gagal nafas
DESCRIPTION
gaktauTRANSCRIPT
PENDAHULUAN1
Distress pernafasan adalah suatu keadaan sistem respirasi melakukan kompensasi
untuk memperbaiki pertukaran gas yang menurun dalam paru serta mempertahankan
oksigenasi dan ventilasi.
Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbon dioksida. Gagal napas dapat
terjadi secara akut atau kronis. Gagal nafas akut adalah suatu keadaan yang mengancam
jiwa dimana analisa gas darah arterial dan status asam basa berada dalam batas yang
membahayakan. Gagal nafas kronik terjadi secara perlahan dan gejalanya kurang jelas.
Adanya kegagalan pernafasan dinyatakan apabila paru-paru tidak dapat lagi
memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan
pembuangan karbon dioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal pernafasan, dan dapat
terjadi secara akut atau secara kronik. Kegagalan pernafasan kronik menyatakan gangguan
fungsional jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan dan
mencerminkan adanya proses patologis yang mengarah kepada kegagalan dan proses
komplikasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas dalam darah dapat sedikit abnormal atau
dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi dalam keadaan di mana kebutuhan meningkat
seperti pada sewaktu latihan maka gas-gas darah dapat jauh dari batas normal. Peningkatan
kerja pernafasan mengurangi cadangan pernafasan dan pengurangan aktivitas fisik adalah
dua mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernafasan kronik.
Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 ≤ 50 sampai 60
mmHg atau dengan kadar CO2 ≥ 50 mmHg dalam keadaan istirahat pada ketinggian
permukaan laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-gas darah ini karena
batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan pernafasan tidak jelas dan tidak
bisa berdasarkan observasi klinis saja. Sebaliknya, harus diingat bahwa definisi
berdasarkan gas-gas darah ini tidak bersifat absolut. Makna dari angka-angka ini
tergantung dari riwayat penyakit terdahulu. Orang yang sebelumnya dalam keadaan sehat
yang kemudian mengalami kelainan gas-gas darah setelah mengalami kecelakaan hampir
tenggelam dapat diperkirakan akan jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan penderita
PPOM dapat melakukan kegiatan fisik dalam batas tertentu seperti dalam keadaaan gas
darah yang sama.
Secara klinis gagal nafas dapat berupa hipoksemia (PO2 < 60 mmHg at sea level),
karena kekurangan oksigen di dalam darah; hiperkarbia (PCO2 > 45 mmHg) karena
kelebihan karbon dioksida di dalam darah; atau yg lebih sering gabungan di antara
hipoksemia dan hiperkarbia. Gagal nafas diklasifikasikan sebagai hipoksemik, hiperkarbik
atau keduanya.
DEFINISI1
Penyakit gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru terganggu,
yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas
akut; yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen di arteri (hipoksemia) atau naiknya
kadar carbón dioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduanya.
Kriteria diagnosis untuk pasien yang bernafas pada udara kamar adalah:
1) PaO2 kurang dari 60 mmHg,
2) PaCO2 lebih dari 45 mmHg tanpa ada gangguan alkalosis metabolik primer
Gagal nafas dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit gawat paru baik
akut maupun kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic).
FISIOLOGI1
Proses respirasi normal memerlukan fungsi dari 5 komponen yang berbeda :
1. Sistem Saraf. Ini adalah pusat kontrol respirasi,dan ia terdiri daripada nuklei dorsal
dan ventral sistem respirasi medulla, beserta cabang-cabang afferent dan efferent.
Kesemua komponen ini bekerja bersama-sama korteks serebral untuk menentukan
respiratory rate dan breathing effort. Sebarang kegagalan respirasi yang
menyebabkan disfungsi central control system bisa dianggap sebagai controller
dysfunction,atau central apnea.
2. Otot-otot (the pump). Otot-otot dari proses inspirasi terdiri dari yang paling utama
adalah diafragma, tetapi otot-otot aksesoris turut bekerja, termasuklah internal
intercostals, suprasternal, dan sternokleidomastoid,serta otot-otot dinding dada,
yang bekerja dengan menurunkan tekanan di dalam ruang pleura, menjadikan
pressure gradient diantara pembukaan airway dan kompartmen alveolar, yang
menyebabkan gas mengalir ke dalam paru-paru. Kegagalan respirasi yang
menyebabkan disfungsi respiratory pump disebut sebagai pump dysfunction.
Sewaktu kondisi normal, hanya elastic recoil yang diperlukan untuk ekspirasi,
tetapi pada kegagalan respirasi, otot-otot aksesoris ekspirasi diperlukan.
3. Jalan Pernafasan. Ini terdiri daripada saluran napas atas, cartilaginous bronki, dan
saluran napas kecil distal kepada terminal bronkiol, yang bisa menbawa udara
dangan cepat kedalam dan keluar kompartmen alveolar dimana proses pertukaran
gas bisa terjadi. kegagalan respirasi ditandai dengan penyakit-penyakit yang
menyebabkan obstruksi atau disfungsi saluran napas.
ETIOLOGI1,2
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan komponen sistem
pernapasan yaitu:
1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP)
- Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP dapat
mendepresi dorongan untuk bernapas
- Hal ini dapat menyebabkan gagal napas hipoksemi atau hiperkapni yang akut
maupun kronis
- Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak, overdosis
narkotik atau sedatif, gangguan metabolik seperti miksedema atau alkalosis
metabolik kronis
2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada
- Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga tingkat
ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2
- Dapat meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni
- Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot, miastenia gravis,
kiposkoliosis berat dan obesitas
3. Abnormalitas jalan napas
- Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum hiperkapni akut dan
kronis
- Contonhnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit paru obstruktif
kronis, asma dan kistik fibrosis
4. Abnormalitas alveoli
- penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi hiperkapni dapat
terjadi
- contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik,
pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang masif
- gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan peningkatan
kerja pernapasan
5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi)
- Emfisema dan bronkitis
kronis (PPOK)
- Pneumonia
- Edema pulmoner
- Asma
- Pneumothorak
- Emboli paru
- Hipertensi arteri pulmoner
- Pneumokoniosis
- Penyakit paru granuloma
- Penyakit jantung kongenital
sianosis
- Bronkiekstasi
- Sindrom distres pernapasan
akut
- Sindrom emboli lemak
- Kiposkoliosis
- Obesitas
6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni)
- Emfisema dan bronkitis
kronis (PPOK)
- Asma yang berat
- Overdosis obat
- Keracunan
- Miastenia gravis
- Polineuropati
- Kelainan otot primer
- Porphiria
- Kordotomi servikal
- Trauma kepala dan servikal
- Hipoventilasi alveolar
primer
- Sindrom hipoventilasi pada
obesitas
- Edema pulmoner
- Sindrom distres pernapasan
akut
- Miksedema
- Tetanus
PATOFISIOLOGI
Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun ekstrapulmoner.
Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas bawah, sirkulasi pulmoner,
jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar. Sedangkan ekstrapulmoner berupa
kelainan pada pusat nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran nafas atas.
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting
di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme
gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu2,3,4 :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch
Gambar 1 V/Q normal
Gambar 2 Unit pirau, tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal, sehingga
perfusi terbuang sia-sia (V/Q=0)
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.
Sesuai patofisiologinya gagal nafas dapat dibedakan dalam 2 bentuk yaitu
hipoksemik atau kegagalan oksigenasi dan hiperkapnik atau kegagalan ventilasi.
1. Kegagalan Oksigenasi (Gagal Nafas Tipe I/Hipoksemik)2,3,4
Gagal nafas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah, ditandai
dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal nafas tipe I ini terjadi pada
kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme
terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat :
- Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke bagian
paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya
adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli
paru, displasia bronkopulmonal.
- Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membran alveolar atau
pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya
adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
- Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang tidak
pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malvormasi arterio-vena paru,
malvormasi adenomatoid kongenital.
Penderita dengan gagal nafas tipe hipoksik dapat dibagi ke dalam: gangguan
pulmoner non spesifik akut (ARDS), penyakit paru spesifik akut, dan penyakit paru
progresif kronik.
1. Gangguan pulmoner non spesifik akut
Kelainan ini sering disebut ARDS (acute respiratory distress syndrome). Beberapa
nama lain yang dipergunakan yaitu shock lung, wet lung, white lung syndrome.
ARDS dapat terjadi pada penderita dengan penyakit paru atau paru yang normal.
Paling sering terjadi mengikuti pneumonia, trauma, aspirasi cairan lambung,
overload cairan, syok, pintasan kardiopulmoner, overdosis narkotik, inhalasi asap
beracun atau kelebihan oksigen.
Berbagai penyebab dari ARDS :
a. syok karena berbagai sebab
b. infeksi: sepsis gram negative, pneumonia viral, pneumonia bacterial.
c. trauma : emboli lemak, cedera kepala, kontusio paru.
d. aspirasi cairan : cairan lambung, tenggelam, cairan hidrokarbon
e. overdosis obat : heroin, metadon, propoxyphene, barbiturat.
f. inhalasi toksin, oksigen dengan konsentrasi, asap, bahan kimia korosif (NO2,
Cl2, NH3, Fosgen)
g. kelainan hematologik : koagulasi intravaskuler, transfusi masif, post
cardiopulmonary by pass
h. gangguan metabolik : pankreatitis, uremia
i. peningkatan intrakranial, eklampsia
Letak kelainan pada sindrom ini adalah pada membran alveolar kapiler, kerusakan
pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pengambilan oksigen dengan akibatnya terjadinya hipoksemia.
Kelainan terutama berupa peningkatan permeabilitas membran tersebut sehingga terjadi
kebocoran cairan yang mula-mula mengisi jaringan interstitial antara endotelium kapiler
dan epithelium alveolar, kemudian proses berlanjut dengan pengisian cairan di ruang
alveoli.
Patofisiologi ARDS dapat dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu: 1) pada tahap ini mulai
terjadi kerusakan membran alveolar kapiler yang menimbulkan kebocoran cairan di
jaringan interstitial, 2) karena kebocoran cairan berlanjut, paru menjadi lebih kaku dan
compliance (kelenturan) paru menurun, penurunan ini akan mengakibatkan terjadi
penurunan ventilasi dan perbandingan ventilasi-perfusi menurun sehingga terjadilah
hipoksemia arterial, 3) akhirnya masuk dan mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali
tidak terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi menjadi nol, maka terjadilah shunt atau
pintasan, lebih banyak ruang alveoli yang terisi, lebih berat pintasan intrapulmoner yang
terjadi, dan tekanan oksigen arterial menjadi semakin menurun, 4) terjadi penutupan ruang
jalan napas terminalis dengan akibat terjadi atelektasis, penurunan volume paru dan akan
memperberat penurunan tekanan oksigen arterial. Tekanan CO2 arterial tetap rendah
disebabkan karena terjadi kompensasi berupa takipnea.
2. Penyakit paru spesifik akut
Termasuk dalam penyakit ini adalah pneumonia, edema paru dan atelektasis.
Gangguan fisiologis utama pada penyakit ini adalah pengisian alveoli (alveolar filling)
dengan akibat perbadingan V/Q menjadi nol. Pada pneumonia alveoli terisi material
peradangan, sedangkan pada edema terisi cairan transudat, dan pada kasus atelektasis tidak
terjadinya ventilasi di unit respirasi distal karena terjadinya kolaps jalan nafas.
3. Penyakit paru progresif kronik
Kelainan yang termasuk dalam kategori ini adalah fibrosis interstitial dan karsinoma
limfangitik. Keduanya jarang didapatkan pada anak-anak.
2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Nafas Tipe II/Hiperkapnik)2,3,4
Gagal nafas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada
umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2
(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal dan
penurunan PaO2 atau hipoksemia.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat disebabkan
karena 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada respon ventilasi.
Penyakit-penyakit atau kedaan penyebab kegagalan ventilasi :
a. Ekstrapulmoner
- overdosis sedatif atau opiat
- stroke serebrovaskular
- koma
- hipotiroid
- kerusakan primer pusat
nafas
- trauma dada (flail chest)
- cedera medula spinalis
- miastenia gravis
- poliomielitis
- amiotropik lateral sklerosis
- Penyakit Guillain Barre
- Sklerosis multipel
- Paralisis diafragma
- Distrofi muskuler
- Gangguan keseimbangan elektrolit
(K,Ca,Mg,PO4)
- Neurotoksin (botulisme, difteria,
tetanus)
- Obesitas
- Distensi abdominal
- Deformitas dinding dada
- Nyeri dada yang hebat
- Efusi pleura
- Obstruksi trakea
- Epiglotitis
- Hipertrofi tonsiler dan adenoid
- Peripheral sleep apnea
b. Pulmoner
- asma bronkial
- PPOK
- fibrosis kistik
- penyakit paru interstitisl
- atelektasis
- konsolidasi
- fibrosis
- edema paru
GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN1,3,4,5
Manifestasi dari kegagalan pernafasan akut mencerminkan gabungan dari
gambaran klinis penyakit dasarnya, faktor-faktor pencetus, serta manifestasi hipoksemia
dan hiperkapnea. Dengan demikian gambaran klinisnya cukup bervariasi karena berbagai
faktor dapat menjadi pencetusnya. Ada atau tidaknya insufisiensi pernafasan kronik yang
mendahuluinya, juga merupakan faktor lain yang dapat memberikan perbedaan dalam
gejala klinisnya.
Tanda dan gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia jaringan.
Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya hipoksemia seringkali baru
timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap
penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru. Tanda dan gejala yang
paling menonjol adalah gejala neurologis, berupa sakit kepala, kekacauan mental,
gangguan dalam penilaian, bicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan gelisah
yang dapat berlanjut menjadi delirium dan menjadi tidak sadar. Respons kardiovaskular
yang mula-mula tehadap hipoksemia adalah takikardi dan peningkatan curah jantung serta
tekanan darah. Jika hipoksia menetap, bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan
aritmia dapat terjadi. Hipoksemia dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah
paru-paru. Efek metabolik dari hipoksia jaringan metabolisme anaerobik yang
mengakibatkan asidosis metabolik. Meskipun sianosis sering dianggap sebagai salah satu
tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat diandalkan. Gejala klasik dispnea mungkin
tidak ada, terutama bila ada penekanan pusat pernafasan seperti pada kegagalan pernafasan
akibat takar lajak narkotik.
Hiperkapnea yang tejadi dalam ruangan selalu disertai hipoksemia. Akibatnya
tanda dan gejala dari kegagalan pernafasan mencerminkan efek-efek hiperkapnea dan
hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah penekanan sistem saraf pusat.
Itulah sebabnya mengapa hiperkapnea yang berat kadang-kadang disebut sebagai narkosis
CO2. Hiperkapnea mengakibatkan vasodilatasi serebral, peningkatan aliran darah serebral,
dan peningkatan tekanan intrakranial. Akibatnya timbulnya gejala yang khas, berupa sakit
kepala, yang bertambah berat sewaktu bangun tidur pada pagi hari karena PaCO 2 sedikit
menigkat pada waktu tidur. Tanda dan gejala lain adalah edema papil, iritabilitas
neuromuskular, alam perasan yang berubah-ubah, dan rasa mengantuk yang terus
bertambah, yang akhirnya akan menuju koma. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan
rangsangan yang paling kuat untuk bernafas, tetapi juga mempunyai efek menekan
pernafasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu, orang dengan PPOM dan
hiperkapnea kronik akan menjadi tidak peka terhadap peningkatan PaCO2 dan menjadi
tergantung pada dorongan hipoksia. Hiperkapnea menyebabkan konstriksi pada pembuluh
darah paru-paru, sehingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi CO2
sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas miokardium, vasodilatasi
sistemik, gagal jantung, dan hipotensi. Hiperkapnea menyebabkan asidosis respiratorik
yang sering bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hiposia. Campuran ini dapat
mengakibatkan penurunan yang serius dari pH darah. Respon kompensasi ginjal terhadap
asidosis respiratorik adalah reabsorpsi bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap
normal. Respon ini memerlukan waktus ekitar 3 hari, sehingga asidosis respiratorik akan
jauh lebih berat jika awitannya cepat.
Kadar oksigen yang rendah dalam darah dapat menyebabkan sianosis. Kadar
karbon dioksida yang tinggi dan penurunan dari pH darah dapat menyebabkan gangguan
kesadaran, antara lain bingung dan mengantuk. Kompensasi dari tubuh untuk mengatasi
hal ini dengan cara bernafas dengan dalam dan cepat. Namun bila keadaan paru tidak baik,
usaha ini tidak akan dapat mengatasi. Pada akhirnya keadaan kadar oksigen yang rendah
menyebabkan malfungsi otak dan jantung. Akibatnya terjadi penurunan kesadaran dan
gangguan pada irama jantung yang dapat menyebabkan kematian.
Gejala yang timbul karena gangguan neuromuskular atau gangguan medulla
spinalis adalah berupa tanda-tanda rasa tercekik, retraksi, tracheal tug, sampai apnoe. Yang
menonjol adalah gejala hipoksia berupa takikardi, kulit dingin dan basah.
Gejala yang timbul karena obstruksi saluran nafas bagian atas biasanya terjadi tiba-
tiba, afoni, tanda-tanda seperti tercekik, retraksi suprasternal dan epigastrik.
Pada penyakit paru obstruktif, biasanya berlangsung secara kronik. Pada penyakit
paru obstruktif menahun terjadi kerusakan pada jalan nafas, biasanya selain didapatkan
hipoksemi juga disertai hiperkarbi karena retensi CO2 kronik. Hal ini menyebabkan
rangsangan terhadap pusat pernafasan tidak lagi oleh keadaan hiperkarbi (hypoxic drive)
dari pusat pernafasan menjadi sangat sensitif terhadap obat-obatan yang mendepresi pusat
nafas dan terhadap konsentrasi oksigen yang tinggi.
Pada asma timbul berupa serangan sesak nafas, wheezing, sputum yang lengket dan
kental. Serangan asma biasanya berhubungan dengan suatu keadaan alergi.
Pada emfisema biasanya kadar PaCO2 tidak terlalu tinggi.
Gangguan pada parenkim paru dapat berupa infeksi, gejala utamanya batuk,
demam, dahak yang purulen atau seperti karat dan sebagainya.
Aspirasi bahan yang iritatif dapat menyebabkan kerusakan parenkim paru,
menimbulkan gejala hipoksi karena pertukaran gas terganggu.
Pada kasus-kasus trauma biasanya menyebabkan gangguan berupa
pneumohematotoraks, gangguan pergerakan dinding thoraks, gangguan mekanik
pernafasan. Gejala yang harus diperhatikan antara lain sesak nafas, takikardia oleh karena
sakit, hipoksia dan sebagainya. Dapat disertai tanda-tanda takhipnoe atau disertai syok.
Semua keadaan-keadaan gawat paru tersebut harus segera diatasi karena penderita
dapat jatuh ke dalam gagal nafas akut. Diagnosa pasti gagal nafas akut biasanya ditegakkan
dari hasil pemeriksaan analisis gas darah, tetapi kadang-kadang diagnosis sudah dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja. Seperti pada obstruksi jalan nafas, adanya
apnoe dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Anamnesa1,2
Penurunan aktivitas dan perubahan status mental, keluhan nafas pendek, sesak atau
sakit kepala. Riwayat menelan benda asing dan infeksi saluran nafas atas sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik1,2
Tanda dan gejala pada gagal napas akut tidak spesifik, tergantung dari penyakit
yang mendasarinya dan termasuk tipe hipoksemi atau hiperkapni. Gejala lokal pada paru-
paru yang menyebabkan hipoksemi akut seperti pnemonia, edema pulmoner, asma atau
PPOK dapat muncul. Pada pasien dengan sindrom distress pernapasan akut, gejala dapat
muncul dari luar thorak seperti nyeri abdomen atau patah tulang panjang. Gejala neurologis
dapat muncul seperti gelisah, lelah, bingung, kejang, bahkan koma.
Pasien akan bernapas dengan cepat dan nadi yang cepat. Penyalit paru dapat
menimbulkan suara yang berbeda pada saat auskultasi, pada asma terdapat
wheezing dan pada penyakit paru obstruktif akan terdapat crackles. Pada pasien
gagal napas karena ganguan ventilasi terjadi gasping dan penggunaan otot leher
pada saat bernapas untuk membantu pengembangan dada.
Asterixis, terjadi pada hiperkapni berat. Takikardi dan aritmia terjadi karena
hipoksemi dan asidosis.
Sianosis, warna kebiruan pada kulit dan membran mukosa, menujukkan terjadi
hipoksemi. Sianosis akan terlihat bila kadar hemoglobin deoksigenasi di kapiler
atau jaringan kurang dari 5 g/dL.
Dyspneu, rasa sakit bila bernapas, dapat terjadi karena usaha bernapas yang
berlebihan, reflek vagal atau rangsangan kimia (hipoksemi atau hiperkapni).
Bingung dan somnolen dapat terjadi pada gagal napas. Kejang mioklonik dapat
terjadi pada hipoksemi berat. Polisitemia dapat terjadi sebagai komplikasi jika terjadi
hipoksemi yang lama.
Pemeriksaan Laboratorium3,4,5
1. Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala
klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk
memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini penting
untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan pemberian
terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilaian
obyektif dari berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk
peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernafasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi akibat
neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre, dimana kapasitas vital
berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisis gas
darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan
oksigenasi jaringan.
2. Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditransmisikan melalui aliran
darah arteri yang berdenyut. Informasi yang didapatkan berupa saturasi oksigen
yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga
atau jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak
akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dan tekanan oksigen dapat dilihat pada
kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu
maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen.
3. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbon
dioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk konfirmasi
intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan fungsi paru.
4. Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang menunjukkan terjadinya
hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas kronik.
5. Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil pemeriksaan
yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya gagal napas.
Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat
gejala gagal napas.
6. Pemeriksaan kadar kreatinin serum daan troponin I dapat membedakan infark
miokard dengan gagal napas, Kadar kreatinin serum yang meningkat dengan
kadar troponin I yang normal menunjukkan terjadinya miositis yang dapat
menyebabkan gagal napas.
7. Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu
diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal
napas reversibel.
8. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran kadar
albumin serum, prealbumin, transferin, total iron-binding protein, keseimbangan
nitrogen, indeks kreatinin dan jumlah limfosit total.
Pemeriksaaan Radiologi
Radiografi dada.
o Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas
tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoiner kardiogenik dan
nonkardiogenik.
Ekokardiografi .
o Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan pada
pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung.
o Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal atau
regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik.
o Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolic yang normal pada
pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan
akut.
o Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner
dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik.
Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik
o Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced vital
capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat
kontrol napas.
o Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap
menunjukkan penyakit paru restriktif.
o Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai FEV1 lebih
dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif tidak terjadi bila
nilai FVC lebih dari 1 L.
PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Dibagi atas non spesifik dan spesifik tapi pada umumnya di perlukan kombinasi keduanya.
1) Penatalaksanaan dan Pengobatan Spesifik1,5,6,7:
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga untuk masing-masing
keadaan berbeda-beda. Pada kasus-kasus emergency dan akut pengobatan spesifik
dilakukan di tempat kejadian atau di unit gawat darurat. Kasus-kasus kronik, biasa nya
kasus-kasus acute on chronic yang berkembang menjadi gagal nafas akut. Penyebab
terbanyak dari gagal nafas akut pada kasus-kasus yang kronik adalah pada eksaserbasi akut
dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM atau COPD).
Penanggulangannya antara lain:
1. Terapi oksigen: Diperlukan apabila PaO2 kurang dari 45 mmHg atau saturasinya
kurang dari 75%. Pemberian O2 harus diusahakan jangan menyebabkan
peningkatan PaCO2. Tujuan ini dapat dicapai dengan menggunakan venturi type
mask sehingga kadar oksigen yang diberikan dapat lebih akurat. Pemberian O2
tidak boleh terlalu tinggi dan harus secara kontinu karena pemberian intermiten
akan membahayakan.
2. Antibiotik. Kuman penyebab infeksi terbanyak pada kasus ini adalah Haemophilus
influensa.
3. Bronkhodilator. Walaupun beberapa bronchioli mengalami kerusakan yang
ireversibel tetapi bronkhodilatasi di tempat yang masih reversi- bel akan sangat
membantu. Biasanya diberikan aminophyllin.
4. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan walaupun beberapa ahli masih
meragukan efektivitasnya.
5. Bantuan nafas/ventilasi biasanya diberikan untuk mencegah CO2narkosis,
pemberian terapi O2 yang tidak dibatasi, dan bila cara-cara konservatif tidak
berhasil.
2) Penatalaksanaan dan Pengobatan Non Spesifik
Harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul pada kasus
gawat paru untuk mencegah gagal nafas akut. Sedangkan pada kasus gagal nafas akut
sebaiknya berikan terapi untuk mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang
lebih buruk, sambil menunggu pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
Pengobatan non spesifik meliputi6,7:
– Mengatasi hipoksemia : terapi oksigen
– Mengatasi hiperkarbia : terapi ventilasi
a) Terapi Oksigen1,2,5,8
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dan penyakit kronik yang
menjadi akut kembali (dimana pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga
pusat pernafasan tidak terangsang lagi oleh hypercarbic drive melainkan terhadap
hypoxemic drive), maka kenaikan PaO2 yang terlalu cepat dapat menyebabkan apnoe.
Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan konsentrasi fraksi inspirasi oksigen
(FiO2 dan menurunkan kebutuhan O2 dengan bantuan ventilasi. Apabila penderita akan
dibiarkan bernafas spontan, O2 diberikan melalui nasal catheter. Hubungan antara
besarnya aliran udara dengan konsentrasi O2 inspirasi (tabel):
02 (l/mt) Konsentrasi O2 = (%)
Kateter nasal
Sungkup muka
Sungkup muka tipe vent in
Ventilator
Inkubator
2 - 6
4 - 12
4 - 8
Bervariasi
3 - 8
30 - 50
35 - 65
24, 28, 35, 40
Sesuai
30 - 40
b) Atasi Hiperkarbia perbaiki ventilasi2,5,7,8
Memperbaiki ventilasi dan tahap yang paling sederhana sampai pemberian ventilasi
buatan. Hiperkarbia yang berat dan akut akan mengakibatkan gangguan pH darah atau
asidosis; hal ini harus diatasi segera dengan memperbaiki ventilasi. Pada kasus-kasus acute
on chronic yang sudah terbiasa hiperkarbi, hindani penurunan PaCO2 yang terlalu rendah
karena akan menyebabkan alkalosis sehingga dapat menyebabkan hipokalemi, aritmi
jantung dan sebagainya. Penurunan PaCO2 harus bertahap tidak lebih dari 4 mmHg/jam.
Upaya untuk memperbaiki ventilasi antara lain5,6:
1. Membebaskan jalan nafas
Obstruksi jalan nafas bagian atas karena lidah yang jatuh dapat diatasi dengan
hiperekstensi kepala, apabila belum meno- long lakukan triple airway manuevre.
Apabila terjadi obstruksi karena benda asing atau edema laning lakukan
cricothyrotomy atau tracheostomy. Mungkin juga diperlukan pemasangan pipa
endotrakheal.
2. Ventilasi bantu
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Apabila sarana tersedia dapat dilakukan dengan menggunakan
ambubag atau dengan alat IPPB, yang memberikan ventilasi berdasarkan tekanan
negatif yang ditimbulkan waktu pasien inspirasi (pada keadaan ini pa-sien masih
sadar dan bernafas spontan).
3. Ventilasi kendali
Pasien harus dipasangi pipa endotrakheal yang dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Bantuan ventilasi
diperlukan biasanya berdasarkan kriteria4,6:
– Rasio PaO2/FiO2 < 200 (kadar FiO2 40% tetapi PaO2 80 mmHg)
– Penurunan compliance paru sampai 50%
– Frekuensi respirasi > 30-40 kali/menit
– Volume ventilasi semenit pada keadaan istirahat 10 l/ menit.
Terapi mula-mula adalah intubasi,berikan O2 dengan kadar 60%. Trakeostomi
dilakukan untuk mengganti pipa endotrakheal, bila penderita perlu diventilasi lebih dari 34
minggu. Monitoring yang perlu di1akukan. Pemeriksaan analisis gas darah setiap 15 menit
pada saat baru masuk ventilator sampai kembali ke nilai normal, setelah itu pemeriksaan
analisis gas darah dilakukan setiap 6 jam.
Untuk mempertahankan curah jantung sebaiknya hematokrit dipertahankan 30%,
berikan cairan secara adekuat oleh karena penurunan aliran darah akan memperburuk
permeabilitas mikrovaskuler di paru-paru dan merangsang timbulnya mediator yang toksik.
Tetapi terlalu banyak cairan (over load) pun akan menimbulkan edema paru hidrostatik.
Foto thoraks harus dilakukan setiap hari, udara inspirasi harus dilembabkan atau
humidifikasi yang cukup, dan kadang-kadang diperlukan mukoliti. Pasien harus diubah-
ubah posisinya secara bertahap setiap 2 jam dan nasotracheal suction setiap 2 jam. Lakukan
usaha-usaha untuk mengeluarkan sekret dan menepuk dada/punggung (tappotage).
Perhatikan gizi dan latihan nafas untuk menjaga kekuatan otot-otot pernafasan.
Setelah ekstubasi sebaiknya penderita tetap diobservasi untuk kemungkinan
gangguan nafas pasca ekstubasi.
KESIMPULAN
Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat paru adalah mencegah
agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk berupa gagal nafas akut dan
multiple organ failure.
Gagal nafas akut dapat terjadi oleh karena gangguan nafas di otak, gangguan
neuromuskuler dan medulla spinalis, obstruksi jalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan
karena kerusakan organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus atau luka bakar
yang luas.
Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas darah. Tetapi seringkali
pemeriksaan klinis sangat membantu menentukan tindakan pertama yang harus dilakukan
dengan cepat dan tepat. Kadang-kadang tindakan pertama harus dilakukan secepatnya di
tempat kejadian atau di unit gawat darurat tergantung etiologinya yang dikenal sebagai
penatalaksanaan spesifik.
Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya perbaikan oksigenisasi, ventilasi dan
sirkulasi. Upaya-upaya ini kadang-kadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan
memerlukan monitoring dan perawatan khusus.
Hal lain yang juga penting adalah evaluasi terhadap keberhasilan terapi dilakukan
dari saat ke saat sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.
KEPUSTAKAAN
1. Dennis LK, Eugene B, Fauci A, Hauser S. Harrison's Principles of Internal
Medicine McGraw-Hill Professional; 16 ed 2004
2. Hemdon DN, Traber DL. Pulmonary Failure and Acute Respiratory
3. TEOH. Respiratory Failure : Intensive Care Manual, 2nd ed, 1985; 67103.
4. Shoemaker WC, Ayres S, Grenvink A, Holbrook PR, Thompson WL. Textbook of
Critical Care, 2nd ed, 1989; 48490,49193.
5. Muhiman M. Gagal Nafas Akut : Intensive Care Unit 1st ed, 1989; 19.
6. Sibbald WJ. Synopsis of Critical Care, 2nd ed, 1984; 51105.
7. Evans TR. The Airway at Risk: ABC of Resuscitation, 2nd ed, 1990; 1228.
8. Vincentj L. Update in Intensive Care and Emergency Medicine, 1st ed, 1991; 313-
29