doktrin muwafat etan kolhberg
TRANSCRIPT
-
8/14/2019 Doktrin Muwafat Etan Kolhberg
1/6
DOKTRIN MUWAFAT ETAN KOHLBERG
Oleh: A Khudori Soleh
Salah satu yang menjadi persoalan dalam teologi Islam
adalah tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia, apakah
tindakanya telah diatur Tuhan (merupakan takdir) atau atas
usahanya sendiri. Muwft masuk dalam perdebatan ini, apakah
baik buruknya akhir kehidupan seseorang, husn al-khtimah (baikakhirnya) atau s al-khtimah (buruk akhirnya) yang dianggap
sebagai penentu atas keseluruhan nilai amal perbuatannya telah
ditentukan Tuhan atau bisa direncanakan manusia sendiri. Tulisan
berikut membicarakan asal munculnya muwft dan pandangan
para sarjana muslim klasik tentang masalah ini.
Tentang Penulis.
Tidak ada informasi yang memadai tentang penulis artikel ini,kecuali bahwa Etan Kohlberg adalah seorang Yahudi yang banyak
menulis tentang masalah keislaman (Islamolog). Artikel ini sendiri
diambil dari tulisan Kohlberg di jurnal Jerussalem Studies and
Islamic Arabic (JSIA), edisi tahun 1983, dengan judul Muwft
Doktrines in Muslim Theology.
Tentang metode yang digunakan, tidak ada penjelasan secara
eksplisit tentang hal tersebut. Namun, dengan melihat tulisannya,
Kohlberg setidaknya menggunakan dua metode: historis dan
diskriptif. Metode historis dipakai untuk melihat dan menjelaskansejarah perkembangan doktrin muwft, sedang metode diskritif
digunakan untuk memaparkan isi doktrin itu sendiri.
Sejarah Muwft.
Menurut al-Asy`ar (w.324/935), seperti yang dikutip Etan
Kohlberg, persoalan muwft muncul dari konsep tentang
kemurahan dan kebencian Tuhan. Dari situ kemudian memunculkan
pertanyaan bagaimana akhir kehidupan kita nantinya, termasukyang di cintai atau di benci Tuhan, mengingat bahwa detik-detik
terakhir adalah sesuatu yang sangat penting berdasarkan hadis,
-
8/14/2019 Doktrin Muwafat Etan Kolhberg
2/6
yang terpenting dari sebuah perbuatan adalah bagian yang
terakhir (innam al-a`ml bi l-khawtm). Akan tetapi, menurut
Kohlberg, pendapat al-Asy`ari ini tidak tepat, sebab --mengikuti
pernyataan Yusuf ibn Ibrahim al-Warlani (570/1174), salah seorang
pengikut kelompok Ibadiyah-- doktrin muwft sebenarnya telah
dikenal masyarakat Islam sejak sebelum itu, tapi memang tidak
dengan istilah muwft.
Menurut Kohlberg, doktrin muwft pertama kali disampaikan
oleh Ibn Kullab `Abd Allah ibn Sa`id al-Qathan (240/854), pendiri
kelompok Kullabiyya, subsekte Khawarij. Menurut Ibn Kullab, Tuhan
senantiasa menghendaki kebaikan dan mencintai hamba-Nya yang
berbuat baik. Pendapat ini didukung Sulaiman ibn Jarir, salah
seorang pengikut Syi`ah Zaidiyah, kemudian di ambil al-Baqillani
(403/1013), pengikut Asy`ari dengan lebih menekankan pada soal
keabadian cinta dan benci Tuhan. Asy`ari sendiri mempunyai
pendapat yang tidak berbeda dengan al-Baqillani ditambah
penekanan pada bagian akhir kehidupan, berdasarkan hadis diatas.
Para pengikut Asy`ari berpikir keras untuk menyelaraskan doktrin
muwft yang menekankan keabadian cinta dan benci Tuhan
dengan bentuk akhir kehidupan yang berdasar atas realitas
keimanan seseorang dengan menampilkan konsep pengecualian,
formula of exception atau istin. Yakni, jika saat ini seseorang
telah beriman, hendaknya ia mengucapkan jika Tuhan
menghendaki (Insya Allah) untuk melihat apakah detik-detik
terakhirnya masih termasuk orang yang beriman.
Pada periode berikutnya, Ibn Taimiyah (w.728/1328), menolak
keras konsep istin dari al-Asy`ari diatas. Menurutnya, konsep
tersebut tidak mencerminkan upaya untuk mensucikan Tuhan
(tazkiya), tetapi justru menghancurkan kemaha sucian-Nya. Sebab,
dengan adanya konsep seperti itu, seseorang akan cenderung
untuk menyalahkan Tuhan jika terjadi kegagalan atau s al-
khthimah.
Tiga Doktrin Muwft.
2
-
8/14/2019 Doktrin Muwafat Etan Kolhberg
3/6
Menurut Etan Kohlberg, ada tiga pendapat menyangkut
persoalan muwft. Pertama, bahwa baik buruknya akhir kehidupan
seseorang sepenuhnya telah ditentukan Tuhan. Kebaikan dan
keburukan adalah manifestasi dari kecintaan dan kebencian Tuhan
yang bersifat kekal dan tatap, tidak berubah. Jika dicintai-Nya,
seseorang akan mati secara husn al-khtimah meski semasa
hidupnya bertindak kurang baik; sebaliknya, jika tidak dicintai-Nya
(dibenci) ia akan mati s al-khtimah meski semasa hidupnya
berbuat kebaikan. Pendapat ini didasarkan atas pemahaman ayat,
Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu)
ada tempat tetap dan tempat simpanan (QS. 6;98). Juga
didasarkan atas sebuah hadis yang menyatakan bahwa jika Tuhan
mencintai seseorang, Dia akan mendorong dan memberi jalan pada
yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan baik sehingga
tercapai husn al-khtimah; sebaliknya, jika membencinya, Tuhan
akan mendorong dan mengarahkan manusia pada hal-hal yang
jahat sehingga terjadi s al-khtimah.
Dengan demikian, dari sisi Tuhan, apa yang dikehendaki-Nya
bersifat tetap dan abadi, sedang dari sisi manusia, mereka tidak
mempunyai pilihan-pilihan, sehingga tidak dikenal adanya
perubahan-perubahan, dari iman menjadi kafir atau sebaliknya.
Kedua, kualitas terakhir dari kehidupan seseorang
sepenuhnya diatur dan sesuai dengan yang direncanakan manusia
sendiri, Tuhan tidak ikut terlibat. Didasarkan atas ayat, Orang yang
beriman kemudian kafir, kemudian beriman lalu kafir lagi,
kemudian bertambah kekafirannya(QS. 4:137). Adanya perubahan
dari iman ke kafir dan sebaliknya menunjukkan bahwa soal iman
dan tidak adalah urusan manusia sendiri dan sikap Tuhan terhadap
masalah ini berubah sesuai dengan perubahan hati hamba-Nya.
Pendapat ini juga di dasarkan atas kenyataan bahwa manusia
senantiasa berusaha mencari pegangan hidup, mencari keyakinan
dan kepercayaan untuk mengisi hatinya, sehingga manusia selalu
mengarah kepada keimanan, tidak pada kekafiran --meski tidak
selalu kepada Tuhan.
Dari dua alasan ini, kelompok kedua menyatakan bahwa sikap
Tuhan tidak tetap (kontras dengan pendapat pertama yang
3
-
8/14/2019 Doktrin Muwafat Etan Kolhberg
4/6
menyatakan sikap Tuhan tetap tetap, tidak berubah) melainkan
berubah-ubah sesuai perubahan hati atau iman seseorang. Hanya
saja, dalam hal ini, perubahan hati manusia hanya bisa kepada arah
iman, dari kafir menjadi iman, tidak sebaliknya. Sebab, perubahan
dari iman kepada kafir bertentangan dengan realitas dan kodrat
kemanusiaan sendiri yang selalu berusaha mencari kebenaran dan
keyakinan.
Pemikiran kedua ini, menurut Kohlberg, pertama kali
disampaikan oleh dua orang tokoh Syi`ah pada masa dinasti
Buwaih; al-Syarif al-Murtadla (436/1044) dan Abu Ja`far al-Thsi
(460/1067).
Ketiga, merupakan sintesa dari dua pendapat diatas, bahwa
baik buruknya akhir kehidupan seseorang merupakan hasil kerja
sama manusia dan Tuhan, sesuai dengan pisisi dan kedudukan
masing-masing. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta
bertindak memberikan fasilitas baik dan buruk dengan segalakemungkinan dan kekuatan yang mengarah kepada keduanya, dan
manusia sebagai pelaksana punya kemauan serta kebebasan
untuk memilih dan menentukan mana yang diinginkan, baik atau
buruk.
Pendapat terakhir ini, dengan demikian, apa yang berkaitan
dengan sikap dan kehendak Tuhan bersifat tetap, tidak berubah. Dia
senantiasa memberikan fasilitas dan kekuatan baik dan buruk meski
manusia melakukan yang buruk, dan manusia dalam hal ini bebas
menentukan pilihannya. Sedemikian, sehingga mereka tidak hanyaberubah dari kafir menjadi mukmin tetapi juga bisa berubah dari
mukmin menjadi kafir.
Menurut Kohlberg, pendapat ketiga ini pertama kali
disampaikan oleh Ab Ishaq al-Isfaraini (418/1027), salah seorang
tokoh Asy`ariyah, kemudian diulangi oleh Ab Ya`la ibn al-Farra
(458/1066), seorang hakim dari madzhab Hanbali. Pada waktu yang
sama, pendapat ini juga disampaikan Ibn Hazm (456-1064),
pengikut madhhab Dzahiri di Kordova, Spanyol.
Rekapitulasi Doktrin Muwft
4
-
8/14/2019 Doktrin Muwafat Etan Kolhberg
5/6
Kehendak dan
sikap Tuhan
Perubahan
Sikap dari Iman
---> Kafir
Perubahan
Sikap dari Kafir
---> ImanMuwft I Kekal/ Tetap Tidak TidakMuwft II Temporal/
Berubah
Tidak Ya
Muwft III Kekal/ Tetap Ya Ya
Tanggapan.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu disampaikan menanggapi
tulisan Kohlberg ini. Pertama, tulisan ini, dari bentuknya, kurang
disusun secara sistematis, dimana diantara tiga pendapat diatas,
statemen, tokoh-tokoh yang mempopulerkan, alasan dan dasar
masing-masing dikelompokkan dalam satu bagian tersendiri,
sehingga memudahkan pemahaman. Yang ada, statemen di tulis
terpisah dari alasan masing-masing, sehingga harus dicari sebuah
tokoh atau dasar ini untuk pendapat yang mana; atau mungkin,
model tersebut adalah sebuah sistematika tersendiri. Ini
mengingatkan tulisan al-Sya`rani dalam al-Mizn al-Kubrsebuah
kitab fiqh tasawuf yang ditulis dengan cara seperti itu: yakni antara
pendapat dan alasan-alasan yang mendasarinya ditulis secara
terpisah, sehingga agak menyulitkan pelacakannya.
Kedua, metode historis yang digunakan tidak dilakukan
secara tuntas, sehingga ia menjadi tidak kritis terhadap data-data
sejarah yang ada. Ini terlihat jelas ketika Kohlberg menyatakan
bahwa muwft I disampaikan oleh tokoh Kullabiya, subsekte
Khawarij, muwft II oleh kalangan Syi ah dan muwft III oleh
kalangan Asy`ariyah dan Hanbaliyah. Benarkah demikian? Doktrin
muwft I, sesungguhnya, tidak berbeda dengan teologi Jabbariyah,
muwft II sama dengan Qadariyah dan Muktazilah dan muwft III
persis dengan apa yang ada dalam konsep keadilan Syi`ah;
pemahaman seperti itu telah berkembang jauh sebelum masa-masa
tokoh yang disebutkan Kohlberg. Washil ibn Atha (131/749), dari
Muktazilah, misalnya, telah menyampaikan persoalan kebebasan
manusia, tiga abad sebelumnya. Begitu pula Ja`far al-Shadiq(140/757), iman keenam Syi`ah Imamiyah melontarkan gagasan
5
-
8/14/2019 Doktrin Muwafat Etan Kolhberg
6/6
keadilan Tuhan sebagaimana dalam doktrin muwft III, tiga abad
sebelum Isfaraini lahir. Bahkan faham Jabariyah telah ada sejak
awal-awal masa kekuasaan Bani Umaiyah. Kohlberg mestinya --
akan-- melihat fakta-fakta sejarah seperti itu, seandainya
menggunakan metode historis secara tuntas dan kritis.
Ketiga, tidak ada penjelasan secara baik dari Kohlberg
tentang latar belakang mengapa gagasan muwft yang sampaipada tiga aliran tersebut muncul. Tanpa ada penjelasan latar
belakang yang menyertainya, sulit bagi kita untuk memahami
makna konsep yang sebenarnya.
Meski demikian, harus diakui bahwa apa yang disampaikan
Kohlberg adalah informasi baru yang menambah khazanah
pemikiran kita yang berbeda dengan informasi umumnya, terutama
referensi yang digunakan. Ini tantangan bagi kita untuk melacak
lebih lanjut, bagaimana sebenarnya pergulatan pemikiran
keislaman yang terjadi pada masa klasik.
6