diktat h. perdata

Download Diktat H. Perdata

If you can't read please download the document

Upload: jondrapianda

Post on 30-Jun-2015

221 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1 SILABUS MATA KULIAHNama Mata Kuliah Kelompok Kurikulum Kelompok Mata Kuliah (MKK) Beban Kredit Semester Prasyarat Fakultas/Jurusan/Program Studi Sasaran : : : : : : : : HUKUM PERDATA Kurikulum Inti Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan 4 SKS Gasal/Genap Pernah tempuh PHI & PIH, Lulus PHI/PIH HUKUM Memberikan dasar pada mahasiswa dalam mempelajari dan memahami hubungan perdata dalam masyarakat di tinjau dari hukum BW atau hukum tertulis.

Materi PENDAHULUAN A. B. C. D. E. Istilah dan pengertian Hukum Perdata Luas Hukum Perdata Materiel dan Formil di Indonesia Sumber-sumber Hukum Perdata Tertulis Sejarah terjadinya sampai berlakunya BW di Indonesia Sistematika BW, kedudukan dan perkembangannya

TENTANG ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUM A. B. C. D. E. F. G. Pengertian Orang sebagai subyek hukum Badan Hukum sebagai subyek hukum Teori-teori Badan Hukum Ujud Badan Hukum Kemampuan hukum Badan Hukum Yayasan Wakaf

HUKUM KELUARGA A. Hukum Perkawinan 1. Syarat sahnya perkawinan 2. Larangan perkawinan 3. Pencegahan perkawinan 4. Hak dan kewajiban suami isteri 5. Perkawinan berdasarkan Hukum Islam, Rukun Perkawinan 6. Perjanjian Perkawinan dan Harta Perkawinan 7. Putusnya Perkawinan 8. Perceraian dan Akibatnya B. Hukum Waris 1. Pengertian 2. Asas 3. Unsur 4. Ahli Waris Menurut Undang-Undang 5. Ahli Waris Menurut Surat Wasiat

HUKUM BENDA I.Pengaruh berlakunya UUPA terhadap Buku II BW II.Sistem Buku II BW III.Pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tetap IV.Hak kebendaan : arti dan macamnya V.Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan VI.Hak milik VII.Bezit VIII.Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan IX.Gadai dan fiducia X.Hak tanggungan

2HUKUM PERIKATAN A. B. C. D. E. F. Pengaturan dalam Buku III BW Sumber perikatan Unsur-unsur perikatan Prestasi dan wanprestasi Keadaan memaksa dan risiko Hapusnya perikatan

REFERENSI : 1. 2. 3. 4. Sudikno Mertokusumo, SH.Prof.Dr, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999. Supomo, SH.Prof.Dr, Sistem Hukum di Indo-nesia,Jakarta,Pradnya Paramita,1983,Cet.XII. Azis Saifudin, Beberapa hal tentang BW, Bandung, Alumni, 1989, Cet. VI. Ali Rido, SH., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan dan Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung, Alumni, 1991,Cet. IV. 5. Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1987, Cet. I. 6. H.Ahmad Azhar Basyir, MA., Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Pres, 1999, Edisi I,Cet. IX. 7. Sri Sudewi Masjchun Sofwan, SH.Prof.Dr., Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, 1981,Cet. IV. 8. Satrio J., SH., Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993, Cet.I. 9. Satrio J., SH., Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1993, Cet.I. 10. Setiawan R., SH. Pokok-pokok Hukum Perikatan, Jakarta, Bina Cipta, 1987, Cet.IV. 11. R. Soebekti, KUH Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994. Cet.26. 12. Ridwan Sakroni, Seluk Beluk Hukum Perdata,

3

BAB I PENDAHULUANA. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu hubungan, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek). 1. Pengertian Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum Privat materil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Secara terminologis, Hukum Perdata (Burgerlijk-recht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.1 2. Dasar Hukum berlakunya BW Dasar hukum berlakunya BW di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaaan, adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. B. Luas Hukum Perdata Materiel dan Formil di Indonesia 1. Luas hukum Perdata Materil Ruang lingkup hukum perdata dibagi manjadi 4, yaitu: a. Hukum perorangan Personenrecht adalah bagian dari hukum perdata yang memuat rangkaian peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum dan peraturanperaturan tentang kecakapan untuk memiliki hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu. b. Hukum Kekeluargaan Hukum keluarga meliputi rangkaian peraturan yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan. Hukum kekeluargaan mengatur tentang :1 Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 214

4

1) Keturunan a) Anak sah Seorang anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian, seorang anak sungguh-sungguh anak ayahnya tentunya sukar didapat. Sehubungan dengan itu, oleh undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orangtuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah. Ketentuan tentang anak sah menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 (1). b) Menyangkal sahnya anak Jikalau seorang anak dilahirkan sebelumnya lewat 180 hari setelah hari pernikahan orangtuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu, kecuali jika ia sudah mengetahui bahwa isterinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat kelahiran itu turut ditandatangani olehnya. Dalam kedua hal tersebut si ayah itu dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri. Penyangkalan sahnya anak tidak tergantung pada terus berlangsungnya atau dihapuskannya perkawinan, begitu pula tidak tergantung pada pertanyaan apakah anak itu masih hidup atau telah meninggal, meskipun sudah barang tentu seorang anak yang lahir mati tidak perlu disangkal sahnya. Selanjutnya si ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan isterinya telah berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Di sini si ayah itu harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain dalam waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu. Tenggang waktu untuk penyangkalan, ialah satu bulan jika si ayah berada di tempat kelahiran anak, dua bulan sesudah ia kembali jikalau ia sedang bepergian waktu anak dilahirkan atau dua bulan setelahnya ia mengetahui tentang kelahiran anak, jika kelahiran itu disembunyikan. Apabila tenggang waktu tersebut telah lewat, si ayah itu tak dapat lagi mengajukan penyangkalan terhadap anaknya. Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai buktibukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan

5

adanya hubungan seperti antara anak dengan orangtuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim. Mengenai penyangkalan terhadap anak Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 44. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan, oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut (Pasal 44 (1). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan (Pasal 44 (2). Mengenai Pembuktian tentang asal-usul anak menurut, Undang Undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 55 diatur sebagai berikut: 1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (Pasal 55 (1). 2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asalusul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan buktibukti yang memenuhi syarat (Pasal 55 (2). 3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan (Pasal 55 (3). c) Anak luar perkawinan Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan naturlijk kind. Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut oleh B.W. dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Barulah dengan pengakuan (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatakibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. hubungan itu hanya dapat diletakkan dengan pengesahan anak (wettiging), yang merupakan suatu langkah lebih lanjut lagi daripada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua orangtua, yang telah mengakui anaknya, kawin

6

secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua orangtua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akte kelahiran anak tesebut, atau dalam akte perkawinan orangtuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akte notaries. Perlu diterangkan, bahwa undang-undang tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain. 2) Kekuasaan orang tua (Outderlijke mactht) Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orangtuanya (ouderlijke macht) selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Dengan demikian, kekuasaan orangtua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orangtuanya dihapuskan. Ada pula kemungkinan, kekuasaan itu oleh hakim dicabut (ontzet) atau orangtua itu dibebaskan (ontheven) dari kekuasaan itu, karena sesuatu alasan. Kekuasaan itu dimiliki oleh kedua orangtua bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh si ayah. Hanyalah apabila si ayah itu tidak mampu untuk melakukannya, misalnya sedang sakit keras, sakit ingatan, sedang bepergian dengan tidak ada ketentuan tentang nasibnya, atau sedang berada di bawah pengawasan (curatele) kekuasaan itu dilakukan oleh isterinya. Kekuasaan orangtua, terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian dan perumahan. Pada umumnya seorang anak yang masih di bawah umur tidak cakap untuk bertindak sendiri. Berhubung dengan itu, ia harus diwakili oleh orangtua. Selanjutnya, kekuasaan orangtua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga meliputi benda atau kekayaan si anak itu. Apabila si anak mempunyai kekayaan sendiri, kekayaan ini diurus oleh orang yang melakukan kekuasaan orangtua itu. Hanyalah dalam hal ini diadakan pembatasan oleh undang-undang yaitu mengenai bendabenda yang tak bergerak, surat-surat sero (effecten) dan surat-surat

7

penagihan yang tidak boleh dijual sebelum mendapat izin dari hakim. Orangtua mempunyai vruchtgenot atas benda atau kekayaan anaknya yang belum dewasa, yaitu mereka berhak untuk menikmati hasil atau bunga (renten) dari benda atau kekayaan si anak. Dari peraturan ini dikecualikan kekayaan yang diperoleh si anak sendiri dari pekerjaan dan kerajinanya sediri. Sebaliknya pada orangtua yang mempunyai vruchtgenot atas kekayaan anaknya itu diletakkan beban seperti seorang vruchtgebruiker, yaitu ia wajib memelihara dan menjaga benda itu sebaik-baiknya, sedangkan biaya pemeliharaan dan pendidikan si anak harus dianggap sebagai imbalan dari vruchtgenot tersebut. Orangtua yang melakukan kekuasaan orangtua, dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut (ontheven) berdasarkan alasan ia tidak cakap (ongeschikt) atau tidak mampu (onmachtig) untuk melakukan kewajiban memelihara dan mendidik anaknya. Yang dimaksudkan oleh undang-undang, ialah suatu kenyataan bahwa seorang ayah atau ibu mempunyai sifat-sifat yang menyebabkan ia tidak lagi dapat dianggap cakap untuk melakukan kekuasaan orangtua. Ontheffing ini hanya dapat dimintakan oleh Dewan Perwalian Voogdijraad) atau Kejaksaan dan tidak dapat dipaksanakan jika si ayah atau ibu itu melawannya. Selanjutnya dapat juga dimintakan pada hakim supaya orangtua itu dicabut kekuasaannya (ontzet), berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan oleh udang-undang. Alasan-alasan itu, antara lain jikalau orangtua itu salah mempergunakan atau sangat melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, berkelakuan buruk, dihukum karena sesuatu kejahatan yang ia lakukan bersama-sama dengan anaknya atau dihukum penjara selama dua tahun atau lebih. Berlainan dengan ontheffing, ialah pencabutan kekuasaan (ontzetting). Ini dapat dimintakan oleh si isteri terhadap suaminya atau sebaliknya, selanjutnya dapat pula dimintakan oleh anggota-anggota keluarga yang terdekat. Dewan Perwakilan (Voogdijraad) atau Kejaksanaan dapat pula memintakannya. Selanjutnya ada pula perbedaan, ontheffing dan onzetting. Ontheffing ditujukan pada orangtua yang melakukan kekuasaan orangtua (biasanya si ayah) sedangkan ontzetting dapat ditujukan pada masing-masing orangtua. Lagi pula ontzetting selalu berakibat hilangnya vruchtgenot, sedang ontheffing tidak. Pengaturan mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak dalam Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Bab X tentang Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak sebagai berikut: a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 (1). b) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua

8

putus (Pasal 45 (2). c) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 (1). d) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas,bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46 (2). e) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya (Pasal 47 (1). f) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 47 (2). g) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48). h) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : 1) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya 2) berkelakuan buruk sekali (Pasal 49 (1) i) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut (Pasal 49 (2). 3) Perwalian Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undangundang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian. Anak yang berada di bawah perwalian, adalah: a) anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua; b) anak sah yang orangtuanya telah bercerai; c) anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind). Jika salah satu orangtua meninggal, menurut undang-undang orangtua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anakanaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undangundang (wettelijke voogdij). Seorang anak yang lahir di luar perkawinan berada di bawah perwalian orangtua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (detieve voogdij). Ada pula kemungkinan, seorang ayah

9

atau ibu di dalam surat wasiatnya (testament) mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan yang dimaksudkan akan berlaku, jika orangtua yang lainnya karena sesuatu sebab tidak menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan perwalian menurut wasiat (testamentaire voogdij). Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja. Kecuali, apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali, harus menerima pengangkatan itu, kecuali jika ia seorang isteri yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan-alatan itu antara lain jika ia, untuk kepentingan negara harus berada di luar negeri, jika ia seorang anggota tentara dalam dinas aktif, jika ia sudah berusia 60 tahun, jika ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jika ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih. Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu, ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang di bawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua, jika pengangkatan sebagai wali itu untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota-anggota Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak-anaknya sendiri. Seorang wali diwajibkan mengurus kekayaan anak yang berada di bawah pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan ia bertanggungjawab tentang kerugian-kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk. Dalam kekuasaannya, ia dibatasi oleh pasal 393 B.W. yang melarang seorang wali meminjam uang untuk si anak. Ia tak diperkenankan pula menjual, menggadaikan benda-benda yang tak bergerak, surat-surat sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin lebih dahulu dari hakim. Selanjutnya seorang wali, diwajibkan, apabila tugasnya telah berakhir, memberikan suatu penutupan pertanggungan-jawab. Pertanggungjawaban ini dilakukan pada si anak, apabila ia telah menjadi dewasa atau pada warisnya jikalau anak itu telah meninggal. Semua wali, kecuali perkumpulan-perkulmpulan yang diangkat oleh hakim (hakim berkuasa mengangkat suatu perkumpulan menjadi wali), jika dikehendaki oleh Weeskamer, diharuskan memberikan jaminan berupa borgtocht atau hipotik secukupnya menurut pendapat Weeskamer. Jika wali itu tidak suka memberikan tanggungan itu, Weeskamer dapat menuntutnya di depan hakim, dan meminta pada hakim supaya pengurusan kekayaan si anak dicabut serta diserahkan pada Weeskamer itu sendiri. Dalam tiap perwalian di Indonesia Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) menurut undang-undang menjadi wali pengawas

10

(toeziende voogd). Wesskamer itu berada di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar, sedangkan di tempat-tempat lain ia mempunyai cabang (agen). Di samping tiap Weeskamer ada suatu Dewan Perwalian (Voogdijraad) yang terdiri atas kepala dan anggta-anggota, Weeskamer itu ditambah degnan beberapa anggota lainnya. Agar Weeskamer dapat melakukan tugasnya, tiap orangtua yang menjadi wali harus segera melaporkan tentang terjadinya perwalian pada Weeskamer. Begitu pula, apabila hakim mengangkat seorang wali, Panitera Pengadilan harus segera memberitahukan hal itu pada Weeskamer. Tentang perwalian dalam Undang Undang No. 1 tentang Perkawinan sebagai berikut: Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali (Pasal 50 (1). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya Pasal 50 (2). Ketentuan mengenai wali sebagai berikut: a. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi (Pasal 51 (1). b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik (Pasal 51 (2). c. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu (Pasal 51 (3). d. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawa kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu (Pasal 51 (4) e. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 (5). f. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini (Pasal 53 (1). g. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana di maksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53 (2). h. Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54) i. Wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan

11

barang-barang tetap yang dimiliki oleh yang di bawah perwaliannya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan yang di bawah perwaliannya itu menghendakinya (Pasal 48). 4) Pendewasaan (handlichting) Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasa perlu untuk mempersamakan seorang anak yang masih di bawah umur dengan seorang yang sudah dewasa, agar anak tersebut dapat bertindak sendiri di dalam pengurusan kepentingan-kepentingannya. Untuk memenuhi keperluan ini, diadakan peraturan tentang handlichting, ialah suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa. Permohonan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang sudah dewasa, dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20 tahun kepada presdien, dengan melampirkan surat kelahiran atau lain-lain bukti yang menyatakan, ia telah mencapai umur tersebut. Presiden akan memberikan keputusannya setelah mendapat nasihat dari Mahkamah Agung yang untuk itu akan mendengar orang-orangtua anak tersebut dan lain anggota keluarga yang dianggapnya perlu. Begitu pula dalam hal si pemohon berada di bawah perwalian, wali dan wali pengawas akan didengar juga. Apabila permohonan diluluskan, si pemohon tersebut memperoleh kedudukan yang sama dengan seorang dewasa. Hanyalah dalm soal perkawinan terhadap orang itu masih berlaku pasal-pasal 35 dan 37 B.W. perihal pemberian izin, yaitu ia masih juga harus mendapat izin dari orangtuanya, atau dari hakim dalam hal izin orangtua itu dapat diganti dengan perizinan hakim. Pernyatan persamaan yang hanya meliputi beberapa hal saj, misalnya yang berhubungan dengan pengurusan suatu perusahaan, dapat diberikan oleh Pengadilan Negeri pada seorang anak yang sudah mencapai umur 18 tahun. Di dalam praktik peraturan perihal handlicting ini sedikit sekali dipergunakan. 5) Pengampuan (curatele) Orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh di bawah pengampuan atau curatele. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang dewasa juga dapat ditaruh di bawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan kekayaannya. Dalam hal seorang sakit ingatan, tiap anggota keluarga berhak untuk memintakan curatele itu, sedangkan terhadap seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang sangat dekat saja. Dalam kedua hal itu

12

seorang suami atau isteri selalu dapat memintakan curatele terhadap isteri atau suaminya. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang yang merasa dirinya kurang cerdas pikirannya sehingga tidak mampu untuk mengurus sendiri kepentingan-kepentingannya, dapat juga mengajukan permohonan supaya ia ditaruh di bawah curatele. Dalam hal seorang yang menderita sakit ingatan, hingga membahayakan umum, jaksa diwajibkan meminta curatele bila ternyata belum ada permintaan dari sesuatu pihak. Permintaan untuk menaruh seorang di bawah curatele, harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dengan menguraikan peristiwaperistiwa yang menguatkan persangkaan tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang tersebut di bawah pengawasan, dengan disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim. Pengadilan akan mendengar saksi-saksi ini. Begitu pula anggota-anggota keluarga dari orang yang dimintakan curatele itu dan akhirnya orang itu sendiri akan diperiksa. Jikalau hakim menganggap perlu, ia berwenang untuk selama pemeriksaan berjalan, mengangkat seorang pengawas sementara guna mengurus kepentingan orang itu. Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu ditaruh di bawah curatele, harus diumumkan dalam Berita Negara. Orang yang ditaruh di bawah curatele itu, berhak meminta banding (appel) pada Pengadilan Tinggi. Apabila putusan hakim telah memperoleh kekuatan tetap, Pengadilan Negeri akan mengangkat seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang yang sudah kawin sebagai pengampu harus diangkat suami atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal yang penting yang tidak mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim selalu ditetapkan, bahwa pengawasan atas curatele itu diserahkan pada Weeskamer. Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah curatele, sama seperti seorang yang belum dewasa. Ia tak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya, menurut undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan kurator serta Weeskamer. Bahwa seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas. 6) Orang yang hilang Jikalau seorang meninggalkan tempat tinggalnya dengan tidak memberikan kuasa pada seseorang untuk mengurus kepentingankepentingannya, sedangkan kepentingan-kepentingan itu harus diurus atau orang itu harus diwakili, maka atas permintaan orang yang berkepentingan ataupun atas permintaan jaksa, hakim untuk sementara

13

dapat memerintahkan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang yang bepergian itu dan di mana perlu mewakili orang itu. Jika kekayaan orang yang bepergian itu tidak begitu besar, maka pengurusannya cukup diserahkan saja pada anggota-anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim. Weeskamer berkewajiban, jika perlu menyegel dahulu kekayaan itu, membuat pencatatan tentang benda-benda tersebut dan seterusnya akan diperlakukan menurut peraturan yang berlaku bagi pengurusan harta benda seorang yang masih di bawah umur. Tiap tahun Weeskamer harus pula memberikan pertanggunganjawab kepada Kejaksaan Negeri setempat. Jika sesudah lima tahun lewat terhitung sejak hari keberangkatan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, dan selama itu tak ada kabar yang menunjukkan ia masih hidup, maka orangorang yang berkepentingan, dapat meminta pada hakim supaya dikeluarkan suatu pernyataan yang menerangkan, bahwa orang yang meninggalkan tempat tingalnya itu dianggap telah meninggal. Sebelumnya hakim mengeluarkan suatu pernyataan yang demikian itu, harus dilakukan dahulu suatu panggilan umum (antara lain dengan memuat panggilan itu dalam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali lamanya. Hakim juga akan mendengar saksi-saksi yang dianggap perlu untuk mengetahuk duduk perkaranya mengenai orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu dan juka dianggapnya perlu ia dapat menunda pengambilan keputusan hingga lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan umum. Dalam hal orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu meninggalkan suatu penguasaan untuk mengurus kepentingankepentingannya, maka harus ditunggu selama sepuluh tahun lewat sejak diterimanya kabar terakhir dari orang itu, barulah dapat diajukan permintaan untuk mengeluarkan suatu pernyataan sebagaimana termaksud di atas. Setelah dikeluarkan pernyataan itu oleh hakim, maka para ahliwaris baik yang menurut undang-undang maupun yang ditunjuk dalam surat wasiat berhak mengoper kekuasaan atas segala harta kekayaan, asal saja dengan memberikan jaminan-jaminan bahwa mereka tidak akan menjual benda-benda itu. Para ahliwaris itu, lalu menguasai benda-benda itu sebagai orang-orang yang mempunyai hak vruchtgebruik atau hak pemakaian atas benda-benda tersebut. Seterusnya mereka berhak untuk menyuruh membuka surat-surat wasiat yang ada dan belum terbuka. Setelah lewat 30 tahun, terhitung mulai hari dan tanggal surat pernyataan yang dikeluarkan oleh hakim atau apabila orang yang dianggap telah meninggal itu, seandainya ia masih hidup, sudah mencapai umur 100 tahun, maka para ahliwaris dapat mengadakan suatu pembagian warisan yang tetap.

14

Sebagaimana telah diterangkan dalam bagian megnenai perkawinan, maka seorang suami atau isteri dari orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya itu setelah lewat 10 tahun sejak hari keberangkatannya, orang itu dapatmeminta pada hakim untuk diberikan izin guna kawin lagi. Perkawinan yang lama itu dianggap dihapuskan pada waktu perkawinan baru dilangsungkan. c. Hukum harta kekayaan Yaitu bagian dari hukum perdata yang memuat per-aturanperaturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang, meliputi 2 hal: 4) Hukum benda 5) Hukum Perikatan d. Hukum harta waris Yaitu bagian dari hukum perdata yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, ada dua cara pewarisan yaitu : 1) Pewarisan menurut Undang-undang 2) Pewarisan berwasiat. 2. Luas Hukum Perdata Formil Hukum perdata formil adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantara Hakim. Hukum perdata formil meliputi tiga tahapan tindakan, yaitu: a. Tahap pendahuluan. b. Tahap penentuan c. Tahap pelaksanaan. Asas-asas hukum perdata formil yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu: a. Hakim bersifat menunggu. b. Hakim pasif. c. Asas persidangan terbuka untuk umum. d. Asas mendengar kedua belah pihak e. Putusan harus disertai alasan-alasan. f. Beracara dikenai biaya. g. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan. C. Sumber-sumber Hukum Perdata Tertulis Sumber-sumber Hukum Perdata tertulis adalah 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH.Per). 2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) 3. Perundang-undangan lain D. Sejarah terjadinya sampai berlakunya BW di Indonesia Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-

15

Undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), di-singkat KUHS (BW). KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838; akibat pendudukan Prancis di Belanda, berlaku di Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon ini adalah Code Sipil yang dalam penyusunannya mengambil karangan pengarang-pengarang bangsa Prancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur-unsur Hukum Kanoniek (Hukum Agama Katolik) dan hukum kebiasaan setempat mempengaruhinya. Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce. Setelah pendudukan Prancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr J.M. Kemper dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan menggunakan sebagai sumber sebagian besar Code Napoleon, dan sebagian kecil hukum Belanda kuno. Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya (5 Juli 1830), tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan: 1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil). 2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang) Berdasarkan asas konkordansi2, kodifikasi Hukum Perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 3 April 1847 Staatblad No. 23 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Indonesia.3 E. Sistematika BW, Kedudukan dan Perkembangannya 1. Sistematika BW Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu: Hukum tentang diri seseorang, Hukum Kekeluargaan, Hukum Kekayaan dan Hukum Warisan. a. Hukum tentang diri seseorang. Memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hakhak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu. b. Hukum Kekeluargaan, Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu: perkawinan serta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.2 Bhs Belanda, artinya prinsip perlawanan beberapa bidang hukum di Indonesia dan di negeri Belanda pada masa penjajahan Belanda.(Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 81) 3 Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 209-210.

16

c. Hukum Kekayaan, Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekaya-an seseorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajibankewajiban yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan ke-kuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merek, dinamakan hak mutlak saja. d. Hukum Waris Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, Hu-kum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris lazim-nya ditempatkan tersendiri.4 Ruang lingkup pembahasan Hukum Waris adalah: 1) hak mewarisi menurut undang-undang 2) menerima atau menolak warisan 3) perihal wasiat (Testament) 4) Fidei-commis. Ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si waris itu sendiri telah meninggal warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang sudah ditetapkan dalam testament. 5) legitieme portie. ialah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. 6) perihal pembagian warisan 7) executeur-testamentair dan Bewindvoerder: ialah orang yang akan melaksanakan wasiat. 8) harta peninggalan yang tidak terurus 2. Kedudukan dan perkembangan BW Sistematika yang dipakai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. BW. itu terdiri atas empat buku, yaitu Buku I, yang berkepala Perihal Orang, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekeluarga; Buku II, yang berkepala Perihal Benda memuat hukum perbendaan serta4 Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Hal. 16-17.

17

Hukum Waris. Buku III, yang berkepala Perihal Perikatan,memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihakpihak yang tertentu; Buku IV, yang berkepala Perihal Pembuktian dan Lewat waktu (Daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum. Hukum Kekeluargaan dalam B.W. itu dimasukkan dalam bagian hukum tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecapan-nya untuk mempergunakan hak-haknya itu. Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian tentang hukum perbendaan, karena dianggap Hukum Waris itu mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas bendabenda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan seseorang. Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) sebenarnya adalah soal hukum acara, sehingga kurang tepat dimasukkan dalam B.W. yang pada asasnya mengatur hukum perdata materiil. Tetapi ada pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan formil. Soal-soal yang mengenai alat pembuktian ter-hitung bagian yang termasuk Hukum Acara Materiil yang dapat diatur juga dalam suatu undang-undang tentang Hukum Perdata Materiil.5

5 Ibid. Hal. 17-18

18

BAB II TENTANG ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUMA. Pengertian Orang sebagai Subyek Hukum Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban, Lazim-nya dalam hukum dikenal dengan istilah subjek hukum (subjectum juris). Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum, karena masih ada subjek hukum lainnya, yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk badan hukum (rechtpersoon).6 Subjek Hukum adalah yang berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum objektif. Subjek hukum dalam hukum positif adalah orang (persoon)7 B. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum Subyek hukum pertama-tama adalah manusia. Badan Hukum dibandingkan dengan manusia, memperlihatkan banyak sifat-sifat yang khusus. Karena Badan Hukum tidak termasuk kategori manusia, tidak memperoleh semua hak-hak, tidak dapat menjalankan semua kewajibankewajiban, tidak dapat pula melakukan semua perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya pada manusia. Akan tetapi, ke-mampuan hukum atau kekuasaan hukum dari badan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan pada asasnya me-nunjukkan persamaan yang penuh dengan manusia. Tiap hukum kekayaan, selain dengan tegas dikecualikan dapat berlaku bagi badan hukum, yaitu dalam hukum perikatan dan hukum kebendaan. Badan hukum dapat menutup perijinan, mempunyai hak milik sendiri, menciptakan hak cipta, (Pasal 7 Undang-Undang Hak Cipta L.N. 1912-600), hak merek, hak Oktroi Pasal 10 Undang-Undang Oktroi L.N. 1911-136) dan dapat melakukan tindakan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Juga badan hukum dapat memakai nama (Handelsnaam wet L.N. 1921-842). Pembatasan pada ke-mampuan hukum dalam lapangan hukum kekayaan ialah, bahwa hak pakai hasil berlangsung tidak lebih dati tiga puluh tahun (Pasal 810 KUH Perdata), sedangkan Pasal 808 KUH Perdata menyatakan berkhir pada meninggalnya orang terakhir. Pasal 810 KUH Perdata menyebutkan badan susila (Zedelijk lichaam Pasal 1653 KUH Perdata), tetapi jelas yang dimaksud ialah badan hukum. 1. Bagaimana dalam hak pakai dan hak mendiami? Dalam Pasal 821, 824 dan 826 KUH Perdata dengan tegas hak-hak itu ditujukan untuk diri sendiri dan segenap anggota keluarganya. Dengan demikian, hak pakai dan hak mendiami hanya dapat dipunyai dan dinikmati oleh manusia saja8.6 Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal. 4. 7 Ibid. Hal 6 8 Paul Scholten-Bregstein, pada Asser Handleiding tot de beoefening van het Nederlands urgerlijk Recht, Eerste deel-Personenrecht, Tweede stuk, Verdagenwoordiging en Rechtspersoon, hal. 100.

19 Berlainan adalah pendapat Ph. A.N. Houwing9 yang berpangkal pada Pasal 820 KUH Perdata yang berbunyi: Hak pakai dan hak mendiami diatur menurut peristiwa perdata, dan hak itu diperoleh; jika dalam peristiwa itu tiada ketentuan tentang kekuasaan hak, hak itu diatur menurut pasal-pasal berikut10 Dengan mengemukakan Pasal 820 ini yang mendahului Pasal 821, 824 dan 826, Mr. Ph. A.N. Houwing berpendapat, bahwa Pasal 821, 824 dan 826 merupakan peraturan hukum tambahan (aanvullendsrecht). Oleh karena itu, dengan dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas kita boleh menerima bahwa badan hukum dapat menjadi subyek dari hak pakai dan hak mendiami. Demikian pula pendapat Prof. Mr. A. Pitlo, dia mengatakan :veelal maakt men nog een uitzonderling (menurut beberapa ahli hukum lain satu-satunya kekecualian dalam lapangan hukum harta kekayaan ialah Pasal 810 KUH Perdata pembatasan hak pakai hasil selama-lama-nya 30 tahun) en wel voor het recht van gebruik en bewoning. De artt 868, 871 en 873 (Indonesia Pasal 821, 824 dan 826) geven er inderdaad blijk van dat de wet-geven aan natuurlijke personen als rechthebbenden heefl gedacht, want in deze artikelen is sprake van het gezin van den gebruiker en bewoner. Mij is dit geen argument om aan den rechtspersoon de mogelijkheid te ontzeggen rechthebbende van gebruik en bewoning te zijn11. Namun, sayang dia tidak memberikan dasar-dasar yang kuat untuk dapat dipakai sebagai alasan, mengapa badan hukum juga dapat mempunyai hak pakai dan hak menidiami. Pasal 818 KUH Perdata dapat dipakai sebagai dasar, bahwa antara hak pakai dan hak mendiami dengan hak manfaat mempunyai persamaan dalam hal cara-cara mendapatkan dan cara-cara kehilangan hak-hak itu. Dengan demikian, secara analogis Pasal 810 KUH Perdata juga berlaku untuk hak pakai dan hak mendiami, dengan batas waktu selama 30 tahun. 2. Dalam lapangan hukum keluarga dalam arti sempit badan hukum sama sekali tidak dapat bergerak. Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat menjadi wali. Pasal 265 KUH Perdata mengatakan: Dalam segala hal, hakim harus mengangkat seorang wali, perwalian itu boleh diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada suatu Yayasan atau Lembaga amal yang bertempat kedudukan di sini pula, yang menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya atau reglemen-reglemennya berusaha memlihara anak-anak belum dewasa untuk waktu lama. Berbeda juga dengan manusia, badan hukum tidak dapat meninggal dunia9 Ph A.N Houwing, Subjektiefrecht, Rechtssubject, Rechtpersoon, hoofstuk III. Hal. 153 10 Terjemahan R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tahun 1960. 11 A. Pitlo. 153.Het Persoonenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek. Ctakan ke3. H. 473.

20

akibat bubarnya badan hukum, harta kekayaan tidak boleh berpindah kepada ahli warisnya sebagaimana pada manusia. Ahli-ahli waris, badan hukum tidak memilikinya (Pasal 830 KUH Perdata), juga tidak dapat membuat surat wasiat, karena untuk dapat membuat suatu surat wasiat, seseorang harus mempunyai budi akalnya (Pasal 895 KU H Perdata). 3. Apakah penghinaan mungkin pada badan hukum? Menurut pendapat Mr. Paul scholten, dalam hukum keperdataan mungkin saja, sejauh mengenai kehormatan dan nama baik dari badan hukum, yang dilancarkan dengan sengaja. Karena pada akhirnya disini berlaku pula bagi manusia yang dilukai dan dihina kehormatannya dan nama baiknya, yaitu para pengurus dan korporasi juga para anggotaanggota. Dalam hal demikian dapat dilaku-kan penuntunan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Mahkamah Agung di Negeri Belanda (Hoge Raad) dalam keputusannya tanggal 16 Pebruari 1891 (W.6083), menetapkan bahwa penghinaan dalam hukum pidana tidak mungkin selain terhadap manusia. Dengan putusan ini berarti Pasal 310 KUH Perdata tidak berlaku bagi badan hukum. Dasar yang dipakai H.R ialah undang-undang dari tanggal 16 Mei 1929, S. 34 Pasal 2. Bagaimana dalam hukum perdata? Dalam putusan HR tanggal 10 Januari 1896 (W. 6761) berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan pengertian penghinaan antara hukum perdata dengan hukum pidana. Putusan HR ini menyebabkan tidak berlakunya Pasal 1372 KUH Sipil bagi badan hukum. Dengan ini H.R. berpendapat sebaliknya dari Paul Scholten. Apakah pendapat HR dapat dipertahankan, masih ada alasan untuk meragukannya, jika melihat Pasal 137 c W.v.S. (Ned) yaitu penghinaan terhadap collectiviteit (sekumpulan manusia). C. Teori-teori Badan Hukum Untuk mencari dasar hukum dari badan hukum timbul beberapa teori: 1. Teori fiktif dari von Savigny 12 Badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu yag sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangkan suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Sebagai pengikut teori fiktif ini dapat disebut Houwing dalam disertasinya Subjectief recht, rechtsutsujecten rechtspersoon (Leiden 1939), juga Lengemeyer, di dalam hal. 17113. 2. Teori harta kekayaan bertujuan dari Briaz.1412 Friedrich Carl von Savigny, System des heutigen romischen echts. 1866 13 Mr Paul Scholten Bregtein van der Grinten, pada Assers Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht, Eerste Deel Personenrecht, Tweede Stuk, Veertegen woordiging en Rechtpersoon, Hal. 88. tahun 1968. 14 A. Brinz. Lehrbuch der Pandecten, 1883.

21

Menurut teori ini hanya manusia sja dapat menjadi subyek hukum. Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusia-pun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hakhak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terkait oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Pengikut teori ini Van der Heyden, dalam Het Schijnbeeld van de rechtspersoon. 3. Teori organ dari Otto von Gierke15. Badan hukum adalah suatu realitas, sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada di dalam pergaulan hukum. Hal itu adalah suatu leiblichgeistige Lebenseinheit die Wollen und das Gewollte in Tat umsetzenkam. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemampuan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-anggota-nya). Apa yang mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan dari hukum. Teori ini menggambarkan badan-hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia. Pengikut teori organ antara lain Mr. L.C. Polano Rechts-persoonlijkheid van vereenigingen, disertasi Leiden, 1910. 4. Teori proprit collective dari Planiol (gezamenlijke vermogens-theorie Molengraaf)16. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada halkikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Di samping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama-sama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masingmasing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluru-han, sehingga mereka secara pribadi tidak bersama-sama semuanya menjadi pemilik. Bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi, yang dimamakan badan hukum. Dengan demikian badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Pengikut teori ini diantaranya ialah Star Busmann dan Kranenburg17 Teori proprit collective itu berlaku untuk kor-porasi, badan hukum yang mempunyai anggota, tetapi untuk Yayasan teori ini tidak banyak artinya. Teori harta kekayaan bertujuan (doelvermogens-theorie) hanya dapat untuk badan hukum Yayasan yang tidak mempunyai ang-gota. Teori fiktif yang mengumpamakan badan hukum seolah-olah sebagai manusia itu berarti bahwa badan hukum itu sebenarnya tidak ada, sedang15 Otto von Gierke, Das deutsche Geossenschafttsrecht. 1873 16 Marcel Planiol Trait elmentaire de droit civil 1982. Prof. Mr. W.L.P.A. Molengraaff Leidraad bij de boefening van het Nederlndse handelsrecht, 1948, I, par. 28 17 Kranenburg, De gronndslagen der rechtswetenscap, 1952, hlm 62; Men staat nu, meen bij het begrip rechtspersoon inderdaat niet voor een fictie, maar voor een connsrictie van het juridisch denken.

22

sebaliknya teori organ memandang badan hukum itu suatu realitas yang sebenarnya sama dengan manusia.18 D. Ujud Badan Hukum Aneka badan hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut macam-macamnya, jenis-jenisnya dan sifatnya. Secara sistematik aneka badan hukum itu dapat dijelaskan seperti berikut. Pembuatan Badan Hukum Menurut Macam-macamnya Menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia dikenal dua macam badan hukum, yaitu: (1) badan hukum orisinil (murni, asli), yaitu negara, contohnya negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945; (2) badan hukum yang tidak orisinil (-tidak murni, -tidak asli), yaitu badanbadan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata. Pasal 1653 ini menentukan: Selanjutnya perseroan yang sejati (eigenlije naatschap) oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulanperkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik. Pasal ini mengenai zadelijk lichaam atau badan susila dan tidak secaa tegas dinyatakan sebagai badan hukum. Meskipun tidak tegas-tegas dinyatakan, tetapi dari Pasal 1654 KUH Perdata dapat ditarik kesimpulan bahwa zadelijk lichaam juga mempunyai kedudukan sebagai badan hukum, sebab dalam Pasal 1654 itu dinyatakan mempunyai ke-wenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan: semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman berkuasa melakukan tindakantindakan perdata. Jadi, semua zedelijk lichaam yang sah itu sama seperti orang perseorangan memang untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata. Dari ketentuan inilah dapat disimpulkan zadelijke lichaam adalah badan hukum, sehingga kini orang menterjemahkan zadelijke lichaamen dengan istilah badan hukum saja. Persoalannya sekarang, zadelijk lichaam mana yang dimaksud dalam Pasal 1654 tersebut? Zadelijke lichaamen menurut Pasal 1653 termaksud ada empat jenis badan hukum (zadelijke lichaamen), yaitu: (1) badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum (zadelijk lichaam openbaar gezag ingesteld), contohnya: propinsi, bank-bank18 Ali Rido. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni. Hal. 7-10. Tanggapan Teori Organ yang menyamakan badan hukum itu sama dengan manusia-alam sebetulnya terlalu jauh, melihat bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perbuatan hukum di bidang hukum kekeluargaan. Memang badan hukum itu menunjukkan kenyataan hukum (juridische realiteit) yang sama dengan manusia dalam hukum kekayaan, seperti dapat mempunyai hak kebendaan dan turut dalam pergaulan hukum sebagai pihak dalam suatu persetujuan.

23

yang didirikan oleh negara. (2) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum (zadelijk lichaam op openbaar gezag erkend), contohnya: perseroan (venooschap), gerejagereja (sebelum diatur tersendiri tahun 1927), waterschapen seperti subak di Bali; (3) badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena diizinkan (zadelijk lichaam als geoorloofd toegelsten); (4) badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu (zadelijk lichaam op een bepald oogmerk ingelsted). Badan hukum jenis ke-3 dan ke-4 dinamakan pula: badan hukum dengan konstrusi keperdataan, contohnya seperti yang diadakan oleh orangorang untuk membentuk partai politik dan perseroan terbatas. Pembagian Badan Hukum Menurut Jenis-jenisnya Menurut penggolongan hukum, yaitu golongan hukum publik dan hukum perdata, aneka badan hukum dapat dibagi, yaitu: (1) badan hukum publik dan (2) badan hukum perdata. Ad. (1) Badan hukum publik Suatu badan hukum di Indonesia yang merupakan badan hukum publik yakni negara dalam bertindaknya dalam lapangan hukum perdata, hal ini merupakan persoalan yang masih harus ditentukan apakah berdasarkan Hukum Adat atau Hukum perdata barat (B.W./KUHPerdata). Negara sebagai badan hukum orisinil Negara Republik Indonesia adalah badan hukum orisinil, sehingga perlu diingat bahwa: a) negara Republik Indonesia itu adalah badan hukum publik dan negara itu bukan karena diadakan (ingesteld) berdasar pasal 1653 KUH Perdata, dan, b) negara Republik Indonesia sebagai badan hukum itu bukan pula karena penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, hukum itu sedjalan berdiri sendiri dengan Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi tersebut tidak hanya mempunyai arti politis saja, tetapi juga mempunyai arti juridis yang penting. Dalam hukum internasional, proklamasi mempunyai arti sangat penting, karena mengenai terjadinya negara baru. Mengenai proklamasi negara Republik Indonesia tersebut, jika hal ini dipandang dengan sesuatu latar belakang dari apa yang disebut filsafat existensialisme, maka mungkin agak jelas mengenai arti yuridis idari proklamasi tersebut. Existensi itu bukan penghidupan yang demikian saja. Existensi adalah keadaan hidup manusia yang mempunyai corak hidup yang tegas dan merupakan suatu struktur dalam mana kehidupan itu di bawah suatu kemungkinan tertentu. Proklamasi kita nyatakan atau kita ujudkanapa yang men-jadi kemungkinan bagi bangsa Indonesia. Cara untuk me-wujudkan cita-cita dari suatu bangsa ialah dalam wujud suatu negara. Dari dahulu telah dimaklumi, bahwa tujuan

24

dari negara adalah pelaksanaan dari hasrat yang tidak dapat dicegah dari bangsa itu sendiri untuk menuju kepada tujuan wujud politis yang berdiri sendiri. Timbul tenggelamnya sesuatu negara itu pada hakikatnya merupakan suatu hakikat pelaksanaan hasrat tersebut. Dalam proklamasi kita dituntut adanya suatu organisasi yang kokoh agar existensi yang terkandung dalam hakikat bangsa Indonesia tersebut dapat berlangsung dan kelangsungan ini hanya dapat dicapai dengan suatu organisasi negara ter-sebut. Proklamasi bukan hanya hak menentukan nasib diri sendiri (right of selfdetermination) tetapi ini sudah termasuk bagian dari hak-hak dasar manusia. Tentang hukum, maka hukum yang seharusnya merupakan suatu sollen itu sewajarnya dilaksanakan menjadi sein dan kalau sollen itu tidak dilaksanakan, maka hukum itu menuju kepada kemungkinan saja. Sollen dinyatakan dengan sein dan jarak antara sollen dengan sein itu mewujudkan exsistensi serta hukum yang menentukan nasib diri sendiri itu datang pada proklamasi negara Republik Indonesia pada waktu itu. Selanjutnya, dari jarak antara sollen dan sein maka lahirlah hukum existensi dari negara Republik Indonesia. Berhubung dengan itu negara Republik Indonesia tersebut menjadi badan hukum. Dengan hubungan ini, kiranya perlu dikemukakan adanya pendapat yang menyatakan bahwa tanggal 27 Desember 1949 adalah tanggal penyerahan kedaulatan dari tangan pemerintah Belanda kepada Indonesia. Terhadap pendapat ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan, bahkan berdasarkan pandangan filsafat existensialisme tentang penyerahan kedaulatan tersebut adalah tidak tepat. Penyerahan kedaulatan tersebut seharusnya disebut pemulihan kedaulatan negara Republik Indonesia, karena pada tanggal 17 Agustus 1945 itu negara Republik Indonesia sudah ada secara de facto maupun de jure. Kesimpulannya, bahwa kepribadian hukum (rechtspersoon-lijkeheid) dari negara Republik Indonesia ialah satu-satunya contoh dari badan hukum yang sebenarnya. Ini adalah badan hukum yang orisinil. Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut sangat berlainan dengan adanya hukum Hindia Belanda sebelum perang dunia ke-2. Dahulu Hindia Belanda, merupakan badan hukum, tetapi ini karena dibentuk oleh udang-undang (ingesteld/diadakan) dan dinyatakan oleh Raja Belanda dalam Comptabiliteitwet Stb. 1925 No. 44b, Pasal 1 menentukan seperti berikut: Hindia belanda adalah suatu badan hukum yang diwakili ber-tindaknya oleh Gubernur Jenderal atau oleh Menteri Jajahan (Nederlands Indie is een rechtspersoon, die het zij voor den Gouverneur Generaal het xij door den Minister van Overzee Rijksdelen vordt vertegenwoordigd). Demikian juga dengan, kotapraja merupakan badan hukum publik yang diadakan oleh kekuasan umum, bukan berdasar-kan hukum existensi. Jadi berlainan dengan negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum existensi merupakan badan hukum yang orisinil.1919 Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal 55-59

25

E. Kemampuan Hukum Badan Hukum Dalam lapangan hukum kekayaan (vermogensrecht) pada asasnya badan hukum sepenuhnya sama dengan orang, sehingga selain dengan tegas sebagai dikecualikan, badan hukum mempunyai kemampuan dalam hukum perikatan dan kebendaan. Badan Hukum mampu melakukan hubungan-hubungan hukum atau mengadakan perjanjian-perjanjian baik tertulis atau tidak tertulis dengan pihak ketiga, Badan Hukum mempunyai hak-hak perdata baik atas benda ber-gerak dan tidak bergerak, benda-benda berwujud ataupun tidak berwujud. Badan Hukum dapat memakai nama dan dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum. Pengecualian dan pembatasan terhadap kemampuan badan hukum biasanya diatur secara tegas dalam peraturan perundangan. Seperti menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, badan hukum tak dapat mempunyai hak milik atas tanah, kecuali badan-badan hukum tertentu saja yang boleh (paragraf VII.3. berikut). Dalam KUH Perdata ada juga pembatasannya, yaitu mengenai hak pakai hasil (vruchtgebruik) tersebut dalam Pasal 810 bahwa: hak pakai hasil kepada badan hukum (zadelijk lichaam) berlangsung tidak lebih dari tiga puluh tahun. Sedang Pasal 808 kepada orang, berakhir sampai matinya orang terakhir dari beberapa orang pemegang hak itu (ayat 1). Di samping itu menurut Pasal 808 ayat (2): kalau badan hukum sudah bubar sebelum tiga puluh tahun, hak pakai hasil berhenti. Hal tersebut merupakan pengecualian yang umum dan ada lagi pengecualian yang lain (tidak umum), yaitu hak pakai dan hak mendiami (hak gebruik dan bewoning). Menurut Pasal 821, 824, dan 825 hak pakai dan mendiami hanya ditujukan untuk orang yang dapat memiliki dan menikmatinya, sedang badan hukum tidak dapat. Ini yang lazim. Tetapi A Pitlo menyangkal, mengapa badan hukum dikecuali-kan? Menurut Pitlo memang pada waktu BW dibuat pada permulaan abad ke-19 itu, figuur rechtpersoon belum dikenal, jadi peraturan BW hanya menyebut mengenai natuurlijk personen saja. Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat men-jadi wali (Pasal 365 KUH Perdata). Tetapi dalam hukum keluarga, badan hukum tidak dapat bergerak. Berlainan dengan manusia, yang dapat meninggal dunia dan mempunyai ahli waris untuk mewarisi harta kekayaan yang ditin-ggalkannya, hal demikian tidak ada pada badan hukum (Pasal 830). Bahkan badan hukum tidak dapat membuat surat wasiat (Pasal 895 KUH Perdata). Mengenai badan hukum publiekrechtelijk berakhirnya bila dibubarkan oleh yang membentuknya, misalnya kalau propinsi itu didirikan (ingesteld) oleh undang-undang, maka pembubarannya juga harus oleh undang-undang. Sedang mengenai badan hukum privaatsrechtelijk itu bubarnya menurut anggaran dasarnya, atau bila objek dari badan hukum itu tidak ada lagi. Biasanya pada Perseroan Terbatas dalam anggaran dasarnya ditentukan berlangsungnya sampai 75 tahun, atau untuk perhimpunan berlangsungnya sampai 30 tahun seperti Taman Siswa, Muhammadiyah dan sebagainya. Apakah orang dapat melakukan penghinaan terhada badan hukum?

26

Menurut Pitlo dapat saja, sebab badan hukum mempunyai nama yang dilindungi dalam Handelsnaamwet (Stb. 1921-842). Demikian pula menurut Paul Scholten bahwa penghinaan dalam penggugatan berdasar Pasal 1365 KUH Perdata. Tetapi dalam yurisprudensi Belanda, yaitu menurut putusan Hoge Raad tanggal 16 Pebruari 1891 bahwa peng-hinaan dalam hukum pidana hanya terhadap manusia. Kemudian keputusan Hoge Raad tanggal 10 Januari 1896 menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan pengertian peng-hinaan antara hukum perdata dan hukum pidana. Dengan demikian Pasal 1372 KUH Perdata tentang penghinaan bagi badan hukum tidak berlaku20. F. Yayasan Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota21. Pendirian yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanuasiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas. Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang trercantum dalam anggaran dasar, sengketa antara pengurus dan pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung ke-kayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh secara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis pe-nyelesaiannya. Undang-undang yayasan dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang yayasan menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhati-kan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang yayasan. Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang20 Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal. 168-169 21 Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

27

undang yayasan. Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, permohonan pendirian Yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehaki-man dan Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. Di samping itu Yayasan yang telah memperoleh pengesahan harus diumukan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan pula agar Registrasi Yayasan dengan pola penerapan administrasi hukum yang baik dapat mencegah praktek perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan yang dapat merugikan masyarakat. Untuk mewujudkan mekanisme penegasan publik terhadap Yayasan yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang, Anggaran Dasar, atau merugikan kepentingan umum, Undang-undang yayasan me-ngatur tentang kemungkinan pemeriksaan terhadap Yayasana yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penepatan Pengdailan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili ke-pentingan umum. Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat social, keagamaan dan kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ Yayasan yang dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan konflik intern Yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan Yayasan melainkan juga pihak lain. Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan yayasan dilakukan sepenuhnya oleh pengurus. Oleh karena itu, pengurus wajib membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada Pembina mengenai keadaan keuangan dan per-kembangan kegiatan Yayasan. Selanjutnya, terhadap Yayasan yang kekayaannya berasal dari nagara, bantuan pihak luar negeri atau pihak lain, atau memiliki kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam undang-undang, kekayaan wajib diaudit oleh akuntan punblik dan laporan tahunannya wajib diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia. Ketentuan ini dalam rangka penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas pada masyarakat. Dalam undang-undang yayasan diatur pula mengenai kemungkinan penggabungan dan pembubaran Yayasan baik karena atas inisiatif organ Yayasan sendiri maupun berdasarkan penetapan atau putusan Pengadilan dan peluang bagi Yayasan asing untuk melakukan kegiatan di wilayah Negara Republik Indonesia sepanjang tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara Republik Indonesia.22 G. Wakaf 1. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 dan berbagai peraturan pelaksanaannya telah ditegaskan bagaimana pengertian, fungsi, unsur dan syarat-syarat perwakafan tanah.22 Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

28

a. Pengertian: Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan-nya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam (Pasal 1 ayat (1) PP. No. 28/1977 dan Pasal 1 sub B Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978). b. Fungsi Wakaf Untuk mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan wakaf ini maka manfaat tanah yang bersangkutan dapat dilakukan, apakah untuk keperluan peribadatan, seperti untuk masjid, musalla atau untuk keperluan umum lainnya sesuai dengan ketentuan ajaran Islam. c. Unsur-unsur perwakafan Orang yang berwakaf disebut WAKIF. Wakif menurut PP. No. 28/1977 adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Untuk adanya wakaf diperlukan adanya suatu IKRAR atau pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya, kelompok orang, atau badan hukum. Yang di-serahi tugas untuk pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf disebut NAZIR. Badan hukum Indonesia dan orang-orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak-pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan pertauran-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal badan hukum, maka yang bertindak atasnamanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum. d. Syarat-syarat perwakafan tanah Adanya persyaratan yang harus dipenuhi bagi seseorang wakif dengan pencantuman secara terperinci. Penantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksud-kan untuk menghindari tidak sahnya perbuatan mewakaf-kan, baik adanya faktor interen (cacat atau kurang sempurna cara berfikir), maupun faktor eksteren (karena mersa dipaksa orang lain). Ketentuan-ketentuan ini ber-laku juga bagi yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subjek hukum tersebut peraturan perundangan yang berlaku. Perwakafan tanah ini harus dilakukan di muka Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Menurut Per-aturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978, maka Kepala Kantor Urusa Agama (KUA) ditunjuk sebagai PPAIW, sedang untuk administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan. Dalam hal suatu kecamatan

29

tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka Kanwil epag menunjuk kepala KUA terdekat sebagai PPAIW di kecamatan tersebut. Sedang apabila suatu Kabupaten/Kota belum ada KUA Kecamatan, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk Kepala Seksi Urusan Agama pada Kandepag kabupaten/kota sebagai PPAIW.

30

PPAIW diwajibkan menyelenggarakan daftar Akta Ikrar Wakaf. Tugas PPAIW adalah: i. Meneliti kehendak wakif. ii. Meneliti dan mengesahkan Nazir atau anggota nazir yang baru sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) peraturan ini. iii. Meneliti saksi ikrar wakaf. iv. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf. v. Membuat akte ikrar wakaf. vi. Menyampaikan akta ikrar wakaf dan salinannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (2-3) peraturan ini, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak dibuatnya. vii. Menyelenggarakan daftar akte ikrar wakaf. viii.Menyimpan dan memelihara akte dan daftarnya. ix. Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) PP (Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 1/1978). Menurut Pasal 9 ayat (2) PP No. 28/1977, PPAIW ini diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama, akan tetapi untuk kelancaran pelaksanaan penunjukkan/pe-ngangkatan Kepala Kantor urusan Agama Kecamatan sebagai PPAIW, maka dengan Keputusan menteri Agama No. 73 Tahun 1978 telah dilakukan pendelegasian wewenang pengakatan/ penunjukkan serta pemberhentian Kepala kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai PPAIW kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat. Dalam surat keputusan itu dinyatakan antara lain bahwa: 1) Mendelegasikan wewenang pengangkatan/penunjukkan serta pemberhentian Kepala kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) kepada kepala Kantor Wilayah Departemen Agama propinsi/setingkat setempat. 2) Jika dipandang perlu, Kepala Kantor Wilayah Departe-men Agama propinsi/setingkat dapat memberikan kuasa kepada Kepala Bidang Urusan Agama Islam untuk dan atasnama Kepala kantor Wilayah Departemen Agama propinsi/setingkat mengangkat dan memberhentikan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 3) Jika dalam suatu wilayah hukum kecamatan belum ter-bentuk Kantor Urusan Agama, maka yang diangkat sebagai Pejabat pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW) adalah Kepala Kantor Urusan Agama yang terdekat. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut, telah dikeluarkan Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 tentang Petunjuk pelaksanaan Keputusan menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang pendelegasian wewenang Kepala kantor Wilayah Depar-temen Agama propinsi/setingkat untuk mengangkat/mem-berhentikan setiap kepala kantor Urusan Agama Kecama-tan sebagai Penjabat Pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW).

31

Mengenai tanah yang diwakafkan haus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci, mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran Agama islam. Berhubung dengan itu, maka tanah yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut kepemilikan. Persyarat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawa lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan Syariat Agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti; hipotik, credietvenband, tanah dalam proses perkara dan sengketa tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu. Seorang Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas kepada Nazir dihadapan PPAIW. Nadzir ter-sebut dapat berupa orang perorangan atau badan hukum yang merupakan suatu kelompok orang terdiri dari se-kurang-kurangnya 3 orang dan salah seorang diantaranya sebagai ketua. Nadzir perorangan harus memenuhi syarat: 1. Warganegara Republik Indonesia. 2. Beragama Islam 3. Sesudah Dewasa. 4. Sehat Jasmani dan rohaniah 5. Tidak berada dibawah pengampunan. 6. Bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan. Sedangkan jika Nadzir tersebut adalah berbentuk Badan Hukum maka Nadzir tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut: x. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia xi. Mempunyai perwakilan dikecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan. Seorang anggota Nadzir berhenti dari jabatannya apabila: 1. Meninggal dunia. 2. Mengundurkan diri xii. Dibatalkan kedudukannya sebagai Nadzir oleh Kepala KUA karena: a. tidak memenuhi syarat seperti diatur dalam pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintahan. b. Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubu-ngan dengan jabatannya sebagai Nadzir. c. Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sesuai Nadzir. Nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya: xiii.Menyimpan lembar kedua salinan akta ikrar wakaf. xiv.Memelihara tanah wakaf.

32

xv. Memanfaatkan tanah wakaf. 4. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf 5. Menyelenggarakan pembukuan/administrasi yang me-liputi: a. buku catatan tentang keadaabn tanah wakaf b. buku catatan pengelolaan dan hasil tanah wakaf. c. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf. Nadzir berkewajiban melaporkan: 1. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikat kepada kepala KUA. 2. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaanya akibat ketentuan Pasal 12 dan 13 peraturan ini sebagai diatur dalam Psal 11 ayat (3) peraturan Pemerintah. 3. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan Desember. 4. Dan kalau ada anggota nadzir yang berhenti dari jabatan-nya sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (2) peraturan ini. Nadzir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi dengan ketentuan tidak melebihi sepuluh persen dari hasil bersih tanah wakaf. Nadzir dalam menunaikan tugasnya berhak meng-gunakan pasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi.23

23 H Abdurrahman, SH. MH. 1990. Masalah Perwakafan dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 29-35

33

BAB III HUKUM KELUARGAA. Hukum Perkawinan 1. Syarat sahnya perkawinan Syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah: a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.24 2. Larangan perkawinan Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.25 g. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 (2) dan Pasal 4 undang-undang ini.26 h. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.27 i. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tidak boleh melangsungkan pernikahan dalam masa iddah.28 3. Pencegahan perkawinan Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan.29 Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan (2) 25 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 26 Ibid. Pasal 9 27 Ibid. Pasal 10 28 Ibid. Pasal 11 ayat (1) 29 Ibid. Pasal 13

34

pihak yang berkepentingan. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.30 Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah ber-langsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1),31 Pasal 8,32 Pasal 9,33 Pasal 1034 dan Pasal 1235 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.36 Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.37 Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. Ketentuan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.3830 Ibid. Pasal 14 ayat (1) dan (2) 31Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 32 Lihat tentang larangan perkawinan. 33Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. 34Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 35Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. 36 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 16 37 Ibid. 1974 Pasal 17 38 Ibid. Pasal 21 ayat (1) sampai (5).

35

4. Hak dan kewajiban suami isteri Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.39 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, oleh karena itu masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.40 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.41 Berikut suami wajib melindungi isteri-nya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.42 5. Perkawinan berdasarkan Hukum Islam a. Pengertian Perkawinan Perkawinan menurut Hukum Islam adalah: Suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dngan cara yang diridoi Allah.43 b. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya.44 6. Perjanjian Perkawinan dan Harta Perkawinan Calon suami istri sebelum melaksanakan perkawinan boleh mengadakan suatu perjanjian perkawinan sepanjang dalam hal-hal yang tidak dilarang oleh agama. Perjanjian antara calon suami istri ini dapat disahkan secara tertulis oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pada UU No 1 Tahun 1974 Pasal 29 disebutkan: 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, ke dua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan 3. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan 4. Selama perkawinan berlangsungnya perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan39 Ibid. Pasal 30 40 Ibid. Pasal 31 41 Ibid. Pasal 33 42 Ibid. Pasal 34 ayat (1) sampai (3) 43Ahmad Azhar Basyir. 1987. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII: Hal. 11 44 Ibid

36

persetujuan tidak merugi-kan pihak ketiga. Berkaitan dengan perjanjian menyangkut harta perkawinan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan: a. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiabn suami untuk menafkahi. b. Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan. c. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. d. Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaptarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah. Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.45 7. Putusnya perkawinan Perkawinan putus karena: a. Kematian b. Perceraian dan c. atas keputusan pengadilan 8. Perceraian dan Akibatnya Akibat putusnya perkawinan adalah: a.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya b.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut c.Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri B. Hukum Waris 1. Pengertian Warisan, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya seorang manusia.4645 Disarikan dari Kompilasi Hukum Islam, BAB VII Tentang PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45-52. 46Oemar Salim. 2000. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

37

2. Asas Dalam hukum waris berlaku suatu asas: a. Bahwa hanyalah hak-hak dam kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekyaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajibankewajiban kepribadian, seperti hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau sebagai ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai seorang anggota perkumpulan. Tetapi ada kekecualian, misalnya hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya dan di pihak lain hak seorang anak untuk menuntut suapaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya, menurut undang-undang beralih pada (diwarisi oleh) ahli waris dari masing-masing orang yang mempunyai hak-hak itu. Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapanga hukum perbendaan atau per-janjian, tetapi tidak beralih pada ahli waris si meninggal, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu perjanjian perburuhan dimana seorang akan melakukan akan melakukan suatu pekerjaan dengan tenaganya sendiri. Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap (perseroan) menurut BW, maupun yang berbentuk firma menurut WvK yang menurut undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salahsatu anggota atau pesero. b. Bahwa apabila seorang meninggal, maka ketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le mort saisit le vit, sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine.47 3. Unsur Di atas telah disinggung sedikit unsur-unsur hukum waris BW, yakni pewaris, ahli waris dan harta warisan. Ketiga unsur hukum waris ini diangkat kembali dan dibahas agak lebih luas dengan maksud para pembaca tidak sekedar berkenalan dengan unsur-unsur hukum waris tersebut tetapi dapat mengetahui seluk beluknya masing-masing. a. Pewaris Siapa yang layak disebut sebagai pewaris? Banyak kalangan memberi jawaban atas pertanyaan ini dengan menunjuk bunyi pasal 830 BW, yaitu setiap orang yang telah meninggal dunia. Kelemahan jawaban ini adalah kalau yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan sedikit pun harta benda. Hukum waris tidak akan dipersoalkan kalau orang yang telah meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda. Maka unsur-unsur yangHal. 2 47 Subekti. 1982. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.Hal. 95-96.

38

mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan. b. Ahli Waris Pertanyaan serupa di atas dapat juga diajukan untuk masalah ahli waris. Siapa yang layak disebut sebagai ahli waris? Dalam garis besarnya ada dua kelompok orang yang layak untuk disebut sebagai ahli waris. Kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh hukum atau UU (maksudnya KUH Pertada/BW) telah ditentukan sebagai ahli waris dan kelompok kedua adalah orang atau orang-orang yang menjadi ahlim waris karena pewaris dikala hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perbuatan hukum pengakuan anak, perbuatan hukum pengangkatan anak atau adopsi dan perbuatan hukum lain yang disebut testemen atau surat waris. Ahli waris menurut UU dari atas 4 (empat) golongan. Golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anakanak serta sekalian keturunan anak-anak tersebut (Pasal 832, 852 dan 852 a KUH perdata). Golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu (keduanya masih hidup), ayah atau ibu (salah satunya telah meninggal dunia) dan saudara/i serta sekalian keturunan saudara/i tersebut (Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUH perdata). Golongan ketiga terdiri atas kakek-nenek garis ibu dan kakek nenek garis atau pihak ayah. Menurut Pasal 835 KUH perdata, apabila si yang meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri maupun saudara/i, maka harta warisan dikloving (dibagi dua, satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas dan satu bagian lainnya untuk sekalian keluarga sedarah garis ibu lurus ke atas. Dan golongan keempat terdiri dari sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat ke enam dan derajat ketujuh karena pergantian tempat. Penggolongan ahli waris tersebut di atas selanjutnya dapat dilihat pada Peragaan berikut: c. Harta Warisan Tidak otomatis harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia adalah harta warisan. Untuk memastikan apakah harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meing