hadis berkontradiksi dengan al quran

29
HADIS BERKONTRADIKSI DENGAN AL-QUR’AN Makalah Diajukan Untuk Seminar Kelas Mata Kuliah Metode Pemahaman Hadis Dosen Pengampu DR. H. Muchlisin Sa’ad, MA Oleh M. Syukrillah NIM. F08213256 PROGRAM STUDI ILMU HADIS PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL SURABAYA 2013

Upload: abuazzam-syukrillah

Post on 17-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Artikel ini menguraikan tentang problem kontradiksi tekstual antara Ayat Al-Quran dan Hadis serta metodologi solusinya

TRANSCRIPT

  • HADIS BERKONTRADIKSI DENGAN AL-QURAN

    Makalah

    Diajukan Untuk Seminar Kelas

    Mata Kuliah Metode Pemahaman Hadis

    Dosen Pengampu

    DR. H. Muchlisin Saad, MA

    Oleh

    M. Syukrillah

    NIM. F08213256

    PROGRAM STUDI ILMU HADIS

    PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

    SUNAN AMPEL SURABAYA

    2013

  • ABSTRAK

    M. Syukrillah, 2013. Hadis Bertentangan dengan Al-Quran. Makalah, Konsentrasi Ilmu Hadis, Program Pascasarjana,

    Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dosen

    Pengampu : Dr. H. Muchlisin Saad, MA

    Al-Quran dan hadis sangat penting kedudukannya dalam wacana keislaman. Keduanya memiliki hubungan dan keterkaitan

    erat dalam memproduk aturan hukum dan pedoman hidup umat

    Islam. Persoalan muncul dalam diskursus pemahanan hadis berupa

    klaim adanya kontradiksi antara sejumlah hadis dengan ayat-ayat

    al-Quran. Dalam makalah ini akan dikaji persoalan ini melalui kajian

    kepustakaan (library research). Simpulannya adalah metodologi

    penyelesaian klaim kontradiksi antara al-Quran dan hadis Nabawi dapat menggunakan perspektif ilmu kritik hadis (Naqd al-hadith)

    dan pendekatan ilmu mukhtalaf al-hadith.

    Pendekatan metodologi kritik hadis yaitu dengan metode

    kritik internal (naqd al-dakhily) atau lebih dikenal dengan kritik

    matan (naqd al-matan). Tujuannya untuk menguji validitas

    (kesahihan) hadis tersebut. Sementara, pendekatan metodologi

    ilmu mukhtalaf al-hadith digunakan untuk hadis-hadis yang dinilai

    sahih namun secara tekstual diklaim bertentangan dengan ayat al-

    Quran. Hal ini dilakukan dengan cara al-jamu (kompromi), al-naskh (abrogasi), al-tarji>h} (seleksi) dan al-tawa>quf (penundaan).

    Kata Kunci: mutawa>tir, ahad, taa>rud}, naqd al-matan, al-jamu, al-naskh,al-tarji>h},al-tawa>quf.

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem

    hukum Islam (al-Tashri> al-Islami>) setelah al-Qura>n.1Bersama al-Quran, hadis

    menjadi sumber mata air yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi

    inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

    Hubungan simbiosis mutualism antara al-Quran dan al-sunnah sebagai

    teks sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis

    namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan

    praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.

    Masalah kemudian muncul ketika sejumlah hadis yang dinilai sahih oleh

    para ulama hadisbahkan tercantum di dalam kitab yang paling sahih setelah al-

    Quran yaitu Sahih al-Bukhari dan Muslim 2diklaim bertentangan dengan al-

    Quran.3 Sikap kritis kemudian ditujukan kepada aplikasi kritik matan (al-naqd

    al-dakhiliy/kritik internal) yang dilakukan ulama hadis dalam penilaian validitas

    (kesahihan) hadis4 serta metode pemahaman (fiqh al-hadith) yang dikembangkan

    oleh ahli hadis.5 Bahkan sikap skeptis secara totalitas terhadap otoritas hadis

    muncul dari kalangan munkir al-sunnah dengan argumen dan bukti adanya hadis-

    hadis yang bertentangan dengan al-Quran.6

    1Abdullah Hasan al-Haditsi.Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :

    Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3 2Ibnu Sholah, Abu Amr Utsman, Ulu>m al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{olah), ed. Nuruddin Itr

    (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H),28, Ibnu Katsir. Al-Baits al-HatsisSyarh Ikhtishar Ulum al-Hadith. Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun), 34. Siddiq Hasan Al-Qonujy, Al-Hitthoh fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah. Tahqiq: Ali Hasan al-Hlm.aby (Beirut: Dar al-Jail, tanpa tahun), 312 3Misalnya Mahmud Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa ala al-sunnah al-Muhammadiyah 4Seperti kritik Muhibbin dalam Disertasi doktornya yang berjudul Telaah Ulang Syarat Sahih al-

    Bukhari dalam Kitab al-Jami al-Sahih(Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998) 5Misalnya Muhammad al-Ghazaly dalam Kitabnya As-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh

    wa Ahl al-Hadith(Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 11, 1996). Kitab ini telah diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul; Studi Kritis Hadis Nabi SAW antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, Cet. 3, 1993) 6Di antara tokohnya di India; Ahmad Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu

    Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di

  • Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang masalah kontradiksi antara

    hadis dengan al-Quran dalam perspektif ilmu kritik hadis (Naqd al-h}adi>th) dan

    pendekatan ilmu mukhtalaf al-h}adi>th.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana kedudukan dan otoritas hadis terhadap al-Quran?

    2. Apa sebab terjadinya kontradiksi antara hadis dan al-Quran?

    3. Bagaimana realitas klaim adanya kontradiksi antara hadis dan al-Quran?

    4. Apa pendekatan metodologis untuk menghadapi klaim kontradiksi?

    5. Bagaimana contoh aplikasinya?

    Indonesia misalnya; Ir. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di

    Malaysia, seperti Kassim Ahmad. Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Menimbang Otoritas Hadis terhadap Al-Quran

    Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam

    adillah ash-sharyyah menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-

    Quran bersifat qat}iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut,

    sehingga yang qat}iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah

    berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-

    baya>n) adalah adjektif (ta>bi) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara

    normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis

    Muadz tatkala diutus ke Yaman.7

    Walaupun demikian, kedudukan hadis sebagai landasan normatif dan

    logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan marja

    (rujukan) bagi ajaran Islam adalah adalah qat{I, berdasarkan dalil-dalil Al-

    Quran; (1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk

    menjelaskan (tabyi>n) al-Quran.8 Allah SWT mewajibkan manusia untuk

    mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah

    SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang

    setara dengan wahyu itu sendiri.9 Kalau al-Quran adalah wahyu matlu, maka

    sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw10. (2) Pemberian otoritas penetapan

    hukum (tashri) kepada Rasulullah disertai ancaman bagi yang sengaja

    menyelisinya.11

    Perintah untuk berhukum kepada keputusannya ketika terjadi

    perbedaan pendapat dan perselisihan.12

    Tidak ada alternatif pilihan lain bagi

    orang yang beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>) itu.13 Menurut al-

    7Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38

    8QS. 16: 44

    9Imam al-Shafii berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Quran dan al-

    hikmah berarti al-Sunnah.Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu QS. 4: 113, 2

    :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Shafii, Al-Risalah, 73-76 10

    Al-Quran, 53: 3-4, Ibnu Hazm, Al-Ihkam 1/97 11

    Ibid., 24: 63, 4: 65, 59: 7 12

    Ibid., 4: 59 13

    Ibid., 33:36

  • Shafii, adalah keputusan (qad}a>) Rasulullah dalam bentuk sunnah yang tidak

    disebutkan secara tekstual dalam al-Quran.14 Penegasan otoritas hukum ini

    disertai ancaman penegasian iman15

    , penetapan sifat hipokrit dalam keimanan

    (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,16

    serta ancaman keras berupa pembiaran

    dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah SAW.17

    (3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut

    sebagaimana kewajiban taat kepada Allah SWT.18 Tentunya, menaati Rasulullah

    berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis. (4) Penetapan

    Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan diikuti peri

    kehidupannya,19

    disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi agung yang

    layak diteladani.20

    Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah .21

    Ijma (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat

    Islam.22

    Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi

    dalam penetapan hukum syariat dan produk hukumnya berkedudukan sama

    dengan al-Quran dalam penetapan hal dan haram.23 Demikian pula, adanya

    realitas ijma kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan

    menjadikan sunnah sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak

    masa sahabat,24

    tabiin dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.25

    14

    Ibid., 83 15

    Ibid., 3: 65 16

    Ibid., 3: 61 17

    Ibid., 3:115 18

    Lihat al-Quran, 3:: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 19

    Ibid., 33:21 20

    Ibid., 68:4 21

    Ibid., 3: 31 22

    S{ubhi S{a>lih, 291 23

    Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min Ilm al-Us}ul (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000), 1/187 24

    Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma mereka tentang kewajiban ittiba kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa

    inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para

    sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa

    seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan

    melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M), 1/206 25

    Wahbah al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Muas}ir, 1419 H/1999 M), 40

  • Demikian pula secara logika (al-Maqu>l) menetapkan bahwa; (1) Tidak

    mungkin beramal dengn hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat

    global dalam al-Quran tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah

    wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al-Quran dan penjelasan dengan

    sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang

    lain.26

    Bahkan menurut al-Auzay, al-Quran lebih membutuhkan (penjelasan)

    sunnah daripada sebaliknya (al-Kitab ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-

    Kitab).27 Yahya bin Abi Kathirseorang imam hafidzmenegaskan bahwa

    sunnah adalah penentu hukum bagi al-Quran (al-Sunnah qad}iyatun ala al-

    Kitab).28 (2) Jika perbuatan Nabi mengandung probabilitas hukum; wajib untuk

    diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih

    utama dan lebih hati-hati (ikhtiyat}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban, hal

    ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu

    shalat fardhu atau belum. (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan

    mulia dan yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti

    perbuatannnya adalah bentuk pengagungan dan pemuliaan. (4) Perbuatan Nabi

    SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran

    adalah kesalahan dan kebatilan.29

    B. Sebab terjadinya Kontradiksi (taa>rud}) Hadis dengan ayat al-Quran

    Tidak diragukan bahwa al-Quran dari aspek tsubut-nya seluruhnya

    bernilai qat}iyyah al-thubu>t, sementara hadis hanya sebagian kecil yang berstatus

    qat}iyyah al-thubu>t yaitu hadis mutawa>tir. Mayoritas hadis bernilai ahad.30

    Namun keduanya, baik al-Quran maupun al-hadis, sama-sama memiliki dimensi

    26

    Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wajiz, 40 27

    Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri al-Islamy (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387 28

    Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 189 29

    Al-Amidy, Al-Ihkam, 1/237-238. Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 1/ 203-207 30

    Para ulama berbeda pendapat tentang nilai hadis ahad, apakah membari faidah al-ilmu al-yaqiny

    atau tidak. Menurut Ibnu Hajar, hadis ahad yang maqbul bisa memberikan faidah ilmu secara

    teoritis (al-naz{ary) jika didukung oleh sejumlah bukti tambahan (qari>nah), seperti; dikeluarkan

    oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab sahihnya,

  • z}anniyah dari dari aspek dilalah (indikasi makna).31 Sisi inilah yang

    memungkinkan terjadinya taa>rud} z}ahiry.

    Sebab terjadinya taa>rud}, antara lain:

    1- Adanya sebagian nash yang maknanya berindikasi umum dan yang lain

    khusus, ada yang bersifat mutlak dan ada yang muqayyad, atau

    pengecualian (istisna>), dll. Bagi sebagian orang menilai kondisi teks-teks

    semacam ini kontradiktif (taa>rud}).

    2- Ketidaktahuan tentang keluasan makna bahasa Arab yang menjadi bahasa

    media teks.

    3- Adanya pemalsuan terhadap hadis. Dengan demikian, hadis-hadis yang

    bertentangan ternyata palsu.

    4- Ketidaktahuan tentang konsep na>sikh dan mansu>kh antardalil dalam

    masalah hukum.32

    C. Realitas Kontradiksi Hadis dengan ayat al-Quran

    Realitas kontradiksi hadis dengan ayat al-Quran dapat dilihat dalam dua

    perspektif, yaitu perspektif naqd al-matan (naqd al-dakhily) dan perspektif ilmu

    mukhtalaf al-h}adi>th. Berikut penjelasannya:

    1. Perspektif Naqd al-Matan

    Berbeda dengan hadis mutawatir yang sudah pasti kesahihannya, hadis

    ahad memerlukan penelitian validitas untuk membuktikan kebenaran dan

    kejujuran periwayatan.33

    Definisi hadis sahih yang populer di kalangan ulama

    hadis adalah definisi yang disampaikan oleh Ibnu Sholah sebagai berikut:

    .

    Hadis yang musnad yang sanadnya bersambung (ittis}al) dengan proses transfer oleh perawi yang adil dan dhobith dari perawi yang adil dan

    31

    Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, 37. Mustafa al-Sibay. Al-Sunnah wa Makanatuha fi Tashri al-Islamy, 377 32

    Ustman Ali Hasan, Qawaid al-Istidlal ala Masail al-Itiqad (Riyadh: Dar al-Watn, vol.2, cet. 1, 1413 H), 53 33

    Ali Hasan al-Halaby, al-Nukat ala Nuzhah al-Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Dammam : Dar Ibn al-Jauzy, cet. 1, 1413 H/1996 M), 71

  • do>bit} sampai akhir sanad, tanpa ada s}hadh (kejanggalan) dan illat (cacat) di dalamnya. 34

    Dalam kritik sanad, aspek yang diuji adalah ittis}al sanad, adalah dan

    d}abit} perawi, s}hadh serta illat (cacat). Sementara kritik matan meliputi dua aspek

    yaitu s}hadh serta illat (cacat).

    Secara bahasa s}hadh artinya menyendiri dan terasing (tafarrud). Adapun

    secara istilah, para ulama sejak dulu berbeda pendapat, walaupun sepakat untuk

    menolak hadis s}hadh.35 Adapun secara istilah, Imam asy-Syafii (w. 204 H)

    berpendapat bahwa s}hadh yaitu seorang perawi tsiqot meriwayatkan suatu hadis

    yang menyelisihi riwayat para perawi tsiqot yang banyak.36 Selaras dengan

    pendapat asy-Syafii ini, Ibnu sholah mendefinisikan hadis s}hadh yaitu hadis

    yang diriwayatkan oleh perawi maqbul yang menyelisihi perawi yang lebih

    unggul darinya baik dari segi jumlah maupun kekuatan hafalan.37

    Sebenarnya tiga syarat hadis shohih sebelumnya sudah mempersempit

    peluang terjadinya s}hadh dalam hadis. Namun, karena penilaian adalah dan

    dhobt seorang perawi biasanya bersifat global, sementara perawi tsiqoh sekalipun

    terkadang bisa terkena wahm dalam suatu hadis yang diriwayatkannya, maka

    penelitian syadz perlu dilakukan persatuan hadisnya.38

    Masalah s}hadh bukan hanya terjadi dalam aspek sanad saja, namun juga

    pada matan hadis.39

    Maka, metode kritik matan dilakukan oleh ulama hadis

    dalam menyaring hadis yang terbebas dari s}hadh dengan cara sebagai berikut;

    (1) Ketidaksesuaian dan pertentangannya dengan Al-Quran, sebab tidak

    mungkin Nabi SAW menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan wahyu

    34Ibnu Sholah,Ulu>m al-Hadith, hlm.11-12, Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah al-Hadi>th, hlm. 31, Al-Baits al-Hatsis. Hlm. 19. As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, 1/79, An-Nukat. 1/234, al-Muqidzah. Hlm. 24. Asy-Syadza al-Fiyah. 1/66, Al-Wasith, hlm. 55. At-Taqyid wa al-Idhah. Hlm. 8, Taudhih al-Afkar. 1/18 Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd, hlm. 242. Hadis yang memenuhi kriteria di ataslah yang dikatakan oleh Ibnu Sholah sebagai hadis tidak

    diperselisihkan keshahihannya oleh ahli hadis. Adapun munculnya perbedaan penilaian status

    kesahihan sebagian hadis di antara ahli hadis lantaran perbedaan mereka dalam menetapkan

    terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat tersebut pada hadis yang diperselisihkan atau perbedaan

    dalam penetapan syarat tertentu dalam kasus tertentu seperti status keshahihan hadis mursal. Lihat Ibnu Sholah,Ulu>m al-Hadith, hlm. 12 35

    Hamzah al-Malibary. Al-Hadis al-Malul, 26 36

    Al-Khatib. Al-Kifayah, 171 37

    Hamzah al-Malibary. Al-hadits al-malul. 26 38Nuruddin Itr. Manhaj naqd., 242-243 39

    Idem., 428

  • Allah SWT. Perkataan Nabi tidaklah bersumber dari selera pribadi beliau (al-

    Hawa) tetapi wahyu dari Allah SWT. (2) Bertentangan dengan sunah yang sahih,

    sebab tidak mungkin terkumpul kontradiksi dalam diri Nabi SAW, (3)

    Ketidaksesuaian dengan perawi yang lebih tsiqoh. Terkadang matan hadis yang

    diriwayatkan bertentangan dengan perawi yang lebih kuat ke-tsiqoh-annya dan

    lebih mengetahui tentang hadis. Hal ini mengungkap indikasi tingkat kejujuran

    perawi. (4) Ketidaksesuaian lafal/redaksi hadis dengan lafal/ungkapan dan gaya

    bahasa Rasulullah SAW yang dikenal ahli hadis, (5) Keterkaitan antar kandungan

    matan dengan keyakinan (isme/aliran) perawi. Bisa jadi perawi memiliki

    keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan ahlu sunah wal jamaah

    kemudian mengikuti keyakinan atau madzab teologi tertentu dan membuat-buat

    hadis untuk memperkuat keyakinan dan propaganda bidahnya. (6)

    Ketidaksesuaian antara matan dengan mazhab yang dipegang oleh sang perawi.

    Seperti kasus hadis-hadis yang dikatakan bersumber dari Abu Hurairah ra

    tentang al mashu ala al-khuffain (mengusap kasut). Ibnu Rajab menjelaskan

    bahwa Imam Ahmad dan Muslim serta ulama lainnya mendhoif kan riwayat

    tersebut karena Abu Hurairah diketahui mengingkari adanya al-mashu ala al-

    khuffain.40

    Sementara illat pada matan dapat berupa idraj (sisipan lafal), ziyadah

    (penambahan), id}tirab (pemutarbalikkan lafal), dll.

    Di antara contoh pembuktian kepalsuan (mawd}u) suatu hadis dengan

    pendekatan kritik matan dengan metode ard{ al-hadith ala al-Quran dan sanad

    sekaligus adalah pada hadis berikut;

    : : :

    : :

    Telah menceritakan kepada kami Ahmad, dia berkata telah menceritakan

    kepada kami al-Husain bin Idris al-Hulwany, dia berkata; telah

    menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abu Haudhah, dia berkata; telah

    40

    Musfir ad-Daminy. Maqayis Naqd Mutun al-Hadith, 110-219, Hasan Fauzy al-Shoidy. Al-Manhaj an-Naqdy, 415-419

  • menceritakan kepada kami Amru bin Abu Qais dari Ibrahim bin Abu al-Muhajir dari Mujahid dari Abd al-Rahman bin Abu Dhibin dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan masuk Surga anak (hasil) zina dan tidak seorang pun di antara tujuh keturunannya.41

    Dari aspek kritik matan, hadis tersebut s}hadh karena sangat bertentangan

    dengan al-Quran yaitu ayat Alla taziru wa>ziratu wizra ukhra>(sesungguhnya

    sesorang tidak akan menanggung dosa yang dilakukan orang lain).42

    Tidak ada

    istilah dosa waris dalam Islam. Sesorang akan mendapatkan kebaikan dan

    keburukan dari hasil usahanya dan Allah tidak berbuat z}alim kepada hamba-

    Nya.43

    Ternyata hadis tersebut terbukti secara sanad adalah hadis yang sangat

    lemah karena disamping sanadnya mudhtarib pada isnad perawi Mujahid,44 ada

    perawi yang lemah (d}a>if) bernama Ibrahim bin Muhajir. Menurut penelitian Ibnu

    al-Jauzy dalam al-Mawduat, Al-Sakhawi dalam al-Maqasid al-Hasanah, Ibnu

    Tahir dalam Tadhkirah al-Maudhuat dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam al-

    Manar al-Munif, bahwa tidak ada satu sanad hadis tersebut pun yang dapat

    dijadikan hujjah.45

    2. Perspektif Mukhtalaf Al-Hadith

    Dalam klasifikasi hadis yang maqbu>l(sahih dan hasan) terdapat dua

    macam hadis yaitu hadis maqbu>l yang muhka>m (terbebas dari pertentangan

    dengan dalil lain yang setara) sehingga bisa langsung diamalkan (mamu>l bih)

    ada hadis maqbu>l yang mukhtalif (bertentangan secara makna dengan dalil lain

    yang setara) sehingga tidak bisa langsung diamalkan (ghair al-mamu>l bih) dan

    41

    HR. At-Tabrany dalam al-Mujam al-Wasit Juz 2 hal. 369, hadis nomor 870 versi al-Maktabah al-Shamilah edisi 3.48 42

    Al-Quran, 53: 38. Lihat pula ayat lain dengan ungkapan yang sama; 6: 164, 17: 15, 35: 18, 39: 7 43

    Al-Quran, 41: 46, 45: 15 44

    Ada 10 versi yang ambigu dalam sanad, apakah Mujahid dari Abu Hurairah atau dari Ibnu Umar

    atau dari Ibn Abu Dzibin yang mawquf, dll sebagaimana dirujuk oleh Nasiruddin al-Albany dari Abu Nuaim dalam Hilyah al-Auliya. 45

    Lihat penelitian Nasiruddin al-Albany, Silsilah al-Daifah wa al-Mawduat (al-Maktabah al-Shamilah) Juz 3 h. 286. Hadis nomor 1287

  • harus dilakukan upaya menghilangkan pertentangan tersebut.46

    Dengan

    demikian, objek dalam wacana kontradiksi antara hadis dan al-Quran dalam

    perspektif ilmu mukhtalaf al-hadith adalah hadis-hadis maqbu>lyang secara kritik

    hadis bernilaisahih atau hasan.

    Term yang sering muncul dalam wacana kontradiksi hadis adalah taa>rud,

    mukhtalif dan mushkilah. Menurut Sulaiman bin Muhammad al-Dabikhy bahwa

    term al-taa>rud lebih populer dipakai oleh kalangan usuliyyun sementara ahli

    hadis lebih umum menggunakan term ikhtila>f al-h}adi>th.47

    Secara etimologis, al-taa>rud merupakan masdar dari kata kerja taa>rada

    yang memiliki setidaknya tiga makna yaitu al-manu (hal menghalangi), al-

    muqa>balah (hal berhadapan), dan al-d}uhu>r (hal mengungguli).48 Jika dilekatkan

    dengan kata dalil berarti relasi antara dua dalil atau lebih yang saling berlawanan

    dan saling mengalahkan (kontradiksi). Adapun al-mukhtalif secara etimologis

    berasal dari kata al-ikhtilaf yang merupakan masdar dari kata kerja ikhtalafa. Al-

    mukhtalif adalah isim fa>il dan al-mukhtalaf adalah isim mafu>l. Al-

    ikhtila>fadalah antonim dari al-ittifa>q (bersatu dan sepakat). Jadi ikhtilaf al-hadith

    adalah dua hadis atau lebih yang secara dhahir maknanya saling berlawanan.

    Sementara mushkil al-hadith dari kata mushki>l yang merupakan isim fail dari

    kata ishkal yang artinya iltiba>s (kesamaran) dan ikhtila>t} (bercampur-baur). 49

    Secara makna, istilah mushkilah adalah term yang lebih luas maknanya

    daripada term taa>rud dan ikhtila>f. Term mushkil (problematis) lebih lebih luas

    maknanya karena faktor penyebab ishkal lebih banyak, bukan hanya kontradiksi

    tekstual dengan hadis-hadis lain tetapi juga dengan al-Quran, atau kejanggalan

    maknanya yang mustahil secara akal maupun syariat. Tetapi juga sebab

    problematisnya karena kesamaran makna (ambiguitas) pada dilalah lafaz

    46

    Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 46 47Ahadith al-Aqidah, 24. Bahkan kitab-kitab ulum hadis tidak ada yang menggunakan term taarudh sebagai istilah teknis untuk hadis-hadis yang problematis. Lihat Abdul Majid

    Muhammad IsmailAl-Suwsuh. Manhaj al-Taufiq wa al-Tarjih Baina al-Mukhtalaf al-Hadith wa Atharuhu fi al-Fiqh al-Islamy (ttp: Dar al-Nafais, tth), 52 48Abdul Majid Muhammad IsmailAl-Suwsuh,Manhaj al-taufiq wa al-tarjih, 45-46 49Tarudh al-Akhbar, 29, Abdul Majid Muhammad IsmailAl-Suwsuh,Manhaj al-Taufiq, 57

  • (indikasi makna leksikal) karena makna ganda (mushtarak) atau karena makna

    alegoris dan metaforis (majazy).50

    Taa>rud} ada dua macam yaitu al-taa>rud}} al-h}aqi>qi>y (kontradiksi

    substansial) dan al-taa>rudal-z}ahiry (kontradiksi tekstual).51Taa>rud} hakiki terjadi

    jika memenuhi empat hal; (1) kontradiksi sempurna antara dua dalil, (2) hujjiyah

    dalam dua dalil yang kontradiksi, (3) kesamaan level antara dua dalil tersebut, (4)

    kesatuan waktu dan tempat yang menjadi konteks terjadinya kontradiksi.52

    Mayoritas ulama usul, ahli hadis dan ulama fikih

    menegasikankemungkinan adanya taa>rud} h}aqi>qy antara nash-nash yang sahih.

    Taa>rud} yang mungkin terjadi adalah pada dhohir masalah dalam teks dan pada

    pandangan (perspektif) mujtahid.53

    Imam Syafii yang menolak adanya

    pertentangan antara hukum-hukum Allah dan hukum-hukum Rasul-Nya

    beralasan bahwa semua hukum tersebut berjalan di atas satu konsep yang sama

    (mithal wahid).54Ash-Shatiby yang juga menolak hal tersebut merujuk kepada

    keadaanmasing-masing mujtahid yang tidakmasum (terjaga) dari kesalahan

    dalam berpendapat sehingga muncul kemungkinan klaim taa>rud} antardalil itu

    dalam perspektif mereka. Demikian pula penolakan Imam syafii, Ibnu

    Khuzaimah, al-Qadi Abubakar al-Baqilany, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dll. 55

    Di antara dalil yang dikemukakan oleh ulama yang kontraadanya taa>rud

    haqiqyadalah:

    1- Hadis Nabi juga wahyu.56 Sementara wahyu dari Allah telah dinegasikan

    dengan tegas adanya salingberkontradiksi dalam Surat al-Nisa ayat 82. 57

    50Abdul Majid Muhammad IsmailAl-Suwsuh,Manhaj Taufiq wa tarjih, 57-58 51

    Ibid., 43 52

    Ibid., 60 53

    Sulaiman bin Muhammad al-Dabikhy. Ahadith al-Aqidah Allati Yuwham Z}ahiruha al-Taa>rud} fi> Sah{ih}ain; Dirasatun wa Tarjih (T{a>if: Maktabah Dar al-Bayan al-Hadithiyah, cet.1, 1422 H/2001 M ), 35, Nafiz Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadith baina al-Fuqaha wa al-Muhaddithin (al-Mashurah: Dar al-Wafa, cet. 1, 1414 H/1993 M), 26, Abdul Majid Muhammad Ismail, Manhaj al-Tawfiq wa al-Tarjih fi Mukhtalif al-Hadith, 87 54

    Ash-Shafii, Al-Risalah, ed. Ahmad Shakir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, ttp), 173 55

    Lihat Ahadith al-Aqidah, 35-36 56

    Al-Quran, 35: 3-4. Wahyu dalam bentuk hadis bisa berbentuk wahyu insha>i dan wahyu taqriry (ijtihad Nabi yang dibenarkan) 57

    Nafiz Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadith baina al-Fuqaha wa al-Muhadithin, 23

  • 2- Adanya perintah mengembalikan urusan kepada Allah (al-Quran) dan

    kepada Rasul (sunnah) dalam menyelesaikan perselisihan masalah58

    akan

    percuma jika secara hakiki kedua sumber tersebut kontradiktif.

    3- Jika terjadi taa>rud haqiqyantar sumber tashri maka implementasi dari

    pembebanan syariat menjadi di luar kemampuan manusia.59

    4- Ulama us}ul menetapkan metode tarjih dan nashk dalam masalah taa>rud}

    adillah. Jika benar taa>rud terjadi secara hakiki, maka kedua metode

    tersebut tidak valid dan tidak perlu ada.

    D. Pendekatan metodologis untuk menghadapi klaim kontradiksi

    Tertib (urutan berdasarkan prioritas) pendekatan solutif terhadap taa>rud}

    z}a>hiry menurut mayoritas (jumhur) ulama hadis baik Syafiiyah, Zaidiyah,

    Hanabilah, sebagian al-Ahnaf dan Malikiyah, adalah sebagai berikut: (1) al-

    jamu, (2) al-Naskh, (3) al-Tarjih, dan (4) al-tawaqquf.60

    1) Pendekatan al-jamu (kompromistis)

    Tidak ada sunnah yang sahih dantha>bit berlawanan dengan muh}kama>t al-

    Quran yang distingtif. Apabila ada yang mengklaim demikian, maka pasti

    sunnahnya yang tidak sahih atau pemahaman tentang sunah itu yang tidak benar

    atau taarud yang terjadi bersifat wah}m (pada tataran prediksi/hipotesis) bukan

    hakikat (pada tataran realitas).61

    Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk mengkompromikan (al-

    jamu) di antara dalil-dalil yang ada karena kemungkinan konteks hadis berbeda,

    atau adanya keumuman dan kekhususan, atau sifanya mutlak dan muqayyad. Hal

    ini mengingat bahwa mengaplikasikan seluruh dalil lebih utama dari pada

    membuang sebagian atau seluruhnya.62

    58

    Al-Quran, 4: 59 59

    Idem, 2: 286. Misalnya satu dalil memerintahkan, sementara dalil lain melarang. 60Abdul Majid Muhammad Ismail. Manhaj al-Taufiq, 113 61

    Yusuf al-Qardawy, Kaifa Nataamal maa al-Sunnah al-Nabawiyah (Kairo: Dar al-Shuruq, cet. 2, 1423 H/2002 M), 113 62

    Uthman Ali Hasan, Qawaid.., 53

  • Tidak diragukan bahwa hadis ahad memang berada pada level kedua

    setelah al-Quran dari aspek thubut. Akan tetapi dari aspek ijtihad dan

    pemahaman nash-nash maka rujukan pertama yang harus diperhatikan adalah

    sunnah sebelum mengaplikasi tekstualal-Quran. Hal ini karena kemungkinan

    adanya takhsi>s oleh sunnah terhadap teks tersebut atau taqyid dan lain-lain dari

    aspek penjelasan (syarh dan bayan) hadis terhadap ayat. Dari aspek ini posisi

    hadis dapat disejajarkan dengan al-Quran jika terjadi perbedaan makna antarteks

    dengan melakukan upaya kompromi (tawfiq dan jamu) di antara keduanya.

    Pendapat ini tidak ada perbedaan di antara ulama yang menetapkan hujjiyah

    sunnah.63

    Perlu diakui adanya perbedaan perpektif dan kemampuan analisa akal

    manusia. Hal ini harus diperhatikan agar ada kehati-hatian dalam menghukumi

    dhoif hadis-hadis yang secara sanad sangat kuat validitas (kesahihan)-

    nya.Karenasebagaimana dinyatakan oleh Yusuf al-Qardawy-bahwa menolak

    hadis-hadis sahih sama jeleknya dengan menerima hadis-hadis palsu.64

    Oleh karena itu, para ulama hadis tidak terburu-buru mendhoifkan hadis

    yang secara dzohir kelihatan matannya kontradiktif (taarud), selama masih ada

    intepretasi (tawi>l) yang dapat diterima. Dalam realitasnya, terkadang suatu

    hadis dianggap bertentangan (taa>rud}) dengan ayat al-Quran, padahal ulama dan

    pakar yang lain menegasikan kontradiksi tersebut (wa fawqa kulli dhy> ilmin

    ali>mun). Kaedah yang dikedepankan adalah al-jamu wa at-taufiq (kompromi)

    sebelum at-tarjih.65 Kaidah al-jamu muqaddamun ala al-tarji>h merupakan

    kaidah yang dipegang oleh Imam SyafiI, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah,

    dll.Kaidah lain yang senada sebagai acuan adalah imal al-adillah awla min

    ihma>liha (penerapan seluruh dalil lebih diutamakan dan dikedepankan daripada

    pengabaian dalam bentuk tarjih atas alasan taa>rud}).66

    63

    Mustafa al-Sibai., Al-Sunnah.., 379 64

    Yusuf al-Qardawy, Kaifa Nataamal maa as-Sunnah, 113 65

    AbdulMajid Muhammad Ismail as-Suwsuh.Manhaj at-Taufiq., 55 66

    Abu Sholih. Naqd al-Matan wa alaqatuhu bi al-Hukm ala ruwat al-hadist Inda Ulama al-Jarh wa Tadil. www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=85894..Abdullah Hasan al-Haditsi.Atsar al-Hadist , 291-292. Muhammad Abu Zahwu. Al-Hadits wa al-Muhaditsun, 367-369

  • Metode al-jamu (kompromi) ini memperhatikan relasi fungsional antara

    hadis dengan al-Quran dalam wacana agama. Dalam konteks relasi ini, hadis

    memiliki beberapa fungsi terhadap al-Quran, yaitu:

    1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya

    hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri,

    saksi palsu, durhaka kepada orang tua67

    menegaskan dan memperkuat

    larangan tersebut dalam Al-Quran.68

    2- Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk,

    yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat

    global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat69

    yang diperintahkan dalam Al-Quran70, (b) mengkhususkan (lex

    specialis) petunjuk yang bersifat umum (a>m) dari Al-Quran. Seperti

    hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa71

    sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa ayat 2472.

    Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan

    persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti

    hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam

    hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan

    sebagai taqyid kata yad dalam Al-Quran 5:38.73

    3- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-

    Quran (hadis tashri). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Quran

    dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati 67

    Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 2/251, hadis no. 2653 ;

    68Sebagai contohal-Quran, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

    larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang

    tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 69

    Lihat hadis-hadis dalam Sahih al-Jami pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu sampai Kitab as-

    Sahwi 70

    al-Quran, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 71

    Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 3/365, hadis no. 5108 dan 5109

    72Di antara penggalan ayatnya :

    73

    Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-Shafii

  • oleh para ulama menurut Ash-Shatiby. Contohnya; hukuman rajam bagi

    pezina muhsan, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki,

    kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.74

    Dalilnya;

    secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan

    sifat mashum dan tugas menyampaikan syariat. Adapun secara nash,

    Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum

    termasuk terhadap sunnah istiqlaliyah (independen)-nya.75

    2) Pendekatan al-Na>sikh wa al-Mansu>kh

    Apabila kompromi tidak memungkinkan, sementara masing-masing dalil

    yang saling berlawanan membuka peluang untuk naskh dengan adanya data

    sejarah tentang kronologisnya munculnya masing-masing nash.

    Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bolehnya

    naskhal-Quran dengan al-Quran atau sunnah dengan sunnah dalam status

    mutawatir berhadapan dengan sesama mutawatir atau mutawatir terhadap ahad

    atau ahad terhadap ahad. Yang jadi perbedaan pendapat adalah naskhal-Quran

    dengan sunnah dan sunnah dengan al-Quran.76 Dalam hal ini jumhur ulama

    membolehkan naskh sunnah dengan al-kitab seperti perubahan arah kiblat yang

    sebelumnya menghadap Bait al-Maqdis ke arah Kabah.77

    Adapun naskhal-Quran dengan sunnah yang ahad menurut jumhur ulama

    tidak dibolehkan. Sementara ulama hanafiyah membolehkan hadis sebagai na>sikh

    (meng-abrogasi) hukum al-Quran,78 seperti hadis La was{iyyah li wa>rith

    sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.79

    74

    Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 187 75

    Al-Quran., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Sibai, al-Sunnah, 382 76

    Idem., 394 77

    HR. Al-Bukhari no. 40 dalam al-Jami al-Sahih. Vol 1, 29 terhadap Al-Quran 2: 144 78

    Al-Quran 2: 180 yang menetapkan kewajiban wasiat dinaskh oeh hadis la was}iyyata li wa>rith (HR. Ibnu Majah nomor 2705, Mustafa al-Sibai., Al-Sunnah.., 340 79

    Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-Shafii

  • 3) Pendekatan al-Tarji>h

    Apabila tidak ada sejarah yang dapat digunakan untuk naskh, maka

    dilakukan tarji>h dengan melihat berbagai aspek. Dalil yang rajah (paling kuat)-

    lah yang diamalkan sebagaimana ditegaskan dalam ijma dan rasio.80

    Dengan merujuk istilah Sharaf al-Qudhah bahwa bagian yang qat}i>y al-

    dila>lah dari al-Quran sebagai haqiqah quraniyyah. Sementara aspek z}anny dari

    dila>lah al-Quran disebut z}anny qurany. Adapun hadis yang mutawa>tir dan

    qati}dila>lah-nya disebut haqiqah hadi>thiyyah. Sementara hadis yang z}anny

    thubut atau z}anny dila>lah atau z}anny thubut dan dila>lah sekaligus disebut z}anny

    hadi>thy.81 Maka, dari klasifikasi istilah tersebut dapat dibuat pemetaan aspek

    taa>rud} antara hadis dan al-Quran sebagai berikut:

    No Bentuk Taarud Probabilitas wujud Tarjih

    1 Haqiqah hadithiyah X

    haqiqah Quraniyah

    secara praktis tidak

    ada contohnya

    Secara teoritis

    Mustahil82

    2 Zanny hadithiy X haqiqah

    Quraniyah

    Mungkin terjadi Haqiqah Quraniyah

    diunggulkan atas

    zanny hadithiy

    3 Haqiqah hadithiyah X

    zanny Qurany

    Mungkin terjadi Haqiqah hadithiyah

    diunggulkan atas

    zanny Qurany

    4 Zanny hadithiy X zanny

    Qurany

    Paling banyak

    terjadi

    Tarjih dengan

    qarinah

    4) Pendekatan al-Tawaqquf(penangguhan)

    Apabila tarjih tidak bisa dilakukan, maka solusinya terdapat perbedaan

    pendapat di kalangan ulama. Di antaranya ada yang berpendapat dilakukan

    80

    Ustman Ali Hasan, Qawaid, 53 81

    Sharaf al-Qud{ah. Hal Yataaradu al-Hadith maa al-Quran al-Karim aw al-Ilm HadithKhalaqallah al-Turab Yawm al-Sabt. Jurnal al-Bayan. Department of al-Quran and al-Hadith, Academy of Islamic Studies, University of Malaya, 2013. Akses 20 September 2013 dari

    www.albayanjournal.com 82

    Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, juz 2, hal. 1120

  • pilihan (takhayyur) atau menggungurkan penggunaan dalil (tasa>>qut}) dan beralih

    menggunakan dalil berikutnya dalam urutan.83

    E. Contoh Aplikatif Solusi Kontradiksi hadis dengan al-Quran

    Hadis yang terdapat di dalam Kitabal-T{ibb (76) bab as-Sih}r (50) nomor

    5766

    .

    . .

    . .

    .

    . . 84

    Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Ismail telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Ayahnya dari Aisyah dia

    berkata; Nabi shallallahu alaihi wasallam disihir hingga seakan-akan beliau mengangan-angan telah berbuat sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di sampingku, beliau berdoa kepada Allah dan selalu berdoa, kemudian beliau bersabda: Wahai Aisyah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Jawabku; Apa itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan satunya lagi di kakiku. Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya; Menderita sakit apakah laki-laki ini? temannya menjawab; Terkena sihir.Salah seorang darinya bertanya; Siapakah yang menyihirnya? temannya menjawab; Lubid bin Al Asham seorang

    83

    Idem, 53-54 84

    Al-Bukhari. Al-Jami As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. Al-Maktabah as-Salafiyah, Kairo, cet. 1, 1400 H) Juz 4 hal 49.

  • Yahudi dari Bani Zuraiq. Salah satunya bertanya; Dengan benda apakah dia menyihir? temannya menjawab; Dengan rambut yang terjatuh ketika disisir dan seludang mayang kurma. Salah seorang darinya bertanya; Di manakah benda itu di letakkan? temannya menjawab; Di dalam sumur Dzi Arwan. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendatangi sumur tersebut bersama beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui Aisyah bersabda: Wahai Aisyah! Seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan. Aku bertanya; Wahai Rasulullah, tidakkah anda mengeluarkannya? beliau menjawab: Tidak, sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu. Kemudian beliau memerintahkan seseorang membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu menguburnya.

    Untuk diketahui bahwa hadis tentang disihirnya Nabi tersebut

    dicantumkan dalam tiga tempat oleh al-Bukhari dalam shohihnya. Menurut

    penelitian, Muqbil bin Hady al-Wady ada 14 (empat belas) jalur periwayatan

    hadis tersebut dari Hisyam bin Urwah dari Bapaknya dari Aisyah ra. Hadis

    tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadis selain al-Bukhari seperti Muslim,

    An-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy, Ibnu Abi Syaibah, dll. Disamping

    itu terdapat syawahid dari hadis riwayat Ahmad, an-Nasai, Ibnu Abi Syaibah,

    Ath-Thabrany, Ibnu Saad, dll.85

    Kesahihan hadis ini diakui dan ditetapkan oleh para ulama senior baik

    dari aspek riwayat maupun dirayah-nya. Di antara ulama tersebut adalah al-

    Khattaby, al-Qodhi Iyadh, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qoyyim, Ibnu Katsir, An-

    Nawawy, Ibnu Hajar, al-Qurthuby, al-Alusi, dll.86

    85

    Muqbil bin Hady al-Wady. Rudud Ahl al-Ilm ala al-T{aini>n fi Hadith al-Sihr (S{ana: Dar al-Athar, Cet. 2, 1420 H/1999 M), 87-96 86

    Muhammad Abu Syuhbah dan Abdul Ghany Abdul Khaliq. Difa Anis Sunnah, 362-364. Sebagian orang mengkritik hadis ini karena tafarrudnya Hisyam bin Urwah. Namun, pendapat

    tersebut ditolak para ulama karena Hisyam adalah orang paling tsiqoh dan paling alim.Tidak ada

    seorang ulama yang menilai negative ketsiqohan hadisnya.Al-Bukhari dan Muslim sepakat

    menshohihkannya (muttafaq alaih).Ulama ahlul hadis tidak ada yang mengkritik apalagi

    mendhoifkan hadis ini.Hadisnya menjadi masyhur di kalangan ahli tafsir, ashabus sunan, ahli hadis, ahli sejarah, dan ahli fiqh.

    Demikian pula sebenarnya riwayat Hisyam ini tidak tafarrud karena al-Amasy meriwayatkan dari Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam ra. HR. An-Nasai dalam Sunannya Kitab Tahrim ad-

    Dam nomor 4080, Ibnu Syaibah dalam al-Mushannaf (5/40), Imam Ahmad dalam musnadnya

    (4/367).Di-shohih-kan Al-Albany dalam Shohih Sunan An-Nasai (3/98) hadis no. 4091. Lihat

    Ahmad bin Abdul Azis al-Qushayyir. Ajwibatul Ulama an Khobar Sihr an-Nabi SAW. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=22652. Di akses 14 Juni 2013.

  • Muhammad Abduh, Mahmud Abu Rayyah,87

    dan Muhibbin dalam

    disertasi doktoralnya menolak kesahihan hadis Nabi disihir dengan klaim bahwa

    hadis itu bertentangan dengan al-Quran. Di antara ayat yang bertentangan

    dengan hadis di atas adalah:

    1-Surat al-Furqan ayat 8 :

    8)

    Artinya : ..... Dan orang-orang yang zalim itu berkata: Kamu sekalian

    tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.

    Hadis di atas dianggap membenarkan tuduhan orang-orang musyrik

    bahwa Nabi adalah adalah orang gila dibawah pengaruh sihir.Dengan

    demikiandapat menyebabkan adanya keraguan terhadap kebenaran ajaran yang

    dibawa oleh Nabi SAW, karena mungkin sajaNabi terkena pengaruh sihir pada

    saat menerima wahyu.

    2. Surat Al-Hijr ayat 42:88

    42)

    Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka,

    kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat

    Hadis di atas bertentangan dengan ayat ini ias apabila sihir merupakan

    perbuatan setan, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas hamba Allah. Apalagi

    kekuasaan atas diri seorang Rasul Allah.

    3. Surat al-Maidah ayat 67:

    87

    Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Difa an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, ttt), 223 88

    Ayat yang semakna terdapat dalam QS. An-Nahl : 99, al-Isra : 65, Saba : 21

  • Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan

    jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak

    menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.

    Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

    Hadis di atas bertentangan dengan jaminan perlindungan (ismah) Allah

    kepada Nabi SAW.

    Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menelaah ulang apakah

    pertentangan itu benar-benar terbukti atau tidak. Apakah bisa diaplikasikan

    metode al-Jamu antara hadis di atas dengan ayat yang diklaim kontradiktif?

    1. Firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 8 menjelaskan maksud

    orang-orang musyrik dengan perkataan meraka bahwa setanlah yang

    membisikkan ajaran-ajarannya kepada Rasulullah dan dituliskan untuknya,

    sebagaimana siyaq as-sibaq dari ayat sebelumnya di ayat 5: Dan mereka

    berkata: Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya

    dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.

    Mashuura artinya telah disihir sampai kerasukan seperti orang gila yang

    hilang dan rusak akalnya dan tidak menyadari apa yang dikatakannya sehingga

    tidak pantas untuk diikuti. Hal ini selaras dengan tuduhan mereka yang

    termaktub di ayat lain Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata:

    Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang

    yang gila.89 Tuduhan orang kafir dalam ayat dimaksud akibat sihir yang

    membuat gila, merancau dalam perkataan yang diklaim wahyu tidak sesuai

    dengan konteks makna hadis di atas yang menunjukkan bahwa akibat disihir itu

    berupa kondisi sakit yang menimpa fisik.90

    Pengaruh maksimal dari sihir yang dialami oleh Nabimenurut

    keterangan Sufyan bin Uyainah yang menjadi salah seorang perawi hadis itu

    hanyaberbentuk halusinasi.Jadi, bukan dalam bentuk lepas kontrol kesadaran diri

    dan itupun hanya berkaitan dengan kondisi ketika beliau berinteraksi khusus

    dengan istri beliau sebagaimana disebutkan dalam hadis (

    89

    Al-Quran, 44: 14 90

    Muhammad al-Amin al-Shinqit}y. Ad}wa al-Bayan fi I

  • ).91 Tidak ada data sejarah dan riwayat yang menjelaskan bahwa akibat

    sihir yang menimpa Nabi tersebut berpengaruh negatif terhadap aktivitas Nabi

    dalam penerimaan dan penyampaian wahyu, risalah, beribadah, berdakwah,

    tabligh, menyampaikan sunnah dan tashri.

    Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan bahwa peristiwa yang menimpa

    Rasulullah saw berupa sihir adalah bentuk musibah sakit yang bersifat manusiawi

    yang bisa dialami oleh manusia biasa. Musibah yang menimpa beliau bersifat

    sementara dan tidak berkaitan dengan wahyu dan risalah. Di antara dalil yang

    menunjukkan hal itu sebgai bentuk sakit yaitu bagian akhir hadits menyebutkan:

    (adapun saya telah Allah sembuhkan). Dalil ini

    diperkuat oleh hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Said : Rasulullah

    SAW sakit dan terhalang dari menggauli istri-istrinya dan dari makan dan

    minum, maka dua Malaikat pun turun menemui beliau.92

    Demikian pula, upaya membenturkanhadis di atas dengan ayat dalam

    surat al-Furqan tersebut kurang relevan karena ayat dan surat tesebut adalah

    Makkiyah sementara hadis tersebut madanysehingga ada kesenjangan (gap)dalam

    konteks dan momentum.93

    2. Maksud dari Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada

    kekuasaan bagimu terhadap mereka adalah dalam konteks penyesatan.

    Kekuasaan yang diberikan kepada setan adalah kemampuan untuk melakukan

    aktivitas-aktivitas penyesatan dengan memperindah perbuatan buruk sehingga

    tampak baik dan sebaliknya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr : 39-40.

    94 Dengan demikian, ayat ini tidak sesuai dengan realitas pada diri Nabi SAW.

    91

    Al-Bukhari.Al-Jami al-Sahih Vol. 4, 48-49.Hadis nomor 5765.Pengaruh sihir dalam kehidupan suami-istri semacam ini telah ditegaskan oleh al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 102. 92

    Ibnu Hajar. Fath al-Bary.10/237-238.Muhammad Abu Syuhbah.Difa an as-Sunnah. Hal.362-364. Muhammad al-Amin al-Shinqit}y. Ad}wa al-Bayan fi I

  • Adapun jika aktivitas setan yang berdampak bagi fisik menimpa hamba

    yang sholeh tidak dinafikan al-Quran. Bahkan al-Quran menunjukkan

    terjadinya hal itu dalam kisah Nabi Ayyub alaih al-sala>m:

    Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya:

    Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.95

    Demikian pula, pengaruh sihir dalam bentuk halusinasi pernah dialami

    oleh Nabi Musa alaih al-sala>m sebagai Nabi ulul azmi ketika tukang sihir

    Firaun yang melempar tali-temali kemudian terlihat hidup seperti ular.

    66 )

    67)

    Berkata Musa: Silahkan kamu sekalian melemparkan. Maka tiba-tiba tali-tali

    dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap

    cepat, lantaran sihir mereka. (66) Maka Musa merasa takut dalam hatinya (67)

    Bentuk pengaruh sihir yang terjadi pada Nabi Musa berupa halusinasi

    tersebut serupa dengan yang terjadi atas diri Rasulullah SAW. Pengaruh sihir

    pada para nabi tersebut tidak berdampak pada penerimaan wahyu, pengamalan

    dan penyampaiannya.Interaksi di alam sadar Nabi Musa dengan wahyu walau ada

    pengaruh sihir ini secara eksplisit ditegaskan dalam lanjutan ayat dari surat

    Thaha di atas: Kami berkata: janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah

    yang paling unggul (menang) (68) Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan

    kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa

    yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan

    menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang (69).

    3. Hadis tentang Nabi disihir tidaklah bertentangan dengan ayat

    ishmah karena konteks jaminan penjagaan dimaksud adalah dari pembunuhan,

    bukan dalam bentuk gangguan fisik. Sebab gangguan fisik dari orang-orang kafir

    95

    QS. Shod : 41

  • sering kali menimpa Nabi sejak Nabi berdakwah di Makkah dan dalam berbagai

    peperangan seperti dalam perang Uhud. Hal ini diperkuat dengan data dari

    konteks asbab al-nuzul dari surat al-Maidah: 67 yang berkaitan dengan

    pengawalan khusus yang dilakukan oleh para sahabat terhadap rumah Nabi SAW

    dan ditiadakan setelah turunnya ayat tersebut.96

    Dengan keterangan di atas, maka klaim kontradiksi hadis Nabi disihir

    dengan sejumlah ayat tidaklah tepat. Bahkan bila dicermati lebih jauh, hadis

    tersebut selaras dengan ayat-ayat al-Quran, antara lain: penetapan adanya sihir

    dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusiabahkan bisamenimpa Rasulullah

    SAW.97

    Penegasan sifat bashariah Rasulullah yang bisa ditimpa sakit dan

    merasakan pengaruhnya.98

    Kondisi yang dialami Rasulullah SAW menjadi sebab

    kesempurnaan pengajaran cara menghadapi dan mengobati sihir melalui contoh

    dari Rasulullah SAW. Demikian bentuk kesempurnaan qudwah hasanah yang

    diberikan oleh seorang rasul yang dipilih dari kalangan manusia bukan malaikat

    melalui cara menyikapi hal-hal terkait dengan tabiat insaniyah dan hal-hal yang

    bersifat manusiawi.99

    Kondisi yang dialami Rasulullah menjadi realita bahwa

    upaya-upaya gangguan dari orang-orang kafir baik dari kalangan manusia

    maupun jin menjadi ujian dalam kehidupan dan perjuangan orang-orang yang

    beriman.100

    96

    Abu al-Hasan al-Wahidy, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 135 97

    Al-Quran, 2: 102 98

    Idem, 18: 110, 41: 6 99

    Idem, 33: 21. Menurut penelitian Khader Ahmad dan Ishak Suliaman, terdapat 36 hadis di

    dalam al-kutub al-sittah yang menjelaskan tentang petunjuk Nabi mengenai sihir dan cara

    pengobatannya dan 31 di antaranya berkualitas sahih, 2 hadis hasan dan 3 hadis d}aif. Khader

    Ahmad dan Ishak Suliaman, Hadith-Hadith mengenai Sihir dan Rawatannnya dalam al-Kutub al-

    Sittah :Satu analisis Kualitatif, 22. albayanjournal.com/uploads/articles/7Hadith-Hadith

    mengenai Sihir dan Rawatannnya.Pdf. Diunduh 15 September 2013

    100Idem, 6: 112, 41: 6

  • BAB III

    PENUTUP

    Kesimpulan

    1. Meneliti kontradiksi antara hadis dan al-Quran sangat penting dalam

    studi matan hadis, baik untuk keperluan kritik matan maupun untuk

    pemahaman hadis.

    2. Kontradiksi (Taa>rud}) antara al-Quran dan hadis ada dua macam yaitu

    taa>rud}haqi>qy pada hadis palsu dan taa>rud}z}ahiry pada hadis sahih.

    3. Metodologi penyelesaian taa>rud} z}ahiryyang dikenalkan oleh jumhur

    ulama dalam ilmu mukhtalaf al-hadith yaitu cara al-jamu (kompromi),

    al-naskh (abrogasi), al-tarji>h} (seleksi) dan al-tawaqquf (penundaan).

    4. Perlu kehati-hatian (ikhtiyat}) dalam mensahihkan hadis syadh atau

    menolak hadis yang telah disahihkan para pakar hadis.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011)

    Abdul Majid Muhammad Ismail Al-Suwsuh, Manhaj al-Taufiq wa al-Tarjih Baina al-Mukhtalaf al-Hadith wa Atharuhu fi al-Fiqh al-Islamy (ttp: Dar al-Nafais, ttt)

    Abdul Majid Muhammad Ismail, Manhaj al-Tawfiq wa al-Tarjih fi Mukhtalif al-Hadith

    Abdullah Hasan al- Hadithy. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 2005)

    Abu Abd Allah Muhammad al-ShafiI. Al-Risalah, ed. Ahmad Shakir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, ttp)

    Abu Amr Utsman Ibnu Sholah, Ulu>m al-Hadith (MuqaddimahIbn Al-S{olah), ed. Nuruddin Itr (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H)

    Abu Abdillah al-Bukhari, Al-Jami As-Sahi>h. Juz 1-4, ed.Muhibuddin al-Khatib(Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah,Cet. 1, 1400 H)

    Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Al-Wasi>t} fi Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : Alam al-Marifah li an-Nasyr wa at-Tauzi, Cet. 1, 1403 H/1983 M)

    Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Muqaddimah Sharh al-Nawawi ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matbaah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M)

    Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Vol. 1. Ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M)

    Ali Hasan al- Halaby, al-Nukat ala Nuzhah al-Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Dammam : Dar Ibn al-Jauzy, cet. 1, 1413 H/1996 M)

    Al-Sakhawy, Fath al-Mughits. Tahqiq Abdul Karim al-Khudhoir dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (ar-Riyadh : Maktabah Dar al-Minhaj, cet. 1,

    1426 H

    Al-Shaukany, Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min Ilm al-Us}ul. Vol. 1 dan 2 (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000)

    Al-Suyuthi, Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Tahqiq; Abu Muadz Thoriq bin Audhillah bin Muhammad (Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H)

    Hasan Fauzy al- S}aidy. Al-Manhaj al-Naqdy inda al-Mutaqaddimi>n min al-Muhaddithi>n waatharTaba>yun al-Minhaj. (Tesis Magister, Jamiah AinSyams. KuliahTarbiyahQism al-Lughah al-Arabiyah, 1421 H/2000 M)

    Ibnu Hajar al- Asqalany, Fath al-Bary. Ed. Syaikh Abdul Qadir Shaibah al-Hamd (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 1, 1421 H/ 2001)

    Ibnu Katsir. al-Baist al-Hatsis Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits, Syarah; Ahmad Muhammad Syakir. Vol.1 (Riyadh: Maktabah al-Maarif lin al-Nasyr wa at-Tauzi, 1996 M)

    Mah}mu>d al- T{ah}h}a>n`.Taisir Must}alah al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasah, Cet. 7, 1405)

    Muhammad al- Ghazaly, As-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 11, 1996).

  • Muhammad al-Amin al-Shinqit}y. Ad}wa al-Bayan fi In fi Hadith al-Sihr(S{ana: Dar al-Athar, Cet. 2, 1420 H/1999 M),

    Musfir Azmullah al- Daminy, Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah. (Riyadh: tanpa tahun, cet. 1, 1404 H/1984M)

    Mustafa al- SibaI. Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri al-Islamy (Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M)

    Nafiz Husain Hammad.Mukhtalaf al-Hadith baina al-Fuqaha wa al-Muhaddithin (al-Mashurah: Dar al-Wafa, cet. 1, 1414 H/1993 M)

    Nasiruddin al-Albany. Silsilah al-Daifah wa al-Mawduat (al-Maktabah al-Shamilah edisi 3.48)

    Nuruddin Itr, Manh}aj al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M)

    Rabi bin Hady al- Madkhaly, Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M)

    S{ubhi al-S{a>lih, Ulum al-Hadith wa Must}alahuhu; Ard{un wa Dirasatun (Libanon: Matbaah al-Ulum, ttt)

    Siddiq Hasan al-Qonujy. Al-Hitthoh fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah. Tahqiq: Ali Hasan al-Hlm.aby (Beirut: Dar al-Jail, t.th)

    Sulaiman bin Muhammad al-Dabikhy, Ahadith al-Aqidah Allati Yuwham Z}ahiruha al-Taa>rud} fi> Sah{ih}ain; Dirasatun wa Tarjih (T{a>if: Maktabah Dar al-Bayan al-Hadithiyah, cet.1, 1422 H/2001 M )

    Ustman Ali Hasan, Qawaid al-Istidlal ala Masail al-Itiqad (Riyadh: Dar al-Watn, Vol.2, cet. 1, 1413 H)

    Wahbah al- Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Muas}ir, 1419 H/1999 M)

    Yusuf al- Qardawy. Kaifa Nataamal maa al-Sunnah al-Nabawiyah (Kairo: Dar al-Shuruq, cet. 2, 1423 H/2002 M)

    Sumber Internet:

    Abu Sholih. Naqd al-Matan wa ala >qatuhu bi al-Hukm ala ruwa>t al-hadith Inda Ulama al-Jarh wa Tadil www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=85894.

    Ahmad bin Abdul Azis al- Qushayyir. Ajwibatul Ulama anKhobarSihr an-NabiSAW. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=22652. Di akses 14 Juni 2013.

    Sharaf al- Qud{ah. Hal Yataaradu al-Hadith maa al-Quran al-Karim aw al-Ilm HadithKhalaq Allah al-Turab Yawm al-Sabt. Jurnal al-Bayan. Department of al-Quran and al-Hadith, Academy of Islamic Studies, University of Malaya, 2013. Akses 20 September 2013 dari www.albayanjournal.com