d2068-muhammad athar ismail muzakir.pdf

359

Click here to load reader

Upload: phungthuy

Post on 31-Dec-2016

378 views

Category:

Documents


47 download

TRANSCRIPT

Page 1: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

i

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI HIERARKI DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI PADA GLOBAL VALUE CHAIN-INDUSTRI

PESAWAT TERBANG NASIONAL

(Analisis Kegagalan Program Pesawat N 250 IPTN)

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi

Muhammad Athar Ismail Muzakir 1106126844

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI

JAKARTA

Juli 2015

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 2: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

ii

Universitas Indonesia

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 3: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

iii

Universitas Indonesia

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 4: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

iv

Universitas Indonesia

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 5: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

v

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah subhana Huwa ta’ala, karena atas berkat

dan rahmat-Nya, saya diberikan berbagai kemudahan dalam menyelesaikan disertasi

ini Allahumma, amin. Penulisan tesis ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat

mencapai gelar Doktor pada Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas

Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, saya

mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Prof. Dr. Martani Huseini, selaku promotor atas bimbingan yang tidak ternilai

yang telah diberikan kepada saya termasuk membuka jalan untuk bertemu

Presiden RI III Prof. Dr.Ing BJ Habibie.

(2) Prof. Sudarsono Hardjosoekarto, selaku kopromotor, walaupun ditengah

kesibukan yang luar biasa, selalu secara konsisten membimbing kami termasuk

dalam memberikan semangat kepada kami untuk segera menyelesaikan

disertasi ini.

(3) Dr. Teguh Rahardjo, selaku ko-promotor atas dukungan dan dorongan untuk

segera menyelesaikan program doktoral yang saya tempuh dan banyak

memberikan materi terkait, masukan dalam penyusunan disertasi ini;

(4) Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, selaku Ketua Program Pascasarjana

Departemen Ilmu Administrasi yang telah memberikan dukungan agar saya

dapat menyelesaikan disertasi ini tepat waktu;

(5) Kepada segenap tim Penguji: Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA., Prof. Dr.

Ferdinand Dehoutman Saragih, M.A., Prof. Lukman Hakim, M.Sc., Ph.D., Dr.

Andreo Wahyudi, yang telah memberikan masukan yang sangat berharga baik

melalui serangkaian ujian-ujian maupun pertemuan-pertemuan pasca ujian.

(6) Kepada segenap staf Sekretaris Program Doktor Ilmu Administrasi Mas

Umanto, Mas Yanto, Ibu Ana dan semuanya atas segala bantuan yang sangat

berharga yang diberikan dalam proses penyelesaian Disertasi ini.

(7) Presiden RI III, Prof. Dr. Ing BJ Habibie atas kesempatan emas yang telah

diluangkan kepada saya, saya sangat beruntung sekali mendapatkan kesempatan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 6: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

vi

Universitas Indonesia

berdua dengan Bapak untuk menanyakan perihal terkait IPTN dan N 250 serta

wejangan-wejangan spesial terkait dunia penerbangan nasional.

(8) Mba Widya Habibie atas kesediaan dan bantuannya, sehingga pertemuan dalam

rangka wawancara dengan Presiden RI III, Prof. Dr. Ing BJ Habibie dapat

terlaksana.

(9) Seluruh narasumber, yang telah menyediakan waktu yang sangat berharga

untuk memberikan data dan informasi yang saya perlukan untuk penyusunan

disertasi ini.

(10) Ir Ahmad Dading Gunadi M.A, terimakasih atas kesempatan dan kebijaksanaan

yang telah diberikan terutama ketika menjabat sebagai Asdep Relevansi

Program Riptek.

(11) Adhi Hermanu, S.T., M.T, terutama ketika menjadi Kabid saya di lingkungan

Keasdepan Relevansi Program atas kelonggaran waktu serta kesempatan yang

diberikan kepada saya,

(12) Ir Santosa Yudo, M.T, Asdep Relevansi Program Riptek atas kesempatan dan

kemudahan yang telah diberikan kepada saya.

(13) Ir Wawan Bayu, M.M., Kabid Evaluasi atas kesempatan dan kemudahan yang

telah diberikan kepada saya.

(14) Enny Lestariningsih, S.Si, M.E, terutama kesempatan yang telah diberikan

kepada saya, baik ketika program S2 di MPKP.

(15) Dr. Mustangimah selaku Co Promotor Ke-3 yang telah mengajarkan kepada

saya semangat juangnya, juga masukan yang sangat jitu baik secara substansial

maupun teknik penulisan, sehingga saya banyak mendapatkan manfaat yang

sangat berharga dari Beliau.

(16) Dr. Rachma Fitria, yang telah menjadi inspirasi dalam penemuan novelty, juga

telah bersedia membantu dalam proses submit jurnal internasional. Pesan

Beliau yang selalu saya ingat ketika selesai bimbingan terutama dalam

lingkungan Padepokan adalah: “ Progress ya Pak !!!”. Pesan tersebut menjadi

salah satu cambuk bagi Saya dan teman-teman untuk terus menyelesaikan

penelitian ini.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 7: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

vii

Universitas Indonesia

(17) Teman-teman seperjuangan dan seangkatan Bang Tomi, Bang Kasmen, Bang

Cheka, Bang Taufik, Bang Bagus, Bang Burhan, Bang Rustam, Bur Hernita, Bu

Yenny, Bu Agnes, Bu Ita, Bu Ana dan semua teman-teman PDIA angkatan

tahun 2011 (semester ganjil) terimakasih atas dukungan dan kebersamaan yang

akan selalu saya ingat. Semoga kalian segera menyusul dan to be the best.

(18) Teman-teman diskusi: Pak Syahrul, Mas Irfan, Mas Dianta, Pak Dudi, Mas

Amin dll, termikasih atas sumbangsih pemikirannya yang semuanya menjadi

masukan penting bagi disertasi saya.

(19) Kepada segenap Tim Penguji, mulai dari Sidang Proposal, Sidang Hasil, Sidang

Pra Promosi, dan Sidang Promosi, terimakasih atas segenap arahannya.

(20) Tim Sekretariat PDIA di Salemba yang telah banyak membantu saya selama

perkuliahan.

(21) Istriku dan anak-anakku yang kusayangi (Ahmad, Asma’, Yusran, dan

‘Aisyah), yang telah menjadi salah satu motivator penyegeraan penulisan

disertasi ini. Terkhusus untuk Istriku Hanifah Tercinta, yang telah rela

kehilangan sebagai haknya untuk kegiatan penulisan disertasi ini.

(22) Daeku-Ibuku tercinta, terimakasih yang tak terhingga untuk segala

pengorbanan, bimbingan, doa dan ridhomu yang telah menjadi sebab utama

kemudahan segala urusan anakda termasuk dalam proses penulisan disertasi ini.

(23) Dae Taju dan Mumaku rahimahumallah yang anakda cintai yang telah selalu

mendoakan kebaikan dan kesuksesan buat saya. Semoga Alloh subhana Huwa

ta’ala selalu mengampuni dosa Muma dan Dae dan dimasukkan dalam surga

firdausNya, Amin.

(24) Kakak-Kakakku Dae Yu, Dae Sur, Dae Nur, Dae Hijrah, Dae Hikmah, dan Dae

An. Serta adik-adikku Rahmah, Sita, dan Ima, terimakasih atas dukungan moril

dan ataupun material yang tak ternilai harganya dari kalian semua.

(25) Keluarga Besar Bima dari Pihak Istriku Hanifah binti M Jafar, terimakasih atas

segala dukungan moril dan tenaga yang telah diberikan kepada saya dan

keluarga, sehingga membantu kelancaran penulisan disertasi ini.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 8: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

viii

Universitas Indonesia

(26) Akhir kata, saya berdo’a, semoga Allah Subhana Huwa ta’ala membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu penulisan disertasi ini, aamin.

Jakarta, Juli 2015

Penulis

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 9: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

ix

Universitas Indonesia

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 10: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

x

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi konsep kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang yang memiliki tipologi Global Value Chain (GVC) Hierarki. Sejak era reformasi hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dukungan kebijakan terutama dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan relatif lemah dibandingkan dengan periode orde baru. Padahal, sejak 2011-2013, terdapat sejumlah program pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti pesawat N 219, program N 245 yang merupakan upgrading dari CN 235, dan Program Upgrading N 250 menjadi R-80.

Kegagalan Program N 250 IPTN menunjukkan bahwa keberhasilan program upgrading teknologi tidak hanya disebabkan oleh masalah lemahnya manajemen perusahaan, tetapi juga tidak adanya kesinambungan dukungan politik pemerintah. Karena kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi bersifat kompleks dan problematis, baik terkait dukungan secara regulasi maupun political will dari pemerintah, maka penelitian ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM) untuk mengkonstruksi konsep kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan mempertimbangkan systematically desirable dan culturally feasible.

Penelitian ini juga melakukan analisis komparatif khususnya dengan Embraer Brazil dalam program pesawat EMB 120 yang sekelas dengan pesawat N 250 IPTN. Penelitian ini memberikan empat rekomendasi: pertama, selain dukungan secara regulasi, dukungan secara politik dibutuhkan untuk keberhasilan program upgrading teknologi. Kedua, komunikasi dua arah antar level kebijakan nasional dengan level inter sektoral sangat diperlukan, khususnya dalam proses pengarusutamaan arah kebijakan iptek sektor dirgantara. Ketiga, Industri Dirgantara dalam hal ini IPTN/PT DI harus memperkuat value chainnya baik terkait kemampuan manajemen, produksi dan jejaring. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang adalah bukan hierarki murni, karena kemampuan lead firm dalam melakukan codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement dari lead firm yang dibutuhkan justru sangat tinggi. Penelitian lanjutan dapat difokuskan pada analisis konsep proses kebijakan sebagai hierarki pada dinamika tipologi GVC sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat lebih efektif Kata kunci: proses kebijakan sebagai hierarki, tiga level hierarki proses kebijakan, upgrading teknologi, global value chain, tipologi hierarki, soft systems methodology (ssm).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 11: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xi

Universitas Indonesia

ABSTRACT

This research combines the concept of policy process as hierarchy and the concept of Global Value Chain (GVC) in reconstructing the concept of policy in upgrading technology in GVC of an aircraft industry with a hierarchical typology. Since the reformation order until the era of President Susilo Bambang Yudhoyono, policy support for aircraft industry is relatively weak compared to the period of the New Order. However, since 2011 until now, there has been a number of aircraft development programs that were based on technology development, both on-going and at the stage of planning, such as N 219 Air Craft Program, N 245 which is upgrading of CN 235 or R-80 which is upgrading of N 250.

Based on the failure of IPTN Indonesia, particularly the termination of N 250 program, which was not only caused by the poor management of the company as well as sectoral policy and national policy, but also by the lack of political commitment from the government. Because support for technology upgrade is very complex and problematical, either related to regulatory support or government political will, this research employs Soft Systems Methodology (SSM) to find the concept of policy for supporting technology upgrade in GVC- National Aircraft Industry which are both arguably desirable and also culturally feasible. This study provides an illustration of comparative analysis between EMB 120-Embraer Brazil and N 250 IPTN.

This paper recomends four conclusion: First, in addition to regulation support of the national development direction, political support from the government is also required. Second, a two-way communication is required between policy level and sectoral level, especially science and technology research sector, in the effort to mainstream aerospace technology development in the national development planning. Third, Aircraft Industry should also strengthen its value chain, especially improving the management system in terms of production, marketing and networking. Fourth, a GVC typology of aircraft industry which is effective for aircraft technology upgrade program is not completely hierarchical since lead firm codifiability and supplier competence in complying with the lead firm requirements are very high. For further research, the analysis of the concept of policy process as hierarchy for supporting technology upgrade with regarding to dynamic of typology of GVC could be conducted for carrying out technology upgrade effectively. Keywords: policy process as hierarchy, upgrading technology, aircraft industry, global value chain, soft systems methodology (ssm).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 12: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii HALAMAN PENGESAHAN iii KATA PENGANTAR iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

vii

ABSTRAK viii DAFTAR ISI x DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR TABEL xvii DAFTAR LAMPIRAN xix BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Permasalahan 1.2. Identifikasi Masalah 1.3. Perumusan Masalah 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Signifikansi Penelitian

1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan 1.5.2. Bagi Pemerintah 1.5.3. Bagi Industri Pesawat Terbang Nasional

1.6. Batasan Penelitian

1 1 23 37 39 39 39 40 40 40

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 42

2.1. Konteks Penelitian 2.1.1. Kajian Kebijakan di dalam Mendorong Pembangunan

Sektor Dirgantara 2.1.2. Kajian perbandingan Kebijakan Pemerintah dalam

mendorong upgrading teknologi antara Industri IPTN dengan beberapa Industri Pesawat Terbang diberbagai Negara

42

42

47

2.2. Global Value Chain 50 2.2.1. Struktur Global Value Chain 51 2.2.2. Pengkoordinasian dalam Lima Tipologi Global Value Chain 54 2.2.3. Upgrading 61 2.2.4. Upgrading dan Nilai Tambah 62 2.2.5. Upgrading dan Inovasi 63

2.3. Konsep Kebijakan Pemerintah dalam Mendorong Product Upgrading

65

2.3.1. Konsep Peran Kebijakan Pemerintah dalam Rantai Nilai 65 2.3.2. Peran Pemerintah Dalam Upgrading Melalui Open 69

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 13: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xiii

Universitas Indonesia

Innovation 2.3.3. Peran Pemerintah Dalam Upgrading Melalui Triple Helix 73 2.4. Proses Inovasi Antara Model Klasik Vs Open Innovation 75

2.4.1. Proses Inovasi Schumpeter Berbasis Closed Innovation 75 2.4.2 . Proses Inovasi Berawal pada Akhir dan Berakhir pada Awal 77 2.5. Kebijakan Publik 81 2.5.1. Definisi Kebijakan Publik 81 2.5.2. Proses Kebijakan 81 2.5.3. Implementasi Kebijakan 84 2.5.4. Koherensi Kebijakan 87 2.5.5. Siklus Koherensi Kebijakan 88 2.5.6. Level Koherensi Kebijakan 89

BAB 3. METODE PENELITIAN 91 3.1. Paradigma Penelitian 91 3.2. Jenis Penelitian 92 3.3. Alasan Menggunakan Pendekatan Soft System Methodology (SSM) 97 3.4. Tahapan dan Proses Penelitian dalam SSM 101 3.5. Pengumpulan dan Analisis Data 106 3.6. Narasumber Penelitian

107

BAB 4. GAMBARAN UMUM KONDISI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI INDUSTRI PESAWAT DI INDONESIA.

110 4.1. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading)

Sektor Dirgantara pada Level Kebijakan

114 4.2. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading)

Sektor Dirgantara pada Level Kebijakan Sektor/Organisasi

124 4.3. Potret Proses Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading)

pesawat terbang N 250 pada Level Operasional-Industri.

142 4.4. Rich Picture Tiga Level Kebijakan dalam Mendorong

Komersialiasi Next N 250 (R-80).

149

BAB 5. ANALISIS BERBASIS LOGIKA TERHADAP DUNIA NYATA DALAM KONSTRUKSI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI

150

5.1. Root Definition 151 5.1.1. Root Definition Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki

Proses Kebijakan

152 5.1.2. Root Definition pada Level Kebijakan- Regulasi terkait

Arah Pembangunan Kedirgantaraan Nasional

152 5.1.3. Root Definition pada Level Organisasi- Sinergi

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 14: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xiv

Universitas Indonesia

kelembagaan 153 5.1.4. Root Definition pada Level Operasional- Peningkatan

Strategi Manajemen Bisnis

154 5.2. Konseptual Model 154 5.2.1. Model Konseptual Kebijakan Upgrading Teknologi-GVC

IPTN Dengan Pengayaan dengan Konsep Tiga Level Hiearki Proses Kebijakan

154 5.2.2. Model Konseptual Arah Pembangunan Sektor

Kedirgantaraan Nasional dalam Dokumen Pembangunan Nasional.

156

5.2.3. Model Konseptual Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong

Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC IPTN

159 5.2.4. Model Konseptual Manajemen Bisnis untuk Peningkatan

Nilai Tambah Industri Pesawat Terbang dari Product Upgrading.

161

BAB 6. TEMUAN HASIL PENELITIAN 163 6.1. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata (Comparison of Models

and Real World).

163 6.1.1. Level Kebijakan- Arah Pembangunan Sektor Dirgantara 163

6.1.2. Level Organisasi- Sinergi kelembagaan 182 6.1.3. Level Operasional- Peningkatan Manajemen Bisnis 193

6.1.3.1. Analisis Aktivitas Primer Rantai Nilai Pengembangan N 250-IPTN

193

6.1.3.1.1. Struktur Global Value Chain N 250 193 6.1.3.1.2 Analisis Operasi dan Logistik Keluar IPTN 6.1.3.1.3 Analisis Aktivitas Pemasaran dan Strategi

Pemasaran Pesawat IPTN

194

198 6.1.3.2. Analisis Aktivitas Pendukung Rantai Nilai IPTN 207 6.1.3.2.1. Analisis Manajemen Perusahaan IPTN dalam

Pengembangan N 250 207

6.1.3.2.2 Analisis Pengembangan SDM, Infrastruktur & Keuangan IPTN

210

6.1.3.2.3 Analisis Pengembangan Teknologi untuk Pengembangan N 250 IPTN

215

6.1.3.2.4 Analisis Strategi Pengembangan Diferensiasi Pesawat

217

6.1.4. Perbandingan Konseptual Model Konstruksi Tiga Level Hiarki Proses Kebijakan untuk Mendorong Upgrading Teknologi dengan Temuan Lapangan

218 6.2. Tindakan Perbaikan (Action to Improve the Problem Situation) 219 6.2.1. Level Kebijakan- Arah Pembangunan Sektor Dirgantara 220

6.2.2. Level Organisasi- Sinergi Kelembagaan 223 6.2.3. Level Operasional- Peningkatan Manajemen Bisnis 227

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 15: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xv

Universitas Indonesia

6.2.4. Rekonstruksi Kebijakan Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan supaya Upgrading Teknologi PT DI Dapat Survival dan Berkesinambungan.

6.2.5. Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi pada GVC -IPTN

234 238

BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 241 7.1. Kesimpulan 241 7.2. Saran 246 DAFTAR PUSTAKA

250

LAMPIRAN-LAMPIRAN 262

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 16: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xvi

Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Program Penjualan Pesawat Terbang 1975-1997 6

Gambar 1.2 Pertumbuhan Laba/Rugi IPTN Sejak 1976-1993 (dalam Juta

Rupiah)

12

Gambar 1.3 Struktur Organisasi IPTN sebelum Krisis 14

Gambar 1.4 Struktur Organisasi PT DI setelah Restrukturisasi 15

Gambar 1.5 Pertumbuhan Pasar Transportasi Udara Domestik 2000-2012 18

Gambar 1.6 Permintaan Pasar Internasional untuk Pesawat Sekelas N 250 19

Gambar 1.7 Industri Kedirgantaraan dan Keterkaitannya 20

Gambar 1.8 Kebutuhan Transportasi Udara dari Perspektif Kemaritiman 21

Gambar 1.9 Bagan Teori Kajian Tigal Level Hierarki Proses Kebijakan

dalam Upgrading Teknologi pada Global Value Chain tipologi

Hierarki IPTN

25

Gambar 2.1 Peta Penelitian Sejenis (1991-2013) dan Kontribusi Penelitian

Tesis Ini.

50

Gambar 2.2 Pengkoordinasian dalam Lima Tipologi Industrial Governance 54

Gambar 2.3 Global Value Chain di dalam Tipologi Market 56

Gambar 2.4 Global Value Chain di dalam Tipologi Modular 57

Gambar 2.5 Global Value Chain di dalam Tipologi Relational 58

Gambar 2.6 Global Value Chain di dalam Tipologi Captive 59

Gambar 2.7 Global Value Chain di dalam Tipologi Hierarchy 60

Gambar 2.8 The added Value Chain 65

Gambar 2.9 Model Basic Value Chain 66

Gambar 2.10 Model Open Innovation 70

Gambar 2.11 Tiga Proses Inti dalam Open Innovation 71

Gambar 2.12 De-coupling the Locus of Innovation Process 71

Gambar 2.13 Model Closed Innovation 72

Gambar 2.14 Model Triple Helix I 73

Gambar 2.15 Model Triple Helix II 74

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 17: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xvii

Universitas Indonesia

Gambar 2.16 Model Triple Helix III 75

Gambar 2.17 Proses Inovasi 76

Gambar 2.18 Proses Inovasi Berawal pada Akhir dan Berakhir pada Awal 80

Gambar 2.19 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan 84

Gambar 2.20 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan 85

Gambar 2.21 Siklus Koherensi Kebijakan 89

Gambar 3.1 Reporting the SSM-based-AR 94

Gambar 3.2 Siklus Research Interest dalam Penelitian Tindakan 96

Gambar 3.3 Siklus Problem Solving interest dalam Penelitian Tindakan 97

Gambar 3.4 Kerangka Penelitian Tindakan Menurut McKay dan Marshall 100

Gambar 3.5 Model Penelitian Tindakan yang Digunakan 101

Gambar 3.6 Tahapan dalam SSM 102

Gambar 4.1 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat

Terbang PT DI dari Era Orde Baru – Era Saat ini

113

Gambar 4.2 Dukungan Politik Terhadap Pembangunan Sektor

Kedirgantaraan

117

Gambar 4.3 Organisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) 128

Gambar 4.4 Mekanisme Koordinasi Kelembagaan di sektor Kedirgantaraan

Pada Zaman Orde baru.

129

Gambar 4.5 Ilustrasi Sistem Pembiayaan Riset Saat Ini 141

Gambar 4.6 Master Plan Regio Prop (R-80) 146

Gambar 4.7 Rich Picture Tigal Level Kebijakan dalam Mendorong

Upgrading N 250

149

Gambar 5.1 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk

Mengkonstruksi Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi-GVC

IPTN dengan Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses

Kebijakan

156

Gambar 5.2 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memasukkan

Arah Pembangunan Iptek Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam

Dokumen Pembangunan Nasional

158

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 18: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xviii

Universitas Indonesia

Gambar 5.3 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk Membangun

Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi

Pesawat Terbang di GVC IPTN

160

Gambar 5.4 Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memperkuat

Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri

Pesawat Terbang.

161

Gambar 6.1 Arah Pembangunan dalam RPJPN 163

Gambar 6.2 Alur Perencanaan dan Penganggaran 168

Gambar 6.3 Bangun Industri Nasional 2025 173

Gambar 6.4 Proses Teknoratik dan Proses Politik dalam Penyusunan RPJPN 174

Gambar 6.5 Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis

Rujukan dalam penyusunan Agenda Riset Nasional

176

Gambar 6.6 Sasaran Bidang IPTEK REPELITA VI GHBN 1993 178

Gambar 6.7 Lembaga Pendanaan Inovasi-FINEP Brasil 186

Gambar 6.8 Tingkat Eksport dan Penjualan Pesawat serta SDM Embraer

1970-2007

213

Gambar 6.9 Belanja dan Intensitas Litbang Embraer, 1983-2007 214

Gambar 6.10 Jumlah Paten Granted dalam Bidang Aerospace 215

Gambar 6.11 Proses Technoratik Isu Kemandirian Teknologi Kedirgantaraan

dalam Penyusunan RPJP Nasional.

221

Gambar 6.12 Proses Integrasi Rencana Kebijakan Iptek dengan Perencanaan

Pembangunan dan Penganggaran Nasional.

222

Gambar 6.13 Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi

Kedirgantaraan.

224

Gambar 6.14 Sinergi Antar Lembaga Pendanaan untuk Pengembangan

Mendorong Teknologi Kedirgantaraan

225

Gambar 6.15 Proses Pengajuan Program Afirmasi Nasional-Upgrading

Pesawat Terbang N 250/R-80

226

Gambar 6.16 Lembaga Pendanaan Inovasi 227

Gambar 6.17 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Upgrading 232

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 19: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xix

Universitas Indonesia

Teknologi di Industri Pesawat Terbang Embraer

Gambar 6.18 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan untuk Mendorong

Upgrading Teknologi PT DI Sehingga Surive dan Berkelanjutan

237

Gambar 6.19 Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam

Mendorong Upgrading Teknologi pada Global Value Chain -

Tipologi Hierarki

239

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 20: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xx

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penjualan CN 235 sampai Akhir Tahun 2012 3

Tabel 1.2 Keunggulan CN 235 Dibandingkan dengan Para Pesaingnya 4

Tabel 1.3 Aspek-aspek yang Menyebabkan Gagal dan Berhasilnya Industri

Pesawat Terbang dari Berbagai Negara

13

Tabel 1.4 Kondisi Keuangan PT DI 16

Tabel 1.5 Penjualan CN 235 sampai Akhir Tahun 2012 17

Tabel 2.1 Empat Struktur GVC 53

Tabel 2.2 Determinan Utama dari Pengaturan/Koordinasi GVC 60

Tabel 2.3 Proses Kebijakan Publik 82

Tabel 3.1 Perbandingan antara Positivism dan SSM-based AR 93

Tabel 3.2 Elemen Penelitian 100

Tabel 3.3 Aktor-aktor yang Mewakili Peran dalam Penelitian 102

Tabel 3.4 Analisis One, Two, dan Three pada Tahap ke-2 104

Tabel 3.5 Deskripsi CATWOE 105

Tabel 3.6 Kriteria Tranformasi 105

Tabel 3.7 Deskripsi Ringkas Tujuh Langkah SSM dan Teknik Kualitatif

yang Digunakan

106

Tabel 3.8 Narasumber Penelitian 108

Tabel 4.1 Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan pada Level

Kebijakan

119

Tabel 4.2 Arah Pembangunan IPTEK dalam Dokumen Perencanaan

Nasional

122

Tabel 4.3 Punas 1993-1998 yang Tergolong Lima Besar 126

Tabel 4.4 Lima Tema Utama dalam Bidang Rancang Bangun 126

Tabel 4.5 Kebijakan Sektor Iptek vs Kebijakan Sektor Industri 132

Tabel 4.6 Upgrading Teknologi Pesawat Terbang PT DI dalam Empat

Strategi Industri

143

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 21: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xxi

Universitas Indonesia

Tabel 4.7 Kelebihan R-80 Dibandingkan ATR maupun Dash 147

Tabel 5.1 Root Definition Penelitian 151

Tabel 5.2 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1 152

Tabel 5.3 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2 153

Tabel 5.4 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3 153

Tabel 5.5 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4 154

Tabel 6.1 Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2013 165

Tabel 6.2 Arah Pembangunan Iptek 2015-2019 KEMENRISTEK vs

BAPPENAS

167

Tabel 6.3 Riset Unggulan Agenda Riset Nasional 2015-2019 170

Tabel 6.4 Perbandingan Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Indonesia-

Brazil pada Level Kebijakan

181

Tabel 6.5 Peningkatan Fasilitas Uji Pesawat Terbang di Lembaga Penelitian 184

Tabel 6.6 Perbandingan Dukungan pada Level Sinergi Organisasi dalam

Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara antara IPTN Indonesia-

Embraer Brasil

189

Tabel 6.7 Tahapan Upgrading N 250 IPTN dengan EMB 120 Embraer 196

Tabel 6.8 Jumlah Penjualan Pesawat IPTN vs Embraer 202

Tabel 6.9 Perbandingan IPTN Indonesia vs Embraer Brasil 204

Tabel 6.10 Perbandingan SDM, Keuangan dan Produktivitas IPTN vs

Embraer

212

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 22: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

xxii

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ringkasan Hasil Riset Terdahulu 262

Lampiran 2 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan

Refleksi dengan Teori-Level Kebijakan

280

Lampiran 3 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori

284

Lampiran 4 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan

Refleksi dengan Teori (Level Operasional).

287

Lampiran 5 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan

Refleksi dengan Teori-RD1

290

Lampiran 6 Notulensi FGD I Program Pengembangan Regioprop R80 293

Lampiran 7 Notulensi FGD II Program Pengembangan Regioprop R80 296

Lampiran 8 Notulensi FGD III/Diskusi Lanjutan Program Pengembangan

Iptek Bidang Kedirgantaraan

300

Lampiran 9 Analisis Data Hasil Wawancara Konstruksi Tiga Level Hierarki

Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang

di GVC Modular

305

Lampiran 10 Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki

Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang

di GVC Modular

318

Lampiran 11 Foto-foto FGD 332

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 23: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

1

Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Permasalahan

Secara historis, dukungan kebijakan dalam rangka penguasaan teknologi

sektor kedirgantaraan sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Mulai

dengan dibentuknya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) di 1960;

dibentuknya Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang-Komersial

(KOPELAPIP) ditahun 1965, dibentuknya Lembaga Industri Pesawat Terbang

Nurtanio (LIPNUR) sebagai pengganti LAPIP di tahun 1966. Akhirnya,

berdasarkan Peraturan Pemerintah No.12, tanggal 15 April 1975, LIPNUR yang

kemudian dibentuk dengan nama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)

tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Suharto pada 23 Agustus 1976.1

Empat tujuan dari berdirinya IPTN adalah: pertama, menumbuhkan

kekuatan bangsa di bidang kedirgantaraan untuk menunjang ketahanan dan

keamanan nasional. Kedua, menguasai teknologi kedirgantaraan beserta

pengembangan untuk mengurangi ketergantungan dari luar. Ketiga, menjadi salah

satu perusahaan pendorong pertumbuhan industri nasional. Keempat mandiri

secara bisnis serta mampu bersaing di pasar internasional.2

Dalam tahapan upgrading pesawat terbang, IPTN mengadopsi empat tahap

upgrading atau yang dikenal dengan berawal diakhir dan berakhir diawal,

tahapan tersebut terdiri dari: 1) technology transfer phase; 2) technology

integration phase; 3) technology development phase; dan 4) large-scale basic

research phase.3 Pemilihan strategi tersebut dilatarbelakangi dengan beberapa

alasan, pertama: terbatasnya dana, fasilitas dan tenaga dan untuk menjaga

momentum dalam mengejar ketertinggalan dengan negara maju, sehingga untuk

sementara belum dapat dilakukan investasi dalam topik ilmu pengetahuan yang

1 Lili Irahali, Agustus 2001. Dirgantara Indonesia dalam Perspektif Sejarah. 25 Tahun

PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.15. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.

2 Rhenald Kasali, Agustus 2001. Dirgantara Berfikir Secara Bisnis. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.124. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab

3 Harijono Djojodihardjo, 2000. Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 24: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

2

Universitas Indonesia

sifatnya mendasar karena dapat diperoleh dari dari pusat-pusat ilmu pengetahuan

dunia.4

Fase pertama dari strategi tersebut adalah fase pengenalan dan penguasaan

teknologi dalam memproduksi jenis pesawat terbang yang sudah di pasaran.

Beberapa capaian dalam fase ini adalah: Pesawat NC 212 lisensed dari CASA

Spanyol. Beberapa jenis Helikopter seperti: NAS-332/NSA-330, NB0-105, dan

N-Bell-412. Dari jenis Rocket Weapon System seperti: SUT Torpedo dan FFAR.

Dari jenis komponen pesawat, IPTN telah menjadi supplier untuk komponen

pesawat Boeing B-767, B-737, F-100, dan F-16. 5

Di fase kedua yang juga masih eksist hingga saat ini adalah yaitu selain

kemampuan integrasi juga penguasaan pada technology design, dan capaian pada

fase ini adalah pengembangan CN 235 yang dilakukan melalui kerjasama dengan

CASA Spanyol. Selanjutnya pada fase ketiga yaitu technology development

phase, pada tahap ini, kemampuan produksi dan desain sudah meningkat.

Penguasaan teknologi pada fase ini dilakukan dengan memanfaatkan hasil

penelitian dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang

ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu

rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu

pengendalian mutu (quality control) dsb.6 Capaian pada pada fase ketiga adalah

dua seri N 250 yaitu Seri Gatot Kaca dengan kapasitas 50 Penumpang dan Seri

Krincing Wesi dengan kapasitas 70 Penumpang. Pesawat N 250 merupakan murni

buatan IPTN tanpa melibatkan CASA-Spanyol. Dan tahap terakhir dari

transformasi industri adalah riset dasar secara besar-besaran, dan target produk

pesawat pada fase ini rencananya adalah N 2130 (Tabel 1.2).

Dari sisi penjualan produk IPTN, selain pesawat terbang, sebagai hasil dari

tahap pertama, IPTN juga memproduksi dan menjual beberapa jenis Helikopter

seperti Helikopter NBO-105, Helikopter Jenis Puma dan Super Puma sebagai

produksi lisensi dari Aerospatiale Perancis dan kemudian Bell-412 dari Amerika

4 BJ Habibie 1995. Iptek dan Pembangunan Bangsa. cop.cit. h.167 5 B J Habibie, 1994., Progress Report 1974-1994. op.cit.h.68-73 ; Untuk komponen F-16,

IPTN dengan mekanisme kebijakan off set, menjadi supplier untuk bagian sirip 200 Pesawat F-16, lihat lampiran wawancara Habibie oleh Peter F Gontha pada lampiran 9, loc.cit, no. 21.3

6 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 25: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

3

Universitas Indonesia

Serikat.7 Selanjutnya memasuki tahap II yaitu Technology integration phase

dimulai sejak tahun 1980, walaupun masih berpatungan dengan pihak CASA

Spanyol, di tahun 1983, sejak 1987-1993, IPTN telah berhasil merancang dan

memproduksi pesawat CN 235. Sejak tahun 1987 sampai tahun 1993, Produk CN

235 telah diproduksi dan dijual sejumlah 95 unit, baik untuk pasar dalam negeri

maupun luar negeri.8 Di dalam Tabel 1.1 dijelaskan bahwa sejak 1992-1993,

pesawat CN 235 telah dipesan oleh beberapa negara, yaitu Brunei, Malaysia,

Korea Selatan, UE, dan Thailand.9

Tabel 1.1 Penjualan CN 235 1992-1997

No Negara Pembeli

Jumlah Order

Pesawat Tahun Order

Tahun Kirim

1 Brunei 1 CN-235 1995 19972 Malaysia 6 CN-235 1995 19993 Korea Selatan 8 CN-235 1997 2001-20024 United Emirate Arab7 CN-235 1992 1993-19955 Thailand 2 CN-235 1996 1996

Sumber: diolah dari http://analisismiliter.com

Dari sisi produk, sejatinya pesawat CN 235 sangat handal, hal ini terbukti

hingga saat ini, baik di Spanyol maupun di Indonesia, belum ada pesawat CN-235

yang terjatuh10. Dari aspek pasar, pesawat CN 235 yang digunakan untuk misi

militer versi MPA (Maritime Patrol Aircraft) dan misi khusus11 telah digunakan

oleh lebih dari 22 negara, selain ketujuh negara yang telah disebutkan diatas,

negara-negara lainnya diantaranya adalah Turki, Yordania, Maroko, Perancis,

bahkan Amerika Serikat,12bahkan Korsel, Malaysia, dan Pakistan menggunakan

CN 235 untuk pesawat kepresidenan.13

7 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System

Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.h.71; B J Habibie, 1994, op.cit, h.69-70; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.h.71

8 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. 71; B J Habibie, 1994, op.cit. h. 81; 9 http://analisismiliter.com; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. 71 10http://www. vivanews.com 11 Lihat kembali Tabel 1.4 Penjualan CN 235 1992-1997 dan Tabel 1.7 Penjualan CN 235

sampai akhir tahun 2012, pada bab ini 12 http://pengetahuanpintars.blogspot.com/2012/02/7-pesawat-indonesia-

tempurkomersial-di.html#ixzz2uUG7tJjx, Diakses tanggal 27/02/2014 13 Hasil wawancara dengan Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di kantor PT RAI

Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9. no.13.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 26: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

4

Universitas Indonesia

Testimoni keberhasilan IPTN khususnya kemampuan desain dan produksi

pesawat terbang telah diungkapkan oleh Daniel Vertesy dan Adam Szirmai14

(2010) dengan merujuk pada keberhasilan CN 235. Testimoni tersebut tidak

berlebihan jika melihat pangsa pasar pesawat CN 235, pada tahun 1990 pasar

pesawat CN 235 telah merebut sekitar 5% pasar untuk kelas pesawat dengan

kapasitas 20-45 penumpang. Tentang itu, Daniel Vertesy dan Adam Szirmai15

mengungkapkan:

“Analysts considered the realization of the CN-235 venture as a success for

the newly emerging industry of Indonesia”.

Menurut Daniel Vertesy dan Adam Szirmai, pesawat CN 235 telah

memenuhi sejumlah standar industri, tentang hal ini, Daniel Vertesy and Adam

Szirmai16 mengatakan bahwa:

“In comparison with similar aircraft, the technological level of the CN-235

in many ways met industry standards.”

Bahkan, dibandingkan dengan pesawat pesaingnya seperti ATR-42, Dash 8-100,

SF-340 dan EMB-120, CN 235 masih lebih efisien (Tabel 1.2).

Tabel 1.2 Keunggulan CN 235 dibandingkan dengan Para Pesaingnya

Note: a) at long-range performance

Sumber: Regional Airliner Directory, Flight International 10-16 June 1992; producers di

dalam Daniel Vertesy and Adam Szirmai (2010). h. 71

Kehandalan CN 235 versi militer dan atau untuk misi khusus, ternyata

tidak sepenuhnya berlaku untuk versi sipil, pesawat CN-235 versi penerbangan

14 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit..h.82 15 Ibid.h.71 16 Ibid.h.82

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 27: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

5

Universitas Indonesia

rutin komersial dianggap kurang ekonomis, hal ini disebabkan karena direct

operational costnya tinggi dan menyebabkan harga pesawat menjadi mahal.17

Kekurangan pada CN 235 terutama untuk penerbangan rutin komersial,

merupakan diantara misi lahirnya program N-250.

Pesawat N 250 merupakan hasil dari akumulasi kemampuan yang

diperoleh dalam pengembangan NC 212 dan CN 235, namun sayang

pengembangan N 250 dan N 2130 tidak berhasil karena belum sampai pada tahap

komersialisasi (Gambar 1.1). Padahal, sampai dengan tahun 1998, sejatinya

pesawat N 250 yang telah menghabiskan anggaran lebih dari 650 juta dolar

Amerika18 sudah terbang 800 jam atau sekitar 4 tahun lebih, artinya hanya butuh

sekitar 700 jam lagi untuk mendapatkan Sertifikat Kelayakan Terbang (Certificate

of Airworthiness), baik dari Federal Aviation Administration –FAA (Amerika)

maupun Joint Aviation Authorities- JAA yang dikeluarkan oleh negara-negara

Eropa.19 Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, masih dibutuhkan dana sekitir

USD 150-200 juta.20

17 Hasil wawancara dengan bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI

Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9. no.13.2 18 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). High Technology In

Developing Countries:Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry.h.6

19Hasil wawancara dengan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana, 26 Juni 2014. lihat lampiran 9. no.12.2; Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.h.5; Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.42. Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat lihat lampiran 9. no.25.4

20 A. Makmur Maka (2013). Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua: Momentum Telah Berlalu: Konsipirasi Melawan N 250. h.420; A, Makmur Maka (2012). Biografi Bacharudin Jusuf Habibie: Dari Ilmuan ke Negarawan sampai “Minandito”. B.J Habibie dan N 250.h.139

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 28: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

6

Universitas Indonesia

Gambar 1.1 Program Penjualan Pesawat Terbang 1975-1997

Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai ( 2010), h.70

Pesawat N 250 yang telah melakukan uji terbang perdana (maiden flight)

pada 10 Agustus 1995 memiliki dua misi yaitu misi bisnis dan misi nasionalisme.

Misi bisnis, pengembangan N 250 dirancang untuk bisnis dan wisata, harapan

pada saat itu adalah setelah penumpang turun dari pesawat sejenis Boeing dan

Airbus, dan ketika penumpang ingin melanjutkan perjalanan antar propinsi, maka

pesawat N 250 masih menyediakan kenyamaan dan tingkat keamanan yang relatif

tidak kalah dengan dua jenis pesawat sebelumnya.21 Dalam rangka itu, dalam

pengembangan N 250 menyediakan beberapa fitur unggul, pertama, dari sisi

keamanan dan efisiensi yaitu dengan teknologi fly by wire22, pada saat itu baru

tiga jenis pesawat yang telah menggunakan teknologi fly by wire yaitu A-300 hasil

rekayasa dan produksi Airbus Industri (Eropa); N-250 hasil rekayasa dan produksi

industri Pesawat Terbang Nusantara IPTN, selanjutnya BOEING 777 hasil

rekayasa dan produksi BOEING (USA). N250 adalah pesawat turboprop dengan

kecepatan tinggi dalam daerah “subsonik”, sedangkan pesawat Jet AIRBUS A300

yang pertama kali menggunakan fly by wire terbang dalam daerah “transsonik”

21 Wawancara dengan Sudira, Bagian HKI PT DI, lihat lampiran Lampiran 9. no.32 22 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit..h.73

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 29: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

7

Universitas Indonesia

sebagaimana kemudian juga Boeing 777.23. Sementara itu, pesawat Embraer-

Brazil, baru menggunakan Teknologi fly by Fire di 2002 ketika memproduksi

pesawat E-170/190 yang setipe dengan N 2130.24

Saat ini, kebutuhan teknologi fly by wire merupakan salah satu standar

keselamatan yang sangat dibutuhkan bagi pesawat terbang, dengan beberapa

alasan: pertama, pada tahun 1991 dan 1994, Boeing 737 pernah jatuh di Colorado

Springs dan di Pittsburg disebabkan kerusakan pada sistem hidrolik rudder karena

tidak menggunakan teknologi fly by wire.25Kedua, jatuhnya pesawat ATR di

Amerika Serikat di tahun 1994 yang disebabkan karena kerusakan sistem

keseimbangan pesawat26. Ketiga, jatuhnya pesawat tanpa sertifikasi, baik FAA

maupun Easa yaitu MA-60 buatan Xian Aircraf Industry Corporation, Tiongkok.

Pesawat yang di operasikan oleh Merpati Airline tersebut jatuh di Kaimana.

Pesawat MA terjatuh karena perbedaan torsi mesin sehingga membuat pesawat

miring sampai 38 derajat dan kehilangan gaya angkat dan terjatuh.

Keempat adalah pada kasus kecelakaan Pesawat Sukhoi Super Jet 100

(SSJ-100) yang menabrak gunung Salak. Sejatinya, Pesawat Sukhoi Super Jet 100

(SSJ-100) telah dilengkapi dengan TAWS, sebuah sistem yang akan

memperingatkan pilot jika pesawat akan menabrak gunung. Sistem TAWS sudah

memberikan peringatan kepada pilot SSJ-100 untuk menaikkan ketinggian

pesawat. Peringatan ini biasanya berbunyi sekitar 120 detik sebelum pesawat

benar-benar menabrak gunung. Meski berjarak 120 detik, pilot SSJ-100 hanya

punya waktu 24 detik untuk segera menaikkan pesawat. Sayangnya, sang pilot

SSJ-100 mengabaikan peringatan tersebut dan menganggap kesalahan database

TAWS. Dengan waktu yang sedemikian sempit, akan berat bagi pilot untuk

mengatur semua instrumen pesawat sekaligus. Dengan fly-by-wire, pilot tinggal

23 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari

Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. loc.cit. h.2 24 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_E-Jets. 25http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-belajar-

dari-ntsb-540395.html. 26 John MacDougall, 1995 yang dimuat kembali didalam Media Indonesia

Minggu, Edisi 13 Agustus 1995 dengan judul Membawa Gatotkoco ke Pasar, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, diakses tanggal 19-10-2014

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 30: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

8

Universitas Indonesia

menggerakkan tuas untuk menaikkan pesawat, sistem fly by wire akan mengatur

torsi mesin dan membantu menjaga kestabilan pesawat.27

Keunggulan kedua, adalah dari sisi penggunaan teknologi mutakhir,

pesawat N 250 menggunakan teknologi yang paling mutakhir pada waktu itu,

sedangkan produk pesaingnya seperti Fokker-50 menggunakan teknologi 1950an,

ATP memakai teknologi 1960an dan ATR memakai teknologi

1970an.28Keuntungan penggunaan teknologi yang paling mutakhir, selain faktor

kenyamanan juga akan menyebabkan operational cost/maintenance cost pesawat

jauh lebih rendah dengan penggunakan teknologi yang telah lama.29

Kelebihan teknologi N-250 dibandingkan saingan sekelasnya (seperti

ATR-42, ATP, dan Fokker-50) ternyata diakui berbagai kalangan independen.

Salah satunya adalah seorang pakar di Boeing30, pakar tersebut mengatakan:

''N-250 adalah produk yang bagus,'' ... ''Persoalannya sekarang apakah IPTN

mampu memasarkannya,''

Testimoni atas kemampuan desain dan produksi pesawat IPTN baik CN

235 maupun N 250 juga diakui oleh kalangan peneliti yang menganalisis

kegagalan IPTN, salah satunya adalah David McKendrick 199231, di sela-sela

kritiknya atas ketidaktersediaan dukungan kebijakan dan aspek manajemen

industri terkait kegagalan IPTN, David McKendrik juga mengatakan:

“Despite the accumulation of considerable engineering and production

capabilities, technical competencies has not been sufficient for commercial

success. An important reason for the asymmetry between technical

accomplishment and performenced is underdeveloped managerial capacity.

This case raises question about the viability of policy intended to promote

technology “catch up” in complex industries”

27 http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-

belajar-dari-ntsb-540395.html 28 Hasil wawancara dengan Habibie yang dilakukan oleh surat kabar Media Indonesia dan

dimuat pada Minggu, Edisi 13 Agustus 1995. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, di akses pada 19 Oktober 2014

29 Wawancara antara Habibie dengan Peter F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg, lihat lampiran 9. no.32

30 John MacDougall, 1995 yang dimuat kembali didalam Media Indonesia Minggu, Edisi 13 Agustus 1995 dengan judul Membawa Gatotkoco ke Pasar, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, diakses tanggal 19-10-2014

31 David McKendrick, 1992. Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry.h.39.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 31: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

9

Universitas Indonesia

Testimoni keunggulan N 250 juga dibuktikan dengan beberapa komitmen

kerjasama dengan sejumlah kalangan bisnis manca negara untuk manufacturing

dan pemasaran N 250. Pertama, tercapainya kesepakatan dengan local government

of mobile Alabama dengan Investor dari US untuk memproduksi N-250 di US

dengan mendirikan PT ‘American Regional Aircraft Industry’.32Kedua,

pembangunan assembling line dari N 250 di Stuttgart-Jerman.33 Ketiga, British

Aerospace UK juga telah berminat untuk menjadi salah satu perusahaan yang

memproduksi pesawat N 250 dibawah lisensi IPTN.34

Misi kedua pengembangan N 250 adalah nasionalisme, terlepas dari segala

keunggulan tersebut, pengembangan N 250 tidak bisa dilihat dari perspektif

ekonomi semata, karena didalamnya terkandung nasionalisme dan wujud nyata

untuk menunjukkan kepada dunia eksistensi bangsa Indonesia, terutama dalam

penguasaan teknologi mutakhir di bidang yang sangat bergengsi dan disaat bangsa

Indonesia berusaha menuju era tinggal landas dan mengejar ketertinggalan dengan

negara-negara maju pada saat itu.35 Beberapa aspek yang dapat membantu untuk

menganalisis kegagalan upgrading pengembangan pesawat terbang N 250/ N

2130, yaitu: pertama, aspek politik. Momentum awal penyebab kegagalan IPTN

adalah terjadi pada 15 Januari 1998. Melalui letter of intent (LoI) atau nota

kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional (IMF) yang diwakili Mr.

Michel Camdessu sebagai Direktur Pelaksana IMF dengan pihak Indonesia yang

diwakili Presiden Soeharto. Dalam nota kesepemahaman tersebut dinyatakan

bahwa “anggaran yang bersumber dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) maupun non APBN yang dipergunakan untuk program IPTN

32 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74; Sulfikar Amir, 2007. Nationalist

rhetoric and technological development Indonesian aircraft industry in the New Order regime. h.288.

33 Wawancara antara Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv, lihat lampiran 9. no.32.

34 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74 35 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.284; Hendarmin Djarab. (2001). N 250 dan Kebanggaan

Bangsa. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.137. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 32: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

10

Universitas Indonesia

dihentikan.36 Pemberhentian tersebut kemudian diperkuat dengan diterbitkannya

Inpres 2 Tahun 1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN.37

Kedua, menurut Bisry dan Hidayat (1998), kegagalan N 250 juga

disebabkan tidak adanya koherensi antara arah kebijakan pembangunan sektor

iptek dengan pembangunan sektor industri. Hal ini juga dibuktikan dengan

perbedaan strategi pembangunan industri yang diusung antara Menteri Ristek

dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag). Kebijakan sektor

industri lebih mengadopsi Pembangunan resourced-based industries sedangkan

kebijakan sektor iptek lebih mengedepankan pada penguasaan teknologi yang

memiliki nilai tambah tertinggi.38 Senada dengan Bisry dan Hidayat, Thee

(2005)39 juga menyatakan bahwa pada tahun 1990an sampai sebelum krisis

ekonomi 1997/1998, pemerintah melaksanakan dua track strategi industri, satu

diarahkan untuk kebijakan mendorong industri secara luas berbasis sumber daya

domestik dan satu diarahkan untuk mendukung kebijakan berbasis high tech yang

memiliki nilai tambah terbesar yaitu industri pesawat terbang-IPTN.

Sebagaimana halnya Bishry dan Hidayat (1998) dan Thee (2005), Djoko

(2000)40 menyatakan bahwa kegagalan IPTN adalah juga disebabkan sinergi

horisontal antar pemerintah, kalangan industri (dalam hal ini industri dirgantara),

36 Aboeng Koesman, Agustus 2001. Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara

Indonesia: Membuka paradigma baru. h.56. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab 37 Paparan DJKN Kemenkeu di FGD yang diadakan Kemenkeu pada Oktober 2014.

Tentang Pembahasan Awal Wacana Peruntukkan Aset Hasil Program N 250. 38 Rony M. Bisry dan Murman Hidayat, 1998. The Role of BPPT In Indonesia’s

Technology Development.h.174. 39 Kian Wie Thee, 2005a. Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology

Development, h.7 40 Habibie mengatakan: "Yang kita inginkan adalah fair play. Kalau yang lain dengan

produk unggulannya tidak usah bayar tunai, ya kita minta yang sama. Jadi yang ditandingkan itu teknologi dan hasil produksi. Kalau kredit ekspor kan bukan hasil produksi dan teknologi. Itu policy," dikutip dari: Kompas, Selasa, 21 Februari 1995 yang dikutip oleh: [email protected], Rabu, 22 Februari 1995, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014 pada jam 15.00 wib. Pada kesempata lain, Habibie mengatakan: Kepada Arab Saudi, kami telah berhasil menjual CN-235 sebanyak tujuh pesawat seharga US$ 120 juta. Kami sekarang akan jual empat lagi pesawat seharga US$ 150 juta. Mereka berkata, akan menyediakan kredit ekspornya. Jadi keuntungan dari biaya tambah masuk kantong mereka. Mereka mempelajari bahwa IPTN butuh kredit ekspor untuk menjual produk-produknya. Mereka mengajak saya mendirikan perusahaan joint venture untuk mengatasi kredit ekspor ini. (pemikiran) Orang sini belum nyampe, di Arab sudah nyampe (Wawancara GATRA dengan Habibie, dikutip dari: https://id-id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan- N2130/214383261923875?v=info. Tentang masalah kredit ekspor tersebut dapat juga dilihat didalam: Habibie, 1995. op.cit. h.289-291

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 33: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

11

Universitas Indonesia

pengguna, dan penyandang dana belum berjalan dengan baik.41 Salah satu contoh

adalah dalam hal sertifikasi, proses sertifikasi N 250 sedikit terhambat disebabkan

FAA-Amerika belum mengakui kredibilitas badan otoritas kelaikan udara

nasional yaitu Directorate General of Civil Aviation (DGAC) terutama dalam

melakukan uji kelaikan penerbangan pesawat sekelas N 250.42

Presiden BJ Habibie sendiri juga menyatakan bahwa kegagalan Industri

strategis termasuk untuk IPTN waktu itu juga disebabkan karena tidak tersedianya

insentif fiskal khususnya kebijakan kredit ekspor untuk pengadaan pesawat

terbang. Walaupun sampai pada bulan oktober tahun 1995, Departemen

Keuangan, Bank Indonesia, dan BPIS pernah merancang pembentukan sebuah

perusahaan leasing yang tidak hanya untuk penjualan dan ekspor pesawat tapi

juga seluruh produk BUMNIS seperti Palindo Jaya atau Agro Bromo. Namun

demikian, sejak berakhirnya era orde baru hingga saat ini, rencana tersebut tidak

kunjung terealisasi.43

Aspek ketiga adalah terkait manajemen, David McKendrick, 1992

menyatakan bahwa selain lemahnya infrastruktur Iptek, kegagalan IPTN juga

disebabkan oleh kelemahan manajemen.44 Kelemahan manajemen dapat di lihat

dari beberapa aspek, pertama adalah laba/rugi IPTN, sejak 1976-1994,

pertumbuhan laba/rugi perusahaan sangat rendah, bahkan di tahun dimulainya

program N 250 yaitu di tahun 1986/1987, pertumbuhan laba ruginya negatif, di

tahun 1986 Net Loss/Profit maupun Net Cummulative Loss/Profit masing-masing

di -34,276 dan -5,915. Dan di tahun 1987, masing-masing di -6, 680 dan -12, 595

(Gambar 1.2).45

41 Lihat: Djoko Sardjadji, 2000. Ahli Pesawat dari Lereng Gunung Merapi,

http://www.angkasa-online.com/11/01/profil/profil1.htm (1 of 5)12/12/2006 8:29:37. 42 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, loc.cit.h.6; Vertesy, D. and Szirmai, A.

(2010). loc.cit. h.74 43 Habibie, 1995. op.cit. h.288 44 David McKendrick, 1992. Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft

Industry.h.39. 45 B J Habibie, 1994,op.cit. h.91

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 34: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

12

Universitas Indonesia

Gambar 1.2 Pertumbuhan Laba/Rugi IPTN Sejak 1976-1993 (dalam Juta Rupiah)

Sumber: Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994

Aspek manajemen yang kedua, kegagalan upgrading N 250 juga

disebabkan lemahnya jejaring PT DI dengan industri-industri pendukungnya.46

Aspek manajemen ketiga adalah kemampuan produksi, kemampuan IPTN dalam

technology transfer tidak didukung dengan kemampuan dalam efisiensi

produksi.47 Pada awal tahun 1980an, IPTN sebenarnya merencanakan akan

memproduksi sekurang-kurangnya 36-40 pesawat sejenis CN-235 pertahun atau

rata-rata 3 (tiga) pesawat perbulan. Namun kenyataannya, dalam kurun waktu 10

tahun, sejak tahun 1987-1994, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40

pesawat.48 Kegagalan IPTN juga disebabkan strategi backward linkage berupa

tumbuhnya industri-industri pendukung maupun strategi forward linkage berupa

tumbuhnya pasar beserta derivatifnya karena berdirinya IPTN belum berjalan

dengan baik.49

Kegagalan Industri Pesawat Terbang Nusantara dalam proses upgrading

teknologi terutama untuk pesawat N 250 dan N 2130 dapat dianalisis melalui

46 Lall 1998, h. 158 sebagaimana dikutip dalam Yumiko Okamoto dan Fredrik Sjöholm,

2001. Technology Development In Indonesia, h.18. 47 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, 2001. Developing countries and the aircraft

industry:match or mismatch?, h. 555-556. 48 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan

Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. Tim Editor: Purwono, Lili ahali, Hendramin Djarab

49 Ibid., h.44-45

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 35: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

13

Universitas Indonesia

beberapa aspek utama yang tentunya bersifat kompleks messy, serta spesifik, baik

antar aspek kebijakan maupun didalam intra aspek kebijakan tersebut. Aspek-

aspek keberhasilan/kegagalan pada kasus IPTN tentunya sangat berbeda pada

tataran konten dan konteks sebagaimana pengalaman beberapa perusahaan di

beberapa negara, seperti Perusahaan Pesawat Terbang Romaero-Rumania, FAMA

Argentina, Avic China, Embraer-Brazil, Airbus-Eropa, WACO-Amerika Serika

(Tabel 1.3).50

Tabel 1.3 Aspek-aspek yang menyebabkan gagal dan berhasilnya Industri

Pesawat Terbang dari berbagai negara Industri Pesawat Terbang

Aspek Keterangan Operasional/Industri Kebijakan Sektor Kebijakan Nasional dan atau

Dukungan Politik Romaero-Rumania

Ketika industri berusaha untuk mengembangkan rancangan pesawat medium atau large yang berbasis pada licensed manufacturing, perusahaan dihadapkan pada permasalahan financial

- Tidak ada dukungan pendanaan Pemerintah secara jangka panjang

Gagal

FAMA-Argentina

Tidak ada strategi/kemampuan menjual pesawat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional dan sangat bergantung pada pemerintah

- Ketidak stabilan politik dan ekonomi. Sejak pergantian rezim 1955, lima tahun kemudian yaitu di tahun 1960, pemerintah menghentikan proyek jet fighter, the IAe-33 Pulqui II . Pemerintah memutuskan untuk mengimpor the F-86 Sabre fighters dari US

Gagal

Avic China

Strategi pemasaran pesawat terutama untuk pasar internasional pesawat jet 150 penumpang masih lemah

Cross-industry subsidies untuk High Tech Industry

Guideline for National Economic and Social Development (2006-2010) dan The Guideline for the National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan (2006-2020).

Pasar Domestik berhasil, namun untuk eksor gagal

Embraer-Brazil

Kemampuan Produksi sangat tinggi, Risk sharing partnership, konsorsium inovasi telah berjalan dengan baik

Kebijakan Riset, Fiskal, ProEx dan FINEP, Dukungan pendanaan dan perbankan nasional

Sejak 1972, pembangunan iptek sektor kedirgantaraan tercantum dalam arah pembangunan nasional. Pada tahun 1980an Embraer dihadapkan pada krisis ekonomi, namun pemerintah Brasil berkomitmen untuk terus memberikan dukungan terhadap perusahaan tersebut.

Berhasil

IPTN-Indonesia

Manajemen produksi: Kemampuan Produksi lemah, jejaring produksi dengan mitra

Tidak ada dukungan sektor Fiskal, Badan Sertifikasi Pesawat

Dukungan dihentikan pada saat krisis ekonomi 1998

Gagal terutama untuk N 250

50 Narasi lebih dalam terkait kekhasan pendekatan kebijakan antar berbagai negara dalam

mendorong industri dirgantara dapat dilihat pada sub Bab 1.2 Identifikasi masalah pada hal.31-32

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 36: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

14

Universitas Indonesia

dalam/luar neger masih lemah terutama pada saat pengembangnnya CN 235 dan N250

Terbang belum diakui FAA terutama untuk pesawat sekelas N 250

WACO-Amerika Serikat

Kerjasama dengan lembaga riset pemerintah, Kemampuan Produksi sangat tinggi.

Sinergi Pemerintah (lembaga riset ) dan Industri dalam inovasi

Pemerintah mendorong peningkatan kegiatan litbang bahkan menjadi pasar pertama bagi industri pesawat terbang

Berhasil

AirBus Kemampuan Produksi sangat tinggi; Konsorsium antar empat negara: Jerman, Perancis, Inggris, dan Spanyol;

Kemitraan baik antara Industri dan negara

Grant of subsidies : pengalihan sewa dari producer asing ke producer domestik) tetapi juga dalam bentuk dukungan politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi perdagangan dunia (WTO)

Berhasil

Kembali ke konteks IPTN, setelah di restrukturisasi pada 24 Agustus 2000

dan menjadi nama dengan PT DI, visi PT DI kemudian direvisi menjadi: “To be

World Class Aerospace Company based on High technology Mastery and Cost

Competitiveness in the Global market“.51

Gambar 1.3 Struktur Organisasi IPTN Sebelum Krisis Sumber: Habibie, Progress Report, 1994

51 Company Profile PT Dirgantara Indonesia PT DI, 2014.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 37: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

15

Universitas Indonesia

Sejak era 1976 sampai sebelum direstrukturisasi pada tahun 2000, struktur

IPTN adalah terdiri dari President/CEO, di bawahnya CEO, terdapat dua posisi

yaitu Security dan Internal Auditor (Gambar 1.3). Setelah direstrukturisasi, IPTN

yang kemudian berganti nama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memiliki

struktur yang berbeda, yaitu dibawah President Director terdapat Strategic

Business Unit Aircarft Services yang didukung oleh empat Divisi yaitu: Division

of sales and marketing aircraft services, Division of maintenance modification,

Division of logistic management aircraft services, Division of finance and

administration aircraft services. Selain empat divisi tersebut, terdapat enam posisi

jabatan lainnya dibawah Strategic Business Unit Aircarft Services, yaitu: Asisten

President Director for Government’s Liason, Corporate Secretary, Divison of

Internal Audit, Division of Corporate Planning, dan Division of Security (Gambar

1.4).

Gambar 1.4 Struktur Organisasi PT DI setelah restrukturisasi

Sumber:http://www.indonesian-aerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus5

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 38: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

16

Universitas Indonesia

Selama periode 1998-2002 yang dikenal dengan masa bleeding, IPTN

mencatat kerugian sebesar Rp. 725 triliun. Di tahun 2008 turun menjadi Rp. 84,

34 triliun. Satu tahun kemudian yaitu di tahun 2009, PT DI mendapatkan

keuntungan sebesar Rp. 117,8 miliyar. Di tahun 2010, PT DI masih menyisakan

hutang jangka panjang sebesar Rp. 2,5 triliun dengan equitas (modal sendiri)

masih negatif sebesar Rp. 707 miliar.52 Pada tahun 2011, pemerintah memutuskan

untuk memutihkan hutang PT DI sebesar Rp. 2 triliun, setelah dua tahun

kemudian khususnya di tahun 2013, equitas PT DI positif sekitar Rp. 40 miliar

(Tabel 1.4).53

Tabel 1.4 Kondisi Keuangan PT DI

Tahun Neraca keuangan dan Laba/Rugi

1998-2002 Rp. 725 triliun (rugi)

2008 Rp. 84,34 triliun (rugi)

2009 Rp. 117,08 miliyar (laba)

2010 Sisa utang jangka panjang: Rp. 2, 5 triliun

Equitas: negatif Rp. 707 miliar

2011 Hutang Rp. 2 triliun diputihkan oleh Pemerintah

2013 Equitas: Positif 40 miliar Total omset: Rp. 3 Triliun

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Sampai dengan bulan november 2011, kondisi SDM PT DI menurun

drastis jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Sampai dengan tahun

2011, jumlah SDM PT DI hanya berjumlah 4.190 orang, dengan perincian aero

structure 1.688 orang, aircraft integration 800 orang, aircraft service 363 orang,

dan teknologi dan pengembangan 851 orang.54 Hingga november 2013, jumlah

SDM PT DI semakin berkurang dan hanya tersisa sekitar 3000an personil.55

52 Lihat wawancara dengan Bagian Keuangan PT DI pada lampiran 9 no. 23.3 dan no. 11.9 dan juga

lihat Rahman (2011) dikutip di http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&article_category=5 diakses pada tanggal 12 Agustus 2014.

53Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2

54 Hasil Lokakarya DEPANRI, November 2011. h.2 55 Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh

Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 39: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

17

Universitas Indonesia

Terkait fasilitas, status kondisi fasilitas seperti fasilitas industri komponen masih

berfungsi dengan baik, fasilitas uji desain tidak banyak digunakan lagi, hanya

Wind Tunel Test-WTT dan (Electronic Magnetic Compatibility- EMC) untuk

pesawat ukuran kecil masih berfungsi dengan baik. Sedangkan fasilitas design

procedure dan configurasi management sedang dipersiapkan untuk memenuhi

standar Airbus.56Dari sisi kapasitas produksi, saat ini kemampuan produksi PT DI

khususnya untuk pesawat CN 235 sangat kecil yaitu hanya empat pesawat

pertahun57. Dari aspek penjualan pesawat, khususnya pesawat CN 235,

berdasarkan data http://analisismiliter.com, bahwa mulai dari tahun 2002 sampai

dengan akhir tahun 2012, orderan CN 235 yang terjual, baik di pasar domestik

maupun pasar internasional tidak lebih dari 12 pesawat (Tabel 1.5).

Tabel 1.5 Penjualan CN 235 sampai akhir tahun 2012

Pembeli Jumlah Order

Jenis Order Tahun Order

Tahun Terima

Keterangan

Korea Selatan 4 CN-235 MPA 2008 2010-2011 Harga sekitar $94 juta, CN-235-220 untuk patroli maritim Korean Coast Guard

Bukirna Faso 1 CN-235-220 2007 2007 CN-235 versi sipil ex Asian Spirit Filipina yang dijual ke Burkino Faso oleh Filipina. Namun dimodifikasi dan upgrade oleh PT DI menjadi transportasi militer Burkino Faso

Senegal 2 CN-235-220 2010 2010-2011 Deal $13 Juta, CN-235 versi sipil ex Merpati Nusantara yang dimodfikasi dan upgrade menjadi versi transport militer

Malaysia 2 CN-235-220 2002 2005-2006 CN 235 versi militer

Pakistan 3 CN-235-220 2002 2004 CN 235 versi militer Sumber:http://analisismiliter.com/artikel/part/51/All_About_CN-235_IPTNPT_DI_Indo

Padahal, kebutuhan pasar domestik untuk pesawat terbang sangat besar.

Tingginya tingkat kebutuhan transportasi tersebut juga ditunjukkan dengan

semakin meningkatnya jumlah permintaan pasar yang diukur dari jumlah

penumpang transportasi udara. Selama sembilan tahun yaitu dari tahun 2002-

2012, jumlah permintaan pesawat terbang melonjak tajam dari 10.000.000

menjadi 60.000.000. Walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008,

namun secara keseluruhan, sejak tahun 2000-2012, rata-rata pertumbuhan pasar

56 Hasil Lokakarya DEPANRI. op.cit. h.3 57 Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III

yang diadakan Kemenristek pada Jumat, 3 Oktober 2014 dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan,

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 40: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

18

Universitas Indonesia

transportasi udara domestik yang diukur dari jumlah penumpang adalah mencapai

19,6% pertahun (Gambar 1.5).

Gambar 1.5 Pertumbuhan Pasar Transportasi Udara Domestik 2000-2012 Sumber: FGD I yang diadakan Kementerian Ristek 2014

Secara lebih spesifik, pasar pesawat terbang turboprop (baling-baling)

sejenis N 250 dan CN 235 dalam 20 tahun kedepan yaitu dalam rentang tahun

2013-2023 sangat besar hingga mencapai 3.266 pesawat, dengan perincian adalah

sebanyak 2862 pesawat untuk kategori kapasitas lebih dari 60 penumpang dan

1147 dengan kapasitas 90-120 penumpang (Gambar 1.6). Nilai penjualan dari

2862 pesawat adalah sekitar USD 57 miliar dengan harga rata-rata adalah USD 20

juta per pesawat. Produsen-produsen pesawat terbang di prediksi akan lebih

banyak bermain pada kelas 60-80 penumpang. Sebaliknya pesawat dengan

kapasitas 80-90 akan memiliki nilai kompetitif yang jauh lebih besar, bahkan

sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.6, bahwa baik pada skenario pertama

maupun kedua, pangsa pasar pesawat dengan kapasitas 90 penumpang ke atas

akan jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan dua segment sebelumnya.

Dari sisi permintaan, pasar domestik untuk pesawat N 250 sebenarnya

cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar dari pesawat sejenis N 250

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 41: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

19

Universitas Indonesia

seperti ATR-72 dari Perancis, Bombardier Dash8-Q400-Kanada58 dan juga EMB-

120-Brazil.59

Gambar 1.6 Permintaan Pasar Internasional Untuk Pesawat Sekelas N 250 Sumber: Paparan PT RAI dihadapan Menristek, Juni 2014 dan dipaparkan ulang pada FGD III yang diadakan

Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014.

Untuk pasar Indonesia, Pesawat ATR-72 hingga saat ini lebih banyak

digunakan dibandingkan dua pesawat lainnya.60 Mulai dari Trigana Air, Wings

Air dan bahkan Garuda Indonesia. Wings Air telah mengorder sejumlah total 80

pesawat dengan perincian adalah 20 pesawat telah diterima, dan 60 pesawat

58Permintaan Pesawat turboprop dari tahun 2012 hingga tahun 2032 akan semakin

meningkat dan mengalahkan permintaan pesawat jet, yaitu dari 45% di tahun 2012 menjadi 48% di tahun 2032. Lihat paparan PT. Regio Aviasi Industri h.25 yang juga disampaikan pada FGD II yang diadakan Kemenristek tentang Pengembangan R-80, 15 September 2014.Lihat lampiran 10 FGD no.22.

59 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-44 60 Tentang keunggulan New N 250 dengan ATR-72 bahkan dengan Bombardier telah

diuraikan pada Tabel 4.7 Kelebihan R-80 dibandingkan ATR maupun Dash, pada Bab IV h.132

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 42: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

20

Universitas Indonesia

MAINTE-NANCE

ENG.SERVICES

FLIGHTOPERATION

COM-PONENT

Manufacture

Ada 134 PerusahaanPerawatan PesawatDi Indonesia

Ada 20 Perusahaan ScheduledAda 34 Perusahaan Charter

Di Indonesia

Ada Ratusan PerusahaanJasa enginering

di Indonesia

Ada RatusanPerusahaan Tools & Ground Handling

dibawah GAMMA

Keterangan :CT : Communication TechnologyGD : Global DesignST : Simulation TechnologyIT : Information Technology

tambahannya sedang dalam proses order.61 Selain Wings Air, Garuda Indonesia

juga telah mengorder sejumlah total 35 pesawat, dengan rincian adalah sebanyak

25 unit pemesanan bersifat firm order dan 10 unit pemesanan bersifat option

order.62 Berdasarkan data hingga tahun 2012, bahwa secara internasional,

permintaan akan pesawat ATR 42 dan ATR 72 rata-rata 150 pesawat per

tahun.63Hingga tahun 2013, pesawat ATR yang merupakan “pengganti pesawat”

N 250 telah terjual sejumlah 1.500 pesawat.64

Keterkaitan antar sektor kedirgantaraan dengan subsektor turunannya

cukup tinggi. Gambar 1.7 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam rangka

pengembangan program pesawat N 219, industri kedirgantaraan mampu

mendorong tumbuh kembangnya perusahaan-perusahaan di Indonesia seperti

perusahaan tools dan grounding handling, perusahaan jasa engineering,

perusahaan scheduled, perusahaan charter, perusahaan perawatan pesawat dll.

Gambar 1.7 Industri Kedirgantaraan dan Keterkaitannya dalam Program Pesawat

N 219 Sumber: Paparan dari Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin didalam

FGD yang diadakan Kementerian Ristek, 2013 dalam Mendukung Pengembangan Pesawat N 219

61 http://finance.detik.com/read/2012/12/26/113004/2126749/1036/wings-air-terima-

pesawat-atr-72-600-pertama-di-asean 62 FGD III Pengembangan R-80 yang diadakan Kemenristek, tanggal 3 Oktober 2014;

http://indo-aviation.com/2013/11/25/garuda-perkenalkan-explore-sub-brand-untuk-operasional-atr-72-600/

63 FGD II Pengembangan R-80 yang diadakan Kemenristek, 15 September 2014 64 Rista Rama Dhany, 2013. Kalau N250 Buatan Habibie Berhasil, Tak Akan Ada ATR 72

Buatan Prancis. http://finance.detik.com/read/2013/03/27/155219/2205369/1036/, diakases tanggal 9 Oktober 2014.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 43: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

21

Universitas Indonesia

Kebutuhan industri kedirgantaraan semakin vital apabila ditinjau dari

beberapa aspek selain aspek ekonomi: pertama, aspek Pertahanan dan Keamanan,

bonus demografis hingga kini masih menyisakan kenyataan bahwa masih banyak

daerah-daerah terluar, terpencil, dan tertinggal yang sulit untuk dijangkau baik

melalui darat maupun laut. Tidak jarang masyarakatnya lebih mengenal atau lebih

dekat dengan negara tetangga (misalnya: Malaysia, Brunai, dan Philipina).

Terlebih lagi, apabila negara-negara tetangga tersebut sering melakukan patroli di

perbatasannya. Dengan kondisi seperti ini ancaman terhadap keamanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat terbuka lebar.65Apalagi dalam

perspektif maritim continental baik ditinjau dari sisi fleksibilitas transportasi

maupun sisi ekonomi, dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika,

Canada, Brazil, Australia, China, dan Eropa, kepulauan Indonesia lebih

membutuhkan transportasi udara dibandingkan negara-negara tersebut (Gambar

1.10).66

Gambar 1.8 Kebutuhan Transportasi Udara dari Perspektif Kemaritiman Sumber: PT RAI, Juni 201467

65 Panitia Teknis DEPANRI, Juni 2011. Naskah Akademik Pengembangan Pesawat N-

219 Untuk Mendukung Transportasi Daerah Terpencil Di Indonesia. h. 16 66 PT RAI, paparan dengan judul: Program R80 Investasi Bisnis Berbasis Visi. dipaparkan

dalam FGD yang diadakan kemenristek, 2 juni 2014. lihat lampiran 10 FGD no.2 dan 22 67 Bahan Presentasi dari PT RAI (2014), Program R80: Investasi Bisnis Berbasis Visi.

Dipaparkan didepan Menristek Gusti Muhammad Hatta, pada 2 juni 2014. File tersebut kemudian juga dipaparkan dalam dua FGD setelahnya yaitu pada FGD yang diadakan Kemenristek tentang Penguatan Riset dan Iptek Sektor Dirgantara. Lihat lampiran 10 FGD no.2 dan 22

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 44: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

22

Universitas Indonesia

Kedua, dari aspek sosial politik dan budaya. Misalnya daerah pulau

Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi

dua antara Indonesia dan Malaysia. Kondisi ekonomi masyarakat yang masuk

wilayah teritorial Indonesia berbeda jauh dengan kondisi ekonomi masyarakat

yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Apalagi bila dibandingkan dengan Tawau

atau Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya baik sarana

sosial amat timpang. Akibatnya, masyarakat di daerah ini umumnya berada dalam

kondisi miskin dan tertinggal, bila dibandingkan dengan daerah induknya.68 Salah

satu contoh, khususnya di pedalaman Papua, bahwa beras raskin senilai Rp

3000/kg dapat menjadi Rp 25,000/kg, begitupun bahan bakar subisidi Rp 4500/L

dapat menjadi Rp 30,000/L. Padahal, kalau tersedia modal pesawat commuter atau

feeder liner, maka setelah memasukkan variabel harga angkut sekitar Rp 8

Juta/2000 kg , maka harga perkilo gram beras tersebut diturunkan hingga menjadi

hanya Rp 4000.69

Berdasarkan pada aspek keunggulan produk, potensi pasar domestik yang

sangat besar, aspek kemaritiman, aspek sosial budaya dan hankam, nilai tambah

dan daya dorongnya terhadap tumbuh kembangnya sektor lainnya ditambah lagi

dengan telah tersedianya kemampuan rancang bangun dan manufaktur pesawat

terbang beserta prasarana dan sarana pengujian pesawat terutama di Puspiptek,

LAPAN, ITB dan BPPT, secara akumulatif menjadi alasan utama untuk

mewujudkan kemandirian teknologi di sektor kedirgantaraan sebagaimana telah

diamanatkan dalam hukum-hukum positif di sektor kedirgantaraan, baik dalam

UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan maupun di dalam Perpres No. 32

Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3Ei) UU.70

68 Panitia Teknis DEPANRI, Juni 2011.loc.cit, h. 15 69 Paparan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana dalam

Sidang Paripurna DRN 2014, Juni, 2014. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia, slide no. 21.

70 Dokumen Master Plan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, h. 90

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 45: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

23

Universitas Indonesia

1.2. Identifikasi Masalah

Kemampuan IPTN dalam memproduksi pesawat, baik yang berbasis pada

fase pengenalan dan penguasaan teknologi dalam memproduksi jenis pesawat

terbang yang sudah di pasaran seperti Pesawat NC 212 dibawah lisensi CASA

Spanyol hingga pesawat yang berbasis pada kemampuan integrasi dan penguasaan

pada technology design yaitu pesawat CN 235 juga melalui kerjasama dengan

CASA Spanyol relatif berhasil. Paling tidak, kedua fase tersebut telah memasuki

fase komersialisasi. Namun, ketika IPTN menuju pada pengembangan pesawat

terbang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan

teknologi yang berbasis indegenous technology yaitu pesawat N 250, IPTN gagal

masuk skala komersial dan hanya berhenti pada skala produksi dua prototipe yaitu

N 250 Gatot Koco versi 50 sheeter dan N 250 Krincing Wesi versi 70 sheeter.

Kegagalan Program N 250 menunjukkan bahwa untuk keberhasilan

upgrading teknologi pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan

pengembangan teknologi yang berbasis indegenous technology ternyata tidak

cukup jika hanya mengandalkan pada kemampuan operasional terutama

kemampuan pengembangan teknologi itu sendiri, namun juga dibutuhkan

dukungan aspek operasional lainnya seperti manajemen, pemasaran dan lain-lain.

Bahkan selain aspek operasional secara umum, keberhasilan upgrading teknologi

juga sangat ditentukan oleh dukungan pada level kebijakan, baik pada level

kebijakan nasional maupun pada level kebijakan sektoral.71

Pada level operasional, konsep upgrading teknologi secara prinsip dasar

telah didiskusikan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Michael Porter

(1985) melalui pendekatan primary activities and supporting activities dalam

konteks value chain, Chesbrough (2005); Gassmann and Enkel (tanpa tahun);

Soren Kaplan dalam konteks open innovation; Petter M.Milling dan Frank H.

Maier (Schumpeterian) dalam konteks proses komersialisasi inovasi, dan Habibie,

1995 dalam konteks strategi berawal diakhir dan berakhir diawal. Pada level

kebijakan inteksektoral, keberhasilan upgrading teknologi telah didiskusikan oleh

beberapa peneliti diantaranya adalah Chesbrough (2005) dan Gassmann and Enkel

(tanpa tahun) dengan pendekatan open innovationnya; Henry Etzkowitz (2008)

71 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 2-7

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 46: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

24

Universitas Indonesia

dan Henry Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) dengan pendekatan triple helixnya

dan OECD (2008/2009) dengan Policy Coherence.

Untuk diskusi yang lebih menekankan pada pendekatan level kebijakan

makro juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah McPhee and

Wheeler (2009) dengan konsep kebijakan pemerintah dalam menyediakan

environtment untuk value chain industri; OECD (2008/2009) dengan Policy

Coherence; Chesbrough dan Vanhaverbeke (2011) dan Henry Etzkowitz (2008)

dengan penekanan pada konsensus pemerintah terhadap keberhasilan kegiatan

inovasi. Sejumlah penelitian tentang upgrading pesawat terbang menunjukkan

bahwa keberhasilan industri pesawat terbang ternyata tidak cukup hanya

mengandalkan pada kemampuan pada level produksi atau operasional semata,

bahkan sangat ditentukan oleh sejumlah aspek baik pada pada level kebijakan,

maupun pada level kebijakan sektoral baik iptek maupun ekonomi.72 Dalam

perspektif kebijakan, konsep tersebut merupakan kerangka tiga level hierarki

proses kebijakan Bromley (1989).73

Disisi lain, konsep upgrading dalam Global Value Chain baru sebatas

menjelaskan adanya peran kebijakan pemerintah dalam upgrading serta

mengkaitkannya dengan tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi proses

upgrading.74 Namun demikian Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-

lain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tersebut khususnya pada

global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan

tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk

keberhasilan suatu Industri dalam melakukan upgrading teknologi sebagaimana

halnya kerangka tiga level hierarki proses kebijakan Bromley.

Untuk itu, kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini

bertujuan untuk menjelaskan upgrading teknologi pesawat terbang pada GVC

tipologi hierarki dengan menggunakan kerangka tiga level hierarki proses

kebijakan Bromley (1989) dan kerangka tipology Global Value Chain Gareffi,

Humphrey, dan Sturgeon (2005) dengan mengacu beberapa konsep dasar yang

72 Ibid. 73 Daniel W. Bromley, 1989. op. cit. h. 27-3 74 Gareffi, 2011. loc. cit. h.39: Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010.

op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011. loc cit. h.15-21; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. loc. cit. h.1023

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 47: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

25

Universitas Indonesia

dapat membantu untuk menjelaskan upgrading teknologi pada masing-masing

level yaitu seperti: Michael Porter (1985) dalam konteks value chain, Chesbrough

(2005); Gassmann and Enkel (tanpa tahun) dan Soren Kaplan dalam konteks open

innovation; Petter M.Milling dan Frank H. Maier tentang proses inovasi, Henry

Etzkowitz (2008) dan Henry Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) dengan konsensus

pemerintah dalam triple helix, McPhee and Wheeler (2009) tentang kebijakan

pemerintah dalam konteks value chain, dan OECD (2008/2009) terkait koherensi

kebijakan. Dan berdasarkan penelaahan teori GVC75 yang diperkuat dengan

beberapa wawancara yang telah dilakukan76, bahwa pandangan awal untuk IPTN

N 250 di dalam penelitian ini dimasukkan dalam kerangka GVC tipologi hierarki

(Gambar 1.9).

Diadopsi dari Gereff i, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Bromley (1989)

Upgrading Teknologi Pada Tataran Konsep Kebijakan: Henry Etzkowitz (2008),H Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) -Triple Helix; McPhee and Wheeler (2009)-policy environment; Chesbrough (2005); Chesbrough dan Vanhaverbeke (2011)-open innovation; Policy Coherence-OECD(2008/2009);

Upgrading Teknologi Pada tataran konsep kebijakan Intersektoral : Gassmann and Enkel (tanpa tahun)- open innovation; Henry Etzkowitz (2008); H Etzkowitz dan Leydesdorf (1990); Policy Coherence-OECD(2008/2009)

Konsep Upgrading Teknologi Pada tataran Industri: Chesbrough (2005); Habibie, 1995-4 tahap upgrading teknologi.;Gassmann and Enkel (tanpa tahun); Petter M.Milling dan Frank H. Maier (Schumpeterian)-komersilasiasi inovasi; SorenKaplan-open vs closed innov; Henry Etzkowitz (2008); Michael Porter (1985), value chain

Karekterisasi GVC Hierarchy:1.Intervensi Pemerintah:regulator; sumber pendanaan, sebagai pasar (G. Gereffi., J.Humphrey & T.Sturgeon, 2005. h.91-94). 2.Kompleksitas transaksi tinggi3. Kemampuan lead firm dalam mengkodifikasikan rendah4. Kemampuan pemasok utama rendah (G. Gereffi., (J.Humphrey,. & T.Sturgeon, 2005. h.87).

GVC Hierarki

Gambar 1.9. Bagan Teori Kajian Tigal Level Hierarki Proses Kebijakan dalam

Upgrading Teknologi pada Global Value Chain tipologi Hierarki IPTN

Sumber: Diadopsi dari Bromley (1989) dan Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005)

75 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, Februari 2005. loc. cit. h.84-88 76 Wawancara yang dilakukan dengan Sonni Ibrahim, lihat lampiran 9 no 11.5.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 48: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

26

Universitas Indonesia

Sejak era orde baru hingga saat ini, permasalahan tiga level hierarki proses

kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang

merupakan permasalahan yang kompleks dan messy. Setelah era orde baru hingga

saat ini, dukungan kebijakan terhadap pengembangan industri kedirgantaraan

khususnya dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan jauh lebih messy

dan kompleks karena tidak hanya lemah pada level kebijakan sektor khususnya

sektor fiskal dan pada level operasional, bahkan lemah pada dukungan level

kebijakan nasional, baik didalam dokumen RPJPN maupun dalam RPJPMN.

Walaupun pada tataran kebijakan yang merupakan inisiasi sektor telah

terdapat sejumlah kebijakan yang diarahkan untuk mendorong pembangunan

sektor dirgantara seperti UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan, Perpres No.

32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3Ei).77 Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan

Industri Nasional tentang insentif fiskal dan insentif non-fiskal untuk

pengembangan pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang.

Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009, tentang Peta

Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Bersamaan

dengan dukungan dari sejumlah level dan arah kebijakan tersebut, di dalam

Bangun Industri Nasional 2025, Industri Dirgantara merupakan industri masa

depan yang tergabung dalam Industri Alat Angkut.78

Namun, baik dalam UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun dalam

Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN)

periode 2010-2014, arah kebijakan pembangunan kedirgantaraan belum

dinyatakan secara tegas dan menjadi prioritas. Karena prioritas bidang

pembangunan Iptek dalam kedua dokumen tersebut hanya meliputi bidang

Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Teknologi Informasi

dan Komunikasi dan Material Maju, dan tidak ada sektor kedirgantaraan. Padahal,

sebagaimana dinyatakan dalam UU 25/2005 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (Sisrenbangas), bahwa tercantumnya arah kebijakan di

77 Ibid. slide no. 11 78 Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan – Ditjen IUBTT-

Kementerian Perindustrian, 2012

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 49: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

27

Universitas Indonesia

dalam dokumen RPJPN dan RPJMN merupakan jaminan terjadinya keterkaitan

dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran.79Apalagi mengingat bahwa

pembangunan sektor dirgantara khususnya pembangunan industri pesawat terbang

membutuhkan komitmen pemerintah yang bersifat jangka panjang, baik dari sisi

pendanaan maupun politik.

Tidak tercantumnya arah pembangunan iptek sektor dirgantara baik dalam

UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Pembangunan Jangka Panjang

Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014 berimplikasi

pada lemahnya dukungan kebijakan pada level sektoral, terutama pada sektor

riset, fiskal, dan infrastruktur (SDM dan fasilitas pengujian pesawat terbang). Dari

sektor riset dan inovasi, sejumlah kebijakan sektor iptek baik terkait Jakstranas

Iptek 2010-2014 beserta turunannya ARN 2010-2014 belum secara tegas

diarahkan untuk mendukung pembangunan iptek sektor dirgantara. Bahkan, dalam

draft Jakstranas Iptek untuk 2015-2019 beserta turunannya yaitu ARN 2015-2019,

arah kebijakan strategis iptek beserta agenda riset belum diarahkan pada

pembangunan iptek sektor dirgantara.80

Dari aspek SDM, dalam rangka pengembangan R-80 yang merupakan

upgrading N 25081 dibutuhkan sekitar 1000 SDM.82 ITB sebagai satu-satunya

institusi pendidikan yang memiliki program pengembangan keilmuan teknologi

dirgantara83di Indonesia hanya meluluskan sebanyak 60 orang lulusan aerospace

engineers per tahun.84 Dalam lima tahun kedepan, jika arah pengembangan iptek

sektor kedirgantaraan tidak tercantum di dalam program nasional jangka panjang,

maka SDM dibidang kedirgantaraan akan habis.85Sementara jumlah SDM PT DI

79Pasal 2 ayat (4) butir c – UU SPPN dituliskan bahwa SPPN bertujuan untuk menjamin

keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan 80 Draft Jakstranas Iptek 2015-2019 dan Draft Agenda Riset Nasional 2015-2019 81 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang

Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013. 82 Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014,

lihat wawancara lampiran 9 no. 25 83 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, tanggal 3

Oktober 2014 84 FGD yang diadakan Kemenristek dengan judul Penyiapan SDM untuk menghadapi

kegiatan perancangan dan manufacturing pesawat tempur K/I-FX”, Bambang Kismono Hadi, FTMD – ITB dalam FGD Di Kementerian Ristek, 2012.

85 Hasil wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, tanggal 14 Juli 2014, lihat lampiran 9. no.1.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 50: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

28

Universitas Indonesia

saat ini hanya tersisa sekitar 3000an personil. Bahkan 50% darinya akan

memasuki masa pensiun.86

Kedua, terkait fasilitas pengujian terutama yang ada di lembaga

pemerintah terutama di Puspiptek-BPPT juga belum diarahkan pada dukungan

pengembangan sektor dirgantara.87 Padahal beberapa fasilitas pengujian

merupakan peninggalan tahun 1970an dan perlu direvitalisasi dan

diupgrade.88Begitupun fasilitas pengujian yang ada di LAPAN, seperti fasilitas

landasan untuk uji terbang dan uji telemeteri belum memenuhi standar untuk

Pesawat diatas 50 penumpang89. Bahkan untuk pengujian program nasional N 219

pun masih ada tiga lab pengujian yang saat ini belum tersedia, yaitu Drop Test,

Engineering Flight Simulation (EFS), dan Uji Composite.90 Beberapa teknologi

kunci yang dapat meningkatkan nilai tambah dalam bentuk Tingkat Komponen

Dalam Negeri (TKDN) pesawat seperti teknologi airframe atau composite

structure untuk bagian sayap dan di ekor masih dalam taraf penjajakan, baik dari

sisi SDM maupun fasilitas pengujiannya.91

Ketiga, dari aspek kebijakan fiskal, hingga saat ini, perbankan nasional

masih belum mengeluarkan kebijakan sistem leasing dan kredit ekspor untuk

pengadaan pesawat terbang.92 Dari aspek pendanaan riset, berdasarkan hasil

kajian Kementerian Ristek 201293, bahwa pengelolaan pendanaan inovasi yang

ada saat ini masih terkotak-kotak dan belum diarahkan pada pengembangan

teknologi sektor dirgantara, baik Insentif Riset yang dikelola oleh Kementerian

86 Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony

Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2

87 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, 3 Oktober 2014.

88 Wawancara dengan Kepala BPPT Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014, lihat lampiran 9 wawancara no.3

89 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran wawancara 9 no.13

90 Wawancara dengan Pustekbang Aero Structure, Fajar Dono, lihat lampiran 9 no.26 91 FGD yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force

untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21, lihat lampiran 10 no.2.4

92 Wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9, no.11.12

93 Kementerian Ristek, 2012, Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. h.113

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 51: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

29

Universitas Indonesia

Ristek, Insentif Hibah Dikti dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan

Nasional, maupun LPDP dibawah koordinasi Kementerian Keuangan.

Pada level industri IPTN atau PT DI (Gambar 1.12), hingga saat ini

kondisi keuangan PT DI masih lemah94. Di tahun 2013, PT DI mengalokasikan

dana riset hanya sekitar 1% dari total omset PT DI (Rp. 3 Triliun) yaitu sekitar

Rp. 30 Miliar.95Padahal kebutuhan dana pengembangan desain upgrading N 250

menjadi R-80 adalah sekitar US$ 300 juta.96 Dalam rangka upgrading N 250

menjadi R80, total fasilitas pengujian PT DI yang dapat digunakan untuk

upgrading N 250 hanya maksimal 30%.97 Ditambah lagi kapasitas produksi PT DI

saat ini yang masih sangat lemah yaitu hanya 12 pesawat terbang per tahun,98

sedangkan kapasitas produksi yang diharapkan adalah sejumlah 36 pesawat

pertahun.99 Disatu sisi, kebutuhan akan pesawat sejenis R-80 cukup besar yaitu

150 pesawat per tahun.100Bahkan dalam kurun waktu 2010-2029, kebutuhan pasar

turboprop dengan kapasitas penumpang 61-120 penumpang sejenis N 250

diprediksi akan semakin meningkat.101

Kebutuhan SDM untuk upgrading N 250 menjadi R-80 sekitar 1000 orang

atau lebih kurang sekitar 2 juta man hours,102 sementara, dalam 3-4 tahun

kedepan, banyak engineer PT DI yang akan memasuki masa pensiun.103 Begitu

juga SDM dirgantara yang tersebar di ITB maupun di sejumlah Lembaga

94 Lihat kembali Tabel 1.6 Kondisi Keuangan PT DI, di hal 22 Bab ini. 95 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Komunikasi PT DI Sony

Ibrahim, pertama ketika peneliti melakukan kunjungan karyasiswa Kemenristek ke PT DI pada bulan november 2013 dan kali kedua melalui interview via telpon pada februati 2014. Lihat lampiran 9. no.11.1

96 FGD I yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading dari N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21; FGD II Pengembangan R-80, 15 September 2014 dan FGD III Pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober 2014

97 Wawancara dengan Manajer Aerodynamics PT DI, Gatot Mulia Pibadi, pada tanggal 3 Oktober 2014, dan FGD III Pengembangan R-80 tanggal 3 Oktober 2013.

98 ibid. 99 FGD II yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, , 15 September

2014 100 FGD II yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, , 15 September

2014, dan untuk analisis pemasaran akan dijelaskan lebih detail pada bab VI h.194-195. 101 FGD I yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force

untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgra N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21; FGD II Pengembangan R-80, 15 September 2014

102 Hasil wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat lampiran 9. no.25.4

103 Ibid.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 52: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

30

Universitas Indonesia

Penelitian seperti di BPPT maupun LAPAN yang selama ini menjadi partner PT

DI dalam pengembangan pesawat terbang semakin terbatas.104

Berdasarkan uraian terkait konteks tiga level hierarki proses kebijakan

dalam mendorong upgrading pesawat terbang di IPTN sebagaimana digambarkan

diatas, diketahui bahwa dukungan pada level kebijakan, level sektor atau

kelembagaan, sampai pada level operasional PT DI sendiri baik dari aspek SDM,

keuangan perusahaan, fasilitas pengujian serta SDM dari lembaga-lembaga

penelitian untuk upgrading teknologi pesawat terbang N 250 masih sangat lemah.

Padahal, berhasil atau gagalnya industri pesawat terbang dalam upgrading

teknologinya khususnya keberhasilan Embraer Brazil, Avic China, Airbus Eropa

dan lain-lain sangat ditentukan oleh koherensi tiga level hierarki proses kebijakan

yaitu pada level kebijakan terkait regulasi arah pembangunan iptek sektor

dirgantara, level organisasi terutama sinergi antar sektor fiskal, pendanaan, riset,

infrastruktur. Terakhir adalah level operasional, baik menyangkut kemampuan

manajemen produksi perusahaan secara umum maupun dukungan pada setiap lini

yang dibutuhkan yaitu dari sisi SDM, jejaring sumber daya iptek dan keuangan

perusahaan.105

Walaupun beberapa studi menunjukkan pentingnya koherensi dari tiga

level kebijakan, namun bentuk pendekatan pada masing-masing level kebijakan

tersebut, baik isi dan atau proses implentasinya sangat messy karena bersifat

spesifik, lokal dan memiliki titik berat yang berbeda-beda. Diantara contoh

kekhasan tersebut adalah: Industri pesawat terbang Rusia yang disebut United

Aircraft Corporation (UAC) menggunakan pola pendekatan sentralistik dan

dikontrol langsung oleh negara. Pemerintah Brazil terhadap industri

kedirgantaraannya menggunakan pendekatan sectoral innovation system yang

meliputi koherensi lintas kebijakan, baik pada level nasional yaitu keselarasan

antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan iptek maupun kebijakan

level sektor yaitu kebijakan riset, militer, industri, fiskal, lembaga pendanaan

riset.106 China, bentuk dukungan pemerintahnya tertuang dalam rencana

104 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, tanggal 3

Oktober 2014 105 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-24 106 Ibid..h.21

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 53: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

31

Universitas Indonesia

pembangunan sepuluh tahun. Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal

dengan dukungan pemerintahnya terutama dalam dukungan anggaran litbang dan

manufacturingnya. Bentuk dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan

pesawat terbangnya adalah dalam bentuk dukungan financial. 107Industri Airbus,

bentuk dukungan pemerintahnya adalah dalam bentuk konsorsium antar empat

negara (Jerman, Perancis, Inggris dan Spanyol).108

Walaupun pengalaman Embraer Brazil dan Avic China dianggap memiliki

pola kebijakan yang relatif sama baik pada tataran kebijakan nasional terkait

keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan iptek maupun

pada dukungan kebijakan sektoral seperti kebijakan riset, industri, dan fiskal,

namun dalam prosesnya, baik proses penyusunan kebijakan maupun proses

implementasinya juga berbeda. Perbedaan pada level kebijakan tersebut akan

mempengaruhi implementasi atau proses upgrading teknologi pada tataran

operasionalnya.109

Dalam konteks upgrading teknologi industri pesawat terbang nasional

yang dilihat dengan lensa tiga level hierarki proses kebijakan baik antar level

hierarki proses kebijakan maupun kebijakan intersektoral merupakan satu

permasalahan yang sangat messy dengan conflicting worldview-nya masing-

masing. Pada level kebijakan nasional, yaitu RPJPN menggunakan pendekatan

pembangunan iptek yang bersifat jangka pendek, sebagaimana terlihat dalam arah

pembangunan iptek baik dalam RPJPMN I maupun dalam RPJMN II, padahal

untuk konteks pengembangan teknologi pesawat terbang membutuhkan periode

jangka panjang.

Pada level intersektoral, pendekatan kebijakan antar sektor terutama antara

kebijakan riset dan inovasi dengan kebijakan sektor ekonomi secara umum sangat

berlawanan, selain perbedaan pada aspek waktu, penekanan luaran maupun

outcome juga berbeda, kebijakan riset dan inovasi khususnya dalam sektor

pengembangan inovasi pesawat terbang lebih ditekankan pada peningkatan nilai

tambah tertinggi berbasis pada penguasaan teknologi yang membutuhkan

107 David Pritchard, September 2010. A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US

Commercial Aircraft Supply Chain. h.6-11. 108Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), EU State Aid Policy and EC – Air

Bus Case. h. 11-12. 109 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 54: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

32

Universitas Indonesia

dukungan kebijakan yang bersifat intersektoral dan jangka panjang, sementara

kebijakan ekonomi umumnya lebih ditekankan pada peningkatan nilai tambah

berbasis ketersediaan sumber daya dan bersifat jangka pendek. Selain perbedaan

pendekatan kebijakan pada masing-masing negara, contoh kegagalan atau

keberhasilan industri pesawat terbang dari berbagai negara menunjukkan bahwa

selain koherensi pada tiga level kebijakan tersebut juga dibutuhkan dukungan

politik pemerintah (Tabel 1.2).

Situasi problematikal upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di

Indonesia selanjutnya akan dikaitkan dengan kerangka upgrading-Global Value

Chain dan kerangka tiga level hierarki proses kebijakan. Proses upgrading

teknologi pesawat terbang merupakan satu proses peningkatan nilai tambah yang

merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia.110

Nilai tambah yang dimaksud di sini adalah sebagai rangkaian proses menambah

nilai kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau

jasa yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih

tinggi dibandingkan material semula.111 Dalam konsep Global Value Chain

(GVC), proses peningkatan nilai tambah produk tersebut juga disebut sebagai

product upgrading.112

Theoritical problematic pertama, konsep upgrading dalam global value

chain baru sebatas menjelaskan peran kebijakan pemerintah dalam upgrading.113

Namun demikian, Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-lain belum

menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tiga level hiearki proses kebijakan

tersebut khususnya pada global value chain dengan tipologi hierarki serta

bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level

operasional untuk keberhasilan suatu industri dalam melakukan upgrading

110 B J Habibie, 1995, op.cit. h 49 111 Ibid. h.48 112 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. Global Value Chains In A

Postcrisis World A Development Perspective. h. 128-129; Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun). A Handbook For Value Chain Research. h.76; John Humphrey dan Hubert Scmitz (tanpa tahun), Governance and Upgrading: Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Research. h. 3

113 Gary Gareffi, 2011. Global value chains and international competition. h.39: Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011. How can companies within global value chains capture value from innovations? Dissertation Doctor of Philosopsy. h.15-21; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. How does insertion in Global Value Chains Affect upgrading in Industrial Clusters?. h.1023.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 55: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

33

Universitas Indonesia

teknologi. Berdasarkan sejumlah penelitian tentang upgrading pesawat terbang

sebagaimana terlampir114 menunjukkan bahwa keberhasilan industri pesawat

terbang ternyata tidak cukup hanya mengandalkan pada kemampuan pada level

produksi atau operasional, bahkan sangat ditentukan oleh sejumlah aspek baik

pada level kebijakan nasional, seperti komitmen jangka panjang pemerintah atau

komitmen politik, maupun pada level kebijakan sektoral baik kebijakan iptek

maupun ekonomi.115

Dalam konsep kebijakan, hubungan antara level proses kebijakan tersebut

merupakan konsep tiga level hierarki proses kebijakan yang telah dijelaskan oleh

Bromley (1989).116 Sejauh penelusuran pustaka, studi kebijakan dalam upgrading

pesawat terbang terutama dalam mengawinkan antara konsep Global Value Chain

Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005) dengan konsep tiga level hierarki proses

kebijakan Bromley (1989) masih sangat jarang kalau tidak mau dikatakan belum

ada.

Sejumlah penelitian terkait upgrading pesawat terbang sebagaimana

terlampir117 menunjukkan bahwa walaupun perusahaan telah memiliki

kemampuan codifiability118 terkait produk pesawat yang akan dikembangkan,

namun intensititas peran pemerintah baik sebagai regulator maupun sebagai pasar,

terutama pada initial investmentnya dalam industri pesawat terbang dengan

struktur GVC dengan tipologi hierarki juga masih sangat penting. Hal ini

sebagaimana ditunjukkan Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005 dalam

penelitiannya terhadap sejumlah industri elektronika termasuk IBM.

Selama periode 1960an-1970an, industri elektronika di Amerika Serikat

diantaranya adalah IBM lebih bersifat hierarchy dengan ciri khasnya adalah

kuatnya dukungan pemerintah.119 Dalam konteks industri pesawat terbang, secara

114 Lihat lampiran I, Riset-riset terdahulu, h.262 115 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 2-7 116 Daniel W. Bromley, 1989. Economic Interest and Institutions: The Conceptual

Foundations of Public Policy. h. 27-34 117 Lihat lampiran I, Riset-riset terdahulu, h.262 118 Kodifikasi adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mendesain suatu produk

sehingga memiliki keunggulan dibandingkan dengan produk-produk pesaingnya yang ada dipasaran. Kodifikasi tersebut dapat dilakukan setelah perusahaan telah menguasai teknologi inti dari produk yang akan dikodifikasi tersebut (Wawancara dengan Pakar Mesin LUK-BPPT, Djoko Wahyu Karmiadji, pada tanggal 1 Oktober 2014 di Bandung).

119 Di dalam penelitian Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005, dinyatakan bahwa selama periode 1960an-1970an, industri elektronika di Amerika serikat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 56: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

34

Universitas Indonesia

umum juga memiliki tipologi GVC hierarki120, karena kuatnya dukungan

pemerintah baik dari sisi kebijakan nasional maupun dukungan kebijakan sektoral

seperti kebijakan fiskal, riset dan pendanaan. Bahkan, dalam konteks Embraer-

Brazil, dalam rangka pengadaan pesawat terbang, Pemerintah Brazil mendukung

pengadaan pesawat terbang Embraer tersebut melalui pengadaan militer.121

Dengan merujuk pada pengklasifikasian Garrefi terhadap industri

elektronika dan contoh industri pesawat terbang beberapa negara termasuk

Embraer Brazil, stuktur GVC IPTN terutama dalam pengembangan N 250 adalah

nampaknya cenderung bersifat hierarchy. Karena, secara umum dukungan

pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang pada

era orde baru termasuk pengembangan N 250 dalam perspektif tiga level hierarki

proses kebijakan sangat kuat kecuali pada dua aspek, yaitu pada level organisasi,

terutama dukungan kebijakan sektor fiskal terkait sistem leasing pesawat terbang,

dan kedua dari level operasional yaitu, aspek manajemen IPTN khususnya

kemampuan produksi pesawat terbang122.

Sejumlah penelitian secara divergen memang telah menjelaskan

pentingnya aspek tiga level hiearki proses kebijakan untuk keberhasilan industri

pesawat terbang. Namun, Bromley (1989) sendiri belum menjelaskan bagaimana

konsep tiga level hierarki proses kebijakan tersebut dalam konteks Industri

diantaranya adalah IBM dikategorikan sebagai GVC dengan struktur hierarchy hal ini disebabkan bahwa selama periode tersebut, peran pemerintah Amerika Serikat sangat dominan, selain sebagai regulator dan sumber pendanaan, pemerintah juga menjadi pasar utama bagi produk-produk industri elektronika termasuk IBM, khususnya untuk aplikasi militer dan aerospace. Namun, sejak 1990an, IBM sebagaimana halnya industri elektronika lainnya, melakukan transisi ke struktur modular (Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.91-94).

Di dalam struktur modular, peran pemerintah tidak lagi dominan baik dari sisi proses produksi maupun pangsa pasarnya. Produk-produk IBM kemudian tidak lagi dikhususkan hanya untuk aplikasi militer dan aerospace bahkan untuk aplikasi sipil. Selain terjadi perubahan pada aspek intensitas peran pemerintah, di dalam struktur modular tersebut juga terjadi transisi pendekatan inovasi yang dilakukan oleh industri elektronika khususnya IBM, dari pendekatan closed innovation yang merupakan ciri khas struktur hierarki kearah pendekatan open innovation.( Oliver Gassmann dan Ellen Enkel, tanpa tahun. Towards a Theory of Open Innovation:Three Core Process Archetypes. h. 3-13. Adapun Paradigma Open innovation adalah merupakan antitesis dari paradgima traditional innovation, dimana aktivitas riset tidak dilakukan secara internal sebagaimana dalam closed innovation, tetapi dilakukan dengan kolaborasi dengan pihak luar termasuk dengan pemerintah, lihat: Henry Chesbrough, 2005. Open Innovation: A New Paradigm For Understanding Industrial Innovation. Chapter 1. h.2).

120 Lihat kembali Tabel 1.5 Penyebab gagal dan berhasilnya Industri Pesawat Terbang dari berbagai negara khususnya dalam Upgrading Teknologi Pesawat terbang dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989). h.14 di Bab yang sama.

121 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29 dan h.85 122 Penjelasan lemahnya kemampuan produksi telah dijelaskan pada hal. 7 bab ini

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 57: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

35

Universitas Indonesia

Pesawat Terbang yang membutuhkan dukungan politik untuk implementasi

kebijakan yang bersifat jangka panjang,123 apalagi jika dikaitkan dengan proses

inovasi teknologinya yang sangat kompleks.

Meriles S. Grindle124 (1980) menjelaskan bahwa program yang bersifat

jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku masyarakat dan tidak secara

langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat

(target groups), maka program tersebut cenderung lebih mengalami kesulitan

dalam implementasinya. Dan kekuatan politik aktor kebijakan akan menentukan

kesuksesan implementasi kebijakan tersebut. Kesimpulan Meriles S. Grindle

tersebut sangat relevan dengan karakter kegiatan inovasi, karena secara

keseluruhan, hanya sekitar 8,8% dari keseluruhan total proyek litbang dan inovasi

yang sukses secara ekonomi,125 bahkan khusus dalam konteks inovasi pesawat

terbang, dengan merujuk pada proses inovasi pesawat terbang di Amerika Serikat,

waktu yang dibutuhkan dalam inkubasi “basic innovation” hingga komersialisi

sangat panjang yaitu lebih dari 30 tahun.126

Di dalam pendekatan open innovation (Chesbrough, 2005) maupun dalam

triple helix (Henry Etzkowitz, 2008), sinergi kebijakan antar sektor masih bersifat

antara satu entitas (lembaga riset pemerintah) dan belum mendiskusikan

bagaimana sinergi kebijakan antar lebih dari satu entitas lembaga pemerintah.

Pada konsep Policy Coherence (OECD, 2009)¸ walaupun telah menyinggung

sinergi kebijakan intersektoral, namun konsep Policy Coherence masih dalam

konteks pembangunan yang sangat umum dan belum menyinggung konteks

inovasi.

Selain Habibie (1995) dengan konsep berawal di akhir dan berakhir di

awal yang tentunya pada level operasional, sejumlah konsep diatas, baik pada

pada level operasional, sektoral maupun kebijakan nasional bersifat umum dan

tidak khusus pada upgrading teknologi di sektor kedirgantaraan khususnya

industri pesawat terbang. Apalagi upgrading teknologi pesawat terbang sangat

123 Francis, J. G., & Pevzner, A. F. 2006. loc. cit .h.1-2; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J.

De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc. cit .h.11 124 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.op.cit

h.112 125 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.3 126 Peter Senge, 1994. cop.cit.h.6

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 58: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

36

Universitas Indonesia

khas karena bersifat high cost serta high risk sehingga sangat membutuhkan

komitmen jangka panjang pemerintah.127 Komitmen tersebut baik dari aspek

kebijakan iptek, ekonomi maupun politik.128 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti

juga menyatakan bahwa semakin kompleks suatu teknologi, maka kecenderungan

dibutuhkannya struktur Global Value Chain (GVC) dengan tipologi hierarchy

semakin besar.129 Salah satu karakteristik utama struktur hierarchy selain

koordinasi yang sangat tinggi antara lead firm dengan supplier adalah tingginya

intervensi kebijakan pemerintah didalamnya.130

Theoritical Problematic lainnya adalah pengklasifikasian Industri Pesawat

Terbang sebagai GVC dengan tipologi hierarki berdasarkan pada aspek dukungan

pemerintah ternyata sedikit berbeda dengan karakteristik dari tipologi Global

Value Chain Hierarki oleh Garrefi sendiri, yang memiliki karakteristik rendahnya

kemampuan codifiability dari lead firm.131 Karena, baik Embraer Brazil maupun

IPTN ternyata memiliki kemampuan dalam melakukan codifiability, satu karakter

yang melekat pada GVC pada masing-masing tipologi: market, modular dan

captive.132 Hal ini menunjukkan pandangan awal bahwa struktur GVC tidak hanya

disebabkan oleh tingkat koordinasi antar lead firm dengan pemasok dengan tiga

determinannya yaitu: kompleksitas produk dan transaksi, kemampuan lead firm

dalam mengkodifikasikan produk, dan kemampuan dari sisi pemasok utama,133

namun juga disebabkan kombinasi dengan aspek intensitas dukungan pemerintah

yang dibutuhkan dalam mendorong peningkatan nilai tambah industri tersebut.

Dalam konteks diatas, studi ini akan melakukan rekonstruksi kebijakan

yaitu pada level kebijakan, level organisasi dan level operasional dan dukungan

politik untuk menjelaskan upgrading teknologi pada GVC- industri pesawat

terbang. Melalui hasil rekonstruksi tersebut, kemudian dapat diidentifikasi

127 Francis, J. G., & Pevzner, A. F. 2006. loc. cit .h.1-2; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J.

De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc. cit .h.11 128 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 11-12; Daniel Vertesy

and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23. 129 Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli dan Roberta Rabellotti, 2006. Global Value Chains

and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries. h. 13

130 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, loc. cit. h.91-94 131 Ibid.h.87 132 Ibid. 133 Ibid.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 59: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

37

Universitas Indonesia

kombinasi karakter tipologi GVC- industri pesawat terbang yang lebih efektif,

baik terkait hubungan koordinasi antara lead firm dengan pemasok, maupun

intensitas dukungan pemerintah yang dibutuhkan sehingga upgrading teknologi

yang dilakukan industri pesawat terbang dapat survive dan berkelanjutan.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan

di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana situasi

problematikal dalam kebijakan mendorong upgrading teknologi pesawat terbang

di Indonesia yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan

integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan

pengembangan teknologi yang sarat akan kompleksitas interaksi antara elemen-

elemen yang berbeda khususnya dengan mengacu kepada kegagagalan program

Pesawat N 250. Situasi problematikal tersebut kemudian ditelaah untuk

mengkonstruksi pengetahuan baru dan selanjutnya pengetahuan baru tersebut

dapat digunakan untuk memperbaiki situasi problematikal yang ada. Bertolak dari

gagasan serba sistem (systems idea), kebijakan mendorong upgrading teknologi

pesawat terbang di Indonesia dipandang sebagai sistem aktivitas manusia (human

activity system).

Situasi problematikal dalam kebijakan mendorong upgrading teknologi

pesawat terbang di Indonesia dengan mengacu kepada kegagagalan program

Pesawat N 250 ditempatkan pada kerangka konseptual yang mengkombinasikan

policy process as hierarchy (Bromley, 1989) dan Global Value Chain Hierarchy

(Gereffi, Humphrey dan Sturgeon, 2005) dan menggunakannya untuk

memperbaiki situasi problematikal yang dihadapi dan sekaligus sebagai lesson

learnt bagi program upgrading teknologi yang saat ini sedang atau akan dilakukan

oleh pemerintah bersama lembaga dan industri terkait, seperti program N 219,

program N 245 (upgrading CN 235), dan program R-80. Permasalahan tersebut

dikembangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian yang masing-masing

adalah terdiri dari satu pertanyaan (no.4) yang bersifat research interest dan tiga

pertanyaan (no.1-3) merupakan problem solving interest:

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 60: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

38

Universitas Indonesia

1. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level kebijakan dari

pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan

integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan

pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat

Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga

upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan

dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di

Indonesia?

2. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level

kelembagaan/organisasi dari pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan

kemampuan produksi dan integrasi menuju pesawat yang dihasilkan

melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi pada global

value chain- Industri Pesawat Terbang dengan mengacu pada kegagalan

program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat

survive dan berkesinambungan dalam upaya menjamin terjadinya

kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia?

3. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level operasional dari

pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan

integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan

pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat

Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga

upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan

dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di

Indonesia?

4. Bagaimana konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989)

dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain-Industri

Pesawat Terbang (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) sehingga

upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan

untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia?

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 61: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

39

Universitas Indonesia

1.4. Tujuan Penelitan

1. Mengkonstruksi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pada

global value chain-Industri Pesawat Terbang pada level kebijakan dengan

mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi

yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai

lesson learnt untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara

di Indonesia

2. Mengkonstruksi sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading

teknologi pada global value chain -Industri Pesawat Terbang pada level

kelembagaan/organisasi dengan mengacu pada kegagalan program N 250

sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan

berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk menjamin

terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.

3. Mengkonstruksi strategi manajemen Industri Pesawat Terbang Nasional

dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri

Pesawat Terbang pada level operasional dengan mengacu pada kegagalan

program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat

survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk

menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.

4. Merekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan dalam

mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri Pesawat

Terbang sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan

berkesinambungan untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi

dirgantara di Indonesia.

1.5. Signifikansi Penelitian

1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Untuk memberikan pengayaan pada konsep tiga level hiearki proses

kebijakan (Bromley, 1989) dalam mendorong upgrading teknologi pada GVC-

Industri Pesawat Terbang (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005) beserta

pengayaaan pada karakter tipologi GVC- Industri Pesawat Terbang dalam

upgrading teknologi industri pesawat terbang.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 62: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

40

Universitas Indonesia

1.5.2. Bagi Pemerintah

Untuk memberikan rekomendasi kebijakan dalam proses upgrading

teknologi industri pesawat terbang sehingga dapat meningkatkan nila tambah

sektor kedirgantaraan nasional sekaligus sebagai masukan terkait program

pemerintah dalam pengembangan pesawat secara umum, dan program

pengembangan N 219, N 245 dan R-80 secara khusus.

1.5.3. Bagi Industri Pesawat Terbang Nasional

Untuk memberikan masukan bagi industri pesawat terbang nasional dalam

mengembangkan pesawat terbang sehingga survive dan berkelanjutan, khususnya

dalam meningkatkan strategi manajemen bisnis dalam membangun jejaring

kemitraan baik dengan mitra asing dan mitra domestik baik melalui risk sharing

partnership atau konsorsium inovasi.

1.6. Batasan Penelitian

1. Struktur Global Value Chain-Industri Pesawat Terbang dalam studi ini

adalah memiliki ciri utama yaitu intervensi pemerintah yang tinggi. Kedua

adalah kompleksitas baik proses transaksi maupun teknologi produk juga

cukup tinggi (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005).

2. Time frame penelitian adalah dukungan kebijakan terhadap industri

pesawat terbang sejak Era Pemerintahan Soeharto khususnya pada

program N 250 hingga dukungan pada era Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono. Oleh karena itu, penelitian ini belum mengakomodir

perubahahan nomenklatur dan tupoksi kementerian lembaga seperti

Kementerian Ristek yang kemudian menjadi Kementerian Ristek Dikti

atau perubahaan lingkup tugas pokok dan fungsi Kementerian

Perencanaan dan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan lain-lain.

3. Lingkup upgrading teknologi dalam studi ini adalah pada tahap ke tiga

yaitu strategi berawal diakhir dan berakhir diawal yaitu pesawat

dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi

sejenis pesawat R-80 yang merupakan upgrading dari N 250 atau N 245

yang merupakan upgrading dari CN 235. Walaupun demikian, penelitian

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 63: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

41

Universitas Indonesia

ini hanya dibatasi pada pembahasan secara lebih mendalam pada program

R-80 semata, terlepas bahwa pengusung program tersebut adalah berasal

dari PT RAI.

4. Kajian ini menggunakan soft systems thinking, sehingga tidak dapat secara

langsung dipadankan dengan arus utama (mainstream) metodologi ilmu

sosial (sosial science methodologies). Pendekatan yang digunakan adalah

soft systems methodology (SSM). SSM dilakukan dengan pentahapan

secara sistematik yang memenuhi syarat recoverability sebagaimana

ditekankan oleh Checkland dan Poulter (2006) dengan menjadikan PT DI

sebagai rujukan penelitian.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 64: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

42

Universitas Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konteks Penelitian

2.1.1. Kajian Kebijakan didalam mendorong pembangunan sektor

dirgantara134

Beberapa studi kebijakan dalam mendorong pembangunan sektor

dirgantara telah dilakukan beberapa peneliti, diantaranya dalam penelitan Jones

(1999)135 terhadap Industri Pesawat Terbang WACO selama periode tahun 1919-

1963. Didalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa peran pemerintah dalam

mendorong peningkatan kegiatan litbang bahkan menjadi pasar pertama bagi

industri pesawat terbang (untuk aplikasi militer) merupakan faktor kunci

keberhasilan Industri Pesawat Terbang WACO. Walaupun dalam studi tersebut

telah menggambarkan hubungan antara pemerintah dan swasta, namun aspek

kebijakan dalam pengembangan pesawat tersebut masih umum yaitu hanya pada

pendanaan litbang dan pemasaran.

Pada tahun 2006, Francis dan Pevzner136 dalam studi perbandingan antara

perusahaan Airbus dan Boeing menyimpulkan bahwa diantara bentuk bantuan

pemerintah dalam pengembangan industri pesawat terbang adalah mulai dari

bantuan pendanaan riset dan pengembangan, pendanaan atau fasilitasi proses

kontruksi, bantuan SDM, pemasaran, bantuan pengamanan kontrak penjualan luar

negeri dll. Bahkan Francis dan Pevzner menekankan bahwa untuk industrial

policy untuk industri pesawat terbang harus bersifat jangka panjang. Sejatinya

Francis dan Pevzner telah cukup jelas menggambarkan peran pemerintah baik

dalam ranah inovasi maupun ekonomi, namun belum dijelaskan bagaimana dan

apa dukungan politik yang dibutuhkan dalam pengembangan industri pesawat

terbang.

Penelitian Stewart (2007)137 dengan judul China’s Industrial Subsidies

Study: High Technology, bahwa kebijakan tersebut tertuang secara tegas baik

134 Lihat Lampiran I Ringkasan Riset Terdahulu 135 Howard , G. Jones,1999. loc.cit. h.291-292 136 Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. loc.cit.h.1-2. 137 Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart, April 2007. loc.cit, h. 6-10.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 65: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

43

Universitas Indonesia

dalam dokumen semacam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) yang disebut sebagai Guideline for National Economic and Social

Development periode (2006-2010) maupun secara khusus dalam Rencana Jangka

Panjang Pembangunan (RPJP) IPTEKnya atau yang disebut The Guideline for the

National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan

(2006-2020). Dan salah satu kebijakan ekonomi China yang mendorong aircraft

product manufacturing adalah cross-industry subsidies untuk High Tech Industry.

Bahkan selain dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mendukung

kebijakan tersebut.

Kajian yang dilakukan oleh The William Davidson Institute pada 2008138

menunjukkan bahwa dual use civil military technology bersifat symbiotic,

pengembangan pesawat untuk program militer dapat mendorong inovasi teknologi

canggih, sementara aplikasi untuk komersial berkontribusi pada strategi efisiensi

dan reliabilitasnya. Namun, penelitian tersebut tidak membahas secara jelas peran

pemerintah dalam mendorong industri pesawat tersebut.

Pada tahun 2010, Pritchard139 melakukan penelitian terhadap sejumlah

industri pesawat terbang yaitu Boeing Amerika Serikat, Airbus Eropa,

Bombardier Canada, United Aircraft Corporation (UAC) Rusia, COMAC China,

Embraer Brasil, Industri Pesawat Terbang Meksiko dan Industri Pesawat Terbang

Italia. Dalam hasil studi tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pengalaman

Airbus, Bombardier Canada dll menunjukkan bahwa dukungan pemerintah baik

langsung atau tidak langsung sangat penting bagi industri pesawat terbang

terutama pada saat launcing pesawat terbang baru di pasaran. Dalam industri

pesawat terbang Rusia yang disebut United Aircraft Corporation (UAC), polanya

sangat sentralistik dan dikontrol langsung oleh negara. China, bentuk dukungan

pemerintahnya tertuang dalam rencana pembangunan sepuluh tahun. Brasil

terkenal dengan sejumlah koherensi kebijakan inovasi, ekonomi dan

pembangunannya, salah satu contohnya adalah kebijakan ProEx dan FINEPnya.

Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal dengan dukungan pemerintahnya

terutama dalam anggaran litbang dan manufacturingnya.

138 William Davidson Institute, 2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony. h.2 139 David Pritchard, September 2010. loc.cit. h.6-11.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 66: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

44

Universitas Indonesia

Dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan pesawat terbangnya

adalah bentuk dukungan financial. Namun penelitian tersebut sangat kurang

menggambarkan secara detil bagaimana bentuk peran pemerintah pada masing-

masing negara tersebut kecuali Brasil. Namun, kecuali terhadap industri pesawat

terbang Embraer-Brasil, penelitian tersebut tidak menggambarkan secara detil

bagaimana bentuk peran kebijakan pemerintah pada masing-masing industri

pesawat terbang dari negara-negara tersebut.140

Chu, Zhang dan Jin, (2010)141 melakukan studi komparasi antara Kluster

Industri China dengan Amerika Serikat. Dalam kesimpulannya, Chu, Zhang dan

Jin merekomendasikan dalam pengembangan industri aircraft, pemerintah harus

meninggalkan pola tradisional dalam berinovasi menuju pola yang terbuka serta

berorientasi pasar. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah

harus merevitalisasi dan menyempurkan rencana pembangunan kawasan atau

kluster industri aircraft. Namun dalam studi Chu, Zhang dan Jin masih tidak jelas

bagaimana seharusnya peran pemerintah baik dalam konteks kebijakan

pembangunan maupun kebijakan inovasinya.

Penelitian Brown dan Tiemann, tanpa tahun142 dengan judul EU State Aid

Policy and EC – Air Bus Case, disimpulkan bahwa dukungan pemerintah

merupakan faktor keberhasilan Airbus, dukungan pemerintah tersebut tidak saja

secara ekonomi yaitu dalam bentuk grant of subsidies (berupa pengalihan sewa

dari producer asing ke producer domestik) tetapi juga dalam bentuk dukungan

politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi perdagangan dunia

(WTO). Namun, dalam studi tersebut belum menjelaskan koherensi antara

kebijakan inovasi, serta kebijakan sektor lainnya.

Dalam penelitian untuk disertasinya pada tahun 2013, Lucy143

merekomendasikan supaya dalam creating new idea dan inovasi teknologi,

membangun kerjasama Boeing dengan US Government sangat penting dalam

mempertahankan keunggulan Boeing terhadap sejumlah kompetitornya dalam

140 Ibid. 141 Chu Bo, Zhang Hua, Jin Fengjun, 2010. loc.cit. h.478-479. 142 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc.cit. h. 11-12. 143 Suijun Lucy Yi, 2013. loc.cit. h.12-17.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 67: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

45

Universitas Indonesia

perekonomian Global. Namun sayang, penelitian tersebut tidak menjelaskan

bagaimana bentuk peran tersebut.

Penelitian Hwan Cho144, tanpa tahun dengan judul Challenge In Research

and Development For The Korean Aircraft Indusrty pada salah satu

kesimpulannya dinyatakan bahwa untuk mencapai industri pesawat terbang yang

memiliki kelayakan komersial, maka diperlukan dukungan jangka panjang

pemerintah baik dalam investasi nasional maupun dukungan secara politik.

Walaupun telah menyinggung bentuk kebijakan Iptek, namun bentuk kebijakan

ekonomi maupun politik yang dijelaskan masih bersifat umum

Studi yang dilakukan dengan mengambil lokus Indonesia khususnya IPTN

adalah telah dilakukan oleh Djojonegoro (1991),145 bahwa empat strategi

transformasi industri atau yang dikenal dengan “ start with the end and end with

the beginning” dengan salah satu laboratoriumnya adalah IPTN lebih cocok

diterapkan di Indonesia, dengan dua alasan: Tahap pertama yang diarahkan pada

kemampuan memproduksi, selain telah jelas memiliki nilai komersial juga tidak

membutuhkan biaya yang sangat besar terutama untuk kegiatan litbang yang

memiliki probalitas gagal yang juga relatif tinggi, dan menurut Mansfield et.al

(1981) di dalam Milling dan Maier146, bahwa tingkat kegagalan kegiatan litbang

mencapai 91,2 %. Kedua, Kemampuan pendanaan atau investasi litbang untuk

negara-negara berkembang masih sangat lemah. Namun, studi ini tidak

menyinggung bagaimana kesinambungan dukungan tersebut baik secara politik

maupun ekonomi dalam konteks Industri Pesawat Terbang khususnya IPTN.

Dalam penelitian McKendrick147 dijelaskan bahwa Akumulasi

kemampuan engineering dan produksi tidak cukup menjadikan IPTN sukses

dalam komersialisasi pesawat terbang komersial (terutama N 250) nya. Dalam

studinya, McKendrick menemukan adanya kelemahan manajemen dalam IPTN

dan dalam temuannya, McKendrick masih mempertanyakan dukungan kebijakan

(pemerintah) terhadap IPTN terutama terkait tidak adanya badan penerbangan

yang bersifat independen serta lemahnya infrastruktur Iptek. Studi tersebut lebih

144 Tae Hwan Cho. loc.cit. h. 326-328 145 Wardiman Dojonegoro,1991. Towards A Science and Technology Policy Approach

Supporting Industrial Development of Indonesia. h.16-17 146 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. Dynamic of R&D and Innovation Diffussion.h.2 147 David McKendrick, 1992. loc.cit..h.39.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 68: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

46

Universitas Indonesia

bersifat mikro, belum menyinggung bentuk kebijakan pemerintah dalam

komersialisasi pesawat terbang. Namun studi tersebut lebih bersifat mikro dan

belum menyinggung bentuk kebijakan pemerintah dalam mendorong

komersialisasi pesawat terbang nasional. Berdasarkan hasil penelitian Steenhuis

dan Bruijn148 pada 2001 terhadap Industri Pesawat Terbang Nausantara (IPTN)

bahwa environment (lingkungan kebijakan) merupakan faktor penting bagi

keberhasilan pengembangan industri pesawat terbang nasional.

Pada tahun 2005, Thee149 mengungkapkan bahwa pada tahun 1990an

sampai sebelum krisis ekonomi 1997/1998, dengan adanya dukungan politik yang

kuat, IPTN mendapatkan sejumlah dukungan pemerintah diantaranya adalah

melalui didirikannya Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), BPIS merupakan

wahana dalam menjalankan strategi transformasi industri dalam berbasis high

tech, diarahkan selain untuk pasar domestik juga untuk ekspor. Namun penelitian

tersebut, lebih menitiberatkan pada dual track strategi industri yang senada dengan

perbedaan antara Habibienomics dengan Widjojonomics,150 dan tidak

mengungkapkan bagaimana seharusnya dukungan kebijakan sektor lainnya

terutama sektor IPTEK bagi pengembangan industri pesawat terbang nasional.

Dan penelitian Amir pada tahun 2007151 dinyatakan bahwa nasionalisme

teknologi adalah suatu bentuk ideologi yang berfungsi pada tiga level yaitu

integrasi, legitimasi dan distorsi. Amir menjelaskan bahwa dukungan pemerintah

baik secara politik dan pendanaan dalam pengembangan IPTN khususnya pesawat

N 250 sangat dilatarbelakangi oleh masih kuatnya semangat nasionalisme pada

pakar pengembang teknologi pesawat terbang yang kemudian didukung penuh

oleh elit politik tertinggi pada waktu itu. Namun menurut Amir, nasionalisme

teknologi masih mengandung paradoks, satu sisi mengusung spirit kemerdakaan

yang puncaknya adalah kemandirian teknologi, namun pada sisi lain seolah-olah

kemerdekaan dimaknai hanya sebatas pada kemandirian teknologi semata.

Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah

148 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit. h. 3-5 149Kian Wie Thee, 2005a. loc.cit. h.7 dan Kian Wie Thee, 2005b. loc.cit.h.24. 150 Yuwono, Agustus 2001, loc. cit. h.41 151 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.284

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 69: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

47

Universitas Indonesia

untuk memperkuat nasionalisme tersebut dalam kemandirian teknologi pesawat

terbang dalam konteks kekinian.

2.1.2. Kajian perbandingan Kebijakan Pemerintah dalam mendorong

upgrading teknologi antara industri IPTN dengan beberapa Industri

Pesawat Terbang diberbagai negara.152

Penelitian perbandingan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan

industri pesawat terbang nasional telah dilakukan oleh Steenhuis dan Bruijn

(tanpa tahun).153 Dalam penelitian tersebut dijelaskan masing-masing faktor

kegagalan dan keberhasilan di masing-masing empat negara yaitu Romaero-

Rumania, IPTN-Indonesia AVIC-China, dan Embraer-Brasil. Menurut Steenhuis

dan Bruijn, faktor kegagalan Romaero-Rumania adalah karena ketika industri

berusaha untuk mengembangkan rancangan pesawat medium atau large yang

berbasis pada licensed manufacturing, perusahaan dihadapkan pada permasalahan

financial dan pemerintah tidak mampu untuk menanggulangi atau memberikan

dukungan pendanaan bagi perusahaan tersebut.

Begitupun Indonesia, walaupun Indonesia lebih maju dari Rumania baik

dalam kemampuan desain maupun produksi pesawat, namun selain masih

rendahnya efisiensi produksi, dihentikannya dukungan pendanaan pemerintah

terutama terhadap program N 250 merupakan salah satu faktor utama gagalnya

IPTN dalam pengembangan pesawat komersial dengan kelas 50 penumpang. Lain

halnya dengan China maupun Brasil, menurut Steenhuis dan Bruijn,154 dukungan

pemerintah nasional terhadap pengembangan industri pesawat terbang komersial

terhadap kedua negara tersebut sangat tinggi, bahkan walaupun pemasaran

pesawat terutama untuk pasar internasional Jet Avic China masih gagal, namun

pemerintah china terus berkomitmen untuk mendukung industri pesawat terbang

nasional tersebut.

Brazil bisa dibilang relatif sukses diantara keempat negara tersebut,

menurut Steenhuis dan Bruijn,proses pengembangan industri pesawat terbang

152 Lihat Lampiran I Ringkasan Riset Terdahulu. loc.cit 153 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit. h. 3-5 154 Ibid. h. 7-11

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 70: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

48

Universitas Indonesia

Brasil telah dimulai sejak tahun 1950-1980, dalam periode tersebut telah

dipancangkan pondasi awal bagi pengembangan industri pesawat terbang nasional

yang terdiri tiga fase: pertama, adalah fase sepuluh tahun pertama yang diarahkan

untuk mendirikan program pelatihan dan pengajaran untuk mendukung

pengembangan industri pesawat terbang. Fase kedua adalah pendirian kemampuan

local manufacturing, dan fase ketiga adalah persiapan pembangunan industri

pesawat terbang yaitu Embraer.155

Oleh karena itu menurut Steenhuis dan Bruijn, bahwa Embraer-Brazil

adalah satu negara berkembang yang telah berhasil dalam upgrading

pengembangan high tech innovation pesawat penumpang dengan kelas diatas 50

penumpang dalam perekonomian global diantaranya adalah ERJ-145; ERJ-

170/190. Steenhuis dan Bruijn menekankan bahwa komitmen jangka panjang

pemerintah Brasil dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang

khususnya Embraer merupakan salah satu faktor kunci, karena tidak seperti yang

terjadi dengan Rumania atau Indonesia, walaupun pada tahun 1980an Embraer

dihadapkan pada krisis ekonomi, namun pemerintah Brasil berkomitmen untuk

terus memberikan dukungan terhadap perusahaan tersebut, hasilnya setelah

melewati masa-masa surive pada sebagian besar dalam periode 1990an, akhirnya

pada 1994, Industri Embraer kembali profitable.

Faktor lain dari keberhasilan Embraer khususnya pesawat ERJ-145

menurut Steenhuis dan Bruijn adalah kebijakan masa lampau pemerintah Brasil

dalam memberlakukan kebijakan ProEx yaitu insentif pengurangan bunga sekitar

3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri.156 Bahkan menurut penelitian

Wall157 pada tahun 2013, Kebijakan ProEx tersebut telah diberlakukan pemerintah

Brasil sejak juni tahun 1991. Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, menurut

Laporan WTO, pada tahun 1999, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya

dihentikan.158

155 Ibid. h. 9-11 156 Ibid. h. 10 157 Sarah Elizabeth Wall, Desember 2013. loc.cit. h.1. 158 Laporan WTO, 14 April1999. loc.cit. h. 14

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 71: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

49

Universitas Indonesia

Pada tahun 2010, Vertesy dan Szirmai159 dalam penelitiannya dengan

judul Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer

Aerospace Industries bertujuan untuk menganalisis peran lingkungan sistem

inovasi sektoral bagi industri penerbangan nasional. Studi tersebut menganalisis

empat industri penerbangan di empat negara yaitu Embraer-Brazil, COMAC-

China, IPTN- Indonesia dan FAMA-Argentina. Salah satu faktor kegagalan

Argentina selain karena gagalnya privatisasi dan kuatnya kontrol militer adalah

tidak adanya koherensi kebijakan inovasi, industri, IPTEK, dan Pertahanan yang

didukung secara politik. Kegagalan Indonesia, hampir mirip dengan Argentina,

yaitu tidak adanya kesinambungan dukungan pemerintah baik secara pendanaan

dan secara politik, hanya saja IPTN menurut Vertesy dan Szirmai, walaupun

memiliki kemampuan dalam transfer teknologi, namun kemampuan untuk

kegiatan manufacturingnya yang layak secara ekonomi masih rendah.

Industri pesawat terbang Avic- China maupun Embraer-Brasil, menurut

Vertesy dan Szirmai telah memiliki sejumlah kebijakan yang koheren dan jangka

panjang dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang nasional baik

pada kebijakan pembangunan ekonomi, politik dan perindustrian, bahkan contoh

Brasil menunjukkan komitmen pemerintah tidak hanya pada lingkup domestik

bahkan untuk orientasi pasar internasional.160

Berdasarkan penelusuran pustaka, dapat diringkas bahwa ada tiga aspek

yang digunakan untuk menjelaskan upgrading pesawat terbang komersial. Dan

aspek-aspek tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga level, yaitu level kebijakan,

level organisasional dan level operasional. Ketiga level tersebut

merepresentasikan konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989).

Pada Gambar 2.1 terlihat jelas bahwa untuk tema pada level kebijakan

untuk mendukung pengembangan pesawat terbang komersial baik untuk ruang

lingkup antar negara maupun dalam satu negara jauh lebih banyak jika

dibandingkan dengan tema kebijakan di level satu sektor dan level operasional.

Namun sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penelitian yang menganalisis tiga

159 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23 160 Ibid. h. 23-44

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 72: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

50

Universitas Indonesia

level kebijakan dalam upgrading teknologi pesawat terbang nasional dalam global

value chain dengan tipologi hierarki sejauh ini masih belum penulis dapatkan.

Oleh karena itu, studi ini akan diarahkan pada upaya mengisi ruang

kosong pada studi kebijakan pada tiga level sebagaimana model Bromley (1989)

dalam mendorong upgrading pesawat terbang dalam global value chain dengan

tipologi hierarki.

PEN

DEKA

TAN

TEMA

Antar Negara

Vertesy dan Szirmai (2010); Brown dan Tiemann (tanpa tahun); Steenhuis dan Bruijn (2001: tanpa tahun); Stewart (2007); William Davison, 2008; Francis dan Pevzner (2006);

Chu, Zhang dan Jin (2010); Lucy (2013); Pritchard (2010); Gillett dan Stekler (1995); -

Steenhuis dan Bruijn (2001); Vertesy dan Szirmai (2010);

Chu, Zhang dan Jin (2010);William Davison,

2008;

Pritchard (2010):

Negara Mudzakir (2014) (Tipologi GVC IPTN

McKendrick (1992); Djojonegoro (1991);

Okomoto dan Sjöholm (2001); Stewart (2007)

Mudzakir (2014)

Dahlman dan Frihtak (1990);

Mudzakir (2014)

Tipologi Struktur GVC Manajemen Industri Kebijakan pada level

sektor

Policy Level Organizational LevelOperational Level

Dahlman dan Frihtak (1990); Amir (2007); Hwan Cho (tanpa tahun); Okomoto dan

Sjöholm (2001); Djojonegoro (1991); The (2005a;2005b); Jones (1999); Okomoto dan

Sjöholm (2001); Mudzakir (2014)

Gambar 2.1. Peta Penelitian Sejenis (1991-2013) dan Kontribusi Penelitian

Tesis Ini. Sumber: Diolah oleh Penulis

2.2. Global Value Chain

Global Value Chain menitiberatkan pada ekspansi internasional dan

pengelompokkan secara geografis. Fokus utamanya adalah pada isu-isu industri

menyangkut organisasi atau reorganisasi, koordinasi, governance dan power

dalam rantai nilai. Namun, pendekatan Global Value Chain juga akan

menyinggung konteks diluar internal jejaring antara lead firm dengan pemasok

seperti kebijakan perdagangan, regulasi dan standar.161 Dalam konteks GVC, lead

firms bisa sebagai producer atau buyer. Didalam producer-driven chains, power

yang menyangkut modal, teknologi dan keahlian produksi berada pada industri

penghasil produk akhir. Sedangkan didalam buyer-driven chains, pembeli dari

161Gary Garrefi, 2011. loc.cit. h.39

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 73: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

51

Universitas Indonesia

produk akhir memiliki kemampuan yang sangat tinggi untuk membentuk mass

consumption melalui pembelian brand yang memiliki pasar yang sangat kuat.162

Dua konsep inti dari Global value chain adalah industrial governance

yang bersifat top-down dan up grading yang bersifat bottom-up. Industrial

governance fokus pada lead firms dan jejaring antar perusahaan, sehingga polanya

cenderung top-down karena menitiberatkan pada pola koordinasi jejaring antara

leadfirm dengan industri pemasok. Untuk konsep upgrading, analisanya fokus

pada bagaimana strategi suatu daerah, negara dan pemangku kepentingan

ekonomi (termasuk industri) meningkatkan posisinya dalam perekonomian global

baik economic upgrading seperti aktivitas produksi, ekspor, aktivitas manufaktur

maupun social upgrading seperti standar kualitas tenaga kerja, upah minimum

dan lainnya. Atau dengan kata lain, aktivitas up grading dalam Global Value

Chain adalah Industrial upgrading yaitu aktivitas para aktor-aktor ekonomi baik

negara, perusahaan dan pekerja dalam meningkatkan nilai (produksi) dalam

Global Production Network atau jejaring produksi global.163

2.2.1 Struktur GVC

Struktur GVC menitiberatkan pada koordinasi antara leads firm dengan

para pemasok material atau komponen.164 Terkait pola koordinasi dalam tipologi

industrial governance, Gary Gereffi, John Humphrey dan Timothy Sturgeon

(2005)165 membagi menjadi lima tipe pola koordinasi yang merepresentasikan

lima tipe Global Value Chain yaitu Hierarchy, Captive, Relational, Modular dan

Market. Gary Gereffi dkk166, mengidentifikasi tiga variabel yang memainkan

peranan besar dalam menentukan bagaimana kelima tipologi Global Value Chain

tersebut dikelola atau dikoordinasi dan berubah. Ketiga variabel tersebut adalah

terdiri dari:

1. Kompleksitas transaksi

Faktor pertama terletak pada kompleksitas transaksi, di mana kompleksitas

dalam transfer informasi dan pengetahuan membutuhkan suatu transaksi

162 Ibid. h.40 163 Ibid. h.45 164 Ibid. h.39 165 Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.82-84 166 Ibid.h.87

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 74: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

52

Universitas Indonesia

tertentu yang terus berkelanjutan, khususnya yang terkait dengan

spesifikasi produk dan proses.

2. Kemampuan dalam mengkodifikasikan transaksi.

Faktor kedua yang sangat mempengaruhi tipe koordinasi ini adalah

kapabilitas dalam mengkodifikasi transaksi. Terutama terkait dengan

sejauh mana informasi dan pengetahuan dapat dikodifikasi dan diteruskan

secara efisien dan tanpa diperlukan transaksi/investasi spesifik di antara

pihak-pihak yang bertransaksi.

3. Kemampuan dari sisi pemasok utama.

Faktor ketiga terwujud dalam kapabilitas aktual dan potensial yang

dimiliki oleh pemasok terkait dengan syarat-syarat dari transaksi.

Teori yang tersusun dari tiga variabel ini dibingkai dalam analisis

mengenai biaya transaksi yang tidak terlepas dari kompleksitas relasi antar-

perusahaan dan pola investasi ke dalam suatu bentuk transaksi tertentu (asset

specificity). Keberadaan produk-produk yang terstandarisasi menjadikan pola

pengkoordinasian yang bersifat tidak mengikat dapat berjalan dengan baik,

dikarenakan transaksi dapat dengan mudah dideskripsikan dan nilainya mudah

untuk ditentukan. Permasalahan koordinasi juga dapat dikurangi, selain karena

kontrak dapat dengan mudah dibuat dalam kondisi deskripsi dan nilai transaksi

yang jelas, juga dikarenakan sifat dari produknya yang terstandarisasi sehingga

dapat disimpan dan dipasok ketika dibutuhkan. Permasalahan aset yang harus

spesifik dimiliki dalam proses produksi juga dapat teratasi, ketika produk-produk

yang bersifat standar ini dibuat oleh banyak pemasok dan dibeli oleh banyak

pelanggan.167

Sebaliknya, dipengaruhi oleh biaya transaksi ini juga, perusahaan-

perusahaan cenderung memilih strategi untuk melakukan aktivitas produksi di

dalam struktur organisasi perusahaan secara internal. Pertama, semakin mudah

suatu produk atau jasa disesuaikan dalam proses produksi (customizing), semakin

besar kecenderungan sebuah perusahaan untuk melakukan transaksi-investasi

spesifik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya kecenderungan oportunisme

di dalam pemecahan produksi. Sehingga, perusahaan lebih memilih untuk

167 Ibid.h.80

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 75: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

53

Universitas Indonesia

melakukan aktivitas produksi dalam struktur internalnya (in-house) ketimbang

menanggung biaya tambahan dalam upaya untuk mengamankan produksi di unit-

unit atau wilayah lain. Kedua, pengkoordinasian produksi yang berjalan antar unit

produksi tentu saja membutuhkan biaya tersendiri. 168

Biaya transaksi mengalami peningkatan ketika relasi antar-perusahaan

membutuhkan koordinasi yang tinggi. Terutama dalam produksi yang

membutuhkan input yang tidak terstandarisasi dan berjalan dalam arsitektur

perancangan yang terintegrasi, proses transfer informasi mengenai rancangan

produk menjadi semakin kompleks dan menjadikan interaksi lintas perusahaan

semakin intensif. Dalam kondisi relasi produksi antar-perusahaan yang kompleks,

biaya transaksi menjadi semakin besar, sehingga perusahaan cenderung untuk

mengorganisasikan produksi dalam struktur internal.169

Tabel 2.1. Empat Struktur GVC

Sumber: Humphrey dan Schmitz (tanpa tahun, h.16)

Menurut Humphrey dan Schmitz (tanpa tahun),170 terdapat empat tipologi

GVC yaitu: Market, Network, Quasi Hierarchy, dan Hierarchy. Dan determinan

yang membedakan empat Struktur Global Value Chain tersebut yaitu:

168 Ibid 169 Ibid. 170 John Humphrey dan Hubert Scmitz (tanpa tahun), Governance and Upgrading:

Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Researc. loc.cit.h.16

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 76: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

54

Universitas Indonesia

Ada/tidaknya kebutuhan untuk berkolaborasi antara pembeli dan penyedia;

Tingkat kerjasama antara dua atau lebih pihak dari masing-masing penyedia dan

pembeli; sejauhmana kontrol pembeli atas penyedia; dan keempat adalah adanya

kontrol langsung dari pembeli atas seluruh proses produksi (lihat tabel 2.1).

2.2.2. Pengkoordinasian Dalam Lima Tipologi Industrial Governance

Berdasarkan pada tiga faktor pembeda struktur GVC, Gereffi, Humphrey

dan Sturgeon171 kemudian mengklasifikasi struktur GVC kedalam lima tipe

pengelolaan atau pengkoordinasian Global Value Chain (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Pengkoordinasian Dalam Lima Tipologi Industrial Governance Sumber: Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005, h.89.

1. Pertama, tipe koordinasi dalam tipologi GVC Market. Dalam tipe ini,

pertukaran melalui mekanisme pasar menjadi mekanisme

pengkoordinasian proses produksi. Dalam prosesnya, keterkaitan-

keterkaitan melalui mekanisme pasar, tidak harus sepenuhnya bersifat

sementara (transitory). Keterkaitan ini dapat berlangsung dalam jangka

waktu yang panjang, di mana pengulangan transaksi dapat terus terjadi.

Poin penting dari tipe pengkoordinasian ini terletak pada rendahnya biaya

171 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.83-84

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 77: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

55

Universitas Indonesia

yang dibutuhkan dalam pergantian mitra bagi kedua belah pihak (penjual

dan pembeli).

2. Kedua, tipe koordinasi dalam tipologi GVC modular. Dalam pola

koordinasi modular, pemasok membuat produk yang sesuai dengan

spesifikasi dari pelanggan. Pemasok yang berada dalam kategori “turn-key

services”, bertanggung jawab penuh kapasitas teknologi dalam proses

produksi, menggunakan mesin-mesin yang bersifat umum (generic),

sehingga mengurangi transaksi-investasi spesifik, dan membebankan biaya

bahan baku dan komponen kepada pelanggan atau pemesan.

3. Ketiga, tipe koordinasi dalam tipologi GVC relational. Di dalam jejaring

ini, dapat dicermati interaksi kompleks di antara pembeli dan penjual,

yang seringkali menghasilkan kesalingtergantungan dan spesifisitas aset

yang sangat tinggi. Relasi ini dikelola berdasarkan reputasi, atau hubungan

keluarga dan ikatan etnisitas. Kedekatan jarak memainkan peranan penting

dalam menopang jejaring relasional ini, meskipun kepercayaan dan

reputasi juga berjalan dengan baik dalam jarak yang terpisah, di mana

relasi telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan didasarkan

pada relasi kelompok sosial dan keluarga yang tersebar.

4. Keempat, tipe koordinasi dalam tipologi GVC captive. Dalam pola ini,

pemasok-pemasok dalam skala kecil secara transaksional sangat

bergantung kepada pembeli-pembeli besar. Para pemasok dihadapkan pada

biaya yang besar jika menginginkan pergantian mitra dagang, sehingga

mereka “tertawan” dalam relasi dengan pembeli-pembeli besar.

Koordinasi dalam tipe jejaring ini dicirikan oleh tingkat pengawasan dan

kontrol yang sangat ketat oleh perusahaan-perusahaan utama.

5. Kelima, tipe koordinasi dalam tipologi GVC hirarki, yang didominasi oleh

kontrol manajerial, yang berjalan melalui manajer sampai ke bawahan,

atau dari pusat ke cabang-cabang dan perusahaan yang berafiliasi.

Dalam konstruksi teori koordinasi Global Value Chain Gereffi, Humphrey

dan Sturgeon172, masing-masing faktor pembeda GVC tersebut diukur dalam dua

bentuk penilaian, yaitu tinggi atau rendah, yang kemudian menghasilkan delapan

172 Ibid. h.86-87

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 78: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

56

Universitas Indonesia

kemungkinan kombinasi, yang lima di antaranya secara aktual ditemukan di

dalam dinamika Global Value Chain.

1. Dalam tipologi GVC market tercipta dalam kondisi ketika transaksi dapat

dengan mudah dikodifikasikan, spesifikasi produk relative sederhana, dan

pemasok memiliki kapabilitas untuk memproduksi dengan input yang

sedikit dari pembeli. Dalam kondisi ini, spesifisitas aset akan gagal

berakumulasi dan pengaturan berdasarkan mekanisme pasar menjadi

penentu. Dalam pertukaran pasar, pembeli merespon spesifikasi dan harga

yang ditentukan oleh penjual. Dikarenakan kompleksitas informasi yang

dipertukarkan relatif rendah, transaksi dapat berjalan tanpa koordinasi

yang eksplisit (Gambar 2.3).

Gambar 2.3

Global Value Chain didalam tipologi market Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.

2. Dalam tipologi GVC modular muncul ketika kemampuan untuk

mengkodifikasi spesifikasi produk dapat mencakup produk-produk yang

kompleks. Pola ini dapat tercipta ketika arsitektur produk bersifat modular,

di mana standar-standar teknis dapat menyederhanakan kompleksitas

interaksi dengan mengurangi varisasi komponen dan dengan menyatukan

spesifikasi komponen, produk, dan proses, dan juga ketika pemasok

memiliki kompetensi untuk memasok paket dan modul yang lengkap, yang

menginternalisasikan informasi yang sulit untuk dikodifikasi. Spesifisitas

aset cenderung tereduksi dalam kondisi ini, sehingga pembeli memerlukan

pengawasan dan kontrol secara langsung. Manfaat dapat dipetik dengan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 79: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

57

Universitas Indonesia

kondisi informasi dan pengetahuan yang dapat dikodifikasi, dalam bentuk

kecepatan, fleksibilitas, dan akses atas input dengan biaya murah.

Misalnya, ketika sebuah arsip desain yang dikomputerisasi dikirimkan

oleh perusahaan utama kepada pemasok, terdapat arus informasi yang

mengalir lintas perusahaan yang tidak hanya dalam bentuk informasi

harga. Atas dasar kodifikasi ini, pertukaran informasi yang kompleks dapat

bejalan tanpa koordinasi eksplisit, dan sebagaimana mekanisme pertukaran

pasar, biaya yang dibutuhkan dalam hal pergantian mitra berada dalam

tingkat yang rendah (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Global Value Chain didalam tipologi modular

Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.

3. Ketiga, dalam tipologi GVC relasional terjadi ketika spesifikasi produk

tidak dapat dikodifikasikan, ketika transaksi berjalan dalam kondisi yang

kompleks, dan ketika kapabilitas pemasok dalam tingkat yang tinggi, pola

koordinasi cenderung berjalan dalam bentuk relasional. Hal ini terjadi

dikarenakan pertukaran pengetahuan dan informasi yang sifatnya sulit

dikomunikasikan harus terjadi di antar penjual dan pembeli, dan

dikarenakan pemasok yang sangat kompeten menunjukkan motivasi yang

kuat kepada perusahaan utama supaya mengalihkan aktivitas produksinya,

dalam rangka memperoleh akses atas kompetensi tambahan. Kesaling

tergantungan yang kemudian muncul di antara kedua belah pihak dapat

diatur melalui reputasi, kedekatan sosial dan spasial, ikatan-ikatan

keluarga dan etnisitas. Relasi ini juga dapat ditangani melalui mekanisme-

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 80: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

58

Universitas Indonesia

mekanisme dalam bentuk pengenaan biaya bagi pihak yang melanggar

kesepakatan atau kontrak. Pertukaran informasi yang kompleks dan sulit

untuk dikomunikaskan seringkali diwujudkan melalui interaksi tatap muka

secara langsung dalam frekuensi yang tinggi dan diatur berdasarkan

koordinasi yang sangat eksplisit, yang sebagai konsekuensinya menjadi

biaya dalam pergantian mitra menjadi sangat tinggi (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Global Value Chain didalam tipologi Relational

Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.

4. Dalam tipologi GVC captive, pola ini terjadi ketika kemampuan untuk

mengkodifikasi – dalam bentuk instruksi detil – dan kompleksitas

spesifikasi produk berada pada tingkat yang tinggi, tetapi kapabilitas

pemasok berada dalam tingkat yang rendah. Hal ini terjadi dikarenakan

kompetensi pemasok dalam berurusan dengan produk dan spesifikasi yang

kompleks, memerlukan intervensi dan kontrol yang ketat dari perusahaan

utama. Sehingga, mendorong terciptanya ketergantungan transaksi, di

mana perusahaan utama mengunci keberadaan para pemasok dalam rangka

menyingkirkan pesaing. Karenanya, pemasok dihadapkan pada tingginya

biayapergantian mitra, dan menjadi “tawanan” bagi perusahaan utama

yang menjadi mitra. Pemasok yang tertawan ini juga seringkali dibatasi

hanya untuk menjalankan tugas-tugas dalam cakupan yang sempit,

misalnya hanya dalam aktivitas perakitan sederhana, dan bergantung

kepada perusahaan utama dalam hal aktivitas-aktivitas komplementer

seperti desain, logistic, pembelian komponen, dan peningkatan kapasitas

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 81: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

59

Universitas Indonesia

teknologi. Oportunisme dikendalikan dalam relasi “tawanan” ini melalui

posisi dominan dari perusahaan-perusahaan utama, dan dalam waktu

bersamaan menyediakan sumber-sumber dan akses pasar yang memadai

bagi perusahaan pemasok, sehingga keluar dari kontrak bukan merupakan

pilihan yang menguntungkan (Gambar 2.6).

Gambar 2.6

Global Value Chain didalam tipologi Captive

Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.

5. Dalam tipologi GVC Hierarchy ketika spesifikasi produk tidak dapat

dikodifikasi, sifat produk sangat kompleks, dan pemasok yang memiliki

kompetensi tinggi sulit untuk ditemukan, maka perusahaan utama akan

mengembangkan dan melakukan aktivitas manufaktur dari produk secara

in-house. Pola ini biasanya didorong oleh kebutuhan untuk menjalankan

pertukaran informasi yang sulit dikomunikasikan di antara aktivitas-

aktivitas dalam rantai nilai dan kebutuhan untuk mengelola secara efektif

jaring-jaring input dan output yang kompleks dan untuk mengendalikan

sumber-sumber daya yang dimiliki, khususnya dalam bentuk kekayaan

intelektual (Gambar 2.7).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 82: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

60

Universitas Indonesia

0. Spesifikasi kompleks, namun tidak dapat dipenuhi oleh para Pemasok

Lead Firm(Pembeli)

Market

1. Lemah dalam

mengkodifikasi

produk yang diinginkan oleh pasar

2. Lead Firm m

elakukan kegitan m

anufacturing secara in-house

3. Mem

produksi dan menjual Produk Akhir

Gambar 2.7 Global Value Chain didalam tipologi Hierarchy

Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.

Secara sederhana, tipologi GVC didasarkan pada tiga variabel yang

mempengaruhinya, yaitu: kompleksitas transaksi antar-perusahaan, tingkat di

mana kompleksitas ini dapat dikurangi melalui kodifikasi, dan taraf di mana

pemasok memiliki kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan pembeli (Tabel 2.2).173

Tabel 2.2 Determinan utama dari pengaturan/koordinasi GVC

Sumber: Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005, h.87)

Masing-masing tipologi dapat dicermati mengandung pertukaran dari

resiko dan manfaat pengalihan aktivitas produksi. Kelima tipe tersusun dalam

173 Ibid. h.87

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 83: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

61

Universitas Indonesia

sebuah spektrum tingkat koordinasi eksplisit dan ketimpangan kekuasaan antara

pembeli dan penjual dari yang rendah sampai tinggi. Gereffi, Humphrey dan

Sturgeon174 mengidentifikasi delapan kemungkinan kombinasi dari tiga variabel

ini. Lima diantaranya menciptakan tipe-tipe rantai nilai global. Kombinasi dari

kompleksitas transaksi rendah dan kemampuan kodifikasi rendah cenderung tidak

tercipta. Hal ini menghilangkan dua bentuk kombinasi yaitu (rendah, rendah dan

rendah) dan (rendah, rendah dan tingi). Lebih lanjut, jika kompleksitas transaksi

rendah dan kemampuan kodifikasi tinggi, kemudian kapabilitas pemasok rendah,

mengarah kepada eksklusi dari rantai nilai. Walaupun hal ini menjadi hasil

kombinasi yang penting, namun tidak dapat menghasilkan sebuah tipe koordinasi

dalam rantai nilai.

2.2.3. Upgrading

Konsep upgrading fokus pada strategi yang digunakan oleh negara, daerah

dan stakeholders ekonomi lainnya untuk menjaga dan meningkatkan posisi

mereka dalam perekonomian global.175 Didalam papernya, Gareffi176 terkadang

menggunakan istilah industrial upgrading yang fokus pada proses yang dilakukan

oleh aktor-aktor ekonomi didalam meningkatkan aktivitas-aktivitas yang

memberikan nilai tambah didalam jejaring produksi global.177 Proses upgrading

menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah, kelembagaan, corporate strategies,

inovasi, teknologi, tingkat keahlian tenaga kerja.178 Dalam bentuk yang lebih

konkrit, upgrading adalah menyangkut sederatan peran-peran ekonomi mulai dari

produksi, eksport, assembling, manufacturing sampai pengembangan ekonomi

oleh negara-negara berkembang melalui peningkatan peran industri dalam

perekonomian global.179

Humphrey and Schmitz180 membagi upgrading didalam Global Value

Chain menjadi tiga tipe yaitu: product upgrading, process upgrading, functional

174 Ibid.h.87 175 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.39 176 Gary Gereffi., John Humphrey, & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.79 177 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.39 178 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. loc.cit.h.129 179 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.45 180 John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. loc.cit.h.1020

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 84: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

62

Universitas Indonesia

upgrading. Senada dengan Humphrey and Schmitz, Gareffi (2012)181 juga

membagi tipe upgrading menjadi tiga. Cattaneo, Gereffi, dan Cornelia Staritz,

2010182 menambahkan menjadi empat yaitu dengan chain upgrading. Senada

dengan Cattaneo, Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010, Morris and Kapilinsky183

juga membagi empat tipe upgrading dengan penjelasan masing-masing tipe

upgrading adalah sebagai berikut, yaitu:

1) Process upgrading: meningkatkan efisiensi dari proses internal yang

secara signifikan berbeda dari para pesaingnya, baik dalam lingkup

jejaring individu organisasi perusahaan (seperti increased inventory turns,

lower scrap) maupun antara jejaring rantai nilai (seperti: peningkatan

frekuensi, proses delivery yang on time dst)

2) Product upgrading: Mencakup memperkenalkan produk baru atau

mengembangkan produk lama sehingga lebih memberikan nilai tambah

dibandingkan perusahan-perusahaan lainnya. Hal ini mencakup proses

pengembangan produk baru, baik dalam lingkup jejaring individu

organisasi perusahaan maupun antara jejaring rantai nilai.

3) Functional upgrading: Meningkatkan nilai tambah melalui perubahan

sejumlah aktivitasi yang ada didalam perusahaan (seperti: mengambil alih

tanggung jawab, atau oursourcing tenaga akuntasi keuangan, logistik dan

fungsi-fungsi lainnya) atau pengalihan lokus dari satu aktivitas dari

manufacturing ke designing.

4) Chain upgrading: berpindah dari satu rantai nilai (seperti contoh:

perusahaan-perusahaan taiwan berpindah dari manufaktur transistor radio

ke kalkulator, televisi, monitor komputer, laptot dan sekarang adalah WAP

phones.

2.2.4. Upgrading dan Nilai Tambah

Nilai tambah dapat diartikan sebagai rangkaian proses menambah nilai

kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau jasa

181 Gary Gereffi, Maret 2012. Latin America’s Prospects for Upgrading in Global Value

Chains. slide no. 16 182 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op.cit.h.129 183 Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun). loc.cit. h.38

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 85: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

63

Universitas Indonesia

yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih

tinggi dari material semula.184 Secara sederhana, prinsip optimasi nilai tambah

tersebut bisa digambarkan melalui contoh-contoh sebagai berikut. Ambillah

misalnya mobil Kijang. Mobil ini, katakanlah harganya Rp. 25 juta, dan beratnya

1.000 kg. Dengan demikian harga per kilo gramnya sama dengan Rp. 25.000,-.

Bandingkan dengan Baby Benz, walaupun beratnya sama, 1.000 kg, tapi harganya

mencapai sekitar Rp 250 juta. Berarti harga per kilo gramnya mencapai Rp.

250.000,-. Sekarang kalau Kijang dan Baby Benz itu bertabrakan di tol Cikampek,

yang selalu rawan kecelakaan, dan hancur menjadi besi tua, maka harganya

bukanlah Rp.25.000,- per kg untuk Kijang dan Rp. 250.000,- per kg untuk Baby

Benz, tetapi semuanya sama, 250 rupiah per kg.185

Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa nilai 250 rupiah per kg besi

(logam) tersebut bisa mengalami beberapa kali proses engineering, sehingga nilai

tambahnya bisa menjadi 25.000 rupiah per kg untuk Kijang dan 250.000 rupiah

untuk Baby Benz. Ini dapat terjadi karena, kadar ilmu pengetahuan yang berkaitan

dengan kualitas manusia yang menciptakan nilai tambah untuk kedua jenis produk

tersebut bobotnya berlainan. Dengan demikian, nilai tambah itu tiada lain

merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumber saya manusia.186

2.2.5 Upgrading dan Inovasi

Dalam konsep Global Value Chain (GVC), proses peningkatan nilai

tambah produk juga disebut sebagai product upgrading.187 Dan peningkatan nilai

tambah dari suatu produk itu sendiri tiada lain merupakan hasil dari beragam

bentuk inovasi.188 Definisi inovasi sangat beragam, The World Bank189

menyatakan bahwa inovasi adalah “what is not disseminated and used, is not an

innovation”. The OECD190 menggunakan definisi inovasi “..is the implementation

of a new significantly improved product (good or service), or process, a new

184 Habibie, 1995. Iptek dan Pembangunan Bangsa. cop.cit. h.48 185 Ibid.h.48-49 186 Ibid. 187Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op.cit.h.129; Gary Gareffi,

2011.loc.cit. h.45. 188 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti.2006.loc.cit.h.10 189 The World Bank, 2010. Innovation Policy A Guide for Developing Countries.h.4 190 The OECD, 2005. Oslo Manual- Guidelines for Collecting And Interpreting

Innovation Data. h.46.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 86: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

64

Universitas Indonesia

marketing method, or a new organizational method in business practices,

workplace organization or external relations”.

Menurut Lundvall191, inovasi adalah ..on-going processes of learning,

searching and exploring, which result in new products, new techniques, new

forms of organization and new markets”. Porter192, menjelaskan bahwa

Innovation is more than just scientific discovery. innovation strethces beyond

science and technology, and include all the activities involving discerning of

needs and the transformation of knowledge into commercial product and process

and services.

Menurut Peter Senge193, inovasi adalah integrasi dari beragam teknologi

komponen yang sebelumnya terpisah-pisah dan berasal dari hasil riset yang juga

terpisah, proses ini berlangsung secara bertahap sampai terbentuknya teknologi

yang terakit yang sifatnya saling mengisi dan mendukung satu sama lainnya dan

hingga akhirnya tereplikasi dalam skala tertentu dan biaya yang memadai. Dan

inovasi tersebut pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya industri baru atau

mentransformasi industri yang sudah ada.

Dari beberapa definisi inovasi yang telah diuraikan, kemudian dapat

ditarik benang merah antara upgrading dengan inovasi, yaitu secara umum dapat

dikatakan bahwa inovasi merupakan proses untuk melakukan upgrading pada

keempat lingkup upgrading itu sendiri yaitu: produk, proses, functional dan rantai

nilai. Secara lebih spesifik, bahwa produk inovatif itu adalah hasil dari product

upgrading itu sendiri.194 Walaupun demikian, beberapa peneliti seperti Andrea

Morrison, Carlo Pietrobelli and Roberta Rabellotti195 menyimpulkan bahwa

hubungan antara konsep upgrading dengan inovasi masih kabur, apakah sebagai

proses inovasi atau produk inovasi itu sendiri?

191 Dikutip oleh Stepen Feinson, National Innovation System Overview and Country Cases. h.17

192 Michael E. Porter. 2001. Cluster of Innovation: Regional Foundation of U.S Competitiveness h.6-7

193 Peter Senge, 1994. The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning of Organization, h.6.

194 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti .2006.loc.cit.h.10. 195 Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli and Roberta Rabellotti, 2006. Global Value Chains

and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries.h.3. Dihalaman tersebut dituliskan: First of all, the concept of upgrading is rather fuzzy: is it a synonym for innovation or rather the result of it?

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 87: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

65

Universitas Indonesia

2.3. Konsep Kebijakan Pemerintah dalam mendorong product upgrading

2.3.1. Konsep Peran Kebijakan Pemerintah dalam rantai nilai

Peran pemerintah sebagi enabling factor berupa environment atau

kebijakan yang kondusif dalam mendorong akvititas riset inovasi bagi upgrading

dari satu perusahaan sangat penting. Favreau196 menekankan pentingnya peran

pemerintah yaitu the BC Ministry of Forests and Range, and Natural Resources

Canada bagi aktivitas inovasi dalam value chain industri the coastal forest

industry. Anic and Nusinovic197 menjelaskan bahwa bentuk peran pemerintah

tersebut adalah berupa pembangunan infrastruktur dasar bagi investasi, penetapan

standardisasi, penyediaan infrastruktur sistem informasi dan statistik.

Tentang pentingnya lingkungan kebijakan yang kondusif bagi penguatan

rantai nilai juga disinggung oleh McPhee and Wheeler198 dengan istilah External

relationships. McPhee and Wheeler melakukan beberapa penambahan dari model

original Porter, tiga unit pada aktivitas utama yaitu Supply chain management,

product use, end of primary use. Satu penambahan pada aktivitas pendukung

Rantai Nilai yaitu External network (Gambar 2.8.)

Gambar 2.8. The added Value Chain Sumber: McPhee and Wheeler (2009, h.40)

196 Jean Favreau. 2000. Value Chain Advantage. h.25 197 Ivan-Damir Anic Dan Mustafa Nusinovic (tanpa tahun). The Apple Industry In

Croatia: A Value Chain Analysis Approach. h.22 198 Wayne McPhee dan David Wheeler (2009). Making the case for the added-value

chain. h.40

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 88: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

66

Universitas Indonesia

Pada pengembangan model tersebut, khususnya ketika menguraikan

pentingya eksternal network bagi penciptaan satu produk yang memiliki keunikan

dan berdaya saing tinggi, McPhee and Wheeler199 secara tegas menjelaskan

pentingnya berinteraksi dengan berbagai pihak seperti perusahaan lain, institusi

pendidikan, komunitas, pemerintah, civic organizations dan groups of customers.

Senada dengan McPhee and Wheeler, Gareffi200 juga menjelaskan bahwa strategi

perusahaan dalam membentuk susunan dan arah rantai nilai juga sangat

dipengaruhi environment kebijakan yang kondusif.

Adapun model asli Value Chain Michael Porter201 adalah tergambar pada

Gambar 2.9 dibawah ini, Menurut Porter (1985), rantai nilai setiap perusahaan

terdiri atas sembilan kategori generik aktivitas yang bernilai (value activities)

dikaitkan menjadi satu, yang menciptakan nilai tambah (value added) suatu

perusahaan. Rantai generik digunakan untuk memperlihatkan bagaimana suatu

rantai nilai dapat dibangun untuk suatu perusahaan tertentu, yang mencerminkan

aktivitas spesifik yang dilakukan perusahaan. Setiap perusahaan merupakan

kumpulan aktivitas yang dilakukan untuk mendesain, memproduksi, memasarkan,

menyerahkan, dan mendukung produknya.

Gambar 2.9 Model Basic Value Chain

Sumber: Michael Porter (1985)

199 Ibid.h.41 200 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40 201 Michael E. Porter (1985). Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior

Performance. The Free Press, New York.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 89: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

67

Universitas Indonesia

Rantai nilai perusahaan adalah teori tentang perusahaan yang memandang

perusahaan sebagai sekumpulan fungsi produksi yang terpisah tetapi berkaitan,

seandainya fungsi produksi didefinisikan sebagai aktivitas. Perumusan rantai nilai

berfokus pada bagaimana aktivitas ini menciptakan nilai dan apa yang

menentukan biaya mereka, sehingga perusahaan mendapatkan kebebasan yang

besar sekali dalam menentukan bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut

diintegrasikan.

Aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai dapat dibagi menjadi dua jenis luas,

aktivitas primer dan aktivitas pendukung. Aktivitas primer pada suatu perusahaan

merupakan aktivitas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan

input, proses dan output barang atau jasa yang terdapat dalam perusahaan. Ada

lima kategori generik aktivitas primer yang diperlukan dalam bersaing di dalam

industri apa pun. Tiap kategori dapat dibagi menjadi beberapa aktivitas yang

berbeda tergantung pada industri tertentu dan strategi perusahaan (Porter, 1985).

Aktivitas primer tersebut adalah:

1. Logistik ke dalam (inbound logistics); meliputi aktivitas seperti penanganan

material, pergudangan, dan pengendalian persediaan, digunakan untuk

menerima, menyimpan, dan mengeluarkan input untuk produksi.

2. Operasi (operations); aktivitas yang berhubungan dengan pengubahan

masukan menjadi bentuk produk akhir, seperti permesinan, pengemasan,

perakitan, pemeliharaan peralatan, pengujian, pencetakan dan pengoperasian

fasilitas.

3. Logistik ke luar (outbound logistics); merupakan aktivitas yang berhubungan

dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian produk kepada

pembeli, seperti penggudangan barang jadi, penanganan bahan, operasi

kendaraan pengirim, pemrosesan pesanan, dan penjadwalan.

4. Pemasaran dan penjualan (marketing and sales); aktivitas yang berhubungan

dengan pemberian sarana yang dapat digunakan oleh pembeli untuk membeli

produk dan mempengaruhi mereka untuk membeli, seperti iklan, promosi,

tenaga penjual, penetapan kuota, seleksi penyalur, hubungan penyalur dan

penetapan harga.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 90: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

68

Universitas Indonesia

5. Pelayanan (services); mencakup aktivitas yang berhubungan dengan

penyediaan pelayanan untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai

produk, seperti pemasangan, reparasi, pelatihan, pasokan suku cadang, dan

penyesuain produk.

Masing-masing kategori tersebut mungkin vital untuk keunggulan bersaing

tergantung pada industrinya. Namun, dalam perusahaan apapun, semua kategori

aktivitas primer akan hadir pada kadar tertentu dan memainkan peran tertentu

dalam keunggulan bersaing.

Sedangkan aktivitas pendukung yang diperlukan dalam suatu industri dapat dibagi

menjadi empat kategori generik. Aktivitas tersebut adalah:

1. Infrastruktur perusahaan (firm intrustructure); terdiri atas beberapa aktivitas

termasuk manajemen umum, pengendalian kualitas, perencanaan, sistem

keuangan, akuntansi, hukum, dan urusan pemerintah. Melalui infrastruktur,

perusahaan berusaha untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal,

mengidentifikasi sumber daya dan kemampuan, serta mendukung kompetensi

inti.

2. Manajemen sumber daya manusia (human resource management); terdiri atas

aktivitas yang terlibat dalam perekrutan, pengangkatan, pelatihan (training),

pengembangan dan kompensasi untuk semua jenis personel. Peningkatan

pegawai dapat dilakukan melalui keterlibatan para pegawai ke dalam

pelatihan, seminar dan pelatihan pekerjaan (proses pekerjaan). Sedangkan

pemeliharaan para pegawai bisa dilakukan melalui pemberian reward dalam

program kerja dan penyediaan tugas-tugas menantang. Aktivitas ini

mendukung baik aktivitas primer maupun aktivitas pendukung individual dan

keseluruhan rantai nilai.

3. Pengembangan teknologi (technology development); terdiri dari aktivitas yang

dapat dikelompokkan secara luas ke dalam upaya untuk memperbaiki produk

perusahaan serta proses yang digunakan untuk menghasilkannya.

Pengembangan teknologi terjadi dalam berbagai jenis, seperti rancangan

peralatan untuk proses, baik penelitian dasar dan rancangan produk serta

prosedur pelayanan.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 91: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

69

Universitas Indonesia

4. Pembelian/pengadaan (procurement); merujuk pada fungsi pembelian

masukan yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan, bukan pada masukan

yang dibeli itu sendiri. Masukan yang dibeli meliputi barang-barang yang

dikonsumsi penuh sepanjang produksi produk dan juga aktiva tetap.

Pembelian dalam hal ini meliputi kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan

seperti prosedur pembelian, teknik untuk vendor, sistem informasi, dan juga

kegiatan yang tidak saling berhubungan seperti catering, pelayanan percetakan

dan kebersihan. Walaupun masukan yang dibeli biasanya dihubungkan dengan

aktivitas primer, masukan yang dibeli ada di dalam setiap aktivitas nilai

termasuk aktivitas pendukung.

2.3.2. Peran Pemerintah dalam upgrading melalui Open Innovation

Open innovation adalah antitesis dari paradgima traditional innovation,

dalam paradigma tersebut, aktivitas riset tidak dilakukan secara internal

sebagaimana dalam closed innovation, tetapi dilakukan dengan kolaborasi dengan

pihak luar termasuk dengan pemerintah.202 Lima kriteria umum dalam model open

innovation adalah: Pertama, perusahaan dapat memanfaatkan pakar, baik dari

dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Kedua, aktivitas litbang yang

berasal dari luar dapat memberikan nilai tambah, sementara kegiatan litbang

(dasar) dalam perusahaan dapat tetap dilakukan untuk memperkuat penguasaan

dari hasil litbang yang telah didapat dari luar perusahaan. Ketiga, Perusahaan

tidak mesti melakukan secara sendiri kegiatan komersialisasi dari hasil riset

tersebut. Keempat, semakin perusahaan mampu mengoptimalkan dua sumber

tersebut semakin menentukan posisi daya saing perusahaan. Kelima, perusahaan

dapat memperoleh profit atau royalti atas hasil riset yang dimanfaatkan pihak lain

atau menjual hasil riset tersebut dan mendapatkan profit atasnya (Gambar 2.10).203

202 Henry Chesbrough, 2005. Chapter 2. op.cit. h.2 203 Ibid.h.2-6; Soren Kaplan, Open Innovation Network Looking outside the organization

for fresh ideas and promising new opportunities. http://www.innovation-point.com.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 92: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

70

Universitas Indonesia

Gambar 2.10. Model Open Innovation

Sumber: Chesborugh (2005:27)

Gassmann and Enkel204 (tanpa tahun) meringkas tiga proses inti dalam

model open innovation yaitu (Gambar 2.11): Pertama, proses dari luar ke dalam,

yaitu perusahaan memperkaya pengetahuan dengan mengintegrasikan segala

sumber pengetahuan eksternal sehingga dapat meningkatkan inovasi perusahaan.

Kedua, proses dari dalam keluar, yaitu perusahaan dalam membawa ide-ide atau

know how baru ke pasar, seperti menjual IP dan aplikasi teknologi keluar. Ketiga,

proses ganda, yaitu pengintegrasian dua proses sebelumnya melalui aliansi atau

jejaring dengan sejumlah pihak yang dapat menjadi faktor kunci keberhasilan.

Namun, ketiga proses tersebut tidak akan sama tingkat leveragenya untuk masing-

masing perusahaan (Lihat gambar 2.12).

204 Oliver Gassmann dan Ellen Enkel (tanpa tahun). loc.cit. h.6.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 93: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

71

Universitas Indonesia

Gambar 2.11. Tiga proses inti dalam open innovation

Sumber: Gassmann and Enkel (tanpa tahun). loc.cit.h.6

Gambar 2.12. De-coupling the locus of innovation process

Sumber: Gassmann and Enkel (tanpa tahun). h.7

Paradigma closed innovation memiliki lima karakteristik utama yaitu:

Kepakaran seseorang terkait satu bidang teknologi tertentu yang hanya bekerja

semata untuk internal satu perusahaan tertentu. Kedua, kegiatan litbang dan

komersialisasinya dilakukan secara sendiri dalam internal satu perusahaan

tertentu. Ketiga, ketika satu know how ditemukan, perusahaan yang bersangkutan

akan menjadi perusahaan pertama yang mengkomersialisasikan produk tersebut.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 94: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

72

Universitas Indonesia

Keempat, karena kondisi poin ketiga, maka perusahaan tersebut akan memiliki

keunggulan daya saing dalam produk tersebut dan atau sekaligus menanggung

atas kegagalan inovasi tersebut. Keempat, Perusahaan akan menjadi pemilik

tunggal dan kontrol penuh atas IP produk tersebut (Gambar 2.13).205

Gambar 2.13. Model Closed Innovation

Sumber: Chesbrough (2005:26)

Chesbrough (2011)206 menjelaskan lima faktor yang dapat mempengaruhi

efektivitas model closed innovation yaitu: pertama, semakin meningkatnya

mobilitas pakar baik Engineer maupun Scientis yang terlatih. Kedua, semakin

berkembangnya perusahaan modal ventura. Ketiga, diseminasi teknologi lintas

negara semakin intens. Keempat, semakin meningkatnya jumlah dan kualitas dari

kegiatan penelitian universitas. Dan kelima adalah semakin meningkatnya

persaingan antara perusahaan terutama dalam pemasaran produk. Namun yang

perlu dicatat adalah bahwa lingkup inovasi dalam closed innovation sangat luas

dan tidak khusus inovasi yang berbasis riset atau penelitian ilmiah.

205 Henry Chesbrough, 2005. Chapter 2. op.cit. h.2-6; Soren Kaplan, loc.cit 206 Henry Chesbrough, 2011. op.cit.h.6

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 95: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

73

Universitas Indonesia

2.3.3. Peran Pemerintah dalam Upgrading melalui Triple Helix

Baik Henry Etzkowitz dan Leot Leydesdorf (1990)207 maupun Henry

Etzkowitz (2002)208 menawarkan tiga model triple helix sebagai model kerjasama

inovasi antara tiga aktor utama inovasi yaitu Pemerintah, Lembaga Riset dan

Industri. Didalam model triple helix I209, pemerintah memainkan peran dominan

dalam mengarahkan universitas dan industri serta hubungan keduanya. Negara

(pemerintah) sangat dominan dalam menentukan tema dan prioritas penelitian

yang ditujukan untuk menjawab kepentingan pertahanan negara.

Gambar 2.14 Model triple helix I Sumber: Henry Etzkowitz (2008)

Menurut Etzkowitz, model I adalah model yang gagal karena rendahnya

inisiatif bottom- up dan inovasi cenderung kurang mengalami dorongan yang

memadai (Gambar 2.15). Model II berbasis “laissez-faire” (pasar bebas)210 adalah

model yang mengurangi peran negara. Didalam model ini mulai terjadi pergeseran

format dari proses top-down menuju proses bottom-up. Mekanisme interaksi

terjadi berdasarkan adanya tuntunan pasar, peran pemerintah tidak bersifat

langsung melainkan sebagai enabling factor terutama dalam menyediakan

207 Etzkowitz, H., dan Leydesdorf, L., (1990). The dynamics of innovation: from National

Systems and ‘‘Mode 2’’ to a Triple Helix of university–industry–government relations. Elsevier Research Policy 29. 109–123.

208 Henry Etzkowitz 2008. A Triple Helix of university–industry–government innovation in Action. h.12-18

209 Ibid. h.12-13 210 Ibid. h.13-15

Keterangan: AB: Kerjasama belum terjadi (academic exellance vs Economic Value) AG: technology business incubator, RD budget shared BG : Low RD budget shared, ABG: Belum terjadi ---: menunjukkan garis koordinasi

B

G

A

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 96: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

74

Universitas Indonesia

Keterangan: AB: terjadi berdasarkan tuntunan pasar (alih teknologi) ABG: Peran G sebagai enabling factor dan tidak langsung kecuali terjadi kegagalan pasar ABG: Penyediaan Venture capital ---: menunjukkan garis koordinasi

environment/regulasi yang kondusif. Pemerintah dibutuhkan ketika terjadi

kegagalan pasar (Gambar 2.15).

Gambar 2.15 Model triple helix II Sumber: Henry Etzkowitz (2008)

Model III211, salah satu tujuannya adalah merealisasikan lingkungan

inovatif dalam bentuk terciptanya perusahaan hasil “spinn-off” universitas, aliansi

strategis perusahan-perusahaan dengan laboratorium pemerintah dan kelompok

penelitian akademik/universitas. Oleh karena itu, bentuk hubungan itu bukan

melalui pengontrolan pemerintah, melainkan didorong secara alami atas inisiasi

universitas. Dalam model ini (Gambar 2.15) terjadi overlaping peran dari masing-

masing unsur ABG, yaitu selain tetap mempertahankan core businessnya, masing-

masing unsur ABG juga melakukan peran yang merupakan traditional function

dari dua aktor lainnya (Ekowitz, 2000).

Akademia selain sebagai producer of knowledge dan training juga

melakukan fungsi transfer of technology dan penyediaan modal ventura untuk

mendukung start up company atau technology business incubator. Dua kegiatan

pertama merupakan core business dari Business dan satu kegiatan terakhir

merupakan fungsi Pemerintah. Begitupun, Industri selain menjalankan perannya

yang bersifat economic value, juga melakukan kegiatan litbang, walaupun terbatas

pada bidang yang mendukung keahlian mereka. Namun, terdapat intersection

yang jelas dengan dunia akademia didalam mendapatkan pengetahuan baru atau

inovasi/ teknologi baru yang dibutuhkaan didalam proses produksi. Sedangkan

211 Ibid. h.16-18

A B

G

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 97: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

75

Universitas Indonesia

pemerintah, selain menyediakan regulasi, instrumen kebijakan dll, juga

menyediakan venture capital untuk membantu perusahaan start up company.

Sumber: Henry Etzkowitz (2008)

2.4. Proses Inovasi antara Model Klasik vs Open Innovation

2.4.1. Proses Inovasi Schumpeter berbasis Closed Innovation

Menurut Schumpeter (1961)212 bahwa proses inovasi terdiri dari: pertama,

Invention, yaitu fase suatu produk baru diciptakan (melalui kegiatan penelitian

dan pengembangan). Kedua adalah, fase inovasi, yaitu fase awal dari

komersialisasi produk baru dalam pasar. Ketiga, fase imitasi yang juga disebut

dengan difusi, yaitu fase memperluas segmentasi pemasaran produk tersebut. Jika

dilihat fase tersebut, maka pendekatan inovasi yang diadop oleh satu perusahaan

dalam proses inovasi merupakan pendekatan closed innovation213.

Selanjutnya, berdasarakan hasil penelitian Mansfield et.al (1981) yang

dikutip oleh Petter M.Milling dan Frank H. Maier214 sebagaimana ditunjukkan

didalam Gambar 2.17, bahwa pada tahap pertama dari proses inovasi yaitu

penelitian dan pengembangan merupakan satu tahap yang sangat dinamis dan

kompleks. Namun sejatinya, innovation cost yang paling besar adalah justru pada

dua tahap lanjutannya yaitu tahap inovasi dan tahap difusi. Lingkup cost tersebut

212 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.1-2 213 Ibid.h.2. 214 Ibid.

G

Gambar 2.16. Model Triple Helix III

A

B

Keterangan: AB: transfer of technology, research, venture capital AG: technology business incubator, venture capital BG : Venture capital, RD budget shared ABG: Penyediaan Venture capital ---: menunjukkan garis koordinasi

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 98: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

76

Universitas Indonesia

diperlukan untuk aktivitas persiapan dan penilaian kondisi mesin untuk memulai

produksi, iklan dan sosialisasi produk baru dst.

Proporsi kegagalan pada masing-masing tahap adalah, sekitar 40% dari

kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) yang akan sukses. Melalui proses

penilaian lebih lanjut, hanya 22% dari proyek litbang memiliki potensi sukses

secara ekonomi, dan 18% dari litbang diberhentikan karena tidak memiliki potensi

ekonomi. Dan hanya 40% dari 22% tersebut yang benar-benar sukses. Secara

keseluruhan hanya sekitar 8,8% keseluruhan proses inovasi yang sukses secara

ekonomi. Dengan kata lain, lebih dari 50% dari semua biaya inovasi adalah

terletak pada tahap kedua dan ketiga, sehingga tuntunan untuk manajemen yang

professional pada kedua tahap tersebut tentunya sangat menentukan hilirasi

inovasi.215

Gambar 2.17 Proses Inovasi Sumber: Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.1-2

215 Ibid.h.3

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 99: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

77

Universitas Indonesia

2.4.2. Proses Inovasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal

Proses inovasi yang dicetuskan Habibie atau yang lebih dikenal dengan

proses transformasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal216 merupakan

proses inovasi yang selaras dengan pendekatan open innovation. Karena dalam

proses transformasinya adalah dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian

dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dsb217. Proses

transformasi tersebut terdiri atas empat tahap, yaitu:

1. Tahap pertama yang paling mendasar adalah tahap penggunaan

teknologi yang telah ada di dunia untuk proses-proses nilai tambah

dalam rangka produksi barang dan jasa yang telah ada dipasaran. Pada

tahap ini, teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk

mengubah bahan mentah dan barang-barang setengah jadi menjadi

barang-barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Dalam

pelaksanaannya, diperlukan penerapan rencana-rencana produksi yang

progresif (progressive manufacturing plans) untuk menjamin

teralihkannya teknologi yang bersangkutan secara teratur dengan

mengaitkan tingkat pengalihan teknologi pada jumlah barang yang

diproduksi dan tidak dengan cara menentukan sasaran-sasaran waktu.

Melalui tahap ini akan dikembangkan kemampuan untuk memahami

disain-disain serta teknik-teknik dan cara produksi yang lebih maju

yang telah dikembangkan diluar negeri. Dengan demikian,

keterampilan produksi maupun keahlian organisasi dan manajemen

akan ditingkatkan. Disiplin kerja akan lebih dimajukan. Penerapan

standar kerja dan standar mutu akan lebih terbiasakan.

2. Tahap kedua adalah tahap integrasi teknologi yang telah ada kedalam

desain dan produksi barang-barang yang baru sama sekali. Artinya

yang belum ada di pasaran. Pada tahap ini dikembangkan desain dan

cetak biru baru. Dengan demikian, ada elemen baru, yaitu elemen

penciptaan. Disamping akan dikembangkannya keahlian desain, tahap

216 Habibie, 1995.cop.cit.h.197 217 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari

Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.loc.cit. h.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 100: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

78

Universitas Indonesia

ini akan meningkatkan keahlian lain, terutama keahlian didalam

melakukan integrasi dan optimasi komponen ke dalam sistem baru,

dan atas dasar ini, dapat dihasilkan kemampuan untuk memilih, dari

semua disain komponen untuk barang baru tersebut, disain yang paling

optimum.

Pada tahap ini, pengembangan keahlian disain dan integrasi dengan

demikian secara alamiah akan membawa serta kesempatan untuk

memilih, dari semua teknologi yang tersedia didunia, termasuk yang

paling mutakhir, teknologi yang paling sesuai dengan produk yang

dirancang tersebut. Dan kesempatan ini akan datang dengan sendirinya

tanpa biaya pada perusahaan yang sedang dalam tahap pengembangan,

karena para produsen komponen akan belomba-lomba menawarkan

disain serta produk mereka pada perusahaan yang diketahui sedang

merancang produk baru. Karena produk yang baru dirancang masih

harus diuji-coba, baik di dalam laboratorium maupun di dalam pasaran,

maka melalui tahap pengembangan ini kemampuan menguji serta

keahlian manajemen dan pemasaran, serta didalam simulasi juga turut

ditingkatkan. Peranan penelitian dan pengembangan lebih menonjol

dengan peningkatan fasilitas antara lain untuk pengujian, desain serta

simulasi.

3. Tahap ketiga adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri.

Didalam tahap ini, teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut.

Teknologi baru pun dikembangkan. Semua itu dilakukan dalam rangka

merancang produk masa depan. Jika di dalam tahap kedua, orang

masih dapat memanfaatkan teknologi yang sudah ada, termasuk yang

paling mutakhir, didalam tahap ketiga diperlukan penciptaan baru

sama sekali.

Inilah skenario yang tentunya sudah menjadi bagian dari kehidupan

sehari-hari di negara-negara maju ataupun di dalam negara-negara

industri baru (newly industrializing countries). Perusahaan dan negara

yang lalai melakukan investasi didalam pengembangan teknologi baru

akan cepat kehilangan daya saingnya. Tahap ketiga ini merupakan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 101: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

79

Universitas Indonesia

tahap dilakukannya inovasi, tahap diciptakannya teknologi untuk

komponen yang akan merupakan bagian dari produk pada jamannya

masing-masing akan merupakan produk yang secara teknologis terbaik

di dalam bidangnya masing-masing. Dan betapapun jauh tampaknya

tahap ini dari tingkat perkembangan banyak negara berkembang

dewasa ini, akan sangat bijaksana jika merekapun merencanakan untuk

melaksanakan tahap pengembangan ini jika tidak hendak kehilangan

segala kemajuan yang telah dicapainya di dalam tahap-tahap

pengembangan teknologi dan industri sebelumnya.

4. Namun, perusahaan dan negara yang sedang melaksanakan tahap

ketiga ini seringkali menemui kurangnya teori disana-sini yang

memerlukan dilakukannya penelitian dasar untuk menutupinya. Dan

tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besar-besaran ini dapat

dinamakan tahap keempat didalam pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi untuk transformasi teknologi dan industri negara-negara

sedang berkembang. Kendatipun demikian bukan berarti pada tahap

negara berkembang harus melakukan tahap ini secara sendiri, bahkan

dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian dasar dari negara-negara

maju melalui perjanjian kerjasama.

Secara ringkas, empat tahap transformasi dapat dilihat pada Gambar

2.18 dibawah ini.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 102: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

80

Universitas Indonesia

Gambar 2.18 Proses inovasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal

Sumber: Direkonstruksi dari Habibie, 1995. cop.cit.h.216-217

Strategi terbalik tersebut sangat cocok dalam rangka menghasilkan

penyelesaian masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam waktu sesingkat-

sesingkatnya, apalagi mengingat keterbatasan dana, fasilitas dan tenaga.218 Oleh

karena itu investasi dalam topik ilmu pengetahuan yang sifatnya universal untuk

sementara dapat diperoleh dari pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia, kecuali

bidang yang berhubungan langsung dengan kepentingan nasional.219Apalagi

menurut Senge220, bahwa waktu yang dibutuhkan dalam inkubasi “basic

innovation” hingga komersialisi sangat panjang yaitu lebih dari 30 tahun, hal ini

merujuk pada proses inovasi pesawat terbang di Amerika Serikat. Karena ketika

pada Desember 1903 Wilbur dan Overville Wright berhasil menerbangkan satu

prototipe pesawat hasil desainnya, baru tiga puluh tahun kemudian yaitu di tahun

1935, The McDonnel Douglas, berhasil melaunching pesawat DC-3 sebagai

pesawat komersial.

218 Habibie, 1995. cop.cit.h.167 219 Ibid.h.168 220 Peter Senge, 1994. cop.cit.h.6

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 103: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

81

Universitas Indonesia

2.5. Kebijakan Publik

2.5.1 Definisi Kebijakan Publik

Menurut Thomas R. Dye221 bahwa kebijakan publik adalah “segala sesuatu

yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah “Anything a government

chooses to do or not to do”. Definisi tersebut senada dengan definis James E.

Anderson222 bahwa kebijakan publik adalah: whatever government choose to do

or not to do.

Menurut Kay (2006)223 bahwa kebijakan adalah mengekspresikan sebuah

perangkat tujuan atau bentuk keinginan yang dilakukan “expresses a general set

of objectives or a desired state of affairs. Menurut Howlett and Ramesh’s (2003)

224 bahwa kebijakan publik adalah sebuah pilihan yang dibuat pemerintah untuk

melakukan sejumlah aksi atau ‘Public policy is a choice made by a government to

undertake some course of action.’

Sedangkan menurut Bromley225, kebijakan publik adalah tentang dua

konsep utama, yaitu: pertama, menentukan tantanan kelembagaan (institutional

arrangement) yang secara sosial dapat diterima. Kedua, adalah menemukan

batasan-batasan pengambilan keputusan antara yang bersifat autonom dan yang

bersifat kolektif. Dan menurut Bromley226, tidak ada guideline khusus yang dapat

dijadikan standar untuk pengklasifikasian dua batasan tersebut, karena sangat

ditentukan oleh tiga aspek yaitu: kebutuhan, budaya dan kondisi.

2.5.2. Proses Kebijakan

Menurut Thomas R. Dye227 ada lima tahap kebijakan publik yaitu

identifikasi permasalahan kebijakan, agenda setting, formulasi kebijakan,

legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Tabel 2.3).

221 Thomas R. Dye.1972.Understanding Public Policy.Tenth Edition.h.1 222 James E. Anderson.2011.Public Policymaking.Seventh Edition.h.6 223 Adrian Kay (2006). The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence

Massachhusetts: Edward Elgar Publishing, h. 7. 224 Michael Howlett and M. Ramesh (2003). Studying Public Policy: Policy cycles and

policy subsystems. Second Edition. Oxford: Oxford University Press, h.5 225 Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 34 226 Ibid. 227 Thomas R. Dye.1972, cop.cit.h.32-33

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 104: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

82

Universitas Indonesia

Proses Aktivitas

Identifikasi masalah - Mengidentifikasi dan memposisikan permasalahan sosialsebagai permasalahan publik

- Mengekspresikan kebutuhan tindakan pemerintah

Penyusunan agenda Memutuskan isu apa yang akan diputuskan, masalah apayang akan diselesaikan oleh pemerintah

Formulasi kebijakan Mengembangkan usulan kebijakan untuk menyelesaikanisu atau memperbaiki masalah

Legitimasi kebijakan - Memilih usulan- Membangun dukungan politik- Mengumumkan melalui peraturan perundangan- Memutuskan konstitusionalitas

Implementasikebijakan - Mengorganisasikan departemen dan lembaga- Memberikan pendanaan dan layanan- Memungut pajak

Evaluasi kebijakan - Melaporkan apa yang dihasilkan oleh pemerintah- Mengevaluasi dampak kebijakan Mengusulkan

perubahan dan “reformasi”

Tabel 2.3 Proses Kebijakan Publik

Sumber: Dimodifikasi dari Thomas R. Dye, 2002 h, 32-33.

Sebuah kebijakan yang sifatnya sebagai payung hukum, maka kebijakan

tersebut seyogyanya harus memberikan pedoman kepada pihak-pihak terkait

untuk mengejawantahkan kebijakan turunan dan program-programnya. Oleh

karena itu, perumusan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi

manajemen yang melekat pada organisasi.

Salah satu fenomena yang merepresentasikan proses tersebut adalah dalam

konteks kebijakan mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang

nasional.228Bromley229 (1989) menangkap fenomena tersebut dan menyajikan

sebuah teori tigal level hierarki proses kebijakan. Kerangka berpikir Bromley

(1989) - ‘The Policy Process as a Hierarcy” merupakan kritik Bromley terhadap

paradigma positivis dalam memandang kebijakan publik. Bagi Bromley kebijakan

228 Hal ini sebagaimana kesimpulan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya seperti: Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010; Howard , G. Jones,1999; Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006.; Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart, April 2007 dll.

229 Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 27-34

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 105: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

83

Universitas Indonesia

publik seyogyanya tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai objek namun

seharusnya diperhitungkan sebagai bagian yang berkontribusi terhadap kebijakan

di tataran makro—berkontribusi pada perubahan kelembagaan.

Pemikiran Bromley230 melihat bahwa kebijakan publik berhubungan erat

dengan dimensi ekonomi dan dimensi politik. Dalam menjelaskan kedua dimensi

ini, Bromley memulai dengan diskusi tentang property rights dari pandangan

Demsets-Posner-North yang tertuang dalam fungsi matematis. Fungsi (matematis)

pertama yaitu Ekonomi merupakan fungsi (matematis) dari property rights.

Fungsi (matematis) pertama ini menjelaskan bahwa property rights mempunyai

power untuk mengeksekusi. Fungsi (matematis) kedua adalah Property rights

merupakan fungsi (matematis) dari hasil Ekonomi. Penjelasan melalui kedua

rumusan tersebut memperlihatkan bahwa property rights dalam kondisi tertentu

dapat menjadi variabel independen (rumus pertama) yang mempengaruhi

ekonomi, dan dapat menjadi variabel dependen yang dipengaruhi oleh ekonomi.

Kedua fungsi (matematis) ini secara tersirat menjelaskan pemikiran Bromley yang

melihat real world sebagai sistem (inter relasi antar variabel) dan bukan bersifat

linier.

Dalam model proses kebijakan publiknya, Bromley231 membagi level

hierarki proses kebijakan publik menjadi tiga tingkatan yang berbeda, yaitu: level

kebijakan, level organisasi, dan level operasional. Level kebijakan dapat

diperankan oleh pemerintah dan legislatif, sedangkan level organisasi dapat

diperankan oleh lembaga atau departemen. Untuk level operasional dilaksanakan

oleh satuan pelaksana seperti perusahaan. Lebih lanjut lagi, Bromley (1989)232

mengingatkan, kebijakan publik menyangkut dua konsep, yaitu penentuan

institutional arrangement dan penentuan “batas-batas otonomi” dalam proses

pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pada masing-masing level, kebijakan

diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan yang

disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Instituional arrangement antara level

kebijakan dengan level organisasi berupa undang-undang. Dan antara level

organisasi dengan level operasional, institutional arrangementnya seperi

230 Ibid. h.14-17 231 Ibid. 232 Ibid. h.32-33

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 106: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

84

Universitas Indonesia

peraturan dibawah undang-undang seperti peraturan menteri dan yang setingkat

dengannya.

Dalam teori yang dikemukakan Bromley233, dijelaskan juga mengenai

pattern interaction yang merupakan pola interaksi antara pelaksana kebijakan

paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group)

sehingga menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Dampak dari

kebijakan yang dilaksanakan dapat berupa keberhasilan atau kegagalan –

berdasarkan penilaian masyarakat. Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang

ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik

(feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah

perbaikkan atau peningkatan kebijakan.

Gambar 2.19 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan

Sumber: Bromley, 1989, h.33

2.5.3. Implementasi Kebijakan

Menurut Merilee S. Grindle234 (1980), bahwa selain konten kebijakan,

lingkungan kebijakan juga akan menentukan outcome daripada implementasi

suatu kebijakan. Dan lingkungan kebijakan tersebut menyangkut

233 Ibid..h.33 234 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 107: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

85

Universitas Indonesia

kekuasaan/politik, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik

lembaga dan penguasa dan kepatuhan dan daya tanggap (Gambar 2.20). Terkait

lingkungan kebijakan yang diungkapkan Grindle, secara prinsip senada dengan

konsep Bromley dalam tiga level hierarki proses kebijakannya, karena

sebagaimana yang diungkapkan Grindle, melalui instutional arrangement

Bromley235 juga menjelaskan bahwa efektivitas implentasi kebijakan sangat

dipengaruhi oleh tiga level yaitu level kebijakan dan politik, level organisasi dan

level operasional.

Gambar 2.20 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Sumber: Merilee S. Grindle (1997, h.11)

Selanjutnya Grindle236 menjelaskan masing-masing variabel-variabel tersebut

sebagai berikut:

Variabel Konten selanjutnya diperinci lagi ke dalam 6 unsur, yaitu:

1) Pihak yang kepentingannya dipengaruhi (interest affected)

Grindle, 1980 mengungkapkan bahwa jenis kebijakan publik yang dibuat

akan membawa dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan

demikian, apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan

235 Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 12. 236 Ibid.h.12-13

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 108: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

86

Universitas Indonesia

perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan

sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihak-

pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut.

2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh (type of benefits)

Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap banyak

orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat

kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak.

3) Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (extent of change envisioned)

Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku

masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat

dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih

mengalami kesulitan dalam implementasinya.

4) Kedudukan pengambil keputusan (site of decision making)

Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam implementasi

kebijakan publik, baik secara geografis maupun organisatoris, akan

semakin sulit pula implementasi program. Karena semakin banyak satuan-

satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.

5) Pelaksana-pelaksana program (program implementors)

Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan

implementasi program tersebut. Birokrasi yang memiliki staff yang aktif,

berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi terhadap pelaksanaan tugas

dan sangat mendukung keberhasilan implementasi program.

6) Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources committed)

Tersedianya sumber-sumber secara memadai akan mendukung

keberhasilan implementasi program atau kebijakan publik.

Di samping konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan publik juga

ditentukan oleh variabel Konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur, yaitu :

1) Kekuasaan, minat dan strategi dari aktor-aktor yang terlibat (power,

interest and strategies of actors involved)

Strategi, sumber dan posisi kekuasaan dari implementor akan menentukan

keberhasilan implementasi suatu program. Apabila kekuatan politik

merasa berkepentingan terhadap suatu program, mereka akan menyusun

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 109: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

87

Universitas Indonesia

strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi,

sehingga output suatu program akan dapat dinikmatinya.

2) Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime characteristics)

Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada

kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Penyelesaian

konflik akan menentukan who gets what atau ‘siapa mendapatkan apa”.

3) Kesadaran dan sifat responsif (compliance and responsiveness)

Agar tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai maka para

implementor harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari

beneficiaries. Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,

implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian

program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan

implementasi.

2.5.4. Koherensi Kebijakan

Karena spektrum kebijakan meliputi banyak aspek, maka tentunya

diperlukan satu mekanisme koordinasi sehingga antar aspek kebijakan tersebut

tidak saling tumpang tindih satu dengan lainnya.237 Oleh karena itu, untuk

mendorong implementasi kebijakan tersebut kemudian muncul konsep yang

disebut dengan Koherensi Kebijakan. Laporan OECD, 2009238 menjelaskan

bahwa koherensi kebijakan dalam pembangunan adalah “working to ensure that

the objectives and results of government’s development policy are not undermined

by other policies of that same government which impact on developing countries,

and that these other policies support development objectives where feasible.

Dalam laporan studi The European Centre for Development Policy

Management 239dinyatakan bahwa secara umum definisi Koherensi kebijakan

adalah mengacu pada the practice of ensuring that all national policies do not

237 Commission Staff Working Document EU. 2013. EU 2013 Report On Policy

Coherence For Development. h.16 238 OECD, 2009. Policy Coherence for Development,In Manageing Aid: practices of DAC

memmber Countries. Chapter 2.h.3 239 The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European

Centre for Development Policy Management (ECDPM). 2012, Putting policy coherence for deveopment into perspective: supporting Switzerland's promotion of PCD in Commodities Migration Tax Commissioned and tax policy. h. 2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 110: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

88

Universitas Indonesia

detract from and are ideally supportive of development policy goals, and reflect

the interests of developing countries in the process of reviewing existing policies

and formulating new policies to improve the contribution of these policies to the

achievement of international development objectives.

Sedangkan menurut menurut Commission Staff Working Document EU 240

bahwa tidak ada definisi tunggal yang diterima terkait koherensi kebijakan, yang

jelas adalah bahwa koherensi kebijakan adalah upaya mengeskploitasi dan

membangun sinergi positif antar aspek kebijakan. Berdasarkan pada definisi

koherensi kebijakan, maka koherensi kebijakan lebih pada aspek sinergi positif

antar konten dari berbagai aspek kebijakan itu sendiri.

2.5.5. Siklus Koherensi Kebijakan

Berdasarkan kajian OECD 2008 dan 2009241 dinyatakan bahwa siklus

koherensi kebijakan terdiri atas tiga fase, yaitu Political Commitment and Policy

Statements; Policy Coordination; dan Monitoring, analysis; dan reporting.

Political commitment adalah fase yang sangat penting untuk mensetting prioritas

tujuan (agenda setting)242, turunan dari political commitment kemudian

dituangkan dan diperjelas dalam bentuk beberapa statement kebijakan yang lebih

terperinci dan teknis. Pada fase ini juga selaras dengan apa yang dikatakan

Grindel (1980) 243 tentang kaitan antara elit politik dengan kebijakan, Grindel

menyatakan bahwa “Political leaders also provide general guidelines about

priorites among policies”. Fase policy coordination adalah mekanisme formal

maupun informal yang digunakan untuk mengatasi segala bentuk inkonsistensi

dari beragam komponen atau kebijakan pemerintah yang dapat menghambat tidak

tercapainya tujuan pembangunan. Fase ketiga adalah termasuk kegiatan

mengumpulkan, menganalisis dan melaporkan segala bukti atau temuan terkait

dampak satu kebijakan baik menyangkut sinergisitas, konflik atau trade off dari

240 Commission Staff Working Document EU. 2013.op.cit. h.16 241 The OECD, 2008. Policy Brief: Policy Coherence for Development – Lessons

Learned.h.4; The OECD, 2009. Building Blocks for Policy Coherence for Development.h.20 242 Agenda setting is the process by which problems and alternative solutions gain or lose

public and elite attention, Thomas A. Birkland..(2007). Agenda Setting in Public Policy.h.63. In Handbook of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group.

243 Meriles S. Grindle. 1980. cop.cit.h.37

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 111: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

89

Universitas Indonesia

sejumlah kebijakan yang dapat mempengaruhi pembangunan dengan segala

aspeknya baik ekonomi, lingkungan maupun sosial sehingga dapat didapatkan

satu kebeijakan yang koherent (Gambar 2.21).

Gambar 2.21 Siklus Koherensi Kebijakan

2.5.6. Level Koherensi Kebijakan

Dalam studi yang dilakukan oleh The Swiss Agency for Development and

Cooperation (SDC) from the European Centre for Development Policy

Management (ECDPM) in 2012244 dinyatakan bahwa terdapat lima level

koherensi kebijakan yaitu:

1) Internal coherence.

Yaitu Koherensi dalam satu area kebijakan tertentu mulai dari tujuan,

sasaran, modalities dan protocols. Sebagaimana dikatakan bahwa

“Coherence in the policy field itself, which should achieve consistency

between its goals and objectives, modalities and protocols”

2) Intra-governmental coherence.

Yaitu koherensi antara beberapa kebijakan dalam satu negara donor untuk

tercapainya satu tujuan pembangunan. “Coherence across all of the

244 The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European

Centre for Development Policy Management (ECDPM). 2012. loc.cit.h.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 112: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

90

Universitas Indonesia

policies and actions of a donor country in terms of their contributions to

development.

3) Inter-governmental coherence.

Koherensi kebijakan antar agen pemerintah antar negara-negara donor

(contohnya adalah kebijakan yang diadopsi pada level EU atau dalam

organisasi regional) sehingga kebijakan antar negara anggota tersebut

tidak saling menghambat tercapainya masing-masing tujuan pembangunan

dari masing-masing anggota.

“Policies and actions should be consistent across different donor

countries (as well as with policies adopted at the EU or in regional

organisations) in terms of their contributions to development, to prevent

one from unnecessarily interfering with, or failing to reinforce, the

others.”

4) Multilateral coherence.

Koherensi kebijakan yang meliputi negara-negara secara bilateral dan

organisasi multilateral.

Coherence of the policies and actions of bilateral donors and multilateral

organisations, and to ensure that policies adopted in multilateral fora

contribute to development objectives.

5) Developing country coherence

Koherensi kebijakan antara negara berkembang dalam mendesain

kebijakan yang menguntungkan negara berkembang dalam lingkungan

internasional.

Developing countries should be encouraged to set up policies that allow

them to take full advantage of the international climate to enhance their

development.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 113: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

91

Universitas Indonesia

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian

Penelitian kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang dengan

GVC tipologi hierarki ini dilakukan dengan menggunakan paradigma

konstruktivisme. Ontologi dalam paradigma ini bersifat relativisme dengan

beberapa karakteristik, yaitu: terdapat banyak realitas yang dapat dikonstruksi,

bersifat eksperimential, lokal, spesifik serta bentuk dan isinya tergantung pada

individu atau kelompok yang mengkonstruksi.245

Epistemologi paradigma ini bersifat transaksional atau subjektif, temuan

yang diperoleh merupakan keberhasilan dari investigasi yang dilakukan. Adapun

aspek metodologi paradigma ini adalah bersifat hermeunitik atau dialektik.

Konstruksi sosial diperoleh dan disaring melalui interaksi antara peneliti dengan

narasumber, konstruksi di interpretasikan melalui teknik hermeneutik dengan

tujuan untuk mendapatkan konsensus.246 Pemilihan paradigma konstruktivisme

untuk penelitian ini dipandang paling tepat karena penelitian ini bertujuan untuk

mengkonstruksi konsep tiga level hiearki proses kebijakan dalam kegiatan

upgrading teknologi industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki, dengan

berpijak pada konsep tiga level hiearki proses kebijakan dan konsep Global Value

Chain yang sudah ada, yaitu yang masing-masing dikemukakan oleh Bromley

(1989)247 dan Gereffi et.al (2005).248

Konsepsi baru tentang kebijakan dalam kegiatan upgrading teknologi

industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki meliputi aspek yang masing-

masing merepresentasikan masing-masing level hierarki proses kebijakan yaitu

level kebijakan, level organisasi atau lembaga dan level operasional atau industri.

Seperti diketahui bahwa karakteristik dari paradigma konstruktivisme berguna

untuk membangun teori baru, yang bertujuan untuk memahami dan

245 Vatche Gabrielian, Kaifeng Yang, dan Susan Spice (1999). Qualitative research

methods. h. 143-145. In Gerald J.Miller and Marcia L. Whicker (Eds.). Handbook of Research Methods in Public Administration. New York: Marcel Dekker, Inc.

246 Ibid. h.145 247 Daniel W. Bromley, 1989.loc.cit 248 Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, Februari 2005.loc.cit

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 114: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

92

Universitas Indonesia

merekonstruksi pengetahuan “lokal”.249 Sifat “lokal” dalam penelitian ini

ditunjukkan oleh kekhasannya dari konsepsi baru yang dibangun yang merupakan

refleksi dari realitas dan aktualitas yang ada dalam kebijakan upgrading teknologi

industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki di Indonesia.

3.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini berkomitmen untuk menghasilkan konsep kebijakan baru

dalam kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang dihasilkan

melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi melalui pencarian

solusi atau perbaikan terhadap situasi problematik dalam kegiatan upgrading

teknologi industri pesawat terbang khususnya di Indonesia, maka atas dasar

karakteristik ini, strategi penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme

ini akan menggunakan strategi penelitian tindakan (action research).250 Penelitian

tindakan merupakan “action” dan “research” atau dengan kata lain merupakan

“praktek” dan “teori” yang dilakukan secara bersamaan. Penelitian tindakan

berkomitmen untuk menghasilkan pengetahuan baru (research interest) melalui

pencarian solusi atau perbaikan terhadap situasi problematik dalam dunia nyata

(problem solving interest).251

Checkland (2006) sebagaimana dikutip oleh Flood (1999)252 menyatakan

bahwa dua asumsi dasar dalam SSM adalah riset aksi dan intrepretasi sistematis

(intrepretive-based systemic theory). Checkland (1981) juga sebagaimana dikutip

oleh Flood (1999) mengatakan bahwa riset aksi adalah kolaborasi antara peneliti

dengan pihak-pihak yang ada dalam organisasi yang sedang ingin menyelesaikan

permasalahan. Kegiatan kolaborasi tersebut merupakan kegiatan penelitian secara

cermat yang berfokus pada realita praktis sosial, serta proses terencana untuk

mengadakan proses pembelajaran atas dasar refleksi atau perenungan. Selain

didasari oleh pemikiran tentang riset aksi, metode ini juga menekankan pada

pemecahan masalah yang didasari pemahaman bahwa “understanding does not

249 Vatche Gabrielian, Kaifeng Yang, dan Susan Spice (1999). op.cit.h.144 250 Ibid..h.153 251Judy McKay and Peter Marshall (2001). The dual imperative of action research.

Information Technology & People , 14, 1, h. 47. 252Robert Louis Flood (1999). Rethinking The Fifth Discipline. Learning With in The

Unknowable. Routledge, London.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 115: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

93

Universitas Indonesia

simply arise from observation theory. The human being has intentions that lie

behind each action”. Realisasi dari dua pemikiran tersebut yang mendasari

Checkland (1981) menyusun metodologi pemecahan masalah yang dikenal

dengan Soft Systems Methodology (SSM). 253

Uchiyama (2009)254 juga menyatakan bahwa riset aksi berbeda dengan

metode penelitian positivism. Uchiyama (2009) memberikan gagasan

perbandingan antara paradigm positivism dengan riset aksi dengan menggunakan

skema PDS (Plan, Do, See –Rencana, Lakukan, Lihat). Uchiyama (2009)

memaparkan perbandingan antara paradigma positivism dengan riset aksi, seperti

Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Perbandingan antara Positivism dan SSM-based AR

Positivism SSM-based AR P Hypothesis (The

model of “reality” Experimental Design)

A Omoi (Affection) Model A model relevant to “actuality” Action Plan

D Observation Collection Data

Carry out Action Plan Learning by doing

S Verification Reflection in action Kind of

Knowledge Scientific or Explicit Knowledge

Tacit or Experience-based knowledge

Standard of Validity

Repeatability Recoverability

Sumber: Uchiyama, 2009. h.18

Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis (model

“reality”) untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik riset

aksi adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit atau

pengetahuan berdasarkan pengalaman (tacit or experience-based-knowledge).

Untuk melakukan hal tersebut, positivism mengembangkan model “reality”

sebagai hipotesis kemudian mendesain rencana eksperimental, sedangkan riset

aksi membentuk model relevan bagi “actuality” melalui akomodasi dan desain

rencana tindakan berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari

253 Ibid. h.5 254 Kenichi Uchiyama (2009). A Concise Theoritical Grounding of Action

Research:Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan. . h.18

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 116: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

94

Universitas Indonesia

perbedaan antara model dan “reality” pada aspek “P”. Dengan demikian pada

aspek “D”, positivism membawa rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya,

dan mengumpulkan data, kemudian kita dapat mencari apakah hipotesis benar

(“ya”) atau tidak benar (“tidak”) pada aspek “S”. Jika “tidak”, kita harus kembali

ke fase “P” atau menciptakan model baru “reality”. Jika “ya”, kita dapat

mengkontribusikan hipotesis sebagai pengetahuan ilmiah bagi koleksi

pengetahuan manusia. Di sisi lain, riset aksi membawa rencana tindakan dalam

dunia nyata oleh diri kita sendiri sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian

kita merefleksi tindakan pada aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak,

kita tetap dapat memperoleh proses “belajar sambil melakukan – learning by

doing” sebagai pembelajaran kedua, dan kemudian kita dapat

menginternalisasikan pembelajaran ini sebagai pengetahuan berdasarkan

pengalaman (experience-based-knowledge).

Uchiyama (2009)255 menjelaskan bahwa kajian dengan menggunakan

SSM memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses “belajar

sambil melakukan (learning by doing)” yang dikatakan sebagai SSM-based-AR.

Didalam SSM-based AR, peneliti mengambil tindakan bagi situasi problematik

dalam dunia nyata dengan bertindak sebagai orang pertama yang bertujuan untuk

meningkatkan situasi tersebut berdasarkan refleksi dan pengalaman (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Reporting the SSM-based-AR

Sumber: Uchiyama (2009) h.22

255 Ibid. h.22

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 117: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

95

Universitas Indonesia

Riset aksi dipandang sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan

pengalaman (experience-based knowledge) yang dapat diaplikasikan pada dunia

nyata melalui praktik oleh peneliti itu sendiri, SSM-based-AR menggunakan

model yang relevan bagi “keadaan yang sebenarnya (actuality)” sebagai suatu

“jejak (trace)” bagi proses aktual dari riset aksi. SSM based-AR mengajukan

prinsip “recoverability” dari “actuality” sebagai standar akademisnya, daripada

prinsip “repeatibility” sebagai standar positivis (Checkland dan Holwell, 1998).

Uchiyama (2009) menginterpretasikan prinsip tersebut ketika “actuality” pada AR

tidak dapat diulang, jejak dari “actuality” pada AR tetap dapat dikemukakan

dalam model relevan “actuality”. SSM-based-AR menganggap situasi dunia nyata

sebagai suatu tempat dimana “actuality” dan “reality” dapat terjalin (Uchiyama,

2009). Pada SSM-based-AR pula, kita tidak (semata) berfokus pada eksistensi

struktur atau sistem dalam level reality, tetapi kita dapat fokus pada mewujudkan

esksistensi pada level (actuality) (“In the cases of SSM-based AR, our stand point

is that we do not know whether there is the system (mechanism) in the real world

or not even in the latent level, but we can embody 'systems' in the process

("actuality in Kimura's sense) to inquiry of the life world”).256

Dalam penelitian ini, yang menjadi kepentingan penyelesaian masalah

(problem solving interest) adalah: merekonstruksi kebijakan dalam mendorong

upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang sehingga

upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk

menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.

Yang menjadi kepentingan penelitian (research interest) adalah

merekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong

upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang sehingga

upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk

menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia. Siklus

penelitian tindakan untuk memenuhi kepentingan penelitian ditunjukkan pada

Gambar 3.1, adapun siklus penelitian tindakan untuk memenuhi kepentingan

penyelesaian masalah ditunjukkan pada Gambar 3.2.

256 Ibid. h.21

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 118: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

96

Universitas Indonesia

Gambar 3.2. Siklus Research Interest dalam Penelitian Tindakan

Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001, h. 51)

Pada penelitian riset aksi yang berbasis research interest, peneliti harus

memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa yang

ingin peneliti capai (lihat Gambar 3.2). Setelah mengidentifikasikan minat

penelitiannya, peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk

mengklarifikasi dan mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan.

Peneliti menggunakan kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat

penelitiannya. Kemudian, peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian

yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya.

Selanjutnya, peneliti akan mengambil tindakan terkait dengan penelitiaannya.

Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian dan dievaluasi untuk melihat

efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian. Ketika pertanyaan

penelitian terjawab atau kepuasan tercapai, peneliti akan keluar dari setting

penelitian. Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian

untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian.

Gambar 3.3 menunjukkan siklus riset aksi yang berkaitan dengan problem

solving interest. Sedangkan pada penelitian yang berbasis problem solving interest

pada riset aksi, McKay dan Marshall (2001) memaparkan bahwa peneliti riset aksi

(action researcher) harus menyadari permasalahan dunia nyata (real world), yang

salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide penelitian. Setelah

dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan dan pencarian fakta

dimana peneliti mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan konteks

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 119: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

97

Universitas Indonesia

permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci stakeholder dalam proses

pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen politik yang relevan.

Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam merencanakan

strategi pemecahan masalah. Perencanaan tersebut nantinya diimplementasikan ke

dalam beberapa tahap tindakan. Implementasi tersebut nantinya harus dimonitor

untuk mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan.

Pada waktu tertentu ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh

stakeholder, peneliti keluar dari situasi tersebut atau mengembangkan rencana

tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap konteks permasalahan.

Gambar 3.3. Siklus Problem Solving interest dalam Penelitian Tindakan

Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001, h. 50)

3.3. Alasan Menggunakan Pendekatan Soft System Methodology (SSM)

Penelitian tentang tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong

upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang ini

memiliki beberapa karakteristik. Pertama, pada masing-masing level hierarki

proses kebijakan, mulai dari level kebijakan nasional, kebijakan sektoral hingga

level operasional untuk mendorong upgrading teknologi dalam global value chain

industri pesawat terbang sangat kompleks. Selain kompleks, penelitian ini juga

bersifat serba aktivitas manusia (Human Activity System), baik pada level

kebijakan nasional yaitu aktivitas memasukan arah pembangunan iptek sekor

kedirgantaraan dalam rencana pembangunan nasional, maupun pada level sektoral

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 120: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

98

Universitas Indonesia

terkait kerjasama inovasi hingga level operasional-industri dalam kaitannya

dengan proses upgrading teknologi itu sendiri.

Ciri kedua, penelitian ini sarat akan clash world view antar aktor. Diantara

contoh clash world view adalah : pertama, perbedaan pendekatan pembangunan

iptek antara pendekatan berbasis technology driven khususnya high tech dengan

market driven. Kelompok pertama lebih menitiberatkan pada penguasaan dan

kemandirian teknologi yang dapat memberikan leverage yang terbesar bagi

pembangunan ekonomi dan umumnya bersifat high cost dan jangka panjang,

diantara contoh adalah pengembangan teknologi dirgantara secara umum.

Pandangan kelompok kedua adalah lebih menitiberatkan pada pengembangan

teknologi yang segera dapat menjawab permasalahan pembangunan. Kedua, clash

world view juga terjadi antara aktor inovasi dari sektor litbang yang lebih

berorientasi accademic exellance sementara pada sektor swasta lebih berorientasi

pada aspek economic value. Oleh karena itu, analisa aktivitas antar aktor didalam

proses upgrading teknologi pesawat terbang merupakan permasalahan yang

sangat rumit (messy).

Fenomena clash world view juga terjadi pada proses implementasi

kebijakan. Implementasi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi

pesawat terbang membutuhkan rentang waktu yang cukup lama serta menuntut

perubahan perilaku aktor ekonomi, politik dan budaya.257 Sebagai

konsekuensinya, implementasi kebijakan tersebut akan menimbulkan conflicting

worldview terutama dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan implementasi

kebijakan tersebut.258

Ciri ketiga, terkait dengan aspek kegagalan dan keberhasilan upgrading

teknologi industri pesawat terbang. Walaupun hubungan antara aspek-aspek

kegagalan dan keberhasilan merupakan representative dari kerangka tiga level

hierarki proses kebijakan Bromley. Namun, bentuk pendekatan pada masing-

masing level kebijakan tersebut, baik isi maupun proses penyusunan dan atau

proses implentasinya sangat messy karena bersifat spesifik, lokal dan memiliki

titik berat yang berbeda-beda. Diantara contoh kekhasan tersebut adalah

perbedaan pendekatan pemerintah dari masing-masing negara dalam konteks

257 Merilee S. Grindle (1997). op.cit. h.11. 258 Ibid.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 121: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

99

Universitas Indonesia

kebijakan, baik nasional maupun kebijakan sektoral dalam mendorong upgrading

teknologi industri pesawat terbang.259 Perbedaan tersebut akan mempengaruhi

implementasi atau proses upgrading teknologi pada tataran operasionalnya.260

Berdasarkan pada beberapa karakteristik penelitian yang telah disebutkan,

maka peneliti ini akan menggunakan pendekatan soft system methodology (SSM)

based Action Research (SSM- based AR).261Pendekatan SSM dapat

mengakomodir aspek clash world view (peta konflik) maupun problematical

situation (messy problem) yang secara realistis memang terjadi khususnya antar

aktor dalam tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading

teknologi industri pesawat terbang. Penelitian tindakan ini dilakukan untuk

menyelesaikan situasi problematik dalam dunia nyata (P), yang memungkinkan

peneliti mencari tahu tentang situasi problematik dalam dunia nyata yang menjadi

tujuan penelitian (A), berdasarkan kerangka teoritis (F), dengan menggunakan

metode untuk memenuhi kepentingan penelitian (MR), dan metode untuk

memenuhi kepentingan penyelesaian masalah (MPS) mengikuti kerangka

penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.

259 Lihat kembali Bab I h.30-31, tentang perbedaan pendekatan pemerintah dalam dalam

mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang 260 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40 261Sudarsono Hardjosoekarto. (2013). Dual Imperatives of Action Research: Lessons

from Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by Using Soft Systems Methodology. Human Resource Management Research, 3, 1, 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10., “SSM-based AR as introduced by Uchiyama (2009) and applied by Hardjosoekarto (2011, 2012) as an elaboration of soft systems methodology developed by Checkland and Scholes (1990), Checkland (1999) and Checkland and Poulter (2006) is used as a methodology to elaborate an illustration of the dual imperatives of AR”.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 122: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

100

Universitas Indonesia

Gambar 3.4. Kerangka Penelitian Tindakan menurut McKay dan Marshall (2001)

Sumber: McKay dan Marshall (2001, h.57)

Berdasarkan kerangka penelitian, maka elemen-elemen penelitian tindakan

yang terdiri atas F, MR, MPS, P, dan A yang digunakan dalam penelitian ini

dirumuskan seperti pada Tabel 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.2. Elemen Penelitian

Komponen Keterangan

F Kerangka yang berisi nilai, beliefs, opini, pengetahuan, & pemahaman, => Teori

implisit/eksplisit ttg A

Teori Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Bromley (1989) dan Teori Global Value Chain (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005).

MR & MPS Methodology

Soft Systems Methodology – Based Action Research

P Situasi problematis dunia

nyata

Situasi problematis terkait tiga level hierarki proses Kebijakan dalam upgrading pesawat terbang IPTN dalam Global Value Chain Hierarki

A Area spesifik yang akan

diteliti

A Konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value chain tipologi modular (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka peningkatan nilai tambah sektor dirgantara.

Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 123: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

101

Universitas Indonesia

Kemudian berdasarkan elemen-elemen tersebut di atas, disusunlah model

penelitian tindakan seperti pada Gambar 3.5.

Situasi problematis terkait tiga level hierarki proses Kebijakan dalam upgrading pesawat terbang IPTN dalam Global Value Chain Hierarki

Teori Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dan Teori Global Value Chain (GVC) ,

SSM.

Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading teknologi industri pesawat terbang PT

Dirgantara Indonesia (PT DI)

Refleksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam upgrading teknologi

GVC IPTN, dengan menggunakan SSM, mengkonstruksi tiga level hierarki proses

kebijakan dalam upgrading teknologi poda GVC Hierarki

Refleksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam upgrading teknologi GVC

IPTN, dengan menggunakan SSM untuk mengkonstruksi tiga level hierarki proses

kebijakan dalam upgrading teknologi industri pesawat terbang PT DI

Gambar 3.5. Model Penelitian Tindakan yang Digunakan

3.4. Tahapan dan Proses Penelitian dalam SSM

Dalam penerapannya SSM terdiri dari 7 langkah (Gambar 3.6), dibagi

menjadi dua tahapan utama. Tahapan pertama, real world dengan lima langkah

yaitu: (1) mengkaji situasi masalah yang tidak berstruktur, (2) menyusun atau

memetakan situasi masalah, (5) membandingkan model konseptual dengan

masalah yang telah terstruktur, (6) menetapkan perubahan yang diinginkan, dan

(7) melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Tahapan kedua, system thinking

dengan dua langkah yaitu (3) membangun definisi permasalahan yang

diformulasikan dari hasil strukturisasi masalah pada langkah ke-2 tahapan real

world dan (4) yaitu membuat model konseptual atas dasar hasil definisi

masalah.262

262 Peter Checkland, 1999. System Thinking, System Pratice.op.cit.h.163

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 124: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

102

Universitas Indonesia

Gambar 3.6. Tahapan dalam SSM Sumber: Checkland (1999)

Untuk penjelasan masing-masing tahap SSM dapat dilihat pada tabel 3.2

dibawah ini. Pada tahap pertama, adalah menemukan situasi masalah yang messy

(tak terstruktur) sampai kemudian menstrukturkan real world tersebut.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa yang menjadi real world adalah tiga level

hierarki proses kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang di

Indonesia. Adapun aktor aktor yang dipilih untuk mewakili peran adalah seperti

pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Aktor-aktor yang Mewakili Peran dalam Penelitian

Peran (roles) Actors

Client (C) Aktor yang membutuhkan perbaikan sistem / yang menyebabkan penelitian dilaksanakan

Peneliti, Promotor, Kopromotor, Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI.

Problem Solver (P) Aktor yang memainkan peran mencari jawaban /penyelesaian masalah / yang melakukan penyelidikan

Peneliti, Promotor dan Kopromotor

Problem Owner (O) Aktor yang berperan sebagai sumber informasi

1. Presiden RI III sekaligus mantan: Menteri Ristek, Kepala BPIS, Vice Chairman DEPANRI, Ketua DRN, Dirut IPTN.

2. Menteri Ristek Kabinet dalam

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 125: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

103

Universitas Indonesia

Presiden Habibie. 3. Menristek Gusti yang kemudian

diperdalam dengan Staf Ahli Bidang Hankam sekaligus Ketua Tim Teknis DEPANRI 2012.

4. Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 serta pakar Kebijakan Publik.

5. Kementerian Keuangan- Badan Kebijakan Fiskal-

6. Politisi/Tim sukses calon presiden Jokowi/anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan.

7. Tim ahli dari calon presiden Prabowo.

8. Mantan Dirjen Dikti. 9. Direktur Industri, IPTEK,

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas

10. Direktur Transportasi BAPPENAS

11. Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin – Kementerian Perindustrian

12. Kepala BPPT 13. Dirut PT DI 14. Kepala Perencanaan dan Pakar

Transportasi PT DI 15. Dirut PT RAI 16. Ketua Dewan Riset Nasional 17. Deputi Kedirgantaraan- LAPAN 18. Dekan FTMD ITB 19. Direktur Lembaga Pengelola

Dana Pendidikan.

Gambaran tentang situasi problematik pada tahap kedua didapatkan

melalui analisis norms, values, dan politic. Ketiga analisis tersebut dideskripsikan

pada Tabel 3.4. Selanjutnya untuk menggambarkan situasi masalah tersebut

kemudian dituangkan dalam diagram yang dilengkapi dengan catatan yang disebut

dengan “rich picture”. Beberapa cara yang dilakukan untuk tahap 1 dan 2 adalah

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 126: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

104

Universitas Indonesia

dengan telaah hasil Focus Group Discussion (FGD), wawancara, diskusi informal

dan telaah dokumen.

Tabel 3.4. Analisis One, Two, dan Three pada Tahap ke-2

Analisis Ruang Lingkup Analisis One (Analisis Budaya)

Yaitu intervensi atau interaksi peran: C (client), problem solver dan problem owner.

Analisis Two (Analisis sosial)

Yaitu analisis yang menggali informasi dari Problem Owner terkait: -norma: perilaku yang diharapkan dalam peran dan digunakan untuk menentukan peran sosial aktor Problem Owner dala suatu organisasi -roles: disposition of power yaitu pembagian posisi sosial -Value (nilai): standar dan kriteria untuk menilai peran dan perilaku

Analisis Three (Analisis Sosial Politik)

Analisis sistem politik dari aktor problem owner terkait bagaimana kekuasaan diekspresikan, disposisi kekuasaan, sumber kekuasaan dalam real world.

Pada Tahap 3, root definitions of relevant purposeful activity systems

bertujuan untuk mendefinisikan dan memberi nama semua human activity system

atau sistem aktivitas manusia yang relevan dengan formula do P by Q in order to

archieve R (PQR). Root Definition tersebut kemudian dilakukan pengecekan

dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 3.5). Untuk mendapatkan root

definition, langkah-langkah yang dilakukan adalah: (a) memilih sistem yang

relevan, dilakukan berdasarkan primary task dengan memetakan susunan

institusional (institutional arrangement) atau berdasarkan issue-based dengan

mengacu pada proses mental; (b) memberi nama sistem yang relevan, dilakukan

dengan mempertimbangkan esensi dari persepsi yang kemudian dituangkan dalam

pemodelan; dan (c) memodelkan sistem yang relevan, dilakukan dengan

mempertimbangkan tujuan utama dari sistem aktivitas manusia yang

menunjukkan transformasi yang diperlukan. Proses transformasi ini dilakukan

dengan kriteria yang dideskripsikan pada Tabel 3.6.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 127: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

105

Universitas Indonesia

Tabel 3.5. Deskripsi CATWOE

Kode Deskripsi C: Customer Pihak yang terkena atau yang mendapatkan

manfaat dari transformasi A: Actor Pihak yang melakukan transformasi T: Transformation Konversi dari input menjadi output W:Weltanschauung Pandangan atau worldview yang membuat

transformasi menjadi berarti dalam konteks situasi problematik yang dihadapi

O: Ownership Pihak yang dapat menghentikan transformasi E: Environmental Constrain Elemen di luar sistem yang ada yang dapat

membatasi transformasi Sumber: Checkland dan Scholes (1990, h.35) ditabulasi

Tabel 3.6. Kriteria Tranformasi

Kode Deskripsi Efficacy Transformasi bekerja untuk memproduksi

hasil yang diinginkan Efficiency Transformasi dapat dilakukan dengan biaya

minimum Effectiveness Transformasi dapat mencapai tujuan yang

lebih tinggi atau jangka panjang Sumber: Checkland dan Poulter (2006, h. 42)

Pada tahap empat, yaitu mendesain logic model dari setiap root definition

yang menunjukkan aktivitas operasional proses yang dilakukan dengan membuat

diagram yang melukiskan batas-batas sistem, keterkaitan dan hubungan antar

aktivitas. Adapun pada tahap lima, yaitu membandingkan konseptual model

dengan situasi masalah yang terstuktur, yaitu komparasi antara tahap 2 dan tahap

4. Untuk membuat perbandingan dapat dilakukan dengan menggunakan 4 (empat)

cara yaitu diskusi informal, pertanyaan formal, penulisan skenario berbasis

pengoperasian model, dan mencoba memodelkan dunia nyata dengan struktur

yang sama dengan model konseptual. Perbandingan ini dilakukan dengan

menggunakan alat bantu berupa matrik antara komponen dalam model dengan

kriteria pembandingan yang meliputi: ada atau tidak ada dalam situasi nyata,

bagaimana untuk menjalankan, bagaimana untuk menilai, dan catatan.263

263 Peter Checkland and Jim Scholes (1990), op.cit, h. 43.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 128: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

106

Universitas Indonesia

Pada tahap 6 yaitu membuat perubahan yang diperlukan secara sistematik

dan layak secara kultural. Untuk tahap ini dilakukan dengan telaah hasil FGD,

diskusi serta wawancara dengan stakeholders tentang hasil-hasil yang telah

diperoleh. Hasilnya adalah perubahan, dan perubahan tersebut harus sistematis

(cara maupun tujuan) dan feasible untuk dilaksanakan.

Penelitian ini tetap sampai pada tahap action yang merupakan esensi dari

tahap 7, karena menurut Checkland dan Poulter (2006)264 bahwa lingkup action

dalam tahap akhir SSM tidak hanya implementing the action tetapi juga mencakup

defining the action. Tentang hal ini, Checkland dan Poulter menguraikan tahap

akhir dalam siklus never-ending SSM:

“ Define/take action to improve the situation. Since the learning cycle is in

principle never-ending it is an aribitrary disctinction as to wheter the end of

study is taken to be defining the action or actually carrying it out. Some

studies will be ended after the defining the action, some after implementing

it.”

3.5. Pengumpulan dan Analisis Data

Dalam keenam tahap SSM, masing-masing dilakukan dengan beragam

teknik pengumpulan data serta analisis yang dilakukan pada tiap tahap tersebut

(Tabel 3.7).

Tabel 3.7.

Deskripsi ringkas tujuh langkah SSM dan teknik kualitatif yang digunakan

No 6 langkah SSM Keterkaitan dengan pengumpulan data

Analisis Data

1 Menemukan situasi masalah yang tak terstruktur terkait kegagalan industri pesawat terbang IPTN terutama dalam upgrading teknologinya

Telaah dokumen, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk menggali factual problem terkait proses upgrading teknologi pesawat IPTN dari NC 212; CN 235 hingga N 250

-Analisis peran: C (client), problem solver dan problem owner; -Menggali informasi dari Problem Owner; analisis sistem politik dari aktor problem owner terkait bagaimana kekuasaan diekspresikan, disposisi kekuasaan, sumber kekuasaan dalam konteks upgrading teknoloi IPTN

2 Menstrukturkan situasi masalah tiga level hiearki proses kebijakan dalam konteks

Telaah dokumen, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk mengidentifikasi permasalahan dalam

264 Peter Checkland and John Poulter (2006). Learning for Action: A Short System

Definitive of Soft Systems Methodology and Its use for Practioner, Teacher, and Students. h.13-14.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 129: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

107

Universitas Indonesia

pengembangan N 250 oleh IPTN

perspektif tiga level hiearki proses kebijakan Bromley (1989)

3 Menentukan transformasi yang akan dilakukan pada masing-masing level untuk menjamin tercapainya outcome penelitian

Telaah dokumen, Wawancara untuk mengidentifikasi transformasi yang diperlukan pada masing-masing level hierarki proses kebijakan Bromley (1989)

Menyusun root definition yaitu transformasi yang akan dilakukan pada masing-masing level heiarki proses kebijakan Bromley dan dikontrol dengan CATWOE

4 Menyusun model konseptual HAS pada tiap-tiap transformasi

Diskusi Informal, Wawancara, Telaah dokumen untuk menyusun model konseptual dalam rangka transformasi yang diperlukan pada masing-masing level hierarki proses kebijakan Bromley (1989)

Menyusun konseptual model berdasarkan root definition dengan 3 kriteria: efficacy, efficiency dan effectiveness

5 Melakukan analis perbandingan dari model konseptual melalui debating dengan teori/konsep dan atau best practice negara lain

Diskusi Informal, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk membandingkan model konseptual dengan teori/konsep dan atau best practice negara lain

Membandingkan antara tahap 2 dan 4.

6 Menentukan perubahan yang diinginkan dan mungkin dilakukan sehingga transformasi tercapai

Diskusi Informal, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait sehingga dapat dilakukan improvement pada model konseptual sehingga transformasi dapat tercapai.

Menyimpulkan hasil analisis dari tahap 1 sampai tahap 6

7 Melakukan Aksi

3.6. Narasumber Penelitian

Dalam rangka menggali informasi terkait penelitian, dilakukan

serangkaian teknik pengumpulan data terhadap sejumlah narasumber terkait

(Tabel 3.8). Beberapa teknik yang dilakukan adalah melalui FGD, wawancara,

dan diskusi informal. Secara lebih lengkap tersaji dalam lampiran 9 dan 10.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 130: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

108

Universitas Indonesia

Tabel 3.8. Narasumber Penelitian

No Narasumber Teknik 1 Presiden RI III sekaligus mantan:

Menteri Ristek, Kepala BPIS, Vice Chairman DEPANRI, Dirut IPTN. Prof. BJ Habibie

Wawancara langsung, kutipan wawancara yang dilakukan pihak lain

2 Menteri Ristek, Prof. Gusti Muhammad Hatta, dan diperdalam dengan Staf Ahli Bidang Hankam yang juga Ketua Tim Teknis DEPANRI, Dr. Teguh Rahardjo

Wawancara

3 Ketua Inovasi Nasional (KIN) dan Menristek pada Era Presiden BJ Habibi, Prof. Zuhal

Wawancara

4 Mantan Dirjen Dikti, Prof Dr. Satrio Soemantri

Diskusi Informal

5 Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 serta pakar Kebijakan Publik UGM, Prof Sofyan Effendi

Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

6 Kementerian Keuangan- Badan Kebijakan Fiskal-

Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

7 Tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Dr. Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan.

Telaah hasil seminar dalam rangkaian acara Sidang Paripurna DRN 2014

8 Tim ahli dari calon presiden Prabowo Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin.

9 Deputi di Kementerian Koordinator Ekonomi

Telaah Hasil FGD terkait

10 Pejabat Kementerian BUMN Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

11 Direktorat Perhubungan Udara-DEPHUB

Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

14 Kepala BPPT 2013 Wawancara 15 Dirut PT DI Wawancara 16 Dirut PT RAI Wawancara 17 Ketua Dewan Riset Nasional Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait 18 Ketua Program Aeronatics dan

Aerospace FTMD ITB Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

19 Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas

Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

20 Direktur Transportasi BAPPENAS Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

21 Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin

Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

23 Deputi Kedirgantaraan- LAPAN Wawancara 24 Direktur Lembaga Pengelola Dana

Pendidikan Diskusi Informal

25 Dekan FTMD ITB Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

26 Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI dan Pakar Transportasi PT DI

Wawancara

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 131: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

109

Universitas Indonesia

27 Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek-Kemenristek

Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

28 Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan

Wawancara

29 Asisten Deputi Bidang Relevansi Program Riptek -Kemenriste

Wawancara

30 Direktur Teknologi PT DI Wawancara 31 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi

Wibowo di PT RAI Wawancara

32 Ketua Komtek Soshum DRN Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek

33 Direktur Riset LPDP Wawancara 34 Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran

Dana Kegiatan Pendidikan-LPDP Wawancara

35 Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat

Wawancara

36 Humas PT DI Wawancara 37 Asdep Produktivitas Riptek Industri Wawancara 38 Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga,

Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti

Wawancara

39 Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development

Wawancara

40 Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI

Wawancara

41 Asdep Produktivitas Iptek Strategis Wawancara 42 Marketing Representative, PT RAI Wawancara 43 Pustekbang Aero Structuer-LAPAN Wawancara 44 Wartawan Senior Kompas, Dr. Ninok

Leksono Wawancara

45 Mantan Direktur Teknologi Proses BPPT di Era Habibie

Wawancara

46 Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek

Wawancara

47 Bagian Inspeksi B2TKS-BPPT Wawancara 48 Corporate Secretary PT RAI Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait

yang dilakukan Kementerian Ristek 49 Karoren Ristek Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan

Kementerian Ristek

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 132: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

110

Universitas Indonesia

BAB IV GAMBARAN UMUM KONDISI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI

INDUSTRI PESAWAT DI INDONESIA

Pada era orde baru, sejatinya dukungan pemerintah terhadap

pengembangan teknologi dirgantara sangat tinggi, mulai dari pengembangan

pesawat terbang dari NC 212 dibawah lisensi spanyol, kemudian pendesainan

secara patungan CN 235 dengan CASA-Spanyol hingga menuju kemampuan

desain berbasis 100% pada kemampuan IPTN yaitu dua prototipe N 250 yaitu seri

gatot koco dan krincing wesi. Secara keseluruhan, kerangka tiga level hierarki

proses kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang

pasca orde baru sangat lemah, karena pada era orde baru, sejatinya dukungan

sangat kuat kecuali pada dua aspek, yaitu pada level organisasi (sistem leasing

pesawat terbang terutama dari perbankan nasional) dan level operasional yaitu,

aspek dan manajemen IPTN khususnya kemampuan produksi pesawat terbang

(Gambar 4.1).

Namun, selain masih terdapat kelemahan pada aspek tiga level hierarki

proses kebijakan, kegagalan IPTN khususnya program N 250 sejatinya tidak

terlepas dari permasalahan politik. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan:

pertama, proses sertifikasi N 250 yang sangat pelik terutama dalam mendapatkan

sertifikasi FAA. FAA menilai jika hanya satu prototipe N 250, belum cukup untuk

mendapatkan sertifikasi FAA. Sebagai respon, IPTN kemudian mendesain versi

terbaru dengan menaikkan ke versi 70 penumpang, namun FAA masih menilai

bahwa N 250 versi 70 penumpang tidak layak karena ketidaktersediaan data-data

pendukung.265

Kedua, ketika rencana pengembangan N 250 di publish, sebenarnya CASA

Spanyol berharap IPTN dan Pemerintah Indonesia kembali melakukan joint

design dengan mereka sebagaimana dalam CN 235, tetapi ditolak oleh Habibie,

IPTN ingin mengembangkan satu pesawat yang benar-benar 100% didesain dan

diproduksi diatas kemampuan nasional sebagaimana amanat Presiden Soekarno

dan Soeharto.266 Penolakan tersebut sempat menyebabkan kerenggangan

265 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, loc.cit.h.6 266 Wawancara dengan BJ Habibie, lihat lampiran 9, no.1

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 133: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

111

Universitas Indonesia

hubungan antara CASA dengan IPTN waktu itu.267 Buktinya, di tahun yang sama

yaitu di tahun 1998, ketika IMF melarang pemerintah untuk memberikan bantuan

pendanaan N 250,268 justru CASA melakukan maiden flight C 295 dengan kelas

60 penumpang yang sejatinya merupakan pesawat sekelas N 250 dan merupakan

pengembangan dari CN 235.

Ketiga, lompatan IPTN dalam mendesain N 250 dan N 2130 dianggap

sangat membahayakan negara-negara tertentu, hal ini sebagaimana yang

diungkapkan Merilee S. Grindle (1997)269: “apabila kebijakan publik dimaksud

untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik,

ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari

pihak-pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut.” Hal

ini sangat dimaklumi, bahwa jika N 250 berhasil, maka sektor dirgantara

Indonesia akan semakin kuat, baik dari SDM maupun bisnis yang sekaligus

merupakan satu lingkungan yang kondusif untuk mendesain pesawat jet N 2130,

apalagi dalam rangka pengembangan N 2130, segala langkah telah dipersiapkan

dengan matang.270 Jika Indonesia mampu membuat pesawat jet, maka Indonesia

akan mampu membuat pesawat tempur hingga penguasaan teknologi satelit.271

Keempat, dari sisi teoritis dan empirik, intervensi yang tinggi dari negara terhadap

industri strategis termasuk pesawat terbang (high tech) adalah satu hal yang sangat

wajar sekali, bahkan meskipun Industri tersebut bangkrut, lihat kembali contoh

keberhasilan Embraer, China, bahkan Airbus.

Pada tanggal 24 Agustus 2000, IPTN direstrukturisasi. Seiring dengan

periode restrukturisasi tersebut, IPTN memasuki babak baru dan visi baru dengan

lingkungan kebijakan yang juga berbeda. Hingga saat ini, dukungan terhadap

pembangunan iptek sektor dirgantara masih lemah, hal ini dapat dilihat melalui

inkonsistensi dan inkoherensi antara tiga level hierarki proses kebijakan, baik dari

level kebijakan, level inter sektoral sampai pada level operasional. Pada level

kebijakan, dengan pengecualian pada Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei; UU No

267 Budi Santoso, 2011), dikutip di, http://abarky.blogspot.com/2011/02/ptdi-eads-siap-bikin-pesawat-militer.htm).

268 Lihat kembali ulasan kegagalan N 250 pada Bab I h.12-15 269 Merilee S. Grindle (1997), op.cit. h.11 270 Vertesy, D. and Szirmai, A. 2010. loc.cit.h.76 271 Lihat road map strategi transformasi IPTN, di Buku 25 Tahun PT. Dirgantara

Indonesia: Membuka paradigma baru.. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.h.32.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 134: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

112

Universitas Indonesia

1 tahun 2009 Tentang Penerbangan; Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan

Produksi dalam Negeri, arah pembangunan iptek sektor kedirgantaraan belum

tertuang secara jelas dalam rencana pembangunan nasional, baik dalam UU

No.17/2007 tentang RPJPN 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang

RPJMN 2010-2014. Pada level organisasi, walaupun telah ada sejumlah

instrumen kebijakan yang mendukung, namun dukungan kebijakan pada sektor

ketersediaan SDM dirgantara, infrastruktur atau lab pengujian, dukungan sistem

pendanaan/perbankan juga masih lemah. Pada level operasional, walaupun

beberapa plasma business seperti bidang aerostructure sudah berjalan, namun

kemampuan Manajemen PT DI secara umum masih sangat lemah, baik dari aspek

SDM, keuangan perusahaan, keterbatasan fasilitas pengujian untuk upgrading

teknologi termasuk rencana pengembangan pesawat R-80 yang merupakan

upgrading dari pesawat terbang N 250 (Gambar 4.1).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 135: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

113

Universitas Indonesia

Level Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara

PT DIProgram Upgrading N 250

UU. No.17/2007-RPJPN 2005-2025 dan di Perpres No.5/2010-RPJMN 2010-2014

Level Organisasi-Sinergi Sektor Riptek, Keuangan untuk Pengemb Tek Dirgantara

Kepmenristek Nomor 193/M/Kp/Iv/2010-Jakstranas Iptek 2010-2014; ARN 2010-2014; KMK Nomor 18 tahun 2012 tentang LPDP; Hibah Kompetensi Dikti

Walaupun pasar cukup besar, namun SDM, Pendanaan, Dukungan Fasilitas/Sumber Daya Iptek Dirgantara di luar PT DI -Untuk Upgrading N 250 ke R-80, dan Kemampuan Produksi Pesawat masih sangat lemah

Tida ada Arah Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara

Kebijakan sektor riset, keuangan, SDM belum diarahakn/tersinergis untuk mendorong Pengembangan Teknologi Sektor Dirgantara

Pasar cukup besar, SDM, Pendanaan, Dukungan Fasilitas/Sumber Daya Iptek Dirgantara di luar PT DI -Untuk Upgrading N 250 juga cukup menunjang, namun Kemampuan Produksi Pesawat masih sangat lemah

Arah Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara secara jelas dicantumkan, baik dalam PJP II maupun dalam Pelita VI/VII

Dukungan intersektoral cukup kuat, namun belum ada sistem leasing untuk pesawat terbang

Era Orde Baru Era Saat ini

Tahapan Upgrading:Upgrading N 250 Ke R-80

Strategi bisnis :1.Perjanjian kerjasama joint-venture

untuk marketing dan teknis denganpihak Jerman untuk memasarkandan merakit N 250 di Jerman

2.IPTN melalui kerjasama denganAmerika Serikat telah mendirikananak perusahaan IPTN di AS yangdisebut AMRAY (American RegionalAircraft Industry). Selain diAlabama, IPTN juga telah membukabranch office di North Americankhususnya di Seattle

Level Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara

IPTNProgram N 250

GBHN 1993 maupun GBHN 1998

Level Organisasi-Sinergi Sektor Riptek, Keuangan untuk Pengemb Tek Dirgantara

PUNAS; FTMD ITB; Puspiptek-BPPTProgram S2, sejumlah program Beasiswa untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan melalui

(USAID dll

Tahapan Upgrading:1.1976: Produksi under licensed-NC 2122.1980: Integrasi Teknologi, CN 2353.1987: Pengembangan, N 2504.1994: Riset Dasar, N 2130

Tidak sebagaimana CN 235 yang berpatungan dengan CASA, Pengembangan

Desain N 250 dilakukan 100% oleh IPTN

Gagal

Akan kerjasama dengan PT RAI

???

1. Visi sudah kearah Bisnis2. Core Business: Design dan

manufacturing PesawatPlasma Business:

3. Aero structure: supplier komponen Airbush: A380/A320/A321/A350 (PT DI dipercaya sebagai single supplier untuk A 380.

4. Maintanance Pesawat, 5. Pengembangan pesawat

Alur Bromley

Temuan

Gambar 4.1. Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat Terbang PT DI dari Era Orde Baru – Era Saat ini.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 136: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

114

Universitas Indonesia

4.1. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor

Dirgantara Pada Level Kebijakan.

Berdasarkan penelahaan dokumen serta wawancara yang telah dilakukan

terhadap sejumlah narasumbet terkait, bahwa dukungan politik terhadap penguasaan

dan pembangunan iptek untuk peningkatan nilai tambah (product upgrading) masih

lemah termasuk diantaranya adalah dukungan penguasaan dan pembangunan iptek

sektor dirgantara. Pada rezim orde baru, keberpihakan arah pembangunan iptek

tertuang secara jelas terutama dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998272. Pembangunan

iptek waktu itu adalah diarahkan pada iptek yang memberikan nilai tambah yang

tinggi dan memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan bangsa

Indonesia serta dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.273 Sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, bahwa sektor dirgantara merupakan sektor dengan nilai

tambah terbesar dibandingkan sektor lainnya.274

Arah pembangunan iptek sektor dirgantara, baik yang tertuang didalam

sasaran Bidang Pembangunan Jangka Panjang Kedua maupun pada Pembangunan

Lima Tahun (Repelita) VI dan VII, tidak saja dinyatakan bahwa sektor

kedirgantaraan sebagai salah satu bidang dan sasaran pembangunan sendiri275, bahkan

kemandirian teknologi kedirgantaraan dijadikan asas pembangunan nasional saat itu

baik dalam sasaran bidang ekonomi, industri, maupun iptek itu sendiri.276 Selain

dicantumkannya arah pembangunan kedirgantaraan, bahkan strategi pembangunan

ipteknya yaitu: “memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan

dan teknologi yang merupakan prinsip dari strategi berawal diakhir dan berakhir di

272 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : II/MPR/1993

dan Nomor : II/MPR/1998tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 273 Habibie, 1995. op.cit. h.167; GBHN 1993. loc.cit.h .705; GBHN 1998, loc.cit.h.857 274 Habibie, 1995.op.cit.h.49 275 Ibid. untuk GBHN 1993 di h.674; bahkan dihalaman 680, pada Bagian Arah

Pembangunan Jangka Panjang Kedua no.15 tertulis: Pembangunan ilmu perngetahuan dan teknologi memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi perkembangan dalam masa Pembangunan Jangka Panjang Kedua....adapun untuk GBHN 1999, loc.cit di.h.800; 846.

276 Ibid. GBHN 1993 h.660; GBHN 1999, loc.cit di h.889-890

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 137: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

115

Universitas Indonesia

awal” secara tegas dinyatakan dalam kedua dokumen tersebut baik pada arah

pembangunan jangka panjang maupun pada pembangunan lima tahunan.277

Selain itu, dukungan lain secara politik terhadap pembangunan sektor

kedirgantaraan juga dapat dilihat pada sejumlah keputusan presiden yang telah

dikeluarkan untuk mendukung pembangunan iptek sektor kedirgantaraan, mulai dari

KEPPRES No. 1 tahun 1980278 tentang keharusan pemerintah memakai produksi

pesawat dalam negeri. Keppres No. 56/1986 tentang Badan Pengelola Industri

Strategis (BPIS), dalam struktur BPIS tersebut, Menristek adalah sebagai vice

president dibawah Presiden. Dan didalam Keppres No. 99 Tahun 1993 /Keppres No.

132 Tahun 1998279 tentang Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik

Indonesia (DEPANRI), posisi Menristek juga sebagai vice president dibawah

Presiden.

Pasca reformasi, terutama sejak 1999, sejumlah regulasi yang mendukung

pembangunan iptek sektor kedigantaraan dihapus, mulai dari dihapusnya KEPPRES

No. 1 tahun 1980, pembubaran BPIS serta pemberhentian program N 250 dan N

2130, bahkan pada tataran sistem perencanaan pembangunan, bidang iptek

dihilangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita VII) khususnya di

Garis-GarisBesar Haluan Negara (GBHN) 1999.280 Bahkan setelah terjadi perubahan

ke sistem presidensil yang berbasis pada Rencana Pembangunan Jangka Panjangnya

RPJPN dan RPJMN sebagai pengganti GBHN.

277 Ibid.GBHN 1993 h.675 dan GBHN 1993.h.815 dan 839 278Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI

KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.loc.cit.h.4 279 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan

Penerbangan Dan Antariksa Dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia.

280 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 138: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

116

Universitas Indonesia

Arah pembangunan iptek sektor kedirgantaraan didalam UU. No.17/2007281

tentang RPJPN juga tidak secara tegas dinyatakan sebagaimana dalam dokumen

GBHN 1993 dan 1998 sebelumnya. Bahkan, arah pembangunan IPTEK dalam

dokumen RPJP tampak bersifat jangka pendek, hal ini dapat dilihat dengan arah

dalam tiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)nya.282

Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tersebut, bahwa pada RJPMN III dan IV,

IPTEK nampaknya sebagai tools pembangunan artinya IPTEK sudah merupakan

hasil inovasi yang siap digunakan untuk pembangunan nasional. Hal tersebut

konsisten, jika melihat arah pembangunan pada RPJMN II, arah pembangunan

IPTEK dinyatakan secara jelas. Artinya, hanya dalam jangka lima atau sepuluh tahun,

IPTEK dituntut untuk dapat memberikan nilai ekonomi dan berkontribusi pada

pembangunan nasional.283

Paca reformasi, diluar sistem perencanaan dan pembangunan nasional

(Sisrenmbangnas), sejatinya dukungan terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan

sudah dinyatakan dalam sejumlah produk kebijakan yaitu mulai Undang-undang No.

1/2009284 tentang Penerbangan, Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei. Bahkan dalam

MP3Ei285 tersebut merekomendasikan sejumlah kebijakan intersektoral yang saling

mendukung untuk pengembangan sektor kedirgantaraan (lihat Tabel 4.1).

Jika dilihat perjalanan pemerintahan, sejak era Bung Karno hingga SBY

(Gambar 4.2), dukungan terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan sangat variatif

dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Dari keenam presiden yang telah

memimpin negara ini, rezim Soekarno dan rezim Soeharto sampai sebelum krisis

ekonomi 1997 merupakan dua rezim yang paling komit mendukung pembangunan

281 Lampiran UU No.17/2007 tentang RPJPN hal 53 tertulis bahwa: “Pembangunan iptek

diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; penyediaan teknologi transportasi, kebutuhan teknologi pertahanan, dan teknologi kesehatan; pengembangan teknologi material maju.”

282 Perpres No.5/2010 tentang RPJMN 2010-2014.h.25 283 Ibid. 284 Undang-undang No. 1/2009 tentang Penerbangan 285 Perpres No.32 tahun 2011, tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia, h.89

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 139: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

117

Universitas Indonesia

sektor Kedirgantaraan286. Bahkan dalam rangka merumuskan kebijaksanaan umum di

bidang penerbangan dan antariksa, berdasarkan Keputusan Presiden Republik

Indonesia nomor 99 tahun 1993 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor

132 tahun 1998 dibentuk satu Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik

Indonesia (DEPANRI). 287

Gambar 4.2 Dukungan politik terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan Sumber: diolah dari berbagai sumber dan hasil wawancara dengan Habibie di Rumah Beliau

di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014288

286 Hasil Wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, lihat Lampiran 9 No 18 dan 19 287 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 1993 tentang DEPANRI, pasal.2 288 Hasil Wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, lihat Lampiran 9 No 18 dan 19

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 140: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

118

Universitas Indonesia

Struktur organisasi DEPANRI diketuai oleh Presiden dan wakilnya adalah

Menteri Ristek yang sekaligus merangkap Pelaksana Harian DEPANRI. Untuk

jabatan sekretaris dan anggotanya masing-masing adalah289: Sekretaris: Ketua

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Anggota: 1. Menteri Luar

Negeri; 2. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia; 3. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 4. Menteri Perhubungan; 5.

Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya; 6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Badan Perencanaan pembangunan Nasional; 7. Kepala Staf Angkata

Udara.290

Pada era presiden SBY, yaitu sejak ditahun 2008 dengan Perpres No. 28

Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, pembangunan sektor dirgantara

mulai dibangkitkan kembali. Perpres tersebut mendorong pesawat commuter dengan

kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis melalui insentif fiskal dan insentif

non-fiskal. Setelah Perpres tersebut kemudian muncul sejumlah undang-undang serta

peraturan dibawah dibawah undang-undang, mulai dari Undang-undang No. 1/2009,

Perpres No.32/2011 tentang MP3Ei dan seterusnya (Tabel 4.1). Secara ringkas,

dinamika dukungan pada level kebijakan terutama terkait arah pembangunan nasional

dalam pembangunan sektor kedirgantaraan sejak orde baru hingga saat ini dapat

dilihat pada Tabel 4.2.

289 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 199, loc.cit, pasal 4 dan 5 290 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 132 tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia, pasal 4.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 141: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

119

Universitas Indonesia

Tabel 4.1. Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan Inisiasi Sektor Produk Kebijakan/Periode Keterangan

SEBELUM REFORMASI Sektor Iptek: Kementerian Ristek

Keppres No. 56/1986 (BPIS) Keppres No. 99 Thn 1993 /Keppres No. 132 Thn 1998 (DEPANRI)

Empat strategi transformasi industri dengan BUMNIS sebagai wahananya, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden Dalam struktur DEPANRI, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden

Sektor Non Iptek: Kementerian Perindustrian dan Perdagangan

KEPPRES No. 1 tahun 1980 Kebijakan Pembangunan resourced-based industries Era Oil boom, 1976-1981 (Kebijakan substitusi Impor) Pasca Oil boom 1982-1985 (Mendorong ekspor) Era 1986-1991 (Kebijakan mendorong Industri beroritensi Ekspor)

Keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri Diarahkan pada: peningkatan nilai tambah; peningkatan kemampuan teknologi; peningkatan produksi dengan kualitas tinggi; dan peningkatan partisipasi aktif sektor swasta

Kementerian BUMN Keppres No. 56/1986, 10 Industri Strategis termasuk IPTN

Badan Pengelola Industri Strategis, IPTN salah satunya

SETELAH REFORMASI Sektor Iptek: Kementerian Ristek

UU No. 21/2013 tentang Keantariksaan

Pasal 24 diktum c. “penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika” tetapi hanya terkait satelit, roket, penginderaan jarak jauh.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 142: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

120

Universitas Indonesia

Sektor Non Iptek Kemen Perindustrian

UU No.5/1984 tentang Perindustrian UU No. 3/2014 tentang Perindustrian Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009 Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri KEPPRES No. 1 tahun 1980

Lebih diarahkan untuk teknologi industri tepat guna dan tidak mendorong penguasaan atau riset industri Pasal 84 ayat 2c.Industri strategis mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan Negara Tentang Peta Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis (N 219) melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia (N219) Keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dihapus

Kementerian Perhubungan

UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 104 tentang Angkutan Udara Perintis : Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008

Dikatakan Perintis jika rute tersebut memenuhi ketentuan rute yang menghubungkan daerah terpencil dan pedalaman atau daerah yang sukar terhubungi oleh moda transportasi lain; kapasitas di bawah 30 (tiga puluh) penumpang.

Kemen Perencanaan/BAPPENAS

UU. No.17/2007 tentang RPJPN Perpres No.5/2010-RPJMN 2010-2014 Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei

Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 hanya ditujukkan pada tujuh sektor yaitu Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Material Maju, dan tidak ada sektor kedirgantaraan. Arah Pembangunan Jangka Menegah Tahun 2010–2014 Dukungan terhadap pengembangan dan produksi pesawat penumpang terutama berkapasitas dibawah 100 penumpang. Bahkan dalam MP3Ei merekomendasikan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 143: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

121

Universitas Indonesia

Kontrak multiyears dapat dimanfaatkan para operator penerbangan perintis untuk membeli pesawat berkapasitas 19 penumpang;

Kementerian Keuangan

UU No.36/2006 tentang PPh PP.No.93/2010 PMK 224/PMK.011/2012 PP No.54/2008 Tentang Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah.

Biaya untuk penelitian dan pengembangan yang dikeulurkan oleh perusahaan dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak/tax deduction. (Ps. 6 UU PPh) Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Paja (Ps.6 UU PPh jo. PP 93/2010) Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 22 atas impor:

barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan

buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama Alternatif pendanaan untuk pembelian pesawat N 219

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 144: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

122

Universitas Indonesia

Tabel 4.2. Arah Pembangunan IPTEK dalam Dokumen Perencanaan Nasional

PJP I (1969-1993)

GBHN 1993 dan GBHN 1998 GHBN 1999 RPJP 2005-2025 REPELITA VI dan VII ( 1993-1997/1998-2003) PJP II (1993-2017) REPELITA 1999-

2004 PROPENAS 1990-

2004 Pembangunan

IPTEK RPJPM

Pelita I-V : 1. Meningkatkan

taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat, yang semakin merata dan adil.

2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.

3. Titikberat pada sektor pertanian

Peningkatan kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengatahuan dan teknologi dilaksanakan termasuk sektor dirgantara dengan mengutamakan peningkatan dan kemampuan alih teknologi... dalam rangka menunjang proses industrialisasi menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Ada sasaran Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi termasuk sektor dirgantara. Dan Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi diarahkan agar pemanfaatan, peningkatkan, dan penguasaannya dapat mempercepat pengembangan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat

Sasaran Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ditiadakan, namun diarah kebijakan no. 20 dinyatakan: Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

1.Membangun Sistem Politik yang Demokratis..

2.Mewujudkan Supremasi Hukum.

3.Mempercepat Pemulihan Ekonomi

4.Membangun Kesejahteraan Rakyat

5.Meningkatkan Pembangunan Daerah

1. Diarahkan pada Ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi TIK, transportasi, pertahanan dan keamanan, kesehatan, dan material maju.

2. Peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor produksi.

3. Penguatan sistem inovasi dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan ;

4. Penumbuhan industri baru berbasis produk

I. Menata kembali NKRI, membangun indoensia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

II. Memantapkan penataan kembali NKRI,meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek dan memperkuat daya saing

III. Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA, SDM dan kemampuan Iptek

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 145: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

123

Universitas Indonesia

Sumber: Diolah dari berbagai dokumen : PJP I, GBHN 1993, 1999 dan RPJPN 2005-2025

litbang dengan dukungan modal ventura.

IV. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan disegala bidang dengan struktur perkonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 146: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

124

Universitas Indonesia

4.2. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor

Dirgantara Pada Level Kebijakan Sektor.

Pada zaman orde baru, berdasarkan amanah GBHN 1993 dan 1998

sebagaimana tertuang dalam Pembangungan Jangka Panjang (PJP) tahap II dan

Pembangungan Lima Tahunan VI dan VII terhadap pembangunan iptek secara

keseluruhan dan pembangunan industri kedirgantaraan secara khusus, maka

sejumlah institutional arrangement dalam bentuk kebijakan maupun instrumen

kebijakan pada level organisasi juga telah digulirkan waktu itu.291 Sejumlah

bentuk kebijakan tersebut adalah pertama pada sektor riset iptek. Pada saat itu,

arah pembangunan riset iptek khususnya kedirgantaraan telah dinyatakan dalam

Matriks Nasional Ristek. Matriks ini memuat lima bidang prioritas bagi riset dan

teknologi Indonesia yang terdiri dari: Pertama, kebutuhan dasar manusia, sumber

daya alam dan energi, industrialisasi, pertahanan dan keamanan, sosial budaya,

ekonomi dan falsafah.292

Selanjutnya, kendatipun kelima bidang prioritas tersebut memperoleh

perhatian yang sama, namun pengembangan industri dimasa depan akan lebih

ditekankan, terutama industri dirgantara.293 Secara pendanaan, kelima bidang

prioritas tersebut diprioritaskan pendanaannya melalui Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN).294

Dalam rangka melaksanakan dan mengembangkan Matriks Nasional

Ristek secara lebih lanjut, maka pada tahun 1978 dibentuk Tim Perumus dan

Evaluasi Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PEPUNAS RISTEK).

Tugas tim ini antara lain untuk merumuskan topik atau program Ristek untuk

dijadikan sebagai prioritas riset dan teknologi nasional, serta mengusulkan kriteria

usulan proyek Ristek.295 Akhirnya melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun

1984, keberadaan Tim PEPUNAS Ristek tadi ditingkatkan menjadi Dewan Riset

Nasional (RDN) yang diketuai oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.296

291 Habibie, 1995.op.cit.h.199 292 Habibie, 1995.op.cit.h.173-175 293 Ibid.h.175 294 Ibid.h.176 295 Ibid.h.187 296 Ibid.h.191

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 147: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

125

Universitas Indonesia

Untuk tujuan koordinasi, Kantor Menristek menyelenggarakan Rapat-rapat

Koordinasi Nasional Riset dan Teknologi sedangkan DRN didampingi oleh

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)297 menyelenggarakan Lokakarya

Nasional Riset dan Teknologi.298 Rakornas ristek bermaksud mengkoordinasikan

program-program dan melaporkan mengenai kemakmuran kelembagaan,

laboratorium dan lembaga, sedangkan Loknas Ristek membahas topik

khusus.299Hasil rekomendasi baik terkait kriteria maupun topik atau program

Ristek yang dilakukan DRN dan AIPI menjadi kriteria bagi Badan Perencanaan

dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan aparatur Menristek untuk

meluluskan diterimanya suatu usulan proyek penelitian dan pengembangan.300

Secara ringkas bahwa keberadaan dan dukungan sektor iptek pada saat itu

sangat kuat khususnya terhadap di sektor dirgantara, dukungan tersebut tertuang

dalam Program Utama Nasional (PUNAS). PUNAS tersebut sekaligus sebagai

instrumen pendanaan yang diarahkan untuk mendorong penguasaan teknologi

industri dengan wahananya adalah 10 anggota Industri Strategis termasuk IPTN.

Kuatnya dukungan terhadap sektor dirgantara terutama melalui PUNAS waktu itu

tergambar sebagai berikut. Berdasarkan kegiatan Program Pendanaan Riset

Unggulan Terpadu (RUT) yang merupakan bagian dari PUNAS, bahwa bidang

Rancang Bangun pernah dua kali menempati posisi ranking I (Tabel 4.3), yaitu

masing-masing pada RUT II (Tahun Anggaran 1995) dan VI (Tahun Anggaran

1999). Dan dari bidang PUNAS Rancang Bangun, seperti tampak pada Tabel 4.4,

tema pesawat terbang menduduki peringkat pertama yang didominasi oleh ITB

dan BPPT.301

297 AIPI dibentuk dengan Undang Undang No.8/1990 dengan tujuan menghimpun

Ilmuwan Indonesia terkemuka untuk memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan atas prakarsa sendiri dan/atau permintaan mengenai penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada Pemerintah serta masyarakat untuk mencapai tujuan nasional..(pasal 3)

298 AIPI beranggotakan lmuan-ilmuan yang dipilih berdasarkan prestasinya didalam bidangnya masing-masing, dengan demikian anggota AIPI sekaligus akan menjadi anggota DRN, tetapi tidak sebaliknya (Habibie, 1995.op.cit.h.193)

299 Ibid.h.193 300 Ibid.h.188 301 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK,

Bab II RUT.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 148: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

126

Universitas Indonesia

Tabel 4.3. Punas 1993-1998 yang Tergolong Lima Besar

Sumber: Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT.

Tabel 4.4 Lima tema utama dalam Bidang Rancang Bangun (110T)

Sumber: Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT.

Bahkan diantara hasil riset PUNAS-RUT khususnya RUT V (Tahun

Anggaran 1998) dan IV (Tahun Anggaran 1997) telah dihasilkan teknologi yang

dimanfaatkan oleh PT DI yaitu Produk perancangan, pembuatan dan pengujian

boks komposit dalam proses perancangan dan analisis struktur utama pesawat

terbang, khususnya N-250. Riset tersebut merupakan kolaborasi antara

Kementerian Ristek, BPPT dengan IPTN.302 Kedua adalah riset Pengembangan

Metode untuk Memprediksi dan Mengukur Daya Dorong Propulsi (Thrust) dan

302 Buku Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 149: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

127

Universitas Indonesia

Gaya Hambat (Drag) Pesawat Udara Bermesin Turboprop yang dihasilkan oleh

RUT IV juga telah digunakan oleh PT Dirgantara Indonesia. Metode Thrust yang

dihasilkan tersebut telah digunakan untuk mengukur beban pada stryktur pesawat

udara. Dan software untuk memprediksi gaya dorong propeller tersebut telah

diaplikasikan pada perhitungan propeller pesawat udara CN-235. Teknologi

terakhir merupakan kolaborasi antar Kementerian Ristek, BPPT, ITB dan

IPTN.303

Selain PUNAS, sebagai wahana yang paling tepat untuk pengalihan serta

pengembangan teknologi dirgantara, maka kemudian dibangun sembilan wahana

transformasi, salah satunya adalah industri dirgantara IPTN.304 Industri dirgantara

meliputi beberapa wahana Industri yaitu Industri pembuatan baling-baling

pesawat terbang, kerangka roda pesawat terbang dan avionik.305Dalam rangka

memperkuat sembilan wahana Industri tersebut, Berdasarkan Keppres No.

56/1986 dibentuk Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang salah satunya

adalah industri dirgantara yaitu IPTN. Dalam struktur BPIS tersebut, Menristek

selain sebagai vice chairman langsung dibawah presiden dan membawahi

menteri-menteri lainnya, juga mengkoordinir 10 Industri Strategis termasuk IPTN

(Gambar 4.3).

303 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK,

Bab II RUT; Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001). 304 Habibie, 1995.op.cit.h.222 305 Ibid.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 150: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

128

Universitas Indonesia

Gambar 4.3 Organisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS)

Sumber: Diolah dari Progress Report Habibie,1994

Di dalam usaha mempertinggi kemampuan mengintegrasi teknologi

Indonesia khususnya di dalam Industri Dirgantara, dengan dua ciri pokoknya

adalah: berstandar internasional dan relatif mudah untuk dialihkan ke penelitian

dasar dalam konteks strategi berawal pada akhir dan berakhir pada awal, maka

berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976,

dibangunlah Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK)

terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti:

Laboratorium Uji Konstruksi306, aerodinamika.307

306 Ibid. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya

PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 307 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976

Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 151: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

129

Universitas Indonesia

Presiden

DEPANRI Pendanaan PUNAS-RUT BPIS-IPTN

Menristek

Kementerian Lainnya

Proses PolitikKoordinasi Langsung

Koordinasi Tidak Langsung Gambar 4.4 Mekanisme Koordinasi Kelembagaan-di sektor

Kedirgantaraan Pada Zaman Orde baru. Sumber: Hasil Olahan Penulis

Berdasarkan uraian sebelumnya, sebagaimana diterangkan dalam gambar

4.4, tampak bahwa tampak posisi Menteri Ristek sangat kuat karena langsung

dibawah presiden dan dapat mempengaruhi langsung kepada Presiden baik

sebagai Menristek itu sendiri maupun sebagai vice chairman dari DEPANRI

maupun BPIS. Keberadaan DEPANRI berperan sebagai think tank terkait arah

kebijakan iptek kedirgantaraan, kemudian Pendanaan PUNAS-RUT sebagai

instrumen pendanaan dan BPIS khususnya IPTN sebagai salah satu wahana alih

teknologi, ketiganya menjadi satu kekuatan yang integralistik dalam menjamin

efektivitas pendanaan inovasi khususnya dalam pembangunan iptek sektor

kedirgantaraan. Salah satu contoh lain selain dominasi pendanaan PUNAS untuk

bidang kedirgantaraan adalah dalam pembiayaan program N 250, karena sistem

keuangan waktu itu dinilai tidak elastis, maka dalam rangka mempercepat finish

contruction N 250, IPTN mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp. 400

miliar yang sebenarnya merupakan dana reboisasi dari Departemen Kehutanan

waktu itu.308 Bahkan selain dana reboisasi, dalam rangka mendukung

308 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.291

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 152: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

130

Universitas Indonesia

pengembangan pesawat terbang IPTN, pernah diambil pendanaan yang bersumber

dari pemotongan gaji PNS.309

Contoh lain yang menunjukkan kuatnya pengaruh politik Habibie terhadap

Presiden adalah pemberhentian proyek pesawat commuter XT-400 milik LAPAN.

Pada tahun 1977, LAPAN pernah mengembangkan pesawat perintis XT

(Experimental Transport) -400 dan disetujui oleh Menristek Soemitro

Djojohadikusumo serta didukung pula oleh BAPPENAS yang pada waktu itu

dipimpin oleh Widjoyo Nitisastro. Untuk alokasi anggaran proyek pengembangan

mencapai Rp. 100 juta.310

Dengan kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara, LAPAN telah berhasil

membangun mock-up pesawat dengan skala 1:1. Setelah desain dikoreksi lewat

mock-up, kemudian dilanjutkan pada perakitan prototipe yang harapannya akan

selesai pada tahun 1979/1980. Dalam rangka pengujian stabilitas, telah dirancang

model pesawat XT-400 dengan skala 1:5. Dari hasi pengujian pada ketinggian

250-300 meter, ternyata model pesawat tersebut tidak ada masalah dengan

stabilitasnya. Begitupun dari analisis ekonominya, Marsma Sugito seperti dikutip

Kompas (13/04/1978), mengungkapkan bahwa harga pesawat XT-400 ini (XT-

400) mencapai US$ 150.000-180.000, lebih murah daripada Islander (US$

220.000) dan menghemat devisa.311

Sejak pergantian kabinet pada oktober 1978, proyek XT-400 yang

pelaksanaannya hampir 50% tersebut diberhentikan oleh Menristek baru yang

terpilih yaitu B.J. Habibie. Walaupun banyak pihak yang menentang keputusan

tersebut, Menristek tetap memutuskan untuk memindahkan seluruh kegiatan

produksi pesawat terbang nasional termasuk kegiatan rancang bangun pesawat

terbang di IPTN.312 yang saat itu sedang memproduksi C-212 lisensi CASA,

309 Wawancara dengan bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan

Renaldi. pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT . lampiran 9.no.23.7 310 Sudiro Sumbodo, 2014. XT-400: Proyek Pesawat Komuter yang mati sebelum lahir

dalam Majalah Airliner World, Edisi 12 tahun 2014, h. 38. 311 Ibid.h.42 312 Hal ini bukan tanpa alasan, karena menurut Habibie bahwa kegiatan integrasi

teknologi adalah adanya di Industri bukan di lembaga litbang (Wawancara dengan Ketua Ti m Teknis DEPANRI, 2012, Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014, lihat lampiran 9.2.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 153: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

131

Universitas Indonesia

Spanyol. Padahal dalam lampiran pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16

Agustus 1978, nama proyek XT-400 tercantum dihalaman 74.313

Namun, kuatnya posisi BJ Habibie terutama dalam mendapatkan

dukungan secara kelembagaan bukan tanpa celah, terutama pada sektor

pendanaan, perbankan dan pemasaran pesawat terbang. Habibie mengeluhkan

kakunya birokrasi keuangan terutama dalam pendanaan khususnya desain pesawat

terbang N 250.314 Kedua, adalah masalah tidak adanya insentif kredit ekspor

terutama untuk pasar luar negeri telah menghambat sejumlah penawaran yang

berasal dari pasar luar negeri, bahkan hal ini dianggap sebagai salah satu gagalnya

penjualan sejumlah produk Industri Strategis yang termasuk dalam BPIS termasuk

industri pesawat terbang-IPTN waktu itu.315

Terkait itu, Habibie menuturkan316:

Sebenarnya saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan. Sudah ada

jawaban dan sudah mendapatkan izin. Tetapi tidak bergulir, dalam arti, tidak

ada inisiatif dari perbankan pemerintah atau swasta nasional untuk siap

mendukung penjualan produk BPIS dengan fasilitas kredit dari bank

kita..Kendati demikian, tidak berarti BUMNIS rugi terus karena kesulitan

penjualan...cuman jumlah penjualannya tidak mencukupi, karena konsumen

tidak mau beli dengan bayar kontan. Konsumen mau beli dengan fasilitas

kredit.....Daripada saya sorak-sorak disini tetapi tidak ada tanggapan, lebih

baik saya membuat patungan dengan United Emirate Arab (UEA), (oleh

karena) mereka tertarik untuk membentuk leasing company, bahkan tadinya

UEA minta supaya diberikan hak kepadanya untuk membiayai 100% seluruh

produk yang dijual BPIS, akhirnya saya membuat patungan dengan UEA

karena tidak (terdapat) jalan lain...Selain itu, belum lama ini ada seorang

teman Pak Bustanil Arifin dari Amerika Serikat yang dulu membantu finance

beras, dia mau ikut berpartisipasi dalam joint venture dengan UEA.

Bayangkan orang asing saja begitu. Tapi dari Indonesia tidak ada.

313 Sudiro Sumbodo, 2014. loc.cit, h. 42 314 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.291 315 Habibie, 1995.op.cit.h.289 316 Ibid.h.290-291

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 154: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

132

Universitas Indonesia

Selain pada kedua aspek di sektor keuangan tersebut, dukungan pada

kebijakan sektor industri juga tidak selaras dengan kebijakan pembangunan iptek

yang menekankan pada penguasaan dan pembangunan iptek yang memiliki nilai

tambah tertinggi. Kebijakan Pembangunan Industri pada saat itu, terutama melalui

Kementerian Perindustrian dan Perdagangannya justru lebih mengedepankan pada

empat strategi pembangunan resourced-based industries, yaitu: (Tabel 4.5).317

Tabel 4.5 Kebijakan Sektor Iptek vs Kebijakan Sektor Industri Tahapan Kebijakan Pembangunan

Industri berbasis pada Nilai Tambah tertinggi

Tahapan Kebijakan Pembangunan Industri berbasis pada Sumber Daya

Penggunaan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa

Peningkatan nilai tambah;

Integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi

Peningkatan kemampuan teknologi;

Pengembangan Teknologi Peningkatan produksi dengan kualitas tinggi; Penelitian Dasar Peningkatan partisipasi aktif sektor swasta

Selain masih lemahnya dukungan pada level kebijakan, lemahnya

komitmen politik pemerintah juga menjadi salah satu sebab kegagalan IPTN pada

saat itu terutama dalam pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada

penguasaan kemampuan pengembangan teknologi khususnya pesawat N 250.

Diantara bukti lemahnya dukungan politik pemerintah adalah: pertama,

penandatanganan nota kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional

(IMF) yang diwakili Mr. Michel Camdessu sebagai Direktur Pelaksana IMF

dengan pihak Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998.

Salah satu dari 50 butir yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) terutama

pada butir 4 Proyek Swasta C adalah berbunyi:

“Dana anggaran maupun non anggaran yang digunakan untuk program

IPTN dihentikan. Pendanaaan Proyek N 2130 segera dibuka bagi investasi

asing dan perbankan”.318

Pemberhentian dukungan pendanaan untuk IPTN tersebut kemudian dituangkan

dalam Inpres no.3/1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN.319

317 Rony M. Bisry dan Murman Hidayat, 1998. loc.cit.h.174. 318 Aboeng Koesman, Agustus 2001. Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara

Indonesia: Membuka paradigma baru. loc.cit .h.56.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 155: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

133

Universitas Indonesia

Padahal, dukungan pendanaan pemerintah untuk IPTN khususnya proyek

pengembangan N 250 dan N 2130 baik ditinjau secara teoritis maupun empirik

adalah satu hal yang sangat wajar, apalagi total sisa pendanaan yang dibutuhkan

untuk N 250 adalah hanya sekitar USD 150-200 juta atau sekitar Rp. 2 triliun320

dan jauh lebih besar dari pendanaan yang dibutuhkan untuk restrukturisasi

perbankan yang mencapai ratusan triliun rupiah.321Bahkan, pemerintah di negara-

negara maju sekalipun seperti AS dan Uni Eropa membantu industri pesawat

terbangnya dengan memberikan tender-tender proyek penelitian, pembuatan

mesin-mesin atau pesawat tertentu agar industri strategis itu bisa hidup.322

Walaupun belum ada bukti hitam diatas putih, pemberhentian dukungan

pendanaan untuk IPTN khususnya proyek pengembangan N 250 dan N 2130

sangat terindikasi adanya intervensi pihak asing. Beberapa indikasi tersebut

adalah: pertama, tekananan IMF kepada pemerintah untuk untuk menyediakan

pendanaan ratusan triliun rupiah untuk restrukturisasi perbankan, namun ironisnya

IMF menuntut Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pendanaan untuk IPTN

khususnya untuk N 250 yang telah menyelesaikan 800 jam flying test dari 1500

jam yang disaratkan untuk memperoleh sertifikasi FAA.

319 Kementerian Keuangan dalam FGD yang diadakan Kemenkeu tentang Pembahasan

Awal Wacana Peruntukkan Aset Hasil Program N 250, 4 Desember 2014. slide no.4 tentang Kronologis Program N 250.

320 A. Makmur Maka (2013). op.cit h.420; A, Makmur Maka (2012). op.cit.h.139 321 Ishak Rafiick, 2007. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi

1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, h. 236 322 Ibid. h. 234-236

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 156: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

134

Universitas Indonesia

Indikasi kedua, tekanan lembaga IMF supaya Pemerintah membiarkan

IPTN dan Texmaco mangkrak menimbulkan tanda tanya besar, kenapa kedua

perusahaan besar itu yang menjadi sasaran? bukan Chandra Asri, Astra atau

Indomobil yang juga mengalami kesulitan saat krisis?323 Jawaban sederhana

adalah baik IPTN maupun Texmaco,324 sama-sama mengembangkan potensi

industri manufaktur (potensi produktif) dengan berbasis pada kemampuan alih

teknologi, bukan sekadar tukang jahit (potensi konsumtif). Texmaco bergerak

untuk mengembangkan kemampuan teknologi Indonesia di darat dan di laut,

sedangkan IPTN berupaya mengembangkan potensi dirgantara, sehingga dari sisi

geopolitik, Indonesia bisa menjaga kedaulatan udaranya dengan pesawat-pesawat

buatan sendiri, sekaligus memudahkan penduduknya untuk menjelajahi tanah

airnya yang luas lewat penetrasi udara.325

Indikasi ketiga, dari sisi strategi pengembangan teknologi. Lompatan

IPTN dalam mendesain N 250 dan N 2130 dianggap sangat membahayakan

negara-negara maju. Hal ini sangat dimaklumi, bahwa jika N 250 berhasil, maka

sektor dirgantara Indonesia akan semakin kuat, baik secara SDM maupun bisnis.

Keberhasilan N 250 tersebut sekaligus merupakan modal yang sangat penting

untuk melanjutkan program pengembangan pesawat jet N 2130. Apalagi dalam

rangka pengembangan N 2130, segala langkah telah dipersiapkan dengan

323 Untuk Chandra Asri, pada saat krisis ekonomi 1997 terjadi, total kerugian perusahaan

milik konglomerat Prayogo Pangestu tersebut bahkan mencapai USS 500 juta. Anehnya, perusahaan yang ini tidak dibiarkan mangkrak. Sebagian besar utangnya malah dikonversi menjadi penyertaan modal pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah ikut pula menanggung beban- beban lain dari perusahaan konglomerat itu . Padahal dari sisi kinerja, PTDI jelas masih lebih baik daripada Chandra Asri (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.240). Adapun Grup Astra yang yang didirikan dan dibesarkan oleh William Suryadjaya, ketika krisis ekonomi 1997 terjadi mengalami dampak yang cukup serius, ketika krisis ekonomi terjadi, penjualan mobil Grup Astra langsung anjlok sampai tinggal sekitar 20%, bahkan penjualan sepeda motornya di Indonesia anjlok hingga 50% lebih (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.132). Suzuki Indomobil International milik Grup Salim, pada saat krisis ekonomi 1997 juga ikut terjerembab. Sebagaimana halnya Astra, Indomobil juga hanya menjalani fungsi marketing dari principalnya di Jepang, tak ada pembicaraan soal alih teknologi (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.228).

324 Untuk Perusahaan Texmaco, dengan kemampuan teknologinya yang advance bisa menyediakan mesin apa saja yang dibutuhkan negeri ini untuk industrialiasasi, mulai dari mesin tekstil, traktor tangan, mesin bubut, pengolah padi, kedele, jagung, sampai pembangkit listrik, mesin kapal dan tentu saja otomotif. Perusahaan yang didirikan Marimutu Sinivassan sejak awal dekade 60an ini mempunyal potensi besar untuk mengembangkan kemampuan teknologi Indonesia di darat dan di laut. Bahkan dia telah membuat mobil dengan kandungan lokal di atas 85%, termasuk blok mesinnya, sebelum krisis menghantam republik. Tanpa disadari, pelan tapi pasti, IMF mengembalikan Indonesia ke titik nol lewat pintu putar krisis dan mengarahkannya menjadi pasar (Ishak Rafiick, 2007. op.cit. h. 234).

325 Ishak Rafiick, 2007.op.cit., h. 234.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 157: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

135

Universitas Indonesia

matang.326 Jika Indonesia mampu membuat pesawat jet, maka Indonesia akan

mampu membuat pesawat tempur yang sangat berguna dalam membangun

kemandirian industri pertahanan nasional327, hal ini tentunya tidak diinginkan oleh

negara-negara maju.328

Indikasi keempat, terkait dengan klausul pada LoI pada butir 4 Proyek

Swasta C yang berbunyi :.. penghentian dana dari sumber non APBN untuk

IPTN.., karena sekitar empat bulan setelah Pesawat N 250 melakukan maiden

flight yaitu di tanggal 10 Agustus 1995, IPTN mendapatkan kunjungan dari

Organisasi Konferensi Islam (OKI) .329 Kunjungan yang terdiri dari 30 delegasi

anggota Islamic Development Bank (IDB) tersebut berlangsung selama kurang

lebih lima jam dan dipimpin langsung oleh Presiden IDB Fuad Abdullah Al-

Omar. Dalam kunjungan tersebut, Pimpinan IDB selain menyatakan rasa

bangganya tentang kemampuan IPTN dalam mendesain dan memproduksi

pesawat terbang juga akan aktif dalam membantu program N-250, khususnya

membantu dalam financing leasing untuk negara-negara OKI yang akan membeli

pesawat IPTN. Bahkan, selain bantuan pendanaan untuk N 250, IDB juga akan

membantu untuk produk-produk lainnya termasuk pesawat jet N 2130.330

Kuatnya hubungan Habibie dengan pimpinan negara OKI juga dibuktikan

dengan beberapa bantuan atau kerjasama yang telah dibangun antara Habibie atau

IPTN dengan OKI. Contoh pertama adalah komitmen negara-negara OKI seperti

Brunei, Maroko, Pakistan, Malaysia, Arab Saudi, United Arab Emirates dll dalam

membeli produk pesawat terbang IPTN sangat tinggi, khususnya pesawat CN

235.331 Bahkan, diantara mereka seperti United Arab Emirates memberikan

fasilitas pembayaran dengan sistem leasing dari Bank Nasional mereka dalam

326 Vertesy, D. and Szirmai, A. 2010. loc.cit.h.76 327 Lihat road map strategi transformasi IPTN, di Buku 25 Tahun PT. Dirgantara

Indonesia: Membuka paradigma baru.. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.h.32. 328 Kwik Kian Gie dengan judul: Cita-cita industri strategis; file audio rekaman

wawancara terhadap Kwik Kian Gie yang diambil dari https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-cita IndustriStrategis, diakses pad atanggal 14 Januari 2015.

329 Pada 28 Juni 2011, OKI mengubah namanya dari sebelumnya Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerjasama Islam (id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Kerja_Sama_Islam)

330 Harian Republika, tanggal 3 Desember 1995 dengan judul: IDB akan bantu leasing N 250.

331 Lihat kembali Uraian Pasar Penjualan Pesawat CN 235 di Bab I h.3 dan 17

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 158: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

136

Universitas Indonesia

pembelian pesawat terbang produk IPTN.332Contoh kedua adalah bantuan IDB

untuk pengembangan pesawat R-80 pada PT RAI bersama dengan PT DI, bantuan

tersebut bahkan mencapai USD 700 juta. Dana tersebut akan digunakan oleh PT

RAI bersama PT DI untuk mengembangkan pesawat N 250 menjadi pesawat R-80

yang ditargetkan akan melakukan maiden flight pada tahun 2018.333

Kuatnya dukungan OKI melalui IDBnya diduga tidak disukai oleh negara-

negara barat, apalagi Negara Indonesia adalah negara dengan jumlah kaum

muslimin terbesar di dunia, dengan penguasaan teknologi canggih khususnya

teknologi pesawat terbang akan sangat berpotensi mengancam hegemoni negara-

negara maju.334 Oleh karena itu, sangat sulit diingkari adanya ketidaksenangan

barat terhadap majunya Indonesia khususnya kemampuan Industri Pesawat

Terbang Nasional (IPTN) dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang

secara mandiri. Terkait dengan hal tersebut, Kwik Kian Gie335 mengatakan:

“ (terkait grand desain negara-negara maju agar kita tetap bergantung

kepada mereka), (memang) bukti tidak ada, tapi saya lihat kok haqqul yaqin,

tapi loh...loh.. tendensinya ke arah sana dan kemudian ada seperti

pengakuan dari Jhon Berbins segala..., memang disuruh ngerusak, disuruh

bergantung terus....”

Senada dengan Kwik Kian Gie maupun Ishak Rafick, terkait adanya

indikasi ketidakrestuan negara-negara maju terhadap tumbuh kembangnya industri

strategis khususnya IPTN juga dinyatakan oleh salah seorang Pakar Pesawat

Terbang Nasional, Jusman Syafi’i Djamal336 sebagai berikut:

332Wawancara GATRA dengan Habibie, dikutip dari: https://id-

id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan- N2130/214383261923875?v=info. Tentang masalah kredit ekspor tersebut dapat juga dilihat didalam: Habibie, 1995. op.cit. h.289-291

333 Berdasarkan FGD diselenggarakan Kementerian Ristek yang menghadirkan seluruh pakar kedirgantaraan dan PT RAI, juga hasil wawancara dengan Direktur Teknologi PT DI, 2014: bahwa dana yang dibutuhkan untuk pengembangan R-80 adalah sekitar US$ I juta, dimana US$ 700 Juta dari PT RAI yang diperoleh dari IDB. Lihat lampiran 9 dan 10.

334 Lihat wawancara dengan Nugroho Ananto, Kabag. Pengembangan Organisasi dan Sistem Manajemen -Badan Pengelola Industri Strategis pada tahun 1990. Lampiran 9. no. 39

335 Kwik Kian Gie dengan judul: Cita-cita industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadal Kwik Kian Gie yang diambil dari https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-citaIndustriStrategis, diakses pad atanggal 14 Januari 2015.

336 Dikutip dari dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06. http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:dialog-

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 159: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

137

Universitas Indonesia

“Dunia penerbangan atau tepatnya industri penerbangan PT Dirgantara

Indonesia, bukan kalah karena tenaga kerja kita tidak memiliki talenta untuk

menjadi engineer yang mumpuni di tingkat dunia. Tidak juga kalah karena

tidak dapat menghasilkan produk unggulan yang baik. Kita kalah karena

ketika pada 1997 (pada saat pengembangan N 250 dan rencana N 2130),

ketika krisis ekonomi, semua orang, baik di Indonesia maupun di

internasional, terutama para pengambil keputusan politik makro, memang

menyerahkan nasib IPTN ke tangan lembaga yang tidak menginginkan IPTN

tumbuh berkembang, yakni IMF dan Badan Keuangan dunia lainnya.”

“Mereka bilang, untuk apa Indonesia punya industri penerbangan? Kan

semuanya bisa dibeli. Untuk apa menguasai teknologi? Semua produk dan

jasa apa saja sudah tersedia di pasar global. Semua bilang, lebih baik IPTN

mati pelan-pelan dengan cara menutup kran sumber keuangannya.”

Terkait dengan adanya indikasi keengganan IMF atas tumbuh industri

strategis nasional khususnya IPTN juga dinyatakan oleh Sri Bintang Pamungkas 337 sebagai berikut:

“Kesepakatan antara IMF yang didukung oleh Bank Dunia dan Bank

Pembangunan Asia dengan Presiden Soeharto atas pertimbangan Dewan

Ekonomi Nasional yang dipimpinnya sendiri bersama-sama para Mafia

Berkeley yang notabene sudah old cracks itu adalah sebuah kesepakatan

jahat yang menjebak Indonesia. Buktinya, pada awal Maret 1998 yaitu dua

bulan dari penandatangan LoI tersebut, Soeharto membuat pernyataan

bahwa butir-butir kesepakatannya dengan IMF dalam Letter of Intent tidak

bisa dilaksanakan, karena di dalamnya terkandung konsep ekonomi liberal

yang tidak sesuai dengan doktrin perekonomian Indonesia menurut UUD-

1945, yaitu Pasal 33.”

kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014.

337 Sri Bintang Pamungkas (2014). Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara di BAB II. BJ.Habibie: Menjadi Mangsa Naga Timur dan Barat. El Bisma. tribunrakyat.com/2014/01/17/bab-ii-bj-habibie-menjadi-mangsa-naga-timur-dan-barat/. diakses pada tanggal 13 Januari 2014

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 160: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

138

Universitas Indonesia

Pernyataan Sri Bintang Pamungkas sangat senada dengan apa yang

diungkapkan Rizal Ramli338 khususnya terkait dengan peran para Ekonom Mafia

Berkeley dalam Pembangunan Ekonomi Nasional. Rizal Ramli mengatakan:

“Ekonom Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia sebagai

subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal,

tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya

dengan mengikuti model Washington Consensus.”

Model Washington Consensus adalah resep kebijakan pembangunan yang

dianjurkan oleh Para Pejabat Washington yaitu Lembaga Keuangan Internasional

(IMF dan Bank Dunia) untuk negara-negara berkembang.339 Tiga dari 10 resep

Washington Consensus adalah liberalisasi, privatisasi dan meminimalisir

keterlibatan negara dalam kegiatan pembangunan340. Tipikal utama dari model

Washington Consensus adalah siklus terus-menerus dari "krisis ekonomi dan

akumulasi utang". Krisis ekonomi merupakan peluang untuk memaksa negara

yang bersangkutan melakukan hutang dan melakukan liberalisasi ekstrim,

privatisasi ugal-ugalan341 serta meminimalisir keterlibatan negara dalam

pembangunan. Fenomena ini persis yang terjadi dengan Indonesia khususnya

dalam kasus penghentian bantuan keuangan untuk IPTN”.

Disatu sisi, keberhasilan negara-negara seperti Jepang, Taiwan, Korea

Selatan, Malaysia, Cina, dan lain- lain justru karena negara-negara tersebut

melakukan penyimpangan dari model Washington Consensus. Negara- negara

tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan

yang seimbang antara negara dan swasta, serta meminimalisir ketergantungan

utang. Dua negara Asia, Indonesia dan Filipina yang patuh pada Washington

Consensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus- menerus, ketergantungan

338 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden

Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10

339 John Williamson (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for Development. p.1. A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. Institute for International Economics

340 John Williamson (2004). A Short History of the Washington Consensus. h.2. Paper commissioned by Fundación CIDOB for a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, September 24–25, 2004.

341 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 161: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

139

Universitas Indonesia

utang yang permanen, ketimpangan pendapatan sangat mencolok, dan menonjol

hanya sebagai eksportir Tenaga Kerja Wanita (TKW).342

Selain empat indikasi adanya intervensi negara-negara maju melalui

lembaga IMF, kegagalan Program Pesawat N 250 juga dapat dilihat dari aspek

persaingan usaha khususnya dengan CASA Spanyol. Hal ini disebabkan bahwa

ketika rencana pengembangan N 250 di publish, sebenarnya CASA Spanyol

berharap IPTN dan Pemerintah Indonesia kembali melakukan joint design dengan

CASA sebagaimana dalam CN 235. Namun, dalam kasus N 250, IPTN ingin

mengembangkan satu pesawat yang benar-benar 100% didesain dan diproduksi

diatas kemampuan nasional sebagaimana amanat Presiden Soekarno dan

Soeharto.343 Penolakan atas joint design dengan CASA tersebut sempat

menyebabkan kerenggangan hubungan antara CASA dengan IPTN waktu itu.344

Buktinya, di tahun yang sama yaitu di tahun 1998, ketika IMF melarang

pemerintah untuk memberikan bantuan pendanaan N 250,345 justru CASA

melakukan maiden flight C 295 dengan kelas 60 penumpang yang sejatinya

merupakan pesawat sekelas N 250 dan merupakan pengembangan dari CN 235.

Seiring dengan penandatangan nota kesepahaman antara Lembaga

Pendanaan Internasional (IMF) dengan pihak Indonesia pada bulan januari 1998,

terjadi perubahan pada segenap arah pembangunan iptek. Perubahan arah

pembangunan iptek tersebut merupakan salah satu indikasi adanya intervensi

Lembaga Pendanaan Internasional tersebut dalam proses perumusan sejumlah

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Indonesia.346

Arah kebijakan pembangunan Iptek, ekonomi dan industri baik di GBHN

1993 dan GBHN 1998 yang semula scara eksplisit menyatakan dukungan

penguasaan iptek umumnya dan termasuk sektor kedrigantaraan khususnya di

342 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden

Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10

343 Wawancara dengan BJ Habibie, lihat lampiran 9, no.1 344 Budi Santoso, 2011), dikutip di, http://abarky.blogspot.com/2011/02/ptdi-eads-siap-

bikin-pesawat-militer.htm). 345 Lihat kembali ulasan kegagalan N 250 pada Bab I h.12-15 346 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden

Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 162: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

140

Universitas Indonesia

tiadakan lagi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1999.347 Perubahan

pada arah pembangunan sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 menyebabkan

pada perubahan institutional arrangement pada level dibawahnya. Pada sektor

iptek contohnya, turunan Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (Jakstranas Iptek) yang semula dalam bentuk Program Utama Nasional

(PUNAS) kemudian diubah menjadi Prioritas Utama Nasional (PUNAS) atau

Agenda Riset Nasional-ARN.348

Prioritas Utama Nasional (PUNAS) 2001-2005349 yang merupakan

turunan dari Jakstranas Iptek 2000-2004350 tidak lagi memasukkan bidang rancang

bangun khususnya pengembangan pesawat terbang sebagai salah satu program

utama nasional. Begitu juga di Jakstranas Iptek 2005-2009351 beserta Agenda

Riset Nasional untuk 2006-2009352, Pesawat terbang hanya menjadi sub bidang di

teknologi dan manajemen transportasi, itupun diperuntukkan hanya untuk studi

regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam (ARN 2006-2009). Di dalam

dokumen Agenda Riset Nasional untuk 2010-2014 pun tidak ada perubahan

dengan periode sebelumnya, hanya saja di dalam ARN 2010-2014, pesawat

terbang menjadi sub bidang HANKAM, dengan fokusnya pada pesawat terbang

tanpa awak. Pada sektor pendanaan, berdasarkan hasil kajian Kementerian Ristek

2012353, bahwa pengelolaan pendanaan inovasi yang ada saat ini yaitu Insentif

Riset yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Hibah Dikti yang dikelola oleh

Kementerian Diknas, dan LPDP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan masih

terkotak-kotak sesuai sektor atau lembaga pengelolanya (Gambar 4.5).

Insentif Riset SINas yang merupakan instrumen ARN masih belum secara

tegas diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan.

Sementara LPDP yang baru dimulai sejak tahun 2012, selain memiliki program

rispro juga memiliki program afirmasi nasional. Hibah Dikti yang merupakan

347 GBHN 1999, loc.cit di h.889-890 348Dini Okttaviyanti dkk, 2014. Analisis Analisis Perkembangan Kebijakan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi. h.4 349 PUNAS 2001-2005 350 Jakstranas Iptek 2000-2004 351 Jakstranas Iptek 2005-2009 352 Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014 353 Kementerian Ristek, 2012, Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional.

h.113

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 163: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

141

Universitas Indonesia

lembaga pendanaan yang dikelola oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) selama

ini masih lebih bersifat untuk mendorong academic exellance. Namun ketiga

lembaga pendaaan tersebut belum secara sinergik diarahkan untuk

mengembangkan teknologi dirgantara.

Gambar 4.5 Ilustrasi Sistem Pembiayaan Riset Saat Ini

Sumber: Asep Suryahadi-SMERU, 2012 dalam Laporan Kajian Kementerian Ristek, 2012

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 164: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

142

Universitas Indonesia

4.3. Potret Proses Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) pesawat

terbang N 250 pada level Operasional-Industri.

Didalam GBHN 1993 secara tegas dinyatakan bahwa dalam rangka

pembangunan ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, sangat perlu

dilakukan penataan industri nasional.354 Dalam kaitan itu, pembangunan industri

diarahkan pada penguatan dan pendalaman struktur industri untuk terus

meningkatkan efisiensi dan daya saing industri menuju kemandirian, serta

menghasilkan barang yang makin bermutu yang dikaitkan dengan pembangunan

sektor lainnya.355

Strategi transformasi industri yang digunakan adalah bertumpu pada

kemampuan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan bernilai

tambah yang tinggi. Sebagai wahana transformasi tersebut adalah dibangunnya

perusahaan BPIS.356 Diantara industri strategis yang termasuk dalam BPIS

tersebut, Industri Pesawat Terbang-IPTN adalah Industri yang memiliki nilai

tambah tertinggi357 serta mempunyai keterkaitan yang besar dengan pembangunan

sektor lainnya.358 Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan nilai tambah

(upgrading) pesawat terbang, IPTN mengadopsi empat tahap transformasi

Industri, yaitu Penggunaan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa,

Integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi Pengembangan

Teknologi Penelitian Dasar. 359 Dalam proses riset dan pengembangan tersebut,

IPTN didukung dan/atau bersinergi dengan Kemenristek, lembaga kajian

teknologi BPPT, laboratorium PUSPIPTEK dan ITB (Tabel 4.6).

Tahap pertama yaitu tahap yang paling mendasar adalah penggunaan

teknologi canggih atas dasar lisensi dalam produksi dalam negeri pesawat-pesawat

terbang. Tahap yang dimulai sejak tahun 1976 telah berhasil dengan baik. Produk-

produk pesawat terbang yang telah dihasilkan dalam tahap tersebut adalah

354 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :

II/MPR/1993 dan Nomor : II/MPR/1998,tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. loc.cit.h.689 355 Habibie, 1995.op.cit.h.523-524 356 Ibid. h.566 357 Ibid. h.280 358 Ibid. .h.49 359 Harijono Djojodihardjo dan Darwin Sebayang, 2000. Pembudayaan Iptek melalui

pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 165: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

143

Universitas Indonesia

pesawat terbang NC-212.360 Selanjutnya memasuki tahap II yaitu integrasi

teknologi-teknologi canggih dalam desain dan pembuatan produk-produk baru.

Tahap ini dimulai sejak tahun 1980 dengan berpatungan dengan pihak CASA

(Construcciones Aeronauticas SA) Spanyol. Dan di tahun 1983, IPTN telah

berhasil merancang dan memproduksi pesawat CN 235.361

Tabel 4.6 Upgrading Teknologi Pesawat Terbang PT DI dalam empat strategi

industri Program/Inisiatif Empat Tahap srategi transformasi industry

1976 (Tahap I)

1980 (Tahap II)

1987 (Tahap III)

1994 (Tahap IV)

Produk Tipe Keandalan Misi Kepemilikan

NC-212 Low Speed in subsonic regim Multi propose Aircraft Licence Owner

CN 235 Medium Speed in subsonic regim Multi propose Aircraft Joint Venture

N-250 High Speed in subsonic regim (330 knot) dan jarak terbang 800 nm Commuter air craft Product Owner

N-2130 High Speed in transonic regim Regional Aircraft Product Owner

Teknologi Produksi Design

Penguasaan

Integrasi Penguasaan dan Integrasi

Pengembangan Pengembangan (riset-riset hilir)

Pengembangan Pengembangan (riset-riset hulu)

Pendanaan Pemerintah Pemerintah Pemerintah Swasta Sinergi Elemen triple helix –ABG dalam kegiatan riset dan pengembangan

ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK

ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK PUSPIPTEK

ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK PUSPIPTEK

ITB IPTN BPPT/KEMRISTEK PUSPIPTEK

Kerjasama Internasional

CASA-Spanyol CASA-Spanyol Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll

Sumber: Habibie, 1995.op.cit.h.275-276; Djojodihardjo dan Sebayang, 2000. h.304

360 Habibie, 1995.op.cit.h.275; Djojodihardjo dan Sebayang, 2000.

op.cit.h.304 361 Ibid.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 166: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

144

Universitas Indonesia

Di tahun 1987, dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu tahap pengembangan

teknologi berupa penyempurnaan teknologi yang telah ada dan pengembangan

teknologi baru dalam rangka merancang dan membuat produk-produk masa

depan. Pada tahap ini telah dihasilkannya pesawat N 250 seri Gatot Koco dan

Krincing Wesi. Peluncuran N-250 yang mempergunakan teknologi fly-by wire

telah dilaksanakan 10 November 1994, sedangkan uji terbang untuk mendapat

sertifikasi FAA dimulai Agustus 1995.362 Tahap keempat adalah melakukan

penelitian dasar secara besar-besaran dengan rencana pengembangan pada

pesawat jet buatan Indonesia seperti pesawat penumpang berkapasitas lebih besar,

pesawat pelatih, serta pesawat tempur.363

Sampai dengan pengembangan N 250, IPTN tidak hanya telah

meningkatkan pengalaman dan keterampilan putera-puteri Indonesia dalam

memecahkan masalah-masalah kompleks dalam bidang material, bidang

aerodinamika, bidang konstruksi, bidang elektronika, kebisingan, dan sebagainya.

Tetapi juga ikut mengembangkan berbagai laboratorium di PUSPIPTEK,

Serpong, seperti Laboratorium Uji Konstruksi, Laboratorium Aerodinamika,

Gasdinamika dan Getaran, Laboratorium Elektronika, Laboratorium Kalibrasi,

Instrumentasi dan Metrologi, dan Laboratorium Propulsi.364

Selain itu, melalui N 250 juga diharapkan kedepan dapat mendorong

tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengannya dan juga pada

dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dan dunia pendidikan yang merupakan

pusat-pusat keunggulan kehidupan bangsa.365 Dalam sebagian besar desain N 250

masih impor (lihat tabel 4.6), oleh karena itu dalam rangka pengembangan dan

manfacturingnya IPTN bekerjasama dengan perusahaan yang merupakan supllier

komponen N 250 seperti Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec,

Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll. 366 Oleh karena sebagian besar

komponen N 250 adalah berasal dari Amerika, maka pada waktu itu telah

ditandatangani kontrak untuk membangun assembling line di Alabama (US) dan

362 Ibid. 363 Ibid. 364 Ibid. 365 Ibid. 366 Habibie, 1995.op.cit.h.275-276

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 167: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

145

Universitas Indonesia

di Stuttgart.367Selain di Alabama (US) dan di Stuttgart, IPTN juga telah

mengadakan kerjasama dengan British Aerospace UK untuk memproduksi

pesawat N 250 dibawah lisensi IPTN.368 Sedangkan terkait sejumlah analisis

kegagalan N 250 pada level industri telah diuraikan dengan cukup rinci pada bab I

dan II.369

Dalam rangka pengembangan yang lebih sempurna dari N 250370, pada

tanggal 3 Mei 2013371 bertempat di PT DI, PT Dirgantara Indonesia (Persero)

telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia

untuk mengembangkan pesawat terbang turboprop modern berkapasitas 70-90

orang penumpang bernama Regioprop. Pengembangan Pesawat R-80

memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan

pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN-235) dan 1989 – 1996 (N-250). Pada

desain R-80 akan dilakukan beberapa upgrading teknologi dari N 250 (lihat

kembali tabel 1.8 pada Bab I).372

367 Wawancara antara Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014,

Metro Tv, lihat lampiran 9. no.32. 368 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74 369 Bab I pada halaman 12-14; Bab II pada halaman 46-48 370 Lihat hasil wawancara d engan Habibie di Rumah Beliau di Jl Patra Kuningan XIII, 14

Juli 2014pada lampiran 9 no 1 dan lampiran diskusi/FGD 10 no.3 371 Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan baik terhadap Sony Ibrahim dari PT DI

dan Budi Wibowo sebagai Program Manejemen PT RAI pada tanggal 2 Juni 2014 372 Hasil interview, baik yang dilakukan terhadap Presiden Direktur PT RAI, Agung

Nugroho di tempat di Kediaman Habibie di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. Juga terhadap Sony Ibrahim dari PT DI dan Budi Wibowo sebagai Program Manejemen PT RAI pada tanggal 2 Juni 2014

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 168: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

146

Universitas Indonesia

Gambar 4.6 Master Plan Regio Prop (R-80)

Sumber: Paparan PT Regio Aviasi Industri di dalam FGD yang dilakukan Kemenristek, 2014

Berdasarkan hasil FGD I yang diadakan Kemenristek tentang Persiapan

Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan

pengembangan “N 250” pada tanggal 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT dijelaskan

bahwa terkait Program and Financing Phases maupun Regioprop R 80 Program

Master Phasing Plan. Pesawat R-80 tersebut rencananya akan selesai melakukan

serangkaian pengujian uji terbang hingga mendapat sertifikat pengujian pada Mei

2018 (Gambar 4.6). Untuk gambaran kebutuhan pendanaan, SDM, fasilitas

pengujian dalam rangka upgrading N 250 telah dijelaskan pada bab

sebelumnya.373

Dari sisi keunggulan teknologi, pesawat R-80 nantinya akan lebih unggul

dibandingkan dengan dua pesaingnya yaitu dari ATR dan Bombardier (Tabel 4.7).

Tabel 4.7 Kelebihan R-80 dibandingkan ATR maupun Dash

373 Lihat kembali Bab I.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 169: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

147

Universitas Indonesia

ATR72-600 Dash8-Q-400 R-80

1. Design for low speed and

medium range Economical

for every short flight leg

(200-300nm)

2. Speed is not an important

requirement for the

operator and passengers

3. The aircraft doesn’t have

the capability to fly with

higher speed (> 300 knots)

and also has a marginal

OEI ceiling altitde

1. The Q-400 was designed to

carry more passengers, to

fly with very high cruising

speed and very long range

2. Better DOC/s-nm than

ATR-72 if and only if it is

flown for a range more

than 600 nm

3. The Q-400 has a higher

selling price than ATR-72

Payload and the speed (lebih

banyak penumpang

sebagaimana halnya Dash8-Q-

400, namun lebih cepat dari

ATR72-600. Keunggulan ini

akan berimplikasi pada

semakin efisiensinya operasi

penerbangan.

Sumber: Presentasi PT RAI di FGD yang diadakan oleh Kementerian Ristek, 2014

Terkait pasar R-80, saat ini perusahaan penerbangan yang telah komit

untuk membeli R-80 adalah NAM Air yatu anak perusahaan Sriwajaya Air,

sebanyak 100 unit, dengan perincian 50 firm order yaitu sesuai desain awal dan

50 unit bersifat optional order (berdasarkan masukan setelah dioperasikan). Selain

Nam Air juga Kalstar Air telah mengorder sebanyak 25 unit, dan Trigana

sebanyak 20 unit. Selain pasar domestik, pemesanan R-80 juga telah datang dari

perusahaan penerbangan luar negeri khususnya perusahaan penerbangan

Australia, perusahaan tersebut telah menyatakan minat untuk membeli 2 unit R-

80.374 Dalam rangka memastikan relevansi antara kebutuhan teknologi dengan

pasar, saat ini PT RAI telah membentuk Working Group Ariliner yang terdiri atas

Sky, Merpati, Wings, Citilink, Nam Air, Trigana, dan Kalstar.375

Namun untuk menghindari kegagalan yang dialami N 250, PT DI sangat

mengharapkan PT RAI dapat memberikan kepastian pada dua aspek yaitu pada

aspek pendanaan dan aspek pasar. Dalam pasar global, untuk bisa bersaing dengan

perusahaan-perusahaan pesawat seperti ATR –Perancis maupun Bombardier-

374 Hasil wawancara dengan Bagian Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12

Agustus 2014; dan Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9 . no 25.3. dan 15.5

375 Hasil wawancara dengan Bagian Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014; lihat lampiran 9 . no 25.5

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 170: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

148

Universitas Indonesia

Canada yang merupakan dua pesaing R-80, maka besarnya pangsa pasar serta

adanya komitmen dari perusahaan penerbangan sipil domestik akan dapat

mempengaruhi daya saing harga pesawat terbang dipasaran Global. Tingginya

komitmen pasar domestik terutama jika datang dari perusahaan-perusahaan

penerbangan kelas kakap akan menyebakan negara supplier engine memberikan

insentif atau potongan harga engine hingga 30%.376

376 Hasil wawancara dengan Direktur PT DI, Budi Santoso, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9 . no 21.3

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 171: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

149

Universitas Indonesia

4.4. Rich Picture tigal level kebijakan dalam mendorong upgrading N 250

Gambaran pada tiga level hierarki proses kebijakan baik pada level

kebijakan, level organisasi, dan level operasional dituangkan dalam bentuk rich

picture dibawah ini (Gambar 4.8).

N 219

Sektor Riset:Jakstranas, ARN ,Insentif riset SINas, Hibah

Dikti, LDPD

Sektor Keuangan, SDM, Infrastrustur

RPJPN dan RPJMN : Belum ada Arah Kebijakan Pembangunan IPTEK Sektor

Dirgantara 2005-2025)

LEVEL KEBIJAKAN

Komisi VII DPR

Perpres No. 32 Tahun2011/MP3Ei

Sinergi Kelembagaan

Tiga level hierarki proses Kebijakan

Tiplogi GV

C -H

ierarkiCulture:Iptek dengan nilai tambah terbesar dan yang paling segera memberikan dampak backward dan forward linkage sangat penting dalam meningkatkan peran iptek dalam pembangunan nasionalNilai kerjasama menjadi sangat penting, dalam menyusun satu tujuan bersamaBegitu juga nilai satu komitmen atau konsistensi menjadi penting dalam mendorong upgrading pesawat terbang komersial nasional

Concern:

Konsep kebijakan upgradingteknologi dalam global valuechain tipologi hierarki (Gereffi.,Humphrey dan Sturgeon, 2005)melalui pengkayaan pada konseptiga level hierarki proses kebijakan(Bromley, 1989) dalam rangkapeningkatan nilai tambah sektordirgantara.

Research Team:

1. Departemen Ilmu Admnistrasi UI

2. M. Athar Ismail3. Prof Marthani4. Prof Sudarsono

kemampuan pemasok terkait dengan tingkat sesuai kompleksitas produk

Pemasok –pemasok Market

“Next N” 250

LEVEL ORGANISASI

UU No. 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan

DEPANRI

Mendorong upgradingteknologi industri pesawat terbang

sehingg a survive dan berkelanjutan

Pesawat Nir Awak/komponen

Pesawat

Kemampuan Produksi, SDM, Infrastruktur, PendanaanLemah

Belum ada sistem pendanaan-

leasing, SDM akan menua, Lab

pengujian perlu direvitalisas/upgra

de

PT DI

Pada saat pengembangan N 250, Intervensi Pemerintah terhadap IPTN sangat tinggi-hierarki

Gambar 4.7. Rich Picture Sumber: hasil olahan peneliti

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 172: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

150

Universitas Indonesia

BAB V ANALISIS BERBASIS LOGIKA TERHADAP DUNIA NYATA DALAM KONSTRUKSI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM

MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI

5.1. Root Definition

Berdasarkan rich picture di Gambar 4.12377, teori Global Value chain

khususnya proses upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang IPTN akan

dijelaskan dalam kerangka tigal level hierarki proses kebijakan. Oleh karena itu,

akan dipilih empat sistem yang paling relevan, yaitu: pertama adalah sistem pada

tiga level hierarki proses kebijakan, kedua, adalah sistem pada masing-masing

level yaitu pada level kebijakan, level organisasi, dan pada level operasional

khususnya Industri. Dengan memperhatikan elemen CATWOE untuk menganalisa

proses transformasi, maka sistem ini dibuat menjadi empat (4) root definition

masing-masing tiga (3) root definition untuk problem solving interest, dan satu

(1) root definition untuk research interest (Tabel 5.1).

377 Lihat kembali pada Bab IV, Gambaran Umum Kondisi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan

Dalam Mendorong Upgrading Teknologi Industri Pesawat Di Indonesia, Sub Bab 4.6 Rich Picture, h.146

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 173: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

151

Universitas Indonesia

Tabel 5.1 Root Definition Penelitian

Hierarki Proses Kebijakan Nama RDs Kegiatan Ket

Tiga level hierarki proses kebijakan

Rekonstruksi Konsep Upgrading-Global Value Chain IPTN dengan Konsep Tiga level hierarki proses kebijakan

Sistem yang dimiliki dan dioperasionalkan oleh peneliti beserta promotor dan kopromotor (academic advisor) dalam rangka menggunakan Konsep Upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengkayaan Konsep Tiga level hierarki proses kebijakan (P) melalui riset tindakan berbasis riset interest SSM (Q) untuk menjamin dihasilkannya konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)

RD1

Level Kebijakan Regulasi terkait Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Nasional

Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Kemenristek, Dirjen Anggaran Kemenkeu, BAPPENAS, Komisi VII DPR dan Presiden untuk mengkonstruksi arah pembangunan Iptek kedirgantaraan nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali arah kebijakan pembangunan sektor dirgantara, supaya dapat mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendraftkan arah kebijakan pembangunan iptek kedirgantaraan yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)

RD2

Level Intersektoral

Sinergi kelembagaan untuk mendukung kegiatan upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang

Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Kemenristek, DEPANRI, BAPPENAS, ,Kementerian Keuangan untuk mengkonstruksi model sinergi kelembagaan secara nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali mekanisme sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)

RD3

Level Industri Peningkatan strategi manajemen bisnis

Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT DI untuk mengkonstruksi strategi manejemen bisnis (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali tahapan bisnis dalam mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendapatkan strategi manejemen bisnis yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)

RD4

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 174: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

152

Universitas Indonesia

5.1.1 Root Definition Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan

Root Definition satu sebagaimana telah tertuang dalam Tabel 4.8 diatas,

kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 5.2).

Tabel 5.2. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1

Customer Peneliti, Promotor, dan Kopromotor Actors Peneliti, Promotor, dan Kopromotor Transformasi Rekonstruksi konsep kebijakan Upgrading

Teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengayaan konsep tiga level hierarki proses kebijakan

Weltanschauung Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang perlu dimodifikasi dengan pengayaan konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk menjamin dihasilkannya konsep kebijakan upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan kemandirian kedirgantaraan nasional di Indonesia

Owner (s) Peneliti, Promotor, Kopromotor, dan Program Doktor Ilmu Administrasi (PDIA) FISIP UI

Environment (e) Keterbatasan waktu dan anggaran

Pemilihan RD atau selecting relevant system atas konsep kebijakan upgrading

teknologi-GVC dengan pengkayaan tiga level hierarki proses kebijakan ini didasari

oleh konsep Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005 tidak cukup menjawab persoalan

kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang membutuhkan analisis

pada level kebijakan, level organisasi dan level operasional/industri.

5.1.2 Root Definition pada Level Kebijakan

Root Definition pada level kebijakan sebagaimana telah tertuang dalam Tabel

5.1 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE

(Tabel 5.3).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 175: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

153

Universitas Indonesia

Tabel 5.3. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2

Customer Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, DEPANRI, BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri.

Actors Kemenristek, BAPPENAS, Komisi VII DPR dan Presiden Transformasi Dimasukkannya Arah Pembangunan Iptek sektor

Kedirgantaraan Nasional dalam dokumen pembangunan nasional: Dari tidak ada menjadi ada

Weltanschauung Tercantumnya arah pembangunan Iptek sektor Kedirgantaraan Nasional dalam dokumen pembangunan nasional sangat penting untuk mendorong peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang

Owner (s) Komisi VII DPR, Presiden Environment (e) Pihak yang menganggap pembangunan Iptek sektor

dirgantara sebagai sektor yang tidak perlu dimasukkan secara tegas dalam rencana pembangunan nasional.

5.1.3 Root Definition pada Level Organisasi

Root Definition pada level organisasi sebagaimana telah tertuang dalam Tabel

4.8 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE

(Tabel 5.4).

Tabel 5.4. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3

Customer Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri.

Actors Kemenristek, DEPANRI, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Transformasi Sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi

pesawat terbang sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang: Dari tidak sinergi menjadi sinergi

Weltanschauung Sinergi kelembagaan sangat penting dalam mendorong upgrading teknologi pesawat terbang pada GVC Industri Pesawat Terbang

Owner (s) BAPPENAS Environment (e) Pihak yang menilai kelayakan ekonomi terutama dari hasil

inovasi hanya dalam jangka pendek.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 176: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

154

Universitas Indonesia

5.1.4. Root Definition pada Level Operasional

Root Definition pada level operasional sebagaimana telah tertuang dalam

Tabel 5.5 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik

CATWOE (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4

Customer Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri.

Actors PT DI Transformasi Meningkatnya kemampuan perusahaan dalam membangun

jejaring atau konsorsium dalam rangka risk sharing partnership baik pada tahap desain hingga produksi: Dari rendah menjadi tinggi.

Weltanschauung Kuatnya strategi manajemen bisnis pesawat terbang sangat penting dalam peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia

Owner (s) PT DI dan PT RAI Environment (e) Belum ada sistem leasing untuk pesawat terbang dari

perbankan nasional

5.2. Konseptual Model

5.2.1. Model Konseptual Model berdasarkan RD-1

Model konseptual upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang

dengan pengayaan dengan konsep tiga level hiearki proses Kebijakan sebagaimana

digambarkan dalam Gambar 5.1 mengandung kegiatan sebagai berikut:

1. Memahami konsep upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang

terhadap konteks permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang

di Indonesia

2. Menelaah konsep upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang

terhadap perkembangan teori

3. Menelaah hubungan antara konsep struktur GVC dan teknologi organisasi

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 177: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

155

Universitas Indonesia

4. Menelah konsep tiga level hiearki proses Kebijakan terhadap konteks

upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia

5. Menelaah secara mendalam hubungan antara konsep Upgrading pada GVC

Industri Pesawat Terbang dengan Konsep tiga level hiearki proses Kebijakan

6. Konstruksi kebijakan Upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat

Terbang berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan yang sesuai

dengan kebutuhan konteks Industri Pesawat Terbang

7. Studi lapangan dengan melihat implementasi tiga level hiearki proses

kebijakan serta hubungan antar ketiganya dalam konteks upgrading teknologi

Industri Pesawat Terbang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 178: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

156

Universitas Indonesia

Gambar 5.1. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk Mengkonstruksi

Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat

Terbang dengan Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses

Kebijakan

5.2.2. Model Konseptual Model berdasarkan RD-2

Model konseptual tingkat kedua untuk mengkonstruksi arah pembangunan

kedirgantaraan nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali kebijakan

pembangunan dalam peningkatan nilai tambah -upgrading industri pesawat terbang

pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendraftkan

arah kebijakan pembangunan kedirgantaraan nasional yang dapat mendukung

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 179: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

157

Universitas Indonesia

kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia

(R).

Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya

adalah sebagai berikut.

1. Mengumpulkan bahan-bahan evaluasi pembangunan Iptek sektor kedirgantaraan pada periode sebelumnya.

2. Mengumpulkan pemikiran-pemikiran visioner terkait pembangunan Kedirgantaraan.

3. Menyusun rancangan awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan.

4. Rancangan Awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan selanjutnya dibahas dalam Musrenbang RPJP Nasional yang dihadiri oleh segenap pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, lembaga-lembaga non-pemerintah, para penyelenggaran negara, maupun individu yang berminat terhadap pemikiran-pemikiran jangka panjang.

5. Dengan mempertimbangkan aspirasi para pemangku kepentingan yang tertampung dalam Musrenbang ini, Rancangan Awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan diatas diperbaiki dan kemudian menjadi Rancangan Akhir yang akan dimasukkan dalam RPJP Nasional.

6. Rancangan Akhir RPJP yang telah memuat arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan tersebut disampaikan ke Presiden dan bila perlu dibahas dalam Sidang Kabinet

7. Rancangan Akhir RPJP Nasional yang telah memuat arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan tersebut selanjutnya diajukan ke DPR sebagai Rancangan Undang Undang tentang RPJP Nasional inisiatif Pemerintah.

8. Setelah melewati proses legislasi dan disetujui untuk diundangkan, RPJP Nasional yang baru yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut ditetapkan dengan Undang Undang.

9. RPJP kemudian menjadi acuan dalam penyusunan RPJPMN

10. Penyiapan rancangan awal RPJPMN

11. Penyiapan rancangan renstra non tenknoratik

12. penyusunan rancangan RPJPMN berdasarkan rancangan renstra KL

13. Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah Nasional (teknoratik)

14. Penyusunan Rancangan Akhir RPJPMN

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 180: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

158

Universitas Indonesia

15. Penetapan RPJPMN dengan Perpres

16. Sosialisasi Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan ke Instansi terkait

Gambar 5.2. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memasukkan Arah

Pembangunan Iptek Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam Dokumen

Pembangunan Nasional.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 181: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

159

Universitas Indonesia

5.2.3. Model Konseptual Model berdasarkan RD-3

Model konseptual tingkat ketiga untuk mengkonstruksi model sinergi

kelembagaan secara nasional dengan menggunakan SSM untuk menggali mekanisme

sinergi kelembagaan dalam peningkatan nilai tambah -upgrading pada GVC Industri

Pesawat Terbang di Indonesia, dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan yang

dapat mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat

terbang di Indonesia.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya

adalah sebagai berikut:

1. Mengadakan FGD yang meilbatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan

tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia

2. Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading)

Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat

Terbang di Indonesia

3. Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk

Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal sebagai payung hukum

dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan

infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

4. Melakukan penelahaan terhadap bentuk peran antar lembaga dalam

mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur

pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

5. Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam

mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur

pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

6. Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan

infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.

7. Mendesain sistem pendanaan pengembangan pesawat terbang dan

pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

8. Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan

9. Mendapatkan Persetujuan DPR.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 182: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

160

Universitas Indonesia

1.Mengadakan FGD yang meilbatkan DEPANRI

dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi

Kebangkitan IndustriPenerbangan Indonesia

.

2.Melakukan kajian kebijakan

untuk mendukung pengembangan (upgrading)

Pesawat Terbang danpembangunan infrastruktur

pendukung.

3.Meminta kesediaan DEPANRI

untuk mengadakan pertemuandan membentuk Tim Perumusyang akan merumuskan aspek

legal dalam mendukung pengembangan pesawat terbangdan pembangunan infrastruktur

pendukung.

4.Melakukan penelahaan

terhadap bentuk peran antar lembaga dalam mendukung

pengembangan pesawat terbang dan pambangunaninfrastruktur pendukung

industri Pesawat Terbang diIndonesia

5.Melakukan FGD untuk

mendesain model sinergi antara lembaga dalam

mendukung pengembanganpesawat terbang dan

pembangunan infrastruktur pendukung

6.Policy Paper “Pembiayaanpengembangan pesawat

terbang dan pembangunaninfrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang

di Indonesia.

7.Mendesain sistem

pendanaan pengembanganpesawat terbang dan

pembangunaninfrastruktur pendukung

8.Mendapatkan Persetujuan

Departemen Keuangan

10.Monitor 1-9

11.Kriteria: Efikasi, Efisiensi

dan efektivitas

12Kontrol

9.Mendapatkan

Persetujuan DPR.

Gambar 5.3. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Membangun Sinergi

Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi pada GVC

Industri Pesawat Terbang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 183: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

161

Universitas Indonesia

5.2.4. Model Konseptual Model berdasarkan RD-4

Model konseptual tingkat keempat untuk mengkonstruksi strategi manejemen

bisnis dan penguatan TKDN dengan menggunakan SSM untuk menggali tahapan

bisnis dalam peningkatan nilai tambah -upgrading pada GVC Industri Pesawat

Terbang di Indonesia, dalam rangka mendapatkan strategi manejemen bisnis dan

peningkatan TKDN yang dapat mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah

(upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia. Adapun langkah-langkah yang

dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

1. Mengukuhkan visi dan misi industri dirgantara, yang lebih menitiberatkan

pada kemandirian ekonomi.

2. Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan

bisnis plasma (non-core)

3. Memperkuat komposisi SDM secara optimal antara non technical dan SDM

yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya.

4. Menargetkan peningkatan delivery dari core business maupun dari plasma

bisnis

5. Unit sales dan marketing mengembangkan strategi pemasaran/penjualan

Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting,

positioning, and differentiation

6. Melakukan konsorsium inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan

lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan

sharing pendanaan, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang.

7. Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan

pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang;

pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri

komponen pesawat terbang.

8. Pencapaian customer lead time untuk produk pesawat terbang melalui

perbaikan production lead time

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 184: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

162

Universitas Indonesia

9. Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan,

persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya

komisi penjualan.

1.Mengukuhkan visi dan misi industri dirgantara,

yang lebih menitiberatkan pada

kemandirian ekonomi..

2.Menetapkan prioritas

bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat

terbang dan bisnis plasma (non-core)

.

4.Menargetkan peningkatan delivery dari core businessmaupun dari plasma bisnis

3.Memperkuat SDM antara non

technical dan SDM yang terkait proses industri,

engineering, dan pendukung lainnya.

6.Melakukan konsorsium

inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam

negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing

pendanaan, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan

pesawat terbang.

7.Memanfaatkan fasilitas dan

insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait

insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan

infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri komponen pesawat

terbang.

5.Unit sales dan marketing mengembangkan strategi

pemasaran/penjualan Jangka Panjang berdasar pada

pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and

differentiation”

10.Monitor 1-9

11.Kriteria: Efikasi, Efisiensi

dan efektivitas

12Kontrol

8.Pencapaian customer lead

time untuk produk pesawat terbang melalui

perbaikan production lead time

9.Melakukan kajian yang

terkait peningkatan produktivitas, penjualan,

persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian

piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.

Gambar 5.4. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memperkuat

Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri Pesawat

Terbang.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 185: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

163

Universitas Indonesia

BAB VI TEMUAN HASIL PENELITIAN

6.1. Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata

6.1.1. Pada Level Kebijakan- Arah Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara

Berdasarkan penelaahan UU 17 2007 beserta lampirannya, bahwa didalam

RPJPN 2005-2025 tersebut belum secara tegas mengekspresikan satu arah pem

bangunan sektor dirgantara. Bahkan, arah pembangunan iptek secara umum hanya

bersifat jangka pendek khusunya di RPJMN III dan RJPMN IV (Gambar 6.1).

Gambar 6.1. Arah Pembangunan dalam RPJPN

Sumber: RPJPN 2005-2025

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa fokus pembangunan sektor

dirgantara tidak secara ekplisit dinyatakan dalam RPJPN kecuali dikaitkan dengan

moda (angkutan) udara yang diprioritaskan untuk daerah terpencil378. Oleh karena itu,

dalam salah satu FGD antara Kementerian Ristek dengan Dewan Riset Nasional

(DRN) untuk membahas arah pembangunan iptek dalam RPJPN sebagai panduan

dalam penyusunan Arah Agenda Riset Nasional dan RPJPMN 2015-2019

378 Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata,

Kamis 12 Juni 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.6.3

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 186: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

164

Universitas Indonesia

mengemuka tentang kurangnya keperpihakan RPJPN terkait pembangunan

kemandirian iptek (Gambar 6.4).379

Jika melihat dokumen RPJPN tersebut memang nampak bahwa telah ada arah

pembangunan iptek dalam RPJPN tersebut, namun masih bersifat jangka pendek,

karena pada RPJMN III sudah tidak berbicara pembangunan iptek namun lebih pada

kemanfaatan iptek untuk pembangunan. Tentunya pendekatan RPJPN dan RPJPMN

tersebut dalam upaya hilirisasi hasil iptek hingga memiliki economic benefit dalam

jangka pendek (RPJPMN III) umumnya sangat sulit terjadi kecuali untuk jenis

teknologi yang pasar dan spesifikasinya sangat dinamis seperti teknologi Handphone,

Gadget dan sejenisnya. Untuk bidang inovasi teknologi pesawat terbang, proses

mendapatkan economic benefitnya sangat membutuhkan biaya dan komitmen jangka

panjang pemerintah. 380

Arah pembangunan iptek terutama sektor kedirgantaraan secara tegas baru

diamanahkan dalam uu beserta turunannya yang berasal dari inisiasi sektoral. Mulai

dari UU No. 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan khususnya dalam pasal 104

disebutkan bahwa: “Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah dan

dalam pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga

Nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. Disebutkan juga

bahwa dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah wajib menyediakan

lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan

serta kompensasi lainnya.

Selain telah diatur dalam UU No. 1 tahun 2009, dukungan pembangunan

sektor dirgantara juga telah diatur dalam peraturan-peraturan lainnya seperti Perpres

No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Peraturan Menteri

379 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN)

periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014, lihat lampiran 10, no.11. 380 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun),loc.cit. h. 11-12.; Francis, J. G., & Pevzner, A.

F./2006. loc.cit.h.1-2.; Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010,loc.cit.. h.81.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 187: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

165

Universitas Indonesia

Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional hingga

Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei.381

Selain telah ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 2009 maupun peraturan

dibawahnya seperti Perpres No. 32 Tahun 2011, pengembangan iptek sektor

dirgantara juga kemudian didukung melalui Keputusan Menteri Negara Riset Dan

Teknologi Republik Indonesia Nomor 16 /M/Kp/II/2013, Tentang Penugasan Para

Deputi Untuk Melaksanakan Pendalaman Penguasaan 16 (Enam Belas) Isu Strategis

Pembangunan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi. Salah satu isu strategis yang

bersifat spesifik adalah Penerbangan dan Antariksa (Tabel 6.1).

Tabel 6.1 Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2013

Sumber: Lampiran Kepmenristek Nomor 16 /M/Kp/II/2013, tanggal 28 Februari 2013

Bahkan dalam salah satu penggalan pidato Menristek dalam acara Lokakarya

Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan tema: “Iptek Penerbangan Yang

Tangguh Dalam Era Globalisasi”, Jakarta, 20 Desember 2012 dihadapan Anggota

381 Lihat kembali pada Tabel 4.1 Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan, Bab IV h.107-110.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 188: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

166

Universitas Indonesia

KKIP, DEPANRI, LAPAN, LPNK, dan Pelaku Industri, Menristek Gusti Mummad

Hatta mengatakan bahwa:

“Peran angkutan udara sangat vital di Indonesia, disamping sebagai alat

transportasi yang cepat dan kemampuan penetrasinya hingga ke pelosok

wilayah yang terpencil di Indonesia, juga sebagai salah satu alat pemersatu

bangsa. Oleh karena itu diperlukan kondisi dunia penerbangan yang solid,

kuat dan terarah, sehingga mampu menghubungkan beribu-ribu pulau dan

membangun setiap daerah yang ada di Indonesia secara adil dan merata” Kuatnya dukungan politik yang kemudian diterjemahkan dalam dukungan

sektoral akhirnya melahirkan program nasional pesawat perintis/feederliner N 219.

Program N 219 merupakan program yang diinisiasi oleh PT DI bersama LAPAN dan

Kementerian Perindustrian (Kemenperind) serta didukung oleh DEPANRI (Dewan

Penerbangan Republik Indonesia).382 Dukungan kebijakan tersebut terutama dari

sektor Iptek sejatinya tidak terrencana dengan baik, karena program N 219 bukan

merupakan bidang prioritas Jakstranas serta ARN 2010-2014. Bahkan secara

nasional, program N 219 belum secara tegas dinyatakan, baik dalam RPJPN maupun

dalam arah RPJMN I hingga RPJMN II. Ketidakselarasan antara sektor iptek dengan

sistem perencanaan nasional juga masih terjadi dalam proses perumusan arah

pembangunan Iptek sebagai bahan masukan untuk RPJPMN III periode 2015-

2019.383 Rancangan Agenda Riset Nasional yang merupakan inisiasi bersama antara

DRN-Kementerian Ristek dengan rancangan pembangunan iptek yang diusung oleh

BAPPENAS masih belum harmonis (Tabel 6.2).

382 Bahan Paparan Kementerian Ristek di FGD yang dilakukan Kemenristek, 2012 tentang

Status Pengembangan Pesawat N219. 383 MoM dari Sidang Paripurna Dewan Riset Nasional 2014, 26 Juni 2014.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 189: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

167

Universitas Indonesia

Tabel 6.2 Arah Pembangunan Iptek 2015-2019 KEMENRISTEK vs BAPPENAS384

BIDANG DRN-KEMENRISTEK BAPPENAS Pangan 1. Program Pengembangan pangan berbasis

lahan suboptimal dengan pendekatan sistem pertanian terpadu

2. Pengembangan bioindustri pertanian berbasis kelapa sawit

3. Pengembangan pangan berbasis sumber daya kelautan.

Pencairan bibit unggul tamanan pangan yang mampu tumbuh subur dilahan suboptimal

Energi 1. Panas Bumi 2. Bio Energi 3. Konservasi Energi

1. Pembangunan Listrik Tenga Nuklir dan

2. Pembangkit Listrik Panas Bumi

Kesehatan 1. Tema Riset Pengembangan Vaksin 2. Tema Riset Pengembangan Diagnostik

dan Alat Kesehatan 3. Tema Riset Pengembangan produk

Biofarmasi-Biosimilar dan Sel Punca 4. Tema Riset Pengembangan Bahan Baku

Obat dan Obat Herbal 5. Tema Riset Pengembangan Pangan

Nutrisi Khusus 6. Tema Riset Otak Sehat untuk

membangun karakter bangsa

1. Pembangunan Pusata Genomik Indonesia

2. Penelitian Penyakit Tropis

Transportasi 1. Teknologi Sarana Transportasi 2. Teknologi Prasarana Transportasi 3. Teknologi untuk Sistem & Manajemen

Pengoperasian Transportasi

Akan menyelesaikan

pengembangan pesawat kommuter

N 219385 (menyelesaikan dua

prototipe untuk uji statisk, dan dua

prorotipte untuk uji terbang)

Teknologi Informasi Dan Komunikasi

1. Aplikasi 2. Infrastruktur 3. Content

Pengembangan infrastruktur TIK Pengembangan system perangkat lunak berbasis open source khususnya sistem TIK untuk mendukung e-gov

Hankam 1. Teknologi Pendukungan Daya gerak 2. Teknologi Pendukunga Daya tempur

Mendukung pelaksanaan kebijakan industri strategis hankam

384 Saat ini (peneliti kebetulan bertindak sebagai koordinator kajian peyusunan ARN 2015-

2019) sedang dalam proses sinkronisasi antara arah pembangunan iptek, baik yang ada dalam Jaksranas Iptek dan ARN 2015-2019 dengan 9 Agenda Nawa Cita Jokowi JK. Terkait sektor dirgantara khusus pengembangan teknologi pesawat terbang akan menjadi bagian dari Agenda No.I Nawa Cita khususnya point 3 terkait kedaulatan maritim dan secara umum juga menjadi bagian dari Agenda 7 yaitu terkait mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan sistem inovasi nasional .

385 Berdasarkan hasil wawancara terakhir yang dilakukan: Pertama, dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, 17 November 2014. Bahwa program N 219 akan terus disupport. Lihat lampiran 9 no.6.4. Kedua, dengan Deputi Relevansi Program Iptek, pada tanggal 24 November 2014, bahkan sebagaian rekomendasi dari penelitian telah dipresentasikan ke Deputi untuk dilaporkan ke Menristek Dikti terkait dukungan pembangunan iptek sektor dirgantara.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 190: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

168

Universitas Indonesia

3. Teknologi Pendukung (Radar, CMS dll) Material Maju 1. Material katalis

2. Industri Baja: Bahan Baku dan Produk 3. Material Maju Tanah Jarang 4. Energi Storage 5. Fungional dan Nano Material

Membangun pusat keunggulan nasional untuk magnet permanen, dan pengolahan logam tanah jarang, material baterei padat, material berbasis silikon

Sosial dan Humaniora

1. Politik Iptek (Cinta Produk Dalam Negeri, Nasionalisme)

2. Leadership 3. Politic Etnics

Sumber: Sidang Paripurna DRN I 2014, di BPPT

Berdasarkan obervasi penulis baik dalam sejumlah diskusi dengan

BAPPENAS maupun dengan DRN termasuk hasil pengamatan penulis dalam Sidang

Paripurna Dewan Riset Nasional 2014, 26 Juni 2014, diketahui bahwa dokumen

Jakstranas Iptek beserta ARN yang didasarkan pada UU 18/2002 dan Inpres 4 /2003

belum menjadi bagian yang intergralistik dalam alur perencanaan dan penganggaran

nasional yang didasarkan pada UU 17/2007 tentang RPJPN dan UU 17/2003

Tentang Keuangan Negara, kedua undang-undang terakhir berdasarkan pada UU

25/2005 Tentang Sisrenbangnas (Gambar 6.2).

Diacu DiperhatikanDiserasikan Melalui Musrenbang

RKP RPJM

NasionalRPJP

Nasional

Renstra KL

Renja - KL

RAPBN

RKA-KL

APBN

Rincian APBN

Pedoman Dijabarkan Pedoman

Pedoman

Pedoman

Pedoman

Diacu

Pemerintah

Pusat

RPJM Daerah

RPJP Daerah

RKP Daerah

Renstra SKPD

Renja -SKPD

RAPBD

RKA -SKPD

APBD

Rincian APBD

Pedoman

Pedoman

Pedoman Dijabarkan

Pedoman

PedomanDiacu

UU SPPN

Pemerintah

Daerah

UU KN

Bahan Bahan

Bahan Bahan

Gambar 6.2. Alur Perencanaan Dan Penganggaran

Sumber: Bahan Sosialisasi Umum BAPPENAS, 2006

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 191: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

169

Universitas Indonesia

Dalam RPJPN 2005-2025, pembangunan iptek secara tegas hanya dinyatakan

dalam RPJPMN tahap II, untuk RPJPMN tahap III maupun tahap IV, pembangunan

iptek termasuk didalam sektor kedirgantaraan tidak secara tegas disebutkan. Hal ini

menunjukkan bahwa asumsi RPJP adalah bahwa setelah pembangunan iptek dalam

lima tahun, tahap selanjutnya iptek tersebut seharusnya menjadi tools dalam

pembangunan, dengan kata lain bahwa pendekatan pembangunan iptek yang bermula

di akhir dan berakhir dimula terutama dengan wahana pembangunan iptek yang

memberikan nilai tambah terbesar yang memerlukan dukungan politik dan ekonomi

yang bersifat jangka panjang belum dapat diterima pada perspektif para perancang

pembangunan nasional saat itu.386 Dengan bahasa yang lebih populer adalah,

kontroversi antara pendekatan habibienomics vs widjojonomiecs387 yang sudah

muncul pada era orde baru masih sangat mempengaruhi penyusunan RPJPN pada

saat itu.

Ditambah lagi krisis ekonomi 1997-1998, dalam rangka pemulihan

ekonominya, salah satu reaksi yang dilakukan pemerintah adalah memutuskan untuk

memberhentikan program N 250 berikut segala regulasi pendukungnya termasuk

pembubaran BPIS. Banyaknya investasi yang telah dikeluarkan pemerintah dalam

pengembangan industri yang memiliki kandungan teknologi tinggi adalah tentunya

satu konsekuensi logis baik dipandang secara teoritis maupun empiris dari satu

pilihan kebijakan.

Kegagalan IPTN dengan N 250nya kemudian setelah krisis ekonomi

kemudian lebih dijadikan sebagai trauma politik atau lebih tepatnya adalah dianggap

sebagai bukti kegagalan pendekatan pembangunan iptek yang bermula di akhir dan

berakhir dimula terutama dengan wahana pembangunan iptek yang memberikan nilai

tambah terbesar yang bercirikhas kandungan teknologi yang tinggi. Mentalitas itu

kemudian menurut penulis merupakan menjadi belief yang sarat akan penilaian yang

sempit dan instant terhadap satu pendekatan pembangunan yang tentunya segala

sesuatunya selain memiliki dasar filosofis empiris dan teoritis juga memiliki

386 Lihat lampiran 10. 11.FGD yang dilakukan Kemenristek dalam rangka kajian penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014

387 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.41

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 192: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

170

Universitas Indonesia

implikasi logis dari satu pilihan kebijakan. Dengan kekuatan politik yang dimiliki

oleh sebagian para elit pelaku pembangunan, belief tersebut kemudian tertuang

dalam arah pembangunan nasional umumnya dan arah pembangunan kemandirian

teknologi kedirgantaraan secara khusus.388

Perubahan arah dukungan politik tersebut, berimplikasi pada perubahan arah

pada kebijakan sektornya, hal ini dibuktikan bahwa sejak Prioritas Utama Nasional

(PUNAS) 2001-2005 yang merupakan turunan dari Jakstranas Iptek 2000-2004389

tidak lagi memasukkan bidang rancang bangun khususnya kemandirian teknologi dan

pengembangan pesawat terbang sebagai salah satu program utama nasional. Begitu

juga di Jakstranas Iptek 2005-2009390 beserta Agenda Riset Nasional untuk 2006-

2009391, Pesawat terbang hanya menjadi sub bidang di teknologi dan manajemen

transportasi, itupun diperuntukkan hanya untuk studi regenerasi pesawat udara untuk

bidang hankam (ARN 2006-2009). Di dalam ARN 2010-2014, pesawat terbang

hanya menjadi sub bidang HANKAM, dengan fokusnya pada pesawat terbang tanpa

awak bukan pesawat komersial.392 Bahkan, berdasarkan hasil kajian pengembangan

program riptek nasional 2015-2015 tahun 2013 (Tabel 6.3), diketahui bahwa arah

pembangunan iptek pada Agenda Riset Nasional 2015-2019 tidak secara eksplisit

mendorong pembangunan iptek kedirgantaraan.393

Tabel 6.3 Riset Unggulan Agenda Riset Nasional 2015-2019

Bidang Riset Unggulan

Pangan Riset dan pengembangan pangan di area Hutan Tanaman Industri (HTI) Smart Village (Konservasi, diversifikasi, integrasi, dan optimalisasi sumber

daya lingkungan) Riset bioteknologi dan sumber daya genetika pertanian Pengembangan model integrasi tanaman-ternak Pengembangan budidaya ikan di lahan terbatas

388 Meriles S. Grindle. 1980. op.cit.h.10 389 Jakstranas Iptek 2000-2004 390 Jakstranas Iptek 2005-2009 391 ARN 2006-2009 392 ARN 2010-2014 393 Hasil Kajian Kemenristek tentang Pengembangan Program Riptek, 2013.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 193: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

171

Universitas Indonesia

Bidang Riset Unggulan

Kesehatan dan Obat

Vaksin Obat dan Obat Baru; Kit Diagnostik; Biosimilar; Formula Pangan; Alat Kesehatan.

Energi Intensifikasi pencarian dan pengembangan sumber energi (migas, panas bumi, angin, biomasa, energi laut, matahari, air)

Pengembangan biofuel (penyiapan refinery, proses, engineering, manufaktur, tata niaga)

Pengembangan teknologi batubara bersih Pengembangan energi non BBM termasuk nuklir Konservasi energi termasuk pengembangan PJU pintar dan smart grid

TIK IT Security Sistem TIK pendukunge-Government & e-Business Pengembangan Teknologi dan Konten untuk Data dan Informasi Geospasial Riset sosial pendukung bidang TIK

Transportasi • Sistem Transportasi multimoda untuk Konektifitas Nasional • Sistem transportasi Perkotaan • Sistem transportasi untuk sistem Logistik • Teknologi keselamatan dan keamanan transportasi • Klaster Industri • Pendukung

Hankam • Pengembangan Produk Pesawat Tempur • Pengembangan Produk Selam • Pengembangan Produk Roket Balistik dan Kendali • Pengembangan Produk UAV • Pengembangan Produk Munisi Kaliber Besar menjadi produk nasional.

Material Maju

• Gasifikasi Batubara • Bahan baku besi baja • Pemisahan uranium dan tanah jarang • Baterai (energy storage) • Terapi dan diagnostic nano material

Sumber: Hasil Kajian Relevansi Program Riptek, Kementerian Ristek 2013

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 194: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

172

Universitas Indonesia

Bahkan dalam FGD yang dilakukan untuk memberikan usulan rancangan

arah pembangunan iptek dalam RPJPM 2015-2019, yang diadakan di Jakarta pada

12 Februari 2014, 10 diantaranya tidak ada menyinggung isu kedirgantaraan. Dan

sepuluh usulan tersebut adalah:

1. Pengembangan Pusat Unggulan Iptek

2. Penguatan SDM Iptek (program gelar dan non gelar)

3. Pengembangan Pusat Data dan Informasi Iptek Nasional

4. Penguatan Sentra-sentra HaKI dan penghargaan inventor

5. Revitalisasi Puspiptek

6. Pengembangan STP di daerah

7. Penguatan dan pengembangan SIDa.

8. Insentif Riset Frontier untuk meningkatkan produktivitas Iptek

(support ARN)

9. Program Pengembangan Teknologi Industri

10. Program Penumbuhkembangan perusahaan pemula berbasis teknologi

Tidak konsistennya arah pembangunan iptek itu sendiri disebabkan tidak

adanya roadmap pengembangan teknologi yang telah disepakati antara seluruh stake

holder iptek itu sendiri. Sejak era reformasi hingga saat ini, sektor iptek sendiri masih

belum mempunyai satu roadmap pengembangan teknologi perbidang fokusnya

termasuk pembangunan sektor kedirgantaraan.394 Dalam beberapa FGD yang

dilakukan dengan Dewan Riset Nasional (Gambar 6.7), DRN sendiri mengaku belum

memiliki satu kajian yang mendalam terkait roadmap pengembangan teknologi

termasuk teknologi kedirgantaraan.395 Padahal, dari sisi sektor industri khususnya

dalam Bangun Industri Nasional 2025, industri kedirgantaraan telah ditetapkan

sebagai salah satu industri andalan selain industri agro dan industri telematika

(Gambar 6.3).

394 Hasil wawancara dengan Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset

dan Iptek, Asep Supanda. 13 Agustus 2014. Lihat lampiran 9, no.29 395 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN)

periode tahun 2015-2019, Selasa, 11 Februari 2014, Lihat lampiran 10, no.9.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 195: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

173

Universitas Indonesia

Gambar 6.3 Bangun Industri Nasional 2025

Sumber: Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan Dan Alat Pertahanan – Ditjen IUBTT

Kementerian Perindustrian 2012

Tidak jelasnya arah pembangunan iptek dalam bentuk roadmap teknologi

yang menjadi acuan dalam pembangunan iptek kedepan termasuk sektor

kedirgantaraan menyebabkan proses agenda setting terutama untuk akvitas ketiga

dalam konseptual model yaitu Pengumpulan pemikiran-pemikiran visioner secara

teknoratik yang dilakukan oleh BAPPENAS bersama Kemenristek, dalam menyusun

rancangan awal sebagai masukan untuk rancangan RPJP Nasional yang didalamnya

tercantum arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan menyebabkan tidak

dimasukkanya arah pembangunan kedirgantaraan secara nasional.

Padahal, Agenda Riset Nasional 2006-2009 yang berdasarkan pada

Kepmenristek RI No.89/M/Kp/V/2005, tentang Dewan Riset Nasional periode 2005-

2008 yang salah satu tugasnya difokuskan pada Penyusunan Agenda Riset Nasional

(ARN) telah selesai disusun pada Agustus 2006. Artinya, kalau roadmap

pengembangan teknologi perbidang fokusnya khususnya pembangunan sektor

kedirgantaraan yang telah disepakati bersama antara seluruh stakeholder sudah ada,

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 196: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

174

Universitas Indonesia

seyogya masih ada satu tahun peluang untuk mengangkat isu pembangunan iptek

dalam proses teknokratik sebagai masukan terhadap rancangan RPJPN 2005-2025

sampai proses politik yang berujung pada legitmasi RPJPN (Gambar 6.4).

<Satu Tahun Sebelum Berakhir RPJP Yang Berlaku>

Pres

iden

Men

teri

PPN

Peny

elen

ggar

aN

egar

aM

asya

raka

tD

PR

Evaluasi RPJP(-1)

Evaluasi RPJP(-1)

Evaluasi RPJP(-1)

Pemikiran Visioner

Pemikiran Visioner

Pemikiran Visioner

Rancangan Awal RPJP Musrenbang

Jangka Panjang

Rancangan Akhir RPJP Nas

Diajukan sebagai RUU RPJP Inisiatif Pemerintah

Ditetapkan Dengan Undang-

Undang

RPJP Nasional

Dihimpun dan Dikaji

Aspirasi Pemangku

Kepentingan

Aspirasi Pemangku

Kepentingan

Acuan bagi RPJP Daerah

Gambar 6.4 Proses Teknoratik dan Proses Politik dalam Penyusunan RPJPN

Sumber: Bahan Sosialisasi Umum BAPPENAS, 2006

Faktor kedua tidak diangkatnya isu pembangunan sektor kedirgantaraan

secara khusus dalam RPJP adalah belum terjadinya proses sinergi itu sendiri,

terutama antara BAPPENAS dengan sektor iptek secara umum, proses perumusan

arah kebijakan Iptek antara Kementerian Riset yang akan dituangkan dalam Agenda

Riset Nasional dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) III

berjalan sendiri-sendiri”.396 Proses teknoratik dalam rangka mendapatkan masukan-

masukan pakar dari sektor terkait untuk perumusan RPJM masih belum efektif

396 Kepala Biro Perencanaan Kementerian Ristek, lihat Lampiran 10. no.12, FGD yang

dilakukan Kemenristek dalam rangka penyusunan Renstra Kementerian Riset dan Teknologi 2015-2019 pada 19 Juni 2014.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 197: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

175

Universitas Indonesia

dijalankan oleh BAPPENAS, walaupun hal ini tidak dapat dipukul rata untuk setiap

direktorat di BAPPENAS”.397

Di satu sisi, berdasarkan hasil survei dalam rangka Kajian Pengembangan

Program Riptek, 2013, dimana salah seorang informan dari BAPPENAS ketika

ditanya tentang ARN, diperoleh tanggapan sebagai berikut:

“Saya kira kalau lembaga [Bappenas] mungkin tahu kali ya [tentang ARN],

kalau saya sih tidak tahu, karena memang kebiasaan kita seolah-olah kalau

semua [kebijakan] itu sudah dipublikasikan, kita menganggap semua orang

sudah tahu. Saya kira ini perlu ada semacam sosialisasi atau target-target

sasaran [sosialisasi] juga. Seperti mungkin riset [tentang] energi kan harus

dikenali stakeholder-nya siapa saja. Tidak hanya sampai di situ, terkadang

kita berpikir stakeholder itu hanya orang-orang di luar pemerintahan, tapi

terkadang kita juga punya stakeholder yang di pemerintahan. Siapa pun

perlu disosialisasikan, [sebagian besar] dari mereka tahu [tentang suatu

kebijakan riset, jika] kebetulan berada di acara Ristek. Jadi hanya mereka

saja yang mengetahui, padahal stakeholder ARN ini tidak hanya [pelaku]

iptek saja.“.398

Semua gambaran diatas, nampak konsisten ketika peneliti melakukan

wawancara terhadap sejumlah pejabat terkait baik di lingkungan BAPPENAS

maupun pejabat terkait lainnya serta berdasarkan hasil ditelaah RPJPN tersebut ,

dapat disimpulkan bahwa pembangunan sektor dirgantara saat ini bukan atau belum

merupakan sektor prioritas nasional.399 Dalam dokumen RPJPN tersebut belum ada

statement yang tegas yang menyatakan pembangunan teknologi kedirgantaraan.

397 Berdasarkan wawancara yang juga penulis lakukan terhadap Asisten Deputi Relevansi

Program Riset Iptek Kementerian Ristek pada tanggal 23 Juni 2014 di Kantor Kemenristek, Beliau juga adalah mantan Pejabat BAPPENAS.

398 Antonaria, Bappenas, Wawancara, 9/7/2013 dalam rangka Kajian Pengembangan Program Riptek, 2013.

399 Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT, lihat lampiran 9, no.6.3 dan Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan, Sadjuga, Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek, lihat lampiran 9, no.7

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 198: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

176

Universitas Indonesia

Bahkan, secara umum semangat kemandirian atau pembangunan teknologi dalam

RPJP masih tidak jelas.

Tidak adanya arah pembangunan sektor dirgantara dalam dokumen RPJP

tersebut, kiranya dapat dipahami dengan menengok kembali terhadap beberapa

kondisi yang menyertai proses penyusunan RPJP tersebut: pertama, bahwa ternyata

lahirnya Jakstranas Iptek 2005-2009 serta ARN 2006-2009 ternyata lebih awal dua

sampai satu tahun sebelum lahirnya RPJP 2005-2025 itu sendiri. Jika dilihat dari

Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis Rujukan dalam penyusunan

Agenda Riset Nasional 2006-2009 (Gambar 6.5), terlihat bahwa RPJP yang ditandai

dengan garis kotak putus-putus menunjukkan waktu penyusunan ARN 2006-2009,

RPJP belum lahir, karena RPJP ditetapkan setelah dua tahun kemudian yaitu ditahun

2007, khususnya melalui UU 17/2007, RPJP 2005-2025 ditetapkan.

Gambar 6.5 Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis Rujukan dalam

penyusunan Agenda Riset Nasional Sumber: Buku Agenda Riset Nasional (ARN) 2006-2009

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 199: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

177

Universitas Indonesia

Kondisi Kedua, Prioritas Utama Nasional 2001-2005 sebelum digantikan

dengan ARN 2006-2009 juga masih bersandar pada Program Pembangunan Nasional

(Propenas) 2001-2005. Tujuan Propenas pada waktu itu lebih diarahkan pada

pemulihan ekonomi, membangun sistem politik daripada pembangunan iptek

umumnya dan pembangunan sektor kedirgantaraan khususnya. Hal ini, dapat dilihat

dari tujuan dari Propenas pada saat itu adalah:

1. Membangun sistem politik yang demokartis serta mempertahankan persatuan

dan kesatuan.

2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih (good

government).

3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan

yang berkelanjutan dan berkeadialan.

4. Membanguan kesejahteraan dan ketahanan budaza.

5. Meningkatkan pembanguanan daerah.

Periode Propenas tersebut merupakan peralihan dari perubahan sistem

perencanaan dari GBHN dengan Pembangunan Jangka Panjangnya (PJP) dan

Rencana Pembangunan Lima Tahunnya (Repelita) ke RPJP, yang kemudian baru

ditetapkan pada tahun 2007 atau dua tahun berakhirnya Propenas berdasarkan pada

UU 25/2005 Tentang Sisrenbangnas dan UU 17/2007 Tentang Keuangan Negara

Jika melihat konteks politik penyusunan RPJP 2005-2025 diketahui bahwa

seiring dengan pergantian elit politik tertinggi dari Presiden Habibie ke Presiden

Abdurrahman Wahid lalu Megawati sampai Presiden SBY, dukungan politik terhadap

Pembangunan Iptek baik pengembangan N 250 khususnya dan IPTN umumnya

sangat lemah jika dibandingkan dengan periode orde Baru. Rencana Pembangunan

Lima Tahun (Repelita) khususnya sejak Repelita III (April 1979-1983) sampai

Repelita VI (1993-1998) diarahkan pada pengembangan iptek dengan prioritas alih

teknologi terutama high-technology, peningkatan SDM dan diakhiri dengan

pelaksanaan penelitian dasar (Gambar 6.6). Namun mulai era reformasi pasca tahun

1998, kebijakan iptek diarahkan pada penguatan internal, pengembangan dan difusi

iptek dengan mulai memperhatikan perlindungan hak kekayaan intelektual dan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 200: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

178

Universitas Indonesia

kerjasama internasional. Bahkan dalam GBHN 1999, Bidang kebijakan iptek atau

inovasi didalam akhirnya dihapus.

Gambar 6.6 Sasaran Bidang IPTEK REPELITA VI GHBN 1993

Sumber: Samaun Samadikun, 1993.h..4

Setelah GBHN diganti dengan RPJP, arah pembangunan Iptekpun semakin

lemah, dan Instrumen yang dipakai diantaranya adalah Kebijakan Strategis Nasional

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) beserta turunannya yaitu Agenda

Riset Nasional-ARN.400 Oleh karena itu, PUNAS yang semenjak tahun 2000 dahulu

merupakan akronim dari Program Utama Nasional kemudian diubah menjadi

Prioritas Utama Nasional.401

400 Dini Okttaviyanti dkk, 2014. op.cit. h.4 401 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II

RUT.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 201: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

179

Universitas Indonesia

Bahkan hingga kini, konsistensi dukungan politik terhadap pembangunan

sektor dirgantara masih rendah, berdasarkan hasil diskusi yang penulis lakukan

dengan Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek, Agus Puji Peasetyo, pada tanggal

23 Juni 2014 diruang Kerjanya di Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek, beliau

menyatakan:

Bahwa pada tataran makro, konsistensi kebijakan dalam mendorong

kemandirian teknologi kedirgantaraan masih sangat lemah, padahal menurut

Beliau sudah saatnya Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada

kemandirian teknologi kedirgantaraan tersebut selain teknologi kemaritiman,

dua teknologi tersebut (N 219 dan R-80) yang seyogyanya harus didukung oleh

seluruh kebijakan sektoral, karena tidak semua jenis teknologi dapat dilakukan

dengan ToT atau pembelian teknologi, tetapi harus dikuasai, nah upaya

penguasaan teknologi tentunya menuntut kemauan politik yang kuat.

Di acara Hari Teknologi Nasional 2013 TMII, Presiden SBY dalam

sambutannya juga baru mengarahkan pada tema Food, Energy, and Water (FEW) dan

belum menyinggung bagaimana dukungan pembangunan sektor dirgantara. Didalam

Sidang Paripurna I DRN 2014 yang menghadirkan seluruh anggota DRN, Pejabat

Kementerian Ristek dan LPNK, BAPPENAS, Rektor, pelaku industri serta para

politisi yang sekaligus merupakan tim sukses masing-masing calon presiden terkuat

bahwa Iptek merupakan variabel penting dalam pembangunan nasional. Terkait

kemandirian teknologi, Laode M. Kamaluddin selaku tim ahli dari calon presiden

Prabowo yang juga merupakan Ketua Forum Rektor selain menekankan pentingnya

pembangunan budaya iptek juga mengatakan: “kami sangat mendukung kemandirian

teknologi dalam negeri termasuk teknologi kemaritiman, tetapi karena kemandirian

teknologi pada akhirnya adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana visi iptek

presidennya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pemimpin yang mempunyai

leadership yang kuat serta memiliki keberpihakan terhadap kemandirian teknologi

yang sangat tinggi”

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 202: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

180

Universitas Indonesia

Diantara narasumber yang diundang dalam Sidang Paripurna tersebut adalah

politisi yang sekaligus merupakan tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Alexander

Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR selama

2004-2009 dan Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Persatuan. Dalam paparannya

terkait dengan visi misi calon Presiden Jokowi, Beliau juga mengatakan” selain

pembangunan karakter, (terkait pembangunan iptek) kami sangat memberikan

perhatian khusus pada pengembangan iptek dibidang maritim, baik yang berkaitan

dengan pertahanan keamanan maupun SDA khususnya sebagai sumber pangan, selain

itu kami juga akan membangun 100 Technopark berbasis potensi lokal, dan promosi

dan pembukaan Akses pasar bagi pemanfaatan hasil--hasil riset dalam negeri demi

mendukung daya saing nasional.

Gambaran diatas menunjukkan bahwa sejak era reformasi hingga era

reformasi ini, pembangunan sektor dirgantara belum dinyatakan secara tegas dalam

RPJPN 2005-2025 maupun dalam empat tahap RPJMN. Hal ini sangat kontras

dengan yang dialami pada era Orde Baru. Padahal dukungan pada level kebijakan

terutama tercantumnya secara tegas arah pembangunan sektor dirgantara juga

merupakan faktor kunci keberhasilan Industri Embraer. Sejak akhir 1960an, yaitu

dibawah rezim militernya kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan

Master Plan Pembangunan Ekonominya. Selanjutnya sejak 1972, Komitmen politik

dalam inovasi pengembangan pesawat terbang telah terkoneksi dengan Pembangunan

Ekonomi Nasional. Arah pembangunan tersebut menitiberatkan pada penguasaan dan

kemandirian teknologi nasional402 dan salah satu sektor prioritas dalam pembangunan

tersebut adalah sektor dirgantara (Tabel 6.4).403

402 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit. h.17 403 Ibid.; Watu Wamae, 2006. op.cit. h.8-9 ; dan Elizabeth Balbachevsky and Antonio

Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 203: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

181

Universitas Indonesia

Tabel 6.4 Perbandingan Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Indonesia-Brazil Pada Level Kebijakan

IPTN/PTDI Embraer-Brazil

Level Kebijakan PJP I (1969-1993) Awal PJP II (1993-2007) RPJPN

2005-2025/RPJPMN

1960an-Sekarang

Arah Pembangunan

Konsolidasi prasaranan dan manusia Indonesia serta kesadaran bangsa Indonesia untuk memperoleh nilai tambah dan proses ini memerlukan Ilmu Pengetahuan (Repelita I-V)

GHBN 1993 dan 1998 terutama pada PJP II, kemandirian teknologi melalui empat tahap evolusi yang dipercepat secara tegas dinyatakan dalam dokumen tersebut bahkan secara lebih spesifik pembangunan sektor dirgantara GBHN 1999 (tidak ada lagi Bidang Iptek dalam sasarannya)

UU 17/2007; RPJPN Pembangunan Iptek untuk tujuh bidang fokus (Pangan, Kesehatan, Obat, Energi, Transportasi, Hankam, dan Material Maju) dengan penekanan: RPJM I: - RPJPM II:Pembangunan Iptek RPJPM III: Iptek untuk pembangunan RPJPM IV: -

Dimana pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya (sistem perencanaan terpusat) Dibawah rezim militernya, sejak 1972, Komitmen politik dalam inovasi pengembangan pesawat terbang telah terkoneksi dengan Pembangunan Ekonomi Nasional yang juga menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi nasional (Dahlman dan Frischtak, 1990) The Basic Plan of Science and Technology juga menitiberatkan pada membangun kemampuan dan kemandirian teknologi dari perusahaan domestik termasuk aircraft industry dari segala aspek (Dahlman dan Frischtak, 1990; Wamae, 2006) The National Plan for Economic Development, At the Plan’s core was the quest for technological autonomy in areas perceived as strategic for the nation’s elites (aeronautics, informatics, microelectronics, telecomunication and space) (Balbachevsky and Botelho, 2011)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 204: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

182

Universitas Indonesia

6.1.2. Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata Pada Level

Organisasi

Berdasarkan temuan lapangan, bahwa pada tataran organisasi, belum ada

dukungan kelembagaan yang sinergik. Temuan inipun sebenarnya telah diungkapkan

oleh Thee (2005)404, dimana Thee mengkritisi bahwa kegalan N 250 juga disebabkan

belum adanya dukungan kebijakan sektor bagi pengembangan teknologi industri

kedirgantaraan. Pada kasus Embraer-Brazil, dukungan sektor SDM dan Infrastruktur,

industri, lembaga pendanaan termasuk sistem perbankan nasional merupakan faktor-

faktor kunci keberhasilan embraer tidak hanya untuk pasar domestik bahkan untuk

pasar internasional (Tabel 6.6).405

Berdasarkan tabel 6.5 di bawah ini, bahwa pada zaman orde baru relatif telah

terjadi sinergi intersektoral dalam mendorong industri kedirgantaraan sebagaimana

yang terjadi pada industri Embraer kecuali pada dua yaitu: pertama,dukungan sektor

perbankan nasional khusususnya sistem leasing atau kredit ekspor untuk pembelian

pesawat dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang. Kedua,

dukungan sektor kebijakan sektor industri khususnya untuk industri-industri

komponen pesawat terbang. Karena sejatinya pada zaman orde baru telah diupayakan

untuk membina industri-industri hulu tersebut seperti industri elektronika, industri

metal, non metal, industri kimia, plastik, karet dan sebagainya, namun hasilnya

praktik belum nampak. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya para pengelola

industri tersebut kekurangan modal untuk investasi peralatan baru yang canggih dan

untuk pembiayaan alih teknologi. 406

Namun jika dianalisis kondisi saat ini, dukungan sektoral dalam rangka

mendorong upgrading N pesawat terbang 250 yaitu R-80 saat ini nampaknya

semakin lemah. Mulai dari semakin terbatasnya SDM, fasilitas pengujian yang perlu

diupgrade, dukungan pendanaan riset inovasi yang masih belum secara tegas

dinyatakan dalam Jakstranas maupun ARN. Bahkan setelah orde baru, peran Dewan

Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) dalam

404 Kian Wie Thee, 2005a. loc.cit, h.7 405 Tabel 6.2. ada di halaman 177 Bab ini 406 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 205: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

183

Universitas Indonesia

mengintegrasikan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan sektor dirgantara

hampir tidak ada.407

Dari sektor SDM dan infrastruktur pengujian pesawat terbang. Yaitu dimulai

ditahun 1950an, pemerintah waktu itu memutuskan hanya ada dua jurusan yang

diperkenalkan untuk belajar ke Luar Negeri, yaitu Maritim dan Dirgantara.408

Selanjutnya melalui SK Presiden RI Soekarno, pada tahun 1962 didirikan Jurusan

Penerbangan ITB, keberadaan jurusan tersebut untuk mendukung LIPNUR.409

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun

1976, dibangun Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK)

terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti:

Laboratorium Uji Konstruksi410, aerodinamika.411Selanjutnya sejumlah program

beasiswa baik yang merupakan kerjasama antara IPTN, ITB dengan universitas luar

negeri, seperti pada 1997-1999, terdapat program beasiswa S2 di bidang perangkat

lunak yang merupakan kerjasama antar PT DI, ITB dan Universite Thomson-

Perancis.412Selain itu, terdapat sejumlah program beasiswa lainnya untuk penguasaan

teknologi kerdirgantaraan seperti program STAID dll413. Kondisi SDM maupun

infrastruktur pengujian pesawat terbang setelah orde baru hingga saat ini semakin

lemah. Keluaran ‘aerospace engineers’ di Indonesia saat ini sangat sedikit, ITB

hanya meluluskan sebanyak 60 orang per tahun; dan hanya 25% yang bekerja di

sektor penerbangan).414

407 Hasil wawancara dengan Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan

Produktivitas Iptek 2009-2013, Teguh Rahardjo, Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. lihat lampiran 9. no.2.5

408 Wawancara antara Habibie dengan Peter F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg, lihat lampiran 9, no.32.1 409 Lili Irahali, Agustus 2001. loc.cit.h.17 410 Habibie, 1995.op.cit. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap

berdirinya PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 411 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang

Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a. 412 Inggriani Liem dan Hari Muhammad, 2001. Pendidikan Real Time Software Engineering

untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.148-152. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.

413 Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994. op.cit.h.58 414 Bambang Kismono Hadi, 2012. FGD Kementerian Ristek

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 206: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

184

Universitas Indonesia

Lab-lab uji, baik yang ada di ITB, PT DI, LAPAN juga masih perlu

diupgrade.415Karena sebagain besar lab-lab tersebut merupakan peninggalan era

1970an.416 Apalagi mengingat bahwa program upgrading “N 250” antara PT DI

dengan PT RAI yaitu program R-80417 yang sangat membutuhkan infrastruktur yang

jauh lebih kompleks dibanding N 219. Dalam rangka upgrading pesawat terbang,

diperlukan program revitalisasi dan upgrading sekitar 13 laboratorium pesawat

terbang, delapan tempat uji telah tersebar di beberapa lembaga-lembaga pengujian

pesawat terbang yang ada, baik yang di Puspitek, ITB, maupun LAPAN (Tabel 6.5).

Bahkan terdapat lima fasilitas uji baru yang saat ini dibutuhkan namun belum tersedia

atau terdefinisi, yaitu fasiltas uji tabrak burung, uji sirkulasi udara, uji kelistrikan

pesawat, laboratorium avionik, laboratorium uji bahan bakar pesawat.418

Tabel 6.5 Peningkatan Fasilitas Uji Pesawat Terbang di Lembaga Penelitian

Sumber: FGD II PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80, Senin, 15 September 2014

415Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan

Regioprop R80, Senin, 15 September 2014. 416 Lihat lampiran 9. hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-

2014, tanggal 27 Juni 2014. 417 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang

Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013 418 Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan

Regioprop R80, Senin, 15 September 2014; Hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014

Lembaga Pengujian Pesawat Terbang

Jenis Pengujian/Laboratorium

BPPT 1. Peningkatan Fasilitas Laboratorium Uji Struktur (B2TKS)

2. Peningkatan Fasilitas Laboratorium Uji Terowongan Angin (LAGG)

3. Pembangunan Laboratorium Pengendalian Terbang (PTIK)

4. Laboratorium Simulasi Terbang (Flight Simulator) (PTIK)

5. Pembangunan Laboratorium Uji Electro-magnetic (PTIK)

LAPAN Peningkatan Fasilitas Uji Terbang ITB Peningkatan Fasilitas laboratorium Uji Komponen Struktur

(FTMD); Peningkatan Fasilitas Uji Komposit (FTMD)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 207: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

185

Universitas Indonesia

Dukungan kebijakan pada level sektor yang relatif kuat justru berasal dari

sektor perindustrian, salah satunya adalah Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan

Produksi dalam Negeri. Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa jika suatu produk

nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis

tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu, saat ini Kemenperind telah sedang

mengupayakan pembangunan kemampuan industri-industri pendukung komponen

pesawat terbang419. Namun sayang, kuatnya dukungan kebijakan sektor industri

belum diiringi dengan dukungan kebijakan dari sektor fiskal. Sejak era orde baru

hingga saat ini, dukungan sistem leasing perbankan nasional untuk pesawat terbang

hingga saat ini juga masih belum tersedia.420

Sebaliknya, dalam kasus Industri Embraer, kuatnya dukungan pembangunan

sektor dirgantara pada level kebijakan kemudian diterjemahkan secara sinergik dalam

kebijakan level sektor. Pertama, kebijakan sektor SDM dan Infrastruktur, sejak tahun

1946 pemerintah rezim militer Brazil mulai mendirikan The Aeronautics Technology

Insittute-ITA. Lembaga ini merupakan penghasil SDM kedirgantaraan. Selanjutnya

pada tahun 1947, pemerintah Brazil mendirikan The Aeronautics Technology center

(CTA) dan INPE (Instito National de Pesquisas Espaciasi) sebagai lembaga riset inti

bidang Aerospace. Dan di tahun 1988, dibangun Advanced Technology Center yang

kemudian dikembangkan dengan nama baru yaitu Sao Paulo R&D Centre.421

Terkait kebijakan sektor Riset dan Inovasi, pada tahun 1973, pemerintah

Brazil mendirikan Lembaga Federal-FINEP (Agency for Financing Studies and

Projects). FINEP juga sebagai executive secretariat untuk National Fund for

Scientific and Technology Development (FNDCT) Selain mendanai riset industri,

FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk

standar ekspor.422 Selanjutnya sejak 1985-Sekarang Peran FNDCT semakin dominan

419 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang Pengembangan pesawat perintis N219 Kamis,

8 Februari 2012 di BAPPENAS. 420 Habibie, 1995. op.cit. h.288; dan lihat lampiran 9 wawancara dengan Kepala Perencanaan

Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, 2014. no.11.13. 421 Ibid.h.8 422 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; David Pritchard, 2010.

loc.cit, h.10; Vertesy dan Szirmai, 2010, loc.cit. h.29.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 208: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

186

Universitas Indonesia

bahkan sebagai management commitee423, sebaliknya sejak 1985, peran FINEP

selanjutnya dibawah koordinasi Kemenristek Inovasi (Gambar 6.7).424

President

Ministry of Science &

Technology

President FINEP

Director of Finance Administration

Director of Development, Science

& TechnologyDirector of Innovation

Brazilian Space Agency (AEB)-”DEPANRI”

Gambar 6.7 Lembaga Pendanaan Inovasi-FINEP Brasil

Sumber: diolah dari Dahlman dan Frischtak, 1990

Di tahun 1972, Pemerintah Brazil telah mendirikan lembaga yang disebut The

Special Sectariat for Science and Technology dibawah the Ministry of Industry and

Commerce. Yaitu, lembaga yang diarahkan untuk mengurusi program pendanaan

litbang industri, diseminasi informasi teknologi dan pengaturan sistem hak dan

kekayaan intelektual-HKI, dan standard.425 Baik FINEP maupun dan The Special

Sectariat for Science and Technology walaupun inisasi sektoral tetapi memiliki

sinergi yang jelas terutama pada pengembangan kemandirian teknologi dirgantara.426

Bahkan di sektor perbankan, dalam rangka mendukung pembiayaan inovasi industri

salah satunya adalah industri dirgantara, pada tahun 1960, pemerintah Brazil

423 Michael Kahn, Luiz Martins de Melo and Marcelo G. Pessoa, 2014,. Financing

Innovation.h.38 424 Ibid.h.xxvi 425 Ibid. h.15 426 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 209: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

187

Universitas Indonesia

mendirikan The Brazilian Development Bank-BNDES 427. Sebagai bentuk insentif

pada perdagangan khususnya pesawat pada pasar internasional, pada tahun 1991,

pemerintah Brazil mengeluarkan Kebijakan ProEx, yaitu Insentif pengurangan bunga

sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah

diberlakukan pemerintah Brazil sejak juni tahun 1991.428Walaupun akhirnya di tahun

1999-2000, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan atas permintaan

World Trade Organization-WTO.429

Di tahun 1996, pemerintah mendirikan Brazilian Space Agency (AEB), AEB

adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE (Sistem Nasional

untuk Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kegiatan

keantariksaan di Brasil. AEB dipimpin oleh Presiden AEB sekaligus sebagai ketua

Dewan teritinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil. Lembaga ini

mengkoordinasi berbagai badan, baik riset maupun operasional (wakil dari

Kementerian Pertanian, komunikasi, luar negeri, industri dan perdagangan,

pembangunan, pendidikan, keuangan, lingkungan, energi serta kepolisian ditambah

dari masyarakat ilmiah dan sektor industri terkait kenatariksaan). Keanggotaan.AEB

sebagai bagian dari SINDAE dikontrol secara hierarki oleh Menteri Pertahanan dan

secara langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.430 Brazilian Space Agency

(AEB) sejenis DEPANRI sangat powerfull karena kebijakannya akan berpengaruh

pada berbagai kementerian terkait, termasuk dalam hal pendanaan inovasi industri

yang dibiayai melalui lembaga FINEP (Gambar 6.9).431

Dari sektor industri, keberhasilan pembangunan sektor dirgantara juga

didukung oleh sejumlah instrumen kebijakan sektor industri. Pada tahun 1969, seiring

dengan dibangunnya Embraer, dibangun juga pembangunan industri-industri high

tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment,

electronic communication equipment, composite materials, dan software.432 Sinergi

427 Michael Kahn, Luiz Martins de Melo and Marcelo G. Pessoa, 2014,. op.cit.h.43 428 David Pritchard, 2010.loc.cit. h.10 429 Laporan WTO, 14 April1999, loc.cit. h. 14 430 Mardianis, 2013 hal 110 di Media Dirgantara, November 2013-LAPAN 431 Ibid. 432 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990, loc.cit. h.17

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 210: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

188

Universitas Indonesia

sektoral terutama antar sektor riset inovasi, SDM, Infrastruktur dan Keuangan dalam

mendukung pembangunan sektor dirgantara dalam konteks Indonesia masih sangat

lemah, padahal hingga saat ini telah ada sejumlah lembaga pendanaan inovasi yang

masing-masing merupakan inisiasi sektoral, diantaranya adalah Insentif Riset SINas

yang merupakan iniasi Kementerian Riset dan Teknologi, Hibah Dikti yang

merupakan inisiatif Kemendikbud, dan Insentif Riset yang merupakan insiasi tiga

Kementerian sebagai Dewan Penyantun yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian

Pendidikan, dan Kementerian Agama.

Bahkan, sejak 1993, Kementerian ristek telah mengeluarkan beragam jenis

pendanaan riset, mulai dari Insentif Pendanaan RUT sampai dengan Insentif Riset

SINas yang bahkan masih berlanjut hingga sekarang. Adapun LPDP, baru dimulai

sejak tahun 2012, LPDP selain memiliki program rispro juga memiliki program

afirmasi nasional. Hibah Dikti yang merupakan lembaga pendanaan yang dikelola

oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) selama ini masih lebih bersifat untuk

mendorong academic exellance. Namun, antara ketiga lembaga pendanaan tersebut,

belum terjadi sinergi.

Insentif Riset SINas yang seharusnya lebih diarahkan pada riset-riset hilir

kadang juga sangat melebar pada riset-riset dasar, begitupun juga dengan Hibah Dikti

dan LPDP, seharusnya lebih berrmain pada level academic exellance namun kadang

sering overlap dengan arah Insetif Riset SINas. Begitupun kalau dikaitkan dengan

bagaimana dukungan pendanaan tersebut dalam mendorong pengembangan teknologi

kedirgantaraan. Baik Hibah Dikti bahkan untuk LPDP belum memasukkan fokus

ataupun bidang yang mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan sebagai

salah satu prioritas. Adapun untuk insentif riset SINas, sejatinya pada zaman Riset

Unggulan Terpadu ketika masih dalam bentuk Program Utama Nasional (Punas)

yaitu selama periode 1993-1998, bidang teknologi kedirgantaraan bahkan selalu

menduduki peringkat lima besar berdasarkan besar pendanaan yang didanai, dan dari

rentang tersebut, selama dua tahun bahkan menduduki posisi teratas dari seluruh

bidang teknologi yang dibiayai.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 211: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

189

Universitas Indonesia

Tabel 6.6 Perbandingan Dukungan Pada Level Sinergi Organisasi dalam Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara antara

IPTN Indonesia-Embraer Brasil

Level Intersektoral IPTN Indonesia Embraer Brasil

Sektor SDM dan

Infrastruktur pengujian

Era Orla-Orba: SK Presiden RI Soekarno 1962 didirikan Jurusan Penerbangan ITB untuk mendukung LIPNUR.433 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976, dibangunlah Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti: Laboratorium Uji Konstruksi434, aerodinamika.435 1997-1999, ada Program S2 perangkat lunak Kerjasama antara PT DI, ITB dan Universite Thomson-Perancis.436 Sejumlah program Beasiswa untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan melelaui (STAID dll)437. Saat ini: Keluaran ‘aerospace engineers’ di Indonesia saat ini terbatas. (ITB hanya meluluskan sebanyak 60 orang per tahun; dan hanya 25% yang bekerja di sektor penerbangan). 438

Dibawah rezim Militer (1964-1985):441 1946: Mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA sebagai supplai SDM kedirgantaraan. Tahun 1947 didirikan The Aeronautics Technology center (CTA) dan INPE (Instito National de Pesquisas Espaciasi) sebagai lembaga riset inti bidang Aerospace. 1988: Pembangunan Advanced Technology Center sebagai pengembangannya kemudian dibangun Sao Paulo R&D Centre.442

433 Lili Irahali, Agustus 2001. loc.cit.h.17 434 Habibie, 1995.op.cit. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya PUSPPITEK atau pendirian

laboratorium lainnya. 435 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu

Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a. 436 Inggriani Liem dan Hari Muhammad, 2001. Pendidikan Real Time Software Engineering untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25

Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.148-152. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. 437 Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994. op.cit.h.58 438 Paparan Bambang Kismono Hadi, 2012 didalam FGD yang dilakukan Kementerian Ristek

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 212: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

190

Universitas Indonesia

Lab-lab uji di Puspiptek butuh revitalisasi, karena sebagain besar merupakan peninggalan era 1970an.439 Beberapa lab uji pesawat baik yang ada di ITB, PT DI, LAPAN juga masih perlu diupgrade.440

Sektor Riset dan

Inovasi

Program Utama Nasional (PUNAS) 1994-1996: Bidang riset rancang bangun pesawat komersial didukung secara finansial bahkan selama 1995-1999, bidang riset pesawat terbang selalu masuk lima besar riset yang didanai bahkan untuk tahun 1995 dan 1999, bidang riset pesawat terbang menempati posisi teratas.Yang didukung dengan skim pendanaan insentif riset RUT. Sejak 2000-sekarang: Hanya Tujuh Bidang Fokus: Ketahanan Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan Obat, Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, Pertahanan Keamanan, dan Material Maju yang merupakan Agenda Riset Nasional yang kemudian didukunna dengan pendanaan Insentif Riset SINas. Sub Tema terkait pesawat terbang: Didalam ARN 2006-2009: Masuk di Bidang Transportasi dengan subtema Regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam Didalam ARN 2010-2014: Masuk dibidang Hankam dengan subutema Pesawat terbang tanpa awak Keppres No. 99 Thn 1993 /Keppres No. 132 Thn 1998 (DEPANRI) Dalam struktur DEPANRI, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden.Namun, setelah era reformasi

1973: Lembaga Federal-FINEP (Agency for Financing Studies and Projects). FINEP juga sebagai executive secretariat untuk National Fund for Scientific and Technology Development (FNDCT) Selain mendanai riset industri, FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk standar ekspor (Dahlman dan Frischtak, 1990) Sejak 1985-Sekarang: Peran FNDCT semakin dominan bahkan sebagai management commitee, sebaliknya sejak 1985, peran FINEP selanjutnya dibawah koordinasi Kemenristek Inovasi (Kahn, De Melo, dan De Matos, 2014). 1996: Didirikan Brazilian Space Agency (AEB) AEB adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE ( Sistem Nasional untuk Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kegiatan keantariksaan di Brasil. AEB dipimpin oleh Presiden AEB sekaligus sebagai ketua Dewan teritinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil. Lembaga ini menrkoordinasi berbagai badan, baik riset maupun operasional (wakil dari Kementerian Pertanian, komunikasi, luar negeri, industri dan perdagangan, pembangunan, pendidikan, keuangan, lingkungan, energi

441 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990, loc.cit. h.15 442 Ibid.h.8 439 Lihat lampiran 9. hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014. 440Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80, Senin, 15 September 2014.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 213: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

191

Universitas Indonesia

aktivitas DEPANRI hampir tidak ada kecuali untuk N 219 dalam rangka mendorong transfer knolwledge SDM dirgantara tua ke muda”. Hal ini menunjukkan tidak adanya visi pemerintah.443,

serta kepolisian ditambah dari masyarakat ilmiah dan sektor industri terkait kenatariksaan). Keanggotaan.AEB sebagai bagian dari SINDAE dikontrol secara hierarki oleh Menteri Pertahanan dan secara langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi (Mardianis, 2013 hal 110 di Media Dirgantara, November 2013-LAPAN).

Sektor Industri

1976-1991 Kebijakan Pembangunan resourced-based industries: 1. Era Oil boom, 1976-1981 (Kebijakan substitusi

Impor) 2. Pasca Oil boom 1982-1985 (Mendorong ekspor) 3. Era 1986-1991 (Kebijakan mendorong Industri

beroritensi Ekspor)

KEPPRES No. 1 tahun 1980 tentang keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri. Kemudian Keppres ini dicabut pada era reformasi. Saat ini: Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009: Tentang Peta Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional: Mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis (N 219) melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri: Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia (N219)

1969: Seiring dengan dibangunnya Embraer, dibangun juga pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software.444 1972: Didirikannya The Special Sectariat for Science and Technology dibawah the Ministry of Industry and Commerce. Yaitu, Program pendanaan litbang industri, diseminasi informasi teknologi dan pengaturan sistem hak dan kekayaan intelektual-HKI, dan standard (Dahlman dan Frischtak, 1990) 1991-2000: Kebijakan ProEx (1991-2000), yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991 (Pritchard, 2010), Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan atas permintaan World Trade Organization-WTO (Laporan WTO, 1999).

443 Wawancara dengan Teguh, tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. Lihat lampiran 9 no.5 444 Ibid.h.17

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 214: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

192

Universitas Indonesia

Sektor Keuangan/Perbankan

Zaman Orde Baru: Belum ada sistem pendanaan inovasi termasuk pesawat terbang nasional yang diinisiasi dari sektor atau Depertemen Keuangan. Kecuali yang dikeluarkan melalui Intervensi Politik seperti Dana reboisasi untuk finish construction N 250. Belum ada sistem leasing dari perbankan nasional untuk pembelian pesawat terbang .445 Era reformasi hingga saat ini: Sistem pendanaan Pesawat terbang masih bersifat sektoral dan pendanaanya sesuai tercantum dalam Rencana Tindak Pembangunan Kementerian/Lembaga. Hal ini termasuk yang sedang dilakukan untuk N 219 Pada 28 Desember 2011, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dibentuk sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan melalui PMK Nomor 252 tahun 2010. LPDP kemudian ditetapkan sebagai sebuah lembaga berbentuk Badan Layanan Umum pada 30 Januari 2012 setelah disahkannya dengan KMK Nomor 18 tahun 2012. Namun bidang prioritasnya hanya tediri dari Bidang Tatakelola, Kesehatan, Energi, Budaya, Energi, Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Eknomi. Dan tidak ada mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan.

Sistem Pendanaan Inovasi: Di tahun 1960 didirikan The Brazilian Development Bank-BNDES (Kahn, De Melo, dan De Matos,h.43 2014; Paulo N. Figueiredo,446 h.33)

445Habibie, 1995. op.cit. h.288; dan lihat lampiran 9 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, 2014.

no.11.13 446 Paulo N. Figueiredo (2007), Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance,

Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, h.33 University of Oxford, Department of International Development.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 215: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

193

Universitas Indonesia

6.1.3 Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata Pada Level

Operasional

6.1.3.1. Analisis Aktivitas Primer Rantai Nilai Pengembangan N 250-IPTN

6.1.3.1.1. Struktur Global Value Chain N 250

Stuktur GVC IPTN terutama dalam pengembangan N 250 adalah cenderung

bersifat hierarchy. Karena sejak diresmikan pada tahun 1976, IPTN tidak memiliki

kemampuan dalam codifiability maupun produksi pesawat terbang. Namun,

dukungan pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat

terbang berbasis kemampuan domestik sangat tinggi. Dalam rangka penguasaan

kemampuan indigenous technology, IPTN mengadopsi empat tahap upgrading

teknologi pesawat terbang sebagaimana juga yang digunakan oleh Embraer (tabel

6.7) yaitu dimulai dari produk dibawah lisensi kemudian beranjak pada kemampuan

integrasi lalu pengembangan pada pesawat turbopropelar hingga jet. Hanya saja, tidak

sebagaimana halnya IPTN, proses upgrading pesawat terbang yang dilakukan di

Embraer diimbangi dengan kemampuan produksi pesawat yang juga sangat tinggi

pada tiap-tiap upgradingnya.447

Terkait bahan baku, sebagian besar supplier komponen dalam desain N 250

adalah berasal dari Amerika Serikat yaitu dari Industri Boeing, Allison, Collins,

Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll.448 Satu-

satunya local content pada desain N 250 adalah hanya pada desain pesawat atau

tenaga kerja.449 Rendahnya kemampuan industri—industri hulu bagi pengembangan

pesawat IPTN adalah selain masih lemahnya dukungan sektor perbankan dalam

bentuk kredit usaha di sektor tersebut450 juga disebabkan bahwa volume produk yang

dibutuhkan jauh tidak sepadan dengan biaya investasi untuk pengembangan produk

447 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, 2001. loc.cit. h. 555-556; David McKendrick,

1992. loc.cit.h.39. 448 Habibie, 1995.op.cit.h.275-276 449 Lihat wawancara dengan Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology &

Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.22.6; 450 Lihat kembali ulasan tentang lemahnya dukungan sektor perbankan untuk industri hulu

dalam pengembangan pesawat IPTN . hal. 171

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 216: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

194

Universitas Indonesia

tersebut atau dengan kata lain volume produk yang dibutuhkan oleh IPTN masih jauh

dari skala ekonomi.451

6.1.3.1.2. Analisis Operasi dan Logistik Keluar IPTN

Pada kasus IPTN, yaitu sejak 1977 hingga 1993, pesawat NC 212 hanya

diproduksi sekitar 95 pesawat atau hanya 16 unit pertahunnya.452 Untuk pesawat CN

235, di awal tahun 1980an, IPTN sebenarnya merencanakan akan memproduksi

sekurang-kurangnya 36-40 pesawat sejenis CN-235 pertahun atau rata-rata 3 (tiga)

pesawat perbulan. Namun kenyataanya, dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu sejak

tahun 1987, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat CN 235.453

Beberapa macam alasan terkait tidak tercapainya target produksi CN 235 adalah

mulai dari raw materials yang sering terlambat sampai dengan masalah-masalah

dokumentasi yang tidak lengkap, langkanya spare part, hingga CASA yang dinilai

tidak kooperatif.454

Padahal, jika diukur dari jumlah tenaga kerja yang berjumlah 16.000 orang

dengan asumsi jumlah direct labour 6.000 orang, maka kapasitas produksi

sebenarnya jauh lebih besar. Dengan asumsi kasar bahwa direct labour yang

dialokasikan untuk CN 235 sebanyak 5.000 orang dengan jumlah jam kerja bersih

perminggu (nett weekly manhours) sebesar 40 jam (tanpa lemburan), maka dengan

manhours yang tersedia IPTN sebenarnya mampu memproduksi sekurang-kurangnya

60 pesawat per tahun.455 Sedangkan untuk kasus Embraer, sejak tahun 1969 ketika

Embraer memulai proses produksi dibawah lisensi perusahaan Italia yaitu pesawat

Bandairente turboprop EMB-110, maka kemudian hingga tahun 1983, pesawat

dengan kapasitas 19 penumpang tersebut telah diproduksi sejumlah 3.983 pesawat

atau 265 pesawat per tahun. Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar

451 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45 452 Ibid.h.81 453 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan.

25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. 454 Chandra Adenan (2001). IPTN dalam Kenangan dan Harapan. 25 Tahun PT. Dirgantara

Indonesia: Membuka paradigma baru. h.70 455 Ibid. h.44

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 217: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

195

Universitas Indonesia

domestik, bahkan pada tahun 1975, Embraer menjadi pemasok tunggal untuk

kebutuhan pasar domestik456. Yang sangat menarik adalah pada tahun 1974, yaitu

pada fase produksi pesawat dibawah lisensi tersebut, Embraer semakin memperkuat

kemampuan desain maupu produksinya dengan program peningkatan kemampuan

SDM dan produksi melalui program merakit sekitar 726 pesawat US light aircraft

(general aviation) dari perusahaan Amerika Serikat.457

Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM dan produksi tersebut, Embraer

yang didukung oleh Pemerintah Brazil mengirimkan proposal ke 3 produser besar

pesawat terbang kecil di Amerika Serikat yaitu: Piper, Beech dan Cessna. Dalam

proposal tersebut, Embraer memasukkan klausal bahwa Embraer ingin meningkatkan

kemandirian dalam hal kemampuan teknis, manajerial, kegiatan produksi,

kemampuan memasarkan, dan juga kemampuan memasok pasar domestik. Dan

akhirnya perusahaan yang terpilih adalah perusahaan Piper.458

Selanjutnya untuk N 250, IPTN hanya diproduksi 2 unit karena dihentikan

pengembangannya oleh Pemerintah waktu itu. Pengalaman Embraer menunjukkan,

bahwa pada tahun 1985, Embraer melaunching pesawat turboprop EMB-120 yang

sekelas dengan CN 235 maupun N 250 namun dengan kapasitas 30 penumpang.

Dalam periode 1985-1999, Pesawat EMB 120 yang merupakan upgrading dari EMB

110 tersebut telah diproduksi sekitar 354 pesawat dan berhasil mendapatkan sertifikat

FAA pada tahun 1985 dan European Certification di tahun 1986459. Walaupun

pesawat EMB 120 tersebut mengalami penurunan produksi disebabkan permasalahan

finansial perusahaan sebagai akibat dari resesi global, namun pesawat tersebut cukup

sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.460

Hingga saat ini kemampuan produksi pesawat PT DI hanya sekitar 12 pesawat

per tahun, yaitu 4 pesawat untuk NC 212, 4 pesawat untuk CN 235, dan 4 pesawat C

456 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 457 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 458 Ibid. 459 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 460 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 218: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

196

Universitas Indonesia

295.461 Sedangkan untuk kasus Embraer, sejak tahun 1969 ketika Embraer memulai

proses produksi dibawah lisensi perusahaan Italia yaitu pesawat Bandairente

turboprop EMB-110, maka kemudian hingga tahun 1983, pesawat dengan kapasitas

19 penumpang tersebut telah diproduksi sejumlah 3.983 pesawat atau 265 pesawat

per tahun. Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar domestik, bahkan pada

tahun 1975, Embraer menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestik462.

Yang sangat menarik adalah pada tahun 1974, yaitu pada fase produksi pesawat

dibawah lisensi tersebut, Embraer semakin memperkuat kemampuan desain maupu

produksinya dengan program peningkatan kemampuan SDM dan produksi melalui

program merakit sekitar 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari

perusahaan Amerika Serikat.463

Tabel 6.7 Tahapan Upgrading N 250 IPTN dengan EMB 120 Embraer IPTN Embraer

Pesawat Th Pengembangan

Jumlah Produksi

Pesawat Th Launcing

Jumlah Produksi

NC 212 (under licensed-CASA)-24 Penumpang

1976/1977

95 unit (1977-1993) -Saat ini hanya 4 pesawat per tahun.464

EMB 110 (under licensed- Aeronautica Macchi S.p.A., an Italian corporation); perakitan -19 penumpang

1969 3.983 unit (1969-1983).

Merakit 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari US

1974

CN 235 (35 penumpang)-turboprop

1979/1983 40 unit pesawat (1987-1995) Saat ini hanya 4 pesawat pertahun.465

EMB 120 (30 Penumpang) 1985 354 pesawat (1985-1999).466

N 250 (50 dan 70 penumpang).turboprop dengan

1987/1994 2 unit (1994-1995)

461 Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang

dilakukan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00, Di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT

462 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 463 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 464 Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang

dilakukan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00, di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT

465 Ibid. 466 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 219: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

197

Universitas Indonesia

teknologi fly by wire R-80/New N 250 (80 penumpang)

2013 -

N 2130-Jet 1994 - ERJ 145 (Jet): 50 dan 37 penumpang

1989/1996 132 unit pert tahun.467

ERJ 170/190 (70 sampai ≥100 penumpang) dengan teknologi fly by wire

1999 Rata-rata 27 unit pertahun (2002-2007).468

Sumber: B J Habibie, 1994,op.cit. h.68-75; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa

Tahun). loc.cit.h.10;

Dari aspek pengujian pesawat, beberapa fasilitas produksi dan beberapa

fasilitas pengujian pesawat terbang khususnya untuk N 250 adalah dilakukan didalam

industri seperti: wind tunel test, electro-magnetic compatibility-emc, iron bird test.

Namun untuk mendukung pengujian tersebut, sebagian fasilitas dan SDM yang

terlibat dalam pengembangan tersebut adalah merupakan kerjasama antara ITB,

Puspitek-BPPT dengan PT DI. Bahkan dalam rangka ditching test N 250, yaitu suatu

test kemampuan ngambang di air dilakukan di Inggris.469

Jika dibandingkan dengan fasilitas pengujian Embraer Brazil, PT DI sangat

jauh tertinggal, diantara contohnya adalah fasilitas uji terbang. Untuk fasilitas

tersebut, Embraer memiliki fasilitas pengujian penerbangan yang bertempat di

Gavião Peixoto, São Paulo, dengan fasilitas landasan pacu terpanjang keempat di

dunia dengan panjang 16.400-kaki (5.000 m).470Ukuran tersebut bahkan empat kali

lebih besar dengan fasilitas uji yang saat ini ada di rumpin LAPAN, yang hanya

memiliki panjang 1.200m.471 Padahal untuk pesawat R-80 membutuhkan ukuran

landasan sekitar 2.400m.

467 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.9 468 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24 469 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014 470 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. 471 FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80,

Senin, 15 September 2014.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 220: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

198

Universitas Indonesia

6.1.3.1.3 Analisis Aktivitas Pemasaran dan Strategi Pemasaran Pesawat IPTN

Proses upgrading teknologi pesawat N 250-IPTN tidak ditunjang dengan

kemampuan manajeman IPTN terutama dalam menjual pesawat NC 212 dan CN 235

baik dalam pasar domestik maupun pasar internasional (Tabel 6.9). Untuk pesawat

under licensed NC 212, selama 26 tahun yaitu dalam periode 1976-2002, IPTN hanya

menjual sebanyak 94 unit pesawat terbang472, artinya IPTN hanya mampu menjual 3

pesawat pertahun. Lemahnya strategi pemasaran, disebabkan Pimpinan Teras sampai

pada eselon-eselon dibawahnya kurang menyadari pertimbangan-pertimbangan

ekonomis (business oriented) dalam mengambil keputusan dan kurang mengindahkan

prinsip-prinsip cost versus benefit. Di bidang pemasaran telah berkembang suatu

pemeo bahwa pada hakekatnya Pak Harto dan Pak Habibie-lah yang berfungsi

sebagai salesman, bahkan dikenal sebagai “Super Salesman”. Pemeo tersebut sampai

mencuat karena hampir semua transaksi yang terjadi baik di dalam negeri maupun di

luar negeri adalah antara IPTN dan Pemerintah atau antar Pemerintah dan

Pemerintah, dan sekurang-kurangnya transaksi tersebut memiliki muatan politis

(higher political intention).473

Jika dibandingkan dengan Embraer- Brazil, dalam periode 1969-1983,

Embraer berhasil memproduksi pesawat EMB 110 sejumlah 3.983 unit. Dan sebagian

besar pesawat EMB 110 tersebut adalah untuk pasar domestik. Bahkan pada tahun

1975, pesawat EMB 110 menjadi satu-satunya pemasok tunggal untuk kebutuhan

pasar domestik.474

Setelah berhasil dengan pesawat under licensed Italia yaitu EMB 110, pada

tahun 1985 Embraer mendesain pesawat hasil desain sendiri yaitu EMB 120, pesawat

tersebut adalah pesawat turboprop yang sekelas dengan CN 235 dan N 250.

Walaupun sempat mengalami penurunan produksi karena krisis perusahaan sebagai

akibat dari resesi global, namun pesawat EMB 120 tersebut cukup sukses bahkan

memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.475Bandingkan dengan IPTN

472 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 473 Yuwono, Agustus 2001. op. cit. h.46 474 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 475 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 221: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

199

Universitas Indonesia

dengan CN 235nya, dalam 15 tahun yaitu selama periode 1979-1994, IPTN hanya

menjual 28 unit CN 235.476 Walaupun pada tahun 1986, 15 unit CN 235 pernah

dioperasikan oleh Merpati Airliner,477 namun secara garis besar, pasar terbesar CN

235 hingga saat ini adalah justru berasal dari luar negeri478. Fenomena tersebut

tentunya sangat kontras dengan yang terjadi dengan Embraer Brazil, baik EMB 110

maupun dengan EMB 120. Kemampuan pemasaran tersebut tentunya menyebabkan

industri Embraer memiliki kemampuan ekonomi yang sangat tinggi dibandingkan

dengan IPTN (lihat Gambar 6.10, h. 189 bab ini.).

Kemampuan tersebut akhirnya mengantarkan Embraer berhasil melakukan

upgrading EMB 120 kepada desain pesawat jet ERJ 145 yang membutuhkan

anggaran pengembangan sekitar USD 350 juta.479 Sebaliknya, lemahnya kemampuan

IPTN dalam menjual NC 212 dan CN 235 menyebabkan rendahnya nilai tambah

perusahaan yang pada akhirnya tidak memiliki pendanan untuk melanjutkan

upgrading teknologi, baik N 250 maupun pesawat jet N 2130 sekelas ERJ 145. 480

Jika menengok keberhasilan Embraer-Brazil, terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan Embraer memiliki kemampuan dalam pemasaran pesawatnya, baik

EMB 110, EMB 120 dan ERJ 145 yang masing-masing sekelas dengan NC 212, N

250 maupun N 2130. Pertama, periode 1976-1994 yaitu sebelum privatisisasi, yaitu

pada tahap pengembangan EMB 110, EMB 120 dan pada empat tahun pertama proses

pendesainan dan produksi ERJ 145, pengadaan pesawat terbang Embraer dapat

dilakukan melalui pengadaan militer terutama pada tahap launcing/pemasaran

perdana (lihat tabel 6.10). Sejak tahun 1999, walaupun pengadaan pesawat tidak lagi

dilakukan dengan pengadaan militer sebagai konsekuensi dari privatisasi, namun

demikian, pengadaan pesawat masih bisa dilakukan dengan lembaga pemerintah

seperti FINEP, Bank BNDES (National Bank for Economic and Social Development)

476 Ibid.h.73 477 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/05/110509_pesawatcina.shtml 478 Lihat kembali Tabel 1.7 Penjualan CN 235 dari 2002-2012 di Bab I, h.23 479 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 41 480 Namun untuk pada pengembangan N 250 dan N 2130, sejatinya telah dipersiapkan

sejumlah strategi bisnis untuk perakitan dan pemasarannya lihat kembali Gambar 4.1 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat Terbang PT DI Era Orde Baru – Era Saat ini

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 222: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

200

Universitas Indonesia

dan Banco do Brasil.481 Ketiga lembaga tersebut diarahkan untuk mendukung

kegiatan ekspor pesawat secara khusus, dan produk teknologi Brazil secara umum.482

Bahkan, selain ketiga lembaga pendanaan tersebut, pemerintah memperkuat

dukungan pendanaan untuk mendukung industri Embraer melalui dibentuknya

konsorsium investor domestik.483

Faktor kedua, adalah sebagai bentuk dukungan untuk penetrasi pasar

internasional, pada tahun 1991, pemerintah Brazil mengeluarkan Kebijakan ProEx,

yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar

negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brazil sejak juni tahun

1991-1999.484 Kebijakan Pro Ex tersebut kemudian menjadi salah satu faktor dari

keberhasilan pemasaran ERJ-145 terutama di pasar internasional.485Selain kuatnya

dukungan pemerintah, dua aspek lain yaitu pada level manajemen juga menjadi faktor

keberhasilan pemasaran Embraer adalah: Pertama, dengan dibantu oleh Tim dari The

Aerospace Technical Center-CTA, Embraer membentuk system broker yang disebut

Ozira Silva.486 Tim tersebut bertugas untuk:

1. Menemukan segmentasi pasar (menganalisis jenis pesawat yang cocok

untuk infrastruktur bandara yang sangat sederhana).

2. Menemukan channel-channel pendanaan untuk desain pesawat

3. Mendirikan satu perusahaan yang bertugas untuk menjamin

komersialisasi pengembangan inovasi pesawat.

4. Menciptakan jejaring-jejaring baru untuk mencari sumber-sumber

permodalan (seperti mendapatkan dukungan pemerintah untuk proses

launching pesawat baru; atau insentif-insentif pajak perusahaan; atau

mengembangkan satu model kolaborasi atau konsorsium dll).

Kedua, setelah Embraer di privitasisasi tahun 1994, Manajemen Embraer

semakin memperkuat strategis bisnisnya dengan menempuh tiga langkah sebagai

481 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29. 482 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 39 483Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29. 484 David Pritchard, 2010.loc.cit. h.10 485 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, tanpa tahun. loc.cit. h. 10 486 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.25

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 223: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

201

Universitas Indonesia

berikut: Pertama, melakukan sharing dana pengembangan dengan para Industri

supplier komponen terutama dengan industri-industri supplier internasional; kedua,

mengembangkan jejaring atau “klaster” industri pengembangan pesawat; dan ketiga

adalah mengembangkan core business yang semula hanya sebagai aircraft designer

juga sebagai system assembler. 487

487 Ibid. h.29

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 224: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

202

Universitas Indonesia

Tabel 6.8 Jumlah Penjualan Pesawat IPTN vs Embraer

IPTN Embraer Pesawat Tahun

(terjual). Pembeli/Pasar Pesawat Tahun

(terjual) Pembeli/Pasar

NC 212 488versi sipil/militer

-1976-1994 (92 unit terjual).489 -1976-2002 (94 unit terjual).490

Operator Domestik: Merpati491, TNI AU/AL, Operator Luar Negeri: Thailand. TNI AU dan Angkatan Udara Spanyol;Penjaga Pantai AS;Angkatan Udara Spanyol; Angkatan Udara Kerajaan Thailand,Tentera Udara Diraja Malaysia; Tentera Udara Diraja Bruney; Angkatan Udara Pakistan; Angkatan Udara Afrika Selatan; Angkatan Udara Turki; Angkatan Laut Turki

EMB 110 1969-1983 (3.983 unit)

Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar domestik, bahkan pada tahun 1975, EMB 110 menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestic.492 Operator: Brazil, Canada, Cook Island, Cuba, Guetamala, Ghana, UK, Honduras, Ireland, Kenya, US, Norway, Venezuela, Iran dll.493

CN 235 versi sipil494/militer/misi khusus

-1979-1994 (28 unit terjual).495 -1979-2002 (47 terjual).496 -2002-2012

Operator: Korea Selatan, Bukirna Faso, Senegal, Malaysia dan Pakistan, Thailand, United Emirate Arab, TNI AL; TNI AU dan Angkatan Udara Spanyol Penjaga Pantai Amerika Serikat; Angkatan Udara Spanyol; Angkatan Udara Kerajaan Thailand; Tentera Udara DirajaBruney; Angkatan Udara

EMB 120

1985-1999 (354 unit).498

Pesawat EMB 120 memenuhi 1/3 dari total pasar pesawat dunia dikelasnya.499. Operator: Angola, Australia, Brazil, Equador, Hungary, Mexico, Moldova, Nigeria, Rusia, Turki, US, Venzezuela dll.500

488 Daniel Vertesy and Adam Szirmai (2010), h.70 489 BJ, Habibie (1994), Progress Report. op.cit. h. 69-73 490 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 491 Ibid.; NC 212 pernah dipakai oleh beberapa perusahaan penerbangan nasional seperti: Pelita Airline, Bouraq Indonesia, lihat:

http://rzjets.net/aircraft/?typeid=137. 492 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 493 http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_110_Bandeirante 494 Untuk versi sipil, di tahun 1986, CN 235 buatan PT DI pernah dipakai oleh Merpati Airliner sebanyak 15 unit, lihat:

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/05/110509_pesawatcina.shtml 495 Ibid.h.73 496 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 225: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

203

Universitas Indonesia

(12 unit).497 Pakistan; Angkatan Udara Afrika Selatan; Angkatan Udara; Turki;AL Turki

N 250 Dihentikan dan tidak survive

Pada saat itu, IPTN baru menerima pesanan untuk N 250 yaitu:sejumlah 100 pesawat dari Merpati, 62 dari Bouraq dan 16 dari Sempati. Padahal , dengan harga pesawat USD 13,5 juta,untuk meraih titik impas, IPTN harus memasarkan sedikitnya 259 unit pesawat.501

N 2130-Jet - ERJ-145 1989-1999 (132 unit pert tahun).502

American Eagle; British Regional; rtugalia;Regional; Rio Sul; Siv Am; Wexford; Continental Express (“COEX”); Trans States; Luxair; City Airlines.503

498 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 499 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 500 http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia 497 Lihat kembali Tabel 1.7 Penjualan CN 235 dari 2002-2012 di Bab I, h.23 501 Media Indonesia Minggu (1995), Edisi 13 Agustus 1995. Membawa Gatotkoco ke Pasar. Diakses lewat http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html 502 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.9 503 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 3

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 226: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

204

Universitas Indonesia

Diantara faktor yang menyebabkan rendahnya minat pasar pada pesawat

terbang hasil karya IPTN, baik dalam negeri maupun luar negeri504 sebagaimana

tersaji dalam tabel 6.9 adalah: pertama, rendahnya komitmen pemerintah dalam

menggunakan produk pesawat hasil produksi IPTN. Kedua, sistem leasing

pesawat atau kredit ekspor dari perbankan nasional untuk pengadaan pesawat

terbang yang belum tersedia begitu juga dengan kemudahan kredit untuk industri

komponen pesawat dalam negeri. Ketiga, lemahnya kemampuan pemasaran IPTN

terutama pada era orde baru.505

Tabel 6.10 Perbandingan IPTN Indonesia vs Embraer Brasil

Aspek IPTN Indonesia Embraer Brazil

SDM/Sarana

Pengujian

Sampai tahun 1995, jumlah SDM IPTN mencapai 16.000 personil506 dari sekitar 860 SDM pada tahun 1976. Data 2011 meunjukkan bahwa SDM PT DI hanya berjumlah 4.190 orang, dengan perincian aero structure 1.688 orang, aircraft integration 800 orang, aircraft service 363 orang, dan teknologi dan pengembangangan 851 orang.507 Data 2013 menunjukkan bahwa karyawan PT DI lebih kurang 3000an. Dan separuhnya (lima tahun kedepan) akan segera pensiun. Fasilitas uji: Fasilitas industri komponen masih berfungsi baik, fasilitas uji desain tidak banyak digunakan lagi hanya Wind Tunel Test dan EMC namun untuk skala kecil, dan fasilitas design S/W lebih baik, serta design procedure dan configuration Management sedang dipersiapkan untuk memenuhi standar Airbus.

Pa tahun 1974: sekitar 3500 orang Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun, h.10) Saat ini sekitar 17.009 orang (http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. Bahkan di tahun 2007 jumlah SDM pernah mencapai 22500.509 Fasilitas pengujian penerbangan di Gavião Peixoto, São Paulo, dengan fasilitas landasan pacu sepanjang 16.400-kaki (5.000 m), terpanjang keempat di dunia.510

504 Habibie, 1995. op.cit. h.289-291 505 Yuwono, Agustus 2001. op.cit. h.46. 506 Habibie, 1995. op.cit. h.281 507 Hasil Lokakarya DEPANRI, November 2011. h.2

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 227: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

205

Universitas Indonesia

Namun iron bird test, Secara keseluruhan fasilitas uji yang dapat digunakan untuk proses upgrading N 250 maksimal 30%.508

Laba/rugi Sejak 1976-1994, pertumbuhan laba/rugi perusahaan sangat rendah, bahkan di tahun dimulainya program N 250 yaitu di tahun 1986/1987, pertumbuhan laba ruginya negatif.511

Mengalami kerugian512 sepanjang tahun 1980an hingga 1990an, hingga akhirnya sejak 1998 perusahaan tersebut kembali profitable.513

Kemampuan Produksi

Kemampuan produksi sangat lemah. Sejak 1977 hingga 1993, pesawat NC 212 hanya diproduksi sekitar 95 pesawat atau hanya 16 unit pertahunnya.514 Adapun CN 235 yang terbanyak hanya versi militer itupun pasar terbesar adalah luar negeri. dan dalam kurun waktu 10 tahun, sejak tahun 1987, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat CN 235.515Selanjutnya N 250 hanya diproduksi 2 unit. Hingga saat ini kemampuan produksi hanya sekitar 12 pesawat per tahun.516

Kemampuan produksi sudah sangat tinggi karena sejak tahun 1969 mulai proses produksi pesawat EMB-110 Bandairente turboprop versi militer dan maiden flight tahun 1968, dan tahun 1983 telah memproduksi 3.983 Pesawat (265 pesawat per tahun) Khusus untuk produksi EMB 120 yang merupakan upgrading dari EMB 110 diproduksi sejak 1985-1999 sekitar 354 pesawat.517 EMB 120 walaupun mengalami penurunan produkis karena krisis perusahaan sebagai akbiat dari resesio global, namun pesawat tersebut cukup sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.518

Kegiatan Litbang Selain kerjasama dengan BPPT dan ITB, untuk pengembangan N 250 adalah dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian dasar dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu

Sinergi litbang antara ABG sudah berjalan, baik, dengan engineer dari Jerman dan Universitas dan lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, dari Amerika.521

509 Embraer, Frischtak 1992, Ramamurti 1987, Cassiolato 2002 dikutip oleh Daniel Vertesy and

Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23 510 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. 508 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014, loc.cit 511 B J Habibie, 1994,op.cit. h.91 512 Kerugian tersebut disebabkan oleh resesi ekonomi global dalam kurun 1990-1994 lihat Daniel

Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.27-28 513 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10-11 514 Ibid.h.81 515 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan. 25 Tahun

PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. 516 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang Pengembangan R-80, tanggal 03 Oktober 2014. 517 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 518 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 228: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

206

Universitas Indonesia

aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu dsb519. Di tahun 2013, PT DI mengalokasikan dana riset hanya sekitar 1% dari total omset PT DI (Rp. 3 Triliun) yaitu sekitar Rp. 30 Miliar).520Dari N 250, hanya 1 Paten yang diperoleh PT DI adalah pada desain, dan saat diberhentikan paten tersebut milik pemerintah.

Transformasi Struktur Global Value Chain

Sejak 1976-1999 N 250 bersifat hierarki karena dukungan pemerintah sangat kuat walaupun procurement tidak bisa dengan pengadaan militer Sejak 1999-sekarang lebih ke Modular (market driven), setelah direstrukturisasi dukungan pemerintah melemah dibandingkan dengan era orde baru.

Dari Hierarkis -Vertically integrated dengan ciri selain dukungan pendanaan riset pemerintah dll adalah pengadaaan pesawat melalui pengadaan militer terutama pada tahap launcing pesawat baru (sejak 1969-1994) ke model Network (Modular) sejak Tahun 1994-Sekarang ditandai dengan era privatisasi, pada era ini beberapa implikasi strategi bisnis yang dilakukan adalah:522 1. Melakukan sharing dana

pengembangan dengan para Industri supplier komponen

2. Mengembangkan jejaring atau “klaster” industri pengembangan pesawat

3. Mengembangkan core business yang semula hanya aircraft designer ke arah menjadi system assembler juga

Namun setelah privatisasi, pengadaan pesawat tidak lagi dengan pengadaan militer tetapi melaui FINEP dan BNDES yang juga didukung melalui konsorsium investor domestik.523

Sumber: Diolah dari Dahlman dan Frischtak 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010 dll

521 Embraer juga melakukan supplier’s risk sharing investments produser besar pesawat terbang

kecil di Amerika Serikat yaitu Piper, lihat di David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 519 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari Kebangkitan

Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2

520 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Komunikasi PT DI Sony Ibrahim, pertama ketika peneliti melakukan kunjungan karyasiswa Kemenristek ke PT DI pada bulan november 2013 dan kali kedua melalui interview via telpon pada februati 2014. Lihat lampiran 9. no.11.1

522 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29 dan h.85 523 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 229: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

207

Universitas Indonesia

6.1.3.2. Analisis Aktivitas Pendukung Rantai Nilai IPTN dalam

Pengembangan N 250

6.1.3.2.1. Analisis Manajemen perusahaan IPTN dalam pengembangan N 250

Sejatinya pada zaman orde baru, IPTN telah mencanangkan pembentukan

sistem manajemen industri modern yang rencananya akan terealisir ketika IPTN

berusia 10 tahun yaitu di tahun 1986, namun tidak nyatanya tidak tercapai.524

Secara umum gaya manajemen IPTN pada saat itu termasuk pada saat

pengembangan N 250 cenderung “top down”, gaya manajemen top down tersebut

tidak diimbangi oleh adanya sense of responsibility dari kalangan direktur dan

pimpinan teras lainnya. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan sering kali

dilakukan secara “single handed”. Gaya kepimpinan tersebut memiliki latar

belakang. Pertama, Pak Habibie merasa dirinya (dan memang demikian halnya)

sebagai pengemban Tunggal Tugas Mulia yang diberikan oleh Kepala Negara,

dan oleh karena itu merasa dirinya adalah satu-satunya yang paling bertanggung

jawab. Kedua, Habibie, jugalah yang membuat skenario (strategi) tentang

bagaimana IPTN harus dikembangkan sesuai dengan visinya525, bahkan tidak

hanya IPTN, Habibie juga dipaksa untuk mampu membuat skenario dan

memimpin sembilan industri strategis lainnya.526

Suatu analogi yang khas pernah disampaikan oleh Habibie sendiri, bahwa

IPTN diibaratkan sebagai “symphony orchestra” dimana Habibie berperan sebagai

“conductor” atau dirgennya dan sekaligus sebagai pembuat partiturnya yang

sudah ditentukan. Pengumpaman itu tentunya adalah bermakna suatu “team work”

yang kompak dan harmonis. Namun efek samping yang terjadi adalah peranan

Sang Dirgen disatu pihak menjadi sangat dominan, sedangkan dilain pihak

pemain orkes menjadi kehilangan inisiatif. Dampak dari gaya manajemen tersebut

adalah bahwa para Direktur dan pimpinan teras lainnya menjadi kurang memiliki

“sense of responsibility” dan cenderung berorientasi vertikal, dalam arti kata

bahwa segala sesuatu dilaporkan kepada Direktur Utama (Habibie) tanpa melalui

konsultasi terlebih dahulu secara horisontal (staf deliberation).

524 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45 525 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.46, 526 Ceramah Ilmiah Habibie, dalam Hakteknas 19, pada tanggal 8 Agustus 2014, lihat lampiran

Lampiran 10. no.24. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 230: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

208

Universitas Indonesia

Gaya manajemen top down yang kurang diimbangi dengan bottom up feed

back atau arus informasi dua arah ternyata telah berdampak: Pertama, kurangnya

“sense of responsibility” tersebut telah menyebabkan tidak terkontrolnya

transaksi-transaksi yang sarat akan praktek rent seeking dan opportunistic

behavior pada proses pengadaan komponen pesawat terbang, hal ini sebagaimana

diakui oleh salah seorang yan pernah terlibat langsung dalam proses pengadaan

komponen pesawat terbang IPTN.527

Kedua, gaya manajemen top down tersebut juga telah mengakibatkan

timbulnya kesenjangan sosial yang cukup serius yang akhirnya membuahkan

perubahan dalam tatanan kerja antara Karyawan dan Manajemen. Salah satu

contoh adalah kebijakan dalam menentukan tunjangan khusus atau Ausser Tarrif

(AT). Yaitu perlakuan tunjangan yang berbeda antara unit-unit organisasi yang

melakukan “core mission/business” dengan unit-unit organisasi yang hanya

melaksanakan tugas-tugas penunjang (supporting unit). Perlakuan semacam itu,

apalagi tanpa adanya sosialisasi yang baik telah menghilangkan rasa kebersamaan

sesama karyawan.528

Senada dengan itu, tentang kelemahan manajemen juga diakui oleh Chandra

Adenan (2001)529 salah seorang mantarn Engineer IPTN pada era orde baru,

Chandra mengatakan:

“bahwa salah satu indikator lemahnya manajemen IPTN pada waktu itu

adalah tidak adanya busines sense di tingkat puncak sehingga masalah yang

dihadapi dianggap biasa dan tidak mengalir ke tingkat bawah. Segala macam

usaha koordinasi hanya menghasilkan kekacauan baru, karyawan tidak siap

memasuki dunia bisnis yang keras. Yang terjadi hanyalah saling menyalahkan dan

saling lempar tanggung jawab, masing-masing divisi hanya memikirkan eksistensi

dan superiornya masing-masing sehingga bisnisnya jadi semakin tidak jelas.530

Nah, rencana pembuatan N 250 adalah dilatarbelakangi oleh kondisi manajemen

527 Diskusi informal dengan Anang Witjaksono, Head of Ref Office Jasa Raharja dan salah

seorang yang pernah terlibat dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN pada awal tahun 1990an, di gedung Mochtar-PGT Cikin UI, pada tanggal 11 Desember 2014, lihat lampiran 9. no 37.

528 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.46, Wawancara dengan Staf Ahli Kemenristek Bidang Hankam, Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Dr Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014.

529 Ibid. 530 Chandra Adenan (2001). h.70

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 231: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

209

Universitas Indonesia

sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh karena itu, timing pengembangan N

250 apalagi rencana N 2130 dianggap direalisasikan pada saat yang tidak tepat

terutama kalau dilihat dengan kegagalan penjualan CN 235 yang sudah

menghabiskan jutaan hingga milyaran dolar.”

Al haasil, bahwa manajemen IPTN terutama pada saat pengembangan N

250 dikelola dengan tidak professional, jajaran direksi pada waktu itu umumnya

diduduki oleh mereka-mereka yang mempunyai banyak pekerjaan lain dan tidak

dengan sungguh-sungguh memperhatikan (berkonsentrasi) pada pekerjaannya di

perusahaan. “Teladan” yang demikian ini membuat karyawan dalam tingkat lebih

bawah juga menganggap bahwa kerja di IPTN dapat dilakukan sebagai sambilan,

sehingga mengakibatkan banyak di antara mereka yang mengikuti “keteladanan”

tersebut dengan melakukan moon ligthting di tempat lain, bahkan yang merugikan

perusahaan, yaitu mereka yang memanfaatkan asset perusahaan untuk

kepentingan pribadi.531

Dari ulasan diatas, diketahui bahwa walaupun Habibie sangat lihai dalam

membuat partitur (skenario), namun Habibie pada saat itu belum memainkan

perannya sebagai Sang Dirgen yang baik. Lemahnya fungsi dirgen tersebut

diperparah lagi dengan banyaknya tugas yang rangkap yang dipikul oleh Sang

Dirgen waktu itu, lebih kurang 30 tugas rangkap yang dipikul Habibie pada masa

orde Baru.532 Walaupun Habibie mengakui jabatan rangkap tersebut terutama

pada industri strategis selain IPTN adalah “dipaksa” oleh Presiden Soeharto waktu

itu, tentang ini Habibie533 pernah mengatakan:

“Sebenarnya saya sekembali dari Jerman hanya ingin fokus untuk

mengurusi IPTN, namun Pak Harto memaksa saya untuk memegang semua

industri seperti: industri kapal, Kereta Api.....)”

Namun demikian terlepas dari faktor lemahnya fungsi dirgen tersebut, tidak

fokusnya Habibie juga menjadi faktor yang sulit terbantahkan yang menyebabkan

fungsi Dirgen tadi tidak berjalan dengan baik. Hal ini juga diungkapkan oleh salah

531 Djasli Djamarus (2001). PT IPTN yang saya tahu dan PT DI yang saya harapkan. 25 Tahun

PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.76 532 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.47 533 Lihat Ceramah Ilmiah Habibie, dalam Hakteknas 19, pada tanggal 8 Agustus 2014, lihat

lampiran Lampiran 10. no.24. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 232: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

210

Universitas Indonesia

seorang mantan engineer IPTN, yaitu Grek yang saat ini berkerja untuk

Perusahaan Boeing Amerika Serikat. Dalam kesempatan berdialog dengan

Habibie dalam acara Rossi, 2 September 2010 di Global TV, Grek mengatakan:

“saya yakin (kalau) Pak Habibie konsentrasi penuh ke IPTN atau PT

DI, ini bakal meningkatkan motivasi dan moral karyawan PT DI sekarang, dan

saya yakin, kita pasti bisa membangkitkan industri dirgantara Indonesia lagi...”.534

6.1.3.2.2 Analisis Pengembangan SDM, Infrastruktur & Keuangan IPTN

Strategi IPTN dalam pengembangan SDM dinilai masih lemah, khususnya

dalam pemberian beasiswa. Diketahui bahwa IPTN memberikan beasiswa di

sekolah/universitas yang kurang berkualitas diluar negeri, tanpa bersungguh-

sungguh memilih sekolah/universitas terbaik.535 Padahal pemilihan universitas

terbaik sangat penting baik untuk memperoleh jaringan research and development

terbaik maupun untuk memperoleh jaringan lobby yang kuat di negara

bersangkutan, karena umumnya para alumni dari lembaga pendidikan terbaik

disuatu negara, menempati posisi penentu kebijakan dinegara tersebut.

Dalam proses pengembangan pesawat terbang, peningkatan kemampuan

SDM IPTN dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang adalah

dilakukan melalui empat strategi: yaitu kemampuan menggunakan teknologi

dalam proses produksi barang dan jasa, kemampuan integrasi teknologi yang telah

ada kedalam desain dan produksi, Pengembangan teknologi desain dan produksi

dan riset industri.536 Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM tersebut, IPTN

bekerjasama baik dengan ITB, BPPT dan Universitas atau Lembaga Riset

Internasional.537

Ketika IPTN memulai proyek NC 212 di tahun 1976, jumlah SDM hanya

sekitar 860 karyawan, namun ketika IPTN memasuki tahap upgrading II yaitu

pengembangan CN 235, jumlah karyawan IPTN menjadi 3.162 orang. Selanjutnya

534 Wawancara yang dilakukan Rosianna Silalahi oleh Global TV dalam acara Rossi, 2

September 2010, http://www.youtube.com/watch?v=n5Y5eWbNVEg. Lihat lampiran 9. no. 35.2 535 Kardono (2001). Fokus PT DI dalam rangkat industri penerbangan untuk meraih keunggulan.

h.116 536 Harijono Djojodihardjo dan Darwin Sebayang, 2000. Pembudayaan Iptek melalui

pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.

537 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 233: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

211

Universitas Indonesia

dalam rangka pengembangan N 250 yang merupakan tahap III yaitu di tahun

1987, jumlah karyawan IPTN naik hingga menjadi 13.300 orang. 538 Penambahan

tersebut dilakukan karena dipersiapkan untuk melakukan tahap keempat yaitu

pengembangan N 2130. Dari total tersebut masih didominasi dengan pendidikan

SI kebawah, sedangkan SDM dengan pendidikan S2 dan S3 hanya sekitar

masing-masing 37 dan 41 orang.539 Penambahan tersebut semakin tinggi, hingga

mencapai 16.000 personil540.Sedangkan SDM Embraer, yaitu pada tahun 1969,

ketika Embraer mendesain pesawat EMB 110, SDM Embraer hanya sekitar 589

orang, dan selanjutnya pada tahun 1985, dalam rangka pengembangan EMB 120

sekelas N 250, SDM Embraer hanya sekitar 6,877 orang, yaitu lebih dari dua kali

lipat yang terjadi dengan IPTN ketika pengembangan untuk N 250. Sebagaimana

yang terjadi dengan IPTN, ketika terjadi krisis ekonomi pada periode 1990-1997,

khususnya di tahun 1994, Industri Embraer mengambil kebijakan untuk

mengurangi SDMnya hingga tersisa sekitar 1.200 orang (lihat tabel 6.10).541 Data

terakhir yang diperoleh menunjukkan bahwa pada tahun 2013, SDM Embraer

hanya sekitar 17.009 orang.542

538 Vertesy dan Szirmai ( 2010),loc.cit. h.68 539B J Habibie, 1994., Progress Report 1974-1994. h. 86-87 540 BJ Habibie, 1995. loc.cit. h.281 541 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010. loc.cit. h.27. 542 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 234: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

212

Universitas Indonesia

Tabel 6.10 Perbandingan SDM, Keuangan,dan Produktivitas IPTN vs Embraer (Thousand USD at constant = 2000 prices)

Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010 ( 2010), h.68.

Dari sisi keuangan (Gambar 6.8), ketika IPTN melakukan

pengembangan N 250 yaitu di tahun 1987, dengan jumlah SDM yang dimiliki

adalah sekitar 12 596 orang, kondisi keuangan IPTN yang dilihat berdasarkan

profit dan investasi adalah masing-masing sebesar USD 1.800 dan USD 85.800.

Bahkan satu tahun sebelumnya, yaitu di tahun 1986, IPTN mengalami kerugian

sebesar USD -16.200. Namun total investasi pada tahun 1986 mencatatkan nilai

tertinggi sepanjang periode 1976-1989 yaitu sebesar USD 205.900 (Tabel 6.8).

Sedangkan Embraer Brazil, ketika tahun 1985 Embraer mendesain EMB 120,

kondisi keuangan Brazil sangat menjanjikan, dengan total tenaga kerja sekitar

1500 orang, perusahaan mendapatkan revenue sekitar USD 250 juta dari ekspor

pesawat terbang (Gambar 6.8), dan USD 300 juta dari total penjualan pesawat.

Setelah melewati periode krisis keuangan akibat dari resesi global yaitu selama

tahun 1990-1997, selanjutnya sejak tahun 1998 hingga 2007, secara keseluruhan

baik dilihat berdasarkan penjualan pesawat maupun ekspor pesawat terbang

mengalami peningkatan yang cukup tajam.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 235: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

213

Universitas Indonesia

Gambar 6.8 Tingkat Eksport dan Penjualan Pesawat serta SDM Embraer

1970-2007. (Million USD at constant = 2000 prices)

Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010.loc.cit, h.23

Dana penelitian pengembangan pesawat terbang IPTN khususnya untuk

pengembangan N 250 adalah lebih mengandalkan pada pendanaan pemerintah

yaitu melalui kerjasama dengan BPPT, LIPI dan ITB. Oleh karena itu, investasi

di sektor penelitian adalah diutamakan untuk penelitian terapan. Sejak tahun

1993-1998, penelitian terapan dengan tema pesawat terbang menduduki peringkat

tertinggi dengan total anggaran riset mencapai Rp.14 triliun dibandingkan tema

lain yang tergolong pada PUNAS bidang rancang bangun.543

Diantara hasil riset PUNAS-RUT khususnya RUT V (Tahun Anggaran

1998) dan IV (Tahun Anggaran 1997) yang telah dimanfaatkan untuk

pengembangan N 250 adalah penelitian perancangan, pembuatan dan pengujian

boks komposit dalam proses perancangan dan analisis struktur utama pesawat

terbang N 250. Riset tersebut merupakan kolaborasi antara Kementerian Ristek,

BPPT dengan IPTN.544Namun, sebagai konsekuensi logis pendekatan riset yang

dilakukana IPTN diatas menyebabkan tidak adanya paten individu yang

543 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II

RUT, lihat kembali Bab IV. h.140 544 Buku Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001 dan lihat kembali Bab IV h.115-117

tentang PUNAS.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 236: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

214

Universitas Indonesia

dihasilkan PT DI dari pengembangan N 250 selain paten untuk pengembangan

desain.545

Gambar 6.9 Belanja dan intensitas litbang Embraer, 1983-2007

(Million USD at constant = 2000 prices) Sumber: Vertesy dan Szirmai ( 2010), h.28

Berbeda halnya dengan Embraer, selain mendapatkan dukungan pendanaan

riset dari lembaga pemerintah seperti FINEP maupun The Special Sectariat for

Science and Technology546, alokasi dana riset dalam internal perusahaan sendiri

cukup besar terutama untuk pengembangan EMB 120. Dua tahun sebelum

program pengembangan EMB 120 yaitu dari tahun 1983 dan 1984, belanja

penelitian dan pengembangan Embraer sangat tinggi yaitu masing-masing sekitar

USD 10 juta; USD 20 juta. Pada tahun 1985, anggaran litbang Embraer naik

secara signifikan hingga mencapai USD 80 juta (Gambar 6.9).

545 Lihat wawancara dengan Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology &

Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.22.6 546 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; David Pritchard, 2010. loc.cit, h.10;

Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc.cit. h.29.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 237: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

215

Universitas Indonesia

Gambar 6.10. Jumlah Paten Granted dalam Bidang Aerospace

Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, h.28

Tingginya intensitas riset Embraer tersebut kemudian menjadi salah satu

faktor yang turut menaikkan perolehan paten granted secara nasional khususnya

dibidang aerospace. Tiga tahun sebelum pengembangan EMB 120, perolehan

paten khususnya yang diajukan oleh peneliti-peneliti Brazil mengalaman

kenaikan, dari sekitar dua paten yang dihasilkan masing-masing pada tahun 1983

dan 1984, kemudian naik menjadi 8 paten yang dihasilkan tahun 1985. Tiga tahun

setelah pengembangan EMB 120, yaitu pada tahun 1987, perolehan paten semakin

naik hingga menjadi 11 paten (Gambar 6.10).

6.1.3.2.3 Analisis Pengembangan Teknologi untuk Pengembangan N 250

IPTN

Pada zaman orde baru, pengembangan pesawat N 250 sebenarnya dilakukan

dengan pendekatan open innovation547 yaitu dengan memanfaatkan hasil

penelitian dasar dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam

bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi

ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi,

547 Uraian tentang Open Innovation dapat dilihat pada Bab II h. 69-71

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 238: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

216

Universitas Indonesia

ilmu pengendalian mutu dsb548. SDM yang terlibat dalam pengembangan tersebut

adalah merupakan kerjasama antara ITB, BPPT dengan PT DI. Bahkan dalam

rangka Ditching Test N 250, yaitu suatu test kemampuan ngambang di air

dilakukan di Inggris.549

Sedangkan strategi yang dilakukan Embraer adalah secara prinsip tidak

berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh IPTN paling tidak dalam memanfaatkan

hasil-hasil riset dari luar perusahaan. Namun, perbedaan yang sangat mencolok

adalah pada dua hal. Pertama, kegiatan riset baik dasar maupun terapan sangat

intens dilakukan dalam internal perusahaan Embraer, hal ini ditunjukkan dengan

besarnya alokasi dana riset serta perolehan paten grantednya. Kedua, intensitas

riset internal perusahaan tersebut juga ditopang dengan kemampuan dalam

membangun jejaring internasional terutama dalam memanfaatkan sumber-sumber

daya asing. Hanya saja dibandingkan IPTN, Embraer lebih intens dalam

melakukan kerjasama tersebut, mulai dengan team of German aeronautical

engineers-Jerman, lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, perusahaan

Aeronautica Macchi S.p.A.,Italia.550 bahkan dengan General Aviation dan Piper

dari Amerika Serikat.551 Secara lebih khusus, sebelum mendesain EMB 120,

Embraer yang didukung oleh Pemerintah Brazil meningkatkan kemandirian dalam

hal kemampuan teknis, manajerial, kegiatan produksi, kemampuan memasarkan,

dan juga kemampuan memasok pasar domestik melalui strategi supplier’s risk

sharing investments.552 Strategi tersebut dilakukan untuk menurunkan biaya

kegiatan penelitian dan pengembangan dan sekaligus mendapatkan sumber

teknologi baru (reduced R&D costs for Embraer and became an important new

source of technology).553

548 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI

KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2

549 FGD III yang diadakan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014 550 Embraer juga melakukan supplier’s risk sharing investments produser besar pesawat terbang

kecil di Amerika Serikat yaitu Piper, lihat di David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 551 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24-25; David Pritchard, September 2010.

loc.cit.h.10 552 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit h.29.; Paulo N. Figueiredo (2007).

Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, h.33, University of Oxford, Department of International Development. Dan secara lebih detail akan dijelaskan pada hal 193

553 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit h.29

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 239: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

217

Universitas Indonesia

6.1.3.2.4 Analisis Strategi Pengembangan Diferensiasi Pesawat

Dalam kasus IPTN, pesawat hasil rancangan tiap tahapan upgrading yaitu

mulai dari NC 212, CN 235 yaitu berkisar antara 24 hingga 35 penumpang,

pesawat N 250 memiliki dua versi yaitu 50 dan 70 penumpang dan rancangan

pesawat long range Jet N 2130 dengan kapasitas diatas 100 penumpang. Jika

menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang ditunjukkan oleh

pengalaman Embraer Brazil (Tabel 6.7) diketahui bahwa proses upgrading baik

dari pesawat lisensi ke pesawat turboprop desain sendiri, maupun dari turboprop

ke Jet tidak serta merta harus beriringan dengan peningkatan kapasitas

penumpang. Oleh karena itu, EMB 110 dan EMB 120 masing-masing hanya

berkapasitas 19 dan 30 penumpang, bahkan pesawat ERJ 145 jenis jet memiliki

dua versi, yaitu pertama dikelas ERJ 145 (Jet) versi 50 penumpang, dan yang

menarik adalah pada versi kedua Embraer justru mengeluarkan versi ERJ 145

versi 37 penumpang.

Srategi diferensiasi pesawat dengan kapasitas penumpang kecil ternyata

cukup berhasil mengantarkan Embraer kembali mencetak keuntungan.554

Bandingkan dengan Indonesia, sebelum benar-benar pesawat N 250 berhasil

mendapatkan sertifikasi FAA dan layak secara ekonomis, manajemen melauncing

rencana pengembangan pesawat long range jet N 2130. Padahal pengumuman

rencana pengembangan N 2130 tersebut adalah dapat diartikan: pernyataan

persaingan langsung dengan produsen kelas dunia yaitu Boeing dan Mc Donnel

Douglas waktu itu (sebelum mereka merger) yang telah memiliki posisi yang

sangat kuat terhadap jaringan pemasok (suppliers) maupun pelanggan (customers)

untuk pesawat kelas ini.555

Kekhawatiran tersebut terbukti, jika melihat kasus Embraer. Pada saat

Embraer mulai bermain pada kelas 100 penumpang keatas, yaitu ERJ 170, yaitu

khususnya sejak periode 2002-2007, pasar pesawat tersebut sangat rendah

dibandingkan dengan dua pesawat sebelumnya yaitu EMB 110 dan EMB 120.

Produksi ERJ-170 yang menjadi pesaing Boeing dan AirBus masing-masing

adalah hanya 10 unit pada tahun 2002; 0 unit pada tahun 2003,; 40 unit pada tahun

554 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 555 Kardono (2001). loc.cit. h.116

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 240: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

218

Universitas Indonesia

2004; 50 unit pada tahun 2005; 30 unit pada atahun 2006; dan semakin turun

hingga hanya 10 unit di tahun 2007.556

Selain diferensiasi kapasitas penumpang, pelajaran dari Embraer adalah:

pertama, Embraer tidak terburu-buru dalam hal penggunaan fitur teknologi

canggih seperti teknologi fly by wire. Dalam konteks Embraer, walaupun telah

naik ke pesawat jet, namun pada ERJ 145, Embraer belum menginstall dengan fly

by wire sebagaimana dengan N 250. Teknologi fly by wire tersebut baru dipasang

pada pesawat ERJ-170. Pada kasus IPTN, terpasangnya fly by wire pada N 250

tersebut selain telah menyebabkan harga pesawat tinggi juga menyebabkan

kompleksitas proses mendapatkan serfitikasi, baik FAA maupun EASA semakin

tinggi.557

6.1.4. Perbandingan Konseptual Model Konstruksi Tiga Level Hierarki

Proses Kebijakan Untuk Mendorong Upgrading Teknologi dengan Temuan

Lapangan

Dalam rangka rekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk

mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang, maka

berdasarkan analisis perbandingan konseptual model dengan temuan lapangan,

teridentifikasi beberapa temuan sebagai berikut:

i. Alur assesment atas outcome dari tiga level hierarki proses kebijakan

sebagaimana dalam model Bromley (1989) tidak serta merta hanya kembali pada

dua level teratas yaitu level kebijakan maupun level organisasi, bahkan evaluasi

kinerja suatu outcome dapat kembali pada perbaikan pada level industri itu

sendiri, hal ini dibuktikan dalam konteks upgrading PT DI, bahwa untuk

keberhasilan upgrading N 250 tidak hanya diperlukan perbaikan pada level

kebijakan maupun level organisasi, bahkan peningkatan kinerja pada level industri

sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri menjadi sangat

penting.

ii. Konsep kebijakan upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat

Terbang (Gereffi, Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada

konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka

556 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24 557 Ibid. h.81

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 241: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

219

Universitas Indonesia

peningkatan nilai tambah sektor dirgantara adalah: pertama, adanya umpan balik

antara level kebijakan dengan level organisasi dalam proses teknokratik dalam

penyusunan RPJPN maupun RPJMN. Proses teknokratik yang dimaksud adalah,

pada level sektor seyogyanya dapat memberikan masukan atau rekomendasi

dalam bentuk naskah akademik pembangunan iptek sektor dirgantara dalam

proses teknokratik penyusunan RPJPN maupn RPJPMN yang sebelum akhirnya

RPJPN maupun RPJM tersebut selanjutnya menjadi acuan kebijakan sektor dalam

penyusunan renstranya. Kedua, dukungan politik pemerintah dalam implementasi

kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi sangat penting, hal ini

membuktikan kebenaran Meriles S. Grindle558 (1980) terkait pentingnya kekuatan

politik aktor kebijakan dalam proses implementasi suatu kebijakan.

iii. Studi ini juga membuktikan bahwa tingginya intervensi pemerintah baik

sebagai regulator dan terutama sebagai pasar utama sebagaimana penelitian

Garrefi sendiri pada industri IBM tidak serta merta dikarenakan hanya karena

lemahnya kemampuan leadfirm dalam mengkodifikasi produk sebagaimana

karakteristik dari tipologi Hierarki.

6.2 Tindakan Perbaikan (Action to Improve the Problem Situation)

Dalam tahap keenam SSM, peneliti menentukan perubahan untuk

meningkatkan situasi problematik. Perubahan ini harus diinginkan secara sistemik

dan disepakati di antara para peneliti (academic advisors, SSM Practisioner dan

academic reviewers). Penentuan perubahan ini dapat berupa rekomendasi yang

searah dengan research interest penelitian. Kerangka uprading dalam GVC Tigal

Level memerlukan sintesa dengan kerangka Tigal Level Hierarki Kebijakan.

Setiap level mempunyai logika sistem sendiri sehingga tataran itu bisa berjalan

dengan baik, namun setiap tataran dipengaruhi dan mempengaruhi tataran lain.

Satu dengan yang lain saling terhubung Institutional Arrangement. Berdasarkan

temuan lapangan, bahwa perubahan yang dilakukan pada masing-masing level

adalah sebagai berikut:

558 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 242: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

220

Universitas Indonesia

6.2.1. Perbaikan Pada Level Kebijakan

Berdasarkan perbandingan antara konseptual model dengan dunia nyata

dalam level kebijakan upgrading N 250, ada beberapa masukan yang harus

dilakukan adalah: pertama, mempertegas keperpihakan Rencana Pembangunan

Jangka Panjang terhadap isu pembangunan iptek sektor dirgantara dalam UU

RPJPN sebagai acuan jangka panjang dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional. Dalam rangka itu, maka dalam proses teknokratiknya, kemampuan

sektor terkait terutama Kementerian Ristek dalam mengarusutamakan

(mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor dirgantara dalam proses

perancangan RPJPN menjadi sangat penting. Dalam proses teknokratik tersebut,

seyogyanya sektor iptek harus membekali diri dengan satu naskah akademik

terkait roadmap pengembangan iptek khususnya sektor dirgantara

Upaya melakukan mainstreaming tersebut tentunya sekaligus merupakan

bentuk implementasi dari Inpres No.3/2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan

Dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan

Dan Teknologi, dengan melakukan mekanisme koordinasi antara sektor termasuk

antar aktor ABG terutama dalam sektor kedirgantaraan.

Dalam rangka itu, Sektor Iptek harus meningkatkan pelaksanaan

koordinasinya untuk merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi

kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap

tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan

dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN (Gambar 6.11).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 243: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

221

Universitas Indonesia

Gambar 6.11 Proses Technoratik Isu Kemandirian Teknologi

Kedirgantaraan dalam Penyusunan RPJP Nasional. Sumber: Diadopsi dari BAPPENAS, 2006

Sebagai penjabaran dalam periode perencanaan, adalah setelah arah

pembangunan kedirgantaraan diacu dan dinyatakan dengan tegas dalam RPJP,

bersamaan dengan itu pula roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan

yang bersifat jangka panjang yang telah disusun oleh kementerian terkait yang

selanjutnya diterjemahkan dalam kebijakan lima tahunan dalam bentuk kebijakan

strategis nasional Ilmu dan Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) yang

memuat arah pembangunan iptek persektor beserta Agenda Riset Nasional (ARN)

yang memuat rincian topik riset yang mendukung pembangunan iptek

sebagaimana yang dinyatakan dalam Jakstranas Iptek dan Roadmap

Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan. Selanjutnya Jakstranas beserta

ARNnya tersebut menjadi masukan dalam penyusunan RPJPMN sehingga terjadi

integrasi antara arah kebijakan iptek dengan perencanaan pembangunan dan

penganggaran (Gambar.6.12).

<Satu Tahun Sebelum Berakhir RPJP Yang Berlaku>

Pres

iden

Men

teri

PPN

Peny

elen

ggar

aN

egar

aM

asya

raka

tD

PR

Evaluasi RPJP(-1)

Evaluasi RPJP(-1)

Evaluasi RPJP(-1)

Pemikiran Visioner

Pemikiran Visioner

Pemikiran Visioner

Rancangan Awal RPJP Musrenbang

Jangka Panjang

Rancangan Akhir RPJP Nas

Diajukan sebagai RUU RPJP Inisiatif Pemerintah

Ditetapkan Dengan Undang-

Undang

RPJP Nasional

Dihimpun dan Dikaji

Aspirasi Pemangku

Kepentingan

Aspirasi Pemangku

Kepentingan

Acuan bagi RPJP Daerah

Reoadmap pengembangan

Tekno logi Ked irgantaraan

Arah Pengembangan Teknologi

Kedirgantaraan distated

Arah Pengembangan Teknologi

Kedirgantaraan diadopsi

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 244: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

222

Universitas Indonesia

Diacu Diperhatikan

Diserasikan MelaluiMusrenbang

RKP RPJM Nasional

RPJP Nasional

Renstra KL

Renja - KL

RAPBN

RKA-KL

APBN

RincianAPBN

Pedoman Dijabarkan Pedoman

Pedoman

Pedoman

Pedoman

Diacu

Pemerintah

Pusat

Bahan Bahan

RPJM Daerah

RPJP Daerah

RKP Daerah

Renstra SKPD

Renja -SKPD

RAPBD

RKA -SKPD

APBD

Rincian APBD

Pedoman

Pedoman

Pedoman Dijabarkan

Pedoman

PedomanDiacu

UU SPPN

Pemerintah

Daerah

UU KN

Bahan Bahan

Jakstranas IPTEK dan ARN

Reoadmap pengembangan

Teknologi Kedirgantaraan

Gambar 6.12 Proses Integrasi Rencana Kebijakan Iptek dengan perencanaan

pembangunan dan penganggaran Nasional. Sumber: Diadopsi dari BAPPENAS, 2006

Selain memperkuat dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan

sektor dirgantara, dukungan politik pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata

bersifat jangka pendek bahkan secara jangka panjang sebagaimana karakter dari

proses komersialisasi industri pesawat terbang. Dukungan lain adalah dalam

bentuk promosi produk pesawat terbang, baik melalui WTO maupun melalui

momen-momen International Airshow. Pengalaman negara-negara maju

menunjukkan bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang

memiliki kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting,

tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting adalah

sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada skala internasional

baik antara pemerintah maupun dengan mitra industri. 559

559 Hasil wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, dua

kali yaitu pada 2 Juni 2014 dan Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9. no.11

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 245: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

223

Universitas Indonesia

6.2.2. Perbaikan Pada Level Intersektoral

Perbaikan pada level intersektoral adalah membangun sinergi kelembagaan

dalam rangka pembangunan iptek sektor dirgantara, sinergi kelembagaan tersebut

adalah bersifat lintas sektoral atau kelembagaan sesuai dengan core business

masing-masing lembaga (Gambar 6.13). Adapun sinergi kelembagaan tersebut

tidak saja terbatas pada empat sektor utama yaitu Sektor SDM dan Infrastruktur

pengujian, Sektor Riset dan Inovasi, Sektor Industri, dan Sektor

Keuangan/Perbankan, tetapi juga sebagaimana halnya program nasional, maka

seharusnya menjadi concern seluruh sektor berdasarkan domain masing-masing,

seperti Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, yang masing-masing

dapat mendukung pada aspek pembinaaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

dan Dukungan pada segala kemudahan sertifikasi kelaikan terhadap pesawat

terbang yang dihasilkan oleh Industri. Selain itu, dukungan Bank Indonesia atau

Otoritas Jasa Keuangan pada tataran proses komersilasisasi masih sangat

diperlukan khususnya terkait pemberian sistem leasing untuk perbankan nasional

atau kredit ekspor untuk pembelian luar negeri dan kredit untuk industri-industri

komponen pesawat terbang. Sistem leasing tersebut akan sangat membantu

industri berbasis teknologi seperti PT DI dalam memasarkan produknya baik

dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan kredit untuk industri hulu sangat

penting, mengingat pada umumnya industri tersebut memiliki kekurangan modal

baik untuk investasi peralatan baru yang canggih dan untuk pembiayaan alih

teknologi.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 246: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

224

Universitas Indonesia

Kemenristek dan LPNK

KementerianPerindustrian

KementerianPerhubungan

BAPPENAS /Kemenkeu

KementerianPerekonomian

PT DI

KementerianBUMN

Koordinasi Program Riset/Pengembangan Teknologi

Pembinaan dan kebijakan IndustriPengembangan Industri yang memproduksi komponen lokal

Perencanaan dan Pendanaan

Sertifikasi dan penggunaSertifikasiPesawat danPelatihan Pilot

Pembina BUMNKoordinasi Kebijakan

Disain dan ProtoypeManufactirung

PT RAIDisain, Marketing,

Pembiayaan riset kebijakan dan program afrimasi nasional

Kemendikbud

Peningkatan SDM kedirgantaraan

LPDP

Bank Indonesia

Sistem Leasing/Kredit Ekspor pesawat terbang

Gambar 6.13 Sinergi Kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi

Kedirgantaraan. Sumber: Direkonstruksi ulang dan diperkaya dari Paparan Direktur Transportasi

BAPPENAS dan Paparan PT RAI dalam FGD yang berbeda yang diselenggarakan Kemenristek

masing-masing pada Desember 2012 dan Februari 2014.

Untuk memperkuat sinergi kelembagaan tersebut terutama pada tahap

pengembangan teknologi, maka dibutuhkannya model sinergi kelembagaan

pendanaan inovasi, karena lembaga pendanaan inovasi yang saat ini yang ada baik

Insentif SINas yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Lembaga Pengelola Dana

Pendidikan (LPDP) yang dikelola oleh Kementerian Keuangan serta Hibah DIKTI

yang dikelola oleh Kementerian Diknas masih berjalan sendiri-sendiri. Lembaga

Pendanaan Insentif Riset SINas yang dibawah koordinasi Kementerian Ristek

seharusnya dapat lebih diarahkan pada penguasaan teknologi-teknologi terapan

sementara Hibah Dikti dapat lebih digunakan untuk riset yang bersifat

membangun capacity building para peniliti, akademisi untuk meningkatkan

accademic exellance dibidang kedigantaraan, adapun LPDP dapat digunakan

selain riset-riset implementasi kebijakan juga diarahkan pendanaan riset hightech

termasuk pembangunan infrastruktur yang memerlukan dukungan pendanaan

yang sangat besar dan jangka panjang (Gambar 6.14).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 247: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

225

Universitas Indonesia

Penelitian Terapan

Peningkatan Kemampuan Peneliti/Perekayasa

Penelitian Implementasi Kebijakan dan Affirmasi

Nasional

Pendanaan Sektor Dirgantara

Insentif Riset SINas-KRT

LPDP-Kemenkeu Hibah Dikti-Kemendikbud

Riset Pangan dan Energi

Riset-riset Dasar 7 Bidang Fokus

Riset-riset sosial, budaya, agama

Gambar 6.14 Sinergi Antar Lembaga Pendanaan Untuk Pengembangan

Teknologi Kedirgantaraan Sumber: Hasil Olahan Peneliti

Untuk efektifitas pendanaan inovasi kedepan, disarankan supaya kedepan

dibentuk Funding Agency yang bersifat Independen seperti LPDP (Lembaga

Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan), namun kedepan, LPDP

hanya sebagai eksekusi pendanaan saja, adapun penentuan tema riset sampai

kegiatan seleksi proposal diserahkan ke instansi rerkait (untuk ranah riset –riset

pengembangan di Kementerian Ristek) dan untuk ranah riset-riset dasar di

Perguruan Tinggi).560

Baik LPDP561 maupun Hibah Dikti sejatinya akan mendukung

pembangunan sektor dirgantara jika satu program tersebut merupakan satu

program nasional. Bahkan untuk dana LPDP, selain Dana Riset Inovatif produktif

(RISPRO) yang diarahkan pada komersialisasi produk dan implementasi

kebijakan, LPDP juga telah mengeluarkan pendanaan riset atau inovasi yang

bersifat Afirmasi Nasional (Gambar 6.15). Pengajuan program afirmasi nasional

560 Diksusi tentang: Kolaborasi kelembagaan dalam Riset, tanggal 7 Agustus 2014 di Gedung II BPPT lantai 21, Narasumber: Mantan Dirjen Dikti, Satrio Soemantri. lihat lampiran 10. no.18

561 Sebagaimana hasil wawancara dengan Direktur Riset LPDP, M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014.lihat lampiran 9, no.15.2; Juga berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap R. Purwanto, Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, tanggal 08 Agustus 2014, lihat lampiran 9, no.20

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 248: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

226

Universitas Indonesia

diawali dari usulan dari Kementerian/Lembaga terkait kesalah satu anggota dari

Dewan Penyantun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian

Keuangan, dan Kementerian Agama), permohonan tersebut akan disetujui selama

program tersebut dapat mendukung program nasional. Dana melalui skim ini

selain bersifat tidak terbatas baik untuk tema, jumlah dan tahunnya, juga dapat

digunakan untuk membangun atau memperkuat infrastruktur pengujian pesawat

terbang.562

Memperkenalkan R 80 ke Menristek

Menristek mengajukan

surat ke Kementerian

Dikbud terkait permohonan pendanaan

untuk mendukung R-

80 melalui LPDP

Kementerian Dikbud akan

meminta persetujuan

pada dua Dewan

Penyantun lainnya, yaitu Kementerian

Keuangan dan Kementerian

Agama

Persetujuan ketiga Menteri,

selanjutnya akan

dilakukan pro

LPDP melakukan

pengucuran

Gambar 6.15 Proses Pengajuan Program Afirmasi Nasional-Upgrading

Pesawat Terbang N 250/R-80 Sumber: Hasil Olahan Peneliti

Salah satu upaya yang dapat membantu sinergi kelembagaan tersebut adalah

dengan memperkuat kembali peran DEPANRI (Gambar 6.16), hal ini

sebagaimana yang dilakukan di Brazil, karena di Brazil ada satu lembaga yang

bernama Brazilian Space Agency (AEB). Lembaga tersebut adalah sejenis

DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE (Sistem Nasional untuk

Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kebijakan

keantariksaan dan kedirgantaraan di Brasil. Secara hierarki, AEB dikontrol oleh

Menteri Pertahanan. AEB dipimpin oleh Presiden AEB yang sekaligus juga

sebagai ketua Dewan tertinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek

Brasil.563Dalam konteks Indonesia, mekanisme tersebut akan berjalan kalau

562 Hasil wawancara dengan Direktur Riset LPDP, M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014.lihat

lampiran 9, no.15.1 563 Mardianis, November 2013. Quo Vadis Keberadaan DEPANRI?. h.110-111. Media

Dirgantara, LAPAN.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 249: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

227

Universitas Indonesia

Presiden sebagai ketua DEPANRI itu sendiri memilik visi pembangunan sektor

dirgantara nasional.564

Presiden

Menristek

Lembaga Pendanaan Inovasi

LPDP Kementerian Keuangan

Hibah Dikti-Kementerian DIkbud

Insentif Riset-Kementerian Ristek

Pendanaan Inovasi dari Sektor lain

DEPANRI

Gambar 6.16 Lembaga Pendanaan Inovasi

Sumber: Hasil Olahan Peneliti

6.2.3. Perbaikan Pada Level Operasional

Berdasarkan perbandingan antara konseptual model dengan temuan

lapangan, bahwa Industri Pesawat Terbang harus meningkatkan kemampuan

produksi beserta strategi pemasarannnya. Untuk itu, sebagai upaya perbaikan pada

level ini khususnya pada akvitas““menciptakan jejaring-jejaring baru” dalam

bentuk konsorsium inovasi teknologi565 baik dalam maupun luar negeri untuk

mencari sumber-sumber permodalan” terutama untuk mengatasi keterbatasan baik

SDM, Dana Pengembangan serta fasilitas pengujian yang dibutuhkan.566 Untuk

564 Wawancara dengan Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas

Iptek 2009-2013, Teguh Rahardjo, Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. Lihat lampiran 9, no.2.5

565 Konsorsium Inovasi Teknologi dapat mengurangi empat resiko yaitu: Ketidakpastian litbang, Keterbatasan Waktu, kompleksitas teknologi, dengan meintensifkan penggunaan modal dapat mengefisiensikan biaya pengembangan prototipe, mengurangi kendala-kendala operasional. Lihat Gideon Malherbe and Graeme Stanway (2010). Corporate Innovation At Work: Defining the Innovation Consortium. (2010). h.5. Virtual Consulting International Ltd. New York.

566 Airbus adalah adalah salah satu testimoni tentang pentingnya konsorium inovasi teknologi yang melibatkan empat perusahaan produsen pesawat terbang serta pemerintah (yaitu Jerman dan Perancis sebagai leader, Inggris, dan Spanyol), bahkan saat ini konsorsium tersebut bertransformasi menjadi perusahaan saham gabungan dengan nama EADS (The European Aeronautic Defense and Space

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 250: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

228

Universitas Indonesia

mendapatkan kerjasama dalam hal SDM, fasilitas dan pendanaan, pihak

manajemen seharusnya dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan lembaga

pendaaan seperti LPDP dengan program afirmasi nasionalnya.

Dalam rangka mendapatkan sumber-sumber pendanaan baik untuk riset,

fasilitas dan SDMnya dapat melalui pemanfaatan beberapa skim pendanaan

inovasi yang ada seperti Insentif Riset SINas Konsorsium, Hibah Dikti dan Hibah

LPDP. Skim Insentif Riset Konsorium dapat digunakan terutama untuk

melakukan studi atas beberapa teknologi yang belum dikuasai seperti composite

structure567 yang terdapat di LIPI, Uji keretakan di BATAN, serta uji Electronic

Magnetic Compatibility (EMC) di PTIK-BPPT dll.568

Skim Hibah Dikti dapat dimanfaatkan untuk peningkatan academic

exellance para peneliti bidang kedirgantaraan atau terkait, dan skim LPDP selain

dimanfaatkan untuk studi tata kelola dan kebijakan juga dapat digunakan untuk

studi yang membutuhkan pengadaan insfrastruktur, multiyears dan pendanaan

yang relatif tidak terbatas. Hal ini sangat relevan mengingat dibutuhkan

revitalisasi beberapa prasana pengujian.

Dalam meningkatkan kemampuan TKDN, selain tetap menjaga mitra

dengan industri komponen yang telah ada, juga melakukan sharing development

cost (konsorsium) dengan industri-industri komponen pesawat terbang dalam

negeri. Dalam hal ini, PT DI bekerjasama dengan PT RAI dapat memanfaatkan

fasilitas yang ada lingkungan Pemerintah mulai dari skim insentif dan fasilitas

yang dapat digunakan. Jika teknologi tersebut benar-benar dapat dikuasai

terutama melaui sinergi dalam negeri, maka merupakan satu keunggulan dari sisi

Company) lihat. William Davidson Institute.2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony h.2. Strategi konsorsium tersebut ternyat sukses dalam meruntuhkan dominasi Boeing terutama sejak tahun 2007 hingga 2011, lihat Lucy Yi, S. (2013). A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study h.179

567 Bahkan bersamaan dengan teknologi radar, jep propulsion, teknologi composite merupakan teknologi masa depan yang sangat penting untuk pengembangan pesawat terbang, tidak hanya untuk pesawat sipil bahkan militer. Lihat. William N. Stryker (2007). Technology Leadership Forecasting And Warning: An Analytic Methodology. Futures Division, Office Of Technology Assessments, Directorate For Intelligence Production,Defense Intelligence Agency. h.459. In Handbook Of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group.

568 FGD yang dilakukan oleh Kemenristek tentang Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading dari N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 251: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

229

Universitas Indonesia

TKDNnya, karena tidak semata menggunakan Alloy seperti yang telah digunakan

di pesawat pendahulunya baik CN 235 maupun N 250.

Selain memaksimalkan fasilitas pendanaan dan insentif pemerintah yang

telah ada dalam negeri, manajemen juga seharusnya dapat memperkuat jejaring

internasional, terutama dalam mendapatkan sharing risk dan pendanaan baik pada

pada bidang desain (aero structure) maupun pada kegiatan manufacturing

pesawat sehingga tidak mesti bergantung pada pemerintah. Langkah ini sekaligus

sebagai bentuk strategi untuk menyakinkan pemerintah terkait kapabilitas industri,

yang harapannya dapat memicu semakin tingginya keberpihakan pemerintah

dalam meningkatkan penggunaan produk pesawat buatan industri dalam negeri.

Bagaimanapun juga, pengalaman Embraer Brazil menunjukkan bahwa

kemampuan pada level manajemen produksi atau kemampuan pada level

operasional secara umum belum cukup tanpa adanya dukungan politik pemerintah

terhadap produk industri dirgantara itu sendiri.

Untuk menunjang keberhasilan pemasaran, sebelum pengembangan pesawat

tersebut, perusahaan terlebih dahulu harus melakukan studi kelayakan baik terkait

pangsa pasar, posisi pesaing dan pemilihan segment pasar dan lain-lain. Studi

kelayakan tersebut juga sangat penting dalam melakukan diferensiasi pesawat

untuk merebut segment pasar tertentu terutama dari pesaingnya, baik dengan

ATR72-600 buatan Perancis Italia maupun dengan Bombardier atau Dash8-Q-400

Kanada. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang

ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil adalah memberikan dua pelajaran

penting: pertama, proses upgrading baik dari turboprop ke Jet tidak serta merta

harus beriingan dengan peningkatan kapasitas penumpang yang berpotensi

menantang raja-raja dikelas ini (yaitu Boeing dan Airbus), bahkan ERJ 145 jenis

jet memiliki dua versi, yaitu pertama dikelas ERJ 145 (Jet) versi 50 penumpang,

dan yang menarik adalah pada versi kedua Embraer justru mengeluarkan versi

ERJ 145 versi 37 penumpang. Strategi ini ternyata cukup berhasil mengantarkan

Embraer kembali mencetak keuntungan.569Kedua, penggunaan fitur teknologi

canggih seperti teknologi fly by wire sebaiknya ditunda hingga ekonomi

perusahaan membaik, dalam konteks Embraer, walaupun telah naik ke pesawat

569 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 252: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

230

Universitas Indonesia

jet, namun pada ERJ 145, Embraer belum menginstall dengan fly by wire

sebagaimana dengan N 250. Teknologi fly by wire tersebut baru dipasang pada

pesawat ERJ-170. Pada kasus IPTN, terpasangnya fly by wire pada N 250 tersebut

selain telah menyebabkan harga pesawat tinggi juga menyebabkan kompleksitas

proses mendapatkan serfitikasi, baik FAA maupun EASA semakin tinggi.

Pelajaran ketiga, adalah tiap tahapan upgrading pesawat, seharusnya disertai

juga dengan upgrading nilai tambah yang diperoleh dari tiap tahap upgrading

tersebut, hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan Embraer dalam

upgrading EMB 110 ke EMB 120 yang sekelas N 250. Sebelum beranjak ke EMB

120, sejak 1969 hingga 1983, EMB 110 menguasai pasar domestik dengan total

produksi sekitar 3.983 Pesawat atau 265 pesawat per tahun.570.

Pelajaran keempat, adalah dibutuhkan dukungan politik jangka panjang dari

pemerintah. Ditengah-tengah krisis ekonomi selama 1990-1997571, pemerintah

Brazil masih terus memberikan dukungan572 kepada industri Embraer khususnya

untuk pengembangan ERJ 145 setipe pesawat N 250. Langkah tersebut

membuahkan hasil, karena pada tahun 1996 ERJ 145 berhasil mendapatkan

sertifikasi dan melakukan first delivery baik pada pasar domestik maupun pada

pasar global.573.

Berdasarkan pengalaman Embraer Brazil (Gambar 6.17), bahwa konsistensi

antara tiga level hierarki proses kebijakan dari level kebijakan, level organisasi

dan level operasionalnya merupakan kunci keberhasilan Industri Embraer dalam

upgrading teknologinya termasuk dalam pengembangan pesawat turboprop EMB-

120 hingga pesawat jet ERJ 145 yang masing-masing sekelas degan pesawat N

250 dan N 2130 yang merupakan rancangan IPTN574 Dan koherensi kebijakan

pada tigal level tersebut dapat dilihat dengan konsistensi antar tiga level kebijakan

570 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 571 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 572 Bentuk dukungan pemerintah adalah: ketika terjadi resesi global dan dalam masa transisi

menuju privatisasi (yang terealisir pada tahun 1994), pemerintah Brazil meminta Lembaga Dana Pensiun untuk men take over Embraer dan kemudian dijual kepada investor Amerika hingga. Upaya tersebut akhirnya dapat menyelamatkan Embraer. (Lihat dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06. http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:dialog-kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014.

573Steenhuis dan Bruijn, (tanpa tahun).loc.cit.p.10 574 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-44

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 253: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

231

Universitas Indonesia

tersebut. Pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi

dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya. Dan di tahun 1972 di bawah

rezim militernya, pemerintah Brazil telah melauncing Arah Pembangunan

Ekonomi Nasional dengan menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian

teknologi nasional dan salah satunya adalah sektor dirgantara.575

575 Elizabeth Balbachevsky and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 254: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

232

Universitas Indonesia

Pasar: Pemilihan Segmentasi Pasar untuk pesawat

kecil

Pendanaan:Keuangan

Perusahaan sangat kuat

Strategi Iptek: Konsorsium Inovasi

Risk Sharing-Partnership

Upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan

Kebijakan Sektor Iptek: FINEP, Brazilian Space

Agency (AEB) ; ITA, CNPq, CTA, FNDCT

Kebijakan Sektor Fiskal:

Kebijakan Pro Ex, Bank BNDES

Kebijakan Sektor Industri:

The Special Sectariat for Science and Technology

Dukungan Kebijakan Intersektoral untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan

National Plan for Economic Development

Pembangunan Iptek sektor Dirgantara

Dukungan Regulasi Arah Pembangunan Iptek untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan:

Pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasionaldan Master Plan Pembangunan Ekonominyatelah selaras.Dibawah rezim militernya, sejak 1972, Pembangunan Nasional dititiberatkan padapenguasaan dan kemandirian teknologiaeronautics, informatics, microelectronics, telecomunication and space.

Menemukan segmentasi pasar untuk pesawat kecil walaupun kelas jet.Dalam pengembangan Iptek Embraer lebih intens dalam melakukan kerjasama dengan team of German aeronautical engineers-Jerman, lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, perusahaan Aeronautica Macchi S.p.A.,Italia. Pada saat mendesain EMB 120: revenue sekitar USD 300 juta dari total penjualan pesawatdll

1946-/47: Mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA; dll1960: Bank-BNDES ; Banco do Brasil1969: Industri Embraer didirikan bersama industri2 pendukungnya 1988: Pembangunan Advanced Technology Center dll1980-1985, membangun kemampuan teknologi dari perusahaan domestik termasuk aircraft inndustry.1993-1996: FINEP, AEB, FNDCT1991-2000: Pro Ex

Gambar 6.17 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Upgrading

Teknologi di Industri Pesawat Terbang Embraer

Dalam kurun waktu 1971-sekarang, sejumlah policy statements atau

instrumen kebijakan secara sinergik juga telah dikeluarkan untuk mendukung

pembangunan nasional termasuk sektor dirgantara. Instrumen kebijakan pertama

adalah dibentuknya lembaga FINEP (Agency for Financing Studies and Projects)

yang kemudian sekitar tahun 1985 menjadi Badan Inovasi Nasional dibawah

koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi. Kedua adalah instrumen Kebijakan

disektor Perdagangan dan Perindustrian Teknologi dan Luar Negeri yang

diinisiasi oleh Kementerian Perindag dan Luar Negeri. Bentuk kebijakan tersebut

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 255: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

233

Universitas Indonesia

diantaranya adalah dibentuknya satu badan yang disebut The Special Sectariat for

Science and Technology.576Bahkan, baik FINEP maupun The Special Sectariat for

Science and Technology sejatinya masing-masing telah beroperasi secara resmi

sejak tahun 1971 dan 1972.577

Inti dari kedua kebijakan tersebut adalah menciptakan insentif pajak bagi

perusahaan yang melakukan inovasi, hibah kepada perusahaan yang melakukan

litbang, dan undang-undang inovasi. Kedua kebijakan tersebut disahkan oleh

Kongres Nasional Brazil yaitu Law No.10.973/04 mengenai “ the innovation law”

dan Law No.11.196/05 mengenai “the law of good”. “Innovation Law” (2005)

merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat interaksi antara

perguruan tinggi dan industri; mempromosikan penggunaan infrastruktur iptek

oleh perusahaan dan lembaga iptek terutama UMKN; mendorong perusahaan

menggunakan teknologi baru hasil riset peneliti; menciptakan pendanaan

keuangan untuk hibah riset dan pengembangan serta inovasi dalam perusahaan

termasuk aircraft industri-Embraer.578

576 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; Daniel Vertesy and Adam

Szirmai, 2010, loc.cit. h.29. 577 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14-; 15; Elizabeth Balbachevsky

and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4. 578 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.25; Elizabeth Balbachevsky and

Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.9-10.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 256: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

234

Universitas Indonesia

6.2.4. Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan supaya

Upgrading Teknologi Pesawat Terbang Domestik yang dihasilkan Melalui

Penguasaan Kemampuan Pengembangan Teknologi.

Berdasarkan pada hasil penelaahan teoritis serta pengalaman empirik

khususnya pengalaman Embraer-Brazil,579 maka kemudian akan dilakukan

rekonsktruksi tiga level hierarki proses kebijakan sehingga upgrading teknologi

yang dilakukan oleh PT DI Indonesia dapat survival dan berkesinambungan.

Model pada gambar 6.19 tersebut adalah model yang distinctive (khas) untuk

mendorong uprading teknologi pesawat terbang domestik yang dihasilkan melalui

penguasaan kemampuan pengembangan teknologi yang memiliki kompleksitas

yang sangat tinggi baik teknologinya maupun proses produksinya seperti program

pengembangan pesawat N 219 ataupun program R-80 (upgrading dari N 250).

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.18, bahwa keberhasilan upgrading

teknologi membutuhkan konsistensi antara tiga level hierarki proses kebijakan,

yaitu antar level kebijakan yaitu dalam bentuk regulasi nasional-undang-undang

Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jangka Panjang dan Jangka Menengah

yang memuat pembangunan iptek sektor dirgantara dalam pembangunan nasional.

Selain dukungan pada level kebijakan nasional, dukungan politik pemerintah

sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara jangka

panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat terbang.

Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang, baik

melalui WTO maupun melalui momen-momen International Airshow.

579 Pemilihan Embraer Brazil sebagai pembanding untuk memperkaya analisis dilatar belakangi oleh beberapa alasan dan atau kesamaan: pertama, Indonesia dan Brasil sama-sama termasuk dalam kelompok negara berkembang dimana dukungan infrastruktur teknologi masih relatif lemah. Kedua, Baik IPTN maupun Embraer adalah perusahaan yang didirikan atas inisiasi dan dimiliki oleh negara, walaupun akhirnya pada 1994, Embraer diprivatisasi (Dahlman dan Frischtak, 1990; Vertesy dan Szirmai, 2010). Ketiga, tahapan upgrading pesawat yang ditempuh Embraer yaitu dari lisensi, integrasi sehingga pada penguasaan desain pesawat jet adalah sama dengan tahapan IPTN. Keempat, produk pesawat turboprop Embraer EMB-120 dan ERJ 145 adalah masing-masing sekelas dengan pesawat N 250 dan N 2130 IPTN, bahkan permulaan pengembangan EMB 120 (1985) hanya berselang dua tahun dengan dimulainya pengembangan N 250 (1987). Kelima, sebagaimana halnya IPTN, Embraer pada awal berdirinya, juga baru merencanakan pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software (Dahlman dan Frischtak, 1990). Adapun kesamaan Keenam, adalah sama-sama mengalami krisis ekonomi, walaupun Embraer sempat mengalami kerugian sepanjang tahun 1980an hingga 1990an akibat resesi ekonomi global, tidak sebagaimana halnya yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan IPTN yang memberhentikan pengembangan N 250 dan N 2130. Justru ditengah-tengah krisis ekonomi tersebut, pemerintah Brazil masih terus memberikan dukungan terutama pendanaan kepada industri Embraer.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 257: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

235

Universitas Indonesia

Pada level sektoral, arah pembangunan iptek dirgantara nasional tersebut

kemudian juga harus didukung secara sinergis pada kebijakan level organisasi,

terutama pada kebijakan sektor iptek dan pendanaan inovasi, kebijakan fiskal,

dan kebijakan pada sektor industri. Bentuk dukungan kebijakan sektor iptek

adalah dicantumkannya arah pembagunan iptek sektor dirgantara baik dalam

dokumen Kebijakan Strategis Nasional Iptek (Jakstranas Iptek) periode 2015-

2019 serta dalam dokumen Agenda Riset Nasional (ARN) 2015-2019. Pada sektor

industri, dukungan pembangunan sektor dirgantara adalah dalam bentuk

dukungan bimbingan teknologi kepada industri-industri komponen dalam negeri

sehingga penguasaan TKDN industri dirgantara minimal 40% dapat tercapai. Jika

suatu produk nasional berteknologi tinggi termasuk pesawat terbang mempunyai

TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia.580 Oleh

karena itu, melalui ketercapaian penguasaan TKDN 40% dari Industri Pesawat

Terbang seharusnya menjadi alasan bagi pemerintah untuk mendukung

penggunaan pesawat produksi dalam negeri. Karena, sebagaimana keberhasilan

Embraer, baik pada pesawat EMB 110, hingga pesawat EMB 120 dan ERJ 145,

dukungan politik pemerintah dalam bentuk pembelian dan penggunaan pesawat

produksi dalam negeri adalah faktor kunci survival dan kesinambungan program

upgrading teknologi pesawat terbang Embraer.

Pada sektor fiskal, keberhasilan Industri Pesawat Terbang Embraer

menunjukkan bahwa industri dirgantara sangat membutuhkan insentif pemerintah

terutama dalam bentuk tax deduction untuk industri yang melakukan inovasi581,

hal ini sejatinya telah diatur dalam pasal 6. UU PPh.582 Dalam pasal tersebut

dinyatakan bahwa biaya untuk penelitian dan pengembangan yang dikeluarkan

oleh perusahaan dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. UU

PPh tersebut kemudian diatur dalam dua peraturan turunannya yaitu masing-

masing dalam PP.No.93/2010 dan PMK 224/PMK.011/2012. Di dalam kedua

peraturan tersebut juga dinyatakan bahwa biaya sumbangan dalam rangka

penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan

580 Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri 581 Lihat hasil wawancara yang dilakukan oleh rtv terhadap Vice Chairman II PT RAI, Ilham

Habibie, Awal Juli 2014 di rtv. 582 Lebih lengkap telah diuraikan dalam Tabel 4.1. Dukungan Pembangunan Sektor

Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan Bab IV h.108

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 258: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

236

Universitas Indonesia

untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Selain tax deduction, untuk

mendukung penguasaan TKDN 40%, sebagaimana keberhasilan Embraer Brazil,

dunia industri pesawat terbang juga membutuhkan adanya insentif pembiayaan

baik untuk kredit usaha bagi industri-industri domestik yang bergerak pada

komponen pesawat terbang583 maupun sistem leasing untuk pengadaan pesawat

terbang dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang.584

Selanjutnya, sebagai pengejewantahan pada dua level hierarki proses

kebijakan, maka supaya upgrading teknologi pesawat terbang dapat survive dan

berkelanjutan pada upgrading teknologi lanjutan, maka sebagaimana ditunjukkan

pada gambar 6.21 diatas bahwa Industri Pesawat Terbang khususnya PT DI

dituntut untuk melakukan beberapa strategi manajemen bisnis yang sangat

diperlukan pertama: pemilihan manajemen yang professional, selain mengerti

aspek teknologi juga menguasai manajemen bisnis secara professional terutama

dunia industri kedirgantaraan. Kedua, adalah pemilihan segmentasi pasar yang

lebih kompetitif, terutama dalam pemilihan jenis pesawat yang cocok untuk

infrastruktur bandara yang sederhana. Pengalaman Embraer menunjukkan bahwa,

upgrading teknologi pesawat tidak serta merta harus beriringan untuk menaikkan

kapasitas penumpang, bahkan walaupun telah mendesain pesawat jet yaitu ERJ

145, namun pesawat ERJ 145 tersebut hanya bermain pada kelas 50 penumpang,

bahkan versi kedua dari ERJ 145 justru didesain dengan kapasitas hanya 37

penumpang dan tanpa teknologi fly by wire. Oleh karena itu, sebaiknya pada tahap

awal, perusahaan tidak mendesain pesawat dengan fitur canggih seperti fly by

wire, karena selain menyebabkan harga semakin mahal juga proses mendapatkan

sertifikasi kelaikan udara akan semakin lebih kompleks.

583 Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Utama PT RAI pada saat diskusi informal dalam

udiensi dengan Presiden III BJ Habibie dalam rangka Hakteknas 19 di kediaman Beliau di di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. Lihat lampiran 10. no.3.2

584 Lihat kembali pernyataan Habibie tentang Sistem Leasing ini di Bab h. 15 dan juga hasil wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9. no.11.12

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 259: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

237

Universitas Indonesia

UU 17/2007RENCANA PJP 2005-2025

Perpres RPJPMN 2015-2019

Pembangunan Iptek sektor Dirgantara

Dukungan Regulasi Arah Pembangunan Iptek untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan:

Dicantumkannya Arah Pembangunan Ipek Sektor Dirgantara dalam Dalam UU 17/2007 serta turunannya dalam Perpres RPJMN Tahap 3 dan 4 (2015-2019; dan 2020-2025)

Dukungan politik secara jangka panjangPada level internasional, bentuk dukungan pemerintah: seperti melakukan promosi produk nasional baik melalui organisasi WTO maupun pada International Airshow

Kebijakan Sektor Industri: Bimtek

Industri Komponen Pesawat : ACPDN

Dukungan Kebijakan Intersektoral untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan

Membangunan kemampuan industri komponen; Insentif “ Aku Cnta Produk Dalam Negeri (ACPDN), pemberian sistem leasing dan tax deduction untuk Industri Dirgantara; Insentif Kredit u/Industri Komponen PesawatSkim Insentif Riset Konsorium untuk melakukan studi atas beberapa teknologi yang belum dikuasai seperti composite structure. Hibah Dikti dapat dimanfaatkan untuk peningkatan academic exellance para peneliti bidang kedirgantaraan atau terkait, dan skim LPDP selain dimanfaatkan untuk studi tata kelola dan kebijakan juga dapat digunakan untuk studi yang membutuhkan pengadaan insfrastruktur, multiyears

Pendanaan Inovasi: InvestasiSDM, Riset dan Infrastruktur

Insentif Riset SINas: Hibah Dikti

LPDP

Kebijakan Sektor Iptek:

JAKSTRANAS IPTEK;ARN

Kebijakan Fiskal:Insentif Fiskal

Sist LeasingTax Deduction

LPDP; Insentif Riset

Pasar: Pemilihan Segmentasi

Pasar Yang Lebih Kompetitif

Pendanaan:Menemukan

channel-channelpendanaan untuk

desain pesawat

Strategi Iptek: Penguatan

Kemamuan Iptek melalui Risk Sharing

Partnership

Upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan

Pemilihan Manajemen yang ProfessionalPengembangan Iptek dengan konsorsium; Meningkatkan kemampuan produksi melalui peningkatan jejaring dengan industri domestik dan internasional.Studi kelayakan yang mencakup strategi pemasaran untuk mengurangi resiko kegagalan pasar.

Konsorsi Inovasi

Mai

nstr

eam

ing

pem

bang

unan

ipte

k se

ktor

dirg

anta

ra m

elal

ui P

rose

s te

knor

atik

pen

yusu

nan

arah

ke

bija

kan

pem

bang

unan

ipte

k da

lam

RP

JPN

/RPJ

MN

Gambar 6.18 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Untuk

Mendorong Upgrading Teknologi Pesawat Terbang yang dihasilkan Melalui

Penguasaan Kemampuan Pengembangan Teknologi - PT DI

Ketiga, dalam hal pengembangan Iptek, PT DI harus mampu membangun

kerjasama melalui konsorsium inovasi. Keempat, untuk meningkatkan

kemampuan produksi, kemampuan pemasaran serta mengurangi resiko kegagalan

pasar juga dapat dilakukan dengan meningkatkan jejaring dengan industri

domestik dan internasional melalui risk sharing partnership. Untuk menunjang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 260: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

238

Universitas Indonesia

keberhasilan starategi bisnis diatas, perusahaan harus mendukungnya dengan satu

kajian kelayakan (feasibiliy studies) terkait pesawat yang akan didesain dan

diproduksi.

6.2.5. Hasil Rekonstruksi Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan

Untuk Mendorong Upgrading Teknologi Pada GVC Industri Pesawat

Terbang -IPTN

Berdasarkan temuan lapangan, bahwa setelah proses assesment, hubungan

antara tiga level hierarki proses kebijakan terutama antara level kebijakan dengan

level organisasi tidak sepenuhnya bersifat hierakis dan linier bahkan terjadi

umpanbalik antar kedua level tersebut terutama dalam proses teknokratik dalam

penyusunan RPJPN maupun RPJMN. Proses teknokratik yang dimaksud adalah,

pada level sektor iptek seyogyanya dapat memberikan masukan atau rekomendasi

dalam bentuk naskah akademik pembangunan iptek sektor dirgantara dalam

proses teknokratik penyusunan RPJPN maupn RPJPMN yang sebelum akhirnya

RPJPN maupun RPJM tersebut selanjutnya menjadi acuan kebijakan sektor dalam

penyusunan renstra lembaga. Temuan kedua adalah, selain dukungan pada level

regulasi arah pembangunan nasional juga dibutuhkan dukungan politik dari

pemerintah, temuan ini sebenarnya menguatkan kesimpulan Meriles S. Grindle585

(1980) bahwa kekuatan politik dari implementor akan menentukan keberhasilan

implementasi suatu program.

Temuan ketiga adalah, bahwa setelah tahap evaluasi, perbaikan tidak saja

pada dua level kebijakan yaitu level kebijakan maupun level organisai, bahkan

perbaikan tersebut juga dibutuhkan pada level operasional, hal ini dibuktikan

dalam konteks upgrading teknologi dalam konteks PT DI, bahwa untuk

keberhasilan upgrading N 250 tidak hanya diperlukan perbaikan pada level

kebijakan maupun level organisasi, bahkan peningkatan kinerja pada level industri

sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri merupakan salah

satu faktor penting bagi peningkatan nilai tambah upgrading teknologi pesawat

terbang N 250.

585 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 261: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

239

Universitas Indonesia

GVC tidak murni bersifat hiearki tetapi terdapat dua karakteristik tambahan yaitu:1.Kemampuan lead firm

dalam mengkodifikasi transaksi tinggi

2.Kemampuan dari sisi pemasok utama tinggi

GVC Hierarki

Kebijakan Nasional Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara.

Kekuatan dukungan politik pemerintah

Sinergi Kebijakan inter sektoral: Riset, Fiskal, Industri

dan Lembaga Pendanaan Inovasi

Memperkuat manajemen bisnis dengan: meningkatkan

jejaring/risk sharing partnership; konsorsium;

memilih segmentasi pasar; studi kelayakan

Terj

adi U

mpa

n ba

lik a

ntar

a Po

licy

Leve

l den

gan

Org

aniz

atio

nal L

evel

impr

ovem

ent j

uga

terj

adi p

ada

leve

l oer

asio

nal

Temuan keempat adalah, bahwa dalam GVC IPTN khususnya dalam

pengembangan N 250 ternyata tidak hiearki murni, karena selain intervensi

pemerintah yang tinggi dan jangka panjang, dalam konteks GVC IPTN juga harus

diimbangi dengan kemampuan codifiability dari lead firm serta kemampuan

supplier dalam memenuhi kebutuhan lead firm. Hal ini sekaligus mengkritisi

Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005) terkait dua kriteria GVC tipologi GVC

hierarki yaitu lemahnya kemampuan kodifikasi dari lead firm dan lemahnya

kemampuan supplier. Dalam konteks upgrading teknologi industri pesawat

terbang, kemampuan kodifikasi dari lead firm dan kemampuan supplier dalam

memenuhi requirement yang dibutuhkan lead firm justru sangat tinggi (Gambar

6.19)

Gambar 6.19. Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan

dalam Mendorong Upgrading Teknologi Pada Global Value Chain -Tipologi

Hierarki

Model Tiga Level Hirarki Proses Kebijakan sebagaimana pada gambar 6.19

tersebut adalah model yang distinctive (khas) untuk mendorong uprading

teknologi pada industri pesawat terbang yang sarat akan pengembangan high tech

dan high investment seperti seperti program pengembangan pesawat N 245

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 262: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

240

Universitas Indonesia

(upgrading dari CN 235) ataupun program R-80 (upgrading dari N 250) yang

membutuhkan komitmen pemerintah secara holistik dan bersifat jangka panjang,

baik dukungan pada tiga level hierarki proses kebijakan maupun dukungan

politik.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 263: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

241

Universitas Indonesia

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan temuan hasil penelitian, maka dapat diturunkan beberapa kesimpulan

dengan merujuk pada pertanyaan penelitian:

1) Untuk dapat menghasilkan arah kebijakan untuk mendorong upgrading

teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui

penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan

pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN adalah

pertama BAPPENAS, Kemenristek, Komisi VII DPR, dan Presiden secara

konsensus seyogyanya memasukkan arah pembangunan sektor dirgantara baik

dalam RPJPN maupun dalam RPJPMN. Dalam rangka memasukkan arah

pembangunan iptek sektor dirgantara dalam kedua dokumen perencanaan

pembangunan nasional tersebut, maka sektor iptek terutama Kementerian Ristek

seyogyanya melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan Iptek

khususnya sektor dirgantara dalam proses perancangan RPJPN. Upaya melakukan

mainstreaming tersebut tentunya sekaligus merupakan bentuk implementasi dari

Inpres No.3/2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan

Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,

dengan melakukan mekanisme koordinasi antara sektor terutama dalam sektor

kedirgantaraan termasuk antar aktor ABG. Untuk mendukung proses

mainstreaming tersebut, sektor Iptek kiranya perlu meningkatkan pelaksanaan

koordinasinya dengan merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi

kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap

tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan

dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN. Upaya menselaraskan antara

pembangunan iptek dengan pembangunan nasional adalah salah satu faktor sukses

keberhasilan Embraer-Brazil dan Avic China. Selain memperkuat dukungan

kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara, dukungan politik

pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara

jangka panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 264: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

242

Universitas Indonesia

terbang. Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang,

baik melalui WTO maupun melalui momen-momen International Airshow.

Pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa selain pihak industri,

kehadiran agen pemerintah yang memiliki kapasitas sebagai decision maker

dalam acara tersebut sangat penting, tidak hanya sebagai momen kampanye

produk tetapi yang lebih penting adalah sebagai bentuk upaya membangun

jejaring-jejaring baru pada skala internasional baik antara pemerintah maupun

dengan mitra industri.

2) Untuk dapat menghasilkan sinergi kebijakan intersektoral untuk mendorong

upgrading teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan

melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program

pengembangan pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC

IPTN membutuhkan sinergi kelembagaan, tidak saja terbatas pada empat sektor

utama yaitu Sektor SDM dan Infrastruktur pengujian, Sektor Riset dan Inovasi,

Sektor Industri, dan Sektor Keuangan/Perbankan, tetapi juga sebagaimana halnya

program nasional, maka seharusnya menjadi concern seluruh sektor berdasarkan

domain masing-masing, seperti Kementerian BUMN dan Kementerian

Perhubungan, yang masing-masing dapat mendukung pada aspek pembinaaan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Dukungan pada segala kemudahan

sertifikasi kelaikan terhadap pesawat terbang yang dihasilkan oleh Industri. Selain

itu, dukungan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan pada tataran proses

komersilasisasi masih sangat diperlukan khususnya terkait pemberian sistem

leasing untuk perbankan nasional atau kredit ekspor untuk pembelian luar negeri

dan kredit pendanaan untuk Industri Komponen Pesawat Terbang. Pengalaman

Embraer menunjukkan terdapat empat kebijakan sektor utama yang sangat

penting untuk itu, yaitu kebijakan sektor riset dan inovasi, kebijakan sektor fiskal,

kebijakan sektor industri, dan kebijakan pada sektor pendanaan riset dan inovasi.

Dalam konteks IPTN, saat ini sejatinya dukungan Kebijakan Sektor Industri saat

ini sudah cukup kuat dalam mendorong pembangunan sektor dirgantara, kecuali

tiga sektor lainnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini merekomendasikan supaya

pihak terkait terutama BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Ristek

harus melakukan penguatan pada tiga kebijakan sektor tersebut. Kebijakan sektor

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 265: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

243

Universitas Indonesia

riset adalah terkait dengan dicantumkannya arah pembangunan iptek sektor

dirgantara baik dalam Jakstranas Iptek serta dalam Agenda Riset Nasional.

Kebijakan sektor fiskal adalah terutama dukungan sistem leasing dan kredit

ekspor dari perbankan nasional untuk pesawat terbang. Sedangkan pada kebijakan

sektor pendanaan adalah diperlukannya lembaga pendanaan inovasi yang bersifat

independen yang dapat mengkoordinasikan semua pendanaan inovasi yang

terdapat di Indonesia baik insentif riset yang dikelola oleh Kementerian Ristek,

Hibah Dikti yang dikelola oleh Kementerian Diknas, dan LPDP yang dikelola

bersama antara Kementerian Keuangan, Kemendiknas, dan Kementerian Agama.

Pendanaan Insentif Riset SINas yang dibawah koordinasi Kementerian Ristek

seharusnya dapat lebih diarahkan pada penguasaan teknologi-teknologi terapan

sementara Hibah Dikti dapat lebih digunakan untuk riset yang bersifat

membangun capacity building para peniliti, akademisi untuk meningkatkan

accademic exellance dibidang kedigantaraan. LPDP dapat digunakan selain riset-

riset implementasi kebijakan juga diarahkan untuk pendanaan riset hightech

termasuk pembangunan infrastruktur yang memerlukan dukungan pendanaan

yang sangat besar dan jangka panjang

3) Untuk menghasilkan strategi manajemen bisnis untuk mendorong upgrading

teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui

penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan

pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN adalah

dengan melalui peningkatan aktivitas pada rantai nilai baik aktivitas primer

maupun aktivitas pendukung. Dalam rangka meningkatkan aktivitas primer yaitu

baik kemampuan produksi maupun pemasaran, perusahaan seyogyanya

menciptakan jejaring-jejaring baru baik dalam maupun luar negeri untuk mencari

sumber-sumber permodalan terutama untuk mengatasi keterbatasan baik SDM,

dana pengembangan serta fasilitas pengujian yang dibutuhkan. Selain dari sisi

pemasaran, berdasarkan studi kelayakan yang telah dilakukan, PT DI juga perlu

meningkatkan aktivitas pendukung diantaranya adalah, pertama: pemilihan

manajemen yang professional, selain mengerti aspek teknologi juga menguasai

manajemen bisnis secara professional terutama dunia industri kedirgantaraan.

Kedua, diferensiasi pesawat terutama untuk merebut segmen pasar tertentu dari

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 266: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

244

Universitas Indonesia

pesaingnya. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang

ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil adalah memberikan beberapa

pelajaran penting: pertama, terkait dengan diferensiasi peswat, dalam kasus

Embraer, proses upgrading baik dari turboprop ke Jet tidak serta merta harus

beringan dengan peningkatan kapasitas penumpang. Dalam hal penggunaan

teknologi canggih seperti fly by wire, pada tahap awalnya, Embraer tidak segera

memasukkan fitur fly by wire walaupun pada tahap upgrading ke pesawat jet

ERJ-145. Fly by wire baru di install pada ERJ 170/190. Langkah tersebut tentunya

membuat harga pesawat semakin kompetitif. Dalam kasus IPTN, penggunaan fly

by wire secara dini khususnya pada pesawat N 250 telah menyebabkan harga

pesawat semakin tinggi bahkan proses sertifikasi menjadi lebih kompleks. Kedua,

launcing pengembangan pesawat long range jet N 2130 (diatas 100 penumpang),

ada baiknya ditunda, karena selain menuntut kemampuan ekonomi perusahaan,

juga untuk menghindari persaingan langsung dengan raja dikelas ini yaitu Boeing

dan Airbus. Pelajaran ketiga, adalah tiap tahapan upgrading pesawat terbang,

seyogyanya disertai juga dengan upgrading nilai tambah yang diperoleh dengan

meningkatkan kemampuan produksi, hal ini merupakan salah satu faktor

keberhasilan Embraer dalam upgrading EMB 110 ke EMB 120 yang sekelas N

250. Sebelum beranjak ke EMB 120, sejak 1969 hingga 1983, EMB 110

menguasai pasar domestik dengan total produksi sekitar 3.983 Pesawat atau 265

pesawat per tahun.

4) Rekonstruksi konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value

chain (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep

tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka menjamin

terjadinya kemandirian teknologi dirgantara yang dihasilkan melalui penguasaan

kemampuan pengembangan teknologi di Indonesia adalah: Pertama, selain

dukungan pada level regulasi arah pembangunan nasional juga dibutuhkan

dukungan politik dari pemerintah. Artinya pada level kebijakan, untuk

keberhasilan industri pesawat terbang nasional, dilakukan pengayaan dengan

memasukan konsep Meriles S. Grindle (1980) terkait pentingnya dukungan politik

pemerintah. Kedua, dibutuhkannya hubungan dua arah antara level kebijakan

dengan level sektoral khususnya sektor riset iptek terutama dalam upaya

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 267: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

245

Universitas Indonesia

mengarusutamakan (mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor

dirgantara dalam proses perancangan pembangunan nasional. Dalam rangka itu,

sektor Iptek harus meningkatkan pelaksanaan koordinasinya untuk merumuskan

satu roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan yang melibatkan seluruh

stakeholder terkait, sehingga roadmap tersebut dapat menjadi naskah akademik

yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses teknokratik penyusunan

RPJPN. Ketiga, selain adanya hubungan dua arah antara level kebijakan dengan

level organisasi, rekonstruksi model juga menyangkut adanya improvement pada

level operasional. Setelah tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan

upgrading dilakukan dan di evaluasi. Pada tahap improvementnya tidak hanya

terbatas pada level kebijakan maupun level organisasi semata, bahkan

peningkatan kinerja pada level industri sendiri yaitu peningkatan kemampuan

manajemen itu sendiri juga diperlukan. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat

Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang sehingga

survive dan berkelanjutan adalah bukan hierarki murni, karena dalam konteks

upgrading teknologi pesawat terbang, selain kebutuhan atas intervensi pemerintah

secara jangka panjang, kebutuhan atas kemampuan lead firm dalam melakukan

codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement lead firm

juga sangat tinggi

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 268: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

246

Universitas Indonesia

7.2. Rekomendasi Berdasarkan temuan lapangan, ada beberapa rekomendasi yang diberikan

berdasarkan peran masing-masing aktor dalam proses transformasi:

7.2.1. Saran Untuk Pemerintah:

1. Jika pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah sektor dirgantara

khususnya pengembangan pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan

kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan

pesawat N 219, N 245 (upgrading dari CN 235) ataupun program R-80

(upgrading dari N 250), maka selain dibutuhkan dukungan secara

regulasi juga dibutuhkan dukungan politik pemerintah. Dukungan

regulasi adalah dinyatakannya baik dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJPN) maupun dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Karena melalui

pencantuman arah pembangunan iptek sektor dirgantara dalam kedua

dokumen tersebut, dapat menjamin dukungan kebijakan pada level

sektor untuk pengembangan sektor dirgantara. Selain memperkuat

dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara,

dukungan politik secara internasional dari pemerintah juga sangat

dibutuhkan terutama dalam melakukan promosi produk pesawat

nasional baik melalui WTO maupun melalui momen-momen

International Airshow. Pengalaman negara-negara maju menunjukkan

bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang memiliki

kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting,

tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting

adalah sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada

skala internasional baik antara pemerintah maupun dengan mitra

industri.

2. Dalam rangka memasukkan arah pembangunan iptek sektor dirgantara

tersebut, Kementerian Ristek sebagai lembaga yang mengkoordinasi

kegiatan litbang nasional harus meningkatkan kemampuannya melalui

proses teknokratik horisontal, sehingga dapat diperoleh satu konsensus

dari semua stake holder terkait arah pembangunan sektor dirgantara

kedepan. Untuk memperkuat proses tersebut, Kementerian Ristek

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 269: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

247

Universitas Indonesia

dibantu dengan Dewan Riset Nasional serta DEPANRI seyogyanya

memiliki roadmap pengembangan teknologi dirgantara. Roadmap

tersebut sekaligus sebagai pendekatan akademis yang dapat digunakan

dalam proses teknoratik dalam proses perumusan RPJPN maupun

RPJPMN dengan BAPPENAS dan Kementerian Keuangan. Di dalam

Road map tersebut juga harus telah mengakomodir perubahan politik

terkini, khususnya arah pembangunan yang termuat dalam Nawa Cita

Jokowi JK.

3. Untuk meningkatkan kemampuan produksi industri pesawat terbang,

pemerintah seyogyanya menjadi pasar pertama untuk pemasaran

pesawat terbang produk industri dalam negeri misalnya pada

penggunaan pesawat N 219, CN 235. Melalui langkah tersebut, tidak

hanya meningkatkan cashflow ekonomi industri dalam negeri juga

dapat semakin menarik pasar internasional untuk menggunakan

produksi industri pesawat terbang dalam negeri.

4. Untuk meningkatkan kompetisi industri dalam menjual produk pesawat

terbang yang dihasilkan, pemerintah seyogyanya dapat memberikan

insentif berupa sistem leasing dan kredit ekspor dari perbankan nasional

untuk penjualan pesawat terbang.

7.2.2. Saran Untuk PT DI

1. Untuk menjaga kesinambungan atas kemampuan upgrading

teknologinya, PT DI harus melakukan sejumlah program recovery

seperti: penguatan design centre; Perekrutan SDM baru; Pembangunan

dan atau upgrading infrastruktur; dan melakukan tour of duty.

2. Untuk keberhasilan upgrading teknologi pesawat terbang, baik untuk

pesawat R-80, program N 245 dan program-program sejenis, maka PT

DI harus melakukan kajian pemasaran secara mendalam baik terkait

potensi ekonomi termasuk posisi pesawat yang merupakan pesaing

langsung dari pesawat yang diupgrading.

3. Pihak manajemen harus meningkatkan kemampuan negosisasinya baik

dengan pemerintah maupun dengan pihak investor dalam negeri

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 270: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

248

Universitas Indonesia

maupun luar negeri, bahwa produk yang akan dikembangkan memang

layak tidak hanya secara teknologi tetapi secara ekonomi. Masih

termasuk dalam lingkup ini, adalah kemampuan bernegosiasi dengan

kalangan perbankan nasional perlu semakin ditingkatkan guna untuk

menyakinkan pihak perbankan, bahwa bisnis pesawat terbang adalah

bisnis yang menguntungkan.

4. Pihak manajemen harus benar-benar mampu mengidentifikasi

segmentasi pasar yang akan dibidik, hal ini menuntut pihak industri

harus mampu menganalisis jenis dan ukuran pesawat yang sangat

kompetitif. Seperti halnya pengalaman Embraer, ketika melakukan

upgrading dari EMB 110 ke pesawat turbo prop EMB 120, Embraer

Brazil tidak langsung bermain pada kelas diatas 50 penumpang yang

berkonsekuensi akan head to head dengan raksasa dikelas itu yaitu

Boeing dan Airbus, namun EMB 120 tersebut hanya bermain pada

kapasitas 30 penumpang. Bahkan ketika upgrading ke pesawat jet,

Embraer tidak hanya mengeluarkan pesawat ERJ-145 versi 50

penumpang, bahkan kemudian Embraer juga memproduksi ERJ-145

dengan versi 37 penumpang.

7.2.3. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya

1. Penelitian ini memiliki keterbatasan disebabkan analisis dilakukan pada

ketiga level hierarkis proses kebijakan, sehingga hal ini terkadang

mereduksi aspek pada masing-masing level hierarki proses kebijakan

itu sendiri.

2. Penelitian ini memiliki keterbatasan karena baru menganalisis

kebijakan upgrading teknologi pada GVC Tipologi Hierarki, dan

menafikan adanya transisi antara tipologi.

3. Penelitian ini perlu dilanjutkan menganalisis secara mendalam

hubungan antara struktur GVC yang menitiberatkan pada koordinasi

antara PT DI dengan vendors komponen pesawat terbang dengan

struktur internal organisasi PT DI.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 271: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

249

Universitas Indonesia

4. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk menganalisis secara mendalam

terkait pentingnya nasionalisme teknologi untuk pembangunan sektor

dirgantara.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 272: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

250

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Anderson, J.E. (2011). Public Policymaking.Seventh Edition. Wadsworth. Birkland, T.A. Agenda Setting in Public Policy.In Handbook of Public Policy

Analysis Theory, Politics, and Methods. Executive Editor Jack Rabin. CRC Press.

Bisry, R.M. dan Hidayat, M. (1998). The Role of BPPT In Indonesia’s Technology

Development. BPPT. Bromley, Daniel B. (1989). Economic Interest and Institutions: The Conceptual

Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell Inc. Brough, C. (2005). Open Innovation: A New Paradigm For Understanding

Industrial Innovation, Chapter 1. Oxford University Press, 2006. ----- et. al (2011). Open Innovation And Public Policy In Europe. Esade Business

School & The Science I Business Innovation Board Aisbl. Cattaneo, Gereffi, dan Staritz (2010). Global Value Chains in a Postcrisis World:

A Development Perspective. The World Bank. Washington, DC Checkland, Peter (1999). Soft Systems Methodology: A 30 – year Retrospective,

Willey, Chichester. ------ and Scholes. (1990). Soft Systems Methodology in Action. England: John

Wiley & Sons Ltd. ------ and Poulter, J. (2006). Learning for Action: A Short Definitive Account of

Soft Systems Methodology and its use for Practitioners, Teachers, and Students. England: John Wiley & Sons Ltd.

Commission Staff Working Document (2013). EU 2013 Report On Policy

Coherence For Development. European Commission. Djojodihardjo, H. (2000). Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek,

Editor: Darwin Sebayang. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. ------------------ dan Sebayang, D. (2000). Pembudayaan Iptek melalui

pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.

Dye, T. R. (2002). Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 273: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

251

Universitas Indonesia

Etzkowitz, H. (2008). The Triple Helix: University–Industry–Government Innovation in Action. Routledge.

Flood RL. (1999). Rethinking The Fifth Discipline. Learning With in The

Unknowable. Routledge, London. Figueiredo, P.N. (2007). Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework:

Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, University of Oxford, Department of International Development.

Gabrielian, V., Yang, K., dan Spice, S. (1999). Qualitative research methods. In

Gerald J.Miller and Marcia L. Whicker (Eds.). Handbook of Research Methods in Public Administration. New York: Marcel Dekker, Inc

Grindle, M.S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World.

Princeton University Press and Princeton New Jersey Habibie, B.J.. (1994). Progress Report Prof.Dr.-Ing. Dr.Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf

Habibie In Assting The President of The Republic of Indonesia/The MPR Mandatory H.Muhammad Soeharto. 1974-1994.

-----------------. (1995). Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa:

Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. CIDES. Hatch, M.J. (1997). Organization Theory: Modern, Symbiotic, and Postmodern

Perspective. Oxford University Press. Humphrey dan Scmitz (2000). Governance and Upgrading: Lingking Industrial

Cluster and Global Value Chain Research , IDS Working Paper 120. Howlett, M. and Ramesh, M. (2003). Studying Public Policy: Policy cycles and

policy subsystems. Second Edition. Oxford: Oxford University Press. Irahali, Lili. (2001). Dirgantara Indonesia dalam Perspektif Sejarah. 25 Tahun

PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.

Kahn, M., Martins de Melo, L., and Pessoa de Matos, M.G.(2014). Financing

Innovation. Routledge. Kaplinsky, R., and Morris, M. (2000). A Handbook For Value Chain Research.

Bellagio Workshop in September 2000. Kasali, Rhenald. (2001). Dirgantara Berfikir Secara Bisnis. 25 Tahun PT.

Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.124. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 274: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

252

Universitas Indonesia

Kay, A. (2006). The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence

Massachhusetts: Edward Elgar Publishing Kian, Wie Thee (2005b). Technology and Indonesia’s Industrial Competitiveness.

ADB Institute. Koesman, Aboeng (2001). Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara

Indonesia: Membuka paradigma baru. h.56. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab

Kun-Ming (KM) Tsai (2011). How can companies within global value chains

capture value from innovations? Dissertation Doctor of Philosopsy. University of Maryland University College.

Liem, L. dan Muhammad, H (2001). Pendidikan Real Time Software Engineering

untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.

LIPI, Agustus 2006, Indonesian Science and Technology Indicators, LIPI Press,

2006. Lubis, S.B. Hari dan Martani Huseini (1987). Pengantar Teori Organisasi: Suatu

Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI Lucy Yi, S. (2013). A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A

Phenomenological Study. Published by Pro Quest LLC (2013). Maka, A. Makmur (2013). Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua. Momentum

Telah Berlalu: Konsipirasi Melawan N 250. Penerbit Edelweiss. Depok. ------------------------- (2012). Biografi Bacharudin Jusuf Habibie: Dari Ilmuan ke

Negarawan sampai “Minandito”. PT. THC Mandiri-Jakarta. Majone, G. (2006). Agenda Setting. In The Oxford Handbook Of Public Policy.

Edited By Michael Moran, Martin Rein, And Robert E. Goodin. Oxford University Press.

Ming Tsai, K. (2012), How can companies within global value chains capture

value from innovations?, Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland University College, 2012. ProQuest LLC.

OECD ( 2009). Policy Coherence for Development,In Manageing Aid: practices

of DAC memmber Countries. Chapter 2. --------- (2008). Policy Brief: Policy Coherence for Development – Lessons

Learned

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 275: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

253

Universitas Indonesia

-------- (2009). Building Blocks for Policy Coherence for Development. ----------(2010). The OECD Innovation Strategy: Getting A Head Start On

Tomorrow. --------- (2005). Oslo Manual- Guidelines for Collecting And Interpreting

Innovation Data Oktaviyanti, D. dkk, 2014. Analisis Analisis Perkembangan Kebijakan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi. Papiptek-LIPI.

Pamungkas, S.B (2014). Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai

Nusantara di BAB II. BJ.Habibie: Menjadi Mangsa Naga Timur dan Barat. El Bisma.

Panitia Teknis DEPANRI. (2011). Naskah Akademik Pengembangan Pesawat N-

219 Untuk Mendukung Transportasi Daerah Terpencil Di Indonesia. LAPAN.

Porter, M.E (2001). Cluster of Innovation: Regional Foundation of U.S

Competitiveness. Monitor Group on the frontier Council On Competitiveness.

------------------ (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior

Performance. New York: Free Press. Rafiick, I. (2007). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi

1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, PT. Cahaya Insan Suci

Senge, P. (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning of

Organization.Bantam Doubleday Publishing Group, Inc. Stryker, W.N. (2007). Technology Leadership Forecasting And Warning: An

Analytic Methodology. In Handbook of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group.

The World Bank (2010). Innovation Policy A Guide for Developing Countries. The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC). (2012). Putting

policy coherence for deveopment into perspective: supporting Switzerland's promotion of PCD in Commodities Migration Tax Commissioned and tax policy. The European Centre for Development Policy Management (ECDPM).

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 276: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

254

Universitas Indonesia

Uchiyama, Kenichi (2009). A Concise Theoritical Grounding of Action Research:Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan.

Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan

Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. Tim Editor: Purwono, Lili ahali, Hendramin Djarab.

Zuhal. (2010). Knowledge and Innovation: Paltform Kekuatan Daya Saing. PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. JURNAL DAN MAKALAH Amir, Sulfikar (2007). Nationalist Rhetoric And Technological Development

Indonesian Aircraft Industry In The New Order Regime. Elsevier Anic, I.D., And Mustafa, N.(tanpa tahun). The Apple Industry In Croatia: A Value

Chain Analysis Approach. Ekonomski Institut, Zagreb. Balbachevsky, E. and Botelho, A. (2011). Science and Innovation policies in

Brazil: a framework for the analysis of change and continuity. Paper presented to the IPSA-ECPR Joint Conference.

Brown, K. dan Tiemann, T. (tanpa tahun), EU State Aid Policy and EC – Air Bus

Case. Chu Bo, Zhang Hua, Jin Fengjun, 2010. Identification And Comparison Of

Aircraft Industry Clusters In China And United States. Science Press, Northeast Institute of Geography and Agroecology, CAS and Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2010

Chen, Y. (2010). Value Chain Management Based on Open Innovation Strategy.

The 9th International Symposium on Operations Research and Its Applications

Djojonegoro, W. (1991). Towards A Science And Technology Policy Approach

Supporting Industrial Development Of Indonesia. International Conference on Changing Technology Issues nad Trends of Policy Research. Seoul Korea.

Dahlman, C.J. and Frischtak, C.R. (1990). National Systems Supporting Technical

Advance In Industry: The Brazilian Experience. The World Bank Industry and Energy Departement.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 277: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

255

Universitas Indonesia

Etzkowitz, H., dan Leydesdorf, L., (1990). The dynamics of innovation: from National Systems and ‘‘Mode 2’’ to a Triple Helix of university–industry–government relations. Elsevier Research Policy 29. 109–123.

Feinson, S. National Innovation System Overview and Country Cases. Center for

Science, Policy, and Outcomes Favreau (2009). Business Tactics: Value Chain Advantages. Canadian Forest

Industries. Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. Airbus and Boeing: Strengths and

limitations of strong states. http://search.proquest.com/docview/208277954?accountid=35812

Gassmann, O., Enkel, E. (n.d). Towards a Theory of Open Innovation:Three Core

Process Archetypes. Institute of Technology Management, University of St. Gallen, Switzerland

Gereffi, G., Humphrey, J. & Sturgeon, T. (2005, February). The Governance Of

Global Value Chain. Review of International Political Economy, 12(1), 78-104.

------ (2010). Global value chains and international competition. The Antitrust

Bulletin: Vol. 56, No. 1/Spring 2011 : 37. 2011 by Federal Legal Publications, Inc.

------ (2012). Latin America’s Prospects for Upgrading in Global Value Chains.

Center on Globalization, Governance & Competitiveness (CGGC), Duke University.

Gillett, D. and Stekler, H.O. (1995). Introducing Technologically Advanced

Products: Strategies in the Commercial Aircraft Industry: Comparative Study Boeing and McDonnell-Douglas Corporation in the late 1970s and early 1980s. North-Holland.

Hardjosoekarto, S. (2013). Dual Imperatives of Action Research: Lessons from

Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by Using Soft Systems Methodology. Human Resource Management Research, 3, 1, 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10.

-------------------.. (2012). Construction of social development index as a

theoretical research practice in action research by using soft systems methodology. Syst Pract Action Res. DOI 10.1007/s11213-012-9237-9.

..........................; Yovani, N.; Santiar, L. (2013). Institutional Strengthening for the Role of Mass Media in Disaster Risk Reduction in Japan and Indonesia: An

Application of SSM-Based Action. Research. Syst Pract Action Res. DOI 10.1007/s11213-013-9282-z.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 278: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

256

Universitas Indonesia

Humphrey, J. and Scmitz, H. (2002). How does insertion in Global Value Chains Affect upgrading in Industrial Clusters? Regional Studies, Vol. 36.9.

Jones, H.G. (1999). Entrepreneurial Success And Failure In The Aviation

Industry:The History Of The Waco Aircraft Company. Kaplan, S. and Winby, S. Open Innovation Network Looking outside the

organization for fresh ideas and promising new opportunities. http://www.innovation-point.com

Kian, Wie Thee (2005a). Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology

Development, Sano-Shoin, Hitotsubashi University, Kunitachi, Tokyo. Laporan WTO (1999). Brazil – Export Financing Programme Foraircraft Report

Of The Panel. Malherbe, G. and Stanway, G. (2010). Corporate Innovation At Work: Defining

the Innovation Consortium. (2010). Virtual Consulting International Ltd. New York.

McKendrick, D. (1992). Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian

Aircraft Industry. Bulletin of Indonesian of Economic Studies. Vol 28 No.1, April 1992.

McPhee and Wheeler (2006). Making the case for the added-value chain. Emerald

Group Publishing Limited. VOL. 34 NO. 4 2006, pp. 39-46, McKay and Marshall, P. (2001). The Dual Imperatives of Action Research.

Information Technology & People, Vol. 14 No. 1, 46-59.MCB University Press.http://www.emerald-library.com/ft.

Milling, P.M. and Maier, F.H. Dynamic of R&D and Innovation Diffussion

Industrieseminar der Universitat Mannheim. Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti (2006). Global Value Chains and

Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries. Università Commerciale Luigi Bocconi – CESPRI Via Sarfatti, 25 20136 Milano.

Okamoto, Y. and Fredrik Sjöholm, F. (2001). Technology Development In

Indonesia.Working Paper No. 124 May 2001. The European Japanese. Institute

Pritchard, D. (2010). A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US

Commercial Aircraft Supply Chain. Canada-United States Trade Center, Department of Geography, University at Buffalo.

Samadikun, S. (1993). Sistem IPTEK Nasional dalam Usaha untuk Meningkatkan

Kemampuan Bangsa dalam Bidang Elektronika dan Telekomunikasi. Makalah disampaikan dalam seminar : “Penerapan Teknologi Digital dalam

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 279: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

257

Universitas Indonesia

Pembangunan Telekomunikasi Era PJPT II” Diselenggarakan oleh: ALTUB – PAJ – YBB – AVARINDO Gedung Indosat.

Stewart, T.P. (2007). China’s Industrial Subsidies Study:High Technology. Steenhuis, H.J. and De Bruijn, E.J (2004). High Technology In Developing

Countries:Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry.

---------------------------------------------------- (2001). Developing countries and the

aircraft industry: match or mismatch.Elsevier. Tae Hwan Cho. Challenge In Research and Development For The Korean

Aircraft Industry. Chapter Fourteen. Wall, S.E. (2013). Programa de Financiamento às Exportações: An analysis of

Brazil’s PROEX export financing program. Wamae, W. (2006). A Survey of Innovation Policies in Developing Countries:

Lessons and Case Studies. Policy and Science Program Area. William Davidson Institute, 2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony.

Published by GlobaLens, a division of The William Davidson Institute at the University of Michigan

Williamson, Oliver E. (1975). Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust

Implications. New York: The Free Press. --------------. (1985). The Economic Instituions of Capitalism: Firm, Markets,

Relational Contracting, New York: The Free Press. --------------. (1994).“Transaction Cost Economics and Organization

Theory.”Pages 77-107 in The Handbook of Economic Sociology, edited by Neil Smelser and Richard Swedberg. New York: Russell Sage Foundation

Williamson, J (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for

Development. p.1. A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. Institute for International Economics

------------------- (2004). A Short History of the Washington Consensus. h.2. Paper

commissioned by Fundación CIDOB for a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, September 24–25, 2004.

Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System

Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 280: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

258

Universitas Indonesia

PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN Republik Indonesia. UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan ------------------------ UU 25/2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional (Sisrenbangas) ------------------------ Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan

Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3Ei) ------------------------UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ------------------------Undang Undang No.8/1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia ------------------------Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014 -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor: II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

-----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004.

-----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun

1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa ----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun

1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia

----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976

Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong

LAIN-LAIN BI, Laporan Perekonomian Indonesia 2007. BPS, Juli 2007, Indikator Ekonomi ------, Statistical Year Book, tahun 1983 sampai 2004.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 281: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

259

Universitas Indonesia

KNRT, Buku Putih Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek KNRT 2005-2025

------, Juli 2006, Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah tahun 2005,

Kedeputian Bidang Program Riptek-KNRT, ------, Mei 2006, Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah tahun 2004,

Kedeputian Bidang Program Riptek-KNRT ------. (2001). Direktori RUT IV-VI. ------,(2012), Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. ------, (2013), Kajian Evaluasi ARN 2010-2014 ----- , Jakstranas Iptek 2000-2004. ----- , Jakstranas Iptek 2005-2009 ----- , Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014. ------, Draft 5 Jakstranas Tahun 2015-2019 ------, Draft Agenda Riset Nasional 2015-2019 Mardianis, November 2013. Quo Vadis Keberadaan DEPANRI?. h.110-111.

Media Dirgantara, LAPAN. Media Indonesia Minggu (1995), Edisi 13 Agustus 1995. Membawa Gatotkoco

ke Pasar. Diakses lewat http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html

Sumbodo, S. (2014). XT-400: Proyek Pesawat Komuter yang mati sebelum lahir

dalam Majalah Airliner World, Edisi 12 tahun 2014. LAPAN. Sardjadji, Djoko. (2000). Ahli Pesawat dari Lereng Gunung Merapi,

http://www.angkasa-online.com/11/01/profil/profil1.htm (1 of 5)12/12/2006 8:29:37.

Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana. Beberapa

catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia. Disampaikan dalam Sidang Paripurna DRN 2014, Juni, 2014.

Pidato Menristek Prof Gusti Mummad Hatta dalam acara Lokakarya Dewan

Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan tema: “Iptek Penerbangan Yang Tangguh Dalam Era Globalisasi”, Jakarta, 20 Desember 2012 dihadapan Anggota KKIP, DEPANRI, LAPAN, LPNK, dan Pelaku Industri.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 282: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

260

Universitas Indonesia

Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa

http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:

dialog-kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014. Dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06.

https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-citaIndustriStrategis,Cita-cita

industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadal Kwik Kian Gie yang

http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-

belajar-dari-ntsb-540395.html). http://analisismiliter.com, http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-

belajar-dari-ntsb-540395.html. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_E-Jets. https://id-id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan-

N2130/214383261923875?v=info Company Profile PT Dirgantara Indonesia PT DI, 2014. http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&arti

cle_category=5 diakses pada tanggal 12 Agustus 2014. http://www.indonesian-aerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus5 http://rzjets.net/aircraft/?typeid=137 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No.

002/UT0000/05/2013 tentang Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011). Master Plan Percepatan

Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 283: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

261

Universitas Indonesia

Paparan Prof Sofyan Effendi dalam FGD di Kementerian Ristek pada tanggal 10 September 2014. Masukan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek 2015-2019.

PT RAI, paparan dengan judul: Program R80 Investasi Bisnis Berbasis Visi.

dipaparkan didepan Menristek Prof Gusti Muhammad Hatta pada 2 juni 2014 .

FGD Kementerian Ristek, 2012, Paparan Dari Direktur Transportasi BAPPENAS. Berita Resmi Statistik-BPS. No. 14/02/Th. XVI, 5 Februari 2013 FGD Kementerian Ristek, 2013, Paparan dari Direktur Industri Unggulan

Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Paparan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana dalam

Sidang Paripurna DRN, Juni, 2014. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia

Paparan Sekretarsi Dewan Riset Nasional dalam Sidang Paripurna DRN, Juni

2014, Kebijakan Iptek Untuk Indonesia Yang Sejahtera dan Berdaulat Direktur Industri Iptek Dan Parekraf Bappenas, dalam Sidang Paripurna DRN,

Juni, 2014. Naskah Teknokratik Pembangunan Iptek RPJMN 2015-2019 Harian Republika, tanggal 3 Desember 1995 dengan judul: IDB akan bantu

leasing N 250. Tim sukses calon presiden Jokowi, Dr. Alexander Sonny Keraf, dalam Sidang

Paripurna DRN, Juni, 2014. Visi-Misi JW-JK Nawa Cita Joko Widodo- Jusuf Kala, Mei 2014. Visi, Misi, dan Program Aksi:

Jalan Perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 284: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

262

Universitas Indonesia

Lampiran 1. Ringkasan Hasil Riset Terdahulu

No Peneliti/tahun Judul Metode Hasil Critical Points

1 Wardiman

Dojonegoro/1991

Towards A Science and

Technology Policy

Approach Supporting

Industrial Development of

Indonesia

Deskriptif Dalam makalahnya tersebut,

menjelasakan bahwa empat strategi

transformasi industri atau yang dikenal

dengan “ start with the end and end

with the beginning” dengan salah satu

laboratoriumnya adalah IPTN lebih

cocok diterapkan di Indonesia, dengan

dua asalan:

1. Tahap pertama yang diarahkan pada

kemampuan memproduksi, selain

telah jelas memiliki nilai komersial

juga tidak membutuhkan biaya yang

sangat besar terutama untu kegiatan

litbang yang memiliki probalitas

gagal yang juga relatif tinggi.

Kemampuan pendanaan atau investasi

litbang untuk negara-negara

Dalam makalah

tersebut telah

menjelaskan

bagaimana dukungan

politik serta

kelembagaan IPTEK

beserta BPISnya,

namun tidak

menyinggung

bagaimana

kesinambungan

dukungan secara

politik terhadap BPIS

termasuk IPTN

merupakan faktor

yang sangat penting.

Yang kedua, analisis

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 285: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

263

Universitas Indonesia

berkembang masih sangat lemah dalam makalah

tersebut sangat

bersifat umum tidak

khusus pada IPTN.

2 David McKendrick/

1992

Obstacle to “catch- up”:

The case of the Indonesian

Aircraft Industry

Kualitatif Akumulasi kemampuan engineering

dan produksi tidak cukup menjadikan

IPTN sukses dalam komersialisasi

pesawat terbang komersial (terutama N

250) nya.

Dalam studinya, McKendrick

menemukan adanya kelemahan

manajemen dalam IPTN dan dalam

temuannya, McKendrick masih

mempertanyakan dukungan kebijakan

(pemerintah) terhadap IPTN terutama

terkait tidak adanya badan penerbangan

yang bersifat independen serta

lemahnya infrastruktur Iptek.

Studi tersebut lebih

bersifat mikro, belum

menyinggung bentuk

kebijakan pemerintah

dalam komersialisasi

pesawat terbang

nasional.

3 Howard G. Jones, Entrepreneurial Success Kualitatif Peran pemerintah dalam mendorong Walaupun dalam

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 286: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

264

Universitas Indonesia

III/1999

And Failure In The Aviation Industry:The History Of The Waco Aircraft Company, 1919-1963

peningkatan kegiatan litbang bahkan

menjadi pasar pertama bagi industri

pesawat terbang (untuk aplikasi militer)

merupakan faktor kunci keberhasilan

Industri Pesawat Terbang WACO.

studi tersebut telah

menggambarkan

hubungan antara

pemerintah dan

swasta, namun aspek

peran pemerintah

dalam

pengembangan

pesawat tersebut

masih umum yaitu

pada pendanaan

litbang dan

pemasaran.

4 Yumiko Okamoto dan Fredrik Sjöholm/2001

Technology Development In Indonesia

Kualitatif Bahwa kegagalan IPTN khususnya N

250 juga disebabkan lemahnya jejaring

PT DI dengan industri-industri

pendukungnya.

Kebijakan mendorong industri High

Tech akan cenderung gagal tanpa

Walaupun Telah

Menyinggung

Pentingnya

Dukungan Kebijakan

Dalam

Mengoptimalkan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 287: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

265

Universitas Indonesia

dukungan pembangunan infrastruktur

teknologi (baik secara kelembagaan

maupun secara teknis). Dan intervensi

pada level mikro (industri) akan efektif

jika dukungan infrastruktur dan SDM

yang cukup juga terpenuhi

Channel FDI Dalam

Upgrading

Teknologi, Namun

Tidak Dijelaskan

Bagaimana Bentuk

Dukungan

KebijakaN

TERSEBUT

5 Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006

Airbus and Boeing: Strengths and limitations of strong

Deskriptive

analysis

Diantara bentuk bantuan pemerintah

dalam pengembangan industri pesawat

terbang adalah mulai dari bantuan

pendanaan riset dan pengembangan,

pendanaan atau fasilitasi proses

kontruksi, bantuan SDM, pemasaran,

bantuan pengamanan kontrak penjualan

luar negeri dll. Bahkan Francis dan

Pevzner menekankan bahwa untuk

industrial policy untuk industri pesawat

terbang harus bersifat jangka panjang.

Belum dijelaskan

bagaimana dan apa

dukungan politik

yang dibutuhkan

dalam

pengembangan

industri pesawat

terbang.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 288: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

266

Universitas Indonesia

6 CHU, ZHANG dan

JIN/2010

Identification and Comparison of Aircraft Industry Clusters in China and United States

Multivariate Clustering (MC); and Principal Component Analysis (PCA) dan Czamanski′s method

Dalam pengembangan industri aircraft,

pemerintah harus meninggalkan pola

tradisional dalam berinovasi menuju

pola yang terbuka serta berorientasi

pasar. Selain itu, yang tidak kalah

pentingnya adalah pemerintah harus

merevitalisasi dan menyempurkan

rencana pembangunan kawasan atau

kluster industri aircraft.

Studi Chu, Zhang

dan Jin masih tidak

jelas bagaimana

seharusnya peran

pemerintah baiak

dalam konteks

kebijakan

pembangunan

maupun kebijakan

inovasinya

7 Kayleigh Brown dan

Tobias Tiemann

EU State Aid Policy and EC – Air Bus Case:

Deskriptive analysis

Dukungan pemerintah merupakan

faktor keberhasilan Airbush, dukungan

pemerintah tersebut tidak saja secara

ekonomi yaitu dalam bentuk grant of

subsidies dalam bentuk pengalihan

sewa dari producer asing ke producer

domestik) tetapi juga dalam bentuk

dukungan politik internasional

terutama penetrasi dalam organisasi

Tidak nampak

adanya kebijakan

inovasi serta

bagaimana

koherensinya dengan

kebijakan ekonomi

serta politik

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 289: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

267

Universitas Indonesia

perdagangan dunia (WTO) merupakan

dua faktor keberhasilan Airbush.

8 William Davidson Institute/2008

Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony

Kualitatif Dual use civil military technology

bersifat symbiotic, pengembangan

pesawat untuk program militer dapat

mendorong inovasi teknologi canggih,

sementara aplikasi untuk komersial

berkontribusi pada strategi efisiensi dan

reliabilitasnya.

Tidak membahas

pada aspek

transformasi industri

dari BUMN ke

swasta bagaimana

masing-masing

leverage peran

pemerintah dalam

mendorongnya

9 Suijun (Lucy) Yi/2013

A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study

Kualitatif Lucy merekomendasikan supaya dalam

creating new idea dan inovasi

teknologi, membangun kerjasama

Boeing dengan US Government sangat

penting dalam mempertahankan

keunggulan Boeing terhadap sejumlah

kompetitornya dalam perekonomian

Penelitian tersebut

tidak menjelaskan

bagaimana bentuk

peran tersebut.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 290: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

268

Universitas Indonesia

Global.

10 David Pritchard/2010

A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US Commercial Aircraft Supply Chain

Kualitatif Pritchard melakukan penelitian

terhadap sejumlah industri pesawat

terbang yaitu Boeing Amerika Serikat,

Airbus Eropa, Bombardier Canada,

United Aircraft Corporation (UAC)

Rusia, COMAC China, Embraer Brasil,

Industri Pesawat Terbang Meksiko dan

Industri Pesawat Terbang Italia. Dalam

hasil studi tersebut dijelaskan bahwa

berdasarkan pengalaman Airbus,

Bombardier Canada dll menunjukkan

bahwa dukungan pemerintah baik

langsung atau tidak langsung sangat

penting bagi industri pesawat terbang

terutama pada saat launcing pesawat

terbang baru di pasaran. Dalam industri

pesawat terbang Rusia yang disebut

United Aircraft Corporation (UAC),

Penelitian tersebut

sangat kurang

menggambarkan

secara detil

bagaimana bentuk

peran pemerintah

pada masing-masing

negara tersebut

kecuali Brasil.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 291: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

269

Universitas Indonesia

polanya sangat sentralistik dan

dikontrol langsung oleh negara. China,

bentuk dukungan pemerintahnya

tertuang dalam rencana pembangunan

sepuluh tahun. Brasil terkenal dengan

sejumlah koherensi kebijakan inovasi,

ekonomi dan pembangunannya, salah

satu contohnya adalah kebijakan ProEx

dan FINEPnya. Industri pesawat

terbang Italia sangat terkenal dengan

dukungan pemerintahnya terutama

dalam anggaran litbang dan

manufacturingnya. Adapun dukungan

Pemerintah Mexico dalam

pengembangan pesawat terbangnya

adalah bentuk dukungan financial.

11

Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart/2007

China’s Industrial Subsidies Study:High Technology

Kualitatif Kebijakan pemerintah China dalam

mendorong pengembangan industri

Dalam aspek makro

sudah diutarakan,

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 292: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

270

Universitas Indonesia

pesawat terbang tertuang secara tegas

baik dalam dokumen semacam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) yang disebut

sebagai Guideline for National

Economic and Social Development

periode (2006-2010) maupun secara

khusus dalam Rencana Jangka Panjang

Pembangunan (RPJP) IPTEKnya atau

yang disebut The Guideline for the

National Medium- and Long-Term

Science and Technology Development

Plan (2006-2020). Dan salah satu

kebijakan ekonomi China yang

mendorong aircraft product

manufacturing adalah cross-industry

subsidies untuk High Tech Industry.

Bahkan selain dukungan pemerintah

pusat, pemerintah daerah juga

namun pada tataran

koordinasi kebijakan

belum mengemuka.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 293: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

271

Universitas Indonesia

mendukung kebijakan tersebut.

12 Steenhuis dan Bruijn/

2001

Developing countries and the aircraft industry: match or mismatch

Kualitatif Pengalaman IPTN Indonesia menunjukkan bahwa walaupun memiliki kemampuan dalam technology transfer namun tidak diikuti efisiensi produksi dan kemampuan menjual.

Adapun kemampuan Brasil dalam desain sangat didukung oleh intensitas kegiatan litbangnya.

Dalam kesimpulannya, Steenhuis dan Bruijn menyatakan bahwa Environment (lingkungan kebijakan) merupakan faktor penting bagi keberhasilan pengembangan industri pesawat terbang nasional terutama dalam proses technology transfer

Namun dalam

studinya ini,

Steenhuis dan Bruijn

tidak

mengungkapkan

bagaimana bentuk

kebijakan pemerintah

dalam mendorong

industri pesawat

terbang.

13 Kian Wie Thee/2005a Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology Development

Kualitatif Selain menyinggung dukungan politik

pemerintah, Tee juga mengkritisi belum

adanya dukungan kebijakan sektor

lainnya seperti keuangan perbankan

Penelitian tersebut

tidak membahas

khusus industri

pesawat terbang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 294: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

272

Universitas Indonesia

atau layanan teknologi terkait standar

dll bagi pengembangan teknologi

industri.

tetapi secara umum

pada industri

berbasis teknologi.

14 Kian Wie Thee/2005b Technology and Indonesia’s Industrial

Competitiveness

Kualitatif Thee mengungkapkan bahwa pada

tahun 1990an sampai sebelum krisis

ekonomi 1997/1998, dengan adanya

dukungan politik yang kuat dari

Presiden Soeharto, IPTN mendapatkan

sejumlah dukungan pemerintah mulai

dari didirikannya Badan Pengelola

Industri Strategis (BPIS), sampai

dukungan pendanaan

Dual track strategi

industri yang senada

dengan perbedaan

antara

Habibienomics

dengan

Widjojonomics, dan

tidak

mengungkapkan

bagaimana

seharusnya dukungan

kebijakan sektor

lainnya terutama

sektor IPTEK bagi

pengembangan

industri pesawat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 295: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

273

Universitas Indonesia

terbang nasional.

15 Sulfikar Amir/2007 Nationalist rhetoric and

technological development Indonesian aircraft industry in the New Order regime

Kualitatif Nasionalisme teknologi adalah suatu bentuk ideologi yang berfungsi pada tiga level yaitu integrasi, legitimasi dan distorsi. Amir menjelaskan bahwa dukungan pemerintah baik secara politik dan pendanaan dalam pengembangan IPTN khususnya pesawata N 250 sangat dilatarbelakangi oleh masih kuatnya semangat nasionalisme pada pakar pengembang teknologi pesawat terbang yang kemudian didukung penuh oleh elit politik tertinggi pada waktu itu. Namun menurut Amir, nasionalisme teknologi masih mengandung paradoks, satu sisi mengusung spirit kemerdakaan yang puncaknya adalah kemandirian teknologi, namun pada sisi lain seolah-olah kemerdekaan dimaknai hanya sebatas pada kemandirian teknologi semata.

Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah untuk memperkuat nasionalisme tersebut dalam kemandirian teknologi pesawat terbang dalam konteks kekiniian.

16 Hwan Cho Challenge In Research and Development For The Korean Aircraft Indusrty

Kualitatif Bahwa untuk mencapai industry

pesawat terbang yang memiliki

kelayakan komersial, maka diperlukan

Walaupun teleh

menyinggung

kebijakan Iptek

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 296: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

274

Universitas Indonesia

dukungan jangka panjang pemerintah

baik dalam investasi nasional maupun

dukungan secara politik.

(pendanaan litban)

namun aspek

kebijakan ekonomi

maupun politik. yang

diungkap masih

bersifat umum

17 Steenhuis and Bruijn. High Technology In Developing Countries: Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry. The Focus Is On Brazil, China, Indonesia And Romania

Kualitatif Steenhuis dan Bruijn menekankan

bahwa komitmen jangka panjang

pemerintah Brasil dalam mendorong

pengembangan industri pesawat terbang

khususnya Embraer merupakan salah

satu faktor kunci, karena tidak seperti

yang terjadi dengan Rumania atau

Indonesia, walaupun pada tahun 1980an

Embraer dihadapkan pada krisis

ekonomi, namun pemerintah Brasil

berkomitmen untuk terus memberikan

dukungan terhadap perusahaan tersebut,

hasilnya setelah melewati masa-masa

Tidak menjelaskan

bagaiamana lesson

learned bagi

Indonesia dalam

kaitannya

bagaiamana

sejarusnya bentuk

konkrit peran

pemerintah dalam

melakukan koherensi

kebijakan Iptek,

Perindustrian dan

Perkonomian dan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 297: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

275

Universitas Indonesia

surive pada sebagian besar dalam

periode 1990an, akhirnya pada 1994,

Industri Embraer kembali profitable.

Pembangunannya

dalam komersialisasi

pesawat terbang

18 Daniel Vertesy and Adam Szirmai/2010

Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries

Sistem Dinamik Daniel Vertesy and Adam Szirmai

menganalisis peran lingkungan sistem

inovasi sektoral bagi industri

penerbangan nasional. Studi tersebut

menganalisis empat industri

penerbangan di empat negara yaitu

Embraer-Brazil, COMAC-China,

IPTN- Indonesia dan FMA-Argentina.

Salah satu faktor kegagalan Argentina

selain karena gagalnya privatisasi dan

kuatnya kontrol militer adalah tidak

adanya koherensi kebijakan inovasi,

industri, IPTEK, dan Pertahanan yang

didukung secara politik. Adapun

kegagalan Indonesia, hampir mirip

dengan Argentina, yaitu tidak adanya

Penelitian ini tidak

mengemukan

bagaimana simulasi

untuk kebijakan

untuk negara negara

berkembang lainnya

dengan

benchmarking pada

keberhasilan

Embraer Brasil.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 298: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

276

Universitas Indonesia

kesinambungan dukungan pemerintah

baik secara pendanaan dan secara

politik, hanya saja IPTN menurut

Vertesy dan Szirmai, juga walaupun

memiliki kemampuan dalam transfer

teknologi, namun kemampuan untuk

kegiatan manufacturingnya yang layak

secara ekonomi masih rendah. Adapun

China maupun Brasil, menurut Vertesy

dan Szirmai telah memiliki sejumlah

kebijakan yang koheren dan jangka

panjang dalam mendorong

pengembangan industri pesawat terbang

nasional baik pada kebijakan

pembangunan ekonomi, politik dan

perindustrian, bahkan contoh Brasil

menunjukkan komitmen pemerintah

tidak hanya pada lingkup domestik

bahkan untuk orientasi pasar

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 299: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

277

Universitas Indonesia

internasional.

19 Tae Hwan Cho Challenges In Research And Development For The Korean Aircraft Industry

Kualitatif Industri pesawat terbang harus didukung penuh dengan sejumlah kebijakan yang berkelanjutan seperti dukungan pendanaan litbang, investasi dll)

Belum secara detil

kaitan kebijakan

lainnya seperti

perindustrian,

perdagangan bagi

komersialisasi

pesawat terbang

20 Dave Gillett And H. O. Stekler/1995

Introducing Technologically Advanced Products: Strategies in the Commercial Aircraft Industry: Comparatvie Study Boeing and McDonnell-Douglas Corporation in the late 1970s and early 1980s

Kualitatif Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Perusahaan Pesawat Terbang McDonnell-Douglas Corporation yang memiliki visi militer ketika memproduksi pesawat baru versi sipil lebih tidak sensitif terhadap kemungkikan resiko kegagalan dibandingkan dengan Perusahaan Pesawat Terbang Boeing Aircraft Company yang memang memiliki visi bisnis.

Dalam kajian

tersebut tidak

mengemukakan

bagaimana aspek

dukungan

pemerintah/kebijakan

bagi pengembangan

kedua jenis industri

yang berbeda visi

tersebut.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 300: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

278

Universitas Indonesia

21 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frihtak/1990

National Systems Supporting Technical Advance In Industry: The Brazilian Experience

Kualitatif Koherensi kebijakan inovasi dan

industri Brasil mulai dirasakan ketika

tahun 1972, pemerintah Brasil

mendirikan the Special Sectariat for

Science and Technology dibawah the

Ministry of Industry and Commerce

(MIC), dimana badan ini

mengkonsolidasi dan membantu

menjalankan tupoksi MIC terutama

dalam program pendanaan litbang

industri, diseminasi informasi teknologi

dan pengaturan sistem hak dan

kekayaan intelektual-HKI, dan

standard.

Sejak tahun 1973, Pemerintah Brasil

juga mendirikan satu badan yang

disebut FINEP (Agency for Financing

Studies and Projects) guna memberikan

insentif keuangan dalam mendorong

Studi tersebut telah

mengemukakan dua

dari tiga fase dari

siklus koherensi

kebijakan (political

commitmentt dan

policy coordination),

namun belum

disinggung sejauh

mana kinerja FINEP

maupun the Special

Sectariat for Science

and Technology

dibawah the Ministry

of Industry and

Commerce terutama

dalam

pengembangan

pesawat terbang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 301: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

279

Universitas Indonesia

pengembangan kemampuan teknologi

industri lokal salah satunya adalah riset

industri bidang aeronautics Embraer.

Sebagaimana halnya the Special

Sectariat for Science and Technology,

FINEP juga diarahkan untuk

mendorong standar atau sertifikasi

terutama untuk standar ekspor.

nasional.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 302: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

280

Universitas Indonesia

Lampiran 2 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori-Level Kebijakan

No Aktifitas Model Konseptual

Real World

Refleksi Dengan Kerangka Teori

Diskripsi Aktifitas Keluaran (output) Aktifitas

(idea atau nilai)

1 Mengumpulkan bahan-bahan evaluasi pembangunan kedirgantaraan pada periode sebelumnya.

Menganilisis hasil Implementasi Kebijakan Dirgantaraan dalam GBHN 1993 dan 1998 dan dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJPMN 2005-2009; 2010-2014

Hasil Evaluasi Implementasi Kebijakan Kebijakan Dirgantaraan dalam GBHN 1993 dan 1998 dan dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJPMN 2005-2009; 2010-2014

Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan (Bromley, 1989)

2 Mengumpulkan pemikiran-pemikiran visioner terkait pembangunan Kedirgantaraan

Melakukan serangkaian FGD antara BAPPENAS, Kementerian Ristek bersama Dewan Riset Nasional yang merupakan representatif dari seluruh stakeholder iptek dari semua bidang Iptek untuk menganalisis isu-isu strategis pembangunan Kedirgantaraan

Hasil analisis terhadap isu-isu strategis pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJPN

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972); Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.

3 Menyusun rancangan awal arah pembangunan Kedirgantaraan

Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait terutama dengan BAPPENAS, Kementerian Ristek bersama Dewan Riset Nasional untuk menyusun rancangan awal sebagai masukan untk rancangan RPJPN terkait arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan

Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk RPJPN yang juga didalam telah terdapat draft rancangan awal arah pembangunan Kedirgantaraan

Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 303: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

281

Universitas Indonesia

4 Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan selanjutnya dibahas dalam Musrenbang RPJP Nasional yang dihadiri oleh segenap pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, lembaga-lembaga non-pemerintah, para penyelenggaran negara, maupun individu yang berminat terhadap pemikiran-pemikiran jangka panjang

Fungsi koordinasi Kementerian Ristek masih sangat lemah, baik melalui Jakstranas maupun melalui instrumen Agenda Riset Nasional, keteracuan para stake holder iptek terhadap kedua dokumen tersebut masih sangat lemah, hal ini menyebabkan bargaining position sektor Iptek dalam Musrenbang menjadi tidak terinterkoneksi antar satu sektor teknis dengan sektor lainnya. Ditambah lagi, bahwa kemenristek tidak sendiri belum memiliki Road Map teknologi yang dapat dijadikan sebagai naskah akademik dalam pembangunan sekttor kedirgantaraan.

Rancangan Awal RPJPN yang juga didalam telah terdapat rancangan akhir arah pembangunan Kedirgantaraan.

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan

5 Dengan mempertimbangkan aspirasi para pemangku kepentingan yang tertampung dalam Musrenbang ini, Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan diatas diperbaiki dan kemudian menjadi Rancangan Akhir yang akan dimasukkan dalam RPJP Nasional.

Pada tahap ini telah didapatkan konsensus terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN

Rancangan Akhir RPJPN yang juga didalam telah terdapat rancangan akhir arah pembangunan Kedirgantaraan.

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat

6 Rancangan Akhir RPJP yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut disampaikan ke Presiden dan bila perlu dibahas dalam Sidang Kabinet

Pada tahap ini dibangun konsensus pemerintah terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN

Rancangan Akhir berdasarkan konsensus pemerintah terhadap arah pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJPN

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 304: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

282

Universitas Indonesia

7 Rancangan Akhir RPJP Nasional Rancangan Akhir RPJP Nasional yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut selanjutnya diajukan ke DPR sebagai Rancangan Undang Undang tentang RPJP Nasional inisiatif Pemerintah.

Melakukan proses pengajuan legislasi arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN

Rancangan UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan akan dilakukan legislasi

Mekanisme pasar memerlukan biaya tertentu: menemukan harga yang relevan, negosiasi, dan menegakkan kontrak Williamson (1975,1985,1994), dan Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972).

8 Setelah melewati proses legislasi dan disetujui untuk diundangkan, RPJP Nasional yang baru yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut ditetapkan dengan Undang Undang.

Melakukan proses legislasi tahap final dan mendapatkan persetujuan DPR

UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan ditetapkan.

9 RPJP kemudian menjadi acuan dalam penyusunan RPJPMN

Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat

10 Penyiapan rancangan awal RPJPMN

Melakukan penyiapan rancangan awal RPJPMN berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJPMN sebelumnya

Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk RPJPMN

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan

11 Penyiapan rancangan renstra yang non teknoratik

Melakukan penyiapan rancangan renstra K/L non teknortaik untuk menjadi bahan acuan awal penyusunan RPJPMN

Draft rancangan renstra K/L non teknortaik

12 Penyusunan rancangan RPJPMN berdasarkan rancangan renstra KL

Melakukan penyiapan rancangan awal RPJPMN berdasarkan renstra KL

Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 305: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

283

Universitas Indonesia

RPJPMN bedasarkan pada penelaahan pada renstra KL

pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan

13 Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah Nasional (teknoratik)

Fungsi koordinasi Kementerian Ristek masih sangat lemah, baik melalui Jakstranas maupun melalui instrumen Agenda Riset Nasional, keteracuan para stake holder iptek terhadap kedua dokumen tersebut masih sangat lemah, hal ini menyebabkan bargaining position sektor Iptek dalam Musrenbang menjadi tidak terinterkoneksi antar satu sektor teknis dengan sektor lainnya. Ditambah lagi, bahwa kemenristek tidak sendiri belum memiliki Road Map teknologi yang dapat dijadikan sebagai naskah akademik dalam pembangunan sekttor kedirgantaraan.

Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan yang telah diperdalam melalui proses teknoratik

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan

14 Penyusunan Rancangan Akhir RPJPMN

Pada tahap ini dibangun konsensus pemerintah terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJMN

Rancangan Akhir berdasarkan konsensus pemerintah terhadap arah pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJMN

15 Penetapan RPJPMN dengan Perpres

Melakukan proses pengajuan legislasi termasuk arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Perpres

RPJMN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan telah ditetapkan dalam Perpres.

Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.

16 Sosialisasi Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan ke Instansi terkait

Melakukan sosialisasi terhadap seluruh stakeholder terkait UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek

Telah dilakukan sosilasi terhadap seluruh stakeholder terkait UU RPJPN yang didalamnya memuat arah

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 306: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

284

Universitas Indonesia

kedirgantaraan pembangunan iptek kedirgantaraan

diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 307: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

285

Universitas Indonesia

Lampiran 3. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori

No Aktifitas Model Konseptual

Real World

Refleksi Dengan Kerangka Teori dan/atau implementasi best practices

negara lain

Diskripsi Aktifitas Keluaran (output) Aktifitas

(idea atau nilai)

1 Mengadakan FGD yang melibatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia

Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait terutama antar Menristek sebagai wakil ketua DEPANRI, Kementerian Ristek dengan BAPPENAS

Terbentuk kesamaan visi dan konsensus dalam pengembangan Industri Penerbangan Nasional

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972).

2 Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

Melakukan analisis kebijakan pengembangan pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

Analisis kebijakan terkait upgrading teknologi industri pesawat terbang

Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan ataupeningkatan kebijakan (Bromley, 1989); Evaluasi Kebijakan (Dye, 1972).

3 Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal sebagai payung hukum dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

Melakukan koordinasi untuk membentuk task force dalam pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

Susunan task force dalam pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia yang melibatkan segenap lembaga pemerintah beserta statke holder lainnnya,

Level hierarki proses kebijakan pada level kebijakan (Bromley, 1989).

4 Melakukan penelahaan terhadap Melakukan penelaahan pustaka atas Hasil penelaahan pustaka atas Peran pemerintah, industri dan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 308: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

286

Universitas Indonesia

bentuk peran antar lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

best practice terkait mekanisme kerjasama antara lembaga dalam pengembangan industr pesawat terbang

best practice terkait mekanisme kerjasama antara lembaga dalam pengembangan industr pesawat terbang

stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Sinergi antara ABG dalam model triple helix (Etzkowitz, 2000). Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.

5 Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait yaitu PT DI, PT RAI, LAPAN BAPPENAS, Kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian guna menyusun sinergi Nasional dalam pengembangan R-80.

Susunan Tim atau Sinergi Nasional dalam pengembangan antar sektor atau lembaga

6 Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.

Menyusun naskah akademik terkait Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.

Satu Naskah akademik terkait Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.

Lembaga FINEP maupun dan The Special Sectariat for Science and Technology merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan teknologi dirgantara Brazil (Dahlman dan Frischtak, 1990). Bahkan di sektor perbankan, dalam rangka mendukung pembiayaan inovasi, di tahun 1960 didirikan The Brazilian Development Bank-BNDES (Kahn, De Melo, dan De Matos, 2014). Di aspek pemasaran, sejak 1991-2000, telah dikeluarkan Kebijakan ProEx (1991-2000), yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 309: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

287

Universitas Indonesia

(Pritchard, 2010). 7 Mendesain sistem pendanaan

pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia

Pada tahap ini telah dilakukan FGD antara Kemenristek dan stakeholder lainnya dengan Kementerian Keuangan untuk membahas sistem pendanaannya

Sistem pendanaan upgrading teknologi pesawat terbang komersial

Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat

8 Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan

Pada tahap ini Sistem pendanaan pesawat terbang komersial R 80 diajukan ke Kementerian Keuangan

Draft Sistem pendanaan upgrading teknologi pesawat terbang yang disetujui Kementerian Keuangan

Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan

9 Mendapatkan Persetujuan DPR. Melakukan proses legislasi Sistem pendanaan pesawat terbang komersial R 80 yang disetujui DPR

Mekanisme kolaborasi kelembagaaan dalam upgrading teknologi pesawat terbang komersial telah dilegalisasi

Peran pemerintah, industri dan stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 310: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

288

Universitas Indonesia

Lampiran 4. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori (Level Operasional).

No Aktifitas Model Konseptual

Real World Refleksi dengan Kerangka Teori dan/atau implementasi best practices negara lain Diskripsi Aktifitas

Keluaran (output) Aktifitas (idea atau nilai)

1 Mengukuhkan visi dan

misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.

Analisis visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.

Hasil analisis analisis visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.

Perusahaan Pesawat Terbang McDonnell-Douglas Corporation yang memiliki visi militer ketika memproduksi pesawat baru versi sipil lebih tidak sensitif terhadap kemungkikan resiko kegagalan dibandingkan dengan Perusahaan Pesawat Terbang Boeing Aircraft Company yang memang memiliki visi bisnis (Gillett dan Stekler, 1995).

2 Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)

Analisis prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)

Hasil analisis prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)

Mengembangkan core business yang semula hanya aircraft designer juga ke arah system assembler (Dahlman dan Frischtak 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010

3 Memperkuat komposisi SDM secara optimal antara non technical dan SDM yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya.

PT DI bersama PT RAI dan Anggota Panitia Teknis DEPANRI mempersiapkan bahan untuk di presentasikan dihadapan Kemenristek sebagai wakil ketua DEPANRI

Hasil Penelaahan terkait roadmap pengembangan pesawat terbang

Akumulasi kemampuan engineering dan produksi menjadikan IPTNadalah sarat perlu untuk sukses dalam komersialisasi pesawat terbang komersial (McKendrick,1992 dengan judul Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry);

4 Menargetkan peningkatan delivery core business maupun plasma bisnis

Analisis dokumen pembangunan nasional yang mendukung upgrading teknologi pesawat terbang nasional.

Hasil analisis dokumen pembangunan nasional yang mendukung upgrading teknologi pesawat terbang nasional.

Selain kemampuan dalam technology transfer, juga faktor keberhasilan industri pesawat terbang adalah pada kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001)

5 Mengembangkan Strategi pemasaran/penjualan

Menyiapkan Strategi pemasaran/penjualan Jangka

Hasil analisis studi pemasaran/penjualan Jangka

1. Menemukan segmentasi pasar yaitu menganalisis jenis pesawat yang cocok (Dahlman dan Frischtak

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 311: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

289

Universitas Indonesia

Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”

Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”

Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”

1990; Vertesey dan Szirmai, 2010). 2. Strategi dual use civil military technology bersifat

symbiotic, pengembangan pesawat untuk program militer dapat mendorong inovasi teknologi canggih, sementara aplikasi untuk komersial berkontribusi pada strategi efisiensi dan reliabilitasnya (Gillett dan Stekler, 1995; William Davidson Institute, 2008)

3. Selain kemampuan dalam technology transfer, juga bagi keberhasilan industri pesawat terbang adalah dibutuhkan kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001).

4. Embraer melakukan upgrading kemampuan dalam penguasaan pesawat terbang dimulai dengan pesawat turboprop ukuran kecil yaitu EMB-120, ketika EMB diupgrade dalam pesawat jet, dibikin dua versi yaitu ERJ-145 kapasitas 50 penumpang dan ERJ-145 dengan 37 penumpang, dan strategi ini berhasil dan memberikan keuntangan untuk Embraer yang sebelumnya mengalami krisis keuangan (Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun h.10)

6 Melakukan konsorsium

inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing pendanaan, resiko investasi, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang.

Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait yaitu PT DI, PT RAI, LAPAN BAPPENAS, Kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian guna menyusun sinergi Nasional dalam pengembangan R-80

Sejumlah aktivitas konsorsium inovasi yang melibatkan ABG

1. Peran pemerintah, industri dan stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005)

2. Sinergi antara ABG dalam model triple helix (Etzkowitz, 2000).

3. Bahwa dalam rangka supplier’s risk sharing investments (David Pritchard, September 2010. loc.cit. h.10), Embraer dengan bantuan pemerintah mengadakan kerjasama dengan salah satu produsen pesawat terbang (ukuran kecil) terbesar di Amerika yaitu PIPER. Dalam kerjasama tersebut disaratkan adanya transfer knowledge dari PIPER ke Embraer

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 312: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

290

Universitas Indonesia

7 Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri komponen pesawat terbang.

Memanfaatkan beragam insentif baik dari aspek regulasi, pendanaan dan fasiltas yang telah diberikan pemerintah

Hasil analisis peluang insentif baik dari aspek regulasi, pendanaan dan fasiltas yang telah diberikan pemerintah

dalam hal peningkatan kemampuan teknis,managerial,manufacturing, produksi, dan kemampuan memasok pasar domestik (Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun h.10)

4. Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.

5. Bahkan menurut Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.26, bahwa: sebelum Industri Embraer didirikan sudah didahului dengan terbangunnya sumberdaya fisik, SDM dan institutional arrangement yang sangat mendukung Industri Embraer.

8 Pencapaian customer lead

time untuk produk pesawat terbang melalui perbaikan production lead time

Pihak Manejemen menentukan strategi bisnis untuk meningkatkan customer lead time

Strategi bisnis untuk meningkatkan customer lead time

Selain kemampuan dalam technology transfer, juga bagi keberhasilan industri pesawat terbang adalah dibutuhkan kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001)

9 Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.

Melakukan evualuasi baik terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.

Hasil evualuasi baik terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.

Proses Assesment pada level operasional/industri (Bromley, 1989)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 313: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

291

Universitas Indonesia

Lampiran 5. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori-RD1

No Aktifitas Model Konseptual Diskripsi Aktifitas Temuan Konsepsi Refleksi dengan Kerangka Teori

1 Memahami konsep Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki terhadap konteks permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia

Pada tahap ini mengkaji kesesuain konsep Upgrading GVC dengan permasalahan upgrading Industri Pesawat Terbang di Indonesia

Konsep kebijakan upgrading GVC dengan tipologi hierarki belum menjelaskan secara komprehensif pendekatan kebijakan dalam upgrading teknologi terutama dalam GVC dengan tipologi hierarki

Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif yang tidak saja menganalisis pada level kebijakan tetapi juga pada dua level lainnya yaitu pada lavel organisasi dan iindustri sebagaiamana dalam konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989).

2 Menelaah konsep Upgrading teknologi-GVC terhadap perkembangan teori

Kegiatan mengevaluasi jurnal-jurnal yang terkait dengan upgrading GVC oleh Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005); Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010); Gary Gareffi, 2011; Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002; Gary Gereffi, Maret 2012; Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010; Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun).

Pendekatan upgrading dalam GVC sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong inovasi itu sendiri ( Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010)

Konsep upgrading dalam Global Value Chain baru sebatas menjelaskan adanya peran kebijakan pemerintah dalam upgrading serta mengkaitkannya dengan tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi proses upgrading (Gary Gareffi, 2011; Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002). Namun demikian Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-lain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tersebut dalam global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk keberhasilan suatu Industri dalam melakukan upgrading teknologi.

3 Menelaah hubungan antara konsep struktur GVC dan teknologi organisasi

Pada tahap ini menganilisis perbedaan antara konsep GVC terutama struktur GVC dengan konsep teknologi Industri.

Struktur dalam GVC bukan dalam lingkup koordinasi internal organisasi itu sendiri, melalinkan lebih pada koordinasi antara lead firm

Lingkungan organisasi seperti kebijakan pemerintah (sebagaimana kelompok penelitian Aston) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam upgrading dalam GVC ( Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 314: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

292

Universitas Indonesia

dengan Supplier ( Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005);)

Pada konsep GVC, kaitan antara kompleksitas teknologi dengan struktur GVC hanya membedakan antara tipologi Market dengan selainnya. karena secara lebih rinci, pembeda tipologi GVC selanjutnya selain kompleksitas teknologi juga adalah kemampuan lead firm dan supplier utama.

Menurut Woodward, bahwa semakin kompleks suatu teknologi maka untuk keberhasilan pemasarannya lebih dibutuhkan struktur organisasi yang bersifat mekanistik (top down) (Mary Joe Hart,1997 Organization Theory: Modern, Symbiotic, and Postmodern Perspective, h.144-147)

Adapun menurut kelompok peneliti Aston menyimpulkan bahwa yang mempengaruhi struktur organisasi adalah tidak hanya kompleksitas teknologi tetapi juga ukuran organisasi dan lingkungan organisasi (Mary Joe Hart,1997, op.cit.h.144)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 315: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

293

Universitas Indonesia

4 Menelah konsep tiga level hiearki proses Kebijakan terhadap konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia

Pada tahap ini menganalisis kerangka tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendukung upgrading teknologi indusitri pesawat terbang

Berdasarkan sejumlah studi yang ada bahwa upgrading teknologi industri pesawat terbang dapat berhasil melalui konsistensi antara tigal level hierarki proses kebijakan tersebut (Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun); Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010) dll

Sebuah kebijakan yang sifatnya sebagai payung hukum, maka kebijakan tersebut seyogyanya harus memberikan pedoman kepada pihak-pihak terkait untuk mengejawantahkan kebijakan turunan dan program-programnya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi manajemen yang melekat pada organisasi (Bromley, 1989)

5 Menelaah secara mendalam hubungan antara konsep Upgrading GVC dengan Konsep tiga level hiearki proses Kebijakan

Pada tahap ini melakukan penelaahan secara mendalam hubungan antara konsep upgrading GCV dengan Konsep tigal level hierarki proses kebijakan.

Hubungan antara kedua tersebut adalah selain pada tataran kebijakan secara umum, adalah sebagaimana telah dijelaskan pada langkah 1 dan 4 adalah pada level operasional Bromley (1989). Karena kegiatan upgrading itu sendiri adalah terjadi pada level industri atau operasional.

Sebagaimana ditemukan dalam sejumlha studi terkait upgrading industri pesawat terbang, bahwa dukungan pada level kebijakan dan level organisasi akan menentukan keberhasilan pada level operasional itu sendiri (Bromley, 1989; Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun); Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010) dll

6 Konstruksi kebijakan Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan konteks Industri Pesawat Terbang

Kegiatan ini menkonstruksikan ulang kebijakan Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan dengan hasil refleksi teoritik yang dilakukan di kegiatan 1 sampai 5.

Sejumlah studi upgrading teknologi industri pesawat terbang masih menganalisis secara parsial antara tiga level hierarki proses kebijakan dalam konteks industri pesawat terbang

7 Studi lapangan dengan melihat implementasi tiga level hiearki proses kebijakan serta hubungan antar ketiganya dalam

Kegiatan ini merupakan proses konfirmasi atas pengayaan konsep Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level

Secara konstruksi dalam memahami permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia maka pengayaan konsep

Temuan akan konsepsi Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses telah sesuai dengan beberapa studi Vertesy dan Szirmai (2010); Brown dan Tiemann (tanpa tahun); Steenhuis dan Bruijn (2001: tanpa

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 316: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

294

Universitas Indonesia

konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang

hiearki proses Kebijakan dalam konteks memahamai upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia

Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan lebih bisa memperjelas konstruksi permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia

tahun); Stewart (2007) dll dalam konteks upgrading industri pesawat terbang. Walaupun analisis penelitian-penelitian tersebut masih bersifat parsial antar tiga level hierarki proses kebijakan itu sendiri.

Temuan pada kegiatan ini, diarahkan pada perbaikan pada kontstruksi itu sendiri yang didasarkan pada hasil studi lapangan dalam implentasi tiga level hiearki proses kebijakan dalam konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 317: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

293

Lampiran 6 Notulensi FGD I PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80 Hari / Tanggal Senin/ 23 Juni 2014 Waktu 13.00 WIB-selesai

Tempat Gd BPPT II, lantai 21 No.

Jumlah Hadir orang

Pokok Presentasi Program R 80 PT RAI

Lampiran -

Undangan 1. Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2. Deputi Bidang Penelitian Dasar dan

Terapan-BATAN 3. Kabid Pusat TIK-BPPT 4. Semua Asdep di lingkungan Dep IV 5. Empat Kabid di ADPRIS 6. Direktur teknologi- PT RAI 7. Rahayu S Arifin-Corporate Secretary-PT

RAI 8. Tjahjo Kartiko- Cief Certification-PT RAI 9. dll

ITEM POKOK-POKOK HASIL

Pembukaan

Acara dibuka oleh Deputi Relevansi dan Produktivitas IPTEK 1. Pemaparan Progress R-80 2. Identifikasi permasalahan 3. Persiapan pembentukan taskforce

Rahayu Tujuan PT RAI adalah mengembangkan kemitraan dalam membangun kemandirian teknologi kedirgantaraan nasional

Sudarmono 1. Pasar yang sudah komit adalah Nam Air anak perusahaan Sriwijaya Air 2. PT RAI tetap membutuhkan endorsement dari pemerintah untuk R-80 3. Sudah dilakukan studi pemasaran:

Pesaing terkuat adalah ATR72-600 (Italia-Perancis) dan Bombardier Dash8-Q400 (Kanada). Namun R-80 akan lebih cepat/efisien dan lebih banyak penumpang dibanding ATR72-600

4. Tujuan R-80 tidak semata untuk membangun konektivitas dan revitalisasi industri dirgantara nasional termasuk revitalisasi lembaga terkait (seperti LAGG, B2TKS, LAPAN dll) tetapi juga harga diri bangsa

5. Teknolgi yang baru dalam R-80: Engine 4600sh (#2); modern cockpit; high payloads; lowdoc; fly by wire for high quality handling and safety adapun FBW N 250 hanya electric sederhana; rencana menggunakan komposit (Karbon, campuran kevlar) di bagian sayap dan di ekor; akan berusaha mengurangi uji terowongan angin dengan CFD Analyisis (di LAPAN alat ini tersedia).

6. Bantuan yang dibutuhkan dari lemlit pemerintahan adalah pada aspek: Flight deck arrangement dan Flight control

Deputi-BATAN 1. Di BATAN ada pengujian Non Destruction Test (Uji Tak Rusak) 2. Newton Thomography (uji melihat benda didalam suatu material tanpa

merusak)

LIPI 1. Di Pusat Metalurgi LIPI tersedia kemampuan: 2. Pengembangan material (Alumunium Komposit/Al2Ti) 3. Pengecekan kerusakan material (untuk menguji apakah terjadi kesalahan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 318: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

294

ITEM POKOK-POKOK HASIL susunan material??)

4. Di Cibinong Science Centre terdapat pusat penelitian biomaterial (kalau kebakar tidak berasap).

Pak Tjahyo-PT RAI 1. Yang sulit tentang material adalah dalam menganalisis material properties 2. Material sangat strategis karena terkait keamanan nasional

B2TKS-P Amir Hamzah, Pak Cahyo

1. SDM sudah mulai banyak yang pensiun tapi masih bisa diberdayakan. 2. Fasilitas Upgrading Powerbank dan control baru ada 40 channel, PT RAI butuh

80 Channel (investasi dana tambahan sekita 300 milyar) 3. Masih ada tiga ahli ukur (1 pensiun tapi bisa diberdayakan) 4. Butuh hanggar baru, karena kemungkinan akan dipakai bersamaan untuk

pengujian N 219 (tahun 2016)

Pak Sardjono-PTIK BPPT

1. Belum ada lab electronics bahkan sejak zaman Habibie sekalipun. Dan tahun ini akan dibangun pengujian peralatan avionics yang diupgrade. Juga akan dibangun fasilitas pengujian peralatan eletronik

2. Akan dibangun fasilitas EMC Chamber untuk uji emisi dan uji immunity (untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan elektronik).

3. Tertundanya pembangunan tersebut karena sempat ada pesimistis akan dukungan nasional dalam pengembangan teknologi kedirgantaraan.

Sudarmono 1. Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan (pesawat) akan bisa dialihkan ke weapon system (dual use civil military technology).

2. IFX, hasil kerjasama dengan Korea Selatan akan terbang rencananya mulai tahun 2025

LAPAN-Pak Gunawan wakil dari Deputi (Bu Rika)

1. N 219 sempat tunda CPM 2. N 219 jadi pemicu proyek kedirgantaraan (pesawat terbang) 3. Fasilitas Engine Simulator sudah ada di LAPAN dan Fasilitas Gound Test akan

dibangun di LAPAN 4. Di lapangan rumpin terdapat 1800 meter untuk flying test centre 5. Kepala LAPAN mengatakan ketika ada pemotongan anggaran” Amankan

budget N 219”

Pak Tjahyo-PT RAI 1. Butuh 2500 untuk flying test 2. Sudah ada tempatnya namun masih optional: Blitung, Tanjung Pandang,

Selaparang (Lombok). 3. PT RAI minta walaupun uji terbang tidak dilakukan di rumpin, tetapi LAPAN

bisa tetap terlibat dalam pengujian tersebut.

Pak Bambang Sutedja

1. Tentang TKDN R-80?

Sudarmono 1. (Masih banyak dari luar negeri), oleh karena itulah strategi yang akan dilakukan adalah dengan membangun kemitraan dengan indsutri nasional penggunaan pada non core pada pesawat seperti: Karet untuk interior pesawat, Kabel dll

2. Bahkan untuk Interior, dalam proyek CN 235, pernah menggunakan hasil industri karet surabayam tapi kualitasnya masih rendah, (maka disini perlu terus pembinaan).

3. PT telah mulai membangun National Supplay Chain, (Insert: Menurut Bu Rika, DEPERIN telah beberapa kali melakukan pelaitihan IKM dalam negeri terkait komponen untuk pesawat)

4. Pak Darman menanyakan status MoU antara PT RAI dengan LAPAN ke LAPAN?

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 319: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

295

ITEM POKOK-POKOK HASIL

Pak Sadjuga 1. Ternyata srtategi bermula diakhir dan berakhir diawal ternyata masih relvan hingga saat ini terutama untuk negara berkembang

2. Harus bisa meyakinkan Presiden tentang pentingnya teknologi kedirgantaraan (tidak hanya mengandalkan substitusi impor, karena ada CAFTA dll)

3. Sejauh mana PT RAI melakukan gerilia untuk mendapatkan dukungan politik/nasional dalam pengembangan R-80?

Rahayu 1. PT RAI sudah melakukan pemaparan di hadapan Pak Prabowo, Pak Hatta Rajasa, Pak Jokowi, Pak Jusuf Kala, Aburizal Bakri, Otoritas Jasa Keuangan. Semuanya mendukungan R-80. Bahkan Pak Hatta dan Pak Aburizalbakri menyarankan supaya program R-80 diangkat menjadi program nasional melalui pidato presiden tanggal 16 Agustus 2014.

2. Status surat dari Pak Habibie ke SBY terkait diatas sudah sampai di Seskab

Sudarmono PT RAI butuh investasi dana pemerintah sekitar $US 300 miliar

Rahayu 1. Perlu dibentuk Taskforce 2. Butuh alokasi anggaran lewat masing-masing bidang

Pak Dading 1. Ada mekanisme insentif INSINas untuk core technology pesawat terbang (yang sudah dilakukan adalah untuk uji flutter)

Athar Strategi mendapatkan dukungan pendanaan nasional: 1. Menyontoh KKIP 2. Menyontoh proses N 219 3. Atau lewat mekanism Afirmasi Nasional LPDP-Kementerian Keuangan

Pak Deputi Perlu segera dibentuk taskforce yang melibatkan semua stakeholders: 1. LAPAN: Pak Gunawan 2. B2TKS: Amir Hamzah 3. LIPI: Pak Andika 4. PTIK: Sardjono 5. BATAN

Catatan (athar’s perspective)

1. Taskforce segera dibentuk 2. Setelah itu, perlu segera mempelajari proses N 219 dalam mendapatkan

dukungan nasional, karena alurnya sangat jelas dan sudah terbukti. Karena dukungan pendanaan akan turun dengan sendirinya setelah R-80 terangkat sebagai program nasional.

3. Atau mencoba mekanisme lewat LPDP (melalui program afirmasi nasional, sebagaiman telah digunakan untuk program Molina).

4. Dalam jangka panjang kedepan, menurut saya, sudah saatnya isu kemandirian teknologi kedirgantaraan dan kemaritmin seyogyanya harus distated dengan tegas dalam arah pembangunan jangka panjang, tentunya ketegasan Jakstranas dan ARN dapat kemudian dijadikan naskah akademik yang dapat digunakan dalam proses teknoratik penyusunan RPJP kedepan. Karena kalau hanya RPJPM, sangat sulit menjamin konsistensi keperpihakan politik hanya lima tahunan, sedangkan proses pembangunan teknologi kedirgantaraan tentunya dibutuhkan frame waktu yang panjang (dalam hal ini sejumlah negara bisa dijadikan sebagai benchmarking, keberhasilan Brazil, China dan kegagalan Rumania, Argentina, dan N250 Indonesia, dimana determinant factor utamanya adalah pada komitmen jangka panjang pemerintahnya).

Agenda Berikutnya : Pembahasan taskforce Dipersiapkan : M. Athar

Disetujui : -

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 320: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

296

Lampiran VII

NOTULENSI RAPAT

PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80

Dasar Kegiatan :

Hari, tanggal : Senin, 15 September 2014

Pukul : 10.00 – 13.00 WIB

Tempat : Ruang Rapat 2316 Gedung II BPPT

Agenda : Progress Program Pengembangan R80

Pimpinan Rapat : Asdep Iptek Industri Strategis

Peserta:

1. Agung B. Ismadi PT. RAI

2. Rahayu S. Arifin PT. RAI

3. Budi Wibowo PT. RAI

4. Tjahjo Kartiko PT. RAI

5. Dewi Suryandari PT. RAI

6. M. Athar Deputi 4

7. Ismet Y. Putra ADIIS

8. Antari W. Mawarti ADIIS

9. Novi M. Rahayu ADIIS

10. Cornelia Tantri ADIIS

11. Wahyu Purnomosidi ADIIS

12. Erlani Pusparini ADIIS

Pembahasan: Rahayu S. Arifin:

• Sebelumnya sudah ada pertemuan dengan pak Agus Puji, BPPT, Perhubungan, ITB, BATAN dan LIPI

• Why aircraft industry?

◦ Karena Indonesia sebagai negara kepulauan sehigga transportasi laut dan udara harus

menjadi fokus. laut

untuk angkutan barang, udara angkutan manusia.

◦ aircraft as the highest technology, jika bisa dikuasai, teknologi turunannya bisa

dikuasai, termasuk MRO

(maintenance repair and overhaul) yang saat ini masih dilakukan di Singapura

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 321: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

297

• Why Regioprop not Jet? Regioprop kecepatan lbh rendah dari jet, dengan konsumsi bahan bakar

lebih irit. Direct

Operating Cost pesawat paling tinggi adalah bahan bakar.

• Growth kebutuhan transportasi di Indonesia paling besar mencapai 19.6% dalam 10 tahun

terakhir. tetapi jumlah

transaksi masih 70juta.

• R80 diinisiasi oleh private company, dibutuhkan dukungan dari pemerintah. Lingkup pekerjaan

meliputi

pembuatan single part sampe assembly, rencana bekerja sama dengan PT. DI (business to business)

1 / 4

• Saat ini sudah dilaksanakan kerja sama dengan beberapa instansi penelitian: ITB untuk

pengembangan sumber

daya manusia (sudah ada 11 freshgraduate yang bergabung dalam Program R80), dengan BPPT untuk

pengujian

wind tunnel (sudah dicoba pada bulan mei), LAPAN berupa software simulasi, DKUPPU direktorat

kelayakan

udara (dirjen kelayakan udara) --> sertifikasi.

• Internasional funding juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pendanaan program R80.

• Start in 2012 s/d 1/2013 -->fase 0 studi dengan PT.DI

• phase 1 --> market feasibility --> sriwijaya, trigana dan kalstar --> 145 unit mulai 2019

◦ Business and Financial Feasibility --> dibantu oleh frost&sullivan (?) intl consultan

◦ bankable business --> mandiri sekuritas untuk penggalangan dana dalam negeri

• Fase 2 fulll scale development --> all detail sd sertifikasi smp dg 2019, diharapkan

pembangunan prototipe seri

pada 2017

• saat ini masih memasuki tahap pleminary study

• 80 passenger can up to 96 passanger dengan raius terbang, pesaing yang ada saat ini ATR72,

tetapi R80 memiliki

keunggulan penumpang yang lebih banyak

• kebutuhan dana USD 1M: USD700jt digalang swasta dan dukungan pemerintah berupa USD 300 juta

dalam

bentuk investasi kepada institusi kedirgantaraan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 322: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

298

• kapasitas produksi 36/th di PT.DI (expected)

• Dukungan pemerintah:

◦ Dalam pertemuan dengan Menristek, Bp. Gusti Muhammad Hatta siap untuk mengendorse program

R80

sebagai program nasional

◦ dukungan tax dan insentif dan dukungan perbankan dengan kemenkeu dan OJK

◦ OJK memberikan dukungan berupa ijin leasing kepada institusi/perusahaan yang bergerak

dalam leasing

pesawat terbang

• Impact yang diharapkan: akan ada MRO, revitalisasi PT. DI

Agung B. Ismadi:

• PT. RAI membutuhkan dukungan untuk sertifikasi

• LAPAN sudah ditetapkan sebagai lembaga antariksa dan penerbangan

• LAGG sudah melakukan 200 polar di wind tunnel

• sudah dilakukan komunikasi dengan LAPAN

Tjahjo Kartiko:

• Ada 13 program pembangunan/peningkatan fasilitas yang diusulkan.

• Program peningkatan fasilitas uji struktur --> uji statik dan fatique

• peningkatan fasilitas uji terowongan angin dan tenaga ahli

• pembangunan lab pengendalian terbang (iron bird). Untuk N250 dibuat di PT.DI tetapi spesifik

untuk 1 jenis

2 / 4

pesawat

• pembangunan lab simulai terbang (spesfik untuk satu tipe pesawat)

• pembangunan lab uji electro-magnetik, PT. DI punya tetapi skala kecil (komponen)

• pembangunan fasilitas uji tabrak burung. PT. DI punya tetapi tidak jalan karena tidak

dimaintain

• peningkatan fasilitas uji terbang --> akan dilaksanakan oleh LAPAN, sebelumnya PT. DI

• peningkatan fasilitas uji komposit --> skala kecil udah ada di ITB,

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 323: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

299

• peningkatan fasilitas uji komponen struktur --> beberapa komponen harus dilakukan uji pada

level komponen

• pembangunan lab uji sirkulasi udara di dalam kabin pesawat

• uji kelistrikan pesawat terbang

• uji bahan bakar pesawat terbang

• lembaga peneitian yang sudah bekerjasama

◦ BPPT --> uji struktur, B2TKS, LAGG (tunnel wind), PTIk pengendalian terbang, PTIK lab

simulasi terbang,

PTI lab uji electro-magnetic

◦ LAPAN --> peningk fasilitas uji terbang, kalo dilakukan di rumpin panjang landasan 1200m

untuk R80 perlu

sekitar 2400 m --> apakah rumpin memungkinkan? rencana habibie pake bandara baru di

majalengka

◦ ITB --> lab uji komponen dan uji komposit di FTMD

• yang belum ada: fas uji tabrak burung, sirkulasi udara, uji kelistrikan pesawat, lab

avionik, lab uji bahan bakar

pesawat

• kebutuan ini bisa direspon sampai sejauh mana?

• berapa lama waktu yang dibutuhkan, SDM

• LAPAN akan membangun fasilitas drop test, uji komposit, engineeering flight simulation

(untuk program N219)

mulai 2013

M. Athar:

• B2TKS --> gap SDM karena hanya tinggal 1 pakar yang belum pensiun

• dalam program LAPAN --> pengembangan N219

• Pak thomas akan mengusulkan N270 menjadi R80

• dalam RPJMN dirgantara masih lemah, semoga di draft 3 uda masuk program mengenai

kedirgantaraan

• Pembangunan infrastruktur kedirgantaraan untuk mendukung program pemerintah

• pertemuan dengan PT.DI --> yang perlu ditindaklanjuti terkait dengan pendanaan dan komitmen

pasar

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 324: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

300

Agung B. Ismadi:

• PT. RAI dalam proses mengeluarkan kurang ebih 5 juta lembar saham untuk investor dalam

negeri, dimulai dari

Jawa Barat karena jabar yang akan paling mendapatkan imbas dari program ini

• next target: kabupaten yang membutuhkan transportasi antar daerah tp tidak dapat koneksi

darat

3 / 4

Tjahjo Kartiko:

• seleksi engine, uda ada 3 perusahaan yang menawarkan engine.

• drop test kenapa tidak ada karena roda dibeli dari vendor yang uda include fasilitas drop

test roda pendarat. kalo

N219 tidak ada karena roda pendarat rencana dikembangkan dalam negeri.

Asdep Iptek Industri Strategis:

• Progress akan dilaporkan ke Menristek melalui Rapim lengkap

• next meeting → minggu depan sekitar selasa atau rabu.

4 / 4

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 325: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

301

Lampiran 8. NOTULEN DISKUSI LANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN IPTEK BIDANG KEDIRGANTARAAN

Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00 Di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT

DasarPelaksanaan :Undangan No. 41/AD.IIS/D-PI/2014 Agenda :Paparandandiskusi:

1. Program dantimelinepengembangan R80 2. Kapasitas SDM danInfrastrukturLembagaLitbanguntukMendukung Program Pemerintah

di BidangKedirgantaraan PemimpinRapat :DeputiPendayagunaanIptek Peserta :

1. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI 2. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 denganLembaga 3. Pak Doni – Program Manager 4. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification 5. Tjahja P – B2TKS BPPT 6. Gatot M. Pribadi – PT. DI 7. Hisar M. Pasaribu – FTMD ITB 8. Taufiq M. – FTMD ITB 9. W. Wira Y – PTIK BPPT 10. Widrianto – PTIK BPPT 11. A. Witjaksono – PTIK BPPT 12. YantoDaryanto – LAGG BPPT 13. Bambang S. – Ristek 14. Lenggogeni – Ristek 15. Antari W. M – Ristek 16. ArifRahman – Ristek 17. IsmetYus P. – Ristek 18. M. Athar – Ristek 19. Isabel Sibarani – Ristek 20. Erlani Pusparini – Ristek

Opening dari Pak Pariatmono Bu Lenggo:

1. Pertemuanketiga 2. Sinergi N219 dengan R80 3. Agenda hariini

Pak Agung PT. RAI

1. Sudahadabeberapa kali pertemuan, termasukkunjunganke BPPT di Serpong 2. Perkenalanmasing-masingpersonil PT. RAI

Pak Doni PT. RAI

1. Roll out P#1 = Jan – Feb 2018 2. First flight P32 = end of 2018 3. Wing static test sesuaijadwal test sub article dikontrakkanke PT.DI 4. WST harusdilakukansebelum first flight (test sub article akandikirimkanke BPPT) 5. Fatique test dilaksanakanMaret 2018 s.dakhir 2021 6. PengujianTerowonganAngin di LAGG-BPPT Configurasi 04 (configurasiakhir) 7. Power on ke-2 Feb – Maret 2016

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 326: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

302

8. MendapatkanfasilitasdariJawa Barat untukFirst flight location keKertajati – Majalengka yang akansiappadatahun 2017. Saatini 2500 m runway sudahsiap, xxxx m tanahsudahdibebaskan

9. Flight test #1 test fisik, test #2 test system. Untuk test avionics dll only for prototype 1

10. Coupon Test (Metalic material) dan Composite Test (karenaakanmenggunakan composite untukbeberapaseriselanjutnya) FTMD ITB

11. Beberapa test yang belumada: a. Bird Impact Test (previously in PTDI) dl adattpsekarangudagaberfungsi b. Air Flow Balance c. Electrical Test d. Avionics Test e. Fuel System Test (sebelumnya di PT.DI)

12. Ditching Test kemampuan ngambang di air (N250 pakai model, bukansesungguhnya) BPPT – LHI Surabaya now BPPH Surabaya. Dulu di Inggris

13. Far Field Noise Test – LIPI? Dulu di AbdurahmanSaleh – Malang Pak Pariatmono:

1. Dana? Pak Cahyo – B2TKS:

1. Ada 3 antrian = N219, R80 danKFX 2. Schedule N219 Agustus 2017 (akanmasuk September thdepan full scale)

karenarencanamaret 2018 udamaumasuk (terlalu mepet0. Set up article barumemerlukan 8 bulanpersiapan

3. Fasilitas test artikel40 akuatoruntuk N219. Untuk R80 diperlukan 50 akuatorperlupengadaanbarusebanyak 10 akuator (need time to prepare) sehinggadiperlukankesempatanuntukdiskusi

Pak Yanto – LAGG:

1. CFG-03 power off sudahdilakukan di LAGG 2. Menunggupengujian yang power on 3. Kalo power off sudahcukupfasilitas 4. Kalountuk power on perlupeningkatan 5. BPPT saatinitidakadaanggaranuntuktransportasiudara, sehinggaagaksusah. 6. Pak Gatotperlukahpengadaan power on? 7. DiharapkanadadorongandariRistekuntukpengadaanperalatan

PTIK:

1. Pak Hamamtidakdapathadirkrn di Jepang 2. Pak Wiradan Pak Wicakdan Pak Widrianto 3. Flight simulation test dan EMC di tahundepantidakmasukkeRenstra, sehingga 4. Ada fasilitas yang bisadigunakan EMC yang chambernyabaruselesai 10x10

(masihdipersiapkan) 5. Untuk flight simulation test perludipelajaridetailnya, dankebutuhannyakarenaterkait

SDM perludipersiapkan. Perluperbaikanperangkatdanpersiapan SDM sehinggaperludorongandariRistek.

6. Excecutor PTIK tetapiLokasi di B2TKS terkaitbesarruangandan part tidak Pak Gatot- PT.DI:

1. Issue SDM karenaada Program N219

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 327: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

303

2. Recruitment target 30 orang/ tahuns.dthdepan (thini 102 orang untukteknisidan engineer)

3. Data SDM yang keluardari PT. DI (data tidaklengkap), sehinggapemenuhan SDM melalui recruitment baru

4. Program N219 menjadisalahsatu program batuloncatan/transisiuntukpeningkatankualitas SDM untukmenuju program R80 yang lebihrumit

5. Issue peningkatanfasilitaskarenaanggaran yang terbatas, diharapkanada PMN terkait program pengembangan. Beberapafasilitassudahdisiapkanmelaluipendanaan PMN.

6. Beberapafasilitas TBD dapatdipenuhioleh PT.DI 7. Kesiapan PT. DI untukmelakukan flight test. 8. 2014 sudahmasukrencanauntukmeng-upgrade Flight simulation test 9. Flight test pilot sudahbanyakdiluar, flight test engineer sebentarlagi pension,

sehinggamasihadawaktuuntuk Pak TaufikKa Prodi AeonautikadanAustronotika FTMD ITB

1. SDM outpur 75 S1, 15 – 20 S2 2. Sebagianlulusanada di PT. DI dan PT. RAI 3. UntukFasilitasmasih sharing 4. Perlugambarankapasitas yang diperlukan 5. Nurtanio, STTA Adisucipto, Surya Darma (AD), Polban (D3 teknikpenerbangan).

Untuk S1-S3 hanya di ITB Bu Rahayu:

1. Infrastrukturfabrikasi sub assembly dan final assembly? 2. Pak Gatotfasilitas assembly untuk fixed wing 12/th, heli 20/th. 212,235, 295.

Untukmendukung R80 belumdiketahuiapakahada excess capacity. Untukkapasitasproduksibelumtahu

Bp. BambangSutedja:

1. N219 ada di Pak Dading 2. Pak Agussudahmengirimisuratkepihakterkait (lembagatermasuk ITB) 3. Namunbelumadatanggapandari LPNK 4. Integrasidengan N219 terkaitfasilitasuji. Missal B2TKS

sudahmemperolehdanadariBappenas, kemudianapafasilitas yang belumdimilikiuntukmendukung R80

5. Bapenasbelummemprioritaskanuntuk R80 6. Depanriapakahkebijakanterkait R80 bisadiusungsebagai program

nasionalolehDepanri? DrDepanribelumsiap. 7. Perluditindaklanjutiuntukmengusung program kedirgantaraanNasional

M. Athar:

1. Sudahada 3 pengujianakan invest melalui LAPAN untuk drop test, engine flight simulation, uji composite

Pak Gatot: 1. Engine flight simulation dieksekusioleh PT.DI 2. Memilikikemampuanuntukmembuat engine f.sdan full f.s

Pak Agung PT.RAI:

1. Mengenaiketerlibatanpihak lain, ex Garuda. Response dari Garuda sangatpositif. Garuda membeli ATR sebanyak 25 unit.Diharapkan R80 dapatmereplace ATR

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 328: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

304

Tetapibelumadapendekatanuntukpembiayaanuntukpengembangan R80. Sudahmengundang 7 airlines dan 2 MRO untukterlibatdalam proses design. 3 airlines sudahberminatmembeli 145 unit. Pembicaraanmengenaipendanaanbelumada. Tambahandari Pak Par pemanfaatanfasilitas GMF. GMF dan Indo pelitasudahmenanyakanperawatan yang dapatdilakukandifasilitasmereka

2. SDM yang di luarnegeridandalamnegerisudahmulaidiinventarisasitetapibelumlengkap. Sudahbertemudengan Diaspora (orang yang pernahdansedangbelajar) dan IABI (Ikatan alumni Program Habibie).

3. USD300jt sebagaipancinganuntukgov. 700jt untukpengembangan R80 sendiridiupayakandariswasta. 300 jutahitungankasaruntukmengembangkaninfrastruktur yang sudahadaatautambahan.

4. Memerlukankejelasanuntukovercome permasalahan yang ada, missal: tidakadanyakegiatandalamrenstra.

Perlu bilateral discussion untukmembicarakan detail kebutuhan.USD300jt merupakanestimasidariproyeksikebutuhan N250. Pak Tjahyo

1. jadwalditetapkandengan target 2020 sertifikasikeluar. Pak Bambang:

1. untuk LPNK mengadakanfasilitas, perluadaMoUantarapemerintahdenganswastabahwa PT. RAI akanmenggunakanfasilitas yang ada

Pak Par: Next step:

1. Bilateral discussion untukmenentukanberapakebutuhandengan executor Pak Agung:

1. Hardware, Software, SDM, Anggaran existing dankeperluanuntukpeningkatan Agenda Pertemuan:

1. dengan B2TKS minggudepanKamis, 9 Oktoberpagi di PT. RAI, GedungMMC (Siemens) Bandung Test requirement dan test article belumpernahdiperlukanelaborasi

2. LAGG Kamis, 9 Oktober di PT. RAI, Gedung MMC (Siemens) Bandung Pengalaman power on untuk N219 tidakadamasalah.Sehinggaperludilakukananalisauntuktambahankebutuhanpengujian R80.UntukPengujian tunnel test PIC Pak Made.Usiaalatsudah 30th. Seninadapembicaraandengan PT.DI tentangfasilitas EMX

3. PTIK kamis (9/10) akaninformasikanjadwal (kemungkinan 2 minggulagi) Perlu detailed requirement untukdipelajari Fasilitas yang paling siap EMC Untukalokasi SDM perlucampurtanganpemerintahuntukpenugasankhusus, karena lab baru Untuk

4. PT.DI laporan yang sudahdiberikanke Pak Made Wirata (PT.RAI) : update fasilitas flight test dan ground test facility (30% kondisi)

5. ITB Senin, 13 Oktober 2014 di ITB

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 329: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

305

6. PertemuanRistekdengan LAPAN, Depanri, MenkoPerekonomiandanBapenasmintauntukaudiensi

7. Diperlukan Roadmap IptekDirgantara 8. Pertemuanselanjutnya: Rabu, 15 Oktober 2014

Athar:

1. Draft RPJMN belumadaDirgantara, sehinggasebelumkabinetbaruharussegeradiusulkanmelaluitimtransisi. KarenafokussaatiniMaritim (dirgantarabisamasukdalam paying ini)

2. Program nasional upgrade fasilitas sector dirgantra (tidakfokuspada R80) Bu Rahayu:

1. Pendekatanmelalui Pak Habibieuntukpendekatan top down Pak Yanto–LAGG:

1. Perbaikanfasilitas LPNK melaluiRistekuntukmendukung program Dirgantara Pak Par:

1. Pengadaan based on requirement sehinggabermanfaat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 330: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

293

Lampiran 9. Analisis Data Hasil Wawancara Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di

GVC No Narasumber Hasil Wawancara yang telah direduksi Aspek

Langsung Dilakukan oleh Peneliti 1 Presiden RI III Periode 1998-1999, Prof. Dr

Ing BJ Habibie, tanggal 14 Juli 2014 Presidein Sukarno pernah mengatakan: Tidak mungkin mampu membangun negara ini tanpa menguasai industri dirgantara. (oleh karena itu) program upgrading N 250 ini yaitu R-80 diharapkan dapat dijadikan program nasional dan dicantumkan dalam pidato presiden baik, dalam Hari Teknologi Nasional ke 19 dan di tanggal 16 Agustus 2014.

Dukungan Upgrading pada level Kebijakan

Program R-80 nantinya selain membawa misi bisnis juga membawa misi untuk menghidupkan kembali wahana-wahana kedirgantaraan nasional, karena kalau wahana tersebut tidak diberdayakan, dalam lima tahun kedepan, ahli-ahli dirgantara akan habis”

Dukungan upgrading pada level organisasi

Segmentasi untuk N 250 adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, kalaupun untuk ekspor itu adalah hanya bonus

Strategi upgrading pada level operasional

Sejumlah pihak yang mengkritik bahwa terlalu cepatnya peralihan dari program CN 235 ke N 250, itu tidak mengerti,..karena yang benar itu adalah satu tahapan. Karena tahapan tersebut harus melalui sejumlah pemenuhan sarat atau sertifikasi FAA

Strategi upgrading pada level operasional

Memang hampir seluruh komponen pesawat adalah impor, tapi untuk sementara waktu itu ndak masalah, asalkan kita dapat merebut jam kerjanya.

Dulu (masa) oil boom, kita sebagai eksporter minyak dan gas sekitar 1,8 juta barrel per day, tapi sekarang kita sebagai negara pengimpor minyak.

2 Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2011-Sekarang, Prof. Dr Gusti Muhammad Hatta, yang didisposisikan ke Staf Ahli Kemenristek Bidang Hankam, Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Dr Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014.

Peran pemerintah dalam mendukung upgrading N 250 (R-80) adalah dapat berupa subsidi dalam bentuk pendidikan (SDM), kesehatan, riset, pembangunan infrastruktur, pajak (seperti 100 seri pesawat I bebas pajak), kemudahan supaya industri-industri komponen tumbuh, kemudahan supaya bahan-bahan baku dapat diupgrade, atau penghapusan ekspor gas supaya dapat digunakan untuk proses peningkatan nilai tambah bahan baku

Upgrading teknologi pada dua level kebijakan dan sektor

Adapun N 219 sejatinya kalau memang murni market driven tidak ada pengembangan teknologi, kenapa mereka (PT DI) masih meminta bantuan pemerintah untuk pengembangan prototipenya dst??? Justru model PT RAI dengan R-80 yang didalamnya ada unsur pengembangan teknologi yang hanya meminta dukungan infrastrukur jauh lebih sesuai dengan fungsi pemerintah.

Terkait strategi kemandirian ekonomi industri pesawat terbang khususnya untuk PT DI, adalah melalui revitalisasi bisnis, yang tidak hanya bermain pada core business (pesawat terbang) tetapi juga pada plasma bisnis, namun

Upgrading teknologi pada level operasional.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 331: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

294

masih terkait langsung dengan core business. Manajemen IPTN sangat lemah dan sangat bergantung pada Habibie/Pemerintah

Terkait pemindahan kegiatan integrasi teknologi LAPAN ke PT DI pada era Menristek Habibie, Pak Teguh mengatakan bahwa: Kegiatan integrasi teknologi (pesawat terbang) adalah setogyaynya memaang adanya di Industri, adapun lembaga litbang seharusnya corenya adalah ranah penelitian dan pengembangan.

Upgrading teknologi pada level organisasi.

Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23

Setelah era reformasi aktivitas DEPANRI hampir tidak ada kecuali untuk N 219 dalam rangka mendorong transfer knolwledge SDM dirgantara tua ke muda”. Hal ini menunjukkan tidak adanya visi pemerintah.

4 Menristek dan Ketua KIN, Prof Zuhal Terkait sektor kelautan yang sekarang (kabinet Jokowi-JK) dorong seharusnya adalah dalam konteks Maritim Continental (Benua Kemaritiman), sehingga lingkup kemaritimin tersebut bukan hanya pada sumberdaya (biota laut: ikan, udang dan rumput laut; sumber daya energi dan mineral) juga pada aspek transportasi seperti kapal-kapal laut termasuk sarana-sarana angkutan udara/pesawat yang spesifikasinya tentunya disesuakan dengan kondisi kepulauan Indonesia seperti: dapat landing/take off pada landasan yang pendek dst.

3 Kepala BPPT Dr Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014

Iya, kami sangat mendukung (Program Upgrading N 250) Program R-80, namun kami butuh revitalisasi beberapa lab uji, karena sebagain besar merupakan peninggalan era 1970an.

Dukungan Upgrading pada level sektoral

4 Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, Bapak Dr.Ir. Agus Puji Peasetyo, M. Eng pada tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek ,

“Bahwa pada tataran makro, konsistensi kebijakan dalam mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan masih sangat lemah, dan sudah saatnya Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada kemandirian teknologi kedirgantaraan tersebut selain teknologi kemaritiman, dua teknologi tersebut (N 219 dan R-80) yang seyogyanya harus didukung oleh seluruh kebijakan sektoral, karena tidak semua jenis teknologi dapat dilakukan dengan ToT atau pembelian teknologi, tetapi harus dikuasai, nah upaya penguasaan teknologi tentunya menuntut kemauan politik yang kuat”.

Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.

5 DEPUTI Bidang teknologi Dirgantara Ibu Dr. Rika Andiarti jam 09.10-09-54, tanggal 11/06/2014 hari Rabu

LAPAN pada intinya mendukunga R-80, karena saat ini LAPAN sedang menyusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) “ transportasi pesawat 70 penumpang, namun LAPAN saat ini masih prioritas untuk N 219”.

Dukungan Upgrading pada level organisasi.

Ibu Rika juga menyarankan supaya PT RAI mengikuti proses N 219 dalam mendapatkan bantuan nasional. Seperti melalui DEPANRI (lebih kurang tiga kali pertemuan).

Dukungan Upgrading pada level politik

Pada Perpres 28/2008 tentang industri pengembangan pesawat, termasuk peran PT DI didalamnya, di penjelasan Perpres tersebut khususnya dihal 37

Dukungan Upgrading pada level operasional.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 332: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

295

dinyatakan bahwa untuk jangka menengah: dinyatakan untuk jangka menengah“ mengembangkan pesawat berpenumpang kurang dari 30 0rang” dan untuk jangka panjang” mengembangkan PT DI sebagai pusat produksi dan litbang dan LAPAN sebagai pusat R&D produk kedirgantaraan” Kemenperind telah mengadakan pertemuan dengan para industri-industri lokal untuk meningkatakan kemampuan TKDN pesawat terbang.

6 Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Dr. Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT

Untuk Program RAI-80, beliau memintah PT RAI untuk berkoordinasi dengan LAPAN, beliau kemudian mengatakan: Saat ini, BAPPENAS lebih berkonsentrasi untuk ngurus N 219, satu-satu sajalah dulu

Dukungan Upgrading pada level sektoral

Tidak perlu diperkuat atau di stated di RPJP tentang kemandirian teknologi dirgantara, karena sudah cukup dimasukkan (tersirat) dalam isu alat angkut udara.

Dukungan Upgrading pada level kebijakan

“Bahwa dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 telah cukup memayungi pembangunan teknologi kedirgantaraan karena dalam UU tersebut telah ada isu terkait dengan alat angkut udara.”

Wawancara pada tanggal 17 November 2014 Dalam kabinet Jokowi-JK melalaui nawa citanya, program N 219 akan terus disupport

7 Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan, Dr. Sadjuga, Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek.

Baik dalam RPJPN maupun RPJPMN, dukungan terhadap kemandirian teknologi pada sektor kedirgantaraan masih belum dinyatakan secara tegas, karena pembangunan iptek yang saat ini masih diarahkan pada tujuh bidang prioritas yaitu: Pangan, Kesehatan Obat, Energi, Transportasi, TIK, Hankam dan Material Maju.

Dukungan Upgrading pada level kebijakan

8 Asisten Deputi Bidang Relevansi Program, Ir Ahmad Dading. Gunadi: Tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek

Saat ini, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof. Gusti Muhammad Hatta mendukung pengembangan R -80 yang ditindak lanjuti dengan pembentukan taskforce pengembagan R-80.

Dukungan Upgrading pada level kebijakan

”Pihak LPDP akan bersedia menjadikan Agenda Riset Nasional (ARN 2015-2019) sebagai acuan dalam proses pendanan penelitian yang dibiayai”

Aspek sinergi kelembagaan pada pendanaan riset

Tanggal 12 Agustus 2014 di Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek

Untuk N 219, pemerintah langsung terlibat dalam development process (selain infrastruktur) yaitu membuat prototipe (N 219) itu sendiri, goverment intervensi dalam membuat prototipe, tapi kalau kasus untuk R-80, tidak, justru pemerintah melakukan fungsi sebenarnya, yaitu menyediakan fasilitas/infrastruktur, karena biaya desain, pembuatan prototipe dsb dari mereka (PT RAI) lakukan sendiri, ...jadi sebenarnya untuk dukungan (infrastruktur) R-80 lebih merupakan tugas pemerintah dalam mengembangkan kapasitas (lab dan peralatan, sdm) dan kapabilitas, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, itu memang tugas pemerintah,..makanya kalau diajukan, bukan hanya pengembangan R -80

Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 333: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

296

tetapi pengembangan pesawat... Kebutuhan ini terutama bedanya dengan N 219 harus dijelaskan ke Bu

Almida (Menteri BAPPENAS), mungkin Bu Almida ndak ngerti, disangkanya sama dengan model pengembangan N 219, padahal beda.....Oleh program nasionalnya adalah dalam bentuk program revitalisasi/modernisasi/uograding peralatan-peralatan lab yang memang peninggalan tahun 1970an,, yang nanti arahnya bukan hanya untuk kebutuhan R-80 saja tetapi juga kebutuhan teknologi yang ada sekarang termasuk kebutuahn dari luar neger seperti di China dsb akan dapat dilyanani oleh lab kita dst...

Sesuatu akan dianggap sebagai program nasional jika dinyatakan dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN), nah untuk dukungan R-80 melalui dimasukkan program nasional revitalisasi laboratorium khusunya untuk pengujian pesawat terbang dst...

9 Presiden Director PT Regio Aviasi Industri, 14 Juli 2014

Untuk mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan, dukungan Kebijakan dalam bentuk insentif untuk barang-barang yang diproduksi dalam negeri, serta sistem pendanaan dan perbankan (sejenis BAPINDO)

Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.

10 Corporate Secretary PT RAI, Rahayu S. Arifin, 23 Juni 2014 di Kementerian Ristek

Untuk tenaga SDM, saat ini selain tenaga yang merupakan tenaga SDM dulu yang terlibat dalam proyek IPTN, baik NC 212, CN 235 maupun N 250, juga terdiri atasan lulusan kedirgantaraan yang sempat bekerja di dunia perbankan, walaupun gajinya relatif kecil, namun mereka memeliki satu kebanggaan (nasionalisme) untuk berkerja di PT RAI guna pengembangan pesawat terbang nasional (R-80).

Semangat Nasionalisme untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan.

11 Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim

Alokasi dana riset untuk tahun 2013 yang hanya sekitar 1% dari total anggaran PT DI sebesar Rp. 3 Triliun (01 November 2013)

Dukungan pada level operasional (industri) dalam mendukung upgrading teknologi

Dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong kemandirian teknologi kedrigantaraan adalah dalam bentuk insentif pendanaan ( 06/02/2014 jam 20.21 wib)

Dukungan pada level sektoral dalam mendukung upgrading teknologi

Dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong kemandirian teknologi kedrigantaraan adalah dukungan sistem pendanaan/perbankan. Khusus untuk upgrading N 250 (R-80), dukungan yang dibutuhkan dari pemerintah adalah keberpihakan terhadap penggunaan R-80 untuk pasar domestik dengan membatasi produk serupa seperti ATR dan Bombardier”. Adapun untuk pasar luar negeri, pemerintah dapat dapat melakukan promosi baik melalui WTO maupun melalui pameran-pameran di luar negeri (2 Juni 2014).

Dukungan pada level kebijakan dan sektoral dalam upgrading teknologi pesawat terbang nasional.

PT saat ini dalam rangka menjalankan plasma businessnya juga menjadi supplier beberapa komponen untuk AirBus dan Boeing, bahkan, khusus

Strategi pada level operasional

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 334: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

297

untuk komponen bahu pesawat Airbus A380, PT DI dipercaya sebagai single supplier (01 November 2013) PT DI telah menyederhananakan spesifikasi pesawat N 250 sebelum diserahkan ke para suppliers, sehingga suppliers mudah memenuhi requirement yang diminta (2 Juni 2014).

Tipologi Struktur Global Value Chain Modular

SDM kunci yang saat ini sangat dibutuhkan untuk industri penerbangan adalah pada dua bidang yaitu Elektronika Pesawat dan Material” (2 Juni 2014).

Dukungan SDM untuk proses upgrading teknologi pesawat terbang

Saat ini karyawan PT DI sekitar 3000an, dan 50% darinya akan memasuki masa pensiun (01 November 2013). Pengembangan Pesawat R-80 memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN-235) dan 1989 – 1996 (N-250). Di desain R-80 akan dilakukan beberapa upgrading teknologi dari N 250 (2 Juni 2014).

Pasar pesawat berkapasitas 80-100 penumpang ini memiliki pasar yang cukup bagus. Karena itu, jika produksi pesawat tersebut jadi, maka PT DI pun akan ikut mendapatkan keuntungan."Analisa market untuk pesawat kelas itu cukup bagus, di dalam negeri saja, paling tidak kebutuhannya sekitar 100 pesawat,".

Pada tanggal 3 Mei 2013 bertempat di PT DI, PT Dirgantara Indonesia (Persero) telah meneken kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia untuk mengembangkan pesawat terbang turboprop modern berkapasitas 70-90 orang penumpang bernama Regioprop

Pada tahun 2010, keuangan PT DI masih negatif sekitra Rp. 700 Milyar, dan sejak tahun 2013, PT DI memiliki cashflow sekitar 40 Miliar positif.

Tanggal 2 September 2014 Hingga saat ini, perbankan nasional belum memberikan sistem leasing untuk pesawat terbang, adapaun Ban Eksim hanya memberikan untuk pemebelian komponens pesawat

12 Direktur Teknologi PT DI, Andi Alisyahbana, 26 Juni 2014 di BPPT

Pelajaran berharga dari kegagalan N 250 (selain permasalahan politik) adalah dalam hal TKDN, di N 250 dulu TKDN masih sangat lemah terutama untuk komponen, termasuk landing gear, sistem avionics, FBW dll. Nah dengan adanya penngembangan N 219 yang memiliki TKDN minimal 40%, akan memberikan manfaat dalam upgrading N 250 khususnya R-80 kedepan.

Dukungan pada level operasional dalam mendukung upgrading teknologi

N 250 sudah melakukan uji terbang sebanyak 800 jam 13 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo

di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014

Saat ini infrastruktur pengujian di rumpin LAPAN masih cocok hanya untuk N 219, karena :1. Untuk fasilitas landasan untuk uji terbang yang dibutuhkan untuk R 80 sekitar 1500-2000 meter; 2. Tower (uji telemeteri) yang dibutuhkan untuk R-80 sekitar 20-30 meter

Dukungan sektor/kelembagaan dalam upgrading teknologi pesawat terbang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 335: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

298

Tidak tercapainya target penjualan CN 235 adalah: karena spesifikasi CN 235 berat sehingga direct operational cost tinggi dan menyebabkan mahal, dan spek ini memang lebih cocok untuk militer, terbukti banyak sekali pasar untuk militer untuk CN 235, bahkan Korsel menggunakan CN 235 untuk pesawat kepresidenannya sampai sekarang, Beliau (pak Budi) dulu merupakan salah satu tim ketika menyiapkan pesawat tersebut untuk Korsel (pesawat presiden) selain thailand dan Malaysia.

Permasalahan pada level operasional dalam upgrading teknologi pesawat terbang

Dalam program R-80, PT RAI bermain pada level desain, Merketing dan Assesment

Pengembangan R 80 sebenarnya mengandalkan pada 51 orang yang dulu ikut mengembangan N 250, dan sebagaian besar pulang dipanggil oleh pak habibie. Atas pengalaman dalam pengembangan N 250 dan pengalaman lainnya, PT RAI mengembangkan R 80 berdasarkan pada pengalaman dalam membuat N 250 dulu.

Saat ini telah dipesan oleh PT NAM Air (sejumlah 100), 50 Firm order (sesuai desain awal); 50 unit bersifat optional (berdasarkan masukan setelah dioperasikan)

14 Ketua Komtek Soshum DRN, Dr. Lala Kolopaking, 26 Juni 2014

Bahwa yang sangat penting dalam pembangunan iptek adalah “ aku cinta produk negeri”. Hal ini yaitu nasionalisme merupakan faktor keberhasilan dalam proses pembangunan iptek di Korea Selatan

Semangat Nasionalisme untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan.

15 Direktur Riset LPDP, Bapak M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014

“Saat ini LPDP sedang melakukan kajian untuk mengembangkan fokus risetnya untuk lebih diarahkan pada pengembangan iptek baik riset dasar dan termasuk pengembagan riset hightech yang bersifat jangka panjang yang tentunya akan mengacu pada Agenda Riset Nasiona (ARN). Bahkan kata Beliau saat ini pun LPDP, selain Dana Riset Inovatif produktif (RISPRO) yang diarahkan pada komersialisasi produk dan implementasi kebijakan, juga telah mengeluarkan pendanaan riset atau inovasi yang bersifat Afirmasi Nasional, dengan mekanismenya adalah merupakan usulan dari Kementerian/Lembaga terkait kesalah satu anggota dari Dewan Penyantun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama), kemudian permohonan tersebut akan disetujui setelah mendapat persetujuan dari dua Anggota Dewan Penyatun lainnya selama program tersebut mendukung program nasional. Dan dana melalui skim ini tidak terbatas baik tema (asal sesuai dengan prioritas nasional), jumlah dan tahunnya”.

Dukungan Upgrading pada level kebijakan

“Pada prinsipnya LPDP akan mengacu ARN selama fokus bidang ARN tersebut memang sejalan dengan prioritas nasional”.

Aspek sinergi kelembagaan pada pendanaan riset

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 336: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

299

16 Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran Dana

Kegiatan Pendidikan LPDP- Ibu Ratna Prabandari

Mengatakan bahwa untuk dana beasiswa pendidikan, LPDP menyediakan tiga layer bidang yang masing-masing adalah layer pertama: teknik, pertanian, Science, dan Kedokteran; layer kedua: sosial, ekonomi, pendidikan, budaya/bahasa dll. Layer ketiga adalah: Hukum, Akuntansi Keuangan, dan Agama.

Dukungan organisasi dalan upgrading kemandirian teknologi kedirgantaraan

17 Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat periode 2010-2013, Perencana BPPT, Anwar Darwadi, Juli 2014.

Bahwa penentuan arah pembangunan iptek yaitu tujuh bidang fokus tidak didasarkan pada satu riset kebijakan yang memadai tetapi lebih didasarkan pendekatan isu based bahkan bersifat mengakomodir kepentingan pihak tertentu.

Arah pembangunan iptek

18 Wawancara dengan Pak Rohendi Triatna, Humas PT DI, 01 November 2013,

Sejatimya pada zaman Habibie telah mulai dibangun segala industri pendukung untuk pesawat terbang, mulai dari industri material, karet, turbin dll.

Gambaran pada level operasional

19 Wawancara dengan Asdep Produktivitas Riptek Industri-Kementerian Riset dan Teknologi, Santosa, April 2014

Bahwa kolabarasi kelembagaan ABG dalam riset dan inovasi sangat membutuhkan environment yang menunjang, diantaranya adalah regulasi kebijakan pada tataran non fiskal khususnya mobilisasi peneliti terutama yang PNS ke Industri.

20 Wawancara yang dilakukan terhadap Pak Dr. R. Purwanto, Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, tanggal 08 Agustus 2014

Dalam 7 agenda riset nasioanl (ARN)..ada tentang (bidang) transportasi . Hanya tak ada penugasan secara spesifik langsung tentang kedirgantaraan. Tapi, kami terbuka bagi researcher yang tertarik tentang kedirgantaraan tersebut.

Gambaran pada level organisasi.

21 Direktur PT DI, Budi Santoso, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT

Terkait R-80, PT DI akan menunggu kepastian financingnya, Karena kami tidak ingin gagal dua kali (dalam sejarah N 250). Karena untuk menghidupkan N 250 butuh biaya yang sangat besar (sekitar $US I milyar)

Kami juga masih menunggu adanya komitmen membeli atau pasar R-80 dari perusahaan air line yang telah memiliki nama seperti Lion Air, Garuda Airliner dll, dan bukan komitmen pembelian dari perusahaan air line kecil. Karena hal ini (besar/kecilnya pasar) akan dapat berdampak pada sejauh efisiensi pembelian Enginenya.

Hingga saat ini, teknologi kunci yang sangat mempengaruhi kompetitif tidaknya pesawat adalah pada efisiensi penggunaan Enginenya bukan pada frame atau desainnya. Dan kepastian adanya pasar terutama dari perusahaan penerbangan yang telah memiliki nama, akan dapat meningkatkan kompetitifya harga pesawat.

22 Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT

PT DI akan terlibat dalam program R-80 hanya dalam koridor kontrak untuk manufacturing bukan dalam konteks risk sharing.

Program R-80 lebih bersifat technology driven dari pada market driven, dan tentunya hal ini akan sangat beresiko, pertama: dari sisi pasar, yaitu jika

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 337: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

300

tidak ada kepastian pasar (terutama ada komitmen membeli dari perusahaan air line besar) maka akan menyebabkan harga pesawat tidak akan kompetitif. Karena tingginya komitmen pasar yang dilihat dari adanya komitmen pembelian dari perusahaan air line yang besar terhadap R-80 akan dapat diskon dari harga engine sampai 30%. Tentunya mengingat bahwa dari harga pesawat, sekitar 17,5 sampai 20%nya adalah harga untuk engine. Untuk membuat pesawat terbang (N 219) dibutuhkan sekitar 1,2 Juta man hours

Pelajaran dari N 250 adalah, bahwa untuk sertifikasi dapat bertahap, yaitu pertama-tama untuk pasar domestik dengan sertifikasi laik udara dari Directorate General of Civil Aviation-DGCA (Dephub), dan kemudian untuk dapat secara luas dipasarkan secara internasional kemudian dapat dilakukan untuk mendapat sertifikasi FAA atau Eyasa (Eropa)

Sinergi kelembagaan dalam pengembangan pesawat khususnya N 219, adalah Kemenperind selain lobi marketing juga melakukan pembinaan Industri untuk TKDN 40-60%, Kemen BUMN melakukan lobi financing, seperti yang telah dilakukan adalah upaya mendapatkan bantuan donor investasi dari negara-negara (Islamic Development Bank)- IDB dan OKI sekitar $US 30 Juta yang dilakukan olah KemenBUMN (Dahlan Iskandar)

Upaya pengembangan atau menghidupkan kembali N 250 akan sangat memakan biaya, salah satunya adalah akan ada klaim terkait Non Recurring Cost (NRC)/biaya-biaya pengembangan) oleh vendor-vendor luar negeri. Karena paten dari N 250 hanyalah di desain saja. Oleh karena itu, dari sisi PT DI, upgrading CN 235 dengan kapasitas 50 penumpang versi sipil lebih ekonomis dari sisi biaya, karena untuk pengembangan tersebut hanya dibutuhkan sekitar Rp.700 Miliar dibandingkan untuk “upgrading N 250 menjadi R-80” yang membutuhkan dana (yang diharapkan dari pemerintah sekitar Rp. 3 triliun)

CN 235 seri 110 buatan PT DI Indonesia telah mendapat sertifikasi internasional yaitu dari Eyasa (Eropa).

Upgrading N 250 menjadi R-80 akan sukses selain dari dari aspek marketing adalah jika ada dukungan politik dan pendanaan yang kuat dari pemerintah.

23 Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Pak Dhiwan Renaldi, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT

Jumlah SDM saat ini tahun 2014, sekitar 3000 lebih, dan tenaga kontrak sekitar 1500 orang, dan ditahun 2016 akan banyak yang pensiun

Dari sekitar 15 900 pegawai PT DI, setelah sempat dipensuin dinikan, akhirnya pada tahun 2003 sekitar 6000 pegawai PT DI dirumahkan dan tersisa sekitar 3000 karyawan, dan di tahun 2004 dilakukan seleksi ulang

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 338: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

301

Sejak krisis 1997-1998, dikenal dengan masa bleeding, jika variabel machine hour dimasukkan bahkan Cash Flow IPTN negatif. Baru pada tahun 2011, ketika hutang PT DI sebesar Rp. 2 triliun diputihkan sebagai penyertaan modal pemerintah, setelah itu baru cash flow PT DI positif

Perusahaan NTP adalah anak perusahaan PT DI di Bandung, yang melayani jasa servis turbin.

Kemen BUMN saat ini lebih berperan dalam melobi untuk mendapat donator untuk PT DI, seperti dalam kasus N 219.

Local content untuk N 250 sangat rendah, yaitu pada kaca samping dan interior dll

Untuk pengembangan N 250 sempat mendapatkan sumber pendanaan (pinjaman dari dana reboisasi dan potongan gaji PNS/Guru).

24 Wawancara dengan Asdep Produktivitas Iptek Strategis, Bambang Sutedja, 12 Agustus 2014, di lantai 21 Kemenristek

Pengajuan pendanaan (apakah dengan APBNP) untuk pembangunan infrasrtuktur R-80 sebaiknya diajukan bersamaan dengan kebutuhan upgrading untuk pengujian N 219, hal ini mengingat antar N 219 dengan R-80 merupakan sama-sama program pengembangan pesawat terbang nasional, hanya bedanya satu diiniasi oleh BUMN dan satunya adalah inisiasi swasta ...

Dukungan upgrading pada aspek kebijakan

25 Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014

Untuk mengembangkan R-80 dibutuhkan sekitar 1000 SDM tentunya dengan bermitra dengan PT DI, dan pemerintah: Ristek, BPPT, LAPAN, Dephub dan ITB dll.

Kemen BUMN berjanji akan membeli 20 unit untuk Garuda Saat ini pasar yang telah komit untuk membeli R-80 adalah NAM Air

sebanyak 100 unit, Kalstar sebanyak 25 unit, dan Trigana sebanyak 20 unit, bahkan penerbangan dari Australia telah menyatakan mintah untuk membeli 2 unit R-80.

Untuk mendapat sertifikasi Eyasa harusnya sudah mencapai 1000 jam terbang, dan untuk sertifikasi FAA sekitar 1500 jam terbang. Adapun unutuk sertifikasi DGCA. dibutuhkan waktu lebih kurang 2 tahun.

Saat ini ada tujuh Working Group Ariliner yaitu: Sky, Merpati, Wings, Citilink, Nam Air, Trigana, dan Klastar

26 Wawancara dengan Pustekbang Aero Structuer, Bapak Fajar Dono

Saat ini LAPAN sedang membangun tiga fasilitas pengujian untuk N 219, yaitu: Drop Test, Engineering Flight Simulation (EFS), dan Uji Composite (saat sedang dilakukan uji tarik).

Status N 219 saat ini adalah telah melakukan TCBM (Typte Certificate Board Meeting) yang merupakan pra sertifikasi DGCA

DGCA selesai diperkirakan dalam jangka 3 tahun 27 Wartawan Senior Kompas, Ninok Leksono Untuk keberhasilan program R-80 adalah proses panjang serta sangat

membutuhkan dukungan yang kuat dari pemerintah dan tentunya leadership

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 339: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

302

28 Wawancara dengan Prof. Suyantao H, Mantan Direktur Teknologi Proses BPPT di Era Habibie, 11 Agustus 2014

Pada zaman Habibie sebagai Menristek, kinerja dan semangat kerja karyawan sangat tinggi, bahkan seringkali Menristek dengan para segenap Eselon I nya bekerja dan mengadakan rapat malam untuk menyelesaikan target-targer kegiatan.

Budaya kerja

29 Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek, Asep Supanda. 13 Agustus 2014

Kementerian Ristek seharusnya menghasilkan roadmap kebijakan llmu Pengetahuan dan teknologi pada level sektoral, yang kemudian menjadi acuan kegiatan litbang nasional.

30 Bagian Inspeksi B2TKS, Ir. Soekardi ( Terlibat dalam pengujian CN 235 dan N 250), Pada Pameran Teknologi BPPT, tanggal 20 Agustus 2014 di BPPT II.

Saat ini SDM B2TKS sekitar 25 Orang, kalau dihitung yang sudah pensiun dan masih bisa diberdayakan sekitar 30 orang

Saat in untuk pengujian N 219 belum dilakukan Dulu kami sudah siap dengan N 250, kami sudah siap untuk segala

pengujiannya....tapi sayang tehenti karena politik. Khususnya sejak Gusdur dan Menteri AS Hikam. BPPT sejak saat itu termasuk B2TKS dianggap sebagai mainan Habibie.

Untuk pesawat R-80, tantangan utamanya pada ketersediaan SDM, karena dalam dua tahun kedepan ahli seperti uji inspeksi akan habis karena pensiun

Begini ya, Engineering itu butuh kesinambungan untuk “mempraktekan ilmunya” kalau setahun saja fakum, maka akan hilang sense, kepekaannya dll

Dulu B2TKS hanya untuk IPTN, tetapi sejak Era AS Hikam B2TKS dihabiskan, dan dipaksa membuka jasa pengujian seperti mobil dll

Kekhawatiran Barat terhadap rencana pengembangan pesawat terbang IPTN adalah, karena kalau kita sudah dapat menguasai desain dan produksi Pesawat Jet, yang rencananya adalah setelah N 250, maka akan dengan mudah untuk mendesain dan memproduksi pesawat tempur. Seperti yang sudah dikuasi Iran....

B2TKS telah mendapat sertifikasi FAA sejak tahun 1995. 31 Wawancara dengan Dr. Ilham Habibie PT

RAI, 25 September 2014, jam 11.35-11.50 Jika pemerintah tidak mendukung program upgrading infrastruktur sektor dirgantara yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh R-80, maka PT RAI akan melaksanakan skenerio lain dengan melakukan sebagiannya kegiatan dengan melibatkan pihak luar negeri

Strategi pada level operasional

32 Wawancara dengan Pak Sudira, Bagian HKI PT DI, 13-November 2014

Setiap pesawat dirancang denga misi tertentu, N 219 digunakan untuk misi perintis, CN 235 untuk misi tertentu dan militer, N 250 adalah untuk misi bisnis- wisata dan misi nasionalisme, misi bisnis dan pariwisata, harapannya adalah setelah penumpang turun dari pesawat sejenis Beoing dan Airbus, dan ketika ingin melanjutkan perjalanan antar propinsi, maka pesawat N 250 masih menyediakan kenyamaan dan tingkat keamanan yang relatif tidak

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 340: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

303

kalah dengan dua pesawat sebelumnya.

Hasil Kutipan dari Wawancara yang dilakukan oleh Pihak Lain 32 Wawancara antara Pak Habibie dengan Peter

F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg

Dulu pada zaman Bung Karno, ada indoktrinasi: (yaitu) untuk menyedot ilmu pengetahuan tinggi dari Negara-negara maju diantaranya Jerman. (Setelah selesai) kembali untuk membangun Negara, waktu itu, ditahun 1950an hanya ada dua jurusan yang diperkenalkan untuk belajar ke Luar Negeri yaitu Maritim dan Dirgantara, karena visi Bung Karno tidak hanya memberikan nasionalisme kepada kita, tetapi juga menyakinkan bahwa NKRI itu dari sabang sampai merauke hanya bisa sepanjang masa dipertahankan dan bersatu dan menjadi satu negara yang makmur, jikalau bangsa ini menguasai secara mandiri teknologi dirgantara dan teknologi maritim...”Visi Bung Karno tersebut kemudian dilanjutkan dan diterjemahkan dalam strategi yang lebih kongkrit dalam era Presiden Soeharto

Dukungan upgrading pada aspek kebijakan

Ketika pertanyaan tentang, kenapa prioritasnya waktu itu harus teknologi sektor dirgantara bukan pertanian? Jawaban Beliau: “Apakah mungkin manusia/ekonomi Indonesia akan berfungsi tanpa pesawat terbang? Tidak mungkin, lihat aja lapangan terbang Surabaya, bukan main!! Lihat aja bagaimana berkembangnya perhubungan udara...

Habibie mangatakan: Sekitar 200 unit pesawat termpur F 16 dari General Dynamic-USA yang diperuntukkan untuk TNI AU, sisipnya dibuat oleh IPTN. Kerjasama tersebut dilakukan dalam mekanisme off set yaitu sekitar 35-40% dari total harga 1,5 squadron F 16 pengadaaanya tidak dengan uang, tetapi dengan lapangan kerja/jasa pembuatan sirip pesawat terbang tersebut oleh IPTN.

33 Wawancara antara Pak Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv

..lihat aja, di Amerika, industri yang dah anjlok ..untuk mempertahankan itu, (oleh pemerintahnya) dibail out, diberikan duit,.. saya yang sehat didepan pintu mau mendapatkan FAA, ditikam, dimatikan, model maana itu!!!! “Jangan lupa ya, saya membuat industri strategis itu bukan ide saya, ide bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Bungkarno, saya itu diindoktrinasi, waktu pesawat terbang itu terbang, saya plong, karena indoktrinasi yang saya yakin harus laksanakan itu telah saya berikan kepada bangsa ini… saya mulai dengan 20 orang, waktu saya jadi Wapres (maret 1998), harus saya letakkan (jabatan vice chairman BPIS) industri strategis dengan 48. 000 orang dengan turnover US$10 billion, dan pada saat itu (untuk N 250) telah

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 341: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

304

ditandatangani kontrak untuk mengadakan di Alabama (US) di mobil, saya buat assembling line dari N 250 dan saya buat di Sttutgart assembling line untuk N 250 dan sudah 80% FAA sertifyte, tiba-tiba disuruh berhenti.. yang benar aja dong. Alasannya, hutang-hutang kita banyak, hutangnya yang mana?, hutang swasta! bukan hutang BUMNIS, ..dihentikan, (kemudian) yang mengambil alih (Era Gusdur) Dia Bubarkan (BPIS). (Kemudian) yang bersangkutan pernah datang sama saya mengatakan “yang melaksanakan (memerintahkan) itu adalah IMF, (lalu Beliau merespon) Eh, kalau IMF datang kemari, dia mengatkan dia mau membantu, tapi saya harus matikan perusahaan (BUMNIS), saya tendang keluar itu IMF!!!!

34 Wawancara yang dilakukan oleh rtv terhadap Vice Chairman II PT RAI, Dr. Ilham Habibie, Awal Juli 2014 di rtv.

Yang diharapkan dari pemerintah dalam program R-80 khususnya terhadap industri dirgantara secara umum adalah dukungan dalam sistem perpajakan, dimana laba dari kegiatan litbang dapat dijadikan sebagai factor pengurang pajak (tax deduction). Pada era pengembangan N 250, pengetahuan bisnis manajemen IPTN masih lemah

Dukungan upgrading pada aspek kebijakan dan organisasi

35 Wawancara yang dilakukan Rosianna Silalahi oleh Global TV dalam acara Rossi, 2 September 2010 http://www.youtube.com/watch?v=n5Y5eWbNVEg.

Ketika dikatakan kepada Beliau bahwa visi Bapak dianggap terlalu cepat, Proyek ambisius sehingga itu kemudian dimentahkan? Saya rasa itu yang mengatakan proyek ambisius itu tidak benar, kita harus melihat ya, pasar domestik Indonesia didalam bidang dirgantara Commersial airplane itu tidak perlu saya berbicara dengan angka-angka, anda masuk aja ke lapangan terbang melihat berapa banyak pesawat terbang yang mirip seperti N 250 terbang, ...memang bahwasanya adalah bahwa pesawat-pesawat terbang yang ada di bumi Indonesia untuk commersial airplane adalah “hasil rekayasa dan ciptaan putra-putri Indonesia sendiri...” (Karena sejak proyek N 250 diberhentikan, sejumlah karyawan IPTN beralih kerja di Boeing, AirBus, Embraer, Turki dan negara-negara tetangga)

Gambaran pada level operasional

Ketika Rossi menanyakan kepada Karyawan Boeing yaitu Pak Grek yang pernah kerja di IPTN selama 8 tahun pada Era IPTN Habibie, tentang harapannya ke Pak Habibie menyatakan: ..saya yakin (kalau) Pak Habibie konsentrasi penuh ke IPTN atau PT DI, ini bakal meningkatkan motivasi dan moral karyawan PT DI sekarang, dan saya yakin, kita pasti bisa membangkitkan industri dirgantara Indonesia lagi... ...Kalau orang mengakatan kan kamu (IPTN) terlalu banyak pegawainya, yang benar aja, kalau saya harus membuat perusahaan tersebut di Eropa atau di Amerika, (kalau) saya butuh pegawai, saya tinggal pasang iklan, pada

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 342: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

305

datang, (lalu) saya pilih saja, tempat saya (Indonesia) tidak ada, saya tidak mau ambil orang dari luar negeri, saya hanya justru memilih manusia Indonesia yang berbakat, tidak mengenal SARA dan Gender dsb......Itu seharusnya N 250 akan masuk pasar tahun 2000, dan N 2130 akan masuk pasar tahun 2004, sekarang tahun 2010..kan konyol itu..dimana semua itu!!!, nah sekarang yang menikmati orang-orang lain (perusahaan pesawat asing).

36 Wawancara dengan Depuit Pendayagunaan Iptek-Dr. Pariatmono, pada tanggal 5-12-2014

Tentang R-80, Pak Habibie telah bertemu dengan Menristek Dikti (Muhammaf Natsir) dengan dukungan terhadap pengembangan R-80, intinya “Pak Menristek mendukung pengembangan infrastruktur untuk dirgantara nasional sekaligus yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan R-80 sekitar minggu kemarin (akhir november 2014)

Aspek dukungan kebijakan/politik

37 Diskusi informal dengan Anang Witjaksono, Head of Ref Office Jasa Raharja dan salah seorang yang pernah terlibat dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN pada awal tahun 1990an, di gedung Mochtar-PGT Cikin UI, pada tanggal 11 Desember 2014

Pada saat itu sekitar awal tahun 1990an (persis proses pengembangan N 250 dimulai), saya menemani teman saya yang merupakan pegawain IPTN pada bagian pengadaan IPTN melakukan pencarian untuk komponen pesawat, salah satunya adalah Ban Pesawat, Ban tersebut dibeli di Tangerang dan kami pasang dengan merek “made in germany”. Kondisi demikian tidak hanya pada pengadaan Ban tetapi juga sangat mungkin pada komponen-komponen lainnya. Teman saya itu, dengan uang haramnya tersebut mampu membeli dan mengganti mobilnya beberapa kali hanya dalam satu tahun.

Analisis level operasional

38 Wawancara dengan Mantan Direktur Keuangan IPTN, Asril, tanggal 17-12-2014

Sejatinya pengembangan N 250 terutama untuk 70 sheeter sudah didahului dengan feasibility study, karena keputusan untuk 70 penumpang waktu itu sangat tepat sekali.....

Terkait pengadaan komponen, saya tidak mendapatkan “hitam diatas putih” terkait keganjilan dalam proses pengadaan, namun yang jelas, semakin banyak agen akan semakin banyak komisi, oleh karena itu pada waktu itu, terkait komponen pesawat, (kemudian) kami lakukan pengadaan langsung ke Amerika Serikat (misal dengan mendirikan Assembling Line untuk N 250 di Alabama).

Sejatinya, pada awal pengembangan N 250, telah diusulkan untuk dibawah program kementerian ristek sebagai program riset dan dikontrakkan ke IPTN dan Pak Harto sudah setuju pada saat itu, namun sayangnya itu tidak jalan.

39 Wawancara dengan Nugroho Ananto, Kabag. Pengembangan Organisasi dan Sistem Manajemen -Badan Pengelola Industri Strategis pada tahun 1990.

Habibie ketika menduduki Presiden OKI pernah mengundang anggota OKI mengunjungi Industri Strategis waktu itu, salah satunya adalah IPTN, nah Barat mengkhawatirkan Indonesia sebagai negara dengan negara Islam terbesar akan tumbuh juga sebagai negara dengan kekuatan teknologi yang sangat kuat, dan tentunya ini sangat mengancam hegemoni negara-negara Eropa.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 343: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

306

Lampiran 10. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di

GVC No Tema dan Waktu Narasumber/Undangan Hasil/ Kesimpulan FGD yang telah

direduksi Aspek Keterangan

1 FGD persiapan pengembangan N 219, 20 Desember 2012 di Kementerian Ristek

Kemristek, Kemperin, Kemenko, Kemhub, Bappenas, LAPAN dan BPPT

Ditjen IUBTT-Kemenperind, memaparkan bahwa: kemampuan dalam negeri untuk industri hulu maupun industri antara dalam pengembangan pesawat terbang nasional masih sangat rendah. Dan saat ini Kemenperin terus membangun kemampuan Industri Komponen Pesawat dalam negeri.

Paparan kondisi pada aspek operasional

Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kasdepan tersebut.

2 FGD Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgra N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21

10. Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 11. Deputi Bidang Penelitian Dasar dan

Terapan-BATAN 12. Kabid Pusat TIK-BPPT 13. Semua Asdep di lingkungan Dep IV 14. Empat Kabid di ADPRIS 15. Direktur teknologi- PT RAI 16. Rahayu S Arifin-Corporate Secretary-PT

RAI 17. Tjahjo Kartiko- Cief Certification-PT RAI dll

Tujuan PT RAI adalah mengembangkan kemitraan dalam membangun kemandirian teknologi kedirgantaraan nasional berupa suatu program b-to-b yang disponsori dan didanai oleh swasta (RAI) dan bekerja sama dan mengoptimalkan kapasitas PT DI Untuk mengangkat program R-80 yang merupakan upgrading teknologi N 250 sebagai program nasional, maka dilakukan dua hal 5. Segera mempelajari proses N 219

dalam mendapatkan dukungan nasional, karena alurnya sangat jelas dan sudah terbukti. Karena dukungan pendanaan akan turun dengan sendirinya setelah R-80 terangkat sebagai program nasional.

6. Atau mencoba mekanisme lewat LPDP (melalui program afirmasi nasional, sebagaimana telah digunakan untuk program Molina).

7. Dalam jangka panjang kedepan,

Proses mendapatkan dukungan upgrading teknologi baik pada aspek organisasi maupun pada aspek politik.

Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan Peneliti adalah sebagai Kasub Analisis Kinerja Program, sekaligus diminta oleh Dpeuti Relevansi Program Riptek untuk membantu dalam kegiatan tersebut. (Notulensi terlampir)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 344: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

307

sudah saatnya isu kemandirian teknologi kedirgantaraan dan kemaritimin seyogyanya harus distated dengan tegas dalam arah pembangunan jangka panjang, tentunya ketegasan Jakstranas dan ARN dapat kemudian dijadikan naskah akademik yang dapat digunakan dalam proses teknoratik penyusunan RPJP kedepan. Karena kalau hanya RPJPM, sangat sulit menjamin konsistensi keperpihakan politik hanya lima tahunan, sedangkan proses pembangunan teknologi kedirgantaraan tentunya dibutuhkan frame waktu yang panjang (dalam hal ini sejumlah negara bisa dijadikan sebagai benchmarking, keberhasilan Brazil, China dan kegagalan Rumania, Argentina, dan N250 Indonesia, dimana determinant

8. R-80 rencananya akan menggunakan komposit (Karbon, campuran kevlar) di bagian sayap dan di ekor

3 Audiensi dengan Presiden III Prof Dr BJ Habibie dalam rangka Hakteknas 19 di kediaman Beliau di di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014.

Deputi Kelembagaan Iptek-Dr Mulyanto, Deputi Pendayagunaan Iptek 2009-2013/Staf Ahl Bidang Energi Dr. Idwan, Presiden Director PT RAI, Agung Nugroho, Empat Eselon II/Asdep di Kementerian Ristek, satu Eselon III dan Peneliti.

Pak Habibie mengatakan: Pesawat R-80 adalah pengembangan yang lebih sempurna dari N 250. Selanjutnya, Pak Habibie dan PT RAI mengharapkan dimasukkannya program R-80 tersebut sebagai salah satu program nasional, melalui dicantumkannya program R-80 tersebut dalam pidato Presiden dalam peringatan Hari Teknologi Nasional (Harteknas XIX) dan dalam Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2014.

Proses mendapatkan dukungan upgrading teknologi pada aspek organisasi maupun pada aspek politik.

Director utama PT RAI, Agung Nugroho mengharapkan pemerintah dapat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 345: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

308

memberikan insentif pembiayaan untuk industri-industri dalam negeri yang bergerak pada komponen pesawat terbang Deputi Kelembagaan Iptek, Dr. Mulyanto, mengatakan bahwa: Hasil Musyawarah perencanaan nasional (Musrenas) yang dulu bernama Rakornas akan lemah karena tidak ada kepastiannya akan diacu dalam Sistem Penganggaran Nasional, oleh karena itu kedepannya, Kemenristek akan bertindak sebagai clearing houes Iptek bersama BAPPENAS, untuk itu Kemenristek akan memperkuat fungsi koordinasi kegiatan litbangnya melalui amandemen UU 18 yang akan mencantumkan peran Kemenristek dalam koordinasi kegiatan litbang nasional

Aspek Kebijakan terkait arah pembangunan iptek.

Habibie mengatakan: Kalau tidak dibangun (R-80), lima tahun kedepan ahli-ahli dirgantara akan habis

4 Pertemuan antara PT RAI dengan LAPAN Tanggal 16 April 2014 di LAPAN

Dari PT RAI hadir Agung Nugroho Budi Wibowo. Sedangkan dari LAPAN adalah: Prof.Dr.-Ing.Soewarto Hardhienata, Gunawan Prabowo, dan Ariebowo

RAI juga mengharapkan bahwa dengan program R-80, RAI sebagai “swasta” dapat memberikan program ke Pemerintah, yang dapat berdampak kepada fasilitas LAPAN dapat dikembangkan dan diberdayakan. Jika Pemerintah memberikan dana misalkan kepada PT DI untuk membangun hangar, maka RAI dapat menyewa hangar untuk produksi pesawat R-80.

Sinergi kelembagaan dalam kemandirian teknologi kedirgantaraan

5 Pembahasan Pengembangan pesawat perintis N219 Kamis, 8 Februari 2012 di BAPPENAS

Rapat dipimpin oleh Direktur Transportasi Bappenas dan dihadiri oleh Direktur Industri, Iptek dan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BAPPENAS; Perwakilan dari Kemenristek; Kemenprin; Kemenhub; BI

Kemenprin, Kemenhub, dan BPPT akan mendukung pengembangan pesawat N219. Kemenhub akan memberikan dukungan dalam uji kelaikan pesawat. BPPT telah memberikan bantuan

Sinergi kelembagaan dalam kemandirian teknologi kedirgantaraan

Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 346: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

309

pengujian angin pada tahun 2011 dan akan mengajukan new inisiatif untuk tahun 2013. Adapun kemenperin akan mendukung diantaranya dalam melakukan bimtek (bimbingan teknologi) kepada industri-industri manufaktur pendukung dalam negeri.

itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kasdepan tersebut.

6 Rapat Koordinasi Pengembangan Pesawat N-219, Jum’at /13 Desember 2013 di Hotel Gino Feruci, Bandung

1. Presentasi ”Sinergi Antar Lembaga dalam Pengembangan Pesawat N-219” – Ahmad Dading Gunadi

2. Presentasi “Rencana Pengembangan Industri Transportasi Nasional dalam RPJMN 2015-2019”, Direktorat Transportasi Bappenas – Adi Permana

3. Presentasi “Kesiapan PT. DI dalam Pengembangan Pesawat N-219” – Andi Alisjahbana

4. Presentasi “Program Pengembangan Pesawat N-219” – LAPAN

5. Presentasi “Kebijakan Pengembangan Kedirgantaraan”, Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin - Hasbi

6. Presentasi “Rapat Koordinasi N -219” – B2TKS, BPPT – Cahyo Pranoto

Sehubungan bahwa tahun 2014 merupakan tahun politis, manfaatkan peluang ini dengan baik, adapun strategi yang dilakukan adalah:

a. Tahun 2015 akan memasuki tahap pengembangan RPJM ke-3. Insertkan program N-219 ke dalam RPJM Bappenas

b. Riset kedirgantaraan akan diinsertkan ke dalam ARN 2015-2019 Kemenristek

c. Optimalisasi industri manufaktur transportasi yang telah terbangun (PT. DI, PT. PAL, PT. KAI) dengan dukungan political will yang besar dari Pemerintah.

Dukungan upgrading teknologi kedirgantaraan baik pada aspek kebijakan, sektoral dan operasional.

7 Diskusi Penyiapan Inpres N 219, Kamis / 16 Februari 2012, Ruang Rapat Kemristek lantai 6

Peserta rapat yang hadir berjumlah 17 orang yang mewakili lembaga-lembaga: Kemristek, Kemperin, Kemenko, Kemhub, Bappenas,LAPAN dan BPPT

Disepakati agar Kemristek menjadi koordinator dari program Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Pesawat Udara Perintis 19 (Sembilan Belas) Penumpang. Adapun terkait Inpres khusus N 219, tidak diperlukan karena sudah ada sejumlah Perpres yang telah mencakup seperti Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei, dimana kedua perpres ini telah secara

Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 347: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

310

tegas mendukung pengembangan pesawat terbang commuter nasional

8 Sidang Paripurna I DRN tahun 2014 pada tangal 26 Juni 2014, Sidang tersebut membahas tentang Arah Pembangunan Iptek kedepan (Agenda Riset Nasional 2015-2019)

Rapat dihadiri oleh Menristek beserta Pejabat Kementerian Ristek, Kepala LPNK, Ketua DRN beserta seluruh Anggota DRN. Adapun 5 narasumber berkompeten, yaitu: (i) Dr. Iding Chaidir (Sekretaris DRN) - Kebijakan Indonesia yang Sejahtera dan Berdaulat, (ii) Andi Alisyahbana MSME (Anggota DRN – Komtek Transportasi) - Pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh di Indonesi, (iii) Prof. Dr. Laode M Kamaluddin (Tim Ahli Bidang SDM dan Iptek dari Capres Nomor 1) - Peran Iptek untuk Mendukung Visi Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur serta Bermartabat, (iv) Dr. Alexader Sonny Keraf (Tim Ahli Bidang SDM dan Iptek dari Capres Nomor 2, serta Menteri LH dan Anggota DPR Komisi VII 2005-2009 - Peran Iptek untuk Mendukung Visi Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong, dan (v) Dr. Ir. Mesdin Kornelis Simarmata, MSc (Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas) Naskah Teknokratik Pembangunan Iptek RPJMN 2015-2019.

Terkait kemandirian teknologi, Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin selaku tim ahli dari calon presiden Prabowo selain menekankan pentingnya pembangunan budaya iptek juga mengatakan: “kami sangat mendukung kemandirian teknologi dalam negeri termasuk teknologi kemaritiman, tetapi karena kemandirian teknologi pada akhirnya adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana visi iptek presidennya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pemimpin yang mempunyai leadership yang kuat serta memiliki keberpihakan terhadap kemandirian teknologi yang sangat tinggi” Adapun dari politisi yang sekaligus merupakan tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Dr. Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan. Dalam paparannya terkait dengan visi misi calon presiden Jokowi, Beliau juga mangatakan” selain pembangunan karakter, (terkait pembangunan iptek) kami sangat memberikan perhatian khusus pada pengembangan iptek dibidang maritim, baik yang berkaitan dengan pertahanan keamanan maupun SDA khususnya sebagai sumber pangan, .. demi mendukung daya saing nasional. Catatan: dalam Sidang tersebut, hanya dari PT DI dan BAPPENAS yang mengangkat isu kemandirian teknologi kedirgantaraan kedepan, BAPPENAS

Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Koordinator Kajian Penyusunan ARN 2015-2019

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 348: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

311

lebih khusus menekankan pentingnya merampungkan N 219, Adapun PT DI lebih luas lagi dan menekankan bahwa teknologi kedirgantaraan dapat diaplikasikan tidak hanya untuk pesawat terbang tetapi bidang lain seperti energi, contohnya adalah teknologi turbin. PT DI menyampaikan ilustrasi urgensi transportasi udara: Dipedalaman Papua, Beras Raskin senilai Rp 3000/kg dapat menjadi Rp 25,000/kg , begitupun bahan bakar subisidi Rp 4500/L dapat menjadi Rp 30,000/L. Padahal, kalau tersedia modal pesawat commuter atau feeder liner, maka dengan asumsi harga angkut perkilogram adalah seharusnya Rp 8 Juta/2000 kg = Rp 4000,-/Kg

9 FGD tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, Selasa, 11 Februari 2014 (D,ADRPI, KAJIAN)

Acara dibuka oleh Asisten Deputi Relevansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi dengan agenda pokok: 4. Arahan oleh Deputi Relevansi dan

Produktivitas Iptek; 5. Paparan tentang Evaluasi ARN oleh Asdep

Relevansi Program Riptek; 6. Paparan tentang Jakstranas oleh Asdep

Relevansi Kebijakan Riptek; 7. Paparan tentang peran DRN dalam

Penyusunan ARN oleh Sekretaris DRN;

UU No 17/2007 tentang RPJPN 2005- 2025 menyebutkan bahwa agenda riset harus sesuai dengan kebutuhan pasar, Adapun fokus ARN adalah: a. ARN 2005-2009 : 6 bidang fokus

dan 2 bidang pendukung (sosial kemanusiaan dan science dasar)

b. ARN 2010-2014 : 7 bidang fokus dan 1 bidang pendukung (sosial kemanusiaan)

c. ARN 2015-2019 : 8 bidang fokus (termasuk di dalamnya sosial humaniora)

Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

10 FGD tentang Masukan untuk naskah akademik penyusunan Jakstranas dan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, Selasa, 16 April 2013 (D,ADRPI,

Acara dibuka oleh Asisten Deputi Relevansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi yang dihadiri oleh BAPPENAS, DRN, Karoren Ristek, Karoren LPNK dll

1. Short-cuting dengan memasukan agenda ARN didalam penyusunan RPJMN merupakan salah satu opsi untuk enforcement ARN

2. Politic will merupakan key factor baik bagi keteracuan ARN maupun adanya keterikatan /bounding ARN.

Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 349: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

312

MOM, ARN) 11 FGD tentang

penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014 (D,ADRPI, KAJIAN)

Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek, Ketua DRN, Komtek Pangan, Komtek Transportasi, Komtek Energi, Komtek Hankam, Komtek Kesehatan Obat, Komtek Material Maju, Komtek TIK, Komtek Sosial, Sekretaris DRN, Dudi Hidayat MSc, Staf Ahli bidang Energi Material Maju, Asdep Relevansi Kebijakan Riptek, Asdep Relevansi Program Riptek, Kabid Evaluasi, Kabid Perkembangan Program, Kabid Insentif, Kasubid Evaluasi, Analis Asdeo Relevansi Program Riptek

Kerangka RPJPN maupun RPJPMN menyebutkan iptek untuk pembangunan dan pembangunan iptek. Yang tentunya kedua penekanan tersebut berbeda. Didalam FGD tersebut (Gambar 5.2), Ketua Komisi Teknologi Bidang Transportasi Prof. Dr Carunia Firdausi mempertanyakan “Apakah pendekatan atau Madzhab yang dianut RPJPN, iptek untuk pembangunankah atau pembangunan untuk iptek”.

Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

12 FGD penyusunan Renstra Kementerian Riset dan teknologi 19 Juni 2014 di Gedung BPPT II lantai 21,

Semua Eselon II di Lingkungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi

Dalam FGD tersebut Kepala Biro Perencanaan Kementerian Ristek menyatakan bahwa “ proses perumusan arah kebijakan Iptek antara Kementerian Riset yang akan dituangkan dalam Agenda Riset Nasional dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) III berjalan sendiri-sendiri”

Aspek Kebijakan terkait arah pembangunan iptek.

13 FGD Scholarship di Lantai 18 di Kementerian Ristek, 14 Juli 2014

Rapat dihadiri oleh Pengelola Pendanaan Inovasi di Kementerian Keuangan-LPDP, Kementerian Diknas-Hibah Dikti, Insentif Riset-Kementerian Ristek, US Aids dll

Dalam FGD tersebut, Ahmad Dading Gunadi selaku penanggung jawab Insentif Riset mengatakan bahwa”: Hambatan dalam pendanaan inovasi di Indonesia adalah, dana-dana tersebut masih terscatter (terpecah-pecah) di lembaga yang berbeda-beda dan induk yang juga berbeda.

Dukungan pendanaan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

14 Rapat tentang pendanaan Inovasi di LPDP pada tanggal 26 September 2013 di LPDP

Rapat dihadiri oleh Direktur Utama LPDP, Eko Prasetyo dan seluruh Direktur di LPDP, The European Union (EU) dan Penulis sendiri.

Dalam diskusi tersebut Eko Prasetyo menyatakan bahwa LPDP adalah lembaga pendanaan inovasi yang berbentuk BLU dibawah Kementerian Keuangan dan didirikan oleh tiga Dewan Penyantun yaitu: Kementerian Pendidkan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama. LPDP membiaya riset untuk bidang: governance, budaya,

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 350: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

313

Sosial keagamaan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, pangan, dan energi

15 Seminar, Koordinasi Lembaga Penerima Insentif Riset SINas Jakarta, 22 Mei 2013 (DATA, ADPRI, 2013)

Direktur Industri, Iptek, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BAPPENAS, Asdep Relevansi dan Produktivitas Riptek, Karoren BATAN, Karoren Ristek, Asdep Relevansi Kebijakan, Asdep Kelembagaan dll.

Mesdin dalam paparannya menekankan perlunya penguatan kelembagaan dan Infrastuktur Iptek. Sesuai amanat RPJPN 2005-2025, pembangunan Iptek harus dapat memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan penguasaan Iptek Untuk model kelambagaan inovasi, maka ada dua model yang bisa diadopsi yaitu: • HIRARKI KOMANDO

Penyederhanaan Struktur Kelembagan Iptek Sehingga Berada dalam Satu Garis Komando Pemberdayaan Salah Satu Entitas Tersebut Sehingga Berwenang Melakukan “Oversight” Ke Semua Lembaga

• DANA RISET TERPUSAT ARN dirancang dan ditetapkan Secar a Top Down dan Anggarannya dikendalikan oleh Satu Entitas Distribusi Anggaran ARN dilakukan Melalui Mekanisme Seleksi Proposal Secara Professional

Dalam Seminar tersebut diungkapkan berbagai pendekatan pemerintah berdasarkan tipologi teknologi, untuk jenis teknologi yang bersifat Development of complex systems dengan ciri High cost Risk Limited appropriability (particularly for infrastructure technology) seperti

Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan

Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Saff di Kasdepan tersebut.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 351: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

314

Aerospace (kedirgantaraan); Electrical and electronics technology; Telecom/computer technology; semiconductor. Maka intrsumen kebijakan yang relevan adalah dalam hal: R&D cooperation Subsidies; dan Bridging institutions to faciltate development of infra-structure technology

16 Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas), Ristek-Komisi III bidang Transportasi, 27-28 Agustus 2013 dengan tema “Inovasi untuk kemajuan bangsa: Sinergi iptek, pendidikan, dan industri untuk mendorong inovasi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi”.

Pakar dari BAPPENAS, Kemenristek, Kemenhub, PU, Kemenperin, Pemerintah Daerah, BPPT, LIPI, BUMN, perguruan tinggi dll.

BJ Habibie mengatakan bahwa: Indonesia telah berpikir untuk mengembangkan teknologi kedirgantaraan sejak proklamasi. Saat itu, Presiden Soekarno mengatakan bahwa negara ini perlu menguasai teknologi pesawat terbang untuk memudahkan dan mempercepat transportasi antarpulau di wilayah Indonesia. Kriteria Sistem transportasi yang ingin di kembangkan adalah:

1. Sesuai dengan Kondisi Geografi

2. Sesuai dengan Ketersedian Sumberdaya Energi

3. Kesiapan Teknologi (TRL) 4. Faktor

Ekonomi/Keterjangkauan 5. Keberlanjutan 6. Demand – Driven

Adapun tema riset yang direkomendasikan adalah:

1. Sistem Transportasi multimoda untuk Konektifitas Nasional

2. Sistem transportasi Perkotaan 3. Sistem transportasi untuk

sistem Logistik 4. Teknologi keselamatan dan

keamanan transportasi

Dukungan kemandirian teknologi kedirgantaraan pada level kebijakan, organisasi.

Kegiatan tersebut adalah ada dalam kegiatan Kedeputian Relevansi dan Produkvitias Iptek dan saat itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kedeputian tersebut.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 352: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

315

5. Klaster Industri Transportasi 6. Riset pendukung Transportasi

17 FGD Sinkronisasi PP No. 35 Tahun 2007 untuk Meningkatkan Produktivitas Riptek Industri, 10 September 2013 di Gedung II BPPT lantai 21

Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, I Wayan Budiastra, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan, industri (PT LEN, PT Biofarma dan PT Taharica) dan Para Asisten Deputi terkait di lingkungan Kemenristek. Dalam kesempatan tersebut, selaku moderator acara FGD adalah Asisten Deputi Produktivitas Ripek Industri, Santosa Yudo Warsono.

Pemberian stimulus perlu mempertimbangkan arah strategi pengembangan iptek dan Industri di Indonesia; serta perlu adanya batasan yang jelas jenis kegiatan R&D strategis yang perlu didorong dan diberikan fasilitas, untuk menghindari timbulnya distorsi pada tujuan pemberian stimulus.

Level Kebijakan

PP no.35 tahun 2007 adalah suatu kebijakan yang mikro, padahal dari sisi lain ada strategi yang benefitnya lebih besar dan dapat difasilitasi. Pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan saat ini belum mensyaratkan adanya rekomendasi yang telah diterima Badan Usaha dari Menristek (amanah PP no.35/2007). Fasilitasi Fiskal (PPh) R&D dan Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN & PPnBM) terkait dengan litbang sudah ada dan sudah diimplementasikan secara umum, yaitu :

1. Biaya litbang perusahaan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak (UU PPh Pasal 6);

2. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Paja (UU PPh Pasal 6 jo. PP 93/2010);

3. Pengecualian dari Objek PPh (UU PPh Pasal 4 ayat (3) jo. PMK 80/PMK.03/2009): Dikecualikan

Level organisasi dan operasional

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 353: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

316

dari objek pajak atas sisa lebih yang diterima/diperoleh badan/lembaga nirlaba yang bergerak di dalam pendidikan dan/atau bidang litbang;

4. Tambahan Kompensasi Kerugian 1 tahun (UU PPh Pasal. 31A jo PP 1/2007 s.t.d.d. PP 52/2011): Wajib pajak yang memperoleh fasilitas Investment Allowance (PP 1/2007 s.t.d.d. PP 52/2011), apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;

5. Pengecualian dari Pemungutan PPh Pasal 22 Impor (UU PPh Pasal 22 jo. PMK 154/PMK.03/2010 s.t.d.d. PMK 224/PMK.011/2012) : Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 22 atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

6. PPN dan PPnBM tidak Dipungut (PMK 231/KMK.03/2001 s.t.d.d. PMK 70/PMK.011/2013) : Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

7. Pembebasan Bea Masuk Barang Iptek (KMK 143/KMK.05/1997 s.t.d.d. PMK 51/PMK.04/2007): Dibebaskan dari Bea Masuk dan Cukai atas pemasukan barang barang yang benar benar digunakan untuk memajukan ilmu pengetahuan termasuk untuk

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 354: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

317

penyelenggaraan penelitian dengan tujuan untuk mempertinggi tingkat ilmu pengetahuan, oleh Perguruan Tinggi, Lembaga dan Badan.

8. Pembebasan Bea Masuk Buku Iptek (PMK 103/PMK.04/2007) : Pembebasan Bea Masuk atas impor buku iptek dan buku lainnya.

18 Diksusi tentang: Kolaborasi kelembagaan dalam Riset, tanggal 7 Agustus 2014 di Gedung II BPPT lantai 21

Narasumber: Mantan Dirjen Dikti, Prof Dr. Satrio Soemantri Brodjonegoro, Moderator: Asisten Deputi Relvansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi. Peserta: Kepala Bidang Evaluasi, Adhi Hermanoe, Kabid Insentif Riset, Hary Subagyo, Kasub Analisis Kinerja Program, M. Athar, Peneliti LIPI, Dudi Hidayat, Direktur CIPG dan satu orang staf CIPG.

Menurut Pak Satrio bahwa, rendahnya efektivitas kolaborasi ABG dalam kegiatan riset lebih disebabkan skema penggunaan dan pertanggunjawaban dana yang rigid, terutama untuk kegiatan riset yang bersifat multiyears. Sementera menurut Pak Dading, bahwa kendala utama kolaborasi ABG ada tiga: pertama, adalah tidak adanya kepastian keberlanjutan riset (berhenti dijalan); kedua, Tidak ada mitra industri yang benar-benar mau menggunakan hasil inovasi, saat ini baru ada dari industri yang tergolong BUMN; ketiga, adalah masalah ribetnya administrasi keuangan; keempat, adalah kekurangan tenaga pengelola administritatif di lingkungan Kemenristek. Untuk efektifitas pendanaan inovasi kedepan, Diskusi menyarankan supaya kedepan dibentuk Funding Agency yang bersifat Independen seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan_Kementerian Keuangan), namun kedepan, LPDP hanay sebagai eksekusi pendanaan saja, adapun penentuan tema riset sampai kegiatan seleksi proposal diserahkan ke instansi rerkait (untuk ranah riset –riset pengembangan di Kementerian Ristek) dan untuk ranah riset-riset dasar di

Dukungan organisasi (pendanaan) dalam upgrading teknologi

Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Kasub Analisis Kinerja Program dan Koordinator Kajian Penyusunan ARN 2015-2019

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 355: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

318

Perguruan Tinggi). 19 Pidato Wapres di

Haktkenas 19 11 Agustus 2014 di BPPT Lantai 3

Dihadiri Presiden RI III, Menristek, sejumlah Menteri, Dirut BUMN, dan seluruh stakeholder Iptek

Untuk transisi dari resources based economy ke knowledge based economy memerlukan waktu jangka panjang dan sangat kompleks. Didalamnya selain membutuhkan perubahan paradigma juga tentunya investasi SDM yang sangat besar. Permasalahan utama yang saat ini dihadapi bahkan lama adalah membangun koordinasi dan sinergi antar stakeholder iptek. Saat ini, sudah sepatusnya tidak ada dikotomi antara ekonom dan technolog, karena keduanya merupakan keduanya seharusnya bersinergi. Dari sisi proses inovasi, dengan mengacu pada studi Schumpeter di Amerika Serikat, bahwa innovation cost yang paling besar adalah justru pada dua tahap lanjutannya yaitu tahap inovasi dan tahap difusi. Oleh karena itu untuk pembangunan tidak semestinya semua bergantung pada iptek tetapi juga pada efisiensi.

Penulis hadir langsung karena sekaligus sebagai panitia Hakteknas 19

20 Diskusi antara Kemenristek dengan PT RAI, Tanggal 11 Agustus 2014 di Ruang Deputi Program dan Produktivitas Iptek Lantai 21

Deputi Revansi Program dan Produktivitas Iptek Dr Agus Puji, Asdep Relevansi Program Riptek, Ir Ahmad Dading, Asdep Produktivita Riptek Strategis, Bambang Sutedja, Presiden Director PT RAI, Agung Nugroho dan Director of Commercial and Admin, Agung B. Ismadi, Hary Subagyo Kabid Insentif

Diskusi merekomendasikan supaya PT RAI mengidentifikasi kebutuhannya (infrastruktur pengujian) secara lebih detail dan kemudian mengajukan surat permintaan dukungan infrastruktur ke DEPANRI sebagaimana proses N 219.

Dukungan kebijakan dan organisasi dalam upgrading teknologi

Penulis hadir langsung

21 FGD Masukan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek 2015-2019, pada tanggal 10 September 2014. Dihadiri seluruh

Narasumber: Prof Sofyan Effendi, Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 Dan sekarang sebagai salah satu anggota tim arsitek Kabinet Jokowi-Hatta

i. Dulu pada zaman Habibie, Jakstranas Iptek diarahkan untuk mendukung BPIS, Jakstranas sekarang belum jelas arahnya, mau dorong (industri) yang mana?

ii. Membangun Indonesia harus

Level Kebijakan

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 356: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

319

eselon I Kementerian Ristek serta staf khusus Menristek.

melihat 30 tahun kedepan , itu dulu yang selalu ditanamkan Pak Habibie kepada kami.

Feasibility ekonomi menurut ekonom-ekonomi di lingkungan Kementerian Keuangan adalah dalam jangka waktu lima tahun, oleh karena itu Ristek harus bisa memilih teknologi yang benar-benar dapat “meyakinkan mereka” (demand driven).

Level Sektoral

22 FGD II Pengembangan R-80, Senin, 15 September 2014

Pimpinan Rapat : Asdep Iptek Industri Strategis Peserta:

21. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI

22. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80

23. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification- PT RAI

24. Antari W. M – Ristek 25. ArifRahman – Ristek 26. IsmetYus P. – Ristek 27. M. Athar – Ristek 28. Isabel Sibarani – Ristek 29. Erlani Pusparini – Ristek

Notulensi terlampir Tiga Level (Kebijakan, Intersektoral dan Organisasi)

Peneliti sebagai salah satu peserta dan narasumber (Notulensi terlampir)

23 FGD III pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober 2014

PemimpinRapat:DeputiPendayagunaanIptek Peserta:

30. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI

31. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 denganLembaga

32. Pak Doni – Program Manager PT RAI 33. Pak TjahjoKartiko – Head of

Certification- PT RAI 34. Tjahja P – B2TKS BPPT 35. Gatot M. Pribadi – PT. DI 36. Hisar M. Pasaribu – FTMD ITB 37. Taufiq M. – FTMD ITB 38. W. Wira Y – PTIK BPPT

Notulensi terlampir Tiga Level (Kebijakan, Intersektoral dan Organisasi)

Peneliti sebagai salah satu peserta dan narasumber (Notulensi terlampir)

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 357: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

320

39. Widrianto – PTIK BPPT 40. A. Witjaksono – PTIK BPPT 41. YantoDaryanto – LAGG BPPT 42. Asdep Industri Strategis-Lenggo 43. Asdep Bambang S. – Ristek 44. Antari W. M – Ristek 45. ArifRahman – Ristek 46. IsmetYus P. – Ristek 47. M. Athar – Ristek 48. Isabel Sibarani – Ristek 49. Erlani Pusparini – Ristek

24 Hakteknas, 8 Agustus 2014, di BPPT- Ceramah Ilmah-Habibie

Sebenarnya saya sekembali dari Jerman hanya ini fokus untuk mengurusi IPTN, namun Pak Harto memaksa saya untuk memegang semua industri strategis (PAL, PINDAD dll)

Fokusing dalam dunia Industri-Level Operasional

Peneliti hadir langsung dalam ceramah tersebut.

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 358: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

321

Lampiran Sebagian Foto –Foto Terkait

Audiensi Kemenristek dalam rangka Hakteknas di Kediaman Pak Habibie di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. FGD Persiapan Pembentukan Task force upgrading N 250; 11 Agustus 2014

Sidang Paripurna DRN 2014, dengan narasumber utama dari Politisi, BAPPENAS, DRN, PT DI. 26

Juni 2014

Proses Penentuan Arah Pembangunan Iptek sebagai bahan masukan untuk Agenda Riset Nasional (ARN 2015-2019)

yang dilakukan Kementerian Ristek dengan Pakar dari DRN ditambah pakar dari sektor terkait, 2013.

FGD Penyusunan ARN 2015-2019 Ristek dengan DRN, 25 Februari 2014

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.

Page 359: D2068-Muhammad Athar Ismail Muzakir.pdf

322

Kunjungan ke PT DI November 2013 Rapat Koordinasi Pengembangan Pesawat N-219, Jum’at

/13 Desember 2013 di Hotel Gino Feruci, Bandung

Diskusi antara Kemenristek dengan PT RAI, Tanggal 11 Agustus 2014 di Ruang Deputi Program

dan Produktivitas Iptek Lantai 21

FGD Sinkronisasi PP No. 35 Tahun 2007 untuk Meningkatkan Produktivitas Riptek Industri, 10 September 2013 di Gedung II

BPPT lantai 21

Sidang Paripurna DRN 2014, dengan narasumber utama dari Politisi, BAPPENAS, DRN, PT DI. 26 Juni 2014

Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.