bab ii tinjauan umum mengenai pengikatan … ii.pdfyang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari...
TRANSCRIPT
22
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL
BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
2.1 Perjanjian
2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengikatan perjanjian jual
beli, sebaiknya harus memahami terlebih dahulu mengenai makna dari
perjanjian. Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang Perikatan yang diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Berdasarkan Pasal tersebut yang dimaksud dengan
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut pendapat
Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melakukan
suatu hal.14
Dari peristiwa hukum itu maka timbullah hubungan hukum
yang mengakibatkan adanya suatu perikatan.
Hubungan antara perikatan dan perjanjian yaitu perjanjian
menerbitkan perikatan. Secara umum, suatu perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak
14
Subekti R., 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, h.1.
23
yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.15
Perikatan merupakan isi dari perjanjian yang sifatnya terbuka,
artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat
yang disetujui oleh kedua belah pihak yaitu dengan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan Undang-Undang. Dalam rangka
menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh
para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang
mengikat bagi para pihak, adapun asas-asas umum yang menjadi pedoman
serta menjadi batas dalam mengatur dan membentuk perjanjian, asas-asas
umum tersebut diantaranya:
1. Asas Konsensualisme
Maksud dari asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya perjanjian
ialah pada saat terjadinya kesepakatan.16
Apabila telah terjadi
kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu perjanjian, walaupun
perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa,
pada saat tercapainya kesepakatan oleh para pihak lahirlah hak dan
kewajiban yang berlaku bagi kedua belah pihak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak didasarkan atas Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
15
Ibid . 16
Ahmadi Miru, 2013, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Ed.1, Cet. 4, Rajawali
Pers,Jakarta,h.3.
24
Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang
membuatnya. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan
kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:17
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
3. Asas Pacta Sun Servanda
Setiap orang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi
perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji
yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya Undang-Undang.18
Hal ini diatur dalam
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang
bagi yang membuatnya.
4. Asas Itikad Baik
Ketentuan mengenai itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan
17
Ibid.
25
pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada
setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu
dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.19
Disamping adanya asas-asas perjanjian di atas, dalam sistem terbuka
yang terdapat dalam hukum perjanjian tetap harus tunduk pada ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Dua unsur pokok yang menyangkut subjek atau pihak yang
mengadakan perjanjian disebut dengan syarat subjektif. Unsur subjektif
mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang
berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
Dua unsur pokok lainnya berhubungan langsung dengan obyek perjanjian
yang disebut juga dengan syarat obyektif. Unsur obyektif meliputi obyek
yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang
disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang. Berikut penjelasan selengkapnya:
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
19
Ibid, h.7
26
Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah perseuaian
kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan
penerimaan. Dengan kata lain, apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan ini bersifat
bebas, yang artinya benar-benar atas kemauan sukarela pihak-pihak,
tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun sebagaimana
diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kesepakatan tersebut dicapai
dengan beberapa cara baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Kesepakatan yang biasa dibuat oleh para pihak yaitu
kesepakatan yang dibuat secara tertulis dan secara lisan. Tujuan dari
pembuatan kesepakatan secara tertulis yaitu untuk memberikan
kepastian hukum bagi para pihak dan dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sempurna apabila timbul sengketa di kemudian hari.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan merupakan kemampuan menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Berdasarkan Pasal 1330
KUHPerdata, yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah,
anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan,
perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan Undang-
Undang dan pada umumnya semua orang yang oleh Undang-Undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Seseorang dikatakan
dewasa apabila umurnya telah mencapai umur 21 tahun atau sudah
27
kawin, walaupun belum 21 tahun. Orang yang berada ditaruh di
dalam pengampuan, yakni orang yang gila, kalap, atau bahkan dalam
hal tertentu juga orang yang boros.20
Seorang perempuan dalam yang
ditetapkan oleh Undang-Undang, yaitu perempuan yang sudah
menikah dan tidak didampingi oleh suaminya. Namun kini,
ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sehingga perempuan yang
bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum untuk membuat
perjanjian.
3) Suatu pokok persoalan tertentu
Suatu pokok persoalan tertentu merupakan syarat ketiga dari
sahnya suatu perjanjian yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian
yang merupakan obyek perjanjian. Syarat bahwa suatu pokok
persoalan itu harus tertentu atau dapat ditentukan gunannya yaitu
untuk menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika suatu pokok
persoalan tertentu tersebut kabur, maka suatu perjanjian tidak dapat
dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat dari
tidak dipenuhinya syarat ini, maka suatu perjanjian itu batal demi
hukum (void, nietig).
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata,
yaitu “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu
20
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011,Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, h.74.
28
barang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu
tidak perlu pasti, asal saja jmlah itu kemudian dapat ditentukan atau
dihitung.”
4) Suatu sebab yang tidak terlarang
Syarat keempat yaitu mengenai suatu sebab yang halal ini
merupakan syarat tentang isi dari perjanjian. Sebab adalah sesuatu
yang menyebabkan orang membuat perjanjian atau mendorong orang
melakukan perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk
memperlawankan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang
dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban
umum. Sebagai mana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang
berbunyi “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh
Undang-Undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan
atau dengan ketertiban umum”. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1335
KUHPerdata yang menyebutkan,
”Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu
sebab yang palsu, atau yang terlarang tidaklah mempunyai
kekuatan”.
Ditegaskan juga dalam Pasal 1336 KUHPerdata,
29
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab
yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang
selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.”
2.1.2 Pengertian Perjanjian Jual Beli
Mengenai definisi dari jual beli, disebutkan dalam Pasal 1457
KUHPerdata yaitu jual beli adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain
untuk membayar harga yang dijanjikan. Menurut Subekti, jual beli adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.21
Yang dijanjikan oleh pihak yang
satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas
barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain,
membayar harga yang telah disetujuinya.
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah
dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai
kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan
pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (esenselia) yaitu barang dan
harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tidak bergerak.22
Mengenai sifat perjanjian ini diatur dalam ketentuan pasal 1458
21
Ibid, h.79. 22
Ibid, h.80.
30
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa jual beli telah dianggap telah
terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai
kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang
itu belum, diserahkan dan harganya belum dibayar.
Dengan persetujuan jual beli atau tukar menukar barang saja,
belumlah beralih hak milik atas barang itu. Diperlukan adanya penyerahan
barangnya (levering). Penyerahan barang tersebut disebut juga dengan
zakelijkeovereenkomst (persetujuan yang bersifat perbendaan), sedangkan
persetujuan jual beli atau tukar menukar dinamakan obligatoire
overeenkomst (persetujuan yang hanya menciptakan suatu perikatan).23
Berdasarkan Pasal 1459 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa hak milik
atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama
penyerahan belum dilakukan.
2.1.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada
waktu dan di tempat yang telah diperjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu
dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian, pembayaran
harus dilakukan di tempat dan waktu penyerahan barang dilakukan.
23
Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju,
Bandung, h. 165.
31
Apabila pembeli tidak membayar harga barang sebagaimana yang
telah diperjanjikan maka pihak penjual dapat menuntut pembatalan
perjanjian sebagaimana halnya pembeli dapat menuntut pembatalan
perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya. Mengenai hak
penjual termasuk dalam kewajiban-kewajiban pembeli sehingga tidak
perlu diuraikan lebih lanjut.
Dalam perjanjian jual beli, terdapat dua kewajiban utama dari
penjual terhadap pembeli sehingga apabila harga barang tersebut telah
dibayar oleh pembeli yaitu24
:
1. Menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada pembeli;
2. Menanggung atau menjamin barang tersebut.
Menurut Pasal 1491 KUHPerdata,
“Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah
untuk menjamin 2 hal yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu
secara aman dan tentram; kedua tidak adanya cacat yang tersembunyi pada
barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan
untuk pembatalan pembelian.”
2.2 Perjanjian Jual Beli Tanah dan Bangunan
2.2.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli Tanah dan Bangunan
Sebelum berlakunya Undang Undang Pokok Agraria, hukum tanah
bersifat dualistis yaitu berlakunya hukum tanah barat berdampingan
24
Ibid, h.133.
32
dengan hukum adat tanah. Hukum tanah barat berlaku bagi tanah-tanah
dengan hak-hak barat, seperti hak eigendom, tanah erfpacht, tanah postal
dan lain-lain sedangkan hukum adat tanah berlaku bagi tanah-tanah yang
dikenal dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah milik, tanah usaha, tanah
golongan, tanah bengkok, dan lain-lain.25
Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan
hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan penjual menerima
pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian yang sepenuhnya atau
sebagian dibayarkan secara tunai.26
Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa sifat dari jual beli tanah menurut hukum adat adalah
terang dan tunai. Menurut Effendi Perangin:27
1. Terang dalam hal ini berarti jual beli tanah tersebut dilakukan di
hadapan Kepala Desa yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi
juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa
jual beli tanah tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.
2. Tunai dalam hal ini berarti harga tanah yang dibayar itu bisa
seluruhnya, bisa juga sebagian. Akan tetapi meskipun dibayar
sebagian, menurut hukum dianggap telah dianggap dibayar penuh.
Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang
bersamaan. Pada saat itu jual beli menurut hukum telah selesai
25
Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.124. 26
Sahat HMT Sinaga, loc.cit. 27
Urip Santoso, 2013, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada,
Jakarta, h. 360, dikutip dari Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 16.
33
sedangkan sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang
pembeli kepada bekas pemilik tanah.
2.2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli Tanah dan Bangunan
Syarat jual beli tanah dan bangunan ada 2 yaitu:
1. Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,
antara lain sebagai berikut:
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi
syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk
menentukan berhak atau tidaknya pihak pembeli memperoleh hak
atas tanah yang akan dibelinya tergantung pada hak apa yang ada
pada tanah tersebut. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga
negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan
oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA) jika pembeli mempunyai
kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya
atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh
pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah
tersebut jatuh pada negara (Pasal 26 ayat 2 UUPA).
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak menjual bidang tanah tentu saja si pemegang sah dari
hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Apabila pemilik
sebidang tanah hanya satu orang maka ia berhak untuk menjual
34
sendiri tanah itu. Akan tetapi bila pemiik tanah adalah dua orang
maka yang berhak menjual tanah itu iala kedua orang itu bersama-
sama.28
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak
dalam sengketa
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah
ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha
(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41).
Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual
bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau
pembeli tidaka memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas
tanah atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau
merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli
tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh
yang tidak berhak adalah batal demi hukum artinya, sejak semula
hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.29
2. Syarat formal
Setelah semua persyaratan materiil telah dipenuhi maka Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan membuat Akta Jual Beli.
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun
1997 yang memuat,
28
Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2. 29
Ibid.
35
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan
dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap dianggap sah
karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA),
sedangkan dalam hukum adat yang dipakai adalah sistem yang
konkrit/kontan/nyata/riil. Dengan demikian, untuk mewujudkan
adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah ,
PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA
telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan dihadapan PPAT.30
2.2.3 Saat Beralihnya Hak Milik atas Tanah dan Bangunan dari Penjual
kepada Pembeli
Hak-hak atas tanah termasuk salah satu hak perseorangan atas
tanah. Dasar hukum ketentuan hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu,
Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan hukum.
30
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung,
h.23.
36
Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara
bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai,
menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari tanah tertentu.31
Hak-hak
perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak
tanggungan, dan hak milik atas rumah susun32
Dialihkan/pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas
tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu
perbuatan hukum.33
Contoh perbuatan hukum yaitu jual beli, tukar
menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang.
Perbuatan hukum jual beli atas tanah dan bangunan hak milik atas
tanah yang dilakukan dengan perjanjian jual beli dihadapan Notaris yang
kemudian apabila syarat terang dan tunainya dipenuhi maka dilanjutkan
dengan penandatanganan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT
sekaligus juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual
kepada pembeli.Berpindahnya hak milik atas tanah ini harus didaftarkan
ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku
Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik tanah
yang lama kepada pemilik tanah yang baru.34
Dalam kaitannya dengan
ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah, jual beli
31
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada, Jakarta,
h. 83. 32
Ibid. 33
Ibid, hal 94 34
Ibid.
37
hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual
kepada pembeli harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan
bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli. Tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan,
dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut, peralihan hak milik atas tanah tidak
dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah
diterapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan
hukum jual beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima
pembayaran dan bersamaan dengan itu menyerahkan barang yang
dijualnya kepada pembeli.
2.3 Perbuatan Melawan Hukum
2.3.1 Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Pengertian perbuatan melawan hukum secara umum yaitu suatu
perbuatan yang dimana seseorang melakukan suatu perbuatan merugikan
orang lain dan perbuatan itu tidak didasari oleh perjanjian. Dengan kata
lain, perbuatan ini tidak hanya melanggar Undang-Undang (onwet matig)
namun juga melanggar hak subyektif, kewajiban hukum, kaidah kesusilaan
dan kepatutan dalam masyarakat.
38
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata yang menyebutkan, “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut.” Berdasarkan ketentuan ini, pada intinya mewajibkan
setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum untuk mengganti
kerugian kepada pihak yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum
yang dilakukannya. Pembayaran ganti kerugian baru kepada pihak yang
menderita kerugian baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut merupakan orang yang dapat
bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf).
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan
hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur
kesengajaan maupun kelalaian).
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Maka model tanggung jawab hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan
kelalaian), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur
kelalaian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
39
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat
terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
2.3.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Abdulkadir Muhammad, seseorang baru dapat dikatakan
melakukan suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur
perbuatan melawan hukum sebagai berikut yaitu, adanya perbuatan,
perbuatan itu harus melawan hukum, ada kerugian, ada hubungan sebab
akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian dan adanya
kesalahan.35
Unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan
Perbuatan yang dimaksud disini adalah perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Dalam perbuatan
melawan hukum ini, harus tidak ada unsur persetujuan atau kata
sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperbolehkan
seperti yang terdapat dalam suatu kontrak.36
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
Perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan
melanggar kaidah-kaidah hukum tertulis, yaitu perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar
hak subyektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar
kaidah hukum yang tdak tertulis. Misalnya kaidah yang
35
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 142. 36
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), h.11.
40
mengatur tentang kesopanan dan kepatutan dalam pergaulan
masyarakat. Dengan begitu, perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan atau kesopanan dapat juga dituntut lewat
perbuatan melawan hukum.37
3. Adanya Kesalahan
Kesalahan merupakan perbuatan dan akibat-akibat yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada diri si pelaku. Dengan
adanya kesalahan tersebut, seseorang dapat dinyatakan
bertanggung jawab atas kerugian tersebut apabila perbuatan
melawan hukum yang dilakukan dan kerugian yang
ditimbulkannya dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan,
sehingga daat diminta pertanggungjawaban hukum, jika
memenuhi unsur-unsur berikut:38
a. Adanya unsur kesengajaan,
b. Adanya unsur kelalaian,
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf
(rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht,
membela diri, tidak waras, dan lain-lain.
4. Adanya Kerugian
Kerugian (schade) merupakan salah satu unsur perbuatan
melawan hukum. Sebagaimana yang telah diatur dalam
37
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 146. 38
Munir Fuady I, op.cit, h.12.
41
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa,
setiap bentukperbuatan melawan hukum yang menimbulkan
suatu kerugian adalah wajib untuk mengganti kerugian,
walaupun bentuk ganti rugi tersebut tidak diatur secara jelas
oleh Undang-Undang. Adapun unsur kerugian tersebut meliputi
kerugian material maupun immaterial. Berdasarkan Pendapat
Moegni, kerugian material disebut juga kerugian kekayaan
sedangkan kerugian immaterial disebut juga kerugian idiil,
kerugian kekayaan (vermogenschade) yang pada umumnya
mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan
yang diharapkan diterimanya. Sementara kerugian idiil adalah
kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan
kehilangan kesenangan hidup.39
5. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian
Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
merupakan hubungan sebab akibat yang digunakan sebagai
acuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara suatu
perbuatan hukum dengan kerugian, dengan demikian orang yang
melakukan perbuatan tersebut dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Selanjutnya, diatur juga dalam Pasal 1366 KUHPerdata,
39
Moegni DjojodirdjoMA., 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, h.76.