betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · web viewdalam kurun waktu ini gerakan...

27
Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme (Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan) 1 Oleh: Endhiq Pratama 2 Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan sistemmu yang semakin lama semakin lapuk itu terus menghisap yang lemah. Betul, bahwa sebagian besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah menambatkan pilihan: bahwa kami memihak mereka yang telah kau hisap selama berabad- abad karena lambat laun, kami pun akan sama dengan kelas proletariat yang tidak mempunyai apa kecuali peninadasan yang merantai kami. Kalian catat, kami bersama kaum buruh dan tani akan membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami, gerakan mahasiswa akan terus berada ditengah deyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum lain yang kau tindas, bersama bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi. *** I. Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia. Setelah patahnya dominasi VOC 3 yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P. Coen, kekuasaan kolonial Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--seorang penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan membangun “Jalan Raya Pos” dari Anyer –di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal tetetasan darah rakyat Nusantara yang membasuhi setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos” membentang dengan kokoh laksana ular yang menjulur, P. Jawa telah disatukan dalam kekuasaan ekonomi-politik pemerintah Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum borjuasi di Prancis, corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN ! BUKAN KAPITALISME YANG DILAHIRKAN OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI, 1 Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan penulis sebelumnya yang berjudul Merenda Gerak Sejarah (Membangun Gerakan Mahasiswa Kerakyatan), 1999. 2 Mahasiswa Filsafat angkatan 96, Mantan Pimred Pers Mahasiswa “Pijar” Fakultas Filsafat periode 1999-2000, mantan Redaktur Pelaksana Koran Partai PRD “Pembebasan” periode 1998-1999. 3 VOC merupakan persekutuan antara pedangan-pedang Belanda yang berasal dari 17 Propinsi yang ada di Belanda.

Upload: nguyendiep

Post on 15-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme(Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan)1

Oleh: Endhiq Pratama2

Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan sistemmu yang semakin lama semakin lapuk itu terus menghisap yang lemah. Betul, bahwa sebagian

besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah menambatkan pilihan: bahwa kami memihak mereka yang telah kau hisap selama berabad-abad karena lambat laun, kami pun akan sama dengan

kelas proletariat yang tidak mempunyai apa kecuali peninadasan yang merantai kami. Kalian catat, kami bersama kaum buruh dan tani akan membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami, gerakan mahasiswa

akan terus berada ditengah deyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum lain yang kau tindas, bersama bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi.

***

I. Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat

I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia.Setelah patahnya dominasi VOC3 yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P. Coen,

kekuasaan kolonial Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--seorang penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan membangun “Jalan Raya Pos” dari Anyer –di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal tetetasan darah rakyat Nusantara yang membasuhi setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos” membentang dengan kokoh laksana ular yang menjulur, P. Jawa telah disatukan dalam kekuasaan ekonomi-politik pemerintah Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum borjuasi di Prancis, corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN ! BUKAN KAPITALISME YANG DILAHIRKAN OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI, TETAPI KAPITALISME YANG DIHASILKAN DARI PERSETUBUAN KOLONIALISME YANG MENGHISAP DENGAN FEODALISME YANG TELAH MEMBUSUK, SEHINGGA LAHIR MENJADI KAPITALISME YANG CACAT, BAHKAN SUDAH CACAT SEJAK DALAM KANDUNGANNYA.

Kapitalisme ini membutuhkan selain tenaga-tenaga rakyat yang dihisap, juga tenega-tenaga ahli untuk memaksimalkan penindasan mereka agar mereka bisa meneguk kekayaan alam sampai dasar-dasarnya. Maka kemudian dibangunlah sekolah-sekolah yang akan menjadi sekrup-sekrup dari sistem kapitalisme. Sekolah Militer yang mereka bangun di Semarang pada tahun 1819—Belanda membutuhkan militer untuk alat meninadas—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852).4Sekolah-sekolah ini jelas-jelas dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda—dengan membuka

1 Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan penulis sebelumnya yang berjudul Merenda Gerak Sejarah (Membangun Gerakan Mahasiswa Kerakyatan), 1999. 2 Mahasiswa Filsafat angkatan 96, Mantan Pimred Pers Mahasiswa “Pijar” Fakultas Filsafat periode 1999-2000, mantan Redaktur Pelaksana Koran Partai PRD “Pembebasan” periode 1998-1999.3 VOC merupakan persekutuan antara pedangan-pedang Belanda yang berasal dari 17 Propinsi yang ada di Belanda.4 Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185.

Page 2: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari 1817.5 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.6

Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu factor penting dalam pembangunan sistem kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produk-produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda.7 Sumber-sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi sumber bahan mentah tersebut.

Dibuknya sekolah-sekolah tersebut memberikan penagaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah, gerakan mahasiswa di Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari Stovia—sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi yaitu Sarekat Prijaji (1905). Organisasi ini memang didasari semangat kebangsaan, tetapi salah menentukan materi sebagai unsur perubahannya yaitu kaum priyanyi. Golongan priyanyi ini merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat8, yang dunia pikirannya berlindung di bawah kewibawaan gubermen9, tanpa kewibawan, mereka tidak ada artinya10. Sehingga ketika mereka diharapkan sebagai pelopran perubahan dalam melawan kolonialisme, kegagalanlah yang terjadi karena kebekuan mereka11. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin ‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyanyi-prinyanyi ini melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi perempuan dari keturunan orang kebanyakan.12 Kegagalan ini kemudian diulangi oleh Boedi Oetomo (1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang pertama-- yang juga didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi Oetomo juga mendasarkan materi yang membangunnya kaum prinyayi, walaupun dapat bertahan hidup sampai tahun 1920 tetapi tumbuh menjadi organisasi yang lumpuh dan kerdil dalam cita-cita nasionalisme.

Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).13 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—oragnisasi ini 5 ibid.hal.1886 ibid.hal.186.7 W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm.71.8 Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, hal.2649 ibid, hal.30010 Pramodya Ananta Toer, Nyayi Sunyi Seorang Bisu, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 16911 op.cit.hal. 27412 Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Hasta Mitra, Jakarta, hal.62.13 Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.

Page 3: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging14. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun.15 Dalam program perjuangannya, PI menyatakan:

1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut pembinaan tasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.

2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan.

3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut.

4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sujumplah besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.16

Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.

Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.

I.2. Pers Sebagai Alat PerjuanganSetiap perjuangan tentu membutuhkan senjata politiknya. Apa senjata itu? Dalam gelombang

nasionalisme abad ke 19, senjata politik dari gerakan kebangsaan adalah Surat Kabar. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar pribuni adalah bahasa Melayu Rendah. Bahasai ini, apabila kita telusuri pada awalnya merupakan bahasa penghubung, baik antara golongan Tionghoa dengan masyarakat luas maupun dengan sesama golongan Tionghoa sendiri—ini terjadi karena golongan Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari macam-macam suku Tiongkok, antara satu dengan lainya mempunyai bahasa yang berbeda17 (Pramoedya.1999:202)

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Tionghoa – pemerintah kolonial Belanda sering menyebutnya bahasa Melayu Rendah—kemudian banyak digunakan wartawan dan pemgarang pribumi. Banyak penulis yang nasionalis dan beridologi kiri menggunakan bahasa Melayau Tionghoa—Pram menyebutnya bahasa kerja –antara lain Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco, Semaun, yang mana buah karya mereka ini tidak disenangi oleh pemerinatah kolonial Belanda yang mengunakan bahasa Melayu Tinggi.18

Surat kabar pribumi yang pertama kali mengunakan bahasa Melayu Rendah adalah Medan Prijaji (1907) yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini pada awalnya mingguan dan kemudian berkembang menjadi surat kabar harian dengan berita-berita utama menyangkut persoalan rakyat yang ditindas oleh penguasa kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing 14 John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.15 Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.16 Op.cit, hal.6-7.17 Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta, hal. 20218 Leo Suryadinata, Prisma, hal. 48

Page 4: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

organisasi politik yang berkembang ketika itu mempunyai surat kabar sendiri-sendiri. Partai Komunis Indonesia mempunyai jumlah surat kabar terbanyak, baik di Jawa, Semarang, Surabaya, Surakarta, Batavia, Pekalongan maupun yang terbit di luar Jawa seperti di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Medan, Makasar, Pontianak dan Ternate. Organisasi lain seperti Perhimpunan Indonesia juga mempunyai surat kabar sendiri yaitu Indonesia Merdeka, sedangkan Serikat Islam dengan surat kabarnya Sinar Djawa, Indische Partij dengan terbitannya De Express dan Het Tijdscrift.

Bagaimana bahasa mereka dalam mengugah semangat kebangsaan dapat kita lihat sebagai berikut. Dalam memberikan semangat kepada rakyat Indonesia, Marco menulis dalam Sinar Djawa edisi Kamis, 11 April 1918 No. 82, dengan judul Djangan Takoet sebagi berikut:

Soenggoehpoen amat berat orang bergerak memihak kepada orang jang lemah (orang jang tertindas), lihatlah adanja pemogokan jang beroelang oelang diwartakan dalam Sinar ini. Di sitoe soedah menoendjoekkan bilangannja berpoeloeh-poeloeh korban itoe pemogokan, inilah memang soedah seharoesnja. Sebab melawan kaoem jang mempoenjai pabrik pabrik itoe sama artinja dengan melawan pemerentah jang tidak adil. Kalau kami menilai hal itoe saja laloe ingat boenjinja boekoe: "Om leven en vrijheid" dan "Zes maanden onder de commando's, boekoe-boekoe itoe menoendjoekkan betapa haibatnja peperangan antara orang Inggris dan orang Belanda (booren) ada di Zuid-Afrika. Karena pada masa itoe orang-orang jang ada di Zuid-Afrika (Kaapstad, Bloemfontein enz) merasa dihinakan oleh pemerentah Inggris. Lantaran hal ini, maka di sitoe timboellah peperangan soeara (soerat kabar) jaitoe fehaknja Pemerentah dan fehaknja ra'jat. Tida djarang lagi kalau pada itoe waktoe Pemerentah Inggris memberi bantoean beberapa soerat kabar jang terbit di Zuid Afrika, soepaja soerat-soerat kabar itoe bisa memehak kepada Pemerentah Inggris. Barangkali Pemerentah sendiri djoega membikin soerat kabar, sengadja diboeat melawan soeara ra'jat, inilah soedah boleh ditentoekan. Toean pembatja kami kira bisa mengira sendiri, seberapa beratkah pikoelan Redacteur-Redacteur itoe jang memehak kepada ra'jat di dalam itoe djaman peperangan soeara di Zuid Afrika? Walaupoen begitoe, banjak anak anak moeda jang dengan soekanja sendiri toeroet membantoe itoe soerat kabarnja ra'jat, meskipoen dia tahoe djoega, bahwa bantoeannja itoe hanja kekoeatan jang ketjil sekali. Tetapi kekoeatan ketjil itoe kalau bertimboen-timboen djadi kekoeatan jang besar!

Apakah sebabnja itoe peperangan? begitoe barangkali seorang toean pembatja bertanja. Ja, tidak lain itoe peperangan djoega reboetan makan, hidoep, kekajaan, kemanoesiaan enz. enz, adapoen jang membikin besar itoe peperangan, sebab reboetan parit mas (goudmijmen). Itoe waktoe banjak bangsa Inggris jang lebih soeka memehak kepada bangsa Belanda (boeren), kerna berboeatan Inggris itoe masa dipandang tidak adil oleh bangsanja sendiri. Begitoe djoega waktoe petjah perang, banjak bangsa Inggris jang toeroet perang mati matian memehak kepada booren. Begitoelah orang jang tebal kemanoesiaannja, dia tidak pandang bangsa, tetapi memandang kebaikan dan kedjahatan! Meskipoen bangsa sendiri kalau soedah terang djahat djoega dibinasakan, begitoe sebaliknja. Tidak sadja pada itoe waktoe bangsa Inggris sama melawan bangsanja sendiri, tetapi bangsa Duitsch dan Franch djoega ada jang membalas kepada orang Belanda (boeren).

Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita Hindia jang seperti djemeroetini. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar … djangan poetoes pengharapan pembatja! Disini ada banjak sekali anak-anak moeda jang berani membela kepada rajat, dan kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita makhloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja, perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masin melawan bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Bangsa apakah orang sematjam ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri! Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! Tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari sendiri.

Page 5: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita bertandingan boeat menghela bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita mesti berani bertanding dengan kaoem oeang, dengan bangsa kita sendiri jang lidahnja pandjang. Djadi sesoenggoehnja pada ini waktoe kita orang tidak bisa tjoema memegangi kebangsa'an (nationalisme sadja, sebab bangsa kita masih ada jang djadi berkakas, melawan kepad kita sendiri. Djadi seharoesnja kita djoega mesti mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme). Ingatlah siapa jang menindas kita? …………….. tetapi ………………

Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada kamoeorang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.

Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat tadjam, dan kalau perloe ………19

Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga berusaha meblejeti sistem kapitalisme yang ada di Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat isi surat kabar berikut ini:

-------------------------------

Tjaranja pabrik goela hendak menjewa sawah orang-orang desa itoe jang soedah kedjadian lantaran dari politie desa: Loerah, Tjarik enz, enz, djadi pabrik tidak oesah rewel-rewel masoek keloear di romah-romah orang desa jang sawahnja hendak disewa pabrik. Apakah perkara ini soedah mestinja penggawai desa atau Goepermen: Asistent Wedono Wedono dan Regent mesti menoeloeng kaperloean pabrik boeat mentjari tanah jang akan ditanami teboe? Kaloek menoeroet adilnja, seharoesnja pabrik mesti datang di romah masing-masing orang desa dan lain-lainnja sama sekali tidak boleh toeroet tjampoer tentang perkara sewa menjewa itoe soedah kedjadian dan hendak teeken perdjandjian. Banjak orang-orang desa bilangan pabrik Tjepiring dan Gemoeh afdeling Kendal, Semarang, bahwa marika itoe merasa terlaloe menesal sekali, karena sawahnja disewa oleh pabrik, sebab oeang sewaan tanahnja dari pabrik, itoe lebih sedikit dari pada hasil kalau itoe tanahnja dikerdjakan sendiri. Apakah sebabnja itoe pabrik bisa menjewa tanah orang desa dengan harga moerah sekali? Tida lalu tentoe dari roepa-roepa akal jang tidak baik boeat orang desa itoe, tetapi baik boeat loerahnja enz enz. Begitoe orang memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itoe njata, kami berseroe kepada pemerentah haroes menjelidiki, apakah prijaji-prijaji dan loerah jang memegang peperentahan dipabrik sitoe tidak terima presen dari pabrik, soedah tentoe akalnja pabrik menjewa tanah orang-orang desa dengan lakoe jang tidak baik. Hal ini kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang desa jang sawahnja disewa pabrik. Dibawah ini kami bisa kasih keterangan dengan pendek, soepaja djadi timbangan sekalian orang jang sehat pikirannja: "Sebahoe sawah oleh pabrik tidak lebih f66,- (enam poeloeh enam roepiah) didalam 18 boelan, jaitoe seoemoernja teboe; sawah sebahoe kalau ditanami padi bisa tiga dalam 18 boelan, dan itoe padi kalau didjoeal tidak koerang dari f300 (tiga ratoes roepiah), djadi tiap-tiap sebahoe sawah jang disewa pabrik, orang desa roegi f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Tjobalah pembatja pikir sendiri boekankah soedah terang sekali kalau menoeroet keterangan di atas itoe, semoea orang desa jang sawahnja disewakan pabrik tjoema f66,- (enam poeloeh enam roepiah) sebahoe dalam 18 boelan lamanja, dia orang mendapat keroegian f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Lagi poela semoea sawah jang loeas ditanami teboe itoe tidak bisa baik lagi ditanami padi. Kalau menilik hal itoe terang sekali orang-orang desa jang sawahnja disewakan pabrik itoe tentoe dengan akalan jang tidak baik, sebab kalau tidak begitoe, kami berani berkata, tentoe orang desa tidak nanti sawahnja boleh disewa pabrik teboe.

Apakah tidak lebih baik pemerentah menentoekan harga tanah jang sama disewa pabrik teboe, misalnja: pabrik tidak bolih menjewa tanah orang desa korang dari f.200,- sebahoe didalam 18

19 Marco, Djangan Takoet, Sinar Djawa, Kamis, 11 April 1918 No. 82

Page 6: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

boelan. Kalau hal ini dilakoekan, tentoe bangsa kita orang desa tida bakal sengsara lantaran adanja pabrik-pabrik goela.

Keterangan-keterangan ini misih pendek sekali, sebab hanja kami ambil jang perloe sadja, tetapi kalau ini oesikan tidak bergoena, jaitoe tidak bisa merobah haloean pabrik tentang sewa menjewa tanah kepada orang-orang desa, dibelakang hari henda kami terangkan dengan pandjang lebar, djoega semoea perkara jang gelap gelap, soepaja bangsa kita orang desa tidak menderita kesoesahan. Ingatlah ini waktoe mahal makanan, seharoesnja pemerentah berdaja oepaja soepaja semoea sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami teboe seperti sekarang.20

Dalam kesempatan lain, surat kabar pergerakan juga memberikan advokasi kepada pemimpin-pemimpin pergerakan yang ditangkap. Sebagai contohnya dapat kita lihat dibawah ini:

Seperti jang telah kita kabarkan kemaren, bahwa saudara Sneevliet betoel djadi di boeang.

Sesoenggoehnja tidak nama djarang kalau saja mesti memberhentikan diri tidak toeroet di dalam pergerakan Hindia, teroetama Sarekat Islam. Sebab kalau saja hitoeng, adalah 8 tahoen lamanja saja bergerak dilapangan Journalistiek, jaitoe moelai tahoen 1914 nama saja soedah tertjitak dihalaman soerat kabar Medan Prijaji di Bandoeng, soerat kabar mana jang saja djadi Mede Redacteurnja. Waktoe Sarekat Islam beloem lahir didoenia saja soedah bertereak ada di Medan Prijaji tentang tidak adilnja Pemerintah di Hindia sini dan rendahnja bangsa kita. Tereakan tereakan itoe sekarang soedah mendjadi oemoem, dan asal orang jang mempoenjai kemanoesia'an dan tidak djilat-djilat kepada orang jang koeat tentoe berani bertereak!

Waktoe djaman De Indische Party dan orang-orang jang memimpin sama di boeang, hanja seorang doea orang sadja jang berani membela kepada Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi, tetapi sebagian besar dari bangsa kita sama takoet tjampoer hal itoe, karena mareka itoe dikatakan oleh fehaknja pemerentah orang jang meroesak keamanan negeri! Tiga orang itoe jang doeloe dikatakan berbahaja oleh pemerintah sekarang soedah tidak dipandang begitoe lagi, tandanja soedah sama diidinkan poelang kembali ditanah airnja, Hindia.

Sekarang djaman I.S.D.V., djaman mana jang kita haroes berkata teroes terang kepada publiek, mengertinja: bangsa bangsat haroes kita katakan bangsat djoega, dan bangsa baik poen kita katakan baik. Tetapi! ... ja pembatja, selaloe ada tetapinja sadja, tetapi berapa orang bangsa kitakah jang berani membela kepada bangsa kita seperti Sneevliet jang diboeang lantaran membela kita orang itoe? Ja! Tidak! Boeat saja sendiri, hati saja tidak berobah lantaran Sneevliet diboeang itoe, mengertinja tidak senang dan tidak soesah, tjoema sadja kita mesti memikirkan kesoesahannja Sneevliet. Lantaran Sneevliet diboeang itoe ... barangkali semoea pemerentahan ... ada didalam perentahnja kapitalisme. Sneevliet berani sampai diboeang! Apakah pemimpin pergerakan kita djoega berani diboeang djoega berani diboeang di Ambon atau Menado atau kalu perloe djoega dipoelau jang tidak ada orangnja sama sekali? Bangsa apakah jang tertindas di Hindia sini? Jaitoe bangsa kita. Mengapakah seorang Belanda seperti Sneevliet jang mesti membela tindasan tindasan itoe, dan sampai dia berani diboeang, sedang bangsa kita jang mengakoe djadi pemimpin roepa-roepanja djarang jang berani bergerak seperti Sneevliet. Apakah orang Hindia boekan manoesia seperti Sneevliet. Sesoenggoehnja keadaan itoe, keadaan jang terbaik! Kalau menilik kasoesahannja bangsa kita pada ini waktoe, seharoesnja kita sendiri mesti bergerak doea kali lebih keras dari pada pergerakannja Sneevliet dan kontjo kontjonja. Orang tidak oesah takoet apa jang akan menjerang badan kita .... Ingat! Kita tidak bisa hidoep lebih dari seratoes tahoen! Apakah mengertinja pemboeangan dan pemboealan jang diadakan oleh peperentahan seperti sekarang ini? Kalau saja ada kekoeatan dan ada bekakas boeat memboenoeh manoesia, soedah tentoe saja bisa mengadakan pemboealan dan pemboeangan. Siapa orang jang tidak menoeroet kehendaknja tentoe saja masoekan boei dan kalau perloe saja boeang. Walaupoen semoea kelakoean saja itoe meroegikan orang orang itoe. Pendeknja kalau saja koeat, saja bisa merampok memboenoeh sesoeka saja, dan orang banjak djoega tidak mengatakan perboeatan saja itoe: rampok rampokan, grajak grajakan dan boenoeh boenoehan. Sebab .... ja! Sebab saja poenja

20 Marco, Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?!, Sinar Djawa, Hari Selasa 26 Maart 1918, no. 71, tahoen ke-19.

Page 7: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

kekoeatan! Tetapi apakah perboeatan saja sematjam itoe tida dikatakan BADJINGAN oleh orang jang poenja pikiran waras? Tida taoe!

Pembatja tentoe soedah tahoe, bahwa ini waktoe di Europa tengah banjak radja jang sama NGRONTOKK, radja radja mana jang doeloe amat mashoer namanja itoe radja radja sebabnja NGRONTOKK! Tidak lain dari sebab lakoenja jang sawenang wenang dan tidak mengerti permintaannja orang banjak. Pendeknja perkara orang boleh melakoekan sesoekanja asal sadja berani, tetapi keberanian jang dilakoekan dengan tipoean jang digoenakan menjenangkan diri sendiri, itoe kelakoean djahanam!!

Apakah kalau Sneevliet diboeang lantas pergerakan Hindia mendjadi padam? Sabeloemnja Sneevliet datang ditanah Djawa sini, saja soedah menerbitkan soerat kabar DOENIA BERGERAK, soerat kabar mana jang haloeannja tida beda dengan Het Vreij Woord. Djadi sebeloemnja Sneevliet ada ditanah Djawa, di Hindia bidji revollutionnair soedah mengembang di mana mana!

Djadi iktiar pemerentah jang lantaran kemaoean kapitalisten menjoeroeh memboeang Sneevliet dari tanah Djawa itoe malah membikin kerasnja pergerakan Hindia. Bagoes21

Surat Kabar pergerakan juga dijadikan ajang perdebatan diantara tokoh-tokoh pergerakan sendiri dalam menentukan format gerakan yang tepat:

------------------------------------------------------------------------------------------------------

SIKAPNJA D.D

Sebagai telah dikabarkan, koetika hari Minggoe jang telah laloe di stadtuin di Samarang telah dibikin satoe vergadering oleh perhimpoenan Insulinde, dalam mana toean Dr. E.F.E. Douwes Dekeker telah berpidato, njatanja ia poenja sikap dalam pergerakan di Hindia ini.

Di sini kita tiada toetoerkan fatsal sikapnja Insulinde pada Semarangsche lesvereeniging, karena ada tiada begitoe perloe lagi dikata di sini, jaitoe fatsal empat dalam Gemeente jang di boeat reboetan oleh antara kaoem kapitalist dan kaoem miskin, jang mana pembatja soedah mengetahoei.

Tapi jang kita toelis di sini jalah sikapnja D.D. pada perhimpoenan-perhimpoenan di Hindia, sebab cita rasa ada perloe djoega dikatahoei oleh pembatja kita. Fatsal-fatsal jang tiada perloe poen kita boeang, kata Pew Soer

Sikapnja pada orang Tionghoa:

Ia bilang, bahwa Tiong Hoa Hwee Koanschool vereeniging tiada mempoenjai dasar politiek, tapi ia kasih tahoe, bahwa orang Tionghoa tiada betjidra pada Indische Partij Maksoednja persama'an dari kaperloeannja pekerdja'an djoega. Spreker tahoe betoel bahwa orang Tionghoa bisa ditarik ke perhimpoenan Insulinde dan marilah kita moesti adjak marika, meskipoen kita ditoedoeh bahwa kita tjoema pemboeroe oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi keperloeannjaa tiada diperhatikan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sikapnja pada Sarekat Islam:

Spreker bilang, Sarekat Islam adalah perhimpoenan jang paling penting dan Insulinde moesti bekerdja bersama-sama. Ini perhimpoenan berhaloean democraat djoega, tapi dengan dasar Igama. Meskipoen di negeri Olanda toch ada gerakan kaoem democraat dengan beralasan igama.

21 Marco, Sneevliet Diboeang, Sinar Hindia, 10 Desember 1918.

Page 8: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Atas parlement spreker njatakan, bahwa ia poenja advies telah di minta oleh minister oeroesan djadjahan, jaitoe ketika maoe diadakan Volksraad. Ia tiada kira, jang Volksraad ada seperti sekarang dimana fihak jang lemah kalah soearanja. Tetapi kita moesti berdjalan teroes dan tiada akan merasa tjapai, kalau maksoed kita beloem kesampaian.22

II. GM Setelah Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 sampai Tahun 1965

III. GM Dari 1966 sampai 1997—Ingin Perubahan Tanpa Merubah Sistem

III.1. Setelah ’65 Sampai NKK/BKKPeristiwa G 30 S menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memang berperan dalam kejatuhan

Soekarno dan sekaligus berperan melahirkan rejim Soeharto yang kelak digulingkan oleh gerakan mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia setelah meletusnya peristiwa September 1965. Kemudian, setelah periode ini konsep gerakan mahasiswa ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie. Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa selanjutnya 23.

Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah menikmati kemenangan bersama naiknya rejim Orde Baru – dimana banyak tokoh-tokoh gerakan duduk didalam birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad –, gerakan mahasiwa dapat dikatakan mati. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa “bulan madu” gerakan mahasiswa dengan Orba. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober”24. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang massif. Dalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada25.

Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo saling berebut kekuasaan.

22 Marco, Douwes Dekker Tidak Berobah Haloeannja, Sinar Hindia, 17 Agustus 1918, tahoen ke 19.23 Lihat tulisan Edwad Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 199824 Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.25 Op.cit

Page 9: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama, gerakan ini kelihatan jelas melakukan kolaborasi dengan militer, paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat jelas aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan hancurnya militer yang diajak berkolaborasi.

Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat. Akibat gerakan yang elitis ini gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat dalam gerakan tersebut, rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang dijadikan legitimasi bagi rejim untuk menghentikan aksi-aksi mahsiswa dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum, menciptakan kekacauan.

Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu titik mengakibatkan gerakan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta “dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan perlawanan sama sekali.

Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.

Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.

Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, Gerakan periode ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik – menolak pencalonan Soeharto – walaupun belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi presiden.

….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan lebih maju programnya ketimbang sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak mengerti sistim, namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan Suharto"…26

Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang didukung oleh militer, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto dapat mengerahkan orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi, Soeharto menghancurkan kehidupan mahasiswa di kampus. Dia juga membuat peraturan yang mengekang kehidupan mahasiswa di kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk merepresi gerakan mahasiswa.

Kedua, gerakan ’78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ’74 – di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi kemudian sama dengan gerakan ’74, gerakan tetap mudah dipatahkan.

Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.

III.2. Mencari Format Ideologi Baru.

26 Wawancara Marlin, Link

Page 10: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.

Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian. Kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru pulang belajar dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left….27

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho28 dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:

…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..29

Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.

Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah,30. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik 27 ibid28 Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.29 Wawancara Marlin, LINK30 Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.

Page 11: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.

Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Walau bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.

Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -- mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.

Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus menjalankan aksinya.

Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer.

Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam dan diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto31. Dan sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembanganya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994

31 Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999.

Page 12: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan perlawanan rakyat. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor

masyarakat.4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama

untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan).

5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.32

Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.

IV. Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran

IV.1. Keberhasilan Menggulingkan Simbol KeditatoranSejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah

terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.

Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:

Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).33

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966 34. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran,

32 Ibid33 The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal .34 Ibid

Page 13: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 35.

Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain36. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok 37. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.

Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.

Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa ’98. Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.

35 Ibid36 Ibid37 Ibid

Page 14: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

IV.2. Massa Habibie2.1. Menguatnya Kesadaran Anti Militerisme

Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum pemilu dilewatkan dengan “manis”. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.

Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan mengajukan RUU PKB. RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat . Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan militerisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa , disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa. Sementara aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah. Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti militerisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15 Oktober.

Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan revolusi demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa ’98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi “dingdong” ini ikut turun kejalan. Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Injeksi kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi inipun tidak tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka aktivitas gerakanpun juga menurun. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi .

Ini berbeda dengan gerakan ‘90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru.

Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan begitu saja. Momentum pemilu yang seharusnya merupakan kesempatan “berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. Akibat kekakuan dalam menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu konsolidasi menjadi lemah.

Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai saat ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini.

Daerah Jumlah TuntutanJakarta 14.000 orang Tolak SI

Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto

Bandung 3.500 orang Tolak SI

Page 15: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto

Yogyakarta

1.300 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto

Semarang

2.000 orang Cabut Dwi Fungsi ABRI Percepat Pemilu Adili Soeharto c.s Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai presiden dan wapres

Surabaya

1.100 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Pertagungjawaban Soeharto

Bandar Lampung

300 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s

Palembang

700 orang SI untuk ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Percepat Pemilu Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s

Manado 500 orang Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s

Tabel 16:

Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili Soeharto – dan adanya satu momentum – hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara organisasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya.

Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-toko etnis minoritas, jalan tol dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda militer, apabila aksi mahasiswa bergabung dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan. Kesalahan-kesalahan seperti ini tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya.

Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk.

Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, disamping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999.

Page 16: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu. Pemilu, menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu. Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie. Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya. Berdasarkan “jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki mahasiswa berkoalisi dengan kelompok lain .

Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa ’98 adalah akibat “trend” yang ada. Tidak heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya trend gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka.

Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa berubah setiap detik – orang sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan. Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak oleh komite-komite aksi.

Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei ’68 di Prancis. Situasi Mei ’98 di Indonesia mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari “revolusi” ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai pelopor – kalaupun ada belum bisa bergerak bebas -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah “bersembunyi” ketika situasi sedang revolusioner.

Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa ’98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal mahasiswa menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ’66 jelas melakukan kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa ’74. Gerakan mahasiswa ’78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap tidak tegas terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa ’98 telah belajar dari kesalahan para pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan kelompok-kelompok radikal sejak ‘90-an.

Page 17: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

Kedua, gerakan mahasiswa ’98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan ’98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa ’66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat penguasa kalang kabut, daya resitensipun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan. Adanya gerakan yang membesar disemua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar

IV.3. Massa Gus Dur3.1. Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru Yang Setengah Hati

Polari gerakan pada masa Abdulrahman Wahid terus terjadi. Dapat dikatakan pada masa Ini gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang berkembang ketika itu. Gerakan mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur atau berhadapan denganya.

Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Ini bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri (PRD). Pemahaman yang setengah-tengah dari program penghancuran sisa-sisa OrBa ini dapat dilihat dari sikap politik yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan Pembubaran Parlemen, tetapi sangat sulit menerima Perceptan Pemilu—alasan mereka guna melihat watak indepensi. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa Orba juga tanggung.

Bulan/Th.2000 JumlahAksi

JanuariFebruariMaretAprilMeiJuniJuliAgustusSeptemberOktoberNopemberDesember

497661126102414-

Tabel 17 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta

Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari Partai Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena telah melakukan KKN. Dalam jumlah massa karena didukung logistik yang banyak, mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap walnya mereka bisa mendominasi opini yang muncul dimedia massa. Namun, ketiak Gus Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU bergerak—mereka tidak lagi mengelar aksi-aksi massa lagi.

Page 18: Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme · Web viewDalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik

IV. 4. Masa Megawati1. Gerakan Yang Kehilangan Orientasi

Tidak banyak yang bisa dicacatat GM mahasiswa pada masa Mega. Aksi terakhir mereka terakhir yang masih terdengar adalah pengadilan Golkar di MA, setelah itu dan hingga saat ini tidak terdengar lagi. Kelihatan, GM kehilangan orientasi dan momentum politiknya. Sekian