d2068-muhammad athar ismail muzakir.pdf
TRANSCRIPT
i
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI HIERARKI DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI PADA GLOBAL VALUE CHAIN-INDUSTRI
PESAWAT TERBANG NASIONAL
(Analisis Kegagalan Program Pesawat N 250 IPTN)
DISERTASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi
Muhammad Athar Ismail Muzakir 1106126844
FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
JAKARTA
Juli 2015
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
ii
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
iii
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
iv
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah subhana Huwa ta’ala, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya diberikan berbagai kemudahan dalam menyelesaikan disertasi
ini Allahumma, amin. Penulisan tesis ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat
mencapai gelar Doktor pada Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Prof. Dr. Martani Huseini, selaku promotor atas bimbingan yang tidak ternilai
yang telah diberikan kepada saya termasuk membuka jalan untuk bertemu
Presiden RI III Prof. Dr.Ing BJ Habibie.
(2) Prof. Sudarsono Hardjosoekarto, selaku kopromotor, walaupun ditengah
kesibukan yang luar biasa, selalu secara konsisten membimbing kami termasuk
dalam memberikan semangat kepada kami untuk segera menyelesaikan
disertasi ini.
(3) Dr. Teguh Rahardjo, selaku ko-promotor atas dukungan dan dorongan untuk
segera menyelesaikan program doktoral yang saya tempuh dan banyak
memberikan materi terkait, masukan dalam penyusunan disertasi ini;
(4) Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, selaku Ketua Program Pascasarjana
Departemen Ilmu Administrasi yang telah memberikan dukungan agar saya
dapat menyelesaikan disertasi ini tepat waktu;
(5) Kepada segenap tim Penguji: Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA., Prof. Dr.
Ferdinand Dehoutman Saragih, M.A., Prof. Lukman Hakim, M.Sc., Ph.D., Dr.
Andreo Wahyudi, yang telah memberikan masukan yang sangat berharga baik
melalui serangkaian ujian-ujian maupun pertemuan-pertemuan pasca ujian.
(6) Kepada segenap staf Sekretaris Program Doktor Ilmu Administrasi Mas
Umanto, Mas Yanto, Ibu Ana dan semuanya atas segala bantuan yang sangat
berharga yang diberikan dalam proses penyelesaian Disertasi ini.
(7) Presiden RI III, Prof. Dr. Ing BJ Habibie atas kesempatan emas yang telah
diluangkan kepada saya, saya sangat beruntung sekali mendapatkan kesempatan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
vi
Universitas Indonesia
berdua dengan Bapak untuk menanyakan perihal terkait IPTN dan N 250 serta
wejangan-wejangan spesial terkait dunia penerbangan nasional.
(8) Mba Widya Habibie atas kesediaan dan bantuannya, sehingga pertemuan dalam
rangka wawancara dengan Presiden RI III, Prof. Dr. Ing BJ Habibie dapat
terlaksana.
(9) Seluruh narasumber, yang telah menyediakan waktu yang sangat berharga
untuk memberikan data dan informasi yang saya perlukan untuk penyusunan
disertasi ini.
(10) Ir Ahmad Dading Gunadi M.A, terimakasih atas kesempatan dan kebijaksanaan
yang telah diberikan terutama ketika menjabat sebagai Asdep Relevansi
Program Riptek.
(11) Adhi Hermanu, S.T., M.T, terutama ketika menjadi Kabid saya di lingkungan
Keasdepan Relevansi Program atas kelonggaran waktu serta kesempatan yang
diberikan kepada saya,
(12) Ir Santosa Yudo, M.T, Asdep Relevansi Program Riptek atas kesempatan dan
kemudahan yang telah diberikan kepada saya.
(13) Ir Wawan Bayu, M.M., Kabid Evaluasi atas kesempatan dan kemudahan yang
telah diberikan kepada saya.
(14) Enny Lestariningsih, S.Si, M.E, terutama kesempatan yang telah diberikan
kepada saya, baik ketika program S2 di MPKP.
(15) Dr. Mustangimah selaku Co Promotor Ke-3 yang telah mengajarkan kepada
saya semangat juangnya, juga masukan yang sangat jitu baik secara substansial
maupun teknik penulisan, sehingga saya banyak mendapatkan manfaat yang
sangat berharga dari Beliau.
(16) Dr. Rachma Fitria, yang telah menjadi inspirasi dalam penemuan novelty, juga
telah bersedia membantu dalam proses submit jurnal internasional. Pesan
Beliau yang selalu saya ingat ketika selesai bimbingan terutama dalam
lingkungan Padepokan adalah: “ Progress ya Pak !!!”. Pesan tersebut menjadi
salah satu cambuk bagi Saya dan teman-teman untuk terus menyelesaikan
penelitian ini.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
vii
Universitas Indonesia
(17) Teman-teman seperjuangan dan seangkatan Bang Tomi, Bang Kasmen, Bang
Cheka, Bang Taufik, Bang Bagus, Bang Burhan, Bang Rustam, Bur Hernita, Bu
Yenny, Bu Agnes, Bu Ita, Bu Ana dan semua teman-teman PDIA angkatan
tahun 2011 (semester ganjil) terimakasih atas dukungan dan kebersamaan yang
akan selalu saya ingat. Semoga kalian segera menyusul dan to be the best.
(18) Teman-teman diskusi: Pak Syahrul, Mas Irfan, Mas Dianta, Pak Dudi, Mas
Amin dll, termikasih atas sumbangsih pemikirannya yang semuanya menjadi
masukan penting bagi disertasi saya.
(19) Kepada segenap Tim Penguji, mulai dari Sidang Proposal, Sidang Hasil, Sidang
Pra Promosi, dan Sidang Promosi, terimakasih atas segenap arahannya.
(20) Tim Sekretariat PDIA di Salemba yang telah banyak membantu saya selama
perkuliahan.
(21) Istriku dan anak-anakku yang kusayangi (Ahmad, Asma’, Yusran, dan
‘Aisyah), yang telah menjadi salah satu motivator penyegeraan penulisan
disertasi ini. Terkhusus untuk Istriku Hanifah Tercinta, yang telah rela
kehilangan sebagai haknya untuk kegiatan penulisan disertasi ini.
(22) Daeku-Ibuku tercinta, terimakasih yang tak terhingga untuk segala
pengorbanan, bimbingan, doa dan ridhomu yang telah menjadi sebab utama
kemudahan segala urusan anakda termasuk dalam proses penulisan disertasi ini.
(23) Dae Taju dan Mumaku rahimahumallah yang anakda cintai yang telah selalu
mendoakan kebaikan dan kesuksesan buat saya. Semoga Alloh subhana Huwa
ta’ala selalu mengampuni dosa Muma dan Dae dan dimasukkan dalam surga
firdausNya, Amin.
(24) Kakak-Kakakku Dae Yu, Dae Sur, Dae Nur, Dae Hijrah, Dae Hikmah, dan Dae
An. Serta adik-adikku Rahmah, Sita, dan Ima, terimakasih atas dukungan moril
dan ataupun material yang tak ternilai harganya dari kalian semua.
(25) Keluarga Besar Bima dari Pihak Istriku Hanifah binti M Jafar, terimakasih atas
segala dukungan moril dan tenaga yang telah diberikan kepada saya dan
keluarga, sehingga membantu kelancaran penulisan disertasi ini.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
viii
Universitas Indonesia
(26) Akhir kata, saya berdo’a, semoga Allah Subhana Huwa ta’ala membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulisan disertasi ini, aamin.
Jakarta, Juli 2015
Penulis
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
ix
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
x
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi konsep kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang yang memiliki tipologi Global Value Chain (GVC) Hierarki. Sejak era reformasi hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dukungan kebijakan terutama dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan relatif lemah dibandingkan dengan periode orde baru. Padahal, sejak 2011-2013, terdapat sejumlah program pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti pesawat N 219, program N 245 yang merupakan upgrading dari CN 235, dan Program Upgrading N 250 menjadi R-80.
Kegagalan Program N 250 IPTN menunjukkan bahwa keberhasilan program upgrading teknologi tidak hanya disebabkan oleh masalah lemahnya manajemen perusahaan, tetapi juga tidak adanya kesinambungan dukungan politik pemerintah. Karena kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi bersifat kompleks dan problematis, baik terkait dukungan secara regulasi maupun political will dari pemerintah, maka penelitian ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM) untuk mengkonstruksi konsep kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan mempertimbangkan systematically desirable dan culturally feasible.
Penelitian ini juga melakukan analisis komparatif khususnya dengan Embraer Brazil dalam program pesawat EMB 120 yang sekelas dengan pesawat N 250 IPTN. Penelitian ini memberikan empat rekomendasi: pertama, selain dukungan secara regulasi, dukungan secara politik dibutuhkan untuk keberhasilan program upgrading teknologi. Kedua, komunikasi dua arah antar level kebijakan nasional dengan level inter sektoral sangat diperlukan, khususnya dalam proses pengarusutamaan arah kebijakan iptek sektor dirgantara. Ketiga, Industri Dirgantara dalam hal ini IPTN/PT DI harus memperkuat value chainnya baik terkait kemampuan manajemen, produksi dan jejaring. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang adalah bukan hierarki murni, karena kemampuan lead firm dalam melakukan codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement dari lead firm yang dibutuhkan justru sangat tinggi. Penelitian lanjutan dapat difokuskan pada analisis konsep proses kebijakan sebagai hierarki pada dinamika tipologi GVC sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat lebih efektif Kata kunci: proses kebijakan sebagai hierarki, tiga level hierarki proses kebijakan, upgrading teknologi, global value chain, tipologi hierarki, soft systems methodology (ssm).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xi
Universitas Indonesia
ABSTRACT
This research combines the concept of policy process as hierarchy and the concept of Global Value Chain (GVC) in reconstructing the concept of policy in upgrading technology in GVC of an aircraft industry with a hierarchical typology. Since the reformation order until the era of President Susilo Bambang Yudhoyono, policy support for aircraft industry is relatively weak compared to the period of the New Order. However, since 2011 until now, there has been a number of aircraft development programs that were based on technology development, both on-going and at the stage of planning, such as N 219 Air Craft Program, N 245 which is upgrading of CN 235 or R-80 which is upgrading of N 250.
Based on the failure of IPTN Indonesia, particularly the termination of N 250 program, which was not only caused by the poor management of the company as well as sectoral policy and national policy, but also by the lack of political commitment from the government. Because support for technology upgrade is very complex and problematical, either related to regulatory support or government political will, this research employs Soft Systems Methodology (SSM) to find the concept of policy for supporting technology upgrade in GVC- National Aircraft Industry which are both arguably desirable and also culturally feasible. This study provides an illustration of comparative analysis between EMB 120-Embraer Brazil and N 250 IPTN.
This paper recomends four conclusion: First, in addition to regulation support of the national development direction, political support from the government is also required. Second, a two-way communication is required between policy level and sectoral level, especially science and technology research sector, in the effort to mainstream aerospace technology development in the national development planning. Third, Aircraft Industry should also strengthen its value chain, especially improving the management system in terms of production, marketing and networking. Fourth, a GVC typology of aircraft industry which is effective for aircraft technology upgrade program is not completely hierarchical since lead firm codifiability and supplier competence in complying with the lead firm requirements are very high. For further research, the analysis of the concept of policy process as hierarchy for supporting technology upgrade with regarding to dynamic of typology of GVC could be conducted for carrying out technology upgrade effectively. Keywords: policy process as hierarchy, upgrading technology, aircraft industry, global value chain, soft systems methodology (ssm).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii HALAMAN PENGESAHAN iii KATA PENGANTAR iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
vii
ABSTRAK viii DAFTAR ISI x DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR TABEL xvii DAFTAR LAMPIRAN xix BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Permasalahan 1.2. Identifikasi Masalah 1.3. Perumusan Masalah 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Signifikansi Penelitian
1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan 1.5.2. Bagi Pemerintah 1.5.3. Bagi Industri Pesawat Terbang Nasional
1.6. Batasan Penelitian
1 1 23 37 39 39 39 40 40 40
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 42
2.1. Konteks Penelitian 2.1.1. Kajian Kebijakan di dalam Mendorong Pembangunan
Sektor Dirgantara 2.1.2. Kajian perbandingan Kebijakan Pemerintah dalam
mendorong upgrading teknologi antara Industri IPTN dengan beberapa Industri Pesawat Terbang diberbagai Negara
42
42
47
2.2. Global Value Chain 50 2.2.1. Struktur Global Value Chain 51 2.2.2. Pengkoordinasian dalam Lima Tipologi Global Value Chain 54 2.2.3. Upgrading 61 2.2.4. Upgrading dan Nilai Tambah 62 2.2.5. Upgrading dan Inovasi 63
2.3. Konsep Kebijakan Pemerintah dalam Mendorong Product Upgrading
65
2.3.1. Konsep Peran Kebijakan Pemerintah dalam Rantai Nilai 65 2.3.2. Peran Pemerintah Dalam Upgrading Melalui Open 69
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xiii
Universitas Indonesia
Innovation 2.3.3. Peran Pemerintah Dalam Upgrading Melalui Triple Helix 73 2.4. Proses Inovasi Antara Model Klasik Vs Open Innovation 75
2.4.1. Proses Inovasi Schumpeter Berbasis Closed Innovation 75 2.4.2 . Proses Inovasi Berawal pada Akhir dan Berakhir pada Awal 77 2.5. Kebijakan Publik 81 2.5.1. Definisi Kebijakan Publik 81 2.5.2. Proses Kebijakan 81 2.5.3. Implementasi Kebijakan 84 2.5.4. Koherensi Kebijakan 87 2.5.5. Siklus Koherensi Kebijakan 88 2.5.6. Level Koherensi Kebijakan 89
BAB 3. METODE PENELITIAN 91 3.1. Paradigma Penelitian 91 3.2. Jenis Penelitian 92 3.3. Alasan Menggunakan Pendekatan Soft System Methodology (SSM) 97 3.4. Tahapan dan Proses Penelitian dalam SSM 101 3.5. Pengumpulan dan Analisis Data 106 3.6. Narasumber Penelitian
107
BAB 4. GAMBARAN UMUM KONDISI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI INDUSTRI PESAWAT DI INDONESIA.
110 4.1. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading)
Sektor Dirgantara pada Level Kebijakan
114 4.2. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading)
Sektor Dirgantara pada Level Kebijakan Sektor/Organisasi
124 4.3. Potret Proses Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading)
pesawat terbang N 250 pada Level Operasional-Industri.
142 4.4. Rich Picture Tiga Level Kebijakan dalam Mendorong
Komersialiasi Next N 250 (R-80).
149
BAB 5. ANALISIS BERBASIS LOGIKA TERHADAP DUNIA NYATA DALAM KONSTRUKSI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI
150
5.1. Root Definition 151 5.1.1. Root Definition Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki
Proses Kebijakan
152 5.1.2. Root Definition pada Level Kebijakan- Regulasi terkait
Arah Pembangunan Kedirgantaraan Nasional
152 5.1.3. Root Definition pada Level Organisasi- Sinergi
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xiv
Universitas Indonesia
kelembagaan 153 5.1.4. Root Definition pada Level Operasional- Peningkatan
Strategi Manajemen Bisnis
154 5.2. Konseptual Model 154 5.2.1. Model Konseptual Kebijakan Upgrading Teknologi-GVC
IPTN Dengan Pengayaan dengan Konsep Tiga Level Hiearki Proses Kebijakan
154 5.2.2. Model Konseptual Arah Pembangunan Sektor
Kedirgantaraan Nasional dalam Dokumen Pembangunan Nasional.
156
5.2.3. Model Konseptual Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong
Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC IPTN
159 5.2.4. Model Konseptual Manajemen Bisnis untuk Peningkatan
Nilai Tambah Industri Pesawat Terbang dari Product Upgrading.
161
BAB 6. TEMUAN HASIL PENELITIAN 163 6.1. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata (Comparison of Models
and Real World).
163 6.1.1. Level Kebijakan- Arah Pembangunan Sektor Dirgantara 163
6.1.2. Level Organisasi- Sinergi kelembagaan 182 6.1.3. Level Operasional- Peningkatan Manajemen Bisnis 193
6.1.3.1. Analisis Aktivitas Primer Rantai Nilai Pengembangan N 250-IPTN
193
6.1.3.1.1. Struktur Global Value Chain N 250 193 6.1.3.1.2 Analisis Operasi dan Logistik Keluar IPTN 6.1.3.1.3 Analisis Aktivitas Pemasaran dan Strategi
Pemasaran Pesawat IPTN
194
198 6.1.3.2. Analisis Aktivitas Pendukung Rantai Nilai IPTN 207 6.1.3.2.1. Analisis Manajemen Perusahaan IPTN dalam
Pengembangan N 250 207
6.1.3.2.2 Analisis Pengembangan SDM, Infrastruktur & Keuangan IPTN
210
6.1.3.2.3 Analisis Pengembangan Teknologi untuk Pengembangan N 250 IPTN
215
6.1.3.2.4 Analisis Strategi Pengembangan Diferensiasi Pesawat
217
6.1.4. Perbandingan Konseptual Model Konstruksi Tiga Level Hiarki Proses Kebijakan untuk Mendorong Upgrading Teknologi dengan Temuan Lapangan
218 6.2. Tindakan Perbaikan (Action to Improve the Problem Situation) 219 6.2.1. Level Kebijakan- Arah Pembangunan Sektor Dirgantara 220
6.2.2. Level Organisasi- Sinergi Kelembagaan 223 6.2.3. Level Operasional- Peningkatan Manajemen Bisnis 227
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xv
Universitas Indonesia
6.2.4. Rekonstruksi Kebijakan Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan supaya Upgrading Teknologi PT DI Dapat Survival dan Berkesinambungan.
6.2.5. Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi pada GVC -IPTN
234 238
BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 241 7.1. Kesimpulan 241 7.2. Saran 246 DAFTAR PUSTAKA
250
LAMPIRAN-LAMPIRAN 262
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xvi
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Program Penjualan Pesawat Terbang 1975-1997 6
Gambar 1.2 Pertumbuhan Laba/Rugi IPTN Sejak 1976-1993 (dalam Juta
Rupiah)
12
Gambar 1.3 Struktur Organisasi IPTN sebelum Krisis 14
Gambar 1.4 Struktur Organisasi PT DI setelah Restrukturisasi 15
Gambar 1.5 Pertumbuhan Pasar Transportasi Udara Domestik 2000-2012 18
Gambar 1.6 Permintaan Pasar Internasional untuk Pesawat Sekelas N 250 19
Gambar 1.7 Industri Kedirgantaraan dan Keterkaitannya 20
Gambar 1.8 Kebutuhan Transportasi Udara dari Perspektif Kemaritiman 21
Gambar 1.9 Bagan Teori Kajian Tigal Level Hierarki Proses Kebijakan
dalam Upgrading Teknologi pada Global Value Chain tipologi
Hierarki IPTN
25
Gambar 2.1 Peta Penelitian Sejenis (1991-2013) dan Kontribusi Penelitian
Tesis Ini.
50
Gambar 2.2 Pengkoordinasian dalam Lima Tipologi Industrial Governance 54
Gambar 2.3 Global Value Chain di dalam Tipologi Market 56
Gambar 2.4 Global Value Chain di dalam Tipologi Modular 57
Gambar 2.5 Global Value Chain di dalam Tipologi Relational 58
Gambar 2.6 Global Value Chain di dalam Tipologi Captive 59
Gambar 2.7 Global Value Chain di dalam Tipologi Hierarchy 60
Gambar 2.8 The added Value Chain 65
Gambar 2.9 Model Basic Value Chain 66
Gambar 2.10 Model Open Innovation 70
Gambar 2.11 Tiga Proses Inti dalam Open Innovation 71
Gambar 2.12 De-coupling the Locus of Innovation Process 71
Gambar 2.13 Model Closed Innovation 72
Gambar 2.14 Model Triple Helix I 73
Gambar 2.15 Model Triple Helix II 74
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xvii
Universitas Indonesia
Gambar 2.16 Model Triple Helix III 75
Gambar 2.17 Proses Inovasi 76
Gambar 2.18 Proses Inovasi Berawal pada Akhir dan Berakhir pada Awal 80
Gambar 2.19 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan 84
Gambar 2.20 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan 85
Gambar 2.21 Siklus Koherensi Kebijakan 89
Gambar 3.1 Reporting the SSM-based-AR 94
Gambar 3.2 Siklus Research Interest dalam Penelitian Tindakan 96
Gambar 3.3 Siklus Problem Solving interest dalam Penelitian Tindakan 97
Gambar 3.4 Kerangka Penelitian Tindakan Menurut McKay dan Marshall 100
Gambar 3.5 Model Penelitian Tindakan yang Digunakan 101
Gambar 3.6 Tahapan dalam SSM 102
Gambar 4.1 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat
Terbang PT DI dari Era Orde Baru – Era Saat ini
113
Gambar 4.2 Dukungan Politik Terhadap Pembangunan Sektor
Kedirgantaraan
117
Gambar 4.3 Organisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) 128
Gambar 4.4 Mekanisme Koordinasi Kelembagaan di sektor Kedirgantaraan
Pada Zaman Orde baru.
129
Gambar 4.5 Ilustrasi Sistem Pembiayaan Riset Saat Ini 141
Gambar 4.6 Master Plan Regio Prop (R-80) 146
Gambar 4.7 Rich Picture Tigal Level Kebijakan dalam Mendorong
Upgrading N 250
149
Gambar 5.1 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk
Mengkonstruksi Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi-GVC
IPTN dengan Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses
Kebijakan
156
Gambar 5.2 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memasukkan
Arah Pembangunan Iptek Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam
Dokumen Pembangunan Nasional
158
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xviii
Universitas Indonesia
Gambar 5.3 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk Membangun
Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi
Pesawat Terbang di GVC IPTN
160
Gambar 5.4 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memperkuat
Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri
Pesawat Terbang.
161
Gambar 6.1 Arah Pembangunan dalam RPJPN 163
Gambar 6.2 Alur Perencanaan dan Penganggaran 168
Gambar 6.3 Bangun Industri Nasional 2025 173
Gambar 6.4 Proses Teknoratik dan Proses Politik dalam Penyusunan RPJPN 174
Gambar 6.5 Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis
Rujukan dalam penyusunan Agenda Riset Nasional
176
Gambar 6.6 Sasaran Bidang IPTEK REPELITA VI GHBN 1993 178
Gambar 6.7 Lembaga Pendanaan Inovasi-FINEP Brasil 186
Gambar 6.8 Tingkat Eksport dan Penjualan Pesawat serta SDM Embraer
1970-2007
213
Gambar 6.9 Belanja dan Intensitas Litbang Embraer, 1983-2007 214
Gambar 6.10 Jumlah Paten Granted dalam Bidang Aerospace 215
Gambar 6.11 Proses Technoratik Isu Kemandirian Teknologi Kedirgantaraan
dalam Penyusunan RPJP Nasional.
221
Gambar 6.12 Proses Integrasi Rencana Kebijakan Iptek dengan Perencanaan
Pembangunan dan Penganggaran Nasional.
222
Gambar 6.13 Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi
Kedirgantaraan.
224
Gambar 6.14 Sinergi Antar Lembaga Pendanaan untuk Pengembangan
Mendorong Teknologi Kedirgantaraan
225
Gambar 6.15 Proses Pengajuan Program Afirmasi Nasional-Upgrading
Pesawat Terbang N 250/R-80
226
Gambar 6.16 Lembaga Pendanaan Inovasi 227
Gambar 6.17 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Upgrading 232
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xix
Universitas Indonesia
Teknologi di Industri Pesawat Terbang Embraer
Gambar 6.18 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan untuk Mendorong
Upgrading Teknologi PT DI Sehingga Surive dan Berkelanjutan
237
Gambar 6.19 Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam
Mendorong Upgrading Teknologi pada Global Value Chain -
Tipologi Hierarki
239
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xx
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Penjualan CN 235 sampai Akhir Tahun 2012 3
Tabel 1.2 Keunggulan CN 235 Dibandingkan dengan Para Pesaingnya 4
Tabel 1.3 Aspek-aspek yang Menyebabkan Gagal dan Berhasilnya Industri
Pesawat Terbang dari Berbagai Negara
13
Tabel 1.4 Kondisi Keuangan PT DI 16
Tabel 1.5 Penjualan CN 235 sampai Akhir Tahun 2012 17
Tabel 2.1 Empat Struktur GVC 53
Tabel 2.2 Determinan Utama dari Pengaturan/Koordinasi GVC 60
Tabel 2.3 Proses Kebijakan Publik 82
Tabel 3.1 Perbandingan antara Positivism dan SSM-based AR 93
Tabel 3.2 Elemen Penelitian 100
Tabel 3.3 Aktor-aktor yang Mewakili Peran dalam Penelitian 102
Tabel 3.4 Analisis One, Two, dan Three pada Tahap ke-2 104
Tabel 3.5 Deskripsi CATWOE 105
Tabel 3.6 Kriteria Tranformasi 105
Tabel 3.7 Deskripsi Ringkas Tujuh Langkah SSM dan Teknik Kualitatif
yang Digunakan
106
Tabel 3.8 Narasumber Penelitian 108
Tabel 4.1 Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan pada Level
Kebijakan
119
Tabel 4.2 Arah Pembangunan IPTEK dalam Dokumen Perencanaan
Nasional
122
Tabel 4.3 Punas 1993-1998 yang Tergolong Lima Besar 126
Tabel 4.4 Lima Tema Utama dalam Bidang Rancang Bangun 126
Tabel 4.5 Kebijakan Sektor Iptek vs Kebijakan Sektor Industri 132
Tabel 4.6 Upgrading Teknologi Pesawat Terbang PT DI dalam Empat
Strategi Industri
143
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xxi
Universitas Indonesia
Tabel 4.7 Kelebihan R-80 Dibandingkan ATR maupun Dash 147
Tabel 5.1 Root Definition Penelitian 151
Tabel 5.2 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1 152
Tabel 5.3 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2 153
Tabel 5.4 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3 153
Tabel 5.5 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4 154
Tabel 6.1 Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2013 165
Tabel 6.2 Arah Pembangunan Iptek 2015-2019 KEMENRISTEK vs
BAPPENAS
167
Tabel 6.3 Riset Unggulan Agenda Riset Nasional 2015-2019 170
Tabel 6.4 Perbandingan Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Indonesia-
Brazil pada Level Kebijakan
181
Tabel 6.5 Peningkatan Fasilitas Uji Pesawat Terbang di Lembaga Penelitian 184
Tabel 6.6 Perbandingan Dukungan pada Level Sinergi Organisasi dalam
Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara antara IPTN Indonesia-
Embraer Brasil
189
Tabel 6.7 Tahapan Upgrading N 250 IPTN dengan EMB 120 Embraer 196
Tabel 6.8 Jumlah Penjualan Pesawat IPTN vs Embraer 202
Tabel 6.9 Perbandingan IPTN Indonesia vs Embraer Brasil 204
Tabel 6.10 Perbandingan SDM, Keuangan dan Produktivitas IPTN vs
Embraer
212
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xxii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ringkasan Hasil Riset Terdahulu 262
Lampiran 2 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan
Refleksi dengan Teori-Level Kebijakan
280
Lampiran 3 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori
284
Lampiran 4 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan
Refleksi dengan Teori (Level Operasional).
287
Lampiran 5 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan
Refleksi dengan Teori-RD1
290
Lampiran 6 Notulensi FGD I Program Pengembangan Regioprop R80 293
Lampiran 7 Notulensi FGD II Program Pengembangan Regioprop R80 296
Lampiran 8 Notulensi FGD III/Diskusi Lanjutan Program Pengembangan
Iptek Bidang Kedirgantaraan
300
Lampiran 9 Analisis Data Hasil Wawancara Konstruksi Tiga Level Hierarki
Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang
di GVC Modular
305
Lampiran 10 Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki
Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang
di GVC Modular
318
Lampiran 11 Foto-foto FGD 332
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Permasalahan
Secara historis, dukungan kebijakan dalam rangka penguasaan teknologi
sektor kedirgantaraan sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Mulai
dengan dibentuknya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) di 1960;
dibentuknya Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang-Komersial
(KOPELAPIP) ditahun 1965, dibentuknya Lembaga Industri Pesawat Terbang
Nurtanio (LIPNUR) sebagai pengganti LAPIP di tahun 1966. Akhirnya,
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.12, tanggal 15 April 1975, LIPNUR yang
kemudian dibentuk dengan nama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)
tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Suharto pada 23 Agustus 1976.1
Empat tujuan dari berdirinya IPTN adalah: pertama, menumbuhkan
kekuatan bangsa di bidang kedirgantaraan untuk menunjang ketahanan dan
keamanan nasional. Kedua, menguasai teknologi kedirgantaraan beserta
pengembangan untuk mengurangi ketergantungan dari luar. Ketiga, menjadi salah
satu perusahaan pendorong pertumbuhan industri nasional. Keempat mandiri
secara bisnis serta mampu bersaing di pasar internasional.2
Dalam tahapan upgrading pesawat terbang, IPTN mengadopsi empat tahap
upgrading atau yang dikenal dengan berawal diakhir dan berakhir diawal,
tahapan tersebut terdiri dari: 1) technology transfer phase; 2) technology
integration phase; 3) technology development phase; dan 4) large-scale basic
research phase.3 Pemilihan strategi tersebut dilatarbelakangi dengan beberapa
alasan, pertama: terbatasnya dana, fasilitas dan tenaga dan untuk menjaga
momentum dalam mengejar ketertinggalan dengan negara maju, sehingga untuk
sementara belum dapat dilakukan investasi dalam topik ilmu pengetahuan yang
1 Lili Irahali, Agustus 2001. Dirgantara Indonesia dalam Perspektif Sejarah. 25 Tahun
PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.15. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
2 Rhenald Kasali, Agustus 2001. Dirgantara Berfikir Secara Bisnis. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.124. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab
3 Harijono Djojodihardjo, 2000. Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
2
Universitas Indonesia
sifatnya mendasar karena dapat diperoleh dari dari pusat-pusat ilmu pengetahuan
dunia.4
Fase pertama dari strategi tersebut adalah fase pengenalan dan penguasaan
teknologi dalam memproduksi jenis pesawat terbang yang sudah di pasaran.
Beberapa capaian dalam fase ini adalah: Pesawat NC 212 lisensed dari CASA
Spanyol. Beberapa jenis Helikopter seperti: NAS-332/NSA-330, NB0-105, dan
N-Bell-412. Dari jenis Rocket Weapon System seperti: SUT Torpedo dan FFAR.
Dari jenis komponen pesawat, IPTN telah menjadi supplier untuk komponen
pesawat Boeing B-767, B-737, F-100, dan F-16. 5
Di fase kedua yang juga masih eksist hingga saat ini adalah yaitu selain
kemampuan integrasi juga penguasaan pada technology design, dan capaian pada
fase ini adalah pengembangan CN 235 yang dilakukan melalui kerjasama dengan
CASA Spanyol. Selanjutnya pada fase ketiga yaitu technology development
phase, pada tahap ini, kemampuan produksi dan desain sudah meningkat.
Penguasaan teknologi pada fase ini dilakukan dengan memanfaatkan hasil
penelitian dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang
ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu
rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu
pengendalian mutu (quality control) dsb.6 Capaian pada pada fase ketiga adalah
dua seri N 250 yaitu Seri Gatot Kaca dengan kapasitas 50 Penumpang dan Seri
Krincing Wesi dengan kapasitas 70 Penumpang. Pesawat N 250 merupakan murni
buatan IPTN tanpa melibatkan CASA-Spanyol. Dan tahap terakhir dari
transformasi industri adalah riset dasar secara besar-besaran, dan target produk
pesawat pada fase ini rencananya adalah N 2130 (Tabel 1.2).
Dari sisi penjualan produk IPTN, selain pesawat terbang, sebagai hasil dari
tahap pertama, IPTN juga memproduksi dan menjual beberapa jenis Helikopter
seperti Helikopter NBO-105, Helikopter Jenis Puma dan Super Puma sebagai
produksi lisensi dari Aerospatiale Perancis dan kemudian Bell-412 dari Amerika
4 BJ Habibie 1995. Iptek dan Pembangunan Bangsa. cop.cit. h.167 5 B J Habibie, 1994., Progress Report 1974-1994. op.cit.h.68-73 ; Untuk komponen F-16,
IPTN dengan mekanisme kebijakan off set, menjadi supplier untuk bagian sirip 200 Pesawat F-16, lihat lampiran wawancara Habibie oleh Peter F Gontha pada lampiran 9, loc.cit, no. 21.3
6 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
3
Universitas Indonesia
Serikat.7 Selanjutnya memasuki tahap II yaitu Technology integration phase
dimulai sejak tahun 1980, walaupun masih berpatungan dengan pihak CASA
Spanyol, di tahun 1983, sejak 1987-1993, IPTN telah berhasil merancang dan
memproduksi pesawat CN 235. Sejak tahun 1987 sampai tahun 1993, Produk CN
235 telah diproduksi dan dijual sejumlah 95 unit, baik untuk pasar dalam negeri
maupun luar negeri.8 Di dalam Tabel 1.1 dijelaskan bahwa sejak 1992-1993,
pesawat CN 235 telah dipesan oleh beberapa negara, yaitu Brunei, Malaysia,
Korea Selatan, UE, dan Thailand.9
Tabel 1.1 Penjualan CN 235 1992-1997
No Negara Pembeli
Jumlah Order
Pesawat Tahun Order
Tahun Kirim
1 Brunei 1 CN-235 1995 19972 Malaysia 6 CN-235 1995 19993 Korea Selatan 8 CN-235 1997 2001-20024 United Emirate Arab7 CN-235 1992 1993-19955 Thailand 2 CN-235 1996 1996
Sumber: diolah dari http://analisismiliter.com
Dari sisi produk, sejatinya pesawat CN 235 sangat handal, hal ini terbukti
hingga saat ini, baik di Spanyol maupun di Indonesia, belum ada pesawat CN-235
yang terjatuh10. Dari aspek pasar, pesawat CN 235 yang digunakan untuk misi
militer versi MPA (Maritime Patrol Aircraft) dan misi khusus11 telah digunakan
oleh lebih dari 22 negara, selain ketujuh negara yang telah disebutkan diatas,
negara-negara lainnya diantaranya adalah Turki, Yordania, Maroko, Perancis,
bahkan Amerika Serikat,12bahkan Korsel, Malaysia, dan Pakistan menggunakan
CN 235 untuk pesawat kepresidenan.13
7 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System
Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.h.71; B J Habibie, 1994, op.cit, h.69-70; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.h.71
8 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. 71; B J Habibie, 1994, op.cit. h. 81; 9 http://analisismiliter.com; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. 71 10http://www. vivanews.com 11 Lihat kembali Tabel 1.4 Penjualan CN 235 1992-1997 dan Tabel 1.7 Penjualan CN 235
sampai akhir tahun 2012, pada bab ini 12 http://pengetahuanpintars.blogspot.com/2012/02/7-pesawat-indonesia-
tempurkomersial-di.html#ixzz2uUG7tJjx, Diakses tanggal 27/02/2014 13 Hasil wawancara dengan Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di kantor PT RAI
Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9. no.13.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
4
Universitas Indonesia
Testimoni keberhasilan IPTN khususnya kemampuan desain dan produksi
pesawat terbang telah diungkapkan oleh Daniel Vertesy dan Adam Szirmai14
(2010) dengan merujuk pada keberhasilan CN 235. Testimoni tersebut tidak
berlebihan jika melihat pangsa pasar pesawat CN 235, pada tahun 1990 pasar
pesawat CN 235 telah merebut sekitar 5% pasar untuk kelas pesawat dengan
kapasitas 20-45 penumpang. Tentang itu, Daniel Vertesy dan Adam Szirmai15
mengungkapkan:
“Analysts considered the realization of the CN-235 venture as a success for
the newly emerging industry of Indonesia”.
Menurut Daniel Vertesy dan Adam Szirmai, pesawat CN 235 telah
memenuhi sejumlah standar industri, tentang hal ini, Daniel Vertesy and Adam
Szirmai16 mengatakan bahwa:
“In comparison with similar aircraft, the technological level of the CN-235
in many ways met industry standards.”
Bahkan, dibandingkan dengan pesawat pesaingnya seperti ATR-42, Dash 8-100,
SF-340 dan EMB-120, CN 235 masih lebih efisien (Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Keunggulan CN 235 dibandingkan dengan Para Pesaingnya
Note: a) at long-range performance
Sumber: Regional Airliner Directory, Flight International 10-16 June 1992; producers di
dalam Daniel Vertesy and Adam Szirmai (2010). h. 71
Kehandalan CN 235 versi militer dan atau untuk misi khusus, ternyata
tidak sepenuhnya berlaku untuk versi sipil, pesawat CN-235 versi penerbangan
14 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit..h.82 15 Ibid.h.71 16 Ibid.h.82
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
5
Universitas Indonesia
rutin komersial dianggap kurang ekonomis, hal ini disebabkan karena direct
operational costnya tinggi dan menyebabkan harga pesawat menjadi mahal.17
Kekurangan pada CN 235 terutama untuk penerbangan rutin komersial,
merupakan diantara misi lahirnya program N-250.
Pesawat N 250 merupakan hasil dari akumulasi kemampuan yang
diperoleh dalam pengembangan NC 212 dan CN 235, namun sayang
pengembangan N 250 dan N 2130 tidak berhasil karena belum sampai pada tahap
komersialisasi (Gambar 1.1). Padahal, sampai dengan tahun 1998, sejatinya
pesawat N 250 yang telah menghabiskan anggaran lebih dari 650 juta dolar
Amerika18 sudah terbang 800 jam atau sekitar 4 tahun lebih, artinya hanya butuh
sekitar 700 jam lagi untuk mendapatkan Sertifikat Kelayakan Terbang (Certificate
of Airworthiness), baik dari Federal Aviation Administration –FAA (Amerika)
maupun Joint Aviation Authorities- JAA yang dikeluarkan oleh negara-negara
Eropa.19 Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, masih dibutuhkan dana sekitir
USD 150-200 juta.20
17 Hasil wawancara dengan bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI
Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9. no.13.2 18 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). High Technology In
Developing Countries:Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry.h.6
19Hasil wawancara dengan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana, 26 Juni 2014. lihat lampiran 9. no.12.2; Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.h.5; Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.42. Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat lihat lampiran 9. no.25.4
20 A. Makmur Maka (2013). Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua: Momentum Telah Berlalu: Konsipirasi Melawan N 250. h.420; A, Makmur Maka (2012). Biografi Bacharudin Jusuf Habibie: Dari Ilmuan ke Negarawan sampai “Minandito”. B.J Habibie dan N 250.h.139
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
6
Universitas Indonesia
Gambar 1.1 Program Penjualan Pesawat Terbang 1975-1997
Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai ( 2010), h.70
Pesawat N 250 yang telah melakukan uji terbang perdana (maiden flight)
pada 10 Agustus 1995 memiliki dua misi yaitu misi bisnis dan misi nasionalisme.
Misi bisnis, pengembangan N 250 dirancang untuk bisnis dan wisata, harapan
pada saat itu adalah setelah penumpang turun dari pesawat sejenis Boeing dan
Airbus, dan ketika penumpang ingin melanjutkan perjalanan antar propinsi, maka
pesawat N 250 masih menyediakan kenyamaan dan tingkat keamanan yang relatif
tidak kalah dengan dua jenis pesawat sebelumnya.21 Dalam rangka itu, dalam
pengembangan N 250 menyediakan beberapa fitur unggul, pertama, dari sisi
keamanan dan efisiensi yaitu dengan teknologi fly by wire22, pada saat itu baru
tiga jenis pesawat yang telah menggunakan teknologi fly by wire yaitu A-300 hasil
rekayasa dan produksi Airbus Industri (Eropa); N-250 hasil rekayasa dan produksi
industri Pesawat Terbang Nusantara IPTN, selanjutnya BOEING 777 hasil
rekayasa dan produksi BOEING (USA). N250 adalah pesawat turboprop dengan
kecepatan tinggi dalam daerah “subsonik”, sedangkan pesawat Jet AIRBUS A300
yang pertama kali menggunakan fly by wire terbang dalam daerah “transsonik”
21 Wawancara dengan Sudira, Bagian HKI PT DI, lihat lampiran Lampiran 9. no.32 22 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit..h.73
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
7
Universitas Indonesia
sebagaimana kemudian juga Boeing 777.23. Sementara itu, pesawat Embraer-
Brazil, baru menggunakan Teknologi fly by Fire di 2002 ketika memproduksi
pesawat E-170/190 yang setipe dengan N 2130.24
Saat ini, kebutuhan teknologi fly by wire merupakan salah satu standar
keselamatan yang sangat dibutuhkan bagi pesawat terbang, dengan beberapa
alasan: pertama, pada tahun 1991 dan 1994, Boeing 737 pernah jatuh di Colorado
Springs dan di Pittsburg disebabkan kerusakan pada sistem hidrolik rudder karena
tidak menggunakan teknologi fly by wire.25Kedua, jatuhnya pesawat ATR di
Amerika Serikat di tahun 1994 yang disebabkan karena kerusakan sistem
keseimbangan pesawat26. Ketiga, jatuhnya pesawat tanpa sertifikasi, baik FAA
maupun Easa yaitu MA-60 buatan Xian Aircraf Industry Corporation, Tiongkok.
Pesawat yang di operasikan oleh Merpati Airline tersebut jatuh di Kaimana.
Pesawat MA terjatuh karena perbedaan torsi mesin sehingga membuat pesawat
miring sampai 38 derajat dan kehilangan gaya angkat dan terjatuh.
Keempat adalah pada kasus kecelakaan Pesawat Sukhoi Super Jet 100
(SSJ-100) yang menabrak gunung Salak. Sejatinya, Pesawat Sukhoi Super Jet 100
(SSJ-100) telah dilengkapi dengan TAWS, sebuah sistem yang akan
memperingatkan pilot jika pesawat akan menabrak gunung. Sistem TAWS sudah
memberikan peringatan kepada pilot SSJ-100 untuk menaikkan ketinggian
pesawat. Peringatan ini biasanya berbunyi sekitar 120 detik sebelum pesawat
benar-benar menabrak gunung. Meski berjarak 120 detik, pilot SSJ-100 hanya
punya waktu 24 detik untuk segera menaikkan pesawat. Sayangnya, sang pilot
SSJ-100 mengabaikan peringatan tersebut dan menganggap kesalahan database
TAWS. Dengan waktu yang sedemikian sempit, akan berat bagi pilot untuk
mengatur semua instrumen pesawat sekaligus. Dengan fly-by-wire, pilot tinggal
23 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. loc.cit. h.2 24 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_E-Jets. 25http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-belajar-
dari-ntsb-540395.html. 26 John MacDougall, 1995 yang dimuat kembali didalam Media Indonesia
Minggu, Edisi 13 Agustus 1995 dengan judul Membawa Gatotkoco ke Pasar, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, diakses tanggal 19-10-2014
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
8
Universitas Indonesia
menggerakkan tuas untuk menaikkan pesawat, sistem fly by wire akan mengatur
torsi mesin dan membantu menjaga kestabilan pesawat.27
Keunggulan kedua, adalah dari sisi penggunaan teknologi mutakhir,
pesawat N 250 menggunakan teknologi yang paling mutakhir pada waktu itu,
sedangkan produk pesaingnya seperti Fokker-50 menggunakan teknologi 1950an,
ATP memakai teknologi 1960an dan ATR memakai teknologi
1970an.28Keuntungan penggunaan teknologi yang paling mutakhir, selain faktor
kenyamanan juga akan menyebabkan operational cost/maintenance cost pesawat
jauh lebih rendah dengan penggunakan teknologi yang telah lama.29
Kelebihan teknologi N-250 dibandingkan saingan sekelasnya (seperti
ATR-42, ATP, dan Fokker-50) ternyata diakui berbagai kalangan independen.
Salah satunya adalah seorang pakar di Boeing30, pakar tersebut mengatakan:
''N-250 adalah produk yang bagus,'' ... ''Persoalannya sekarang apakah IPTN
mampu memasarkannya,''
Testimoni atas kemampuan desain dan produksi pesawat IPTN baik CN
235 maupun N 250 juga diakui oleh kalangan peneliti yang menganalisis
kegagalan IPTN, salah satunya adalah David McKendrick 199231, di sela-sela
kritiknya atas ketidaktersediaan dukungan kebijakan dan aspek manajemen
industri terkait kegagalan IPTN, David McKendrik juga mengatakan:
“Despite the accumulation of considerable engineering and production
capabilities, technical competencies has not been sufficient for commercial
success. An important reason for the asymmetry between technical
accomplishment and performenced is underdeveloped managerial capacity.
This case raises question about the viability of policy intended to promote
technology “catch up” in complex industries”
27 http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-
belajar-dari-ntsb-540395.html 28 Hasil wawancara dengan Habibie yang dilakukan oleh surat kabar Media Indonesia dan
dimuat pada Minggu, Edisi 13 Agustus 1995. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, di akses pada 19 Oktober 2014
29 Wawancara antara Habibie dengan Peter F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg, lihat lampiran 9. no.32
30 John MacDougall, 1995 yang dimuat kembali didalam Media Indonesia Minggu, Edisi 13 Agustus 1995 dengan judul Membawa Gatotkoco ke Pasar, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, diakses tanggal 19-10-2014
31 David McKendrick, 1992. Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry.h.39.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
9
Universitas Indonesia
Testimoni keunggulan N 250 juga dibuktikan dengan beberapa komitmen
kerjasama dengan sejumlah kalangan bisnis manca negara untuk manufacturing
dan pemasaran N 250. Pertama, tercapainya kesepakatan dengan local government
of mobile Alabama dengan Investor dari US untuk memproduksi N-250 di US
dengan mendirikan PT ‘American Regional Aircraft Industry’.32Kedua,
pembangunan assembling line dari N 250 di Stuttgart-Jerman.33 Ketiga, British
Aerospace UK juga telah berminat untuk menjadi salah satu perusahaan yang
memproduksi pesawat N 250 dibawah lisensi IPTN.34
Misi kedua pengembangan N 250 adalah nasionalisme, terlepas dari segala
keunggulan tersebut, pengembangan N 250 tidak bisa dilihat dari perspektif
ekonomi semata, karena didalamnya terkandung nasionalisme dan wujud nyata
untuk menunjukkan kepada dunia eksistensi bangsa Indonesia, terutama dalam
penguasaan teknologi mutakhir di bidang yang sangat bergengsi dan disaat bangsa
Indonesia berusaha menuju era tinggal landas dan mengejar ketertinggalan dengan
negara-negara maju pada saat itu.35 Beberapa aspek yang dapat membantu untuk
menganalisis kegagalan upgrading pengembangan pesawat terbang N 250/ N
2130, yaitu: pertama, aspek politik. Momentum awal penyebab kegagalan IPTN
adalah terjadi pada 15 Januari 1998. Melalui letter of intent (LoI) atau nota
kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional (IMF) yang diwakili Mr.
Michel Camdessu sebagai Direktur Pelaksana IMF dengan pihak Indonesia yang
diwakili Presiden Soeharto. Dalam nota kesepemahaman tersebut dinyatakan
bahwa “anggaran yang bersumber dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) maupun non APBN yang dipergunakan untuk program IPTN
32 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74; Sulfikar Amir, 2007. Nationalist
rhetoric and technological development Indonesian aircraft industry in the New Order regime. h.288.
33 Wawancara antara Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv, lihat lampiran 9. no.32.
34 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74 35 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.284; Hendarmin Djarab. (2001). N 250 dan Kebanggaan
Bangsa. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.137. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
10
Universitas Indonesia
dihentikan.36 Pemberhentian tersebut kemudian diperkuat dengan diterbitkannya
Inpres 2 Tahun 1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN.37
Kedua, menurut Bisry dan Hidayat (1998), kegagalan N 250 juga
disebabkan tidak adanya koherensi antara arah kebijakan pembangunan sektor
iptek dengan pembangunan sektor industri. Hal ini juga dibuktikan dengan
perbedaan strategi pembangunan industri yang diusung antara Menteri Ristek
dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag). Kebijakan sektor
industri lebih mengadopsi Pembangunan resourced-based industries sedangkan
kebijakan sektor iptek lebih mengedepankan pada penguasaan teknologi yang
memiliki nilai tambah tertinggi.38 Senada dengan Bisry dan Hidayat, Thee
(2005)39 juga menyatakan bahwa pada tahun 1990an sampai sebelum krisis
ekonomi 1997/1998, pemerintah melaksanakan dua track strategi industri, satu
diarahkan untuk kebijakan mendorong industri secara luas berbasis sumber daya
domestik dan satu diarahkan untuk mendukung kebijakan berbasis high tech yang
memiliki nilai tambah terbesar yaitu industri pesawat terbang-IPTN.
Sebagaimana halnya Bishry dan Hidayat (1998) dan Thee (2005), Djoko
(2000)40 menyatakan bahwa kegagalan IPTN adalah juga disebabkan sinergi
horisontal antar pemerintah, kalangan industri (dalam hal ini industri dirgantara),
36 Aboeng Koesman, Agustus 2001. Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara
Indonesia: Membuka paradigma baru. h.56. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab 37 Paparan DJKN Kemenkeu di FGD yang diadakan Kemenkeu pada Oktober 2014.
Tentang Pembahasan Awal Wacana Peruntukkan Aset Hasil Program N 250. 38 Rony M. Bisry dan Murman Hidayat, 1998. The Role of BPPT In Indonesia’s
Technology Development.h.174. 39 Kian Wie Thee, 2005a. Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology
Development, h.7 40 Habibie mengatakan: "Yang kita inginkan adalah fair play. Kalau yang lain dengan
produk unggulannya tidak usah bayar tunai, ya kita minta yang sama. Jadi yang ditandingkan itu teknologi dan hasil produksi. Kalau kredit ekspor kan bukan hasil produksi dan teknologi. Itu policy," dikutip dari: Kompas, Selasa, 21 Februari 1995 yang dikutip oleh: [email protected], Rabu, 22 Februari 1995, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014 pada jam 15.00 wib. Pada kesempata lain, Habibie mengatakan: Kepada Arab Saudi, kami telah berhasil menjual CN-235 sebanyak tujuh pesawat seharga US$ 120 juta. Kami sekarang akan jual empat lagi pesawat seharga US$ 150 juta. Mereka berkata, akan menyediakan kredit ekspornya. Jadi keuntungan dari biaya tambah masuk kantong mereka. Mereka mempelajari bahwa IPTN butuh kredit ekspor untuk menjual produk-produknya. Mereka mengajak saya mendirikan perusahaan joint venture untuk mengatasi kredit ekspor ini. (pemikiran) Orang sini belum nyampe, di Arab sudah nyampe (Wawancara GATRA dengan Habibie, dikutip dari: https://id-id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan- N2130/214383261923875?v=info. Tentang masalah kredit ekspor tersebut dapat juga dilihat didalam: Habibie, 1995. op.cit. h.289-291
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
11
Universitas Indonesia
pengguna, dan penyandang dana belum berjalan dengan baik.41 Salah satu contoh
adalah dalam hal sertifikasi, proses sertifikasi N 250 sedikit terhambat disebabkan
FAA-Amerika belum mengakui kredibilitas badan otoritas kelaikan udara
nasional yaitu Directorate General of Civil Aviation (DGAC) terutama dalam
melakukan uji kelaikan penerbangan pesawat sekelas N 250.42
Presiden BJ Habibie sendiri juga menyatakan bahwa kegagalan Industri
strategis termasuk untuk IPTN waktu itu juga disebabkan karena tidak tersedianya
insentif fiskal khususnya kebijakan kredit ekspor untuk pengadaan pesawat
terbang. Walaupun sampai pada bulan oktober tahun 1995, Departemen
Keuangan, Bank Indonesia, dan BPIS pernah merancang pembentukan sebuah
perusahaan leasing yang tidak hanya untuk penjualan dan ekspor pesawat tapi
juga seluruh produk BUMNIS seperti Palindo Jaya atau Agro Bromo. Namun
demikian, sejak berakhirnya era orde baru hingga saat ini, rencana tersebut tidak
kunjung terealisasi.43
Aspek ketiga adalah terkait manajemen, David McKendrick, 1992
menyatakan bahwa selain lemahnya infrastruktur Iptek, kegagalan IPTN juga
disebabkan oleh kelemahan manajemen.44 Kelemahan manajemen dapat di lihat
dari beberapa aspek, pertama adalah laba/rugi IPTN, sejak 1976-1994,
pertumbuhan laba/rugi perusahaan sangat rendah, bahkan di tahun dimulainya
program N 250 yaitu di tahun 1986/1987, pertumbuhan laba ruginya negatif, di
tahun 1986 Net Loss/Profit maupun Net Cummulative Loss/Profit masing-masing
di -34,276 dan -5,915. Dan di tahun 1987, masing-masing di -6, 680 dan -12, 595
(Gambar 1.2).45
41 Lihat: Djoko Sardjadji, 2000. Ahli Pesawat dari Lereng Gunung Merapi,
http://www.angkasa-online.com/11/01/profil/profil1.htm (1 of 5)12/12/2006 8:29:37. 42 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, loc.cit.h.6; Vertesy, D. and Szirmai, A.
(2010). loc.cit. h.74 43 Habibie, 1995. op.cit. h.288 44 David McKendrick, 1992. Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft
Industry.h.39. 45 B J Habibie, 1994,op.cit. h.91
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
12
Universitas Indonesia
Gambar 1.2 Pertumbuhan Laba/Rugi IPTN Sejak 1976-1993 (dalam Juta Rupiah)
Sumber: Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994
Aspek manajemen yang kedua, kegagalan upgrading N 250 juga
disebabkan lemahnya jejaring PT DI dengan industri-industri pendukungnya.46
Aspek manajemen ketiga adalah kemampuan produksi, kemampuan IPTN dalam
technology transfer tidak didukung dengan kemampuan dalam efisiensi
produksi.47 Pada awal tahun 1980an, IPTN sebenarnya merencanakan akan
memproduksi sekurang-kurangnya 36-40 pesawat sejenis CN-235 pertahun atau
rata-rata 3 (tiga) pesawat perbulan. Namun kenyataannya, dalam kurun waktu 10
tahun, sejak tahun 1987-1994, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40
pesawat.48 Kegagalan IPTN juga disebabkan strategi backward linkage berupa
tumbuhnya industri-industri pendukung maupun strategi forward linkage berupa
tumbuhnya pasar beserta derivatifnya karena berdirinya IPTN belum berjalan
dengan baik.49
Kegagalan Industri Pesawat Terbang Nusantara dalam proses upgrading
teknologi terutama untuk pesawat N 250 dan N 2130 dapat dianalisis melalui
46 Lall 1998, h. 158 sebagaimana dikutip dalam Yumiko Okamoto dan Fredrik Sjöholm,
2001. Technology Development In Indonesia, h.18. 47 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, 2001. Developing countries and the aircraft
industry:match or mismatch?, h. 555-556. 48 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan
Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. Tim Editor: Purwono, Lili ahali, Hendramin Djarab
49 Ibid., h.44-45
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
13
Universitas Indonesia
beberapa aspek utama yang tentunya bersifat kompleks messy, serta spesifik, baik
antar aspek kebijakan maupun didalam intra aspek kebijakan tersebut. Aspek-
aspek keberhasilan/kegagalan pada kasus IPTN tentunya sangat berbeda pada
tataran konten dan konteks sebagaimana pengalaman beberapa perusahaan di
beberapa negara, seperti Perusahaan Pesawat Terbang Romaero-Rumania, FAMA
Argentina, Avic China, Embraer-Brazil, Airbus-Eropa, WACO-Amerika Serika
(Tabel 1.3).50
Tabel 1.3 Aspek-aspek yang menyebabkan gagal dan berhasilnya Industri
Pesawat Terbang dari berbagai negara Industri Pesawat Terbang
Aspek Keterangan Operasional/Industri Kebijakan Sektor Kebijakan Nasional dan atau
Dukungan Politik Romaero-Rumania
Ketika industri berusaha untuk mengembangkan rancangan pesawat medium atau large yang berbasis pada licensed manufacturing, perusahaan dihadapkan pada permasalahan financial
- Tidak ada dukungan pendanaan Pemerintah secara jangka panjang
Gagal
FAMA-Argentina
Tidak ada strategi/kemampuan menjual pesawat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional dan sangat bergantung pada pemerintah
- Ketidak stabilan politik dan ekonomi. Sejak pergantian rezim 1955, lima tahun kemudian yaitu di tahun 1960, pemerintah menghentikan proyek jet fighter, the IAe-33 Pulqui II . Pemerintah memutuskan untuk mengimpor the F-86 Sabre fighters dari US
Gagal
Avic China
Strategi pemasaran pesawat terutama untuk pasar internasional pesawat jet 150 penumpang masih lemah
Cross-industry subsidies untuk High Tech Industry
Guideline for National Economic and Social Development (2006-2010) dan The Guideline for the National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan (2006-2020).
Pasar Domestik berhasil, namun untuk eksor gagal
Embraer-Brazil
Kemampuan Produksi sangat tinggi, Risk sharing partnership, konsorsium inovasi telah berjalan dengan baik
Kebijakan Riset, Fiskal, ProEx dan FINEP, Dukungan pendanaan dan perbankan nasional
Sejak 1972, pembangunan iptek sektor kedirgantaraan tercantum dalam arah pembangunan nasional. Pada tahun 1980an Embraer dihadapkan pada krisis ekonomi, namun pemerintah Brasil berkomitmen untuk terus memberikan dukungan terhadap perusahaan tersebut.
Berhasil
IPTN-Indonesia
Manajemen produksi: Kemampuan Produksi lemah, jejaring produksi dengan mitra
Tidak ada dukungan sektor Fiskal, Badan Sertifikasi Pesawat
Dukungan dihentikan pada saat krisis ekonomi 1998
Gagal terutama untuk N 250
50 Narasi lebih dalam terkait kekhasan pendekatan kebijakan antar berbagai negara dalam
mendorong industri dirgantara dapat dilihat pada sub Bab 1.2 Identifikasi masalah pada hal.31-32
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
14
Universitas Indonesia
dalam/luar neger masih lemah terutama pada saat pengembangnnya CN 235 dan N250
Terbang belum diakui FAA terutama untuk pesawat sekelas N 250
WACO-Amerika Serikat
Kerjasama dengan lembaga riset pemerintah, Kemampuan Produksi sangat tinggi.
Sinergi Pemerintah (lembaga riset ) dan Industri dalam inovasi
Pemerintah mendorong peningkatan kegiatan litbang bahkan menjadi pasar pertama bagi industri pesawat terbang
Berhasil
AirBus Kemampuan Produksi sangat tinggi; Konsorsium antar empat negara: Jerman, Perancis, Inggris, dan Spanyol;
Kemitraan baik antara Industri dan negara
Grant of subsidies : pengalihan sewa dari producer asing ke producer domestik) tetapi juga dalam bentuk dukungan politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi perdagangan dunia (WTO)
Berhasil
Kembali ke konteks IPTN, setelah di restrukturisasi pada 24 Agustus 2000
dan menjadi nama dengan PT DI, visi PT DI kemudian direvisi menjadi: “To be
World Class Aerospace Company based on High technology Mastery and Cost
Competitiveness in the Global market“.51
Gambar 1.3 Struktur Organisasi IPTN Sebelum Krisis Sumber: Habibie, Progress Report, 1994
51 Company Profile PT Dirgantara Indonesia PT DI, 2014.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
15
Universitas Indonesia
Sejak era 1976 sampai sebelum direstrukturisasi pada tahun 2000, struktur
IPTN adalah terdiri dari President/CEO, di bawahnya CEO, terdapat dua posisi
yaitu Security dan Internal Auditor (Gambar 1.3). Setelah direstrukturisasi, IPTN
yang kemudian berganti nama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memiliki
struktur yang berbeda, yaitu dibawah President Director terdapat Strategic
Business Unit Aircarft Services yang didukung oleh empat Divisi yaitu: Division
of sales and marketing aircraft services, Division of maintenance modification,
Division of logistic management aircraft services, Division of finance and
administration aircraft services. Selain empat divisi tersebut, terdapat enam posisi
jabatan lainnya dibawah Strategic Business Unit Aircarft Services, yaitu: Asisten
President Director for Government’s Liason, Corporate Secretary, Divison of
Internal Audit, Division of Corporate Planning, dan Division of Security (Gambar
1.4).
Gambar 1.4 Struktur Organisasi PT DI setelah restrukturisasi
Sumber:http://www.indonesian-aerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus5
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
16
Universitas Indonesia
Selama periode 1998-2002 yang dikenal dengan masa bleeding, IPTN
mencatat kerugian sebesar Rp. 725 triliun. Di tahun 2008 turun menjadi Rp. 84,
34 triliun. Satu tahun kemudian yaitu di tahun 2009, PT DI mendapatkan
keuntungan sebesar Rp. 117,8 miliyar. Di tahun 2010, PT DI masih menyisakan
hutang jangka panjang sebesar Rp. 2,5 triliun dengan equitas (modal sendiri)
masih negatif sebesar Rp. 707 miliar.52 Pada tahun 2011, pemerintah memutuskan
untuk memutihkan hutang PT DI sebesar Rp. 2 triliun, setelah dua tahun
kemudian khususnya di tahun 2013, equitas PT DI positif sekitar Rp. 40 miliar
(Tabel 1.4).53
Tabel 1.4 Kondisi Keuangan PT DI
Tahun Neraca keuangan dan Laba/Rugi
1998-2002 Rp. 725 triliun (rugi)
2008 Rp. 84,34 triliun (rugi)
2009 Rp. 117,08 miliyar (laba)
2010 Sisa utang jangka panjang: Rp. 2, 5 triliun
Equitas: negatif Rp. 707 miliar
2011 Hutang Rp. 2 triliun diputihkan oleh Pemerintah
2013 Equitas: Positif 40 miliar Total omset: Rp. 3 Triliun
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Sampai dengan bulan november 2011, kondisi SDM PT DI menurun
drastis jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Sampai dengan tahun
2011, jumlah SDM PT DI hanya berjumlah 4.190 orang, dengan perincian aero
structure 1.688 orang, aircraft integration 800 orang, aircraft service 363 orang,
dan teknologi dan pengembangan 851 orang.54 Hingga november 2013, jumlah
SDM PT DI semakin berkurang dan hanya tersisa sekitar 3000an personil.55
52 Lihat wawancara dengan Bagian Keuangan PT DI pada lampiran 9 no. 23.3 dan no. 11.9 dan juga
lihat Rahman (2011) dikutip di http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&article_category=5 diakses pada tanggal 12 Agustus 2014.
53Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2
54 Hasil Lokakarya DEPANRI, November 2011. h.2 55 Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh
Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
17
Universitas Indonesia
Terkait fasilitas, status kondisi fasilitas seperti fasilitas industri komponen masih
berfungsi dengan baik, fasilitas uji desain tidak banyak digunakan lagi, hanya
Wind Tunel Test-WTT dan (Electronic Magnetic Compatibility- EMC) untuk
pesawat ukuran kecil masih berfungsi dengan baik. Sedangkan fasilitas design
procedure dan configurasi management sedang dipersiapkan untuk memenuhi
standar Airbus.56Dari sisi kapasitas produksi, saat ini kemampuan produksi PT DI
khususnya untuk pesawat CN 235 sangat kecil yaitu hanya empat pesawat
pertahun57. Dari aspek penjualan pesawat, khususnya pesawat CN 235,
berdasarkan data http://analisismiliter.com, bahwa mulai dari tahun 2002 sampai
dengan akhir tahun 2012, orderan CN 235 yang terjual, baik di pasar domestik
maupun pasar internasional tidak lebih dari 12 pesawat (Tabel 1.5).
Tabel 1.5 Penjualan CN 235 sampai akhir tahun 2012
Pembeli Jumlah Order
Jenis Order Tahun Order
Tahun Terima
Keterangan
Korea Selatan 4 CN-235 MPA 2008 2010-2011 Harga sekitar $94 juta, CN-235-220 untuk patroli maritim Korean Coast Guard
Bukirna Faso 1 CN-235-220 2007 2007 CN-235 versi sipil ex Asian Spirit Filipina yang dijual ke Burkino Faso oleh Filipina. Namun dimodifikasi dan upgrade oleh PT DI menjadi transportasi militer Burkino Faso
Senegal 2 CN-235-220 2010 2010-2011 Deal $13 Juta, CN-235 versi sipil ex Merpati Nusantara yang dimodfikasi dan upgrade menjadi versi transport militer
Malaysia 2 CN-235-220 2002 2005-2006 CN 235 versi militer
Pakistan 3 CN-235-220 2002 2004 CN 235 versi militer Sumber:http://analisismiliter.com/artikel/part/51/All_About_CN-235_IPTNPT_DI_Indo
Padahal, kebutuhan pasar domestik untuk pesawat terbang sangat besar.
Tingginya tingkat kebutuhan transportasi tersebut juga ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya jumlah permintaan pasar yang diukur dari jumlah
penumpang transportasi udara. Selama sembilan tahun yaitu dari tahun 2002-
2012, jumlah permintaan pesawat terbang melonjak tajam dari 10.000.000
menjadi 60.000.000. Walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008,
namun secara keseluruhan, sejak tahun 2000-2012, rata-rata pertumbuhan pasar
56 Hasil Lokakarya DEPANRI. op.cit. h.3 57 Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III
yang diadakan Kemenristek pada Jumat, 3 Oktober 2014 dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
18
Universitas Indonesia
transportasi udara domestik yang diukur dari jumlah penumpang adalah mencapai
19,6% pertahun (Gambar 1.5).
Gambar 1.5 Pertumbuhan Pasar Transportasi Udara Domestik 2000-2012 Sumber: FGD I yang diadakan Kementerian Ristek 2014
Secara lebih spesifik, pasar pesawat terbang turboprop (baling-baling)
sejenis N 250 dan CN 235 dalam 20 tahun kedepan yaitu dalam rentang tahun
2013-2023 sangat besar hingga mencapai 3.266 pesawat, dengan perincian adalah
sebanyak 2862 pesawat untuk kategori kapasitas lebih dari 60 penumpang dan
1147 dengan kapasitas 90-120 penumpang (Gambar 1.6). Nilai penjualan dari
2862 pesawat adalah sekitar USD 57 miliar dengan harga rata-rata adalah USD 20
juta per pesawat. Produsen-produsen pesawat terbang di prediksi akan lebih
banyak bermain pada kelas 60-80 penumpang. Sebaliknya pesawat dengan
kapasitas 80-90 akan memiliki nilai kompetitif yang jauh lebih besar, bahkan
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.6, bahwa baik pada skenario pertama
maupun kedua, pangsa pasar pesawat dengan kapasitas 90 penumpang ke atas
akan jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan dua segment sebelumnya.
Dari sisi permintaan, pasar domestik untuk pesawat N 250 sebenarnya
cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar dari pesawat sejenis N 250
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
19
Universitas Indonesia
seperti ATR-72 dari Perancis, Bombardier Dash8-Q400-Kanada58 dan juga EMB-
120-Brazil.59
Gambar 1.6 Permintaan Pasar Internasional Untuk Pesawat Sekelas N 250 Sumber: Paparan PT RAI dihadapan Menristek, Juni 2014 dan dipaparkan ulang pada FGD III yang diadakan
Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014.
Untuk pasar Indonesia, Pesawat ATR-72 hingga saat ini lebih banyak
digunakan dibandingkan dua pesawat lainnya.60 Mulai dari Trigana Air, Wings
Air dan bahkan Garuda Indonesia. Wings Air telah mengorder sejumlah total 80
pesawat dengan perincian adalah 20 pesawat telah diterima, dan 60 pesawat
58Permintaan Pesawat turboprop dari tahun 2012 hingga tahun 2032 akan semakin
meningkat dan mengalahkan permintaan pesawat jet, yaitu dari 45% di tahun 2012 menjadi 48% di tahun 2032. Lihat paparan PT. Regio Aviasi Industri h.25 yang juga disampaikan pada FGD II yang diadakan Kemenristek tentang Pengembangan R-80, 15 September 2014.Lihat lampiran 10 FGD no.22.
59 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-44 60 Tentang keunggulan New N 250 dengan ATR-72 bahkan dengan Bombardier telah
diuraikan pada Tabel 4.7 Kelebihan R-80 dibandingkan ATR maupun Dash, pada Bab IV h.132
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
20
Universitas Indonesia
MAINTE-NANCE
ENG.SERVICES
FLIGHTOPERATION
COM-PONENT
Manufacture
Ada 134 PerusahaanPerawatan PesawatDi Indonesia
Ada 20 Perusahaan ScheduledAda 34 Perusahaan Charter
Di Indonesia
Ada Ratusan PerusahaanJasa enginering
di Indonesia
Ada RatusanPerusahaan Tools & Ground Handling
dibawah GAMMA
Keterangan :CT : Communication TechnologyGD : Global DesignST : Simulation TechnologyIT : Information Technology
tambahannya sedang dalam proses order.61 Selain Wings Air, Garuda Indonesia
juga telah mengorder sejumlah total 35 pesawat, dengan rincian adalah sebanyak
25 unit pemesanan bersifat firm order dan 10 unit pemesanan bersifat option
order.62 Berdasarkan data hingga tahun 2012, bahwa secara internasional,
permintaan akan pesawat ATR 42 dan ATR 72 rata-rata 150 pesawat per
tahun.63Hingga tahun 2013, pesawat ATR yang merupakan “pengganti pesawat”
N 250 telah terjual sejumlah 1.500 pesawat.64
Keterkaitan antar sektor kedirgantaraan dengan subsektor turunannya
cukup tinggi. Gambar 1.7 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam rangka
pengembangan program pesawat N 219, industri kedirgantaraan mampu
mendorong tumbuh kembangnya perusahaan-perusahaan di Indonesia seperti
perusahaan tools dan grounding handling, perusahaan jasa engineering,
perusahaan scheduled, perusahaan charter, perusahaan perawatan pesawat dll.
Gambar 1.7 Industri Kedirgantaraan dan Keterkaitannya dalam Program Pesawat
N 219 Sumber: Paparan dari Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin didalam
FGD yang diadakan Kementerian Ristek, 2013 dalam Mendukung Pengembangan Pesawat N 219
61 http://finance.detik.com/read/2012/12/26/113004/2126749/1036/wings-air-terima-
pesawat-atr-72-600-pertama-di-asean 62 FGD III Pengembangan R-80 yang diadakan Kemenristek, tanggal 3 Oktober 2014;
http://indo-aviation.com/2013/11/25/garuda-perkenalkan-explore-sub-brand-untuk-operasional-atr-72-600/
63 FGD II Pengembangan R-80 yang diadakan Kemenristek, 15 September 2014 64 Rista Rama Dhany, 2013. Kalau N250 Buatan Habibie Berhasil, Tak Akan Ada ATR 72
Buatan Prancis. http://finance.detik.com/read/2013/03/27/155219/2205369/1036/, diakases tanggal 9 Oktober 2014.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
21
Universitas Indonesia
Kebutuhan industri kedirgantaraan semakin vital apabila ditinjau dari
beberapa aspek selain aspek ekonomi: pertama, aspek Pertahanan dan Keamanan,
bonus demografis hingga kini masih menyisakan kenyataan bahwa masih banyak
daerah-daerah terluar, terpencil, dan tertinggal yang sulit untuk dijangkau baik
melalui darat maupun laut. Tidak jarang masyarakatnya lebih mengenal atau lebih
dekat dengan negara tetangga (misalnya: Malaysia, Brunai, dan Philipina).
Terlebih lagi, apabila negara-negara tetangga tersebut sering melakukan patroli di
perbatasannya. Dengan kondisi seperti ini ancaman terhadap keamanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat terbuka lebar.65Apalagi dalam
perspektif maritim continental baik ditinjau dari sisi fleksibilitas transportasi
maupun sisi ekonomi, dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika,
Canada, Brazil, Australia, China, dan Eropa, kepulauan Indonesia lebih
membutuhkan transportasi udara dibandingkan negara-negara tersebut (Gambar
1.10).66
Gambar 1.8 Kebutuhan Transportasi Udara dari Perspektif Kemaritiman Sumber: PT RAI, Juni 201467
65 Panitia Teknis DEPANRI, Juni 2011. Naskah Akademik Pengembangan Pesawat N-
219 Untuk Mendukung Transportasi Daerah Terpencil Di Indonesia. h. 16 66 PT RAI, paparan dengan judul: Program R80 Investasi Bisnis Berbasis Visi. dipaparkan
dalam FGD yang diadakan kemenristek, 2 juni 2014. lihat lampiran 10 FGD no.2 dan 22 67 Bahan Presentasi dari PT RAI (2014), Program R80: Investasi Bisnis Berbasis Visi.
Dipaparkan didepan Menristek Gusti Muhammad Hatta, pada 2 juni 2014. File tersebut kemudian juga dipaparkan dalam dua FGD setelahnya yaitu pada FGD yang diadakan Kemenristek tentang Penguatan Riset dan Iptek Sektor Dirgantara. Lihat lampiran 10 FGD no.2 dan 22
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
22
Universitas Indonesia
Kedua, dari aspek sosial politik dan budaya. Misalnya daerah pulau
Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi
dua antara Indonesia dan Malaysia. Kondisi ekonomi masyarakat yang masuk
wilayah teritorial Indonesia berbeda jauh dengan kondisi ekonomi masyarakat
yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Apalagi bila dibandingkan dengan Tawau
atau Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya baik sarana
sosial amat timpang. Akibatnya, masyarakat di daerah ini umumnya berada dalam
kondisi miskin dan tertinggal, bila dibandingkan dengan daerah induknya.68 Salah
satu contoh, khususnya di pedalaman Papua, bahwa beras raskin senilai Rp
3000/kg dapat menjadi Rp 25,000/kg, begitupun bahan bakar subisidi Rp 4500/L
dapat menjadi Rp 30,000/L. Padahal, kalau tersedia modal pesawat commuter atau
feeder liner, maka setelah memasukkan variabel harga angkut sekitar Rp 8
Juta/2000 kg , maka harga perkilo gram beras tersebut diturunkan hingga menjadi
hanya Rp 4000.69
Berdasarkan pada aspek keunggulan produk, potensi pasar domestik yang
sangat besar, aspek kemaritiman, aspek sosial budaya dan hankam, nilai tambah
dan daya dorongnya terhadap tumbuh kembangnya sektor lainnya ditambah lagi
dengan telah tersedianya kemampuan rancang bangun dan manufaktur pesawat
terbang beserta prasarana dan sarana pengujian pesawat terutama di Puspiptek,
LAPAN, ITB dan BPPT, secara akumulatif menjadi alasan utama untuk
mewujudkan kemandirian teknologi di sektor kedirgantaraan sebagaimana telah
diamanatkan dalam hukum-hukum positif di sektor kedirgantaraan, baik dalam
UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan maupun di dalam Perpres No. 32
Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3Ei) UU.70
68 Panitia Teknis DEPANRI, Juni 2011.loc.cit, h. 15 69 Paparan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana dalam
Sidang Paripurna DRN 2014, Juni, 2014. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia, slide no. 21.
70 Dokumen Master Plan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, h. 90
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
23
Universitas Indonesia
1.2. Identifikasi Masalah
Kemampuan IPTN dalam memproduksi pesawat, baik yang berbasis pada
fase pengenalan dan penguasaan teknologi dalam memproduksi jenis pesawat
terbang yang sudah di pasaran seperti Pesawat NC 212 dibawah lisensi CASA
Spanyol hingga pesawat yang berbasis pada kemampuan integrasi dan penguasaan
pada technology design yaitu pesawat CN 235 juga melalui kerjasama dengan
CASA Spanyol relatif berhasil. Paling tidak, kedua fase tersebut telah memasuki
fase komersialisasi. Namun, ketika IPTN menuju pada pengembangan pesawat
terbang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan
teknologi yang berbasis indegenous technology yaitu pesawat N 250, IPTN gagal
masuk skala komersial dan hanya berhenti pada skala produksi dua prototipe yaitu
N 250 Gatot Koco versi 50 sheeter dan N 250 Krincing Wesi versi 70 sheeter.
Kegagalan Program N 250 menunjukkan bahwa untuk keberhasilan
upgrading teknologi pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan
pengembangan teknologi yang berbasis indegenous technology ternyata tidak
cukup jika hanya mengandalkan pada kemampuan operasional terutama
kemampuan pengembangan teknologi itu sendiri, namun juga dibutuhkan
dukungan aspek operasional lainnya seperti manajemen, pemasaran dan lain-lain.
Bahkan selain aspek operasional secara umum, keberhasilan upgrading teknologi
juga sangat ditentukan oleh dukungan pada level kebijakan, baik pada level
kebijakan nasional maupun pada level kebijakan sektoral.71
Pada level operasional, konsep upgrading teknologi secara prinsip dasar
telah didiskusikan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Michael Porter
(1985) melalui pendekatan primary activities and supporting activities dalam
konteks value chain, Chesbrough (2005); Gassmann and Enkel (tanpa tahun);
Soren Kaplan dalam konteks open innovation; Petter M.Milling dan Frank H.
Maier (Schumpeterian) dalam konteks proses komersialisasi inovasi, dan Habibie,
1995 dalam konteks strategi berawal diakhir dan berakhir diawal. Pada level
kebijakan inteksektoral, keberhasilan upgrading teknologi telah didiskusikan oleh
beberapa peneliti diantaranya adalah Chesbrough (2005) dan Gassmann and Enkel
(tanpa tahun) dengan pendekatan open innovationnya; Henry Etzkowitz (2008)
71 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 2-7
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
24
Universitas Indonesia
dan Henry Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) dengan pendekatan triple helixnya
dan OECD (2008/2009) dengan Policy Coherence.
Untuk diskusi yang lebih menekankan pada pendekatan level kebijakan
makro juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah McPhee and
Wheeler (2009) dengan konsep kebijakan pemerintah dalam menyediakan
environtment untuk value chain industri; OECD (2008/2009) dengan Policy
Coherence; Chesbrough dan Vanhaverbeke (2011) dan Henry Etzkowitz (2008)
dengan penekanan pada konsensus pemerintah terhadap keberhasilan kegiatan
inovasi. Sejumlah penelitian tentang upgrading pesawat terbang menunjukkan
bahwa keberhasilan industri pesawat terbang ternyata tidak cukup hanya
mengandalkan pada kemampuan pada level produksi atau operasional semata,
bahkan sangat ditentukan oleh sejumlah aspek baik pada pada level kebijakan,
maupun pada level kebijakan sektoral baik iptek maupun ekonomi.72 Dalam
perspektif kebijakan, konsep tersebut merupakan kerangka tiga level hierarki
proses kebijakan Bromley (1989).73
Disisi lain, konsep upgrading dalam Global Value Chain baru sebatas
menjelaskan adanya peran kebijakan pemerintah dalam upgrading serta
mengkaitkannya dengan tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi proses
upgrading.74 Namun demikian Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-
lain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tersebut khususnya pada
global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan
tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk
keberhasilan suatu Industri dalam melakukan upgrading teknologi sebagaimana
halnya kerangka tiga level hierarki proses kebijakan Bromley.
Untuk itu, kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan upgrading teknologi pesawat terbang pada GVC
tipologi hierarki dengan menggunakan kerangka tiga level hierarki proses
kebijakan Bromley (1989) dan kerangka tipology Global Value Chain Gareffi,
Humphrey, dan Sturgeon (2005) dengan mengacu beberapa konsep dasar yang
72 Ibid. 73 Daniel W. Bromley, 1989. op. cit. h. 27-3 74 Gareffi, 2011. loc. cit. h.39: Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010.
op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011. loc cit. h.15-21; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. loc. cit. h.1023
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
25
Universitas Indonesia
dapat membantu untuk menjelaskan upgrading teknologi pada masing-masing
level yaitu seperti: Michael Porter (1985) dalam konteks value chain, Chesbrough
(2005); Gassmann and Enkel (tanpa tahun) dan Soren Kaplan dalam konteks open
innovation; Petter M.Milling dan Frank H. Maier tentang proses inovasi, Henry
Etzkowitz (2008) dan Henry Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) dengan konsensus
pemerintah dalam triple helix, McPhee and Wheeler (2009) tentang kebijakan
pemerintah dalam konteks value chain, dan OECD (2008/2009) terkait koherensi
kebijakan. Dan berdasarkan penelaahan teori GVC75 yang diperkuat dengan
beberapa wawancara yang telah dilakukan76, bahwa pandangan awal untuk IPTN
N 250 di dalam penelitian ini dimasukkan dalam kerangka GVC tipologi hierarki
(Gambar 1.9).
Diadopsi dari Gereff i, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Bromley (1989)
Upgrading Teknologi Pada Tataran Konsep Kebijakan: Henry Etzkowitz (2008),H Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) -Triple Helix; McPhee and Wheeler (2009)-policy environment; Chesbrough (2005); Chesbrough dan Vanhaverbeke (2011)-open innovation; Policy Coherence-OECD(2008/2009);
Upgrading Teknologi Pada tataran konsep kebijakan Intersektoral : Gassmann and Enkel (tanpa tahun)- open innovation; Henry Etzkowitz (2008); H Etzkowitz dan Leydesdorf (1990); Policy Coherence-OECD(2008/2009)
Konsep Upgrading Teknologi Pada tataran Industri: Chesbrough (2005); Habibie, 1995-4 tahap upgrading teknologi.;Gassmann and Enkel (tanpa tahun); Petter M.Milling dan Frank H. Maier (Schumpeterian)-komersilasiasi inovasi; SorenKaplan-open vs closed innov; Henry Etzkowitz (2008); Michael Porter (1985), value chain
Karekterisasi GVC Hierarchy:1.Intervensi Pemerintah:regulator; sumber pendanaan, sebagai pasar (G. Gereffi., J.Humphrey & T.Sturgeon, 2005. h.91-94). 2.Kompleksitas transaksi tinggi3. Kemampuan lead firm dalam mengkodifikasikan rendah4. Kemampuan pemasok utama rendah (G. Gereffi., (J.Humphrey,. & T.Sturgeon, 2005. h.87).
GVC Hierarki
Gambar 1.9. Bagan Teori Kajian Tigal Level Hierarki Proses Kebijakan dalam
Upgrading Teknologi pada Global Value Chain tipologi Hierarki IPTN
Sumber: Diadopsi dari Bromley (1989) dan Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005)
75 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, Februari 2005. loc. cit. h.84-88 76 Wawancara yang dilakukan dengan Sonni Ibrahim, lihat lampiran 9 no 11.5.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
26
Universitas Indonesia
Sejak era orde baru hingga saat ini, permasalahan tiga level hierarki proses
kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang
merupakan permasalahan yang kompleks dan messy. Setelah era orde baru hingga
saat ini, dukungan kebijakan terhadap pengembangan industri kedirgantaraan
khususnya dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan jauh lebih messy
dan kompleks karena tidak hanya lemah pada level kebijakan sektor khususnya
sektor fiskal dan pada level operasional, bahkan lemah pada dukungan level
kebijakan nasional, baik didalam dokumen RPJPN maupun dalam RPJPMN.
Walaupun pada tataran kebijakan yang merupakan inisiasi sektor telah
terdapat sejumlah kebijakan yang diarahkan untuk mendorong pembangunan
sektor dirgantara seperti UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan, Perpres No.
32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3Ei).77 Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan
Industri Nasional tentang insentif fiskal dan insentif non-fiskal untuk
pengembangan pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang.
Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009, tentang Peta
Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Bersamaan
dengan dukungan dari sejumlah level dan arah kebijakan tersebut, di dalam
Bangun Industri Nasional 2025, Industri Dirgantara merupakan industri masa
depan yang tergabung dalam Industri Alat Angkut.78
Namun, baik dalam UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun dalam
Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN)
periode 2010-2014, arah kebijakan pembangunan kedirgantaraan belum
dinyatakan secara tegas dan menjadi prioritas. Karena prioritas bidang
pembangunan Iptek dalam kedua dokumen tersebut hanya meliputi bidang
Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Teknologi Informasi
dan Komunikasi dan Material Maju, dan tidak ada sektor kedirgantaraan. Padahal,
sebagaimana dinyatakan dalam UU 25/2005 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Sisrenbangas), bahwa tercantumnya arah kebijakan di
77 Ibid. slide no. 11 78 Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan – Ditjen IUBTT-
Kementerian Perindustrian, 2012
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
27
Universitas Indonesia
dalam dokumen RPJPN dan RPJMN merupakan jaminan terjadinya keterkaitan
dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran.79Apalagi mengingat bahwa
pembangunan sektor dirgantara khususnya pembangunan industri pesawat terbang
membutuhkan komitmen pemerintah yang bersifat jangka panjang, baik dari sisi
pendanaan maupun politik.
Tidak tercantumnya arah pembangunan iptek sektor dirgantara baik dalam
UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014 berimplikasi
pada lemahnya dukungan kebijakan pada level sektoral, terutama pada sektor
riset, fiskal, dan infrastruktur (SDM dan fasilitas pengujian pesawat terbang). Dari
sektor riset dan inovasi, sejumlah kebijakan sektor iptek baik terkait Jakstranas
Iptek 2010-2014 beserta turunannya ARN 2010-2014 belum secara tegas
diarahkan untuk mendukung pembangunan iptek sektor dirgantara. Bahkan, dalam
draft Jakstranas Iptek untuk 2015-2019 beserta turunannya yaitu ARN 2015-2019,
arah kebijakan strategis iptek beserta agenda riset belum diarahkan pada
pembangunan iptek sektor dirgantara.80
Dari aspek SDM, dalam rangka pengembangan R-80 yang merupakan
upgrading N 25081 dibutuhkan sekitar 1000 SDM.82 ITB sebagai satu-satunya
institusi pendidikan yang memiliki program pengembangan keilmuan teknologi
dirgantara83di Indonesia hanya meluluskan sebanyak 60 orang lulusan aerospace
engineers per tahun.84 Dalam lima tahun kedepan, jika arah pengembangan iptek
sektor kedirgantaraan tidak tercantum di dalam program nasional jangka panjang,
maka SDM dibidang kedirgantaraan akan habis.85Sementara jumlah SDM PT DI
79Pasal 2 ayat (4) butir c – UU SPPN dituliskan bahwa SPPN bertujuan untuk menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan 80 Draft Jakstranas Iptek 2015-2019 dan Draft Agenda Riset Nasional 2015-2019 81 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang
Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013. 82 Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014,
lihat wawancara lampiran 9 no. 25 83 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, tanggal 3
Oktober 2014 84 FGD yang diadakan Kemenristek dengan judul Penyiapan SDM untuk menghadapi
kegiatan perancangan dan manufacturing pesawat tempur K/I-FX”, Bambang Kismono Hadi, FTMD – ITB dalam FGD Di Kementerian Ristek, 2012.
85 Hasil wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, tanggal 14 Juli 2014, lihat lampiran 9. no.1.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
28
Universitas Indonesia
saat ini hanya tersisa sekitar 3000an personil. Bahkan 50% darinya akan
memasuki masa pensiun.86
Kedua, terkait fasilitas pengujian terutama yang ada di lembaga
pemerintah terutama di Puspiptek-BPPT juga belum diarahkan pada dukungan
pengembangan sektor dirgantara.87 Padahal beberapa fasilitas pengujian
merupakan peninggalan tahun 1970an dan perlu direvitalisasi dan
diupgrade.88Begitupun fasilitas pengujian yang ada di LAPAN, seperti fasilitas
landasan untuk uji terbang dan uji telemeteri belum memenuhi standar untuk
Pesawat diatas 50 penumpang89. Bahkan untuk pengujian program nasional N 219
pun masih ada tiga lab pengujian yang saat ini belum tersedia, yaitu Drop Test,
Engineering Flight Simulation (EFS), dan Uji Composite.90 Beberapa teknologi
kunci yang dapat meningkatkan nilai tambah dalam bentuk Tingkat Komponen
Dalam Negeri (TKDN) pesawat seperti teknologi airframe atau composite
structure untuk bagian sayap dan di ekor masih dalam taraf penjajakan, baik dari
sisi SDM maupun fasilitas pengujiannya.91
Ketiga, dari aspek kebijakan fiskal, hingga saat ini, perbankan nasional
masih belum mengeluarkan kebijakan sistem leasing dan kredit ekspor untuk
pengadaan pesawat terbang.92 Dari aspek pendanaan riset, berdasarkan hasil
kajian Kementerian Ristek 201293, bahwa pengelolaan pendanaan inovasi yang
ada saat ini masih terkotak-kotak dan belum diarahkan pada pengembangan
teknologi sektor dirgantara, baik Insentif Riset yang dikelola oleh Kementerian
86 Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony
Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2
87 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, 3 Oktober 2014.
88 Wawancara dengan Kepala BPPT Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014, lihat lampiran 9 wawancara no.3
89 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran wawancara 9 no.13
90 Wawancara dengan Pustekbang Aero Structure, Fajar Dono, lihat lampiran 9 no.26 91 FGD yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force
untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21, lihat lampiran 10 no.2.4
92 Wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9, no.11.12
93 Kementerian Ristek, 2012, Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. h.113
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
29
Universitas Indonesia
Ristek, Insentif Hibah Dikti dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan
Nasional, maupun LPDP dibawah koordinasi Kementerian Keuangan.
Pada level industri IPTN atau PT DI (Gambar 1.12), hingga saat ini
kondisi keuangan PT DI masih lemah94. Di tahun 2013, PT DI mengalokasikan
dana riset hanya sekitar 1% dari total omset PT DI (Rp. 3 Triliun) yaitu sekitar
Rp. 30 Miliar.95Padahal kebutuhan dana pengembangan desain upgrading N 250
menjadi R-80 adalah sekitar US$ 300 juta.96 Dalam rangka upgrading N 250
menjadi R80, total fasilitas pengujian PT DI yang dapat digunakan untuk
upgrading N 250 hanya maksimal 30%.97 Ditambah lagi kapasitas produksi PT DI
saat ini yang masih sangat lemah yaitu hanya 12 pesawat terbang per tahun,98
sedangkan kapasitas produksi yang diharapkan adalah sejumlah 36 pesawat
pertahun.99 Disatu sisi, kebutuhan akan pesawat sejenis R-80 cukup besar yaitu
150 pesawat per tahun.100Bahkan dalam kurun waktu 2010-2029, kebutuhan pasar
turboprop dengan kapasitas penumpang 61-120 penumpang sejenis N 250
diprediksi akan semakin meningkat.101
Kebutuhan SDM untuk upgrading N 250 menjadi R-80 sekitar 1000 orang
atau lebih kurang sekitar 2 juta man hours,102 sementara, dalam 3-4 tahun
kedepan, banyak engineer PT DI yang akan memasuki masa pensiun.103 Begitu
juga SDM dirgantara yang tersebar di ITB maupun di sejumlah Lembaga
94 Lihat kembali Tabel 1.6 Kondisi Keuangan PT DI, di hal 22 Bab ini. 95 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Komunikasi PT DI Sony
Ibrahim, pertama ketika peneliti melakukan kunjungan karyasiswa Kemenristek ke PT DI pada bulan november 2013 dan kali kedua melalui interview via telpon pada februati 2014. Lihat lampiran 9. no.11.1
96 FGD I yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading dari N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21; FGD II Pengembangan R-80, 15 September 2014 dan FGD III Pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober 2014
97 Wawancara dengan Manajer Aerodynamics PT DI, Gatot Mulia Pibadi, pada tanggal 3 Oktober 2014, dan FGD III Pengembangan R-80 tanggal 3 Oktober 2013.
98 ibid. 99 FGD II yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, , 15 September
2014 100 FGD II yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, , 15 September
2014, dan untuk analisis pemasaran akan dijelaskan lebih detail pada bab VI h.194-195. 101 FGD I yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force
untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgra N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21; FGD II Pengembangan R-80, 15 September 2014
102 Hasil wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat lampiran 9. no.25.4
103 Ibid.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
30
Universitas Indonesia
Penelitian seperti di BPPT maupun LAPAN yang selama ini menjadi partner PT
DI dalam pengembangan pesawat terbang semakin terbatas.104
Berdasarkan uraian terkait konteks tiga level hierarki proses kebijakan
dalam mendorong upgrading pesawat terbang di IPTN sebagaimana digambarkan
diatas, diketahui bahwa dukungan pada level kebijakan, level sektor atau
kelembagaan, sampai pada level operasional PT DI sendiri baik dari aspek SDM,
keuangan perusahaan, fasilitas pengujian serta SDM dari lembaga-lembaga
penelitian untuk upgrading teknologi pesawat terbang N 250 masih sangat lemah.
Padahal, berhasil atau gagalnya industri pesawat terbang dalam upgrading
teknologinya khususnya keberhasilan Embraer Brazil, Avic China, Airbus Eropa
dan lain-lain sangat ditentukan oleh koherensi tiga level hierarki proses kebijakan
yaitu pada level kebijakan terkait regulasi arah pembangunan iptek sektor
dirgantara, level organisasi terutama sinergi antar sektor fiskal, pendanaan, riset,
infrastruktur. Terakhir adalah level operasional, baik menyangkut kemampuan
manajemen produksi perusahaan secara umum maupun dukungan pada setiap lini
yang dibutuhkan yaitu dari sisi SDM, jejaring sumber daya iptek dan keuangan
perusahaan.105
Walaupun beberapa studi menunjukkan pentingnya koherensi dari tiga
level kebijakan, namun bentuk pendekatan pada masing-masing level kebijakan
tersebut, baik isi dan atau proses implentasinya sangat messy karena bersifat
spesifik, lokal dan memiliki titik berat yang berbeda-beda. Diantara contoh
kekhasan tersebut adalah: Industri pesawat terbang Rusia yang disebut United
Aircraft Corporation (UAC) menggunakan pola pendekatan sentralistik dan
dikontrol langsung oleh negara. Pemerintah Brazil terhadap industri
kedirgantaraannya menggunakan pendekatan sectoral innovation system yang
meliputi koherensi lintas kebijakan, baik pada level nasional yaitu keselarasan
antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan iptek maupun kebijakan
level sektor yaitu kebijakan riset, militer, industri, fiskal, lembaga pendanaan
riset.106 China, bentuk dukungan pemerintahnya tertuang dalam rencana
104 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, tanggal 3
Oktober 2014 105 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-24 106 Ibid..h.21
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
31
Universitas Indonesia
pembangunan sepuluh tahun. Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal
dengan dukungan pemerintahnya terutama dalam dukungan anggaran litbang dan
manufacturingnya. Bentuk dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan
pesawat terbangnya adalah dalam bentuk dukungan financial. 107Industri Airbus,
bentuk dukungan pemerintahnya adalah dalam bentuk konsorsium antar empat
negara (Jerman, Perancis, Inggris dan Spanyol).108
Walaupun pengalaman Embraer Brazil dan Avic China dianggap memiliki
pola kebijakan yang relatif sama baik pada tataran kebijakan nasional terkait
keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan iptek maupun
pada dukungan kebijakan sektoral seperti kebijakan riset, industri, dan fiskal,
namun dalam prosesnya, baik proses penyusunan kebijakan maupun proses
implementasinya juga berbeda. Perbedaan pada level kebijakan tersebut akan
mempengaruhi implementasi atau proses upgrading teknologi pada tataran
operasionalnya.109
Dalam konteks upgrading teknologi industri pesawat terbang nasional
yang dilihat dengan lensa tiga level hierarki proses kebijakan baik antar level
hierarki proses kebijakan maupun kebijakan intersektoral merupakan satu
permasalahan yang sangat messy dengan conflicting worldview-nya masing-
masing. Pada level kebijakan nasional, yaitu RPJPN menggunakan pendekatan
pembangunan iptek yang bersifat jangka pendek, sebagaimana terlihat dalam arah
pembangunan iptek baik dalam RPJPMN I maupun dalam RPJMN II, padahal
untuk konteks pengembangan teknologi pesawat terbang membutuhkan periode
jangka panjang.
Pada level intersektoral, pendekatan kebijakan antar sektor terutama antara
kebijakan riset dan inovasi dengan kebijakan sektor ekonomi secara umum sangat
berlawanan, selain perbedaan pada aspek waktu, penekanan luaran maupun
outcome juga berbeda, kebijakan riset dan inovasi khususnya dalam sektor
pengembangan inovasi pesawat terbang lebih ditekankan pada peningkatan nilai
tambah tertinggi berbasis pada penguasaan teknologi yang membutuhkan
107 David Pritchard, September 2010. A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US
Commercial Aircraft Supply Chain. h.6-11. 108Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), EU State Aid Policy and EC – Air
Bus Case. h. 11-12. 109 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
32
Universitas Indonesia
dukungan kebijakan yang bersifat intersektoral dan jangka panjang, sementara
kebijakan ekonomi umumnya lebih ditekankan pada peningkatan nilai tambah
berbasis ketersediaan sumber daya dan bersifat jangka pendek. Selain perbedaan
pendekatan kebijakan pada masing-masing negara, contoh kegagalan atau
keberhasilan industri pesawat terbang dari berbagai negara menunjukkan bahwa
selain koherensi pada tiga level kebijakan tersebut juga dibutuhkan dukungan
politik pemerintah (Tabel 1.2).
Situasi problematikal upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di
Indonesia selanjutnya akan dikaitkan dengan kerangka upgrading-Global Value
Chain dan kerangka tiga level hierarki proses kebijakan. Proses upgrading
teknologi pesawat terbang merupakan satu proses peningkatan nilai tambah yang
merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia.110
Nilai tambah yang dimaksud di sini adalah sebagai rangkaian proses menambah
nilai kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau
jasa yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih
tinggi dibandingkan material semula.111 Dalam konsep Global Value Chain
(GVC), proses peningkatan nilai tambah produk tersebut juga disebut sebagai
product upgrading.112
Theoritical problematic pertama, konsep upgrading dalam global value
chain baru sebatas menjelaskan peran kebijakan pemerintah dalam upgrading.113
Namun demikian, Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-lain belum
menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tiga level hiearki proses kebijakan
tersebut khususnya pada global value chain dengan tipologi hierarki serta
bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level
operasional untuk keberhasilan suatu industri dalam melakukan upgrading
110 B J Habibie, 1995, op.cit. h 49 111 Ibid. h.48 112 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. Global Value Chains In A
Postcrisis World A Development Perspective. h. 128-129; Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun). A Handbook For Value Chain Research. h.76; John Humphrey dan Hubert Scmitz (tanpa tahun), Governance and Upgrading: Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Research. h. 3
113 Gary Gareffi, 2011. Global value chains and international competition. h.39: Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011. How can companies within global value chains capture value from innovations? Dissertation Doctor of Philosopsy. h.15-21; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. How does insertion in Global Value Chains Affect upgrading in Industrial Clusters?. h.1023.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
33
Universitas Indonesia
teknologi. Berdasarkan sejumlah penelitian tentang upgrading pesawat terbang
sebagaimana terlampir114 menunjukkan bahwa keberhasilan industri pesawat
terbang ternyata tidak cukup hanya mengandalkan pada kemampuan pada level
produksi atau operasional, bahkan sangat ditentukan oleh sejumlah aspek baik
pada level kebijakan nasional, seperti komitmen jangka panjang pemerintah atau
komitmen politik, maupun pada level kebijakan sektoral baik kebijakan iptek
maupun ekonomi.115
Dalam konsep kebijakan, hubungan antara level proses kebijakan tersebut
merupakan konsep tiga level hierarki proses kebijakan yang telah dijelaskan oleh
Bromley (1989).116 Sejauh penelusuran pustaka, studi kebijakan dalam upgrading
pesawat terbang terutama dalam mengawinkan antara konsep Global Value Chain
Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005) dengan konsep tiga level hierarki proses
kebijakan Bromley (1989) masih sangat jarang kalau tidak mau dikatakan belum
ada.
Sejumlah penelitian terkait upgrading pesawat terbang sebagaimana
terlampir117 menunjukkan bahwa walaupun perusahaan telah memiliki
kemampuan codifiability118 terkait produk pesawat yang akan dikembangkan,
namun intensititas peran pemerintah baik sebagai regulator maupun sebagai pasar,
terutama pada initial investmentnya dalam industri pesawat terbang dengan
struktur GVC dengan tipologi hierarki juga masih sangat penting. Hal ini
sebagaimana ditunjukkan Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005 dalam
penelitiannya terhadap sejumlah industri elektronika termasuk IBM.
Selama periode 1960an-1970an, industri elektronika di Amerika Serikat
diantaranya adalah IBM lebih bersifat hierarchy dengan ciri khasnya adalah
kuatnya dukungan pemerintah.119 Dalam konteks industri pesawat terbang, secara
114 Lihat lampiran I, Riset-riset terdahulu, h.262 115 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 2-7 116 Daniel W. Bromley, 1989. Economic Interest and Institutions: The Conceptual
Foundations of Public Policy. h. 27-34 117 Lihat lampiran I, Riset-riset terdahulu, h.262 118 Kodifikasi adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mendesain suatu produk
sehingga memiliki keunggulan dibandingkan dengan produk-produk pesaingnya yang ada dipasaran. Kodifikasi tersebut dapat dilakukan setelah perusahaan telah menguasai teknologi inti dari produk yang akan dikodifikasi tersebut (Wawancara dengan Pakar Mesin LUK-BPPT, Djoko Wahyu Karmiadji, pada tanggal 1 Oktober 2014 di Bandung).
119 Di dalam penelitian Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005, dinyatakan bahwa selama periode 1960an-1970an, industri elektronika di Amerika serikat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
34
Universitas Indonesia
umum juga memiliki tipologi GVC hierarki120, karena kuatnya dukungan
pemerintah baik dari sisi kebijakan nasional maupun dukungan kebijakan sektoral
seperti kebijakan fiskal, riset dan pendanaan. Bahkan, dalam konteks Embraer-
Brazil, dalam rangka pengadaan pesawat terbang, Pemerintah Brazil mendukung
pengadaan pesawat terbang Embraer tersebut melalui pengadaan militer.121
Dengan merujuk pada pengklasifikasian Garrefi terhadap industri
elektronika dan contoh industri pesawat terbang beberapa negara termasuk
Embraer Brazil, stuktur GVC IPTN terutama dalam pengembangan N 250 adalah
nampaknya cenderung bersifat hierarchy. Karena, secara umum dukungan
pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang pada
era orde baru termasuk pengembangan N 250 dalam perspektif tiga level hierarki
proses kebijakan sangat kuat kecuali pada dua aspek, yaitu pada level organisasi,
terutama dukungan kebijakan sektor fiskal terkait sistem leasing pesawat terbang,
dan kedua dari level operasional yaitu, aspek manajemen IPTN khususnya
kemampuan produksi pesawat terbang122.
Sejumlah penelitian secara divergen memang telah menjelaskan
pentingnya aspek tiga level hiearki proses kebijakan untuk keberhasilan industri
pesawat terbang. Namun, Bromley (1989) sendiri belum menjelaskan bagaimana
konsep tiga level hierarki proses kebijakan tersebut dalam konteks Industri
diantaranya adalah IBM dikategorikan sebagai GVC dengan struktur hierarchy hal ini disebabkan bahwa selama periode tersebut, peran pemerintah Amerika Serikat sangat dominan, selain sebagai regulator dan sumber pendanaan, pemerintah juga menjadi pasar utama bagi produk-produk industri elektronika termasuk IBM, khususnya untuk aplikasi militer dan aerospace. Namun, sejak 1990an, IBM sebagaimana halnya industri elektronika lainnya, melakukan transisi ke struktur modular (Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.91-94).
Di dalam struktur modular, peran pemerintah tidak lagi dominan baik dari sisi proses produksi maupun pangsa pasarnya. Produk-produk IBM kemudian tidak lagi dikhususkan hanya untuk aplikasi militer dan aerospace bahkan untuk aplikasi sipil. Selain terjadi perubahan pada aspek intensitas peran pemerintah, di dalam struktur modular tersebut juga terjadi transisi pendekatan inovasi yang dilakukan oleh industri elektronika khususnya IBM, dari pendekatan closed innovation yang merupakan ciri khas struktur hierarki kearah pendekatan open innovation.( Oliver Gassmann dan Ellen Enkel, tanpa tahun. Towards a Theory of Open Innovation:Three Core Process Archetypes. h. 3-13. Adapun Paradigma Open innovation adalah merupakan antitesis dari paradgima traditional innovation, dimana aktivitas riset tidak dilakukan secara internal sebagaimana dalam closed innovation, tetapi dilakukan dengan kolaborasi dengan pihak luar termasuk dengan pemerintah, lihat: Henry Chesbrough, 2005. Open Innovation: A New Paradigm For Understanding Industrial Innovation. Chapter 1. h.2).
120 Lihat kembali Tabel 1.5 Penyebab gagal dan berhasilnya Industri Pesawat Terbang dari berbagai negara khususnya dalam Upgrading Teknologi Pesawat terbang dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989). h.14 di Bab yang sama.
121 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29 dan h.85 122 Penjelasan lemahnya kemampuan produksi telah dijelaskan pada hal. 7 bab ini
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
35
Universitas Indonesia
Pesawat Terbang yang membutuhkan dukungan politik untuk implementasi
kebijakan yang bersifat jangka panjang,123 apalagi jika dikaitkan dengan proses
inovasi teknologinya yang sangat kompleks.
Meriles S. Grindle124 (1980) menjelaskan bahwa program yang bersifat
jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku masyarakat dan tidak secara
langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat
(target groups), maka program tersebut cenderung lebih mengalami kesulitan
dalam implementasinya. Dan kekuatan politik aktor kebijakan akan menentukan
kesuksesan implementasi kebijakan tersebut. Kesimpulan Meriles S. Grindle
tersebut sangat relevan dengan karakter kegiatan inovasi, karena secara
keseluruhan, hanya sekitar 8,8% dari keseluruhan total proyek litbang dan inovasi
yang sukses secara ekonomi,125 bahkan khusus dalam konteks inovasi pesawat
terbang, dengan merujuk pada proses inovasi pesawat terbang di Amerika Serikat,
waktu yang dibutuhkan dalam inkubasi “basic innovation” hingga komersialisi
sangat panjang yaitu lebih dari 30 tahun.126
Di dalam pendekatan open innovation (Chesbrough, 2005) maupun dalam
triple helix (Henry Etzkowitz, 2008), sinergi kebijakan antar sektor masih bersifat
antara satu entitas (lembaga riset pemerintah) dan belum mendiskusikan
bagaimana sinergi kebijakan antar lebih dari satu entitas lembaga pemerintah.
Pada konsep Policy Coherence (OECD, 2009)¸ walaupun telah menyinggung
sinergi kebijakan intersektoral, namun konsep Policy Coherence masih dalam
konteks pembangunan yang sangat umum dan belum menyinggung konteks
inovasi.
Selain Habibie (1995) dengan konsep berawal di akhir dan berakhir di
awal yang tentunya pada level operasional, sejumlah konsep diatas, baik pada
pada level operasional, sektoral maupun kebijakan nasional bersifat umum dan
tidak khusus pada upgrading teknologi di sektor kedirgantaraan khususnya
industri pesawat terbang. Apalagi upgrading teknologi pesawat terbang sangat
123 Francis, J. G., & Pevzner, A. F. 2006. loc. cit .h.1-2; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J.
De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc. cit .h.11 124 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.op.cit
h.112 125 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.3 126 Peter Senge, 1994. cop.cit.h.6
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
36
Universitas Indonesia
khas karena bersifat high cost serta high risk sehingga sangat membutuhkan
komitmen jangka panjang pemerintah.127 Komitmen tersebut baik dari aspek
kebijakan iptek, ekonomi maupun politik.128 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti
juga menyatakan bahwa semakin kompleks suatu teknologi, maka kecenderungan
dibutuhkannya struktur Global Value Chain (GVC) dengan tipologi hierarchy
semakin besar.129 Salah satu karakteristik utama struktur hierarchy selain
koordinasi yang sangat tinggi antara lead firm dengan supplier adalah tingginya
intervensi kebijakan pemerintah didalamnya.130
Theoritical Problematic lainnya adalah pengklasifikasian Industri Pesawat
Terbang sebagai GVC dengan tipologi hierarki berdasarkan pada aspek dukungan
pemerintah ternyata sedikit berbeda dengan karakteristik dari tipologi Global
Value Chain Hierarki oleh Garrefi sendiri, yang memiliki karakteristik rendahnya
kemampuan codifiability dari lead firm.131 Karena, baik Embraer Brazil maupun
IPTN ternyata memiliki kemampuan dalam melakukan codifiability, satu karakter
yang melekat pada GVC pada masing-masing tipologi: market, modular dan
captive.132 Hal ini menunjukkan pandangan awal bahwa struktur GVC tidak hanya
disebabkan oleh tingkat koordinasi antar lead firm dengan pemasok dengan tiga
determinannya yaitu: kompleksitas produk dan transaksi, kemampuan lead firm
dalam mengkodifikasikan produk, dan kemampuan dari sisi pemasok utama,133
namun juga disebabkan kombinasi dengan aspek intensitas dukungan pemerintah
yang dibutuhkan dalam mendorong peningkatan nilai tambah industri tersebut.
Dalam konteks diatas, studi ini akan melakukan rekonstruksi kebijakan
yaitu pada level kebijakan, level organisasi dan level operasional dan dukungan
politik untuk menjelaskan upgrading teknologi pada GVC- industri pesawat
terbang. Melalui hasil rekonstruksi tersebut, kemudian dapat diidentifikasi
127 Francis, J. G., & Pevzner, A. F. 2006. loc. cit .h.1-2; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J.
De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc. cit .h.11 128 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 11-12; Daniel Vertesy
and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23. 129 Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli dan Roberta Rabellotti, 2006. Global Value Chains
and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries. h. 13
130 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, loc. cit. h.91-94 131 Ibid.h.87 132 Ibid. 133 Ibid.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
37
Universitas Indonesia
kombinasi karakter tipologi GVC- industri pesawat terbang yang lebih efektif,
baik terkait hubungan koordinasi antara lead firm dengan pemasok, maupun
intensitas dukungan pemerintah yang dibutuhkan sehingga upgrading teknologi
yang dilakukan industri pesawat terbang dapat survive dan berkelanjutan.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan
di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana situasi
problematikal dalam kebijakan mendorong upgrading teknologi pesawat terbang
di Indonesia yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan
integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan
pengembangan teknologi yang sarat akan kompleksitas interaksi antara elemen-
elemen yang berbeda khususnya dengan mengacu kepada kegagagalan program
Pesawat N 250. Situasi problematikal tersebut kemudian ditelaah untuk
mengkonstruksi pengetahuan baru dan selanjutnya pengetahuan baru tersebut
dapat digunakan untuk memperbaiki situasi problematikal yang ada. Bertolak dari
gagasan serba sistem (systems idea), kebijakan mendorong upgrading teknologi
pesawat terbang di Indonesia dipandang sebagai sistem aktivitas manusia (human
activity system).
Situasi problematikal dalam kebijakan mendorong upgrading teknologi
pesawat terbang di Indonesia dengan mengacu kepada kegagagalan program
Pesawat N 250 ditempatkan pada kerangka konseptual yang mengkombinasikan
policy process as hierarchy (Bromley, 1989) dan Global Value Chain Hierarchy
(Gereffi, Humphrey dan Sturgeon, 2005) dan menggunakannya untuk
memperbaiki situasi problematikal yang dihadapi dan sekaligus sebagai lesson
learnt bagi program upgrading teknologi yang saat ini sedang atau akan dilakukan
oleh pemerintah bersama lembaga dan industri terkait, seperti program N 219,
program N 245 (upgrading CN 235), dan program R-80. Permasalahan tersebut
dikembangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian yang masing-masing
adalah terdiri dari satu pertanyaan (no.4) yang bersifat research interest dan tiga
pertanyaan (no.1-3) merupakan problem solving interest:
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
38
Universitas Indonesia
1. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level kebijakan dari
pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan
integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan
pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat
Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga
upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan
dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di
Indonesia?
2. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level
kelembagaan/organisasi dari pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan
kemampuan produksi dan integrasi menuju pesawat yang dihasilkan
melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi pada global
value chain- Industri Pesawat Terbang dengan mengacu pada kegagalan
program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat
survive dan berkesinambungan dalam upaya menjamin terjadinya
kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia?
3. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level operasional dari
pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan
integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan
pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat
Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga
upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan
dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di
Indonesia?
4. Bagaimana konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989)
dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain-Industri
Pesawat Terbang (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) sehingga
upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan
untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia?
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
39
Universitas Indonesia
1.4. Tujuan Penelitan
1. Mengkonstruksi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pada
global value chain-Industri Pesawat Terbang pada level kebijakan dengan
mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi
yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai
lesson learnt untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara
di Indonesia
2. Mengkonstruksi sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading
teknologi pada global value chain -Industri Pesawat Terbang pada level
kelembagaan/organisasi dengan mengacu pada kegagalan program N 250
sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan
berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk menjamin
terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.
3. Mengkonstruksi strategi manajemen Industri Pesawat Terbang Nasional
dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri
Pesawat Terbang pada level operasional dengan mengacu pada kegagalan
program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat
survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk
menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.
4. Merekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan dalam
mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri Pesawat
Terbang sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan
berkesinambungan untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi
dirgantara di Indonesia.
1.5. Signifikansi Penelitian
1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Untuk memberikan pengayaan pada konsep tiga level hiearki proses
kebijakan (Bromley, 1989) dalam mendorong upgrading teknologi pada GVC-
Industri Pesawat Terbang (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005) beserta
pengayaaan pada karakter tipologi GVC- Industri Pesawat Terbang dalam
upgrading teknologi industri pesawat terbang.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
40
Universitas Indonesia
1.5.2. Bagi Pemerintah
Untuk memberikan rekomendasi kebijakan dalam proses upgrading
teknologi industri pesawat terbang sehingga dapat meningkatkan nila tambah
sektor kedirgantaraan nasional sekaligus sebagai masukan terkait program
pemerintah dalam pengembangan pesawat secara umum, dan program
pengembangan N 219, N 245 dan R-80 secara khusus.
1.5.3. Bagi Industri Pesawat Terbang Nasional
Untuk memberikan masukan bagi industri pesawat terbang nasional dalam
mengembangkan pesawat terbang sehingga survive dan berkelanjutan, khususnya
dalam meningkatkan strategi manajemen bisnis dalam membangun jejaring
kemitraan baik dengan mitra asing dan mitra domestik baik melalui risk sharing
partnership atau konsorsium inovasi.
1.6. Batasan Penelitian
1. Struktur Global Value Chain-Industri Pesawat Terbang dalam studi ini
adalah memiliki ciri utama yaitu intervensi pemerintah yang tinggi. Kedua
adalah kompleksitas baik proses transaksi maupun teknologi produk juga
cukup tinggi (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005).
2. Time frame penelitian adalah dukungan kebijakan terhadap industri
pesawat terbang sejak Era Pemerintahan Soeharto khususnya pada
program N 250 hingga dukungan pada era Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Oleh karena itu, penelitian ini belum mengakomodir
perubahahan nomenklatur dan tupoksi kementerian lembaga seperti
Kementerian Ristek yang kemudian menjadi Kementerian Ristek Dikti
atau perubahaan lingkup tugas pokok dan fungsi Kementerian
Perencanaan dan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan lain-lain.
3. Lingkup upgrading teknologi dalam studi ini adalah pada tahap ke tiga
yaitu strategi berawal diakhir dan berakhir diawal yaitu pesawat
dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi
sejenis pesawat R-80 yang merupakan upgrading dari N 250 atau N 245
yang merupakan upgrading dari CN 235. Walaupun demikian, penelitian
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
41
Universitas Indonesia
ini hanya dibatasi pada pembahasan secara lebih mendalam pada program
R-80 semata, terlepas bahwa pengusung program tersebut adalah berasal
dari PT RAI.
4. Kajian ini menggunakan soft systems thinking, sehingga tidak dapat secara
langsung dipadankan dengan arus utama (mainstream) metodologi ilmu
sosial (sosial science methodologies). Pendekatan yang digunakan adalah
soft systems methodology (SSM). SSM dilakukan dengan pentahapan
secara sistematik yang memenuhi syarat recoverability sebagaimana
ditekankan oleh Checkland dan Poulter (2006) dengan menjadikan PT DI
sebagai rujukan penelitian.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
42
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konteks Penelitian
2.1.1. Kajian Kebijakan didalam mendorong pembangunan sektor
dirgantara134
Beberapa studi kebijakan dalam mendorong pembangunan sektor
dirgantara telah dilakukan beberapa peneliti, diantaranya dalam penelitan Jones
(1999)135 terhadap Industri Pesawat Terbang WACO selama periode tahun 1919-
1963. Didalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa peran pemerintah dalam
mendorong peningkatan kegiatan litbang bahkan menjadi pasar pertama bagi
industri pesawat terbang (untuk aplikasi militer) merupakan faktor kunci
keberhasilan Industri Pesawat Terbang WACO. Walaupun dalam studi tersebut
telah menggambarkan hubungan antara pemerintah dan swasta, namun aspek
kebijakan dalam pengembangan pesawat tersebut masih umum yaitu hanya pada
pendanaan litbang dan pemasaran.
Pada tahun 2006, Francis dan Pevzner136 dalam studi perbandingan antara
perusahaan Airbus dan Boeing menyimpulkan bahwa diantara bentuk bantuan
pemerintah dalam pengembangan industri pesawat terbang adalah mulai dari
bantuan pendanaan riset dan pengembangan, pendanaan atau fasilitasi proses
kontruksi, bantuan SDM, pemasaran, bantuan pengamanan kontrak penjualan luar
negeri dll. Bahkan Francis dan Pevzner menekankan bahwa untuk industrial
policy untuk industri pesawat terbang harus bersifat jangka panjang. Sejatinya
Francis dan Pevzner telah cukup jelas menggambarkan peran pemerintah baik
dalam ranah inovasi maupun ekonomi, namun belum dijelaskan bagaimana dan
apa dukungan politik yang dibutuhkan dalam pengembangan industri pesawat
terbang.
Penelitian Stewart (2007)137 dengan judul China’s Industrial Subsidies
Study: High Technology, bahwa kebijakan tersebut tertuang secara tegas baik
134 Lihat Lampiran I Ringkasan Riset Terdahulu 135 Howard , G. Jones,1999. loc.cit. h.291-292 136 Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. loc.cit.h.1-2. 137 Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart, April 2007. loc.cit, h. 6-10.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
43
Universitas Indonesia
dalam dokumen semacam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang disebut sebagai Guideline for National Economic and Social
Development periode (2006-2010) maupun secara khusus dalam Rencana Jangka
Panjang Pembangunan (RPJP) IPTEKnya atau yang disebut The Guideline for the
National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan
(2006-2020). Dan salah satu kebijakan ekonomi China yang mendorong aircraft
product manufacturing adalah cross-industry subsidies untuk High Tech Industry.
Bahkan selain dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mendukung
kebijakan tersebut.
Kajian yang dilakukan oleh The William Davidson Institute pada 2008138
menunjukkan bahwa dual use civil military technology bersifat symbiotic,
pengembangan pesawat untuk program militer dapat mendorong inovasi teknologi
canggih, sementara aplikasi untuk komersial berkontribusi pada strategi efisiensi
dan reliabilitasnya. Namun, penelitian tersebut tidak membahas secara jelas peran
pemerintah dalam mendorong industri pesawat tersebut.
Pada tahun 2010, Pritchard139 melakukan penelitian terhadap sejumlah
industri pesawat terbang yaitu Boeing Amerika Serikat, Airbus Eropa,
Bombardier Canada, United Aircraft Corporation (UAC) Rusia, COMAC China,
Embraer Brasil, Industri Pesawat Terbang Meksiko dan Industri Pesawat Terbang
Italia. Dalam hasil studi tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pengalaman
Airbus, Bombardier Canada dll menunjukkan bahwa dukungan pemerintah baik
langsung atau tidak langsung sangat penting bagi industri pesawat terbang
terutama pada saat launcing pesawat terbang baru di pasaran. Dalam industri
pesawat terbang Rusia yang disebut United Aircraft Corporation (UAC), polanya
sangat sentralistik dan dikontrol langsung oleh negara. China, bentuk dukungan
pemerintahnya tertuang dalam rencana pembangunan sepuluh tahun. Brasil
terkenal dengan sejumlah koherensi kebijakan inovasi, ekonomi dan
pembangunannya, salah satu contohnya adalah kebijakan ProEx dan FINEPnya.
Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal dengan dukungan pemerintahnya
terutama dalam anggaran litbang dan manufacturingnya.
138 William Davidson Institute, 2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony. h.2 139 David Pritchard, September 2010. loc.cit. h.6-11.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
44
Universitas Indonesia
Dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan pesawat terbangnya
adalah bentuk dukungan financial. Namun penelitian tersebut sangat kurang
menggambarkan secara detil bagaimana bentuk peran pemerintah pada masing-
masing negara tersebut kecuali Brasil. Namun, kecuali terhadap industri pesawat
terbang Embraer-Brasil, penelitian tersebut tidak menggambarkan secara detil
bagaimana bentuk peran kebijakan pemerintah pada masing-masing industri
pesawat terbang dari negara-negara tersebut.140
Chu, Zhang dan Jin, (2010)141 melakukan studi komparasi antara Kluster
Industri China dengan Amerika Serikat. Dalam kesimpulannya, Chu, Zhang dan
Jin merekomendasikan dalam pengembangan industri aircraft, pemerintah harus
meninggalkan pola tradisional dalam berinovasi menuju pola yang terbuka serta
berorientasi pasar. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah
harus merevitalisasi dan menyempurkan rencana pembangunan kawasan atau
kluster industri aircraft. Namun dalam studi Chu, Zhang dan Jin masih tidak jelas
bagaimana seharusnya peran pemerintah baik dalam konteks kebijakan
pembangunan maupun kebijakan inovasinya.
Penelitian Brown dan Tiemann, tanpa tahun142 dengan judul EU State Aid
Policy and EC – Air Bus Case, disimpulkan bahwa dukungan pemerintah
merupakan faktor keberhasilan Airbus, dukungan pemerintah tersebut tidak saja
secara ekonomi yaitu dalam bentuk grant of subsidies (berupa pengalihan sewa
dari producer asing ke producer domestik) tetapi juga dalam bentuk dukungan
politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi perdagangan dunia
(WTO). Namun, dalam studi tersebut belum menjelaskan koherensi antara
kebijakan inovasi, serta kebijakan sektor lainnya.
Dalam penelitian untuk disertasinya pada tahun 2013, Lucy143
merekomendasikan supaya dalam creating new idea dan inovasi teknologi,
membangun kerjasama Boeing dengan US Government sangat penting dalam
mempertahankan keunggulan Boeing terhadap sejumlah kompetitornya dalam
140 Ibid. 141 Chu Bo, Zhang Hua, Jin Fengjun, 2010. loc.cit. h.478-479. 142 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc.cit. h. 11-12. 143 Suijun Lucy Yi, 2013. loc.cit. h.12-17.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
45
Universitas Indonesia
perekonomian Global. Namun sayang, penelitian tersebut tidak menjelaskan
bagaimana bentuk peran tersebut.
Penelitian Hwan Cho144, tanpa tahun dengan judul Challenge In Research
and Development For The Korean Aircraft Indusrty pada salah satu
kesimpulannya dinyatakan bahwa untuk mencapai industri pesawat terbang yang
memiliki kelayakan komersial, maka diperlukan dukungan jangka panjang
pemerintah baik dalam investasi nasional maupun dukungan secara politik.
Walaupun telah menyinggung bentuk kebijakan Iptek, namun bentuk kebijakan
ekonomi maupun politik yang dijelaskan masih bersifat umum
Studi yang dilakukan dengan mengambil lokus Indonesia khususnya IPTN
adalah telah dilakukan oleh Djojonegoro (1991),145 bahwa empat strategi
transformasi industri atau yang dikenal dengan “ start with the end and end with
the beginning” dengan salah satu laboratoriumnya adalah IPTN lebih cocok
diterapkan di Indonesia, dengan dua alasan: Tahap pertama yang diarahkan pada
kemampuan memproduksi, selain telah jelas memiliki nilai komersial juga tidak
membutuhkan biaya yang sangat besar terutama untuk kegiatan litbang yang
memiliki probalitas gagal yang juga relatif tinggi, dan menurut Mansfield et.al
(1981) di dalam Milling dan Maier146, bahwa tingkat kegagalan kegiatan litbang
mencapai 91,2 %. Kedua, Kemampuan pendanaan atau investasi litbang untuk
negara-negara berkembang masih sangat lemah. Namun, studi ini tidak
menyinggung bagaimana kesinambungan dukungan tersebut baik secara politik
maupun ekonomi dalam konteks Industri Pesawat Terbang khususnya IPTN.
Dalam penelitian McKendrick147 dijelaskan bahwa Akumulasi
kemampuan engineering dan produksi tidak cukup menjadikan IPTN sukses
dalam komersialisasi pesawat terbang komersial (terutama N 250) nya. Dalam
studinya, McKendrick menemukan adanya kelemahan manajemen dalam IPTN
dan dalam temuannya, McKendrick masih mempertanyakan dukungan kebijakan
(pemerintah) terhadap IPTN terutama terkait tidak adanya badan penerbangan
yang bersifat independen serta lemahnya infrastruktur Iptek. Studi tersebut lebih
144 Tae Hwan Cho. loc.cit. h. 326-328 145 Wardiman Dojonegoro,1991. Towards A Science and Technology Policy Approach
Supporting Industrial Development of Indonesia. h.16-17 146 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. Dynamic of R&D and Innovation Diffussion.h.2 147 David McKendrick, 1992. loc.cit..h.39.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
46
Universitas Indonesia
bersifat mikro, belum menyinggung bentuk kebijakan pemerintah dalam
komersialisasi pesawat terbang. Namun studi tersebut lebih bersifat mikro dan
belum menyinggung bentuk kebijakan pemerintah dalam mendorong
komersialisasi pesawat terbang nasional. Berdasarkan hasil penelitian Steenhuis
dan Bruijn148 pada 2001 terhadap Industri Pesawat Terbang Nausantara (IPTN)
bahwa environment (lingkungan kebijakan) merupakan faktor penting bagi
keberhasilan pengembangan industri pesawat terbang nasional.
Pada tahun 2005, Thee149 mengungkapkan bahwa pada tahun 1990an
sampai sebelum krisis ekonomi 1997/1998, dengan adanya dukungan politik yang
kuat, IPTN mendapatkan sejumlah dukungan pemerintah diantaranya adalah
melalui didirikannya Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), BPIS merupakan
wahana dalam menjalankan strategi transformasi industri dalam berbasis high
tech, diarahkan selain untuk pasar domestik juga untuk ekspor. Namun penelitian
tersebut, lebih menitiberatkan pada dual track strategi industri yang senada dengan
perbedaan antara Habibienomics dengan Widjojonomics,150 dan tidak
mengungkapkan bagaimana seharusnya dukungan kebijakan sektor lainnya
terutama sektor IPTEK bagi pengembangan industri pesawat terbang nasional.
Dan penelitian Amir pada tahun 2007151 dinyatakan bahwa nasionalisme
teknologi adalah suatu bentuk ideologi yang berfungsi pada tiga level yaitu
integrasi, legitimasi dan distorsi. Amir menjelaskan bahwa dukungan pemerintah
baik secara politik dan pendanaan dalam pengembangan IPTN khususnya pesawat
N 250 sangat dilatarbelakangi oleh masih kuatnya semangat nasionalisme pada
pakar pengembang teknologi pesawat terbang yang kemudian didukung penuh
oleh elit politik tertinggi pada waktu itu. Namun menurut Amir, nasionalisme
teknologi masih mengandung paradoks, satu sisi mengusung spirit kemerdakaan
yang puncaknya adalah kemandirian teknologi, namun pada sisi lain seolah-olah
kemerdekaan dimaknai hanya sebatas pada kemandirian teknologi semata.
Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah
148 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit. h. 3-5 149Kian Wie Thee, 2005a. loc.cit. h.7 dan Kian Wie Thee, 2005b. loc.cit.h.24. 150 Yuwono, Agustus 2001, loc. cit. h.41 151 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.284
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
47
Universitas Indonesia
untuk memperkuat nasionalisme tersebut dalam kemandirian teknologi pesawat
terbang dalam konteks kekinian.
2.1.2. Kajian perbandingan Kebijakan Pemerintah dalam mendorong
upgrading teknologi antara industri IPTN dengan beberapa Industri
Pesawat Terbang diberbagai negara.152
Penelitian perbandingan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan
industri pesawat terbang nasional telah dilakukan oleh Steenhuis dan Bruijn
(tanpa tahun).153 Dalam penelitian tersebut dijelaskan masing-masing faktor
kegagalan dan keberhasilan di masing-masing empat negara yaitu Romaero-
Rumania, IPTN-Indonesia AVIC-China, dan Embraer-Brasil. Menurut Steenhuis
dan Bruijn, faktor kegagalan Romaero-Rumania adalah karena ketika industri
berusaha untuk mengembangkan rancangan pesawat medium atau large yang
berbasis pada licensed manufacturing, perusahaan dihadapkan pada permasalahan
financial dan pemerintah tidak mampu untuk menanggulangi atau memberikan
dukungan pendanaan bagi perusahaan tersebut.
Begitupun Indonesia, walaupun Indonesia lebih maju dari Rumania baik
dalam kemampuan desain maupun produksi pesawat, namun selain masih
rendahnya efisiensi produksi, dihentikannya dukungan pendanaan pemerintah
terutama terhadap program N 250 merupakan salah satu faktor utama gagalnya
IPTN dalam pengembangan pesawat komersial dengan kelas 50 penumpang. Lain
halnya dengan China maupun Brasil, menurut Steenhuis dan Bruijn,154 dukungan
pemerintah nasional terhadap pengembangan industri pesawat terbang komersial
terhadap kedua negara tersebut sangat tinggi, bahkan walaupun pemasaran
pesawat terutama untuk pasar internasional Jet Avic China masih gagal, namun
pemerintah china terus berkomitmen untuk mendukung industri pesawat terbang
nasional tersebut.
Brazil bisa dibilang relatif sukses diantara keempat negara tersebut,
menurut Steenhuis dan Bruijn,proses pengembangan industri pesawat terbang
152 Lihat Lampiran I Ringkasan Riset Terdahulu. loc.cit 153 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit. h. 3-5 154 Ibid. h. 7-11
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
48
Universitas Indonesia
Brasil telah dimulai sejak tahun 1950-1980, dalam periode tersebut telah
dipancangkan pondasi awal bagi pengembangan industri pesawat terbang nasional
yang terdiri tiga fase: pertama, adalah fase sepuluh tahun pertama yang diarahkan
untuk mendirikan program pelatihan dan pengajaran untuk mendukung
pengembangan industri pesawat terbang. Fase kedua adalah pendirian kemampuan
local manufacturing, dan fase ketiga adalah persiapan pembangunan industri
pesawat terbang yaitu Embraer.155
Oleh karena itu menurut Steenhuis dan Bruijn, bahwa Embraer-Brazil
adalah satu negara berkembang yang telah berhasil dalam upgrading
pengembangan high tech innovation pesawat penumpang dengan kelas diatas 50
penumpang dalam perekonomian global diantaranya adalah ERJ-145; ERJ-
170/190. Steenhuis dan Bruijn menekankan bahwa komitmen jangka panjang
pemerintah Brasil dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang
khususnya Embraer merupakan salah satu faktor kunci, karena tidak seperti yang
terjadi dengan Rumania atau Indonesia, walaupun pada tahun 1980an Embraer
dihadapkan pada krisis ekonomi, namun pemerintah Brasil berkomitmen untuk
terus memberikan dukungan terhadap perusahaan tersebut, hasilnya setelah
melewati masa-masa surive pada sebagian besar dalam periode 1990an, akhirnya
pada 1994, Industri Embraer kembali profitable.
Faktor lain dari keberhasilan Embraer khususnya pesawat ERJ-145
menurut Steenhuis dan Bruijn adalah kebijakan masa lampau pemerintah Brasil
dalam memberlakukan kebijakan ProEx yaitu insentif pengurangan bunga sekitar
3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri.156 Bahkan menurut penelitian
Wall157 pada tahun 2013, Kebijakan ProEx tersebut telah diberlakukan pemerintah
Brasil sejak juni tahun 1991. Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, menurut
Laporan WTO, pada tahun 1999, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya
dihentikan.158
155 Ibid. h. 9-11 156 Ibid. h. 10 157 Sarah Elizabeth Wall, Desember 2013. loc.cit. h.1. 158 Laporan WTO, 14 April1999. loc.cit. h. 14
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
49
Universitas Indonesia
Pada tahun 2010, Vertesy dan Szirmai159 dalam penelitiannya dengan
judul Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer
Aerospace Industries bertujuan untuk menganalisis peran lingkungan sistem
inovasi sektoral bagi industri penerbangan nasional. Studi tersebut menganalisis
empat industri penerbangan di empat negara yaitu Embraer-Brazil, COMAC-
China, IPTN- Indonesia dan FAMA-Argentina. Salah satu faktor kegagalan
Argentina selain karena gagalnya privatisasi dan kuatnya kontrol militer adalah
tidak adanya koherensi kebijakan inovasi, industri, IPTEK, dan Pertahanan yang
didukung secara politik. Kegagalan Indonesia, hampir mirip dengan Argentina,
yaitu tidak adanya kesinambungan dukungan pemerintah baik secara pendanaan
dan secara politik, hanya saja IPTN menurut Vertesy dan Szirmai, walaupun
memiliki kemampuan dalam transfer teknologi, namun kemampuan untuk
kegiatan manufacturingnya yang layak secara ekonomi masih rendah.
Industri pesawat terbang Avic- China maupun Embraer-Brasil, menurut
Vertesy dan Szirmai telah memiliki sejumlah kebijakan yang koheren dan jangka
panjang dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang nasional baik
pada kebijakan pembangunan ekonomi, politik dan perindustrian, bahkan contoh
Brasil menunjukkan komitmen pemerintah tidak hanya pada lingkup domestik
bahkan untuk orientasi pasar internasional.160
Berdasarkan penelusuran pustaka, dapat diringkas bahwa ada tiga aspek
yang digunakan untuk menjelaskan upgrading pesawat terbang komersial. Dan
aspek-aspek tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga level, yaitu level kebijakan,
level organisasional dan level operasional. Ketiga level tersebut
merepresentasikan konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989).
Pada Gambar 2.1 terlihat jelas bahwa untuk tema pada level kebijakan
untuk mendukung pengembangan pesawat terbang komersial baik untuk ruang
lingkup antar negara maupun dalam satu negara jauh lebih banyak jika
dibandingkan dengan tema kebijakan di level satu sektor dan level operasional.
Namun sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penelitian yang menganalisis tiga
159 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23 160 Ibid. h. 23-44
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
50
Universitas Indonesia
level kebijakan dalam upgrading teknologi pesawat terbang nasional dalam global
value chain dengan tipologi hierarki sejauh ini masih belum penulis dapatkan.
Oleh karena itu, studi ini akan diarahkan pada upaya mengisi ruang
kosong pada studi kebijakan pada tiga level sebagaimana model Bromley (1989)
dalam mendorong upgrading pesawat terbang dalam global value chain dengan
tipologi hierarki.
PEN
DEKA
TAN
TEMA
Antar Negara
Vertesy dan Szirmai (2010); Brown dan Tiemann (tanpa tahun); Steenhuis dan Bruijn (2001: tanpa tahun); Stewart (2007); William Davison, 2008; Francis dan Pevzner (2006);
Chu, Zhang dan Jin (2010); Lucy (2013); Pritchard (2010); Gillett dan Stekler (1995); -
Steenhuis dan Bruijn (2001); Vertesy dan Szirmai (2010);
Chu, Zhang dan Jin (2010);William Davison,
2008;
Pritchard (2010):
Negara Mudzakir (2014) (Tipologi GVC IPTN
McKendrick (1992); Djojonegoro (1991);
Okomoto dan Sjöholm (2001); Stewart (2007)
Mudzakir (2014)
Dahlman dan Frihtak (1990);
Mudzakir (2014)
Tipologi Struktur GVC Manajemen Industri Kebijakan pada level
sektor
Policy Level Organizational LevelOperational Level
Dahlman dan Frihtak (1990); Amir (2007); Hwan Cho (tanpa tahun); Okomoto dan
Sjöholm (2001); Djojonegoro (1991); The (2005a;2005b); Jones (1999); Okomoto dan
Sjöholm (2001); Mudzakir (2014)
Gambar 2.1. Peta Penelitian Sejenis (1991-2013) dan Kontribusi Penelitian
Tesis Ini. Sumber: Diolah oleh Penulis
2.2. Global Value Chain
Global Value Chain menitiberatkan pada ekspansi internasional dan
pengelompokkan secara geografis. Fokus utamanya adalah pada isu-isu industri
menyangkut organisasi atau reorganisasi, koordinasi, governance dan power
dalam rantai nilai. Namun, pendekatan Global Value Chain juga akan
menyinggung konteks diluar internal jejaring antara lead firm dengan pemasok
seperti kebijakan perdagangan, regulasi dan standar.161 Dalam konteks GVC, lead
firms bisa sebagai producer atau buyer. Didalam producer-driven chains, power
yang menyangkut modal, teknologi dan keahlian produksi berada pada industri
penghasil produk akhir. Sedangkan didalam buyer-driven chains, pembeli dari
161Gary Garrefi, 2011. loc.cit. h.39
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
51
Universitas Indonesia
produk akhir memiliki kemampuan yang sangat tinggi untuk membentuk mass
consumption melalui pembelian brand yang memiliki pasar yang sangat kuat.162
Dua konsep inti dari Global value chain adalah industrial governance
yang bersifat top-down dan up grading yang bersifat bottom-up. Industrial
governance fokus pada lead firms dan jejaring antar perusahaan, sehingga polanya
cenderung top-down karena menitiberatkan pada pola koordinasi jejaring antara
leadfirm dengan industri pemasok. Untuk konsep upgrading, analisanya fokus
pada bagaimana strategi suatu daerah, negara dan pemangku kepentingan
ekonomi (termasuk industri) meningkatkan posisinya dalam perekonomian global
baik economic upgrading seperti aktivitas produksi, ekspor, aktivitas manufaktur
maupun social upgrading seperti standar kualitas tenaga kerja, upah minimum
dan lainnya. Atau dengan kata lain, aktivitas up grading dalam Global Value
Chain adalah Industrial upgrading yaitu aktivitas para aktor-aktor ekonomi baik
negara, perusahaan dan pekerja dalam meningkatkan nilai (produksi) dalam
Global Production Network atau jejaring produksi global.163
2.2.1 Struktur GVC
Struktur GVC menitiberatkan pada koordinasi antara leads firm dengan
para pemasok material atau komponen.164 Terkait pola koordinasi dalam tipologi
industrial governance, Gary Gereffi, John Humphrey dan Timothy Sturgeon
(2005)165 membagi menjadi lima tipe pola koordinasi yang merepresentasikan
lima tipe Global Value Chain yaitu Hierarchy, Captive, Relational, Modular dan
Market. Gary Gereffi dkk166, mengidentifikasi tiga variabel yang memainkan
peranan besar dalam menentukan bagaimana kelima tipologi Global Value Chain
tersebut dikelola atau dikoordinasi dan berubah. Ketiga variabel tersebut adalah
terdiri dari:
1. Kompleksitas transaksi
Faktor pertama terletak pada kompleksitas transaksi, di mana kompleksitas
dalam transfer informasi dan pengetahuan membutuhkan suatu transaksi
162 Ibid. h.40 163 Ibid. h.45 164 Ibid. h.39 165 Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.82-84 166 Ibid.h.87
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
52
Universitas Indonesia
tertentu yang terus berkelanjutan, khususnya yang terkait dengan
spesifikasi produk dan proses.
2. Kemampuan dalam mengkodifikasikan transaksi.
Faktor kedua yang sangat mempengaruhi tipe koordinasi ini adalah
kapabilitas dalam mengkodifikasi transaksi. Terutama terkait dengan
sejauh mana informasi dan pengetahuan dapat dikodifikasi dan diteruskan
secara efisien dan tanpa diperlukan transaksi/investasi spesifik di antara
pihak-pihak yang bertransaksi.
3. Kemampuan dari sisi pemasok utama.
Faktor ketiga terwujud dalam kapabilitas aktual dan potensial yang
dimiliki oleh pemasok terkait dengan syarat-syarat dari transaksi.
Teori yang tersusun dari tiga variabel ini dibingkai dalam analisis
mengenai biaya transaksi yang tidak terlepas dari kompleksitas relasi antar-
perusahaan dan pola investasi ke dalam suatu bentuk transaksi tertentu (asset
specificity). Keberadaan produk-produk yang terstandarisasi menjadikan pola
pengkoordinasian yang bersifat tidak mengikat dapat berjalan dengan baik,
dikarenakan transaksi dapat dengan mudah dideskripsikan dan nilainya mudah
untuk ditentukan. Permasalahan koordinasi juga dapat dikurangi, selain karena
kontrak dapat dengan mudah dibuat dalam kondisi deskripsi dan nilai transaksi
yang jelas, juga dikarenakan sifat dari produknya yang terstandarisasi sehingga
dapat disimpan dan dipasok ketika dibutuhkan. Permasalahan aset yang harus
spesifik dimiliki dalam proses produksi juga dapat teratasi, ketika produk-produk
yang bersifat standar ini dibuat oleh banyak pemasok dan dibeli oleh banyak
pelanggan.167
Sebaliknya, dipengaruhi oleh biaya transaksi ini juga, perusahaan-
perusahaan cenderung memilih strategi untuk melakukan aktivitas produksi di
dalam struktur organisasi perusahaan secara internal. Pertama, semakin mudah
suatu produk atau jasa disesuaikan dalam proses produksi (customizing), semakin
besar kecenderungan sebuah perusahaan untuk melakukan transaksi-investasi
spesifik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya kecenderungan oportunisme
di dalam pemecahan produksi. Sehingga, perusahaan lebih memilih untuk
167 Ibid.h.80
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
53
Universitas Indonesia
melakukan aktivitas produksi dalam struktur internalnya (in-house) ketimbang
menanggung biaya tambahan dalam upaya untuk mengamankan produksi di unit-
unit atau wilayah lain. Kedua, pengkoordinasian produksi yang berjalan antar unit
produksi tentu saja membutuhkan biaya tersendiri. 168
Biaya transaksi mengalami peningkatan ketika relasi antar-perusahaan
membutuhkan koordinasi yang tinggi. Terutama dalam produksi yang
membutuhkan input yang tidak terstandarisasi dan berjalan dalam arsitektur
perancangan yang terintegrasi, proses transfer informasi mengenai rancangan
produk menjadi semakin kompleks dan menjadikan interaksi lintas perusahaan
semakin intensif. Dalam kondisi relasi produksi antar-perusahaan yang kompleks,
biaya transaksi menjadi semakin besar, sehingga perusahaan cenderung untuk
mengorganisasikan produksi dalam struktur internal.169
Tabel 2.1. Empat Struktur GVC
Sumber: Humphrey dan Schmitz (tanpa tahun, h.16)
Menurut Humphrey dan Schmitz (tanpa tahun),170 terdapat empat tipologi
GVC yaitu: Market, Network, Quasi Hierarchy, dan Hierarchy. Dan determinan
yang membedakan empat Struktur Global Value Chain tersebut yaitu:
168 Ibid 169 Ibid. 170 John Humphrey dan Hubert Scmitz (tanpa tahun), Governance and Upgrading:
Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Researc. loc.cit.h.16
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
54
Universitas Indonesia
Ada/tidaknya kebutuhan untuk berkolaborasi antara pembeli dan penyedia;
Tingkat kerjasama antara dua atau lebih pihak dari masing-masing penyedia dan
pembeli; sejauhmana kontrol pembeli atas penyedia; dan keempat adalah adanya
kontrol langsung dari pembeli atas seluruh proses produksi (lihat tabel 2.1).
2.2.2. Pengkoordinasian Dalam Lima Tipologi Industrial Governance
Berdasarkan pada tiga faktor pembeda struktur GVC, Gereffi, Humphrey
dan Sturgeon171 kemudian mengklasifikasi struktur GVC kedalam lima tipe
pengelolaan atau pengkoordinasian Global Value Chain (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Pengkoordinasian Dalam Lima Tipologi Industrial Governance Sumber: Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005, h.89.
1. Pertama, tipe koordinasi dalam tipologi GVC Market. Dalam tipe ini,
pertukaran melalui mekanisme pasar menjadi mekanisme
pengkoordinasian proses produksi. Dalam prosesnya, keterkaitan-
keterkaitan melalui mekanisme pasar, tidak harus sepenuhnya bersifat
sementara (transitory). Keterkaitan ini dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang, di mana pengulangan transaksi dapat terus terjadi.
Poin penting dari tipe pengkoordinasian ini terletak pada rendahnya biaya
171 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.83-84
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
55
Universitas Indonesia
yang dibutuhkan dalam pergantian mitra bagi kedua belah pihak (penjual
dan pembeli).
2. Kedua, tipe koordinasi dalam tipologi GVC modular. Dalam pola
koordinasi modular, pemasok membuat produk yang sesuai dengan
spesifikasi dari pelanggan. Pemasok yang berada dalam kategori “turn-key
services”, bertanggung jawab penuh kapasitas teknologi dalam proses
produksi, menggunakan mesin-mesin yang bersifat umum (generic),
sehingga mengurangi transaksi-investasi spesifik, dan membebankan biaya
bahan baku dan komponen kepada pelanggan atau pemesan.
3. Ketiga, tipe koordinasi dalam tipologi GVC relational. Di dalam jejaring
ini, dapat dicermati interaksi kompleks di antara pembeli dan penjual,
yang seringkali menghasilkan kesalingtergantungan dan spesifisitas aset
yang sangat tinggi. Relasi ini dikelola berdasarkan reputasi, atau hubungan
keluarga dan ikatan etnisitas. Kedekatan jarak memainkan peranan penting
dalam menopang jejaring relasional ini, meskipun kepercayaan dan
reputasi juga berjalan dengan baik dalam jarak yang terpisah, di mana
relasi telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan didasarkan
pada relasi kelompok sosial dan keluarga yang tersebar.
4. Keempat, tipe koordinasi dalam tipologi GVC captive. Dalam pola ini,
pemasok-pemasok dalam skala kecil secara transaksional sangat
bergantung kepada pembeli-pembeli besar. Para pemasok dihadapkan pada
biaya yang besar jika menginginkan pergantian mitra dagang, sehingga
mereka “tertawan” dalam relasi dengan pembeli-pembeli besar.
Koordinasi dalam tipe jejaring ini dicirikan oleh tingkat pengawasan dan
kontrol yang sangat ketat oleh perusahaan-perusahaan utama.
5. Kelima, tipe koordinasi dalam tipologi GVC hirarki, yang didominasi oleh
kontrol manajerial, yang berjalan melalui manajer sampai ke bawahan,
atau dari pusat ke cabang-cabang dan perusahaan yang berafiliasi.
Dalam konstruksi teori koordinasi Global Value Chain Gereffi, Humphrey
dan Sturgeon172, masing-masing faktor pembeda GVC tersebut diukur dalam dua
bentuk penilaian, yaitu tinggi atau rendah, yang kemudian menghasilkan delapan
172 Ibid. h.86-87
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
56
Universitas Indonesia
kemungkinan kombinasi, yang lima di antaranya secara aktual ditemukan di
dalam dinamika Global Value Chain.
1. Dalam tipologi GVC market tercipta dalam kondisi ketika transaksi dapat
dengan mudah dikodifikasikan, spesifikasi produk relative sederhana, dan
pemasok memiliki kapabilitas untuk memproduksi dengan input yang
sedikit dari pembeli. Dalam kondisi ini, spesifisitas aset akan gagal
berakumulasi dan pengaturan berdasarkan mekanisme pasar menjadi
penentu. Dalam pertukaran pasar, pembeli merespon spesifikasi dan harga
yang ditentukan oleh penjual. Dikarenakan kompleksitas informasi yang
dipertukarkan relatif rendah, transaksi dapat berjalan tanpa koordinasi
yang eksplisit (Gambar 2.3).
Gambar 2.3
Global Value Chain didalam tipologi market Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
2. Dalam tipologi GVC modular muncul ketika kemampuan untuk
mengkodifikasi spesifikasi produk dapat mencakup produk-produk yang
kompleks. Pola ini dapat tercipta ketika arsitektur produk bersifat modular,
di mana standar-standar teknis dapat menyederhanakan kompleksitas
interaksi dengan mengurangi varisasi komponen dan dengan menyatukan
spesifikasi komponen, produk, dan proses, dan juga ketika pemasok
memiliki kompetensi untuk memasok paket dan modul yang lengkap, yang
menginternalisasikan informasi yang sulit untuk dikodifikasi. Spesifisitas
aset cenderung tereduksi dalam kondisi ini, sehingga pembeli memerlukan
pengawasan dan kontrol secara langsung. Manfaat dapat dipetik dengan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
57
Universitas Indonesia
kondisi informasi dan pengetahuan yang dapat dikodifikasi, dalam bentuk
kecepatan, fleksibilitas, dan akses atas input dengan biaya murah.
Misalnya, ketika sebuah arsip desain yang dikomputerisasi dikirimkan
oleh perusahaan utama kepada pemasok, terdapat arus informasi yang
mengalir lintas perusahaan yang tidak hanya dalam bentuk informasi
harga. Atas dasar kodifikasi ini, pertukaran informasi yang kompleks dapat
bejalan tanpa koordinasi eksplisit, dan sebagaimana mekanisme pertukaran
pasar, biaya yang dibutuhkan dalam hal pergantian mitra berada dalam
tingkat yang rendah (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Global Value Chain didalam tipologi modular
Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
3. Ketiga, dalam tipologi GVC relasional terjadi ketika spesifikasi produk
tidak dapat dikodifikasikan, ketika transaksi berjalan dalam kondisi yang
kompleks, dan ketika kapabilitas pemasok dalam tingkat yang tinggi, pola
koordinasi cenderung berjalan dalam bentuk relasional. Hal ini terjadi
dikarenakan pertukaran pengetahuan dan informasi yang sifatnya sulit
dikomunikasikan harus terjadi di antar penjual dan pembeli, dan
dikarenakan pemasok yang sangat kompeten menunjukkan motivasi yang
kuat kepada perusahaan utama supaya mengalihkan aktivitas produksinya,
dalam rangka memperoleh akses atas kompetensi tambahan. Kesaling
tergantungan yang kemudian muncul di antara kedua belah pihak dapat
diatur melalui reputasi, kedekatan sosial dan spasial, ikatan-ikatan
keluarga dan etnisitas. Relasi ini juga dapat ditangani melalui mekanisme-
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
58
Universitas Indonesia
mekanisme dalam bentuk pengenaan biaya bagi pihak yang melanggar
kesepakatan atau kontrak. Pertukaran informasi yang kompleks dan sulit
untuk dikomunikaskan seringkali diwujudkan melalui interaksi tatap muka
secara langsung dalam frekuensi yang tinggi dan diatur berdasarkan
koordinasi yang sangat eksplisit, yang sebagai konsekuensinya menjadi
biaya dalam pergantian mitra menjadi sangat tinggi (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Global Value Chain didalam tipologi Relational
Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
4. Dalam tipologi GVC captive, pola ini terjadi ketika kemampuan untuk
mengkodifikasi – dalam bentuk instruksi detil – dan kompleksitas
spesifikasi produk berada pada tingkat yang tinggi, tetapi kapabilitas
pemasok berada dalam tingkat yang rendah. Hal ini terjadi dikarenakan
kompetensi pemasok dalam berurusan dengan produk dan spesifikasi yang
kompleks, memerlukan intervensi dan kontrol yang ketat dari perusahaan
utama. Sehingga, mendorong terciptanya ketergantungan transaksi, di
mana perusahaan utama mengunci keberadaan para pemasok dalam rangka
menyingkirkan pesaing. Karenanya, pemasok dihadapkan pada tingginya
biayapergantian mitra, dan menjadi “tawanan” bagi perusahaan utama
yang menjadi mitra. Pemasok yang tertawan ini juga seringkali dibatasi
hanya untuk menjalankan tugas-tugas dalam cakupan yang sempit,
misalnya hanya dalam aktivitas perakitan sederhana, dan bergantung
kepada perusahaan utama dalam hal aktivitas-aktivitas komplementer
seperti desain, logistic, pembelian komponen, dan peningkatan kapasitas
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
59
Universitas Indonesia
teknologi. Oportunisme dikendalikan dalam relasi “tawanan” ini melalui
posisi dominan dari perusahaan-perusahaan utama, dan dalam waktu
bersamaan menyediakan sumber-sumber dan akses pasar yang memadai
bagi perusahaan pemasok, sehingga keluar dari kontrak bukan merupakan
pilihan yang menguntungkan (Gambar 2.6).
Gambar 2.6
Global Value Chain didalam tipologi Captive
Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
5. Dalam tipologi GVC Hierarchy ketika spesifikasi produk tidak dapat
dikodifikasi, sifat produk sangat kompleks, dan pemasok yang memiliki
kompetensi tinggi sulit untuk ditemukan, maka perusahaan utama akan
mengembangkan dan melakukan aktivitas manufaktur dari produk secara
in-house. Pola ini biasanya didorong oleh kebutuhan untuk menjalankan
pertukaran informasi yang sulit dikomunikasikan di antara aktivitas-
aktivitas dalam rantai nilai dan kebutuhan untuk mengelola secara efektif
jaring-jaring input dan output yang kompleks dan untuk mengendalikan
sumber-sumber daya yang dimiliki, khususnya dalam bentuk kekayaan
intelektual (Gambar 2.7).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
60
Universitas Indonesia
0. Spesifikasi kompleks, namun tidak dapat dipenuhi oleh para Pemasok
Lead Firm(Pembeli)
Market
1. Lemah dalam
mengkodifikasi
produk yang diinginkan oleh pasar
2. Lead Firm m
elakukan kegitan m
anufacturing secara in-house
3. Mem
produksi dan menjual Produk Akhir
Gambar 2.7 Global Value Chain didalam tipologi Hierarchy
Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
Secara sederhana, tipologi GVC didasarkan pada tiga variabel yang
mempengaruhinya, yaitu: kompleksitas transaksi antar-perusahaan, tingkat di
mana kompleksitas ini dapat dikurangi melalui kodifikasi, dan taraf di mana
pemasok memiliki kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan pembeli (Tabel 2.2).173
Tabel 2.2 Determinan utama dari pengaturan/koordinasi GVC
Sumber: Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005, h.87)
Masing-masing tipologi dapat dicermati mengandung pertukaran dari
resiko dan manfaat pengalihan aktivitas produksi. Kelima tipe tersusun dalam
173 Ibid. h.87
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
61
Universitas Indonesia
sebuah spektrum tingkat koordinasi eksplisit dan ketimpangan kekuasaan antara
pembeli dan penjual dari yang rendah sampai tinggi. Gereffi, Humphrey dan
Sturgeon174 mengidentifikasi delapan kemungkinan kombinasi dari tiga variabel
ini. Lima diantaranya menciptakan tipe-tipe rantai nilai global. Kombinasi dari
kompleksitas transaksi rendah dan kemampuan kodifikasi rendah cenderung tidak
tercipta. Hal ini menghilangkan dua bentuk kombinasi yaitu (rendah, rendah dan
rendah) dan (rendah, rendah dan tingi). Lebih lanjut, jika kompleksitas transaksi
rendah dan kemampuan kodifikasi tinggi, kemudian kapabilitas pemasok rendah,
mengarah kepada eksklusi dari rantai nilai. Walaupun hal ini menjadi hasil
kombinasi yang penting, namun tidak dapat menghasilkan sebuah tipe koordinasi
dalam rantai nilai.
2.2.3. Upgrading
Konsep upgrading fokus pada strategi yang digunakan oleh negara, daerah
dan stakeholders ekonomi lainnya untuk menjaga dan meningkatkan posisi
mereka dalam perekonomian global.175 Didalam papernya, Gareffi176 terkadang
menggunakan istilah industrial upgrading yang fokus pada proses yang dilakukan
oleh aktor-aktor ekonomi didalam meningkatkan aktivitas-aktivitas yang
memberikan nilai tambah didalam jejaring produksi global.177 Proses upgrading
menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah, kelembagaan, corporate strategies,
inovasi, teknologi, tingkat keahlian tenaga kerja.178 Dalam bentuk yang lebih
konkrit, upgrading adalah menyangkut sederatan peran-peran ekonomi mulai dari
produksi, eksport, assembling, manufacturing sampai pengembangan ekonomi
oleh negara-negara berkembang melalui peningkatan peran industri dalam
perekonomian global.179
Humphrey and Schmitz180 membagi upgrading didalam Global Value
Chain menjadi tiga tipe yaitu: product upgrading, process upgrading, functional
174 Ibid.h.87 175 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.39 176 Gary Gereffi., John Humphrey, & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.79 177 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.39 178 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. loc.cit.h.129 179 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.45 180 John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. loc.cit.h.1020
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
62
Universitas Indonesia
upgrading. Senada dengan Humphrey and Schmitz, Gareffi (2012)181 juga
membagi tipe upgrading menjadi tiga. Cattaneo, Gereffi, dan Cornelia Staritz,
2010182 menambahkan menjadi empat yaitu dengan chain upgrading. Senada
dengan Cattaneo, Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010, Morris and Kapilinsky183
juga membagi empat tipe upgrading dengan penjelasan masing-masing tipe
upgrading adalah sebagai berikut, yaitu:
1) Process upgrading: meningkatkan efisiensi dari proses internal yang
secara signifikan berbeda dari para pesaingnya, baik dalam lingkup
jejaring individu organisasi perusahaan (seperti increased inventory turns,
lower scrap) maupun antara jejaring rantai nilai (seperti: peningkatan
frekuensi, proses delivery yang on time dst)
2) Product upgrading: Mencakup memperkenalkan produk baru atau
mengembangkan produk lama sehingga lebih memberikan nilai tambah
dibandingkan perusahan-perusahaan lainnya. Hal ini mencakup proses
pengembangan produk baru, baik dalam lingkup jejaring individu
organisasi perusahaan maupun antara jejaring rantai nilai.
3) Functional upgrading: Meningkatkan nilai tambah melalui perubahan
sejumlah aktivitasi yang ada didalam perusahaan (seperti: mengambil alih
tanggung jawab, atau oursourcing tenaga akuntasi keuangan, logistik dan
fungsi-fungsi lainnya) atau pengalihan lokus dari satu aktivitas dari
manufacturing ke designing.
4) Chain upgrading: berpindah dari satu rantai nilai (seperti contoh:
perusahaan-perusahaan taiwan berpindah dari manufaktur transistor radio
ke kalkulator, televisi, monitor komputer, laptot dan sekarang adalah WAP
phones.
2.2.4. Upgrading dan Nilai Tambah
Nilai tambah dapat diartikan sebagai rangkaian proses menambah nilai
kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau jasa
181 Gary Gereffi, Maret 2012. Latin America’s Prospects for Upgrading in Global Value
Chains. slide no. 16 182 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op.cit.h.129 183 Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun). loc.cit. h.38
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
63
Universitas Indonesia
yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih
tinggi dari material semula.184 Secara sederhana, prinsip optimasi nilai tambah
tersebut bisa digambarkan melalui contoh-contoh sebagai berikut. Ambillah
misalnya mobil Kijang. Mobil ini, katakanlah harganya Rp. 25 juta, dan beratnya
1.000 kg. Dengan demikian harga per kilo gramnya sama dengan Rp. 25.000,-.
Bandingkan dengan Baby Benz, walaupun beratnya sama, 1.000 kg, tapi harganya
mencapai sekitar Rp 250 juta. Berarti harga per kilo gramnya mencapai Rp.
250.000,-. Sekarang kalau Kijang dan Baby Benz itu bertabrakan di tol Cikampek,
yang selalu rawan kecelakaan, dan hancur menjadi besi tua, maka harganya
bukanlah Rp.25.000,- per kg untuk Kijang dan Rp. 250.000,- per kg untuk Baby
Benz, tetapi semuanya sama, 250 rupiah per kg.185
Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa nilai 250 rupiah per kg besi
(logam) tersebut bisa mengalami beberapa kali proses engineering, sehingga nilai
tambahnya bisa menjadi 25.000 rupiah per kg untuk Kijang dan 250.000 rupiah
untuk Baby Benz. Ini dapat terjadi karena, kadar ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kualitas manusia yang menciptakan nilai tambah untuk kedua jenis produk
tersebut bobotnya berlainan. Dengan demikian, nilai tambah itu tiada lain
merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumber saya manusia.186
2.2.5 Upgrading dan Inovasi
Dalam konsep Global Value Chain (GVC), proses peningkatan nilai
tambah produk juga disebut sebagai product upgrading.187 Dan peningkatan nilai
tambah dari suatu produk itu sendiri tiada lain merupakan hasil dari beragam
bentuk inovasi.188 Definisi inovasi sangat beragam, The World Bank189
menyatakan bahwa inovasi adalah “what is not disseminated and used, is not an
innovation”. The OECD190 menggunakan definisi inovasi “..is the implementation
of a new significantly improved product (good or service), or process, a new
184 Habibie, 1995. Iptek dan Pembangunan Bangsa. cop.cit. h.48 185 Ibid.h.48-49 186 Ibid. 187Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op.cit.h.129; Gary Gareffi,
2011.loc.cit. h.45. 188 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti.2006.loc.cit.h.10 189 The World Bank, 2010. Innovation Policy A Guide for Developing Countries.h.4 190 The OECD, 2005. Oslo Manual- Guidelines for Collecting And Interpreting
Innovation Data. h.46.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
64
Universitas Indonesia
marketing method, or a new organizational method in business practices,
workplace organization or external relations”.
Menurut Lundvall191, inovasi adalah ..on-going processes of learning,
searching and exploring, which result in new products, new techniques, new
forms of organization and new markets”. Porter192, menjelaskan bahwa
Innovation is more than just scientific discovery. innovation strethces beyond
science and technology, and include all the activities involving discerning of
needs and the transformation of knowledge into commercial product and process
and services.
Menurut Peter Senge193, inovasi adalah integrasi dari beragam teknologi
komponen yang sebelumnya terpisah-pisah dan berasal dari hasil riset yang juga
terpisah, proses ini berlangsung secara bertahap sampai terbentuknya teknologi
yang terakit yang sifatnya saling mengisi dan mendukung satu sama lainnya dan
hingga akhirnya tereplikasi dalam skala tertentu dan biaya yang memadai. Dan
inovasi tersebut pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya industri baru atau
mentransformasi industri yang sudah ada.
Dari beberapa definisi inovasi yang telah diuraikan, kemudian dapat
ditarik benang merah antara upgrading dengan inovasi, yaitu secara umum dapat
dikatakan bahwa inovasi merupakan proses untuk melakukan upgrading pada
keempat lingkup upgrading itu sendiri yaitu: produk, proses, functional dan rantai
nilai. Secara lebih spesifik, bahwa produk inovatif itu adalah hasil dari product
upgrading itu sendiri.194 Walaupun demikian, beberapa peneliti seperti Andrea
Morrison, Carlo Pietrobelli and Roberta Rabellotti195 menyimpulkan bahwa
hubungan antara konsep upgrading dengan inovasi masih kabur, apakah sebagai
proses inovasi atau produk inovasi itu sendiri?
191 Dikutip oleh Stepen Feinson, National Innovation System Overview and Country Cases. h.17
192 Michael E. Porter. 2001. Cluster of Innovation: Regional Foundation of U.S Competitiveness h.6-7
193 Peter Senge, 1994. The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning of Organization, h.6.
194 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti .2006.loc.cit.h.10. 195 Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli and Roberta Rabellotti, 2006. Global Value Chains
and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries.h.3. Dihalaman tersebut dituliskan: First of all, the concept of upgrading is rather fuzzy: is it a synonym for innovation or rather the result of it?
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
65
Universitas Indonesia
2.3. Konsep Kebijakan Pemerintah dalam mendorong product upgrading
2.3.1. Konsep Peran Kebijakan Pemerintah dalam rantai nilai
Peran pemerintah sebagi enabling factor berupa environment atau
kebijakan yang kondusif dalam mendorong akvititas riset inovasi bagi upgrading
dari satu perusahaan sangat penting. Favreau196 menekankan pentingnya peran
pemerintah yaitu the BC Ministry of Forests and Range, and Natural Resources
Canada bagi aktivitas inovasi dalam value chain industri the coastal forest
industry. Anic and Nusinovic197 menjelaskan bahwa bentuk peran pemerintah
tersebut adalah berupa pembangunan infrastruktur dasar bagi investasi, penetapan
standardisasi, penyediaan infrastruktur sistem informasi dan statistik.
Tentang pentingnya lingkungan kebijakan yang kondusif bagi penguatan
rantai nilai juga disinggung oleh McPhee and Wheeler198 dengan istilah External
relationships. McPhee and Wheeler melakukan beberapa penambahan dari model
original Porter, tiga unit pada aktivitas utama yaitu Supply chain management,
product use, end of primary use. Satu penambahan pada aktivitas pendukung
Rantai Nilai yaitu External network (Gambar 2.8.)
Gambar 2.8. The added Value Chain Sumber: McPhee and Wheeler (2009, h.40)
196 Jean Favreau. 2000. Value Chain Advantage. h.25 197 Ivan-Damir Anic Dan Mustafa Nusinovic (tanpa tahun). The Apple Industry In
Croatia: A Value Chain Analysis Approach. h.22 198 Wayne McPhee dan David Wheeler (2009). Making the case for the added-value
chain. h.40
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
66
Universitas Indonesia
Pada pengembangan model tersebut, khususnya ketika menguraikan
pentingya eksternal network bagi penciptaan satu produk yang memiliki keunikan
dan berdaya saing tinggi, McPhee and Wheeler199 secara tegas menjelaskan
pentingnya berinteraksi dengan berbagai pihak seperti perusahaan lain, institusi
pendidikan, komunitas, pemerintah, civic organizations dan groups of customers.
Senada dengan McPhee and Wheeler, Gareffi200 juga menjelaskan bahwa strategi
perusahaan dalam membentuk susunan dan arah rantai nilai juga sangat
dipengaruhi environment kebijakan yang kondusif.
Adapun model asli Value Chain Michael Porter201 adalah tergambar pada
Gambar 2.9 dibawah ini, Menurut Porter (1985), rantai nilai setiap perusahaan
terdiri atas sembilan kategori generik aktivitas yang bernilai (value activities)
dikaitkan menjadi satu, yang menciptakan nilai tambah (value added) suatu
perusahaan. Rantai generik digunakan untuk memperlihatkan bagaimana suatu
rantai nilai dapat dibangun untuk suatu perusahaan tertentu, yang mencerminkan
aktivitas spesifik yang dilakukan perusahaan. Setiap perusahaan merupakan
kumpulan aktivitas yang dilakukan untuk mendesain, memproduksi, memasarkan,
menyerahkan, dan mendukung produknya.
Gambar 2.9 Model Basic Value Chain
Sumber: Michael Porter (1985)
199 Ibid.h.41 200 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40 201 Michael E. Porter (1985). Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior
Performance. The Free Press, New York.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
Rantai nilai perusahaan adalah teori tentang perusahaan yang memandang
perusahaan sebagai sekumpulan fungsi produksi yang terpisah tetapi berkaitan,
seandainya fungsi produksi didefinisikan sebagai aktivitas. Perumusan rantai nilai
berfokus pada bagaimana aktivitas ini menciptakan nilai dan apa yang
menentukan biaya mereka, sehingga perusahaan mendapatkan kebebasan yang
besar sekali dalam menentukan bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut
diintegrasikan.
Aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai dapat dibagi menjadi dua jenis luas,
aktivitas primer dan aktivitas pendukung. Aktivitas primer pada suatu perusahaan
merupakan aktivitas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
input, proses dan output barang atau jasa yang terdapat dalam perusahaan. Ada
lima kategori generik aktivitas primer yang diperlukan dalam bersaing di dalam
industri apa pun. Tiap kategori dapat dibagi menjadi beberapa aktivitas yang
berbeda tergantung pada industri tertentu dan strategi perusahaan (Porter, 1985).
Aktivitas primer tersebut adalah:
1. Logistik ke dalam (inbound logistics); meliputi aktivitas seperti penanganan
material, pergudangan, dan pengendalian persediaan, digunakan untuk
menerima, menyimpan, dan mengeluarkan input untuk produksi.
2. Operasi (operations); aktivitas yang berhubungan dengan pengubahan
masukan menjadi bentuk produk akhir, seperti permesinan, pengemasan,
perakitan, pemeliharaan peralatan, pengujian, pencetakan dan pengoperasian
fasilitas.
3. Logistik ke luar (outbound logistics); merupakan aktivitas yang berhubungan
dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian produk kepada
pembeli, seperti penggudangan barang jadi, penanganan bahan, operasi
kendaraan pengirim, pemrosesan pesanan, dan penjadwalan.
4. Pemasaran dan penjualan (marketing and sales); aktivitas yang berhubungan
dengan pemberian sarana yang dapat digunakan oleh pembeli untuk membeli
produk dan mempengaruhi mereka untuk membeli, seperti iklan, promosi,
tenaga penjual, penetapan kuota, seleksi penyalur, hubungan penyalur dan
penetapan harga.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
68
Universitas Indonesia
5. Pelayanan (services); mencakup aktivitas yang berhubungan dengan
penyediaan pelayanan untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai
produk, seperti pemasangan, reparasi, pelatihan, pasokan suku cadang, dan
penyesuain produk.
Masing-masing kategori tersebut mungkin vital untuk keunggulan bersaing
tergantung pada industrinya. Namun, dalam perusahaan apapun, semua kategori
aktivitas primer akan hadir pada kadar tertentu dan memainkan peran tertentu
dalam keunggulan bersaing.
Sedangkan aktivitas pendukung yang diperlukan dalam suatu industri dapat dibagi
menjadi empat kategori generik. Aktivitas tersebut adalah:
1. Infrastruktur perusahaan (firm intrustructure); terdiri atas beberapa aktivitas
termasuk manajemen umum, pengendalian kualitas, perencanaan, sistem
keuangan, akuntansi, hukum, dan urusan pemerintah. Melalui infrastruktur,
perusahaan berusaha untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal,
mengidentifikasi sumber daya dan kemampuan, serta mendukung kompetensi
inti.
2. Manajemen sumber daya manusia (human resource management); terdiri atas
aktivitas yang terlibat dalam perekrutan, pengangkatan, pelatihan (training),
pengembangan dan kompensasi untuk semua jenis personel. Peningkatan
pegawai dapat dilakukan melalui keterlibatan para pegawai ke dalam
pelatihan, seminar dan pelatihan pekerjaan (proses pekerjaan). Sedangkan
pemeliharaan para pegawai bisa dilakukan melalui pemberian reward dalam
program kerja dan penyediaan tugas-tugas menantang. Aktivitas ini
mendukung baik aktivitas primer maupun aktivitas pendukung individual dan
keseluruhan rantai nilai.
3. Pengembangan teknologi (technology development); terdiri dari aktivitas yang
dapat dikelompokkan secara luas ke dalam upaya untuk memperbaiki produk
perusahaan serta proses yang digunakan untuk menghasilkannya.
Pengembangan teknologi terjadi dalam berbagai jenis, seperti rancangan
peralatan untuk proses, baik penelitian dasar dan rancangan produk serta
prosedur pelayanan.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
69
Universitas Indonesia
4. Pembelian/pengadaan (procurement); merujuk pada fungsi pembelian
masukan yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan, bukan pada masukan
yang dibeli itu sendiri. Masukan yang dibeli meliputi barang-barang yang
dikonsumsi penuh sepanjang produksi produk dan juga aktiva tetap.
Pembelian dalam hal ini meliputi kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan
seperti prosedur pembelian, teknik untuk vendor, sistem informasi, dan juga
kegiatan yang tidak saling berhubungan seperti catering, pelayanan percetakan
dan kebersihan. Walaupun masukan yang dibeli biasanya dihubungkan dengan
aktivitas primer, masukan yang dibeli ada di dalam setiap aktivitas nilai
termasuk aktivitas pendukung.
2.3.2. Peran Pemerintah dalam upgrading melalui Open Innovation
Open innovation adalah antitesis dari paradgima traditional innovation,
dalam paradigma tersebut, aktivitas riset tidak dilakukan secara internal
sebagaimana dalam closed innovation, tetapi dilakukan dengan kolaborasi dengan
pihak luar termasuk dengan pemerintah.202 Lima kriteria umum dalam model open
innovation adalah: Pertama, perusahaan dapat memanfaatkan pakar, baik dari
dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Kedua, aktivitas litbang yang
berasal dari luar dapat memberikan nilai tambah, sementara kegiatan litbang
(dasar) dalam perusahaan dapat tetap dilakukan untuk memperkuat penguasaan
dari hasil litbang yang telah didapat dari luar perusahaan. Ketiga, Perusahaan
tidak mesti melakukan secara sendiri kegiatan komersialisasi dari hasil riset
tersebut. Keempat, semakin perusahaan mampu mengoptimalkan dua sumber
tersebut semakin menentukan posisi daya saing perusahaan. Kelima, perusahaan
dapat memperoleh profit atau royalti atas hasil riset yang dimanfaatkan pihak lain
atau menjual hasil riset tersebut dan mendapatkan profit atasnya (Gambar 2.10).203
202 Henry Chesbrough, 2005. Chapter 2. op.cit. h.2 203 Ibid.h.2-6; Soren Kaplan, Open Innovation Network Looking outside the organization
for fresh ideas and promising new opportunities. http://www.innovation-point.com.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
70
Universitas Indonesia
Gambar 2.10. Model Open Innovation
Sumber: Chesborugh (2005:27)
Gassmann and Enkel204 (tanpa tahun) meringkas tiga proses inti dalam
model open innovation yaitu (Gambar 2.11): Pertama, proses dari luar ke dalam,
yaitu perusahaan memperkaya pengetahuan dengan mengintegrasikan segala
sumber pengetahuan eksternal sehingga dapat meningkatkan inovasi perusahaan.
Kedua, proses dari dalam keluar, yaitu perusahaan dalam membawa ide-ide atau
know how baru ke pasar, seperti menjual IP dan aplikasi teknologi keluar. Ketiga,
proses ganda, yaitu pengintegrasian dua proses sebelumnya melalui aliansi atau
jejaring dengan sejumlah pihak yang dapat menjadi faktor kunci keberhasilan.
Namun, ketiga proses tersebut tidak akan sama tingkat leveragenya untuk masing-
masing perusahaan (Lihat gambar 2.12).
204 Oliver Gassmann dan Ellen Enkel (tanpa tahun). loc.cit. h.6.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
71
Universitas Indonesia
Gambar 2.11. Tiga proses inti dalam open innovation
Sumber: Gassmann and Enkel (tanpa tahun). loc.cit.h.6
Gambar 2.12. De-coupling the locus of innovation process
Sumber: Gassmann and Enkel (tanpa tahun). h.7
Paradigma closed innovation memiliki lima karakteristik utama yaitu:
Kepakaran seseorang terkait satu bidang teknologi tertentu yang hanya bekerja
semata untuk internal satu perusahaan tertentu. Kedua, kegiatan litbang dan
komersialisasinya dilakukan secara sendiri dalam internal satu perusahaan
tertentu. Ketiga, ketika satu know how ditemukan, perusahaan yang bersangkutan
akan menjadi perusahaan pertama yang mengkomersialisasikan produk tersebut.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
72
Universitas Indonesia
Keempat, karena kondisi poin ketiga, maka perusahaan tersebut akan memiliki
keunggulan daya saing dalam produk tersebut dan atau sekaligus menanggung
atas kegagalan inovasi tersebut. Keempat, Perusahaan akan menjadi pemilik
tunggal dan kontrol penuh atas IP produk tersebut (Gambar 2.13).205
Gambar 2.13. Model Closed Innovation
Sumber: Chesbrough (2005:26)
Chesbrough (2011)206 menjelaskan lima faktor yang dapat mempengaruhi
efektivitas model closed innovation yaitu: pertama, semakin meningkatnya
mobilitas pakar baik Engineer maupun Scientis yang terlatih. Kedua, semakin
berkembangnya perusahaan modal ventura. Ketiga, diseminasi teknologi lintas
negara semakin intens. Keempat, semakin meningkatnya jumlah dan kualitas dari
kegiatan penelitian universitas. Dan kelima adalah semakin meningkatnya
persaingan antara perusahaan terutama dalam pemasaran produk. Namun yang
perlu dicatat adalah bahwa lingkup inovasi dalam closed innovation sangat luas
dan tidak khusus inovasi yang berbasis riset atau penelitian ilmiah.
205 Henry Chesbrough, 2005. Chapter 2. op.cit. h.2-6; Soren Kaplan, loc.cit 206 Henry Chesbrough, 2011. op.cit.h.6
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
73
Universitas Indonesia
2.3.3. Peran Pemerintah dalam Upgrading melalui Triple Helix
Baik Henry Etzkowitz dan Leot Leydesdorf (1990)207 maupun Henry
Etzkowitz (2002)208 menawarkan tiga model triple helix sebagai model kerjasama
inovasi antara tiga aktor utama inovasi yaitu Pemerintah, Lembaga Riset dan
Industri. Didalam model triple helix I209, pemerintah memainkan peran dominan
dalam mengarahkan universitas dan industri serta hubungan keduanya. Negara
(pemerintah) sangat dominan dalam menentukan tema dan prioritas penelitian
yang ditujukan untuk menjawab kepentingan pertahanan negara.
Gambar 2.14 Model triple helix I Sumber: Henry Etzkowitz (2008)
Menurut Etzkowitz, model I adalah model yang gagal karena rendahnya
inisiatif bottom- up dan inovasi cenderung kurang mengalami dorongan yang
memadai (Gambar 2.15). Model II berbasis “laissez-faire” (pasar bebas)210 adalah
model yang mengurangi peran negara. Didalam model ini mulai terjadi pergeseran
format dari proses top-down menuju proses bottom-up. Mekanisme interaksi
terjadi berdasarkan adanya tuntunan pasar, peran pemerintah tidak bersifat
langsung melainkan sebagai enabling factor terutama dalam menyediakan
207 Etzkowitz, H., dan Leydesdorf, L., (1990). The dynamics of innovation: from National
Systems and ‘‘Mode 2’’ to a Triple Helix of university–industry–government relations. Elsevier Research Policy 29. 109–123.
208 Henry Etzkowitz 2008. A Triple Helix of university–industry–government innovation in Action. h.12-18
209 Ibid. h.12-13 210 Ibid. h.13-15
Keterangan: AB: Kerjasama belum terjadi (academic exellance vs Economic Value) AG: technology business incubator, RD budget shared BG : Low RD budget shared, ABG: Belum terjadi ---: menunjukkan garis koordinasi
B
G
A
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
74
Universitas Indonesia
Keterangan: AB: terjadi berdasarkan tuntunan pasar (alih teknologi) ABG: Peran G sebagai enabling factor dan tidak langsung kecuali terjadi kegagalan pasar ABG: Penyediaan Venture capital ---: menunjukkan garis koordinasi
environment/regulasi yang kondusif. Pemerintah dibutuhkan ketika terjadi
kegagalan pasar (Gambar 2.15).
Gambar 2.15 Model triple helix II Sumber: Henry Etzkowitz (2008)
Model III211, salah satu tujuannya adalah merealisasikan lingkungan
inovatif dalam bentuk terciptanya perusahaan hasil “spinn-off” universitas, aliansi
strategis perusahan-perusahaan dengan laboratorium pemerintah dan kelompok
penelitian akademik/universitas. Oleh karena itu, bentuk hubungan itu bukan
melalui pengontrolan pemerintah, melainkan didorong secara alami atas inisiasi
universitas. Dalam model ini (Gambar 2.15) terjadi overlaping peran dari masing-
masing unsur ABG, yaitu selain tetap mempertahankan core businessnya, masing-
masing unsur ABG juga melakukan peran yang merupakan traditional function
dari dua aktor lainnya (Ekowitz, 2000).
Akademia selain sebagai producer of knowledge dan training juga
melakukan fungsi transfer of technology dan penyediaan modal ventura untuk
mendukung start up company atau technology business incubator. Dua kegiatan
pertama merupakan core business dari Business dan satu kegiatan terakhir
merupakan fungsi Pemerintah. Begitupun, Industri selain menjalankan perannya
yang bersifat economic value, juga melakukan kegiatan litbang, walaupun terbatas
pada bidang yang mendukung keahlian mereka. Namun, terdapat intersection
yang jelas dengan dunia akademia didalam mendapatkan pengetahuan baru atau
inovasi/ teknologi baru yang dibutuhkaan didalam proses produksi. Sedangkan
211 Ibid. h.16-18
A B
G
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
75
Universitas Indonesia
pemerintah, selain menyediakan regulasi, instrumen kebijakan dll, juga
menyediakan venture capital untuk membantu perusahaan start up company.
Sumber: Henry Etzkowitz (2008)
2.4. Proses Inovasi antara Model Klasik vs Open Innovation
2.4.1. Proses Inovasi Schumpeter berbasis Closed Innovation
Menurut Schumpeter (1961)212 bahwa proses inovasi terdiri dari: pertama,
Invention, yaitu fase suatu produk baru diciptakan (melalui kegiatan penelitian
dan pengembangan). Kedua adalah, fase inovasi, yaitu fase awal dari
komersialisasi produk baru dalam pasar. Ketiga, fase imitasi yang juga disebut
dengan difusi, yaitu fase memperluas segmentasi pemasaran produk tersebut. Jika
dilihat fase tersebut, maka pendekatan inovasi yang diadop oleh satu perusahaan
dalam proses inovasi merupakan pendekatan closed innovation213.
Selanjutnya, berdasarakan hasil penelitian Mansfield et.al (1981) yang
dikutip oleh Petter M.Milling dan Frank H. Maier214 sebagaimana ditunjukkan
didalam Gambar 2.17, bahwa pada tahap pertama dari proses inovasi yaitu
penelitian dan pengembangan merupakan satu tahap yang sangat dinamis dan
kompleks. Namun sejatinya, innovation cost yang paling besar adalah justru pada
dua tahap lanjutannya yaitu tahap inovasi dan tahap difusi. Lingkup cost tersebut
212 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.1-2 213 Ibid.h.2. 214 Ibid.
G
Gambar 2.16. Model Triple Helix III
A
B
Keterangan: AB: transfer of technology, research, venture capital AG: technology business incubator, venture capital BG : Venture capital, RD budget shared ABG: Penyediaan Venture capital ---: menunjukkan garis koordinasi
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
76
Universitas Indonesia
diperlukan untuk aktivitas persiapan dan penilaian kondisi mesin untuk memulai
produksi, iklan dan sosialisasi produk baru dst.
Proporsi kegagalan pada masing-masing tahap adalah, sekitar 40% dari
kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) yang akan sukses. Melalui proses
penilaian lebih lanjut, hanya 22% dari proyek litbang memiliki potensi sukses
secara ekonomi, dan 18% dari litbang diberhentikan karena tidak memiliki potensi
ekonomi. Dan hanya 40% dari 22% tersebut yang benar-benar sukses. Secara
keseluruhan hanya sekitar 8,8% keseluruhan proses inovasi yang sukses secara
ekonomi. Dengan kata lain, lebih dari 50% dari semua biaya inovasi adalah
terletak pada tahap kedua dan ketiga, sehingga tuntunan untuk manajemen yang
professional pada kedua tahap tersebut tentunya sangat menentukan hilirasi
inovasi.215
Gambar 2.17 Proses Inovasi Sumber: Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.1-2
215 Ibid.h.3
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
77
Universitas Indonesia
2.4.2. Proses Inovasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal
Proses inovasi yang dicetuskan Habibie atau yang lebih dikenal dengan
proses transformasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal216 merupakan
proses inovasi yang selaras dengan pendekatan open innovation. Karena dalam
proses transformasinya adalah dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian
dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dsb217. Proses
transformasi tersebut terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. Tahap pertama yang paling mendasar adalah tahap penggunaan
teknologi yang telah ada di dunia untuk proses-proses nilai tambah
dalam rangka produksi barang dan jasa yang telah ada dipasaran. Pada
tahap ini, teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk
mengubah bahan mentah dan barang-barang setengah jadi menjadi
barang-barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Dalam
pelaksanaannya, diperlukan penerapan rencana-rencana produksi yang
progresif (progressive manufacturing plans) untuk menjamin
teralihkannya teknologi yang bersangkutan secara teratur dengan
mengaitkan tingkat pengalihan teknologi pada jumlah barang yang
diproduksi dan tidak dengan cara menentukan sasaran-sasaran waktu.
Melalui tahap ini akan dikembangkan kemampuan untuk memahami
disain-disain serta teknik-teknik dan cara produksi yang lebih maju
yang telah dikembangkan diluar negeri. Dengan demikian,
keterampilan produksi maupun keahlian organisasi dan manajemen
akan ditingkatkan. Disiplin kerja akan lebih dimajukan. Penerapan
standar kerja dan standar mutu akan lebih terbiasakan.
2. Tahap kedua adalah tahap integrasi teknologi yang telah ada kedalam
desain dan produksi barang-barang yang baru sama sekali. Artinya
yang belum ada di pasaran. Pada tahap ini dikembangkan desain dan
cetak biru baru. Dengan demikian, ada elemen baru, yaitu elemen
penciptaan. Disamping akan dikembangkannya keahlian desain, tahap
216 Habibie, 1995.cop.cit.h.197 217 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.loc.cit. h.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
78
Universitas Indonesia
ini akan meningkatkan keahlian lain, terutama keahlian didalam
melakukan integrasi dan optimasi komponen ke dalam sistem baru,
dan atas dasar ini, dapat dihasilkan kemampuan untuk memilih, dari
semua disain komponen untuk barang baru tersebut, disain yang paling
optimum.
Pada tahap ini, pengembangan keahlian disain dan integrasi dengan
demikian secara alamiah akan membawa serta kesempatan untuk
memilih, dari semua teknologi yang tersedia didunia, termasuk yang
paling mutakhir, teknologi yang paling sesuai dengan produk yang
dirancang tersebut. Dan kesempatan ini akan datang dengan sendirinya
tanpa biaya pada perusahaan yang sedang dalam tahap pengembangan,
karena para produsen komponen akan belomba-lomba menawarkan
disain serta produk mereka pada perusahaan yang diketahui sedang
merancang produk baru. Karena produk yang baru dirancang masih
harus diuji-coba, baik di dalam laboratorium maupun di dalam pasaran,
maka melalui tahap pengembangan ini kemampuan menguji serta
keahlian manajemen dan pemasaran, serta didalam simulasi juga turut
ditingkatkan. Peranan penelitian dan pengembangan lebih menonjol
dengan peningkatan fasilitas antara lain untuk pengujian, desain serta
simulasi.
3. Tahap ketiga adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri.
Didalam tahap ini, teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi baru pun dikembangkan. Semua itu dilakukan dalam rangka
merancang produk masa depan. Jika di dalam tahap kedua, orang
masih dapat memanfaatkan teknologi yang sudah ada, termasuk yang
paling mutakhir, didalam tahap ketiga diperlukan penciptaan baru
sama sekali.
Inilah skenario yang tentunya sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari di negara-negara maju ataupun di dalam negara-negara
industri baru (newly industrializing countries). Perusahaan dan negara
yang lalai melakukan investasi didalam pengembangan teknologi baru
akan cepat kehilangan daya saingnya. Tahap ketiga ini merupakan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
79
Universitas Indonesia
tahap dilakukannya inovasi, tahap diciptakannya teknologi untuk
komponen yang akan merupakan bagian dari produk pada jamannya
masing-masing akan merupakan produk yang secara teknologis terbaik
di dalam bidangnya masing-masing. Dan betapapun jauh tampaknya
tahap ini dari tingkat perkembangan banyak negara berkembang
dewasa ini, akan sangat bijaksana jika merekapun merencanakan untuk
melaksanakan tahap pengembangan ini jika tidak hendak kehilangan
segala kemajuan yang telah dicapainya di dalam tahap-tahap
pengembangan teknologi dan industri sebelumnya.
4. Namun, perusahaan dan negara yang sedang melaksanakan tahap
ketiga ini seringkali menemui kurangnya teori disana-sini yang
memerlukan dilakukannya penelitian dasar untuk menutupinya. Dan
tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besar-besaran ini dapat
dinamakan tahap keempat didalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk transformasi teknologi dan industri negara-negara
sedang berkembang. Kendatipun demikian bukan berarti pada tahap
negara berkembang harus melakukan tahap ini secara sendiri, bahkan
dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian dasar dari negara-negara
maju melalui perjanjian kerjasama.
Secara ringkas, empat tahap transformasi dapat dilihat pada Gambar
2.18 dibawah ini.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
80
Universitas Indonesia
Gambar 2.18 Proses inovasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal
Sumber: Direkonstruksi dari Habibie, 1995. cop.cit.h.216-217
Strategi terbalik tersebut sangat cocok dalam rangka menghasilkan
penyelesaian masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam waktu sesingkat-
sesingkatnya, apalagi mengingat keterbatasan dana, fasilitas dan tenaga.218 Oleh
karena itu investasi dalam topik ilmu pengetahuan yang sifatnya universal untuk
sementara dapat diperoleh dari pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia, kecuali
bidang yang berhubungan langsung dengan kepentingan nasional.219Apalagi
menurut Senge220, bahwa waktu yang dibutuhkan dalam inkubasi “basic
innovation” hingga komersialisi sangat panjang yaitu lebih dari 30 tahun, hal ini
merujuk pada proses inovasi pesawat terbang di Amerika Serikat. Karena ketika
pada Desember 1903 Wilbur dan Overville Wright berhasil menerbangkan satu
prototipe pesawat hasil desainnya, baru tiga puluh tahun kemudian yaitu di tahun
1935, The McDonnel Douglas, berhasil melaunching pesawat DC-3 sebagai
pesawat komersial.
218 Habibie, 1995. cop.cit.h.167 219 Ibid.h.168 220 Peter Senge, 1994. cop.cit.h.6
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
81
Universitas Indonesia
2.5. Kebijakan Publik
2.5.1 Definisi Kebijakan Publik
Menurut Thomas R. Dye221 bahwa kebijakan publik adalah “segala sesuatu
yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah “Anything a government
chooses to do or not to do”. Definisi tersebut senada dengan definis James E.
Anderson222 bahwa kebijakan publik adalah: whatever government choose to do
or not to do.
Menurut Kay (2006)223 bahwa kebijakan adalah mengekspresikan sebuah
perangkat tujuan atau bentuk keinginan yang dilakukan “expresses a general set
of objectives or a desired state of affairs. Menurut Howlett and Ramesh’s (2003)
224 bahwa kebijakan publik adalah sebuah pilihan yang dibuat pemerintah untuk
melakukan sejumlah aksi atau ‘Public policy is a choice made by a government to
undertake some course of action.’
Sedangkan menurut Bromley225, kebijakan publik adalah tentang dua
konsep utama, yaitu: pertama, menentukan tantanan kelembagaan (institutional
arrangement) yang secara sosial dapat diterima. Kedua, adalah menemukan
batasan-batasan pengambilan keputusan antara yang bersifat autonom dan yang
bersifat kolektif. Dan menurut Bromley226, tidak ada guideline khusus yang dapat
dijadikan standar untuk pengklasifikasian dua batasan tersebut, karena sangat
ditentukan oleh tiga aspek yaitu: kebutuhan, budaya dan kondisi.
2.5.2. Proses Kebijakan
Menurut Thomas R. Dye227 ada lima tahap kebijakan publik yaitu
identifikasi permasalahan kebijakan, agenda setting, formulasi kebijakan,
legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Tabel 2.3).
221 Thomas R. Dye.1972.Understanding Public Policy.Tenth Edition.h.1 222 James E. Anderson.2011.Public Policymaking.Seventh Edition.h.6 223 Adrian Kay (2006). The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence
Massachhusetts: Edward Elgar Publishing, h. 7. 224 Michael Howlett and M. Ramesh (2003). Studying Public Policy: Policy cycles and
policy subsystems. Second Edition. Oxford: Oxford University Press, h.5 225 Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 34 226 Ibid. 227 Thomas R. Dye.1972, cop.cit.h.32-33
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
82
Universitas Indonesia
Proses Aktivitas
Identifikasi masalah - Mengidentifikasi dan memposisikan permasalahan sosialsebagai permasalahan publik
- Mengekspresikan kebutuhan tindakan pemerintah
Penyusunan agenda Memutuskan isu apa yang akan diputuskan, masalah apayang akan diselesaikan oleh pemerintah
Formulasi kebijakan Mengembangkan usulan kebijakan untuk menyelesaikanisu atau memperbaiki masalah
Legitimasi kebijakan - Memilih usulan- Membangun dukungan politik- Mengumumkan melalui peraturan perundangan- Memutuskan konstitusionalitas
Implementasikebijakan - Mengorganisasikan departemen dan lembaga- Memberikan pendanaan dan layanan- Memungut pajak
Evaluasi kebijakan - Melaporkan apa yang dihasilkan oleh pemerintah- Mengevaluasi dampak kebijakan Mengusulkan
perubahan dan “reformasi”
Tabel 2.3 Proses Kebijakan Publik
Sumber: Dimodifikasi dari Thomas R. Dye, 2002 h, 32-33.
Sebuah kebijakan yang sifatnya sebagai payung hukum, maka kebijakan
tersebut seyogyanya harus memberikan pedoman kepada pihak-pihak terkait
untuk mengejawantahkan kebijakan turunan dan program-programnya. Oleh
karena itu, perumusan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi
manajemen yang melekat pada organisasi.
Salah satu fenomena yang merepresentasikan proses tersebut adalah dalam
konteks kebijakan mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang
nasional.228Bromley229 (1989) menangkap fenomena tersebut dan menyajikan
sebuah teori tigal level hierarki proses kebijakan. Kerangka berpikir Bromley
(1989) - ‘The Policy Process as a Hierarcy” merupakan kritik Bromley terhadap
paradigma positivis dalam memandang kebijakan publik. Bagi Bromley kebijakan
228 Hal ini sebagaimana kesimpulan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya seperti: Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010; Howard , G. Jones,1999; Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006.; Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart, April 2007 dll.
229 Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 27-34
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
83
Universitas Indonesia
publik seyogyanya tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai objek namun
seharusnya diperhitungkan sebagai bagian yang berkontribusi terhadap kebijakan
di tataran makro—berkontribusi pada perubahan kelembagaan.
Pemikiran Bromley230 melihat bahwa kebijakan publik berhubungan erat
dengan dimensi ekonomi dan dimensi politik. Dalam menjelaskan kedua dimensi
ini, Bromley memulai dengan diskusi tentang property rights dari pandangan
Demsets-Posner-North yang tertuang dalam fungsi matematis. Fungsi (matematis)
pertama yaitu Ekonomi merupakan fungsi (matematis) dari property rights.
Fungsi (matematis) pertama ini menjelaskan bahwa property rights mempunyai
power untuk mengeksekusi. Fungsi (matematis) kedua adalah Property rights
merupakan fungsi (matematis) dari hasil Ekonomi. Penjelasan melalui kedua
rumusan tersebut memperlihatkan bahwa property rights dalam kondisi tertentu
dapat menjadi variabel independen (rumus pertama) yang mempengaruhi
ekonomi, dan dapat menjadi variabel dependen yang dipengaruhi oleh ekonomi.
Kedua fungsi (matematis) ini secara tersirat menjelaskan pemikiran Bromley yang
melihat real world sebagai sistem (inter relasi antar variabel) dan bukan bersifat
linier.
Dalam model proses kebijakan publiknya, Bromley231 membagi level
hierarki proses kebijakan publik menjadi tiga tingkatan yang berbeda, yaitu: level
kebijakan, level organisasi, dan level operasional. Level kebijakan dapat
diperankan oleh pemerintah dan legislatif, sedangkan level organisasi dapat
diperankan oleh lembaga atau departemen. Untuk level operasional dilaksanakan
oleh satuan pelaksana seperti perusahaan. Lebih lanjut lagi, Bromley (1989)232
mengingatkan, kebijakan publik menyangkut dua konsep, yaitu penentuan
institutional arrangement dan penentuan “batas-batas otonomi” dalam proses
pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pada masing-masing level, kebijakan
diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan yang
disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Instituional arrangement antara level
kebijakan dengan level organisasi berupa undang-undang. Dan antara level
organisasi dengan level operasional, institutional arrangementnya seperi
230 Ibid. h.14-17 231 Ibid. 232 Ibid. h.32-33
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
84
Universitas Indonesia
peraturan dibawah undang-undang seperti peraturan menteri dan yang setingkat
dengannya.
Dalam teori yang dikemukakan Bromley233, dijelaskan juga mengenai
pattern interaction yang merupakan pola interaksi antara pelaksana kebijakan
paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group)
sehingga menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Dampak dari
kebijakan yang dilaksanakan dapat berupa keberhasilan atau kegagalan –
berdasarkan penilaian masyarakat. Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang
ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik
(feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah
perbaikkan atau peningkatan kebijakan.
Gambar 2.19 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
Sumber: Bromley, 1989, h.33
2.5.3. Implementasi Kebijakan
Menurut Merilee S. Grindle234 (1980), bahwa selain konten kebijakan,
lingkungan kebijakan juga akan menentukan outcome daripada implementasi
suatu kebijakan. Dan lingkungan kebijakan tersebut menyangkut
233 Ibid..h.33 234 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
85
Universitas Indonesia
kekuasaan/politik, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik
lembaga dan penguasa dan kepatuhan dan daya tanggap (Gambar 2.20). Terkait
lingkungan kebijakan yang diungkapkan Grindle, secara prinsip senada dengan
konsep Bromley dalam tiga level hierarki proses kebijakannya, karena
sebagaimana yang diungkapkan Grindle, melalui instutional arrangement
Bromley235 juga menjelaskan bahwa efektivitas implentasi kebijakan sangat
dipengaruhi oleh tiga level yaitu level kebijakan dan politik, level organisasi dan
level operasional.
Gambar 2.20 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Sumber: Merilee S. Grindle (1997, h.11)
Selanjutnya Grindle236 menjelaskan masing-masing variabel-variabel tersebut
sebagai berikut:
Variabel Konten selanjutnya diperinci lagi ke dalam 6 unsur, yaitu:
1) Pihak yang kepentingannya dipengaruhi (interest affected)
Grindle, 1980 mengungkapkan bahwa jenis kebijakan publik yang dibuat
akan membawa dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan
demikian, apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan
235 Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 12. 236 Ibid.h.12-13
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
86
Universitas Indonesia
perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan
sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihak-
pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut.
2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh (type of benefits)
Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap banyak
orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat
kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak.
3) Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (extent of change envisioned)
Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku
masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat
dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih
mengalami kesulitan dalam implementasinya.
4) Kedudukan pengambil keputusan (site of decision making)
Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam implementasi
kebijakan publik, baik secara geografis maupun organisatoris, akan
semakin sulit pula implementasi program. Karena semakin banyak satuan-
satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
5) Pelaksana-pelaksana program (program implementors)
Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi program tersebut. Birokrasi yang memiliki staff yang aktif,
berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi terhadap pelaksanaan tugas
dan sangat mendukung keberhasilan implementasi program.
6) Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources committed)
Tersedianya sumber-sumber secara memadai akan mendukung
keberhasilan implementasi program atau kebijakan publik.
Di samping konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan publik juga
ditentukan oleh variabel Konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur, yaitu :
1) Kekuasaan, minat dan strategi dari aktor-aktor yang terlibat (power,
interest and strategies of actors involved)
Strategi, sumber dan posisi kekuasaan dari implementor akan menentukan
keberhasilan implementasi suatu program. Apabila kekuatan politik
merasa berkepentingan terhadap suatu program, mereka akan menyusun
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
87
Universitas Indonesia
strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi,
sehingga output suatu program akan dapat dinikmatinya.
2) Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime characteristics)
Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada
kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Penyelesaian
konflik akan menentukan who gets what atau ‘siapa mendapatkan apa”.
3) Kesadaran dan sifat responsif (compliance and responsiveness)
Agar tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai maka para
implementor harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari
beneficiaries. Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,
implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian
program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan
implementasi.
2.5.4. Koherensi Kebijakan
Karena spektrum kebijakan meliputi banyak aspek, maka tentunya
diperlukan satu mekanisme koordinasi sehingga antar aspek kebijakan tersebut
tidak saling tumpang tindih satu dengan lainnya.237 Oleh karena itu, untuk
mendorong implementasi kebijakan tersebut kemudian muncul konsep yang
disebut dengan Koherensi Kebijakan. Laporan OECD, 2009238 menjelaskan
bahwa koherensi kebijakan dalam pembangunan adalah “working to ensure that
the objectives and results of government’s development policy are not undermined
by other policies of that same government which impact on developing countries,
and that these other policies support development objectives where feasible.
Dalam laporan studi The European Centre for Development Policy
Management 239dinyatakan bahwa secara umum definisi Koherensi kebijakan
adalah mengacu pada the practice of ensuring that all national policies do not
237 Commission Staff Working Document EU. 2013. EU 2013 Report On Policy
Coherence For Development. h.16 238 OECD, 2009. Policy Coherence for Development,In Manageing Aid: practices of DAC
memmber Countries. Chapter 2.h.3 239 The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European
Centre for Development Policy Management (ECDPM). 2012, Putting policy coherence for deveopment into perspective: supporting Switzerland's promotion of PCD in Commodities Migration Tax Commissioned and tax policy. h. 2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
88
Universitas Indonesia
detract from and are ideally supportive of development policy goals, and reflect
the interests of developing countries in the process of reviewing existing policies
and formulating new policies to improve the contribution of these policies to the
achievement of international development objectives.
Sedangkan menurut menurut Commission Staff Working Document EU 240
bahwa tidak ada definisi tunggal yang diterima terkait koherensi kebijakan, yang
jelas adalah bahwa koherensi kebijakan adalah upaya mengeskploitasi dan
membangun sinergi positif antar aspek kebijakan. Berdasarkan pada definisi
koherensi kebijakan, maka koherensi kebijakan lebih pada aspek sinergi positif
antar konten dari berbagai aspek kebijakan itu sendiri.
2.5.5. Siklus Koherensi Kebijakan
Berdasarkan kajian OECD 2008 dan 2009241 dinyatakan bahwa siklus
koherensi kebijakan terdiri atas tiga fase, yaitu Political Commitment and Policy
Statements; Policy Coordination; dan Monitoring, analysis; dan reporting.
Political commitment adalah fase yang sangat penting untuk mensetting prioritas
tujuan (agenda setting)242, turunan dari political commitment kemudian
dituangkan dan diperjelas dalam bentuk beberapa statement kebijakan yang lebih
terperinci dan teknis. Pada fase ini juga selaras dengan apa yang dikatakan
Grindel (1980) 243 tentang kaitan antara elit politik dengan kebijakan, Grindel
menyatakan bahwa “Political leaders also provide general guidelines about
priorites among policies”. Fase policy coordination adalah mekanisme formal
maupun informal yang digunakan untuk mengatasi segala bentuk inkonsistensi
dari beragam komponen atau kebijakan pemerintah yang dapat menghambat tidak
tercapainya tujuan pembangunan. Fase ketiga adalah termasuk kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan melaporkan segala bukti atau temuan terkait
dampak satu kebijakan baik menyangkut sinergisitas, konflik atau trade off dari
240 Commission Staff Working Document EU. 2013.op.cit. h.16 241 The OECD, 2008. Policy Brief: Policy Coherence for Development – Lessons
Learned.h.4; The OECD, 2009. Building Blocks for Policy Coherence for Development.h.20 242 Agenda setting is the process by which problems and alternative solutions gain or lose
public and elite attention, Thomas A. Birkland..(2007). Agenda Setting in Public Policy.h.63. In Handbook of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group.
243 Meriles S. Grindle. 1980. cop.cit.h.37
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
89
Universitas Indonesia
sejumlah kebijakan yang dapat mempengaruhi pembangunan dengan segala
aspeknya baik ekonomi, lingkungan maupun sosial sehingga dapat didapatkan
satu kebeijakan yang koherent (Gambar 2.21).
Gambar 2.21 Siklus Koherensi Kebijakan
2.5.6. Level Koherensi Kebijakan
Dalam studi yang dilakukan oleh The Swiss Agency for Development and
Cooperation (SDC) from the European Centre for Development Policy
Management (ECDPM) in 2012244 dinyatakan bahwa terdapat lima level
koherensi kebijakan yaitu:
1) Internal coherence.
Yaitu Koherensi dalam satu area kebijakan tertentu mulai dari tujuan,
sasaran, modalities dan protocols. Sebagaimana dikatakan bahwa
“Coherence in the policy field itself, which should achieve consistency
between its goals and objectives, modalities and protocols”
2) Intra-governmental coherence.
Yaitu koherensi antara beberapa kebijakan dalam satu negara donor untuk
tercapainya satu tujuan pembangunan. “Coherence across all of the
244 The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European
Centre for Development Policy Management (ECDPM). 2012. loc.cit.h.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
90
Universitas Indonesia
policies and actions of a donor country in terms of their contributions to
development.
3) Inter-governmental coherence.
Koherensi kebijakan antar agen pemerintah antar negara-negara donor
(contohnya adalah kebijakan yang diadopsi pada level EU atau dalam
organisasi regional) sehingga kebijakan antar negara anggota tersebut
tidak saling menghambat tercapainya masing-masing tujuan pembangunan
dari masing-masing anggota.
“Policies and actions should be consistent across different donor
countries (as well as with policies adopted at the EU or in regional
organisations) in terms of their contributions to development, to prevent
one from unnecessarily interfering with, or failing to reinforce, the
others.”
4) Multilateral coherence.
Koherensi kebijakan yang meliputi negara-negara secara bilateral dan
organisasi multilateral.
Coherence of the policies and actions of bilateral donors and multilateral
organisations, and to ensure that policies adopted in multilateral fora
contribute to development objectives.
5) Developing country coherence
Koherensi kebijakan antara negara berkembang dalam mendesain
kebijakan yang menguntungkan negara berkembang dalam lingkungan
internasional.
Developing countries should be encouraged to set up policies that allow
them to take full advantage of the international climate to enhance their
development.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
91
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Paradigma Penelitian
Penelitian kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang dengan
GVC tipologi hierarki ini dilakukan dengan menggunakan paradigma
konstruktivisme. Ontologi dalam paradigma ini bersifat relativisme dengan
beberapa karakteristik, yaitu: terdapat banyak realitas yang dapat dikonstruksi,
bersifat eksperimential, lokal, spesifik serta bentuk dan isinya tergantung pada
individu atau kelompok yang mengkonstruksi.245
Epistemologi paradigma ini bersifat transaksional atau subjektif, temuan
yang diperoleh merupakan keberhasilan dari investigasi yang dilakukan. Adapun
aspek metodologi paradigma ini adalah bersifat hermeunitik atau dialektik.
Konstruksi sosial diperoleh dan disaring melalui interaksi antara peneliti dengan
narasumber, konstruksi di interpretasikan melalui teknik hermeneutik dengan
tujuan untuk mendapatkan konsensus.246 Pemilihan paradigma konstruktivisme
untuk penelitian ini dipandang paling tepat karena penelitian ini bertujuan untuk
mengkonstruksi konsep tiga level hiearki proses kebijakan dalam kegiatan
upgrading teknologi industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki, dengan
berpijak pada konsep tiga level hiearki proses kebijakan dan konsep Global Value
Chain yang sudah ada, yaitu yang masing-masing dikemukakan oleh Bromley
(1989)247 dan Gereffi et.al (2005).248
Konsepsi baru tentang kebijakan dalam kegiatan upgrading teknologi
industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki meliputi aspek yang masing-
masing merepresentasikan masing-masing level hierarki proses kebijakan yaitu
level kebijakan, level organisasi atau lembaga dan level operasional atau industri.
Seperti diketahui bahwa karakteristik dari paradigma konstruktivisme berguna
untuk membangun teori baru, yang bertujuan untuk memahami dan
245 Vatche Gabrielian, Kaifeng Yang, dan Susan Spice (1999). Qualitative research
methods. h. 143-145. In Gerald J.Miller and Marcia L. Whicker (Eds.). Handbook of Research Methods in Public Administration. New York: Marcel Dekker, Inc.
246 Ibid. h.145 247 Daniel W. Bromley, 1989.loc.cit 248 Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, Februari 2005.loc.cit
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
92
Universitas Indonesia
merekonstruksi pengetahuan “lokal”.249 Sifat “lokal” dalam penelitian ini
ditunjukkan oleh kekhasannya dari konsepsi baru yang dibangun yang merupakan
refleksi dari realitas dan aktualitas yang ada dalam kebijakan upgrading teknologi
industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki di Indonesia.
3.2. Jenis Penelitian
Penelitian ini berkomitmen untuk menghasilkan konsep kebijakan baru
dalam kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang dihasilkan
melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi melalui pencarian
solusi atau perbaikan terhadap situasi problematik dalam kegiatan upgrading
teknologi industri pesawat terbang khususnya di Indonesia, maka atas dasar
karakteristik ini, strategi penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme
ini akan menggunakan strategi penelitian tindakan (action research).250 Penelitian
tindakan merupakan “action” dan “research” atau dengan kata lain merupakan
“praktek” dan “teori” yang dilakukan secara bersamaan. Penelitian tindakan
berkomitmen untuk menghasilkan pengetahuan baru (research interest) melalui
pencarian solusi atau perbaikan terhadap situasi problematik dalam dunia nyata
(problem solving interest).251
Checkland (2006) sebagaimana dikutip oleh Flood (1999)252 menyatakan
bahwa dua asumsi dasar dalam SSM adalah riset aksi dan intrepretasi sistematis
(intrepretive-based systemic theory). Checkland (1981) juga sebagaimana dikutip
oleh Flood (1999) mengatakan bahwa riset aksi adalah kolaborasi antara peneliti
dengan pihak-pihak yang ada dalam organisasi yang sedang ingin menyelesaikan
permasalahan. Kegiatan kolaborasi tersebut merupakan kegiatan penelitian secara
cermat yang berfokus pada realita praktis sosial, serta proses terencana untuk
mengadakan proses pembelajaran atas dasar refleksi atau perenungan. Selain
didasari oleh pemikiran tentang riset aksi, metode ini juga menekankan pada
pemecahan masalah yang didasari pemahaman bahwa “understanding does not
249 Vatche Gabrielian, Kaifeng Yang, dan Susan Spice (1999). op.cit.h.144 250 Ibid..h.153 251Judy McKay and Peter Marshall (2001). The dual imperative of action research.
Information Technology & People , 14, 1, h. 47. 252Robert Louis Flood (1999). Rethinking The Fifth Discipline. Learning With in The
Unknowable. Routledge, London.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
93
Universitas Indonesia
simply arise from observation theory. The human being has intentions that lie
behind each action”. Realisasi dari dua pemikiran tersebut yang mendasari
Checkland (1981) menyusun metodologi pemecahan masalah yang dikenal
dengan Soft Systems Methodology (SSM). 253
Uchiyama (2009)254 juga menyatakan bahwa riset aksi berbeda dengan
metode penelitian positivism. Uchiyama (2009) memberikan gagasan
perbandingan antara paradigm positivism dengan riset aksi dengan menggunakan
skema PDS (Plan, Do, See –Rencana, Lakukan, Lihat). Uchiyama (2009)
memaparkan perbandingan antara paradigma positivism dengan riset aksi, seperti
Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Perbandingan antara Positivism dan SSM-based AR
Positivism SSM-based AR P Hypothesis (The
model of “reality” Experimental Design)
A Omoi (Affection) Model A model relevant to “actuality” Action Plan
D Observation Collection Data
Carry out Action Plan Learning by doing
S Verification Reflection in action Kind of
Knowledge Scientific or Explicit Knowledge
Tacit or Experience-based knowledge
Standard of Validity
Repeatability Recoverability
Sumber: Uchiyama, 2009. h.18
Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis (model
“reality”) untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik riset
aksi adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit atau
pengetahuan berdasarkan pengalaman (tacit or experience-based-knowledge).
Untuk melakukan hal tersebut, positivism mengembangkan model “reality”
sebagai hipotesis kemudian mendesain rencana eksperimental, sedangkan riset
aksi membentuk model relevan bagi “actuality” melalui akomodasi dan desain
rencana tindakan berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari
253 Ibid. h.5 254 Kenichi Uchiyama (2009). A Concise Theoritical Grounding of Action
Research:Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan. . h.18
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
94
Universitas Indonesia
perbedaan antara model dan “reality” pada aspek “P”. Dengan demikian pada
aspek “D”, positivism membawa rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya,
dan mengumpulkan data, kemudian kita dapat mencari apakah hipotesis benar
(“ya”) atau tidak benar (“tidak”) pada aspek “S”. Jika “tidak”, kita harus kembali
ke fase “P” atau menciptakan model baru “reality”. Jika “ya”, kita dapat
mengkontribusikan hipotesis sebagai pengetahuan ilmiah bagi koleksi
pengetahuan manusia. Di sisi lain, riset aksi membawa rencana tindakan dalam
dunia nyata oleh diri kita sendiri sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian
kita merefleksi tindakan pada aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak,
kita tetap dapat memperoleh proses “belajar sambil melakukan – learning by
doing” sebagai pembelajaran kedua, dan kemudian kita dapat
menginternalisasikan pembelajaran ini sebagai pengetahuan berdasarkan
pengalaman (experience-based-knowledge).
Uchiyama (2009)255 menjelaskan bahwa kajian dengan menggunakan
SSM memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses “belajar
sambil melakukan (learning by doing)” yang dikatakan sebagai SSM-based-AR.
Didalam SSM-based AR, peneliti mengambil tindakan bagi situasi problematik
dalam dunia nyata dengan bertindak sebagai orang pertama yang bertujuan untuk
meningkatkan situasi tersebut berdasarkan refleksi dan pengalaman (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Reporting the SSM-based-AR
Sumber: Uchiyama (2009) h.22
255 Ibid. h.22
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
95
Universitas Indonesia
Riset aksi dipandang sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan
pengalaman (experience-based knowledge) yang dapat diaplikasikan pada dunia
nyata melalui praktik oleh peneliti itu sendiri, SSM-based-AR menggunakan
model yang relevan bagi “keadaan yang sebenarnya (actuality)” sebagai suatu
“jejak (trace)” bagi proses aktual dari riset aksi. SSM based-AR mengajukan
prinsip “recoverability” dari “actuality” sebagai standar akademisnya, daripada
prinsip “repeatibility” sebagai standar positivis (Checkland dan Holwell, 1998).
Uchiyama (2009) menginterpretasikan prinsip tersebut ketika “actuality” pada AR
tidak dapat diulang, jejak dari “actuality” pada AR tetap dapat dikemukakan
dalam model relevan “actuality”. SSM-based-AR menganggap situasi dunia nyata
sebagai suatu tempat dimana “actuality” dan “reality” dapat terjalin (Uchiyama,
2009). Pada SSM-based-AR pula, kita tidak (semata) berfokus pada eksistensi
struktur atau sistem dalam level reality, tetapi kita dapat fokus pada mewujudkan
esksistensi pada level (actuality) (“In the cases of SSM-based AR, our stand point
is that we do not know whether there is the system (mechanism) in the real world
or not even in the latent level, but we can embody 'systems' in the process
("actuality in Kimura's sense) to inquiry of the life world”).256
Dalam penelitian ini, yang menjadi kepentingan penyelesaian masalah
(problem solving interest) adalah: merekonstruksi kebijakan dalam mendorong
upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang sehingga
upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk
menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.
Yang menjadi kepentingan penelitian (research interest) adalah
merekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong
upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang sehingga
upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk
menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia. Siklus
penelitian tindakan untuk memenuhi kepentingan penelitian ditunjukkan pada
Gambar 3.1, adapun siklus penelitian tindakan untuk memenuhi kepentingan
penyelesaian masalah ditunjukkan pada Gambar 3.2.
256 Ibid. h.21
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
96
Universitas Indonesia
Gambar 3.2. Siklus Research Interest dalam Penelitian Tindakan
Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001, h. 51)
Pada penelitian riset aksi yang berbasis research interest, peneliti harus
memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa yang
ingin peneliti capai (lihat Gambar 3.2). Setelah mengidentifikasikan minat
penelitiannya, peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk
mengklarifikasi dan mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan.
Peneliti menggunakan kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat
penelitiannya. Kemudian, peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian
yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya.
Selanjutnya, peneliti akan mengambil tindakan terkait dengan penelitiaannya.
Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian dan dievaluasi untuk melihat
efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian. Ketika pertanyaan
penelitian terjawab atau kepuasan tercapai, peneliti akan keluar dari setting
penelitian. Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian
untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian.
Gambar 3.3 menunjukkan siklus riset aksi yang berkaitan dengan problem
solving interest. Sedangkan pada penelitian yang berbasis problem solving interest
pada riset aksi, McKay dan Marshall (2001) memaparkan bahwa peneliti riset aksi
(action researcher) harus menyadari permasalahan dunia nyata (real world), yang
salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide penelitian. Setelah
dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan dan pencarian fakta
dimana peneliti mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan konteks
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
97
Universitas Indonesia
permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci stakeholder dalam proses
pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen politik yang relevan.
Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam merencanakan
strategi pemecahan masalah. Perencanaan tersebut nantinya diimplementasikan ke
dalam beberapa tahap tindakan. Implementasi tersebut nantinya harus dimonitor
untuk mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan.
Pada waktu tertentu ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh
stakeholder, peneliti keluar dari situasi tersebut atau mengembangkan rencana
tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap konteks permasalahan.
Gambar 3.3. Siklus Problem Solving interest dalam Penelitian Tindakan
Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001, h. 50)
3.3. Alasan Menggunakan Pendekatan Soft System Methodology (SSM)
Penelitian tentang tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong
upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang ini
memiliki beberapa karakteristik. Pertama, pada masing-masing level hierarki
proses kebijakan, mulai dari level kebijakan nasional, kebijakan sektoral hingga
level operasional untuk mendorong upgrading teknologi dalam global value chain
industri pesawat terbang sangat kompleks. Selain kompleks, penelitian ini juga
bersifat serba aktivitas manusia (Human Activity System), baik pada level
kebijakan nasional yaitu aktivitas memasukan arah pembangunan iptek sekor
kedirgantaraan dalam rencana pembangunan nasional, maupun pada level sektoral
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
98
Universitas Indonesia
terkait kerjasama inovasi hingga level operasional-industri dalam kaitannya
dengan proses upgrading teknologi itu sendiri.
Ciri kedua, penelitian ini sarat akan clash world view antar aktor. Diantara
contoh clash world view adalah : pertama, perbedaan pendekatan pembangunan
iptek antara pendekatan berbasis technology driven khususnya high tech dengan
market driven. Kelompok pertama lebih menitiberatkan pada penguasaan dan
kemandirian teknologi yang dapat memberikan leverage yang terbesar bagi
pembangunan ekonomi dan umumnya bersifat high cost dan jangka panjang,
diantara contoh adalah pengembangan teknologi dirgantara secara umum.
Pandangan kelompok kedua adalah lebih menitiberatkan pada pengembangan
teknologi yang segera dapat menjawab permasalahan pembangunan. Kedua, clash
world view juga terjadi antara aktor inovasi dari sektor litbang yang lebih
berorientasi accademic exellance sementara pada sektor swasta lebih berorientasi
pada aspek economic value. Oleh karena itu, analisa aktivitas antar aktor didalam
proses upgrading teknologi pesawat terbang merupakan permasalahan yang
sangat rumit (messy).
Fenomena clash world view juga terjadi pada proses implementasi
kebijakan. Implementasi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi
pesawat terbang membutuhkan rentang waktu yang cukup lama serta menuntut
perubahan perilaku aktor ekonomi, politik dan budaya.257 Sebagai
konsekuensinya, implementasi kebijakan tersebut akan menimbulkan conflicting
worldview terutama dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan implementasi
kebijakan tersebut.258
Ciri ketiga, terkait dengan aspek kegagalan dan keberhasilan upgrading
teknologi industri pesawat terbang. Walaupun hubungan antara aspek-aspek
kegagalan dan keberhasilan merupakan representative dari kerangka tiga level
hierarki proses kebijakan Bromley. Namun, bentuk pendekatan pada masing-
masing level kebijakan tersebut, baik isi maupun proses penyusunan dan atau
proses implentasinya sangat messy karena bersifat spesifik, lokal dan memiliki
titik berat yang berbeda-beda. Diantara contoh kekhasan tersebut adalah
perbedaan pendekatan pemerintah dari masing-masing negara dalam konteks
257 Merilee S. Grindle (1997). op.cit. h.11. 258 Ibid.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
99
Universitas Indonesia
kebijakan, baik nasional maupun kebijakan sektoral dalam mendorong upgrading
teknologi industri pesawat terbang.259 Perbedaan tersebut akan mempengaruhi
implementasi atau proses upgrading teknologi pada tataran operasionalnya.260
Berdasarkan pada beberapa karakteristik penelitian yang telah disebutkan,
maka peneliti ini akan menggunakan pendekatan soft system methodology (SSM)
based Action Research (SSM- based AR).261Pendekatan SSM dapat
mengakomodir aspek clash world view (peta konflik) maupun problematical
situation (messy problem) yang secara realistis memang terjadi khususnya antar
aktor dalam tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading
teknologi industri pesawat terbang. Penelitian tindakan ini dilakukan untuk
menyelesaikan situasi problematik dalam dunia nyata (P), yang memungkinkan
peneliti mencari tahu tentang situasi problematik dalam dunia nyata yang menjadi
tujuan penelitian (A), berdasarkan kerangka teoritis (F), dengan menggunakan
metode untuk memenuhi kepentingan penelitian (MR), dan metode untuk
memenuhi kepentingan penyelesaian masalah (MPS) mengikuti kerangka
penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.
259 Lihat kembali Bab I h.30-31, tentang perbedaan pendekatan pemerintah dalam dalam
mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang 260 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40 261Sudarsono Hardjosoekarto. (2013). Dual Imperatives of Action Research: Lessons
from Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by Using Soft Systems Methodology. Human Resource Management Research, 3, 1, 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10., “SSM-based AR as introduced by Uchiyama (2009) and applied by Hardjosoekarto (2011, 2012) as an elaboration of soft systems methodology developed by Checkland and Scholes (1990), Checkland (1999) and Checkland and Poulter (2006) is used as a methodology to elaborate an illustration of the dual imperatives of AR”.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
100
Universitas Indonesia
Gambar 3.4. Kerangka Penelitian Tindakan menurut McKay dan Marshall (2001)
Sumber: McKay dan Marshall (2001, h.57)
Berdasarkan kerangka penelitian, maka elemen-elemen penelitian tindakan
yang terdiri atas F, MR, MPS, P, dan A yang digunakan dalam penelitian ini
dirumuskan seperti pada Tabel 3.2 di bawah ini.
Tabel 3.2. Elemen Penelitian
Komponen Keterangan
F Kerangka yang berisi nilai, beliefs, opini, pengetahuan, & pemahaman, => Teori
implisit/eksplisit ttg A
Teori Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Bromley (1989) dan Teori Global Value Chain (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005).
MR & MPS Methodology
Soft Systems Methodology – Based Action Research
P Situasi problematis dunia
nyata
Situasi problematis terkait tiga level hierarki proses Kebijakan dalam upgrading pesawat terbang IPTN dalam Global Value Chain Hierarki
A Area spesifik yang akan
diteliti
A Konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value chain tipologi modular (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka peningkatan nilai tambah sektor dirgantara.
Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
101
Universitas Indonesia
Kemudian berdasarkan elemen-elemen tersebut di atas, disusunlah model
penelitian tindakan seperti pada Gambar 3.5.
Situasi problematis terkait tiga level hierarki proses Kebijakan dalam upgrading pesawat terbang IPTN dalam Global Value Chain Hierarki
Teori Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dan Teori Global Value Chain (GVC) ,
SSM.
Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading teknologi industri pesawat terbang PT
Dirgantara Indonesia (PT DI)
Refleksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam upgrading teknologi
GVC IPTN, dengan menggunakan SSM, mengkonstruksi tiga level hierarki proses
kebijakan dalam upgrading teknologi poda GVC Hierarki
Refleksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam upgrading teknologi GVC
IPTN, dengan menggunakan SSM untuk mengkonstruksi tiga level hierarki proses
kebijakan dalam upgrading teknologi industri pesawat terbang PT DI
Gambar 3.5. Model Penelitian Tindakan yang Digunakan
3.4. Tahapan dan Proses Penelitian dalam SSM
Dalam penerapannya SSM terdiri dari 7 langkah (Gambar 3.6), dibagi
menjadi dua tahapan utama. Tahapan pertama, real world dengan lima langkah
yaitu: (1) mengkaji situasi masalah yang tidak berstruktur, (2) menyusun atau
memetakan situasi masalah, (5) membandingkan model konseptual dengan
masalah yang telah terstruktur, (6) menetapkan perubahan yang diinginkan, dan
(7) melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Tahapan kedua, system thinking
dengan dua langkah yaitu (3) membangun definisi permasalahan yang
diformulasikan dari hasil strukturisasi masalah pada langkah ke-2 tahapan real
world dan (4) yaitu membuat model konseptual atas dasar hasil definisi
masalah.262
262 Peter Checkland, 1999. System Thinking, System Pratice.op.cit.h.163
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
102
Universitas Indonesia
Gambar 3.6. Tahapan dalam SSM Sumber: Checkland (1999)
Untuk penjelasan masing-masing tahap SSM dapat dilihat pada tabel 3.2
dibawah ini. Pada tahap pertama, adalah menemukan situasi masalah yang messy
(tak terstruktur) sampai kemudian menstrukturkan real world tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa yang menjadi real world adalah tiga level
hierarki proses kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang di
Indonesia. Adapun aktor aktor yang dipilih untuk mewakili peran adalah seperti
pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Aktor-aktor yang Mewakili Peran dalam Penelitian
Peran (roles) Actors
Client (C) Aktor yang membutuhkan perbaikan sistem / yang menyebabkan penelitian dilaksanakan
Peneliti, Promotor, Kopromotor, Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI.
Problem Solver (P) Aktor yang memainkan peran mencari jawaban /penyelesaian masalah / yang melakukan penyelidikan
Peneliti, Promotor dan Kopromotor
Problem Owner (O) Aktor yang berperan sebagai sumber informasi
1. Presiden RI III sekaligus mantan: Menteri Ristek, Kepala BPIS, Vice Chairman DEPANRI, Ketua DRN, Dirut IPTN.
2. Menteri Ristek Kabinet dalam
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
103
Universitas Indonesia
Presiden Habibie. 3. Menristek Gusti yang kemudian
diperdalam dengan Staf Ahli Bidang Hankam sekaligus Ketua Tim Teknis DEPANRI 2012.
4. Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 serta pakar Kebijakan Publik.
5. Kementerian Keuangan- Badan Kebijakan Fiskal-
6. Politisi/Tim sukses calon presiden Jokowi/anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan.
7. Tim ahli dari calon presiden Prabowo.
8. Mantan Dirjen Dikti. 9. Direktur Industri, IPTEK,
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas
10. Direktur Transportasi BAPPENAS
11. Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin – Kementerian Perindustrian
12. Kepala BPPT 13. Dirut PT DI 14. Kepala Perencanaan dan Pakar
Transportasi PT DI 15. Dirut PT RAI 16. Ketua Dewan Riset Nasional 17. Deputi Kedirgantaraan- LAPAN 18. Dekan FTMD ITB 19. Direktur Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan.
Gambaran tentang situasi problematik pada tahap kedua didapatkan
melalui analisis norms, values, dan politic. Ketiga analisis tersebut dideskripsikan
pada Tabel 3.4. Selanjutnya untuk menggambarkan situasi masalah tersebut
kemudian dituangkan dalam diagram yang dilengkapi dengan catatan yang disebut
dengan “rich picture”. Beberapa cara yang dilakukan untuk tahap 1 dan 2 adalah
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
104
Universitas Indonesia
dengan telaah hasil Focus Group Discussion (FGD), wawancara, diskusi informal
dan telaah dokumen.
Tabel 3.4. Analisis One, Two, dan Three pada Tahap ke-2
Analisis Ruang Lingkup Analisis One (Analisis Budaya)
Yaitu intervensi atau interaksi peran: C (client), problem solver dan problem owner.
Analisis Two (Analisis sosial)
Yaitu analisis yang menggali informasi dari Problem Owner terkait: -norma: perilaku yang diharapkan dalam peran dan digunakan untuk menentukan peran sosial aktor Problem Owner dala suatu organisasi -roles: disposition of power yaitu pembagian posisi sosial -Value (nilai): standar dan kriteria untuk menilai peran dan perilaku
Analisis Three (Analisis Sosial Politik)
Analisis sistem politik dari aktor problem owner terkait bagaimana kekuasaan diekspresikan, disposisi kekuasaan, sumber kekuasaan dalam real world.
Pada Tahap 3, root definitions of relevant purposeful activity systems
bertujuan untuk mendefinisikan dan memberi nama semua human activity system
atau sistem aktivitas manusia yang relevan dengan formula do P by Q in order to
archieve R (PQR). Root Definition tersebut kemudian dilakukan pengecekan
dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 3.5). Untuk mendapatkan root
definition, langkah-langkah yang dilakukan adalah: (a) memilih sistem yang
relevan, dilakukan berdasarkan primary task dengan memetakan susunan
institusional (institutional arrangement) atau berdasarkan issue-based dengan
mengacu pada proses mental; (b) memberi nama sistem yang relevan, dilakukan
dengan mempertimbangkan esensi dari persepsi yang kemudian dituangkan dalam
pemodelan; dan (c) memodelkan sistem yang relevan, dilakukan dengan
mempertimbangkan tujuan utama dari sistem aktivitas manusia yang
menunjukkan transformasi yang diperlukan. Proses transformasi ini dilakukan
dengan kriteria yang dideskripsikan pada Tabel 3.6.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
105
Universitas Indonesia
Tabel 3.5. Deskripsi CATWOE
Kode Deskripsi C: Customer Pihak yang terkena atau yang mendapatkan
manfaat dari transformasi A: Actor Pihak yang melakukan transformasi T: Transformation Konversi dari input menjadi output W:Weltanschauung Pandangan atau worldview yang membuat
transformasi menjadi berarti dalam konteks situasi problematik yang dihadapi
O: Ownership Pihak yang dapat menghentikan transformasi E: Environmental Constrain Elemen di luar sistem yang ada yang dapat
membatasi transformasi Sumber: Checkland dan Scholes (1990, h.35) ditabulasi
Tabel 3.6. Kriteria Tranformasi
Kode Deskripsi Efficacy Transformasi bekerja untuk memproduksi
hasil yang diinginkan Efficiency Transformasi dapat dilakukan dengan biaya
minimum Effectiveness Transformasi dapat mencapai tujuan yang
lebih tinggi atau jangka panjang Sumber: Checkland dan Poulter (2006, h. 42)
Pada tahap empat, yaitu mendesain logic model dari setiap root definition
yang menunjukkan aktivitas operasional proses yang dilakukan dengan membuat
diagram yang melukiskan batas-batas sistem, keterkaitan dan hubungan antar
aktivitas. Adapun pada tahap lima, yaitu membandingkan konseptual model
dengan situasi masalah yang terstuktur, yaitu komparasi antara tahap 2 dan tahap
4. Untuk membuat perbandingan dapat dilakukan dengan menggunakan 4 (empat)
cara yaitu diskusi informal, pertanyaan formal, penulisan skenario berbasis
pengoperasian model, dan mencoba memodelkan dunia nyata dengan struktur
yang sama dengan model konseptual. Perbandingan ini dilakukan dengan
menggunakan alat bantu berupa matrik antara komponen dalam model dengan
kriteria pembandingan yang meliputi: ada atau tidak ada dalam situasi nyata,
bagaimana untuk menjalankan, bagaimana untuk menilai, dan catatan.263
263 Peter Checkland and Jim Scholes (1990), op.cit, h. 43.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
106
Universitas Indonesia
Pada tahap 6 yaitu membuat perubahan yang diperlukan secara sistematik
dan layak secara kultural. Untuk tahap ini dilakukan dengan telaah hasil FGD,
diskusi serta wawancara dengan stakeholders tentang hasil-hasil yang telah
diperoleh. Hasilnya adalah perubahan, dan perubahan tersebut harus sistematis
(cara maupun tujuan) dan feasible untuk dilaksanakan.
Penelitian ini tetap sampai pada tahap action yang merupakan esensi dari
tahap 7, karena menurut Checkland dan Poulter (2006)264 bahwa lingkup action
dalam tahap akhir SSM tidak hanya implementing the action tetapi juga mencakup
defining the action. Tentang hal ini, Checkland dan Poulter menguraikan tahap
akhir dalam siklus never-ending SSM:
“ Define/take action to improve the situation. Since the learning cycle is in
principle never-ending it is an aribitrary disctinction as to wheter the end of
study is taken to be defining the action or actually carrying it out. Some
studies will be ended after the defining the action, some after implementing
it.”
3.5. Pengumpulan dan Analisis Data
Dalam keenam tahap SSM, masing-masing dilakukan dengan beragam
teknik pengumpulan data serta analisis yang dilakukan pada tiap tahap tersebut
(Tabel 3.7).
Tabel 3.7.
Deskripsi ringkas tujuh langkah SSM dan teknik kualitatif yang digunakan
No 6 langkah SSM Keterkaitan dengan pengumpulan data
Analisis Data
1 Menemukan situasi masalah yang tak terstruktur terkait kegagalan industri pesawat terbang IPTN terutama dalam upgrading teknologinya
Telaah dokumen, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk menggali factual problem terkait proses upgrading teknologi pesawat IPTN dari NC 212; CN 235 hingga N 250
-Analisis peran: C (client), problem solver dan problem owner; -Menggali informasi dari Problem Owner; analisis sistem politik dari aktor problem owner terkait bagaimana kekuasaan diekspresikan, disposisi kekuasaan, sumber kekuasaan dalam konteks upgrading teknoloi IPTN
2 Menstrukturkan situasi masalah tiga level hiearki proses kebijakan dalam konteks
Telaah dokumen, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk mengidentifikasi permasalahan dalam
264 Peter Checkland and John Poulter (2006). Learning for Action: A Short System
Definitive of Soft Systems Methodology and Its use for Practioner, Teacher, and Students. h.13-14.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
107
Universitas Indonesia
pengembangan N 250 oleh IPTN
perspektif tiga level hiearki proses kebijakan Bromley (1989)
3 Menentukan transformasi yang akan dilakukan pada masing-masing level untuk menjamin tercapainya outcome penelitian
Telaah dokumen, Wawancara untuk mengidentifikasi transformasi yang diperlukan pada masing-masing level hierarki proses kebijakan Bromley (1989)
Menyusun root definition yaitu transformasi yang akan dilakukan pada masing-masing level heiarki proses kebijakan Bromley dan dikontrol dengan CATWOE
4 Menyusun model konseptual HAS pada tiap-tiap transformasi
Diskusi Informal, Wawancara, Telaah dokumen untuk menyusun model konseptual dalam rangka transformasi yang diperlukan pada masing-masing level hierarki proses kebijakan Bromley (1989)
Menyusun konseptual model berdasarkan root definition dengan 3 kriteria: efficacy, efficiency dan effectiveness
5 Melakukan analis perbandingan dari model konseptual melalui debating dengan teori/konsep dan atau best practice negara lain
Diskusi Informal, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk membandingkan model konseptual dengan teori/konsep dan atau best practice negara lain
Membandingkan antara tahap 2 dan 4.
6 Menentukan perubahan yang diinginkan dan mungkin dilakukan sehingga transformasi tercapai
Diskusi Informal, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait sehingga dapat dilakukan improvement pada model konseptual sehingga transformasi dapat tercapai.
Menyimpulkan hasil analisis dari tahap 1 sampai tahap 6
7 Melakukan Aksi
3.6. Narasumber Penelitian
Dalam rangka menggali informasi terkait penelitian, dilakukan
serangkaian teknik pengumpulan data terhadap sejumlah narasumber terkait
(Tabel 3.8). Beberapa teknik yang dilakukan adalah melalui FGD, wawancara,
dan diskusi informal. Secara lebih lengkap tersaji dalam lampiran 9 dan 10.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
108
Universitas Indonesia
Tabel 3.8. Narasumber Penelitian
No Narasumber Teknik 1 Presiden RI III sekaligus mantan:
Menteri Ristek, Kepala BPIS, Vice Chairman DEPANRI, Dirut IPTN. Prof. BJ Habibie
Wawancara langsung, kutipan wawancara yang dilakukan pihak lain
2 Menteri Ristek, Prof. Gusti Muhammad Hatta, dan diperdalam dengan Staf Ahli Bidang Hankam yang juga Ketua Tim Teknis DEPANRI, Dr. Teguh Rahardjo
Wawancara
3 Ketua Inovasi Nasional (KIN) dan Menristek pada Era Presiden BJ Habibi, Prof. Zuhal
Wawancara
4 Mantan Dirjen Dikti, Prof Dr. Satrio Soemantri
Diskusi Informal
5 Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 serta pakar Kebijakan Publik UGM, Prof Sofyan Effendi
Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
6 Kementerian Keuangan- Badan Kebijakan Fiskal-
Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
7 Tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Dr. Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan.
Telaah hasil seminar dalam rangkaian acara Sidang Paripurna DRN 2014
8 Tim ahli dari calon presiden Prabowo Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin.
9 Deputi di Kementerian Koordinator Ekonomi
Telaah Hasil FGD terkait
10 Pejabat Kementerian BUMN Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
11 Direktorat Perhubungan Udara-DEPHUB
Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
14 Kepala BPPT 2013 Wawancara 15 Dirut PT DI Wawancara 16 Dirut PT RAI Wawancara 17 Ketua Dewan Riset Nasional Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait 18 Ketua Program Aeronatics dan
Aerospace FTMD ITB Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
19 Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas
Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
20 Direktur Transportasi BAPPENAS Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
21 Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin
Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
23 Deputi Kedirgantaraan- LAPAN Wawancara 24 Direktur Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan Diskusi Informal
25 Dekan FTMD ITB Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
26 Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI dan Pakar Transportasi PT DI
Wawancara
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
109
Universitas Indonesia
27 Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek-Kemenristek
Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
28 Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan
Wawancara
29 Asisten Deputi Bidang Relevansi Program Riptek -Kemenriste
Wawancara
30 Direktur Teknologi PT DI Wawancara 31 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi
Wibowo di PT RAI Wawancara
32 Ketua Komtek Soshum DRN Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
33 Direktur Riset LPDP Wawancara 34 Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran
Dana Kegiatan Pendidikan-LPDP Wawancara
35 Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat
Wawancara
36 Humas PT DI Wawancara 37 Asdep Produktivitas Riptek Industri Wawancara 38 Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga,
Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti
Wawancara
39 Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development
Wawancara
40 Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI
Wawancara
41 Asdep Produktivitas Iptek Strategis Wawancara 42 Marketing Representative, PT RAI Wawancara 43 Pustekbang Aero Structuer-LAPAN Wawancara 44 Wartawan Senior Kompas, Dr. Ninok
Leksono Wawancara
45 Mantan Direktur Teknologi Proses BPPT di Era Habibie
Wawancara
46 Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek
Wawancara
47 Bagian Inspeksi B2TKS-BPPT Wawancara 48 Corporate Secretary PT RAI Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait
yang dilakukan Kementerian Ristek 49 Karoren Ristek Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan
Kementerian Ristek
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
110
Universitas Indonesia
BAB IV GAMBARAN UMUM KONDISI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI
INDUSTRI PESAWAT DI INDONESIA
Pada era orde baru, sejatinya dukungan pemerintah terhadap
pengembangan teknologi dirgantara sangat tinggi, mulai dari pengembangan
pesawat terbang dari NC 212 dibawah lisensi spanyol, kemudian pendesainan
secara patungan CN 235 dengan CASA-Spanyol hingga menuju kemampuan
desain berbasis 100% pada kemampuan IPTN yaitu dua prototipe N 250 yaitu seri
gatot koco dan krincing wesi. Secara keseluruhan, kerangka tiga level hierarki
proses kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang
pasca orde baru sangat lemah, karena pada era orde baru, sejatinya dukungan
sangat kuat kecuali pada dua aspek, yaitu pada level organisasi (sistem leasing
pesawat terbang terutama dari perbankan nasional) dan level operasional yaitu,
aspek dan manajemen IPTN khususnya kemampuan produksi pesawat terbang
(Gambar 4.1).
Namun, selain masih terdapat kelemahan pada aspek tiga level hierarki
proses kebijakan, kegagalan IPTN khususnya program N 250 sejatinya tidak
terlepas dari permasalahan politik. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan:
pertama, proses sertifikasi N 250 yang sangat pelik terutama dalam mendapatkan
sertifikasi FAA. FAA menilai jika hanya satu prototipe N 250, belum cukup untuk
mendapatkan sertifikasi FAA. Sebagai respon, IPTN kemudian mendesain versi
terbaru dengan menaikkan ke versi 70 penumpang, namun FAA masih menilai
bahwa N 250 versi 70 penumpang tidak layak karena ketidaktersediaan data-data
pendukung.265
Kedua, ketika rencana pengembangan N 250 di publish, sebenarnya CASA
Spanyol berharap IPTN dan Pemerintah Indonesia kembali melakukan joint
design dengan mereka sebagaimana dalam CN 235, tetapi ditolak oleh Habibie,
IPTN ingin mengembangkan satu pesawat yang benar-benar 100% didesain dan
diproduksi diatas kemampuan nasional sebagaimana amanat Presiden Soekarno
dan Soeharto.266 Penolakan tersebut sempat menyebabkan kerenggangan
265 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, loc.cit.h.6 266 Wawancara dengan BJ Habibie, lihat lampiran 9, no.1
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
111
Universitas Indonesia
hubungan antara CASA dengan IPTN waktu itu.267 Buktinya, di tahun yang sama
yaitu di tahun 1998, ketika IMF melarang pemerintah untuk memberikan bantuan
pendanaan N 250,268 justru CASA melakukan maiden flight C 295 dengan kelas
60 penumpang yang sejatinya merupakan pesawat sekelas N 250 dan merupakan
pengembangan dari CN 235.
Ketiga, lompatan IPTN dalam mendesain N 250 dan N 2130 dianggap
sangat membahayakan negara-negara tertentu, hal ini sebagaimana yang
diungkapkan Merilee S. Grindle (1997)269: “apabila kebijakan publik dimaksud
untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik,
ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari
pihak-pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut.” Hal
ini sangat dimaklumi, bahwa jika N 250 berhasil, maka sektor dirgantara
Indonesia akan semakin kuat, baik dari SDM maupun bisnis yang sekaligus
merupakan satu lingkungan yang kondusif untuk mendesain pesawat jet N 2130,
apalagi dalam rangka pengembangan N 2130, segala langkah telah dipersiapkan
dengan matang.270 Jika Indonesia mampu membuat pesawat jet, maka Indonesia
akan mampu membuat pesawat tempur hingga penguasaan teknologi satelit.271
Keempat, dari sisi teoritis dan empirik, intervensi yang tinggi dari negara terhadap
industri strategis termasuk pesawat terbang (high tech) adalah satu hal yang sangat
wajar sekali, bahkan meskipun Industri tersebut bangkrut, lihat kembali contoh
keberhasilan Embraer, China, bahkan Airbus.
Pada tanggal 24 Agustus 2000, IPTN direstrukturisasi. Seiring dengan
periode restrukturisasi tersebut, IPTN memasuki babak baru dan visi baru dengan
lingkungan kebijakan yang juga berbeda. Hingga saat ini, dukungan terhadap
pembangunan iptek sektor dirgantara masih lemah, hal ini dapat dilihat melalui
inkonsistensi dan inkoherensi antara tiga level hierarki proses kebijakan, baik dari
level kebijakan, level inter sektoral sampai pada level operasional. Pada level
kebijakan, dengan pengecualian pada Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei; UU No
267 Budi Santoso, 2011), dikutip di, http://abarky.blogspot.com/2011/02/ptdi-eads-siap-bikin-pesawat-militer.htm).
268 Lihat kembali ulasan kegagalan N 250 pada Bab I h.12-15 269 Merilee S. Grindle (1997), op.cit. h.11 270 Vertesy, D. and Szirmai, A. 2010. loc.cit.h.76 271 Lihat road map strategi transformasi IPTN, di Buku 25 Tahun PT. Dirgantara
Indonesia: Membuka paradigma baru.. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.h.32.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
112
Universitas Indonesia
1 tahun 2009 Tentang Penerbangan; Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan
Produksi dalam Negeri, arah pembangunan iptek sektor kedirgantaraan belum
tertuang secara jelas dalam rencana pembangunan nasional, baik dalam UU
No.17/2007 tentang RPJPN 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang
RPJMN 2010-2014. Pada level organisasi, walaupun telah ada sejumlah
instrumen kebijakan yang mendukung, namun dukungan kebijakan pada sektor
ketersediaan SDM dirgantara, infrastruktur atau lab pengujian, dukungan sistem
pendanaan/perbankan juga masih lemah. Pada level operasional, walaupun
beberapa plasma business seperti bidang aerostructure sudah berjalan, namun
kemampuan Manajemen PT DI secara umum masih sangat lemah, baik dari aspek
SDM, keuangan perusahaan, keterbatasan fasilitas pengujian untuk upgrading
teknologi termasuk rencana pengembangan pesawat R-80 yang merupakan
upgrading dari pesawat terbang N 250 (Gambar 4.1).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
113
Universitas Indonesia
Level Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara
PT DIProgram Upgrading N 250
UU. No.17/2007-RPJPN 2005-2025 dan di Perpres No.5/2010-RPJMN 2010-2014
Level Organisasi-Sinergi Sektor Riptek, Keuangan untuk Pengemb Tek Dirgantara
Kepmenristek Nomor 193/M/Kp/Iv/2010-Jakstranas Iptek 2010-2014; ARN 2010-2014; KMK Nomor 18 tahun 2012 tentang LPDP; Hibah Kompetensi Dikti
Walaupun pasar cukup besar, namun SDM, Pendanaan, Dukungan Fasilitas/Sumber Daya Iptek Dirgantara di luar PT DI -Untuk Upgrading N 250 ke R-80, dan Kemampuan Produksi Pesawat masih sangat lemah
Tida ada Arah Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara
Kebijakan sektor riset, keuangan, SDM belum diarahakn/tersinergis untuk mendorong Pengembangan Teknologi Sektor Dirgantara
Pasar cukup besar, SDM, Pendanaan, Dukungan Fasilitas/Sumber Daya Iptek Dirgantara di luar PT DI -Untuk Upgrading N 250 juga cukup menunjang, namun Kemampuan Produksi Pesawat masih sangat lemah
Arah Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara secara jelas dicantumkan, baik dalam PJP II maupun dalam Pelita VI/VII
Dukungan intersektoral cukup kuat, namun belum ada sistem leasing untuk pesawat terbang
Era Orde Baru Era Saat ini
Tahapan Upgrading:Upgrading N 250 Ke R-80
Strategi bisnis :1.Perjanjian kerjasama joint-venture
untuk marketing dan teknis denganpihak Jerman untuk memasarkandan merakit N 250 di Jerman
2.IPTN melalui kerjasama denganAmerika Serikat telah mendirikananak perusahaan IPTN di AS yangdisebut AMRAY (American RegionalAircraft Industry). Selain diAlabama, IPTN juga telah membukabranch office di North Americankhususnya di Seattle
Level Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara
IPTNProgram N 250
GBHN 1993 maupun GBHN 1998
Level Organisasi-Sinergi Sektor Riptek, Keuangan untuk Pengemb Tek Dirgantara
PUNAS; FTMD ITB; Puspiptek-BPPTProgram S2, sejumlah program Beasiswa untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan melalui
(USAID dll
Tahapan Upgrading:1.1976: Produksi under licensed-NC 2122.1980: Integrasi Teknologi, CN 2353.1987: Pengembangan, N 2504.1994: Riset Dasar, N 2130
Tidak sebagaimana CN 235 yang berpatungan dengan CASA, Pengembangan
Desain N 250 dilakukan 100% oleh IPTN
Gagal
Akan kerjasama dengan PT RAI
???
1. Visi sudah kearah Bisnis2. Core Business: Design dan
manufacturing PesawatPlasma Business:
3. Aero structure: supplier komponen Airbush: A380/A320/A321/A350 (PT DI dipercaya sebagai single supplier untuk A 380.
4. Maintanance Pesawat, 5. Pengembangan pesawat
Alur Bromley
Temuan
Gambar 4.1. Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat Terbang PT DI dari Era Orde Baru – Era Saat ini.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
114
Universitas Indonesia
4.1. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor
Dirgantara Pada Level Kebijakan.
Berdasarkan penelahaan dokumen serta wawancara yang telah dilakukan
terhadap sejumlah narasumbet terkait, bahwa dukungan politik terhadap penguasaan
dan pembangunan iptek untuk peningkatan nilai tambah (product upgrading) masih
lemah termasuk diantaranya adalah dukungan penguasaan dan pembangunan iptek
sektor dirgantara. Pada rezim orde baru, keberpihakan arah pembangunan iptek
tertuang secara jelas terutama dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998272. Pembangunan
iptek waktu itu adalah diarahkan pada iptek yang memberikan nilai tambah yang
tinggi dan memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan bangsa
Indonesia serta dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.273 Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa sektor dirgantara merupakan sektor dengan nilai
tambah terbesar dibandingkan sektor lainnya.274
Arah pembangunan iptek sektor dirgantara, baik yang tertuang didalam
sasaran Bidang Pembangunan Jangka Panjang Kedua maupun pada Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) VI dan VII, tidak saja dinyatakan bahwa sektor
kedirgantaraan sebagai salah satu bidang dan sasaran pembangunan sendiri275, bahkan
kemandirian teknologi kedirgantaraan dijadikan asas pembangunan nasional saat itu
baik dalam sasaran bidang ekonomi, industri, maupun iptek itu sendiri.276 Selain
dicantumkannya arah pembangunan kedirgantaraan, bahkan strategi pembangunan
ipteknya yaitu: “memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi yang merupakan prinsip dari strategi berawal diakhir dan berakhir di
272 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : II/MPR/1993
dan Nomor : II/MPR/1998tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 273 Habibie, 1995. op.cit. h.167; GBHN 1993. loc.cit.h .705; GBHN 1998, loc.cit.h.857 274 Habibie, 1995.op.cit.h.49 275 Ibid. untuk GBHN 1993 di h.674; bahkan dihalaman 680, pada Bagian Arah
Pembangunan Jangka Panjang Kedua no.15 tertulis: Pembangunan ilmu perngetahuan dan teknologi memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi perkembangan dalam masa Pembangunan Jangka Panjang Kedua....adapun untuk GBHN 1999, loc.cit di.h.800; 846.
276 Ibid. GBHN 1993 h.660; GBHN 1999, loc.cit di h.889-890
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
115
Universitas Indonesia
awal” secara tegas dinyatakan dalam kedua dokumen tersebut baik pada arah
pembangunan jangka panjang maupun pada pembangunan lima tahunan.277
Selain itu, dukungan lain secara politik terhadap pembangunan sektor
kedirgantaraan juga dapat dilihat pada sejumlah keputusan presiden yang telah
dikeluarkan untuk mendukung pembangunan iptek sektor kedirgantaraan, mulai dari
KEPPRES No. 1 tahun 1980278 tentang keharusan pemerintah memakai produksi
pesawat dalam negeri. Keppres No. 56/1986 tentang Badan Pengelola Industri
Strategis (BPIS), dalam struktur BPIS tersebut, Menristek adalah sebagai vice
president dibawah Presiden. Dan didalam Keppres No. 99 Tahun 1993 /Keppres No.
132 Tahun 1998279 tentang Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik
Indonesia (DEPANRI), posisi Menristek juga sebagai vice president dibawah
Presiden.
Pasca reformasi, terutama sejak 1999, sejumlah regulasi yang mendukung
pembangunan iptek sektor kedigantaraan dihapus, mulai dari dihapusnya KEPPRES
No. 1 tahun 1980, pembubaran BPIS serta pemberhentian program N 250 dan N
2130, bahkan pada tataran sistem perencanaan pembangunan, bidang iptek
dihilangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita VII) khususnya di
Garis-GarisBesar Haluan Negara (GBHN) 1999.280 Bahkan setelah terjadi perubahan
ke sistem presidensil yang berbasis pada Rencana Pembangunan Jangka Panjangnya
RPJPN dan RPJMN sebagai pengganti GBHN.
277 Ibid.GBHN 1993 h.675 dan GBHN 1993.h.815 dan 839 278Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI
KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.loc.cit.h.4 279 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan
Penerbangan Dan Antariksa Dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia.
280 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
116
Universitas Indonesia
Arah pembangunan iptek sektor kedirgantaraan didalam UU. No.17/2007281
tentang RPJPN juga tidak secara tegas dinyatakan sebagaimana dalam dokumen
GBHN 1993 dan 1998 sebelumnya. Bahkan, arah pembangunan IPTEK dalam
dokumen RPJP tampak bersifat jangka pendek, hal ini dapat dilihat dengan arah
dalam tiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)nya.282
Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tersebut, bahwa pada RJPMN III dan IV,
IPTEK nampaknya sebagai tools pembangunan artinya IPTEK sudah merupakan
hasil inovasi yang siap digunakan untuk pembangunan nasional. Hal tersebut
konsisten, jika melihat arah pembangunan pada RPJMN II, arah pembangunan
IPTEK dinyatakan secara jelas. Artinya, hanya dalam jangka lima atau sepuluh tahun,
IPTEK dituntut untuk dapat memberikan nilai ekonomi dan berkontribusi pada
pembangunan nasional.283
Paca reformasi, diluar sistem perencanaan dan pembangunan nasional
(Sisrenmbangnas), sejatinya dukungan terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan
sudah dinyatakan dalam sejumlah produk kebijakan yaitu mulai Undang-undang No.
1/2009284 tentang Penerbangan, Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei. Bahkan dalam
MP3Ei285 tersebut merekomendasikan sejumlah kebijakan intersektoral yang saling
mendukung untuk pengembangan sektor kedirgantaraan (lihat Tabel 4.1).
Jika dilihat perjalanan pemerintahan, sejak era Bung Karno hingga SBY
(Gambar 4.2), dukungan terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan sangat variatif
dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Dari keenam presiden yang telah
memimpin negara ini, rezim Soekarno dan rezim Soeharto sampai sebelum krisis
ekonomi 1997 merupakan dua rezim yang paling komit mendukung pembangunan
281 Lampiran UU No.17/2007 tentang RPJPN hal 53 tertulis bahwa: “Pembangunan iptek
diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; penyediaan teknologi transportasi, kebutuhan teknologi pertahanan, dan teknologi kesehatan; pengembangan teknologi material maju.”
282 Perpres No.5/2010 tentang RPJMN 2010-2014.h.25 283 Ibid. 284 Undang-undang No. 1/2009 tentang Penerbangan 285 Perpres No.32 tahun 2011, tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia, h.89
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
117
Universitas Indonesia
sektor Kedirgantaraan286. Bahkan dalam rangka merumuskan kebijaksanaan umum di
bidang penerbangan dan antariksa, berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia nomor 99 tahun 1993 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor
132 tahun 1998 dibentuk satu Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik
Indonesia (DEPANRI). 287
Gambar 4.2 Dukungan politik terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan Sumber: diolah dari berbagai sumber dan hasil wawancara dengan Habibie di Rumah Beliau
di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014288
286 Hasil Wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, lihat Lampiran 9 No 18 dan 19 287 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 1993 tentang DEPANRI, pasal.2 288 Hasil Wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, lihat Lampiran 9 No 18 dan 19
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
118
Universitas Indonesia
Struktur organisasi DEPANRI diketuai oleh Presiden dan wakilnya adalah
Menteri Ristek yang sekaligus merangkap Pelaksana Harian DEPANRI. Untuk
jabatan sekretaris dan anggotanya masing-masing adalah289: Sekretaris: Ketua
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Anggota: 1. Menteri Luar
Negeri; 2. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia; 3. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 4. Menteri Perhubungan; 5.
Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya; 6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan pembangunan Nasional; 7. Kepala Staf Angkata
Udara.290
Pada era presiden SBY, yaitu sejak ditahun 2008 dengan Perpres No. 28
Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, pembangunan sektor dirgantara
mulai dibangkitkan kembali. Perpres tersebut mendorong pesawat commuter dengan
kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis melalui insentif fiskal dan insentif
non-fiskal. Setelah Perpres tersebut kemudian muncul sejumlah undang-undang serta
peraturan dibawah dibawah undang-undang, mulai dari Undang-undang No. 1/2009,
Perpres No.32/2011 tentang MP3Ei dan seterusnya (Tabel 4.1). Secara ringkas,
dinamika dukungan pada level kebijakan terutama terkait arah pembangunan nasional
dalam pembangunan sektor kedirgantaraan sejak orde baru hingga saat ini dapat
dilihat pada Tabel 4.2.
289 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 199, loc.cit, pasal 4 dan 5 290 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 132 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia, pasal 4.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
119
Universitas Indonesia
Tabel 4.1. Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan Inisiasi Sektor Produk Kebijakan/Periode Keterangan
SEBELUM REFORMASI Sektor Iptek: Kementerian Ristek
Keppres No. 56/1986 (BPIS) Keppres No. 99 Thn 1993 /Keppres No. 132 Thn 1998 (DEPANRI)
Empat strategi transformasi industri dengan BUMNIS sebagai wahananya, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden Dalam struktur DEPANRI, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden
Sektor Non Iptek: Kementerian Perindustrian dan Perdagangan
KEPPRES No. 1 tahun 1980 Kebijakan Pembangunan resourced-based industries Era Oil boom, 1976-1981 (Kebijakan substitusi Impor) Pasca Oil boom 1982-1985 (Mendorong ekspor) Era 1986-1991 (Kebijakan mendorong Industri beroritensi Ekspor)
Keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri Diarahkan pada: peningkatan nilai tambah; peningkatan kemampuan teknologi; peningkatan produksi dengan kualitas tinggi; dan peningkatan partisipasi aktif sektor swasta
Kementerian BUMN Keppres No. 56/1986, 10 Industri Strategis termasuk IPTN
Badan Pengelola Industri Strategis, IPTN salah satunya
SETELAH REFORMASI Sektor Iptek: Kementerian Ristek
UU No. 21/2013 tentang Keantariksaan
Pasal 24 diktum c. “penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika” tetapi hanya terkait satelit, roket, penginderaan jarak jauh.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
120
Universitas Indonesia
Sektor Non Iptek Kemen Perindustrian
UU No.5/1984 tentang Perindustrian UU No. 3/2014 tentang Perindustrian Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009 Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri KEPPRES No. 1 tahun 1980
Lebih diarahkan untuk teknologi industri tepat guna dan tidak mendorong penguasaan atau riset industri Pasal 84 ayat 2c.Industri strategis mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan Negara Tentang Peta Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis (N 219) melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia (N219) Keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dihapus
Kementerian Perhubungan
UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 104 tentang Angkutan Udara Perintis : Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008
Dikatakan Perintis jika rute tersebut memenuhi ketentuan rute yang menghubungkan daerah terpencil dan pedalaman atau daerah yang sukar terhubungi oleh moda transportasi lain; kapasitas di bawah 30 (tiga puluh) penumpang.
Kemen Perencanaan/BAPPENAS
UU. No.17/2007 tentang RPJPN Perpres No.5/2010-RPJMN 2010-2014 Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei
Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 hanya ditujukkan pada tujuh sektor yaitu Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Material Maju, dan tidak ada sektor kedirgantaraan. Arah Pembangunan Jangka Menegah Tahun 2010–2014 Dukungan terhadap pengembangan dan produksi pesawat penumpang terutama berkapasitas dibawah 100 penumpang. Bahkan dalam MP3Ei merekomendasikan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
121
Universitas Indonesia
Kontrak multiyears dapat dimanfaatkan para operator penerbangan perintis untuk membeli pesawat berkapasitas 19 penumpang;
Kementerian Keuangan
UU No.36/2006 tentang PPh PP.No.93/2010 PMK 224/PMK.011/2012 PP No.54/2008 Tentang Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah.
Biaya untuk penelitian dan pengembangan yang dikeulurkan oleh perusahaan dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak/tax deduction. (Ps. 6 UU PPh) Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Paja (Ps.6 UU PPh jo. PP 93/2010) Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 22 atas impor:
barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan
buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama Alternatif pendanaan untuk pembelian pesawat N 219
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
122
Universitas Indonesia
Tabel 4.2. Arah Pembangunan IPTEK dalam Dokumen Perencanaan Nasional
PJP I (1969-1993)
GBHN 1993 dan GBHN 1998 GHBN 1999 RPJP 2005-2025 REPELITA VI dan VII ( 1993-1997/1998-2003) PJP II (1993-2017) REPELITA 1999-
2004 PROPENAS 1990-
2004 Pembangunan
IPTEK RPJPM
Pelita I-V : 1. Meningkatkan
taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat, yang semakin merata dan adil.
2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.
3. Titikberat pada sektor pertanian
Peningkatan kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengatahuan dan teknologi dilaksanakan termasuk sektor dirgantara dengan mengutamakan peningkatan dan kemampuan alih teknologi... dalam rangka menunjang proses industrialisasi menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, dan sejahtera.
Ada sasaran Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi termasuk sektor dirgantara. Dan Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi diarahkan agar pemanfaatan, peningkatkan, dan penguasaannya dapat mempercepat pengembangan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat
Sasaran Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ditiadakan, namun diarah kebijakan no. 20 dinyatakan: Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
1.Membangun Sistem Politik yang Demokratis..
2.Mewujudkan Supremasi Hukum.
3.Mempercepat Pemulihan Ekonomi
4.Membangun Kesejahteraan Rakyat
5.Meningkatkan Pembangunan Daerah
1. Diarahkan pada Ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi TIK, transportasi, pertahanan dan keamanan, kesehatan, dan material maju.
2. Peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor produksi.
3. Penguatan sistem inovasi dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan ;
4. Penumbuhan industri baru berbasis produk
I. Menata kembali NKRI, membangun indoensia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
II. Memantapkan penataan kembali NKRI,meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek dan memperkuat daya saing
III. Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA, SDM dan kemampuan Iptek
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
123
Universitas Indonesia
Sumber: Diolah dari berbagai dokumen : PJP I, GBHN 1993, 1999 dan RPJPN 2005-2025
litbang dengan dukungan modal ventura.
IV. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan disegala bidang dengan struktur perkonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
124
Universitas Indonesia
4.2. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor
Dirgantara Pada Level Kebijakan Sektor.
Pada zaman orde baru, berdasarkan amanah GBHN 1993 dan 1998
sebagaimana tertuang dalam Pembangungan Jangka Panjang (PJP) tahap II dan
Pembangungan Lima Tahunan VI dan VII terhadap pembangunan iptek secara
keseluruhan dan pembangunan industri kedirgantaraan secara khusus, maka
sejumlah institutional arrangement dalam bentuk kebijakan maupun instrumen
kebijakan pada level organisasi juga telah digulirkan waktu itu.291 Sejumlah
bentuk kebijakan tersebut adalah pertama pada sektor riset iptek. Pada saat itu,
arah pembangunan riset iptek khususnya kedirgantaraan telah dinyatakan dalam
Matriks Nasional Ristek. Matriks ini memuat lima bidang prioritas bagi riset dan
teknologi Indonesia yang terdiri dari: Pertama, kebutuhan dasar manusia, sumber
daya alam dan energi, industrialisasi, pertahanan dan keamanan, sosial budaya,
ekonomi dan falsafah.292
Selanjutnya, kendatipun kelima bidang prioritas tersebut memperoleh
perhatian yang sama, namun pengembangan industri dimasa depan akan lebih
ditekankan, terutama industri dirgantara.293 Secara pendanaan, kelima bidang
prioritas tersebut diprioritaskan pendanaannya melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).294
Dalam rangka melaksanakan dan mengembangkan Matriks Nasional
Ristek secara lebih lanjut, maka pada tahun 1978 dibentuk Tim Perumus dan
Evaluasi Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PEPUNAS RISTEK).
Tugas tim ini antara lain untuk merumuskan topik atau program Ristek untuk
dijadikan sebagai prioritas riset dan teknologi nasional, serta mengusulkan kriteria
usulan proyek Ristek.295 Akhirnya melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun
1984, keberadaan Tim PEPUNAS Ristek tadi ditingkatkan menjadi Dewan Riset
Nasional (RDN) yang diketuai oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.296
291 Habibie, 1995.op.cit.h.199 292 Habibie, 1995.op.cit.h.173-175 293 Ibid.h.175 294 Ibid.h.176 295 Ibid.h.187 296 Ibid.h.191
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
125
Universitas Indonesia
Untuk tujuan koordinasi, Kantor Menristek menyelenggarakan Rapat-rapat
Koordinasi Nasional Riset dan Teknologi sedangkan DRN didampingi oleh
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)297 menyelenggarakan Lokakarya
Nasional Riset dan Teknologi.298 Rakornas ristek bermaksud mengkoordinasikan
program-program dan melaporkan mengenai kemakmuran kelembagaan,
laboratorium dan lembaga, sedangkan Loknas Ristek membahas topik
khusus.299Hasil rekomendasi baik terkait kriteria maupun topik atau program
Ristek yang dilakukan DRN dan AIPI menjadi kriteria bagi Badan Perencanaan
dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan aparatur Menristek untuk
meluluskan diterimanya suatu usulan proyek penelitian dan pengembangan.300
Secara ringkas bahwa keberadaan dan dukungan sektor iptek pada saat itu
sangat kuat khususnya terhadap di sektor dirgantara, dukungan tersebut tertuang
dalam Program Utama Nasional (PUNAS). PUNAS tersebut sekaligus sebagai
instrumen pendanaan yang diarahkan untuk mendorong penguasaan teknologi
industri dengan wahananya adalah 10 anggota Industri Strategis termasuk IPTN.
Kuatnya dukungan terhadap sektor dirgantara terutama melalui PUNAS waktu itu
tergambar sebagai berikut. Berdasarkan kegiatan Program Pendanaan Riset
Unggulan Terpadu (RUT) yang merupakan bagian dari PUNAS, bahwa bidang
Rancang Bangun pernah dua kali menempati posisi ranking I (Tabel 4.3), yaitu
masing-masing pada RUT II (Tahun Anggaran 1995) dan VI (Tahun Anggaran
1999). Dan dari bidang PUNAS Rancang Bangun, seperti tampak pada Tabel 4.4,
tema pesawat terbang menduduki peringkat pertama yang didominasi oleh ITB
dan BPPT.301
297 AIPI dibentuk dengan Undang Undang No.8/1990 dengan tujuan menghimpun
Ilmuwan Indonesia terkemuka untuk memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan atas prakarsa sendiri dan/atau permintaan mengenai penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada Pemerintah serta masyarakat untuk mencapai tujuan nasional..(pasal 3)
298 AIPI beranggotakan lmuan-ilmuan yang dipilih berdasarkan prestasinya didalam bidangnya masing-masing, dengan demikian anggota AIPI sekaligus akan menjadi anggota DRN, tetapi tidak sebaliknya (Habibie, 1995.op.cit.h.193)
299 Ibid.h.193 300 Ibid.h.188 301 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK,
Bab II RUT.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
126
Universitas Indonesia
Tabel 4.3. Punas 1993-1998 yang Tergolong Lima Besar
Sumber: Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT.
Tabel 4.4 Lima tema utama dalam Bidang Rancang Bangun (110T)
Sumber: Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT.
Bahkan diantara hasil riset PUNAS-RUT khususnya RUT V (Tahun
Anggaran 1998) dan IV (Tahun Anggaran 1997) telah dihasilkan teknologi yang
dimanfaatkan oleh PT DI yaitu Produk perancangan, pembuatan dan pengujian
boks komposit dalam proses perancangan dan analisis struktur utama pesawat
terbang, khususnya N-250. Riset tersebut merupakan kolaborasi antara
Kementerian Ristek, BPPT dengan IPTN.302 Kedua adalah riset Pengembangan
Metode untuk Memprediksi dan Mengukur Daya Dorong Propulsi (Thrust) dan
302 Buku Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
127
Universitas Indonesia
Gaya Hambat (Drag) Pesawat Udara Bermesin Turboprop yang dihasilkan oleh
RUT IV juga telah digunakan oleh PT Dirgantara Indonesia. Metode Thrust yang
dihasilkan tersebut telah digunakan untuk mengukur beban pada stryktur pesawat
udara. Dan software untuk memprediksi gaya dorong propeller tersebut telah
diaplikasikan pada perhitungan propeller pesawat udara CN-235. Teknologi
terakhir merupakan kolaborasi antar Kementerian Ristek, BPPT, ITB dan
IPTN.303
Selain PUNAS, sebagai wahana yang paling tepat untuk pengalihan serta
pengembangan teknologi dirgantara, maka kemudian dibangun sembilan wahana
transformasi, salah satunya adalah industri dirgantara IPTN.304 Industri dirgantara
meliputi beberapa wahana Industri yaitu Industri pembuatan baling-baling
pesawat terbang, kerangka roda pesawat terbang dan avionik.305Dalam rangka
memperkuat sembilan wahana Industri tersebut, Berdasarkan Keppres No.
56/1986 dibentuk Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang salah satunya
adalah industri dirgantara yaitu IPTN. Dalam struktur BPIS tersebut, Menristek
selain sebagai vice chairman langsung dibawah presiden dan membawahi
menteri-menteri lainnya, juga mengkoordinir 10 Industri Strategis termasuk IPTN
(Gambar 4.3).
303 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK,
Bab II RUT; Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001). 304 Habibie, 1995.op.cit.h.222 305 Ibid.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
128
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Organisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS)
Sumber: Diolah dari Progress Report Habibie,1994
Di dalam usaha mempertinggi kemampuan mengintegrasi teknologi
Indonesia khususnya di dalam Industri Dirgantara, dengan dua ciri pokoknya
adalah: berstandar internasional dan relatif mudah untuk dialihkan ke penelitian
dasar dalam konteks strategi berawal pada akhir dan berakhir pada awal, maka
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976,
dibangunlah Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK)
terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti:
Laboratorium Uji Konstruksi306, aerodinamika.307
306 Ibid. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya
PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 307 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976
Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
129
Universitas Indonesia
Presiden
DEPANRI Pendanaan PUNAS-RUT BPIS-IPTN
Menristek
Kementerian Lainnya
Proses PolitikKoordinasi Langsung
Koordinasi Tidak Langsung Gambar 4.4 Mekanisme Koordinasi Kelembagaan-di sektor
Kedirgantaraan Pada Zaman Orde baru. Sumber: Hasil Olahan Penulis
Berdasarkan uraian sebelumnya, sebagaimana diterangkan dalam gambar
4.4, tampak bahwa tampak posisi Menteri Ristek sangat kuat karena langsung
dibawah presiden dan dapat mempengaruhi langsung kepada Presiden baik
sebagai Menristek itu sendiri maupun sebagai vice chairman dari DEPANRI
maupun BPIS. Keberadaan DEPANRI berperan sebagai think tank terkait arah
kebijakan iptek kedirgantaraan, kemudian Pendanaan PUNAS-RUT sebagai
instrumen pendanaan dan BPIS khususnya IPTN sebagai salah satu wahana alih
teknologi, ketiganya menjadi satu kekuatan yang integralistik dalam menjamin
efektivitas pendanaan inovasi khususnya dalam pembangunan iptek sektor
kedirgantaraan. Salah satu contoh lain selain dominasi pendanaan PUNAS untuk
bidang kedirgantaraan adalah dalam pembiayaan program N 250, karena sistem
keuangan waktu itu dinilai tidak elastis, maka dalam rangka mempercepat finish
contruction N 250, IPTN mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp. 400
miliar yang sebenarnya merupakan dana reboisasi dari Departemen Kehutanan
waktu itu.308 Bahkan selain dana reboisasi, dalam rangka mendukung
308 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.291
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
130
Universitas Indonesia
pengembangan pesawat terbang IPTN, pernah diambil pendanaan yang bersumber
dari pemotongan gaji PNS.309
Contoh lain yang menunjukkan kuatnya pengaruh politik Habibie terhadap
Presiden adalah pemberhentian proyek pesawat commuter XT-400 milik LAPAN.
Pada tahun 1977, LAPAN pernah mengembangkan pesawat perintis XT
(Experimental Transport) -400 dan disetujui oleh Menristek Soemitro
Djojohadikusumo serta didukung pula oleh BAPPENAS yang pada waktu itu
dipimpin oleh Widjoyo Nitisastro. Untuk alokasi anggaran proyek pengembangan
mencapai Rp. 100 juta.310
Dengan kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara, LAPAN telah berhasil
membangun mock-up pesawat dengan skala 1:1. Setelah desain dikoreksi lewat
mock-up, kemudian dilanjutkan pada perakitan prototipe yang harapannya akan
selesai pada tahun 1979/1980. Dalam rangka pengujian stabilitas, telah dirancang
model pesawat XT-400 dengan skala 1:5. Dari hasi pengujian pada ketinggian
250-300 meter, ternyata model pesawat tersebut tidak ada masalah dengan
stabilitasnya. Begitupun dari analisis ekonominya, Marsma Sugito seperti dikutip
Kompas (13/04/1978), mengungkapkan bahwa harga pesawat XT-400 ini (XT-
400) mencapai US$ 150.000-180.000, lebih murah daripada Islander (US$
220.000) dan menghemat devisa.311
Sejak pergantian kabinet pada oktober 1978, proyek XT-400 yang
pelaksanaannya hampir 50% tersebut diberhentikan oleh Menristek baru yang
terpilih yaitu B.J. Habibie. Walaupun banyak pihak yang menentang keputusan
tersebut, Menristek tetap memutuskan untuk memindahkan seluruh kegiatan
produksi pesawat terbang nasional termasuk kegiatan rancang bangun pesawat
terbang di IPTN.312 yang saat itu sedang memproduksi C-212 lisensi CASA,
309 Wawancara dengan bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan
Renaldi. pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT . lampiran 9.no.23.7 310 Sudiro Sumbodo, 2014. XT-400: Proyek Pesawat Komuter yang mati sebelum lahir
dalam Majalah Airliner World, Edisi 12 tahun 2014, h. 38. 311 Ibid.h.42 312 Hal ini bukan tanpa alasan, karena menurut Habibie bahwa kegiatan integrasi
teknologi adalah adanya di Industri bukan di lembaga litbang (Wawancara dengan Ketua Ti m Teknis DEPANRI, 2012, Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014, lihat lampiran 9.2.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
131
Universitas Indonesia
Spanyol. Padahal dalam lampiran pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16
Agustus 1978, nama proyek XT-400 tercantum dihalaman 74.313
Namun, kuatnya posisi BJ Habibie terutama dalam mendapatkan
dukungan secara kelembagaan bukan tanpa celah, terutama pada sektor
pendanaan, perbankan dan pemasaran pesawat terbang. Habibie mengeluhkan
kakunya birokrasi keuangan terutama dalam pendanaan khususnya desain pesawat
terbang N 250.314 Kedua, adalah masalah tidak adanya insentif kredit ekspor
terutama untuk pasar luar negeri telah menghambat sejumlah penawaran yang
berasal dari pasar luar negeri, bahkan hal ini dianggap sebagai salah satu gagalnya
penjualan sejumlah produk Industri Strategis yang termasuk dalam BPIS termasuk
industri pesawat terbang-IPTN waktu itu.315
Terkait itu, Habibie menuturkan316:
Sebenarnya saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan. Sudah ada
jawaban dan sudah mendapatkan izin. Tetapi tidak bergulir, dalam arti, tidak
ada inisiatif dari perbankan pemerintah atau swasta nasional untuk siap
mendukung penjualan produk BPIS dengan fasilitas kredit dari bank
kita..Kendati demikian, tidak berarti BUMNIS rugi terus karena kesulitan
penjualan...cuman jumlah penjualannya tidak mencukupi, karena konsumen
tidak mau beli dengan bayar kontan. Konsumen mau beli dengan fasilitas
kredit.....Daripada saya sorak-sorak disini tetapi tidak ada tanggapan, lebih
baik saya membuat patungan dengan United Emirate Arab (UEA), (oleh
karena) mereka tertarik untuk membentuk leasing company, bahkan tadinya
UEA minta supaya diberikan hak kepadanya untuk membiayai 100% seluruh
produk yang dijual BPIS, akhirnya saya membuat patungan dengan UEA
karena tidak (terdapat) jalan lain...Selain itu, belum lama ini ada seorang
teman Pak Bustanil Arifin dari Amerika Serikat yang dulu membantu finance
beras, dia mau ikut berpartisipasi dalam joint venture dengan UEA.
Bayangkan orang asing saja begitu. Tapi dari Indonesia tidak ada.
313 Sudiro Sumbodo, 2014. loc.cit, h. 42 314 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.291 315 Habibie, 1995.op.cit.h.289 316 Ibid.h.290-291
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
132
Universitas Indonesia
Selain pada kedua aspek di sektor keuangan tersebut, dukungan pada
kebijakan sektor industri juga tidak selaras dengan kebijakan pembangunan iptek
yang menekankan pada penguasaan dan pembangunan iptek yang memiliki nilai
tambah tertinggi. Kebijakan Pembangunan Industri pada saat itu, terutama melalui
Kementerian Perindustrian dan Perdagangannya justru lebih mengedepankan pada
empat strategi pembangunan resourced-based industries, yaitu: (Tabel 4.5).317
Tabel 4.5 Kebijakan Sektor Iptek vs Kebijakan Sektor Industri Tahapan Kebijakan Pembangunan
Industri berbasis pada Nilai Tambah tertinggi
Tahapan Kebijakan Pembangunan Industri berbasis pada Sumber Daya
Penggunaan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa
Peningkatan nilai tambah;
Integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi
Peningkatan kemampuan teknologi;
Pengembangan Teknologi Peningkatan produksi dengan kualitas tinggi; Penelitian Dasar Peningkatan partisipasi aktif sektor swasta
Selain masih lemahnya dukungan pada level kebijakan, lemahnya
komitmen politik pemerintah juga menjadi salah satu sebab kegagalan IPTN pada
saat itu terutama dalam pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada
penguasaan kemampuan pengembangan teknologi khususnya pesawat N 250.
Diantara bukti lemahnya dukungan politik pemerintah adalah: pertama,
penandatanganan nota kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional
(IMF) yang diwakili Mr. Michel Camdessu sebagai Direktur Pelaksana IMF
dengan pihak Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998.
Salah satu dari 50 butir yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) terutama
pada butir 4 Proyek Swasta C adalah berbunyi:
“Dana anggaran maupun non anggaran yang digunakan untuk program
IPTN dihentikan. Pendanaaan Proyek N 2130 segera dibuka bagi investasi
asing dan perbankan”.318
Pemberhentian dukungan pendanaan untuk IPTN tersebut kemudian dituangkan
dalam Inpres no.3/1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN.319
317 Rony M. Bisry dan Murman Hidayat, 1998. loc.cit.h.174. 318 Aboeng Koesman, Agustus 2001. Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara
Indonesia: Membuka paradigma baru. loc.cit .h.56.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
133
Universitas Indonesia
Padahal, dukungan pendanaan pemerintah untuk IPTN khususnya proyek
pengembangan N 250 dan N 2130 baik ditinjau secara teoritis maupun empirik
adalah satu hal yang sangat wajar, apalagi total sisa pendanaan yang dibutuhkan
untuk N 250 adalah hanya sekitar USD 150-200 juta atau sekitar Rp. 2 triliun320
dan jauh lebih besar dari pendanaan yang dibutuhkan untuk restrukturisasi
perbankan yang mencapai ratusan triliun rupiah.321Bahkan, pemerintah di negara-
negara maju sekalipun seperti AS dan Uni Eropa membantu industri pesawat
terbangnya dengan memberikan tender-tender proyek penelitian, pembuatan
mesin-mesin atau pesawat tertentu agar industri strategis itu bisa hidup.322
Walaupun belum ada bukti hitam diatas putih, pemberhentian dukungan
pendanaan untuk IPTN khususnya proyek pengembangan N 250 dan N 2130
sangat terindikasi adanya intervensi pihak asing. Beberapa indikasi tersebut
adalah: pertama, tekananan IMF kepada pemerintah untuk untuk menyediakan
pendanaan ratusan triliun rupiah untuk restrukturisasi perbankan, namun ironisnya
IMF menuntut Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pendanaan untuk IPTN
khususnya untuk N 250 yang telah menyelesaikan 800 jam flying test dari 1500
jam yang disaratkan untuk memperoleh sertifikasi FAA.
319 Kementerian Keuangan dalam FGD yang diadakan Kemenkeu tentang Pembahasan
Awal Wacana Peruntukkan Aset Hasil Program N 250, 4 Desember 2014. slide no.4 tentang Kronologis Program N 250.
320 A. Makmur Maka (2013). op.cit h.420; A, Makmur Maka (2012). op.cit.h.139 321 Ishak Rafiick, 2007. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi
1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, h. 236 322 Ibid. h. 234-236
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
134
Universitas Indonesia
Indikasi kedua, tekanan lembaga IMF supaya Pemerintah membiarkan
IPTN dan Texmaco mangkrak menimbulkan tanda tanya besar, kenapa kedua
perusahaan besar itu yang menjadi sasaran? bukan Chandra Asri, Astra atau
Indomobil yang juga mengalami kesulitan saat krisis?323 Jawaban sederhana
adalah baik IPTN maupun Texmaco,324 sama-sama mengembangkan potensi
industri manufaktur (potensi produktif) dengan berbasis pada kemampuan alih
teknologi, bukan sekadar tukang jahit (potensi konsumtif). Texmaco bergerak
untuk mengembangkan kemampuan teknologi Indonesia di darat dan di laut,
sedangkan IPTN berupaya mengembangkan potensi dirgantara, sehingga dari sisi
geopolitik, Indonesia bisa menjaga kedaulatan udaranya dengan pesawat-pesawat
buatan sendiri, sekaligus memudahkan penduduknya untuk menjelajahi tanah
airnya yang luas lewat penetrasi udara.325
Indikasi ketiga, dari sisi strategi pengembangan teknologi. Lompatan
IPTN dalam mendesain N 250 dan N 2130 dianggap sangat membahayakan
negara-negara maju. Hal ini sangat dimaklumi, bahwa jika N 250 berhasil, maka
sektor dirgantara Indonesia akan semakin kuat, baik secara SDM maupun bisnis.
Keberhasilan N 250 tersebut sekaligus merupakan modal yang sangat penting
untuk melanjutkan program pengembangan pesawat jet N 2130. Apalagi dalam
rangka pengembangan N 2130, segala langkah telah dipersiapkan dengan
323 Untuk Chandra Asri, pada saat krisis ekonomi 1997 terjadi, total kerugian perusahaan
milik konglomerat Prayogo Pangestu tersebut bahkan mencapai USS 500 juta. Anehnya, perusahaan yang ini tidak dibiarkan mangkrak. Sebagian besar utangnya malah dikonversi menjadi penyertaan modal pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah ikut pula menanggung beban- beban lain dari perusahaan konglomerat itu . Padahal dari sisi kinerja, PTDI jelas masih lebih baik daripada Chandra Asri (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.240). Adapun Grup Astra yang yang didirikan dan dibesarkan oleh William Suryadjaya, ketika krisis ekonomi 1997 terjadi mengalami dampak yang cukup serius, ketika krisis ekonomi terjadi, penjualan mobil Grup Astra langsung anjlok sampai tinggal sekitar 20%, bahkan penjualan sepeda motornya di Indonesia anjlok hingga 50% lebih (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.132). Suzuki Indomobil International milik Grup Salim, pada saat krisis ekonomi 1997 juga ikut terjerembab. Sebagaimana halnya Astra, Indomobil juga hanya menjalani fungsi marketing dari principalnya di Jepang, tak ada pembicaraan soal alih teknologi (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.228).
324 Untuk Perusahaan Texmaco, dengan kemampuan teknologinya yang advance bisa menyediakan mesin apa saja yang dibutuhkan negeri ini untuk industrialiasasi, mulai dari mesin tekstil, traktor tangan, mesin bubut, pengolah padi, kedele, jagung, sampai pembangkit listrik, mesin kapal dan tentu saja otomotif. Perusahaan yang didirikan Marimutu Sinivassan sejak awal dekade 60an ini mempunyal potensi besar untuk mengembangkan kemampuan teknologi Indonesia di darat dan di laut. Bahkan dia telah membuat mobil dengan kandungan lokal di atas 85%, termasuk blok mesinnya, sebelum krisis menghantam republik. Tanpa disadari, pelan tapi pasti, IMF mengembalikan Indonesia ke titik nol lewat pintu putar krisis dan mengarahkannya menjadi pasar (Ishak Rafiick, 2007. op.cit. h. 234).
325 Ishak Rafiick, 2007.op.cit., h. 234.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
135
Universitas Indonesia
matang.326 Jika Indonesia mampu membuat pesawat jet, maka Indonesia akan
mampu membuat pesawat tempur yang sangat berguna dalam membangun
kemandirian industri pertahanan nasional327, hal ini tentunya tidak diinginkan oleh
negara-negara maju.328
Indikasi keempat, terkait dengan klausul pada LoI pada butir 4 Proyek
Swasta C yang berbunyi :.. penghentian dana dari sumber non APBN untuk
IPTN.., karena sekitar empat bulan setelah Pesawat N 250 melakukan maiden
flight yaitu di tanggal 10 Agustus 1995, IPTN mendapatkan kunjungan dari
Organisasi Konferensi Islam (OKI) .329 Kunjungan yang terdiri dari 30 delegasi
anggota Islamic Development Bank (IDB) tersebut berlangsung selama kurang
lebih lima jam dan dipimpin langsung oleh Presiden IDB Fuad Abdullah Al-
Omar. Dalam kunjungan tersebut, Pimpinan IDB selain menyatakan rasa
bangganya tentang kemampuan IPTN dalam mendesain dan memproduksi
pesawat terbang juga akan aktif dalam membantu program N-250, khususnya
membantu dalam financing leasing untuk negara-negara OKI yang akan membeli
pesawat IPTN. Bahkan, selain bantuan pendanaan untuk N 250, IDB juga akan
membantu untuk produk-produk lainnya termasuk pesawat jet N 2130.330
Kuatnya hubungan Habibie dengan pimpinan negara OKI juga dibuktikan
dengan beberapa bantuan atau kerjasama yang telah dibangun antara Habibie atau
IPTN dengan OKI. Contoh pertama adalah komitmen negara-negara OKI seperti
Brunei, Maroko, Pakistan, Malaysia, Arab Saudi, United Arab Emirates dll dalam
membeli produk pesawat terbang IPTN sangat tinggi, khususnya pesawat CN
235.331 Bahkan, diantara mereka seperti United Arab Emirates memberikan
fasilitas pembayaran dengan sistem leasing dari Bank Nasional mereka dalam
326 Vertesy, D. and Szirmai, A. 2010. loc.cit.h.76 327 Lihat road map strategi transformasi IPTN, di Buku 25 Tahun PT. Dirgantara
Indonesia: Membuka paradigma baru.. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.h.32. 328 Kwik Kian Gie dengan judul: Cita-cita industri strategis; file audio rekaman
wawancara terhadap Kwik Kian Gie yang diambil dari https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-cita IndustriStrategis, diakses pad atanggal 14 Januari 2015.
329 Pada 28 Juni 2011, OKI mengubah namanya dari sebelumnya Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerjasama Islam (id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Kerja_Sama_Islam)
330 Harian Republika, tanggal 3 Desember 1995 dengan judul: IDB akan bantu leasing N 250.
331 Lihat kembali Uraian Pasar Penjualan Pesawat CN 235 di Bab I h.3 dan 17
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
136
Universitas Indonesia
pembelian pesawat terbang produk IPTN.332Contoh kedua adalah bantuan IDB
untuk pengembangan pesawat R-80 pada PT RAI bersama dengan PT DI, bantuan
tersebut bahkan mencapai USD 700 juta. Dana tersebut akan digunakan oleh PT
RAI bersama PT DI untuk mengembangkan pesawat N 250 menjadi pesawat R-80
yang ditargetkan akan melakukan maiden flight pada tahun 2018.333
Kuatnya dukungan OKI melalui IDBnya diduga tidak disukai oleh negara-
negara barat, apalagi Negara Indonesia adalah negara dengan jumlah kaum
muslimin terbesar di dunia, dengan penguasaan teknologi canggih khususnya
teknologi pesawat terbang akan sangat berpotensi mengancam hegemoni negara-
negara maju.334 Oleh karena itu, sangat sulit diingkari adanya ketidaksenangan
barat terhadap majunya Indonesia khususnya kemampuan Industri Pesawat
Terbang Nasional (IPTN) dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang
secara mandiri. Terkait dengan hal tersebut, Kwik Kian Gie335 mengatakan:
“ (terkait grand desain negara-negara maju agar kita tetap bergantung
kepada mereka), (memang) bukti tidak ada, tapi saya lihat kok haqqul yaqin,
tapi loh...loh.. tendensinya ke arah sana dan kemudian ada seperti
pengakuan dari Jhon Berbins segala..., memang disuruh ngerusak, disuruh
bergantung terus....”
Senada dengan Kwik Kian Gie maupun Ishak Rafick, terkait adanya
indikasi ketidakrestuan negara-negara maju terhadap tumbuh kembangnya industri
strategis khususnya IPTN juga dinyatakan oleh salah seorang Pakar Pesawat
Terbang Nasional, Jusman Syafi’i Djamal336 sebagai berikut:
332Wawancara GATRA dengan Habibie, dikutip dari: https://id-
id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan- N2130/214383261923875?v=info. Tentang masalah kredit ekspor tersebut dapat juga dilihat didalam: Habibie, 1995. op.cit. h.289-291
333 Berdasarkan FGD diselenggarakan Kementerian Ristek yang menghadirkan seluruh pakar kedirgantaraan dan PT RAI, juga hasil wawancara dengan Direktur Teknologi PT DI, 2014: bahwa dana yang dibutuhkan untuk pengembangan R-80 adalah sekitar US$ I juta, dimana US$ 700 Juta dari PT RAI yang diperoleh dari IDB. Lihat lampiran 9 dan 10.
334 Lihat wawancara dengan Nugroho Ananto, Kabag. Pengembangan Organisasi dan Sistem Manajemen -Badan Pengelola Industri Strategis pada tahun 1990. Lampiran 9. no. 39
335 Kwik Kian Gie dengan judul: Cita-cita industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadal Kwik Kian Gie yang diambil dari https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-citaIndustriStrategis, diakses pad atanggal 14 Januari 2015.
336 Dikutip dari dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06. http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:dialog-
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
137
Universitas Indonesia
“Dunia penerbangan atau tepatnya industri penerbangan PT Dirgantara
Indonesia, bukan kalah karena tenaga kerja kita tidak memiliki talenta untuk
menjadi engineer yang mumpuni di tingkat dunia. Tidak juga kalah karena
tidak dapat menghasilkan produk unggulan yang baik. Kita kalah karena
ketika pada 1997 (pada saat pengembangan N 250 dan rencana N 2130),
ketika krisis ekonomi, semua orang, baik di Indonesia maupun di
internasional, terutama para pengambil keputusan politik makro, memang
menyerahkan nasib IPTN ke tangan lembaga yang tidak menginginkan IPTN
tumbuh berkembang, yakni IMF dan Badan Keuangan dunia lainnya.”
“Mereka bilang, untuk apa Indonesia punya industri penerbangan? Kan
semuanya bisa dibeli. Untuk apa menguasai teknologi? Semua produk dan
jasa apa saja sudah tersedia di pasar global. Semua bilang, lebih baik IPTN
mati pelan-pelan dengan cara menutup kran sumber keuangannya.”
Terkait dengan adanya indikasi keengganan IMF atas tumbuh industri
strategis nasional khususnya IPTN juga dinyatakan oleh Sri Bintang Pamungkas 337 sebagai berikut:
“Kesepakatan antara IMF yang didukung oleh Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia dengan Presiden Soeharto atas pertimbangan Dewan
Ekonomi Nasional yang dipimpinnya sendiri bersama-sama para Mafia
Berkeley yang notabene sudah old cracks itu adalah sebuah kesepakatan
jahat yang menjebak Indonesia. Buktinya, pada awal Maret 1998 yaitu dua
bulan dari penandatangan LoI tersebut, Soeharto membuat pernyataan
bahwa butir-butir kesepakatannya dengan IMF dalam Letter of Intent tidak
bisa dilaksanakan, karena di dalamnya terkandung konsep ekonomi liberal
yang tidak sesuai dengan doktrin perekonomian Indonesia menurut UUD-
1945, yaitu Pasal 33.”
kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014.
337 Sri Bintang Pamungkas (2014). Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara di BAB II. BJ.Habibie: Menjadi Mangsa Naga Timur dan Barat. El Bisma. tribunrakyat.com/2014/01/17/bab-ii-bj-habibie-menjadi-mangsa-naga-timur-dan-barat/. diakses pada tanggal 13 Januari 2014
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
138
Universitas Indonesia
Pernyataan Sri Bintang Pamungkas sangat senada dengan apa yang
diungkapkan Rizal Ramli338 khususnya terkait dengan peran para Ekonom Mafia
Berkeley dalam Pembangunan Ekonomi Nasional. Rizal Ramli mengatakan:
“Ekonom Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia sebagai
subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal,
tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya
dengan mengikuti model Washington Consensus.”
Model Washington Consensus adalah resep kebijakan pembangunan yang
dianjurkan oleh Para Pejabat Washington yaitu Lembaga Keuangan Internasional
(IMF dan Bank Dunia) untuk negara-negara berkembang.339 Tiga dari 10 resep
Washington Consensus adalah liberalisasi, privatisasi dan meminimalisir
keterlibatan negara dalam kegiatan pembangunan340. Tipikal utama dari model
Washington Consensus adalah siklus terus-menerus dari "krisis ekonomi dan
akumulasi utang". Krisis ekonomi merupakan peluang untuk memaksa negara
yang bersangkutan melakukan hutang dan melakukan liberalisasi ekstrim,
privatisasi ugal-ugalan341 serta meminimalisir keterlibatan negara dalam
pembangunan. Fenomena ini persis yang terjadi dengan Indonesia khususnya
dalam kasus penghentian bantuan keuangan untuk IPTN”.
Disatu sisi, keberhasilan negara-negara seperti Jepang, Taiwan, Korea
Selatan, Malaysia, Cina, dan lain- lain justru karena negara-negara tersebut
melakukan penyimpangan dari model Washington Consensus. Negara- negara
tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan
yang seimbang antara negara dan swasta, serta meminimalisir ketergantungan
utang. Dua negara Asia, Indonesia dan Filipina yang patuh pada Washington
Consensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus- menerus, ketergantungan
338 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden
Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10
339 John Williamson (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for Development. p.1. A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. Institute for International Economics
340 John Williamson (2004). A Short History of the Washington Consensus. h.2. Paper commissioned by Fundación CIDOB for a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, September 24–25, 2004.
341 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
139
Universitas Indonesia
utang yang permanen, ketimpangan pendapatan sangat mencolok, dan menonjol
hanya sebagai eksportir Tenaga Kerja Wanita (TKW).342
Selain empat indikasi adanya intervensi negara-negara maju melalui
lembaga IMF, kegagalan Program Pesawat N 250 juga dapat dilihat dari aspek
persaingan usaha khususnya dengan CASA Spanyol. Hal ini disebabkan bahwa
ketika rencana pengembangan N 250 di publish, sebenarnya CASA Spanyol
berharap IPTN dan Pemerintah Indonesia kembali melakukan joint design dengan
CASA sebagaimana dalam CN 235. Namun, dalam kasus N 250, IPTN ingin
mengembangkan satu pesawat yang benar-benar 100% didesain dan diproduksi
diatas kemampuan nasional sebagaimana amanat Presiden Soekarno dan
Soeharto.343 Penolakan atas joint design dengan CASA tersebut sempat
menyebabkan kerenggangan hubungan antara CASA dengan IPTN waktu itu.344
Buktinya, di tahun yang sama yaitu di tahun 1998, ketika IMF melarang
pemerintah untuk memberikan bantuan pendanaan N 250,345 justru CASA
melakukan maiden flight C 295 dengan kelas 60 penumpang yang sejatinya
merupakan pesawat sekelas N 250 dan merupakan pengembangan dari CN 235.
Seiring dengan penandatangan nota kesepahaman antara Lembaga
Pendanaan Internasional (IMF) dengan pihak Indonesia pada bulan januari 1998,
terjadi perubahan pada segenap arah pembangunan iptek. Perubahan arah
pembangunan iptek tersebut merupakan salah satu indikasi adanya intervensi
Lembaga Pendanaan Internasional tersebut dalam proses perumusan sejumlah
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Indonesia.346
Arah kebijakan pembangunan Iptek, ekonomi dan industri baik di GBHN
1993 dan GBHN 1998 yang semula scara eksplisit menyatakan dukungan
penguasaan iptek umumnya dan termasuk sektor kedrigantaraan khususnya di
342 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden
Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10
343 Wawancara dengan BJ Habibie, lihat lampiran 9, no.1 344 Budi Santoso, 2011), dikutip di, http://abarky.blogspot.com/2011/02/ptdi-eads-siap-
bikin-pesawat-militer.htm). 345 Lihat kembali ulasan kegagalan N 250 pada Bab I h.12-15 346 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden
Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
140
Universitas Indonesia
tiadakan lagi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1999.347 Perubahan
pada arah pembangunan sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 menyebabkan
pada perubahan institutional arrangement pada level dibawahnya. Pada sektor
iptek contohnya, turunan Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Jakstranas Iptek) yang semula dalam bentuk Program Utama Nasional
(PUNAS) kemudian diubah menjadi Prioritas Utama Nasional (PUNAS) atau
Agenda Riset Nasional-ARN.348
Prioritas Utama Nasional (PUNAS) 2001-2005349 yang merupakan
turunan dari Jakstranas Iptek 2000-2004350 tidak lagi memasukkan bidang rancang
bangun khususnya pengembangan pesawat terbang sebagai salah satu program
utama nasional. Begitu juga di Jakstranas Iptek 2005-2009351 beserta Agenda
Riset Nasional untuk 2006-2009352, Pesawat terbang hanya menjadi sub bidang di
teknologi dan manajemen transportasi, itupun diperuntukkan hanya untuk studi
regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam (ARN 2006-2009). Di dalam
dokumen Agenda Riset Nasional untuk 2010-2014 pun tidak ada perubahan
dengan periode sebelumnya, hanya saja di dalam ARN 2010-2014, pesawat
terbang menjadi sub bidang HANKAM, dengan fokusnya pada pesawat terbang
tanpa awak. Pada sektor pendanaan, berdasarkan hasil kajian Kementerian Ristek
2012353, bahwa pengelolaan pendanaan inovasi yang ada saat ini yaitu Insentif
Riset yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Hibah Dikti yang dikelola oleh
Kementerian Diknas, dan LPDP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan masih
terkotak-kotak sesuai sektor atau lembaga pengelolanya (Gambar 4.5).
Insentif Riset SINas yang merupakan instrumen ARN masih belum secara
tegas diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan.
Sementara LPDP yang baru dimulai sejak tahun 2012, selain memiliki program
rispro juga memiliki program afirmasi nasional. Hibah Dikti yang merupakan
347 GBHN 1999, loc.cit di h.889-890 348Dini Okttaviyanti dkk, 2014. Analisis Analisis Perkembangan Kebijakan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi. h.4 349 PUNAS 2001-2005 350 Jakstranas Iptek 2000-2004 351 Jakstranas Iptek 2005-2009 352 Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014 353 Kementerian Ristek, 2012, Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional.
h.113
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
141
Universitas Indonesia
lembaga pendanaan yang dikelola oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) selama
ini masih lebih bersifat untuk mendorong academic exellance. Namun ketiga
lembaga pendaaan tersebut belum secara sinergik diarahkan untuk
mengembangkan teknologi dirgantara.
Gambar 4.5 Ilustrasi Sistem Pembiayaan Riset Saat Ini
Sumber: Asep Suryahadi-SMERU, 2012 dalam Laporan Kajian Kementerian Ristek, 2012
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
142
Universitas Indonesia
4.3. Potret Proses Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) pesawat
terbang N 250 pada level Operasional-Industri.
Didalam GBHN 1993 secara tegas dinyatakan bahwa dalam rangka
pembangunan ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, sangat perlu
dilakukan penataan industri nasional.354 Dalam kaitan itu, pembangunan industri
diarahkan pada penguatan dan pendalaman struktur industri untuk terus
meningkatkan efisiensi dan daya saing industri menuju kemandirian, serta
menghasilkan barang yang makin bermutu yang dikaitkan dengan pembangunan
sektor lainnya.355
Strategi transformasi industri yang digunakan adalah bertumpu pada
kemampuan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan bernilai
tambah yang tinggi. Sebagai wahana transformasi tersebut adalah dibangunnya
perusahaan BPIS.356 Diantara industri strategis yang termasuk dalam BPIS
tersebut, Industri Pesawat Terbang-IPTN adalah Industri yang memiliki nilai
tambah tertinggi357 serta mempunyai keterkaitan yang besar dengan pembangunan
sektor lainnya.358 Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan nilai tambah
(upgrading) pesawat terbang, IPTN mengadopsi empat tahap transformasi
Industri, yaitu Penggunaan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa,
Integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi Pengembangan
Teknologi Penelitian Dasar. 359 Dalam proses riset dan pengembangan tersebut,
IPTN didukung dan/atau bersinergi dengan Kemenristek, lembaga kajian
teknologi BPPT, laboratorium PUSPIPTEK dan ITB (Tabel 4.6).
Tahap pertama yaitu tahap yang paling mendasar adalah penggunaan
teknologi canggih atas dasar lisensi dalam produksi dalam negeri pesawat-pesawat
terbang. Tahap yang dimulai sejak tahun 1976 telah berhasil dengan baik. Produk-
produk pesawat terbang yang telah dihasilkan dalam tahap tersebut adalah
354 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
II/MPR/1993 dan Nomor : II/MPR/1998,tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. loc.cit.h.689 355 Habibie, 1995.op.cit.h.523-524 356 Ibid. h.566 357 Ibid. h.280 358 Ibid. .h.49 359 Harijono Djojodihardjo dan Darwin Sebayang, 2000. Pembudayaan Iptek melalui
pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
143
Universitas Indonesia
pesawat terbang NC-212.360 Selanjutnya memasuki tahap II yaitu integrasi
teknologi-teknologi canggih dalam desain dan pembuatan produk-produk baru.
Tahap ini dimulai sejak tahun 1980 dengan berpatungan dengan pihak CASA
(Construcciones Aeronauticas SA) Spanyol. Dan di tahun 1983, IPTN telah
berhasil merancang dan memproduksi pesawat CN 235.361
Tabel 4.6 Upgrading Teknologi Pesawat Terbang PT DI dalam empat strategi
industri Program/Inisiatif Empat Tahap srategi transformasi industry
1976 (Tahap I)
1980 (Tahap II)
1987 (Tahap III)
1994 (Tahap IV)
Produk Tipe Keandalan Misi Kepemilikan
NC-212 Low Speed in subsonic regim Multi propose Aircraft Licence Owner
CN 235 Medium Speed in subsonic regim Multi propose Aircraft Joint Venture
N-250 High Speed in subsonic regim (330 knot) dan jarak terbang 800 nm Commuter air craft Product Owner
N-2130 High Speed in transonic regim Regional Aircraft Product Owner
Teknologi Produksi Design
Penguasaan
Integrasi Penguasaan dan Integrasi
Pengembangan Pengembangan (riset-riset hilir)
Pengembangan Pengembangan (riset-riset hulu)
Pendanaan Pemerintah Pemerintah Pemerintah Swasta Sinergi Elemen triple helix –ABG dalam kegiatan riset dan pengembangan
ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK
ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK PUSPIPTEK
ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK PUSPIPTEK
ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK PUSPIPTEK
Kerjasama Internasional
CASA-Spanyol CASA-Spanyol Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll
Sumber: Habibie, 1995.op.cit.h.275-276; Djojodihardjo dan Sebayang, 2000. h.304
360 Habibie, 1995.op.cit.h.275; Djojodihardjo dan Sebayang, 2000.
op.cit.h.304 361 Ibid.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
144
Universitas Indonesia
Di tahun 1987, dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu tahap pengembangan
teknologi berupa penyempurnaan teknologi yang telah ada dan pengembangan
teknologi baru dalam rangka merancang dan membuat produk-produk masa
depan. Pada tahap ini telah dihasilkannya pesawat N 250 seri Gatot Koco dan
Krincing Wesi. Peluncuran N-250 yang mempergunakan teknologi fly-by wire
telah dilaksanakan 10 November 1994, sedangkan uji terbang untuk mendapat
sertifikasi FAA dimulai Agustus 1995.362 Tahap keempat adalah melakukan
penelitian dasar secara besar-besaran dengan rencana pengembangan pada
pesawat jet buatan Indonesia seperti pesawat penumpang berkapasitas lebih besar,
pesawat pelatih, serta pesawat tempur.363
Sampai dengan pengembangan N 250, IPTN tidak hanya telah
meningkatkan pengalaman dan keterampilan putera-puteri Indonesia dalam
memecahkan masalah-masalah kompleks dalam bidang material, bidang
aerodinamika, bidang konstruksi, bidang elektronika, kebisingan, dan sebagainya.
Tetapi juga ikut mengembangkan berbagai laboratorium di PUSPIPTEK,
Serpong, seperti Laboratorium Uji Konstruksi, Laboratorium Aerodinamika,
Gasdinamika dan Getaran, Laboratorium Elektronika, Laboratorium Kalibrasi,
Instrumentasi dan Metrologi, dan Laboratorium Propulsi.364
Selain itu, melalui N 250 juga diharapkan kedepan dapat mendorong
tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengannya dan juga pada
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dan dunia pendidikan yang merupakan
pusat-pusat keunggulan kehidupan bangsa.365 Dalam sebagian besar desain N 250
masih impor (lihat tabel 4.6), oleh karena itu dalam rangka pengembangan dan
manfacturingnya IPTN bekerjasama dengan perusahaan yang merupakan supllier
komponen N 250 seperti Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec,
Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll. 366 Oleh karena sebagian besar
komponen N 250 adalah berasal dari Amerika, maka pada waktu itu telah
ditandatangani kontrak untuk membangun assembling line di Alabama (US) dan
362 Ibid. 363 Ibid. 364 Ibid. 365 Ibid. 366 Habibie, 1995.op.cit.h.275-276
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
145
Universitas Indonesia
di Stuttgart.367Selain di Alabama (US) dan di Stuttgart, IPTN juga telah
mengadakan kerjasama dengan British Aerospace UK untuk memproduksi
pesawat N 250 dibawah lisensi IPTN.368 Sedangkan terkait sejumlah analisis
kegagalan N 250 pada level industri telah diuraikan dengan cukup rinci pada bab I
dan II.369
Dalam rangka pengembangan yang lebih sempurna dari N 250370, pada
tanggal 3 Mei 2013371 bertempat di PT DI, PT Dirgantara Indonesia (Persero)
telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia
untuk mengembangkan pesawat terbang turboprop modern berkapasitas 70-90
orang penumpang bernama Regioprop. Pengembangan Pesawat R-80
memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan
pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN-235) dan 1989 – 1996 (N-250). Pada
desain R-80 akan dilakukan beberapa upgrading teknologi dari N 250 (lihat
kembali tabel 1.8 pada Bab I).372
367 Wawancara antara Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014,
Metro Tv, lihat lampiran 9. no.32. 368 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74 369 Bab I pada halaman 12-14; Bab II pada halaman 46-48 370 Lihat hasil wawancara d engan Habibie di Rumah Beliau di Jl Patra Kuningan XIII, 14
Juli 2014pada lampiran 9 no 1 dan lampiran diskusi/FGD 10 no.3 371 Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan baik terhadap Sony Ibrahim dari PT DI
dan Budi Wibowo sebagai Program Manejemen PT RAI pada tanggal 2 Juni 2014 372 Hasil interview, baik yang dilakukan terhadap Presiden Direktur PT RAI, Agung
Nugroho di tempat di Kediaman Habibie di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. Juga terhadap Sony Ibrahim dari PT DI dan Budi Wibowo sebagai Program Manejemen PT RAI pada tanggal 2 Juni 2014
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
146
Universitas Indonesia
Gambar 4.6 Master Plan Regio Prop (R-80)
Sumber: Paparan PT Regio Aviasi Industri di dalam FGD yang dilakukan Kemenristek, 2014
Berdasarkan hasil FGD I yang diadakan Kemenristek tentang Persiapan
Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan
pengembangan “N 250” pada tanggal 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT dijelaskan
bahwa terkait Program and Financing Phases maupun Regioprop R 80 Program
Master Phasing Plan. Pesawat R-80 tersebut rencananya akan selesai melakukan
serangkaian pengujian uji terbang hingga mendapat sertifikat pengujian pada Mei
2018 (Gambar 4.6). Untuk gambaran kebutuhan pendanaan, SDM, fasilitas
pengujian dalam rangka upgrading N 250 telah dijelaskan pada bab
sebelumnya.373
Dari sisi keunggulan teknologi, pesawat R-80 nantinya akan lebih unggul
dibandingkan dengan dua pesaingnya yaitu dari ATR dan Bombardier (Tabel 4.7).
Tabel 4.7 Kelebihan R-80 dibandingkan ATR maupun Dash
373 Lihat kembali Bab I.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
147
Universitas Indonesia
ATR72-600 Dash8-Q-400 R-80
1. Design for low speed and
medium range Economical
for every short flight leg
(200-300nm)
2. Speed is not an important
requirement for the
operator and passengers
3. The aircraft doesn’t have
the capability to fly with
higher speed (> 300 knots)
and also has a marginal
OEI ceiling altitde
1. The Q-400 was designed to
carry more passengers, to
fly with very high cruising
speed and very long range
2. Better DOC/s-nm than
ATR-72 if and only if it is
flown for a range more
than 600 nm
3. The Q-400 has a higher
selling price than ATR-72
Payload and the speed (lebih
banyak penumpang
sebagaimana halnya Dash8-Q-
400, namun lebih cepat dari
ATR72-600. Keunggulan ini
akan berimplikasi pada
semakin efisiensinya operasi
penerbangan.
Sumber: Presentasi PT RAI di FGD yang diadakan oleh Kementerian Ristek, 2014
Terkait pasar R-80, saat ini perusahaan penerbangan yang telah komit
untuk membeli R-80 adalah NAM Air yatu anak perusahaan Sriwajaya Air,
sebanyak 100 unit, dengan perincian 50 firm order yaitu sesuai desain awal dan
50 unit bersifat optional order (berdasarkan masukan setelah dioperasikan). Selain
Nam Air juga Kalstar Air telah mengorder sebanyak 25 unit, dan Trigana
sebanyak 20 unit. Selain pasar domestik, pemesanan R-80 juga telah datang dari
perusahaan penerbangan luar negeri khususnya perusahaan penerbangan
Australia, perusahaan tersebut telah menyatakan minat untuk membeli 2 unit R-
80.374 Dalam rangka memastikan relevansi antara kebutuhan teknologi dengan
pasar, saat ini PT RAI telah membentuk Working Group Ariliner yang terdiri atas
Sky, Merpati, Wings, Citilink, Nam Air, Trigana, dan Kalstar.375
Namun untuk menghindari kegagalan yang dialami N 250, PT DI sangat
mengharapkan PT RAI dapat memberikan kepastian pada dua aspek yaitu pada
aspek pendanaan dan aspek pasar. Dalam pasar global, untuk bisa bersaing dengan
perusahaan-perusahaan pesawat seperti ATR –Perancis maupun Bombardier-
374 Hasil wawancara dengan Bagian Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12
Agustus 2014; dan Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9 . no 25.3. dan 15.5
375 Hasil wawancara dengan Bagian Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014; lihat lampiran 9 . no 25.5
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
148
Universitas Indonesia
Canada yang merupakan dua pesaing R-80, maka besarnya pangsa pasar serta
adanya komitmen dari perusahaan penerbangan sipil domestik akan dapat
mempengaruhi daya saing harga pesawat terbang dipasaran Global. Tingginya
komitmen pasar domestik terutama jika datang dari perusahaan-perusahaan
penerbangan kelas kakap akan menyebakan negara supplier engine memberikan
insentif atau potongan harga engine hingga 30%.376
376 Hasil wawancara dengan Direktur PT DI, Budi Santoso, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9 . no 21.3
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
149
Universitas Indonesia
4.4. Rich Picture tigal level kebijakan dalam mendorong upgrading N 250
Gambaran pada tiga level hierarki proses kebijakan baik pada level
kebijakan, level organisasi, dan level operasional dituangkan dalam bentuk rich
picture dibawah ini (Gambar 4.8).
N 219
Sektor Riset:Jakstranas, ARN ,Insentif riset SINas, Hibah
Dikti, LDPD
Sektor Keuangan, SDM, Infrastrustur
RPJPN dan RPJMN : Belum ada Arah Kebijakan Pembangunan IPTEK Sektor
Dirgantara 2005-2025)
LEVEL KEBIJAKAN
Komisi VII DPR
Perpres No. 32 Tahun2011/MP3Ei
Sinergi Kelembagaan
Tiga level hierarki proses Kebijakan
Tiplogi GV
C -H
ierarkiCulture:Iptek dengan nilai tambah terbesar dan yang paling segera memberikan dampak backward dan forward linkage sangat penting dalam meningkatkan peran iptek dalam pembangunan nasionalNilai kerjasama menjadi sangat penting, dalam menyusun satu tujuan bersamaBegitu juga nilai satu komitmen atau konsistensi menjadi penting dalam mendorong upgrading pesawat terbang komersial nasional
Concern:
Konsep kebijakan upgradingteknologi dalam global valuechain tipologi hierarki (Gereffi.,Humphrey dan Sturgeon, 2005)melalui pengkayaan pada konseptiga level hierarki proses kebijakan(Bromley, 1989) dalam rangkapeningkatan nilai tambah sektordirgantara.
Research Team:
1. Departemen Ilmu Admnistrasi UI
2. M. Athar Ismail3. Prof Marthani4. Prof Sudarsono
kemampuan pemasok terkait dengan tingkat sesuai kompleksitas produk
Pemasok –pemasok Market
“Next N” 250
LEVEL ORGANISASI
UU No. 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan
DEPANRI
Mendorong upgradingteknologi industri pesawat terbang
sehingg a survive dan berkelanjutan
Pesawat Nir Awak/komponen
Pesawat
Kemampuan Produksi, SDM, Infrastruktur, PendanaanLemah
Belum ada sistem pendanaan-
leasing, SDM akan menua, Lab
pengujian perlu direvitalisas/upgra
de
PT DI
Pada saat pengembangan N 250, Intervensi Pemerintah terhadap IPTN sangat tinggi-hierarki
Gambar 4.7. Rich Picture Sumber: hasil olahan peneliti
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
150
Universitas Indonesia
BAB V ANALISIS BERBASIS LOGIKA TERHADAP DUNIA NYATA DALAM KONSTRUKSI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM
MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI
5.1. Root Definition
Berdasarkan rich picture di Gambar 4.12377, teori Global Value chain
khususnya proses upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang IPTN akan
dijelaskan dalam kerangka tigal level hierarki proses kebijakan. Oleh karena itu,
akan dipilih empat sistem yang paling relevan, yaitu: pertama adalah sistem pada
tiga level hierarki proses kebijakan, kedua, adalah sistem pada masing-masing
level yaitu pada level kebijakan, level organisasi, dan pada level operasional
khususnya Industri. Dengan memperhatikan elemen CATWOE untuk menganalisa
proses transformasi, maka sistem ini dibuat menjadi empat (4) root definition
masing-masing tiga (3) root definition untuk problem solving interest, dan satu
(1) root definition untuk research interest (Tabel 5.1).
377 Lihat kembali pada Bab IV, Gambaran Umum Kondisi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
Dalam Mendorong Upgrading Teknologi Industri Pesawat Di Indonesia, Sub Bab 4.6 Rich Picture, h.146
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
151
Universitas Indonesia
Tabel 5.1 Root Definition Penelitian
Hierarki Proses Kebijakan Nama RDs Kegiatan Ket
Tiga level hierarki proses kebijakan
Rekonstruksi Konsep Upgrading-Global Value Chain IPTN dengan Konsep Tiga level hierarki proses kebijakan
Sistem yang dimiliki dan dioperasionalkan oleh peneliti beserta promotor dan kopromotor (academic advisor) dalam rangka menggunakan Konsep Upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengkayaan Konsep Tiga level hierarki proses kebijakan (P) melalui riset tindakan berbasis riset interest SSM (Q) untuk menjamin dihasilkannya konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)
RD1
Level Kebijakan Regulasi terkait Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Nasional
Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Kemenristek, Dirjen Anggaran Kemenkeu, BAPPENAS, Komisi VII DPR dan Presiden untuk mengkonstruksi arah pembangunan Iptek kedirgantaraan nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali arah kebijakan pembangunan sektor dirgantara, supaya dapat mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendraftkan arah kebijakan pembangunan iptek kedirgantaraan yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)
RD2
Level Intersektoral
Sinergi kelembagaan untuk mendukung kegiatan upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang
Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Kemenristek, DEPANRI, BAPPENAS, ,Kementerian Keuangan untuk mengkonstruksi model sinergi kelembagaan secara nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali mekanisme sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)
RD3
Level Industri Peningkatan strategi manajemen bisnis
Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT DI untuk mengkonstruksi strategi manejemen bisnis (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali tahapan bisnis dalam mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendapatkan strategi manejemen bisnis yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)
RD4
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
152
Universitas Indonesia
5.1.1 Root Definition Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
Root Definition satu sebagaimana telah tertuang dalam Tabel 4.8 diatas,
kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 5.2).
Tabel 5.2. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1
Customer Peneliti, Promotor, dan Kopromotor Actors Peneliti, Promotor, dan Kopromotor Transformasi Rekonstruksi konsep kebijakan Upgrading
Teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengayaan konsep tiga level hierarki proses kebijakan
Weltanschauung Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang perlu dimodifikasi dengan pengayaan konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk menjamin dihasilkannya konsep kebijakan upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan kemandirian kedirgantaraan nasional di Indonesia
Owner (s) Peneliti, Promotor, Kopromotor, dan Program Doktor Ilmu Administrasi (PDIA) FISIP UI
Environment (e) Keterbatasan waktu dan anggaran
Pemilihan RD atau selecting relevant system atas konsep kebijakan upgrading
teknologi-GVC dengan pengkayaan tiga level hierarki proses kebijakan ini didasari
oleh konsep Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005 tidak cukup menjawab persoalan
kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang membutuhkan analisis
pada level kebijakan, level organisasi dan level operasional/industri.
5.1.2 Root Definition pada Level Kebijakan
Root Definition pada level kebijakan sebagaimana telah tertuang dalam Tabel
5.1 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE
(Tabel 5.3).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
153
Universitas Indonesia
Tabel 5.3. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2
Customer Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, DEPANRI, BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri.
Actors Kemenristek, BAPPENAS, Komisi VII DPR dan Presiden Transformasi Dimasukkannya Arah Pembangunan Iptek sektor
Kedirgantaraan Nasional dalam dokumen pembangunan nasional: Dari tidak ada menjadi ada
Weltanschauung Tercantumnya arah pembangunan Iptek sektor Kedirgantaraan Nasional dalam dokumen pembangunan nasional sangat penting untuk mendorong peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang
Owner (s) Komisi VII DPR, Presiden Environment (e) Pihak yang menganggap pembangunan Iptek sektor
dirgantara sebagai sektor yang tidak perlu dimasukkan secara tegas dalam rencana pembangunan nasional.
5.1.3 Root Definition pada Level Organisasi
Root Definition pada level organisasi sebagaimana telah tertuang dalam Tabel
4.8 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE
(Tabel 5.4).
Tabel 5.4. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3
Customer Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri.
Actors Kemenristek, DEPANRI, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Transformasi Sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi
pesawat terbang sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang: Dari tidak sinergi menjadi sinergi
Weltanschauung Sinergi kelembagaan sangat penting dalam mendorong upgrading teknologi pesawat terbang pada GVC Industri Pesawat Terbang
Owner (s) BAPPENAS Environment (e) Pihak yang menilai kelayakan ekonomi terutama dari hasil
inovasi hanya dalam jangka pendek.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
154
Universitas Indonesia
5.1.4. Root Definition pada Level Operasional
Root Definition pada level operasional sebagaimana telah tertuang dalam
Tabel 5.5 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik
CATWOE (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4
Customer Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri.
Actors PT DI Transformasi Meningkatnya kemampuan perusahaan dalam membangun
jejaring atau konsorsium dalam rangka risk sharing partnership baik pada tahap desain hingga produksi: Dari rendah menjadi tinggi.
Weltanschauung Kuatnya strategi manajemen bisnis pesawat terbang sangat penting dalam peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia
Owner (s) PT DI dan PT RAI Environment (e) Belum ada sistem leasing untuk pesawat terbang dari
perbankan nasional
5.2. Konseptual Model
5.2.1. Model Konseptual Model berdasarkan RD-1
Model konseptual upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang
dengan pengayaan dengan konsep tiga level hiearki proses Kebijakan sebagaimana
digambarkan dalam Gambar 5.1 mengandung kegiatan sebagai berikut:
1. Memahami konsep upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang
terhadap konteks permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang
di Indonesia
2. Menelaah konsep upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang
terhadap perkembangan teori
3. Menelaah hubungan antara konsep struktur GVC dan teknologi organisasi
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
155
Universitas Indonesia
4. Menelah konsep tiga level hiearki proses Kebijakan terhadap konteks
upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
5. Menelaah secara mendalam hubungan antara konsep Upgrading pada GVC
Industri Pesawat Terbang dengan Konsep tiga level hiearki proses Kebijakan
6. Konstruksi kebijakan Upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat
Terbang berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan yang sesuai
dengan kebutuhan konteks Industri Pesawat Terbang
7. Studi lapangan dengan melihat implementasi tiga level hiearki proses
kebijakan serta hubungan antar ketiganya dalam konteks upgrading teknologi
Industri Pesawat Terbang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
156
Universitas Indonesia
Gambar 5.1. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk Mengkonstruksi
Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat
Terbang dengan Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses
Kebijakan
5.2.2. Model Konseptual Model berdasarkan RD-2
Model konseptual tingkat kedua untuk mengkonstruksi arah pembangunan
kedirgantaraan nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali kebijakan
pembangunan dalam peningkatan nilai tambah -upgrading industri pesawat terbang
pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendraftkan
arah kebijakan pembangunan kedirgantaraan nasional yang dapat mendukung
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
157
Universitas Indonesia
kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia
(R).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya
adalah sebagai berikut.
1. Mengumpulkan bahan-bahan evaluasi pembangunan Iptek sektor kedirgantaraan pada periode sebelumnya.
2. Mengumpulkan pemikiran-pemikiran visioner terkait pembangunan Kedirgantaraan.
3. Menyusun rancangan awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan.
4. Rancangan Awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan selanjutnya dibahas dalam Musrenbang RPJP Nasional yang dihadiri oleh segenap pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, lembaga-lembaga non-pemerintah, para penyelenggaran negara, maupun individu yang berminat terhadap pemikiran-pemikiran jangka panjang.
5. Dengan mempertimbangkan aspirasi para pemangku kepentingan yang tertampung dalam Musrenbang ini, Rancangan Awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan diatas diperbaiki dan kemudian menjadi Rancangan Akhir yang akan dimasukkan dalam RPJP Nasional.
6. Rancangan Akhir RPJP yang telah memuat arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan tersebut disampaikan ke Presiden dan bila perlu dibahas dalam Sidang Kabinet
7. Rancangan Akhir RPJP Nasional yang telah memuat arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan tersebut selanjutnya diajukan ke DPR sebagai Rancangan Undang Undang tentang RPJP Nasional inisiatif Pemerintah.
8. Setelah melewati proses legislasi dan disetujui untuk diundangkan, RPJP Nasional yang baru yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut ditetapkan dengan Undang Undang.
9. RPJP kemudian menjadi acuan dalam penyusunan RPJPMN
10. Penyiapan rancangan awal RPJPMN
11. Penyiapan rancangan renstra non tenknoratik
12. penyusunan rancangan RPJPMN berdasarkan rancangan renstra KL
13. Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah Nasional (teknoratik)
14. Penyusunan Rancangan Akhir RPJPMN
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
158
Universitas Indonesia
15. Penetapan RPJPMN dengan Perpres
16. Sosialisasi Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan ke Instansi terkait
Gambar 5.2. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memasukkan Arah
Pembangunan Iptek Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam Dokumen
Pembangunan Nasional.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
159
Universitas Indonesia
5.2.3. Model Konseptual Model berdasarkan RD-3
Model konseptual tingkat ketiga untuk mengkonstruksi model sinergi
kelembagaan secara nasional dengan menggunakan SSM untuk menggali mekanisme
sinergi kelembagaan dalam peningkatan nilai tambah -upgrading pada GVC Industri
Pesawat Terbang di Indonesia, dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan yang
dapat mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat
terbang di Indonesia.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya
adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan FGD yang meilbatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan
tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia
2. Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading)
Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat
Terbang di Indonesia
3. Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk
Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal sebagai payung hukum
dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan
infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
4. Melakukan penelahaan terhadap bentuk peran antar lembaga dalam
mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur
pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
5. Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam
mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur
pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
6. Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan
infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
7. Mendesain sistem pendanaan pengembangan pesawat terbang dan
pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
8. Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan
9. Mendapatkan Persetujuan DPR.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
160
Universitas Indonesia
1.Mengadakan FGD yang meilbatkan DEPANRI
dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi
Kebangkitan IndustriPenerbangan Indonesia
.
2.Melakukan kajian kebijakan
untuk mendukung pengembangan (upgrading)
Pesawat Terbang danpembangunan infrastruktur
pendukung.
3.Meminta kesediaan DEPANRI
untuk mengadakan pertemuandan membentuk Tim Perumusyang akan merumuskan aspek
legal dalam mendukung pengembangan pesawat terbangdan pembangunan infrastruktur
pendukung.
4.Melakukan penelahaan
terhadap bentuk peran antar lembaga dalam mendukung
pengembangan pesawat terbang dan pambangunaninfrastruktur pendukung
industri Pesawat Terbang diIndonesia
5.Melakukan FGD untuk
mendesain model sinergi antara lembaga dalam
mendukung pengembanganpesawat terbang dan
pembangunan infrastruktur pendukung
6.Policy Paper “Pembiayaanpengembangan pesawat
terbang dan pembangunaninfrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang
di Indonesia.
7.Mendesain sistem
pendanaan pengembanganpesawat terbang dan
pembangunaninfrastruktur pendukung
8.Mendapatkan Persetujuan
Departemen Keuangan
10.Monitor 1-9
11.Kriteria: Efikasi, Efisiensi
dan efektivitas
12Kontrol
9.Mendapatkan
Persetujuan DPR.
Gambar 5.3. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Membangun Sinergi
Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi pada GVC
Industri Pesawat Terbang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
161
Universitas Indonesia
5.2.4. Model Konseptual Model berdasarkan RD-4
Model konseptual tingkat keempat untuk mengkonstruksi strategi manejemen
bisnis dan penguatan TKDN dengan menggunakan SSM untuk menggali tahapan
bisnis dalam peningkatan nilai tambah -upgrading pada GVC Industri Pesawat
Terbang di Indonesia, dalam rangka mendapatkan strategi manejemen bisnis dan
peningkatan TKDN yang dapat mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah
(upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Mengukuhkan visi dan misi industri dirgantara, yang lebih menitiberatkan
pada kemandirian ekonomi.
2. Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan
bisnis plasma (non-core)
3. Memperkuat komposisi SDM secara optimal antara non technical dan SDM
yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya.
4. Menargetkan peningkatan delivery dari core business maupun dari plasma
bisnis
5. Unit sales dan marketing mengembangkan strategi pemasaran/penjualan
Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting,
positioning, and differentiation
6. Melakukan konsorsium inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan
lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan
sharing pendanaan, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang.
7. Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan
pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang;
pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri
komponen pesawat terbang.
8. Pencapaian customer lead time untuk produk pesawat terbang melalui
perbaikan production lead time
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
162
Universitas Indonesia
9. Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan,
persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya
komisi penjualan.
1.Mengukuhkan visi dan misi industri dirgantara,
yang lebih menitiberatkan pada
kemandirian ekonomi..
2.Menetapkan prioritas
bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat
terbang dan bisnis plasma (non-core)
.
4.Menargetkan peningkatan delivery dari core businessmaupun dari plasma bisnis
3.Memperkuat SDM antara non
technical dan SDM yang terkait proses industri,
engineering, dan pendukung lainnya.
6.Melakukan konsorsium
inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam
negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing
pendanaan, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan
pesawat terbang.
7.Memanfaatkan fasilitas dan
insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait
insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan
infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri komponen pesawat
terbang.
5.Unit sales dan marketing mengembangkan strategi
pemasaran/penjualan Jangka Panjang berdasar pada
pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and
differentiation”
10.Monitor 1-9
11.Kriteria: Efikasi, Efisiensi
dan efektivitas
12Kontrol
8.Pencapaian customer lead
time untuk produk pesawat terbang melalui
perbaikan production lead time
9.Melakukan kajian yang
terkait peningkatan produktivitas, penjualan,
persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian
piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Gambar 5.4. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memperkuat
Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri Pesawat
Terbang.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
163
Universitas Indonesia
BAB VI TEMUAN HASIL PENELITIAN
6.1. Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata
6.1.1. Pada Level Kebijakan- Arah Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara
Berdasarkan penelaahan UU 17 2007 beserta lampirannya, bahwa didalam
RPJPN 2005-2025 tersebut belum secara tegas mengekspresikan satu arah pem
bangunan sektor dirgantara. Bahkan, arah pembangunan iptek secara umum hanya
bersifat jangka pendek khusunya di RPJMN III dan RJPMN IV (Gambar 6.1).
Gambar 6.1. Arah Pembangunan dalam RPJPN
Sumber: RPJPN 2005-2025
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa fokus pembangunan sektor
dirgantara tidak secara ekplisit dinyatakan dalam RPJPN kecuali dikaitkan dengan
moda (angkutan) udara yang diprioritaskan untuk daerah terpencil378. Oleh karena itu,
dalam salah satu FGD antara Kementerian Ristek dengan Dewan Riset Nasional
(DRN) untuk membahas arah pembangunan iptek dalam RPJPN sebagai panduan
dalam penyusunan Arah Agenda Riset Nasional dan RPJPMN 2015-2019
378 Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata,
Kamis 12 Juni 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.6.3
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
164
Universitas Indonesia
mengemuka tentang kurangnya keperpihakan RPJPN terkait pembangunan
kemandirian iptek (Gambar 6.4).379
Jika melihat dokumen RPJPN tersebut memang nampak bahwa telah ada arah
pembangunan iptek dalam RPJPN tersebut, namun masih bersifat jangka pendek,
karena pada RPJMN III sudah tidak berbicara pembangunan iptek namun lebih pada
kemanfaatan iptek untuk pembangunan. Tentunya pendekatan RPJPN dan RPJPMN
tersebut dalam upaya hilirisasi hasil iptek hingga memiliki economic benefit dalam
jangka pendek (RPJPMN III) umumnya sangat sulit terjadi kecuali untuk jenis
teknologi yang pasar dan spesifikasinya sangat dinamis seperti teknologi Handphone,
Gadget dan sejenisnya. Untuk bidang inovasi teknologi pesawat terbang, proses
mendapatkan economic benefitnya sangat membutuhkan biaya dan komitmen jangka
panjang pemerintah. 380
Arah pembangunan iptek terutama sektor kedirgantaraan secara tegas baru
diamanahkan dalam uu beserta turunannya yang berasal dari inisiasi sektoral. Mulai
dari UU No. 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan khususnya dalam pasal 104
disebutkan bahwa: “Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah dan
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga
Nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. Disebutkan juga
bahwa dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah wajib menyediakan
lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan
serta kompensasi lainnya.
Selain telah diatur dalam UU No. 1 tahun 2009, dukungan pembangunan
sektor dirgantara juga telah diatur dalam peraturan-peraturan lainnya seperti Perpres
No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Peraturan Menteri
379 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN)
periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014, lihat lampiran 10, no.11. 380 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun),loc.cit. h. 11-12.; Francis, J. G., & Pevzner, A.
F./2006. loc.cit.h.1-2.; Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010,loc.cit.. h.81.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
165
Universitas Indonesia
Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional hingga
Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei.381
Selain telah ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 2009 maupun peraturan
dibawahnya seperti Perpres No. 32 Tahun 2011, pengembangan iptek sektor
dirgantara juga kemudian didukung melalui Keputusan Menteri Negara Riset Dan
Teknologi Republik Indonesia Nomor 16 /M/Kp/II/2013, Tentang Penugasan Para
Deputi Untuk Melaksanakan Pendalaman Penguasaan 16 (Enam Belas) Isu Strategis
Pembangunan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi. Salah satu isu strategis yang
bersifat spesifik adalah Penerbangan dan Antariksa (Tabel 6.1).
Tabel 6.1 Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2013
Sumber: Lampiran Kepmenristek Nomor 16 /M/Kp/II/2013, tanggal 28 Februari 2013
Bahkan dalam salah satu penggalan pidato Menristek dalam acara Lokakarya
Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan tema: “Iptek Penerbangan Yang
Tangguh Dalam Era Globalisasi”, Jakarta, 20 Desember 2012 dihadapan Anggota
381 Lihat kembali pada Tabel 4.1 Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan, Bab IV h.107-110.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
166
Universitas Indonesia
KKIP, DEPANRI, LAPAN, LPNK, dan Pelaku Industri, Menristek Gusti Mummad
Hatta mengatakan bahwa:
“Peran angkutan udara sangat vital di Indonesia, disamping sebagai alat
transportasi yang cepat dan kemampuan penetrasinya hingga ke pelosok
wilayah yang terpencil di Indonesia, juga sebagai salah satu alat pemersatu
bangsa. Oleh karena itu diperlukan kondisi dunia penerbangan yang solid,
kuat dan terarah, sehingga mampu menghubungkan beribu-ribu pulau dan
membangun setiap daerah yang ada di Indonesia secara adil dan merata” Kuatnya dukungan politik yang kemudian diterjemahkan dalam dukungan
sektoral akhirnya melahirkan program nasional pesawat perintis/feederliner N 219.
Program N 219 merupakan program yang diinisiasi oleh PT DI bersama LAPAN dan
Kementerian Perindustrian (Kemenperind) serta didukung oleh DEPANRI (Dewan
Penerbangan Republik Indonesia).382 Dukungan kebijakan tersebut terutama dari
sektor Iptek sejatinya tidak terrencana dengan baik, karena program N 219 bukan
merupakan bidang prioritas Jakstranas serta ARN 2010-2014. Bahkan secara
nasional, program N 219 belum secara tegas dinyatakan, baik dalam RPJPN maupun
dalam arah RPJMN I hingga RPJMN II. Ketidakselarasan antara sektor iptek dengan
sistem perencanaan nasional juga masih terjadi dalam proses perumusan arah
pembangunan Iptek sebagai bahan masukan untuk RPJPMN III periode 2015-
2019.383 Rancangan Agenda Riset Nasional yang merupakan inisiasi bersama antara
DRN-Kementerian Ristek dengan rancangan pembangunan iptek yang diusung oleh
BAPPENAS masih belum harmonis (Tabel 6.2).
382 Bahan Paparan Kementerian Ristek di FGD yang dilakukan Kemenristek, 2012 tentang
Status Pengembangan Pesawat N219. 383 MoM dari Sidang Paripurna Dewan Riset Nasional 2014, 26 Juni 2014.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
167
Universitas Indonesia
Tabel 6.2 Arah Pembangunan Iptek 2015-2019 KEMENRISTEK vs BAPPENAS384
BIDANG DRN-KEMENRISTEK BAPPENAS Pangan 1. Program Pengembangan pangan berbasis
lahan suboptimal dengan pendekatan sistem pertanian terpadu
2. Pengembangan bioindustri pertanian berbasis kelapa sawit
3. Pengembangan pangan berbasis sumber daya kelautan.
Pencairan bibit unggul tamanan pangan yang mampu tumbuh subur dilahan suboptimal
Energi 1. Panas Bumi 2. Bio Energi 3. Konservasi Energi
1. Pembangunan Listrik Tenga Nuklir dan
2. Pembangkit Listrik Panas Bumi
Kesehatan 1. Tema Riset Pengembangan Vaksin 2. Tema Riset Pengembangan Diagnostik
dan Alat Kesehatan 3. Tema Riset Pengembangan produk
Biofarmasi-Biosimilar dan Sel Punca 4. Tema Riset Pengembangan Bahan Baku
Obat dan Obat Herbal 5. Tema Riset Pengembangan Pangan
Nutrisi Khusus 6. Tema Riset Otak Sehat untuk
membangun karakter bangsa
1. Pembangunan Pusata Genomik Indonesia
2. Penelitian Penyakit Tropis
Transportasi 1. Teknologi Sarana Transportasi 2. Teknologi Prasarana Transportasi 3. Teknologi untuk Sistem & Manajemen
Pengoperasian Transportasi
Akan menyelesaikan
pengembangan pesawat kommuter
N 219385 (menyelesaikan dua
prototipe untuk uji statisk, dan dua
prorotipte untuk uji terbang)
Teknologi Informasi Dan Komunikasi
1. Aplikasi 2. Infrastruktur 3. Content
Pengembangan infrastruktur TIK Pengembangan system perangkat lunak berbasis open source khususnya sistem TIK untuk mendukung e-gov
Hankam 1. Teknologi Pendukungan Daya gerak 2. Teknologi Pendukunga Daya tempur
Mendukung pelaksanaan kebijakan industri strategis hankam
384 Saat ini (peneliti kebetulan bertindak sebagai koordinator kajian peyusunan ARN 2015-
2019) sedang dalam proses sinkronisasi antara arah pembangunan iptek, baik yang ada dalam Jaksranas Iptek dan ARN 2015-2019 dengan 9 Agenda Nawa Cita Jokowi JK. Terkait sektor dirgantara khusus pengembangan teknologi pesawat terbang akan menjadi bagian dari Agenda No.I Nawa Cita khususnya point 3 terkait kedaulatan maritim dan secara umum juga menjadi bagian dari Agenda 7 yaitu terkait mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan sistem inovasi nasional .
385 Berdasarkan hasil wawancara terakhir yang dilakukan: Pertama, dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, 17 November 2014. Bahwa program N 219 akan terus disupport. Lihat lampiran 9 no.6.4. Kedua, dengan Deputi Relevansi Program Iptek, pada tanggal 24 November 2014, bahkan sebagaian rekomendasi dari penelitian telah dipresentasikan ke Deputi untuk dilaporkan ke Menristek Dikti terkait dukungan pembangunan iptek sektor dirgantara.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
168
Universitas Indonesia
3. Teknologi Pendukung (Radar, CMS dll) Material Maju 1. Material katalis
2. Industri Baja: Bahan Baku dan Produk 3. Material Maju Tanah Jarang 4. Energi Storage 5. Fungional dan Nano Material
Membangun pusat keunggulan nasional untuk magnet permanen, dan pengolahan logam tanah jarang, material baterei padat, material berbasis silikon
Sosial dan Humaniora
1. Politik Iptek (Cinta Produk Dalam Negeri, Nasionalisme)
2. Leadership 3. Politic Etnics
Sumber: Sidang Paripurna DRN I 2014, di BPPT
Berdasarkan obervasi penulis baik dalam sejumlah diskusi dengan
BAPPENAS maupun dengan DRN termasuk hasil pengamatan penulis dalam Sidang
Paripurna Dewan Riset Nasional 2014, 26 Juni 2014, diketahui bahwa dokumen
Jakstranas Iptek beserta ARN yang didasarkan pada UU 18/2002 dan Inpres 4 /2003
belum menjadi bagian yang intergralistik dalam alur perencanaan dan penganggaran
nasional yang didasarkan pada UU 17/2007 tentang RPJPN dan UU 17/2003
Tentang Keuangan Negara, kedua undang-undang terakhir berdasarkan pada UU
25/2005 Tentang Sisrenbangnas (Gambar 6.2).
Diacu DiperhatikanDiserasikan Melalui Musrenbang
RKP RPJM
NasionalRPJP
Nasional
Renstra KL
Renja - KL
RAPBN
RKA-KL
APBN
Rincian APBN
Pedoman Dijabarkan Pedoman
Pedoman
Pedoman
Pedoman
Diacu
Pemerintah
Pusat
RPJM Daerah
RPJP Daerah
RKP Daerah
Renstra SKPD
Renja -SKPD
RAPBD
RKA -SKPD
APBD
Rincian APBD
Pedoman
Pedoman
Pedoman Dijabarkan
Pedoman
PedomanDiacu
UU SPPN
Pemerintah
Daerah
UU KN
Bahan Bahan
Bahan Bahan
Gambar 6.2. Alur Perencanaan Dan Penganggaran
Sumber: Bahan Sosialisasi Umum BAPPENAS, 2006
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
169
Universitas Indonesia
Dalam RPJPN 2005-2025, pembangunan iptek secara tegas hanya dinyatakan
dalam RPJPMN tahap II, untuk RPJPMN tahap III maupun tahap IV, pembangunan
iptek termasuk didalam sektor kedirgantaraan tidak secara tegas disebutkan. Hal ini
menunjukkan bahwa asumsi RPJP adalah bahwa setelah pembangunan iptek dalam
lima tahun, tahap selanjutnya iptek tersebut seharusnya menjadi tools dalam
pembangunan, dengan kata lain bahwa pendekatan pembangunan iptek yang bermula
di akhir dan berakhir dimula terutama dengan wahana pembangunan iptek yang
memberikan nilai tambah terbesar yang memerlukan dukungan politik dan ekonomi
yang bersifat jangka panjang belum dapat diterima pada perspektif para perancang
pembangunan nasional saat itu.386 Dengan bahasa yang lebih populer adalah,
kontroversi antara pendekatan habibienomics vs widjojonomiecs387 yang sudah
muncul pada era orde baru masih sangat mempengaruhi penyusunan RPJPN pada
saat itu.
Ditambah lagi krisis ekonomi 1997-1998, dalam rangka pemulihan
ekonominya, salah satu reaksi yang dilakukan pemerintah adalah memutuskan untuk
memberhentikan program N 250 berikut segala regulasi pendukungnya termasuk
pembubaran BPIS. Banyaknya investasi yang telah dikeluarkan pemerintah dalam
pengembangan industri yang memiliki kandungan teknologi tinggi adalah tentunya
satu konsekuensi logis baik dipandang secara teoritis maupun empiris dari satu
pilihan kebijakan.
Kegagalan IPTN dengan N 250nya kemudian setelah krisis ekonomi
kemudian lebih dijadikan sebagai trauma politik atau lebih tepatnya adalah dianggap
sebagai bukti kegagalan pendekatan pembangunan iptek yang bermula di akhir dan
berakhir dimula terutama dengan wahana pembangunan iptek yang memberikan nilai
tambah terbesar yang bercirikhas kandungan teknologi yang tinggi. Mentalitas itu
kemudian menurut penulis merupakan menjadi belief yang sarat akan penilaian yang
sempit dan instant terhadap satu pendekatan pembangunan yang tentunya segala
sesuatunya selain memiliki dasar filosofis empiris dan teoritis juga memiliki
386 Lihat lampiran 10. 11.FGD yang dilakukan Kemenristek dalam rangka kajian penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014
387 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.41
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
170
Universitas Indonesia
implikasi logis dari satu pilihan kebijakan. Dengan kekuatan politik yang dimiliki
oleh sebagian para elit pelaku pembangunan, belief tersebut kemudian tertuang
dalam arah pembangunan nasional umumnya dan arah pembangunan kemandirian
teknologi kedirgantaraan secara khusus.388
Perubahan arah dukungan politik tersebut, berimplikasi pada perubahan arah
pada kebijakan sektornya, hal ini dibuktikan bahwa sejak Prioritas Utama Nasional
(PUNAS) 2001-2005 yang merupakan turunan dari Jakstranas Iptek 2000-2004389
tidak lagi memasukkan bidang rancang bangun khususnya kemandirian teknologi dan
pengembangan pesawat terbang sebagai salah satu program utama nasional. Begitu
juga di Jakstranas Iptek 2005-2009390 beserta Agenda Riset Nasional untuk 2006-
2009391, Pesawat terbang hanya menjadi sub bidang di teknologi dan manajemen
transportasi, itupun diperuntukkan hanya untuk studi regenerasi pesawat udara untuk
bidang hankam (ARN 2006-2009). Di dalam ARN 2010-2014, pesawat terbang
hanya menjadi sub bidang HANKAM, dengan fokusnya pada pesawat terbang tanpa
awak bukan pesawat komersial.392 Bahkan, berdasarkan hasil kajian pengembangan
program riptek nasional 2015-2015 tahun 2013 (Tabel 6.3), diketahui bahwa arah
pembangunan iptek pada Agenda Riset Nasional 2015-2019 tidak secara eksplisit
mendorong pembangunan iptek kedirgantaraan.393
Tabel 6.3 Riset Unggulan Agenda Riset Nasional 2015-2019
Bidang Riset Unggulan
Pangan Riset dan pengembangan pangan di area Hutan Tanaman Industri (HTI) Smart Village (Konservasi, diversifikasi, integrasi, dan optimalisasi sumber
daya lingkungan) Riset bioteknologi dan sumber daya genetika pertanian Pengembangan model integrasi tanaman-ternak Pengembangan budidaya ikan di lahan terbatas
388 Meriles S. Grindle. 1980. op.cit.h.10 389 Jakstranas Iptek 2000-2004 390 Jakstranas Iptek 2005-2009 391 ARN 2006-2009 392 ARN 2010-2014 393 Hasil Kajian Kemenristek tentang Pengembangan Program Riptek, 2013.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
171
Universitas Indonesia
Bidang Riset Unggulan
Kesehatan dan Obat
Vaksin Obat dan Obat Baru; Kit Diagnostik; Biosimilar; Formula Pangan; Alat Kesehatan.
Energi Intensifikasi pencarian dan pengembangan sumber energi (migas, panas bumi, angin, biomasa, energi laut, matahari, air)
Pengembangan biofuel (penyiapan refinery, proses, engineering, manufaktur, tata niaga)
Pengembangan teknologi batubara bersih Pengembangan energi non BBM termasuk nuklir Konservasi energi termasuk pengembangan PJU pintar dan smart grid
TIK IT Security Sistem TIK pendukunge-Government & e-Business Pengembangan Teknologi dan Konten untuk Data dan Informasi Geospasial Riset sosial pendukung bidang TIK
Transportasi • Sistem Transportasi multimoda untuk Konektifitas Nasional • Sistem transportasi Perkotaan • Sistem transportasi untuk sistem Logistik • Teknologi keselamatan dan keamanan transportasi • Klaster Industri • Pendukung
Hankam • Pengembangan Produk Pesawat Tempur • Pengembangan Produk Selam • Pengembangan Produk Roket Balistik dan Kendali • Pengembangan Produk UAV • Pengembangan Produk Munisi Kaliber Besar menjadi produk nasional.
Material Maju
• Gasifikasi Batubara • Bahan baku besi baja • Pemisahan uranium dan tanah jarang • Baterai (energy storage) • Terapi dan diagnostic nano material
Sumber: Hasil Kajian Relevansi Program Riptek, Kementerian Ristek 2013
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
172
Universitas Indonesia
Bahkan dalam FGD yang dilakukan untuk memberikan usulan rancangan
arah pembangunan iptek dalam RPJPM 2015-2019, yang diadakan di Jakarta pada
12 Februari 2014, 10 diantaranya tidak ada menyinggung isu kedirgantaraan. Dan
sepuluh usulan tersebut adalah:
1. Pengembangan Pusat Unggulan Iptek
2. Penguatan SDM Iptek (program gelar dan non gelar)
3. Pengembangan Pusat Data dan Informasi Iptek Nasional
4. Penguatan Sentra-sentra HaKI dan penghargaan inventor
5. Revitalisasi Puspiptek
6. Pengembangan STP di daerah
7. Penguatan dan pengembangan SIDa.
8. Insentif Riset Frontier untuk meningkatkan produktivitas Iptek
(support ARN)
9. Program Pengembangan Teknologi Industri
10. Program Penumbuhkembangan perusahaan pemula berbasis teknologi
Tidak konsistennya arah pembangunan iptek itu sendiri disebabkan tidak
adanya roadmap pengembangan teknologi yang telah disepakati antara seluruh stake
holder iptek itu sendiri. Sejak era reformasi hingga saat ini, sektor iptek sendiri masih
belum mempunyai satu roadmap pengembangan teknologi perbidang fokusnya
termasuk pembangunan sektor kedirgantaraan.394 Dalam beberapa FGD yang
dilakukan dengan Dewan Riset Nasional (Gambar 6.7), DRN sendiri mengaku belum
memiliki satu kajian yang mendalam terkait roadmap pengembangan teknologi
termasuk teknologi kedirgantaraan.395 Padahal, dari sisi sektor industri khususnya
dalam Bangun Industri Nasional 2025, industri kedirgantaraan telah ditetapkan
sebagai salah satu industri andalan selain industri agro dan industri telematika
(Gambar 6.3).
394 Hasil wawancara dengan Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset
dan Iptek, Asep Supanda. 13 Agustus 2014. Lihat lampiran 9, no.29 395 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN)
periode tahun 2015-2019, Selasa, 11 Februari 2014, Lihat lampiran 10, no.9.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
173
Universitas Indonesia
Gambar 6.3 Bangun Industri Nasional 2025
Sumber: Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan Dan Alat Pertahanan – Ditjen IUBTT
Kementerian Perindustrian 2012
Tidak jelasnya arah pembangunan iptek dalam bentuk roadmap teknologi
yang menjadi acuan dalam pembangunan iptek kedepan termasuk sektor
kedirgantaraan menyebabkan proses agenda setting terutama untuk akvitas ketiga
dalam konseptual model yaitu Pengumpulan pemikiran-pemikiran visioner secara
teknoratik yang dilakukan oleh BAPPENAS bersama Kemenristek, dalam menyusun
rancangan awal sebagai masukan untuk rancangan RPJP Nasional yang didalamnya
tercantum arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan menyebabkan tidak
dimasukkanya arah pembangunan kedirgantaraan secara nasional.
Padahal, Agenda Riset Nasional 2006-2009 yang berdasarkan pada
Kepmenristek RI No.89/M/Kp/V/2005, tentang Dewan Riset Nasional periode 2005-
2008 yang salah satu tugasnya difokuskan pada Penyusunan Agenda Riset Nasional
(ARN) telah selesai disusun pada Agustus 2006. Artinya, kalau roadmap
pengembangan teknologi perbidang fokusnya khususnya pembangunan sektor
kedirgantaraan yang telah disepakati bersama antara seluruh stakeholder sudah ada,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
174
Universitas Indonesia
seyogya masih ada satu tahun peluang untuk mengangkat isu pembangunan iptek
dalam proses teknokratik sebagai masukan terhadap rancangan RPJPN 2005-2025
sampai proses politik yang berujung pada legitmasi RPJPN (Gambar 6.4).
<Satu Tahun Sebelum Berakhir RPJP Yang Berlaku>
Pres
iden
Men
teri
PPN
Peny
elen
ggar
aN
egar
aM
asya
raka
tD
PR
Evaluasi RPJP(-1)
Evaluasi RPJP(-1)
Evaluasi RPJP(-1)
Pemikiran Visioner
Pemikiran Visioner
Pemikiran Visioner
Rancangan Awal RPJP Musrenbang
Jangka Panjang
Rancangan Akhir RPJP Nas
Diajukan sebagai RUU RPJP Inisiatif Pemerintah
Ditetapkan Dengan Undang-
Undang
RPJP Nasional
Dihimpun dan Dikaji
Aspirasi Pemangku
Kepentingan
Aspirasi Pemangku
Kepentingan
Acuan bagi RPJP Daerah
Gambar 6.4 Proses Teknoratik dan Proses Politik dalam Penyusunan RPJPN
Sumber: Bahan Sosialisasi Umum BAPPENAS, 2006
Faktor kedua tidak diangkatnya isu pembangunan sektor kedirgantaraan
secara khusus dalam RPJP adalah belum terjadinya proses sinergi itu sendiri,
terutama antara BAPPENAS dengan sektor iptek secara umum, proses perumusan
arah kebijakan Iptek antara Kementerian Riset yang akan dituangkan dalam Agenda
Riset Nasional dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) III
berjalan sendiri-sendiri”.396 Proses teknoratik dalam rangka mendapatkan masukan-
masukan pakar dari sektor terkait untuk perumusan RPJM masih belum efektif
396 Kepala Biro Perencanaan Kementerian Ristek, lihat Lampiran 10. no.12, FGD yang
dilakukan Kemenristek dalam rangka penyusunan Renstra Kementerian Riset dan Teknologi 2015-2019 pada 19 Juni 2014.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
175
Universitas Indonesia
dijalankan oleh BAPPENAS, walaupun hal ini tidak dapat dipukul rata untuk setiap
direktorat di BAPPENAS”.397
Di satu sisi, berdasarkan hasil survei dalam rangka Kajian Pengembangan
Program Riptek, 2013, dimana salah seorang informan dari BAPPENAS ketika
ditanya tentang ARN, diperoleh tanggapan sebagai berikut:
“Saya kira kalau lembaga [Bappenas] mungkin tahu kali ya [tentang ARN],
kalau saya sih tidak tahu, karena memang kebiasaan kita seolah-olah kalau
semua [kebijakan] itu sudah dipublikasikan, kita menganggap semua orang
sudah tahu. Saya kira ini perlu ada semacam sosialisasi atau target-target
sasaran [sosialisasi] juga. Seperti mungkin riset [tentang] energi kan harus
dikenali stakeholder-nya siapa saja. Tidak hanya sampai di situ, terkadang
kita berpikir stakeholder itu hanya orang-orang di luar pemerintahan, tapi
terkadang kita juga punya stakeholder yang di pemerintahan. Siapa pun
perlu disosialisasikan, [sebagian besar] dari mereka tahu [tentang suatu
kebijakan riset, jika] kebetulan berada di acara Ristek. Jadi hanya mereka
saja yang mengetahui, padahal stakeholder ARN ini tidak hanya [pelaku]
iptek saja.“.398
Semua gambaran diatas, nampak konsisten ketika peneliti melakukan
wawancara terhadap sejumlah pejabat terkait baik di lingkungan BAPPENAS
maupun pejabat terkait lainnya serta berdasarkan hasil ditelaah RPJPN tersebut ,
dapat disimpulkan bahwa pembangunan sektor dirgantara saat ini bukan atau belum
merupakan sektor prioritas nasional.399 Dalam dokumen RPJPN tersebut belum ada
statement yang tegas yang menyatakan pembangunan teknologi kedirgantaraan.
397 Berdasarkan wawancara yang juga penulis lakukan terhadap Asisten Deputi Relevansi
Program Riset Iptek Kementerian Ristek pada tanggal 23 Juni 2014 di Kantor Kemenristek, Beliau juga adalah mantan Pejabat BAPPENAS.
398 Antonaria, Bappenas, Wawancara, 9/7/2013 dalam rangka Kajian Pengembangan Program Riptek, 2013.
399 Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT, lihat lampiran 9, no.6.3 dan Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan, Sadjuga, Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek, lihat lampiran 9, no.7
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
176
Universitas Indonesia
Bahkan, secara umum semangat kemandirian atau pembangunan teknologi dalam
RPJP masih tidak jelas.
Tidak adanya arah pembangunan sektor dirgantara dalam dokumen RPJP
tersebut, kiranya dapat dipahami dengan menengok kembali terhadap beberapa
kondisi yang menyertai proses penyusunan RPJP tersebut: pertama, bahwa ternyata
lahirnya Jakstranas Iptek 2005-2009 serta ARN 2006-2009 ternyata lebih awal dua
sampai satu tahun sebelum lahirnya RPJP 2005-2025 itu sendiri. Jika dilihat dari
Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis Rujukan dalam penyusunan
Agenda Riset Nasional 2006-2009 (Gambar 6.5), terlihat bahwa RPJP yang ditandai
dengan garis kotak putus-putus menunjukkan waktu penyusunan ARN 2006-2009,
RPJP belum lahir, karena RPJP ditetapkan setelah dua tahun kemudian yaitu ditahun
2007, khususnya melalui UU 17/2007, RPJP 2005-2025 ditetapkan.
Gambar 6.5 Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis Rujukan dalam
penyusunan Agenda Riset Nasional Sumber: Buku Agenda Riset Nasional (ARN) 2006-2009
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
177
Universitas Indonesia
Kondisi Kedua, Prioritas Utama Nasional 2001-2005 sebelum digantikan
dengan ARN 2006-2009 juga masih bersandar pada Program Pembangunan Nasional
(Propenas) 2001-2005. Tujuan Propenas pada waktu itu lebih diarahkan pada
pemulihan ekonomi, membangun sistem politik daripada pembangunan iptek
umumnya dan pembangunan sektor kedirgantaraan khususnya. Hal ini, dapat dilihat
dari tujuan dari Propenas pada saat itu adalah:
1. Membangun sistem politik yang demokartis serta mempertahankan persatuan
dan kesatuan.
2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih (good
government).
3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan
yang berkelanjutan dan berkeadialan.
4. Membanguan kesejahteraan dan ketahanan budaza.
5. Meningkatkan pembanguanan daerah.
Periode Propenas tersebut merupakan peralihan dari perubahan sistem
perencanaan dari GBHN dengan Pembangunan Jangka Panjangnya (PJP) dan
Rencana Pembangunan Lima Tahunnya (Repelita) ke RPJP, yang kemudian baru
ditetapkan pada tahun 2007 atau dua tahun berakhirnya Propenas berdasarkan pada
UU 25/2005 Tentang Sisrenbangnas dan UU 17/2007 Tentang Keuangan Negara
Jika melihat konteks politik penyusunan RPJP 2005-2025 diketahui bahwa
seiring dengan pergantian elit politik tertinggi dari Presiden Habibie ke Presiden
Abdurrahman Wahid lalu Megawati sampai Presiden SBY, dukungan politik terhadap
Pembangunan Iptek baik pengembangan N 250 khususnya dan IPTN umumnya
sangat lemah jika dibandingkan dengan periode orde Baru. Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) khususnya sejak Repelita III (April 1979-1983) sampai
Repelita VI (1993-1998) diarahkan pada pengembangan iptek dengan prioritas alih
teknologi terutama high-technology, peningkatan SDM dan diakhiri dengan
pelaksanaan penelitian dasar (Gambar 6.6). Namun mulai era reformasi pasca tahun
1998, kebijakan iptek diarahkan pada penguatan internal, pengembangan dan difusi
iptek dengan mulai memperhatikan perlindungan hak kekayaan intelektual dan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
178
Universitas Indonesia
kerjasama internasional. Bahkan dalam GBHN 1999, Bidang kebijakan iptek atau
inovasi didalam akhirnya dihapus.
Gambar 6.6 Sasaran Bidang IPTEK REPELITA VI GHBN 1993
Sumber: Samaun Samadikun, 1993.h..4
Setelah GBHN diganti dengan RPJP, arah pembangunan Iptekpun semakin
lemah, dan Instrumen yang dipakai diantaranya adalah Kebijakan Strategis Nasional
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) beserta turunannya yaitu Agenda
Riset Nasional-ARN.400 Oleh karena itu, PUNAS yang semenjak tahun 2000 dahulu
merupakan akronim dari Program Utama Nasional kemudian diubah menjadi
Prioritas Utama Nasional.401
400 Dini Okttaviyanti dkk, 2014. op.cit. h.4 401 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II
RUT.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
179
Universitas Indonesia
Bahkan hingga kini, konsistensi dukungan politik terhadap pembangunan
sektor dirgantara masih rendah, berdasarkan hasil diskusi yang penulis lakukan
dengan Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek, Agus Puji Peasetyo, pada tanggal
23 Juni 2014 diruang Kerjanya di Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek, beliau
menyatakan:
Bahwa pada tataran makro, konsistensi kebijakan dalam mendorong
kemandirian teknologi kedirgantaraan masih sangat lemah, padahal menurut
Beliau sudah saatnya Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada
kemandirian teknologi kedirgantaraan tersebut selain teknologi kemaritiman,
dua teknologi tersebut (N 219 dan R-80) yang seyogyanya harus didukung oleh
seluruh kebijakan sektoral, karena tidak semua jenis teknologi dapat dilakukan
dengan ToT atau pembelian teknologi, tetapi harus dikuasai, nah upaya
penguasaan teknologi tentunya menuntut kemauan politik yang kuat.
Di acara Hari Teknologi Nasional 2013 TMII, Presiden SBY dalam
sambutannya juga baru mengarahkan pada tema Food, Energy, and Water (FEW) dan
belum menyinggung bagaimana dukungan pembangunan sektor dirgantara. Didalam
Sidang Paripurna I DRN 2014 yang menghadirkan seluruh anggota DRN, Pejabat
Kementerian Ristek dan LPNK, BAPPENAS, Rektor, pelaku industri serta para
politisi yang sekaligus merupakan tim sukses masing-masing calon presiden terkuat
bahwa Iptek merupakan variabel penting dalam pembangunan nasional. Terkait
kemandirian teknologi, Laode M. Kamaluddin selaku tim ahli dari calon presiden
Prabowo yang juga merupakan Ketua Forum Rektor selain menekankan pentingnya
pembangunan budaya iptek juga mengatakan: “kami sangat mendukung kemandirian
teknologi dalam negeri termasuk teknologi kemaritiman, tetapi karena kemandirian
teknologi pada akhirnya adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana visi iptek
presidennya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pemimpin yang mempunyai
leadership yang kuat serta memiliki keberpihakan terhadap kemandirian teknologi
yang sangat tinggi”
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
180
Universitas Indonesia
Diantara narasumber yang diundang dalam Sidang Paripurna tersebut adalah
politisi yang sekaligus merupakan tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Alexander
Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR selama
2004-2009 dan Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Persatuan. Dalam paparannya
terkait dengan visi misi calon Presiden Jokowi, Beliau juga mengatakan” selain
pembangunan karakter, (terkait pembangunan iptek) kami sangat memberikan
perhatian khusus pada pengembangan iptek dibidang maritim, baik yang berkaitan
dengan pertahanan keamanan maupun SDA khususnya sebagai sumber pangan, selain
itu kami juga akan membangun 100 Technopark berbasis potensi lokal, dan promosi
dan pembukaan Akses pasar bagi pemanfaatan hasil--hasil riset dalam negeri demi
mendukung daya saing nasional.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa sejak era reformasi hingga era
reformasi ini, pembangunan sektor dirgantara belum dinyatakan secara tegas dalam
RPJPN 2005-2025 maupun dalam empat tahap RPJMN. Hal ini sangat kontras
dengan yang dialami pada era Orde Baru. Padahal dukungan pada level kebijakan
terutama tercantumnya secara tegas arah pembangunan sektor dirgantara juga
merupakan faktor kunci keberhasilan Industri Embraer. Sejak akhir 1960an, yaitu
dibawah rezim militernya kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan
Master Plan Pembangunan Ekonominya. Selanjutnya sejak 1972, Komitmen politik
dalam inovasi pengembangan pesawat terbang telah terkoneksi dengan Pembangunan
Ekonomi Nasional. Arah pembangunan tersebut menitiberatkan pada penguasaan dan
kemandirian teknologi nasional402 dan salah satu sektor prioritas dalam pembangunan
tersebut adalah sektor dirgantara (Tabel 6.4).403
402 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit. h.17 403 Ibid.; Watu Wamae, 2006. op.cit. h.8-9 ; dan Elizabeth Balbachevsky and Antonio
Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
181
Universitas Indonesia
Tabel 6.4 Perbandingan Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Indonesia-Brazil Pada Level Kebijakan
IPTN/PTDI Embraer-Brazil
Level Kebijakan PJP I (1969-1993) Awal PJP II (1993-2007) RPJPN
2005-2025/RPJPMN
1960an-Sekarang
Arah Pembangunan
Konsolidasi prasaranan dan manusia Indonesia serta kesadaran bangsa Indonesia untuk memperoleh nilai tambah dan proses ini memerlukan Ilmu Pengetahuan (Repelita I-V)
GHBN 1993 dan 1998 terutama pada PJP II, kemandirian teknologi melalui empat tahap evolusi yang dipercepat secara tegas dinyatakan dalam dokumen tersebut bahkan secara lebih spesifik pembangunan sektor dirgantara GBHN 1999 (tidak ada lagi Bidang Iptek dalam sasarannya)
UU 17/2007; RPJPN Pembangunan Iptek untuk tujuh bidang fokus (Pangan, Kesehatan, Obat, Energi, Transportasi, Hankam, dan Material Maju) dengan penekanan: RPJM I: - RPJPM II:Pembangunan Iptek RPJPM III: Iptek untuk pembangunan RPJPM IV: -
Dimana pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya (sistem perencanaan terpusat) Dibawah rezim militernya, sejak 1972, Komitmen politik dalam inovasi pengembangan pesawat terbang telah terkoneksi dengan Pembangunan Ekonomi Nasional yang juga menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi nasional (Dahlman dan Frischtak, 1990) The Basic Plan of Science and Technology juga menitiberatkan pada membangun kemampuan dan kemandirian teknologi dari perusahaan domestik termasuk aircraft industry dari segala aspek (Dahlman dan Frischtak, 1990; Wamae, 2006) The National Plan for Economic Development, At the Plan’s core was the quest for technological autonomy in areas perceived as strategic for the nation’s elites (aeronautics, informatics, microelectronics, telecomunication and space) (Balbachevsky and Botelho, 2011)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
182
Universitas Indonesia
6.1.2. Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata Pada Level
Organisasi
Berdasarkan temuan lapangan, bahwa pada tataran organisasi, belum ada
dukungan kelembagaan yang sinergik. Temuan inipun sebenarnya telah diungkapkan
oleh Thee (2005)404, dimana Thee mengkritisi bahwa kegalan N 250 juga disebabkan
belum adanya dukungan kebijakan sektor bagi pengembangan teknologi industri
kedirgantaraan. Pada kasus Embraer-Brazil, dukungan sektor SDM dan Infrastruktur,
industri, lembaga pendanaan termasuk sistem perbankan nasional merupakan faktor-
faktor kunci keberhasilan embraer tidak hanya untuk pasar domestik bahkan untuk
pasar internasional (Tabel 6.6).405
Berdasarkan tabel 6.5 di bawah ini, bahwa pada zaman orde baru relatif telah
terjadi sinergi intersektoral dalam mendorong industri kedirgantaraan sebagaimana
yang terjadi pada industri Embraer kecuali pada dua yaitu: pertama,dukungan sektor
perbankan nasional khusususnya sistem leasing atau kredit ekspor untuk pembelian
pesawat dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang. Kedua,
dukungan sektor kebijakan sektor industri khususnya untuk industri-industri
komponen pesawat terbang. Karena sejatinya pada zaman orde baru telah diupayakan
untuk membina industri-industri hulu tersebut seperti industri elektronika, industri
metal, non metal, industri kimia, plastik, karet dan sebagainya, namun hasilnya
praktik belum nampak. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya para pengelola
industri tersebut kekurangan modal untuk investasi peralatan baru yang canggih dan
untuk pembiayaan alih teknologi. 406
Namun jika dianalisis kondisi saat ini, dukungan sektoral dalam rangka
mendorong upgrading N pesawat terbang 250 yaitu R-80 saat ini nampaknya
semakin lemah. Mulai dari semakin terbatasnya SDM, fasilitas pengujian yang perlu
diupgrade, dukungan pendanaan riset inovasi yang masih belum secara tegas
dinyatakan dalam Jakstranas maupun ARN. Bahkan setelah orde baru, peran Dewan
Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) dalam
404 Kian Wie Thee, 2005a. loc.cit, h.7 405 Tabel 6.2. ada di halaman 177 Bab ini 406 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
183
Universitas Indonesia
mengintegrasikan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan sektor dirgantara
hampir tidak ada.407
Dari sektor SDM dan infrastruktur pengujian pesawat terbang. Yaitu dimulai
ditahun 1950an, pemerintah waktu itu memutuskan hanya ada dua jurusan yang
diperkenalkan untuk belajar ke Luar Negeri, yaitu Maritim dan Dirgantara.408
Selanjutnya melalui SK Presiden RI Soekarno, pada tahun 1962 didirikan Jurusan
Penerbangan ITB, keberadaan jurusan tersebut untuk mendukung LIPNUR.409
Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
1976, dibangun Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK)
terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti:
Laboratorium Uji Konstruksi410, aerodinamika.411Selanjutnya sejumlah program
beasiswa baik yang merupakan kerjasama antara IPTN, ITB dengan universitas luar
negeri, seperti pada 1997-1999, terdapat program beasiswa S2 di bidang perangkat
lunak yang merupakan kerjasama antar PT DI, ITB dan Universite Thomson-
Perancis.412Selain itu, terdapat sejumlah program beasiswa lainnya untuk penguasaan
teknologi kerdirgantaraan seperti program STAID dll413. Kondisi SDM maupun
infrastruktur pengujian pesawat terbang setelah orde baru hingga saat ini semakin
lemah. Keluaran ‘aerospace engineers’ di Indonesia saat ini sangat sedikit, ITB
hanya meluluskan sebanyak 60 orang per tahun; dan hanya 25% yang bekerja di
sektor penerbangan).414
407 Hasil wawancara dengan Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan
Produktivitas Iptek 2009-2013, Teguh Rahardjo, Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. lihat lampiran 9. no.2.5
408 Wawancara antara Habibie dengan Peter F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg, lihat lampiran 9, no.32.1 409 Lili Irahali, Agustus 2001. loc.cit.h.17 410 Habibie, 1995.op.cit. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap
berdirinya PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 411 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang
Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a. 412 Inggriani Liem dan Hari Muhammad, 2001. Pendidikan Real Time Software Engineering
untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.148-152. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
413 Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994. op.cit.h.58 414 Bambang Kismono Hadi, 2012. FGD Kementerian Ristek
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
184
Universitas Indonesia
Lab-lab uji, baik yang ada di ITB, PT DI, LAPAN juga masih perlu
diupgrade.415Karena sebagain besar lab-lab tersebut merupakan peninggalan era
1970an.416 Apalagi mengingat bahwa program upgrading “N 250” antara PT DI
dengan PT RAI yaitu program R-80417 yang sangat membutuhkan infrastruktur yang
jauh lebih kompleks dibanding N 219. Dalam rangka upgrading pesawat terbang,
diperlukan program revitalisasi dan upgrading sekitar 13 laboratorium pesawat
terbang, delapan tempat uji telah tersebar di beberapa lembaga-lembaga pengujian
pesawat terbang yang ada, baik yang di Puspitek, ITB, maupun LAPAN (Tabel 6.5).
Bahkan terdapat lima fasilitas uji baru yang saat ini dibutuhkan namun belum tersedia
atau terdefinisi, yaitu fasiltas uji tabrak burung, uji sirkulasi udara, uji kelistrikan
pesawat, laboratorium avionik, laboratorium uji bahan bakar pesawat.418
Tabel 6.5 Peningkatan Fasilitas Uji Pesawat Terbang di Lembaga Penelitian
Sumber: FGD II PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80, Senin, 15 September 2014
415Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan
Regioprop R80, Senin, 15 September 2014. 416 Lihat lampiran 9. hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-
2014, tanggal 27 Juni 2014. 417 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang
Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013 418 Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan
Regioprop R80, Senin, 15 September 2014; Hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014
Lembaga Pengujian Pesawat Terbang
Jenis Pengujian/Laboratorium
BPPT 1. Peningkatan Fasilitas Laboratorium Uji Struktur (B2TKS)
2. Peningkatan Fasilitas Laboratorium Uji Terowongan Angin (LAGG)
3. Pembangunan Laboratorium Pengendalian Terbang (PTIK)
4. Laboratorium Simulasi Terbang (Flight Simulator) (PTIK)
5. Pembangunan Laboratorium Uji Electro-magnetic (PTIK)
LAPAN Peningkatan Fasilitas Uji Terbang ITB Peningkatan Fasilitas laboratorium Uji Komponen Struktur
(FTMD); Peningkatan Fasilitas Uji Komposit (FTMD)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
185
Universitas Indonesia
Dukungan kebijakan pada level sektor yang relatif kuat justru berasal dari
sektor perindustrian, salah satunya adalah Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan
Produksi dalam Negeri. Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa jika suatu produk
nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis
tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu, saat ini Kemenperind telah sedang
mengupayakan pembangunan kemampuan industri-industri pendukung komponen
pesawat terbang419. Namun sayang, kuatnya dukungan kebijakan sektor industri
belum diiringi dengan dukungan kebijakan dari sektor fiskal. Sejak era orde baru
hingga saat ini, dukungan sistem leasing perbankan nasional untuk pesawat terbang
hingga saat ini juga masih belum tersedia.420
Sebaliknya, dalam kasus Industri Embraer, kuatnya dukungan pembangunan
sektor dirgantara pada level kebijakan kemudian diterjemahkan secara sinergik dalam
kebijakan level sektor. Pertama, kebijakan sektor SDM dan Infrastruktur, sejak tahun
1946 pemerintah rezim militer Brazil mulai mendirikan The Aeronautics Technology
Insittute-ITA. Lembaga ini merupakan penghasil SDM kedirgantaraan. Selanjutnya
pada tahun 1947, pemerintah Brazil mendirikan The Aeronautics Technology center
(CTA) dan INPE (Instito National de Pesquisas Espaciasi) sebagai lembaga riset inti
bidang Aerospace. Dan di tahun 1988, dibangun Advanced Technology Center yang
kemudian dikembangkan dengan nama baru yaitu Sao Paulo R&D Centre.421
Terkait kebijakan sektor Riset dan Inovasi, pada tahun 1973, pemerintah
Brazil mendirikan Lembaga Federal-FINEP (Agency for Financing Studies and
Projects). FINEP juga sebagai executive secretariat untuk National Fund for
Scientific and Technology Development (FNDCT) Selain mendanai riset industri,
FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk
standar ekspor.422 Selanjutnya sejak 1985-Sekarang Peran FNDCT semakin dominan
419 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang Pengembangan pesawat perintis N219 Kamis,
8 Februari 2012 di BAPPENAS. 420 Habibie, 1995. op.cit. h.288; dan lihat lampiran 9 wawancara dengan Kepala Perencanaan
Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, 2014. no.11.13. 421 Ibid.h.8 422 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; David Pritchard, 2010.
loc.cit, h.10; Vertesy dan Szirmai, 2010, loc.cit. h.29.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
186
Universitas Indonesia
bahkan sebagai management commitee423, sebaliknya sejak 1985, peran FINEP
selanjutnya dibawah koordinasi Kemenristek Inovasi (Gambar 6.7).424
President
Ministry of Science &
Technology
President FINEP
Director of Finance Administration
Director of Development, Science
& TechnologyDirector of Innovation
Brazilian Space Agency (AEB)-”DEPANRI”
Gambar 6.7 Lembaga Pendanaan Inovasi-FINEP Brasil
Sumber: diolah dari Dahlman dan Frischtak, 1990
Di tahun 1972, Pemerintah Brazil telah mendirikan lembaga yang disebut The
Special Sectariat for Science and Technology dibawah the Ministry of Industry and
Commerce. Yaitu, lembaga yang diarahkan untuk mengurusi program pendanaan
litbang industri, diseminasi informasi teknologi dan pengaturan sistem hak dan
kekayaan intelektual-HKI, dan standard.425 Baik FINEP maupun dan The Special
Sectariat for Science and Technology walaupun inisasi sektoral tetapi memiliki
sinergi yang jelas terutama pada pengembangan kemandirian teknologi dirgantara.426
Bahkan di sektor perbankan, dalam rangka mendukung pembiayaan inovasi industri
salah satunya adalah industri dirgantara, pada tahun 1960, pemerintah Brazil
423 Michael Kahn, Luiz Martins de Melo and Marcelo G. Pessoa, 2014,. Financing
Innovation.h.38 424 Ibid.h.xxvi 425 Ibid. h.15 426 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
187
Universitas Indonesia
mendirikan The Brazilian Development Bank-BNDES 427. Sebagai bentuk insentif
pada perdagangan khususnya pesawat pada pasar internasional, pada tahun 1991,
pemerintah Brazil mengeluarkan Kebijakan ProEx, yaitu Insentif pengurangan bunga
sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah
diberlakukan pemerintah Brazil sejak juni tahun 1991.428Walaupun akhirnya di tahun
1999-2000, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan atas permintaan
World Trade Organization-WTO.429
Di tahun 1996, pemerintah mendirikan Brazilian Space Agency (AEB), AEB
adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE (Sistem Nasional
untuk Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kegiatan
keantariksaan di Brasil. AEB dipimpin oleh Presiden AEB sekaligus sebagai ketua
Dewan teritinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil. Lembaga ini
mengkoordinasi berbagai badan, baik riset maupun operasional (wakil dari
Kementerian Pertanian, komunikasi, luar negeri, industri dan perdagangan,
pembangunan, pendidikan, keuangan, lingkungan, energi serta kepolisian ditambah
dari masyarakat ilmiah dan sektor industri terkait kenatariksaan). Keanggotaan.AEB
sebagai bagian dari SINDAE dikontrol secara hierarki oleh Menteri Pertahanan dan
secara langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.430 Brazilian Space Agency
(AEB) sejenis DEPANRI sangat powerfull karena kebijakannya akan berpengaruh
pada berbagai kementerian terkait, termasuk dalam hal pendanaan inovasi industri
yang dibiayai melalui lembaga FINEP (Gambar 6.9).431
Dari sektor industri, keberhasilan pembangunan sektor dirgantara juga
didukung oleh sejumlah instrumen kebijakan sektor industri. Pada tahun 1969, seiring
dengan dibangunnya Embraer, dibangun juga pembangunan industri-industri high
tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment,
electronic communication equipment, composite materials, dan software.432 Sinergi
427 Michael Kahn, Luiz Martins de Melo and Marcelo G. Pessoa, 2014,. op.cit.h.43 428 David Pritchard, 2010.loc.cit. h.10 429 Laporan WTO, 14 April1999, loc.cit. h. 14 430 Mardianis, 2013 hal 110 di Media Dirgantara, November 2013-LAPAN 431 Ibid. 432 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990, loc.cit. h.17
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
188
Universitas Indonesia
sektoral terutama antar sektor riset inovasi, SDM, Infrastruktur dan Keuangan dalam
mendukung pembangunan sektor dirgantara dalam konteks Indonesia masih sangat
lemah, padahal hingga saat ini telah ada sejumlah lembaga pendanaan inovasi yang
masing-masing merupakan inisiasi sektoral, diantaranya adalah Insentif Riset SINas
yang merupakan iniasi Kementerian Riset dan Teknologi, Hibah Dikti yang
merupakan inisiatif Kemendikbud, dan Insentif Riset yang merupakan insiasi tiga
Kementerian sebagai Dewan Penyantun yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian
Pendidikan, dan Kementerian Agama.
Bahkan, sejak 1993, Kementerian ristek telah mengeluarkan beragam jenis
pendanaan riset, mulai dari Insentif Pendanaan RUT sampai dengan Insentif Riset
SINas yang bahkan masih berlanjut hingga sekarang. Adapun LPDP, baru dimulai
sejak tahun 2012, LPDP selain memiliki program rispro juga memiliki program
afirmasi nasional. Hibah Dikti yang merupakan lembaga pendanaan yang dikelola
oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) selama ini masih lebih bersifat untuk
mendorong academic exellance. Namun, antara ketiga lembaga pendanaan tersebut,
belum terjadi sinergi.
Insentif Riset SINas yang seharusnya lebih diarahkan pada riset-riset hilir
kadang juga sangat melebar pada riset-riset dasar, begitupun juga dengan Hibah Dikti
dan LPDP, seharusnya lebih berrmain pada level academic exellance namun kadang
sering overlap dengan arah Insetif Riset SINas. Begitupun kalau dikaitkan dengan
bagaimana dukungan pendanaan tersebut dalam mendorong pengembangan teknologi
kedirgantaraan. Baik Hibah Dikti bahkan untuk LPDP belum memasukkan fokus
ataupun bidang yang mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan sebagai
salah satu prioritas. Adapun untuk insentif riset SINas, sejatinya pada zaman Riset
Unggulan Terpadu ketika masih dalam bentuk Program Utama Nasional (Punas)
yaitu selama periode 1993-1998, bidang teknologi kedirgantaraan bahkan selalu
menduduki peringkat lima besar berdasarkan besar pendanaan yang didanai, dan dari
rentang tersebut, selama dua tahun bahkan menduduki posisi teratas dari seluruh
bidang teknologi yang dibiayai.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
189
Universitas Indonesia
Tabel 6.6 Perbandingan Dukungan Pada Level Sinergi Organisasi dalam Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara antara
IPTN Indonesia-Embraer Brasil
Level Intersektoral IPTN Indonesia Embraer Brasil
Sektor SDM dan
Infrastruktur pengujian
Era Orla-Orba: SK Presiden RI Soekarno 1962 didirikan Jurusan Penerbangan ITB untuk mendukung LIPNUR.433 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976, dibangunlah Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti: Laboratorium Uji Konstruksi434, aerodinamika.435 1997-1999, ada Program S2 perangkat lunak Kerjasama antara PT DI, ITB dan Universite Thomson-Perancis.436 Sejumlah program Beasiswa untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan melelaui (STAID dll)437. Saat ini: Keluaran ‘aerospace engineers’ di Indonesia saat ini terbatas. (ITB hanya meluluskan sebanyak 60 orang per tahun; dan hanya 25% yang bekerja di sektor penerbangan). 438
Dibawah rezim Militer (1964-1985):441 1946: Mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA sebagai supplai SDM kedirgantaraan. Tahun 1947 didirikan The Aeronautics Technology center (CTA) dan INPE (Instito National de Pesquisas Espaciasi) sebagai lembaga riset inti bidang Aerospace. 1988: Pembangunan Advanced Technology Center sebagai pengembangannya kemudian dibangun Sao Paulo R&D Centre.442
433 Lili Irahali, Agustus 2001. loc.cit.h.17 434 Habibie, 1995.op.cit. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya PUSPPITEK atau pendirian
laboratorium lainnya. 435 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu
Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a. 436 Inggriani Liem dan Hari Muhammad, 2001. Pendidikan Real Time Software Engineering untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25
Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.148-152. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. 437 Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994. op.cit.h.58 438 Paparan Bambang Kismono Hadi, 2012 didalam FGD yang dilakukan Kementerian Ristek
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
190
Universitas Indonesia
Lab-lab uji di Puspiptek butuh revitalisasi, karena sebagain besar merupakan peninggalan era 1970an.439 Beberapa lab uji pesawat baik yang ada di ITB, PT DI, LAPAN juga masih perlu diupgrade.440
Sektor Riset dan
Inovasi
Program Utama Nasional (PUNAS) 1994-1996: Bidang riset rancang bangun pesawat komersial didukung secara finansial bahkan selama 1995-1999, bidang riset pesawat terbang selalu masuk lima besar riset yang didanai bahkan untuk tahun 1995 dan 1999, bidang riset pesawat terbang menempati posisi teratas.Yang didukung dengan skim pendanaan insentif riset RUT. Sejak 2000-sekarang: Hanya Tujuh Bidang Fokus: Ketahanan Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan Obat, Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, Pertahanan Keamanan, dan Material Maju yang merupakan Agenda Riset Nasional yang kemudian didukunna dengan pendanaan Insentif Riset SINas. Sub Tema terkait pesawat terbang: Didalam ARN 2006-2009: Masuk di Bidang Transportasi dengan subtema Regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam Didalam ARN 2010-2014: Masuk dibidang Hankam dengan subutema Pesawat terbang tanpa awak Keppres No. 99 Thn 1993 /Keppres No. 132 Thn 1998 (DEPANRI) Dalam struktur DEPANRI, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden.Namun, setelah era reformasi
1973: Lembaga Federal-FINEP (Agency for Financing Studies and Projects). FINEP juga sebagai executive secretariat untuk National Fund for Scientific and Technology Development (FNDCT) Selain mendanai riset industri, FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk standar ekspor (Dahlman dan Frischtak, 1990) Sejak 1985-Sekarang: Peran FNDCT semakin dominan bahkan sebagai management commitee, sebaliknya sejak 1985, peran FINEP selanjutnya dibawah koordinasi Kemenristek Inovasi (Kahn, De Melo, dan De Matos, 2014). 1996: Didirikan Brazilian Space Agency (AEB) AEB adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE ( Sistem Nasional untuk Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kegiatan keantariksaan di Brasil. AEB dipimpin oleh Presiden AEB sekaligus sebagai ketua Dewan teritinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil. Lembaga ini menrkoordinasi berbagai badan, baik riset maupun operasional (wakil dari Kementerian Pertanian, komunikasi, luar negeri, industri dan perdagangan, pembangunan, pendidikan, keuangan, lingkungan, energi
441 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990, loc.cit. h.15 442 Ibid.h.8 439 Lihat lampiran 9. hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014. 440Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80, Senin, 15 September 2014.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
191
Universitas Indonesia
aktivitas DEPANRI hampir tidak ada kecuali untuk N 219 dalam rangka mendorong transfer knolwledge SDM dirgantara tua ke muda”. Hal ini menunjukkan tidak adanya visi pemerintah.443,
serta kepolisian ditambah dari masyarakat ilmiah dan sektor industri terkait kenatariksaan). Keanggotaan.AEB sebagai bagian dari SINDAE dikontrol secara hierarki oleh Menteri Pertahanan dan secara langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi (Mardianis, 2013 hal 110 di Media Dirgantara, November 2013-LAPAN).
Sektor Industri
1976-1991 Kebijakan Pembangunan resourced-based industries: 1. Era Oil boom, 1976-1981 (Kebijakan substitusi
Impor) 2. Pasca Oil boom 1982-1985 (Mendorong ekspor) 3. Era 1986-1991 (Kebijakan mendorong Industri
beroritensi Ekspor)
KEPPRES No. 1 tahun 1980 tentang keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri. Kemudian Keppres ini dicabut pada era reformasi. Saat ini: Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009: Tentang Peta Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional: Mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis (N 219) melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri: Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia (N219)
1969: Seiring dengan dibangunnya Embraer, dibangun juga pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software.444 1972: Didirikannya The Special Sectariat for Science and Technology dibawah the Ministry of Industry and Commerce. Yaitu, Program pendanaan litbang industri, diseminasi informasi teknologi dan pengaturan sistem hak dan kekayaan intelektual-HKI, dan standard (Dahlman dan Frischtak, 1990) 1991-2000: Kebijakan ProEx (1991-2000), yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991 (Pritchard, 2010), Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan atas permintaan World Trade Organization-WTO (Laporan WTO, 1999).
443 Wawancara dengan Teguh, tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. Lihat lampiran 9 no.5 444 Ibid.h.17
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
192
Universitas Indonesia
Sektor Keuangan/Perbankan
Zaman Orde Baru: Belum ada sistem pendanaan inovasi termasuk pesawat terbang nasional yang diinisiasi dari sektor atau Depertemen Keuangan. Kecuali yang dikeluarkan melalui Intervensi Politik seperti Dana reboisasi untuk finish construction N 250. Belum ada sistem leasing dari perbankan nasional untuk pembelian pesawat terbang .445 Era reformasi hingga saat ini: Sistem pendanaan Pesawat terbang masih bersifat sektoral dan pendanaanya sesuai tercantum dalam Rencana Tindak Pembangunan Kementerian/Lembaga. Hal ini termasuk yang sedang dilakukan untuk N 219 Pada 28 Desember 2011, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dibentuk sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan melalui PMK Nomor 252 tahun 2010. LPDP kemudian ditetapkan sebagai sebuah lembaga berbentuk Badan Layanan Umum pada 30 Januari 2012 setelah disahkannya dengan KMK Nomor 18 tahun 2012. Namun bidang prioritasnya hanya tediri dari Bidang Tatakelola, Kesehatan, Energi, Budaya, Energi, Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Eknomi. Dan tidak ada mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan.
Sistem Pendanaan Inovasi: Di tahun 1960 didirikan The Brazilian Development Bank-BNDES (Kahn, De Melo, dan De Matos,h.43 2014; Paulo N. Figueiredo,446 h.33)
445Habibie, 1995. op.cit. h.288; dan lihat lampiran 9 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, 2014.
no.11.13 446 Paulo N. Figueiredo (2007), Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance,
Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, h.33 University of Oxford, Department of International Development.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
193
Universitas Indonesia
6.1.3 Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata Pada Level
Operasional
6.1.3.1. Analisis Aktivitas Primer Rantai Nilai Pengembangan N 250-IPTN
6.1.3.1.1. Struktur Global Value Chain N 250
Stuktur GVC IPTN terutama dalam pengembangan N 250 adalah cenderung
bersifat hierarchy. Karena sejak diresmikan pada tahun 1976, IPTN tidak memiliki
kemampuan dalam codifiability maupun produksi pesawat terbang. Namun,
dukungan pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat
terbang berbasis kemampuan domestik sangat tinggi. Dalam rangka penguasaan
kemampuan indigenous technology, IPTN mengadopsi empat tahap upgrading
teknologi pesawat terbang sebagaimana juga yang digunakan oleh Embraer (tabel
6.7) yaitu dimulai dari produk dibawah lisensi kemudian beranjak pada kemampuan
integrasi lalu pengembangan pada pesawat turbopropelar hingga jet. Hanya saja, tidak
sebagaimana halnya IPTN, proses upgrading pesawat terbang yang dilakukan di
Embraer diimbangi dengan kemampuan produksi pesawat yang juga sangat tinggi
pada tiap-tiap upgradingnya.447
Terkait bahan baku, sebagian besar supplier komponen dalam desain N 250
adalah berasal dari Amerika Serikat yaitu dari Industri Boeing, Allison, Collins,
Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll.448 Satu-
satunya local content pada desain N 250 adalah hanya pada desain pesawat atau
tenaga kerja.449 Rendahnya kemampuan industri—industri hulu bagi pengembangan
pesawat IPTN adalah selain masih lemahnya dukungan sektor perbankan dalam
bentuk kredit usaha di sektor tersebut450 juga disebabkan bahwa volume produk yang
dibutuhkan jauh tidak sepadan dengan biaya investasi untuk pengembangan produk
447 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, 2001. loc.cit. h. 555-556; David McKendrick,
1992. loc.cit.h.39. 448 Habibie, 1995.op.cit.h.275-276 449 Lihat wawancara dengan Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology &
Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.22.6; 450 Lihat kembali ulasan tentang lemahnya dukungan sektor perbankan untuk industri hulu
dalam pengembangan pesawat IPTN . hal. 171
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
194
Universitas Indonesia
tersebut atau dengan kata lain volume produk yang dibutuhkan oleh IPTN masih jauh
dari skala ekonomi.451
6.1.3.1.2. Analisis Operasi dan Logistik Keluar IPTN
Pada kasus IPTN, yaitu sejak 1977 hingga 1993, pesawat NC 212 hanya
diproduksi sekitar 95 pesawat atau hanya 16 unit pertahunnya.452 Untuk pesawat CN
235, di awal tahun 1980an, IPTN sebenarnya merencanakan akan memproduksi
sekurang-kurangnya 36-40 pesawat sejenis CN-235 pertahun atau rata-rata 3 (tiga)
pesawat perbulan. Namun kenyataanya, dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu sejak
tahun 1987, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat CN 235.453
Beberapa macam alasan terkait tidak tercapainya target produksi CN 235 adalah
mulai dari raw materials yang sering terlambat sampai dengan masalah-masalah
dokumentasi yang tidak lengkap, langkanya spare part, hingga CASA yang dinilai
tidak kooperatif.454
Padahal, jika diukur dari jumlah tenaga kerja yang berjumlah 16.000 orang
dengan asumsi jumlah direct labour 6.000 orang, maka kapasitas produksi
sebenarnya jauh lebih besar. Dengan asumsi kasar bahwa direct labour yang
dialokasikan untuk CN 235 sebanyak 5.000 orang dengan jumlah jam kerja bersih
perminggu (nett weekly manhours) sebesar 40 jam (tanpa lemburan), maka dengan
manhours yang tersedia IPTN sebenarnya mampu memproduksi sekurang-kurangnya
60 pesawat per tahun.455 Sedangkan untuk kasus Embraer, sejak tahun 1969 ketika
Embraer memulai proses produksi dibawah lisensi perusahaan Italia yaitu pesawat
Bandairente turboprop EMB-110, maka kemudian hingga tahun 1983, pesawat
dengan kapasitas 19 penumpang tersebut telah diproduksi sejumlah 3.983 pesawat
atau 265 pesawat per tahun. Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar
451 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45 452 Ibid.h.81 453 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan.
25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. 454 Chandra Adenan (2001). IPTN dalam Kenangan dan Harapan. 25 Tahun PT. Dirgantara
Indonesia: Membuka paradigma baru. h.70 455 Ibid. h.44
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
195
Universitas Indonesia
domestik, bahkan pada tahun 1975, Embraer menjadi pemasok tunggal untuk
kebutuhan pasar domestik456. Yang sangat menarik adalah pada tahun 1974, yaitu
pada fase produksi pesawat dibawah lisensi tersebut, Embraer semakin memperkuat
kemampuan desain maupu produksinya dengan program peningkatan kemampuan
SDM dan produksi melalui program merakit sekitar 726 pesawat US light aircraft
(general aviation) dari perusahaan Amerika Serikat.457
Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM dan produksi tersebut, Embraer
yang didukung oleh Pemerintah Brazil mengirimkan proposal ke 3 produser besar
pesawat terbang kecil di Amerika Serikat yaitu: Piper, Beech dan Cessna. Dalam
proposal tersebut, Embraer memasukkan klausal bahwa Embraer ingin meningkatkan
kemandirian dalam hal kemampuan teknis, manajerial, kegiatan produksi,
kemampuan memasarkan, dan juga kemampuan memasok pasar domestik. Dan
akhirnya perusahaan yang terpilih adalah perusahaan Piper.458
Selanjutnya untuk N 250, IPTN hanya diproduksi 2 unit karena dihentikan
pengembangannya oleh Pemerintah waktu itu. Pengalaman Embraer menunjukkan,
bahwa pada tahun 1985, Embraer melaunching pesawat turboprop EMB-120 yang
sekelas dengan CN 235 maupun N 250 namun dengan kapasitas 30 penumpang.
Dalam periode 1985-1999, Pesawat EMB 120 yang merupakan upgrading dari EMB
110 tersebut telah diproduksi sekitar 354 pesawat dan berhasil mendapatkan sertifikat
FAA pada tahun 1985 dan European Certification di tahun 1986459. Walaupun
pesawat EMB 120 tersebut mengalami penurunan produksi disebabkan permasalahan
finansial perusahaan sebagai akibat dari resesi global, namun pesawat tersebut cukup
sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.460
Hingga saat ini kemampuan produksi pesawat PT DI hanya sekitar 12 pesawat
per tahun, yaitu 4 pesawat untuk NC 212, 4 pesawat untuk CN 235, dan 4 pesawat C
456 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 457 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 458 Ibid. 459 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 460 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
196
Universitas Indonesia
295.461 Sedangkan untuk kasus Embraer, sejak tahun 1969 ketika Embraer memulai
proses produksi dibawah lisensi perusahaan Italia yaitu pesawat Bandairente
turboprop EMB-110, maka kemudian hingga tahun 1983, pesawat dengan kapasitas
19 penumpang tersebut telah diproduksi sejumlah 3.983 pesawat atau 265 pesawat
per tahun. Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar domestik, bahkan pada
tahun 1975, Embraer menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestik462.
Yang sangat menarik adalah pada tahun 1974, yaitu pada fase produksi pesawat
dibawah lisensi tersebut, Embraer semakin memperkuat kemampuan desain maupu
produksinya dengan program peningkatan kemampuan SDM dan produksi melalui
program merakit sekitar 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari
perusahaan Amerika Serikat.463
Tabel 6.7 Tahapan Upgrading N 250 IPTN dengan EMB 120 Embraer IPTN Embraer
Pesawat Th Pengembangan
Jumlah Produksi
Pesawat Th Launcing
Jumlah Produksi
NC 212 (under licensed-CASA)-24 Penumpang
1976/1977
95 unit (1977-1993) -Saat ini hanya 4 pesawat per tahun.464
EMB 110 (under licensed- Aeronautica Macchi S.p.A., an Italian corporation); perakitan -19 penumpang
1969 3.983 unit (1969-1983).
Merakit 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari US
1974
CN 235 (35 penumpang)-turboprop
1979/1983 40 unit pesawat (1987-1995) Saat ini hanya 4 pesawat pertahun.465
EMB 120 (30 Penumpang) 1985 354 pesawat (1985-1999).466
N 250 (50 dan 70 penumpang).turboprop dengan
1987/1994 2 unit (1994-1995)
461 Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang
dilakukan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00, Di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT
462 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 463 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 464 Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang
dilakukan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00, di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT
465 Ibid. 466 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
197
Universitas Indonesia
teknologi fly by wire R-80/New N 250 (80 penumpang)
2013 -
N 2130-Jet 1994 - ERJ 145 (Jet): 50 dan 37 penumpang
1989/1996 132 unit pert tahun.467
ERJ 170/190 (70 sampai ≥100 penumpang) dengan teknologi fly by wire
1999 Rata-rata 27 unit pertahun (2002-2007).468
Sumber: B J Habibie, 1994,op.cit. h.68-75; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa
Tahun). loc.cit.h.10;
Dari aspek pengujian pesawat, beberapa fasilitas produksi dan beberapa
fasilitas pengujian pesawat terbang khususnya untuk N 250 adalah dilakukan didalam
industri seperti: wind tunel test, electro-magnetic compatibility-emc, iron bird test.
Namun untuk mendukung pengujian tersebut, sebagian fasilitas dan SDM yang
terlibat dalam pengembangan tersebut adalah merupakan kerjasama antara ITB,
Puspitek-BPPT dengan PT DI. Bahkan dalam rangka ditching test N 250, yaitu suatu
test kemampuan ngambang di air dilakukan di Inggris.469
Jika dibandingkan dengan fasilitas pengujian Embraer Brazil, PT DI sangat
jauh tertinggal, diantara contohnya adalah fasilitas uji terbang. Untuk fasilitas
tersebut, Embraer memiliki fasilitas pengujian penerbangan yang bertempat di
Gavião Peixoto, São Paulo, dengan fasilitas landasan pacu terpanjang keempat di
dunia dengan panjang 16.400-kaki (5.000 m).470Ukuran tersebut bahkan empat kali
lebih besar dengan fasilitas uji yang saat ini ada di rumpin LAPAN, yang hanya
memiliki panjang 1.200m.471 Padahal untuk pesawat R-80 membutuhkan ukuran
landasan sekitar 2.400m.
467 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.9 468 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24 469 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014 470 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. 471 FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80,
Senin, 15 September 2014.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
198
Universitas Indonesia
6.1.3.1.3 Analisis Aktivitas Pemasaran dan Strategi Pemasaran Pesawat IPTN
Proses upgrading teknologi pesawat N 250-IPTN tidak ditunjang dengan
kemampuan manajeman IPTN terutama dalam menjual pesawat NC 212 dan CN 235
baik dalam pasar domestik maupun pasar internasional (Tabel 6.9). Untuk pesawat
under licensed NC 212, selama 26 tahun yaitu dalam periode 1976-2002, IPTN hanya
menjual sebanyak 94 unit pesawat terbang472, artinya IPTN hanya mampu menjual 3
pesawat pertahun. Lemahnya strategi pemasaran, disebabkan Pimpinan Teras sampai
pada eselon-eselon dibawahnya kurang menyadari pertimbangan-pertimbangan
ekonomis (business oriented) dalam mengambil keputusan dan kurang mengindahkan
prinsip-prinsip cost versus benefit. Di bidang pemasaran telah berkembang suatu
pemeo bahwa pada hakekatnya Pak Harto dan Pak Habibie-lah yang berfungsi
sebagai salesman, bahkan dikenal sebagai “Super Salesman”. Pemeo tersebut sampai
mencuat karena hampir semua transaksi yang terjadi baik di dalam negeri maupun di
luar negeri adalah antara IPTN dan Pemerintah atau antar Pemerintah dan
Pemerintah, dan sekurang-kurangnya transaksi tersebut memiliki muatan politis
(higher political intention).473
Jika dibandingkan dengan Embraer- Brazil, dalam periode 1969-1983,
Embraer berhasil memproduksi pesawat EMB 110 sejumlah 3.983 unit. Dan sebagian
besar pesawat EMB 110 tersebut adalah untuk pasar domestik. Bahkan pada tahun
1975, pesawat EMB 110 menjadi satu-satunya pemasok tunggal untuk kebutuhan
pasar domestik.474
Setelah berhasil dengan pesawat under licensed Italia yaitu EMB 110, pada
tahun 1985 Embraer mendesain pesawat hasil desain sendiri yaitu EMB 120, pesawat
tersebut adalah pesawat turboprop yang sekelas dengan CN 235 dan N 250.
Walaupun sempat mengalami penurunan produksi karena krisis perusahaan sebagai
akibat dari resesi global, namun pesawat EMB 120 tersebut cukup sukses bahkan
memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.475Bandingkan dengan IPTN
472 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 473 Yuwono, Agustus 2001. op. cit. h.46 474 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 475 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
199
Universitas Indonesia
dengan CN 235nya, dalam 15 tahun yaitu selama periode 1979-1994, IPTN hanya
menjual 28 unit CN 235.476 Walaupun pada tahun 1986, 15 unit CN 235 pernah
dioperasikan oleh Merpati Airliner,477 namun secara garis besar, pasar terbesar CN
235 hingga saat ini adalah justru berasal dari luar negeri478. Fenomena tersebut
tentunya sangat kontras dengan yang terjadi dengan Embraer Brazil, baik EMB 110
maupun dengan EMB 120. Kemampuan pemasaran tersebut tentunya menyebabkan
industri Embraer memiliki kemampuan ekonomi yang sangat tinggi dibandingkan
dengan IPTN (lihat Gambar 6.10, h. 189 bab ini.).
Kemampuan tersebut akhirnya mengantarkan Embraer berhasil melakukan
upgrading EMB 120 kepada desain pesawat jet ERJ 145 yang membutuhkan
anggaran pengembangan sekitar USD 350 juta.479 Sebaliknya, lemahnya kemampuan
IPTN dalam menjual NC 212 dan CN 235 menyebabkan rendahnya nilai tambah
perusahaan yang pada akhirnya tidak memiliki pendanan untuk melanjutkan
upgrading teknologi, baik N 250 maupun pesawat jet N 2130 sekelas ERJ 145. 480
Jika menengok keberhasilan Embraer-Brazil, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan Embraer memiliki kemampuan dalam pemasaran pesawatnya, baik
EMB 110, EMB 120 dan ERJ 145 yang masing-masing sekelas dengan NC 212, N
250 maupun N 2130. Pertama, periode 1976-1994 yaitu sebelum privatisisasi, yaitu
pada tahap pengembangan EMB 110, EMB 120 dan pada empat tahun pertama proses
pendesainan dan produksi ERJ 145, pengadaan pesawat terbang Embraer dapat
dilakukan melalui pengadaan militer terutama pada tahap launcing/pemasaran
perdana (lihat tabel 6.10). Sejak tahun 1999, walaupun pengadaan pesawat tidak lagi
dilakukan dengan pengadaan militer sebagai konsekuensi dari privatisasi, namun
demikian, pengadaan pesawat masih bisa dilakukan dengan lembaga pemerintah
seperti FINEP, Bank BNDES (National Bank for Economic and Social Development)
476 Ibid.h.73 477 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/05/110509_pesawatcina.shtml 478 Lihat kembali Tabel 1.7 Penjualan CN 235 dari 2002-2012 di Bab I, h.23 479 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 41 480 Namun untuk pada pengembangan N 250 dan N 2130, sejatinya telah dipersiapkan
sejumlah strategi bisnis untuk perakitan dan pemasarannya lihat kembali Gambar 4.1 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat Terbang PT DI Era Orde Baru – Era Saat ini
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
200
Universitas Indonesia
dan Banco do Brasil.481 Ketiga lembaga tersebut diarahkan untuk mendukung
kegiatan ekspor pesawat secara khusus, dan produk teknologi Brazil secara umum.482
Bahkan, selain ketiga lembaga pendanaan tersebut, pemerintah memperkuat
dukungan pendanaan untuk mendukung industri Embraer melalui dibentuknya
konsorsium investor domestik.483
Faktor kedua, adalah sebagai bentuk dukungan untuk penetrasi pasar
internasional, pada tahun 1991, pemerintah Brazil mengeluarkan Kebijakan ProEx,
yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar
negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brazil sejak juni tahun
1991-1999.484 Kebijakan Pro Ex tersebut kemudian menjadi salah satu faktor dari
keberhasilan pemasaran ERJ-145 terutama di pasar internasional.485Selain kuatnya
dukungan pemerintah, dua aspek lain yaitu pada level manajemen juga menjadi faktor
keberhasilan pemasaran Embraer adalah: Pertama, dengan dibantu oleh Tim dari The
Aerospace Technical Center-CTA, Embraer membentuk system broker yang disebut
Ozira Silva.486 Tim tersebut bertugas untuk:
1. Menemukan segmentasi pasar (menganalisis jenis pesawat yang cocok
untuk infrastruktur bandara yang sangat sederhana).
2. Menemukan channel-channel pendanaan untuk desain pesawat
3. Mendirikan satu perusahaan yang bertugas untuk menjamin
komersialisasi pengembangan inovasi pesawat.
4. Menciptakan jejaring-jejaring baru untuk mencari sumber-sumber
permodalan (seperti mendapatkan dukungan pemerintah untuk proses
launching pesawat baru; atau insentif-insentif pajak perusahaan; atau
mengembangkan satu model kolaborasi atau konsorsium dll).
Kedua, setelah Embraer di privitasisasi tahun 1994, Manajemen Embraer
semakin memperkuat strategis bisnisnya dengan menempuh tiga langkah sebagai
481 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29. 482 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 39 483Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29. 484 David Pritchard, 2010.loc.cit. h.10 485 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, tanpa tahun. loc.cit. h. 10 486 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.25
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
201
Universitas Indonesia
berikut: Pertama, melakukan sharing dana pengembangan dengan para Industri
supplier komponen terutama dengan industri-industri supplier internasional; kedua,
mengembangkan jejaring atau “klaster” industri pengembangan pesawat; dan ketiga
adalah mengembangkan core business yang semula hanya sebagai aircraft designer
juga sebagai system assembler. 487
487 Ibid. h.29
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
202
Universitas Indonesia
Tabel 6.8 Jumlah Penjualan Pesawat IPTN vs Embraer
IPTN Embraer Pesawat Tahun
(terjual). Pembeli/Pasar Pesawat Tahun
(terjual) Pembeli/Pasar
NC 212 488versi sipil/militer
-1976-1994 (92 unit terjual).489 -1976-2002 (94 unit terjual).490
Operator Domestik: Merpati491, TNI AU/AL, Operator Luar Negeri: Thailand. TNI AU dan Angkatan Udara Spanyol;Penjaga Pantai AS;Angkatan Udara Spanyol; Angkatan Udara Kerajaan Thailand,Tentera Udara Diraja Malaysia; Tentera Udara Diraja Bruney; Angkatan Udara Pakistan; Angkatan Udara Afrika Selatan; Angkatan Udara Turki; Angkatan Laut Turki
EMB 110 1969-1983 (3.983 unit)
Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar domestik, bahkan pada tahun 1975, EMB 110 menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestic.492 Operator: Brazil, Canada, Cook Island, Cuba, Guetamala, Ghana, UK, Honduras, Ireland, Kenya, US, Norway, Venezuela, Iran dll.493
CN 235 versi sipil494/militer/misi khusus
-1979-1994 (28 unit terjual).495 -1979-2002 (47 terjual).496 -2002-2012
Operator: Korea Selatan, Bukirna Faso, Senegal, Malaysia dan Pakistan, Thailand, United Emirate Arab, TNI AL; TNI AU dan Angkatan Udara Spanyol Penjaga Pantai Amerika Serikat; Angkatan Udara Spanyol; Angkatan Udara Kerajaan Thailand; Tentera Udara DirajaBruney; Angkatan Udara
EMB 120
1985-1999 (354 unit).498
Pesawat EMB 120 memenuhi 1/3 dari total pasar pesawat dunia dikelasnya.499. Operator: Angola, Australia, Brazil, Equador, Hungary, Mexico, Moldova, Nigeria, Rusia, Turki, US, Venzezuela dll.500
488 Daniel Vertesy and Adam Szirmai (2010), h.70 489 BJ, Habibie (1994), Progress Report. op.cit. h. 69-73 490 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 491 Ibid.; NC 212 pernah dipakai oleh beberapa perusahaan penerbangan nasional seperti: Pelita Airline, Bouraq Indonesia, lihat:
http://rzjets.net/aircraft/?typeid=137. 492 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 493 http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_110_Bandeirante 494 Untuk versi sipil, di tahun 1986, CN 235 buatan PT DI pernah dipakai oleh Merpati Airliner sebanyak 15 unit, lihat:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/05/110509_pesawatcina.shtml 495 Ibid.h.73 496 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
203
Universitas Indonesia
(12 unit).497 Pakistan; Angkatan Udara Afrika Selatan; Angkatan Udara; Turki;AL Turki
N 250 Dihentikan dan tidak survive
Pada saat itu, IPTN baru menerima pesanan untuk N 250 yaitu:sejumlah 100 pesawat dari Merpati, 62 dari Bouraq dan 16 dari Sempati. Padahal , dengan harga pesawat USD 13,5 juta,untuk meraih titik impas, IPTN harus memasarkan sedikitnya 259 unit pesawat.501
N 2130-Jet - ERJ-145 1989-1999 (132 unit pert tahun).502
American Eagle; British Regional; rtugalia;Regional; Rio Sul; Siv Am; Wexford; Continental Express (“COEX”); Trans States; Luxair; City Airlines.503
498 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 499 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 500 http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia 497 Lihat kembali Tabel 1.7 Penjualan CN 235 dari 2002-2012 di Bab I, h.23 501 Media Indonesia Minggu (1995), Edisi 13 Agustus 1995. Membawa Gatotkoco ke Pasar. Diakses lewat http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html 502 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.9 503 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 3
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
204
Universitas Indonesia
Diantara faktor yang menyebabkan rendahnya minat pasar pada pesawat
terbang hasil karya IPTN, baik dalam negeri maupun luar negeri504 sebagaimana
tersaji dalam tabel 6.9 adalah: pertama, rendahnya komitmen pemerintah dalam
menggunakan produk pesawat hasil produksi IPTN. Kedua, sistem leasing
pesawat atau kredit ekspor dari perbankan nasional untuk pengadaan pesawat
terbang yang belum tersedia begitu juga dengan kemudahan kredit untuk industri
komponen pesawat dalam negeri. Ketiga, lemahnya kemampuan pemasaran IPTN
terutama pada era orde baru.505
Tabel 6.10 Perbandingan IPTN Indonesia vs Embraer Brasil
Aspek IPTN Indonesia Embraer Brazil
SDM/Sarana
Pengujian
Sampai tahun 1995, jumlah SDM IPTN mencapai 16.000 personil506 dari sekitar 860 SDM pada tahun 1976. Data 2011 meunjukkan bahwa SDM PT DI hanya berjumlah 4.190 orang, dengan perincian aero structure 1.688 orang, aircraft integration 800 orang, aircraft service 363 orang, dan teknologi dan pengembangangan 851 orang.507 Data 2013 menunjukkan bahwa karyawan PT DI lebih kurang 3000an. Dan separuhnya (lima tahun kedepan) akan segera pensiun. Fasilitas uji: Fasilitas industri komponen masih berfungsi baik, fasilitas uji desain tidak banyak digunakan lagi hanya Wind Tunel Test dan EMC namun untuk skala kecil, dan fasilitas design S/W lebih baik, serta design procedure dan configuration Management sedang dipersiapkan untuk memenuhi standar Airbus.
Pa tahun 1974: sekitar 3500 orang Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun, h.10) Saat ini sekitar 17.009 orang (http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. Bahkan di tahun 2007 jumlah SDM pernah mencapai 22500.509 Fasilitas pengujian penerbangan di Gavião Peixoto, São Paulo, dengan fasilitas landasan pacu sepanjang 16.400-kaki (5.000 m), terpanjang keempat di dunia.510
504 Habibie, 1995. op.cit. h.289-291 505 Yuwono, Agustus 2001. op.cit. h.46. 506 Habibie, 1995. op.cit. h.281 507 Hasil Lokakarya DEPANRI, November 2011. h.2
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
205
Universitas Indonesia
Namun iron bird test, Secara keseluruhan fasilitas uji yang dapat digunakan untuk proses upgrading N 250 maksimal 30%.508
Laba/rugi Sejak 1976-1994, pertumbuhan laba/rugi perusahaan sangat rendah, bahkan di tahun dimulainya program N 250 yaitu di tahun 1986/1987, pertumbuhan laba ruginya negatif.511
Mengalami kerugian512 sepanjang tahun 1980an hingga 1990an, hingga akhirnya sejak 1998 perusahaan tersebut kembali profitable.513
Kemampuan Produksi
Kemampuan produksi sangat lemah. Sejak 1977 hingga 1993, pesawat NC 212 hanya diproduksi sekitar 95 pesawat atau hanya 16 unit pertahunnya.514 Adapun CN 235 yang terbanyak hanya versi militer itupun pasar terbesar adalah luar negeri. dan dalam kurun waktu 10 tahun, sejak tahun 1987, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat CN 235.515Selanjutnya N 250 hanya diproduksi 2 unit. Hingga saat ini kemampuan produksi hanya sekitar 12 pesawat per tahun.516
Kemampuan produksi sudah sangat tinggi karena sejak tahun 1969 mulai proses produksi pesawat EMB-110 Bandairente turboprop versi militer dan maiden flight tahun 1968, dan tahun 1983 telah memproduksi 3.983 Pesawat (265 pesawat per tahun) Khusus untuk produksi EMB 120 yang merupakan upgrading dari EMB 110 diproduksi sejak 1985-1999 sekitar 354 pesawat.517 EMB 120 walaupun mengalami penurunan produkis karena krisis perusahaan sebagai akbiat dari resesio global, namun pesawat tersebut cukup sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.518
Kegiatan Litbang Selain kerjasama dengan BPPT dan ITB, untuk pengembangan N 250 adalah dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian dasar dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu
Sinergi litbang antara ABG sudah berjalan, baik, dengan engineer dari Jerman dan Universitas dan lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, dari Amerika.521
509 Embraer, Frischtak 1992, Ramamurti 1987, Cassiolato 2002 dikutip oleh Daniel Vertesy and
Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23 510 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. 508 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014, loc.cit 511 B J Habibie, 1994,op.cit. h.91 512 Kerugian tersebut disebabkan oleh resesi ekonomi global dalam kurun 1990-1994 lihat Daniel
Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.27-28 513 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10-11 514 Ibid.h.81 515 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan. 25 Tahun
PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. 516 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang Pengembangan R-80, tanggal 03 Oktober 2014. 517 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 518 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
206
Universitas Indonesia
aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu dsb519. Di tahun 2013, PT DI mengalokasikan dana riset hanya sekitar 1% dari total omset PT DI (Rp. 3 Triliun) yaitu sekitar Rp. 30 Miliar).520Dari N 250, hanya 1 Paten yang diperoleh PT DI adalah pada desain, dan saat diberhentikan paten tersebut milik pemerintah.
Transformasi Struktur Global Value Chain
Sejak 1976-1999 N 250 bersifat hierarki karena dukungan pemerintah sangat kuat walaupun procurement tidak bisa dengan pengadaan militer Sejak 1999-sekarang lebih ke Modular (market driven), setelah direstrukturisasi dukungan pemerintah melemah dibandingkan dengan era orde baru.
Dari Hierarkis -Vertically integrated dengan ciri selain dukungan pendanaan riset pemerintah dll adalah pengadaaan pesawat melalui pengadaan militer terutama pada tahap launcing pesawat baru (sejak 1969-1994) ke model Network (Modular) sejak Tahun 1994-Sekarang ditandai dengan era privatisasi, pada era ini beberapa implikasi strategi bisnis yang dilakukan adalah:522 1. Melakukan sharing dana
pengembangan dengan para Industri supplier komponen
2. Mengembangkan jejaring atau “klaster” industri pengembangan pesawat
3. Mengembangkan core business yang semula hanya aircraft designer ke arah menjadi system assembler juga
Namun setelah privatisasi, pengadaan pesawat tidak lagi dengan pengadaan militer tetapi melaui FINEP dan BNDES yang juga didukung melalui konsorsium investor domestik.523
Sumber: Diolah dari Dahlman dan Frischtak 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010 dll
521 Embraer juga melakukan supplier’s risk sharing investments produser besar pesawat terbang
kecil di Amerika Serikat yaitu Piper, lihat di David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 519 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari Kebangkitan
Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2
520 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Komunikasi PT DI Sony Ibrahim, pertama ketika peneliti melakukan kunjungan karyasiswa Kemenristek ke PT DI pada bulan november 2013 dan kali kedua melalui interview via telpon pada februati 2014. Lihat lampiran 9. no.11.1
522 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29 dan h.85 523 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
207
Universitas Indonesia
6.1.3.2. Analisis Aktivitas Pendukung Rantai Nilai IPTN dalam
Pengembangan N 250
6.1.3.2.1. Analisis Manajemen perusahaan IPTN dalam pengembangan N 250
Sejatinya pada zaman orde baru, IPTN telah mencanangkan pembentukan
sistem manajemen industri modern yang rencananya akan terealisir ketika IPTN
berusia 10 tahun yaitu di tahun 1986, namun tidak nyatanya tidak tercapai.524
Secara umum gaya manajemen IPTN pada saat itu termasuk pada saat
pengembangan N 250 cenderung “top down”, gaya manajemen top down tersebut
tidak diimbangi oleh adanya sense of responsibility dari kalangan direktur dan
pimpinan teras lainnya. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan sering kali
dilakukan secara “single handed”. Gaya kepimpinan tersebut memiliki latar
belakang. Pertama, Pak Habibie merasa dirinya (dan memang demikian halnya)
sebagai pengemban Tunggal Tugas Mulia yang diberikan oleh Kepala Negara,
dan oleh karena itu merasa dirinya adalah satu-satunya yang paling bertanggung
jawab. Kedua, Habibie, jugalah yang membuat skenario (strategi) tentang
bagaimana IPTN harus dikembangkan sesuai dengan visinya525, bahkan tidak
hanya IPTN, Habibie juga dipaksa untuk mampu membuat skenario dan
memimpin sembilan industri strategis lainnya.526
Suatu analogi yang khas pernah disampaikan oleh Habibie sendiri, bahwa
IPTN diibaratkan sebagai “symphony orchestra” dimana Habibie berperan sebagai
“conductor” atau dirgennya dan sekaligus sebagai pembuat partiturnya yang
sudah ditentukan. Pengumpaman itu tentunya adalah bermakna suatu “team work”
yang kompak dan harmonis. Namun efek samping yang terjadi adalah peranan
Sang Dirgen disatu pihak menjadi sangat dominan, sedangkan dilain pihak
pemain orkes menjadi kehilangan inisiatif. Dampak dari gaya manajemen tersebut
adalah bahwa para Direktur dan pimpinan teras lainnya menjadi kurang memiliki
“sense of responsibility” dan cenderung berorientasi vertikal, dalam arti kata
bahwa segala sesuatu dilaporkan kepada Direktur Utama (Habibie) tanpa melalui
konsultasi terlebih dahulu secara horisontal (staf deliberation).
524 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45 525 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.46, 526 Ceramah Ilmiah Habibie, dalam Hakteknas 19, pada tanggal 8 Agustus 2014, lihat lampiran
Lampiran 10. no.24. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
208
Universitas Indonesia
Gaya manajemen top down yang kurang diimbangi dengan bottom up feed
back atau arus informasi dua arah ternyata telah berdampak: Pertama, kurangnya
“sense of responsibility” tersebut telah menyebabkan tidak terkontrolnya
transaksi-transaksi yang sarat akan praktek rent seeking dan opportunistic
behavior pada proses pengadaan komponen pesawat terbang, hal ini sebagaimana
diakui oleh salah seorang yan pernah terlibat langsung dalam proses pengadaan
komponen pesawat terbang IPTN.527
Kedua, gaya manajemen top down tersebut juga telah mengakibatkan
timbulnya kesenjangan sosial yang cukup serius yang akhirnya membuahkan
perubahan dalam tatanan kerja antara Karyawan dan Manajemen. Salah satu
contoh adalah kebijakan dalam menentukan tunjangan khusus atau Ausser Tarrif
(AT). Yaitu perlakuan tunjangan yang berbeda antara unit-unit organisasi yang
melakukan “core mission/business” dengan unit-unit organisasi yang hanya
melaksanakan tugas-tugas penunjang (supporting unit). Perlakuan semacam itu,
apalagi tanpa adanya sosialisasi yang baik telah menghilangkan rasa kebersamaan
sesama karyawan.528
Senada dengan itu, tentang kelemahan manajemen juga diakui oleh Chandra
Adenan (2001)529 salah seorang mantarn Engineer IPTN pada era orde baru,
Chandra mengatakan:
“bahwa salah satu indikator lemahnya manajemen IPTN pada waktu itu
adalah tidak adanya busines sense di tingkat puncak sehingga masalah yang
dihadapi dianggap biasa dan tidak mengalir ke tingkat bawah. Segala macam
usaha koordinasi hanya menghasilkan kekacauan baru, karyawan tidak siap
memasuki dunia bisnis yang keras. Yang terjadi hanyalah saling menyalahkan dan
saling lempar tanggung jawab, masing-masing divisi hanya memikirkan eksistensi
dan superiornya masing-masing sehingga bisnisnya jadi semakin tidak jelas.530
Nah, rencana pembuatan N 250 adalah dilatarbelakangi oleh kondisi manajemen
527 Diskusi informal dengan Anang Witjaksono, Head of Ref Office Jasa Raharja dan salah
seorang yang pernah terlibat dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN pada awal tahun 1990an, di gedung Mochtar-PGT Cikin UI, pada tanggal 11 Desember 2014, lihat lampiran 9. no 37.
528 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.46, Wawancara dengan Staf Ahli Kemenristek Bidang Hankam, Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Dr Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014.
529 Ibid. 530 Chandra Adenan (2001). h.70
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
209
Universitas Indonesia
sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh karena itu, timing pengembangan N
250 apalagi rencana N 2130 dianggap direalisasikan pada saat yang tidak tepat
terutama kalau dilihat dengan kegagalan penjualan CN 235 yang sudah
menghabiskan jutaan hingga milyaran dolar.”
Al haasil, bahwa manajemen IPTN terutama pada saat pengembangan N
250 dikelola dengan tidak professional, jajaran direksi pada waktu itu umumnya
diduduki oleh mereka-mereka yang mempunyai banyak pekerjaan lain dan tidak
dengan sungguh-sungguh memperhatikan (berkonsentrasi) pada pekerjaannya di
perusahaan. “Teladan” yang demikian ini membuat karyawan dalam tingkat lebih
bawah juga menganggap bahwa kerja di IPTN dapat dilakukan sebagai sambilan,
sehingga mengakibatkan banyak di antara mereka yang mengikuti “keteladanan”
tersebut dengan melakukan moon ligthting di tempat lain, bahkan yang merugikan
perusahaan, yaitu mereka yang memanfaatkan asset perusahaan untuk
kepentingan pribadi.531
Dari ulasan diatas, diketahui bahwa walaupun Habibie sangat lihai dalam
membuat partitur (skenario), namun Habibie pada saat itu belum memainkan
perannya sebagai Sang Dirgen yang baik. Lemahnya fungsi dirgen tersebut
diperparah lagi dengan banyaknya tugas yang rangkap yang dipikul oleh Sang
Dirgen waktu itu, lebih kurang 30 tugas rangkap yang dipikul Habibie pada masa
orde Baru.532 Walaupun Habibie mengakui jabatan rangkap tersebut terutama
pada industri strategis selain IPTN adalah “dipaksa” oleh Presiden Soeharto waktu
itu, tentang ini Habibie533 pernah mengatakan:
“Sebenarnya saya sekembali dari Jerman hanya ingin fokus untuk
mengurusi IPTN, namun Pak Harto memaksa saya untuk memegang semua
industri seperti: industri kapal, Kereta Api.....)”
Namun demikian terlepas dari faktor lemahnya fungsi dirgen tersebut, tidak
fokusnya Habibie juga menjadi faktor yang sulit terbantahkan yang menyebabkan
fungsi Dirgen tadi tidak berjalan dengan baik. Hal ini juga diungkapkan oleh salah
531 Djasli Djamarus (2001). PT IPTN yang saya tahu dan PT DI yang saya harapkan. 25 Tahun
PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.76 532 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.47 533 Lihat Ceramah Ilmiah Habibie, dalam Hakteknas 19, pada tanggal 8 Agustus 2014, lihat
lampiran Lampiran 10. no.24. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
210
Universitas Indonesia
seorang mantan engineer IPTN, yaitu Grek yang saat ini berkerja untuk
Perusahaan Boeing Amerika Serikat. Dalam kesempatan berdialog dengan
Habibie dalam acara Rossi, 2 September 2010 di Global TV, Grek mengatakan:
“saya yakin (kalau) Pak Habibie konsentrasi penuh ke IPTN atau PT
DI, ini bakal meningkatkan motivasi dan moral karyawan PT DI sekarang, dan
saya yakin, kita pasti bisa membangkitkan industri dirgantara Indonesia lagi...”.534
6.1.3.2.2 Analisis Pengembangan SDM, Infrastruktur & Keuangan IPTN
Strategi IPTN dalam pengembangan SDM dinilai masih lemah, khususnya
dalam pemberian beasiswa. Diketahui bahwa IPTN memberikan beasiswa di
sekolah/universitas yang kurang berkualitas diluar negeri, tanpa bersungguh-
sungguh memilih sekolah/universitas terbaik.535 Padahal pemilihan universitas
terbaik sangat penting baik untuk memperoleh jaringan research and development
terbaik maupun untuk memperoleh jaringan lobby yang kuat di negara
bersangkutan, karena umumnya para alumni dari lembaga pendidikan terbaik
disuatu negara, menempati posisi penentu kebijakan dinegara tersebut.
Dalam proses pengembangan pesawat terbang, peningkatan kemampuan
SDM IPTN dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang adalah
dilakukan melalui empat strategi: yaitu kemampuan menggunakan teknologi
dalam proses produksi barang dan jasa, kemampuan integrasi teknologi yang telah
ada kedalam desain dan produksi, Pengembangan teknologi desain dan produksi
dan riset industri.536 Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM tersebut, IPTN
bekerjasama baik dengan ITB, BPPT dan Universitas atau Lembaga Riset
Internasional.537
Ketika IPTN memulai proyek NC 212 di tahun 1976, jumlah SDM hanya
sekitar 860 karyawan, namun ketika IPTN memasuki tahap upgrading II yaitu
pengembangan CN 235, jumlah karyawan IPTN menjadi 3.162 orang. Selanjutnya
534 Wawancara yang dilakukan Rosianna Silalahi oleh Global TV dalam acara Rossi, 2
September 2010, http://www.youtube.com/watch?v=n5Y5eWbNVEg. Lihat lampiran 9. no. 35.2 535 Kardono (2001). Fokus PT DI dalam rangkat industri penerbangan untuk meraih keunggulan.
h.116 536 Harijono Djojodihardjo dan Darwin Sebayang, 2000. Pembudayaan Iptek melalui
pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.
537 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
211
Universitas Indonesia
dalam rangka pengembangan N 250 yang merupakan tahap III yaitu di tahun
1987, jumlah karyawan IPTN naik hingga menjadi 13.300 orang. 538 Penambahan
tersebut dilakukan karena dipersiapkan untuk melakukan tahap keempat yaitu
pengembangan N 2130. Dari total tersebut masih didominasi dengan pendidikan
SI kebawah, sedangkan SDM dengan pendidikan S2 dan S3 hanya sekitar
masing-masing 37 dan 41 orang.539 Penambahan tersebut semakin tinggi, hingga
mencapai 16.000 personil540.Sedangkan SDM Embraer, yaitu pada tahun 1969,
ketika Embraer mendesain pesawat EMB 110, SDM Embraer hanya sekitar 589
orang, dan selanjutnya pada tahun 1985, dalam rangka pengembangan EMB 120
sekelas N 250, SDM Embraer hanya sekitar 6,877 orang, yaitu lebih dari dua kali
lipat yang terjadi dengan IPTN ketika pengembangan untuk N 250. Sebagaimana
yang terjadi dengan IPTN, ketika terjadi krisis ekonomi pada periode 1990-1997,
khususnya di tahun 1994, Industri Embraer mengambil kebijakan untuk
mengurangi SDMnya hingga tersisa sekitar 1.200 orang (lihat tabel 6.10).541 Data
terakhir yang diperoleh menunjukkan bahwa pada tahun 2013, SDM Embraer
hanya sekitar 17.009 orang.542
538 Vertesy dan Szirmai ( 2010),loc.cit. h.68 539B J Habibie, 1994., Progress Report 1974-1994. h. 86-87 540 BJ Habibie, 1995. loc.cit. h.281 541 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010. loc.cit. h.27. 542 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
212
Universitas Indonesia
Tabel 6.10 Perbandingan SDM, Keuangan,dan Produktivitas IPTN vs Embraer (Thousand USD at constant = 2000 prices)
Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010 ( 2010), h.68.
Dari sisi keuangan (Gambar 6.8), ketika IPTN melakukan
pengembangan N 250 yaitu di tahun 1987, dengan jumlah SDM yang dimiliki
adalah sekitar 12 596 orang, kondisi keuangan IPTN yang dilihat berdasarkan
profit dan investasi adalah masing-masing sebesar USD 1.800 dan USD 85.800.
Bahkan satu tahun sebelumnya, yaitu di tahun 1986, IPTN mengalami kerugian
sebesar USD -16.200. Namun total investasi pada tahun 1986 mencatatkan nilai
tertinggi sepanjang periode 1976-1989 yaitu sebesar USD 205.900 (Tabel 6.8).
Sedangkan Embraer Brazil, ketika tahun 1985 Embraer mendesain EMB 120,
kondisi keuangan Brazil sangat menjanjikan, dengan total tenaga kerja sekitar
1500 orang, perusahaan mendapatkan revenue sekitar USD 250 juta dari ekspor
pesawat terbang (Gambar 6.8), dan USD 300 juta dari total penjualan pesawat.
Setelah melewati periode krisis keuangan akibat dari resesi global yaitu selama
tahun 1990-1997, selanjutnya sejak tahun 1998 hingga 2007, secara keseluruhan
baik dilihat berdasarkan penjualan pesawat maupun ekspor pesawat terbang
mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
213
Universitas Indonesia
Gambar 6.8 Tingkat Eksport dan Penjualan Pesawat serta SDM Embraer
1970-2007. (Million USD at constant = 2000 prices)
Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010.loc.cit, h.23
Dana penelitian pengembangan pesawat terbang IPTN khususnya untuk
pengembangan N 250 adalah lebih mengandalkan pada pendanaan pemerintah
yaitu melalui kerjasama dengan BPPT, LIPI dan ITB. Oleh karena itu, investasi
di sektor penelitian adalah diutamakan untuk penelitian terapan. Sejak tahun
1993-1998, penelitian terapan dengan tema pesawat terbang menduduki peringkat
tertinggi dengan total anggaran riset mencapai Rp.14 triliun dibandingkan tema
lain yang tergolong pada PUNAS bidang rancang bangun.543
Diantara hasil riset PUNAS-RUT khususnya RUT V (Tahun Anggaran
1998) dan IV (Tahun Anggaran 1997) yang telah dimanfaatkan untuk
pengembangan N 250 adalah penelitian perancangan, pembuatan dan pengujian
boks komposit dalam proses perancangan dan analisis struktur utama pesawat
terbang N 250. Riset tersebut merupakan kolaborasi antara Kementerian Ristek,
BPPT dengan IPTN.544Namun, sebagai konsekuensi logis pendekatan riset yang
dilakukana IPTN diatas menyebabkan tidak adanya paten individu yang
543 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II
RUT, lihat kembali Bab IV. h.140 544 Buku Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001 dan lihat kembali Bab IV h.115-117
tentang PUNAS.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
214
Universitas Indonesia
dihasilkan PT DI dari pengembangan N 250 selain paten untuk pengembangan
desain.545
Gambar 6.9 Belanja dan intensitas litbang Embraer, 1983-2007
(Million USD at constant = 2000 prices) Sumber: Vertesy dan Szirmai ( 2010), h.28
Berbeda halnya dengan Embraer, selain mendapatkan dukungan pendanaan
riset dari lembaga pemerintah seperti FINEP maupun The Special Sectariat for
Science and Technology546, alokasi dana riset dalam internal perusahaan sendiri
cukup besar terutama untuk pengembangan EMB 120. Dua tahun sebelum
program pengembangan EMB 120 yaitu dari tahun 1983 dan 1984, belanja
penelitian dan pengembangan Embraer sangat tinggi yaitu masing-masing sekitar
USD 10 juta; USD 20 juta. Pada tahun 1985, anggaran litbang Embraer naik
secara signifikan hingga mencapai USD 80 juta (Gambar 6.9).
545 Lihat wawancara dengan Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology &
Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.22.6 546 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; David Pritchard, 2010. loc.cit, h.10;
Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc.cit. h.29.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
215
Universitas Indonesia
Gambar 6.10. Jumlah Paten Granted dalam Bidang Aerospace
Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, h.28
Tingginya intensitas riset Embraer tersebut kemudian menjadi salah satu
faktor yang turut menaikkan perolehan paten granted secara nasional khususnya
dibidang aerospace. Tiga tahun sebelum pengembangan EMB 120, perolehan
paten khususnya yang diajukan oleh peneliti-peneliti Brazil mengalaman
kenaikan, dari sekitar dua paten yang dihasilkan masing-masing pada tahun 1983
dan 1984, kemudian naik menjadi 8 paten yang dihasilkan tahun 1985. Tiga tahun
setelah pengembangan EMB 120, yaitu pada tahun 1987, perolehan paten semakin
naik hingga menjadi 11 paten (Gambar 6.10).
6.1.3.2.3 Analisis Pengembangan Teknologi untuk Pengembangan N 250
IPTN
Pada zaman orde baru, pengembangan pesawat N 250 sebenarnya dilakukan
dengan pendekatan open innovation547 yaitu dengan memanfaatkan hasil
penelitian dasar dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam
bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi
ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi,
547 Uraian tentang Open Innovation dapat dilihat pada Bab II h. 69-71
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
216
Universitas Indonesia
ilmu pengendalian mutu dsb548. SDM yang terlibat dalam pengembangan tersebut
adalah merupakan kerjasama antara ITB, BPPT dengan PT DI. Bahkan dalam
rangka Ditching Test N 250, yaitu suatu test kemampuan ngambang di air
dilakukan di Inggris.549
Sedangkan strategi yang dilakukan Embraer adalah secara prinsip tidak
berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh IPTN paling tidak dalam memanfaatkan
hasil-hasil riset dari luar perusahaan. Namun, perbedaan yang sangat mencolok
adalah pada dua hal. Pertama, kegiatan riset baik dasar maupun terapan sangat
intens dilakukan dalam internal perusahaan Embraer, hal ini ditunjukkan dengan
besarnya alokasi dana riset serta perolehan paten grantednya. Kedua, intensitas
riset internal perusahaan tersebut juga ditopang dengan kemampuan dalam
membangun jejaring internasional terutama dalam memanfaatkan sumber-sumber
daya asing. Hanya saja dibandingkan IPTN, Embraer lebih intens dalam
melakukan kerjasama tersebut, mulai dengan team of German aeronautical
engineers-Jerman, lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, perusahaan
Aeronautica Macchi S.p.A.,Italia.550 bahkan dengan General Aviation dan Piper
dari Amerika Serikat.551 Secara lebih khusus, sebelum mendesain EMB 120,
Embraer yang didukung oleh Pemerintah Brazil meningkatkan kemandirian dalam
hal kemampuan teknis, manajerial, kegiatan produksi, kemampuan memasarkan,
dan juga kemampuan memasok pasar domestik melalui strategi supplier’s risk
sharing investments.552 Strategi tersebut dilakukan untuk menurunkan biaya
kegiatan penelitian dan pengembangan dan sekaligus mendapatkan sumber
teknologi baru (reduced R&D costs for Embraer and became an important new
source of technology).553
548 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI
KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2
549 FGD III yang diadakan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014 550 Embraer juga melakukan supplier’s risk sharing investments produser besar pesawat terbang
kecil di Amerika Serikat yaitu Piper, lihat di David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 551 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24-25; David Pritchard, September 2010.
loc.cit.h.10 552 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit h.29.; Paulo N. Figueiredo (2007).
Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, h.33, University of Oxford, Department of International Development. Dan secara lebih detail akan dijelaskan pada hal 193
553 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit h.29
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
217
Universitas Indonesia
6.1.3.2.4 Analisis Strategi Pengembangan Diferensiasi Pesawat
Dalam kasus IPTN, pesawat hasil rancangan tiap tahapan upgrading yaitu
mulai dari NC 212, CN 235 yaitu berkisar antara 24 hingga 35 penumpang,
pesawat N 250 memiliki dua versi yaitu 50 dan 70 penumpang dan rancangan
pesawat long range Jet N 2130 dengan kapasitas diatas 100 penumpang. Jika
menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang ditunjukkan oleh
pengalaman Embraer Brazil (Tabel 6.7) diketahui bahwa proses upgrading baik
dari pesawat lisensi ke pesawat turboprop desain sendiri, maupun dari turboprop
ke Jet tidak serta merta harus beriringan dengan peningkatan kapasitas
penumpang. Oleh karena itu, EMB 110 dan EMB 120 masing-masing hanya
berkapasitas 19 dan 30 penumpang, bahkan pesawat ERJ 145 jenis jet memiliki
dua versi, yaitu pertama dikelas ERJ 145 (Jet) versi 50 penumpang, dan yang
menarik adalah pada versi kedua Embraer justru mengeluarkan versi ERJ 145
versi 37 penumpang.
Srategi diferensiasi pesawat dengan kapasitas penumpang kecil ternyata
cukup berhasil mengantarkan Embraer kembali mencetak keuntungan.554
Bandingkan dengan Indonesia, sebelum benar-benar pesawat N 250 berhasil
mendapatkan sertifikasi FAA dan layak secara ekonomis, manajemen melauncing
rencana pengembangan pesawat long range jet N 2130. Padahal pengumuman
rencana pengembangan N 2130 tersebut adalah dapat diartikan: pernyataan
persaingan langsung dengan produsen kelas dunia yaitu Boeing dan Mc Donnel
Douglas waktu itu (sebelum mereka merger) yang telah memiliki posisi yang
sangat kuat terhadap jaringan pemasok (suppliers) maupun pelanggan (customers)
untuk pesawat kelas ini.555
Kekhawatiran tersebut terbukti, jika melihat kasus Embraer. Pada saat
Embraer mulai bermain pada kelas 100 penumpang keatas, yaitu ERJ 170, yaitu
khususnya sejak periode 2002-2007, pasar pesawat tersebut sangat rendah
dibandingkan dengan dua pesawat sebelumnya yaitu EMB 110 dan EMB 120.
Produksi ERJ-170 yang menjadi pesaing Boeing dan AirBus masing-masing
adalah hanya 10 unit pada tahun 2002; 0 unit pada tahun 2003,; 40 unit pada tahun
554 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 555 Kardono (2001). loc.cit. h.116
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
218
Universitas Indonesia
2004; 50 unit pada tahun 2005; 30 unit pada atahun 2006; dan semakin turun
hingga hanya 10 unit di tahun 2007.556
Selain diferensiasi kapasitas penumpang, pelajaran dari Embraer adalah:
pertama, Embraer tidak terburu-buru dalam hal penggunaan fitur teknologi
canggih seperti teknologi fly by wire. Dalam konteks Embraer, walaupun telah
naik ke pesawat jet, namun pada ERJ 145, Embraer belum menginstall dengan fly
by wire sebagaimana dengan N 250. Teknologi fly by wire tersebut baru dipasang
pada pesawat ERJ-170. Pada kasus IPTN, terpasangnya fly by wire pada N 250
tersebut selain telah menyebabkan harga pesawat tinggi juga menyebabkan
kompleksitas proses mendapatkan serfitikasi, baik FAA maupun EASA semakin
tinggi.557
6.1.4. Perbandingan Konseptual Model Konstruksi Tiga Level Hierarki
Proses Kebijakan Untuk Mendorong Upgrading Teknologi dengan Temuan
Lapangan
Dalam rangka rekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk
mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang, maka
berdasarkan analisis perbandingan konseptual model dengan temuan lapangan,
teridentifikasi beberapa temuan sebagai berikut:
i. Alur assesment atas outcome dari tiga level hierarki proses kebijakan
sebagaimana dalam model Bromley (1989) tidak serta merta hanya kembali pada
dua level teratas yaitu level kebijakan maupun level organisasi, bahkan evaluasi
kinerja suatu outcome dapat kembali pada perbaikan pada level industri itu
sendiri, hal ini dibuktikan dalam konteks upgrading PT DI, bahwa untuk
keberhasilan upgrading N 250 tidak hanya diperlukan perbaikan pada level
kebijakan maupun level organisasi, bahkan peningkatan kinerja pada level industri
sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri menjadi sangat
penting.
ii. Konsep kebijakan upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat
Terbang (Gereffi, Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada
konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka
556 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24 557 Ibid. h.81
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
219
Universitas Indonesia
peningkatan nilai tambah sektor dirgantara adalah: pertama, adanya umpan balik
antara level kebijakan dengan level organisasi dalam proses teknokratik dalam
penyusunan RPJPN maupun RPJMN. Proses teknokratik yang dimaksud adalah,
pada level sektor seyogyanya dapat memberikan masukan atau rekomendasi
dalam bentuk naskah akademik pembangunan iptek sektor dirgantara dalam
proses teknokratik penyusunan RPJPN maupn RPJPMN yang sebelum akhirnya
RPJPN maupun RPJM tersebut selanjutnya menjadi acuan kebijakan sektor dalam
penyusunan renstranya. Kedua, dukungan politik pemerintah dalam implementasi
kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi sangat penting, hal ini
membuktikan kebenaran Meriles S. Grindle558 (1980) terkait pentingnya kekuatan
politik aktor kebijakan dalam proses implementasi suatu kebijakan.
iii. Studi ini juga membuktikan bahwa tingginya intervensi pemerintah baik
sebagai regulator dan terutama sebagai pasar utama sebagaimana penelitian
Garrefi sendiri pada industri IBM tidak serta merta dikarenakan hanya karena
lemahnya kemampuan leadfirm dalam mengkodifikasi produk sebagaimana
karakteristik dari tipologi Hierarki.
6.2 Tindakan Perbaikan (Action to Improve the Problem Situation)
Dalam tahap keenam SSM, peneliti menentukan perubahan untuk
meningkatkan situasi problematik. Perubahan ini harus diinginkan secara sistemik
dan disepakati di antara para peneliti (academic advisors, SSM Practisioner dan
academic reviewers). Penentuan perubahan ini dapat berupa rekomendasi yang
searah dengan research interest penelitian. Kerangka uprading dalam GVC Tigal
Level memerlukan sintesa dengan kerangka Tigal Level Hierarki Kebijakan.
Setiap level mempunyai logika sistem sendiri sehingga tataran itu bisa berjalan
dengan baik, namun setiap tataran dipengaruhi dan mempengaruhi tataran lain.
Satu dengan yang lain saling terhubung Institutional Arrangement. Berdasarkan
temuan lapangan, bahwa perubahan yang dilakukan pada masing-masing level
adalah sebagai berikut:
558 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
220
Universitas Indonesia
6.2.1. Perbaikan Pada Level Kebijakan
Berdasarkan perbandingan antara konseptual model dengan dunia nyata
dalam level kebijakan upgrading N 250, ada beberapa masukan yang harus
dilakukan adalah: pertama, mempertegas keperpihakan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang terhadap isu pembangunan iptek sektor dirgantara dalam UU
RPJPN sebagai acuan jangka panjang dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Dalam rangka itu, maka dalam proses teknokratiknya, kemampuan
sektor terkait terutama Kementerian Ristek dalam mengarusutamakan
(mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor dirgantara dalam proses
perancangan RPJPN menjadi sangat penting. Dalam proses teknokratik tersebut,
seyogyanya sektor iptek harus membekali diri dengan satu naskah akademik
terkait roadmap pengembangan iptek khususnya sektor dirgantara
Upaya melakukan mainstreaming tersebut tentunya sekaligus merupakan
bentuk implementasi dari Inpres No.3/2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan
Dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan
Dan Teknologi, dengan melakukan mekanisme koordinasi antara sektor termasuk
antar aktor ABG terutama dalam sektor kedirgantaraan.
Dalam rangka itu, Sektor Iptek harus meningkatkan pelaksanaan
koordinasinya untuk merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi
kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap
tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN (Gambar 6.11).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
221
Universitas Indonesia
Gambar 6.11 Proses Technoratik Isu Kemandirian Teknologi
Kedirgantaraan dalam Penyusunan RPJP Nasional. Sumber: Diadopsi dari BAPPENAS, 2006
Sebagai penjabaran dalam periode perencanaan, adalah setelah arah
pembangunan kedirgantaraan diacu dan dinyatakan dengan tegas dalam RPJP,
bersamaan dengan itu pula roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan
yang bersifat jangka panjang yang telah disusun oleh kementerian terkait yang
selanjutnya diterjemahkan dalam kebijakan lima tahunan dalam bentuk kebijakan
strategis nasional Ilmu dan Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) yang
memuat arah pembangunan iptek persektor beserta Agenda Riset Nasional (ARN)
yang memuat rincian topik riset yang mendukung pembangunan iptek
sebagaimana yang dinyatakan dalam Jakstranas Iptek dan Roadmap
Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan. Selanjutnya Jakstranas beserta
ARNnya tersebut menjadi masukan dalam penyusunan RPJPMN sehingga terjadi
integrasi antara arah kebijakan iptek dengan perencanaan pembangunan dan
penganggaran (Gambar.6.12).
<Satu Tahun Sebelum Berakhir RPJP Yang Berlaku>
Pres
iden
Men
teri
PPN
Peny
elen
ggar
aN
egar
aM
asya
raka
tD
PR
Evaluasi RPJP(-1)
Evaluasi RPJP(-1)
Evaluasi RPJP(-1)
Pemikiran Visioner
Pemikiran Visioner
Pemikiran Visioner
Rancangan Awal RPJP Musrenbang
Jangka Panjang
Rancangan Akhir RPJP Nas
Diajukan sebagai RUU RPJP Inisiatif Pemerintah
Ditetapkan Dengan Undang-
Undang
RPJP Nasional
Dihimpun dan Dikaji
Aspirasi Pemangku
Kepentingan
Aspirasi Pemangku
Kepentingan
Acuan bagi RPJP Daerah
Reoadmap pengembangan
Tekno logi Ked irgantaraan
Arah Pengembangan Teknologi
Kedirgantaraan distated
Arah Pengembangan Teknologi
Kedirgantaraan diadopsi
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
222
Universitas Indonesia
Diacu Diperhatikan
Diserasikan MelaluiMusrenbang
RKP RPJM Nasional
RPJP Nasional
Renstra KL
Renja - KL
RAPBN
RKA-KL
APBN
RincianAPBN
Pedoman Dijabarkan Pedoman
Pedoman
Pedoman
Pedoman
Diacu
Pemerintah
Pusat
Bahan Bahan
RPJM Daerah
RPJP Daerah
RKP Daerah
Renstra SKPD
Renja -SKPD
RAPBD
RKA -SKPD
APBD
Rincian APBD
Pedoman
Pedoman
Pedoman Dijabarkan
Pedoman
PedomanDiacu
UU SPPN
Pemerintah
Daerah
UU KN
Bahan Bahan
Jakstranas IPTEK dan ARN
Reoadmap pengembangan
Teknologi Kedirgantaraan
Gambar 6.12 Proses Integrasi Rencana Kebijakan Iptek dengan perencanaan
pembangunan dan penganggaran Nasional. Sumber: Diadopsi dari BAPPENAS, 2006
Selain memperkuat dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan
sektor dirgantara, dukungan politik pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata
bersifat jangka pendek bahkan secara jangka panjang sebagaimana karakter dari
proses komersialisasi industri pesawat terbang. Dukungan lain adalah dalam
bentuk promosi produk pesawat terbang, baik melalui WTO maupun melalui
momen-momen International Airshow. Pengalaman negara-negara maju
menunjukkan bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang
memiliki kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting,
tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting adalah
sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada skala internasional
baik antara pemerintah maupun dengan mitra industri. 559
559 Hasil wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, dua
kali yaitu pada 2 Juni 2014 dan Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9. no.11
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
223
Universitas Indonesia
6.2.2. Perbaikan Pada Level Intersektoral
Perbaikan pada level intersektoral adalah membangun sinergi kelembagaan
dalam rangka pembangunan iptek sektor dirgantara, sinergi kelembagaan tersebut
adalah bersifat lintas sektoral atau kelembagaan sesuai dengan core business
masing-masing lembaga (Gambar 6.13). Adapun sinergi kelembagaan tersebut
tidak saja terbatas pada empat sektor utama yaitu Sektor SDM dan Infrastruktur
pengujian, Sektor Riset dan Inovasi, Sektor Industri, dan Sektor
Keuangan/Perbankan, tetapi juga sebagaimana halnya program nasional, maka
seharusnya menjadi concern seluruh sektor berdasarkan domain masing-masing,
seperti Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, yang masing-masing
dapat mendukung pada aspek pembinaaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Dukungan pada segala kemudahan sertifikasi kelaikan terhadap pesawat
terbang yang dihasilkan oleh Industri. Selain itu, dukungan Bank Indonesia atau
Otoritas Jasa Keuangan pada tataran proses komersilasisasi masih sangat
diperlukan khususnya terkait pemberian sistem leasing untuk perbankan nasional
atau kredit ekspor untuk pembelian luar negeri dan kredit untuk industri-industri
komponen pesawat terbang. Sistem leasing tersebut akan sangat membantu
industri berbasis teknologi seperti PT DI dalam memasarkan produknya baik
dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan kredit untuk industri hulu sangat
penting, mengingat pada umumnya industri tersebut memiliki kekurangan modal
baik untuk investasi peralatan baru yang canggih dan untuk pembiayaan alih
teknologi.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
224
Universitas Indonesia
Kemenristek dan LPNK
KementerianPerindustrian
KementerianPerhubungan
BAPPENAS /Kemenkeu
KementerianPerekonomian
PT DI
KementerianBUMN
Koordinasi Program Riset/Pengembangan Teknologi
Pembinaan dan kebijakan IndustriPengembangan Industri yang memproduksi komponen lokal
Perencanaan dan Pendanaan
Sertifikasi dan penggunaSertifikasiPesawat danPelatihan Pilot
Pembina BUMNKoordinasi Kebijakan
Disain dan ProtoypeManufactirung
PT RAIDisain, Marketing,
Pembiayaan riset kebijakan dan program afrimasi nasional
Kemendikbud
Peningkatan SDM kedirgantaraan
LPDP
Bank Indonesia
Sistem Leasing/Kredit Ekspor pesawat terbang
Gambar 6.13 Sinergi Kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi
Kedirgantaraan. Sumber: Direkonstruksi ulang dan diperkaya dari Paparan Direktur Transportasi
BAPPENAS dan Paparan PT RAI dalam FGD yang berbeda yang diselenggarakan Kemenristek
masing-masing pada Desember 2012 dan Februari 2014.
Untuk memperkuat sinergi kelembagaan tersebut terutama pada tahap
pengembangan teknologi, maka dibutuhkannya model sinergi kelembagaan
pendanaan inovasi, karena lembaga pendanaan inovasi yang saat ini yang ada baik
Insentif SINas yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) yang dikelola oleh Kementerian Keuangan serta Hibah DIKTI
yang dikelola oleh Kementerian Diknas masih berjalan sendiri-sendiri. Lembaga
Pendanaan Insentif Riset SINas yang dibawah koordinasi Kementerian Ristek
seharusnya dapat lebih diarahkan pada penguasaan teknologi-teknologi terapan
sementara Hibah Dikti dapat lebih digunakan untuk riset yang bersifat
membangun capacity building para peniliti, akademisi untuk meningkatkan
accademic exellance dibidang kedigantaraan, adapun LPDP dapat digunakan
selain riset-riset implementasi kebijakan juga diarahkan pendanaan riset hightech
termasuk pembangunan infrastruktur yang memerlukan dukungan pendanaan
yang sangat besar dan jangka panjang (Gambar 6.14).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
225
Universitas Indonesia
Penelitian Terapan
Peningkatan Kemampuan Peneliti/Perekayasa
Penelitian Implementasi Kebijakan dan Affirmasi
Nasional
Pendanaan Sektor Dirgantara
Insentif Riset SINas-KRT
LPDP-Kemenkeu Hibah Dikti-Kemendikbud
Riset Pangan dan Energi
Riset-riset Dasar 7 Bidang Fokus
Riset-riset sosial, budaya, agama
Gambar 6.14 Sinergi Antar Lembaga Pendanaan Untuk Pengembangan
Teknologi Kedirgantaraan Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Untuk efektifitas pendanaan inovasi kedepan, disarankan supaya kedepan
dibentuk Funding Agency yang bersifat Independen seperti LPDP (Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan), namun kedepan, LPDP
hanya sebagai eksekusi pendanaan saja, adapun penentuan tema riset sampai
kegiatan seleksi proposal diserahkan ke instansi rerkait (untuk ranah riset –riset
pengembangan di Kementerian Ristek) dan untuk ranah riset-riset dasar di
Perguruan Tinggi).560
Baik LPDP561 maupun Hibah Dikti sejatinya akan mendukung
pembangunan sektor dirgantara jika satu program tersebut merupakan satu
program nasional. Bahkan untuk dana LPDP, selain Dana Riset Inovatif produktif
(RISPRO) yang diarahkan pada komersialisasi produk dan implementasi
kebijakan, LPDP juga telah mengeluarkan pendanaan riset atau inovasi yang
bersifat Afirmasi Nasional (Gambar 6.15). Pengajuan program afirmasi nasional
560 Diksusi tentang: Kolaborasi kelembagaan dalam Riset, tanggal 7 Agustus 2014 di Gedung II BPPT lantai 21, Narasumber: Mantan Dirjen Dikti, Satrio Soemantri. lihat lampiran 10. no.18
561 Sebagaimana hasil wawancara dengan Direktur Riset LPDP, M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014.lihat lampiran 9, no.15.2; Juga berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap R. Purwanto, Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, tanggal 08 Agustus 2014, lihat lampiran 9, no.20
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
226
Universitas Indonesia
diawali dari usulan dari Kementerian/Lembaga terkait kesalah satu anggota dari
Dewan Penyantun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Agama), permohonan tersebut akan disetujui selama
program tersebut dapat mendukung program nasional. Dana melalui skim ini
selain bersifat tidak terbatas baik untuk tema, jumlah dan tahunnya, juga dapat
digunakan untuk membangun atau memperkuat infrastruktur pengujian pesawat
terbang.562
Memperkenalkan R 80 ke Menristek
Menristek mengajukan
surat ke Kementerian
Dikbud terkait permohonan pendanaan
untuk mendukung R-
80 melalui LPDP
Kementerian Dikbud akan
meminta persetujuan
pada dua Dewan
Penyantun lainnya, yaitu Kementerian
Keuangan dan Kementerian
Agama
Persetujuan ketiga Menteri,
selanjutnya akan
dilakukan pro
LPDP melakukan
pengucuran
Gambar 6.15 Proses Pengajuan Program Afirmasi Nasional-Upgrading
Pesawat Terbang N 250/R-80 Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Salah satu upaya yang dapat membantu sinergi kelembagaan tersebut adalah
dengan memperkuat kembali peran DEPANRI (Gambar 6.16), hal ini
sebagaimana yang dilakukan di Brazil, karena di Brazil ada satu lembaga yang
bernama Brazilian Space Agency (AEB). Lembaga tersebut adalah sejenis
DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE (Sistem Nasional untuk
Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kebijakan
keantariksaan dan kedirgantaraan di Brasil. Secara hierarki, AEB dikontrol oleh
Menteri Pertahanan. AEB dipimpin oleh Presiden AEB yang sekaligus juga
sebagai ketua Dewan tertinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek
Brasil.563Dalam konteks Indonesia, mekanisme tersebut akan berjalan kalau
562 Hasil wawancara dengan Direktur Riset LPDP, M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014.lihat
lampiran 9, no.15.1 563 Mardianis, November 2013. Quo Vadis Keberadaan DEPANRI?. h.110-111. Media
Dirgantara, LAPAN.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
227
Universitas Indonesia
Presiden sebagai ketua DEPANRI itu sendiri memilik visi pembangunan sektor
dirgantara nasional.564
Presiden
Menristek
Lembaga Pendanaan Inovasi
LPDP Kementerian Keuangan
Hibah Dikti-Kementerian DIkbud
Insentif Riset-Kementerian Ristek
Pendanaan Inovasi dari Sektor lain
DEPANRI
Gambar 6.16 Lembaga Pendanaan Inovasi
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
6.2.3. Perbaikan Pada Level Operasional
Berdasarkan perbandingan antara konseptual model dengan temuan
lapangan, bahwa Industri Pesawat Terbang harus meningkatkan kemampuan
produksi beserta strategi pemasarannnya. Untuk itu, sebagai upaya perbaikan pada
level ini khususnya pada akvitas““menciptakan jejaring-jejaring baru” dalam
bentuk konsorsium inovasi teknologi565 baik dalam maupun luar negeri untuk
mencari sumber-sumber permodalan” terutama untuk mengatasi keterbatasan baik
SDM, Dana Pengembangan serta fasilitas pengujian yang dibutuhkan.566 Untuk
564 Wawancara dengan Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas
Iptek 2009-2013, Teguh Rahardjo, Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. Lihat lampiran 9, no.2.5
565 Konsorsium Inovasi Teknologi dapat mengurangi empat resiko yaitu: Ketidakpastian litbang, Keterbatasan Waktu, kompleksitas teknologi, dengan meintensifkan penggunaan modal dapat mengefisiensikan biaya pengembangan prototipe, mengurangi kendala-kendala operasional. Lihat Gideon Malherbe and Graeme Stanway (2010). Corporate Innovation At Work: Defining the Innovation Consortium. (2010). h.5. Virtual Consulting International Ltd. New York.
566 Airbus adalah adalah salah satu testimoni tentang pentingnya konsorium inovasi teknologi yang melibatkan empat perusahaan produsen pesawat terbang serta pemerintah (yaitu Jerman dan Perancis sebagai leader, Inggris, dan Spanyol), bahkan saat ini konsorsium tersebut bertransformasi menjadi perusahaan saham gabungan dengan nama EADS (The European Aeronautic Defense and Space
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
228
Universitas Indonesia
mendapatkan kerjasama dalam hal SDM, fasilitas dan pendanaan, pihak
manajemen seharusnya dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan lembaga
pendaaan seperti LPDP dengan program afirmasi nasionalnya.
Dalam rangka mendapatkan sumber-sumber pendanaan baik untuk riset,
fasilitas dan SDMnya dapat melalui pemanfaatan beberapa skim pendanaan
inovasi yang ada seperti Insentif Riset SINas Konsorsium, Hibah Dikti dan Hibah
LPDP. Skim Insentif Riset Konsorium dapat digunakan terutama untuk
melakukan studi atas beberapa teknologi yang belum dikuasai seperti composite
structure567 yang terdapat di LIPI, Uji keretakan di BATAN, serta uji Electronic
Magnetic Compatibility (EMC) di PTIK-BPPT dll.568
Skim Hibah Dikti dapat dimanfaatkan untuk peningkatan academic
exellance para peneliti bidang kedirgantaraan atau terkait, dan skim LPDP selain
dimanfaatkan untuk studi tata kelola dan kebijakan juga dapat digunakan untuk
studi yang membutuhkan pengadaan insfrastruktur, multiyears dan pendanaan
yang relatif tidak terbatas. Hal ini sangat relevan mengingat dibutuhkan
revitalisasi beberapa prasana pengujian.
Dalam meningkatkan kemampuan TKDN, selain tetap menjaga mitra
dengan industri komponen yang telah ada, juga melakukan sharing development
cost (konsorsium) dengan industri-industri komponen pesawat terbang dalam
negeri. Dalam hal ini, PT DI bekerjasama dengan PT RAI dapat memanfaatkan
fasilitas yang ada lingkungan Pemerintah mulai dari skim insentif dan fasilitas
yang dapat digunakan. Jika teknologi tersebut benar-benar dapat dikuasai
terutama melaui sinergi dalam negeri, maka merupakan satu keunggulan dari sisi
Company) lihat. William Davidson Institute.2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony h.2. Strategi konsorsium tersebut ternyat sukses dalam meruntuhkan dominasi Boeing terutama sejak tahun 2007 hingga 2011, lihat Lucy Yi, S. (2013). A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study h.179
567 Bahkan bersamaan dengan teknologi radar, jep propulsion, teknologi composite merupakan teknologi masa depan yang sangat penting untuk pengembangan pesawat terbang, tidak hanya untuk pesawat sipil bahkan militer. Lihat. William N. Stryker (2007). Technology Leadership Forecasting And Warning: An Analytic Methodology. Futures Division, Office Of Technology Assessments, Directorate For Intelligence Production,Defense Intelligence Agency. h.459. In Handbook Of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group.
568 FGD yang dilakukan oleh Kemenristek tentang Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading dari N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
229
Universitas Indonesia
TKDNnya, karena tidak semata menggunakan Alloy seperti yang telah digunakan
di pesawat pendahulunya baik CN 235 maupun N 250.
Selain memaksimalkan fasilitas pendanaan dan insentif pemerintah yang
telah ada dalam negeri, manajemen juga seharusnya dapat memperkuat jejaring
internasional, terutama dalam mendapatkan sharing risk dan pendanaan baik pada
pada bidang desain (aero structure) maupun pada kegiatan manufacturing
pesawat sehingga tidak mesti bergantung pada pemerintah. Langkah ini sekaligus
sebagai bentuk strategi untuk menyakinkan pemerintah terkait kapabilitas industri,
yang harapannya dapat memicu semakin tingginya keberpihakan pemerintah
dalam meningkatkan penggunaan produk pesawat buatan industri dalam negeri.
Bagaimanapun juga, pengalaman Embraer Brazil menunjukkan bahwa
kemampuan pada level manajemen produksi atau kemampuan pada level
operasional secara umum belum cukup tanpa adanya dukungan politik pemerintah
terhadap produk industri dirgantara itu sendiri.
Untuk menunjang keberhasilan pemasaran, sebelum pengembangan pesawat
tersebut, perusahaan terlebih dahulu harus melakukan studi kelayakan baik terkait
pangsa pasar, posisi pesaing dan pemilihan segment pasar dan lain-lain. Studi
kelayakan tersebut juga sangat penting dalam melakukan diferensiasi pesawat
untuk merebut segment pasar tertentu terutama dari pesaingnya, baik dengan
ATR72-600 buatan Perancis Italia maupun dengan Bombardier atau Dash8-Q-400
Kanada. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang
ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil adalah memberikan dua pelajaran
penting: pertama, proses upgrading baik dari turboprop ke Jet tidak serta merta
harus beriingan dengan peningkatan kapasitas penumpang yang berpotensi
menantang raja-raja dikelas ini (yaitu Boeing dan Airbus), bahkan ERJ 145 jenis
jet memiliki dua versi, yaitu pertama dikelas ERJ 145 (Jet) versi 50 penumpang,
dan yang menarik adalah pada versi kedua Embraer justru mengeluarkan versi
ERJ 145 versi 37 penumpang. Strategi ini ternyata cukup berhasil mengantarkan
Embraer kembali mencetak keuntungan.569Kedua, penggunaan fitur teknologi
canggih seperti teknologi fly by wire sebaiknya ditunda hingga ekonomi
perusahaan membaik, dalam konteks Embraer, walaupun telah naik ke pesawat
569 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
230
Universitas Indonesia
jet, namun pada ERJ 145, Embraer belum menginstall dengan fly by wire
sebagaimana dengan N 250. Teknologi fly by wire tersebut baru dipasang pada
pesawat ERJ-170. Pada kasus IPTN, terpasangnya fly by wire pada N 250 tersebut
selain telah menyebabkan harga pesawat tinggi juga menyebabkan kompleksitas
proses mendapatkan serfitikasi, baik FAA maupun EASA semakin tinggi.
Pelajaran ketiga, adalah tiap tahapan upgrading pesawat, seharusnya disertai
juga dengan upgrading nilai tambah yang diperoleh dari tiap tahap upgrading
tersebut, hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan Embraer dalam
upgrading EMB 110 ke EMB 120 yang sekelas N 250. Sebelum beranjak ke EMB
120, sejak 1969 hingga 1983, EMB 110 menguasai pasar domestik dengan total
produksi sekitar 3.983 Pesawat atau 265 pesawat per tahun.570.
Pelajaran keempat, adalah dibutuhkan dukungan politik jangka panjang dari
pemerintah. Ditengah-tengah krisis ekonomi selama 1990-1997571, pemerintah
Brazil masih terus memberikan dukungan572 kepada industri Embraer khususnya
untuk pengembangan ERJ 145 setipe pesawat N 250. Langkah tersebut
membuahkan hasil, karena pada tahun 1996 ERJ 145 berhasil mendapatkan
sertifikasi dan melakukan first delivery baik pada pasar domestik maupun pada
pasar global.573.
Berdasarkan pengalaman Embraer Brazil (Gambar 6.17), bahwa konsistensi
antara tiga level hierarki proses kebijakan dari level kebijakan, level organisasi
dan level operasionalnya merupakan kunci keberhasilan Industri Embraer dalam
upgrading teknologinya termasuk dalam pengembangan pesawat turboprop EMB-
120 hingga pesawat jet ERJ 145 yang masing-masing sekelas degan pesawat N
250 dan N 2130 yang merupakan rancangan IPTN574 Dan koherensi kebijakan
pada tigal level tersebut dapat dilihat dengan konsistensi antar tiga level kebijakan
570 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 571 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 572 Bentuk dukungan pemerintah adalah: ketika terjadi resesi global dan dalam masa transisi
menuju privatisasi (yang terealisir pada tahun 1994), pemerintah Brazil meminta Lembaga Dana Pensiun untuk men take over Embraer dan kemudian dijual kepada investor Amerika hingga. Upaya tersebut akhirnya dapat menyelamatkan Embraer. (Lihat dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06. http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:dialog-kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014.
573Steenhuis dan Bruijn, (tanpa tahun).loc.cit.p.10 574 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-44
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
231
Universitas Indonesia
tersebut. Pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi
dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya. Dan di tahun 1972 di bawah
rezim militernya, pemerintah Brazil telah melauncing Arah Pembangunan
Ekonomi Nasional dengan menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian
teknologi nasional dan salah satunya adalah sektor dirgantara.575
575 Elizabeth Balbachevsky and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
232
Universitas Indonesia
Pasar: Pemilihan Segmentasi Pasar untuk pesawat
kecil
Pendanaan:Keuangan
Perusahaan sangat kuat
Strategi Iptek: Konsorsium Inovasi
Risk Sharing-Partnership
Upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan
Kebijakan Sektor Iptek: FINEP, Brazilian Space
Agency (AEB) ; ITA, CNPq, CTA, FNDCT
Kebijakan Sektor Fiskal:
Kebijakan Pro Ex, Bank BNDES
Kebijakan Sektor Industri:
The Special Sectariat for Science and Technology
Dukungan Kebijakan Intersektoral untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan
National Plan for Economic Development
Pembangunan Iptek sektor Dirgantara
Dukungan Regulasi Arah Pembangunan Iptek untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan:
Pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasionaldan Master Plan Pembangunan Ekonominyatelah selaras.Dibawah rezim militernya, sejak 1972, Pembangunan Nasional dititiberatkan padapenguasaan dan kemandirian teknologiaeronautics, informatics, microelectronics, telecomunication and space.
Menemukan segmentasi pasar untuk pesawat kecil walaupun kelas jet.Dalam pengembangan Iptek Embraer lebih intens dalam melakukan kerjasama dengan team of German aeronautical engineers-Jerman, lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, perusahaan Aeronautica Macchi S.p.A.,Italia. Pada saat mendesain EMB 120: revenue sekitar USD 300 juta dari total penjualan pesawatdll
1946-/47: Mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA; dll1960: Bank-BNDES ; Banco do Brasil1969: Industri Embraer didirikan bersama industri2 pendukungnya 1988: Pembangunan Advanced Technology Center dll1980-1985, membangun kemampuan teknologi dari perusahaan domestik termasuk aircraft inndustry.1993-1996: FINEP, AEB, FNDCT1991-2000: Pro Ex
Gambar 6.17 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Upgrading
Teknologi di Industri Pesawat Terbang Embraer
Dalam kurun waktu 1971-sekarang, sejumlah policy statements atau
instrumen kebijakan secara sinergik juga telah dikeluarkan untuk mendukung
pembangunan nasional termasuk sektor dirgantara. Instrumen kebijakan pertama
adalah dibentuknya lembaga FINEP (Agency for Financing Studies and Projects)
yang kemudian sekitar tahun 1985 menjadi Badan Inovasi Nasional dibawah
koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi. Kedua adalah instrumen Kebijakan
disektor Perdagangan dan Perindustrian Teknologi dan Luar Negeri yang
diinisiasi oleh Kementerian Perindag dan Luar Negeri. Bentuk kebijakan tersebut
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
233
Universitas Indonesia
diantaranya adalah dibentuknya satu badan yang disebut The Special Sectariat for
Science and Technology.576Bahkan, baik FINEP maupun The Special Sectariat for
Science and Technology sejatinya masing-masing telah beroperasi secara resmi
sejak tahun 1971 dan 1972.577
Inti dari kedua kebijakan tersebut adalah menciptakan insentif pajak bagi
perusahaan yang melakukan inovasi, hibah kepada perusahaan yang melakukan
litbang, dan undang-undang inovasi. Kedua kebijakan tersebut disahkan oleh
Kongres Nasional Brazil yaitu Law No.10.973/04 mengenai “ the innovation law”
dan Law No.11.196/05 mengenai “the law of good”. “Innovation Law” (2005)
merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat interaksi antara
perguruan tinggi dan industri; mempromosikan penggunaan infrastruktur iptek
oleh perusahaan dan lembaga iptek terutama UMKN; mendorong perusahaan
menggunakan teknologi baru hasil riset peneliti; menciptakan pendanaan
keuangan untuk hibah riset dan pengembangan serta inovasi dalam perusahaan
termasuk aircraft industri-Embraer.578
576 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; Daniel Vertesy and Adam
Szirmai, 2010, loc.cit. h.29. 577 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14-; 15; Elizabeth Balbachevsky
and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4. 578 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.25; Elizabeth Balbachevsky and
Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.9-10.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
234
Universitas Indonesia
6.2.4. Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan supaya
Upgrading Teknologi Pesawat Terbang Domestik yang dihasilkan Melalui
Penguasaan Kemampuan Pengembangan Teknologi.
Berdasarkan pada hasil penelaahan teoritis serta pengalaman empirik
khususnya pengalaman Embraer-Brazil,579 maka kemudian akan dilakukan
rekonsktruksi tiga level hierarki proses kebijakan sehingga upgrading teknologi
yang dilakukan oleh PT DI Indonesia dapat survival dan berkesinambungan.
Model pada gambar 6.19 tersebut adalah model yang distinctive (khas) untuk
mendorong uprading teknologi pesawat terbang domestik yang dihasilkan melalui
penguasaan kemampuan pengembangan teknologi yang memiliki kompleksitas
yang sangat tinggi baik teknologinya maupun proses produksinya seperti program
pengembangan pesawat N 219 ataupun program R-80 (upgrading dari N 250).
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.18, bahwa keberhasilan upgrading
teknologi membutuhkan konsistensi antara tiga level hierarki proses kebijakan,
yaitu antar level kebijakan yaitu dalam bentuk regulasi nasional-undang-undang
Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jangka Panjang dan Jangka Menengah
yang memuat pembangunan iptek sektor dirgantara dalam pembangunan nasional.
Selain dukungan pada level kebijakan nasional, dukungan politik pemerintah
sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara jangka
panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat terbang.
Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang, baik
melalui WTO maupun melalui momen-momen International Airshow.
579 Pemilihan Embraer Brazil sebagai pembanding untuk memperkaya analisis dilatar belakangi oleh beberapa alasan dan atau kesamaan: pertama, Indonesia dan Brasil sama-sama termasuk dalam kelompok negara berkembang dimana dukungan infrastruktur teknologi masih relatif lemah. Kedua, Baik IPTN maupun Embraer adalah perusahaan yang didirikan atas inisiasi dan dimiliki oleh negara, walaupun akhirnya pada 1994, Embraer diprivatisasi (Dahlman dan Frischtak, 1990; Vertesy dan Szirmai, 2010). Ketiga, tahapan upgrading pesawat yang ditempuh Embraer yaitu dari lisensi, integrasi sehingga pada penguasaan desain pesawat jet adalah sama dengan tahapan IPTN. Keempat, produk pesawat turboprop Embraer EMB-120 dan ERJ 145 adalah masing-masing sekelas dengan pesawat N 250 dan N 2130 IPTN, bahkan permulaan pengembangan EMB 120 (1985) hanya berselang dua tahun dengan dimulainya pengembangan N 250 (1987). Kelima, sebagaimana halnya IPTN, Embraer pada awal berdirinya, juga baru merencanakan pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software (Dahlman dan Frischtak, 1990). Adapun kesamaan Keenam, adalah sama-sama mengalami krisis ekonomi, walaupun Embraer sempat mengalami kerugian sepanjang tahun 1980an hingga 1990an akibat resesi ekonomi global, tidak sebagaimana halnya yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan IPTN yang memberhentikan pengembangan N 250 dan N 2130. Justru ditengah-tengah krisis ekonomi tersebut, pemerintah Brazil masih terus memberikan dukungan terutama pendanaan kepada industri Embraer.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
235
Universitas Indonesia
Pada level sektoral, arah pembangunan iptek dirgantara nasional tersebut
kemudian juga harus didukung secara sinergis pada kebijakan level organisasi,
terutama pada kebijakan sektor iptek dan pendanaan inovasi, kebijakan fiskal,
dan kebijakan pada sektor industri. Bentuk dukungan kebijakan sektor iptek
adalah dicantumkannya arah pembagunan iptek sektor dirgantara baik dalam
dokumen Kebijakan Strategis Nasional Iptek (Jakstranas Iptek) periode 2015-
2019 serta dalam dokumen Agenda Riset Nasional (ARN) 2015-2019. Pada sektor
industri, dukungan pembangunan sektor dirgantara adalah dalam bentuk
dukungan bimbingan teknologi kepada industri-industri komponen dalam negeri
sehingga penguasaan TKDN industri dirgantara minimal 40% dapat tercapai. Jika
suatu produk nasional berteknologi tinggi termasuk pesawat terbang mempunyai
TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia.580 Oleh
karena itu, melalui ketercapaian penguasaan TKDN 40% dari Industri Pesawat
Terbang seharusnya menjadi alasan bagi pemerintah untuk mendukung
penggunaan pesawat produksi dalam negeri. Karena, sebagaimana keberhasilan
Embraer, baik pada pesawat EMB 110, hingga pesawat EMB 120 dan ERJ 145,
dukungan politik pemerintah dalam bentuk pembelian dan penggunaan pesawat
produksi dalam negeri adalah faktor kunci survival dan kesinambungan program
upgrading teknologi pesawat terbang Embraer.
Pada sektor fiskal, keberhasilan Industri Pesawat Terbang Embraer
menunjukkan bahwa industri dirgantara sangat membutuhkan insentif pemerintah
terutama dalam bentuk tax deduction untuk industri yang melakukan inovasi581,
hal ini sejatinya telah diatur dalam pasal 6. UU PPh.582 Dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa biaya untuk penelitian dan pengembangan yang dikeluarkan
oleh perusahaan dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. UU
PPh tersebut kemudian diatur dalam dua peraturan turunannya yaitu masing-
masing dalam PP.No.93/2010 dan PMK 224/PMK.011/2012. Di dalam kedua
peraturan tersebut juga dinyatakan bahwa biaya sumbangan dalam rangka
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan
580 Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri 581 Lihat hasil wawancara yang dilakukan oleh rtv terhadap Vice Chairman II PT RAI, Ilham
Habibie, Awal Juli 2014 di rtv. 582 Lebih lengkap telah diuraikan dalam Tabel 4.1. Dukungan Pembangunan Sektor
Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan Bab IV h.108
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
236
Universitas Indonesia
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Selain tax deduction, untuk
mendukung penguasaan TKDN 40%, sebagaimana keberhasilan Embraer Brazil,
dunia industri pesawat terbang juga membutuhkan adanya insentif pembiayaan
baik untuk kredit usaha bagi industri-industri domestik yang bergerak pada
komponen pesawat terbang583 maupun sistem leasing untuk pengadaan pesawat
terbang dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang.584
Selanjutnya, sebagai pengejewantahan pada dua level hierarki proses
kebijakan, maka supaya upgrading teknologi pesawat terbang dapat survive dan
berkelanjutan pada upgrading teknologi lanjutan, maka sebagaimana ditunjukkan
pada gambar 6.21 diatas bahwa Industri Pesawat Terbang khususnya PT DI
dituntut untuk melakukan beberapa strategi manajemen bisnis yang sangat
diperlukan pertama: pemilihan manajemen yang professional, selain mengerti
aspek teknologi juga menguasai manajemen bisnis secara professional terutama
dunia industri kedirgantaraan. Kedua, adalah pemilihan segmentasi pasar yang
lebih kompetitif, terutama dalam pemilihan jenis pesawat yang cocok untuk
infrastruktur bandara yang sederhana. Pengalaman Embraer menunjukkan bahwa,
upgrading teknologi pesawat tidak serta merta harus beriringan untuk menaikkan
kapasitas penumpang, bahkan walaupun telah mendesain pesawat jet yaitu ERJ
145, namun pesawat ERJ 145 tersebut hanya bermain pada kelas 50 penumpang,
bahkan versi kedua dari ERJ 145 justru didesain dengan kapasitas hanya 37
penumpang dan tanpa teknologi fly by wire. Oleh karena itu, sebaiknya pada tahap
awal, perusahaan tidak mendesain pesawat dengan fitur canggih seperti fly by
wire, karena selain menyebabkan harga semakin mahal juga proses mendapatkan
sertifikasi kelaikan udara akan semakin lebih kompleks.
583 Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Utama PT RAI pada saat diskusi informal dalam
udiensi dengan Presiden III BJ Habibie dalam rangka Hakteknas 19 di kediaman Beliau di di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. Lihat lampiran 10. no.3.2
584 Lihat kembali pernyataan Habibie tentang Sistem Leasing ini di Bab h. 15 dan juga hasil wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9. no.11.12
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
237
Universitas Indonesia
UU 17/2007RENCANA PJP 2005-2025
Perpres RPJPMN 2015-2019
Pembangunan Iptek sektor Dirgantara
Dukungan Regulasi Arah Pembangunan Iptek untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan:
Dicantumkannya Arah Pembangunan Ipek Sektor Dirgantara dalam Dalam UU 17/2007 serta turunannya dalam Perpres RPJMN Tahap 3 dan 4 (2015-2019; dan 2020-2025)
Dukungan politik secara jangka panjangPada level internasional, bentuk dukungan pemerintah: seperti melakukan promosi produk nasional baik melalui organisasi WTO maupun pada International Airshow
Kebijakan Sektor Industri: Bimtek
Industri Komponen Pesawat : ACPDN
Dukungan Kebijakan Intersektoral untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan
Membangunan kemampuan industri komponen; Insentif “ Aku Cnta Produk Dalam Negeri (ACPDN), pemberian sistem leasing dan tax deduction untuk Industri Dirgantara; Insentif Kredit u/Industri Komponen PesawatSkim Insentif Riset Konsorium untuk melakukan studi atas beberapa teknologi yang belum dikuasai seperti composite structure. Hibah Dikti dapat dimanfaatkan untuk peningkatan academic exellance para peneliti bidang kedirgantaraan atau terkait, dan skim LPDP selain dimanfaatkan untuk studi tata kelola dan kebijakan juga dapat digunakan untuk studi yang membutuhkan pengadaan insfrastruktur, multiyears
Pendanaan Inovasi: InvestasiSDM, Riset dan Infrastruktur
Insentif Riset SINas: Hibah Dikti
LPDP
Kebijakan Sektor Iptek:
JAKSTRANAS IPTEK;ARN
Kebijakan Fiskal:Insentif Fiskal
Sist LeasingTax Deduction
LPDP; Insentif Riset
Pasar: Pemilihan Segmentasi
Pasar Yang Lebih Kompetitif
Pendanaan:Menemukan
channel-channelpendanaan untuk
desain pesawat
Strategi Iptek: Penguatan
Kemamuan Iptek melalui Risk Sharing
Partnership
Upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan
Pemilihan Manajemen yang ProfessionalPengembangan Iptek dengan konsorsium; Meningkatkan kemampuan produksi melalui peningkatan jejaring dengan industri domestik dan internasional.Studi kelayakan yang mencakup strategi pemasaran untuk mengurangi resiko kegagalan pasar.
Konsorsi Inovasi
Mai
nstr
eam
ing
pem
bang
unan
ipte
k se
ktor
dirg
anta
ra m
elal
ui P
rose
s te
knor
atik
pen
yusu
nan
arah
ke
bija
kan
pem
bang
unan
ipte
k da
lam
RP
JPN
/RPJ
MN
Gambar 6.18 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Untuk
Mendorong Upgrading Teknologi Pesawat Terbang yang dihasilkan Melalui
Penguasaan Kemampuan Pengembangan Teknologi - PT DI
Ketiga, dalam hal pengembangan Iptek, PT DI harus mampu membangun
kerjasama melalui konsorsium inovasi. Keempat, untuk meningkatkan
kemampuan produksi, kemampuan pemasaran serta mengurangi resiko kegagalan
pasar juga dapat dilakukan dengan meningkatkan jejaring dengan industri
domestik dan internasional melalui risk sharing partnership. Untuk menunjang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
238
Universitas Indonesia
keberhasilan starategi bisnis diatas, perusahaan harus mendukungnya dengan satu
kajian kelayakan (feasibiliy studies) terkait pesawat yang akan didesain dan
diproduksi.
6.2.5. Hasil Rekonstruksi Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
Untuk Mendorong Upgrading Teknologi Pada GVC Industri Pesawat
Terbang -IPTN
Berdasarkan temuan lapangan, bahwa setelah proses assesment, hubungan
antara tiga level hierarki proses kebijakan terutama antara level kebijakan dengan
level organisasi tidak sepenuhnya bersifat hierakis dan linier bahkan terjadi
umpanbalik antar kedua level tersebut terutama dalam proses teknokratik dalam
penyusunan RPJPN maupun RPJMN. Proses teknokratik yang dimaksud adalah,
pada level sektor iptek seyogyanya dapat memberikan masukan atau rekomendasi
dalam bentuk naskah akademik pembangunan iptek sektor dirgantara dalam
proses teknokratik penyusunan RPJPN maupn RPJPMN yang sebelum akhirnya
RPJPN maupun RPJM tersebut selanjutnya menjadi acuan kebijakan sektor dalam
penyusunan renstra lembaga. Temuan kedua adalah, selain dukungan pada level
regulasi arah pembangunan nasional juga dibutuhkan dukungan politik dari
pemerintah, temuan ini sebenarnya menguatkan kesimpulan Meriles S. Grindle585
(1980) bahwa kekuatan politik dari implementor akan menentukan keberhasilan
implementasi suatu program.
Temuan ketiga adalah, bahwa setelah tahap evaluasi, perbaikan tidak saja
pada dua level kebijakan yaitu level kebijakan maupun level organisai, bahkan
perbaikan tersebut juga dibutuhkan pada level operasional, hal ini dibuktikan
dalam konteks upgrading teknologi dalam konteks PT DI, bahwa untuk
keberhasilan upgrading N 250 tidak hanya diperlukan perbaikan pada level
kebijakan maupun level organisasi, bahkan peningkatan kinerja pada level industri
sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri merupakan salah
satu faktor penting bagi peningkatan nilai tambah upgrading teknologi pesawat
terbang N 250.
585 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
239
Universitas Indonesia
GVC tidak murni bersifat hiearki tetapi terdapat dua karakteristik tambahan yaitu:1.Kemampuan lead firm
dalam mengkodifikasi transaksi tinggi
2.Kemampuan dari sisi pemasok utama tinggi
GVC Hierarki
Kebijakan Nasional Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara.
Kekuatan dukungan politik pemerintah
Sinergi Kebijakan inter sektoral: Riset, Fiskal, Industri
dan Lembaga Pendanaan Inovasi
Memperkuat manajemen bisnis dengan: meningkatkan
jejaring/risk sharing partnership; konsorsium;
memilih segmentasi pasar; studi kelayakan
Terj
adi U
mpa
n ba
lik a
ntar
a Po
licy
Leve
l den
gan
Org
aniz
atio
nal L
evel
impr
ovem
ent j
uga
terj
adi p
ada
leve
l oer
asio
nal
Temuan keempat adalah, bahwa dalam GVC IPTN khususnya dalam
pengembangan N 250 ternyata tidak hiearki murni, karena selain intervensi
pemerintah yang tinggi dan jangka panjang, dalam konteks GVC IPTN juga harus
diimbangi dengan kemampuan codifiability dari lead firm serta kemampuan
supplier dalam memenuhi kebutuhan lead firm. Hal ini sekaligus mengkritisi
Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005) terkait dua kriteria GVC tipologi GVC
hierarki yaitu lemahnya kemampuan kodifikasi dari lead firm dan lemahnya
kemampuan supplier. Dalam konteks upgrading teknologi industri pesawat
terbang, kemampuan kodifikasi dari lead firm dan kemampuan supplier dalam
memenuhi requirement yang dibutuhkan lead firm justru sangat tinggi (Gambar
6.19)
Gambar 6.19. Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
dalam Mendorong Upgrading Teknologi Pada Global Value Chain -Tipologi
Hierarki
Model Tiga Level Hirarki Proses Kebijakan sebagaimana pada gambar 6.19
tersebut adalah model yang distinctive (khas) untuk mendorong uprading
teknologi pada industri pesawat terbang yang sarat akan pengembangan high tech
dan high investment seperti seperti program pengembangan pesawat N 245
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
240
Universitas Indonesia
(upgrading dari CN 235) ataupun program R-80 (upgrading dari N 250) yang
membutuhkan komitmen pemerintah secara holistik dan bersifat jangka panjang,
baik dukungan pada tiga level hierarki proses kebijakan maupun dukungan
politik.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
241
Universitas Indonesia
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan temuan hasil penelitian, maka dapat diturunkan beberapa kesimpulan
dengan merujuk pada pertanyaan penelitian:
1) Untuk dapat menghasilkan arah kebijakan untuk mendorong upgrading
teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui
penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan
pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN adalah
pertama BAPPENAS, Kemenristek, Komisi VII DPR, dan Presiden secara
konsensus seyogyanya memasukkan arah pembangunan sektor dirgantara baik
dalam RPJPN maupun dalam RPJPMN. Dalam rangka memasukkan arah
pembangunan iptek sektor dirgantara dalam kedua dokumen perencanaan
pembangunan nasional tersebut, maka sektor iptek terutama Kementerian Ristek
seyogyanya melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan Iptek
khususnya sektor dirgantara dalam proses perancangan RPJPN. Upaya melakukan
mainstreaming tersebut tentunya sekaligus merupakan bentuk implementasi dari
Inpres No.3/2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan
Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
dengan melakukan mekanisme koordinasi antara sektor terutama dalam sektor
kedirgantaraan termasuk antar aktor ABG. Untuk mendukung proses
mainstreaming tersebut, sektor Iptek kiranya perlu meningkatkan pelaksanaan
koordinasinya dengan merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi
kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap
tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN. Upaya menselaraskan antara
pembangunan iptek dengan pembangunan nasional adalah salah satu faktor sukses
keberhasilan Embraer-Brazil dan Avic China. Selain memperkuat dukungan
kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara, dukungan politik
pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara
jangka panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
242
Universitas Indonesia
terbang. Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang,
baik melalui WTO maupun melalui momen-momen International Airshow.
Pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa selain pihak industri,
kehadiran agen pemerintah yang memiliki kapasitas sebagai decision maker
dalam acara tersebut sangat penting, tidak hanya sebagai momen kampanye
produk tetapi yang lebih penting adalah sebagai bentuk upaya membangun
jejaring-jejaring baru pada skala internasional baik antara pemerintah maupun
dengan mitra industri.
2) Untuk dapat menghasilkan sinergi kebijakan intersektoral untuk mendorong
upgrading teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan
melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program
pengembangan pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC
IPTN membutuhkan sinergi kelembagaan, tidak saja terbatas pada empat sektor
utama yaitu Sektor SDM dan Infrastruktur pengujian, Sektor Riset dan Inovasi,
Sektor Industri, dan Sektor Keuangan/Perbankan, tetapi juga sebagaimana halnya
program nasional, maka seharusnya menjadi concern seluruh sektor berdasarkan
domain masing-masing, seperti Kementerian BUMN dan Kementerian
Perhubungan, yang masing-masing dapat mendukung pada aspek pembinaaan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Dukungan pada segala kemudahan
sertifikasi kelaikan terhadap pesawat terbang yang dihasilkan oleh Industri. Selain
itu, dukungan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan pada tataran proses
komersilasisasi masih sangat diperlukan khususnya terkait pemberian sistem
leasing untuk perbankan nasional atau kredit ekspor untuk pembelian luar negeri
dan kredit pendanaan untuk Industri Komponen Pesawat Terbang. Pengalaman
Embraer menunjukkan terdapat empat kebijakan sektor utama yang sangat
penting untuk itu, yaitu kebijakan sektor riset dan inovasi, kebijakan sektor fiskal,
kebijakan sektor industri, dan kebijakan pada sektor pendanaan riset dan inovasi.
Dalam konteks IPTN, saat ini sejatinya dukungan Kebijakan Sektor Industri saat
ini sudah cukup kuat dalam mendorong pembangunan sektor dirgantara, kecuali
tiga sektor lainnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini merekomendasikan supaya
pihak terkait terutama BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Ristek
harus melakukan penguatan pada tiga kebijakan sektor tersebut. Kebijakan sektor
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
243
Universitas Indonesia
riset adalah terkait dengan dicantumkannya arah pembangunan iptek sektor
dirgantara baik dalam Jakstranas Iptek serta dalam Agenda Riset Nasional.
Kebijakan sektor fiskal adalah terutama dukungan sistem leasing dan kredit
ekspor dari perbankan nasional untuk pesawat terbang. Sedangkan pada kebijakan
sektor pendanaan adalah diperlukannya lembaga pendanaan inovasi yang bersifat
independen yang dapat mengkoordinasikan semua pendanaan inovasi yang
terdapat di Indonesia baik insentif riset yang dikelola oleh Kementerian Ristek,
Hibah Dikti yang dikelola oleh Kementerian Diknas, dan LPDP yang dikelola
bersama antara Kementerian Keuangan, Kemendiknas, dan Kementerian Agama.
Pendanaan Insentif Riset SINas yang dibawah koordinasi Kementerian Ristek
seharusnya dapat lebih diarahkan pada penguasaan teknologi-teknologi terapan
sementara Hibah Dikti dapat lebih digunakan untuk riset yang bersifat
membangun capacity building para peniliti, akademisi untuk meningkatkan
accademic exellance dibidang kedigantaraan. LPDP dapat digunakan selain riset-
riset implementasi kebijakan juga diarahkan untuk pendanaan riset hightech
termasuk pembangunan infrastruktur yang memerlukan dukungan pendanaan
yang sangat besar dan jangka panjang
3) Untuk menghasilkan strategi manajemen bisnis untuk mendorong upgrading
teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui
penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan
pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN adalah
dengan melalui peningkatan aktivitas pada rantai nilai baik aktivitas primer
maupun aktivitas pendukung. Dalam rangka meningkatkan aktivitas primer yaitu
baik kemampuan produksi maupun pemasaran, perusahaan seyogyanya
menciptakan jejaring-jejaring baru baik dalam maupun luar negeri untuk mencari
sumber-sumber permodalan terutama untuk mengatasi keterbatasan baik SDM,
dana pengembangan serta fasilitas pengujian yang dibutuhkan. Selain dari sisi
pemasaran, berdasarkan studi kelayakan yang telah dilakukan, PT DI juga perlu
meningkatkan aktivitas pendukung diantaranya adalah, pertama: pemilihan
manajemen yang professional, selain mengerti aspek teknologi juga menguasai
manajemen bisnis secara professional terutama dunia industri kedirgantaraan.
Kedua, diferensiasi pesawat terutama untuk merebut segmen pasar tertentu dari
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
244
Universitas Indonesia
pesaingnya. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang
ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil adalah memberikan beberapa
pelajaran penting: pertama, terkait dengan diferensiasi peswat, dalam kasus
Embraer, proses upgrading baik dari turboprop ke Jet tidak serta merta harus
beringan dengan peningkatan kapasitas penumpang. Dalam hal penggunaan
teknologi canggih seperti fly by wire, pada tahap awalnya, Embraer tidak segera
memasukkan fitur fly by wire walaupun pada tahap upgrading ke pesawat jet
ERJ-145. Fly by wire baru di install pada ERJ 170/190. Langkah tersebut tentunya
membuat harga pesawat semakin kompetitif. Dalam kasus IPTN, penggunaan fly
by wire secara dini khususnya pada pesawat N 250 telah menyebabkan harga
pesawat semakin tinggi bahkan proses sertifikasi menjadi lebih kompleks. Kedua,
launcing pengembangan pesawat long range jet N 2130 (diatas 100 penumpang),
ada baiknya ditunda, karena selain menuntut kemampuan ekonomi perusahaan,
juga untuk menghindari persaingan langsung dengan raja dikelas ini yaitu Boeing
dan Airbus. Pelajaran ketiga, adalah tiap tahapan upgrading pesawat terbang,
seyogyanya disertai juga dengan upgrading nilai tambah yang diperoleh dengan
meningkatkan kemampuan produksi, hal ini merupakan salah satu faktor
keberhasilan Embraer dalam upgrading EMB 110 ke EMB 120 yang sekelas N
250. Sebelum beranjak ke EMB 120, sejak 1969 hingga 1983, EMB 110
menguasai pasar domestik dengan total produksi sekitar 3.983 Pesawat atau 265
pesawat per tahun.
4) Rekonstruksi konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value
chain (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep
tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka menjamin
terjadinya kemandirian teknologi dirgantara yang dihasilkan melalui penguasaan
kemampuan pengembangan teknologi di Indonesia adalah: Pertama, selain
dukungan pada level regulasi arah pembangunan nasional juga dibutuhkan
dukungan politik dari pemerintah. Artinya pada level kebijakan, untuk
keberhasilan industri pesawat terbang nasional, dilakukan pengayaan dengan
memasukan konsep Meriles S. Grindle (1980) terkait pentingnya dukungan politik
pemerintah. Kedua, dibutuhkannya hubungan dua arah antara level kebijakan
dengan level sektoral khususnya sektor riset iptek terutama dalam upaya
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
245
Universitas Indonesia
mengarusutamakan (mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor
dirgantara dalam proses perancangan pembangunan nasional. Dalam rangka itu,
sektor Iptek harus meningkatkan pelaksanaan koordinasinya untuk merumuskan
satu roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan yang melibatkan seluruh
stakeholder terkait, sehingga roadmap tersebut dapat menjadi naskah akademik
yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses teknokratik penyusunan
RPJPN. Ketiga, selain adanya hubungan dua arah antara level kebijakan dengan
level organisasi, rekonstruksi model juga menyangkut adanya improvement pada
level operasional. Setelah tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan
upgrading dilakukan dan di evaluasi. Pada tahap improvementnya tidak hanya
terbatas pada level kebijakan maupun level organisasi semata, bahkan
peningkatan kinerja pada level industri sendiri yaitu peningkatan kemampuan
manajemen itu sendiri juga diperlukan. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat
Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang sehingga
survive dan berkelanjutan adalah bukan hierarki murni, karena dalam konteks
upgrading teknologi pesawat terbang, selain kebutuhan atas intervensi pemerintah
secara jangka panjang, kebutuhan atas kemampuan lead firm dalam melakukan
codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement lead firm
juga sangat tinggi
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
246
Universitas Indonesia
7.2. Rekomendasi Berdasarkan temuan lapangan, ada beberapa rekomendasi yang diberikan
berdasarkan peran masing-masing aktor dalam proses transformasi:
7.2.1. Saran Untuk Pemerintah:
1. Jika pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah sektor dirgantara
khususnya pengembangan pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan
kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan
pesawat N 219, N 245 (upgrading dari CN 235) ataupun program R-80
(upgrading dari N 250), maka selain dibutuhkan dukungan secara
regulasi juga dibutuhkan dukungan politik pemerintah. Dukungan
regulasi adalah dinyatakannya baik dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) maupun dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Karena melalui
pencantuman arah pembangunan iptek sektor dirgantara dalam kedua
dokumen tersebut, dapat menjamin dukungan kebijakan pada level
sektor untuk pengembangan sektor dirgantara. Selain memperkuat
dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara,
dukungan politik secara internasional dari pemerintah juga sangat
dibutuhkan terutama dalam melakukan promosi produk pesawat
nasional baik melalui WTO maupun melalui momen-momen
International Airshow. Pengalaman negara-negara maju menunjukkan
bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang memiliki
kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting,
tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting
adalah sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada
skala internasional baik antara pemerintah maupun dengan mitra
industri.
2. Dalam rangka memasukkan arah pembangunan iptek sektor dirgantara
tersebut, Kementerian Ristek sebagai lembaga yang mengkoordinasi
kegiatan litbang nasional harus meningkatkan kemampuannya melalui
proses teknokratik horisontal, sehingga dapat diperoleh satu konsensus
dari semua stake holder terkait arah pembangunan sektor dirgantara
kedepan. Untuk memperkuat proses tersebut, Kementerian Ristek
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
247
Universitas Indonesia
dibantu dengan Dewan Riset Nasional serta DEPANRI seyogyanya
memiliki roadmap pengembangan teknologi dirgantara. Roadmap
tersebut sekaligus sebagai pendekatan akademis yang dapat digunakan
dalam proses teknoratik dalam proses perumusan RPJPN maupun
RPJPMN dengan BAPPENAS dan Kementerian Keuangan. Di dalam
Road map tersebut juga harus telah mengakomodir perubahan politik
terkini, khususnya arah pembangunan yang termuat dalam Nawa Cita
Jokowi JK.
3. Untuk meningkatkan kemampuan produksi industri pesawat terbang,
pemerintah seyogyanya menjadi pasar pertama untuk pemasaran
pesawat terbang produk industri dalam negeri misalnya pada
penggunaan pesawat N 219, CN 235. Melalui langkah tersebut, tidak
hanya meningkatkan cashflow ekonomi industri dalam negeri juga
dapat semakin menarik pasar internasional untuk menggunakan
produksi industri pesawat terbang dalam negeri.
4. Untuk meningkatkan kompetisi industri dalam menjual produk pesawat
terbang yang dihasilkan, pemerintah seyogyanya dapat memberikan
insentif berupa sistem leasing dan kredit ekspor dari perbankan nasional
untuk penjualan pesawat terbang.
7.2.2. Saran Untuk PT DI
1. Untuk menjaga kesinambungan atas kemampuan upgrading
teknologinya, PT DI harus melakukan sejumlah program recovery
seperti: penguatan design centre; Perekrutan SDM baru; Pembangunan
dan atau upgrading infrastruktur; dan melakukan tour of duty.
2. Untuk keberhasilan upgrading teknologi pesawat terbang, baik untuk
pesawat R-80, program N 245 dan program-program sejenis, maka PT
DI harus melakukan kajian pemasaran secara mendalam baik terkait
potensi ekonomi termasuk posisi pesawat yang merupakan pesaing
langsung dari pesawat yang diupgrading.
3. Pihak manajemen harus meningkatkan kemampuan negosisasinya baik
dengan pemerintah maupun dengan pihak investor dalam negeri
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
248
Universitas Indonesia
maupun luar negeri, bahwa produk yang akan dikembangkan memang
layak tidak hanya secara teknologi tetapi secara ekonomi. Masih
termasuk dalam lingkup ini, adalah kemampuan bernegosiasi dengan
kalangan perbankan nasional perlu semakin ditingkatkan guna untuk
menyakinkan pihak perbankan, bahwa bisnis pesawat terbang adalah
bisnis yang menguntungkan.
4. Pihak manajemen harus benar-benar mampu mengidentifikasi
segmentasi pasar yang akan dibidik, hal ini menuntut pihak industri
harus mampu menganalisis jenis dan ukuran pesawat yang sangat
kompetitif. Seperti halnya pengalaman Embraer, ketika melakukan
upgrading dari EMB 110 ke pesawat turbo prop EMB 120, Embraer
Brazil tidak langsung bermain pada kelas diatas 50 penumpang yang
berkonsekuensi akan head to head dengan raksasa dikelas itu yaitu
Boeing dan Airbus, namun EMB 120 tersebut hanya bermain pada
kapasitas 30 penumpang. Bahkan ketika upgrading ke pesawat jet,
Embraer tidak hanya mengeluarkan pesawat ERJ-145 versi 50
penumpang, bahkan kemudian Embraer juga memproduksi ERJ-145
dengan versi 37 penumpang.
7.2.3. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya
1. Penelitian ini memiliki keterbatasan disebabkan analisis dilakukan pada
ketiga level hierarkis proses kebijakan, sehingga hal ini terkadang
mereduksi aspek pada masing-masing level hierarki proses kebijakan
itu sendiri.
2. Penelitian ini memiliki keterbatasan karena baru menganalisis
kebijakan upgrading teknologi pada GVC Tipologi Hierarki, dan
menafikan adanya transisi antara tipologi.
3. Penelitian ini perlu dilanjutkan menganalisis secara mendalam
hubungan antara struktur GVC yang menitiberatkan pada koordinasi
antara PT DI dengan vendors komponen pesawat terbang dengan
struktur internal organisasi PT DI.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
249
Universitas Indonesia
4. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk menganalisis secara mendalam
terkait pentingnya nasionalisme teknologi untuk pembangunan sektor
dirgantara.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
250
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Anderson, J.E. (2011). Public Policymaking.Seventh Edition. Wadsworth. Birkland, T.A. Agenda Setting in Public Policy.In Handbook of Public Policy
Analysis Theory, Politics, and Methods. Executive Editor Jack Rabin. CRC Press.
Bisry, R.M. dan Hidayat, M. (1998). The Role of BPPT In Indonesia’s Technology
Development. BPPT. Bromley, Daniel B. (1989). Economic Interest and Institutions: The Conceptual
Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell Inc. Brough, C. (2005). Open Innovation: A New Paradigm For Understanding
Industrial Innovation, Chapter 1. Oxford University Press, 2006. ----- et. al (2011). Open Innovation And Public Policy In Europe. Esade Business
School & The Science I Business Innovation Board Aisbl. Cattaneo, Gereffi, dan Staritz (2010). Global Value Chains in a Postcrisis World:
A Development Perspective. The World Bank. Washington, DC Checkland, Peter (1999). Soft Systems Methodology: A 30 – year Retrospective,
Willey, Chichester. ------ and Scholes. (1990). Soft Systems Methodology in Action. England: John
Wiley & Sons Ltd. ------ and Poulter, J. (2006). Learning for Action: A Short Definitive Account of
Soft Systems Methodology and its use for Practitioners, Teachers, and Students. England: John Wiley & Sons Ltd.
Commission Staff Working Document (2013). EU 2013 Report On Policy
Coherence For Development. European Commission. Djojodihardjo, H. (2000). Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek,
Editor: Darwin Sebayang. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. ------------------ dan Sebayang, D. (2000). Pembudayaan Iptek melalui
pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.
Dye, T. R. (2002). Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
251
Universitas Indonesia
Etzkowitz, H. (2008). The Triple Helix: University–Industry–Government Innovation in Action. Routledge.
Flood RL. (1999). Rethinking The Fifth Discipline. Learning With in The
Unknowable. Routledge, London. Figueiredo, P.N. (2007). Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework:
Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, University of Oxford, Department of International Development.
Gabrielian, V., Yang, K., dan Spice, S. (1999). Qualitative research methods. In
Gerald J.Miller and Marcia L. Whicker (Eds.). Handbook of Research Methods in Public Administration. New York: Marcel Dekker, Inc
Grindle, M.S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World.
Princeton University Press and Princeton New Jersey Habibie, B.J.. (1994). Progress Report Prof.Dr.-Ing. Dr.Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf
Habibie In Assting The President of The Republic of Indonesia/The MPR Mandatory H.Muhammad Soeharto. 1974-1994.
-----------------. (1995). Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa:
Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. CIDES. Hatch, M.J. (1997). Organization Theory: Modern, Symbiotic, and Postmodern
Perspective. Oxford University Press. Humphrey dan Scmitz (2000). Governance and Upgrading: Lingking Industrial
Cluster and Global Value Chain Research , IDS Working Paper 120. Howlett, M. and Ramesh, M. (2003). Studying Public Policy: Policy cycles and
policy subsystems. Second Edition. Oxford: Oxford University Press. Irahali, Lili. (2001). Dirgantara Indonesia dalam Perspektif Sejarah. 25 Tahun
PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
Kahn, M., Martins de Melo, L., and Pessoa de Matos, M.G.(2014). Financing
Innovation. Routledge. Kaplinsky, R., and Morris, M. (2000). A Handbook For Value Chain Research.
Bellagio Workshop in September 2000. Kasali, Rhenald. (2001). Dirgantara Berfikir Secara Bisnis. 25 Tahun PT.
Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.124. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
252
Universitas Indonesia
Kay, A. (2006). The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence
Massachhusetts: Edward Elgar Publishing Kian, Wie Thee (2005b). Technology and Indonesia’s Industrial Competitiveness.
ADB Institute. Koesman, Aboeng (2001). Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara
Indonesia: Membuka paradigma baru. h.56. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab
Kun-Ming (KM) Tsai (2011). How can companies within global value chains
capture value from innovations? Dissertation Doctor of Philosopsy. University of Maryland University College.
Liem, L. dan Muhammad, H (2001). Pendidikan Real Time Software Engineering
untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
LIPI, Agustus 2006, Indonesian Science and Technology Indicators, LIPI Press,
2006. Lubis, S.B. Hari dan Martani Huseini (1987). Pengantar Teori Organisasi: Suatu
Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI Lucy Yi, S. (2013). A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A
Phenomenological Study. Published by Pro Quest LLC (2013). Maka, A. Makmur (2013). Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua. Momentum
Telah Berlalu: Konsipirasi Melawan N 250. Penerbit Edelweiss. Depok. ------------------------- (2012). Biografi Bacharudin Jusuf Habibie: Dari Ilmuan ke
Negarawan sampai “Minandito”. PT. THC Mandiri-Jakarta. Majone, G. (2006). Agenda Setting. In The Oxford Handbook Of Public Policy.
Edited By Michael Moran, Martin Rein, And Robert E. Goodin. Oxford University Press.
Ming Tsai, K. (2012), How can companies within global value chains capture
value from innovations?, Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland University College, 2012. ProQuest LLC.
OECD ( 2009). Policy Coherence for Development,In Manageing Aid: practices
of DAC memmber Countries. Chapter 2. --------- (2008). Policy Brief: Policy Coherence for Development – Lessons
Learned
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
253
Universitas Indonesia
-------- (2009). Building Blocks for Policy Coherence for Development. ----------(2010). The OECD Innovation Strategy: Getting A Head Start On
Tomorrow. --------- (2005). Oslo Manual- Guidelines for Collecting And Interpreting
Innovation Data Oktaviyanti, D. dkk, 2014. Analisis Analisis Perkembangan Kebijakan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi. Papiptek-LIPI.
Pamungkas, S.B (2014). Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai
Nusantara di BAB II. BJ.Habibie: Menjadi Mangsa Naga Timur dan Barat. El Bisma.
Panitia Teknis DEPANRI. (2011). Naskah Akademik Pengembangan Pesawat N-
219 Untuk Mendukung Transportasi Daerah Terpencil Di Indonesia. LAPAN.
Porter, M.E (2001). Cluster of Innovation: Regional Foundation of U.S
Competitiveness. Monitor Group on the frontier Council On Competitiveness.
------------------ (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior
Performance. New York: Free Press. Rafiick, I. (2007). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi
1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, PT. Cahaya Insan Suci
Senge, P. (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning of
Organization.Bantam Doubleday Publishing Group, Inc. Stryker, W.N. (2007). Technology Leadership Forecasting And Warning: An
Analytic Methodology. In Handbook of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group.
The World Bank (2010). Innovation Policy A Guide for Developing Countries. The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC). (2012). Putting
policy coherence for deveopment into perspective: supporting Switzerland's promotion of PCD in Commodities Migration Tax Commissioned and tax policy. The European Centre for Development Policy Management (ECDPM).
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
254
Universitas Indonesia
Uchiyama, Kenichi (2009). A Concise Theoritical Grounding of Action Research:Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan.
Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan
Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. Tim Editor: Purwono, Lili ahali, Hendramin Djarab.
Zuhal. (2010). Knowledge and Innovation: Paltform Kekuatan Daya Saing. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. JURNAL DAN MAKALAH Amir, Sulfikar (2007). Nationalist Rhetoric And Technological Development
Indonesian Aircraft Industry In The New Order Regime. Elsevier Anic, I.D., And Mustafa, N.(tanpa tahun). The Apple Industry In Croatia: A Value
Chain Analysis Approach. Ekonomski Institut, Zagreb. Balbachevsky, E. and Botelho, A. (2011). Science and Innovation policies in
Brazil: a framework for the analysis of change and continuity. Paper presented to the IPSA-ECPR Joint Conference.
Brown, K. dan Tiemann, T. (tanpa tahun), EU State Aid Policy and EC – Air Bus
Case. Chu Bo, Zhang Hua, Jin Fengjun, 2010. Identification And Comparison Of
Aircraft Industry Clusters In China And United States. Science Press, Northeast Institute of Geography and Agroecology, CAS and Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2010
Chen, Y. (2010). Value Chain Management Based on Open Innovation Strategy.
The 9th International Symposium on Operations Research and Its Applications
Djojonegoro, W. (1991). Towards A Science And Technology Policy Approach
Supporting Industrial Development Of Indonesia. International Conference on Changing Technology Issues nad Trends of Policy Research. Seoul Korea.
Dahlman, C.J. and Frischtak, C.R. (1990). National Systems Supporting Technical
Advance In Industry: The Brazilian Experience. The World Bank Industry and Energy Departement.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
255
Universitas Indonesia
Etzkowitz, H., dan Leydesdorf, L., (1990). The dynamics of innovation: from National Systems and ‘‘Mode 2’’ to a Triple Helix of university–industry–government relations. Elsevier Research Policy 29. 109–123.
Feinson, S. National Innovation System Overview and Country Cases. Center for
Science, Policy, and Outcomes Favreau (2009). Business Tactics: Value Chain Advantages. Canadian Forest
Industries. Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. Airbus and Boeing: Strengths and
limitations of strong states. http://search.proquest.com/docview/208277954?accountid=35812
Gassmann, O., Enkel, E. (n.d). Towards a Theory of Open Innovation:Three Core
Process Archetypes. Institute of Technology Management, University of St. Gallen, Switzerland
Gereffi, G., Humphrey, J. & Sturgeon, T. (2005, February). The Governance Of
Global Value Chain. Review of International Political Economy, 12(1), 78-104.
------ (2010). Global value chains and international competition. The Antitrust
Bulletin: Vol. 56, No. 1/Spring 2011 : 37. 2011 by Federal Legal Publications, Inc.
------ (2012). Latin America’s Prospects for Upgrading in Global Value Chains.
Center on Globalization, Governance & Competitiveness (CGGC), Duke University.
Gillett, D. and Stekler, H.O. (1995). Introducing Technologically Advanced
Products: Strategies in the Commercial Aircraft Industry: Comparative Study Boeing and McDonnell-Douglas Corporation in the late 1970s and early 1980s. North-Holland.
Hardjosoekarto, S. (2013). Dual Imperatives of Action Research: Lessons from
Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by Using Soft Systems Methodology. Human Resource Management Research, 3, 1, 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10.
-------------------.. (2012). Construction of social development index as a
theoretical research practice in action research by using soft systems methodology. Syst Pract Action Res. DOI 10.1007/s11213-012-9237-9.
..........................; Yovani, N.; Santiar, L. (2013). Institutional Strengthening for the Role of Mass Media in Disaster Risk Reduction in Japan and Indonesia: An
Application of SSM-Based Action. Research. Syst Pract Action Res. DOI 10.1007/s11213-013-9282-z.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
256
Universitas Indonesia
Humphrey, J. and Scmitz, H. (2002). How does insertion in Global Value Chains Affect upgrading in Industrial Clusters? Regional Studies, Vol. 36.9.
Jones, H.G. (1999). Entrepreneurial Success And Failure In The Aviation
Industry:The History Of The Waco Aircraft Company. Kaplan, S. and Winby, S. Open Innovation Network Looking outside the
organization for fresh ideas and promising new opportunities. http://www.innovation-point.com
Kian, Wie Thee (2005a). Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology
Development, Sano-Shoin, Hitotsubashi University, Kunitachi, Tokyo. Laporan WTO (1999). Brazil – Export Financing Programme Foraircraft Report
Of The Panel. Malherbe, G. and Stanway, G. (2010). Corporate Innovation At Work: Defining
the Innovation Consortium. (2010). Virtual Consulting International Ltd. New York.
McKendrick, D. (1992). Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian
Aircraft Industry. Bulletin of Indonesian of Economic Studies. Vol 28 No.1, April 1992.
McPhee and Wheeler (2006). Making the case for the added-value chain. Emerald
Group Publishing Limited. VOL. 34 NO. 4 2006, pp. 39-46, McKay and Marshall, P. (2001). The Dual Imperatives of Action Research.
Information Technology & People, Vol. 14 No. 1, 46-59.MCB University Press.http://www.emerald-library.com/ft.
Milling, P.M. and Maier, F.H. Dynamic of R&D and Innovation Diffussion
Industrieseminar der Universitat Mannheim. Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti (2006). Global Value Chains and
Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries. Università Commerciale Luigi Bocconi – CESPRI Via Sarfatti, 25 20136 Milano.
Okamoto, Y. and Fredrik Sjöholm, F. (2001). Technology Development In
Indonesia.Working Paper No. 124 May 2001. The European Japanese. Institute
Pritchard, D. (2010). A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US
Commercial Aircraft Supply Chain. Canada-United States Trade Center, Department of Geography, University at Buffalo.
Samadikun, S. (1993). Sistem IPTEK Nasional dalam Usaha untuk Meningkatkan
Kemampuan Bangsa dalam Bidang Elektronika dan Telekomunikasi. Makalah disampaikan dalam seminar : “Penerapan Teknologi Digital dalam
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
257
Universitas Indonesia
Pembangunan Telekomunikasi Era PJPT II” Diselenggarakan oleh: ALTUB – PAJ – YBB – AVARINDO Gedung Indosat.
Stewart, T.P. (2007). China’s Industrial Subsidies Study:High Technology. Steenhuis, H.J. and De Bruijn, E.J (2004). High Technology In Developing
Countries:Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry.
---------------------------------------------------- (2001). Developing countries and the
aircraft industry: match or mismatch.Elsevier. Tae Hwan Cho. Challenge In Research and Development For The Korean
Aircraft Industry. Chapter Fourteen. Wall, S.E. (2013). Programa de Financiamento às Exportações: An analysis of
Brazil’s PROEX export financing program. Wamae, W. (2006). A Survey of Innovation Policies in Developing Countries:
Lessons and Case Studies. Policy and Science Program Area. William Davidson Institute, 2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony.
Published by GlobaLens, a division of The William Davidson Institute at the University of Michigan
Williamson, Oliver E. (1975). Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust
Implications. New York: The Free Press. --------------. (1985). The Economic Instituions of Capitalism: Firm, Markets,
Relational Contracting, New York: The Free Press. --------------. (1994).“Transaction Cost Economics and Organization
Theory.”Pages 77-107 in The Handbook of Economic Sociology, edited by Neil Smelser and Richard Swedberg. New York: Russell Sage Foundation
Williamson, J (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for
Development. p.1. A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. Institute for International Economics
------------------- (2004). A Short History of the Washington Consensus. h.2. Paper
commissioned by Fundación CIDOB for a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, September 24–25, 2004.
Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System
Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
258
Universitas Indonesia
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN Republik Indonesia. UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan ------------------------ UU 25/2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Sisrenbangas) ------------------------ Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan
Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3Ei) ------------------------UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ------------------------Undang Undang No.8/1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia ------------------------Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014 -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor: II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
-----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004.
-----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun
1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa ----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun
1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia
----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976
Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong
LAIN-LAIN BI, Laporan Perekonomian Indonesia 2007. BPS, Juli 2007, Indikator Ekonomi ------, Statistical Year Book, tahun 1983 sampai 2004.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
259
Universitas Indonesia
KNRT, Buku Putih Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek KNRT 2005-2025
------, Juli 2006, Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah tahun 2005,
Kedeputian Bidang Program Riptek-KNRT, ------, Mei 2006, Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah tahun 2004,
Kedeputian Bidang Program Riptek-KNRT ------. (2001). Direktori RUT IV-VI. ------,(2012), Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. ------, (2013), Kajian Evaluasi ARN 2010-2014 ----- , Jakstranas Iptek 2000-2004. ----- , Jakstranas Iptek 2005-2009 ----- , Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014. ------, Draft 5 Jakstranas Tahun 2015-2019 ------, Draft Agenda Riset Nasional 2015-2019 Mardianis, November 2013. Quo Vadis Keberadaan DEPANRI?. h.110-111.
Media Dirgantara, LAPAN. Media Indonesia Minggu (1995), Edisi 13 Agustus 1995. Membawa Gatotkoco
ke Pasar. Diakses lewat http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html
Sumbodo, S. (2014). XT-400: Proyek Pesawat Komuter yang mati sebelum lahir
dalam Majalah Airliner World, Edisi 12 tahun 2014. LAPAN. Sardjadji, Djoko. (2000). Ahli Pesawat dari Lereng Gunung Merapi,
http://www.angkasa-online.com/11/01/profil/profil1.htm (1 of 5)12/12/2006 8:29:37.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana. Beberapa
catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia. Disampaikan dalam Sidang Paripurna DRN 2014, Juni, 2014.
Pidato Menristek Prof Gusti Mummad Hatta dalam acara Lokakarya Dewan
Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan tema: “Iptek Penerbangan Yang Tangguh Dalam Era Globalisasi”, Jakarta, 20 Desember 2012 dihadapan Anggota KKIP, DEPANRI, LAPAN, LPNK, dan Pelaku Industri.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
260
Universitas Indonesia
Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa
http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:
dialog-kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014. Dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06.
https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-citaIndustriStrategis,Cita-cita
industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadal Kwik Kian Gie yang
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-
belajar-dari-ntsb-540395.html). http://analisismiliter.com, http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-
belajar-dari-ntsb-540395.html. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_E-Jets. https://id-id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan-
N2130/214383261923875?v=info Company Profile PT Dirgantara Indonesia PT DI, 2014. http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&arti
cle_category=5 diakses pada tanggal 12 Agustus 2014. http://www.indonesian-aerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus5 http://rzjets.net/aircraft/?typeid=137 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No.
002/UT0000/05/2013 tentang Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011). Master Plan Percepatan
Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
261
Universitas Indonesia
Paparan Prof Sofyan Effendi dalam FGD di Kementerian Ristek pada tanggal 10 September 2014. Masukan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek 2015-2019.
PT RAI, paparan dengan judul: Program R80 Investasi Bisnis Berbasis Visi.
dipaparkan didepan Menristek Prof Gusti Muhammad Hatta pada 2 juni 2014 .
FGD Kementerian Ristek, 2012, Paparan Dari Direktur Transportasi BAPPENAS. Berita Resmi Statistik-BPS. No. 14/02/Th. XVI, 5 Februari 2013 FGD Kementerian Ristek, 2013, Paparan dari Direktur Industri Unggulan
Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Paparan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana dalam
Sidang Paripurna DRN, Juni, 2014. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia
Paparan Sekretarsi Dewan Riset Nasional dalam Sidang Paripurna DRN, Juni
2014, Kebijakan Iptek Untuk Indonesia Yang Sejahtera dan Berdaulat Direktur Industri Iptek Dan Parekraf Bappenas, dalam Sidang Paripurna DRN,
Juni, 2014. Naskah Teknokratik Pembangunan Iptek RPJMN 2015-2019 Harian Republika, tanggal 3 Desember 1995 dengan judul: IDB akan bantu
leasing N 250. Tim sukses calon presiden Jokowi, Dr. Alexander Sonny Keraf, dalam Sidang
Paripurna DRN, Juni, 2014. Visi-Misi JW-JK Nawa Cita Joko Widodo- Jusuf Kala, Mei 2014. Visi, Misi, dan Program Aksi:
Jalan Perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
262
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Ringkasan Hasil Riset Terdahulu
No Peneliti/tahun Judul Metode Hasil Critical Points
1 Wardiman
Dojonegoro/1991
Towards A Science and
Technology Policy
Approach Supporting
Industrial Development of
Indonesia
Deskriptif Dalam makalahnya tersebut,
menjelasakan bahwa empat strategi
transformasi industri atau yang dikenal
dengan “ start with the end and end
with the beginning” dengan salah satu
laboratoriumnya adalah IPTN lebih
cocok diterapkan di Indonesia, dengan
dua asalan:
1. Tahap pertama yang diarahkan pada
kemampuan memproduksi, selain
telah jelas memiliki nilai komersial
juga tidak membutuhkan biaya yang
sangat besar terutama untu kegiatan
litbang yang memiliki probalitas
gagal yang juga relatif tinggi.
Kemampuan pendanaan atau investasi
litbang untuk negara-negara
Dalam makalah
tersebut telah
menjelaskan
bagaimana dukungan
politik serta
kelembagaan IPTEK
beserta BPISnya,
namun tidak
menyinggung
bagaimana
kesinambungan
dukungan secara
politik terhadap BPIS
termasuk IPTN
merupakan faktor
yang sangat penting.
Yang kedua, analisis
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
263
Universitas Indonesia
berkembang masih sangat lemah dalam makalah
tersebut sangat
bersifat umum tidak
khusus pada IPTN.
2 David McKendrick/
1992
Obstacle to “catch- up”:
The case of the Indonesian
Aircraft Industry
Kualitatif Akumulasi kemampuan engineering
dan produksi tidak cukup menjadikan
IPTN sukses dalam komersialisasi
pesawat terbang komersial (terutama N
250) nya.
Dalam studinya, McKendrick
menemukan adanya kelemahan
manajemen dalam IPTN dan dalam
temuannya, McKendrick masih
mempertanyakan dukungan kebijakan
(pemerintah) terhadap IPTN terutama
terkait tidak adanya badan penerbangan
yang bersifat independen serta
lemahnya infrastruktur Iptek.
Studi tersebut lebih
bersifat mikro, belum
menyinggung bentuk
kebijakan pemerintah
dalam komersialisasi
pesawat terbang
nasional.
3 Howard G. Jones, Entrepreneurial Success Kualitatif Peran pemerintah dalam mendorong Walaupun dalam
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
264
Universitas Indonesia
III/1999
And Failure In The Aviation Industry:The History Of The Waco Aircraft Company, 1919-1963
peningkatan kegiatan litbang bahkan
menjadi pasar pertama bagi industri
pesawat terbang (untuk aplikasi militer)
merupakan faktor kunci keberhasilan
Industri Pesawat Terbang WACO.
studi tersebut telah
menggambarkan
hubungan antara
pemerintah dan
swasta, namun aspek
peran pemerintah
dalam
pengembangan
pesawat tersebut
masih umum yaitu
pada pendanaan
litbang dan
pemasaran.
4 Yumiko Okamoto dan Fredrik Sjöholm/2001
Technology Development In Indonesia
Kualitatif Bahwa kegagalan IPTN khususnya N
250 juga disebabkan lemahnya jejaring
PT DI dengan industri-industri
pendukungnya.
Kebijakan mendorong industri High
Tech akan cenderung gagal tanpa
Walaupun Telah
Menyinggung
Pentingnya
Dukungan Kebijakan
Dalam
Mengoptimalkan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
265
Universitas Indonesia
dukungan pembangunan infrastruktur
teknologi (baik secara kelembagaan
maupun secara teknis). Dan intervensi
pada level mikro (industri) akan efektif
jika dukungan infrastruktur dan SDM
yang cukup juga terpenuhi
Channel FDI Dalam
Upgrading
Teknologi, Namun
Tidak Dijelaskan
Bagaimana Bentuk
Dukungan
KebijakaN
TERSEBUT
5 Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006
Airbus and Boeing: Strengths and limitations of strong
Deskriptive
analysis
Diantara bentuk bantuan pemerintah
dalam pengembangan industri pesawat
terbang adalah mulai dari bantuan
pendanaan riset dan pengembangan,
pendanaan atau fasilitasi proses
kontruksi, bantuan SDM, pemasaran,
bantuan pengamanan kontrak penjualan
luar negeri dll. Bahkan Francis dan
Pevzner menekankan bahwa untuk
industrial policy untuk industri pesawat
terbang harus bersifat jangka panjang.
Belum dijelaskan
bagaimana dan apa
dukungan politik
yang dibutuhkan
dalam
pengembangan
industri pesawat
terbang.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
266
Universitas Indonesia
6 CHU, ZHANG dan
JIN/2010
Identification and Comparison of Aircraft Industry Clusters in China and United States
Multivariate Clustering (MC); and Principal Component Analysis (PCA) dan Czamanski′s method
Dalam pengembangan industri aircraft,
pemerintah harus meninggalkan pola
tradisional dalam berinovasi menuju
pola yang terbuka serta berorientasi
pasar. Selain itu, yang tidak kalah
pentingnya adalah pemerintah harus
merevitalisasi dan menyempurkan
rencana pembangunan kawasan atau
kluster industri aircraft.
Studi Chu, Zhang
dan Jin masih tidak
jelas bagaimana
seharusnya peran
pemerintah baiak
dalam konteks
kebijakan
pembangunan
maupun kebijakan
inovasinya
7 Kayleigh Brown dan
Tobias Tiemann
EU State Aid Policy and EC – Air Bus Case:
Deskriptive analysis
Dukungan pemerintah merupakan
faktor keberhasilan Airbush, dukungan
pemerintah tersebut tidak saja secara
ekonomi yaitu dalam bentuk grant of
subsidies dalam bentuk pengalihan
sewa dari producer asing ke producer
domestik) tetapi juga dalam bentuk
dukungan politik internasional
terutama penetrasi dalam organisasi
Tidak nampak
adanya kebijakan
inovasi serta
bagaimana
koherensinya dengan
kebijakan ekonomi
serta politik
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
267
Universitas Indonesia
perdagangan dunia (WTO) merupakan
dua faktor keberhasilan Airbush.
8 William Davidson Institute/2008
Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony
Kualitatif Dual use civil military technology
bersifat symbiotic, pengembangan
pesawat untuk program militer dapat
mendorong inovasi teknologi canggih,
sementara aplikasi untuk komersial
berkontribusi pada strategi efisiensi dan
reliabilitasnya.
Tidak membahas
pada aspek
transformasi industri
dari BUMN ke
swasta bagaimana
masing-masing
leverage peran
pemerintah dalam
mendorongnya
9 Suijun (Lucy) Yi/2013
A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study
Kualitatif Lucy merekomendasikan supaya dalam
creating new idea dan inovasi
teknologi, membangun kerjasama
Boeing dengan US Government sangat
penting dalam mempertahankan
keunggulan Boeing terhadap sejumlah
kompetitornya dalam perekonomian
Penelitian tersebut
tidak menjelaskan
bagaimana bentuk
peran tersebut.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
268
Universitas Indonesia
Global.
10 David Pritchard/2010
A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US Commercial Aircraft Supply Chain
Kualitatif Pritchard melakukan penelitian
terhadap sejumlah industri pesawat
terbang yaitu Boeing Amerika Serikat,
Airbus Eropa, Bombardier Canada,
United Aircraft Corporation (UAC)
Rusia, COMAC China, Embraer Brasil,
Industri Pesawat Terbang Meksiko dan
Industri Pesawat Terbang Italia. Dalam
hasil studi tersebut dijelaskan bahwa
berdasarkan pengalaman Airbus,
Bombardier Canada dll menunjukkan
bahwa dukungan pemerintah baik
langsung atau tidak langsung sangat
penting bagi industri pesawat terbang
terutama pada saat launcing pesawat
terbang baru di pasaran. Dalam industri
pesawat terbang Rusia yang disebut
United Aircraft Corporation (UAC),
Penelitian tersebut
sangat kurang
menggambarkan
secara detil
bagaimana bentuk
peran pemerintah
pada masing-masing
negara tersebut
kecuali Brasil.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
269
Universitas Indonesia
polanya sangat sentralistik dan
dikontrol langsung oleh negara. China,
bentuk dukungan pemerintahnya
tertuang dalam rencana pembangunan
sepuluh tahun. Brasil terkenal dengan
sejumlah koherensi kebijakan inovasi,
ekonomi dan pembangunannya, salah
satu contohnya adalah kebijakan ProEx
dan FINEPnya. Industri pesawat
terbang Italia sangat terkenal dengan
dukungan pemerintahnya terutama
dalam anggaran litbang dan
manufacturingnya. Adapun dukungan
Pemerintah Mexico dalam
pengembangan pesawat terbangnya
adalah bentuk dukungan financial.
11
Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart/2007
China’s Industrial Subsidies Study:High Technology
Kualitatif Kebijakan pemerintah China dalam
mendorong pengembangan industri
Dalam aspek makro
sudah diutarakan,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
270
Universitas Indonesia
pesawat terbang tertuang secara tegas
baik dalam dokumen semacam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) yang disebut
sebagai Guideline for National
Economic and Social Development
periode (2006-2010) maupun secara
khusus dalam Rencana Jangka Panjang
Pembangunan (RPJP) IPTEKnya atau
yang disebut The Guideline for the
National Medium- and Long-Term
Science and Technology Development
Plan (2006-2020). Dan salah satu
kebijakan ekonomi China yang
mendorong aircraft product
manufacturing adalah cross-industry
subsidies untuk High Tech Industry.
Bahkan selain dukungan pemerintah
pusat, pemerintah daerah juga
namun pada tataran
koordinasi kebijakan
belum mengemuka.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
271
Universitas Indonesia
mendukung kebijakan tersebut.
12 Steenhuis dan Bruijn/
2001
Developing countries and the aircraft industry: match or mismatch
Kualitatif Pengalaman IPTN Indonesia menunjukkan bahwa walaupun memiliki kemampuan dalam technology transfer namun tidak diikuti efisiensi produksi dan kemampuan menjual.
Adapun kemampuan Brasil dalam desain sangat didukung oleh intensitas kegiatan litbangnya.
Dalam kesimpulannya, Steenhuis dan Bruijn menyatakan bahwa Environment (lingkungan kebijakan) merupakan faktor penting bagi keberhasilan pengembangan industri pesawat terbang nasional terutama dalam proses technology transfer
Namun dalam
studinya ini,
Steenhuis dan Bruijn
tidak
mengungkapkan
bagaimana bentuk
kebijakan pemerintah
dalam mendorong
industri pesawat
terbang.
13 Kian Wie Thee/2005a Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology Development
Kualitatif Selain menyinggung dukungan politik
pemerintah, Tee juga mengkritisi belum
adanya dukungan kebijakan sektor
lainnya seperti keuangan perbankan
Penelitian tersebut
tidak membahas
khusus industri
pesawat terbang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
272
Universitas Indonesia
atau layanan teknologi terkait standar
dll bagi pengembangan teknologi
industri.
tetapi secara umum
pada industri
berbasis teknologi.
14 Kian Wie Thee/2005b Technology and Indonesia’s Industrial
Competitiveness
Kualitatif Thee mengungkapkan bahwa pada
tahun 1990an sampai sebelum krisis
ekonomi 1997/1998, dengan adanya
dukungan politik yang kuat dari
Presiden Soeharto, IPTN mendapatkan
sejumlah dukungan pemerintah mulai
dari didirikannya Badan Pengelola
Industri Strategis (BPIS), sampai
dukungan pendanaan
Dual track strategi
industri yang senada
dengan perbedaan
antara
Habibienomics
dengan
Widjojonomics, dan
tidak
mengungkapkan
bagaimana
seharusnya dukungan
kebijakan sektor
lainnya terutama
sektor IPTEK bagi
pengembangan
industri pesawat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
273
Universitas Indonesia
terbang nasional.
15 Sulfikar Amir/2007 Nationalist rhetoric and
technological development Indonesian aircraft industry in the New Order regime
Kualitatif Nasionalisme teknologi adalah suatu bentuk ideologi yang berfungsi pada tiga level yaitu integrasi, legitimasi dan distorsi. Amir menjelaskan bahwa dukungan pemerintah baik secara politik dan pendanaan dalam pengembangan IPTN khususnya pesawata N 250 sangat dilatarbelakangi oleh masih kuatnya semangat nasionalisme pada pakar pengembang teknologi pesawat terbang yang kemudian didukung penuh oleh elit politik tertinggi pada waktu itu. Namun menurut Amir, nasionalisme teknologi masih mengandung paradoks, satu sisi mengusung spirit kemerdakaan yang puncaknya adalah kemandirian teknologi, namun pada sisi lain seolah-olah kemerdekaan dimaknai hanya sebatas pada kemandirian teknologi semata.
Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah untuk memperkuat nasionalisme tersebut dalam kemandirian teknologi pesawat terbang dalam konteks kekiniian.
16 Hwan Cho Challenge In Research and Development For The Korean Aircraft Indusrty
Kualitatif Bahwa untuk mencapai industry
pesawat terbang yang memiliki
kelayakan komersial, maka diperlukan
Walaupun teleh
menyinggung
kebijakan Iptek
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
274
Universitas Indonesia
dukungan jangka panjang pemerintah
baik dalam investasi nasional maupun
dukungan secara politik.
(pendanaan litban)
namun aspek
kebijakan ekonomi
maupun politik. yang
diungkap masih
bersifat umum
17 Steenhuis and Bruijn. High Technology In Developing Countries: Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry. The Focus Is On Brazil, China, Indonesia And Romania
Kualitatif Steenhuis dan Bruijn menekankan
bahwa komitmen jangka panjang
pemerintah Brasil dalam mendorong
pengembangan industri pesawat terbang
khususnya Embraer merupakan salah
satu faktor kunci, karena tidak seperti
yang terjadi dengan Rumania atau
Indonesia, walaupun pada tahun 1980an
Embraer dihadapkan pada krisis
ekonomi, namun pemerintah Brasil
berkomitmen untuk terus memberikan
dukungan terhadap perusahaan tersebut,
hasilnya setelah melewati masa-masa
Tidak menjelaskan
bagaiamana lesson
learned bagi
Indonesia dalam
kaitannya
bagaiamana
sejarusnya bentuk
konkrit peran
pemerintah dalam
melakukan koherensi
kebijakan Iptek,
Perindustrian dan
Perkonomian dan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
275
Universitas Indonesia
surive pada sebagian besar dalam
periode 1990an, akhirnya pada 1994,
Industri Embraer kembali profitable.
Pembangunannya
dalam komersialisasi
pesawat terbang
18 Daniel Vertesy and Adam Szirmai/2010
Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries
Sistem Dinamik Daniel Vertesy and Adam Szirmai
menganalisis peran lingkungan sistem
inovasi sektoral bagi industri
penerbangan nasional. Studi tersebut
menganalisis empat industri
penerbangan di empat negara yaitu
Embraer-Brazil, COMAC-China,
IPTN- Indonesia dan FMA-Argentina.
Salah satu faktor kegagalan Argentina
selain karena gagalnya privatisasi dan
kuatnya kontrol militer adalah tidak
adanya koherensi kebijakan inovasi,
industri, IPTEK, dan Pertahanan yang
didukung secara politik. Adapun
kegagalan Indonesia, hampir mirip
dengan Argentina, yaitu tidak adanya
Penelitian ini tidak
mengemukan
bagaimana simulasi
untuk kebijakan
untuk negara negara
berkembang lainnya
dengan
benchmarking pada
keberhasilan
Embraer Brasil.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
276
Universitas Indonesia
kesinambungan dukungan pemerintah
baik secara pendanaan dan secara
politik, hanya saja IPTN menurut
Vertesy dan Szirmai, juga walaupun
memiliki kemampuan dalam transfer
teknologi, namun kemampuan untuk
kegiatan manufacturingnya yang layak
secara ekonomi masih rendah. Adapun
China maupun Brasil, menurut Vertesy
dan Szirmai telah memiliki sejumlah
kebijakan yang koheren dan jangka
panjang dalam mendorong
pengembangan industri pesawat terbang
nasional baik pada kebijakan
pembangunan ekonomi, politik dan
perindustrian, bahkan contoh Brasil
menunjukkan komitmen pemerintah
tidak hanya pada lingkup domestik
bahkan untuk orientasi pasar
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
277
Universitas Indonesia
internasional.
19 Tae Hwan Cho Challenges In Research And Development For The Korean Aircraft Industry
Kualitatif Industri pesawat terbang harus didukung penuh dengan sejumlah kebijakan yang berkelanjutan seperti dukungan pendanaan litbang, investasi dll)
Belum secara detil
kaitan kebijakan
lainnya seperti
perindustrian,
perdagangan bagi
komersialisasi
pesawat terbang
20 Dave Gillett And H. O. Stekler/1995
Introducing Technologically Advanced Products: Strategies in the Commercial Aircraft Industry: Comparatvie Study Boeing and McDonnell-Douglas Corporation in the late 1970s and early 1980s
Kualitatif Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Perusahaan Pesawat Terbang McDonnell-Douglas Corporation yang memiliki visi militer ketika memproduksi pesawat baru versi sipil lebih tidak sensitif terhadap kemungkikan resiko kegagalan dibandingkan dengan Perusahaan Pesawat Terbang Boeing Aircraft Company yang memang memiliki visi bisnis.
Dalam kajian
tersebut tidak
mengemukakan
bagaimana aspek
dukungan
pemerintah/kebijakan
bagi pengembangan
kedua jenis industri
yang berbeda visi
tersebut.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
278
Universitas Indonesia
21 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frihtak/1990
National Systems Supporting Technical Advance In Industry: The Brazilian Experience
Kualitatif Koherensi kebijakan inovasi dan
industri Brasil mulai dirasakan ketika
tahun 1972, pemerintah Brasil
mendirikan the Special Sectariat for
Science and Technology dibawah the
Ministry of Industry and Commerce
(MIC), dimana badan ini
mengkonsolidasi dan membantu
menjalankan tupoksi MIC terutama
dalam program pendanaan litbang
industri, diseminasi informasi teknologi
dan pengaturan sistem hak dan
kekayaan intelektual-HKI, dan
standard.
Sejak tahun 1973, Pemerintah Brasil
juga mendirikan satu badan yang
disebut FINEP (Agency for Financing
Studies and Projects) guna memberikan
insentif keuangan dalam mendorong
Studi tersebut telah
mengemukakan dua
dari tiga fase dari
siklus koherensi
kebijakan (political
commitmentt dan
policy coordination),
namun belum
disinggung sejauh
mana kinerja FINEP
maupun the Special
Sectariat for Science
and Technology
dibawah the Ministry
of Industry and
Commerce terutama
dalam
pengembangan
pesawat terbang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
279
Universitas Indonesia
pengembangan kemampuan teknologi
industri lokal salah satunya adalah riset
industri bidang aeronautics Embraer.
Sebagaimana halnya the Special
Sectariat for Science and Technology,
FINEP juga diarahkan untuk
mendorong standar atau sertifikasi
terutama untuk standar ekspor.
nasional.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
280
Universitas Indonesia
Lampiran 2 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori-Level Kebijakan
No Aktifitas Model Konseptual
Real World
Refleksi Dengan Kerangka Teori
Diskripsi Aktifitas Keluaran (output) Aktifitas
(idea atau nilai)
1 Mengumpulkan bahan-bahan evaluasi pembangunan kedirgantaraan pada periode sebelumnya.
Menganilisis hasil Implementasi Kebijakan Dirgantaraan dalam GBHN 1993 dan 1998 dan dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJPMN 2005-2009; 2010-2014
Hasil Evaluasi Implementasi Kebijakan Kebijakan Dirgantaraan dalam GBHN 1993 dan 1998 dan dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJPMN 2005-2009; 2010-2014
Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan (Bromley, 1989)
2 Mengumpulkan pemikiran-pemikiran visioner terkait pembangunan Kedirgantaraan
Melakukan serangkaian FGD antara BAPPENAS, Kementerian Ristek bersama Dewan Riset Nasional yang merupakan representatif dari seluruh stakeholder iptek dari semua bidang Iptek untuk menganalisis isu-isu strategis pembangunan Kedirgantaraan
Hasil analisis terhadap isu-isu strategis pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJPN
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972); Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
3 Menyusun rancangan awal arah pembangunan Kedirgantaraan
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait terutama dengan BAPPENAS, Kementerian Ristek bersama Dewan Riset Nasional untuk menyusun rancangan awal sebagai masukan untk rancangan RPJPN terkait arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk RPJPN yang juga didalam telah terdapat draft rancangan awal arah pembangunan Kedirgantaraan
Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
281
Universitas Indonesia
4 Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan selanjutnya dibahas dalam Musrenbang RPJP Nasional yang dihadiri oleh segenap pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, lembaga-lembaga non-pemerintah, para penyelenggaran negara, maupun individu yang berminat terhadap pemikiran-pemikiran jangka panjang
Fungsi koordinasi Kementerian Ristek masih sangat lemah, baik melalui Jakstranas maupun melalui instrumen Agenda Riset Nasional, keteracuan para stake holder iptek terhadap kedua dokumen tersebut masih sangat lemah, hal ini menyebabkan bargaining position sektor Iptek dalam Musrenbang menjadi tidak terinterkoneksi antar satu sektor teknis dengan sektor lainnya. Ditambah lagi, bahwa kemenristek tidak sendiri belum memiliki Road Map teknologi yang dapat dijadikan sebagai naskah akademik dalam pembangunan sekttor kedirgantaraan.
Rancangan Awal RPJPN yang juga didalam telah terdapat rancangan akhir arah pembangunan Kedirgantaraan.
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
5 Dengan mempertimbangkan aspirasi para pemangku kepentingan yang tertampung dalam Musrenbang ini, Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan diatas diperbaiki dan kemudian menjadi Rancangan Akhir yang akan dimasukkan dalam RPJP Nasional.
Pada tahap ini telah didapatkan konsensus terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN
Rancangan Akhir RPJPN yang juga didalam telah terdapat rancangan akhir arah pembangunan Kedirgantaraan.
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
6 Rancangan Akhir RPJP yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut disampaikan ke Presiden dan bila perlu dibahas dalam Sidang Kabinet
Pada tahap ini dibangun konsensus pemerintah terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN
Rancangan Akhir berdasarkan konsensus pemerintah terhadap arah pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJPN
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
282
Universitas Indonesia
7 Rancangan Akhir RPJP Nasional Rancangan Akhir RPJP Nasional yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut selanjutnya diajukan ke DPR sebagai Rancangan Undang Undang tentang RPJP Nasional inisiatif Pemerintah.
Melakukan proses pengajuan legislasi arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN
Rancangan UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan akan dilakukan legislasi
Mekanisme pasar memerlukan biaya tertentu: menemukan harga yang relevan, negosiasi, dan menegakkan kontrak Williamson (1975,1985,1994), dan Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972).
8 Setelah melewati proses legislasi dan disetujui untuk diundangkan, RPJP Nasional yang baru yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut ditetapkan dengan Undang Undang.
Melakukan proses legislasi tahap final dan mendapatkan persetujuan DPR
UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan ditetapkan.
9 RPJP kemudian menjadi acuan dalam penyusunan RPJPMN
Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
10 Penyiapan rancangan awal RPJPMN
Melakukan penyiapan rancangan awal RPJPMN berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJPMN sebelumnya
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk RPJPMN
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
11 Penyiapan rancangan renstra yang non teknoratik
Melakukan penyiapan rancangan renstra K/L non teknortaik untuk menjadi bahan acuan awal penyusunan RPJPMN
Draft rancangan renstra K/L non teknortaik
12 Penyusunan rancangan RPJPMN berdasarkan rancangan renstra KL
Melakukan penyiapan rancangan awal RPJPMN berdasarkan renstra KL
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
283
Universitas Indonesia
RPJPMN bedasarkan pada penelaahan pada renstra KL
pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
13 Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah Nasional (teknoratik)
Fungsi koordinasi Kementerian Ristek masih sangat lemah, baik melalui Jakstranas maupun melalui instrumen Agenda Riset Nasional, keteracuan para stake holder iptek terhadap kedua dokumen tersebut masih sangat lemah, hal ini menyebabkan bargaining position sektor Iptek dalam Musrenbang menjadi tidak terinterkoneksi antar satu sektor teknis dengan sektor lainnya. Ditambah lagi, bahwa kemenristek tidak sendiri belum memiliki Road Map teknologi yang dapat dijadikan sebagai naskah akademik dalam pembangunan sekttor kedirgantaraan.
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan yang telah diperdalam melalui proses teknoratik
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
14 Penyusunan Rancangan Akhir RPJPMN
Pada tahap ini dibangun konsensus pemerintah terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJMN
Rancangan Akhir berdasarkan konsensus pemerintah terhadap arah pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJMN
15 Penetapan RPJPMN dengan Perpres
Melakukan proses pengajuan legislasi termasuk arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Perpres
RPJMN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan telah ditetapkan dalam Perpres.
Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
16 Sosialisasi Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan ke Instansi terkait
Melakukan sosialisasi terhadap seluruh stakeholder terkait UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek
Telah dilakukan sosilasi terhadap seluruh stakeholder terkait UU RPJPN yang didalamnya memuat arah
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
284
Universitas Indonesia
kedirgantaraan pembangunan iptek kedirgantaraan
diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
285
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori
No Aktifitas Model Konseptual
Real World
Refleksi Dengan Kerangka Teori dan/atau implementasi best practices
negara lain
Diskripsi Aktifitas Keluaran (output) Aktifitas
(idea atau nilai)
1 Mengadakan FGD yang melibatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait terutama antar Menristek sebagai wakil ketua DEPANRI, Kementerian Ristek dengan BAPPENAS
Terbentuk kesamaan visi dan konsensus dalam pengembangan Industri Penerbangan Nasional
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972).
2 Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Melakukan analisis kebijakan pengembangan pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Analisis kebijakan terkait upgrading teknologi industri pesawat terbang
Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan ataupeningkatan kebijakan (Bromley, 1989); Evaluasi Kebijakan (Dye, 1972).
3 Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal sebagai payung hukum dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Melakukan koordinasi untuk membentuk task force dalam pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Susunan task force dalam pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia yang melibatkan segenap lembaga pemerintah beserta statke holder lainnnya,
Level hierarki proses kebijakan pada level kebijakan (Bromley, 1989).
4 Melakukan penelahaan terhadap Melakukan penelaahan pustaka atas Hasil penelaahan pustaka atas Peran pemerintah, industri dan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
286
Universitas Indonesia
bentuk peran antar lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
best practice terkait mekanisme kerjasama antara lembaga dalam pengembangan industr pesawat terbang
best practice terkait mekanisme kerjasama antara lembaga dalam pengembangan industr pesawat terbang
stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Sinergi antara ABG dalam model triple helix (Etzkowitz, 2000). Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
5 Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait yaitu PT DI, PT RAI, LAPAN BAPPENAS, Kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian guna menyusun sinergi Nasional dalam pengembangan R-80.
Susunan Tim atau Sinergi Nasional dalam pengembangan antar sektor atau lembaga
6 Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
Menyusun naskah akademik terkait Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
Satu Naskah akademik terkait Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
Lembaga FINEP maupun dan The Special Sectariat for Science and Technology merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan teknologi dirgantara Brazil (Dahlman dan Frischtak, 1990). Bahkan di sektor perbankan, dalam rangka mendukung pembiayaan inovasi, di tahun 1960 didirikan The Brazilian Development Bank-BNDES (Kahn, De Melo, dan De Matos, 2014). Di aspek pemasaran, sejak 1991-2000, telah dikeluarkan Kebijakan ProEx (1991-2000), yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
287
Universitas Indonesia
(Pritchard, 2010). 7 Mendesain sistem pendanaan
pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Pada tahap ini telah dilakukan FGD antara Kemenristek dan stakeholder lainnya dengan Kementerian Keuangan untuk membahas sistem pendanaannya
Sistem pendanaan upgrading teknologi pesawat terbang komersial
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
8 Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan
Pada tahap ini Sistem pendanaan pesawat terbang komersial R 80 diajukan ke Kementerian Keuangan
Draft Sistem pendanaan upgrading teknologi pesawat terbang yang disetujui Kementerian Keuangan
Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
9 Mendapatkan Persetujuan DPR. Melakukan proses legislasi Sistem pendanaan pesawat terbang komersial R 80 yang disetujui DPR
Mekanisme kolaborasi kelembagaaan dalam upgrading teknologi pesawat terbang komersial telah dilegalisasi
Peran pemerintah, industri dan stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
288
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori (Level Operasional).
No Aktifitas Model Konseptual
Real World Refleksi dengan Kerangka Teori dan/atau implementasi best practices negara lain Diskripsi Aktifitas
Keluaran (output) Aktifitas (idea atau nilai)
1 Mengukuhkan visi dan
misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.
Analisis visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.
Hasil analisis analisis visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.
Perusahaan Pesawat Terbang McDonnell-Douglas Corporation yang memiliki visi militer ketika memproduksi pesawat baru versi sipil lebih tidak sensitif terhadap kemungkikan resiko kegagalan dibandingkan dengan Perusahaan Pesawat Terbang Boeing Aircraft Company yang memang memiliki visi bisnis (Gillett dan Stekler, 1995).
2 Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)
Analisis prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)
Hasil analisis prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)
Mengembangkan core business yang semula hanya aircraft designer juga ke arah system assembler (Dahlman dan Frischtak 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010
3 Memperkuat komposisi SDM secara optimal antara non technical dan SDM yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya.
PT DI bersama PT RAI dan Anggota Panitia Teknis DEPANRI mempersiapkan bahan untuk di presentasikan dihadapan Kemenristek sebagai wakil ketua DEPANRI
Hasil Penelaahan terkait roadmap pengembangan pesawat terbang
Akumulasi kemampuan engineering dan produksi menjadikan IPTNadalah sarat perlu untuk sukses dalam komersialisasi pesawat terbang komersial (McKendrick,1992 dengan judul Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry);
4 Menargetkan peningkatan delivery core business maupun plasma bisnis
Analisis dokumen pembangunan nasional yang mendukung upgrading teknologi pesawat terbang nasional.
Hasil analisis dokumen pembangunan nasional yang mendukung upgrading teknologi pesawat terbang nasional.
Selain kemampuan dalam technology transfer, juga faktor keberhasilan industri pesawat terbang adalah pada kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001)
5 Mengembangkan Strategi pemasaran/penjualan
Menyiapkan Strategi pemasaran/penjualan Jangka
Hasil analisis studi pemasaran/penjualan Jangka
1. Menemukan segmentasi pasar yaitu menganalisis jenis pesawat yang cocok (Dahlman dan Frischtak
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
289
Universitas Indonesia
Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”
Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”
Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”
1990; Vertesey dan Szirmai, 2010). 2. Strategi dual use civil military technology bersifat
symbiotic, pengembangan pesawat untuk program militer dapat mendorong inovasi teknologi canggih, sementara aplikasi untuk komersial berkontribusi pada strategi efisiensi dan reliabilitasnya (Gillett dan Stekler, 1995; William Davidson Institute, 2008)
3. Selain kemampuan dalam technology transfer, juga bagi keberhasilan industri pesawat terbang adalah dibutuhkan kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001).
4. Embraer melakukan upgrading kemampuan dalam penguasaan pesawat terbang dimulai dengan pesawat turboprop ukuran kecil yaitu EMB-120, ketika EMB diupgrade dalam pesawat jet, dibikin dua versi yaitu ERJ-145 kapasitas 50 penumpang dan ERJ-145 dengan 37 penumpang, dan strategi ini berhasil dan memberikan keuntangan untuk Embraer yang sebelumnya mengalami krisis keuangan (Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun h.10)
6 Melakukan konsorsium
inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing pendanaan, resiko investasi, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang.
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait yaitu PT DI, PT RAI, LAPAN BAPPENAS, Kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian guna menyusun sinergi Nasional dalam pengembangan R-80
Sejumlah aktivitas konsorsium inovasi yang melibatkan ABG
1. Peran pemerintah, industri dan stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005)
2. Sinergi antara ABG dalam model triple helix (Etzkowitz, 2000).
3. Bahwa dalam rangka supplier’s risk sharing investments (David Pritchard, September 2010. loc.cit. h.10), Embraer dengan bantuan pemerintah mengadakan kerjasama dengan salah satu produsen pesawat terbang (ukuran kecil) terbesar di Amerika yaitu PIPER. Dalam kerjasama tersebut disaratkan adanya transfer knowledge dari PIPER ke Embraer
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
290
Universitas Indonesia
7 Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri komponen pesawat terbang.
Memanfaatkan beragam insentif baik dari aspek regulasi, pendanaan dan fasiltas yang telah diberikan pemerintah
Hasil analisis peluang insentif baik dari aspek regulasi, pendanaan dan fasiltas yang telah diberikan pemerintah
dalam hal peningkatan kemampuan teknis,managerial,manufacturing, produksi, dan kemampuan memasok pasar domestik (Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun h.10)
4. Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
5. Bahkan menurut Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.26, bahwa: sebelum Industri Embraer didirikan sudah didahului dengan terbangunnya sumberdaya fisik, SDM dan institutional arrangement yang sangat mendukung Industri Embraer.
8 Pencapaian customer lead
time untuk produk pesawat terbang melalui perbaikan production lead time
Pihak Manejemen menentukan strategi bisnis untuk meningkatkan customer lead time
Strategi bisnis untuk meningkatkan customer lead time
Selain kemampuan dalam technology transfer, juga bagi keberhasilan industri pesawat terbang adalah dibutuhkan kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001)
9 Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Melakukan evualuasi baik terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Hasil evualuasi baik terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Proses Assesment pada level operasional/industri (Bromley, 1989)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
291
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori-RD1
No Aktifitas Model Konseptual Diskripsi Aktifitas Temuan Konsepsi Refleksi dengan Kerangka Teori
1 Memahami konsep Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki terhadap konteks permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Pada tahap ini mengkaji kesesuain konsep Upgrading GVC dengan permasalahan upgrading Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Konsep kebijakan upgrading GVC dengan tipologi hierarki belum menjelaskan secara komprehensif pendekatan kebijakan dalam upgrading teknologi terutama dalam GVC dengan tipologi hierarki
Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif yang tidak saja menganalisis pada level kebijakan tetapi juga pada dua level lainnya yaitu pada lavel organisasi dan iindustri sebagaiamana dalam konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989).
2 Menelaah konsep Upgrading teknologi-GVC terhadap perkembangan teori
Kegiatan mengevaluasi jurnal-jurnal yang terkait dengan upgrading GVC oleh Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005); Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010); Gary Gareffi, 2011; Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002; Gary Gereffi, Maret 2012; Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010; Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun).
Pendekatan upgrading dalam GVC sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong inovasi itu sendiri ( Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010)
Konsep upgrading dalam Global Value Chain baru sebatas menjelaskan adanya peran kebijakan pemerintah dalam upgrading serta mengkaitkannya dengan tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi proses upgrading (Gary Gareffi, 2011; Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002). Namun demikian Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-lain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tersebut dalam global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk keberhasilan suatu Industri dalam melakukan upgrading teknologi.
3 Menelaah hubungan antara konsep struktur GVC dan teknologi organisasi
Pada tahap ini menganilisis perbedaan antara konsep GVC terutama struktur GVC dengan konsep teknologi Industri.
Struktur dalam GVC bukan dalam lingkup koordinasi internal organisasi itu sendiri, melalinkan lebih pada koordinasi antara lead firm
Lingkungan organisasi seperti kebijakan pemerintah (sebagaimana kelompok penelitian Aston) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam upgrading dalam GVC ( Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
292
Universitas Indonesia
dengan Supplier ( Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005);)
Pada konsep GVC, kaitan antara kompleksitas teknologi dengan struktur GVC hanya membedakan antara tipologi Market dengan selainnya. karena secara lebih rinci, pembeda tipologi GVC selanjutnya selain kompleksitas teknologi juga adalah kemampuan lead firm dan supplier utama.
Menurut Woodward, bahwa semakin kompleks suatu teknologi maka untuk keberhasilan pemasarannya lebih dibutuhkan struktur organisasi yang bersifat mekanistik (top down) (Mary Joe Hart,1997 Organization Theory: Modern, Symbiotic, and Postmodern Perspective, h.144-147)
Adapun menurut kelompok peneliti Aston menyimpulkan bahwa yang mempengaruhi struktur organisasi adalah tidak hanya kompleksitas teknologi tetapi juga ukuran organisasi dan lingkungan organisasi (Mary Joe Hart,1997, op.cit.h.144)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
293
Universitas Indonesia
4 Menelah konsep tiga level hiearki proses Kebijakan terhadap konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Pada tahap ini menganalisis kerangka tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendukung upgrading teknologi indusitri pesawat terbang
Berdasarkan sejumlah studi yang ada bahwa upgrading teknologi industri pesawat terbang dapat berhasil melalui konsistensi antara tigal level hierarki proses kebijakan tersebut (Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun); Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010) dll
Sebuah kebijakan yang sifatnya sebagai payung hukum, maka kebijakan tersebut seyogyanya harus memberikan pedoman kepada pihak-pihak terkait untuk mengejawantahkan kebijakan turunan dan program-programnya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi manajemen yang melekat pada organisasi (Bromley, 1989)
5 Menelaah secara mendalam hubungan antara konsep Upgrading GVC dengan Konsep tiga level hiearki proses Kebijakan
Pada tahap ini melakukan penelaahan secara mendalam hubungan antara konsep upgrading GCV dengan Konsep tigal level hierarki proses kebijakan.
Hubungan antara kedua tersebut adalah selain pada tataran kebijakan secara umum, adalah sebagaimana telah dijelaskan pada langkah 1 dan 4 adalah pada level operasional Bromley (1989). Karena kegiatan upgrading itu sendiri adalah terjadi pada level industri atau operasional.
Sebagaimana ditemukan dalam sejumlha studi terkait upgrading industri pesawat terbang, bahwa dukungan pada level kebijakan dan level organisasi akan menentukan keberhasilan pada level operasional itu sendiri (Bromley, 1989; Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun); Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010) dll
6 Konstruksi kebijakan Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan konteks Industri Pesawat Terbang
Kegiatan ini menkonstruksikan ulang kebijakan Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan dengan hasil refleksi teoritik yang dilakukan di kegiatan 1 sampai 5.
Sejumlah studi upgrading teknologi industri pesawat terbang masih menganalisis secara parsial antara tiga level hierarki proses kebijakan dalam konteks industri pesawat terbang
7 Studi lapangan dengan melihat implementasi tiga level hiearki proses kebijakan serta hubungan antar ketiganya dalam
Kegiatan ini merupakan proses konfirmasi atas pengayaan konsep Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level
Secara konstruksi dalam memahami permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia maka pengayaan konsep
Temuan akan konsepsi Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses telah sesuai dengan beberapa studi Vertesy dan Szirmai (2010); Brown dan Tiemann (tanpa tahun); Steenhuis dan Bruijn (2001: tanpa
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
294
Universitas Indonesia
konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang
hiearki proses Kebijakan dalam konteks memahamai upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan lebih bisa memperjelas konstruksi permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
tahun); Stewart (2007) dll dalam konteks upgrading industri pesawat terbang. Walaupun analisis penelitian-penelitian tersebut masih bersifat parsial antar tiga level hierarki proses kebijakan itu sendiri.
Temuan pada kegiatan ini, diarahkan pada perbaikan pada kontstruksi itu sendiri yang didasarkan pada hasil studi lapangan dalam implentasi tiga level hiearki proses kebijakan dalam konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
293
Lampiran 6 Notulensi FGD I PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80 Hari / Tanggal Senin/ 23 Juni 2014 Waktu 13.00 WIB-selesai
Tempat Gd BPPT II, lantai 21 No.
Jumlah Hadir orang
Pokok Presentasi Program R 80 PT RAI
Lampiran -
Undangan 1. Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2. Deputi Bidang Penelitian Dasar dan
Terapan-BATAN 3. Kabid Pusat TIK-BPPT 4. Semua Asdep di lingkungan Dep IV 5. Empat Kabid di ADPRIS 6. Direktur teknologi- PT RAI 7. Rahayu S Arifin-Corporate Secretary-PT
RAI 8. Tjahjo Kartiko- Cief Certification-PT RAI 9. dll
ITEM POKOK-POKOK HASIL
Pembukaan
Acara dibuka oleh Deputi Relevansi dan Produktivitas IPTEK 1. Pemaparan Progress R-80 2. Identifikasi permasalahan 3. Persiapan pembentukan taskforce
Rahayu Tujuan PT RAI adalah mengembangkan kemitraan dalam membangun kemandirian teknologi kedirgantaraan nasional
Sudarmono 1. Pasar yang sudah komit adalah Nam Air anak perusahaan Sriwijaya Air 2. PT RAI tetap membutuhkan endorsement dari pemerintah untuk R-80 3. Sudah dilakukan studi pemasaran:
Pesaing terkuat adalah ATR72-600 (Italia-Perancis) dan Bombardier Dash8-Q400 (Kanada). Namun R-80 akan lebih cepat/efisien dan lebih banyak penumpang dibanding ATR72-600
4. Tujuan R-80 tidak semata untuk membangun konektivitas dan revitalisasi industri dirgantara nasional termasuk revitalisasi lembaga terkait (seperti LAGG, B2TKS, LAPAN dll) tetapi juga harga diri bangsa
5. Teknolgi yang baru dalam R-80: Engine 4600sh (#2); modern cockpit; high payloads; lowdoc; fly by wire for high quality handling and safety adapun FBW N 250 hanya electric sederhana; rencana menggunakan komposit (Karbon, campuran kevlar) di bagian sayap dan di ekor; akan berusaha mengurangi uji terowongan angin dengan CFD Analyisis (di LAPAN alat ini tersedia).
6. Bantuan yang dibutuhkan dari lemlit pemerintahan adalah pada aspek: Flight deck arrangement dan Flight control
Deputi-BATAN 1. Di BATAN ada pengujian Non Destruction Test (Uji Tak Rusak) 2. Newton Thomography (uji melihat benda didalam suatu material tanpa
merusak)
LIPI 1. Di Pusat Metalurgi LIPI tersedia kemampuan: 2. Pengembangan material (Alumunium Komposit/Al2Ti) 3. Pengecekan kerusakan material (untuk menguji apakah terjadi kesalahan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
294
ITEM POKOK-POKOK HASIL susunan material??)
4. Di Cibinong Science Centre terdapat pusat penelitian biomaterial (kalau kebakar tidak berasap).
Pak Tjahyo-PT RAI 1. Yang sulit tentang material adalah dalam menganalisis material properties 2. Material sangat strategis karena terkait keamanan nasional
B2TKS-P Amir Hamzah, Pak Cahyo
1. SDM sudah mulai banyak yang pensiun tapi masih bisa diberdayakan. 2. Fasilitas Upgrading Powerbank dan control baru ada 40 channel, PT RAI butuh
80 Channel (investasi dana tambahan sekita 300 milyar) 3. Masih ada tiga ahli ukur (1 pensiun tapi bisa diberdayakan) 4. Butuh hanggar baru, karena kemungkinan akan dipakai bersamaan untuk
pengujian N 219 (tahun 2016)
Pak Sardjono-PTIK BPPT
1. Belum ada lab electronics bahkan sejak zaman Habibie sekalipun. Dan tahun ini akan dibangun pengujian peralatan avionics yang diupgrade. Juga akan dibangun fasilitas pengujian peralatan eletronik
2. Akan dibangun fasilitas EMC Chamber untuk uji emisi dan uji immunity (untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan elektronik).
3. Tertundanya pembangunan tersebut karena sempat ada pesimistis akan dukungan nasional dalam pengembangan teknologi kedirgantaraan.
Sudarmono 1. Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan (pesawat) akan bisa dialihkan ke weapon system (dual use civil military technology).
2. IFX, hasil kerjasama dengan Korea Selatan akan terbang rencananya mulai tahun 2025
LAPAN-Pak Gunawan wakil dari Deputi (Bu Rika)
1. N 219 sempat tunda CPM 2. N 219 jadi pemicu proyek kedirgantaraan (pesawat terbang) 3. Fasilitas Engine Simulator sudah ada di LAPAN dan Fasilitas Gound Test akan
dibangun di LAPAN 4. Di lapangan rumpin terdapat 1800 meter untuk flying test centre 5. Kepala LAPAN mengatakan ketika ada pemotongan anggaran” Amankan
budget N 219”
Pak Tjahyo-PT RAI 1. Butuh 2500 untuk flying test 2. Sudah ada tempatnya namun masih optional: Blitung, Tanjung Pandang,
Selaparang (Lombok). 3. PT RAI minta walaupun uji terbang tidak dilakukan di rumpin, tetapi LAPAN
bisa tetap terlibat dalam pengujian tersebut.
Pak Bambang Sutedja
1. Tentang TKDN R-80?
Sudarmono 1. (Masih banyak dari luar negeri), oleh karena itulah strategi yang akan dilakukan adalah dengan membangun kemitraan dengan indsutri nasional penggunaan pada non core pada pesawat seperti: Karet untuk interior pesawat, Kabel dll
2. Bahkan untuk Interior, dalam proyek CN 235, pernah menggunakan hasil industri karet surabayam tapi kualitasnya masih rendah, (maka disini perlu terus pembinaan).
3. PT telah mulai membangun National Supplay Chain, (Insert: Menurut Bu Rika, DEPERIN telah beberapa kali melakukan pelaitihan IKM dalam negeri terkait komponen untuk pesawat)
4. Pak Darman menanyakan status MoU antara PT RAI dengan LAPAN ke LAPAN?
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
295
ITEM POKOK-POKOK HASIL
Pak Sadjuga 1. Ternyata srtategi bermula diakhir dan berakhir diawal ternyata masih relvan hingga saat ini terutama untuk negara berkembang
2. Harus bisa meyakinkan Presiden tentang pentingnya teknologi kedirgantaraan (tidak hanya mengandalkan substitusi impor, karena ada CAFTA dll)
3. Sejauh mana PT RAI melakukan gerilia untuk mendapatkan dukungan politik/nasional dalam pengembangan R-80?
Rahayu 1. PT RAI sudah melakukan pemaparan di hadapan Pak Prabowo, Pak Hatta Rajasa, Pak Jokowi, Pak Jusuf Kala, Aburizal Bakri, Otoritas Jasa Keuangan. Semuanya mendukungan R-80. Bahkan Pak Hatta dan Pak Aburizalbakri menyarankan supaya program R-80 diangkat menjadi program nasional melalui pidato presiden tanggal 16 Agustus 2014.
2. Status surat dari Pak Habibie ke SBY terkait diatas sudah sampai di Seskab
Sudarmono PT RAI butuh investasi dana pemerintah sekitar $US 300 miliar
Rahayu 1. Perlu dibentuk Taskforce 2. Butuh alokasi anggaran lewat masing-masing bidang
Pak Dading 1. Ada mekanisme insentif INSINas untuk core technology pesawat terbang (yang sudah dilakukan adalah untuk uji flutter)
Athar Strategi mendapatkan dukungan pendanaan nasional: 1. Menyontoh KKIP 2. Menyontoh proses N 219 3. Atau lewat mekanism Afirmasi Nasional LPDP-Kementerian Keuangan
Pak Deputi Perlu segera dibentuk taskforce yang melibatkan semua stakeholders: 1. LAPAN: Pak Gunawan 2. B2TKS: Amir Hamzah 3. LIPI: Pak Andika 4. PTIK: Sardjono 5. BATAN
Catatan (athar’s perspective)
1. Taskforce segera dibentuk 2. Setelah itu, perlu segera mempelajari proses N 219 dalam mendapatkan
dukungan nasional, karena alurnya sangat jelas dan sudah terbukti. Karena dukungan pendanaan akan turun dengan sendirinya setelah R-80 terangkat sebagai program nasional.
3. Atau mencoba mekanisme lewat LPDP (melalui program afirmasi nasional, sebagaiman telah digunakan untuk program Molina).
4. Dalam jangka panjang kedepan, menurut saya, sudah saatnya isu kemandirian teknologi kedirgantaraan dan kemaritmin seyogyanya harus distated dengan tegas dalam arah pembangunan jangka panjang, tentunya ketegasan Jakstranas dan ARN dapat kemudian dijadikan naskah akademik yang dapat digunakan dalam proses teknoratik penyusunan RPJP kedepan. Karena kalau hanya RPJPM, sangat sulit menjamin konsistensi keperpihakan politik hanya lima tahunan, sedangkan proses pembangunan teknologi kedirgantaraan tentunya dibutuhkan frame waktu yang panjang (dalam hal ini sejumlah negara bisa dijadikan sebagai benchmarking, keberhasilan Brazil, China dan kegagalan Rumania, Argentina, dan N250 Indonesia, dimana determinant factor utamanya adalah pada komitmen jangka panjang pemerintahnya).
Agenda Berikutnya : Pembahasan taskforce Dipersiapkan : M. Athar
Disetujui : -
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
296
Lampiran VII
NOTULENSI RAPAT
PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80
Dasar Kegiatan :
Hari, tanggal : Senin, 15 September 2014
Pukul : 10.00 – 13.00 WIB
Tempat : Ruang Rapat 2316 Gedung II BPPT
Agenda : Progress Program Pengembangan R80
Pimpinan Rapat : Asdep Iptek Industri Strategis
Peserta:
1. Agung B. Ismadi PT. RAI
2. Rahayu S. Arifin PT. RAI
3. Budi Wibowo PT. RAI
4. Tjahjo Kartiko PT. RAI
5. Dewi Suryandari PT. RAI
6. M. Athar Deputi 4
7. Ismet Y. Putra ADIIS
8. Antari W. Mawarti ADIIS
9. Novi M. Rahayu ADIIS
10. Cornelia Tantri ADIIS
11. Wahyu Purnomosidi ADIIS
12. Erlani Pusparini ADIIS
Pembahasan: Rahayu S. Arifin:
• Sebelumnya sudah ada pertemuan dengan pak Agus Puji, BPPT, Perhubungan, ITB, BATAN dan LIPI
• Why aircraft industry?
◦ Karena Indonesia sebagai negara kepulauan sehigga transportasi laut dan udara harus
menjadi fokus. laut
untuk angkutan barang, udara angkutan manusia.
◦ aircraft as the highest technology, jika bisa dikuasai, teknologi turunannya bisa
dikuasai, termasuk MRO
(maintenance repair and overhaul) yang saat ini masih dilakukan di Singapura
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
297
• Why Regioprop not Jet? Regioprop kecepatan lbh rendah dari jet, dengan konsumsi bahan bakar
lebih irit. Direct
Operating Cost pesawat paling tinggi adalah bahan bakar.
• Growth kebutuhan transportasi di Indonesia paling besar mencapai 19.6% dalam 10 tahun
terakhir. tetapi jumlah
transaksi masih 70juta.
• R80 diinisiasi oleh private company, dibutuhkan dukungan dari pemerintah. Lingkup pekerjaan
meliputi
pembuatan single part sampe assembly, rencana bekerja sama dengan PT. DI (business to business)
1 / 4
• Saat ini sudah dilaksanakan kerja sama dengan beberapa instansi penelitian: ITB untuk
pengembangan sumber
daya manusia (sudah ada 11 freshgraduate yang bergabung dalam Program R80), dengan BPPT untuk
pengujian
wind tunnel (sudah dicoba pada bulan mei), LAPAN berupa software simulasi, DKUPPU direktorat
kelayakan
udara (dirjen kelayakan udara) --> sertifikasi.
• Internasional funding juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pendanaan program R80.
• Start in 2012 s/d 1/2013 -->fase 0 studi dengan PT.DI
• phase 1 --> market feasibility --> sriwijaya, trigana dan kalstar --> 145 unit mulai 2019
◦ Business and Financial Feasibility --> dibantu oleh frost&sullivan (?) intl consultan
◦ bankable business --> mandiri sekuritas untuk penggalangan dana dalam negeri
• Fase 2 fulll scale development --> all detail sd sertifikasi smp dg 2019, diharapkan
pembangunan prototipe seri
pada 2017
• saat ini masih memasuki tahap pleminary study
• 80 passenger can up to 96 passanger dengan raius terbang, pesaing yang ada saat ini ATR72,
tetapi R80 memiliki
keunggulan penumpang yang lebih banyak
• kebutuhan dana USD 1M: USD700jt digalang swasta dan dukungan pemerintah berupa USD 300 juta
dalam
bentuk investasi kepada institusi kedirgantaraan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
298
• kapasitas produksi 36/th di PT.DI (expected)
• Dukungan pemerintah:
◦ Dalam pertemuan dengan Menristek, Bp. Gusti Muhammad Hatta siap untuk mengendorse program
R80
sebagai program nasional
◦ dukungan tax dan insentif dan dukungan perbankan dengan kemenkeu dan OJK
◦ OJK memberikan dukungan berupa ijin leasing kepada institusi/perusahaan yang bergerak
dalam leasing
pesawat terbang
• Impact yang diharapkan: akan ada MRO, revitalisasi PT. DI
Agung B. Ismadi:
• PT. RAI membutuhkan dukungan untuk sertifikasi
• LAPAN sudah ditetapkan sebagai lembaga antariksa dan penerbangan
• LAGG sudah melakukan 200 polar di wind tunnel
• sudah dilakukan komunikasi dengan LAPAN
Tjahjo Kartiko:
• Ada 13 program pembangunan/peningkatan fasilitas yang diusulkan.
• Program peningkatan fasilitas uji struktur --> uji statik dan fatique
• peningkatan fasilitas uji terowongan angin dan tenaga ahli
• pembangunan lab pengendalian terbang (iron bird). Untuk N250 dibuat di PT.DI tetapi spesifik
untuk 1 jenis
2 / 4
pesawat
• pembangunan lab simulai terbang (spesfik untuk satu tipe pesawat)
• pembangunan lab uji electro-magnetik, PT. DI punya tetapi skala kecil (komponen)
• pembangunan fasilitas uji tabrak burung. PT. DI punya tetapi tidak jalan karena tidak
dimaintain
• peningkatan fasilitas uji terbang --> akan dilaksanakan oleh LAPAN, sebelumnya PT. DI
• peningkatan fasilitas uji komposit --> skala kecil udah ada di ITB,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
299
• peningkatan fasilitas uji komponen struktur --> beberapa komponen harus dilakukan uji pada
level komponen
• pembangunan lab uji sirkulasi udara di dalam kabin pesawat
• uji kelistrikan pesawat terbang
• uji bahan bakar pesawat terbang
• lembaga peneitian yang sudah bekerjasama
◦ BPPT --> uji struktur, B2TKS, LAGG (tunnel wind), PTIk pengendalian terbang, PTIK lab
simulasi terbang,
PTI lab uji electro-magnetic
◦ LAPAN --> peningk fasilitas uji terbang, kalo dilakukan di rumpin panjang landasan 1200m
untuk R80 perlu
sekitar 2400 m --> apakah rumpin memungkinkan? rencana habibie pake bandara baru di
majalengka
◦ ITB --> lab uji komponen dan uji komposit di FTMD
• yang belum ada: fas uji tabrak burung, sirkulasi udara, uji kelistrikan pesawat, lab
avionik, lab uji bahan bakar
pesawat
• kebutuan ini bisa direspon sampai sejauh mana?
• berapa lama waktu yang dibutuhkan, SDM
• LAPAN akan membangun fasilitas drop test, uji komposit, engineeering flight simulation
(untuk program N219)
mulai 2013
M. Athar:
• B2TKS --> gap SDM karena hanya tinggal 1 pakar yang belum pensiun
• dalam program LAPAN --> pengembangan N219
• Pak thomas akan mengusulkan N270 menjadi R80
• dalam RPJMN dirgantara masih lemah, semoga di draft 3 uda masuk program mengenai
kedirgantaraan
• Pembangunan infrastruktur kedirgantaraan untuk mendukung program pemerintah
• pertemuan dengan PT.DI --> yang perlu ditindaklanjuti terkait dengan pendanaan dan komitmen
pasar
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
300
Agung B. Ismadi:
• PT. RAI dalam proses mengeluarkan kurang ebih 5 juta lembar saham untuk investor dalam
negeri, dimulai dari
Jawa Barat karena jabar yang akan paling mendapatkan imbas dari program ini
• next target: kabupaten yang membutuhkan transportasi antar daerah tp tidak dapat koneksi
darat
3 / 4
Tjahjo Kartiko:
• seleksi engine, uda ada 3 perusahaan yang menawarkan engine.
• drop test kenapa tidak ada karena roda dibeli dari vendor yang uda include fasilitas drop
test roda pendarat. kalo
N219 tidak ada karena roda pendarat rencana dikembangkan dalam negeri.
Asdep Iptek Industri Strategis:
• Progress akan dilaporkan ke Menristek melalui Rapim lengkap
• next meeting → minggu depan sekitar selasa atau rabu.
4 / 4
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
301
Lampiran 8. NOTULEN DISKUSI LANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN IPTEK BIDANG KEDIRGANTARAAN
Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00 Di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT
DasarPelaksanaan :Undangan No. 41/AD.IIS/D-PI/2014 Agenda :Paparandandiskusi:
1. Program dantimelinepengembangan R80 2. Kapasitas SDM danInfrastrukturLembagaLitbanguntukMendukung Program Pemerintah
di BidangKedirgantaraan PemimpinRapat :DeputiPendayagunaanIptek Peserta :
1. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI 2. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 denganLembaga 3. Pak Doni – Program Manager 4. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification 5. Tjahja P – B2TKS BPPT 6. Gatot M. Pribadi – PT. DI 7. Hisar M. Pasaribu – FTMD ITB 8. Taufiq M. – FTMD ITB 9. W. Wira Y – PTIK BPPT 10. Widrianto – PTIK BPPT 11. A. Witjaksono – PTIK BPPT 12. YantoDaryanto – LAGG BPPT 13. Bambang S. – Ristek 14. Lenggogeni – Ristek 15. Antari W. M – Ristek 16. ArifRahman – Ristek 17. IsmetYus P. – Ristek 18. M. Athar – Ristek 19. Isabel Sibarani – Ristek 20. Erlani Pusparini – Ristek
Opening dari Pak Pariatmono Bu Lenggo:
1. Pertemuanketiga 2. Sinergi N219 dengan R80 3. Agenda hariini
Pak Agung PT. RAI
1. Sudahadabeberapa kali pertemuan, termasukkunjunganke BPPT di Serpong 2. Perkenalanmasing-masingpersonil PT. RAI
Pak Doni PT. RAI
1. Roll out P#1 = Jan – Feb 2018 2. First flight P32 = end of 2018 3. Wing static test sesuaijadwal test sub article dikontrakkanke PT.DI 4. WST harusdilakukansebelum first flight (test sub article akandikirimkanke BPPT) 5. Fatique test dilaksanakanMaret 2018 s.dakhir 2021 6. PengujianTerowonganAngin di LAGG-BPPT Configurasi 04 (configurasiakhir) 7. Power on ke-2 Feb – Maret 2016
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
302
8. MendapatkanfasilitasdariJawa Barat untukFirst flight location keKertajati – Majalengka yang akansiappadatahun 2017. Saatini 2500 m runway sudahsiap, xxxx m tanahsudahdibebaskan
9. Flight test #1 test fisik, test #2 test system. Untuk test avionics dll only for prototype 1
10. Coupon Test (Metalic material) dan Composite Test (karenaakanmenggunakan composite untukbeberapaseriselanjutnya) FTMD ITB
11. Beberapa test yang belumada: a. Bird Impact Test (previously in PTDI) dl adattpsekarangudagaberfungsi b. Air Flow Balance c. Electrical Test d. Avionics Test e. Fuel System Test (sebelumnya di PT.DI)
12. Ditching Test kemampuan ngambang di air (N250 pakai model, bukansesungguhnya) BPPT – LHI Surabaya now BPPH Surabaya. Dulu di Inggris
13. Far Field Noise Test – LIPI? Dulu di AbdurahmanSaleh – Malang Pak Pariatmono:
1. Dana? Pak Cahyo – B2TKS:
1. Ada 3 antrian = N219, R80 danKFX 2. Schedule N219 Agustus 2017 (akanmasuk September thdepan full scale)
karenarencanamaret 2018 udamaumasuk (terlalu mepet0. Set up article barumemerlukan 8 bulanpersiapan
3. Fasilitas test artikel40 akuatoruntuk N219. Untuk R80 diperlukan 50 akuatorperlupengadaanbarusebanyak 10 akuator (need time to prepare) sehinggadiperlukankesempatanuntukdiskusi
Pak Yanto – LAGG:
1. CFG-03 power off sudahdilakukan di LAGG 2. Menunggupengujian yang power on 3. Kalo power off sudahcukupfasilitas 4. Kalountuk power on perlupeningkatan 5. BPPT saatinitidakadaanggaranuntuktransportasiudara, sehinggaagaksusah. 6. Pak Gatotperlukahpengadaan power on? 7. DiharapkanadadorongandariRistekuntukpengadaanperalatan
PTIK:
1. Pak Hamamtidakdapathadirkrn di Jepang 2. Pak Wiradan Pak Wicakdan Pak Widrianto 3. Flight simulation test dan EMC di tahundepantidakmasukkeRenstra, sehingga 4. Ada fasilitas yang bisadigunakan EMC yang chambernyabaruselesai 10x10
(masihdipersiapkan) 5. Untuk flight simulation test perludipelajaridetailnya, dankebutuhannyakarenaterkait
SDM perludipersiapkan. Perluperbaikanperangkatdanpersiapan SDM sehinggaperludorongandariRistek.
6. Excecutor PTIK tetapiLokasi di B2TKS terkaitbesarruangandan part tidak Pak Gatot- PT.DI:
1. Issue SDM karenaada Program N219
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
303
2. Recruitment target 30 orang/ tahuns.dthdepan (thini 102 orang untukteknisidan engineer)
3. Data SDM yang keluardari PT. DI (data tidaklengkap), sehinggapemenuhan SDM melalui recruitment baru
4. Program N219 menjadisalahsatu program batuloncatan/transisiuntukpeningkatankualitas SDM untukmenuju program R80 yang lebihrumit
5. Issue peningkatanfasilitaskarenaanggaran yang terbatas, diharapkanada PMN terkait program pengembangan. Beberapafasilitassudahdisiapkanmelaluipendanaan PMN.
6. Beberapafasilitas TBD dapatdipenuhioleh PT.DI 7. Kesiapan PT. DI untukmelakukan flight test. 8. 2014 sudahmasukrencanauntukmeng-upgrade Flight simulation test 9. Flight test pilot sudahbanyakdiluar, flight test engineer sebentarlagi pension,
sehinggamasihadawaktuuntuk Pak TaufikKa Prodi AeonautikadanAustronotika FTMD ITB
1. SDM outpur 75 S1, 15 – 20 S2 2. Sebagianlulusanada di PT. DI dan PT. RAI 3. UntukFasilitasmasih sharing 4. Perlugambarankapasitas yang diperlukan 5. Nurtanio, STTA Adisucipto, Surya Darma (AD), Polban (D3 teknikpenerbangan).
Untuk S1-S3 hanya di ITB Bu Rahayu:
1. Infrastrukturfabrikasi sub assembly dan final assembly? 2. Pak Gatotfasilitas assembly untuk fixed wing 12/th, heli 20/th. 212,235, 295.
Untukmendukung R80 belumdiketahuiapakahada excess capacity. Untukkapasitasproduksibelumtahu
Bp. BambangSutedja:
1. N219 ada di Pak Dading 2. Pak Agussudahmengirimisuratkepihakterkait (lembagatermasuk ITB) 3. Namunbelumadatanggapandari LPNK 4. Integrasidengan N219 terkaitfasilitasuji. Missal B2TKS
sudahmemperolehdanadariBappenas, kemudianapafasilitas yang belumdimilikiuntukmendukung R80
5. Bapenasbelummemprioritaskanuntuk R80 6. Depanriapakahkebijakanterkait R80 bisadiusungsebagai program
nasionalolehDepanri? DrDepanribelumsiap. 7. Perluditindaklanjutiuntukmengusung program kedirgantaraanNasional
M. Athar:
1. Sudahada 3 pengujianakan invest melalui LAPAN untuk drop test, engine flight simulation, uji composite
Pak Gatot: 1. Engine flight simulation dieksekusioleh PT.DI 2. Memilikikemampuanuntukmembuat engine f.sdan full f.s
Pak Agung PT.RAI:
1. Mengenaiketerlibatanpihak lain, ex Garuda. Response dari Garuda sangatpositif. Garuda membeli ATR sebanyak 25 unit.Diharapkan R80 dapatmereplace ATR
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
304
Tetapibelumadapendekatanuntukpembiayaanuntukpengembangan R80. Sudahmengundang 7 airlines dan 2 MRO untukterlibatdalam proses design. 3 airlines sudahberminatmembeli 145 unit. Pembicaraanmengenaipendanaanbelumada. Tambahandari Pak Par pemanfaatanfasilitas GMF. GMF dan Indo pelitasudahmenanyakanperawatan yang dapatdilakukandifasilitasmereka
2. SDM yang di luarnegeridandalamnegerisudahmulaidiinventarisasitetapibelumlengkap. Sudahbertemudengan Diaspora (orang yang pernahdansedangbelajar) dan IABI (Ikatan alumni Program Habibie).
3. USD300jt sebagaipancinganuntukgov. 700jt untukpengembangan R80 sendiridiupayakandariswasta. 300 jutahitungankasaruntukmengembangkaninfrastruktur yang sudahadaatautambahan.
4. Memerlukankejelasanuntukovercome permasalahan yang ada, missal: tidakadanyakegiatandalamrenstra.
Perlu bilateral discussion untukmembicarakan detail kebutuhan.USD300jt merupakanestimasidariproyeksikebutuhan N250. Pak Tjahyo
1. jadwalditetapkandengan target 2020 sertifikasikeluar. Pak Bambang:
1. untuk LPNK mengadakanfasilitas, perluadaMoUantarapemerintahdenganswastabahwa PT. RAI akanmenggunakanfasilitas yang ada
Pak Par: Next step:
1. Bilateral discussion untukmenentukanberapakebutuhandengan executor Pak Agung:
1. Hardware, Software, SDM, Anggaran existing dankeperluanuntukpeningkatan Agenda Pertemuan:
1. dengan B2TKS minggudepanKamis, 9 Oktoberpagi di PT. RAI, GedungMMC (Siemens) Bandung Test requirement dan test article belumpernahdiperlukanelaborasi
2. LAGG Kamis, 9 Oktober di PT. RAI, Gedung MMC (Siemens) Bandung Pengalaman power on untuk N219 tidakadamasalah.Sehinggaperludilakukananalisauntuktambahankebutuhanpengujian R80.UntukPengujian tunnel test PIC Pak Made.Usiaalatsudah 30th. Seninadapembicaraandengan PT.DI tentangfasilitas EMX
3. PTIK kamis (9/10) akaninformasikanjadwal (kemungkinan 2 minggulagi) Perlu detailed requirement untukdipelajari Fasilitas yang paling siap EMC Untukalokasi SDM perlucampurtanganpemerintahuntukpenugasankhusus, karena lab baru Untuk
4. PT.DI laporan yang sudahdiberikanke Pak Made Wirata (PT.RAI) : update fasilitas flight test dan ground test facility (30% kondisi)
5. ITB Senin, 13 Oktober 2014 di ITB
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
305
6. PertemuanRistekdengan LAPAN, Depanri, MenkoPerekonomiandanBapenasmintauntukaudiensi
7. Diperlukan Roadmap IptekDirgantara 8. Pertemuanselanjutnya: Rabu, 15 Oktober 2014
Athar:
1. Draft RPJMN belumadaDirgantara, sehinggasebelumkabinetbaruharussegeradiusulkanmelaluitimtransisi. KarenafokussaatiniMaritim (dirgantarabisamasukdalam paying ini)
2. Program nasional upgrade fasilitas sector dirgantra (tidakfokuspada R80) Bu Rahayu:
1. Pendekatanmelalui Pak Habibieuntukpendekatan top down Pak Yanto–LAGG:
1. Perbaikanfasilitas LPNK melaluiRistekuntukmendukung program Dirgantara Pak Par:
1. Pengadaan based on requirement sehinggabermanfaat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
293
Lampiran 9. Analisis Data Hasil Wawancara Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di
GVC No Narasumber Hasil Wawancara yang telah direduksi Aspek
Langsung Dilakukan oleh Peneliti 1 Presiden RI III Periode 1998-1999, Prof. Dr
Ing BJ Habibie, tanggal 14 Juli 2014 Presidein Sukarno pernah mengatakan: Tidak mungkin mampu membangun negara ini tanpa menguasai industri dirgantara. (oleh karena itu) program upgrading N 250 ini yaitu R-80 diharapkan dapat dijadikan program nasional dan dicantumkan dalam pidato presiden baik, dalam Hari Teknologi Nasional ke 19 dan di tanggal 16 Agustus 2014.
Dukungan Upgrading pada level Kebijakan
Program R-80 nantinya selain membawa misi bisnis juga membawa misi untuk menghidupkan kembali wahana-wahana kedirgantaraan nasional, karena kalau wahana tersebut tidak diberdayakan, dalam lima tahun kedepan, ahli-ahli dirgantara akan habis”
Dukungan upgrading pada level organisasi
Segmentasi untuk N 250 adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, kalaupun untuk ekspor itu adalah hanya bonus
Strategi upgrading pada level operasional
Sejumlah pihak yang mengkritik bahwa terlalu cepatnya peralihan dari program CN 235 ke N 250, itu tidak mengerti,..karena yang benar itu adalah satu tahapan. Karena tahapan tersebut harus melalui sejumlah pemenuhan sarat atau sertifikasi FAA
Strategi upgrading pada level operasional
Memang hampir seluruh komponen pesawat adalah impor, tapi untuk sementara waktu itu ndak masalah, asalkan kita dapat merebut jam kerjanya.
Dulu (masa) oil boom, kita sebagai eksporter minyak dan gas sekitar 1,8 juta barrel per day, tapi sekarang kita sebagai negara pengimpor minyak.
2 Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2011-Sekarang, Prof. Dr Gusti Muhammad Hatta, yang didisposisikan ke Staf Ahli Kemenristek Bidang Hankam, Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Dr Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014.
Peran pemerintah dalam mendukung upgrading N 250 (R-80) adalah dapat berupa subsidi dalam bentuk pendidikan (SDM), kesehatan, riset, pembangunan infrastruktur, pajak (seperti 100 seri pesawat I bebas pajak), kemudahan supaya industri-industri komponen tumbuh, kemudahan supaya bahan-bahan baku dapat diupgrade, atau penghapusan ekspor gas supaya dapat digunakan untuk proses peningkatan nilai tambah bahan baku
Upgrading teknologi pada dua level kebijakan dan sektor
Adapun N 219 sejatinya kalau memang murni market driven tidak ada pengembangan teknologi, kenapa mereka (PT DI) masih meminta bantuan pemerintah untuk pengembangan prototipenya dst??? Justru model PT RAI dengan R-80 yang didalamnya ada unsur pengembangan teknologi yang hanya meminta dukungan infrastrukur jauh lebih sesuai dengan fungsi pemerintah.
Terkait strategi kemandirian ekonomi industri pesawat terbang khususnya untuk PT DI, adalah melalui revitalisasi bisnis, yang tidak hanya bermain pada core business (pesawat terbang) tetapi juga pada plasma bisnis, namun
Upgrading teknologi pada level operasional.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
294
masih terkait langsung dengan core business. Manajemen IPTN sangat lemah dan sangat bergantung pada Habibie/Pemerintah
Terkait pemindahan kegiatan integrasi teknologi LAPAN ke PT DI pada era Menristek Habibie, Pak Teguh mengatakan bahwa: Kegiatan integrasi teknologi (pesawat terbang) adalah setogyaynya memaang adanya di Industri, adapun lembaga litbang seharusnya corenya adalah ranah penelitian dan pengembangan.
Upgrading teknologi pada level organisasi.
Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23
Setelah era reformasi aktivitas DEPANRI hampir tidak ada kecuali untuk N 219 dalam rangka mendorong transfer knolwledge SDM dirgantara tua ke muda”. Hal ini menunjukkan tidak adanya visi pemerintah.
4 Menristek dan Ketua KIN, Prof Zuhal Terkait sektor kelautan yang sekarang (kabinet Jokowi-JK) dorong seharusnya adalah dalam konteks Maritim Continental (Benua Kemaritiman), sehingga lingkup kemaritimin tersebut bukan hanya pada sumberdaya (biota laut: ikan, udang dan rumput laut; sumber daya energi dan mineral) juga pada aspek transportasi seperti kapal-kapal laut termasuk sarana-sarana angkutan udara/pesawat yang spesifikasinya tentunya disesuakan dengan kondisi kepulauan Indonesia seperti: dapat landing/take off pada landasan yang pendek dst.
3 Kepala BPPT Dr Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014
Iya, kami sangat mendukung (Program Upgrading N 250) Program R-80, namun kami butuh revitalisasi beberapa lab uji, karena sebagain besar merupakan peninggalan era 1970an.
Dukungan Upgrading pada level sektoral
4 Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, Bapak Dr.Ir. Agus Puji Peasetyo, M. Eng pada tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek ,
“Bahwa pada tataran makro, konsistensi kebijakan dalam mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan masih sangat lemah, dan sudah saatnya Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada kemandirian teknologi kedirgantaraan tersebut selain teknologi kemaritiman, dua teknologi tersebut (N 219 dan R-80) yang seyogyanya harus didukung oleh seluruh kebijakan sektoral, karena tidak semua jenis teknologi dapat dilakukan dengan ToT atau pembelian teknologi, tetapi harus dikuasai, nah upaya penguasaan teknologi tentunya menuntut kemauan politik yang kuat”.
Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.
5 DEPUTI Bidang teknologi Dirgantara Ibu Dr. Rika Andiarti jam 09.10-09-54, tanggal 11/06/2014 hari Rabu
LAPAN pada intinya mendukunga R-80, karena saat ini LAPAN sedang menyusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) “ transportasi pesawat 70 penumpang, namun LAPAN saat ini masih prioritas untuk N 219”.
Dukungan Upgrading pada level organisasi.
Ibu Rika juga menyarankan supaya PT RAI mengikuti proses N 219 dalam mendapatkan bantuan nasional. Seperti melalui DEPANRI (lebih kurang tiga kali pertemuan).
Dukungan Upgrading pada level politik
Pada Perpres 28/2008 tentang industri pengembangan pesawat, termasuk peran PT DI didalamnya, di penjelasan Perpres tersebut khususnya dihal 37
Dukungan Upgrading pada level operasional.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
295
dinyatakan bahwa untuk jangka menengah: dinyatakan untuk jangka menengah“ mengembangkan pesawat berpenumpang kurang dari 30 0rang” dan untuk jangka panjang” mengembangkan PT DI sebagai pusat produksi dan litbang dan LAPAN sebagai pusat R&D produk kedirgantaraan” Kemenperind telah mengadakan pertemuan dengan para industri-industri lokal untuk meningkatakan kemampuan TKDN pesawat terbang.
6 Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Dr. Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT
Untuk Program RAI-80, beliau memintah PT RAI untuk berkoordinasi dengan LAPAN, beliau kemudian mengatakan: Saat ini, BAPPENAS lebih berkonsentrasi untuk ngurus N 219, satu-satu sajalah dulu
Dukungan Upgrading pada level sektoral
Tidak perlu diperkuat atau di stated di RPJP tentang kemandirian teknologi dirgantara, karena sudah cukup dimasukkan (tersirat) dalam isu alat angkut udara.
Dukungan Upgrading pada level kebijakan
“Bahwa dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 telah cukup memayungi pembangunan teknologi kedirgantaraan karena dalam UU tersebut telah ada isu terkait dengan alat angkut udara.”
Wawancara pada tanggal 17 November 2014 Dalam kabinet Jokowi-JK melalaui nawa citanya, program N 219 akan terus disupport
7 Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan, Dr. Sadjuga, Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek.
Baik dalam RPJPN maupun RPJPMN, dukungan terhadap kemandirian teknologi pada sektor kedirgantaraan masih belum dinyatakan secara tegas, karena pembangunan iptek yang saat ini masih diarahkan pada tujuh bidang prioritas yaitu: Pangan, Kesehatan Obat, Energi, Transportasi, TIK, Hankam dan Material Maju.
Dukungan Upgrading pada level kebijakan
8 Asisten Deputi Bidang Relevansi Program, Ir Ahmad Dading. Gunadi: Tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek
Saat ini, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof. Gusti Muhammad Hatta mendukung pengembangan R -80 yang ditindak lanjuti dengan pembentukan taskforce pengembagan R-80.
Dukungan Upgrading pada level kebijakan
”Pihak LPDP akan bersedia menjadikan Agenda Riset Nasional (ARN 2015-2019) sebagai acuan dalam proses pendanan penelitian yang dibiayai”
Aspek sinergi kelembagaan pada pendanaan riset
Tanggal 12 Agustus 2014 di Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek
Untuk N 219, pemerintah langsung terlibat dalam development process (selain infrastruktur) yaitu membuat prototipe (N 219) itu sendiri, goverment intervensi dalam membuat prototipe, tapi kalau kasus untuk R-80, tidak, justru pemerintah melakukan fungsi sebenarnya, yaitu menyediakan fasilitas/infrastruktur, karena biaya desain, pembuatan prototipe dsb dari mereka (PT RAI) lakukan sendiri, ...jadi sebenarnya untuk dukungan (infrastruktur) R-80 lebih merupakan tugas pemerintah dalam mengembangkan kapasitas (lab dan peralatan, sdm) dan kapabilitas, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, itu memang tugas pemerintah,..makanya kalau diajukan, bukan hanya pengembangan R -80
Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
296
tetapi pengembangan pesawat... Kebutuhan ini terutama bedanya dengan N 219 harus dijelaskan ke Bu
Almida (Menteri BAPPENAS), mungkin Bu Almida ndak ngerti, disangkanya sama dengan model pengembangan N 219, padahal beda.....Oleh program nasionalnya adalah dalam bentuk program revitalisasi/modernisasi/uograding peralatan-peralatan lab yang memang peninggalan tahun 1970an,, yang nanti arahnya bukan hanya untuk kebutuhan R-80 saja tetapi juga kebutuhan teknologi yang ada sekarang termasuk kebutuahn dari luar neger seperti di China dsb akan dapat dilyanani oleh lab kita dst...
Sesuatu akan dianggap sebagai program nasional jika dinyatakan dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN), nah untuk dukungan R-80 melalui dimasukkan program nasional revitalisasi laboratorium khusunya untuk pengujian pesawat terbang dst...
9 Presiden Director PT Regio Aviasi Industri, 14 Juli 2014
Untuk mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan, dukungan Kebijakan dalam bentuk insentif untuk barang-barang yang diproduksi dalam negeri, serta sistem pendanaan dan perbankan (sejenis BAPINDO)
Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.
10 Corporate Secretary PT RAI, Rahayu S. Arifin, 23 Juni 2014 di Kementerian Ristek
Untuk tenaga SDM, saat ini selain tenaga yang merupakan tenaga SDM dulu yang terlibat dalam proyek IPTN, baik NC 212, CN 235 maupun N 250, juga terdiri atasan lulusan kedirgantaraan yang sempat bekerja di dunia perbankan, walaupun gajinya relatif kecil, namun mereka memeliki satu kebanggaan (nasionalisme) untuk berkerja di PT RAI guna pengembangan pesawat terbang nasional (R-80).
Semangat Nasionalisme untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan.
11 Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim
Alokasi dana riset untuk tahun 2013 yang hanya sekitar 1% dari total anggaran PT DI sebesar Rp. 3 Triliun (01 November 2013)
Dukungan pada level operasional (industri) dalam mendukung upgrading teknologi
Dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong kemandirian teknologi kedrigantaraan adalah dalam bentuk insentif pendanaan ( 06/02/2014 jam 20.21 wib)
Dukungan pada level sektoral dalam mendukung upgrading teknologi
Dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong kemandirian teknologi kedrigantaraan adalah dukungan sistem pendanaan/perbankan. Khusus untuk upgrading N 250 (R-80), dukungan yang dibutuhkan dari pemerintah adalah keberpihakan terhadap penggunaan R-80 untuk pasar domestik dengan membatasi produk serupa seperti ATR dan Bombardier”. Adapun untuk pasar luar negeri, pemerintah dapat dapat melakukan promosi baik melalui WTO maupun melalui pameran-pameran di luar negeri (2 Juni 2014).
Dukungan pada level kebijakan dan sektoral dalam upgrading teknologi pesawat terbang nasional.
PT saat ini dalam rangka menjalankan plasma businessnya juga menjadi supplier beberapa komponen untuk AirBus dan Boeing, bahkan, khusus
Strategi pada level operasional
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
297
untuk komponen bahu pesawat Airbus A380, PT DI dipercaya sebagai single supplier (01 November 2013) PT DI telah menyederhananakan spesifikasi pesawat N 250 sebelum diserahkan ke para suppliers, sehingga suppliers mudah memenuhi requirement yang diminta (2 Juni 2014).
Tipologi Struktur Global Value Chain Modular
SDM kunci yang saat ini sangat dibutuhkan untuk industri penerbangan adalah pada dua bidang yaitu Elektronika Pesawat dan Material” (2 Juni 2014).
Dukungan SDM untuk proses upgrading teknologi pesawat terbang
Saat ini karyawan PT DI sekitar 3000an, dan 50% darinya akan memasuki masa pensiun (01 November 2013). Pengembangan Pesawat R-80 memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN-235) dan 1989 – 1996 (N-250). Di desain R-80 akan dilakukan beberapa upgrading teknologi dari N 250 (2 Juni 2014).
Pasar pesawat berkapasitas 80-100 penumpang ini memiliki pasar yang cukup bagus. Karena itu, jika produksi pesawat tersebut jadi, maka PT DI pun akan ikut mendapatkan keuntungan."Analisa market untuk pesawat kelas itu cukup bagus, di dalam negeri saja, paling tidak kebutuhannya sekitar 100 pesawat,".
Pada tanggal 3 Mei 2013 bertempat di PT DI, PT Dirgantara Indonesia (Persero) telah meneken kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia untuk mengembangkan pesawat terbang turboprop modern berkapasitas 70-90 orang penumpang bernama Regioprop
Pada tahun 2010, keuangan PT DI masih negatif sekitra Rp. 700 Milyar, dan sejak tahun 2013, PT DI memiliki cashflow sekitar 40 Miliar positif.
Tanggal 2 September 2014 Hingga saat ini, perbankan nasional belum memberikan sistem leasing untuk pesawat terbang, adapaun Ban Eksim hanya memberikan untuk pemebelian komponens pesawat
12 Direktur Teknologi PT DI, Andi Alisyahbana, 26 Juni 2014 di BPPT
Pelajaran berharga dari kegagalan N 250 (selain permasalahan politik) adalah dalam hal TKDN, di N 250 dulu TKDN masih sangat lemah terutama untuk komponen, termasuk landing gear, sistem avionics, FBW dll. Nah dengan adanya penngembangan N 219 yang memiliki TKDN minimal 40%, akan memberikan manfaat dalam upgrading N 250 khususnya R-80 kedepan.
Dukungan pada level operasional dalam mendukung upgrading teknologi
N 250 sudah melakukan uji terbang sebanyak 800 jam 13 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo
di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014
Saat ini infrastruktur pengujian di rumpin LAPAN masih cocok hanya untuk N 219, karena :1. Untuk fasilitas landasan untuk uji terbang yang dibutuhkan untuk R 80 sekitar 1500-2000 meter; 2. Tower (uji telemeteri) yang dibutuhkan untuk R-80 sekitar 20-30 meter
Dukungan sektor/kelembagaan dalam upgrading teknologi pesawat terbang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
298
Tidak tercapainya target penjualan CN 235 adalah: karena spesifikasi CN 235 berat sehingga direct operational cost tinggi dan menyebabkan mahal, dan spek ini memang lebih cocok untuk militer, terbukti banyak sekali pasar untuk militer untuk CN 235, bahkan Korsel menggunakan CN 235 untuk pesawat kepresidenannya sampai sekarang, Beliau (pak Budi) dulu merupakan salah satu tim ketika menyiapkan pesawat tersebut untuk Korsel (pesawat presiden) selain thailand dan Malaysia.
Permasalahan pada level operasional dalam upgrading teknologi pesawat terbang
Dalam program R-80, PT RAI bermain pada level desain, Merketing dan Assesment
Pengembangan R 80 sebenarnya mengandalkan pada 51 orang yang dulu ikut mengembangan N 250, dan sebagaian besar pulang dipanggil oleh pak habibie. Atas pengalaman dalam pengembangan N 250 dan pengalaman lainnya, PT RAI mengembangkan R 80 berdasarkan pada pengalaman dalam membuat N 250 dulu.
Saat ini telah dipesan oleh PT NAM Air (sejumlah 100), 50 Firm order (sesuai desain awal); 50 unit bersifat optional (berdasarkan masukan setelah dioperasikan)
14 Ketua Komtek Soshum DRN, Dr. Lala Kolopaking, 26 Juni 2014
Bahwa yang sangat penting dalam pembangunan iptek adalah “ aku cinta produk negeri”. Hal ini yaitu nasionalisme merupakan faktor keberhasilan dalam proses pembangunan iptek di Korea Selatan
Semangat Nasionalisme untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan.
15 Direktur Riset LPDP, Bapak M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014
“Saat ini LPDP sedang melakukan kajian untuk mengembangkan fokus risetnya untuk lebih diarahkan pada pengembangan iptek baik riset dasar dan termasuk pengembagan riset hightech yang bersifat jangka panjang yang tentunya akan mengacu pada Agenda Riset Nasiona (ARN). Bahkan kata Beliau saat ini pun LPDP, selain Dana Riset Inovatif produktif (RISPRO) yang diarahkan pada komersialisasi produk dan implementasi kebijakan, juga telah mengeluarkan pendanaan riset atau inovasi yang bersifat Afirmasi Nasional, dengan mekanismenya adalah merupakan usulan dari Kementerian/Lembaga terkait kesalah satu anggota dari Dewan Penyantun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama), kemudian permohonan tersebut akan disetujui setelah mendapat persetujuan dari dua Anggota Dewan Penyatun lainnya selama program tersebut mendukung program nasional. Dan dana melalui skim ini tidak terbatas baik tema (asal sesuai dengan prioritas nasional), jumlah dan tahunnya”.
Dukungan Upgrading pada level kebijakan
“Pada prinsipnya LPDP akan mengacu ARN selama fokus bidang ARN tersebut memang sejalan dengan prioritas nasional”.
Aspek sinergi kelembagaan pada pendanaan riset
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
299
16 Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran Dana
Kegiatan Pendidikan LPDP- Ibu Ratna Prabandari
Mengatakan bahwa untuk dana beasiswa pendidikan, LPDP menyediakan tiga layer bidang yang masing-masing adalah layer pertama: teknik, pertanian, Science, dan Kedokteran; layer kedua: sosial, ekonomi, pendidikan, budaya/bahasa dll. Layer ketiga adalah: Hukum, Akuntansi Keuangan, dan Agama.
Dukungan organisasi dalan upgrading kemandirian teknologi kedirgantaraan
17 Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat periode 2010-2013, Perencana BPPT, Anwar Darwadi, Juli 2014.
Bahwa penentuan arah pembangunan iptek yaitu tujuh bidang fokus tidak didasarkan pada satu riset kebijakan yang memadai tetapi lebih didasarkan pendekatan isu based bahkan bersifat mengakomodir kepentingan pihak tertentu.
Arah pembangunan iptek
18 Wawancara dengan Pak Rohendi Triatna, Humas PT DI, 01 November 2013,
Sejatimya pada zaman Habibie telah mulai dibangun segala industri pendukung untuk pesawat terbang, mulai dari industri material, karet, turbin dll.
Gambaran pada level operasional
19 Wawancara dengan Asdep Produktivitas Riptek Industri-Kementerian Riset dan Teknologi, Santosa, April 2014
Bahwa kolabarasi kelembagaan ABG dalam riset dan inovasi sangat membutuhkan environment yang menunjang, diantaranya adalah regulasi kebijakan pada tataran non fiskal khususnya mobilisasi peneliti terutama yang PNS ke Industri.
20 Wawancara yang dilakukan terhadap Pak Dr. R. Purwanto, Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, tanggal 08 Agustus 2014
Dalam 7 agenda riset nasioanl (ARN)..ada tentang (bidang) transportasi . Hanya tak ada penugasan secara spesifik langsung tentang kedirgantaraan. Tapi, kami terbuka bagi researcher yang tertarik tentang kedirgantaraan tersebut.
Gambaran pada level organisasi.
21 Direktur PT DI, Budi Santoso, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT
Terkait R-80, PT DI akan menunggu kepastian financingnya, Karena kami tidak ingin gagal dua kali (dalam sejarah N 250). Karena untuk menghidupkan N 250 butuh biaya yang sangat besar (sekitar $US I milyar)
Kami juga masih menunggu adanya komitmen membeli atau pasar R-80 dari perusahaan air line yang telah memiliki nama seperti Lion Air, Garuda Airliner dll, dan bukan komitmen pembelian dari perusahaan air line kecil. Karena hal ini (besar/kecilnya pasar) akan dapat berdampak pada sejauh efisiensi pembelian Enginenya.
Hingga saat ini, teknologi kunci yang sangat mempengaruhi kompetitif tidaknya pesawat adalah pada efisiensi penggunaan Enginenya bukan pada frame atau desainnya. Dan kepastian adanya pasar terutama dari perusahaan penerbangan yang telah memiliki nama, akan dapat meningkatkan kompetitifya harga pesawat.
22 Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT
PT DI akan terlibat dalam program R-80 hanya dalam koridor kontrak untuk manufacturing bukan dalam konteks risk sharing.
Program R-80 lebih bersifat technology driven dari pada market driven, dan tentunya hal ini akan sangat beresiko, pertama: dari sisi pasar, yaitu jika
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
300
tidak ada kepastian pasar (terutama ada komitmen membeli dari perusahaan air line besar) maka akan menyebabkan harga pesawat tidak akan kompetitif. Karena tingginya komitmen pasar yang dilihat dari adanya komitmen pembelian dari perusahaan air line yang besar terhadap R-80 akan dapat diskon dari harga engine sampai 30%. Tentunya mengingat bahwa dari harga pesawat, sekitar 17,5 sampai 20%nya adalah harga untuk engine. Untuk membuat pesawat terbang (N 219) dibutuhkan sekitar 1,2 Juta man hours
Pelajaran dari N 250 adalah, bahwa untuk sertifikasi dapat bertahap, yaitu pertama-tama untuk pasar domestik dengan sertifikasi laik udara dari Directorate General of Civil Aviation-DGCA (Dephub), dan kemudian untuk dapat secara luas dipasarkan secara internasional kemudian dapat dilakukan untuk mendapat sertifikasi FAA atau Eyasa (Eropa)
Sinergi kelembagaan dalam pengembangan pesawat khususnya N 219, adalah Kemenperind selain lobi marketing juga melakukan pembinaan Industri untuk TKDN 40-60%, Kemen BUMN melakukan lobi financing, seperti yang telah dilakukan adalah upaya mendapatkan bantuan donor investasi dari negara-negara (Islamic Development Bank)- IDB dan OKI sekitar $US 30 Juta yang dilakukan olah KemenBUMN (Dahlan Iskandar)
Upaya pengembangan atau menghidupkan kembali N 250 akan sangat memakan biaya, salah satunya adalah akan ada klaim terkait Non Recurring Cost (NRC)/biaya-biaya pengembangan) oleh vendor-vendor luar negeri. Karena paten dari N 250 hanyalah di desain saja. Oleh karena itu, dari sisi PT DI, upgrading CN 235 dengan kapasitas 50 penumpang versi sipil lebih ekonomis dari sisi biaya, karena untuk pengembangan tersebut hanya dibutuhkan sekitar Rp.700 Miliar dibandingkan untuk “upgrading N 250 menjadi R-80” yang membutuhkan dana (yang diharapkan dari pemerintah sekitar Rp. 3 triliun)
CN 235 seri 110 buatan PT DI Indonesia telah mendapat sertifikasi internasional yaitu dari Eyasa (Eropa).
Upgrading N 250 menjadi R-80 akan sukses selain dari dari aspek marketing adalah jika ada dukungan politik dan pendanaan yang kuat dari pemerintah.
23 Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Pak Dhiwan Renaldi, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT
Jumlah SDM saat ini tahun 2014, sekitar 3000 lebih, dan tenaga kontrak sekitar 1500 orang, dan ditahun 2016 akan banyak yang pensiun
Dari sekitar 15 900 pegawai PT DI, setelah sempat dipensuin dinikan, akhirnya pada tahun 2003 sekitar 6000 pegawai PT DI dirumahkan dan tersisa sekitar 3000 karyawan, dan di tahun 2004 dilakukan seleksi ulang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
301
Sejak krisis 1997-1998, dikenal dengan masa bleeding, jika variabel machine hour dimasukkan bahkan Cash Flow IPTN negatif. Baru pada tahun 2011, ketika hutang PT DI sebesar Rp. 2 triliun diputihkan sebagai penyertaan modal pemerintah, setelah itu baru cash flow PT DI positif
Perusahaan NTP adalah anak perusahaan PT DI di Bandung, yang melayani jasa servis turbin.
Kemen BUMN saat ini lebih berperan dalam melobi untuk mendapat donator untuk PT DI, seperti dalam kasus N 219.
Local content untuk N 250 sangat rendah, yaitu pada kaca samping dan interior dll
Untuk pengembangan N 250 sempat mendapatkan sumber pendanaan (pinjaman dari dana reboisasi dan potongan gaji PNS/Guru).
24 Wawancara dengan Asdep Produktivitas Iptek Strategis, Bambang Sutedja, 12 Agustus 2014, di lantai 21 Kemenristek
Pengajuan pendanaan (apakah dengan APBNP) untuk pembangunan infrasrtuktur R-80 sebaiknya diajukan bersamaan dengan kebutuhan upgrading untuk pengujian N 219, hal ini mengingat antar N 219 dengan R-80 merupakan sama-sama program pengembangan pesawat terbang nasional, hanya bedanya satu diiniasi oleh BUMN dan satunya adalah inisiasi swasta ...
Dukungan upgrading pada aspek kebijakan
25 Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014
Untuk mengembangkan R-80 dibutuhkan sekitar 1000 SDM tentunya dengan bermitra dengan PT DI, dan pemerintah: Ristek, BPPT, LAPAN, Dephub dan ITB dll.
Kemen BUMN berjanji akan membeli 20 unit untuk Garuda Saat ini pasar yang telah komit untuk membeli R-80 adalah NAM Air
sebanyak 100 unit, Kalstar sebanyak 25 unit, dan Trigana sebanyak 20 unit, bahkan penerbangan dari Australia telah menyatakan mintah untuk membeli 2 unit R-80.
Untuk mendapat sertifikasi Eyasa harusnya sudah mencapai 1000 jam terbang, dan untuk sertifikasi FAA sekitar 1500 jam terbang. Adapun unutuk sertifikasi DGCA. dibutuhkan waktu lebih kurang 2 tahun.
Saat ini ada tujuh Working Group Ariliner yaitu: Sky, Merpati, Wings, Citilink, Nam Air, Trigana, dan Klastar
26 Wawancara dengan Pustekbang Aero Structuer, Bapak Fajar Dono
Saat ini LAPAN sedang membangun tiga fasilitas pengujian untuk N 219, yaitu: Drop Test, Engineering Flight Simulation (EFS), dan Uji Composite (saat sedang dilakukan uji tarik).
Status N 219 saat ini adalah telah melakukan TCBM (Typte Certificate Board Meeting) yang merupakan pra sertifikasi DGCA
DGCA selesai diperkirakan dalam jangka 3 tahun 27 Wartawan Senior Kompas, Ninok Leksono Untuk keberhasilan program R-80 adalah proses panjang serta sangat
membutuhkan dukungan yang kuat dari pemerintah dan tentunya leadership
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
302
28 Wawancara dengan Prof. Suyantao H, Mantan Direktur Teknologi Proses BPPT di Era Habibie, 11 Agustus 2014
Pada zaman Habibie sebagai Menristek, kinerja dan semangat kerja karyawan sangat tinggi, bahkan seringkali Menristek dengan para segenap Eselon I nya bekerja dan mengadakan rapat malam untuk menyelesaikan target-targer kegiatan.
Budaya kerja
29 Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek, Asep Supanda. 13 Agustus 2014
Kementerian Ristek seharusnya menghasilkan roadmap kebijakan llmu Pengetahuan dan teknologi pada level sektoral, yang kemudian menjadi acuan kegiatan litbang nasional.
30 Bagian Inspeksi B2TKS, Ir. Soekardi ( Terlibat dalam pengujian CN 235 dan N 250), Pada Pameran Teknologi BPPT, tanggal 20 Agustus 2014 di BPPT II.
Saat ini SDM B2TKS sekitar 25 Orang, kalau dihitung yang sudah pensiun dan masih bisa diberdayakan sekitar 30 orang
Saat in untuk pengujian N 219 belum dilakukan Dulu kami sudah siap dengan N 250, kami sudah siap untuk segala
pengujiannya....tapi sayang tehenti karena politik. Khususnya sejak Gusdur dan Menteri AS Hikam. BPPT sejak saat itu termasuk B2TKS dianggap sebagai mainan Habibie.
Untuk pesawat R-80, tantangan utamanya pada ketersediaan SDM, karena dalam dua tahun kedepan ahli seperti uji inspeksi akan habis karena pensiun
Begini ya, Engineering itu butuh kesinambungan untuk “mempraktekan ilmunya” kalau setahun saja fakum, maka akan hilang sense, kepekaannya dll
Dulu B2TKS hanya untuk IPTN, tetapi sejak Era AS Hikam B2TKS dihabiskan, dan dipaksa membuka jasa pengujian seperti mobil dll
Kekhawatiran Barat terhadap rencana pengembangan pesawat terbang IPTN adalah, karena kalau kita sudah dapat menguasai desain dan produksi Pesawat Jet, yang rencananya adalah setelah N 250, maka akan dengan mudah untuk mendesain dan memproduksi pesawat tempur. Seperti yang sudah dikuasi Iran....
B2TKS telah mendapat sertifikasi FAA sejak tahun 1995. 31 Wawancara dengan Dr. Ilham Habibie PT
RAI, 25 September 2014, jam 11.35-11.50 Jika pemerintah tidak mendukung program upgrading infrastruktur sektor dirgantara yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh R-80, maka PT RAI akan melaksanakan skenerio lain dengan melakukan sebagiannya kegiatan dengan melibatkan pihak luar negeri
Strategi pada level operasional
32 Wawancara dengan Pak Sudira, Bagian HKI PT DI, 13-November 2014
Setiap pesawat dirancang denga misi tertentu, N 219 digunakan untuk misi perintis, CN 235 untuk misi tertentu dan militer, N 250 adalah untuk misi bisnis- wisata dan misi nasionalisme, misi bisnis dan pariwisata, harapannya adalah setelah penumpang turun dari pesawat sejenis Beoing dan Airbus, dan ketika ingin melanjutkan perjalanan antar propinsi, maka pesawat N 250 masih menyediakan kenyamaan dan tingkat keamanan yang relatif tidak
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
303
kalah dengan dua pesawat sebelumnya.
Hasil Kutipan dari Wawancara yang dilakukan oleh Pihak Lain 32 Wawancara antara Pak Habibie dengan Peter
F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg
Dulu pada zaman Bung Karno, ada indoktrinasi: (yaitu) untuk menyedot ilmu pengetahuan tinggi dari Negara-negara maju diantaranya Jerman. (Setelah selesai) kembali untuk membangun Negara, waktu itu, ditahun 1950an hanya ada dua jurusan yang diperkenalkan untuk belajar ke Luar Negeri yaitu Maritim dan Dirgantara, karena visi Bung Karno tidak hanya memberikan nasionalisme kepada kita, tetapi juga menyakinkan bahwa NKRI itu dari sabang sampai merauke hanya bisa sepanjang masa dipertahankan dan bersatu dan menjadi satu negara yang makmur, jikalau bangsa ini menguasai secara mandiri teknologi dirgantara dan teknologi maritim...”Visi Bung Karno tersebut kemudian dilanjutkan dan diterjemahkan dalam strategi yang lebih kongkrit dalam era Presiden Soeharto
Dukungan upgrading pada aspek kebijakan
Ketika pertanyaan tentang, kenapa prioritasnya waktu itu harus teknologi sektor dirgantara bukan pertanian? Jawaban Beliau: “Apakah mungkin manusia/ekonomi Indonesia akan berfungsi tanpa pesawat terbang? Tidak mungkin, lihat aja lapangan terbang Surabaya, bukan main!! Lihat aja bagaimana berkembangnya perhubungan udara...
Habibie mangatakan: Sekitar 200 unit pesawat termpur F 16 dari General Dynamic-USA yang diperuntukkan untuk TNI AU, sisipnya dibuat oleh IPTN. Kerjasama tersebut dilakukan dalam mekanisme off set yaitu sekitar 35-40% dari total harga 1,5 squadron F 16 pengadaaanya tidak dengan uang, tetapi dengan lapangan kerja/jasa pembuatan sirip pesawat terbang tersebut oleh IPTN.
33 Wawancara antara Pak Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv
..lihat aja, di Amerika, industri yang dah anjlok ..untuk mempertahankan itu, (oleh pemerintahnya) dibail out, diberikan duit,.. saya yang sehat didepan pintu mau mendapatkan FAA, ditikam, dimatikan, model maana itu!!!! “Jangan lupa ya, saya membuat industri strategis itu bukan ide saya, ide bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Bungkarno, saya itu diindoktrinasi, waktu pesawat terbang itu terbang, saya plong, karena indoktrinasi yang saya yakin harus laksanakan itu telah saya berikan kepada bangsa ini… saya mulai dengan 20 orang, waktu saya jadi Wapres (maret 1998), harus saya letakkan (jabatan vice chairman BPIS) industri strategis dengan 48. 000 orang dengan turnover US$10 billion, dan pada saat itu (untuk N 250) telah
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
304
ditandatangani kontrak untuk mengadakan di Alabama (US) di mobil, saya buat assembling line dari N 250 dan saya buat di Sttutgart assembling line untuk N 250 dan sudah 80% FAA sertifyte, tiba-tiba disuruh berhenti.. yang benar aja dong. Alasannya, hutang-hutang kita banyak, hutangnya yang mana?, hutang swasta! bukan hutang BUMNIS, ..dihentikan, (kemudian) yang mengambil alih (Era Gusdur) Dia Bubarkan (BPIS). (Kemudian) yang bersangkutan pernah datang sama saya mengatakan “yang melaksanakan (memerintahkan) itu adalah IMF, (lalu Beliau merespon) Eh, kalau IMF datang kemari, dia mengatkan dia mau membantu, tapi saya harus matikan perusahaan (BUMNIS), saya tendang keluar itu IMF!!!!
34 Wawancara yang dilakukan oleh rtv terhadap Vice Chairman II PT RAI, Dr. Ilham Habibie, Awal Juli 2014 di rtv.
Yang diharapkan dari pemerintah dalam program R-80 khususnya terhadap industri dirgantara secara umum adalah dukungan dalam sistem perpajakan, dimana laba dari kegiatan litbang dapat dijadikan sebagai factor pengurang pajak (tax deduction). Pada era pengembangan N 250, pengetahuan bisnis manajemen IPTN masih lemah
Dukungan upgrading pada aspek kebijakan dan organisasi
35 Wawancara yang dilakukan Rosianna Silalahi oleh Global TV dalam acara Rossi, 2 September 2010 http://www.youtube.com/watch?v=n5Y5eWbNVEg.
Ketika dikatakan kepada Beliau bahwa visi Bapak dianggap terlalu cepat, Proyek ambisius sehingga itu kemudian dimentahkan? Saya rasa itu yang mengatakan proyek ambisius itu tidak benar, kita harus melihat ya, pasar domestik Indonesia didalam bidang dirgantara Commersial airplane itu tidak perlu saya berbicara dengan angka-angka, anda masuk aja ke lapangan terbang melihat berapa banyak pesawat terbang yang mirip seperti N 250 terbang, ...memang bahwasanya adalah bahwa pesawat-pesawat terbang yang ada di bumi Indonesia untuk commersial airplane adalah “hasil rekayasa dan ciptaan putra-putri Indonesia sendiri...” (Karena sejak proyek N 250 diberhentikan, sejumlah karyawan IPTN beralih kerja di Boeing, AirBus, Embraer, Turki dan negara-negara tetangga)
Gambaran pada level operasional
Ketika Rossi menanyakan kepada Karyawan Boeing yaitu Pak Grek yang pernah kerja di IPTN selama 8 tahun pada Era IPTN Habibie, tentang harapannya ke Pak Habibie menyatakan: ..saya yakin (kalau) Pak Habibie konsentrasi penuh ke IPTN atau PT DI, ini bakal meningkatkan motivasi dan moral karyawan PT DI sekarang, dan saya yakin, kita pasti bisa membangkitkan industri dirgantara Indonesia lagi... ...Kalau orang mengakatan kan kamu (IPTN) terlalu banyak pegawainya, yang benar aja, kalau saya harus membuat perusahaan tersebut di Eropa atau di Amerika, (kalau) saya butuh pegawai, saya tinggal pasang iklan, pada
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
305
datang, (lalu) saya pilih saja, tempat saya (Indonesia) tidak ada, saya tidak mau ambil orang dari luar negeri, saya hanya justru memilih manusia Indonesia yang berbakat, tidak mengenal SARA dan Gender dsb......Itu seharusnya N 250 akan masuk pasar tahun 2000, dan N 2130 akan masuk pasar tahun 2004, sekarang tahun 2010..kan konyol itu..dimana semua itu!!!, nah sekarang yang menikmati orang-orang lain (perusahaan pesawat asing).
36 Wawancara dengan Depuit Pendayagunaan Iptek-Dr. Pariatmono, pada tanggal 5-12-2014
Tentang R-80, Pak Habibie telah bertemu dengan Menristek Dikti (Muhammaf Natsir) dengan dukungan terhadap pengembangan R-80, intinya “Pak Menristek mendukung pengembangan infrastruktur untuk dirgantara nasional sekaligus yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan R-80 sekitar minggu kemarin (akhir november 2014)
Aspek dukungan kebijakan/politik
37 Diskusi informal dengan Anang Witjaksono, Head of Ref Office Jasa Raharja dan salah seorang yang pernah terlibat dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN pada awal tahun 1990an, di gedung Mochtar-PGT Cikin UI, pada tanggal 11 Desember 2014
Pada saat itu sekitar awal tahun 1990an (persis proses pengembangan N 250 dimulai), saya menemani teman saya yang merupakan pegawain IPTN pada bagian pengadaan IPTN melakukan pencarian untuk komponen pesawat, salah satunya adalah Ban Pesawat, Ban tersebut dibeli di Tangerang dan kami pasang dengan merek “made in germany”. Kondisi demikian tidak hanya pada pengadaan Ban tetapi juga sangat mungkin pada komponen-komponen lainnya. Teman saya itu, dengan uang haramnya tersebut mampu membeli dan mengganti mobilnya beberapa kali hanya dalam satu tahun.
Analisis level operasional
38 Wawancara dengan Mantan Direktur Keuangan IPTN, Asril, tanggal 17-12-2014
Sejatinya pengembangan N 250 terutama untuk 70 sheeter sudah didahului dengan feasibility study, karena keputusan untuk 70 penumpang waktu itu sangat tepat sekali.....
Terkait pengadaan komponen, saya tidak mendapatkan “hitam diatas putih” terkait keganjilan dalam proses pengadaan, namun yang jelas, semakin banyak agen akan semakin banyak komisi, oleh karena itu pada waktu itu, terkait komponen pesawat, (kemudian) kami lakukan pengadaan langsung ke Amerika Serikat (misal dengan mendirikan Assembling Line untuk N 250 di Alabama).
Sejatinya, pada awal pengembangan N 250, telah diusulkan untuk dibawah program kementerian ristek sebagai program riset dan dikontrakkan ke IPTN dan Pak Harto sudah setuju pada saat itu, namun sayangnya itu tidak jalan.
39 Wawancara dengan Nugroho Ananto, Kabag. Pengembangan Organisasi dan Sistem Manajemen -Badan Pengelola Industri Strategis pada tahun 1990.
Habibie ketika menduduki Presiden OKI pernah mengundang anggota OKI mengunjungi Industri Strategis waktu itu, salah satunya adalah IPTN, nah Barat mengkhawatirkan Indonesia sebagai negara dengan negara Islam terbesar akan tumbuh juga sebagai negara dengan kekuatan teknologi yang sangat kuat, dan tentunya ini sangat mengancam hegemoni negara-negara Eropa.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
306
Lampiran 10. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di
GVC No Tema dan Waktu Narasumber/Undangan Hasil/ Kesimpulan FGD yang telah
direduksi Aspek Keterangan
1 FGD persiapan pengembangan N 219, 20 Desember 2012 di Kementerian Ristek
Kemristek, Kemperin, Kemenko, Kemhub, Bappenas, LAPAN dan BPPT
Ditjen IUBTT-Kemenperind, memaparkan bahwa: kemampuan dalam negeri untuk industri hulu maupun industri antara dalam pengembangan pesawat terbang nasional masih sangat rendah. Dan saat ini Kemenperin terus membangun kemampuan Industri Komponen Pesawat dalam negeri.
Paparan kondisi pada aspek operasional
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kasdepan tersebut.
2 FGD Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgra N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21
10. Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 11. Deputi Bidang Penelitian Dasar dan
Terapan-BATAN 12. Kabid Pusat TIK-BPPT 13. Semua Asdep di lingkungan Dep IV 14. Empat Kabid di ADPRIS 15. Direktur teknologi- PT RAI 16. Rahayu S Arifin-Corporate Secretary-PT
RAI 17. Tjahjo Kartiko- Cief Certification-PT RAI dll
Tujuan PT RAI adalah mengembangkan kemitraan dalam membangun kemandirian teknologi kedirgantaraan nasional berupa suatu program b-to-b yang disponsori dan didanai oleh swasta (RAI) dan bekerja sama dan mengoptimalkan kapasitas PT DI Untuk mengangkat program R-80 yang merupakan upgrading teknologi N 250 sebagai program nasional, maka dilakukan dua hal 5. Segera mempelajari proses N 219
dalam mendapatkan dukungan nasional, karena alurnya sangat jelas dan sudah terbukti. Karena dukungan pendanaan akan turun dengan sendirinya setelah R-80 terangkat sebagai program nasional.
6. Atau mencoba mekanisme lewat LPDP (melalui program afirmasi nasional, sebagaimana telah digunakan untuk program Molina).
7. Dalam jangka panjang kedepan,
Proses mendapatkan dukungan upgrading teknologi baik pada aspek organisasi maupun pada aspek politik.
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan Peneliti adalah sebagai Kasub Analisis Kinerja Program, sekaligus diminta oleh Dpeuti Relevansi Program Riptek untuk membantu dalam kegiatan tersebut. (Notulensi terlampir)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
307
sudah saatnya isu kemandirian teknologi kedirgantaraan dan kemaritimin seyogyanya harus distated dengan tegas dalam arah pembangunan jangka panjang, tentunya ketegasan Jakstranas dan ARN dapat kemudian dijadikan naskah akademik yang dapat digunakan dalam proses teknoratik penyusunan RPJP kedepan. Karena kalau hanya RPJPM, sangat sulit menjamin konsistensi keperpihakan politik hanya lima tahunan, sedangkan proses pembangunan teknologi kedirgantaraan tentunya dibutuhkan frame waktu yang panjang (dalam hal ini sejumlah negara bisa dijadikan sebagai benchmarking, keberhasilan Brazil, China dan kegagalan Rumania, Argentina, dan N250 Indonesia, dimana determinant
8. R-80 rencananya akan menggunakan komposit (Karbon, campuran kevlar) di bagian sayap dan di ekor
3 Audiensi dengan Presiden III Prof Dr BJ Habibie dalam rangka Hakteknas 19 di kediaman Beliau di di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014.
Deputi Kelembagaan Iptek-Dr Mulyanto, Deputi Pendayagunaan Iptek 2009-2013/Staf Ahl Bidang Energi Dr. Idwan, Presiden Director PT RAI, Agung Nugroho, Empat Eselon II/Asdep di Kementerian Ristek, satu Eselon III dan Peneliti.
Pak Habibie mengatakan: Pesawat R-80 adalah pengembangan yang lebih sempurna dari N 250. Selanjutnya, Pak Habibie dan PT RAI mengharapkan dimasukkannya program R-80 tersebut sebagai salah satu program nasional, melalui dicantumkannya program R-80 tersebut dalam pidato Presiden dalam peringatan Hari Teknologi Nasional (Harteknas XIX) dan dalam Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2014.
Proses mendapatkan dukungan upgrading teknologi pada aspek organisasi maupun pada aspek politik.
Director utama PT RAI, Agung Nugroho mengharapkan pemerintah dapat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
308
memberikan insentif pembiayaan untuk industri-industri dalam negeri yang bergerak pada komponen pesawat terbang Deputi Kelembagaan Iptek, Dr. Mulyanto, mengatakan bahwa: Hasil Musyawarah perencanaan nasional (Musrenas) yang dulu bernama Rakornas akan lemah karena tidak ada kepastiannya akan diacu dalam Sistem Penganggaran Nasional, oleh karena itu kedepannya, Kemenristek akan bertindak sebagai clearing houes Iptek bersama BAPPENAS, untuk itu Kemenristek akan memperkuat fungsi koordinasi kegiatan litbangnya melalui amandemen UU 18 yang akan mencantumkan peran Kemenristek dalam koordinasi kegiatan litbang nasional
Aspek Kebijakan terkait arah pembangunan iptek.
Habibie mengatakan: Kalau tidak dibangun (R-80), lima tahun kedepan ahli-ahli dirgantara akan habis
4 Pertemuan antara PT RAI dengan LAPAN Tanggal 16 April 2014 di LAPAN
Dari PT RAI hadir Agung Nugroho Budi Wibowo. Sedangkan dari LAPAN adalah: Prof.Dr.-Ing.Soewarto Hardhienata, Gunawan Prabowo, dan Ariebowo
RAI juga mengharapkan bahwa dengan program R-80, RAI sebagai “swasta” dapat memberikan program ke Pemerintah, yang dapat berdampak kepada fasilitas LAPAN dapat dikembangkan dan diberdayakan. Jika Pemerintah memberikan dana misalkan kepada PT DI untuk membangun hangar, maka RAI dapat menyewa hangar untuk produksi pesawat R-80.
Sinergi kelembagaan dalam kemandirian teknologi kedirgantaraan
5 Pembahasan Pengembangan pesawat perintis N219 Kamis, 8 Februari 2012 di BAPPENAS
Rapat dipimpin oleh Direktur Transportasi Bappenas dan dihadiri oleh Direktur Industri, Iptek dan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BAPPENAS; Perwakilan dari Kemenristek; Kemenprin; Kemenhub; BI
Kemenprin, Kemenhub, dan BPPT akan mendukung pengembangan pesawat N219. Kemenhub akan memberikan dukungan dalam uji kelaikan pesawat. BPPT telah memberikan bantuan
Sinergi kelembagaan dalam kemandirian teknologi kedirgantaraan
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
309
pengujian angin pada tahun 2011 dan akan mengajukan new inisiatif untuk tahun 2013. Adapun kemenperin akan mendukung diantaranya dalam melakukan bimtek (bimbingan teknologi) kepada industri-industri manufaktur pendukung dalam negeri.
itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kasdepan tersebut.
6 Rapat Koordinasi Pengembangan Pesawat N-219, Jum’at /13 Desember 2013 di Hotel Gino Feruci, Bandung
1. Presentasi ”Sinergi Antar Lembaga dalam Pengembangan Pesawat N-219” – Ahmad Dading Gunadi
2. Presentasi “Rencana Pengembangan Industri Transportasi Nasional dalam RPJMN 2015-2019”, Direktorat Transportasi Bappenas – Adi Permana
3. Presentasi “Kesiapan PT. DI dalam Pengembangan Pesawat N-219” – Andi Alisjahbana
4. Presentasi “Program Pengembangan Pesawat N-219” – LAPAN
5. Presentasi “Kebijakan Pengembangan Kedirgantaraan”, Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin - Hasbi
6. Presentasi “Rapat Koordinasi N -219” – B2TKS, BPPT – Cahyo Pranoto
Sehubungan bahwa tahun 2014 merupakan tahun politis, manfaatkan peluang ini dengan baik, adapun strategi yang dilakukan adalah:
a. Tahun 2015 akan memasuki tahap pengembangan RPJM ke-3. Insertkan program N-219 ke dalam RPJM Bappenas
b. Riset kedirgantaraan akan diinsertkan ke dalam ARN 2015-2019 Kemenristek
c. Optimalisasi industri manufaktur transportasi yang telah terbangun (PT. DI, PT. PAL, PT. KAI) dengan dukungan political will yang besar dari Pemerintah.
Dukungan upgrading teknologi kedirgantaraan baik pada aspek kebijakan, sektoral dan operasional.
7 Diskusi Penyiapan Inpres N 219, Kamis / 16 Februari 2012, Ruang Rapat Kemristek lantai 6
Peserta rapat yang hadir berjumlah 17 orang yang mewakili lembaga-lembaga: Kemristek, Kemperin, Kemenko, Kemhub, Bappenas,LAPAN dan BPPT
Disepakati agar Kemristek menjadi koordinator dari program Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Pesawat Udara Perintis 19 (Sembilan Belas) Penumpang. Adapun terkait Inpres khusus N 219, tidak diperlukan karena sudah ada sejumlah Perpres yang telah mencakup seperti Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei, dimana kedua perpres ini telah secara
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
310
tegas mendukung pengembangan pesawat terbang commuter nasional
8 Sidang Paripurna I DRN tahun 2014 pada tangal 26 Juni 2014, Sidang tersebut membahas tentang Arah Pembangunan Iptek kedepan (Agenda Riset Nasional 2015-2019)
Rapat dihadiri oleh Menristek beserta Pejabat Kementerian Ristek, Kepala LPNK, Ketua DRN beserta seluruh Anggota DRN. Adapun 5 narasumber berkompeten, yaitu: (i) Dr. Iding Chaidir (Sekretaris DRN) - Kebijakan Indonesia yang Sejahtera dan Berdaulat, (ii) Andi Alisyahbana MSME (Anggota DRN – Komtek Transportasi) - Pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh di Indonesi, (iii) Prof. Dr. Laode M Kamaluddin (Tim Ahli Bidang SDM dan Iptek dari Capres Nomor 1) - Peran Iptek untuk Mendukung Visi Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur serta Bermartabat, (iv) Dr. Alexader Sonny Keraf (Tim Ahli Bidang SDM dan Iptek dari Capres Nomor 2, serta Menteri LH dan Anggota DPR Komisi VII 2005-2009 - Peran Iptek untuk Mendukung Visi Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong, dan (v) Dr. Ir. Mesdin Kornelis Simarmata, MSc (Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas) Naskah Teknokratik Pembangunan Iptek RPJMN 2015-2019.
Terkait kemandirian teknologi, Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin selaku tim ahli dari calon presiden Prabowo selain menekankan pentingnya pembangunan budaya iptek juga mengatakan: “kami sangat mendukung kemandirian teknologi dalam negeri termasuk teknologi kemaritiman, tetapi karena kemandirian teknologi pada akhirnya adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana visi iptek presidennya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pemimpin yang mempunyai leadership yang kuat serta memiliki keberpihakan terhadap kemandirian teknologi yang sangat tinggi” Adapun dari politisi yang sekaligus merupakan tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Dr. Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan. Dalam paparannya terkait dengan visi misi calon presiden Jokowi, Beliau juga mangatakan” selain pembangunan karakter, (terkait pembangunan iptek) kami sangat memberikan perhatian khusus pada pengembangan iptek dibidang maritim, baik yang berkaitan dengan pertahanan keamanan maupun SDA khususnya sebagai sumber pangan, .. demi mendukung daya saing nasional. Catatan: dalam Sidang tersebut, hanya dari PT DI dan BAPPENAS yang mengangkat isu kemandirian teknologi kedirgantaraan kedepan, BAPPENAS
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Koordinator Kajian Penyusunan ARN 2015-2019
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
311
lebih khusus menekankan pentingnya merampungkan N 219, Adapun PT DI lebih luas lagi dan menekankan bahwa teknologi kedirgantaraan dapat diaplikasikan tidak hanya untuk pesawat terbang tetapi bidang lain seperti energi, contohnya adalah teknologi turbin. PT DI menyampaikan ilustrasi urgensi transportasi udara: Dipedalaman Papua, Beras Raskin senilai Rp 3000/kg dapat menjadi Rp 25,000/kg , begitupun bahan bakar subisidi Rp 4500/L dapat menjadi Rp 30,000/L. Padahal, kalau tersedia modal pesawat commuter atau feeder liner, maka dengan asumsi harga angkut perkilogram adalah seharusnya Rp 8 Juta/2000 kg = Rp 4000,-/Kg
9 FGD tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, Selasa, 11 Februari 2014 (D,ADRPI, KAJIAN)
Acara dibuka oleh Asisten Deputi Relevansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi dengan agenda pokok: 4. Arahan oleh Deputi Relevansi dan
Produktivitas Iptek; 5. Paparan tentang Evaluasi ARN oleh Asdep
Relevansi Program Riptek; 6. Paparan tentang Jakstranas oleh Asdep
Relevansi Kebijakan Riptek; 7. Paparan tentang peran DRN dalam
Penyusunan ARN oleh Sekretaris DRN;
UU No 17/2007 tentang RPJPN 2005- 2025 menyebutkan bahwa agenda riset harus sesuai dengan kebutuhan pasar, Adapun fokus ARN adalah: a. ARN 2005-2009 : 6 bidang fokus
dan 2 bidang pendukung (sosial kemanusiaan dan science dasar)
b. ARN 2010-2014 : 7 bidang fokus dan 1 bidang pendukung (sosial kemanusiaan)
c. ARN 2015-2019 : 8 bidang fokus (termasuk di dalamnya sosial humaniora)
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
10 FGD tentang Masukan untuk naskah akademik penyusunan Jakstranas dan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, Selasa, 16 April 2013 (D,ADRPI,
Acara dibuka oleh Asisten Deputi Relevansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi yang dihadiri oleh BAPPENAS, DRN, Karoren Ristek, Karoren LPNK dll
1. Short-cuting dengan memasukan agenda ARN didalam penyusunan RPJMN merupakan salah satu opsi untuk enforcement ARN
2. Politic will merupakan key factor baik bagi keteracuan ARN maupun adanya keterikatan /bounding ARN.
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
312
MOM, ARN) 11 FGD tentang
penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014 (D,ADRPI, KAJIAN)
Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek, Ketua DRN, Komtek Pangan, Komtek Transportasi, Komtek Energi, Komtek Hankam, Komtek Kesehatan Obat, Komtek Material Maju, Komtek TIK, Komtek Sosial, Sekretaris DRN, Dudi Hidayat MSc, Staf Ahli bidang Energi Material Maju, Asdep Relevansi Kebijakan Riptek, Asdep Relevansi Program Riptek, Kabid Evaluasi, Kabid Perkembangan Program, Kabid Insentif, Kasubid Evaluasi, Analis Asdeo Relevansi Program Riptek
Kerangka RPJPN maupun RPJPMN menyebutkan iptek untuk pembangunan dan pembangunan iptek. Yang tentunya kedua penekanan tersebut berbeda. Didalam FGD tersebut (Gambar 5.2), Ketua Komisi Teknologi Bidang Transportasi Prof. Dr Carunia Firdausi mempertanyakan “Apakah pendekatan atau Madzhab yang dianut RPJPN, iptek untuk pembangunankah atau pembangunan untuk iptek”.
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
12 FGD penyusunan Renstra Kementerian Riset dan teknologi 19 Juni 2014 di Gedung BPPT II lantai 21,
Semua Eselon II di Lingkungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Dalam FGD tersebut Kepala Biro Perencanaan Kementerian Ristek menyatakan bahwa “ proses perumusan arah kebijakan Iptek antara Kementerian Riset yang akan dituangkan dalam Agenda Riset Nasional dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) III berjalan sendiri-sendiri”
Aspek Kebijakan terkait arah pembangunan iptek.
13 FGD Scholarship di Lantai 18 di Kementerian Ristek, 14 Juli 2014
Rapat dihadiri oleh Pengelola Pendanaan Inovasi di Kementerian Keuangan-LPDP, Kementerian Diknas-Hibah Dikti, Insentif Riset-Kementerian Ristek, US Aids dll
Dalam FGD tersebut, Ahmad Dading Gunadi selaku penanggung jawab Insentif Riset mengatakan bahwa”: Hambatan dalam pendanaan inovasi di Indonesia adalah, dana-dana tersebut masih terscatter (terpecah-pecah) di lembaga yang berbeda-beda dan induk yang juga berbeda.
Dukungan pendanaan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
14 Rapat tentang pendanaan Inovasi di LPDP pada tanggal 26 September 2013 di LPDP
Rapat dihadiri oleh Direktur Utama LPDP, Eko Prasetyo dan seluruh Direktur di LPDP, The European Union (EU) dan Penulis sendiri.
Dalam diskusi tersebut Eko Prasetyo menyatakan bahwa LPDP adalah lembaga pendanaan inovasi yang berbentuk BLU dibawah Kementerian Keuangan dan didirikan oleh tiga Dewan Penyantun yaitu: Kementerian Pendidkan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama. LPDP membiaya riset untuk bidang: governance, budaya,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
313
Sosial keagamaan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, pangan, dan energi
15 Seminar, Koordinasi Lembaga Penerima Insentif Riset SINas Jakarta, 22 Mei 2013 (DATA, ADPRI, 2013)
Direktur Industri, Iptek, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BAPPENAS, Asdep Relevansi dan Produktivitas Riptek, Karoren BATAN, Karoren Ristek, Asdep Relevansi Kebijakan, Asdep Kelembagaan dll.
Mesdin dalam paparannya menekankan perlunya penguatan kelembagaan dan Infrastuktur Iptek. Sesuai amanat RPJPN 2005-2025, pembangunan Iptek harus dapat memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan penguasaan Iptek Untuk model kelambagaan inovasi, maka ada dua model yang bisa diadopsi yaitu: • HIRARKI KOMANDO
Penyederhanaan Struktur Kelembagan Iptek Sehingga Berada dalam Satu Garis Komando Pemberdayaan Salah Satu Entitas Tersebut Sehingga Berwenang Melakukan “Oversight” Ke Semua Lembaga
• DANA RISET TERPUSAT ARN dirancang dan ditetapkan Secar a Top Down dan Anggarannya dikendalikan oleh Satu Entitas Distribusi Anggaran ARN dilakukan Melalui Mekanisme Seleksi Proposal Secara Professional
Dalam Seminar tersebut diungkapkan berbagai pendekatan pemerintah berdasarkan tipologi teknologi, untuk jenis teknologi yang bersifat Development of complex systems dengan ciri High cost Risk Limited appropriability (particularly for infrastructure technology) seperti
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Saff di Kasdepan tersebut.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
314
Aerospace (kedirgantaraan); Electrical and electronics technology; Telecom/computer technology; semiconductor. Maka intrsumen kebijakan yang relevan adalah dalam hal: R&D cooperation Subsidies; dan Bridging institutions to faciltate development of infra-structure technology
16 Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas), Ristek-Komisi III bidang Transportasi, 27-28 Agustus 2013 dengan tema “Inovasi untuk kemajuan bangsa: Sinergi iptek, pendidikan, dan industri untuk mendorong inovasi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi”.
Pakar dari BAPPENAS, Kemenristek, Kemenhub, PU, Kemenperin, Pemerintah Daerah, BPPT, LIPI, BUMN, perguruan tinggi dll.
BJ Habibie mengatakan bahwa: Indonesia telah berpikir untuk mengembangkan teknologi kedirgantaraan sejak proklamasi. Saat itu, Presiden Soekarno mengatakan bahwa negara ini perlu menguasai teknologi pesawat terbang untuk memudahkan dan mempercepat transportasi antarpulau di wilayah Indonesia. Kriteria Sistem transportasi yang ingin di kembangkan adalah:
1. Sesuai dengan Kondisi Geografi
2. Sesuai dengan Ketersedian Sumberdaya Energi
3. Kesiapan Teknologi (TRL) 4. Faktor
Ekonomi/Keterjangkauan 5. Keberlanjutan 6. Demand – Driven
Adapun tema riset yang direkomendasikan adalah:
1. Sistem Transportasi multimoda untuk Konektifitas Nasional
2. Sistem transportasi Perkotaan 3. Sistem transportasi untuk
sistem Logistik 4. Teknologi keselamatan dan
keamanan transportasi
Dukungan kemandirian teknologi kedirgantaraan pada level kebijakan, organisasi.
Kegiatan tersebut adalah ada dalam kegiatan Kedeputian Relevansi dan Produkvitias Iptek dan saat itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kedeputian tersebut.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
315
5. Klaster Industri Transportasi 6. Riset pendukung Transportasi
17 FGD Sinkronisasi PP No. 35 Tahun 2007 untuk Meningkatkan Produktivitas Riptek Industri, 10 September 2013 di Gedung II BPPT lantai 21
Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, I Wayan Budiastra, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan, industri (PT LEN, PT Biofarma dan PT Taharica) dan Para Asisten Deputi terkait di lingkungan Kemenristek. Dalam kesempatan tersebut, selaku moderator acara FGD adalah Asisten Deputi Produktivitas Ripek Industri, Santosa Yudo Warsono.
Pemberian stimulus perlu mempertimbangkan arah strategi pengembangan iptek dan Industri di Indonesia; serta perlu adanya batasan yang jelas jenis kegiatan R&D strategis yang perlu didorong dan diberikan fasilitas, untuk menghindari timbulnya distorsi pada tujuan pemberian stimulus.
Level Kebijakan
PP no.35 tahun 2007 adalah suatu kebijakan yang mikro, padahal dari sisi lain ada strategi yang benefitnya lebih besar dan dapat difasilitasi. Pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan saat ini belum mensyaratkan adanya rekomendasi yang telah diterima Badan Usaha dari Menristek (amanah PP no.35/2007). Fasilitasi Fiskal (PPh) R&D dan Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN & PPnBM) terkait dengan litbang sudah ada dan sudah diimplementasikan secara umum, yaitu :
1. Biaya litbang perusahaan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak (UU PPh Pasal 6);
2. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Paja (UU PPh Pasal 6 jo. PP 93/2010);
3. Pengecualian dari Objek PPh (UU PPh Pasal 4 ayat (3) jo. PMK 80/PMK.03/2009): Dikecualikan
Level organisasi dan operasional
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
316
dari objek pajak atas sisa lebih yang diterima/diperoleh badan/lembaga nirlaba yang bergerak di dalam pendidikan dan/atau bidang litbang;
4. Tambahan Kompensasi Kerugian 1 tahun (UU PPh Pasal. 31A jo PP 1/2007 s.t.d.d. PP 52/2011): Wajib pajak yang memperoleh fasilitas Investment Allowance (PP 1/2007 s.t.d.d. PP 52/2011), apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
5. Pengecualian dari Pemungutan PPh Pasal 22 Impor (UU PPh Pasal 22 jo. PMK 154/PMK.03/2010 s.t.d.d. PMK 224/PMK.011/2012) : Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 22 atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. PPN dan PPnBM tidak Dipungut (PMK 231/KMK.03/2001 s.t.d.d. PMK 70/PMK.011/2013) : Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
7. Pembebasan Bea Masuk Barang Iptek (KMK 143/KMK.05/1997 s.t.d.d. PMK 51/PMK.04/2007): Dibebaskan dari Bea Masuk dan Cukai atas pemasukan barang barang yang benar benar digunakan untuk memajukan ilmu pengetahuan termasuk untuk
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
317
penyelenggaraan penelitian dengan tujuan untuk mempertinggi tingkat ilmu pengetahuan, oleh Perguruan Tinggi, Lembaga dan Badan.
8. Pembebasan Bea Masuk Buku Iptek (PMK 103/PMK.04/2007) : Pembebasan Bea Masuk atas impor buku iptek dan buku lainnya.
18 Diksusi tentang: Kolaborasi kelembagaan dalam Riset, tanggal 7 Agustus 2014 di Gedung II BPPT lantai 21
Narasumber: Mantan Dirjen Dikti, Prof Dr. Satrio Soemantri Brodjonegoro, Moderator: Asisten Deputi Relvansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi. Peserta: Kepala Bidang Evaluasi, Adhi Hermanoe, Kabid Insentif Riset, Hary Subagyo, Kasub Analisis Kinerja Program, M. Athar, Peneliti LIPI, Dudi Hidayat, Direktur CIPG dan satu orang staf CIPG.
Menurut Pak Satrio bahwa, rendahnya efektivitas kolaborasi ABG dalam kegiatan riset lebih disebabkan skema penggunaan dan pertanggunjawaban dana yang rigid, terutama untuk kegiatan riset yang bersifat multiyears. Sementera menurut Pak Dading, bahwa kendala utama kolaborasi ABG ada tiga: pertama, adalah tidak adanya kepastian keberlanjutan riset (berhenti dijalan); kedua, Tidak ada mitra industri yang benar-benar mau menggunakan hasil inovasi, saat ini baru ada dari industri yang tergolong BUMN; ketiga, adalah masalah ribetnya administrasi keuangan; keempat, adalah kekurangan tenaga pengelola administritatif di lingkungan Kemenristek. Untuk efektifitas pendanaan inovasi kedepan, Diskusi menyarankan supaya kedepan dibentuk Funding Agency yang bersifat Independen seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan_Kementerian Keuangan), namun kedepan, LPDP hanay sebagai eksekusi pendanaan saja, adapun penentuan tema riset sampai kegiatan seleksi proposal diserahkan ke instansi rerkait (untuk ranah riset –riset pengembangan di Kementerian Ristek) dan untuk ranah riset-riset dasar di
Dukungan organisasi (pendanaan) dalam upgrading teknologi
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Kasub Analisis Kinerja Program dan Koordinator Kajian Penyusunan ARN 2015-2019
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
318
Perguruan Tinggi). 19 Pidato Wapres di
Haktkenas 19 11 Agustus 2014 di BPPT Lantai 3
Dihadiri Presiden RI III, Menristek, sejumlah Menteri, Dirut BUMN, dan seluruh stakeholder Iptek
Untuk transisi dari resources based economy ke knowledge based economy memerlukan waktu jangka panjang dan sangat kompleks. Didalamnya selain membutuhkan perubahan paradigma juga tentunya investasi SDM yang sangat besar. Permasalahan utama yang saat ini dihadapi bahkan lama adalah membangun koordinasi dan sinergi antar stakeholder iptek. Saat ini, sudah sepatusnya tidak ada dikotomi antara ekonom dan technolog, karena keduanya merupakan keduanya seharusnya bersinergi. Dari sisi proses inovasi, dengan mengacu pada studi Schumpeter di Amerika Serikat, bahwa innovation cost yang paling besar adalah justru pada dua tahap lanjutannya yaitu tahap inovasi dan tahap difusi. Oleh karena itu untuk pembangunan tidak semestinya semua bergantung pada iptek tetapi juga pada efisiensi.
Penulis hadir langsung karena sekaligus sebagai panitia Hakteknas 19
20 Diskusi antara Kemenristek dengan PT RAI, Tanggal 11 Agustus 2014 di Ruang Deputi Program dan Produktivitas Iptek Lantai 21
Deputi Revansi Program dan Produktivitas Iptek Dr Agus Puji, Asdep Relevansi Program Riptek, Ir Ahmad Dading, Asdep Produktivita Riptek Strategis, Bambang Sutedja, Presiden Director PT RAI, Agung Nugroho dan Director of Commercial and Admin, Agung B. Ismadi, Hary Subagyo Kabid Insentif
Diskusi merekomendasikan supaya PT RAI mengidentifikasi kebutuhannya (infrastruktur pengujian) secara lebih detail dan kemudian mengajukan surat permintaan dukungan infrastruktur ke DEPANRI sebagaimana proses N 219.
Dukungan kebijakan dan organisasi dalam upgrading teknologi
Penulis hadir langsung
21 FGD Masukan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek 2015-2019, pada tanggal 10 September 2014. Dihadiri seluruh
Narasumber: Prof Sofyan Effendi, Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 Dan sekarang sebagai salah satu anggota tim arsitek Kabinet Jokowi-Hatta
i. Dulu pada zaman Habibie, Jakstranas Iptek diarahkan untuk mendukung BPIS, Jakstranas sekarang belum jelas arahnya, mau dorong (industri) yang mana?
ii. Membangun Indonesia harus
Level Kebijakan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
319
eselon I Kementerian Ristek serta staf khusus Menristek.
melihat 30 tahun kedepan , itu dulu yang selalu ditanamkan Pak Habibie kepada kami.
Feasibility ekonomi menurut ekonom-ekonomi di lingkungan Kementerian Keuangan adalah dalam jangka waktu lima tahun, oleh karena itu Ristek harus bisa memilih teknologi yang benar-benar dapat “meyakinkan mereka” (demand driven).
Level Sektoral
22 FGD II Pengembangan R-80, Senin, 15 September 2014
Pimpinan Rapat : Asdep Iptek Industri Strategis Peserta:
21. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI
22. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80
23. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification- PT RAI
24. Antari W. M – Ristek 25. ArifRahman – Ristek 26. IsmetYus P. – Ristek 27. M. Athar – Ristek 28. Isabel Sibarani – Ristek 29. Erlani Pusparini – Ristek
Notulensi terlampir Tiga Level (Kebijakan, Intersektoral dan Organisasi)
Peneliti sebagai salah satu peserta dan narasumber (Notulensi terlampir)
23 FGD III pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober 2014
PemimpinRapat:DeputiPendayagunaanIptek Peserta:
30. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI
31. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 denganLembaga
32. Pak Doni – Program Manager PT RAI 33. Pak TjahjoKartiko – Head of
Certification- PT RAI 34. Tjahja P – B2TKS BPPT 35. Gatot M. Pribadi – PT. DI 36. Hisar M. Pasaribu – FTMD ITB 37. Taufiq M. – FTMD ITB 38. W. Wira Y – PTIK BPPT
Notulensi terlampir Tiga Level (Kebijakan, Intersektoral dan Organisasi)
Peneliti sebagai salah satu peserta dan narasumber (Notulensi terlampir)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
320
39. Widrianto – PTIK BPPT 40. A. Witjaksono – PTIK BPPT 41. YantoDaryanto – LAGG BPPT 42. Asdep Industri Strategis-Lenggo 43. Asdep Bambang S. – Ristek 44. Antari W. M – Ristek 45. ArifRahman – Ristek 46. IsmetYus P. – Ristek 47. M. Athar – Ristek 48. Isabel Sibarani – Ristek 49. Erlani Pusparini – Ristek
24 Hakteknas, 8 Agustus 2014, di BPPT- Ceramah Ilmah-Habibie
Sebenarnya saya sekembali dari Jerman hanya ini fokus untuk mengurusi IPTN, namun Pak Harto memaksa saya untuk memegang semua industri strategis (PAL, PINDAD dll)
Fokusing dalam dunia Industri-Level Operasional
Peneliti hadir langsung dalam ceramah tersebut.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
321
Lampiran Sebagian Foto –Foto Terkait
Audiensi Kemenristek dalam rangka Hakteknas di Kediaman Pak Habibie di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. FGD Persiapan Pembentukan Task force upgrading N 250; 11 Agustus 2014
Sidang Paripurna DRN 2014, dengan narasumber utama dari Politisi, BAPPENAS, DRN, PT DI. 26
Juni 2014
Proses Penentuan Arah Pembangunan Iptek sebagai bahan masukan untuk Agenda Riset Nasional (ARN 2015-2019)
yang dilakukan Kementerian Ristek dengan Pakar dari DRN ditambah pakar dari sektor terkait, 2013.
FGD Penyusunan ARN 2015-2019 Ristek dengan DRN, 25 Februari 2014
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
322
Kunjungan ke PT DI November 2013 Rapat Koordinasi Pengembangan Pesawat N-219, Jum’at
/13 Desember 2013 di Hotel Gino Feruci, Bandung
Diskusi antara Kemenristek dengan PT RAI, Tanggal 11 Agustus 2014 di Ruang Deputi Program
dan Produktivitas Iptek Lantai 21
FGD Sinkronisasi PP No. 35 Tahun 2007 untuk Meningkatkan Produktivitas Riptek Industri, 10 September 2013 di Gedung II
BPPT lantai 21
Sidang Paripurna DRN 2014, dengan narasumber utama dari Politisi, BAPPENAS, DRN, PT DI. 26 Juni 2014
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.