Redaksi:Andi Makmur Makka

Redaktur Pelaksana:Andrinof A. Chaniago

Redaktur:Taftazani, Rudi M. Rizki

Sekretaris:Chitra Puspitahati

Usaha:Ghazali H. Moesa, Aulia Fitriani,

Delianti Naim

Sirkulasi:The Habibie Center

Gambar Kulit:Alfian Tirtakusuma

Layout:Tim IDH-THC

Penerbit:The Habibie Center

Alamat Penerbit dan Redaksi:Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 - Indonesia

Telp.: (021) 7817211, Fax: (021) 7817212Website: http://www.habibiecenter.or.id

E-mail: [email protected]

Page 3: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

Kota Baghdad, masa Mesopotamia lama dari bangsa Sumeria,Babylon, memang sudah berubah. Hanya bekas-bekas tembok Babylonyang menunjang kerajaan dibawah pemerintahan Raja Nebuchadnezzar(abad keenam sebelum masehi) masih ditemukan di Tigris. Jika bukankarena di hancurkan oleh orang-orang Mongol, situs peradaban lamayang kaya itu, sudah disapu oleh banjir, badai padang pasir, selebihnyasudah di buldoser untuk pembukaan jalan baru. Wajah kota Baghdaddan Irak pada umumnya, sekarang penuh dominasi aspirasi pemimpinmodern Irak Saddam Husein yang keras dan paling dibenci AmerikaSerikat. Baghdad sudah berubah menjadi kota modern. Tetapi Baghdaddan Irak tidak pernah sepi dari sorotan dunia. Terakhir Amerika Serikatdengan mengejutkan telah melancarkan invasi ke Irak dan berhasilmenjatuhkan rezim Saddam Husein. Sebuah bangsa dan negara yangmerdeka dan berdaulat. Bahkan sampai saat ini, Amerika Serikat, masihmeguasai seluruh negara itu dan membentuk pemerintahan barusebagaimana yang diinginkannya, kendatipun, tindakan Amerika Serikatmengagresi Irak, penuh kontroversi dan bertentangan dengan opinidunia. Seruan dari berbagai penjuru dunia yang meminta dihentikannyaagresi, jangan membunuh rakyat Irak hanya untuk minyak serta berbagaibujukan sampai kutukan, tidak membuat Amerika dan sekutunyamenghentikan invasi dan agresi itu. Apakah ini karena Amerikamenganggap dirinya sebagai “Chosen People” (masyarakat pilihan).Imaji masyarakat pilihan inilah yang mungkin meyakinkan masyarakatAmerika ditakdirkan untuk memimpin dunia. Kerja keras, hemat,persamaan yang jadi prinsip orang-orang Amerika yang puritan,membuat mereka cepat menjadi bangsa besar (bahkan menjadi hyperpower), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagai “pemimpin dunia”, Amerika merasa bertanggung jawabatas keamanan dunia. Di belahan dunia mana yang bergolak, AmerikaSerikat datang mencampurinya, seperti yang dilukiskan dengan baik

EDITORIAL

LAHIRNYA‘the GLOBAL EMPIRE’

Page 4: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

4 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

dalam karakter Rambo pada film produksi Amerika. Tetapi tesis ini,mungkin tidak sepenuhnya benar, karena ternyata banyak rakyatAmerika juga jadi penentang cara berpikir seperti ini.

Yang dirisaukan, sejak runtuhnya kekuasaan Uni Soviet sertasekutunya yang pernah menciptakan kekuatan “bipolar” berhadapandengan negara barat yang dipimpin Amerika Serikat, di dunia ini hanyamenyisahkan Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal dalampercaturan politik dunia. Dan Amerika Serikat sangat menyadari halini, apalagi dalam gengaman pemimpin seperti George Walker Bush.Lihatlah bukti-bukti berikut ini: Perserikatan Bangsa-Bangsa, satu-satunya lembaga dunia tertinggi untuk mengatur hubungan antar bangsatidak dianggap eksistensinya oleh Amerika Serikat. Ketika invasi AmerikaSerikat sudah mulai di lancarkan ke Irak, Kofi Annan yang berteriakkeras ketika terjadi intervensi Indonesia ke Timor Timur, bahkanpenganjur diadilinya militer dan sipil dari pihak Indonesia yang dianggapmelakukan pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di TimorTimur, kini yang menyangkut agresi Amerika Serikat dan pembunuhanrakyat sipil Irak, tidak berbicara nyaring. Anehnya, ia hanya bersuaramemperjuangkan bantuan PBB pasca perang, sementara pasukan Irakmasih berperang dan rakyat sipil Irak masih jadi sasaran aksi militeroleh pasukan Amerika Serikat. Oposisi dari negara Eropa besar sepertiJerman, Prancis di anggap sepi Amerika Serikat. Opini dunia dansebagian besar rakyat Amerika yang menentang perang, tidak merubahniat Bush menghancurkan Irak yang diperintah Saddam Husein.

Dalam aksi militer, selain dengan Irak, jauh sebelum George WalkerBush jadi presiden, Amerika sudah menunjukkan karakter aslinyasebagai “pengekspor perang” dengan terlibat di Vietnam, Panama, El-Salvador, Haiti, Cuba, dan berikut mungkin Suriah dan Iran. DalamPerang Teluk Pertama, Jerman dan Jepang yang tidak mendukung secaramiliter, dipaksa turut membantu perang itu dengan bantuan keuangan.

Hegemoni berlanjut, dalam mendikte opini dunia,seperti halnyamengenai hal “terorisme”, misalnya, Amerika Serikat menciptakan opiniyang dipaksakan untuk diadopsi oleh seluruh negara lain, seperti apayang dikehendakinya. Ketika Osama Bin Laden “dituduh” menyeranggedung World Trade Center di New York, seluruh dunia bereaksi danmanggut-manggut apa yang dikotbahkan pemimpin Amerika Serikatmengenai terorisme, termasuk Indonesia. Begitu pula pengertian HAMdan demokrasi, banyak dikaitkan dengan konteks Amerika Serikat dan

Page 5: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

5Editorial

negara maju lainnya. Sementara Amerika Serikat terbukti mendukungberbagai rezim, seperti di Gautemala, Nicaragua dan di Amerika Latinyang melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Israel yangsetiap hari membunuh rakyat sipil Palestina, sebagaimana dalam agresiAS ke Irak hanya jadi tontonan waktu santai di seluruh dunia.

Dalam media, selama ini Amerika Serikat yang terkenal pendekarkemerdekaan pers, tetapi dalam perang “Badai Gurun” dan invansinyake Irak, membuktikan kebohongan dan standar ganda Amerika Serikatpada apa yang disebutnya kebebasan pers. Berita wartawan harus disensor sesuai dengan kebijakan pemerintah, pemilik televisi memecatwartawan yang bersuara lain dengan suara “mesin perang” dari GedungPutih, contoh Peter Arnett. Pemancar televisi lawan di bom, situs televisiAljazeera diacak, bahkan Media Watch Amerika Serikat mencaci makimedia cetak dan televisi yang beritanya bertentangan dengan berita mediautama di AS, contoh penghujatan terhadap Peter Jenning dari ABC.CNN televisi yang menjadi acuan dunia internasional dalam perangIrak, hanya “mengabdi” kepada pemerintahnya dan tanpa malu-malumenyiarkan berita yang tidak benar. Karena itu, kemerdekaan pers diAmerika Serikat selama ini, hanya mitos, mungkin Indonesia lebih majudalam kebebasan pers.

Edward C.Herman dalam buku “Triumph of the Market”melukiskan bagaimana keinginan Amerika Serikat “menswastakan”dunia dan mendominasi ekonomi. Katanya, Amerika Serikat dan tentunegara maju lainnya, selalu ingin mengelola perdagangan melalui tarif,kuota,subsidi, bahkan perampasan dan penguasaan impor, ancamanpembalasan dan pemboikotan.

Banyak cara “mengelola” perdagangan dunia ini dilakukan denganmula-mula menuduh sebuah negara melakukan “perdagangan tidakadil”. Ketika negara yang dituduh gentar, maka mulailah negara itudidikte. Dibalik kekuatannya sebagai negara besar, Amerika Serikatmenciptakan “ketergantungan” dalam alur perdagangan yang normal,negara besar memanipulasi cara pedagangan dengan membuatperjanjian bilateral tetapi “menginjak kaki” mitra dagangnya yang kecil.Banyak negara-negara dunia ke tiga, terpaksa patuh dan tunduk atasperaturan sepihak dari Amerika Serikat. Setelah perang dunia ke II,mulai direkayasa pemberian saksi internasional dengan menciptakanlembaga peminjaman dana yang besar, termasuk di dalamnya IMF, BankDunia, International Development Bank, semuanya didominasi Amerika

Page 6: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

6 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Serikat. Negara-negara kecil, musuh Amerika Serikat biasanya dihukumdengan menghentikan bantuan, lalu diberikan bantuan dari lembaga“internasional” yang terdiri lembaga keuangan swasta. Cara ini ternyatakemudian lebih fatal akibatnya bagi negara kecil dibandingkan denganpertama. Di sinilah aturan baku Amerika Serikat, IMF dan Bank Duniaakan diberlakukan secara umum. John Gallagher dan Ronald Robinsondalam artikel “The Imperalism of Free Trade”, menulis bahwa caraseperti inilah yang disebut “kebijakan penjajah”. Kebijakan itu misalnyakini disebut: “penciptaan ekonomi terbuka, privatisasi, proteksi hak-hakinvestor luar negeri, aturan tentang ekspor bahan mentah, dan lain-lain.Semua strategi ekonomi ini, biasanya diterapkan IMF pada negarapeminjam dan akrab dengan telinga kita di Indonesia yang sudahterperangkap strategi “The Imperialism of Free Trade” Amerika Serikat.Sebagai “bangsa terpilih”, Amerika Serikat katanya penganjurpersamaan hak, tetapi setelah peristiwa World Trade Center, pemerintahAmerika melakukan diskriminasi terhadap warga negara lain.Mahasiswa asing didaftar, dicurigai dan banyak calon mahasiswa yangditolak masuk ke Amerika Serikat.

Jika hal ini terus terjadi, akan muncul suatu hegemoni tunggal yangakan merubah tatanan dunia. Negara Eropa Barat dan Jepang di Asiayang kuat, masih jauh tertinggal dari Amerika Serikat dan kekuatanekonomi, dana bantuan, kekuatan militer. Runtuhnya Uni Soviet yangsebagian bekas negara anggotanya “sudah dijerat” dana bantuanAmerika Serikat, makin mengukuhkan kekuatan Amerika Serikat sebagainegara besar dan berpengaruh. Negara dunia ketiga yang banyakmenerima bantuan lembaga keuangan dunia, makin lemah sebagainegara merdeka dan berdaulat. Negara-negara ini, tidak sanggup lagimandiri mengelola kebijaksanaan keuangan dan fiskalnya. Diakui atautidak, Amerika Serikat akan melenggang dalam menciptakan “the GlobalEmpire” atau “kekaisaran global” yang menaklukkan dunia sepertiungkapan Edward C. Hermann. Salah satu contoh yang menguatkantelah dipertontonkan lagi Amerika Serikat dengan menginvasi Irak.(AMM)

Page 7: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

Invasi Amerika Serikat (A.S.) ke Irak yang dimulai secara besar-besaran pada tanggal 20 Maret 2003 menyulut kontroversi internasional.Tindakan A.S. ini dipandang banyak pengamat sebagai tonggak sejarahbaru dalam hubungan antar bangsa, yang menandai berakhirnya erapasca-Perang Dingin dan dimulainya era Tatanan Dunia Baru di bawahhegemoni Amerika Serikat secara lebih terbuka.

Invasi A.S. itu pada awalnya berdalih sebagai upaya untuk melucutisenjata pemusnah massal yang dituduhkan tetap dikembangkan olehrezim Saddam Hussein, sehingga melanggar sanksi PBB (PersatuanBangsa-Bangsa).1 Namun Amerika Serikat menolak membiarkan timinspeksi senjata PBB melanjutkan tugasnya dengan alasan bahwaSaddam Hussein tidak kooperatif, dan satu-satunya cara yang dapatmemaksa Saddam Hussein ialah aksi militer. Walaupun gagalmeyakinkan komunitas internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB,untuk mendukung aksi militer di Irak mengingat inspeksi senjata yangdilakukan Tim PBB masih berlangsung, A.S. tetap memutuskan untukmenyerang Irak secara unilateral. Dengan didukung segelintir negara

Tatanan Dunia Barudi bawahHegemoni Amerika Serikat

Dewi Fortuna Anwar

1. Pada akhir tahun 1990 Irak melakukan invasi terhadap Kuwait untuk merebut ladangminyak yang dipersengketakan kedua negara. Agresi Irak tersebut dikecam masyarakatinternasional. Dengan mandat dari Dewan Keamanan PBB A.S. memimpin pasukankoalisi pada awal tahun 1991 dalam operasi yang diberi nama Badai Gurun “Desert Storm”untuk memaksa pasukan Irak mundur dari Kuwait. Sejak kekalahannya pemerintahanPresiden Saddam Hussein dijatuhi sanksi PBB, antara lain ia tidak diperkenankan melakukaninteraksi ekonomi dengan pihak luar. Irak juga diperintahkan untuk menghancurkan seluruhsenjata non-konvensional yang dimilikinya, seperti senjata kimia dan biologis. Perang IrakI berlangsung di bawah pemerintahan Presiden George Bush Sr.

A N A L I S I S

Page 8: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

8 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

yang termasuk dalam “coalition of the willing”, antara lain Inggris danAustralia, pasukan A.S. menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Misiseranganpun bergeser dari perlucutan senjata pemusnah massal menjadipenggulingan terhadap pemerintahan Saddam Hussein sertamenggantinya dengan pemerintahan baru di bawah arahan Washington.

Serangan militer A.S. ke Irak yang berhasil mencapai misinyamenggulingkan rezim Saddam Hussein dalam waktu relatif singkat (20hari) memiliki implikasi luas. Selain mengubah wajah Irak dan petapolitik Timur Tengah sesuai kehendak Washington, aksi unilateral A.S.di Irak telah mengabaikan beberapa prinsip dasar tatanan internasionalyang telah terbentuk sejak akhir Perang Dunia II. Menurut pasal 51Piagam PBB suatu negara hanya diperbolehkan menyerang negara lainsebagai upaya mempertahankan diri melawan agresi militer. Seranganyang dilakukan tanpa provokasi atau alasan yang sah, dianggap sebagaiagresi dan tidak sah menurut hukum internasional. Selain untukmempertahankan diri, aksi militer oleh suatu negara atau kumpulannegara terhadap negara lain hanya dimungkinkan apabila ada mandatdari Dewan Keamanan PBB, misalnya untuk mencegah kejahatankemanusiaan yang meluas. Piagam PBB sengaja dirancang demikianuntuk mencegah pecahnya kembali perang-perang berskala besar sepertiterjadi dalam Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945). Beranjak dari pengalaman dua perang dunia yang menelan begitubesar korban nyawa dan harta, masyarakat internasional telah berusahauntuk membangun berbagai aturan dan institusi yang disepakati bersamayang mengharamkan penggunaan senjata dalam menyelesaikan konflik.

Serangan A.S. terhadap Irak, apapun alasan yang dikemukakanpemerintahan Presiden Bush, secara sengaja mengabaikan Piagam PBBdan mengenyampingkan peran PBB sebagai satu-satunya institusiinternasional yang memiliki wewenang dan legitimasi untukmengerahkan kekuatan militer di arena internasional. Serbuan pasukanA.S. ke Irak bukanlah dalam rangka mempertahankan diri, melainkanmerupakan tindakan pre-emption atau mendahului, guna mencegahkemungkinan Saddam Hussein memberikan senjata pemusnah massalyang diduga dimilikinya kepada kelompok teroris yang mungkin akanmenggunakannya untuk menyerang Amerika Serikat. Namun baiksebelum maupun sesudah perang berlangsung tidak terdapat bukti-buktiyang meyakinkan bahwa Saddam Hussein terlibat dalam serangan teroriske Amerika Serikat, memiliki kaitan dengan Al-Qaeda ataupun benar-benar memiliki senjata pemusnah massal seperti dituduhkan oleh

Page 9: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

9Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

pemerintahan Bush. Dengan melakukan serangan pre-emption terhadapsuatu negara berdaulat, berdasarkan asumsi-asumsi ancaman yang masihbersifat spekulatif, A.S. tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya diatas hukum internasional yang berlaku, atau menganggap bahwa aturaninternasional yang ada tidak mengikat dirinya sebagai satu-satunyanegara adidaya. Hal ini merupakan aktualisasi dari doktrin Bush yangmenyebabkan A.S. dikecam oleh hampir seluruh negara di dunia,termasuk oleh sebagian sekutunya di Eropa.

Makalah singkat ini akan mencoba menguraikan evolusi kebijakanluar negeri dan pertahanan A.S. dari multilateralisme dan deterrence(menangkal) menuju unilateralisme dan pre-emption (mendahului), sertadampaknya terhadap tatanan internasional, terutama terhadap aliansiA.S. dengan Eropa Barat dan peranan PBB.

Amerika Serikat Dari Multilateralisme ke Doktrin BushPredominasi A.S dalam politik internasional, sesungguhnya

bukanlah suatu hal baru. Abad ke dua puluh telah dinyatakan sebagaiabad Amerika. Ketika Perang Dunia II berakhir secara relatif kekuatanA.S. dibandingkan dengan negara-negara lainnya semasa itu lebih besardaripada sekarang ini. A.S. merupakan satu-satunya negara yangberhasil keluar dari Perang Dunia II dengan kekuatan utuh, dengankemampuan ekonomi, militer dan teknologi yang jauh melebihi negaramanapun di dunia waktu itu. Sebagian besar negara-negara Eropahancur akibat Perang Dunia. Eropa Barat yang luluh lantak dibangunkembali oleh A.S. melalui program Marshall Plan. Jerman dan Jepangyang kalah perang diduduki oleh pasukan A.S., sementara sistem politikdan ekonomi kedua negara tersebut juga dibangun kembali olehWashington. Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC) yangkemudian tampil sebagai saingan ideologis dan militer A.S. dalam PerangDingin juga menderita kerugian yang tidak sedikit dari serbuan Jerman(Uni Soviet) dan pendudukan Jepang (Cina). Dibandingkan dengansituasi sekarang ini, di mana di samping A.S. juga ada kekuatan ekonomilain yang tidak kalah pentingnya, yaitu Uni Eropa dan Jepang, sertamunculnya RRC sebagai kekuatan yang semakin diperhitungkan, posisiA.S. pada era awal pasca- Perang Dunia II jelas lebih dominan.2

2. Peter Howard, “Endgames: Washington, UN, and Europe”. Foreign Policy inFocus, Interhemispheric Resource Center (IRC). 28 Februari, 2003

Page 10: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

10 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Namun dengan posisi yang sangat dominan tersebut, A.S. tidakmengembangkan kebijakan unilateral seperti sekarang ini. Sebaliknya,A.S. justru menjadi penggerak utama lahirnya berbagai aturan daninstitusi internasional serta kerjasama multilateral, baik pada tingkatregional maupun global. Dalam kurun waktu yang singkat setelahPerang Dunia II berakhir pada tahun 1945 organisasi Persatuan BangsaBangsa (PBB) didirikan, disusul oleh badan-badan internasional lainnyaseperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Dalambadan-badan tersebut A.S. merupakan aktor utama dan penyandangdana utama. Masyarakat internasional juga mengeluarkan serangkaianperjanjian internasional yang mengatur hubungan antar negara, sepertiPiagam PBB, The Genocide Convention, Konvensi Jenewa tahun 1949,Universal Declaration of Human Rights serta GATT (GeneralAgreement on Tariff and Trade). Seluruh peraturan, perjanjian daninstitusi-institusi internasional tersebut ditujukan untuk memeliharaperdamaian dunia serta untuk meningkatkan kemakmuran secara lebihmerata melalui sistem perekonomian yang lebih terbuka.Interdependensi ekonomi juga akan berdampak positif dalammemelihara hubungan damai antar bangsa. Idealisme pasca PerangDunia II adalah terwujudnya suatu tatanan dunia baru yang lebihberadab, di mana peperangan antar- negara untuk memperebutkanpengaruh dan sumber daya ekonomi tidak lagi mendominasi hubunganinternasional. Selanjutnya persaingan dan konflik akan diselesaikanberdasarkan hukum-hukum internasional melalui lembaga-lembagainternasional yang sengaja diciptakan untuk itu. Dengan kata lainhubungan internasional hendak dikelola melalui proses multilateral yangmengharuskan adanya konsultasi dan kesepakatan antara paraanggotanya.

Idealisme tentang Tatanan Dunia baru yang damai yang sepenuhnyadiatur oleh hukum internasional, di mana PBB menempati posisi sentral,memang tidak berlangsung lama. Munculnya Perang Dingin antaraBlok Barat yang kapitalis di bawah pimpinan A.S. dan Blok Timur yangkomunis di bawah pimpinan Uni Soviet sejak akhir tahun 1940-anmeningkatkan kembali peranan kekuatan militer sebagai unsur utamadalam hubungan internasional. Masing-masing blok mengembangkankemampuan militer, termasuk senjata nuklir, untuk menangkal lawannya.Dengan demikian politik internasional selama Perang Dingin terutamadibentuk oleh sistem perimbangan kekuatan (balance of power) yangcenderung mengecilkan peranan PBB.

Page 11: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

11Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

Sesungguhnya komposisi Dewan Keamanan PBB yang terdiri darilima anggota tetap yang masing-masing memiliki hak veto merupakancerminan dari sistem perimbangan kekuatan. Kelima anggota tetapDewan Keamanan PBB adalah negara-negara yang berada pada pihakyang menang dalam Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet,Britania, Perancis dan Cina.3 Peran PBB tidak jarang disandera olehkebijakan negara-negara adidaya, terutama dalam hal-hal yangmenyangkut kepentingan langsung Amerika Serikat atau Uni Soviet.PBB sering tidak dapat mengambil sikap tegas terhadap suatupermasalahan karena di veto oleh salah satu anggota tetap DewanKeamanan.

Namun walaupun di satu pihak peranan PBB relatif lemah, PerangDingin justru memaksa pihak-pihak yang berkonflik untuk mendukunghukum internasional serta mengembangkan sistem multilateral karenabeberapa hal. Pertama, baik A.S. maupun Uni Soviet menyadari bahwakonflik terbuka di antara mereka akan mengakibatkan kehancuran total,mengingat kemampuan senjata nuklir yang dimiliki masing-masing dapatmenghancurkan dunia berkali-kali. Dengan demikian kedua negaraadidaya dipaksa untuk menahan diri dan mematuhi prinsip-prinsip dasarhukum internasional yang melarang suatu negara melakukan agresiterhadap negara lain. Meskipun mereka bersaing dan saling menjegal,kedua negara adidaya menyadari bahwa mereka juga harus tetap bekerjasama untuk mencegah terjadinya perang terbuka di antara mereka.

Kedua, baik A.S. maupun Uni Soviet bersaing merebut pengaruhglobal sehingga masing-masing pihak berusaha tampil sebagai pihakyang benar. Pelanggaran terhadap hukum internasional oleh salah satupihak akan merugikan citra negara yang bersangkutan danmenguntungkan pihak lawan. Perseteruan antara A.S. dan Uni Sovietbukanlah sekedar perseturuan antara dua kekuatan militer tradisional.Perang dingin merupakan konflik antara dua sistem secara total, meliputiideologi, sistem politik, sosial dan ekonomi yang oleh masing-masingpihak hendak dikembangkan secara universal.

Ketiga, persaingan global yang berkembang selama Perang Dinginmemaksa kedua adidaya untuk memperkuat dirinya dengan membentuk

3. Sampai tahun 1975 kursi Cina di PBB diisi oleh Taiwan. Namun setelah normalisasihubungan A.S. dengan RRC, kursi Cina di PBB diisi oleh RRC, sementara Taiwan tidaklagi diakui sebagai negara yang berdaulat sehingga tidak memiliki perwakilan di PBB.

Page 12: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

12 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

aliansi-aliansi pertahananan, serta membujuk negara-negara netral untuktidak berpihak pada blok lawan. Dengan demikian selama Perang Dinginberlangsung baik A.S. maupun Uni Soviet tidak leluasa melakukantindakan unilateral, terutama apabila tindakan tersebut dapat merugikankepentingan langsung salah satu negara adidaya.

Kendati jelas merupakan kekuatan hegemon, selama ini peranan A.S.tidak terlalu dipermasalahkan oleh negara-negara yang berada di bawahnaungannya karena Washington lebih banyak menjalankan “soft power”,daripada “hard power”, yaitu menerapkan hegemoni melalui upaya-upayapersuasi dan pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata.Sebelum doktrin Bush lahir pada tahun 2002 predominasi A.S. dalampercaturan internasional memiliki tiga tonggak utama, yaitu kekuatanekonomi, kekuatan militer dan peranan A.S. dalam institusi-institusimultilateral.4 A.S. memberikan bantuan ekonomi langsung pada sekutu-sekutunya atau negara-negara yang dianggapnya bersahabat, baik melaluibantuan uang seperti sewaktu Marshall Plan di Eropa Barat, ataupundengan membuka pasarnya terhadap ekspor dari negara-negara tersebut.Dengan kekuatan militernya yang sangat besar A.S. juga bertindak sebagaipelindung keamanan bagi sekutu-sekutunya, misalnya dengan mendirikanaliansi militer multilateral NATO (North Atlantic Treaty Organisation) diEropa Barat serta aliansi pertahanan bilateral, misalnya dengan Jepangdan Korea Selatan, di mana Washington merupakan “sumbu” (hub)sementara para sekutunya merupakan jari-jari (spokes) dalam sistempertahanan tersebut. Pengaruh A.S. juga dirasakan, baik secara langsungmaupun tidak langsung, melalui berbagai institusi internasional di manaA.S. merupakan pemegang saham terbesar. Seperti telah disinggungsebelumnya sampai tahun-tahun terakhir ini, A.S. masih merupakanpendukung utama sistem multilateral, misalnya dalam melahirkan WTO(World Trade Organisation) dan Kyoto Protocol tentang lingkungan hidup.

Selama Perang Dingin, negara-negara komunis tentu saja melihatA.S. sebagai ancaman dan musuh yang harus dilawan. Namun bagisebagian besar negara-negara lainnya A.S. cenderung dilihat sebagai“benign superpower”, yaitu adidaya yang bersahabat dan tidak perluditakuti. Di samping itu, walaupun banyak negara tidak sejalan dengankebijakan luar negeri Amerika Serikat mereka tetap mengagumi

4. Pierre Hassner, “Definitions, Doctrines, and Divergences”. The National Interest,Number 69, Fall 2002, hal.33.

Page 13: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

13Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

keunggulan-keunggulan yang dimiliki A.S., terutama kemajuanperekonomiannya, keunggulan teknologinya, sistem politiknya maupundinamika kehidupan bermasyarakatnya. Melalui proses globalisasi yangjuga dimotori oleh Amerika Serikat, terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasionalnya, sebagian besar masyarakat dunia telahmenjadikan A.S. sebagai rujukan utama nilai-nilai yang mereka anutdan kembangkan dalam proses modernisasi negara masing-masing.

Namun sejak keputusan A.S. untuk menyerang Irak tanpapersetujuan Dewan Keamanan PBB, citra A.S. sebagai “benignsuperpower” sirna. Demontrasi anti- perang secara besar-besaran diberbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara sekutu A.S. sendiri,menunjukkan bahwa kini Washington dipandang sebagai agresor.Walaupun A.S. berdalih bahwa serangannya ke Irak adalah untukmembebaskan rakyat Irak dari tirani rezim Saddam Hussein, namunsebagian besar masyarakat internasional melihat tindakan tersebutsebagai perang yang tidak sah, dan kehadiran pasukan A.S. di Iraksebagai pendudukan atas negara yang berdaulat.

A.S. dewasa ini telah menampakkan dirinya sebagai kekuatanhegemon yang tidak segan bertindak sendiri tanpa dukungan negara-negara lain, dan tanpa perlu mengindahkan aturan-aturan internasional,walaupun tindakan unilateralnya dilakukan atas nama penegakanhukum internasional. Adalah suatu ironi Presiden Bush memerintahkanpenyerangan terhadap Irak dengan melanggar Piagam PBB, untukmenghukum Saddam Hussein yang dituduhnya telah melanggar resolusiPBB tentang pemusnahan senjata massal.

Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa A.S. memutuskan untukmeninggalkan proses multilateral yang dulu dibangunnya, dan apakahsistem unipolar yang hendak diterapkan Washington di bawahpemerintahan Presiden George W. Bush akan dapat dipertahankan olehA.S. secara berkelanjutan? Atau apakah kebijakan A.S. tersebut justruakan memunculkan perlawanan dan upaya-upaya untuk membangunkembali kekuatan pengimbang serta penguatan peranan PBB?

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya sikap arogansidan kecenderungan unilateral A.S. Pertama adalah rubuhnya Uni Sovietdan berakhirnya Perang Dingin sehingga A.S. merupakan satu-satunyanegara adidaya yang tersisa. Dengan sendirinya tidak ada lagi kekuatanpengimbang yang setara yang mampu bertindak sebagai penghalangapabila A.S. betul-betul berkeinginan untuk mengambil tindakan sesuaikepentingannya sendiri, terlepas dari sikap negara-negara lain.

Page 14: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

14 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Kedua, kekuatan ekonomi A.S. yang sedemikian dominan, melebihiUni Eropa dan Jepang, dua kekuatan ekonomi terbesar lainnya. Asumsibahwa globalisasi ekonomi semakin meningkatkan saling ketergantunganantara negara-negara di dunia ternyata tidak sepenuhnya benar, karenayang terjadi adalah hubungan asimetris, di mana negara berkembangjauh lebih tergantung pada negara-negara maju daripada sebaliknya.Ketergantungan A.S. pada perdagangan internasional relatif rendahmengingat 90% dari produksinya adalah untuk konsumsi dalam negeri,sementara pasar A.S. merupakan tujuan ekspor utama bagi negara-negara lain.5

Ketiga, kenyataan bahwa kemampuan militer A.S. merupakan yangterbesar di dunia dan cenderung meningkat, walaupun Perang Dingintelah berakhir. Selama Perang Dingin politik internasional mengalamimiliterisasi, di mana kemampuan militer menjadi penentu utamahubungan antara A.S. dan Uni Soviet. Setelah Perang Dingin berakhirsebagian negara yang terlibat langsung dalam konflik, seperti Rusia dannegara-negara Eropa Barat mengurangi anggaran militer mereka,berbeda dengan A.S. yang tetap memiliki anggaran militer yang tinggiseperti sewaktu Perang Dingin masih berlangsung. Anggaran belanjamiliter A.S. melebihi total anggaran militer tujuh negara dengan belanjamiliter terbesar lainnya. Kenyataan ini membuat jurang kemampuanmiliter antara A.S. dan negara-negara lainnya, termasuk sekutu-sekutunya dalam NATO, semakin lebar.6

Ketiga faktor di atas menunjukkan bahwa sebagai negara AmerikaSerikat dewasa ini berada dalam kelas tersendiri, dengan kemampuanyang tidak tertandingi oleh negara manapun ataupun oleh gabunganbeberapa negara sekalipun. Tidaklah mengherankan apabila tidak adasatu negarapun yang secara terbuka berani menantang keperkasaan A.S.(kecuali Irak di bawah Saddam Hussein), walaupun banyak negara yangkritis terhadap kebijakan Washington. Posisi yang ditempati A.S.sekarang melebihi kekuasaan Britania Raya di puncak kejayaanempirumnya pada abad ke-19, dan hampir serupa dengan kekuasaanKekaisaran Romawi di masa jayanya.

5. Kenneth N. Waltz, “Globalization and American Power”. The National Interest,Number 59, Spring 2000, hal. 49-50.

6. Ibid. hal. 54.

Page 15: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

15Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

Namun memiliki kemampuan yang tidak tertandingi tidak sertamerta menyebabkan A.S. mesti bertindak unilateral. Di sampingkemampuan dan kesempatan, faktor penentu lainnya adalah kemauan.Seperti telah disinggung sebelumnya, pada tahun-tahun pertama setelahPerang Dingin berakhir Washington tetap menunjukkan komitmennyapada proses multilateral. Dalam Perang Teluk tahun 1991 PresidenGeorge Bush (ayah dari Presiden George Walker Bush) berupayamendapatkan mandat dari Dewan Keamanan PBB serta menggalangpasukan koalisi yang betul-betul berasal dari banyak negara untukmemaksa Saddam Hussein keluar dari Kuwait, walaupun secara militerpasukan A.S. mampu melakukannya sendiri. Presiden Bill Clintonselama delapan tahun berkuasa (1992-2000) juga menunjukkandukungan yang kuat terhadap proses multilateral, termasuk mendorongdibentuknya organisasi-organisasi regional baru. Hal ini terlihat misalnyadari dukungan A.S terhadap APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)yang melakukan pertemuan tingkat tinggi buat pertama kalinya padatahun 1992 di Seattle, A.S. atas undangan Clinton, dan pembentukanASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 1993. Clinton jugamemainkan peranan besar dalam pembentukan WTO sebagai badanpengganti GATT dan mencegah Uni Eropa menjadi terlalu proteksionisdalam kebijakan ekonominya. Pemerintah A.S., khususnya wakilPresiden Al Gore, juga menjadi motor utama lahirnya Kyoto Protocoluntuk melindungi lingkungan hidup, antara lain melalui penguranganemisi.

Memang di bawah pemerintahan Presiden Clinton dalam beberapakesempatan A.S. juga melakukan tindakan unilateral, misalnyamelakukan beberapa kali serangan udara terhadap Irak, Afghanistandan Kenya, yang terakhir bahkan sebagai balasan atas pembomankedutaan besar A.S. oleh sekelompok teroris, walaupun dalam skalayang relatif kecil. A.S. bersama NATO juga melakukan serangan udaraterhadap Serbia di Kosovo pada tahun 1999 untuk menghentikanpembantaian yang dilakukan oleh tentara Serbia terhadap pendudukMuslim di sana. Serangan NATO tersebut dilakukan tanpa mandatDewan Keamanan PBB, karena ditentang Rusia dan RRC. Hanya sajatindakan-tindakan unilateral terdahulu berskala kecil, sebagai balasanatas berbagai serangan teroris terhadap kepentingan A.S. di luar negeri.Walaupun memicu kontroversi serangan unilateral NATO ke Kosovotidak menimbulkan kecaman internasional karena tindakan tersebutdilihat sebagai “humanitarian intervention” atau intervensi kemanusiaan

Page 16: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

16 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

guna mencegah kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung.Namun secara keseluruhan selama pemerintahan Clinton, A.S.tampaknya tetap mendukung sistem multilateral dan mengutamakanupaya-upaya damai untuk mengatasi berbagai konflik internasional,misalnya dengan mendorong terjadinya dialog di Semenanjung Koreadan di Timur Tengah.

Dukungan Presiden Clinton pada proses multilateral dan kerjasamainternasional merupakan refleksi ideologi liberal yang dianut presidendari Partai Demokrat tersebut. Dalam pandangan kelompok liberal, yangjuga sering disebut “merpati” karena lebih mengutamakan penggunaandiplomasi daripada militer dalam menyelesaikan konflik, A.S. tetap harusbekerjasama dengan negara-negara lain untuk memajukan kepentinganglobal secara keseluruhan. Kepemimpinan A.S. diraih melaluipenggunaan “soft power” dengan tetap memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat. Dalam perspektif liberalhubungan internasional tidak lagi semata-mata diwarnai oleh kompetisiantar-negara di mana kemampuan militer merupakan komponen utama,tetapi juga bercirikan ker jasama dalam satu jaringan salingketergantungan. Walaupun A.S. merupakan satu-satunya negara adidayaia tidak dapat seenaknya memaksakan kehendaknya pada negara lainapabila ia ingin tetap diterima sebagai anggota jaringan. Perspektif liberalini bertolak belakang dengan pandangan kelompok “realist” yang tetapmenilai bahwa politik internasional didominasi oleh persaingan militerantar-negara untuk menentukan negara mana yang paling dominan.

Politik luar negeri A.S. mengalami perubahan fundamental ketikaPresiden Clinton digantikan oleh Presiden George W. Bush. Berbedadengan Presiden Bush Senior yang memiliki pengalaman luas dalamhubungan internasional dan cenderung multilateralis, karena pernahmenjabat sebagai Direktur CIA dan Duta Besar di RRC, Presiden BushJunior tidak memiliki pengalaman diplomasi sama sekali. WalaupunJenderal Colin Powell yang dianggap sebagai seorang tokoh moderatdan pendukung multilateralisme ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri,Bush sendiri cenderung berpendirian unilateralist. Di samping ituanggota Kabinet Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanandidominasi oleh tokoh-tokoh konservatif yang berpandanganunilateralist. Mereka ini antara lain adalah Wakil Presiden Dick Cheney,Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Richard Perle (Kepala DewanKebijakan Pertahanan), Paul Wolfowitz (Wakil Menteri Pertahanan),

Page 17: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

17Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

John Bolton (Asisten Menlu bidang Kontrol Senjata) dan Lewis Libby(Kepala Staf kantor Wakil Presiden).7

Dalam pandangan kelompok konservatif yang memiliki perspektif“realist” garis keras ini prioritas luar negeri A.S. adalah melindungikepentingan nasional A.S. sendiri, terutama keamanan nasional, tanpaperlu mempertimbangkan komitmen-komitmen internasional yangselama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, A.S. harusberani bertindak sendiri untuk melindungi kepentingan nasionalnya sertatidak perlu ragu menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan,karena militer dianggap sebagai instrumen yang sah dalam politikinternasional. Bagi kalangan konservatif garis keras ini bagaimanapandangan negara-negara lain atas tindakan-tindakan unilateral A.S.sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Majalah Time menulis bahwaMenteri Luar Negeri Colin Powell yang begitu populer karena perannyadalam Perang Teluk sama sekali tidak berdaya dalam Kabinet Bush.Kendati Powell sendiri dinilai sebagai seorang penganut alirankonservatif: “Powell is a multilaterallist; other Bush advisers areunilateralists. He’s internationalist; they are America first”. PandanganPowell dikatakan sebagai “compassinonate conservatism”, ataukonservatisme yang memiliki kepedulian pada pihak lain, sementarakelompok garis keras sama sekali tidak peduli pada hal-hal di luarkepentingan A.S.8

Jauh sebelum serangan teroris tanggal 11 September 2001 yangmenghancurkan World Trade Center di New York dan merusak sebagianbangunan Pentagon, kantor Departemen Pertahanan di Washington,kalangan konservatif telah berupaya memajukan visi mereka tentangperanan A.S. dalam membentuk tatanan dunia baru pasca-PerangDingin. Salah satu visi tersebut ialah untuk menjaga ketertiban duniadengan mempertahankan hegemoni A.S., terutama keunggulanmiliternya, serta mencegah negara lain untuk membangun kemampuanyang dapat menyaingi hegemoni A.S. tersebut, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Eropa Barat, Asia Timur, wilayah bekas UniSoviet dan Asia Barat Daya.9 Visi ini memandang Tatanan Dunia Baru

7. Time, September 10, 2001. hal.32-33.

8. Ibid. hal 31.

9. Paul Wolfowitz, “Remembering the Future”. The National Interest. Number 59.Spring 2000, hal.36.

Page 18: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

18 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

sebagai Pax Americana, di mana kepemimpinan A.S. dalam menentukanbentuk serta aturan politik internasional tidak menghadapi tantangandari para pesaing. Hal ini terlihat dari draft memo yang ditulis Wolfowitzketika menjabat sebagai asisten di Departemen Pertahanan pada tahun1992 yang bocor ke pers sehingga memicu kontroversi. Makalah tersebutkemudian terbit dengan judul Defence Planning Guidance for 1992-1994.Di samping itu diusulkan bahwa A.S. menggunakan doktrin pre-emptivestrike, atau mendahului menyerang potensi musuh secara unilateralapabila pasukan gabungan tidak dapat dibentuk.10 Namun selamapemerintahan Presiden Bill Clinton, doktrin pre-emptive strike ini tidakdipakai.

Bagi kelompok konservatif yang menganut paham realist, hegemoniA.S. dalam percaturan politik global merupakan konsekuensi logis darikekalahan Uni Soviet dan kemenangan A.S. dalam Perang Dingin.Mereka tentu tidak ingin melihat kemunculan perimbangan kekuatanbaru menggantikan Uni Soviet yang kembali dapat memicu kompetisidan ketidakstabilan global. Dalam visi Pax Americana A.S. bertindaksebagai polisi dunia, dengan mandat dan acuan tugas yang dapatditentukannya sendiri. Seperti dikatakan Wolfowitz, visi Pax Americanaini sesungguhnya juga dianut oleh kelompok liberal, walaupun dalammencapai tujuan kalangan liberal lebih mendukung pendekatanmultilateralist. Yang menentang hanyalah kelompok isolasinist yangultra-kanan seperti Pat Buchanan.11

Perbedaan antara kelompok konservatif tradisional yang menganutpaham realist dengan kalangan konservatif baru (Neo-Conservative)seperti Wolfowitz adalah yang pertama tidak terlalu peduli tentang isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia, sementara yang kedua melihatbahwa Pax Americana juga ditujukan untuk memajukan demokrasi danHAM secara global. Dalam hal ini kelompok konservatif baru memilikitujuan yang serupa dengan kelompok liberal, hanya saja dalam carapencapaian tujuan mereka berbeda, yaitu yang pertama tidak seganmenggunakan kekuatan militer secara unilateral apabila dinilai perlu,sementara kelompok kedua cenderung memilih menggunakan sanksi

10. Lihat Bara hasibuan, “Kaum Neo-Cons di Balik Perang Irak”. Kompas, 14April 2003.

11. Wolfowitz ibid.

Page 19: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

19Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

non-militer, baik melalui PBB maupun secara bilateral untuk menghukumrezim yang dianggap salah.12

Sebelum perang Irak yang membuat posisi A.S. terisolasi, kebijakanunilateral A.S. di bawah pemerintahan Presiden Bush juga telahmengundang banyak kritik, termasuk dari negara-negara sekutu A.S.sendiri. Atas desakan kalangan industri besar pemerintahan Bushmenolak meratifikasi Kyoto Protocol untuk mengurangi pengeluaranemisi. Mengingat A.S. adalah negara yang memproduksi emisi terbesardi dunia, tindakan sepihak A.S. tersebut jelas semakin mempersulitper juangan internasional untuk melindungi lingkungan hidup.Kebijakan Washington tersebut dikecam luas, terutama oleh negara-negara Eropa Barat. Hubungan A.S. dengan Rusia dan RRC jugamenjadi tegang ketika pemerintahan Bush menyatakan ingin kembalimengembangkan pertahanan misile nasional (national missile defence)untuk melindungi wilayah A.S. dari serangan intercontinental ballisticmissiles. Ini berarti secara sepihak akan keluar dari Anti-ballistic MissileTreaty yang ditandatangani pada tahun 1972. Kebijakan ini jugamembuat sekutu-sekutu A.S. di Eropa Barat khawatir karena A.S. hanyaterfokus pada perlindungan tanah airnya sendiri tanpa mempedulikankeamanan sekutu-sekutunya. Tindakan unilateral A.S. lain yang jugamengundang banyak kecaman adalah penolakan A.S. atas dibentuknyaMahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court),karena A.S. khawatir tentaranya yang tersebar diberbagai pelosok duniaakan banyak yang diseret ke pengadilan tersebut. Mahkamah inimerupakan bagian dari upaya masyarakat internasional untukmenegakkan hak asasi manusia (HAM), agar orang-orang yangbertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM berat dapat diseret kepengadilan internasional apabila negaranya sendiri gagal mengadilinya.

Ketiga kasus di atas secara jelas menunjukkan bahwa pemerintahanPresiden Bush Jr. menjadikan kepentingan nasional A.S. secara sempitsebagai acuan utama dalam mengelola hubungannya dengan dunia luar,tanpa memperdulikan komitmen-komitmen multilateral atau nilai-nilai

12. Namun menarik untuk disimak bahwa dalam artikelnya yang dikutip di atasWolfowitz juga menjelaskan bahwa demokrasi tidak bisa dipaksakan dari luar. Demokrasihanya mungkin tercipta apabila ada dukungan dari dalam negeri yang bersangkutan.Wolfowitz juga mengatakan bahwa leverage yang dimiliki A.S. untuk memaksakanperubahan terbatas.

Page 20: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

20 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

universal yang dulu justru gigih diperjuangkan Amerika Serikat. Namunsebelum peristiwa 11 September 2001 unilateralisme A.S. lebihberorientasi ke dalam, yaitu untuk melindungi kepentingan A.S. secaralangsung, tanpa mengubah tatanan internasional yang berlaku. Situasiberubah setelah serangan teroris yang menghancurkan WTCmempermalukan negara adidaya tersebut, dan membuatnya untukpertama kali merasa sangat terancam dan tidak berdaya. Denganmenggunakan kekuatan militernya yang tidak tertandingi kebijakanunilateralisme A.S. akhirnya diarahkan ke luar, tidak saja untukmenghancurkan ancaman atau potensi ancaman, tetapi juga untukmengubah lingkungan strategis sesuai perspektif dan kepentinganWashington.

Pada awalnya serangan teroris ke A.S. memaksa Washington untukmengurangi sikap unilateralismenya. A.S. menyadari bahwa terorismemerupakan ancaman transnasional sehingga untuk menghadapinyadiperlukan kerjasama internasional. Masyarakat internasionalpunmenunjukkan simpati pada kerugian yang diderita A.S. A.S. berhasilmenggalang dukungan dan partisipasi internasional untuk menyatakan“perang” terhadap terorisme. Namun kebijakan multilateral melawanterorisme, yang mengedepankan kerjasama internasional dalam bidangintelijen, memberantas pencucian uang dan kegiatan-kegiatan non-militerlainnya, kembali dikalahkan oleh kecenderungan unilalteralisme danmiliterisme para pembuat kebijakan di Washington.

Serangan teroris ke A.S. membuka peluang bagi kelompokkonservatif dalam pemerintahan Bush untuk merealisasikan doktrin pre-emptive strike yang sudah lama mereka kemukakan, untukmemusnahkan ancaman maupun potensi ancaman dari manapunsumbernya. Para teroris yang menabrakkan pesawat ke gedung WTCdan Pentagon disinyalir merupakan anggota dari Al-Qaeda, organisasiteroris Islam ekstrim di bawah pimpinan Osama bin Laden yangbermukim di Afghanistan. Walaupun para teroris tidak bertindak atasnama suatu negara, dan terorisme merupakan ancaman non-tradisionalyang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara, Washington membalasserangan tersebut seolah-olah sedang menghadapi agresi militerkonvensional. Yakin atas keterlibatan Osama bin Laden dan Al-Qaedameskipun bukti-bukti belum sepenuhnya terkumpul, A.S. melakukanserangan militer besar-besaran ke Afghanistan untuk membunuh binLaden dan menumbangkan rezim Taliban yang melindungi bin Laden.

Page 21: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

21Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

Tindakan pembalasan yang dilakukan A.S. terhadap rezim Talibandi Afghanistan, untuk kejahatan yang dilakukan oleh individu-individudari negara lain yang tidak berkaitan langsung dengan rezim tersebut,melangkah jauh dari perang pembalasan yang diperbolehkan olehPiagam PBB ketika menghadapi agresi militer dari negara lain. (Sebagianbesar pelaku penyerangan tanggal 11 September 2001 adalah warganegara Arab Saudi). Namun hal ini tampaknya tidak dipedulikan olehpemerintahan Bush, walaupun aksi militer A.S. di Afghanistan mendapatbanyak kecaman internasional. A.S. berdalih bahwa rezim Talibanmembiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok Al-Qaeda yangtetap merupakan ancaman bagi A.S., sehingga untuk menghancurkanAl-Qaeda dan mencegah aksi terror selanjutnya rezim Talibanpun harusikut dihancurkan. Dalam perang melawan teroris yang dicanangkanA.S. negara yang membiarkan kelompok teroris berada di wilayahnyatampaknya juga dianggap sebagai teroris atau pendukung terorismesehingga perlu diperangi, sebelum ancaman itu menjadi kenyataan.

Pandangan pemerintah A.S. tentang ancaman yang dihadapi negaratersebut dan strategi menghadapinya semakin dikembangkan melaluiapa yang kemudian dikenal sebagai Doktrin Bush. Doktrin Bush pertamakali disampaikan pada tanggal 1 Juni 2002, dalam pidato wisudamahasiswa akademi militer West Point. Dalam pidato tersebut Bushmenjelaskan bahwa ancaman masa depan datang dari para teroris sertadari para diktator yang mengembangkan senjata pemusnah massal yangdapat diberikan kepada para teroris. Untuk menghadapi ancamantersebut strategi deterrence seperti waktu menghadapi ancaman BlokKomunis selama Perang Dingin tidak lagi sesuai. Sebaliknya A.S. harusmengantisipasi ancaman tersebut dan melakukan tindakan pre-emption,yaitu menyerang sebelum ancaman tersebut menjadi kenyataan.

Pemikiran Bush dapat dilihat dari kutipan-kutipan pidatonya sebagaiberikut: “We cannot defend America and our friends by hoping for thebest. We cannot put our faiths in the word of tyrants who solemnly signnonproliferation treaties and then systematically break them. If we waitfor threats to fully materialize we will have waited too long”. (Kita tidakdapat mempertahankan Amerika dan rekan-rekan kita denganmengharap yang terbaik. Kita tidak dapat meletakkan kepercayaan kitapada kata-kata tiran yang menandatangani perjanjian non-proliferasinamun secara sistematis melanggar perjanjian tersebut. Kalau kitamenunggu ancaman untuk menjadi kenyataan kita sudah terlambat).

Page 22: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

22 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Berikutnya Bush mengatakan bahwa “.. the war on terror will not bewon on the defensive. We must take the battle to the enemy, disrupt hisplans and confront the worst threats before they emerge”. (Perangmelawan teror tidak dapat dimenangkan secara defensif. Kita harusmembawa pertempuran kepada musuh, ganggu rencananya dan hadapitantangan terburuk sebelum ia menjelma). Bush juga menjelaskanbahwa tentara A.S. harus siap menyerang setiap saat di pelosok duniamanapun: “A military that must be ready to strike at a moment’s noticein any dark corner of the world”.13

Pandangan Bush ini, yang merupakan kelanjutan dari doktrin pre-emptive strike yang dikemukakan Pentagon tahun 1992, samasekali tidaklagi mengindahkan Piagam PBB dan hukum internasional lainnyatentang perang yang sah. Doktrin ini membenarkan tindakan agresiterhadap negara lain hanya berdasarkan kecurigaan A.S. terhadap niatatau kemampuan yang dimiliki negara tersebut. Tentara A.S. dapatmelakukan serangan di mana saja, kapan saja, melawan siapa saja sesuaipersepsi ancaman Washington, tanpa memerlukan mandat PBB ataupundukungan internasional. Perang melawan terorisme merupakan perangtanpa mengenal batas waktu ataupun batas wilayah.

Serangan A.S. terhadap Irak untuk menggulingkan rezim SaddamHussein, kendati seperti telah disinggung sebelumnya tidak terdapat buktiyang kuat bahwa Saddam Hussein memiliki kaitan dengan Al-Qaeda,merupakan realisasi Doktrin Bush. Seperti diketahui keinginan tokoh-tokoh konservatif A.S. untuk menyingkirkan Saddam Hussein, yangdicurigai telah mengembangkan senjata pemusnah massal sehinggamengancam Isreal dan kepentingan A.S. di Timur Tengah secarakeseluruhan, telah cukup lama tercetus. Misalnya, pada tahun 1998 dibawah bendera Project for the New American Century (PNAC) 18 orangtokoh konservatif menulis surat pada Presiden Clinton untukmendongkel Saddam Hussein dari kekuasaan.14 10 dari 18 tokoh tersebutkini duduk dalam pemerintahan Bush, dan setelah terjadi seranganteroris di New York yang akhirnya melahirkan Doktrin Bush, keinginanuntuk menggulingkan Saddam mendapat pembenaran baru.

13. Commencement Speech given by President George w. Bush to the U.S. MilitaryAcademy’s 2002 graduating class at West Point. The speech was given on June 1,2002, at West Point New York. JINSA Online, June 4, 2002.

14. Bara Hasibuan op.cit.

Page 23: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

23Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

Lebih jauh lagi Doktrin Bush menyatakan bahwa A.S. tidak sajaakan memerangi setiap potensi ancaman yang mungkin mucul, tetapijuga akan secara aktif mendukung “freedom” atau kebebasan di seluruhdunia. Menurut seorang pengamat, pidato Bush di West Pointmerupakan pidato bersejarah yang meletakkan dasar bagi lahirnyatatanan dunia baru dengan A.S. sebagai pusatnya dan “kebebasan”sebagai tujuannya.15 Menggulingkan rezim Taliban di Afghanistan danrezim Saddam Hussein di Irak untuk membuka jalan terbentuknyapemerintahan yang demokratis merupakan wujud dari Doktrin Bushyang oleh seorang pengamat juga disebut sebagai “liberty doctrine”.

Berbeda dengan pemerintahan Clinton sebelumnya yang jugamengupayakan penyebaran demokrasi melalui dukungan pada gerakan-gerakan pro-demokrasi dan tekanan ekonomi atau diplomatik pada rezimyang tidak demokratis, Bush memaksakan demokrasi pada negara-negarasasaran melalui intervensi militer A.S. secara langsung dan mengubahtatanan politik di negara tersebut di bawah komando Washington.Presiden Bush yakin A.S. berada pada posisi yang benar dan merasaberkewajiban untuk menyebar kebenaran serta melawan kekuatan jahat(evil) secara unilateral di seluruh penjuru dunia dengan menggunakankekuatan militer A.S. yang tidak tertandingi, dan tidak boleh ditandingi.Seperti dikatakannya: “America has, and intends to keep, militarystrengths beyond challenge—thereby making the destabilizing arms racesof other eras pointless, and limiting rivalries to trade and other pursuitsof peace”.16 Amerika di bawah Presiden Bush merupakan misionarisbersenjata yang percaya bahwa A.S. ditakdirkan untuk memimpin duniademi kebaikan dunia itu sendiri.

Tantangan terhadap hegemoni Amerika SerikatSejarah berulang kali menunjukkan bahwa dominasi suatu negara

terhadap negara lain tidak dapat bertahan selama-lamanya. Dominasiyang berlebihan selalu menimbulkan perlawanan dan akan munculkekuatan-kekuatan baru yang menyaingi. Hegemoni A.S. dengankebijakan unilateralisme yang kontroversial baru berlangsung dalam dua

15. Tod Lindberg, “The War on Terror: The Bush Doctrine”. Hoover Digest, 2002no. 4, Fall Issue.

16. Pidato di West Point, ibid.

Page 24: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

24 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

tahun terakhir, namun perlawanan terhadap ketidakseimbangan kekuatanini sudah mulai tampak. Kecaman terhadap unilateralisme tidak sajadatang dari negara-negara yang memang selama ini kritis atau jauh dariA.S., tetapi juga dari sebagian sekutunya.

Seperti telah disinggung sebelumnya, kepemimpinan A.S. yang telahberlangsung sejak Perang Dunia II berakhir relatif dapat diterima secaraluas karena kepemimpinan tersebut berlangsung dalam kerangka sistemmultilateral. Dengan demikian negara-negara lain, khususnya negara-negara besar lainnya, tetap dilibatkan dalam setiap kebijakan internasionalyang diambil. Namun setelah pemerintahan Bush menunjukkan bahwaia hanya peduli pada kepentingan nasional A.S. dan menjalankankebijakan-kebijakan unilateral dalam interaksi internasional, A.S. mulaidilihat sebagai ancaman oleh sebagian sekutunya sendiri.

Keinginan A.S. untuk menyerang Irak tanpa mengindahkan upayaPBB yang berusaha mengatasi krisis Irak melalui cara damai mendapattantangan dari sebagian besar negara di dunia, terutama dari Perancisdan Jerman yang merupakan sekutu A.S. dalam NATO (North AtlanticTreaty-Pakta Pertahanan Atlantik Utara). RRC dan Rusia, yangmerupakan anggota Dewan Keamanan PBB juga menentang seranganmiliter A.S. ke Irak. Penolakan sebagian besar negara di dunia terhadapkeinginan A.S. melancarkan aksi militer ke Irak bukanlah karena merekamendukung Saddam Hussein, namun karena mereka menilai bahwatidak ada alasan kuat untuk membenarkan penyerangan. Tim inspeksisenjata PBB masih melaksanakan tugas mereka dan belum menemukanbukti-bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal seperti yangdituduhkan. Di samping itu penggulingan pemerintahan suatu negarayang berdaulat oleh negara lain tidak dibenarkan oleh Piagam PBB.Dengan kata lain negara-negara yang menentang sikap A.S. ingin tetapberpegang pada hukum internasional yang berlaku, dan tetapmenempatkan PBB sebagai satu-satunya kekuatan internasional yangberwenang untuk menggelar aksi militer secara internasional.

Tindakan A.S. telah menimbulkan perpecahan di dalam NATO. Halini jelas menunjukan ketidakpuasan sebagian anggota NATO, khususnyaPerancis dan Jerman yang merupakan dua negara terbesar dalam UniEropa, atas tindakan sewenang-wenang A.S. yang sama sekali tidakmempedulikan pendapat pihak lain. A.S. telah memutuskan untukmenyerang Irak dan terserah negara lain untuk mendukungnya atautidak. Akhirnya A.S. hanya didukung oleh sedikit negara yangmerupakan sekutunya yang paling setia, antara lain Britania. Hubungan

Page 25: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

25Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

A.S. dengan negara-negara Eropa yang menentang perang, yang dijulukiMenteri Pertahanan Rumsfeld sebagai “Eropa Tua” menjadi tegang.Sikap anti A.S. meluas di Eropa, termasuk di negara-negara yangpemerintahnya mendukung perang.

Terlalu dini untuk mengatakan bahwa sebagai konsekuensi dariketidakpuasan terhadap arogansi A.S. akan segera muncul kekuatantandingan baru. Untuk sementara waktu kekuatan A.S. tidak tertandingi,dan tidak satupun negara yang secara terbuka mengatakan hendakmenyaingi A.S., namun kondisi seperti ini diyakini tidak akanberlangsung selamanya. Kendati A.S. bertekad untuk mencegahmunculnya kekuatan pesaing, sistem hegemoni mengandung kelemahandasar, yaitu ia tidak populer. Semakin kuat dan semakin dominan suatunegara, yang cenderung memunculkan sikap arogan seperti yangbelakangan ini ditunjukkan A.S., maka akan semakin banyak pihak yangtidak menyukainya.

Di Eropa Barat mulai muncul upaya untuk lebih mandiri dari A.S.dalam bidang pertahanan. Sebenarnya sejak lama beberapa negara,terutama Perancis, telah ingin membentuk pakta pertahanan Eropa Baratdi luar NATO, namun hal tersebut sulit direalisasikan. Namun padatanggal 29 Mei 2003 ini empat negara anggota Uni Eropa, Jerman,Perancis, Belgia dan Luksemburg penentang perang Irak mengadakanpertemuan di Brussel. Mereka sepakat untuk membentuk komandopasukan di luar NATO. Meskipun ditentang keras oleh Britania dansebagian besar anggota Uni Eropa lainnya, usul keempat negara tersebutdikabarkan mendapat dukungan dari Rusia dan Yunani.17 Apabila tiganegara besar, Perancis, Jerman dan Rusia memutuskan untukmembangun kekuatan militer tandingan jelas mereka berpotensi mampumengimbangi kekuatan A.S., mengingat kemampuan ekonomi danteknologi yang mereka miliki. Sebagian besar persenjataan Uni Sovietdiwarisi oleh Rusia, sementara Perancis dan Jerman merupakan duanegara besar yang memiliki sejarah kebesaran militer di masa lalu.

Di lingkungan Asia Pasifik juga ada negara besar yang berpotensimenjadi pesaing A.S. dalam jangka menengah dan panjang. Baik dilihatdari pertumbuhan ekonomi maupun modernisasi militer yangdilakukannya, RRC diyakini akan tampil sebagai kekuatan global dalam

17. Koran Tempo, “Rusia Isyaratkan Dukung Pakta Pertahanan Eropa”. 2 Mei2003.

Page 26: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

26 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

waktu yang tidak terlalu lama. RRC tentu tidak akan dapat menerimadalam jangka panjang suatu tatanan dunia yang sepenuhnya dikontroldan dibentuk oleh A.S., yang tidak memberi tempat yang sejajar padanegara-negara besar lainnya.

Menurut Kenneth Waltz, ahli politik internasional beraliran realistdari A.S., Amerika Serikat sekarang sedang berada pada puncak kejayaanyang tidak akan dapat dipertahankannya terlalu lama. Pertama, pendudukA.S. hanya 276 juta jiwa dari 6 milyar jiwa, atau 5 % dari total pendudukdunia. Kemampuan fisik dan kemauan politik A.S. tidak akan mampumenanggung beban internasional yang berat seperti sekarang ini untukselamanya. Kedua, negara-negara lain tidak akan puas ditempatkan dalamgerbong belakang. Baik teman maupun musuh akan beraksi, sebagaimananegeri-negeri sejak dahulu telah beraksi terhadap ancaman predominasi:mereka akan memperbaiki perimbangan kekuatan.18

Di samping akan muncul upaya perimbangan kekuatan terhadapdominasi A.S., betapapun A.S. akan mencoba mencegah munculnyaperlombaan senjata baru, sebagian besar masyarakat internasional jugaakan tetap berjuang untuk memperkuat sistem multilateralisme yangselama ini sudah berjalan dengan cukup baik. Pertentangan A.S. danEropa belakangan ini bukanlah karena persaingan ideologis atau karenamereka bermusuhan. Perselisihan terjadi terutama karena pandanganyang dianut A.S. tentang cara terbaik mengatur hubungan internasionalberbeda dengan pendekatan negara-negara yang tergabung dalam UniEropa. Sebagai satu-satunya negara adidaya A.S. mampu dan lebihsuka bertindak secara unilateral, sementara Uni Eropa adalah organisasimultilateral di mana setiap anggota dituntut untuk bertindak secaramultilateral, berdasarkan keputusan yang dibuat secara bersama, untuksetiap keputusan.19

Walaupun A.S. dan Uni Eropa memiliki kemampuan ekonomi yangrelatif sama, visi dan bentuk kekuasaan mereka berbeda. A.S. merupakankekuatan militer yang tetap menganggap bahwa berbagai konflik di duniadapat diselesaikan secara militer. Sebaliknya, negara-negara yangtergabung dalam Uni Eropa telah berupaya menyingkirkan kemungkinan

18. Waltz, op.cit. hal-55-56.

19. Anne-Marie Slaughter, “The Future of Intrenational Law: Ending the U.S.-Europe Divide”. Crimes of War Project.- http://www.crimesofwar.org/sept-mag/sept-slaughter-printer.html.

Page 27: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

27Dewi Fortuna Anwar, Tatanan Dunia Baru

ancaman perang melalui berbagai per janjian dan kerjasamainternasional. Setiap pertikaian diupayakan untuk diselesaikan melaluiinstitusi-institusi sipil, misalnya melalui negosiasi atau melalui proseshukum regional atau internasional. Bukanlah suatu kebetulan bahwaA.S. yang gemar melancarkan aksi militer di luar negeri tidak pernahmengalami perang di dalam negeri sejak Perang Saudara pada abad ke-19, sementara negara-negara Eropa Barat yang berkali-kali hancur olehperang akhirnya memutuskan untuk mengedepankan cara-cara damai.Seperti dikatakan seorang pengamat, “the EU is a civilian superpower,wielding civilian power in contrast to the U.S.’s military power’.20

Menarik untuk disimak bahwa kekuatan yang berpotensi dapatmengubah tatanan global yang sekarang didominasi Amerika Serikatadalah Eropa Barat yang merupakan sekutu terdekat A.S. dalam 50 tahunterakhir. Perseteruan antara A.S. dan EU mengenai ICC (InternationalCriminal Court) secara jelas menunjukkan perbedaan pandangan antarakeduanya mengenai hukum internasional dan jurisdiksinya. A.S.mengancam akan memutuskan bantuan militer pada negara-negara yangmenolak menandatangi perjanjian bilateral dengannya untuk menjaminbahwa tentara A.S. yang berada di negara yang bersangkutan terbebasdari jurisdiksi ICC. Sebaliknya EU mengingatkan negara-negara yanghendak bergabung masuk EU, misalnya Turki dan Turkmenistan, untuktidak menandatangani perjanjian tersebut apabila mereka tetap inginditerima di dalam EU.21

Bagaimana dengan nasib PBB ke depan? Tindakan unilateral A.S.dalam menyerang Irak jelas telah melecehkan dan memarjinalkan peranPBB. PBB menunjukkan ketidakberdayaannya ketika berhadapandengan kemauan keras A.S. Namun walaupun A.S. berusahamenunjukkan bahwa PBB tidak memiliki kemampuan untukmenyelesaikan masalah-masalah internasional, terutama apabiladiperlukan suatu tindakan militer secara cepat, hal ini tidak mengurangiotoritas yang dimiliki PBB. Serangan A.S. ke Irak tidak memilikilegitimasi karena tidak didukung oleh PBB. A.S. pun sesungguhnyamenyadari hal ini, sehingga Washington berupaya untuk meyakinkanPBB agar mengeluarkan resolusi yang melegitimasi serangan atas Iraktersebut. Menteri Luar Negeri Colin Powell secara khusus

20. Andrew Moravcsik, “The Quiet Superpower”. Newsweek, June 17, 2002.

21. Slaughter, ibid.

Page 28: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

28 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

menyampaikan presentasi di depan Dewan Keamanan PBB untukmenunjukkan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal.22

Demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia menentang invasi A.S. keIrak terutama disebabkan oleh pandangan bahwa tindakan A.S. tersebuttidak sah karena tidak mendapat mandat PBB.

Tindakan unilateralisme A.S. justru meningkatkan tekad sebagianbesar masyarakat internasional untuk memperkuat PBB dan prosesmultilateral. Misalnya, masyarakat internasional menuntut agarpembangunan Irak setelah perang usai harus dilakukan oleh PBB, bukanoleh A.S. semata. Tiga pemimpin Eropa yang menentang perang,Presiden Vladimir Putin dari Rusia, Presiden Jacques Chirac dari Perancisdan Kanselir Gerhard Schroder dari Jerman mengadakan pertemuan diSt. Petersburg pada tanggal 11 April 2003, beberapa hari setelah pasukanA.S. memasuki Baghdad. Dalam pertemuan tersebut ketiga pemimpinmenegaskan bahwa PBB harus memainkan peran utama dalamrekonstruksi Irak untuk mencegah kolonialisme baru di negeri tersebut.Perdana Menteri Britania, Tony Blair, pendukung utama Bush yang turutmengirim pasukan ke Irak, juga menuntut agar PBB lah yang harusberperan utama di Irak pasca-perang.23

Seperti dikatakan Kenneth Waltz, tidak saja musuh tetapi teman puntidak suka diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh suatu negara adidaya.Tindakan unilateralisme A.S. di Irak mendapat dukungan dari sebagiannegara seperti Britania karena komitmen persekutuan atau karena merekayakin akan kebenaran tindakan tersebut. Namun upaya A.S. untukmenguasai Irak secara ekonomi pasca-perang, antara lain dengan hanyamemberikan kontrak-kontrak kerja bernilai besar kepada perusahaan-perusahaan A.S., menimbulkan ketidakpuasan luas dari negara-negara besarlainnya, termasuk sekutu-sekutu setia A.S. sendiri. Apabila peranan utamadimainkan oleh PBB maka pembangunan Irak tentu akan melibatkan banyaknegara. Dengan demikian tantangan atas unilateralisme A.S. tidak sajadisebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan tindakan militer atau karenaia mangabaikan hukum-hukum internasional, tetapi juga karenakepentingan ekonomi negara-negara lain yang turut dirugikan.

22. Ramesh Thakur and Andrew Mack, “The United nations. More relevantnow than ever”. Special to the Japan Times. Sunday, march 23, 2003.

23. The Moscow Times.com, “Petersburg Summit Pushes for UN Role”. April,14, 2003.

Page 29: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

Pasca Agresi Amerikake Irak

Riza Sihbudi1

PengantarSeperti sudah diperkirakan sebelumnya, pada 21 Maret 2003, Amerika

Serikat (AS) akhirnya memang melancarkan agresi paling brutal terhadaprakyat dan negara Irak tanpa dikutuk—apalagi dicegah—oleh PBB(Perserikatan Bangsa-Bangsa). AS—yang didukung sepenuhnya olehInggris, Australia dan Spanyol—sama sekali tidak menghiraukan kecamandan keberatan dari berbagai negara yang anti-perang. Sejak awal PresidenAS, George W. Bush, memang tidak mempunyai opsi lain selainmengumandangkan genderang perang. AS bahkan tidak perlu menungguhasil sidang DK (Dewan Keamanan) PBB yang semula hendakmemperdebatkan rancangan resolusi kedua yang mereka buat bersamaInggris. Pasalnya, Prancis dan Rusia yang memiliki hak veto di DK PBBsudah dipastikan akan menjegal rancangan resolusi yang memberikanwewenang penggunaan kekuatan militer terhadap Irak itu.

Agresi sudah dilancarkan dan hanya dalam waktu tiga pekan negaraIrak pun sudah sepenuhnya berada di bawah pendudukan para serdadukolonial AS dan kawan-kawannya. Bagaimana pun kekuatan militer Iraktidak bisa dibandingkan dengan kekuatan militer para agresor (AS).Apalagi sebelum diduduki, Irak sudah terlebih dulu dilucuti oleh PBB.

A N A L I S I S

1. Ahli Peneliti Utama dan Kepala Bidang Perkembangan Politik Internasional padaPusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI); Dosen PascaSarjana Universitas Indonesia (UI) Program Kajian Timur Tengah dan Islam; KetuaIndonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta; dan, Wakil Ketua UmumPengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

Page 30: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

30 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Skenario utama AS pun sudah jelas yaitu membentuk pemerintahanboneka di Irak. Tujuan utamanya, menguasai ladang minyak Irak.Sampai sekarang komoditas minyak memang belum bisa digantikan olehenergi lain untuk kebutuhan industri. Jadi, penguasaan minyak sangatstrategis buat AS. Apalagi, cadangan minyak di Irak merupakan yangterbesar setelah Arab Saudi. Di samping itu, Bush sendiri seorangpengusaha minyak.

Dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru dikawasan Teluk Parsi, karena setelah Revolusi Islam di Iran (1979), ASkehilangan basis utamanya di kawasan ini. Bush dan para anteknyamenjadikan para pembelot Irak untuk berkuasa di Baghdad untukmenggantikan rezim Saddam Hussein, kendati kekuatan kelompok oposisidi Irak—di luar suku Kurdi dan kaum Muslim Syiah—sebenarnya tidakbegitu kuat. Mereka bahkan cenderung terpecah-pecah, karena tidakadanya figur yang mampu menjadi tokoh pemersatu gerakan anti-Saddam.

Yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya ambisi AS di bawah Bushuntuk menduduki Irak, dan apa dampak agresi AS ke Irak terhadapkawasan Timur Tengah?

Tekanan Faksi Pro-IsraelPada awal Januari 2003, Pemerintah Irak menyatakan menerima

Resolusi DK PBB No. 1441,2 dan UNMOVIC (United NationsMonitoring, Verification and Inspection Comission) yaitu tim inspeksisenjata PBB yang diketuai Hans Blix, pun sudah melakukan tugasnya,kendati waktu itu mereka berharap dapat diberikan waktu tambahansekitar tiga bulan lagi. Gelombang aksi anti-perang yang digerakkankaum aktivis pro-perdamaian pun melanda di berbagai kawasan,termasuk di negara-negara Barat yang selama ini dikenal sebagai sekutudekat AS, seperti Inggris dan Australia. Bahkan demo anti-perang jugamarak di AS sendiri.

Namun, kesemuanya itu tidak menyurutkan sedikit pun ambisiGeorge W. Bush untuk melancarkan aksi militer terhadap Irak, baikdengan ataupun tanpa persetujuan PBB, dengan target utamamenggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein guna menguasai minyak

2. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November 2002, yang isinya antara lain menuntutIrak untuk mengijinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada UNMOVIC danIAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang dimiliki Irak.

Page 31: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

31Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Irak serta melayani kepentingan Israel. Jika memperhatikan pernyataan-pernyataan Bush (dan para pejabat tinggi AS lainnya) baik sebelummaupun setelah keluarnya Resolusi 1441, serta persiapan yang makinintensif dari angkatan bersenjata AS sejak Januari 2003,3 maka jelassekali bahwa Bush memang sangat berhasrat menyerang dan mendudukiIrak.

Sebelum keluarnya resolusi DK PBB tersebut, Bush tidak hanyamenuduh Saddam Hussein sebagai “ancaman bagi perdamaian dunia”karena terus mengembangkan senjata-senjata pemusnah massal, namunSaddam pun dituduh berkolaborasi dengan kaum “teroris” internasional,khususnya Osama Bin Laden. Bahkan Saddam juga didakwa terlibatdalam kasus pemboman di Bali. Suatu tuduhan yang bagi banyak orang,sangat tidak masuk akal.

Dalam pidato kenegaraannya (“state of the union”), 29 Januari 2003,Bush memang tidak secara eksplisit menyatakan deklarasi perangterhadap Irak. Namun, secara implisit keinginan Bush untuk sesegeramungkin menyerang Irak dan menggulingkan Presiden Saddam Hussein,tetap menggebu. Bagi Bush tidak ada opsi lain selain perang dan perang,kendati laporan hasil tim UNMOVIC maupun Badan Tenaga AtomInternasional (IAEA) sudah menyatakan tidak menemukan bukti-buktiyang otentik dan akurat (otentik belum tentu akurat, dan sebaliknya)perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak. Bush jugamenganggap sepi terhadap makin maraknya aksi-aksi anti-perang diberbagai belahan dunia, termasuk di AS sendiri.

Pada awal Maret 2003, AS dan Inggris mengultimatum Irak, jikasampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan senjata pemusnahmassalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang habis-habisan.Waktu itu Gedung Putih mengaku menemukan bukti-bukti baru bahwaIrak belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya.4 Sebelumnya,dalam konferensi pers yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembalimenegaskan niatnya untuk menginvasi Irak dengan atau tanpapersetujuan DK PBB.

3. Hingga saat itu AS telah menempatkan 250.000 tentara, dan 215.000 di antaranyasudah siap tempur. Kekuatan pasukan AS akan mencapai 310.000 personel. Qatarmenjadi pusat komando dalam serangan AS ke Irak, sedangkan Kuwait saat itu sudahmenampung hampir 140.000 personel militer AS dan Inggris.

4. CNN.com (10 Maret 2003).

Page 32: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

32 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Padahal dalam waktu yang sama, baik Ketua UNMOVIC, HansBlix, maupun Direktur IAEA, Mohammed ElBaradei, dengan gamblangsudah mengemukakan bahwa tidak diketemukannya bukti-bukti yangkonkrit perihal pelanggaran Irak terhadap Resolusi DK PBB No. 1441.ElBaradei bahkan mengatakan tudingan AS dan Inggris bahwa Irakberusaha mendapatkan uranium dari Niger adalah tidak benar. Tudinganitu bisa dipastikan hanya didasarkan pada dokumen-dokumen palsu yangdirekayasa oleh para agen dinas intelijen.

Oleh sebab itu, suara keras yang menentang rencana serangan ASke Irak pun kian meluas. Dalam komunike yang dikeluarkan pada akhirKonferensi Tingkat Tinggi darurat di Doha, Qatar, 5 Maret 2003, negara-negara anggota OKI atau OIC (Organization of Islamic Conference)satu suara dalam menolak serangan AS. Ke-57 negara anggota OKIjuga menolak setiap ancaman terhadap keamanan negara Islam manapun. Suara OKI ini sejalan dengan hasil KTT Liga Arab maupunGerakan Nonblok (GNB) sebelumnya. Menyinggung ancaman AS untukmenggulingkan Saddam dan “menata kembali” peta Timur Tengah, parapemimpin OKI dengan tegas menentang setiap usaha memaksakanperubahan di kawasan ini dan menentang campur tangan pihak luarterhadap urusan internal mereka.

Dalam pertemuan darurat para Menlu Prancis, Rusia, dan Jermandi Paris, mereka juga secara tegas menolak rencana serangan militer keIrak. Selain menolak perang, Prancis bersama Rusia menyatakan siapmenggunakan hak veto. “Kami tidak akan meluluskan kerangka resolusiyang merencanakan penggunaan kekuatan senjata. Rusia dan Prancissebagai anggota tetap DK PBB, sepenuhnya akan mempertanggung–jawabkan hal tersebut,” kata Menlu Perancis Dominique de Villepindalam jumpa pers bersama Menlu Jerman Joschka Fischer dan MenluRusia Igor Ivanov. Pemimpin umat Katolik dunia, Paus Yohanes PaulusII, pun kembali mendesak seluruh pemimpin dunia untuk menghindariperang. Sementara itu, para aktivis perdamaian mulai berdatangan keIrak untuk menjadi tameng manusia dalam menghadapi serangan AS.

Akan tetapi, gerakan perlawanan global tidak mampu mengubahambisi Bush menyerang Irak. Para pejabat AS menyatakan, seranganterpaksa ditunda (dari rencana semula, 17 Maret 2003), karena waktuitu Turki tidak mengizinkan penggunaan pangkalan militernya. Dalamsebuah pemungutan suara, parlemen Turki menolak penempatan 62.000tentara AS di wilayahnya. Untuk itu, Kementerian Luar Negeri AS

Page 33: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

33Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

kemudian menyarankan meningkatkan paket bantuan ekonomi kepadaTurki menjadi 30 milyar dollar AS. Tawaran AS sebelumnya hanya 26milyar dollar AS. Dan, Turki pun kemudian mengijinkan wilayahnyadijadikan sebagai pangkalan bagi serangan udara AS ke Irak.5

Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam harus disingkirkan,kalau perlu dengan kekuatan. Pernyataan itu sekaligus memperlihatkandendam pribadi Bush terhadap Saddam. Pernyataan Bush itumencerminkan bahwa ambisinya untuk melancarkan agresi sama sekalitidak mengendur. Tidak ada perubahan dari posisi Bush yang tetap akanmenginvansi Irak dengan atau tanpa payung PBB. Jelas sekali, Bushmendapat tekanan dari kelompok garis keras di AS yang militeristikdan sangat pro-Israel. Perang menjadi satu-satunya tujuan mereka untukmencapai sasaran utamanya yaitu menguasai minyak Irak danmengamankan Israel.

Sebaliknya, Irak terus menarik simpati masyarakat global dengansikapnya yang kooperatif. Irak membuka seluruh akses, termasuk keIstana Kepresidenan, bagi UNMOVIC maupun IAEA. Menurut jurubicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki, Irak pun kembali menghancurkantiga rudal dan lima mesin rudal. Sebelumnya, Irak menghancurkan enamrudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang telah memusnahkanpuluhan rudal Al-Samoud II, yang dicurigai AS dapat menjangkau Israel.

Namun, semuanya itu tampaknya tidak ditanggapi oleh Bush danpara sekutunya. Ia bahkan menuding Saddam berlaku “kucing-kucingan”seraya makin memperkuat jumlah kekuatan militernya di sekitar kawasanTeluk Parsi. Jika demikian halnya, siapakah yang sebenarnya dapatdiharapkan mencegah ambisi Bush untuk mengobarkan peperanganterhadap Irak? Seperti yang sudah terlihat dalam beberapa pekan terakhirsebelum 21 Maret 2003, tekanan masyarakat dunia tidak mampumengubah sikap keras kepala Bush. Bahkan ancaman Prancis dan Rusiauntuk menggunakan hak vetonya jika AS dan Inggris tetap mengajukanrancangan resolusi kedua ke DK PBB, ditanggapi Bush dengan ancamanbalik untuk tetap menyerang Irak, dengan atau tanpa mandat PBB.

Sebenarnya yang saat itu masih bisa diharapkan dapatmenghentikan ambisi perang Bush, adalah sikap rakyat AS sendiri.

5. Kendati pemerintahannya dipimpin oleh seorang PM dari sebuah partai Islam,namun politik Turki lebih banyak ditentukan oleh kalangan militer konservatif yang sangatpro-AS.

Page 34: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

34 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Demonstrasi antiperang di AS yang mulai meluas—jika semakinmembesar—bukan tidak mungkin mampu mempengaruhi sikapKongres, yang berada di belakang Bush. Di Inggris posisi PM Tony Blairsempat goyah, karena 200 anggota parlemen dan 10 menteri dari PartaiBuruh melancarkan “pembangkangan” terhadap Blair.6 Ini disebabkanmakin kuatnya tekanan dari rakyat Inggris yang menentang perang. Halyang sama bukan mustahil dapat terjadi juga di AS. Dan, jika ini terjadimaka benarlah apa yang tertulis dalam sebuah poster para aktivisantiperang di Eropa: Drop Bush, Not Bombs. Sayangnya, suara hatinurani sebagian rakyat AS tidak dapat mencegah ambisi perang Bush.

Paling tidak, ada enam faktor yang memotivasi Bush di balik ambisiperangnya.7 Pertama, Bush menggunakan isyu “perang Irak” untukmenutupi berbagai ketidak-berhasilannya dalam mengatasi persoalansosial-ekonomi di dalam negerinya sendiri. Ini misalnya terlihat dari salahsatu slogan yang diusung para penggiat anti-perang Irak di WashingtonDC pada saat itu, yaitu “Money for Jobs, Not for War” (gunakan uangnegara untuk menciptakan lapangan kerja, bukan untuk membiayaiperang).

Kedua, keinginan Bush untuk melampiaskan dendam keluarganyaterhadap Saddam. Bush tidak pernah menyembunyikan kemurkaannyapada Saddam Hussein yang dituduh pernah berupaya membunuhayahnya, Bush senior (mantan Presiden AS George Bush). Ketikamembombardir Irak pada 1990-1991, Bush senior memang berhasilmengusir pasukan Irak dari Kuwait, namun ia gagal menggulingkankekuasaan Saddam. Ironisnya, justru ia sendiri yang kemudian“terguling” dari kekuasaan karena dikalahkan oleh Bill Clinton dalampemilihan Presiden AS tahun 1992. Kegagalan sang bapak itulah yangdi kemudian hari hendak ditebus oleh sang anak.

Ketiga, Bush ingin menutupi kegagalannya dalam memburu Osamabin Laden dan Mullah Umar di Afghanistan. Sekalipun ia suksesmeluluh-lantakkan Afghanistan—dengan mengorbankan ribuan nyawawarga sipil negeri ini—namun Bush gagal total dalam mengejar targetutamanya, yaitu menangkap (hidup atau mati) pemimpin Al-Qaidah,Osama bin Laden, yang dituding sebagai pelaku utama serangan yang

6. CNN.com (9 Maret 2003).

7. Lihat juga, Tim ISMES, Saddam Melawan Amerika (Jakarta: Pensil 324, 2003),hlm. 33-34.

Page 35: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

35Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

amat fenomenal terhadap WTC dan Pentagon pada 11 September 2001,serta pemimpin Taliban, Mullah Umar, yang menjadi sekutu utamaOsama.

Keempat, terinspirasi oleh keberhasilannya dalam menghancurkanrezim Taliban dan menciptakan rezim boneka di Afghanistan, Bushberusaha melakukan hal yang sama di Irak. Oleh sebab itu setelahmenggulingkan Taliban, obsesi Bush berikutnya adalah menggulingkanSaddam Hussein dan mendirikan rezim boneka di Irak yang dapat didikteoleh Washington. Tujuannya, tidak lain, untuk menguasai minyak Irak.Seperti diketahui, Irak menjadi salah satu negara yang memiliki cadanganminyak terbesar di dunia. Menguasai minyak Irak sangat berarti baikbagi AS maupun Bush pribadi, yang keluarganya memiliki bisnis minyak.Saddam, yang di masa lalu, dipertahankan oleh AS untuk dijadikansebagai “monster” bagi negara-negara kaya minyak di kawasan TelukParsi agar mereka selalu berlindung di bawah payung AS, dianggap sudahtidak memiliki arti strategis lagi bagi Bush.

Kelima, seperti dalam kasus kampanye anti-terorisme yangdikembangkan AS pasca-tragedi 11 September 2001, dalam kasus Irakpun tampak jelas kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elitepolitik Gedung Putih. Mereka, yang dimotori Wapres Dick Cheney,Menhan Donald Rumsfeld, Deputi Menhan Paul Wolfowitz, sertaPenasehat Keamanan Nasional (NSC) Condoleezza Rice, memangdikenal sebagai kelompok “neo-konservatif ” yang selalu mengedepankanpendekatan pragmatis dan sangat militeristis.8 Yang ada di benak merekahanya perang dan perang. Sementara persoalan hak-hak asasi manusiadan demokrasi justru dikesampingkan. Tidak mengherankan, jikaseorang Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan) menuduhAS di bawah Bush sebagai negara yang sama sekali tidak memiliki sopansantun dalam pergaulan internasional.

Keenam, selain berwatak militeristis, mereka juga dikenal sangatpro-Israel. Oleh karena itu, ambisi Bush untuk melucuti senjata Irak

8. Dalam beberapa hal, kelompok ini sangat dipengaruhi oleh kalangan fundamentalisProtestan. Ini antara lain dikemukakan ahli sosial demokrat dari Jerman, Thomas Meyer,dalam diskusi bertema “Perang dan Fundamentalisme” di Jakarta, 8 April 2003.Pandangan tersebut didasarkan pada dukungan untuk Bush yang berasal dari parafundamentalis Protestan yang terorganisir baik dan memiliki suara yang banyak. “Yangpaling penting kaum fundamentalis di Amerika mencakup 40 persen jumlah pemilih,”kata Thomas Meyer. “George W. Bush Beraliran Politik Fundamentalis Halus”, Kompas(10 April 2003).

Page 36: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

36 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

juga dimaksudkan untuk mengeliminir ancaman militer Arab terhadapIsrael. Irak adalah satu-satunya negara Arab yang pernah “mengirim”rudal Scud ke Israel sewaktu berlangsung Perang Kuwait (1990-1991).Memang ini sudah menjadi kebijakan dasar AS yang tidak akanmembiarkan negara Arab manapun memiliki kekuatan militer yangmenyamai, apalagi melebihi, kekuatan militer Israel. Di sisi lain, denganmengobarkan perang terhadap Irak, Bush dan para pendukungnyaberharap dunia internasional akan mengalihkan perhatian darikekejaman dan kebiadaban yang terus-menerus dilakukan rezim Israeldi bawah PM Ariel Sharon terhadap warga sipil Palestina.

Memang, ada yang mengaitkan ambisi Bush ini dengandikembangkannya doktrin pre-emptive strike yang dianut AS pascaPeristiwa 11 September 2001. Inti dari doktrin ini adalah—mirip “doktrin”di dunia sepakbola—”pertahanan yang baik adalah menyerang.” ArtinyaAS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negaramana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancamanbagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam-putih“membagi” dunia ini hanya menjadi dua yaitu “kami” atau “mereka”yang kadangkala dikenal dengan prinsip “either or” (“either you are withus or with our enemy”), dan yang dimaksud dengan “our enemy” olehAS adalah kaum “teroris” internasional. Jadi, siapa pun yang tidak maumemerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum “teroris”—apalagi yang dicurigai/dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok“teroris” internasional—maka mereka bisa dianggap sebagai musuh AS,dan dengan sendirinya “halal” untuk diperangi. Celakanya, AS bebasmenafsirkan siapa saja yang berhak dikategorikan sebagai “teroris”.

Namun, dari faktor-faktor yang mendorong terjadinya agresi AS keIrak tersebut, yang paling kuat adalah kuatnya tekanan faksi pro-Israel dilingkaran pemerintahan Bush. Mereka tidak hanya menghendakidisingkirkannya Saddam Hussein yang dianggap dapat membahayakankeamanan Israel, melainkan juga menginginkan “jatah” dari minyak Irakpasca-Saddam. Jay Garner, pensiunan jenderal AS, yang ditunjuk Bushuntuk menjadi “penguasa sementara” di Irak, misalnya, dikenal sebagaisalah seorang arsitek sistem pertahanan rudal Arrow di Israel. Ia jugapunya kaitan erat dengan The Jewish Institute for National Security Affairs,salah satu kelompok lobi Yahudi AS yang mendukung penuh kebijakangaris keras rezim PM Israel, Ariel Sharon. Oleh sebab itu, bisa dimengertijika sasaran AS berikutnya, setelah Irak, adalah Suriah dan Iran, duanegara Timur Tengah yang masih menolak perdamaian dengan Israel.

Page 37: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

37Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Perhitungan Ekonomi dan BisnisBush berhasil mewujudkan ambisinya dengan melancarkan agresi

terhadap Irak dan mendongkel Presiden Saddam Hussein darikekuasaannya. Namun, agresi itu pada hakekatnya mencerminkanterkuaknya kebohongan liberalisme, kapitalisme dan demokrasi, yangselalu diagung-agungkan oleh AS serta para sekutu dan simpatisannya.Memang sangat ironis, ketika dunia mengaku memasuki era yangmodern dan beradab, yang terjadi justru suatu perilaku sangat biadabdan barbar9 yang dilakukan oleh negara kuat yang mengaku sebagaipendekar hak-hak asasi manusia dan demokrasi terhadap negara yanglemah. Yang lebih ironis lagi, Bush—yang oleh Pemimpin Republik IslamIran Ayatullah Ali Khamenei dijuluki sebagai penganut setia“Hitlerisme”—mengatasnamakan “perdamaian dan kebebasan” dalammelancarkan agresinya ke Irak. Dunia hanya bisa terperangah dangeram, tapi tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan kebiadaban Bush danpara anteknya.

Setelah berakhirnya era Perang Dingin yang ditandai denganruntuhnya komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur, Francis Fukuyama10

menyebut abad ini sebagai era kemenangan gemilang demokrasi danliberalisme. Tapi, barbarisme yang dipertontonkan Bush dan parasekutunya terhadap rakyat Irak, tampaknya telah memporak-porandakantesis Fukuyama. Kini, demokrasi dan liberalisme macam apa yanghendak dibanggakan, jika penguasa dunia seperti AS di bawah Bushdapat berbuat semena-mena dengan menebarkan kebohongan dankemunafikan?11

Dulu, Presiden AS Ronald Reagan pernah menjuluki Uni Sovietsebagai “kerajaan setan” lantaran negara adidaya komunis itu

9. Menurut seorang Rohaniwan asal Malang, Benny Susetyo Pr. (dalam artikelnya,“Neo-Barbarisme dan Matinya Demokrasi,” Kompas, 8 April 2003), “Barbarisme yangdikumandangkan AS dan sekutunya adalah modern (neo-barbarisme), bermodalkanteknologi persenjataan modern.”

10. Dalam karyanya yang banyak diperbincangkan, The End of History and theLast Man (New York: The Five Press, 1992).

11. Menurut Susetyo, “Demokrasi dunia telah mati akibat perilaku manusia jahatyang berhati iblis. Demokrasi telah dikhianati oleh kekuasaan yang hegemonik. Demokrasihanya dijadikan tameng untuk merebut kekuasaan dari sesama. Ia menjadi lipstik negara-negara adikuasa untuk mencari dukungan dari negara-negara lain. Penegakan demokrasidi dunia akhirnya binasa di tangan mereka yang selalu haus kekuasaan.” Lihat, Susetyo,“Neo-Barbarisme …”

Page 38: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

38 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

mengembangkan politik teror dan otoriterianisme. Tudingan yang hampirsama kemudian diarahkan Bush terhadap Saddam Hussein. Bagi Bush,penguasa Irak itu layak disingkirkan, karena “mengembangkan senjatapemusnah massal, menjalankan kebijakan represif terhadap rakyatnya,dan menjalin persekutuan dengan kaum teroris internasional.” Olehkarenanya, agresi terhadap Irak ini diperlukan guna “membebaskanrakyat Irak” dan “menciptakan perdamaian dunia.”

Bush jelas menyembunyikan niat jahat yang sebenarnya, yaitumenguasai sumber-sumber minyak milik Irak, baik untuk kepentinganAS sendiri12 maupun untuk kepentingan Israel.13 Berbagai dalih yangdipakainya untuk menyerang Irak dengan mudah dapat dipatahkan. Olehsebab itu, Irak jelas bukan target akhir dan satu-satunya dari Bush danpara anteknya. Setelah Irak, target berikutnya adalah Iran, Suriah, Libyadan Arab Saudi. Keberhasilan “proyek” Irak akan mendorong Bush—yang dikendalikan kaum Zionis internasional—untuk menjalankan“proyek” berikutnya. Dengan demikian, sangat sulit mempercayai begitusaja argumen-argumen—tentang kepemilikan senjata pemusnah massalIrak, keterkaitan Saddam dengan jaringan “terorisme” internasional,dan sikap represif rezim Saddam— yang dipakai Bush untukmelancarkan agresinya di Irak. Jelas ada perhitungan-perhitunganekonomi dan bisnis yang mendasari agresi AS ke Irak.

Pertama, Irak adalah sebuah negara yang memiliki cadangan minyakkedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Oleh Centre for GlobalEnergy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki 112 milyarbarrel cadangan minyak. Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakanlebih tinggi dari angka itu, karena sumber minyak di kawasan GurunPasir Barat yang belum dieksploitasi, misalnya, kemungkinan masih bisamenghasilkan sumber minyak tambahan. Dengan memiliki cadanganminyak 112 milyar barrel, Irak merupakan pemilik 11 persen cadanganminyak dunia yang belum sepenuhnya terjamah. Irak memiliki sekitar2.000 ladang minyak yang menghasilkan sekitar 2,5 juta barrel minyak/hari dari 15 deposit utama minyak di sebelah utara, selatan, dan timur

12. Menurut Susetyo, “Semua orang tahu, AS tak mampu meredam nafsu menguasaisumber minyak. Demi minyak, Bush menipu dunia dengan menggunakan terminologiterorisme.” Ibid.

13. Setelah agresi AS ke Irak, negeri Yahudi ini sibuk merancang pembangunanpipa minyak dari Irak ke Israel.

Page 39: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

39Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Irak. Kapasitas sebenarnya ladang-ladang minyak itu diperkirakan dapatmencapai 2,8 juta barrel/hari.

Irak juga mempunyai 12 pabrik penyulingan minyak dengan totalkapasitas 677.000 barrel/hari, terbesar ada di daerah selatan dan utara.Masing-masing kilang itu memiliki kapasitas 170.000 dan 150.000 barrel/hari. Sebelum Perang Teluk 1991, Irak mengekspor minyak melalui empatpipa ke Turki, Suriah, Arab Saudi dan dua pelabuhan di Teluk Parsiantara lain di Min-Al-Bakr yang dapat melayani supertankers danmengapalkan hingga 1,3 juta barrel/hari. Sumber daya minyak Irakdiperkirakan dapat memenuhi kebutuhan impor minyak AS selamahampir satu abad. Kesimpulannya, posisi Timur Tengah (termasuk Irak),masih cukup signifikan dalam pasokan minyak dunia.

Kedua, minyak dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi duniajika harganya tidak stabil, terutama jika harga minyak naik secara tajam.Hal itu menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksimeningkat, yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitasekonomi yang anjlok, akan memerosotkan perekonomian, danmenghambat pertumbuhan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomitentu penting bagi AS. Irak memiliki potensi memainkan harga minyakdunia karena persediaannya yang melimpah. Bila harga minyak tiba-tiba merosot US$10 saja, AS diperkirakan akan kehilangan pemasukanpajak sebesar US$100 milyar.14 Oleh karena itu, AS merasa khawatirterhadap kestabilan harga dan pasokan minyak dunia. Misalnya, jikarezim Saddam Hussein mendadak menghancurkan fasilitas minyak diIrak, dan kemudian Kuwait, Iran dan Arab Saudi. Pada Perang Teluk1991, Irak menghancurkan infrastruktur perminyakan Kuwait.Kekhawatiran lain adalah, adanya potensi pengurangan produksi minyakdi Teluk. Itu pernah terjadi melalui aksi embargo terhadap AS dannegara-negara Barat lainnya yang mendukung Israel, ketika terjadiPerang Arab-Israel 1973.

AS sangat khawatir, jika kontrol produksi minyak jatuh ke tanganpihak yang anti-Barat, karena ketergantungan negara-negara industriBarat, khususnya AS, pada minyak impor. Oleh sebab itu, penggusuranSaddam di Irak dianggap akan mampu menghentikan permasalahanminyak dunia dengan peningkatan pasokan. Selama ini produksi minyakIrak telah terganggu karena terbatasnya investasi dan faktor politik di

14. Gatra (29 Maret 2003), hlm. 40.

Page 40: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

40 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

negeri ini. Jika ada perubahan rezim di Irak, diharapkan akan adatambahan pasokan minyak dunia sebanyak 3-5 juta barrel/hari. Ketikaditanya apa alasan AS untuk melancarkan Perang Teluk pada 1991,James Baker saat menjabat Menteri Luar Negeri AS saat itu menjawabbahwa alasannya adalah pekerjaan (jobs). Menurut Baker, penciptaankesempatan kerja atau lapangan pekerjaan yang ada akan anjlok atauhilang, jika Saddam sepenuhnya mampu mengontrol arus suplai minyakdari Teluk Parsi, atau Saddam bertindak sesuai keinginannya untukmempengaruhi harga minyak. “Apalagi kalau Saddam berhasilmengontrol minyak Irak dan Kuwait,” kata Baker.15

Ketiga, pada 17 September 2002, Gedung Putih, dengan titipanpesan dari Bush, mengeluarkan dokumen 30 halaman berjudul TheNational Security Strategy of The United States. Gambaran umum daridokumen itu adalah, tentang strategi kebijakan nasional AS didasarkanpada keunikan internasionalisasi AS yang merefleksikan kesatuan nilai-nilai dan kepentingan nasional mereka. Tujuan dari strategi itu adalahmembentuk dunia yang—tentu saja menurut persepsi AS—tidak saja“lebih aman,” tetapi juga “lebih baik.” Tujuannya adalah, “kebebasan”ekonomi dan politik, hubungan “serasi” dengan negara-negara lain, dan“penghargaan” pada nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mencapai tujuanitu, AS akan meningkatkan aspirasi soal nilai-nilai kemanusiaan;memperkuat aliansi untuk membasmi “terorisme” dan bekerja untukmenghindari serangan pada AS dan sekutunya; bekerja dengan pihaklain untuk “menghindari” konflik regional; mencegah ancaman musuhterhadap AS dan sekutunya dengan senjata pemusnah massal;menciptakan era baru untuk pertumbuhan ekonomi global lewat pasarbebas dan perdagangan bebas; meningkatkan siklus pembangunandengan membuka komunitas dan membangun sarana demokrasi;menciptakan agenda untuk aksi kerja sama dengan pusat-pusat kekuatanglobal; serta mentransformasikan lembaga keamanan nasional AS untukmenghadapi tantangan dan kesempatan abad 21.16 Namun, dalamprakteknya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan diabaikan olehAS demi perhitungan ekonomi dan bisnis, sebagaimana terlihat dariagresi ke Irak.

15. Simon Saragih, “Alasan Perang dari Perspektif Ekonomi”, Kompas (23 Maret2003).

16. Ibid.

Page 41: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

41Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Sejak 1998 ChevronTexas (salah satu perusahaan minyak terbesardi AS) sudah mengincar minyak Irak. Dan, sejak 2002, AS kekuranganpasokan minyak 1,5 juta barel/hari akibat krisis politik di Nigeria danVenezuela. Sejauh ini, perusahaan-perusahaan AS benar-benar vakumdari bisnis minyak di Irak. Produksi minyak di Irak termasuk terendahdi dunia. Namun, hal itu juga sekaligus membuatnya sangat menarikbagi investor asing. Menurut US Energy Information Administration,hanya 15 dari 73 ladang minyak yang telah dikembangkan sebagai akibatPerang Teluk 1991 dan sanksi PBB. Pada awal April 2003, ada pertemuanantara para eksekutif perusahaan minyak AS dengan Dick Cheney danpara pejabat Deplu AS. Topik yang dibahas: “kepentingan menataindustri minyak Irak pasca Saddam.” Saat itu kubu garis keras yangdimotori Cheney dan Rumsfeld menghendaki kontrol penuh AS atasminyak Irak, yang ditolak kubu (Menlu AS) Collin Powell.17

Keempat, konflik internasional selalu melahirkan tragedikemanusiaan, yaitu situasi di mana setidaknya ribuan warga sipil akanmenderita kelaparan atau mati tanpa bantuan internasional. Pada 1999PBB menemukan kondisi itu di 23 negara. Akibat situasi itu PBB harusmenanggung beban besar, baik beban kemanusiaan maupun biayamaterial. Sebagai contoh, lebih dari US$4 milyar yang telah dikeluarkanPBB untuk melaksanakan misinya di Kamboja dan Somalia serta US$5juta/hari di Yugoslavia untuk keperluan peacekeeping operation olehNATO. Dalam kasus agresi ke Irak, AS diperkirakan telahmenganggarkan dana US$ 60-95 milyar. Dana itu selain digunakan untukoperasi militer, juga untuk rehabilitasi fisik dan kemanusiaan Irakpascaperang.18

Kelima, setiap berakhirnya sebuah peperangan, pasti disusul dengantahap rekonstruksi atau pembangunan kembali infrastruktur yanghancur. Pada 1991, ketika Kuwait dibebaskan pasukan Sekutu yangdipimpin AS dari belenggu aneksasi Irak, negara Arab kaya tersebutharus mengeluarkan dana rekonstruksi sampai US$200 milyar. Proyeksebanyak itu jatuh ke kontraktor-kontraktor AS, yang kemudianmembaginya kepada negara-negara lain sekutu “proyek” perang tersebut.Jika kasus Kuwait bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan, maka

17. Tempo (13 April 2003), hlm. 145.

18. Tubagus Erif Faturahman, “Menghitung Biaya Perang”, Kompas (26 Maret2003).

Page 42: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

42 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

biaya rekonstruksi Irak pasca agresi AS diperkirakan tidak akan jauhdari angka US$200 milyar. Jumlah ini jelas sangat signifikan bagi AS,setidaknya sebanding dengan ongkos yang telah dikeluarkan untukagresinya ke Irak. Artinya, pendarahan (bleeding) pada anggaran defisitAS dapat dihentikan. Sebelum melancarkan agresi ke Irak, defisitanggaran AS pada 2003 diperkirakan mencapai US$300 milyar yangmerupakan rekor terburuk selama ini. Begitu melancarkan agresi,proyeksi defisit diduga melonjak menjadi US$400 milyar. Denganberakhirnya agresi, bleeding anggaran dapat dihentikan dan keadaanyang lebih buruk bagi perekonomian AS dapat dihindari.19

Keenam, pada 5 April 2003, tokoh-tokoh Irak di pengasingan dansejumlah pejabat senior AS melakukan pertemuan di London. Pertemuanitu menghasilkan kesepakatan bahwa perusahaan-perusahaan minyakinternasional akan diberikan peran utama untuk menghidupkan kembaliindustri perminyakan Irak di masa pasca-agresi.20 Pemerintah Bush jugamendapatkan persetujuan Kongres AS untuk biaya awal rekonstruksidi Irak sebesar US$2,45 milyar. Anak perusahaan Halliburton (terkaitdengan Dick Cheney) bernama Kellogg, Brown & Root (KBR), tanpatender sudah memenangkan kontrak pemadaman api di ladang-ladangminyak Irak yang terbakar selama invasi. Perusahaan AS lainnyabernama Bechtel Group (terkait dengan pemerintahan Ronald Reagandan mantan Menlu AS George Shultz serta mantan Menhan AS CasparWeinberger), Fluor Corp (di perusahaan ini Philip Carroll berperansebagai Chief Executive Officer sekarang), Parsons Corp, Louis BergerGroup, dan Washington Group International. Semua perusahaan—yangpernah menyumbang dana kampanye politik Bush-Cheney sebesarUS$3,5 juta—telah memenangkan sebagian kontrak bisnis di Irak.

Sementara itu, USAID (Badan AS untuk PembangunanInternasional) pada tahap awal sudah membagi kontrak utama sebesarUS$900 juta hanya kepada perusahaan AS. Perusahaan negara sekutuAS hanya berhak sebagai subkontraktor. Perusahaan Stevedoring Serviceof America yang berpusat di Seattle, ditawari kontrak US$4,8 juta untukmengelola pelabuhan Umm Qasr. Beberapa perusahaan AS itu punyakaitan politik dengan rezim Bush, salah satunya perusahaan energi dankonstruksi Halliburton Co., yang penah dipimpin Dick Cheney. Pada

19. A Tony Prasetiantono, “Ekonomi Pasca-Perang Irak”, Kompas (11 April 2003).

20. “Minyak Irak Diperebutkan”, Kompas (9 April 2003).

Page 43: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

43Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

saat bersamaan sekitar 80 perusahaan Inggris sudah menunggu untukmemperoleh kontrak di Irak.21 Penunjukan Jay Garner (Presiden SYTechnology, sebuah unit dari L-3 Communication Holding Inc.) sebagai“penguasa sementara” di Irak pasca Saddam juga tak terlepas dariperhitungan bisnis rezim Bush. Pada 1999, misalnya, perusahaan milikGarner memperoleh kontrak proyek Star Wars senilai US$365 juta. Dia—yang sangat dekat dengan The Jewish Institute for National SecurityAffairs yang mendukung kebijakan garis keras razim Sharon—menjadikonsultan sistem rudal Patriot dan sistem pertahanan rudal Arrow Israel.SY Technology juga mendapat kontrak senilai US$1,5 milyar sebagaipenyedia jasa logistik untuk pasukan khusus AS di Irak.22

Di sisi lain, tidak sedikit negara di dunia yang sibuk mendekati ASagar mendapat bagian keuntungan ekonomi pasca-agresi. Lebih jauhlagi, kontrak bisnis di Irak dalam tiga tahun (2003-2006) menyangkutomzet sebesar US$30 milyar. Secara total, diperkirakan Irakmembutuhkan US$100 milyar atau bahkan lebih untuk memulihkanekonomi. Itu bukan hanya untuk membangun industri minyak, tetapijuga sarana-sarana lainnya. Namun dari semua pemberitaan yang ada,perusahaan-perusahaan AS terkesan sangat rakus dan ambisius.23 Bisnisminyak Irak pasca-agresi AS, kemungkinan besar akan dipegang olehExxonMobil (AS), BP (Inggris) dan Royal Dutch/Shell, ConocoPhilips(AS), ChevronTexaco (AS). Perusahaan yang bergerak di bidang jasapendukung pertambangan minyak seperti Halliburton dan Schlumberger(keduanya dari AS) juga akan diuntungkan. Bahkan mantan pimpinanShell Oil Co Philip J. Carroll, juga sudah dipilih AS untuk menjalankanindustri perminyakan Irak pasca-agresi AS. Sebelumnya, berbagaiperusahaan AS sudah menangani kontrak-kontrak bisnis untukmengelola pelabuhan di Umm Qsar. Juga lima perusahaan AS lainnyatelah memenangkan kontrak bisnis untuk memadamkan ladang-ladangminyak yang terbakar, serta mendapatkan kontrak untuk pembangunansarana di Irak.

21. Tempo (13 April 2003), hlm. 143.

22. Ibid, hlm. 144. Garner memang hanya selama sekitar tiga pekan menjadi“penguasa sementara” di Irak pasca-Saddam, karena sejak 5 Mei 2003, posisinyadigantikan oleh Lewis Paul Bremer III, seorang diplomat kawakan yang juga dikenaldekat dengan kalangan “neo-konservatif” (seperti Henry Kissinger) dan lobi Yahudi.Lihat juga, Tempo (18 Mei 2003), hlm. 134-135 dan Kompas (12 Mei 2003).

23. “Pada Era Rekonstruksi Irak”, Kompas (13 April 2003).

Page 44: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

44 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Besarnya peranan yang telah dan akan dimainkan para pelaku bisnisminyak AS di Irak pasca-agresi, mendapat reaksi cukup keras darisejumlah negara Uni Eropa. Pada 10 April 2003, misalnya, Komisi Eropatelah mengusut kontrak-kontrak bisnis AS di Irak yang baru diumumkansetelah terjadinya agresi. Mereka mengusut, apakah kontrak-kontrakitu sudah sesuai dengan aturan main World Trade Organization (WTO).“Kami sekarang mengevaluasi apakah kontrak-kontrak itu sudah sesuaidengan aturan WTO,” kata Arancha Gonzalez, juru bicara KomisiPerdagangan UE.24 Alan Larson, Wakil Menlu AS untuk urusanekonomi, bisnis, pertanian, memberikan jawaban bernada membelaperusahaan AS. “Kontrak bisnis itu dilakukan untuk memastikan agarwarga Irak bisa dilayani secepat mungkin, bukan untuk menggarapmanfaat ekonomi semata pada era rekonstruksi.”25 Namun, Eropa tidakyakin dengan jawaban itu. Karena itu, perusahaan-perusahaan Eropamengancam. “Kalau ada pihak yang ingin menyingkirkan Lukoil, kamiakan menggugatnya melalui pengadilan arbitrase di Geneva, yang akansegera menyita ladang minyak itu,” kata Wakil Presiden Lukoil (Rusia)Leonid Fedun.26

Ada ketakutan dari perusahaan Rusia, Perancis, Jerman, bahwakontrak-kontrak bisnis yang sudah mereka genggam akan hilang begitusaja. Maka tidak heran, jika trio Prancis-Jerman-Rusia yang paling kerasmenyuarakan agar wewenang di Irak dikembalikan ke Irak. Pada 8 April2003, perusahaan minyak utama Rusia Lukoil mengancam akanmemblokir untuk jangka watu lama pengembangan ladang minyakraksasa West Qurna di Irak. Tindakan ini akan dilakukan jika adaperusahaan AS atau Inggris yang berambisi merebut peran utamanyadalam proyek itu. 27 Konvensi Geneva memang melarang negara yangmenduduki suatu negara untuk melakukan komitmen jangka panjang,khususnya komitmen komersial. Oleh sebab itu, pertarunganmemperebutkan lahan bisnis di Irak pasca-agresi AS, diperkirakan akansemakin meningkat tajam di waktu mendatang.

24. Ibid.

25. Ibid.

26. Ibid.

27. Ibid.

Page 45: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

45Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Berakhirnya Kekuasaan SaddamSeperti yang sudah banyak diperkirakan sebelumnya, runtuhnya rezim

Saddam Hussein tak bisa dielakkan. Bagaimanapun, kekuatan militer AS-Inggris tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan militer Irak. Ini memangsebuah “perang” (lebih tepat disebut agresi atau invasi) yang sangat tidakadil dan tidak berimbang. Betapa tidak, Irak pascaperang Kuwait 1991secara ekonomi-politik-militer dijatuhi hukuman oleh PBB—atas tekananAS—berupa embargo dan sanksi di hampir segala sektor kehidupan,kecuali untuk bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, Irak pun dilucutisenjatanya oleh PBB—lagi-lagi atas tekanan AS.

Bahwa Saddam itu “monster” (dan bahkan “preman” karenakegemarannya memeras para emir yang kaya di sekitarnya) jelas sulitdibantah. Ia bahkan bukan sekedar “monster” bagi para tetanggaArabnya, melainkan juga bagi rakyatnya sendiri. Mungkin sudah sulitdihitung berapa nyawa yang melayang akibat kekejaman mesin politikSaddam sejak ia berkuasa pada 1979. Namun, mayoritas rakyat Irak—termasuk sekitar 60 persen warga Syiah yang selama ini terpinggirkan—jelas lebih membenci para agresor AS dan Inggris ketimbang Saddam.Oleh sebab itu, harapan AS dan Inggris bahwa para serdadu merekaakan disambut hangat warga Irak menjadi sia-sia belaka.

Di samping itu, di mana letak moralitas AS dan Inggris? Pada 1980-an AS dan Inggris jelas ikut andil dalam membangun kekuatan militerIrak di bawah Saddam. Entah berapa juta atau bahkan milyar dolaryang sudah dikantongi AS dan Inggris dari rezim Saddam. Yang jelas dibawah Saddam, Irak membelanjakan sekitar 51% dari GDP-nya untukmembangun sektor pertahanan. Kemudian AS dan Inggris memberikandukungan penuh ketika Saddam “didorong” untuk menyerbu Iran gunamencegah meluasnya revolusi Islamnya Imam Khomeini. Setelah suksesmembendung pengaruh Imam Khomeini (yang sangat ditakuti AS danpara sekutunya), justru Saddam sendirilah yang kemudian dihancurkan.Dengan kata lain, Irak terlebih dulu dilemahkan sebelum akhirnyadiserang habis-habisan. Ibarat seorang anak manusia yang dirampokhartanya kemudian tak diberi makan berhari-hari lantas dipukuli bertubi-tubi. Daya tahannya pasti sangat terbatas. Begitu pula halnya denganIrak di bawah Saddam. Bagi sebagian warga Irak, kejatuhan Saddammemang disambut dengan penuh antusias.

Ketika Saddam masih berkusa, di kalangan rakyat Irak ada mottoyang sangat terkenal yaitu: “dengan darah dan nyawa, kami rela

Page 46: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

46 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

berkorban demi Saddam.” Tidak jelas, apakah karena motto inilah makaSaddam Hussein mampu bertahan selama 24 tahun. Juga, tidak jelasapakah “kerelaan” rakyat Irak untuk berkorban demi Saddam itu semata-mata karena kecintaan mereka kepada sang pemimpin. Atau, justrukarena ketakutan mereka kepada mesin politik Saddam yang seringdigambarkan sebagai sebuah “republic of fear” itu. Pasalnya, di negaradengan sistem politik yang amat tertutup seperti Irak, sulit untukmembedakan antara kecintaan dan ketakutan rakyat pada sangpemimpin. Seorang pedagang di Baghdad misalnya—sebagaimanadikutip Sandra Mackey—memberikan ilustrasi yang menarik, “This isradio, but if Saddam says this is refrigerator, it is refrigerator.”28

Saddam yang pada 28 April 2003 genap berusia 66 tahun seringdigambarkan—terutama oleh media AS—sebagai penguasa palingotoriter di kawasan Timur Tengah. Ini tidak mengherankan, karenaSaddam bukan hanya tidak mau memberikan ruang gerak bagi perbedaanpendapat (apalagi oposisi) di kalangan warga Irak, tapi ia juga tidaksegan-segan untuk “menghabisi” para lawan politiknya dengan cara-cara yang amat kasar. Belum setahun meraih jabatan presiden (Juli 1979),Saddam sudah mengeksekusi pemimpin Syiah Irak AyatullahMuhammad Baqer al-Sadr (pada April 1980), yang sejak awal menentangrezim Partai Ba’th.29 Saddam menganggap warga Syiah—yangjumlahnya mencapai sekitar 60% dari seluruh penduduk Irak vis-à-vis17% warga Arab Sunni—sebagai ancaman utama.

Sikap represif Saddam memang tidak hanya tertuju pada kaumSyiah, melainkan juga terhadap warga Kurdi—sekitar 20% dari seluruhpenduduk Irak—dan kalangan Partai Ba’th sendiri, khususnya merekayang menentang kebijakan sang pemimpin (selain sebagai presiden,Saddam juga memegang jabatan sebagai Ketua Dewan KomandoRevolusioner [RCC], Sekjen Komando Regional Partai Sosialis Ba’thArab, dan Panglima AB). Di antara para tokoh Partai Ba’th dan anggotaRCC yang di eksekusi sejak Saddam berkuasa, terdapat nama-namaseperti: Menteri Urusan Kurdi Khaled Abed Osman, Deputi PM ‘AdnanHusain, Menteri Pendidikan Mohammad Mahjoub, Menteri Industri

28. Sandra Mackey, Passion and Politics: The Turbulent World of the Arabs (NewYork: Penguin Book, 1994).

29. Chibli Mallat, The Middle East into the 21st Century: Studies on the Arab-Israeli Conflict, the Gulf and Political Islam (Ithaca, NY: Ithaca Press, 1997).

Page 47: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

47Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Mohammad ‘Ayeh, dan Menteri Kesehatan Riyadh Ibrahim.30 Namun,yang membuat dunia ikut terperangah adalah ketika Saddam, padaFebruari 1996, tega “menghabisi” dua menantunya yang juga masihdari lingkungan keluarganya sendiri, yaitu Saddam Kamil al-Majid danHussein Kamil al-Majid.

Dalam perjalanan sejarah Irak modern, Saddam tercatat sebagaipemimpin Irak yang—menurut Mackey—”memperkenalkan cara-carakekerasan dan teror dalam jaringan keamanan negara gunamempertahankan kekuasaannya.” Ia pun tercatat sebagai pemimpinyang—sebelum terjadinya agresi AS—menjerumuskan bangsa dannegaranya ke dalam dua perang besar: melawan Iran (1980-1988) danmelawan Sekutu (1990-1991). Bahkan sejak Saddam berkuasa, rakyatIrak praktis hanya selama dua tahun menikmanti suasana perdamaian.Ia sangat terobsesi untuk menjadi “pemimpin Dunia Arab.” Karena itu,Saddam—yang dalam biografi resminya diterjemahkan sebagai “pejuangyang tabah”—menyebut perang Irak-Iran sebagai perang antara “bangsaArab melawan bangsa Parsi,”31 dan ia memang didukung oleh mayoritasnegara Arab. Tapi ketika ia menyerbu Kuwait, yang terjadi justrusebaliknya.

Mengapa Saddam identik dengan politik kekerasan dan kekerasanpolitik? Tampaknya ini tidak terlepas dari latar belakang pribadinya yangsejak kecil sudah akrab dengan kehidupan yang serba keras. Pada usiakanak-kanak ia berada di bawah asuhan ayah tirinya, Ibrahim al-Hassanyang digambarkan—oleh Musallam Ali Musallam—sebagai “a crude,brutal and illiterate peasant.”32 Memasuki usia remaja, Saddam mulaiterlibat dalam aktivitas politik dengan menjadi anggota Partai Ba’th.Pada usia 22 tahun ia sudah menjadi bagian dari “regu penembak” Ba’thyang melakukan usaha pembunuhan terhadap Jenderal Abdul KarimQassim, PM Irak waktu itu. Dan, pada usia 31 tahun, sebagai asistensekjen partai, Saddam menjadi bagian penting dari keberhasilan kaum

30. Samir al-Khalil, Republic of Fear: The Inside Story of Saddam’s Iraq (London,Hutchinson, 1990).

31. Oleh sebab itu, salah satu pasukan elite Irak di bawah Saddam diberi nama “Al-Qaddisiyyah,” yang diambil dari nama salah satu perang dalam sejarah Islam pada zamanNabi Muhammad SAW antara pasukan Arab (Islam) melawan pasukan Persia.

32. Musallam Ali Musallam, The Iraqi Invasion of Kuwait: Saddam Hussein, hisState and International Power Politics (London: British Academic Press, 1996).

Page 48: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

48 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Ba’this dalam mengambil-alih kekuasaan di Irak (dikenal sebagai“revolusi 1968”).33 Sebelas tahun kemudian (1979), giliran bossnyasendiri, Ahmad Hassan al-Bakr, yang ia depak. Padahal selain menjadiSekjen Partai Ba’th dan Presiden Irak waktu itu, al-Bakr juga masihtergolong keluarga dekat Saddam.

Di bawah kepemimpinan Saddam, Irak memang berhasil menjadisalah satu kekuatan politik-militer yang tangguh di kawasan TimurTengah, khususnya Teluk Parsi. Dibanding para penguasa Iraksebelumnya, Saddam lebih mampu menciptakan stabilitas politikdomestik dan menjadikan negaranya—sebelum terkena sanksi PBBpasca-invasi ke Kuwait—sebagai pengekspor minyak terbesar kedua dikalangan OPEC. Tapi, keberhasilan Saddam membangun kekuatanmiliter Irak,34 tidak bisa dilepaskan dari peranan negara-negara Barat,termasuk AS. Tanpa dukungan dan bantuan Barat, maka hampirmustahil Irak di bawah Saddam dapat mengembangkan berbagai jenissenjata pemusnah massal (sebagaimana yang selalu dituduhkan AS).Kebijakan AS terhadap Irak waktu itu dilandasi oleh kekhawatiranmereka terhadap kemungkinan meluasnya pengaruh revolusi Islam Iran-nya Khomeini ke negara-negara sekitarnya.

Ternyata, apa yang dilakukan AS terhadap Irak waktu itu lebih mirip“memelihara seekor anak singa.” Setelah besar, sang singa justru bersiapmenerkam majikannya. Oleh karena itu, sejak awal dekade 1990an,dengan susah payah AS (dan Inggris) berupaya keras untukmenggulingkan Saddam. Setelah berbagai aksi militer—baik yang legalmaupun ilegal ditinjau dari sudut hukum internasional—terhadap Iraktidak mampu menjatuhkan kekuasaan Saddam, AS juga mendorongterjadinya “perlawanan dari dalam.” Waktu itu, AS menyusun tigaalternatif skenario: membujuk pasukan elite Garda Republik untukmengucilkan Saddam; atau, melemahkan Garda Republik; atau,melemahkan militer Irak seraya mempersenjatai kelompok oposisi,khususnya yang tergabung dalam Kongres Nasional Irak (INC).

Tidak terlalu sulit bagi AS untuk menggulingkan Saddam dankemudian membentuk sebuah pemerintahan boneka, sebagaimana yang

33. Beberapa sumber media Barat menyebutkan, AS ikut mambantu kudeta yangdilancarkan kaum Ba’this pada 1968.

34. Di bawah Saddam, Irak diperkirakan membelanjakan sekitar 51% GDP negaranyauntuk membangun sektor pertahanan.

Page 49: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

49Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

telah mereka lakukan di Afghanistan (ketika menggulingkan Taliban).Namun, “model Afghanistan” kendati terbukti berhasil meruntuhkanrezim lama, dalam prakteknya belum sepenuhnya berhasil menciptakanstabilitas politik di negara ini. Di samping itu, Irak jelas bukanAfghanistan. Sekalipun Saddam “ditakuti” dan tidak disukai olehkebanyakan pemimpin di Timur Tengah, namun mereka umumnya tidakmenyetujui jika Washington terlalu jauh melibatkan diri dalampergulatan politik domestik di Irak. Ini terbukti dari kurangnya dukungandari sejumlah pemimpin Timur Tengah terhadap AS. Turki, misalnya,sebagai anggota NATO, hampir selalu mendukung setiap aksi militerAS-Inggris terhadap Irak, namun Ankara justru khawatir terhadapkemungkinan munculnya “negara Kurdi” di Irak utara. Maklum,sebagaimana Irak, Turki pun memiliki sekitar 20% warga Kurdi.

AS boleh saja “berkampanye” bahwa agresinya dimaksudkan untukmenegakkan sebuah tatanan politik yang demokratis di Irak. Faktanya,hampir semua rezim yang pro-AS di Timur Tengah justru tidakmenjalankan prinsip-prinsip politik yang demokratis. Mengapa AS tidak“mendemokratiskan” para sekutunya terlebih dulu sebelum melakukannyaterhadap Irak? Hal ini sangat kecil kemungkinan dilakukan Bush,mengingat mayoritas kekuatan oposisi di negara-negara Arab sekutuWashington justru didominasi kelompok-kelompok yang anti-AS. Olehkarena itu, sangat diragukan jika AS benar-benar akan mendorong prosesdemokratisasi di Timur Tengah, termasuk Irak. Asumsi yang palingsederhana, jika proses demokratisasi berjalan di Irak, maka hampirdipastikan kekuasaan akan jatuh ke tangan kaum Syiah (sebagai kekuatanmayoritas). Apakah AS akan membiarkan munculnya rezim Syiah di Irak?Tampaknya tidak. Betapa pun, membiarkan kaum Syiah mengendalikankekuasaan di Irak, akan sama artinya dengan menciptakan “Iran baru”di kawasan ini.35 Padahal, sejak kemenangan kaum Syiah dalam revolusi1979, Iran selalu dianggap sebagai “musuh” oleh AS. Belum lagi jikamelihat sikap pasif AS terhadap kasus-kasus pembatalan pemilu di Aljazair(1992) serta pembekuan Partai Refah oleh rezim militer di Turki (1997).

35. Apalagi, tidak lama setelah kembali dari pengasingannya di Iran, AyatullahMohammed Baqir al-Hakim, ulama tinggi Syiah, meminta AS segera meninggalkan Irakdan membiarkan rakyat Irak menentukan pemerintahannya sendiri. Kompas (13 Mei2003).

Page 50: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

50 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Dampak Agresi AmerikaBerakhirnya riwayat kekuasaan Saddam jelas akan membawa

dampak sangat besar, baik dalam arti positif maupun negatif, bagikawasan Timur Tengah. Positif jika, pertama, AS dan Inggris (juga PBB)mampu mendorong terbentuknya rezim baru di Irak yang demokratis.Ini sesuai dengan komitmen awal AS dan Inggris yang selalumendengungkan slogan “akan membebaskan” rakyat Irak daricengkeraman sebuah rezim yang otoriter dan menindas, serta akanmengembalikan hak-hak rakyat Irak atas potensi kekayaan minyaknegara mereka.

Kedua, AS secepatnya memenuhi janjinya untuk mewujudkanterbentuknya sebuah negara Palestina merdeka. Sumber dari segalasumber konflik akut di kawasan Timur Tengah adalah masalah Palestina.Dalam hal ini tentu yang dimaksudkan adalah hak-hak sah bangsaPalestina untuk mendirikan dan memiliki sebuah negara yang merdekadan berdaulat serta diakui dan dilindungi oleh lembaga-lembagainternasional. Dukungan AS bagi pembentukan negara Palestina akandapat meminimalisir sentimen anti-AS yang (sejak agresi ke Irak)berkobar di sanubari mayoritas rakyat Arab, yang dengan sendirinyajuga akan mengurangi berkembang-biaknya aksi-aksi “terorisme”.

Ketiga, setelah terbentuknya pemerintahan yang demokratis di Irakdan berdirinya negara Palestina merdeka, AS juga mendorong terjadinyaproses demokratisasi di negara-negara Arab lainnya yang menjadi sekutuutamanya. Ini diharapkan akan dapat mencegah munculnya “monster-monster” baru di Dunia Arab setelah berakhirnya era Saddam Hussein.Ini sekaligus juga dapat mengantarkan Timur Tengah memasuki erabaru, yaitu sebagai zona perdamaian dan demokrasi.

Sebaliknya, jika ketiga hal itu tidak dilakukan AS setelah berakhirnyakekuasaan Saddam di Irak, maka yang akan terjadi justru ketidakstabilanpolitik yang makin meningkat di kawasan ini. Apalagi jika AS hanyamementingkan ambisinya untuk menguasai minyak Irak dan negara-negara Timur Tengah lainnya serta sekedar mengeliminir ancamanmiliter terhadap Israel. Dengan kata lain dampak yang ditimbulkannyajustru akan menjadi sangat negatif.

Invasi ke Irak ada kemungkinan besar akan diikuti dengan invasiAS ke Iran, dengan alasan yang sama: menghancurkan senjata-senjatapemusnah massal. Bahkan Suriah, Libya dan Arab Saudi bisa jadi akanmenjadi target berikutnya, karena tujuan utama AS adalah menguasai

Page 51: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

51Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

80 persen cadangan minyak dunia serta melindungi kepentingan Israel.Indikasinya sudah terlihat jelas di mana setelah berhasil menduduki Irak,AS mulai mengusik program nuklir Iran36 serta menuding Suriah“menyembunyikan” para mantan petinggi rezim Saddam Hussein.37

Sementara itu masalah Palestina ada kemungkinan besar akan dilupakanbegitu saja,38 karena George W. Bush membutuhkan dukungan kalanganlobi Yahudi AS untuk dapat terpilih kembali dalam pemilihan presiden2004. Jika ini yang terjadi, maka hampir bisa dipastikan eskalasikekerasan akan lebih mendominasi panggung politik Timur Tengahpasca-agresi AS ke Irak.

Bahwa Irak di bawah Saddam memiliki berbagai jenis senjatapemusnah massal, bisa jadi benar, kendati AS tidak juga berhasilmembuktikan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak setelah

36. Lihat juga, “Iran confronted on nuclear plans”, International Herald Tribune(May 9, 2003).

37. Dalam wawancara dengan televisi Israel, 12 Mei 2003, setelah berbicara denganAriel Sharon, Colin Powell kembali memperingatkan, “jika ingin menjalin hubunganlebih baik dengan AS, Suriah harus tidak mencoba merusak Irak pasca-invasi danmenghentikan upaya melindungi kelompok radikal Palestina.” Kompas (13 Mei 2003).

38. AS memang sudah melontarkan gagasan soal “Peta Perdamaian” (road map)Timur Tengah yang berpedoman pada pidato Bush (24 Juni 2002) tentang solusi konflikIsrael-Palestina, dan terdiri dari tiga tahap yaitu: Tahap I (Oktober 2002 - Mei 2003):dihentikannya serangan Palestina, kembalinya koordinasi keamanan Israel-Palestina,pelaksanaan reformasi Palestina, penarikan pasukan Israel dari wilayah A di Tepi Barat,mencabut boikot atas kota-kota di Palestina, dan pembekuan pembangunan permukimanYahudi. Tahap I (Juni 2003 - Desember 2003): proses lanjutan pelaksanaan reformasiPalestina dan penarikan pasukan Israel ke posisi sebelum meletusnya intifadah Al Aqsa(28 September 2000) serta kembalinya Duta Besar Mesir dan Jordania untuk Israel keTel Aviv. Pada tahap ini akan digelar konferensi damai Timur Tengah pertama danmembahas tentang berdirinya negara Palestina dengan perbatasan sementara. Tahap III(2004-2005): menggelar konferensi damai Timur Tengah kedua dan mendeklarasikanberdirinya negara Palestina dengan perbatasan sementara. Konferensi damai tersebutjuga membahas jalur Suriah-Israel dan Lebanon-Israel. Pascadeklarasi negara Palestinasementara akan langsung dibuka dengan perundingan membahas isu-isu krusial sepertistatus Kota Yerusalem, permukiman Yahudi, pengungsi Palestina, dan perbatasan akhirnegara Palestina-Israel yang diproyeksikan berakhir pada 2005. Namun banyak kalanganyang pesimis, mengingat selama ini AS terbukti tidak mampu menekan kelompok gariskeras di Israel. Rezim Sharon menunjukkan keengganannya untuk menerima “PetaPerdamaian” bahkan ketika Menlu AS Colin Powell mengadakan lawatan ke Israel,pada 12 Mei 2003. Lihat, Kompas (11 dan 13 Mei 2003); dan Tempo (18 Mei 2003),hlm. 130-131.

Page 52: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

52 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

berakhirnya kekuasaan Saddam.39 Tapi di kawasan Timur Tengah, Irakjelas bukan satu-satunya. Israel pun sudah lama diketahui memiliki danmengembangkan berbagai jenis senjata pemusnah massal (termasuknuklir). Bahkan dibanding Irak di bawah Saddam, Israel di bawah PMAriel Sharon, menjadi satu-satunya negara di kawasan Timur Tengahyang dengan jelas selalu menjauhi perdamaian. Di luar kawasan TimurTengah, Korea Utara pun secara terbuka juga sudah mengungkapkanprogram senjata nuklirnya. Namun, terhadap Irak dan Korea Utara,PBB (yang dikendalikan AS) berlaku diskriminatif.

Saddam bisa jadi telah melakukan pembantaian terhadap ribuanwarga sipil (khususnya dari etnis Kurdi dan kaum Syiah di Irak selatan),namun hal yang sama juga dilakukan Sharon terhadap warga sipilPalestina. Ironisnya, AS dan PBB begitu mudah menjatuhkan resolusiyang tegas dan keras terhadap Irak, namun hal yang sama tidak pernahmereka lakukan terhadap Israel. Memang, kuatnya dominasi lobi Yahuditerhadap politik AS, khususnya di bawah Bush, tidak bisa dipungkiri.Namun, sebagai badan internasional yang bertugas mengayomi wargadunia, PBB seharusnya dapat berlaku adil terhadap semua negaraanggotanya. Yang terjadi kini, PBB justru makin terjebak dalam politikstandar ganda AS di Timur Tengah.

Tuduhan Bush soal adanya persekutuan Saddam dengan kelompok“terorisme” internasional, khususnya Al-Qaeda dan Osama Bin Ladenjuga sulit diterima akal sehat dan cenderung mengada-ada. Hal inisebenarnya tidak lebih dari sekedar akal-akalan Bush guna mendapatkansimpati masyarakat internasional bagi agresinya terhadap Irak. Banyaknyakeluarga korban Peristiwa 11 September 2001 yang mengikuti aksiunjukrasa antiperang di AS, menunjukkan bahwa upaya Bush untukmengaitkan Saddam dengan Osama kurang mendapat respons positifdari rakyat AS sendiri. Dengan menyebarkan tuduhan adanya persekutuanSaddam-Osama, Bush hendak mendeklarasikan bahwa agresinya terhadapIrak adalah sama dengan perang melawan “terorisme” internasional, olehkarenanya warga dunia harus mendukungnya. Padahal sebagai seorangfundamentalis garis keras, kecil kemungkinan Osama bersekutu denganSaddam yang sosialis dan sekuler.

39. Bagaimanapun AS adalah salah satu pemasok utama peralatan militer Irak,termasuk berbagai jenis senjata kimia dan biologi yang dipakai Irak dalam perang melawanIran (1980-1988). Namun, kemungkinan besar Irak sudah menghancurkan senjata-senjatapemusnah massalnya seperti yang dikehendaki DK PBB.

Page 53: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

53Riza Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak

Seperti sudah disinggung di atas, agresi ke Irak memang menjadikebutuhan Bush guna menaikkan popularitasnya di dalam negeri(kendati sebenarnya banyak rakyat AS yang menentangnya), atau gunamenutupi berbagai kegagalannya dalam menangani berbagai persoalan(khususnya ekonomi) domestik, atau untuk mengalihkan perhatian darikegagalannya memburu Osama dan Mullah Umar di Afghanistan, atauuntuk menciptakan sebuah rezim boneka di Baghdad guna lebihmenjamin suplai minyak Timur Tengah (serta memajukan bisnis minyakkeluarga Bush?), atau pun sekedar untuk melampiaskan dendam ayahnya(Bush senior) yang gagal menggulingkan Saddam Hussein.

Namun, seharusnya Bush dan para penasehatnya menyadari, agresiAS ke Irak justru kontra-produktif terhadap doktrin perang melawan“terorisme” internasional yang dikembangkan Washington pascaperistiwa 11 September 2001. Karena Bush benar-benar mewujudkanrencananya dalam menyerang Irak, maka sebenarnya tidak ada bedanyaia dengan kaum “teroris” yang tengah diperanginya. Yang paling banyakmenjadi korban dari serangan militer AS adalah para warga sipil Irak(yang sudah menderita akibat 12 tahun embargo PBB yang disponsoriAS), bukan Saddam Hussein atau penguasa Irak lainnya. Padahal kaum“teroris” juga selalu mengorbankan warga sipil demi tujuan-tujuanpolitiknya.

Implikasi serius lainnya dari agresi AS ke Irak adalah makinmenebalnya sentimen anti-AS di Dunia Arab khususnya serta di DuniaIslam pada umumnya. Selama ini masyarakat Arab dan Islam menyorotidengan kritis kebijakan AS yang justru selalu mendukung penuhpelanggaran hak-hak asasi manusia yang setiap hari dilakukan penguasadan militer Israel terhadap warga sipil Palestina. Agresi dan pendudukanAS terhadap Irak justru semakin memperkuat asumsi bahwa ASsebenarnya tidak sedang memerangi “terorisme”, melainkan memerangibangsa dan rakyat Arab yang mayoritas muslim.

Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Dan, selanjutnyaakan terciptalah lingkaran kekerasan yang makin sulit dikendalikan. Olehsebab itu, agresi AS ke Irak pada hakekatnya justru membuka peluangbesar bagi peningkatan gerakan-gerakan radikal pro-kekerasan atau“terorisme” yang dilakukan kaum tertindas atau mereka yangtermarjinalisasikan. Bila AS berhasil menciptakan sebuah pemerintahanboneka dan melanggengkan pendudukannya di Irak, maka kemelutberkepanjangan di seluruh Timur Tengah menjadi sulit dihindarkan.

Page 54: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

54 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Proses radikalisasi akan terjadi. Sikap anti-AS pun akan makin tumbuhsubur. Bukan tidak mungkin, pembunuhan terhadap warga AS dansekutunya di Timur Tengah akan menjadi peristiwa yang makinmewarnai politik di kawasan ini, sebagaimana yang terjadi di kotaRiyadh, Arab Saudi, 12 Mei 2003, yang menewaskan sedikitnya 10 wargaAS dalam serangan “bom bunuh diri” yang dilakukan warga Saudi.Aksi serupa juga terjadi di Casablanca (Maroko), 16 Mei 2003—yangmenewaskan 40 orang—dengan target utama Pusat Komunitas Yahudi,rumah makan Spanyol dan Konsulat Belgia. Sebelumnya seorang wargaAS dibunuh di Kuwait. Dengan kata lain, gambaran suram akanmenyelimuti kawasan Timur Tengah pascaagresi AS ke Irak. Jikademikian halnya, maka sebenarnya siapakah yang pada hakekatnyabertanggung-jawab dan patut disalahkan dalam hal berkembang-biaknyafenomena terorisme internasional? Saddam Hussein, Osama Bin Laden,atau justru George W. Bush sendiri?

Page 55: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

Reformasi PBB,Masalah Keamanan danPerdamaian Internasional:Isu dan Pemecahannya

Philips J Vermonte1

PENDAHULUAN

Wacana mengenai usaha mereformasi Perserikatan Bangsa-bangsa(PBB) senantiasa muncul dan menurut sebagian pihak reformasi ini telahmenjadi keharusan yang mendesak. Apalagi sejak Perang Dingin usaiyang kemudian menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunyasuper power yang tersisa. Dilihat secara sepintas, berakhirnya PerangDingin telah meniadakan struktur politik dan keamanan internasionalyang bipolar serta membawa struktur baru yang unipolar. Pandanganmengenai struktur unipolar ini sangat riskan karena ia akan memberikanjustifikasi pada aksi-aksi unilateralis dari negara super power yang tersisayang pada akhirnya akan menegaskan eksistensi lembaga multilateralseperti PBB. Walaupun demikian, beragam analisis mengenai persoalanini menyatakan bahwa struktur politik internasional saat ini sama sekalibukanlah struktur yang unipolar, yaitu struktur yang memprasyaratkankehadiran sebuah negara super power yang sangat kuat dan mampumengatasi persoalan serta menjaga keamanan dan perdamaianinternasional secara sendirian.2

A N A L I S I S

1. Peneliti Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and InternationalStudies (CSIS).

2. Lihat misalnya tulisan Samuel Huntington, “The Lonely Superpower”, ForeignAffairs, vol. 78/2 (March/April, 1999), hal. 35-49.

Page 56: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

56 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Oleh Karena itu, relevansi PBB justru menemukan kembalimomentumnya setelah Perang Dingin usai. Sebab, untuk adanya perubahankonstelasi politik internasional yang signifikan, diperlukan sebuah institusimultilateral yang memiliki legitimasi untuk menjamin keamanan danperdamaian dunia. Beranjak dari pemahaman ini, PBB memerlukan sebuahpenataan ulang agar mampu menyesuaikan diri dan dapat menjalankantugasnya secara efektif sesuai mandat yang telah diberikan oleh masyarakatinternasional. Atas dasar itu pula, wacana mengenai reformasi PBB kembalimenguat, apalagi sejak dua aksi militer yang dimotori oleh Amerika Serikatke Afganistan tahun 2001 dan ke Irak untuk menggulingkan rezim SaddamHussein pada tahun 2003. Walapun demikian, tulisan ini didasarkanpemahaman bahwa keharusan melakukan reformasi PBB tidak meluluhanya berurusan dengan seruan untuk mengurangi kecenderunganunilateral dari negara-negara besar (utamanya AS). Akan tetapi, ia jugaterkait dengan persoalan yang jauh lebih mendasar yakni usaha untukmenjadikan PBB sebagai sebuah lembaga internasional yang mampuberadaptasi dengan lingkup politik internasional yang berubah-ubah.Ringkasnya, kecenderungan unilateral AS hanya merupakan salah satu,dan bukan satu-satunya faktor yang mendorong pentingnya reformasi PBB.

Tulisan ini bermaksud memberikan uraian atas wacana mengenaireformasi PBB. Untuk tujuan tersebut, tulisan ini akan dibagi ke dalamtiga bagian. Pada bagian pertama akan dibahas beberapa isu pentingyang berkaitan dengan perubahan lansekap politik internasionalkontemporer. Pada bagian kedua, akan dipaparkan poin-poin darireformasi PBB, yang sedang dan telah diselesaikan sejak lama, sebelumperistiwa 911 dan serangan militer ke Irak. Sementara, pada bagian ketigaakan berisi beberapa kesimpulan dan agenda ke depan yang berkaitandengan persoalan reformasi PBB. Catatan lain yang juga perludisampaikan adalah bahwa tulisan ini membahas isu reformasi PBB yangterkait dengan kinerja PBB dalam menjaga keamanan dan perdamaianinternasional, bukan dalam pengertian reformasi PBB dan keseluruhanbadan-badan khusus yang berada di bawah koordinasinya.3

3. Secara paralel juga berkembang wacana mengenai revitalisasi badan-badan khususPBB seperti WHO, FAO, UNDP, UNHCR, UNICEF dan lain lain. Untuk isu revitalisasiPBB dalam kaitannya dengan badan-badan khusus tersebut, salah satu tulisan yangdapat dijadikan rujukan adalah Koichiro Matsuura, “Revitalizing the U.N. SpecializedAgencies”, dalam Japan Review of International Affairs, vol. 13/2 (Summer, 1999),hal. 131-148.

Page 57: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

57Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

USAINYA PERANG DINGINApa Yang (Tidak) Berubah?

Selama masa Perang Dingin, peran PBB dalam menjaga keamananinternasional relatif terabaikan. Kedua superpower, AS dan Uni Soviet(US), sering kali mengabaikan PBB antara lain dengan alasan karenakedua negara tersebut sama-sama mengkhawatirkan bahwa PBB akancondong memihak kepada salah satu di antara keduanya. Di sisi PBB,kedua negara tersebut pun tidak pernah diminta mengirim pasukan untukterlibat dalam peace keeping operations (PKO) pada masa itu. Hal inisejalan dengan prinsip non-imparsialitas dalam hal pengiriman pasukanpenjaga perdamaian sebagaimana yang dikemukakan oleh mantanSekjen PBB Dag Hammarskjold (yang memulai pengiriman pasukanpenjaga perdamaian PBB). Menurut Hammarskjold, PKO adalah “ameasure undertaken without prejudice to the rights, claims or positionsof the parties concerned”.4 Walaupun demikian, beberapa kasus tetapmenunjukkan bahwa PBB, dalam hal ini Dewan Keamanan (DK), dinilailebih condong kepada kekuatan AS. Sebut saja dalam kaitannya denganotorisasi yang diberikan oleh DK pada AS untuk mengirimkan pasukanke Korea pada tahun 1950-an.5

Pada masa Perang Dingin, PBB mengalami dua persoalan utamadalam melaksanakan fungsinya sebagai penjaga perdamaian dankeamanan internasional. Pertama, PBB harus menghadapi politik keduanegara super power yang selalu berusaha menghindari penyelesaianmelalui PBB untuk konflik-konflik yang berkaitan dengan negarasekutunya masing-masing. Atau, pada beberapa kasus, konflik yangterjadi bisa mengancam keutuhan PBB karena persaingan kedua negarasuper power tersebut dalam memperebutkan pengaruh di tubuh lembagaini. Sebagai contoh adalah dalam misi PBB melalui United NationsOperation in the Congo (ONUC) pada tahun 1960-1964. Negara Kongo,yang baru merdeka dan relatif berada di bawah pengaruh Blok Timuryang dipimpin oleh Uni Soviet, menghadapi ancaman gerakan separatisdari salah satu provinsinya yang kaya mineral. Gerakan separatis di

4. Lihat Bruce Russet dan James S. Sutterlin, “The U.N. in a New World Order”,Foreign Affairs, vol.70/2 (Spring, 1991), hal. 70.

5. Lihat Jose E. Alvares, “The Once and Future Security Council”, The WashingtonQuarterly, vol.18/2 (Spring 1995), hal. 6.

Page 58: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

58 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

provinsi bernama Katanga ini didukung oleh Belgia yang merupakanbekas pemerintah kolonial di Kongo. Selain itu, pemerintah ini jugamenghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian anggotaangkatan bersenjatanya. Untuk meredam itu semua, pemerintah Kongomeminta bantuan PBB untuk mengirimkan pasukan penjagaperdamaian. Tragedi tersebut terjadi karena ONUC tidak diperkuatdengan mandat untuk menggunakan senjata sehingga akibatnya misiini terjebak dalam konflik politik di Kongo. Misi ONUC telahmenyebabkan lebih dari 200 anggota pasukan perdamaian PBB tewas,bahkan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold kehilangannyawanya di Kongo.6

Sejak semula, Uni Soviet telah menolak keterlibatan PBB di Kongo.Setelah peristiwa ini, Uni Soviet bahkan menolak membayar iurannya.Penolakan ini berlangsung selama dua tahun. Melihat kenyataan ini,AS mengancam akan menggunakan artikel 19 dari Piagam PBB yangmenyebutkan bahwa ‘any member state whose arrears equals or exceedsthe amount of the contribution due from it for the proceeding two yearswould lose their vote in the General Assembly’. Perselisihan ini hampirmengancam eksistensi PBB, namun kemudian berhasil diselesaikansetelah MU PBB pada akhirnya mencapai kompromi bahwa AS akanmenghentikan usahanya untuk mengeluarkan US dan sebagai timbalbaliknya US harus menerima keputusan MU PBB untuk membentukmisi perdamaian dalam tubuh PBB yaitu dengan pembentukan SpecialCommittee on Peacekeeping.7 Dari hal di atas, tampak jelas bahwa apayang terjadi dalam tubuh PBB ketika itu merupakan akibat langsungdari persaingan blok Timur dan Barat dalam memperebutkan pengaruhdi negara-negara baru merdeka sejalan dengan proses dekolonisasi.

Kedua, dalam konflik yang terjadi antar negara-negara yang relatiftidak berada dalam proxy pengaruh langsung kedua blok super powerini, PBB harus menghadapi isu yang rumit seperti isu kedaulatan danprinsip-prinsip non-intervensi. Kedua isu di atas memberikan hambatanyang serius bagi PBB untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut.Sehingga, sebagaimana terjadi juga pada masa setelah Perang Dingin,

6. Lihat A.B Fetherston, Towards a Theory of United Nations Peacekeeping (London:Macmillan, 1994), hal.13-15. Periksa juga D. Whitaker, United Nations in Action(London: University College of London, 1995), hal. 31

7. lihat Whitaker, United Nations in Action (1995).

Page 59: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

59Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

keterlibatan PBB dalam upaya menyelesaikan sebuah konflik selalumenjadi isu kontroversial, karena PBB harus menjaga kenetralan,menjembatani concern mengenai masalah kedaulatan dan isuhumanitarian yang tidak mengenal batas geografis dalam waktu yangbersamaan.

Penting untuk dipahami bahwa beberapa feature dari politikinternasional setelah usainya Perang Dingin tidak mengalami perubahanyang signifikan. Beberapa hal yang konstan, sebagaimanadiargumentasikan oleh Robert Jervis (1993) adalah bahwa: politikinternasional tetaplah anarkis di mana tidak ada kekuatan yangmengatasi kedaulatan negara-negara di dunia untuk membuat danmenjamin terlaksananya sebuah hukum dan kesepakatan internasional.Di samping itu, beberapa sumber konflik juga tidak mengalamiperubahan, seperti pencarian prestise, persaingan ekonomi, nasionalismeyang agresif, standard legitimasi yang berbeda, perselisihan agama danjuga ambisi teritorial.8

Apabila diperhatikan, hal-hal yang tidak mengalami perubahantersebut justru merupakan inti persoalan dari hubungan antar negaradi dunia. Oleh karena itu, bubarnya Uni Soviet justru membuka peluangbagi munculnya konflik-konflik baru, dimana yang sebelumnya ‘diredam’oleh stabilitas yang diciptakan oleh struktur politik internasional yangbipolar. Kenyataan ini bisa dilihat dari terjadinya peningkatan secaradrastis jumlah konflik internal di berbagai negara di dunia. Data PBBmenunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1992 hingga 1995, 9 dari 11operasi keamanan yang dilaksanakan PBB merupakan operasi untukmemulihkan keamanan dan perdamaian dalam konflik yang bersifatintra-states. .... tersebut memperlihatkan adanya peningkatan biladibandingkan dengan data PBB tahun 1988, di mana hanya satu darilima konflik yang tercatat pada tahun tersebut yang bersifat intra-states.9

Kecenderungan peningkatan aktifitas PBB dalam isu perdamaian,sebagaimana terekam selama periode 1988 - 1994, bisa dilihat dalamtabel 1.

8. Selanjutnya periksa Robert Jervis, “The Future of World Politics: Will It ResembleThe Past?” dalam Lynn-Jones, S.M., Miller, S.E.(eds), America’s Strategy in a ChangingWorld (Cambridge: MIT Press, 1993), hal.10.

9. selanjutnya periksa Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace: 2nd edition(New York: UN Publication, 1995).

Page 60: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

60 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Tabel 1.Beberapa data aktifitas PBBdalam bidang perdamaian dan keamanan, 1988-1994

Hingga Hingga Hingga31 Jan 1988 31 Jan 1992 16 Des 1994

Resolusi DK yang diadopsi dalam waktu12 bulan terakhir 15 53 78Perselisihan dan konflik dimana PBB aktifterlibat dalam usaha preventive diplomacydan peacemaking dalam 12 bulan terakhir 11 13 28Total peacekeeping operation yang dikirim 5 11 17Jumlah personel militer yang dikirim 9,570 11,495 73,393Jumlah polisi yang dikirim 35 155 2,130Personel sipil internasional yang dikirim 1,516 2,206 2,260Jumlah negara yang ikut menyumbangpersonel militer dan sipil 26 56 76Budget peacekeeping pertahun(dalam juta dollar) 230.4 1,689.6 3,610Negara dimana PBB aktif dalam kegiatanelektoral dalam 12 bulan terakhir - 6 21Sanksi yang dijatuhkan DK 1 2 7

Sumber: Boutros Boutros-Ghali, An Agenda For Peace (2nd Edition, 1995), hal.8

Joanne Gowa (1989) menyatakan bahwa pertarungan dengan UniSoviet telah menciptakan perasaan bersatu, sebagaimana konsekuensidari sumbangan tiap negara dalam koalisi anti – Soviet yang memberikesempatan pada tiap negara dalam koalisi untuk mengambil manfaatekonomi dan politik dari koalisi tersebut. Karena setiap negara yangmenjadi bagian dari koalisi berusaha menghindari instabilitas politik didalam negeri masing-masing yang dapat mengguncang koalisi, dan salingmembantu menjaga stabilitas politik dengan ....... secara baik masalah-masalah sosial.10 Keadaan yang sama pun terjadi di dalam blok Timuryang dipimpin oleh Uni Soviet. Dengan demikian pada akhirnyaterbentuklah sebuah sistem bipolar yang menciptakan stabilitas dalamsistem politik internasional.

10. Joanne Gowa, “Bipolarity, Multipolarity, and Free Trade” sebagaimana dikutipdalam Robert Jervis, The Future of World Politics, hal. 18.

Page 61: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

61Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

Berakhirnya Perang Dingin juga memunculkan fenomena baru yangberbeda dari dua masalah utama yang dihadapi PBB dalam masa PerangDingin seperti diuraikan di atas, yakni penyelesaian di luar mekanismePBB dan persoalan mengenai kedaulatan dan prinsip non-intervensi.

Setelah bubarnya Uni Soviet, harapan yang digantungkan kepadaPBB untuk menjadi sebuah lembaga internasional yang kredibelmeningkat. Beberapa alasan dikemukakan sebagai dasar munculnyaharapan tersebut. Diantaranya, Pertama, bahwa secara alamiah AS akanmengkaji ulang kepentingan nasionalnya dan juga keterlibatannya dalamberbagai isu global. Oleh karena itu, dunia akan mengalami situasi dimana tidak ada sebuah global leadership yang efektif untuk mengelolakonflik internasional. Akhirnya, PBB akan kembali menjadi tumpuandan kunci dalam menjalankan fungsi tersebut.

Kedua, adalah bahwa PBB menjadi satu-satunya institusi yangpaling mungkin mendapat legitimasi untuk menyelesaikan konflik-konflikinternal yang berpotensi mengancam keamanan sebuah region dan jugamengancam keamanan internasional yang mengemuka setelah PerangDingin. Untuk memulihkan perdamaian di wilayah-wilayah konflik,hanya institusi semacam PBB yang menmiliki mandat internasionalsehingga dapat terlihat secara intensif, baik secara militer dan non-militer,dalam usaha menyelesaikan konflik-konflik tersebut.

Ide dasar pembentukan PBB adalah menjalankan collective securityyang berinti pada kesadaran bahwa:

“all states would join forces to prevent one of their number from using coercionto gain advantage. Under such system, no government could conquer anotheror otherwise disturb the peace for fear of retribution from al other government.Any attack would be treated equal as if it were an attack on each of them. Thenotion of self defense, universally agreed as a right of sovereign states, wasexpanded to include the international community’s right to prevent war.”11

Namun, pengalaman PBB sejak awal pendiriannya dalammengimplementasikan ide collective security memperlihatkan beberapapersoalan serius. Thomas G. Weiss dan kawan-kawan12 menggambarkanbeberapa persoalan tersebut sebagai berikut: Pertama, negara-negara di

11. Lihat Weiss, T.G., Forsythe, D.P., Coate, R.A., The United Nations and ChangingWorld Politics (Boulder: Westview Press, 1994), hal. 21.

12. Ibid, hal.22-23

Page 62: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

62 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

dunia secara natural sering menolak bergabung dalam penerapan sebuahsanksi PBB kepada sebuah negara tertentu karena mereka telahmenetapkan sendiri siapa kawan dan lawannya masing-masing. Kedua,adanya masalah dalam pendistribusian power. PBB selalu mengalamikesulitan untuk bertindak melawan kepentingan negara-negara yangmemiliki nuklir. Selain itu, PBB juga sulit untuk bertindak diluarkepentingan negara-negara yang sangat kuat secara ekonomi. Ketiga,ide collective security relatif mahal biayanya. Misalnya, sanksi ekonomikepada sebuah negara tidak hanya akan mempengaruhi negara yangterkena sanksi, tapi akan mempengaruhi negara-negara lain yangmemiliki hubungan ekonomi dan politik erat dengan negarabersangkutan. Contoh konkritnya adalah ketika PBB menjatuhkan sanksipada Afrika Selatan yang menjalankan politik apartheid, Bulgaria telahmemilih untuk mendukung sanksi tersebut. Namun di lain pihak,Bulgaria tetap melakukan perdagangan senjata dengan rezim tersebut.13

Keempat adalah bahwa ide collective security didasarkan pada asumsibahwa semua korban (agresi atau konflik) sama pentingnya. Akibatnya,ada anggapan bahwa PBB akan bertindak sama terhadap serangan atasBosnia, Kuwait, Palestina, Argentina dan lain-lain. Padahal, sejarahmenunjukan bahwa tidak pernah semua negara bertindak sama dalamsebuah isu, hal itu disebabkan karena perbedaan kepentingan dan carapandang masing-masing negara.

Dalam kaitan dengan ini, penting untuk diperhatikan pernyataanyang dikeluarkan oleh Presiden AS George W. Bush bahwa AS hanyaakan ikut serta dalam misi intervensi di luar wilayahnya selama hal itubersesuaian dengan kepentingan nasional AS secara langsung. PresidenBush juga menyatakan bahwa yang ia maksud dengan kepentingannasional AS adalah “whether our territory is threatened, our peoplecould be harmed [or] whether or not our defense alliances arethreatened”.14 Selain itu, AS akan semakin memilih untuk berhati-hatiuntuk melibatkan diri dalam berbagai konflik internal sebagaimanadiingatkan oleh pakar hubungan internasional AS Joseph Nye bahwa

13. Thomas Weiss, The United Nations and Changing World, hal.23.

14. Dikutip oleh Brett D. Schaefer, “The United States and The United Nations:What To Expect In The Future” dalam Heritage Lectures No.730 (The HeritageFoundation: January 2002), hal.3

Page 63: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

63Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

‘a human right policy is not itself a foreign policy; it is an important partof foreign policy’.15

Keempat persoalan di atas menjadi obyek diskusi dalam wacanamengenai reformasi PBB. Dalam kaitannya dengan permasalahanpertama, kewibawaan PBB untuk menghasilkan sebuah keputusan yangmengikat seluruh anggotanya menjadi persyaratan mutlak. Persoalankedua mengenai distribusi power yang berkaitan dengan manajemenkekuasaan dalam tubuh PBB sendiri. Ia berkaitan dengan kewenanganyang dimiliki oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan dan juga dalamhubungannya dengan kepemilikan atas hak veto dari kelima anggotatetap DK PBB. Masalah ketiga dan keempat sangat erat berkaitan satusama lain, karena perspesi tentang “mahalnya” biaya sanksi yangditerapkan PBB akan ditentukan oleh kepentingan nasional dari masing-masing negara anggota PBB.

Kesemuanya ini jelas berkaitan dengan kemampuan PBB sendiridalam menemukan mekanisme untuk pelaksanaan mandatnya dalammenjaga keamanan dan perdamaian internasional, baik melaluimekanisme sanksi, embargo atau operasi militer dalam payung PBB.Ironisnya, di tengah munculnya harapan untuk menjadikan PBB sebagaisebuah lembaga dunia yang mampu meredam kecenderunganunilateralis dari negara-negara besar, peristiwa seperti serangan AS danInggris ke Irak tahun 2003 ini jelas memperlihatkan ketidakberdayaanPBB. Sehingga, wacana untuk mereformasi PBB kembali menguat.Bagian berikut dari tulisan ini akan membahas persoalan reformasi PBBdalam kaitannya dengan keempat hal tersebut.

REFORMASI PBB:Apa Yang (Tidak) Mungkin?

Masalah LegitimasiDengan tendensi seperti yang diungkapkan oleh Boutros Boutros-

Ghali dalam laporannya An Agenda For Peace mengenai peningkatanterjadinya konflik internal di seluruh dunia, tampak jelas bahwa isu utamayang perlu mendapat perhatian adalah bahwa PBB semakin terdorong

15. Lihat Joseph Nye, “Redefining National Interest”, Foreign Affairs vol.78/4 (July/August 1999), hal.31.

Page 64: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

64 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

untuk terlibat dalam berbagai tindakan, baik militer maupun non-militer,dan harus berhadapan dengan prinsip-prinsip kedaulatan danhumanitarian. Walaupun kontroversial, PBB mendapat legitimasi untukmelakukan hal tersebut karena diberi mandat melakukan enforcementsesuai dengan Chapter VII Piagam PBB untuk menghadapi sebuah negaraagresor yang mengancam keamanan dan perdamaian internasional.

Berbagai pendapat muncul dan menyatakan bahwa kemanusiaan(humanity) adalah nilai yang universal, dan intervensi adalah tindakanyang dapat dibenarkan, sepanjang dilakukan oleh instrumen globalseperti PBB. Alasannya adalah bahwa Piagam PBB tidak hanya mengakuikedaulatan negara, akan tetapi juga melindungi hak masyarakat (therights of the people). Seperti dinyatakan oleh Paul Taylor:

“ statehood could be interpreted as being conditional upon respect for suchrights: for instance the Preamble held that the organization was ‘to reaffirmfaith in fundamental rights’, and article 1 (3) asserted the obligation to ‘achieveinternational cooperation….in promoting and encouraging respect for humanrights and fundamental freedom for all”.16

PBB sendiri telah mendirikan sebuah unit di markas besarnya di NewYork yang disebut Department of Humanitarian Affairs. Departemen inidibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum no.46/182 yang dikeluarkanpada bulan Desember 1991. Resolusi ini merupakan terobosan pentingkarena ia memberi legitimasi bagi operasi humanitarian PBB. Dalamresolusi tersebut dinyatakan bahwa semua anggota PBB setuju untukmembuka akses bagi setiap misi PBB untuk mengantarkan bantuankemanusiaan.17

Masalah kemanusiaan juga memberi legitimasi yang kuat bagi PBBuntuk melakukan intervensi. Karena di tengah semua konflik, hampirdapat dipastikan warga sipil yang tidak bersenjatalah yang akan menjadikorban utama. Seperti yang dinyatakan Sadako Ogata:

“in April 1991, 1.7 million Iraqi Kurds fled to Iran or the Turkish border.UNHCR is assisting over a million Somali refugees in the neighboring countriesof Kenya, Yemen, Djibouti and Ethiopia. In the former Yugoslavia, we are

16. lihat Paul Taylor, International Organization in the Modern World: the Regionaland the Global Process (London: Pinter, 1993), hal.274.

17. lihat A. Jan, et al., Peacemaking and Peacekeeping for the Next Century: Reportof the 25th Vienna Seminar (New York: International Peace Academy, 1995), hal. 41.

Page 65: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

65Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

protecting and assisting over 1.5 million refuges in Serbia, Croatia andMontenegro as well as almost 3 million displaced and affected population inBosnia and Herzegovina…in the space of one forthnight, some 600,000 personsfled ethnic killing in Burundi to seek refuge in Rwanda, Tanzania and Zaire”.18

Walaupun demikian, pada banyak kasus, harus diakui pula bahwaPBB tidak selalu siap dalam melakukan operasi peacekeeping ataupunenforcement, karena memang kedua instrumen ini tidak terlembaga didalam tubuh PBB.19 Proposal untuk pembentukan sebuah “tentara PBB”yang standby dan bertanggung jawab langsung pada Sekretaris Jenderaltelah lama muncul. Namun hingga saat ini beragam persoalan teknisyang muncul dalam ide tersebut belum pernah terjawab, semisal aspeklegal, pendanaan dan pengelolaan pasukan itu sendiri.

Distribusi Power dan Manajemen KekuasaanSelain Sekretaris Jenderal, Dewan Keamanan dan Majelis Umum

juga merupakan institusi yang berperan dalam pengambilan keputusanoleh PBB. Dengan demikian, ketiga organ ini juga masuk dalam agendareformasi PBB yang luas. Pada prinsipnya, PBB memiliki ‘elemenpemerintahan’ dalam organ-organnya. PBB memiliki Majelis Umumyang berfungsi sebagai organ ‘legislatif ’, Dewan Keamanan sebagaiorgan ‘eksekutif ’, dan ia juga memiliki International Court of Justiceyang berfungsi sebagai organ ‘yudikatif ’.20 Ketiga organ inilah yangmembedakan PBB saat ini dari organisasi dunia lain dari waktu ke waktu.Bila sebelumnya international collective security dijalankan oleh institusiberformat konferensi hingga organisasi longgar seperti The Peace ofWestphalia (1648), The Peace of Utrecht (1713) dan The Congress ofVienna (1815) serta Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) setelahPerang Dunia I, maka PBB saat ini memiliki elemen supranasional yangsebetulnya jauh lebih kuat.21

18. Lihat Sadako Ogata, “The interface between peacekeeping and humanitarianaction”, dalam Warner (ed), New Dimension of Peacekeeping (Dordrecht: MartinusNijhoff, 1995), hal. 119.

19. lihat John Gerard Rugie, “Wandering in the Void: Charting the U.N.’s NewStrategic Role”, Foreign Affairs vol. 72/5 (November/December, 1993), hal. 28.

20. Analogi ini diberikan oleh Nigel D. White dalam tulisannya “Accountability andDemocracy Within the U.N: a Legal Perspective”, International Relations vol.XIII/6(December 1997), hal. 3-4.

21. Ibid

Page 66: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

66 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Sebagaimana diketahui, DK yang beranggotakan 15 negaratermasuk 5 anggota tetap, jauh lebih powerful daripada MU PBB.Sehingga secara kasat mata, terlihat bahwa DK bisa saja mengadopsiresolusi yang bertentangan dengan aspirasi lebih banyak negara dalamMU. Karena itu persoalan representasi dalam tubuh DK menjadi isubesar dari keseluruhan agenda reformasi PBB.

Apabila dilihat dari sejarah pembentukannya, kewenangan yangbesar yang diberikan pada DK merupakan akibat dari pengalamantraumatis Perang Dunia II. Saat itu, para pendiri PBB sepakat untukmemberikan mandat utama dan kekuasaan yang besar pada DK untukmemenuhi cita-cita utama pendirian PBB yaitu ‘to save succeedinggenerations from the scourge of war, which twice in our lifetime hasbrought untold sorrow to mankind’.22 Akan tetapi, saat ini persoalanstruktur DK semakin mendapat perhatian, tidak hanya karena persoalanpemilikan senjata nuklir oleh beberapa negara, namun juga karenapersoalan representasi.

Sebenarnya, keanggotaan DK sendiri telah ditingkatkan dari 11menjadi 15 negara pada tahun 1965. Namun hal ini masih dinilai tidakrepresentatif bagi keanggotaan PBB. Ketika PBB didirikan pada tahun1945, anggota PBB berjumlah 51 negara, sehingga jumlah 11 negara diDK setara dengan 22 persen dari keseluruhan anggota. Apalagi denganjumlah anggota lebih dari 185 negara seperti saat ini, persentase itumenjadi jauh lebih kecil hingga hanya 8 persen. Sehingga tidak dapatdipungkiri bahwa DK seringkali dinilai tidak demokratis dan sama sekalitidak representatif.23 Untuk mengembalikannya kepada rasio awal, DKharus berjumlah 40 negara namun hal ini relatif sulit dilakukan karenanegara anggota PBB akan menunggu giliran terlalu lama untuk menjadianggota tidak tetap DK tersebut.

Olara Otunnu (1993)24 mengajukan dua usul untuk memecahkanmasalah ini. Pertama, struktur keanggotaan diusulkan untuk dibagi ke

22. Kalimat ini tertuang dalam baris pertama pembukaan Piagam PBB.

23. Periksa Nigel D. White, Accountability and Democracy Within the UnitedNations, hal. 5.

24. Lihat Olara A. Otunnu, “Maintaining Broad Legitimacy For United NationsAction” dalam Roper, J et all (eds), Keeping the Peace in the Post-Cold War Era:Strengthening Multilateral Peacekeeping (New York: The Trilateral Commission, 1993),hal. 72-73.

Page 67: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

67Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

dalam tiga lapisan. Lapis pertama adalah 5 anggota tetap PBB denganhak veto yang akan sulit untuk dihapuskan. Pada lapis kedua dipilih 5anggota tetap baru tanpa hak veto. Namun keanggotaannya tidaksepenuhnya tetap, tapi kelima negara ini diberi masa keanggotaan fixedterm selama 10 tahun dan bisa dipilih kembali. Beberapa negara yangmasuk kualifikasi ini adalah Jepang, Jerman, Brazil mewakili AmerikaLatin dan Karibia, India mewakili Asia dan Nigeria mewakili Afrika.Lapis ketiga adalah anggota tidak tetap PBB sebanyak 10 atau 11 anggotadengan mekanisme rotasi seperti yang berlaku saat ini.

Usul kedua adalah dengan memberikan hak veto regional. Di manahak veto baru diberikan kepada negara yang mewakili sebuah kawasantertentu. Menurut Otunnu, kawasan yang mendesak diberi hak vetoregional baru ini adalah Amerika Latin dan Afrika yang memang belumterwakili oleh kelima anggota tetap DK PBB saat ini.

Usulan ini muncul untuk mengimbangi ketidakpuasan banyaknegara terhadap hak veto yang dimiliki negara-negara anggota tetapDK. Walaupun demikian, isu hak veto sebetulnya tidak menjaminefektifitas kinerja DK. Karena, negara-negara besar bisa sajamenghindari pemungutan suara di DK dan mengambil langkah-langkahunilateral seperti serangan atas Irak tahun ini. Selain itu, sebenarnyapenggunaan hak veto oleh kelima negara anggota tetap DK itu telahjauh menurun jumlahnya setelah Perang Dingin usai. Selama PerangDingin, jumlah veto yang terjadi adalah 240, sementara sejak tahun1990 hingga 1999 hanya terjadi 7 veto.25 Namun demikian, jumlah vetoyang kecil tersebut, DK masih tetap bisa di bypass oleh berbagai pihak.Contoh lain di luar serangan terhadap Irak oleh AS dan Inggris adalahketika NATO memulai aksi militer di Yugoslavia tanpa persetujuan DKPBB. Negara NATO tahu persis bahwa apabila mereka melaluimekanisme PBB, maka Rusia akan mem-veto proposal serangan militerke negara ex-Yugoslavia yang dipimpin oleh Slobodan Milosevictersebut.26

25. Periksa Richard Butler, “Bewitched, Bothered, and Bewildered: Repairing theSecurity Council”, Foreign Affairs vol.78/5 (September/October, 1999), hal.9.

26. ibid.

Page 68: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

68 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Prinsip Selektifitas Versus UniversalitasPengalaman NATO di Bosnia dan Kosovo memperlihatkan kerumitan

menentukan standard untuk memulai aksi militer PBB dalam menjaminkeamanan dan perdamaian internasional. Sebagian besar negara di duniamenyetujui bahwa tindakan Milosevic bertentangan dengan azasperikemanusian dan karena itu membenarkan aksi NATO di negara ex-Yugoslavia itu, walaupun pada awalnya tidak dilakukan dalam kerangkaPBB. Di pihak lain, dunia bereaksi keras terhadap aksi unilateral AS danInggris di luar kerangka PBB terhadap rezim Saddam Hussein di Irak.Oleh karena itu, tampaknya persoalan utama dari setiap operasi militerPBB adalah menemukan dasar yang kuat untuk menjustifikasinya bahwanegara yang dituju oleh sebuah operasi militer adalah yang secara jelasmengancam perdamaian dan keamanan internasional.

Agaknya, PBB akan sangat sulit memegang teguh prinsipuniversalitas. Alasannya adalah karena persoalan ini tidak meluluberkaitan dengan imperatif moral humanitarian, akan tetapi ia berkaitanjuga dengan kesiapan infrastruktur, dana, dan yang jauh lebih pentingdari semuanya adalah kepentingan nasional dari negara-negara anggotaPBB. Dalam kasus AS, hal ini telah digambarkan dengan baik oleh JosephNye. Nye menyebutkan betapa dorongan moralis rakyat dan pemerintahAS untuk mengirim pasukan ke Somalia untuk membantu penyelesaiankonflik di negara tersebut menghilang setelah di layar-layar televisi ASditampilkan gambar tiga mayat prajurit AS yang diseret di jalanMogadishu oleh milisi Somalia yang membunuhnya.

Akibatnya, AS (dan juga PBB) enggan dan terlambat melakukanintervensi militer dan kemanusiaan di Rwanda pada tahun 1994 karenaketiadaan dukungan dari publik domestik di AS. Padahal, skala kejahatankemanusiaan di Rwanda jauh lebih besar dari yang terjadi di Somaliabeberapa waktu sebelumnya.27 Apabila keterlibatan PBB di Somalia dikajilebih jauh, tampak bahwa PBB memiliki keterbatasan untuk memberikanbantuan yang komprehensif untuk menyelesaikan konflik, sepertirehabilitasi sosial dan ekonomi bahkan sampai persoalan memulihkankeadilan dan ketertiban melalui pemulihan fungsi kepolisian dan lembagayudisial.28

27. Periksa Joseph Nye, Redefining the National Interest, hal.32.

28. Lihat misalnya Omar Halim, “Reforming the United Nations: What Has BeenAchieved?”, The Indonesian Quarterly vol. XXV/2 (1997), hal. 200.

Page 69: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

69Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

Di luar kemampuan teknis, masalah ketersediaan dana juga dapatmenjelaskan keterbatasan PBB ini. Walaupun banyak kekecewaan yangdilontarkan terhadap AS, harus diakui bahwa AS berperan penting dalamkesiapan PBB melakukan operasi militer untuk menjaga keamanan danperdamaian internasional. AS telah memberikan sumbangan yang sangatsignifikan dalam pendanaan PBB dan juga operasi peacekeeping diberbagai tempat di belahan dunia. Berbagai negara menolak untukmengurangi jumlah kontribusi dana AS, baru sampai pada tahun 2000negara-negara anggota PBB setuju mengurangi jumlah yang yang harusdibayar AS, dari 25 persen dari total budget PBB menjadi 22 persen.Bahkan untuk operasi peacekeeping di seluruh dunia, jumlahnyadikurangi dari 31 persen dari total dana yang dibutuhkan menjadi 27persen.29

Salah satu alternatif untuk mengatasi dikotomi antara prinsipselektifitas dan universalitas adalah dengan cara pemberian kewenanganlebih besar secara legal oleh PBB kepada organisasi-organisasi regionaluntuk bekerjasama menjalankan fungsi penjaga keamanan danperdamaian internasional. Dengan cara semacam ini, masalahkurangnya dukungan dari negara-negara besar untuk terlibat dalamoperasi militer di wilayah-wilayah yang tidak menempati prioritas dalamkepentingan nasionalnya kemungkinan akan teratasi.

Sebetulnya hal ini pun dimungkinkan oleh piagam PBB,sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 52 dan 53 dari Chapter VIII PiagamPBB, yang berbunyi:

“Article 52. 1. Nothing in the present Charter precludes the existence of regionalarrangements or agenicies for dealing with such matters relating to themaintenance of international peace and security are appropriate for regionalaction provided that such arrangement or agencies and their activities areconsistent with the Purposes and Principles of the United Nations.

Article 53. 1 . The Security Council shall, where appropriate, utilize suchregional arrangements or agencies for enforcement action under its authority.But no enforcement action shall be taken under regional arrangements or byregional agencies without the authorization of the Security Council.”

Salah satu preseden yang bisa dijadikan rujukan oleh PBB adalahadalah tindakan NATO di Bosnia dan Herzegovina beberapa tahun lalu.

29. Periksa Brett D. Schaefer, The United States and the United Nations, fn.1.

Page 70: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

70 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Pengiriman pasukan penjaga perdamaian oleh Economic Communityof West African States (ECOWAS) ke Liberia ketika mengalami konflikinternal dapat memberi gambaran mengenai peran organisasi regional.Pendelegasian wewenang juga menjadi alternatif untuk mengurangibeban budget PBB, yang semakin meningkat karena bertambahnyajumlah aktifitas PBB dalam masalah penjagaan keamanan danperdamaian internasional. Ilustrasi pendanaan PBB dalam peacekeepingoperation bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.Biaya Riil Peacekeeping Operation 1989-1995 (dalam milyar dollar)

Dalam konteks yang lebih luas, organisasi regional seperti TheOrganization of American States (OAS) telah melangkah lebih jauhketika negara-negara anggota OAS dalam pertemuan tahunannya tahun1991 telah setuju untuk bertindak secara multilateral di kawasannya,apabila terjadi kudeta di salah satu negara anggota yang tentu sajaberpotensi menciptakan instabilitas keamanan di kawasan itu. Bahkandalam Inter-American Democratic Charter yang baru ditandatanganipada bulan September 2001, negara-negara anggota OAS memperkuatkomitmennya kembali dengan menyatakan secara terbuka bahwa OAStidak akan pernah melegitimasi dan mentoleransi pergantian rezim secarainkonstitusional di wilayahnya.30 Komitmen regional semacam ini akansangat memudahkan PBB dalam usahanya menjaga keamanan danperdamaian internasional.

30. Lihat Philips J. Vermonte, “Democracy Interrupted: Lessons From Venezuela”,The Jakarta Post 24 Mei 2002.

UNPROFOR 3,132UNOSOM II 1,782UNTAC 1,651ONUMOZ 541.7UNIKOM 237.4UNAMIR 236.8UNAVEM I 186.3MINURSO 155.2

ONUSAL 110.8UNOMIL 54.2UNAMIC 37.3UNOSOM I 25.2UNAVEM II 20.5UNOMIG 14.8UNMIH 11.3UNMOT 1.4

Sumber: A. Jan, et al., Peacemaking and Peacekeeping for the Next Century: Report ofthe 25th Vienna Seminar (New York: International Peace Academy, 1995), hal.93. Singkatanbisa dilihat di bagian appendix tulisan ini.

Page 71: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

71Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

KESIMPULAN UMUM: BEBERAPA AGENDA KEDEPAN

Berdasarkan uraian ini, dapat diringkaskan bahwa reformasi PBBsangat perlu dilakukan karena tantangan yang dihadapi oleh PBB jugasemakin besar. Seusai Perang Dingin, PBB kembali menemukanmomentum untuk bisa membawa dirinya menjadi sebuah instrumenglobal yang mendapatkan mandat internasional untuk menjagaperdamaian dan keamanan internasional. Namun, untuk mampumemenuhi mandat ini, PBB harus menyelesaikan beberapa persoalanmendasar, tidak hanya pada aspek organisasional di tubuh PBB sendiri(dalam hal ini DK), namun juga menemukan formula dan tindakan yangbisa diterima oleh sebanyak mungkin negara melalui perumusanlegitimasi yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional.

Secara organisasional, PBB memerlukan reformasi untukmemperbaiki struktur organisasinya sehingga ia menjadi lebihrepresentatif dan demokratis sesuai dengan perubahan konstelasi politikinternasional. Legitimasi yang diberikan dan diamanatkan oleh PiagamPBB harus bisa dioperasionalkan secara teknis. Mengingat“keterbatasan” PBB sebagai sebuah lembaga multilateral yangmensyaratkan mekanisme pengambilan keputusan yang relatif rumit,PBB perlu terus mendorong kerjasama dengan lembaga regional untukdapat secara bersama-sama menjalankan fungsi penjaga perdamaiandan keamanan internasional sebagaimana diamanatkan oleh PiagamPBB sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, PBB perlu mendorongorganisasi-organisasi regional untuk mengkaji ulang prinsip non-intervensi dan mendorong penerimaan terhadap prinsip humanitarian,agar pengakuan atas kedaulatan negara juga diikuti dengan pengakuanatas hak individual untuk mendapatkan perlindungan keamanan.

Page 72: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

72 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

AppendixUnited Nations Peacekeeping Operations

Tahun dimulai

UNTSO UN Truce Supervision Organization 1948UNMOGIP UN Military Observer Group in India 1949

and PakistanUNEF I UN Emergency Force I 1956UNOGIL UN Observer Group in Lebanon 1958ONUC UN Operation in the Congo 1960UNTEA/UNSF UN Temporary Executive Authority/ 1962

UN Security Force in West New Guinea(West Irian)

UNYOM UN Yemen Observer Mission 1963UNFICYP UN Peacekeeping Force in Cyprus 1964DOMREP Mission of the Representative of the 1965

Secretary-General in the Dominican RepublicUNIPOM UN India Pakistan Observer Mission 1965UNEF II UN Emergency Force II 1965UNDOF UN Disengagement Observer Force 1974UNIFIL UN Interim Force in Lebanon 1978UNGOMAP UN Good Offices Mission in Afghanistan 1988

and PakistanUNIIMOG UN Iran-Iraq Military Observer Group 1988UNTAG UN Transitional Assistance Group 1989UNAVEM I UN Angola Verification Mission 1989ONUCA UN Observer Mission in Central America 1989ONUSAL UN Observer Mission in El Salvador 1991MINURSO UN Mission for the Referendum in 1991

Werstern SaharaUNIKOM UN Iraq-Kuwait Ibserver Mission 1991UNAMIC UN Advance Mission in Cambodia 1991UNAVEM II UN Angola Verification Mission 1991UNPROFOR UN Protection Force in the Former Yugoslavia 1992UNOSOM I UN Operation in Somalia I 1992UNTAC UN Transitional Agency in Cambodia 1992ONUMOZ UN Operation in Mozambique 1992UNMIH UN Mission in Haiti 1993UNOMIG UN Observer Mission in Georgia 1993

Page 73: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

73Philips J. Vermonte, Reformasi PBB

Tahun dimulai

UNOMIL UN Observer Mission in Liberia 1993UNAMIR UN Assistance Mission for Rwanda 1993UNOMUR UN Observer Mission Uganda Rwanda 1993UNOSOM II UN Operation in Somalia II 1993UNASOG UN Aouzou Strip Observer Group 1994UNMOT UN Mission of Observers in Tajikistan 1995UNAVEM III UN Angola Verification Mission 1995UNCRO UN Confidence Restoration Operation 1995UNPREDEP UN Preventive Deployment 1995UNTAET UN Transitional Authority in East Timor 1999

Sumber: UN Department of Public Information (dikutip dalam A. Janet al (1995, 94).

Page 74: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

PERANG Teluk II yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS)yang didukung oleh sekutu utamanya, Inggris, berlangsung selamasekitar tiga pekan, mulai dari habisnya batas waktu bagi Saddam Husseinuntuk meninggalkan Irak tanggal 20 Maret 2003 hingga jatuhnya ibukotaBaghdad 9 April 2003 dan kota-kota di utara, termasuk Tikrit beberapahari kemudian.

Namun, meski pendek, Perang tersebut telah menimbulkan banyakdampak, langsung ataupun tidak langsung. Dampak tersebut juga amatmendalam, khususnya bagi dunia yang terbelah, antara yang mendukungdan menentang serangan pimpinan AS di atas.

Artikel ini pertama-tama bermaksud melihat permasalahankeamanan internasional berkaitan dengan perkembangan situasi duniadi awal abad ke-21, khususnya pasca Serangan 11 September 2001 diAS. Berikutnya akan diulas pula sejumlah isu keamanan yang potensialmenjadi konflik di masa datang. Melengkapi artikel ini, coba puladikemukakan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapisituasi keamanan yang banyak mengalami berbagai perubahan dewasaini, dan seiring dengan itu juga dikemukakan bagaimana hal tersebutdirespon oleh kebijakan pembangunan pertahanan.

Sifat konflikBagi AS Serangan 11 September 2001 telah mengubah persepsinya

mengenai keamanan nasional. Pandangan bahwa Tanah Air Amerikaaman telah diruntuhkan, sehingga pemerintah yang memangberkewajiban melindungi segenap warga terpanggil untuk menempuh

Dunia dan Isu PertahananPasca Perang Teluk II

Ninok Leksono1

A N A L I S I S

1. Redaktur Senior Kompas dan Pengajar Jurusan HI - FISIP UI

Page 75: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

75

langkah apa pun. Ide yang lalu banyak diadopsi oleh penanggung jawabkeamanan nasional AS adalah bahwa kalau perlu pihak yang berpotensimengancam keamanan AS diperangi di tempat asalnya. Kalau perluAS akan melancarkan serangan semacam itu secara sepihak, tanpameminta dan tanpa dukungan Dewan Keamanan (DK) PBB sekali pun.

Ketika menjelang Perang Teluk II, AS merasa bahwa dukunganyang ia harapkan tidak akan ia peroleh di DK PBB, karena Perancis danRusia selaku anggota tetap DK banyak diberitakan akan menggunakanhak veto mereka untuk menghalangi penggunaan kekuatan terhadapIrak, maka AS lalu memilih melakukan aksi sepihak bersama Inggris.

Sejumlah kalangan menyebut invasi AS ke Irak sebagai satu perangmendahului (pre-emptive war), sementara kalangan lain menyebutnyasebagai perang pencegahan (preventive war). Perlu dijelaskan di sini,bahwa sesungguhnya perang mendahului dilakukan oleh satu pihak yangbermusuhan dengan menyerang lebih dulu musuh yang sudahmenghunus pedang atau mengarahkan rudal ke pihak tadi.

Atas dasar itu, argumen perang re-emtif dalam kasus Irak terakhirtampak lemah, karena hampir semua orang tahu Irak tidak – dan tidakpunya kemampuan – mengarahkan rudal ke arah wilayah AS.

Dengan itu, maka sebenarnya yang dilakukan AS kemarin ini tidaklain adalah melancarkan perang preventif. Karena, kalaupun benar Irakmemang bermaksud mengancam AS, atau secara umum negara inimerupakan ancaman bagi adidaya AS, maka ancaman tersebut bisadikatakan masih merupakan ancaman kecil. Irak – meminjam istilahpengamat militer Hasnan Habib – baru berupa anak macan, belummacan dewasa. Sifat preventif lalu tampak menonjol karena macan tidakdiserang ketika ia sudah dewasa atau berbahaya, tetapi justru ketikamasih kecil. Ia diserang sekarang, bukan lima tahun lagi, misalnya.

Aksi Presiden AS George W Bush terhadap Irak bisa dikatakansebagai satu hal baru dalam sejarah dunia kontemporer. Apa yangdilakukan AS ini dikhawatirkan akan dijadikan sebagai preseden dalampraktik penyelesaian pertikaian antarbangsa.

Memang mungkin saja tidak semua negara yang berniatmelancarkan perang preventif bisa menahan kutukan dunia sekuat AS.Tetapi tetap saja perang preventif telah dilihat sebagai satu pilihan solusibagi penyelesaian konflik modern.

Sementara langkah AS di atas juga telah menimbulkan kekhawatiranterhadap sejumlah negara yang sering disebut-sebut AS sebagaipendukung terorisme.

Ninok Leksono, Dunia dan Isu Pertahanan

Page 76: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

76 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Jadi ramifikasi serangan AS ke Irak terakhir ini menjangkau keberbagai pihak, mulai dari negara-negara yang melihat tetangga diperbatasannya sebagai musuh seperti India dan Pakistan, hingga Irandan Korea Utara yang termasuk dalam apa yang sering disebut sebagaibagian dari “Poros Setan”.

Sebelum 20 Maret 2003, seperti ada pemahaman, bahwa sejakberakhirnya Perang Dunia II hingga berakhirnya Perang Dingin adasemacam konsensus mengenai penggunaan kekuatan dan bagaimanahal itu harus diatur.

Kini dengan aksi AS sebagai preseden, bukannya tidak mungkinsatu hari satu kekuatan besar lain melakukan hal yang menimbulkankecemasan itu. Dikhawatirkan perdamaian relatif yang ada sejak PerangDunia II yang ditandai dengan penerapan ketat mengenai tata-carapenggunaan kekuatan kini dihadapkan pada tantangan serius.2

Sebelum ini, adanya pembatasan legal bagi penggunaan kekuatan untukaksi nyata pertahanan diri dan aksi penegakan perdamaian internasionalmenjadi salah satu alasan utama turunnya jumlah perang antarnegara,meskipun jumlah negara bertambah banyak. Tidak banyak negara yangberani melanggar piagam PBB yang menetapkan persyaratan spesifik bagipenggunaan kekuatan untuk melancarkan aksi preemtif. Dua perkecualianyang menonjol, seperti dicatat oleh Chris Reus-Smidt dari Department ofInternational Relations dari Australian National University di Canberraadalah serangan Israel tahun 1981 ke reaktor nuklir Irak di Osirak danserangan negara Yahudi ini yang memicu Perang Enam Hari tahun 1967.

Kini Doktrin Bush memperkenalkan aspek preventif dan invasi keIrak merupakan bentuk penerapannya yang pertama. Hal itu dapatdilihat dengan telah dibukanya Kotak Pandora, yaitu di mana orang takbisa mengetahui di mana limitnya. Yang terjadi, seperti disinggung olehProf Hilary Charlesworth dari Centre for International and Public LawANU, persepsi ancaman benar-benar ada pada si pelaku perang preventif.

Ringkas kata, kini di dunia telah tumbuh kekhawatiran bahwa sikap“jalan sendiri semau sendiri” seperti dilakukan oleh AS sudah menjadisemacam realita kehidupan internasional. Negara adidaya ini akan terusbersikap mengabaikan komunitas internasional sejauh itu dirasanyacocok dengan kepentingannya, misalnya saja ketika ia tidak mau tundukpada Traktat Kyoto yang membatasi pemanasan global.

2. Jane Macartney, Reuters, Singapura, The Jakarta Post, 28/3/03

Page 77: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

77Ninok Leksono, Dunia dan Isu Pertahanan

Keadidayaan besar kemungkinan adalah salah satu alasan mengapaAS mampu bersikap seperti itu. Status itu sendiri ditopang dengankekuatan ekonomi, sains dan teknologi, pengaruh politik di badan-badandunia, serta tentu saja keperkasaan dalam militer.

Dukungan Militer PerkasaKeperkasaan militer ini lah yang kemudian diperlihatkan dalam

Perang Irak terakhir. Senjata berteknologi tinggi (hi-tech) makin besarperanannya. Bahkan karena didukung oleh persenjataan canggih inipula AS memberanikan diri menerapkan perang digital.

Teknologi dan aneka persenjataan terbaru tersedia dalam berbagaipilihan, tetapi jelas bahwa adanya sosok seperti Menteri Pertahanan(Menhan) Donald H Rumsfeld yang pro pada doktrin perang modernmenjadi satu elemen pendorong penting bagi terjadinya Perang Teluk2003 yang sudah sama-sama kita saksikan.

Pada dasarnya, teori perang baru yang diyakini Menhan AS inimemberi tekanan besar pada kekuatan udara, komunikasi komputer,dan kekuatan darat yang tidak besar tetapi lincah. Semua unsur di atasmelambangkan ketinggian teknologi yang telah dicapai AS.

Semenjak bergabung dengan pemerintahan Bush, Rumsfeld memangsudah berbicara tentang “transformasi”, yang ia maksudkan sebagaiorientasi pada kekuatan yang lebih ramping dan banyak ditopang olehteknologi, dan jauh berbeda dengan kekuatan pada zaman Perang Dingin.

Ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh jenderal status quo, bahwaperang masa depan masih akan dimenangkan dengan cara lama, yaitu dengandaya tembak (firepower) mematikan, dan kekuatan darat yang memadai.

Ketika Presiden Bush semakin jelas akan menyerang Irak, makacetak biru perang yang dicapai adalah konsensus antara Rumsfeld danJenderal Tommy Franks. Franks meminta kekuatan konvensionalberjumlah 250.000 pasukan tempur dan pendukung. SementaraRumsfeld mendapatkan persetujuan Franks untuk menggelar pasukansecara bertahap, tidak sekaligus semuanya. Rumsfeld juga mendapatpersetujuan untuk menerapkan strategi yang akan melancarkan seranganudara dan darat secara simultan, gerak maju ke Baghdad yang cepat,serta penggunaan secara ekstensif unit-unit operasi khusus.

Ketika dilaksanakan di medan tempur, yang diharapkan adalahstrategi ini mampu menimbulkan efek “mengejutkan dan menakutkan”(shock and awe). Hanya saja dalam pelaksanaannya tidak semua rencanaperang digital ini mulus.

Page 78: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

78 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Namun pemikiran baru petinggi pertahanan Amerika ini sebenarnyajuga mewakili apa yang telah hidup dalam beberapa tahun terakhir dikalangan penasihat kebijakan pemerintah AS, yang jelas mendukungdiberlakukannya serangan preemtif terhadap musuh-musuh Amerikadi era menyebar-luasnya isu senjata pemusnah massal.

Dalam upaya itu, AS dapat memanfaatkan keunggulannya dalamteknologi tinggi. Antara lain, adalah kemajuan dalam teknologikomunikasi, pengelak radar (stealth), robotik, dan penetapan sasaran(targeting) presisi, yang kesemuanya itu diharapkan bisa bertindaksebagai “pengganda kekuatan” sehingga mengurangi kebutuhan akantentara darat dan kanon besar.3

Jadi apa yang diuji coba dalam Perang Irak terakhir ini sebenarnyabukan saja kecanggihan militer AS, tetapi keseluruhan filosofipeperangan. Antara lain karena pendekatan Rumsfeld kontras tajamdengan doktrin “kekuatan berlebih” (overwhelming force) yang digagasoleh Jenderal Colin Powell, yang menjelang Perang Teluk 1991 menjabatsebagai Kepala Staf Gabungan.

Kalau Powell meminta 550.000 pasukan untuk melancarkan PerangTeluk 1991, Rumsfeld dan koleganya yang sepaham berpendapat, bahwamenggelar pasukan dalam jumlah sangat besar tidak selalu dibutuhkandi era ketika sistem komputasi-jaringan yang kuat dan munisi akuratsemakin bisa menggantikan banyak pekerjaan berbahaya.

Dari pertarungan ide di atas, maka hasil Perang Irak kemarinmemang bisa menentukan nasib visi Rumsfeld, yang diakui memangmendapat tantangan dari banyak kalangan pimpinan militer. Kalau ASbisa menang cepat, maka akan ada langkah untuk mempercepatmodernisasi kekuatannya dan membuatnya semakin bersandar padapersenjataan teknologi canggih. Hal itu pada gilirannya juga akan terusmemberi berkah rejeki pada industri yang terakhir agak terseok

Pameran Persenjataan CanggihSeperti halnya pada Perang Teluk 1991, Perang Teluk 2003 juga

mempertontonkan aksi persenjataan berteknologi tinggi. Seperti halnyapada Perang Teluk I, serangan juga dimulai dengan penembakan ratusanrudal jelajah Tomahawk, yang dilakukan serentak bersama pembomanoleh jet siluman (stealth) F-117A Nighthawk.

3. Business Week, 7 April 2003

Page 79: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

79Ninok Leksono, Dunia dan Isu Pertahanan

Kekuatan udara semakin mengokohkan perannya dalam Perangberbasis teknologi tinggi ini, antara lain dengan pengerahan jet-jet baruseperti Super Hornet F/A-18E yang dilengkapi dengan sensor laser kuatdan dapat menetapkan empat sasaran sekaligus. AS juga mengerahkantiga pesawat pembom dari tiga generasi, mulai dari B-52, B-1, dan B-2untuk misi pemboman sasaran strategis.

Sementara pesawat tempur menguasai udara, dan pembommenghancurkan sasaran militer, kekuatan udara lain juga memberisumbangan besar, yakni helikopter tempur Apache Longbow yangmenjadi ujung tombak bagi gerak maju divisi tank AS. Heli AH-64Dyang sering dijuluki heli tempur paling maju di dunia ini – meski sempatditembak jatuh dalam Perang Irak 2003, konon oleh senapan petani –dapat mengunci 16 tank musuh sebagai sasaran dalam satu waktu.Kekuatan udara kini pun diperkuat dengan pesawat tak berawak (drone)seperti Predator yang diterbangkan di atas sasaran, mengambil citra videomedan tempur dan mengirimkannya ke komandan medan tempur sertaKomando Sentral AS di Qatar melalui satelit komunikasi.

Peran satelit tampaknya juga semakin membesar. Hal ini ditandaidengan semakin banyaknya bom-bom yang dipergunakan, danmengandalkan panduan satelit. Seperti halnya satelit-satelit GPSmengirim informasi pada bom yang tengah dijatuhkan, mengoreksi arah,dan memandunya ke sasaran.

Kekuatan Amerika di Irak dengan demikian memang menikmatisemua kemajuan teknologi yang telah dicapai bangsa itu, sehingga gambarbesar tentang jalannya perang serta pengorganisasiannya bisa diperolehsecara real-time, dan dengan dukungan komunikasi jaringan, hubunganantara komandan dan pasukan bisa dilakukan dengan kecepatan tinggi.

DOKTRIN RUMSFELD1. Serangan secepat kilat jauh ke dalam wilayah musuh dengan

pasukan lebih sedikit tetapi dengan perlengkapan lebih baik.2. Penekanan pada bom dan rudal berpengaruh presisi untuk

melumpuhkan komando dan memaksa musuh menyerah, danitu dilakukan dengan membatasi korban di kalangan sipil.

3. Penggunaan lebih banyak operasi khusus.

Page 80: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

80 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Kebutuhan PemutakhiranSeiring dengan perkembangan situasi internasional, di mana ada

kecenderungan melancarkan aksi sepihak dalam kemasan perangintervensi, serta melalui pengamatan mengenai pola perang modern yangsemakin mengandalkan persenjataan teknologi canggih, maka tidaksedikit negara yang kemudian termotivasi untuk melakukanpemutakhiran peralatan militer selain pemutakhiran doktrin pertahanan.

Berikutnya juga disadari, bahwa upaya-upaya untuk pemutakhiranperalatan militer tersebut ternyata tidak selamanya semulus sepertidiinginkan. Sejumlah faktor ternyata tetap bermain di sini, sehinggameskipun kalangan industri amat berharap bisa menjual produk mereka,akan tetapi pemerintahnya tidak selalu mewujudkan rencana penjualantersebut.

Ternyata prinsip-prinsip yang tetap berlaku dalam banyak transfersenjata adalah sebagaimana dikemukakan oleh Andrew Pierre, bahwahal itu bukan hanya sekadar transaksi biasa, tetapi lebih banyak terkaitdengan hubungan politik.

Jadi kedekatan hubungan antara pemasok (supplier) dan penerima(recipient) amat menentukan kelancaran transfer senjata. Perubahanpolitik amat mewarnai transfer senjata. Polandia relatif belum lama lepasdari pengaruh Blok, namun ketika kredensial demokratiknya memuaskanAS, maka transfer empat skadron F-16 pun bukan hal yang sulit. Bedahalnya dengan Indonesia, meski dikenal dekat dengan AS, namun setelahbeberapa kali dalam kurun satu dekade terakhir, Indonesia terganjalpermintaannya untuk mendapatkan transfer perlengkapan dari AS.

Realita ini sesungguhnya bernuansa paradoks dengan trend yang adadalam perdagangan senjata internasional. Ketika industri perlengkapanmiliter dunia masih terpusat pada sejumlah negara industri maju – dalamhal ini AS dan negara-negara Eropa – maka pilihan pun tidak banyakbagi negara-negara yang menginginkan senjata. Ini lah kondisi yangdisebut sebagai seller’s market atau pasarnya penjual. Dalam kondisi ini,penjual leluasa menetapkan harga dan berbagai persyaratan lain.

Memasuki dekade 1980-an, sains dan teknologi mulai mengalir kenegara-negara industri baru di Asia seperti Malaysia dan Singapura,dan bahkan di negara berkembang seperti Indonesia.

Bila platform senjata utama seperti pesawat tempur umumnya masihdikuasai oleh negara-negara industri maju, di lain pihak senjata sepertisenapan serbu atau kapal patroli cepat sudah bisa dibuat oleh negaraindustri baru dan negara berkembang.

Page 81: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

81Ninok Leksono, Dunia dan Isu Pertahanan

Bahkan harus dicatat di sini, bahwa di antara negara industri majuitu sendiri juga terjadi persaingan yang semakin sengit. Situasi pascaPerang Dingin, negara-negara bekas Blok Barat mencoba memperolehdividen perdamaian. Hal ini ditandai dengan dilakukannya pengurangananggaran belanja militer. Situasi tersebut membuat daya beli internalsusut, dan daya jual produk makin tinggi. Konsekuensinya, antarasesama negara maju tadi harus bersaing ketat memperebutkan pasar.

Situasi ini juga akan membuat pasar senjata internasional menjadilebih cair, di mana konsumen punya lebih banyak pilihan. Trend pasarpun kemudian akan bergeser dari seller’s market ke buyer’s market ataupasar pembeli.

Tetapi rupanya sifat pasar yang seperti itu masih tetap belum bisamengubah ciri dasar transfer senjata, yaitu yang menyangkut jauh-dekatnya hubungan antara penjual-penerima.

Sementara dari segi pembeli, urusan pembelian senjata juga ternyatabukan hanya menyangkut persetujuan penjual, tetapi berikutnya jugatersedianya dana pembelian.

Ditawarkan Tapi Tak Selalu Bisa DibeliSetiap kali usai satu perang, maka satu pihak yang ingin mendapat

keuntungan adalah industri senjata yang berkinerja baik, khususnya dipihak pemenang. Ilustrasi paling spektakuler mengenai hal ini adalah diPameran Kedirgantaraan Paris tahun 1991 yang dilaksanakan kurangdari empat bulan dari Perang Teluk I. Di sana, jet siluman (stealth) yangmengawali Perang itu datang dengan profil tinggi, sementara jet TornadoInggris, demikian pula Jaguar Perancis yang bercat kuning coklat tampakdi sana-sini gosong tersengat cuaca gurun yang amat terik. Ada juga rudalPatriot.

Dengan dipromosikan sebagai combat proven – atau terbukti ungguldalam pertempuran – sederet senjata lalu memang mengundang dayatarik bagi pembeli, khususnya dari negara-negara berkembang yangmerasa sudah cukup punya rejeki atau yang sedang dihadapkan padasatu tantangan keamanan.

Dalam hal Perang Teluk 1991, pembeli utama adalah negara-negaraTeluk sendiri yang dari dekat mendengar kehebatan persenjataantersebut, dan selain itu – khususnya Kuwait – juga ingin menjadikanpembelian perlengkapan militer AS sebagai salah satu bentuk ucapanterima kasih kepada negara adidaya itu karena telah membantunyamengusir Irak Saddam Hussein.

Page 82: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

82 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Tetapi sekali lagi meskipun persaingan di antara pemasok menguat,hal itu tidak serta-merta diikuti dengan penjualan bebas. Apa yangdialami Indonesia boleh jadi merupakan satu contoh yang gamblangtentang dimensi non-ekonomi atau perdagangan dari penjualan senjata.

Perubahan orientasi politik pemerintahan AS yang cenderungmengaitkan masalah seperti HAM pada transfer senjata membuat Indonesiatidak bisa membeli jet F-5E dari Yordania menyusul pecahnya Insiden Dilitahun 1991. Keinginan untuk membeli F-16 tambahan pun pada paruhkedua tahun 1990-an tak diluluskan, hal yang membuat Indonesia padatahun 1997 menanda-tangani persetujuan dengan Rusia untuk membeli jetSukhoi. (Persetujuan ini sendiri kemudian dibatalkan menyusul pecahnyakrisis moneter tahun 1997 yang memburuk pada tahun 1998.)

Pengalaman makin seretnya transfer perlengkapan militer dari ASbertambah buruk lagi menyusul pecahnya aksi kekerasan pasca JajakPendapat Timor Timur tahun 1999. Setelah itu AS, juga negara-negaraEropa Barat, menerapkan embargo terhadap Indonesia menyangkutpenjualan perlengkapan dan suku cadangnya.

Keadaan ini amat memukul Indonesia, baik secara psikologis-politis,maupun secara kemampuan militer. Tidak saja jet F-16, tetapi bahkanjet Hawk yang buatan Inggris pun ikut terkena karena menggunakanavionik buatan Amerika. Lebih buruk lagi, embargo juga mengenaipesawat angkut Hercules, padahal di masa Indonesia banyak terkenakonflik internal lima tahun terakhir, pesawat ini banyak digunakan untukmenjalankan misi kemanusiaan (civic/humanitarian mission).

Selain menyangkut persepsi mengenai HAM, ganjalan dari pemasoklazimnya dikaitkan dengan pertimbangan politik, misalnya pembeliantersebut lalu akan memicu destabilisasi keamanan, meskipun hal inisering juga tidak berlaku. Salah satu contohnya adalah, akuisisi senjataAmerika dan Perancis oleh Taiwan. Dalam arti, meski RRC tidak senangdengan pembelian Taiwan tersebut, tetapi penjualan jet Mirage dariPerancis dan F-16 Amerika tetap dijalankan.

Tampak bahwa dari pihak pemasok sendiri terdapat kebijakan yangdipandang dari kacamata umum bisa terkesan kurang konsisten. Artinya,pertimbangan ekonomi perdagangan untuk mendukung industridomestik lebih mengemuka dibandingkan dengan pertimbangan politikyang mengakomodasi ketidak-senangan RRC terhadap penjualan di era1990-an tersebut.

Page 83: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

83Ninok Leksono, Dunia dan Isu Pertahanan

Sebaliknya pemasok lain juga tidak peduli dengan kerisauan AS.Betapa pun banyak protes AS disampaikan terhadap Rusia yang menjualpembangkit listrik nuklir terhadap Iran, yang dikhawatirkan bisa sekalianuntuk memproduksi bahan pembuat bom nuklir, Rusia tetap jalan terusdengan penjualannya ke Iran. Hal sama juga terjadi dengan pengapalanrudal balistik Korea Utara ke sejumlah negara Timur Tengah, atautransfer teknologi misil RRC ke Pakistan.

Pengawasan Makin KetatTransfer senjata boleh jadi tetap akan mengikuti idiom khasnya

hingga kapan pun, seperti yang menyangkut pola hubungan pemasok-penerima. Tetapi khususnya menyangkut senjata pemusnah massal –dalam hal ini nuklir, biologi, dan kimia – negara seperti AS tampaknyaakan semakin ketat.

Menyusul Serangan 11 September 2001, AS merasa bahwa serangandengan metode paling tak terduga – seperti menjadikan pesawatpenumpang sebagai rudal – pun akan terus mengancam dirinya. Tetapitetap yang dikhawatirkan paling serius adalah serangan yangmenggunakan senjata pemusnah massal. Di sini pengawasan dilakukandengan mengekang tidak saja bomnya, tetapi juga sarana pelontarannya.

Untuk bomnya, pengetatan pengawasan dilakukan denganmembatasi transfer atau penggunaan reaktor dan fasilitas nuklir yangberkapasitas memproduksi material bahan bakar bom, seperti yangdimiliki Korea Utara di Yongbyon. Meski sejauh ini AS dan Korea Utaramasih membuka pintu dialog, tetapi pada pekan ketiga Mei 2003 ASsudah menyuarakan niat untuk bersikap lebih tegas terhadap Pyongyang.Gambaran yang bisa terjadi kalau sampai perundingan tidak produktifdan situasi memburuk, di mana Korea Utara semakin meningkatkanancaman militernya, adalah serangan preemtif A.S. dengan sasarankhusus fasilitas nuklir Yongbyoan.

Dalam kaitannya dengan sarana pelontaran (delivery), sebenarnyasejak tahun 1987 negara-negara besar sudah mendirikan apa yangdinamakan Regim Pengawasan Teknologi Rudal (MTCR, MissileTechnology Control Regime). Regim ini jelas membuat banyak negarayang ingin mengembangkan teknologi peroketan pun jadi kesulitan,karena memang teknologi roket bersifat ganda, bisa sipil untukpeluncuran satelit pemantau cuaca, atau untuk militer guna mengangkuthulu ledak konvensional atau pemusnah massal.

Page 84: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

84 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

Tantangan Teknologi MajuPerang modern seperti Perang Teluk 1991 dan lebih-lebih Perang

Irak 2003 memperlihatkan, bahwa persenjataan teknologi canggihsemakin besar peranannya dalam membantu memenangkan perang.Dukungan teknologi – seperti telah diuraikan di atas – tidak sajadiwujudkan dalam bom-bom yang semakin pintar, karena ia dipandukesasaran dengan sinyal satelit, tidak jatuh bebas, tetapi juga jaringankomunikasi untuk mendukung peperangan.

Harus diakui, bahwa kemajuan teknologi informasi-komunikasi(ICT) telah dieksploitasi seoptimal mungkin oleh AS dalam Perang Teluk2003. Dengan apa yang disebut “Internet Taktis”, maka KomandoSentral bisa memperoleh informasi semua medan tempur seketika,prajurit di lapangan pun – dengan peralatan mobile PDA (PersonalDigital Assistance) - juga bisa mendapat informasi terkini menyangkutperkembangan pergerakan kekuatan.

Jaringan komputer – meski tidak sepenuhnya aman – telah menjadialas bagi dikembangkannya doktrin perang digital. Semula memang halini amat dikhawatirkan. Tetapi dengan bisa diselesaikannya kampanyeperang Irak dalam tempo tiga pekan, dan dengan jumlah pasukan lebihsedikit dibanding jumlah pasukan pada Perang Teluk 1991, makakeyakinan terhadap efektivitas sistem berbasis ICT mendapat pijakankuat (vindicated).

Di sini pun lagi-lagi AS berada dalam posisi paling depan, karenabisa dikatakan bahwa ICT, komputer dan Internet lahir dan berkembangpesat di negeri adidaya itu. Sementara negara-negara berkembang justrusemakin tidak mampu menjangkau kemajuan yang ada, bahkan terjadikesenjangan digital (digital divide).

Jadi, sebagai penutup dapat dikemukakan di sini, bahwa dihadapkanpada situasi internasional, khususnya lingkungan keamanan yangberubah secara fundamental, negara-negara berkembang memangmenghadapi tantangan baru yang tidak sepenuhnya bisa direspons secaramemadai, baik yang berkaitan dengan penguasaan teknologi,pemerolehan persenjataan canggih, maupun penyediaan infrastrukturpendukung yang dibutuhkan.

Memang tidak sepenuhnya hal itu kesalahan negara berkembang,karena negara-negara maju memang dalam perkembangannyacenderung menerapkan sistem dan aturan yang makin ketat bagipenyebar-luasan teknologi, khususnya yang berkaitan denganpertahanan.

Page 85: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

Telah lama kebangsaan memperoleh serangan gencar dari berbagaialiran pemikiran dan kepentingan. Cukup unik bahwa kaum Marxismaupun para kapitalis berskala global – dua entitas yang salingbertentangan – memiliki kecurigaan yang sama terhadap segala sesuatuyang diasosiasikan dengan “bangsa,” “kebangsaan” dan “negarabangsa,” tentu saja dengan alasannya masing-masing. Di mata kaumMarxis kebangsaan — yang kemudian menjadi salah satu dasar bagimunculnya chauvinism itu — merupakan penghalang bagi terciptanyasolidaritas kemanusiaan internasional. Pada tahap ini, kalangan Marxismemiliki posisi yang kurang-lebih sama dengan kaum humanis-liberal.Lebih dari itu, kaum Marxis – dan kali ini berbeda dengan posisi kaumhumanis-liberal – beranggapan bahwa kebangsaan, yang sering kalimenjelma ke dalam bentuk nation-state itu, hanya akan menghasilkansebuah organisasi kekuasaan yang berfungsi untuk mereproduksi relasi-relasi kapitalistis. Sementara itu, di sisi yang lain, bagi kalangan kapitalisraksasa paham kebangsaan yang memunculkan kedaulatan teritorial itumerupakan penghalang bagi ekspansi modal.

Betapapun ide dan praktek bangsa-kebangsaan-nation state kerapkali memperoleh serangan dari berbagai spektrum ideologi dankepentingan, namun pada abad ke-20 dan ke-21 ini fenomena semacam

Bangsa:Antara Bayangan dan Realitas

Rahadi T. Wiratama

Benedict Anderson, Imagined Communities,Komunitas-Komunitas Terbayang,

Pengantar: Daniel Dhakidae, Yogyakarta: Insistbekerjasama dengan Pustaka Pelajar, liii + 336

halaman, termasuk Kepustakaan dan Indeks, 2001

TELAAH BUKU

Page 86: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

86 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

itu tetap muncul sebagai fakta yang sulit ditolak, sejak ia muncul untukpertama kalinya di daratan Eropa pada abad ke-18. Lalu, mengapa gejalabangsa, kebangsaan dan negara-bangsa – di tengah-tengah kritik atasfenomena itu – tetap bertahan hingga kini? Mengapa kematian bangsa-kebangsaan-negara bangsa yang pernah diramalkan sebelumnya takkunjung terwujud—bahkan di era kekinian yang, konon, tak lagimengenal batas-batas teritorial? Dan, mengapa pula kajian tentang aspek-aspek kebangsaan tetap memiliki daya pikat yang kuat bagi ilmu-ilmusosial-humaniora?

Sederetan pertanyaan pokok itulah pada akhirnya mendorongBenedict Anderson – Profesor Ilmu Politik asal Universitas Cornell, AS– untuk melakukan upaya pelacakan terhadap asal-usul nasionalisme.Dengan kata lain, melalui buku ini, Anderson bermaksud untukmenemukan jawaban atas pertanyaan: mengapa fenomen bangsa-kebangsaan-negara bangsa memiliki daya tahan yang luar biasa? Berbedadengan para pemikir klasik tentang nasionalisme yang sebelumnya kerapmenjadi referensi, Anderson rupanya memiliki rumusan tersendiritentang bangsa. Dalam pandangan Anderson, bangsa atau nationmerupakan sebuah komunitas politik terbayang—imagined politicalcommunity. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas(limited) secara inheren, karena pasti ada batas-batas teritorial denganbangsa-bangsa lain di sekitarnya; berdaulat (sovereign), karena parapembayangnya menganggap perlu ada perlindungan; dan akhirnya iadibayangkan sebagai sebuah komunitas (community), karena paraanggotanya memiliki rasa persaudaraan antar mereka.

Ketika internalisasi bayangan tentang bangsa mencapai titik kulminasinya, menurut pengamatan Anderson, para anggota komunitasitu bersedia – jangankan mengorbankan orang lain – bahkan untukmengorbankan dirinyapun orang rela demi apa yang mereka hayatisebagai komunitas-komunitas terbayang itu. Namun Anderson juga taklupa menambahkan bahwa munculnya print capitalism – yang ikutmenyebarluaskan “kesadaran bersama” pada beberapa abad sebelumnyaitu – telah memberikan dasar bagi munculnya gagasan komunitas-komunitas terbayang di daratan Eropa. Lebih dari itu, Anderson meyakiniadanya unsur-unsur kebudayaan dari para pembayang bangsa yang lebihdulu hadir. Faktor inilah yang, menurut Anderson, membuat konstrukkomunitas-komunitas terbayang memiliki watak antropologis.

Dalam buku – yang edisi aslinya diterbitkan tahun 1983 ini –Anderson mengawali pemaparannya dengan mengetengahkan konflik

Page 87: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

87Rahadi T. Wiratama, Bangsa: Antara Bayangan dan Realitas

bersenjata antar tiga negara yang berdiri di atas landasan ideologiMarxisme-Leninisme di tahun 1978-1979: RRC dan RepublikDemokratik Kamboja di satu sisi versus Republik Sosialis Vietnam disisi lain. Meski maksud pemaparan itu tidak dinyatakan secara eksplisit,namun – melalui ilustrasi pertikaian ketiga negara yang mengaku sebagaipewaris ajaran Marxis-Leninis itu – pembaca “digiring” untukmemberikan tafsiran: bahwa kaum Marxis-Leninis yang, konon, memilikisolidaritas atas dasar persaudaraan internasional toh akhirnya – danternyata – dapat masuk ke dalam bentuk pertikaian antar sesama merekasendiri atas nama kepentingan nasionalnya masing-masing. Soalnyaadalah, dapatkah masing-masing negara itu memberikan label kepadapara prajurit yang tewas di medan tempur itu sebagai “gugur dalammembela Marxisme-Leninisme?” Dari ilustrasi semacam itu secarakarikatural Anderson mengajukan pertanyaan, bagaimana mungkin kitadapat membayangkan sebuah tugu peringatan dari sebuah makam yangbertuliskan: “Marxis Tak Dikenal” ataupun “Liberal Tak Dikenal,”hanya sekadar untuk menunjukkan ideologi-politik yang dianut olehmereka yang gugur di medan tempur? Dari persoalan yang diajukanAnderson ini, muncul pertanyaan lebih lanjut: manakah yang lebihabsurd? Pandangan paham kebangsaan ataukah pandangan kaumMarxis dan Liberal?

Lalu, apa signifikansi dari hasil pelacakan Anderson atas komunitas-komunitas terbayang itu terhadap polemik teoritis antara para pembayangbangsa dengan lawan-lawannya? Salah satu jawabannya adalah bahwaketika berbagai aliran ideologi dan pemikiran mendera nasionalismesebagai sebuah bentuk absurditas, kenyataan – sebagaimana yangditunjukkan Anderson – justru memberikan dasar untukmenjungkirbalikkan keyakinan yang selama ini hampir tak tergoyahkanitu. Sebab, kaum Marxis maupun Liberal toh akhirnya tetap merupakananggota (baca: warganegara) dari sebuah komunitas besar (baca: bangsa)betapapun mereka menolaknya. Kaum Marxis maupun Liberal pastiakan mengalami kesulitan untuk menemukan seorang manusia di mukabumi ini yang tidak memiliki tanah air, betapapun ia – seandainyamemang ditemukan jenis manusia semacam ini – mungkin lebih merasasebagai anggota umat manusia sedunia daripada anggota bangsa ataunegara tertentu. Ini berarti bahwa kaum Marxis maupun Liberal yangmembayangkan persaudaraan umat manusia sedunia tanpa tanah airternyata tidak kalah absurdnya dengan para pembayang bangsa. Dengan

Page 88: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

88 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003

demikian, karya Anderson ini secara provokatif membangkitkanpemahaman baru bahwa baik kaum Marxis maupun Liberal tidak perlumenjadi naif dalam memandang nasionalisme hanya karena merekameyakini – dan sekaligus berharap – tiadanya garis demarkasi teritorialyang menyekat solidaritas dan persaudaraan antar manusia sedunia,sebagaimana – di sisi yang lain – sikap curiga dan naif yang juga seringkali dianut oleh para pembayang bangsa terhadap “humanismeuniversal” versi Marxisme maupun Liberalisme.

Namun, lepas dari persoalan dan polemik antara para pembayangbangsa dengan lawan-lawan politiknya itu, rangkaian logic yangmenghubungkan antara “bangsa,” “kebangsaan” dan akhirnya: “negarabangsa” ternyata juga mengandung problematiknya sendiri. Terlebihketika hubungan itu disederhanakan menjadi “bangsa” dan “negara”—dua entitas yang secara awam kerap dipahami sebagai kesatuan yangtidak bermasalah. Dalam pengantarnya di buku ini Daniel Dhakidae –dengan mengambil contoh Jerman pada era the Third Reich danIndonesia pada masa Orde Baru – mengungkapkan bahwa justru disanalah letak kekisruhan logic yang mendasari hubungan antara bangsadengan negara. Proses dari bangsa menjadi negara – sebagaimanaditunjukkan oleh banyak kasus – sering kali mengalami distorsi. Sebabketika banyak pihak ikut andil dalam mewujudkan komunitas-komunitasterbayang, proyek itu akhirnya justru jatuh ke tangan negara—suatufenomen yang pada dasarnya juga disadari oleh Anderson sendiri.Sebagaimana dikemukakan Anderson, penyelewengan komunitas-komunitas terbayang ke dalam bentuk-bentuk nasionalisme resmi,nasionalisme imperial ataupun nasionalisme rasis – yang antikemanusiaan itu – sesungguhnya merupakan lawan dan sekaligus“anomali” dari apa yang oleh Anderson dinyatakan sebagai pahamkebangsaan berwatak kerakyatan yang lebih dulu hadir.

Bentuk-bentuk nasionalisme anti kerakyatan itulah yang kerapmemberikan “sumbangan” terhadap berbagai tragedi kemanusian dalamwujud holocaust dan genocide, sebagaimana dipraktikkan oleh kaumultra-nasionalis Jerman, fasis Itali dan militeris Jepang semasa PerangDunia II, serta kaum rasis Serbia di era 90-an. Pada tahap ini, komunitas-komunitas terbayang akhirnya terperosok menjadi fasisme atau state-nationalism. Dari sisi ini, bayangan tentang bangsa – yang oleh parapembayangnya sama sekali jauh citra kekuasaan dan kekerasan itu –justru sering dijadikan klaim negara fasis untuk membenarkan kehadiran

Page 89: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

89Rahadi T. Wiratama, Bangsa: Antara Bayangan dan Realitas

dan tindakannya. Di masa Orde Baru, misalnya, makna kebangsaan –di bawah jargon “demi persatuan dan kesatuan” – direduksi menjadistabilitas nasional dengan segala perangkat keras dan lunaknya. Dengandemikian, proyek komunitas-komunitas terbayang – yang semula dirintisdan dikerjakan oleh para pembayang yang bernama “bangsa” itu – telahdirebut dan dibelokkan sedemikian rupa oleh kekuatan-kekuatan yanglebih besar (baca: negara), apalagi jika tidak ditujukan dalam rangkadominasi dan hegemoni.

Pada tahap ini muncul suatu ironi, yakni ketika generasi parapembayang bangsa – yang menurut Anderson, berideologi kerakyatanitu – harus menyaksikan karya ciptanya menjadi sumber “legitimasi”bagi pihak lain untuk menciptakan mesin-mesin pembunuh. Dengankata lain, sebagian dari rangkaian tragedi kemanusiaan yang mengisilembar-lembar sejarah moderen umat manusia itu ternyata berhubunganerat dengan soal bangsa-kebangsaan-negara bangsa. Pada titik inilahmuncul sebuah petaka: yakni ketika proses pembayangan komunitas yangpada mulanya bersifat antropologis (baca: kebudayaan) itu kemudianberubah menjadi proses yang bersifat politis (baca: kekuasaan). Jika ituyang menjadi duduk perkaranya, maka bukankah gejala bangsa-kebangsaan-negara bangsa justru vis-à-vis dengan gagasan penguatanmasyarakat sipil, penegakkan demokrasi dan penghormatan atas HAMyang kini juga tengah diperjuangkan di berbagai negeri? Oleh sebab itu,dapat dimengerti apabila sampai hari ini kalangan Marxis maupunliberal-demokrat tetap mencurigai kebangsaan dengan segala raison détredan manifestasinya.

Namun, lepas dari kritik yang memang patut dilakukan untukmenilai buku ini, Anderson pada dasarnya telah menawarkan perspektifbaru dalam memahami munculnya fenomen kebangsaan. CaraAnderson memahami munculnya asal-usul kebangsaan dari sudutpandang subyek – yang oleh Daniel Dhakidae disebut sebagaianthropological in nature itu — ternyata memiliki daya eksplanatiftersendiri. Oleh sebab itu pula karya Anderson ini memiliki pengaruhyang cukup kuat – dan sekaligus menyulut serangkaian polemik — dalamilmu-ilmu sosial-humaniora kontemporer, terutama di bidang culturalstudies. Tidaklah mengherankan jika buku ini telah diterjemahkan kedalam lebih dari duapuluh bahasa. Keseriusan Anderson – yang berlatarbelakang sebagai ilmuwan politik ahli Indonesia itu – dalam melakukaneksplorasi atas asal-usul komunitas-komunitas terbayang itu telah

Page 90: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

90 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-Juli 2003

mendorongnya untuk menjelajah lorong waktu (menjangkau hinggaabad ke 13), memasuki berbagai ruang (benua, kawasan dan negeri),serta mengkaji berbagai sumber literatur yang amat bervariasi: mulaidari sejarah, sosiologi, antropologi, sastra/linguistik hingga arsitektur,teologi, filsafat dan ekonomi. Atas dasar itu, cukup beralasan jika karyaAnderson – yang ingin merangkai hubungan logic antara pembayangdengan sosok bayangannya di satu sisi, serta aktifitas kebudayaan untukmewujudkan bayangan tentang bangsa di sisi lain itu – dapat dinilaisebagai “artefak” diskursus antropologi-politik yang menawarkan metodadan rekonstruksi pemaknaan baru terhadap asal-usul bangsa-kebangsaan-nation state.

Page 91: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

91

BIODATA PENULIS

Dewi Fortuna Anwar, Direktur Program dan Riset, The Habibie Center,Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK), LIPI,Anggota Dewan Direktur Center for Information and DevelopmentStudies (CIDES)

Riza Sihbudi, Ahli Peneliti Utama dan Kepala Bidang PerkembanganPolitik Internasional pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (P2P-LIPI); Dosen Pasca Sarjana Uni-versitas Indonesia (UI) Program Kajian Timur Tengah dan Is-lam; Ketua Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)Jakarta; dan, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi IlmuPolitik Indonesia (AIPI).

Philips J. Vermonte, Peneliti Departemen Hubungan Internasional Centrefor Strategic and International Studies (CSIS).

Ninok Leksono, Redaktur Senior Kompas dan Pengajar Jurusan HI –

FISIP UI

Rahadi T.Wiratama, Peneliti di CESDA-LP3ES

Page 92: JURNAL DEMOKRASI & HAM IsiPhilips J. Vermonte, Reformasi PBB 1 JURNAL DEMOKRASI & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 ANALISIS Dewi Fortuna Anwar Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni

92 Demokrasi & HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003 FORMULIR BERLANGGANAN

SA

YA

BE

RM

INA

T B

ER

LA

NG

GA

NA

N

Mohon d

icatat sebagai pelanggan Jurnal D

emokrasi d

an HA

Md

an mohon d

apat dikirim

ke alamat saya:

Mu

lai Ed

isi:

..................................................................................................

Nam

a:

..................................................................................................

Alam

at:

..................................................................................................

..................................................................................................

..................................................................................................

Telep

on/Fax

:..................................................................................................

Pekerjaan

:..................................................................................................

Instansi:

..................................................................................................

Alam

at kantor:

..................................................................................................

..................................................................................................

..................................................................................................

fax ke: (021) 7817212 • atau kirim

ke: Jl. Kem

ang

Selatan

No

. 98, Jakarta 12560, Telp. (021) 7817211

................................., .........................

Tan

datan

gan:

_____________________

Pembayaran dim

uka:Transfer ke B

ank Mandiri C

abang Jakarta Kem

ang Raya,

a/n Yayasan The Habibie C

enter • a/c 126.0002195401(m

ohon bukti transfer difax bersamaan form

ulir ini)

Harga Langganan

2 Edisi: R

p. 34.000,-(term

asuk disc 15%).

4 Edisi: R

p. 60.000,-(term

asuk disc 25%).

•B

eri tanda pada kolom yang

Anda pilih.

•H

arga sudah termasuk ongkos

kirim untuk Jabotabek.

•Luar Jabotabek dikenakan biayakirim

via jasa Pos R

p. 5.000,-per eksem

plar.•

Harga E

ceran Rp. 20.000,-

per eksemplar