hubungan variasi morfologi sella tursika dengan …

49
HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN MALOKLUSI KLAS II SKELETAL DI RSGMP FKG USU TESIS INDAH FITRIASARY 137160005 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALISORTODONTI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN MALOKLUSI KLAS II SKELETAL

DI RSGMP FKG USU

TESIS

INDAH FITRIASARY

137160005

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALISORTODONTI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

Universitas Sumatera Utara

Page 2: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis : HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN MALOKLUSI KLAS II SKELETAL DI RSGMP FKG USU

Nama Mahasiswa : Indah Fitriasary, drg

NIM : 13716005

Program Spesialis : PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

ORTODONTI

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort(K) Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort NIP: 195808281988031002 NIP: 195206221980031001 Ketua Program Studi

Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort(K) NIP: 195808281988031002

Universitas Sumatera Utara

Page 3: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radiografi sefalometri diperkenalkan pertama kali oleh Pacini tahun 1922, kemudian tahun

1931 Hofrath (Jerman) dan Broadbent (Amerika Serikat) menemukan teknik sefalometri

berstandarisasi dengan menggunakan alat sinar-X dan pemegang kepala yang disebut sefalostat

atau sefalometer, foto radiografi yang dihasilkan disebut foto sefalometri.1-10

Radiografi sefalometri lateral berperan penting dalam perawatan ortodonti yaitu saat

penentuan diagnosa, tipe maloklusi, rencana perawatan, pertumbuhan dan perkembangan wajah,

penilaian perubahan sebelum dan setelah perawatan. Beberapa titik di wilayah kraniofasial dapat

dijadikan titik acuan, salah satunya yaitu sella tursika yang merupakan landmark ortodonti

terpenting karena perannya sebagai titik pusat rujukan dalam penilaian morfologi kraniofasial

dan relasi hubungan rahang dengan kranium.1-10

Sella tursika adalah struktur tulang berupa cekungan berbentuk pelana yang terletak di dasar

tengkorak, di bawah otak dan di belakang hidung pada tulang sfenoid yang didalamnya terdapat

kelenjar pituitari. Cekungan tersebut dikenal sebagai fossa pituitari atau fossa hipofisis yang

pada bagian anterior dibatasi oleh tuberkulum sella dan bagian posterior dibatasi oleh dorsum

sella.1-13

Perkembangan sella tursika secara langsung berhubungan dengan perkembangan kelenjar

pituitari karena kelenjar pituitari berada didalam sella tursika dan perkembangannya telah

sempurna sebelum perkembangan sella tursika selesai sehingga kondisi patologis yang terjadi

pada kelenjar tersebut dapat menyebabkan perubahan morfologi dan ukuran sella tursika.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Beberapa pasien dengan anomali sella tursika diketahui menderita berbagai penyakit yang

mendasari seperti tumor primer intrasellar pituitari (Weisberg dkk., 1976; Swallow dan Osborn,

1998; Dostalova dkk., 2003)7, empty sella syndrome (Weisberg dkk., 1976; Ammar dkk., 1999;

Sage dan Blumbergs, 2000; De Marinis dkk., 2005)7, hipopituitarisme atau sindrom Williams

(Axelsson dkk., 2004)7 atau sindrom Sheehan (Dejager dkk., 1998; Kelestimur, 2003)7 sehingga

diperlukan penekanan tentang pentingnya memperhatikan morfologi dan ukuran sella tursika

untuk mengetahui adanya penyakit yang diderita pasien.1,6,7

Selama perkembangan embriologi sella tursika merupakan kunci penting dalam migrasi sel

neural crest ke frontonasal, palatal dan perkembangan maksila sehingga apabila terjadi anomaly

morfologi sella tursika akan diikuti dengan gangguan fungsional kelenjar pituitari seperti

gangguan regulasi sekresi glandular hormon, prolaktin, growth hormon dan follicular stimulating

hormon. Malformasi pada sella tursika atau kelenjar pituari dapat dihubungkan dengan

malformasi pertumbuhan pada regio kraniofasial (frontonasal, maksila, palatal dan mandibula)

terkadang juga melibatkan batang otak, thymus, tiroid dan jantung. (Kjaer dkk., 1999; Miletich

and Sharpe, 2004; Morotomi dkk., 2005).5,8

Perbedaan morfologi dan ukuran sella tursika secara signifikan ditemukan pada orang

dengan etnis yang berbeda pada penelitian sebelumnya (Brock dan Jacobsen dkk., 2009)9, oleh

karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih

banyak mengenai hal ini. Data mengenai standar morfologi sella tursika untuk semua komunitas

diperlukan sehingga dapat diperoleh pengetahuan yang dapat membantu dalam mendeteksi

kelainan anatomi pada sella tursika.1,5,9-12

Dokter gigi dan ortodontis secara rutin mengevaluasi radiografi sefalometri pasien, dengan

mengetahui variasi normal dari sela tursika diharapkan mampu mengenali kelainan bahkan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

sebelum melihat tampilan klinisnya. Penilaian morfologi sella tursika merupakan alat ukur dalam

menilai kelenjar pituitari, variasi morfologi sella tursika dilaporkan pada kasus dengan deviasi

kraniofasial parah, kelainan genetik, kelainan sindrom dan anomali gigi seperti ektopik dan

impaksi. Saat ini, penentuan morfologi kraniofasial menjadi fokus perhatian para peneliti di

berbagai bidang studi yaitu radiologi dan ortodonti. Sebuah teori baru-baru ini yang masih terus

menerus diteliti adalah adanya hubungan antara morfologi dan ukuran sella tursika dengan tipe

maloklusi.1,2

Tipe maloklusi dalam ilmu ortodonti diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu Klas I, II, dan

III, hal ini dilihat berdasarkan hubungan anteroposterior dari maksila dan mandibula. Banyak

penelitian dilakukan mengenai prevalensi tipe maloklusi pada berbagai kelompok etnis, menurut

penelitian yang dilakukan oleh Wahab pada populasi Deutro-Melayu Indonesia tahun 2013,

prevalensi paling tinggi ditemukan pada Klas I yaitu 48,8%, diikuti dengan Klas II yaitu 33,1%

dan Klas III sebanyak 18,1%.6

Perawatan pasien pada masing-masing tipe maloklusi tersebut berbeda-beda, sebelum

memulai perawatan ortodonti yang rumit dan mahal sangat penting untuk menentukan jenis

hubungan skeletal antar rahang agar diperoleh hasil perawatan yang lebih baik. Pada analisa

sefalometri lateral terkadang didapatkan hasil borderline sehingga sulit untuk memastikan

hubungan skeletal rahang, dalam situasi ini, dengan memperhatikan variasi morfologi dan

ukuran sela tursika pada radiografi sefalometri diharapkan dapat membantu untuk menentukan

hubungan skeletal apakah Klas I, II ataupun III.1

Penelitian tentang morfologi sella tursika dihubungkan dengan maloklusi terutama Klas III,

anomali dental, deviasi kraniofasial, cleft dan berbagai sindrom sudah banyak dilaporkan, namun

masih sedikit laporan mengenai maloklusi Klas II, sehingga penelitian ini diambil.4

Universitas Sumatera Utara

Page 6: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Hasil penelitian oleh Sujaani dkk tahun 2014, morfologi sella tursika pada maloklusi Klas I

dilaporkan sekitar 71% memiliki sella tursika normal dan pada maloklusi Klas II sekitar 50%

memiliki sella tursika normal. Bridging sella, irregular (notching) posterior wall dan piramida

lebih banyak dijumpai pada Klas II dibandingkan Klas I. Abdel Kader dkk tahun 2007

melaporkan bridging sella lebih banyak dijumpai pada maloklusi Klas III dibandingkan

maloklusi Klas I dan II, hal ini sejalan dengan penelitian oleh Marcotty dkk dan Sathyanarayana

dkk. Sedangkan penelitian oleh Bush, Muller dan Platzer melaporkan irregular (notching)

posterior wall lebih banyak dijumpai pada maloklusi Klas II.1

Dari ulasan di atas penulis ingin mengetahui hubungan variasi morfologi sella tursika dengan

maloklusi Klas II pada pasien di Indonesia, khususnya di RSGMP FKG USU Medan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ada perbedaan morfologi sella tursika pada kelompok pasien dengan

maloklusi Klas II skeletal dibandingkan pada pasien dengan maloklusi Klas I skeletal.

2. Apakah ada hubungan variasi morfologi sella tursika pasien dengan maloklusi Klas II

skeletal.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perbedaan morfologi sella tursika pada kelompok pasien dengan

maloklusi skeletal Klas II.

2. Untuk mengetahui hubungan antara variasi morfologi sella tursika dengan tipe maloklusi

skeletal Klas II.

1.4 Manfaat Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 7: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

1. Memberi informasi kepada praktisi bagaimana variasi morfologi sella tursika.

2. Memberi informasi kepada praktisi sehingga dapat mendeteksi atau mengenali perubahan

pada variasi normal (anatomi abnormal) dari sella tursika meskipun belum melihat tampilan

klinis.

3. Memberi informasi kepada praktisi mengenai hubungan antara pola morfologi sella tursika

dengan tipe maloklusi skeletal Klas II.

4.. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi dalam penentuan

diagnosa dan rencana perawatan sehingga hasil perawatan yang diperoleh akan lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Radiografi sefalometri adalah metode standar yang digunakan untuk mendapatkan

gambaran radiografi tulang tengkorak, yang bermanfaat dalam pengukuran kranium dan

orofasial kompleks dari pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti. Radiografi

sefalometri pertama kali diperkenalkan oleh Pacini pada tahun 1922, kemudian pada tahun 1931

Hofrath (Jerman) dan Broadbent (Amerika Serikat) menemukan teknik sefalometri yang telah

terstandarisasi dengan menggunakan alat sinar-X dan pemegang kepala yang disebut sefalostat

atau sefalometer. Foto radiografi yang diperoleh dengan alat chepalostat disebut foto sefalometri,

contoh foto sefalometri terlihat pada gambar 1.3,20

Sefalometri lateral adalah gambar dua dimensi tulang tengkorak kepala dari samping

(lateral) yang memperlihatkan hubungan antara gigi, tulang, jaringan lunak dan vertikal vertebra

untuk diteliti secara horizontal dan vertikal. Radiografi sefalometri lateral berperan penting

dalam perawatan ortodonti yaitu saat penentuan diagnosa, tipe maloklusi, rencana perawatan,

pertumbuhan dan perkembangan wajah skeletal, penilaian perubahan sebelum dan setelah

perawatan. Beberapa titik di wilayah kraniofasial dapat dijadikan titik acuan, salah satunya yaitu

sella tursika yang merupakan landmark ortodonti terpenting karena perannya sebagai titik pusat

rujukan dalam penilaian morfologi kraniofasial dan relasi hubungan rahang dengan kranium.1-10

Universitas Sumatera Utara

Page 9: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 1.(A) Sefalometri lateral, (B) Sefalometri frontal

2.1. Sella Tursika

Sella tursika adalah struktur tulang berupa cekungan berbentuk pelana yang terletak di dasar

tengkorak, di bawah otak dan di belakang hidung pada tulang sfenoid yang didalamnya terdapat

kelenjar pituitari seperti yang terlihat pada gambar 2.Cekungan tersebut dikenal sebagai fossa

pituitari atau fossa hipofisis yang pada bagian anterior dibatasi oleh tuberkulum sella danbagian

posterior dibatasi oleh dorsum sella. 1-12

Kelenjar pituitari dikelilingi oleh sella tursika dimana dua prosessus clinoid anterior dan dua

prossesus clinoid posterior berada di atas fossa pituitari. Prosessus clinoid anterior dibentuk oleh

perpanjangan lesser wing ke medial dan anterior sedangkan prossesus clinoid posterior

merupakan ujung dari dorsum sella. Prosessus clinoid anterior berukuran lebih besar dengan

bentuk yang lebih bervariasi: pendek, tumpul, menonjol atau terhubung. 3,5,10,11,17

Universitas Sumatera Utara

Page 10: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Sella tursika pada tulang sfenoid terdiri dari fossa sentral pituitari dan dua pasang prosesus

clinoid. Prosesus ini dihubungkan oleh horizontal fold durameter yang digambarkan sebagai

interclinoid dural fold, interclinoid ligament, fibrous ligamen atau diafragma sella yang

membatasi sella tursika di bagian superior seperti atap yang belum menutup komplit dengan

foramen di bawahnya yang biasa disebut foramen interclinoid.12 Teall 1997 mengklasifikasikan

sella tursika ke dalam tiga segmen: dinding anterior, dasar/lantai dan dinding posterior (dorsum

sella) seperti yang terlihat pada gambar 3.17

Gambar 2. Anatomi sella tursika

Gambar 3.Morfologi normal sella tursika dan garis referensiuntuk menentukan ukuran sella. TS; tuberkulum sella, DS; dorsum sella, BPF; basis/dasardari fossa pituitari, SP; sella posterior, garis putih;panjang sella, garis merah; diameter sella,garis biru;kedalaman sella.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

2.1.1 Embriologi dan pertumbuhan postnatal Sella Tursika

Perkembangan embriologi dan postnatal sella tursika dan kelenjar pituitari merupakan

proses yang kompleks, dua struktur penting ini berada disatu lokasi yang sama yang saling

berbatasan.Area sella tursika merupakan titik pusat migrasi sel neural crest untuk perkembangan

daerah frontonasal dan maksila seperti terlihat pada gambar 4. Pembentukan dan perkembangan

bagian anterior kelenjar pituitari, sella tursika, frontonasal, maksila, dan gigi, melibatkan sel

neural crest dan sel dental epitel progenitor yang berdiferensiasi secara bertahap dan saling

berinteraksi dengan sel neural crest yang berasal dari mesenkim.3,12

Perkembangan sella tursika sangat berhubungan dengan perkembangan kelenjar pituitari

karena kelenjar pituitary berada didalam sella tursika dan perkembangannya telah sempurna

sebelum perkembangan sella tursika selesai sehingga kondisi patologis yang terjadi pada kelenjar

tersebut dapat menyebabkan perubahan morfologi dan ukuran sella tursika.3,12

Beberapa pasien dengan anomali sella tursika diketahui menderita berbagai penyakit yang

mendasari seperti tumor primer intrasellar pituitari (Weisberg dkk., 1976; Swallow dan Osborn,

1998; Dostalova dkk., 2003)7, empty sella syndrome (Weisberg dkk., 1976; Ammar dkk., 1999;

Sage dan Blumbergs, 2000; De Marinis dkk., 2005)7, hipopituitarisme atau sindrom Williams

(Axelsson dkk., 2004)7 atau sindrom Sheehan (Dejager dkk., 1998; Kelestimur, 2003)7 sehingga

diperlukan penekanan tentang pentingnya memperhatikan morfologi dan ukuran sella tursika

untuk mengetahui adanya penyakit yang diderita pasien.1,6,7

Selama perkembangan embriologi sella tursika melibatkan sel neural crest dan mesoderm,

daerah sella tursika merupakan kunci penting dalam migrasi sel neural crest ke frontonasal,

palatal dan perkembangan maksila sehingga apabila terjadi anomali morfologi sella tursika akan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

diikuti dengan gangguan fungsional kelenjar pituitari dan kelainan morfologi skeletal wajah

(Kjaer dkk., 1999; Miletich dan Sharpe, 2004; Morotomi dkk., 2005).5,8

Abnormalitas dinding anterior sella tursika yang terjadi berhubungan dengan abnormalitas

bidang frontonasal dan terkadang diikuti dengan kerusakan body axis, sedangkan abnormalitas

dinding posterior berhubungan dengan kerusakan otak.12

Bagian posterior dari kelenjar pituitari berkembang dari paraksial mesoderm yang erat

kaitannya dengan induksi notochordal, terdapat kaitan yang erat antara perkembangan jaringan

otak dan tulang di sekitar otak dan neurokranium,jika terjadi malformasi kongenital pada

perkembangan otak dapat dideteksi dengan menganalisa tulang pada neurokranium. Morfologi

abnormal dari basis kranial dan sella tursika termasuk pada evaluasi postnatal malformasi

kraniofasial.1,7,17

Hipotesis pada pertengahan tahun 1990 menyebutkan analisis histologi dari prenatal sella

tursika dan pertumbuhan kelenjar pituitari dapat menjadi metode untuk mengetahui kapan

terjadinya morfologi yang normal atau morfologi yang patologis dari sella tursika (Kjaer dan

Hansen, 1995).9

Kelenjar pituitari berkembang sebelum tulang kartilago sella tursika terbentuk. Kelenjar

adenopituitary berkembang dari jaringan oral ektoderm dan kelenjar neuropituitary berasal dari

infundibulum cerebri. Morfologi prenatal sella, seperti yang terlihat pada kartilago, menyerupai

morfologi pada jaringan tulang setelah kelahiran. Penelitian patologis foetus menunjukkan

bahwa deviasi pada bentuk sella tursika merupakan dasar yang kuat untuk mengetahui deviasi

yang akan terlihat pada saat post natal seperti yang ditunjukkan oleh gambar 5.9

Universitas Sumatera Utara

Page 13: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Perkembangan ukuran dan morfologi sella tursika postnatal banyak diterangkan dalam

literatur, deposisi tulang bagian anterior dari permukaan inferior sella tursika berhenti pada usia

dini sedangkan resorpsi pada bagian distal lantai sella dan dinding posterior terus berlanjut.

Deposisi tulang pada tuberkulum sella dan resorpsi pada batas posterior sella tursika terjadi pada

usia diatas 16-18 tahun. Titik sella bergerak ke belakang dan ke bawah selama pertumbuhan dan

perkembangan.12

Perubahan sella tursika pada masa anak-anak telah diteliti secara radiografi oleh Bjork dan

Skieller (1983) dan secara histologi oleh Melsen (1974), penelitian ini menunjukkan bahwa sella

tursika ukurannya bertambah selama masa anak-anak, pertambahan ukuran terjadi akibat resorpsi

dinding posterior dorsum sella, sedangkan dinding anterior terlihat stabil selama masa

pertumbuhan.9

Gambar 4.Skema ilustrasi dua area perkembangan dari kranium yaitu area frontonasal (F) dan area maksila (M). Dua bagian yang berbeda ini berasal dari neural crest sel. Neural cerst sel ditandai dengan panah hijau merupakan bagian dari fossa anterior fossa krania, termasuk dinding anterior dari sella tursika.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 5. Potongan para-axial sella tursika dari fetus manusia, 15 minggu usia gestasional. Bagian anterior di sebelah kiri. Sella tursika mempunyai penampakan morfologi mirip dengan morfologi pada radiografi post natal. Kelenjar pituitari berada di dalam sella. Kelenjar adenopituitari terlihat di kiri dan kelenjar neuropituitari berada dikanan. Ossifikasi pada jaringan kartilago yang ungu terlihat di bawah sella pada kranial base eksternal.

2.1.2 Morfologi Sella Tursika

Gorden dan Bell 1922 mengklasifikasikan morfologi sella tursika dalam tiga

tipe:bulat/sirkular, oval dan mangkuk/datar. Teal 1977 mengklasifikasikan morfologi sella

tursika menjadi tipe bulat, oval dan datar seperti terlihat pada gambar 6.Camp mengklasifikasi

sella tursika normal dalam tiga tipe: sirkular, oval dan flat. Tipe sirkular merupakan tipe yang

paling banyak ditemukan sedangkan tipe flat yang paling jarang ditemukan. Pada anak-anak 70%

sella tursicaberbentuk round. 4,5,11,17

Gambar 6. Klasifikasi dari tiga bentuk sella tursika:(A) oval, (B) sirkular, (C) flat.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Penilaian morfologi sella tursika dapat digunakan untuk mengetahui kondisi patologi pada

kelenjar pituitari,morfologi abnormal sella tursika dilaporkan pada kasus dengan deviasi

kraniofasial yang parah, variasi kelainan genetik, sindrom dan anomali gigi. 16,17

Sejak dua dekade terakhir ini morfologi sella tursika telah diteliti, penelitian ini

menggambarkan morfologi normal dan deviasi pada genotip yang telah diketahui ataupun yang

belum diketahui. 14

Pada penelitian terbaru oleh Axelsson pada tahun 2004, morfologi sella tursika dibagi

menjadi enam tipe yaitu sella tursika normal, oblique anterior wall, double contour of the floor,

bridging, irregularity in the posterior, bentuk piramidal dari dorsum sella ditunjukkan pada

gambar 7. 16

Penelitian morfologi sella tursika pada grup kembar monozigot, menunjukkan bahwa ukuran

sella tursika sebagian besar mirip pada individu dengan kembarannya (Brock-Jacobsen dkk,

2009). Sementara pada kembar yang lain, sella tursika berbeda pada keduanya, penemuan ini

mengindikasikan bahwa malformasi pada sella tursika tidak hanya ditentukan secara genetik.16,17

Dokter gigi dan ortodontis secara rutin mengevaluasi radiografi sefalometri pasien, dengan

mengetahui variasi normal dari sela tursika diharapkan mampu mengenali kelainan pada daerah

ini bahkan sebelum melihat tampilan klinisnya. Saat ini, penentuan morfologikraniofasial

menjadi fokus perhatian para peneliti di berbagai bidang studi yaitu radiologi dan ortodonti.

Sebuah teori baru-baru ini yang masih terus menerus diteliti adalah adanya hubungan antara

morfologi sella tursika dengan tipe wajah skeletal.1

Universitas Sumatera Utara

Page 16: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 7. Jenis-jenis morfologi sella turcica: (a) normal sella turcica, (b) oblique anterior wall, (c) double contour of the floor, (d) sella turvica bridge, (e) irregularity in the posterior part of the sella turcica, (f) pyramidal shape of the dorsum sellae (Axelsson et all 2004).

Leonardi dkk menyatakan penyatuan tulang prosesus clinoideus anterior dan posterior

disebut juga sella tursika bridging (STB), insiden ini telah dilaporkan dalam penelitian anatomi

dan radiografi.5,12

Bridging sella tursika sering dijumpai pada distinctive sindrom, malformasi skeletal dan

dental (Childers dan Wright, 1986; Koshino dkk, 1089; Leonardi dkk, 2006; Meyer-Marcotty

dkk, 2008).8

Universitas Sumatera Utara

Page 17: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Prevalensi STB pada populasi umum dilaporkan sebesar 1,75 - 6% pada penelitian anatomi

dan radiografi (Busch, 1951; Mueller, 1952; Platzer, 1957), sedangkan menurut Cedeberg dkk,

2003; Axelsson dkk, 2004 insiden STB sebesar 3,8-13%.8

Insiden STB ditemukan pada berbagai sindrom seperti: Gorlin Goltz, Rieger, Axenfeld

Rieger (McLachan dkk, 1970; Gorlin dkk, 1976; Koshino dkk, 1989; Meyer, 2008). Frekuensi

STB pada pasien dengan malformasi kraniofasial sebesar 16,7 – 18,6% (Becktor dkk, 2000;

Jones dkk, 2005), penelitian ini dilakukan pada pasien yang dirawat dengan kombinasi ortodonti

dan ortognati. Insiden tertinggi STB ditemukan pada pasien dengan tipe wajah skeletal Klas III

dibandingkan dengan Klas I dan II (Abdel Kaher, 2007).8

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai morfologi sella tursika telah menjelaskan

variasi morfologi yang signifikan terkait dengan gambaran STB (Bisk dan Lee, 1976; Kantor dan

Norton, 1987; Tetradis dan Kantor, 1999). Penampilan morfologi telah terbentuk pada awal

perkembangan embrio (Kjær dkk, 1998; Nielsen dkk, 2005).15

Kalsifikasi ligamen interclinoid atau STB terjadi lebih dari 1,1-13% dari populasi umum

(Bergland dkk, 1968; Cederberg dkk, 2003; Axelsson dkk, 2004; Alkofide 2007) dengan

prevalensi meningkat pada kraniofasial parah (Becktor dkk, 2000; Jones dkk, 2005). Namun,

perbedaan yang jelas antara penyatuan nyata prosessus anterior dan prosessus posterior (STB)

dengan overlapping pada radiografi lateral sulit untuk ditentukan (Axelsson dkk, 2004). 12,15

Bridging sella tursika (STB) telah diklasifikasikan oleh Becktor dkk menjadi dua kelompok

yaitu tipe A: gambaran penyatuan seperti pita (ribbonlike) dan tipe B: perpanjangan tulang

prosessus anterior dan/atau prosesus clinoid posterior, seperti bertemu atau saling timpa

sepanjang fossa pituitary ditunjukkan oleh gambar 8. 5,9,13

Universitas Sumatera Utara

Page 18: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 8. Perbedaan bentuk dari sella tursika berdasarkan klasifikasi Becktor,dkk pada tahun 2000; (A). Tidak ada penyatuan STB, (B).Tipe A: Gambaran penyatuan seperti pita (ribbonlike), (C).Tipe B: perpanjangan prosessus clinoid anterior dan posterior, seperti bertemu atau saling timpa di tengah sella tursika dengan penyatuan yang tipis.

2.1.3. Ukuran Sella Tursika

Seperti halnya morfologi sella tursika, penelitian mengenai ukuran sella tursika juga telah

banyak dilakukan dengan metode yang berbeda-beda. Perubahan pada sella tursika selama

periode pertumbuhan anak-anak telah diteliti secara radiografi, seperti pada penelitian implan

oleh Bjork dan Skieller (1983) dan secara histologi seperti oleh Melsen (1974). Penelitian ini

menunjukkan bahwa ukuran sella tursika bertambah selama periode anak-anak, pertambahan

ukuran terjadi akibat resorpsi pada dinding bagian dalam dorsum sella sedangkan dinding

anterior stabil selama periode pertumbuhan, cara pengukurannya ditunjukkan oleh gambar 9.

Struktur yang stabil ini berguna untuk superimposisi radiografi dalam evaluasi pertumbuhan

kraniofasial (Bjork dan Skieller, 1983).14 Camp 1924 melakukan penelitian pada pasien dewasa

dan melaporkan nilai lebar sella tursikayaitu 10,6 mm (pada penelitian ini disebut panjang) dan

11,3 mm pada penelitian yang dilakukan pada etnis pakistan pada tahun 2011. 16

Ukuran dari sella tursika dapat diukur dengan berbagai metode pengukuran area, data

normatif mengenai ukuran telah dilaporkan pada literatur dan rentang jarak dimensi vertikal

sekitar 4-12 mm dan 5-16 mm untuk dimensi anteroposterior. Variasi antara berbagai metode

pengukuran kemungkinan karena menggunakan titik landmarks yang berbeda, teknik radiografi

dan derajat pembesaran radiografi. Perubahan ukuran dari sella tursika lebih berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

keadaan patologis, pembesaran sella tursika paling sering dijumpai tetapi tidak disertai dengan

erosi tulang.21

Gambar 9. Morfologi normal sella tursika dan garis referensi yang digunakan untuk mengukur sella: TS: tuberculum sella; DS: dorsum sella; BPF: base of the pituitary fossa. A: panjang sella. B: diameter anteroposterior sella. C: kedalaman sella.

Ukuran sella tursika yang membesar kemungkinan merupakan indikasi adenoma,

meningioma, primer hipotiroidisme, prolaktinoma, gigantisme, akromegali, sindrom empty sella.

Ukuran yang kecil dari sella tursika dapat disebabkan karena menurunnya fungsi pituitari

menyebabkan simptom seperti sutura pendek dan pertumbuhan retradasi skeletal .21

Perbedaan morfologi dan ukuran sella tursika secara signifikan ditemukan pada orang

dengan etnis yang berbeda pada penelitian sebelumnya (Brock dan Jacobsen dkk., 2009)9, oleh

karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih

banyak mengenai hal ini. Data mengenai standar morfologi sella tursika untuk semua komunitas

diperlukan sehingga dapat diperoleh pengetahuan yang dapat membantu dalam mendeteksi

kelainan anatomi pada sella tursika.1, 9-12

Universitas Sumatera Utara

Page 20: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

2.2. Tipe Maloklusi

Perkembangan dan pertumbuhan wajah skeletal dimulai dari masa embrio dan dipercepat

pada awal masa kelahiran, kemudian melambat sampai usia pra pubertas. Percepatan

pertumbuhan akan terjadi kembali pada masa pubertas hingga mencapai puncak pada usia

pradewasa dan menjadi lambat sampai mencapai dewasa. Tulang wajah akan mencapai 60%

ukuran dewasa pada usia empat tahun. Pada usia 12 tahun, ukuran tulang wajah telah mencapai

90% ukuran dewasa, hubungan maksila dan mandibula sangat menentukan keharmonisan

wajah.20

Analisis Steiner

Analisis Steiner pertama kali diperkenalkan oleh Cecil Steiner 1953, seorang ortodontis

di California. Banyak elemen dari analisis ini yang masih populer digunakan sampai saat ini.

Steiner memanfaatkan garis sella-nasion (SN) sebagai titik acuan horizontal.22,23

Steiner membagi analisisnya menjadi 3 bagian yaitu:24,25

2.2.1. Analisis skeletal

a. Sudut SNA

Sudut SNA digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior maksila terhadap

basis cranium ditunjukkan oleh gambar 10.Sudut SNA dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-

A. Nilai normal sudut SNA adalah 82° ± 2°.2 Jika nilai SNA lebih besar dari nilai normal, maka

maksila diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNA kurang dari nilai normal,

maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi.24

Universitas Sumatera Utara

Page 21: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 10. Sudut SNA

b. Sudut SNB

Sudut SNB digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior mandibula terhadap

basis cranium ditunjukkan oleh gambar 11.Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-

B. Nilai normal sudut SNB adalah 80° ± 2°.2 Jika nilai SNB lebih besar dari nilai normal, maka

mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNB kurang dari nilai

normal, maka mandibula mengalami retrognasi.24

Gambar 11. Sudut SNB

Universitas Sumatera Utara

Page 22: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

c. Sudut ANB

Sudut ANB digunakan untuk menganalisis hubungan maksila terhadap mandibula

ditunjukkan oleh gambar 12.Sudut ANB merupakan selisih dari sudut SNA dan SNB. Nilai

normal sudut ANB adalah 2° ± 2° (0° - 4°). Bila ANB bernilai positif menunjukkan posisi

maksila lebih ke depan dari mandibula. Ini menunjukkan profil cembung, sedangkan bila nilai

ANB negatif menunjukkan posisi maksila lebih ke belakang dari mandibula. Ini menunjukkan

profil cekung.24

Pada analisis ini, Steiner membagi relasi rahang menjadi tiga kelas, yaitu:24

1. Klas I Skeletal

Klas I mempunyai nilai ANB normal (0° - 4°) dan profil wajah cembung. Nilai ANB

yang normal juga dapat diperoleh bila keadaan kedua skeletal rahang mengalami prognati

ataupun retrognati.

2. Klas II Skeletal

Klas II mempunyai nilai ANB lebih besar dari nilai normal (ANB > 4°) dan profil wajah

cembung. Nilai ANB yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu maksila yang

mengalami prognati, mandibula yang mengalami retrognati dan kombinasi keduanya.

3. Klas III Skeletal

Klas III mempunyai nilai ANB lebih kecil dari nilai normal (ANB < 0°) dan profil wajah

cekung. Nilai ANB yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu maksila yang

mengalami retrognati, mandibula yang mengalami prognati, dan kombinasi keduanya.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 12.Sudut ANB

2.2.2. Analisis dental.

Analisis dental meliputi posisi insisivus rahang atas, posisi insisivus rahang bawah, sudut

interinsisal dan posisi insisivus rahang bawah ke dagu.24

2.2.2. Analisis jaringan lunak.

Analisis jaringan lunak meliputi penilaian dari adaptasi dari jaringan lunak dengan

ukuran, bentuk, dan postur bibir, ketebalan jaringan lunak dan struktur hidung yang berkaitan

dengan wajah bagian bawah.24

Dokter gigi dan ortodontis secara rutin mengevaluasi radiografi sefalometri pasien,

dengan mengetahui variasi normal dari sela tursika diharapkan mampu mengenali kelainan pada

daerah ini bahkan sebelum melihat tampilan klinisnya. Saat ini, penentuan morfologikraniofasial

menjadi fokus perhatian para peneliti di berbagai bidang studi yaitu radiologi dan ortodonti.

Sebuah teori baru-baru ini yang masih terus menerus diteliti adalah adanya hubungan

antaramorfologi dan ukuran sella tursika dengan tipe maloklusi.1

Universitas Sumatera Utara

Page 24: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Tipe maloklusi dalam ilmu ortodonti diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu Klas I, II, dan

III, hal ini dilihat berdasarkan hubungan antero posterior dari maksila dan mandibula. Banyak

penelitian dilakukan mengenai prevalensi tipe wajah skeletal pada berbagai kelompok etnis,

menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahab pada populasi Deutro-Melayu Indonesia tahun

2013, prevalensi paling tinggi ditemukan pada Klas I yaitu 48,8%, diikuti dengan Klas II yaitu

33,1% dan Klas III sebanyak 18,1%. 24

Perawatan pasien pada masing-masing tipe maloklusi tersebut berbeda-beda, sebelum

memulai perawatan ortodonti yang rumit dan mahal sangat penting untuk menentukan jenis

hubungan skeletal antar rahang agar diperoleh hasil perawatan yang lebih baik. Pada analisa

sefalometri lateral terkadang didapatkan hasil borderline sehingga sulit untuk memastikan

hubungan skeletal rahang, dalam situasi ini, dengan memperhatikan variasi morfologi sella

tursikapada radiografi sefalometri diharapkan dapat membantu untuk menentukan hubungan

skeletal apakah Klas I, II ataupun III.1

Dari ulasan di atas penulis ingin mengetahui variasi normal morfologi sella tursika serta

hubungan morfologi sella tursika dengan tipe maloklusi Klas II dengan metode menurut

Axelsson dkk 2004.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Universitas Sumatera Utara

Page 26: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

1.9 Kerangka Konsep

Pasien ortodonti 17-35 tahun

Hubungan

Morfologi Sella

Tursika Nilai ANB

Maloklusi Klas I skeletal (grup

kontrol)

Maloklusi Klas II skeletal

Radiografi sefalometri lateral

Universitas Sumatera Utara

Page 27: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

1.10 Hipotesis Penelitian

1. Ada perbedaan morfologi sella tursika pada kelompok pasien dengan maloklusi Klas

II skeletal dibandingkan pada pasien dengan maloklusi Klas I skeletal.

2. Ada hubungan variasi morfologi sella tursika pasien dengan maloklusi Klas II

skeletal.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode cross sectional,

karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik Ortodonti Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan FKG

USU.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2016.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 PopulasiPenelitian

Populasi diambil dari pasien di klinik RSGMP FKG USU. Rentang usia sampel 17-35 tahun,

mengingat tidak ada perubahan yang cukup besar terjadi pada morfologi sella tursika pada usia

ini.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah foto sefalometri lateral pasien dengan maloklusi skeletal Klas I

dan II yang datang klinik RSGMP FKG USU.

2

221

2211)1()2/1(21

)1()1()1(2

PP

PPPPZPPZnn

Universitas Sumatera Utara

Page 29: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Dimana :

)2/1( Z = Deviat baku alpha, untuk = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96.

)1( Z = Deviat baku betha, untuk = 0,20 maka nilai baku normalnya 0,842.

1P = Proporsi pasien yang butuh perawatan ortodonti diasumsikan = 0,50 (50,0 %).

2P = Perkiraan proporsi pasien yang mendapatkan perawatan yang ortodonti = 0,80 (80,0 %).

21 PP = Beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,30.

Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan proporsi 1:1 maka sampel minimal untuk

masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 52 orang sehingga total sampel berjumlah 104

orang.

Sampel yang dipilih pada penelitian ini ditentukan dengan kriteria sebagai berikut

Kriteria Inklusi :

1. Foto sefalometri dengan kualitas yang baikdan hasil foto menunjukkan sella tursika yang

jelas.

2. Tipe maloklusi Klas I dengan sudut ANB 2º±2º (Grup kontrol).

3. Tipe maloklusi Klas II dengan sudut ANB > 4º.

4. Tidak pernah dilakukan perawatan ortodonti.

5. Tidak ada riwayat trauma rongga mulut.

6. Tidak ada kelainan pertumbuhan dan perkembangan.

Kriteria Eksklusi :

1. Pasien dengan kelainan kongenital pada regio kraniofasial seperti malformasi atau celah

bibir dan palatum.

2. Pasien dengan riwayat trauma atau fraktur kraniofasial.

3. Pasien penderita penyakit atau kelainan tulang, defisiensi nutrisi dan gangguan endokrin.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah tipe maloklusi skeletal Klas II.

3.4.2 Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah morfologi sella tursika yang dilihat dari

rontgen sefalometri lateral.

3.4.3 Variabel terkendali

Variabel terkendali pada penelitian ini adalah usia, foto sefalometri lateral dilakukan di

laboratorium Pramita dengan alat yang sama, operator yang terlatih, posisi kepala saat

pengambilan foto.

3.4.4 Variabel tidak terkendali

Variabel tidak terkendali pada penelitian ini adalah jenis kelamin dan ras.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional, cara ukur, hasil ukur, dan alat ukur dari masing-masing variabel

penelitian dijelaskan pada tabel 1.

Variabel Definisi Cara dan

alat ukur

Kategori Skala ukur

Klasifikasi

tipe

maloklusi

Klasifikasi wajah

skeletal

berdasarkan relasi

maksila dan

mandibula.

Foto

sefalometri

lateral

1. Klas I skeletal : sudut

ANB 2º±2º

2. Klas II skeletal: sudut

ANB >4º

Rasio

Tabel 3.1. Definisi Operasional, Alat Ukur, dan Skala Ukur dari Variabel Bebas, Tergantung, Terkendali, dan Tidak Terkendali dari Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 31: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

3.6 Alat dan Bahan

3.6.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut (Gambar 3.1) :

1. Tracing box.

2. Protractor (Ormco).

3. Pensil 4 H, selotip, penggaris dan penghapus.

Morfologi

sella tursika

Variasi bentuk

dari sella tursika

Foto

sefalometri

lateral

1. Sella tursika normal

2. Oblique dinding

anterior.

3. Bridging pada sella

tursika.

4. Double kontur pada

dasar sella tursika.

5. Bentuk yang tidak

teratur dari dorsum

sella.

6. Bentuk piramid dari

dorsum sella.

nominal

Usia

Tanggal lahir

pasien sampel

Anamnese Rasio

Universitas Sumatera Utara

Page 32: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Gambar 13. Alat penelitian A. Tracing box; B. Penggaris; C. Pensil 4 H, selotip, jangka dan penghapus.

3.6.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 3.2) :

1. Sefalometri lateral

2. Kertas tracing (tebal0,003 inci, 8x10 inci,Ortho Organizer)

Gambar 14. Bahan penelitian A. Sefalometri lateral; B. Kertas tracing (tebal 0,003 inci, 8x10 inci,OrthoOrganizer).

3.7 Penatalaksanan Penelitian

Penatalaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

Penatalaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Penentuan subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi.

B A C

A B

Universitas Sumatera Utara

Page 33: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

2. Tracing sefalometri lateral untuk menentukan tipe maloklusi, titik-titik sefalometri pada

jaringan keras yang biasa digunakan dalam analisis steiner, yaitu:

a. Nasion (N) : titik yang paling anterior dari sutura frontonasalis atau sutura antara

tulang frontal dan tulang nasal.

b. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion,

biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila.

c. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion dan

biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula.

3. Tracing sefalometri lateral kontur dari sella tursika pada sefalometri lateral dilakukan oleh

dua operator yang berbedasecara manual, sella tursika digambarkan sebagai struktur

berbentuk U, mulai dari ujung dorsum sella ke tuberkulum sella.

4. Identifikasi morfologi sella tursika sesuai dengan penelitian dari Axelsson dkk.

3.8 Metode Analisa Data

Seluruh data akan dianalisa dengan menggunakan program SPSS. Data akan dianalisa secara

deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik sampel penelitian. Data

numerik akan disajikan dalam bentuk rata-rata dan simpangan baku, kemudian dilanjutkan

dengan analisa secara analitik dimana akan diawali dengan uji normalitas dan homogenitas

menggunakan Saphiro-Wilk Test. Untuk menilai adanya hubungan antara morfologi sella tursika

dengan tipe maloklusidilakukan uji one way anova. Untuk menilai adanya perbedaan morfologi

sella tursika antara subjek dan grup kontrol digunakan analisa post hoc.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

3.9 Diagram Alur Penelitian

Maloklusi Klas I skeletal (grup

kontrol)

Identifikasi morfologi Sella Tursika

Tracing sella tursika

Data

Pasien ortodonti 17-35 tahun

Radiografi sefalometri lateral

Maloklusi Klas II skeletal

Kesimpulan

Analisa Data

Universitas Sumatera Utara

Page 35: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini telah dilakukan pada 104 sampel yang terdiri dari dua kelompok sampel

yang masing-masing berjumlah 52 sampel dengan rentang usia 17-35 tahun. Kelompok pertama

yaitu sampel rontgen sefalometri lateral dengan maloklusi Klas I skeletal dan kelompok kedua

yaitu sampel rontgen sefalometri lateral dengan maloklusi Klas II skeletal. Untuk melihat variasi

morfologi sella tursika dilakukan tracing sefalometri lateral berdasarkan penelitian Axelsson

dkk.

Tabel 4.1 Nilai Rerata dan Simpangan Baku Pengukuran Sefalometri Lateral SNA, SNB, dan ANB pada Maloklusi Klas I Skeletal.

Satuan :derajat (º)

Tabel 4.1 merupakan tabel nilai rerata dan simpangan baku dari analisa pengukuran

sefalometri lateral SNA, SNB, dan ANB pada Maloklusi Klas I skeletal. Data numerik dari tabel

ini menunjukkan bahwa nilai rerata dan simpangan baku ANB pada sampel dengan maloklusi

Klas I yaitu 2,98º±1,213º.

Pengukuran

Maloklusi Klas I Skeletal

X SD

SNA 83.77 2,398

SNB 80.77 2,826

ANB 2.98 1.213

Universitas Sumatera Utara

Page 36: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Tabel 4.2 Nilai Rerata dan Simpangan Baku Pengukuran Sefalometri Lateral SNA, SNB, dan

ANB pada Maloklusi Klas II Skeletal.

Satuan : derajat (º) Tabel 4.2 merupakan tabel nilai rerata dan simpangan baku dari analisa pengukuran

sefalometri lateral SNA, SNB, dan ANB pada Maloklusi Klas II skeletal. Data numerik dari

tabel ini menunjukkan bahwa nilai rerata dan simpangan baku ANB pada sampel dengan

maloklusi Klas II yaitu 3,04º±2,019º.

Tabel 4.3 Distribusi Morfologi Sella Tursika pada Maloklusi Klas I Skeletal.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa morfologi normal sella tursika paling banyak

dijumpai pada kelompok sampel Klas I skeletal yaitu sebanyak 35 sampel (67,3 %). Selanjutnya

Pengukuran

Maloklusi Klas II Skeletal

X SD

SNA 85,69 4,166

SNB 78,50 4,109

ANB 7,19 1,482

Morfologi Klas I Skeletal (n=52)

1. Normal

2. Oblique anterior wall

3. Double contour of the floor

4. Bridging

5. Irregularity in the posterior part

6. Piramida dorsum sella

35 67.3 %

2 3.8 %

1 1.9 %

7 13.5 %

4 7.7 %

3 5.8 %

Universitas Sumatera Utara

Page 37: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

variasi morfologi sella tursika yang terbanyak kedua yaitu bridging sebesar 7 sampel (13,5 %)

(tabel 4.3).

Tabel 4.4 Distribusi Morfologi Sella Tursika Pada Maloklusi Klas II Skeletal.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa morfologi sella tursika pada kelompok

maloklusi Klas II skeletal paling banyak dijumpai yaitu irregularity of posterior part sebanyak

14 sampel (26,9 %) dibandingkan dengan morfologi normal sella tursika yaitu hanya 7 sampel

(13,5 %). Selanjutnya variasi morfologi sella tursika yang terbanyak kedua pada maloklusi Klas

II skeletal yaitu bridging sebesar 13 sampel (25 %) (tabel 4.4).

Tabel 4.5 Perbedaan Morfologi Sella Tursika pada Maloklusi Klas I Skeletal dan Klas II Skeletal.

*Uji Chi Square signifikan, p<0,05

Morfologi Klas II Skeletal (n=52)

1. Normal

2. Oblique anterior wall

3. Double contour of the floor

4. Bridging

5. Irregularity in the posterior part

6. Piramida dorsum sella

7 13,5 %

4 7,7 %

11 21,2 %

13 25,0 %

14 26.9 %

3 5,8 %

Morfologi Sella Tursika Klas I Skeletal (n=52)

Klas II Skeletal (n=52)

P

1. Normal

2. Variasi morfologi

Sella Tursika

35 83,3 % 7 16,7 % 0,0001*

17 27,4 % 45 72,6 % 0,0001*

Universitas Sumatera Utara

Page 38: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Tabel 4.5 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara morfologi sella tursika pada

kelompok maloklusi Klas I dibandingkan dengan kelompok maloklusi Klas II Skeletal dimana

morfologi normal lebih banyak dijumpai pada kelompok maloklusi Klas I yaitu sebesar 35

sampel atau sebesar 83,3 %. Variasi morfologi sella tursika lebih banyak dijumpai pada

kelompok maloklusi Klas II dibanding pada kelompok maloklusi Klas I yaitu sebesar 45 sampel

atau sebesar 72,6 %.

Tabel 4.6 Perbedaan Variasi Morfologi Sella Tursika pada Maloklusi Klas I Skeletal dan Klas II

Skeletal.

*UjiChi Square signifikan, p<0,05

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara variasi

morfologi sella tursika pada kelompok maloklusi Klas I dibandingkan dengan kelompok

maloklusi Klas II Skeletal. Morfologi normal sella tursika paling banyak terdapat pada kelompok

sampel Klas I skeletal yaitu sebanyak 35 sampel (83,3 %) sedangkan pada kelompok sampel

Klas II skeletal sebanyak 7 sampel (16,7%).

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variasi morfologi sella tursika yang

terbanyak kedua pada maloklusi Klas II skeletal yaitu irregularity of posterior part sebanyak 14

Maloklusi Normal Oblique

Double

contour

Bridging Irregula

rity

Piramid P

Klas I

35

(83,3 %)

2

(33,3 %)

1

(8,3 %)

7

(35,0 %)

4

(22,2 %)

3

(50,0 %)

0,0001

Klas II

7

(16,7 %)

4

(66,7 %)

11

(91,7 %)

13

(65,0 %)

14

(77,8 %)

4

(50,0 %)

0,0001

Universitas Sumatera Utara

Page 39: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

sampel (77,8 %) sedangkan pada kelompok sampel Klas I skeletal sebanyak 4 sampel (22,2 %)

(tabel 4.6)

Tabel 4.7 Korelasi antara variabel berdasarkan Uji Somers. *UjiChi Square signifikan, p<0,05

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara maloklusi Klas II skeletal

dengan variasi morfologi sella tursika. Tabel 4.7 menunjukkan hasil uji Somers terdapat korelasi

yang negatif antara maloklusi Klas II skeletal dengan variasi morfologi sella tursika dengan nilai

koefisien korelasi (r) = -0,549 yang bermakna bahwa semakin membesar nilai ANB maka

semakin banyak variasi morfologi sella tursika.

Korelasi antar variabel N R P

Maloklusi Klas II dengan

variasi morfologi sella

tursika

104 -0,549 0,0001

Universitas Sumatera Utara

Page 40: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian mengenai morfologi sella tursika dengan maloklusi Klas II skeletal merupakan

penelitian analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan morfologi sella tursika pada kelompok pasien dengan

maloklusi Klas II skeletal dibandingkan dengan maloklusi Klas I skeletal.. Sampel penelitian ini

yaitu 104 foto rontgen sefalometri lateral dimana terdiri dari dua kelompok sampel yang masing-

masing berjumlah 52 sampel dengan rentang usia 17-35 tahun. Kelompok pertama yaitu

kelompok sampel sefalometri lateral dengan maloklusi Klas I skeletal dan kelompok kedua yaitu

kelompok sampel sefalometri lateral dengan maloklusi Klas II skeletal.

Analisa variasi morfologi sella tursika dilakukan dengan tracing sefalometri lateral

berdasarkan penelitian Axelsson dkk. Tracing sefalometri lateral kontur dari sella tursika pada

sefalometri lateral dilakukan oleh dua operator berbeda yang dilakukan secara manual, sella

tursika digambarkan sebagai struktur berbentuk U, mulai dari ujung dorsum sella ke tuberkulum

sella. Identifikasi morfologi sella tursika sesuai dengan penelitian dari Axelsson dkk. Hasil

penelitian terbaru oleh Axelsson dkk pada tahun 2004, morfologi sella tursika dibagi menjadi

enam tipe yaitu : normal, oblique anterior wall, double contour of the floor, bridging,

irregularity (notching) in the posterior wall, bentuk piramidal dari dorsum sella.

Penilaian morfologi sella tursika merupakan alat pengukur dalam menilai kelenjar

pituitari karena perkembangan sella tursika secara langsung berhubungan dengan perkembangan

kelenjar pituitari, hal ini disebabkan karena kelenjar pituitari berada didalam sella tursika dan

Universitas Sumatera Utara

Page 41: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

perkembangannya telah sempurna sebelum perkembangan sella tursika selesai sehingga kondisi

patologis yang terjadi pada kelenjar tersebut dapat menyebabkan perubahan morfologi dan

ukuran sella tursika. Variasi morfologi dari sella tursika dilaporkan pada kasus dengan deviasi

kraniofasial yang parah, kelainan genetik, kelainan sindrom dan juga anomali gigi seperti ektopik

dan impaksi.

Teori terbaru yang terus-menerus diteliti yaitu adanya hubungan morfologi dan ukuran

sella tursika dengan tipe maloklusi (Alkofide 2007, Marsan 2009, Marcotty dkk 2010,

Mahmood dkk 2011, Saurabh dkk 2015, Seyed 2016).1,2 Jones dkk melaporkan penelitian seperti

halnya yang dilaporkan Meyer-Marcotty dkk bahwa prevalensi variasi morfologi dari sella

tursika pada pasien dengan maloklusi Klas II dan III lebih banyak dibandingkan pada pasien

dengan maloklusi Klas I.7

Hasil penelitian oleh Sujaani dkk tahun 2014, morfologi sella tursika pada maloklusi Klas I

dilaporkan sekitar 71% memiliki sella tursika normal. Bridging sella, irregular (notching)

posterior wall dan piramida lebih banyak dijumpai pada Klas II dibandingkan Klas I. Abdel

Kader dkk tahun 2007 melaporkan bridging sella lebih banyak dijumpai pada maloklusi Klas III

dibandingkan maloklusi Klas I dan II, hal ini sejalan dengan penelitian oleh Marcotty dkk dan

Sathyanarayana dkk, sedangkan penelitian oleh Bush, Muller dan Platzer melaporkan irregular

(notching) posterior wall lebih banyak dijumpai pada maloklusi Klas II.1

Hasil penelitian Solmaz dkk pada subjek Iranian, morfologi sella tursika normal sebanyak

24,4% dan 75,6% mempunyai variasi morfologi. sedangkan Alkofide pada penelitiannya yang

mengevaluasi morfologi dan ukuran sella tursika pada pasien dengan klasifikasi skeletal Klas I,

Klas II dan Klas III melaporkan morfologi normal sebesar 67% kasus, sisanya 33% mempunyai

Universitas Sumatera Utara

Page 42: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

variasi morfologi sella tursika. Penelitian oleh Mahmood Shah, morfologi normal sebesar 66 %

dari jumlah subjek.6

Pada penelitian ini didapat morfologi sella tursika normal paling banyak pada kelompok

sampel Klas I skeletal sebanyak 35 sampel (79,5 %) sedangkan pada kelompok sampel Klas II

skeletal sebanyak 7 sampel (16,7%), hal ini sesuai dengan penelitian oleh Alkofide dkk,

Mahmood Shah dkk, dan Sujaani dkk, Solmaz dkk.1,6,7

Penyatuan tulang prosesus clinoideus anterior dan posterior disebut juga bridging sella

tursika (STB). Prevalensi STB pada populasi umum dilaporkan sebesar 1,75 - 6% pada

penelitian anatomi dan radiografi (Busch, 1951; Mueller, 1952; Platzer, 1957), sedangkan

menurut Cedeberg dkk, 2003; Axelsson dkk, 2004 insiden STB sebesar 3,8-13%.8 Pada

penelitian ini deperoleh prevalensi STB pada Klas I sebesar 7 sampel (13,5%) sedangkan pada

Klas II sebesar 13 sampel (25%).

Terjadinya irregular (notching) posterior wall sella tursika juga dapat terjadi pada individu

normal walaupun prevalensi terjadinya irregular (notching) posterior wall lebih banyak dijumpai

pada pasien dengan anomali gigi dan deviasi kraniofasial. Bush, Muller dan Platzer melaporkan

irregular (notching) posterior wall lebih banyak dijumpai pada maloklusi Klas II.1 Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian ini, prevalensi irregular (notching) posterior wall pada Klas II sebesar

14 sampel (26,9%) sedangkan pada Klas I sebesar 4 sampel (7,7%).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan

antara laki-laki dan perempuan dalam hal ukuran dan morfologi sella tursika. Hal yang serupa

juga dilaporkan oleh Alkofide dan Mahmood Shah, sehingga peneliti tidak membedakan antara

sampel laki-laki dan perempuan.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

Pembentukan prenatal dan postnatal dari kelenjar pituitari dan sella tursika merupakan

proses yang kompleks. Selama perkembangan embriologi, area sella tursika merupakan titik

pusat untuk migrasi sel neural crest untuk perkembangan daerah frontonasal dan maksila.

Pembentukan dan perkembangan bagian anterior kelenjar pituitari, sella tursika dan gigi

melibatkan sel neural crest dan sel dental epitheliel progenitor yang berdiferensiasi secara

bertahap dan saling berinteraksi dengan sel neural crest yang berasal dari mesenkim. Kelenjar

pituitari berkembang sebelum tulang kartilago sella tursika terbentuk. Morfologi prenatal sella,

seperti yang terlihat pada kartilago, menyerupai morfologi pada jaringan tulang setelah

kelahiran. Morfologi abnormal dari cranial base dan sella tursika termasuk pada evaluasi

malformasi kraniofasial postnatal.1,7,17

Sesuai dengan hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan variasi

morfologi sella tursika pada kelompok maloklusi Klas I dibandingkan dengan kelompok

maloklusi Klas II Skeletal, didapat morfologi normal sella tursika paling banyak pada kelompok

sampel Klas I skeletal yaitu dengan nilai ANB 0o-4o sebanyak 35 sampel (83,3%) dibandingkan

pada kelompok sampel Klas II skeletal yaitu dengan nilai ANB >4o sebanyak 7 sampel (16,7%),

dimana kita ketahui bahwa sudut ANB mengindikasikan diskrepansi pertumbuhan pertumbuhan

sagital dari basis apikal rahang.

Hasil penelitian oleh Sujaani dkk tahun 2014, morfologi sella tursika pada maloklusi Klas

I dilaporkan sekitar 71% memiliki sella tursika normal. Bridging sella, irregular (notching)

posterior wall dan piramida lebih banyak dijumpai pada Klas II dibandingkan Klas I, hal ini

sesuai dengan hasil penelitian ini, didapatkan sella tursika normal pada Klas I sebesar 83,3%

sedangkan pada Klas II sebesar 16,7%. Bridging sella pada Klas I sebesar 35% sedangkan Klas

Universitas Sumatera Utara

Page 44: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

II sebesar 65%, irregular (notching) posterior wall pada Klas I sebesar 22,2% sedangkan pada

Klas II sebesar 77,8%.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian untuk mengetahui perbedaan morfologi

sella tursika padakelompok pasien dengan maloklusi Klas II skeletal, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Terdapat perbedaan morfologi sella tursika pada kelompok pasien dengan maloklusi Klas

II skeletal dibandingkan pada pasien dengan maloklusi Klas I skeletal.

2. Terdapat hubungan variasi morfologi sella tursika pasien dengan maloklusi Klas II

skeletal.

3. Morfologi normal sella tursika paling banyak dijumpai pada kelompok Klas I skeletal

yaitu sebanyak 35 sampel (83,3 %) sedangkan pada kelompok Klas III skeletal yaitu

hanya 7 sampel (16,7 %) morfologi normal sella tursika.

4. Variasi morfologi sella tursika pada kelompok maloklusi Klas II skeletal paling banyak

dijumpai yaitu adanya irregular (notching) posterior wall sebanyak 14 sampel (26,9 %),

sedangkan pada kelompok maloklusi Klas I skeletal paling banyak dijumpai yaitu

morfologi normal sella tursika sebesar 35 sampel (67,3 %).

Universitas Sumatera Utara

Page 46: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

6.2 Saran

Dari hasil penelitian ini maka dapat diajukan beberapa saran:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar

sehingga distribusi sampel di tiap nilai ANB lebih merata.

2. Secara klinis hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu ortodontis dalam

membantu diagnosa dan pembuatan rencana perawatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

DAFTAR PUSTAKA

1. Valizadeh S, Shahrzad S, Mohseni S. Correlation of Shape and Size of Sella Turcica With

the Type of Facial Skeletal Class in Iranian Group. Iran J Radiol. 2015; 3:1-7.

2. Mahmood shah A, Bashir U. The Shape and Size of The Sella Turcica in Skeletal Class I, II

& III in patients Presenting at Islamic International Dental Hospital, Islamabad. Pakistan Oral

& Dental Journal 2011; 31(1): 104-110.

3. Ize-Iyamu IN. Sella turcica Shape, Linear Dimensions and Cervikal vertebrae staging in

Preorthodontic Patients in Benin City, Nigeria. Sahel Medical Journal; 2014: 17(4): 151-158.

4. Ani G S, James J, Prasanth SP. Morphology of Sella Turcica in Skeletal Class II Subjects.

Medical Sciences-Faculty of Dentistry. 2014; 4:1-12.

5. Leonardi R, Barbato E, Vichi M. A Sella Turcica Bridge in Subjects with Dental Anomalies.

European Journal of Orthodontics. 2006; 28: 580-585.

6. Kucia A, Jankowski T, Siewniak M. Sella Turcica Anomalies on Lateral Cephalometric

Radiographs of Polish Children. Dentomaxillofacial Radiology. 2014;43: 1-6.

7. Andredaki M, Koumantanou A, Dorotheou. A Cephalometric Morphometric Study of Sella

Turcica. European Journal of Orthodontics; 2007: 29: 449-456.

8. Meyer-Marcotty P, Reuther T, Stellzig-Eisenhauer A. Bridging of the Sella Turcica in

Skeletal Class III Subjects. European Journal of Orthodontics. 2009; 32: 148-153.

9. Kjaer I. Sella Turcica Morphology and the Pituitary Gland- a New Contribution to

Craniofacial Diagnostics Based on Histology and Neuroradiology. European Journal of

Orthodontics. 2015; 37(1): 28-35.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

10. Becktor J.P, Einersen S, Kjaer I. A Sella Turcica Bridge in Subjects with Severe Craniofacial

Deviations. European Journal of Orthodontics. 2000; 22: 69-74.

11. Nagaraj T, Shruthi R, James L. The size and Morphology of Sella Turcica: A lateral

Cephalometric Study. Journal of Medicine, Radiology, Pathology & surgery. 2015; (1): 3-7.

12. Sathyanarayana HP, Kailasam V, Chitharanjan AB. Sella Turcica-Its Importance in

Orthodontics and Craniofacial Morphology. 2013; 10(5): 571-575.

13. Ali B, Shaikh A, Fida M. Association Between Sella Turcica Bridging and Palatal Canine

Impaction.Am j Orthod Dentofacial Orthop 2014; 146: 437-41.

14. Axelsson S, Storhaug K, Kjaer I. Post-natal Size and Morphology of the Sella Turcica.

Longitudinal Cephalometric Standards for Norwegians between 6 and 21 years of age.

European Journal of Orthodontics. 2004;26: 597-604.

15. Jones R.M, Faqir A, Millett D.T, Bridging and Dimensions of Sella Turcica in Subjects

Treated by Surgical-orthodontic Means or Orthodontics Only. Angle Orthod 2005; 75: 714-

718.

16. Ani G. S, Jose J, Prasanth SP. Morphology of Sella Turcica in Subjects with Highly Placed

Canines. Int J. Bioassays, 2015; 4 (06), 3968-3972.

17. Perez I.E, Chavez A.K, Ponce D. Frequency of Sela Turcica Bridge and Clinoid Enlargement

in Lateral Cephalometric Plain Film Radiography from Peruvians. Int J. Morphol. 2013;

31(2)373-377.

18. Becker A, Chaushu S. Etiology of Maxillary Canine Impaction: A Review. Am J Orthod

Dentofacial Orthop 2015; 148: 557-67.

19. Leonardi R, Farella M, Cobourne MT. An Association Between Sella Turcica Bridging and

Dental Transposition. European Journal of Orthodontics 2011;33: 461-465.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: HUBUNGAN VARIASI MORFOLOGI SELLA TURSIKA DENGAN …

20. Gracco A, Luca L, Bonhodgiorno MC. Computed Tomography Evaluation of Mandibular

Incisor Bony Support in Untreated Patients. Am J Orthod Dentofacial Orthop, 2010; 138:

179-87.

21. Kusuma ARP. Bernafas lewat mulut sebagai faktor ekstrinsik etiologi maloklusi. Majalah

Ilmiah Sultan Agung 2010; 48 (123): 1-19.

22. Proffit WR. Contemporary Orthodontics. 4thed. Missouri: Mosby, 2007: 3-21, 208-9.

23. Coubourne MT, Dibiase AT. Handbook of Orthodontics. Missouri: Mosby, 2010: 150-79.

24. Singh G. Textbook of Orthodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee, 2007: 3-6, 30-6, 94-116.

25. Jacobson A. Radiographic Cephalometry: From Basics to Videoimaging. London:

Quintessence Publishing Co, 1995: 77-85, 131-2.

Universitas Sumatera Utara