ginealogi dalam serat dharmasasana a

14

Upload: altonz-van-gantarz

Post on 17-Jul-2015

208 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 1/14

HUMANIORA

VOLUME 18 Halaman 125 - 138o.2 Junl 2006

GENEALOGI DALAM RANGKA PENCIPTAAN SERAT

DARMASARANA KARYA R . NG. RANGGAWARS ITA

Anung Tedjowirawan *

ABSTRACT

The goal of the writing of Se ra t Da rmasa rana b y R .N g. R an gg aw ars ita is th e re ce ptio n o f Adiparwa

a nd c on tin ua tio n o f th e s to ry o f Mo s a la p a rw a . P r as th a n ik a p ar w a . and Swargarohanaparwa . By wr i ting Serat

Darmasarana and texts in the P us ta ka ra ja M a dy a R .N g. R an gg aw ars ita in te nd s to p la ce P en gg in g a s a

m yth , a s th e c en tra l g ov ernme nt in J a va , a fte r th e fa ll o f K ed iri. F urth er, R .N g. R an gg aw ars ita a ls o w an ts

to p lace the G ods and Pandawa a s th e a nce sto rs o f M ata ra m K in gs.

Key wo rds : Se ra t Da rmasa rana, P us ta ka ra ja M a dy a, re ce ptio n, m yth , g en ea lo gy o f M a ta ram K in gs

PENGANTAR

Pemilihan Serat Darmasarana koleksi

Perpustakaan Radyapustaka, Surakarta No.

152 A dan Serat Dannasarana / I (transliterasian

Yayasan Paheman Radyapustaka, Surakarta)

dalam tulisan ini didasarkan pada keinginan

untuk mengetahui sejauh mana sambut-an(resepsi) pujangga besar R. Ng. Rangga-

warsita dalam mengemukakan tokoh

Darmasarana (Pariksit) yang hanya secara

singkat diuraikan dalam Adiparwa (Zoetmulder,

1958:92-97: Juynboll, 1906:48-53), Bharata-

yuddha (Suljipto Wirjosuparto, 1968:355-356),

maupun Prasth~nikaparwa (Nila, 1979:27;

Zoetmulder, 1995: 157).

Dalam kesastraan Jawa Kuna, Parikesit

(Parikslt) adalah putra Raden Abimanyu

(Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttari), putri

dari Wirata (Wirala), cucu Arjuna. Sebenarnya,

Parikesit telah tewas oleh panah Brahrnaceirah

milik Aswatama (A<Bwatthama) sewaktu masih

dalam kandungan Utari, tetapi karena Kresna

(Kr§Qa) mencintainya ia dihidupkan kembali

dan diramal akan menurunkan keluarga

Pandawa (Zoetmulder, 1983:332: Sutjipto

Wirjosuparto, 1968:355). Sebelum para

Pandawa mengundurkan diri meninggalkan

Ngastina (Hastina) dalam persiapannya kembali

ke surga, Parikesit ditunjuk dan dinobatkan

menjadi raja Ngastina menggantikan Maharaja

Yudhistira (Yudhlsjhfra) (Nila, 1979: 27;

Zoetmulder, 1995: 157). Uraian tentang

penokohan Parikesit yang sangat sing kat

dalam naratif kesastraan Jawa Kuna itu

ternyata sangat berbeda apabila dibandingkan

dengan pemunculan tokoh tersebut di dalam

kesastraan Jawa Baru (Klasik), baik dalam hal

variasi penamaannya maupun struktur

naratifnya.

Dalam kesastraan Jawa Baru, Prabu

Parikesit memiliki gelar lain, yaitu Prabu

Karimataya, Prabu Dipayana, Prabu Yudhis-

wara, Prabu Mahabrata, dan Prabu Darma-sarana. Di samping itu di dalam kesastraan

Jawa Baru (Klasik), naratifyang mengemukakan

tokoh Parikesit selain terdapat dalam Serat

Darmasarana, juga muncul di dalam karya

sastra lainnya, misalnya Serat Pustakaraja

Madya Jilid I nomor 138 Na, Serat Pustakaraja

Madya Jilid /I nomor 168Na, Serat Pustakaraja

Madya Jilid 1 1 / nomor 170 Na, Serat Karimataya

* S ta f P en ga ja r Ju ru sa n S astra N usa nta ra . F aku lta s IIm u B ud aya . U nive rs ita s G ad ja h M ad a, Y og ya ka rta

125

Page 2: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 2/14

Humaniora, Vol. 18, No.2 Juni 2006: 125-138

/ nomor 151 Na, Serat Pustakaraja Madya

Kasekaraken (SeratKarimataya /I) nomor 151

Na-B, dan Serat Pustakaraja Madya (Sekar

Karimataya 1 1 / ) nomor 151 Na-C. Naskah-

naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan

Sanapustaka, Kasunanan Surakarta (Nancy

Vol. I, 1981:261-296). Naskah-naskah yang

tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka,

Pura Mangkunegaran Surakarta antara lain

Serat Pustakaraja Madya: Wirabartana nomor

D 130,Serat Pustakaraja Wedha (Pustakaraja

Parikesit) nomor D 106, Serat Karimataya

nomor D 24 (Nancy Vol. II, 1981:121-130),

Serat Parikesit Grogo/ nomor D 103dan Serat

Pustakaraja Parikesit nomorD 108(NancyVol.III, 1981:493-495).Adapun yang tersimpan di

Perpustakaan Radyapustakaantara lainSerat

Pustakaraja Madya (No. XV) nomor 202 N,

Serat Pustakaraja Puwara (Serat Daneswara

/I ) nomor 154B,dan Serat Pustakaraja Puwara

nomor 206 (Nancy Vol. IV, 1981:159-169).

Selain itu, di Perpustakaan Museum

Sanabudaya Yogyakarta juga tersimpan

naskah Prabu Parikesit nomor PB A. 55

(BehrendJilid IV B, 1989:268).

IKHT ISAR NARAT IF PRABU D IPAYANA

DAN PRABU YUDAYANA DALAM SERAT

DARMASA RANA

Secara garis besar, Seral Darmasarana

mengisahkan Prabu Dipayana (Parikesit,

Karimataya, Darmasarana, Yudhiswara,

Mahabrata) dan Prabu Yudayana. Dikemu-

kakan di dalamnya bahwa setelah Prabu

Dipayana memerintahkan pasukannya untuk

membantu Prabu Satyaka (Raja Dwarawati)

dari serbuan Prabu Kismaka, putra mendiang

Prabu BomaNarakaswara(RajaTarajutiksna),

Prabu Dipayana bermaksud membuat

pagrogo/an untuk berburu. Di sana baginda

kemudian meninggalkan pagrogo/an secara

diam-diam dengan maksud memohon

kesaktiandari dewa. Dalamperjalanan,Prabu

Dipayana berjumpa dan meruwat Resi

Ardhawalika kembali menjadi Sang Hyang

Basuki. Sang Hyang Basuki kemudian

memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu

126

untuk menguasai binatang melata, dan

memberikan gelar Prabu Yudhiswara. Prabu

Dipayanakemudianbertemudan meruwatResi

Mregapati menjadi Sang Hyang Gana yang

kemudian memberikan pelajaran ilmu untuk

menguasaiberbagaibinatangsertamemberinya

gelar Prabu Mahabrata. Selanjutnya, Prabu

Dipayanabertemudan meruwatburunggaruda

menjadi Sang Hyang Sambo yang kemudian

mengajarkancara menguasai bangsa burung

serta memberinya gelar Prabu Darmasarana.

Sesampainyadi hutanBramaniyara,di kerajaan

Gilingwesi Prabu Dipayana berjumpa dan

meruwat tatsaka (ular) penjelmaan Dewi

Swanyana sewaktu mau menelan PrabuPraswapati(Raja Gilingwesi).DewiSwanyana

kemudianmemberikanpelajaranmengenaiolah

asmara,antaralainAsmaragama, Asmarana/a,

Asmaratantra, Asmaratura, Asmaranadha, dan

Asmaraturida. Sesampainya di Bengawan

Lowaya,PrabuDipayanadibawaseekorbuaya

menghadap Bathara Sindungkara,putra Sang

Hyang Ganggastana. Bathara Sindungkara

memperingatkan baginda akan bahaya di

perjalanan kelak serta mengajarkan cara

menguasai berbagai binatang air. Di dalampengembaraan mencari ilmu itu, Prabu

Dipayanaberjumpadengan para putri,yaitu 1)

Dewi Sritatayi, putri Prabu Praswapati (Raja

Gilinggwesi); 2) Dewi Niyata, putri Prabu

Sayakesthi (Raja Mukabumi); 3) Ken Satapa,

putri Begawan Sidhiwacana; dan 4) endang

Sikandhi, putri BegawanSukandha.'}

Pada waktu itu, sepeninggal Prabu

Dipayana, kerajaan Ngastina diserq~ Prabu

Niradhakawaca, raja lma-lmantaka, Prabu

Niradhakawaca adalah anak Prabu Nila-

datikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca.

Dalam pertempuran yang sangat dahsyat,

dengan licik Prabu Niradhakawaca berhasil

memperdaya dan membunuh Bagawan

Baladewa. Sang Hyang Narada kemudian

turun untuk memberitahukan dan meme-

rintahkan Prabu Dipayana untuk meminta

bantuan kepada Resi Gurunda~a di gunung

Nirma. Resi Gurundaya kernudlan menge-

luarkan Besi Adnyana dari dadanya dan besi

Page 3: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 3/14

A nu ng T ed jo wira wa n, G en ea /o gi d a/a m R an gk a P en cip ta an S era t D arm as ara na

itu kemudian kembali sambil membawa Besi

Aji yang keluar dari pucuk lidah Prabu

Niradhakawaca sehingga memudahkan bagi

Prabu Dipayana untuk menghancurkan PrabuNiradhakawaca dan pasukannya.

Tidak beberapa lama kemudian Prabu

Dipayana melangsungkan perkawinan dengan

Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi

Sikandhi dan Dewi Grendi. Selanjutnya, Dewi

Sritatayi diubah namanya menjadi Dewi

Gentang; Dewi Niyata menjadi Dewi Impun;

Dewi Satapa menjadi Dewi Tapen; Dewi

Sikandhi menjadi Dewi Puyengan; serta Dewi

Grendi menjadi Dewi Dangan. Pada suatu

ketika, para istri Prabu Dipayana itu melahirkan

putra. Dewi Gentang berputra Dewi Tamioyi;

Dewi Impun berputra Dewi Yodi; Dewi Tapen

berputra Raden Yudayana; Dewi Puyengan

berputra Raden Ramayana sedangkan Dewi

Dangan berputra Raden Ramaprawa.

Setelah Raden Yudayana dewasa, Prabu

Dipayana memerintahnya untuk mengembara

guna berguru mencari ilmu. Sepeninggal

Raden Yudayana, keempat adiknya, yaitu

Raden Ramayana, Raden Ramaprawa,

Raden Prawasata, dan Raden Warabasata,

menyusul kakaknya. tetapi mereka berselisih

jalan.

Dalam perjalanan ke Gunung Manikmaya,

Raden Yudayana tersesat di jalan. Se-

sampainya di hutan Tibrasara, Raden

Yudayana berjumpa dan meruwat seekor

harimau dan seeker naga penjelmaan Sang

Hyang Kamajaya dan Dewi Ratih. Sang Hyang

Kamajaya kemudian menganugerahkan Panah

Sarotama serta mengajarkan berbagai ilmupengetahuan danjaya kawijayan.Selanjutnya,

Raden Yudayana menolong Dewi Gendrawati,

putri Prabu Gandaprawa (raja Gandara) yang

diculik oleh Swagotara, putra Srubisana.

Raden Yudayana kemudian pergi ke Gunung

Manikmaya dan berguru kepada Resi Sidhikara.

Di sana ia mendapatkan pelajaran ilmu jaya

kawijayan, guna kasantikan, dan ilmu

kesempurnaan.

Perjalanan Raden Ramayana, Raden

Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden

Warabasata pun tersesat. Mereka sampai di

pertapaan gunung Sadhara dan bermaksud mau

berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang

Hyang Suwela baru bersedia menjadi gurumereka setelah putra Ngastina itu membunuh

Resi Sidhikara di gunung Manikmaya. Keempat

putra Ngastina pun segera ke Manikmaya sambi!

mengamuk dan membunuh para murid Resi

Sidhikara. Raden Yudayana segera menjumpai

dan menyadarkan keempat adiknya itu bahwa

mereka telah diperdaya musuh. Resi Sidhikara

pun kemudian mengajarkan berbagai ilmu

kepada keempat adik Raden Yudayana.

Setelah selesai, mereka bermaksud menuntut

balas dengan menyerbu Gunung Sadhara

sehingga banyak siswa Dhang Hyang Suwela

terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela mau

melarikan diri dari tangan Resi Sidhikara, ia

tewas terkena panah Sarotama yang

dilepaskan Raden Yudayana. Kemudian,

Raden Yudayana bersama adik-adiknya serta

Resi Sidhikara pulang kembali ke Ngastina.

Pada suatu ketika, Prabu Dipayana

mengawinkan Raden Yudayana dengan Dewi

Gendrawati. Empat puluh hari dari perkawinan

mereka Dewi Gendrawati melahirkan putra

bernama Raden Gendrayana. Sewaktu

menimang-nimang cucunya itu, Prabu

Gandaprawa menyatakan bahwa Raden

Gendrayana adalah penjelmaan Trimurti, yakni

keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu

Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma

(raja Gilingwesi) keturunan Raden Srigati

(Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang

Wisnu (raja Purwacarita), dan keturunan

Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra SangHyang Wisnu (raja Wirata). Prabu Ganda-

prawa kemudian meriwayatkan leluhurnya

sampai lahirnya Raden Gendrayana. Prabu

Dipayana pun memerintahkan Empu Kawis-

wara untuk membacakan riwayat hidup

leluhurnya berdasarkan kitab Jitapsara yang

menjadi pegangan raja. Adapun riwayat

tersebut dimulai dari Raden Kaniyasa (Resi

Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri,

Resi Parasara, Bagawan Abyasa, Prabu

Pandhudewanata, dan para Pandhawa.

127

Page 4: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 4/14

Humaniora, Vol. 18, No.2 Juni 2006: 125-138

Dieeritakan pula kisah perselisihan Resi

Parasara dengan Prabu Santanu (raja

Ngastina) sampai diserahkannya kerajaan

Ngastina kepada Resi Parasara. Resi

Parasara kemudian menyerahkan kerajaan

Ngastina kepada Begawan Abyasa sampai

akhirnya kerajaan Ngastina diwariskan kepada

Prabu Dipayana. Prabu Dipayana kemudian

berputra Raden Yudayana, dan Raden Yuda-

yana kemudian berputra Raden Gendrayana.

Pada suatu ketika, Resi Gurunadi

menghadap Prabu Dipayana dan melaporkan

bahwa istrinya Dewi Nawangsasi bermaksud

moksa. Maksud Dewi Nawangsasi itu tidakdapat dieegah, bahkan ia pun meneeritakan

kemegahan serta kemuliaan surga kepada

baginda. la bermaksud ikut menari bersama

para bidadari lainnya dalam pesta pora di

kadewatan. Dewi Utari tergiur untuk mengikuti

keinginan Dewi Nawangsasi agar ia segera

berkumpul dengan suaminya Arya Abimanyu

dan Siti Sundari. Akhirnya, Prabu Dipayana,

Resi Gurunadi, dan Resi Gurundaya bersama

istri-istri mereka bermaksud moksa bersama-

sama. Prabu Dipayana kemudian mengangkatRaden Yudayana menjadi raja di Ngastina

untuk menggantikan kedudukannya. Prabu

Dipayana kemudian mengajarkan ilmu tentang

tata pemerintahan kepada Prabu Yudayana,

Patih Dwara, dan Patih Danurwedha. Ajaran

Prabu Dipayana tersebut meliputi (a) Panea

Pratama 'lima keutamaan' seorang raja, yaitu

1) Mulat. 2) Lila, 3) Miluta, 4) Malimarma, dan

5) Palimarma dan (b) Panea Guna sebagai

bekal mengabdi yang meneakup 1) Rumeksa,

2) Rumanti, 3) Rumasuk, 4) Rumesep/Rumaket, dan 5) Rumangsa.

Setelah perlengkapan upaeara moksa

siap, Prabu Dipayana memerintahkan Patih

Dwara dan Patih Danurwedha agar mem-

beritahukan kepada rakyat Ngastina bahwa

mereka yang merasa telah disak.iti dan dilukai

oleh baginda berhak membalas. Pada waktu

itu, Taksaka Raja menghadap dan melaporkan

bahwa dia telah terluka oleh keris Prabu

Dipayana sewaktu baginda menikam Resi

Ardhawalika, penjelmaan Sang Hyang Basuki.

128

,

Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka

Raja agar membalasnya. Akhirnya, Taksaka

Raja hanya menjilat ibu jari kaki baginda yang

bersamaan telah merasuk sukma. Prabu

Dipayana moksa, seiring dengan lenyapnya

Taksaka Raja. Dewi Utari, para istri baginda,

Resi Gurunadi, dan Resi Gurundaya bersama

istri mereka segera menyusul baginda moksa.

Terdengarlah ledakan dahsyat memenuhi

angkasa disertai hujan bunga semerbak wangi

menandai peristiwa itu. Prabu Yudayana sangat

berduka dan menjadi murka pada Taksaka Raja

yang diduganya sebagai penyebab baginda

mangkat.

SERAT DARMASARANA SEBAGAI

RESEPSI ADIPARWA, MOSALAPARWA,

DAN PRASTHANIKAPARWA

Dalam Serat Darmasarana atau Serat

Pustakaraja Purwa: Serat Darmasarana

bernomor 152 A dan Serat Darmasarana / I ini

ditampilkan sekitar 435 tokoh yang dike-

mukakan seeara rinei. Namun, dari 435 tokoh

tersebut, 3 tokoh di antaranya, yakni Baladewa,

Satyaki, dan Tatsaka Raja, ternyata dalamnaratif menunjukkan perbedaan yang sangat

besar apabila dibandingkan dengan penampilan

mereka dalam Mahabharata khususnya

Adiparwa, Mosalaparwa, dan Prasthanika-

parwa.

Dalam Serat Darmasarana digambarkan

bahwa pada waktu itu Bagawan Baladewa

sudah tua renta, tetapi masih memiliki berbagai

maeam kesaktian. Di samping itu, Bagawan

Baladewa menunjukkan sosok yang ber-

tanggung jawab serta rela berkorban demi

kepentingan negara (Ngastina). Hal itu

ditunjukkan bahwa sewaktu kerajaan Ngastina

diserbu Prabu Niradhakawaea dari Ima-

imantaka, Bagawan Baladewa turut serta

menahan serangan musuh. Dengan senjata

sakti Nanggala, segala kesaktian Prabu

Niradhakawaea dapat dipunahkan. Prabu

Niradhakawaea kemudian dengan licik

memperdaya Bagawan Baladewa dengan

menyamar sebagai Arya Dyastara untuk

meminjam Nanggala dengandalih untuk

Page 5: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 5/14

A nu ng T ed jo wira wa n, G en ea lo gi d ala m R an gk a P en cip ta an S era t D arm asa ra na

mengusir musuh. Karena belas kasihnya

kepada Arya Dyastara (cucunya), senjata

Nangga/a miliknya diberikan. Setelah Bagawan

Baladewa menyadari kelengahannya bahwadirinya diperdaya musuhnya, ia berupaya

merebut kembali senjatanya. Prabu Niradha-

kawaca kemudian mencipta angin ribut

bercampur kabut. Bagawan Baladewa yang

sudah berusia lanjut itu tidak tahan, tubuhnya

menggigil kedinginan, akhirnya gugur dan

moksa. Peristiwa itu menimbulkan huru-hara,

guruh bergemuruh halilintar meledak

menyambar-nyambar. Dari langit para dewa

menghujaninya dengan bung a harum semer-

bak menyebar wangi. Peristiwa gugurnya

Bagawan Baladewa serta sambutan dan

penghormatan pada dewa yang luar biasa di

atas sekaligus menunjukkan pula ketinggian

kedudukan serta keutamaan Bagawan Bala-

dewa.

Gugurnya Bagawan Baladewa dalam

Serat Darmasarana terse but sangat berbeda

apabila dibandingkan dengan kembalinya

Baladewa (Rama) di dalam Mosa/aparwa

(bagian ke 16 Mahabharata). Diceritakan di

dalamnya bahwa setelah keluarga Wrishni dan

Andhaka (Andhakasa dalam tradisi Bali)

musnah karena saling bunuh, Rama (Bala-

dewa) dan Kresna (Wasudewa, Kesawa)

mempersiapkan diri kembali ke surga. Namun,

terlebih dahulu Kresna (Krishna) menghadap

ayahandanya untuk memohon diri serta me-

nitipkan para istrinya (16.000) untuk sementara

sampai Dhananjaya (Arjuna) datang men-

jaganya. Sesampainya kembali ke tempat

Baladewa, Kresna masih dapat menyaksikanBaladewa dud uk bersandar di tempat semula

serta terserap ke dalam yoga yang sangat

dalam. Kemudian, dari dalam rongga mulutnya

keluarseekorularyang luarbiasa. Kulitnya putih

cemerlang, kepalanya beribu-ribu, dan

bertubuh sebesar gunung. Mata naga yang

dahsyat tersebut merah menyala-nyala.

Sewaktu bergerak menuju lautan, dewa laut,

para naga, dan dewa-dewa sungai menyam-

butnya. Mereka yang menyambut roh suci

Baladewa di antaranya adalah Kartotaka,

Wasuki, Takshaka, Prithusrawa, Waruna,

Kunjara, Misri, Sankha, Kumuda, Pundarika, roh

suci Dhirstarashtra, Hrada, Kratha, Sitikantha,

Chakramanda, Atishanda, naga-naga utamabergelar Durmukha dan Amwarisha. Mereka

mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki

dan upacara-upacara lain serta memuja naga

dahsyat tersebut (Nila, 1979:13-14; Zoetmulder,

1958:116).

Peristiwa mangkatnya Baladewa yang

menakjubkan di dalam Mosa/aparwa sekaligus

menunjukkan ketinggian kedudukan serta

keutamaan Baladewa sebagai penjelmaan roh

suci naga yang luar biasa. Peristiwa gugurnya

Bagawan Baladewa serta sambutan dan

penghormatan para dewa yang luar biasa di

dalam Seral Darmasarana tidaklah sedahsyat

serta seagung pelukisan kembalinya roh suci

Baladewa (Rama) seperti yang dipaparkan

dalam Mosa/aparwa. Namun, di dalam

Mosa/aparwa tidak ditemukan bukti-bukti yang

cukup kuat untuk mengatakan keterlibatan

Baladewa dalam pemerintahan Parikesit.

Apabila dalam Mosa/aparwa dikemukakan

bahwa Baladewa lebih dahulu moksa di-

bandingkan dengan Kresna (Krishna) dan para

Pandawa, dalam Serat Darmasarana se-

baliknya. Bagawan Baladewa mangkat

(moksa) jauh lebih kemudian dibandingkan

dengan Kresna maupun para Pandawa.

Dalam Mahabharata, gugurnya Satyaki

terdapat dalam Mosa/aparwa. Diceritakan di

dalamnya bahwa Samba, serena, dan kelompok

kesatria bangsa Wrishni (Wresni) mencoba

mengelabui para brahmana dengan pertanyaan

yang bersifat menghina. Mereka mengarakSamba yang menyamar sebagai wan ita hamil

ke hadapan para brahmana dan memintanya

menebak secara tepat apa yang akan

dilahirkan dari kandungannya itu. Para

brahmana menjadi sangat marah dan keluarlah

kutukannya yang sangat dahsyat bahwa

Samba akan melahirkan sebuah tongkat besi

(bom) yang akan meledak menghancurkan

bangsa-bangsa Wrishni danAndhakasa (Nila,

1979:7-8; Zoetmulder, 1958:112). Pada saat

gejala-gejala yang menunjukkan kehancuran

129

Page 6: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 6/14

Humaniora, Vol. 18, No.2 Juni 2006: 125-138

bangsa-bangsa Wrishni dan Yadawa semakin

menghebat, rakyat Wrishni pun semakin liar,

semuanya dikuasai nafsu. Mereka berani

meminum minuman keras dan bermabuk-

mabukan di hadapan Kresna. Dalam keadaan

mabuk, Yuyudhana menertawakan dan meng-

hina Kritawarman (Kartamarma) atas

perbuatan rendahnya membunuh putra-putra

Draupadi serta Dhrishtadyumna maupun

Sikhandi (Srikandi) yang sedang tidur.

Kritawarman pun membalas hinaan itu dengan

mencela kecurangan Satyaki sewaktu mem-

bunuh Bhurisrawa yang tidak lagi bersenjata,

yang telah meninggalkan medan pertempurandan sedang duduk mengatur nafas untuk

memulihkan tenaga. Satyaki menjadi sangat

marah sehingga menerjang dan memenggal

kepala Kritawarman di hadapan Kresna. Ketika

melihat itu, para Bhoja dan Andhakasa pun

menjadi marah dan menerjang Satyaki dari

segalajurusan. Putra Rukmini segera membantu

Satyaki. Mereka bertempur bahu membahu

dengan gagahnya melawan para penyerbu,

sampai akhimya keduanya tewas di hadapan

Kresna sendiri (Nila, 1979:11-12; Zoetmulder,1958:115-116).

Apabila gugurnya Satyaki dalam kitab

Mosa/aparwa dan Serat Darmasarana

diperbandingkan, temyata terdapat perbedaan

yang jauh. Di dalam Serat Darmasarana

dikemukakan bahwa Prabu Satyaki bukan

gugur karena keroyokan para Bhoja dan

Andhakasa (Mosa/aparwa), melainkan ia gugur

dalam pertempurannya melawan Prabu

Kismaka raja Tarajutiksna (Serat Darma-

sarana hal. 6), dan bukan pula di Prabasa

(Mosa/aparwa), melainkan di Dwarawati (Serat

Darmasarana). Di samping itu, kalau di dalam

Mosa/aparwa gugurnya Satyaki lebih dahulu

daripada Kresna dan para Pandawa, dalam

Serat Darmasarana gugurnya Satyaki jauh

lebih kemudian dibandingkan Kresna maupun

para Pandawa.

Tokoh penting dalam Serat Darmasarana

lainnya adalah Taksaka Raja dari Taksakasila.

Dia hanya tampil sepintas tetapi menimbulkan

peristiwa besar. Diceritakan dalam Serat

130

Darmasarana /I bagian akhir bahwa menjelang

moksa Prabu Dipayana mengumpulkan

rakyatnya dan memberitakan bahwa bagi

mereka yang pernah disakiti dan dilukai

baginda agar membalasnya. Taksaka Raja

kemudian menghadap dan melaporkan bahwa

dia telah terluka oleh keris Prabu Dipayana

sewaktu baginda menikam Resi Ardhawalika,

penjelmaan Sang Hyang Basuki. Prabu

Dipayana kemudian memaksa Taksaka Raja

agar membalasnya, dan ia melakukannya

hanya dengan menjilat ujung (ibu jari) kaki

baginda yang dipakainya sebagai sarana

moksa. Peristiwa tersebut menimbulkankemurkaan Prabu Yudayana untuk membalas

dendarn kepada Taksaka Raja dan para ular di

mana pun untuk dimusnahkan. Akhirnya,

baginda disadarkan Naga Raja Sarana

(mertuanya) akan perbuatannya yang tidak

terpuji (Serat Darmasarana II hal. 67-69; Serat

Yudayana hal. 22-27). Menurut Naga Raja

Sarana, seperti halnya manusia, naga pun

terdiri atas dua golongan, yaitu naga golongan

jahat dan naga golongan baik.

Dari Serat Darmasarana /I ini dapatdikatakan bahwa Taksaka Raja adalah naga

kekasih dewa, karena dia pernah menjadi

binggil 'gelang kaki' Resi Ardhawalika. Taksaka

Raja memiliki watak jujur, senang berterus

terang, akan tetapi ia kurang memiliki per-

hitungan yang matang. Ketika ia menjilat ujung

kaki baginda atas, ia hanya memandang

keutamaan dan kebijaksanaan baginda tanpa

memperhitungkan bagaimana reaksi yang

timbul di kalangan kerabat istana Ngastina

terlebih lagi Prabu Yudayana yang masih muda.

Akibat perbuatan Taksaka Raja, Prabu

Yudayana memerintahkan pasukannya me-

numpas semua ular (naga), bukan hanya di

Taksakasila saja, melainkah juga di daerah-

daerah lain. Prabu Yudayana sendiri akhirnya

menelan buah perbuatannya sebab baginda

pun mangkat karena bisa naga penjelmaan roh

Dhang Hyang Suwela (Serat Yudayana, hal.

106).

Penampilan tokoh Taksaka Raja dalam

Serat Darmasarana /I dan Serat Yudayana di

Page 7: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 7/14

A nu ng T ed jo wira wa n, G en ea /o gi d a/a m R an gk a P en cip ta an S era t D arm as ara na

atas sudah barang tentu merupakan sambutan

(resepsi) atas tokoh Taksaka (Takshaka)

dalam Adiparwa (bag ian pertama Maha-

bharata). Taksaka adalah anak KadrOdenganBagawan Kactyapa. la memiliki saudara, antara

lain Anantabhoga dan Sang Basuki, semuanya

sang at sakti (Siman Widyatmanta, 1968:42;

Zoetmulder, 1958:98; Juynboll, 1906:30).

Tak§aka memiliki kedudukan tinggi di antara

para naga. Selain itu, ia pun bersahabat

dengan Hyang Indra (Siman Widyatmanta,

1968:79). Ketika roh suci Rama (Baladewa)

kembali ke laut, Takeaka termasuk di antara

mereka yang menyambut (Nila, 1979:14;

Zoetmulder, 1958:116).

Apabila perwatakan tokoh Taksaka Raja

dalam Serat Darmasarana II diperbandingkan

dengan Taksaka dalam Adiparwa , ternyata

terdapat perbedaan yang besar. Dalam Berat

Darmasarana II, Taksaka Raja memiliki sitat

dan watak jujur, senang berterus terang dan

penurut, tetapi kurang memperhitungkan akibat

yang timbul dari perbuatannya itu. Dalam

Adiparwa, tokoh Taksaka digambarkan me-

miliki sitat dan watak yang tidak baik. la cerdik

(Iicik), senang mengganggu kepentingan orang

lain, penurut meskipun untuk berbuat jahat.

Watak-watak tersebut diperlihatkan. Pertama,

Taksaka menuruti perintah KadrO ibunya untuk

turut serta memerciki ekor kuda Uccaihcrawa

agar berwama hitam. Pada mulanya Tak§aka dan

saudara-saudaranya menolak, tetapi KadrO

mengutuknya agar kelak mereka dimakan api

pada korban ular yang dilangsungkan oleh ma-

haraja Janamejaya (Siman Widyatmanta, .

1968:48-50; Zoetmulder, 1958:99-100;Juynboll, 1906:35-36). Karena perbuatan

Taksaka bersaudara itulah, Winata terpaksa

kalah bertaruh dengan KadrO yang kemudian

menjadikannya sebagai budak, sampai

akhimya anaknya, Garuda mem-bebaskannya

(Siman Widyatmanta, 1968:53-63 Zoetmulder,

1958:91; Juynboll, 1906:45). Kedua, Tak§aka

memenuhi perintah Sang Crnggi untuk

menggigit maharaja Parik§it pada hari ketujuh

dari kutuknya (Siman Widyatmanta, 1968:69;

Juynboll, 1906:53). Padahal, sebenar-nya

maharaja Parlkslt tidak bersalah pada

Taksaka, melainkan bersalah pada Bagawan

Samiti, ayah Sang Crnggi. Ketiga, Taksaka

pernah mengganggu Uttangka (murid SangWeda) sewaktu membawa anting-anting

matahari yang dimintanya dari Sawitri (permaisuri

Maharaja Posya) untuk dipersembahkan kepada

istri gurunya. Karena itu Uttangka menaruh

dendam kepada Taksaka dan pada suatu

ketika ia menghadap maharaja Janamejaya

untuk memberitahukan bahwa ayahanda

baginda, maharaja Parlkslt mangkat karena

digigit Takeaka. Selanjutnya, Uttangka pun

mendorong maharaja Janamejaya untuk me-

langsungkan korban ular sebagai hukuman

kepada Taksaka (Siman Widyatmanta,

1968:21-25; Zoetmulder, 1958:103; Juynboll,

1906:54). Keempat, Taksaka dengan cerdik

(Iicik) memperdaya Bagawan Kactyapa (bukan

ayah Garuda) yang sempurna mantranya yang

bermaksud membantu maharaja Parikslt dari

ancamannya. Setelah Taksaka mengetahui

kesempurnaan mantranya, dimintanya

Bagawan Kactyapa pulang saja, dengan diberi

mas, manikam, dan sebagainya (Siman

Widyatmanta, 1968:71-72; Zoetmulder, 1958:

95-96; Juynboll, 1906:52).

Seandainya pengakhiran korban ular ma-

haraja Janamejaya (dalam Adiparwa) dan

Prabu Yudayana (dalam Serat Darmasarana)

tersebut disejajarkan keduanya menunjukkan

tidak sempurna. Dalam korban ular maharaja

Jayamejaya, ternyata Taksaka luput dari

kematian karena ia mendapat perlindungan dari

Astika, anak Jaratkaru, Karena itu, ia tidak

termakan api meskipun tubuhnya sudahsepenggalah di atas tungku pengorbanan.

Maharaja Janamejaya telah berbelas kaslh

kepada Astika (pendeta yang utama) serta

menepati kesanggupannya mengabulkan

permohonan Astika untuk mengakhiri upacara

korban Taksaka (Siman Widyatmanta, 1968:

80-81; Zoetmulder, 1958:110-111; Juynboll,

1906:57-58). Adapun dalam Serat Dannasarana

/I dan Serat Yudayana pengpakhiran korban

(penumpasan) ular Prabu Yudayana karena ia

justru tergiur kecantikan naga kencana Dewi

131

Page 8: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 8/14

Humaniora, Vol. 18, No.2 Juni 2006: 125-138

Sarini, serta ketidakmampuannya melawan

kesaktian Naga Raja Sarana (Serat

Darmasarana / I hal. 65-69; Serat Yudayana

hal. 18-27).

Selain persamaan ketidaksempurnaan

upacara korban ular dari sumber-sumber di

atas, apabila diperbandingkan dari cara

pengorbanan maupun eksistensi para tokohnya

pun, ternyata terdapat perbedaan yang besar.

Dalam Adiparwa, cara upacara pengorbanan

ular maharaja Janamejaya tersebut dengan

membuat tungku korban seluas 2 yojana

(tonggak, pal) yang diukur oleh sang brahmana,

serta dimantrai dengan mantra sakti. Adapunpara bagawan yang ikut serta pada upacara

korban tersebut antara lain adalah Bagawan

Oaodabharqawa, anak Bhyawanasthirahotar

membaca Ijgweda; Bagawan Koca menyanyi-

kan Samaweda; Bagawan Janrnanlkuoda

mambaca Atharwaweda; Bagawan Jyotisinggala-

mbayu membaca Yajurweda. Pemimpin umum

pengorbanan terse but adalah Bagawan Byasa

bersama para muridnya (Siman Widyatmanta,

1968:76-77; Zoetmulder, 1958: 107; Juynboll:

1906:54-55). Pad a upacara pengorbanan

tersebut, Takoaka luput dari kematian karena

perlindungan Astika. Adapun dalam Serat

Darmasarana /I maupun dalam Serat

Yudayana, cara pengorbanan ular Prabu

Yudayana yaitu dengan menyerbu serta

menumpas para naga ke tempat-tempat yang

diperkirakan menjadi tempat tinggalnya. Dalam

penumpasan naga itu antara lain ke

Taksakasila (tempat tinggal Taksaka Raja), ke

hutan Lagra dan Gadamadana (de kat

Tebrasara) dan terakhir kali ke gunung

Mahendra (tempat tinggal Naga Raja Sarana)

(Serat Darmasarana /I hal. 57-69; Serat

Yudayana hal. 1-28). Ketika penumpasan naga

itu dilangsungkan sebenarnya Taksaka Raja

telah moksa bersamaan waktunya dengan

Prabu Dipayana, tetapi Prabu Yudayana tidak

mengetahui.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa

penyusunan Serat Darmasarana dan Serat

Yudayana sangat mung kin untuk sebagian

132

dimaksudkan sebagai resepsi (sambutan)

terhadap Adiparwa dan melanjutkan cerita

Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, serta

Swargarohanaparwa (Mahabharata) ber-

dasarkan konsepsi Jawa.

Ada relasi yang sangat erat antara judul,

penokohan, alur cerita (plot), serta latar (setting)

antara Serat Darmasarana, Serat Yudayana,

Serat Gendrayana, Serat Budhayana, Serat

Sariwahana, Serat Mayangkara, Serat

Ajipamasa, dan Serat Witaradya. Dikemukakan

di dalamnya bahwa Serat Darmasarana disusun

oleh Empu Tapawangkeng atas perintah prabu

Aji Jayabaya raja Kediri pada tahun 855 S

(Suryasangkara) atau tahun 881 C (Candra-

sangkala).

Serat Yudayana disusun oleh Empu

Kalangwan juga atas perintah Prabu Aji

Jayabaya. Serat Budhayana digubah oleh

Empu Mandara, anak Empu Salukat atas

perintah Prabu Ajipamasa raja di Pengging

Witaradya pada tahun 919 S atau tahun 949

C. Serat Sariwahana, Serat Mayangkara, dan

Serat Purusangkara juga digubah oleh EmpuSindungkara juga atas perintah Prabu

Ajipamasa di Pengging Witaradya. Serat

Ajipamasa dikemukakan disusun oleh Empu

Udaka pada tahun 1791 J ijenme-trus-

kaswareng-bumt) atau tahun 1862 M. Adapun

Serat Witaradya dikatakan disusun oleh Empu

Wilayasa atas petunjuk Begawan Widhayaka.

Penyusunannya pada tahun 1792 J (nembah-

trus-sukaning-budt) atau tahun 1863.

Siapakah sebenarnya Empu Tapa-

wangkeng dalam Serat Darmasarana, Empu

Kalangwan dalam Serat Yudayana, Empu

Mandara dalam Serat Budhayana, Empu

Sindungkara dalam Serat Sariwahana, Serat

Mayangkara, dan Serat Purusangkara, Empu

Udaka dalam Serat Ajipamasa serta Empu

Wilasaya dalam Serat Witaradya itu? Dalam

hal ini boleh dikatakan belum ada penelitian,

sehingga persoalan tersebut masih tetap gelap.

Meskipun demikian, pemilihan nama-nama

empu di atas kiranya bukannya tanpa maksud.

Ada satu cara yang barangkali menarik

Page 9: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 9/14

An un g Te djo w ir awa n, G e ne a/o gi d a/a m Ra ng ka Pe nc ip ta a n Se ra t Da rma sa ra na

untuk dilakukan yaitu dengan cara menguraikan

arti nama empu (pujangga) di atas dan

kemudian menggabungkannya. Dengan cara

ini, ternyata dapat diperoleh pengertian bahwa

kata Tapawangkeng berarti yang 'kuatlkeras

bertapa'; Ka/angwan berkaitan dengan kata

kalangon yang berarti 'keindahan, pemandangan

yang indah, tempat yang menyenangkan'.

Kemudian, kata Mandara tampaknya berkaitan

dengan gunung Mandara yang terdapat dalam

Adiparwa. Kata Sindungkara berasal dari kata

sindu 'air, sungai'. Kata Udaka berkaitan pula

dengan air atau mata air. Kemudian, kata

Wi/asaya kemungkinan berkaitan erat dengankata wi/asa yang berarti 'bersenang-senang,

menghibur hati, bermain-main'. Salah satu

tempat untuk bermain-main dan bersenang-

senang adalah di mata air atau pemandian.

Kemudian, kata Widhayaka atau Widayaka

berhubungan dengan pertapa atau orang

pandai.

Dengan mencoba mengkaitkan dan

menghubungkan arti nama-nama empu di atas

diperoleh pengertian baru, yakni seorang

pertapa yang kuat dalam 'tapa' yang gemarberolah keindahan, yang bertempat tinggal di

daerah air (mata air) (di kaki) gunung. Daerah

yang dimaksud di atas sudah jelas menunjuk

Pengging, Banyudana, Baya/a/i. Memang di

daerah tersebut banyak terdapat mata air dan

pemandian serta terletak di (kaki) gunung

Merapi-Merbabu. Penentuan daerah itu, yakni

Pengging sebenarnya secara tersirat dan

tersurat telah dikemukakan dalam Serat

Sariwahana, Serat Mayangkara, dan Serat

Purusangkara, yang ketiganya dikatakan

disusun oleh Empu Sindungkara atas perintah

Prabu Ajipamasa yang berkedudukan di

Pengging Witaradya.

Dari uraian di atas menimbulkan per-

soalan, siapa sebenarnya pujangga (pertapa)

yang dimaksud? Apakah R. Ng. Yasadipura I

atau R. Ng. Yasadipura II, dua pujangga

termashur kerajaan Surakarta yang keduanya

memang dimakamkan di Pengging? Apabila

diperhatikan secara seksama, penulis Serat

Ajipamasa dan Serat Witaradya, sekalipun di

dalamnya dikatakan Empu Udaka menyusun

Serat Ajipamasa dan Empu Wilasaya

menyusun Serat Witaradya, hal itu meragukan

pula. Berdasarkan dua penempatan san-

diasma, yakni di awal pupuh dan di awal baris,

Serat Ajipamasa adalah karya R. Ng.

Ranggawarsita. Demikian pula dari ketiga

penempatan sandiasma, yakni di awal pupuh,

di awal bait dan di awal baris yang terdapat

dalam Serat Witaradya pun menunjukkan

karya R. Ng. Ranggawarsita.

Dari uraian di atas penamaan Tapa-

wangkeng, Kalangwan, Mandara, Sindungkara,

Udaka, dan Wilasaya kiranya selain menunjuk

daerah Pengging, Banyudana, Bayalali, juga

menunjuk R. Ng. Ranggawarsita sebagai

seseorang yang mempunyai hubungan dengan

pertapa (pujangga) dari daerah itu. Pertanyaan

yang kemudian muncul adalah mengapa

penamaan sejumlah empu tersebut menunjuk

Pengging dan R. Ng. Ranggawarsita? Dalam hal

ini, jawabannya adalah R. Ng Ranggawarsita

sengaja memitoskan, mengangkat, serta

menempatkan daerah Pengging, seolah-olah

sebagai pusat tata pemerintahan atas tanah

Jawa sesudah Kediri meskipun dalam

kenyataannya tidaklah demikian. Hal itudilakukan

R. Ng. Ranggawarsita sebagai tanda bukti bakti

cintanya kepada leluhurnya antara lain, yakni

Pangeran Handayaningrat (Sri Makurung Prabu

HandayaningratlKi Ageng Pengging Sepuh),

Kebo Kenanga dan Sultan Adiwijaya (Mas

Karebet) yang berasal dari Pengging, dan juga

kepada kakeknya, yakni R. Ng. Yasadipura I

dan R. Ng. Yasadipura IIyang dimakamkan pula

di Pengging.

Genealogi (genealogy) adalah garis

keturunan manusia dalam hubungan keluarga

sedarah. Dalam Serat Darmasarana dan teks-

teks Pustakaraja Madya, genealogi (silsilah)

tampak cukup menonjol. Serat Darmasarana

sendiri memusatkan penceritaannya pada

Prabu Darmasarana (Prabu Dipayana, Prabu

Parikesit), Prabu Yudayana dan sekilas Raden

Gendrayana. Berbeda halnya dengan Serat

Yudayana yang penceritaannya terpusat pada

Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, dan Arya

Prabu Bambang Sudarsana.

133

Page 10: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 10/14

Humaniora, Vol. 18, No.2 Juni 2006: 125-138

Tokoh Prabu Parikesit (Parikslt) jelas

semula adalah tokoh yang terdapat dalam

tradisi Mahabharata. Dalam tradisi Maha-

bharata, maharaja Janamejaya adalah putra

Parikslt, sedangkan dalam tradisi Jawa, Prabu

Yudayana adalah putra Prabu Parikesit. Oleh

karena itu, Prabu Yudayana dapat disamakan

dengan maharaja Janamejaya. Bagaimana

seandainya Prabu Yudayana disejajarkan

dengan Udayana, bangsawan Bali yang

diperkirakan ayah Erlangga (Airlangga)?

Dalam tradisi Bali, nama raja Udayana

berkaitan erat dengan kata udayayang berarti

'matahari terbit' sehingga mengisyaratkanseorang raja yang mengembangkan ke-

kuasaannya di daerah Udaya Perwata, yang

menu rut perkiraan Pandit Shastri adalah

gunung Agung di Bali (Pandit Shastri, 1963:43-

44). Berdasarkan prasasti Calcuta atau

prasasti Penanggungan, ayah Airlangga yakni

Udayana (Sang Ratu Maruhani Qri Dharmo-

dayana Warmadewa) dan istrinya yakni Sang

Ratu Luhur Qri Gunapriyadharmapatni adalah

mereka yang mengeluarkan prasasti di Bali.

Udayana mempunyai tiga orang putra, yangpertama adalah Airlangga yang kemudian

menjadi raja di Jawa Timur. Kedua adalah

Marakata dan ketiga adalah Anak Bungsu

(Pandit Shastri, 1963:48). Penamaan tokoh

Yudayana dalam Serat Darmasarana tam-

paknya diambil dari nama Udayana, raja Bali

terse but.

Dari uraian di atas, dapat dltarik

kesimpulan bahwa tampilnya Prabu Yudayana

dalam Serat Darmasarana dan Serat Yuda-

yana itu dimaksudkannya untuk meresepsi

(menyambut) maharaja Janamejaya dalam

tradisi Mahabharata.Selain itu Prabu Yudayana

dipakai untuk menyambut dan mengesahkan

Udayana raja Bali sebagai seseorang yang

menurunkan raja-raja di Jawa. Dalam hal ini,

R. Ng. Ranggawarsita mencoba meng-

hubungkan tokoh-tokoh dalam tradisi

Mahabharata dan tradisi Bali ke dalam tradisi

Jawa. Pandangan ini akan lebih kuat apabila

tokoh-tokoh dalamSerat Darmasaranadikaitkan dengan tokoh-tokoh yang terdapat

134

dalam sejumlah teks bag ian Pustakaraja

Madyayang juga merupakan bagian dari Serat

Pustakaraja yang besar itu.

Dalam Serat Yudayanadijelaskan bahwa

Brahmana Kresnawasu dari Ngawu-awu

berkunjung ke Ngastina menghadap Prabu

Yudayana dan meramalkan cucu baginda kelak

adalah titisan Sang Hyang Wisnu Murti. Dia

bernama Prabu Aji Jayabaya dan akan

menguasai tanah Jawa. Banyak raja ada di

bawah kekuasaannya. Dia sakti tanpa tanding,

meskipun seribu kesaktian para resi,

brahmana, dan ajar disatukan. Dalam Serat

Lampahan Jayapurusa dikemukakan bahwaPrabu Jayapurusa (Jayabaya) adalah raja di

Widarba putra Prabu Gendrayana. Di sisi lain,

Airlangga menurunkan Jayabaya. Oleh karena

itu, dapatlah dikatakan bahwa Prabu

Gendrayana dapatlah disamakan dengan

Airlangga dan Prabu Jayapurusa memang

nama lain dari Prabu Aji Jayabaya.

Dalam teks-teks Pustakaraja Madya

(sumber Wayang Madya), tokoh Prabu

Jayabaya maupun Kusumawicitra (Ajipamasa)

menduduki posisi sentral. Keduanya termasukdalam genealogi (silsilah) nenek moyang raja-

raja Mataram yang disusun oleh Brandes.

Genealogi susunan Brandes tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut.

1. Adam 3. Nurcahya

2. Sis 4. Nurrasa

5. Wenang 31. Mahapunggung

6. Tunggal 32. Kandiawan

7. Guru 33. Resi Gentayu

8. Brama 34. Lembu Amiluhur

9. Bramani 35. Panji

10. Tritrusta 36. Kuda-Lalean

11. Parikenan 37. Banjaran-Sari

12. Manumanasa 38. Munding-Sari

13. Sakutrem 39. Munding-Wangi

14. Sakri 40. Pamekas

15. Palasara 41. Susuruh

16. Abiasa 42. Prabu Anom

17. Pandu 43. Adaningkung

18. Arjuna 44. Ayam-Wuruk

19. Abimanyu 45. Lembu-Amisani

Page 11: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 11/14

A nu ng T ed jo wira wa n, G en ea /o gi d a/am R an gk a P en cipta an S era t D arm as aran a

20. Parikesit

21. Udayana

22. Gendrayana

23. Jayabaya24. Jayamijaya

25. Jayamisena

26. Kusumawieitra

27. Citrasoma

28. Paneadriya

29. Anglingdriya

30. Suwalaeala

46. Bra-Tanjung

47. Bra-Wijaya

48. Bondan-Kejawen

49. Gentas-Pendawa50. Gede-Sela

51. Gede-Ngenis

52. Pamanahan

53. Senapati

54. dst. dst.

(Berg, 1974:133).

menyusun sinkretis yang mempertemukan

eerita mitologi silsilah dewa-dewa Hindu

dengan riwayatnabi-nabidalam Islam(Simuh,

1988:61). Dalam hal ini, dewa-dewa Hindudigambarkan sepertl halnya manusia yang

mengadakan hubungan kawin-mawin dan

beranak yang keturunannya akhirnya menjadi

eikal-bakal raja-raja Jawa. Dalam zaman Is-

lam timbul usaha memperkuat wibawa raja-

raja Jawa, dengan menyusun serat babad

untuk menggambarkan bahwa raja-raja Jawa

adalah keturunan campuran dari nabi Adam

dan dewa-dewa Hindu (Simuh, 1988: 61).

Usaha untuk mempertemukan mitologi dewa-

dewa Hindu dengan riwayat nabiAdam dalamIslam, selain tampak pada Serat Kandha

zaman Kartasura (Simuh, 1988:61; Poerba-

tjaraka, 1957:140-148), juga terdapat dalam

Babad Tanah Jawi(1912).

Menarikpulaapabiladiperhatikan sumber

lain, misalnya Serat Pranitiradya, yang

berisikan keterangan raja-raja yang bertahta

disesuaikan dengan pembagian zaman di

dalam Ramalan Jayabaya (Andjar Any,

1979:91).Apabilamendasarkandiripada Serat

Pra-nitiradya dan Ramalan Jayabaya, usiaPulau Jawa sampai Kiamat Kobra itu 2100

tahun (SuryasangkalaAahun matahari) atau

selama 2163 (Candrasangkala/tahun

rembulan), yang dibagi menjadi tiga zaman

besar (Trikali). Setiap zaman besar dibagi

menjadi tujuh zaman kecil (Saptama Kala)

yang masing-masing berusia 100 tahun, yang

bisa diuraikan sebagai berikut:

1. Zaman Kali Swara, meliputia)Zaman Kala

Kukila, b) Zaman Kala Budha, c) Zaman

Brawa, d) Zaman Kala Tine, e) Zaman

Kala Rwabara, f) Zaman Kala Rwabawa,

dan g) Zaman Kala Purwa.

2. Zaman Kali Yoga, meliputi a) Zaman Kala

Brata, b) Zaman Kala Dwara, c) Zaman

Dwapara, d) Zaman Kala Praniti, e) Zaman

Kala Tetaka, f) Zaman Kala Wisesa, dan

g) Zaman Kala Wisaya.

3. Zaman Kali Sangara, meliputi a) Zaman

Kala Jangga, b) Zaman Kala Sakti, c)

135

Genealogi nenek moyang raja-raja

Mataram yang menyerupai susunan Brandes

di atas juga dikemukakanoleh SriMulyono.SriMulyono menamakan genealogi susunannya

itu sebagai Silsilah Wayang Menurut Babad.

la pun menempatkan tokoh Prabu Yudayaka

(Arya Prabu Bambang Sudarsana) di antara

Prabu Yudayana dengan Prabu Gendrayana

(Sri Mulyono, 1989:237-238). Apabila

mempertimbangkan genealogi Prabu Yuda-

yana seperti diuraikan pula dalam Serat

Darmasarana di atas, tokoh-tokoh dalam serat

tersebut dapat didudukkan pada posisi nomor12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, dan 20, yaitu

mulai Manumanasa, kemudian Sakutrem,

Sakri, Palasara, Abiyasa, Pandu, Arjuna,

Abimanyu dan Parikesit. Bahkan, seandainya

mempertimbangkan sejumlah teks Pusta-

karaja Madya seperti yang telah diuraikan di

depan, tokoh-tokohnya berlanjut menduduki

posisi 20 sampai dengan 29. Jadi seeara

keseluruhan mulai dari Manumanasa sampai

Anglingdriya.Setelahmelihatkenyataandiatas,

peneiptaan Serat Darmasarana, SeratYudayana, dan teks-teks Pustakaraja Madya

adalah dalam rangka ikut memperkuat

geneaologi nenek moyang raja-raja Mataram.

. Sebenarnya sebelum R. Ng. Rangga-

warsita menyusun Serat Pustakaraja yang

meliputi baik Serat Pustakaraja Purwa dan

Serat Pustakaraja Puwara, terlebih dahulu ia

menyusun Serat Paramayoga dan Serat

Jitapsara yang berisikan cerita sejarah, yang

dalam istilahJawadisebutBabad.Dalamkedua

kitab tersebut, R. Ng. Ranggawarsita

Page 12: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 12/14

Humaniora, Vol. 18, NO.2 Juni 2006: 125-138

.Zaman Kala Jaya, d) Zaman Kala Bendu,

e) Zaman Kala Sub a, f) Zaman Kala

Sumbaga, g) Zaman Kala Surata.

(A nd ja rA ny , 1 97 9: 8 1)

Dalam Serat Darmasarana, p ara tokoh

ya ng m en du du ki p os isi pe ntin g a da la h P rab u

P arikesit (D ipayana) dan Prabu Y udayana,

se da ng ka n R ad en G en dra ya na m asih ka na k-

k an ak. B aru k em u dia n d alam Serat Yudayana,

Serat Budhayana atau pun juga da lam Serat

Gendrayana pe ranan P rabu Gendra yana sangat

menon jo l. Apab ila ke tiga tokoh tersebut

d is e ja ja rk an dengan pembag ian z aman bese rtap ara ra ja y an g memerin ta h b erd as ark an u ra ia n

Serat Pranitiradya te rse bu t, k etig an ya s am a -

sa rn a m em erintah di ke raja an N gastin a p ad a

Zaman Kala Brata (z aman pertama dari Zaman

Kali Yoga), kecua li P rabu G endrayana yang

sela in meme rin tah d i Ngastin a pada Zaman Kala

Brata (7 01 -8 00 ) ju ga p ad a Zaman Kala Dwara

(8 01 -90 0). A da pu n se ca ra le ng ka p p ara ra ja d i

kera jaan Ngastina pada zaman itu dapat

d ip e rin c i s ebaga i be rik ut.

Zaman Kala Brata

Ngastina: • T ah un 7 05 ra ja ny a P ra bu

S uyu da na . B erta hta 2 9 ta hu n.

• Tahun 734 rajanya Prabu

Yudh is tira . B erta hta 5 ta hu n.

• Tahun 739 ra janya Prabu

Pa rik e sit (D ipayana). B e rtah ta

37 tahun .

• Tahun 772 ra janya Prabu

Yuda ya na . B erta hta 1 5 ta hu n.• Tahun 785 ra janya Prabu

Gend ra ya na . S ete la h ta hu n

ke -80 0, p in da h k e Mame na ng .

B erta hta s elu ru hn ya 2 0 ta hu n

(Andja r Any, 1979: 93-94).

D ari u ra ia n d i a ta s, b an ya k ra ja Jawa y an g

memerintah da lam periode Matararn di-

ke sam pin gk an m is aln ya , R aka i P an un gg ala n

(780 M -800 M ), R aka i W arak (800 M -819 M ),

R aka i G arung (819 M -838 M ), R akai P ikatan

136

(850 M -856 M ), dan Raka i Kayuwang i Dyah

Lokapa la (856 M-886 M) (Sr iM u lyono, 1989 :297) .

P ad a m as a itu la h, m e nu ru t Serat Pranitiradya,

ju str u masa pemer in tahan r aja -r aja d i Ngastin a ,

antara la in P rabu Suyudana (705 S/783 M ),

P rabu Yudh is tir a (734 S/8 12 M) , P rabu Pa rik es it

(D ipayana) (739 S/817 M) ,P r abu Yudayana (772

S/850 M) , dan P rabu Gendra y ana (785 S/863 M ).

Dem ik ian pu la , seanda inya pa ra raja da lam Serat

Darrnasarana, Serat Yudayana, s ejum lah te ks

Pustakaraja Madya, maupun Serat Pranitiradya

d ise ja ja rkan dengan pa ra raja be r-dasarkan has il

p en elitia n se ja ra h J aw a b erp en did ik an B ara t,

a ka n tim bul b erb ag ai ma cam k etid ak se su aia n(anakronisme ).

Berb ag ai k etid ak se su aia n (k eja ng ga la n)

penu lisan se jarah Jaw a bangsa pribum i (R.

Ng . Ranggawars ita ) d i a ta s, ha ru slah d ilih a t da ri

k apasita snya sebaga i s eo rang pu jang-ga ser ta

tugas- tugas yang d iembannya . la memang bukan

b erma ks ud menu lis s eja ra h J awa berd as ark an

k rite ria p en ulis an s eja ra h J awa berp en did ik an

Ba ra t. P enu lis an Serat Darmasarana sudah

barang tentu tidak terlepas dari m aksud

penul isan Serat Pustakaraja Purwa sebab seratte rse but m erup aka n b ag ia n da rin ya . A pa la gi

rupanya sa lah satu m aksud penu lisan Serat

Pustakaraja Purwa tersebut ada lah "suatu

penu lis an ba ru " mengenai sumber-sumber ce rita

w ay an g (p en ulisa n ce rita Mahabharata versi

In do ne sia ) ya ng s ala h sa tu m a ks ud tu ju an nya

adalah untuk m endid ik anak-cucu dengan

menga ja rkan se ja rah kepah lawanan le luhumya.

Se la in it u, yang t erpen ting da ri segala u ra ian a tau

kar ya -k a ry a pu jangga R. Ng . Ranggawar sita

ada lah menempa tkan "Ja tin ing Panembah" , ya itu

m em be rika n p ene ran gan b ah wa de wa-d ew a

(p ara J awa ta ) y an g d ia rtik an n en ek moyang o r-

ang Jawa itu bukan lah Tuhan Yang M aha Esa

dan M aha Kuasa, tetap i hanya sebaga i titah

b iasa (S r i Mu l yono , 1989 :202; Kun ta ra , 1980 :2 ).

Dari u raian d i a tas dapat d ikem ukakan

b ah wa d alam ka ita nn ya d eng an Serat Pusta-

karaja, Serat Darmasarana dan te ks -te ks

Pustakaraja Madya (sumber Wayang Madya)

la innya iku t m eng isi kekosongan "se ja rahJaw a" yang sebe lum periode kerajaan M ata-

Page 13: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 13/14

,i'

i'

A n un g T ed jo w ir aw a n, G e ne alo gi d ala m R an g ka P e nc ip ta a n S er at D a rm a sa ra na

ram Kuna terasa kabur (gelap). Dari "sejarah

Jawa" yang ditulisnya, R. Ng. Ranggawarsita

bermaksud ikut mendudukkan para dewa dan

Pandawa sebagai leluhur para raja Mataram.

SIMPULAN

Serat Darmasarana (Serat Pustakaraja

Purwa: Serat Darmasarana) koleksi per-

pustakaan Radya Pustaka Surakarta nomor

152 A adalah R. Ng. Ranggawarsita pada

pertengahan abad 19 meskipun di dalamnya

diterangkan karangan Empu Tapawengkang

atas perintah Prabu Aji Jayabaya di Kedlri pada

tahun 855 S (Suryasengka/a) atau 881 C

(Candrasengka/a). Penyusunan Serat Dar-

masarana itu mung kin dimaksudkan sebagai

resepsi (sambutan) terhadap Adiparwa, dan

melanjutkan cerita Mosa/aparwa, Prasthani-

kaparwa serta Swargarohanaparwa (Maha-

bharata) berdasarkan konsepsi Jawa.

Beberapa tokoh Serat Darmasarana dapat

disamakan dengan tokoh pewayangan India,

raja Bali, dan raja-raja Jawa, misalnya

Darmasarana (Parikesit) = Parlkslt (India);

Yudayana = Janamejaya (India) = Udayana,ayah Erlangga (Bali); Gendrayana = Erlangga(Jawa); dan Jayapurusa = Jayabaya (Jawa).

Serat Darmasarana, Serat Yudayana, dan

teks-teks Wayang Madya dijadikan wahana R.

Ng. Ranggawarsita untuk menghubungkan

tradisi Mahabharata (India), tradisi Bali, dan

tradisi Jawa.

Pemahaman SeratDarmasaranaakan lebih

optimal apabila dikaitkan dengan Serat

PustakarajaPurwa maupun teks-teks sumber

Wayang Madya (Serat Pustakaraja Madya),misalnya Serat Yudayana karya Empu

Kalangwan; Serat Bhudayana karya Empu

Mandara; Serat Sariwahana dan Serat

Purusangkarakarya Empu Sindungkara; Serat

Ajipamasa karya Empu Udaka, dan Serat

Witaradya karya Empu Wilayasa. Penamaan

nama Empu-empu samaran itu kiranya

mengandung maksud tertentu. Uraian arti

nama-nama empu itu dan kemudian meng-

gabungkannya kiranya menunjuk pada daerah

Pengging, Banyudana, Baya/ali dan R. Ng.

Ranggawarsita selaku seseorang yang

berkaitandengan pertapa (pujangga) di daerah

itu, yakni R. Ng. Yasadipura I dan R. Ng.

Yasadipura II. Boleh jadi salah satu motivasi dibalik penciptaan Serat Darmasarana, Serat

Yudayana, Serat Budhayana, Serat Sari-

wahana,SeratPurusangkara,SeratAjipamasa,

dan Serat Witaradya itu adalah R. Ng.

Ranggawarsita bermaksud memitoskan ,

mengangkat, serta menempatkan daerah

Pengging seolah-oleh sebagai pusat tata

pemerintahan atas tanah Jawa sesudah Kediri

meskipun dalam kenyataannya tidaklah

demikian. Hal itudilakukannya sebagai bukti bakti

cintanya kepada leluhurnya yang berasal dandimakamkan di Pengging, yakni Pangeran

Handayaningrat (Sri Makurung Prabu

Handayaningrat/Ki Ageng Pengging Sepuh),

Kebo Kenanga, Sultan Adiwijaya (Mas Karebet),

R. Ng. Yasadipura I, dan R. Ng. Yasadipura II.

Dalam kaitannya dengan Serat Pustaka-

raja, Serat Darmasarana ikut mengisi

kekosongan "sejarah Jawa" yang sebelum

perlode kerajaan Mataram Kuna terasa kabur

(gelap). Dari "sejarah Jawa" yang ditulisnya,

R. Ng. Ranggawarsita bermaksud men-

dudukkan bahwa para dewa dan Pandawa

sebagai leluhur para raja Mataram.

DAFTAR RUJUKAN

Any ,Andja r. 1 979 . Ra h a s ia Rama l a n Ja y a b a ya Ra n g g awa r si ta

& Sabdapa l o n . Semar an g : An eka .

---, 1980. R ad en N ga be hi R an gg aw a rs ita A p a Y an g

Ter jad i?Semar an g : An eka .

B ehrend, T .E . dkk. 1990. K a ta lo g In d uk N a sk ah -n as ka h

N usa nta ra Jillid I M u seu m S on obu do yo Y og ya ka rta .

J akar ta : D j amba tan .B erg . C .C . 1 97 4. Pen u li sa n S e ja r a h Jawa . J aka rt a : Bha ra ta.

F lo rid a. N an cy K . 1 98 1 . Ja v an e se L a ng u a ge M a n u sc ri pt s of

S ura ka rta , C en tra l Ja va A P r el im i n ar y D e s cr ip ti ve

Ca t a l o gue V ol I-IV . Ithaca, N ew Y ork: Cornell

Universi ty.

G irard et. N ik olau s. 1 983 . D e s cr ip ti ve C a ta lo g u e of The

Ja va nese M a nu scr ip ts a nd P rin ted B oo ks in th e M a in

Ubrar ies of S ur ak ar ta a nd Y og ya ka rta . Wiesbaden:

F ra nz S te in er V er la g GMBH .

G ro en en da el. V ic to ria M . C la ra v an . 1 98 7. Wa y a ng T h ea tr e

in In dones ia : A n A no ta ted B ib lio grap hy . Leiden.

Kon ink li jk In s ti tuu t voor Taa l- , Land-en Volkenkunde .

137

Page 14: Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a

5/14/2018 Ginealogi Dalam Serat Dharmasasana a - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/ginealogi-dalam-serat-dharmasasana-a 14/14

H uma ni or a, V o l. 18, N o.2 Ju ni 2 00 6: 1 25 -1 38

ju yn bo ll, H .H . 1 90 6. Ad i pa rw a Ou d ja v aa n s ch P r o za g es ch r if i;

Ui tgegeven . 'S G r av e nh a ge : Ma r ti nu s N i jh o ff .

M a n gk un eg ar a IV. 1 91 4 . Lamp a h an j ay a p ur u sa .

N ila , K . 1 97 9. Ma u sa la , M a h a pr as th a nik a , S w a rg a ro h an ik aPa rwa . D e np as ar: D h arm a B ha kti.

P oe rb atja ra ka , R .M .N g. d an T ard ja n H ad iw id ja ja . 1 95 7.

K ep us ta ka an D ja w a, K olff. Dj ak a rt a: D j amba ta n

R a ng gaw ar sit a, R .N g . 1 90 8 . Wi ta radya . Surakarta:Albert

Rusche .

---,. 1910. H a d ji P a m a sa j il id I -X . Soe raka rt a : A lbe rt

Rusche .

---. 1924. S e ra t M a y a n g ka r a. S olo : B oe ha nd el M .

Tanojo.

---. 1979. S era t W ita ra dya I & II . A lih A k sa ra d an

R in gk as an o le h S u dib ya , Z .H . ja ka rt a: D e pa rt em e n

P end id ik a n d a n Kebuda ya a n.

S hastri, N .D . Pandit. 1963. Sed ja ra h Ba li D w ipa jil id I.

Denpasar Bali: Bhuva n a S a ra swa ti .

S im uh . 1988. M istik Is lam Kejaw en Rad en Ngabeh i

Ra ng gaw arsita , S ua tu S tud i Terh ad ap Sera t W ir id

Hidayat ja t i . jakarta: Univer si ta s I ndone s ia .

S ri M u ly on o. 1 98 9. W ay an g. A sa l-u su l, F ils afa t d an M a sa

Dep a n n y a . J ak ar ta : G u nu n g Agun g.

Suwandono dkk .. T th . E .n sik lo ped i W aya ng P urw a I

(Compend ium) . ja ka rt a: P ro ye k P emb ln aa n K e se nla n

D i re kt or at P emb in aa n K e se nia n D it je n K e bu d ay aa n

D epartem en P & K . .

T ed jow i raw an , A nung. 19 85. A na Jisis S tru ktu ra l S era t

P ur us an gk ara , S atu K oj/a n P ad a K ary a S as tr a R . Ng .

Ranggawars i t a . Y o gy ak arta : P ro ye k P en elitia n d an

P e ngkaj ia n Kebuda ya an Nus an ta ra Oavano log i) .

----. 1986 . S era t M aya n gka ra Ka rya R. Ng .

R a n gg aw a rs it a: S a ji an T e ks -T e rj ema h a n -P emb a h as a n .

Yogy ak art a: F ak ult as S as tr a UGM .

----. 1995. "Teks-teks Sum ber W ayang M adya:

Relasi, K onstruksi, dan Persam aan Beberapa

To ko hn y a D e ng an Ra ja -R a ja jaw a" d alam Human i o r a

Nom or II Ta hu n 1995. Yogy ak ar ta , F a ku lt as S as tr a

UGM .

U hle nb ec k, E .M . 1 96 4. A Cr i ti ca l S u r v ey o f Studies O n The

lA n g ua g es o fJ av a a n d M a d u ra , The Hague , Neder la n d,'S ia ra n -G r av e nh a ge : Ma r ti nu s N i jh o ff .

II

1 ,1

rl l 138

I

Widy atm an ta , S im a n . 1 96 8. A d ip a rw a I .Yogyakar ta : Spr ing.

W i nt er , C . F ., da n Ranggawar si ta , R .Ng. 1988 . K am u s K aw i-

j awa . Yogy ak art a: G a dja h Ma d a U n iv er sit y P re ss .

W iry am arta na, S . j ., I. K un ta ra. 1 98 0. "B eb uk a" S era tPustakaraja sebagai D asar Pem aham an Seluruh

K i ta b ". Maka la h S em in a r d a n D i sku si Ra nggawar si ta ,

j ak a rt a, F a ku lt as S a st ra Un iv e rs it as I ndone si a.

W irjo su pa rto , S utjip to . 1 96 6. K a ka w in B h ar at a- Yu d dh a .

j ak a rt a: Bh ra ta ra .

Y ud oy on o, B am b an g. 1 98 4. S a ng P r ab u S ri A d ji D j oj ob oy o

I 135- I 137 . j ak a rt a: K a ry a Un ip re ss .

Z o etmuld er, P .j. T th . K aw i D a n K ek aw ia n. Djogdjakarta:

Y ay as an F on ds U niv ers itie t N eg eri G ad ja h M a da .

----'. 1958 . S lk ar S lm a wu r, B un ga R am p ai B ah asa

iow a Kuna I. j ak a rt a: Obo r.

----. 1983. K ala ng w an , S as tr a io w a K un a S ela ya ngPan d a n g . Terjem ahan D ick Hartaka. jakarta :

Djambatan .

----,. 1995 . S lk ar S lm a wu r, B un ga R am p ai B ah asa

jow a Kuna II. Yogyakar ta : Gad jah Mada Un iv e rs it y

Press.

NASKAH

Se ra t A j ip amas a

Naskah B6a . Sur aka r ta : R e k s a p u s t a k a , Pur a Mangkunegar an.

N a sk ah PBA248 . Y o gy ak ar ta : Mu s eum S an ab ud ay a.

N askah B r 577 dan K .B .G . 93. jakarta : M useum

Nasional .

S e ra t B u dh ay an a

N as ka h 1 54 B . S u ra ka rta : M u se um R ad ya pu sta ka .

S e ra t Da rmas ar an a

N as ka h 1 52 A . S ura ka rta : M u se um R ad ya pu sta ka .

S e ra t G endr ay a na

N a sk ah 1 57 . S u ra ka rt a: Mu s eum Rad y ap us ta ka .

Se r at Pu rus angka ra

N a sk ah 1 55 . S u ra ka rt a: Mu s eum Rad y ap us ta ka .

S e ra t S a riw aha na

N as ka h 1 54 G . S ura ka rta : M u se um R ad ya pu sta ka .

S e ra t Yuday a na

N a sk ah 1 53 . S u ra ka rt a: Mu s eum Ra dy ap us ta ka .