hak seksual prmpuan dn hiv

Upload: dewa-diningrat

Post on 03-Apr-2018

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    1/75

    Laporan Akhir Penelitian

    HAK SEKSUAL PEREMPUAN DAN HIV/AIDS:Studi pada Perempuan Muda (15-24 tahun)

    di Tiga Kota di Jawa Barat

    Oleh:Pusat Kajian Gender dan Seksualitas

    FISIP UIGedung C lantai 3 FISIP

    Telp/fax: 7863517

    email: [email protected]; [email protected]

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]
  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    2/75

    Tim peneliti

    Ketua : Irwan M. HidayanaAnggota : Ida Ruwaida Noor

    Diana Pakasi

    1

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    3/75

    2

    KATA PENGANTAR

    Penelitian ini merupakan bagian dari program Komisi Penanggulangan AIDSNasional (KPAN) yang didasari oleh pemikiran bahwa penanggulangan epidemi HIV

    dan AIDS di Indonesia perlu ditunjang oleh data-data yang akurat, valid danterpercaya agar perancangan kebijakan dan program menjadi lebih baik, efisien danefektif. Kami berharap penelitian yang telah dilakukan ini dapat memenuhi tujuantersebut. Namun kami pun sadar pasti masih ada sejumlah keterbatasan dalampenelitian ini baik dari segi metodologis, analisis, penyajian dan rekomendasi. Kamiterbuka terhadap kritik, saran dan komentar terhadap laporan penelitian ini.

    Penelitian yang kami lakukan ini hanyalah bagian kecil dari spektrumpersoalan HIV dan AIDS di Indonesia yang begitu luas dan kompleks. Kami menelititentang pemaknaan hak seksual dan resiko seksual pada perempuan muda (15-24tahun) dalam konteks penanggulangan epidemi HIV di tiga kota di J awa Barat yaituKarawang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Secara spesifik, penelitian ini berkaitandengan program PMTCT (prevention mother-to-child transmission) yang salah satupilarnya adalah pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif.

    Dalam pelaksanaan penelitian ini kami bekerja sama dengan berbagai pihak.Pertama, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan olehKPAN dan HCPI (HIV Cooperation Program for Indonesia) untuk melakukanpenelitian ini dengan dana hibah serta masukan-masukan dalam pengembanganproposal dan penulisan laporan. Secara khusus, rasa terima kasih kami sampaikankepada Mas Dede Oetomo dan Mas Danny Yatim selaku mentor; Prof. Budi Utomodan Dr. Suriadi Gunawan sebagai penanggungjawab program penelitian KPAN-HCPI.

    Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada tim penelitian dilapangan: Mahacakri Sirindorn, Didah, dan Neng Ulya di Karawang; Maya, IntanBangun Lestari, Dria Arfani dan Ani Nuraeni di Sukabumi; Endah Sulistyowati, EvaPatimah, Mira Lestari, Kiki Zakiyatusyahidah, dan Sri Wahyuni di Tasikmalaya.Demikian juga kepada J oko Kristiyanto, S.Sos dari Merkurius Foundation(Sukabumi), Bonan Sanggabuana, SH dari Badan Narkotika Kabupaten (Karawang),Rizal dari Mitra Citra Remaja dan Cecep dari Yakin (Tasikmalaya) yang telahmemfasilitasi kegiatan penelitian maupun validasi penelitian, kami mengucapkanterima kasih yang sebesar-besarnya atas kerjasama yang baik. Semoga kita bisabekerja sama kembali di waktu yang mendatang.

    Terima kasih yang tak terhingga kami tujukan kepada para responden dan

    informan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengah-tengah kesibukan mereka. Demikian juga kepada sejumlah individu yang tidak dapatkami sebut namanya satu per satu atas segala bantuannya selama kami melakukanpenelitian di lapangan.

    Laporan penelitian ini mungkin mengandung kesalahan-kesalahan yang tidakkami sadari dan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami.

    Depok, 12 Februari 2010

    Tim peneliti

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    4/75

    3

    Daftar isiHalaman

    Bab1 Pendahuluan1.1. Latar belakang 4

    1.2 Masalah penelitian 71.3. Tujuan penelitian 101.4. J astifikasi 101.5. Metode penelitian 11

    Bab 2 Ajang penelitian: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya2.1. Karakteristik sosial budaya 162.2. Respon terhadap kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS 172.3. Karakteristik kelompok perempuan muda (15-24 tahun) 19

    Bab 3 Gender dan membangun relasi dalam pergaulan3.1. Remaja perempuan dan pubersitas 223.2. Remaja perempuan dan bebogohan (pacaran) 273.3. Remaja perempuan dan pernikahan 33

    Bab 4 Pengetahuan kesehatan reproduksi dan resiko seksual4.1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi 374.2. Pengetahuan tentang resiko seksual 45

    Bab 5 Hak Seksual, negosiasi seksual dan resiko seksual5.1. Persepsi tentang hak seksual 53

    5.2. Persepsi tentang keperawanan 605.3. Negosiasi seksual dan resiko seksual 62

    Bab 6 Kesimpulan dan rekomendasi6.1. Kesimpulan 686.2. Rekomendasi 70

    Referensi 73

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    5/75

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar belakang

    Berdasarkan laporan UNAIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia

    yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS yang relatif cepat. Dari laporan tentang kasus

    AIDS, pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS. Di

    tahun 2007 laporan datang dari 32 provinsi. J umlah kumulatif kasus AIDS yang

    dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004,

    menjadi 11.141 kasus hingga akhir Desember 2007.1 Departemen Kesehatan

    memperkirakan bahwa populasi yang rawan tertular HIV pada tahun 2006 sebesar

    193.070 orang, dan diestimasikan sampai akhir 2007 di Indonesia terdapat 193.000

    ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)2 dengan sekitar 25% di antaranya adalah

    perempuan. 3

    Grafik 1: Tren Total Kasus AIDS selama 10 Tahun terakhir4

    1Source: Country report on the follow-up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS 2006-2007, p. 18

    2 Dalam satu dekade terakhir angka HIV pada kelompok resiko tinggi (terutama pekerja seks dan penasun) meningkattajam. Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV/AIDStelah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4 persen. Prevalensi HIV/AIDS pada pendudukusia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen.3 Berdasar hasil survei dan sejumlah kajian terhadap kelompok-kelompok rentan, diestimasikan 90.000 130.000 yangterinfeksi yang tahun 2002, 25% di antaranya adalah perempuan (Riono dan Jazant 2004:79).4

    Source: Country report, p. 18

    4

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    6/75

    5

    Bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun

    2010 jumlah kasus AIDS diproyeksikan akan menjadi 400.000 orang dengan

    kematian 100.000 orang. Pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian

    350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada sub populasi beresiko kepada

    isteri atau pasangan seksualnya. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan terjadi

    penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu

    yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi ancaman

    serius bagi bangsa Indonesia.

    Namun upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini masih

    terkonsentrasi pada kelompok perilaku beresiko tinggi seperti pengguna napza

    suntik, pekerja seks, dan pelanggan seks.5 Upaya pencegahan perlu diperluas,

    terutama untuk mencegah agar HIV tidak semakin menyebar pada masyarakat luas.

    Pendekatan yang berfokus pada kelompok beresiko tinggi juga riskan menciptakan

    stereotipe kelompok yang dianggap beresiko tinggi tsb. Lebih dari itu, pendekatan ini

    cenderung mengasumsikan kelompok lainnya di luar kelompok beresiko tinggi --

    dalam kondisi relatif aman atau kurang beresiko. Faktanya, perempuan adalah

    salah satu kelompok yang rentan beresiko terinfeksi, bukan hanya karena faktor

    biologis yang lebih rentan dari laki-laki. Namun, perempuan secara sosial dan

    kultural juga kurang berdaya untuk mempraktikkan metode seks yang aman dan

    nyaman untuk dirinya. Faktor ekonomi juga mengkondisikan kerentanan

    perempuan.6 Berdasarkan berbagai penelitian, kelompok usia remaja merupakan

    usia yang paling rentan terinfeksi, yang kemudian dalam jangka waktu tertentu,

    perempuan remaja akan menjadi ibu hamil, yang kehamilannya dapat mengancam

    kelangsungan hidup janin/bayi.

    Deklarasi UNGASS telah memberikan perhatian khusus pada perempuan,

    remaja dan anak, khususnya anak perempuan, sebagai kelompok yang paling

    rentan. Deklarasi juga menegaskan bahwa kerentanan mereka hanya akan bisa

    direduksi melalui upaya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN

    2001). Seperti diketahui, kualitas hidup (derajat kesehatan) perempuan merupakan

    6 BerdasarkanHuman Development Report (HDR) 2001 hingga HDR 2006, tingkat daya beli (purchasing power parity atauPPP) perempuan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dengan nilai berkisar pada angka US$ 2.000 setiaptahunnya. Sementara itu PPP laki-laki mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan nilai dua kali

    lipat lebih dibandingkan PPP perempuan. Indikator ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) dalam PPPsangat tinggi.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    7/75

    6

    salah satu penentu capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI), juga Indeks

    Pembangunan Gender (IPG/GDI). Berdasarkan Indonesia Human Development

    Report : skorHDI 65.8 (2002, 111/117) meningkat jadi 71.1 (2004) menjadi 72.8

    (2006). GDI 2002, nilai 59.2 (81/177), menjadi 65.1 (2005), kemudian menjadi 65.3

    (2006). Data tersebut menunjukkan masih adanya kesenjangan gender yang

    terefleksi dari lebih rendahnya skor GDI dari HDI, meski harus diakui kondisinya

    membaik. Peningkatan IPM dan IPG, dimungkinkan jika setidaknya menfokuskan

    pada 3 komponen yakni : (1) angka melek huruf perempuan (2) angka partisipasi

    sekolah perempuan pada tingkat pendidikan primer, sekunder dan tersier dan (3)

    angka harapan hidup perempuan.

    Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, maka upaya

    penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan dan remaja perlu memperhatikan

    situasi dan konteks di mana mereka hidup karena mereka bukanlah kelompok

    homogen, melainkan sangat heterogen dilihat dari kelompok usia, jenis kelamin,

    status sosial ekonomi, geografi (kota, pulau, provinsi, dll.), latar belakang budaya,

    dan lain-lain. Oleh sebab itu, dimungkinkan adanya model pendekatan yang locally

    and culturally sensitive atas penanggulangan HIV-AIDS, khususnya pada kelompok

    perempuan dan anak/remaja perempuan. Mengingat dalam konteks desentralisasi,

    upaya pemberdayaan perempuan dan eliminasi ketimpangan atau kesenjangan

    gender diharapkan selayaknya juga mendapat prioritas. Melalui desentralisasi

    terbuka peluang struktural untuk terjadi peningkatan kapasitas, kebersamaan

    (equity) atau keadilan sosial serta memberi kewenangan pada masyarakat,

    termasuk perempuan, untuk mengatur dirinya (empowerment). 7Dalam konteks ini,

    kebijakan otonomi daerah (otoda) menghendaki adanya penguatan akar budaya

    lokal serta menumbuhkan partisipasi seluruh potensi masyarakat lokal, karena

    kebijakan ini berasumsi bahwa potensi kearifan lokal yang ada di masyarakat harus

    dibangkitkan. Kebijakan pembangunan di tingkat lokal sudah semestinya

    disesuaikan dengan situasi lokal dan memperhitungkan sumberdaya-sumberdaya

    lokal, serta sensitif terhadap isu-isu lokal baik ekonomi, budaya, politik dan sosial.

    7 Kebijakan desentralisasi mendukung keterlibatan aktif masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat lokaldalam proses pembangunan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat,maka agenda program pemerintah dalam Propenas 2000-2004 adalah (1) Program Penguatan Organisasi Masyarakat ; (2)Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin ; dan (3) Program Peningkatan keswadayaan masyarakat. Dikutip dari

    Community Empowerment Program with Civil Society in Indonesia (CEP), diterbitkan atas kerjasama sekretariat PKPM-BAPPENAS-JICA, 2004, hal; 7.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    8/75

    7

    Kebijakan tersebut tidak hanya sensitif tapi juga partisipatif dan merupakan buah

    kerja sinergi antara pemerintah dan aktor non pemerintah.8 Sejalan dengan itu,

    Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 telah

    merumuskan untuk merespon epidemi HIV dan AIDS, dengan mengedepankan

    prinsip-prinsip kemudahan akses untuk semua, terutama pada delapan sasaran

    kunci; pemilihan prioritas program, sasaran dan wilayah; pelayanan komprehensif

    sedekat mungkin; peran pemerintah daerah dan KPA (Komite penanggulangan

    AIDS); serta kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga

    donor, dan masyarakat madani.

    1.2. Masalah penelitian

    Dalam konteks pencegahan epidemi HIV/AIDS, penelitian ini terkait dengan

    upaya PMTCT (prevention mother-to-child transmission) atau pencegahan

    penularan HIV dari ibu ke anak. Dalam PMTCT dikenal sebuah pendekatan

    continuum of care yang mencakup 4 prong9 yaitu:

    Prong 1: pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif

    Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan HIV positif

    Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu seropositif kepada bayinya

    Prong 4: perawatan, dukungan dan pengobatan (CST) bagi ibu HIV positif yang baru

    melahirkan dan keluarganya.

    Penelitian ini berada dalam ranah Prong 1 yang menjangkau perempuan muda yang

    berusia 15-24 tahun sebagai bagian dari kelompok perempuan usia reproduktif.

    Penelitian mengenai kesehatan reproduksi remaja khususnya perilaku seksual --

    sudah cukup sering dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia sejak tahun 1980-an

    hingga awal dasawarsa abad 21 ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam

    pendekatan, metode dan kerangka analisis namun secara umum penelitian-

    penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa kaum remaja semakin toleran terhadap

    hubungan seks pranikah dan semakin terpapar dengan informasi yang terkait

    8 Sebagai informasi, menurut PBB, 1/3 dari penduduk dunia adalah penduduk miskin, dan 70% di antara mereka adalahperempuan. Untuk negara berkembang, disinyalir separuh penduduk miskin adalah perempuan. Sedangkan data diIndonesia, menurut BPS, tahun 1999 jumlah Gakin sekitar 7.87 juta, dan 0.96 juta dikepalai perempuan, yang 40% diantara mrereka berpendidikan rendah bahkan buta huruf. Oleh sebab itu, tidak salah jika Human Development Report,UNDP, tahun 1995 menyebutkan bahwa Poverty has a women face. (Jurnal Perempuan, no.42, 2005)

    9

    Lihat Pedoman Nasional Pencegahan HIV dari ibu ke anak tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    9/75

    8

    seksualitas dari beragam media massa baik di perkotaan maupun di pedesaan

    (Arida, 2005; Hanum 1997; Indraswari 1999; Khisbiyah et.al 1997; Laksmiwati 1999;

    Saifuddin dan Hidayana 1999; Widjanarko 1999; Sarwono 1981). Namun kami

    menyadari sepenuhnya bahwa budaya remaja tidaklah homogen karena dipengaruhi

    oleh faktor gender, usia, status sosial ekonomi, geografi dan budaya.

    Penelitian ini tidak mengkaji tentang perilaku seksual perempuan muda, tetapi

    kepada konteks dan makna dari seksualitas dan resiko yang berhubungan dengan

    seks (sex-related risk). Lebih spesifik, studi ini akan mengkaji kesadaran akan hak-

    hak seksual dan resiko seksual pada kelompok perempuan muda di kota

    menengah dan kota kecil, yang diharapkan bisa dijadikan dasar atau landasan

    pengembangan intervensi program di wilayah tersebut. Asumsi dasarnya adalah

    konstruksi seksualitas tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi sosial budaya

    tentang laki-laki dan perempuan serta relasi gender, dan konstruksi ini berpengaruh

    pada kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual perempuan dan laki-laki.

    Pengertian hak dan kesehatan seksual tertuang pada Pasal 96 Platform Aksi dari

    Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing tahun 1995 yaitu:

    Hak-hak asasi perempuan mencakup hak untuk memiliki kontrol danmemutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas masalah-masalahyang berhubungan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksualdan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan. Hubunganyang setara antara perempuan dan laki-laki dalam masalah-masalah relasiseksual dan reproduksi, termasuk penghormatan sepenuhnya bagi integritasseseorang, mensyaratkan saling menghormati, persetujuan dan tanggungjawab bersama bagi perilaku seksual dan konsekuensi-konsekuensinya(dikutip dari Petchesky 2003: 38)

    Sekalipun istilah hak seksual tidak digunakan secara eksplisit dalam Platform Aksi

    tersebut, namun penjabaran di atas menunjukkan unsur-unsur hak seksual bagi

    setiap orang.

    Dalam penelitian ini kesadaran terhadap hak-hak seksual10 akan difokuskan

    pada hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan dan hak terlindung

    10 Hak seksual meliputi hak memiliki kontrol atas seksualitas, hak atas informasi tentang seksualitas, hak terlindung daripraktik yang membahayakan, hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan, hak terlindung dari PMS danHIV/AIDS, dan hak atas kepuasan seksual

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    10/75

    9

    dari PMS dan HIV/AIDS. Kedua hak tersebut terkait dengan persoalan kesehatan

    seksual yaitu seks aman dan seks tidak aman (safe and unsafe sex), seks yang

    diinginkan dan seks yang tidak diinginkan (wanted and unwanted sex) serta seks

    dengan kekerasan dan seks atas dasar konsensus (coercive and consensual sex).

    Kesehatan seksual di sini diartikan sebagai kehidupan seks yang memuaskan,

    bebas dari kekerasan, ketakutan dan rasa sakit, termasuk relasi seksual yang saling

    mengasihi.

    Persepsi terhadap resiko seksual khususnya terhadap penularan PMS dan

    HIV penting diketahui karena akan mempengaruhi praktik-praktik seksual

    perempuan muda. Konsep resiko dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS adalah

    konsep yang abstrak dan tidak mudah dipahami sehingga perlu diejawantahkan

    secara spesifik dalam penelitian ini. Penggunaan istilah resiko dalam program-

    program HIV/AIDS seringkali menjadi problematik. Istilah yang diterjemahkan dari

    bahasa Inggris tersebut acapkali tidak mudah dipahami oleh kelompok-kelompok

    yang menjadi sasaran intervensi program, terutama yang berpendidikan rendah.

    Tambahan pula, istilah resiko secara implisit mempunyai konotasi yang cenderung

    negatif.

    Teori sexual script atau skenario seksual (Simon 1996) adalah sentral

    dalam penelitian ini. Teori ini menjelaskan bahwa penting untuk membedakan antara

    persepsi dan perilaku yang terkait dengan faktor situasional untuk memahami

    tindakan seksual. Ada tiga aspek yang harus dicermati yaitu skenario individu

    (makna individual sebagai hasil interpretasi terhadap skenario budaya), skenario

    antar-pribadi dan skenario budaya. Ketiga skenario ini saling berkelindan dalam

    situasi dan konteks sosial tertentu yang kemudian terwujud dalam tindakan seksual.

    Kami akan melihat bagaimana skenario-skenario tersebut dirumuskan dan

    digunakan dan bagaimana skenario tersebut terwujud dalam perilaku atau

    performance dalam ruang publik dan privat.

    Secara metodologis, ketertarikan pada kota menengah dan kecil ini lebih

    didasarkan pada anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar asumsi

    rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS. Oleh sebab itu signifikan dibahas tentang

    bagaimanakah inisiatif lokal dalam memanfaatkan sumberdaya luar maupun lokal?

    Hal ini menjadi pembelajaran penting untuk diungkap dan dipahami, termasuk

    perspektif gender dan perempuan yang melandasinya, utamanya menyangkut

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    11/75

    10

    bagaimana perempuan lokal memaknai hak-hak seksualnya, mengontrol

    seksualitasnya, dan menyuarakan kepentingan/kebutuhannya. Kajian ini menjadi

    penting dan strategis dalam konteks masyarakat Indonesia yang patriarkis, di mana

    skenario budaya lebih melekatkan identitas perempuan dengan status

    perkawinannya, dan perempuan lebih dituntut mengedepankan kewajiban-

    kewajibannya dibandingkan haknya. Ada tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab

    melalui penelitian ini:

    1. Bagaimanakah pemaknaan hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS

    dan HIV/AIDS di kalangan perempuan muda serta sumber pengetahuannya?

    2. Apa tantangan dan peluang dalam mengontrol dan menyuarakan hak-hak

    tersebut: baik pada level individual, antar-pribadi, dan komunitas?

    3. Bagaimanakah strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan

    hak-hak seksualnya?

    1.3. Tujuan penelitian

    1. Mendapatkan gambaran akses perempuan akan informasi menyangkut hak-

    hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS

    2. Mendapatkan pemahaman tentang pemaknaan remaja perempuan akan hak

    seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS, termasuk sumber

    pengetahuannya

    3. Memahami strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak

    seksualnya dan mengurangi resiko seksual.

    1.4. Jastifikasi

    Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan rekomendasi yang

    bersifat praktis dan terapan dengan maksud:

    1. Perlunya mengembangkan Program Pendidikan Seksualitas yang responsif

    gender dan mampu memberdayakan perempuan;

    2. Pengembangan program yang locally and culturally sensitive agar remaja

    perempuan dapat lebih terbuka berbicara tentang seks dan seksualitas

    3. Memberikan bahan rancangan kampanye publik tentang hak-hak seksual

    perempuan, a.l: pemasaran sosial, pelatihan, ketrampilan dll.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    12/75

    11

    4. Mengkondisikan iklim di masyarakat untuk lebih terbuka membincang isu hak

    seksual dan resiko seksual.

    1.5. Metode Penelitian

    Pendekatan Penelitian

    Sejalan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang lebih bersifat eksploratif,

    maka studi ini lebih dominan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya

    kajian ini bersifat triangulasi baik dari perspektif maupun metode pengumpulan

    data. Tim Peneliti berlatar belakang inter-disipliner (antropolog, sosiolog, hukum).

    Sedangkan data akan dijaring baik dengan metode/teknik kualitatif (wawancara

    mendalam/case study, diskusi kelompok terarah, dan pengamatan/observasi), juga

    metode kuantitatif (survei). Data kualitatif merupakan data utama penelitian ini,

    sedangkan data kuantitatif lebih merupakan data penunjang.

    Pemilihan Lokasi Penelitian

    Studi dilakukan di J awa Barat yang usia kawin perempuan cenderung lebih

    rendah daripada wilayah lain, kecuali J awa Timur. J ones (2001:68) menyatakan

    bahwa usia saat menikah perempuan desa di J awa Barat adalah antara 15 sampai

    18 tahun pada awal abad 20. Pola ini cukup stabil dan hanya sedikit meningkat

    (kurang dari 1 tahun) pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Gadis yang menikah

    pada usia muda hidup dalam lingkungan yang patriarkal, akses terbatas kepada

    sumber-sumber daya, tidak punya otonomi dan tidak punya pengaruh dalam

    penentuan usia kawin. Nikah dini, nikah yang dijodohkan dan struktur keluarga

    menyumbang pada tingkat perceraian di wilayah ini. J ones, Asari dan Djuartika

    (1994: 395-396) mengungkapkan laju perceraian di J awa Barat pada pertengahan

    tahun 60-an adalah 59 dari 100 perkawinan. Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976

    menunjukkan seperempat dari seluruh perkawinan di J awa Barat berakhir dengan

    perceraian dalam waktu 26 bulan. Pada akhir tahun 80-an tingkat perceraian

    tertinggi masih terpusat di Indramayu dan kabupaten sekitarnya (J ones 1997:100).

    J ones (2001) menyatakan bahwa usia nikah termuda ada pada dua kelompok

    populasi yaitu J awa Barat dan Madura di J awa Timur. Kepatuhan yang kuat pada

    ajaran Islam dan rendahnya pendidikan dianggap berkontribusi kepada fenomena

    nikah dini.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    13/75

    12

    Adapun studi difokuskan di kota menengah, dengan anggapan bahwa skala

    kota tidak bisa menjadi dasar asumsi rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS.

    Berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas kota, Kota Kecil adalah kota dengan

    jumlah penduduk antara 20.000 sampai 100.000 jiwa, sedangkan Kota Sedang

    adalah kota dengan jumlah penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa dan Kota Besar

    berpenduduk 500.000 sampai 1 juta jiwa11. Untuk itu dipilih secara purposive 3

    kota, yakni: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya, yang ketiganya termasuk 100

    kabupaten/kota akselerasi program HIV/AIDS, dan menunjukkan jumlah kasus

    AIDS yang kontras. Penetapan kota studi juga dikaitkan dengan konteks sosial

    budaya, di mana wilayah utara J awa Barat dianggap lebih culturally loose

    dibandingkan wilayah tengah dan selatan sekalipun sama-sama berbudaya Sunda.

    Sukabumi termasuk wilayah tengah, khususnya Sukabumi Utara. Wilayah ini

    merupakan wilayah antara dua kota besar yakni: J akarta dan Bandung. Sedangkan

    Tasikmalaya mewakili wilayah selatan, yang relatif kental dengan nilai-nilai

    religiusitas (ditandai dengan banyaknya pesantren) dan budaya Sunda yang halus.

    Di masing-masing kota penentuan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa

    kriteria yaitu heterogenitas dari segi status sosial ekonomi, adanya penduduk asli

    dan pendatang (dari etnis yang berlainan) serta berada di pusat kota. Berdasarkan

    informasi dari mitra lokal, data statistik dan orientasi lapangan, maka ditentukanlah

    satu kelurahan di setiap kota. Di Karawang, kelurahan Nagasari, kecamatan

    Karawang Barat terpilih sebagai lokasi penelitian yang sebagian wilayahnya

    merupakan pusat perekonomian dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang

    cukup padat. Setelah berdiskusi dengan pihak kelurahan setempat, secara purposif

    dipilih wilayah Babakan Cianjur (BBC) yaitu RW 28 dan 29 sebagai ajang penelitian.

    Kelurahan Kebonjati, kecamatan Cikole dipilih sebagai lokasi penelitian di kota

    Sukabumi karena berada di pusat kota, terdapat pusat perekonomian, dan dihuni

    oleh penduduk yang heterogen. Berdasarkan saran dari pihak kelurahan, maka

    dipilihlah RW 01, 08 dan 07 sebagai sasaran penelitian. Di kota Tasikmalaya,

    kelurahan Nagarawangi, kecamatan Cihideung dipilih sebagai lokasi penelitian

    dengan dua RW terpilih yaitu RW 05 dan 06.

    11Lihat Widiantono, D.J dan Soepriadi, I. Menakar Kinerja Kota-kota di Indonesia , Bulletin Penataan Ruang, edisi Januari-

    Februari 2009 diakses dari http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120pada tanggal 17 November 2009

    http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120
  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    14/75

    13

    Proses Pengumpulan Data

    Penelitian lapangan dilakukan selama 30 hari kerja. Pada bulan J uli-Agustus

    2009 penelitian dilakukan di Karawang, sedangkan bulan September-Oktober 2009

    penelitian serentak di Sukabumi dan Tasikmalaya. Pengumpulan data di Sukabumi

    dan Tasikmalaya sempat terhenti 2 hari karena terjadinya gempa yang cukup besar

    di wilayah tersebut. Peneliti menyewa kamar di lingkungan RW yang menjadi lokasi

    penelitian di setiap kota dan tinggal selama sebulan. Dengan demikian peneliti dapat

    melakukan pengamatan langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan

    masyarakat sekitar, terutama dengan tokoh masyarakat dan kelompok perempuan

    muda sebagai sasaran penelitian.

    Sumber data primer dalam penelitian ini adalah perempuan muda yang berusia

    15 24 tahun, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan

    status marital. Untuk survei, populasinya adalah perempuan usia 15-24 tahun, baik

    belum menikah, menikah maupun janda; sekolah, lulus sekolah maupun putus

    sekolah; bekerja dan tidak bekerja.

    1) Sampel dan survei

    Di tingkat RW, kerangka sampel dibuat berdasarkan KK yang ada di setiap

    RT. Peneliti dan asisten peneliti mendatangi setiap ketua RT di RW terpilih untuk

    mendapatkan kerangka sampel. Selanjutnya sampel ditarik secara stratifikasi non

    proporsional berdasarkan status perkawinan, selanjutnya responden dipilih secara

    acak sistematik untuk responden belum menikah dan sampling total untuk

    responden menikah. Sampling total bagi perempuan yang menikah dilakukan karena

    jumlahnya kurang dari 1/3 dari perempuan yang belum menikah di tiga wilayah

    penelitian (lihat bab 2). J umlah sampel adalah 75 responden di setiap kota. Survei

    merupakan langkah pertama pengumpulan data dalam penelitian ini.

    Wawancara dengan kuesioner dilakukan oleh asisten peneliti dan

    pewawancara di bawah supervisi peneliti. Pewawancara melakukan uji coba

    wawancara terlebih dahulu sebelum turun ke lokasi penelitian untuk mewawancarai

    responden. Dalam sehari, pewawancara dibatasi mewawancarai maksimal 5

    responden. Kuesioner hasil wawancara kemudian diserahkan kepada peneliti untuk

    diperiksa dan apabila ada kekurangan atau kesalahan maka pewawancara diminta

    memperbaikinya. Setiap hari pewawancara, asisten peneliti dan peneliti bertemu

    untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui di lapangan, misalnya

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    15/75

    14

    responden yang gagal ditemui, penolakan responden untuk wawancara,

    ketidakjelasan jawaban dalam kuesioner dll.

    2) Diskusi kelompok terarah (FGD)

    Dua kelompok perempuan yaitu yang menikah/janda dan yang belum

    menikah menjadi peserta FGD secara terpisah. Diskusi kelompok terarah dilakukan

    terhadap kedua kelompok tersebut masing-masing dua kali. FGD pertama

    memfokuskan pada persepsi tentang gender, relasi pertemanan dan relasi pacaran.

    Sedangkan FGD yang kedua menyoroti pendapat peserta terhadap hak-hak seksual

    perempuan. Peserta FGD diidentifikasi dari responden survei berdasarkan observasi

    dari pewawancara. Beberapa sebelum FGD dilakukan, surat undangan disebarkan

    kepada calon peserta FGD dan kemudian dikonfirmasi oleh asisten peneliti melalui

    SMS atau telpon. FGD dilakukan di ruang kelas madrasah yang ada dalam

    lingkungan RW setempat. Rata-rata peserta pada setiap FGD adalah 6-8 orang.

    FGD juga dilakukan terhadap satu kelompok bapak (tokoh masyarakat) dan

    kelompok ibu (PKK) untuk mendapatkan informasi umum tentang konteks

    masyarakat setempat serta persepsi orangtua terhadap pergaulan sosial remaja dan

    kaum muda.

    3) Wawancara mendalam

    Wawancara mendalam dilakukan terhadap pada 3 perempuan muda lajang, 3

    perempuan muda menikah dan 3 perempuan janda. Namun realitas di lapangan

    memperlihatkan bahwa cukup sulit mendapat informan perempuan muda yang

    berstatus janda, sehingga hanya dapat dilakukan terhadap 1 atau 2 informan di

    setiap lokasi penelitian. Informan untuk wawancara mendalam diupayakan

    perempuan muda yang tidak masuk dalam sampel survei. Namun apabila ditemukan

    kasus unik dari responden survei misalnya menikah usia dini atau pernah

    mengalami kekerasan atau hamil sebelum menikah maka dipilih menjadi informan

    penelitian.

    Manajemen dan analisis data

    1) Data kuantitatif

    Kuesioner yang telah terisi secara benar selanjutnya diberikan kepada operator

    data entry untuk diolah dengan SPSS versi 15.0. Sebelum data dimasukkan ke

    komputer, semua kuesioner difotokopi demi keamanan penyimpanan data. Selesai

    pemasukan data, kemudian dilakukan cleaning data berdasarkan tabel frekuensi dari

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    16/75

    15

    seluruh variabel. Selanjutnya data kuantitatif dianalisis secara univariat dan bivariat

    terhadap sejumlah variabel sebagai pendukung analisis data kualitatif.

    2) Data kualitatif

    Seluruh rekaman wawancara mendalam dan FGD disimpan ke dalam komputer

    dan dipisahkan berdasarkan lokasi penelitian. Transkripsi wawancara mendalam

    dan FGD dilakukan secara verbatim meskipun terkadang terdapat kesulitan apabila

    informan berbicara atau menggunakan bahasa Sunda di tengah wawancara atau

    FGD. Kesulitan juga terjadi kalau suara informan terdistorsi oleh suara-suara lain

    seperti suara kendaraan bermotor, suara anak menangis dll. Selanjutnya peneliti

    membuat matriks untuk melakukan perbandingan antar kasus, khususnya antara

    perempuan yang belum menikah dan yang menikah, berdasarkan sejumlah tema

    tertentu yang muncul dari wawancara mendalam dan FGD. Analisis hasil wawancara

    mendalam dan FGD juga didukung dengan catatan lapangan peneliti ketika

    melakukan wawancara, termasuk di dalamnya observasi peneliti terhadap proses

    wawancara.

    Dalam rangka verifikasi data, hasil sementara penelitian ini telah

    dipresentasikan di hadapan sejumlah instansi terkait di wilayah penelitian.

    Tujuannya adalah mendapatkan masukan terhadap hasil penelitian agar dapat

    memperkaya penulisan laporan akhir dan rekomendasi. Di tiga kota tersebut

    beberapa instansi yang hadir adalah KPAD, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan

    Nasional, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Bidang Kesra

    Pemerintah Daerah, pihak kelurahan setempat, dan LSM yang bergerak dalam

    HIV/AIDS dan isu perempuan.

    Etika Penelitian

    Dalam konteks masyarakat Indonesia pada umumnya, isu hak seksual masih

    merupakan hal yang tabu dan sensitif, bahkan dikonotasikan sebagai gagasan yang

    radikal. Ini merupakan tantangan baik secara substansial maupun metodologis. Oleh

    sebab itu, pendekatan ke komunitas lebih mengusung isu kesehatan masyarakat,

    khususnya menyangkut kesehatan reproduksi remaja perempuan. Kemasan ini

    lebih mudah diterima dan lebih mudah mendapatkan ijin penelitian. Berkenaan

    dengan kesensitifan topik penelitian, maka adanya informed consent dari sumber

    data menjadi prioritas.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    17/75

    16

    BAB 2

    AJANG PENELITIAN:KOTA KARAWANG, KOTA SUKABUMI DAN KOTA TASIKMALAYA

    2.1. Karakterist ik sosial budaya

    Secara umum, masyarakat J awa Barat dapat digolongkan ke dalam 3

    kelompok yang berbeda yaitu masyarakat Banten di bagian barat, masyarakat

    Priangan yang hidup di dataran tinggi bagian selatan dan masyarakat pesisir di

    bagian pantai utara atau Pantura (J ones 2001:69-70). Secara budaya mereka

    adalah orang Sunda yang memiliki keragaman religiusitas, bahasa, seni, dan juga

    karakter atau watak. Masyarakat Priangan (Tasikmalaya, Garut, Bandung)merupakan pendukung kebudayaan Sunda yang dianggap halus, misalnya dari

    segi bahasa dan kesenian tradisional dengan warna Islam yang kental serta

    cenderung hirarkis dan ortodoks. Pada masa kolonial Belanda daerah Priangan

    menjadi tempat pelaksanaan Preangerstelsel yaitu perkebunan kopi yang dimulai

    tahun 1677. Itulah masa dimulainya integrasi sosial budaya masyarakat Priangan ke

    dalam ekonomi dan sistem nasional. Sukabumi yang sebenarnya berada cukup jauh

    dari jantung Priangan, juga terpengaruh oleh perkembangan sistem perkebunan ini.

    Sementara wilayah Banten (Serang, Cilegon, Pandeglang, Lebak) lebih didominasi

    oleh budaya Sunda yang lebih kasar dengan wajah Islam yang konservatif. Lain

    lagi masyarakat pesisir Pantura (Karawang, Subang, Indramayu) menampilkan

    kultur Sunda yang telah bercampur dengan unsur budaya J awa pesisir seperti

    Indramayu dan Cirebon. Masyarakat pesisir pun lebih bersikap egaliter dan terbuka

    serta tidak benar-benar Islam apabila dibandingkan dengan Sunda Priangan dan

    Banten.

    Apabila mencermati pranata perkawinan, J ones (2001) menyatakan bahwa

    pada awal abad 20 usia saat menikah di kalangan gadis pedesaan di J awa Barat

    adalah antara 15 dan 18 tahun. Pola ini cukup stabil dan hanya meningkat sedikit

    pada awal 1970-an. Perkawinan usia dini, perkawinan yang dijodohkan dan struktur

    keluarga menyumbang terjadinya perceraian yang cukup tinggi di J awa Barat. Studi

    oleh J ones (1997) memperlihatkan bahwa pada pertengahan tahun 1960-an terjadi

    59 perceraian untuk setiap 100 perkawinan yang menempatkan J awa Barat sebagai

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    18/75

    17

    salah satu daerah dengan angka perceraian tertinggi di dunia bersama Kelantan

    (Malaysia). Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976 mengungkapkan seperempat dari

    seluruh perkawinan di J awa Barat berakhir dengan perceraian dalam waktu 26 bulan

    (J ones, Asari and Djuartika 1994: 395-396). Laju perceraian kemudian menurun

    pada tahun 1970-an dan J ones (1997) berpendapat bahwa ini terjadi karena

    meningkatnya usia nikah perempuan, meluasnya pendidikan dan meningkatnya

    kebebasan memilih pasangan sendiri.

    Perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dalam dua dasawarsa terakhir

    di J awa Barat tentu membawa banyak perubahan sosial budaya pada masyarakat

    Sunda. Dari segi pertumbuhan penduduk, Tasikmalaya, Sukabumi dan Karawang

    mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tasikmalaya sudah dapatdikategorikan sebagai kota besar, sementara Sukabumi dan Karawang tergolong

    kota menengah. Transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat perkotaan

    dapat terlihat dari jenis mata pencaharian penduduknya yang semakin beragam,

    tingkat pendidikan yang meningkat, heterogenitas penduduk dari segi etnis dan

    mobilitas penduduk yang tinggi karena sarana transportasi yang memadai.

    Sebagai kota yang berkembang dari wilayah agraris, maka masih ada wilayah

    kota yang berupa sawah atau kebun yang secara perlahan-lahan beralih fungsi

    menjadi pemukiman atau tempat usaha (ruko, restoran dll). Lokasi penelitian secara

    purposif memang memilih wilayah yang paling berciri perkotaan sebagaimana

    diuraikan dalam bab 1. Kelurahan Nagasari (Karawang), kelurahan Kebonjati

    (Sukabumi) dan kelurahan Nagarawangi (Tasikmalaya) berada di pusat kota yang

    cukup ramai karena dekat dengan pasar dan pertokoan. Pemukiman penduduk di

    tiga kelurahan ini sebagian berada di antara gang-gang yang hanya dapat dilalui

    oleh sepeda motor. Sekalipun demikian, masih terdapat rumah-rumah yang memiliki

    halaman cukup lebar. Sebagian pemukiman lagi berada di tepi jalan yang dapat

    dilalui kendaraan roda empat. Karena berada di pusat kota, maka lokasi penelitian

    merupakan wilayah kota tua yang dihuni oleh penduduk asli dan sebagian

    pendatang yang sudah puluhan tahun menetap. Memang semakin banyak

    pendatang di wilayah ini terutama karena alasan pekerjaan. Karawang yang

    dikembangkan sebagai kawasan industri mendorong meningkatnya pendatang dari

    wilayah lain di J awa Barat maupun propinsi lainnya.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    19/75

    18

    .

    2.2. Respon terhadap masalah kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS

    Ketiga kota tersebut termasuk dalam program akselerasi penanggulangan

    HIV/AIDS di 100 kabupaten/kota yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI

    pada tahun 2005. Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tiga wilayah ini

    juga telah terbentuk, meskipun terdapat perbedaan dalam intensitas pelaksanaan

    tupoksinya. Secara nasional, propinsi J awa Barat berada pada peringkat teratas

    dalam hal jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan hingga Desember 200812,

    diikuti oleh DKI J akarta dan J awa Timur. Untuk jumlah kasus HIV/AIDS yang

    dilaporkan di tiga kota penelitian adalah sebagai berikut: Kota Tasikmalaya

    sebanyak 213 kasus13, Kota Sukabumi sebesar 234 kasus14 (s/d Oktober 2009),

    dan Kabupaten Karawang sebanyak 171 kasus (s/d Desember 2008)15. Dalam

    kaitannya dengan program PMTCT sebanyak 23 bayi lahir dari ibu yang HIV positif

    di Sukabumi, dan ada belasan bayi di Karawang

    Dari ketiga kota tersebut, baru kota Tasikmalaya yang telah mengeluarkan

    Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS no.2/

    2008. Penanggulangan epidemi HIV/AIDS memang tidak pernah terlepas dari

    sejumlah isu yang seringkali kontroversial seperti pelacuran, kecanduan narkoba,

    perilaku seksual yang permisif, orientasi seksual dll. Selain itu KPAD memiliki peran

    koordinasi yang tidak mudah karena harus berhubungan dengan sejumlah instansi

    pemerintah dan non-pemerintah untuk secara sinergis menanggulangi epidemi yang

    lebih luas.

    Peranan LSM atau ornop menjadi penting dalam upaya penanggulangan

    HIV/AIDS. Di tiga kota ini, sejumlah LSM telah berkecimpung dalam berbagai isu

    penanggulangan HIV/AIDS terutama menjangkau kelompok-kelompok yang

    dianggap beresiko tinggi dalam penularan PMS dan HIV/AIDS. Di Karawang

    misalnya Yayasan Pelita Ilmu telah hadir sejak tahun 1996 ketika ada bayi yang

    12StatistikKasusHIV/AIDSIndonesias/dDesember2008diaksesdariwww.aidsina.orgtanggal22November

    2009

    13PikiranRakyat,22Mei2009

    13InformasidariSekretarisKPAKotaSukabumi,9November2009

    14

    Republika

    Newsroom,

    26

    Februari

    2009

    http://www.aids-ina.org/http://www.aids-ina.org/http://www.aids-ina.org/http://www.aids-ina.org/
  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    20/75

    19

    dilahirkan oleh perempuan yang HIV positif, Yayasan Kita-kita yang mendampingi

    perempuan pekerja seks, Pantura Plus yang melakukan program harm reduction

    bagi penasun atau pun Himpunan Abiasa untuk kelompok gay dan LSL. Di

    Sukabumi dan Tasikmalaya ada Rumah Cemara yang mendampingi penasun, atau

    Srikandi Pasundan yang menjangkau kelompok waria. Ada pula yang bergerak

    dalam pendampingan perempuan pekerja seks. Di Sukabumi ada Merkurius

    Foundation yang melakukan pencegahan HIV/AIDS pada masyarakat umum. LSM-

    LSM ini tidak hanya menjangkau kelompok resiko tinggi dan masyarakat luas tetapi

    juga melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendorong kebijakan-

    kebijakan dalam bidang HIV/AIDS misalnya ketersediaan ARV di rumah sakit,

    layanan metadhone di puskesmas, layanan PMTCT, layanan VCT gratis dll.

    Masalah HIV/AIDS tidak dapat dilepaskan dari masalah kesehatan reproduksi

    perempuan. PMS dan HIV/AIDS merupakan salah satu elemen dalam program

    kesehatan reproduksi yang perlu mendapatkan perhatian serius karena selama ini

    penanggulangan HIV/AIDS cenderung berjalan terpisah dari penanganan masalah

    kesehatan reproduksi dan juga sebaliknya. Program kesehatan reproduksi lebih

    menekankan kepada persoalan sekitar KIA dan KB dan kurang mengintegrasikan

    HIV/AIDS ke dalamnya. Sebagai contoh, dalam sebuah pertemuan dengan bidan-

    bidan desa di Karawang nyata sekali pengetahuan dan pemahaman para bidan

    tentang PMS dan HIV/AIDS masih terbatas. Dalam kegiatan validasi hasil sementara

    penelitian di Sukabumi awal November 2009, seorang dokter puskesmas

    memberikan contoh ada seorang bidan di Cianjur yang terinfeksi HIV setelah ia

    menolong persalinan seorang ibu hamil yang HIV positif. Ini menunjukkan bahwa di

    kalangan tenaga kesehatan pun masih ada keterbatasan pemahaman tentang

    HIV/AIDS yang berimplikasi resiko penularan kepada tenaga kesehatan. Dalam

    konteks kebijakan di tingkat lokal, pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya pada

    bulan Agustus 2009 menelurkan Perda Kesehatan Reproduksi yang bertujuan untuk

    pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.16

    2.3. Karakterist ik responden

    16

    http://www.kabarindonesia.com/berita.php

    ,

    7

    Agustus

    2009,

    diakses

    pada

    tanggal

    18

    November

    2009

    http://www.kabarindonesia.com/berita.phphttp://www.kabarindonesia.com/berita.php
  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    21/75

    Kajian di 3 (tiga) kota, berkenaan dengan latar belakang daerah asal (tempat

    lahir) menunjukkan bahwa kota Tasikmalaya merupakan wilayah yang cenderung

    homogen, mengingat sebagian besar responden (97,3%) mengaku dari

    Tasilkmalaya. Sementara di kota Karawang maupun Sukabumi, proporsi pendatang

    lebih besar karena yang mengaku dari kota tersebut 89,3%. Berdasarkan usia,

    kategori responden yang masih tergolong anak-anak (kurang dari 18 tahun) lebih

    menonjol di Sukabumi (56%) dibanding Karawang (42,7%) dan Tasikmalaya (33%).

    Meski demikian, di ketiga kota komposisi penduduk dengan usia muda (< 18 tahun)

    lebih menonjol.

    20

    ri pendidikan

    menen

    Ciri masyarakat kota adalah

    meningkatnya aspirasi pendidikan.

    Temuan lapangan pada dasarnya

    belum dapat menunjukkan kondisi

    sebenarnya menyangkut aspirasi

    pendidikan masyarakat di ketiga kota,

    mengingat rentang usia responden antara

    15 hingga 24 tahun, sehingga sebagian

    responden ketika penelitian dilakukan

    sedang/ masih duduk di bangsu

    sekolah/kuliah. Meski demikian, pola di

    ketiga kota relatif mencerminkan kondisi

    masyarakat Indonesia pada umumnya, yakni

    yang berpendidikan rendah (tidak

    tamat/tamat SD dan sederajat) masih relatif

    besar, sekitar 10%, sedangkan yang berpendidikan tinggi (akademi/PT/Universitas)

    masih kecil (kurang dari 10%), dan sebagian besar masuk katego

    0

    20

    40

    60

    20 th

    usia responden

    K ar aw an g Su kab umi Tas ik mal aya

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    SD/Sdrjt SLTA/Sdrjt

    Pendidikan

    Karawang Sukabumi Tasikmalaya

    gah (SLTP/SLTA).

    Di kalangan responden yang sudah bekerja (Karawang 37,3%; Sukabumi

    20%; dan Tasikmalaya 34,7%), ada temuan menarik menyangkut besaran

    pendapatan per bulan, jika diperbandingkan data antar kota. Sebagian besar

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    22/75

    21

    dengan modal manusia

    un beralasan membantu ibu

    di rumah. Ini menjadi fenomena umum di ketiga kota.

    responden di Karawang (63%) mengaku berpendapatan diatas Rp. 1.000.000,-.

    Sedangkan di Sukabumi justru lebih banyak (60%) berpendapatan kurang dari

    Rp.500.000,-. Untuk Tasikmalaya, relatif berimbang antara yang berpendapatan

    kurang dari 500 ribu rupiah (50%) dengan mereka yang per bulannya kisaran

    pendapatannya 500 ribu hingga 1 juta rupiah (46,2%). Temuan ini tentunya tidak

    bisa dilepaskan dari karakteristik pekerjaan yang digeluti. Untuk Karawang sebagian

    besar (57,1%) bekerja sebagai pegawai swasta, ada 3,6% PNS (Pegawai Negeri

    Sipil), dan 7,1 % sebagai guru. Selebihnya ada 10,7% sebagai buruh, dan 21,4%

    sebagai karyawan/pekerja toko. Kecenderungan ini berbeda dengan kota

    Sukabumi, yang mana justru sebagian besar 46,7% bekerja sebagai penjaga toko.

    Pekerjaan lain yang menonjol adalah guru (26,7%). Di Tasikmalaya mirip dengan

    Sukabumi di mana 33,3% bekerja sebagai penjaga toko, sedangkan yang menyebut

    dirinya sebagai karyawan/pekerja swasta mencapai 29,6%, dan PNS 7,4%. Dari

    karakteristik pekerjaan yang digeluti responden, setidaknya menunjukkan sebagian

    besar terserap di sektor pekerjaan yang cenderung informal dan ini tidak terlepas

    (human capital)nya, khususnya tingkat pendidikan.

    Kecenderungan masih terbatasnya modalitas manusia juga tercermin dari

    aktivitas responden yang berstatus tidak bekerja, dan sudah tidak lagisekolah/kuliah. Sebagian di antara mereka berstatus ibu rumahtangga,

    pengangguran, dan atau sedang mencari kerja, kalaup

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    23/75

    22

    BAB 3

    GENDER DAN MEMBANGUN RELASI DALAM PERGAULAN

    Salah satu ciri urbanized society ditandai rasionalitas warga kotanya dalam

    cara pandang, sikap dan perilaku. Ciri lainnya adalah dari karakteristik demografis,

    termasuk usia menikah yang cenderung semakin meningkat, bahkan persentase

    warga kota yang melajang menunjukkan peningkatan. Bab ini menyajikan dan

    mendiskusikan pandangan perempuan muda tentang gender dan bagaimana

    mereka membangun relasi gender melalui pertemanan, pacaran, dan pernikahan.

    Mencermati konteks sosial dari relasi gender ini penting agar kita lebih memahami

    cara pandang dan perilaku perempuan muda terkait dengan hak seksual dan resiko

    seksual yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.

    3.1. Remaja dan Pubersitas

    Hal ini juga tercermin di ketiga kota penelitian, yang mana temuan

    menunjukkan bahwa persentase yang menikah di bawah usia 25 tahun relatif kecil,

    yakni Karawang 25,3%, Sukabumi 22,7%, dan Tasikmalaya 26,7%. Pengamatan

    lapangan juga memperkuat indikasi sedikitnya jumlah perempuan yang tercatatsudah menikah pada rentang usia 15-24 tahun. Meski ada beberapa pihak yang

    menginformasikan adanya remaja perempuan yang sudah menikah, namun

    sebagian besar sumber cenderung membatasi informasi tentang realitas tersebut. Di

    sisi lain, remaja perempuan yang sudah menikahpun lebih bersikap menutup diri.

    Kondisi ini setidaknya menunjukkan adanya kontrol sosial atas usia menikah,

    khususnya pada kelompok perempuan. Yakni, adanya stigma pada perempuan yang

    menikah pada usia remaja (di bawah 20 tahun), utamanya menyangkut pendorongatau alasan menikah. Seorang ketua RW di Karawang memaparkan bahwa

    sebetulnya ada warganya (perempuan) yang nikah di bawah usia 20 tahun, namun

    mereka cenderung enggan membuka diri pada orang yang tak dikenal karena

    umumnya nikah di bawah tangan (nikah secara agama). Sepengetahuan ketua RW,

    hal ini disebabkan ada petugas KUA (modin) yang hanya mau menikahkan jika

    calon mempelai perempuan berusia setidaknya 20 tahun, sesuai dengan aturan

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    24/75

    yang ada.17 Kalaupun tidak, yang dilakukan sebagian warganya adalah

    memanipulasi usia calon mempelai. Praktek nikah di usia muda juga bisa ditemui di

    wilayah lainnya, misalnya di Sukabumi, berdasarkan keterangan Pak Yayan, suami

    informan Anik, di lingkungan RW-nya banyak anak muda yang menikah karena si

    perempuan terlanjur hamil saat pacaran. Menurut Anik, warga pun sudah tidak

    terlalu kaget dengan adanya perempuan remaja yang hamil di luar nikah, dan juga

    tidak menganggapnya sebagai satu penyimpangan. Meski diakui, justru ada

    kecenderungan si remaja dan keluarganyalah yang terkadang merasa malu dan

    menutup diri, apalagi jika kehamilan tersebut dialami saat usia sekolah (SLTP

    ataupun SLTA).

    Terlepas masih adanya perkawinan usia muda bahkan dini, realitas sosial diketiga kota menunjukkan bahwa kecenderungan nikah di usia muda relatif

    memudar, bahkan cenderung meruntuhkan anggapan tentang wilayah J awa Barat

    yang dikenal dengan tradisi kawin dininya (lihat bab 2). Kecenderungan ini diperkuat

    dengan data usia responden (kelompok yang sudah menikah) dengan lama

    pernikahannya.

    Diagram 3.1. Data lama menikah responden di tiga kota penelitian

    33,3

    33,3

    LamaNikahdiSukabumi

    Sebagian besar responden menikah berusia di atas 21 tahun, sementara berdasar

    usia/lama perkawinannya belum mencapai 2 (dua) tahun, kecuali di Tasikmalaya.

    17 Ketika akan dikonfirmasi pada Pak Modin/Petugas KUA, beliau tidak bersedia di

    wawancara atau memberikan data.

    23

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    25/75

    24

    Data di Tasikmalaya menunjukkan bahwa responden yang usia perkawinannya

    sudah lebih dari 2 tahun mencapai 49%, sementara di Karawang hanya 26,3% dan

    Sukabumi 33,3%. Ini mengindikasikan bahwa di Tasikmalaya, usia nikah di

    Tasikmalaya lebih rendah/muda dibanding dua kota lainnya. Penelitian mutakhir dari

    J ones dan Gubhaju (2008) memperlihatkan bahwa meningkatnya usia kawin

    perempuan di J awa Barat cukup signifikan dalam satu dasawarsa terakhir. Kedua

    peneliti tersebut menduga perubahan ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh

    kosmopolitanisasi pada populasi di sekitar Bandung dan J akarta, serta efek dari

    migrasi di dalam provinsi J awa Barat sendiri. Berkenaan dengan meningkatnya usia

    nikah di kalangan perempuan, untuk kasus Karawang ditengarai juga terkait dengan

    tradisi patrilokal, yakni setelah menikah status istri ikut di mana suami berdomisili.

    Meningkatnya usia nikah, khususnya di kalangan perempuan, tentu

    berimplikasi pada lebih panjangnya masa remaja, termasuk masa pergaulan muda

    mudi. Karenanya studi ini juga mencari tahu bagaimana pergaulan mereka di saat

    remaja atau pra nikah (premarital relations). Pertanyaan ini terlontar mengingat

    salah satu indikator pubertas adalah berkembangnya ketertarikan secara seksual,

    termasuk juga dorongan/hasrat seksual. Data kualitatif, baik wawancara mendalam

    maupun FGD, menunjukkan bahwa perempuan remaja umumnya mulai tertarik pada

    lawan jenis saat usia 12-13 tahun, atau saat duduk di Sekolah Dasar (kelas 6)

    maupun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (kelas 1). Seperti yang pengalaman

    sejumlah informan berikut ini:

    Sinah mengaku mulai menyukai lawan jenis justru saat duduk di bangkusekolah dasar, dan bukan saat ia sudah puber atau haid. Biasanya Sinahmulai suka jika si anak laki-laki menyukainya lebih dulu, jadi ikut terbawa,begitu kata Sinah sambil mengenang masa kecilnya. Apalagi kalau adateman yang mencomblangin atau menjodohkan dirinya dengan anak laki-laki

    yang kebetulan ia suka, maka perasaannya akan ikut melambung karenasenang dan deg-degan (22 tahun, Lajang, Tasikmalaya)

    Umur eee...kelas 2-an deh, 2 SMP... Iya, udah mulai ada rasa gitu, kaloketemu orangnya suka salting gitu. temen SMP, sekelas (Gina, 16 tahun,lajang, Sukabumi)

    Naksir kakak kelas waktu kelas 1 SMP. Awalnya ikut-ikutan teman bilamelihat laki-laki itu senang, seperti fans bertemu idola, deg-degan, berharapdia kenal sama kita. Pura-pura duduk di sebelahnya, trus lama-lama jadikenal dan jadi teman. Pura-pura tanya tentang upacara (Nisa, 18 tahun,lajang, Karawang)

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    26/75

    25

    Dari pengalaman sejumlah informan, rasa tertarik pada lawan jenis

    merupakan tolak ukur peralihan masa anak ke masa remaja, atau pubersitas.

    Perkembangan secara psiko-sosial ini biasanya terjadi bersamaan atau seiring

    dengan perubahan secara fisik. Berdasar hasil survey ciri pubersitas secara fisik

    adalah: payudara membesar, tumbuh rambut di ketiak dan kelamin, menstruasi, dll.

    Berkenaan dengan reaksi responden atas pubertas fisik, sebagian responden

    menyikapi dengan rasa biasa saja, misalnya seperti yang dipaparkan Endah (17

    tahun, belum menikah)di Karawang.

    Endah mulai menstruasi pada kelas 6 SD, saat itu teman-teman Endah sudahada yang mengalami menstruasi lebih dulu, sehingga Endah tidak kaget lagi.

    Namun Endah merasa sangat canggung dengan kondisinya saat itu. Endah,yang saat itu masih tomboy sering kali diejek temannya karena jalannya yangmengangkang.

    Pengalaman yang sama juga dialami oleh Gina (16 tahun) di Tasikmalaya. .

    Gina pertama kali mendapat haid di usia 12 tahun, yakni kelas 6 SD.Perasaannya pada waktu itu biasa saja, tidak merasa kaget karena sedariawal dia telah diberi pengertian oleh ibunya bahwa sebagai seorangperempuan, kelak dia akan mendapatkan haid,

    Berbeda dengan Endah, ada juga remaja perempuan yang cemas bahkan takut

    dengan perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, diantaranya remaja lajang baik

    Nisa di Karawang (18 tahun), maupun Cinta di Tasikmalaya, usia 19 tahun.

    Nisa dapet menstruasi di kelas 2 SMP, 12 tahun. Kaget, nanya sama mamadan mama jelaskan kalo cewe pasti menstruasi, mama ajarkan pakainya.Meskipun sebelumnya di sekolah-sekolah ada promosi pembalut dandiajarkan cara pakainya. Tapi tetap aja kaget meski teman juga udah padadapet. Teman-teman usia 9/10 tahun sudah pada mens

    Cinta mendapat haid pertama kali saat kelas 2 SMP, kira-kira berusia 14tahun kala itu. Perasaan Citra campur aduk antara takut dan bingung atasapa yang terjadi pada tubuhnya.

    Sementara Asih di Tasikmalaya cenderung tertutup, bahkan tidak memberikan

    informasi tentang awalnya menstruasinya pada ibunya arau keluarga terdekatnya.

    Wah takut teh. Nah pas itu kan mau sholat Dzuhur, terus ke toilet, Lho kok

    kayak gini? Apa ini?, oh ternyata ini yang namanya haid, ini yang namanya

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    27/75

    26

    menstruasi gitukan. Nah waktu itu gak bilang-bilang, karena takut dibilangapa-apa, padahal gak apa-apa kan sebenarnya, hehe. Nah pas waktu itu tapisaya diem aja, tapi pas waktu sholat ditanya sama mama, udah shalatbelum? Karena waktu itu masih dikontrol shalatnya sama mama. Ahg..itudiem aja, kan kalau bilang udah nah kan belum soalnya lagi haid. Tapi kalau

    bilang belum ntar ditanya lagi kenapa, jadi ya udah diem aja (Asih, 22 tahun,menikah, Tasikmalaya)

    Keberagaman reaksi atas perubahan fisik ini, pada dasarnya ditentukan oleh

    kesiapan remaja secara mental. Sejumlah informan yang mengaku tidak kaget atau

    biasa saja (misalnya Endah dan Gina), lebih dikarenakan sebelumnya sudah

    mempunyai pengetahuan/pemahaman tentang akan datangnya pubersitas fisik ini,

    khususnya menstruasi dan membesarnya payudara. Sumber informasi adalah ibu,

    juga saudara perempuan, dan teman. Sementara perempuan remaja seperti Ginamaupun Nisa bereaksi cemas dan takut karena minim pengetahuan. Karenanya

    perubahan fisik yang dialaminya disampaikan kepada ibunya dan atau kakak

    perempuannya, ataupun orang yang dianggap dekat dan nyaman untuk berbagi.

    Bahkan ada remaja yang seperti Asih di Tasikmalaya, yang cenderung menutup diri,

    kalaupun pada akhirnya menginformasikan pada orang terdekat, lebih karena

    ketakutan bahkan ketahuan.

    Endah mengaku Ibunya telah memberitahukan padanya bahwa kelak setiapperempuan akan mengalami menstruasi. Ketika payudara Endah membesarEndah pun tidak sungkan untuk menanyakan kepada Ibunya mengenaikondisi payudaranya yang besar sebelah. Sekalipun demikian, sesungguhnyaEndah tidak merasa dekat dengan Ibunya. Ia merasa hingga kini lebih dekatdengan bibinya, Ia lebih nyaman bercerita mengenai menstruasinya kepadabibinya bahkan Endah diajarkan bagaimana menggunakan pembalut olehbibinya. (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)

    Dalam kebingungannya, ia menceritakan hal tersebut pada sang bunda.

    Akhirnya Cinta merasa lega setelah sang bunda menjelaskan bahwa darah ituadalah darah haid dan ia akan mendapatkannya setiap bulan. (Cinta, 19tahun, Tasikmalaya)

    Sementara berkenaan dengan pubersitas secara emosional/psiko-sosial, yang

    utama adalah mulai tumbuhnya ketertarikan pada orang lain/lawan jenis, lebih

    banyak responden menyampaikan atau berbagi pengalaman pada teman, sedang

    sebagian responden pada kakaknya. Ada juga yang mencurahkan perasaan dan

    pengalamannya menyangkut pacar dengan ibunya. Namun umumnya remaja

    perempuan lebih nyaman bercerita pada teman perempuan yang dianggap sebagai

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    28/75

    27

    sahabat dan teman curhat (curahan hati) mereka. Adapun topik yang dicurhatkan

    seputar masalah pacar, dan keluarga, juga sekolah/studi. Menyangkut curhat, laki-

    laki punya kecenderungan yang berbeda menurut Lis, informan FGD di Sukabumi,

    ..kalau laki-laki cenderung tidak suka curhat dan lebih cuek. Ditambahkan oleh Rita

    bahwa laki lebih cuek dan tertutup.

    3.2. Remaja dan bebogohan (pacaran)

    Berkenaan dengan pengalaman pacaran, pengakuan responden di Karawang

    menyangkut usia pertama pacaran menunjukkan bahwa sebagian besar (81,2%)

    mulai berpacaran pada usia kurang dari 17 tahun. Sedangkan yang mengaku

    pacaran ketika berusia 1719 tahun hanya 13%, apalagi di atas usia 19 tahun,

    5,8%. Kecenderungan pacaran di usia yang masih terkategori remaja juga terjadi di

    Sukabumi, bahkan lebih menonjol (94%). Sedangkan di Tasikmalaya,

    persentasenya lebih rendah bahkan dibanding Karawang, yakni hanya 75,8%, meski

    yang mengaku pacaran pertama kali pada usia lewat 19 tahun juga sedikit (3%).

    Desi pertama kali berpacaran pada usia 18 tahun, ketika dia bekerja di mall.Namun, pacarnya tersebut bukanlah temannya sesama pekerja di mall,melainkan dia berkenalan saat sedang main ke mall. Laki-laki tersebut

    berusia 24 tahun, tinggal di Bhayangkara, dan bekerja sebagai buruh dipabrik sepatu. Mereka saling berkenalan setelah beberapa kali bertemu dimall. Mereka awalnya berkenalan dan mengobrol saja layaknya teman,namun karena setiap hari laki-laki tersebut mengunjungi mall untuk PDKTdengan Desi, maka mereka pun akhirnya berpacaran. Desi menilaikepribadian laki-laki ini baik sehingga dia mau berpacaran dengannyawalaupun baru beberapa minggu dikenalnya. Hubungan berpacaran merekatidaklah lama, yakni hanya enam bulan saja karena Desi mengaku tidakmempunyai waktu untuk pacarnya itu karena setiap hari harus masuk kerjasehingga sang pacar pun akhirnya meninggalkannya (Desi, 20 tahun, lajang,Sukabumi)

    Anik mulai berpacaran pada saat usia 16 tahun, yakni kelas 1 SMU. Padasaat itu Anik berpacaran dengan teman sekelasnya. Selama berpacarandengan teman sekelasnya itu, menurut Anik perasaannya sering malu karenapada waktu itu sering diejek atau dijahili dengan teman-teman lainnya dikelas. Namun, kelebihannya mempunyai pacar yang sekelas dengan dirinyaadalah sering bertemu, bisa lebih sering mengobrol, curhat, membicarakanmasalah pribadi, keluarga, dan juga pelajaran sekolah. Selain itu, dia jugasenang karena setiap pulang ke sekolah selalu bersama dengan pacarnyatersebut. (Anik, 23 tahun, menikah, Sukabumi)

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    29/75

    28

    Sementara pengalaman Endah di Karawang justru mulai berpacaran di usia relatif

    belia.

    Pertama kali Endah berpacaran pada saat kelas 1 SMP. Didukung oleh

    teman-temannya, Endah pun menyatakan perasaannya (nembak) kepadaEka, anak laki-laki yang disukainya, di depan kelas. Ia mengaku saat itu salahtingkah sehingga saat teman-temannya mendorong Endah untuk mencium,Endah pun melakukannya, namun setelah itu Endah merasa sangat malusehingga Endah langsung lari ke kelasnya. Pengalaman berpacaran pertamainilah yang pada akhirnya membuat Endah menjadi lebih feminin setelah Ekamemutuskan Endah karena tidak menyukai sikap Endah yang terlalu tomboy.(Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)

    Temuan ini menegaskan bahwa bebogohan di saat usia remaja muda,

    belasan tahun, merupakan fenomena yang melekat pada kehidupan remaja. Bahkan

    jika ditanyakan aspirasi mereka tentang usia yang pantas bagi perempuan untuk

    mulai berpacaran, menunjukkan kesesuaian dengan pengalaman pribadi sebagian

    besar responden. Responden di Karawang (56%) berpendapat bahwa usia yang

    dianggap pantas bagi perempuan untuk berpacaran adalah sekitar 15-17 tahun.

    Hanya 18,7% yang berpendapat berusia kurang dari 15 tahun. Dari pengalaman

    responden di Karawang 81,7% mengaku berpacaran sebelum usia 17 tahun.

    Temuan di Karawang ini berkecenderungan sama dengan 2 (dua) kota lainnya,

    Sukabumi dan Tasikmalaya, yakni rata-rata usia pertama kali berpacaran adalah 15-

    16 tahun. Hanya sebagian kecil yang berpacaran di bawah usia 15 tahun, karena

    memaknai atau menganggap masih anak-anak. Berikut data yang mencoba melihat

    pendapat tentang usia pantas berpacaran untuk perempuan dikaitkan dengan usia

    responden berpacaran untuk pertama kali.

    Tabel 3.2. Pendapat Responden tentang Usia Pantas Berpacaranberdasarkan usia responden saat pertama kali berpacaran

    Usia Saat Berpacaran Pertama kali (%)Usia perempuan

    yang pantasuntuk berpacaran

    Tasikmalaya Karawang Sukabumi

    < 17tahun

    17-19tahun

    > 19tahun

    < 17tahun

    17-19tahun

    > 19tahun

    < 17tahun

    17-19tahun

    > 19tahun

    < 15 tahun 18 - - 23,2 - - 28,6 - -

    15 17 tahun 62 57,1 - 62,5 33,3 50 52,4 50 -

    > 17 tahun 20 42,9 100 14,3 66,7 50 19,0 50 100

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    30/75

    29

    Tabel 3.2. setidaknya mengindikasikan bahwa ada konsistensi antara pendapat

    responden tentang usia pantas berpacaran bagi perempuan dengan pengalaman

    mereka sendiri. Berkenaan dengan kepantasan secara sosial perempuan

    berpacaran ini, data kualitatif memperkuat temuan survey, yang mana bagi remaja

    perempuan usia 15 tahun keatas, akan cenderung malu jika belum punya pacar.

    Rasa malu ini sudah mulai berkembang saat duduk di bangku SLTP, bahkan

    semakin menguat ketika di SLTA. Ini menjadi fenomena khas di ketiga kota. Salah

    satu informan FGD di Sukabumi, Dwi, siswi kelas 3 Sekolah Kejuruan menyatakan

    bahwa ketika duduk di bangku SD ia hanya sebatas naksir atau tertarik saja. Tapi

    ketika SLTP kelas 2, informan mengaku mulai berpacaran dengan kakak kelasnya,

    bahkan kemudian pernah dekat dengan siswa SLTA. Istilah pacaran di Sukabumi,

    sepengetahuan Anik (23 th, menikah) dikenal dengan bebogohan, namun di antara

    teman-temannya lebih menggunakan istilah bahasa Inggris, khususnya untuk

    panggilan pacar (baik laki-laki dan perempuan) yakni someone special, my girl

    friend, atau my boyfriend.

    Berdasar pengalaman informan, berpacaran dimulai setidaknya sejak ada

    ketertarikan seksual, umumnya terjadi di jenjang SLTP, khususnya saat duduk di

    kelas 2 (atau kini kelas 8). Kecenderungan ini seolah menjadi pola umum di

    Sukabumi, juga di Karawang. Sementara di Tasikmalaya, sedikit lebih lambat,

    namun tidak bisa dikategorikan berpola berbeda. Konsepsi pacaran menurut Indah,

    salah seorang informan di Sukabumi yang belum nikah adalah:

    ....pacaran itu lebih ke sikap, tingkah laku, kegemarannya dia, jadi pacaranhanya untuk mengenal lebih dekat

    Ya hanya untuk senang-senang aja, karena kan masih SMA ya. Jadikayaknya belum dari hati banget. Ya hanya merasa nyaman aja. Banyakkecocokan, tapi gak pengen terlalu jauhlah (Anik, 23 tahun, nikah, Sukabumi)

    Kalo monyet-monyetan biasa aja yang penting jalan, terus gampangmisalkan ada yang naksir terus terima aja. Kalo sudah terus biasa aja gitu.Kalo sekarang serius itu lebih penting, setia gitu (Ratih, 21 tahun, lajang,Karawang)

    J ika dibandingkan pola pacaran pada perempuan, cenderung berbeda

    dengan laki-laki. Bagi sebagian informan, laki-laki berpacaran pertama kali pada

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    31/75

    30

    saat usia relatif lebih dewasa dibanding dengan perempuan. Dari FGD

    teridentifikasi bahwa kalau untuk remaja laki-laki, menurut Indah (19 tahun, lajang)

    Laki-laki gitu dech.... agak telat gitu untuk naksir, beda kaya cewek. Sementara

    Veni, siswi SMKN bidang otomotif, menambahkan bahwa laki-laki kalau menaksir

    seseorang Engga keliatan, lebih cuek. Sedangkan Yeni, yang bekerja sebagai

    guru TK dan sedang kuliah di UT, melihat bahwa remaja pria kelas 3 SMP/SLTP

    juga sudah mulai pacaran. Pendapat informan ini tampaknya mendukung data

    survey, yaitu usia yang dianggap pantas bagi laki-laki berpacaran adalah 17 tahun

    ke atas (Karawang 76%; Sukabumi 71,2%; Tasikmalaya 84%). Gagasan ini

    setidaknya merefleksikan idealisasi yang berkembang pada remaja putri bahwa

    karakteristik pasangan/laki-laki dalam berpacaran, yakni lebih tua/dewasa. Hal ini

    juga tercermin ketika ditanyakan tentang usia yang pantas bagi laki-laki untuk

    menikah, yakni usia 25 tahun atau lebih (Karawang 84%; Sukabumi 76%; dan

    Tasikmalaya 89,3%).

    Di Sukabumi, menurut Yeni, informan yang berkuliah di UT sekaligus juga

    guru, jika perempuan sudah berusia 25 tahun ke atas, maka orangtua mulai resah.

    Mereka terus mencoba mengenalkan ke sejumlah pihak untuk mencari jodoh.

    Namun dirinya mengaku tidak terlalu dipaksa orangtua untuk cepat menikah.

    Informan lain, Dwi menegaskan bahwa yang penting harus ada ikhtiar, tapi tidak

    terlalu berlebihan. Pada kondisi tertentu, berkenaan dengan masalah pacar atau

    jodoh ini mereka akan berkeluh kesah pada pihak-pihak tertentu, misalnya teman,

    atau sahabat. Namun, ada kecenderungan perempuan Sukabumi lebih banyak

    menjaga citra berkenaan dengan dirinya, termasuk punya tidaknya pasangan. Hal ini

    tampaknya berlaku pada kelompok dewasa, karena untuk remaja memiliki pacar

    dianggap sebagai bagian dari eksistensi diri. Seperti paparan seorang informan

    berikut, ...Kalo untuk saat ini belum punya pacar, soalnya belum ada yang srek aja,

    tapi sebagian besar temen-temen di sekolah udah punya pacar bahkan ada yang

    lebih dari satu. Dengan demikian, pacaran dianggap sebagai kebutuhan, sesuai

    paparan sejumlah peserta FGD di Sukabumi berikut ini:

    Soalnya sebagian orang banyak yang ngomongin, kalau tidak punya pacardapat julukan ... istilah kerennya jomblo, ijo lumut, jomblo forever

    Diledekin sama temen-temen sebagai jomblo, tapi kalo untuk saya sendirisih enjoy aja

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    32/75

    31

    Sama aja, tapi engga terlalu diolok-olok lebih menghargai dengan pura-puraengga tahu kalo lagi jomblo

    Ada beberapa yang bilang engga laku, toh kalo buat saya sih kalo emang

    udah ada jodohnya engga akan kemana. Soalnya Allah udah menentukanuntuk kita. Tapi beda sama laki-laki kalo jomblo engga terlalu diekspose, bedabanget kaya perempuan

    Pada sebagian perempuan, masa pacaran ketika SMA merupakan masa untuk

    membangun hubungan jangka panjang yaitu pernikahan. Pada beberapa

    perempuan lajang yang bekerja, berpacaran merupakan upaya untuk mencari

    pasangan hidup yang akan menuju jenjang pelaminan.

    Dulu Neneng belum sayang, tapi akhirnya dijalani saja karena lama-lamabisa cinta juga. Sekarang sudah nyaman. Selama sama dia belum pernah

    selingkuh. Kenal dari adik, ke rumah, trus mama suka karena anaknya sopan.

    Karena keluarga suka bikin ortu bahagia ya udah dijalanin aja. Kenapa milih

    dia, awal-awal karena lagi jomblo aja. Temen-temen malah binggung karena

    jauh dari mantan-mantan sebelumnya. Sekarang gak ganteng. Pacar yang

    sekarang ramah kepada semua orang, tapi gak muna, tanggung jawab.

    Belum nikah udah bisa nafkahin (Neneng, 18 tahun, lajang, Karawang).

    Peran pacar juga menarik diungkap, ketika keberadaannya diperbandingkan

    dengan peran sahabat. Menurut Dwi, ....kalo ke pacar itu ada perasaan memiliki,

    tapi kalo ke sahabat engga ada perasaan lebih intinya kalo sama sahabat tidak ada

    rasa suka atau cinta. Karenanya bagi Gina, penting untuk memiliki keduanya, kalo

    aku... sahabat cowo punya satu, tapi aku juga punya pacar. Sementara informan

    lainnya juga melihat resiko dari punya sahabat laki-laki, yakni dicemburui pacar

    sahabat. Intan berkata, ....punya banyak temen/sahabat cowo resikonya

    pacar/cewe nya temen cowo aku malah jadi suka cemburu?. Uniknya ada informan

    yang punya lebih banyak sahabat laki-laki dibanding perempuan, namun belum

    punya pacar. Di tengah arus berpacaran, ada sebagian remaja yang menolak

    berpacaran dalam konsepsi yang dikenal umum saat ini.

    Saya tidak setuju dengan adanya pacaran, karena bukan merupakankegiatan yang manfaat sekalipun hal itu diberikan adanya naluri untuk salingmenyukai (tapi bukan ke arah yang negatif), rasa suka itu memang ada(naluriah) tapi bagaimana kita menjaganya untuk seseorang yang sudah tepatdan diridoi oleh Allah (menurut ketentuan Allah wanita yang baik untuk laki-

    laki yang baik). Tapi untuk masalah kriteria saat ini sedang dalam proses

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    33/75

    32

    untuk pendekatan yang akan dikenalkan melalui guru ngaji. (Lani, 19 tahun,lajang, Sukabumi)

    Pandangan Lani ini, bisa dikatakan merupakan gagasan yang bersifat tidak umum,

    mengingat seolah ada anggapan sosial budaya yang berkembang di masyarakat

    bahwa pacaran itu merupakan sebuah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan remaja

    yang tidak punya pacar ataupun tidak pernah pacaran distigma sebagai remaja yang

    kurang pergaulan, bahkan perempuan jomblo (tidak laku). Ini penuturan Imah (20

    tahun, menikah) di Karawang, ...pacaran di usia SMA sudah biasa, anak yang pada

    usia SMA belum pernah berpacaran biasanya dianggap kuper dan pada akhirnya

    bila ada yang nembak lebih baik diterima supaya punya pacar dan tidak dianggap

    kuper (kurang pergaulan). Anggapan ini mengindikasikan pacaran telah menjadi

    bagian dari tahapan siklus kehidupan manusia yang seolah harus dilewati.

    Selain berpacaran secara fisik, ada pula informan yang mempunyai

    pengalaman berkencan melalui dunia maya yaitu chatting. Berkenalan dan apabila

    merasa cocok berlanjut hingga saling curhat (curahan hati). Kencan dalam dunia

    maya tidak selalu dilanjutkan dengan kopdaratau kopi darat alias bertemu muka.

    Terkadang mereka mengalami pelecehan seksual secara visual juga. Seorang

    informan, Desi (20 tahun, lajang) dari Sukabumi mengatakan

    ...di warnet gitu, ada itu mah apa ya, ah namanya juga dunia maya. Saya

    mah nggak dianggap ya kaya dunia maya gitu, e kenapa ya kalo di dunia

    maya gitu kaya omes-omes gitu, otak mesum-mesum gitu. Curhat sih,

    sama.. sama ada yang suka mempertontonkan itu di kamera. Becandanya

    mah misalnya ngirim foto nih kita. Kita mah ngirim foto beneran kita, dia mah

    ah ngirim yang kaya jorok-jorok gitu dikirim...

    Data kualitatif menunjukkan bahwa pola berpacaran di kalangan remaja diketiga kota boleh dikatakan sudah permisif. Berikut cuplikan pengalaman Imah (20

    tahun) di Karawang yang telah menikah dan memiliki dua anak.

    Sewaktu SMP, Imah pernah berpacaran dengan orang yang lebih dewasa(anak buah ayahnya), Ia pernah dicium hingga diraba sekwilda (sekitarwilayah dada). Pacarnya Imah ini sangat berani dan agresif. Imah biasanyamenghindar karena takut bila sudah mulai ke arah yang lebih jauh. Imahmengaku pacaran dengan laki-laki ini tidak sampai berhubungan seks. Orangtua Imah melarangnya untuk berpacaran dengan laki-laki ini, akhirnya Imah

    memilih sembunyi-sembunyi kabur dari rumah tiap kali menemui pacarnya.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    34/75

    33

    Imah bercerita kepada temannya mengenai aktivitas seksual yangdilakukannya, namun temannya bereaksi biasa aja karena ternyata temanImah telah melakukan aktivitas yang lebih jauh dengan pacarnya. Ketikaberpacaran dengan Asep, Imah juga pernah disuruh pegang alat kelamin olehAsep, meskipun Imah takut namun Imah pada akhirnya melakukannya

    dengan benar-benar terpaksa karena ingin memuaskannya. Aktivitas seksualyang biasanya terjadi pada saat pacaran biasanya laki-laki itu yang memulaikarena Imah malu untuk meminta lebih dulu.

    Sementara Endah (17 tahun, belum menikah) di Karawang mengaku telah 20 kali

    menjalani pacaran. Ketika pacaran di bangku SMP, ia hanya mengobrol, pegangan

    tangan, rangkulan, dan cium pipi. Pacar Endah pernah memintanya untuk ciuman

    bibir namun ia menolak dan langsung memutuskan hubungan. Informan mengaku

    pernah berciuman bibir, bahkan pernah dipaksa untuk memegang alat kelamin

    pacarnya. Pada awalnya ia tidak mau, namun setelah dibujuk barulah Endah mau

    meskipun terpaksa. Ia merasa enjoy sebatas ciuman dan pegang-pegangan.

    Namun bila mulai merambah ke wilayah vagina, Endah menyatakan takut terbawa

    suasana, karena ia pernah kecolongan. Caranya untuk menolak adalah dengan

    memegang tangan pasangannya dan mengatakan tidak mau untuk berhubungan

    lebih jauh. Ia sendiri melihat anak-anak sekarang jauh lebih berani dibandingkan

    dengan generasinya. Menurutnya anak SD sekarang sudah mengetahui ML/making

    love atau senggama padahal Endah sendiri ketika SMP dulu masih takut untuk

    ciuman karena sepengetahuan dia saat itu ciuman bisa menyebabkan hamil. Bagi

    Endah, seks adalah berhubungan intim antara perempuan dan laki-laki. Seks

    merupakan kegiatan yang menyimpang dan tidak boleh dilakukan bila dilakukan oleh

    orang yang belum ada ikatan.

    3.3. Remaja dan Pernikahan

    Berkenaan dengan gagasan ideal usia nikah perempuan, data menunjukkanbahwa usia ideal atau yang dianggap pantas adalah 20 tahun atau lebih (Karawang

    89,3%; Sukabumi 92%; dan Tasikmalaya 89,3%). Data ini ditopang juga dengan

    harapan responden yang belum menikah, yang menargetkan akan menikah di usia

    setidaknya 20 tahun. Di Karawang usia yang menonjol sebagai target menikah

    adalah 24 tahun (23,6%), sedangkan di Sukabumi adalah 23 tahun (30,9%),

    demikian juga di Tasikmalaya, usia 23 tahun (37,7%). Namun jika dilihat

    berdasarkan usia menikah dari responden yang berstatus menikah, maka target usia

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    35/75

    34

    nikah perempuan ini relatif lebih tinggi karena kondisi nyata sebagian perempuan di

    Karawang (33,3%) menikah saat usia 21 tahun. Kondisi ini berbeda dengan dua kota

    lainnya, di mana menikah di bawah usia 20 tahun masih dominan (Sukabumi 50%;

    Tasiklmalaya 60,9%). Harapan atas usia nikah ini terkait dengan persepsi tentang

    kepantasan bagi laki maupun perempuan untuk punya anak. J ika perempuan

    sebagian besar responden menyatakan usia 22-23 tahun, bahkan di Tasikmalaya

    pada usia 25-an tahun. Sedangkan laki-laki dianggap pantas punya anak jika

    berusia 25-26 tahun, bahkan 27 tahun. Temuan survey menunjukkan bahwa pada

    kelompok responden yang sudah menikah, ternyata ada temuan yang mempertegas

    adanya pergeseran cara pandang tentang usia nikah pada perempuan perkotaan.

    Hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase responden yang berpendapat usia

    pantas menikah adalah di atas 19 tahun, dan tampaknya sebagian besar dari

    mereka menikah pada usia yang dianggap pantas tersebut.

    Tabel 3.3. Pendapat Responden tentangUsia Pantas Menikah berdasarkan Usia Saat Nikah

    Usia Saat Menikah (%)

    Usia perempuan ygpantas untuk

    Menikah

    Tasikmalaya Karawang Sukabumi

    < 21

    tahun

    21-24

    tahun

    >24

    tahun

    < 21

    tahun

    21-24

    tahun

    >24

    tahun

    < 21

    tahun

    21-24

    tahun

    >24

    tahunKurang dr 17 tahun - - - - - - 6,3 - -

    17 19 tahun 11,8 - - - 16,7 - 12,5 - 5,3

    Lebih dari 19 tahun 88,2 100 100 100 83,3 (5) - 81,3 100 94,7

    Meski survey tidak menjaring data usia suami saat menikah dengan

    responden, namun temuan kualitatif menunjukkan bahwa sebagian besar menikah

    dengan laki-laki yang lebih tua. Beberapa informan juga tidak mempunyai kriteria

    yang sulit tentang pasangan/calon suami, menurut mereka yang penting baik dan

    lebih dewasa. Realitas ini semakin menegaskan bahwa pasangan ideal adalah jika

    perempuan lebih muda usia dibanding laki-laki. Berkenaan dengan gagasan ini,

    dalam FGD terungkap bahwa hal ini memang selayaknya demikian karena masih

    berkembang gagasan budaya bahwa perempuan menikah lebih cepat lebih baik.

    Selain karena faktor prestise sosial, juga karena pemikiran perempuan dianggap

    lebih cepat tua, termasuk persoalan fertilitasnya. Sementara usia laki-laki, menurut

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    36/75

    35

    Yeni salah satu informan, ...cowo harus lebih tua usianya jadi lebih dewasa.

    Kedewasaan ini ditandai dengan kematangan secara psikis (sebagai pelindung),

    sosial (kepala keluarga),ndan ekonomi (pencari nafkah). Menurut pengakuan

    sebagian informan pada dasarnya tidak ada kriteria usia yang secara eksplisit

    disyaratkan, juga oleh keluarga, tapi setidaknya: kelakuan baik (tidak suka

    nongkrong, mabuk); harus seagama; tidak suka ngerokok; engga begitu banyak

    nuntut.

    Konstruksi sosial budaya tentang laki dan perempuan tampaknya cukup

    melekat di masyarakat. Hal ini setidaknya terefleksi melalui data kualitatif, yang

    mana perbedaan laki dan perempuan secara biologis dianggap sebagai hal yang

    juga mendasari perbedaan secara biologis pada sejumlah hal, misalnya :

    - dari segi fisik laki-laki badannya lebih besar, perempuan lebih kecil.

    - perempuan sangat berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih menggunakan

    perasaan sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika.

    - laki-laki lebih kuat dan besar badannya dibandingkan dengan perempuan,

    hanya kalau perempuan dari segi fisik ada bagian tubuh yang menonjol,

    seperti: payudara.

    Hasil FGD menunjukkan bahwa kegiatan laki-laki berbeda dengan perempuan, baik

    di rumah maupun di luar rumah. Kalau di rumah perempuan membantu ibu dalam

    mengurus adik, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dll. Sementara laki-

    laki lebih banyak bermain, paling mengantar ibu.

    ....kalau cowok lebih cuek dan susah di suruh, tapi kadang-kadang juga (Lis,16 tahun, lajang, Karawang)

    ..... anak cowok biasanya suka nganter ibu. (Rita, 17 tahun, lajang, Karawang)

    Pernyataan ini setidaknya menyiratkan bahwa gagasan subyektif tentang laki dan

    perempuan, baik pada usia remaja maupun dewasa.

    Pada kelompok dewasa, perbedaan peran laki dan perempuan sangat

    ditandai dengan anggapan bahwa perempuan bertanggungjawab pada masalah

    rumahtangga dan anak, sedangkankan suami mencari nafkah. Hal ini tercermin dari

    sejumlah informan FGD yang menikah, karena menikah dan punya anak maka

    memutuskan berhenti bekerja. Kondisi ini banyak ditemui di Sukabumi, Karawang

    maupun Tasikmalaya. Salah satu alasan pokok yang dikemukakan adalah ..sibuk

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    37/75

    36

    urus anak. Kesibukan ini akan terbantu jika responden/informan tinggal dengan

    keluarga besar, atau setidaknya ada yang membantu. Namun mengingat sebagian

    besar dari strata bawah, maka berhenti kerja menjadi pilihan meski dengan resiko

    pendapatan keluarga berkurang demi anak dan rumahtangga, juga suami.

    Berkenaan dengan jumlah anak maka teridentifikasi bahwa jumlah anak yang

    diharapkan responden rata-rata 2 (dua) orang. Kalaupun suami punya harapan

    yang berbeda tentang jumlah anak, maka sebagian responden di Karawang (37,3%)

    lebih akan mengikuti pendapat suami, dan uniknya ada 34,7% yang mencoba

    mempertahankan keinginan. Meski ada 26,6% yang bermaksud mengutarakan

    keinginan pada suami untuk kemudian mendiskusikannya. Temuan di Karawang ini

    juga ditemui di Tasikmalaya bahkan cenderung lebih menonjol kepatuhan istri pada

    suami, yakni mengikuti kemauan suami (41,3%), mempertahankan keinginan

    21,3%, dan mengutarakan pada suami dan mendiskusikan mencapai 34,7%.

    Berbeda dengan Sukabumi, yang justru sebagian besar responden (41,4%) akan

    mengutarakan keinginan pada suami. Meski yang mengikuti pendapat suami juga

    cukup besar yakni 25,3%, dan ada 22,7% yang akan mempertahankan

    keinginannnya. Nampak bahwa kepatuhan pada suami lebih menonjol di Karawang

    dan Tasikmalaya, dibanding dengan Sukabumi. Meski demikian di ketiga kota,

    perempuan melibatkan suami dalam pengambilan keputusan.

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    38/75

    37

    BAB 4

    PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN RESIKO SEKSUAL

    Pada bab ini akan diuraikan pengetahuan responden dan informan penelitian

    mengenai kesehatan reproduksi dan resiko seksual yang dihadapi oleh mereka.

    Pengetahuan perempuan muda tentang kesehatan resproduksi dan resiko seksual

    merupakan hal penting, mengingat meningkatnya penundaan usia pernikahan di

    kalangan perempuan muda yang menyebabkan lebih lamanya mereka menjalani

    masa aktif secara seksual sebelum pernikahan, seperti yang telah dipaparkan pada

    bab III. Sementara itu, informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual masih

    dianggap hanya relevan untuk perempuan yang telah menikah, misalnya

    pengetahuan tentang kontrasepsi. Hal tersebut diasumsikan berpengaruh terhadap

    akses perempuan muda untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi

    dan resiko seksual. Dalam konteks tersebut, penelitian ini berusaha memotret

    pengetahuan perempuan muda di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya tentang

    kesehatan reproduksi dan seksual. Pada penelitian ini, pengetahuan kesehatan

    reproduksi mencakup pengetahuan mengenai pubertas khususnya menstruasi,

    metode dan alat kontrasepsi, dan perlindungan terhadap kehamilan yang tidak

    diinginkan. Pada bab ini selain uraian tentang pengetahuan kesehatan reproduksi

    dan persepsi terhadap resiko seksual, juga akan dipaparkan pengalaman responden

    seputar pubertas, khususnya mesntruasi serta kebutuhan informasi tentang

    kesehatan reproduksi berdasarkan pandangan responden penelitian.

    4.1. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi

    Berdasarkan hasil survei terhadap responden di ketiga kota, mayoritasresponden (>75%) menyatakan usia menstruasi pertama kali berkisar antara 12-14

    tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memasuki usia masa

    pubertas yang normal. Meskipun demikian, sebagian besar responden terkesan

    tidak siap untuk mengalami perubahan-perubahan fisik dan hormonal akibat

    pubertas. Hal tersebut ditunjukkan dari pendapat responden di ketiga kota yang

    sebagian besar merasa kaget (>50%) ketika pertama kali mengalami menstruasi.

    Untuk perubahan fisik lainnya seperti payudara yang membesar, jawaban yang

  • 7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv

    39/75

    38

    dikemukakan responden terbanyak di ketiga lokasi penelitian setelah biasa saja

    adalah kaget. Perasaan kaget yang dialami oleh mayoritas responden dapat

    merupakan refleksi dari kurangnya informasi yang diberikan pada remaja seputas

    pubertas, khususnya menstruasi.

    Kurangnya pengetahuan responden tentang menstruasi juga tercermin dari

    masih banyaknya mitos-mitos seputar menstruasi yang direproduksi dan diajarkan

    pada responden penelitian. Di Kota Sukabumi misalnya, ketika responden diminta

    untuk menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat menstruasi, jawaban

    terbanyak (54%) adalah tidak boleh memakan nanas dan ketimun serta meminum

    air es.

    Kondisi yang sama juga ditemukan di Kota Tasikmalaya, mayoritas

    responden (55%) menjawab tidak boleh memakan makanan yang pedas, tidak boleh

    tidur siang karena darah menstruasi akan naik menuju mata, dan tidak boleh

    meminum air es. Orang tua atau saudara perempuan ketika mengajari atau

    menasehati responden dan informan penelitian ini mereproduksi mitos-mitos budaya

    seputar menstruasi yang tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hal ini

    ditunjukkan oleh pemaparan beberapa informan berikut ini:

    Ngga boleh minum air kelapa, ngga boleh melakukan seks (Cinta, 19 tahun,lajang, Tasikmalaya)

    Ngga boleh gunting kuku dan rambut, ngga boleh mandi lewat dari jamempat sore (Rita, 16 tahun, lajang, Tasikmalaya)

    Karena kondisi Tasikmalaya yang merupakan kota santri, maka nasehat

    seputar mestruasi yang diberikan Ibu untuk anak peremuannya cenderung yang

    berkaitan dengan agama pula. Hal ini ditunjukkan melalui informan berikut:

    Nggak boleh sholat, ngga boleh ngaji, ngga boleh pegang Quran, ngga bolehmasuk masjid, karena nanti darahnya berceceran gimana (Yayah, 24 tahun,janda, Tasikmalaya)

    Hal yang serupa ditemukan di Sukabumi:

    Dilarang minum air es, keramas, gunting kuku, dan harus mengumpulkanrambut yang rontok untuk dibersihkan selesai haid (dengan mandi ha