ekstrak tanaman

Upload: ahyar

Post on 14-Jul-2015

631 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

http://acta.fa.itb.ac.id/pdf_dir/issue_29_1_3.pdf Ekstrak jambu biji http://www.webng.com/bioscientiae/v1n1/v1n1_ajizah.PDF, daun fasidium guava http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/36479/kajian%20pemberian %20ekstrak%20daun%20mengkudu.pdf, ekstrak daun mengkudu http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/02/aktivitas_antibakteri_ekstrak_etanol_bunga_rosella.pdf http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/96UPAYA%20PEMANFAATAN %20LEGUNDI_Agung%20E.pdf Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker Sebagai Antibiotik Dalam Pengobatan Etnoveteriner Unggas Secara Invitro http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0804/D080415.pdf, biji mimba sebagai ekstrak anti bakterihttp://www.beswandjarum.com/article_download_pdf/article_pdf_24.pdf. demam tifoid Imbang Dwi Rahayu* * Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Perikanan, Universitas Muhamadiyah Malang,Jl. Raya Tlogomas 246 Malang. Email : [email protected]

Aloe barbadensis Miller And Aloe chinensis Baker As Antibiotic In Medication Of Poultry Etnoveteriner By In Vitro ABSTRACT Background : Target of this research is to know influence of Aloe barbadensis Miller and Aloe chinensis Baker as bakteriostatic or bakterisidal at disease of poultry which because of Escherichia coli and Salmonella thypimurium by in vitro. Methods : The pure isolate of two bacterium type cause of disease at poultry, that is : Escherichia coli and Salmonella typhimurium and two aloe type, that is Aloe barbadensis Miller and Aloe chinensis Baker were used in this research. Materials which is used in research for example : media of TSA, liquid media (Nutrient Broth), Muller Hinton media, sterile aquadest. Used appliances, for example : cacram disk, mikroskup, strand of metal and incubator of usa. Used method this research is experiment method, by 5 treatment group and 1 control group. Treatment consist of A : aloe gel extract concentration 2,5%, B : aloe gel extract concentration 4,5%, C : aloe gel extract concentration 6,5%, D : aloe gel extract concentration 8,5%, E : aloe gel extract concentration 10,5% and K: aloe gel extract concentration 0% (control). utilized restating counted 3 times to each;every treatment. Gathered to be data to be analysed descriptively. Result : The conclusion of this research is Extract aloe of varietas Aloe barbadensis Miller and also Aloe chinensis Baker to Escherichia coli, but is not sensitive to Salmonella typhimurium, with Concentration pursue to minimize equal to 10,5%. Key words : Aloe barbadensis Miller, Aloe chinensis Baker, Etnoveteriner, In Vitro ABSTRAK Latar Belakang : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Aloe barbadensis Miller dan Aloe chinensis Baker sebagai bakteriostatik atau bakterisidal pada penyakit unggas yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Salmonella typhimurium secara invitro.

31

Rahayu,

Jurnal Protein

Metode : Materi yang digunakan dalam penelitian adalah isolat murni dua jenis bakteri penyebab penyakit pada unggas, yaitu : Escherichia coli dan Salmonella typhimurium dan dua jenis lidah buaya, yaitu Aloe barbadensis Miller dan Aloe chinensis Baker. Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : media TSA, media cair (Nutrient Broth), lempeng agar (Muller Hinton Agar), aquadest steril. Alat-alat yang digunakan, antara lain : cakram disk, mikroskup, inkubator dan kawat usa. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan 5 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol. Perlakuan terdiri dari A : konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 2,5%, B : konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 4,5%, C : konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 6,5%, D : konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 8,5%, E : konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 10,5% dan K : konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 0% (kontrol). Ulangan yang dipergunakan sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak gel 0% sampai dengan 8,5%, kedua jenis lidah buaya belum mampu menghambat pertumbuhan kedua jenis bakteri, yaitu Eschericia coli maupun Salmonella typhimurium. Demikian pula pada konsentrasi ekstrak gel 10,5%, kedua jenis lidah buaya belum mampu menghambat Salmonella typhimurium. Namun pada konsentrasi ekstrak gel 10,5%, kedua jenis lidah buaya mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Kesimpulan : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Ekstrak lidah buaya varietas Aloe barbadensis Miller maupun Aloe chinensis Baker sensitif terhadap Escherichia coli, tetapi tidak sensitif terhadap Salmonella typhimurium, dengan Konsentrasi hambat minimal sebesar 10,5%.

Kata kunci : Aloe barbadensis Miller, Aloe chinensis Baker, Etnoveteriner, In Vitro

PENDAHULUAN Etnoveteriner dapat diartikan sebagai usaha pengobatan dan pemeliharaan ternak secara tradisional, meliputi pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki, bahan yang dipergunakan serta metode dan bahan yang dipergunakan serta metode dan cara yang diterapkan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut dalam pengobatan dan pemeliharaan ternak.. Pemberian obat-obatan (kemoterapeutika) pada ternak bertujuan untuk mengatasi serangan penyakit. Pada ternak unggas telah dikenal berbagai macam obat-obatan untuk mengatasi berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti: bakteri, virus, parasit maupun protozoa Penyakit Collibacillosis yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Paratyphoid unggas yang disebabkan oleh Salmonella typhimurium merupakan penyakit penting yang cukup besar merugikan industri perunggasan di Indonesia. Kerugian ekonomis yang ditimbulkan, antara lain : pertumbuhan yang terhambat, konversi pakan yang tinggi, kualitas karkas menurun, banyaknya ayam afkir, produksi telur menurun dan diikuti biaya pengobatan yang tinggi tetapi produksi tidak kembali normal. Pengobatan terhadap penyakit bakterial dilakukan dengan penggunaan antibiotik. Dikenal banyak macam-macam antibiotik, termasuk sulfa yang digunakan untuk peningkatan produktivitas pada usaha peternakan, khususnya

unggas. Penggunaan antibiotik yang ditujukan untuk pengobatan penyakit maupun untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus berdasarkan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta patofisiologi. Penggunaan antibiotik yang semena-mena akan menyebabkan penurunan produktivitas ternak. Guna mengurangi dampak negatif dari antibiotik, maka penggunaan obat-obatan dengan obat-obatan tradisional yang mengarah kembali ke alam (back to nature) sebagai alternatif pilihan. Pada saat ini penggunaan lidah buaya untuk keperluan kesehatan manusia sudah cukup luas. Salah satu jenis gula, yaitu mannose yang terkandung dalam gel lidah buaya mampu menghambat pertumbuhan virus HIV-1 sampai 30%. Para peneliti menemukan bahwa lidah buaya mampu menstimulasi sistim kekebalan tubuh, terutama sel T4-helper, yaitu sel darah putih yang mengaktifkan sistim kekebalan tubuh terhadap suatu infeksi. Tahun 1969, Dr. Bill Wolfe membuktikan bahwa lidah buaya sangat efektif membunuh bakteri penyebab infeksi, antara lain : Staphylococcus aureus dan lima strain bakteri Streptococcus. Tiga dari empat spesies lidah buaya telah bersifat komersial dan yang paling populer adalah Aloe barbadensis Miller, yang dikenal pula dengan istilah Aloe vera Linne, Aloe vulgaris Lamarch dan Aloe chinensis Baker (Gage, D dan Elizabeth Tora, 2002).

32

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

Penelitian tentang penggunaan lidah buaya sebagai obat, antibiotika pada unggas belum banyak dilakukan, sehingga pada penelitian ini akan dikaji peran lidah buaya sebagai antibiotik alami untuk mengatasi serangan penyakit bakterial pada unggas, seperti: Collibacillosis yang disebabkan oleh Escherichia coli dan gastroenteritis oleh Salmonella thyphimurium. MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa biakan murni dari 2 jenis bakteri patogen pada ternak ayam, antara lain : Escherichia coli dan Salmonella thypimurium. Bahan-bahan yang digunakan, antara lain : media TSA, media cair (Nutrient Broth), lempeng agar (Muller Hinton Agar), aquadest steril. Alat-alat yang digunakan, antara lain : cakram disk mikroskup, inkubator dan kawat usa. Batasan Variabel 1. Etnoveteriner adalah usaha pengobatan dan pemeliharaan secara ternak tradisional, meliputi pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki, bahan yang digunakan serta metode dan cara yang diterapkan, juga tercakup hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut dalam pengobatan dan pemeliharaan ternak (Anonimous, 2005). 2. Penyakit bakterial merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Pada penelitian ini bakteri yang digunakan untuk uji coba ada 2 jenis bakteri, yaitu : Escherichia coli dan Salmonella thypimurium. 3. Antibiotik adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan terhadap penyakit bakteri. Pada penelitian ini terdapat istilah bakteriostatik yang berarti antibiotik yang hanya mampu menekan perkembangan bakteri, sedangkan istilah bakterisidal berarti antibiotik yang memiliki kemampuan membunuh bakteri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen. dengan pengambilan sampel secara acak. Penelitian ini terdiri dari 5 kelompok perlakuan dan 1 kontrol, dengan ulangan 3 kali, yaitu : A : Konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 2,5% B : Konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 4,5% C : Konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 6,5% D : Konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 8,5%

E : Konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 10,5%. K :Konsentrasi ekstrak gel lidah buaya 0% (kontrol) HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Uji MIC Lidah Buaya TerhadapEscherichia coli dan Salmonella thypimurium Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Escherichia coli sensitif terhadap Aloe barbadensis Muller maupun Aloe chinensis Baker pada konsentrasi yang sama, yaitu 10,5%. Pada konsentrasi 0% (kontrol) sampai dengan 8,5% Eschericia coli tidak sensitif. Bakteri Salmonella thypimurium tidak menunjukkan kepekaan terhadap penggunaan Aloe barbadensis Muller maupun Aloe chinensis Baker. Pada konsentrasi 10,5% ekstrak gel lidah buaya ternyata kedua jenis lidah buaya mampu menghambat bakteri E. coli. Hal ini berkaitan dengan adanya senyawa antibakterial yang terkandung dalam lidah buaya. Senyawa tersebut merupakan senyawa glikosida yang disebut antrakuinon dan saponin, meskipun mekanismenya belum dapat dimengert sepenuhnya. Ekstrak lidah buaya dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen, seperti E.coli dan Salmonella hadar, namun tidak menghambat pertumbuhan bakteri lactobacillus sp (Tarmudji, 2005). Antrakuinon dalam lidah buaya ternyata mampu berperan sebagai antibiotik yang bersifat bekteriostatik, hal ini didasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat koloni E. coli yang tumbuh pada media TSA. Peran bakteriostatik antrakuinon dalam lidah buaya dimungkinkan dengan cara mempengaruhi sintesis protein sel E. coli. Antibakteri yang bekerja dengan mempengaruhi sintesis protein digolongkan sebagai bakteriostatik, yaitu antibiotik yang mencegah pertumbuhan bakteri sehingga populasi bakteri tetap. Dinyatakan pula bahwa antrakuinon merupakan suatu persenyawaan fenolik, sehingga mekanisme kerja sebagai antibakteri mirip dengan sifat-sifat fenol, yaitu menghambat bakteri dengan cara mendenaturasi protein (Fitri, DN., 2005).

33

Rahayu,

Jurnal Protein

2. Hasil Uji Cakram Sensitifitas EkstrakLidah Buaya Terhadap Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya E. coli yang sensitif terhadap kedua jenis lidah buaya. Pada Aloe barbadensis Miller 10,5%, rataan ruang kosong di sekeliling cakram yang dicelup ekstrak lidah buaya memiliki rataan sebesar 7,9 mm, sedangkan pada Aloe chinensis Baker, rataan ruang tersebut sebesar 6,5 mm. Salmonella typhimurium ternyata tidak sensitif terhadap kedua jenis lidah buaya Secara angka kasar, maka daya hambat Aloe barbadensis Miller terhadap E. coli lebih besar daripada Aloe chinensis Baker. Alasan tersebut mungkin berkaitan dengan kandungan antrakuinon yang berbeda pada kedua jenis lidah buaya tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan kajian pustaka pendukung, maka dapat diangkat kesimpulan sebagai beruikut : a. Ekstrak lidah buaya varietas Aloe barbadensis Miller maupun Aloe chinensis Baker sensitif terhadap Escherichia coli, tetapi tidak sensitif terhadap Salmonella typhimurium. b. Konsentrasi hambat minimal sebesar 10,5%. Saran Saran yang bisa dikaji untuk penelitian lebih lanjut adalah : a. Diteliti kembali uji sensitifitas terhadap Escherichia coli dengan konsentrasi ekstrak lidah buaya lebih tinggi dari 10,5%. b. Dilakukan penelitian sejenis untuk penyakit bakteri yang lain. c. Dilanjutkan penelitian secara invivo tentang suplementasi lidah buaya bentuk tepung yang dicampur ke dalam ransum ayam. d. Perlu penelitian untuk mengkaji pemanfaatan tanaman obat-obatan yang lain sebagai suplemen pengganti antibiotik dalam ransum ayam. DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2005. Lidah Buaya (Aloe vera L). http://www.asiamaya.com /jamu/isi/lidahbuayaaloevera.htm. Anonimous, 2005. http://www.mardi.my/bdc Buaya.html. Lidah Buaya. /herba /bm /Lidah

Budiningsih, M., 2005. Evaluasi Nilai Kecernaan Serat Kasar Dan Lemak Kasar Tepung Kulit Berbagai Varietas Lidah Buaya (Aloe vera) Pada Ayam Pedaging. Skripsi. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Perikanan. Universias Muhammadiyah Malang. Furnawanthi, I., 2005. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya. Agromedia Pustaka, Jakarta. Fitri, DN. 2005. Studi Tentang Daya Hambat Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) dengan Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Bakteri Aeromonas hydrophila Secara Invitro. SKRIPSI. Jurusan Perikanan. Fakultas Peternakan Perikanan. UMM. Malang. Gage, D dan Elizabeth Tora, 2002. Buku Pintar Terapi Aloe vera. Panduan Lengkap Terapi Aloe vera untuk Kesehatan dan Kecantikan. Penerjemah Suwandi. Gunawan, D. dan Mulyani, Sri. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Murdiati, TB, Sri Wahyuni, H. Sangat Roemontyo, E. Mathias. Mundy. 1992. Tumbuhan Dalam Pengobatan Etnoveteriner Pada Ternak Ruminansia Kecil di Jawa Barat. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Cisarua, Bogor. Murtidjo, BA. 1995. Pengendalian Hama dan penyakit Ayam. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Mabbett, T. 2005. Biosecure Is Sure. Dalam Poultry International. Edisi Januari 2005. Vol : 44, No.1. Purwodhiredjo, B. 1999. Pencampuran Obat Dalam Pakan dan Permasalahannya. Infovet. Edisi 063. Agustus 1999.

34

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

Prodjohardjono, S., 1993. Masalah Residu Obatobatan dalam Perungggasan. Makalah Seminar Perunggasan di Surabaya. Rahayu, ID. 2003. Ilmu Kesehatan Ternak. Buku Ajar. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Perikanan. Universitas Muhammadiyah Malang. Rumawas, W. 1987. Penyakit Saluran Pernapasan pada Unggas. Makalah Seminar Penyakit Unggas. 5 Desember 1987. Jurusan Parasitologi dan Patologi. FKH-IPB. Bogor. Rahman,S. 2004. Lidah Buaya: Atasi Serangan Jantung dan Diabetes. http://www.kompas.com/kesehatan/news/0407/25 /132654.htm.

Shane, MS., 1889. Buku Pedoman Penyakit Unggas (Terjemahan). Alih Bahasa : Tangenjaya, dkk. American Soybean Association. Subronto dan Tjahayati. 2002. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press. Tarmudji, 2005. Manfaat Gel Lidah Buaya Untuk Unggas. http://www.poultryindonesia.com/modules.php? name=news&file=article&sid = 825. Unandar, T., 1999. Fungsi Antibiotik Sebagai Imbuhan Pakan. Infovet Edisi 063, Agustus 1999. Whiteman, CC and Bickford, AA. 1989. Avian Disease manual. Third Edition American Association of Avian Pathologists.

35

Rahayu,

Jurnal Protein

http://www.djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/24/Ekstrak-Daun-Salam-%28Syzgiumpolyanthum%29-sebagai-Pegobatan-Demam-Tifoid/

Ekstrak Daun Salam (Syzgium polyanthum) sebagai Pegobatan Demam TifoidDemam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular akibat infeksi Salmonella typhi. Salmonella typhi termasuk famili Enterobacteriaceae (kuman enterik batang gram negatif) dan bersifat anaerob fakultatif atau aerob, tidak berspora, intraseluler fakultatif. Respon imun yang paling penting terhadap infeksi bakteri intraseluler adalah respon imun seluler yang tergantung pada limfosit T dan makrofag yang diaktifkan. Sel-sel yang sangat berperan dalam respon imun seluler adalah sel polimorfonuklear, sel makrofag, sel natural killer (sel NK), sel killer (sel K), dan sel T. Pada respon imun seluler terdapat dua tipe reaksi yang saling melengkapi, yaitu:

Reaksi fagosit oleh makrofag yang diproduksi sel limfosit T Bakteri intrasel akan difagosit oleh makrofag. Pelisisan sel yang terinfeksi Jika bakteri dapat bertahan pada sel dan melepaskan Ag ke sitoplasma, Ag tersebut akan menstimulasi sel TCD8+. Sel TCD8+ menghasilkan IFN dalam mengaktivasi makrofag dan memproduksi oksigen reaktif serta enzim. Dalam hal ini bekerjasama dengan sel NK untuk membunuh bakteri melalui pelisisan sel yang terinfeksi.

Makrofag merupakan sel fagosit mononuklear yang utama di jaringan dalam proses fagositosis terhadap mikroorganisme dan kompleks molekul asing lainnya. Makrofag sebagai sel fagosit mampu membunuh kuman melalui dua mekanisme: (1) Proses oksidatif (oxygen dependent mechanisms) Proses oksidatif yang terjadi berupa peningkatan penggunaan oksigen, peningkatan proses Hexose Monophosphate Shunt (HMPS), peningkatan produksi hydrogen peroxide (H2O2), dan produksi beberapa senyawa seperti superoxide anion, hydroxyl radicals, single oxygen, myeloperoxidase yang dapat saling bereaksi diantaranya: Enzymatic generation of superoxide anion, Spontaneous generation of single oxygen and hydroxyl radicals dan Enzymatic generation of halogening compound; reaksi-reaksi ini menghasilkan metabolit oksigen yang toksik sehingga dapat digunakan untuk membunuh kuman. (2) Proses non oksidatif (oxygen independent mechanism) Proses non oksidatif berlangsung dengan bantuan berbagai protein seperti hydrolytic enzyme,

36

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

defensins (cationic protein), lysozyme, lactoferrin dan nitric oxide synthase (NOS). Pada aktivitas nitric oxide synthase (NOS) diperlukan bantuan IFN dan TNF tipe I yang dapat meningkatkan produksi NO dari makrofag di organ limfe. Proses fagositosis oleh makrofag berlangsung dalam 5 fase yaitu: 1. Kemotaksis (leukosit pmn dan monosit) 2. Adhesi (partikel diselimuti opsonin) 3. Ingesti (penelanan) 4. Degranulasi (fusi fagosom dan lisosom) 5. Pembunuhan Hasil akhir proses fagositosis dapat berbentuk: (1) Degradasi sebagian besar atau seluruh partikel asing atau mikroorganisme. (2) Partikel atau mikroorganisme yang resisten terhadap degradasi akan ikut beredar berkendaraan fagosit yang melahapnya. (3) Tetap tinggal dalam sitoplasma tanpa merugikan atau membunuh fagosit. Pada penggunaan senyawa oxygen independent oleh makrofag akan dihasilkan nitrit oksida (NO) yang berperan pada pembunuhan bakteri intraseluser. NO juga mempunyai fungsi lain dalam imunitas alamiah dan adaptif yaitu memodulasi respon sitokin limfosit dan mengatur apoptosis sel imun yang terinfeksi. Salah satu tanaman yang mempunyai efek anti mikroba terhadap Salmonella typhi adalah Syzygium polyanthum (daun salam), yang mengandung senyawa minyak atsiri (sitral dan eugenol), tannin, dan flavonoid. Mekanisme yang ditimbulkan Syzygium polyanthum terhadap infeksi Salmonella typhi adalah sebagai anti bakteri dan meningkatkan fagositosis. Minyak atsiri menyebabkan denaturasi protein dinding sel kuman. Sekuisterpenoid dalam minyak atsiri juga menyebabkan kerusakan membran sel kuman olah senyawa lipofilik. Tannin menyebabkan denaturasi protein, menginaktifkan adhesin kuman, menstimulasi sel-sel fagosit yang berperan dalam respon imun selular. Eugenol adalah sebuah senyawa kimia aromatik, berbau, banyak didapat dari butir cengkeh, sedikit larut dalam air dan larut pada pelarut organik. Flavonoid berfungsi sebagai anti inflamasi, anti alergi dan aktifitas anti kankernya serta antioksidan. Flavonoid yang bersifat lipofillik membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler, dan dengan dinding sel kuman, serta merusak membran sel kuman. Mekanisme yang ditimbulkan Syzygium polyanthum terhadap infeksi Salmonella typhi adalah sebagai anti bakteri dan meningkatkan fagosit. Dengan efek imunomodulasi yang terdapat pada Syzygium polyanthum, maka tanaman ini dapat meningkatkan produksi makrofag, yang kemudian juga meningkatkan produksi NO, sehingga daya fagositosis terhadap bakteri intra seluler bertambah. Oleh sebab itu Syzygium polyanthum dapat digunakan untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap infeksi bakteri patogen fakultatif intraseluler, salah satunya adalah Salmonella typhi.

37

Rahayu,

Jurnal Protein

http://www.kamusilmiah.com/pangan/daun-beluntas-sebagai-bahan-antibakteri-dan-antioksidan/

Daun Beluntas Sebagai Bahan Antibakteri dan AntioksidanSumber: Berita Iptek Topik: Pangan Tags: antibakteri, antioksidan, daun beluntas Daun beluntas menurut hasil penelitian mempunyai fungsi antibakteri dan antioksidan serta berpotensi untuk dikembangkan sebagai pengawet makanan dan obat. Beluntas (Pluchea indica L.), nama tumbuhan ini mungkin jarang kita dengar. Tapi, sebetulnya bentuk tanaman ini tidak seasing namanya. Jika kita perhatikan dengan seksama, hampir dapat dipastikan orang akan langsung mengenalnya sebagai tanaman yang sering terdapat di halaman rumah, karena sering digunakan sebagai tanaman pagar. Beluntas merupakan tanaman perdu tegak, berkayu, bercabang banyak, dengan tinggi bisa mencapai dua meter. Daun tunggal, bulat bentuk telur, ujung runcing, berbulu halus, daun muda berwarna hijau kekuningan dan setelah tua berwarna hijau pucat serta panjang daun 3,8-6,4 cm. Tumbuh liar di tanah dengan kelembaban tinggi; di beberapa tempat di wilayah Jawa Barat tanaman ini digunakan sebagai tanaman pagar dan pembatas antar guludan di perkebunan. Beberapa daerah di Indonesia menyebut nama beluntas dengan nama yang berbeda seperti baluntas (Madura), Luntas (Jawa Tengah), dan Lamutasa (Makasar). Secara tradisional daun beluntas digunakan sebagai obat untuk menghilangkan bau badan, obat turun panas, obat batuk, dan obat diare. Daun beluntas yang telah direbus sangat baik untuk mengobati sakit kulit. Disamping itu daun beluntas juga sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai lalapan. Adanya informasi secara tradisional dari masyarakat yang telah lama memanfaatkan daun beluntas sebagai salah satu tanaman obat mendorong para peneliti untuk mengadakan berbagai penelitian guna membuktikan khasiatnya secara ilmiah. Pada tulisan ini akan dicoba pemaparan dua penelitian pemanfatan daun beluntas dalam bentuk ekstrak sebagai komponen antibakteri (Ardiansyah, 2002) dan minyak atsiri sebagai zat antioksidan (Paini Sri Widyawati 2005). Daun beluntas sebagai ekstrak antibakteri Untuk mendapatkan ekstrak daun beluntas harus dikeringkan, selanjutnya dilakukan ekstraksi. Ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut heksan, residu yang dihasilkan diekstrak kembali dengan pelarut etanol untuk mendapatkan ekstrak polar defatted dengan metode refluk. Selain itu dilakukan ekstraksi langsung menggunakan pelarut etanol untuk mendapatkan ekstrak polar non defatted menggunakan metode yang sama Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap bakteri-bakteri dari kelompok patogen penyebab keracunan makanan sepertiEscherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus. Selain itu E. coli merupakan bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan, sedangkan S. aureus merupakan bakteri penyebab impetigo (pembengkakan pada lapisan epidermis kulit), furuncle (radang di jaringan sub kutan), dan

38

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

carbuncle (peradangan yang meluas dan mengenai folikel rambut). Dari kelompok bakteri penyebab kebusukan makanan adalahPseudomonas fluorescens. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi sumur; adanya zona bening disekitar sumur menunjukkan aktivitas antibakteri. Davis Stout mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibakteri adalah sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10 20 mm (kuat), 5 -10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah). Tabel 1. Aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas* Bakteri ( Ekstrak Nondefatted ) ( Ekstrak Defatted ) Escherichia coli ( 8,5 +/- 0.5 ) ( 7,0 +/- 0.4 ) Salmonella typhi ( 10,2 +/- 0.4 ) ( 8,2 +/- 0.5 ) Staphylococcus aureus ( 9,1 +/- 1.0 ) ( 7,1 +/- 0.6 ) Bacillus cereus ( 8,4 +/- 0.7 ) ( 6,5 +/- 0.3 ) Pseudomonas fluorescen ( 6,3 +/- 0.3 ) ( 5.5+/- 0.3 ) * mean +/- SE Pada Tabel di atas terlihat bahwa ekstrak nondefatted menunjukkan aktivitas penghambatan lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak defatted. Jika data pada tabel dikaitkan dengan ketentuan kekuatan antibakteri yang dikemukakan oleh Stout, maka kekuatan antibakteri yang terkandung dalam ekstrak daun beluntas masuk dalam kategori sedang (masuk dalam kisaran 5-10 mm). Meskipun kekuatan antibakteri dalam kategori sedang, dapat dipahami bila daun beluntas berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit yang diakibatkan infeksi bakteri. Daun beluntas sebagai zat antioksidan Penelitian yang dilakukan oleh Paini Sri Widyawati (2005) mencoba meneliti aktivitas antioksidan dari daun beluntas. Daun beluntas diekstrak menggunakan etanol dengan metode soxhlet dan air pada metode hidrodistilasi. Selanjutnya masing-masing ekstrak, baik dari metode soxhlet maupun hidrodistilasi diuji kemampuan radical scavenging activityDPPH (2,2-diphenil-1- picrylhydrazil radical), yaitu antioksidan dalam ekstrak dan minyak atsiri daun beluntas akan bereaksi DPPH dan mengubahnya menjadi alfa,alfa-diphenyl-beta-picrylhydrazine. Perubahan serapan yang dihasilkan oleh reaksi ini menjadi ukuran kemampuan antioksidan dari daun beluntas. Sebagai pembanding digunakan TBHQ (tertier butil hidroquinon) dan -karoten yang secara umum telah digunakan sebagai aktioksidan komersial. Hasil yang diperoleh menunjukkan kemampuannya secara berturutan sebagai berikut beta-karoten > minyak atsiri beluntas > ekstrak beluntas > TBHQ. Dari data ini dapat dikatakan bahwa daun beluntas memiliki potensi sebagai antioksidan alami dan dapat menggantikan kedudukan TBHQ dan beta-karoten sebagai antioksidan. Potensi aplikasi daun beluntas sebagai pengawet makanan dan obat Penggunanan senyawa antimikroba/antibakteri yang berfungsi sebagai bahan pengawet, juga antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi sehingga mencegah produk makanan dari kerusakan karena terpapar oleh udara dan cahaya, selama ini sebagian besar berasal dari bahan-bahan kimia sintetik. Berdasarkan penelitian bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan

39

Rahayu,

Jurnal Protein

dampak negatif terhadap kesehatan. Sebagai alternatif pemecahannya dapat digunakan bahan-bahan alami yang mempunyai kelebihan karena lebih aman untuk dikonsumsi. Dari data-data seperti disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa daun beluntas mempunyai potensi unutk dikembangkan sebagai ekstrak yang berfungsi sebagai pengawet makanan, karena kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab keracunan makanan dan bakteri penyebab kerusakan makanan. Disamping itu juga kemampuannya sebagai radical scavenging activity dapat digunakan sebagai senyawa antioksidan. Selain itu juga potensi daun beluntas dapat digunakan juga sebagai obat radang (inflamasi) dan obat diare karena kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli.

40

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

http://adigunawan2009.wordpress.com/2009/05/26/potensi-buah-pare-momordica-charantial-sebagai-antibakteri-salmonella-typhimurium/ POTENSI BUAH PARE ( Momordica charantia L) SEBAGAI ANTIBAKTERI Salmonella Typhimurium Mei 26, 2009, 9:47 am Filed under: Uncategorized POTENSI BUAH PARE ( Momordica charantia L) SEBAGAI ANTIBAKTERI Salmonella Typhimurium Oleh : I Wayan Adiputra Gunawan

Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati DenpasarI. PENDAHULUAN Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Bila musim sedang berganti di Indonesia, terutama di kota-kota besar, sering ditemukan penyakit tifus yang merupakan penyakit usus halus. Di Indonesia, diperkirakan antara 800 100.000 orang terkena tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang. Yang jelas, meski tifus bisa menyerang anak di atas umur 1 tahun, korban paling banyak adalah anak usia 5 tahun.

41

Rahayu,

Jurnal Protein

Kuman tifus terutama dibawa oleh air dan makanan yang tercemar, karena sumber air minum di Jakarta, umpamanya, kurang memenuhi syarat. Sayuran dapat saja dicuci dengan air kali yang juga dipakai untuk penampungan limbah. Kakus pun berakhir di got atau kali. Padahal kuman tifus berasal dari kotoran manusia yang sedang sakit tifus. Karena kota-kota besar merupakan kakus terbuka raksasa, maka kuman tifus pun berada dalam banyak minuman dan makanan yang lolos oleh proses memasak. Keadaan itu menyebabkan kenyataan : mungkin tidak ada orang di kota-kota besar yang tidak pernah menelan kuman tifus. Bila hanya sedikit kuman yan terminum, biasanya orang tidak terkena tifus. Namun, kuman yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi imun yang dapat dipantau dari darah, dikenal dengan reaksi Widal yang positif. Salah satu bakteri penyebab tifus adalah Salmonella typhimurium. Infeksi oleh bakteri ini terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang mengandung bakteri Salmonella typhimurium dari organisme pembawa (hosts). Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka bakteri ini akan menyerang dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita hamil, dan juga membrane yang menyelubungi otak. Substansi racun yang diproduksi dan dilepaskan oleh bakteri ini dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh. Pada seseorang yang terinfeksi oleh Salmonella typhimurium pada fesesnya terdapat kumpulan Salmonella typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggumnggu atau berbulan-bulan. Bila demam tifoid masih terbilang ringan, istilahnya gejala tifus atau paratifus,dokter akan menyarankan banyak istirahat, banyak minum, dan obat antibiotik yang diberikan harus dihabiskan. Perawatan dan pengobatan bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Sebab, meski masih tahap ringan, kuman terus menyebar dan berkembang-biak dengan cepat. Sayangnya, diagnosa demam tifoid pada anak-anak cukup sulit dilakukan. Pada sejumlah anak, mereka tak mengeluh mual, pusing, atau suhu tubuhnya tinggi. Anak hanya bisa menangis atau rewel. Pemeriksaan laboratorium pun kerap sulit dilakukan karena anak umumnya meronta jika harus diambil darahnya. Untuk tifus yang sudah berat, penderita diharuskan menjalani perawatan di rumah sakit. Biasanya selama 5-7 hari harus terus berbaring.Setelah melewati hari-hari itu, proses penyembuhan akan dilanjutkan dengan memobilisasi bertahap.

42

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan. Selain obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka pilihan antibiotika yang utama adalah kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman serta waktu perawatan dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika lain seperti ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat dan diberikan cairan Infus. Penelitian tentang efek spasmolitik telah dilakukan oleh Morales et al (1994), tentang penghambatan ileum pada marmut oleh Lozoya et al (1994). Penelitian ini menunjukkan bahwa daun jambu biji terbukti sebagai antibakteri Salmonella typhimurium. Hal ini karena pada daun jambu biji mengandung senyawa-senyawa antara lain : tannin, minyak atsiri, flavanoid, ursolic, oleanolic, karoten, yang dapat berfungsi sebagai senyawa antibakteri (Supandiman, 1997; Sujatno, 1997). Tanaman pare (Momordica Charantia L) merupakan salah satu tanaman yang juga senyawasenyawa seperti tannin, minyak atsiri, flavanoid, ursolic, oleanolic, karoten, alkaloid yang cukup banyak pada buahnya. Berdasarkan hal tersebut maka buah pare memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai antibakteri Salmonella typhimurium. Penggunaan pare sebagai antibakteri Salmonella typhimurium dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif antibakteri Salmonella typhimurium dari tumbuh-tumbuhan serta obat penyakit tifus yang bersifat alami. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pare (Momordica Charantia L)

Tanaman pare (Momordica charantia L) termasuk dalam tumbuhan C4 karena mempunyai anatomi daun yang unik berkaitan dengan mekanisme fotosintesis tanaman C4. Dalam tumbuhan C4 terdapat dua jenis sel fotosintetik yang jelas berbeda yaitu sel seludang berkas pembuluh dan sel mesofil. Dinamakan demikian karena tumbuhan itu mendahului siklus Calvin dengan fiksasi karbon

43

Rahayu,

Jurnal Protein

cara lain yang membentuk senyawa berkarbon 4 sebagai produk pertamanya. Adapun klasifikasi dari tanaman pare adalah sebagai berikut : Division : Magnoliophyta Klas : Magnoliopsida Ordo : Cucurbitales Familia : Cucurbitaceae Genus : Momordica Spesies : Momordica charantia L Tanaman pare (Momordica charantia L) berasal dari kawasan Asia Tropis, namun belum dipastikan sejak kapan tanaman ini masuk ke wilayah Indonesia. Saat ini tanaman pare sudah dibudidayakan di berbagai daerah di wilayah Nusantara. Umumnya, pembudidayaan dilakukan sebagai usaha sampingan. Pare ditanam di lahan pekarangan, atau tegalan, atau di sawah bekas padi sebagai penyelang pada musim kemarau. Tanaman pare (paria) adalah tanaman herba berumur satu tahun atau lebih yang tumbuh menjalar dan merambat. Tanaman yang merupakan sayuran buah ini mempunyai daun yang berbentuk menjari dengan bunga yang berwarna kuning. Permukaan buahnya berbintil-bintil dan rasa buahnya pahit. Tanaman pare ini sangat mudah dibudidayakan, karena cara penanamanya relative mudah serta tumbuhnya tidak tergantung pada musim. Pare memiliki nama yang beragam disetiap daerah diantaranya Prien (Gayo) Paria (Batak Toba) Foria (Nias) Peria (Melayu) Kambeh (Minangkabau) Papare (Jakarta) Paria (Sunda) Pare (Jawa Tengah} Pepareh (Madura) Paya Truwok (Sasak) Paria (Bima) Pania (Timor) Popari (Menado) Beleng gede(Gorontalo) paria (Makasar) Paria {Bugis}Papariane (Seram) Papari (Buru) Papare (Halmahera) Kepare {Ternate}. Buah bulat memanjang berbentuk spul cylindris, permukaan buahnya bintil-bintil tidak beraturan dengan panjang 8-30 cm.Warna buah hijau dan jika sudah masak jika dipecah akan berwarna orange dengan 3 katup. Simplisia terdiri dari irisan melintang buah membentuk cincin atau gelang dengan tepi tidak rata dan tidak beraturan, diameter 1,5 cm sampai 5 cm, tebal 3mm sampai 5mm warna coklat kekuningan, bagian luar warnanya lebih tua dibanding bagian dalam. Pada penampang melintang tampak daging buah terdiri dari eksokarpium, mesokarpium, dan endokarpium. Pada eksokarpium terdiri dari satu lapis sel epidermis berbentuk segi empat. Pada

44

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

epidermis terdapat kutikula dah rambut kelenjar terdiri dari 2 sel tangkai dan 3 sel kepala. Di bawah epidermis terdapat lapisan kolenkim terdiri dari sel berbentuk poligonal atau bundar dengan ukuran lebih besar dari sel epidermis. Bagian ini mangandung kloroplassehingga berwarna hijau. Bagian mesokarpium terdiri dari sel parenkim bentuk poligonal dan makin ke dalam ukurannya semakin besar, mengandung kristal kalsium oksalat bentuk prisma dan resin.Bagian endokarpium terdiri dari sel parenkim panjang-panjang , serabut dan berkas pembuluh. Pada bagian dalam endokarpium terdapat jaringan yang berasal dari daun buah terdiri dari sel bentuk bindar , berdinding tebal dengan ruang sel berbentuk segitiga. Pada sayatan paradermal nampak epidermis berbentuk poligonal hampir bundar dan sel yang mengandung resin. Buah pare mengandung Albiminoid, karbohidrat, zat warna. karantin, hydroxytryptamine, vitamin A, B dan C. Per 100 gr bagian buah yang dapat dimakan mengandung 29 kal kalori; 1,1 gr protein; 0,3 gr lemak; 6,6 gr karbohidrat; 45 mg kalsium; 64 mg fosfor; 1,4 mg besi; 180 s.l. nilai vit A; 0,08 mg vit B1; 52 mg vit C dan 91,2 gr air. Selain itu juga mengandung senyawa-senyawa seperti : saponin, alkanoid, triterpenoid, dan asam momordial. 2.2 Bakteri Salmonella Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk tongkat yang menyebabkan tifus, paratifus, dan penyakit foodborne. Spesies-spesies Salmonella dapat bergerak bebas dan menghasilkan hidrogen sulfida. Salmonella dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika, walaupun sebenarnya, rekannya Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis) yang pertama kali menemukan bakterium tahun 1885 pada tubuh babi.

Gambar 2.1 Gambar Salmonella

45

Rahayu,

Jurnal Protein

Berikut arah klasifikasi dari genus Salmonella. Pada genus ini mengalami pergantian klasifikasi yang sangat signifikan seiring dengan berkembangnya waktu-berhubungan dengan sinonim nama spesies diatas. Landasan klasifikasi genus Salmonella didapat dari adanya suatu perbedaan dalam proses fermentasi karbohidrat danproduksigas.

Tabel 2.1 Perbedaan fermentasi karbohidrat pada beberapa genus Salmonella No. Spesies 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Salmonella paratyphi Salmonella schottmuelleri Sal. typhosa Salmonella typhimurium Salmonella abortivoequina Salmonella choleraesuis Salmonella enteritidis Salmonella pullorum Salmonella gallinarum Xylose Arabinosa Trehalosa Inositol Maltosa Produksi H2S AG V AG AG AG AG AG A AG AG V AG AG AG AG A AG AG A AG AG AG A AG AG AG AG A AG AG AG AG V A + + + V V + + V

Keterangan: A= Acid G= gas -=negative +=positive V=Variable (Merchan, I.A, 1963). Ada satu pengecualian yaitu Samonella. schottmuelleri dengan Samonella. typhimurium terdapat persamaan karakter variasi metabolit. Untuk hal ini, harus diingat bahwa untuk mengklasifikasikan bakteri tidak mutlak hanya digunakan klasifikasi berdasarkankarakter variasi metabolit tetapi dasar klasifikasi lain yang dapat digunakan jika terdapat pengecualian adalah pada keberadaan variasi struktur antigenik atau pada tes serologi.

46

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

2.3 Salmonella typhimurium Seperti mikrooeganisme lain Salmonella typhimurium memiliki nama-nama terdahulu yakni antara lain Bacillus typhimurium, Bacterium aetrycke, Salmonella pestis caviae, dan Salmonella psittacosis. Adapun klasifikasi dari Salmonella typhimurium adalah sebagai berikut : Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genu : Salmonella Spesies : Salmonella typhimurium Bentuk tubuh dari Salmonella typhimurium adalah batang lurus pendek dengan panjang 1-1,5 miktrometer. Tidak membentuk spora, bersifat gram negatif. Biasanya bergerak motil dengan menggunakan peritrichous flagella, dan kadang menjadi bentuk nonmotilnya. Biasanya memproduksi asam dan gas dari glukosa, maltosa, mannitol, dan sorbitol, tetapi tidak memfermentasi laktosa, sukrosa, atau salicin, tidak membentuk indol, susu koagulat, atau gelatin cair. Bakteri dapat mempengaruhi sel-sel lymphoid dalam usus, dan limpa yang sering diinfeksi ketika bakteri ini masuk kedalam aliran darah. Penyebaran bakteri ini secara geografis terjadi pada wilayah yang luas dan dapat menginfeksi semua spesies vertebrata berdarah panas. 2.4 Penyebaran dan Siklus Hidup Salmonella typhimurium Penyebaran, secara geografis sangat luas dan dapat di setiap hewan, dalam kenyataannya Salmonella typhimurium dapat menginfeksi semua spesies vertebrata berdarah panas. Penyebarannya sepanjang tahun bisa terjadi. 1. Sumber infeksi: berupa makanan dan minuman yang telah terkontaminasi dan dikonsumsi oleh manusia.

47

Rahayu,

Jurnal Protein

a. Air; kontaminasi dengan tinja sering mengakibatkan epidemi yang eksplosif. b. Susu dan hasil susu lainnya; kontaminasi dengan tinja atau karena proses Pasteurisasi yang tidak cukup, atau pengepakan tidak tepat. c. Kerang-kerang-an, melalui air yang terkontaminasi. Telur yang dibuat bubuk atau dibekukan; dari unggas yang telah terinfeksi. d. Daging dan hasil daging lainnya; daging telah terkontaminasi. e. Zat warna binatang (misalnya karmin); dipakai dalam obat, makanan, dan kosmetika. f. Binatang piaraan; anjing, kucing, kura-kura, dll. 1. Asal kontaminasi; berasal dari tinja dan pembawa kuman Samonella. typhimurium. 2. Carrier kuman; berasal dari seseorang yang tetap ditinggali oleh kuman pada saluran empedu, Bandung empedu, Madang-kadang dalam usus atau saluran air kemih. Adapun Siklus hidup Samonella. Typhimuriu adalah sebagai berikut : 1. Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yang terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts). 1. Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan. 1. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak. 2. Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi keseimbangan tubuh. 1. Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulanbulan. 1. Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air. Ada catatan menarik bahwa, makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisma, dalah hal ini bakteri Salmonella). Misalnya saja Salmonella enteriditis baru48

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

menyebabkan gejala bila sudah berkembang biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan kematian penderita. Salmonella typhimurium dengan jumlah 11.000 sudah dapat menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala. Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat terjadi dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan. Gejala terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah terserang penyakit denga gejala: inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan gejala, lalu terjadi diare. 2.5 Penyakit Tifus Penyakit yang ditandai dengan demam tinggi ini kerap menyerang anak-anak. Termasuk balita. Sayangnya, banyak orang tua menganggap remeh tifus. Banyak juga yang masih beranggapan, kalau sudah pernah kena tifus, tak bakalan kena lagi. Padahal, salah besar. Justru lebih bahaya dan bisa menyebabkan kematian. Di Indonesia, diperkirakan antara 800 100.000 orang terkena tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau. Demam tifoid adalah infeksi akut yang disebabkan bakteri Salmonella typhimurium. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higienis. Dia masuk ke dalam tubuh melalui mulut, lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna. Proses bekerjanya bakteri ini ke dalam tubuh manusia lumayan cepat. Yaitu 24-72 jam setelah masuk, meski belum menimbulkan gejala, tetapi bakteri telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Rentang waktu antara masuknya kuman sampai dengan timbulnya gejala penyakit, sekitar 7 hari. Gejalanya sendiri baru muncul setelah 3 sampai 60 hari. Pada masa-masa itulah kuman akan menyebar dan berkembang biak. Organ tubuh lalu merangsang sel darah putih mengeluarkan zat interleukin. Zat inilah yang akan merangsang terjadinya gejala demam. Kuman yang masuk ke hati akan masuk kembali dalam peredaran darah dan menyebar ke organ tubuh lainnya. Namun tidak seluruh bakteri Salmonella typhmuriumi dapat menyebabkan demam tifoid. Saat kuman masuk, tubuh berupaya memberantas kuman dengan berbagai cara. Misalnya, asam lambung berupaya

49

Rahayu,

Jurnal Protein

menghancurkan bakteri, sementara gerakan lambung berupaya mengeluarkan bakteri. Jika berhasil, orang tersebut akan terhindar dari demam tifoid. Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain : 1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi. 2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas. 3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhimurium berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut. 4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar). 5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut. 6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran. Untuk ke akuratan dalam penegakan diagnosa penyakit, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Widal dan biakan empedu. Adapun beberapa diagnosa terhadap penyakit tifus antara lain :adalah sebagai berikut : 1. Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah dilakukan di laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada gambaran jumlah darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang meningkat dan eosinofilia. 2. Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat anti terhadap kuman tifus. Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan progresif. 3. Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu dengan ditemukannya kuman Salmonella typhimurium dalam darah waktu minggu pertama dan kemudian sering ditemukan dalam urine dan faeces. Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan

50

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

bukan pembawa kuman (carrier). Sedangkan untuk memastikan apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka perlu ada diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC (Tuberculosis), dan infeksi paru (Pneumonia). 2.6 Perawatan dan Pengobatan Penyakit Tifus ( Demam Tifoid ). Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan. Selain obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka pilihan antibiotika yang utama adalah kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman serta waktu perawatan dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika lain seperti ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat dan diberikan cairan Infus. Komplikasi yang sering dijumpai pada anak penderita penyakit demam tifoid adalah perdarahan usus karena perforasi, infeksi kantong empedu (kolesistitis), dan hepatitis. Gangguan otak (ensefalopati) kadang ditemukan juga pada anak. Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain : 1. 2. 3. 4. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein. Tidak mengandung banyak serat. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Untuk kembali ke makanan normal, lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya. Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi

51

Rahayu,

Jurnal Protein

lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifoidparatifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.) 2.7 Alkaloid Dalam dunia medis dan kimia organik, istilah alkaloid telah lama menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dalam penelitian yang telah dilakukan selama ini, baik untuk mencari senyawa alkaloid baru ataupun untuk penelusuran bioaktifitas. Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Secara organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan pahit, biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain daun-daunan, senyawa alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji, ranting, dan kulit kayu. Berdasarkan literatur, diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup. Sehingga tidaklah mengherankan jika manusia dari dulu sampai sekarang selalu mencari obat-obatan dari berbagai ekstrak tumbuhan. Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dewasa ini telah ribuan senyawa alkaloid yang ditemukan dan dengan berbagai variasi struktur yang unik, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Dari segi biogenetik, alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina primer dan sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketida dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam biosintesis alkaloid.

52

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

2.8 Flavonoid Senyawa flavonoida adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru. Dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C 6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga bentuk susunan C6-C3-C6. susunan ini dalpat menghasilkan tiga jenis struktur senyawa Flavonoid yaitu : 1. Flavonoida atau 1,3-diarilpropana

2. Isoflavonoid atau 1,2- diarilpropana

3. Neoflavonoida atau 1,1-diarilpropana

53

Rahayu,

Jurnal Protein

Istilah flavonoida diberikan untuk senyawa-senyawa fenol yang berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu flavonoid yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Senyawa-senyawa flavon ini mempuntai kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang terikat pada cincin B dari 1.3-diarilpropana dihubungkan oleh jembatan oksigen sehingga membentuk cincin heterosiklik yang baru (cincin C). Senyawa-senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propana dari sistem 1,3-diarilpropana. Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan dialam sering sekali disebut sebagai flavonoida utama. Banyaknya senyawa flavonoida ini disebabkan oleh berbagai tingkat alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut. Senyawa-senyawa isoflavonoid dan neoflavonoida hanya ditemukan dalam beberapa jenis tumbuhan, terutama suku Leguminosae. Masing-masing jenis senyawa flavonoida mempunyai struktur dasar tertentu. Flavonoida mempunyai pola oksigenasi yang berselang-seling yaitu posisi 2,4,6. cincin B flavonoid mempunyai satu gugu fungsi oksigen pada posisi para atau dua pada posisi para dan meta atau tiga pada posisi satu di para dan dua di meta. Cincin A selalu mempunyai gugus hidroksil yang letaknya sedemikian rupa sehingga memberikan kemungkinan untuk terbentuk cincin heterosikllis dalam senyawa trisiklis. Beberapa senyawa flavonoida adalah sebagai berikut : Cincin A COCH2CH2 Cincin B Hidrokalkon Cincin A COCH2CHOH Cincin B Flavanon, kalkon Cincin A COCH2CO Cincin B Flavon

54

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

Cincin A CH2COCO Cincin B Antosianin Cincin A COCOCH2 Cincin B - Auron III.METODE PENULISAN 3.1 Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kajian pustaka. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan topik yang akan dibahas. Sumber-sumber kepustakaan tersebut berupa kajian literatur dan juga dari kutipan artikel yang diambil dari sumber-sumber lain seperti media massa, media elektonik maupun media Teknologi Informasi (Internet). Melalui metode kajian pustaka ini diharapkan akan dapat diketahui tentang karakteristik Salmonella thyphimurium, penyakit yang ditimbulkan yakni penyakit tifus, mengetahui tentang kandungan kimia pare, alkaloid, saponin dan senyawa lain yang bepotensi sebagai antibakteri. Informasi yang telah didapat dari sumbersumber tersebut kemudian ditelaah dan dijadikan acuan dalam membahas permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. 3.2 Langkah-Langkah Penulisan Dalam penyusunan tulisan ini dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Identifikasi Masalah Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini diangkat karena penyakit tifus yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella thyphimurium merupakan salah satu penyakit yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Bertitik tolak dari hal tersebut maka perlu diupayakan untuk mencari solusi berupa antibakteri dari Salmonella thyphimurium tersebut untuk dapat mencegah infeksi dari bakteri tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan antibakteri dari bahan alam khususnya tumbuh-tumbuhan. Beranjak dari ulasan beberapa artikel dan hasil penelitian bahwa senyawa-senyawa alkaloid, saponin, tannin, memiliki kemampuan untuk mematikan Salmonella thyphimurium, maka berbagai tumbuhan yang mengandung senyawa-senyawa tersebut tentunya berpotensi dijadikan sebagai antibakteri dari Salmonella thyphimurium. Salah satunya adalah buah pare

55

Rahayu,

Jurnal Protein

yang memiliki kandungan senyawa-senyawa seperti alkaloid, saponin, dan juga tannin. Sehingga diharapkan akan dapat dihasilkan antibakteri Salmonella thyphimurium dari tanaman pare. 2. Pengumpulan Data dari Telaah Pustaka Setelah dilakukn identifikasi permasalahan maka dilakukan pengumpulan data-data dari berbagai sumber untuk mendukung pembahasan permasalahan yang diangkat. Sumbersumber kepustakaan tersebut berupa kajian literatur dan juga dari kutipan artikel yang diambil dari sumber-sumber lain seperti media massa, media elektonik maupun media Teknologi Informasi (Internet). 3. Analisa Permasalahan Analisa permasalahan dilakukan dengan menganalisis kemampuan senyawa-senyawa alkaloid, saponin, dan tannin yang terkandung dalam pare untuk mematikan bakteri Salmonella thyphimurium. Analisa disini bersifat analisa secar konsep yang didukung oleh teori-teori dalam literatur dan tidak dilakukan suatu tindakan eksperimen (penelitian) langsung. 4. Penyusunan Tulisan Setelah dilakukan analisa permasalahan kemudian dilakukan penyusunan karya tulis untuk membahas permasalahan yang diangkat. 5. Bimbingan Dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan bimbingan secara kontinyu dengan seorang dosen pembimbing agar dapat diberikan arahan-arahan dalam penyusunan karya tulis ini. IV.PEMBAHASAN Tanaman pare (Momordica charantia L) merupakan salah satu tanaman yang senyawasenyawa seperti tannin, flavanoid, alkaloid yang cukup banyak pada buahnya. Berdasarkan hal tersebut maka buah pare memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai antibakteri Salmonella typhimurium. Alkaloid adalah senyawa organik pada tumbuh-tumbuhan yang sering56

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

digunakan sebagai bahan obat-obatan. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik. hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup. Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Kemampuan senyawa Alkaloid sebagai antibakteri Salmonella typhimurium sangat dipengaruhi oleh keaktifan biologis senyawa tersebut. Keaktifan biologis dari senyawa Alkaloid ini disebabkan oleh adanya gugus basa yang mengandung nitrogen. Adanya gugus basa ini apabila mengalami kontak dengan bakteri Salmonella typhimurium akan bereaksi dengan senyawa-senyawa asam amino yang menyusun dinding sel bakteri dan juga DNA bakteri yang merupakan penyusun utama inti sel yang merupakan pusat pengaturan segala kegiatan sel. Reaksi ini terjadi karena secara kimia suatu senyawa yang bersifat basa akan bereaksi dengan senyawa asam dalam hal ini adalah asam amino. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino karena sebagian besar asam amino telah bereaksi dengan gugus basa dari senyawa alkaloid. Perubahan susunan asam amino ini jelas akan meerubah susunan rantai DNA pada inti sel yang semula memiliki susunan asam dan basa yang saling berpasangan. Perubahan susunan rantai asam amino pada DNA akan menimbulkan perubahan keseimbangan genetik pada asam DNA sehingga DNA bakteri Salmonella typhimurium akan mengalami kerusakan. Dengan adanya kerusakan pada DNA tersebut inti sel bakteri Salmonella typhimurium akan mengalami kerusakan. Hal ini karena DNA merupakan komponen utama penyusun inti sel. Kerusakan DNA pada inti sel bakteri ini juga akan mendorong terjadinya lisis pada inti sel bakteri Salmonella typhimurium. Lisisnya inti sel bakteri Salmonella typhimurium akan menyebabkan juga kerusakan sel pada bakteri Salmonella typhimurium karena inti sel merupakan pusat kegiatan sel. Kerusakan sel pada bakteri ini lama kelamaan akan membuat sel-sel bakteri Salmonella typhimurium tidak mampu melakukan metabolisme sehingga juga akan mengalami lisis. Dengan demikian bakteri Salmonella typhimurium akan menjadi inaktif dan hancur (lisis).

57

Rahayu,

Jurnal Protein

Selain karena kandungan Alkaloid buah pare memiliki potensi sebagai antibakteri Salmonella typhimurium karena mengandung senyawa Flavonoid. Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbanyak terdapat di alam. Senyawa-senyawa ini bertanggung jawab terhadap zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan, yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan. Sebagian besar flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai glikosida, dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa senyawa tunggal. Aktifitas biologis senyawa flavonoid terhadap bakteri Salmonella typhimurium dilakukan dengan merusak dinding sel dari bakteri Salmonella typhimurium yang terdiri atas lipid dan asam amino akan bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel bakteri. Selanjutnya dengan inti sel bakteri juga senyawa ini akan kontak dengan DNA pada inti sel bakteri Salmonella typhimurium dan melalui perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid akan dapat terjadi reaksi sehingga akan merusak struktur lipid dari DNA bakteri Salmonella typhimurium sehingga inti sel bakteri juga akan lisis dan bakteri Salmonella typhimurium juga akan mengalami lisis dan mati. Mekanisme aktivitas biologis oleh senyawa flavonoid ini berbeda dengan yang dilakukan oleh senyawa alkaloid, dimana senyawa flavonoid dalam merusak sel bakteri memanfaatkan perbedaan kepolaran antara lipid penyusun sel bakteri dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid. Sedangkan pada senyawa alkaloid memanfaatkan sifat reaktif gugus basa pada senyawa alkaloid untuk bereaksi dengan gugus asam amino pada sel bakteri Salmonella typhimurium. Selain karena adanya kandungan Alkaloid dan Flavanoid, buah pare memiliki potensi sebagai antibakteri Salmonella typhimurium karena juga mengandung persenyawaan tannin. Senyawa tannin adalah senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat molekul 500-3000. Tannin disusun oleh senyawa polifenol alami yang merupakan metabolit sekunder tanaman tertentu. Polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya. Karena tannin merupakan persenyawaan polifenol yang mengandung gugus hidroksil maka mekanisme yang sama dengan mekanisme oleh senyawa flavonoid yakni dalam merusak sel bakteri memanfaatkan perbedaan kepolaran antara lipid penyusun sel bakteri dengan gugus alkohol pada rantai polifenol dari senyawa tannin. Walaupun struktur kimia dari flavonoid dan tannin

58

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

tidaklah sama namun karena keduanya sama-sama memiliki persenyawaan fenol yang memiliki gugus hidroksil di dalamnya maka mekanisme dalam meninaktifkan bakteri Salmonella typhimurium juga dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan polaritas antara lipid dengan gugus hiodroksil. Apabila sel bakteri semakin banyak mengandung lipid maka akan semakin banyak diperlukan senyawa tannin untuk membuat bakteri tersebut lisis. V. PENUTUP 5.1 Simpulan Adapun simpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Buah pare (Momordica charantia L) memiliki potensi untuk dijadikan antibakteri Salmonella typhimurium karena buah pare mengandung senyawa-senyawa Alkaloid, Flavonoid, dan Tannin.

59

Rahayu,

Jurnal Protein

http://ukhtyindahenergi.blogspot.com/2011/07/filtrasi-screening.html

Filtrasi & Screening1.1. FILTRASI Teknik pemisahan ini merupakan teknik yang tertua, teknik ini dapat dilakukan untuk campuran heterogen khususnya campuran dalam fasa padat. Proses pemisahan didasari atas perbedaan ukuran partikel didalam campuran tersebut. Dalam makalah ini yang dibahas pada teknik tersebut adalah mengenai filtrsi (penyaringan) dan screnninig (pengayakan). Filtrasi merupakan salah satu operasi pemisahan yang penting dalam industri. Dimana filtrasi itu sendiri merupakan pembersihan partikel padat dari suatu fluida dengan melewatkannya pada medium penyaringan, atau septum, yang di atasnya padatan akan terendapkan. Range filtrasi pada industri mulai dari penyaringan sederhana hingga pemisahan yang kompleks. Fluida yang difiltrasi dapat berupa cairan atau gas; aliran yang lolos dari saringan mungkin saja cairan, padatan, atau keduanya. Suatu saat justru limbah padatnyalah yang harus dipisahkan dari limbah cair sebelum dibuang. Contoh lain pada produk makanan : ekstrak juice dan memisahkan mikroorganisme dari medium fermentasinya. 2.1.1. PENGERTIAN FILTRASI (PENYARINGAN) Filtrasi (penyaringan) adalah proses pemisahan partikel zat padat dari fluida dengan jalan melewatkan fluida tersebut melalui suatu medium penyaring atau septum (septum), dimana zat padat itu tertahan. Istilah medium penyaring dapat dikatakan juga sebagai medium berpori (filter cloth). Dalam operasi filtrasi, partikel-partikel padatan tersuspensi dalam cairan atau gas dihilangkan secara fisika atau mekanis dengan cara melewatkannya melalui medium penyaringan tersebut. Di dalam campuran zat cair, partikel-partikel padat tersuspensi dapat berupa partikel yang sangat halus, partikel tegar (rigid) atau plastis, berbentuk bulat atau beragam dan partikel agregat atau individual (diskrit). Filter medium (medium penyaring) adalah bahan padat berpori yang berfungsi menahan partikelpartikel padatan berukuran lebih besar dan meloloskan partikel padat berukuran lebih kecil dari diameter porinya bersama-sama dengan cairan. Beberapa filter medium yang sering digunakan antara lain seperti nilon, dacron cloth, kawat baja (steel mesh) gulungan baja tahan karat berbentuk koil, kain kasa dan lain-lain.

Dalam industri, filtrasi ini meliputi beragam operasi mulai dari penapisan sederhana sampai separasi yang amat rumit. Fluidanya mungkin berupa zat cair atau gas, arus yang berharga mungkin fluidanya, tetapi bisa pula zat padatnya, atau bahkan kedua-duanya. Terkadang tidak ada diantara keduanya yang berharga, seperti limbah padat yang harus dipisahkan dari limbah cair sebelum dibuang. Dalam filtrasi industri, kandungan zat padat dapat mencapai jumlah yang sangat tinggi. Kadang-kadang umpan itu dimodifikasi dengan sesuatu cara perlakuan pendahuluan untuk meningkatkan laju filtrasi, misalnya dengan pemanasan, rekristalisasi, atau dengan menambahkan bahan penolong filtrasi (filter aid), seperti selulosa, kapur giling, atau tanah diatomea. Selain dapat

60

Vol.13 No.1.Th.2006

Aloe barbadensis Miller Dan Aloe chinensis Baker

membantu melancarkan proses penyaringan atau meningkatkan laju filtrasi, filter aid juga dapat dapat mempertinggi umur (life time) medium filter dan menghilangkan zat warna dan bau yang terdapat dalam cairan.

Fluida mengalir melalui medium filter oleh karena adanya perbedaan tekanan yang melintas pada medium itu. Oleh karena itu, ada filter yang beroperasi pada tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer di sebelah hulu medium filter, dan ada yang beroperasi dengan tekanan atmosfer di sebelah hulu dan vakum di sebelah hilir. Tekanan di atas tekanan atmosfer dapat disebabkan oleh gaya gravitasi yang bekerja pada suatu kolom zat cair, oleh pompa atau blower, atau oleh gaya sentrifugal. Kebanyakan filter industri adalah filter tekanan atau filter vakum. Alat itu ada yang kontiniu dan ada pula yang tidak kontiniu, ,bergantung pada cara mengeluarkan zat padatnya, stedi atau terputus-putus. Pada filter tak kontiniu, aliran zat cair yang melalui piranti itu adalah kontiniu pada sebagian besar siklusnya, tetapi aliran itu harus diputus-putuskan secara periodic guna memungkinkan zat padat yang terkumpul itu dikeluarkan. Dalam filter kontiniu, pengeluaran zat padat maupun zat cair berlangsung secara kontiniu tanpa terputus selama alat itu beroperasi. MEDIUM Suatu yaitu medium filter (septum) sebagai pada setiap filter harus berikut memenuhi FILTER syarat-syarat, :

1. Harus dapat menahan zat padat yang akan disaring, dan menghasilkan filtrat yang cukup jernih. 2. Tidak mudah tersumbat. 3. Harus tahan secara kimia dan kuat secara fisik dalam kondisi proses. 4. harus memungkinkan penumpukan ampas, dan pengeluaran ampas secara total dan bersih. 5. tidak boleh terlalu mahal. Dalam filtrasi industri medium filter yang banyak digunakan ialah kain

kanvas, baik yang dengan anyaman kepar atau yang lain. Dalam hal ini terdapat kanvas dengan berbagai bobot dan anyaman, masing-masing untuk penggunaan tertentu. Untuk zat cair yang bersifat korosif digunakan medium filter yang lain,

seperti kain wol, tenunan logam monel atau baja tahan karat, tenunan gelas atau, kertas. Kain sintetis seperti nilon, polipropilena, Saran dan Dacron juga sangat tahan secara kimia.

2.1.4.

BAHAN

PENOLONG

FILTRASI

Zat padat yang berlanyau (slimy) atau yang sangat halus, dapat membentuk ampas yang rapat dan impermeabel (tak-tembus fluida), yang dapat menyumbat medium filtrasi. Untuk itu dilakukan penambahan bahan penolong filtrasi (filter aid), seperti tanah diatom, silica, perlit, selulosa kayuu

61

Rahayu,

Jurnal Protein

yang dimurnikan, atau bahan-bahan padat yang lain yang tidak bereaksi. Penambahan itu dilakukan terhadap bubur umpan sebelum difiltrasi. Penambahan bahan pebolong filtrasi ini (filter aid) dapat membantu memperlancar proses filtrasi serta mempertinggi umur dari medium filter dan dapat menghilangkan zaat warna dan bau yang terdapat dalam cairan. Cara lain dalam penggunaan bahan penolong filtrasi adalah dengan cara membuat lapisan pendahuluan, yaitu mengendapkan suatu lapisan bahan penolong filtrasi itu terlebih dahulu di atas medium filter sebelum melakukan filtrasi. Penggunaan lapisan pendahuluan ini biasanya dapat mencegah pembuntuan medium filter dan menghasilkan filtrat yang jernih.

62