bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · jaringan ini bertugas sebagai pengikat untuk...

45
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fleksibilitas 2.1.1 Pengertian Fleksibilitas adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk mengalami pemanjangan semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi yang penuh, tanpa disertai timbulnya rasa nyeri. Fleksibilitas berkaitan erat dengan jaringan lunak, seperti ligamen, tendon dan otot, disamping struktur tulang itu sendiri. Fleksibilitas juga berhubungan dengan ekstensibilitas dari musculotendinous unit yang saling bersilangan sebagai dasar kemampuan otot untuk rileks atau berubah bentuk dalam proses peregangan (Wismanto, 2011) Ada dua jenis fleksibilitas, yaitu fleksibilitas statis dan fleksibilitas dinamis. Fleksibilitas statis dikatakan sebagai mobilisasi pasif yang merupakan derajat Range of Motion (ROM) dimana otot dan jaringan ikat sendi dapat diulur secara pasif bergantung pada ekstensibilitas otot dan jaringan konektif yang melewati dan mengelilingi sendi. Fleksibilitas pasif merupakan penunjang fleksibilitas dinamis, tetapi tidak mutlak. Sedangkan fleksibilitas dinamis dikatakan sebagai mobilitas aktif ROM, dimana otot berkontraksi secara aktif untuk gerakan satu sendi, segmen, dan keseluruhan tubuh. Aspek fleksibilitas ini bergantung pada derajat ROM sendi yang dihasilkan oleh kontraksi otot dan besarnya tahanan jaringan yang terulur selama pergerakan aktif (Kisner and Colby, 2007).

Upload: trantuyen

Post on 23-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fleksibilitas

2.1.1 Pengertian

Fleksibilitas adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk mengalami

pemanjangan semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup

gerak sendi yang penuh, tanpa disertai timbulnya rasa nyeri. Fleksibilitas

berkaitan erat dengan jaringan lunak, seperti ligamen, tendon dan otot, disamping

struktur tulang itu sendiri. Fleksibilitas juga berhubungan dengan ekstensibilitas

dari musculotendinous unit yang saling bersilangan sebagai dasar kemampuan

otot untuk rileks atau berubah bentuk dalam proses peregangan (Wismanto, 2011)

Ada dua jenis fleksibilitas, yaitu fleksibilitas statis dan fleksibilitas dinamis.

Fleksibilitas statis dikatakan sebagai mobilisasi pasif yang merupakan derajat

Range of Motion (ROM) dimana otot dan jaringan ikat sendi dapat diulur secara

pasif bergantung pada ekstensibilitas otot dan jaringan konektif yang melewati

dan mengelilingi sendi. Fleksibilitas pasif merupakan penunjang fleksibilitas

dinamis, tetapi tidak mutlak. Sedangkan fleksibilitas dinamis dikatakan sebagai

mobilitas aktif ROM, dimana otot berkontraksi secara aktif untuk gerakan satu

sendi, segmen, dan keseluruhan tubuh. Aspek fleksibilitas ini bergantung pada

derajat ROM sendi yang dihasilkan oleh kontraksi otot dan besarnya tahanan

jaringan yang terulur selama pergerakan aktif (Kisner and Colby, 2007).

2

Fleksibilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya struktur sendi,

usia, jenis kelamin, latihan atau aktivitas, suhu tubuh, serta kehamilan (Wismanto,

2011). Menurut Frankl (1999) disebutkan bahwa terdapat beberapa faktor internal

dan eksternal yang mempengaruhi fleksibilitas, yaitu:

1. Faktor internal :

a. Sendi: sendi dalam tubuh manusia dikelilingi oleh membran sinovial dan

tulang rawan artikular yang berfungsi melindungi dan memelihara sendi

dan permukaan sendi. Meningkatkan luas gerak sendi dengan mobilitas

tertentu dapat meningkatkan fleksibilitas.

b. Ligamen: ligamen terdiri dari dua jaringan yang berbeda yakni putih dan

kuning. Jaringan ikat putih tidak melar, tetapi sangat kuat sehingga bahkan

jika tulang yang patah jaringan akan tetap di tempatnya. Sedangkan

jaringan kuning merupakan jaringan yang elastis sehingga dapat ditarik

jauh namun bisa kembali ke posisi semula.

c. Tendon: tendon tidak elastis bahkan kurang elastis. Tendon dikategorikan

sebagai jaringan ikat yang mendukung, mengelilingi, dan mengikat serat-

serat otot.

d. Jaringan areolar: merupakan jaringan yang permeable dan secara luas

didistribusikan ke seluruh tubuh. Jaringan ini bertugas sebagai pengikat

untuk semua jaringan lain.

e. Jaringan otot: jaringan otot terbuat dari bahan elastis yang diatur dalam

bundel dari serat paralel.

3

f. Reseptor peregangan: reseptor ini memiliki dua bagian yaitu sel spindle

dan golgi tendon.

2. Faktor eksternal :

a. Ukuran tubuh: orang dengan jumlah lemak tinggi (obesitas) akan menurun

fleksibilitasnya karena luas gerak sendinya menjadi terbatas.

b. Aktivitas: orang yang aktivitasnya banyak diam akan berpengaruh pada

fleksibilitasnya. Hal ini terjadi karena jaringan lunak dan sendi menyusut

sehingga kehilangan daya regang otot, dimana jika seseorang tidak aktif

maka otot-otot dipertahankan pada posisi memendek dalam waktu yang

lama.

c. Cedera: akibat adanya cedera pada sendi, otot, dan tulang maka seseorang

akan takut menggerakkan anggota gerak karena nyeri sehingga akan

berpengaruh terhadap fleksibilitasnya.

d. Usia: pengaruh usia terhadap fleksibilitas digambarkan seperti kurva.

Dimana diawali pada usia anak-anak yang semakin meningkat

fleksibilitasnya namun sesudah remaja mulai menurun karena gaya hidup

yang tidak lagi aktif seperti saat usia anak-anak, apalagi pada usia dewasa

yang mana telah mulai muncul masalah-masalah degeneratif.

e. Jenis kelamin: secara umum wanita lebih fleksibel daripada laki-laki. Hal

itu dikarenakan faktor hormonal, dimana laki-laki memiliki hormon

testosteron yang memicu pertumbuhan dan pemendekan otot. Sedangkan

perempuan memiliki hormon estrogen yang dapat meningkatkan panjang

otot dan kelemahan sendi.

4

f. Pengalaman: seseorang yang memiliki pengalaman berolahraga yang

membutuhkan gerakan dinamis yang besar akan memiliki jangkauan gerak

yang lebih baik daripada seseorang dengan gaya hidup biasa saja.

Fleksibiltas yang baik ditunjukkan dengan sendi dapat bergerak secara luas

gerak sendi yang penuh dan otot dapat berkontraksi secara konsentrik dan

eksentrik dengan maksimal ROM dan tanpa timbulnya rasa nyeri. Fleksibilitas

berperan penting dalam aktivitas sehari-hari. Fleksibilitas yang baik pada jaringan

atau otot serta sendi dapat meningkatkan kecepatan, koordinasi dan kelincahan,

mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pada otot atau sendi,

serta membantu dalam memperbaiki sikap tubuh (Lutan et al., 2005). Menurut

Budiharjo et al (2005) fleksibilitas yang baik akan mengurangi penggunaan energi

yang berlebihan saat melakukan suatu gerakan sehingga akan tercipta gerakan

yang luwes dan tidak kaku.

Penurunan fleksibilitas pada otot dan sendi akan menyebabkan gangguan

gerak fungsional. Fleksibilitas yang buruk akan menyebabkan keterbatasan dalam

melakukan gerakan, otot akan dipaksa untuk bekerja lebih keras untuk mengatasi

tahanan kegiatan yang dinamis dan berlangsung lama sehingga energi yang

diperlukan akan lebih besar, serta penurunan kecepatan dan kelincahan.

Penurunan fleksibilitas sendi atau otot banyak terjadi di masyarakat dan sering

tidak disadari. Namun, hal tersebut jika dibiarkan akan mengganggu aktivitas

sehari-hari serta yang lebih parahnya lagi akan menimbulkan gangguan

muskuloskeletal lainnya.

5

2.1.2 Fleksibilitas Otot Hamstring

Fleksibilitas otot hamstring sangat ditentukan dari panjang otot hamstring

itu sendiri. Apabila otot hamstring mengalami pemendekan maka fleksibilitas otot

tersebut juga akan menurun. Hal ini dapat terjadi karena suatu kondisi seperti

terjadinya kekakuan sendi dan pemendekan otot. Keadaan tersebut akan mudah

menimbulkan cedera yang biasa terjadi pada perut otot atau tendon daripada

hamstring, serta menyebabkan penurunan kekuatan dan keseimbangan otot

sehingga kontraksi menjadi tidak sinergis (Wiguna, 2015).

Penurunan fleksibilitas hamstring dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

seperti pemendekan otot hamstring, cedera akut ataupun kronis pada otot

hamstring, menurunnya sendi panggul, aktivitas yang berlebihan, serta pola

latihan yang tidak benar (Miller, 2010). Penggunaan otot hamstring yang

berlebihan merupakan penyebab utama ketegangan pada otot hamstring. Hal ini

terjadi ketika otot ditarik melebihi kapasitasnya atau berkontraksi secara tiba-tiba

dengan beban yang berlebihan.

Menurunnya Fleksibilitas Hamstring merupakan temuan klinis yang umum

pada remaja. Brodersen (1994). mengamati bahwa 75% anak laki-laki dan 35%

anak perempuan berusia 10 tahun mengalami penurunan fleksibilitas paha

belakang (Hamstring). Harreby (1999). mengkonfirmasi penelitian ini pada

remaja usia 15 sampai 17 tahun. Penurunan fleksibilitas paha belakang

dilaporkan dikaitkan dengan peningkatan prevalensi nyeri punggung, hernia

lumbar diskus, penurunan lordosis lumbal, penurunan ROM fleksi lumbal dan

meningkatkan ROM fleksi toraks, meningkat sudut kyphosis toraks pada remaja

6

dengan penyakit Scheuermann dan risiko yang lebih tinggi dari cedera otot

(Czaprowski et al, 2013).

2.2. Hamstring Tightness

Tightness pada otot merupakan suatu gambaran terjadinya keterbatasan

gerak akibat pemendekan adaptif dari jaringan kontraktil dan beberapa unsur

(element) dari non-kontraktil otot (Kisner and Colby, 2007). Terjadi

ketidakseimbangan kerja otot yang menyebabkan perubahan elastisitas pada otot

tersebut (Key, 2010). Menurut Lubis (2011) tightness adalah suatu keadaan

dimana terjadinya tumpang tindih antara filamen aktin dengan miosin dan tidak

dapat kembali ke posisi normal. Istilah ini disebut sebagai guarding spasm.

Hamstring tightness dapat dikatakan sebagai suatu kondisi dimana otot hamstring

mengalami gangguan elastisitas dan gangguan gerak akibat pemendekan yang

bersifat adaktif pada element otot (Amin, 2015).

Menurut penelitian Odunaiya et al (2005) mengatakan bahwa pemendekan

otot hamstring mengakibatkan meningkatnya tekanan patelo femoral syndrome.

Selain itu pemendekan otot hamstring juga mempengaruhi aktivitas berjalan

dimana penelitian Bing et al (2008) menunjukkan bahwa kecepatan pemanjangan

otot hamstring secara signifikan lebih tinggi selama fase menapak dibandingkan

fase mengayun, sehingga untuk aktivitas berjalan dengan efisien membutuhkan

fleksibilitas otot hamstring yang baik untuk meminimalkan cedera. Otot

hamstring yang mengalami pemendekan menyebabkan seseorang mudah untuk

terkena cedera (strain) dan dapat berpengaruh pada kekuatan dan keseimbangan

dari otot sehingga kerja dari otot tidak bisa maksimal dan sinergis (Gago, 2012).

7

Tightness pada otot menyebabkan terbatasnya gerak ROM secara normal.

Pada kasus – kasus tertentu fleksibilitas yang buruk dapat menjadi faktor utama

yang menyebabkan nyeri pada otot dan sendi. Masalah-masalah yang timbul

akibat dari pemendekan yang terjadi pada otot Hamstring yaitu:

1. Nyeri, dapat terjadi karena menurunnya fleksibilitas pada otot yang berarti

kemampuan otot untuk mengulur dan kembali ke bentuk semula mengalami

gangguan. Hal ini dapat terjadi karena otot tersebut jarang sekali atau bahkan

tidak pernah terulur secara maksimal sesuai dengan kemampuannya pada saat

seseorang melakukan aktivitas, baik itu tidur, duduk, berlutut, berdiri maupun

berjalan, yang menyebab-kan otot kehilangan kemampuan fleksibilitasnya

secara normal, sehingga bila terjadi penguluran pada otot tersebut, komponen

dalam otot (golgi tendon) secara otomatis akan memberikan reaksi

perlawanan yang menimbulkan nyeri pada saat dilakukan penguluran.

2. Keterbatasan gerak, akibat adanya rasa nyeri serta fleksibilitas otot Hamstring

yang menurun, tubuh secara otomatis akan membatasi gerakan-gerakan yang

akan mengulur otot Hamstring tersebut agar tidak timbul nyeri.

3. Penurunan lingkup gerak sendi lutut dapat terjadi karena adanya nyeri dan

keterbatasan gerak pada otot Hamstring sehingga dapat mengganggu aktivitas

sehari-hari.

4. Kelemahan otot, reaksi tubuh untuk menghindari timbulnya rasa nyeri pada

otot Hamstring yaitu dengan membatasi gerakan penguluran penyebab nyeri

tersebut. Pembatasan gerakan yang terjadi menyebabkan otot Hamstring

8

sangat jarang atau tidak pernah terulur secara maksimal dan lama kelamaan

akan menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot tersebut.

5. Gangguan postur, untuk menghindari rasa tidak nyaman/nyeri yang

mengganggu aktivitas, tubuh akan memposisikan dirinya pada posisi yang

berlawanan dengan tim-bulnya rasa nyeri, walaupun tidak dalam posisi yang

benar. Posisi yang salah yang dilakukan secara terus-menerus, lama ke-

lamaan akan menjadi kebiasaan dan menetap. Hal ini akan membentuk postur

tubuh yang asymetris dan gerakan yang dilakukan juga akan menjadi tidak

efisien (Wismanto, 2011).

Respon otot akan lebih cepat untuk mengalami pemendekan ketika bekerja

secara intensif. Jika otot tersebut tidak segera di stretch setelah bekerja maka otot

akan tetap memendek, tightness dan membuat otot pada sendi sisi yang

berlawanan bekerja lebih keras. Hal ini akan membuat otot yang bekerja lebih

sedikit menjadi lemah. Jika otot Hamstring yang memendek tetap dibiarkan, pola

jalan seseorang akan ikut berubah. Ini berarti gerakan pada sendi akan terbatas,

dan pembuluh darah terjepit sehingga sirkulasi terganggu (Irfan, 2012). Pada

kasus tightness ataupun pemendekan pada Hamstring, kerja Quadricep terlalu

besar. Hal ini akan meningkatkan beban pada beberapa sendi, terutama sendi

patello femoral dan menjadi masalah penting yang menyebabkan nyeri pada

bagian depan lutut dan fraktur penekanan pada patella dan tubercle tibia (Temelli,

2009).

9

2.3 Anatomi Biomekanik

2.3.1 Otot Hamstring

Otot Hamstring merupakan suatu group otot pada sendi hip (hip joint) yang

terletak pada sisi belakang paha yang terdiri dari 3 kumpulan otot diantaranya M.

Semitendinosus, M. Semimembranosus, dan M. Biceps Femoris (Gambar 2.1).

Group otot ini terletak pada superficial bagian posterior dari hip dan knee yang

melewati 2 persendian (biarticular) yaitu sendi panggul dan sendi lutut (Luque-

Suarez, 2012).

M. Semitendinosus berasal dari caput bersama yaitu dari tuber ischiadicum

dan berjalan ke facies medialis tibiae bersama-sama dengan M. gracilis dan M.

sartorius untuk bergabung dengan pes anserinus superficialis. Disini juga terdapat

bursa anserina diantara permukaan tibia dan tempat perlekatan pada pes anserinus.

Otot ini bekerja pada dua sendi, yaitu ekstensi pada sendi panggul dan fleksi pada

sendi lutut serta rotasi medialis tungkai bawah. Persarafan: N. tibialis (L5-S2)

(Irfan dan Natalia, 2008).

M. Semimembranosus, berasal dari tuberositas ischiadium dan berinsertio

pada condylus medial tibia. Otot ini berhubungan erat dengan M. semitendinosus.

Di bawah ligamentum collaterale mediale, tendonya dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu bagian pertama berjalan ke anterior terhadap condy-lus medialis tibiae,

bagian kedua masuk ke fascia poplitea dan bagian ketiga melanjutkan diri ke

dinding posterior capsula ligamentum popliteum obliquum. Pembagian menjadi

tiga bagian ini dikenal sebagai pes anserinus profundus. Otot ini bekerja pada dua

sendi dan berfungsi mirip M. semitendinosus. Otot ini dapat melakukan ekstensi

10

sendi panggul dan fleksi sendi lutut dengan rotasi medialis pada sendi lutut. Di

antara tendo tersebut (sebelum terbagi-bagi) dan caput mediale M. gastrocnemius

terdapat bursa musculi semimembranosi, yang kadang-kadang berhubungan

dengan bursa subtendinei mus-culi gastrocnemii medialis. Persarafan: N. tibialis

(L5-S2) (Irfan dan Natalia, 2008)

M. biceps femoris mempunyai dua caput, yaitu caput longum dan caput

breve. M. biceps femoris caput longum bekerja pada dua sendi, berasal dari

tuberositas ischiadicum bersama-sama dengan M. semitendinosus. M. biceps

femoris caput breve hanya bekerja pada satu sendi, berasal dari sepertiga tengah

linea aspera labium laterale dan lateralis terhadap septum intermusculare.

Penyatuan caput membentuk M. biceps femoris yang berinsertio pada caput

fibulae. Diantara otot dan ligamentum collaterale fibulare sendi lutut terdapat

bursa subtendinea musculi bicepitis femoris inferior. Caput longum biceps

femoris menghasilkan gerak ekstensi (retroversi) sendi panggul. M. biceps

femoris melakukan fleksi sendi lutut dan rotasi lateralis tungkai bawah yang

fleksi. Hanya terjadi rotasi lateralis pada sendi lutut dan karena itu melawan

semua otot rotator medialis. Persarafan: N. tibialis (L5-S2) untuk caput longum,

N. peroneus communis (S1-S2) untuk caput breve (Irfan dan Natalia, 2008).

11

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Otot Hamstring (Cael, 2010)

2.3.2 Persarafan Otot Hamstring

Gerak pada otot mendapatkan perintah dan informasi baik sensoris maupun

motoris dari sistem saraf yang menghubungkan. Hamstring memiliki komponen

innervasi fungsi diberbagai area bagian, misalnya pada otot biceps femoris, antara

otot biceps femoris long head dan biceps femoris short head memiliki inervasi

yang berbeda bahkan setiap orangpun bisa berbeda pola inervasinya.

Persarafan otot Biceps femoris, caput longum dipersarafi oleh pars tibialis

dari n. Ischiadicus; caput brevis dipersarafi oleh pars peroneus communis dari n.

Ischiadicus. Otot semitendinosus dipersarafi oleh pars tibialis dari n. Ischiadicus.

Otot semimembranosus dipersarafi oleh pars tibialis dari n. Ischiadicus.

Penelitian yang dilakukan oleh Woodley dan Mercer (2005) yang menguji tentang

Hamstring Architecture and Innervation pada 6 cadaver yang terbagi 3 cadaver

12

wanita dan 3 cadaver pria, semua cadaver tersebut usianya sekitar 66-88 tahun

ketika meninggal.

Woodley dan Mercer menemukan pola inervasi (Pattern of Innervation)

yang berbeda pada otot biceps femoris long head, perbedaannya terkait asal

cabang saraf (nerve branch originated) di 6 spesimen tersebut, mereka

menemukan 4 diantaranya bercabang dari saraf sciatic (sciatic nerve) dan 2 dari

spesimen lainnya dari saraf tibialis (tibialis nerve). Pada otot biceps femoris short

head 4 spesimen berasal dari saraf peroneal (peroneal nerve) sedangkan 2

spesimen yang lainnya berasal dari cabang saraf sciatic (sciatic nerve), lalu untuk

semitendinosus dan semimembranosus muscle innervation untuk ketika spesimen

merupakan percabangan dari saraf tibial (tibialis nerve) dan ketiga spesimen

lainnya dari percabangan saraf sciatic (sciatic nerve).

2.3.3 Biomekanik Otot Hamstring

a. Osteokinematik

Osteokinematik adalah gerak sendi yang dilihat dari gerak tulangnya saja.

Pada osteokinematik hip joint gerakan yang terjadi berupa gerak rotasi spin dan

rotasi putar. Sendi paha (hip joint) merupakan termasuk dalam ball and socked

joint dengan tiga derajat kebebasan gerak. Fleksi-ekstensi terjadi pada bidang

sagital di sekitar axis medio-lateral dengan gerak rotasi spin tidak murni.

Abduksi-adduksi terjadi dalam bidang frontal di sekitar axis antero-posterior

dengan gerak rotasi spin. Eksternal rotasi-internal rotasi terjadi pada bidang

transversal di sekitar axis vertikal dengan gerak rotasi spin pada posisi tungkai

ekstensi. Sirkumduksi merupakan gabungan gerakan dimana tungkai dianggap

13

sebagai per-mukaan kerucut yang tidak beraturan dan apexnya terletak pada caput

femoris. ROM pasif gerak fleksi umumnya sekitar 90°-140°. Ekstensi berkisar

10°-30° dalam batas nor-malnya. ROM pasif gerak abduksi umumnya sekitar 30°

dan gerak adduksi berkisar 15° dalam batas normalnya. Gerak rotasi yang ter-

besar terjadi pada posisi hip ekstensi, dimana eksternal rotasinya sebesar 90° dan

internal rotasinya sebesar 80° (Wismanto, 2011).

Sendi tibiofemoral merupakan sendi kondiloid ganda dengan dua derajat

kebebasan gerak. Fleksi-ekstensi terjadi pada bidang sagi-tal di sekitar axis

medio-lateral dengan gerak rotasi ayun. Eksternal rotasi-internal rotasi terjadi

pada bidang transversal di sekitar axis vertikal dengan gerak rotasi spin pada

posisi kaki menekuk. Inkongruen dan asimetris dari sendi tibiofemoral

dikombinasikan dengan aktifitas otot dan penguluran ligamen akan menghasilkan

gerak rotasi secara otomatis. Gerak rotasi yang terjadi secara otomatis ini terdapat

secara primer pada gerak ekstensi yang ekstrim sebagai gerak perhentian dari

kondilus lateral yang pendek tetapi terjadi secara kontinue pada condilus yang

lebih panjang. Selama akhir dari ROM gerak ekstensi aktif, rotasi yang terjadi

secara otomatis diha-silkan seperti mekanisme dari putaran screw (mur) atau

penguncian (locking) dari lutut. Untuk memulai gerak fleksi, penguncian lutut

harus terbuka dengan rotasi yang berlawanan. ROM pasif gerak fleksi umumnya

sekitar 130°-140°. Hiperekstensi berkisar 5°-10° dalam batas normalnya. Gerak

rotasi yang terbesar terjadi pada posisi lutut fleksi 90°, dimana lateral rotasinya

sebesar 45° dan medial rotasinya sebesar 15° (Irfan dan Natalia, 2008).

14

Gambar 2.2 Gerakan Hip joint (Neumann, 2002)

b. Arthrokinematik

Arthrokinematik adalah gerakan yang terjadi pada permukaan sendi. Pada

arthrokinematik gerakan yang terjadi berupa gerak roll dan slide. Dari kedua

gerak tersebut dapat diuraikan lagi menjadi gerak traksi-kompresi, translasi, dan

spin.

Caput femoris berbentuk konveks seperti bola yang melekat pada collum

femoris, dengan arahnya adalah menghadap anterior, medial, dan superior.

Sedangkan asetabulum berbentuk konkaf dengan arahnya menghadap anterior,

lateral, dan inferior. Pada setiap gerakan hip joint, caput femoris selalu bergerak

(slide) berlawanan arah dengan gerakan angular (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

15

Permukaan sendi pada femur lebih besar dari pada tibia, ini biasanya terjadi

pada saat kondisi weight bearing. Kondilus femoral harus melakukan gerak

rolling dan sliding untuk tetap berada di atas tibia. Pada gerak fleksi dengan

weight bearing, kondilus femoris rolling ke arah posterior dan sliding ke arah

anterior. Pada gerak ekstensi, kondilus femoralis rolling ke arah anterior dan

sliding ke arah posterior. Pada akhir gerak ekstensi, gerakan dihentikan pada

kondilus femoralis lateral, tapi sliding pada kondilus medial tetap berlanjut untuk

menghasilkan penguncian sendi.

Pada gerakan aktif non weight bearing, permukaan sendi pada tibia yang

konkaf mela-kukan gerak slide pada kondilus femoral yang konveks dengan arah

gerakan searah sumbu tulang tibia. Kondilus tibia melakukan gerak slide ke arah

posterior pada kondilus femoral saat fleksi. Selama ekstensi dari gerak full fleksi

kondilus tibia bergerak ke arah anterior pada kondilus femoral. Patela bergeser ke

arah superior saat ekstensi, dan bergeser ke inferior saat fleksi. Beberapa gerak

rotasi patela dan tilting yang terjadi berhubungan dengan gerak sliding saat fleksi

dan ekstensi (Irfan dan Natalia, 2008).

Gambar 2.3 Gerakan Caput Femur dan Asetabulum Hip joint

(Sumber: Neumann, 2002)

16

Tabel 2.1 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika

Gerakan angular femur Arthrokinematika caput femur

terhadap acetabulum

Fleksi Posterior/spin

Ekstensi Anterior/spin

Abduksi Inferior

Adduksi Superior

Endorotasi Posterior

Eksorotasi Anterior

(Sumber: Anshar dan Sudaryanto, 2011)

c. Biomekanik Otot Skeletal

Otot hamstring merupakan salah satu jenis otot skeletal yang berfungsi

sebagai penggerak tubuh bagian bawah (lower limb). Dimana setiap otot skeletal

terdiri dari banyak serabut otot yang berbentuk seperti benang/serabut. Membran

yang membungkus serabut otot dinamakan dengan sarkolema. Sarkolema

berbentuk seperti neuron yang mengandung potensial membran. Neuron tersebut

akan mengeluarkan impuls yang berjalan ke sarkolema yang mengakibatkan sel

otot berkontraksi. Transverse tubulus merupakan lubang yang ada pada sarkolema

yang berfungsi menghantarkan impuls dari sarkolema ke dalam sel terutama pada

struktur lain di dalam sel yang menyelubungi miofilamen yang disebut

sarcoplasmic reticulum. Tranverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan

dengan retikulum sarkoplasmik dalam menghantarkan impuls serta tempat

penyimpanan ion kalsium. Antara retikulum sarkoplasmik dengan sitoplasma sel

otot disebut sarkoplasma. Pada sarkoplasma tersebut terjadi pemompaan ion

kalsium. Ketika impuls saraf ada pada membran sarcoplasmic reticulum maka

17

terjadi pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium menuju pada

sarkoplasma yang akan mempengaruhi miofibril untuk berkontraksi (Fatmawati,

2012).

Sarkoplasma pada setiap serabut otot mengandung sejumlah nukleus dan

mitokondria, serta sejumlah benang/serabut miofibril yang berjalan paralel sejajar

satu sama lain. Miofibril mengandung 2 tipe filamen protein yang susunannya

menghasilkan karakteristik pola striated sehingga dinamakan otot striated atau

otot skeletal (Anshar dan Sudaryanto, 2011). Miofibril terbuat dari molekul

protein yang panjang disebut miofilamen. Miofilamen terdiri dari 2 jenis yaitu

thick miofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin miofilamen yang berwarna

lebih terang. Kedua jenis miofilamen tersebut membentuk sub unit yang saling

berhubungan dalam miofibril. Sub unit tersebut dinamakan sebagai sarkomer yang

merupakan unit struktural dasar dari serabut otot. Di dalam sarkomer, thick

miofilamen berada di tengah dan diapit oleh thin miofilamen. Jika dilihat dalam

mikroskopis daerah tengah sarkomer akan terlihat lebih gelap yang disebut

dengan I-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan

A-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line

(Sherwood, 2006).

Kepala miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP binding site dan

aktin binding site. Pergeseran miosin yang terjadi disebabkan karena kepala dari

miosin bertemu dengan molekul aktin di dalam miofilamen. Thin miofilamen

terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, troponin dan tropomiosin. Pada otot

yang rileks, molekul miosin menempel pada benang molekul tropomiosin, ketika

18

ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah bentuk dan posisi troponin.

Perubahan tersebut membuat molekul tropomiosin terdorong dan menjadikan

kepala miosin bersentuhan dengan molekul aktin. Persentuhan tersebut membuat

kepala miosin bergeser. Pada akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan

memecah ikatan antara aktin dan miosin. Kepala miosin kembali bergerak ke

belakang dan ATP dipecah sebagai ADP + P. Kepala miosin kembali berikatan

dengan molekul aktin yang lain. Ikatan ini membuat terjadinya lagi gerakan aktin

terdorong oleh kepala miosin (Fatmawati, 2012).

Relaksasi otot skeletal akan terjadi apabila impuls saraf melalui end plates.

Akibat dari ketiadaan impuls tersebut maka tidak ada ion kalsium yang masuk ke

dalam sitoplasma karena pintu masuk kalsium menjadi tertutup sehingga kalsium

akan kembali masuk ke dalam sarcoplasmic reticulum. Selanjutnya akibat

kembalinya kalsium ke dalam sarcoplasmic reticulum menyebabkan posisi

troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali normal dan

memutus hubungan antara kepala miosin dan aktin. Otot akan kembali rileks pada

saat kepala miosin dan aktin tidak lagi saling berhubungan sehingga tak ada lagi

pergeseran molekul.

19

Gambar 2.4 Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot

(Sherwood, 2006)

Seperti gambar diatas, mekanisme terjadinya kontraksi otot dimulai dengan

adanya suatu beda potensial pada motor end plate akibat suatu stimulus sehingga

tercetusnya suatu potensial aksi pada serabut otot. Menurut Azizah dan Hardjono

(2006), ada 2 tipe serabut yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-

twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat di dalam suatu otot tunggal.

1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut juga red muscle karena

berwarna lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik

tertentu, yaitu menghasilkan kontraksi yang lambat (kecepatan kontraktil yang

lambat), banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria, kekuatan motor

unit yang rendah, tahan terhadap kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang

tinggi dan berfungsi untuk mempertahankan sikap.

2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut juga white muscle

karena berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan

kontraksi yang cepat (kecepatan kontraktil yang cepat), tidak tahan terhadap

kelelahan (cepat lelah), memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak

20

mengandung miofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk

melakukan gerakan yang cepat dan kuat.

3. Penyebaran depolarisasi akan terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan

pelepasaaan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi

Ca2+ ke filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi pengikatan Ca2+

oleh troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses

tersebut akan menyebabkan terbentuknya ikatan silang antara aktin dan miosin,

serta akan menyebabkan timbulnya suatu kontraksi otot. Sedangkan pada tahap

relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum sarkoplasmik,

sehingga terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin yang akan mengakibatkan

interaksi antara aktin dan miosin berhenti.

Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik.

Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi

konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi

gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada

saat memanjang untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi

otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011).

2.2.4 Peran Otot Hamstring pada Otot Postural

Hamstring yang berfungsi sebgaai stabilisator postural menurut Wismanto

(2011) ternyata didukung oleh teorinya Hoskins dan Pollard (2005) yang

mengatakan bahwa otot hamstring terkoneksi dengan otot-otot yang berada di

punggung belakang yang merupakan komponen stabilisator postur tubuh. Origo

biceps femoris long head yang melekat pada ischial tuberosity merupakan

21

kepanjangan dari ligament sacrotuberous yang posisinya menyilang di Os. Sacrum

dan melekat pada Thoracolumbar fascia (TLF). TLF terhubung dengan beberapa

jaringan contractile dan non-contractile lainnya seperti Latisimus Dorsi,

Transversus Abdominus, Internal Oblique, Rhomboid, Splenius Capitis, Cervicus

trendon, Lumbar Vertebrae, dan Posterior Superior Illiac Spines. Selain itu biceps

femoris juga terkoneksi kuat dengan otot Peroneus Longus yang melekat di Os.

Fibula yang bertugas sebagai peggerak ankle. Sehingga pada intinya otot

hamstring secara fungsional terhubung dengan lumbar-pelvic spine, upper torso,

dan shoulder lalu apabila otot hamstring mengalami tightness maka akan

berdampak pada TLF, dan mengganggu pergerakan dari Sacroilliac Joint (SIJ).

2.4 Etiologi Hamstring Tightness

Hamstring tightness merupakan gangguan elastisitas dari otot Hamstring.

Ada beberap penyebab yang mengakibatkan terjadinya tightness pada otot

Hamstring. Berdasarkan dari beberapa teori-teori yang ada menyatakan penyebab

otot Hamstring mengalami tightness dan mengalami gangguan fleksibilitas, yaitu

antara lain :

1. Overuse : aktivitas yang terlalu belebihan pada otot Hamstring akan membuat

otot tersebut mengalami kelelahan. Page et al (2010) berpendapat bahwa yang

menyebabkan otot menjadi kaku (tight) adalah overuse dan trauma otot,

dikarenakan hal tersebut akan menyebabkan ischemia pada beberapa serabut

otot yang lainnya, sehingga akan terganggunya sirkulasi nutrien pada area

serabut otot sekitarnya.

22

2. Inactivity : selain overuse, terjadinya tightness pada otot dapat disebabkan

juga akibat kurangnya aktivitas. Hal tersebut dikarenakan inactivity akan

menyebabkan terjadinya perubahan secara fisiologis dalam otot, seperti

misalnya : terjadi penurunan neural input pada serabut otot yang

menyebabkan massa otot berubah, perubahan distribusi metabolisme

(metabolic pathways) dalam otot, menurunnya massa jenis pembuluh darah

kapiler (capillary density) dalam otot, dan semua hal tersebut akan

mengakibatkan penurunan elastisitas pada otot (Lennard and Crabtree, 2005).

3. Muscle imbalance : ketidak seimbangan pada otot yang dimaksud yaitu

terjadinya kompensasi antar kerja otot, contohnya jika otot-otot punggung

bawah mengalami kelemahan maka otot Hamstring dan gluteal akan menarik

pelvic berputar kearah posterior menyebabkan otot Hamstring dan gluteal

terjadi peningkatan tonisitas, begitu juga otot-otot yang berada di area

abdominal akan menarik crista pubica tempat insertio dari otot rectus

abdominus yang menyebabkan otot quadriceps dalam keadaan eksentrik

(Page et al, 2010).

4. Postural disfunction : gangguan pada fungsi postural sangat berkaitan dengan

postural habits, maksudnya keadaan postur dalam rutinitas individu sehari-

hari (Kisner and Colby, 2007). Contohnya dalam posisi duduk yang tidak

baik akan menyebabkan kelengkungan posisi kurva vertebra lumbal akan

mengalami perubahan. Perubahan tersebut yakni kurva lumbal menjadi flat.

Dan apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan perubahan postur

pada bagian lainnya, seperti misalnya posisi dagu akan terlalu menjorok ke

23

arah anterior (neck forward) dan kedua bahu akan mengalami posisi protraksi

serta pelvic akan berputar ke arah posterior (Black et al, 1996), dan kita

ketahui sebelumnya apabila posisi pelvic berputar ke arah posterior akan

menyebabkan peningkatan tensitas pada otot Hamstring dan apabila menjadi

kebiasaan akan beresiko mengalami tightness dan shortness pada otot

tersebut sehingga fleksibilitas dari otot Hamstring menjadi terganggu.

2.5 Patofisiologi Hamstring Tightness

Dalam tubuh manusia terdapat suatu reaksi yang berantai (chain reactions),

hal tersebut menyebabkan terdapatnya keterkaitan penyebab satu dengan yang

lainnya. Tubuh memiliki fungsi yang saling berkaitan dari satu sistem ke sistem

lain, karena tidak ada suatu sistem dalam tubuh manusia yang bekerja secara

independent (Page et al, 2010).

Page et al (2010) menjelaskan beberapa komponen sistem Chain Reactions

yang terdiri dari Articular Chains, Muscular Chains, dan Neurological Chains.

Articular Chains berfungsi untuk memelihara, mengatur dan mempertahankan

posture serta gerakan sistem skeletal secara menyeluruh. Muscular Chains

memiliki fungsi sebagai penyiap gerakan dan stabilisasi melalui kerja otot yang

sinergis antar tiap otot dan jaringan fascial. Sedangkan Neurological Chains

berfungsi menyediakan kontrol dalam gerakan seperti reflek mempertahankan

suatu gerakan (protective reflexes), perkembangan progresi dari locomotor sistem

atau Neurodevelopmental motor progression, dan mengatur sensorimotor sistem

dalam suatu gerakan. Ketiga sistem chain reactions ini merupakan suatu

24

komponen kesatuan yang disebut Neuromusculoskeletal yang berfungsi dan

bertanggung jawab atas gerak fungsional tubuh.

Otot spasm merupakan kontraksi berkepanjangan dari otot dalam merespon

adanya perubahan sirkulasi metabolisme yang terjadi ketika otot dalam keadaan

terus kontraksi (Kisner et al., 2007). Otot yang berkontraksi secara terus menerus

akan berada pada saat yang namanya kelelahan otot. Kondisi dimana ATP dipakai

secara terus menerus sedangkan produksi ATP tidak berimbang. Tanpa adanya

ATP yang cukup pada muscle fiber maka fungsi dari cross-bridge dan ion

transport tidak berjalan normal. Kelelahan otot dapat menjadi ekstrime jika

kontraksi berkepanjangan sedangkan ATP yang diproduksi dengan pemakaian

tidak seimbang sehingga otot akan mengalami kontraktur. Kontraktur otot terjadi

akibat tidak mampu melakukan kontraksi relaksasi dan menyebabkan

pemendekan otot (Guyton and Hall, 2006; Seeley et al., 2006).

Pada pemendekan hamstring dalam jangka waktu yang lama akan

berpengaruh pada kestabilan otot-otot disekitarnya karena sifat kerja dari otot

seperti mata rantai antara otot yang satu dengan yang lain saling berhubungan.

Otot-otot disekeliling akan bekerja over karena menggantikan fungsi kerja otot

yang memendek sehingga menimbulkan reaksi yang dinamakan kompensasi.

Gerakan yang timbul akibat kompensasi menyebabkan pergerakan dari persendian

menjadi tidak selektif. Efek dari pergerakan yang tidak selektif dalam jangka

waktu yang lama berakibat otot-otot disekitar ikut mengalami pemendekan

(Shumway-Cook, 2007).

25

Otot hamstring berperan dalam gerakan fleksi lutut, ekstensi hip, serta

gerakan eksternal dan internal rotasi hip. Otot hamstring merupakan jenis otot tipe

I atau tonik, dimana apabila terjadi suatu patologi maka otot hamstring akan

mengalami penegangan dan pemendekan atau kontraktur. Panjang otot hamstring

berkaitan erat dengan fleksibilitas otot, dimana apabila suatu otot mengalami

pemendekan maka fleksibilitas otot tersebut juga akan mengalami penurunan.

2.6 Pemeriksaan Fleksibilitas Otot Hamstring

Pemeriksaan fleksibilitas termasuk latihan fleksi dan ekstensi. Fleksi dimana

sudut tubuh dan artikulasi yang menurun melalui gerakan dan ekstensi dimana

sudut tubuh dan artikulasi meningkat melalui gerakan. Pada kondisi hamstring

tightness dan mengalami gangguan fleksibilitas hamstring pemeriksaannya dapat

dilakukan dengan manual menggunakan sit and reach test (SRT) (Gambar ), dan

back saver sit and reach test (BSSRT) (Lopez-Minarro, 2009; Lopez-Minarro,

2012; Gago, 2013), dan staright leg raising (SLR) test. SRT merupakan alat ukur

selain digunakan untuk pemeriksaan fleksibilitas hamstring juga dapat digunakan

untuk pemeriksaan fleksibilitas punggung belakang (low back). Dalam penelitian

yang dilakukan Lopez-Minarro (2009) menunjukkan hasil bahwa SRT lebih valid

dibandingkan BSSRT. Penelitian tersebut dilakukan pada 143 sample yang terdiri

dari 67 wanita dan 76 pria dengan rata-rata usia 23 tahun, berat badan dengan

rata-rata 75 kg dan tinggi badan rata-rata sampel 1.76 m. Maka dari itu penulis

akan menggunakan SRT sebagai alat ukur dalam penelitian ini.

26

2.7 Sit and Reach Test (SRT)

2.7.1 Pengertian Sit and Reach Test (SRT)

Sit and Reach Test (SRT) adalah standar pemeriksaan untuk memeriksa

fleksibilitas otot hamstring dan otot punggung bawah (low back) (Glynn and

Fiddler, 2009). SRT sering digunakan untuk mengevaluasi ekstensibilitas dari otot

hamstring karena prosedurnya simple, mudah dilakukan, membutuhkan perlakuan

ketrampilan minimal dan sangat berguna dalam evaluasi skala ekstensibilitas

(Panteleimon et al., 2010). Sedangkan pendapat lain dari Quinn (2014) SRT

merupakan metode pengukuran untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring

dan punggung bawah yang menggunakan media berupa box terbuat dari papan

atau metal yang tingginya 30 cm, lalu di atas box tersebut diletakkan penggaris

ukut yang panjangnya 26 cm keluar dari box dan -26 cm sampai ke ujung dari box

tersebut (Gambar 2.5)

Gambar 2.5 Sit and Reach Test box (Panteleimon et al, 2010)

27

2.7.2 Prosedur Pengukuran Sit and Reach Test (SRT)

Sit and Reach Test menurut Davis et al (2000) terbagi menjadi beberapa

klasifikasi normal berdasarkan kriteria usia (Tabel 2.2). Dapat dilihat bahwa tabel

tersebut menjelaskan klasifikasi berdasarkan kriteria usia ≥ 20 tahun pada wanita

nilai “Baik Sekali” adalah >35 cm, nilai “Baik” adalah 32 – 35 cm, nilai “Sedang”

adalah 30 – 31 cm, nilai “Kurang” adalah 25 – 29 cm, nilai “Sangat Kurang” <25

cm.

Tabel 2.2 Klasifikasi Normal Pengukuran Sit and Reach Test

Klasifikasi fleksibilitas

Flesibilitas Statis (cm)

Usia 16 – 19 Tahun Usia ≥ 20 Tahun

Pria Wanita Pria Wanita

Baik Sekali >14 >15 >28 >35

Baik 11 – 14 12 – 15 24 – 28 32 – 35

Sedang 7 – 10 7 – 11 20 – 23 30 – 31

Kurang 4 – 6 4 – 6 17 – 19 25 – 29

Sangat Kurang <4 <4 <17 <25

Sumber Davis et al; Physical Education and the Study of Sport (2000)

Prosedur SRT pada saat pengukuran dilakukan dengan sampel duduk di

lantai dengan lutut ekstensi penuh dan pergelangan kaki posisi normal terhadap

box, kaki tanpa menggunakan alas (sepatu atau sandal). Kemudian sampel

diperintahkan untuk menempatkan satu tangan di atas tangan yang satunya lagi

sehingga ujung-ujung jari tangan terlihat seperti bertingkat. Selanjutnya dengan

perlahan-lahan tangan maju ke arah depan sejauh mungkin sambil menjaga lutut

tetap ekstensi, dan menyentuh permukaan alat ukur. Pengukuran dilakukan

sebanyak 3x pengulangan dan diambil nilai rata-rata, SRT skor (cm) tercatat

28

sebagai posisi akhir dari ujung jari (Gambar 2.6) (Quinn, 2008; Pantaleimon,

2010).

Gambar 2.6 Sit and Reach test (Lopez-Minarro et al., 2009 ; Lopez-Minarro et al.,

2012 ; Gago, 2013)

2.8 Penatalaksanaan Hamstring Tightness

2.8.1 Stretching

1. Pengertian

Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan

suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk meningkatkan ekstensibilitas dari

jaringan lunak yang mengalami pemendekan. Stretching merupakan penguluran

otot yang akan membantu meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas otot serta

memaksimalkan Range of Motion (ROM) dari persendian. Umumnya stretching

dibagi menjadi dua kelompok yaitu aktif stretching dan pasif stretching. Beberapa

manfaat dari stretching diantaranya (Kisner and Colby, 2007) :

a. Memperlancar aliran darah melalui otot-otot aktif

b. Meningkatkan pertukaran oksigen dalam hemoglobin

c. Memudahkan otot-otot berkontraksi secara lebih cepat dan efisien

29

d. Mengurangi adanya ketegangan pada otot

e. Terjadi peningkatan kondisi tubuh secara psikologis

f. Dapat meningkatkan kebugaran fisik, dapat mengurangi risiko keseleo dan

cedera otot.

2. Neurofisiologi Jaringan Kontraktil

Neurofisiologi dari muscle-tendon unit berpengaruh pada respon otot saat

diberikan peregangan dan efektifitas saat diberikan intervensi peregangan pada

otot memanjang. Ada 2 organ sensori dari muscle-tendon unit yang berperan pada

saat otot mendapat peregangan yaitu muscle spindle dan golgi tendon organ.

Kedua organ tersebut merupakan mechanoreceptor yang menyampaikan

informasi ke system saraf pusat tentang apa yang terjadi pada muscle-tendon unit

dan memberikan respon pada otot saat terjadi peregangan (Kisner et al., 2007).

a. Muscle Spindle Organ

Muscle spindle organ adalah salah satu organ sensori yang besar dari

muscle unit dan sensitifnya cepat terhadap peregangan. Fungsi utama dari

muscle spindle adalah menerima dan menyampaikan tentang perubahan

panjang otot dan velocity dari perubahan pemanjangan (Kisner et al., 2007).

Bagian-bagian dari muscle spindle diantaranya afferent sensory fibers

ending, efferent motor fibers ending, dan intrafusal fibers (muscle fibers).

Intrafusal dan extrafusal adalah pemyusun utama dari skeletal muscle.

Intrafusal muscle fiber berhubungan dengan extrafusal muscle fiber pada

bagian ujung-ujung dari intrafusal. Ketika otot mendapat peregangan bagian

intrafusal muscle fiber yang terstimulasi dan hanya pada bagian unung-

30

ujungnya terstimulasi, sedangkan bagian central tidak terstimulasi. Jika

bagian central terstimulasi maka akan menimbulkan efek kontraksi

memanjang pada otot tersebut (Kisner et al., 2007).

Intrafusal muscle fiber dipersarafi oleh gamma motor neuron. Sedangkan

extrafusal muscle fiber dipersarafi oleh alpha motor neuron. Pada muscle

fiber terdapat 2 tipe yaitu type Ia fiber (primary stretch receptor) dan type II

fiber (secondary stretch receptor). Type Ia fiber sensitive terhadap gerakan

cepat dan menstimulasi peregangan muscle fiber type tonic, sedangkan type II

fiber hanya menstimulasi muscle fiber type tonic (Kisner et al., 2007).

b. Golgi Tendon Organ (GTO)

GTO adalah organ sensori yang letaknya dekat dengan musculotendinous

junction pada extrafusal muscle fiber. Fungsi dari GTO adalah untuk

memonitor perubahan tension dari muscle-tendon units. Organ tersebut

terbentuk dari anyaman-anyaman kolagen dan memberikan informasi sensori

melalui serabut saraf Ib. Sensoris organ ini sensitif terhadap perubahan

tegangan pada muscle-tendon unit baik pada saat gerakan peregangan pasif

maupun kontraksi secara aktif selama gerakan normal. Ketika tegangan otot

berlebih, maka GTO aktif menghambat aktifitas dari alpha motor neuron dan

menurunkan tegangan dari muscle-tendon unit yang diregang sebagai bentuk

dari mekanisme proteksi diri (Kisner et al., 2007).

3. Respon Mekanik dan Neurofisiologi Otot terhadap Stretching

Stretching yang diberikan pada otot yang mengalami pemendekan maka

akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin

31

dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer

memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini

hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan

Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan

sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot

terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer

yang terletak sejajar dengan serabut otot.

Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen

aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan

pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mem-punyai kemampuan

elastisitas jika diregang-kan. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan

awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat

secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sar-komer

akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke

posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas.

Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur

muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat,

maka serabut afferent primer merangsang α (alpha) motor-neuron pada medulla

spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu mening-katkan

ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch

refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan seca-ra lambat pada otot, maka golgi

tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga

32

memberikan pemanjangan pa-da komponen elastik otot yang paralel (Wismanto,

2011).

4. Indikasi dan Kontraindikasi Stretching

Menurut Irfan dan Natalia (2008), dalam mengaplikasikan stretching pada

otot terdapat beberapa indikasi dan kontraindikasinya, antara lain :

Indikasi :

a. Miostatik kontraktur: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya

tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi

dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada

otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastroknemius.

b. Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul sendi

bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien

cenderung melaku-kan imobilisasi akibatnya kadar glikoamino-glikans dan

air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi

berkurang.

c. Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena

biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibro-tik sepeti pada kondisi

tortikolis.

d. Ireversibel Kontraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup

gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual

tidak menghasilkan dampak yang baik.

33

e. Pseudomiostatik Kontraktur: Pada umum-nya diakibatkan gangguan pada

susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gang-guan sistem

muskuloskeletal.

Kontraindikasi :

a. Terdapat fraktur yang masih baru pada daerah hip joint.

b. Post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength.

c. Ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut.

2.9 Macam-macam Metode Stretching

2.9.1 Contract Relax (CR)

1. Pengertian

Contract relax merupakan salah teknik proprioceptive neuromuscular

fascilitation (PNF) yang melibatkan kontraksi isotonik yang optimal dari

kelompok otot antagonis yang mengalami pemendekan, dilanjutkan dengan

relaksasi otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition) (Kuntono dkk., 2002).

Contract relax merupakan kombinasi dari tipe stretching isometrik dengan

stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract relax yang dilakukan

memberikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan kemudian

dilanjutkan dengan relaksasi dan stretching pasif pada otot tersebut. Adapun

tujuan dari pemberian contract relax adalah untuk memanjangkan/ mengulur

struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang

memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan

lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan

otot/ akibat fibrosis.

34

2. Respon Fisiologis CR Terhadap Peningkatan Panjang Otot

Contract relax pada otot dasarnya terjadi pada komponen elastik (aktin dan

miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang

dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya

bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner &

Colby, 2007).

Contract relax yang dilakukan pada serabut otot pertama kali

mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot.

Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen

miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Apabila terjadi

penguluran (stretch) area yang tumpang tindih ini akan berkurang yang

menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat serabut otot berada pada posisi

memanjang yang maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan

memberikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada disekitarnya.

Sehingga pada saat ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan

penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh

sebab itu pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh

melebihi panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh

sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang berada

pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi lurus sesuai

dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini

memulihkan jaringan parut untuk kembali normal.

35

Pada saat otot diulur beberapa dari serabutnya akan memanjang tetapi

beberapa serabut otot yang lain mungkin berada pada posisi yang diam. Panjang

yang dihasilkan di dalam otot tergantung kepada jumlah serabut otot yang terulur.

Hal tersebut sesuai dengan Syner Stretch yaitu kantong-kantong kecil yang

menahan serabut otot menyebar di sepanjang otot tubuh yang terulur dan serabut

otot yang lainnya. Kekuatan total dari sebuah otot yang berkontraksi adalah

merupakan hasil dari sejumlah serabut otot yang berkontraksi, sehingga panjang

total yang dihasilkan oleh otot yang diulur adalah juga merupakan hasil dari

penguluran sejumlah serabut otot sehingga semakin banyak serabut otot yang

terulur maka akan menyebabkan semakin besar panjang otot yang dihasilkan

penguluran yang diberikan pada otot tersebut.

3. Mekanisme Peningkatan Panjang Otot

Mekanisme penambahan panjang otot hamstring dengan intervensi contract

relax adalah dengan kontraksi isometrik pada contract relax akan meningkatkan

relaksasi otot melalui pelepasan anal-gesik endogenus opiat sehingga nyeri regang

dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada contract

relax maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon

organ sehingga relaksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat

diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi

contract relax dapat megurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan

nyeri akibat adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi

karena pada saat diberikan intervensi contract relax serabut otot ditarik keluar

sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu

36

meluruskan kembali beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal cross links

pada ketegangan akibat pemendekan otot.

Adanya kontraksi isometrik pada intervensi contract relax akan membantu

menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan

panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke

volume jantung, diafragma menekan organ dalam dan pembuluh darah yang ada

di dalamnya sehingga menekan darah agar keluar dari organ dalam. Pada

kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan

mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Menurut Jacobson

kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga

memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan

terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon

dengan perbandingan 2:3.

Pada metode contract relax relaksasi setelah kontraksi isometrik dilakukan

selama 7-15 detik dimana dalam proses ini diperoleh relaksasi maksimal yang

difasilitasi oleh reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi

maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan

peregangan secara bersamaan pada saat relaksasi dan ekspirasi maksimal maka

diperoleh pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fasia dan tendo).

Pada intervensi contract relax dengan adanya kontraksi dan stretching yang

diikuti ekspirasi maksimal yang dilakukan dengan ritmis menimbulkan reaksi

pumping action yang ritmis pula sehingga akan membantu memindahkan produk

sampah/ zat- zat iritan penyebab nyeri otot kembali ke jantung.

37

Gambar 2.7 Contoh Metode Contract Relax (HR) (Anonim, 2014).

2.9.2 Hold relax (HR)

1. Pengertian

Hold relax merupakan salah satu teknik Proprioceptive Neuromuscular

Facilitation (PNF) untuk relaksasi otot karena nyeri, yang didasarkan pada

tahanan maksimal dari kontraksi isometrik kelompok otot antagonis. Alder et al

(2008) menjelaskan bahwa Hold relax terbagi menjadi dua teknik, yaitu (1) Direct

Treatment dan (2) Indirect Treatment. Direct Treatment merupakan teknik yang

menggunakan kontraksi isometrik pada otot agonisnya pada target muscle.

Sedangkan Indirect Treatment merupakan teknik yang menggunakan kontraksi

isometrik pada otot antagonisnya. Kontraksi isometrik pada otot antagonisnya

bertujuan untuk menstimulasi panjang otot melalui sistem Reciprocal Inhibition.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ghanbari et al (2013) yang membandingkan

Hold relax dengan static stretching terhadap hamstring tightness pada sampel

sebanyak 51 pria, dengan rata-rata usia sekitar 18-30 tahun yang dilakukan 2 kali

dalam seminggu selama 3 minggu ditemukan bahwa pada group perlakuan Hold

38

relax menunjukan hasil yang signifikan terhadap peningkatan hamstring

extensibility dibandingkan group perlakuan static stretching.

Dalam penelitian Shankar dan Achnani (2010) tentang perbandingan

efektifitas antara pasif stretching dengan Hold relax terhadap fleksibilitas

hamstring menyatakan bahwa Hold relax lebih efektif daripada pasif stretching

karena disempurnakan dengan kontraksi isometrik pada otot sebelum stretching

dilakukan. Penelitian tersebut didukung oleh Nagarwal et al (2010) yang

menyatakan teknik Hold relax efektif meningkatkan fleksibilitas hamstring.

Latihan fleksibilitas adalah hal yang perlu untuk memperbaiki dan memelihara

ROM, mengurangi nyeri, dan kekakuan yang berhubungan dengan proses

penyakit. Selain itu Hold relax juga terdiri dari kontraksi isometrik yang menurut

Hetinger kontraksi isometrik selama 6 detik melawan 2/3 tahanan sekali perhari

selama 5 hari, cukup untuk meningkatkan kekuatan otot 5% perminggu (Shanti,

2005).

Tujuan pemberian Hold relax dan contract relax adalah perbaikan relaksasi

pola antagonis, perbaikan mobilisasi dan untuk menurunkan nyeri lebih baik

menggunakan Hold relax (Beckers & Buck, 2001). Dalam aplikasinya memiliki

kelemahan yakni apabila pada aplikasinya diulur secara berlebih atau tidak

terkontrol akan menyebabkan kerobekan pada otot.

2. Respon Fisiologis HR Terhadap Peningkatan Panjang Otot

Umumnya hold relax dilakukan untuk mendapatkan efek relaksasi dan

pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Mekanisme penguatan otot

quadriceps dengan intervensi hold relax untuk menstimulasi pemanjang otot

39

hamstring adalah dengan kontraksi isometrik. Pada hold relax akan meningkatkan

relaksasi otot melalui pelepasan analgesik endogenous opiate sehingga nyeri

regang dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada hold

relax maka panjang otot dapat dikembalikan dengan magaktivasi GTO sehingga

relaksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan

mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi hold relax dapat

mengurangi iritasi terhadap saraf A delta dan C yang menimbulkan nyeri akibat

adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada

saat diberikan intervensi hold relax serabut otot ditarik keluar sampai panjang

sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali

beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal crosslinks pada ketegangan

akibat pemendekan otot.

Adanya kontraksi isometrik pada intervensi hold relax akan membantu

menggerakkan stretch receptor dari Muscle Spindle untuk segera menyesuaikan

panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik selama detik yang diikuti

inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada

seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus GTO sehingga

memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan

terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon

dengan perbandingan 2:3. Pada metode hold relax, relaksasi setelah kontraksi

isometrik dilakukan 7-15 detik dimana dalam proses ini diperoleh relaksasi

maksimal yang difasilitasi reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti

ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot.

40

Gambar 2.8 Contoh Metode Hold relax (LeFavi, 2015)

2.9.3 Isotonic Exercise

1. Pengertian

Isotonic exercise merupakan sebuah latihan dengan konsep awal berasal dari

bidak mekanik yang kemudian dipublikasikan kembali oleh Reuleux pada tahun

1875, yang membahas tentang macam-macam rangkaian gerakan, rangkaian

gerakan tersebut dihasilkan dari beberapa segmen yang saling berhubungan

melalui suatu persendian dimana hal ini akan menjadi suatu sistem untuk

memungkinkan terjadinya pergerakan satu segmen pada satu sendi atau beberapa

segmen yang diikuti sendi lainnya (Mayer, 2003).

Latihan isotonic adalah pola latihan yang mengikuti kaidah kontraksi

isotonik. Kontraksi isotonik merupakan terjadinya tegangan intra-muskuler

disertai dengan perubahan panjang otot baik memendek atau memanjang.

Terkadang kontraksi isotonik disebut kontraksi dinamik. Secara harfiah isotonik

berarti tegangan sama atau konstan dengan kata lain kontraksi isotonik adalah

41

terjadinya sejumlah tegangan yang sama pada saat memendek selama menahan

tahanan yang konstan. Hal tersebut tidak benar karena tegangan yang digunakan

oleh otot selama memendek dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, tiga

diantaranya adalah : (1) panjang awal dari serabut otot, (2) sudut tarikan dari otot

terhadap tulang, dan (3) kecepatan memendek yang dipengaruhi oleh distribusi

jenis otot yaitu tipe I atau tipe II.

Pada kontraksi isotonik sebuah beban digerakkan yang melibatkan

fenomena inersia yaitu beban atau obyek lain yang digerakkan mula-mula harus

dipercepat, dan bila kecepatan itu telah dicapai, maka beban mempunyai daya

gerak yang menyebabkan ia dapat terus bergerak walaupun kontraksinya telah

berhenti. Oleh karena itu kontraksi isotonik pada hakekatnya berlangsung lebih

lama daripada kontraksi isometrik pada otot yang sama. Kontraksi isotonik

mengikuti pelaksanaan kerja luar, oleh karena itu sesuai dengan efek Fenn

sejumlah besar energi diperlukan oleh otot.

Kontraksi isotonik dapat dibagi lagi menjadi dua kategori sebagai

konsentrik dan eksentrik. Dalam kontraksi konsentris, otot lebih pendek

sedangkan, dalam kontraksi eksentrik, otot memanjang selama kontraksi.

Kontraksi otot eksentrik adalah penting karena dapat mencegah perubahan yang

cepat panjang yang dapat merusak jaringan otot dan menyerap guncangan.

42

Gambar 2.9 Model Kontraksi Otot (Snell, 2000)

2. Mekanisme Isotonic Exercise terhadap Peningkatan Kekuatan Otot

Quadriceps

Isotonic exercise dengan kontraksi eksentrik terjadi ketika aktivitas

kontraktil melawan peregangan yang dilihat ketika otot quadriceps menurunkan

beban. Selama gerakan ini serat-serat otot memanjang tetapi tetap berkontraksi

melawan peregangan, ketegangan ini terjadi karena otot quadriceps menahan

beban berat tungkai. Sehingga selama kontraksi eksentrik kekuatan otot yang

dihasilkan dari otot lebih tinggi. Variabel biomekanik yang terakhir untuk

eksentrik melibatkan efisiensi dari mekanisme jembatan silang (crossbridge

mechanism) di dalam menciptakan kekuatan selama kontraksi. Selama kontraksi

eksentrik, didalilkan bahwa gerakan crossbridge dan penggabungan bisa bekerja

pada tingkat yang lebih cepat, menyebabkan berkurangnya kebutuhan energi dari

sistem oksigen. Adaptasi kerja otot eksentrik menghasilkan suatu lapisan optimal

antar unsur-unsur aktin dan myosin, yang pada gilirannya akan meningkatkan

potensi kekuatan puncak. Dalam hal ini terjadi peningkatan rekruitmen motor unit

yang terdepolarisasi sehingga terjadi peningkatan diameter serabut otot dan

jumlah miofibril yang terdepolarisasi, yang pada akhirnya menyebabkan

43

terjadinya peningkatan kekuatan otot. Jadi, selama kontraksi eksentrik kekuatan

otot yang dihasilkan dari otot lebih tinggi (Delyuzir, 2009).

3. Perubahan Sistem Neuromuskular

a. Hypertropi

Kapasitas kekuatan otot secara langsung berhubungan dengan

fisiologi cross sectional area pada serabut otot. Dengan desain latihan yang

spesifik dapat mening-katkan kekuatan otot, dan ukuran serabut otot skeletal yang

disebut hypertropi. Faktor yang berperan pada hypertropi meliputi; peningkatan

jumlah protein pada serabut otot, peningkatan kepadatan kapiler, perubahan

biokimia pada serabut otot.

Walaupun masih dalam tanda tanya, diduga bahwa kekuatan otot juga dapat

ditingkatkan dengan resistance exercise yang menyebabkan terjadinya

hyperplasia yaitu peningkatan jumlah serabut otot. Peningkatan ini dapat

disebabkan oleh gerak longitudinal serabut otot. Hal ini belum bisa dipastikan

karena gerak serabut otot tersebut baru dilaku-kan penelitan pada binatang.

b. Recruitmen

Faktor lain yang penting yang mempengaruhi kapasitas otot untuk mening-

katkan kekuatan otot adalah peningkatan jumlah recruitmen motor unit.

Banyaknya jumlah motor unit yang aktif akan menghasilkan kekuatan otot yang

besar.

44

Gambar 2.10 Contoh Metode Isotonic Exercise Menggunakan Foot Binding/Ankle

Cuffweight Pada Otot Quadriceps (LeFavi, 2015)

2.10 Perbedaan Kombinasi Intervensi Contract Relax Hamstring dan Hold

Relax Quadriceps dengan Contract Relax Hamstring dan Isotonic

Exercise Quadriceps

Kombinasi intervensi Contract Relax Hamstring dan Hold Relax

Quadriceps dengan Contract Relax Hamstring dan Isotonic Exercise Quadriceps

merupakan intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas otot

hamstring. Adapun perbedaan antara kedua intervensi tersebut, sebagai berikut :

1) Kombinasi Intervensi Contract Relax Hamtring dan Hold Relax Quadriceps

melibatkan kontraksi isometrik pada otot hamstring dan otot quadriceps

secara bergantian lalu dilanjutkan dengan stretching pasif pada kedua otot

tersebut. Kontraksi isometrik akan membantu menggerakkan stretch receptor

dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal dan

45

adanya komponen stretching akan mengembalikan panjang otot dengan

mengaktivasi golgi tendon. Intervensi Contract Relax Hamtring dan Hold

Relax Quadriceps dapat mengurangi iritasi terhadap saraf A delta dan C yang

menimbulkan nyeri. Dengan demikian ketegangan otot akan berkurang

sehingga otot dapat mencapai panjang normal sehingga fleksibilitas

meningkat dan sendi pun dapat bergerak dengan ROM penuh tanpa timbul

rasa nyeri.

2) Sedangkan pada kombinasi intervensi Contract Relax Hamtring dan Isotonic

Exercise Quadriceps melibatkan penambahan latihan penguatan otot

quadriceps. Adanya kontraksi eksentrik pada intervensi Isotonic Exercise

Quadriceps terjadi pemanjangan serat-serat otot tetapi otot tetap berkontraksi

melawan peregangan, ketegangan ini terjadi karena otot quadriceps menahan

beban berat tungkai. Dengan demikian otot quadriceps akan terjaga dalam

mempertahankan kemampuan fungsionalnya dan panjang normalnya

sehingga akan mengurangi kompensasi pada otot hamstring dan merangsang

otot hamstring untuk mencapai pemanjangan otot normal.