hukum agraria - edu.shallman.co file3 landasan hukum tanah nasional tidak memberikan definisi atau...

141
1 HUKUM AGRARIA Oleh: SHALLMAN DARSONO

Upload: trinhkhanh

Post on 27-Apr-2019

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

HUKUM AGRARIA

Oleh:

SHALLMAN

DARSONO

2

BAB I

PENDAHULUAN

I. Istilah Hukum Agraria

Sebelum memaparkan mengenai hukum agraria, akan disinggung terlebih

dahulu mengenai istilah agraria. Istilah agraria atau sebutan agraria dikenal

dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan kata akker

yang berarti tanah pertanian, dalam bahasa Yunani kata agros yang juga berarti

tanah pertanian1 Dalam bahasa Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah,

agrariu berarti perladangan, persawahan dan pertanian.2 Dalam bahasa Inggris,

agrarian berarti tanah untuk pertanian.3 Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian.4 Dalam Black

Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait dengan tanah, atau

kepemilikan tana terhadap suatu bagian dari suatu kepemilikan tanah (agraria

is relating to land, or land tenure to a division of landed property).5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang

lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan

1 42Urip Santoso, Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2009, Hal 1.2 Prent K Adisubrata, J. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Latin Indonesia, Semarang:Yayasan Kanisius, 1960.3 bid.4 45Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, CetakanKeempat, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Hal 13.5 ryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co,2004, Hal 73.

3

landasan hukum tanah nasional tidak memberikan definisi atau pengertian

mengenai istilah agraria secara tegas. Walaupun UUPA tidak memberikan

definisi atau pengertian secara tegas tetapi dari apa yang tercantum dalam

konsideran, pasal-pasal dan penjelasanya dapat disimpulkan bahwa pengertian

agaria dan hukum agraria dipakai dalam arti yang sangat luas.6 Pengertian

agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.7

Pengertian-pengertian mengenai agraria secara umum berkaitan dengan

tanah atau tanah pertanian karena dari istilah yang muncul dalam bahasa latin

yang hampir sama penyebutannya dengan Agraria yakni Agrarius yang berarti

tanah untuk pertanian. Dapat dipahami tentunya mengingat pada saat itu tanah

begitu luasnya dan hanya digunakan sebagai tempat untuk pertanian, karena

saat itu yang menyangkut mengenai tanah dan yang perlu diatur adalah tanah

pertanian. Tanah Pertanian pada saat itu adalah faktor terpenting dari kegiatan

ekonomi. Istilah agraria dalam bahasa Inggris yakni Agrarian lebih luas lagi

yakni tanah dan yang berkaitan dengan tanah dan juga terdapat pengertian

bahwa tanah juga didefinisikan sebagai tanah untuk penghunian dalam bidang

perumahan. Pengertian dalam bahasa Inggris lebih luas dari pengertian

sebelumnya yang digunakan dalam bahasa latin. Hal ini dikarenakan dalam

perkembangannya tanah tidak hanya digunakan untuk pertanian, tetapi seiring

meningkatnya pertumbuhan penduduk maka tanah juga dibutuhkan untuk

permukiman dan penghunian rakyat.

Dalam UUPA, pengertian agraria menjadi lebih luas lagi dari pengertian

dalam teks bahasa Inggris. Pembuat undang-undang memasukan faktor sumber

6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Op. Cit., Hal 67 bidi

4

daya alam dalam definisi agraria, menurut penulis hal tersebut dimaksudkan

untuk membuat landasan hukum terhadap kekayaan sumber daya alam

Indonesia. Jadi bila ingin memanfaatkannya kekayaan sumber daya alam

tersebut, negara harus ikut berperan dalam pengaturanya sesuai dengan jiwa

Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Selanjutnya mengenai pengertian hukum agraria, terdapat juga beberapa

pendapat ahli dan definisi mengenai hal tersebut. Menurut Black Law’s

Dictionary, agrarian law is the body of law governing the ownership, use, and

distribution of rural land.8 Agrarian laws digunakan juga untuk menunjukan

kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan

pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan

dan pemilikannya. Definisi lain dari hukum agraria yang dalam bahasa belanda

disebut dengan agrarisch recht, merupakan istilah yang dipakai dalam

lingkungan administrasi pemerintahan. Agrarisch recht di lingkungan

administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-

undangan yang memberikan landasan hukum bagi para penguasa dalam

melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan9

Pengertian hukum agraria dalam UUPA adalah dalam arti pengertian yang

luas bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi merupakan

kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak

penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian

agraria. Kelompok tersebut terdiri atas:

1. hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah

8 Bryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, Loc. Cit.9 Bid, hal 5

5

dalam arti permukaan bumi;

2. hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;

3. hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas

bahanbahan galian yang dimaksudkan dalam undang-undang di

bidang pertambangan;

4. hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas

kekayaan alam yang terkandung di dalam air;

5. hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang

angkasa (bukan Space Law), yang mengatur hak-hak

penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa

yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.10

Beberapa ahli memberikan pendapat mengenai pengertian hukum agraria,

yakni:

1. E. Utrecht memberikan pengertian yang sama pada hukum

agraria dan hukum tanah, tetapi dalam arti yang sempit

meliputi bidang hukum administrasi negara, menurutnya,

hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata

usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum

istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat

yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan

tugas mereka itu.11

2. Subekti/Tjitrosoedibjo memberikan arti yang luas pada hukum

10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria, Isi dan Pelaksanaanya, Op. Cit., Hal., 811 56E Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT Penerbitan dan Balai BukuIchtiar, 1961, Hal 162, 305, 321, dan 459.

6

agraria yaitu,:

agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di

dalamnya dan diatasnya, seperti telah daiatur dalam dalam

Undang-Undang Pokok Agraria, LN 1960-104. hukum

agraria ( agrarisch recht Bld.) adalah keseluruhan dari pada

ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata maupun

hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula hukum tata

usaha negara (administratif recht) yang mengatur

hubunganhubungan antara orang termasuk badan hukum,

dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah

negara dan menagatur pula wewenang-wewenang yang

bersumber pada hubungan tersebut.12

3. J . Valkhof memberikan pengertian agrarisch recht bukan

semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan pertanian,

melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga hukum

mengenai penguasaan tanah. Mengenai yang dibicarakan

adalah hukum agraria tersendiri adalah atas pertimbangan,

bahwa melihat obyek yang diaturnya ketentuan-ketentuan

hukum yang bersangkutan merupakan suatu kesatuan yang

sistematis.13

Dalam kepustakaan hukum negara Uni Soviet terdapat tulisan G.

Aksenyonok, yang terjemahannya berjudul Land law. Land Law dirumuskan

sebagai suatu cabang hukum yang mandiri dari hukum Soviet Sosialis yang

12 Subekti dan Tjitrosoedibjo, Kamus Hukum, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1969.13 Arie Sukanti Sumantri, Op. Cit., Hal 6

7

mengatur seluruh hubungan hukum yang timbul dari nasionalisasi tanah

sebagai milik Negara.14

Pengertian hukum agraria ternyata berbeda satu sama lain ketika berkaitaN

dengan hukum maka ada penekanan agraria akan dibawa kepada fokus

tertentu sesuai dengan konteks ideologi suatu bangsa pada saat itu. Dalam

lingkungan Pendidikan Tinggi Hukum, sebutan Hukum Agraria umumnya

dipakai dalam arti Hukum Tanah (dalam bahasa inggris disebut Land Law

atau The Law of Real Property), yaitu suatu cabang Tata Hukum Indonesia

yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.15

Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa

Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau

sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan,

pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan

atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris

agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam

UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-

batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya.

Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah

mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus

sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi

14 Fundamentals of Soviet Law”, Moscow: Foreign Languages Publishing House, tth.15 Arie Sukanti Sumantri, Op. Cit., Hal 6

8

tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi

habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat,

tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.

Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum

agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang

mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian

Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum

baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan

dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya.Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan

untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan

pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah

Menurut Black Law’s Dictionary, hukum agraria adalah hukum yang

mengatur kepemilikan, penggunaan, dan distribusi tanah pedesaan. Agrarian

laws juga menunjuk pada perangkat peraturan hukum yang bertujuan

mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan

penguasaan dan pemilikannya.

Hukum agraria dalam bahasa Belanda disebut Agrarisch recht yang

merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi pemerintahan.

Dengan demikian Agrarisch recht dibatasi pada perangkat peraturan

perundang-undangan yang memberikan landasan bagi para penguasa dalam

melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.

9

Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum agraria adalah keseluruhan

kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang

mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum yang tertulis

adalah hukum agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-

peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara, sedangkan kaidah hukum

yang tidak tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum adat agraria

yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan,

perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang

bersangkutan.

Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, hukum agraria (Agrarisch recht),

adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata,

maupun hukum tata negara (Staatsrecht ) maupun pula hukum tata usaha

negara (Administratifrecht ) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang

termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh

wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada

hubungan-hubungan tersebut.

Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu

perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai

bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas

sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria.

Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas

a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam

arti permukaan bumi.

10

b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.

c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-

bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok

Pertambangan.

d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan

alam yang terkandung di dalam air.

e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang

Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur

dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Utrecht memberikan pengertian yang sama pada hukum agraria dan hukum

tanah, tetapi dalam arti yang sempit meliputi bidang hukum administrasi

negara. Menurutnya, hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum

tata usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa

yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus

soal-soal tentang agraria melakukan tugas mereka.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum agraria merupakan

keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis, yang mengatur agraria, baik dalam pengertian sempit yang hany

mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam pengertian luas, mencakup

bumi, air, ruanag angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

11

Sumber:

1. Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudu

Pandang Praktisi Hukum, Cet. III (Jakarta: Rajawali, 1991)

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, dalam

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi

3. Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria,

Cet. I (Jakarta: Rajawali, 1986)

4. Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha

Pustaka, 2012)

5. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta:

Kencana, 2009)

Soal-soal:

1. Sebutkan asal-usul istilah hukum agraria

2. Uraikan pengertian Hukum Agraria dalam arti sempit dan luas

3. Jelaskan Hukum Agraria menurut beberapa ahli

4. Menurut Boedi Harsono hukum agraria merupakan kelompok-kelompok

berbagai bidang hukum. Jelaskan bidang-bidang kelompok tersebu

12

BAB II

PENGERTIAN HUKUM TANAH

Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat

mendasar, karena Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas

tanah. Masyarakat Indonesia memposisikan tanah pada kedudukan yang

sangat penting, karena merupakan factor utama dalam peningkatan

produktivitas agraria. Dalam terminology asing tanah disebut dengan

land, soil (Inggris), adama (Semit) dan dalam leumah (Sunda); petak,

bumi (Dayak); rai (Tetum). Perbedaan istilah tersebut terjadi bukan

sekedar karena adanya perbedaan bahasa, namun lebih dari itu yakni

karena perbedaan pemaknaan tanah oleh manusia yang menguasai atau

menggunakannya beberapa terminology daerah disebut dengan siti,

bhumi, lemah (Jawa); palemah (Bali); taneuh. Perbedaan istilah tersebut

terjadi bukan sekedar karena adanya perbedaan bahasa, namun lebih dari

13

itu yakni karena perbedaan pemaknaan tanah oleh manusia yang

menguasai atau menggunakannya

Sebutan tanah dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam berbagai

arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui

dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam pengertian hukum,

tanah telah diberi batasan resmi. Tanah adalah permukaan bumi

sebagaimana dalam Pasal 4 UUPA bahwa, atas dasar hak menguasai dari

Negara…ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunya oleh

orang-orang…

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis

adalah permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian

tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran

panjang dan lebar.16 Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang

dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan

atau dimanfaatkan. Sehingga diberikannya dan dipunyainya tanah

dengan hak-hak tersebut dalam UUPA tidak akan bermakna jika

penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja.

Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga

penggunaan sebagian tubuh yang ada di bawahnya dan air serta ruang

yang ada diatasnya. Oleh karena itu bahwa hak-hak atas tanah bukan

hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu

16 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya,BagianPertama, Jilid I.Djambatan, Jakarta, 2003,hal 18.

14

permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga

tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di

atasnya.

Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu

adalah tanahnya dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.

Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut

diperlukan hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang

ada di bawah tanahdan air serta ruang yang ada diatasnya.17

Pada perspektif filsafat, tanah mempunyai hubungan sangat

fundamental dengan manusia. Di dalam istilah agama manusia dari Allah

dan akan kembali kepada Allah kepada dasarnya yaitu tanah. Karena

sesuai dengan asal proses penciptaan manusia adalah berasal dari tanah,

maka akhir hidupnya akan kembali pada tanah dari tanah kembali ke

tanah. Dengan demikian bahwa hubungan antara manusia dan atau

masyarakat dengan tanah ini bersifat abadi. Pengertian lebih lanjut

bahwa sesungguhnya sumber ekonomi dan sumber-sumber politik

didalam masyarakat adalah tanah, dalam pengertian yang luas termasuk

turun-turunan pemanfaatannya.18

Dalam National Land Code Malaysia (1965) dan Land Titles Act

Singapura (1993) tanah disebut land dan yang dimaksud adalah juga

17 5 Boedi Harsono, Hukum agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria, Isi danPelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003, hal 8718 Joyo Winoto, Laporan Seminar Nasional “Penataan Ulang Kelola Sumber Daya Agraria SebagaiUpayaPeningkatan Kualitas Daya Dukung Lingkungan dan Kemakmuran Rakyat, Universitas Jember, 16April 2006, hal 8.

15

permukaan bumi, tetapi diperluas hingga meliputi juga hak atas tubuh

bumi di bawah dan ruang udara di atasnya dalam batas-batas keperluan

yang wajar, jadi ada persamaan hakiki dengan pengertian tanah dalam

arti yuridis dalam UUPA. Namun terdapat perbedaan juga mengenai

pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah. Malaysia dan

Singapura menggunakan asas accessie (Asas perlekatan yakni bangunan

dan tanaman yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan

tanah dan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan). Berbeda

dengan hukum tanah Indonesia yang menggunakan asas hukum adat

yang disebut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding) yakni

bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, sehingga

perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi

bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Jika perbuatan hukumnya

dimaksudkan meliputi, maka secara tegas hal itu harus dinyatakan dalam

akta.

Dalam hukum adat, tanah mempunyai arti religious magis dengan

konsepsi komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah

secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi,

sekaligus mengandung unsure kebersamaan. Konsepsi dalam hukum

adat tersebut dituangkan dalam UUPA (lihat Pasal 1 dan 2 UUPA),

artinya dalam hukum tanah nasional seluruh permukaan bumi adalah

tanah bersama rakyat Indonesia, namun dimungkinkan bagian dari tanah

bersama itu dikuasai secara individual dengan hak atas tanah yang

bersifat pribadi sekaligus mengandung unsure kebersamaan.

16

Makna tanah bagi manusia tidak terbantahkan. Ia tidak hanya

memberi fungsi ekonomis, politis, namun juga cultural,

kehormatan/identitas/harga diri. Tanah tidak semata-mata berarti benda

dalam arti fisiknya, namun diatasnyalah dibangun ruang social, berbagai

hubungan dijalin, persaingan terjadi, penguasaan dominan dan politik

dikontestasikan.

Hak atas tanah menjadi pemicu dan penyebab, pembentuk dan

pengendali perubahan ditengah-tengah masyarakat nasional

Internasional. Menurut Syahyuti, tanah merupakan sumber agraria yang

mengandung 2 (dua) aspek utama yaitu: aspek kepemilikan dan

penguasaan, dan aspek penggunaan dan pemanfaatan.19 Secara hakiki,

makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia,

tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek social, ekonomi,

budaya, politik, pertahanan-keamanan dan aspek hukum.

Secara filosofis, tanah cenderung diartikan sebagai land dan bukan

soil, sehingga tanah dipandang dalam visi multidimensional.20 Heru

Nugroho, menyebutkan tanah bagi masyarakat memiliki makna

multidimensional:

1. Dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat

mendatangkan kesejahteraan.

2. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam

pengambilan keputusan masyarakat.

19 7 Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menuruut Hukum Adat diIndonesia, JurnalForum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 24 No. 2 Juli 2006, hal 14.20 Agum Gumelar, Reformasi Pertanahan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 3.

17

3. Sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status

social pemiliknya.

4. Tanah bermakna sacral karena berurusan dengan warisan dan

masalah-masalah transedental.21

Menyadari pentingnya manfaat tanah bagi manusia, sekaligus

merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, maka

pemerintah dalam berbagai kebijakan berupaya untuk mengatur

pemanfaatan, peruntukan dan penggunaan tanah demi kemaslahatan

umat manusia di Indonesia.

Di Indonesia masalah sumber daya agraia (dalam arti luas) diatur

dalam konstitusi sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini

secara prinsip memberi landasan hukum bahwa bumi dan air serta

kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kewenangan pengaturan

tanah seluruhnya diserahkan kepada Negara sebagai suatu organisasi

kekuasaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran

rakyat. Lebih lanjut tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) dan

Peraturan Pelaksananya. Diharapkan dari penguasaan tersebut akan

berdampak pada kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan dan

kemakmuran bagi rakyat.

Dalam perspektif hukum, tanah dikaji berdasarkan hak-hak

penguasaan tanah sebagai suatu system hukum. Artinya bagaimana

21 9Heru Nugroho, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002, Hal. 99.

18

hukum memandang persoalan pertanahan berkaitan dengan hakhak

penguasaan atas tanah dalam suatu system. Sebagai suatu system maka

hak atas tanah harus dilihat sebagai suatu nilai. Karena hukum sebagai

perwujudan nilai-nilai, maka pengaturan penguasaan dan pemilikan

tanah mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi

dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka

penguasaan dan pemilikan hak atas tanah harus dilindungi. Pengkajian

hak atas tanah dari perspektif ilmu hukum berarti membahas hak atas

tanah dari aspek penguasaan dan pemilikannya.

Kedudukan tanah dalam tata nilai yang berbeda-beda tersebut apabila

ditinjau dari kajian filsafat ilmu hukum, maka tanah mengandung nilai

yang berbeda-beda, tergantung pada tempat dan waktu dimana tata nilai

itu tumbuh dan berkembang. Perbedaan tata nilai tersebut

mengakibatkan perbedaan system hukum tanah. Selain itu, pengaruh

factor ekonomi, politik dan hukum telah mengakibatkan kecenderungan

untuk memaksakan tata nilai tertentu pada tata nilai lain, yang berujung

pada dekonstruksi dan rekonstruksi system hukum tanah tertentu.

Dengan pendekatan filsafat Hukum akan dicari hakikat dari tanah dan

hak atas tanah serta apa yang ada dibelakang tanah dan hak atas tanah,

serta menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.

Dengan demikian secara filsafati, penguasaan dan pemilikan tanah sarat

dengan muatan nilai yang melatarbelakangi lahirnya norma hukum yang

mengatur penguasaan dan pemilikan atas tanah yang didalamnya

terdapat kewenangan, hak dan kewajiban serta kekuasaan. Filsafat ilmu

19

hukum merupakan terminology yang digunakan untuk memahami

hukum tanah sebagai realita utuh dengan pendekatan holistic yang

didalamnya mengandung tiga aspek yaitu:

(1) aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua

orang dalam penguasaan dan pemilikan tanah;

(2) aspek tujuan keadilan atau finalitas, yaitu menentukan isi

hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang

hendak dicapai atas penguasaan dan pemilikan tanah yakni

masyarakat yang adil dan makmur;

(3) aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa

hukum tanah dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus

ditaati dan memberikan kepastian hukum.

Tanah adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia, tanah

menyangkut kehidupan dan tujuan dari kematian. Tanah dalam

kaitanya dengan Indonesia tentunya memiliki makna yang sangat

istimewa. Mengingat Indonesia adalah negara yang dari dulu hingga

kini terkenal. Tanah sangat penting maka tidak heran apabila kemudian

kita mengenal istilah tanah air, tanah tumpah darah, bumi persada,

tanah pusaka dan ibu pertiwi.22

Tanah adalah apa yang menjadi dasar bagi penciptaan manusia,

sementara sebagian lainya mengenal tanah adalah sebagai bahan

bangunan. Tanah merupakan suatu harga diri dan warisan, yang

22 Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional: Himpunan Peraturan-peraturan HukumTanah, (Jakarta : Margaretha Pustaka, 2013) hlm 1

20

dengan nyawa pun harus kita pertaruhkan. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia23, tanah dapat diartikan :

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali

2. Keadaan bumi di suatu tempat

3. Permukaan bumi yang diberi batas

4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,

batu cadas dan sebagainya)

Luasnya arti dan pemahaman masyarat tentang tanah maka

dilahirkanlah Hukum Tanah. Pokok pengertian tanah tertata dalam satu

susunan undang-undang yaitu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Menurut UUPA sendiri, tanah memiliki arti yang berbeda, arti tanah

dalam UUPA ini dijelaskan oleh Boedi Harsono, menurut Budi

Harsono24 pengertian tanah berdasarkan apa yang dimaksud dalam

Pasal 4 UUPA, “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang

dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang lain serta badan-badan hukum” bahwa hak menguasai dari negara

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang

disebut tanah. Tanah dalam pengertian yuridis dapat diartikan sebagai

permukaan bumi.

Lahirnya UUPA tentu bukan tanpa sebab, secara umum, lahirnya

23 Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi keempat, (Jakarta: PusatBahasa, 2008), hlm.20.

24 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria Isi dan Pelaksanannya, (Jakarta : Djambatan, 2005), hlm. 18.

21

suatu aturan hukum tidak lepas dari sejarah bangsa itu sendiri. Von

Savigny mengatakan das Recht wird nich gamacht, est is und wird mit

dem Volke (hukum tidak dibuat, hukum ada dan lahir menyatu dengan

bangsa)25.UUPA lahir karena hukum barat yang selama ini mengatur

tentang tanah, dinilai tidak sesuai lagi dengan spirit dan rechtiide (cita

hukum) bangsa Indonesia.

Lahirnya UUPA membawa suatu suasana baru dalam perjalan

bangsa Indonesia yang kala itu tengah menemukan kemerdekaanya.

Mengingat begitu fundamentalnya peran UUPA, maka dalam

pembuatanya UUPA didasari atas 3 tujuan yaitu :

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria

Nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran,

kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat

tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur

2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan

kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

ketiga tujuan tersebut maka munculah 5 Prinsip yang secara garis

besar mendasarkan pada kemanusiaan dan kesejahteraan. Prinsip-

prinsip itu adalah (1) Nasionalisme (2) tanah dan sumber-sumber

agraria lainya memiliki fungsi sosial – bukan komersial (3) anti

25 L.J. Van Apeldroon, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Sinar Harapan,1983) hlm. 141

22

ekploitasi terhadap manusia dan monpoli (4) landreform populis (5)

dan perencanaan agraria26. UUPA tentunya bisa kita pahami memililiki

tujuan untuk mementingkan kepentingan bangsa dibandingkan

kepentingan ekploitasi. UUPA juga mengutamakan kesejahteraan

rakyat yang dalam hal ini melalui tanah di bandingkan mengutamakan

nilai ekonomis tanah. Prinsip-prinsip sosialis yang dibangun oleh

UUPA ini tentunya adalah buah hasil dari pahitnya masa penjajahan

Sebagai hukum tanah nasional yang baru dalam materi muatan yang

terdapat dalam UUPA mengandung tujuan, konsepsi, asas, sistem dan isi.

Materi muatan tersebut dimaksudkan agar hukum tanah nasional harus:27

a. berdasarkan hukum adat tentang tanah

Hukum adat adalah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia

karena hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia.

Walaupun demikian hukum adat tersebut harus disempurnakan

dari kekurangan yang ada sehingga dapat memenuhi

perkembangan zaman

b. Sederhana

Yang dimaksud dengan sederhana adalah sesuai dengan tingkat

pengetahuan bangsa Indonesia yakni dengan memilih hukum adat

sebagai dasar hukum yang baru

c. Menjamin Kepastian Hukum

Kepastian hukum ini dibutuhkan karana masalah agararia

berkaitan

26 Bernhard Limbong, Op.cit, hlm 3327 Ibid., Hal 162-163

23

dengan kegiatan ekonomi yang memerlukan pembuktian yang

jelas dan

pasti dalam kegiatan-kegiatanya.

d. Sesuai dengan nilai agama

Tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama yang telah

lama tertanam dalam masyarakat Indonesia

e. memberi kemungkinan agar bumi, air, dan ruang angkasa dapat

mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan

makmur;

Pembangunan nasional tentu membutuhkan tanah sebagai faktor

produksi, untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan

pembangunan maka perlu digunakan secara efesien dan diperlukan

pengaturan, pengendalian, dan pembinaan oleh pemerintah. Hal-

hal tersebutmemerlukan landasan hukum yang harus dituangkan

dalam hukum tanah yang efisien dan efektif.

f. Sesuai dengan masyarakat Indonesia

UUPA harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat Indonesia

bukan kepentingan sebagian kelompok atau golongan

g. Sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman dalam bidang

agraria;

UUPA harus memberikan kemungkinan untuk dapat

menyelesaikan

persoalan-persoalan dimasa depan.

h. Mewujudkan Pancasila

24

i. pelaksanaan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Manifesto

Politik Republik Indonesia sesuai dengan pidato Presiden tanggal

17 Agustus 1960;

Yang dimaksud adalah UUPA mengembalikan bangsa Indonesia

ke jalur yang benar dalam revolusi nasioanal, dalam bidang agraria

kebijaksanaannya adalah persoalan tanah yang diwariskan oleh

zaman Belanda harus segera diakhiri terutama mengenai hak

eigendom

j. melaksanakan ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.

UUPA merupakan pelaksanan dari pasal 33 UUD NRI Tahun

1945, oleh karenanya didalam UUPA harus dijiwai konsepsi yang

tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

Dasar filosofis dari dibentuknya suatu aturan hukum, selain untuk

mengatur dalam menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah

memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum merupakan instrument

agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan public. Namun, proses

penegakan keadilan melalui instrument hukum selalu diterpa dilemma yang tak

berkesudahan . Masalah keadilan telah ditelaah sejak zaman Yunani kuno,

berasal dari pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya

dan terhadap lingkungannya.28 Keadilan terhadap penguasaan dan pemilikan

hak atas tanah adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu

tanah.

28 14 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan HAM, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal.97

25

Menurut John Rawls guru besar Universitas Harvard bahwa keadilan

adalahkebajikan utama dalam institusi social, sebagaimana halnya kebenaran

pada system pemikiran. Oleh karena itu untuk memenuhi rasa keadilan maka

pemerintah melalui UUD 1945 dan UUPA telah menentukan Pasal 7 UUPA;

larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 …setiap pemegang

hak atas tanah wajib mengusahakan tanahnya secara aktif. Menurut Rawls,

situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga

paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi

kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin

maksimum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi

masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untuk yang paling

tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua,

ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.

Maksudnya, supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar

dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang

berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial,

harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegakkan bahwa program penegakan

keadilan yang berdimensi kerakyatan harusla memperhatikan dua prinsip

keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap

orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan social ekonomi yang

terjadi sehingga dapat member keuntungan yang bersifat timbal balik bagi

setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

26

beruntung.

Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia dalam hal terjadi sengketa

pertanahan menggunakan hukum progresif yaitu ketentuan pertanahan yang

memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan atas tanah, keadilan substansif dan

strategi pembangunan hukum yang rensponsif, sehingga dapat membuat

trobosan baru terhadap masalah-masalah konkrit sengketa pertanahan. Yakni

memberlakukan UU sepanjang itu diyakini member rasa keadilan dan

menggali keadilan sendir dari denyut kehidupan masyarakat jika UU yang ada

tidak member rasa keadilan

Dilihat pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas

permukaan bumi yang paling atas. Yang dimanfaatkan untuk menanami

tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian,

tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan

disebut tanah bangunan

Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu:

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam

pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-

orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta

badan-badan hukum”.

Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak-hak

atas tanah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas,

27

berdimensi dua panjang dan lebar. Sedangkan Ruang dalam pengertian yuridis,

yang terbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar dan tinggi yang dipelajari

dalam Hukum Tata Ruang.

Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi wewenang

untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi

dan air serta ruang yang di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan

langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas

menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang

kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari

tanah yang dihakinya. Kata “mempergunakan” berarti hak atas tanah itu

digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Perkataaan “mengambil

manfaat” berarti tanah itu digunakan untuk kepentinga bukan mendirikan

bangunan, misalnya , pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.

Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan

peraturan-peraturan hokum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang

mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga

hukum dan hubungan-hubungan hokum yang kongkret.

Objek Hukum Tanah adalah Hak Penguasaan Atas Tanah, yang berarti hak

yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi

pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Objek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud

dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian

28

wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat

sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Objek hukum tanah adalah hak

penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi hak penguasaan atas tanah sebagai

lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret.

Sebagai lembaga hukum, hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan

dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau

pemegang haknya. Sebagai hubungan hukum yang konkret, hak penguasaan

atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan

orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional yaitu hak

bangsa Indonesia, hak menguasai dari negara, hak ulayat masyarakat hukum

adat, dan hak-hak perseorangan. Hak bangsa Indonesia merupakan hak

penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak

penguasaan atas tanah yang lainnya. Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA

menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari

seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Itu artinya,

tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia.

Terkait hak menguasai negara, konsepsinya secara normatif diatur dalam

Pasal 2 UUPA. Hak ini tidak memberikan kewenangan untuk menguasai secara

fisik tetapi semata-mata sebagai kewenangan publik. Negara diberikan

kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya

yang merupakan kekayaan nasional. Perincian kewenangan negara tersebut

diatur dengan jelas dalam ayat (2), yang mencakup:

29

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubunngan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan

ruang angkasa.

Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu

masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam

wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan terhadap hak

ulayat ini ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA. Substansinya ialah bahwa

keberadaan hak ulayar diakui sepanjang hak ulayat itu masih hidup dan

pelaksanaannya tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta

kepentingan pembangunan.

Hak-hak perseorangan meliputi hak-hak atas tanah, hak atas tanah wakaf, hak

jaminan atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun. Hak atas tanah

yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan

kepada perseorangan baik kepada warga negara Indonesia maupun warga

negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum, baik

badan hukum privat maupun badan hukum publik.

30

Sumber:

1. Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudu

Pandang Praktisi Hukum, Cet. III (Jakarta: Rajawali, 1991)

2. Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria,

Cet. I (Jakarta: Rajawali, 1986)

3. Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha

Pustaka, 2012)

4. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta:

Kencana, 2009)

Soal-soal:

1. Jelaskan pengertian hukum tanah menurut UUPA

2. Jelaskan pengertian hukum tanah menurut Effendi Perangin

3. Uraikan apa yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah

4. Negara diberikan hak untuk mengatur tanah. Jelaskan!

31

BAB III

RUANG LINGKUP AGRARIA

I. Ruang Lingkup Umum

Ruang lingkup hukum agraria yang akan dipaparkan secara umum

adalah lingkup hukum agraria yang berkaitan dengan pengertian

hukum agraria dalam bahasa umum, pengertian agraria dalam

lingkungan administrasi pemerintahan, dan pengertian agraria dalam

pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Lingkup hukum agraria dalam

pengertian bahasa umum tidak selalu dipakai dalam arti yang sama.

Perbedaan tersebut tentunya tergantung konteks tempat dan waktu.

Sebagai perbandingan adalah definisi yang berbeda antara definisi

dalam bahasa Latin dan bahasa Inggris sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya.

Lingkup hukum agraria berkaitan dengan pengertian hukum

agraria dalam administrasi pemerintahan di Indonesia. Sebutan agraria

dilingkungan administrasi pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik

tanah pertanian maupun non pertanian. Hukum agraria dalam

lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat

peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum

bagi para penguasa dalam melaksankan kebijakan di bidang

pertanahan29

Lingkup pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA

29 oedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria…Op., Cit, Hal 69

32

meliputi, bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya,

bahkan meliputi ruang angkasa, yaitu ruang diatas bumi dan air yang

mengandung tenaga dan unsurunsur dalam ruang angkasa guna usaha-

usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang

bersangkutan dengan itu.30 Bumi memiliki pengertian permukaan

bumi yang disebut tanah atau tubuh bumi dibawahnya serta yang

berada dibawah air.31 Dengan demikian pengertian tanah meliputi

permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang ada

di bawah air termasuk air laut.32 Dari kesimpulan tersebut dapat

diuraikan lingkup agraria sebagai berikut:

a. bumi meliputi juga landas kontinen Indonesia. Landas

kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar

perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur

dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai

kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin

diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan

alam.33

b. Pengertian air adalah Air adalah semua air yang terdapat

pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah,

Termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air

30 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Op. Cit.,Pasal 4831 bid., Pasal 1 ayat 4 jo Pasal 4 ayat 1.32 64Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria…Op., Cit, Hal., 733 65Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang UndangNomor 1 Tahun 1973,LN No.1 Tahun 1973 TLN No. 2994 , Pasal 1 huruf a.

33

hujan, dan air laut yang berada di darat.34

c. Kekayaan alam yang tekandung didalam bumi termasuk

minyak bumi, gas alam, mineral, dan batubara. Minyak

bumi adalah adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon

yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer

berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral

atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses

penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan

hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari

kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha

Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan gas bumi adalah adalah

hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi

tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang

diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas

Bumi.35

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk

di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta

susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk

batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Sedangkan

batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang

terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan36

34 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Sumber Daya Air. Undang-Undang Nomor 7Tahun 2004, LN No.32 Tahun 2004 TLN No. 4377, Pasal 1 angka 135 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Miyak dan Gas Bumi . Undang-Undang Nomor22 Tahun 2001,LN No.136 Tahun 2001 TLN No. 3260, Pasal 1 angka 1 dan angka 236 68Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Mineral dan Batubara . Undang-Undan Nomor4 Tahun 2009, LN No.4 Tahun 2009 TLN No. 4959 , Pasal 1 angka 2 dan angka 3

34

d. Kekayaan yang terkandung di dalam air adalah ikan beserta

lingkungan sumber dayanya. Ikan adalah segala jenis

organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya

berada di dalam lingkungan perairan. Sedangkan

Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat

kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor

alamiah sekitarnya.37

e. Dalam kaitanya dengan keakayaan alam di dalam tubuh

bumi dan air terdapat suatu wilayah yang dikenal dengan

Zona Ekonomi Eksklusif yaitu, Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut

wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan

undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia

yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di

atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur

dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.38

f. Pengertian agraria dalam UUPA pada hakikatnya sama

dengan pengertian ruang39 pengertian ruang adalah wadah

yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,

37 69Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, LN No.154Tahu 2009TLN No. 5073, Pasal 1 angka 3 dan angka 4.38 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983,LN No.44 Tahun 1983 TLN No. 2152 , Pasal 2.39 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria…, Op., Cit, Hal 8.

35

melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan

hidupnya.

Dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia, hukum agraria

disajikan sebagai mata kuliah yang mempelajari hukum tanah baik

yang meliputi aspek hukum publik maupun perdata. Mata kuliah

hukum Agraria yang mempelajari hukum tanah sebagai suatu bidang

yang mandiri. Sebagai suatu bidang mata kuliah yang mandiri karena

tidak terlepas dari kelahiran UUPA yang mengakhiri kebhinekaan

hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan perangkat

hukum yang berstruktur tunggal. Lahirnya UUPA mewujudkan

kesatuan di bidang hukum tanah bukan saja hukumnya yang

diunifikasi tetapi juga hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas

tanah yang ada yang bersumber pada hukum sebelumnya. Hak-hak

tersebut hampir semuanya diubah menjadi hak yang baru yang diatur

dalam UUPA. Dengan diciptakannya hukum tanah yang tunggal oleh

UUPA merupakan perubahan yang mendasar. UUPA membawa

perubahan-perubahan pada tatanan konsep, isi dan struktur susunan

hukum tanah nasional. Hal tersebut telah membawa bangsa Indonesia

menghadapi hal-hal yang baru pada bidang pertanahan baik persoalan

hukum maupun persolan politik. Hal-hal dan persolan tersebut

tentunya perlu dipelajari, diteliti, dikaji, dan ditemukan

pemecahannya, maka mata kuliah agraria sangat berperan

melaksanakan hal tersebut.

36

Mata kuliah hukum agraria sejak awal dikelola dan dikembangkan

menjadi mata kuliah baru yang mempelajari ketentuan-ketentuan

hukum tanah sebagai satu kesatuan sistem dalam tata hukum

Indonesia.40

Dengan demikian bahwa tanah dalam pengertian yuridis adala

permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagaian

tertentu permukaan bumi, yang berbatas dimensi dua dengan ukuran

panjang da lebar. Sedangkan ruang dalam pengertian yuridis, yang

berbatas berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar, dan tinggi.

Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi

kewenangan kepada pemegang hak untuk mepergunakan dan

mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya sesuai dengan

peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2)

UUPA pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk

mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi

dan air serta ruang yang ada ditasnya sekedardiperlukan untuk

kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan peraturan hukum lain

yang lebih tinggi.

Adapun Hukum tanah sendiri adalah:

Keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula

yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan

yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembag-

40 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria…, Op., Cit., Hal 11

37

lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkret,

beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara

sistematis, hingga keseluruhanya menjadi satu kesatuan yang

merupakan satu sistem.41

Obyek hukum tanah adalah penguasaan atas tanah. Yang dimaksud

hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian

wewenang kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk

berbuat sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang

merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak

ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur

dalam hukum tanah.42 Hierarki

hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional,

adalah:

a. Hak Bangsa Indonesia, terdapat dalam Pasal 1, sebagai hak

penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan

publik.

b. Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 hanya

beraspek publik.

c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, terdapat dalam Pasal

3, beraspek publik dan perdata.

d. Hak-Hak Perorangan/Individual, Yang hanya beraspek

perdata, terdiri dari:

41 Ibid, hal 31.42I ibid, hal 24

38

1. Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual yang

semuanya secara langsung ataupun tidak langsung

bersumber pada Hak Bangsa, yang terdapat dalam Pasal

16 dan Pasal 53 UUPA.

2. Wakaf yaitu hak milik yang sudah diwakafkan Pasal 49

UUPA.

3. Hak jaminan atas tanah yang disebut Hak Tanggungan

dalam Pasal 25,

Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA.

II. Ruang Lingkup UUPA

Ruang Lingkup UUPA yang dimaksud adalah struktur materi yang

diatur dalam UUPA itu sendiri. UUPA terdiri dari lima

pengelompokan, empat bab, 58 Pasal dan 9 Pasal besar. Dari struktur

tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut::

a. Kelompok Pertama

1) Bab I mengenai Dasar-Dasar dan Ketentuan- Ketentuan

Pokok. Dalam bab ini diatur mengenai:

a) Obyek pengaturan agraria dalam wilayah Indonesia.

Obyek yang dimaksud adalah seluruh bumi, air dan

ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya.

b) Penguasaan negara terhadap kekayaan alam

sebagaimana yanag dimaksud dalam Pasal 33 ayat

(3) UUD NRI Tahun 1945.

39

c) Pengakuan terhadap hak-hak ulayat dan yang serupa

dengan hal itu dalam masyarakat hukum adat

sepanjang masih ada eksistensinya serta harus

mengindahkan unsure-unsur hukum agama. Hak-

hak tersebut harus berdasarkan kepentingan

persatuan bangsa dan demi kepentingan nasional

dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

d) Penentuan macam-macam hak menguasai atas tanah

oleh negara.

e) Fungsi sosial hak atas tanah

f) Pembatasan kepemilikan atas tanah

g) Hak warga negara Indonesia yang mempunyai

kesempatan memperoleh sesuatu hak atas tanah.

h) Pengusahaan dibidang agraria yang bwerdasarkan

atas kepentingan bersama untuk kepentingan

nasional.

2) Bab II mengenai Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang

Angkasa serta Pendaftaran Tanah. Dalam bab ini

terbagi dalam beberapa bagian, yakni:

a) Bagian I Ketentuan-ketentuan umum, yang berisi:

i. Jenis hak atas tanah.

ii. Jenis haka atas air dan ruang angkasa.

iii. Pemabatasan luas tanah maksimum yang boleh

40

dimiliki.

b) Bagian II Pendaftaran Tanah, yang berisi:

i. Pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah. Hal

ini dilakukan untuk menjamain kepastian

hukum.

ii. Cakupan pendaftaran tanah.

c) Bagian III Hak Milik, yang berisi:

i. Kedudukan

ii. Subyek hukum.

iii. Cara perolehan, peralihan, dan hapusnya

penguasaan.

iv. Jaminan hutang

d) Bagian IV Hak Guna Usaha, yang berisi:

i. Kedudukan

ii. Subyek hukum.

iii. Cara perolehan, peralihan, dan hapusnya

penguasaan.

iv. Jangka waktu

v. Jaminan hutang

e) Bagian V Hak Guna Bangunan, yan berisi:

i. Kedudukan

ii. Subyek Hukum

iii. Cara Perolehan, peralihan, dan hapusnya

41

penguasaan

iv. Jangka waktu

v. Jaminan Hutang

f) Bagian VI Hak Pakai, yang berisi

i. Kedudukan.

ii. Subyek hukum.

iii. Cara perolehan dan peralihan pengusaan.

iv. Jangka waktu.

g). Bagian VII Hak Sewa Bangunan

i. Kedudukan.

ii. Subyek hukum.

iii. Cara perjanjian dan pembayaran

h) Bagian VIII Hak membuka tanah dan memungut hasil

hutan

i). Bagian IX Hak guna air, pemeliharaan dan

penangkapan ikan

j). Bagian X Hak guna ruang angkasa

k). Bagian XI hak-hak tanah untuk keperluan suci

l). Ketentuan lain-lain, Berisi pengaturan lebih lanjut

kepada peraturan pelaksana mengeni pengusaan hak-

hak atas tanah dan pembebanan hak tanggungan

terhadap penguasaan hak atau tanah yang diatur

dengan undang-undang.

42

3) Bab III mengenai Ketentuan Pidana, tindak pidana dalam UUPA

adalah pelanggaran

4). Bab IV Ketentuan-Ketentuan Peralihan, berisi:

a) pengaturan peralihan yakni selama peraturan pelaksanaa UUPA

belum terbentuk maka peraturan-peraturan yan menyangkut

bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-

hak atas tanah yang ada, baik yang tertulis maupun tidak tertulis

pada saat UUPA berlaku masih berlaku sepanjang tidak bertentangan

dengan UUPA

b) Pengaturan peralihan mengenai hak milik yakni selama

undangundang mengenai Hak Milik belum terbentuk maka yang

berlaku dalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan

peraturan-peraturan yang lainnya mengenai hak atas tanah sepanjang

tidak bertentangan dengan UUPA

c) Pengaturan peralihan mengenai masih berlakunya ketentuan

Hypotheek dan Credietverband sebagai pelengkap ketentuan

mengenai hak tanggungan

b. Kelompok Kedua mengenai ketentuan-ketentuan konversi

i. Pasal I mengeni konversi hak eigendom

ii. Pasal II mengenai hak-hak atas tanah atau yang mirip dengan hak

milik yang ada sebelum UUPA akan diatur lebih lanjut oleh

Menteri Agraria.

iii. Pasal III mengenai konversi hak erfpacht

43

iv. Pasal IV mengenai konversi concessive.

v. Pasal V mengenai konversi hak postal dan hak erfpacht untuk

perumahan

vi. Pasal VI mengenai hak-hak atas tanah atau yang mirip dengan hak

pakai yang ada sebelum UUPA akan diatur lebih lanjut oleh

Menteri Agraria.

vii. Pasal VII mengenai konversi hak gogolan.

viii. Pasal VIII konversi terhadap hak guna bangunan pada hak

eigendom, hak yang mirip dengan hak milik, hak opstal, dan hak

erfpacht berlaku ketentuan hak guna bangunan dalam UUPA;

Konversi terhadap hak guna usaha pada hak yang mirip dengan hak

milik, hak erfpacht, dan hak concessive berlaku ketentuan hak guna

usaha dalam UUPA

ix. Pasal IX hal-hal yang perlu diatur lebih lanjut dalam ketentuan

konversi daitur oleh Menteri agraria

c. Kelompok Ketiga mengatur perubahan susunan pemerintahan desa

untuk menyelenggarakan UUPA diatur dengan undang-undang.

d. Kelompok Keempat mengatur hak dan wewenang atas bumi dan air

dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada beralih kepada

negara dan diatur dengan peraturan pemerintah

e. Kelompok Kelima menyatakan berlakunya UUPA

44

BAB V

POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL

1. Zaman Belanda

Masa kolonial Belanda (1870-1942), sejak berlakunya Agrarische Wet

(1870) pemerintah kolonial Belanda menerbitkan ordonansi (Staatblad 1823

No. 164) yang menetapkan penyelenggaraan kadastral ditugaskan kepada

Kadastral Dienst yang pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur

Jenderal. Pada masa ini bagi orang Belanda dan timur asing urusan

pertanahannya yang meliputi surat keputusan hak atas tanah diterbitkan oleh

Bupati, Residen, dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan

informasi dikerjakan oleh Kehakiman, serta balik nama oleh pengadilan,

sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup dilaksanakan oleh

administrasi desa/ kelurahan.

Pengaruh politik pertanahan terlihat dari tindakan / perbuatan yang

dilakukan pemerintah. Politik tersebut dimulai pada tahun 1830 (Perang

Napoleon di Eropa) diantara politik yang diterapkan oleh bangsabangsa Barat

antara lain :

a. Cultuure stelsel

b. Agrarische Wet

c. Agrarische Besluit

45

Dalam perkembangannya antara Agrarische Wet dan Agrarische Besluit

ada yang mengatakan domein verklaring. Domein verklaring adalah dijelaskan

pada pasal 1 Agrarische wet menyebutkan tanah yang tidak bisa dibuktikan

atas kepemilikan (Eigendom/eigenaar). Oleh karena itu UU atau Agrarische

wet yang dikeluarkan oleh bangsa belanda tersebut hukum belanda tersebut

berisi ketentuan–ketentuan yang sangat berpihak kepada kepentingan –

kepentingan perusahaan swasta swasta. Namun ada juga melindungi

kepentingan orang Indonesia asli tapi melalui beberapa cara :

a. Memberi kesempatan bagi orang Indonesia asli untuk memperoleh hak

eigendom agraris atas tanahnya sehingga dapat dihipotikkan.

b. memperbolehkan rakyat meyewakan tanah kepada orang asing untuk

rakyat yang berekonomi lemah mendapat perlindungan terhadap orang

yang berekonomi kuat.

Secara global agrarische wet bertujuan memberikan kemungkinan kepada

modal asing untuk berkembang di Indonesia dengan hak erfracht (HGU)

selama 75 tahun, tanah dengan hak opstal (HGB). Hak sewa, hak pinjam

pakai.Jadi jelas disini pemerintah belanda berwenang memberikan hak tersebut

adalah pemilik/eigenaar dan karenanya negara dinyatakan sebagai pemilik

tanah.

Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Kadastral Dienst diganti namanya

menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan tetap di bawah Departemen

Kehakiman. Pada masa ini berlaku pelarangan pemindahan hak atas benda

tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942), dan penguasaan tanah-tanah

46

partikelir oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus.43 Pada prinsipnya, urusan

pertanahan dilaksanakan seperti zaman kolonial Belanda.

Domein verklaring, dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak perlu

membuktikan haknya dalam proses perkara sebaliknya pihak lainlah yang

selalu membuktikan haknya itu. Jadi nyata ketentuan yang selalu

membebankan kewajiban pembuktian kepada rakyat itu, artinya tidak

mempunyai keadilan. Oleh karena itu pernyataan domein verklaring tahun

1870 tidak dapat dipertahankan lagi dalm NKRI. Sesungguhnya dalam

pembelian hak atas tanah negara, negara tidak perlu bertindak sebagai eigenaar

(kepemilikan) cukup bila UU memberi wewenang kepadanya untuk berbuat

sesuatu kepada penguasa atau overheid, UUPA berpendapat sama dengan ini

terlihat dalam pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan didalam

pasal 33 UUD 1945 tidak ada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik

tanah dan adalah lebih tepat jika negara bertindak sebagao badan penguasa

begitu juga dalam larangan pengasingan hak atas tanah ditegaskan dalam Stb.

1875 Jo no. 179 menegaskan segala perjanjian yang bertujuan penyerahan atas

tanah maka dilakukan atas kesepakatan para pihak tapi dalam kenyataannya

Belanda melakukan pelanggaran (wanprestasi) dengan demikian sangat jelas

sekali politik hukum agraria yang pernah diterapkan di indonesia jelas tidak

memihak kepada rakyat tetapi sangat menguntungkan kepada perusahaan –

perusahaan swasta belanda yang ada di Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu

setelah 17 Agustus 1945 pemerintah di indonesia berusaha merubah sistem

hukum agraria belanda dengan menyesuaikan dari hukum negeri sendiri. Usaha

43 Baru pada masa kemerdekaan, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 190 tahun 1957 JawatanPendaftaran tanah ini dialihkan ke dalam tugas Kementerian Agraria

47

ini baru berhasil dengan keluarnya UU no. 5 tahun 1960 artinya setelah 15

tahun indonesia merdeka dalam pasal 2 dijelaskan bahwa atas dasar ketentuan

dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut

bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi

seluruh rakyat indonesia.

2. Pasca Kolonial

Pada tahun 1950 arah kebijakan kolonial belanda sudah dikatakan

berubah dari tahun sebelumnya karena para ahli hukum kita mulai belajar

di negara belanda itu sendiri, itupun berbagai cara dilakukan oleh bangsa

belanda

untuk menarik ahli-ahli hukum indonesia agar mau menambah

ilmu pengetahuan di negara belanda walaupun dengan secara halus dan

lain sebagainya, karena politik belanda sebelumnya datang ke Indonesia

bukan untuk menjajah namun belanda datang ke Indonesia adalah untuk

berdagang, namun pada tahun 1602 terjadi persaingan dagang antara

Inggris, perancis dan jepang tapi karena belanda duluan yang menjajah di

indonesia maka belandalah menerobos ke dalaam sistem tatanan hidup

bermasyarakat. Sehingga VOC yang pada mulanya sebagai serikat dagang

akhirnya bermaksud untuk yang lainnya, diantara tugas VOC itu ialah :

1. Mengurus anak – anak negeri

Untuk itu belanda membuat KUHD yang kita kenal dengan WvK (Wet

boek van Kopenhandle). WvK dibentuk tidak lain adalah untuk

48

kepentingan dagang di indonesia, maka politik dagang yang muncul

berubah menjadi politik etik, karena:

a. Balas jasa bertujuan agar dapat mengeruk keuntungan belanda

membuat bangunan untuk bumiputra sebagai uang pelicin.

b. Karena dilihat dari segi politik hukum. Dengan demikian pula

dapat kita lihat untuk melancarkan program – program kolonial

maka tahun 1929 dibuatlah adat recht oleh Van vollen Hoven.

Sedangkan pada tahun 1931 dibuat KUHP berlaku untuk orang

eropa daratan, tahun 1938 dibuat KUHP untuk orang belanda

sedangkan tahun 1948 dibuat KUHP untuk orang indonesia.

2. Kalau kita hubungkan Domein verklaring dengan UUD 1945 pasal 33

ayat 3 dan peraturan menteri agraria no. 5 tahun 1999 menjelaskan :

1. Pelepasan hak atas tanah, UU no. 20 /1961

2. Penyerahan hak atas tanah, Keppres no. 55 / 1963

3. Pencabutan hak atas tanah, pasal 18 UUPA sedangkan untuk tanah

tanah rakyat yang dikuasai oleh pemerintah harus di HGUkan dan

tanah – tanah tersebut bisa dikembalikan kepada rakyat berdasarkan

pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

3. Pembentukan Hukum Tanah Nasional

Hukum Agraria dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan

Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) digunakan dalam arti yang

sangat luas. Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa

yang tercantum dalam konsiderannya, pasal-pasal dan penjelasannya

dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria meliputi bumi, air

49

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas

seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang

angkasa.

Dalam pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya,

maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya

merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan

suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing

mengatur hak-hakatas sumber-sumber daya alam tertentu.

Hukum tanah bukanlah mengatur tanah dalam segala

aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridis yang disebut

hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu

kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut hukum tanah.

Ketentuanketentuan hukum tanah itu pun dapat dipelajari dengan

menggunakan suatu sistematika yang khas dan masuk akal.

Menurut Lichfield bahwa bagi seorang sarjana hukum, tanah

merupakan suatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi

serta apa yang ada di atasnya, buatan manusia yang disebut

“Fixtures”. Biarpun demikian perhatian kita lebih tertarik pada

pemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek

perhatian hukumnya bukan tenahnya melainkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki

dan dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum

dan institusionalnya, pemindahan serta pengawasannya oleh

masyarakat. Yang dimaksud dengan hukum tanah adalah

50

keseluruhan dari peraturanperaturan hukum yang mengatur hak

dan kewajiban yang bersumber pada hak perseorangan dan badan

hukum mengenai tanah yang dikuasainya atau dimilikinya. Untuk

diketahui bahwa hukumnya dapat ditemukan pada Pasal 4 ayat 1

UUPA. Dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, ditentukan :

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan bahwa adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada

dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan hukum”.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-

hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau

dimanfaatkan. Diberikan dan dipunyainya tanah dengan hak-hak

tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya

pada tanah sebagai permukaan bumi saja. untuk keperluankeperluan

apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian

tubuh bumi yang di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada

di atasnya. Oleh karena itu, bahwa hakhak atas tanah bukan hanya

memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu

permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah tetapi juga

tubuh buni yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di

atasnya.

Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas

tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari

51

permukaan bumi. Tetapi memang menggunakan yang bersumber

pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan

sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah air serta ruang yang

ada di atasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan

itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Ia hanya dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan katakata :

sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah

itu, dalam batas-batas menurut undangundang pokok agraria dan

peraturan-peratura lain yang lebih tinggi.

Konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat

dalam UUPA merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan

pemerintahan saat itu, yakni orde lama. UUPA ditujukan guna

pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup waktu dan

terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara

berpindah pada rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan

yang berbeda. Sebagaimana diketahui masa orde baru adalah masa

pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan sangat propertumbuhan.

Meskipun banyak kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya

yang berbeda dengan semangat UUPA namun dengan berbagai

tafsiran disediakan perangkat peraturan pelaksana UUPA yang

memungkinkan pemerintah orde baru menjalankan kebijakannya di

bidang pertanahan, yang sangat pro pemodal dengan segala

52

akibatnya terhadap masyarakat banyak.44

Hukum agraria nasional kemudian mengalami perubahan

seiring peralihan kepempinan negara pada orde reformasi. Tampak

ada tekad untuk mengadakan perombakan yang mendasar pada

kebijakan nasional di bidang ekonomi. Selain UUPA dan berbagai

peraturan perundang-undangan baik yang setingkat (undang-

undang) maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

(peraturan pemerintah, keputusan/peraturan presiden,

keputusan/peraturan menteri), pengaturan dan kebijakan di bidang

agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti TAP

MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi

Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya

Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Konsepsi Hukum Tanah Nasional dan ketentuan-ketentuan

dalam UUPA telah menjadi dasar pijak pembangunan Nasional

selama kurun waktu hampir setengah abad. Berbagai peraturan

perundang-undangan baik berbentuk undangundang, maupun

peraturan pelaksanaannya dalam pertimbangan hukumnya merujuk

kepada UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional. Undang-

undang terkait agraria seperti kehutanan, pertambangan, sumber

44 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan…, Op. Cit, Hal 243- 244

53

daya alam, sumber daya air, dan penataan ruang menjadikan dasar-

dasar hukum dalam UUPA sebagai suatu pertimbangan hukum di

dalam aturan-aturan undang-undang tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional

sangat signifikan dan terkait dengan kepentingan antar dan

berbagai sektor dan bidang hukum lainnya. Namun demikian fakta

menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan

dalam berbagai peraturan perundangan di bidang hukum agraria

khususnya dan yang terkait dengan agraria lainnya. Harmonisasi

terkait dengan harmonis dan selarasnya (tidak bertentangannya)

suatu peraturan perundang-undangan yang secara horizontal

memiliki tingkat hirarkhi yang sama, sementara sinkronisasi

mengarah pada hubungan vertikal antara satu peraturan

perundangan dengan peraturan perundangan yang lain yang lebih

tinggi atau lebih rendah tingkatanya dalam hirarkhi peraturan

perundangundangan.

Selain perangkat peraturan perundang-undangan di bidang

hukum agraria yang saling bertentangan dan tumpang tindih,

berbagai persoalan terkait tanah dalam pengelolaan berbagai

sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah

menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan

struktur. penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya

serta menimbulkan berbagai konflik. Persoalan keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi suatu unsur yang tidak

54

tercapai dalam berbagai kebijakan pertanahan, sehingga

menimbulkan berbagai konflik dan menjauhkan masyarakat dari

rasa keadilan. Kondisi ini kemudian memunculkan suatu komitmen

politik dari parawakil rakyat sehingga setelah melalui tahapan yang

panjang, berliku dan beragam ditetapkanlan suatu ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pembaruan agraria dan

pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan nasional yang

dikeluarkan oleh MPR dengan TAP MPR No.IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

inilah kemudian menjadi tonggak awal adanya pembaruan hukum

agraria sebagai bagian dari pembaruan agraria secara keseluruhan.

Beberapa catatan penting dalam TAP MPR

No.IX/MPR/2001 terkait dengan pembangunan hukum agraria

nasional yakni:

a. Adanya fakta bahwa yuridis bahwa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan

pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam

saling tumpang tindih dan bertentangan.45

b. TAP MPR No.IX/MPR/2001 ini ditujukan sebagai

landasan peraturan perundang-undangan mengenai

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam.46

45 Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Konsideran Menimbang Hurufd.46 Ibid, Pasal 1

55

c. Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka

tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta

keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat

Indonesia.47

d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama

dalam kaitannya dengan perundang-undangan, terdapat

prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar yakni:48

1) prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) prinsip penghormatan kepada hak asas manusia;

3) prinsip penghormatan supremasi hukum dan

pengakomodasian prularisme hukum dalam unifikasi

hukum;

4) prinsip kesejahteraan rakyat;

5) prinsip keadilan;

6) prinsip keberlanjutan;

7) prinsip pelaksanaan fungsi sosial, kelestarian dan

fungsi ekologis;

8) prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor;

9) prinsip pengakuan dan penghormatan hak

masyarakat hukum adat dan keragaman budaya

47 Ibid, Pasal 248 Ibid Pasal 4

56

bangsa;

10) prinsip keseimbangan hak dan kewajiban negara,

pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota,

dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan

individu;

11) prinsip desentralisasi.

e. Bahwa dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip diatas,

salah satu arah kebijakan utama yang harus dilakukan

dalam pembaruan agraria adalah melakukan pengkajian

ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan

yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi

kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan

perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-

prinsip diatas.49

f. MPR menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk

segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan

menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap

pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan

peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan

Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau

diganti.50

49 Ibid, Pasal 5.50 Ibid, Pasal 6.

57

Sebelum dikeluarkannya TAP MPR tentang Pembaruan

Agraria pada

tahun 2001, salah satu arahan kebijakan pembangunan di bidang

ekonomi dalam GBHN 1999-2004 adalah mengembangkan kebijakan

pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah

secara adil, transparan, dan

produktif mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak

ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang

serasi dan seimbang.91Ditegaskan pula bahwa salah satu ciri sistem

ekonomi kerakyatan adalah pemanfaatan dan penggunaan tanah dan

sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan mineral

secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak

rakyat setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap

menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program

pembangunan

prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang

pertanahan adalah

dengan “Program Pengelolaan Pertanahan”. Tujuan dari program ini

adalah mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan

pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan

hak-hak rakyat setempat termasuk hal ulayat masyarakat hukum adat

dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan pertanahan di

pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya kepastian

58

hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya pelayanan

pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah

daerah dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang

berlaku secara nasional.

Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan pelayanan

pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang

andal; (2) penegakan hukum pertanahan secara konsisten; (3) penataan

penguasaan tanah agar sesuai dengan rasa keadilan; (4) pengendalian

penggunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah termasuk

pemantapan sistem perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan

ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan (5) pengembangan

kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah.

Terlihat bahwa agenda pembangunan di bidang agraria dalam

program pembanguan nasional (Propenas 2000-2004) belum

menyentuh ranah pembangunan di bidang hukum agraria, sehingga

tetap kiranya kehadiran TAP MPR No.IX/MPR/2001 sebagai awal

pembaruan hukum di bidang agraria.

Namun disayangkan amanat pembaruan hukum sebagaimana

diamanatkan dalam TAP MPR tersebut tidak mendapat respon dari

pihak pemerintah maupun DPR. Hal ini dapat dilihat dari tidak

terwujudnya satu undang-undangpun sebagaimana diamanatkan dalam

TAP MPR tersebut.

Politik hukum pemerintahan pasca 2001 belum memberi dukungan

yang real terhadap ide pembaruan hukum agraria. Baru dalam program

59

perencanaan di bidang perundang-undangan secara nasional yang

dilakukan dengan instrumen yang disebut Pengertian Program

Legislasi Nasional (Prolegnas) pada periode 2005-2009, terdapat

beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disinyalir

merupakan RUU yang akan dibentuk dalam rangka pelaksanaan

pembaruan hukum agraria sebagaimana dimaksud. Prolegnas menurut

UU Nomor 10 tahun 2004 adalah instrumen perencanaan program

pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu,

dan sistematis.51 Pengertian ini menunujukkan bahwa prolegnas

merupakan instrumen mekanisme perencanaan hukum, yakni para

pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) merencanakan

pembangunan materi hukum melalui perundang-undangan melalui

suatu program yang terencana, terpadu dan tersistematis.

Beberapa RUU terkait dengan pembaruan hukum agraria dalam

dafta Prolegnas 2005-2009 antara lain:

a. RUU Hak Milik atas Tanah (nomor urut 67).

b. RUU tentang Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum

(nomor urut 68).

c. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Pokok-Pokok Agraria ((nomor urut 69).

Bahkan RUU tentang Perubahan atas UUPA masuk dalam daftar

prioritas tahunan Prolegnas 2005. Walaupun ternyata target ini tidak

tercapai sehingga pad tahun 2006, RUU tentang Perubahan atas UUPA

51 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, Op. Cit., Pasal 1 angka 9

60

kembali diagendakan untu diselesaikan melalui prolegnas prioritas

tahun 2006. Agenda perubahan pada tahun 2006 inipun tidak

terlaksana. Pada tahun 2007, pemerintahan Soesilo Bambang

Yudhoyono justru menarik rencana perubahan atas UUPA dan secara

resmi disepakati oleh pemerintah (diwakili oleh BPN) dan DPR

(Komisi II) dalam rapat kerja di DPR pada tanggal 29 Januari 2007.

Dengan ditariknya RUU Perubahan atas UUPA, kemudian

Pemerintah mengusulkan beberapa RUU sebagai tindak lanjut

pembaruan hukum agraria yakni RUU tentang Pertanahan, RUU

Reforma Agraria, RUU tentang Pengadaan Tanah guna Pelaksanaan

Pembangunan bagi Kepentingan Umum dalam Usulan Prolegnas 2010-

2014 kepada DPR. Namun berdasarkan hasil pembahasan bersama

Pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM, c.q. Kepala BPHN) dan

DPR (Badan Legislasi), disepakati beberapa RUU di bidang hukum

agraria dalam Prolegnas jangka menengan 2010-2014 antara lain

sebagai berikut:

1. RUU Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan

(nomor urut 30).

2. RUU Pertanahan (nomor urut 65).

3. RUU Pengadilan Keagrarian (nomor urut 160).

4. RUU Perubahan Hak tanggungan atas tanah beseta benda-benda

yang berkaitan dengan tanah (nomor urut 193).

5. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 56/Prp/

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (nomor

61

urut 197).

Memasuki periode kedua (tahun 2011), tidak satupun dari kelima

RUU tersebut yang masuk dalam prioritas tahunan baik pada Prolegnas

2010, maupun 2011. Hal ini menunjukkan bagaimana sikap politik

hukum pemerintahan saat ini terhadap isu pembaruan hukum agraria.

Dalam dua masa jabatan ini, pembaruan hukum agraria belum menjadi

prioritas meskipun untuk potret politik hukum dan agenda

pembangunan materi hukum jangka menengah 2010-2014 beberapa

RUU di bidang hukum agraria tersebut telah diagendakan.

Sumber:

Budi Harsono, , Hukum Agraria Indonesia, (Djambatan: Jakarta,

1986)

Gautama, Sudargo,. Tafsiran UndangUndang Pokok Agraria.

(Bandung: Aditya. 1990)

Notonegora, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia

(Jakarta: Djambatan. 1984)

Perlindungan, A.P, Bunga Rampai Hukum Agraria serta

Landreform, Bagian I. (Bandung: Mandar Maju¸1989.)

Perlindungan, A.P, 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok

Agraria. Bandung: Mandar Maju.

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. (Jakarta:

Penada Media, 2005).

62

Soal-soal:

1. Apa tujuan dari agrarische wet?

2. Bagaimanakah situasi hukum tanah di zaman di zaman kolonial

3. Jelaskan alasan pembentukan hukum tanah nasioan sebagai

sebuah sistem

63

BAB VI

HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

Tanah adalah sumber kehidupan. Hubungan tanah dan manusia yang

sedemikian ini, membuat perubahan-perubahan dalam tata susunan pemilikan dan

penguasaan tanah, yang pada gilirannya juga memberikan pengaruh kepada pola

hubungan antar manusia sendiri, dan yang menjadi masalah bukan tanah itu

sendiri tetapi terjadinya penguasaan tanah yang timpang, dimana ada yang tidak

menguasai, dan di pihak lain ada yang menguasai dalam satuan jumlah yang

sangat besar.

Dapat dipahami bahwa tanah merupakan sesuatu yang bernilai bagi manusia.

Bernilainya tanah terkait dengan banyak aspek. Aspek Ekonomi, budaya, politik,

Hankamnas, social yang merupakan tempat tumbuh kembangnya nilai-nilai

tersebut. Sehingga perbedaan waktu, tempat dan ruang akan berakibat pada

adanya perbedaan tata nilai terhadap tanah.

Dalam UUPA tercantum nilai filosofis tentang penguasaan dan pemilikan

tanah, konsideran huruf c menyatakan bahwa hukum agraria nasional harus

mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,

kebangsaan, kerakyatan dan keadilan social, sebagai asas kerohanian Negara dan

cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Penjelasan umum UUPA juga menjelaskan:

Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan

tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang

dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan

rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut

64

permintaan zaman dalam segala soal agrarian. Lain dari pada itu

hukum agrarian nasional harus mewujudkan penjelmaan dari asas

kerokhanian, Negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang

Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan

Keadilan social serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari

pada ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan GBHN yang tercantum

dalam manifesto politik RI tanggal 17 Agustus 1945 dan

ditegaskan di dalam pidato presiden tanggal 17 Agustus 1945.

Berdasarkan nilai yang terkandung di atas, sebenarnya UUPA melalui

kewenangan yang ada pada Negara menginginkan masyarakat Indonesia yang

berkeadilan social terhadap penguasaan dan pemilikan atas sumber daya alam.

Keinginan demikian dilatarbelakangi pengalaman pada masa penjajahan bahwa

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah diambil penjajah

untuk kepentingan Negara penjajah.

Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga

dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek public.. Penguasaan

yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi

kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang

dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan

untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan

fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan

kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah

tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik

tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut

65

diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.

Dalam sejarahnya pemilikan hak atas tanah di Indonesia mengalami berbagai

perubahan. Ketika jumlah penduduk masih sedikit dan jumlah tanah tak terbatas,

maka tanah hanyalah sekadar komoditi yang diolah dan dimanfaatkan untuk

kepentingan individu dan tidak diperjualbelikan/diperdagangkan. Seiring

bertambahnya penduduk, maka tanah mulai diperjualbelikan. Ada asas penawaran

dan permintaan. Kepemilikan tanah berubah dari konsep land as commodity

menjadi land a property.

Semula, hak atas tanah bersifat mutlak. Tanah memberikan berbagai hak pada

pemiliknya. Ada hak untuk mengolah dan memanfaatkan tanah, ada hak untuk

menikmati penggunaan tanah termasuk udara diatasnya, hak untuk memperoleh

keuntungan financial dari tanah, hak untuk menjual, menghibahkan dan

mewariskan kepada orang lain, hak untuk membangun. Hak yang mutlak tersebut

mulai dibatasi. Hak milik atas tanah, yang memberikan hak untuk menikmati dan

berbuat bebas terhadap tanah, demi kepentingan umum hak itu bahkan mungkin

dicabut. Kepentingan umum mulai menuntut perhatian, sehingga pemilikan tanah

berubah menjadi land social property.

UUPA tidak mengatur ihwal tanahnya, melainkan soal hak atas permukaan

bumi saja. Jadi, tidak termasuk seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya. Tanah yang dimaksud dalam UUPA tidak sama dengan

tanah yang dimaksud dalam KUHPer sebagai benda tak bergerak, tetapi tanah

dalam UUPA memiliki asas yang sangat spesifik dan merupakan kultur budaya

bangsa Indonesia. Dengan adanya asas yang meliputi atas tanah di Indinesia,

maka tanah Indonesia tidak sepenuhnya mempunyai sifat-sifat kebendaan sebagai

66

benda tidak bergerak berdasarkan KUHPer.

UUPA melalui Negara menentukan macam-macam hak atas tanah yang

diberikan kepada orang maupun kepada badan huku tetapi semua hak atas tanah

tersebut mempunyai fungsi social, artinya mengandung unsure kebersamaan dan

keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Oleh karena itu

setiap pemegang hak atas tanah akan terlepas dari hak penguasaan Negara karena

kepentingan nasional berada diatas kepentingan individu atau kelompok, meski itu

bukan berarti bahwa kepentingan individu atau kelompok dapat dikorbankan

begitu saja dengan alasan untuk kepentingan umum, karena sewaktu-waktu

Negara memerlukan tanah tersebut untuk kepentingan umum, pemilik tanah wajib

melepaskan hak tanah tersebut dengan kompensasi gantirugi.

Dalam UUPA terdapat unsure komunalistik religious artinya ketentuan hukum

Indonesia melihat bahwa tanah itu adalah milik bersama yang diberikan oleh sang

pencipta guna kesejahteraan masyarakat, berarti Indonesia mengatur prinsip

Negara kesejahteraan . Sebagai Negara kesejahteraan, Negara Indonesia

mengikuti asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan atau

menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Karena itu Negara

memiliki tugas dan tanggung jawab khusus yaitu memberikan keadilan dalam

penguasaan dan pemilikan hak atas tanah sesuai dengan falsafah Pancasila.

Sebutan nama hak atas tanah dalam UUPA merupakan nama lembaga-lembaga

baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari lembaga-lembaga hak-hak atas tanah

dari perangkat-perangkat hukum tanah yang lama. Lembaga-lembaga hak atas

tanah yang lama sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 dan

terjadinya unifikasi hukum tanah, sudah tidak ada lagi. Sedangkan hak-hak atas

67

tanah yang lama sebagai hubungan hukum konkret sejak 24 September 1960

dikonversi oleh UUPA atau diubah menjadi salah satu hak yang baru dari hukum

tanah nasional. Hak atas tanah dalam hukum tanah nasional isinya memberi

kewenangan kepada pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang dihaki.

Ini yang merupakan kewenangan umum artinya merupakan isi tiap hak atas tanah.

Kewenangan ini pun ada pembatasannya. Kewenangan mempergunakan tanah

dalam arti permukaan bumi tersebut, secara wajar diperluas hingga meliputi juga

sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian ruang yang ada

diatasnya, karena tidak mungkin untuk keperluan apapun yang digunakan hanya

tanahnya saja yang berupa permukaan bumi itu. Demikian juga mengenai air yang

ada diatas maupun didalam bumi di bawah tanah yang dihaki. Pemegang hak atas

tanah boleh menggunakannya untuk keperluan pribadinya, misalnya untuk

keperluan sehari-hari bagi kegiatan rumah tangga dan usahanya, dalam batas-

batas kewajaran. 52

Perluasan kewenangan tersebut berarti isi hak atas tanah dalam pengertian

yuridis merupakan hak atas permukaan bumi, yang berdimensi dua, dalam

penggunaannya tanah berarti ruang yang berdimensi tiga. Yang diperluas hingga

meliputi sebagian tubuh bumi, sebagian ruang dan air tersebut adalah

penggunaannya, bukan pemilikannya. Penggunaan tubuh bumi lepas dari

hubungannya dengan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Oleh karena itu selain kewenangan-kewenangan yang ada pada hak atas tanah,

hak atas tanah juga berisikan kewajiban-kewajiban untuk menggunakan dan

memelihara potensi tanah yang bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban

52 Boedi Harsono, Op Cit, hal. 293

68

tersebut, yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah

yakni:

1. Pasal 6, yang menyatakan, bahwa; semua hak atas tanah

mempunyai fungsi social;

2. Pasal 15 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 1 tentang

kewajiban memelihara tanah yang dihaki; dan

3. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban

bagi pihak yang mempunyainya untuk mengerjakan atau

mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif.

Selain ditentukan dalam pasal tersebut di atas, dalam menghadapi kasus-

kasus konkret perlu diperhatikan juga kewajiban-kewajiban yang secara khusus

dicantumkan dalam surat keputusan pemberian haknya atau dalam surat

perjanjiannya serta dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian landasan penyusunan UUPA adalah tata nilai

kolektivitas sebagaiman hasil penelitian Van Vollenhoven. Sebagai sebuah

undang-undang pokok, maka nilai kolektivitas yan terdapat dalam UUPA

dimaksudkan agar menjiwai undang-undang lain yang mengatur tentan agrarian

dan juga undang-undang yang terkait dengan keagrariaan. Namun sebagaimana

dikataka Hoogvelt, pertentangan nilai antara kolektivisme dengan individualism

juga senantiasa mewarnai perkembangan dan pembangunan hukum agrarian

nasional.53 Menurut Nurhasan Ismail, bahwa peralihan periode orde lama ke orde

baru hingga tahun 2005 telah menggiring peralihan dari nilai social kolektivitas ke

53 2 Ankie M.Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 87

69

nilai social individualistic.54

Di samping itu nilai kolektivisme dimaksudkan untuk memberi arahan

agar kepentingan bersama atau sebagian masyarakatlah yang mendapat perhatian

dalam pengaturan norma hukum. Nilai kolektivisme didasarkan pada pandangan

bahwa keberadaan masyarakat secara keseluruhan lebih penting dibandingkan

dengan keberadaan individu. Menurut Van Vollenhoven bahwa diseluruh wilayah

Indonesia terdapat 19 kelompok besar lingkaran hukum adat (rechtskring) yang

bercirikan kolektivisme, yaitu sesuatu yang membedakannya dari lembaga hukum

yang ada di Eropa. Ciri kolektivisme tersebut mewujud dalam institusi hak ulayat

yang oleh Van Vollenhoven disebut dengan beschikkingsrecht.

Beschikkingngsrecht merupakan hak yang dipunyai oleh sebuah masyarakat

hukum (rechtsgemeenschap). Di atas beschikkingsrecht tersebut, anggota suatu

masyarakat hukum mempunyai hak untuk mengusahakannya, dan kewenangan

mengusahakan itu dibatasi oleh kepentingan umum semasyarakat hukum tersebut.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pola kolektivitas tersebut mengakui

adanya hak individu, namun hak individu itu dibatasi oleh hak kolektivitas

sebagai sesuatu hak yang tinggi. Disamping nilai koletivisme, UUPA juga

mengandung nilai religious sebagaimana pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang

angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya,

merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia (lihat Pasal

1 ayat (1) UUPA). Dalam kenyataannya timbul ketidakserasian atau ketimpangan

atas nilai yang terkandung dalam UUPA yaitu ketimpangan dalam hal penguasaan

sumber agrarian; ketidakserasian dalam hal peruntukan sumber-sumber agrarian

54 3 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan Ekonomi Politik, PenerbitHuma , Jakarta, 2007,hal 37.

70

(tanah), ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agrarian; serta

ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme

dan kebijakan sektoral.

Keempat macam kondisi tersebut di atas memang menjadi dominan dalam

Negara RI. Keempat hal tersebut juga pada dasarnya sekaligus menjadi sumber

utama dari berbagai masalah turunanya, seperti konflik agraia, kemiskinan, dan

pengangguran. Selain itu dapat ditambahkan pula tantangan yang kian menambah

kerumetan permasalahan dibidang agrarian dimana kenyataannya timbul

ketidakadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah.

UUPA mengatur dan juga menetapkan susunan atau dalam

bahasa ilmiah dikenal dengan hierarki, terkait hak-hak penguasaan

atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, hierarki itu dimulai

dari:

a. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai

hak penguasaan atas tanah tertinggi, beraspek perdata dan

publik.

b. Hak Menguasai dari negara yang disebutkan dalam Pasal 2

semata-mata beraspek publik.

c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebutkan dalam

Pasal 3, beraspek perdata publik.

d. Hak-hak perseorangan/individual, semuanya beraspek perdata,

terdiri atas:

1. Hak-hak atas tanah sebgai hak individual yang

71

semuanya secara langsung ataupun tidak langsung

bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal

16 dan 53.

2. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan dalam

Pasal 49.

3. Hak jaminan atas tanah yang disebut Hak

Tanggungan dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.

Semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian

wewenang, kewajiban serta larangan yang mengikat bagi pemegang

haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berisi “Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Terlihat cukup jelas bahwa dalam hubungannya dengan bumi, air,

dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya, selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, negara

bertindak dalam kedudukannya sebagai Kuasa dan Petugas Bangsa

Indonesia55. Dalam melaksanakan tugas tersebut, ia merupakan

organisasi kekuasaan rakyat tertinggi, sebagai petugas bangsa

tersebut sesuai dengan teori trias politica bukan hanya Penguasa

Legislatif dan Eksekutif saja, tetapi juga penguasa Yudikatif. Hak

menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA

kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara

55 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2008) hlm 232

72

dan tanah Indonesia, yang dirinci isi dan tujuannya alam Pasal 2 ayat

(2) dan (3) UUPA: 56

Pasal 2

1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,

bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai

oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal

ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan

ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang

mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara

tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai

sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,

kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara

hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

56 Ibid hlm 268

73

4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya

dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut

ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Rincian kewenangan untuk mengatur, menentukan dan

menyelenggarakan berbagai macam kegiatan dalam Pasal 2 tersebut,

oleh UUPA diberikan suatu interpretasi otentik mengenai Hak menguasai

dari negara yang dimaksudkan oleh UUD 1945, sebagai hubungan

hukum yang bersifat publik semata-mata.

Hak menguasai dari negara yang meliputi semua tanah tanpa

terkecuali. Hak menguasai dari negara tidak memberi kewenangan untuk

menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas

tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik, sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Negara memerlukan tanah untuk

melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan

kepadanya oleh negara selaku badan penguasa, melalui Lembaga

Pemerintah yang berwenang. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut

dengan satu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,

bukan sebagai badan penguasa yang mempunyai Hak Menguasai, tetapi

sebagai badan hukum seperti halnya perorangan dan badan-badan hukum

74

perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah. 57

Hak menguasai dari negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak

lain. Tetapi tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah

kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang

atau badan hukum bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari

tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap ada dalam penguasaan

negara, negara tidak melepaskan kewenangannya hanya saja

kewenangan negara terhadap tanah-tanah yang sudah diberikan dengan

sesuatu hak kepada pihak lain menjadi terbatas, sampai batas

kewenangan yang merupakan isi hak yang diberikan

Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga

dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam

arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum

dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk

menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah

mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan

kepada pihak lain.

Ada penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah

yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh

pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya

sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah

57 Ibid, hlm 25

75

tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh

penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi

kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya,

kreditor (bank) memgang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis

atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan

tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik

atas tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang

beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.

Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak

penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan

tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah

Nasional kita, Yaitu:

1. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah

Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah

yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara,

yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-

hak penguasaan yang lain atas tanah

2. Hak menguasai Tanah dari Negara

Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya

merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang

mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini

76

dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

Hak menguasai dari negara memberikan wewenang (Pasal 2 ayat (2)

UUPA):

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,

dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan

ruang angkasa.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat

hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat

hukum adapt, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan

wilayahnya.

Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan

masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:

a. masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan

hukum adapt tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.

b. masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum

adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para

warganya.

77

c. masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dandiakui oleh

para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan

kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.

4. Hak-hak atas Tanah

Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah. Hak-hak

perseorang atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada

pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama,

badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan atau

mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah

Pasal 4 ayat (1) UUPA.

Hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah ( Pasal 16 dan 53

UUPA), wakaf tanah hak milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan

atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA) dan hak milik

atas satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).

Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah berisikan

serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya

untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. sesuatu yang boleh,

wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan

itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak

penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.

78

Sumber :

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008).

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Prenada

Media Group, 2010)

Soal:

1. Jelaskan apa yang dimaksud hak-hak penguasaan atas tanah.

2. Apa yang dimaksud hak bangsa Indonesia atas tanah.

3. Jelaskan pengertian hak ulayat dalam Pasal 3 UUPA dan sebutkan ciri-

cirinya menurut Budi Harsono

4. Sebutkan wewenang hak menguasai dari negara

5. Apa yang dimakasud hak-hak atas tanah perseorangan. Jelaskan!

79

BAB VII

HAK-HAK ATAS TANAH

Salah satu hak penguasaan atas tanah adalah hak perorangan yang terbagi menjadi

hak-hak atas tanah, wakaf dan hak jaminan atas tanah. Menurut ketentuan Pasal

16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahu 1960 Tentang Dasar Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA), hak-hak atas tanah terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak membuka tanah

g. Hak memungut hasil tanah

h. Hak-hak lain

1. Hak atas Tanah

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) ini melahirkan konsepsi hak penguasaan

negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Penjabaran lebih lanjut amanah Pasal 33 UUD 1945

dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Ketentuan Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Menurut

80

Maria SW Sumardjono berkenaan dengan hubunga antara Pasal 33

ayat (3) UUD 1945 dengan UUPA menyatakan:58

Harus diakui, UUPA merupakan karya besar yang terbit tahun

1960, pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah konflik

politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang

yang memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk

memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria (SDA)

berupa bumi, air, kekayaan alam, dan sebagainya. Menilik

namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang

terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi

kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan

dengan pertanahan saja. Dari 67 Pasal UUPA, 53 Pasal mengatur

tentang tanah

Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti

berbagai sektor melaluiberbagai undang-undang sektoral. Undang-

undang itu terutama diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan

pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai

undang-undang sektoral itu UU No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan

diperbarui dengan UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 1967

tentang Pertambangan, UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan

direvisi dengan UU No. 7 Tahun 2004, dan undang-undang lainnya

menyusul. Pembentukan UU sektoral tidak berlandaskan prinsip-

prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan

58 Maria SW Sumarjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, KompasGramedia, Jakarta, 2008, hal. 95.

81

UUPA didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur

pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral

mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada

umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena karakteristik

peraturan perundang-undangan sektoral: (1) orientasi pada eksploitasi,

mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan

sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan

pendapatan dan devisa negara; (2) lebih berpihak pada pemodal besar;

(3) ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara

sehingga bercorak sentralistik; (4) pengelolaan SDA yang sektoral

berdampak terhadap koordinasi antar sektor yang lemah; (5) tidak

mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara

proporsional.

Oleh karena itu dalam rangka terbitnya Undang-Undang

Pertanahan, masalah kepemilikan tanah menjadi penting. Perlu ada

kejelasan dan kepastian mengenai hak atas tanah dan konsep

kepemilikan tanah di Indonesia.

Tanah adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia, tanah

menyangkut kehidupan dan tujuan dari kematian. Tanah dalam kaitanya

dengan Indonesia tentunya memiliki makna yang sangat istimewa.

Mengingat Indonesia adalah negara yang dari dulu hingga kini terkenal

agraris. Sebegitu pentingnya makna tanah, maka tidak heran apabila

kemudian kita mengenal istilah tanah air, tanah tumpah darah, bumi

82

persada, tanah pusaka dan ibu pertiwi.59

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada dasarnya telah

menghapus sistem hukum pertanahan yang bersifat dualistis. Di satu pihak

UUPA telah mencabut berlakunya peraturan perundang-undangan

pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda, baik yang bersifat Hukum

Publik seperti Agrarische Wet, Agrarische Besluit dan lain-lain, maupun

yang bersifat Hukum Privat mengenai bumi, air, ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan beberapa

pengecualian yang diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia. Di lain

pihak UUPA telah memilih Hukum Adat sebagai Dasar Hukum Agraria

Nasional seperti yang termuat dalam konsideran dan telah dirumuskan

dalam Pasal 5 UUPA.

UUPA mengatur dan sekaligus ditetapkan mengenai jejang atau

urutan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional

antara lain yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia;

2. Hak Menguasai dari Negara;

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;

4. Hak-hak Perorangan / Individu

Semua hak penguasaan atas larangan yang berisikan serangkaian

wewenang, kewajiban dan/atau tanah yang di haki. “Sesuatu” yang boleh,

wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan

itulah yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara hak-hak

59 Bernhard Limbong, Op.Cit. hlm 1

83

penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.60 Adanya Hak

Menguasai dari Negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1)

UUPA, yaitu bahwa :

“Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal

sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu

pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai

organisasi kekuasaan seluruh masyarakat”.

Ketentuan dasar tersebut maka negara berwenang untuk

menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau

diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi

persyaratan yang ditentukan.

Kewenangan tesebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang

menyatakan bahwa :

“Atas dasar Hak Menguasai dari Negara sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam ha

katas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

hukum”.

60 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, (Jakarta : Rineka Cipta,1994), hlm24

84

Tanah selain tentang nilai-nilai luhur, keberadaan tanah pun sangat

penting bagi kelangsungan hidup manusia. Aturan-aturan mengenai

hukum tanah sangat penting untuk mengaturnya. Hal ini tentunya adalah

suatu upaya perlindungan kepada individu terhadap tanahnya. Adanya

payung hukum yang mengatur mengenai hukum tanah dimaksudkan

untuk menghindari pemilik tanah dari upaya kesewenang-wenangan

pihak lain. 61Hukum tanah dalam hal ini tidak hanya menjadi harapan,

akan tetapi juga pegangan dalam mempertahankan hak atas tanah.

Hak atas tanah terdiri dari berbagai macam pilihan hak. Hak-hak

tersebut bisa diperoleh melalui permohonan, kesepakatan, transaksi dan

perbuatan hukum yang diatur di dalam perundang-undangan.

Hak atas tanah hanya ada dua, yaitu:

1. Hak yang dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum

2. Hak yang dikuasai oleh negara62

dari dua hak tersebut dapat diletakan hak-hak lainya sesuai

kebutuhan dan kegunaan tanah tersebut. Seperti hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dll.

2. Macam-macam Hak atas Tanah

Negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam

Pasal 16 ayat (1) UPPA, yaitu :

61 Jimmy Joses Sembiring, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta : Visi Media,2010) hlm 6

62 Op.cit, hlm 6

85

1. Hak Milik;

2. Hak Guna Usaha;

3. Hak Guna Bangunan;

4. Hak Pakai;

5. Hak Sewa;

6. Hak Membuka Tanah;

7. Hak Memungut Hasil Hutan;

Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas

yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang

sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53.

Macam-macam tanah itu memiliki penjelasan sebagai berikut.

a. Hak Milik

1. Pengertian Hak Milik

Hak Milik yang merupakan salah satu macam hak atas tanah yang dikenal

dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pengertian Hak Milik

berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA menentukan bahwa :

“Hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”

Hak Milik bersifat turun-menurun maksudnya bahwa Hak Milik atas tanah

tersebut tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang Hak milik atas

tanah, tetapi dapat juga dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pewaris

meninggal dunia, oleh karena itu Hak Milik jangka waktunya tidak

86

terbatas. Hak Milik bersifat terkuat maksudnya bahwa Hak Milik

merupakan induk dari macam hak atas tanah lainnya dan dapat dibebani

oleh hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Hak Milik bersifat terpenuh maksudnya Hak Milik menunujuk luas

wewenang yang diberikan kepada pemegang Hak Milik dalam

menggunakan tanahnya baik untuk usaha pertanian maupun untuk

mendirikan bangunan.

Hak Milik bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh bukan berarti

bahwa Hak Milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak

dapat diganggu gugat. Hal ini Ini dimaksudkan untuk membedakan Hak

Milik dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu.

Dengan kata lain, Hak Milik merupakan hak yang paling kuat dan paling

penuh diantara hak-hak atas tanah lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 6

UUPA, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, sehingga Hak

Milik juga mempunya fungsi social, artinya bahwa Hak Milik yang

dipunyai subjek hak (pemegang hak) tidak boleh dipergunakan semata-

mata untuk kepentingan pribadi. Fungsi sosial dari Hak Milik harus ada

keseimbangan antara kepentingan pemerintah dengan masyarakat.

Hak milik adalah hak terkuat terhadap suatu tanah. Hak milik tidak

dapat di ganggu gugat dan sifatnya mutlak. Sesuai definisi Pasal 20 ayat

(1) UUPA “hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat dengan Pasal 6.”

Makna dari kata “terkuat dan terpenuh” dalam pengertian hak

milik tidak berarti hak yang absolut dan tidak dapat diganggu

87

gugat, karena harus mengingat pasal 6. Pasal 6 sendiri

mengatakan bahwa “tanah memiliki fungsi sosial”. Dengan

begitu artinya, kepemilikan tanah suatu saat bisa dilepaskan

demi kepentingan yang lebih besar. Pembedaan kata itu hanya

memiliki maksud bahwa hak milik itu lebih kuat dibanding hak-

hak atas tanah lainya

Pasal 21 UUPA menyebutkan bahwasanya, hak milik

dapat dimiliki oleh, Warga Negara Indonesia dan Badan hukum

yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan, sepanjang

tanahnya dipergunakan untuk hal itu.

Bagi warga Indonesia, hak milik atas sebidang tanah

dapat terjadi berdasarkan hukum adat atau peraturan dari

pemerintah63. Terjadinya hak atas tanah menurut adat biasanya

bersumber pada pembukaan hutan yang merupakan tanah ulayat

suatu masyarakat hukum adat. Sementara itu tanah ulayat yang

terjadi melalui penetapan pemerintah, biasanya melalui syarat

yang telah ditentukan oleh pemerintah64.

a. Subyek Hak Milik

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UUPA, maka yang dapat mempunyai

Hak Milik adalah:

a) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik

63 Ibid, Hlm 864 Jayadi Setiabudi, Tata Cara Mengurus Tanah Rumah Serta Segala Perizinananya,

(Jakarta : PT Suka Buku, 2012) hlm 14

88

b) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat

mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya.

c) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini

memperoleh Hak Milik karena Pewarisan tanpa wasiat atau

percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara

Indonesia yang mempunyai Hak Milik setelah berlakunya Undang-

Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu

dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut

atau hilangnya kewarganegaraan tersebut. Jika sesudah jangka waktu

itu lampau Hak Milik tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena

hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa

hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

d) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia juga

memperoleh kewarganegaran asing maka ia tidak dapat mempunyai

tanah dengan hak miik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3)

Pasal ini.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka hanya warga negara Indonesia

tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik, orang asing tidak

diperbolehkan untuk mempunyai Hak Milik. Orang asing dapat

mempunyai tanah dengan Hak Pakai yang luasnya terbatas.

b. Terjadinya Hak Milik

89

Mengenai terjadinya Hak Milik diatur dalam Pasal 22 UUPA menentukan

bahwa:

a) Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan

Pemerintah

Pasal 3 UUPA yang menyatakan:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari

masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai

dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-

Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Ketentuan tersebut berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat

dalam hukum agraria sehingga dengan disebutnya hak ulayat dalam

UUPA, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka

pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak

tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat

hukum yang bersangkutan. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum

harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara sehingga

pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan

Negara.

90

b) Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal

ini Hak Milik

1) Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang

ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan.

Terjadinya Hak Milik menurut Penetapan Pemerintah maksudnya

dengan mengajukan permohonan Hak Milik. Mengenai syarat-

syarat permohonan Hak Milik diatur dalam Pasal 8 ayat (1)

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang

menyatakan bahwa Hak Milik dapat diberikan kepada:

“a. Warga Negara Indonesia

b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yaitu:

1) Bank Pemerintah

2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh

Pemerintah.”

Permohonan Hak Milik atas tanah Negara pada Pasal 9 ayat (2)

diajukan secara tertulis yang memuat:

“1. Keterangan mengenai permohonan

91

a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan,

tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan

mengenai isteri/suami dan anaknya yang masih menjadi

tanggungannya;

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta

atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat

keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang

tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat

mempunyai Hak Milik berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis

dan data fisik:

a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertpikat,

girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan

pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang yang telah

dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT,

akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah

lainnya;

b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau

Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);

c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian)

d. Rencana penggunaan tanah;

e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);

3. Lain-lain:

92

a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-

tanah yang dimiliki oleh pemohon, ternasuk bidang tanah

yang dimohon;

b. Keterangan lain yang dianggap perlu.”

2) Ketentuan Undang-Undang,

Pasal 1 ketentuan-ketentuan konversi UUPA menentukan:

“Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya

Undang-Undang ini sejak saat tersebut menjadi Hak Milik,

kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai

yang tersebut dalam Pasal 21”.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka hak eigendom dapat

dikonversi menjadi Hak Milik dengan syarat berdasarkan

ketentuan Pasal 21 UUPA yaitu hanya warga Negara Indonesia

tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik.

4. Peralihan Hak Milik

Beralihnya Hak Milik diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang

menyatakan bahwa:

“Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.

93

Hak Milik dapat beralih maksudnya bahwa Hak Milik dapat berpindah

haknya dari subjek hak kepada subjek hak lain karena adanya peristiwa

hukum, misalnya karena pewarisan, sedangkan hak Milik dapat

dialihkan maksudnya Hak Milik dapat berpindah kepada subjek hak

lain karena adanya perbuatan hukum, misalnya karena jual-beli, tukar-

menukar, hibah. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 mengatur bahwa:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam

perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali

pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Peralihan hak atas tanah yang terjadi karena perbuatan hukum hanya

dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.

5. Pendaftaran Hak Milik

Mengenai pendaftaran Hak Milik diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUPA

menetukan bahwa:

94

“Hak Milik, demikian setiap peralihan, hapusnya dan pembebanan

dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan

yang dimaksud dalam Pasal 19”

Maksud Pasal 23 ayat (1) UUPA ini adalah untuk setiap terjadi

peralihan, hapus dan pembebanan Hak Milik didaftarkan menurut

ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA serta

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

6. Pembebanan Hak Milik Atas Tanah

Pasal 25 UUPA menentukan bahwa:

“Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

Tanggungan”

Berdasarkan Pasal 25 UUPA, Hak Milik dapat dibebani Hak

Tanggungan, maka tanah yang dibebani Hak Tanggungan tetap

dipegang oleh pemiliknya apabila pemilik tanah tidak dapat melunasi

hutangnya dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan kepada

Kreditur, tanah yang dijadikan jaminan utang tersebut bukan berarti

otomatis menjadi milik Kreditur melainkan akan dilelang yang hasil

dari pelelangan tersebut digunakan untuk melunasi utang tersebut.

Selain dapat dibebani Hak Tanggunan, Hak Milik juga dapat dibebani

95

hak-hak atas tanah lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani di

atas Hak Milik adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang

pembebanannya dituangkan dalam Akta PPAT yakni Akta Pembebanan

Hak Milik dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang

sebelumnya terdapat perjanjian antara subjek hak pemegang Hak Milik

dengan calon subjek hak pemegang hak atas tanah yang aka nada sdi

atas tanah Hak Miliki tersebut.

7. Hapusnya Hak Milik

Hak Milik atas tanah dapat hapus dari subjek hak pemeganh hak atas

tanah seperti yang telah ditentukan di dalam Pasal 27 UUPA yaitu

apabila:

a. Tanah jatuh kepada Negara, karena:

1) Pencabutan hak

Maksudnya, pengambilan tanah kepunyaan subjek hak pemegang

Hak Milik oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas

tanah itu menjadi hapus dikarenakan untuk kepentingan umum, hal

tersebut berdasarkan pada Pasal 18 UUPA. Pencabutan hak atas

tanah ini dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan

berdasarkan tata cara yang diatur dengan peraturan perundang-

undangan.

2) Penyerahan dengan sukarela (pelepasan)

96

Penyerahan dengan sukarela maksudnya bahwa subjek hak

melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya kepada Negara

dengan tanpa adanya ganti kerugian yang diterimanya. Hak atas

tanah yang dilepaskan tersebut makan akan menjadi tanah

Negara.

3) Ditelantarkan

Ditelantarkan artinya bahwa tanah tersebut sengaja tidak

dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan daripada

haknya. Hal ini berdasarkan pada penjelasan Pasal 27 UUPA

4) Dipegang oleh subjek hak yang tidak berhak

Maksudnya bahwa Hak Milik ini dimiliki oleh subjek hak bukan

haknya untuk memiliki Hak Milik, yakni WNA dan badan

hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26

ayat 2 UUPA.

b. Tanahnya musnah

Hal ini dapat terjadi karena obyeknya (tanah) tidak ada lagi

karena terjadinya bencana alam.

8. Terjadinya Hak Milik

Melalui 3 cara disebutkan dalam Pasal 22 UUPA:

a) Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat

Hak Milik Atas Tanah yang terjadi menurut hukum adat

adalah Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan

tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah

tanah (Aanslibing)

97

b) Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah

Hak Miliki atas Tana terjadi karena penetapan pemerintah

adalah hak milik atas tanah yang terjadi disini berasal dari

tanah Negara. Hak milik atas tanah ini terjadi kerena

permohonan pemberian hak milik atas tanah oleh pemohon

dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah

ditentukan oleh BPN

c) Hak milik atas tanah terjadi kerena ketentuan undang-undang

Hak milik atas tanah terjadi kerena ketentuan undang-undang

adalah Hak milik atas tanah ini terjadi karena undang-

undanglah yang menciptakannya sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 1, Pasal II, dan pasal III dan pasal VII ayat(1)

Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

2. Hak Guna Usaha

1. Pengertian

Perbedaan antara hak milik dan hak guna usaha adalah

masalah jangka waktu. Hak guna usaha sifatnya sementara,

sedangkan hak milik, hak atas tanah permanen. Hak guna usaha

memiliki beberapa kesamaan dengan hak milik. Yaitu sama-

sama tidak bisa dimiliki oleh warga Negara asing sesuai dengan

Pasal 55 UUPA. Sementara ketentuan hukum mengenai hak

guna usaha diatur dalam Pasal 28 UUPA.

98

Hak guna usaha lebih diperuntukan untuk kepentingan

komersil, seperti pertanian, perikanan atau pertenakan.

Mengenai jangka waktunya, hak guna usaha memilii jangka

waktu paling lama 20 tahun. Hak guna usaha pun dapat

digunakan sebagai jaminan hak tanggungan. 65Hal ini diatur

dalam Pasal 33 UUPA yang menyebutkan bahwa “hak guna

usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak

tanggungan”.

Ketentuan mengenai Hak guna usaha disebutkan dalam

Pasal 16 ayat 1 huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam pasal

28 sampai dengan pasal 34 UUPA. Hak untuk mengusahakan

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu

sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan

pertanian, perikanan atau peternakan. PP No. 40 tahun 1996

menambah guna perusahaan perkebunan

2. Luas Hak Guna Usaha

Adalah perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimal

25 hektar Badan hukum luas minimal 5 hektar dan luas

maksimal ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan nasional

(pasal 28 ayat 2 UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 tahun 1996)

3. Subjek Hak Guna Usaha

65 Jimmy Joses Sembiring, Op cit hlm 13

99

Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP No. 40 tahun 1996 dijelaskan,

bahwa :

a) warga Negara Indonesia

b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)

4. Asal Tanah Hak Guna Usaha

Asal Tanah Hak Guna Usaha adalah:

a) Tanah Negara

b) Penetapan Pemerintah

HGU yang terjadi disini berasal dari tanah Negara. Hak milik

atas tanah ini terjadi kerena permohonan pemberian hak

milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur

dan persyaratan yang telah ditentukan oleh BPN

5. Jangka waktu HGU

Terdiri dari dua dasar hukum, yaitu:

a) Manurut Pasal 29 UUPA Pertama kali paling lama 35 tahun

dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun

b) Pasal 8 No 40 Tahun 1996 Pertama kali paling lama 35 tahun

diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui 25 tahun

6. Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha

asal 12 ayat 1 PP No. 40 tahun 1996, pemegang hak Guna Usaha

berkewajiban untuk :

a) Membayar uang pemasukan kepada Negara

100

b) Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan

atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan

sebagaimana ditetapkan dalam pemberian keputusan

pemberian haknya

c) Mengusahakan sendiri tanah hak guna usaha dengan baik

sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria yang

ditetapkan oleh instansi teknisi

d) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan

fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal hak guna

usaha

e) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber

daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan

hidup sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang

berlaku

f) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai

penggunan hak Guna Usaha

g) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak

guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha

tersebut hapus

h) Menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah hapus

kepada kepala kantor pertanahan

7. Hak Pemegang Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 tahun 1996 adalah Pemegang

hak guna usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah

101

yang diberikan dengan hak guna usaha untuk melaksanakan

usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan atau

peternakan

8. Hapusnya Hak Guna Usaha

Pasal 34 UUPA menjelaskan bahwa

a) jangka waktunya berakhir

b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu

syarat tidak dipenuhinya

c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir

d) dicabut untuk kepentingan umum

e) ditelantarkan

f) tanahnya musnah

g) ketentuan dalam pasal 30 ayat 2

Menurut Pasal 17 PP 40 tahun 1996 faktor-faktor penyebab

hapusnya hak guna usaha dan berakibat tanahnya menjadi tanah

Negara adalah:

a) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan

pemberian atau perpanjangannya

b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka

waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-

kewajiban pemegang hak atau dilanggarnya ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan dalam keputusan pemberian

102

hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap

c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum

jangka waktunya berakhir

d) hak guna usahanya dicabut

e) anahnya ditelantarkan

f) Tanahnya musnah

g) pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat sebagai

pemegang hak guna usaha.

Pasal 18 PP No 40 tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya

hak guna usaha bagi pemegang Hak guna usaha:

a) Apabila hak guna usaha hapus dan tidak dapat diperpanjang

atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib membongkar

bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah

bekas hak guna usaha tersebut kepada Negara dalam batas

waktu yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN

b) apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas

diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan

pengusahaan tanahnya, maka kepada pemegang hak

diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih

lanjut dengan keputusan presiden

c) pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah hak

guna usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang hak

guna usaha

103

d) jika bekas pemegang hak guna usaha lalai dalam memenuhi

kewajiban tersebut , maka bangunan dan benda-benda yang

ada diatas tanah bekas hak guna usaha dibongkar oleh

pemerintah atas biaya pemegang hak guna usaha

3. Hak Guna Bangunan

1. Pegertian

Pasal 35 UUPA menyebutkan bahwa :

Hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,

dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun

Hak guna bangunan atau HGB adalah hak untuk mendirikan

dan mempunyai bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa berupa

rumah sebagai tempat hunian ataupun kepentingan tempat usaha

seperti rumah toko atau perkantoran, pusat olah raga, bangunan

tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya. Objek

tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa: tanah negara, tanah

Hak Pengelolaan, dan tanah Hak Milik. Pasal 21 PP No. 40 Tahun

1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak

Guna Bangunan adalah :

(a) tanah negara;

(b) tanah Hak Pengelolaan; dan

104

(c) tanah Hak Milik. Deskripsi yang lebih rinci mengenai

objek HGB ini akan diuraikan pada bagian Objek HGB.

Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun, sehingga kalau

dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk mempunyai

atau mendirikan bangunan, maka HGB tersebut seyogianya tidak

dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan: “Atas

permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta

keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat

1” dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. ‘Dapat

diperpanjang’ atau ‘dapat diperbaharui’ berarti bahwa perpanjangan

atau pembaruan HGB hanya dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai

persyaratan perpanjangan atau pembaruan.

Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan

atas tanah yang bukan miliknya sendiri,dengan jangka waktu paling

lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 UUPA)

2. Asal Tanah Hak Guna Bangunan

a) Pasal 37 UUPA menegaskan hak guna bangunan terjadi pada

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik

orang lain

b) Pasal 21 PP No.40 tahun 1996 menegaskan tanah yang

dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah tanah

Negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik.

3. Subjek Hak Guna Bangunan

Menurut Pasal 36 UUPA jo Pasal 21 PP No. 40 tahun 1996:

105

a) warga Negara Indonesia

b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)

4. Terjadinya Hak Guna Bangunan

a) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara

Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian

hak yang diterbitkan oleh BPN berdasarkan pasal 4, pasal 9

dan pasal 14 PERMEN Agraria / kepala BPN No.3 tahun

1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Pasal 32

sampai dengan Pasal 48 Permen agrarian /Kepala BPN No.9

tahun 1999

b) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan

Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian

hak usul pemegang hak pengelolaan yang diterbitkan oleh

BPN berdasarkan pasal 4, PERMEN Agraria / kepala BPN

No.3 tahun 1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur

dalam Permen agrarian /Kepala BPN No.9 tahun 1999

c) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik

Hak guna bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh

pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.

5. Jangka Waktu Hak Gunan Bangunan

a) Hak Gunan Bangunan Atas Tanah Negara

Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali

30 tahun dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama

106

20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling

lama 30 tahun

b) Hak Gunan Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaa

Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali

30 tahun dapat diperpanjanguntuk jangka waktu paling lama

20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling

lama 30 tahun

c) Hak Gunan Bangunan ATAS Tanah Hak Milik

Hak guna bangunan ini berjangka waktu paling lama 30

tahun, tidak dapat diperpanjang jangka waktu. Namun atas

kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak

guna bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian hak

guna bangunan yang baru dengan akta yang dibuat PPAT

dan wajib didaftarkan pada Kantor pertanahan kabupaten

/kota setempat

6. Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 PP No 40 Tahun

1996, yaitu:

a) membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara

pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian

hakny

b) menggunakan tanah sesuai dengan dengan peruntukkannya

dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan

perjanjian pemberiannya

107

c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada

diatasnya serta menjaga lingkungan hidup

d) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna

bangunan kepada Negara, pemegang hak pengelolaan atau

pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan dihapus

e) menyerah kan hak guna bangunan yang telah dihapus kepada

kepala kantor pertanahan

f) membagi jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi

pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah hak

guna bangunan tersebut

7. Hak Pemegang Hak Guna Bangunan

a) menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu

b) mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan

pribadi atau usahanya

c) mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain

d) membebani dengan hak tanggungan

8. Hapusnya Hak Gunan Bangunan

Hal ini disebabkan oleh:

a) jangka waktunya berakhir

b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir kerena suatu

syarat tidak dipenuhi

c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir

d) dicabut untuk kepentingan umum

108

e) ditelantarkan

f) tanahnya musnah

g) ketentuan dalam pasal 36 ayat 2

Faktor-faktor Penyebab Hapusnya Hak Gunan Bangunan adalah:

a) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan

pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian

pemberiannya

b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak

pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka

waktunya berakhir,

c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum

jangka waktunya berakhir

d) hak guna bangunannya dicabut

e) ditelantarkan

f) tanahnya musnah

g) pemegang hak guna bangunan tidak memenuhi syarat

sebagai pemegang hak guna bangunan. Hal ini tidak dipenuhi

karena:

1) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam

keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam

perjanjian pemberiannya

109

2) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak

pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka

waktunya berakhir,

3) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya

sebelum jangka waktunya berakhir

4) hak guna bangunannya dicabut

5) ditelantarkan

6) tanahnya musnah

7) pemegang hak guna bangunan tidak memenuhi syarat

sebagai pemegang hak guna bangunan

9. Akibat Hapusnya Hak Gunan Bangunan

a) hapusnya hak guna bangunan atas tanah Negara

mengakibatkan tanah menjadi tanah Negara

b) hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan

mengakibatkan tanahnya kembali kepada pemegang hak

pengelolaan

c) hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik

mengakibatkan tanahnya kembali kedalam penguasaan

pemilik tanah

10. Konsekuensi Pemegang Hak Gunan Bangunan atas Hapusnya

HGB

a) apabila hak guna bangunan hapus dan tidak dapat

diperpanjang atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib

110

membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada

diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam

keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu

tahun sejak hapusnya hak guna bangunan

b) apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas

diperlukan, maka kepada pemegang baik pemegang hak guna

bangunan diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya

diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden

c) pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah hak

guna usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang hak

guna bangunan

d) jika bekas pemegang hak guna bangunan lalai dalam

memenuhi kewajiban tersebut , maka bangunan dan benda-

benda yang ada diatas tanah bekas hak guna bangunan

dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang hak guna

bangunan

e) apabila hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan atau

atas tanah hak milik hapus , maka bekas pemegang hak guna

bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang

hak pengelolaan atau pemegang hak milik dan memenuhi

ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian

penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian hak guna

bangunan atas tanah hak milik

111

d. Hak Pakai

1. Pengertian

Hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau

mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol

oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang

memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban

sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak. 66Suatu

hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama

tanah dipakai untuk suatu tujuan tertentu, dengan gratis, atau untuk

bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan tertentu. Selain

diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat

diberikan kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan tanah yang langsung dikontrol oleh

negara, suatu hak pakai hanya dapat dipindahkan kepada pihak lain

jika mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang. Ketentuan hak

pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf d UUPA secara

khusus diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA.

Hak pakai menurut pasal 41 ayat 1 UUPA adalah hak untuk

menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau

dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian

66 Jimmy Joses Sembiring, Op.cit, hlm 17

112

sewa menyewa atau perjanjian pengolaha tanah, segala sesuatu asal

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.

2. Subyek Hak Pakai

a. Warga Negara Indonesia

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia

d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

Sedankan menurut Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 1996, yaitu

a. warga Negara Indonesia

b. badan hukum yang didrikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia

c. Departemen, lembaga pemerintah Non Departemen dan

pemerintah daerah

d. Badan-badan keagaman dan social

e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

g. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional

3. Asal Tanah Hak Pakai

Menurut pasal 41 ayat 1 UUPA menyebutkan bahwa asal tanah hak pakai

adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang

lain .Menurut pasal 41 PP No. 40 tahun 1996 menyebutkan tanah yang

dapat diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara, tanah hak

pengelolaan atau tanah hak milik.

113

4. Terjadinya Hak pakai

a. Hak pakai atas tanah Negara

Hak pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh

Badan Pertanahan Nasional. Hak pakai ini terjadi sejak keputusan

pemberian hak pakai didaftarkan kepada kepala Kantor

pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku

tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti

b. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan

Hak pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak pakai

oleh BPN berdasarkan usul pemegang hak pakai. Hak pakai ini

terjadi sejak keputusan pemberian hak pakai didaftarkan kepada

kepala Kantor pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk dicatat

dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti

c. Hak pakai atas tanah hak milik

Hak pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah

dengan akta yang dibuat PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan

ke kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatatkan

dalam buku tanah.

5. Jangka Waktu Hak Pakai

Pasal 41 ayat 2 UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama

jangka waktu hak pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa hak

114

pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama

tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu

Dalam PP 40 tahun 1996 jangka waktu hak pakai diatur dalam pasal

45 sampai pasal 49:

a. Hak pakai atas tanah Negara

Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama

25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama

20 dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25

tahun

b. Hak pakai atas tanah pengelolan

Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama

25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama

20 dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25

tahun

c. Hak pakai atas tanah hak milik

Hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25

tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi.

6. Kewajiban Pemegang Hak Pakai:

a) membayar uang pemasukan Negara yang jumlah dan cara

pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian

haknya, perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau

dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik

115

b) menggunakan tanah sesuai dengn peruntukannya dan

persyaratan sebagaimana diterapkan dalam keputusan

pemberiannya, atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah

hak milik

c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada

diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup

d) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai

kepada Negara,pemegang hak pengelolaan atau pemilik tanah

sesudah hak pakai tersebut hapus

e) menyerahkan sertifikat hak pakai yang telah hapus kepada

kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat

f) memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain

bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah

hak pakai

7. Hak Pemegang Hak Pakai

a) menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu

untuk keperluan pribadi atau usahanya

b) memindahkan hak pakai kepada pihak lain

c) membebaninya dengan hak tanggungan

d) menguasai dan mempergunakan tanah untuk jangka waktu

yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk

keperluan tertentu

8. Hapusnya Hak Pakai:

116

a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian

pemberiannya

b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak

pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktu

berakhir

c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum

jangka waktu berakhir

d) hak pakainya dicabut

e) ditelantarkan

Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak

pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktu berakhir,

karena:

a) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai

dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai

b) idak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban

yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara

pemegang hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian

penggunaan hak pengelolaan

c) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap

Konsekuensi hapusnya pemegang hak pakai menurut pasal 57 PP

No. 40 tahun 1996:

117

a) apabila hak pakai atas tanah Negara hapus dan tidak

diperpanjang dan diperbaharui maka bekas pemegang hak

pakai wajib membongkar bangunan dan benda benda yang

ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara

dalam keadaan kosong selambat lambatnya dalam waktu 1

tahun sejak hapusnya hak pakai

b) dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih

diperlukan kepada bekas pemegang hak pakai diberikan ganti

rugi

c) jika bekas pemegang hak pakai lalai dalam memenuhi

kewajiban membongkar hak pakai, maka bangunan dan

benda-benda yang ada diatasnya dibongkar oleh pemerintah

atas biaya pemegang hak pakai

e. Hak Milik atas Satuan Bangunan Bertingkat

Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik

atas suatu bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang

tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk

keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana

penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian

tertentu atas suatu bidang tanah bersama. Hak milik atas satuan

bangunan bertingkat terdiri dari hak milik atas satuan rumah susun

dan hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.

f. Hak Sewa

118

1. Pengertian

Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa

atas tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak

lain untuk pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah

uang sewa kepada pemiliknya. Pembayaran uang sewa ini dapat

dilakukan sekaligus atau secara bertahap, baik sebelum maupun

setelah pemanfaat lahan tersebut. 67Hak sewa atas tanah dapat

dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga negara asing, badan

usaha termasuk badan usaha asing. Hak sewa tidak berlaku diatas

tanah negara. Ketentuan disebutkan dalam pasal 16 ayat 1 huruf e

UUPA, secara khusus diatur dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA.

Menurut pasal 44 ayat 1 UUPA:

Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas

tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang

lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada

pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

3. Objek Hak Sewa

67 Jayadi Setiabudi, op cit, hlm 43

119

Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah

hak milik dan objek yang disewakan oleh pemilik tanah kepada

pihak lain(pemegang hak sewa bangunan) adalah tanah bukan

bangunan

4. Pemegang Hak Sewa Bangunan

a) warga negara Indonesia

b) orang asing yang berkedudukan di Indonesia

c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

bekedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)

d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

5. Jangka Waktu Hak Sewa

UUPA tidak mengatur secara tegas jangka waktu hak sewa untuk

bangunan, jangka waktu diserahkan kepada kesepakatan antara

pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan

6. Hapusnya Hak sewa untuk bangunan

a) jangka waktunya berakhir

b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir dikarenakan

pemegang hak sewa untuk bangunan tidak memenuhi syarat

sebagai pemegang hak sewa untuk bangunan

c) dilepaskan oleh pemegang hak sewa untuk bangunan

sebelum jangka waktunya berakhir

d) hak milik atas tanah dicabut untuk kepentingan umum

e) tanahnya musnah

120

g. Hak Untuk Membuka Tanah dan Hak Untuk Memungut Hasil Hutan

Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil

hutan, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan hanya

bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh

Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil

hutan secara hukum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak

milik (right of ownership) atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk

membuka lahan dan memungut hasil hutan merupakan hak atas

tanah yang diatur didalam hukum adat.

h. Hak Tanggungan

Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-

Undang No. 4 Tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas

tanah dan objek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on

Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek.

Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA ;

a. Hak gadai

1. Pengertian

Hak gadai (gadai tanah) adalah hubungan antara seseorang

dengan tanah kepunyaan orang lain,yang telah menerima

121

uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum

dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai.

Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi pemegang gadai.

Pengembalian uang gadai atau lazim disebut penebusan

tergantung kepada kemauan atau kemampuan pemilik tanah

yang menggadaikan.

2. Pihak-pihak

a) pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai

b) pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai

adalah penerima (pemegang) gadai

3. Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai Hukum Perdata

Hak gadai tanah terdapat satu perbuatan hukum yang berupa

perjanjian penggarapan tanah pertanian oleh orang yang

memberikan uang gadai, sedangkan gadai menurut hukum

perdata terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian

pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan

penyerahan benda bergerak sebagai jaminan sebagai

perjanjian ikutan.

4. Jangka Waktu

a) hak gadai (gadai tanah) yang lamanya tidak ditentukan

b) hak gadai (gadai tanah) yang lamanya ditentukan

5. Hak Gadai Tanah yang lamannya tidak ditentukan

Dalam hak gadai (gadai tanah)tidak ditentukan lamanya, maka

pemilik tanah pertanian tidak boleh melakukan penebusan

122

sewaktu-waktu. Dalam hak gadai (gadai tanah)ini. Pemilik

tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang

diperjanjikan dalam hak gadai (gadai tanah ) berakhir.

5. Ciri-ciri Hak Gadai Menurut Hukum Adat

a) hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa

b) pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan

tanahnya

c) pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya

segera ditebus

d) anah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi

milik pemegang gadai bila tidak ditebus

6. Sifat dan Ciri-ciri Hak Gadai

a) hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya

pada suatu waktu akan hapus

7. hak gadai (gadai tanah ) tidak berakhir dengan meninggalnya

pemegang gadai

8. Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah

yang lain

9. hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya

dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa

hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan

dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dengan

pihak ketiga (memindahkan gadai atau doorverpanden)

123

10. hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas

tanahnya dialihkan kepada pihak lain

11. selama hak gadai (gadai tanah)nya berlangsung makaatas

persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah

(mendalami gadai)

12. sebagai lembaga,hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan

hapus

b. Hak usaha bagi hasil

1. Pengertian

Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum

(yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha

pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut

pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara

kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati

2. Mekanisme bagi hasil

Perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka

Kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan

disahkan oleh camat setempat serta diumumkan dalam

kerapatan desa yang bersangkutan

3. Tujuan bagi Hasil

a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap

dilakukan atas dasar yang adil;

124

b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan

hukum yang layak bagi penggarap;

c. Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada a dan b

diatas, maka bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para

petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada

caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan

tanahnya.

4. Sifat dan ciri-ciri bagi hasil

a. Perjanjian bagi hasil jangka waktunya terbatas

b. Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak

lain tanpa izin pemilik tanahnya

c. Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak

milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain

d. Perjanjian bagi hasil tidak hapus jika penggarap

meninggal dunia, tetapi hak itu hapus jika pemilik

tanahnya meninggal dunia

e. Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus

(diKantor Kepala desa)

f. Sebagai lembaga perjanjian bagi hasil ini pada waktunya

akan dihapus

5. Jangka waktu bagi hasil

Jangka waktu hak usaha bagi hasil hanya berlaku satu

(1)tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi perpanjangan

125

jangka waktunya tergantung pada kesediaan pemilik tanah,

sehingga bagi penggarap tidak ada jaminan untuk dapat

menggarap dalam waktu yang layak

Selain itu menurut UU Nomor 2 Tahun 1960:

a) Lamanya jangka waktu perjanjian bagi hasil untuk

tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk

tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun

b) Perjanjian tidak terputus karena pemindahan hak

milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain

c) Jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian

bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan

hak dan kewajiban yang sama

d) Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya

jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila

jika ada persetujuan kedua belah pihak yang

bersangkutan dan hal itu dilaporkan kepada kepala

desa

6. Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah

a) Hak pemilik tanah

b) Berhak atas bagian hasil tanah yang ditetapkan atas

dasar kesepakatan oelh kedua belah pihak dan berhak

menuntut pemutusan hubungan bagi hasil jika ternyata

kepentingannya dirugikan penggarap

c) Kewajiban pemilik tanah

126

d) Menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan

membayar pajak atas tanah yang garapan yang

bersangkutan

7. Hak dan Kewajiban Penggarap tanah

a) Selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak untuk

mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima

bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan yang

ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak

b) Kewajiban penggarap

c) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik, menyerahkan

bagian hasil tanah yang menjadi hak pemilik tanah,

memenuhi beban yang menjadi tanggungannya dan

menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik

tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya jangka

waktu perjanjian bagi hasil

8. Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil

a) jangka waktunya berakhir

b) atas persetujuan kedua belah pihak , perjanjian bagi hasil

diakhiri

c) pemilik tanahnya meninggal dunia

d) adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan

dalam perjanjian bagi hasil

e) tanahnya musnah

127

c. Hak menumpang

1. Pengertian

UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak

menumpang

Menurut Boedi harsono, Hak menumpang adalah hak yang

memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan

menempati rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain.

2. Cara terjadi

Hak menumpang biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh

pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai

rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis,

tidak ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat

desa/kelurahan,sehingga jauh dari kepastian hukum dan

perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

3. Sifat dan Ciri-ciri

a) tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena

sewaktu-waktu dapat dihentikan

b) hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dap at

diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah

tersebutpemegang hak menumpang tidak wajib

membayar sesuatu (uang sewa)kepada pemilik tanah

c) tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan

128

d) bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli

warisnya

e) Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli

warisnya

d. Hak sewa tanah pertanian

1. Pengertian

UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud

dengan hak sewa tanah pertanian. Hak sewa tanah

pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk

penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah

kepada pihak lain (penyewa)dalamjangka waktu tertentu

dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar

kesepakatan kedua belah pihak

2. Cara Terjadinya

Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi dalam bentuk

perjanjian yang tidak tertulis atau tertulis yang memuat

unsure-unsur para pihak, objek, uang sewa, jangka waktu

hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan

penyewa.

3. Hapusnya hak sewa

a) jangka waktunya berakhir

129

b) hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa

persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu

diperkenankan oleh pemilik tanah

c) hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa

d) hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa

e) hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum

f) tanahnya musnah

Sumber:

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. (Jakarta:

Penada Media, 2005).

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan,

2008)

Soal-soal:

1. Jelaskan pengertian Pengertian Hak Milik berdasarkan ketentuan Pasal

20 ayat (1) UUPA.

2. Bagaimana mekanisme terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat

3. Apa sebab hapusnya Hak Milik?

4. Apas syarat hapusnya HGB?

5. Faktor-faktor pengalihan HGU?

130

131

BAB VIII

PENDAFTARAN TANAH

1. Pengertian

Tanah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan

manusia. Baik pada masa zaman batu hingga era globalisasi dewasa ini. Nilai

ekonomis serta filosofis yang berbau teologis membuat tanah menjadi begitu

penting. Di mulai dari sekedar tempat tinggal, pelataran hingga kegunaan

resepsi acara adatpun seluruhunya memerlukan benda tidak bergerak yang

disebut tanah. Betapa kompleksnya values tanah membuat sebagian besar

masyarakat rela memberikan nyawanya demi hak milik atas tanah.68

Tanah sebagai aspek yang sangat penting, maka perlu dikelola dengan

baik dan benar sesuai dengan keadilan. Hal ini untuk menjaga dan melindungi

tanah sebagai bagian dari masyarakat. Dalam rangka untuk menjamin

pelaksanaan pengelolaan pertanahan nasional agar tercipta pengelolaan yang

adil, maka dibentuklah lembaga khusus yang berweanang menangani masalah

perihal pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik (BPN RI).

Kini, BPN menjadi pusat dan sentral dalam pengelolaan segala hal yang

berkaitan dengan bidang agraria atau pertanahan.

Salah satu tugas yang paling penting adalah BPN melalui

kebijakannya bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah.

68 Bernard Limbong, Hukum Agraria Nasional: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah,(Jakarta : Margaretha Pustaka, 2013) hlm 1

132

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, menjelaskan bahwa tujuan pendafaftaran tanah adalah:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah

susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah

dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan

perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-

satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Proses yang peling signifikan adalah pendaftaran tanah. Pelaksanaan

pendaftaran tanah membuat para pihak yang bersangkutan dapat dengan

mudah mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah-tanah

tertentu yang dihadapinya akan luas dan batas-batas, siapa pemiliknya dan

beban-beban apa yang ada diatasnya.69 Dengan demikian akan

mendapatkan kepastian hak kepemilikan tanah dan karena dengan

pendaftaran tanah akan diterbitkan alat bukti hak yang disebut dengan

sertifikat hal atas tanah.

69 Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya UUPA, (Bandung :Armicho, 1989). hlm.37.

133

Pendaftaran hak atas tanah merupakan keharusan pasca melakukan

transaksi jual beli atas tanah, baik itu transaksi jual beli, penukaran,

penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan

perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak

kepada pihak lain. Dalam rangka untuk mendapatkan kepastian hak

kepemilikan tanah dan karena dengan pendaftaran tanah akan diterbitkan

alat bukti hak yang disebut dengan sertifikat hak atas tanah.

Pendaftaran tanah selain kewajiban pemerintah juga merupakan

kewajiban bagi yang mempunyai hak-hak atas tanah, dengan maksud agar

mereka mendapat kepastian hukum tentang haknya itu dan memang

kewjiban itu perlu ditegaskan, kalau tidak, mungkin yang mempunyai hak

tersebut tidak mengetahui kewajibannya atau melalaikan kewajiban itu,

padahal secara keseluruhan usaha pendaftaran tanah yang dibebankan

kepada pemerintah dan sudah mengeluarkan tenaga dan biaya yang banyak

itu akan menjadi sia-sia tanpa adanya dukungan dari orang-orang yang

mempunyai hak tersebut diatas.70

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960,

yang dikenal UUPA, merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Sebelum berlakunya UUPA, hanya bagi tanah yang tunduk pada hukum

Barat misal Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstal, dilakukan

pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian

hukum dan kepadanya diberikan tanda bukti dengan suatu akta yang

70 Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi PRONA Dalam PelaksanaanMekanisme Fungsi Agraria,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hlm 14.

134

dibuat oleh Pejabat Balik Nama. Tanah-tanah hak pribadi tidak terjadi oleh

kegiatan pendaftaran tanah.

Tanah yang sudah didaftarkan harus memiliki bukti otentik yang

tentunya dalam bentuk tertulis. Bukti otentik tersebut dibuat dalam bentuk

sertipikat atas tanah yang didalamnya terdiri dari Salinan Buku Tanah dan

Surat Ukur. Penerbitan sertipikat atas tanah secara yuridis berarti negara

mengakui kepemilikan atas tanah terhadap mereka yang namanya terdaftar

dalam sertipikat tanah tersebut. Pihak lain tidak dapat mengganggu gugat

kepemilikan atas tanah tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Pasal 1 yang dimaksud

pendaftaran tanah adalah rangakaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan, penyajian, serta pemeliharaan data

fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, bidang-bidang tanah

dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah, tujuan pendaftaran tanah adalah :

d. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah

susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan

135

e. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan

hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun yang sudah terdaftar.

f. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Pelaksanaan pendaftaran tanah membuat para pihak yang

bersangkutan dapat dengan mudah mengetahui status atau kedudukan

hukum daripada tanah-tanah tertentu yang dihadapinya akan luas dan

batas-batas, siapa pemiliknya dan beban-beban apa yang ada diatasnya.71

Realisasi untuk mewujudkan pendaftaran tanah, sebagaimana

dimaksud Pasal 19 UUPA awalnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 kemudian diubah dengan ditetapkan dan

diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun

1961, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mendapat pengaturan

secara lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri Negara Agraria atau

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 sebagai

ketentuan pelaksanaannya.72

71 Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya UUPA,(Bandung : Armicho, 1989). hlm.37.

72 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Hukum Agraria, (Jakarta :Sinar Grafika, 2003), hlm. 82.

136

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud dengan

pendaftaran tanah adalah :

“Rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh Pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta

pemeliharaan data serta fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan

daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti

haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak

milik atas satuan rumah rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya.”

Dalam hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah

tidak dikenal. Keberadaan lembaga pendaftaran tanah adalah dalam rangka

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang sudah berubah situasi

dan kebutuhannya. Hak-hak atas tanah dibukukan dalam buku tanah dan

diterbitkan sebagai tanda bukti pemilik tanahnya. Pemindahan hak, seperti

jual beli, tukar menukar, dan hibah yang telah selesai dilakukan, diikuti

juga dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan. Hal tersebut dimaksudkan

untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya

pembuktiannya daripada akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang

telah membuktikan terjadinya pemindahan hak yang dilakukan.

Lembaga pendaftaran ini tidak dikenal dalam hukum adat karena

semula memang tidak diperlukan dalam lingkungan pedesaan yang

137

lingkup teritorial maupun personalnya terbatas. Dalam lingkungan

pedesaan yang demikian itu para warganya saling mengenal dan

mengetahui siapa yang mempunyai tanah yang mana dan siapa yang

melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah miliknya

yang kenyataannya memang tidak sering terjadi.73

2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Undang-undang Pokok Agraria adalah sebuah undang-undang yang

memuat dasar-dasar pokok dibidang agraria yang merupakan landasan

bagi usaha pembaruan Hukum Agraria guna memberikan jaminan

kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi tanah dan

hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan tanah. Untuk mencapai

tujuan tersebut Undang-Undang Pokok Agraria telah mengatur

pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi :

“untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”.

Pendaftaran tanah tersebut dalam pasal 19 undang-undang pokok

agrarian ayat (1) meliputi :

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

73 Boedi Harsono, Op.Cit. hlm 210

138

Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai tanah harus

diketahui dimana letaknya, bagaimana batas-batasnya, beberapa luasnya,

bangunan dan tanaman apa yang ada diatasnya, status tanahnya, siapa

pemegang haknya dan tidak adanya pihak lain. Sebagaimana diketahui

bahwa pendaftaran tanah yang diperintahkan Pasal 19 Undang-Undang

Pokok Agraria adalah untuk menjamin kepastian hak dan kepastian hukum

atau recht cadastre atas tanah. Pasal-pasal lain dalam undang-undang

pokok agrarian yang menentukan tentang pendaftaran tanah, yaitu :

a. Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian

yang kuat mengenai hapusnya Hak milik serta sahnya peralihan dan

pembebanan hak tersebut.”

b. Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian

yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha,

kecuali dalam hal hak tersebut hapus karena jangka waktunya

berakhir.”

c. Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian

yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya

peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak tersebut hapus karena

jangka waktunya berakhir.”

139

Sedangkan untuk peraturan pelaksanaanya terdapat dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah

dan mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang selanjutnya disebut

Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997.

3. Obyek Pendaftaran Tanah

Berdasarkan hak menguasai dari Negara, maka Negara dalam hal

ini adalah pemerintah dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada

seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum.

Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan

tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Dari

uraian diatas dapat diketahui bahwa diberikannya hak-hak atas tanah

tersebut dalam jenis hak yang berlainan, keberadaan hak-hak atas tanah

yang bermacam-macam itu merupakan obyek yang harus didaftar.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 obyek

pendaftaran tanah meliputi :

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan dan hak pakai;

2. Tanah Hak Pengelolaan;

3. Tanah Wakaf;

4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;

140

5. Hak Tanggungan;

6. Tanah Negara.

Berbeda dengan obyek pendaftaran tanah yang lain dalam hal tanah

Negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah

yang bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah yang lain didaftar

dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta

menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.74

Sumber:

Bernard Limbong, Hukum Agraria Nasional: Himpunan Peraturan-peraturan

Hukum Tanah, (Jakarta : Margaretha Pustaka, 2013)

Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya

UUPA, (Bandung : Armicho, 1989).

Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi PRONA Dalam

Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria,(Jakarta : Ghalia Indonesia,

1985).

Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya

UUPA, (Bandung : Armicho, 1989)

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Hukum Agraria,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2003)

74 Ibid. Hlm 479-480

141

Soal:

1. Jelaskan pengertian Pengertian Pendaftaran Tanah

2. Bagaimana Mekanisme pendaftaran Tanah?

3. Jelaskan Syarat pendaftaran tanah