quo vadis gerakan sosial global di era restrukturisasi kapitalisme neoliberal pasca-krisis -...

128
Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 1

Upload: hizkia-yosie-polimpung

Post on 29-Nov-2015

186 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan penyertaanNya, kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Riset yang berjudul “QUO VADIS GERAKAN SOSIAL GLOBAL DI ERA RESTRUKTURISASI KAPITALISME NEOLIBERAL PASCA-KRISIS (Kasus Penguatan Rezim Perdagangan Global melalui WTO-MC9, 2013)”. Terimakasih kami harturkan pada seluruh pihak yang turut membantu dan berkontribusi dalam pembuatan laporan ini.Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mempublikasikan perkembangan riset yang dilakukan tim JeRK (Jaringan Riset Kolektif) selama beberapa bulan terakhir. Perlu diketahui bahwa Jaringan Riset Kolektif merupakan sebuah jaringan yang teridiri atas peneliti-peneliti muda yang berasal dari berbagai institusi akademik. Ritme kerja kami dibagi ke dalam lima fragmen-fragmen yang fokus pada sub-bahasan (Kapitalisme, Ekonomi Politik Internasional, Hukum dan Institusi, Geopolitik, dan Gerakan) yang kenudian disatukan dalam sebuah analisis besar mengenai restrukturisasi tatanan kapitalisme neoliberal global.Laporan kemajuan riset ini bukan merupakan laporan akhir, namun hanya merupakan salah satu tahap dari beberapa tahap yang telah dan akan dilaksanakan. Pada tahap awal, kami telah melakukan stock taking atas sebanyak-mungkin artikulasi wacana yang beredar seputar WTO. Tahap selanjutnya, kami berusaha menunjukkan bagaimana restrukturisasi kapitalisme ini juga mengintrodusir bentuk-bentuk eksploitasi yang baru yang dengan sendirinya memerlukan cara perlawanan baru. Di tahap terakhir, kami akan melakukan publikasi dan seminar yang sekaligus sebagai bentuk perlawanan dalam aksi mengkonfrontasi kapitalisme-neoliberal global yang terejawantahkan dalam WTO.Lebih dari pada itu, kami berharap agar penelititan ini dapat memberikan masukan sakaligus sharing knowledge terhadap kawan-kawan yang tergabung di dalam koalisi Gerak Lawan dalam melakukan aksi di Bali Desember mendatang. Tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam penulisan laporan ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya, dan bagi para peneliti JeRK pada khususnya.La lucha continua no terminará fácilmente (Che Guevara)Jakarta, September 2013Niken Anjar WulanManager JeRK

TRANSCRIPT

Page 1: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 1

Page 2: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 2

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan penyertaanNya, kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Riset yang berjudul “QUO VADIS GERAKAN SOSIAL GLOBAL DI ERA RESTRUKTURISASI KAPITALISME NEOLIBERAL PASCA-KRISIS (Kasus Penguatan Rezim Perdagangan Global melalui WTO-MC9, 2013)”. Terimakasih kami harturkan pada seluruh pihak yang turut membantu dan berkontribusi dalam pembuatan laporan ini. Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mempublikasikan perkembangan riset yang dilakukan tim JeRK (Jaringan Riset Kolektif) selama beberapa bulan terakhir. Perlu diketahui bahwa Jaringan Riset Kolektif merupakan sebuah jaringan yang teridiri atas peneliti-peneliti muda yang berasal dari berbagai institusi akademik. Ritme kerja kami dibagi ke dalam lima fragmen-fragmen yang fokus pada sub-bahasan (Kapitalisme, Ekonomi Politik Internasional, Hukum dan Institusi, Geopolitik, dan Gerakan) yang kenudian disatukan dalam sebuah analisis besar mengenai restrukturisasi tatanan kapitalisme neoliberal global. Laporan kemajuan riset ini bukan merupakan laporan akhir, namun hanya merupakan salah satu tahap dari beberapa tahap yang telah dan akan dilaksanakan. Pada tahap awal, kami telah melakukan stock taking atas sebanyak-mungkin artikulasi wacana yang beredar seputar WTO. Tahap selanjutnya, kami berusaha menunjukkan bagaimana restrukturisasi kapitalisme ini juga mengintrodusir bentuk-bentuk eksploitasi yang baru yang dengan sendirinya memerlukan cara perlawanan baru. Di tahap terakhir, kami akan melakukan publikasi dan seminar yang sekaligus sebagai bentuk perlawanan dalam aksi mengkonfrontasi kapitalisme-neoliberal global yang terejawantahkan dalam WTO. Lebih dari pada itu, kami berharap agar penelititan ini dapat memberikan masukan sakaligus sharing knowledge terhadap kawan-kawan yang tergabung di dalam koalisi Gerak Lawan dalam melakukan aksi di Bali Desember mendatang. Tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam penulisan laporan ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya, dan bagi para peneliti JeRK pada khususnya. La lucha continua no terminará fácilmente (Che Guevara)

Jakarta, September 2013

Niken Anjar Wulan Manager JeRK

Page 3: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 3

Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................... 2 Daftar Isi ................................................................................................ 3

1. Pendahuluan Urgensi Reorientasi Riset, Gerakan dan Imajinasi Tim Jaringan Riset Kolektif (JeRK) ........................................................... 4

2. Putaran Baru Perlawanan Global atas WTO: Dari yang Komun, Untuk yang Komun, Oleh yang Komun Fragmen Gerakan JeRK ............................................................................ 7

3. Kapitalisme, Pembangunan dan Reposisi Peran Sistemik Perdagangan Pasca-Krisis oleh WTO Fragmen Kapitalisme JeRK ....................................................................... 22

4. Negara, WTO dan Regulasi Jejaring Pasca-Krisis Fragmen Ekonomi Politik Internasional JeRK ........................................... 36

5. Keuntungan Absolut: Sebuah Konstruksi akan Kebutuhan Institusi Fragmen Hukum dan Institusi JeRK ......................................................... 107

6. Indonesia, Politik dan Kepentingan Geopolitik dalam Perdebatan di WTO Fragmen Geopolitik JeRK .......................................................................... 112 Peneliti JeRK ......................................................................................... 128

Page 4: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 4

PENDAHULUAN

Urgensi Reorientasi Riset, Gerakan dan Imajinasi

Tim Jaringan Riset Kolektif (JeRK)

Satu keterbatasan umum yang nampaknya diderita oleh seluruh wacana yang mampu kami kaji—baik dari pemerintah, aktivis, akademisi, maupun dari internal WTO itu sendiri—adalah suatu kegagalan dalam memahami peran dan fungsi WTO sebagai bagian dari suatu gestur penataan sistem ekonomi politik yang dilakukan secara fundamental dan berskala global. Spesifiknya, adalah sistem ekonomi kapitalisme dan sistem pemerintahan global neoliberalisme yang berusaha dipulihkan di sini. Sistem ekonomi kapitalisme, yaitu sistem ekonomi yang bertumpu pada sirkulasi konstan komoditas dalam suatu sirkuit bernama pasar, pasca krisis finansial global 2008, dicoba untuk ditata-ulang melalui upaya-upaya yang “ekstra-ekonomi”. Upaya inilah yang menjadi kesibukan pemerintahan global neoliberalisme, yaitu sistem pemerintahan yang menjadikan pasar sebagai basis legitimasi kekuasaannya, yang senantiasa mewujud dalam agenda-agenda pembahasan di fora internasional, khususnya dalam kasus riset ini, WTO. Ketimbang memahami WTO dalam konteks demikian, wacana umum seputar WTO yang kerap kita dengar (bahkan yakini) cenderung melihat WTO sebagai parsial, dan bahkan personal.

Oleh karena itu, posisi utama yang diambil riset ini adalah: perlunya diadakan reorientasi analisis dan gerakan terhadap WTO dengan menempatkan WTO sebagai salah satu (di antara banyak lainnya) simpul (node) dalam upaya terkoordinasi untuk merestrukturisasi sistem ekonomi neoliberal global.Lebih spesifiknya,

1. Gerakan untuk merespon WTO harus dirumuskan ulang dengan memahami gestur, teknik, dan metode paling mutakhir organisasi ini dalam menjalankan bentuk-bentuk eksploitasinya. Perlu dirumuskan kembali strategi dan taktik gerakan untuk menyesuaikan dengan strategi dan taktik yang dilakukan oleh sistem kapitalisme neoliberal global ini dalam merestrukturisasi dirinya—yi. dalam memutakhirkan teknologi eksploitasinya. Perlu pula dievaluasi cara pandang terhadap negara dan pemerintah yang dikira selama ini memiliki potensi untuk dipihaki. Bahkan, kami yakin, perlu dilakukan upaya-upaya pembaharuan imajinasi untuk mampu membayangkan dunia tanpa sistem kapitalisme neoliberal di dalamnya, yaitu untuk mampu untuk benar-benar

Page 5: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 5

“begin form the very beginning.”Seluruh startegi dan taktik gerakan, dengan demikian harus dilakukan dalam rangka, dalam konteks, dan dalam misi upaya untuk meretas jalan menuju titik permulaan yang benar-benar mula-mula ini.

2. Pemahaman terhadap sistem kapitalisme neoliberal global ini harus dilakukan dalam konteks upaya sistem ini untuk memperbaharui rezim akumulasi profit kapitalisme itu sendiri pasca krisis yang melandanya. Jika rezim akumulasi yang didasarkan pada ekonomi finansial telah terbukti tidak mampu menopang dirinya sendiri (terbukti dengan krisis ekonomi global semenjak 2008 sampai sekarang), maka pemahaman tentang bentuk akumulasi baru yang dibayangkan sistem ini sebagai penggantinya, adalah mutlak dilakukan. Perabaan awal riset ini menunjukkan bahwa restrukturisasi rezim akumulasi kapitalisme ini dilakukan dengan cara memperluas finansialisasi ke arah bantuk-bantuk komoditas riil (sektor riil), seperti agrikultur dan pangan. Namun, kali ini tidak semata-mata demi profit. Lebih jauh lagi, ini semua dilakukan demi upaya untuk menjamin kesinambungan dan keberlanjutan (bahkan keabadian) rezim finansialisasi dari kapitalisme global kontemporer. (Asumsinya, dengan mengamankan ekonomi riil yang menjadi jangkar bagi ekonomi finansial melalui proses finansialisasi, maka keberlanjutan ekonomi finansial akan aman dan sentosa). Dengan demikian, riset harus dimulai dengan memaparkan krisis itu sendiri beserta kondisi-kondisi yang memungkinkannya, lalu bergerak untuk memahami respon restrukturisasinya. Pusat gravitasinya tidak lain, yaitu upaya untuk mensukseskan finansialisasi ekonomi riil—agirkultur—dan hal-hal lain yang dianggap menunjangnya.

3. Dengan menyadari bahwa negara, sekuat atau selemah apapun ia, telah selalu terlibat dalam upaya restrukturisasi sistem politik ekonomi global untuk meremajakan rezim akumulasi kapitalis, maka perlu dilakukan reorientasi riset dengan mulai melihat spesifisitas posisi negara dalam gestur ini. Lebih spesifiknya, bentuk-bentuk program, baik yang masih dalam bentuk usulan maupun yang sudah terimplementasi, harus diletakkan dalam konteks upaya “ektra-ekonomi” untuk merestrukturisasi sistem, bukan hanya kapitalisme, melainkan sistem politik ekonomi neoliberalisme itu sendiri yang dalam krisis sekarang ini juga terkena imbasnya: krisis legitimasi kedaulatannya. Berangkat dari

Page 6: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 6

posisi ini, riset ke depan juga harus mampu menunjukkan bagaimana dalam aktivitas restrukturisasinya, negara-negara juga turut menyisipkan aspirasi penguatan kedaulatan mereka melalui rezim akumulasi kapitalisme yang baru.

4. Semua upaya di atas menjadi tidak berjejak apabila riset ke depan tidak menujukkan basis formal dari kapitalisme neoliberal, yaitu desain institusi dan konstitusinya. Mekanisme-mekanisme internal keorganisasian, pengambilan keputusan, rupa-rupa regulasi dan perjanjian, dengan demikian harus dilihat sebagai upaya formal untuk merestrukturisasi sistem kapitalisme neoliberal global. Lebih spesifiknya, analisis harus mampu menunjukkan bahwa seluruh senarai institusi dan aturan WTO yang baru merupakan kristalisasi kemana bentuk rezim akumulasi kapitalisme dan kontrol kuasa neoliberalisme diproyeksikan, dibekukan, didepolitisasi, dan dieksekusi.

Akhirnya, muara dari keseluruhan gugus riset ini akan menghantarkan riset dan gerakan kepada satu proyek pembaharuan global, yaitu suatu dunia yang sama sekali tidak mensyaratkan eksploitasi untuk menunjang ekonomi, dan suatu politik yang tidak mensyaratkan kontrol kepada umat manusia. Suatu dunia yang bisa dibilang mustahil. Ya, mustahil bagi imajinasi yang telah sukses tertundukkan ke dalam kungkungan normalitas akumulasi kapitalisme, bagi imajinasi yang telah sukses secara absolut tertundukkan dalam logika kontrol neoliberalisme; bagi imajinasi yang telah terenggut vitalitas kehidupan dalam hiruk-pikuk tunggang-langgang sirkuit akumulasi yang dilindungi WTO. Namun, kami yakin, predikat kemustahilan ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak ingin, tidak tahan, dan tidak sanggup lagi menahan perihnya eksploitasi, getirnya represi dan hampanya kehidupan dalam sirkuit kapitalisme neoliberal. Singkatnya kemustahilan ini tidak berlaku bagi mereka-mereka yang mau mulai memberanikan diri untuk menjadi realistis dalam mengakui bahwa sistem ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus mereproduksi krisis-krisisnya seraya membuat dunia ini bertanggung-jawab atasnya. Be realistic, demand the impossible!

Page 7: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 7

Putaran Baru Perlawanan Global atas WTO:

Dari yang Komun, Untuk yang Komun, Oleh yang Komun

Fragmen Gerakan JeRK

Pendahuluan

Pada November 1999 di Seattle, perwakilan dari 135 negara berkumpul menghadiri pertemuan puncak WTO (World Trade Organization) untuk membahas persoalan subsidi pertanian, politik dumping, dan isu-isu perdagangan lainnya. Namun di sisi lain, Para aktivis yang terdiri dari aktivis buruh, para pembela lingkungan, mahasiswa, aktivis keagamaan tumpah ruah di jalan-jalan Seattle. Tujuan utama dari aksi protes ini selain untuk membatalkan pertemuan WTO tersebut, juga mencuri perhatian media massa dari formalitas pertemuan ke kondisi nyata di jalanan. Dan target itu berhasil dicapai, pertemuan WTO menjadi ditunda dan hampir seluruh media massa dunia meliput kejadian tersebut: hampir 40.000 pemrotes turun ke jalan. Efek yang ditimbulkan dari peristiwa Battle of Seattle cukup besar, bahwa semenjak itu hampir semua pertemuan tingkat tinggi institusi global seperti World Bank, IMF, G8, dan lainnya, selalu diramaikan dengan aksi protes.1

Tahun 2013 ini, WTO kembali mengadakan pertemuan tingkat menteri di Bali pada 3-6 Desember. Setelah beberapa kali riak protes semenjak Seattle, entah dengan jalan kekerasan atau damai, namun keberadaan pertemuan WTO seakan tak bergeming. Bahkan banyak isu yang dibawa dan bermula dari gerakan-gerakan sosial di jalan, sekarang seakan diokupasi menjadi program-program ministrial itu sendiri. Isu-isu seperti deprivasi (yang berujung pada kemiskinan), ekspansi kapital (yang berujung pada kerusakan lingkungan), marjinalisasi dan sebagainya sekarang ramai dibicarakan dalam forum-forum mewah MDG’s. ‘Daftar kekesalan’ akan sistem global ini justru digunakan oleh penyebab kekesalan itu sendiri untuk mengkomoditaskannya atau ‘memperlunak’ perlawanan atas sistem global ini.

Bertolak dari situasi tersebut, riset ini akan memberikan analisis mengenai faktor penyebab mobilisasi yang komun hingga memungkinkan terjadinnya eksternalisasi gerakan seputar perlawanan-perlawanan menentang WTO dan gagasannya. Bercermin dari analisis itu, riset ini juga menelisik kemungkinan akan alternatif gerakan. Pertama, analisis dalam tulisan ini akan dimulai dari penjabaran tentang faktor yang memungkinkan terjadinya mobilisasi “Yang

1 Cockburn, Alexander dan Jeffrey St.Clair. 2000. Five Days That Shook The World: Seattle and

Beyond. London: Verso. Hal: 21-22

Page 8: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 8

Komun” dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap WTO. Dasar pengelompokan dari gerakan-gerakan melawan WTO dalam analisis ini adalah “Putaran Perlawanan Global (International Cycle of Struggle)” oleh Michael Hardt dan Antonio Negri. Apa yang dimaksud dengan “Putaran Perlawanan Global” adalah suatu peristiwa resistensi yang melibatkan orang dalam skala masif, namun lebih dari itu, peristiwa tersebut tidak berawal dan berakhir pada momen puncaknya. Jauh-jauh sebelumnya terdapat riak-riak perjuangan dari berbagai macam tempat dengan berbagai tuntutan yang komun, kemudian riak itu membuncah dalam sebuah peristiwa akbar dan terus menyisakan riak-riak residunya hingga jauh kedepan 2 . Dalam tiap putaran perlawanan global terdapat kondisi serupa yang mengawalinya, yaitu situasi deprivasi atas yang komun sehingga memantik gerakan perlawanan. Adapun yang dimaksud dengan yang komun di sini adalah Segala sesuatu yang ada pada semua orang, di dalamnya termasuk kebutuhan, aktivitas, gagasan, dan bentuk-bentuk yang mendasari kehidupan dan membentuk tata sosial manusia.

Kedua, setelah analisis faktor penyebab gerakan, riset ini akan menganalisis lebih lanjut mengenai bagaimana sebuah gerakan dimungkinkan untuk tumbuh dan menyebar. Bagi Hardt dan Negri, sebuah gerakan dapat muncul layaknya sebaran wabah: “Traditionally, as we have noted elsewhere, the geographical expansion of movement take form of an international cycles of struggle, in which revolt spread from one local context to another like contagious disease through the communication of common practices and desires.”3 Lebih jauh lagi, riset ini akan menganalisis bagaimana mobilisasi yang komun sebagai dasar menyebarnya sebuah gerakan dilihat dari konsolidasi internal dan persebaran eksternal semangat pergerakannya. Maksud dari mobilisasi yang komun adalah proses dimungkinkannya sebuah gerakan sosial yang berangkat dari dasar perjuangan untuk yang komun dan secara langsung atau tidak langsung melawan tata global yang bertumpu pada kapitalisme akumulatif dan deprivasi atas yang komun.

Dasar Mobilisasi yang Komun

Analisis tentang faktor yang memungkinkan mobilisasi atas yang komun ini akan didasarkan pada dua putaran perlawanan global. Putaran pertama dimulai semenjak peristiwa Battle of Seattle pada 1999 hingga protes serupa saat pertemuan puncak WTO sebelum tahun 2008 seperti di Kanada, Swiss, Mexico hingga Hongkong. Sedangkan putaran kedua akan dimulai dari

2 Michael Hardt dan Antonio Negri. 2004. Multitude: War and Democracy in the age of Empire. London: Penguin Press. Hal: 288

3 Ibid

Page 9: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 9

protes global yang dipantik oleh krisis finansial tahun 2008 dan sesudahnya. Dalam bagian ini akan dilihat dua gerakan yang paling menonjol dalam konteks krisis finansial global 2008: gerakan anti pengetatan anggaran sosial (anti austerity movement) dan gerakan Occupy. Dari pengelompokan gerakan-gerakan ini akan dianalisis lebih lanjut tentang kesamaan pola bentuk gerakan dan faktor penyulut gerakan tersebut.

Putaran Pertama: Battle of Seatle dan Gerakan Menentang WTO Lainnya

The Battle of Seattle, adalah sebuah gerakan perlawanan atas pertemuan WTO di Seattle pada tahun 1999 yang melibatkan sekitar 75.000 aktivis yang terorganisir dari berbagai ragam dan latar belakang, melalui aksi demonstrasi yang konfrontasional dan penuh warna. Dalam aksi The Battle of Seattle, keanekaragaman metode aksi dari setiap kelompok jelas terlihat, seperti Art and Revolution yang tergabung dalam membuat boneka raksasa yang membawa para aktivis, berbagai kelompok lainnya memblokade jalan, para musisi menampilkan marching band, organisasi gerakan buruh beserta mahasiswa melakukan long march menuju tempat WTO’s Ministerial Meeting, dan para militan lingkungan membentuk blokade tanpa kekerasan di sekeliling gedung pertemuan dengan menggunakan tubuh mereka untuk menahan para menteri perdagangan dari sesi pembukaan pertemuan.4 Aksi tersebut berakhir dengan kerusuhan yang dimulai dengan respon polisi terhadap demonstran dengan menembakkan gas air mata dan peluru karet, dan kemudian beberapa kelompok anarkis melakukan perusakan pada beberapa bank dan pertokoan.5

Battle of Seattle kemudian menjadi gerakan prototype bagi gerakan-gerakan anti globalisasi di masa-masa seesudahnya, seperti gerakan anti WTO di Cancun, Meksiko, dan Hongkong; gerakan anti G8 di Gleneagles, Skotlandia; dan gerakan anti World Economic Forum di Davos, Swiss. Gerakan ini secara dramatis menjadi tren baru untuk memperdebatkan perdagangan dan pembangunan ekonomi dunia di luar institusi global. Battle of Seattle menjadi suatu kunci metafor yang merefleksikan suatu situasi politik baru yang fundamental: sebuah gerakan politik global yang dimobilisasi tanpa institusi, melakukan perlawanan, dan terorganisir melalui basis network. Argumentasi mengenai situasi politik dari gerakan tersebut didasari pada dua hal: pertama, selama protes berlangsung di Seattle pada tahun 1999, berbagai kelompok melakukan aksi protes dengan berbagai cara, berbagai akhir aksi yang berbeda, dan terbagi dalam berbagai wilayah aksi protes bagi setiap kelompok; kedua, setiap kelompok dengan latar belakang masing-masing

4 Ibid, hal. 152. 5 Ibid.

Page 10: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 10

bejejaring dalam aksi di Seattle melalui dispensasi kekuasaan dan kekayaan yang mengglobal untuk mereformasi WTO agar berpihak kepada kepentingan mereka—seperti kepentingan buruh dan standar pelestarian lingkungan—sebagai refleksi dari posisi mereka secara global.6

Selang beberapa bulan setelah protes Seattle berlangsung, ribuan orang kembali berdemonstrasi pada pertemuan World Economic Forum di Melbourne dan Davos, serta pertemuan IMF dan World Bank di Washington dan Praha. Protes serupa juga muncul dalam Quebec Summit mengenai perdagangan bebas Amerika (April 2001), G8 Summit di Jenewa (Juli 2001). Sedangkan protes anti WTO setelah Seattle juga turut mewarnai pertemuan tingkat menteri, diantaranya pertemuan di Cancun, Mexico (September 2003), dan di Hongkong (Desember 2005).

Gerakan Anti WTO di Cancun pada tahun 2003 adalah gerakan yang diwarnai aksi bunuh diri petani asal Korea Selatan Lee Kyang Hae dengan mengenakan sebuah tanda “WTO Kill Farmers”. 7 Setidaknya, tuntutan pergerakan ini masih sama, yaitu penolakan sistem WTO, namun lebih dispesifikkan ke dalam berbagai isu, seperti; privatisasi air, privatisasi pelayanan sosial, rekayasa genetis, paten obat-obatan, bahkan Invasi AS ke Irak. Aksi gerakan anti WTO dari Cancun hingga Hongkong diprakarsai oleh gerakan transnasional para petani yang menolak negosiasi perdagangan agrikultur di WTO karena dianggap merugikan para petani.8 Gerakan yang beragendakan “be protected from trade liberalization” ini dipicu oleh kesadaran para petani Korea Selatan untuk memproteksi produksi beras di lahan pertanian mereka.9 Mereka menanggap bahwa liberalisasi perdagangan pada sektor agrikultur mulai merugikan para petani karena meningkatnya impor komoditi pangan yang mengakibatkan kejatuhan harga. Tidak hanya petani Korea Selatan, dalam gerakan ini ikut serta para petani dan aktivis yang mayoritas berasal dari negara berkembang, dan pada puncaknya di Hongkong sekitar 10.000 protester dari berbagai negara ikut serta dalam gerakan ini. 10 Seperti halnya battle of seattle, gerakan anti WTO ini juga dimobilisasi melalui basis network (jaringan) para petani dan aktivis dari

6 Joel Wainwright dan Sook-Jin Kim, “Batlles in Seattle Redux: Resistance to a Neoliberal Trade

Agreement,” Antipode, 40, 4, 2008, hal. 521-522. 7 Engler Mark, “Anti-Globalization Movement”, Encyclopedia of Activism and Social Justice (SAGE

Publication: 2011), hal. 154. 8 Joel Wainwright dan Sook-Jin Kim, “Batlles in Seattle Redux”, hal. 514 9 Ibid. 10 Engler Mark, “Anti-Globalization Movement”, hal. 154.

Page 11: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 11

berbagai negara, untuk satu tujuan yang sama: mengehentikan liberalisasi perdagangan yang dilakukan melalui WTO.11

Putaran negosiasi WTO di Cancun dan Hongkong tidak menghasilkan kesepakatan, hingga pada akhirnya dinyatakan “indefinite suspension” oleh direktur jenderal WTO pada 24 Juli 2006, yang dirayakan oleh para aktivis sebagai kegagalan putaran Doha.12 Bahkan, para kelompok petani merayakan hal ini dengan melakukan long march di jalan-jalan Jenewa hingga kantor pusat WTO, sambil meneriakan tuntutan agar negosiasi sektor agrikultur di WTO dihilangkan.13 Namun “indefinite suspension” negosiasi putaran Doha WTO tahun 2006 tidak menandai berakhirnya liberalisasi perdagangan di sektor agrikultur seperti apa yang diharapkan para petani dan aktivis gerakan anti WTO. Liberalisasi perdagangan sektor agrikultur tetap terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan perdagangan bilateral dan regional. Bahkan menjadi hal yang paradoks, ketika perlawanan terhadap liberalisasi perdagangan melalui WTO dilakukan saat liberalisasi perdagangan pada sektor agrikultur melalui kesepakatan bilateral dan regional dicanangkan. Seperti misalnya, pembahasan hingga penandatanganan kesepakatan Korea-US Free Trade Agreement (KUSFTA) 14 dan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) berlangsung saat terjadi gerakan melakukan perlawanan terhadap liberalisasi perdagangan di WTO.

Selain WTO, gerakan-gerakan protes juga banyak mewarnai berbagai Pertemuan tingkat tinggi lainnya. Gerakan anti G8 pada Juli 2005 adalah gerakan oposisi terhadap pertemuan para pemimpin negara G8 (Kanada, Perancis, Jerman, Rusia, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) yang melakukan pertemuan di Gleneagles, Skotlandia, pada 6-8 Juli 2005. Gerakan ini berlangsung dari 2-8 Jui 2005 dan diisi oleh berbagai aksi serta isu dan agenda yang menjadi fokus gerakan dari para aktivis yang ikut serta: mulai dari aksi kampanye make poverty history aksi yang mengkampanyekan pengentasan kemiskinan pada tanggal 2 Juli; make borders history yang mengilustrasikan kondisi pengendalian imigrasi di kota-kota metropolis, serta aksi counter summit, sebuah aksi yang menggambarkan bahwa pertemuan G8 adalah mimpi buruk secara global pada tanggal 3 Juli; carnival full of enjoyment pada tanggal 4 Juli, aksi karnaval anti kapitalisme keliling kota yang diikuti sekitar 1.500-5.000 orang; blokade masa tanpa kekerasan pada tanggal 4 juli di pangkalan angkatan laut di Faslane; aksi demonstrasi 5 Juli terhadap perusahaan Shell, pusat detensi imigran dan pengungsi di

11 Ibid. 12 Joel Wainwright dan Sook-Jin Kim, “Batlles in Seattle Redux”, hal. 513. 13 Ibid. 14 ibid, hal. 514

Page 12: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 12

Dungavel, Skotlandia, dan aksi demonstrasi terhadap pembatasan nilai proposal pinjaman negara-negara Afrika yang dilakukan oleh perdana menteri Inggris Gordon Brown; aksi blokade jalan dan bus yang mengangkut para menteri dan staff menuju tempat pertemuan di Gleneagles, march and rally menuju tempat pertemuan G8 yang diikuti sekitar 5.000 orang, perusakan pembatas di sekitar hotel Gleneagles yang dilakukan oleh sekitar 200 orang yang dilakukan pada 6 Juli; aksi streeet party di Glasgow yang mengagendakan protes atas climate chance, protes pembangunan konstruksi M74 motorway, dan aksi solidaritas kepada para tahanan di penjara Saughton, Edinburg, pada tanggal 8 Juli.

Berbagai aksi, tuntutan, dan agenda dalam gerakan oposisi atas pertemuan G8 di Gleneagles dilakukan secara partikular oleh berbagai kelompok aktivis dan seniman dengan latar belakang yang berbeda. Gerakan anti G8 ini adalah gerakan yang lanjutan dari gerakan-gerakan anti G8 yang terjadi sebelumnya di Gothenburg dan Genoa pada tahun 2001, yang mengakibatkan 3 orang tertembak dan 1 aktivis meninggal dunia. 15 Mobilisasi dari gerakan ini dilakukan melalui basis jaringan seperti yang pernah dilakukan di Inggris saat gerakan anti perang pada tahun 1980 yang melibatkan Peoples’s Global Action (PGA) tingkat dunia. Sejak berbulan-bulan sebelum pertemuan dimulai, jumlah kelompok aktivis lokal yang ikut serta sudah terdata sejumlah 30 kelompok, dan ditambah dengan keikutsertaan para musisi lokal seperti Bono U2 dan Hilary Benn.16 Dari luar Inggris, mobilisasi internasional dilakukan melalui basis jaringan Dissent! yang memobilisasi perlawanan terhadap pertemuan-pertemuan internasional. Seruan Dissent! mengenai mobilisasi gerakan ini telah disampaikan sejak European PGA Conference di Belgrade pada Juli 2004 yang mengumpulkan berbagai informasi terkait pertemuan-pertemuan internasional di berbagai negara, serta diskusi mengenai gerakan perlawanan terhadap pertemuan-pertemuan tersebut, hingga perancangan serta penyepakatan agenda-agenda gerakan. Dari Belgrade, agenda-agenda mobilisasi internasional Dissent! atas gerakan ini dibawa menuju European Social Forum (ESF) di London pada tahun yang sama, hingga pertemuan World Social Forum (WSF) di Brazil pada Januari 2005. Hingga pertemuan WSF di Brazil pada Januari 2005, telah terjaring berbagai aktivis-aktivis sosial dari berbagai kelompok dengan latar belakang yang berbeda.17

15 Ed. David Harvie, dkk., Shut Them Down!: The G8, Gleneagles 2005, and The Movement of

Movements, (New York: Autonomedia,2005), Hal. 10. 16 Alex Smith, “The International Mobilisation to Gleneagles”, dalam Ed. David Harvie, dkk.,

Shut Them Down!, hal 151-154. 17 Ibid, 154-157.

Page 13: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 13

14 tahun semenjak Battle of Seattle, total sudah 5 kali pertemuan puncak WTO dan juga berbagai macam protes yang menyertainya. Dalam protes-protes tersebut, terlihat ada gradasi tuntutan dari yang begitu banyak dan abstrak seperti di Seattle, hingga semakin terspesialisasi seperti protes di Hong Kong dan Gleneagels tahun 2005. Semenjak 1999 hingga 2011, yang kita saksikan adalah riak-riak gerakan yang semuanya membuncah semenjak protes di Seattle.

Makna dari Battle of Seattle menjadi penting karena pertama kalinya terdapat semacam titik pertemuan atau konvergensi di antara berbagai gerakan protes yang sebelumnya tampak terserak bahkan bersebrangan satu sama lain. Selama ini organisasi gerakan dapat dikotakkan dalam dua bentuk tradisional: Pertama, bentuk tradisional yang berdasarkan identitas pejuangannya dan kesatuan organisasinya dibawah kepemimpinan terpusat. Kedua, adalah bentuk gerakan yang berdasarkan hak tiap-tiap kelompok untuk mengekspresikan perbedaan dan perjuangannya secara mandiri: biasanya berdasarkan identitas semacam ras, agama, atau gender.18 Kedua bentuk ini sering bertolakbelakang, dimana bentuk kedua sering tidak diakomodasi dalam bentuk pertama, dan bentuk pertama menganggap bentuk kedua terlalu sempit. Tetapi keduanya seolah membaur dalam protes di Seattle bergerak tanpa ada struktur pusat yang mengatur namun dalam bentuk jejaring dan mengesampingkan perbedaannya. Namun setelah Seatle format pergerakan seperti ini tampaknya semakin pudar. Kita lihat dalam gerakan perlawanan dalam pertemuan puncak WTO sesudah Seatle banyak gerakan yang memusatkan hanya pada isu-isu yang dibawa oleh kelompok yang mempunyai kepentingan langsung. Isu-isu seperti otonomi pangan, ketimpangan pendapatan, dll seolah hanya berdiri sendiri dan diserukan hanya oleh kelompok yang peduli.

Putaran Kedua: Setelah Krisis Finansial Global 2008

Putaran kedua dimulai kemunculan gerakan anti pengetatan anggaran sosial (anti austerity) yang tidak bisa lepas dari adanya krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa. Krisis finansial global yang bermula pada tahun 2008 ini mengakibatkan banyak negara anggotanya melakukan pengetatan atau pembatasan ekstrim terhadap pengeluaran anggaran negara mereka. Pada awalanya, krisis Eropa muncul karena adanya hutang ‘kolosal’ dari negara-negara Uni Eropa ‘pinggiran’ seperti Yunani, Italia, dan Spanyol. Tingkat bunga obligasi negara-negara ini cukup tinggi sehingga tidak memungkinkan meminjaman di pasar Internasional. Oleh karena itu, bail out besar-besaran

18 Michael Hardt dan Antonio Negri. 2004. Multitude, Hal: 215

Page 14: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 14

dikucurkan oleh Uni Eropa dan IMF kepada negara-negara seperti Yunani, Italia, Portugal, dan Spanyol. Kebijakan bailout ini telah memaksa negara-negara tersebut untuk melakukan pengetatan anggaran.

Yunani, negara yang pertama mengalami krisis telah menerapkan beberapa kebijakan pengetatan anggaran seperti, pemotongan upah minimum pekerja, pemberhentian dan suspensi puluhan ribu pegawai negeri, pemotongan anggaran pendidikan, kesehatan dan pensiun, nahkan hingga pemeberhentian puluhan ribu pekerja. Akibat dari kebijakan ini, tingkat pengangguran di Yunani meningkat hingga 22% pada 2011. Hal yang hampir serupa juga diterapkan di Italia, Irlandia, Portugal, Spanyol, Perancis hingga Inggris.

Kebijakan yang sangat tidak porpuler ini tentu menuai banyak protes dari kalangan oposisi hingga masyarakat. Demonstrasi besar-besaran dengan puluhan ribu massa tumpah ruah di jalanan - jalanan Yunani maupun negara Eropa lainnya. Di Yunani, gerakan protes pertama kali diinisiasi dan didominasi oleh para pekerja. Sekitar 40ribu orang turun ke jalan dan mogok kerja, melakukan protes dengan cara long march, bahkan seringkali perotes-protes ini berakhir bentrok dengan aparat. Mereka menuntut perpanjangan kontrak kerja sama mengikat. Mereka menolak transaksi individu yang memungkinkan pengusaha memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan tingkat gaji.

Salah satu organisasi yang terlibat aktif dalam gerakan protes terhadap pengetatan anggaran adalah ETUC (The European Trade Union Confederation). Selain berperan dalam mobilisasi massa untuk berbagai aksi protes di jalan, ETUC juga secara aktif melontarkan kritik dan usulan dalam negosiasi di dalam tubuh EU mengingat organisasi ini dibentuk untuk mewakili aspirasi pekerja di dalam insititusi Uni Eropa. ETUC merumuskan manifesto perjuangan mereka dalam manifesto Athena yang didalamnya juga memuat 20 program tuntutan dan rencana aksi yang didasarkan atas semangat perlawanan terhadap sistem pasar dan penguatan prinsip-prinsip solidaritas di dalam hubungan kerja sama Uni Eropa.

Gerakan lain yang juga dipicu oleh after effect dari krisis finansial global adalah Gerakan Occupy yang bermula sebagai gerakan Occupy Wallstreet di Amerika Serikat. Semenjak krisis terjadi pada tahun 2008, kelas menengah bawah (pekerja) harus mengalami tingkat penurunan upah yang cukup signifikan akibat inflasi, peningkatan jumlah tunawisma, dan pengangguran. Laporan Survei Rumah Tangga mencatat tingkat pengangguran meningkat dari 8,9% menjadi 9,5% pada bulan Juni 2009, Jumlah orang yang kehilangan

Page 15: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 15

pekerjaan selama 27 minggu atau lebih adalah sekitar 4,4 juta (3 dari 10 pekerja menganggur). Tenaga kerja turun dari 155.100.000 pada Mei menjadi 154.900.000 pada bulan Juni 2009 (menurut US News & World Report).19

Dampak krisis yang semakin mencekik kelas menengah juga dirasakan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam tahun 2005 sampai 2011, jumlah pinjaman siswa meningkat dari 55.9 triliun US dollar menjadi 140.2 US dollar.20 Banyak faktor yang melatarbelakangi kenaikan jumlah ini. Salah satu yang terkuat adalah resesi ekonomi tahun 2008 yang menyebabkan penurunan konsisten dalam pendanaan negara untuk pendidikan tinggi. Sedangkan dalam bidang kesehatan, tercatat 46 juta orang di Amerika tidak memiliki asuransi kesehatan. Selama enam tahun dari ekspansi ekonomi terakhir, jumlah orang Amerika yang tidak diasuransikan tumbuh sebesar 7 juta, mencapai 46 juta pada tahun 2007.21

Disaat pemerintah AS sibuk melakukan pengetatan anggaran bagi kelas bawah dan menengah, fakta mencengangkan muncul ketika pemerintah gagal mengumpulkan pajak dari orang kaya dan perusahaan. Sebuah artikel yang ditulis David Kocieniewski di Times New York memunjukkan bagaimana G.E (General Electric) menghindari membayar pajak sebesar 5,1 miliar dollar pada laba tahun 2010.22 Sedangkan perusahaan minyak raksasa Exxon Mobil, tidak menyetor 15 miliar dollar pajak penghasilan tahun 2009. Exxon justru memiliki puluhan miliar pendapatan permanen yang diinvestasikan kembali di luar negeri.23 Disaat G.E dan Exxon tidak menyetor apapun bagi Amerika, studi memperkirakan bahwa imigran illegal membayar 11.2 milyar dollar pajak tahun 2010.24

19 National Coalition for The Homeless, “Employment adn Homeless”, diakses dari

http://www.nationalhomeless.org/factsheets/employment.html pada 14 Maret 2013, 19.30 WIB 20 Center for American Progress, “The Student Debt Crisis”, diakses dari

http://www.americanprogress.org/issues/higher-education/report/2012/10/25/42905/the-student-debt-crisis/ pada14 Maret 2013, 22.34 WIB

21 Center For American Progress, “Healthcare in Crisis: 14.000 losing coverage each day” diakses dari http://www.americanprogressaction.org/issues/healthcare/report/2009/02/19/5635/health-care-in-crisis-14000-losing-coverage-each-day/ pada 14 Maret 2013, 20.15 WIB

22 Yahoo News, “G.E. paid no taxes on $5.1 billion in profits”, diakses dari http://news.yahoo.com/blogs/lookout/g-e-paid-no-taxes-5-1-billion-20110325-082417-878.html

pada 10 Maret 2013, 19.45 WIB 23 Think Progress, “ExxonMobil paid no federal income tax in

2009” http://thinkprogress.org/politics/2010/04/06/90299/exxon-tax/ pada 10 Maret 2013, 20.05 WIB

24 Daily News, “Study estimates that illegal immigrants paid $11.2B in taxes last year, unlike GE, which paid zero”, diakses dari: http://www.nydailynews.com/new-york/study-estimates-illegal-immigrants-paid-11-2b-taxes-year-ge-paid-zero-article-1.113569#ixzz2eKR0U8EK pada 10 Maret 2013, 20.30 WIB

Page 16: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 16

Situasi perekonomian yang semakin membelit tersebut menimbulkan kemarahan rakyat Amerika yang kemudian diatributkan kepada korporasi dan bank-bank besar. Muncullah Gerakan “Occupy” yang diinisiasi oleh kelompok anti konsumerisme bernama Adbuster. Sesuai dengan namanya, gerakan ini beroperasi dengan cara ‘menduduki’. Pada awalnya, mereka melakukan aksi dengan mendirikan tenda di sekitar Zuccoti Park, New York dengan tidak terlalu banyak personil. Pada tanggal 17 September 2011, gerakan ini kemudian menjadi sebuah long march besar di sepanjang Manhattan Financial District New York dan diikuti oleh ribuan orang. Sebulan sesudahnya, dengan menggunakan jaringan internet, tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2011 digagaslah gerakan serupa yang serempak secara global dalam Global Day Of Action. Pada hari itu pula, aksi ini telah dilakukan di beberapa kota di dunia termasuk London, Brasil, Italia, Spayol, dan Perancis. Camp-camp occupy pun telah banyak dijumpai di taman-taman dan di dekat bank-bank di kota besar hingga kota kecil di berbagai negara. Selain melakukan gerakan dengan cara “mengokupasi”, mereka juga secara aktif dan kontinyu menyerukan aksi dan kampanye mereka melalui jejaring sosial dan media massa. Berita-berita mengenai “ketidaksetaraan” bahkan naik mencapai 500 persen setelah September 2011.25

Dibandingkan dengan berbagai gerakan yang ada, Gerakan Occupy tergolong jenis gerakan yang baru. Pertama, dilihat dari penyebaran gerakan massa yang terbilang cepat. Penyebaran ini tidak hanya berlangsung seperti Arab Spring yang hanya mempengaruhi satu kawasan, melainkan antar kawasan bahkan Internasional. Dalam melihat hal ini, David Graeber, antropolog sosial dari University of London menyatakan: “The civil rights movement (at least, its more radical branches), the anti-nuclear movement, the global justice movement … all took similar directions. Never, however, has one grown so startlingly quickly.” 26 Sampai tahun 2012 saja, persebaran Occupy telah mencapai 951 kota di 82 negara.27

Kedua, dilihat dari para subjek beserta tuntutannya. Berbagai gerakan sosial yang banyak muncul di era modern ini biasanya memiliki label tertentu yang disesuaikan dengan tujuan dan basis organisasi dimana mereka bernaung,

25 Steve Kornacki, “The One Indisputable Triumph of Occupy Wall Street,” diakses dari

www.salon.com/2011/11/11/the_one_indisputable_triumph_of_occupy_wall_street/ pada 11 November 2011

26 David Graeber. 2011. “Occupy and anarchism's gift of democracy”. http://www.guardian.co.uk/commentisfree/cifamerica/2011/nov/15/occupy-anarchism-gift-democracy diakses pada 25 Maret 2013

27 The Guardian. 2012. “Occupy protests around the world: full list visualized”. http://www.guardian.co.uk/news/datablog/2011/oct/17/occupy-protests-world-list-map#data diakses pada 21 Maret 2013

Page 17: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 17

misalnya gerakan lingkungan, kelompok feminis, gerakan LGBT, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan gerakan tersebut, gerakan Occupy tidak secara eksklusif berdiri untuk mewakili dan memperjuangkan kelompok dengan isu-isu tertentu. Occupy mewakili kepentingan dari para individu maupun kelompok yang beragam. Diantara mereka terdapat kelompok-kelompok peduli lingkungan, kelompok kebangsaan atau etnis, mahasiswa, pedagang, imigran, ibu rumah tangga, pekerja, dan lain sebagainya.28 Karena terdiri dari aktor yang sangat beragam, tidak bisa disatukan dalam satu identitas, serta tidak memiliki pemimpin atau tokoh sentral, gerakan Occupy sering juga disebut sebagai gerakan tanpa nama (anonymous movement).29

Bila ada satu identitas yang bisa menyatukan mereka, itu adalah “the 99percent”, yang merupakan simbol perlawanan mayoritas terhadap tirani kekuasaan 1% yang disebut sebagai kapitalisme global. 30 Para pemrotes percaya bahwa kapitalisme global hanya menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat dan merugikan mayoritas masyarakat, sebagaimana diungkapkan Naomi Klein dalam salah satu orasinya:

“If there is one thing I know, it is that the 1 percent loves a crisis. When people are panicked and desperate and no one seems to know what to do, that is the ideal time to push through their wish list of pro-corporate policies:…. Amidst the economic crisis, this is happening to the world over. And there is only one thing that can block this tactic, and fortunately, it’s a very big thing: the 99 percent. And that 99 percent is taking to the streets from Madison to Madrid to say “No. We will not pay for your crisis.”31

Pada putaran susudah tahun 2008, bisa dilihat bahwa gerakan protes muncul akibat keresahan dan kemarahan masyarakat atas dampak dari krisis keuangan global. Di Eropa dan Amerika, dampak krisis tersebut menyebabkan bailout bank besar-besaran dan kebijakan pengetatan anggaran.. Di dalam siklus ini, gerakan anti-austerity dan Occupy muncul karena rasa kemarahan dan ketidakpercayaan kepada pemerintah beserta sistem ekonomi yang yang dijalankan. Yang justru terjadi setelah krisis 2008 adalah menambal sulam sistem yang telah rusak: memberikan bail out pada bank dan korporasi besar yang justru menjadi penyebab awal dari krisis.

28 Lihat http://occupywallst.org/about/ diakses tanggal 10 Agustus 2013 29 Ibid 30 Ibid 31 The Nation, “Occupy Wallstreet, The Most Important Thing In The World Now”

http://www.thenation.com/article/163844/occupy-wall-street-most-important-thing-world-now# diakes pada 05 September 2013

Page 18: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 18

Dalam protes-protes anti austerity dan Occupy kita temui beragam kelompok yang menuntut keadilan. Tidak hanya terbatas serikat buruh pabrik yang menuntut upah, atau kelompok feminis yang menuntut keadilan gender. Namun mereka terdiri dari berbagai kelompok, usia, dan aliran yang “terikat” oleh kemarahan dan kekecewaan yang sama. Tuntutan yang diajukan sudah lebih kepada perubahan sistem secara abstrak, bukan hanya sekedar tuntutan pemenuhan kepentingan sempit masing-masing kelompok. Lebih jauh lagi, mereka tidak hanya menuntut perubahan dunia, tetapi juga perubahan prinsip dan gagasan. Kemudian dalam hal metode pergerakan mengalami cukup berbeda dari gerakan parsial, namun lebih menyeluruh. Metode pergerakan dijalanan secara lebih beragam dari yang tradisional seperti pemogokan, vandalism, tekanan massa, hingga ditemukan metode perlawanan yang unik, kreatif, dan lebih kontinyu, seperti melakukan pendudukan ruang publik, pembentukan komune-komune lengkap dengan dapur makan dan akses kesehatan, kampanye sosial media, mengadakan sidang-sidang rakyat, dan sebagainya.

Konsolidasi Internal dan Persebaran Eksternal atas Mobilisasi yang Komun

Dalam proses berkembanganya sebuah gerakan perlawanan menjadi sebuah political project, paling tidak harus melewati tahapan konsolidasi Internal (intensifikasi) dan persebaran eksternal. 32 Pertama, sebuah gerakan memerlukan sebuah konsolidasi internal untuk mengintensifkan dirinya dengan kondisi perlawanan. Momen ini adalah ketika sebuah gerakan yang berasal dari antagonisme atas laku deprivasi yang komun atas mereka berubah menjadi mobilisasi gerakan. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa contoh gerakan yang disebutkan di atas. Intensifikasi gerakan dapat kita temui dalam proses berkembangnya gerakan seatle dari sebuah gerakan ritual menentang WTO yang biasa dilakukan oleh organisasi buruh, aktivis lingkungan dan sebagainya menjadi sebuah gerakan masif dengan pengkondisian lingkungan di sekitar pertemuan puncak menjadi tempat-tempat pertemuan, kelas-kelas dan workshop mengenai globalisasi dan ketidakadlilan. Kondisi pesta tumpah ruah di jalanan Seatle pun mendorong orang untuk ingin tahu ada apa sebenarnya, kenapa semua orang turun protes? Sebuah gerakan akan berkembang bak bola salju jika sebuah gerakan tidak hanya mengandalkan antagonisme tapi juga mengedepankan kreativitas.

32 Michael Hardt dan Antonio Negri. 2004. Multitude, hal: 212-213.

Page 19: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 19

Kasus serupa juga ditemui dalam protes-protes dalam putaran pasca krisis 2008. Dalam protes atas pengetatan anggaran sosial maupun gerakan occupy, jelas mengalami intensifikasi gerakan sehingga menyebabkan banyak kalangan yang terlibat dan dari kelompok yang beramacam. Proses intensifikasi itu misalnya, muncul dalam pendudukan ruang-ruang publik oleh para pemrotes dan mengubahnya menjadi ruang hidup bersama dimana mereka berkemah, makan, mengadakan diskusi, seni hiburan bahkan panggung bagi siapapun yang ingin menyampaikan pendapatnya. Siapapun mereka, dari seorang buruh, pensiunan maupun koki rumah makan bisa memberikan kontribusinya dalam lingkaran gerakan tersebut.

Kedua, suatu hal yang tak dapat dihindari dari sebuah gerakan yang mengalami proses intensifikasi adalah persebaran eksternal gerakan itu mempengaruhi gerakan lain. Berawal dari komunikasi antara satu perjuangan lokal dengan perjuangan lokal yang lain, perlawanan itu dapat menjangkit ke tempat lain bak wabah penyakit. 33 Kondisi serupa terjadi dalam protes terhadap WTO dalam putaran sesudah tahun 1999. Battle of Seattle menjadi titik tolak banyak protes-protes di tiap pertemuan puncak WTO dan organisasi finansial global lain. Riaknya menyebar dari Kanada, Swiss, Meksiko, Hongkong, Jerman dan juga Indonesia tahun 2013 ini.

Dalam putaran sesudah krisis 2008 pun kita temui hal yang serupa. Protes atas pengetatan anggaran pun menyebar tidak hanya di Yunani tapi negara-negara eropa lain: Jerman, Perancis, Inggris dan gerakan Indignados di Spanyol. Juga gerakan Occupy Walstreet yang mengembang menjadi gerakan Occupy Everywhere. Sebagai komparasi, eksternalisasi gerakan juga terjadi dalam protes Arab Spring meski akhir-akhir ini di negara seperti Mesir, Syria dan Libya akhirnya tragis. Sebelumnya tak pernah disangka oleh banyak pihak adalah gerakan protes itu bisa meluas ke wilayah Arab yang lain. Gerakan yang dimotori oleh warga bisa, ternyata mampu menjatuhkan sebuah rezim yang berkuasa lama: sebuah gagasan yang menyebar bak tumpahan tinta cina di sehelai kertas. 34 Tak bisa dielakan dalam proses penyebaran gerakan ini adalah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Dalam kasus putaran sebelum 2008 yang mendorong gerakan menyebar ke tempat lain adalah media massa dan media alternatif atau komunitas. Namun dalam putaran setelah 2008 jelas sekali peran media di internet dan sosial media mengambil alih dalam proses transfer informasi.

33 Michael Hardt dan Antonio Negri .1994. Empire. London: Havard University Press. Hal: 49-59 34 Untuk data lengkap dan menarik mengenai runutan kejadian Arab Spring, bisa dilihat di

http://www.guardian.co.uk/world/interactive/2011/mar/22/middle-east-protest-interactive-timeline

Page 20: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 20

Dalam proses ekstensifikasi sebuah gerakan kita temui sebuah karakteristik serupa. Gerakan-gerakan itu selalu berawal dari masalah yang lokal, kemudian terjalin komunikasi dengan kelompok lokal lain yang mempunyai persinggungan. Sifat dari tiap gerakan pun inklusif terhadap gerakan lain. Mereka saling menjalin komunikasi tanpa takut ada kontradiksi eksternal atau saling mempengaruhi atau bahkan saling rebut proyek pekerjaan.

Alternatif Putaran Baru Perlawanan Global atas WTO

Pada bagian awal riset ini kita jumpai bahwa sebuah gerakan perlawanan dimulai dari kondisi deprivasi atas yang komun secara langsung maupun tidak langsung oleh sistem kapitalisme global. Dari deprivasi itu muncul kemarahan antas kondisi yang ada sehingga membuahkan antagonisme antara si subjek dengan struktur kapitalisme besar dihadapannya.Di sinilah dimungkinkannya mobilisasi atas yang komun untuk menghadapi musuh bersama dari koban-korban deprivasi tersebut. Proses mobilisasi yang komun di sini juga bisa disebut intensifikasi gerakan dari dalam, dimana gerakan itu mulai tumbuh dan mendaging dalam tiap-tiap konteks lokal. Lebih lanjut lagi, gerakan di tingkat lokal itu akan menyebar ke tempat lain dengan konteks persoalan yang mirip. Proses penyebaran ekstenal sebuah gerakan juga didukung dengan globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi di dunia kini. Dengan teknologi komunikasi internet dan sosial media, semakin dimungkinkan banyak gerakan cepat berbaur dan proses eksternalisasi berjalan lebih cepat.

Faktor yang juga memungkinkan begitu banyaknya gerakan tersebut berbaur adalah tuntutan-tuntutan yang muncul berdasarkan sudut pandang subjektif masing-masing. 35 Tiap-tiap orang atau kelompok menyampaikan “daftar kekesalan” mereka terhadap sistem global saat ini. Contohnya dalam pertemuan ministrial WTO tahun 1999 itu, yang disampaikan tidak hanya sebatas protes terhadap organisasi supranasional seperti WTO, hal ini juga berlaku untuk putaran pergerakan sesudah krisis finansial 2008 seperti gerakan Occupy: tidak hanya sekedar protes atas isu lokal atau sektoral, ada kesadaran untuk memprotes sistem global yang juga memungkinkan organisasi seperti WTO ada dan berkuasa.

Namun agar sebuah gerakan mengalami proses intensifikasi dan memungkinkan persebaran eksternal atau dapat diterima gerakan lokal yang lain, sebuah gerakan tak bisa hanya berangkat dari faktor antagonisme yang bersalah dari kemarahan atas deprivasi semata. Sebuah gerakan juga perlu berangkat dari basis kekayaan yang komun dalam sebuah masyarakat yang

35 Ibid. Hal: 288

Page 21: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 21

meliputi pengetahuan, pengalaman dan kehendak dari masyarakat tersebut untuk membentuk perubahan. Jadi dalam sebuah masyarakat tidak hanya terdapat dorongan kemarahan atas deprivasi saja namun juga dorongan yang berasal dari kekayaan yang komun itu yang nantinya akan mengejawantah dalam bentuk laku pengembangan masyarakat, interaksi sosial dan bentuk kebudayaan lain. Dari sini bisa kita lihat bahwa dalam sebuah gerakan tidak hanya dituntut adanya energy reaktif atas dasar antagonisme semata tapi juga energy kreatif yang didasarkan pada surplus atas yang komun. Dengan demikian yang perlu ditekankan bukan hanya keberadaan musuh yang sama (common enemy) namun juga common practice.36

Empat belas tahun setelah peristiwa Battle of Seattle dan menyambut pertemuan puncak WTO di Bali, Indonesia akhir tahun 2013, yang dibutuhkan adalah menemukan sebuah putaran perlawanan baru yang tidak sekedar mereplikasi gerakan-gerakan yang sudah ada sebelumnya, namun menemukan kembali esensi dari Battle of Seattle dan melampauinya. Cara itu hanya dimungkinkan dengan mobilisasi atas yang komun: dimana seluruh startegi dan taktik gerakan, bahkan juga pembentukan imajinasi, dilakukan dalam rangka, dalam konteks, dan dalam misi upaya untuk meretas jalan menuju titik permulaan. Bukan saja melalui yang komun atas musuh bersama: apapun itu namanya Neoliberalisme, Hegemoni Amerika Serikat, dll. Tapi yang paling penting justru bermula dari common practices, language, conduct, habits, forms of life, and desire for better future. Putaran perlawanan Internasional yang baru dengan demikian harus berangkat dari lokalitas masing-masing, mengalami intensifikasi dan mobilisasi atas yang komun dengan dasar tak hanya reaktif namun juga harus aktif dan kreatif, lalu memungkinkan sebuah ekstensifikasi gerakan agar meriak ke gerakan-gerakan lain.

36 Ibid hal: 215

Page 22: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 22

Kapitalisme, Pembangunan dan Reposisi Peran Sistemik Perdagangan

Pasca-Krisis oleh WTO

Fragmen Kapitalisme JeRK

Tulisan singkat berikut ini mencoba mendeskripsikan secara obyektif tren perdagangan kontemporer dalam kaitannya dengan kiprah WTO. Poin terpenting yang menjadi titik mula adalah bahwa telah terjadi perubahan fundamental terkait bagaimana perdagangan dibayangkan dan dilaksanakan. Kompetensi tulisan ini dengan demikian adalah memaparkan perubahan ini, meletakkannya dalam konteks restrukturisasi kapitalisme neoliberal pasca-krisis, dan kemudian menunjukkan implikasinya bagi pemahaman dan perlawanan terhadap kapitalisme itu sendiri.

Untuk mendeskripsikan ini lebih jelas, kita akan mendiskusikan salah satu inisiatif utama WTO dalam menggeluti isu-isu pembangunan dengan instrumen perdagangan. Inisiatif tersebut adalah Inisiatif Aid for Trade.

Selayang pandang Aid for Trade

Aid for Trade pertama kali diluncurkan oleh WTO pada Pertemuan Tingkat Menteri-nya di Hong Kong tahun 2005. Setahun kemudian ia diperlengkapi dengan sebuah Unit Kerja (Task Force) untuk kepentingan operasionalisasi serta bekerja sama dengan berbagai institusi keuangan, perdagangan, dan pembangunan regional/multilateral sejak tahun 2007. 37 Inisiatif bantuan untuk perdagangan ini bertujuan membantu negara-negara berkembang dan kurang berkembang agar dapat terlibat dalam perdagangan internasional dengan mengeliminasi hambatan-hambatan terkait perdagangan yang dihadapi oleh negara-negara tadi. Bantuan yang diberikan berupa pembangunan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia dan kapasitas institusional terkait perdagangan. Dalam menjalankan inisiatif ini, WTO bekerja pada dua level; pertama di tingkat global, yaitu memfasilitasi, mengawasi dan mengevaluasi jalannya pemberian bantuan dari donor kepada negara-negara penerima bantuan secara berkala; dan di tingkat lokal, WTO berperan sebagai pendorong pengarusutamaan (mainstreaming) perdagangan sebagai strategi pembangunan nasional negara-negara rekannya.

37 “Aid for Trade,” World Trade Organization, diakses tanggal 6 September 2013 dari

http://www.wto.org/english/tratop_e/devel_e/a4t_e/aid4trade_e.htm.

Page 23: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 23

Dalam beberapa tahun terakhir, WTO bersama OECD telah mendorong dilakukannya riset terhadap perdagangan dalam kerangka ‘rantai nilai global’ (global value chain). Pendekatan rantai nilai (value chain) ini dilihat menjadi semakin penting semenjak liberalisasi perdagangan di berbagai level telah meningkatkan akses terhadap pasar serta biaya transportasi dan komunikasi yang semakin menurun memungkinkan proses produksi menjadi lebih leluasa: produksi dapat dilakukan di manapun sepanjang terdapat keterampilan dan bahan baku untuk proses produksi dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Dalam kerangka rantai nilai global, rangkaian penambahan nilai dalam jaringan produksi berbagai industri secara global itulah yang menjadi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Jika sebelumnya upaya-upaya WTO terkait perdagangan internasional ditujukan untuk meningkatkan volume dan perluasan sektor-sektor perdagangan, pendekatan ‘rantai nilai global’ dalam melihat perdagangan kemudian mengarahkan organisasi multilateral ini untuk menyatukan dan menambah mata rantai nilai dalam jaringan produksi global. Jika sebelumnya pula, WTO berupaya mengintegrasikan negara berkembang, dan terutama negara-negara kurang berkembang, ke dalam ekonomi global serta mengusahakan bantuan dari donor untuk mendukung proses tersebut; tahun 2013 WTO secara spesifik mengangkat tema “Connecting to value chains” yang berarti mengupayakan langkah-langkah pemanfaatan bantuan pembangunan, agar negara-negara berkembang dan kurang berkembang dapat masuk dan terhubung erat dengan rantai nilai internasional (international value chain).38 Kompleksitas jaringan produksi yang mencirikan perdagangan global masa kini itulah yang dilihat oleh WTO sebagai peluang bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang agar dapat terlibat secara lebih intensif di dalam perdagangan global.

“The deepening and widening of value chains has boosted the share of intermediate goods in trade as more firms and countries join these diffuse networks. As firms focus more on trade in certain specific tasks and less on the complete production process, new opportunities arise for firms in developing countries, including in the least developed countries, to become part of these regional and global networks..”39

Dengan masuk ke dalam rantai nilai internasional yang sangat dinamis dan kompetitif, jumlah industri akan terus bertumbuh dan tekanan agar dapat tetap kompetitif akan mewajibkan mereka untuk meningkatkan keterampilan

38 “Fourth Global Review of Aid for Trade: “Connecting to value chains””, diakses tanggal 6

Sept. 2013, http://www.wto.org/english/tratop_e/devel_e/a4t_e/global_review13_e.htm. 39 “Foreword”, OECD/WTO (2013), Aid for Trade at a Glance 2013: Connecting to Value Chains,

http://dx.doi.org/10.1787/aid_glance-2013-en.

Page 24: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 24

atau mengembangkan kompetensi dalam pasar yang semakin tersegmentasi. Proses ini dengan sendirinya akan meningkatkan perekonomian. Negara-negara berkembang dapat meningkatkan produksi barang dan jasa serta mampu menarik investasi, baik dari dalam dan luar negeri. Penyerapan tenaga kerja pun terjadi dan dengan demikian tingkat kemiskinan akan berkurang.

Apa saja yang telah dilakukan oleh WTO dalam rangka “connecting (the developing and the LDCs) to value chains”? Di antara negara-negara berkembang, agenda perdagangan cenderung dikejar melalui upaya integrasi ekonomi regional. Aid for Trade berperan sebagai katalis bagi rantai nilai regional, caranya: membangun kapasitas produktif dan mendukung liberalisasi perdagangan dan investasi regional melalui berbagai proyek ataupun program, serta mendukung efisiensi birokrasi dan juga membangun infrastruktur. Salah satu yang dinilai berhasil ialah pemberian FDI untuk mendukung ASEAN Free Trade Area dan ASEAN Economic Community, di mana Vietnam berhasil menjadi Negara ber-Pendapatan Menengah (Middle Income Country) di tahun 2012. 40 Vietnam mulai mengadopsi rezim perdagangan dan investasi bebas dengan bergabung ke dalam AFTA dan ASEAN Area Investment Program yang memungkinkannya untuk terhubung dengan berbagai jaringan produksi regional. Langkah-langkah Vietnam untuk berpartisipasi dalam rantai nilai regional ini kemudian diikuti oleh Kamboja dan Myanmar.

Berikut adalah gambaran aliran Aid for Trade dalam konteks aliran Official Development Assistance (ODA) secara keseluruhan. Bantuan bagi Perdagangan regional dan sub-regional hanya menyusun sebagian kecil dari keseluruhan Aid for Trade, akan tetapi jumlahnya terus meningkat hingga saat ini.41

40 “Boosting Value Chains via Regional Aid for Trade,” Ibid., hlm. 122. 41 Ibid., hlm. 133

Page 25: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 25

Grafik 1 Pendanaan Program Regional dan Global per Kategori

(Pangsa dalam Persen dan Nilai Total) 42

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pembangunan kapasitas produktif menjadi kategori yang paling dominan menyusun Aid for Trade di tingkat regional dan sub-regional sejak tahun 2006. Akan tetapi jumlah dana yang dialokasikan untuk pembangunan kapasitas produktif dalam Aid for Trade regional dan sub-regional tampak menurun pada tahun 2009 hingga 2011, dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan mendukung kebijakan dan peraturan perdagangan.

42 Diambil dari Ibid.

Page 26: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 26

Grafik 2 Distribusi Geografis Pendanaan Program Regional dan Global

(Pangsa dalam Persen dan Nilai Total)43

Pada tabel di atas tampak bahwa alokasi dana Aid for Trade tersusun paling besar oleh kategori global atau multi-regional, di mana dana tersebut diberikan kepada negara-negara dengan kebutuhan serupa walau tidak berada dalam wilayah geografis yang sama. 44 Dana untuk Afrika naik sebanyak dua kali lipat dari tahun 2006 hingga tahun 2011. Menurut publikasi WTO, hal ini dikarenakan tingginya dukungan dari para pemimpin negara-negara Afrika terhadap integrasi regional.45 Sementara itu, studi kasus dari implementasi Aid for Trade di Mozambik, melalui Program Strategis Nacala Corridor Economic Development oleh Japan International Cooperation Agency (JICA), menyebutkan peran Aid for Trade dalam membangun jaringan industri antara Mozambik dengan negara-negara tetangganya seperti Malawi, Tanzania, dan Zambia. Ke depannya, target Aid for Trade oleh WTO masih dalam rangka mewujudkan kapasitas produktif bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang agar dapat bergabung ke dalam rantai nilai internasional. Untuk itu, WTO akan melibatkan sektor swasta maupun lembaga-lembaga nonpemerintah lain

43 Diambil dari Ibid. 44 “Boosting Value Chains via Regional Aid for Trade,” Ibid. 45 Ibid., hlm. 134.

Page 27: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 27

sebagai rekan dalam membangun kapasitas produktif regional, baik dari sisi sumber daya manusia maupun institusionalnya.46

Inilah sekilas upaya yang dilakukan WTO untuk membawa mereka-mereka yang tidak terkoneksikan secara memadai ke rantai nilai global. Konfidensi WTO dalam mengklaim keberhasilan ini bisa dibilang cukup tinggi, terlihat dari pengantar laporannya dan komentar-komentar di websitenya. Namun demikian, saduran data berikut ini bisa memberikan gambaran mengenai bagaimana Aid for Trade meningkatkan (indikator statistik) volume perdagangan.

Grafik 3 Total Merchandise Trade, per Region, 2005-2012 (dlm juta US$)

(Sumber: Database WTO)

World Trade Report 2013

46 Ibid., hlm. 141.

311000 370700 436500 562200 393500 510700 598300 630000

3060200

3576100

4141700

4725100

3890900

5076400

5971300 6110600

4404300

4979280

5803085

6483420

5021260

5643855

6651620 6384755

82431 103433 128281 167900 127673 162448 203382 205937

541200 659500 766200 1034100

722200 907000

1267500 1349400 1475825 1664160

1840760 2035215

1601885

1964300 2282010 2371345

371300 448800 513900 616900 474100 591400

759500 749600

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Africa

Asia

Europe

LDC

Middle East

NorthAmericaSouth andCent. Am.

Page 28: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 28

Untuk mensituasikan Aid for Trade dalam pandangan WTO yang lebih luas, ada baiknya juga untuk dibahas poin-poin utama dalam laporan tahunan World Trade Report 2013 WTO. Dalam World Trade Report 2013 disebutkan tiga konteks sosio-ekonomis yang menjadi perhatian WTO saat ini terkait keberlangsungan perdagangan internasional ke depannya: pertama, kesenjangan ekonomi dan pengangguran; kedua, isu-isu lingkungan; dan ketiga, isu ekonomi makro dan finansial. Secara singkat berikut adalah apa dan mengapa WTO melihat ketiganya sebagai konteks krusial bagi perdagangan internasional di masa depan.

Munculnya ekonomi baru seperti China tidak lantas diikuti dengan pemerataan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, WTO berpegang bahwa perdagangan, yang didukung dengan perkembangan teknologi atau dengan investasi dari luar (Foreign Direct Investment/FDI), akan memengaruhi distribusi pendapatan secara signifikan dalam suatu negara, dan di saat yang sama pula ketiganya merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, meskipun program-program penyesuaian struktural demi keterbukaan perdagangan dapat berdampak pada kenaikan tingkat pengangguran, WTO cenderung mengutamakan potensi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang dapat dihasilkan dari perdagangan bebas. Sebab, penyesuaian-penyesuaian semacam inilah yang dilihat sebagai kebutuhan atau langkah awal bagi struktur komposisi ketenagakerjaan dan produksi yang baru. Dukungan kebijakan diperlukan untuk mengantisipasi dampak dari penyesuaian-penyesuaian tersebut, seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut ini:47

“..active labour market policies that help displaced workers to find new jobs can contribute to reducing fears about job loss. Policies that strengthen the enabling environment for enterprises can positively contribute to job creation. Initiatives to strengthen domestic financial markets can have particularly high pay-offs, to the extent that they succeed in facilitating investement necessary to raise firms’ competitiveness. More generally, initiatives, such as Aid for Trade, that aim to strengthen supply response in developing countries can contribute in this regard.”

Sementara itu, isu lingkungan nyata mengurangi tingkat daya saing dan menjadi hambatan bagi perdagangan bebas. Dimensi lingkungan telah dimasukkan ke dalam banyak kesepakatan dagang regional, termasuk tuntutan disiplin hukum dan standar-standar lingkungan domestik bagi tiap negara. WTO mendorong perhatian lebih tinggi terhadap ‘daya saing hijau’ oleh karena perdagangan bebas dan perlindungan terhadap lingkungan

47 “Trade Opennes and the Broder Socio-Economics Context,” World Trade Report 2013: Factors shaping the future of world trade (WTO, 2013), 237

Page 29: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 29

dilihat sebagai kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan, tak terkecuali di negara berkembang. Investasi kepada negara-negara berkembang harus diberikan bersamaan dengan mengusahakan perubahan metode produksi dan perdagangan yang lebih rendah polusi dan energi.48

WTO melihat bahwa keuangan (finance) merupakan pelumas bagi jalannya perdagangan. Jika di tahun 90-an hingga krisis finansial 2008-2009 keuangan perdangangan tidak mendapatkan perhatian, WTO kini menekankan pentingnya menjaga hubungan antara keuangan perdagangan (trade finance) dan perdagangan itu sendiri. Kredit dengan produk yang dihasilkan sebagai jaminan menjadi bentuk umum keuangan perdagangan saat ini. Maka, dibutuhkan peningkatan literasi kredit serta kemudahan akses terhadap kredit yang didukung serangkaian kebijakan dan aturan terutama untuk mendukung usaha kecil dan menengah di negara-negara berkembang. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara impor dan kredit perdagangan berjaminan secara makro yang dapat merefleksikan signifikansi keuangan perdagangan bagi perdagangan selama ini.

Grafik 4 Hubungan antara Impor dan Kredit Perdagangan Berjaminan

(Insured Trade Credits) 2005-201249

Perdagangan internasional dan lingkungan global yang telah banyak berubah, yang utamanya adalah akibat dari perkembangan teknologi. Apa

48 “Trade Opennes and the Broder Socio-Economics Context,” Op. Cit., 243. 49 Diambil dari “Trade Opennes and the Broder Socio-Economics Context,” Op. Cit., 252.

Page 30: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 30

yang menjadi fokus WTO saat ini ialah ketersediaan dukungan bagi munculnya industri-industri baru.

“Openness is likely to generate greater benefits in economies characterized by a strong enabling environment for enterprises and well-design education and training policies. Individuals find itu easier to cope with changes in the competitive environment in economies equipped with social protection systems. Well-designed environmental policies can be both economically and environmentally beneficial. Open economies flourish when appropriate regulation guarantees stability in financial markets and when access to finance, including trade finance, is facilitated, particularly for SMEs.”50

Refleksi

Paparan ini tidak sebaiknya dilihat semata-mata dari permukaan saja. Refleksi kritis terhadapnya juga harus mampu untuk melampaui sekedar kritik di level implementasinya. Aid for Trade mendapat banyak kritik dari kalangan LSM karena kurangnya transparansi. Kritik seperti ini bermasalah karena ia tidak mengkonfrontasi program ini tepat di jantungnya. Kritik seperti ini dengan demikian memiliki asumsi bahwa “Aid for Trade sebenarnya bagus, hanya saja pengimplementasiannya saja yang belum bagus.” Asumsi seperti ini yang akan selalu menjauhkan kita dari analisis holistik terhadapnya.

Tulisan ini, lagi-lagi, mencoba melihat ini semua sebagai suatu gestur rekonstruksi sistemik kapitalisme global. Jika kita serius meletakkannya dalam konteks kapitalisme, maka tolak ukur kita adalah sejauh mana ia mempengaruhi dinamika produksi, penciptaan profit dan akumulasi kapital. Ketiga hal ini dengan demikian akan memaksa kita untuk keluar dari cekcok mengenai implementasi di lapangan, efektif tidaknya negara, kedermaan-hati donor, atau bahkan malah wacana-wacana ngawur seperti konspirasi Yahudi dan/atau sesimpel “Imperialisme AS.”

Kapitalisme adalah suatu sistem pengorganisasian produksi yang didasarkan atas distribusi kepemilikan dan akses kapital yang tidak merata. Ketimpangan, dengan demikian menjadi syarat mutlak bagi jalannya proses penciptaan nilai lebih (profit) yang kemudian berperan penting bagi proses akumulasi kapital. Dalam proses produksi penting untuk ditekankan bahwa untuk suatu produk komoditas terlahirkan, maka ia harus mengandung suatu nilai yang diciptakan dan disuntikkan oleh pekerja ke dalam produk komoditas tersebut. Inilah yang disebut kerja material. Tapi, kerja material ini

50 “Trade Opennes and the Broder Socio-Economics Context,” Op. Cit., 263.

Page 31: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 31

hanya berjalan apabila telah ada suatu relasi sosial produksi yang mengkondisikan dan memungkinkan proses produksi tersebut. Relasi sosial produksi ini pertama dan terutama adalah relasi ketimpangan akses dan kepemilikan kapital dalam masyarakat. Avatar dari relasi sosial ini banyak: kewarga-negaraan, agama, pendidikan, moralitas keseharian, dst. Pentingnya perang relasi sosial produksi ini maka ia juga menjadi sesuatu yang diproduksi dalam kapitalisme; kerja yang memproduksi relasi sosial produksi ini disebut kerja imaterial.

Lalu bagaimana melihat tren perdagangan kontemporer yang baru saja di bahas di atas dalam kaitannya dengan kerja material dan kerja imaterial ini? Argumentasi yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa telah terjadi pergeseran, jika bukan perluasan, tentang cakupan dari kerja imaterial. Kerja imaterial tidak lagi sekedar mereproduksi avatar-avatar ketimpangan, kini ia menciptakan dan mereproduksi keseluruhan sistem ekonomi demi kelangsungan produksi materialnya. Cara ia menciptakan dan memproduksinya adalah melalui wacana pembangunan. Sehingga bisa dikatakan bahwa (si)apapun yang bekerja dalam rangka dan atas nama pembangunan, maka sebenarnya yang sedang dilakukannya adalah menjadi pekerja imaterial yang mengabdi pada berjalan-mulusnya proses produksi dan akumulasi kapital global. Pembangunan ini akan memungkinkan solidnya jejaring rantai produksi nilai yang pada gilirannya memungkinkan perdagangan untuk tetap eksis di masa yang akan datang. Perdagangan penting untuk tetap eksis, dari kacamata akumulasi kapital, karena ia dapat menjamin krisis finansial global sepert 2008 silam terulang lagi.

Jaringan Produksi dan Perdagangan berkelanjutan

Mencoba meletakkan tren perdagangan kontemporer dalam konteks kapitalisme, maka langkah dan upaya yang ditempuh oleh WTO belakangan perlu untuk diklarifikasi. Upaya klarifikasi ini tentunya berkaitan dengan posisi tren tersebut dalam upaya mengamankan dan bahkan mengakselerasi akumulasi profit/kapital. Rezim akumulasi kapital kontemporer memiliki perbedaan cukup culas dengan yang sebelumnya. Secara umum, manifestasi akumulasi kapital melalui tren perdagangan yang terlihat dalam dan melalui WTO dapat dideskripsikan sebagai berikut: akumulasi kapital tidak lagi hanya ditentukan dari ada atau tidaknya perdagangan, melainkan kini ia dideterminasi dari kontinuitas atau keberlanjutan dari sirkuit perdagangan; apa saja yang diperdagangkan tidak menjadi soal, yang penting perdagangan tetap berlangsung. Bottom-line-nya adalah bahwa ada perdagangan saja tidak cukup, yang terpenting adalah perdagangan itu akan tetap ada di masa

Page 32: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 32

yang akan datang, bahkan, jka perlu, selamanya: suatu perdagangan berkelanjutan (sustainable trade).

Tren seperti ini tidak muncul begitu saja. Hal ini merupakan hasil refleksi pasca-krisis 2007-8 silam. Saat ekonomi finansial kolaps, maka perdagangan, lebih spesifiknya sebagai ekonomi riil, diharapkan dapat menjadi garda depan dalam memulihkan keadaan. Inilah komitmen WTO untuk berpartisipasi aktif dalam pemulihan pasca-Krisis, sebagaimana diungkapkan Pascal Lamy, Dirjen WTO, pada tahun 2009 silam.

The WTO’s role in this crisis must go beyond its function as a safety net of rules, ... we have started to act on a number of fronts to assess and where possible be part of the solution to the current crisis. ... Our biggest challenge today, therefore is to ensure trade is part of the solution.51

Lalu bagaimana memahami perdagangan sebagai solusi bagi krisis ekonomi global yang lebih sering dipahami sebagai ekonomi finansial? Sederhana saja. Ekonomi finansial ada karena ia ditopang oleh ekonomi riil. Ekonomi riil ini dengan demikian merepresentasikan produktivitas riil di lapangan. Beda halnya dengan ekonomi finansial yang lebih merupakan derivasi (turunan, atau bahkan simulasi) dari ekonomi riil tadi. Produktivitas dan keberlanjutannya suatu proses produksi barang/jasa, lebih dari produknya, adalah "produk" yang diperjual-belikan dalam ekonomi finansial. Produktivitas dan keberlanjutan produksi inilah yang dipertaruhkan dalam spekulasi finansial di pasar modal. Permasalahan yang berujung krisis, lalu, adalah bahwa ekonomi riil ini semakin tergerus dan proporsinya teraat sangat jauh tertinggal dengan ekonomi finansial (lihat Grafik 1). Kehilangan topangannya, ambruklah ekonomi finansial.

51 “Report by the Chairman of the Trade Negotiations Committee,” World Trade Organization, 3

and 4 February 2009, diakses dari http://www.wto.org/english/news_e/news09_e/tnc_chair_report_03feb09_e.htm (8 September 2013).

Page 33: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 33

Grafik 5 Perbandingan Indikator Finansial 2007, dalam US$ Triliun

(Diolah dari: Database OECD dan Bank for International Settlement

Grafik 6 Total bank sector assets (% GDP), 2011

(Sumber: Liikanen Report)52

52 Liikanen Report dikeluarkan oleh ‘High-level expert group on reforming the structure of the

EU banking sector’, dapat diakses di sini: http://ec.europa.eu/internal_market/bank/docs/highlevel_expert_group/report_en.pdf

0

100

200

300

400

500

600

700

800

Total GDPDunia

TotalMerchandise

Trade

Total AsetFinansial

Total StockTrade

TotalTurnover

Valas

TotalDerivative

Trade

66 17

167

101

800

516

0%50%

100%

150%

200%

250%

300%

350%

EUUSA

Japan

349%

78%

174%

Page 34: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 34

Grafik 7 Persentase Aset Bank terhadap PDB, Top 20 Tertinggi Dunia 2007

(Sumber: Database OECD)

Berangkat dari pemahaman ini maka bisa kita pahami maksud dari Lamy tersebut dengan mengatakan bahwa perdagangan adalah solusi krisis. Dengan berdagang, maka ekonomi riil akan berputar. Lalu perputaran ekonomi riil ini akan memungkinan ekonomi finansial juga berputar kembali lantaran ia kembali mendapat "justifikasi" di lapangan. Berputarnya ekonomi finansial, maka rezim akumulasi kapital bisa di amankan. Perdagangan, dengan demikian, tidak lagi sebaiknya dilihat sebagai persoalan untung-rugi semata. Perdagangan kini dinisbatkan suatu fungsi sistemik, yaitu sebagai syarat mutlak bagi berjalannya ekonomi di sektor-sektor lainnya—dan dengan demikian rezim akumulasi kapitalis itu sendiri. Vitalnya peran perdagangan ini secara sistemik membuat rezim ekonomi global berusaha keras untuk membuatnya lestari dan berkelanjutan. Usaha keras ini tentu saja termasuk mengeliminasi faktor penghambatnya yang paling utama, yaitu ketimpangan dan kemiskinan.

0 500 1000 1500 2000 2500

New ZealandMalaysiaSweden

AustraliaItaly

MaltaDenmarkPortugal

SpainGermany

AustriaFrance

BelgiumUnited Kingdom

NetherlandsSwitzerland

IrelandIceland

Luxembourg

Page 35: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 35

Tepat inilah yang terlihat dari kiprah WTO dalam upayanya memastikan kontinuitas perdagangan, dalam upayanya memperkuat, memperpekat dan memperluas jejaring perdagangan dunia, yaitu dengan menumpang pada isu-isu yang secara tradisional erat kaitannya dengan "pembangunan." Perdagangan kini tidak lagi berbicara pengenai profit melulu, melainkan kesejahteraan (well-being). Bukan mutual gain, melainkan pengentasan kemiskinan. Bukan inovasi ekonomi, melainkan tanggung jawab sosial. Melalui ini bisa kita saksikan bagaimana pasca-krisis, hubungan kapitalisme dan pembangunan berubah: jika sebelum krisis pembangunan membutuhkan kapitalisme (melalui narasi-narasi developmentalisme), kini sebaliknya, kapitalisme membutuhkan keberhasilan pembangunan untuk menyelamatkan dirinya dari krisis.

Page 36: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 36

Negara, WTO dan Regulasi Jejaring Pasca-Krisis

Fragmen Ekonomi Politik Internasional JeRK

Ketika gelombang perlawanan selama berdekade tidak membuahkan hasil, alih-alih tercipta suatu perubahan sistem, beragam krisis dan permasalahan yang muncul justru berujung pada penguatan sistem yang merupakan sumber dari permasalahan itu sendiri. Pada kondisi yang lebih akut, sistem yang bermasalah ini bahkan menjadi tempat sandaran terakhir, tempat bergantung, tempat diselesaikannya beragam masalah yang ironisnya justru melekat di dalam sistem itu sendiri.53 Suara-suara yang menggoda untuk berkompromi dan berhenti melawan, terus bergelombang seiring dengan suara denyit sekrup-sekrup sistem yang terus dikencangkan.

“…they moan and raise their eyes to heaven in sorrow, as if to say: ’It grieves us sorely to see our fears justified! How noble was your vision to create a just society! Our heart was beating with you, but reason told us that your plans would finish only in misery and new unfreedoms!’”54

Dalam kondisi ini, selain terus berjuang untuk terus menolak godaan untuk berkompromi dan berhenti melawan, bagi Žižek justru inilah saatnya bagi gerakan perlawanan untuk “memulai kembali dari awal” (to begin from the beginning), untuk kembali lagi ke titik awal dan memilih jalur yang berbeda.55 Berpijak pada hipotesis Badiou, Žižek menekankan titik ini sebagai upaya untuk mengkontekstualisasikann kembali ke-agensi-an dalam gerak perlawanan terhadap kapitalisme yang spesifik zaman.

Begitu pula dengan gerak perlawanan terhadap WTO, gelombang-gelombang besar perlawanan selama lebih dari satu dekade terakhir, Seattle 1999, Cancun 2003 dan Hong Kong 2005, tidak membuahkan hasil pada pergantian sistem, justru berujung pada penguatan kembali sistem perdagangan multilateral dalam menjawab tantangan krisis global. Beragam permasalahan

53 Keyakinan inilah yang salah satunya melandasi secara eksplisit tawaran pemerintah Indonesia

untuk menjadi tuan rumah dan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali, Desember 2013. Di tengah krisis ekonomi global yang masih bergejolak, pemerintah Indonesia meyakini bahwa sistem perdagangan multilateral memainkan peranan penting dalam mendorong terciptanya perdagangan global yang adil, pertumbuhan ekonomi dunia, dan penghapusan kemiskinan dan terbukanya lapangan pekerjaan. Lihat, “WTO Sets Date for Inter-Ministerial Meeting in Bali,” The Jakarta Globe, accessed December 19, 2012, http://www.thejakartaglobe.com/news/wto-sets-date-for-inter-ministerial-meeting-in-bali/533288. Lihat juga, “WTO agrees to hold 9th Ministerial Conference in Bali, Indonesia,” The World Trade Organization official website, accessed January 2, 2013, http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/gc_26jul12_e.htm.

54 Slavoj Žižek, “How to Begin from the Beginning,” New Left Review 57 (May June 2009): 43-55. 55 Slavoj Žižek, “How to Begin from the Beginning,” 51.

Page 37: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 37

yang menjadi kontradiksi bagi sistem justru diinklusi dan diselesaikan melalui sistem itu sendiri, bukan menggantikannya dengan sistem yang baru.

Di tengah krisis ekonomi global yang belum menunjukkan akhir, Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 (MC9) yang akan diselenggarakan di Bali pada Desember 2013, kembali menjadi sandaran bagi harapan akan terciptanya tatanan perdagangan global adil yang dapat menstabilkan kembali perekonomian dunia. Gerakan perlawanan pun bersiap-siap merapatkan barisan untuk melanjutkan episode perjuangan dalam menolak setiap upaya dari institusi yang menjadi “dalang” penindasan terhadap masyarakat di berbagai belahan dunia ini. Merefleksikan kembali kepada serangkaian episode perlawanan selama ini, mungkin episode MC9 Bali 2013 ini menjadi momen yang tepat untuk melakukan apa yang disebut Žižek sebagai “memulai kembali dari awal.”

Memulai kembali dari awal, tidak hanya bermakna sebatas memobilisasi ulang kekuatan untuk melakukan perlawanan. Namun, mengulang kembali sedari proses mengenai bagaimana cara kita memaknai permasalahan yang muncul dan mekanisme kerja kekuasaan di dalam sistem yang memungkinkan beragam permasalahan tersebut terjadi. Memahami kembali posisi negara di dalam WTO dan sistem kapitalisme global merupakan salah satu titik masuk dalam percobaan memulai kembali gerakan perlawanan dari awal. Menelusuri kembali cara pandang terhadap entitas bernama negara di dalam WTO dan kapitalisme global dapat menuntun untuk menemukan “sesuatu yang salah” dalam memahami bekerjanya kekuasaan global.

Penelusuran dan pemetaan awal terhadap literatur yang mengandung ragam diskursus mengenai posisi negara dalam WTO dan kapitalisme global, memperlihatkan sedikitnya terhadap empat pandangan yang berbeda yang selama ini menyusun pemaknaan kolektif tentang nexus antara negara, WTO dan kapitalisme global. Pandangan yang pertama berangkat dari pemikiran yang memosisikan negara dalam kondisi yang berbeda satu sama lain baik secara ekonomi maupun politik. Perbedaan kondisi ekonomi inilah yang menyebabkan tidak semua negara dapat memetik manfaat dan puas terhadap hasil dari sistem perdagangan multilateral yang berjalan melalui WTO.56 Meskipun demikian, secara esensial dapat dicermati bahwa pandangan ini tidak menegasikan dimensi positif dari eksistensi WTO yang mendorong perdagangan bebas sebagai mekanisme efisien dalam mencapai pertumbuhan

56 W. Bradnee Chambers & Gary P. Sampson, eds. Developing Countries and the WTO: Policy Approaches (Tokyo, New York & Paris: United Nations University Press, 2008), 1-2. Kent Jones, Who’s Afraid of the WTO? (Oxford: Oxford University Press, 2004). Basudeb Guha-Khasnobis, ed. The WTO, Developing Countries and the Doha Development Agenda: Prospects and Challenges for Trade-Led Growth (New York: Palgrave Macmillan, 2004), 3-4.

Page 38: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 38

ekonomi.57 Bahkan pandangan ini tetap meyakini bahwa perdagangan bebas yang selama ini digawangi oleh WTO memiliki manfaat yang jelas pada tingkat keseluruhan, meskipun tidak menafikkan adanya perbedaan yang diraih oleh masing-masing negara.58 Lebih dari itu, sebagai sebuah institusi multilateral, WTO mendorong terbentuknya sistem perdagangan yang berbasis aturan dan menjamin kepentingan dari semua negara anggota melalui prinsip non-diskriminasi dan mekanisme penyelesaian sengketa yang berjalan secara efektif di dalamnya.59

Berpijak pada keyakinan tersebut, beragam permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembang dalam kancah perdagangan internasional, diselesaikan melalui kebijakan-kebijakan dan penciptaan aturan-aturan teknis baik pada tataran domestik maupun multilateral di dalam WTO itu sendiri. Pertama, sumber permasalahan dalam wujud ketimpangan manfaat antara negara maju dan berkembang harus disiasati melalui terobosan-terobosan di dalam WTO dalam menjembatani bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan terlaksananya pembangunan berbasis perdagangan bagi negara-negara berkembang.60 Dalam rangka memajukan perdagangan bebas dan memenuhi kepentingan negara-negara berkembang, sistem perdagangan multilateral yang berjalan melalui WTO harus harus didampingi oleh sebuah forum global yang memfasilitasi pembicaraan dan negosiasi mengenai isu-isu perdagangan, dan penghapusan progresif beragam hambatan perdagangan baik dalam bentuk tariff ataupun non-tarif.61 Agenda Pembangunan Doha dipandang sebagai salah satu perwujudan dari upaya ini. Kedua, dikarenakan negara-negara yang berada di dalam sistem perdagangan internasional tidak berada dalam kondisi yang setara, diperlukan suatu fleksibilitas dan ruang-ruang kebijakan dan strategi yang secara teknis dapat ditempuh negara-negara berkembang dalam rangka memetik manfaat dari perdagangan internasional.62 Secara teknis, negara-negara berkembang dapat memanfaatkan fleksibilitas secara legal dalam bentuk special and differential treatment (SDT), 63 penyusunan strategi kebijakan dan reorientasi

57 Guha-Khasnobis, ed. The WTO, Developing Countries and the Doha Development Agenda, 3. 58 Guha-Khasnobis, ed. The WTO, Developing Countries and the Doha Development Agenda, 3. 59 Chambers & Sampson, eds. Developing Countries and the WTO, 1. Jones, Who’s Afraid of the

WTO?, 4. 60 Chambers & Sampson, eds. Developing Countries and the WTO, 1. Jones, Who’s Afraid of the

WTO?, 4. 61 Chambers & Sampson, eds. Developing Countries and the WTO, 1. Jones, Who’s Afraid of the

WTO?, 4. 62 Chambers & Sampson, eds. Developing Countries and the WTO, 1. Jones, Who’s Afraid of the

WTO?, 2-3. 63 Manickan Supperamaniam, “Special and differential treatment for developing countries in

World Trade Organization,” dalam Chambers & Sampson, eds. Developing Countries and the WTO, 1. Jones, Who’s Afraid of the WTO?, 109.

Page 39: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 39

pembangunan domestik dalam rangka menopang pertumbuhan berbasis ekspor, 64 memperluas akses pasar ke negara-negara maju melalui kuota tingkat tariff (tariff rate quotas-TRQs), 65 serta meningkatkan program dan bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas negara miskin dan berkembang (least developed countries-LDCs) dari negara-negara maju.66 Ketiga, munculnya permasalahan-permasalahan non-perdagangan yang semakin terkait dengan aktivitas perdagangan internasional, mendorong perluasan cakupan aturan WTO untuk menginklusi beragam aspek non-perdagangan seperti lingkungan, buruh, dan standar hak asasi manusia ke dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan.67

Bentuk pandangan yang kedua menekankan pada aspek geopolitik dalam mencermati interaksi dan perbedaan negara di dalam WTO dan sistem perdagangan multilateral. Pandangan ini mendudukkan negara secara beragam berdasarkan pada kondisi geografis dan skala ekonomi.68 Negara-negara yang kecil dan rentan (small and vulnerable states) memiliki kekuatan yang berbeda dibandingan dengan negara-negara yang lebih besar dan kuat di dalam negosiasi perdagangan multilateral. Negara-negara kecil ini memiliki struktur biaya tinggi yang disebabkan bukan karena permasalahan kebijakan yang kurang tepat, namun lebih dikarenakan permasalahan kekurangan yang bersifat terwariskan (letak geografis, kondisi sumber daya alam, dan faktor-faktor alamiah lainnya).69 Akan tetapi, pandangan ini tetap melihat secara positif keberadaan WTO sebagai institusi yang tetap membuka peluang negosiasi bagi negara-negara dengan ragam karakteristik yang ada di dalamnya. Perumusan strategi-strategi tertentu bagi negara kecil dan rentan ini menjadi penting dalam mendapatkan manfaat dari sistem perdagangan multilateral. Negosiasi di dalam WTO untuk mendapatkan kekhususan dan pengecualian dalam aturan dan praktik perdagangan internasional merupakan kunci bagi negara-negara kecil dan rentan untuk dapat bertahan. WTO sebagai sebuah institusi perdagangan berbasis aturan, harus siap beradaptasi terhadap realitas ekonomi dari negara-negara anggotanya yang lemah sebagai salah satu syarat bagi keberlanjutan institusi ini.70

64 Constantine Michalopoulos, Developing Countries in the WTO (New York: Palgrave Macmillan,

2001), 248-249. 65 Guha-Khasnobis, ed. The WTO, Developing Countries and the Doha Development Agenda, 6,7. 66 Michalopoulos, Developing Countries in the WTO (New York: Palgrave Macmillan, 2001), 248-

249. 67 Jones, Who’s Afraid of the WTO?, 3. 68 Roman Grynberg, ed., WTO at the Margins: Small States and the Trading System (Cambridge:

Cambridge University Press, 2006), 1-8. 69 Grynberg, ed., WTO at the Margins: Small States and the Trading System, 2. 70 Grynberg, ed., WTO at the Margins: Small States and the Trading System, 1-2.

Page 40: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 40

Pandangan yang ketiga lebih menekankan kepada WTO sebagai institusi yang di dalamnya negara-negara dengan ragam kepentingan masing-masing berinteraksi dan bernegosiasi untuk meraih manfaat maksimal dari sistem perdagangan multilateral.71 WTO dipandang sebagai institusi yang memberi ruang bagi negara-negara berkembang untuk meraih manfaat yang tercipta melalui sistem perdagangan bebas, meskipun tidak dapat dipungkiri kekuatan negara-negara adidaya berada pada posisi yang dominan di dalam institusi ini.72 Sebagai sebuah institusi, WTO memainkan peranan penting sebagai wahana di mana aturan internasional dan kebijakan negara dapat dibentuk, sekaligus sebagai tempat yang mengandung mekanisme dalam menyelesaikan permasalahan perdagangan internasional.73 Proses negosiasi internasional, yang berjalan di dalam WTO, merupakan penekanan utama dari pandangan ini dalam mencapai kepentingan negara dan menyelesaikan beragam permasalahan perdagangan yang muncul. Tiga aspek variabel dalam proses negosiasi, yaitu desain koalisi, strategi yang digunakan negara dan koalisi, dan dinamika interaksi subyektif, merupakan kunci bagi negara-negara untuk dapat mencapai kepentingan dan menyelesaikan permasalahan secara institusional.74 Dalam kerangka berpikir yang serupa, WTO dipandang sebagai institusi yang memainkan peranan penting dalam mengelola globalisasi, khususnya melalui hukum ekonomi internasional (international economic law) yang terbentuk di dalamnya.75 Globalisasi dan interdependensi telah menghadirkan tantangan sendiri, tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi hukum internasional, khususnya dalam aspek spesifik ekonomi yang terkandung di dalam WTO. Dalam kondisi ini, aturan-aturan, mekanisme institusional dan strukturisasi tatanan global melalui WTO memainkan peranan yang sangat penting.76

Berbeda dengan pandangan-pandangan yang sebelumnya, pandangan yang keempat lebih menitikberatkan pada posisi negara yang terus kehilangan kedaulatannya, tergerus dan takluk di bawah kekuatan korporasi.77 Dalam pandangan ini, WTO bersama dengan institusi finansial internasional, merupakan instrumen dan mekanisme korporasi yang selama ini telah menyebabkan pemerintah di negara-negara berkembang kehilangan alat-alat

71 John S. Odell, ed., Negotiating Trade: Developing Countries in the WTO and NAFTA (Cambridge:

Cambridge University Press, 2006), 1-30. 72 Odell, ed., Negotiating Trade: Developing Countries in the WTO and NAFTA, 1-30. 73 Odell, ed., Negotiating Trade: Developing Countries in the WTO and NAFTA, 1-30. 74 Odell, ed., Negotiating Trade: Developing Countries in the WTO and NAFTA, 1-30. 75 John H. Jackson, Sovereignty, the WTO, and Changing Fundamentals of International Law

(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 3-17. 76 Jackson, Sovereignty, the WTO, and Changing Fundamentals of International Law, 3-17. 77 Peter M. Rosset, Food is Different: Why We Must Get the WTO Out of Agriculture (London & New

York: Zed Books, 2006), 4.

Page 41: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 41

kebijakan ekonomi makro yang sebelumnya memainkan peranan penting dalam mengarahkan pembangunan ekonomi nasional. 78 Kesepakatan-kesepakatan perdagangan yang selama ini diciptakan melalui WTO, diterapkan melalui Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, menuntut pemerintah nasional negara-negara berkembang menyerahkan kedaulatan mereka atas perekonomian domestik.79 Sehingga, kemampuan pemerintah negara-negara tersebut untuk mengelola trajektori pembangunan nasional bagi kemaslahatan dan keamanan warga negaranya terus mengalami penurunan.80 Sebagai akibatnya, kemampuan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan kelompok masyarakat miskin dan rentan, mencapai keadilan sosial, menjamin hak asasi manusia, dan melindungi serta mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, terus mengalami pelemahan.81 Pandangan ini meyakini bahwa, hanya dengan mengubah trajektori pembangunan selama ini, yang berlandaskan pada model perdagangan bebas, pertanian skala besar, pemusatan lahan dan pemindahan manusia, kita dapat menghentikan lingkaran kemiskinan, permasalahan upah rendah, migrasi desa-kota dan kerusakan lingkungan. 82 Kombinasi dari kebijakan perdagangan yang melindungi pasar domestik dengan kebijakan nasional yang berpihak kepada petani kecil, area pedesaan, dan reforma agraria yang sebenarnya, dapat terbuka peluang bagi sebuah model pembangunan baru yang dapat menghidupi kelompok masyarakat miskin, mendorong pembangunan ekonomi dengan cakupan luas dan melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber-sumber daya produktif.83

Tabel 1

Pemetaan Pandangan atas Posisi Negara dalam WTO

No. Sudut Pandang

Pandangan atas Negara

Negara & WTO Strategi/Solusi Sumber

1. Reformis Entitas yang berbeda secara ekonomi dan politik.

Membuka peluang, dan manfaat bagi negara anggota.

Membuka akses pasar.

Sistem berbasis aturan.

Strategi dan kebijakan teknis multilateral dan domestik (policy options): DDA, SDT, TRQs, etc.

Perluasan cakupan

Chambers & Sampson (2008); Jones (2004); Guha-Khasnobis (2004).

78 Peter M. Rosset, Food is Different, 4. 79 Peter M. Rosset, Food is Different, 4. 80 Peter M. Rosset, Food is Different, 4. 81 Peter M. Rosset, Food is Different, 4. 82 Peter M. Rosset, Food is Different, 7. 83 Peter M. Rosset, Food is Different, 7.

Page 42: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 42

Sistem dengan

mekanisme penyelesaian perselisihan yang efektif (Dispute Settlement Mechanism)

WTO pada aspek-aspek non-perdagangan (lingkungan, buruh, HAM, dll.).

2. Geopolitik Berbeda secara geografis dan skala ekonomi (small and vulnerable states; large developing countries).

Institusi yang membuka negosiasi bagi ragam negara.

Kekhususan dan pengecualian untuk negara-negara kecil dan rentan;

Adaptasi WTO terhadap keragaman kondisi negara.

Grynberg (2006).

3. Institusional dan Legal

Entitas yang saling bersaing dengan kepentingan nasional yang berbeda.

Hambatan globalisasi dan interdependensi terhadap negara dalam memerintah.

Ruang bagi negara berkembang untuk meraih manfaat dari sistem perdagangan multilateral.

Dominasi negara adidaya negosisasi WTO.

Ruang pembentukan aturan internasional dan kebijakan negara.

Mekanisme penyelesaian masalah perdagangan internasional.

Institusi pengelola globalisasi (International Economic Law).

Proses negosiasi internasional: desain koalisi, strategi negara dan koalisi, dinamika interaksi subyektif.

Aturan, mekanisme dan struktur melalui WTO.

Odell (2006); Jackson (2006).

4. Gerakan Sosial

Entitas yang kehilangan kedaulatan, takluk di bawah kekuatan dan

Instrumen global korporasi yang memberangus kedaulatan negara.

Mengembalikan kedaulatan negara (Proteksi, subsidi, insentif).

Merumuskan

Rosset (2006)

Page 43: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 43

kepentingan korporasi.

trajektori pembangunan baru.

Mengacu kepada pemetaan di atas, pola pandangan pertama sampai ketiga sedikit banyak dapat dikatakan sebagai landasan dari aktivitas pemerintah negara-negara berkembang di dalam WTO. Meskipun tidak puas terhadap hasil yang diperoleh dari sistem perdagangan multilateral berbasis WTO, pemerintah negara-negara berkembang tetap meyakini bahwa terdapat peluang untuk dapat memaksimalkan manfaat perdagangan melalui institusi multilateral ini. Sehingga, lebih rasional membenahi WTO sebagai institusi yang membuka ruang bagi negosiasi ketimbang tidak berpartisipasi sama sekali. Secara tersurat, pandangan ini menjadi esensi bagi keyakinan optimis pemerintah Indonesia terhadap WTO yang menggawangi sistem perdagangan multilateral dalam memperkuat kembali perekonomian global. Sebaliknya, pandangan keempat dapat dicermati sebagai landasan dari gerakan sosial yang berjuang merebut kembali kedaulatan negara yang tergerus oleh kekuatan korporasi yang mengendalikan WTO. Sehingga, ketimbang membenahi WTO, yang bagi gerakan sosial jelas merupakan instusi yang menjadi instrumen korporasi global, satu-satunya jalan keluar adalah mengembalikan kedaulatan negara dengan membubarkan WTO.

Meskipun sekilas kedua pandangan ini terlihat berada dalam poros yang antagonis, jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya keduanya berbagai pandangan yang sama, khususnya mengenai keyakinan akan hakikat entitas negara yang selalu dipandang netral dan selalu ditujukan untuk kepentingan rakyat. Titik perbedaan hanyalah terletak pada “cara” di mana negara mencapai tujuan mulia tersebut. Kelompok pandangan pertama tetap meyakini bahwa kesejahteraan rakyat dapat ditempuh melalui perdagangan bebas yang diregulasi melalui WTO. Sementara, pandangan gerakan memandang justru cara tersebut telah melemahkan negara dalam menjalankan tugas mulianya. Negara tetaplah diposisikan netral dari kapitalisme, negara secara esensial diyakini memiliki hakikat yang baik, hanya orang-orang yang menjalankannya dan instrumen yang dipilih yang bermasalah.

Digali lebih dalam, di balik perbedaan pandangan mengenai “cara” ini pun masih dapat ditemukan kesamaan pandangan di antara keduanya. Titik temunya terletak pada pandangan terhadap pembangunan sebagai cara negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Tanpa perdebatan, pembangunan di dalam kedua pandangan ini dimaknai sebagai mekanisme

Page 44: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 44

yang pada hakikatnya positif untuk menciptakan kemajuan bagi masyarakat. Hanya saja, cara atau model dalam menjalankan pembangunan yang kurang tepat. Kelompok pandangan pertama menekankan pada model pembangunan yang berbasis keterbukaan terhadap perekonomian global melalui perdagangan bebas. Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda) merupakan manifestasi dari keyakinan bahwa sistem perdagangan bebas dapat berjalan seiring dengan pembangunan negara-negara berkembang. Sementara pandangan kedua menitikberatkan pada kedaulatan pemerintahan nasional dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Pembangunan membutuhkan kedaulatan negara dalam menentukan instrumen dalam mensejahterakan rakyat.

Negara selalu diyakini sebagai entitas dengan esensi yang mulia untuk melindungi rakyat, negara secara esensi tidak pernah salah, yang salah adalah orang-orang yang menjalankan negara dengan serangkaian caranya yang salah. Begitu juga dengan pembangunan, pembangunan merupakan mekanisme yang esensinya mulia untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Hanya cara yang dipilih dalam menjalankan pembangunan yang salah, yang kurang tepat sehingga tidak berujung pada kesejahteraan rakyat. Bahkan keduanya dipandang sebagai entitas dan mekanisme yang terdistorsi oleh kapitalisme neoliberal global, yang justru harus diselamatkan, negara dan pembangunan harus dikembalikan kepada hakikatnya yang mulia demi kepentingan rakyat. Benarkah negara dan pembangunan memiliki esensi yang mulia dan selalu diabdikan untuk kepentingan rakyat? Atau sebaliknya, negara dan pembangunan justru merupakan bagian yang menopang dan melekat di dalam bekerjanya tatanan kapitalisme neoliberal global. Paket keyakinan atas esensi negara dan pembangunan inilah yang justru menjadi salah satu titik awal problematisasi penelitian ini untuk memutar kembali dari awal gerakan perlawanan, dari awal sedari memosisikan negara di dalam tatanan kapitalisme neoliberal global.

Sebagai konsekuensinya, negara harus didudukkan dalam logika internal berjalannya sistem kapitalisme neoliberal. Sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme berjalan atas dasar pertukaran komoditas yang diproduksi atas dasar relasi kelas, yakni pemisahan kelas berbasis kepemilikan faktor produksi atau kapital (modal). Di dalam bekerjanya kapitalisme, relasi kelas ini berjalan dalam bentuk yang bersifat antagonistik atau kontradiktif, di mana keuntungan dicipta melalui ekstrasi nilai-lebih dari kerja buruh di dalam proses produksi.84 Pada inti kapitalisme terkandung relasi sosial yang

84 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 104.

Page 45: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 45

berbasis eksploitasi di antara pemilik modal (kapitalis) dan buruh (proletariat).85 Dalam modus produksi ini, nilai yang diserap oleh pemilik modal melalui produksi komoditas tidak akan tercipta tanpa melalui eksploitasi terhadap buruh.86

Namun demikian, untuk dapat berakumulasi, perjuangan kelas (class struggle) tidak hanya dilakukan melalui ekstraksi nilai-lebih atas kerja sehari-hari buruh dalam proses produksi, tetapi juga harus dengan memastikan keberhasilan reproduksi dari sirkuit kapital sosial total melalui tiga bentuk utamanya.87 Sebagaimana analisis Marx, kapital, sebagai nilai yang dapat meningkat dengan sendiri,88 dipahami sebagai ‘pergerakan’, sebagai sebuah proses sirkuler, bukan sebagai suatu benda statis atau struktur.89 Atas dasar sifat dari kapital yang terus bergerak dan mengalami peningkatan nilai, Marx menjelaskan bekerjanya modus produksi kapitalis ke dalam bentuk sirkuit kapital (circuit of capital).90 Sirkuit kapital mengacu kepada proses di mana kapital harus melewati tiga bentuk atau fase yang berbeda, yaitu uang, komoditas dan bentuk/fase produktif (“money,” “commodity,” dan “productive”) secara berurutan, untuk dapat mengalami peningkatan nilai.91 Pada fase yang pertama, M – C, pemilik modal uang (money capital), M, membeli komoditas, C, dari tenaga kerja (labor power, LP) dan alat produksi (means of production, MP) di dalam pasar yang terbuka. 92 Kedua bentuk komoditas ini (LP dan MP) kemudian dituangkan secara bersamaan di dalam fase yang kedua untuk berfungsi sebagai kapital produktif (productive capital, P), di mana ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian kerja yang terlihat seakan bebas dan adil dipaksakan kepada pekerja/buruh untuk menciptakan sejumlah nilai kerja buruh yang lebih besar dibandingkan dengan upah yang diberikan pemilik modal sebagai imbalannya.93 Proses ini memungkinkan pemilik modal (kapitalis) mengekstraksi sejumlah waktu kerja yang tidak dibayar dari para pekerja/buruh, yang mewujud ke dalam komoditas yang

85 “The Moving Contradiction: The Systematic Dialectic of Capital as a Dialectic of Class

Struggle,” last modified February 7, 2013, http://endnotes.org.uk/articles/5. 86 “The Moving Contradiction: The Systematic Dialectic of Capital as a Dialectic of Class

Struggle,” last modified February 7, 2013, http://endnotes.org.uk/articles/5. 87 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 104. 88Capital as self-valorizing value. 89 Karl Marx, Capital Volume 2 (Middlesex: Penguin, 1978), 185. 90 Untuk penjelasan terperinci mengenai sirkuit kapital, lihat Karl Marx, Capital Volume 2

(Middlesex: Penguin, 1978), ch. 1-4. 91 Steven Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction: A Marxist Analysis of the Present

World Economic Crisis,” Review of Radical Political Economics No. 38 (2006): 24-44. 92 Steven Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 24. Bekerjanya kapitalisme sebagai

sebuah sistem mensyaratkan adanya suatu ruang di mana komoditas dapat dipertukarkan, yaitu pasar. 93 Steven Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 24.

Page 46: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 46

dihasilkan, C’,94 sebagai “nilai-lebih” (surplus-value).95 Ketika hal ini tercapai, jumlah nilai yang mengalami peningkatan dalam bentuk komoditas tersebut kemudian dikonversi melalui penjualan di dalam pasar pada fase terakhir dari sirkuit, yaitu C’ – M’, menjadi sejumlah uang, M’, yang nilainya telah mengalami peningkatan dibandingkan pada fase sebelumnya.96 Proses ini kemudian terus mengalami pengulangan, bahkan dalam skala yang lebih besar, untuk memastikan keberlanjutan peningkatan level akumulasi kapital dalam bekerjanya kapitalisme.

Marx menyebut sirkuit kapital ini sebagai total sirkuit kapital atau proses sirkulasi kapital total. Dalam konteks ini, Marx pada dasarnya memandang bahwa relasi kelas antagonistik di dalam kapitalisme selalu bermanifestasi ke dalam bentuk ekonomi, politik dan hukum.97 Dengan kata lain, relasi sosial dari produksi tidak dapat dipahami hanya sebatas relasi ekonomi yang bersifat teknis di dalam proses produksi. Sirkuit kapital sebagai sebuah totalitas diproduksi dan direproduksi melalui relasi sosial dalam berbagai bentuk, sekaligus memproduksi dan mereproduksi relasi-relasi sosial dalam rupa-rupa bentuk tersebut.

Dalam bingkai pemahaman ini, maka negara dipandang sebagai wujud dari relasi politik yang dipengaruhi oleh sirkuit kapital, sekaligus menjadi penjaga dan pencipta regulasi politik bagi bekerjanya sirkuit kapital. Sebuah analisis menarik muncul dalam penagamatan terhadap ekspansi sirkuit kapital dalam skala global, di mana negara-bangsa justru menjadi simpul-simpul politik (political nodes) bagi arus kapital global.98

“In this light, class relations do not impinge on the state, they do not exist in ‘domestic’ society and make their presence felt by influencing the state which operates in the international realm. Rather the state itself is a form of the class relation which constitutes global capitalist relations.”99

Dengan demikian, berbeda dengan pandangan Marxis ortodoks yang cenderung melihat secara deterministik bahwa negara merupakan institusi supra-struktur yang terbentuk atas dasar relasi kelas, kerangka analisis melihat bahwa negara sendiri berada dalam posisi yang interaktif terhadap relasi kelas, dan bahkan negara merupakan bentuk dari relasi kelas itu sendiri. Negara bukanlah hanya sebuah institusi tetapi lebih sebagai sebuah

94 C, yang tadinya terdiri dari LP dan MP, berubah menjadi C’, untuk menandai terjadinya

peningkatan nilai dari komoditas. 95 Steven Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 24. 96 Steven Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 24. 97 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 105. 98 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 107. 99 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 107.

Page 47: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 47

proses-pembentuk, yakni sebuah proses aktif dalam membentuk relasi sosial dan menyalurkan perjuangan kelas ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat non-kelas – seperti hak sipil, hak asasi manusia internasional – yang justru mendorong terjadinya disorganisasi buruh. 100 Kunci untuk memahami masyarakat kapitalis terletak pada keberadaannya sebagai sistem sosial global yang berbasis pemaksaan kerja melalui bentuk-komoditas.101

Dengan demikian, negara harus dikonseptualisasikan sebagai simpul politik dari arus kapital global, yang aktif dalam mereproduksi sirkuit kapital global.102 Dalam konteks globalisasi, sebagai konsekuensinya, negara tidak dapat dinilai sebagai institusi yang sedang kehilangan kekuasaannya oleh pasar. Akan tetapi, dalam konteks yang dicirikan oleh perkembangan intensif dan ekstensif dari sirkuit global, pengelola negara telah mampu melakukan reorganisasi beragam aktivitas intinya dengan menggunakan proses pasar untuk “mendepolitisasi” aspek sulit dalam pengelolaan kebijakan publik.103 Sehingga, tidak heran jika sebuah sistem yang bertumpu pada relasi sosial antagonistik akan selalu menjadi subyek dari perubahan seiring dengan aktor-aktor negara dan pasar berupaya untuk menghapuskan apa yang menurut mereka menjadi penghambat bagi arus kapital. 104 Pada intinya, pengelola negara tidak lain merupakan pengelola dari sirkuit kapital.

Di dalam kerangka sistem pemerintahan neoliberal, neoliberalisme sebagai sebuah bentuk dari governmentality berjalan dengan memerintah tanpa mengatur (to govern without governing). 105 Neoliberalisme sebagai sebuah sistem pemerintahan yang berbasis pada penciptaan subyek yang memiliki kebebasan dalam bertindak, kebebasan dalam memilih beragam strategi yang berbeda. 106 Kebebasan tersebut, secara lebih spesifik kebebasan pasar, tidaklah dapat diposisikan berada di luar politik, diluar kepemerintahan, sebagai batasnya, namun justru sebagai elemen integral dari strategi kepemerintahan itu sendiri.107 Area kehidupan yang diasumsikan berada di luar wilayah negara dalam neoliberalisme tidaklah dapat dipandang sebagai “bebas” dari negara, namun lebih sebagai cara di mana negara berelasi dan melakukan intervensi terhadap area kehidupan tersebut mengalami perubahan, dari pengendalian langsung menuju pemograman, pembentukan

100 John Holloway, “In the beginning was the scream,” Common Sense No. 11 (1991): 75-76. 101 Harry Cleaver, Reading Capital Politically (Sussex: Harvester, 1979), 71-86. 102 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 108. 103 Peter Burnham, “The Politics of Economic Management in the 1990s,” New Political Economy

No. 4 Vol. 1 (1999): 37-54. 104 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 108-9. 105 Jason Read, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production of

Subjectivity” Foucault Studies, No. 6 (February 2009): 25-36. 106 Jason Read, “A Genealogy of Homo-Economicus, 29. 107 Jason Read, “A Genealogy of Homo-Economicus, 29.

Page 48: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 48

dan pengelolaan area tersebut dari jarak jauh, mengaturnya sebagai wilayah yang terpisah, terbatas, untuk mengoptimalkan fungsinya sesuai dengan logika “natural’-nya.108

Terdapat dua konsekuensi pemahaman terhadap posisi negara di dalam WTO dan kapitalisme neoliberal global dari kerangka pemikiran ini. Pertama, negara tidak dapat dipahami dalam posisinya yang mulia secara hakiki, sebagaimana dua pandangan atas negara sebelumnya, yang terlepas dari tatanan kapitalisme neoliberal. Negara justru merupakan bagian integral dari tatanan ini. Negara menjalankan fungsi sebagai relasi politik dan institusional yang mengawal dan menjaga bekerjanya sirkulasi kapital, dalam semua tataran. Terutama dalam sirkulasi kapital pada tataran global, negara justru menjadi simpul yang menyediakan landasan relasi politik bagi bekerjanya kapitalisme pada tataran global. WTO dalam kerangka ini dapat diposisikan sebagai pusat (hub) titik temu dari mana simpul-simpul politik (baca: negara), untuk menciptakan basis institusional yang mengawal dan menjaga kelancaran sirkulasi kapital global. Kedua, negara tidak dapat diposisikan sebagai entitas yang sedang kehilangan kedaulatan dalam konteks pandangan yang meyakini hilangnya peran negara dalam neoliberalisme. Kebebasan pasar yang diyakini sebagian pandangan telah menggerus kemampuan negara dalam mengendalikan perekonomian nasional, pada dasarnya tidaklah berada di luar politik. Aktivitas kepemerintahan berbasis kebebasan pasar ini justru berada di dalam wilayah politik, di mana negara dan pengelola negara melakukan reorganisasi atas aktivitas kepemerintahan atas subyek yang diasumsikan bebas. Negara bukanlah entitas yang bertekuk lutut di bawah kepentingan korporasi yang mengendalikan WTO. Justru negara bersama dengan kekuatan pasar merupakan bagian integral dari bekerjanya tatanan kapitalisme neoliberal.

Wacana pembangunan adalah kunci di balik netralisasi nexus negara di dalam sirkulasi kapital global yang secara institusional berjalan melalui WTO. Munculnya diskursus pembangunan di dalam WTO, khususnya melalui Agenda Pembangunan Doha menjadi tabir yang menutupi posisi negara sebagai perwujudan relasi politik yang menjaga kelancaran sirkuit kapitalisme global. Munculnya wacana pembangunan yang didorong oleh perdagangan (trade-led development) yang dapat berjalan seiring dengan penguatan sistem perdagangan multilateral, memberikan sinyal bahwa WTO

108 Colin Gordon, “Governmental Rationality,” 15-16. As cited by Brendan Donegan,

“Governmental Regionalism: Power/Knowledge and Neoliberal Regional Integration in Asia and Latin America,” Millennium Journal of International Studies Vol. 35 No. 1 (2006): 30.

Page 49: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 49

bukanlah institusi yang semata-mata tunduk pada akumulasi kapital. Munculnya agenda teknis mengenai perlakuan khusus terhadap LDCs atas pasar produk pertanian negara maju, fasilitasi perdagangan dan peningkatan kapasitas, menyiratkan pesan bahwa agenda pembangunan yang pada hakikatnya untuk memajukan kesejahteraan rakyat di masing-masing negara mendapatkan perhatian khusus di dalam WTO.

Secara kontekstual geliat manuver ekonomi politik negara dalam WTO untuk menjaga kelancaran sirkulasi kapital global semakin memperlihatkan indikasi kuat di tengah krisis finansial global yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Ketika sirkulasi kapital global terhambat dalam wujud krisis pada sektor finansial, negara yang memainkan peranan sebagai relasi politik yang menjadi simpul yang menopang bekerjanya kapitalisme global melakukan reorganisasi untuk melancarkan kembali geliat akumulasi kapital. Secara lebih spesifik, gestur negara dan WTO ini dapat dicermati dalam dinamika kontemporer kemunculan wacana pembangunan atau perdagangan agrikultur yang berkembang di tengah kecamuk krisis finansial global. Pertanian adalah salah satu subyek utama yang menjadi penekanan negosiasi di dalam WTO terutama sejak Agenda Pembangunan Doha. Pertanian juga merupakan subyek pembahasan penting dalam agenda MC9 Desember 2013. Mekanisme teknis untuk menopang tumbuhnya sektor pertanian dikemas di bawah wacana keamanan pangan (food security) yang akan diusung dalam negosiasi WTO, di mana mekanisme-mekanisme dan kesepakatan-kesepakatan teknis dalam bentuk fasilitasi perdagangan, paket LDCs semacam peningkatan kapasitas dan bantuan teknis, serta instrumen pengecualian dan kekhususan, semakin terlihat diarahkan untuk membingkai pencapaian penguatan pembangunan pertanian. Sebagai relasi politik dan institusional yang menopang dan menjadi simpul bagi kelancaran sirkulasi kapital global, dapat dicermati bagaimana melalui WTO sebagai hub yang formal dan institusional, negara berupaya untuk menggiatkan kembali sektor ekonomi riil di tengah krisis pada sektor finansial. Gestur yang dapat dicermati dari geliat kontemporer negara dalam WTO juga tampak tidak hanya sebatas melakukan rekonstruksi terhadap sistem finansial yang tengah dilanda krisis. Lebih dari itu, lagi-lagi, melalui wacana pembangunan, yang dalam konteks kontemporer mewujud ke dalam wacana pembangunan berkelanjutan, negara sebagai relasi politik dalam relasi sosial total kapital dengan kekuatan institusional dan legal, sektor riil yang secara spesifik mengarah kepada pertanian dan pangan justru diserap ke dalam kapitalisme finansial. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, finansialisasi sektor riil ditujukan untuk menjamin bahwa sektor riil yang menjadi penopang bagi sektor finansial dapat terus berkelanjutan. Pada titik

Page 50: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 50

inilah semakin jelas dapat dipahami posisi negara yang merupakan bagian integral dari bekerjanya tatanan kapitalisme neoliberal global. Negara bukanlah korban dari kerakusan korporasi yang menjadi dalang dari pengerukan dan penghisapan di dalam sistem kapitalisme. Negara adalah bagian penting dari sirkuit total kapital yang secara spesifik memainkan peranan sebagai relasi politik yang menopang kelancaran sirkuit ini. Melalui WTO, negara-negara menjadi simpul (node) yang secara legal institusional pada level internasional menjaga dan mengawal kelancaran kerja serta mereproduksi kapitalisme sebagai sirkuit kapital sosial total. Dalam bingkai inilah negara dan WTO harus diposisikan.

“Trade in Tasks,” WTO dan Jejaring Produksi di Era Kapitalisme Neoliberal

Tidak hanya harus diposisikan sebagai “sebuah paket lengkap” dari kapitalisme, analisis terhadap negara dan WTO juga harus diletakkan di dalam dinamika relasi sosial produksi kapitalis yang terus mengalami transformasi. Sedari analisis Marx, kapitalisme tidaklah dipandang sebagai sebuah sistem yang bersifat statis. Kapitalisme merupakan totalitas relasi sosial produksi yang terus mengalami transformasi seiring dengan perkembangan materialitas kekuatan produksinya.109

Memasuki era neoliberal atau pasca-Fordis, berlangsung transformasi yang sangat fundamental di dalam kapitalisme. Corak-corak relasi sosial produksi yang berada pada posisi hegemonik di era sebelumnya, semakin kehilangan efektivitas dan relevansinya dalam proses penciptaan dan penghisapan nilai.Begitu fundamentalnya transformasi yang terjadi, kapitalisme hari ini tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai sebuah modus produksi di mana komoditas dicipta. Akan tetapi, kapitalisme telah menjadi pencipta dunia yang di dalamnya, komoditas, manusia, dan masyarakat, hidup dan berada.110

Setidaknya terdapat tiga bentuk transformasi utama yang terjadi di dalam kapitalisme pada era neoliberal ini. Pertama, semakin kaburnya batas pemisah di antara waktu kerja dan kehidupan. Mekanisme utama yang menopang bekerjanya relasi sosial produksi kapitalis adalah penciptaan dan penghisapan nilai dari kerja-lebih para pekerja di dalam proses produksi komoditas. Dengan kata lain, keuntungan dicipta melalui penghisapan nilai

109 Karl Marx, Wage-Labor and Capital & Value, Price and Profit (New York: International

Publishers, 2006), 28-29. 110 Maurizio Lazzarato, “From Capital-Labour to Capital-Life,” Ephemera Vol. 4 No. 3 (2004): 187-

208.

Page 51: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 51

kerja para pekerja dalam aktivitas produksi, yakni nilai dari waktu kerja yang tidak dibayar.

Akan tetapi, dinamika kapitalisme di era neoliberal semakin memperlihatkan bagaimana waktu kerja dari para pekerja semakin melebur ke dalam kehidupan. Kerja tidak lagi terkungkung oleh dinding-dinding pabrik atau ruang kerja tertentu. Kerja dapat dilakukan di mana saja, seiring dengan pekerja menjalani kehidupannya.

Bahkan, relasi sosial yang dijalani manusia di dalam masyarakat pun telah menjadi sumber penciptaan nilai yang dirampas melalui relasi sosial produksi kapitalis. Dapat disaksikan dengan jelas hari ini, bagaimana nilai-nilai sosial, kebudayaan, kebangsaan, atau bahkan agama, yang dicipta di luar proses produksi komoditas, justru menjadi sumber utama dari penciptaan dan perampasan nilai dalam kapitalisme.

Terciptanya nilai, alias keuntungan, di dalam kapitalisme kontemporer tidak lagi hanya bertumpu pada kerja dalam proses produksi suatu komoditas, melainkan pada kekuatan produksi sosial dalam hidup dan kehidupan masyarakat.

Kedua, sebagai konsekuensinya, kerja imaterial bergeser menjadi bentuk kerja yang paling hegemonik di era ini. Kerja material, di mana aktivitas fisik pekerja dikerahkan dalam proses produksi komoditas material, tidak lagi menjadi bentuk kerja yang memainkan peranan utama dalam penciptaan nilai. Sebaliknya, kerja imaterial, dalam bentuk penciptaan relasi sosial, pengetahuan, rekayasa rasa, emosi, citra dan simbol, menduduki posisi yang sangat hegemonik di dalam kapitalisme kontemporer.

Semakin jelas dapat disaksikan dewasa ini, bagaimana nilai dari sebuah komoditas tidak lagi bergantung pada materialitasnya, melainkan pada dimensi imaterial yang terkandung di dalamnya. Citra, informasi, pengetahuan, estetika, rasa, emosi, dan relasi sosial, memiliki nilai yang melampaui komoditas material atau dimensi material dari sebuah komoditas.111

Ketiga, pola dan teknis pengorganisasian produksi kapitalis pun mengalami transformasi yang sangat mendasar. Pola hegemonik pengorganisasian produksi yang tadinya berjalan secara terintegrasi dan tersentralisasi di dalam suatu unit produksi dan wilayah geografis, digantikan oleh pola produksi yang semakin terfragmentasi dan berjejaring.

111 Michael Hardt & Antonio Negri, Commonwealth (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 131.

Page 52: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 52

Proses produksi diorganisasikan secara berjejaring, di mana aktivitas produksi dipecah dan dialihkan ke berbagai unit produksi dan wilayah yang tersebar secara global.

Proses produksi sebuah komoditas, mulai dari tahap pra- sampai kepada pasca-produksi, dikelola secara berjejaring atas dasar ragam aktivitas dan bentuk kerja yang berbeda oleh ragam unit produksi (dari individu, rumah tangga, sampai perusahaan), yang tersebar di berbagai belahan dunia. Komoditas, di dalam kapitalisme neoliberal, tercipta sebagai hasil dari proses produksi yang diorganisasikan secara berjejaring pada skala global.

Jejaring produksi global muncul sebagai tulang punggung perekonomian dunia hari ini. Praktik outsourcing, di mana aktivitas produksi dipecah dan dialihkan kepada sumber-sumber eksternal dari suatu perusahaan, menjadi urat nadi bagi sirkulasi produksi di dalam kapitalisme neoliberal.

Demikianlah pola hegemonik pengorganisasian produksi di era ini berjalan. Di sebuah era outsourcing, di mana perusahaan-perusahaan mengalihkan sejumlah besar aktivitas produksi, mulai dari rancangan (desain) produk sampai perakitan, dari penelitian dan pengembangan (R&D) sampai pemasaran, distribusi dan jasa purna-jual.112 Semakin sedikit produk hari ini yang dapat diproduksi secara kompetitif hanya dengan bertumpu kepada input dan proses yang tersentralisasi dalam skala nasional.113 Di penghujung abad ke-20, WTO mengilustrasikan bagaimana perekonomian berjalan dengan semakin diwarnai oleh proses produksi yang diorganisasikan secara berjejaring di tingkat global ini.

“Thirty per cent of the car’s value goes to Korea for assembly, 17·5% to Japan for components and advanced technology, 7·5% to Germany for design, 4% to Taiwan and Singapore for minor parts, 2·5% to the United Kingdom for advertising and marketing services and 1·5% to Ireland and Barbados for data processing. This means that only 37% of the production value . . . is generated in the United States.”114

Peningkatan signifikan perdagangan dunia dalam bentuk barang setengah jadi (intermediate goods atau disebut juga sebagai barang antara) selama empat dekade terakhir, merupakan cerminan nyata bagaimana bekerjanya

112 Gene M. Grossman & Elhanan Helpman, “Outsourcing in a global economy,” Review of

Economic Studies Vol. 72 (2005): 135-139. 113 World Trade Organization, Annual Report 1998 (Geneva: World Trade Organization, 1998), 36. 114 World Trade Organization, Annual Report 1998, 36.

Page 53: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 53

perekonomian dunia sangat bertumpu kepada pola pengorganisasian produksi secara berjejaring di tingkat global. Sturgeon & Kawakami mencatat bagaimana impor barang setengah jadi di dunia mengalami peningkatan sepuluh kali lipat sejak tahun 1980an (Lihat Tabel 1).115Perdagangan barang setengah jadi di tahun 2006 mengambil porsi sebesar 56 persen dari total impor dunia. 116 Semakin besar dan tumbuhnya persentase perdagangan internasional selama beberapa dekade terakhir, dengan demikian tercipta atas dasar interaksi ragam aktivitas produksi di dalam berbagai bentuk jaringan-jaringan produksi global.117

Arti penting jejaring produksi global sebagai penggerak ekonomi dunia di era ini semakin tercermin dengan terjadinya pergeseran signifikan pada geografi produksi dunia, perdagangan dan investasi. 118 Meskipun pusat-pusat geografis produksi “lama” yang terkonsentrasi di Amerika Serikat dan Eropa tetap mendominasi perekonomian dunia, tampak selama beberapa dekade terakhir muncul pusat-pusat georgrafis baru seiring dengan semakin terintegrasinya perekonomian negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia dan Amerika Latin, ke dalam jejaring produksi global (Lihat Tabel 2).

115 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, “Global Value Chains in A Postcrisis World:

Resilience, Consolidation, and Shifting End Markets,” dalam Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, eds. Global Value Chains in A Postcrisis World: A Development Perspective (Washington, D.C.: The World Bank, 2010), 5.

116 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, “Global Value Chains in A Postcrisis World,” 5.

117 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, “Global Value Chains in A Postcrisis World,” 3.

118 Peter Dicken, Global Shift: Mapping the Changing Contours of the World Economy, Sixth Edition (New York & London: The Guilford Press, 2011), 24

Page 54: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 54

Tabel 2

Industri Barang Manufaktur Setengah Jadi tahun 1988 dan 2006 Berdasarkan Total Perdagangan Tahun 2006

Sumber: Timothy J. Sturgeon & Momoko Kawakami, “Global Value Chains in Electronics Industry: Was the Crisis a Window of Opportunity for Developing Countries?” dalam Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, eds. Global Value Chains in A Postcrisis World: A Development Perspective (Washington, D.C.: The World Bank, 2010), 248.

Tabel 3

Porsi Negara-Negara Berkembang dari Tingkat Produksi, Perdagangan dan Investasi Asing langsung (FDI) di Dunia, 1990 dan 2007

1990 2007

Porsi dari PDB dunia 18,4 26,0

Porsi dari ekspor dunia 19,0 30,3

Porsi dari stok FDI yang masuk

20,6 28,7

Sumber: kalkulasi yang dilakukan oleh Peter Dicken dari data Bank Dunia dan UNCTAD. Peter Dicken, Global Shift, 27.

Page 55: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 55

Semakin jelas bagaimana jejaring produksi global menjadi tulang punggung kapitalisme di era neoliberal. Dalam corak hegemonik pola pengorganisasian produksi kapitalis yang berjejaring secara global di era neoliberal inilah, secara lebih spesifik dan kontekstual, analisis atas WTO harus didudukkan.

Analisis dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka berpikir yang tidak memandang kapitalisme hanya sebatas sebuah modus produksi di mana proses penciptaan komoditas secara teknis berjalan. Kapitalisme dalam kerangka ini dipandang sebagai totalitas relasi sosial produksi di mana proses teknis penciptaan komoditas (dan tentu saja nilai) tidak berjalan secara terisolasi dari relasi sosial masyarakat. Fungsi-fungsi kapital di dalam sirkulasi produksi kapitalis tidak akan dapat tercipta dan berjalan tanpa ditopang oleh penciptaan dan transformasi kondisi-kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat.

Relasi sosial produksi kapitalis, yang hanya dapat berjalan dengan ditopang oleh eksploitasi dalam bentuk penghisapan nilai kerja dari buruh/pekerja, tidak akan pernah berjalan tanpa didahului oleh penciptaan relasi sosial dan kondisi sosial tertentu di mana manusia ditransformasikan, diubah menjadi subyek yang bernama buruh/pekerja. Manusia adalah manusia, manusia bukan buruh/pekerja yang dalam relasi sosial produksi nilai kerjanya dihisap dan dirampas oleh kelompok manusia yang lain. Hanya dalam kondisi sosial tertentu, manusia berubah menjadi buruh/pekerja, sehingga memungkinkan nilai kerja dihisap dalam relasi sosial produksi.

Melalui gagasan dan program-program pembangunan di mana negara, sebagai perwujudan relasi politik dari relasi sosial produksi kapitalis, mendorong transformasi di dalam masyarakat berlandaskan pada orientasi kemajuan material. Sehingga, tercipta dan dapat direkayasa kondisi-kondisi sosial tertentu secara sistematis di dalam masyarakat yang dapat menopang, mengamankan dan memuluskan bekerjanya sirkuit kapital di mana proses produksi komoditas berjalan.

Melalui produksi biopolitik, di mana teknologi kekuasaan pendisiplinan tubuh individu dan kontrol regulatoris terhadap tubuh sosial masyarakat sebagai dua bentuk utama dari biopower berjalan, ragam apparatus bekerja untuk menciptakan relasi sosial dan bentuk-bentuk kehidupan yang menopang kelancaran relasi sosial produksi kapitalis.119 Melalui apparatus

119 Michel Foucault mengidentifikasi biopower sebagai reartikulasi dari kekuasaan berdaulat pada

abad ke-17 dan 18, di mana bentuk kekuasaan yang tadinya berjalan berdasarkan pada ancaman terhadap kehidupan dari mereka yang dikuasai, mengalami pergeseran mendasar dengan pola yang justru berjalan melalui peningkatan kualitas dan memajukan serta mengelola kehidupan untuk menjadi

Page 56: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 56

pendidikan, subyek buruh/pekerja diciptakan di mana tubuh individu didisiplinkan sehingga produktivitas ekonomi dapat ditingkatkan dan potensi perlawanan politik dapat dilemahkan. Melalui indikator statistik yang “merepresentasikan” stabilitas dan kemajuan tubuh sosial masyarakat, kebijakan-kebijakan negara yang merekayasa kondisi sosial masyarakat bagi kelancaran relasi sosial produksi kapitalis mendapatkan landasan legitimasinya.

Demikianlah negara memainkan peranan yang sangat penting sebagai relasi politik yang satu paket di dalam totalitas relasi sosial produksi kapitalis itu sendiri. Jika negara secara efektif menjadi basis legal dan politik dalam menciptakan kondisi sosial yang dibutuhkan bagi bekerjanya relasi sosial produksi kapitalis pada skala nasional, seiring dengan ekspansi kapitalisme pada skala global, negara secara kolektif menyusun simpul-simpul politik dan institusional untuk menopang kelancaran sirkuit kapital pada level global. WTO adalah salah satu simpul politik utama yang menopang kelancaran bekerjanya relasi sosial produksi kapitalis pada cakupan global.

Seiring dengan eksistensi dan peran hegemonik jejaring produksi dalam kapitalisme global, semakin terefleksikan bagaimana WTO sebagai sebuah simpul politik dan institusional memainkan peranan yang sangat penting dalam menopang kelancaran relasi sosial produksi kapitalisme pada skala global.Secara umum, dapat dicermati bahwa jejaring produksi global tidak dapat dimungkinkan muncul, bahkan menjadi pola pengorganisasian produksi yang hegemonik di dalam kapitalisme kontemporer, jika pola pengorganisasian produksi berjejaring ini tidak dapat menjadi mekanisme di mana nilai-lebih dapat diciptakan sebesar-besarnya. Dengan kata lain, pola pengorganisasian produksi ini tidak dapat menjadi hegemonik di dalam kapitalisme kontemporer jika prosesnya secara teknis memakan biaya produksi yang tinggi. Selain transformasi materialitas alat produksi, terutama dalam bentuk kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang semakin memudahkan pengorganisasian produksi yang terfragmentasi secara berjejaring di skala global, adalah perdagangan bebas yang secara langsung memastikan biaya produksi dapat ditekan di dalam polajejaring produksi global.

Pada titik inilah dapat dicermati bagaimana WTO memainkan peranan yang sangat penting sebagai simpul politik dalam menopang kemunculan dan

“lebih baik.” Lihat, Thomas Lemke, Biopolitics: An Advanced Introduction, trans. by Eric Frederick Trump (New York and London: New York University Press, 2011), 33-39.

Page 57: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 57

menjamin kelancaran jejaring produksi global di era kapitalisme neoliberal. Eksistensi dan peranan WTO sebagai simpul politik dalam kapitalisme global selama lebih dari setengah abad terakhir, telah berhasil menjadikan perdagangan bebas sebagai prinsip yang sangat fundamental dalam perekonomian dunia.Pola pengorganisasian produksi yang tersebar di berbagai unit produksi di berbagai wilayah di dunia ini, tidak dapat akan berjalan secara efisien jika berjalan dalam konteks kebijakan perdagangan yang bersifat proteksionis. Efisiensi biaya dan penciptaan nilai tambah dalam pola pengorganisasian produksi yang berjejaring dan terdeteritorialisasi ini hanya dimungkinkan dalam kondisi perdagangan bebas, yang tidak membebankan biaya tambahan dari aktivitas produksi dalam bentuk tarif.Secara langsung dan tidak langsung, WTO telah berhasil menciptakan landasan yang bersifat prinsipil, konseptual, institusional dan praktis bagi disepakati dan dijalankannya beragam skema perdagangan bebas dari bilateral, regional sampai multilateral. Semua skema perdagangan bebas yang berlangsung di dunia sampai dengan hari ini merujuk dan berada di bawah kerangka regulasi multilateral yang diciptakan melalui WTO. Dalam skema regional saja misalnya, tercatat sampai dengan 31 Juli 2013 sebanyak 575 kesepakatan telah ditandatangani. Sebanyak 379 di antaranya berada dalam kondisi implementasi.120 Sebagai prestasi WTO, keterbukaan perdagangan (trade openness) salah satu landasan utama yang menopang geliat perekonomian dunia.

Tidak hanya dalam peran umum penciptaan perdagangan bebas sebagai prinsip utama perekonomian dunia, mengacu kepada ragam regulasinya selama dua dekade terakhir dapat ditelusuri bagaimana WTO memainkan peranan spesifik sebagai simpul politik dan institusional untuk menopang kelancaran jejaring produksi global. Pertama, WTO berhasil dalam menjadikan kelancaran jejaring produksi global sebagai sebuah “narasi normal” atau ukuran normal bagi berfungsinya perekonomian dunia dengan baik. Lancarnya proses produksi dan penciptaan nilai yang berjalan atas dasar pengelolaan secara berjejaring ragam aktivitas produksi yang difragmentasikan ke berbagai belahan dunia, menjadi cerminan bagi kelancaran geliat perekonomian dunia. Lebih dari itu, secara eksplisit dinyatakan di dalam sebuah laporan tahunan WTO yang dirilis tahun 1998, kelancaran perekonomian dunia yang berbasis pada kelancaran jejaring produksi global ini sangat bergantung kepada perdagangan bebas dan rezim investasi.121 Secara tersirat dikonstruksikan suatu makna bahwa peran WTO

120 Lihat, “Regional Trade Agreement,” last modified August 11, 2013,

http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm. 121 World Trade Organization, Annual Report 1998, 36.

Page 58: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 58

yang mendorong perdagangan bebas di dunia selama ini diabdikan untuk “menjaga supaya perekonomian dunia dapat terus berfungsi dengan baik.”

“…This means that only 37 per cent of the production value of this “American” car is generated in the United States. This example illustrates why a well-functioning world economy depends so strongly on open trade and investment regimes.”122

Bahkan, partisipasi dan semakin terintegrasinya perekonomian sebuah negara ke dalam jejaring produksi global dijadikan sebagai kunci keberhasilan dan ukuran bagi kemajuan ekonomi negara-negara di dunia. Begitu “normal”-nya partisipasi di dalam jejaring produksi global diposisikan sebagai kunci keberhasilan ekonomi bagi sebuah negara, semakin tampak bagaimana akses dan partisipasi ke dalam jejaring produksi global dijadikan sebagai bargaining chip untuk menekan negara-negara anggotanya tunduk kepada ragam kesepakatan regulatif di dalam WTO. Terkonstruksi sebuah makna bahwa dengan menjadi anggota WTO dan tunduk kepada segala bentuk kesepakatan di dalamnya merupakan “tiket masuk menuju kemajuan ekonomi bagi sebuah negara.”

“…However, there was little progress either on tariffs or on non-tariff barriers (NTB) during the year. New Chair Remigi Winzap of Switzerland said members must intensify their efforts in 2013, noting a successful NAMA negotiation is especially important for members who want to enhance the participation of their companies in, or become part of, a regional or global value chain.”123

Kedua, perkembangan dan eksistensi hegemonik jejaring produksi global selama beberapa dekade terakhir menunjukkan prosesnya yang sangat bergantung pada rupa-rupa bentuk pengorganisasian yang sangat teknis. Berjalan beriringan, dapat dicermati bagaimana pola-pola regulasi WTO sebagai simpul politik dan institusional yang menopang kelancaran proses inipun tampakdiarahkan kepada aspek-aspek yang bersifat sangat teknis. Secara teknis, proses dari jejaring produksi global mencakup serangkaian aktivitas yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa, mulai dari proses awal dalam bentuk konsepsi (gagasan, ide), ragam fase produksi yang berbeda (meliputi penyediaan bahan baku; pasokan ragam komponen, sub-perakitan, dan jasa-jasa produksi; perakitan barang jadi) sampai kepada pengiriman ke konsumen akhir, bahkan sampai aktivitas pembuangan pasca konsumsi.124 Jejaring produksi global dapat dipastikan dapat berjalan dengan lancar hanya jika dapat dipastikan bahwa nilai dapat

122 World Trade Organization, Annual Report 1998, 36. 123 World Trade Organization, Annual Report 2013 (Geneva: World Trade Organization, 2013), 24. 124 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, “Global Value Chains in A Postcrisis

World,” 3-4.

Page 59: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 59

dicipta dan dihisap di dalam setiap fase dan aktivitas. Sebagai konsekuensinya, ragam bentuk perhitungan teknis, khususnya atas biaya produksi, menjadi landasan bagi teknis operasional jejaring produksi global. Dengan kata lain, jejaring ini sangat bergantung kepada terciptanya kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan hukum di berbagai wilayah geografis yang kondusif dan efisien bagi setiap bentuk aktivitas produksi.

Kemunculan jejaring produksi global juga telah mendorong perubahan mendasar dari sifat perdagangan internasional itu sendiri.125Selama berabad-abad dapat kita saksikan bahwa perdagangan sebagian besar berjalan dalam bentuk pertukaran barang. 126 Hari ini perubahan mendasar dapat kita saksikan terjadi, di mana perdagangan telah semakin mencakup pertukaran aktivitas di mana potongan-potongan nilai dapat ditambahkan di berbagai tempat yang berbeda.127Perdagangan tidak hanya lagi berjalan dalam bentuk pertukaran barang, melainkan semakin berjalan dalam wujud pertukaran berbagai jenis pekerjaan atau aktivitas produksi (trading in tasks). Kemajuan revolusioner teknologi transportasi dan komunikasi telah melemahkan relasi di antara spesialisasi kerja dan konsentrasi geografis, sehingga pemecahan ragam tugas, pekerjaan atau aktivitas produksi dimungkinkan dilakukan dengan melintasi ruang dan waktu.128 Ketika perintah atau instruksi atas pekerjaan dapat disampaikan dengan instan, komponen dan barang setengah jadi dapat dipindahkan dengan cepat dan murah, dan hasil dari setiap pekerjaan dapat dikirimkan secara elektronik, geliat perusahaan-perusahaan dunia tampak semakin mengambil manfaat dari faktor disparitas biaya di berbagai negara tanpa harus mengorbankan keuntungan yang diperoleh atas dasar spesialisasi.129 Sebagai hasilnya, dapat kita saksikan selama dua dekade terakhir, terjadi ledakan praktik offshoring dan outsourcing dari aktivitas-aktivitas manufaktur dan fungsi-fungsi produksi. 130 Sebuah perusahaan dapat menjalankan setiap pekerjaan di dalam rangkaian aktivitas produksi, baik itu di wilayah yang dekat dengan lokasi geografis pusat produksinya, maupun ke wilayah-wilayah geografis yang berada di luar negeri (offshoring). 131 Offshoring dapat menjadi pilihan yang menguntungkan jika beberapa faktor yang menentukan biaya produksi dari aktivitas yang dijalankan di luar negeri lebih murah dibandingkan di dalam negeri.132 Akan

125 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks: A Simple Theory of

Offshoring,” American Economic Review Vol. 98 No. 5 (2008): 1978-1997. 126 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 127 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 128 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 129 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 130 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 131 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 132 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978.

Page 60: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 60

tetapi, pilihan ini juga dapat memakan biaya yang besar, terkait dengan aktivitas produksi yang dijalankan dalam jangkauan jarak yang jauh, menjadikan hambatan tersendiri atas aktivitas pengawasan dan pengkoordinasian terhadap pekerja.133

Dengan kata lain, semakin kompleks proses produksi yang dijalankan dan semakin spesifik aktivitas produksi yang dialihkan, maka akan menjadi semakin spesifik dan teknis perhitungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran jejaring produksi. Berdasarkan praktik pengalihan aktivitas produksi (outsourcing) yang berkembang selama ini pada skala global, terdapat beberapa strategi yang dijalankan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan dalam mencari dan memilih lokasi geografis pengalihan produksi.

Dalam sebuah analisis terhadap outsourcing sebagai praktik yang marak dilakukan perusahaan dalam perekonomian dunia dewasa ini, Grossman dan Helpman mengembangkan sebuah model analisis mengenai pembuatan keputusan perusahaan untuk meletakkan lokasi dari aktivitas produksi.134 Mengacu kepada model ini, Grossman dan Helpman mengidentifikasi tiga fitur yang sangat esensial dalam strategi outsourcing modern. 135 Pertama, perusahaan harus mencari (search) mitra-mitra dengan keahlian atau kemampuan tertentu yang memungkinkan mereka untuk menjalankan aktivitas produksi tertentu yang dibutuhkan. Kedua, perusahaan-perusahaan harus dapat meyakinkan pemasok-pemasok yang potensial untuk menyesuaikan (customize) spesifikasi produk sejalan dengan kebutuhan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Ketiga, perusahaan-perusahaan tersebut harus menciptakan relasi-investasi spesifik yang dibutuhkan di dalam sebuah kondisi perjanjian yang sifatnya tidak lengkap (incomplete contracting).

Dalam aspek penentuan lokasi outsourcing, Grossman dan Helpman mengidentifikasi empat determinan utama yang sangat berpengaruh. 136 Pertama, besarnya wilayah dari sebuah negara dapat mempengaruhi tingkat “ketebalan” dari pasar di dalamnya. Dalam kondisi determinan lain pada tingkat yang sama, sebuah perusahaan cenderung untuk melakukan aktivitas pencarian mitra di negara dengan ukuran pasar yang besar. Hal ini dikarenakan kondisi yang lebih membuka peluang untuk menemukan mitra yang memiliki ketrampilan yang memadai yang dapat membuatnya mampu dan bersedia untuk memproduksi suatu komponen atau jasa tertentu yang

133 Gene M. Grossman & Esteban Rossi-Hansberg, “Trading Tasks,” 1978. 134 Gene M. Grossman & Elhanan Helpman, “Outsourcing in a global economy,” Review of

Economic Studies Vol. 72 (2005): 135-139. 135 Gene M. Grossman & Elhanan Helpman, “Outsourcing in a global economy,” 136. 136 Gene M. Grossman & Elhanan Helpman, “Outsourcing in a global economy,” 136.

Page 61: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 61

dibutuhkan oleh produsen akhir. Kedua, teknologi yang dibutuhkan dalam aktivitas pencarian sangat mempengaruhi biaya dan menentukan kecenderungan pencarian mitra yang sesuai. Pencarian akan tidak terlalu memakan biaya dan berhasil di sebuah negara dengan kondisi infrastruktur komunikasi dan transportasi yang baik. Ketiga, teknologi yang dibutuhkan untuk memproduksi komponen spesifik sangat mempengaruhi kebersediaan mitra untuk melakukan investasi yang dibutuhkan dalam membuat produk purwa rupa (prototype). Keempat, kondisi yang mempengaruhi bentuk perjanjian dengan mitra, yang sangat terkait dengan kemampuan sebuah perusahaan untuk membuat mitra berinvestasi di dalam relasi. Hal ini terutama terkait dengan taraf di mana relasi-investasi spesifik dapat diverifikasi oleh pihak luar di masing-masing negara.

Dalam strategi pencarian mitra, sebuah perusahaan melakukan pencarian berdasarkan kepada desain produk dengan spesifikasi komponen yang sesuai. Atas dasar kebutuhan spesifik produk inilah, perusahaan akan menentukan di mana lokasi pencarian akan dilakukan. Penentuan ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan yang sesuai dan tingkat kemampuan teknologi secara keseluruhan di dalam sebuah negara atau wilayah. Perbedaan kondisi ketrampilan tenaga kerja dan tingkat perkembangan teknologi antara negara-negara Utara dan Selatan, dengan demikian sangat mempengaruhi penentuan lokasi pencarian mitra.

Dalam strategi penyesuaian spesifikasi produk yang harus dilakukan oleh mitra pemasok, biaya investasi menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Sebelum memutuskan menjalin kontrak dengan mitra atau pemasok di negara lain, sebuah perusahaan harus mengidentifikasi kemampuan dalam aspek teknologi yang dimiliki mitra tersebut untuk memproduksi komponen spesifik yang dibutuhkan. Proses ini tentu saja memakan biaya tersendiri bagi perusahaan yang melakukan pencarian mitra. Dalam kondisi di mana mitra tidak memiliki kemampuan teknologi yang memadai, perusahaan akan mempertimbangkan biaya investasi untuk mengembangkan kemampuan teknologi mitranya. Dari sisi mitra yang memiliki potensi, biaya harus dihitung dari aspek investasi teknologi untuk menghasilkan produk purwa rupa dan dari aspek biaya dalam produksi komponen spesifik yang sesuai dengan permintaan perusahaan dari luar ketika kontrak telah disepakati. Hal ini tentu saja mempengaruhi harga komponen yang ditawarkan oleh mitra kepada perusahaan yang menawarkan pemesaan. Semakin rendah investasi teknologi yang dibutuhkan maka semakin rendah harga yang ditawarkan kepada perusahaan pemesan. Sehingga kecenderungan besar kontrak akan disepakati di antara kedua pihak tersebut.

Page 62: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 62

Ketika sebuah perusahaan yang menjadi produsen akhir telah menemukan mitra dengan kemampuan yang dibutuhkan,137 keduanya memasuki proses pembangunan relasi melalui tawar-menawar dan perjanjian atau kontrak. Kondisi aturan hukum di lokasi tempat mitra tersebut berada menjadi faktor yang sangat mempengaruhi proses ini. Dari sisi perusahaan pemesan, perjanjian harus didasarkan pada kesediaan dari mitra pemasok untuk melakukan investasi awal dalam menciptakan produk purwa rupa. Perusahaan pemesan juga harus dapat melakukan verifikasi terhadap investasi yang dilakukan oleh mitra pemasok. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak semua aspek dari investasi ini dapat diverifikasi, sehingga terbuka ruang bagi tercipta kontrak atau perjanjian yang bersifat parsial (incomplete). Sebaliknya, dari sisi mitra pemasok, perjanjian yang bersifat parsial ini, di mana ia harus menanggung biaya investasi dari produksi komponen spesifik yang sesuai dengan permintaan perusahaan pemesan, dapat disepakati hanya jika bagian keuntungan prospektif yang didapatkannya melebihi biaya investasi.

Secara lebih spesifik, terdapat tiga bentuk faktor yang sangat mempengaruhi praktik pengalihan aktivitas produksi di dalam jejaring global.138Ketika faktor ini, menurut Gereffi, Humphrey & Sturgeon, juga sangat mempengaruhi pola pengkoordinasian atau pengorganisasian jejaring produksi global.139Faktor yang pertama terwujud dalam bentuk kompleksitas transaksi, yakni mengacu kepada tingkat kerumitan aktivitas dalam memproduksi komponen spesifik tertentu dari sebuah produk. Semakin rumit dan spesifik komponen yang dibutuhkan, semakin kompleks transaksi yang dibutuhkan dalam pengalihan aktivitas produksi. Faktor kedua mengacu pada kemampuan dari masing-masing elemen di dalam jejaring untuk mengkodifikasikan transaksi. Hal ini sangat bergantung kepada proses komunikasi di dalam mengkoordinasikan aktivitas produksi. Semakin terkodifikasi biaya transaksi, umumnya melalui standarisasi produk atau komponen, semakin rendah biaya transaksi yang dibutuhkan untuk mengalihkan aktivitas produksi. Faktor ketiga terwujud dalam kapabilitas dari basis pasokan, yaitu mengacu kepada kemampuan dari perusahaan-perusahaan di wilayah lain untuk menjalankan aktivitas produksi komponen dengan tingkat kesulitan tertentu. Semakin banyak perusahaan yang memiliki kapabilitas produksi komponen yang spesifik,

137 Bahkan dalam banyak kondisi, proses ini tidak akan terjadi sebelum mitra yang bersangkutan menyatakan bersedia untuk berinvestasi dalam membuat produk purwa rupa. Dalam titik tertentu, bahkan proses pembangunan relasi ini tidak akan terjadi sebelum produk purwa rupa dibuat oleh mitra.

138Gary Gereffi, John Humphrey & Timothy Sturgeon, “The governance of global value chains,” Review of International Political Economy Vol. 12 No.1 (2005): 78-104.

139Gary Gereffi, John Humphrey & Timothy Sturgeon, “The governance of global value chains,” 78-104.

Page 63: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 63

semakin rendah biaya dalam menjalankan aktivitas produksi berjejaring secara global.

Gestur regulatif WTO selama satu dekade terakhir tampak jelas semakin dibingkai oleh proses dan dinamika teknis dari upaya untuk memastikan kelancaran jejaring produksi global. Analisis awal dari penelitian ini menyasar kemunculan dan upaya berkelanjutan untuk menembus kebuntuan dari Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda-DDA) sejak tahun 2001 sampai dengan hari ini, sebagai manifestasi nyata dari WTO sebagai simpul politik dan institusional dalam meregulasi kelancaran beroperasinya jejaring produksi global. Terdapat empat poin analisis utama dalam penelitian ini yang ditujukan untuk membongkar bagaimana WTO memainkan peranan regulatif dalam menciptakan kondisi global yang menopang kelancaran dari bekerjanya jejaring produksi global melalui DDA.

Pertama, DDA merupakan sebuah momen utama di mana perdagangan secara eksplisit dikorelasikan dengan pembangunan. Jika diletakkan sebagai wujud transformasi relasi sosial produksi kapitalis di era neoliberal, posisi hegemonik jejaring produksi global tidak dapat dilepaskan dari kemampuan pola pengorganisasian produksi ini dalam mengekstraksi, menciptakan dan merampas nilai secara berlapis dan berantai di berbagai belahan dunia.Dengan kata lain, jejaring produksi global menyediakan mekanisme bagi relasi sosial produksi kapitalis untuk menciptakan dan menangkap nilai-lebih yang setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya di lokasi-lokasi yang tersebar secara geografis. Untuk dapat mendorong ekspansi massif dari pola penghisapan optimal ini, berbagai wilayah di dunia harus ditransformasikan menjadi lokasi yang kondusif dan efisien bagi pengalihan aktivitas produksi.

Pembangunan adalah sebuah konsepsi dan narasi “netral” yang secara efektif dapat menaungi upaya transformasi masyarakat sedari awal kapitalisme itu muncul.140Melalui konsepsi tentang kemajuan hidup melalui pembangunan inilah, produksi biopolitik untuk mentransformasikan masyarakat sehingga kondisi-kondisi yang menopang penciptaan nilai dalam produksi kapitalis dapat berjalan. Bahkan, melalui pembangunan, transformasi kapitalis ini secara efektif dapat ternetralisir dari relasi kelas yang eksploitatif.

“The agent of this process and of the new concept of development is the bourgeoisie inasmuch as it 'cannot exist without constantly revolutionizing the

140 Jorge Larrain, Theories of Development: Capitalism, Colonialism and Dependency, 1, dengan

mengutip Karl Marx & Friedrich Engels, Manifesto of the Communist Party, dalam Selected Works in One Volume (London: Lawrence & Wishart, 1970), 38.

Page 64: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 64

instruments of production, and thereby the relations of production, and with them the whole relations of society.'”141

Secara efektif, WTO sebagai simpul politik dan institusional memainkan peranan regulatifnya dengan bernaung di bawah konsep dan narasi pembangunan, sebagai “hasrat mendasar” dari negara-negara miskin dan berkembang di berbagai belahan dunia, untuk mentransformasikan wilayah geografis mereka sebagai lokasi yang kondusif di mana nilai dapat dicipta dan dihisap melalui jejaring produksi global. Bahkan, dengan lebih tepat sasaran, berdasarkan pola jejaring produksi global diciptakan konstruksi logis yang dapat mengkorelasikan secara eksplisit keberhasilan pembangunan dan perdagangan. Perdagangan internasional cenderung tidak membawa kontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi sebuah negara jika hanya berjalan dalam bentuk pertukaran barang. Korelasi positif antara perdagangan internasional dan keberhasilan pembangunan semakin mendapatkan landasan logisnya seiring dengan kemunculan jejaring produksi global. Sedari keberhasilan pembangunan semakin direpresentasikan oleh ukuran pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh peningkatan produksi, konsumsi, perdagangan dan investasi, industrialisasi dan penciptaan massif lapangan pekerjaan menjadi kunci utamanya. Jejaring produksi global berjalan atas dasar perdagangan yang tidak hanya berjalan dalam bentuk pertukaran barang, melainkan pertukaran pekerjaan yang terwujud melalui pengalihan aktivitas produksi ke berbagai wilayah. Terbangun sebuah konstruksi logis yang menjadi landasan bagi korelasi positif antara pembangunan dan perdagangan, di mana dengan berpartisipasi di dalam sistem perdagangan multilateral sebuah negara dapat membeli akses, tiket masuk ke dalam jejaring produksi global, sehingga dapat menarik pengalihan aktivitas produksi yang dapat membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan populasi, produktivitas dan alhasil, meningkatkan pertumbuhan sebagai ukuran bagi keberhasilan pembangunan.

Dengan kata lain, dapat dicermati bahwa DDA merupakan sebuah skema regulatif sistematis untuk dapat menjaring seluruh potensi di berbagai belahan dunia ke dalam jejaring global penciptaan dan penghisapan nilai. Di dalam dokumen Deklarasi Tingkat Menteri di Doha pada tahun 2001, tercermin dengan sangat jelas bagaimana WTO berupaya untuk mengintegrasikan kelompok negara-negara miskin di dunia (Least-Developed Countries-LDCs) ke dalam sistem perdagangan multilateral dengan mengkoneksikan perekonomiannya ke negara-negara maju melalui

141 Jorge Larrain, Theories of Development: Capitalism, Colonialism and Dependency, 1.

Page 65: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 65

akses pasar. Bahkan semakin jelas strategi WTO untuk menjaring kelompok negara ini ke dalam jejaring produksi global melalui upaya dan dukungan dalam rangka mendiversifikasikan basis produksi dan ekspor dari negara-negara tersebut. Dengan semakin beragamnya kapasitas produksi dan ekspor dari negara-negara ini, maka semakin terbuka ruang bagi perusahaan-perusahaan di negara maju untuk mencari potensi pengalihan aktivitas produksi di mana biaya dapat ditekan pada level yang terendah.

Kedua, salah satu fokus utama program kerja WTO yang terkandung di dalam DDA adalah upaya untuk mendorong peningkatan akses pasar untuk produk-produk non-pertanian (Market Access for Non-Agricultural Products-NAMA). Bahkan melalui NAMA inilah, gestur regulatif WTO yang ditujukan secara khusus untuk menopang kelancaran dan perluasan jejaring produksi global dapat diidentifikasi. Di dalam kategori produk non-pertanian ini ragam produk yang menyusun jejaring produksi global terkandung. Produk non-pertanian dalam kategori ini tersusun atas barang-barang manufaktur sampai ke bahan bakar dan perikanan. Secara keseluruhan, kategori barang ini merepresentasikan lebih dari 90 persen dari total komoditas dagang dunia.142 Di dalam program kerja DDA, WTO membuka ruang negosiasi tersendiri untuk menghilangkan segala bentuk hambatan, baik tarif maupun non-tarif dalam bentuk sistem perizinan impor dan hambatan teknis perdagangan khususnya bagi barang-barang ekspor yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang.

Secara permukaan, dapat dicermati bagaimana kepentingan negara-negara berkembang menjadi sorotan utama untuk menciptakan “keadilan perdagangan dunia” yang diemban oleh WTO melalui NAMA. Akan tetapi, jika ditinjau dalam kerangka jejaring produksi global, gestur ini bukanlah tentang upaya untuk mengatasi pertarungan kepentingan di antara negara maju dan berkembang, melainkan lebih tentang bagaimana menciptakan kondisi di mana kapital dalam bentuk apapun dan skala apapun (dari raksasa sampai kepada skala mikro rumah tangga) dapat berpartisipasi dalam menciptakan potongan-potongan nilai-lebih tambahan yang dijaring secara global.

Jika dicermati secara lebih mendalam, relasi yang menstrukturkan jejaring produksi global terletak pada kompetisi yang bersifat lintas cabang dari kapital individual. Dengan kata lain, Jejaring produksi global berakar pada relasi sosial umum yang meregulasi terciptanya kesatuan material dari divisi

142 World Trade Organization, Annual Report 2013 (Geneva: World Trade Organization, 2013), 24.

Page 66: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 66

sosial pekerja di dalam kapitalisme. 143 Salah satu karakter spesifik dari Jejaring produksi global sebagai sebuah bentuk kompetisi kapitalis terletak pada relasi sosial yang tampak terlihat relatif langsung dan berkelanjutan dalam bentuk koordinasi eksplisit, terhadap relasi sosial tidak langsung tersebut, yang memediasi kesalingtergantungan material di antara cabang-cabang produksi sosial tertentu melalui konfigurasi ‘rantai’ atau ‘jejaring’ dari perusahaan-perusahaan kapitalis.144 Hal ini dilakukan dengan menciptakan mekanisme pengalokasian dan penyaluran sumber-sumber daya finansial, material dan manusia di dalam sebuah rantai.

Ketiga, bantuan teknis (technical assistance) dan peningkatan kapasitas (capacity building) menjadi warna dominan dari program kerja WTO yang terkandung di dalam DDA. Tampak dengan jelas bagaimana WTO bergerak menjamah wilayah yang sangat teknis untuk dapat memenuhi kebutuhan pengorganisasian teknis jejaring produksi global. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bekerjanya jejaring produksi global dalam wujud pengalihan aktivitas produksi berjalan atas dasar strategi dan faktor-faktor yang sangat teknis dan spesifik. Teknis dan kapasitas produksi, mulai dari aspek ketrampilan kerja, kelancaran komunikasi dan informasi, sampai kepada kemampuan teknologi, merupakan determinan bagi pengalihan aktivitas produksi di mana nilai dapat dicipta dan dihisap semaksimal mungkin. Semakin tersedia dalam jumlah besar unit-unit produksi di berbagai wilayah yang memiliki kemampuan dan kapasitas teknis yang memadai, semakin besar peluang bagi bekerjanya pola produksi yang dapat mencipta dan menghisap nilai pada level yang optimal ini. Tidak heran jika kemudian program kerja WTO melalui DDA mencakup bantuan teknis dan peningkatan kapasitas mulai dari aspek hukum, finansial, sampai kepada informasi dan komunikasi, yang tujuan utamanya adalah untuk memastikan jejaring produksi global dapat terus berjalan dengan biaya transaksi yang rendah.

Dalam bingkai inilah, program kerja WTO di dalam DDA diabdikan untuk memastikan tidak hanya negara-negara yang menjadi anggotanya membuka diri terhadap perdagangan internasional, tetapi juga memastikan bahwa unit-unit produksi di setiap negara anggotanya memiliki kompatabilitas untuk dapat berpartisipasi di dalam jejaring produksi global. Bahkan di dalam perkembangan negosiasi NAMA di tahun 2012, partisipasi perusahaan-

143 Guido Starosta, “The Outsourcing of Manufacturing and the Rise of Giant Global Contractors:

A Marxian Approach Some Recent Transformation of Global Value Chains,” New Political Economy, Vol.15, No. 4, (December 2010): 544-563.

144 Guido Starosta, “The Outsourcing of Manufacturing and the Rise of Giant Global Contractors,” 544-563.

Page 67: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 67

perusahaan di dalam negara-negara anggota WTO di dalam jejaring produksi global, dinarasikan sebagai kepentingan dan ukuran keberhasilan bagi semua negara.145

Keempat, upaya WTO untuk memastikan bahwa negara-negara anggotanya (terutama negara-negara berkembang) memiliki kapasitas yang memadai agar dapat berpartisipasi dalam jejaring produksi global, semakin tercermin melalui program kerja dalam bentuk mendorong transfer teknologi, yang terkandung di dalam DDA. Lagi-lagi, perdagangan dikemas memiliki korelasi yang sangat penting bagi berjalannya proses transfer teknologi, khususnya dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Tentu saja, jika diletakkan dalam bingkai jejaring produksi global, gestur ini tidak dapat dipandang dan dinilai sebagai bentuk “kebaikan hati” dari negara-negara maju dan WTO terhadap negara-negara berkembang. Pertama-tama, transfer teknologi, di mana dalam praktiknya perusahaan-perusahaan di negara-negara maju harus menginvestasikan kapital di perusahaan-perusahaan negara-negara berkembang, merupakan pilihan yang cenderung dihindari dalam perhitungan biaya transaksi pengalihan aktivitas produksi. Sebuah perusahaan, akan bersedia mengeluarkan biaya transaksi yang besar atas transfer teknologi, hanya jika proyeksi keuntungan jangka panjang berada pada level yang tinggi dan pasti. Selain itu, pola ini juga dapat menjadi pilihan bagi perusahaan dalam kondisi di mana aktivitas yang dialihkan merupakan aktivitas produksi komponen yang benar-benar spesifik dengan kualifikasi yang canggih. Namun, biaya produksi tetap lebih rendah jika dialihkan ke sumber-sumber eksternal, ketimbang dikerjakan secara internal. Sebagai konsekuensinya, faktor-faktor produksi lainnya, khususnya upah tenaga kerja di perusahaan penerima pengalihan aktivitas harus benar-benar berada pada tingkat yang rendah, untuk memastikan biaya produksi tetap relevan bagi perusahaan tersebut.

Selain itu, dalam pola jejaring produksi global, dapat diidentifikasi bahwa ikatan yang bersifat fleksibel dengan perusahaan-perusahaan lain di mana produksi dialihkan menjadi pilihan dengan biaya yang paling efisien. Sementara itu, transfer teknologi mengharuskan perusahaan-perusahaan untuk berinteraksi di dalam pola hubungan yang bersifat mengikat dan jangka panjang. Perusahaan bersedia untuk mengikatkan diri dengan perusahaan lain, hanya jika ketersediaan alternatif mitra sangat terbatas. Sebagai konsekuensinya, tercipta kecenderungan di dalam jejaring produksi global dalam pola ini, perusahaan-perusahaan di negara-negara berkembang

145 World Trade Organization, Annual Report 2013 (Geneva: World Trade Organization, 2013), 24.

Page 68: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 68

yang menerima pengalihan produksi dari perusahaan-perusahaan di negara maju, menjadi tertawan oleh interaksi dan hubungan yang bersifat mengikat.

Berdasarkan dinamika perkembangan jejaring produksi global juga dapat dicermati bahwa kapasitas ekstraksi nilai-lebih berjalan dalam pola yang beragam di berbagai wilayah. Terdapat suatu wilayah di mana nilai-lebih dapat dicipta dan ditangkap pada level yang tinggi secara bersamaan. Namun terdapat karakter wilayah di mana unit-unit produksi di dalamnya hanya bisa mencipta nilai dalam skala yang besar, namun tidak dapat menangkap nilai tersebut. Bahkan terdapat corak wilayah di mana keduanya benar-benar hanya dapat dilakukan pada skala yang rendah. Jenis kerja dan kemampuan teknologi merupakan kunci bagi terciptanya perbedaan pola ekstraksi nilai-lebih antar kawasan ini. Kawasan yang corak aktivitas produksinya didominasi oleh kerja imaterial dan kemampuan teknologi tinggi, di mana aktivitas pra-produksi (desain, penelitian dan pengembangan teknologi) menjadi fokus utamanya, merupakan kawasan dengan kapasitas ekstraksi nilai lebih yang pertama. Kawasan yang lebih banyak menerima pengalihan aktivitas pada tahap produksi (pabrikasi dan perakitan) merupakan manifestasi dari kapasitas ekstraksi yang kedua. Kawasan yang unit produksi merupakan cabang murni dari produksi perusahaan lain, merupakan bentuk kapasitas yang ketiga. Dengan kata lain, transfer teknologi berjalan selaras dengan pola ini, di mana terdapat kecenderungan bahwa transfer teknologi akan terjadi pada titik yang terbatas oleh corak aktivitas produksi di sebuah negara atau kawasan tertentu.

Sebagai simpul politik yang menopang kelancaran relasi sosial produksi kapitalis di dalam dinamika dan coraknya yang spesifik zaman, melalui DDA terkonfirmasi bagaimana WTO memainkan peranan regulatif untuk dapat menjamin kelancaran jejaring produksi global sebagai pola pengorganisasian produksi kapitalisme di era neoliberal.

Prekarisasi dan Jejaring Eksploitasi Global

Fleksibilitas yang menjadi corak utama pengorganisasian produksi di era ini telah membawa konsekuensi yang sangat mendalam dalam bentuk kondisi ketidakpastian (precariousness) dalam kehidupan pekerja. Ketidakpastian dalam bentuk hubungan kerja yang bersifat temporer, ketidakpastian upah, ketiadaan jaminan, baik dalam bentuk kesehatan, keamanan kerja sampai kepada status pekerjaan itu sendiri, ketidakjelasan jenjang karir bahkan sampai kepada aktivitas kerja, merupakan manifestasi strategi dari para pemilik modal dalam menciptakan efisiensi dan memastikan ekstraksi nilai-lebih dapat dilakukan di dalam pengorganisasian produksi yang berjejaring

Page 69: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 69

ini. Prekarisasi telah menjadi sebuah pola baru, memperparah kondisi proletarianisasi, di mana kondisi sosial di dalam masyarakat diciptakan untuk dapat menopang terciptanya fungsi kapital dan penciptaan nilai di dalam sirkulasi produksi. Sebelumnya, sirkuit kapital dapat berjalan dengan ditopang oleh penciptaan kondisi sosial tertentu di mana manusia diubah menjadi pekerja yang memiliki fungsi kapital melalui kerja (sehingga dapat mencipta nilai) di dalam proses produksi.146 Di dalam relasi sosial produksi kapitalis di era yang semakin berjejaring ini, kondisi sosial tertentu dicipta tidak hanya untuk mengkonversi manusia menjadi pekerja semata, tetapi pekerja (proletar) yang berada dalam kondisi yang tidak pasti (precariat, precarious proletar).

Tentu saja, jejaring produksi global dimungkinkan muncul sebagai pola hegemonik pengorganisasian produksi di era kapitalisme neoliberal, hanya jika pola ini dapat menjadi mekanisme di mana nilai-lebih dapat diekstraksi pada tingkat yang paling optimal.

Ekstraksi nilai-lebih, di mana pemilik modal meraup keuntungan dengan merampas nilai kerja dari para pekerja, di mana nilai kerja dari para pekerja jauh melebihi dari upah yang dibayarkan pemilik modal, merupakan bentuk eksploitasi yang menopang bekerjanya relasi sosial produksi kapitalis. Sebagai sebuah sistem, kapitalisme tidak dapat berjalan tanpa bertumpu pada perampasan nilai, tanpa eksploitasi.Jejaring produksi global muncul sebagai pola pengorganisasian produksi di mana kebutuhan ekstraksi nilai-lebih ini dapat dipenuhi secara optimal di dalam kapitalisme kontemporer.

Pertama, melalui fragmentasi aktivitas produksi di dalam jejaring global, nilai dapat diekstraksi secara maksmimal tanpa harus melakukan serangkaian aktivitas produksi dalam jumlah besar. Seiring dengan hegemoni kerja imaterial dalam proses penciptaan nilai, terdapat kecenderungan bagi perusahaan-perusahaan, khususnya di negara-negara maju, semakin memfokuskan pada aktivitas spesifik di mana nilai dapat dicipta pada tingkat yang paling tinggi.

Aktivitas dalam tahap pra-produksi yang didominasi oleh kerja imaterial dalam bentuk perancangan, penelitian, pengembangan teknologi, rekayasa simbol, citra dan estetika, menjadi prioritas utama bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Sementara, tahap produksi yang mencakup aktivitas

146 Marx menyatakan bahwa produksi adalah relasi sosial. Hanya di dalam kondisi relasi sosial

tertentu fungsi kapital di dalam sirkuir produksi dapat tercipta. Manusia adalah manusia, bukan pekerja. Manusia menjadi pekerja (yang nilai kerja dapat diekstraksi dan dihisap) hanya jika ditopang oleh kondisi sosial tertentu yang menciptakan subyek yang bernama pekerja. Lihat, Marx, Wage-Labor and Capital & Value, 28.

Page 70: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 70

penyediaan bahan baku, produksi komponen, pabrikasi, perakitan dan pengemasan, dialihkan ke sumber-sumber eksternal, yang sebagian besar adalah unit-unit produksi di negara-negara berkembang.

Nilai dapat dicipta dan ditangkap secara maksimal tanpa harus menanggung biaya aktivitas produksi dalam jumlah besar. Bahkan nilai kerja yang diciptakan secara eksternal oleh unit-unit produksi lain pun dapat ditangkap oleh perusahaan-perusahaan tersebut melalui jejaring ini.

Kedua, terbuka ruang bagi ragam bentuk, kapasitas dan tingkat kapital dari unit-unit produksi yang tersebar di seluruh belahan dunia untuk dapat berpartisipasi dalam pola ekstraksi nilai-lebih secara berjejaring ini. Sebuah perusahaan tidak harus memiliki kapital yang besar untuk dapat ikut serta meraup keuntungan. Dengan mengambil porsi aktivitas spesifik tertentu, suatu unit produksi dapat berperan di dalam jejaring produksi global.

Demikianlah melalui pola ini, ekstraksi nilai berjalan melalui penjaringan rupa-rupa aktivitas produksi yang tersebar pada skala global.Bertransformasinya eksploitasi menjadi hiper-eksploitasi, merupakan buah yang harus dipetik seiring dengan eksistensi jejaring produksi global sebagai tulang punggung kapitalisme kontemporer. Nilai kerja dari para pekerja dapat dihisap secara berlapis dan berantai di dalam jejaring ini. Kerja dari seorang buruh di wilayah pelosok sekalipun dimungkinkan untuk dihisap nilainya oleh banyak kapitalis yang tersebar di berbagai belahan dunia.Bahkan nilai-nilai yang tercipta dari relasi sosial dan kehidupan masyarakat yang berada di luar ranah produksi kapitalis pun dapat dirampas melalui jejaring produksi global ini.

Krisis dan Konsolidasi Jejaring Produksi Global

Krisis 2008-2009 merupakan krisis yang tepat menghantam jantung kapitalisme global. Melalui krisis ini pula, dunia semakin menyadari bagaimana jejaring produksi global telah menjadi tulang punggung dan sistem saraf utama dari perekonomian global. Betapa tidak, krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat tahun 2008 ini telah bermuara menjadi salah satu krisis terparah di sepanjang sejarah kapitalisme. Resesi ekonomi yang benar-benar berskala global menjadi manifestasi nyata dari krisis kapitalisme pada episode ini.

Jatuhnya angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dunia, dari 5,9 persen di tahun 2008 menjadi hanya 1,2 persen di tahun 2009 (World Bank 2010); peningkatan drastis jumlah pengangguran sebesar 30 juta jiwa dari

Page 71: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 71

total 200 juta di tahun 2009 (ILO 2010); dan bertambahnya jumlah manusia yang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrim di dunia sebesar 64 juta jiwa di tahun 2009 (World Bank 2010); menyusun narasi yang mengisahkan betapa parah, luas dan mendalamnya dampak dari krisis yang terkandung secara inheren di dalam sistem kapitalisme itu sendiri.

William Milberg dan Deborah Winkler, dalam analisisnya terhadap restrukturisasi jejaring produksi global pasca krisis 2008-2009, menemukan kecenderungan terjadinya konsolidasi dari pola pengorganisasian produksi yang tadinya secara luas dikelola secara berjejaring atas dasar aktivitas produksi yang terfragmentasi secara luas. 147 Analisis dari Milberg dan Winkler, secara teoritis didasarkan pada dua tipe konsolidasi di dalam jejaring produksi global, yaitu konsolidasi vertikal dan horizontal.148Jejaring produksi global berjalan melalui pola disintegrasi aktivitas produksi secara vertikal dan horizontal. Disintegrasi produksi secara vertikal terjadi ketika sebuah perusahaan memindahkan atau mengalihkan aktivitas-aktivitas, fungsi-fungsi dan tahapan-tahapan produksi yang berbeda-beda kepada sumber-sumber eksternal, kepada unit-unit produksi (perusahaan, rumah tangga, bahkan individu) lain yang berada di dalam maupun di luar wilayah geografis (batas negara). Beragam aktivitas dan fungsi produksi dari tahap pra-produksi (perancangan/desain, penelitian dan pengembangan, teknologi), tahap produksi (pembelian komponen/bahan baku, manufaktur, perakitan, pengujian, pengemasan), sampai kepada pasca-produksi (pemasaran, distribusi, basis data, layanan purna jual, pemeliharan), yang tadinya dilakukan secara internal (in-house) di dalam sebuah perusahaan, difragmentasikan ke sumber-sumber eksternal. Begitu juga terjadi di dalam disintegrasi produksi secara horizontal. Aktivitas dan fungsi produksi yang berada pada tahap atau tingkat yang sama, dipecah-pecah, dialihkan kepada unit-unit produksi yang tersebar di banyak wilayah.

Konsolidasi vertical mengacu kepada kecenderungan pengurangan jumlah tingkatan pemasok atau pengurangan disintegrasi dari tahapan produksi di dalam jejaring. Sementara itu, konsolidasi horizontal terjadi dalam bentuk pengurangan jumlah pemasok di dalam suatu tingkat atau tahap produksi tertentu di dalam jejaring.149 Konsolidasi vertikal didorong oleh penyusutan ukuran pasar, sehingga menjadikan keberadaan dari pemcahan aktivitas di

147 William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery: Restructuring Global

Value Chains,” dalam Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, & Cornelia Staritz, “Global Value Chains in A Postcrisis World,” 26.

148William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 48. 149William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 48.

Page 72: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 72

sejumlah tingkatan atau tahap produksi menjadi tidak menguntungkan dan tidak lagi dibutuhkan.

Berlandaskan pada kerangka analisis ini, Milberg dan Winkler menemukan bahwa konsolidasi cenderung lebih banyak terjadi di dalam jejaring produksi global yang bersifat “buyer-led” dan penyebaran lebih cenderung terjadi di dalam jejaring produksi yang bersifat “producer-led”. 150 Jejaring produksi global yang bersifat “buyer-led” mengacu kepada praktik pengalihan aktivitas produksi yang bertumpu kepada pencarian suatu perusahaan atas mitra yang memiliki kapasitas untuk memasok komponen yang dibutuhkan. Secara praktik, pengalihan aktivitas produksi dalam pola jejaring produksi ini bergantung pada pesanan dari perusahaan-perusahaan pembeli. Sebaliknya, jejaring produksi yang bersifat “producer-led” mengacu kepada pengorganisasian produksi yang bertumpu pada kemampuan produksi dari perusahaan-perusahaan pemasok. Secara umum, pola ini biasanya terjadi dalam bentuk produksi komponen yang terstandarisasi secara nasional, sehingga pemasok dapat melempar produk mereka ke perusahaan-perusahaan lain.

Kecenderungan pasca krisis memperlihatkan bagaimana penurunan daya beli yang terjadi di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, mendorong jejaring mengalami konsolidasi secara vertikal. Dalam polanya yang bersifat “buyer-led,” perusahaan-perusahaan pemasok di negara-negara berkembang, khususnya yang bergerak di tahap produksi, mengalami penurunan drastis atau bahkan penghentian pesanan dari perusahaan di negara-negara maju, yang mendorong cakupan dari jejaring produksi menjadi semakin mengecil dan fokus pada pemasok-pemasok dengan kualifikasi yang paling efisien saja. Sementara itu, perusahaan-perusahaan pemasok yang bersifat “producer-led,” mengalami kecenderungan yang semakin menyebarkan dan meragamkan produk mereka untuk ke wilayah geografis lain, terutama ke sesama negara berkembang.

150William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 26.

Page 73: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 73

Gambar 1

Konsolidasi Vertikal Jejaring Produksi Global

Sumber: ilustrasi yang dilakukan oleh William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 52.

Gambar 2 Konsolidasi Horizontal Jejaring produksi Global

Sumber: ilustrasi yang dilakukan oleh William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 53.

Konsolidasi jejaring ini secara langsung mendorong persaingan menjadi semakin ketat di antara perusahaan-perusahaan pemasok yang sebagian besar tersebar di negara-negara berkembang. Dapat dicermati sebagai sebuah kecenderungan konsolidasi pasca krisis, China semakin mengalami perluasan pasar dalam serangkaian kategori produk tertentu, sementara negara-negara Asia Timur lainnya semakin mengalami penurunan. 151 Dalam kondisi penyusutan jejaring produksi global pasca krisis ini, sebagai hasilnya dapat dicermati kecenderungan di mana pemerintah di negara-negara berkembang sebagai basisi politik bagi bekerjanya kapitalisme pada skala nasional, berlomba-lomba untuk mengubah kondisi di dalam wilayah geografisnya sebagai lokasi yang paling kondusif dan efisien bagi pengalihan aktivitas

151William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 59.

Page 74: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 74

produksi. Sementara itu, WTO sebagai simpul politik yang menopang bekerjanya jejaring produksi global, tampak berupaya sekuat tenaga untuk membangkitkan kembali volume perdagangan dunia seiring dengan pemulihan ekonomi global. Jika upaya volume perdagangan dunia tidak segera mengalami pemulihan, konsolidasi dari jejaring produksi global akan menyebabkan perusahaan-perusahaan pemasok yang dapat bertahan membutuhkan waktu yang semakin lama untuk dapat meningkatkan kapasitas dan produktivitasnya kembali.152

WTO dan Gestur Regulasi Jejaring Pasca-Krisis

Eksistensi hegemonik jejaring produksi global sebagai tulang punggung perekonomian dunia terbukti menjadi determinan di balik bermuaranya krisis kapitalisme pada dampak yang benar-benar berskala global. Meskipun demikian, secara historis pola pengorganisasian produksi berjejaring secara global ini tetap menjadi mekanisme di mana ekstraksi nilai-lebih dapat dicapai pada titik yang optimal dengan biaya yang minimal pada cakupan global. Sehingga, keberlanjutan dari jejaring produksi global sebagai tulang punggung dan sistem saraf sentral perekonomian dunia menjadi pertaruhan utama dari peran WTO sebagai simpul politik dari relasi sosial produksi di era kapitalisme kontemporer.

Terdapat tiga gestur regulatif WTO pasca-krisis yang menjadi cerminan dari upayanya sebagai simpul politik untuk menjamin keberlanjutan dari jejaring produksi global. Pertama, selama tiga tahun terakhir, geliat yang ditempuh melalui WTO untuk menembus kebuntuan DDA dinyatakan telah berhasil mencapai kemajuan di sejumlah aspek, yaitu fasilitasi perdagangan, pertanian dan mekanisme penyelesaian perselisihan. Terutama dalam aspek negosiasi di bidang pertanian, beberapa kemajuan dinilai telah dicapai dalam bentuk pedoman politik untuk mengeksplorasi pendekatan-pendekatan dalam negosiasi. Liberalisasi perdagangan di bidang pertanian merupakan sasaran utama dari geliat ini. Jika diletakkan dalam konteks jejaring produksi global pasca krisis, sektor pertanian yang menjadi kekuatan utama dari perekonomian negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan mayoritas anggota WTO, merupakan sektor di mana aktivitas produksi riil dapat digenjot kembali di tengah kejatuhan drastis sektor finansial yang menjadi basis dari perekonomian negara-negara maju. Namun demikian, upaya untuk menggenjot sektor pertanian dalam rangka membangkitkan kembali volume perdagangan dunia pasca-krisis ini tidak dapat dibiarkan

152William Milberg & Deborah Winkler, “Trade, Crises and Recovery,” 59.

Page 75: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 75

secara terisolasi dan sporadis. Upaya untuk membangkitkan sektor pertanian ini harus dibingkai melalui jejaring produksi global, sehingga ragam kapitalis di berbagai belahan dunia dapat berpartisipasi di dalam prosesnya. Dalam konteks ini, tidak heran jika kemudian WTO berupaya keras untuk memastikan bahwa proses ini harus dimulai dengan mengkoneksikan perekonomian negara-negara miskin dan berkembang ke dalam jejaring produksi global.

Dengan kata lain, melalui penekanan negosiasi pada sektor pertanian ini, WTO berupaya untuk meregulasi penciptaan kondisi yang menopang bekerjanya jejaring produksi global di sektor ekonomi yang sangat riil ini dapat berjalan dalam pola dan menuju arah yang terkoordinasikan secara sistematis secara berjejaring. Melalui skema investasi, pengembangan jejaring produksi dalam sektor pertanian pasca-krisis dapat dijaring kembali ke dalam sektor finansial. Melalui program-program teknis peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, corak aktivitas produksi di sektor pertanian dapat ditata, diarahkan dan direkayasa sedemikian rupa menuju terciptanya pola di mana penghisapan nilai dapat dicapai secara optimal.

Kedua, semakin jelas tampak gestur ini melalui penggenjotan negosiasi dalam bidang fasilitasi perdagangan dalam kerangka DDA. Dana secara berkelanjutan digulirkan untuk menjalankan proyek-proyek bantuan teknis dalam rangka memastikan partisipasi negara-negara miskin di Afrika, Karibia dan Pasifik, dalam negosiasi DDA. Fasilitasi dikerahkan sedemikian rupa untuk menarik dan menjaring negara-negara yang berada dalam kelompok LDCs terintegrasi dan terkoneksi ke dalam sistem perdagangan dunia. Bahkan, dapat diidentifikasi berdasarkan gestur WTO selama tiga tahun terakhir, program kerja yang ditujukan khusus untuk negara-negara LDCs ini tidak hanya dalam rangka memastikan sebatas terbukanya perdagangan dan terkoneksinya perekonomian negara-negara tersebut ke dalam perdagangan dunia, melainkan untuk secara eksplisit menyediakan akses masuk dan menjaring negara-negara tersebut ke dalam jejaring produksi global.

“In 2012, Aid for Trade continued to mobilize resources. Commitments rose in 2010 to USD 45 billion, according tothe latest figures, up from some USD 40 billion in 2009. The Director-General announced that the Fourth Global Review of Aid for Trade will take place on 8-10 July 2013. With a focus on private sector development, the review will cover the role that Aid for Trade can play in helping connect developing countries to national, regional and global value chains. Underpinning the review is a monitoring and evaluation exercise conducted by the WTO and the Organisation for Economic Co-operation and

Page 76: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 76

Development (OECD). Four workshops on Aid for Trade were held in 2012.”153

Tentu saja, jika dianalisis kembali dalam konteks konsolidasi jejaring produksi global pasca-krisis 2008-2009, tujuan utamanya adalah untuk membuka ruang-ruang potensi secara lebih luas di mana nilai-lebih dapat diekstraksimelalui rupa-rupa bentuk aktivitas produksi di berbagai belahan dunia. Tidak heran jika kemudian, fasilitas perdagangan yang secara spesifik diorientasikan kepada negara-negara LDCs, berjalan di bawah sebuah narasi tentang penciptaan ragam kapasitas produksi dan diversifikasi perdagangan.

Ketiga, upaya perluasan jejaring produksi global pasca-krisis melalui WTO ini tidak dibiarkan berjalan terlepas dari kendali pola koordinasi berjejaring. Tampak melalui gestur bantuan teknis dan peningkatan kapasitas selama tiga tahun terakhir, WTO berupaya untuk medesain kapasitas unit produksi di wilayah-wilayah tertentu selaras dengan posisi dan potensinya di dalam tahapan aktivitas produksi tertentu, di dalam jejaring produksi global. Tercermin dalam konteks pasca-krisis ini, WTO semakin berupaya tidak hanya untuk memastikan bahwa seluruh wilayah geografis di dunia terbuka bagi perdagangan internasional, tetapi juga memastikan bahwa wilayah-wilayah tersebut memiliki kapasitas produksi yang menopang ekstraksi nilai-lebih dalam pola yang dirancang secara berjejaring pada skala global.

Kecenderungan ini semakin tampak dengan diusungnya model pengkoordinasian jejaring relasional sebagai rekomendasi pola jejaring yang paling memadai bagi berjalannya transfer teknologi. Pola koordinasi jejaring relasional adalah pola koordinasi jejaring yang terbentuk ketika spesifikasi produk tidak dapat dikodifikasikan, ketika transaksi berjalan dalam kondisi yang kompleks, dan ketika kapabilitas pemasok dalam tingkat yang tinggi.154 Hal ini terjadi dikarenakan pertukaran pengetahuan dan informasi yang sifatnya sulit dikomunikasikan harus terjadi di antar penjual dan pembeli, dan dikarenakan pemasok yang sangat kompeten menunjukkan motivasi yang kuat kepada perusahaan utama supaya mengalihkan aktivitas produksinya, dalam rangka memperoleh akses atas kompetensi tambahan. Kesalingtergantungan yang kemudian muncul di antara kedua belah pihak dapat diatur melalui reputasi, kedekatan sosial dan spasial, ikatan-ikatan keluarga dan etnisitas. Relasi ini juga dapat ditangani melalui mekanisme-mekanisme dalam bentuk pengenaan biaya bagi pihak yang melanggar

153World Trade Organization, Annual Report 2013 (Geneva: World Trade Organization, 2013), 19. 154Gary Gereffi, John Humphrey & Timothy Sturgeon, “The governance of global value chains,”

Review of International Political Economy Vol. 12 No.1 (2005): 78-104.

Page 77: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 77

kesepakatan atau kontrak. Pertukaran informasi yang kompleks dan sulit untuk dikomunikaskan seringkali diwujudkan melalui interaksi tatap muka secara langsung dalam frekuensi yang tinggi dan diatur berdasarkan koordinasi yang sangat eksplisit, yang sebagai konsekuensinya menjadi biaya dalam pergantian mitra menjadi sangat tinggi.

Dengan interaksi yang intens di antara perusahaan di dalam jejaring, kapasitas dari perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra pemasok dapat diarahkan untuk dapat bergerak ke dalam koridor yang terukur dan terbatas. Untuk dapat memastikan perkembangan kapasitas produksi di berbagai wilayah selaras dengan kebutuhan ekstraksi nilai-lebih di dalam jejaring, tidak heran jika kemudian tipe koordinasi relasional yang menjadi pilihan dalam gestur regulatif WTO pasca-krisis.

Posisi dan Strategi Indonesia di dalam Jejaring Produksi Global

Tidak hanya WTO yang memainkan peranan sebagai simpul regulatif yang menggerakkan aktivitas ekonomi di berbagai belahan dunia selaras dengan kebutuhan jejaring produksi global. Berjalinkelindan dengan simpul politik global, negara-negara berkembang sebagai simpul politik relasi sosial kapitalis pada skala nasional pun memperlihatkan geliat yang semakin mengarahkan perekonomian mereka selaras dengan posisi di dalam jejaring produksi global.

Perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang sangat terintegrasi dengan jejaring produksi global. Dapat disaksikan selama tiga dekade terakhir, ekspor barang setengah jadi tampil di jajaran atas komoditas ekspor utama Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh bahan mentah.

Corak utama aktivitas yang dialihkan ke perusahaan-perusahaan di Indonesia didominasi oleh bentuk kegiatan dalam tahap produksi, meliputi pembuatan komponen, aktivitas manufaktur dan perakitan. Posisi perusahaan Indonesia sebagian besar adalah pemasok produk atau komponen yang bergantung pada pesanan dari perusahaan-perusahaan di negara-negara maju.

Dalam aspek ekstraksi nilai-lebih, ditopang oleh pasar tenaga kerja yang besar dengan karakter tenaga kerja yang berketrampilan dan tingkat upah yang rendah, perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki kapasitas besar dalam mencipta nilai. Akan tetapi, nilai dari kerja justru lebih banyak ditangkap oleh perusahaan-perusahaan di negara maju yang fokus pada aktivitas kerja imaterial.

Page 78: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 78

Sebagai penyedia bahan baku, produsen komponen, pemasok barang setengah jadi, perakitan produk, dan produsen barang jadi “pesanan,” adalah status dan posisi Indonesia di dalam jejaring produksi global, yang secara efisien ditopang oleh ketersediaan tenaga kerja dalam jumlah besar dengan tingkat ketrampilan dan upah rendah.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang bergerak positif dan angka pengangguran yang terus menurun, yang selalu dijadikan sebagai prestasi bagi pemerintah selama satu dekade terakhir, pada dasarnya sangat bergantung kepada posisi Indonesia di dalam jejaring produksi global.

Bahkan dapat dicermati dengan jelas, arah dan strategi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia selama satu dekade terakhir sangat ditentukan oleh posisi di dalam jejaring.

Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai dalam proses produksi industri serta peningkatan efisiensi jaringan distribusi, adalah visi utama pembangunan ekonomi Indonesia yang terkandung secara eksplisit di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Besarnya populasi dan sumber daya manusia, sumber daya alam dan letak geografis, merupakan tiga bentuk potensi utama perekonomian Indonesia yang menopang pencapaian visi tersebut di dalam MP3EI. Semakin jelas bagaimana posisi Indonesia di dalam jejaring produksi global menjadi pijakan dan semakin dimapankan dalam kebijakan ekonomi pemerintah.

Sebagai kecenderungan pasca krisis global 2008-2009, pola jejaring produksi global mengalami konsolidasi yang signifikan. Seiring dengan penurunan daya beli masyarakat di negara-negara maju, fragmentasi aktivitas produksi semakin dipersempit ke unit-unit produksi dan wilayah di mana biaya transaksi dapat ditekan seminimal mungkin.

Sebagai konsekuensinya, perusahaan-perusahaan pemasok di negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk mengamankan posisi dan mendapatkan bagian dari pengalihan aktivitas produksi. Kondisi sosial-ekonomi dan hukum di masing-masing negara diarahkan sedemikian rupa untuk dapat menjadi lokasi yang paling efisien dan menguntungkan bagi pengalihan aktivitas produksi.

Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah baru-baru ini, dalam bentuk mendorong ekspor dan pengurangan pajak untuk ekspor pada karya, jelas merupakan strategi yang sangat ditentukan dan diabdikan untuk

Page 79: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 79

menopang gerak perekonomian Indonesia yang selaras dengan posisi di dalam jejaring produksi global.

Terkandung juga di dalam paket ini, upaya pemerintah untuk menciptakan skema pengupahan yang terstandarisasi dan pasti secara nasional. Dalam konteks jejaring, dapat dicermati bahwa kebijakan ini diarahkan untuk menjadikan biaya transaksi dari pengalihan produksi ke Indonesia dapat terverifikasi dan terukur dengan jelas.

Terlihat jelas bahwa paket kebijakan ekonomi tersebut diarahkan untuk menarik lebih banyak pengalihan aktivitas produksi dari perusahaan-perusahaan di negara lain sesuai dengan posisi Indonesia di dalam jejaring.

Terlebih, melalui prinsip pendidikan menengah universal yang sebelumnya diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di mana pendidikan diarahkan pada penciptaan subyek siap kerja dalam jumlah besar. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, melalui Perpres No. 8 Tahun 2012, di mana dunia pendidikan semakin diintegrasikan dengan kebutuhan dunia kerja. Dapat kita saksikan bagaimana tubuh individu dan masyarakat Indonesia direkayasa sedemikian rupa untuk dapat menopang kebutuhan aktivitas produksi yang selaras dengan posisi Indonesia di dalam jejaring produksi global.

Seiring dengan laju perekonomian Indonesia yang semakin mengintegrasikan diri dan memapankan posisi di dalam jejaring produksi global, kerja dan kehidupan masyarakat Indonesia semakin terjerat di dalam jejaring hiper-eksploitasi kapitalisme. Terciptalah kondisi, di mana kerja dari para buruh dan hidup masyarakat Indonesia, dapat diperas sekering-keringnya untuk mengekstraksi nilai yang dihisap secara berantai dan berlapis melalui jejaring produksi global.

RANCANGAN PENELITIAN DAN TINDAK LANJUT ANALISIS

Berpijak kepada analisis awal dari penelitian ini yang telah dijelaskan di atas, pertanyaan utama yang akan secara lebih mendalam disasar penelitian ini adalah: “Bagaimana gestur, modus, dan teknologi kekuasaan yang berjalan melalui WTO sebagai simpul politik relasi sosial produksi kapitalis dalam menata dan menata ulang kapitalisme neoliberal pasca-krisis 2008?”

Page 80: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 80

Kerangka Analisis

Sirkuit Kapital

Untuk memahami bagaimana relasi sosial produksi kapitalis dibentuk dalam konteks penataan dan penata-ulangan kapitalisme neoliberal paska krisis, pijakan analisis yang dapat dengan gamblang mengantarkan untuk melihat gestur, modus dan teknologi kekuasaan yang berjalan adalah apa yang disebut oleh Marx sebagai sirkuit kapital (circuit of capital).155 Relevansi sirkuit kapital ini bisa dilacak dengan melihat perubahan modus produksi kapitalis yang selalu mengandaikan sebiah relasi sosial produksi yang berbeda-beda dari jaman ke jaman (masyarakat sebelumnya). Relasi sosial produksi kapitalisme mengharuskan para pemilik modal untuk terus menghasilkan uang lebih banyak dalam rangka akumulasi kapital. Akumulasi kapital dalam bentuk peningkatan investasi uang dalam rangka meningkatkan produktivitas alat dan pekerja, menjadi mutlak bagi pemilik modal untuk dapat bertahan di dalam kompetisi. Jika pemilik modal tidak menginvestasikan ulang uangnya –mengakumulasikan kapital– dalam cara ini, maka mereka tidak akan dapat mendorong produksi di bawah socially necessary labor time (biaya produksi di bawah harga pasar), maka mereka akan tersingkirkan dalam kompetisi.156

“Moreover, the development of capitalist production makes it necessary constantly to increase the amount of capital laid out in a given industrial undertaking, and competition subordinates every individual capitalist to the immanent laws of capitalist production, as external and coercive laws. It compels him to keep extending his capital, so as to preserve it, and he can only extend it by means of progressive accumulation.”157

Sirkulasi kapital berjalan melalui tiga tahap, di mana kapital harus melalui tiga bentuk (uang, komoditas dan produktif) atau tahap secara berurutan untuk dapat mengalami perluasan atau peningkatan nilai.158 Tahap pertama dari sirkuit ini diawali dengan proses pertukaran di dalam pasar komoditas dan tenaga kerja, di mana pemilik modal menjadi pembeli bagi komoditas

155 Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II (London: Penguin Books in

association with New Left Review, 1992), 109. 156 Dengan kata lain, modus produksi kapitalisme berjalan secara obyektif mensyaratkan

eksploitasi dalam rangka untuk terus mendapatkan keuntungan dalam rangka akumulasi kapital. Stuart Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.”

157 Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume I (London: Penguin Books in association with New Left Review, 1976), 739.

158 Steven Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction: A Marxist Analysis of the Present World Economic Crisis,” Review of Radical Political Economics Vol. 38 No. 1 (2006): 24-44.

Page 81: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 81

dan tenaga kerja. Uang (Money/M) yang dimiliki oleh pemilik modal bertransformasi menjadi komoditas (Commodity/C) dalam bentuk sirkulasi M-C.159 Pada tahap yang kedua, sirkulasi ditandai oleh konsumsi produktif oleh pemilik modal atas komoditas yang dibeli dalam tahap sebelumnya. Dalam tahap ini, pemilik modal berperan sebagai produsen komoditas di mana kapital yang dimilikinya berjalan melalui proses produksi. Hasil dari tahap ini adalah terciptanya komoditas-komoditas baru dengan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai dari elemen-elemen yang dibutuhkan dalam proses produksinya.160 Dalam tahap yang ketiga, pemilik modal kembali lagi ke dalam proses pertukaran pasar sebagai penjual, di mana komoditas yang diproduksi bertransformasi menjadi uang, dalam bentuk sirkulasi C-M.161 Marx memformulasikan sirkuit kapital ini dalam rumusan sebagai berikut:162

Tahap M–C terjadi ketika pemilik kapital uang (M) membeli komoditas (C) dalam dua bentuk, yaitu tenaga kerja (Labour-power/L) dan alat-alat produksi (means of production/mp) melalui proses pertukaran di pasar. Keduanya kemudian bergerak ke dalam tahap kedua untuk berfungsi sebagai kapital produktif, P, di mana para pekerja masuk ke dalam tahap produksi untuk menciptakan jumlah nilai yang jauh lebih besar dengan tenaga kerja mereka dibandingkan dengan nilai yang mereka dapatkan dalam bentuk upah. Tahap ini memungkinkan pemilik modal untuk mengekstraksi sejumlah waktu kerja yang tidak dibayar dari para pekerja, yang nilainya kemudian melekat di dalam komoditas yang dihasilkan, C’, sebagai “nilai lebih” (surplus value).163 Ketiga tahap ini telah dilalui, jumlah nilai yang telah mengalami peningkatan dari komoditas dikonversi melalui penjualan di pasar dalam tahap ketiga dari sirkuit, C’–M’, menjadi sejumlah uang, M’, yang lebih besar dari sebelumnya. 164 Titik-titik di dalam formula sirkuit kapital menandai proses sirkulasi yang terinterupsi, sementara C’ dan M’ menandai peningkatan nilai dari C dan M sebagai hasil dari nilai-lebih.165 Keseluruhan proses ini kemudian diulang kembali dalam skala yang lebih besar, sehingga

159 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 109. 160 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 109. 161 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 109. 162 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 109. 163 Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 25. 164 Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 25. 165 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 109.

M–C. . .P. . .C’–M’.

Page 82: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 82

secara berkelanjutan memfasilitasi peningkatan level dari akumulasi kapital.166

Di dalam masyarakat kapitalis secara keseluruhan, sirkuit kapital mencakup seluruh kapital partikuler yang ada dan menandai kesatuan dari ketiga bentuk kapital di dalam setiap tahapannya (kapital uang, produktif dan komoditas).167 Sementara itu, masing-masing dari bentuk kapital ini juga menjalankan sirkuit individualnya sendiri dalam aktivitas finansial (M–C. . .P. . .C’–M’), industri (P. . .C’–M’–C. . .P) dan perdagangan (C’–M’–C. . .P. . .C). 168 Masing-masing dari sirkuit spesifik ini secara bersamaan muncul sebagai sebuah pergerakan terpisah dari proses produksi kapital sosial total.169

Akan tetapi, sirkuit kapital ini tidak dapat dipandang sebagai mekanisme teknis produksi yang terlepas dari berbagai bentuk relasi sosial di dalam masyarakat. Tiga bentuk kapital (kapital uang, produktif, dan komoditas) yang terkandung di dalam setiap tahap dari sirkuit ini dapat berfungsi sebagai kapital hanya dikarenakan eksistensi dari relasi dan kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat. Sirkuit kapital bukanlah sebuah mekanisme teknis produksi yang bergerak secara terisolasi dari relasi sosial masyarakat. Sirkulasi ini dapat bekerja hanya dengan mensyaratkan adanya prakondisi sosial di dalam masyarakat yang mentransformasi fungsi uang, produksi dan komoditas menjadi fungsi kapital.170

Dalam tahap pertama sirkuit misalnya, uang memiliki fungsi moneter sebagai alat pembelian dan pembayaran. Uang tidak memiliki fungsi kapital yang melekat di dalamnya. Fungsi kapital dari uang hanya dapat tercipta di dalam relasi dan kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat. Dalam pemikiran Marx, relasi kelas di dalam masyarakatlah yang menentukan relasi kapital.171 Dengan kata lain, bukanlah sifat dasar dari uang yang menentukan relasi ini, melainkan eksistensi relasi yang dapat mentransformasikan fungsi uang menjadi fungsi kapital.172 Dalam proses pertukaran tahap pertama sirkuit, di mana uang pemilik modal ditukar dengan tenaga kerja buruh, merupakan sebuah bentuk pembelian dan penjualan komoditas. Namun demikian, tanpa keberadaan dari kelompok masyarakat yang bernama buruh, maka uang tidak dapat menjalankan fungsi ini. Jika kelompok masyarakat yang bernama

166 Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 25. 167 Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 25. 168 Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 25. 169 Kettell, “Circuits of Capital and Overproduction,” 25. 170 Fungsi kapital di sini mengacu kepada kemampuan dari sesuatu untuk menciptakan

peningkatan nilainya sendiri. Lihat, Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 115-116. 171 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 115. 172 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 115.

Page 83: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 83

buruh terdapat di dalam masyarakat, maka uang dapat digunakan untuk membeli tenaga kerja. Akan tetapi, uang saja yang dimiliki oleh para pemilik modal bukanlah kondisi yang cukup bagi terciptanya kelas buruh. Dengan kata lain, proses pertukaran yang terjadi dalam tahap pertama (uang (M) ditukar dengan tenaga kerja (L)) bukanlah merupakan sebuah fenomena yang terisolasi, namun ditentukan oleh prakondisi sosial bagi penciptaan komoditas.173 Sirkuit kapital dalam formulasi M–C. . .P. . .C’–M’ hanya dapat berjalan dengan syarat tersedianya kelas buruh dalam jumlah yang besar di dalam masyarakat.174

Dengan demikian, produksi di dalam kapitalisme tidak hanya menciptakan komoditas dan nilai-lebih, tetapi juga mereproduksi dalam skala yang lebih besar, kelas buruh dan mentransformasikan sebagian besar dari produsen di dalam masyarakat menjadi buruh.175 Pada intinya, modus produksi kapitalis yang bekerja melalui sirkuit kapital ini mensyaratkan relasi sosial dalam berbagai bentuk di dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dinyatakan Marx sebelumnya, produksi hanya terjadi di dalam relasi sosial, di dalam hubungan sosial antar manusia dengan alam.176 Produksi bukanlah suatu aktivitas manusia yang sifatnya terisolasi satu sama lain. Pada titik ini dapat dicermati karakter spesifik dari relasi sosial produksi kapitalisme seiring dengan karakter dari kapital yang sifatnya bergerak dan dinamis, bukan sebagai struktur yang statis.177 Relasi sosial di dalam kapitalisme mengalami perubahan karakter dalam hubungannya dengan sirkuit kapital. 178 Sejak bekerjanya sirkuit kapital yang mensyaratkan relasi dan kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat, relasi sosial produksi kapitalis berjalan secara dialektis dan mewujud ke dalam berbagai bentuk relasi, mulai dari relasi ekonomi, hukum sampai kepada politik.179 Relasi kelas antagonistik di dalam kapitalisme selalu bermanifestasi ke dalam bentuk ekonomi, politik dan hukum untuk menciptakan kondisi yang disyaratkan bagi bekerjanya sirkuit kapital.180

173 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 116. 174 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 118. 175 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 118. 176 Marx, Wage-Labor and Capital & Value, 28. 177 Peter Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” Capital & Class No.

75 (2001): 103-112. 178 Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 105. 179 Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 105. 180 Tentu saja pandangan ini berbeda dengan pandangan deterministik terhadap relasi basis dan

suprastruktur dalam pola ekonomisme monokausal yang mendudukkan relasi sosial produksi kapitalis dalam bentuk relasi ekonomi teknis, di mana relasi politik dan hukum tunduk pada relasi teknis produksi. Burnham, “Marx, international political economy and globalization,” 105.

Page 84: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 84

Diletakkan dalam formula sirkuit kapital, eksploitasi di dalam relasi sosial produksi kapitalisme tidak dapat terjadi tanpa ditopang oleh relasi sosial, ekonomi, politik, hukum dan bentuk relasi lainnya yang berada di dalam masyarakat. Secara mendasar, eksploitasi di dalam relasi sosial produksi terjadi dalam bentuk ekstraksi nilai-lebih dari kerja para buruh oleh pemilik modal. Dalam rangka ekstraksi nilai-lebih inilah relasi sosial di dalam masyarakat menjadi syarat bagi terciptanya fungsi kapital di dalam setiap tahap dari sirkuit. Tanpa ditopang oleh relasi dan kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat, maka sirkuit kapital tidak dapat mengekstrak nilai-lebih kerja dari buruh dan tidak dapat terus bergerak secara sirkuler dan akumulatif.

Secara teknis dalam modus produksi kapitalis, eksploitasi tidak dapat dilepaskan dari penciptaan nilai-lebih dari kerja para buruh. Nilai-lebih tercipta di dalam proses produksi melalui valorisasi nilai dari kapital awal (C), di mana nilai dari produk melampaui nilai dari elemen yang dibutuhkan untuk menciptakannya.181 Di dalam Capital Volume I, Marx menjelaskan bahwa kapital C terbentuk dari dua komponen, yaitu sejumlah uang (c) yang dihabiskan untuk membeli alat-alat produksi (means of production), dan sejumlah uang lainnya (v) yang dihabiskan untuk membeli tenaga-kerja (labour-power); c mengacu kepada porsi nilai yang beralih menjadi kapital konstan dan v menjadi variabel kapital.182 Pada tahap awal produksi proses ini berjalan melalui formulasi, C = c + v.183 Sebagai contoh, jika kapital awal adalah Rp. 500.000, maka komponen dari kapital awal ini adalah Rp. 500.000 = Rp. 410.000 kapital konstan + Rp. 90.000 kapital variabel. Ketika proses produksi selesai, dihasilkan komoditas yang nilainya = (c + v) + s, di mana s adalah nilai-lebih (surplus-value). 184 Mengacu kepada perhitungan sebelumnya, setelah proses produksi selesai, nilai komoditas menjadi (Rp. 410.000 kapital konstan + Rp. 90.000 kapital variabel) + Rp. 90.000 nilai lebih. Dengan demikian, kapital awal telah mengalami perubahan dari C menjadi C’, dari Rp. 500.000 menjadi Rp. 590.000. Perbedaan utama terletak pada s, yaitu nilai-lebih sebesar Rp. 90.000.185

Jika eksploitasi di dalam relasi sosial produksi kapitalis terletak pada nilai-lebih, pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah bagaimana relasi sosial produksi kapitalis ini dapat menciptakan nilai-lebih? Bagaimana

181 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume I, 320. 182 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume I, 320. 183 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume I, 320. 184 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume I, 320. 185 Didasarkan pada contoh perhitungan Marx dalam, Marx, Capital: A Critique of Political

Economy Volume I, 320.

Page 85: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 85

pemilik modal dapat menghasilkan uang yang lebih banyak dibandingkan dengan pada saat awal proses produksi? Proses ini dapat dicermati dari kondisi buruh di dalam kapitalisme, di mana kemampuan buruh untuk bekerja telah menjadi komoditas,186 yakni menjadi sesuatu yang dijual atau dipertukarkan.187 Marx membedakan antara “kerja” (labor) dan “tenaga kerja” (labor power) untuk dapat mencermati konsekuensi dari transformasi kerja menjadi komoditas ini di dalam relasi sosial produksi kapitalisme. Tenaga kerja adalah apa yang dijual oleh buruh kepada pemilik modal, yaitu kemampuan yang dimiliki untuk bekerja. 188 Kerja adalah pekerjaan sesungguhnya yang dilakukan oleh buruh di dalam pekerjaan mereka, yakni jumlah waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial (socially necessary labor time) yang dilakukan oleh buruh, nilai dari barang yang dihasilkan.189 Sehingga, untuk menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan dengan yang sebelumnya dihabiskan dalam proses produksi, pemilik modal berupaya untuk membayar sekecil mungkin tenaga kerja buruh, dan memaksimalkan kerja buruh dengan mengintensifkan dan mempercepat kerja atau dengan memperpanjang waktu kerja misalnya.190 Dalam sehari waktu kerja, jika seorang buruh melakukan kegiatan produksi yang setara dengan nilai gaji atau upahnya adalah empat jam, maka sisa waktu kerjanya dalam satu hari adalah “kerja gratis” alias tidak dibayar.191 Dengan kata lain, buruh dapat menghasilkan nilai yang lebih besar dari apa yang mereka dapat, dan para pemilik modal mendapatkan kelebihan nilai kerja yang tidak dibayar tersebut.192 Dengan cara inilah eksploitasi terjadi di dalam kapitalisme, yaitu melalui ekstraksi kerja ekstra atau nilai-lebih.193

Secara lebih spesifik, eksploitasi pekerja dapat dicermati berdasarkan rasio antara nilai-lebih (surplus-value) dengan nilai yang dibutuhkan (necessary value), di mana perbedaan rasio menjadi indikator bagi perbedaan derajat eksploitasi. 194 Lebih rinci, derajat eksploitasi tenaga kerja dapat dihitung melalui tingkat nilai lebih dalam bentuk proporsi antara nilai lebih/produk,

186 Kondisi ini tidak akan tercipta jika tidak terjadi transformasi relasi sosial di dalam masyarakat

yang menjadi syarat bagi berjalannya sirkuit kapital. 187 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” 188 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” Proses pertukaran ini terjadi di dalam tahap

pertama sirkuit kapital M–C (L + mp). M–L dari sisi pemilik modal adalah pembelian tenaga kerja; sementara dari sisi buruh hal ini merupakan penjualan tenaga kerja. Buruh uang yang didapat dari penjualan ini (dalam bentuk upah/gaji) untuk memenuhi kebutuhan, untuk mengkonsumsi komoditas (L–M–C). Lihat, Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 112-113.

189 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” 190 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” 191 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” 192 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” 193 Easterling, “Marx’s theory of economic crisis.” 194 Milan Zafirovski, “ Measuring and Making Sense of Labor Exploitation in Contemporary

Society: A Comparative Analysis,” Review of Radical Political Economics Vol. 35 No. 4 (2003): 462-484.

Page 86: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 86

sebagai nilai lebih yang termaterialisasi (atau kelebihan waktu kerja), dan nilai yang dibutuhkan/produk, sebagai kerja yang dibutuhkan yang termaterialisasikan bagi para pekerja (misalnya, untuk mereproduksi tenaga kerja).195 Menurut Marx, tingkat nilai lebih merupakan sebuah wujud nyata dari derajat eksploitasi tenaga kerja oleh kapital.196

Tingkat eksploitasi kerja (Rate of Labor Exploitation (E)) dapat dipahami melalui formula berikut:

S/V = (Va – V)/V

S mengacu kepada uang yang setara dengan nilai lebih/produk, V adalah kapital variabel yang diinvestasikan atau gaji/upah yang dibayarkan kepada buruh produktif,197 dan Va merupakan nilai tambah yang diciptakan melalui kerja buruh.198 Dengan demikian, eksploitasi terhadap buruh terjadi dalam suatu proses di mana nilai tambah/lebih (Va) yang diciptakan atau dihasilkan oleh buruh tidak dibayar dengan setimpal. 199 Buruh hanya mendapatkan nilai kerja (V) yang setara dengan nilai waktu yang dibutuhkan secara sosial dibutuhkan untuk menciptakan produk tersebut atau nilai (biaya untuk reproduksi, pemenuhan kebutuhan untuk keberlangsungan kerja) tenaga kerja mereka. Sementara itu, nilai lebih dari kerja mereka (S) dinikmati oleh kelompok lain, termasuk pemilik modal (dalam bentuk keuntungan/profit), pemberi pinjaman (bunga), pemilik lahan (sewa), pekerja tidak produktid (gaji), pemerintah (pajak), dan lain sebagainya.200 Di dalam kerangka berpikir Marxian, rasio keuntungan dengan kapital total (upah atau kapital variabel ditambah segala bentuk biaya produksi atau kapital konstan) menjadi apa yang disebut sebagai keuntungan (profit), dan Marx dengan jelas membedakannya (keuntungan) dengan derajat eksploitasi atau tingkat nilai-lebih. 201 Tingkat nilai-lebih dapat secara jelas dibedakan dengan rasio

195 Zafirovski, “ Measuring and Making Sense of Labor Exploitation in Contemporary Society,”

463. 196 Marx, Capital: A Critique of Political Economy Volume II, 112-113. 197 Yang dimaksud dengan buruh produktif di sini adalah kelompok pekerja yang terlibat dalam

aktivitas produksi komoditas. 198 A. Shaikh & A. Tonak, Measuring the wealth of nations (Cambridge: Cambridge University

Press, 1994), 323. 199 Tidak setimpal dan tidak akan pernah setimpal, dikarenakan relasi sosial produksi kapitalis

tidak akan bisa berjalan tanpa didasarkan pada ekstraksi nilai lebih. 200 Zafirovski, “ Measuring and Making Sense of Labor Exploitation in Contemporary Society,”

463. 201 Zafirovski, “ Measuring and Making Sense of Labor Exploitation in Contemporary Society,”

463.

Page 87: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 87

keuntungan berbanding upah, di mana total nilai-lebih (S) dari kerja buruh lebih besar ketimbang total keuntungan. 202 Nilai lebih mencakup, selain keuntungan yang diperoleh oleh pemilik modal, juga bentuk-bentuk pendapatan lain seperti bunga yang diperoleh oleh pemberi pinjaman, uang sewa yang didapatkan oleh pemilik lahan, dan gaji yang dibayarkan kepada pekerja tidak produktif (unproductive labor) seperti tentara, polisi, pemerintah, birokrasi, jasa keuangan dan hukum.203

Nilai-lebih dari kerja buruh yang tidak hanya terserap dalam bentuk keuntungan bagi pemilik modal, namun juga ke dalam bentuk pendapatan kelompok masyarakat lainnya, semakin memperlihatkan bagaimana relasi sosial produksi kapitalis yang berjalan secara sirkuler melalui sirkuit kapital mensyaratkan relasi dan kondisi sosial tertentu yang terdapat di dalam masyarakat. Hal ini juga semakin menegaskan bagaimana relasi sosial di dalam kapitalisme berjalan secara dialektis dan mewujud ke dalam rupa-rupa bentuk relasi, mulai dari ekonomi, politik sampai hukum. Semakin jelas bagaimana totalitas relasi sosial produksi ini mewujud ke dalam sistem kehidupan masyarakat secara total.

Pemahaman mengenai relasi sosial produksi kapitalis ini memiliki beberapa konsekuensi analisis terhadap permasalahan outsourcing. Pertama, relasi sosial produksi kapitalis berjalan secara dinamis melalui proses sirkulasi sirkuit kapital. Kapital eksis dalam kondisi yang bergerak, bukan sebagai struktur statis yang membentuk masyarakat. Sebagai konsekuensinya, berbagai permasalahan di dalam kapitalisme harus diletakkan dalam dinamika dari relasi sosial produksinya. Kedua, sirkuit kapital yang dinamis, berjalan secara dialektis dan mensyaratkan relasi dan kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat. Setiap bentuk dari kapital (uang, produksi dan komoditas) tidak dapat memiliki fungsi kapital tanpa ditopang oleh relasi sosial tertentu yang telah ada di dalam masyarakat. Implikasinya, relasi sosial produksi kapitalis tidak dapat dianalisis secara terisolasi dari relasi sosial yang terkandung di dalam masyarakat. Ketiga, seiring dengan dialektika relasi sosial produksi, kapitalisme tidak hanya memproduksi komoditas, namun juga relasi sosial yang menjadi syarat bagi beroperasinya sirkuit kapital. Sehingga, rupa-rupa wujud relasi sosial (ekonomi, sosial, politik, hukum) yang secara dialektis berelasi dengan sirkuit kapital harus menjadi sasaran analisis untuk dapat membongkar modus eksploitasi di dalam kapitalisme. Keempat, eksploitasi paling mendasar di dalam relasi sosial

202 Zafirovski, “ Measuring and Making Sense of Labor Exploitation in Contemporary Society,” 463.

203 Zafirovski, “ Measuring and Making Sense of Labor Exploitation in Contemporary Society,” 463.

Page 88: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 88

produksi kapitalis bermanifestasi dalam ekstraksi nilai-lebih. Eksploitasi yang melekat di dalam sirkuit kapital tidak dapat berjalan tanpa ditopang oleh relasi sosial yang menopang fungsi kapital. Untuk itu, analisis terhadap eksploitasi di dalam kapitalisme harus diletakkan dalam konteks relasi dialektis antara dinamika internal dan eksternal produksi kapitalis.

Biopolitik/Biopower

Mengacu pada latar belakang dari permasalahan yang diproblemetisasi dalam penelitian ini, maka menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana tatanan kepemerintahan neoliberal yang ingin dibentuk melalui WTO dengan negara sebagai simpul politik atas relasi sosial yang berjalan. Terdapat beragam ulasan kritis terhadap neoliberalisme sebagai sebuah tata kepemerintahan, mulai dari Antonio Negri, Christian Laval, David Harvey, Maurizio Lazzarato dan Wendy Brown. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pemahaman terhadap neoliberalisme yang berlandaskan pada pemikiran Michel Foucault, di mana analisis terhadap konsepsi pemerintahan yang mendalam terkandung di dalamnya. Analisis Foucault terhadap neoliberalisme tidak dapat dilepaskan dari upayanya dalam memahami cara kerja dari kekuasaan (the how of power),204 yang kemudian dituangkan ke dalam medan analisis mengenai biopolitik/biopower.

Secara keseluruhan, terdapat tiga cara yang berbeda di mana Foucault menuangkan pemikirannya mengenai biopolitik. 205 Pertama, konsepsi biopolitik tidak terlepas dari upaya Foucault untuk menciptakan delimitasi analitis dan historis terhadap beragam mekanisme kekuasaan. 206 Dalam bingkai analisis ini, biopolitik/biopower mengacu kepada suatu reartikulasi dari kuasa berdaulat (sovereign power). Kuasa berdaulat dalam pandangan Foucault berbeda dengan biopower. Kuasa berdaulat dicirikan oleh relasi kuasa yang bekerja dalam bentuk deduksi, berjalan melalui sentralitas kekuasaan yang dapat merampas hidup dari subyek kekuasaan. Sebaliknya,

204 Michel Foucault, “Afterword: The Subject and Power,” dalam Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics Second Edition (Chicago: The University of Chicago University Press, 1983), 208-217.

205 Secara umum, biopolitik mengacu kepada pandangan dan pemahaman terhadap hubungan antara kehidupan (bio/life) dengan politik. Terdapat dua posisi pandangan terhadap relasi di antara hidup dan politik. Pandangan pertama, yang disebut sebagai naturalis, memandang kehidupan berada di atas politik, mengarahkan dan menjadi landasan bagi nalar dan tindakan politik. Sementara pandangan yang kedua, politisis, lebih menekankan politik yang berada di atas hidup, di mana hidup menjadi obyek dari politik. Di antara dua posisi pandangan ini, Foucault mengembangkan konsepsi biopolitik yang keluar dari kedua poros tersebut. Foucault menekankan analisis biopolitik sebagai sebuah bentuk modern yang spesifik dari penerapan kekuasaan (the exercise of power). Lihat, Thomas Lemke, Biopolitics: An Advanced Introduction, trans. by Eric Frederick Trump (New York and London: New York University Press, 2011), 4, 33.

206 Lemke, Biopolitics, 34.

Page 89: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 89

biopower memiliki partikularitas tersendiri yang berbeda dengan kuasa berdaulat, di mana kekuasaan justru mendorong dan memajukan kehidupan atau mencegah kematian. 207 Sementara, kuasa berdaulat berjalan melalui mekanisme perampasan kehidupan atau pembiaran kehidupan, “hak atas hidup dan mati.” Biopower sebagai bentuk kekuasaan atas kehidupan, terwujud ke dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu pendisipilinan tubuh manusia dan kontrol regulatoris terhadap populasi.208

Kedua, konsepsi ini mengacu kepada sentralitas mekanisme biopolitik yang berlaku di dalam era kebangkitan rasisme modern.209 Dalam bingkai ini, Foucault meletakkan biopolitik sebagai “benteng biologis bagi modernitas,” di mana kekuasaan berjalan atas dasar pemisahan mengenai siapa harus hidup dan siapa yang harus mati.210 Pada titik inilah masyarakat diposisikan sebagai suatu kesatuan biologis yang menuntut adanya suatu otoritas sentral yang mengontrol dan mengaturnya, menjaga kemurniannya, dan membasmi “musuh” baik di dalam ataupun di luar batas dari masyarakat tersebut.211 Dalam proses transisi kekuasaan inilah, negara modern (modern state) lahir dan mendapatkan landasan legitimasinya.212

Makna ketiga dari konsep ini mengacu kepada suatu seni tertentu di dalam pemerintahan yang secara historis muncul seiring dengan berkembangnya bentuk liberal dari regulasi sosial dan pengaturan-diri secara individual.213 Dalam pemaknaan biopolitik/biopower yang ketiga inilah dapat dicermati analisis Foucault mengenai neoliberalisme sebagai sebuah bentuk seni pemerintahan yang berjalan dengan modus dan teknologi yang berbeda, di mana produksi sosial subyektifitas menjadi sentral di dalamnya. Foucault tidak mendudukkan liberalisme sebagai sebuah teori ekonomi atau ideologi politik, namun lebih sebagai suatu seni tertentu di dalam memerintah dan mengatur umat manusia.214 Penekanan Foucault dalam analisis terhadap seni pemerintahan ini lebih kepada pembongkaran terhadap proses dan teknologi di mana pengetahuan dan rasionalitas dijadikan sebagai landasan bagi pemerintahan. Liberalisme sebagai sebuah seni pemerintahan berlandaskan pada rasionalitas yang berbeda dengan konsep dominasi pada abad pertengahan dan landasan nalar negara modern pada tahap awal

207 Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lectures at the College de France, 1975-76 (New York: Picador, 2003), 241.

208 Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction (New York: Vintage Books, 1980), 139.

209 Lemke, Biopolitics, 34. 210 Foucault, The History of Sexuality, 143. Foucault, Society Must Be Defended, 254. 211 Lemke, Biopolitics, 42. 212 Lemke, Biopolitics, 42. 213 Lemke, Biopolitics, 34. 214 Lemke, Biopolitics, 45.

Page 90: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 90

kemunculannya. 215 Seni pemerintahan liberal menjadikan sifat alami dari masyarakat sebagai landasan dan batasan bagi praktik pemerintahan.216

Seni pemerintahan yang berlandaskan pada “kealamiahan” kehidupan ini secara historis tidak dapat dilepaskan dari kemunculan ekonomi politik sebagai sebuah bentuk pengetahuan tersendiri pada abad ke-18. Ekonomi politik melahirkan landasan pengetahuan baru bagi pengaturan ekonomi yang menggantikan prinsip merkantilis dan kameralis dengan gagasan mengenai mekanisme pasar yang memiliki regulasi spontan dan otonom berbasis pada kealamiahan harga.217 Berpijak pada pemikiran ekonom klasik di abad ke-18, lahirlah keyakinan bahwa terdapat kondisi alamiah yang tidak dapat terlepas dari praktik pemerintahan dan pemerintahan harus menghargai kondisi dan bekerjanya kondisi alamiah ini. Praktik pemerintahan pun harus sejalan dengan hukum-hukum alamiah ini. Prinsip pemerintahan pun bergeser dari kesesuaian eksternal menjadi regulasi internal. Justifikasi “kebenaran” dan limitasi internal atas subyek, obyek dan praktik pemerintahan menjadi landasan bagi bekerjanya kekuasaan.218 Seni pemerintahan sejak pertengahan abad ke-18 tidak lagi berupaya untuk memaksimalkan kekuasaan negara, namun beroperasi melalui suatu “pengaturan ekonomi” yang berjalan atas dasar produksi pengetahuan yang menjadikan segala bentuk praktik pemerintahan sebagai rasional dan alamiah.

Dengan demikian, biopolitik/biopower menjadi inti dari seni pemerintahan liberal sebagai sebuah paradigma kekuasaan baru. Biopower merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial dari sisi dalam (interior), di mana kekuasaan bekerja dengan mengikuti, menginterpretasikan, menyerap, dan mereartikulasikan kehidupan sosial.219 Dalam cara ini, kekuasaan dapat memiliki komando efektif terhadap keseluruhan hidup dari populasi dengan menjadi integral dan menjadi fungsi vital dari kehidupan di mana setiap individu memilikinya dan mereaktivasinya dalam cara masing-masing.220 Kehidupan pun telah menjadi sebuah obyek kekuasaan.221 Fungsi tertinggi dari kekuasaan ini adalah untuk terus-menerus berinvestasi ke dalam kehidupan, dan tugas utamanya adalah

215 Lemke, Biopolitics, 45. 216 Lemke, Biopolitics, 45. 217 Lemke, Biopolitics, 46. 218 Lemke, Biopolitics, 46. 219 Michael Hardt & Antonio Negri, Empire (London & Cambridge: Harvard University Press,

2000), 23-24. 220 Michael Hardt & Antonio Negri, Empire, 24. 221 Michel Foucault, “Les mailles du puvoir,” dalam Dits et ecrits (Paris: Gallimard, 1994), 194.

Sebagaimana dikutip oleh Michael Hardt & Antonio Negri, Empire, 24.

Page 91: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 91

untuk menata kehidupan, di mana inti dari kekuasaan berjalan melalui produksi dan reproduksi kehidupan.222

Di dalam sebuah seni pemerintahan yang berjalan atas dasar kealamiahan kehidupan, produksi pengetahuan tentang “yang alamiah” dari kehidupan manusia dan masyarakat menjadi teknologi utama dalam menciptakan landasan rasional dari subyek, obyek dan praktik pemerintahan. Kebenaran dan subyek dicipta, sehingga kekuasaan beroperasi secara internal di dalam tubuh manusia dan masyarakat. Melalui modus inilah, di dalam seni pemerintahan neoliberal, pemerintahan dapat berjalan tanpa memerintah. Kekuasaan justru berjalan atas dasar kebebasan, di mana subyek kekuasaan memiliki kebebasan di dalam bertindak. Kerangka analisis Foucault mengenai rezim kekuasaan/pengetahuan (power/knowledge) dan diskursus menjadi sangat penting untuk dapat membongkar dan memahami cara kerja kekuasaan di dalam era neoliberal ini. Terutama dalam rangka membongkar proses rasionalisasi kekuasaan dan pemerintahan dalam produksi kebenaran dan subyek.

Subyek yang dicipta dalam neoliberalisme sebagai sebuah rezim kebenaran dapat ditelusuri dengan mencermati perbedaannya dengan subyektifikasi yang berlaku di dalam liberalisme klasik. Foucault mencermati bahwa perbedaan di antara keduanya terletak pada perbedaan cara dalam fokus penekanan dari aktivitas ekonomi. 223 Liberalisme klasik fokus pada pertukaran (exchange), sebagaimana Adam Smith memandang kecenderungan umat manusia untuk “barter, truck, and exchange.” 224 Penekanan ini menaturalisasikan pasar sebagai sebuah sistem dengan rasionalitasnya sendiri, kepentingannya sendiri, dan efisiensi spesifiknya sendiri, khususnya efisiensi pasar sebagai mekanisme distribusi barang dan jasa.225 Foucault menekankan dalam analisisnya pada cara di mana pasar telah menjadi lebih sekedar sebuah institusi atau praktik spesifik, namun telah menjadi basis bagi suatu reinterpretasi dan kritik terhadap kekuasaan negara.226 Liberalisme klasik menjadi pertukaran sebagai matriks umum bagi masyarakat dan menciptakan sebuah homologi, di mana hubungan di dalam pasar dapat dipahami sebagai sebuah pertukaran atas kebebasan tertentu dengan serangkaian hak dan kebebasan lain.227

“The combination of the savage and exchange is, I think, basic to juridical

222 Michael Hardt & Antonio Negri, Empire, 24. 223 Read, “A Genealogy of Homo-Economicus,” 27. 224 Read, “A Genealogy of Homo-Economicus,” 27. 225 Read, “A Genealogy of Homo-Economicus,” 27. 226 Read, “A Genealogy of Homo-Economicus,” 27. 227 Foucault, Society Must Be Defended, 194.

Page 92: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 92

thought, and not only to eighteenth century theories of right—we constantly find the savage exchange couple from the eighteenth century theory of right to the anthropology of the nineteenth and twentieth centuries. In both the juridical thought of the eighteenth century and the anthropology of the nineteenth and twentieth centuries the savage is essentially a man who exchanges.”228

Metode Analisis

Metode Analisis Diskursus

Diskursus merupakan gagasan dari Foucault yang merupakan paraktek yang secara sistematis membentuk objek yang dibicarakannya, juga menciptakan kebenaran dari sesuatu yang dibicarakan atau diperbuat olehnya. Kebenaran lebih bisa diterima dari posisi yang berkuasa, dan kekuasaan juga dapat membentuk pengetahuan. 229 Sehingga Foucault menyatakan bahwa diskursus berhubungan dengan relasi kekuasaan. Dimana dalam relasi kekuasaan, ia mengembangakan gagasan bahwa kekuasaan memproduksi pengetahuan, karena masyarakat selalu terorganisir atas dasar hirarki dan ketidaksetaraan, maka pengetahuan tidak dapat diterima begitu saja sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan dan tidak memihak. Pengetahuan yang selalu mencerminkan relasi kekuasaan tersebut menyangkut aspek kehidupan sehari-hari, seperti sosial, budaya, politik, ataupun lingkungan, sehingga kita tidak pernah terbebas darinya.

Diskursus menghasilkan peraturan dan struktur yang tidak tertulis, yang kemudian memproduksi ungkapan dan pernyataan. Pernyataan tersebut dilahirkan oleh kelompok individual, atau merupakan praktik yang diatur untuk menghailkan sebuah pernyataan. Sehingga tidak menciptakan bahasa dalam pengertian yang sempit, tetapi suatu sistem simbolik dan bentuk praktik sosial apapun di dalam suatu sistem. Analisis Foucault adalah melihat bagaimana diskursus mengatur setiap aspek dalam masyarakat, dan merupakan sistem yang mengatur bagaimana kita melihat realita.230

Salah satu konsep diskursus adalah discursive formation 231 yang mendeskripsikan komunikasi regular berupa terulis dan terbilang, yang menghasilkan sebuah diskursus. Foucault menerapkan hal ini pada analisis terhadap pengetahuan, seperti ekonomi politik dan sejarah. Discursive

228 Foucault, Society Must Be Defended, 194. 229 Felipe Krause Dornelles, Postmodernism and IR: From Disparate Critiques to a Coherent Theory of

Global Politics, (England: Global Politics Network, 2002), hlm. 14 230Sara Mills, “Michel Foucault”, (London: Routledge, 2003), hlm. 57. 231Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, (London: Routledge, 2002), hlm. 16

Page 93: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 93

formation digunakan untuk menganalisa pidato dan atau percakapan yang membawa dinamika dan pengaturan untuk memerintah situasi sosial tertentu. Dengan konsep ini pun, kita dapat membedakan mana yang discursive atau pengetahuan/ide yang diciptakan oleh diskursus dan non-discursive atau yang nyata. Pengetahuan sebagai ide dihasilkan melalui suatu kebijakan dalam dalil tertentu yang menjadi sebuah logika dari bentuk ide tersebut. Ide diekspresikan dan berada dalam bahasa, dimana ide tersebut terus diproduksi agar dapat dan terus diterima, sehingga menjadi sebuah tradisi. Pengetahuan pada akhirnya merupakan sekumpulan ide yang menjadikan pengetahuan tersebut dijustifikasi.

Konsep diskursus lainnya adalah aparatus, yang merupakan sistem dari relasi yang terjadi antara diskursus, institusi, pengaturan kebijakan, hukum, pernyataan keilmuan filosofis, dan moral. Pada waktu tertentu, aparatus merupakan program dari suatu institusi, dan pada waktu yang lainnya dapat menjadi alat justifikasi dan membuka ranah baru sebuah rasionalitas. Aparatus terdapat dalam institusi expert yang memiliki kekuatan untuk dapat menghasilkan dan mengkondisikan pengetahuan yang berhubungan dengan aparatus tersebut.232

Dengan menggunakan metode analisis diskursus, pertama penelitian ini akan melihat formasi diskursus yang terjadi dalam peran negara di WTO. Yaitu berupa klaim kebenaran yang muncul akibat suatu pembentukan kondisi yang dianggap normal dan dihasrati yang dimungkinkan oleh WTO. Kemudian basis moral, yaitu menganalsis subjek yang mengeluarkan klaim tersebut yaitu WTO sendiri, atau beberapa Negara yang ada didalamnya, serta melihat nilai universal apa yang digunakan olehnya. Dan terdapat koherensi narasi, dimana pada hal ini akan merelasikan sub-klaim satu dengan sub-klaim yang lainnya.

Kedua, dengan mencoba menelusuri mekanisme eksklusi yang terjadi, hal ini dapat dilihat melalui gaya bahasa sosiolinguistik yang digunakan atau yang tertuang dalam berbagai konferensi WTO, yang memungkinkan terjadinya teknologi kepemerintahan negara. Seperti melihat diksi yang ada, dengan mengindikasi kata-kata asosiatif apa yang dipakai oleh subjek dalam suatu teks untuk mendeskripsikan dirinya. Sehingga dengan ini kita melihat bagaimana produksi situasi dan kondisi yang terjadi, produksi tersebut berupa sebuah situasi yang akan dialami oleh subjek penerima diskursus apabila ia tidak mengikuti arahan wacana tersebut. Dalam penelitian ini,

232Michel Foucault dan Colin Gordon, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,

1972-1977, (Britain: the Harvester Press, 1980), hlm. 194.

Page 94: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 94

maka akan melihat apa yang akan atau sudah terjadi yang dialami oleh negara-negara anggota WTO, akibat tidak menjalankan perjanjian atau wacana-wacana lain yang dikeluarkan oleh WTO, baik dalam tingkat internasional atau domestik.

Ketiga, yaitu mode enunsiatif yang dilihat melalui subjek yang mengeluarkan klaim kebenaran, seperti institusi atau individu-individu, dimana dalam hal ini yaitu WTO dan atau individu-individu di dalamnya. Penelitian ini akan melihat bagaimana pengujar kebenaran tersebut memiliki pengalamannya tersendiri terkait klaim kebenaran tersebut, sehingga dapat diterima dan dihasrati. WTO sebagai institusi yang mewakili pengujar, akan dibongkar sejarahnya, demi melihat bagaimana kemudian WTO dapat menjadi institusi yang dipercaya secara penuh oleh negara dalam membawa pertumbuhan ekonomi, dan yang lebih utama adalah melihat perkembangan peran negara dalam institusi tersebut.

Keempat, efek apa yang memungkinkan terjadi akibat diskursus tersebut, seperti peraktik-praktik apa yang tercipta untuk mendukung wacana yang ada. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan negara baik kebijakan domestik ataupun luar negeri, yang dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan perdagangan yang diatur oleh WTO. kemudian juga melihat praktik diskriminasi apa yang terjadi pada negara-negara akibat tersebentuknya wacana tersebut.

Kelima, subyektifitas apa yang tejadi melalui praktek diskursif ini, hal ini dapat ditelusuri melalui gerak-gerik negara yang memanifestasikan kebijakan yang ditentukan WTO, gerak-gerik negara di dalam WTO itu sendiri. Kemudian juga dilihat dari koridor kemungkinan perilaku subjek, atau dalam hal ini adalah negara. yaitu melihat pola rutinitas apa yang dilakukan oleh negara sebagai manifestasi kongkrit dari keberadaannya sebagai suatu kebenaran. Kemudian hal-hal apa saja yang dihindari oleh negara untuk dapat menjadi benar seperti apa yang sudah didiskursuskan. Penelitian juga akan melihat konstruk subjek yang ada, dengan melihat apa yang dibayangkan oleh negara saat ia patuh pada arahan wacana yang terdapat dalam WTO. Kemudian apa yang ditakutkan oleh negara seandainya ia tidak patuh, hal ini dapat dianalisa dari rangkaian klaim kebenaran yang terdapat dalam wacana, yang apabila negara tidak melakukan serangkaian metode pencapaian terhadap kebenaran tersebut, maka negara percaya bahwa terdapat berbagai kemungkinan ia akan mendapatkan serangkaian kerugian-kerugian baik materil atau sosial.

Page 95: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 95

Metode Intertekstualitas

Penggunaan metode interkstualitas dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa elemen utama pada metode analisis diskursus ala Foucault yang telah dibahas sebelumnya. Dalam rangka membongkas modus dan gerak gerik negara dalam tatanan institusional neoliberal di dalam WTO, maka sebuah penelusuruan diskursus tidak cukup hanya berhenti pada pembongkaran wacana-wacana utama yang berkembang di dalam praktik tekonologi kepemerintahan yang berjalan dalam tatanan neoliberalisme melalui manifestasi jejaring produksi global.

Penggunaan analisis diskursus ala Foucault tidak cukup untuk menunjukkan bagaimana keterkaitan (nexus) antar diskursus yang berkembang dalam rezim perdagangan internasional dan institusi yang berjalan di atasnya. Pembongkaran diskursus utama yang berkembang di dalam rezim kepemerintahan tersebut hanya akan bisa berjalan dalam konteks yang saling meng-kondisikan satu sama lain dengan juga melihat pada pembongkaran diskursus populer dan/atau diskursus oposisi yang juga di-wacanakan seiring dengan diskursus utama.

“Intertekstualitas” dengan demikian menjadi sebuah pilihan metodologis yang cukup mumpuni untuk bisa disintesakan dengan analisis diskursus ala Foucault untuk juga melihat bukan hanya relasi logis antar sub-klaim dalam sebuah diskursus utama namun juga bagaimana pola relasi logis yang dibentuk dengan diskursus lainnya. Dengan menggunakan konsep intektekstualitas, penggunaan berbagai ragam diskursus yang diangkat oleh rezim tata kepemerintahan neoliberal melalui jangkar institusional WTO atau yang muncul sebagai eksternalitas darinya, diteorisasikan dengan menaruh perhatian khusus pada bagaimana forma naratif dan subyektif atas pengetahuan (subjective and narrative forms of knowledge) merupakan bagian dan dikemas dengan sebegitu rasional/normal dan obyektif melalui agenda-agenda pembangunan dan pasar bebas yang diusung dalam pertemuan WTO selama beberapa dekade terakhir.

Dengan mengambil landasan awal dari kaum pos-strukturalis, para penggagas dan pengguna konsep intertekstualitas mengambil pijakan metodologisnya. Satu hal yang perlu juga dipahami bahwa pendekatan postrukturalisme tidak mengkondisikan adanya sebuah teori kausatif sebagaimana relasi antara identitas dan regulasi yang membentuknya berjalan secara ‘co-constitutive’ atau performatif. 233 Para penstudi pos-strukturalis memandang bahwa bahasa sebagai hal yang terstruktur secara

233 Lene Hansen. 2006. “Security as Practice: Discourse analysis and Bosnian War”, hlm. 2

Page 96: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 96

relasional dan produktif secara ontologis sehingga ia dengan demikian memproduksi sebuah fokus analitis tentang konstruksi relasional atas identitas/subyek. Diskursus dengan demikaian digunakan untuk memperbaiki makna disekitar sebuah struktur yang tertutup namun tanpa adanya sebuah kepastian dan ketidakpastian yang absolut.234 Sifat ambiguitas bahasa sebagai yang terstruktur dan tidak stabil menunjukkan bahwa diskursus diciptakan untuk mengkonstruksikan kestabilan tersebut, yang oleh Derrida disebut sebagai “the undecidability of text”. 235 Dengan demikian, untuk membongkar gerak-gerik negara di dalam tatanan kepemerintahan neoliberal global dan identitas/subyektifitas nya di dalam jejaring produksi global, kita perlu memahami relasi di antara identitas dan regulasi yang mencoba dikonstitusikan atasnya terhubung di dalam ketergabungan proses non-kausal (non-causal process of combinability) dan oleh karenanya dibangun di dalam asumsi bahwa tujuan dari diskursus yang mencoba untuk diusung atasnya adalah untuk menciptakan tautan (link) yang stabil di antara representasi dari identitas tersebut dengan usulan rasionalitas-rasionalitas yang akan dijadikan basis legitimasi regulasi, dalam hal ini adalah fungsi kontrol regulatori dalam WTO. Mengambil dari premis ini, maka dapat disimpulkan bahwa diskursus akan menjadi kurang stabil jika artikulasi atas identitas yang dikonstruksikan adalah inkonsisten secara internal. Sebagai contoh, jika sebuah diskursus mengkonstruksi identitas negara-negara LDCs dalam konteks negosiasi WTO adalah ‘underdeveloped’ dan angka GDP-nya rendah sementara negara maju dikonstruksikan sebagai negara yang ‘developed’ dan angka GDP-nya tinggi, sementara pada waktu yang sama juga menyatakan bahwa tidak terdapat batasan yang bisa membedakan di antara negara ‘underdeveloped’ dan ‘developed’.

Penggunaan teks di dalam konsep intertekstualitas diposisikan baik secara teoretis dan metodologis signifikan dalam sebuah analisis diskursus. Ia meletakkan bagaimana teks disituasikan di dalam dan berlawanan dengan teks lainnya, yang mana mereka mengambil dari satu sama lain untuk mengkonstruksikan identitas dan regulasi mereka, dan bagaimana mereka mengapropriasi dan merevisi masa lalu, serta membangun kewenangan/otoritas dengan membaca dan mengutip dari yang lain. Intertekstualitas dengan demikian dilihat sebagai hal yang dikonstruksikan sebagai ‘a mosaic of quotations’, yang berarti merupakan penyerapan (absorption) dan transformasi dari yang lain. 236 Intertekstualitas juga bisa digunakan melalui intertekstualitas konseptual di mana artikulasi dari

234 Laclau dan Mouffe dalam Lene Hansen. 2006, hlm. 18 235 Torfing dalam Lene Hansen, 2006, hlm. 18 236 Julia Kristeva dalam Lene Hansen. 2006, hlm. 50

Page 97: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 97

konsep seperti “LDCs”, “pembangunan” dan “akses pasar” bergantung kepada referensi implisit kepada bagian yang lebih besar dari teks terdahulu tentang subyek yang sama. Ia juga bisa dimainkan melalui penggunaan catchphrases seperti jargon “equal access of market” ataupun “good governance” yang menjadi referensi umum dalam narasi tata kepemerintahan neoliberal. Sebagaimana teks membangun referensi kepada teks terdahulunya, ia tidak hanya mengkonstruksikan legitimasi bagi pembacaan-nya, namun juga secara simultan merekonstruksi dan mereproduksi status klasik dari yang terdahulu. Dengan kata lain, kedua teks berinteraksi di dalam sebuah pertukaran di mana satu teks memperoleh legitimasi dari pengkutipan kepada teks terdahulu dan teks lainnya memperoleh legitimasi karena telah dikutip oleh teks setelahnya.

Dengan melihat pada konstruksi tautan intertekstual tersebut, kita dapat memahami bahwa fokus intertekstual tidak hanya dilakukan terhadap teks mana yang akan dikutip or tautan mana yang akan dibuat oleh teks lainnya, namun juga bagaimana teks tersebut dibaca dan diinterpretasikan, dan bagaimana fakta dan pengetahuan ditarik dari satu teks ke teks yg lain dan berada di dalam sebuah diskursus yang partikular/spesifik. Untuk mengaplikasikan metode intertekstualitas dalam rancangan penelitian ini, penulis menggunakan model intertekstual yang dikembangkan oleh Lene Hansen. Hansen membedakan tiga model intertekstual di mana ketiganya melihat pada bagaimana sebuah pendekatan intertekstual menyarankan sebuah inklusi atas tubuh teks yang lebih luas.

Model intertekstualitas pertama adalah yang didasarkan pada diskursus kebijakan resmi (official policy discourse) dan terpusat pada pemimpin politis dengan kewenangan resmi to memberikan sanksi atas kebijakan negara lain serta mereka dengan peran sentral dalam mengeksekusi kebijakan terkait, sebagai contoh pejabat militer tingkat tinggi, pejabat publik senior ataupun kepala dari institusi internasional.237 Model ini mengidentifikasi bagaimana teks diproduksi oleh aktor-aktor terkait termasuk pidato, debat politik, wawancara, artikel dan buku begitupun teks yang memiliki pengaruh intertekstual terhadap diskursus terkait. Tujuan dari model ini adalah untuk melakukan investigasi secara seksama atas konstruksi identitas/subyek di dalam diskursus resmi, menganalisis bagaimana tautan intertekstual menstabilkan diskursus tersebut dan memeriksa bagaimana diskursus resmi menghadapi kritikan. Dalam konteks penelitian ini, maka teks yang akan dilihat akan difokuskan kepada pidato, wawancara, artikel dan buku resmi yang dikeluarkan oleh WTO (mis. WTO Annual Report, World Development

237 Lene Hansen, hlm. 53-54

Page 98: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 98

Reports, komunike Konferensi Ministerial WTO, pidato dan hasil wawancara dengan pejabat resmi WTO dll) dan institusi lainnya yang menyokong koherensi/stabilitas makna dari basis legitimasi diskursus yang diusung.

Model intertekstual kedua menggunakan cakupan analisis yang lebih luas melampaui diskursus resmi dan ketertautan intertekstual atasnya untuk mempertimbangkan aktor utama dan arena di dalam perdebatan kebijakan luar negeri yang lebih luas.238 Diskursus yang paling utama untuk dilihat di sini adalah diskursus dari kaum oposisi, media, dan institusi-institusi oposisional lainnya. Dengan demikian pembacaan melalui diskursis ini memungkinkan sebuah pembacaan atas hegemoni politik dan diskursif yang dari posisi kepemerintahan terkait dan oleh karenanya, menunjukkan sebuah ruang untuk manuver. Ia juga memberikan sebuah indikasi atas bagaimana kemungkinan perubahan dari sebuah diskursus resmi atau melalui penyesuaian diskursif yang dibuat oleh institusi kepemerintahan yang dimaksud atau jika terdapat perubahan di dalam rezim kepemerintahan WTO. Jika menggunakan model maka rancangan penelitian ini akan memfokuskan pada teks yang dikeluarkan oleh kaum oposisi dari rezim yang dimaksud, baik berupa pernyataan kebijakan atau diskursus tandingan yang mencoba untuk dimunculkan.

Model intertekstual terakhir lebih melebarkan cakupan analisisnya dengan memasukkan diskursus kebijakan resmi material yang tidak secara terhubung secara eksplisit (3A) atau yang memiliki perhatian atas kebijakan terkait namun hanya memperoleh status marjinal (3B). Model 3A lebih banyak menggunakan representasi dari isu-isu kebijakan/regulasi sebagaimana mereka diartikulasikan di dalam kultur “tingkat tinggi” serta “populer” dan menghubungkan mereka dengan artikulasi yang tertera dalam diskursus kebijakan resmi. Analisis dalam model ini dengan demikian mencoba untuk menginvestigasi bagaimana representasi populer mereproduksi or mengkontestasi diskursus resmi dan bagaimana representasi bergerak di antara ranah hiburan (entertainment) dan politik. Model 3B lebih memfokuskan kepada diskursus politik marjinal dan gerakan sosial, asosiasi ilegal (dari kacamata diskursus resmi), akademisi dan LSM yang bergerak mewacanakan diskursus marjinal tersebut. Sumber teks yang bisa dilihat dalam kaitannya dengan penelitian ini dengan demikian adalah dengan melakukan pembacaan terhadap koran, website, buku, pamflet dan analisis akamedis marjinal yang memposisikan diskursus dalam kontestasi yang berlawanan dengan diskursus resmi dalam rezim kepemerintahan

238 Lene Hansen, hlm. 54

Page 99: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 99

WTO. Secara umum ragam model penelitian intertestual yang digagas oleh Hansen bisa dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Model Penelitian Intertekstual

Sumber: Lene Hansen. 2006. ‘Security as practice: A Discourse analysis and Bosnian War, hlm. 57

Dengan mengambil sintesa dari kedua metode di atas maka rancangan penelitian disusun untuk memahami bagaimana diskursus yang berkembang atas upaya pelanggengan sirkuit kapital dalam tata kepemerintahan neoliberal pada konteks paska-krisis melalui kacamata institusional WTO. Pembongkaran diskursus dan pembacaan atas teks dalam dan lintas diskursus akan dilakukan untuk memahami relasi antara identitas/subyek yang ingin dikonstruksikan melalui fungsi kontrol regulatori negara yang diarahkan untuk mentransformasikan kondisi-kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat guna menjaga dan mengawal kelancaran kerja serta mereproduksi kapitalisme sebagai sirkuit kapital sosial total. Dengan

Page 100: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 100

mengacu pada kerangka analisis yang telah diuraikan sebelumnya, maka skema operasionalisasi atas penelitian ini akan melihat pada beberapa diskursus utama yang sering dimunculkan dalam perdebatan politik, pidato resmi maupun yang dikutip dan dijelaskan dalam artikel, policy-brief dan laporan resmi WTO.

Terdapat 3 diskursus yang mencoba untuk dibongkar untuk melihat bagaimana geliat negara memainkan perannya sebagai simpul politik tatanan kepemerintahan neoliberal khususnya dalam bingkai institusional WTO. Diskursus-diskursus ini dipilih berdasarkan artikulasi umum yang dikeluarkan dalam beberapa konferensi ministerial WTO sebelumnya di mana masing-masing wacana kerapkali muncul dalam agenda pertemuan (Lihat Annex 1). Ketiga diskursus tersebut antara lain: (i) Diskursus mengenai Produktivitas Industri (mengacu pada jejaring produksi global); (ii) Diskursus mengenai Food Security (mengacu pada ketentuan mengenai produk-produk pertanian) dan (iii) Diskursus mengenai Pembangunan (mengacu pada DDA dan kelanjutannya). Agenda Ministerial Conference pada paska krisis terlihat masih sangat kuat membahas tentang perluasan akses pasar dan perdagangan dalam level multilateral, perdebatan tentang ketentuan produk-produk pertanian dan wacana untuk menghidupkan kembali agenda pembangunan Doha (DDA). Masing-masing diskursus ini akan didudukan dan diletakkan dalam analisis diskursus dan intertekstualitas dengan mengambil dari sumber teks yang relevan untuk masing-masing diskursus yang dibahas. Secara lebih lengkap bagan pengorganisasian analisis diskursus terhadap masing-masing diskursus di atas adalah sebagai berikut:

Page 101: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 101

Tabel 5. Skema operasionalisasi analisis diskursif-intertekstual

RQ Working RQ Variabel Indikator Sumber teks

RQ1. Bagaimana praktik diskursif ‘Produktivitas Industri’ berjalan dalam penataan dan penataan ulang kapitalisme global yang berjalan dalam kerangka institusional WTO?

RQ2. Bagaimana praktik diskursif Food Security berjalan dalam penataan dan penataan ulang kapitalisme global yang berjalan dalam kerangka institusional WTO?

RQ3. Bagaimana praktik diskursif ‘Pembangunan’ berjalan dalam penataan dan penataan ulang kapitalisme global yang berjalan dalam kerangka institusional WTO?

Bagaimana susunan anatomi diskursus tersebut?

Bagaimana mekanisme eksklusi dalam diskursus tersebut?

Kondisi apa yang memungkinkan klaim kebenaran dalam diskursus tersebut?

Efek apa yang dimungkinkan melalui diskursus tersebut?

Subyektifitas apa yang tercipta melalui diskursus tersebut

Klaim kebenaran, Basis Moral, Koherensi Narasi

Strategi representasi (self and othering), strategi (dis)insentif

Modalitas enunsiatif Praktik yang berjalan,

Aparatus yang menyokong Kontruksi docile (tubuh

yang patuh) dan ego-ideal

Normatifitas, Sumber justifikasi, relasi logis antar sub-klaim

Gaya bahasa dan produksi/deskripsi situasi/kondisi

“Siapa” yang mengklaim dan situs apa yang diwakilinya

Praktik privilese yang berjalan dan turunan yang muncul

Koridor kemungkinan perilaku subyek dan konstruk subyek

Teks Utama/Resmi:

WTO Minisiterial Conference Communique (Agenda), WTO Annual Reports, Pidato dan Wawancara dengan Pejabat WTO (Direktur Jenderal)

Teks Perdebatan Politik yang lebih luas:

Teks dari pidato parlemen atau institusi lainnya tentang WTO, teks media yang meliput isu WTO, Kampanye Publik tentang WTO

Teks Representasi Kultural dan Marjinal:

Film, fiksi, televisi, fotografi, musik dan karya populer culture lainnya

Page 102: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 102

tentang WTO Koran, Majalah, Website

marjinal yang meliput tentang WTO dan isu terkait lainnya, analisis akademisi tentang WTO

Annex 1. Kumpulan Reviu atas Agenda WTO Ministerial Conference

TAHUN AGENDA METTING TUJUAN UTAMA KESEPAKATAN SUMBER

2005/MC6

Akses pasar : Menuntut pengurangan tarif pada barang yang masuk dinegara berkembang.

Dukungan domestik : Tuntutan akhir pembayaran langsung kepada petani untuk memproduksi barang-barang mereka. (Agriculture product)

1. Mencapai kesepakatan awal tentang liberalisasi perdagangan agriculture product dengan mengurangi subsidi, dan isu-isu yang bersangkutan. Selanjutnya, merevitalsisasi kembali keberhasilan pada pertemuan Ministerial Conference sebelumnya di Doha.

2. Untuk mengurangi hambatan perdagangan di berbagai sektor perdagangan sehingga memenuhi kebutuhan negara-negara

Eliminasi terhadap secara bertahap terhadap seluruh bentuk subsidi eksport yang nantinya di capai pada tahun 2013. Penetapan Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan, dan akses yang sama terhadap teknologi.

Perluasan kesempatan akses negara-negara berkembang untuk menuju pasar global, terutama di Uni Eropa dan

FAIR TRADE ALLIANCE (FTA), Statement on Hong

Kong’s MC6

Page 103: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 103

Subsidi ekspor : Menuntut untuk mengakhiri subsidi eksport Uni Eropa yang menekan harga di level internasional.

Menegosiasikan kembali “Tariff Reduction Programs”

Meneruskan mandate Deklarasi "MC4 di Doha", Memberikan mandat untuk negosiasi pada sejumlah isu pertanian, tentang pelaksanaan perjanjian yang harus diselesaikan pada tahun i 2005 sebagai batas waktu untuk menyelesaikan semua agenda.

berkembang. Dan intensifitas Negara-negara berkembang dalam mengedepankan perdagangan pertanian(Agriculture production).

3.Mulai menitik beratkan perhatian pada barang-barang hasil pertanian, yang sebelumnya hanya tertuju pada barang-barang manufaktur, yang didominasi oleh negara-negara Eropa yang jauh lebih menguasai dalam perdagangan global.

Amerika Utara. Menetapkan batasan kuota yang lebih besar dan minimalisasi pajak ekspor untuk produk mereka.

Mengaplikasikan DDA( Doha development agenda) yang telah dibahas pada pertemuan Minesterrial conference sebelumnya, dan penyempunaan rencangan agenda-agenda selanjutnya secara bertahap

TAHUN AGENDA MEETING TUJUAN UTAMA KESEPAKATAN SUMBER

2007/MC7 An overview of the

Page 104: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 104

Negosiasi: Mereduksi penerapan kebijakan negara mengenai proteksionisme terhadap barang yang masuk di pasaran domestik.

DDA Program: Membahas ketidakpuasan negara anggota terhadap pencapaian dari agenda DDA

Yang telah disepakati bersama pada pertemuan Minissterial conference di tahun sebelumnya.

Posisi WTO: Pengukuhan kembali terhadap peran WTO dalam merespon kemungkinan terjadinya sebuah perubahan iklim ekonomi politik internasional, dan mengcover terjadinya krisis

Menembahkan perubahan yang lebih kompetensi pada bidang insvestasi, meningkatkan peran komite kebijakan perdagangan untuk menjaga stabilisasi i tatanan ekonomi politik internasional

Melanjutkan kembali bahasan bagaimana mereka melihat perkembangan negosiasi yang terjadi di Doha pada desember lalu. Mengenai penetapan negara-negara berkembang dalam produktifitas hasil agriculture

Kembali dapat meningkatkan efektifitas dan efisesiensi dari peran WTO sebagai sebuah institusi ekonomi global, khsusnya pada perdagangan dan pembangunan, setidaknya hal ini menunjukan pentingnya peranan negara berkembang dalam progres

Menyediakan kesempatan besar kepada negara negara Emerging developing countries seperti Brazil, India, China untuk dapat berperan lebih terhadap siklus perkembangan ekonomi internasional.

Menetapkan spesialisasi dan pembatasan terhadap negara Emerging developing countries

Unutk tidak terlibat dalam putaran produksi barang agriculture dari negara berkembang non-agricultural market access (NAMA). Dan mereka harus lebih focus pada

area seperti chemical products, electronic and machinery goods.

WTO negotiations, Vol. 9, Issue no. 44, December 4, 2009 edited by Charles

Akande.

Page 105: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 105

ekonomi.

pencapaian WTO.

TAHUN AGENDA MEETING TUJUAN UTAMA KESEPAKATAN SUMBER

2011/MC8

Multilateral Trade Menfasilitasi perdagangan di level multilateral

Towards a Transatlantic Free Trade Area Memperluas area perdagangan bebas hingga mencapai negara-negara lintas

Mergulasi dan meninjau kembali isu mengena kebijkana non-tariff barriers

Menyikapi isu-isu terbaru mengenai hasil dari negosiasi-negosiasi yang ditujukan untuk negara berkembang dalam bidang seperti energy, food sucuirity, competition and investment

Kembali menetapkan prosedural mengenai standarisasi kebijakan non-tarif barriers, yang dinggap menyulitkan negara-negara berkembang untuk dapat mempermudah menembus pasar internasional.

Pemenuhan suplay kebutuhan dunia melalui

Report on the 8th Ministerial Conference

of the WTO (15-17 December 2011)

By Xavier Carim, DDG

International Trade and Economic Development

Division.

Page 106: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 106

samudra atlantik (selatan)

To discuss on how to restart the Doha Round and on what basis that concerned to Proposed new approach to advance negotiations amongst a limited number of Members (so-called plurilateral approaches);

Menemukan kembali penyelesaian atas Kebuntuan masalah yang dihadapi pada kebijakan mandat Doha development yang mengusulkan agar kemajuan ekonomi mengambil pada comitmen yang lebih baik tampa adanya konsensi timbale balik

maksimalisasi produksi dibidang energy , food secuirity, investasi langsung yang lebih diarahkan kepada pembangunan negara-negara berkembang.

Wacana Regional Trade Agreements akan ditingkatkan ditahun yang mendatang untuk setiap anggota negara yang tergabung dalam kebijakan ini, oleh karena itu pentingnya pemahaman unutk meningkatkan sistem perdagangan multilateral khususnya pada kesepakatan ini.

Sumber: hasil analisis penulis, dirangkum dari berbagai sumber (2013)

Page 107: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 107

Keuntungan Absolut: Sebuah Konstruksi akan Kebutuhan Institusi

Fragmen Hukum dan Institusi JeRK

Kapan dan bagaimana institusi internasional mampu meningkatkan kerjasama?239 Pertanyaan fundamental tersebut kembali menggelitik tatkala Indonesia menawarkan diri menjadi tuan rumah bagi pertemuan tingkat menteri kesembilan yang akan diadakan Desember 2013 mendatang. Bukan lagi menempatkan permasalahan pada tataran “salah siapa semua ini bisa terjadi?”, namun penelitian fragmen ini akan memulai titik permasalahan pada kondisi yang mengkonstruksikan entitas dalam hubungan internasional, dalam hal ini negara, mendambakan dan memilih untuk menjadi anggota WTO. Problematisasi awal mengenai hal tersebut telah cukup baik disampaikan oleh Goldstein, River, dan Tomz dengan mengajukan pertanyaan “Apa yang menjadi ekspektasi anggota dengan hanya memilih satu dari ribuan, atau kurang, perjanjian internasional yang ada? (what should one expect from thousands of other, ostensibly lesser, international agreements?)”. 240 Pertanyaan tersebut didasarkan pada realitas yang menantang pemahaman kita bahwa WTO merupakan institusi yang beau ideal dan juga paling digembar-gemborkan dalam sejarah dengan peningkatan angka keanggotaan WTO yang signifikan semenjak institusi perdagangan ini berdiri tidak menghasilkan realitas yang berbanding lurus terhadap peningkatan perdagangan para negara anggota meskipun WTO sudah melakukan pengaturan terhadap pemasukan nasional, letak geografis, dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi aliran barang antar negara.241

Goldstein, River, dan Tomz melakukan penelusuran sampai pada tataran

pembuktian bahwa GATT/WTO memang memiliki kemampuan untuk meningkatkan perdagangan dan mengidentifikasi pada siapa dan pada kurun waktu kapan perjanjian memberikan pengaruh yang kuat. 242 Juga menjelaskan tentang efek dari multiple membership dengan menggunakan konsep embeddedness untuk menjelaskan bahwa GATT/WTO terkait dengan perjanjian perdagangan lainnya.243 Namun problematisasi yang diajukan tidak menyentuh tentang bagaimana “ancaman” dipersepsikan, dan

239 Pertanyaan tersebut diajukan oleh Judith L. Goldstein, Douglas River, dan Michael Tomz dalam jurnal

“Institutions in International Relations: Understanding the Effects of GATT and the WTO on World Trade”, International Organization, Winter 61 (2007): 37.

240 Goldstein, et.al., 38. 241 Andrew K. Rose, “Do We Really Know That the WTO Increases Trade?”, American Economic Review 94, 1

(2004):98–114. 242 Goldstein, et.al., 63. 243 Goldstein, et.al., 44.

Page 108: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 108

lebih lanjut tentang bagaimana kebutuhan akan transparansi dikonstruksikan sehingga entitas merasa perlu untuk memilih opsi yang diajukan oleh suatu institusi internasional. Hal tersebut yang akan menjadi titik problematisasi awal penelitian ini.

Argumentasi paling mendasar mengenai kebutuhan akan transparansi adalah

dengan meletakkan entitas dalam WTO sebagai aktor rasional. Dibutuhkan sebuah konsep yang menawarkan standar formal repersentasi dari logik tersebut yakni konsep prisoner’s dilemma. 244 Semenjak entitas digambarkan sebagai aktor yang rasional, maka ketika mereka terjebak dalam pilihan: 245 (1) salah satu membuat pengakuan sementara yang lain tetap bungkam; (2) keduanya bungkan; (3) keduanya membuat pengakuan; (4) bungkam sementara yang lainnya memberikan kesaksian, mereka akan memilih pilihan ketiga, karena pilihan tersebut menjadi satu-satunya cara untuk mengelak dari kemungkinan yang paling buruk. Tanpa skema jaminan yang akan mengurangi risiko kerjasama, dan tanpa prosedur dalam menentukan bagaimana memisahkan keuntungan yang akan diperoleh, meski siapapun yang ingin bekerjasama bisa saja tetap berada dalam lingkaran kompetisi yang merusak. Standar formal tersebut yang kemudian dijadikan acuan sekaligus tawaran oleh institusi internasional terhadap entitas yang menjadi anggota dalam insitusi tersebut sehingga tidak akan berpikiran curang ataupun meninggalkan institusi tersebut, tidak terkecuali WTO. Kebutuhan akan institusi dan transparansi menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, mengapa?

Dalam teori rezim internasional, seperti yang dijelaskan oleh Ruggie246, maka

organisasi internasional seperti WTO tidak lain merupakan bentuk multilateralisme yang dilembagakan. Organisasi internasional tersebut merupakan bentuk akhir dari institusionalisasi, yang hanya akan mungkin terbentuk apabila agen-agen yang memiliki kepentingan yang sama menyepakati suatu kolektivitas baik itu dari tujuan, maupun aturan. Ruggie mencoba mereformulasi multilateralisme dengan menunjukkan dimensi kekhasan di mana multilateralisme bukan hanya merupakan sebuah varian dalam institusi yang mengkoordinasikan kebijakan nasional melalui sekelompok negara yang terdiri dari tiga atau lebih negara, melainkan merupakan tatanan yang mengatur tentang tata cara hubungan antar negara.247 Adapun prinsip-

244 Op.cit., 37. 245 Ibid. 246 John G. Ruggie, “International Responses to Technology: Concepts and Trends,” International Organization,

29(3) (Summer, 1975), hal. 569-70. 247 Kutipan asli sebagaimana yang dituliskan Ruggie dalam jurnalnya “Multilateralism The Anatomy of An

Institution,” International Organization, 46(3) (Summer, 1992), ” hal. 567 bahwa multilateralism is not merely that it coordinates national policies in groups of three or more states, which is something that other organizational forms also do, but that it does so on the basis of certain principles of ordering relations among those states.”

Page 109: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 109

prinsip yang mengatur tata cara hubungan antar negara dijabarkan sebagai “of ‘generalized’ principles of conduct—that is, principles which specify appropriate conduct for a class of actions, without regard to the particularistic interests of the parties or the strategic exigencies that may exist in any specific occurrence.”248

Terdapat dua konsekuensi logis dari pengunaan definisi multilateralisme milik

Ruggie yakni indivisibilitas (indivisibility) dan ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang (diffuse reciprocity). 249 Indivisibilitas merupakan keuntungan yang mutlak yang didapat oleh setiap pihak yang berpartisipasi dalam suatu rezim, di mana hal tersebut merupakan alasan mengapa setiap pihak ikut menyelenggarakan rezim dan melaksanakan kesepakatan yang dihasilkannya. Sementara ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang akan mengikuti setelah tercapainya indivisibilitas. Kedua modalitas tersebut, merupakan produk dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial adalah tentang bagaimana mengkonstruksi suatu realitas dengan bahasa, dan tentang bagaimana suatu realitas dapat dikonstruksikan dengan bahasa.250 Ruggie secara tersirat menyepakati apa yang dikatakan oleh Austin sebagaimana pernyataannya tentang keterkaitan bahasa dan rezim,

“International regimes are akin to language—we may think of them as part of ‘the language of state action’. ... international regimes not simply by some descriptive inventory of their concrete elements, but by their generative grammar, the underlying principles of order and meaning that shape the manner of their formation and transformation. Likewise, we know deviations from regimes not simply by acts that are undertaken, but by the intentionality and acceptability attributed to those acts in the context of an intersubjective framework of meaning.”251 Mari kita kembali ke problem awal mengenai inevitabilitas dari kebutuhan akan

institusi dan tranparansi, “pekerjaan rumah” yang tersisa dari problematisasi tersebut adalah bagaimana konstruksi indivisibilitas yang mampu merangkul kepentingan, ekspektasi, bahkan identitas segenap partisipan di satu sisi, dan di sisi lain meyakinkan segenap partisipan tadi bahwa partisipasi dalam rezim adalah pilihan terbaik—sekaligus yang dapat “menyelamatkan” mereka. Kondisi tersebut meletakkan negara dalam kesadaran bahwa tidak akan ada yang akan melindunginya apabila negara lain mengingkari kerjasama dan berbalik menyerang mereka. Kembali lagi pada

248 Ibid., hal. 571 249 Ibid. Konsepsi tentang ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang, dipinjam Ruggie dari

Robert O. Keohane, “Reciprocity in international relations,” International Organization, 40(1) (Winter, 1986). 250 John L. Austin, How to Do Things With Words (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1955). 251 John G. Ruggie, "International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar

Economic Order,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal. 380.

Page 110: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 110

argumentasi Grieco megenai tujuan utama setiap negara partisipan rezim, yaitu “to prevent others from achieving advances in their relative capabilities” karena menurutnya “individual wellbeing is not the key interest of states; instead, it finds that survival is their core interest.”252 Penekanan ditambahkan melalui variabel ‘survival’ yang berkaitan dengan temporalitas, dalam hal ini adalah masa depan: “States are uncertain about one another's future intentions; thus, they pay close attention to how cooperation might affect relative capabilities in the future” karena kapabilitas relatif ini “may advantage partners and thus may foster the emergence of a more powerful potential adversary.”253

Adalah governmentality yang digunakan untuk memahami bentuk power yang

membentuk bagaimana kita berperilaku, yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari praktik-praktik konstruksi. Penggunaan istilah government oleh sang Empunya teori adalah tidak lain untuk menghubungkan fungsi klasiknya sebagai bentuk dari kekuatan penuh dalam mengatur masyarakat dan proses subjektifitas. Sebagaimana dinyatakan oleh Foucault bahwa, “to govern, in this sense, is to structure the possible field of actions of others.254 Salah satu analisa kunci dalam studi mengenai governmentality adalah conduct of conduct, yang dengan demikian merupakan istilah yang berkisar dari "pengaturan diri" (governing the self) kepada "mengatur orang lain" (governing others)255. Singkatnya, governmentality adalah “the way in which one conducts people’s conduct”.256

Melalui analisa Grieco, maka dapat dipahami sebuah kondisi yang

memungkinkan negara megasumsikan dibutuhkannya sebuah institusi yang mampu untuk menjamin dan mengatur keuntungan absolut, yang karenanya “states which have many common interests should have the fewest worries that they might become embroiled in extreme conflicts in the future and, as a result, they should have the fewest concerns about relative achievements of gains arising from their common endeavors.” 257 Sederhana saja, Grieco melihat keuntungan absolut sebagai sesuatu yang dapat terus mencegah negara lain partisipan rezim bahkan untuk berpikiran curang, apalagi meninggalkan rezim dan menginvasi negara lainnya. Durabilitas tak terbatas (infinite durability) menandai dimensi mutlak bagi bayangan Grieco tentang keuntungan absolut.

252 Joseph M. Grieco, “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist Critique of the Newest Liberal

Institutionalism,” International Organization, 42(3) (Summer, 1988), hal. 498. 253 Ibid., hlm. 500 254 Foucault, 1983, hlm. 221 255 Thomas, L, Foucault, Governmentality and Critique, www.andosciasociology.net, , hal 2 256 Snellart, 2008, hlm. 388 257 Joseph M. Grieco, op.cit, hal. 504

Page 111: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 111

Kemampuan keuntungan absolut sebagaimana dimaknai oleh Grieco sebagai

sesuatu yang dapat mencegah negara lain untuk berpikiran curang atau bahkan meninggalkan rezim dan melakukan invasi terhadap negara lainnya, menyisakan sebuah pertanyaan tentang bagaimana WTO, sebagai sebuah institusi, mendapatkan legitimasi untuk menjustifikasi bahwa keuntungan absolut merupakan hal yang diperlukan?

Bergabungnya Cina menjadi anggota WTO pada tahun 2001, tidak bisa dimaknai

sebagai kejadian yang biasa saja. Mengingat secara ideologi ekonomi, antara Cina dengan negara-negara pemrakarsa utama WTO, berseberangan.

Page 112: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 112

Indonesia, Politik dan Kepentingan Geopolitik dalam Perdebatan di WTO

Fragmen Geopolitik JeRK

I. Isu Komoditas I.1 Indonesia Menghadapi Konfrontasi Kepentingan: Pertanian dan Debat Global

Perdebatan di WTO dalam aspek pertanian dan atau akses terhadap komoditas pertanian mengalami kulminasi pada Konferensi Tingkat Menteri WTO di Jenewa, Swiss, 20 – 30 Juli 2008 258 . Sebagai catatan, pada 2008 debat tentang komoditas pertanian jauh lebih menonjol dibanding tahun-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya.

Bisa jadi karena sejak Oktober 2008 dimulai domino krisis finansial utamanya berbagai institusi perbankan dan pasar modal di Amerika dan Eropa. Hal ini menyebabkan (bahkan) hingga 2013 fokus isu tiappertemuan ekonomi selevl WTO (dan forum lainnya) lebih terfokus pada isu keuangan, moneter, fiskal, dan perbankan. Wajar jika 2008 menjadi kulminasi isu pertanian. Sementara krisis subprime mortgage di Amerika sejak 2007 belum kunjung pulih di tahun berikutnya dan bahkan merembet ke Eropa (dalam konteks perkreditan properti, sejak awal 2008). Maka pada 2008, kebetulan isu pangan atau pertanian sedang amat sensitif.

Disatu sisi kebanyakan negara berkembang meyakini perlunya tawar-menawar lebih adil seiring pasokan yang surplus di negara berkembang. Disis lain karena terpukulnya aspek “papan” (rumah) utamanya Amerika yang kemudian merempbet sektor properti di Eropa (kredit macet pembeli properti), maka negara-negara Eropa dan Amerika juga memilih fokus untuk mengamankan kebijakan pangannya pada 2008.

Muncul keberhasilan kelompok negara berkembang memaksa kelompok negara maju mengikuti bentuk resiprokal tindakan. Setidaknya, keberhasilan tersebut direfleksikan dalam kuatnya kecaman pada negara maju yang dipersalahkan atas gagalnya capaian kesepakatan yang benar-benar mengikat pada konferensi Juli lalu, karena gagal memaksakan kehendak menerka ke negara berkembang. Mengapa justru saat perundingan ini tidak sukses, menjadi keberhasilan negara berkembang? Karena, draft rencana yang akan disepakati justru tetap lebih menguntungkan negara maju. Hal ini menandakan, kelompok negara berkembang saat ini “dalam satu tindakan” untuk

258 Kompas Edisi 31 Juli 2008

Page 113: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 113

memaksa, bahkan mengancam negara maju bahwa negara berkembang saat ini punya posisi yang jelas untuk memaksa negara maju mengikuti bentuk resiprokal lebih adil dalam penetapan tarif dan subsiidi. Keberhasilan negara berkembang dalam WTO akan lebih jeklas jika mengikuti dinamika konferensi tersebut.

Refleksi kekuatan negara berkembang terlihat pada kelompok G-20, 20 negara yang berkembang yang menuntut penurunan tarif impor dan subsidi pertanian di negara maju, dimana Indonesia termasuk didalamnya. Penggerak utama kelompok ini adalah Brasil, China, dan India. Kebetulan juga, 3 negara ini termasuk sebagai “New Emerging Forces” bernama BRIC’s, bersama dengan Rusia. Kapitalisasi dan pendapatan nasional serta per kapita yang meningkat pesat beberapa tahun terakhir pada BRIC’s menciptakan kekhawatiran bagi negara maju yang telah dulu mapan. Kembali pada 3 negara tadi, mereka mampu menggerakkan semangat keseluruh negara G-20 untuk memaksa negara maju menciptakan sikap yang lebih adil.

Hingga hari ketiga (Selasa, 22 Juli 2008), karena belum datangnya Duta Besar India di WTO, Ujal Singh Bhatia, serta Menteri Perdagangan dan Industri India, Kamal Nath)259, praktis hanya Celso Amorim (Menteri Luar Negeri Brasil) yang menggerakkan “penyatuan” sikap negara berkembang menolak rencana AS dan UE. Yang ditolak adalah rencana UE menurunkan tarif impor 60 persen (sebelumnya 54), dan rencana AS menurunkan subsidi (OTDS, Overall Trade Distorting Supports) pertanian menjadi 15 Miliar dollar AS (sebelumnya 16,4).

Bagi negara berkembang, rencana ini diarahkan pada resiprokal yang harus dibalas dengan resiprokal lain dari negara berkembang, dimana AS dan UE menuntut lebih diliberalisasikannya sektor pertanian di negara berkembang. Bahkan, AS meminta kekebalan hukum dari rencana WTO jika rencana ini disetujui. Bagi negara berkembang, seharusnya rencana AS dan UE tadi diarahkan sebagai resiprokal balasan setelah negara berkembang membuka pasar produk pertanian negara maju. Sederhananya, poin tambahan yang disyaratkan AS dan UE itulah hal pertama yang ditolak negara berkembang260.

Hal kedua yang ditolak adalah angka. Bagi negara berkembang, jika “poin tambahan” tadi diinginkan AS, dan rencana AS tadi diarahkan untuk mendapat resiprokal balasan negara berkembang (bukan berhenti menjadi balasan resiprokal dari AS)261, harusnya AS hanya memberi subsidi sekitar 7 Miliar dollar AS bahkan kurang,

259 Kompas Edisi 23 Juli 2008 260 Joe Jackson, The Thief at The End of The World, p 53 261 Patrick French, The World is What It Is, p65

Page 114: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 114

karena pelaku pertanian Amerika telah menikmati banyak keuntungan di sektor pertanian melalui mekanisme WTO selama ini. Bagi negara berkembang, kebijakan AS yang memproteksi besar-besaran pertanian agar harga pangan Amerika menjadi amat murah melalui subsidi hingga lebih dari 20 miliar dollar tiap tahun, menghambat surplus pangan negara berkembang ke Amerika. Padahal Amerika selalu memaksakan produksi pangannya ke negara berkembang.

Sedangkan sikap pada UE, negara berkembang menilai jika UE berpandangan sama seperti AS dalam hal resiprokal (seperti penjelasan diatas), maka seharusnya angka penurunan tarif impor menjadi 80 persen, dan juga memotong OTDS sebesar 80 persen dari angka semula. Bahkan, sikap negara berkembang ini pada UE didukung AS, karena persyaratan penurunan tarif oleh UE meminta penurunan pemotongan sensitive product. Perseteruan antar negara maju sendiri makin mengemuka saat Swiss selaku tuan rumah merasa terisolir dari beberapa pertemuan kelompok kecil negara – negara maju.

Kedatangan delegasi India pada hari keempat membantu Brasil menyatukan kekuatan negara berkembang agar memperkuat desakan keadaan yang fair trade, tidak lagi menguntungkan negara maju sepihak. Disisi lain, kedatangan India juga memacu AS dan UE untuk semakin memperkuat desakannya dalam rencana yang telah disampaikan. Kamal Nath sendiri menghargai adanya rencana dari AS dan UE yang telah disampaikan pada negara berkembang setidaknya lebih baik daripada tidak sama sekali, namun Kamal Nath mengingatkan agar negara maju lebih bersungguh-sungguh dalam penurunan tarif dan subsidi, daripada menghadapi penyatuan kekuatan negara berkembang (dimotori India dan Brasil) untuk benar-benar “memukul” negara maju.

India, Brasil, dan China juga menghadapi posisi sulit dan serba salah saat “bertarung” dalam lingkup G-6 plus 1 (bersama AS, UE, Jepang, dan Australia). Disatu sisi, delegasi ketiga negara berjuang mempertahankan hak negara berkembang yang benar – benar fokus pada isu utama bagi ketujuh negara itu , tapi disisi lain 4 negara lainnya memaksakan linkage yang berujung pada pembahasan seluruh isu perundingan di WTO, yang jelas membuat posisi tawar negara berkembang melemah. Tetapi, ketertutupan ini juga menjadi masalah bagi negara maju, seperti tadi yang diangkat Swiss, karena urgensi dari 4 negara maju di G-6 plus 1 tadi disimbolkan sebagai “kolektivitas legitimasi” negara maju. AS (Kepala Perwakilan Dagang AS, Susan Schwab selaku perwakilan utama AS) dan UE (Ketua Komisi Perdagangan UE, Peter Mandelson) juga saling berseteru, karena “keberhasilan” UE menangkap sinyal adanya “subsidi terselubung” di pihak AS dalam melindungi komoditas pertanian, tanpa mencantumkan bahwa itu merupakan subsidi.

Page 115: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 115

Perseteruan meruncing pada China – India melawan AS, yang dianggap paling

vokal terhadap kebijakan satu sama lain. AS menuding seharusnya China – India mendapat perlakuan ketat seperti negara maju dilihat pendapatan kotor nasional, dalam hal pertanian, meski dikategorikan negara berkembang. China – India balik menuding AS hanyalah negara maju yang ingin dapat perlindungan pertanian seperti negara berkembang dengan subsidi terlalu besar.

Menghadapi kebuntuan itu, UE melalui Perancis menawarkan proposal baru yang sayangnya terlalu diplomatis membahas niatan serius UE mengurangi subsidi. Disaat yang sama tiba-tiba negara berkembang yang tidak ikut dalm G-6 plus 1 tiba-tiba diberi rancangan draf yang tidak mengikutsertakan mereka dalam pembahasannya, bagi mereka kesalahan bukan pada China-India-Brasil, tapi “draf tiba-tiba” itu muncul sebagai eskalasi tetap dipaksakannya resiprokal bagi negara maju, padahal seharusnya dalam sidang ini membahas resiprokal negara maju dari tindakan negara berkembang yang telah mengalah untuk meliberalisasi pertanian262.

Konklusi yang muncul (Rabu, 30 Juli 2008), menunjukkan negara berkembang belajar dari pengalaman untuk tidak mudah ditekan negara maju263, dengan tidak hasilkan kesepakatan apapun sebelum negara maju benar-benar secara faktual menurunkan rencana subsidi dan bea secara signifikan. Bahkan kesepakatan yang ada (dalam kasus lain, Kesepakatan Pisang antara negara produsen dengan negara maju) dibatalkan. Secara sederhana, seperti yang telah disampaikan, bagi negara berkembang adalah momentum menuntut “resiprokal” negara maju setelah negara berkembang memperlihatkan fakta telah meliberalisasi pertanian secara terbatas.

Ada beberapa resiprokal yang mengemuka saat konferensi itu berlangsung. Pertama, dalam konsep Tit For Tat (TFT) dengan refleksi WTO, terjadi pada upaya UE menjembatani kebuntuan kompromi AS 264 dengan negara berkembang. Rencana sepihak UE untuk kembali turunkan subsidi dilihat dari perspektif upaya mewakili negara maju untuk memperbaiki “citra” negara maju yang selama ini terkesan “satu suara” memaksakan kepentingannya ke negara berkembang. Pada TFT, mengambil contoh sama, UE sebetulnya berharap ada resiprokal, tapi tidak memaksakan ukuran resiprokal pihak lawan (dalam hal ini negara berkembang), karena disisi lain upaya UE tidak dalam konteks berkelanjutan / ada rangkaian tindakan lainnya.

262 James A. Caporaso & David P. Levine, Teori – Teori Ekonomi Politik, p 34 263 George Ritzer, The Globalization of Nothing, p 64 264 American & The World : Debating The New Shape of International Politics, p 72

Page 116: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 116

Kedua, Graduated Reciprocation in Tension-Reduction (GRIT). Seperti TFT, GRIT

juga merupakan langkah sepihak (unilateral step), tetapi yang membedakan, GRIT menunjukkan pihak inisiator memperlihatkan berbagai tindakan berkelanjutan tanpa harus memerdulikan atau berharap apakah pihak lawan melakukan balasan (resiprok). Dalam kasus konferensi WTO terbaru, bisa dilihat dari Kesepakatan Pisang, dimana kesepakatan ini batal karena pihak negara miskin dan berkembang (produsen) maupun negara maju (konsumen) tidak ada yang bersedia melakukan tindakan berkelanjutan dalam upaya pewacanaan isu sebagai penawaran satu sama lain. Maksudnya, produsen hanya mampu sebatas peningkatan kuantitas produksi.

Terakhir, Conditional Reciprocity (CR), resiprokal yang benar-benar berasal dari tawar menawar, mendasarkan pada asumsi tindakan inisiator sangat tergantung pada kemungkinan respon pihak lawan, dan dalam tataran kesepakatan secara detil sebagai transparansi. Bentuk ini paling mengemuka dalam konferensi WTO terbaru, dimana negara berkembang (dimotori China, India, Brasil) menolak rencana yang ada jika negara maju tidak signifikan dalam akomodasi rencana.

Kemenangan negara berkembang akan semakin kuat dengan analisis tawar menawar yang dilakukan di konferensi WTO di tahun 2009. Dengan resesi global265 yang berawal dari negara maju, tidak ada alasan yang relevan bagi negara maju untuk mempertahankan subsidi besar bagi pertanian di negara maju, karena mereka juga mengalami kesulitan fiskal 266 . Tetapi, juga muncul tantangan bagi negara berkembang267, untuk mengkalkulasi ulang segala rencana mereka untuk mendesak negara maju, disisi lain pastinya akan ada tekanan keras dari negara maju untuk sesegera mungkin munculnya liberalisasi nyata di bidang pertanian negara maju sebagai bentuk harapan tambahan devisa bagi negara maju sebagai bentuk perimbangan meminimalisir dampak negatif resesi268.

Dalam kasus konferensi WTO ini, resiprokal yang ada diartikan bagaimana negara berkembang kali ini mampu memetakan posisi mereka, signifikansi posisi mereka secara relevan dari perjalanan waktu kesepakatan sebelumnya, dan capaian apa yang seharusnya didapat dari kapasitas yang mereka miliki. Hal ini karena negara berkembang termasuk Indonesia, lebih berani dalam mengemukakan kepentingan.

Kebuntuan yang ada menunjukkan bahwa negara berkembang yang sebelumnya pasif dan mudah ditekan oleh permainan isu dagang negara maju, kini mampu

265 Paul Krugman, The Return of Depression Economics & The Crisis of 2008, p 35 266 Niall Ferguson, The Ascent of Money : A Financial History of The World, p 83 267 Michael Backman, Asia Future Shock, p 65 268 Dietmar Rothermund, Great Depression, p 95

Page 117: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 117

bersikap tegas dan satu suara dalam meminta balasan yang lebih adil dari negara maju yang selama ini dianggap menikmati keuntungan dari kesepakatan yang telah berjalan di WTO sebelumnya. Juga negara berkembang semakin sadar bahwa negara maju semakin bertindak hipokrit atas kegagalan negara maju itu sendiri. Maksudnya, hancurnya pasar finansial mereka memaksa mereka menyerap dana sebanyak mungkin melalui asas liberalisasi, seperti dalam komoditas pertanian, dan disisi lain mereka melakukan proteksionisme terselubung dan tidak peduli jika negara yang lebih lemah semakin menderita asalkan mereka sendiri selamat dari resesi.

Hal ini menunjukkan adanya penilaian relatif tiap pihak memandang sampai pada posisi apa tindakannya harus direspon / diresiprok atau tidak oleh pihak lainnya sebagai bentuk resiprokal. Resiprokal menjadi parameter tiap pihak memahami permasalahan tidak dari sudut pandang pihak itu sendiri, tapi mengukur bagaimana pihak lain memandang isu yang sama, atau memperkirakan bagaimana pihak lain mengambil posisi sebagai upaya mencapai hasil kolektif dalam tawar menawar isu.

II. Isu Blateral-Geopoltik II.1 Indonesia Menghadapi Geopolitik di Asia: kebijakan bilateral dengan Jepang

Menguatnya peran regional negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur dalam perekonomian global utamanya sejak krisis finansial global 2007, tidak lepas dari keberhasilan transformasi ekonomi yang dilakukan negara-negara di kedua region diiringi keaktifan di berbagai forum internasional. Hal ini membuat negara-negara di kedua region berhasil mencatatkan kestabilan perekonomian lebih baik dibanding kondisi perekonomian berbagai negara dunia yang sempat kolaps.

Hal ini pula yang membuat berbagai negara di kedua region terdorong memperluas kerjasama, baik ekonomi, politik dan aspek lain. Ada dorongan perlu memberi prioritas dalam kebijakan luar negeri bilateral antar negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Salah satunya Jepang dengan Indonesia. Sekalipun peran China makin kuat, tapi secara perekonomian global pengaruh Jepang masih amat besar di berbagai forum ekonomi apapun. Jepang juga hingga kini masih menjadi perekonomian kedua terbesar dunia (secara GDP) dibawah Amerika. Sementara Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Hubungan kedua region yang diwakili Jepang dan Indonesia juga secara makro adalah konstelasi “negara maju” (Asia Timur dengan Jepang, Korea Selatan dan Taiwan yang sudah amat maju, dan China yang menuju negara maju) dengan “negara berkembang” (Asia Tenggara yang didominasi negara-negara berkembang).

Page 118: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 118

Dengan perubahan pola hubungan antar negara karena meningkatnya profil Asia

Timur dan Asia Tenggara dimata negara lain sebagai, tentu menghadirkan kebutuihan adaptasi terkait bagaimana tiap negara dari kedua region menjaga tetap tercapainya kepentingan nasional mereka. Hal ini disadari karena hadir harapan makin besar dari negara mitra agar kepentingan nasional mereka terpenuhi sejalan pilihan untuk menjadikan rekan regional sebagai prioritas dalam konteks kerjasama ekonomi.

Dalam konteks Jepang-Indonesia, artinya hadir desakan untuk menyusun kebijakan baik dari Jepang dan Indonesia, agar disatu sisi ada kepentingan ekonomi yang makin besar atau dalam kata lain harapan surplus perdagangan atau setidaknya meningkat signifikannya volume perdagangan kedua negara. Disisi lain kedua negara juga harus mempersiapkan segala aspek yang mendukung perluasan kerjasama ekonomi tersebut sembari agar kedua pihak tidak mengalami defisit terlalu besar. Jika memungkinkan benar-benar berimbang neraca perdagangan kedua negara disaat volume perdagangan ditargetkan meningkat pesat.

Kebutuhan menargetkan surplus dari satu sama lain didasari sebagai problem ekonomi kontemporer agar kedua negara menjadi penggerak pertumbuhan perdagangan bilateral, dan juga berperan sebagai regulator jika timbul defisit membengkak. Peran regulator oleh negara artinya membangun kesiapan-kesiapan SDM dan atau sarana lain agar para pelaku ekonomi bisa lebih aktif melakukan kinerja ekspor disaat mitra dagang dari negara lain juga makin bersemangat melakukan ekspor ke Indonesia. Terlebih Indonesia dalam berbagai survei selama 4 tahun terakhir dinilai sebagai negara dengan masyarakat yang cukup optimistis secara tingkat konsumsi, bahkan dua tahun belakangan (2012, 2013) dianggap paling optimis.

Yang harus dipahami adalah dinamika pembangunan ekonomi kedua negara. Agar bisa ditelaah upaya kedua negara meningkatkan volume perdagangan kedua pihak sembari menjadikannya sebagai pertanda peran strategis kedua regional yang terus meningkat dalam politik dan ekonomi regional dan internasional. Pada dasarnya, negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara mengalami berbagai kejadian besar sejalan pembangunan ekonominya, sehingga menghadirkan transformasi signifikan yang membantu meningkatkan kapabilitas peran potensial negara di kedua region. Hal ini sebagai pembelajaran Jepang dan Indonesia meningkatkan adaptasi atas pertumbuhan perdagangan kedua pihak, sembari tetap berjaga atas berbagai kemungkinan perubahan pola ekonomi dan politik yang mungkin menjadi tantangan bagi hubungan dagang kedua negara..

Page 119: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 119

Pertama jelang dan berlangsungnya Krisis Asia 1997 – 1998 untuk memahami

proses kejatuhan perekonomian Asia Pasifik sebagai kawasan yang paling terkena imbas resesi di masa itu. Kejadian ini memaksa tiap negara di Asia Pasifik (termasuk negara-negara Asia Timur dan Asia Tengara) membenahi perekonomian pasca resesi dalam beberapa tahun selanjutnya, dan juga membenahi ulang pola hubungan internasional di Asia Pasifik dengan kawasan diluarnya sebagai proses pemulihan. Hal ini menjadi bentuk logis kebutuhan pemulihan domestik yang diharapkan masyarakatnya.

Periode kedua adalah jelang dan selama resesi global 2008 berlangsung, termasuk selang waktu dalam proses pemulihannya. Periode ini untuk memahami bagaimana hasil dari transformasi atau pemulihan ekonomi pasca Krisis Asia 1997-1998 diamati faktualnya dalam ketahanan ekonomi Asia Pasifik di masa resesi saat ini. Serta melihat pola hubungan internasional yang terjadi, sebagai komparasi dengan kejadian dekade sebelumnya, untuk memahami signifikansi meningkatnya peran negara Asia Pasifik, khususnya pada perekonomian global.

Dalam perjalanan mengemukanya krisis finansial global sejak 2008, Asia Timur memperlihatkan transformasi ekonomi signifikan yang sangat berbeda dikaitkan pada kejadian hampir serupa lebih dari satu dekade lalu. Melemahnya kekuatan ekonomi yang selama ini dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi AS dan negara – negara di Uni Eropa, memicu pergeseran episentrum ekonomi yang berubah perlahan ke arah Asia Timur sebagai penggerak utamanya.

Meski demikian, bukan berarti negara di Asia Timur dan Asia Tenggara tidak lepas dari catatan ekonomi yang harus lebih diperhatikan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi pasca krisis finansial global 2007-2008. Jepang sebetulnya sempat benar-benar anjlok perekonomiannya pada 2011 akibat gempa-tsunami (11 Maret 2011). Tapi justru setelah hampir tiga dekade mengalami perlambatan ekonomi yang diperburuk dengan harus menangani dampak pasca bencana gempa-tsunami, Jepang justru mulai berbalik meningkat perekonomiannya pada 2012. Korea Selatan juga sempat mengalami perlambatan ekonomi pada 2012. China malah sejak 2011 menunjukkan tanda “soft landing” dalam pertumbuhan ekonominya, sehingga perlambatan ekonomi China mulai meresahkan perekonomian global.

Sementara di Asia Tenggara, kerusuhan berkepanjangan di pusat kota Bangkok (2010) dan banjir besar di hampir semua kawasan industri di sekitar Bangkok (2011) memperlambat perekonomian Thailand. Singapura juga termasuk negara yang paling kena efek dari krisis finansial 2007-2008 karena cukup tingginya ketergantungan

Page 120: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 120

penggerak ekonomi Singapura dari aktivitas pasar modal. Indonesia juga mulai menghadapi tantangan ekonomi sejak akhir 2012 dan utamanya pada 2013, baik dalam hal lemahnya nilai tukar Rupiah dan keluar signifikannya permodalan asing di pasar saham Indonesia (Indonesia Stock Exchange).

Tapi setidaknya denyut perekonomian Asia Timur dan Asia Tenggara dihitung dari 2007 hingga 2012 masih memperlihatkan indikator yang jauh lebih positif dibanding kondisi perekonomian di AS dan Eropa serta kawasan manapun. Yang bisa dinyatakan bahwa pengalaman buruk risis Asia 1997-1998 mendorong pembelajaran tiap negara Asia Timur dan Asia Tenggara untuk membangun kemandirian ekonomi yang lebih baik, baik dari segi moneter, fiskal, hingga riil kegiatan ekonomi dan perdagangan yang berlangsung di tiap negara dari kedua region.

Kestabilan ekonomi yang relatif lebih baik dari beberapa negara di kawasan baik, berimplikasi pula pada perubahan pola interaksi hubungan internasional dari negara di luar kawasan. Motif kepentingan yang makin besar pada meningkatnya profil negara Asia Timur dan Asia Tenggara, memicu meningkatnya komitmen atas realisasi konkrit dari jalinan yang dilakukan berbagai negara. Hal ini cenderung membangun kerentanan hubungan itu sendiri, karena seolah terlalu beraharap bahwa dengan memprioritaskan hubungan dengan mitra dagang dari Asia Timur dan atau Asia Tenggara, akan membantu penyelesaian resesi yang sedang dialami negara itu.

Hal ini yang harus diperhatikan Jepang dan Indonesia. Maksudnya, disaat kedua negara saling mengupayakan peningkatan signifikan volume perdagangan bilateral, sebetulnya kedua negara sedang menghadapi tantangan yang sama dari negara lain.

Banyak sekali negara non Asia (utamanya AS dan Eropa) berharap agar Jepang membeli lebih banyak produk non-Jepang karena melihat Jepang secara dramatis malah bisa mulai lolos dari resesi justru setelah / selewat 2011 saat Jepang ditimpa bencana alam yang harusnya amat memukul perekonomian Jepang. Banyak negara melihat Jepang bisa bangkit sejak 2012 mendahului AS dan Eroa agar keluar dari resesi (serta keluar dari perlambatan ekonomi hampir tiga dekade) karena didorong oleh aktifnya masyarakat Jepang dalam hal konsumsi sehingga perekonomian Jepang bisa lebih aktif berjalan. Hal ini membuat semua rekan dagang Jepang berharap warga Jepang yang sudah pulih perekonomiannya bisa lebih aktif menyerap impor internasional.

Hal sama juga dihadapi Indonesia. Karena Indonesia justru mencatat angka pertumbuhan ekonomi sejak 2007-2011 yang lebih tinggi dibanding 2006, banyak

Page 121: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 121

negara berharap agar Indonesia meningkatkan volume perdagangan dalam konteks impor, utamanya diharapkan lebih aktif mengonsumsi produk impor Eropa dan AS selaku mitra dagang Indonesia. Padahal bisa jadi Indonesia masih lebih membutuhkan surplus perdagangan dan atau mengharap negara lain bisa menyerap produk ekspor Indonesia.

Meningkatnya peran kedua negara dalam perekonomian global, artinya memberi konsekuensi bahwa negara lain turut meningkatkan kompetitivitas mereka bersaing satu sama lain ditengah globalisasi ekonomi yang berjalan. Hal ini harusnya disikapi dengan kesiapan ekonomi Jepang dan Indonesia yang sedang menghadapi meningkatnya risiko benturan kepentingan nasional dalam ekonomi internasional. Khususnya Indonesia sebagai negara berkembang, tantangan ekonomi jauh lebih berat untuk mencapai kesetaraan dengan Jepang sebagai negara maju yang unggul dalam SDM dan segala kelengkapan pendukung perdagangan internasional. Bisa dikatakan, Indonesia dan Jepang menjadi contoh bagaimana tantangan relasi geopolitik regional bagi negara berkembang seperti Indonesia, sehingga menjadi contoh bagi sesama negara berkembang di region yang sama.

II.2 Indonesia Menghadapi Geopolitik di Pasifik: Kebijakan Bilateral dengan Australia

Sekalipun sering mengalami pasang surut hubungan bilateral yang amat dipengaruhi partai mana yang memimpin di Australia, hubungan Indonesia-Australia signifikan dan berdampak luas. Menjadi penggerak utama pariwisata bagi Indonesia dan pasokan utama non-domestik hasil peternakan, hanyalah sebagian kecil dari pentingnya Australia bagi Indonesia. Menjadi acuan utama berusaha lebih merasa “Asia” dibanding terisolir sebagai bangsa kulit putih di “Selatan”, adalah urgensi pentingnya membangun hubungan harmonis dengan Indonesia sebelum Australia melangkah ke negara-negara Asia lainnya misalnya China.

Apapun hasil pemilu Australia 2013 (dilangsungkan 7 September 2013), sikap pemerintah dan warga Australia sudah jauh lebih adaptif dengan Asia. Bahkan justru pencarian makna geopolitik Australia sebagai “Asia” dan tidak lagi menyendiri sebagai (pemimpin) “Australia” mulai menguat disaat Partai Liberal yang memimpin Australia. Padahal sejak lama Partai Liberal selalu menegaskan lebih pentingnya Australia selalu berpatron dengan Amerika dan atau Eropa ketimbang Australia. Bom Bali I (2002) dan Bom Kuningan (depan Kedubes Australia) menyadarkan pemerintah dan warga Australia bahwa kecenderungan untuk selalu merasa sebagai “kulit putih lebih

Page 122: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 122

unggul” ditengah tetangga Asia-nya terutama di Asia Tenggara, justru hanya menimbulkan sikap benci yang membahayakan Australia sendiri.

Australia juga makin menyadari lebih membutuhkan Asia karena lonjakan signifikan volume perdagangan dari negara-negara Asia, utamanya China (Asia Timur) dan Indonesia (Asia Tenggara). Disaat perdagangan Australia dengan berbagai negara Eropa dan dengan Amerika justru melambat. Hal lain yang membuat Australia makin sadar untuk harus lebih menjadi Asia, karena meningkat signifikannya berbagai negara Asia dalam hal anggaran militer. Bisa jadi, sikap pongah Australia yang dimasa lalu memasang jargon “Asia’s Sherrif” hanya membuat negara-negara tetangganya di Asia terpancing membelanjakan anggaran untuk pengadaan militer secara besar-besaran. Termasuk Indonesia, sekalipun bisa jadi negara-negara Asia memang sedang dalam kebutuhan peremajaan peralatan militer besar-besaran.

Kondisi paranoid sebagai negara dengan wilayah amat besar tapi jumlah penduduk amat minim, mendorong Australia untuk membentengi diri dari tetangga Asia-nya yang kebanyakan berpenduduk amat padat. Terlebih tetangga Asia terdekatnya yaitu Indonesia memiliki jumlah penduduk amat besar (252 juta, 2012). Dinamika 10 tahun terakhir, termasuk transisi Partai Liberal ke Partai Buruh (Kevin Rudd, Julia Gillard, dan kembali dipimpin Kevin Rudd) mendorong Australia kembali meredefinisi posisi mereka agar tidak lagi beridentitas “Australia” tapi lebih menjadi “Asia”. Bahkan Tony Abbott (Partai Liberal), penantang Kevin Rudd dalam pemilu, menegaskan akan lebih memprioritaskan hubungan dengan Asia dan utamanya dengan Indonesia, sebagai bagian kampanye politik. Sementara sejak pemerintahan Julia Gillard-lah sedang dibangun kedutaan besar Australia terbesar di dunia yang sedang dibangun di Jakarta. Dengan kata lain, pemilu Australia kali ini siapapun yang menang adalah profil yang akan makin aktif mendekatkan Australia dengan para tetangganya di Asia.

Sekalipun isu ekonomi Indonesia-Australia belakangan justru merembet pada isu hukum karea suatu kasus korupsi, dan volume perdagangan kedua negara meningkat amat signifikan, titik kritis kedua negara sebetulnya lebih terkait isu politik dan keamanan. Isu Papua, isu pangkalan Amerika di Darwin, dan isu kebijakan imigran yang diterapkan Australia, adalah tantangan geopolitik dalam menyatukan kehendak Indonesia dan Australia mencapai keseimbangan peran di Asia Tenggara.

Australia perlu menyadari proses revitalisasi militer Indonesia masih berlangsung bahkan hingga 2020. Jika saat ini Indonesia 15 besar kekuatan militer dunia, bisa jadi pada 2020 Indonesia sudah berada pada kekuatan nomor 10. Meski demikian,

Page 123: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 123

seharusnya Australia tidak perlu khawatir jika memang Indonesia suatu saat menjadi kekuatan militer 10 besar dunia. Indonesia memiliki luas wilayah (darat, laut) yang sangat besar ditambah jumlah penduduk yang amat banyak. Wajar jika militer Indonesia secara personil pun akan amat besar. Dengan kondisi total anggaran saat ini mencapai 1.700 triliun dan bisa jadi pada 2020 sudah mencapai 2.500 triliun rupiah, sangat mungkin jika pada 2020 Indonesia menganggarkan untuk militer hingga 1.200 triliun tiap tahunnya.

Yang paling penting bagi Indonesia-Australia adalah agar kedua negara ikut menghadirkan sikap kompromi dan kooperatif satu sama lain, serta mereduksi tiap kemungkinan konflik bilateral setidaknya di tepi Samudera Pasifik. Masih tingginya tensi di Laut China Selatan, di Semenanjung Korea, serta China-Jepang, adalah ancaman yang harus diantisipasi Indonesia dan Australia.

Jika salah satu dari tiga potensi konflik itu berujung perang terbuka, tentu akan menimbulkan lonjakan besar-besaran pengadaan peralatan militer di semua negara Asia. Terlebih negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara masih cukup longgar secara fiskal untuk menambah persentase pendanaan militer terhadap total anggaran nasional negara tersebut, dibanding fiskal negara-negara Eropa dan kontinen lainnya. Menjaga keseimbangan geopolitik, khususnya bagi Australia, adalah kunci penting bagaimana Australia bersikap ditengah tetangga Asia-nya.

Banyak negara Asia sebetulnya menilai negatif atas kehadiran militer Amerika secara permanen di Darwin. Bisa jadi, akselerasi kebijakan militer di Laut China Selatan dalam satu setengah tahun terakhir adalah respon balasan atas kehadiran Amerika yang memperkuat diri di sekitar Laut China Selatan tanpa harus benar-benar berada di Laut China Selatan.

Potensi kehadiran Amerika di (benar-benar dekat) Laut China Selatan akan semakin terbuka disaat pertengahan tahun 2013 ini makin terbuka sikap Noynoy Aquino untuk meminta lebih banyak kehadiran personil militer Amerika, sekalipun permintaan ini masih menimbulkan perdebatan di Filipina sendiri. Saat Amerika makin leluasa berada di Laut China Selatan, sebaiknya Indonesia dan Australia menjaga diri untuk tidak terpancing melakukan akselerasi penambahan armada militer, sebagai upaya menjaga keseimbangan peta geopolitik di Asia Tenggara.

Tony Abbott selaku pemenang pemilu (7 September 2013) dan akan menjadi PM Australia ke-28, harus membuktikan apakah dirinya bisa mengubah tradisi Partai Liberal yang selama ini kurang adaptif dengan Asia dibanding Partai Buruh. Tantangan

Page 124: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 124

terdekat dengan Indonesia, apakah komitmen pengiriman beberapa Hercules bekas militer Australia yang awalnya disepakati dimasa Julia Gillard dan disetujui Kevin Rudd, benar-benar direalisasikan oleh Abbott. Tantangan lain adalah komitmen tentang Papua. Abbott akan diuji jika kondisi Papua memburuk bahkan dibanding 2011 (sering terjadi penembakan gelap) apakah akan mendorong Australia bersikap reaktif dengan memancing sinyalemen pengiriman militer Australia bersama Amerika (dari Darwin), atau menghormati dan percaya bahwa TNI-Polri adalah penyangga utama kondisi keamanan di Papua.

Abbott sebetulnya bisa membangun kerjasama lebih konkrit dengan Indonesia dalam penanganan arus imigran ke Australia, agar tidak selalu harus berhilir menyeluruh penumpukan masalahnya di Australia. Tapi di zaman Partai Buruh pun, Indonesia tidak kunjung mendapat koordinasi yang lebih baik dengan pemerintah Australia sekalipun telah terbangun Komunike Bangalore (2011) sebagai komitmen kerjasama antarnegara tepi Samudera Hindia dalam penanganan arus imigran.

Australia sadar kekuatan ekonomi Indonesia tidak lagi bisa diremehkan seperti yang mungkin pernah dipikirkan sebagian besar warga Australia pada 1,5 dekade yang lalu. Kini Indonesia sudah amat nyata sebagai penggerak utama ekonomi Asia Tenggara. Bahkan hanya satu aspek perdagangan saja, yaitu (hasil) peternakan, Australia makin bergantung dengan penyerapan dari Indonesia (impor yang dilakukan Indonesia). Sementara justru ada dorongan agar Indonesia meniru langkah negara Asia lainnya untuk membuka peternakan amat raksasa di Australia untuk mengantisipasi lonjakan konsumsi daging (sapi) per kapita masyarakat Indonesia. Tentu Abbott menyadari pentingnya kerjasama ekonomi dengan Indonesia, belum lagi di komoditas lain. Bersikap lebih equal (setara) dalam komunikasi bilateral Indonesia-Australia oleh Abbott, entah siapapun Presiden Indonesia pasca pemilu 2014, adalah penentu kestabilan geopolitik Asia Tenggara.

II.3 Indonesia Menghadapi Geopolitik Asia-Amerika: Kebijakan Bilateral dengan Amerika

Sembari menunggu resminya pengganti Scott Marciel sebagai Dubes Amerika untuk Indonesia yang baru, pada dasarnya kiprah Scott Marciel adalah masa paling harmonis Indonesia dengan Amerika. Hal itu semua bukan semata karena (misalnya) Obama menjadi Presiden Amerika, dimana Obama pernah hidup di Indonesia dimasa kecil.

Page 125: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 125

Harmoni Indonesia-Amerika yang paling tampak adalah hilangnya sensitivitas

arogansi kebijakan militer Amerika yang menyangkut atau berdampak pada Indonesia. Tidak ada lagi halangan dari pemerintah Amerika jika pemerintah Indonesia membeli peralatan militer dari Amerika, semisal yang sedang dalam proses adalah helikopter Apache. Tiga tahun lagi mungkin Indonesia berpeluang membeli F-16 dan bahkan F-35 dengan proyeksi APBN makin besar dan stabil, serta makin sedikit tersedot oleh subsidi BBM misalnya. Amerika juga tidak lagi terkesan “mengatur” dalam isu Papua. Amerika juga amat sering mendengar ide dan pandangan Indonesia dalam isu stabilitas Laut China Selatan sejak tiga tahun terakhir, baik dalam konteks ARF (ASEAN Regional Forum) atau forum level Menteri Pertahanan dan forum lainnya.

Hingga Amerika memilih merelaisasikan serbuan ke Suriah (yang masih tertahan karena perdebatan di G-20), Amerika era Obama adalah Amerika yang sangat Asia. Tidsak lagi sangat Timur Tengah seperti era Bush Jr yang menghabiskan hingga tiga triliun dollar (menurut Stiglitz). Bisa jadi Indonesia “beruntung” dengan krisis finansial 2008.

Indonesia yang lolos dari dampak krisis tersebut, menjadi daya tarik banyak negara, termasuk Amerika. Obama pun juga sadarm bahwa perekonomian Indonesai sudah jauh lebih kuat dibanding 1998 dan apalagi dibanding saat dulu Obama kecil hidup di Jakarta. Dengan kata lain, respek geopolitik Amerika terhadap Asia Tenggara/Laut China Selatan utamanya terhadap Indonesia, juga terbantu oleh kejadian eksternal tak terduga seperti krisis finansial 2008. Amerika menjadi lebih respek dan “menyamakan ketinggian” Indonesia sejajar dengan mitra Amerika lainnya. Tidak lagi menyepelekan Indonesia.

Tapi bukan berarti dalam lima tahun terakhir tidak ada tantangan yang mungkin berpotensi sebagai “bom waktu”. Isu pangkalan Amerika di Darwin, isu hambatan rokok kretek Indonesia, isu kriminalisasi Chevron, adalah sebagian kecil yang menguji sensitivitas Jakarta-Washington. Tapi sikap respek Amerika dan utamanya yang dijalankan Scott Marciel (serta Dino Patti Djalal selaku Dubes RI bagi Amerika) juga menghasilkan banyak capaian positif.

Secara ekonomi, Amerika makin membutuhkan Indonesia. Berbagai pabrikan otomotif Amerika meningkatkan signifikan investasi pabrik perakitan di Indonesia, menyadari tumbuh pesatnya masyarakat menengah atas Indonesia (/ Jakarta?) yang terbesar di Asia Tenggara. Tumbuh pesatnya jumlah warga Amerika yang menetap di Indonesia dan sebaliknya (warga Indonesia di Amerika) mulai mendorong wacana penerbangan langsung Jakarta-Washingtondari maskapai Indonesia. Apalagi beberapa

Page 126: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 126

maskapai Indonesia memesan amat banyak pesawat dari pabrikan Amerika, bahkan salah satunya terbesar sepanjang sejarah.

Jika mengacu hubungan buruk Indonesia-Amerika utamanya saat dinamika Timor-Timur, tidak bisa dibayangkan dua negara yang amat berjauhan ini sekarang justru bisa membangun bukan hanya hubungan harmonis, tapi volume perdagangan dan investasi yang cukup besar. Hal ini karena hambatan jarak seperti Indonesia dengan berbagai negara Eropa atau negara-negara Afrika membuat volume perdagangan Indonesia dengan kedua kontinen tersebut tidak signifikan naiknya tiap tahunnya.

Maka jika mengacu hambatan jarak yang artinya mengaitkan hambatan biaya, tantangan ekonomi yang akan dihadapi Indonesia-Amerika utamanya selepas 2014 disaat Indonesia berganti Presiden adalah Trans Pacific Partnership. Sampai sekarang Indonesia belum setuju atas mekanisme TPP dan masih lebih mendukung mekanisme ala ASEAN yang masih terus disempurnakan regulasinya, yaitu ASEAN's Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Bisa jadi, hambatan belum setujunya Indonesia masuk TPP bukan semata sengketa kretek (juga sengketa udang), tapi sebetulnya pandangan Indonesia yang menilai rata-rata perekonomian ASEAN diluar Singapura belum siap menghadapi pasar bebas dengan Amerika.

Bisa jadi, menyikapi tahun ketiga berjalannya ACFTA (ASEAN-China FTA) dimana Indonesia dan beberapa negara ASEAN cukup kesulitan mengimbangi China di beberapa komoditas, membuat Indonesia mengulur waktu untuk bergabung dalam kerjasama TPP. Jika pun Vietnam telah menjadi anggota TPP, menurut Indonesia hal tersebut adalah resiko yang harus dihadapi Vietnam itu sendiri dan Indonesia tidak perlu terburu-buru mengikuti TPP> Hingga saat ini, anggota ASEAN peserta TPP baru Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam, dimana diluar Vietnam adalah negara-negara yang sudah memiliki pendapatan kapita sangat tinggi. Indonesia sangat mungkin merujuk Thailand dan Filipina yang juga belum resmi bergabung dalam TPP. Padahal (utamanya) Filipina adalah pusat investasi Amerika selama puluhan tahun di Asia Tenggara. Bisa jadi, Indonesia memandang ikut tidaknya ke dalam TPP sebagai artian simbolik.

Maksudnya, belum ikut sertanya Indonesia kedalam TPP adalah kebutuhan regional Asia Tenggara secara keseluruhan. Jika Indonesia ikut dalam TPP, bukan tidak mungkin Amerika akan makin agresif dalam mengajak anggota ASEAN lainnya untuk ikut dalam TPP. Padahal level ekonomi seperti Indonesia sendiri belum siap, apalagi jika konteksnya Kamboja, Laos, atau Myanmar misalnya. Indonesia mungkin berupaya

Page 127: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 127

agar Amerika bisa terus menjaga respek terhadap apapun kebijakan pemerintah Indonesia.

Sembari perlahan berupaya menemukan solusi atas konflik dagang kretek dan udang, sebaiknya Indonesia dan Amerika tetap mempertahankan respek tinggi yang belumpernah ditemui selama ini antara Indonesia-Amerika dimasa sebelumnya. Terlebih jika kondisi Laut China Selatan kembali meninggi tensinya disaat (misalnya) Amerika terlanjur berperang di Suriah. Dengan keterbatasan anggaran yang tidak bisa lagi seleluasa dimasa Bush Jr, jika kondisi geopolitik keamanan makin tinggi utamanya di Laut China Selatan, tidak ada pilihan lain bagi Amerika untuk lebih meminta peran Indonesia sebagai salah satu pelaku utama geopolitik Asia.

Page 128: Quo Vadis Gerakan Sosial Global Di Era Restrukturisasi Kapitalisme Neoliberal Pasca-krisis - Jaringan Riset Kolektif, Jerk - 2013

Quo Vadis Gerakan Sosial Global di Era Restrukturisasi Kapitalisme-Neoliberal Pasca Krisis Jaringan Riset Kolektif (JeRK) | 128

Peneliti Jaringan Riset Kolektif (JeRK)