prinsip ham dalam islam
DESCRIPTION
Prinsip HAM Dalam IslamTRANSCRIPT
Prinsip HAM Dalam Islam (Makalah)
A. Prinsp-prinsip HAM Dalam Piagam Madinah
Kelahiran Piagam Madinah tidaklah lepas dari adanya hijrah Nabi Muhamad SAW dari Makkah ke
Madinah, dan merupakan kepanjangan dari dua perjanjian sebelumnya yaitu bai’at aqabah 1 dan 2. Dan
setelah hijrahnya Nabi ke Madinah, maka muncullah masyarakat Islam yang damai, tentram dan sejahtera
di Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, dan
beberapa kabilah arab dari Yahudi dan kaum musyrik Madinah.
Konsep dasar yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad ini adalah adanya
pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesama
warga masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku dan agama. Pagam Madinah atau Mistaqul Madinah
yang dideklarasikan oleh Rasulullah pada tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang
aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi( ).
Menurut ahli sejarah piagam ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya. Secara
sosiologis piagam tersebut merupakan antisipasi dan jawaban atas realitas sosial masyarakatnya. Secara
umum sebagaimana terbaca dalam naskah tersebut, Piagam Madinah mengatur kehidupan sosial
penduduk Madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukan mereka adalah sama, msing-masing
memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan melaksanakan aktifitas dalam bidang
sosial dan ekonomi(2).
Setiap individu memiliki kewajiban yang sama untuk membela Madinah, tempat tinggal mereka. Dengan
demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Muhammad S.A.W. untuk menjdi pemimpin bukan
saja kaum Muslimin (Muhajirin dan Anshor), tetapi bagi seluruh penduduk Madinah (pasal 23-24).
Secara substansial, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dan mengembangkan
toleransi sosial-relijius dan budaya seluas-luasnya (3).
Dengan tercapainya kesepakatan antar kaum di Madinah, maka semakin heterogenlah masyarakat yang
menduduki Madinah. Selain itu, perjanjian ini juga menjadi sangat penting bagi diri Nabi sendiri. Piagam
madinah ini secara tidak langsung menunjukkan kapasitas Nabi sebagai seorang pemimpin dan politikus
yang ulung, ditandai dengan;
a. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyatukan umat Islam dalam satu panji, yaitu Islam, dengan
mengabaikan perbedaan suku, ras dan kabilah. Dan menyatukan hati semua kaum muslimin dalam satu
perasaan.
b. Menjadikan agama sebagai alasan yang paling kuat, sebagai pengerat antar umat mengalahkan
hubungan antar keluarga.
c. Bahwa ikatan yang terbangun atas dasar agama terdapat didalamnya hak-hak atas setiap individu, dan
tercapainya kedamaian dan ketentraman umat.
d. Adanya kesamaan hak antara kaum muslimin dan yahudi dalam hal maslahat umum, dan dibukannya
pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin memeluk agama Islam dan melindungi hak-hak mereka.
Piagam ini bersifat revulusioner, karena menentang tradsisi kesukuan orang-orang arab pada saat itu.
Tidak ada satu sukupun yang memiliki keistimewaan atau kelebihan dengan suku lain, jadi dalam piagam
tersebut sangat ditekankan azas kesamaan dan kesetaraan (equality)(4).
Piagam madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4 tahapan yang berbeda. Pada penulisan
pertama terdapat 28 pasal, yang didalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada
penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Yahudi. Dan
penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang
merupakan penekanan atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang
keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah yang memeluk Islam
Adapun teks Piagam Madinah yang ditulis pada tahap pertama yang terdiri dari 18 pasal, yaitu:
1. Umat Islam adalah umat yang satu, berdiri sendiri dalam bidang akidah, politik, sosial, dan ekonomi,
tidak tergantung pada masyarakat lain.
2. Warga umat ini terdiri atas beberapa komunitas kabilah yang saling tolong-menolong.
3. Semua warga sederajat dalam hak dan kewajiban. Hubungan mereka didasarkan pada persamaan dan
keadilan.
4. Untuk kepentingan administratif, umat dibagi menjadi sembilan komunitas; satu komunitas muhajirin,
dan delapan komunitas penduduk Madinah lama. Setiap komunitas memiliki system kerja sendiri
berdasarkan kebiasan, keadilan, dan persamaan.
5. Setiap komunitas berkewajiban menegakkan keamanan internal.
6. Setiap kominitas diikat dalam kesamaan iman. Antara warga satu komunitas dan komunitas lain tidak
diperkenankan saling berperang; tidak boleh membunuh dalam rangka membela orang kafir, atau
membela orang kafir dalam memusuhi warga jomunitas muslim.
7. Umat Islam adalah umat Allah yang tidak terpecah belah.
8. Untuk memperkuat persaudaraan dan hubungan kemanusiaan diantara umat Islam, warga muslim
menjadi pelindung bagi warga muslim lainnya.
9. Orang Yahudi yang menyatakan setia terhadap masyarakat Islam harus dilindungi. Mereka tidak boleh
dianiaya dan diperangi.
10. Stabilitas umat adalah satu. Satu komunitas berparang, semuanya berperang.
11. Apabila satu komunitas berperang maka komunitas lain wajib membantu.
12. Semua warga wajib menegakkan akhlak yang mulia.
13. Apabila ada golongan lain yang bersekutu dengan Islam dalam berperang, maka umat Islam harus
saling tolong-menolong dengan mereka.
14. Oleh karena orang Kuraisy telah mengusir Muhajirin dari Mekah, maka penduduk Madinah, muasrik
sekalipun, tidak boleh bersekutu dengan mereka dalam hal-hal yang dapat membahayakan penduduk
muslim Madinah.
15. Jika ada seorang muslim membunuh muslim lain secara sengaja, maka yang membunuh itu harus
diqisas (dihukum setimpal), kecuali ahli waris korban berkehendak lain. Dalam hal ini seluruh umat Islam
harus bersatu.
16. Orang yang bersalah harus dihukum. Warga lain tidak boleh membelanya.
17. Jika terjadi konflik atau perselisihan yang tidak dapat dipecahkan dalam musyawarah, maka
penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
18. Semua kesalahan ditanggung sendiri. Seorang tidak diperkenankan mempertanggungjawabkan
kesalahan teman (sekutu)-nya (5).
Dari uraian diatas dapat diambil sebuah landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat, yaitu:
a. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa.
b. Hubungan antara komunitas Muslim dan Non Muslim di dasarkan pada prinsip-prinsip:
1). Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga.
2). Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
3). Membela mereka yang teraniaya.
4). Saling menasehati.
5). Menghormati kebasan beragama.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah adalah;
1. Persamaan,
2. Kebebasan beragama,
3. Hak Ekonomi,
4. Dan Hak hidup.
B. Prinsip-Prinsip HAM Dalam Haji Wada
Islam adalah agama yang menghormati dan menghargai HAM. Sebagai pembawa kabar gembira dan
ajaran Islam, sejatinya Nabi Muhammad SAW adalah seorang pejuang pembela HAM teragung. Hal ini
terbukti dari pesan terakhir Rasulullah SAW ketika Haji Wada (haji perpisahan) pada hari kedelapan
Dzulhijjah. Sebuah pesan yang begitu menghargai HAM dan hak wanita.
''Wahai manusia! Sesungguhnya kamu semua berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Keturunan,
warna kulit serta bangsa tidak menyebabkan seseorang lebih baik dari yang lain. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa,'' sabda Rasulullah.
Kemudian Rasul pun melanjutkan sabdanya, ''Wahai umatku! Kamu berhak atas diri kamu dan isteri-isteri
kamu dengan penuh kasih atas diri kamu. Perlakukanlah isteri-isteri kamu dengan penuh kasih sayang.
Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka atas hak Allah dan halal bagi kamu atas nama Allah”.
Jauh sebelum Barat melalui agen HAM-nya berkoar-koar mengenai hak perempuan, 14 abad lalu Islam
telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk menghargai dan menghormati seorang wanita.
Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, ''Siapa yang paling berhak untuk aku hormati, ya Rasul?
Rasullullah menjawab: ''Ibumu!'' Lelaki itu turut kembali bertanya: ''Lalu siapa lagi?'' Baginda menjawab
''ibumu''. Lalu siapa lagi? ''Ibumu,'' jawabnya. Lalu siapa lagi? ''Bapakmu!''.
Kemudian hadist riwayat yang lain tentang isi khutbah Haji Wada yang di riwayatkan oleh Abu Umamah
bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak
masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil,
wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).
Contoh lainnya yang ditunjukkan Rasulullah Saw dalam menegakkan HAM adalah ketika pada tahun ke-
9 hijriah, kaum muslimin berhasil membebaskan kawasan yang dihuni kaum Yahudi Bani Najran. Setelah
itu, Rasulullah langsung membuat traktat yang ditandatangani secara bersama dengan para pemuka Bani
Najran.
Pada butir-butir traktat yang dibuat itu, Muhammad Saw dengan lapang dada mengakui hak warga
Yahudi Bani Najran untuk mengamalkan keyakinannya. Bahkan, keamanan dan penjagaan atas harta
benda milik warga Najran juga menjadi tanggung jawab kaum muslimin (6).
Adapun inti dari prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam pidato Rasulullah saw dalam
Haji Wada adalah sebagai berikut:
1. Hak-hak Alamiah
Adapun yang termasuk dalam hak-hak ini adalah:
a. Hak Hidup
b. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
c. Hak Bekerja
2. Hak Hidup
Adapun yang termasuk dalm hak-hak ini adalah:
a. Hak Pemilikan
b. Hak Berkeluarga
c. Hak Keamanan
d. Hak Keadilan
e. Hak Saling Membela dan Mendukung
f. Hak Keadilan dan Persamaan
C. Prinsip-prinsip HAM DalamDeklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Isu tentang pelaksakaan HAM tidak lepas dari perhatian umat islam, apalagi mayoriyas negara-negara
islam adalah tergolong ke dalam barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan
ketidakadilan negara-negara Barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara islam HAM
Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran islam yang telah ditetapkan Alloh SWT. Berkaitan dengan
itu, negara-negara islam yang tergantung dalam organization of the islamic conferensi (OIC/OKI) pada
tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam di Kairo.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI ini selanjutnya dikenal dengan sebutan
Deklarasi Kairo. Deklarasi ini berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al-qur’an dan sunah
yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak
asasi manusia (the universal Declaration of human right/UDHR) yang dideklarasikan oleh PBB tahun
1948 (7).
Pasal-pasal yang terdapat dalam Deklarasi Kairo mencakup beberapa persoalan pokok, antara lain:
a. Hak pesamaan dan kebebasan (pasal 19 ayat a,b,c,d dan e) pasal ini berdasarkan pada :
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-israa’ ayat 70
2. Surat an-nisaa’ ayat 58, 105, 107, 135
3. Surat al-mumtahanah ayat 8
b. Hak hidup (pasal 2 ayat a, b, c, dan d)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-maidah ayat 45
2. Surat al-isra’ ayat 33
c. Hak memperoleh perlindungan (pasal 3)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-insaan ayat
2. Surat al-balad ayat 12-17
3. Surat at-taubah ayat 6
d. Hak kehormatan pribadi (pasal 4)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat at-taubah ayat 6
e. Hak menikah dan berkeluarga (pasal 5 ayat a dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-baqarah ayat 221
2. Surat ar-ruum ayat 21
3. Surat an-nisaa’ ayat 1
4. Surat at-tahrim ayat 6
f. Hak wanita sederajat dengan pria (pasal 6)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-baqarah ayat 228
g. Hak-hak anak dari orang tua (pasal 7 ayat a,b,c)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-baqarah ayat 233
2. Surat al-israa’ ayat 23-24
h. Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan (pasal 9 ayat a
dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat at-taubah ayat 122
2. Surat al-alaq ayat 1-5
i. Hak kebebasan memilih agama (pasal 10)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-baqarah ayat 256
2. Surat al-kahfi ayat 29
3. Surat al-kafiruun ayat 1-6
j. Hak kebebasab bertindak dan mencari suaka (pasal 12)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat an-nisaa’ ayat 97
2. Surat almumtaahanah ayat 9
k. Hak-hak untuk bekerja (pasal 13)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat at-taubah ayat 105
2. Surat al-baqarah ayat 286
3. Surat al-mulk ayat 15
l. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (pasal 14)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-baqarah ayat 275-278
2. Surat an-nisaa ayat 161
3. Surat ali imran ayat 130
m. Hak milik pribadi (pasal 15 ayat a dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-baqarah ayat 29
2. Surat al-baqarah ayat 29
n. Hak memiliki hasil atau produk ilmu (pasal 16)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-ahqaaf ayat 19
2. Surat al-baqarah ayat 164
o. Hak tahanan dan narapidana (pasal 20-21)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat al-mumtahanah ayat 8 (8)
Dari deklarasi ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa Islam mengakui persamaan semua orang tanpa
membedakan asal-usul, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bahasa. persamaan adalah basis untuk
memperoleh hak dan kewajiban asasi manusia. kebebasan manusia dalam masyarkat Islam consisten
dengan esensi kehidupannya, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan bebas dari tekanan dan
perbudakan. Islam mengakui persamaan antara penguasa dan rakyat yang harus tunduk kepada hukum
Allah tanpa diskrimasi. warganegara adalah anggota masyarakat dan mempunyai hak untuk menuntut
siapapun yang mengganggu ketentraman masyarakat.
D. Isu Perdebatan HAM dalam perbedaan Aliran Islam Di Masyarakat Islam Indonesia
Kebolehan berikhtilaf dikalangan masyarakat muslim dibolehkan dalam agama, bahkan dikatakan bahwa
ikhtilaf itu juga rahmat. Sebuah hadis menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad akan terpecanh
menjadi 73 golongan. Dalam kenyataan masyarakat Indonesia sekarang, ikhtilaf itu nampaknya tidak
membawa rahmat tetapi justru menjadi factor pengganggu ketentraman kehidupan beragama umat.
Secara garis besar ikhtilaf yang kita lihat dalam sejarah ada tiga macam, yaitu: ikhtilaf dalam soal-soal
fikih dan furuiyah, ikhtilaf dalam soal kalam, dan ikhtilaf dalam sosal ijtihad politik. Ikhtilaf dalam soal-
soal furuiyah telah terjadi sejak zaman Islam klasik hingga sekarang, bahkan telah melahirkan macam-
macam mazhab dalam Islam (9).
Pada zaman modern sekarang, ikhtilaf dalam bidang ini hampir tidak lagi membawa pertentangan atau
perpecahan masyarakat, kecuali riak-riak kecil dan pada masa lalu. Kematangan ini terjadi karena
meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Islam. Adapun ikhtilaf dalam bidang teologi ternyata telah
mengakibatkan sejumlah kekerasan, seperti kasus khawarij dan mihnah pada zaman Islam klasik. Pada
zaman modern, kekerasan sektarianisme ini juga masih terjadi di sejumlah Negara muslim.
Sedangkan ikhtilaf dalam ijtihad politik, tentu lebih banyak lagi contohnya yang berujung kepada
kekerasan, baik pada masa klasik maupun modern. Sesungguhnya di Indonesia ikhtilaf itu terjadi pada
ketiga-tiga kategori tersebut di atas: ikhtilaf furuiyah, ikhtilaf teologi, dan ikhtilaf politik. Dalam ikhtilaf
furuiyah, hampir tidak ada masalah lagi sekarang kecuali percikan di berbagai tempat.
Ikhtilaf teologi, sesungguhnya sedang berkembang sekarang berhubung semakin berkembangnya faham
Syiah di Indonesia, sementara 99% penduduk Indonesia penganut Islam Sunni dan sebagian terbesarnya
penganut Syafiiyah. Kita juga pernah punya masalah dengan LDII, tetapi sekarang LDII telah bergabung
dengan umat Islam mainstream dengan pernyataannya pada tahun 2007 sebagai hasil Munas/Kongresnya.
Kita juga pernah mempunyai masalah akibat munculnya gerakan Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai
nabi, tetapi telah dapat diselesaikan dengan pembubaran gerakan sesat komunal itu.
Tentu saja perpecahan teologis yang paling actual adalah masalah Ahmadiyah di Indonesia yang oleh
Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah diberikan fatwa sesat dan pengikutnya dihukumi murtad. Khusus
tentang masalah Ahmadiyah ini akan kita uraikan lebih lanjut. Adapun ikhtilaf ijtihad politik, kekerasan
yang ditimbulkan telah terbukti dengan gerakan Darul Islam Kartosuwiryo, gerakan NII, dan Bom Bali I
dan II (10).
Ada pula ikhtilaf ijtihad politik yang sejauh ini belum menimbulkan kekerasan yaitu pendapat yang
mengatakan perlunya dibangun sistim khilafah di negeri ini, menggantikan sistim yang ada. Jika itu
berarti harus menghapus NKRI maka pendapat ini akan dapat menimbulkan malapetaka politik yang
besar, apalagi jika aliran ini bergerak bukan hanya pada tataran opini tetapi melakukan tindakan atau
gerakan kekerasan misalnya.
Masalah Ahmadiyah di Indonesia sesungguhnya pada awalnya adalah masalah aliran teologi, tetapi
sekarang telah berkembang menjadi masalah politik, bahkan politik internasional terutama setelah
semakin bergaungnya isu HAM di dunia internasional dan di negeri ini. . Secara sepintas kilas kedua
konsep itu, kebebasan beragama dan penodaan agama, nampaknya tidak saling menyapa bahkan saling
menafikan, tetapi ketika dikaitkan dengan persoalan kedudukan dan peran Negara didalamnya,
sesungguhnya kedua konsep itu bertemu pada muara yang sama yaitu bagaimana ketentraman dan
ketertiban umum (law and order) dapat senantiasa dijaga.
Penegakkan law and order inilah entry point yang legal bagi suatu negara atau pemerintah untuk
mengaturnya. Karena itu seyogyanya pemerintah tidak berbicara pada tataran teologi (sesat atau tidak
sesat), melainkan pada tataran law and order ini.
Sesungguhnya di dalam masyarakat terdapat banyak juga kesesatan beragama, tetapi tidak memerlukan
campur tangan pemerintah karena kesesatan itu bersifat individual. Meminta-minta kepada kuburan,
misalnya, tentu adalah perbuatan sesat bagi seorang muslim tetapi karena bersifat perorangan maka tidak
mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Kerancuan dalam hal ini seringkali menyebabkan semakin berlarutnya suatu masalah, seperti pada
persoalan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Banyak dokumen internasional telah diadopsi oleh PBB
yang didalamnya antara lain mengatur tentang kebebasan beragama. Pertama yang harus disebut tentu
DUHAM (UDHR) yang diadopsi PBB bulan Desember 1948 yang dalam Pasal-pasal 18, 26, dan 29
menyebutkan mengenai pokok-pokok kebebasan beragama yang mencakup kebebasan seseorang
memeluk agama, mengubah agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk secara pribadi atau bersama-
sama dalam masyarakat dalam ruang public atau privat menyatakan agamanya atau kepercayaannya
dalam peribadatan, ketaatan, dan pengajaran pengamalannya(11).
Dokumen berikutnya ialah Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan politik (ICCPR) yang
diadopsi PBB tanggal 16 Desember 1966 yang dalam Pasal 18 menyebut tentang kebebasan beragama.
Kemudian dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diadopsi
PBB pada tanggal 16 Desember 1966 juga, pada Pasal 13 dinyatakan mengenai kebebasan orang tua/wali
untuk menyekolahkan anak sesuai agama yang dianut(12).
Kemudian dalam Deklarasi tantang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi
Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981, Pasal 1 juga dinyatakan bahwa
orang bebas memilih dan menganut agama. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Anak yang
diadopsi PBB pada tanggal 30 November 1989, khususnya pasal 14, 29, dan 30, dinyatakan bahwa
Negara harus menghormati hak agama anak. Masih ada beberapa dokumen lagi seperti Durban Review
Conference (2009) yang juga menyebut keharusan adanya larangan diskriminasi berdasarkan agama.
Komitmen Indonesia untuk menegakkan HAM bersifat nasional dan internasional. Sejumlah kovenan
internasional telah diratifikasi oleh Indonesia, sejumlah UU baru terkait HAM telah diberlakukan, bahkan
Indonesia juga telah mengamandemen UUD 1945 untuk menambahkan beberapa Pasal tentang HAM
agama di dalamnya.
Sungguh sangat menarik bahwa pasal 29 UUD 1945 yang mengatur HAM agama telah ada lebih tiga
tahun sebelum PBB mengadopsi DUHAM pada tahun 1948. Pada tahun 1965 dengan Penetapan Presiden
No. 1 Tahun 1965 yng kemudian diangkat menjadi UU dengan UU No. 5 Tahun 1969, dinyatakan dalam
Penjelasan Pasal 1 bahwa meskipun secara historis terdapat enam agama di Indonesia (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), tidaklah berarti agama-agama lain seperti Shinto, Yahudi,
Zoroaster, dan Tao dilarang di Indonesia.
UU ini sungguh sangat terbuka dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia, meskipun dalam
masyarakat seringkali tidak dipahami demikian. Pada tahun 2000 melalui amandemen UUD 1945,
beberapa pasal yang antara lain mengatur kebebasan beragama dimasukkan melalui Pasal 28E, 28I, dan
28J yang terkenal itu.
Pada tahun 2002, Indonesia mengesahkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam
Pasal-pasal 37, 39, 42, dan 43 mengatur tentang hak-hak agama anak, termasuk dalam pengangkatan
anak. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pada Pasal 12 ayat 1a juga
diatur tentang hak pendidikan agama anak didik, sesuai agama yang dianutnya.
Pada tahun 2005 Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya menjadi UU No. 11 Tahun 2005. Pada tahun 2005 juga Indonesia meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menjadi UU No.12 Tahun 2005. Pada tahun 2006 UU
No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diberlakukan, dimana pada Pasal 64 diatur
bahwa orang boleh tidak mengisi kolom agama dan tetap dilayani hak-hak sipilnya. Pada tahun 2008 UU
No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik diberlakukan.
Demikianlah Indonesia telah berjalan jauh dalam upayanya menegakkan HAM agama, melalui
amandemen UUD, ratifikasi kovenan internasional, dan pemberlakuan UU baru. Komnas HAM juga telah
dibentuk dan bekerja, antara lain untuk menjamin kebebasan beragama. Dalam literature, biasanya
disebutkan ada delapan komponen kebebasan beragama yang harus dijamin itu, yaitu: internal freedom,
external freedom, non-coercion, non-discrimination, rights of parents and guardians, corporate freedom
and legal status, limits of permissible restrictions on external freedom, dan non-derogability(12 ).
Seberapa jauh UU kita telah mengatur semuanya, perlu kajian lebih lanjut. Tetapi sesungguhnya
kedelapan komponen itupun mengandung kontradiksi di dalam dirinya, akibat takaran pembatasan yang
tidak jelas atau belum diatur. Takaran keselamatan umum mungkin cukup jelas, tetapi takaran ketertiban
umum misalnya, sangat lentur sifatnya. Apalagi jika ada kelompok dalam masyarakat yang menolak
bentuk pengaturan apapun oleh negara terkait kehidupan keagamaan masyarakat.
Bagi kelompok ini, pembatasan apapun tidak boleh dilakukan terhadap kehidupan beragama, meskipun
menyangkut komponen external freedom yang menurut dokumen-dokumen internasional memang dapat
dibatasi dengan UU. Dalam kontek ini penyebaran ajaran Ahmadiyah tentang adanya nabi setelah Nabi
Muhammad SAW dikategorikan oleh mereka sebagai bagian dari kebebasan beragama yang bersifat non-
derogable.
1. . Islam dan HAM
Islam sebagai agama universal mengandung prinsi-prinsip hak asasi manusia. Sebagai sebuah konsep
ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya.
Menurut ajaran Islam individu lain terjadi bukan karrena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan
keimanan dan ketakwaannya. Adanya perbedaan itu tidak menyebabkan perbedaan dalam kehidudukan
sosial. Hal ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat dipungkiri telah memberikan kontribusi
pada perkembangan prinsip-prinsip hak asasi manusia di dalam masyarakat internasional.
Dalam sejarah kontribusi islam terhadap dua deklarasi yang dapat memuat hak-hak asasi manusia yang
dikenal dengan Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).
1. Piagam Madinah
Konsepsi dasar yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad ini adalah adanya
pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesame
warga masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku dan agama. Piagam Madinah atau Mitsaqul
Madinah yang dideklarasikan oleh Rasulullah pada tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan
tentang aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi.
Terdapat dua landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam Piagam Madinah, yaitu:
1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa.
2. Hubungan antara komunitas Muslim dan Non-muslim didasarkan pad prinsip-prinsip:
1. Berinteraksi secara baik dengan sesame tetangga.
2. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
3. Membela mereka yang teraniaya.
4. Saling menasehati.
5. Menghormati kebebasan beragama.
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya. Secara
sosiologis piagam tersebut merupakan sntisipasi dan jawaban terhadap realitas sosial masyarakatnya.
Secara umum sebagaimana terbaca dalam naskah tersebut, Piagam Madinah mengatur kehidupan sosial
penduduk madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukan mereka adalah sama, masing-masing
memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan melaksanakan aktivitas dalam bidang
sosial dan ekonomi.
Setiap individu memiliki kewajiban yang sama untuk membela Madinah, tempat tinggal mereka. Dengan
demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Muhammad SAW untuk menjadi pemimpin bukan
saja kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar), tetapi seluruh penduduk Madinah(pasal 23-24). Secara
subtansial, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dan mengembangkan toleransi
sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.
Piagam ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan orang-orang Arab pada saat itu.
Tidak ada satu sukupun yang memiliki keistimewaan atau kelebihan dengan suku lain, jadi dalam piagam
tersebut sangat ditekankan azas kesamaan dan kesetaraan (equality).
1. b. Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Isu tentang pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian umat Islam, Apalagi mayoritas Negara-negara
Islam adalah tergolong ke dalam barisan Negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan
ketidakadilan Negara-negara barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan Negara-negara Islam
HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Berkaitan
dengan itu Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of the Islamic (OIC/OKI) pada
tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai dengan syariat Islam di
Kairo.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan Negara-negara OKI ini selanjutnya dikenal dengan sebutan
Deklarasi Kairo. Deklarasi ini berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al-Qura’an dan
Sunnah yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta
hak-hak asasi manusia (The Universal of Human Right/ UDHR) yang dideklarasikan oleh PBB tahun
1948.
Pasal-pasal yang terdapat dalam Deklarasi Kairo mencakup beberapa persoalan pokok, anataa lain:
1) Hak Persamaan dan Kebebasan (pasal 19 ayat a,b,c,d dan e)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Israa’ ayat 70
2. Surat An-Nisaa’ ayat 58, 105, 107, 135
3. Surat Am-Muntahanah ayat 8
2) Hak Hidup (pasal 2 ayat a,b,c, dan d)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Maidah ayat 45
2. Surat Al-Isra’ ayat 33
3) Hak Memperoleh Perlindungan (pasal 3)
Pasal ini berdasarkam pada:
1. Surat Al-Insaan
2. Surat Al-Balad ayat 12-17
3. Surat At-Taubah ayat 6
4) Hak Kehormatann Pribadi (pasal 4)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat At-Taubah ayat 6
5) Hak Menikah dan Berkeluarga (pasal 5 ayat a dan b)
Pasal ini berdasrka pada:
1. Surat Al-Baqarah ayat 221
2. Surat Ar-Ruum ayat 21
3. Surat An-Nisaa’ ayat 1
4. Surat At-Tharim ayat 6
6) Hak Wanita Sederajat dengan Pria (pasal 6)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Baqarah ayat 228
7) Hak Anak-anak dari Orangtua
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Baqarah ayat 233
2. Surat Al-Israa’ ayat 23-24
8) Hak Memperoleh Pendidikan dan Berperan serta dalam Perkembangan Ilmu Pengetahhuan (pasal 9
ayat a dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat At-Taubah ayat 122
2. Surat Al-Alaq ayat 1-5
9) Hak Kebebasan Memilih Agama (pasal 10)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Baqarah ayat 256
2. Surat Al-Kahfi ayat 29
3. Surat Al-Kafiruun ayat 1-6
10) Hak Kebebasan Bertindak dan Mencarii Suaka (pasal 12)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat An-Nisaa’ ayat 97
2. Surat Al-Mumtahanah ayat 9
11) Hak-hak untuk Bekerja (pasal 13)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat At-Taubah ayat 105
2. Surat Al-Baqarah ayat 286
3. Surat Al-Mulk ayat 15
12) Hak untuk Memperoleh Kesempatan yang Sama (pasal 14)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Baqarah ayat 275-278
2. Surat An-Nisaa’ ayat 161
3. Surat Ali Imran ayat 130
13) Hak Milik Pribadi (pasal 15 ayat a dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Baqarah ayat 29
2. Surat An-Nisaa’ ayat 29
14) Hak untuk Menikmati Hasil atau Produk Ilmu (pasal 16)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Ahqaaf ayat 19
2. Surat Al-Baqarah ayat 164
15) Hak Tahanan dan Narapidana (pasal 20-21)
Pasal ini berdasarkan pada:
1. Surat Al-Mumtahanah ayat 8
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(QS: Al-Isra’ : 70)