laporan tahunan hb - unud
TRANSCRIPT
LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING
SIMBIOSE MUTUALISME PERTANIAN DENGAN VILA MELALUI AGROWISATA DI KAWASAN
PARIWISATA UBUD, BALI Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Ketua/Anggota Tim:
I Made Kusuma Negara, S.E., M.Par. (0029057805)
I Made Adikampana, S.T., M.T. (0024027704)
UNIVERSITAS UDAYANA
Oktober, 2015
3!!
RINGKASAN
Keberadaan vila di sekitar areal pertanian di kawasan pariwisata Ubud belum mampu memberikan manfaat berarti bagi masyarakat lokal khususnya petani. Para petani yang tergabung dalam institusi subak kemudian melakukan resistensi berupa pembenaran terhadap berbagai aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat yang dibangkitkan pariwisata. Pembenaran yang dilakukan cenderung kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan pariwisata. Terkait dengan fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan memadukan aktivitas pertanian dengan vila yang berada di sekitarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat tiga target penelitian yang harus dicapai khususnya pada tahun pertama ini, yaitu : mengidentifikasi manfaat vila bagi aktivitas pertanian di sekitarnya, mengetahui sikap petani terhadap keberadaan vila di sekelilingnya, dan sebaliknya juga mengetahui sikap manajemen vila terhadap aktivitas pertanian di sekitarnya. Konsep agrowisata dan pariwisata berbasis masyarakat digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini. Agrowisata merupakan jenis pariwisata alternatif yang menjamin adanya hubungan saling menguntungkan antara aktivitas pertanian dengan pariwisata (dalam konteks ini adalah jenis akomodasi vila). Kebutuhan data guna menjawab pertanyaan penelitian dipenuhi melalui berbagai teknik, yaitu tinjauan pustaka, observasi, dan wawancara. Data yang terkumpul dikelompokkan dan dijabarkan sesuai target penelitian dan kemudian dibahas secara deskriptif untuk mencapai tujuan penelitian. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa terdapat dualisme cara pandang antara petani atau disebut dengan krama subak dengan pihak vila terhadap aktivitas pertanian. Dualisme ini menciptakan hubungan atau relasi disharmonis diantara krama subak dan pihak vila. Masing-masing pihak berupaya menjaga eksisnya dualisme cara pandang tersebut melalui berbagai siasat yang menghasilkan praktik-praktik kontra produktif dalam pengembangan pariwisata. Ini menunjukkan belum ada perspektif yang sama dan bersama dalam memandang aktivitas pertanian sebagai basis atraksi wisata. Untuk itulah diperlukan strategi guna menciptakan ruang bersama berupa ranah pariwisata yang mengakomodasi kepentingan krama subak dengan pihak vila. Berdasarkan modal yang dimilikinya, maka pariwisata yang ideal dikembangkan adalah berbasis pertanian atau agrowisata, mengingat aktivitas pertanian yang ditopang oleh sistem subak masih eksis dan juga telah ada usaha akomodasi berupa vila yang memanfaatkan lansekap pertanian. Dengan kata lain diperlukan upaya menciptakan ranah agrowisata guna mengikis dualisme antar krama subak dan pihak vila di kawasan pariwisata Ubud.
4!!
PRAKATA
Puji Syukur kehadapan Tuhan atas segala yang diberikan dan dengan
limpahan perhatian, bantuan, dukungan serta dorongan yang sangat berarti kepada
tim peneliti untuk menyelesaikan laporan tahunan penelitian Hibah Bersaing.
Penelitian Hibah Bersaing untuk tahun pertama ini fokus mengkaji manfaat vila
bagi aktivitas pertanian di sekitarnya, sikap petani terhadap keberadaan vila, dan
sikap manajemen vila terhadap aktivitas pertanian di kawasan pariwisata Ubud.
Untuk penyelesaian laporan penelitian ini, tim peneliti mengucapkan
terima kasih kepada: Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemristekdikti,
Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Universitas Udayana, Dekan Fakultas
Pariwisata Universitas Udayana, dan Ketua Program Studi S1 Destinasi
Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan
mendorong tim peneliti untuk melaksanakan fungsi penelitian terkait dengan
pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak lupa juga tim peneliti
mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Lodtunduh, Ubud, krama
subak, dan manajemen vila atas segala informasi yang diberikan.
Tim peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan
penelitian ini, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga laporan
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan
dan besar harapan kami agar penelitian ini dapat dilanjutkan untuk merumuskan
model pengembangan pariwisata yang memadukan aktivitas pertanian dengan vila
yang berada di sekelilingnya.
Denpasar, Oktober 2015
Tim Peneliti
5!!
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ 1
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. 2
RINGKASAN ...................................................................................................... 3
PRAKATA ........................................................................................................... 4
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 5
DAFTAR TABEL ................................................................................................ 7
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... 8
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ 9
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 10
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 10
1.2. Urgensi Penelitian ......................................................................................... 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
2.1. Agrowisata .................................................................................................... 13
2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat .................................................................... 15
2.3. Modal ............................................................................................................ 19
2.4. Peta Jalan Penelitian ...................................................................................... 20
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .......................................... 21
3.1. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 21
3.2. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 21
BAB 4. METODE PENELITIAN ........................................................................ 22
4.1. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 22
4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 22
4.3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 22
4.4. Analisis Deskriptif ........................................................................................ 23
4.5. Bagan Alir Penelitian .................................................................................... 24
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 25
5.1. Perspektif Vila dan Krama Subak terhadap Pertanian .................................. 25
5.2. Siasat Vila dan Krama Subak Mempertahankan Eksistensi Dualisme ......... 27
5.2.1. Siasat pihak vila ......................................................................................... 27
5.2.2. Siasat institusi subak .................................................................................. 29
6!!
5.3. Dari Siasat Menuju Strategi .......................................................................... 30
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA .............................................. 32
6.1. Tujuan Penelitian Tahun Berikutnya ............................................................ 32
6.2. Bagan Alir Penelitian Tahun Berikutnya ...................................................... 32
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34
LAMPIRAN ......................................................................................................... 37
7!!
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar ... 17
8!!
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Jalan Penelitian ........................................................................... 20
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian ......................................................................... 24
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian Lanjutan .......................................................... 32
9!!
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen Penelitian ........................................................................ 37
Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti ............................................................... 39
Lampiran 3. Publikasi .......................................................................................... 46
10!!
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pariwisata sebagai bagian dari kegiatan manusia menimbulkan dampak
yang tidak hanya dialami pelaku kegiatan (konsumen maupun produsen), tetapi
juga oleh masyarakat di sekitar lokasi produksi, konsumsi dan pola-pola
perjalanan wisata (Yang et al., 2013). Saat ini pariwisata dikembangkan sebagai
salah satu strategi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Andereck dan
Nyaupane, 2011). Hal ini disebabkan karena pariwisata merupakan industri yang
mampu menciptakan berbagai manfaat, baik secara langsung (direct effects), tidak
langsung (indirect effects), maupun ikutan (induced effects) bagi masyarakat
(Stynes et al., 2000; Okazaki, 2008). Ketika pariwisata mulai dikembangkan,
pertimbangan awal yang menjadi fokus utama adalah memastikan bahwa
pariwisata dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat di
sekitarnya atau disebut dengan masyarakat lokal (Sherman dan Dixon, 1991).
Manfaat pariwisata bagi masyarakat lokal tersebut selanjutnya akan
menumbuhkan penerimaan, dukungan, dan partisipasi masyarakat terhadap
pariwisata. Adanya penerimaan, dukungan, dan partisipasi masyarakat terhadap
pariwisata menurut Simpson, 2009 dan Matarrita-Cascante et al., 2010,
merupakan modal utama keberlanjutan pariwisata (sustainable tourism). Selain
itu, keberlanjutan pariwisata akan tercipta apabila industri pariwisata secara
simultan mampu memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan masyarakat (Liu,
2003). Sering kali penyebab munculnya permasalahan dalam pembangunan
pariwisata karena terabaikannya kepentingan masyarakat tersebut. Masyarakat
cenderung akan membenarkan berbagai cara untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhannya, meskipun cenderung kontra produktif dengan keberlanjutan
pembangunan pariwisata. Kondisi ini tentunya dapat memicu konflik kepentingan
di antara masyarakat lokal dan industri pariwisata.
Konflik kepentingan juga tampak dalam pembangunan pariwisata di
Ubud. Ubud merupakan salah satu kawasan pariwisata di Bali dengan keunikan
atraksi berbasis budaya masyarakat lokal (living culture). Selain itu, Ubud juga
mempunyai posisi strategis dalam kepariwisataan Bali karena tingkat
11!!
kunjungannya yang relatif tinggi. Ini dibuktikan dengan masuknya Ubud sebagai
satu-satunya destinasi di Bali bahkan di Indonesia dalam sepuluh besar destinasi
pariwisata terfavorit di Asia versi penghargaan Travellers's Choice Destinations
tripAdvisor (travel.okezone.com, 2014). Tingginya kunjungan ke Ubud, tentu saja
berdampak pada peningkatan penyediaan amenitas pariwisata, terutama fasilitas
akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang marak dikembangkan adalah vila.
Sebagian besar vila di Ubud memilih lokasi di wilayah perdesaan yang
menawarkan keautentikan budaya pertanian (agriculture) sebagai basis atraksi.
Namun akhir-akhir ini terdapat permasalahan yang melibatkan masyarakat lokal
terutama petani dengan keberadaan vila yang berada di sekitar areal pertaniannya.
Permasalahan ini diduga bersumber dari minimnya manfaat pariwisata dari
keberadaan vila yang diterima oleh petani. Para petani yang tergabung dalam
institusi subak melakukan pembenaran terhadap berbagai aktivitasnya untuk
mendapatkan manfaat pariwisata yang cenderung kurang memperhatikan
keberlanjutan pembangunan pariwisata. Untuk itu sangat penting dilakukan
penelitian yang dapat merumuskan alternatif pembangunan pariwisata
berkelanjutan yang dapat memberikan kontribusi atau manfaat yang tidak hanya
bagi produsen dan konsumen pariwisata, melainkan juga untuk petani yang
sejatinya adalah pemilik basis atraksi atau modal pariwisata tersebut.
1.2. Urgensi Penelitian
Masyarakat lokal merupakan komponen penting produk pariwisata di
suatu destinasi (Inskeep, 1991). Mengintegrasikan masyarakat lokal dalam
pengembangan produk pariwisata menjadi prasyarat mutlak keberlanjutan
pembangunan pariwisata. Integrasi tersebut dapat tercipta bila pariwisata secara
simultan mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal (Liu,
2003). Dengan kata lain, pariwisata harus dapat memberikan berbagai manfaat,
baik sosial budaya, lingkungan, maupun ekonomi bagi masyarakat lokal (Okazaki,
2008). Pengabaian terhadap pembagian manfaat pariwisata kepada masyarakat
akan menimbulkan permasalahan dan selanjutnya menjadi hambatan
keberlanjutan pembangunan pariwisata.
12!!
Permasalahan keberlanjutan pembangunan pariwisata juga teramati di
kawasan pariwisata Ubud, Bali. Ubud terkenal sebagai destinasi pariwisata yang
menawarkan kehidupan masyarakat perdesaan Bali yang memiliki budaya agraris
religius. Dengan basis atraksi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tren
pengembangan produk pariwisata Ubud termasuk akomodasinya lebih mengarah
ke wilayah perdesaan. Salah satu jenis akomodasi yang banyak dikembangkan
adalah vila. Sebagian besar pemilihan lokasi vila di kawasan pariwisata Ubud
berada di sekitar areal persawahan milik para petani atau krama subak.
Keberadaan vila ini tentu saja dapat memberikan dampak, baik positif maupun
negatif terutama bagi aktivitas pertanian. Namun sayang, adanya pengembangan
vila di sekitar areal persawahan belum memberikan manfaat yang berarti. Ini
ditunjukan dengan munculnya resistensi krama subak terhadap keberadaan vila.
Krama subak melakukan pembenaran terhadap berbagai aktivitasnya untuk
mendapatkan manfaat pariwisata yang cenderung kurang memperhatikan
keberlanjutan pembangunan pariwisata. Bentuk pembenaran tersebut diantaranya
membangun kandang penggemukan sapi di sekitar vila dengan maksud untuk
memberikan ketidaknyamanan aroma bagi penghuninya dan menghalangi view
vila ke areal persawahan dengan menanam pakan sapi dan pisang.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penelitian ini menjadi sangat
penting untuk membangun model pengembangan pariwisata yang memadukan
aktivitas pertanian dengan vila yang berada di sekelilingnya. Model yang
dibangun menyesuaikan dengan prinsip-prinsip pengembangan produk
agrowisata, yaitu adanya produk wisata berbasis aktivitas pertanian, interaksi
intensif antara petani dengan wisatawan, dan keautentikan pengalaman yang
didapatkan wisatawan (Flanigan et al., 2014). Dengan model ini diharapkan dapat
mengoptimalkan manfaat keberadaan vila khususnya bagi krama subak, sehingga
tercipta hubungan simbiose mutualisme antara pertanian dengan vila di kawasan
pariwisata Ubud, Bali.
13!!
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agrowisata
Istilah agrowisata (agrotourism) memiliki pemahaman yang sama dengan
agritourism yaitu kegiatan mengisi waktu luang di lingkungan pertanian (Sznajder
et al., 2009). Agrowisata dapat dijelaskan dari dua perspektif yang berbeda, yaitu
dari sisi wisatawan dan sisi industri pariwisata. Berdasarkan perspektif wisatawan,
agrowisata dipahami sebagai familiarisasi individu atau kelompok terhadap
aktivitas pertanian dengan terlibat di dalamnya untuk mendapatkan pengalaman
(Marques, 2006). Sedangkan dari perspektif industri pariwisata, agrowisata
merupakan penyediaan produk pariwisata baik atraksi, fasilitas maupun layanan
untuk menarik kunjungan ke lingkungan pertanian (Barbieri dan Mshenga, 2008).
Dengan demikian agar produk agrowisata yang dikembangkan dapat menarik dan
terbangun interaksi intens antara aktivitas pertanian dengan wisatawan maka skala
pengembangan yang dipilih adalah skala kecil (Kizos and Iosifides, 2007).
Berdasarkan hal tersebut, Flanigen et al., 2014 menyebutkan bahwa
pengembangan produk agrowisata harus memenuhi karakteristik sebagai berikut:
1. mengandung aktifitas pertanian atau proses produksi sektor pertanian dalam
arti luas
2. ikut terlibat dalam aktivitas pertanian
3. adanya keaslian pengalaman mengenai aktivitas pertanian
Seringkali pembahasan tentang produk agrowisata dikaitkan dengan
pengembangan wilayah perdesaan atau dalam konteks pariwisata dikenal dengan
istilah pariwisata perdesaan (Sznajder et al., 2009; Flanigen, 2014). Pariwisata
perdesaan dapat dilihat sebagai pariwisata yang tumbuh di wilayah perdesaan.
Namun pada dasarnya pariwisata perdesaan tidak hanya dapat dipahami
berdasarkan aspek geografis semata, melainkan juga menjadi bagian tidak
terpisahkan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal (Lane, 1994;
Roberts dan Hall, 2004). Untuk itu kemudian pariwisata perdesaan secara ideal
harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1. berlokasi di wilayah perdesaan
2. menjalankan fungsi-fungsi perdesaan
14!!
3. berskala kecil
4. bersifat tradisional
5. tumbuh perlahan dan seimbang
6. dikelola oleh masyarakat lokal
Untuk memenuhi keriteria tersebut, maka isu penting yang perlu
mendapatkan perhatian adalah dampak pengembangan pariwisata terhadap
wilayah perdesaan. Beberapa literatur menunjukkan bahwa dampak pariwisata
terhadap wilayah perdesaan akan berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis
wisatawan yang berkunjung, pengorganisasian produk pariwisata, integrasi
pariwisata dalam pengembangan masyarakat perdesaan, dan tahapan dalam siklus
hidup destinasi pariwisata (Briedenham and Wickens, 2004). Kajian-kajian
tersebut juga menyatakan bahwa selain ketrampilan, koordinasi dan kontrol
masyarakat lokal akan sangat menentukan dampak pariwisata perdesaan. Sebagai
contoh suatu kasus tentang kepemilikan usaha pariwisata perdesaan oleh individu
atau pengusaha non lokal telah menjadikan masyarakat lokal tidak mendapatkan
keuntungan berarti dari pengembangan pariwisata perdesaan. Page dan Getz
(1997) berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang sikap masyarakat lokal
terhadap pariwisata menyimpulkan bahwa masyarakat lokal yang mendapatkan
manfaat dan mempunyai kontrol terhadap pengembangan pariwisata cenderung
bersikap positif.
Dampak positif pariwisata memerlukan pertimbangan matang dan
memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan
berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan pariwisata yang ramah
lingkungan, layak secara ekonomi, dan dapat diterima oleh sosial budaya
masyarakat lokal. Menurut WTO (1998), pariwisata berkelanjutan harus
menjamin tiga hal penting yaitu:
1. memanfaatkan secara optimal (keseimbangan pemanfaatan) sumberdaya
lingkungan fisik
2. menghormati keaslian sosial budaya masyarakat lokal
15!!
3. memastikan kelayakan dan manfaat sosial ekonomi (pekerjaan, pendapatan,
layanan sosial, dan pengentasan kemiskinan) bagi seluruh pengambil
keputusan.
Pengembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan keterlibatan dari
segenap pengambil keputusan yang terkait serta kepemimpinan yang kuat untuk
memastikan tumbuhnya ruang-ruang berpartisipasi terutama untuk masyarakat
lokal. Pariwisata berkelanjutan juga harus mampu memberikan kepuasan dan
kesadaran bagi wisatawan tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan.
2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan salah satu jenis pariwisata yang
memasukkan partisipasi masyarakat sebagai unsur utama dalam pariwisata guna
mencapai tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Telfer dan Sharpley,
2008). Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran Garrod et al., (2001); Timothy
dan Boyd (2003) yang menyebutkan pariwisata berbasis masyarakat sebagai
partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Dalam hal ini, partisipasi
masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: ikut terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata.
Partisipasi dalam pengambilan keputusan berarti masyarakat mempunyai
kesempatan untuk menyuarakan harapan, keinginan dan kekhawatirannya dari
pembangunan pariwisata, yang selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam proses
perencanaan. Sedangkan mengambil peran dalam pembagian manfaat pariwisata
mengandung pengertian bahwa masyarakat semestinya mempunyai kesempatan
untuk memperoleh keuntungan finansial dari pariwisata dan keterkaitan dengan
sektor lainnya. Untuk itu pengembangan destinasi pariwisata seharusnya mampu
menciptakan peluang pekerjaan, kesempatan berusaha dan mendapatkan pelatihan
serta pendidikan bagi masyarakat agar mengetahui manfaat pariwisata (Timothy,
1999). Menurut Murphy (1985) pariwisata merupakan sebuah “community
industry”, sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata sangat tergantung dan
ditentukan oleh penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap pariwisata.
Implikasi pariwisata sebagai sebuah industri masyarakat adalah adanya kepastian
16!!
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata.
Berhubungan dengan hal tersebut, Mowforth dan Munt (1998) serta Ramukumba,
et al. (2011) kemudian membagi partisipasi masyarakat dalam tujuh tingkatan,
yaitu:
1. partisipasi manipulatif; adanya keterwakilan masyarakat dalam kelembagaan
pariwisata, namun wakil masyarakat ini tidak mempunyai kekuasaan
2. partisipasi pasif; masyarakat hanya diinformasikan hal yang sudah diputuskan
atau kejadian yang sudah berlangsung
3. konsultasi; masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh pihak eksternal
4. partisipasi material insentif; masyarakat berkontribusi dengan memberikan
sumber daya yang dimilikinya dan kemudian mandapat kompensasi material
berupa makanan dan minuman, pekerjaan, uang, dan insentif materi lainnya
5. partisipasi fungsional; pihak eksternal menginisiasi keterlibatan masyarakat
dengan membentuk kelompok untuk menentukan tujuan bersama dan terlibat
dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi partisipasi tersebut muncul
setelah adanya program dari pihak eksternal dengan tujuan untuk efektifitas
dan efisiensi program
6. partisipasi interaktif; masyarakat mengadakan analisis secara bersama-sama,
merumuskan program untuk mencapai tujuan, dan penguatan institusi lokal
dengan difasilitasi oleh pihak eksternal. Partisipasi jenis ini sudah ideal
karena masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang sistem dan struktur,
sehingga mampu mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan.
7. mobilisasi sendiri; masyarakat mempunyai inisiatif sendiri dalam proses
perencanaan pembangunan tanpa ada intervensi dari pihak eksternal. Peran
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sangat dibutuhkan dalam
menyediakan dukungan kerangka kerja.
Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat sering dipahami sebagai sesuatu
yang berseberangan dengan pariwisata skala besar (enclave), berbentuk paket (all
inclusive), pariwisata masal, dan minim keterkaitannya dengan masyarakat lokal.
Sehingga pariwisata berbasis masyarakat disebut juga sebagai pariwisata berskala
17!!
kecil, dibangun oleh masyarakat lokal, serta melibatkan berbagai elemen lokal
seperti pengusaha, organisasi, dan pemerintah lokal (Hatton, 1999 dalam Telfer
dan Sharpley, 2008; Leslie, 2012). Terkait dengan pembangunan pariwisata
berskala kecil, Jenkins (1982) telah melakukan perbandingan antara pariwisata
skala kecil dengan skala besar untuk mengetahui dampak pembangunan
pariwisata terhadap masyarakat lokal. Berdasarkan komparasi tersebut diketahui
bahwa pembangunan pariwisata berskala kecil mempunyai karakteristik yang
sangat berbeda dari pembangunan pariwisata berskala besar. Adanya perbedaan
krakteristik tentunya akan menghasilkan perbedaan dampak pula terhadap
masyarakat lokal. Adapun perbedaan karakteristik tersebut dapat diilustrasikan
dalam tabel berikut :
Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar
Skala kecil Skala besar
secara fisik menyatu dengan struktur ruang/kehidupan masyarakat lokal
secara fisik terpisah dari komunitas lokal, namun efektif membangun citra kuat udalam rangka promosi
perkembangan kawasan wisata bersifat spontan/tumbuh atas inisiatif masyarakat lokal (spontaneous)
pengembangan kawasan melalui perencanaan yang cermat dan profesional (well planned)
partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata
investor dengan jaringan internasional sebagai pelaku utama usaha kepariwisataan
interaksi terbuka dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal
interaksi sangat terbatas antara wisatawan dengan masyarakat lokal
Sumber : Diolah dari Jenkins, 1982
Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa peluang terbesar
partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata, akan muncul jika pariwisata
dikembangkan dengan skala kecil dan terbuka melakukan interaksi dengan
wisatawan.
Seringkali partisipasi masyarakat dalam pariwisata disebut sebagai strategi
pembangunan alternatif yang terdengar sangat ideal namun dalam
implementasinya banyak terdapat tantangan dan hambatan. Scheyvens (2002)
menyebutkan ada dua tantangan terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat.
18!!
Pertama, pada kenyataannya masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata
terbagi ke dalam berbagai faksi atau golongan yang saling mempengaruhi
berdasarkan kelas masyarakat (kasta), gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya
saling menyatakan paling memiliki atau mempunyai hak istimewa (privilege)
keberadaan sumberdaya pariwisata. Golongan elit masyarakat tertentu sering
berada dalam posisi mendominasi pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat,
lalu memonopoli pembagian atau penerimaan manfaat pariwisata (Mowforth dan
Munt, 1998). Berdasarkan hal tersebut, partisipasi secara adil (equitable) menjadi
pertimbangan penting dalam mendorong pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat. Selain itu juga isu-isu tentang kelas masyarakat, gender, dan
kesukuan penting dipertimbangkan terutama dalam perencanaan pengembangan
pariwisata. Tantangan kedua adalah permasalahan dalam masyarakat untuk
mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat lokal.
Masyarakat pada umumnya tidak cukup punya informasi, sumberdaya, dan
kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai pengambil keputusan lainnya
dalam pembangunan pariwisata, sehingga masyarakat lokal rentan terhadap
eksploitasi. Campbell (1999) juga menyatakan hal yang sama bahwa minimnya
kesempatan berpartisipasi dalam pariwisata dan sektor lain yang terkait, akibat
dari kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengidentifikasi manfaat
pariwisata.
Selain tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan
pariwisata berbasis masyarakat juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan.
Tosun (2000) mengidentifikasi tiga hambatan dalam pembangunan pariwisata
berbasis masyarakat terutama di negara berkembang. Adapun hambatan-hambatan
tersebut berupa :
1. keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini adalah sentralisasi
administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya informasi
pariwisata.
2. keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga
ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya
19!!
jumlah sumberdaya manusia (SDM) terlatih, dan minim akses ke
modal/finansial.
3. keterbatasan kultural, yaitu : terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat
miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal
Semua jenis keterbatasan tersebut, dapat menciptakan masalah serius dalam
partisipasi masyarakat, baik untuk pengambilan keputusan atau perencanaan yang
tepat maupun secara bersama-sama membagi manfaat pariwisata.
2.3. Modal
Berdasarkan pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, modal dapat
dikatakan sebagai suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Ranah
adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi individu maupun kelompok
dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu maupun kelompok untuk
memiliki sumber daya atau modal agar dapat bertahan hidup dalam masyarakat
atau relasi sosial. Dengan kata lain, modal dapat menentukan posisi dan status
individu atau kelompok dalam masyarakat. Representasi individu maupun
kelompok dalam relasi sosial terbangun dari adanya praktek-praktek pertukaran
modal.
Selanjutnya modal dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu: pertama;
modal ekonomi mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang yang dengan
mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kedua; modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi
intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan
keluarga. Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di
depan publik, pemilikan benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian
tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat. Ketiga; modal sosial menunjuk pada
jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam
hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat; segala
bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk
modal simbolik.
20!!
Berbagai jenis modal tersebut dapat dipertukarkan satu dengan yang
lainnya. Semakin besar individu atau kelompok mengakumulasi modal tertentu,
maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar modal. Dari kesemua
jenis modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya kuat
untuk menentukan jenjang hirarkis dalam masyarakat. Prinsip hirarki dan
diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi. Makin
besar jumlah modal yang dikuasai dapat menunjukkan dominasi (kekuasaan dan
hirarki tertinggi) dalam masyarakat.
2.4. Peta Jalan Penelitian
Tahun I: Hubungan pertanian dengan vila: - Kontibusi vila bagi pertanian - Sikap petani terhadap keberadaan vila
di sekelilingnya - Sikap manajemen vila terhadap
aktivitas pertanian di sekitarnya
Tahun II: Model agrowisata terpadu di kawasan pariwisata Ubud
Pariwisata dan Pertanian Tujuan:
Keberlanjutan pariwisata
Keberadaan vila di
sekeliling areal pertanian
Gambar 1. Peta Jalan Penelitian
21!!
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian tahun pertama ini mempunyai tujuan untuk memetakan relasi
pertanian dengan vila. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat tiga target yang
harus dicapai dalam penelitian ini, yaitu :
1. Mengidentifikasi manfaat vila bagi aktivitas pertanian di sekitarnya
2. Mengetahui sikap petani terhadap keberadaan vila di sekelilingnya, dan
sebaliknya
3. Mengetahui sikap manajemen vila terhadap aktivitas pertanian di sekitarnya
3.2. Manfaat Penelitian
Terealisasinya tujuan penelitian tahun pertama ini dapat memberikan dasar
dan arahan bagi penyusunan model pengembangan pariwisata yang memadukan
aktivitas pertanian dengan vila yang berada di sekitarnya.
22!!
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memverifikasi hubungan konsepsual
pariwisata terhadap kondisi empiris (Veal, 2006). Konstruksi konsep agrowisata
dan pariwisata berbasis masyarakat didasarkan pada tinjauan pustaka. Kondisi
empiris dikumpulkan dan diketahui dengan berbagai teknik, disesuaikan dengan
variable penelitian. Sedangkan dalam tahap analisis dan sintesis digunakan
metode deskriptif guna menjelaskan kaitan atau hubungan sebab akibat antar
variabel penelitian.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data kuantitatif, adalah data yang berupa bilangan yang akan disusun serta
diinterprestasikan.
2. Data kualitatif, data berupa deskripsi atau uraian berdasarkan hasil tinjauan
pustaka, observasi, dan wawancara
Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data primer akan digali melalui observasi dan wawancara dengan masyarakat,
manajemen vila, wisatawan, dan pakar/praktisi agrowisata. Sedangkan data
sekunder melalui tinjauan pustaka yang relevan.
4.3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu
tinjauan pustaka, observasi, dan wawancara. Teknik wawancara dipilih untuk
mendalami pemahaman atas pengetahuan tentang pertanyaan penelitian yang
berhubungan dengan kontribusi atau manfaat vila bagi aktivitas pertanian, sikap
petani terhadap keberadaan vila di sekelilingnya, sikap manajemen vila dan
wisatawan terhadap aktivitas pariwisata, dan rumusan model agrowisata terpadu.
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, langkah-langkah
yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:
23!!
1. Tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk mendapatkan
pemahaman tentang beberapa konsep pokok dalam penelitian ini, yaitu
agrowisata, manfaat pariwisata, praktik pariwisata, dan pariwisata berbasis
masyarakat lokal.
2. Observasi, yaitu usaha pengumpulan data dengan pengamatan langsung di
lapangan untuk menguji dan melengkapi data yang telah didapatkan
sebelumnya.
3. Wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan beberapa informan di lokasi
penelitian yang memiliki informasi penting untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian. Adapun informan tersebut yaitu :
- tokoh masyarakat dan tokoh subak
- manajemen vila
- wisatawan
- pakar dan praktisi agrowisata
Mereka dipilih karena pengetahuan dan ketokohannya (purposive) yang
diharapkan dapat memberikan informasi komprehensif tentang pemasalahan
dan solusi yang terkait dengan model agrowisata terpadu yang mensinergikan
aktivitas pertanian dengan vila di kawasan pariwisata Ubud.
4.4. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah menafsirkan data dan informasi yang terkait
dengan variabel dan fenomena yang terjadi pada saat penelitian dilakukan dan
kemudian menyajikannya sesuai dengan yang sebenarnya (apa adanya). Dalam
penelitian ini, yang ditafsirkan berupa:
- kontribusi atau manfaat keberadaan vila terhadap aktivitas pertanian di
sekitarnya
- sikap petani terhadap keberadaan vila di sekelilingnya
- sikap manajemen vila dan wisatawan terhadap aktivitas pertanian di
sekitarnya
- Merumuskan model agrowisata terpadu yang mensinergikan aktivitas
pertanian dengan vila di kawasan pariwisata Ubud.
24!!
4.5. Bagan Alir Penelitian
Persiapan : - Tinjauan pustaka - Studi pendahuluan - Proposal penelitian
Sikap petani (krama subak) terhadap pariwisata terutama keberadaan vila di sekelilingnya
Sikap manajemen vila terhadap aktivitas pertanian di sekitarnya
Analisis dan sintesis
Analisis dan sintesis
Model agrowisata terpadu di kawasan
pariwisata Ubud!
Kondisi eksisting hubungan aktivitas
pertanian dengan vila !
- Temu tim - Seminar proposal - Pengumpulan
proposal
Penelitian tahun I - Tinjauan pustaka - Observasi - Wawancara kepada
masyarakat, tokoh subak, krama subak, manajemen vila
- Data sekunder - Temu tim - Laporan penelitian - Publikasi jurnal
terakreditasi yaitu Jurnal Kawistara
Penelitian tahun II - Tinjauan pustaka - Wawancara kepada
masyarakat, tokoh subak, manajemen vila, wisatawan, dan pakar atau praktisi agrowisata
- Temu tim - Laporan penelitian - Publikasi jurnal
internasional yaitu Journal of Heritage Tourism
Identifikasi manfaat vila bagi aktivitas pertanian di sekitarnya
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
25!!
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ubud dikenal sebagai destinasi pariwisata yang menawarkan kehidupan
masyarakat perdesaan Bali yang memiliki budaya agraris religius. Dengan basis
atraksi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tren pengembangan produk
pariwisata Ubud termasuk komponen akomodasi lebih mengarah ke wilayah
perdesaan. Jenis akomodasi yang banyak dikembangkan saat ini adalah vila.
Sebagian besar pemilihan lokasi vila di kawasan pariwisata Ubud berada di sekitar
areal pertanian milik para petani. Salah satu lokasi pengembangan vila di kawasan
pariwisata Ubud teramati di Lodtunduh. Lodtunduh merupakan suatu desa dalam
kawasan pariwisata Ubud yang mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor
pertanian dengan menggarap persawahan dan tegalan. Pengelolaan pertanian
masyarakat didasarkan atas sistem subak. Fenomena menarik kemudian tampak di
Lodtunduh, yaitu pola pembangunan vila yang mengelilingi areal pertanian milik
para petani atau krama (anggota) subak. Dapat dikatakan bahwa secara sadar vila
telah memanfaatkan aktivitas pertanian tersebut sebagai salah satu daya tarik
wisata agar wisatawan tinggal lebih lama di vila. Keberadaan vila tersebut sebagai
bagian dari produk pariwisata tentu saja dapat memberikan dampak, baik positif
maupun negatif terutama bagi aktivitas pertanian masyarakat yang berada di
sekitarnya.
5.1. Perspektif Vila dan Krama Subak terhadap Pertanian
Terdapat perbedaan pandangan pihak vila dan krama subak terhadap
pertanian yang berlangsung selama ini di Lodtunduh. Hal ini tidak lepas dari
adanya dualisme cara pandang antara pihak vila dan krama subak tentang aktivitas
pertanian tersebut. Krama subak melakukan aktivitas pertanian dengan basis
kesadaran (habitus) produksi pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Sedangkan pihak vila menafsirkan lansekap pertanian beserta aktivitasnya sebagai
salah satu daya tarik guna menahan lebih lama wisatawan sehingga dapat
menginap di vila. Dengan demikian terjadi penafsiran masing-masing terhadap
pertanian di Lodtunduh yang berimplikasi pada aktivitas ekslusif kelompok, baik
krama subak maupun pihak vila. Krama subak ekslusif melakukan proses
26!!
pertanian, dari pra produksi - produksi - dan pasca produksi. Sedangkan pihak vila
menafsir pertanian sebagai daya tarik wisata sehingga memberikan nilai tambah
bagi keberadaan vila.
Dapat disebutkan bahwa Lodtunduh sebagai suatu ruang sosial telah
ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan ranahnya masing-masing. Krama subak
dengan ranah pertaniannya dan pihak vila dengan ranah pariwisatanya. Dualisme
ini menciptakan hubungan atau relasi disharmonis di antara krama subak dan
pihak vila. Ini menunjukkan belum ada perspektif yang sama dan bersama dalam
memandang aktivitas pertanian sebagai basis atraksi wisata. Dengan kata lain,
belum tercipta ranah bersama, yang dalam penelitian ini disebut dengan
agrowisata.
Meskipun dalam praktek pariwisatanya, pihak vila telah memanfaatkan
aktivitas pertanian sebagai daya tarik wisata, akan tetapi habitusnya belum dapat
memenuhi perspektif agrowisata. Wisatawan yang menginap selama ini bersikap
pasif, hanya menikmati suasana aktivitas pertanian yang tampak sangat jelas dari
vila. Selain itu wisatawan tidak difasilitasi untuk berinteraksi secara aktif dengan
krama subak serta merasakan proses pertanian secara langsung. Dalam konteks ini
wisatawan yang menginap di vila dapat dikatagorikan sebagai tamu. Terlebih lagi,
perilaku pihak vila yang terkadang membuang sampah ke saluran irigasi subak.
Keadaan ini menunjukkan cara pandang pihak vila yang tidak memasukan
aktivitas pertanian sebagai aset atau sumber daya pariwisata yang wajib dijaga
keberlanjutannya.
Dari pihak krama subak, keberadaan vila justru dianggap sebagai
”pengganggu”. karena areal pertanian menjadi tercemari sampah dan aktivitas
pertanian menjadi tontonan gratis bagi tamu vila. Akan tetapi krama subak
terpaksa harus melakukan aktivitas pertaniannya karena merupakan cara
produksinya dalam rangka melangsungkan hidup. Belum ada kesadaran bahwa
areal pertanian beserta aktivitas pertaniannya merupakan aset atau sumber daya
pariwisata berbasis pertanian yang dapat dikembangkan sebagai alternatif
produksi selain dari pertanian.
27!!
5.2. Siasat Vila dan Krama Subak Mempertahankan Eksistensi Dualisme
Temuan berikut menunjukkan adanya upaya yang dilakukan baik oleh
pihak vila maupun krama subak yang berakibat pada eksisnya cara pandang
dualisme dalam ruang sosial Lodtunduh. Perbedaan cara pandang tersebut jika
tidak dikelola baik akan dapat melahirkan tata relasi konfliktual. Walaupun
suasana disharmoni ini belum tereksplisitasi menjadi konflik terbuka, akan tetapi
jika dibiarkan terus-menerus bukan tidak mungkin akan meledak dan
menyebabkan biaya mahal secara ekonomi dan sosial. Biaya ekonomi yang harus
ditanggung terkait dengan kerusakan-kerusakan material, sedangkan biaya sosial
terkait dengan disintegrasinya masyarakat Lodtunduh.
5.2.1. Siasat pihak vila
Dalam mempertahankan eksistensinya, pihak vila melakukan beberapa
upaya diantaranya :
1. Siasat sosial budaya
Siasat ini dilakukan dalam rangka menjaga kepentingan vila guna
keberlangsungan usahanya. Pihak vila memanfaatkan jaringan sosial dan
budaya yang ada di Lodtunduh. Dalam konteks sosial, pihak vila membangun
tata relasi patron-client dengan melakukan rekrutmen karyawan vila yang
berasal dari masyarakat lokal, dengan prioritas pemilik lahan yang
mengontrakkan lahannya kepada investor vila. Langkah ini ditopang dengan
siasat budaya yang dilakukan, yaitu dengan upaya merekrut salah seorang
pengurus banjar dinas dan juga banjar adat di mana vila beroperasi sebagai
tenaga pengamanan. Pola rekrutmen karyawan seperti ini mengandung dua
dimensi sekaligus, yaitu secara sosial merengkuh tenaga kerja dari
masyarakat lokal terutama dari para pemilik lahan dan secara budaya
menggunakan relasi budaya berupa banjar. Pemanfaatan jaringan berbasis
sosial budaya oleh pihak vila ini terjadi, berangkat dari ketidakmampuan
masyarakat lokal mengidentifikasi jenis modal yang dimiliki. Praktik ini
memapankan pola relasi patronasi dengan bias pemahaman bahwa modal
ekonomi merupakan modal utama dan pemiliknya akan berada pada posisi
28!!
sosial strategis. Dengan siasat ini, vila mendapatkan dua keuntungan
sekaligus berupa keamanan menjalankan usahanya dan memiliki wakil dalam
memenuhi undangan dan kegiatan di banjar dinas maupun adat.
2. Siasat ekonomi
Siasat ini dilakukan pihak vila dalam rangka menjaga posisi sosial yang lebih
tinggi terhadap masyarakat lokal. Dengan kata lain guna makin mengukuhkan
tata relasi patron-client. Upaya yang dilakukan pihak vila adalah dengan
memberi sumbangan atau bantuan ke desa adat, banjar, serta institusi subak.
Status sebagai pemberi tersebut menjadikan pihak vila berkedudukan lebih
tinggi yaitu sebagai patron. Praktik menyumbang-disumbang inilah yang
melahirkan logika karitatif dalam penyelenggaraan pariwisata di Lodtunduh.
Logika ini menjadi basis kesadaran pihak vila dalam praktik pariwisata, yang
dihasilkan dari ketidakmampuan masyarakat lokal (peminta sumbangan)
dalam mengenali posisi sesungguhnya pada domain pariwisata. Hal ini
tampak pula dari tata relasi patron-client yang terbangun, ketika posisi
pengontrak lahan menjadi lebih tinggi dan justru pihak pemilik lahan yang
terkesan meminta pekerjaan. Selain itu, perilaku meminta sumbangan dan
bantuan dari desa adat, banjar maupun institusi subak kepada pihak vila,
semakin mengokohkan posisinya sebagai patron. Fenomena menarik terjadi
ketika sudah ada vila yang melakukan perpanjangan kontrak dengan
masyarakat lokal pemilik lahan. Ini berarti selama vila beroperasi kedua belah
pihak merasa nyaman dengan pola relasi patronasi tersebut. Hal ini berakibat
kepada eksistensi doxa (kesadaran semu) patronasi berbasis modal ekonomi
yang dimiliki pihak vila. Munculnya kesadaran semu akan semakin
memapankan logika karitatif dalam bentuk menyumbang-disumbang.
3. Siasat politik
Siasat ini dilakukan pihak vila guna mendapatkan bekingan untuk
kelangsungan usahanya. Pendekatan yang dilakukan pihak vila kepada
institusi maupun tokoh-tokoh penting di Lodtunduh guna mendapatkan
29!!
dukungan dalam penyelenggaraan bisnis akomodasi. Kondisi ini menjadikan
masyarakat lokal segan jika melakukan konflik terbuka dengan vila. Hasil
identifikasi menunjukkan bahwa institusi utama penopang pola patronasi vila
ternyata adalah banjar dimana vila-vila berlokasi, yaitu Banjar Abian Semal
Kaja Kauh. Fenomena ini dapat dipahami, karena institusi banjar tersebut
adalah penguasa wilayah tempat beroperasinya vila-vila tersebut. Ini
menunjukkan bahwa intensifikasi patronasi dengan logika karitatif berada
dalam Banjar Abian Semal Kaja Kauh. Banjar Abian Semal Kaja Kauh
adalah ranah atau tempat pertukaran modal berlangsung, dengan doxa bahwa
modal ekonomi merupakan modal dominan. Pertanyaannya kemudian,
dimana posisi subak? Dengan tata relasi yang demikian, sesungguhnya pihak
yang paling dirugikan adalah para petani dengan institusi subaknya. Subak
paling lemah posisi sosialnya karena relatif tidak memiliki modal dalam
ranah. Dapat dikatakan subak teralienasi di tempatnya sendiri karena
dianggap tidak penting dalam penyelenggaraan pariwisata di Lodtunduh.
Bahkan subak dianggap sebagai pihak yang mengganggu, karena beberapa
aktivitas pertaniannya dapat mengurangi kenyamanan tamu vila.
5.2.2. Siasat institusi subak
Beberapa upaya yang dilakukan krama subak, baik personal maupun
secara institusional (melalui subak), tidaklah secanggih yang dilakukan pihak vila.
Hal ini dikarenakan ketidakmampuan subak dalam mengidentifikasi modal yang
dimiliki dalam penyelenggaraan pariwisata. Terlebih lagi, ranah pariwisata yang
mewadahi kepentingan bersama di Lodtunduh memang belum terbentuk. Krama
subak melakukan siasat perlawanan secara sporadis, tradisional, dan tidak
langsung. Perlawana krama subak merupakan bentuk ekspresi kekecewaan guna
mendapatkan perhatian pihak vila. Beberapa bentuk perlawanan krama subak
dilakukan dengan melakukan aktivitas:
- membangun kandang penggemukan sapi di sekitar vila dengan maksud
untuk memberikan ketidaknyamanan bagi penghuninya,
30!!
- menghalangi pandangan vila ke areal persawahan dengan menanam
pandan, pakan sapi dan pisang.
Motiviasi tindakan perlawanan krama subak adalah untuk menciptakan
kondisi yang tidak kondusif bagi kenyamanan tamu vila. Siasat yang dijalankan
krama subak tersebut malah justru semakin memperlemah posisinya. Terjadi apa
yang disebut sebagai blaming the victim (menyalahkan korban). Hal ini
disebabkan karena adanya pihak yaitu Banjar Abian Semal Kaja Kauh yang
memiliki modal simbolis, sehingga memiliki kuasa untuk menilai dalam ranah.
Jenis modal ini sangat penting karena dengan kuasanya untuk menafsir kebenaran
akan menjadikan pihak yang memilikinya akan sangat dominan posisi sosialnya.
Ketidakmampuan krama subak dalam mengidentifikasi jenis modal yang dimiliki
karena adanya doxa yang dimapankan oleh koalisi vila dan elit banjar. Sehingga
diperlukan jenis kesadaran baru dalam pola pikir petani, yaitu dari pemikiran
praktis menuju reflektif.
5.3. Dari Siasat Menuju Strategi
Praktik-praktik kontra produktif yang telah disebutkan sebelumnya
dipengaruhi oleh perspektif dualisme. Perspektif ini memberikan pondasi pada
tafsir sendiri-sendiri tehadap pertanian, sehingga membatasi potensi masyarakat
lokal berpartisipasi dalam penyelenggaraan pariwisata Lodtunduh. Praktik
meminta dan memberi sumbangan disebabkan oleh adanya logika karitatif pada
pola pikir para pihak di Lodtunduh. Praktik yang berdasar logika karitatif sangat
jamak terjadi saat ini di kawasan pariwisata Ubud bahkan Bali. Masyarakat lokal
sejatinya adalah pemilik ruang dengan segala modal di dalamnya, malah berada
dalam posisi meminta-minta dalam ruangnya sendiri.
Fenomena tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat lokal
dalam menemukan dan mengenali modal atau sumber daya yang dimiliki. Guna
memampukan masyarakat lokal dalam mengidentifikasi modal, hal yang penting
dilakukan adalah menciptakan ranah pariwisata. Untuk kasus Lodtunduh, telah
disebutkan sebelumnya bahwa ranah pariwisata yang ideal adalah berbasis
pertanian atau memenuhi perspektif agrowisata. Penciptaan ranah menjadi penting
31!!
untuk menggiring berbagai pihak yang berkepentingan atau aktor pariwisata
dengan komposisi modal yang dimilikinya agar saling bertukar dan menguatkan.
Dalam konteks saling menguatkan, diperlukan kelembagaan agrowisata yang
mengatur mekanisme pertukaran modal secara adil dan wajar. Hali ini bertujuan
agar tercipta sinergitas antar aktor pariwisata, bukan justru menyediakan ruang
konflik baru.
32!!
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
6.1. Tujuan Penelitian Tahun Berikutnya
Kelanjutan penelitian ini mempunyai tujuan untuk membangun model
pengembangan pariwisata yang memadukan aktivitas pertanian dengan vila yang
berada di sekitarnya. Model yang dibangun menyesuaikan dengan prinsip-prinsip
pengembangan produk agrowisata, yaitu adanya produk wisata berbasis aktivitas
pertanian, interaksi intensif antara petani dengan wisatawan, dan keautentikan
pengalaman yang didapatkan wisatawan. Dengan model ini diharapkan dapat
mengoptimalkan manfaat keberadaan vila khususnya bagi karma subak, sehingga
tercipta hubungan simbiose mutualisme antara pertanian dengan vila khususnya di
kawasan pariwisata Ubud, Bali.
6.2. Bagan Alir Penelitian Tahun Berikutnya
Penelitian tahun I
Analisis dan sintesis
Model pengembangan!agrowisata!
Kondisi eksisting hubungan aktivitas
pertanian dengan vila !
Penelitian tahun II - Tinjauan pustaka - Wawancara kepada
masyarakat, tokoh subak, manajemen vila, wisatawan, dan pakar atau praktisi agrowisata
- Temu tim - Laporan penelitian - Publikasi jurnal
internasional yaitu Journal of Heritage Tourism
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian Lanjutan
33!!
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
Belum adanya ruang bersama bagi para pihak dalam penyelenggaraan
pariwisata di Lodtunduh disebabkan oleh belum terciptanya ranah pariwisata.
Disebut ranah pariwisata karena merupakan arena bagi para pihak tersebut
memperjuangkan modal pariwisata guna memperoleh posisi sosial yang setimpal.
Yang terdapat di Lodtunduh sekarang ini merupakan ruang sosial dengan aktivitas
para pihak dalam ranah ekslusifnya masing-masing. Memang telah terdapat ranah
pariwisata yang memanfaatkan aktivitas pertanian dengan pihak vila sebagai aktor
utamanya. Namun ranah tersebut merupakan ranah pariwisata yang dibuat sepihak
oleh pihak vila, sehingga menjadi ranah eksklusif pihak vila. Demikan pula krama
subak masih berkutat di ranah pertanian saja dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Untuk itulah diperlukan upaya guna menciptakan ruang bersama berupa
ranah pariwisata yang mengakomodasi kepentingan para pihak yang terkait
dengan pariwisata di Lodtunduh. Berdasarkan potensi yang dimilikinya, maka
pariwisata di Lodtunduh ideal dikembangkan berbasis pertanian atau agrowisata,
mengingat aktivitas pertanian yang ditopang oleh sistem subak masih eksis dan
juga telah ada usaha akomodasi berupa vila yang memanfaatkan lansekap
pertanian. Dengan kata lain diperlukan upaya menciptakan ranah agrowisata guna
mengikis dualisme antar krama subak dan pihak vila di Lodtunduh.
34!!
DAFTAR PUSTAKA
Andereck, K. L. and Nyaupane, G. P., 2011, Exploring the Nature of Tourism and
Quality of Life Perceptions among Residents, Journal of Travel Research,
50: 248-260
Barbieri, C., and Mshenga, P. M., 2008, The role of the firm and owner
characteristics on the performance of agritourism farms. Sociologia
Ruralis, 48: 166–183
Briedenhann, J. & Wickens, E., 2004, Rural Tourism-Meeting the Challenges of
the New South Africa, International Journal of Tourism Research, 6: 189-
203.
Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of
Tourism Research, 26: 534-553
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Jalasutra
Flanigan, S., Blackstock, K., dan Hunter, C., 2014, Agritourism from the
perspective of providers and visitors: a typology-based study, Tourism
Management, 40: 394-405
Garrod, B., Wilson, J.C., and Bruce, D.B., 2001, Planning for Marine Ecotourism
in the EU Atlantic Area: Good Practice Guidelines, Project Report,
University of the West of England, Bristol
Hanifah, M., 2014, Ubud Masuk 10 Besar Destinasi Wisata Terfavorit di Asia,
travel.okezone.com, diakses tanggal 16 April 2014
Inskeep, E., 1991, Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development
Approach, Van Nostrand Reinhold, USA
Jenkins, C. L., 1982, The Effects Of Scale In Tourism Projects In Developing
Countries, Annals of Tourism Research, 9: 229-249
Kizos, T., and Iosifides, T., 2007, The contradictions of agrotourism development
in Greece: evidence from three case studies. South European Society and
Politics, 12: 59–77.
Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2: 7-21.
35!!
Leslie, David, 2012, Responsible Tourism; Concepts, Theory and Practice, CABI,
UK
Liu, Z., 2003, Sustainable Tourism Development: A Critique, Journal of
Sustainable Tourism, 11: 459-475
Marques, H., 2006, Searching for complementarities between agriculture and
tourism-the demarcated wine-producing regions of northern Portugal.
Tourism Economics, 12: 147–155
Matarrita-Cascante, D., Brennan, M. A., and Luloff, A. E., 2010, Community
agency and sustainable tourism development: the case of La Fortuna,
Costa Rica, Journal of Sustainable Tourism, 18: 735-756
Mowforth, Martin and Munt, Ian, 1998, Tourism and Sustainability; New Tourism
in the Third World, Routledge, New York
Murphy, Peter E., 1985, Tourism A Community Approach, Methuen, New York
Okazaki, Etsuko, 2008, A Community-Based Tourism Model: Its Conception and
Use, Journal of Sustainable Tourism, 16: 511- 529
Page, S. J. & Getz, D. (Eds.), 1997, The business of rural tourism: international
perspectives, International Thomson Business Press, London, Boston.
Ramukumba, Talani, Pietersen, Jacques , Mmbengwa, Victor M., and Coetzee,
Willie, 2011, Participatory development of peri-urban and rural poor
communities in tourism in the Garden Route area of Southern Cape, South
Africa, African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, 1(4): 1-9
Roberts, L. and Hall, D., 2004, Consuming the countryside: Marketing for rural
tourism, Journal of Vacating Marketing, 10: 253-263
Scheyvens, Regina, 2002, Tourism for Development; empowering communities,
Prentice Hall, England
Simpson, M. C., 2009, An integrated approach to assess the impacts of tourism
on community development and sustainable livelihoods, Community
Development Journal, 44: 186-208
Sherman, P. and J. Dixon, 1991, The economics of nature tourism: Determining if
it pays. In Nature Tourism: Managing for the Environment, T. Whelan
(ed.), Island Press, Washington, DC
36!!
Stynes, Daniel J., Propst, Dennis B., Chang, Wen-Huei and Sun, YaYen, 2000,
Estimating National Park Visitor Spending and Economic Impacts,
Department of Park Recreation and Tourism Resources, Michigan State
University
Sznajder, M., Przezbórska, L., and Scrimgeour, F., 2009, Agritourism, CABI, UK
Telfer, Richard and Sharpley, David J., 2008, Tourism and Development in the
Developing World, Routledge, New York
Timothy, Dallen J., 1999, Participatory Planning; A View of Tourism in
Indonesia, Annals of Tourism Research, 26: 371-391
Timothy, Dallen J. and Boyd, Stephen W., 2003, Heritage Tourism, Pearson
Education, England
Tosun, Cevat, 2000, Limits to community participation in the tourism
development process in developing countries, Tourism Management,
21: 613-633
Veal, A. J., 2006, Research Methods for Leisure and Tourism; A Practical Guide,
Pearson Education, England
WTO, 1998, Guide for Local Authorities on Developing Sustainable Tourism,
World Tourism Organization.
Yang, J., Ryan, C., and Zhang, L., 2013, Social conflict in communities impacted
by tourism, Tourism Management, 35: 82-93
37!!
LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen Penelitian
1. Ceklis kelengkapan instrumen
No. Kelengkapan Keterangan A. Panduan wawancara B. Panduan pengambilan gambar C. Alat rekam suara D. Kamera E. Laptop F. Charger G. Flashdisk H. Buku catatan I. Pulpen J. Map K. Buku harian
2. Panduan wawancara
Target: menggali informasi kondisi ruang dan ranah pariwisata, modal,
ekspektasi mengenai pariwisata, permasalahan yang dihadapi,
kearifan lokal, kelembagaan, dan jenis partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pariwisata
A. Ranah atau ruang
- Kegiatan pariwisata yang sedang berlangsung
- Lembaga yang terlibat (masyarakat, pemerintah, swasta)
B. Komposisi modal
- Ekonomi (individu/kelompok dan trajektori)
- Budaya (individu/kelompok dan trajektori)
- Sosial (individu/kelompok dan trajektori)
- Simbolik (individu/kelompok dan trajektori)
C. Permasalahan yang dihadapi
- Etos (need for achievement, need for power, need for affiliation)
- Struktural (adat, kebijakan dinas, dan lain-lain)
D. Ekspektasi
- Manifes
38!!
- Laten
- Romantisme
- Futuristik
E. Kearifan lokal
F. Kelembagaan
- Ruang-ruang diskursif (formal dan informal)
- Mekanisme pengambilan keputusan
- Manajemen konflik
3. Catatan penelitian
Sumber Aspek Penekanan
Temuan/ Informasi
Kekurangan informasi Keterangan
4. Panduan pengambilan gambar
A. Narasumber
B. Infrastruktur
C. Suprastruktur
D. Lembaga/institusi
E. Kegiatan pariwisata
F. Kegiatan masyarakat
G. Lansekap
39!!
Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti
Ketua Peneliti
A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. L 2 Jabatan Fungsional Lektor 3 Jabatan Struktural Ketua Jurusan Industri Perjalanan Wisata 4 NIP/NIK/No.Identitaslainnya 197805292003121001 5 NIDN 0029057805 6 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 29 Mei 1978
7 Alamat Rumah Perum Taman Gatsu No. 4, Jl. Subak Dalem IA Denpasar Bali
8 No. Telp./Faks./HP 081999609090 9 Alamat Kantor Jl. Dr. R. Gorris No. 7 Denpasar
10 No. Telp./Faks. 0361223798 11 Alamat e-mail kusuma.negara[at]unud.ac.id
kusumatourism[at]gmail.com 12 Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = 34 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 13 Mata Kuliah yang diampu 1. Ekonomi Pariwisata
2. Statistik Pariwisata 3. Teknologi dan Informasi Pariwisata 4. Aplikasi Komputer 5. Seminar Pariwisata
B. Riwayat Pendidikan Program S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana
Universitas Udayana
-
Bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan
Kajian Pariwisata
-
Tahun Masuk 1996 2001 - Tahun Lulus 2001 2003 - Judul Skripsi/Tesis/Desertasi Analisis
Pengaruh Pertumbuhan Sektor Tersier terhadap Perekonomian Bali
Persepsi Wisatawan Mancanegara terhadap Pelayanan Kesehatan di Bali
-
Nama Pembimbing/Promotor Made Suyana Utama, SE., MS. Drs. I Gusti Bagus Indrajaya, M.Si.
Dr. I Wayan Tjatera, M.Sc. Drs. I Nyoman Madiun, M.Sc.
-
40!!
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2008 Pengembagangan LP Kerobokan Denpasar sebagai Upaya Meminimalkan Tindak Kriminal di Bali
Hibah Bersaing
50
2 2008 Persepsi Wisatawan Nusantara terhadap Kondisi Kepariwisataan Bali
Dosen Muda 7,5
3 2011 Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif
Dosen Muda 7,5
4 2013 Hipersosialisasi Kriminalitas Narapidana di LP. Kerobokan Denpasar (Studi Multidisipliner Merancang Model Pengembangan LP.)
Hibah Bersaing
45
*) Tuliskan sumber pendanaan : PDM, SKW, Pemula, Fundamental, Hibah Bersaing, Hibah Pekerti, Hibah Pascasarjana, Hikom, Stranas, Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional, RAPID, Unggulan Stranas atau sumber lainnya.
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2008 Sosialisasi Penerapan Prinsip-Prinsip Ekowisata pada Masyarakat Objek Wisata Air Panas Banjar, Kab. Buleleng
DIPA Unud 2,5
2 2009 Strategi Pemasaran Café di Sentra Pariwisata Pantai Kedonganan dalam Menghadapi Krisis Global
DIPA Unud 2,5
3 2010 Pelatihan Bahasa Jepang Bagi Karyawan Industri Café Seafood di Kawasan Pariwisata Pantai Jimbaran
DIPA Unud 2
4 2011 Pelatihan Bahasa Inggris dan Pelayanan Prima Bagi Karyawan Industri Café di Sentra Pariwisata di Pantai Kedonganan
DIPA Unud 4
5 2012 IBM Bagi Kelompok Ekowisata di Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan
DIKTI 40
*) Tuliskan sumber pendanaan : Penerapan IPTEKS – SOSBUD, Vucer, Vucer Multitahun, UJI, Sibermas, atau sumber dana lainnya
41!!
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Branding Destination : Upaya
Mendongkrak Citra Bali Volume 8 Nomor 2 Analisis
Pariwisata 2 Potensi Ikan Air Tawar Di Danau
Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif
Volume 12 Nomor 1 Analisis Pariwisata
3 Persepsi Wisatawan Nusantara terhadap Kondisi Kepariwisataan Bali
Volume 3 Nomor 1 Jurnal Ilmiah Hospitality Management
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/ Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir
No. Nama Pertemuan ilmiah/ Seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
1 Seminar Nasional Kesehatan dalam Pariwisata untuk Meningkatkan Kualitas Pariwisata dalam Rangka Visit Indonesian Year 2008
Peranan Kesehatan Wisata dalam Mendukung Citra Bali
2008, Fak. Kedokteran Universitas Udayana
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
1 Branding Destination : Upaya Mendongkrak Citra Bali dalam Buku Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global
2010 294 Udayana University Press ISBN : 9786028566544
H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID - - - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah
Diterapkan Tahun Tempat
Penerapan
Respon Masyarakat
- - - - -
42!!
J. Penghargaan yang Pernah Diraih dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun
1 Anugrah Pengabdian Kepada Masyarakat
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Udayana
2008
Anggota Peneliti
A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Made Adikampana, S.T., M.T. 2 Jenis Kelamin L/P 3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 4 NIP/NIK/No.Identitas lainnya 197702242001121002 5 NIDN 0024027704 6 Tempat dan Tanggal Lahir Negara, 24 Februari 1977 7 Alamat e-mail [email protected] 8 Nomor Telepon/HP 08123884484 9 Alamat Kantor Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar
10 Nomor Telepom/Faks. (0361) 223798 11 Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = 56 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 12 Mata Kuliah yang diampu 1. Geografi Pariwisata
2. Proses Perencanaan pariwisata 3. Perencanaan Kawasan Pariwisata 4. Perencanaan Destinasi Pariwisata 5. Pariwisata Berbasis Masyarakat
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Tinggi Institut
Teknologi Nasional Bandung
Universitas Gadjah Mada
Universitas Udayana
Bidang Ilmu Teknik Planologi
Teknik Arsitektur Pariwisata
Pariwisata
Tahun Masuk - Lulus 1995 - 2001 2004 - 2006 2012 - Judul Skripsi/Tesis/Desertasi Identifikasi
Karakteristik Pedagang Kaki Lima dalam rangka Penanganan Pedagang Kaki
Pariwisata Alam dan Peluang Pekerjaan bagi Masyarakat Lokal
-
43!!
Lima di Kota Bandung
Nama Pembimbing/Promotor Ir. Akhmad Setiobudi, M.Sc.
Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D.
-
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
(Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2010 Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas di Atraksi Wisata Ceking
HB, DIKTI 46,5
2 2011 Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge
PDM, Unud 7,5
3 2013 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
PUPT, DIKTI 62
4 2013 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Candi Dasa Provinsi Bali
HB, DIKTI 45
5 2014 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
PUPT, DIKTI 64
6 2014 Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata Perdesaan
HB, DIKTI 48,75
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber lainnya. D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2011 Penataan Kemitraan dan Kelembagaan Desa Wisata Tista Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan
DIPA, Unud 4
2 2012 Pengembangan Agrotourism Berbasis Ipteks Terpadu di Desa Lod Tunduh Kabupaten Gianyar
IbM, DIKTI 45
3 2013 Pengembangan Atraksi Agrowisata Terpadu Berbasis Ipteks
IbM, DIKTI 49
4 2014 IbM Desa Pakraman Pinge yang Menghadapi Permasalahan
IbM, DIKTI 43
44!!
Pengembangan Produk Desa Wisata
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI maupun dari sumber lainnya. E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Analisis Dampak Budaya Pembangunan
Bandara Internasional Terhadap Masyarakat Sekitarnya
2/2, 2011 dwijenAGRO
2 Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge
12/1, 2012 Analisis Pariwisata
3 Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata (Sebagai manifestasi praktek dekonstruktif)
3/1, 2012 Jurnal Ilmiah Hospitality Management
4 Optimalisasi Kontribusi Pariwisata Ceking terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal
2/1, 2012 Jurnal Ilmiah Pariwisata
5 Tantangan Pengembangan Pariwisata di Daerah Pinggiran
5/1, 2014 Jurnal Ilmiah Hospitality Management
6 Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
9/3, 2014 Jurnal Kepariwisataan Indonesia
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir No. Nama Pertemuan ilmiah/
Seminar Judul Artikel
Ilmiah Waktu dan
Tempat 1 Kegiatan Temu Karya Pengembangan
Kawasan Pariwisata Terpadu Pengintegrasian Pengembangan Pariwisata dalam Ekonomi Masyarakat Lokal
2010 Bali
2 Seminar Hasil-Hasil Penelitian 2011 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana
Kontribusi Pariwisata Ceking terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal
2011 Bali
3 Seminar Hasil-Hasil Penelitian Pariwisata Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
Kajian Dampak Bandara terhadap Budaya Masyarakat
2012 Bali
4 Deseminasi Hasil-hasil Penelitian tahun 2013
Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam
2013 Bali
45!!
Pengembangan Kawasan Pariwisata Candi Dasa Provinsi Bali
5 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014 Dampak Pariwisata Perdesaan bagi Masyarakat Lokal
2014 Bali
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
1 Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global
2010 xiv + 294 Udayana University Press
2 Pariwisata Kalimantan: Pemikiran & Perjalanan ke Jantung Borneo
2010 xiii + 155 Arsimedik Publisher
3 The Exellence Research Universitas Udayana 2011
2011 vii + 182 Udayana University Press
4 Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014
2014 xxviii + 1032 Udayana University Press
H. Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID - - - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya
dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul/Tema/Jenis
Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah Diterapkan
Tahun Tempat Penerapan
Respon Masyarakat
1 Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur
2012 Kabupaten Nunukan
Mendukung program
J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau
institusi lainnya)
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi
Penghargaan Tahun
1 Peneliti Muda Terbaik Tingkat Universitas Udayana Bidang Sosial
Unud 2010
46!!
Lampiran 3. Publikasi
Artikel di Jurnal Kawistara (submitted)
MEMUTUS LOGIKA KARITATIF DALAM PRAKTIK PARIWISATA DI UBUD, BALI
ABSTRACT
Many villas in Ubud located around agricultural land owned by farmers who are members of Subak. There is a deal that the villas are required to provide material contributions to local institutions including Subak. Such contributions produce caritative framework which not in line towards the sustainability of tourism. This paper addressed to offer the guidelines of sustainable tourism practice in Ubud. To fulfill this purpose, data has collected from observations and interviews with selected informants and then analyzed descriptively. The analysis indicated that there is dualism perspective against agriculture, which has implications towards exclusivity in-group, especially farmers and villas. Each group attempts to maintain the dualism perspective by applying various tactics, which can lead to disharmonies relations between groups. Thus requires social guidance in order to reduce caritative framework by creating common tourism sphere through agrotourism. Keywords: farmer, villa, caritative, agrotourism, Ubud
ABSTRAK Banyak vila di Ubud memilih lokasi di sekitar areal pertanian milik petani yang tergabung dalam institusi Subak. Terdapat kesepakatan bahwa vila wajib memberikan bantuan atau sumbangan dalam bentuk material ke institusi setempat termasuk Subak. Kesepakatan menyumbang-disumbang dalam praktik pariwisata tersebut telah melahirkan logika karitatif dan jauh dari konteks keberlanjutan pariwisata. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan arahan keberlanjutan dalam praktik pariwisata di Ubud. Kebutuhan data dipenuhi dengan observasi dan wawancara yang kemudian dibahas secara deskriptif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa terdapat dualisme cara pandang terhadap pertanian yang berimplikasi pada aktivitas eksklusif kelompok, khususnya petani maupun vila. Setiap kelompok berupaya untuk mempertahankan eksistensi dualisme tersebut dengan menerapkan berbagai siasat, yang dapat berujung pada tata relasi konfliktual. Untuk itu dibutuhkan panduan sosial guna memutus mata rantai logika karitatif dengan membangun ranah pariwisata bersama antara petani dengan vila melalui wisata Subak atau agrowisata. Kata-kata kunci : petani, vila, karitatif, agrowisata, Ubud
PENGANTAR
Pariwisata sebagai bagian dari kegiatan manusia menimbulkan dampak
yang tidak hanya dialami pelaku kegiatan, tetapi juga oleh masyarakat di
sekitarnya (Yang et al., 2013). Saat ini pariwisata dikembangkan sebagai salah
47!!
satu strategi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Andereck dan
Nyaupane, 2011). Hal ini disebabkan karena pariwisata merupakan industri yang
mampu menciptakan berbagai pengaruh atau manfaat bagi masyarakat (Okazaki,
2008). Ketika pariwisata mulai dikembangkan, pertimbangan pertama yang
menjadi fokus adalah memastikan bahwa pariwisata dapat membangkitkan dan
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat di sekitarnya atau disebut
dengan masyarakat lokal. Manfaat pariwisata bagi masyarakat lokal selanjutnya
akan menumbuhkan penerimaan, dukungan, dan partisipasi masyarakat tersebut
terhadap pariwisata. Timothy, 1999; Timothy dan Tosun, 2003, menyebutkan
bahwa partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata dapat dilakukan dalam dua
cara, yakni partisipasi dalam pengambilan keputusan dan partisipasi dalam
berbagi manfaat pariwisata. Adanya partisipasi masyarakat lokal dalam
pengembangan pariwisata menurut Simpson, 2009 dan Matarrita-Cascante et al.,
2010 merupakan modal keberlanjutan pariwisata. Masyarakat lokal merupakan
komponen penting produk pariwisata di suatu destinasi (Inskeep, 1991).
Mengintegrasikan masyarakat lokal dalam pengembangan produk pariwisata
menjadi prasyarat mutlak keberlanjutan pariwisata. Integrasi tersebut dapat
tercipta bila pariwisata dapat memberikan berbagai manfaat, baik sosial budaya,
lingkungan, maupun ekonomi bagi masyarakat lokal. Selain itu, keberlanjutan
pariwisata akan tercipta apabila mampu secara simultan memenuhi berbagai
kebutuhan, termasuk kebutuhan masyarakat lokal (Liu, 2003). Sering kali
penyebab munculnya permasalahan dalam pembangunan pariwisata karena
terabaikannya kepentingan masyarakat tersebut. Masyarakat lokal akan
membenarkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun cenderung
kontra produktif dengan keberlanjutan pariwisata.
Permasalahan keberlanjutan pariwisata juga muncul di Ubud, Bali. Ubud
merupakan salah satu kawasan pariwisata dengan keunikan atraksi berbasis
budaya masyarakat lokal (living culture). Kawasan pariwisata Ubud mempunyai
posisi strategis dalam kepariwisataan Bali karena tingkat kunjungannya yang
relatif tinggi dibandingkan dengan destinasi pariwisata lainnya. Ini dibuktikan
dengan masuknya Ubud sebagai satu-satunya destinasi di Bali dalam 10 (sepuluh)
48!!
besar destinasi pariwisata terfavorit di Asia versi penghargaan Travellers's Choice
Destinations tripAdvisor (Hanifah, 2014). Tingginya kunjungan ke Ubud
berakibat pada peningkatan penyediaan amenitas pariwisata, terutama fasilitas
akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang saat ini banyak dikembangkan
adalah vila. Mayoritas vila di kawasan pariwisata Ubud memilih lokasi di wilayah
perdesaan, terutama di sekitar areal pertanian milik para petani sebagai anggota
atau krama Subak. Adanya vila ini tentu saja dapat memberikan pengaruh
khususnya bagi krama Subak tersebut. Namun sayang, pengembangan vila di
sekitar areal pertanian belum mampu memberikan manfaat atau kontribusi yang
berarti. Ini ditunjukan dengan munculnya resistensi krama Subak terhadap
keberadaan vila. Krama Subak melakukan pembenaran terhadap berbagai
aktivitasnya demi mendapatkan kontribusi dari keberadaan vila yang kurang
memperhatikan keberlanjutan pariwisata. Bentuk pembenaran tersebut
diantaranya membangun kandang penggemukan sapi di sekitar vila dengan
maksud untuk memberikan ketidaknyamanan bagi penghuni vila dan menghalangi
pandang (view) vila ke areal pertanian dengan menanam tanaman penghalang
tertentu.
Siasat perlawanan berupa pembenaran yang ditunjukkan krama Subak
kemudian menghasilkan kesepakatan berupa pemberian bantuan atau sumbangan
material oleh vila ke institusi Subak yang utamanya digunakan untuk upacara
keagamaan. Kesepakatan menyumbang-disumbang inilah yang melahirkan logika
karitatif dan jauh dari konteks keberlanjutan pariwisata. Ironisnya, logika ini
selanjutnya menjadi basis kesadaran setiap pelaku yaitu krama Subak dan
manajemen vila termasuk pula masyarakat sekitar vila lainnya dalam
pengembangan pariwisata di kawasan pariwisata Ubud. Berdasarkan fenomena
tersebut, tulisan ini ditujukan untuk merubah siasat menjadi strategi yang mampu
memutus mata rantai logika karitatif dalam praktik pariwisata di kawasan
pariwisata Ubud.
Tulisan tentang memutus logika karitatif dalam praktik pariwisata di
kawasan pariwisata Ubud menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
merupakan cara untuk mengungkap fenomena secara lebih mendalam berdasarkan
49!!
pengalaman dan pandangan masyarakat lokal dan pengelola vila. Teknik
pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan
terhadap informan terpilih karena pengetahuan dan ketokohannya. Keseluruhan
informan berjumlah sembilan orang yang terdiri dari unsur petani, ketua Subak
atau pekaseh, pemimpin desa adat/desa pakraman dan desa dinas, serta pengelola
vila. Informasi yang digali terkait dengan perspektif masing-masing informan
terutama petani dan pengelola vila terhadap pertanian serta hubungan yang selama
ini terjalin antara masyarakat lokal khususnya petani dengan pengelola vila.
Informasi yang terkumpul selanjutnya ditafsirkan dan disajikan sesuai dengan
sebenarnya secara deskriptif.
REKONSTRUKSI PARIWISATA BERBASIS PERTANIAN
Ubud merupakan kawasan pariwisata yang menawarkan kehidupan
masyarakat perdesaan Bali yang memiliki budaya agraris religius. Dengan basis
atraksi tersebut, dapat dinyatakan bahwa tren pengembangan produk pariwisata
Ubud termasuk komponen akomodasi lebih mengarah ke wilayah perdesaan. Saat
ini jenis akomodasi yang banyak dikembangkan berupa vila. Sebagian besar
pemilihan lokasi vila di kawasan pariwisata Ubud berada di sekitar areal pertanian
milik krama Subak. Salah satu area pengembangan vila di kawasan pariwisata
Ubud teramati di Lodtunduh. Lodtunduh merupakan desa di dalam kawasan
pariwisata Ubud (Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012)
yang mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor pertanian dengan menggarap
persawahan dan tegalan. Pengelolaan pertanian masyarakat Lodtunduh didasarkan
atas sistem Subak. Yang menarik kemudian tampak di Lodtunduh adalah pola
pembangunan vila yang mengelilingi areal pertanian krama Subak. Dapat
dikatakan bahwa vila secara sadar telah memanfaatkan aktivitas pertanian tersebut
sebagai faktor penarik agar wisatawan datang berkunjung dan tinggal lebih lama
di vila.
Terkait dengan tujuan penulisan tentang memutus logika karitatif dalam
praktik pariwisata di dalam kawasan pariwisata Ubud, diperlukan kajian terhadap
ranah pariwisata yang digunakan sebagai dasar strukturasinya. Sehingga dalam
50!!
tulisan ini terdapat dua pembahasan yaitu tentang ranah dan strukturasi pariwisata.
Pembahasan mengenai ranah pariwisata bermanfaat dalam identifikasi pelaku
pariwisata, modal yang diperjuangkan, dan jenis kesadaran yang dimiliki setiap
pelaku pariwisata. Setelah semua teridentifikasi, kemudian menstrukturasi
pariwisata berbasis pertanian. Strukturasi dibutuhkan untuk memproduksi struktur
yang berupa kesepakatan bersama para pelaku tentang aturan (rules) dalam suatu
sistem pariwisata. Aturan yang disepakati merupakan representasi kepentingan
bersama dengan tujuan untuk membangun praktik pariwisata konstruktif dan
produktif di kawasan pariwisata Ubud dan khususnya di Lodtunduh.
Gagasan tentang ranah dan strukturasi dalam mengkaji fenomena
pariwisata Lodtunduh didasarkan atas pemikiran Pierre Bourdieu dan Anthony
Giddens. Keduanya mempromosikan cara pandang baru dalam menafsirkan
fenomena sosial yang sebelumnya didominasi oleh perspektif dualisme. Perspektif
dualisme adalah cara pandang yang terbagi menjadi dua paradigma berpikir yakni
naturalistis-positivistis dan humanistis-interpretatif (Poloma, 2003). Masing-
masing cara pandang tersebut bersikukuh bahwa pemikirannyalah yang benar,
sedangkan lainnya salah. Untuk itu Bourdieu dan Giddens berupaya untuk
memberikan alternatif terhadap dominasi perspektif dualisme melalui istilah yang
disebut dengan perspektif dualitas. Bagi keduanya, perspektif dualisme sudah
tidak memadai dalam membahas realitas sosial masyarakat kontemporer yang
sedemikian kompleksnya. Objek kajian tentang masyarakat bukanlah individu
atau struktur, tapi lebih pada proses berpadunya individu dan struktur yang
akhirnya menghasilkan suatu praktik sosial. Jadi dapat dikatakan bahwa praktik
sosial inilah yang menjadi fokus kajian tentang fenomena sosial, karena dari
praktik sosial akan dapat diketahui realitas sosial yang terjadi. Dengan mengkaji
praktik sosial tersebut, Bourdieu melahirkan teori strukturalisme genetis,
sedangkan Giddens memperkenalkan teori strukturasi.
Cara pandang dualitas ini dinilai lebih memadai dalam mengkaji fenomena
pariwisata Lodtunduh, yang kompleksitasnya akan diurai dengan kedua teori
tersebut. Teori strukturalisme genetis diperlukan untuk mengidentifikasi ranah
pariwisata dalam ruang sosial Lodtunduh. Sedangkan teori strukturasi digunakan
51!!
dalam penentuan strategi pariwisata berbasis pertanian dalam rangka memutus
logika karitatif. Pariwisata berbasis pertanian ini disebut rekonstruksi mengingat
di Lodtunduh saat ini telah berlangsung praktik pariwisata yang menunjukan
adanya permasalahan antara krama Subak dengan pengelola vila.
Kondisi Eksisting Pariwisata Lodtunduh
Dalam mengidentifikasi kondisi pariwisata Lodtunduh saat ini, digunakan
teori strukturalisme genetis Bourdieu dengan persamaan sebagai berikut :
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik
Beberapa konsep dalam persamaan di atas berguna untuk mengidentifikasi praktik
pariwisata Lodtunduh. Selain itu, bahasan Bourdieu lainnya mengenai ruang
sosial dan doxa juga digunakan dalam pembahasan ini.
Praktik atau tindakan yang disebut dalam rumusan generatif tersebut
merupakan produk dari hubungan atau relasi antara habitus dan ranah, yang
keduanya merupakan produk sejarah (Bourdieu dalam Fashri, 2014). Secara
sederhana, habitus dapat disebut dengan kebiasaan-kebiasaan. Habitus mengacu
pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi
struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi
sosial yang berada di dalam suatu ranah dan mengimplikasikan suatu penyesuaian
subjektif terhadap posisi tersebut (Mahar et al., 2005). Ranah merupakan arena
kekuatan yang didalamnya terdapat upaya untuk mendapatkan modal atau sumber
daya dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki
kekuasaan. Ranah mengandaikan beragam potensi yang dimiliki oleh individu
atau kelompok dalam posisinya masing-masing (Fashri, 2014). Konsep ranah
tidak bisa dilepaskan dari ruang sosial yang mengacu pada keseluruhan konsepsi
tentang dunia sosial. Konsep ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi
(ruang). Dapat dikatakan bahwa ruang sosial mencakup banyak ranah di dalamnya
yang memiliki keterkaitan satu sama lain (Fashri, 2014). Dalam ranah terdapat
pertaruhan dan kekuatan individu atau kelompok melalui kepemilikian modal
52!!
dengan komposisi yang bervariasi. Modal dapat dikatakan sebagai sebuah
konsentrasi kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah (Bourdieu dalam
Fashri, 2014). Modal berperan sebagai relasi sosial yang terdapat di dalam suatu
sistem pertukaran (Bourdiue dalam Mahar et al., 2005). Dengan demikian modal
dapat dipertukarkan dan dapat menentukan posisi dan status individu atau
kelompok dalam ranah dan ruang sosial (Fashri, 2014). Terdapat empat macam
modal, yaitu modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal simbolik.
Modal budaya merupakan pengetahuan, kode-kode budaya, etika, yang berperan
dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. Sementara modal sosial
didefinisikan sebagai jaringan yang merupakan sumber daya dalam membangun
hubungan sosial. Modal ekonomi bersumber dari kepemilikan material yang dapat
dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan
simbolik berupa prestise, status, otoritas, legitimasi.
Konsep penting lainnya dari Bourdieu adalah doxa. Konsep ini berawal
dari konsep dominasi simbolik berupa suatu penindasan dengan memakai simbol-
simbol tertentu. Penindasan beroperasi secara halus, tidak terasakan, akan tetapi
sebagai sesuatu yang perlu dilakukan secara formal. Dapat dikatakan bahwa
penindasan tersebut mendapat persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri.
Mekanisme dominasi simbolik bermuara pada pemikiran tentang doxa yaitu
mengenai pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh
masyarakat. Masyarakat kehilangan sikap kritisnya terhadap penguasa. Doxa
merupakan siasat penguasa dalam meraih, mempertahankan, dan mengembangkan
kekuasaannya.
Perspektif krama Subak dan vila terhadap pertanian
Terdapat perbedaan perspektif antara krama Subak dan pihak vila terhadap
pertanian yang berlangsung selama ini di Lodtunduh. Hal ini tidak lepas dari
adanya dualisme cara pandang terhadap pertanian tersebut. Krama Subak
melakukan aktivitas pertanian dengan basis kesadaran atau habitus produksi
pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan pihak vila
53!!
menafsirkan lansekap pertanian beserta aktivitasnya sebagai bagian daya tarik
vila. Dengan demikian terjadi penafsiran masing-masing terhadap pertanian di
Lodtunduh yang berimplikasi pada aktivitas eksklusif kelompok, baik krama
Subak maupun pihak vila. Krama Subak eksklusif melakukan proses pertanian,
dari pra-produksi sampai pasca-produksi. Sedangkan pihak vila menafsir
pertanian sebagai daya tarik sehingga memberikan nilai tambah bagi keberadaan
usahanya.
Dapat disebutkan bahwa Lodtunduh sebagai suatu ruang sosial telah
ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan ranahnya masing-masing. Krama Subak
dengan ranah pertaniannya dan pihak vila dengan ranah pariwisatanya. Dualisme
ini menciptakan hubungan atau relasi disharmonis di antara krama Subak dan
pihak vila. Ini menunjukkan belum ada perspektif yang sama dan bersama dalam
memandang dan memahami aktivitas pertanian sebagai basis atraksi pariwisata.
Dengan kata lain, belum tercipta ranah pariwisata bersama, yang dalam tulisan ini
disebut dengan agrowisata.
Meskipun dalam praktik pariwisatanya, vila telah memanfaatkan aktivitas
pertanian sebagai faktor penarik wisatawan, akan tetapi habitusnya belum dapat
memenuhi perspektif agrowisata. Perspektif agrowisata dapat dijelaskan sebagai
familiarisasi wisatawan terhadap aktivitas pertanian dengan terlibat langsung di
dalamnya untuk mendapatkan pengalaman (Marques, 2006). Wisatawan yang
menginap selama ini bersikap pasif, hanya menikmati suasana aktivitas pertanian
yang tampak sangat jelas dari vila. Selain itu wisatawan tidak difasilitasi untuk
berinteraksi secara aktif dengan krama Subak serta mendapatkan pengalaman
proses pertanian secara langsung. Dalam konteks ini wisatawan yang menginap di
vila dapat dikatagorikan sebagai tamu. Terlebih lagi, perilaku pihak vila yang
terkadang membuang sampah ke saluran irigasi Subak. Keadaan ini menunjukkan
cara pandang pihak vila yang tidak memasukan aktivitas pertanian sebagai aset
pariwisata yang wajib dijaga keberlanjutannya.
Dari pihak krama Subak, keberadaan vila justru dianggap sebagai
”pengganggu”. karena areal pertanian menjadi tercemari sampah dan aktivitas
pertanian menjadi tontonan gratis bagi tamu vila. Akan tetapi krama Subak
54!!
terpaksa harus melakukan aktivitas pertaniannya karena merupakan cara
produksinya dalam rangka melangsungkan hidup. Belum ada kesadaran bahwa
areal pertanian beserta aktivitasnya merupakan modal atau sumber daya
pariwisata berbasis pertanian yang dapat dikembangkan sebagai alternatif
produksi selain dari pertanian.
Siasat vila dan krama Subak dalam mempertahankan eksistensi dualisme
Temuan berikut menunjukkan adanya upaya yang dilakukan baik oleh
krama Subak maupun pihak vila yang berakibat pada eksisnya dualisme cara
pandang dalam ruang sosial Lodtunduh. Perbedaan tersebut jika tidak dikelola
baik akan dapat melahirkan tata relasi konfliktual. Walaupun suasana disharmoni
ini belum tereksplisitasi menjadi konflik terbuka, akan tetapi jika dibiarkan terus-
menerus bukan tidak mungkin akan meledak dan menyebabkan biaya mahal
secara ekonomi dan sosial. Biaya ekonomi yang harus ditanggung akan timbul
karena kerusakan-kerusakan material, sedangkan biaya sosial terkait dengan
disintegrasinya masyarakat Lodtunduh.
1. Siasat pihak vila
Dalam mempertahankan eksistensinya, pihak vila melakukan beberapa
upaya diantaranya :
a. Siasat sosial budaya
Pihak vila memanfaatkan jaringan sosial dan budaya yang ada di Lodtunduh.
Dalam konteks sosial, pihak vila membangun tata relasi patron-client dengan
melakukan rekrutmen karyawan vila dari masyarakat lokal, dengan prioritas
pemilik tanah yang mengontrakkan lahannya kepada pihak vila. Langkah ini
ditopang dengan siasat budaya yang dilakukan, yaitu dengan upaya merekrut
pengurus banjar dinas di mana vila tersebut beroperasi sebagai tenaga
pengamanan. Modus ini juga diketahui oleh pengurus banjar adat, sehingga
pola rekrutmen karyawan seperti ini mengandung dua dimensi sekaligus,
yaitu secara sosial merengkuh tenaga kerja terutama dari masyarakat lokal
dan secara budaya menggunakan relasi budaya berupa banjar (kelompok
masyarakat di Bali yang merupakan bagian desa dinas atau desa adat).
55!!
Pemanfaatan jaringan berbasis sosial budaya oleh pihak vila, akan
memapankan pola relasi patronasi dengan bias pemahaman bahwa modal
ekonomi merupakan modal utama dan pemiliknya akan berada pada posisi
sosial strategis. Dengan siasat ini, vila mendapatkan dua keuntungan
sekaligus berupa keamanan menjalankan usahanya dan memiliki wakil dalam
memenuhi undangan di banjar dinas maupun banjar adat.
b. Siasat ekonomi
Siasat ini dilakukan pihak vila untuk menjaga posisi sosial yang lebih tinggi
terhadap masyarakat lokal. Dengan kata lain guna makin mengukuhkan tata
relasi patron-client. Upaya yang dilakukan pihak vila adalah dengan memberi
bantuan atau sumbangan ke desa adat; banjar dinas dan banjar adat dimana
vila-vila berlokasi; serta institusi Subak. Status sebagai pemberi tersebut
menjadikan pihak vila berkedudukan lebih tinggi yakni sebagai patron.
Praktik menyumbang-disumbang inilah yang melahirkan logika karitatif
dalam penyelenggaraan pariwisata Lodtunduh. Logika ini menjadi basis
kesadaran pihak vila dalam praktik pariwisata, yang dihasilkan dari
ketidakmampuan masyarakat lokal (peminta sumbangan) dalam mengenali
posisi sesungguhnya pada penyelenggaraan pariwisata Lodtunduh. Hal ini
tampak pula dari tata relasi patron-client yang terbangun, ketika posisi
pengontrak tanah yaitu pihak vila menjadi lebih tinggi dan justru pihak
pemilik tanah yang terkesan meminta pekerjaan. Fenomena menarik terjadi
ketika sudah ada vila yang melakukan perpanjangan kontrak dengan
masyarakat lokal pemilik tanah. Ini menunjukkan selama vila beroperasi
dalam waktu relatif lama, kedua belah pihak merasa nyaman dengan pola
relasi patronasi tersebut. Hal ini berakibat kepada eksistensi doxa (kesadaran
semu) patronasi berbasis modal ekonomi yang dimiliki pihak vila. Munculnya
kesadaran semu akan semakin memapankan logika karitatif dalam bentuk
menyumbang-disumbang.
c. Siasat politik
Siasat politik ditujukan untuk mendapatkan bekingan guna keberlangsungan
usahanya. Pendekatan yang dilakukan pihak vila kepada institusi maupun
56!!
tokoh-tokoh penting di Lodtunduh guna memperoleh restu dan dukungan
dalam penyelenggaraan bisnis akomodasi ini. Kondisi ini menjadikan
masyarakat lokal segan jika melakukan konflik terbuka dengan vila. Hasil
identifikasi menunjukkan bahwa institusi utama penopang pola patronasi vila
ternyata adalah banjar dinas dan banjar adat dimana vila-vila berlokasi.
Fenomena ini dapat dipahami, karena institusi banjar adalah penguasa
wilayah tempat beroperasinya vila-vila tersebut. Ini menunjukkan bahwa
intensifikasi patronasi dengan logika karitatif berada dalam banjar. Banjar
adalah ranah dimana tempat pertukaran modal berlangsung secara intensif,
dengan doxa bahwa modal ekonomi merupakan modal dominan.
Pertanyaannya kemudian, dimana posisi institusi Subak beserta krama
Subaknya? Dengan tata relasi yang demikian, sesungguhnya pihak yang
paling dirugikan adalah para petani dengan institusi Subaknya. Subak paling
lemah posisi sosialnya karena relatif tidak memiliki modal dalam ranah.
Dapat dikatakan Subak teralienasi di tempatnya sendiri karena dianggap tidak
penting dalam praktik penyelenggaraan pariwisata Lodtunduh. Bahkan Subak
dianggap sebagai pihak yang mengganggu, karena beberapa aktivitas krama
Subak yang dapat mengurangi kenyamanan tamu vila.
Dapat disebutkan bahwa pihak vila yang berkoalisi dengan segelintir elit banjar
dapat memaksimalisasi modal ekonominya untuk dipertukarkan dengan tiga jenis
modal lainnya, yaitu modal budaya, sosial, dan simbolis.
2. Siasat krama Subak
Beberapa upaya yang dilakukan krama Subak, baik personal maupun
secara institusional (melalui Subak), tidaklah secanggih yang dilakukan pihak
vila. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan krama Subak dalam mengidentifikasi
modal yang dimiliki dalam penyelenggaraan pariwisata. Terlebih lagi, ranah
pariwisata yang mewadahi kepentingan bersama di Lodtunduh memang belum
terbentuk. Krama Subak melakukan siasat perlawanan secara sporadis, tradisional,
dan cenderung tidak langsung. Perlawana krama Subak merupakan bentuk
57!!
ekspresi kekecewaan guna mendapatkan perhatian lebih dari pihak vila. Beberapa
bentuk perlawanan krama Subak tergambarkan dalam beberapa aktivitas berikut :
- membangun kandang penggemukan sapi di sekitar vila dengan maksud
untuk memberikan ketidaknyamanan bagi penghuni vila,
- menghalangi pandangan vila ke areal persawahan dengan menanam pakan
sapi, pandan harum, dan pohon pisang,
- cara mengusir burung dengan suara-suara tertentu yang dirasakan dapat
mengganggu istirahat tamu vila.
Motiviasi dilakukan aktivitas tersebut adalah untuk menciptakan kondisi
yang kurang kondusif bagi kenyamanan tamu vila. Siasat yang dijalankan krama
Subak tersebut malah justru semakin memperlemah posisinya dalam ranah.
Terjadi apa yang disebut dengan blaming the victim (menyalahkan korban). Hal
ini disebabkan karena adanya pihak yaitu banjar yang memiliki modal simbolis,
sehingga memiliki kuasa untuk menilai dalam ranah. Jenis modal ini sangat
penting karena dengan kuasanya untuk menafsir kebenaran akan menjadikan
pihak yang memilikinya akan sangat dominan posisi sosialnya. Ketidakmampuan
krama Subak dalam mengidentifikasi jenis modal yang dimiliki karena adanya
doxa yang dimapankan oleh koalisi vila dan elit banjar. Sehingga diperlukan jenis
kesadaran baru dalam mindset petani, yaitu dari pemikiran praktis menuju
reflektif.
Dari Siasat Menuju Strategi : memutus logika karitatif dalam pariwisata
Praktik-praktik kontra produktif yang telah disebutkan sebelumnya
dipengaruhi oleh perspektif dualisme. Perspektif ini memberikan pondasi pada
tafsir sendiri-sendiri tehadap pertanian, sehingga membatasi potensi masyarakat
lokal berpartisipasi dalam penyelenggaraan pariwisata Lodtunduh. Praktik
meminta dan memberi sumbangan disebabkan oleh adanya logika karitatif pada
pola pikir para pihak di Lodtunduh. Praktik yang berdasar logika karitatif sangat
jamak terjadi saat ini di kawasan pariwisata Ubud bahkan Bali. Masyarakat lokal
sejatinya adalah pemilik ruang dengan segala modal di dalamnya, malah berada
dalam posisi meminta-minta dalam ruangnya sendiri.
58!!
Fenomena tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat lokal
dalam menemukan dan mengenali modal atau sumber daya yang dimiliki. Guna
memampukan masyarakat lokal dalam mengidentifikasi modal, hal yang penting
dilakukan adalah menciptakan ranah pariwisata. Untuk kasus Lodtunduh, telah
disebutkan sebelumnya bahwa ranah pariwisata yang ideal adalah berbasis
pertanian atau memenuhi perspektif agrowisata. Penciptaan ranah menjadi penting
untuk menggiring berbagai pihak yang berkepentingan atau aktor pariwisata
dengan komposisi modal yang dimilikinya agar saling bertukar dan menguatkan.
Dalam konteks saling menguatkan, diperlukan kelembagaan agrowisata yang
mengatur mekanisme pertukaran modal secara adil dan wajar. Hali ini bertujuan
agar tercipta sinergitas antar aktor pariwisata, bukan justru menyediakan ruang
konflik baru.
Berdasarkan teori strukturalisme genetis Bourdieu, pariwisata yang
direncanakan dan dikembangkan di Lodtunduh akan memenuhi rumusan generatif
sebagai berikut :
(Habitus pariwisata x Modal) + Ranah agrowisata = Praktik pariwisata berbasis
pertanian Lodtunduh
Rumusan tersebut merupakan basis perencanaan agrowisata Lodtunduh yang
berfungsi sebagai panduan rekayasa sosial guna memutus mata rantai logika
karitatif beserta bentuk praktiknya yang marak terjadi. Nilai strategis aplikasi
rumusan di atas akan teridentifikasi jenis modal setiap aktor yang berhimpun
dalam ranah agrowisata. Dengan masuknya para aktor dalam ranah agrowisata
yang dikreasi bersama, dapat merubah pola siasat menjadi strategi. Siasat
dilakukan oleh aktor secara personal atau kelompok eksklusif. Dasarnya adalah
skeptis atau rasa curiga antar individu atau kelompok. Keberhasilan menjalankan
siasat dalam rangka melemahkan eksistensi personal atau kelompok lainnya.
Sedangkan strategi merupakan upaya yang dilakukan secara kolektif untuk
mencapai tujuan bersama. Strategi didasarkan atas sinergitas dalam rangka
produktivitas.
59!!
SIMPULAN
Perspektif dualisme terjadi karena belum terbangunnya ranah pariwisata
kolektif yang merupakan ruang bagi perjuangan modal di antara stakeholder
pariwisata di Lodtunduh. Belum terbangun strategi bersama, yang ada saling
siasat untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Terkreasinya
agrowisata sebagai kerangka berpikir dan bertindak para aktor, menjadi prasyarat
dari praktik keberlanjutan pariwisata. Hal ini akan memampukan para aktor untuk
saling bekerja sama, melakukan simbiose mutalisme, dan bertukar modal secara
adil dan wajar (fair).
Praktik pariwisata berbasis pertanian di Lodtunduh akan mengumpulkan
para aktor pada ranah spesifik, yaitu ranah agrowisata. Dalam konteks inilah,
posisi institusi Subak menjadi strategis, karena akan menjadi tumpuan bagi
pariwisata yang akan dijalankan. Strategis karena dalam praktik pertanian, Subak
telah memiliki habitus khas, yang dengannya krama Subaknya menjalankan
aktivitas pertanian seolah tanpa dipikirkan lagi. Hal ini merupakan hasil dari
praktik yang dilakukan secara terus-menerus, berulang, dan berpola sehingga
petani sudah sangat hapal dengan berbagai dinamika pertanian yang digeluti
secara intensif tersebut. Di sisi lainnya, pihak vila yang selama ini telah
menjalankan roda bisnis akomodasi, memiliki pemahaman dalam mengkreasi
produk pariwisata dan menangani wisatawan, sehingga memiliki habitus yang
khas pula.
Arti penting praktik agrowisata adalah mempertemukan dua habitus yakni
antara institusi Subak dan vila. Pada awal dua habitus tersebut dipertemukan,
kemungkinan akan terjadi cultural shock atau gagapnya dua budaya yang
bertemu, sehingga diperlukan kesadaran reflektif. Menurut Giddens (Priyono,
2003), kesadaran reflektif merupakan jenis kesadaran yang digunakan aktor ketika
terjadi perubahan sosial. Perubahan sosial terjadi ketika struktur sosial yang
selama ini menaungi aktor dan memberi kerangka makna sebagai basis bertindak
dalam aktivitas keseharian, tiba-tiba tidak memadai lagi. Keadaan ini disebabkan
aspirasi aktor berubah dan sistem sosial yang ada tidak mampu memenuhinya.
60!!
Perubahan ini memaksa aktor untuk beranjak dari kesadaran praktis, yang
merupakan kesadaran dalam menjalankan rutinitas keseharian sehingga
tindakannya seolah otomatis, menuju kesadaran reflektif. Kesadaran ini terbentuk
ketika aktor mengambil jarak terhadap realitas dan berusaha menemukan
kerangka pijakan baru dalam menafsirkannya.
Dapat disebutkan bahwa kesadaran praktis digunakan ketika realitas sosial
berjalan seperti biasa (rutin), sedangkan kesadaran reflektif muncul ketika terjadi
derutinisasi di level praktik keseharian atau ketika kebiasaan yang ada tidak lagi
memadai dalam menjalankan aktivitas sosial. Praktik menyumbang-disumbang
yang berpijak pada logika karitatif akan diderutinisasi dalam praktik agrowisata
yang coba direkonstruksi di Lodtunduh, karena hanya menguntungkan segelintir
pihak. Terlebih lagi, para petani beserta institusi Subak menjadi pihak yang tidak
mendapatkan keuntungan berarti karena belum dioptimalkannya modal yang
dimilikinya.
Optimalisasi modal yang dimiliki petani dan institusi Subak dapat terjadi
jika para aktor di ruang sosial Lodtunduh bersepakat untuk mengkreasi
agrowisata, sehingga terjadi ekstensifikasi ranah pariwisata, dari eksklusif banjar
dan vila menjadi inklusif Desa Adat Lodtunduh termasuk di dalamnya institusi
Subak. Ini berarti akan didekonstruksi jaringan para aktor yang selama ini
memapankan keuntungan bagi diri dan kelompoknya semata karena praktik
menyumbang-disumbang dalam logika karitatif, menjadi praktik pertukaran
modal secara adil dan wajar dalam logika kesetaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Andereck, K.L. dan G.P. Nyaupane. 2011. Exploring the Nature of Tourism and
Quality of Life Perceptions among Residents. Journal of Travel Research
50(3): 248-260.
Fashri, F. 2014. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Cetakan Pertama.
Jalasutra. Yogyakarta.
Hanifah, M. 2014. Ubud Masuk 10 Besar Destinasi Wisata Terfavorit di Asia.
http://www.travel.okezone.com. diakses tanggal 16 April 2014.
61!!
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning : an integrated and sustainable development
approach. Van Nostrand Reinhold, New York.
Liu, Z. 2003. Sustainable Tourism Development: A Critique. Journal of
Sustainable Tourism 11(6): 459-475.
Mahar, C., R. Harker, dan C. Wilkes 2005. Posisi Teoretis Dasar. Dalam An
Introduction to the Work of Pierre Bourdiue: The Practice Theory. Editor
R. Harker, C. Mahar, dan C. Wilkes. Macmillan. London. Terjemahan
Pipit Maizier. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik : Pengantar
Paling Kompeherensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Cetakan
Pertama. Jalasutra. Yogyakarta.
Marques, H. 2006. Searching for complementarities between agriculture and
tourism-the demarcated wine-producing regions of northern Portugal.
Tourism Economics 12(1): 147–155.
Matarrita-Cascante, D., M.A. Brennan, dan A.E. Luloff. 2010. Community
agency and sustainable tourism development: the case of La Fortuna,
Costa Rica. Journal of Sustainable Tourism 18(6): 735-756.
Okazaki, E. 2008. A Community-Based Tourism Model: Its Conception and
Use. Journal of Sustainable Tourism 16(5): 511- 529.
Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gianyar Tahun 2012 - 2032. 6
November 2012. Lembaran Daerah Kabupaten Gianyar Tahun 2012
Nomor 16. Gianyar.
Poloma, M.M. 1979. Contemporary Sociological Theory. Macmillan. New York.
Terjemahan Tim Penerjemah YASOGAMA. 2003. Sosiologi
Kontemporer. Cetakan Kelima. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Priyono, B.H. 2003. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Cetakan Kedua.
Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
Simpson, M.C. 2009. An integrated approach to assess the impacts of tourism
on community development and sustainable livelihoods. Community
Development Journal 44(2): 186-208.
62!!
Timothy, D.J. 1999. Participatory Planning : A View of Tourism in
Indonesia. Annals of Tourism Research 26(2): 371-391.
Timothy, D.J. dan C. Tosun. 2003. Appropriate Planning for Tourism in
Destination Communities: Participation, Incremental Growth and
Collaboration. Dalam Tourism in Destination Communities. Editor S.
Singh, D.J. Timothy, dan R.K. Dowling. CABI Publishing. Wallingford.
Yang, J., C. Ryan, dan L. Zhang. 2013. Social conflict in communities impacted
by tourism. Tourism Management, 35(2013): 82-93.
Artikel di Senastek 2015 (sudah dilaksanakan)
RELASI PETANI DENGAN VILA DALAM KAWASAN PARIWISATA UBUD, BALI
Abstrak Pengembangan akomodasi pariwisata terutama vila di sekitar areal pertanian dalam kawasan pariwisata Ubud minim memberikan manfaat terhadap para petani. Keadaan tersebut muncul sebagai akibat adanya perbedaan interpretasi petani dan pengelola vila terhadap pertanian sebagai basis atraksi pariwisata. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui relasi yang terbangun antara petani dan vila dalam kawasan pariwisata Ubud. Kebutuhan data dalam penelitian dipenuhi dari observasi dan wawancara dengan petani dan pengelola vila. Mereka dipilih secara purposif karena pengetahuannya, yang diharapkan dapat memberikan informasi komprehensif tentang hubungan antara pertanian dan pariwisata. Data yang terkumpul dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa tafsir petani dan pengelola vila masih memandang pertanian dalam ranahnya masing-masing. Petani dengan ranah pertaniannya dan pengelola vila dengan ranah pariwisatanya. Adanya dualisme penafsiran menciptakan relasi disharmonis di antara petani dan vila. Dapat diartikan belum ada tafsir yang sama dan bersama dalam memandang pertanian sebagai basis atraksi pariwisata. Dalam konteks penelitian, bisa disebutkan bahwa belum terkreasinya ranah yang memadukan antara pertanian dan pariwisata atau lebih dikenal dengan sebutan agrowisata. Tidak adanya ranah bersama inilah yang menjadi penyebab manfaat pariwisata kurang diterima oleh para petani selaku pemilik basis atraksi pariwisata. Kata kunci : petani, vila, relasi, ranah, pariwisata, Ubud
Abstract Development of tourism accommodation particularly villas around agricultural areas in the Ubud tourism area has minimal benefit to farmers. The circumstance occurs as a result of differences in interpretation of farmers and villas management toward agriculture as the basis of tourism attractions. This research was conducted in order to
63!!
determine the relationship between the farmer and the villa in the Ubud tourism area. Data collected from observations and interviews with farmers and villa management. They were selected purposively based on their knowledge, which is expected to provide comprehensive information about the relationship between agriculture and tourism. The data are grouped according to the research objectives and then analyzed descriptively. The result of such analysis showed that the interpretations of farmers and villa management view agriculture in the domain of each. Farmers with agricultural sphere and villas management in the realm of tourism. Dualism of interpretation produces disharmonies relations between farmers and villas. This means there has been no similar interpretation in regard agriculture as the basis of tourism attractions. In the context of this research, be mentioned that it has not been established sphere or field of practice that combines agriculture and tourism or referred as agrotourism. The absence of agrotourism sphere that cause less tourism benefits received by farmers as the owner of the basis of tourism attractions. Keywords: farmer, villa, relation, sphere, tourism, Ubud
1. PENDAHULUAN
Masyarakat lokal merupakan komponen penting produk pariwisata di
suatu destinasi (Inskeep, 1991). Mengintegrasikan masyarakat lokal dalam
pengembangan produk pariwisata menjadi prasyarat mutlak keberlanjutan
pembangunan pariwisata. Integrasi tersebut dapat tercipta bila pariwisata secara
simultan mampu memenuhi berbagai kepentingan, termasuk kebutuhan
masyarakat lokal (Liu, 2003). Dengan kata lain, pariwisata harus dapat
memberikan berbagai manfaat, baik sosial budaya, lingkungan, maupun ekonomi
bagi masyarakat lokal (Okazaki, 2008). Pengabaian terhadap pembagian manfaat
pariwisata kepada masyarakat lokal akan menimbulkan permasalahan dan
selanjutnya menjadi hambatan keberlanjutan pembangunan pariwisata.
Permasalahan keberlanjutan pembangunan pariwisata juga teramati di
kawasan pariwisata Ubud, Bali. Ubud terkenal sebagai destinasi pariwisata yang
menawarkan kehidupan masyarakat perdesaan Bali yang memiliki budaya agraris
religius. Dengan sumber daya pariwisata tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
tren pengembangan produk pariwisata Ubud termasuk akomodasinya lebih
mengarah ke wilayah perdesaan. Saat ini jenis akomodasi yang banyak
dikembangkan adalah vila. Sebagian besar pemilihan lokasi vila di kawasan
pariwisata Ubud berada di sekitar areal persawahan milik para petani sebagai
anggota atau krama Subak. Salah satu area pengembangan vila di kawasan
64!!
pariwisata Ubud teramati di Lodtunduh. Lodtunduh merupakan suatu desa dalam
kawasan pariwisata Ubud (Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun
2012) yang mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor pertanian dalam arti luas
dengan menggarap persawahan dan tegalan.
Keberadaan vila ini tentu saja dapat memberikan pengaruh, khususnya
bagi krama Subak tersebut. Sayangnya, pengembangan vila di sekitar areal
persawahan belum mampu memberikan manfaat yang berarti. Ini ditunjukan
dengan munculnya resistensi krama Subak terhadap keberadaan vila. Krama
Subak melakukan pembenaran terhadap berbagai aktivitasnya yang cenderung
kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan pariwisata demi mendapatkan
manfaat pariwisata. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui relasi yang terbangun antara petani dan vila
dalam pengembangan kawasan pariwisata Ubud. Pemahaman tentang relasi antara
pihak yang berkepentingan merupakan input penting bagi proses perencanaan
pariwisata yang berkelanjutan.
2. BAHAN DAN METODE
Penelitian untuk mengungkap relasi yang terbangun antara petani dengan
vila di dalam kawasan pariwisata Ubud menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini merupakan cara untuk mengetahui fenomena secara lebih
mendalam berdasarkan pengalaman dan pandangan petani dan pengelola vila.
Kebutuhan data dalam penelitian dipenuhi dari observasi dan wawancara
dengan petani dan pengelola vila. Mereka dipilih secara purposif karena
pengetahuannya, yang diharapkan dapat memberikan informasi komprehensif
tentang hubungan antara petani dengan vila atau antara pertanian dan pariwisata.
Data yang terkumpul dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian dan
selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
3. HASIL
Vila-vila di kawasan pariwisata Ubud cenderung berlokasi di sekitar areal
persawahan milik para petani atau krama Subak. Menarik kemudian tampak di
65!!
Lodtunduh sebagai bagian dari kawasan pariwisata Ubud adalah pola
pembangunan vila yang mengelilingi areal pertanian krama Subak. Dapat
disebutkan bahwa vila secara sadar telah memanfaatkan aktivitas pertanian dalam
sistem Subak sebagai faktor penarik agar wisatawan datang berkunjung dan
tinggal lebih lama di vila. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui kepemilikan
vila hampir semuanya oleh warga negara asing (WNA) yang berasal dari Amerika
Serikat, Belanda, dan Jepang, namun lahan dimana vila tersebut beroperasi masih
menjadi hak milik masyarakat lokal. Lahan yang dimanfaatkan untuk lokasi vila
merupakan halaman belakang rumah masyarakat lokal, yang selama ini berfungsi
sebagai kebun atau tegalan yang hasilnya dapat memenuhi kebutuhan keseharian
masyarakat lokal. Sistem kontrak digunakan WNA pemilik vila terhadap lahan
milik masyarakat lokal. Jangka waktu kontrak biasanya relatif lama dan
dimungkinkan untuk memperpanjang kembali, dengan persyaratan kontrak yang
disesuaikan.
Selama ini terdapat kesepakatan yang mewajibkan vila memberikan
bantuan atau sumbangan material ke desa adat; banjar dinas dan banjar adat
dimana vila berlokasi; serta institusi Subak. Akan tetapi bantuan dan sumbangan
tersebut belum disebut adil dan wajar terutama oleh krama Subak sebagai pemilik
basis atraksi aktivitas pertanian yang dimanfaatkan vila sebagai faktor penarik.
Sebagai ekspresi kekecewaan, krama Subak melakukan pembenaran terhadap
berbagai aktivitas yang cenderung kurang memperhatikan keberlanjutan
pembangunan pariwisata demi mendapatkan manfaat pariwisata. Bentuk
pembenaran tersebut diantaranya membangun kandang penggemukan sapi di
sekitar vila dengan maksud untuk memberikan ketidaknyamanan bagi penghuni
vila dan menghalangi pandangan (view) vila ke areal persawahan dengan
menanam tanaman pakan sapi, pandan harum dan pisang. Motiviasi dilakukan
aktivitas pembenaran adalah untuk menciptakan kondisi yang kurang kondusif
bagi bisnis akomodasi berjenis vila di sekitar areal persawahannya, sehingga
diharapkan kemudian akan muncul perhatian atau kontribusi lebih dari vila
terhadap para petani atau krama Subak.
66!!
4. PEMBAHASAN
Munculnya perlawanan para petani atau krama Subak melalui pembenaran
aktivitas tertentu yang tidak ramah pariwisata terhadap keberadaan vila
disekitarnya, menunjukkan adanya perbedaan perspektif antara krama Subak dan
vila terhadap pertanian yang berlangsung selama ini. Hal tersebut tidak lepas dari
adanya dualisme cara pandang terhadap pertanian. Krama Subak melakukan
aktivitas pertanian dengan basis kesadaran produksi pertanian dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan vila menafsirkan lansekap pertanian
beserta aktivitasnya sebagai bagian daya tarik vila. Dengan demikian terjadi
penafsiran masing-masing terhadap pertanian yang berimplikasi pada aktivitas
eksklusif kelompok, baik krama Subak maupun vila. Krama Subak eksklusif
melakukan proses pertanian, dari pra-produksi sampai pasca-produksi. Sedangkan
vila menafsir pertanian sebagai daya tarik sehingga memberikan nilai tambah bagi
keberadaan usaha akomodasinya.
Dapat disebutkan bahwa Lodtunduh sebagai suatu ruang sosial telah
ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan ranahnya masing-masing. Krama Subak
dengan ranah pertaniannya dan vila dengan ranah pariwisatanya. Dualisme ini
menciptakan hubungan atau relasi disharmonis di antara krama Subak dan vila.
Ini menunjukkan belum ada perspektif yang sama dan bersama dalam memandang
dan memahami aktivitas pertanian sebagai basis atraksi pariwisata. Dengan kata
lain, belum tercipta ranah pariwisata bersama antara krama Subak dan vila, yang
dalam penelitian ini disebut dengan agrowisata.
Meskipun dalam praktik pariwisatanya, vila telah memanfaatkan aktivitas
pertanian sebagai faktor penarik wisatawan, akan tetapi kesadaran praktinya
belum dapat memenuhi perspektif agrowisata. Perspektif agrowisata yang
dimaksud berupa familiarisasi wisatawan terhadap aktivitas pertanian dengan
terlibat langsung di dalamnya untuk mendapatkan pengalaman (Marques, 2006).
Wisatawan yang menginap selama ini bersikap pasif, hanya menikmati suasana
aktivitas pertanian yang tampak sangat jelas dari vila. Selain itu wisatawan tidak
difasilitasi untuk berinteraksi secara aktif dengan krama Subak serta mendapatkan
pengalaman proses pertanian secara langsung. Dalam konteks ini wisatawan yang
67!!
menginap di vila dapat dikatagorikan sebagai tamu. Terlebih lagi, perilaku dari
vila yang terkadang membuang sampah ke saluran irigasi Subak. Keadaan ini
menunjukkan cara pandang vila yang tidak memasukan aktivitas pertanian sebagai
sumber daya atau modal pariwisata yang wajib dijaga keberlanjutannya.
Dari krama Subak, keberadaan vila justru dianggap sebagai
”pengganggu”. karena areal pertanian menjadi tercemari sampah dan aktivitas
pertanian menjadi atraksi gratis bagi tamu vila. Akan tetapi krama Subak terpaksa
harus melakukan aktivitas pertaniannya karena merupakan cara produksinya
dalam rangka melangsungkan hidup. Belum ada kesadaran bahwa areal pertanian
beserta aktivitasnya merupakan modal atau sumber daya pariwisata berbasis
pertanian yang dapat dikembangkan sebagai alternatif produksi selain hanya
pertanian.
5. KESIMPULAN
Belum adanya ruang bersama bagi para pihak yaitu para petani atau krama
Subak dan vila dalam penyelenggaraan pariwisata disebabkan oleh belum
terciptanya ranah pariwisata. Disebut ranah pariwisata karena merupakan tempat
bagi para pihak tersebut memperjuangkan modal pariwisata guna memperoleh
posisi sosial yang setimpal. Yang terdapat di Lodtunduh sekarang ini merupakan
ruang sosial dengan aktivitas para pihak dalam ranah ekslusifnya masing-masing.
Memang telah terdapat ranah pariwisata yang memanfaatkan aktivitas pertanian
dengan vila sebagai subjek utamanya. Namun ranah tersebut merupakan ranah
pariwisata yang dibuat sepihak oleh vila, sehingga menjadi ranah eksklusif vila.
Demikan pula krama Subak masih berkutat di ranah pertanian saja dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Untuk itulah diperlukan upaya guna menciptakan ruang bersama berupa
ranah pariwisata yang mengakomodasi kepentingan para pihak yang terkait
dengan pariwisata Lodtunduh. Berdasarkan potensi yang dimilikinya, Lodtunduh
ideal dikembangkan pariwisata berbasis pertanian atau agrowisata. Agrowisata
menjadi pilihan strategis, mengingat aktivitas pertanian yang dikuatkan oleh
sistem Subak masih eksis dan juga telah ada usaha pariwisata berupa vila yang
68!!
memanfaatkan lansekap pertanian. Dengan kata lain diperlukan upaya
menciptakan ranah agrowisata guna mengikis dualisme dan memberikan manfaat
yang adil dan wajar diantara krama Subak dan vila di Lodtunduh, kawasan
pariwisata Ubud.
DAFTAR PUSTAKA
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: an integrated and sustainable development
approach. Van Nostrand Reinhold, New York.
Liu, Z. 2003. Sustainable Tourism Development: A Critique. Journal of
Sustainable Tourism 11(6): 459475
Marques, H. 2006. Searching for complementarities between agriculture and
tourism-the demarcated wine-producing regions of northern Portugal.
Tourism Economics 12(1): 147-155.
Okazaki, E. 2008. A Community-Based Tourism Model: Its Conception and Use.
Journal of Sustainable Tourism 16(5): 511- 529.
Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gianyar Tahun 2012 - 2032. 6
November 2012. Lembaran Daerah Kabupaten Gianyar Tahun 2012
Nomor 16. Gianyar.
18%SIMILARITY INDEX
17%INTERNET SOURCES
6%PUBLICATIONS
14%STUDENT PAPERS
1 3%
2 1%
3 1%
4 1%
5 1%
6 <1%
7 <1%
8 <1%
9 <1%
Simbiose Mutualisme Pertanian Dengan Vila Melalui
Agrowisata Di Kawasan Pariwisata Ubud, Bali
ORIGINALITY REPORT
PRIMARY SOURCES
Submitted to iGroupStudent Paper
www.pps.unud.ac.idInternet Source
www.slideshare.netInternet Source
lppm.unud.ac.idInternet Source
Submitted to Asian Institute of TechnologyStudent Paper
staff.unud.ac.idInternet Source
www.pdfio.comInternet Source
ejournal-unisma.netInternet Source
repository.ung.ac.idInternet Source
10 <1%
11 <1%
12 <1%
13 <1%
14 <1%
15 <1%
16 <1%
17 <1%
18 <1%
19 <1%
20 <1%
21 <1%
kom.fisip.unud.ac.idInternet Source
www.lppm.unsera.ac.idInternet Source
Submitted to Universitas Muhammadiyah
SurakartaStudent Paper
www.researchgate.netInternet Source
fr.slideshare.netInternet Source
clok.uclan.ac.ukInternet Source
ejournal.umm.ac.idInternet Source
101.203.168.85Internet Source
download.isi-dps.ac.idInternet Source
www.pktpub.comInternet Source
www.eumed.netInternet Source
hub.hku.hkInternet Source
22 <1%
23 <1%
24 <1%
25 <1%
26 <1%
27 <1%
28 <1%
29 <1%
30 <1%
31 <1%
32 <1%
33 <1%
simlitabmas.dikti.go.idInternet Source
Submitted to Universitas Pendidikan
IndonesiaStudent Paper
users.aber.ac.ukInternet Source
ft.unimal.ac.idInternet Source
Submitted to University of the South Pacif icStudent Paper
utamu.ac.ugInternet Source
www.ifama.orgInternet Source
Submitted to University of Central LancashireStudent Paper
Submitted to HTMI/Hotel Management
SchoolStudent Paper
www.turindo.co.idInternet Source
ertr.tamu.eduInternet Source
Submitted to Unika SoegijapranataStudent Paper
34 <1%
35 <1%
36 <1%
37 <1%
38 <1%
39 <1%
40 <1%
41 <1%
42 <1%
43 <1%
44 <1%
THANASIS KIZOS. "Survival strategies of
farm households and multifunctional farms in
Greece : Survival strategies of farm
households and multifunctional farms in
Greece", Geographical Journal, 12/2011Publicat ion
www.macaulay.ac.ukInternet Source
pentingkan.blogspot.comInternet Source
www.uds.edu.ghInternet Source
www.apec.infoInternet Source
Submitted to Universitas Dian NuswantoroStudent Paper
dergipark.ulakbim.gov.trInternet Source
lppm.uny.ac.idInternet Source
www.seminar-uhamka.netInternet Source
Submitted to University of SheffieldStudent Paper
faperta.unmuhjember.ac.idInternet Source
45 <1%
46 <1%
47 <1%
48 <1%
49 <1%
50 <1%
51 <1%
52 <1%
53 <1%
54 <1%
55 <1%
56 <1%
socialmasterpice.blogspot.comInternet Source
skemman.isInternet Source
cht.tcm.ncku.edu.twInternet Source
lifestyle.okezone.comInternet Source
kalteng.go.idInternet Source
ta-monografias-com-pdf-2646572Internet Source
Submitted to Udayana UniversityStudent Paper
Submitted to Southampton Solent UniversityStudent Paper
www.sditnurhidayah-slo.sch.idInternet Source
ejournal.uin-malang.ac.idInternet Source
pspar.unud.ac.idInternet Source
iatour.netInternet Source
turad.org
57<1%
58 <1%
59 <1%
60 <1%
61 <1%
62 <1%
63 <1%
64 <1%
65 <1%
66 <1%
67 <1%
Internet Source
www.skep.org.zaInternet Source
uladechcatolica.ning.comInternet Source
pps.unud.ac.idInternet Source
rumahfilsafat.comInternet Source
Submitted to Auckland University of
TechnologyStudent Paper
www.degruyter.comInternet Source
www.aijcrnet.comInternet Source
Policing: An International Journal of Police
Strategies & Management, Volume 24, Issue
4 (2006-09-19)Publicat ion
www.akparmakassar.ac.idInternet Source
repository.wima.ac.idInternet Source
km.ristek.go.id
68<1%
69 <1%
70 <1%
71 <1%
72 <1%
73 <1%
74 <1%
75 <1%
76 <1%
77 <1%
78 <1%
79 <1%
80
Internet Source
elibrary.ub.ac.idInternet Source
eprints.undip.ac.idInternet Source
epublications.uef.f iInternet Source
senastek.unud.ac.idInternet Source
www.pustaka.ut.ac.idInternet Source
vuir.vu.edu.auInternet Source
thuvien.due.udn.vn:8080Internet Source
penelitian.lppmunud.comInternet Source
www.repository.ugm.ac.idInternet Source
oto.teknik.ummgl.ac.idInternet Source
Submitted to Universitas WarmadewaStudent Paper
lppm.unsoed.ac.id
<1%
81 <1%
82 <1%
83 <1%
EXCLUDE QUOTES OFF
EXCLUDE
BIBLIOGRAPHY
OFF
EXCLUDE MATCHES OFF
Internet Source
www.handbook.uts.edu.auInternet Source
dumadia.wordpress.comInternet Source
repository.ugm.ac.idInternet Source