hak-hak perempuan terhadap tanah adat menurut...
TRANSCRIPT
HAK-HAK PEREMPUAN TERHADAP TANAH ADAT
MENURUT ADAT PERPATIH DI DALAM ENAKMEN
PEMEGANGAN ADAT BAB 215 NEGERI SEMBILAN
(STUDI TERHADAP ADAT PERPATIH DI NEGERI SEMBILAN)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RAJA MUHAMMAD MANSOR BIN RAJA IDERAS BADIUZZAMAN
NIM: 11160440000101
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
v
ABSTRAK
Raja Muhammad Mansor bin Raja Ideras Badiuzzaman. NIM 11160440000101.
HAK-HAK PEREMPUAN TERHADAP TANAH ADAT MENURUT ADAT
PERPATIH DI DALAM ENAKMEN PEMEGANGAN ADAT BAB 215 NEGERI
SEMBILAN (Studi Terhadap Adat Perpatih Di Negeri Sembilan). Hukum
Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441H/2020 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis hak-hak perempuan terhadap tanah adat
menurut Adat Perpatih di dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 di samping
menjelaskan tentang bagaimana undang-undang adat ini melindungi hak-hak tersebut.
Skripsi ini juga akan menjelaskan alasan di sebalik ketidakbolehan laki-laki mewarisi tanah
adat. Selain itu, skripsi ini juga akan menjelaskan tentang pandangan Islam terhadap
undang-undang adat ini.
Di Malaysia, terdapat dua jenis adat yang digunakan yaitu adat perpatih dan adat
temenggung. Adapun adat perpatih adalah sebuah adat yang diamalkan di Negeri
Sembilan. Adat perpatih adalah suatu struktur sosial yang melibatkan perhubungan dan
proses-proses sosial dan ekonomi dan merupakan sebuah adat yang menjadikan nasab ibu
atau matrilineal sebagai dasar utamanya.
Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan jenis penulisan kualitatif dengan
cara library research atau dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut hak perempuan terhadap tanah
adat menurut Adat Perpatih di dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 adalah suatu
tanah adat akan diwarisi oleh perempuan manakala laki-laki hanya diberikan hak guna ke
atas tanah adat tersebut. Dan sistem matrilineal juga membantu perempuan untuk
melindungi hak perwarisannya terhadap tanah adat tersebut. Dan hukum perwarisan tanah
melalui adat ini adalah dibenarkan oleh mufti Negeri Sembilan dan fatwa ini dikeluarkan
pada tahun 2016.
Kata Kunci : Adat Perpatih, Sistem Matrilineal, Tanah Adat
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1975 s.d. 2018
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa
istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau
lingkup penggunaannya masih terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
vii
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas ‘ ع
hadap kanan
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q qo ق
K ka ك
L ef ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ه
apostrof ` ء
Y ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U dammah
viii
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا Â a dengan topi di atas
ي Î i dengan topi di atas
و Û u dengan topi di atas
d. Kata Sandang
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qamariyyah, misalnya:
al-ijtihâd = االجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
al-syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah = الشفعة
ix
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شريعة 1
Al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
Muqaranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan
Huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf
ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري = al-Bukhâri, tidak
ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara
sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari
bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Din al-Rânîri.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:
x
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrat الضرورة تبيح المحظورات 1
al-iqtisad al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-asl fî al-asyyâ` al-ibâhah األصل في األشياء اإلباحة 4
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
xi
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan banyak karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini, baik secara moril maupun materil. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
besar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga.
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan dan ilmunya selama
penulis mengerjakan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Maskufa, M.A., selaku dosen Penasihat Akademik yang sentiasa
sedia menjawab segala masalah yang dihadapi penulis sepanjang penulis
berada di sini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah
Jakarta yang telah memberikan ilmunya beserta pengalaman kepada penulis
sepanjang penulis berada di sini.
6. Bapak Ahmad Afian Abdul Kadir yang telah memberi buku dan membantu
penulis dengan cara memberikan ide kepada penulis tentang apa yang harus
dibahas dan dikaji tentang Adat Perpatih ini.
7. Keluarga penulis, ayahanda Raja Ideras Badiuzzaman bin Raja Mansor dan
ibunda Norfadzillah binti Rambli yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melanjutkan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
xii
karena sentiasa mendoakan penulis dan menyemangati penulis sepanjang
penulis berada di sini.
8. Adik beradik penulis karena telah membantu memberikan ide dan cara
kepada penulis untuk mengerjakan kajian ini.
9. Tunang penulis yaitu Siti Nasuha binti Jefri karena sentiasa menyemangati
penulis tanpa mengira lelah sepanjang penulis berada di sini dan karena
sentiasa memberi solusi terhadap semua masalah yang dihadapi penulis.
Diharapkan dengan lulusan penulis dari sini akan mendekatkan lagi tempoh
pernikahan kita.
10. Auntie J dan Uncle Wan karena telah memberikan bantuan keuangan
kepada penulis sepanjang penulis berada di sini. Tanpa mereka, perjalanan
kuliah penulis di sini akan menjadi lebih sulit.
11. Megat Ahmad Najeeb Bin Amir Sharifuddin dan keluarga karena sentiasa
memfasilitas kepada penulis serta membantu penulis mencari bahan kajian
sepanjang penulis melakukan kajian ini.
12. Mohammad Ali Haidar yang telah membantu penulis di dalam semua aspek
dari proses konversi nilai sehingga penyusunan skripsi ini. Segala
bantuannya amat penulis hargai.
13. Terima kasih juga kepada semua sahabat Malaysia penulis yang berada di
sini. Keberadaan mereka menjadikan suasana belajar di sini menjadi lebih
enak dan nyaman. Perjalanan, kenangan dan pengalaman bersama mereka
sepanjang penulis di sini tidak akan penulis lupakan.
14. Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
nyatakan satu persatu di sini. Terima kasih karena telah membantu penulis
sepanjang penulis berada di sini.
Jakarta, 17 Januari 2020
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah................................... 2
1. Identifikasi Masalah .................................................................. 2
2. Pembatasan Masalah ................................................................. 2
3. Perumusan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitan ............................................................ 3
1. Tujuan Penulisan....................................................................... 3
2. Manfaat Penulisan..................................................................... 3
D. Kajian Terdahulu ................................................................................ 4
E. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................................ 5
F. Metode Penulisan ............................................................................... 7
1. Jenis Penulisan .......................................................................... 7
2. Pendekatan Penulisan ............................................................... 7
3. Sumber dan Jenis Data .............................................................. 7
4. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 7
xiv
5. Analisis Data ............................................................................. 8
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 8
BAB II SEJARAH ENAKMEN PEMEGANGAN ADAT BAB 215 DI NEGERI
SEMBILAN .............................................................................................. 9
A. Sistem Torrens di Malaysia ................................................................ 9
1. Negeri-Negeri Selat ................................................................ 10
2. Negeri-Negeri Melayu Bersekutu ........................................... 12
3. Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu................................. 15
B. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Tanah di Negeri Sembilan .....
....................................................................................................... 16
C. Revolusi Enakmen Pemegangan Tanah Adat Bab 215 di Negeri
Sembilan ........................................................................................... 18
BAB III PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERWARISAN PEREMPUAN DI
DALAM TANAH ADAT MENURUT ENAKMEN PEMEGANGAN
ADAT BAB 215 ..................................................................................... 27
A. Hukum Waris dalam Islam ............................................................... 27
1. Pengertian ............................................................................... 27
2. Dasar Hukum Waris................................................................ 29
3. Rukun Waris ........................................................................... 34
4. Syarat Waris ............................................................................ 35
5. Sebab-Sebab Mewarisi ........................................................... 37
6. Sebab-Sebab Menghalangi Mewarisi ..................................... 39
7. Tertib Para Waris Dalam Menerima Pusaka ........................... 42
B. Pandangan Islam Terhadap Amalan Pewarisan Perempuan Terhadap
Tanah Adat (Pusaka Tinggi) Menurut Enakmen Pemegangan Adat
Bab 215. ............................................................................................ 49
xv
1. Golongan Yang Menolak Amalan Pewarisan Tanah Adat
(Pusaka Tinggi) .............................................................................. 49
2. Golongan Yang Memilih Jalan Tengah Amalan Pewarisan
Tanah Adat (Pusaka Tinggi) .......................................................... 51
3. Golongan Yang Menerima Amalan Pewarisan Tanah Adat
(Pusaka Tinggi) .............................................................................. 53
BAB IV HAK-HAK PEREMPUAN TERHADAP TANAH ADAT MENURUT
ADAT PERPATIH DI DALAM ENAKMEN PEMEGANGAN ADAT
BAB 215 NEGERI SEMBILAN ............................................................ 58
A. Penjelasan Mengenai Adat Perpatih ................................................. 58
B. Hak Perempuan Terhadap Tanah Adat Menurut Adat Perpatih di
Dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 Negeri Sembilan ....... 61
C. Peran Adat Perpatih dalam Melindungi Hak Perempuan Terhadap
Tanah Adat Di Dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 .......... 66
D. Kedudukan Laki-laki dalam Pewarisan Tanah Adat Mengikut Adat
Perpatih ............................................................................................ 71
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 74
A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam pewarisan harta, dikenali dua jenis harta yaitu harta pusaka
benar dan harta pusaka sendiri. Harta pusaka benar adalah harta pusaka yang
menjadi milik suku yang lazimnya terdiri daripada tanah-tanah desa, sawah,
kebun, dan rumah yang diwarisi dari ibu yang terletak di atas tanah pusaka.
Dan harta pusaka sendiri adalah harta warisan perempuan daripada emak atau
bapa baik berupa pakaian atau barang-barang kemas. Harta pusaka sendiri ini
dapat dibagikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan menurut jenis
barang-barang kemas dan seumpamanya.1 Harta pusaka sendiri juga turut
dikenali sebagai pusaka waris.2Jenis harta yang ingin dibahas oleh penulis di
sini adalah daripada jenis harta pusaka benar.
Harus diketahui bahwa adat ini mengamalkan sistem matrilineal dan
sistem ini turut digunapakai di dalam menentukan hak pemilikan harta warisan
terutama di dalam hal yang berkaitan dengan tanah Adat. Adapun yang ingin
dibahas oleh penulis adalah terkait pembagian tanah adat menurut Adat
Perpatih ini di dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215. Hal ini karena,
harta selain daripada tanah tidak dibagikan melalui sistem matrilineal tetapi
sesuai dengan aturan pembagian secara islam di dalam ilmu faraidl.3 Pada
Pasal 24 di dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 dinyatakan bahwa
tanah adat itu akan diwariskan kepada waris sesuai menurut Adat Perpatih.4
Maka penulis di sini akan membahas tentang hak perempuan menurut Adat
1 Abdullah Siddik, Pengantar Undang-Undang Adat di Malaysia, (Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 1975) h. 116. 2 Nor Hasiah binti Harun, Nilai Etika Dalam Perbilangan Adat Perpatih Menurut
Pandangan Islam, (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990), h. 53 3 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 6 4 Customary Tenure Enactment Chapter 215.
2
Perpatih sesuai dengan apa yang diperuntukkan oleh Enakmen Pemegangan
Adat Bab 215.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memilih juduh “Perlindungan
Hak Perempuan di Dalam Keluarga (Studi Terhadap Adat Perpatih di Negeri
Sembilan)” karena untuk melihat apakah hak perempuan menurut Adat ini
beserta sejauh manakah pelaksanaan adat ini untuk memastikan hak perempuan
tersebut dijaga dan bagaimana bagaimana pandangan Islam menurut adat itu
sendiri.
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diungkapkan di atas, terdapat
sejumlah permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah pandangan kaum laki-laki terhadap Adat Perpatih?
b. Apakah kepentingan Adat Perpatih terhadap perempuan?
c. Apakah terdapat permasalahan di dalam melaksanakan adat ini?
d. Apakah ada pertentangan dari pihak laki-laki ketika pelaksanaan adat
ini?
e. Apa yang menjadi faktor adat ini dalam mengutamakan hak
perempuan?
f. Apakah pelaksanaan adat ini sama dengan teorinya?
g. Apakah pelaksanaan adat ini berpotensi untuk melanggar syara’?
h. Sejauh manakah pemberlakuan adat ini dalam menjamin hak perempuan?
2. Pembatasan Masalah
Memandangkan ruang lingkup perbahasan Adat adalah luas, maka
penulis hanya membatasi penulisan mengenai Adat Perpatih di Negeri
Sembilan di dalam Undang-Undang Adat Tanah yang melibatkan hak
perempuan. Harus diketahui bahawa adat ini hanya digunakan di Negeri
Sembilan dan Naning di Melaka. Maka penulis memilih Negeri Sembilan
karena penggunaan adat ini yang lebih meluas di sana dan lebih
3
memudahkan penulis untuk memperoleh bahan penelitian di Negeri
Sembilan tersebut.
3. Perumusan Masalah
Adapun antara rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Apa saja hak perempuan menurut Adat Perpatih yang terdapat di dalam
Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 dan bagaimana Adat ini
melindungi hak perempuan tersebut?
b. Mengapa laki-laki tidak memperoleh perwarisan terhadap tanah adat?
c. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hak laki-laki dan
perempuan dalam hal kepemilikan tanah menurut Enakmen
Pemegangan Adat Bab 215?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitan
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk:
a. Untuk mengetahui apa saja hak perempuan menurut Adat Perpatih
yang terdapat di dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 dan
kaidah yang digunakan oleh Adat ini untuk melindungi hak tersebut.
b. Untuk mengetahui alasan laki-laki tidak memperoleh warisan
terhadap tanah adat.
c. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap hak laki-laki
dan perempuan dalam hal kepemilikan tanah menurut Enakmen
Pemegangan Adat Bab 215?
2. Manfaat Penulisan
Hasil Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis dan praktis yaitu:
a. Secara teoritis diharapkan dapat diketahui hak perempuan terhadap
tanah adat seperti yang terdapat di dalam Enakmen Pemegangan Adat
Bab 215 dan bagaimana Adat Perpatih dalam mengekalkan hak
perempuan tersebut.
4
b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran atau masukan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya
yang terkait dengan Adat Perpatih di Negeri Sembilan.
D. Kajian Terdahulu
1. Jurnal - Journal of Islamic Law Review, Vol. 10, No. 1 entitled “
Codification of Customary practice for promoting Muslim Women’s Right
to Land and Property: A Case Study of The Harta Sepencarian Rule in
Malaysia” di mana jurnal ini membahas tentang undang-undang adat
sebagai suatu cara bagi perempuan memperoleh tanah dan harta. Selain
itu, jurnal ini juga membahas tentang keberkesanan adat di dalam
masyarakat adalah tergantung kepada kesadaran masing-masing individu.
Jurnal ini juga membahas tentang perubahan hukum adat dalam memberi
perlidungan kepada hak harta perempuan di Malaysia dengan cara
penggabungan hukum adat dengan undang-undang syariah. Sedangkan
apa yang ingin dibahas oleh penulis adalah hak perempuan itu sendiri
menurut Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 beserta pandangan hukum
Islam terhadap pemakaian adat itu sendiri.
2. Skripsi berjudul “Kajian Terhadap Pembangunan Tanah Adat Perpatih di
Negeri Sembilan” di mana skripsi ini menceritakan tentang kebolehan
untuk membina pembangunan di atas tanah adat yang menjadi hak
perempuan dan seterusnya mengkaji tentang nilai tanah adat itu sendiri.
Apakah status kedudukan tanah adat itu serta perbedaan tanah adat dengan
tanah rizab? Selain itu, skripsi ini juga mengkaji tentang apakah sikap
sosial masyarakat melayu Negeri Sembilan yang masih berpegang teguh
dengan Adat Perpatih yang mengakibatkan Tanah Adat tersebut menjadi
terbiar. Akan tetapi, perkara yang akan dibahas oleh penulis di dalam
kajian ini adalah terkait peran, alasan beserta situasi di mana lelaki
diharuskan membina rumah di atas tanah adat tersebut
3. Jurnal – Malaysian Journal of Society and Space XI Issue 2 entitled “
Perempuan Perpatih dan Keusahawanan di Negeri Sembilan: Suatu
5
Tinjauan Geografi Sejarah” di mana jurnal ini menceritakan tentang
keberhasilan para perempuan dalam mengembangkan ekonomi dan
keusahawanan dengan menggunakan tanah adat pada masa lalu yaitu
sebelum penjajahan Inggris. Kajian ini menunjukkan bahwa Adat Perpatih
memberikan impak yang besar terhadap perempuan pada masa dahulu
dalam menjadikan mereka mandiri sehingga mereka menjadi usahawan
yang berjaya. Sedangkan perkara yang akan dibahas oleh penulis di dalam
kajian ini adalah terkait kedudukan perempuan terhadap tanah adat itu
sendiri dan bagaimana adat ini mampu memelihara hak perempuan
tersebut.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Pengertian Gender
Gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan di
dalam hal yang menyangkut peran, fungsi, hak, tanggung jawab dan
perilaku yang mana kesemuanya dibentuk oleh nilai sosial, budaya dan adat
yang berbeda serta dapat berubah berdasarkan kondisi. Hasilnya,tuntutan
peran, tugas, kewajiban di antara laki-laki dan perempuan dibedakan dari
masyarakat ke masyarakat lainnya.5
2. Konsep kesetaraan dan keadilan gender di dalam keluarga
Akses yang diartikan sebagai kapasitas di dalam menggunakan
sumberdaya supaya dapat berpartisipasi di dalam massyarakat secara sosial,
ekonomi dan politik.
Partisipasi di antara suami istri di dalam proses pengambilan keputusan
atas penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis.
Kontrol yaitu kedua laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan
penguasaan yang sama di dalam sumberdaya keluarga.
5 Herien Puspitawati, Konsep, Teori, dan Analisis Gender, (Bogor: PT IPB Press, 2012),
h., 1.
6
Manfaat yaitu semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang
sama bagi seluruh anggota keluarganya.6
3. Teknik Analisis Gender Model Moser
Teknik yang didasarkan kepada pendekatan pembangunan dan
gender yang berdasarkan pada pendekatan perempuan dalam
pembangunan ini dikembangkan oleh Caroline Moser.
Tujuannya adalah untuk memengaruhi kemampuan perempuan
untuk melibatkan diri dalam intervensi yang telah direncanakan serta
membantu perencanaan untuk memahami perbedaan kebutuhan di antara
laki-laki dan perempuan. Selain itu, ianya juga bertujuan untuk mencapai
kesetaraan gender dan pemberdayaan melalui kebutuhan praktis setiap
laki-laki dan perempuan.
Terdapat beberapa alat di dalam teknik ini yaitu, alat 1 yang
dilakukan dengan mengidentifikasi peranan gender yang mencakup peran
produktif, reproduktif dan kemasyarakatan. Alat 2 yang dilakukan dengan
menilai kebutuhan gender secara praktis (kebutuhan kehidupan sehari-
hari) maupun secara stategis (keadaaan yang dibutukan untuk mengubah
posisi subordinat perempuan seperti penyusunan jaminan hukum terhadap
hak-hak legal, penghapusan tindak kekerasan, upah yang sama, kesetaraan
dalam memiliki properti dan sebagainya).
Alat 3 yaitu peran diantara suami istri dalam pengambilan
keputusan dalam rumahtangga. Alat 4 yang dilakukan dengan cara
menyeimbangkan peran gender di dalam tugas produktif, reproduktif dan
kemasyarakatan antara laki-laki dan perempuan.. Adapun pelaksanaan alat
4 ini adalah dilakukan dengan cara menyeimbangkan peran di dalam
gender. 7
6 Herien Puspitawati, Konsep, Teori, dan Analisis Gender, (Bogor: PT IPB Press, 2012),
h., 6. 7 Herien Puspitawati, Konsep, Teori, dan Analisis Gender, (Bogor: PT IPB Press, 2012),
h., 12-13.
7
F. Metode Penulisan
1. Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang akan digunakan di dalam penulisan ini adalah
penulisan kualitatif yaitu sebuah penulisan yang akan menghasilkan data-
data deskriptif dan data yang berupa narasi.
2. Pendekatan Penulisan
Pendekatan pendekatan yang digunakan di dalam penulisan hukum
adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-
undang (statute approach) dilakukan dengan mengkaji semua undang-
undang dan pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani.
Statue Approch dalam penulisan ini ialah Adat perpatih, Enakmen
Pemegangan Adat Bab 215 dan Perlembagaan Persekutuan.
3. Sumber dan Jenis Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini akan dilakukan bersesuaian
dengan fokus dan tujuan penulisan. Adapun sumber data yang akan
digunakan dalam penulisan ini terbagi kepada dua yaitu:
a. Data Hukum Primer: Yaitu Adat Perpatih, Enakmen Pemegangan
Adat Bab 215, dan Perlembagaan Persekutuan.
b. Data Hukum Sekunder: Yaitu data yang diperoleh dengan cara
penulisan kepustakaan yang dilakukan dengan cara penelusuran
literatur, hasil-hasil penulisan dan peraturan perundang-undangan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun metode yang akan digunakan dalam pegumpulan data
adalah dokumen primer dan dokumen sekunder beserta kajian pustaka.
8
5. Analisis Data
Berdasarkan data-data tersebut, penulis kemudiannya akan membuat
kesimpulan yang bertujuan untuk menjawab semua rumusan masalah yang
ada di mana analisisnya dilakukan secara kualitatif yaitu penguraian data
yang dilakukan secara deskriptif dan narasi.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas
lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama dalam penulisan ini berisi pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, metode penulisan, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Kemudian pada bab kedua, membahas tentang sejarah kemasukan serta
perkembangan Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 di Negeri Sembilan.
Selanjutnya pada bab ketiga, penulis akan membahas tentang pewarisan
menurut Islam dan pandangan Islam terhadap perwarisan adat menurut Enakmen
Pemegangan Adat Baab 215.
Selanjutnya di bab 4, penulis akan membahas mengenai hak perempuan
di dalam adat ini sesuai dengan peruntukan di Enakmen Pemegangan Adat Bab
215 beserta bagaimana adat tersebut dalam mengekalkan hak perempuan.
Penulis juga akan membahas mengenai alasan kenapa laki-laki tidak di benarkan
mewarisi tanah adat.
Adapun pada bab lima, penulis akan menjelaskan mengenai hasil dari
kajian, penutup dan saran.
9
BAB II
SEJARAH ENAKMEN PEMEGANGAN ADAT BAB 215 DI
NEGERI SEMBILAN
A. Sistem Torrens di Malaysia
Sistem Torrens merupakan suatu sistem yang diperkenalkan oleh Inggris
yang bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem pendaftaran yang lengkap
dengan maksud untuk mewujudkan satu pegangan hak milik yang tidak boleh
dinafikan.1 Dalam arti kata lain, Sistem Torrens mementingkan pendaftaran hak
milik tanah demi mengelakkan unsur penipuan atau pemalsuan hak milik tanah
seseorang.2
Untuk memahami sejarah perkembangan undang-undang tanah di
Malaysia, pertama sekali harus memahami tentang sejarah penjajahan Inggris
ke atas tanah Melayu. Hal ini karena sistem Torrens ini dibawa ke tanah Melayu
pada zaman penjajahan Inggris. Di dalam penjajahan Ingris di Tanah Melayu,
Inggris telah membagikan Tanah Melayu kepada tiga bagian yaitu Negeri-
Negeri Selat yang terdiri daripada Pulau Pinang, Melaka dan Singapura, Negeri
Melayu Bersekutu yang terdiri daripada Pahang, Perak, Selangor dan Negeri
Sembilan, dan Negeri Melayu tidak Bersekutu yang terdiri daripada Perlis,
Kedah, Kelantan, Terengganu dan Johor. 3
1 Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam Pendekatan Perbandingan, ( Selangor:
Perpustakaan Negara Malaysia, Cetakan Pertama, 1994 ), h. 70. 2 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 6 3 Rabi’ah Binti Muhammad Serji, “Application of Islam And Malay Customs In Torrens
Sistem In Malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic And Contemporary Issues, Vol. I, 2016, h. 14.
10
1. Negeri-Negeri Selat
Penggunaan undang-undang Inggris di Negeri Selat bermula apabila
Pulau Pinang dipajak oleh Syarikat Hindia Timur Inggris daripada Sultan
Kedah. Pulau Pinang pada waktu itu merupakan bagian daripada provinsi
Kedah yang diperintah oleh sultan. Adapun cara penyerahan Pulau Pinang
kepada Inggris adalah dengan cara sewaan dan bukannya sebagai suatu
wilayah yang diduduki. Dan penyerahan itu dilakukan pada tahun 1791.
Berdasarkan norma undang-undang antarabangsa, undang-undang yang
harus digunakan di Pulau Pinang adalah undang- undang tempatan yaitu
Undang-undang Islam beserta adat Melayu yang bersesuaian dengan
undang-undang yang dipakai oleh Negeri Kedah. Akan tetapi, undang-
undang yang dipakai di Pulau Pinang pada waktu itu adalah undang-undang
yang dibawa oleh Inggris. Hal ini adalah rentetan daripada kasus Ong Cheng
Neo melawan Cheah Neo pada tahun 1872 di mana Majelis Privi telah
menyatakan bahwa Pulau Pinang “tidak didiami orang” pada waktu
kedatangan Inggris. Antara inti daripada kasus tersebut adalah:4
“Disebabkan Pulau Pinang dikira sebagai sebuah kawasan yang
tidak mempunyai undang-undang sendiri sebelum kedatangan Syarikat
Hindia Timur, maka tidak perlu lagi untuk mempertimbangkan bahwa Pulau
itu sebagai satu wilayah yang diserah atau diduduki. Oleh itu, Undang-
undang Inggris hendaklah dianggap sebagai undang-undang yang
digunapakai di kawasan itu setelah undang tersebut telah disesuaikan
dengan keadaan setempat.”
Adapun justifikasi Inggris untuk menggunakan undang-undang yang
dibawa oleh mereka di Pulau Pinang adalah karena pulau tersebut dinggap
tidak berpenghuni sedangkan pada asalnya, Pulau tersebut disewa oleh
4 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 14.
11
Inggris daripada Sultan Kedah. Perbuatan Inggris ini seperti menidakkan
hak Sultan Kedah dan undang-undang Kedah ke atas Pulau Pinang.5
Adapun situasi yang terjadi di Melaka adalah berbeza dengan apa
yang terjadi di Pulau Pinang. Sebelum penjajahan Portugis dan Belanda
pada abad ke-16 dan 17, Melaka merupakan sebuah provinsi yang dikuasi
oleh Sultannya sendiri. Pada waktu Inggris mengambil alih Melaka daripada
Pihak Belanda, Melaka telah mempunyai undang-undang tempatannya yang
tersendiri. Adapun pengambil alihan yang terjadi adalah berdasarkan
perjanjian Inggris-Belanda yang berlaku pada tahun 1824.6
Dan berdasarkan keputusan mahkamah di dalam kasus Sahrip
menetang Mitchell dan Anor pada tahun 1870, jelas menunjukkkan bahwa
undang-undang tanah yang dipakai merupakan campuran antar adat Melayu
dan undang-undang Islam. Akan tetapi, penggunaan undang-undang tesebut
di Melaka telah berakhir pada tahun 1861. Peggunaan undang-undang itu
berakhir apabila suatu undang-undang baru telah diluluskan oleh penadbir
Inggris yang memerintah Melaka pada waktu itu. Berdasarkan undang-
undang baru tersebut, semua tanah yang belum dihapuskan di negeri Melaka
telah dinyatakan menjadi milik pemerintah sesuai dengan undang-undang
tanah Inggris yang diguna pakai di England pada masa itu. 7
Pada tahapan awal, Pulau Pinang dan Melaka menggunakan undang-
undang tanah yang dikenali sebagai Sistem Surat Ikatan Inggris. Undang-
undang tanah di Pulau Pinang dan Melaka kemudiannya telah berubah
kepada sistem Torrens dan hal ini dilakukan atas dasar penyeragaman
undang-undang tanah di antara dua provinsi itu.8
5 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 14. 6 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 14. 7 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 15. 8 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 14-15.
12
2. Negeri-Negeri Melayu Bersekutu
Kesemua sebelas buah provinsi di Malaysia telah mengamalkan
sistem undang-undang tanah yang sama mulai Januari 1966, yang dikenali
sebagai Sistem Torrens atau Sistem Pendaftaran Hak Milik. Sistem Torens
telah diperkenalkan buat pertama kali di Negeri-negeri Melayu bersekutu
sewaktu kemasukan Inggris di negeri tersebut.9 Sistem ini didasarkan pada
Real Property Act 1857 yang berasal dari Australia Selatan dan ianya
mempunyai ciri-ciri Sistem Torrens yang di New Zealand dan Fiji. Sistem
Torrens mula diperkenalkan di semenanjung tanah Melayu pada tahun
1864.10
Sebelum penggunaan sistem Torrens di Negeri Melayu Bersekutu,
undang-undang yang digunakan di Provinsi Selangor, Perak dan Pahang
adalah undang-undang Islam dan undang-undang yang digunakan di Negeri
Sembilan adalah undang-undang adat. Akan tetapi, penggunaan undang-
undang Islam dan Adat ini mula dihapuskan dan diganti oleh sistem Torrens
selepas kedatangan penadbir Inggris di Negeri Melayu Bersekutu.11 Dan
kemasukan pengaruh british ke Negeri Sembilan adalah secara bertahap
disebabkan tumpuan British pada waktu itu adalah lebih tertumpu di
kawasan yang kaya dengan sumber galian.12
Sistem Torrens yang diamalkan di keempat-empat Negeri Melayu
Bersekutu sebelum tahun 1911 adalah tidak seragam dan mempunyai ciri
yang berlainan. Walau bagaimanapun, peraturan ini kemudiannya dibentuk
menjadi sebuah undang-undang yang digunakan oleh Negeri-negeri Melayu
9 Salleh Buang , Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 9 10 Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam Pendekatan Perbandingan, ( Selangor:
Perpustakaan Negara Malaysia, Cetakan Pertama, 1994 ), h. 59-60 11 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 16. 12 Ishak Yussof dkk. “The Implementation of Customary Tenure Enactment (CTE) in
Colonial Time and Effects on The Administration of Customary Land in Negeri Sembilan”, Kajian
Malaysia, Vol. 33, No. 1, 2015, h. 71.
13
Bersekutu dan diperluaskan penggunaannya kepada Negeri-negeri Melayu
Tidak Bersekutu secara bertahap.13
Antara Peraturan yang terdapat di Negeri-negeri Melayu Bersekutu adalah:
1. Peraturan-peraturan Pelupusan Tanah Selangor Tahun 1877, yang
mempunyai ciri berikut:
a. Tanah negeri boleh diberi milik bagi tempoh waktu maksimum
selama 99 tahun dengan bayaran premium dan cukai tanah
tahunan.
b. Tanah itu boleh diberi milik bagi tujuan pertanian, pembangunan
atau tujuan tertentu.
c. Adapun tanah yang diberi milik bagi tujuan pertanian haruslah
diusahakan di dalam tempoh waktu yang diberikan oleh undang-
undang.
2. Peraturan-peraturan Khusus Pajakan Tanah Terbiar, tahun 1879 di
Perak dan Selangor. Peraturan ini mempunyai ciri berikut:
a. Tanah pertanian diberi milik selama 99 tahun.
b. Bayaran premium dan cukai tanah tahunan hendaklah dibayar
terhadap pemberian milik itu.
3. Peraturan-peraturan Tanah Am tahun 1879 dan 1885 bagi Negeri Perak
dan tahun 1882 bagi Negeri Selangor serta tahun 1887 bagi Negeri
Sembilan (Sungai Ujong). Antara ciri yang terdapat dalam peraturan ini
adalah:
a. Pemberian milik boleh berlaku terhadap empat jenis tanah yaitu
tanah pertanian, bandar, kampung dan tanah lombong.
b. Pemberian milik tanah pertanian adalah melalui sewaan selama
99 tahun atau sertifikat pemilikan tanah untuk selama-lamanya
yang terikat kepada bayaran cukai tahunan dan tanaman yang
dibenarkan atau yang ditetapkan oleh undang-undang.
13 Salleh Buang , Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 9
14
4. Kanun Tanah (Land Code) tahun 1891 di Selangor mengenai
kepentingan sewaan dan mempunyai bagian yang khusus bagi pegangan
bumiputera. 14
5. Enakmen Pendaftaran Hak Milik (Registration of Titles Regulatios)
tahun 1891 di Selangor, 1897 di Pahang dan Perak, 1898 di Negeri
Sembilan. Antara ciri utama enakmen ini adalah:
a. Semua tanah terletak pada sultan yang berkuasa memberi hak
kepemilikan sama ada untuk selamanya atau untuk suatu jangka
waktu yang tidak melebihi 99 tahun.
b. Kewujudan hak milik yang tidak boleh diragukan yang mana
ianya pertama kali diperkenalkan di Malaysia.
c. Segala kesepakatan bisnis terkait tanah hendaklah dilakukan
menurut ketentuan undang-undang sehingga urusan yang
dilakukan tanpa mengikut undang-undang dianggap batal.
d. Kesepakatan bisnis tanpa pendaftaran seperti sewaan, dan
cagaran hanya dianggap sah sekiranya tidak melebihi tiga
tahun.15
Enakmen Pendaftaran Hak Milik (Registration of Titles Enactment)
ini telah diamendemen sebanyak dua kali yaitu pada tahun 1903 dan 1909.16
Kemudian, pada tahun 1911 telah diluluskan dua undang-undang
tanah yang sama di seluruh Negeri-negeri Melayu Bersekutu yaitu Enakmen
Tanah tahun 1911 yang berdasarkan Ordinan tanah Melaka 1886 dan
Enakmen Pendaftaran Hak Milik tahun 1911. Enakmen Tanah tahun 1911
pada asanya adalah untuk pendaftaran tanah desa yang kurang dari 100
hektar manakala Enakmen Pendaftaran Hak Milik adalah tentang
pendaftaran tanah yang melebihi 100 hektar. Kedua-dua undang-undang ini
14 Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam Pendekatan Perbandingan, ( Selangor:
Perpustakaan Negara Malaysia, Cetakan Pertama, 1994 ), h. 60-62. 15 Salleh Buang , Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 9-10 16 Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam Pendekatan Perbandingan, ( Selangor:
Perpustakaan Negara Malaysia, Cetakan Pertama, 1994 ), h. 62-63
15
masih kekal dan digunakan sehinggalah undang-undang tersebut
diamendemen oleh Kanun Tanah 1926 yang mula digunakan pada Januari
1928 dan dinamakan sebagai Kanun Tanah 1928.17
Kanun Tanah 1928 kemudiannya mengalami perubahan sambil
mengekalkan dua kategori tanah di dalam undang-undang tersebut. Adapun
antara perubahan yang dilakukan terhadap Kanun Tanah 1928 tersebut
adalah pengekalan Undang-undang tanah adat di dalam Adat Pepatih.18
Kanun Tanah 1928 tersebut kemudiannya menjadi asas di dalam
pembentukan Kanun Tanah Negara yang kemudiannya menjadi undang-
undang yang diamalkan di seluruh Semenanjung Malaysia yang mulai
digunakan pada 1 Januari 1966.19
3. Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu
Pengaruh British di dalam 5 Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu
adalah lebih telat dibandingkan dengan 4 Negeri-Negeri Melayu Bersekutu.
Ini disebabkan oleh bagian utara Kedah dan Perlis pada waktu itu masih
berada di bawah pengaruh Raja Siam dan hal ini adalah sama terhadap
Kelantan dan Terengganu. Cuma di Kelantan dan Terengganu, pengaruh
Raja Siam adalah tidak sekuat seperti di Kedah dan Perlis. Dan pada tahun
1909, telah berlaku suatu perjanjian di antara Inggris dan Kerajaan siam
yang dinamakan Perjanjian Bangkok.20 Akibat daripada perjanjian ini,
Inggris dibenarkan untuk meletakkan seorang Penasehat atau Residen
Inggris di Setiap Negeri Melayu Tidak Bersekutu.21 Inggris akhirnya
berjaya menguasai keempat-empat negeri tersebut daripada Siam. Johor
17 Salleh Buang, Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 10 18 Salleh Buang, Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 10 19 Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam Pendekatan Perbandingan, ( Selangor:
Perpustakaan Negara Malaysia, Cetakan Pertama, 1994 ), h. 63-64 20 Salleh Buang, Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 8-9. 21 Rabiah Muhammad Serji, “Application of Islam and Malay Customs in Torrens Sistem
in malaysia”, Al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol I, 2016, h. 16.
16
adalah negeri terakhir yang berada di bawah pengaruh British, meskipun
begitu, Sultan Johor masih mengekalkan hubungan baik dengan Raja
British. Pada akhirnya, Sistem Torrens dapat diperkenalkan dan
dilaksanakan di Negeri-Negeri Melayu Bersekutu22
B. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Tanah di Negeri Sembilan
Pengaruh British yang berkembang di Negeri Sembilan adalah secara
bertahap dan hal ini dikarenakan minat Inggris yang hanya tertumpu kepada
hasil galian bijih. Sebagai contoh, kemasukan British di Negeri Sembilan adalah
bermula daripada Sungai Ujong yaitu pada 10 Oktober 1874. Dan hal ini
dikarenakan hasil bijih yang terbanyak di negeri Sembilan adalah di Sungai
Ujong. Kemudian pengaruh British meluas ke Jelebu pada tahun 1883, juga
disebakan jumlah bijih yang terdapat di Kawasan itu. Dan selepas daripada itu,
British meluaskan pengaruhnya di Kuala Pilah yaitu suatu wilayah adat yang
mempunyai jumlah bijih yang banyak. Tidak lama selepas itu, British juga telah
menawan Rembau. Dan pada tahun 1889, Rembau dan Kuala Pilah berada di
bawah pemerintahan Inggris dan diperintah oleh seorang Pegawai Tadbir yang
digelar sebagai Residen Negeri Sembilan. Sedangkan Sungai Ujong dan Jelebu
berada di bawah pengaturan yang bebeda. Pada tahun 1891, daerah pengaturan
ini telah disatukan di bawah satu persekutuan yaitu Negeri Sembilan. Negeri
Sembilan ini pula kemudiannya ditadbir oleh seorang Residen British yang
bertanggungjawab ke atas semua urusan kecuali urusan yang terkait agama dan
adat istiadat orang Melayu.23
Suatu sistem birokrasi telah diwujudkan oleh Inggris setelah perjanjian
penyerahan kuasa dibuat. Dan untuk tujuan memudahkan lagi sistem
pengaturan, Pihak Inggris telah memisahkan daerah pengaturan kepada
beberapa mukim yang mana di setiap mukim tersebut, telah diwujudkan jawatan
Penghulu Mukim dan di setiap desa diwujudkan jawatan Kepala Desa. Adapun
22 Salleh Buang, Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 9. 23 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 42.
17
kedua jawatan tersebt adalah dikhaskan buat bumiputra karena dasar yang
dibawa oleh British adalah “Bumiputra sebaiknya ditadbir oleh bumiputra
sendiri.” Adapun tujuan utama pihak Inggris menyusun sistem pengaturan
tersebut adalah untuk mewujudkan suatu pengaturan yang lebih jelas, teratur,
cekap dan berkesan. Bagi pengaturan tanah, Penadbir Inggris telah menyusun
ulang sistem pengaturan tanah dengan mengadakan penyesuaian undang-
undang tanah dari semasa ke semasa. Hal ini bertujuan bagi mewujudkan suatu
undang-undang tanah yang lengkap sekaligus menjaga kepentingan ekonomi
mereka dan melaksanakan tanggungjawab sebagai pelindung pada soal agama
dan adat orang Melayu.24
Sistem pengaturan tanah yang dibentuk oleh British adalah dengan cara
penguasaan penuh terhadap tanah melalui ketentuan dalam perjanjian yang
dibuat bersama pembesar-pembesar tempatan. Dengan itu, semua undang-
undang tanah yang dimaksudkan untuk pengaturan tanah di Kuala Pilah adalah
undang-undang yang dibentuk oleh pegawai Tadbir British yang telah
berkhidmat di daerah tersebut. Disebabkan itu, semua undang-undang yang
terkait dengan pengaturan tanah adalah sentiasa berubah. Perubahan ini
dilakukan bertujuan untuk menjaga kepentingan ekonomi British berserta
melindungi hak orang Melayu di dalam hal terkait agama dan adat istiadat
orang Melayu. Frank Swettenham ketika menjadi Resident-General pernah
mengeluarkan surat yang memerintahkan kepada pegawai tadbir yang
menyelaraskan undang-undang tanah supaya tidak mencampuri soal pengaturan
tanah mengikut adat tempatan.25
Ketika melaksanakan sesuatu perubahan, pegawai tadbir Inggris
diarahkan untuk berhati-hati agar tidak bertentangan dengan agama dan adat
istiadat orang Melayu.26 Segala aspek yang terkait dengan agama dan adat orang
24 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 43-44. 25 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 44-45. 26 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 6.
18
Melayu hendaklah diberi perhatian. Sebagai contoh, bagi tanah kepunyaan
masyarakat bukan Adat Perpatih, pewarisan dilakukan dengan dua cara yaitu
berdasarkan hukum faraidl atau adat masyarakat tersebut. Sehingga tahun 1909,
pembagian dan pewarisan terhadap tanah adat dan tanah bukan pusaka adat
adalah mengikut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Adat Perpatih. Setelah
dari tahun itu, pengaturan tanah yang telah dicatatkan Customary Land pada
sertifikat tanahnya, hendaklah mengikuti peraturan adat.27 Antara kepentingan
status sebuah tanah dicatatkan sebagai Customary Land adalah bagi
mengelakkan perpindahan tanah adat suatu suku kepada suatu suku lainnya.28
Menurut E.N Taylor, adalah menjadi dasar British di dalam sistem
pengaturan yang mereka perkenalkan untuk mengekalkan segala sistem
pewarisan dan pembagian tanah sesuatu masyarakat itu. Hal ini dilakukan
berdasarkan prinsip Undang-Undang Am atau The General Principle of Law
yang mengatakan bahwa harta seseorang itu hendaklah ditentukan pembagian
beserta pewarisannya mengikut adat dan agama yang dianuti oleh individu yang
berkaitan. Hal ini bersesuaian dengan adagium The Law Follows the Person.29
C. Revolusi Enakmen Pemegangan Tanah Adat Bab 215 di Negeri Sembilan
Undang-undang dan bentuk pengaturan tanah bagi Negeri Sembilan
adalah merupakan sambungan dari kanun-kanun tanah dan bentuk pengaturan
tanah yang telah diamalkan di Negeri-negeri selat dan di negeri-negeri Melayu
lain. Perkembangan pengaturan tanah adat Negeri Sembilan adalah terkait
rapat dengan pengaturan undang-undang di Negeri-Negeri Selat (Pulau Pinang,
Melaka dan Singapura), Selangor dan Perak yang mana adalah hasil usaha
Maxwell, seorang pegawai Britsh. Maxwell telah melakukan penyusunan
semula undang-undang tanah yang terdapat di Negeri-Negeri Selat, Selangor
27 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 45. 28 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 6 29 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 46.
19
dan Perak yang dibuat oleh pegawai British di negeri tersebut. Penyusunan
semula ini adalah disebabkan ketidaksesuaian di samping mempunyai
kelemahan di dalam pelaksanaannya.30
Pada tahun 1881, Maxwell telah dihantar ke Australia, Ceylon, dan
Burma oleh Pejabat Tanah Jajahan untuk melakukan lawatan sambil belajar ke
pejabat tanah di sana. Setelah kembali dari sana, Maxwel telah melakukan
penyusunan semula ke atas sistem pengaturan tanah di Negeri-Negeri Selat dan
telah menambah beberapa pembaruan. Adapun pembaruan yang dilakukan
adalah meliputi sistem permohonan untuk memperoleh hak milik, status
pemegangan hak milik, pengiktirafan hak milik orang Melayu, Pembagian
Kawasan pengaturan kepada mukim dan lain-lain lagi.31 Maxwell telah
menyarankan supaya pendaftaran hak milik dilaksanakan mengikut sistem
torrens yaitu suatu sistem di mana hak kepemilikan tanah yang dimiliki oleh
seseorang yang tidak dapat diganggu gugat akan hak kepemilikannya.32
Matlamat sistem ini adalah untuk memudahkan urusan yang terkait dengan
tanah dan untuk menjamin hak kepemilikan tanah seseorang yang telah
didaftarkan namanya. Dan setiap pendaftaran tanah yang dilakukan mengikut
sistem ini akan dikeluarkan suatu dokumen hak milik yang diperakui sah dan
dilindung oleh undang-undang.33
Maxwell kemudiannya telah dilantik sebagai Residen Selangor pada
tahun 1889 dan dua tahun setelah pelantikannya, Maxwell telah
memperkenalkan suatu kanun tanah baru yang telah diluluskan oleh Majlis
Negri Selangor. Perkembangan tanah yang berlaku di Negeri-Negri Selat dan
Selangor telah memengaruhi perkembangan pengaturan tanah di Negeri
Sembilan. Sistem pendaftaran tanah yang diperkenalkan adalah mengikut
30 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 46-47 31 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 46-47 32 Salleh Buang , Malaysian Torrens Sistem, ( Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia,
2001), h. 1 33Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 47-48.
20
Sistem Torrens yang telah diperkenalkan oleh Maxwell di Negeri-Negeri Selat.
Ide pembuatan undang-undang Customary Tenure Enactment yang dibuat
adalah berdasarkan pada ketetapan yang terdapat pada Part III dalam Selangor
Land Code 1891. Sedangkan ide pembuatan undang-undang bagi Customary
Land adalah berdasarkan pada ketetapan yang terdapat pada Customary Land
di Melaka. Objektik undang-undang bagi Customary Land di Melaka dan
Selangor adalah untuk menyelamatkan tanah kepunyaan orang Melayu dan
sekaligus beberapa aspek sistem pengaturan tradisional. Hal ini adalah sama
dengan objektif pembuatan Customary Tenure Enactment yaitu untuk
mengekalkan hak kepemilikan tanah adat kepada orang Melayu sekaligus
mengekalkan beberapa aspek sistem pengaturan adat di dalam undang-undang
modern.34
Undang-undang tanah yang pertama digunakan untuk administrasi
tanah masyarakat adat ialah Land Regulation 1887 yang dimuat di dalam Order
9 April 1887. Undang-undang yang bersifat sementara ini telah dikeluarkan
oleh Pegawai Pentadbir British Sungai Ujung yang digunakan sementara
menunggu undang-undang tanah yang lengkap.35 Menurut undang-undang ini,
tanah dibagikan kepada 4 jenis yaitu tanah pertanian, tanah yang diduduki oleh
warganegara, tanah untuk tapak bangunan di Kawasan bandar, kampung atau
simpanan kerajaan, dan tanah untuk lombong. Peraturan khusus bagi tanah adat
masih belum wujud, oleh karena itu tanah adat berada di bawah peraturan tanah
kelas II yaitu tanah yang diduduki oleh bumiputera.36 Kewajiban pendaftaran
tanah serta pembayaran cukai telah mula dilaksanakan dengan terlaksananya
undang-undang ini.37
34 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 48-49. 35 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 46. 36 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 49 37 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h.7.
21
Pada tahun 1889, suatu undang-undang baru bagi menggantikan Land
Regulation 1887 telah dikeluarkan yang dinamakan General Land Regulation
1889. Undang-undang ini telah ditulis oleh Martin Lister, seorang pengadil dan
pemungut hasil tanah pertama yang berkhidmat di daerah Kuala Pilah. Adapun
perbedaan di dalam kedua undang-undang ini adalah di dalam General Land
Regulation 1889, telah mengiktiraf bahwa semua pemillikan tanah oleh
bumiputra dianggap sebagai pemilikan yang sah menurut adat tempatan. Di
samping itu, administrasi tanah masyarakat adat juga diatur dengan lebih jelas
di dalam General Land Regulation 1889.38
Kemudian, pada tahun 1897, suatu undang-undang baru telah
diluluskan dan dikeluarkan oleh Majelis Negeri Sembilan yang bertujuan untuk
memberi panduan kepada Pemungut Hasil Tanah mengenai kuasa-kuasa yang
ada padanya dalam hal penyelesaian tanah. Undang undang ini diberi nama
sebagai Succession to Land Enactment 1897. Undang-undang ini dikeluarkan
bagi mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada undang-undang yang
terdahulu. Undang-undang ini turut memuat tentang administrasi dan
penyelesaian pusaka si mati sehingga ianya dapat dinamakan sebagai undang-
undang bagi penyelesaian harta pusaka kecil.39
Seterusnya, pada tahun yang sama yaitu 1897, telah dimansuhkan
General Land Regulation 1889 dan diganti dengan undang-undang yang baru
yaitu Land Enactment 1897. Adapun pelaksanaan Land Enactment 1897 ini
adalah untuk menyelaraskan undang-undang tanah di seluruh negeri Sembilan
sekaligus menyeragamkan dengan undang-undang tanah di Provinsi Perak,
Selangor dan Pahang.40
Adapun begitu, Land Enactment 1987 masih dianggap tidak dapat
memenuhi kehendak administrasi tanah adat di Negeri Sembilan. Melihat
kepada keadaan ini, suatu undang-undang khas telah dibentuk bagi mengatasi
38 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 51. 39 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h.7. 40 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 53.
22
masalah tersebut. Maka, pada tahun 1909 telah lahir suatu undang-undang
khusus terkait administrasi tanah adat yang diberi nama Customary Tenure
Enactment 1909. Undang-undang ini adalah merupakan undang-undang
pertama yang digubal khusus untuk administrasi tanah adat. Pemungut hasil
tanah diberi kuasa untuk mencatat perkataan “Customary Land” ke atas surat
tanah dan rekod pendaftaran semua tanah kepunyaan masyarakat adat dengan
syarat tanah tersebut telah didaftarkan di dalam Daftar Mukim dan telah
dikelola mengikut peraturan tanah adat semenjak tanah itu dimiliki. Dan
sekiranya tanah adat tersebut tidak mengikut peraturan tanah adat, status
“Customary Land” suatu tanah bisa dihapus oleh Pemungut Hasil Tanah
tersebut.41
Di dalam pelaksanaan Customary Tenure Enactment 1909, masih tidak
dapat memenuhi tujuan pembuatan undang-undang tersebut secara optimal
berikutan kelemahan daripada pihak administrasi sendiri. Justru, pada tahun
1913 telah dikeluarkan suatu undang-undang baru bagi menggantikan
Customary Tenure Enactment 1909 yang diberi nama The Malay Reservation
Enactment. Adapun pembentukan undang-undang ini bertujuan untuk
melindungi semua tanah milik Melayu dalam provinsi jajahan British serta
memberi kuasa kepada Residen untuk meletakkan status mana-mana tanah
sebagai tanah negeri atau “state land” di mana tanah tersebut akan menjadi
sebagai sebuah tanah simpanan Melayu.42 Kesemua tanah yang dicatakan
dengan Customary Land telah diktiraf sebagai tanah simpanan Melayu.43
Kemudian, pada tahun 1926, sebuah undang-undang baru telah
diluluskan dan dikeluarkan oleh “Majlis Negeri Sembilan” yang bertujuan
untuk mengatasi kelemahan Customary Tenure Enactment 1909. Undang-
undang baru tersebut diberi nama sebagai Customary Tenure Enactment 1926.
41 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h.7-8. 42 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 61. 43 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 6
23
Undang-undang baru ini memuat perkara terkait pengekalan konsep hakmilik
terhad, tatacara pemindahan hak milik, pewarisan dan pembagian adat. Dapat
dikatakan bahwa undang-undang baru tersebut dapat memenuhi kehendak
hukum adat yang yang disesuaikan ke dalam administrasi moderen.44
Pada tahun 1930, telah dilakukan sebuah perubahan pertama yang
disebut sebagai Negeri Sembilan Enactment No. 1 of 1930. Perubahan ini
dilakukan bagi mengatasi masalah yang terdapat di dalam Customary Tenure
Enactment 1926.45 Berdasarkan perubahan ini, peraturan adat perpatih
mengenai waris menjadi bagian lengkap dari undang-undang tanah Negeri.
Undang-Undang tersebut juga telah memberi kuasa kepada pegawai Kerajaan
di Pejabat Daerah tempatan dalam peranannya sebagai Collector of Land
Revenue dan harus menjaga di dalam hal pemindahan atau penjualan tanah adat
adalah mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut undang-undang ini, jenis harta dibagi kepada dua, pertama adalah
tanah pusaka adat yang diistilahkan sebagai Customary land. Harta yang kedua
adalah Harta carian yang diistilahkan sebagai Acquired Property. Adapun
terhadap kedua-dua jenis harta ini harus didaftarkan di Pejabat Tanah Daerah
dan terhadap kedua jenis harta ini berlaku Adat Perpatih.46
Berdasarkan pindaaan 1930 tersebut juga, catatan ‘customary land’
bagi tanah-tanah yang terdaftar dalam administrasi boleh dibuat dalam dua
jalan, yang pertama adalah dengan bukti bahwa tanah itu dimiliki melalui
peraturan adat dan nama pemiliknya adalah anggota adat yang perempuan.
Kedua, di dalam kasus di mana tanah yang diperoleh dengan cara pemberian
oleh kerajaan kepada seorang perempuan pada mana-mana suku, sertifikat
tanah tersebut boleh dicatatkan dengan perkataan ‘customary land’ dengan
persetujuan oleh pemilik tanah tersebut kepada Pemungut hasil tanah untuk
44 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h. 8 45 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 69. 46 Abdullah Siddik, Pengantar Undang-Undang Adat di Malaysia, ( Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 1975 ) h. 148
24
berbuat sedemikian.47 Hal ini disebut di dalam Customary Tenure Enactment
1926 yang berbunyi:
“No customary land or any interest therein shall be transferred or leased to
any person other than a female member of one of the tribes included in
schedule B”
“No customary land or any interest therein shall be transferred, charged or
leased except with the assent of the Lembaga of the tribe of the registered
owner thereby and unless such notice in writing or otherwise of the intention
to transfer, charge or lease as the collector may deem sufficient shall have
been published for a period of not less than one month immediately
proceeding the execution of such transfer or charge or lease.”
Perubahan kedua telah dibuat pada tahun 1932 yaitu pada Pasal 2
dan Pasal 15 di dalam undang-undang tersebut dan pada tahun 1935, telah
dilakukan perubahan ketiga terhadap Pasal 5.48
Bagi mewujudkan suatu undang-undang tanah yang lengkap, Kanun
Tanah dan Customary Tenure Enactment telah dikaji semula sehingga lahirnya
Land Code 1936 Cap 138 dan Customary Tenure Enactment Cap 215. Semua
peruntukan di dalam Customary Tenure Enactment 1926 bersama perubahan
1930, 1932 dan 1934 dikekalkan ke dalam suatu statut yang dikenali sebagai
Customary Tenure Enactment Chapter 215 of The Revised Laws of the FMS
1936. Undang-undang ini diberlakukan ke atas administrasi tanah. Dan pada
Ogos 1949, Customary Tenure Enactment Cap 215 terpaksa diamendemen
susulan Pembentukan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1948. Dalam
bentuk politik yang baru institusi perundangan juga terpaksa diubahsuai,
Sebagai contoh, Majlis perundangan Persekutuan bertanggungjawab ke atas
pentadbiran di peringkat Persekutuan dan Majlis Perundangan Negeri
bertanggungjawab ke atas membentuk dan merancang undang-undang terkait
dengan provinsi. Oleh karena penadbiran tanah masyarakat adat merupakan
47 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 69. 48 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h. 8
25
penadbiran di peringkat provinsi, maka Majlis Perundangan Persekutuan telah
membentuk Customary Tenure (State of Negeri Sembilan) Ordinance.49
Customary Tenure (State of Negeri Sembilan) Ordinance ini telah
diluluskan pada 21 Ogos 1952. Akan tetapi, Ordinan ini tidak membawa
sebarang perubahan terhadap Customary Tenure Enactment Cap 215. Ordinan
ini merupakan suatu pengagihan kuasa undang-undang dari Majlis
Perundangan Persekutuan kepada Majlis Negeri Sembilan berhubung dengan
undang-undang pentadbiran tanah adat di Negeri Sembilan. Di dalam praktek
Customary Tenure (State of Negeri Sembilan) Ordinance, terdapat banyak
masalah yang timbul terutama di dalam penyelesaian harta pusaka masyarakat
adat. Oleh yang demikian, suatu undang-undang baru telah dikeluarkan pada
tahun 1955. Undang-undang yang bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut
diberi nama Small Estates (Distribution) Ordinance No. 34 of 1955. Undang-
undang ini merupakan undang-undang yang terakhir dibentuk oleh pegawai
Ingris dan kekal sehingga kini.50
Dalam perubahan pentadbiran tanah adat di bawah pentadbiran
British, undang-undang yang digubal untuk pentadbiran tanah adat akan
sentiasa mengalami kekurangan dan hal ini dikarenakan kurangnya orang
Melayu dalam membentuk undang-undang yang terkait dengan pentadbiran
tanah adat tersebut.51
Perlembagaan Persekutuan melalui Perkara 90 telah mengiktiraf
kedudukan Tanah Adat. Adapun Perkara 90 tersebut telah menggariskan
peruntukan khusus berkenaan pengiktirafan terhadap Perundangan Tanah Adat
yang mengatasi peruntukan perundangan yang lain terutamanya yang terkait
49 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 71. 50 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h. 9 51 Nadzan Harun, Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960, ( Negeri Sembilan:
Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan, 1997 ) h. 77.
26
urusan tanah. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 1 Perkara 90 Perlembagaan
Persekutuan yang berbunyi:52
Tiada apa-apa jua dalam Perlembagaan ini boleh menyentuh
kesalahan apa-apa sekatan yang dikenakan oleh undang-undang ke atas
pemindahan hak milik atau pemajakan tanah adat di Negeri Sembilan atau
Negeri Melaka, atau pemindahan hak milik atau pemajakan apa-apa
kepentingan mengenai tanah itu.
Pengiktirafan ini juga disebutkan di dalam Undang-Undang Tubuh
Kerajaan Negeri Sembilan 1959 (Constitution of the State of Negeri Sembilan)
di dalam pasal 16 yang menyebutkan tentang tugas dan peran Dewan Keadilan
dan Undang sebagai sumber rujukan dan juga berperan di dalam memberi
nasihat kepada Menteri Besar terkait adat di Negeri Sembilan. Sedang di dalam
Pasal 32 menyebutkan tentang penggunaan adat dan kebiasaan penggunaan
adat tersebut adalah dibenarkan selagi mana ianya tidak bertentangan dengan
peruntukan Perlembagaan Negeri. Selain itu, Kanun Tanah Negara 1965
(National Land Code 1965) telah memperuntukkan kedudukan undang-undang
Tanah Adat sebagai suatu perundangan yang berlaku secara adat dan Kanun
tanah Negara tidak boleh menyentuh peruntukan terhadap tanah adat tersebut.
Hal ini dinyatakan di dalam Seksyen 4. Berdasarkan peruntukan di atas, dapat
kita katakan bahwa pengamalan Adat Perpatih di Negeri Sembilan dipelihara
dan dibenarkan di dalam mengamalkannya sesuai dengan peruntukan yang
diberikan di dalam Perlembagaan Persekutuan dan Perlembagaan Negeri.53
Dan sehingga kini, keluasan tanah adat yang telah didaftarkan adalah
sebanyak 34,550.07 ekar tanah..54
52 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 6. 53 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 6-7 54 Siti Selihah Che Hassan dkk., “Level of Understanding Among Community Towards
The Concept of Customary Land and Its Law: Study in Negeri Sembilan”, Malaysian Journal of
Syariah and Law, Vol. V, 2017, h. 2.
27
BAB III
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERWARISAN
PEREMPUAN DI DALAM TANAH ADAT MENURUT
ENAKMEN PEMEGANGAN ADAT BAB 215
A. Hukum Waris dalam Islam
1. Pengertian
Faraidh merupakan segala sesuatu masalah yang terkait dengan
pembagian harta. Menurut bahasa, lafaz faraidh dimbil dari kata arab الفرض
atau kewajiban yang terkandung makna secara etimologis dan terminologis.
Adapun faraidh secara etimologis mempunyai beberapa arti, di antaranya
adalah:1
a. التقدير (at-taqdir) yang membawa arti suatu ketentuan. Hal ini
bertepatan dengan surah al-baqarah ayat 237 yang berarti “…karena
itu, bayarlah separuh dari jumlah yang telah kau tentukan itu…”
b. اإلنزال (al-inzal) yang membawa maksud menurunkan sebagaimana di
dalam surah (al-Qashash) di dalam ayat 85 yang berarti
“Sesunggguhnya, Yang mewajibkan atasmu untuk melaksanakan
hukum-hukum Al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke
tempat kembali…””
c. التبني (at-tabyin) yaitu penjelasan yang mana sesuai dengan firman
Allah swt., di dalam surah at-Tahrim ayat 2 yang bermaksud:
1 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 11.
28
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian
membebaskan diri dari sumpahanmu…”
d. اإلحالل (al-ihlal) yaitu menghalalkan. Hal ini dapat dilihat dalam surah
Al-Ahzab ayat 38 yang bermaksud, “Tidak ada suatu keberatan pun atas
Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”
e. العطاء (al-Atha’) atau pemberian seperti di dalam pepatah arab yang
bermaksud “Aku tidak mendapatkan pemberian ataupun pinjaman
darinya.
Dan kesemua perkataan di atas dapat digunakan untuuk
menggambarkan tentang faraidh karena ilmu faraidh itu sendiri meliputi
beberapa bagian kepemilikan yang telah ditetapkan secara pasti dan tetap.2
Adapun pengertiannnya secaara terminologis bisa dibagikan kepada
beberapa yaitu:3
a. Penetapan kadar warisan terhadap ahli waris yang didasarkan kepada
ketentuan syara’ yang tidak bertambah kecuali dengan radd atau
mengembalikan sisa lebih kepada para penerima warisan. Juga tidak
berkurang melainkan dengan ‘aul atau pembagian harta waris di mana
jumlah para ahli waris adalah lebih besar daripada asal masalahnya,
sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu.
b. Suatu ilmu yang mengatur kita tentang cara pembagian warisan
(tirkah), tata cara menghitung terkait dengan pembagian harta waris
tersebut beserta dengan bagian yang wajib dari harta peninggalan
tersebut terhadap setiap pemilik hak waris.
c. Dikenali juga dengan fiqh al-mawarits yaitu tata cara menghitung harta
waris yang telah ditinggalkan.
2 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 11-12. 3 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 12.
29
d. Suatu kaidah fikih yang mengajar kita tentang cara menghitung untuk
mengetahui bagian yang diperoleh oleh setiap ahli waris daripada harta
peninggalan si mati. Termasuk di dalam pengertian ini adalah batasan
dan kaidah yang terkait rapat dengan keadaan ahli waris seperti ash-
habul furudh (ahli waris wajib), ashabah atau ahli waris yang menerima
sisa peninggalan dari ahli waris wajib, dzawi al-arham yaitu ahli waris
yang tidak termasuk di dalam ash-habul furudh dan tidak juga termasuk
di dalam ashabah, juga membahas tentang perkara yang terkait rapat
dengan cara menyelesaikan pembagian harta waris yang berupa hijab,
aul, radd dan mereka yang terhalang daripada menerima warisan.
e. Sebuah ilmu yang mengajar kita tentang ahli waris yang dapat mewarisi
dan yang tidak dapat mewarisi beserta bagian ahli waris yang dapat
mewarisi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ilmu faraidh mencakupi tiga elemen penting yaitu:
a. Pengetahuan tentang kerabat yang bisa menjadi ahli waris.
b. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris.
c. Pengetahuan tentang cara menghitung pembagian harta waris.4
2. Dasar Hukum Waris
Dasar hukum waris dapat dilihat di dalam surah al-Quran seperti di bawah:5
a. Surat An-Nisa ayat 7
والق ربون وللن ساء نصيب ما ت رك الوالدان للر جال نصيب ما ت رك الوالدان
ق ربون ما قل منه أو كث ر نصيبا مفروضاوال
4 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 11-13 5 Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan Perbandingan 4 Madzhab,
(Kediri: Santri Salaf Press, 2016), h. 19-21.
30
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan”
b. Surat An-Nisa ayat 8
م ق ول وإذا حضر القسمة أولو القرب والي تامى والمساكني فارزقوهم منه وقولوا ل
معروفا
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik.”
c. Surat An-Nisa ayat 9
لل ولي قولوا ق ول ا من خلفهم ذر ية ضعافا خافوا عليهم ف لي ت قوا اوليخش الذين لو ت ركو
سديدا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar”.
d. Surat An-Nisa ayat 10
ا يكلون ف بطونم نرا وسيصلون سعرياإن الذين يكلون أموال الي تامى ظلما إن
31
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). “
e. Surat An-Nisa ayat 11
ف أولدكم للذكر مثل حظ الن ث يني فإن ك ي ن نساء ف وق اث ن تني ف لهن وصيكم الل
هما السدس ما ث لثا ما ت رك وإن كانت واحدة ف لها الن صف ولب ويه لكل واحد من
م ه الث لث فإن كان له إخوة رك إن كان له ولد فإن ل يكن له ولد وورثه أب واه فل ت
ة يوصي با أو دين آبؤكم وأب ناؤكم ل تدرون أي هم فلم ه السدس من ب عد وصي
ا أق رب لكم ن فعا فريضة من الل إن الل كان عليما حكيم
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusak untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
32
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “
f. Surat An-Nisa ayat 12
د ف لكم الربع ما ولكم نصف ما ت رك أزواجكم إن ل يكن لن ولد فإن كان لن ول
د ة يوصني با أو دين ولن الربع ما ت ركتم إن ل يكن لكم ول ت ركن من ب عد وصي
ون با أو دين وإن كان فإن كان لكم ولد ف لهن الثمن ما ت ركتم من ب عد وصية توص
هما السدس فإن كانوا رجل يورث كاللة أو امرأة وله أخ أو أخت فلكل واحد من
لك ف هم شركاء ف الث لث من ب عد وصية يوصى با أو دي ن غري مضار أكث ر من ذ
عليم حليم وصية من الل والل
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
33
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
g. Surat An-Nisa ayat 13
ين لك حدود الل ومن يطع الل ورسوله يدخله جنات تري من تتها النار خالد
لك الفوز العظيم فيها وذ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. “
h. Surat An-Nisa ayat 14
ي عص الل ورسوله وي ت عد حدوده يدخله نرا خالدا فيها وله عذاب مهني ومن
“Dan barangsiapa yang mndurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
“
i. Surat An-Nisa ayat 176
ي فتيكم ف الكاللة إن امرؤ هلك ليس له و لد وله أخت ف لها يست فتونك قل الل
ث لثان ما ت رك لا ولد فإن كان تا اث ن تني ف لهما ال نصف ما ت رك وهو يرث ها إن ل يكن
34
وإن كانوا إخوة رجال ونساء فللذكر مثل حظ الن ث يني ي بني لكم أن تضلوا والل الل
بكل شيء عليم
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
3. Rukun Waris
a. Al Muwarrits (Orang yang meninggal dunia)
Yaitu orang yang meninggal dunia secara hakiki, hukmiy maupun
taqdiriy.6 Atau orang yang meninggalkan hartanya yang berhak
dipusakai kepada orang lain.7
b. Al-Warits (Ahli waris)
Yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan.8 Atau orang
yang ada hubungan darah dengan orang yang telah meninggal,
6 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 28. 7 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 42. 8 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 28.
35
dengan sesuatu sebab menerima pusaka seperti kekerabatan dan
perkawinan.9
c. Al-Mauruts
Al-Mauruts adalah harta yang menjadi pusaka atau harta yang
dipusakai dari orang meninggal. Harta ini juga dikenali sebagai
mirats, irts, tuurats dan tirkah.10 Adapun yang termasuk di dalam
kategori harta warisan adalah harta atau hak-hak yang mungkin
diwariskan seperti hak qishash atau hak perdata, hak menahan
barang yang belum dilunasi pembayarannya dan hak menahan
barang gadaian.11 Al Mauruts yang dimaksudkan adalah harta
peninggalan setelah dikurangi biaya perubatan, utang dan wasiat.12
Adapun jika kesemua rukun tersebut tidak terpenuhi, atau salah satu
daripada tiga rukun tersebut tidak ada, maka waris mewarisi tidak dapat
dilakukan.13
4. Syarat Waris
a. Matinya orang yang mewarisi.
Adapun syaratnya adalah orang tersebut sudah meninggal
baik secara hakiki, hukmiy ataupun mati taqdiry. Mati hakiki adalah
sebuah kematian yang disaksikan akan kematiannya itu atau sebuah
kematian yang dapat dibuktikan oleh dua orang saksi yang adil.
9 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 42. 10 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 56 11 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 28. 12 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,
Cetakan Kedua, 2006), h. 19. 13 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 28.
36
Adapun mati hukmiy adalah sebuah kematian yang
diputuskan oleh hakim. Sebagai contoh, seorang hakim yang
memvonis kematian seseorang disebabkan dirinya mafqud atau tidak
diketahui kabar beritanya, tidak diketahui hidup atau matinya, aatau
tidak dikenal domisilinya. Dan status orang tersebut setelah melewati
batas waktu yang telah ditentukan untuk pencariannya, maka akan
dikategorikan sebagai orang yang telah mati.
Mati taqdiry pula adalah kematian yang didasarkan oleh dugaan
yang sangat kuat. Dan orang yang meninggal tersebut meninggalkan
harta atau hak.14
b. Ahli waris yang hidup.
Adapun syaratnya adalah ahli waris tersebut hendaklah masih
hidup baik secara hakiki ataupun secara hukmiy setelah kematian si
pewaris meskipun hanya sebentar, secara otomatis mereka berhak
menjadi ahli waris.15 Akan tetapi di dalam kasus tertentu, hak
mewarisi tersebut gugur.16
Adapun cara pembuktian hidup atau tidaknya ahli waris setelah
kematian si pewaris adalah dilakukan dengan cara pengujian atau
kesaksian oleh dua orang saksi yang adil. Contoh ahli waris yang
hidup secara hukmiy adalah anak yang berada di dalam kandungan
si ibu, ia dapat mewarisi dari si pewaris jika keberadaannya benar-
benar terbukti di saat kematian si pewaris kendati ruh belum
ditiupkan ke dalam janin tersebut dengan syarat bahwa bayi tersebut
benar-benar hidup ketika lahirnya nanti.17
14 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 29-30. 15 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,
Cetakan Kedua, 2006), h. 5. 16 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 28. 17 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 30.
37
c. Mengetahui sebab yang mengikat ahli waris dengan si pewaris.
Adapun sebab mewarisi adalah garis kekerabatan, perkawinan
dan perwalian. Ahli waris harus mengetahui bahwa dirinya termasuk
di dalam garis kerabat nasab (kerabat yang memperoleh sisa dari ash-
habul furudh atau mendapat seluruh peninggalan bila tidak ada ash-
habul furudh), perkawinan, atau dari garis kerabat nasab dan
perkawinan, atau dari garis wala’. Hal ini karena setiap garis
keturunan akan memiliki hukum yang berbeza.18
5. Sebab-Sebab Mewarisi
a. Kekerabatan
Kekerabatan merupakan hubungan nasab antara orang yang
mewariskan dengan orang yang mewarisi yang terjadi disebabkan
oleh kelahiran. Dan ahli waris yang dapat mewarisi disebabkan oleh
kekerabatan terbagi kepada tiga:
1) Golongan ushul (leluhur) dari si pewaris yang terdiri daripada:
a) Ayah, kakek dan jalur ke atasnya.
b) Ibu, nenek dan jalur ke atasnya.
2) Golongan furu’ (keturunan) dari si pewaris yang terdiri daripada:
a) Anak laki-laki, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.
b) Anak perempuan, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.
3) Golongan hawasyi atau keluarga pewaris dari jalur horizontal.
a) Saudara laki-laki dan perempuan secara mutlak baik
saudara kandung maupun seayah atau seibu.
b) Anak- anak saudara kandung atau seayah.
18 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 30 - 31.
38
c) Paman sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman
yang sekandung.19
Dan pengelompokan ahli waris di atas, apabila ditinjau dari
segi bagian yang bakal diperolehi terbagi kepada 3 bagian yaitu:
d) Ashhabul furudl, wanita yang menerima bagian tertentu
daripada harta peninggalan si mati.
e) Ashabah, adalah waris-waris yang tidak mempunyai
bagian tertentu tetapi mengambil sisa tirkah sesudah
diberikan bagian Ashhabul furudl. Suami istri dinamakan
ashhabul furudl assabiyah sedang ashhabul furudl ini
dinamakan ashhabul furudl annasabiyyah.
f) Dzawul arham yaitu ahli waris yang tidak masuk
kedalam golongan ashhabul furudl dan ashabah.20
Terkadang, faktor nasab menjadi sebab seseorang memperoleh
harta peninggalan dari dua jalur seperti anak laki-laki mewarisi
bersama ayahnya, saudara laki-laki mewarisi bersama saudara laki-
lakinya. Faktor nasab juga dapat menjadi sebab seseorang mewarisi
harta peninggalan dari satu jalur seperti anak laki-laki saudara laki-
laki sekandung atau seayah mewarisi bersama saudara perempuan
ayah.21
b. Hubungan Perkawinan
Ahli waris yang dapat mewarisi disebakan oleh perkawinan
adalah suami yang kematian istrinya atau istri yang kematian
suaminya. Dan perkawinan mereka terikat dengan suatu akad yang
19 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 34 – 35. 20 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 43. 21 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 34 – 35.
39
sah menurut syariat22. Dan mereka berhak mewarisi meskipun belum
berhubungan intim dan khulwah. 23
c. Wala’
Wala’ berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan
budak. Dan wala’ yang dimaksudkan di sini adalah wala’ al-‘ataqah.
Wala’ al-‘ataqah adalah kenikmatan pemilik budak yang
dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui
pencabutan hak mewalikan dan hak mengurusi harta bendanya secara
sempurna maupun tidak sempurna. Maksud kalimat “kenikmatan
pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan
membebaskan budak” adalah masa sebelum seorang budak
dibebaskan.24 Dalam arti lain, dia telah memberikan kesenangan
kepada budak tersebut yang menyebabkan budak itu memperoleh
kemerdekaan dan sifat kemanusiaannya kembali. Maka di dalam hal
ini, Allah telah membalasnya dengan hak untuk mewarisi harta budak
itu sekiranya dia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali.25 Dan
tujuan pembebasan tersebut tidak dilihat apa alasannya mau dia
membebaskannya untuk melaksanakan anjuran syariah ataupun
dilakukan untuk memperoleh imbalan.26
6. Sebab-Sebab Menghalangi Mewarisi
a. Berlainan agama
22 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 36 – 37. 23 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 43. 24 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 40 – 41 25 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 55 26 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 40 – 41.
40
Para ahli fiqh sepakat bahwa berlainan agama antara orang
yang mewarisi dan mewariskan merupakan penghalang daripada
terjadinya perwarisan. Dalam arti kata lain, seorang muslim tidak bisa
jadi waris bagi orang kafir dan begitu juga sebaliknya.27
Perwarisan itu tidak bisa terjadi mekipun kafir tersebut adalah
kafir kitabi. Sebagai contoh, menurut madzhab jumhur ulama, apabila
seorang suami muslim meninggal dan dia mempunyai seorang isteri
kitabiyah, kemudian istrinya memeluk agama islam setelah suaminya
meninggal, dia tetap tidak dapat menerima harta warisan tersebut.
Disebabkan ada halangan (perbedaan agama) di waktu dia berhak
menerima pusaka tersebut. Akan tetapi, hal ini berbeda menurut
golongan Hambaliyah karena menurut mereka, seorang isteri
kitabiyah yang memeluk agama Islam setelah kematian suaminya
yang muslim, berhak menerima pusaka sekiranya harta peninggalan
tersebut masih belum dibagikan lagi mengikut ketentuan syara.28
Adapun menurut mazhab Hanafiyah, harta orang yang murtad
akan diwarisi oleh ahli warisnya. Akan tetapi, menurut imam Abu
Hanifah dan al-Tsauri, harta orang yang murtad hanya bisa diwarisi
oleh ahli waris sekiranya harta tersebut diperoleh sebelum pewaris itu
murtad sedangkan terhadap harta yang diperoleh ketika dirinya
murtad akan menjadi fai’ (sebentuk harta rampasan) dan akan
diserahkan ke baitul maal.29
b. Pembunuhan
Para ulama telah sepakat bahwa pembunuhan merupakan antara
penghalang daripada menerima warisan. Ini bermaksud, seorang
pembunuh tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang
27 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 47. 28 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 58 - 59. 29 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia Group,
Cetakan Kelima, 2015), h. 91 – 92.
41
dibunuhnya. Hal ini berdasarkan kepada Hadis Nabi yang artinya
“Pembunuhan tidak boleh mewarisi”.30
Adapun alasan seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta
orang yang dibunuhnya adalah disebabkan terkadang, seorang
pembunuh memiliki tendensi mempercepat kematian orang yang
akan mewariskan hartanya agar si pembunuh itu segera memiliki
hartanya tersebut. Dan apabila hal ini terjadi, adalah haram bagi si
pembunuh untuk mewarisi harta tersebut atas dasar sadd adz-dzara’i
atau akidah fiqih lain yang mengatakan bahwa sesiapa yang
mempercepat sesuatu sebelum masanya, maka untuk memperoleh
sesuatu tersebut menjadi haram.31 Akan tetapi, yang dibunuh berhak
untuk menerima pusaka daripada pembunuhnya apabila si pembunuh
mati terlebih dahulu daripada orang yang ingin dibunuhnya lantaran
sesuatu sebab. Maka di dalam kasus ini, orang yang dibunuh berhak
menerima pusaka daripada pembunuhnya.32
c. Perbudakan
Perbudakan dianggap sebagai penghalang daripada
terjadinya perbuatan waris mewarisi disebabkan oleh ketika seorang
budak mewarisi harta peninggalan daripada warisnya, niscaya yang
memiliki warisan tersebut adalah tuannya sedangkan budak tersebut
merupakan orang asing.
Dan dia juga tidak dapat mewariskan harta peninggalan
kepada ahli warisnya disebabkan dia dianggap tidak mempunyai
sesuatu. Sekiranya dia memiliki sesuatu, kepemilikannya dianggap
tidak sempurna sehingga kepemilikannya tersebut beralih kepada
tuannya akibat sirnanya kepemilikan yang ada pada budak. Hal ini
30 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia Group,
Cetakan Kelima, 2015), h. 201. 31 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 56 – 57. 32 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 53.
42
disebabkan oleh tuan tersebut lebih berhak memanfaatkannya dan
memperoleh harta budak tersebut di masa hidupnya dan ketika budak
tersebut meninggal dunia.33
d. Tidak tentu kematiannya
Kalau ada dua orang yang berwaris-waris, mati tenggelam,
mati ditimpa tembok atau sebagainya serta tidak diketahui siapa
yang mati dahulu, maka seorang dengan yang lain tidak dijadikan
ahli waris. Hanya harta masing-masing dibagikan kepada ahli waris
masing-masing.34
7. Tertib Para Waris Dalam Menerima Pusaka
a. Ashabul Furudl
Ahli waris ashabul furudl menerima tirkah. Dan golongan
ini adalah golongan yang sudah ditentukan bagiannya di dalam al-
Quran, As-Sunnah atau ijma’ ulama.35 Para ahli fara’id
membedakan ashabul furudl kepada dua yaitu, ashabul furudl
issababiyyah, yaitu mereka yang menjadi ahli waris disebabkan oleh
ikatan perkawinan dengan si pewaris. Yang kedua adalah ashabul
furudl in-nasababiyyah, yaitu mereka yang menjadi ahli waris
disebabkan oleh hubungan darah dengan si pewaris.36
b. Ashabah Nasabiyah
Ashabah nasabiyah adalah setiap kerabat yang berhak ke
atas sisa harta setelah diambil ashabul furudl. Dan golongan ini
berhak menerima seluruh harta peninggalan jikalau dia hanya
33 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, Maret 2004), h. 51 – 52. 34 A. Hassan, Al-Fara’id, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1992), h. 44. 35 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 54. 36 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,
Cetakan Kedua, 2006), h. 52.
43
sendirian seperti anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki,
saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki bapak dan sebagainya.37
c. Radd
Radd atau membagi sisa kepada ashabul furudl menurut
besar kecilnya hak mereka kecuali kepada suami atau istri. Oleh
karena itu, apabila ada kelebihan harta waris dan tidak ada ashabah,
maka harta tersebut akan dibagikan kepada ashabul furudl. Adapun
alasan mengapa suami atau istri tidak berhak menerima radd adalah
disebabkan mereka memperoleh warisan karena perkawinan dan
bukan kekerabatan. 38
d. Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kerabat dari orang yang meninggal
dan tidak termasuk di dalam golongan ashabul furudl atau ashabah.
Contoh dzawul arham adalah saudara laki-laki ibu, saudara
perempuan ibu, saudara perempuan bapak, anak laki-laki dari anak
perempuan dan sebagainya. Dzawul arham hanya menerima harta
waris apabila si mati tidak meninggalkan ashabul furudl atau
ashabah. Adapun memberikan warisan kepada dzawul arham
adalah pendapat daripada golongan Hanabilah, Hanafiyah dan
Malakiyah.39
e. Radd kepada suami Isteri
Hal ini Cuma dilakukan sekiranya si mati tidak
meninggalkan ashabul furudl, ashabah maupun dzawul arham.
Sebagai contoh, apabila seorang suami meninggal dan dirinya hanya
37 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 54. 38 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 54. 39 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 54 .
44
memiliki istrinya sahaja, maka istrinya berhak menerima 1/4 sebagai
furudl dan sisa melalui radd. Dengan demikian, seluruh harta
menjadi miliknya.40
f. Ashabat Sababiyah
Ashabat sababiyah adalah budak yang dimerdekakan sama
ada laki-laki maupun perempuan.
g. Orang yang mendapat wasiat lebih dari sepertiga harta sekalipun
wasiat itu seluruh harta. Dan ini adalah pandangan golongan
Hanabilah dan Hanafiyah.
h. Baitul Mal
Baitul mal hanya menerima apabila si mati tidak
meninggalkan langsung ashabul furudl, ashabah, dzawul arham,
radd suami atau istri, ataupun ashabat sababiyah. Dan adapun
sebab baitul mal mendapat harta warisan adalah untuk menjaga
kemaslahatan kaum Muslimin.41
8. Hak-Hak Yang Harus Didahulukan
Sebelum para waris memperoleh haknya, ada beberapa hal yang harus
didahulukan sebelum memulakan pembagian harta si mati yaitu:
a. Pentajhizan Mayyit
Pentajhizan mayyit yang meninggalkan harta dan pentahjizan
mayyit orang yang wajib dinafkahi oleh mayyit yang meninggalkan
40 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 54 – 55. 41 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 54 – 55.
45
harta tersebut. Dan untuk melakukan semua itu, harta yang diambil
adalah daripada harta yang ditinggalkannya.42
Tajhiz adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh seseorang
yang meninggal dunia sejak dari wafatnya sehingga kepada
menguburkannya seperti belanja untuk memandikannya,
mengkafankannya, mengusungnya dan menguburkannya. Adapun
perbelanjaan yag diikeluarkan untuk melakukan semua ini
hendaklah tidak berlebihan dan tidak juga menyedikitkan.43
b. Membayar Hutang
Seseorang ahli waris harus membayar hutang yang
ditinggalkan oleh si mayyit dan untuk melakukan hal itu, uang
tersebut diambil daripada tirkah sesudah diambil kepeluan tajhiz.44
c. Menunaikan wasiat
Hak untuk menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh yang
meninggal diwaktu dia masih hidup dalam batas yang dibenarkan
syara’ tanpa perlu persetujuan oleh ahli waris. Adapun maksud batas
yang dibenarkan oleh syara’ adalah wasiat yang tidak melebihi 1/3
daripada harta peninggalannya sesudah diambil keperluan tajhiz dan
keperluan untuk membayar hutang.45
9. Bagian-Bagian Yang Telah Ditentukan Dalam Al-Quran
Terdapat 6 bagian yang telah disebutkan di dalam Alquran di mana
keenam-enam bagian tersebut dikelompokkan kepada dua macam yang
dikenali Macam pertama dan Macam kedua. Bagian di dalam macam
pertama adalah 1/2, 1/4, 1/8. Adapun disebut macam pertama adalah karena
42 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 25. 43 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,
Cetakan Kedua, 2006), h. 6. 44 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 27 – 28. 45 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 30 – 31.
46
penyebutnya dapat dimasuki sebagian atas sebagiannya. Adapun macam
kedua adalah 2/3, 1/3, 1/6, dan disebut sebagai macam kedua adalah karena
penyebutnya dapat dimasuki oleh sebagian atas sebagiannya. Adapun
aturan bagian-bagiannya adalah seperti berikut:
a. Yang berhak setengah, 1/2.
Setengah merupakan bagian terhadap lima ahli waris yaitu:
1) Suami
Suami mewarisi 1/2 apabila istrinya tidak meninggalkan
keturunan yang mewarisi seperti anak, anak dari anak laki-laki
istrinya yang meninggal baik anak itu dari hasil perkawinan
dengannya atau dari perkawinannya yang lain.46
2) Anak Perempuan
Dengan syarat dirinya tidak bersama dengan saudara laki-
laki yang berhak mewarisi, yakni anak laki-laki pewaris dan dia
hanya seorang. Dalam arti kata lain, anak perempuan tunggal.47
3) Anak Perempuan dari anak laki-laki.
Dengan syarat dia tidak bersama saudara laki-laki yang
berhak ashabah yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki. Anak
perempuan itu juga hendaklah seorang diri dan tidak ada anak
perempuan sendiri atau anak laki-laki.
4) Saudara perempuan kandung.
Dengan syarat dia tidak bersama saudara laki-laki yang
berhak ashabah yaitu saudara laki-laki sekandung. Anak
perempuan itu juga hendaklah seorang diri dan si mayit tidak
mempunyai keturunan dan ushul laki-laki seperti bapak dan
kakek dan keturunan.
5) Saudara perempuan sebapak.
46 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 69. 47 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia Group,
Cetakan Kelima, 2015), h. 44.
47
Dengan syarat bahwa dirinya tidak bersama saudara laki-
laki yang mendapat ashabah yaitu saudara laki-laki sebapak,
dirinya bersendirian dan tidak ada saudara perempuan
sekandung. Si mayit juga hendaklah tidak meninggalkan ushul
dan keturunan.48
b. Yang berhak seperempat, 1/4.
Merupakan bagian dua orang ahli waris yaitu suami dan istri.
1) Suami mendapat 1/4 apabila istri ada anak atau anaknya anak
(cucu) baik anak itu hasil daripada perkawinan dengannya atau
dengan suami lain.
2) Istri mendapat 1/4 apabila suami tidak meninggalkan anak
atau anaknya anak (cucu) dan kebawah baik anak itu hasil dari
perkawinannya dengan istri itu atau istri yang lain.49
c. Yang berhak seperdelapan, 1/8.
1) Merupakan bagian seorang saja di antara ahli waris yaitu
istri atau beberapa istri. Hal ini berarti seorang istri atau lebih
akan memperoleh 1/8 apabila mayit mempunyai anak atau
cucu.50
d. Yang berhak dua pertiga 2/3.
Dua pertiga merupakan bagian empat orang wanita di antara
ahli waris seperti berikut:
1) Dua anak perempuan sendiri atau lebih akan memperoleh
2/3 apabila mereka tidak bersama dengan saudara laki-lakinya
yang ashabah yakni anak laki-laki si mayit.
2) Dua anak perempuan anak laki-laki atau dua anak
perempuannya anak laki-lakinya anak laki-laki atau lebih akan
memperoleh 2/3 apabila si mayit tidak mempunyai anak sendiri
48 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 71 - 73. 49 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia Group,
Cetakan Kelima, 2015), h. 48. 50 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,
Cetakan Kedua, 2006), h. 54.
48
seperti anak laki-laki dan anak perempuan. Si mayit juga tidak
meninggalkan dua anak perempuan sendiri dan tidak ada
saudara laki-laki yang berhak ashabah seperti anak laki-
lakinya anak laki-laki dalam derajat mereka.
3) Dua saudara perempuan kandung atau lebih akan
memperoleh 2/3 dengan syarat si mati tidak meninggalkan
anak laki-laki atau perempuan dan tidak meninggalkan ushhul
dan keturunan. Si mati juga tidak meninggalkan saudara laki-
laki yang berhak ashabah dan tidak meninggalkan anak
perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki.
4) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih dengan syarat
si mati tidak mempunyai anak atau tidak meninggalkan ushul
atau keturunan. Si mati juga tidak meninggalkan laki-laki yang
berhak ashabah yakni laki-laki sebapak dan tidak
meninggalkan anak perempuan atau anak perempuannya anak
laki-laki dan tidak ada saudara laki-laki kandung atau saudara
perempuan kandung.51
e. Yang berhak sepertiga 1/3.
1/3 adalah bagian dua orang di antara ahli waris yaitu ibu dan
saudara laki-laki atau perempuan seibu, dua orang atau lebih.
1) Ibu akan mewarisi 1/3 mewarisi bersama ayah dan
pewaris tidak meninggalan anak atau saudara-saudara.52
2) Saudara laki-laki atau perempuan seibu, dua orang atau
lebih dengan syarat bahwa si pewaris tidak meninggalkan
ushul dan keturunan dan inilah yang dinamakan sebagai
kalalah. Dan apabila jumlah mereka adalah dua orang atau
lebih baik mereka laki-laki maupun perempuan.53
51 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 76 – 79. 52 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia Group,
Cetakan Kelima, 2015), h. 48 53 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, Cetakan
Pertama, 1995), h. 80 – 81.
49
B. Pandangan Islam Terhadap Amalan Pewarisan Perempuan Terhadap
Tanah Adat (Pusaka Tinggi) Menurut Enakmen Pemegangan Adat Bab
215.
Secara umumnya terdapat 3 golongan ulama yang menilai amalan
pewarisan adat Perpatih ini yaitu golongan yang menolak pandangan tersebut,
golongan yang menerima pandangan pewarisan Adat perpatih ini sebagai
sistem yang tidak bercanggah dengan syarak sebaliknya bertepatan dengan
hukum syarak, manakala golongan yang ketiga pula merupakan golongan yang
tidak memilih kedua-dua pandangan tersebut sebaliknya memilih jalan tengah
dalam mengklasifikasikan isu pewarisan tanah adat tersebut berdasarkan hujah-
hujah yang tertentu.
1. Golongan Yang Menolak Amalan Pewarisan Tanah Adat (Pusaka
Tinggi)
Pusaka Tinggi merupakan suatu harta yang diwarisi secara turun
temurun mengikut susur galur keturunan berdasarkan susur galur
perempuan. Ia merupakan harta yang tidak boleh digadaikan apatah lagi
dijadikan sebagai bahan untuk dijual beli 54. Oleh karena itu, perkara ini
menjadi satu isu di dalam konteks pandangan ulama karena ia tidak
disabitkan menurut hukum fara’idh, malah terdapat golongan ulama yang
menjelaskan bahawa ia sebagai suatu harta yang syubhah. Harta
sepencarian pula merupakan suatu yang sebaliknya karena ia boleh
diwasiatkan55. Antara golongan ulama yang berpegang kepada perkara ini
seperti Syaikh Ahmad Khatib al-Minagkabawi imam dan khatib Masjidil
54 Siddiq Fadhil, “Islamisasi Budaya Pribumi: Meninjau Pengalaman Minangkabau dalam
Fleksibiliti Adat Perpatih Dalam Proses Islamisasi” Seminar Tertutup Pemantapan Nilai Islam
Dalam Sistem Adat Perpatih, Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia,
November 1997) 55 Hamka, Islam & Adat Minangkabau (Selangor: Pustaka Dini Sdn Bhd, 2006), h. 29.
50
Haram Mekah, Syaikh Tahir Jalaluddin di Perak, Malaysia, dan KH Agus
Salim di Indonesia56
Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menjelaskan bahawa
harta yang diperolehi secara adat itu merupakan harta syubhat, malah
sebagai suatu yang perampasan, pencabulan hak anak yatim dengan segala
implikasinya. Pelakunya dianggap fasiq, tidak boleh menjadi saksi nikah
serta nikah yang disaksikannya tidak sah dan perlu diulangi semula. Ia juga
perlu bertaubat. Jika tidak maka ia akan menjadi murtad dan terkeluar
daripada islam serta tidak berhak dimakamkan secara Islam.57
Menurutnya lagi, perempuan mewarisi tanah adat sedangkan laki-
laki hanya mewarisi hak guna merupakan sesuatu yang tidak patut
berdasarkan syarak. Hal ini karena Islam memberikan kelebihan yang besar
kepada laki-laki disebabkan oleh peran beserta tanggungjawab yang
dimiliki oleh laki-laki adalah sangat besar dibandingkan perempuan. Justru,
beliau tidak bersetuju dengan perkara ini. Selain itu, beliau juga
berpendapat bahwa mereka yang mempertahankan adat ini berdosa besar
dan hal ini karena menurut beliau, mereka yang menghabiskan harta anak
yatim piatu adalah tergolong di dalam goolongan yamg fasik.58
Golongan ini menjelaskan bahawa sesuatu yang bercanggah dengan
Al-quran dan hadis merupakan perkara yang tidak boleh diterima dan
sesuatu yang perlu ditolak. Sebarang bentuk atau perkara yang meragukan
atau syubhah adalah ditegah apatah lagi perkara yang jelas bertentangan
dengan dalil-dalil. Justru, menurut golongan ini Adat Perpatih adalah
bercanggah dengan pandangan dan ajaran Islam.
56 Mariam Saidano Tagaranao dkk, “Pewarisan Tanah Adat/Ulayat di Indonesia dan
Malaysia Dalam Adat Perpatih: Sat Tinjauan Syarak”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol.
V, 2017 , h. 7. 57 Mohd Anuar Ramli, dkk, “Perspektif M.B. Hooker Tentang Adat Melayu”, JMS, Vol. 1
Issue 1, 2018, h. 106-136. 58 Nik Rahim Nik Wajis dkk., “Syeikh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi and His Stand
Towards the Issue of Inheritence According to Practice of Adat Minangkabau: A comparative Study
Pertaining to Customary Land Issue in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VII,
Juni 2018, h. 153-154.
51
2. Golongan Yang Memilih Jalan Tengah Amalan Pewarisan Tanah
Adat (Pusaka Tinggi)
Golongan ini merupakan golongan yang tidak menerima kaedah
pewarisan harta menurut Adat Perpatih ini, namun ia terpaksa bersetuju
disebabkan oleh kemaslahatan yang timbul daripada isu pewarisan ini yang
boleh memberikan kemudaratan yang besar terhadap suatu masyarakat.
Sistem fara’idh merupakan suatu sistem yang perlu jelas akan
daripada siapa kepada siapa. Bagi mengaplikasi sistem farai’idh ini
terhadap harta pusaka tinggi bukanlah sesuatu yang mudah. Harta yang
diperturunkan bergenarasi itu sudah tidak dapat dipastikan lagi akan
pemiliknya yang sebenar. Disebabkan oleh hal yang demikian, Prof. Dr.
Hazairin S.H., merupakan seorang ahli bidang hukum Islam, mengambil
keputusan bahawa ia tidak lagi dapat diuruskan dengan kaedah hukum
Islam lagi. Beliau telah menyarankan “Biarlah tetap dikunkung oleh adat.
Pakailah sistem Menangkabau. Jalankanlah”. Beliau akur dengan
ketetapan yang telah dibuat oleh Kongres Bukit Tinggi 1952 yang
menjelaskan akan Harta Pencarian diwariskan mengikut hukum fara’idh,
manakala harta pusaka kekal dipusakai secara adat59.
Prof. Sidiq Faadhil menjelaskan bahawa kaedah pembahagian
pusaka tinggi dalam sistem adat itu mempunyai kejanggalannya yang
tersendiri, namun membawanya kepada sistem fara’idh tidak pula
menjadikannya Islamik, malah mungkin lebih tidak Islamik.
Memfara’idkan harta yang bukan menjadi milik mutlak si mati adalah
suatu perkara yang bertentangan dengan syarak. Oleh disebabkan hal yang
demikian, para ulama berpendirian bersetuju mengekalkan sistem adat
tersebut memang dapat difahami. Namun mereka tetap merasa dituntut
untuk memberikan justifikasi syaraknya. Mungkin dalam rangka inilah
59 Siddiq Fadhil, “Islamisasi Budaya Pribumi: Meninjau Pengalaman Minangkabau dalam
Fleksibiliti Adat Perpatih Dalam Proses Islamisasi”, Seminar Tertutup Pemantapan Nilai Islam
Dalam Sistem Adat Perpatih, Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25
November 1997.
52
terdapat sebilangan mereka bersandar kepada prinsif ‘‘urf sebagai sumber
hukum. Yang dimaksudkan dengan ‘‘urf seperti yang diungkapkan oleh
Hasbi Asy Shiddieqy ialah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal
dan diterima oleh tabiat manusia yang waras.60
Antara kaedah untuk menyelesaikan isu pusaka tinggi ini, terdapat
ramai golongan ulama Minang yang memasukkan pusaka tinggi ke dalam
kategori wakaf. Namun pada masa yang sama juga, mereka sedar akan isu-
isu didalam perkara ini seperti syarat-syarat wakaf iaitu; wakaf dan
pewakafnya, barang yang hendak diwakfkan, dan pihak yang menerima
wakaf. Isu yang perlu dilihat adalah dari sudut barang yang hendak
diwakafkan tersebut yang tidak jelas akan usul atau pemiliknya. Yahya
S.H., seorang ahli hukum, cuba menyelesaikan perkara tersebut dan
menurut pendapatnya, “Harta pusaka tinggi juga dapat diwakafkan atau
dihibahkan asal seluruh ahli waris menyetujuinya”.61
Kesimpulannya, golongan ini tidak dapat menerima secara total
akan kaedah pewarisan tanah adat menurut adat Perpatih tersebut namun
menerimanya bagi mengelakkan akan kemaslahatan yang lebih besar atau
sekiranya seluruh ahli keluarga bersetuju akan kaedah wakaf atau hibah
tersebut. Namun kaedah tersebut juga pada hakikatnya sesuatu yang sulit
untuk dilakukan dan sukar untuk diterima oleh seluruh ahli keluarga
disebabkan oleh perkara-perkara tertentu seperti melihat dari sudut
keadilan terhadap seluruh ahli keluarga, syarak, dan sebagainya lagi.62
60Siddiq Fadhil, “Islamisasi Budaya Pribumi: Meninjau Pengalaman Minangkabau dalam
Fleksibiliti Adat Perpatih Dalam Proses Islamisasi”, Seminar Tertutup Pemantapan Nilai Islam
Dalam Sistem Adat Perpatih, Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25
November 1997. 61Siddiq Fadhil,“Islamisasi Budaya Pribumi: Meninjau Pengalaman Minangkabau dalam
Fleksibiliti Adat Perpatih Dalam Proses Islamisasi”, Seminar Tertutup Pemantapan Nilai Islam
Dalam Sistem Adat Perpatih, Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25
November 1997. 62 Siddiq Fadhil,“Islamisasi Budaya Pribumi: Meninjau Pengalaman Minangkabau dalam
Fleksibiliti Adat Perpatih Dalam Proses Islamisasi”, Seminar Tertutup Pemantapan Nilai Islam
Dalam Sistem Adat Perpatih, Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25
November 1997.
53
3. Golongan Yang Menerima Amalan Pewarisan Tanah Adat (Pusaka
Tinggi)
Menurut Dato’ Mohd Yusof, yaitu seorang Mufti Negeri Sembilan,
beliau berpandangan bahwa amalan pewarisan menurut adat ini adalah
tidak bertentangan dengan maqasid al-syariah dan dibolehkan
pengamalannya selagi ianya tidak bertentangan dengan hukum syarak.63 Di
antara pendapat lain yang membolehkan amalan ini adalah:
a. Dr Syaikh Abdulkarim Amrullah yang berpendapat bahwa harta pusaka
tinggi adalah waqaf. Dan pandangan beliau ini adalah berdasarkan
kepada sirah Umar al-Khatab pada waktu beliau berada di Khaibar di
mana beliau telah menjadikan hartanya sebagai Musabalah di mana
harta tersebut dibolehkan untuk digunakan serta diambil manfaatnya,
akan tetapi dilarang untuk berjual beli. Ini berdasarkan kaidah fiqh al-
‘adah muhakamh, wa al- ‘‘urf qadhin yang bermaksud Adat adalah
diperkukuhkan dan ‘urf adalah berlaku.
b. Mualim Mochamad Sahid yang berpendapat bahwa wakaf keluarga
atau dzurri merupakan suatu cara yang sesuai di dalam menguruskan
tanah adat. Dan hal ini termasuk di dalam bidang pewarisan di mana
pihak wanita sebagai pemegang amanah sahaja.64
c. Makiah Tussaripah dan Jamaliah Mohd Taib di mana menurut mereka,
konsep pewarisan tanah adat menurut Undang-undang Tanah Adat
Perpatih adalah sama dengan waqf khas.65
Selain itu, kebolehan untuk menggunakan adat ini juga telah
diperkuatkan lagi oleh Islam dengan kaidah fiqh seperti al-‘adah
muhakkamah dan penentuan hukum berdasarkan ‘urf sama seperti
63Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of
Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. VI, Disember 2017, h. 173. 64 Nik Rahim Nik Wajis dkk., “Syeikh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi and His Stand
Towards the Issue of Inheritence According to Practice of Adat Minangkabau: A comparative Study
Pertaining to Customary Land Issue in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VII,
Juni 2018, h. 154. 65 Jamaliah Mohd Taib, Kajian Adat Perpatih di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan Menurut
Perspektif Islam, h. 154.
54
penentuan hukum berdasarkan nas atau dikenali sebagai al-ta’yin bi al-
‘‘urf ka al-ta’yin bi al-nas. Kebolehan ini pula disandarkan kepada
beberapa alasan yaitu:
a. Tanah adat merupakan tanah milik suku dan bukan milik pribadi
sehingga ianya tidak boleh dijual atau digadai.
b. Penama yang terdapat dalam Sertifikat hak milik yang diberikan oleh
kantor tanah adalah pemegang amanah kepada tanah adat tersebut.
c. Tanah adat tidak termasuk ke dalam harta yang boleh difaraidhkan
karena tanah adat yang dimiliki oleh pewaris itu bukanlah miliknya
secara mutlak.
d. Jenis-jenis tanah atau harta selain tanah adat yang termasuk di dalam
tanah atau harta bawaan , harta dapatan atau harta carian dapat
dibagikan mengikut faraidh.
e. Pewarisan tanah adat di Negeri Sembilan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam dan kenyataan ini dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Negeri
Sembilan pada tahun 2016. 66
Berdasarkan golongan yang menerima dan menolak amalan
pewarisan adat perpatih ini, maka alasan beserta hujah mereka menolak
dan menerima dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1) Hujah dan alasan golongan yang menolak sistem Tanah Adat Perpatih
ini:
a) Amalan pembagian pusaka tinggi ini adalah bertentangan dengan
syarak sepertimana yang dijelaskan di dalam al-Quran dan Hadis.
Dan ketetapan ini dapat dilihat berdasarkan surah an-Nisa’ ayat 11-
12 yang menjelaskan tentang pembagian faraidh.
b) Pelaksanaan sistem ini membawa kesan negatif dari sudut
ekonomi. Hal ini dapat dilihat apabila perempuan yang mewarisi
tanah tersebut enggan tinggal maupun mengusahakan tanah
66 Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of
Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. VI, Disember 2017, h. 173-174.
55
tersebut. Akibatnya, terdapat banyak tanah pusaka terbiar. Situasi
tanah pusaka terbiar ini juga sering terjadi apabila waris laki-laki
yang enggan mendiami tanah tersebut disebabkan mereka tidak
akan boleh mewarisi tanah tersebut jika terjadinya kematian.
c) Pelaksanaan adat ini mampu untuk melonggarkan hubungan
kekeluargaan di antara pihak keluarga. Ini karena waris laki-laki
akan merasakan bahwa mereka dizalimi karena mereka
digugurkan dari menjadi ahli waris terhadap tanah adat tersebut.67
2) Hujah dan alasan golongan yang menerima sistem Tanah Adat
Perpatih ini:
a) Pelaksanaan adat ini mampu memberikan perlindungan kepada
pihak perempuan sekiranya terjadi perceraian. Mereka berhujah
bahwa sistem ini adalah tidak bertentangan dengan hukum syarak
yang sentiasa meletakkan wanita di kedudukan yang tinggi dan
terhormat. Sebagai contoh, apabila terjadinya perceraian, pihak
wanita sudah mempunyai tempat tinggal dikarenakan rumah yang
dibina oleh pihak laki-laki di tempat kediaman ibu wanita tersebut
menjadi milik perempuan itu.
b) Tanah adat perpatih turut memberikan keadilan kepada pihak laki-
laki karena meskipun laki-laki tidak boleh mewarisi tanah tersebut,
tetapi mereka memperoleh hak guna tanah tersebut di mana mereka
boleh mengusahakan dan mengambil hasil usahanya itu. Selain itu
dalam keadaan tertentu, mereka boleh didaftarkkan sebagai
penghuni sepanjang hayat.
c) Manfaat laki-laki dan istrinya dapat membina rumah di atas tanah
pusaka tersebut
d) Pihak institusi agama Islam berpandangan sistem Tanah Adat ini
tidak bercanggah dengan Islam dan hal ini terbukti karena pihak
67 Mariam Saidano Tagaranao dkk, “Pewarisan Tanah Adat/Ulayat di Indonesia dan Malaysia Dalam
Adat Perpatih: Sat Tinjauan Syarak”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. V, 2017 , h. 9-
10.
56
berkuasa agama Islam dan institusi agama Islam di Negeri
Sembilan telah menyepakati bahwa pembagian pusaka dalam
sistem tanah adat ini tidak bertentangan dengan Islam karena ianya
merupakan tanah yang diwakafkan kepada suku. Manakala
penama tanah itu hanyalah sebagai pemegang amanah kepada
tanah tersebut.
e) Sistem tanah adat adalah sama seperti sistem wakaf dalam Islam.
Menurut Makkiah Tussaripah Jamil dan Jamaliah Mohd Taib,
sistem pewarisan tanah adat ini adalah sama dengan wakaf khas di
dalam islam di mana sistem pewarisan tanah adat dan wakaf khas
tersebut keduanya meletakkan syarat kepemilikan kepada waris
perempuan akan tetapi manfaat daripada harta tersebut adalah
milik bersama.68
Berdasarkan alasan dan hujah di atas, pandangan yang digunakan
terhadap penggunaan adat perpatih ini adalah pandangan golongan yang
menerima pengamalan perwarisan tanah adat ini. Adapun alasan pewarisan
tanah adat menurut Undang-undang Tanah Adat adalah dibolehkan oleh
syara’ dan hal ini adalah karena amalan adat ini bersesuaian dan menepati
ciri-ciri konsep Al’ Adah Al Muhakkamah berdasarkan kepada syarat dan
kriteria tertentu yang telah digariskan oleh para ulama.69
Selain itu, syarak telah menetapkan sebab-sebab untuk mewarisi
adalah hubungan kerabat, perkawinan dan wala’. Akan tetapi, ini adalah
berbeza dengan Adat Perpatih yang beranggapan bahwa tanah pusaka
merupakan milik perempuan sebagai suatu perlindungan kepadanya untuk
mengelakkan kemiskinan dan penderitaan.70 Dan harus diketahui bahwa
68 Mariam Saidano Tagaranao dkk, “Pewarisan Tanah Adat/Ulayat di Indonesia dan
Malaysia Dalam Adat Perpatih: Sat Tinjauan Syarak”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol.
V, 2017 , h. 9-11. 69 Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of
Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. VI, Disember 2017, h. 174-175 70 Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of
Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. VI, Disember 2017, h. 175.
57
tanah adat yang diwarisi oleh pihak perempuan adalah bukan milik mutlak
dirinya melainkan milik kepada suatu suku di dalam masyarakat adat itu
sendiri sehingga perempuan tidak boleh menjual atau memfaraidhkan tanah
tersebut disebabkan tanah tersebut bukanlah milik dirinya secara mutlak.
Dan model pembagiannya adalah tidak sama seperti di dalam syara’di mana
pembagian laki-laki adalah dua dan perempuan adalah satu. Akan tetapi,
model pembagian tanah adat menurut Enakmen Pemegangan Adat Bab 215
yang disesuaikan dengan adat Perpatih di dalam perwarisan tanah adat
adalah perempuan mewarisi tanah adat manakala laki-laki hanya diberikan
hak guna ke atas tanah tersebut sahaja.71
71 Nik Rahim Nik Wajis dkk., “Syeikh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi and His Stand
Towards the Issue of Inheritence According to Practice of Adat Minangkabau: A comparative Study
Pertaining to Customary Land Issue in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VII,
Juni 2018, h. 157.
58
BAB IV
HAK-HAK PEREMPUAN TERHADAP TANAH ADAT
MENURUT ADAT PERPATIH DI DALAM ENAKMEN
PEMEGANGAN ADAT BAB 215 NEGERI SEMBILAN
A. Penjelasan Mengenai Adat Perpatih
Adat Perpatih adalah sebuah adat yang diamalkan di Negeri Sembilan
dan Naning di Melaka. Asas adat ini adalah bersumberkan adat resam dan adat
turun temurun.1Adapun pengertian Adat adalah garis panduan kehidupan yang
merangkumi peraturan, adab dan amalan yang diamalkan oleh suatu kelompok
masyarakat dalam menjalani kehidupan seharian. Sedangkan pengertian
Perpatih pula merujuk kepada Dato’ Perpatih Nan Sebatang, yaitu seorang
pengasas ideologi Adat Perpatih dan pembesar di Tanah Minang. Maka, Secara
garis besar, Adat Perpatih dapat didefinisikan sebagai suatu struktur sosial yang
melibatkan perhubungan dan proses-proses sosial dan ekonomi, politik
berasaskan nasab ibu atau matrilineal sebagai dasar utamanya.2
Adat Perpatih sangat mengutamakan hak perempuan sehingga mereka
diberi kepercayaan untuk menjaga tanah dan harta pusaka. Kaum perempuan
juga menyandang jawatan dalam adat sebagai Ibu Soko serta turut menjadi
rujukan di dalam masyarakat. Selain itu, antara peranan dan tanggungjawab
perempuan menurut adat ini adalah bertanggungjawab meneruskan jurai
keturunan keluarganya, menjadi pendidik kepada keluarganya,
bertanggungjawab sebagai penghuni tanah pusaka dan rumah pusaka,
menyimpan dan menjaga hasil kegiatan ekonomi anggota keluarganya,
1 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia : Satu Tinjauan Awal, h. 4 2 Ahmad Afian Abdul Kadir, Adat Perpatih, (Negeri Sembilan : Lembaga Muzium Negeri
Sembilan,2016, Cet. Pertama), h., 5.
59
mempunyai hak suara yang sama dengan kaum lelaki. Segala sesuatu yang akan
diputuskan dan dilaksanakan harus mendapat persetujuan kaum perempuan.3
Dari sudut pemerintahan atau kepemimpinan, adat ini membagikannya
kepada beberapa hierarki di mana pada setiap peringkatnya mempunyai hak
kuasa dan tugas-tugas tertentu. Adapun sistem hierarkinya terdiri daripada
Undang, Lembaga, Buapak, Perut dan orang ramai.4 Adapun pemilihan ketua
adalah dilakukan dengan persetujuan ketua yang berada di setiap peringkat.5
Harus diketahui bahwa organisasi hidup masyarakat adat ini berteraskan dua
belas kelompok keluarga besar yang dikenali sebagai “Suku” di mana setiap
suku tersebut diketuai oleh seorang pembesar yang dikenali sebagai
“Lembaga”.6 Suku adalah suatu pengelompokan anggota masyarakat yang telah
ada sejak dahulu lagi. Faktor utama keanggotaan suku adalah hubungan
kekeluargaan antar perut-perut yang ada dalam suatu suku tersebut.7 Setiap
suku tersebut kemudiannya terbagi kepada beberapa kelompok yang lebih kecil
yang juga dikenali sebagai “Perut” dan perut tersebut kemudiannya dipecah lagi
kepada kelompok yang lebih kecil yang dikenali sebagai “Ruang”. Perut ini
diketuai oleh seorang “Buapak” manakala ruang itu pula diketuai oleh seorang
“Besar”.8 Setiap anggota perut adalah terdiri daripada keturunan perempuan
yang sama.9 Perut adalah berasal daripada moyang atau keturunan yang sama.10
Dan kelompok yang terkecil pula akan wujud hasil pecahan daripada ruang yang
3 Ahmad Afian Abdul Kadir, Adat Perpatih, (Negeri Sembilan : Lembaga Muzium Negeri
Sembilan,2016, Cet. Pertama), h., 12-13. 4 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia : Satu Tinjauan Awal, h. 4 5 Nazarudin Zainun, Antropologi dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan, (Pulau Pinang :
Pustaka Iman, 2015, Cet. Pertama), h., 27. 6 Rais Yatim, Adat The Legacy of Minangkabau, (Yayasan Warisanegara : Kuala Lumpur,
Cetakan Pertama, 2015), h. 294 7 Habibah Zainudin, Adat Perpatih Pandangan Islam dan Masyarakat Rembau, (Bangi :
Universiti Kebangsaan Malaysia, 1979), h. 27. 8 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan
: Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h. 5 9 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia : Satu Tinjauan Awal, h. 5 10 Mohd Rosli Saludin, Seri Menanti Tanah Beradat Bermula Di Sini, (Kuala Lumpur :
Crescent News, Cetakan Pertama, 2011), h. 8.
60
dikenali sebagai “Rumpun” di mana rumpun tersebut diketuai oleh “Kadim”.11
Sistem hierarki Adat Perpatih ini ada disebutkan di dalam peribahasa yang
berbunyi :
Lembaga berlingkungan
Buapak beranak buah
Anak buah duduk bersuku-suku12
Adapun sistem perkawinan yang diamalkan oleh adat ini adalah sistem
eksogami, yaitu sebuah sistem di mana perkawinan antar sesama suku adalah
dilarang. Hal ini karena perkawinan itu harus dilaksanakan di antara dua suku
yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan keturunan mereka.13
Adapun sanksi bagi mereka yang melanggar aturan perkawinan ini akan
dilarang bagi ahli waris untuk mewarisi tanah pusaka.14
Perlu diketahui di sini bahwa terdapat beberapa alasan dan sebab
mengapa diberlakukannya sistem eksogami di dalam perkawinan menurut Adat
Perpatih yaitu:
1. Untuk menjaga dan mengekalkan perhubungan persaudaraan di dalam
suatu suku. Hal ini seterusnya dapat memperkukuhkan lagi kekuatan
moral masyarakat adat. Sebagai contoh, anggota lelaki daripada suatu
suku akan memandang dan menganggap anggota perempuan daripada
sukunya sebagai seorang ibu, kakak, adik atau anak yang patut
disayangi, dilindungi dan dihormati.
2. Hubungan di antara dua suku yang berbeda akan menjadi lebih erat
apabila berlakunya perkawinan antara dua suku. Di dalam perkawinan,
adanya istilah semenda dan tempat semenda. Dan kepada lelaki yang
akan berkahwin dengan pihak wanita itu digelar sebagai orang
11Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan
: Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h. 5. 12 Mohtar bin Mohd Dom, Adat Perpatih dan Adat Istiadat Masyarakat Malaysia, (Kuala
Lumpur : Federal Publications), h. 5. 13 Ahmad Afian Abdul Kadir, Adat Perpatih, (Negeri Sembilan : Lembaga Muzium Negeri
Sembilan,2016, Cet. Pertama), h., 13. 14 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia : Satu Tinjauan Awal, h. 7
61
semenda. Hal ini karena pihak lelaki tersebut merupakan pihak
mendatang yaitu pihak yang akan tinggal di Kawasan kediaman ibu
istrinya. Adapun pihak istri tersebut dinamakan sebagai tempat
semenda. Maka jelas di sini hubungan di antara dua suku akan menjadi
lebih rapat disebabkan kedudukan orang semenda di dalam suatu suku
terdiri daripada beberapa suku yang lain.
3. Untuk mengelakkan daripada terjadinya perbuatan terlarang di antara
lelaki dan perempuan terutamanya di kalangan anggota suku. Selain
itu, dikarenakan sistem perkawinan yang digunakan adalah sistem
eksogami, maka konsep saudara tidak terbatas kepada saudaranya
sendiri tetapi juga kepada suku-suku abang atau adik atau kakak ipar.15
B. Hak Perempuan Terhadap Tanah Adat Menurut Adat Perpatih di Dalam
Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 Negeri Sembilan
Tanah adat merupakan tanah yang dibawah hak milik Pejabat Tanah yang
distempel perkataan “Tanah Adat” atau Customary Land di dalam sertefikat
kepemilikan tanah dan Buku Daftar Hak Milik tanah tersebut. Perkataan
Customary Land turut dikenali juga dengan pelbagai macam perkataan yang
membawa arti tanah tersebut merupakan tanah adat seperti gelaran Dato’
Lembaga atau Ketua Adat bagi suku yang memiliki tanah, Dato’ Raja Di Muda,
Dato’ Paduka Besar, Dato’ Seri Maharaja, Nama Suku dan Perut kepada
pemilik tanah tersebut. Terdapat juga perkataan Tiga Batu Nesan Tinggi,
Munggal, Biduanda Kebangsa dan lain-lain yang mana semuanya mengacu
kepada tanah tersebut merupakan tanah adat. Akan tetapi, kesemua perkataan
tersebut kecuali Customary Land hanya diguna pakai sebelum wujudnya Kanun
Tanah Negara 1965. Istilah lain bagi tanah adat adalah tanah pusaka. Tanah adat
merupakan harta pusaka yang menjadi milik suatu suku tertentu di mana
15 Fithriah Wardi dkk, “Effects of Matrilineal Sistem in Negeri Sembilan Custom : Syariah
Perspective”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VII, November 2018, h. 85-86.
62
perempuan sebagai pengembang zuriat suku dan juga merupakan pemegang
amanah harta tersebut.16
Menurut adat ini, kaum perempuan diistilahkan sebagai “bunda kandung”
karena mereka yang bertanggungjawab bagi melahirkan para anggota
masyarakat. Kaum perempuan juga yang mengandung dan mengembangkan
zuriat sehinga mereka dianggap sebagai penentu kepada kualitas generasi akan
datang. Selain itu, di dalam aspek kehormatan diri, kaum perempuan dijadikan
sebagai simbol kepada maruah suku dan jika berlaku perkara yang tidak baik,
maka seluruh suku akan menanggung malu. Oleh sebab itu, demi menjaga
maruah suku, kaum perempuan diberi kedudukan ekonomi yang teguh.17
Oleh sebab itu, Adat Perpatih telah membagi harta kepada 4 bagian
yaitu “Harta Pusaka” yang merupakan sebuah harta yang diwariskan kepada
keturunan perempuan, “Harta Dapatan” yaitu harta yang diperoleh perempuan
sebelum perempuan tersebut berkahwin.18 “Harta Pembawa” yang merupakan
harta bawaan suami ke dalam keluarga baru. Antara ciri harta ini adalah harta
ini akan diwariskan kepada anak perempuannya sekiranya dia meninggal dunia.
Dan sekiranya berlaku perceraian, harta ini kekal menjadi hak laki-laki. “Harta
Sepencarian” yaitu harta sesudah berumah tangga yang akan dibagikan secara
sama rata sekiranya berlaku perceraian dan menjadi harta pusaka sekiranya
pasangan suami istri meninggal dunia. Adapun jika wanita yang meninggal
dunia, hartanya akan diwarisi oleh saudara perempuannya.19
Dan ahli waris yang akan mewarisi tanah adat atau tanah pusaka tinggi
menurut adat ini terbagi kepada empat dan ianya berbeda dengan ahli waris menurut
Islam. Adapun perbedaanya adalah karena ahli waris yang akan mewarisi tanah adat
ini adalah terdiri daripada ahli waris perempuan sahaja yaitu:
16Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan
: Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h.2. 17 Nordin Selat, Sistem Sosial Adat Perpatih, (Kuala Lumpur: Utusan Publication &
Distributors Sdn. Bhd, 1995, Cet. Pertama), h., 7. 18Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 9-10. 19 Siti Selihah Che Hassan dkk., “Level of Understanding Among Community Towards
The Concept of Customary Land and Its Law: Study in Negeri Sembilan”, Malaysian Journal of
Syariah and Law, Vol. V, 2017, h. 4 - 5.
63
1. Anak perempuan si mati. Di mana seluruh hartanya akan diwarisi oleh
anak perempuannya tanpa perlu dibagi sekiranya dia hanya
meninggalkan seorang anak perempuan. Akan tetapi, sekiranya si mati
meninggalkan lebih dari seorang, pembagian yang dilakukan adalah
sesuai dengan kesepakatan bersama dan sekiranya tiada kesepakatan di
dalam pembagian tersebut, maka harta tersebut akan dibagi secara sama
rata.
2. Waris ikrab yaitu kakak atau adik perempuan si mati. Waris ikrab akan
memperoleh harta peninggalan si mati sekiranya si mati tidak
meninggalkan anak perempuan.
3. Waris bersanak adalah waris terdekat mengikut susunan yaitu sanak ibu,
atau keluarga dari satu pupu, kemuudian sanak datuk yaitu keluarga dari
dua pupu, sanak nenek yaitu keluarga dari tiga pupu dan sanak moyang
yang terdiri daripada keluarga empat pupu. Adapun waris bersanak
hanya bisa mendapatkan harta peninggalan si mati sekiranya tiada waris
ikrab.20
4. Anak angkat.
Adapun aturan di dalam tanah adat ini telah menetapkan bahwa
hak warisan tanah adat ini diberikan kepada perempuan di dalam suku
tersebut. Akan tetapi, tanah tersebut bukanlah hak milik mutlak individu
melainkan milik suku berkenaan. Perempuan menurut adat ini diberikan
kepercayaan untuk menyatukan ahli keluarga dan menjaga warisan
tanah pusaka tersebut. Hal ini dapat dilihat di dalam perbilangan yang
berbunyi:
Ibu Soko
Tiang seri rumah pusaka
Pusat jala kumpulan tali
Semarak dalam kampong
20 Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of
Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. VI, Disember 2017, h. 166.
64
Hiasan dalam negeri21
Perlu diketahui bahwa adat ini tidak menafikan hak waris laki-laki. Hal
ini karena hak pewarisan tadinya adalah bukan milik mutlak waris perempuan
tersebut. Dan hal ini yang menjadi antara alasan warisan tanah adat diberikan
kepada pihak perempuan. Akan tetapi, pihak laki-laki adalah dibolehkan untuk
mengusahakan tanah tersebut dan menikmati hasil usahanya dari tanah tersebut.
Dalam arti kata lain, laki-laki diberi hak guna ke atas tanah tersebut.22
Di dalam adat ini diakui adanya istilah penghuni sepanjang hayat atau
Life Occupant. Penghuni sepanjang hayat bermaksud seorang waris laki-laki
sama ada dirinya merupakan anak laki-laki ataupun saudara laki-laki seibu
sebapa boleh didaftarkan di dalam surat tanah sebagai penghuni sepanjang hayat
di mana waris wanita difdaftarkan sebagai pemilik tanah adat tersebut.23 Hal ini
dijelaskan di dalam suatu perbilangan yang berbunyi:
Terbit pusaka kepada saka,
Si laki-laki menyandang pusaka
Si perempuan yang punya pusaka
Orang semenda yang membela.
Adapun arti saka menurut perbilangan di atas adalah menghitung
keturunan sebelah perempuan. Hal ini karena masyarakat adat mengutamakan
kepentingan waris perempuan karena mereka dianggap sebagai kunci maruah
di dalam suatu suku. Kedudukan istimewa perempuan ini adalah disebabkan
karena mereka merupakan ibu yang melahirkan dan seterusnya mereka jugalah
yang mendidik generasi di dalam suku adat dan oleh karena itu, mereka harus
diberi perlindungan. Dan antara cara perlindungan yang dimaksudkan itu adalah
dengan cara mewariskan tanah pusaka tersebut kepada pihak perempuan.
Maksud lain pemberian tanah pusaka tersebut kepada perempuan adalah
21 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 3-4. 22 Mohd Rosli Saludin, Seri Menanti Tanah Beradat Bermula di Sini, (Kuala Lumpur:
Crescent News Cetakan Pertama, 2011), h. 232 23 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 9-10.
65
sebagai jaminan hidup sekiranya mereka tidak mempunyai tempat bergantung
lagi seperti dalam kasus perceraian.24
Adapun terhadap tanah yang dimiliki sebelum suatu pasangan
berkahwin, yaitu tanah carian bujang adalah menjadi hak milik pribadi masing-
masing pihak yang memiliki tanah tersebut. Konsep hak milik terhadap tanah
carian bujang dan tanah carian suami istri adalah berbeza dengan tanah pusaka.
Hal ini karena terhadap tanah carian bujang dan tanah carian suami istri, para
pihak yang bersangkutan bebas untuk membuat pertukaran atau pemindahan
hak milik melalui proses jual beli dan sebagainya. Akan tetapi, tanah pusaka
adat adalah tidak dibenarkan sama sekali terhadap pihak pewaris yang mewarisi
untuk menjual, menggadai atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan
pemindahan hak milik terhadap tanah tersebut.25
Ketidakbolehan untuk menjual tanah tersebut ada dinyatakan di dalam
perumpamaan yang berbunyi
Rumah gadang ketirisan
Adat pusaka tak berdiri
Gadis gadang tak berlaki
Mayit terbujur di tengah rumah
Keempat-empat perkara di atas melibatkan maruah suku. Oleh itu, kalau
ada suku yang mengabaikannya bermakna suku itu tidak ada maruah dan
kehormatan lagi.26
Akan tetapi, terdapat pengecualian oleh si waris untuk menjual tanah
pusaka tersebut dan kebenaran itu hanya dibenarkan sekiranya si waris yang
ingin menjual tanah pusaka tersebut telah memperoleh izin daripada ketua adat
24 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 4 25 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 4 26 Habibah Zainudin, Adat Perpatih Pandangan Islam dan Masyarakat Rembau, (Bangi:
Universiti Kebangsaan Malaysia, 1979), h. 11.
66
dan waris-waris yang berhak ke atas tanah tersebut.27 Dan pengecualian
tersebut juga dibenarkan atas beberapa sebab seperti untuk menguruskan
kematian, untuk menunaikan haji, untuk memperbaiki rumah pusaka, untuk
menguruskan perkawinan anak perempuan yang telah cukup umur untuk
melakukan pernikahan atau denda yang terkait adat, ataupun untuk membayar
hutang saudara laki-lakinya yang masih bujang atau memberikan tempat
tinggal kepada saudara laki-lakinya yang masih bujang atau menduda atau yang
sedang sakit. Keizinan tersebut juga dibenarkan sekiranya ianya dilakukan
untuk memberi belanja menuntut ilmu di luar negara.28 Konsep pewarisan yang
diamalkan oleh adat ini adalah kesamarataan. Jika waris perempuan hanya
seorang, maka semuanya akan diwarisi oleh dirinya. Dan sekiranya waris
perempuan adalah lebih daripada seorang, maka semuanya akan dibagi sama
rata diantara kesemua mereka.29
C. Peran Adat Perpatih dalam Melindungi Hak Perempuan Terhadap Tanah
Adat Di Dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215
Dalam memastikan perempuan untuk sentiasa memperoleh haknya
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Enakmen Pemegangan Adat Bab
215, terdapat beberapa prinsip di dalam adat perpatih yang memastikan
perkara tersebut yaitu:
1. Semua tanah adat adalah hak suku dan bukan hak individu.
2. Tanah bukan pusaka adat akan menjadi tanah pusaka adat setelah tanah
tersebut diwarisi oleh anggota perempuan.
27 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 4 28 Mohd Rosli Saludin, Seri Menanti Tanah Beradat Bermula Di Sini, (Kuala Lumpur:
Crescent News Cetakan Pertama, 2011), h. 188. 29 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 4
67
3. Hanya perempuan sahaja yang berhak untuk mewarisi dan mewariskan
tanah pusaka adat tersebut. Akan tetapi, pewarisan tersebut hanya bisa
dilakukan terhadap waris perempuan dan bukan terhadap waris laki-laki.
4. Pewarisan tanah pusaka adat hendaklah berdasarkan waris perempuan
yang terdekat.
5. Mengamalkan prisip sama rata di dalam pembagian harta pusaka. Akan
tetapi, konsep sama rata tersebut hanya digunapakai sekiranya waris
perempuan yang akan mewarisi adalah lebih daripada seorang.30
Selain itu, sistem matrilineal yang diamalkan oleh Adat Perpatih itu
sendiri mampu memberi perlindungan atau penjaminan hak ke atas pewarisan
terhadap perempuan. Hal ini dapat dilihat di dalam kebaikan dan manfaat
yang ada di dalam sistem ini yaitu:
1. Mampu melindungi hak perempuan daripada perkara yang tidak diingini
akibat daripada kegagalan perkawinan itu sendiri seperti perceraian. Hal
ini dapat dilihat ketika berlakunya perceraian antara suami dan istri di
mana pihak perempuan masih bisa menetap di atas tanah yang diwarisi
tersebut.
2. Sistem ini juga jelas membuktikan status kemuliaan seorang perempuan
itu diangkat dengan cara pihak perempuan diberikan kelebihan yang
istimewa seperti hak pewarisan tanah adat.
3. Adat ini juga bertujuan untuk mengelakkan pihak perempuan daripada
meninggalkan desa sendiri lantaran perkawinannya dengan pihak laki-
laki. Hal ini kerana, menurut adat ini, pihak perempuan adalah diwajibkan
untuk tinggal bersama suaminya di kawasan kediaman ibunya.31
Harus diketahui di sini bahwa antara cara untuk memastikan agar
kepentingan perempuan menurut adat ini terjaga adalah dengan kewujudan
istilah orang semenda yang diguna pakai di dalam adat Perpatih ini. Di dalam
hal ini, orang semenda adalah merujuk kepada suami di mana suami tersebut
30 Raja Raziff Raja Shaharuddin, dkk, “Customary Land Development in Negeri Sembilan:
Its Way Forward and Challenges”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VI, 2017, h. 5. 31 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 8.
68
harus bertanggungjawab dan menyediakan kediaman untuk anak dan istrinya
di mana kediaman tersebut kemudiannya akan menjadi hak istri tersebut.32
Selain itu, hak perempuan juga turut dijaga melalui konsep harta yang
digunakan mengikut adat perpatih ini. Hal ini karena, menurut adat ini,
terdapat lima konsep yang harus dipatuhi di dalam melaksanakan warisan
tersebut. Adapun lima konsep tersebut adalah:
1. Keturunan dikira melalui nisab ibu.
Juga dikenali sebagai sistem matrilineal yaitu sebuah sistem di
mana perempua dianggap sebagai bonda-kandung dan diangkat di dalam
Adat Perpatih. Hal ini karena anggota masyarakat akan dilahirkan oleh
si ibu sehingga si ibu yang akan menentukan arah keturunan sesuatu
perut. Menurut konsep ini juga, dapat diketahui bahawa setiap individu
adalah mengikuti suku ibunya dan bukan suku bapanya.33
2. Tempat kediaman selepas berkahwin adalah di tempat ibu istri.
Konsep ini juga dikenali sebagai sistem matrilocal di mana
pasangan yang berkahwin harus menetap di tempat kediaman ibu istri.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa seorang laki-laki yang telah berkahwin
harus meninggalkan tanah asalnya dan menetap di Kawasan ibu istri. Hal
ini boleh dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menetap di suatu
rumah yang sama dengan si ibu istri atau sekiranya pasangan suami istri
khawatir akan berlakunya kejadian yang tidak diingini sekiranya tinggal
bersama dengan ibu si istri, maka mereka boleh membina rumah yang
baru di atas tanah rumah ibu istri. Adapun cara yang pertama turut
dikenali sebagai extended family.34
3. Perempuan mewarisi pusaka, laki-laki menyandang saka.
Berdasarkan konsep ini jelas menunjukkan bahwa hanya
perempuan yang berhak mewarisi dan mewariskan tanah pusaka
32 Jamaliah Mohd Taib, Kajian Adat Perpatih di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan Menurut
Perspektif Islam, h. 7. 33 Mohd Rosli Saludin, Seri Menanti Tanah Beradat Bermula Di Sini, (Kuala Lumpur:
Crescent News Cetakan Pertama, 2011), h. 10 34 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 8-9
69
sedangkan laki-laki hanya menyandang saka. Saka di sini membawa
maksud sebagai jawatan ketua adat. Jadi, dapat dikatakan di sini bahwa
laki-laki dapat memegang jawatan ketua adat dan seterusnya dapat
menggunakan tanah warisan tersebut dan tidak berhak untuk mewarisi.
4. Perkawinan seperut dan sesuku adalah dilarang.
Adapun sanksi bagi perkawinan seperut dan sesuku tersebut
adalah menggugurkan hak mewarisi oleh perempuan tersebut.
5. Proses berkadim
Proses berkadim merupakan suatu proses di mana perempuan
yang tidak mempunyai waris perempuan akan mengangkat seorang anak
perempuan bagi tujuan pewarisan. Sebelum mengambil anak angkat
tersebut, perempuan tersebut dikehendaki untuk berunding dengan
semua ahli sukunya karena harta pusaka yang tidak mempunyai waris
yang akan mewarisi, harta pusaka tersebut akan diwarisi oleh waris di
dalam suku yang sama dan bukan perut yang sama. Pembagian harta
pusaka ini kepada anak angkat pula adalah sebanyak 1/3 dari jumlah
keseluruhan harta tersebut dan baki 2/3 tersebut pula akan diwariskan
kepada warisnya karena mereka berhak ke atas harta si pewaris tersebut.
Adat ini membenarkan orang luar untuk menjadi anggota perut tertentu
dan juga memberi kesempatan kepada anggota adat yang ingin bertukar
suku.35
Perkawinan menurut adat ini dilakukan secara eksogami yaitu
sebuah sistem yang melarang perkawinan di antar suku yang sama.
Sekiranya perkawinan dilakukan juga di antar suku yang sama, maka sanksi
yang bakal diterima oleh pihak perempuan adalah haknya sebagai seorang
ahli waris yang akan mewarisi tanah adat akan gugur. Kendatipun begitu,
masih terdapat celah atau cara yang boleh dilakukan oleh para pihak bagi
35 Nik Rahim Nik Wajis dkk., “Syeikh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi and His Stand
Towards the Issue of Inheritence According to Practice of Adat Minangkabau: A comparative Study
Pertaining to Customary Land Issue in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law, Vol. VII,
Juni 2018, h. 152.
70
memastikan hak seorang perempuan sebagai ahli waris tidak gugur. Hal ini
ada disebutkan di dalam pepatah adat yang berbunyi:
Adat
Kok tinggi bak langit
Kok keras bak batu
Ibarat mengompang dan beralahan
Ibarat memagarada berpintu
Adapun arti daripada pepatah tersebut adalah wujudnya aturan adat
yang boleh diikuti oleh para pihak dari suatu suku yang sama jika mereka
ingin berkahwin yaitu dengan mengeluarkan laki-laki tersebut daripada
sukunya dan dikodinkan dengan suku yang lain. Apabila hal ini dilakukan,
maka perkawinan di antara mereka dapat diteruskan tanpa memberi kesan
kepada pihak perempuan tersebut.36
Selain itu, disebabkan adat ini mengamalkan sitem matrilineal, maka
susunan pewarisan hak waris di dalam tanah adat juga adalah berdasarkan
jalur perempuan sahaja. Dengan jalur ini, hak perempuan yang dapat
mewarisi dapat dijaga oleh adat ini. Adapun begitu, susunan orang yang
berhak mewarisi tanah tersebut menurut urutan adalah anak perempuan si
mati di mana pembagiannya dilakukan secara sama rata, cucu perempuan
daripada anak perempuan tanpa mengira sama ada anak perempuan tersebut
meninggal dunia sebelum atau sesudah dari si mati, ibu si mati, saudara
perempuan seibu sebapa dan seibu kepada si mati dan anak mereka yang
perempuan sehingga ke bawah, saudara perempuan seibu sebapa dan seibu
kepada ibu si mati dan anak mereka yang perempuan sehingga ke bawah,
nenek si mati dan saudara perempuan seibu sebapa dan seibu kepada nenek
si mati dan anak mereka yang perempuan sehingga ke bawah.
Giliran tersebut perlu dipatuhi dan tidak boleh diubah sesuka hati.
Sekiranya si mati tidak meninggalkan waris perempuan seperti di atas,
maka suku diberi pilihan untuk mencari waris wanita dari suku yang lain
36 Fitriah Wardi, “Effects of Matrilineal Sistem in Negeri Sembilan Custom: Syariah
Perspective”, Malaysian Journal Of Syariah and Law, Vol VII, November 2018, h. 86.
71
untuk dijadikan saudara dan menjadi suku si mati melalui adat berkadi yang
akan melayakkannya untuk mewarisi.37
Aturan ini dibuat untuk menunjukkan kepentingan perempuan
menurut adat ini dan seterusnya supaya mereka mempunyai jaminan hidup
agar kehidupan mereka lebih sempurna dan langsung dapat memberi
pendidikan kepada anak-anak. Dan antara jaminan supaya perkara tersebut
dapat berlaku, maka diwujudkan aturan tanah pusaka yang mengutamakan
pihak wanita. Selain menjadi sumber ekonomi, tanah tersebut juga dapat
dijadikan sebagai tempat kediaman mereka. Selain itu, bagi menjamin hak
wanita, adat ini juga mengharuskan laki-laki berpindah di kediaman
perempuan setelah menikah dan sekiranya berlaku perceraian, pihak laki-
laki juga yang harus keluar dari kediaman tersebut.38
D. Kedudukan Laki-laki Dalam Pewarisan Tanah Adat Mengikut Adat
Perpatih
Adapun kedudukan kaum laki-laki di dalam pewarisan Tanah Adat
menurut Adat Perpatih adalah:
1. Pewarisan tanah adat menurut Adat Perpatih hanya diguna pakai terhadap
tanah adat yang didaftarkan sahaja. Hal ini karena tanah adat itu sendiri
bukan milik mutlak terhadap perempuan yang mewarisinya melainkan
merupakan milik kepada suku perempuan tersebut. Dan terhadap tanah
selain tanah adat, pembagiannya adalah sesuai menurut sistem Faraidh. Jadi
jelas di sini bahwa laki-laki masih tetap mendapatkan haknya di dalam
pewarisan harta tersebut.
2. Seorang laki-laki yang berkahwin hendaklah tinggal di Kawasan kediaman
ibu istri. Hal ini bermaksud, laki-laki tersebut hendaklah meninggalkan
kampung halamannya tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjaga hak
37 Jamaliah Mohd Taib, Kajian Adat Perpatih di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan Menurut
Perspektif Islam, h. 8. 38 Nordin Selat, Sistem Sosial Adat Perpatih, (Kuala Lumpur: Utusan Publication &
Distributors Sdn. Bhd, 1995, Cet. Pertama), h., 6-7
72
kepentingan perempuan tersebut sekiranya berlaku perkara yang tidak
diingini seperti perceraian. Apabila berlaku perceraian, maka hak
perempuan tersebut masih terjamin dan mereka masih boleh menetap di atas
tanah tersebut. Hal ini bukanlah menafikan hak seorang laki-laki tersebut.
Hal ini karena pihak laki-laki tersebut dapat mengusahakan tanah istrinya
dan selanjutnya menikmati hasil daripada usahanya terhadap tanah tersebut.
Justru, dapat dikatakan bahwa pihak laki-laki tetap mempunyai kedudukan
yang selayakanya di dalam Adat Perpatih itu sendiri.
3. Terhadap keadaan tertentu, sertefikat tanah adat boleh didaftarkan nama
suami untuk menjadi penghuni tetap ataupun turut dikenali sebagai life
occupant39. Adapun situasi di mana lelaki bisa menjadi penghuni tetap
adalah apabila pihak perempuan yang meninggal tidak mempunyai waris,
maka pada waktu itu, waris lelaki tersebut boleh mengusahakan tanah
tersebut selama dia hidup.40 Perempuan yang mewarisi tanah pusaka
hanyalah sebagai pemegang amanah dan bukannya sebagai seorang pemilik
mutlak terhadap tanah tersebut. Hal ini sekaligus memberi arti bahwa pihak
perempuan tidak mempunyai hak untuk memindahkan hak kepemilikan
tanah tersebut secara sewenangnya kecuali setelah memperoleh persetujuan
daripada ahli suku tersebut. Hal ini karena tanah tersebut adalah hak milik
suku dan bukannya hak milik pribadi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
tiada istilah ketidakadilan terhadap kaum laki-laki di dalam sistem
pewarisan tanah adat di dalam adat ini.41
Selain itu, seorang laki-laki adat yang ideal adalah mereka yang tidak
bergantung kepada pusaka ibunya. Dalam arti kata lain, adalah mereka yang
mampu mandiri. Ini disebabkan karena sifat alami laki-laki itu adalah mereka
mampu berusaha untuk mencari dan mengusahakan harta sendiri. Selain itu,
lelaki juga dibolehkan untuk merantau untuk mencari hartanya sendiri. Dan
39 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 9-10. 40 Jamaliah Mohd Taib, Kajian Adat Perpatih di Negeri Sembilan : Satu Tinjauan Menurut
Perspektif Islam, h. 4. 41 Amir Husin Mohd Nor dkk., Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal, h. 10.
73
disebabkan hal ini yang menyebabkan antara alasan mengapa laki-laki tidak
boleh mewarisi tanah adat melainkan memiliki hak guna tanah adat tersebut.42
42 Hendun Abdul Rahman Shah, dkk, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di Negeri
Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”, Malaysian Journal of Syariah and Law,
Vol. V, 2017, h. 4
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan penulis mulai dari BAB I sampai dengan BAB
IV, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hak perempuan di dalam tanah
adat menurut Adat Perpatih yang disesuaikan oleh Enakmen Pemegangan Adat
Bab 215 adalah tanah adat akan diwarisi oleh waris perempuan dan lelaki hanya
memperoleh hak guna. Adapun urutan ahli waris juga telah ditentukan oleh adat
ini yang mana urutan itu harus diikuti
Dan bagi memastikan hak perempuan tidak dirugikan, undang-undang
adat ini melindungi hak perempuan dengan pelbagai cara. Antara cara tersebut
adalah sistem yang digunakan yaitu sistem matrilineal yang mendahulukan
pihak perempuan. Selain itu, hak ini juga dilindungi dengan adanya aturan
tentang semenda, proses berkadim,
Meskipun perkawinan di antar sesama suku adalah dilarang menurut
undang-undang adat ini, yang mana larangan tersebut jika dilakukan akan
mengakibatkan hak pewarisan yang bakal diwarisi oleh perempuan menjadi
gugur. Akan tetapi, masih terdapat celah terhadap mereka yang ingin berkahwin
sesama suku tanpa menggugurkan hak wanita terhadap tanah adat. Dan hal ini
boleh dilakukan dengan cara mengeluarkan laki-laki tersebut daripada suku
tersebut. Dengan cara ini, hak waris perempuan yang bakal diwarisi tidak akan
menjadi gugur disebabkan perkawinan yang dilakukan.
Dan adapun alasan adat ini tidak memberikan hak mewarisi tanah pusaka
kepada waris laki-laki adalah karena menurut adat ini, laki-laki bisa mandiri
untuk berusaha dan mencari hartanya sendiri. Laki-laki juga bisa merantau
untuk mencari hartanya sendiri. Selain itu, adat ini membenarkan waris laki-
laki untuk menggunakan dan mengambil manfaat daripada tanah tersebut dan
75
di dalam keadaan tertentu, pihak laki-laki juga bisa didaftarkan sebagai
penghuni tetap di atas tanah adat tersebut.
Dan Islam telah membenarkan pengamalan perwarisan tanah adat ini
seperti di dalam Enakmen Pemegangan Adat Bab 215. Kebolehan ini
berdasarkan kepada pengamalam adat ini yang bertepatan dengan konsep al-
‘addah muhakkamah dan kebolehan ini juga disandarkan kepada alasan
perempuan mewarisi tanah adat tersebut adalah bagi mengelakkan kemiskinan
dan penderitaan di samping perempuan itu hanya bertindak sebagai pemegang
amanah dan bukannya pemilik mutlak tanah tersebut sehingga memungkinkan
pihak waris laki-laki untuk mengusahkan tanah tersebut dan mengambil
hasilnya. Dan tanah tersebut juga tidak boleh difaraidhkan disebabkan tanah
tersebut bukan milik mutlak dirinya.
Dan hal perwarisan tanah adat kepada perempuan adalah sesuai dengan
analisis gender Model Moser. Sebagai contoh, model Moser ini menilai
kebutuhan gender secara praktis. Hal ini dapat dilihat di dalam perwarisan tanah
adat kepada perempuan dan hak guna kepada laki-laki. Adat ini jelas meberi
kelebihan kepada perempuan tanpa merugikan pihak laki-laki. Perwarisan ini
bertujuan untuk memberi perlindungan kepada perempuan di samping memberi
manfaaat penggunaan tanah kepada lelaki.
Model ini juga menekankan pengawalan terhadap sumber daya serta
kebersamaan dan penglibatan di antara suami dan istri di dalampengambilan
keputusan dalam rumah tangga. Hal ini bertepatan dengan perwarisan tanah
adat kepada perempuan karena pemilikan hak tanah tersebut dimiliki oleh
perempuan dan laki-laki diberi izin untuk mengusahakan tanah tersebut dan
menambil manfaat ke atas apa yang diusahakannya itu. Selain itu, menurut adat
ini, setiap suatu keputusan yang ingin diputus, harus berdasarkan kepada
pandangan perempuan juga disebabkan perempuan dipandang tinggi menurut
adat ini.
Model Moser juga berpandangan bahwa adanya keseimbangan antara
laki-laki dan perempuan dan hal ini bertepatan dengan perumpamaan
76
“Perempuan mewarisi pusaka dan lelaki menyandang saka”. Perumpamaan ini
membawa maksud bahwa laki-laki memperoleh jawatan ketua adat dan
perempuan memiliki tanah pusaka tersebut. Perumpamaan ini jelas
menunjukkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan di mana meski
laki-laki tidak memperoleh warisan tanah adat, akan tetapi mereka diberi untuk
menjadi ketua adat dan diberi hak guna terhadap tanah adat tersebut dan diberi
izin untuk mengambil hasil dari apa yang diusahakannya di atas tanah adat
tersebut.
B. Saran
Adapun penulis mengharapkan dengan kajian ini dapat menaikkan
minat bagi mereka yang ingin mempelajari dan mengembangkan lagi hasil
penulisan ini. Adapun penulisan ini boleh dikembangkan di dalam bidang:
1. Aturan menurut adat ini terkait harta pusaka kecil.
2. Kaidah pewarisan tanah adat ini di dalam hal waris perempuan adalah
lebih daripada satu.
3. Tahap kefahaman masyarakat baru terhadap adat ini sendiri.
4. Kepentingan Tanah Adat terhadap masyarakat Adat Perpatih.
5. Pandangan laki-laki terhadap pewarisan tanah adat itu sendiri.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Cetakan
Pertama. 1995.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at
Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973.
Awang, Ridzuan. Undang-Undang Tanah Islam Pendekatan Perbandingan.
Selangor: Perpustakaan Negara Malaysia. Cet. Pertama. 1994.
Buang, Salleh. Malaysian Torrens Sistem. Selangor: Perpustakaan Negara
Malaysia. 2001.
Dom, Mohtar bin Mohd. Adat Perpatih dan Adat Istiadat Masyarakat Malaysia.
Kuala Lumpur: Federal Publications.
Hamka. Islam & Adat Minangkabau. Selangor: Pustaka Dini Sdn Bhd. 2006.
Harun, Nadzan. Pemilikan dan Administrasi Tanah Adat 1800-1960. Negeri
Sembilan: Jawatankuasa Penyelidikan Budaya Muzium Negeri Sembilan.
1997.
Harun, Nor Hasiah. Nilai Etika Dalam Perbilangan Adat Perpatih Menurut
Pandangan Islam. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. 1990.
Hassan, A. Al-Fara’id. Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif. 1992
Kadir, Ahmad Afian Abdul. Adat Perpatih. Negeri Sembilan: Lembaga Muzium
Negeri Sembilan. Cet. Pertama. 2016.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar. Hukum Waris. Jakarta Selatan:
Senayan Abadi Publishing. Maret 2004.
Mardani. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. Kedua.
2015.
Masykuri, Saifuddin. Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan Perbandingan 4
Madzhab. Kediri: Santri Salaf Press. 2016..
Puspitawati, Herien. Konsep Teori dan Analisis Gender. Bogor: PT IPB Press.
2012.
Salman, Otje. Haffas, Mustofa. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika Aditama.
Cetakan Kedua. 2006.
78
Saludin, Mohd Rosli. Seri Menanti Tanah Beradat Bermula Di Sini. Kuala Lumpur:
Crescent News. Cet Pertama. 2011.
Selat, Nordin. Sistem Sosial Adat Perpatih. Kuala Lumpur: Utusan Publication &
Distributors Sdn. Bhd. Cet. Pertama. 1995.
Siddik, Abdullah. Pengantar Undang-Undang Adat di Malaysia. Kuala Lumpur:
Universiti Malaya. 1975
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2004.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua. Jakarta: Prenadamedia
Group. Cetakan Kelima. 2015.
Yatim, Rais. Adat The Legacy of Minangkabau. Yayasan Warisanegara: Kuala
Lumpur. Cet. Pertama. 2015.
Zainudin, Habibah. Adat Perpatih Pandangan Islam dan Masyarakat Rembau.
Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. 1979.
Zainun, Nazarudin. Antropologi dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan. Pulau
Pinang: Pustaka Iman. Cet. Pertama. 2015.
Majalah dan Jurnal
Fadhil, Siddiq. “Islamisasi Budaya Pribumi: Meninjau Pengalaman Minangkabau
dalam Fleksibiliti Adat Perpatih Dalam Proses Islamisasi”. Seminar
Tertutup Pemantapan Nilai Islam Dalam Sistem Adat Perpatih, Jabatan
Persuratan Melayu. Universiti Kebangsaan Malaysia. 24-25 November
1997.
Hassan, Siti Selihah Che, dkk. “Level of Understanding Among Community
Towards The Concept of Customary Land and Its Law: Study in Negeri
Sembilan”. Malaysian Journal of Syariah and Law. Vol. V. 2017.
Mohd Nor, Amir Husin. dkk. Cadangan Pembangunan Model Adat Perpatih Patuh
Syariah di Malaysia: Satu Tinjauan Awal.
79
Rahman, Azman Abdul. “The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance
of Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”. Malaysian
Journal of Syariah and Law. Vol. VI. Disember 2017.
Ramli, Mohd Anuar. dkk. “Perspektif M.B. Hooker Tentang Adat Melayu”. JMS.
Vol. 1. Issue 1. 2018.
Serji, Rabi’ah Binti Muhammad. “Application of Islam And Malay Customs In
Torrens Sistem In Malaysia”. Al-Irsyad: Journal of Islamic And
Contemporary Issues. Vol. I. 2016.
Shah, Hendun Abdul Rahman. dkk. “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat di
Negeri Sembilan: Kajian Perkembangan dan Isu Undang-Undang”.
Malaysian Journal of Syariah and Law. Vol. V. 2017.
Shaharuddin, Raja Raziff Raja. Dkk. “Customary Land Development in Negeri
Sembilan: Its Way Forward and Challenges”. Malaysian Journal of Syariah
and Law. Vol. VI. 2017
Tagaranao, Mariam Saidano. dkk. “Pewarisan Tanah Adat/Ulayat di Indonesia dan
Malaysia Dalam Adat Perpatih: Satu Tinjauan Syarak”. Malaysian Journal
of Syariah and Law. Vol. V. 2017.
Taib, Jamaliah Mohd. Kajian Adat Perpatih di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan
Menurut Perspektif Islam.
Wajis, Nik Rahim Nik. dkk. “Syeikh Ahmad Al-Khatib Al-Minangkabawi and His
Stand Towards the Issue of Inheritence According to Practice of Adat
Minangkabau: A comparative Study Pertaining to Customary Land Issue in
Malaysia”. Malaysian Journal of Syariah and Law. Vol. VII. Juni 2018.
Wardi, Fithriah. dkk. “Effects of Matrilineal Sistem in Negeri Sembilan Custom:
Syariah Perspective”. Malaysian Journal of Syariah and Law. Vol. VII.
November 2018.
Yussof, Ishak. dkk. “The Implementation of Customary Tenure Enactment (CTE)
in Colonial Time and Effects on The Administration of Customary Land in
Negeri Sembilan”. Kajian Malaysia. Vol. 33. No. 1. 2015.
80
Internet
Adat Perpatih dalam http://www.ns.gov.my/kerajaan/info-negeri/adat-perpatih