analisis penggunaan hak euthanasia (hak untuk

94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana SI dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Mahendra Surya Perdana E 0006167 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011

Upload: dangdieu

Post on 14-Jan-2017

233 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG

UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI

INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Derajat Sarjana SI dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Mahendra Surya Perdana

E 0006167

Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

2011

Page 2: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG

UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI

INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

Oleh

Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 17 Januari 2011

Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Rehnalemken Ginting S.H.,M.H Sunny Ummul Firdaus S.H.,M.H NIP 195801051984031001 NIP 197006212006042001

Page 3: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG

UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI

INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

Oleh

Mahendra Surya Perdana

NIM. E0006167

Telah diterima dan dipertahankan dihadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada: Hari :Senin

Tanggal :17 Januari 2011

DEWAN PENGUJI

1. Prof. Dr. Supanto S.H., M.Hum :………………………………………… Ketua

2. Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H :………………………………………… Sekretaris

3. Rehnalemken Ginting S.H., M.H :………………………………………… Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohammad Jamin S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 001

Page 4: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Mahendra Surya Perdana

NIM : E.0006167

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG

NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN

PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan

hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila

dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan

gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 2011

Yang membuat pernyataan

Mahendra Surya Perdana

NIM. E0006167

Page 5: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemberian hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) terhadap pasien menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama mengkaji tentang hak hidup yang terdapat dalam Pasal 9 dihubungkan dengan hak-hak lainnya yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self determination), Hak atas kesehatan (the right of health care) serta hak atas informasi (the right of information) dan perbandingan penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia dan Amerika

Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum mengenai penerapan pemberian hak euthanasia, tujuan pemberian hak tersebut serta perbandingannya penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis data yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar pemberian hak euthanasia terhadap pasien, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, pertama, terdapat Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 hanya mengatur mengenai hak hidup yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1). Hak untuk hidup oleh sebagian besar masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri. Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya suatu hak atas informasi dan atas kesehatan Kedua, Peraturan perundang undangan Indonesia belum ada satupun yang mengatur tentang euthanasia. Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum dapat bekerja secara maksimal karena belum pernah menjerat pelaku euthanasia. Peraturan perundang undangan Indonesia sudah jauh tertinggal dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Di Belanda meskipun dalam code penal Pasal 293 disebutkan larangan membunuh dengan permintaannya sendiri secara eksplisit

Page 6: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

dilarang, namun kemudian Belanda memunculkan peraturan perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) tentang legalitas euthanasia, sehingga secara otomatis rumusan Pasal tersebut didekriminalisasikan. Di Belgia, Parlemen Belgia melegalkan praktek euthanasia melalui The Belgian Act on Euthanasia dimana peraturan perundang undangannya diadopsi dari diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, dimana dalam Pasal 2 disebutkan mengakui orang yang sakit parah untuk mati bukan merupakan suatu tuntutan hukum dengan demikian praktek euthanasia di Belgia adalah hal yang legal. Di Amerika meskipun secara agresif di semua negara bagian euthanasia adalah tindakan yang melanggar hukum, akan tetapidi negara bagian Oregon praktek euthanasia merupakan hal tidak melanggar hukum yang diatur dalam Oregon Death with Dignity Act.

Kata Kunci : euthanasia, pasien, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

Page 7: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRACT Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALYSIS OF USE THE RIGHTS OF EUTHANASIA (RIGHT TO TERMINATE LIFE) BY PATIENTS BY THE ACT NUMBER 39 OF 1999 ABOUT HUMAN RIGHTS AND APPLICATION OF LAW IN INDONESIA AND OTHER COUNTRIES (NETHERLANDS, BELGIUM, AMERICAN). Law Faculty of Sebelas Maret University.

This study aims to determine the application of euthanasia rights (the right to terminate life) of patients according The Act No. 39 of 1999 about Human Rights concerning the right to life especially the review contained in Article 9 is connected with other rights such as the right of self determination, the right of health care and the right of information and comparison of the application of euthanasia in Indonesia with other countries especially Netherlands, Belgium and America.

This research is a normative prescriptive characteristic, discovered the law regarding euthanasia grant application, the purpose of granting such rights and the application of euthanasia in Indonesia in comparison with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials. The data collection technique used is bibliography study. Data analysis was performed using deductive data analysis technique that originate on the basic principles of granting the right of euthanasia on patients, and researchers presenting the object to be studied. Deductive logic using terms based on general knowledge such as theories, theorems, or principles in the form of propositions to draw conclusions on the facts that are special.

Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, first, there are legal norms regarding euthanasia are not clearly regulated in The Act no 39 of 1999 about Human Rights. The Act no 39 of 1999 only governs the right to life as regulated in Article 9 paragraph (1). The right to life by most of society can be interpreted as the right to determine his own life, thus determining his own life can also mean the right of freedom against itself as well as the right to end his own life. But the right to determine his own life can not stand alone without the presence of a right to information and to health Secondly, the laws and regulations of Indonesia has not got nothing to regulate euthanasia. Article 344 of the Criminal Code that the formula approach euthanasia can not work optimally because the perpetrators have never ensnare euthanasia. Indonesian laws and regulations are far behind with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. In the Netherlands, although the penal code Article 293 mentioned the prohibition to kill with its own demand is explicitly prohibited, but later the Netherlands led to the laws and regulations concerning the legality of euthanasia Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and

Page 8: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act), so that the formulation of Article these automatically decriminalization. In Belgium, the Belgian parliament legalized euthanasia practices by The Belgian Act on Euthanasia where laws and regulations adopted by the invitation of the adoption of the European Convention on Human Rights which is a recommendation in 1418, entitled "Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, which is mentioned in Article 2 recognizes the terminally ill to die, not a lawsuit so that the practice of euthanasia in Belgium is a legal matter. In America though aggressively in all states euthanasia is an act that is unlawful, the state of Oregon will but practice of euthanasia is not against the law set forth in the Oregon Death with Dignity Act

Keyword : euthanasia, patients, The Act no 39 of 1999 about Human Rights

Page 9: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

MOTTO Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang

diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. (Nabi Muhammad

SAW)

Jika kau ingin naik lebih tinggi gunakan kainmu sendiri! jangan buat dirimu

dibawa keatas. Jangan pula dengan menginjak bahu atau kepala orang lain!

(Frederich Nietzsche).

Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki tetapi kita

selalu menyesali apa yang belum kita capai (Schopenhauer).

Anda memperoleh kekuatan, keberanian, dan keyakinan oleh setiap pengalaman

di mana Anda benar-benar berhenti untuk melihat di wajah, Anda harus

melakukan hal yang Anda pikir Anda tidak bisa melakukan. (Eleanor Roosevelt)

Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. (Franklin D.

Roosevelt)

Jangan buang hari ini dengan mengkuatirkan hari esok. Gunung pun terasa datar

ketika kita sampai ke puncaknya. (Phi Delta Kappan)

Page 10: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:

­ Allah SWT yang telah memberikan

kenikmatan tak terhingga sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

­ Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa

mendukung kuliah, memberikan doa dan

nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang

serta kerja keras yang tak ternilai harganya

demi mewujudkan cita-citaku menjadi

seorang Sarjana Hukum.

­ Adik-adikku yang selalu ada untuk

membantu proses belajarku selama

menempuh dunia pendidikan.

­ Teman-temanku dari TK hingga kuliah yang

telah memberi warna kehidupan selama

penulis menyelesaikan studi di institusi

pendidikan.

­ Diriku sendiri.

Page 11: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah yang Maha pengasihy dan

Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayahn-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunanpenulisan hukum (skripsi) yang berjudul

“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG

NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN

PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)“.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum

(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non

materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi

dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan

kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui

penulisan hukum.

2. Bapak Ismunarno S.H, M.Hum selaku ketua bagian Hukum Pidana yang

telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi.

3. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang

telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi.

4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum, selaku ketua PPH yang telah

menyetujui usulan judul skripsi penulis, menunjuk dosen pembimbing.

5. Bapak Rehnalemken Ginting S.H, M.H, selaku pembimbing Skripsi yang

telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan pengetahuan dan

pengalamannya dalam menjadi saksi ahli sehingga memberikan semangat

tersendiri bagi penulis dan mempermudah penulis untuk menyelesaikan

penulisan hukum ini

Page 12: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

6. Ibu Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H, selaku pembimbing skripsi yang

juga telah banyak memberi saran untuk pengembangan skripsi penulis,

berbagi berbagai pengalaman selama menjadi dosen maupun pengalaman

saat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta dalam hal Hukum Kesehatan.

7. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik

yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah

di Fakultas Hukum UNS.

8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi

dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada

penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta

menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas.

9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus

prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar

proposal sampai pendaftaran ujian skripsi.

10. My best friends Loggar, Bagus, Tofan yang selalu bersama dalam suka

dan duka.

11. Septian Fatur yang selalu menemani untuk sekedar sharing tentang musik.

12. My best partner Awe, Andri. yang selalu bersama-sama dalam mencari

sesuatu yang sangat berharga walaupun hasilnya tak seberapa

13. Mahendro Adi Utomo yang selalu mencari proyek bersama-sama.

14. Temen-temenku di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan

2006 Lukman, Amel, Ita‘, Farid. Terima kasih untuk semua, semoga kita

memetik hasil kerja keras kita selama ini, amin.

15. Para pendahulu BEM Universitas Sebelas Maret, Mas Bambang, terima

kasih atas motivasinya dan masukannya.

16. Adik-adik BEM FH Wisnu, Chandra, Johan (Pak Presiden), Titis, Uki,

Radit, Mifta, Koh Seto, Hage, Beta, Adel, Adi Hostki (bikin dunia

berbeda), Havid, Dwi dan lain-lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-

satu. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya.

Page 13: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

17. Temen-temanku seperjuangan Haris (makasih sudah jadi moderator

Seminar proposalku), Setyawan, Makrus, Budi, G-Mon, Terry, Adi Cahya

Nugraha, Erick, Didot, Juni, Agus Salim, Resa, Wasiat Eko, yang telah

melengkapi perjalanan pendidikanku, mewarnai hari-hariku selama kuliah

di FH.

18. Teman-temanku KMM di Bank Indonesia cabang Surakarta Yurista, Ade,

Erlinda, Ahimsa yang sudah mau berkerja sama selama KMM.

19. Untuk semua temen-temenku di FH UNS yang tidak bisa disebutkan satu

per satu, you’re my inspiration, tanpa kalian kuliahku selama di FH tidak

akan berwarna.

20. Untuk semua guru-guruku TK Bakti XI, SDN Cengklik I, SMP N 7

Surakarta, SMA N 5 Surakarta yang telah mengajar dan membagi

ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa

mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita.

Karya kecil ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah

memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan mengisi

hidup penulis kelak dikemudian hari.

Page 14: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iv

ABSTRAK..................................................................................................... v

HALAMAN MOTTO.................................................................................... ix

HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................... x

KATA PENGANTAR................................................................................... xi

DAFTAR ISI.................................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1

B. Perumusan Masalah............................................................................ 5

C. Tujuan Penelitian................................................................................ 6

D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 7

E. Metode Penelitian................................................................................ 7

F. Sistematika Penulisan Hukum............................................................ 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 13

A. Kerangka Teori................................................................................... 13

1. Tinjauan Tentang euthanasia....................................................... 13

a) Pengertian euthanasia............................................................ 13

b) Kategori euthanasia............................................................... 13

c) Macam euthanasia................................................................. 14

2. Tinjauan tentang pasien

a) Pengertian pasien.................................................................... 18

b) Kewajiban pasien................................................................... 18

c) Hak-hak pasien...................................................................... 19

Page 15: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

3. Tinjauan Tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia.......................................................... 20

a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam

Undang Undang Indonesia..................................................... 20

b. Pengertian Hak Asasi Manusia............................................... 22

c. Instrumen HAM nasional....................................................... 23

d. Penerapan HAM di Indonesia............................................... 24

4. Tinjauan Tentang pelaksanaan pidana......................................... 25

a) Pengertian pidana................................................................... 25

b) Jenis-Jenis Sanksi Pidana....................................................... 29

B. Kerangka Pemikiran........................................................................... 32

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 33

A. Norma pengaturan euthanasia dalam Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia............................................ 34

B. Penerapan hukum euthanasia di Indonesia

dengan negara Lain ( Belanda, Belgia, Amerika)............................... 48

BAB IV PENUTUP....................................................................................... 75

A. Simpulan............................................................................................. 75

B. Saran................................................................................................... 77

Daftar Pustaka................................................................................................ 79

LAMPIRAN

Page 16: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Kerangka Pemikiran........................................................................................ 32

Page 17: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar Indonesia merupakan

negara yang berdasarkan hukum. Penegasan ini sangatlah penting untuk

dipahami bahwa Indonesia mengakui kedaulatan hukum. Dengan penegasan ini

pengakuan terhadap esensial pembangunan negara Indonesia yakni kecuali

pembatasan kekuasaan dan penegakan hukum yang tidak kalah pentingnya

adalah jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sebagai

bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya

pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan

elemen esensial konstruk pembangunan Indonesia modern.

Sebagai salah satu hasil pembangunan, yang dilaksanakan kesadaran

masyarakat tentang hak-haknya telah semakin membaik dan cara berpikirpun

menjadi semakin kritis terhadap berbagai segi kehidupan. Banyak hal yang

tadinya tidak diketahui masyarakat, kini muncul dan menjadi bahan sorotan

masyarakat. Perkembangan yang terjadi seyogyanya disambut baik oleh semua

pihak, sejauh perkembangan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan

proporsional terhadap etika , moral dan religius (Crisdiono M. Achadiat,

2006:19).

Salah satu perkembangan yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan

adalah masalah Euthanasia. Berbagai ulasan dan tanggapan muncul, baik yang

sifatnya pro maupun yang kontra, dimana semuanya lengkap dengan

argumentasinya masing-masing. Mereka yang setuju dengan euthanasia

menekankan pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi

individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau

berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan

kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan

yang diperlukan. Mereka mengklaim adanya perbaikan teknologi kedokteran

merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup.

Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.

Page 18: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer,

berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide

tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek

kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan

instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada

kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran,

komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien

dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa

kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak

ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika

konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu

dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa

sakit. Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara

religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik

dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan.

Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia

dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk

menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya

perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih

mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan

menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa

mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara

umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk

hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.

Perdebatan mengenai Euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa

ahli. Perdebatan atau kontroversi mengenai Euthanasia lebih terfokus pada soal

moralitas, etika, maupun hukumnya. Perkembangan mengenai teknologi

ternyata tidak diikuti dengan kemajuan hukum dan etika (Crisdiono M.

Achadiat, 2006:180).

Masalah Euthanasia merupakan masalah yang dapat menyangkut semua

lapisan, akan tetapi selama ini euthanasia lebih dekat dengan dunia medis

Page 19: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

menjadikan dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Disatu

pihak teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sedangkan disisi lain,

pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga

berkembang tidak kalah pesatnya. Dengan demikian dalam dunia kedokteran

masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum

disatu pihak dengan kemampuan ilmu pengetahuam dan teknologi kedokteran

yang demikian maju dipihak lain sehingga memungkinkan untuk

mempertahankan hidup.

Sebenarnya praktek Euthanasia telah ada disekitar kita sejak lama.

Tindakan tersebut berupa penguarngan kualitas kesehatan dari rumah sakit ke

rumah tangga. Ini dikarenakan pasien tidak mampu untuk membayar biaya

rumah sakit yang tergolong mahal dan adanya anggapan bahwa pasien tidak

dapat disembuhkan kembali, sehingga keberadaannya di rumah sakit hanya

akan menambah biaya.

Jika dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang

penting untuk dikaji lebih mendalam untuk masalah euthanasia terhadap

pasien yaitu mengenai Hak kesehatan, hak hidup dan hak untuk menentukan

hidupnya sendiri.

Jika dilihat dari Hak kesehatan, mahalnya ongkos kesehatan semakin

menambah jauhnya aspek perlindungan dan pemenuhan HAM atas kesehatan.

HAM mensyaratkan individu untuk diakui memperoleh akses kesehatan

dengan cepat dan biaya terjangkau. Pemerintah berkewajiban untuk

menyediakan hal itu dengan maksimal (Majda El Muhtaj, 2008:161).

Hak hidup merupakan hak yang mendasar. Dalam UU 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan:

“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.

Pada HAM melekat Hak setiap manusia untuk menentukan hidupnya

sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun (The right of self

determination). Demikian pula dalam tindakan medik , pasien mempunyai hak

dasar untuk menentukan diri sendiri (The right of self determinitation), harus

Page 20: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

diberikan hak untuk memberikan persetujuannya terhadap tindakan medis yang

dilakukan terhadap dirinya (informed consent). Dalam hal pasien menolak

tindakan medik yang ditawarkan dokter, dokter tidak boleh memaksakan

kehendaknya, walaupun penolakan tersebut akan memberikan dampak negatif

pada kelangsungan hidup pasien.

Masalah Euthanasia di Indonesia memang belum ada satupun peraturan

perundang undangan yang mengatur secara tegas tentang euthanasia. Akan

tetapi ada Pasal dalam KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia yaitu

Pasal 344 KUHP. Akan tetapi pasal ini belum pernah menjaring satupun pelaku

euthanasia di negara ini. (Rehnalemken Ginting, 2009:2)

Dalam Pasal 344 KUHP disebutkan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dan dinyatakan dalam kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Ada tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana mengenai euthanasia

jika dilihat menurut Pasal 344 KUHP yaitu tentang perbuatan yang dilarang

(menghilangkan nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang

(Barang siapa sehingga dapat berarti juga dokter) serta pidananya yaitu pidana

paling lama 12 tahun penjara. Akan tetapi meskipun telah memenuhi tiga

pokok permasalahan tersebut, namun kenyataanya di Indonesia sulit diterapkan

untuk menyaring Euthanasia sebagai suatu tindak pidana, karena euthanasia

yang terjadi selama ini adalah Euthanasia pasif yang dianggap sebagai suatu

resiko medik terhadap pasien (Rehnalemken Ginting, 2009:3-4).

Perkembagan euthanasia sangatlah cepat, akan tetapi permasalahannya di

Indonesia sangatlah belum ada peraturan yang secara tegas mengaturnya. Ini

menandakkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain seperti

Belanda, Belgia, dan Amerika yang mengatur secara tegas dalam peraturan

perundang undangannya tentang euthanasia.

Kasus tragis terjadi di negara kita, yang menimpa Sri Endah Budi Santoso,

berumur 28 tahun, ibu dari empat orang anak dari kampung gayam Surakarta.

Nyonya Endah tidak pernah sadar lagi setelah menjalani operasi steril 10

Oktober 1986. Nyonya Endah melahirkan anaknya yang ke Empat di rumah

Page 21: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

sakit Panti Waluyo Surakarta. Empat jam setelah melahirkan, ia sepakat

menjalani operasi steril. Keganjilan muncul setelah operasi selesai ia belum

sadarkan diri. Ternyata selama pembiusan, nyonya Endah menderita

Ensofalopatia Anakosik atau gangguan otak karena kekurangan oksigen.

Keadaan demikian terjadi karena terhentinya detak jantung secara mendadak,

dan sejak itu kesadarannya menghilang. Setelah kejadian tersebut perawatan

secara medik dihentikan dan yang dilakukan terhadap Nyonya Endah hanya

perawatan biasa saja. Setelah perawatan medik tersebut di hentikan akhirnya

nyonya Endah meninggal dunia (Rehnalemken Ginting, 2009:19).

Atas pertimbangan yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang

diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai permasalahan terhadap

pemberian Euthanasia terhadap pasien, maka dari itu penulis mengangkatnya

dalam penelitian hukum yang berjudul :

“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG

UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

DAN PERBANDINGANNYA PENERAPANNYA DI INDONESIA

DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan data yang

tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin

dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan

masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis

dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk

mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana norma hukum ketentuan euthanasia berdasarkan Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)?

2. Bagaimana penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai

negara (Belanda, Belgia, Amerika) ?

Page 22: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa

yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan itu dirumuskan

sebagai upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Tujuan yang

ingin dicapai oleh penulis adalah tujuan subyektif dan obyektif yaitu :

1. Tujuan Subyektif

A. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis mengenai

penggunaan hak euthanasia oleh pasien menurut UU No. 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan perbandingan penerapan

euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia,

Amerika).

B. Untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.Tujuan Obyektif

A. Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai norma

pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia.

B. Untuk mengetahui penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di

berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini penulis berharap, agar dapat bermanfaat bagi penulis

sendiri maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari

penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil peneielitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di

bidang ilmu hukum.

b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam

pembangunan hukum nasional dibidang Pidana dan Hak Asasi

Manusia.

Page 23: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

c. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan serta pengetahuan bagi pihak yang berkompeten

dan terkait langsung dengan penelitian ini.

b. Memberikan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti

akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan sebagai bahan

masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada hal

yang sama.

c. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berhubungan dengan

konsep dan isi ilmu, sedangkan metode berkaitan dengan aspek formal.

Tepatnya, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi

dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara

totalitas ilmu tersebut dicapai atau dibangun. Suatu bidang pengetahuan

dikatakan metodis apabila cara mempelajarinya sesuai dengan rencana, bidang-

bidangnya dikerjakan secara tertentu, menyusun berbagai temuan yang logis

dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan ( Johny Ibrahim. 2005 : 27).

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Jenis Penelitian

Jenis penilitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum

normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif

adalah penelitian hukum yang meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka. Penelitin hukum normatif tersebut mencakup :

a. Penelitian terhadap azas-azas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal

d. Perbandingan hukum

Page 24: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

e. Sejarah hukum (Soerjono soekanto dan Sri mamudji, 1990 : 15)

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Analisa

penggunaan hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) oleh pasien

menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan

penerapan hukumnya di Indonesia dengan negara lain (Belanda, Belgia,

Amerika).

2. Sifat penelitian

Penelitian bagi ilmu pengetahuan dilakukan untuk memperoleh

suatu kebenaran ilmiah. Seorang yang melakukan penelitian dibidang

ilmu pengetahuan harus berpangkal pada prinsip-pinsip dasar

keilmuannya, kemudian ia menjumpai suatu gejala tertentu yang berupa

fakta.

Didalam penelitian ini bersifat preskriptif. Sifat analisis ini

dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang

telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan

preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah menurut hukum

terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian

normatifakan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil

temuan dari ilmu hukum atau ilmu lainnya untuk kepentingan dan

analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum

sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat

digunakan pendekatan sebagai berikut :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

b. Pendekatan konsep (conceptual approach)

c. Pendekatan komparatif

d. Pendekatan historis (historical approach)

e. Pendekatan kasus (case approach)

Cara pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua atau lebih

Page 25: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

pendekatan. Namun satu hal yang pasti dalam penelitian normatif,

digunakannya pendekatan penggunaan pendekatan perundang-undangan.

Ini dikarenakan penelitian hukum normatif didasarkan pada hukum yang

ada (Johny Ibrahim, 2005 : 301).

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), dan pendekatan

konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan

digunakan karena dalam penelitian normatif harus menggunakan

pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah

berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dari penlitian. Pendekatan

konsep (conceptual approach) digunakan untuk memunculkan, objek-

objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan

dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu yang bersifat universal (Johny

ibrahim, 2005 : 309).

4. Sumber Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data hukum

sekunder. Data sekunder tersebut mencakup :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

dan terdiri dari :

1. Norma (dasar) atau kaidah dasar yaitu pembukaan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,

2. Peraturan dasar yang terdiri dari :

I. Batang tubuh UUD Republik Indonesia 1945

II. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan

Rakyat

3. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :

I. Undang-undang dan peraturan yang setaraf,

II. Peraturan pemerintah dan peraturan yang

setaraf,

III. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf,

IV. Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf,

Page 26: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

V. Peraturan-peraturan Daerah.

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti

misalnya hukum adat

5. Yurisprudensi

6. Traktat

7. Bahan hukum dari Zaman penjajahan yang hingga kini

masih berlaku, seperti misalnya Kitab Undang Undang

Hukum Pidana yang merupakan terjemahan secara

yuridis dari Wetboek van Strafrecht.

Lebih khususnya penelitian ini, penulis menggunakan sumber hukum

primer antara lain :

1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti halnya

rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan hukum (Soerjono soekanto dan Sri

Mamudj, 1990 : 15)

Bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

adalah buku-buku yang terkait materi mengenai penggunaan

hak euthanasia oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak asasi Manusia dan penerapan hukum

euthanasia di Indonesia dengan berbagai negara (Belanda,

Belgia, Amerika)

c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petujuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder.

Page 27: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

5. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen

atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan

data dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan, mengkaji dan

mempelajari literatur-literatur yang berkaitan erat dengan pokok

permasalahan dalam penelitian ini.

6. Teknik analisis data

Analisis data merupakan kegiatan dalm penelitian yang berupa

melakukan kajian-kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang

dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara

sederhana analisis data ini disebut kegiatan memberikan telaah, yang

dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau

memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap

hasil penelitian dengan pikiran sendiri atau bantuan teori (Mukti Fajar

dan Yulianto achmad, 2010 : 183).

Dalam hal demikian ini peneliti menggunakan metode deduktif yaitu

berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan

objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan

berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau

prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik

kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus (Mukti Fajar dan

Yulianto Achmad, 2010 : 109).

F. Sistmatika penulisan hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan

memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai

dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam

bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana

tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk

Page 28: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun

penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Metode Penelitian Hukum dan Sistematika Penelitian Hukum

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan

judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan

landasan/kerangka teori serta diuraikan mengenai kerangka

pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan euthanasia,

Tinjauan Umum tentang pasien, Tinjauan Umum tentang

Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, Tinjauan Umum tentang Pidana. Selain itu untuk

memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini

juga disertai dengan Kerangka Pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas

tentang norma hukum euthanasia dalam Undang Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mengenai

euthanasia serta penerapan hukumnya di Indonesia dengan

berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan

dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.

Daftar Pustaka

Lampiran

Page 29: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Euthanasia

a. Pengertian Euthanasia

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu yang berarti baik, dan

Thantos yang berarti mati atau meninggal. Suetonius dalam bukunya

Vitaceaserum merumuskan bahwa Euthanasia adalah mati cepat tanpa

derita. Dalam perkembangannya Euthanasia diartikan sebagai pengakhiran

kehidupan karena belas kasihan (Mercy killing) dan membiarkan seseorang

untuk mati (Mercy Death) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:181).

Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang

berkaitan dengan Euthanasia yaitu :

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,

untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sakit dengan memberikan

obat penenang.

3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri dan keluarganya.

Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter

Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja

untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang

pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau

mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk

kepentingan pasien itu sendiri (Rehnalemken Ginting, 2009:9).

b. Kategori Euthanasia

1) Menurut Lamerton dan Thiroux

Ada empat kategori yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu :

a) Membiarkan seseorang mati

b) Kematian belas kasihan

Page 30: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

c) Pembunuhan belas kasihan

d) Kematian otak atau batang otak

2) Menurut Profesor Separovic dalam Kongres Kedokteran Sedunia :

a) No Assistence in proces death without intention to shorten life (tidak

ada bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat

hidup)

b) Assistence in the process of death without intention to shorten life

(bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat

hidup)

c) No Assistence in the process of death with intention to shorten life.

(Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk

mempersingkat hidup).

d) Assistence in the process of death with intention to shorten life

(bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat

hidup) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).

c. Macam Euthanasia

1) Menurut J.E Sahetapy membedakan Euthanasia dalam tiga jenis yaitu :

a) Action to permit death to occur (aksi untuk mengijinkan kematian

terjadi)

Biasa disebut dengan Euthanasia dalam arti yang pasif

(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien dengan

sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan mati. Kematian

dalam arti ini seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan

dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa

penyakit yang dideritanya sudah tidak mungkin dapat disembuhkan

walaupun dengan pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga.

Oleh sebab itu, untuk mengurangi atau menghilangkan

penderitaannya, pasien kemudian meminta dokter untuk :

Page 31: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

i. Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan terhadap

penyakitnya,

ii. Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi dirawat

dirumahnya sendiri.

b) Failure to take action toprevent death (Kegagalan untuk mengambil

tindakan untuk mencegah kematian)

Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan

dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya

kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan

guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena

ia tahu bahwa tindakan yang diberikan kepada pasien akan sia-sia

saja. Pengobatan atau tindakan dokter dipandang sebagai perbuatan

yang tidak berarti sehingga tidak ada cara penyembuhan normal.

c) Positive action to cause death(tindakan positif untuk menyebabkan

kematian)

Biasanya disebut dengan Euthanasia dalam arti aktif

(Causation). Atas permintaan atau desakan dari pasien atau

keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna

mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak

secara aktif untuk mempercepat kematian pasiennya dengan tenang,

misalnya memberikan obat-obatan penghilang kesadaran, morfin

dalam dosis tinggi ataupun cara lainnya.

2) Secara umum ada 3 Jenis Euthanasia yaitu :

a) Euthanasia aktif yaitu secara sengaja melakukan

tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup

penderita.

b) Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan

perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup

penderita.

Page 32: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

c) Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk

memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia

tahu pasti bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri

hidupnya (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).

3) Pseudo-Euthanasia

a) Menurut Van Wijmen

Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa

keadaan yang mirip Euthanasia tetapi sebenarnya sama sekali bukan

Euthanasia. Sehingga jika dihubungkan dalam KUHP terutama pasal

344 KUHP tidak termasuk rumusan didalamnya. Van Wijmen

menyebutkan :

a) Absistence, of which the essence is that treatment in medical

respects is useless (pengobatan dalam hal-hal medis tidak

berguna)

b) Refusing treatment by patient, in which case the duty to treat

ceases to exist.(pasien menolak untuk pengobatan dilanjutkan)

c) Brain death in which case the duty to treat ceases to exist (adanya

kematian otak). (Crisdiono M. Achadiat, 2006:191)

b) Menurut H.J.J.Leeman

H.J.J.Leeman mensinyalir didalam dunia medis, kadang-kadang

kita menemukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan

Euthanasia, akan tetapi mirip dengannya. Bentuk-bentuk yang

dimaksud antara lain :

1) Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati otak (Brain

Death),

2) Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat,

3) Memberhentikan suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi

(Zinloos),

4) Menolak perawatan medis (Rehnalemken Ginting, 2009:17).

Page 33: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

c) Menurut Fred Ameln

Fred Ameln membagi Pseudo-Euthanasia menjadi empat

katagori yaitu :

1) Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati

klinis dan kematian yang sebenarnya kini telah dibedakan. Teknologi

kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan

paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan

intelektual dan psikis (berpikir, merasakan, berkomunikasi)

sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi meskipun

jantung dan paru-paru masih bekerja. Karenanya menghentikan

perawatan atau bantuan medik pada pasien yang otaknya tidak

berfungsi, kini digolongkan sebagai Euthanasia.

2) Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena

kuasa tidak teralawan (Force Majure). Dalam dunia kedokteran dapat

terjadi keadaan sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP.

3) Menghentikan perawatan medik yang diketahui tidak berguna. Ilmu

kedokteran tetap mempunyai batas dan hal-hal diluar batas itu tidak

bisa diurus oleh seorang dokter atau dengan kata lain dokter tidak

berkompeten melakukan sesuatu diluar batas ilmu kedokteran.

Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa izin pasien, maka ia

dapat dituntut berdasarkan penganiayaan. Jadi seorang dokter

seharusnya tidak meneruskan suatu pengobatan, bila secara medik

telah diketahui tidak dapat diharapkan sesuatu hasil apapun. Langkah

tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpendek atau mengakhiri

hidup pasien, melinkan mencegah terjadinya penganiayaan pasien

oleh dokter.

4) Pasien menolak perawatan medik. Secara hukum dikatakan bahwa

seorang dokter tidak berhak melakukan tindakan medik apapun, jika

Page 34: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

hal itu tidak diizinkan oleh pasien. Sesuatu yang dilakukan tanpa izin

pasien, akan dapat dikenai sanksi pasal 351 KUHP.

2. Tinjauan Tentang Pasien

a. Pengertian Pasien

Didalam Pasal 1 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

dijelaskan tentang pengertian pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan

yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter

atau dokter gigi.

b. Kewajiban Pasien

1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Di dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Paraktik

Kedokteran, telah dirumuskan kewajiban-kewajiban pasien antara lain:

i. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai

masalah kesehatannya

ii. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter/dokter gigi

iii. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan

iv. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.

2) Menurut Prof. Picard

Seorang pasien mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap

dokternya dan juga terhadap dirinya sendiri. Didalam melakukan

kewajibannya pasien diminta untuk memenuhi standard pasien yang

wajar.

Apabila ia tidak melakukan kewajibannya dan hal ini sampai

merupakan penyebab (proximate cause) dari cideranya, maka ia dianggap

turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul dibagi secara

proporsional antara dokter dan pasien. Namun apabila cidera itu hanya

Page 35: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

disebabkan oleh pasien itu sendiri, maka ia tidak dapat meminta ganti

kerugian yang dimintanya. Hal-hal yang dikatagorikan sebagai

contributory negligence antara lain :

i. Pasien tidak mentaati instruksi dokternya (termasuk) didalamnya

tidak membeli obat yang sesuai dengan resep dokter)

ii. Pasien menolak cara pengobatan yang diusulkan, misal pasien

menolak operasi yang dianjurkan dokter, kemudian meninggal,

sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.

iii. Pasien tidak sejujurnya memberikan informasi atau tidak

memberikan informasi yang akurat atau menyesatkan (Guwandi,

1993 :19).

c. Hak-Hak Pasien

1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,

mempunyai hak:

i. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)

ii. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain

iii. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

iv. Menolak tindakan medis

v. Mendapatkan isi rekam medis.

2) Hak-hak penting diluar UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik

kedokteran

i. Hak untuk hidup, hak untuk mati secara wajar, dan hak atas

tubuhnya sendiri.

ii. Hak untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi

sesuai dengan standard profesi kedokteran

iii. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari

dokter yang mengobatinya

Page 36: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

iv. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang

direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik

v. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang

telah diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya

dalam riset kedokteran tersebut

vi. Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan

dikembalikan kepada dokter yang merujukya setelah konsultasi atau

pengobtan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut

vii. Hak atas kerahasian atau rekam medik yang bersifat pribadi

viii. Hak untuk memperoleh penjelasan mengenai peraturan rumah sakit

ix. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau

rohaniawan yang diperlukan selama perawatan dirumah sakit

x. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincin biaya rawat inap,

obat, pemeriksaan laboratorium, pemriksaan rontgen, biaya kamar

bedah, bersalin, serta imbalan jasa dokter (Anny Isfandyarie, 2006

:102)

3. Tinjauan tentang UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

a. Sejarah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang

Indonesia

Pada awal Negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para

pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM

dimasukkan ke dalam UUD Negara Indonesia. Dalam pandangan

Soepomo HAM sangat identik dengan ideologi liberal individu dengan

demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Akan

tetapi M. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada

dasar apapun yang dapat dijadikan alasan menolak memasukkan HAM

dalam Undang Undang Dasar.

Penolakan Soepomo memasukan norma-norma HAM ke dalam UUD

1945 bukan berarti ia anti terhadap HAM. Perubahan sikap Soepomo

terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warga

Page 37: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Negara dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dimana Soepomo terlibat

secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, ada 36 pasal

prinsip-prinsip HAM dimuat dibawah paying hak-hak kebebasan dasar

manusia. Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945, dibawah rezim

Soekarno dan dilanjutkan rezim Soeharto dengan orde barunya,

pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD

1945.

Seiring dengan perkembangan sejarah di dunia Internasional

Instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai

konvensi. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma

standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara barat.

Dengan kekuatan ekonomi yang besar dan ketergantungan Negara-negara

dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi barat,

menimbulkan dominasi negara barat dan standar barat dalam penilaian

terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama Negara dunia ketiga.

Isu HAM kemudian dijadikan isu Internasional atau isu global. Hal ini

tak jarang menimbulkan konflik antara Negara Barat dengan Negara-

negara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep-konsep konsep

keaneragaman budaya, negara-negara non barat mencoba membendung

dominasi standar barat dalam menilai terhadap perlindungan HAM dunia.

Dominasi standar barat dalam penilaian terhadap HAM semakin kuat

dengan runtuhnya negara-negara sosialis khususnya Uni Soviet.

Keruntuhan ini membawa implikasi yang besar terhadap Indonesia pasca

rezim Soeharto. Selama berkuasa, rezim Soeharto dianggap refresif dalam

mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan berbagai

pelanggaran HAM sepanjang orde baru dan selalu mendapat penilaian

buruk dari lembaga-lembaga HAM dunia.

Pada tahun 1993 pemerintahan Soeharto mulai menunjukan perubahan

sikapnya terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Perubahan ini dipengaruhi perubahan

konstalasi politik dunia yang mulai menunjukan titik akhir kehancuran

Page 38: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

komunisme dan munculnya dominasi barat. Faktor lainnya adalah isu

pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada waktu itu

menjadi isu Internasional.

Pada waktu pemerintahan Habibie yang masih muda harus

mendapatkan tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal

inilah yang mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai

instrument HAM Internasional dan menerbitkan UU mengenai HAM yaitu

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu MPR

melakukan amandemen untuk memasukan instrument-instrumen HAM

kedalam batang tubuh UUD 1945 (Muladi, 2004:10)

b. Pengertian Hak asasi Manusia

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang

dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat

pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi

dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak-

hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-

hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia

seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari

kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin

martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat

sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik

secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah

persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang

tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang

merupakan dasar dari arti yang pertama

Page 39: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

b. Instrumen HAM Nasional

Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan

baik. Hanya kepentingan politik saja yang pada waktu itu sangat menonjol,

sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan

militerisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai

anggota PBB, maka untuk menghormati piagam PBB dan deklarasi

Universal HAM, serta perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan

pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa

Indonesia, Pancasila dan negara berdasarkan hukum telah menetapkan :

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvesi

Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,

b. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-

Hak Anak,

c. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional

HAM.

Semenjak pergantian pemerintahan orde baru, dan Kabinet Era

Reformasi sampai dengan Kabinet Gotong Royong, telah banyak

menetapkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif HAM dan

ratifikasi instrumen HAM Internasional, yaitu :

a. Keppres Nomor 129 tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,

b. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998

tentang menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi

dalam semua perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan

Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan

Pemerintahan,

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September1998

tentang pengesahan Konvesi Menentang Penyikasaan dan Perlakuan

atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau

Merendahkan,

Page 40: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

d. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,

e. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Dimuka Umum,

f. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999

tentang Hak Asasi Manusia,

g. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000

tentang Peradilan Hak Asasi Manusia,

h. Konvesi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No.

83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak

Untuk Berorganisasi

i. Konvesi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang

Undang Nomor 19 Tanun 1999 Tentang Penghapusan Kerja Paksa,

j. Konvesi ILO 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang Undang

Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan

jabatan,

k. Konvesi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang

Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk

diperbolehkan bekerja,

l. Konvesi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang

Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak,

m. Konvesi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No.

36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja

(Muladi, 2004:5).

c. Penerapan HAM di Indonesia

Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologies, filsafati,

ideologis, atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam

konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena

instrument HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan

Page 41: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

hukum Internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya dapat

berupa deklarasi, konvesi, resolusi maupun general Comments. Instrumen-

instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara

anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban

secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi

secara formal.

Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan

kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang

Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan

falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual

maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan,

dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas

komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang

proporsional. Manusia dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial

dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM Indonesia bukan

saja hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai

warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak

tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum

Internasionalterhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk

menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan HAM yang telah diatur

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Internasional HAM

yang diterima oleh Indonesia (Muladi, 2004:6).

4. Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana

a. Pengertian Pidana

1) Menurut Sudarto

Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana

sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Dengan

demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:

i. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Page 42: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu

dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang

memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu

dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat

perbuatan jahat . Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada

orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan

tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan

orang yang melanggar larangan itu.

ii. Pidana.

Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Didalam hukum pidana modern,

pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Dalam

KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat

diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.

2) Menurut Van Hammel

een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat

gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van di overtreding,

van wege den staat als handhaver der openbar rechtsorde, door met de

rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. (suatu penderitaan yang

bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang

untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab

dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata

karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus

ditegakkan oleh negara.). (Lamintang. 1984:34)

3) Menurut Simmons

Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm

verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.

(suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan

Page 43: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan

hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah).

4) Menurut Roslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang

dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.

5) Menurut Ted Hondrich

Punishment is an authority’s infliction of penalty (something

involving deprivation or distress) on an offender for an offence.(pidana

adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman

(sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan

kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).

6) Menurut Hulsman

Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde

reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni:

untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan

penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat

terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan

baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.

7) Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH

Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian

istilah hukum pidana bahwa ”Hukum pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan

dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

i. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu

bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;

Page 44: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

ii. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan;

iii. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar

larangan tersebut. (Moeljatno, 2002 : 1)

8) Menurut P.A.F Lamintang

Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa pidana itu sebenarnya hanya

merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa

pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat

mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di

Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari

para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut

tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada

beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara

berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan

perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal

yang dimaksud dengan perkataan doel der straf itu sebenarnya adalah

tujuan dari pemidanaan (PAF Lamintang, 1997 : 185).

b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana

1. Pidana pokok terdiri dari :

(a) Pidana mati

Pidana mati masih mengalami perdebatan antara setuju dan tidak

setuju dan tidak setuju mengenai penerapan pidana mati. Pidana mati

merupakan sanksi pidana yang paling berat. (Bambang waluyo, 2000

:12)

(b) Pidana penjara

Pidana penjara merupakan bentuk pelaksanaan pidana yang dari

sifatnya menghilangkan serta membatasi kemerdekaan bergerak,

Page 45: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

yang dalam hal ini menempatkan narapidana dalam lembaga

pemasyarakatan. Ciri khas dalam pidana penjara adalah :

i. Pidana penjara diancamkan pada jenis kejahatan

ii. Ancaman pidana maksimal 15 tahun dan dapat diperpanjang

menjadi 20 tahun apabila tindak pidana tersebut memberatkan.

iii. Pidana penjara tidak dapat menggantikan pidana denda.

iv. Pelaksanaannya dapat dilakukan di seluruh lembaga

pemasyarakatan

v. Pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat

daripada narapidana kurungan.

(c) Pidana kurungan

Pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara, akan tetapi

ada ciri khusus yang membedakannya. Ciri khas dari pidana

kurungan antara lain :

i. Pidana kurungan yang diancamkan jenis pelanggaran

ii. Ancaman pidana kurungan maksimum 1 tahun dan dapat

menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan

iii. Pidana kurungan dapat menggantikan pidana denda

iv. Pelaksanaannya hanya dapat dilakukan di lembaga

pemasyarakatan dimana tinggal ketika putusan hakim

dijalankan

v. Pekerjaan pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana

penjara

vi. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat meringankan

dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang diterapkan

(hak pistole)

(d) Pidana denda

Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik

sebagai alternative dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri.

Ciri khusus dari pidana denda adalah :

Page 46: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

i. Pelaksanaan pidana denda tidak menutup kemungkinan dilakukan

atau dibayar oleh orang lain

ii. Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana

kurungan, lama pidana kurungan untuk mengganti denda adalah

minimal 1 hari dan dapat maksimal 6 bulan

iii. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya,

yang ada hanyalah minimum umumnya adalah tiga rupiah tujuh

puluh lima send an maksimum khususnya ditentukan pada

masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

(e) Pidana tutupan

Pidana tutupan ditambahkan dalam Pasal 10 KUHP melalui

Undang-undang nomor 20 tahun 1946, yang tertuang dalam Pasal 2

ayat (1) yang menyatakan bahwa, dalam mengadili orang yang

melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena

terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh

menjatuhkan pidana tutupan (Adami Chazawi, 2002 : 29-42)

2. Pidana tambahan terdiri dari :

(a) Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu tertuang dalam Pasal 35 KUHP

antara lain :

i. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu,

ii. Hak mjabatan dalam angkatan bersenjata/TNI,

iii. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan umum,

iv. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan

pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau

pengampu pengawas atas anak yang bukan anaknya sendiri,

v. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau

pengampuan atas anaknya sendiri,

vi. Hak menjalankan mata pencaharian.

Page 47: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

(b) Perampasan barang tertentu

Barang yang dirampas melalui putusan hakim menurut Pasal 39

KUHP adalah :

i. Barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan, yang disebut

dengan corpora delictie

ii. Barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut

dengan instrument delictie

(c) Pengumuman putusan hakim

Pengumuman putusan hakim ditujukan sebagai usaha preventif,

untuk mencegah orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak

pidana yang sering dilakukan oleh orang. Selain itu juga

memberitahukan kepada masyarakat agar berhati-hati dalam

berhubungan dengan orang yang dapat disangka tidak jujur, agar tidak

menjadi korban kejahatan ( Adami Chazawi, 2002 : 44-45)

Page 48: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Pasien

Informed Consent

Penerapan hukum

euthanasia

Undang Undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia

Hak untuk hidup Hak untuk

menentukan nasibnya

sendiri

Euthanasia

Hukum Indonesia,

Belanda, Belgia,

Amerika

B. Kerangka Pemikiran

Gambar I

Bagan kerangka pemikiran

Keterangan :

Pasien dapat meminta dokter untuk menghentikan tindakan-tindakan medik

terhadap dirinya dengan cara mengurangi kualitas perawatan dari rumah sakit ke

Page 49: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

rumah tangga. Penghentian tindakan medik ini dapat dilakukan setelah adanya

persetujuan antara pasien dan dokter (informed consent). Setelah dirawat dirumah

akhirnya paseien meninggal dunia. Tindakan dokter yang mengizinkan untuk

mengurangi perawatan dari rumah sakit ke rumah tangga inilah yang tergolong

dalam euthanasia yaitu termasuk euthanasia pasif.

Di Indonesia permasalahan tentang euthanasia belum diatur dalam

peraturan perundang undangan secara jelas, hanya ada dalam KUHP terdapat

Pasal yang mendekati euthanasia yaitu Pasal 344. Sedangkan negara-negara

lainnya (Belanda, Belgia, Amerika) telah melegalkan praktek euthanasia dan

telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang undangan.

Jika dilihat dari hak asasi manusia, masalah euthanasia di Indonesia

menimbulkan dualisme tersendiri. Di satu sisi manusia mempunyai hak hidup,

sehingga perbuatan apapun yang tergolong euthanasia merupakan murni

pelanggaran dari hak asasi manusia. Di sisi lain manusia mempunyai hak untuk

menentukan hidupnya sendiri, dimana setiap orang bebas untuk menentukan

hidupnya sendiri. Seorang pasien yang meminta dokter untuk melepas semua alat

yang membantu hidupnya karena menurutnya sudah tidak ada lagi harapan untuk

sembuh merupakan hal yang wajar, karena merupakan hak pasien tersebut, dan

dokter jika tidak mau melakukannya, maka dokter tersebut telah melanggar hak

dari pasien tersebut.

Page 50: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Norma hukum ketentuan euthanasia menurut Undang Undang Nomor 39

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

1. Pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia.

Walau dikenal dalam dunia medis praktik euthanasia bukannya tanpa

hambatan dan halangan. Terutama penilaian dalam sisi humanis dan hak

asasi manusia. Tapi hak asasi seorang pasien juga yang meminta untuk

diakhiri hidupnya, tentunya dengan syarat yang ketat, bila ia merasa

sakitnya malah membuat beban ia dan orang disekitarnya. Ada hak moral

bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak

memilih cara kematiannya. Alasan yang lazim dikemukakan dokter untuk

memutuskan tindakan euthanasia adalah karena keadaan ekonomi pasien

yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat

tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah

tidak efektif lagi.

Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak

lahir. Setiap manusia tentunya memiliki hak untuk hidup yang diatur

didalam Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia dan tidak menutup kemungkinan adanya hak untuk

mati. Namun, hak asasi manusia lebih sering dikaitkan dengan hak untuk

hidup ,akan tetapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak untuk mati.

Dalam berbagai hal, kematian lebih sering dihubungkan dengan pelanggaran

hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang mana

cenderung menyalahkan tenaga medis, khususnya pihak dokter.

Jika kita lihat secara sepintas, memang melakukan euthanasia pada

pasien merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya

hak untuk hidup. Karena secara tidak langsung, tindakan ini dapat diartikan

merampas hak hidup manusia. Namun, adanya hak untuk hidup, secara tidak

langsung seharusnya ada juga hak untuk mati. Terlebih lagi jika untuk

Page 51: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan khususnya penderitaan

akibat penyakit yang diderita pasien, yang mana menurut medis sudah tidak

ada harapan untuk sembuh.

Dari aspek Hak asasi manusia terutama dari Undang Undang Nomor

39 Tahun 1999, euthanasia tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai

tindakan yang melanggar HAM, karena hak manusia bukan hanya hak untuk

hidup namun juga hak untuk mati. Ditambah lagi jika tindakan euthanasia

tersebut telah mendapat persetujuan dari pasien itu sendiri

Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk,

terutama bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan

umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada

Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak akan hidup, akan

kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan dengan pasal tersebut

ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memuat hak-

hak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan

pendapat, berhak hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak

ketentuan UUD 1945 yang mengatur hak manusia. seorang pasien yang

meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin mati

tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara kita

belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan

tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia

adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter

Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia.

Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan

megijinkan Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar,

Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4 dan

Pasal 9 ayat (1) (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001).

Page 52: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Apabila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi

pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak dibenarkan dalam HAM

namun keputusan euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan jika

diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum,

etika kedokteran, dan agama pasien. Secara umum sebenarnya hukum tidak

memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang. Hanya,

disebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang, namun tidak

ada penjelasan lebih lanjut. Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran

masa kini, detak jantung dan napas seseorang dapat terus dipertahankan

karena fungsi otonomnya (dengan bantuan peralatan medis tertentu),

walaupun sebenarnya otak atau batang otaknya telah berhenti berfungsi.

Inilah yang di kalangan kedakteran dikenal sebagai keadaan vegetatif

(vegetative state). Permasalahan yang timbul kemudian adalah bahwa pasien

tidak dapat melakukan kegiatan selayaknya manusia, hidup dengan bantuan

alat-alat yang tentunya akan semakin memperpanjang penderitaan. Pada

kasus ini jelas bahwa pasien mengalami kematian batang otak di mana

secara etik-moral dapat menghentikan tindakan terpeutik dengan tujuan

untuk mengakhiri penderitaan. Tindakan ini menurut Prof.J.J.leennen

digolongkan pseudo euthanasia (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001).

Masalah kemudian berkembang ketika menyentuh hak dasar pasien

untuk menentukan dirinya sendiri (the right self of determination). Hak

tersebut mencakup hak untuk menentukan atau menolak pelayanan

kesehatan, hak untuk memilih sarana kesehatan atau dokter, hak untuk

dirahasiakan penyakitnya, hak untuk melihat rekam medik termasuk hak

untuk mengakhiri hidup, di mana tentunya pasien yang diwakili oleh

keluarga meminta untuk mengakhiri hidup dengan melepas alat-alat bantu

tersebut (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001). Setelah mendapatkan

informasi yang jelas pasien dapat meminta dokter untuk melakukan

euthanasia dalam hal ini euthanasia pasif atas dirinya, maka ia berarti telah

menjalankan haknya yaitu hak untuk menghentikan pengobatan, Dengan

Page 53: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

demikian pasien tersebut sudah tidak peduli dengan kematiannya (Petrus

Yoyo Karyadi, 67 : 2001).

Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi,

yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan

mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar

yang tercantum di dalam UU 39 tahun 1999 HAM dan UU Kesehatan.

Dokter mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan

kebebasanya sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan

kebebasan yang digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil

sesuai dengan pertimbangan etik serta moral. Inilah yang menjadi dualisme

tersendiri yaitu antara hak untuk menentukan hidup sendiri dan hak untuk

hidup (Petrus Yoyo Karyadi, 67 : 2001).

Akan tetapi hak untuk menentukan hidup sendiri (the right of self

determination) tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada adanya hak atas

pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak atas informasi (the

right of information) yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Mengenai hak atas pelayanan kesehatan memerlukan

penanganan yang sungguh-sungguh. Hal ini diakui secara internasional

sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights

tahun 1948.

Beberapa pasal yang berkaitan dengan hak untuk menentukan

hidupnya sendiri (the right of self determination), hak atas kesehatan (the

right of health) antara lain diatur dalam article 3 yang berbunyi Everyone

has the right to life, liberty and security person (setiap orang berhak untuk

hidup, bebas, serta keamanan). Selanjutnya dalam article 5 disebutkan no

one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading

treatment (tidak ada yang harus dikenakan penyiksaan atau perlakuan

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan). Ketentuan lain dimuat dalam

International Convernant on Civil and Political Rights (konferensi

internasional atas hak sipil dan politik) tahun 1966 disebutkan dalam article

7 menyebutkan No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman

Page 54: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

degrading treatment. In particular, no one shall be subjected without his

free consent to medical or scientific experimentation (Tidak seorang pun

boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, tidak manusiawi

merendahkan martabat. Secara khusus, tak seorang pun akan dikenakan

tanpa persetujuan bebas untuk eksperimen medis atau ilmiah). Ketentuan

lain dimuat dalam article 10 mengatur tentang All persons deprived of their

liberty shall be treated with humanity and respect for inherent dignity of the

human person (Semua orang yang dirampas kebebasannya wajib

diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabat yang melekat

pada manusia) (Bahder Johan Nasution, 2005 : 33).

Hak yang menjadi pendukung atas hak menentukan hidup sendiri

selanjutnya adalah hak atas informasi (the right of information). Dalam

dunia kedokteran, informasi merupakan hak asasi pasien, karena

berdasarkna informasi tersebut pesaien dapat mengambil tindakan medis

yang dilakukan terhadap dirinya. Dipihak lain, memberikan informasi

secara benar kepada pasien merupakan kewajiban pokok seorang dokter

yang sedang menjalankan profesinya. Selain berkaitan dengan masalah

hukum, informasi ini juga berkaitan dengan masalah etika, moral serta

norma-norma yang berlaku didalam masyarakat.

Perselisihan antara dokter dan pasien juga dapat timbul karena

masalah informasi. Dahulu hubungan antara dokter dan pasien hanya

bersifat paternalistik yaitu pasien taat dan menurut saja kepada dokter. Pada

masa kini hubungan seperti ini sudah tidak mendapatkan tempat lagi karena

masyarakat telah semakin sadar akan hak-haknya untuk menentukan

hidupnya sendiri (The right of self determination). Banyak informasi dari

kalangan kedokteran yang dahulu menjadi monopoli kalangan dokter,

sekarang telah dipahami oleh masyarakat luas. Pasien berhak untuk

mengetahui apa yang hendak dilakukan dokter kepadanya karena pada

hakekatnya semua tindakan medis oleh dokter akan ditanggung ditanggung

seluruhnya oleh pasien. Sebaliknya dokter juga harus menjelaskan apabila

terjadi akibat negatif ataupun tidak berhasilnya suatu tindakan medis atas

Page 55: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

pasiennya, sehingga pasien dapat memutuskan serta menanggung

keputusannya sendiri.

Dalam perkembangannya, kesadaran masyarakat akan hak asasi

manusia juga mempengaruhi medical ethics (etika kedokteran), sehingga

telah ada dasar-dasar medical ethics (etika kedokteran) bagi masyarakat

dengan hak asasi manusia khususnya hak kesehatan umtuk warga negara.

Hak kesehatan merupakan termasuk bagian dari hak asasi manusia yang

harus djaga oleh negara. Penjagaan dan perlindugan hak kesehatan oleh

negara dan pemerintah bagi warganya terwujud dalam pembentukan

peraturan perundang undangan dan anggaran biaya kesehatan masyarakat

(Tarmizi Taher, 61 : 2003)

Hak asasi manusia merupakan hak yang tidak boleh dicabut oleh

siapaun, sebab pencabutan hak asasi manusia berarti hilangnya sifat

kemanusiaan yang ada pada diri manusia. Ini berarti harkat dan martabat

manusia sebagai ciri khas kemanusiaan manusia tidak lagi dihormati dan

diakui. Hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang awal, bukan

merupakan suatu pemberian dari masyarakat atau negara. (Harun Pudjianto,

37 : 1999)

Apabila kita kaitkan dengan pemberian euthanasia pasif oleh dokter,

berarti dokter tersebut telah memenuhi hak dari pasien tersebut. Seorang

pasien yang meminta untuk dilepas alat penopang hidupnya walaupun

pasien tersebut akan meninggal dunia, berarti pasien tersebut telah

menggunakan hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self

determination). Keputusan pasien untuk melepas alat penopang hidupnya

tidak serta merta muncul begitu saja. Pasien memutuskan untuk melepas alat

penopang hidupnya setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas dari

dokter mengenai penyakitnya (hak informasi). Setelah mendapatkan

penjelasan yang cukup jelas dan menurut dokter penyakitnya sudah tidak

dapat disembuhkan lagi sehingga perawatan yang dijalaninya dirumah sakit

akan menambah biaya saja. Tindakan dokter yang tidak memberikan

Page 56: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

euthanasia pasif berarti dokter tersebut telah merampas hak-hak dari pasien

tersebut.

2. Informed Concent sebagai sarana dilakukannya euthanasia yang

berdasarkan UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Setelah mendapatkan informasi yang jelas berkaitan dengan

penyakitnya, pasien ataupun pihak keluarga dapat memberikan keputusan

mengenai perawatan atau tindakan medis yang harus diambil atau dalam

medis sering disebut dengan informed consent. Dalam pemberian pelayanan

kesehatan kepada masyarakat, terdapat hal yang berkaitan dengan HAM di

dalam doktrin Informed Consent. Informed consent lahir karena ada

hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Masing-

masing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus

dihormati. Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan

bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula

sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan

hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi

hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam

kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak adalah

wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu,

sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau

berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai

pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban

tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam

sistem hukum menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada hak.

Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak pasien menjadi suatu keharusan.

Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan

sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga

memunculkan doktrin informed consent. Didalam Universal Declration of

Human Right (article 19) dan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia Bab II Pasal 14 disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh

Page 57: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

informasi. Kemudian dalam The Declaration of Lisbon dimuat pula tentang

hak-hak pasien, diantaranya hak untuk menentukan hidupnya sendiri dengan

menerima atau menolak pengobatan yang akan diberikan setelah

mendapatkan informasi yang cukup dimengerti.

Dalam surat keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Nomor 319/PB/A.4/88 Tahun 1988 disebutkan pernyataan Ikatan Dokter

Indonesia tentang Informed Consent. Di Indonesia dalam UU No. 23 Tahun

1992 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (2) beserta penjelasannya terdapat

kewajiban tenaga kesehatan untuk mematuhi standar profesi dan

menghormati hak pasien. Informed consent atau dalam Peraturan Menteri

Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989

disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik yang dapat didefinisikan

sebagai ijin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas

dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan dimengertinya

(persetujuan berasarkan informasi (muladi 2004:183). Dalam Peraturan

Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989, tentang persetujuan

diatur dalam Bab II Pasal 2 dan 3 sebagai berikut :

1. Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan

2. Persetujuan tersebut dapat diberikan secara tertulis maupun lisan

3. Persetujuan diberiakan setelah pasien mendapatkan informasi yang kuat

tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serata resiko yang

dapat ditimbulkan

4. Persetujuan lisan berlaku bagi tindakan medik yang tidak termasuk

dalam tindakan medik yang mengandung resiko medik

5. Persetujuan dapat diberikan secara nyata atau diam-diam (Anny

Isfandyarie, 142 : 2006).

Sedangkan mengenai hak atas informasi juga telah diatur Peraturan

Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989 antara lain :

1. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat

pendidikan serta kondisi dan situasi pasien

Page 58: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

2. Informasi tentang tindakan medik harus diberikan oleh dokter kepada

pasien baik diminta maupun tidak diminta, dengan informasi yang

selengkap-lengkapnya

3. Dalam hal informasi tidak bisa diberikan kepada pasien, maka dengan

persetujuan pasien, dokter dapat memberikan informasi tersebut kepada

kepada keluarga terdekat dengan didampingi perawat atau paramedis

sebagai saksi

4. Informasi mencakup keuntungan dan kerugian daripada tindakan medik

yang dilakukan baik diagnostik maupun terapeutik, diberikan secara

lisan dan jujur (Anny Isfandyarie, 143 : 2006)

Dalam UU Praktik kedokteran, persetujuan tindakan medik tercantum

pada BAB VII Tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteraan. Pada Pasal

45 ayat (1) disebutkan bahwa :

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Dari pasal diatas dapat diuraikan bahwa pada prinsipnya yang berhak

memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang

bersangkutan. Penjelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien

atau keluarganya menurut Pasal 45 ayat (3) UU Praktik kedokteran minimal

mencakup tentang :

1. Diagnosa dan tata cara tindakan medis

2. Tujuan tindakan medis dilakukan

3. Alternatif tindakan lain dan resikonya

4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5. Prognosis terhadap tindakan yang mungkin terjadi (Syahrul Mahmud, 65:

2008)

Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan oleh bukan pasien apabila

pasien berada dibawah pengampuan, belum dewasa, dan tidak sadar.

Apabila hal tersebut terjadi maka yang berhak mewakili adalah keluarga

terdekat, dan apabila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada

orang yang mengantar pasien, dan apabila dalam keadaan darurat tidak ada

Page 59: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

keluarga ataupun orang yang mengantar, maka untuk menyelamatkan jiwa

pasien tidak diperlukan persetujuan. Penjelasan diberikan langsung kepada

pasien tanpa terkecuali pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar.

Pada dasarnya Informed Consent merupakan proses komunikasi.

Dokter yang melakukan tindakan, baik sebagai prosedur diagnostik ataupun

prosedur terapetik wajib menjelaskan dan mendiskusikan segala sesuatu

yang berkaitan dengan tindakan tersebut kepada pasien. Sebaliknya pasien

mempunyai kesempatan untuk bertanya dan memahami tindakan tersebut,

sehingga dia dapat membuat keputusan dan memberikan persetujuan. Jadi

dalam proses komunikasi ini informasi diberikan oleh dokter, diterima oleh

pasien dan didokumentasikan dalam lembaran Informed Consent. Dalam

komunikasi dokter harus menjelaskan sesuai dengan pengetahuan pasien,

agar informasi dapat diterima dengan benar (Guwandi. 1995:25).

Informed consent merupakan syarat yang bertumpu pada dua macam

hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu untuk menentukan

nasibnya sendiri (the Right of self Determination) dan hak atas informasi

(the Right to Information). Dengan kedua hak dasar tersebut, dokter dan

pasien bersama-sama menemukan terapi yang paling tepat akan digunakan

(Guwandi. 1995:25).

Latar belakang dari pengambilan keputusan atau informed consent

secara prinsip adalah bahwa setiap manusia berhak berperan serta dalam

pengambilan keputusan menyangkut dirinya. Hal ini kemudian dijabarkan

menjadi :

1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk

mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya.

2. Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik

secara lisan atau tertulis, secara eksplisit maupun implisit.

Hakikatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari

segala kemungkinan tindakan medis yang disetujui atau yang tidak disetujui

oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter secara hukum terhadap

kemungkinan akibat tak terduga dan bersifat negatif termasuk dalam

Page 60: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

melakukan euthanasia. Akan tetapi, dalam kenyataannya praktek informed

concent cukup sulit. Ini terbukti masih ditemukannya permasalahan-

permasalahan yang dihadapi oleh pihak rumah sakit antara lain :

1. Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani

tindakan medis, serta siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan,

dimana harus ditentukan mengenai batas usia, keadaan kesadaran, kondisi

mentalnya dan status kebebasannya. Sampai sejauh mana orang sedang

merasakan kesakitan mampu menetapkan pilihan atau konsentrasi pada

penjelasan yang diberikan.

2. Masalah wali yang sah, timbul apabila pasien dianggap tidak mampu

secara hukum untuk menyatakan persetujuannya. Siapa sebagai wali yang

sah apabila ia selama tinggal bersama pamannya, atau apabila ayah dan

ibunya berbeda pendapat mengenai tindakan medik yang akan

diberikannya.

3. Masalah informasi yang diberikan yaitu seberapa jauh informasi dianggap

telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci

sehingga dianggap menakut-nakuti.

4. Dalam memberikan persetujuan, apakah diperlukan saksi tersebut juga ikut

menanda tangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan saksi dalam

hal persetujuan lisan.

Dalam hal keadaan darurat, misalnya kasus tabrak lari dan keluarganya

tidak dapat dihubungi, sedangkan pasien mengalami pendarahan dan perlu

ditolong, dalam keadaan seperti ini, siapa yang berhak memberikan

persetujuan dan apakah ada perlindungan hukum kepada dokter karena

tindakannnya berdasarkan keadaan darurat dan penyelamatan jiwa pasien

(Erina Pane, 53 : 2009)

3. Euthanasia yang tidak bertentangan dengan Norma dalam UU 39

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Masalah untuk mati berhubungan erat dengan kriteria kematian.

Dahulu orang menetapkan mati sebagai berhentinya pernafasan, kemudian

Page 61: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

berkembang lagi dengan berhentinya denyut jantung. Berkat kemajuan ilmu

dan teknologi kedokteran yang mampu menciptakan alat-alat maupun

mengambil tindakan-tindakan yang memungkinkan denyut jantung dan

pernafasan seseorang berlangsung terus, maka apa yang menjadi kriteria

kematian perlu dipertanyakan lagi. Bukan tidak mungkin seseorang yang

mengalami kerusakan otak, tetapi pernafasannya dan jantungnya dipacu

terus untuk mempertahankan kehidupannya, padahal sebenarnya ia telah

mengalami kematian batang otak (brain death) (Rehnalemken Ginting, 2009

: 21).

Euthanasia yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang

pertama adalah euthanasia tidak langsung. Euthanasia tidak langsung

terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan

medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan tetapi

tindakan mediknya membawa resiko hidup pasien diperpendek secara

perlahan-lahan. Jadi, tujuan primer dari tindakan medik tersebut hanya

untuk meringankan penderitaan pasien. Misalnya seseorang yang menderita

penyakit kanker ganas. Menurut perhitungan ilmu kedokteran, penyakit

tersebut tidak mungkin sembuh kembali, namun tidak cepat mematikan.

Hampir setiap malam pasien meraung-raung kesakitan dan menjerit-jerit

meminta pertolongan dokter. Beberapa macam obat mahal telah diberikan

namun tidak memberikan indikasi kesembuhan atas penyakitnya itu. Obat

tersebut hanya menghilangkan rasa sakit saja.

Berdasarkan doktrin double effect disebutkan bahwa orang boleh

melakukan perbuatan baik, akan tetapi membawa akibat buruk. Dengan kata

lain, dokter boleh memberikan suntikan ataupun obat yang dimaksudkan

untuk membantu meringankan penderitaan pasien, walaupun karena

penyuntikan atau pemberian oba tersebut mengakibatkan hidup pasien

diperpendek secara perlahan-lahan (Petrus yoyo karyadi, 152 : 2001).

Pasien yang betul-betul menderita kesakitan atas penyakitnya itu

wajib dibantu untuk meringankan rasa sakitnya. Disamping untuk

meringankan rasa sakitnya, juga agar pasien sendiri tidak larut dalam emosi-

Page 62: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

emosi atau kekesalan karena penyakitnya tersebut, serta agar suasana

ketenangan dimana pasien dirawat dapat tidak terganggu. Membiarkan

pasien dalam penderitaan yang terus menerus dan tidak tertahankan, berarti

tidak menunjukkan rasa belas kasihan dan tidak berperikemausiaan.

Dengan demikian euthanasia tidak langsung, tidak bertentangan

dengan eksistensi manusia yang menghormati dan mengakui martabat

manusia. Bahkan tindakan euthanasia tidak langsung ini, biasanya

dilakukan atas dorongan rasa perikemanusiaan sehingga sangat sesuai

dengan hak asasi manusia. Akan tetapi sejauh manakah pemberian obat

tersebut dapat meringankan penderitaan pasien dan sejauh manakah

tindakan medik tersebut dapat memperpendek hidup pasien. Hal tersebut

sangatlah penting sekali diperhatikan, agar euthanasia tidak langsung ini

tidak salah digunakan yaitu untuk menutupi tindakan medik tertentu yang

sebetulnya tindakan medik tersebut adalah euthanasia aktif.

Bentuk euthanasia yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia

yang kedua adalah euthanasia pasif. Euthanasia pasif adalah apabila dokter

atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan

demi memperpanjang kehidupan pasien. Dalam praktek, biasanya apabila

pasien dalam sudah pada stadium terminal, dan menurut ilmu kedokteran

sudah tidak dapat disembuhkan kembali, serta pengobatan yang diberikan

tidak ada manfaatnya lagi, maka atas persetujuan antara dokter dan pihak

keluarga pasien, maka pasien tersebut dibawa pulang kerumahnya karena

dokter atau rumah sakit sudah angkat tangan.

Apabila keadaan pasien sudah demikian parahnya, dan menurut ilmu

kedokteran penyakit tersebut tidak mungkin disembuhkan lagi, serta

pengobatannya sudah dianggap zinloos (keadaan dimana pemberian

pengobatan akan sia-sia), maka maka dokter boleh menghentikan

pengobatannya. Penghentian pengobatan tersebut walaupun pasien

meninggal dunia, akan tetapi kematiannya bukan disebabkan karena

penghentian pengobatannya, akan tetapi memang kematian itu sudah tidak

dapat dihindari. Penghentian pengobatan tersebut berarti hanya membiarkan

Page 63: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

kematian itu terjadi dan pemberian pengobatan sudah tidak mebuatkan hasil

apa-apa, sehingga tidak ada alasan sedikitpun untuk terus menerus

mempertahankan kematiannya. Biarkan pasien itu meninggal dunia menurut

iramanya sendiri. Sebetulnya kematian pasien tersebut bukan sebagai kasus

euthanasia, karena pengobatan itu sendiri sudah dinyatakan zinloos. Kasus

semacam ini merupakan bentuk semu dari euthanasia. (Petrus yoyo karyadi,

154 : 2001)

Sebagai contoh apabila pasien telah dinyakan mati batang otak

(MBO), akan tetapi dengan bantuan alat life support system ia masih dapat

hidup secara buatan atau secara vegetatif. Padahal dalam dunia medis

sekarang ini telah menempatkan mati batang otak (MBO) sebagai kriteria

menentukan kematian seseorang. Maka, apabila dokter melepas alat

penopang hidupnya dan kemudian nafas dari pasien tersebut akan berhenti,

adalah dibenarkan karena pada hakekatnya pasien tersebut telah menjadi

mayat. Apabila hidup vegetatif buatannya dipertahankan secara terus

menerus, padahal ia sudah braindeath, maka berarti kematiannnya makin

tidak dimanusiawikan. Ia hanya menjadi objek dari alat penopang hidupnya

saja. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia yang menjunjung,

mengakui serta menghormati martabat manusia. Dengan demikian,

pelepasan alat life support system bukan sebagai tindakan euthanasia,

melainkan hanya bentuk semu dari euthanasia.

Akan tetapi, berbeda apabila pengobatan tersebut dilakukan sebelum

zinloos yang berarti masih ada gunanya, baik itu untuk meringankan

penderitaan, bahkan menyembuhkan penyakitnya. Maka penghentian

pengobatan tidak boleh dilakukan. Pemberian obat atau perawatan tetap

harus dilakukan meskipun dengan pemberian obat tersebut akan

mengakibatkan meninggalnya pasien. Dengan demikian apabila seorang

dokter dihadapkan pada kasus seperti ini, maka euthanasia pasif pada

hakekatnya adalah sama dengan pembunuhan atau patut diduga perbuatan

dokter tersebut adalah malpraktek. Sehingga pemberian euthanasia pasif

pada hakekatnya tidak melanggar hak asasi manusia dan hukum asalkan

Page 64: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

adanya suatu persetujuan dari pasien atau walinya dan telah dipenuhinya

suatu standar profesi medis yang diakui oleh dunia kedokteran sehingga

dipenuhinya beberapa unsur utama yaitu :

a) Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama

b) Sesuai dengan ukuran medis

c) Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari

kategori keahlian sama.

d) Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar

dibandingkan dengan tujuan konkrit tindakan medik tersebut

(Chrisdiono M Achadiat, 25 : 2006)

B. Perbandingan Penerapan euthanasia di Indonesia dan di Berbagai Negara

(Belanda, Belgia, Amerika)

1. Penerapan euthanasia di Indonesia

a. Konstruksi yuridis euthanasia di Indonesia

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban

tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah

persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum

(pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan

euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi

persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena

munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Menurut surat edaran

ikatan dokter Indonesia No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai

berikut:

“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” .

Sedangkan menurut Farid Ansa Moeloek Eutanasia atau "pembunuhan

tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan

norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga

Page 65: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar

hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. Ini menunjukkan bahwa

peraturan IDI tersebut hanya sebatas dengan euthanasia aktif. Untuk

euthanasia lainnya masih belum jelas pengaturannya apakah diperbolehkan

atau tidak (Hayunislah. http://naifu.wordpress.com/2010/08/12/euthanasia-

dalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an/ diakses 24 Januari 2011)

Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum

pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu

euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri

(voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344

KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa

pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi

pelakunya. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia

euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan konteks

hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran

hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan

tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan

yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Mengenai Pasal 344 tersebut muncul dua pendapat. Menurut Simons

bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang

tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu dapat terjadi tanpa pelaku harus

melakukan perbuatan atau dengan kata lain dengan kata lain dengan sikap

pasif itu sesorang dapat dipandang sebagai telah menghilangkan nyawa

orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 344 KUHP.

Menurut lamintang pendapat tersebut masih memerlukan penjelasan

yang cukup lanjut yakni mengenai tentang siapa yang dapat dipersalahkan

telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal

Page 66: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

344 KUHP, dalam hal tersebut telah tidak melakukan sesuatu untuk

menyelamatkan nyawa korban. Karena ketentuan pidana yang diatur dalam

Pasal 344 KUHP itu berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Simons itu

mendatangkan bahaya bagi setiap orang dan setiap saat dapat dipersalahkan

telah tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban yang

secara tegas dan sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk

tidak menyelamatkan nyawanya.

Sebagai contoh misalnya mereka yang bermaksud menolong seorang

korban kecelakaan yang menderita luka-luka berat, dan yang kemudian

telah tidak melakukan sesuatu, misalnya membawa korban kerumah sakit,

karena korban telah meminta secara tegas dan sungguh-sungguh kepada

mereka untuk meninggalkan dirinya meninggal dunia daripada hidup dalam

keadaan cacat. Karena waktu terjadinya kecelakaan semua orang berduyun-

duyun untuk memberikan pertolongan maupun dengan tujuan untuk untuk

mengetahui keadaan korban, yang kemudian membiarkan korban tersebut

meninggal dunia karena telah diminta secara tegas oleh korban untuk

membiarkan dirinya meninggal dunia, maka semua orang yang melihat

tindak pidana tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan pembunuhan

seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP (Rehnalemken Ginting, 41 :

2009)

Dari rumusan Pasal 344 tersebut mengandung tiga rumusan pokok

mengenai euthanasia yaitu tentang perbuatan dilarang (menghilangkan

nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang (barang siapa,

sehingga dapat juga ditujukan kepada dokter) serta pidana (pidana paling

lama 12 tahun penjara).

Pasal lain yang masih mempunyai hubungan dengan euthanasia adalah

Pasal 338 dan Pasal 340. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP disebutkan :

Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dsebutkan :

Page 67: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat

digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 ayat

(3) KUHP yang juga mengancam terhadap penganiayaan yang dilakukan

dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk

dimakan atau diminum. Selain itu dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal

304 dan Pasal 306 ayat (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP disebutkan :

Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP disebutkan :

Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.

Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa

dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu

ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga

bermakna melarang terjadinya euthanasia, akan tetapi euthanasia seperti

apa yang dilarang masih belum jelas.

Persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak

selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain

hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan

moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.

Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara

otomatis melegitimasi praktik euthanasia mengingat euthanasia berhadapan

dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan

membela kehidupan.

Page 68: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan menghindari suatu tuntutan

hukum, seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating

Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan

dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam

KUHP. Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur.

Sehingga rekam medik (medical record) dan informed consent (persetujuan)

yang baik dan benar harus terpenuhi. Dalam melakukan tindakan medis

adakalanya dokter mengalami suatu tuntutan pidana dari pasien atau pihak

keluarganya. Akan tetapi dokter dapat lepas dari tuntutan tersebut antara

lain :

1) Telah melakukan pelayana medis sesuai dengan standar profesi, standar

pelayana medis dan standar operasional prosedur.

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 huruf a Undang Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter

telah melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur opersaional maka dokter tidak

dapat dituntut hukum .

2) Informed concent

Sebelum tindakan medik dilakukan, seorang dokter berkewajiban

memberikan penjelasan terhadap pasien tau keluarganya tentang diagnosis

dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan,

alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin

terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Pengaturan mengenai Informed concent terdapat pada Pasal 39, 45

Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran yang

menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada

kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan

kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan

penyakit dan pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik tersebut harus

dilakukan dokter dengan mendapatkan persetujuan pasien. Persetujuan

Page 69: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

tersebut dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan dan untuk

tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan

persetujuan tertulis, yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan. Namun dalam keadaan gawat darurat atau tindakan yang biasa

dilakukan atau diketahui umum persetujuan ini tidak diperlukan (implied

concent).

Informed consent dalam segi hukum mengandung beberapa hal antara

lain :

i. Dalam formulir informed consent dirumuskan pernyataan kehendak kedua

belah pihak yaitu pasien menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan

oleh dokter dan formulir persetujuan tersebut ditanda tangani oleh kedua

belah pihak. Karena persetujuan tersebut merupakan kehendak dua belah

pihak, mak tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lain, dan

mengikat kedua belah pihak.

ii. Informed Consent tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya

suatu tuntutan didepan pengadilan atau membebaskan rumah sakit atau

dokter terhadap tanggung jawabnya. Informed Consent hanya dapat

digunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin atau persetujuan dari

pasien.

iii. Formulir yang ditanda tangani oleh pasien atau wali pada pertama kali

masuk atau dirawat dirumah sakit berbunyi “Segala akibat akan menjadi

tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab dokter”.

Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum,

mengingat seorang tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung

jawabnya atas kesalahan yang dilakukannya (Erina Pane, 2009 : 52).

Persetujuan pasien atau keluarganya merupakan pelaksanaan dari hak dasar

pasien atas pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk

menentukan nasib sendiri (the right of self determination) yang harus diakui

dan dihormati. Setelah pasien menyetujui atas tindakan medik berdasarkan

informasi yang jelas dan terang, serta tindakan medik tersebut sesuai dengan

standar medik, maka dokter tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya.

Page 70: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

3) Contribution Negligence (kesalahan pasien)

Dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak

berhasil dalam penanganan terhadap pasien apabila pasien tidak kooperatif

karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang

pernah dideritanya serta obat-obatan yang telah dikonsumsi selama sakit,

atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak

cara pengobatan yang telah disepakati.

Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah

contrbution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati

saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap

dokter dan terhadap dirinya sendiri.

4) Respectible minority rules and error of judgement

Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks,

seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidak sepakatan atau

pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis

khusus. Pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu

dengan yang lainnya. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan

yang dapat dipertanggung jawabkan.

Berdasarkan kedaan diatas muncul suatu teori hukum yang disebut

dengan respectable minority rule yaitu seorang dokter tidak dianggap lalai

apabila ia memilih satu dari sekian cara pengobatan yang diakui. Dari

kekeliruan dokter memilih alternatif tindakan medik pada pasiennya yang

muncul teori baru yang disebut dengan error of judgement atau biasa

disebut dengan medical judgement atau medical error, yaitu pilihan

tindakan medis dari dokter yang telah didasarkan pada standar profesi,

ternyata pilihannya keliru.

Doktrin ini menyatakan bahwa kekeliruan pilihan dokter ini tidak

dapat dipertanggung jawabkan kepada dokter karena tidak ada kelalaian

dalam pilihan ini. Kecuali ia tidak mengikuti standar medis yang umum

dipergunakan oleh dokter lainnya didalam keadaan yang sama. Keadaan

khusus ini harus diperhitungkan dan suatu pemeriksaan yang kuat

Page 71: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

diperlukan. Pemeriksaan harus lebih hati-hati dilakukan apabila dokter telah

membuat diagnosa yang bertentangan. Yang menjadi perbedaan kekeliruan

menilai dan kelalaian atau kekhilafan adalah dalam mengumpulkan data-

data penting yang dapat dipakai untuk menunjang, maka hal ini bukan

merupakan kekeliruan penilaian, akan tetapi ini adalah kelalaian. Dianggap

lalai karena tidak mempergunakan fasilitas yang dipakai untuk lebih

memastikan dan yakin terhadap diagnosa yang ditegakkannya.

5) Volenti Non Fit Iniura

Volenti Non Fit iniura merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum

yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang

sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada

pasien apabila dilakukan tindakan medis kepadanya.

Apabila telah dilakukan penjelasan selengkap lengkapnya dan ternyata

pasien atau keluarganya menyetujui (informed concent), apabila terjadi

resiko yang telah diduga sebelumnya ini, maka dokter tidak dapat

dipertanggung jawabkan atas tindakan medisnya.

6) Vicarious liability (Hospital liability)

Dalam hal pertanggung jawaban, maka yang pertama kali dimintai

pertanggung jawaban dalah rumah sakit. Perkembangan hukum kesehatan

serta kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit, tidak dapat

melepaskan diri tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh para

medisnya. Apabila dokter bekerja penuh pada rumah sakit maka yang

bertanggung jawab adalah rumah sakit bukan dokter tersebut.

7) Res ipsa ioquitor

Doktrin res ipsa ioquitor berkaitan secara langsung dengan beban

pembuktian yaitu pemindahan beban pembuktian dari penggugat (pasien)

kepada tergugat (tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah

nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut

pengetahuan umum antara pasien dengan dokter bahwa cacat, luka, cedera,

atau fakta sudah jelas nyata akibat tindakan medik, dan hal semacam ini

Page 72: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

tidak memerlukan pembuktian dari pnggugat akan tetapi tergugatlah yang

harus membuktikan bahwa tindakannya tidak termasuk lalai atau keliru.

Pada Medical error sangatlah berbeda dengan medical violence karena

pada medical error dokter sudah bertindak benar menurut prosedur yang

sudah diakui didalam rumah sakit, namun efek tidak diharapkan tetap bisa

terjadi. Bisa saja penetapan prosedur medik tersebut salah, akan tetapi

dokter tidak dapat diperalahkan karena dokter tersebut telah mengerjakan

sesuai dengan prosedur rumah sakit. Sedangkan medical violence, dokter

telah bertindak salah karena tidak sesuai dengan prosedur yang ada dirumah

sakit, maka dokter tersebut jelas melakukan kelalaian. Medical error sangat

terkait dengan sistem yang ada, karena secara teoritis medical error akan

timbul apabila faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi error masih

ada Faktor tersebut adalah perfomance (kinerja) dan knowledge

(pengetahuan) dokter. Faktor yang paling dominan dalam terjadinya error

adalah kinerja dokter atau dokter gigi. Sementara dirumah sakit kinerja

doktersangat dipengaruhi oleh sistem yang mengatur dokter dalam

menjalankan praktek profesinya. Pada medical error masalah utama yang

perlu diukur adalah keabsahan atau kebiasaan yang ada. Dapat saja prosedur

tersedut salah artinyam dokter telah mengerjakan sesuatu yang benar , akan

tetapi cara tersebut tidak adekuat. Walaupun kejadian tersebut disebut error

namun demikian terjadi karena hospital error atau system error . Dalam

hospital error sangat terkait dengan sistem yang ada pada rumah sakit.

Kondisi hospital error juga tidak terlepas dari sistem yang besar yang

menaunginya antara lain kebijakan pemerintah tentang perumah sakitan,

pembiayaan kesehatan serta pendapatan masyarakat. Sistem error

merupakan salah satu masalah utama dan sumber kecacatan atau kematian

pasien yang tidak diharapkan (Syahrul Macmud, 174 : 2008)

b. Penegakan hukum euthanasia

Pelaksanaan dan penegakan hukum harus memperhatikan

kemanfaatannya atau kegunaannya bagi masyarakat. Sebab hukum jistru

Page 73: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

dibuat untuk kepentingan masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan

penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Jangan sampai

terjadi pelaksanaan dan penegakan hukum merugikan masyarakat, yang

pada akhirnya menimbulkan keresahan. Pelaksanaan dan penegakan hukum

juga harus mencapai keadilan. Oleh karena itu peraturan hukum yang

bersifat umum dan mengikat setiap orang, penerapannya harus

mempertimbangkan fakta-fakta dan keadaan dalam setiap kasus.

Sejalan dengan itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum . Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Faktor hukumnya sendiri

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau

menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak

positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu. Kelima faktor

tersebut diatas saling berkaitan erat, oleh karena itu merupakan esensi dari

penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektifitas penegak

hukum (Riduan Syahrani, 204 : 1999).

Secara khusus masalah euthanasia belum diatur dalam Kitab Undang

Undang Hukum Pidana, akan tetapi terdapat Pasal yang rumusannya mirip

dengan perbuatan euthanasia. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang

mengatur dan mengancam dengan perbuatan euthanasia, akan tetapi dalam

kenyataannya Pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia

sebagai tindakan pidana. Padahal Pasal ini sangat diperlukan sebagai satu-

satunya Pasal yang mengatur dan mengancam dengan pidana perbuatan

euthanasia (Rehnalemken Ginting, 73 : 2009).

Page 74: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

Akan tetapi menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) euthanasia adalah

halyang dilarang. Teapi mengenai bentuk bentuk euthanasia hanya sebatas

euthanasia aktif, euthnasia lainnya belum ada pengaturannya. Dalam Surat

Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang diyatakan sebagai berikut:

“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”

Menurut Ahmad Ube yang dikutip oleh Haryadi S.H, M.H dalam

majalah forum akademika yang berjudul “Euthanasia Dalam Perspektif

Pidana” ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

terhadap euthanasia. Faktor-Faktor tersebut antara lain :

1. Faktor dari luar hukum Pidana :

a) Didalam euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku dengan korban

(misal dokter dengan pasien atau pihak keluarga yang mewakilinya),

sehingga perbuatan tersebut tidak pernah dilaporkan ke aparat penegak

hukum untuk diproses sebagai kasus pidana

b) Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah

terjadi kematian yang disebut oleh euthanasia, dengan perkataan lain

masyarakat masih kurang paham terhadap hukum, apalagi menyangkut

masalah euthanasia.

c) Alat-alat kedokteran di Indonesia belum maju seperti peralatan kedokteran

negara maju seperti respirator yang dapat mencegah kematian manusia

secara teknis dalam jangka waktu tertentu

d) Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia kebanyakan berada dibawah

standar kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk perawatan kesehatan

maupun untuk pengobatan cukup memprihatinkan. Keadaan ini membawa

pengaruh yang cukup besar untuk dilakukan euthanasia, terutama

euthanasia pasif.

Page 75: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

2. Faktor yang terdapat dalam hukum Pidana :

a) Rumusan atau formula pasal terlalu universal, sehingga sulit menentukan

perbuatan mana yang termasuk euthanasia pasif dan perbuatan mana yang

termasuk euthanasia aktif. Kemudian tidak dapat diketahui mana

euthanasia yang orang lakukan pada umumnya, dan euthanasia mana yang

dilakukan dokter pada khusunya. Hal ini sangatlah penting, karena

masalah euthanasia tidaklah sesederhana seperti rumusan dalam Pasal 344

KUHP

b) Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan orang

itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang

merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang

yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan Pasal ini atau tidak.

Dalam menghadapi kasus euthanasia pasif baik atas permintaan sendiri

ataupun tanpa permintaan, maupun tanpa sikap dari dokter, dokter dalam hal

ini telah diberi beban pembuktian terhadap tindakan mediknya. Ini

dilakukan agar dokter tersebut terbebas dari sanksi pidana. Tindakan dokter

yang dibenarkan dan harus dibuktikan antara lain :

1. Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis

dan kematian yang sebenarnya kini teah dibedakan. Teknologi kedokteran

telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru

walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual dan

psikis (misalnya berpikir, merasakan, berkomunikasi) sebenarnya telah

berakhir pada saat otak berhenti berfungsi, meskipun jantung dan paru-

paru masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan medik pada

pasien yang otaknya tidak berfungsi tidak digolongkan sebagai euthanasia.

2. Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa

tidak terlawan (force majure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi

keadaan keadaan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 48 KUHP.

3. Menghentikan perawatan medik yang tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap

mempunyai batas-batas dan hal-hal diluar batas ilmu kedokteran, sehingga

dokter tidak berkompeten dalam melakukan sesuatu diluar batas ilmu

Page 76: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa seijin

pasien, maka dokter tersebut dapat ditutut berdasarkan penganiayaan.

Seorang dokter seharusnya tidak memulai atau meneruskan suatu

pengobatan, apabila secara medik tidak dapat diketahui hasilnya secara

jelas. Langkah tersebut bukan untuk memperpendek atau mengakhiri

hidup pasien, akan tetapi untuk mencegah terjadinya penganiayaan oleh

dokter kepada pasien.

4. Perawatan menolak perawatan medik, sehingga dokter tidak berhak

melakukan tindakan apapun. Ini dilakukan untuk menghormati hak-hak

pasien yaitu hak untuk menolak perawatan atau pengobatan (Chrisdiono

M. Achadiat, 192 : 2006).

Euthanasia dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama,

euthanasia harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk

membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil,

terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari

aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban

euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak

dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita

lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah

bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang

memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum

analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari

alasan untuk kepentingan korban saja.

Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia

dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila

sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka

sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia

berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan

perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan

kepada hukum warisan kolonial belanda satu-satunya Pasal yang agak dekat

kaitannya adalah Pasal 344 KUHP. Dalam Pasal 344 KUHP dikatakan

Page 77: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri

yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana

penjara paling lama 12 tahun. Redaksi Pasal tersebut menunjukkan adanya

persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya

kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang

dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat

ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan

KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan. Namun demikian

terbukti Pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan

pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran

pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai

euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 sampai dengan 1981 disebutkan

bahwa euthanasia dapat dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat

tertentu.

Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia

dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dari Universitas

Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan

ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden

yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari

responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia.

Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari

25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui

euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan

euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan

oleh korban sendiri (36%) dan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang

menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa

euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah

kedua-duanya (84%). Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi

tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika

Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan

para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang

Page 78: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika

dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut

menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat

masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil

persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus

dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari

ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia (Gatot Sugiharto,

http://wwwgats.blogspot.com)..

Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik

materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta

bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah

pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum

Indonesia, teori hukum Indonesia. Demikian pula dengan aspek

epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas,

dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas

keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber

pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui

baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga

akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan

indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai

sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi

dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika

dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan

sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak

bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada

khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai

pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk)

juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral. (Gatot Sugiharto,

http://wwwgats.blogspot.com diakses 17 Desember 2010).

Page 79: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

2. Penerapan euthanasia di Belanda

a. Sejarah dan perkembangan

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang

mengizinkan euthanasia yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing

van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het

Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing

levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding) atau Review

procedures for the termination of life on request and assisted suicide and

amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act.

(http://www.internationaltaskforce.org/rpt2005_3.htm#239 diakses tanggal

2 Januari 2011). Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak

tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di

dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami

sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri

penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana

Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih

dipertahankan sebagai perbuatan kriminal (welywahyura.

http://welywahyura.wordpress.com/euthanasia/ Diakses tanggal 2 Januari

2011)

Euthanasia memiliki dukungan publik besar-besaran di Belanda , tetapi

ada kekhawatiran bahwa praktek ini mengarah ke penyalah gunaan hukum.

Euthanasia tidak menjadi tindak pidana di Belanda sejak tahun 1984, ketika

pengadilan dan Royal Medical Association Belanda menyusun pedoman

yang ketat untuk dokter. Perubahan Undang-undang baru akan menghapus

setiap kemungkinan bahwa dokter akan dituntut untuk melakukan

euthanasia telah dengan persetujuan yang diperlukan dan konsultasi

Studi British Medical Journal menemukan bahwa pada tahun 1995

hampir dua pertiga dari kasus euthanasia dan bunuh diri yang dibantu dokter

tidak dilaporkan. 17% dari kasus kasus euthanasia terjadi tanpa permintaan

eksplisit pasien, Hukum Belanda mengharuskan pasien untuk mengalami

"penderitaan tak tertahankan" untuk membenarkan euthanasia. Tapi lebih

Page 80: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

dari setengah dokteri mengatakan bahwa alasan utama yang diberikan oleh

pasien untuk permintaan ini adalah "kehilangan martabat". Hampir setengah

mengatakan mereka mengambil tindakan "untuk mencegah penderitaan

lebih lanjut".

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"

dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67,

November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap

dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan

dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah

ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan

sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan

menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban

para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri

berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya

prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah

dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang

melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Dinyatakan bahwa bunuh diri dengan bantuan orang lain yang dilaksanakan

karena penderitaan yang berkelanjutan dan tak tertahankan adalah legal.

Selanjutnya hukum itu menyatakan, pasien harus dalam keadaan pikiran ang

tenang. Dokter pun harus mendapatkan opini kedua, dan hanya dokter

bukan keluarga yang boleh memberikan obat mematikan pada pasien

(http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#Belanda diakses 2 Januari 2011).

b. Konsep euthanasia di Belanda

Menurut penelitian 1991 otoritatif dalam laporan Remmelink

mendefinisikan euthanasia di Belanda sebagai sengaja mengakhiri hidup

orang lain atas permintaannya. Ini berbeda dari kategori lainnya yang

digunakan di lembaga-lembaga perawatan kesehatan Belanda yaitu:

Page 81: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Bantuan bunuh diri didefinisikan sebagai sengaja membantu seseorang

dalam tindakan mengakhiri hidup di nya permintaan eksplisit. Hal ini

berbeda dengan euthanasia sukarela karena tidak mendukung tujuan hanya

dalam tindakan penghancuran diri yaitu :

i. Sebuah tindakan mengakhiri hidup tanpa permintaan eksplisit

didefinisikan sebagai sengaja mengakhiri hidup seseorang tanpa nya

permintaan eksplisit. Hal ini berbeda dengan euthanasia sukarela

dalam hal itu tidak didasarkan pada permintaan dianggap baik, gigih

dan eksplisit dari pasien;

ii. Euthanasia aktif tanpa permintaan eksplisit dari pasien berbeda dari

euthanasia sukarela karena tidak didasarkan pada permintaan

dianggap baik, gigih dan eksplisit dari pasien;

iii. Kematian akibat administrasi opiat dan obat penghilang rasa sakit

lainnya dalam dosis besar. Ini dikenal sebagai euthanasia tidak

langsung dan, Kematian akibat pemotongan atau penarikan berpotensi

pengobatan jika tidak dikenal sebagai euthanasia pasif atau abstain.

Dalam definisi resmi, pengakhiran hidup atas permintaan pasien adalah

pusat dari keputusan untuk mengakhiri hidup dalam kasus euthanasia

sukarela. Definisi di atas serupa dengan yang digunakan secara internasional

dalam bioetika (Robin Lunge, Maria Royle, Michael

Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report.

htm diakses 24 Januari 2011)

c. Dekriminalisasi euthanasia

Euthanasia menjadi hukum di Belanda pada tanggal 10 April 2001.

Sebelum tanggal tersebut, euthanasia aktif adalah tindak pidana berdasarkan

Article 293 of the Dutch Penal Code (Pasal 293 dari Belanda KUHP), yang

berbunyi :

“He who takes the life of another person on this person's explicit and serious request will be punished with imprisonment of up to twelve years or a fine of the fifth category." ("Dia yang mengambil kehidupan orang lain

Page 82: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

atas permintaan orang ini eksplisit dan serius akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda kategori kelima (sekitar $ 50,000).

Kemudian dalam article 294 the Dutch Penal Code (Pasal 294 KUHP

Belanda berbunyi :

“He who deliberately incites another to suicide, assists him therein or

provides him with the means, is punished, if the suicide follows, with a

sentence of at most three years or a fine of the fourth category”( Dia yang

sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri, membantu dalamnya atau

memberikan dia dengan sarana, dihukum dengan hukuman paling banyak

tiga tahun atau denda kategori empat(sekitar $ 12,500,000)

(www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxwened.htm#Criminal%20Law diakses

tanggal 2 Januari 201).

Pada saat yang sama, Section 40 (Bagian 40) dari code penal yang sama

menyatakan bahwa seorang individu tidak dihukum jika dia telah didorong

oleh "suatu kekuatan yang tak tertahankan" (hukum dikenal sebagai force

majeure) untuk menempatkan kesejahteraan orang lain di atas hukum. Ini

mungkin termasuk keadaan di mana dokter dihadapkan dengan konflik

antara kewajiban hukum untuk tidak mengambil kehidupan dan tugas

manusiawi untuk mengakhiri penderitaan tak tertahankan pasien.

Di Belanda euthanasia sukarela telah dilegalkan. Dekriminalisasi

euthanasia membuat Belanda negara pertama di dunia yang secara resmi

"belas kasihan membunuh". Dalam undang-undang euthanasia, syarat-

syarat untuk dilakukan euthanasia adalah :

i. pasien yang dalam keadaan menderita terus menerus, tak tertahankan dan

tidak dapat disembuhkan

ii. Sebuah pendapat kedua dari seorang dokter eksternal;

iii. Pasien harus dinilai sehat jasmani dan,

iv. Permintaan untuk mati harus dilakukan secara sukarela, independen dan

terus menerus.

v. Pasien harus sakit parah dengan penderitaan fisik.

Page 83: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

vi. Pasien yang berumur 12-16 tahun memerlukan persetujuan dari orang tua

mereka

(www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxwened.htm#Criminal%20Law

diakses 2 Januari 2011).

Namun, dokter tidak seharusnya menyarankan sebagai pilihan. Kedua

permintaan lisan dan tertulis melegitimasi dokter untuk menyetujui

permintaan tersebut. Namun, dokter tidak diwajibkan untuk melakukannya.

Dan ia hanya dapat menyetujui untuk meminta sambil memperhatikan

perawatan karena-persyaratan yang disebutkan dalam Undang Undang.

Dalam setiap kasus dokter harus yakin bahwa pasien menghadapi

penderitaan berkesudahan dan tak tertahankan. Jika dia atau dia percaya

bahwa ini tidak begitu, dokter mungkin tidak menyetujui permintaan

euthanasia, tidak peduli apa deklarasi negara akan.

Penting untuk dicatat bahwa euthanasia dan bunuh diri yang dibantu

dokter terus menjadi tindak pidana, tetapi dilegalkan, dalam keadaan

tertentu. KUHP Belanda (dalam Pasal 293) sekarang termasuk ketentuan itu.

Hal ini menyatakan bahwa berakhirnya kehidupan di permintaan dan

bantuan bunuh diri tidak diperlakukan sebagai tindak pidana bila dilakukan

oleh dokter dan jika kriteria perawatan karena diamati. Oleh karena

pandangan bahwa euthanasia tidak lagi dihukum.

Dalam contoh kasus yang menimpa seorang pasien berusia lima puluh

tahun, yang bernama Nyonya Netty Boomsma, mengalami depresi yang

sangat parah karena Kegagalan perkawinan dan dua anaknya meninggal

yang disebabkan bunuh diri dan kanker. Penderitaannya terutama

psikologis. Setelah kematian anak kedua ia memutuskan untuk bunuh diri

dan mendekati Dutch Federation for Voluntary Euthanasia (Federasi

Belanda Sukarela Euthanasia), yang mengarah ke Dr Boudewijn Chabot. Dr

Chabot mendiagnosa menderita penderitaan mental yang berat dan sulit

dipecahkan. Dia berkonsultasi dengan sejumlah rekan-rekannya, meski tidak

satupun dari mereka dyang memeriksa Ny Boomsma secara pribadi. Pada

bulan September 1991, Dr Chabot melakukan euthanasia ter hadap Ny

Page 84: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Boomsma dengan resep obat dosis tinggi yang mematikan. Akibatnya dia

dilaporkan ke koroner publik.

Dr Chabot dituntut berdasarkan Pasal 294 dari KUHP Belanda.

Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak ada alasan prinsip dilakukan

euthanasia apabila penyebab penderitaan pasien adalah psikologis. Namun,

pengadilan menyatakan bahwa untuk melakukan euthanasia pasien harus

diperiksa oleh seorang ahli medis independen. Dr Chabot telah mencari

pendapat medis dari tujuh orang temannya tetapi tidak ada yang benar-benar

melihat Ny Boomsma dapat disembuhkan. Pada bulan Juni 1994, Dr Chabot

ditemukan bersalah karena melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 294.

Mahkamah Agung menolak untuk menjatuhkan hukuman, walaupun pada

bulan Februari 1995 Dr Chabot menerima teguran dari Majelis Disiplin

Kedokteran. (Kimsma G, Leeuwen. www.eubios.info/BetCD/Bet12.doc

diakses 2 Januari 2011)

3. Penerapan euthanasia di Belgia

a. Sejarah dan perkembanagan

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir

September 2002 melalui peraturan perundang undangan yaitu The Belgian

Act on Euthanasia. Peraturan perundang undangan di Belgia tentang

euthanasia diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang

merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human

rights and dignity of the terminally ill and the dying”, dimana dalam article

2 disebutkan :

“no one shall be deprived of his life intentionally”; “recognising that a terminally ill or dying person’s wish to die never constitutes any legal claim to die at the hand of another person”; and “recognising that a terminally ill or dying person’s wish to die cannot of itself constitute a legal justification to carry out actions intended to bring about death”.(“tidak ada yang akan dicabut hidupnya dengan sengaja"); "mengakui orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk melakukan segala tindakan yang dimaksudkan untuk kematiannya".)

Page 85: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Dengan diberlakukannya secara resmi undang-undang euthanasia

(tindakan membunuh orang untuk meringankan penderitaan), Belgia

mengikuti jejak Belanda, yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang

memberlakukan undang-undang euthanasia

b. Dekriminalisasi euthanasia

Dengan diberlakukannya secara resmi undang-undang euthanasia

(tindakan membunuh orang untuk meringankan penderitaan), Belgia

mengikuti jejak Belanda, yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang

memberlakukan undang-undang euthanasia. Berdasarkan undang-undang

itu, seorang dokter yang melakukan pembunuhan atas dasar belas kasihan

tidak akan dinyatakan bersalah dan dipidana, bila pasiennya menderita

penyakit yang tak dapat disembuhkan dan mengambil keputusan sendiri,

dan bila prosedur hukum tertentu lainnya diikuti. Sebelum melakukan

pembunuhan atas dasar belas kasihan berdasarkan undang-undang baru itu,

seorang dokter harus merasa pasti bahwa permintaan untuk mati dibuat oleh

pasien atas kemauan sendiri bebas dari campur tangan pihak lain, sudah

dipikirkan sebagaimana mestinya dan secara konsisten dan bukan hasil dari

tekanan pihak luar.

Untuk menghindari tuntutan, seorang dokter juga harus menjamin

bahwa pasien "dalam situasi medis yang tak tersembuhkan" dan

menanggung "penderitaan psikologis atau penderitaan fisik secara terus-

menerus dan tak tertahankan" akibat kecelakaan atau penyakit yang tak

dapat disembuhkan. Tetapi, undang-undang baru tersebut juga menjamin

hak pasien untuk mendapat perawatan bebas akibat penyakitnya itu

sehingga pasien yang diasingkan atau miskin itu tidak meminta mati karena

tidak mempunyai uang untuk berobat. Untuk mengawasi praktek euthanasia

di Belgia, kemudian membentuk suatu komisi tetap untuk memantau

praktek-praktek euthanasia di Belgia. Dokter harus menyatakan tindakan

euthanasia ke Komisi Federal terdiri dari 8 dokter, 4 ahli hukum dan 4 orang

dari lingkungan dipercayakan dengan masalah pasien yang menderita

Page 86: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

penyakit yang tak tersembuhkan. Komisi ini memiliki misi untuk

menetapkan setiap tahun laporan statistik dan evaluatif, dan untuk

menyarankan rekomendasi. (Jacqueline Herremans.

http://www.iheu.org/node/1110 diakses tangaal 2 Januari 2011)

Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan

euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya

tindakan euthanasia di Belgia, namun mereka juga mengkritik sulitnya

prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya

upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara

ketiga yang melegalisasi euthanasia (setelah Belanda dan negara bagian

Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang

merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut

menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan

psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk

memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir

hidupnya. Dengan demikian pemerintah Belgia mendiskriminalisasikan

perbuatan euthanasia. Beberapa berpendapat bahwa permintaan untuk

euthanasia di Belgia yang dibantu oleh dokter adalah hasil positif dari

perawatan paliatif. Menurut World Health Organization (WHO) perawatan

paliatif tidak harus mempercepat atau menunda kematian (Johan Bilsen,

Lieve Van den Block, Luc Deliens, Lieve Van den Block, Nathalie Bossuyt,

Viviane Van Casteren. www.bmj.com/content/339/bmj.b2772. full diakses 2

Januari 2011)..

Praktek euthanasia di Belgia lebih sering dilakukan di unit rawat inap

paliatif daripada di rumah sakit atau di rumah. Selama tiga bulan sebelum

dilakukan euthanasia, orang yang mengajukan euthanasia akan

mendapatkan perawatan secara rohani. Meskipun kualitas dari perawatan

tersebut belum terbukti, akan tetapi perawatan tersebut dapat mengungkap

keinginan seseorang, termasuk keinginan untuk euthanasia. Dengan

demikian dapat memberikan spritual kepada orang yang mengajukan

Page 87: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

euthanasia (Johan Bilsen, Lieve Van den Block, Luc Deliens, Lieve Van

den Block, Nathalie Bossuyt, Viviane Van Casteren.

www.bmj.com/content/339/bmj.b2772. full diakses 2 Januari 2011).

Dalam perkembangannya di Belgia alasan untuk melakukan euthanasia

tidak hanya karena masalah fisik saja (penyakit yang sudah tidak dapat

disembuhkan), akan tetapi juga karena kehilangan martabat, kehilangan

otonomi, dan penderitaan-penderitaan secara umum (kemiskinan). Ini

menunjukkan bahwa di Belgia memperpendek kehidupan atau euthanasia,

tampaknya tidak dicegah oleh keterlibatan multidisiplin layanan perawatan

paliatif, yang telah menjadi argumen utama terhadap legalisasi euthanasia.

Contoh kasus di Belgia pasca disahkannya Undang Undang euthanasia

adalah kasus Mario Verstraete, 39 tahun dari Ghent, yang merupakan orang

Belgia pertama menggunakan hak euthanasia setelah disahkannya Undang

Undang euthanasia. Mario Verstraete, mengalami sclerosis, meninggal

pada tanggal 30 September setelah diberi suntikan oleh dokternya, hanya

delapan hari setelah disahkannya Undang Undang euthanasia. Kritik,

terutama di Flemish media, menyatakan bahwa cara kematiannya tidak

sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang dan bahwa

dokter bisa menanggung risiko penuntutan. Mereka menunjukkan bahwa

setelah pengambilan keputusan, Mario Verstraete seharusnya diberikan 30

hari untuk memikirkan tindakan euthanasia terhadap dirinya. Ini

menunjukkan Undang Undang euthanasia di Belgia belum diterapkan secara

benar, sehingga berpotensi sebagai sarana bunuh diri yang legal. (Rory

Witson Brussel. http://www.bmj.com diakses 28 Desember 2010).

4. Penerapan euthanasia di Amerika

a. Sejarah dan perkembangan

Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di

Amerika, bahkan perbuatan euthanasia merupakan perbuatan yang

melanggar hukum. Akan tetapi ada negara bagian di Amerika yang

hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak

Page 88: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian

Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya

euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas

(Oregon Death with Dignity Act) (Robin Lunge, Maria Royle, Michael

Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report.

htm. diakses 24 Januari 2011)

b. Dekriminalisasi euthanasia

Dalam Undang Undang ini ada beberapa kelemahan. undang-undang

euthanasia ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.

Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia

18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka

diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus

diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan

tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua

saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga

dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit

dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan

itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur

secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut

tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi

kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Setelah memenuhi persyaratan di atas, pasien berhak untuk resep untuk obat

untuk mengakhiri hidup. Undang-undang tidak mengizinkan dokter atau

orang lain untuk mengakhiri hidup pasien dengan suntikan mematikan atau

euthanasia aktif." Artinya, Undang-Undang memberikan wewenang dokter

untuk memberikan resep mematikan, namun secara tegas menolak

euthanasia aktif (Robin Lunge, Maria Royle, Michael

Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report.

htm diakses 24 Januari 2011)

Page 89: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

Kasus menarik di Amerika tentang euthanasia adalah Terri Schiavo

meninggal dunia di negara bagian Florida, 31 Maret 2005 atau 13 hari

setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makan

(feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih

dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya

dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal

jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat

diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami

kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan

medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium

dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek

dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak

menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma,

maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo

mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada

istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun

orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan

keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu

mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin

pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas

perintah hakim yang lebih tinggi. Pada tahun 2001, hakim pengadilan

pengadilan memutuskan bahwa bukti yang jelas dan meyakinkan

menunjukkan bahwa Terri Schiavo akan memilih untuk tidak menerima

pengobatan yang memperpanjang hidup dalam keadaan yang kemudian

diterapkan. Putusan ini juga ditegaskan oleh pengadilan banding Florida dan

membantah pendengaran oleh Mahkamah Agung Florida. Ketika tabung

pengisi Terri Schiavo telah dihapus untuk kedua kalinya, pada tahun 2003,

badan legislatif Florida diciptakan "Terri Law" untuk mengesampingkan

keputusan pengadilan, dan tabung itu kembali dimasukkan kembali. Hukum

ini kemudian memutuskan pelanggaran konstitusional pemisahan kekuasaan

Page 90: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

(TimothyQuill. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058062

diakses 2 Januari 2011).

Akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan,

maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna

menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang

memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan

hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan

Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George

Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman

adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal

membenarkan keputusan hakim terdahulu

Page 91: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara Implisit

pengertian euthanasia terdapat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai hak hidup, yang diatur

didalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ setiap orang berhak untuk hidup dan

meningkatkan taraf hidupnya”. Hak untuk hidup oleh sebagian besar

masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri,

sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan

terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri.

Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri

tanpa adanya suatu hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 14 Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan hak atas

kesehatan yang diatur didalam Pasal 9 ayat (3) Undang Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan berlandaskan kedua Pasal

tersebut, pasien atau pihak keluarga yang mewakili setelah mendapatkan

informasi yang cukup jelas dari dokter dapat meminta persetujuan dari dokter

untuk meminta dihentikan pengobatannya karena dianggap tidak dapat

disembuhkan lagi, sehingga keberadaannya dirumah sakit hanya akan

menambah beban serta biaya saja. Persetujuan antara dokter dan pasien

(informed consent) inilah yang menjadi dasar untuk dilakukan euthanasia

terhadap pasien. Dengan demikian dokter tidak dapat dipersalahkan apabila

pihak keluarganya mengadukannya, karena tindakannya didasarkan oleh

persetujuan pasien. Informed consent merupakan syarat yang bertumpu atas

dua hak yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri dan hak atas informasi.

2. Ketentuan tentang euthanasia tidak diatur secara tegas dalam peraturan

perundang undangan Indonesia. Secara Impisit euthanasia diatur didalam

Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu hak

Page 92: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

hidup yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat merupakan hak untuk

menetukan hidupnya sendiri. Bentuk euthanasia yang sering dilakukan di

Indonesia adalah euthanasia pasif yaitu berupa pengurangan kualitas kesehatan

dari rumah sakit ke rumah tangga. Bentuk euthanasia pasif memang dalam

peraturan perundang undangan Indonesia belum ada yang mengaturnya,

sehingga pelaksanaannya bukan merupakan suatu pelanggaran hukum. Pasal

344 KUHP yang oleh para ahli hukum merupakan Pasal yang mendekati

tindakan euthanasia termasuk juga euthanasia pasif tidak dapat bekerja secara

maksimal, karena belum ada menjerat pelaku euthanasia pasif di Indonesia.

Jika kita bandingkan dengan negara lainnya (Belanda, Belgia, Amerika),

pengaturan mengenai penerapan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal. Di

Belanda secara tegas melegalkan praktek euthanasia melaui peraturan

perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van

levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het

Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing

levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures

for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of

the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on

Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) walaupun dalam code

penal (KUHP Belanda) disebutkan dalam Pasal 293 yaitu “Dia yang

mengambil kehidupan orang lain atas permintaan orang ini eksplisit dan serius

akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda

kategori kelima. Sedangkan dalam article 294 disebutkan barang siapa yang

menghasut orang lain untuk bunuh diri dihukum paling lama tiga tahun, dan

denda kategori empat. Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Hukum

Pidana Belanda melarang praktek euthanasia, akan tetapi kemudian

dihilangkan sifat pidananya, sehingga praktek euthanasia di Belanda di

legalkan. Di Belgia pemerintah melegalkan praktek euthanasia melalui

peraturan perundang undangan yaitu The Belgian Act on Euthanasia yang

diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan

rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human rights and dignity

Page 93: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

of the terminally ill and the dying”. Dalam article 2 disebutkan mengakui

orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk

mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk

mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk

melakukan segala tindakan yang dimaksudkan untuk kematiannya"). Di

Amerika memang secara agresif praktek euthanasia dilarang dan merupakan

perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi di negara bagian Oregon

eutthanasia merupakan hal yang legal melalui Oregon Death with Dignity Act,

dimana secara eksplisit disebutkan bahwa secara eksplisit bahwa seorang

pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan dapat mengakhiri hidupnya.

B. Saran

Pemberian hak euthanasia pada dasarnya bertumpu pada hak untuk

menentukan hidupnya sendiri. Akan tetapi permasalahnya sampai sejauh mana

batasan-batasan menentukan hidupnya sendiri tersebut. Batasan-batasan

tersebut harus jelas, agar tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya, terutama

bila dikaitkan dengan euthanasia akan berbenturan dengan hak hidup,

sedangkan hak untuk menentukan hidupnya sendiri tidak diatur secara jelas

dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia perlu dilakukan Judicial Review untuk memasukkan rumusan tentang

hak menentukan hidupnya sendiri. Pemerintah (legislatif) juga harus membuat

regulasi tentang euthanasia yang berbasiskan Hak Asasi Manusia secepatnya

atau memasukkan rumusan euthanasia dalam Undang Undang Kesehatan

ataupun Undang Undang Praktek Kedokteran, agar memperjelas euthansia

mana yang dilarang dan euthanasia mana yang diperbolehkan oleh hak asasi

manusia, sehingga dapat membantu penegak hukum untuk menafsirkan apakah

orang tersebut menggunakan haknya atau orang tersebut telah melanggar hak

asasi manusia.

Pengaturan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara

lainnya seperti Belanda, Belgia, Amerika. Di Indonesia sejak diberlaukkannya

Page 94: ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sampai sekarang belum pernah ada

kasus yang ditangani oleh pengadilan yang berhubungan dengan euthanasia.

Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum pernah

menjerat pelaku euthanasia. Ini menunjukkan Pasal 344 KUHP merupakan

Pasal yang tidak efektif. Berkaitan dengan pengaturan euthanasia kedepan

(Pasal 344 KUHP) dan dalam rangka pembangunan hukum pidana kedepan

maka ada tiga hal yang harus dicermati yaitu Pasal 344 dihapuskan, Pasal 344

tetap dipertahankan atau Pasal 344 direvisi. Akan tetapi ketiga hal tersebut

mempunyai dampak. Apabila dipertahankan maka euthanasia termasuk

euthanasia pasif tidak diperbolehkan, apabila dicabut maka segala bentuk

euthanasia diperbolehkan termasuk juga euthanasia , apabila direvisi maka ada

kriteria-kriteria tertentu tentang euthanasia yang diperbolehkan dan ada yang

dilarang. Dari hal-hal tersebut, yang paling pantas adalah adanya suatu revisi

dari Pasal 344 KUHP. Kedepannya pemerintah harus memberikan kebijakan

dekriminalisasi terhadap Pasal 344 KUHP yaitu dihilangkan sama sekali sifat

dapat dipidananya seseorang. Pengaturan euthanasia mendatang harus

mempertahankan beberapa prinsip-prinsip umum yang terkandung didalamnya,

akan tetapi harus ada beberapa pengecualian-pengecualian antara lain :

a) Bagi pasien yang sudah tidak ada harapan lagi akan kehidupannya menurut

ukuran medis yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya.

b) Usaha penyembuhan tidak berpotensi lagi

c) Harus mendapat persetujuan dari keluarga pasien.

d) Tindakan yang dilakukan hanya berupa pengurangan kualitas perawatan

kesehatan yaitu dari rumah sakit ke rumah tangga, sehingga secara tegas

melarang praktek euthanasia aktif.