bab ii tinjauan pustaka - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/28/3/bab...

24
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan 1. Pengertian Resiliensi Reivich & Shatte (2003) mendefinisikan resiliensi ialah kemampuan untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan bangkit kembali ketika kesulitan menerpa. Rirkin dan Hoopman (dalam Desmita, 2014) berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk bangkit kembali dalam kondisi sulit, mampu beradaptasi dalam menghadapi kesulitan, memiliki hubungan sosial yang baik, memiliki prestasi akademik, memiliki kompetensi kejuruan meskipun paparan stres berat melekat. Desmita (2014) juga mengartikan resiliensi (ketangguhan, daya lentur) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki oleh seorang individu, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan menghilangkan dampak- dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Memasuki perguruan tinggi mendatangkan perubahan hidup bagi individu. Biasanya perubahan dialami paling sering di tahun pertama kuliah ketika memasuki perguruan tinggi (Setyowati,dkk dalam Amelia,dkk, 2014). Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa mahasiswa pada tahun pertama memiliki tantangan tersendiri dalam hidup, ketika individu masuk 11

Upload: lylien

Post on 10-Apr-2019

252 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan

1. Pengertian Resiliensi

Reivich & Shatte (2003) mendefinisikan resiliensi ialah kemampuan

untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan bangkit kembali ketika

kesulitan menerpa. Rirkin dan Hoopman (dalam Desmita, 2014)

berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk bangkit

kembali dalam kondisi sulit, mampu beradaptasi dalam menghadapi

kesulitan, memiliki hubungan sosial yang baik, memiliki prestasi akademik,

memiliki kompetensi kejuruan meskipun paparan stres berat melekat.

Desmita (2014) juga mengartikan resiliensi (ketangguhan, daya lentur)

adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki oleh seorang

individu, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya untuk

menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan menghilangkan dampak-

dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau

mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar

untuk diatasi.

Memasuki perguruan tinggi mendatangkan perubahan hidup bagi

individu. Biasanya perubahan dialami paling sering di tahun pertama kuliah

ketika memasuki perguruan tinggi (Setyowati,dkk dalam Amelia,dkk,

2014). Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa mahasiswa pada tahun

pertama memiliki tantangan tersendiri dalam hidup, ketika individu masuk

11

12

dalam dunia kuliah, individu menghadapi berbagai perubahan mulai dari

perubahan karena perbedaan sifat pendidikan sekolah menengah atas dan

perguruan tinggi, perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi

atau jurusan, dan masalah ekonomi. Mahasiswa tahun pertama yang

mengambil program kelas karyawan tentunya mengalami kesulitan dan

tantangan tersendiri karena mahasiswa harus pandai membagi waktu,

tenaga, dan pikiran untuk bekerja dan pada saat sore hingga malam

mahasiswa harus mengikuti perkuliahan.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan

resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan

bangkit kembali ketika kesulitan menerpa pada mahasiswa tahun pertama

program kelas karyawan.

2. Aspek-Aspek Resiliensi

Reivich & Shatte (2003) memaparkan tujuh aspek yang membentuk

resiliensi, yaitu sebagai berikut:

a. Regulasi emosi (Emotion regulation)

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi

yang menekan. Individu yang resilien mampu menggunakan

kemampuannya dengan baik untuk membantu mengendalikan emosi,

perhatian, dan perilakunya. Regulasi emosi berperan penting untuk

membetuk hubungan baik dengan orang lain, kesuksesan dalam karir,

dan mempertahankan kesehatan fisik. Individu yang kesulitan meregulasi

emosi sering bertindak emosional terhadap rekan kerja maupun teman-

13

temannya serta sulit untuk diajak kerjasama. Individu sulit untuk

menjalin dan mempertahankan pertemanan karena individu tersebut

mudah marah, jengkel, dan mudah cemas.

b. Pengendalian impuls (Impulse Control)

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan

keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam

diri. Individu memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah,

cenderung berperilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif,

dan berperilaku agresif (Ifdil & Taufik, 2012).

c. Optimis (Optimism )

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu tersebut

percaya semua hal dapat berubah lebih baik. Individu memiliki harapan

terhadap masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya..

Dibandingkan dengan individu yang pesimistik, individu yang optimis

memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, tidak cenderung mengalami

depresi, melakukan hal-hal baik disekolah, lebih produkti dalam bekerja,

dan memiliki prestasi di bidang olahraga. Individu yang optimis

menandakan individu percaya bahwa individu tersebut memiliki

kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang pasti datang di masa depan..

d. Analisis penyebab (Causal Analysis)

Analisis penyebab merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang

dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari

14

permasalahan yang dihadapi secara akurat akan terus menerus berbuat

kesalahan yang sama. Individu juga tidak terfokus pada faktor-faktor

yang berada di luar kendalinya, sebaliknya individu memfokuskan dan

memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, individu secara

perlahan mulai mengatasi permasalahan yang ada dan mengarahkan

hidup untuk bangkit dan meraih kesuksesan.

e. Empati (Empathy)

Empati adalah kemampuan individu untuk dapat memahami perasaan

dan membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain.

Individu dapat memahami dan mengenali keadaan non-verbal seseorang,

mulai dari ekspresi wajah, nada bicara, bahasa tubuh, mampu

memastikan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu yang

punya kemampuan berempati mempunyai hubungan personal yang baik,

individu mampu merasakan dan memahami apa yang dialami orang lain.

Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang

dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua

keinginan dan emosi orang lain.

f. Efikasi diri (Self-efficacy)

Efikasi diri menunjukkan individu percaya bahwa individu tersebut dapat

mengatasi permasalahan-permasalahan yang mungkin akan dialami dan

mempercayai kemampuannya untuk sukses. Individu dengan efikasi diri

tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak

akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang

15

digunakan itu tidak berhasil. Individu tidak merasa ragu dalam

menghadapi tantangan karena memiliki kepercayaan yang penuh dengan

kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan

mampu bangkit dari kegagalan yang dialami. Berbeda dengan individu

yang tidak memiliki kepercayaan bahwa individu tersebut mampu

mencapai kesuksesan, individu lebih pasif ketika dihadapkan pada suatu

permasalahan. Individu dengan efikasi diri rendah juga menghindari

pengalaman-pengalaman baru, berasumsi tidak mampu menghadapi

tantangan dalam situasi yang baru.

g. Pencapaian aspek positif (Reaching out)

Resiliensi merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari

kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Individu yang reach out

memberikan kepercayaan diri untuk mengambil tanggung jawab baru di

tempat kerja, menghilangkan resiko malu ketika mendekati seseorang

yang ingin dikenal, serta memberikan keberanian untuk mencari

pengalaman yang menantang sebagai sarana untuk belajar lebih

mengenal diri dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain serta

mampu menilai atau mempertimbangkan resiko.

Wolin dan Wolin (dalam Desmita, 2014) mengemukakan tujuh aspek

utama yang dimiliki oleh individu yang resilien, yaitu:

a. Berwawasan (Insight)

Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui,

dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang

16

lebih tepat. Keasadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau

penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan yang ditunjukkan dengan

perkembangan persepsi tentang “apa yang salah” dan menganalisis

“mengapa ia salah”.

b. Independen (Independence)

Independen yaitu kemampuan individu untuk menghindar atau

menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi

dalam bertindak. Independen juga merupakan kemampuan untuk

mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah

(lingkungan dan situasi yang bermasalah).

c. Hubungan (Relationships)

Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur,

saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model

yang baik. Relationships juga merupakan upaya seseorang menjalin

hubungan atau berinteraksi dengan orang lain.

d. Inisiatif (Initiative)

Inisiatif yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap

hidupnya. Inisiatif individu dapat terlihat dari individu tersebut melakukan

eksplorasi terhadap lingkungan dan kemampuan individu dalam

mengambil peran/bertindak.

17

e. Kreativitas (Creativity)

Kreativitas yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi,

dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Kreativitas dapat

ditunjukkan melalui permainan-permainam kreatif dan pengungkapan diri.

f. Humor (Humor)

Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan

menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu dapat

mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau

dapat mencairkan suasana kebekuan.

g. Moralitas (Morality )

Moralitas adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati

nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang

yang membutuhkan. Moralitas juga merupakan pertimbangan seseorang

tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan

bertindak dengan integritas.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli diatas, dapat diperoleh kesimpulan

bahwa aspek-aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte (2003) yaitu; regulasi

emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab, empati, efikasi diri,

Pencapaian aspek positif, sedangkan aspek-aspek resiliensi menurut Wolin dan

Wolin (dalam Desmita, 2014) yaitu; berwawasan, independen, hubungan,

inisiatif, kreativitas, humor, moralitas.

Dari penjabaran aspek-aspek resiliensi dari beberapa pendapat ahli

diatas, peneliti akan menggunakan aspek-aspek resiliensi menurut Reivich &

18

Shatte sebagai indikator untuk penyusunan skala, yaitu meliputi; regulasi

emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab, empati, efikasi diri,

pencapaian aspek positif, karena aspek-aspek tersebut lebih rinci sehingga

diharapkan dapat mengungkap data lebih dalam tentang resiliensi. Dari studi

pustaka yang dilakukan peneliti, aspek-aspek resiliensi dari Reivich & Shatte

banyak digunakan dalam penelitian yang digunakan sebagai skala untuk

mengukur resiliensi seperti penelitian Amelia, dkk (2014), Taufik & Ifdill

(2012), Pasudevi (2012), Abidin (2011), Poetry (2010).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Everall, dkk (2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi

resiliensi, yaitu:

a. Faktor individual

Faktor individual yang mempengaruhi resiliensi meliputi 1)

kemampuan kognitif individu; 2) konsep diri; 3) harga diri; 4) kompetensi

sosial yang dimiliki individu.

1) Kemampuan kognitif individu

Salah satu temuan yang paling konsisten di seluruh studi tentang

resiliensi adalah hubungan positif antara resiliensi dan fungsi kognitif

(Masten et al,; Richman & Fraser; Smith & Carlson; Smokowski,

Reynolds & Bezruczko; Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Levine

(dalam Everall, dkk, et al., 2006) menyatakan bahwa meskipun

kemampuan kognitif dapat meningkatkan resiliensi, namun

19

kemampuan kognitif bukan hanya IQ tetapi pemahaman yang tepat

seseorang terhadap orang lain dan diri sendiri dalam berbagai situasi.

Pada diri individu untuk berkembangnya resiliensi sangat terkait

erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu

lewat bahasa yang tepat, melalui kemampuan membaca, dan

berkomunikasi secara non verbal. Resiliensi juga dikaitkan dengan

kemampuan individu untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan

memanfaatkan fantasi dan harapan yang ditumbuhkan pada diri

individu yang bersangkutan. Dengan demikian diyakini bahwa individu

yang memiliki intelegensi yang tinggi memiliki resilien yang lebih

tinggi juga dibandingkan dengan individu berintelegensi rendah.

2) Konsep diri

Konsep diri yang positif dapat berkontribusi untuk resiliensi

individu (Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter;

Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Berzonsky (1981) mendefinisikan

konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya,

yang terdiri dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis. Konsep diri

positif dapat mendukung rasa penguasaan diri untuk berprestasi,

berhasil dalam mengerjakan tugas atau dari keahlian khusus yang

dimiliki atau bakat yang dihargai oleh orang lain, keluarga, teman

sebaya, dan masyarakat (Dugan; Howard & Johnson; Rutter, dalam

Everall, dkk, 2006).

20

Penelitian Cholily (2014) tentang konsep diri dengan resiliensi

pada mahasiswa juga dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi

sebesar 0.450 dan nilai signifikansi sebesar 0.000. Berdasarkan nilai

koefisien diatas, disimpulkan bahwa semakin tinggi konsep diri

mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa tersebut,

sebaliknya semakin rendah konsep diri mahasiswa maka semakin

rendah pula resiliensi mahasiswa tersebut. Penelitian lain oleh Amalia

(2015) juga menyatakan bahwa konsep diri memiliki konstribusi yang

positif terhadap resiliensi sehinga semakin positif konsep diri maka

semakin tinggi resiliensi remaja tersebut, sebaliknya semakin negatif

konsep diri maka semakin rendah resiliensi remaja tersebut, sehingga

hal ini mencerminkan bahwa memiliki konsep diri menjadi salah satu

cara untuk dapat meningkatan daya resiliensi individu.

3) Harga diri

Harga diri yang positif juga dapat berkontribusi untuk resiliensi

individu (Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter;

Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Harga diri juga merupakan sebuah

faktor yang dapat dianggap sebagai aset atau sumber daya dari pada

resiliensi (Ekasari dan Andriyani, 2013).

Harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan oleh seorang

individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian

tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan

menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu,

21

penting, berhasil dan berharga. Dari hasil penelitian diketahui pula

bahwa terdapat hubungan antara harga diri (self-esteem) dengan

resiliensi. Semakin tinggi tingkat harga diri (self esteem) maka semakin

tinggi pula resiliensi, begitu sebaliknya (Ekasari dan Andriyani, 2013).

4) Kompetensi sosial

Faktor individual lain ialah kompetensi sosial. Individu yang

resilien cenderung memiliki keterampilan sosial yang kuat dan

kecakapan dengan komunikasi interpersonal (Hollister-Wagner et al.;

Howard & Johnson; Luthar; Smith & Carlson; Werner dalam Everall,

dkk, 2006). Selain itu, humor, empati, fleksibilitas, dan perangai

mudah bergaul juga meningkatkan kemampuan bersosialisasi

(Bernard; Fraser & Richman; Levine; Richardson et al.; Rutter dalam

Everall, dkk, 2006).

b. Faktor keluarga

Faktor keluarga meliputi dukungan orang tua, yaitu bagaimana cara

orang tua memperlakukan dan melayani anak. Keterkaitan emosional dan

batin antara anggota keluarga sangat diperlukan dalam mendukung

pemulihan individu mengalami stress dan trauma. Keterikatan para

anggota keluarga amat berpengaruh dalam pemberian dukungan terhadap

anggota keluarga yang mengalami musibah untuk dapat pulih dan

memandang kejadian tersebut secara objektif. Begitu juga menumbuhkan

dan meningkatan resiliensi.

22

Selain dukungan dari orang tua struktur keluarga juga berperan

penting bagi individu. Struktur keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu

dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi dan sebaliknya keutuh

dapat menghambat tumbuh kembang resiliensi (Ekasari dan Andriyani,

2013).

c. Faktor eksternal/komunitas

Bagi beberapa individu, keterlibatan dalam hubungan dan

ekstrakurikuler kegiatan di luar rumah membantu berkembangnya

resiliensi. Hal ini dapat menjadi sangat penting bagi individu yang berasal

dari lingkungan keluarga yang bermasalah, di mana penggunaan dukungan

eksternal sistem dan partisipasi dalam olahraga, hobi, atau kegiatan agama

memberikan bantuan akibat stres yang berasal dari kehidupan keluarga dan

mengekspos individu untuk berada pada kondisi yang lebih

menguntungkan untuk pengembangan dirinya (Gore & Aseltine; Rutter;

Smith &Carlson; Smokowski et al., dalam Everall, dkk, 2006).

Berdasarkan penelitian Bonanno & Galea (2007), resiliensi dipengaruhi

oleh 7 faktor, yaitu:

a. Jenis Kelamin

Laki-laki memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi karena mampu

beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk mengubah keadaan dan

fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan perempuan memiliki

tingkat resiliensi lebih rendah karena memiliki fleksibilitas adaptif yang

kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan,

23

cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan

atau tekanan, serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali

setelah mengalami pengalaman traumatik (Einsenberg dkk, dalam Rinaldi

2010).

b. Usia

Pada penelitian Bonanno & Galea (2007), ditemukan bahwa partisipan

dengan usia lebih muda menujukkan reaksi ekstrem serta memiliki potensi

trauma yang lebih besar ketika diterpa kesulitan atau masalah. Partisipan

yang berumur lebih dari 65 tahun lebih memiliki resiliensi dibandingkan

dengan partisipan dengan usia muda (18-24 tahun).

c. Tingkat Pendidikan

Partisipan penelitian dengan pendidikan lulusan perguruan tinggi hanya

memiliki peluang sekitar setengah untuk menjadi individu yang lebih

resilien dibandingkan dengan partisipan dengan pendidikan sekolah

menengah pertama atau dibawahnya.

d. Pendapatan

Pada penelitian ini terbukti bahwa tingkat pendapatan terkait dengan

resiliensi. Rendahnya pendapatan tetap menjadi prediktor signifikan dari

resiliensi, meskipun variabel sosial ekonomi dan demografi lainnya dapat

dikendalikan.

e. Dukungan Sosial

Dukungan sosial telah terbukti berkontribusi untuk pemulihan dari trauma

dari waktu ke waktu (Koenen, Stellman, Stellman,& Sommer, dalam

24

Bonanno & Galea 2007). Secara umum dukungan sosial dipandang dan

dikaitkan dengan kesehatan dan kesejahteraan. Namun, temuan dalam

penelitian ini, hal ini tidak jelas terbukti bahwa dukungan sosial

berhubungan dengan resiliensi.

f. Tidak adanya penyakit kronis

Tidak adanya penyakit kronis sangat terkait dengan resiliensi individu.

Individu yang memiliki penyakit kronis memiliki kemungkinan untuk

mengalami penurunan tingkat resiliensi.

g. Stres Kronis

Ong, Bergeman, dan Bisconti (dalam Bonanno & Galea 2007)

menemukan bahwa stres kronis karena kematian pasangan hidup

mengakibatkan berkuranganya diferensiasinya emosional, yang pada

akhirnya tersirat hubungan bahwa stres kronis dapat mengurangi resiliensi

dalam menghadapi kehilangan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Everall, dkk

(2006) resiliensi dipengaruhi oleh; a) faktor internal yang meliputi kemampuan

kognitif, konsep diri, harga diri, kompetensi sosial yang dimiliki individu; b)

faktor keluarga meliputi dukungan orang tua dan struktur keluarga komunitas;

c) faktor eksternal/komunitas berupa keterlibatan dalam hubungan dan kegiatan

ekstrakurikuler, sedangkan menurut Bonanno & Galea (2007) terdapat 7 faktor

yang mempengaruhi resiliensi, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,

pendapatan, dukungan sosial, tidak adanya penyakit kronis, dan stres kronis.

25

Adapun faktor yang dipilih dalam penelitian ini ialah faktor individual

yang didalamnya ada konsep diri, sehingga pada penelitian ini peneliti

menjadikan konsep diri sebagai variabel prediktor. Peneliti menjadikan konsep

diri sebagai variabel prediktor karena individu yang memiliki konsep diri tinggi

akan membuat individu lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap

positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya serta

individu mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat

dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang (Rini dalam Nur &

Ekasari, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Cholily (2014) yang

menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri

dengan resiliensi. Semakin tinggi konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi

pula resiliensi mahasiswa tersebut.

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri adalah gambaran yang

dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri dari diri secara fisik, sosial,

moral, dan psikis. Hurlock (2010) mendefinisikan konsep diri ialah gambaran

yang dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan

dari keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya yang mencakup citra

fisik dan psikologis individu.

Fitts (dalam Agustiani, 2009) juga berpendapat bahwa konsep diri adalah

kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Individu mampu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya,

26

memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya.

Agustiani (2009) mengartikan konsep diri ialah gambaran yang dimiliki

seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman

yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Alwater (dalam Desmita,

2014) juga menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri,

yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-

nilai yang berhubungan dengan dirinya.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa

konsep diri ialah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri

dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis.

2. Aspek-Aspek Konsep Diri

Berzonsky (1981) membagi aspek konsep diri menjadi 4, yaitu aspek diri

fisik (physical self), diri psikis (psychological self), diri sosial (social self), diri

moral (moral self). Penjabaran mengenai aspek dari diri fisik, diri psikis, diri

sosial, dan diri moral yaitu sebagai berikut;

a. Aspek diri fisik

Aspek utama dalam diri fisik ini berkaitan dengan tubuh, citra tubuh tampak

menjadi dasar dari konsep diri (Epstein dalam Berzonsky, 1981). Aspek diri

fisik juga merupakan pandangan, pikiran, perasaan terhadap fisiknya.

Individu memiliki konsep diri yang positif bila memandang secara positif

penampilanya, kondisi kesehatan kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta

ukuran tubuh ideal. Individu dipandang memililki konsep diri negatif bila

memandang secara negatif mengenai penampilannya, kondisi kesehatan

27

kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta ukuran tubuh idealnya

(Berzonsky dalam Fatimah, 2012).

b. Aspek diri psikis

Apek diri psikis yaitu pikiran, perasaan, dan perilaku yang dimiliki individu

tentang dirinya (Berzonsky, 1981). Seseorang dikatakan memiliki konsep diri

positif bila memandang dirinya sebagai individu yang bahagia, optimis,

mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai kemampuan. Sebaliknya,

individu dengan konsep diri negatif memandang dirinya sebagai orang yang

tidak bahagia, pesimis, tidak mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai

macam kekurangan (Berzonsky dalam Fatimah, 2012).

c. Aspek diri sosial

Konsep diri sosial ialah peran sosial yang dimainkan individu serta penilaian

individu terhadap seberapa baik atau buruknya peran tersebut (Waterbor,

dalam Berzonsky, 1981). Konsep diri sosial juga berkaitan dengan

kemampuan yang berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan

mampu, dan berharga dalam lingkup interaksi sosial. Individu dikatakan

memiliki konsep diri sosial positif bila memandang dirinya sebagai orang

terbuka pada orang lain, memahami orang lain, merasa mudah akrab dengan

orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain. Sebaliknya,

individu yang memiliki konsep diri sosial negatif bila tidak memberi

perhatian terhadap orang lain dan tidak aktif dalam kegiatan sosial

(Berzonsky dalam Fatimah, 2012).

28

d. Aspek diri moral

Diri moral terdiri dari nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi

kehidupan seseorang (Epstein, dalam Berzonsky, 1981). Diri etik moral juga

menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan

seseorang akan kehidupan keagamaanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang,

yang meliputi batasan baik dan buruk (Fitss dalam Agustiani, 2009). Individu

yang memiliki konsep diri moral positif akan memandang dirinya sebagai

orang yang berpegang teguh pada nilai etik moral, namun sebaliknya individu

yang memiliki konsep diri moral negatif akan memandang dirinya sebagai

orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikutinya

(Berzonsky dalam Fatimah, 2012).

Adapun aspek-aspek konsep diri menurut Hurlock (2010) adalah sebagai

berikut :

a. Aspek fisik

Aspek fisik merupakan konsep yang dimiliki individu tentang penampilan,

kesesuaian dengan seks/jenis kelamin, arti penting tubuh dalam hubungan

dengan perilaku individu, dan perasaan gengsi dihadapan orang lain yang

disebabkan oleh keadaan fisiknya. Hal penting yang berkaitan dengan citra

fisik ialah penampilan fisik, daya tarik, serta kesesuaian atau

ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, hal ini mempengaruhi perilaku

dan harga diri individu di hadapan orang lain.

29

b. Aspek psikologis

Aspek psikologis merupakan konsep individu tentang kemampuan dan

ketidakmampuannya, harga diri, dan hubungan individu dengan orang

lain. Dalam aspek ini terdapat citra psikologis yang didasarkan atas

pikiran, perasaan dan emosi. Aspek ini terdiri atas kualitas dan

kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan serta sifat-

sifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, dan kepercayaan diri dan

berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Individu dengan konsep diri

positif juga mampu menilai hubungan dengan orang lain secara tepat

sehingga menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konsep diri

menurut Berzonsky (1981) meliputi aspek diri fisik, psikis, moral, dan sosial,

sedangkan konsep diri menurut Hurlock (2010) meliputi aspek fisik dan aspek

psikologis. Dari pendapat-pendapat ahli di atas, maka peneliti akan

menggunakan aspek-aspek konsep diri menurut Berzonsky yang meliputi aspek

fisik, psikologis, sosial, dan moral karena aspek yang dijelaskan Berzonksy

lebih lengkap dengan menggunakan empat aspek dibandingkan dua aspek yang

dimiliki Hulock.

C. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun

Pertama Program Kelas Karyawan

Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa ketika individu masuk dalam

dunia kuliah, individu menghadapi berbagai perubahan mulai dari perubahan

karena perbedaan sifat pendidikan sekolah menengah atas dan perguruan

30

tinggi, perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi atau

jurusan, dan masalah ekonomi. Mahasiswa tahun pertama yang mengambil

program kelas karyawan tentunya mengalami kesulitan dan tantangan

tersendiri karena mahasiswa harus pandai membagi waktu, tenaga, dan

pikiran untuk bekerja dan pada saat sore hingga malam mahasiswa harus

mengikuti perkuliahan.

Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter; Werner

(dalam Everall, dkk, et al., 2006) menyatakan bahwa konsep diri yang positif

dapat berkontribusi untuk meningkatkan resiliensi individu, sehingga

diharapkan dengan meningkatkan konsep diri maka akan diikuti

meningkatnya resiliensi. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu

tentang dirinya, yang terdiri dari 4 aspek, yaitu: aspek diri fisik, diri psikis,

diri moral, dan diri sosial (Berzonsky, 1981).

Aspek diri fisik, aspek utama dalam diri fisik ini berkaitan dengan

tubuh. Citra tubuh tampak menjadi dasar dari konsep diri (Epstein, dalam

Berzonsky, 1981). Fortman (2006) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan

salah satu bagian dari penilaian diri yang dipengaruhi oleh citra tubuh. Citra

tubuh yang buruk akan menurunkan efikasi diri yang merupakan aspek dari

resiliensi. Bandura (dalam Fortman 2006) juga menyatakan bahwa individu

yang memiliki efikasi diri tinggi akan lebih memiliki tubuh yang sehat,

bekerja lebih efektif, dan sukses dibandingkan dengan individu dengan

efikasi diri yang rendah. Individu tersebut juga akan cepat menghadapi

masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami (Reivich & Shatte,

31

2003).

Selain itu, Nugraha (2010) juga menyatakan bahwa jika seseorang tidak

merasakan adanya kepuasan terhadap citra tubuh yang dimilikinya maka

orang tersebut juga tidak merasakan adanya kepercayaan didalam dirinya.

Salah satu indikator meningkatnya kepercayaan diri seseorang ialah

mempunyai rasa optimis (Rohayati, 2014). Individu yang resilien adalah

individu yang optimis, individu tersebut percaya semua hal dapat berubah

lebih baik dan memiliki harapan terhadap masa depan serta dapat mengontrol

kehidupannya (Reivich & Shatte, 2003). Hal-hal tersebut menunjukkan

bahwa konsep diri secara fisik mempengaruhi resiliensi individu.

Berzonsky (dalam Fatimah, 2012) menyatakan bahwa aspek diri secara

psikis meliputi pikiran, perasaan, dan perilaku yang dimiliki individu tentang

dirinya. Tanda bahwa individu memiliki konsep diri positif misalnya

memandang dirinya sebagai individu optimis dan mampu mengontrol diri.

Individu yang memiliki rasa optimis dalam diri mengindikasikan individu

tersebut resilien karena individu yang resilien ialah individu yang mampu

optimis pada masa depan, serta berusaha menggapai pengharapan dengan

pemikiran yang positif, yakin akan kelebihan yang dimiliki, serta bekerja

keras menghadapi stress tantangan sehari-hari secara efektif (Aisyah, dkk,

2015).

Individu juga mampu mengontrol diri, kontrol diri ini berkaitan dengan

bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan

dalam dirinya (Hurlock, 1990). Hal ini dapat dikatakan bahwa individu yang

32

mampu mengontrol diri mencerminkan terpenuhinya dua aspek resiliensi

yaitu individu tersebut mampu untuk mengendalikan atau meregulasi emosi

serta memiliki kemampuan pengendalian impuls, yaitu individu mampu

mengendalikan dorongan, keinginan, kesukaan yang ada dalam diri (Reivich

& Shatte, 2003). Mahmudinata (2014) juga menyatakan bahwa individu yang

mempunyai kontol diri akan lebih cepat menyelesaikan masalah. Hal ini

menunjukkan terpenuhnya salah satu aspek resiliensi, yaitu analisis penyebab

masalah, individu mampu fokus dan memegang kendali penuh pada

penyelesaian atau pemecahan masalah, sehingga individu lebih cepat

menyelesaikan masalah. Berdasarkan penjabaran di atas, maka disimpulkan

bahwa konsep diri secara psikologis mempengaruhi resiliensi seseorang.

Aspek diri sosial ialah peran sosial yang dimainkan individu serta

penilaian individu terhadap seberapa baik atau buruknya peran tersebut.

Individu yang memiliki konsep diri sosial positif akan memandang dirinya

sebagai orang terbuka pada orang lain, memahami orang lain, merasa mudah

akrab dengan orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain.

Fleshman & Schoenberg (2011) menyatakan bahwa bagaimana individu

melihat dirinya di masa depan dan bagaimana individu merasa diperhatikan

atau dipedulikan oleh ibunya dan lingkungannya merupakan faktor penting

yang berkontribusi terhadap resiliensi individu.

Selain itu, salah satu bentuk hubungan yang akrab pada seseorang

ialah terjalinnya persahabatan. Dalam persahabatan terdapat salah satu aspek

friendship’s affective (kasih sayang dalam persahabatan) yang ditandai

33

munculnya empati (Fauziyah, 2014). Empati merupakan salah satu aspek

pembentuk resiliensi, individu yang punya kemampuan berempati cenderung

memiliki hubungan sosial yang positif, sedangkan individu dengan empati

yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang

tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain

(Reivich & Shate, 2003). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan

bahwa konsep diri sosial mempengaruhi tingkat resiliensi individu.

Aspek diri moral terdiri dari nilai dan prinsip yang memberi arti serta

arah bagi kehidupan seseorang. Berzonsky (dalam Fatimah, 2012)

menyatakan bahwa individu yang memiliki memiliki konsep diri moral positif

memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai etik

moral. Fitss (dalam Agustiani, 2009) menyatakan bahwa dimensi etik moral

menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan

seseorang akan kehidupan keagamaanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang

yang meliputi batasan baik dan buruk. Keadaan yang menghayati nilai-nilai

agama dengan mematuhi ajaran agama sebagai pegangan kehidupan sehari-

hari dimaknai sebagai religiusitas (Saputri, dalam Setiawan & Pratitis, 2015).

Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan mampu

mengendalikan emosinya, mampu memaknai suatu musibah secara positif,

karena individu mempunyai keyakinan yang kuat bahwa semua yang terjadi

adalah kehendak Tuhan. Keyakinan ini akan membentuk pribadi yang

optimis, percaya diri yang baik untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan

saat peristiwa buruk menimpa (Suryaman, dalam Setiawan & Pratitis, 2015).

34

Hal tersebut menunjukkan tercapainya aspek resiliensi yaitu regulasi emosi,

individu dapat meregulasi atau mengendalikan emosi, aspek peningkatan

aspek positif, yaitu mampu mencapai aspek positif ketika musibah atau

kemalangan menimpa, serta terbentuknya rasa optimis yang juga merupakan

aspek resiliensi. Penjelasan diatas menggambarkan bahwa konsep diri secara

moral mempengaruhi resiliensi individu.

Kesimpulan dari penjabaran diatas ialah konsep diri fisik, psikis,

sosial, dan moral mempengaruhi tingkat resiliensi individu. Semakin tinggi

konsep diri, maka akan semakin tinggi juga resiliensi individu. Hal ini sejalan

dengan penelitian Cholily (2014) dan Amalia (2015) bahwa semakin tinggi

konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa

tersebut, sebaliknya semakin rendah konsep diri mahasiswa maka semakin

rendah pula resiliensi mahasiswa tersebut.

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan positif antara konsep

diri dengan resiliensi pada mahasiswa tahun pertama program kelas

karyawan. Semakin tinggi konsep diri maka akan diikuti semakin tingginya

resiliensi, demikian juga sebaliknya, semakin rendah konsep diri maka akan

semakin rendah pula resiliensi pada mahasiswa.