bab ii tinjauan pustaka - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/28/3/bab...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan
1. Pengertian Resiliensi
Reivich & Shatte (2003) mendefinisikan resiliensi ialah kemampuan
untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan bangkit kembali ketika
kesulitan menerpa. Rirkin dan Hoopman (dalam Desmita, 2014)
berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk bangkit
kembali dalam kondisi sulit, mampu beradaptasi dalam menghadapi
kesulitan, memiliki hubungan sosial yang baik, memiliki prestasi akademik,
memiliki kompetensi kejuruan meskipun paparan stres berat melekat.
Desmita (2014) juga mengartikan resiliensi (ketangguhan, daya lentur)
adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki oleh seorang
individu, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan menghilangkan dampak-
dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau
mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar
untuk diatasi.
Memasuki perguruan tinggi mendatangkan perubahan hidup bagi
individu. Biasanya perubahan dialami paling sering di tahun pertama kuliah
ketika memasuki perguruan tinggi (Setyowati,dkk dalam Amelia,dkk,
2014). Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa mahasiswa pada tahun
pertama memiliki tantangan tersendiri dalam hidup, ketika individu masuk
11
12
dalam dunia kuliah, individu menghadapi berbagai perubahan mulai dari
perubahan karena perbedaan sifat pendidikan sekolah menengah atas dan
perguruan tinggi, perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi
atau jurusan, dan masalah ekonomi. Mahasiswa tahun pertama yang
mengambil program kelas karyawan tentunya mengalami kesulitan dan
tantangan tersendiri karena mahasiswa harus pandai membagi waktu,
tenaga, dan pikiran untuk bekerja dan pada saat sore hingga malam
mahasiswa harus mengikuti perkuliahan.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan
resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan
bangkit kembali ketika kesulitan menerpa pada mahasiswa tahun pertama
program kelas karyawan.
2. Aspek-Aspek Resiliensi
Reivich & Shatte (2003) memaparkan tujuh aspek yang membentuk
resiliensi, yaitu sebagai berikut:
a. Regulasi emosi (Emotion regulation)
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan. Individu yang resilien mampu menggunakan
kemampuannya dengan baik untuk membantu mengendalikan emosi,
perhatian, dan perilakunya. Regulasi emosi berperan penting untuk
membetuk hubungan baik dengan orang lain, kesuksesan dalam karir,
dan mempertahankan kesehatan fisik. Individu yang kesulitan meregulasi
emosi sering bertindak emosional terhadap rekan kerja maupun teman-
13
temannya serta sulit untuk diajak kerjasama. Individu sulit untuk
menjalin dan mempertahankan pertemanan karena individu tersebut
mudah marah, jengkel, dan mudah cemas.
b. Pengendalian impuls (Impulse Control)
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam
diri. Individu memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah,
cenderung berperilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif,
dan berperilaku agresif (Ifdil & Taufik, 2012).
c. Optimis (Optimism )
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu tersebut
percaya semua hal dapat berubah lebih baik. Individu memiliki harapan
terhadap masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya..
Dibandingkan dengan individu yang pesimistik, individu yang optimis
memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, tidak cenderung mengalami
depresi, melakukan hal-hal baik disekolah, lebih produkti dalam bekerja,
dan memiliki prestasi di bidang olahraga. Individu yang optimis
menandakan individu percaya bahwa individu tersebut memiliki
kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang pasti datang di masa depan..
d. Analisis penyebab (Causal Analysis)
Analisis penyebab merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang
dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
14
permasalahan yang dihadapi secara akurat akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama. Individu juga tidak terfokus pada faktor-faktor
yang berada di luar kendalinya, sebaliknya individu memfokuskan dan
memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, individu secara
perlahan mulai mengatasi permasalahan yang ada dan mengarahkan
hidup untuk bangkit dan meraih kesuksesan.
e. Empati (Empathy)
Empati adalah kemampuan individu untuk dapat memahami perasaan
dan membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain.
Individu dapat memahami dan mengenali keadaan non-verbal seseorang,
mulai dari ekspresi wajah, nada bicara, bahasa tubuh, mampu
memastikan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu yang
punya kemampuan berempati mempunyai hubungan personal yang baik,
individu mampu merasakan dan memahami apa yang dialami orang lain.
Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang
dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua
keinginan dan emosi orang lain.
f. Efikasi diri (Self-efficacy)
Efikasi diri menunjukkan individu percaya bahwa individu tersebut dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan yang mungkin akan dialami dan
mempercayai kemampuannya untuk sukses. Individu dengan efikasi diri
tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak
akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang
15
digunakan itu tidak berhasil. Individu tidak merasa ragu dalam
menghadapi tantangan karena memiliki kepercayaan yang penuh dengan
kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan
mampu bangkit dari kegagalan yang dialami. Berbeda dengan individu
yang tidak memiliki kepercayaan bahwa individu tersebut mampu
mencapai kesuksesan, individu lebih pasif ketika dihadapkan pada suatu
permasalahan. Individu dengan efikasi diri rendah juga menghindari
pengalaman-pengalaman baru, berasumsi tidak mampu menghadapi
tantangan dalam situasi yang baru.
g. Pencapaian aspek positif (Reaching out)
Resiliensi merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Individu yang reach out
memberikan kepercayaan diri untuk mengambil tanggung jawab baru di
tempat kerja, menghilangkan resiko malu ketika mendekati seseorang
yang ingin dikenal, serta memberikan keberanian untuk mencari
pengalaman yang menantang sebagai sarana untuk belajar lebih
mengenal diri dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain serta
mampu menilai atau mempertimbangkan resiko.
Wolin dan Wolin (dalam Desmita, 2014) mengemukakan tujuh aspek
utama yang dimiliki oleh individu yang resilien, yaitu:
a. Berwawasan (Insight)
Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui,
dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang
16
lebih tepat. Keasadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau
penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan yang ditunjukkan dengan
perkembangan persepsi tentang “apa yang salah” dan menganalisis
“mengapa ia salah”.
b. Independen (Independence)
Independen yaitu kemampuan individu untuk menghindar atau
menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi
dalam bertindak. Independen juga merupakan kemampuan untuk
mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah
(lingkungan dan situasi yang bermasalah).
c. Hubungan (Relationships)
Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model
yang baik. Relationships juga merupakan upaya seseorang menjalin
hubungan atau berinteraksi dengan orang lain.
d. Inisiatif (Initiative)
Inisiatif yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap
hidupnya. Inisiatif individu dapat terlihat dari individu tersebut melakukan
eksplorasi terhadap lingkungan dan kemampuan individu dalam
mengambil peran/bertindak.
17
e. Kreativitas (Creativity)
Kreativitas yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi,
dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Kreativitas dapat
ditunjukkan melalui permainan-permainam kreatif dan pengungkapan diri.
f. Humor (Humor)
Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan
menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu dapat
mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau
dapat mencairkan suasana kebekuan.
g. Moralitas (Morality )
Moralitas adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati
nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang
yang membutuhkan. Moralitas juga merupakan pertimbangan seseorang
tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan
bertindak dengan integritas.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli diatas, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa aspek-aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte (2003) yaitu; regulasi
emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab, empati, efikasi diri,
Pencapaian aspek positif, sedangkan aspek-aspek resiliensi menurut Wolin dan
Wolin (dalam Desmita, 2014) yaitu; berwawasan, independen, hubungan,
inisiatif, kreativitas, humor, moralitas.
Dari penjabaran aspek-aspek resiliensi dari beberapa pendapat ahli
diatas, peneliti akan menggunakan aspek-aspek resiliensi menurut Reivich &
18
Shatte sebagai indikator untuk penyusunan skala, yaitu meliputi; regulasi
emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab, empati, efikasi diri,
pencapaian aspek positif, karena aspek-aspek tersebut lebih rinci sehingga
diharapkan dapat mengungkap data lebih dalam tentang resiliensi. Dari studi
pustaka yang dilakukan peneliti, aspek-aspek resiliensi dari Reivich & Shatte
banyak digunakan dalam penelitian yang digunakan sebagai skala untuk
mengukur resiliensi seperti penelitian Amelia, dkk (2014), Taufik & Ifdill
(2012), Pasudevi (2012), Abidin (2011), Poetry (2010).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Everall, dkk (2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi
resiliensi, yaitu:
a. Faktor individual
Faktor individual yang mempengaruhi resiliensi meliputi 1)
kemampuan kognitif individu; 2) konsep diri; 3) harga diri; 4) kompetensi
sosial yang dimiliki individu.
1) Kemampuan kognitif individu
Salah satu temuan yang paling konsisten di seluruh studi tentang
resiliensi adalah hubungan positif antara resiliensi dan fungsi kognitif
(Masten et al,; Richman & Fraser; Smith & Carlson; Smokowski,
Reynolds & Bezruczko; Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Levine
(dalam Everall, dkk, et al., 2006) menyatakan bahwa meskipun
kemampuan kognitif dapat meningkatkan resiliensi, namun
19
kemampuan kognitif bukan hanya IQ tetapi pemahaman yang tepat
seseorang terhadap orang lain dan diri sendiri dalam berbagai situasi.
Pada diri individu untuk berkembangnya resiliensi sangat terkait
erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu
lewat bahasa yang tepat, melalui kemampuan membaca, dan
berkomunikasi secara non verbal. Resiliensi juga dikaitkan dengan
kemampuan individu untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan
memanfaatkan fantasi dan harapan yang ditumbuhkan pada diri
individu yang bersangkutan. Dengan demikian diyakini bahwa individu
yang memiliki intelegensi yang tinggi memiliki resilien yang lebih
tinggi juga dibandingkan dengan individu berintelegensi rendah.
2) Konsep diri
Konsep diri yang positif dapat berkontribusi untuk resiliensi
individu (Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter;
Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Berzonsky (1981) mendefinisikan
konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya,
yang terdiri dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis. Konsep diri
positif dapat mendukung rasa penguasaan diri untuk berprestasi,
berhasil dalam mengerjakan tugas atau dari keahlian khusus yang
dimiliki atau bakat yang dihargai oleh orang lain, keluarga, teman
sebaya, dan masyarakat (Dugan; Howard & Johnson; Rutter, dalam
Everall, dkk, 2006).
20
Penelitian Cholily (2014) tentang konsep diri dengan resiliensi
pada mahasiswa juga dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi
sebesar 0.450 dan nilai signifikansi sebesar 0.000. Berdasarkan nilai
koefisien diatas, disimpulkan bahwa semakin tinggi konsep diri
mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa tersebut,
sebaliknya semakin rendah konsep diri mahasiswa maka semakin
rendah pula resiliensi mahasiswa tersebut. Penelitian lain oleh Amalia
(2015) juga menyatakan bahwa konsep diri memiliki konstribusi yang
positif terhadap resiliensi sehinga semakin positif konsep diri maka
semakin tinggi resiliensi remaja tersebut, sebaliknya semakin negatif
konsep diri maka semakin rendah resiliensi remaja tersebut, sehingga
hal ini mencerminkan bahwa memiliki konsep diri menjadi salah satu
cara untuk dapat meningkatan daya resiliensi individu.
3) Harga diri
Harga diri yang positif juga dapat berkontribusi untuk resiliensi
individu (Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter;
Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Harga diri juga merupakan sebuah
faktor yang dapat dianggap sebagai aset atau sumber daya dari pada
resiliensi (Ekasari dan Andriyani, 2013).
Harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan oleh seorang
individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian
tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan
menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu,
21
penting, berhasil dan berharga. Dari hasil penelitian diketahui pula
bahwa terdapat hubungan antara harga diri (self-esteem) dengan
resiliensi. Semakin tinggi tingkat harga diri (self esteem) maka semakin
tinggi pula resiliensi, begitu sebaliknya (Ekasari dan Andriyani, 2013).
4) Kompetensi sosial
Faktor individual lain ialah kompetensi sosial. Individu yang
resilien cenderung memiliki keterampilan sosial yang kuat dan
kecakapan dengan komunikasi interpersonal (Hollister-Wagner et al.;
Howard & Johnson; Luthar; Smith & Carlson; Werner dalam Everall,
dkk, 2006). Selain itu, humor, empati, fleksibilitas, dan perangai
mudah bergaul juga meningkatkan kemampuan bersosialisasi
(Bernard; Fraser & Richman; Levine; Richardson et al.; Rutter dalam
Everall, dkk, 2006).
b. Faktor keluarga
Faktor keluarga meliputi dukungan orang tua, yaitu bagaimana cara
orang tua memperlakukan dan melayani anak. Keterkaitan emosional dan
batin antara anggota keluarga sangat diperlukan dalam mendukung
pemulihan individu mengalami stress dan trauma. Keterikatan para
anggota keluarga amat berpengaruh dalam pemberian dukungan terhadap
anggota keluarga yang mengalami musibah untuk dapat pulih dan
memandang kejadian tersebut secara objektif. Begitu juga menumbuhkan
dan meningkatan resiliensi.
22
Selain dukungan dari orang tua struktur keluarga juga berperan
penting bagi individu. Struktur keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu
dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi dan sebaliknya keutuh
dapat menghambat tumbuh kembang resiliensi (Ekasari dan Andriyani,
2013).
c. Faktor eksternal/komunitas
Bagi beberapa individu, keterlibatan dalam hubungan dan
ekstrakurikuler kegiatan di luar rumah membantu berkembangnya
resiliensi. Hal ini dapat menjadi sangat penting bagi individu yang berasal
dari lingkungan keluarga yang bermasalah, di mana penggunaan dukungan
eksternal sistem dan partisipasi dalam olahraga, hobi, atau kegiatan agama
memberikan bantuan akibat stres yang berasal dari kehidupan keluarga dan
mengekspos individu untuk berada pada kondisi yang lebih
menguntungkan untuk pengembangan dirinya (Gore & Aseltine; Rutter;
Smith &Carlson; Smokowski et al., dalam Everall, dkk, 2006).
Berdasarkan penelitian Bonanno & Galea (2007), resiliensi dipengaruhi
oleh 7 faktor, yaitu:
a. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi karena mampu
beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk mengubah keadaan dan
fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan perempuan memiliki
tingkat resiliensi lebih rendah karena memiliki fleksibilitas adaptif yang
kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan,
23
cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan
atau tekanan, serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali
setelah mengalami pengalaman traumatik (Einsenberg dkk, dalam Rinaldi
2010).
b. Usia
Pada penelitian Bonanno & Galea (2007), ditemukan bahwa partisipan
dengan usia lebih muda menujukkan reaksi ekstrem serta memiliki potensi
trauma yang lebih besar ketika diterpa kesulitan atau masalah. Partisipan
yang berumur lebih dari 65 tahun lebih memiliki resiliensi dibandingkan
dengan partisipan dengan usia muda (18-24 tahun).
c. Tingkat Pendidikan
Partisipan penelitian dengan pendidikan lulusan perguruan tinggi hanya
memiliki peluang sekitar setengah untuk menjadi individu yang lebih
resilien dibandingkan dengan partisipan dengan pendidikan sekolah
menengah pertama atau dibawahnya.
d. Pendapatan
Pada penelitian ini terbukti bahwa tingkat pendapatan terkait dengan
resiliensi. Rendahnya pendapatan tetap menjadi prediktor signifikan dari
resiliensi, meskipun variabel sosial ekonomi dan demografi lainnya dapat
dikendalikan.
e. Dukungan Sosial
Dukungan sosial telah terbukti berkontribusi untuk pemulihan dari trauma
dari waktu ke waktu (Koenen, Stellman, Stellman,& Sommer, dalam
24
Bonanno & Galea 2007). Secara umum dukungan sosial dipandang dan
dikaitkan dengan kesehatan dan kesejahteraan. Namun, temuan dalam
penelitian ini, hal ini tidak jelas terbukti bahwa dukungan sosial
berhubungan dengan resiliensi.
f. Tidak adanya penyakit kronis
Tidak adanya penyakit kronis sangat terkait dengan resiliensi individu.
Individu yang memiliki penyakit kronis memiliki kemungkinan untuk
mengalami penurunan tingkat resiliensi.
g. Stres Kronis
Ong, Bergeman, dan Bisconti (dalam Bonanno & Galea 2007)
menemukan bahwa stres kronis karena kematian pasangan hidup
mengakibatkan berkuranganya diferensiasinya emosional, yang pada
akhirnya tersirat hubungan bahwa stres kronis dapat mengurangi resiliensi
dalam menghadapi kehilangan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Everall, dkk
(2006) resiliensi dipengaruhi oleh; a) faktor internal yang meliputi kemampuan
kognitif, konsep diri, harga diri, kompetensi sosial yang dimiliki individu; b)
faktor keluarga meliputi dukungan orang tua dan struktur keluarga komunitas;
c) faktor eksternal/komunitas berupa keterlibatan dalam hubungan dan kegiatan
ekstrakurikuler, sedangkan menurut Bonanno & Galea (2007) terdapat 7 faktor
yang mempengaruhi resiliensi, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
pendapatan, dukungan sosial, tidak adanya penyakit kronis, dan stres kronis.
25
Adapun faktor yang dipilih dalam penelitian ini ialah faktor individual
yang didalamnya ada konsep diri, sehingga pada penelitian ini peneliti
menjadikan konsep diri sebagai variabel prediktor. Peneliti menjadikan konsep
diri sebagai variabel prediktor karena individu yang memiliki konsep diri tinggi
akan membuat individu lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap
positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya serta
individu mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat
dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang (Rini dalam Nur &
Ekasari, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Cholily (2014) yang
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri
dengan resiliensi. Semakin tinggi konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi
pula resiliensi mahasiswa tersebut.
B. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri adalah gambaran yang
dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri dari diri secara fisik, sosial,
moral, dan psikis. Hurlock (2010) mendefinisikan konsep diri ialah gambaran
yang dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan
dari keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya yang mencakup citra
fisik dan psikologis individu.
Fitts (dalam Agustiani, 2009) juga berpendapat bahwa konsep diri adalah
kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Individu mampu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya,
26
memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya.
Agustiani (2009) mengartikan konsep diri ialah gambaran yang dimiliki
seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman
yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Alwater (dalam Desmita,
2014) juga menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri,
yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-
nilai yang berhubungan dengan dirinya.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa
konsep diri ialah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri
dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis.
2. Aspek-Aspek Konsep Diri
Berzonsky (1981) membagi aspek konsep diri menjadi 4, yaitu aspek diri
fisik (physical self), diri psikis (psychological self), diri sosial (social self), diri
moral (moral self). Penjabaran mengenai aspek dari diri fisik, diri psikis, diri
sosial, dan diri moral yaitu sebagai berikut;
a. Aspek diri fisik
Aspek utama dalam diri fisik ini berkaitan dengan tubuh, citra tubuh tampak
menjadi dasar dari konsep diri (Epstein dalam Berzonsky, 1981). Aspek diri
fisik juga merupakan pandangan, pikiran, perasaan terhadap fisiknya.
Individu memiliki konsep diri yang positif bila memandang secara positif
penampilanya, kondisi kesehatan kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta
ukuran tubuh ideal. Individu dipandang memililki konsep diri negatif bila
memandang secara negatif mengenai penampilannya, kondisi kesehatan
27
kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta ukuran tubuh idealnya
(Berzonsky dalam Fatimah, 2012).
b. Aspek diri psikis
Apek diri psikis yaitu pikiran, perasaan, dan perilaku yang dimiliki individu
tentang dirinya (Berzonsky, 1981). Seseorang dikatakan memiliki konsep diri
positif bila memandang dirinya sebagai individu yang bahagia, optimis,
mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai kemampuan. Sebaliknya,
individu dengan konsep diri negatif memandang dirinya sebagai orang yang
tidak bahagia, pesimis, tidak mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai
macam kekurangan (Berzonsky dalam Fatimah, 2012).
c. Aspek diri sosial
Konsep diri sosial ialah peran sosial yang dimainkan individu serta penilaian
individu terhadap seberapa baik atau buruknya peran tersebut (Waterbor,
dalam Berzonsky, 1981). Konsep diri sosial juga berkaitan dengan
kemampuan yang berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan
mampu, dan berharga dalam lingkup interaksi sosial. Individu dikatakan
memiliki konsep diri sosial positif bila memandang dirinya sebagai orang
terbuka pada orang lain, memahami orang lain, merasa mudah akrab dengan
orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain. Sebaliknya,
individu yang memiliki konsep diri sosial negatif bila tidak memberi
perhatian terhadap orang lain dan tidak aktif dalam kegiatan sosial
(Berzonsky dalam Fatimah, 2012).
28
d. Aspek diri moral
Diri moral terdiri dari nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi
kehidupan seseorang (Epstein, dalam Berzonsky, 1981). Diri etik moral juga
menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan
seseorang akan kehidupan keagamaanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang,
yang meliputi batasan baik dan buruk (Fitss dalam Agustiani, 2009). Individu
yang memiliki konsep diri moral positif akan memandang dirinya sebagai
orang yang berpegang teguh pada nilai etik moral, namun sebaliknya individu
yang memiliki konsep diri moral negatif akan memandang dirinya sebagai
orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikutinya
(Berzonsky dalam Fatimah, 2012).
Adapun aspek-aspek konsep diri menurut Hurlock (2010) adalah sebagai
berikut :
a. Aspek fisik
Aspek fisik merupakan konsep yang dimiliki individu tentang penampilan,
kesesuaian dengan seks/jenis kelamin, arti penting tubuh dalam hubungan
dengan perilaku individu, dan perasaan gengsi dihadapan orang lain yang
disebabkan oleh keadaan fisiknya. Hal penting yang berkaitan dengan citra
fisik ialah penampilan fisik, daya tarik, serta kesesuaian atau
ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, hal ini mempengaruhi perilaku
dan harga diri individu di hadapan orang lain.
29
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis merupakan konsep individu tentang kemampuan dan
ketidakmampuannya, harga diri, dan hubungan individu dengan orang
lain. Dalam aspek ini terdapat citra psikologis yang didasarkan atas
pikiran, perasaan dan emosi. Aspek ini terdiri atas kualitas dan
kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan serta sifat-
sifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, dan kepercayaan diri dan
berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Individu dengan konsep diri
positif juga mampu menilai hubungan dengan orang lain secara tepat
sehingga menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konsep diri
menurut Berzonsky (1981) meliputi aspek diri fisik, psikis, moral, dan sosial,
sedangkan konsep diri menurut Hurlock (2010) meliputi aspek fisik dan aspek
psikologis. Dari pendapat-pendapat ahli di atas, maka peneliti akan
menggunakan aspek-aspek konsep diri menurut Berzonsky yang meliputi aspek
fisik, psikologis, sosial, dan moral karena aspek yang dijelaskan Berzonksy
lebih lengkap dengan menggunakan empat aspek dibandingkan dua aspek yang
dimiliki Hulock.
C. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun
Pertama Program Kelas Karyawan
Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa ketika individu masuk dalam
dunia kuliah, individu menghadapi berbagai perubahan mulai dari perubahan
karena perbedaan sifat pendidikan sekolah menengah atas dan perguruan
30
tinggi, perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi atau
jurusan, dan masalah ekonomi. Mahasiswa tahun pertama yang mengambil
program kelas karyawan tentunya mengalami kesulitan dan tantangan
tersendiri karena mahasiswa harus pandai membagi waktu, tenaga, dan
pikiran untuk bekerja dan pada saat sore hingga malam mahasiswa harus
mengikuti perkuliahan.
Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter; Werner
(dalam Everall, dkk, et al., 2006) menyatakan bahwa konsep diri yang positif
dapat berkontribusi untuk meningkatkan resiliensi individu, sehingga
diharapkan dengan meningkatkan konsep diri maka akan diikuti
meningkatnya resiliensi. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu
tentang dirinya, yang terdiri dari 4 aspek, yaitu: aspek diri fisik, diri psikis,
diri moral, dan diri sosial (Berzonsky, 1981).
Aspek diri fisik, aspek utama dalam diri fisik ini berkaitan dengan
tubuh. Citra tubuh tampak menjadi dasar dari konsep diri (Epstein, dalam
Berzonsky, 1981). Fortman (2006) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan
salah satu bagian dari penilaian diri yang dipengaruhi oleh citra tubuh. Citra
tubuh yang buruk akan menurunkan efikasi diri yang merupakan aspek dari
resiliensi. Bandura (dalam Fortman 2006) juga menyatakan bahwa individu
yang memiliki efikasi diri tinggi akan lebih memiliki tubuh yang sehat,
bekerja lebih efektif, dan sukses dibandingkan dengan individu dengan
efikasi diri yang rendah. Individu tersebut juga akan cepat menghadapi
masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami (Reivich & Shatte,
31
2003).
Selain itu, Nugraha (2010) juga menyatakan bahwa jika seseorang tidak
merasakan adanya kepuasan terhadap citra tubuh yang dimilikinya maka
orang tersebut juga tidak merasakan adanya kepercayaan didalam dirinya.
Salah satu indikator meningkatnya kepercayaan diri seseorang ialah
mempunyai rasa optimis (Rohayati, 2014). Individu yang resilien adalah
individu yang optimis, individu tersebut percaya semua hal dapat berubah
lebih baik dan memiliki harapan terhadap masa depan serta dapat mengontrol
kehidupannya (Reivich & Shatte, 2003). Hal-hal tersebut menunjukkan
bahwa konsep diri secara fisik mempengaruhi resiliensi individu.
Berzonsky (dalam Fatimah, 2012) menyatakan bahwa aspek diri secara
psikis meliputi pikiran, perasaan, dan perilaku yang dimiliki individu tentang
dirinya. Tanda bahwa individu memiliki konsep diri positif misalnya
memandang dirinya sebagai individu optimis dan mampu mengontrol diri.
Individu yang memiliki rasa optimis dalam diri mengindikasikan individu
tersebut resilien karena individu yang resilien ialah individu yang mampu
optimis pada masa depan, serta berusaha menggapai pengharapan dengan
pemikiran yang positif, yakin akan kelebihan yang dimiliki, serta bekerja
keras menghadapi stress tantangan sehari-hari secara efektif (Aisyah, dkk,
2015).
Individu juga mampu mengontrol diri, kontrol diri ini berkaitan dengan
bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan
dalam dirinya (Hurlock, 1990). Hal ini dapat dikatakan bahwa individu yang
32
mampu mengontrol diri mencerminkan terpenuhinya dua aspek resiliensi
yaitu individu tersebut mampu untuk mengendalikan atau meregulasi emosi
serta memiliki kemampuan pengendalian impuls, yaitu individu mampu
mengendalikan dorongan, keinginan, kesukaan yang ada dalam diri (Reivich
& Shatte, 2003). Mahmudinata (2014) juga menyatakan bahwa individu yang
mempunyai kontol diri akan lebih cepat menyelesaikan masalah. Hal ini
menunjukkan terpenuhnya salah satu aspek resiliensi, yaitu analisis penyebab
masalah, individu mampu fokus dan memegang kendali penuh pada
penyelesaian atau pemecahan masalah, sehingga individu lebih cepat
menyelesaikan masalah. Berdasarkan penjabaran di atas, maka disimpulkan
bahwa konsep diri secara psikologis mempengaruhi resiliensi seseorang.
Aspek diri sosial ialah peran sosial yang dimainkan individu serta
penilaian individu terhadap seberapa baik atau buruknya peran tersebut.
Individu yang memiliki konsep diri sosial positif akan memandang dirinya
sebagai orang terbuka pada orang lain, memahami orang lain, merasa mudah
akrab dengan orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain.
Fleshman & Schoenberg (2011) menyatakan bahwa bagaimana individu
melihat dirinya di masa depan dan bagaimana individu merasa diperhatikan
atau dipedulikan oleh ibunya dan lingkungannya merupakan faktor penting
yang berkontribusi terhadap resiliensi individu.
Selain itu, salah satu bentuk hubungan yang akrab pada seseorang
ialah terjalinnya persahabatan. Dalam persahabatan terdapat salah satu aspek
friendship’s affective (kasih sayang dalam persahabatan) yang ditandai
33
munculnya empati (Fauziyah, 2014). Empati merupakan salah satu aspek
pembentuk resiliensi, individu yang punya kemampuan berempati cenderung
memiliki hubungan sosial yang positif, sedangkan individu dengan empati
yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang
tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain
(Reivich & Shate, 2003). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa konsep diri sosial mempengaruhi tingkat resiliensi individu.
Aspek diri moral terdiri dari nilai dan prinsip yang memberi arti serta
arah bagi kehidupan seseorang. Berzonsky (dalam Fatimah, 2012)
menyatakan bahwa individu yang memiliki memiliki konsep diri moral positif
memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai etik
moral. Fitss (dalam Agustiani, 2009) menyatakan bahwa dimensi etik moral
menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan
seseorang akan kehidupan keagamaanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang
yang meliputi batasan baik dan buruk. Keadaan yang menghayati nilai-nilai
agama dengan mematuhi ajaran agama sebagai pegangan kehidupan sehari-
hari dimaknai sebagai religiusitas (Saputri, dalam Setiawan & Pratitis, 2015).
Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan mampu
mengendalikan emosinya, mampu memaknai suatu musibah secara positif,
karena individu mempunyai keyakinan yang kuat bahwa semua yang terjadi
adalah kehendak Tuhan. Keyakinan ini akan membentuk pribadi yang
optimis, percaya diri yang baik untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan
saat peristiwa buruk menimpa (Suryaman, dalam Setiawan & Pratitis, 2015).
34
Hal tersebut menunjukkan tercapainya aspek resiliensi yaitu regulasi emosi,
individu dapat meregulasi atau mengendalikan emosi, aspek peningkatan
aspek positif, yaitu mampu mencapai aspek positif ketika musibah atau
kemalangan menimpa, serta terbentuknya rasa optimis yang juga merupakan
aspek resiliensi. Penjelasan diatas menggambarkan bahwa konsep diri secara
moral mempengaruhi resiliensi individu.
Kesimpulan dari penjabaran diatas ialah konsep diri fisik, psikis,
sosial, dan moral mempengaruhi tingkat resiliensi individu. Semakin tinggi
konsep diri, maka akan semakin tinggi juga resiliensi individu. Hal ini sejalan
dengan penelitian Cholily (2014) dan Amalia (2015) bahwa semakin tinggi
konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa
tersebut, sebaliknya semakin rendah konsep diri mahasiswa maka semakin
rendah pula resiliensi mahasiswa tersebut.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan positif antara konsep
diri dengan resiliensi pada mahasiswa tahun pertama program kelas
karyawan. Semakin tinggi konsep diri maka akan diikuti semakin tingginya
resiliensi, demikian juga sebaliknya, semakin rendah konsep diri maka akan
semakin rendah pula resiliensi pada mahasiswa.