desa pakraman - unud
TRANSCRIPT
41
BAB II
KERANGKA TEORITIS PARTISIPASI DESA PAKRAMAN
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
2.1. Teori
Di dalam disertasi ini, dijelaskan relevansi teori yang digunakan untuk membedah
permasalahan yang diajukan. Berkenaan dengan relevansi teori dimaksud adalah:
2.1.1. Teori Negara Hukum
Teori negara hukum yang digunakan dalam disertasi ini adalah teori negara hukum dari
Brian Z. Tamanaha. Di dalam teori negara hukum ini didasarkan pada dua (2) pendekatan yang
digunakan dalam mengkaji negara hukum yaitu pendekatan formal dan pendekatan substantive1.
Lebih lanjut gambaran teori negara hukum Tamanaha disajikan dalam bentuk gambar berikut:
Gambar 2
ALTERNATIVE RULE OF LAW FORMULATIONS2
Thinner------------------------> to-------------------------Thicker
FORMAL 1. Rule-by-law 2. Formal Legality 3. Democracy + Legality
VERSIONS : - law as instrument - general, prospective, - consent determines
of government clear, certain. content of law
action
SUBSTANTIVE 4. Individual 5. Right of Dignity 6. Social Welfare
VERSIONS Rights and/or Justice
- property, contract - substantive, equality
privacy welfare, preservation
autonomy community
Berdasarkan pada gambar di atas, dapat dipahami bahwa konsep negara hukum versi
formal dimulai dari konsep rule by law yaitu hukum dimaknai sebagai instrumen tindakan
pemerintah. Selanjutnya berkembang dalam bentuk formal legality yang mengartikan bahwa
konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas, prespektif dan pasti. Selanjutnya
1 Brian Z Tamanaha, 2004, On The Rule Of Law,Cambridge University Press, New York, h.91.
2 Brian Z Tamanaha, 2004, On The Rule…, Ibid.
42
Tamanaha menyatakan bahwa perkembangan terakhir dari konsep negara hukum versi formal
adalah democracy and legality yang diartikan sebagai kesepakatanlah yang menentukan suatu
substansi hukum. Dalam konteks ini, Yance Arizona3 menyatakan bahwa konsep formal dari
negara hukum ditujukan untuk pengumuman hukum oleh pihak yang berwenang mengenai
kejelasan norma yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya dalam konsep negara hukum substantif dapat dimaknai bahwa perkembangan
negara hukum mulai dari hak-hak individu, selanjutnya perkembangan tersebut mengarah pada
prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan keadilan (dignity) serta berkembang menjadi konsep
social welfare yang mengandung prinsip-prinsip persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan
kehidupan komunitas. Dalam pemahaman konsep negara hukum substantif menekankan pada
hak-hak dasar dijadikan fondasi untuk membedakan mana hukum yang memenuhi hak-hak dasar
dan mana hukum yang mengabaikan hak-hak dasar termasuk pengabaian hak-hak dasar sebuah
komunitas yang termarginalkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep formal negara
hukum menekankan pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya, sedangkan konsep
substantif negara hukum fokus pada isi dari norma hukum tersebut.
Sepaham dengan Tamanaha, Adriaan Bedner4 juga mengembangkan pendekatan alternative
negara hukum. Ada 3 (tiga) katagori pendekatan alternatif yaitu :
1. Elemen prosedural (pemerintahan dengan hukum, tindakan negara harus tunduk pada
hukum, legalitas formal, demokrasi).
3 Yance Arizona, 2010, Negara Hukum Bernurani :Gagasan Satjipto Rahardjo tentang Negara Hukum
Indonesia, Kertas Kerja Epistema No. 04/2010, Jakarta: Epistema Institute (http://epistema.or.id/publikasi/working-
paper/81-Negara-hukum-bernurani.html), diakses terakhir 10 juni 2015, h.8
4 Adriaan Bedner, 2011, “Suatu pendekatan elementer terhadap Negara hukum”, dalam Myrna A. Safitri,
Awaludin Marwan, dan Yance Arizona (editor), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik,
Epistema Institute Huma Jakarta, h. 152-159.
43
2. Elemen substantive (subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip
fundamental dari keadilan, perlindungan HAM dan kebebasan perorangan, pemajuan hak
asasi sosial, perlindungan hak kelompok).
3. Elemen mekanisme kontrol/lembaga pengawal negara hukum (lembaga peradilan yang
independen, lembaga lain yang memiliki tanggungjawab dalam menjaga dan melindungi
elemen-elemen negara hukum).
Pemahaman teori negara hukum dan relevansinya dengan partisipasi masyarakat, maka
tampak keterkaitannya dengan versi formal teori negara hukum yaitu demokrasi-legality yang
dapat dimaknai bahwa dalam pembentukan hukum memerlukan aspek demokratis. Aspek
demokratis tercermin dalam partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Selanjutnya
partisipasi masyarakat tercermin juga dalam versi substantif teori negara hukum. Hal ini terdapat
dalam tingkatan ke tiga versi substantif yaitu social welfare, menjamin kesejahteraan sosial,
persamaan yang sifatnya substantif, jaminan kesejahteraan dan terjaganya dan kelangsungan
komunitas.
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum, tampaknya social
welfare ini merupakan aspek yang harus dipenuhi dalam suatu proses pembentukan hukum,
megingat setiap masyarakat harus terjamin kesejahteraan, persamaannya dalam pengambilan
keputusan dan terjaminnya kelangsungan kelompoknya atau komunitasnya. Dalam hal ini dapat
dipahami bahwa social welfare ini merupakan sarana dalam menjamin terjaganya dan
kelangsungan hidup desa pakraman, khususnya perlindungan terhadap hak desa pakraman untuk
berparisipasi dalam pembentukan hukum.
Partisipasi masyarakat dalam unsur negara hukum Adriaan Bedner, tercermin dalam elemen
substantif yang fokus pada perlindungan hak kelompok. Dalam perlindungan hak kelompok dan
44
dikaitkan dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, maka tampak elemen
substantif Adriaan Bedner memberi ruang terpenuhinya hak partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda. Dasar argumen Adriaan Bedner terkait dengan pentingnya perlindungan hak
kelompok yaitu hak kelompok dapat menjadi senjata yang ampuh dalam melawan negara apabila
negara melakukan pelanggaran atas hak-hak warga negara atau hak kelompok yang
mengakibatkan ketidakadilan bagi kelompok atau komunitas.5
Sejalan dengan teori negara hukum dari Tamanaha, Franz Magnis Suseno menyatakan
bahwa negara hukum adalah kekuasaan negara yang harus dijalankan atas dasar hukum yang
baik dan adil.6 Dengan demikian di dalam negara hukum tercakup 4 (empat) tuntutan dasar,
yaitu pertama tuntutan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat;
kedua tuntutan bahwa hukum berlaku sama bagi warga negara; ketiga, demokratis yaitu dalam
proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan mendapat persetujuan rakyat; dan
keempat tuntutan akal budi yaitu menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.7
Keempat tuntutan dasar tampaknya sesuai dengan pemahaman negara hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pemahaman Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 negara hukum yang merujuk pada rechtsstaat.8 dan the rule of law.
9 Menurut Munir
5 Adriaan Bedner, 2011, “ Suatu pendekatan …”,Ibid, h.168
. 6 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik:Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia,
Jakarta, h. 295. 7 http://www.kompasiana.com., diakses pada tanggal 21 April 2017.
8Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi
Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of
Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebut dengan istilah „rechtsstaat‟ mencakup 4 elemen
penting, yaitu:1. Perlindungan hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan berdasarkan undang-
undang. 4.Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1.Supremacy of Law. 2. Equality before
the law. 3.Due Process of Law, Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”,
http://www.docudesk.com, diakses tanggal 15 Mei 2016, h. 2.
45
Fuadi menegaskan konsep negara hukum merupakan suatu ketatanegaraan yang diatur
berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu Konstitusi,
dimana semua orang dalam negara baik yang diperintah maupun yang memerintah harus tunduk
pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang
yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang
perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan dan kewenangan pemerintah
dibatasi berdasarkan sutu prinsip distribusi kekuasaan sehingga pemerintah tidak bertindak
sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karena rakyat diberikan peran sesuai
dengan kemampuan dan peranannya secara demokratis.10
Sehingga tampak jelas keterkaitan
anatara negara hukum dengan demokrasi sebagaimana di tegaskan Magnis Soseno bahwa
demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Demokrasi
merupakan cara paling aman untuk mempertahankan control atas negara hukum.11
Berdasarkan pemahaman teori negara hukum sebagaimana di uraikan di atas, keterkaitan
dengan partisipasi masyarakat dalam pebentukan Perda ditempatkan pada : pertama, bahwa
partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda, dilihat dari aspek formal negara hukum
mengarah pada sumber hukum dan bentuk pengaturan partisipasi masyarakat tersebut untuk
tercapainya keadilan formal. Kedua, keterkaitan partisipasi masyarakat dengan pendekatan
substantif negara hukum, yang mengarah pada perlindungan hak kelompok yang mengarah pada
keadilan substansi yaitu masyarakat sebagai komunitas yang memiliki hak untuk berpartisipasi
9 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, dalam Ida Ayu Arniti (editor), Percetakan Bali, Denpasar, h. 207.
10
Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Refika Aditama Bandung, h. 3.
11
Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum …, op.cit., h. 193..
46
dan diakui secara legal formal serta desa pakraman berhak berpatisipasi dalam pembentukan
Perda.
Berdasarkan keterkaitan teori negara hukum dengan partisipasi masyarakat, perlu
diformulasikan substansi yang jelas dalam Peraturan Perundang-undangan terkait dengan
partisipasi masyarakat khususnya partisipasi desa pakraman, apakah itu difinisi konsep, tata
cara dan implikasinya (apakah partisipasi masyarakat tersebut diakomodir sehingga menjadi
bahan pertimbangan bagi para pembentuk hukum). Perlunya pengaturan partisipasi masyarakat
secara jelas terkait dengan tata cara partsisipasi dalam Peraturan Perundang-undangan
berimplikasi pada aspek kepastian hukum dan aspek keadilan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda. Dengan demikian maka relevansi teori negara hukum Tamanaha terkait
partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda adalah untuk menganalisis landasan
perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman, penafsiran Pemerintah Daerah dan masyarakat
terhadap partisipasi desa pakraman dan model partisipasi desa pakraman yang ideal dalam
pembentukan Perda. Penggunaan teori negara hukum Tamanaha berujung pada tercapainya
keadilan formal dan keadilan substantif terkait dengan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda.
2.1.2. Teori Pluralisme Hukum
Pluralisme hukum yang menunjukan kondisi adanya lebih dari satu sistem atau institusi
hukum yang secara bersama-sama dalam berbagai aktifitas dan hubungan12
. Gambaran kondisi
hukum seperti ini sangat kental dengan keberadaan hukum di Indonesia. Salah satu hukum yang
12 Franz dan Keebet Von Benda Beckmann,2001, Jaminan Sosial, umber Daya Alam dan Kompleksitas
Hukum, dalam Franz von benda Beckman, Keebet Von Benda Beckmann, Juliette Koning (editor), Sumber Daya
Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, h.29
47
berlaku adalah hukum adat, dimana di dalamnya ada desa pakraman sebagai kesatuannya.
Mengacu teori Griffiths bahwa adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena social “
by legal pluralism’I mean the presence in a social field of more than one legal order”.13
Selanjutnya Griffiiths membedakan pluralisme hukum menjadi dua yaitu weak legal pluralism
dan strong legal pluralism . Pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme
hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum tetapi hukum negara tetap
dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarki di
bawah hukum negara. Pluralisme hukum yang lemah juga disebut dengan pluralisme hukum
negara. Pluralisme hukum yang kuat memandang semua sistem hukum yang ada dipandang
sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hirarki yang menunjukkan sistem hukum
yang satu lebih tinggi dari yang lain.14
Semnetara pandangan Sally Falk Moore dengan teorinya
the semi-autonomous social field yang menyatakan ”Law is the self regulation of a semi-
autonomous social field”15
. Teori semi-autonomous social field dipahami bahwa sistem hukum
yang satu berada di lingkungan atau lingkaran sistem hukum lain yang lebih besar (sistem hukum
adat berada dalam lingkaran sistem hukum negara).
Selanjutnya Werner Menski dengan konsep segitiga pluralisme (triangle pluralist)
menegaskan bahwa ada tiga (3) unsur utama yaitu unsur masyarakat, unsur negara dan unsur
nilai dan etika yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam konteks praktek hukum
13
John Griffiths, 1986, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, number
24, 1986, ISSN 0732-9113, h. 1
14
Sulistyowati Irianto, 2003, “Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saat Krisis”, dalam E.K.M. Masinambow
(editor), Hukum Dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70
Prof. Dr. T.O.Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, h.66-67.
15
Sally Falk Moore, 1978, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate
Subject of Study”, dalam Law as Process An Anthropological Approach, Routledge & Kean Paul, London, Boston,
Melbourne an Henley, h. 54. Lihat juga Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial
Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi (editor), Antropologi Hukum Sebuah
Bunga Rampai,Yayasan Obor Indonesia,h. 150.
48
tiga (3) unsur utama segitiga pluralisme tersebut saling berinteraksi dan bernegosiasi antara
hukum masyarakat, hukum Negara dan hukum agama. Masing-masing tipe hukum tersebut
bersifat pluralistik. Sebagaimana ditegaskan Menski, pada tipe hukum masyarakat ada norma
hukum asli tanpa dipengaruhi hukum lain, di sisi lain aturan yang ada dalam masyarakat
mendapat pengaruh dari hukum Negara dan hukum agama. Dalam tipe hukum Negara juga
berlaku hal yang sama. Selanjutnya tipe hukum agama murni lahir dari input-input moral,etika
dan agama sendiri, namun disi lain sebagaian besar eksistensi dan bentuknya berasal dari hukum
Negara dan input-input sosial.16
Berdasarkan pada pemahaman segitiga pluralisme hukum Menski, maka tidak bisa
mengabaikan begitu saja fenomena hukum yang tidak kasat mata (nilai, etika) yang melekat
dalam peraturan-peraturan resmi maupun tidak resmi. Bentuk peraturan-peraturan yang
dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial hanya dapat dianalisis dengan sadar-pluralistis17
sebagaimana diungkap Menski. Berdasarkan pemahaman teori pluralisme hukum dan dikaitkan
dengan partisipasi masyarakat, tampak ada dasar bahwa pluralisme hukum menjadi landasan
desa pakraman untuk berpartisipasi dalam pembentukan Perda.
2.1.3. Teori Pembentukan Legislasi
Teori pembentukan legislasi yang digunakan yaitu teori dari Jan Michiel Otto, Suzan
Stoter dan Julia Arnscheidt. Jan Michiel Otto, Suzan Stoter dan Julia Arnscheidt
mengklasifikasikan 5 (lima) tahapan dalam pembentukan legislasi 18
yaitu:
16
Werner Menski, 2015, Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia Dan Afrika:
Comparative Law In A Global Context, Nusamedia, Bandung, h. 816-819.
17
Werner Menski, 2015, Perbandingan …, Ibid, h. 813.
18
J.M. Otto at.al, 2008, “Using Legislative Theory to Improve Law and Development Projects” dalam
Lawmaking For Development Explorations Into The Theory And Practice Of International Legislative Projects,
Leiden University Press, h. 70. Lihat juga J.M. Otto at.al., 2012, “Penggunaan Teori Pembentukan Legislasi Dalam
49
1. An evaluation of the effectiveness of the existing law before under- taking steps to
improve upon it.
2. The development of an understanding of why laws are effective or ineffective.
3. An analysis of problems in need of regulation.
4. An analysis of the lawmaking process.
5. An analysis of the feasibility of a legislative .
Dalam konteks pembentukan Perda dapat dipahami, bahwa pentahapan yang harus dilakukan
adalah :
1. Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada, sebelum dilakukan upaya untuk
memperbaiki atau mengganti legislasi yang ada. Dalam tahapan evaluasi ini, sebelum
mengganti peraturan, perlu dilakukan upaya untuk memahami terlebih dahulu terkait
dengan legislasi yang sudah ada dan selanjutnya menelaah apakah substansi yanga ada di
dalamnya konsisten, serta apakah ketentuan tersebut memiliki relevansi untuk
memajukan kepentingan masyarakat (desa pakraman).
2. Upaya untuk memahami mengapa hukum efektif atau tidak efektif. Dalam konteks ini
untuk mengetahui suatu peraturan hukum efektif ataupun tidak efektif dapat dilakukan
dengan memperhatikan kenyataan bahwa keberhasilan atau kegagalan perturan hukum
dipengaruhi berbagai faktor institusional dan kepentingan kelompok.
3. Analisis permasalahan yang hendak diatur melalui perangkat legislasi.
Dalam menganalisis ada 4 langkah yang digunakan yaitu :
1. Identifikasi masalah sosial.
2. Menganalisis dan menjelaskan masalah sosial.
3. Mengajukan usulan pemecahan masalah dengan didukung bukti-bukti termasuk
mengajukan rancangan peraturan baru.
Rangka Perbaikan Kualitas Hukum Dan Proyek-proyek Pembangunan” dalam Adriaan W. Bedner, Sulistyowati
Irianto, Jan Michiel Otto, Theresia Dyah Wirastri (editor), Kajian Sosiolegal, Pustaka Larasan, Denpasar, h.199.
50
4. Membangun mekanisme pengawasan dan evaluasi implementasi dalam rancangan
peraturan baru.
4. Analisis proses pembentukan legislasi yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Dalam konteks ini, setiap usulan penyelesaian masalah yaitu berupa rancangan peraturan
baru harus senantiasa membuka ruang seluas-luasnya untuk partisipasi masyarakat. Hal
ini dikarenakan kondisi masyarakat dan tata nilai yang heterogen, sehingga memerlukan
pengembangan terhadap bentuk atau model legislasi baru.
5. Analisis terhadap kelayakan pembentukan legislasi.
Dalam menganalisis kelayakan pembentukan legislasi, didasarkan pada teori-teori dan
realitas social mengenai dinamika masyarakat.
Berdasarkan pemahaman teori pembentukan legislasi di atas, dapat dipahami bahwa
suatu pembentukan legislasi tidak hanya dilihat sebagai kegiatan yang steril dan otonom
melainkan suatu pembentukan legislasi memiliki asal-usul sosial, tujuan sosial mengalami
intervensi sosial serta mempunyai dampak sosial.19
Teori pembentukan legislasi yang menempatkan pada 5 (lima) tahapan, maka
keterkaitannya dengan partisipasi masyarakat adalah terletak pada tahapan ke empat. Pada tahap
ke empat ini, menempatkan partisipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pembentukan
hukum. Dalam proses pembentukan hukum ini, dibuka ruang partisipasi seluas-luasnya untuk
masyarakat dan dapat memberikan masukan, saran dalam proses pembentukan legislasi. Dalam
konteks partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, nampaknya berkaitan erat dengan
tahapan ke empat teori pembentukan legislasi.
19
Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta Publishing,
Yogyakarta, h.137.
51
Berdasarkan pada teori pembentukan legislasi di atas, maka relevansi terhadap
partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda ditempatkan pada bahwa teori pembentukan
legislasi memberi landasan partisipasi desa pakraman pembentukan Perda, selanjutnya teori
pembentukan legislasi ditempatkan juga untuk menganalisis landasan perlunya pengaturan
partisipasi desa pakraman dan menemukan model ideal partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda.
2.1.4. Teori Partisipasi
Di dalam membahas partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, teori yang
penting dijadikan pisau analisis adalah teori partisipasi dari Sherry Arnstein. Teori partisipasi
Sherry Arnstein mengungkapkan ada 8 (delapan) tingkatan atau tangga partisipasi. Dalam AIP
Journal, Sherry Arnstein20
mengagambarkan tingkatan partisipasi masyarakat sebagai berikut:
Gambar 3
Derajat Partisipasi
Merujuk tingkatan partisipasi masyarakat dalam teori Sherry Arnstein, Sirajudin , Didik
Sukirno dan Winardi21
memaparkan bahwa :
20
Sherry R. Arnstein, 1969, A Ladder of Citizen Participation,"JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969, pp. 216-224.
21
Sirajuddin at.al, 2011, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara
Press, Malang, h.173.
8 Citizen control
7 Delegated power
6 Partnership
5 Placation
4 Consultation
3 Informing
2 Therapy
1 Manipulation
Degree of Citizen
Power
Degree of Tokenism
Nonparticipation
52
Matrik 11
Tangga partisipasi masyarakat dalam teori Sherry Arnstein
Tingkatan
Uraian
8 Kontrol warga negara (citizen control), pada tahap ini partisipasi sudah
mencapai tataran dimana publik berwenang memutus, melaksanakan dan
mengawasi pengelolaan sumber daya.
7 Delegasi kewenangan (delegate power), disini kewenangan masyarakat lebih
besar dari pada paenyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan.
6 Kemitraan (partnership), dalam hal ini ada keseimbangan kekuatan relatif
antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk merencanakan dan
mengambil keputusan bersama-sama. Dalam tingkatan ini mengakui eksistensi
hak masyarakat untuk ikut serta dalam pembentukan Undang-undang dalam
konteks ini (kebijakan daerah
5 Peredaman (Placation), merupakan partisipasi semu, dalam arti rakyat sudah
memiliki pengaruh terhadap kebijakan tapi bila akhirnya terjadi voting
pengambilan keputusan akan tampak sejatinya keputusan ada ditangan negara,
sedangkan kontrol dari rakyat tidak menentukan.
4 Konsultasi (consultation), pada tingkat ini rakyat di dengar pendapatnya lalu
disimpulkan, masyarakat telah berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dan lembaga Negara sudah memenuhi kewajiban dalam
konteks melibatkan rakyat.
3 Penginformasian (Informing), dapat dipahami masyarakat sekedar diberi tahu
akan adanya Peraturan Perundang-undangan, tidak peduli apakah masyarakat
pahamterhadap informasi tersebut, apalagi memberikan pilihan untuk
melakukan negosiasi atas kebiajakan tersebut.
2 Terapi (Therapy), dapat dipahami bahwa masyarakat korban kebijakan
dianjurkan mengadu kepada pihak yang berwenang namun tidak jelas
pengaduan dan tidak ditindak lanjuti.
1 Manipulasi (Manipulation), dapat dipahami bahwa lembaga negara melakukan
pembinaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat untuk seolah-olah
berpartisipasi padahal sejatinya yang terjadi adalah kooptasi dan represi
penguasa.
Memhami teori tangga partisipasi dari Sherry Arnstein, dapat dipahami bahwa ada tiga
pengelompokan besar partisipasi masyarakat yaitu tingkat kekuasaan masyarakat, tingkat
partisipasi semu dan tingkat tidak ada partisipasi. Selanjutnya David Wilcok22
menegaskan The
22 David Wilcok, 1994, “Community Participation And Empowerment: Putting Theory in to Practice”,
Published by the Joseph Rowntree Foundation The Homestead, 40 Water End York YO3 6L ISSN 0958-3084.
53
guide proposes a five-rung ladder of participation which relates to the stance an organisation
promoting participation may take:
Information: merely telling people what is planned.
Consultation: offering some options, listening to feedback, but not allowing new ideas.
Deciding together: encouraging additional options and ideas, and providing
opportunities for joint decision making.
Acting together: not only do different interests decide together on what is best, they form
a partnership to carry it out.
Supporting independent community interests: local groups or organisations are offered
funds, advice or other support to develop their own agendas within guidelines.
diadaptasi dari 8 (delapan) derajat Partisipasi Sherry Arnstein, David Wilcok
mengkategorikan partisipasi masyarakat menjadi 5 (lima) level yaitu :
Informasi : dapat dipahami hanya memberitahu orang-orang apa yang direncanakan.
Konsultasi : menawarkan beberapa pilihan, mendengarkan masukan, tetapi tidak
memungkinkan mengadopsi ide-ide baru.
Memutuskan bersama-sama : dapat dipahami bahwa mendorong opsi tambahan dan ide-
ide, dan menyediakan kesempatan untuk pengambilan keputusan bersama .
Bertindak bersama-sama : memutuskan secara bersama-sama untuk kepentingan yang
terbaik masyarakat. Dengan demikian perlu membentuk kemitraan untuk
melaksanakannya.
Mendukung kepentingan masyarakat yang mandiri : hal ini dapat dipahami bahwa
penting untuk mendukung kepentingan kelompok atau organisasi lokal untuk dapat
mengembangkan program mereka. Sebagai contoh menawarkan dana untuk
mengembangkan dan melaksanakan program yang telah diagendakan.
Lebih lanjut, Wilcok juga menyatakan bahwa pelaksanaan partisipasi masyarakat akan
sangat tergantung pada kepentingan yang hendak di capai. Dalam konteks ini, bahwa untuk
pengambilan suatu keputusan atau kebijakan hukum yang berdampak langsung pada kehidupan
54
masyarakat luas, maka dipandang perlu untuk melibatkan masyarakat secara penuh. Demikian
juga dalam memahami partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, bahwa desa
pakraman perlu dilibatkan secara penuh dan atas kesadarannya untuk berpartisipasi dalam
pembentukan Perda. Oleh karena itu Perda yang dibentuk atas kesadaran partisipasi desa
pakraman dapat berlaku efektif dan dirasakan berkeadilan oleh desa pakraman.
Berdasarkan pada pemahaman teori partisipasi, maka teori partisipasi sangat relevan untuk
pembahasan lebih lanjut terkait penafsiran Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap
partisipasi desa pakraman dan dengan mendasarkan pada teori partisipasi dapat menganalisis
model ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan daerah.
2.2. Konsep
Kejelasan konsep sangat diperlukan dalam menganalisis partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda. Gustav Radbruch membedakan konsep hukum menjadi dua (2) yaitu konsep
yuridis relevan (legally relevant consept) dan konsep hukum asli (genuine legal concepts).
Konsep yuridik relevan merupakan konsep yang merupakan komponen aturan hukum,
khususnya konsep yang digunakan untuk memaparkan situasi fakta dalam kaitannya dengan
ketentuan undang-undang yang dijelaskan denga interpretasi. Konsep hukum asli (genuine legal
concepts) merupakan konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah
aturan hukum.23
Berdasarkan pemahaman konsep hukum Gustav Radbruch, untuk mendapatkan
pemahaman konsep yang berkaitan dengan disertasi ini dilakukan dengan penelususran dalam
Peraturan Perundang-undangan dan doktrin. Konsep yang relevan yang digunakan dalam
disertasi ini sebagai berikut:
2.2.1. Konsep Partisipasi Masyarakat
23
Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang
Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 68. Lihat Mohamad Koesnoe, 2010,
Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif, Airlangga University Press, Surabaya, h. 37.
55
Di dalam pemahaman partisipasi masyarakat, tidak terlepas dari pemahaman demokrasi.
Jazim Hamidi tegas menyatakan bahwa wujud demokrasi adalah partisipasi. Dengan demikian
untuk dapat memahami partisipasi masyarakat secara jelas, perlu dipahami konsep demokrasi
terlebih dahulu.
Secara umum demokrasi diartikan pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat.24
Mukthie
Fadjar25
menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan
hukum, negara yang demokratis, berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan berkeadilan
sosial. Dengan demikian konsep demokrasi dipahami sebagai pola pemerintahan dimana
kekuasaan untuk memerintah berasal dari rakyat atau pola pemerintahan yang mengikutsertakan
secara aktif semua anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi aktif dari
masyarakat sebenarnya merupakan modal utama dalam keberhasilan pelakasanaan pemerintahan.
Prinsip demokrasi juga dapat dilihat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 secara tegas menyebutkan “...yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indoneisa yang berkedaulatan rakyat...”. Pernyataan ini dipahami bahwa seleuruh rakyat sebagai
pemilik kedaulatan rakyat. Prinsip kedaulatan rakyat juga dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945. Menarik menyimak komentar Jimly Asshiddiqie yang mengaskan bahwa
dalam Pasal 1 UUD NRI Tahun 1945 terdapat dua (2) prinsip yang saling berkaitan satu dengan
yang lain yaitu prinsip demokrasi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2), dan prinsip negara hukum
yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (3).26
Keterkaitan ini menunjukan bahwa ada satu rangkaian
24
Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum …, op.cit., h. 174.
25
A. Mukthie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur, h. 85.
26
Jimly Asshiddiqie,2009, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 12.
56
pemikiran yaitu demokrasi berdasarkan atas hukum dan di sisi lain hukum harus bersifat
demokrasi.
Di dalam perkembangan demokrasi, ada dua model yaitu demokrasi langsung dan
demokrasi tidak langsung.27
Demokrasi langsung dimaknai sebagai rakyat secara langsung
bertindak sebagai legislatif (dalam konteks ini rakyat ikut terlibat dalam pengambilan
keputusan), sedangkan demokrasi tidak langsung merupakan demokrasi yang dijalankan melalui
wakil rakyat atau demokrasi perwakilan. Selanjutnya, David Held mengembangkan menjadi 10
(sepuluh) model demokrasi yaitu :
1. Classical Democracy : rakyat berpartisipasi langsung dalam pelakasanaan fungsi legislative
dan yudisial.
2. Protective Democracy: masyarakat membutuhkan perlindungan dari pemimpin dan dari
warga lainnya. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan
pemimpin, melindungi sistem hukum dari pelanggar hukum.
3. Radical Model of Developmental Democracy : masyarakat menikmati persamaan politik dan
ekonomi, tidak ada orang yang menjadi bawahan orang lain. Legislative dan eksekutif
dipilih secara langsung.
4. Developmental Democracy: politik diperlukan untuk melindungi kepentingan individu dan
kemajuan kelompok yang terpelajar yang membangun masyarakat.
5. Direct Democracy and the End of Politics: negara diselenggarakan untuk mencapai
kebebasan semua warga negara. Urusan publik diatur dan dilaksanakan oleh masyarakat
termasuk memilih dan memberhentikan pegawai.
6. Competitive Elitist Democracy: antara masyarakat dengan kelompok saling berkompetisi
untuk memperoleh kekuasaan dan kepentinganya. Ciri utama dari model ini adalah
pemerintahan parlementer dengan eksekutif yang kuat atau pemerintahan presidensiil
dengan lemabaga legislative sebagai pengawas, adanya dominasi partai politik.
7. Pluralist Democracy: demokrasi dalam masyarakat yang beragam yang memiliki tujuan,
budaya dengan kekuatan masing-masing serta berupaya untuk mendapatkan sesuatu untuk
kelompoknya.
8. Legal Democracy: demokrasi ini menggambarkan negara berdasarkan atas konstitusi dan
berdasarkan atas hukum. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah
berdasarkan atas hukum.
9. Participatory Democracy: demokrasi ini menggambarkan adanya kesamaan hak masyarakat
untuk berpartisipasi langsung dalam pembangunan. Demokrasi ini juga menggambarkan
masyarakat berkeadilan dengan membuka ruang akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembengunan.
27
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi..., op.cit., h. 16.
57
10. Democracy Autonomy: masyarakat menikmati hak yang setara dan otonomi bagi kehidupan
individu yaitu menjamin hak dan kewajiban yang sama.28
Selanjutnya Richard A Posner membagi menjadi 2 (dua) model demokrasi yaitu 1) model
demokrasi deliberatif (deliberative democracy) dan demokrasi elit (elite democracy).29
Demokrasi deliberatif merupakan konsep demokrasi yang ideal yang memberi perhatian terhadap
partisipasi masyarakat dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Demokrasi
elit dipahami sebagai konsep demokrasi yang secara pragmatis sebagai kompetisi perebutan
kekuasaan oleh elit politik untukmendapatkan dukungan massa.
Berdasarkan konsep dan model demokrasi di atas, tampaknya partisipatory democracy
(demokrasi partisipasi) merupakan model demokrasi yang digunakan dalam pembahasan
disertasi ini. Demokrasi partisipasi memberi peluang dan akses terbuka partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan (pembentukan Perda). Sejalan dengan model demokrasi
partisipatif, menarik disimak mengenai demokrasi deliberatif dari Jurgen Habermas. Prinsip
demokrasi deliberatif menempatkan hukum sebagai perekat integrasi sosial yang mensyaratkan
penempatan manusia sebagai objek pengaturan hukum (mempunyai kedudukan yang setara)
maupun sebagai subjek yang membentuk hukum.30
Oleh sebab itu harus ada partisipasi
masyarakat dalam membentuk hukum melalui sarana dan jejaring komunikasi publik. Demokrasi
deliberatif menekankan adanya unsur partisipasi masyarakat dan kesetaraan setiap anggota
28
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi..., Ibid., h. 17-20., lihat juga Munir Fuady, 2010, Konsep ..., op.cit, h.7-
9.
29
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi..., Ibid.
30
Munir Fuady, 2010, Konsep Negara …, op.cit.,h.151.
58
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.31
Dengan demikian
ada keterkaitan yang erat antara demokrasi partisipatif dengan demokrasi deliberatif.
Demokrasi deliberatif dimaknai sebagai partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan dilakukan secara transparan, sehingga dibutuhkan ruang-ruang publik untuk
memudahkan masyarakat dalam mengakses, mengkritisi bahkan diskursus terkait dengan
substansi produk hukum (Perda) yang dibentuk. Model demokrasi partisipasi yang mengarah
pada demokrasi deliberatif pada intinya mmberi peluang dan akses terbuka partisipasi
masyarakat.
Partisipasi masyarakat dapat dipahami keterlibatan masyarakat ataupun keikutsertaan
masyarakat. Selanjutnya konsep partisipasi dapat ditelusuri dari berbagai pendapat para ahli,
yaitu Samuael P Huntington dan Joan Nelson memberikan pendapat mengenai partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah.32
Kelompok belajar Partisipasi Bank Dunia merumuskan partsisipasi
sebagai suatu proses melalui steakholder mempengaruhi dan ikut berbagi (share) kontrol
atas/terhadap prakarsa dan keputusan serta sumber daya pembangunan yang mempengaruhi
mereka.33
Herbert Mc Closky menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengammbil bagian dalam proses
pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan
31
F Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori
Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius Yogyakarta, h. 128.
32
Lihat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembangan, Jakarta,
Renika Cipta, lihat juga Sijaruddin, Didik Sukrino dan Winardi, 2011, Hukum Pelayanan publik …,op.cit., h.171.
33
I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dan Implementasinya Di
Dalam Penyelenggaraan Pemeritahan Daerah Di Bali, Disertasi pada Progam Studi Ilmu Pada Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, h.66.
59
kebijakan umum.34
Norman H Nie dan Sidney Verba menyatakan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk
mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan lain yang diambil oleh
mereka.35
Lebih lanjut, Jazim Hamidi membagi konsep partisipasi menjadi :
Partisipasi sebagai kebijakan yaitu memandang partisipasi sebagai prosedur konsultasi para
pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek Perda.
Partisipasi sebagai strategi yaitu memandang bahwa partisipasi sebagai salah satu strategi
untuk mendapatkan dukungan masyarakat demi kredibilitas kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah.
Partisipasi sebagai alat komunikasi yaitu melihat partisipasi sebagai alat komunikasi bagi
pemerintah (sebagai pelayan rakyat) untuk mengetahui keinginan rakyat.
Partisipasi sebagai penyelesaian sengketa yaitu partisipasi sebagai alat penyelesaian
sengketa dan toleransi atas ketidak percayaan dan kerancuan yang ada dalam masyarakat.36
Selanjutnya Ann Seidman dkk juga menyatakan perlunya partisipasi masyarakat dalam
pembentukan perundang-undangan yaitu stakeholders (pihak mempunyai kepentingan) memiliki
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik, dan mengambil bagian
dalam pembuatan keputusan.37
34
Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Partisipasi Publik Dalam Perumusan Kebijakan Daerah”, Makalah
Raound Table Discussion “ Partisipasi Publik Dalam Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2004” diselenggarakan oleh
The International Republican Institute (IRI), Denpasar, hal.5.
35
Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Partisipasi …, Ibid.
36
Jazim Hamidi at.al, 2008, Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Perstasi Pustaka Publiher,Jakarta,
h 48.
37
Ann Seidman at.al, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang
Demokratis : Sebuah Panduan untuk Pembuatan Rancangan Undang-Undang, diterjemahkan oleh Yohanes
Usfunan at.al, Edisi kedua, Proyek ELIPS Departemen Kehakinam dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.,
h.8.
60
Difinisi konsep partisipasi dapat dilihat dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu terdapat
dalam Pasal 1 angka 41 UU 23/2014 yang menentukan bahwa partisipasi masyarakat merupakan
peran serta masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Konsep partisipasi juga diatur dalam Pasal 70 UU
32/2009 yang menentukan peran masyarakat adalah masyarakat memiliki hak dan kesempatan
yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Dalam Pasal 5 PP 68/2010 ditentukan peran masyarakat merupakan partisipasi
aktif masyarakat di dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Berdasarkan difinisi konsep partisipasi dalam Peraturan Perundang-
undangan di atas, dipahami bahwa partisipasi masyarakat merupakan peran masyarakat dan
peranserta masyarakat. Pemahaman difinisi peran dan peranserta masyarakat adalah berbeda.
Perbedaan tersebut dilihat dalam konsep peran dirtikan sebagai pemain utama (actor utama),
sedangkan peran serta diartikan sebagai ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan38
.
Berdasarkan pemahaman konsep partisipasi di atas, bahwa konsep partisipasi yang
digunakan dalam disertasi ini adalah partisipasi masyarakat yang dapat dimaknai bahwa
partisipasi masyarakat merupakan peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
(pembentukan Perda).
John Cohen and Norman Uphoff 39
menyatakan The main kinds of participation that
warrant major concern are: (1) participation in decision-making; (2) participation in
implementation; (3) participation in benefits; and (4) participation in evaluation. Memahami
38
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga, Balai
Pustaka Jakarta.
39
John Cohen and Norman Uphoff, 1980, “Participation's Place In Rural Development: Seeking Clarity
Through Specificity” World Development, Volume 8, Issue 3, Pages 213-235.
61
jenis-jenis partisipasi masyarakat di atas dapat dijelaskan: Pertama participation in decision
making merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam memberi saran dan kritik tentang
proses pembuatan keputusan atau kebijakan pemerintah; Kedua, participation in implementation
yaitu masyarakat terlibat dalam mengimplementasi keputusan atau kebijakan pemerintah. Ketiga,
participation in benefit, masyarakat turut menikmati hasil atau manfaat dari implementasi
keputusan atau kebijakan pemerintah dan keempat, participation in evaluation, adalah
kontribusi masyarakat dalam mengevaluasi keputusan atau kebijakan pemerintah. Memahami
pemikiran John Cohen and Norman Uphoff , maka posisi partispasi desa pakraman dalam
penelitian ini terletak participation in decision-making yaitu berpartisipasi dalam memberikan
masukan, saran dan kritik dalam pembentukan Perda. Dalam konteks disertasi ini dipahami
konsep partisipasi adalah peran masyarakat dalam proses pembentukan Perda.
2.2.2. Konsep Masyarakat Sebagai KMHA
Difinisi konsep masyarakat dilihat dalam pandangan David C. Korten menyatakan
masyarakat adalah The term community popularly implies a group of people with common
interests.40
Soerjono Soekanto menyebut bahwa masyarakat merupakan terjemahan society,
yang berarti jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas (sebuah komunitas yang
interdependen/saling tergantung satu sama lainnya).41
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa
masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai
suatu community atau society. 42
Selanjutnya difinisi konsep masyarakat dapat dilihat dalam
Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 yang menentukan bahwa masyarakat adalah orang perseorangan
40
David C. Korten, 1998, “Introduction ..., loc.cit.
41
Nur Rohim Yunus, 2013, “Menciptakan..., loc.cit..
42
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara ..., loc.cit.
62
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan. Selanjutnya untuk menegaskan difinisi konsep masyarakat dapat dilihat
dalam penjelasan Pasal 96 ayat (3) menentukan yang termasuk dalam kelompok orang antara
lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat adat. Dalam Pasal 1 angka 8 PP 68/2010 juga menentukan bahwa masyarakat adalah
orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau
pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. Berdasarkan pemahaman di
atas, difinisi konsep yang di bangun dalam disertasi ini adalah bahwa KMHA merupakan
masyarakat. Pemahaman KMHA sebagai masyarakat dalam konteks pembentukan Perda adalah
bahwa KMHA berhak untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan Perda sebagaimana diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pemahaman KMHA sebagai masyarakat dalam konteks disertasi ini adalah desa
pakraman. Berdasarkan putusan Makamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian
UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap UUD
NRI Tahun 1945 yang menetapkan klasifikasi dan kriteria KMHA. Desa pakraman sebagai
KMHA memenuhi kreteria sebagaimana ditetapkan putusan Makamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007 yaitu 1) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-
feeling group); 2) adanya pranata pemerintahan adat; 3) adanya harta kekayaan atau benda-benda
adat; 4) adanya perangkat norma hukum adat dan 5) adanya wilayah tertentu.
Kriteria desa pakraman sebagai KMHA dapat dilihat dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 3 TTahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3
Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Secara singkat dapat cermati unsur-unsur desa pakraman
63
adalah 1) desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat yang dapat dimaknai adanya
masyarakat yang memiliki perasaan kelompok; 2) adanya unsur khayangan tiga (Pura Desa,
Pura Puseh dan Pura Dalem) dapat dimaknai sebagai harta kekayaan atau benda-benda adat; 3)
perangkat hukum adat dapat dimaknai sebagai awig-awig desa pakraman; 4) mempunyai
wilayah tertentu.
Berdasarkan pemahaman kriteria KMHA dalam putusan Makamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007dan pemahaman difinisi konsep desa pakraman dalam Perda Perda Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, dalam disertasi ini desa pakraman telah
memenuhi kriteria sebagai KMHA dan masyarakat. Dengan demikian pemahaman yang
dibangun adalah desa pakraman termasuk masyarakat.
2.2.3. Konsep Peraturan Daerah
Merujuk pemahaman konsep hukum dari Gustav Radbruch, di dalam penelusuran konsep
Perda dimulai dari konsep yuridik relevan yang mencari konsep Perda di dalam Peraturan
Perundang-undangan. Di dalam Pasal 1 angka 25 UU 23/2014 bahwa Perda merupakan Perda
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 UU 12/2011 menegaskan bahwa Perda
Provinsi merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur. Demikian juga dalam Pasal 1 angka 8 yang menegaskan bahwa
Perda Kabupaten/Kota merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Difinisi konsep Perda juga diatur
dalam Pasal 1 angka 4 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang yang menentukan bahwa
64
Perda merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan
berdama Kepala Daerah.
Berkaitan dengan keberadaan Perda, dapat ditelusuri dalam Pasal 7 UU 12/2011 yang
dengan tegas menentukan bahwa Perda termasuk dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan.
Difinisi konsep Peraturan Perundang-undangan ditentukan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU
12/2011 yaitu Peraturan Perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma
hukum dan mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan. Dalam pemahaman ini, Perda merupakan peraturan tertulis dan berlaku umum serta
dibentuk oleh lembaga yang berwenang.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda didasarkan pada Pasal 18
ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan
Peraturan Daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Pemahaman melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan menunjukan dianutnya asas
desentralisasi. Makna desentralisasi dipahami sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan
dari pusat kepada daerah dimana kewenangan yang bersifat otonom dalam arti kewenangan
untuk melaksanakan pemerintahannya.43
Kewenangan Pemerintah Daerah yang bersifat otonom
berkaitan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang menetukan bahwa
Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI
Tahun 1945 dimaknai bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan mengatur semua
urusan pemerintahan, termasuk dalam kewenangan untuk membentuk Perda. Selain itu,
43
Jazim Hamidi, 2011, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah Menggagas Peraturan Daerah Yang
Responsif dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka Publisher, 18.
65
pemahaman otonomi dimaknai daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat.44
Dengan demikian fungsi Perda dapat di
artikan untuk penyelenggaraan desentralisasi yang berupa pembentukan Perda dalam rangka
pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Menarik menyimak pandangan Jimly Asshiddiqie yang menunjukan bahwa Perda adalah
salah satu bentuk pelaksana undang-undang. Pada dasarnya sumber kewenangan ditentukan oleh
pembentuk UU, namun dalam hal tertentu Perda dapat mengatur sendiri hal-hal meskipun tidak
didelegasikan secara eksplisit kewenangannya oleh UU tetapi dianggap perlu diatur oleh daerah
untuk melaksanakan otonomi daerah yangs seluas-luasnya.45
Hal ini dipahami bahwa Perda yang
merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang di satu sisi dipahami Perda
melaksanakan ketentuan UU dan di sisi lain Perda melaksanakan ketentuan UUD secara
langsung serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan yang lebih tinggi seperti PP dan
Perpres.
Di dalam memahami difinisi konsep Perda, perlu juga dijelaskan mengenai materi
muatan Perda. Materi muatan Perda diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU 12/2011 yang pada
intinya ditegaskan bahwa materi muatan Perda berupa penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut dari
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan Perda juga diatur dalam Pasal
236 ayat (3) UU 23/2014 yang menentukan bahwa materi muatan Perda memuat
penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, penjabaran lebih lanjut ketentuan Peraturan
Perundang-undangan serta dalam ayat (4) diatur materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan
44
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme..., op.cit., h. 236. 45
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme..., Ibid.,h. 266.
66
Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan pemahaman materi muatan Perda dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya memberi arah pembentukan Perda yang memuat
substansi keanekaragaman daerah. Keanekaragaman daerah salah satunya adalah keberadaan
KMHA yang senyatanya ada di setiap daerah, yang mempunyai kekhasan yang harus diakui dan
dilindungi. Dalam hal ini Pemerintah Provinsi Bali mengambil sikap membentuk Perda Nomor 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Pemahaman konsep Perda termasuk pemahaman prinsip dasar pembentukan Perda.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU 12/2011 yang menegaskan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Dengan demikian dipahami bahwa
dalam setiap tahapan proses pembentukan Perda selalu dilingkupi prinsip dasar pembentukan
Perda. Berdasarkan Pasal 5 dan 6 UU 12/2011 jelas diatur prinsip dasar proses pembentukan dan
prinsip dasar mengenai materi muatan Perda. Prinsip dasar dalam Pasal 5 UU 12/2011
menentukan asas-asas dalam proses pembentukan Perda yang meliputi : kejelasan tujuan,
kelembagaan dan pejabat pebentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan; dan
keterbukaan. Menarik untuk dipahami prinsip keterbukaan yang dalam konteks ini dipahami
prinsip keterbukaan dimulai dari tahap perencanaan, penyususnan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan dan pengundangan. Prinsip keterbukaan dalam pembentukan Perda dimaknai adanya
partisipasi masyarakat seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan
Perda. Selanjutnya prinsip dasar dalam menentukan materi muatan Perda sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 UU 12/2011 yaitu asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
67
pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan asas kesimbangan, keserasian dan
keselarasan. Pada ayat (2) disebutkan bahwa prinsip lain yang terkait dengan prinsip dasar materi
muatan adalah asas yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Berdasarkan pemahaman konsep Perda sebagaimana telah dijelaskan, nampaknya memberi arah
untuk membantu dalam pemahaman secara komprehensif terkait dengan partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan Perda.
1.1.Kerangka Berfikir
Berdasarkan kerangka teori dan konsep di atas yang secara rinci menjelaskan relevansi
teori terhadap permasalahan yang di bahas, maka untuk lebih mudah memahami teori tersebut
selanjutnya dituangkan dalam bentuk kerangka berfikir. Model kerangka berfikir sebagai
berikut:
68
Teori Negara
Hukum (Tamanaha)
Formal dan
substantif
Gambar 4: Kerangka Berfikir Disertasi
dis
Latar Belakang
Konstitusi
Pasal 18 B ayat (2)
Pasal 27 ayat (1)
Pasal 28 C ayat (2)
Pasal 28 D ayat (3)
Pasal28 E ayat (2) dan
ayat (3)
Pasal 28 H ayat (2)
Pasal 28 I ayat (3)
Undang-Undang
U 23/2014 dan UU 12/2011.
PP 68/2010
Perpres 87/2014
Permendagri 56/2014
Perda Prov,kab/Kota
RUU PPMA
R. Permenkumham
Problem norma
1. Problem yuridis Ada ketidakjelasan
norma.
2. Preblem sosiologis
Adanya pengabaian hak
desa pakraman dalam berpartisipasi.
3. Problem Filosofis: Tidak ada keadilan bagi
desa pakraman untuk
berpartisipasi dalam pembentukan Perda.
Adanya ketegangan Filsafat positivisme
hukum yang cenderung mematikan partisipasi
desa pakraman dan
filsafat sociological jurisprudence yang
nenungkinkan
partisipasi desa pakraman..
4. Problem teoritik Mengabaikan ilmu
sosial dalam kajian
pembentukan Perda.
Adanya ketegangan
sentralisme hukum dan pluralisme hukum
5. Problem Politik Hukum tidak ada politik hukum
terkait tata cara
partisipasi masyarakat dalam UU 23/2014 dan
UU 12/2011 yang
berakibat pengabaian hak partisipasi desa
pakraman dalam
pembentukan Perda.
Apakah yang menjadi
landasan
perlunya pengaturan
partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan
Perda?
Metode penelitian
Jenis Penelitian
hukum
Mentode pendekatan :
a. Pendekatan konseptual
b. Pendekatan
Peraturan Perundang-
undangan.
c. Pendekatan filsafat.
d. Pendekatan
sejarah e. Pendekatan
sosiolegal.
Sumber data
primer: data
hukum dan data lapangan.
Sumber data
sekunder : bahan hukum
primer,
sekunder dan tersier.
Teknik pengumpulan
data yaitu studi
dokumen dan studi lapangan.
Teknik analisa
Hermeneutika hukum.
Teori Pluralisme
Hukum (hk negara mengakui
kemajemukan
hukum)
Bagimanakah Pemerintah
Daerah dan
masyarakat menafsirkan
partisipasi desa
pakraman selama ini dalam
proses
pembentukan Perda?
T eori Pembentukan
Legislasi Jan
Michiel Otto, Suzan Stoter dan
Julia Arnscheidt
Bagaimanakah
model partisipasi desa
pakraman yang
ideal dalam pembentukan
Perda?
T eori Partisipasi : (elemen ke 6 dan
ke 4) yaitu
kemitraan dan konsultasi
Hasil dan Pembahasan
Simpulan Rekomendasi Temuan