bab ii tinjauan umum mengenai pengikatan … ii.pdfyang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari...

21
22 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengikatan perjanjian jual beli, sebaiknya harus memahami terlebih dahulu mengenai makna dari perjanjian. Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal tersebut yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut pendapat Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melakukan suatu hal. 14 Dari peristiwa hukum itu maka timbullah hubungan hukum yang mengakibatkan adanya suatu perikatan. Hubungan antara perikatan dan perjanjian yaitu perjanjian menerbitkan perikatan. Secara umum, suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak 14 Subekti R., 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, h.1.

Upload: phamhanh

Post on 07-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

22

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL

BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN

HUKUM

2.1 Perjanjian

2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengikatan perjanjian jual

beli, sebaiknya harus memahami terlebih dahulu mengenai makna dari

perjanjian. Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tentang Perikatan yang diatur dalam Pasal 1313

KUHPerdata. Berdasarkan Pasal tersebut yang dimaksud dengan

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut pendapat

Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji

kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melakukan

suatu hal.14

Dari peristiwa hukum itu maka timbullah hubungan hukum

yang mengakibatkan adanya suatu perikatan.

Hubungan antara perikatan dan perjanjian yaitu perjanjian

menerbitkan perikatan. Secara umum, suatu perikatan adalah suatu

perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak

14

Subekti R., 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, h.1.

23

yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan

pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.15

Perikatan merupakan isi dari perjanjian yang sifatnya terbuka,

artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat

yang disetujui oleh kedua belah pihak yaitu dengan tidak bertentangan

dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan Undang-Undang. Dalam rangka

menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh

para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang

mengikat bagi para pihak, adapun asas-asas umum yang menjadi pedoman

serta menjadi batas dalam mengatur dan membentuk perjanjian, asas-asas

umum tersebut diantaranya:

1. Asas Konsensualisme

Maksud dari asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya perjanjian

ialah pada saat terjadinya kesepakatan.16

Apabila telah terjadi

kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu perjanjian, walaupun

perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa,

pada saat tercapainya kesepakatan oleh para pihak lahirlah hak dan

kewajiban yang berlaku bagi kedua belah pihak.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak didasarkan atas Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata, bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan

15

Ibid . 16

Ahmadi Miru, 2013, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Ed.1, Cet. 4, Rajawali

Pers,Jakarta,h.3.

24

Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang

membuatnya. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan

kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang

berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:17

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. Bebas dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

3. Asas Pacta Sun Servanda

Setiap orang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi

perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji

yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak

sebagaimana mengikatnya Undang-Undang.18

Hal ini diatur dalam

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata semua persetujuan yang

dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang

bagi yang membuatnya.

4. Asas Itikad Baik

Ketentuan mengenai itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan

17

Ibid.

25

pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada

setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu

dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.19

Disamping adanya asas-asas perjanjian di atas, dalam sistem terbuka

yang terdapat dalam hukum perjanjian tetap harus tunduk pada ketentuan

Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal;

Dua unsur pokok yang menyangkut subjek atau pihak yang

mengadakan perjanjian disebut dengan syarat subjektif. Unsur subjektif

mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang

berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

Dua unsur pokok lainnya berhubungan langsung dengan obyek perjanjian

yang disebut juga dengan syarat obyektif. Unsur obyektif meliputi obyek

yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang

disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak

dilarang. Berikut penjelasan selengkapnya:

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

19

Ibid, h.7

26

Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah perseuaian

kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan

penerimaan. Dengan kata lain, apa yang dikehendaki oleh pihak

yang satu dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan ini bersifat

bebas, yang artinya benar-benar atas kemauan sukarela pihak-pihak,

tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun sebagaimana

diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kesepakatan tersebut dicapai

dengan beberapa cara baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Kesepakatan yang biasa dibuat oleh para pihak yaitu

kesepakatan yang dibuat secara tertulis dan secara lisan. Tujuan dari

pembuatan kesepakatan secara tertulis yaitu untuk memberikan

kepastian hukum bagi para pihak dan dapat dijadikan sebagai alat

bukti yang sempurna apabila timbul sengketa di kemudian hari.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan merupakan kemampuan menurut hukum untuk

melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Berdasarkan Pasal 1330

KUHPerdata, yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah,

anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan,

perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan Undang-

Undang dan pada umumnya semua orang yang oleh Undang-Undang

dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Seseorang dikatakan

dewasa apabila umurnya telah mencapai umur 21 tahun atau sudah

27

kawin, walaupun belum 21 tahun. Orang yang berada ditaruh di

dalam pengampuan, yakni orang yang gila, kalap, atau bahkan dalam

hal tertentu juga orang yang boros.20

Seorang perempuan dalam yang

ditetapkan oleh Undang-Undang, yaitu perempuan yang sudah

menikah dan tidak didampingi oleh suaminya. Namun kini,

ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sehingga perempuan yang

bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum untuk membuat

perjanjian.

3) Suatu pokok persoalan tertentu

Suatu pokok persoalan tertentu merupakan syarat ketiga dari

sahnya suatu perjanjian yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian

yang merupakan obyek perjanjian. Syarat bahwa suatu pokok

persoalan itu harus tertentu atau dapat ditentukan gunannya yaitu

untuk menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul

perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika suatu pokok

persoalan tertentu tersebut kabur, maka suatu perjanjian tidak dapat

dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat dari

tidak dipenuhinya syarat ini, maka suatu perjanjian itu batal demi

hukum (void, nietig).

Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata,

yaitu “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu

20

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011,Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233

sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, h.74.

28

barang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu

tidak perlu pasti, asal saja jmlah itu kemudian dapat ditentukan atau

dihitung.”

4) Suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat keempat yaitu mengenai suatu sebab yang halal ini

merupakan syarat tentang isi dari perjanjian. Sebab adalah sesuatu

yang menyebabkan orang membuat perjanjian atau mendorong orang

melakukan perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk

memperlawankan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang

dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak

bertentangan dengan Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban

umum. Sebagai mana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang

berbunyi “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh

Undang-Undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan

atau dengan ketertiban umum”. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1335

KUHPerdata yang menyebutkan,

”Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu

sebab yang palsu, atau yang terlarang tidaklah mempunyai

kekuatan”.

Ditegaskan juga dalam Pasal 1336 KUHPerdata,

29

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab

yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang

selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.”

2.1.2 Pengertian Perjanjian Jual Beli

Mengenai definisi dari jual beli, disebutkan dalam Pasal 1457

KUHPerdata yaitu jual beli adalah persetujuan dengan mana pihak yang

satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain

untuk membayar harga yang dijanjikan. Menurut Subekti, jual beli adalah

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan.21

Yang dijanjikan oleh pihak yang

satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas

barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain,

membayar harga yang telah disetujuinya.

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah

dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai

kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan

pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (esenselia) yaitu barang dan

harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tidak bergerak.22

Mengenai sifat perjanjian ini diatur dalam ketentuan pasal 1458

21

Ibid, h.79. 22

Ibid, h.80.

30

KUHPerdata yang menyebutkan bahwa jual beli telah dianggap telah

terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai

kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang

itu belum, diserahkan dan harganya belum dibayar.

Dengan persetujuan jual beli atau tukar menukar barang saja,

belumlah beralih hak milik atas barang itu. Diperlukan adanya penyerahan

barangnya (levering). Penyerahan barang tersebut disebut juga dengan

zakelijkeovereenkomst (persetujuan yang bersifat perbendaan), sedangkan

persetujuan jual beli atau tukar menukar dinamakan obligatoire

overeenkomst (persetujuan yang hanya menciptakan suatu perikatan).23

Berdasarkan Pasal 1459 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa hak milik

atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama

penyerahan belum dilakukan.

2.1.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli

Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada

waktu dan di tempat yang telah diperjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu

dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian, pembayaran

harus dilakukan di tempat dan waktu penyerahan barang dilakukan.

23

Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju,

Bandung, h. 165.

31

Apabila pembeli tidak membayar harga barang sebagaimana yang

telah diperjanjikan maka pihak penjual dapat menuntut pembatalan

perjanjian sebagaimana halnya pembeli dapat menuntut pembatalan

perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya. Mengenai hak

penjual termasuk dalam kewajiban-kewajiban pembeli sehingga tidak

perlu diuraikan lebih lanjut.

Dalam perjanjian jual beli, terdapat dua kewajiban utama dari

penjual terhadap pembeli sehingga apabila harga barang tersebut telah

dibayar oleh pembeli yaitu24

:

1. Menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada pembeli;

2. Menanggung atau menjamin barang tersebut.

Menurut Pasal 1491 KUHPerdata,

“Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah

untuk menjamin 2 hal yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu

secara aman dan tentram; kedua tidak adanya cacat yang tersembunyi pada

barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan

untuk pembatalan pembelian.”

2.2 Perjanjian Jual Beli Tanah dan Bangunan

2.2.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli Tanah dan Bangunan

Sebelum berlakunya Undang Undang Pokok Agraria, hukum tanah

bersifat dualistis yaitu berlakunya hukum tanah barat berdampingan

24

Ibid, h.133.

32

dengan hukum adat tanah. Hukum tanah barat berlaku bagi tanah-tanah

dengan hak-hak barat, seperti hak eigendom, tanah erfpacht, tanah postal

dan lain-lain sedangkan hukum adat tanah berlaku bagi tanah-tanah yang

dikenal dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah milik, tanah usaha, tanah

golongan, tanah bengkok, dan lain-lain.25

Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan

hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan penjual menerima

pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian yang sepenuhnya atau

sebagian dibayarkan secara tunai.26

Dari pengertian tersebut dapat

diketahui bahwa sifat dari jual beli tanah menurut hukum adat adalah

terang dan tunai. Menurut Effendi Perangin:27

1. Terang dalam hal ini berarti jual beli tanah tersebut dilakukan di

hadapan Kepala Desa yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi

juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa

jual beli tanah tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.

2. Tunai dalam hal ini berarti harga tanah yang dibayar itu bisa

seluruhnya, bisa juga sebagian. Akan tetapi meskipun dibayar

sebagian, menurut hukum dianggap telah dianggap dibayar penuh.

Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang

bersamaan. Pada saat itu jual beli menurut hukum telah selesai

25

Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.124. 26

Sahat HMT Sinaga, loc.cit. 27

Urip Santoso, 2013, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada,

Jakarta, h. 360, dikutip dari Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari

Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 16.

33

sedangkan sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang

pembeli kepada bekas pemilik tanah.

2.2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli Tanah dan Bangunan

Syarat jual beli tanah dan bangunan ada 2 yaitu:

1. Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,

antara lain sebagai berikut:

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi

syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk

menentukan berhak atau tidaknya pihak pembeli memperoleh hak

atas tanah yang akan dibelinya tergantung pada hak apa yang ada

pada tanah tersebut. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga

negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan

oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA) jika pembeli mempunyai

kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya

atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh

pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah

tersebut jatuh pada negara (Pasal 26 ayat 2 UUPA).

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak menjual bidang tanah tentu saja si pemegang sah dari

hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Apabila pemilik

sebidang tanah hanya satu orang maka ia berhak untuk menjual

34

sendiri tanah itu. Akan tetapi bila pemiik tanah adalah dua orang

maka yang berhak menjual tanah itu iala kedua orang itu bersama-

sama.28

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak

dalam sengketa

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah

ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha

(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41).

Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual

bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau

pembeli tidaka memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas

tanah atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau

merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli

tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh

yang tidak berhak adalah batal demi hukum artinya, sejak semula

hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.29

2. Syarat formal

Setelah semua persyaratan materiil telah dipenuhi maka Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan membuat Akta Jual Beli.

Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun

1997 yang memuat,

28

Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2. 29

Ibid.

35

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan

dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan

hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan

akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap dianggap sah

karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA),

sedangkan dalam hukum adat yang dipakai adalah sistem yang

konkrit/kontan/nyata/riil. Dengan demikian, untuk mewujudkan

adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah ,

PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA

telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud

memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang

dibuat oleh dan dihadapan PPAT.30

2.2.3 Saat Beralihnya Hak Milik atas Tanah dan Bangunan dari Penjual

kepada Pembeli

Hak-hak atas tanah termasuk salah satu hak perseorangan atas

tanah. Dasar hukum ketentuan hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)

UUPA yaitu,

Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang-orang lain serta badan hukum.

30

Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung,

h.23.

36

Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang

kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara

bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai,

menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari tanah tertentu.31

Hak-hak

perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak

tanggungan, dan hak milik atas rumah susun32

Dialihkan/pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas

tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu

perbuatan hukum.33

Contoh perbuatan hukum yaitu jual beli, tukar

menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang.

Perbuatan hukum jual beli atas tanah dan bangunan hak milik atas

tanah yang dilakukan dengan perjanjian jual beli dihadapan Notaris yang

kemudian apabila syarat terang dan tunainya dipenuhi maka dilanjutkan

dengan penandatanganan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT

sekaligus juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual

kepada pembeli.Berpindahnya hak milik atas tanah ini harus didaftarkan

ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku

Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik tanah

yang lama kepada pemilik tanah yang baru.34

Dalam kaitannya dengan

ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah, jual beli

31

Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada, Jakarta,

h. 83. 32

Ibid. 33

Ibid, hal 94 34

Ibid.

37

hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual

kepada pembeli harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan

bahwa:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

melalui jual beli. Tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan,

dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak

melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang

dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian tersebut, peralihan hak milik atas tanah tidak

dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah

diterapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan

hukum jual beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima

pembayaran dan bersamaan dengan itu menyerahkan barang yang

dijualnya kepada pembeli.

2.3 Perbuatan Melawan Hukum

2.3.1 Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Pengertian perbuatan melawan hukum secara umum yaitu suatu

perbuatan yang dimana seseorang melakukan suatu perbuatan merugikan

orang lain dan perbuatan itu tidak didasari oleh perjanjian. Dengan kata

lain, perbuatan ini tidak hanya melanggar Undang-Undang (onwet matig)

namun juga melanggar hak subyektif, kewajiban hukum, kaidah kesusilaan

dan kepatutan dalam masyarakat.

38

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur dalam Pasal

1365 KUHPerdata yang menyebutkan, “Tiap perbuatan yang melanggar

hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan

kerugian tersebut.” Berdasarkan ketentuan ini, pada intinya mewajibkan

setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum untuk mengganti

kerugian kepada pihak yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum

yang dilakukannya. Pembayaran ganti kerugian baru kepada pihak yang

menderita kerugian baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan

perbuatan melawan hukum tersebut merupakan orang yang dapat

bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf).

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan

hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur

kesengajaan maupun kelalaian).

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Maka model tanggung jawab hukumnya adalah sebagai berikut:

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan

kelalaian), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur

kelalaian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

39

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat

terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

2.3.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Abdulkadir Muhammad, seseorang baru dapat dikatakan

melakukan suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur

perbuatan melawan hukum sebagai berikut yaitu, adanya perbuatan,

perbuatan itu harus melawan hukum, ada kerugian, ada hubungan sebab

akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian dan adanya

kesalahan.35

Unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Adanya perbuatan

Perbuatan yang dimaksud disini adalah perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Dalam perbuatan

melawan hukum ini, harus tidak ada unsur persetujuan atau kata

sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperbolehkan

seperti yang terdapat dalam suatu kontrak.36

2. Perbuatan tersebut melawan hukum

Perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan

melanggar kaidah-kaidah hukum tertulis, yaitu perbuatan yang

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar

hak subyektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar

kaidah hukum yang tdak tertulis. Misalnya kaidah yang

35

Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 142. 36

Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Citra

Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), h.11.

40

mengatur tentang kesopanan dan kepatutan dalam pergaulan

masyarakat. Dengan begitu, perbuatan yang bertentangan

dengan kesusilaan atau kesopanan dapat juga dituntut lewat

perbuatan melawan hukum.37

3. Adanya Kesalahan

Kesalahan merupakan perbuatan dan akibat-akibat yang

dapat dipertanggungjawabkan kepada diri si pelaku. Dengan

adanya kesalahan tersebut, seseorang dapat dinyatakan

bertanggung jawab atas kerugian tersebut apabila perbuatan

melawan hukum yang dilakukan dan kerugian yang

ditimbulkannya dapat dipertanggungjawabkan.

Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan,

sehingga daat diminta pertanggungjawaban hukum, jika

memenuhi unsur-unsur berikut:38

a. Adanya unsur kesengajaan,

b. Adanya unsur kelalaian,

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf

(rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht,

membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4. Adanya Kerugian

Kerugian (schade) merupakan salah satu unsur perbuatan

melawan hukum. Sebagaimana yang telah diatur dalam

37

Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 146. 38

Munir Fuady I, op.cit, h.12.

41

ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa,

setiap bentukperbuatan melawan hukum yang menimbulkan

suatu kerugian adalah wajib untuk mengganti kerugian,

walaupun bentuk ganti rugi tersebut tidak diatur secara jelas

oleh Undang-Undang. Adapun unsur kerugian tersebut meliputi

kerugian material maupun immaterial. Berdasarkan Pendapat

Moegni, kerugian material disebut juga kerugian kekayaan

sedangkan kerugian immaterial disebut juga kerugian idiil,

kerugian kekayaan (vermogenschade) yang pada umumnya

mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan

yang diharapkan diterimanya. Sementara kerugian idiil adalah

kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan

kehilangan kesenangan hidup.39

5. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian

Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian

merupakan hubungan sebab akibat yang digunakan sebagai

acuan untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara suatu

perbuatan hukum dengan kerugian, dengan demikian orang yang

melakukan perbuatan tersebut dapat dimintakan

pertanggungjawaban.

Selanjutnya, diatur juga dalam Pasal 1366 KUHPerdata,

39

Moegni DjojodirdjoMA., 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita,

Jakarta, h.76.

42

“ Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.