babii tinjauanpustaka …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4895/3/bab ii.pdf · 9 babii...

22
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Mutasi Kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respons terhadap perubahan lingkungan (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Dalam bentuk yang ekstrem, kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Kecemasan menurut Freud adalah suatu keadaan perasaaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang (Semium, 2006). Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menujuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Semium, 2006). Menurut Darajat individu yang mengalami kecemasan menunjukkan gejala yaitu adanya perasaan tidak menentu, rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami sumber ketakutan serta merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur aduk yang terjadi ketika individu mengalami tekanan perasaan frustasi dan pertentangan atau konflik batiniah (dalam Sutrisno, 2013).

Upload: doantu

Post on 26-Jun-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI

1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Mutasi

Kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan

khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi

(Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap

ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai

dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya

yaitu, bila bukan merupakan respons terhadap perubahan lingkungan (Nevid,

Rathus, & Greene, 2014). Dalam bentuk yang ekstrem, kecemasan dapat

mengganggu fungsi kita sehari-hari (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

Kecemasan menurut Freud adalah suatu keadaan perasaaan afektif yang

tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan

orang terhadap bahaya yang akan datang (Semium, 2006). Keadaan yang tidak

menyenangkan itu sering kabur dan sulit menujuk dengan tepat, tetapi kecemasan

itu sendiri selalu dirasakan (Semium, 2006). Menurut Darajat individu yang

mengalami kecemasan menunjukkan gejala yaitu adanya perasaan tidak menentu,

rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk

memahami sumber ketakutan serta merupakan manifestasi dari berbagai proses

emosi yang bercampur aduk yang terjadi ketika individu mengalami tekanan

perasaan frustasi dan pertentangan atau konflik batiniah (dalam Sutrisno, 2013).

10

Kecemasan adalah perasaan gelisah yang samar-samar atau ketakutan yang suram

mengantisipasi datangnya malapetaka atau hal buruk yang sering melibatkan

ancaman yang relatif tidak pasti atau tidak spesifik (Sarafino, Smith, King, &

DeLongis, 2015) .

Selain itu, menurut Sullivan kecemasan adalah ketegangan yang

bertentangan dengan ketegangan kebutuhan dan tindakan yang sesuai dengan

bantuannya (Fiest dan Fiest, 2008). Sedangkan Rogers mendefinisikan

kecemasan sebagai keadaan kegelisahan atau ketegangan yang penyebabnya tidak

diketahui (Fiest dan Fiest, 2008). Kecemasan merupakan pengalaman subjektif

yang tidak menyenangkan mengenai kekhawatiran atau ketegangan berupa

perasaan cemas, tegang dan emosi yang dialami oleh seseorang (Ghufron &

Risnawita, 2016). Kecemasan adalah keadaan mood negatif yang ditandai oleh

gejala-gejala fisik ketegangan psikologis oleh ketakutan tentang masa depan,

merasa bahwa seseorang tidak dapat memprediksi atau mengendalikan peristiwa

yang akan datang (Barlow dan Durand, 2009). Dari uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan

khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Mutasi merupakan penempatan pegawai yang sering dilakukan dalam

organisasi. Mutasi atau perpindahan adalah penempatan pegawai dalam suatu

pekerjaan lain yang mengandung tugas-tugas, tanggung jawab, status dan upah

yang hampir sama dengan tugas-tugas, tanggung jawab, status, dan upah dari

pekerjaan yang sebelumnya (dalam Rahayu, 2005). Selain itu, Sastrohadiwiryo

menjelaskan bahwa mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan

11

dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan

tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang

bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan

hasil kerja semaksimal mungkin pada perusahaan (dalam Putri, 2015). Sedangkan

berdasarkan Peraturan Kapolri No.16 tahun 2012 tentang mutasi Anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemindahan pegawai negeri pada

polri (alat negara berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakakan hukum, serta memberikan perlindungan pengayoman

dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam

negeri) dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah. Berdasarkan uraian

diatas, dapat disimpulkan bahwa mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang

berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi

ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dari satu jabatan ke jabatan lain

atau antar daerah.

Anggota Polri yang selanjutnya disebut Anggota adalah pegawai negeri

pada Polri dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi yang berdasarkan

undang-undang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian (Peraturan

Kapolri 14 tahun 2011). Polri singkatan dari Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang selanjutnya adalah alat negara yang berperan dalam memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri (Peraturan Kapolri 16 tahun 2012).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Anggota Polri adalah

12

pegawai negeri pada alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan dalam negeri.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Kecemasan

Menghadapi Mutasi Anggota Polri adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan

khawatir yang mengeluhkan sesuatu yang buruk akan segera terjadi berhubungan

dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan

tenaga kerja ke situasi tertentu dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah

yang dialami pegawai negeri pada alat negara yang berperan dalam memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri.

2. Aspek Aspek Kecemasan Menghadapi Mutasi

Menurut Nevid, Rathus, & Greene (2014) aspek aspek kecemasan terbagi

menjadi 3 yaitu sebagai berikut :

a. Aspek fisik

Seseorang mengalami kecemasan dapat tercermin dari kondisi fisik,

seperti mengalami kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh yang

bergetar (gemetar), sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi,

kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak keringat, telapak tangan

berkeringat, pening atau pusing, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit

bicara, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung yang berdebar keras atau berdetak

13

kencang, suara yang bergetar, jari atau anggota tubuh menjadi dingin, merasa

lemas atau mati rasa, terdapat gangguan sakit perut atau mual, seirng buang air

kecil, wajah tersa memerah, merasa sensitif atau mudah marah (Nevid, Rathus, &

Greene, 2014).

b. Aspek behavioral

Kecemasan yang dialami seseorang dapat terlihat dari perilakunya antara

lain individu cenderung berperilaku menghindar, melekat dan dependen atau

tergantung serta perilaku gelisah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

c. Aspek kognitif

Kecemasan dapat ditandai dengan adanya ciri kognitif seperti

kekhawatiran, rasa takut atau ketakutan yang mengganggu tentang masa depan,

keasyikan dengan atau kesadaran yang tajam akan sensasi tubuh, ketakutan

kehilangan kendali, memikirkan pikiran yang mengganggu yang sama berulang

kali, campur aduk atau pikiran yang membingungkan, kesulitan berkonsentrasi

atau memfokuskan pikiran seseorang, dan berpikir bahwa segala sesuatunya tidak

terkendali (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

Menurut Daradjat (1990), apek aspek kecemasan terbagi menjadi dua

bentuk, yaitu

a. Fisiologi : bentuk reaksi fisiologis berupa ujung jari terasa dingin,

pencernaan tidak teratur, pukulan jantung cepat, keringat bercucuran, tidur

tidak nyeyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak.

b. Psikologis : berupa reaksi mental yang berupa sangat takut, merasa akan

ditimpa bahaya atau kecelakaan, tidak bisa memusatkan perhatian, tidak

14

berdaya/rendah diri, hilang kepercaaan pada diri, tidak tentram, ingin lari

dari kenyataan hidup.

Menurut Shah (Ghufron & Risnawita, 2016) membagi kecemasan

menjadi 3 komponen, yaitu:

a. Komponen Fisik, seperti pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut mual,

mulut kering, grogi.

b. Emosional, seperti panik dan takut.

c. Mental atau kognitif, seperti gangguan perhatian dan memori, kekhawatiran,

ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan

Nevid, Rathus, & Greene (2014) meliputi aspek fisik, aspek behavioral, dan

aspek kognitif. Sedangkan aspek-aspek kecemasan menurut Daradjat (1990)

meliputi Fisiologis dan Psikologis. Selain itu, komponen kecemasan menurut

Shah (Ghufron & Risnawita, 2016) meliputi komponen fisik, emosional dan

mental atau kognitif. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang

dikemukkan Nevid, Rathus, & Greene (2014) meliputi aspek fisik, aspek

behavioral, dan aspek kognitif untuk mengungkapkan aspek-aspek Kecemasan

Menghadapi Mutasi karena semua kecemasan memiliki gejala yang sama hanya

saja yang dicemaskan berbeda. Pada penelitian ini aspek-aspek kecemasan

diarahkan pada konteks kecemasan dalam menghadapi mutasi.

3. Faktor-Faktor Kecemasan Menghadapi Mutasi

Nevid, Rathus, & Greene (2014) menyebutkan beberapa faktor faktor

dalam gangguan kecemasan diantaranya adalah :

15

a. Faktor kognitif

a) Prediksi berlebihan terhadap rasa takut

Orang dengan gangguan gangguan kecemasan sering kali memprediksi

secara berlebihan tentang seberapa besar ketakutan atau kecemasan yang akan

mereka alami dalam situasi-situasi pembangkit kecemasan.

b) Keyakinan yang self defeating atau irasional

Pikiran-pikiran irasional dapat meningkatkan dan mengejakjan

gangguan gangguan kecemasan dan fobia. Pikiran-pikiran irasional ini

menginfensifikasi keterangsangan otonomik, mengganggu rencana, memperbesar

aversivitas, mendorong tingkah laku menghindar, dan menurunnya harapan untuk

self efficacy sehubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan

emosi.

c) Sensitivitas berlebih terhadap ancaman

Suatu sensitivitas berlebih terhadap sinyal ancaman adalah ciri utama

dari gangguan-gangguan kecemasan. Orang dengan fobia atau kecemasan merasa

berbahaya pada situasi-situasi yang oleh kebanyakan orang dianggap aman.

d) Sensitivitas kecemasan

Sensitifitas kecemasan didefinisikan sebagai ketakutan terhadap

kecemasan dan simtom-simtom ang terkait dengan kecemasan. Orang dengan

taraf kecemasan yang tinggi terhadap kecemasan mempunyai ketakutan terhaap

ketakutan iu sendiri.

e) Salah mengatribusikan sinyal sinyal tubuh

16

Orang yang mudah terkena gangguan panik cenderung salah untuk

mengatrubsikan sinyal-sinyal tubuh seperti palpitasi jantung, pusing tujuh

keliling, atau kepala enteng sebagai tanda untuk terjadainya serangan jantung

atau hal lain yang mengancam.

f) Self efficacy yang rendah

Bila seseorang percaya bahwa seseorang tidak punya kemampuan untuk

menanggulangi tantangan-tantangan penuh stres yang seseorang hadapi dalam

hidup, seseorang akan merasa makin cemas bila seseorang berhadapan dengan

tantangan-tantangan itu. Sebaliknya orang yang mampu melakukan tugas

tugasnya, seeorang itu tidak akan dihantui oleh kecemasan, atau rasa takut bila

seseorang itu berusaha melakukannya. Orang dengan self efficacy yang rendah

(kurang yakin pada kemampuannya untuk melakukan tugas tugas dengan sukses)

cenderung untuk berfokus pada ketidakadekuatan yang dipersepsikan.

b. Faktor biologis

a) Faktor faktor genetis Faktor genetis tampak mempunyai peran penting dalam

perkembangan gangguan-gangguan kecemasan, termasuk panik, gangguan

kecemasan menyeluruhm, gangguan obsesif-kompulik dan gangguan

gangguan fobia.

b) Neurotransmiter Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada reaksi

kecemasan, termasuk gamma-aminobutyric acid (GABA) yaitu

neurotransmiter yang inhibitori yang meredakan aktifitas berlebih dari saraf

dan membantu untuk meredam respons-respons stres. Bila aksi GABA tidak

adekuat, neurin-neuron dapat berfungsi berlebihan, kemungkinan

17

menyebabkan kejang-kejang. Dalam kasus-kasus yang kurang dramatis, aksi

GABA yang kurang adekuat dapat meningkatkan keadaan kecemasan.

Adler dan Rodman (Ghufron & Risnawita, 2016) menyatakan terdapat

dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan yaitu :

a. Pengalaman negatif pada masa lalu

Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak,

yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat

terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang

sama dan juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal

dalam mengikuti tes.

b. Pikiran yang tidak rasional

Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu :

a) Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu

yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta

perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi

permaslaahannya.

b) Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku

sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran

kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan

inspirasi.

c) Persetujuan, Persetujuan adanya kenyakinan yang salah didasarkan pada ide

bahwa terdapat hal virtual yang tidak hanya diinkan, tetapi juga untuk

mencapai persetujuan dari sesama teman atau siswa.

18

d) Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi

pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

kecemasan menghadapi mutasi yang digunakan oleh peneliti adalah faktor faktor

kecemasan menurut Nevid, Rathus, & Greene (2014) adalah faktor kognisi yang

meliputi prediksi berlebih terhadapa rasa takut, keyakinan yang self defeating

atau irasional, sensitivitas berlebih terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan,

salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh, self efficacy yang rendah. Selain itu

ada faktor biologis yang meliputi faktor faktor genetis dan neurotransmiter.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Adler dan

Rodman (Ghufron & Risnawita, 2014) meliputi pengalaman negatif pada masa

lalu dan pikiran yang tidak rasional.

Penanganan kecemasan yang dialami oleh individu dapat berbeda antara

individu satu dengan individu lain tergantung pada penilaian individu terhadap

kemampuan yang dimiliki (dalam Deviyanthi dan Widiasavitri, 2016). Bila

seseorang percaya bahwa seseorang tidak punya kemampuan untuk

menanggulangi tantangan-tantangan penuh stres yang seseorang hadapi dalam

hidup, seseorang akan merasa makin cemas bila seseorang berhadapan dengan

tantangan-tantangan itu (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Sebaliknya orang yang

mampu melakukan tugas tugasnya, seeorang itu tidak akan dihantui oleh

kecemasan, atau rasa takut bila seseorang itu berusaha melakukannya. Pada

penelitian ini penulis memilih faktor self efficacy yang rendah. Self Efficacy

menurut Bandura (Alwisol, 2009) adalah suatu keyakinan individu bahwa

19

individu mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Orang

dengan self efficacy yang rendah (kurang yakin pada kemampuannya untuk

melakukan tugas tugas dengan sukses) cenderung untuk berfokus pada

ketidakadekuatan yang dipersepsikan.

B. SELF EFFICACY

1. Pengertian Self Efficacy

Bandura (Alwisol, 2009) mendefinisikan Self Efficacy adalah keyakinan

seseorang akan kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu

tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian tertentu. Menurut

Baron & Byrne (2004) self efficacy merujuk pada keyakinan seseorang akan

kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai

tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Sedangkan menurut Alwisol (2009)

Self Efficacy adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik

atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang

dipersyaratkan. Self efficacy berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita cita

menggambarkan sesuatu yang ideal seharusnya (dapat dicapai), sedangkan self

efficacy menggambarkan penilaian kemampuan diri (Alwisol, 2009). Self-efficacy

menurut Fiest dan Fiest (2008) mengacu pada keyakinan orang bahwa seseorang

mampu melakukan perilaku-perilaku yang dapat menghasilkan hasil yang

diinginkan secara khusus situasi. Self Efficacy didefinisikan sebagai keyakinan

seseorang atas kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber kognitif,

dan sumber tindakan yang diperlukan untuk menjalankan tugas dalam konteks

20

tertentu (Luthans, 2010). Woolfolk menyebut self efficacy adalah kepercayaan

mengenai kompetensi personal dalam situasi khusus (dalam Christian &

Moningka, 2012)

Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa self

efficacy sebagai keyakinan seseorang untuk mempergunakan kontrol pribadi pada

motivasi, kognisi, afeksi pada lingkungan sosialnya selain itu juga merupakan

keyakinan bahwa seseorang mampu melaksanakan tugas, mencapai tujuan atau

rintangan.

2. Aspek Aspek Self Efficacy

Menurut Bandura (Alwisol, 2009) aspek aspek self efficacy meliputi :

a. Level (Magnitude)

Aspek ini berkaitan dengan penilaian individu terhadap tingkat kesulitan

tugas yang sedang dihadapinya. Individu menilai dirinya merasa mampu atau

tidak untuk melakukan tugas tersebut, sebab kemampuan diri individu berbeda-

beda pada tingkat kesulitan tugas yang dihadapinya. Individu akan melakukan

tugas yang menurutnya mudah untuk dikerjakan, kemudian akan berkembang

untuk mengerjakan tugas tugas yang dianggapnya sulit (dalam Nurlaila, 2011).

b. Strength

Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan diri keyakinan atau

pengharapan individu mengenai kemampuannya. Individu yang memiliki

keyakinan yang kuat terhadap kemampuanya untuk menyelesaikan tugas atau

masalahnya, akan terus bertahan dan terus berjuang dalam berusaha, meskipun

banyak kesulitan dan tantangan yang dihadapinya dalam mencapai keberhasilan

21

tersebut. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong

untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki

pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah

dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-

pengalaman yang tidak menunjang (dalam Christian & Moningka, 2012).

c. Generality

Aspek ini berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya

melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Banyak aktivitas menuntut individu

yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan aktivitas tersebut.

Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada

pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi

tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi

(dalam Christian & Moningka, 2012).

Aspek-aspek self efficacy menurut Luthans (2010) meliputi :

a. Pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja

Pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja inilah yang paling kuat

dalam membentuk keyakinan efficacy karena merupakan informasi langsung

mengenai kesuksesan. Proses situasi maupun kognitif (misal persepsi

kemampuan seseorang) berkaitan dengan kinerja akan mempengaruhi penilaian

dan keyakianan self efficacy. Bandura menunjukkan bahwa pengalaman yang

diperoleh melalui usaha terus menerus dan kemampuan untuk belajar membuat

efficacy yang kuat dan fleksibel. Akan tetapi, efficacy yang dibangun dari

22

kesuksesan yang datang dengan mudah tidak akan bertahan ketika muncul

berbagai kesulitan.

b. Pengalaman pribadi dan pemodelan

Individu yang tidak mengalami secara langsung perilaku personal yang

memperkuat pembelajaran (belajar sendiri dengan melihat dan mengamati orang

lainyang relevan), hal yang sama juga terjadi pada pencapaian efficacy. Bandura

menyatakan bahwa jika orang melihat orang lain seperti dirinya, yang berhasil

karena usaha keras, mereka yakin bahwa mereka juga punya kapasitas untuk

sukses.

c. Persuasi sosial

Keyakinan seseorang atas efficacy dapat diperkuat melalui pengaruh

orang lainyang kompeten dan dihormati sehingga mereka mendapatkan apa yang

diperlukan dan memberikan umpan balik positif pada perkembangan yang terjadi

dalam tugas.

d. Peningkatan fisik dan psikologis

Orang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan emosi,

untuk menilai kapabilitas mereka. Jika individu berada dalam kondisi mental dan

fisik yang sehat maka hai ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun

efficacy, kondisi tersebut juga meningkatkan efficacy seseorang pada tugas yang

menuntut kondisi fisik dan atau psikologis yang baik.

Aspek-aspek self efficacy menurut Baron & Byrne (2004) meliputi :

23

a. Aspek akademik

Berhubungan dengan keyakian akan kemampuanya melakukan tugas

tugas, mengatur kegiatan mereka sendiri, dan hidul dengan harapan mereka

sendiri dan orang lain.

b. Aspek sosial

Berhubungan dengan keyakian mereka akan kemampuannya membentuk

dan mempertahankan hubungan, asertif, dan melakukan kegiatan di waktu

senggang.

c. Aspek Self Regulatory

Berhubungan dengan kemampuan menolak tekanan teman sebaya dan

mencegah kegiatan beresiko tinggi.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek aspek Self

Efficacy menurut Bandura (Alwisol, 2009) meliputi Level (magnitude),

Generality, dan Strength. Selain itu aspek-aspek self efficacy menurut Luthans

(2010) meliputi pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja, pengalaman

pribadi dan pemodelan, persuasi sosial dan peningkatan fisik dan psikologis.

Sedangkan menurut Baron & Byrne (2004) aspek-aspek self efficacy meliputi

aspek akademik. Aspek sosial dan aspek Self Regulatory. Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan aspek-aspek dari Bandura (Alwisol, 2009) meliputi Level

(magnitude), Generality, dan Strength karena sesuai dengan subyek penelitan.

24

C. HUBUNGAN SELF EFICACY DENGAN KECEMASAN

MENGHADAPI MUTASI

Menurut Bandura self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap

kemampuan atas kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan,

atau mengatasi hambatan (Baron & Byrne, 2004). Keyakinan efficacy dikatakan

dapat mempengaruhi individu menginterpretasikan suatu kejadian. Individu yang

memiliki self efficacy yang rendah dengan mudah akan yakin bahwa usaha yang

mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga

mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif yang datang. Sedangkan

individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung untuk melihat

tantangan sebagai suatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan

upaya yang cukup (dalam Christian & Moningka, 2012). Ketika individu

menghadapi suatu tekanan yaitu kecemasan, keyakinan individu terhadap

kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam

bereaksi terhadap situasi yang menekan (Baron & Byrne, 2004). Efikasi diri

bervariasi dari situasi ke situasi tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan

untuk kegiatan yang berbeda, ada atau tidaknya orang lain, itu kompetensi yang

dirasakan dari orang lain ini, terutama jika mereka adalah pesaing; itu

predisposisi orang untuk menghadiri kegagalan kinerja daripada kesuksesan; dan

keadaan fisiologis yang menyertainya, terutama adanya kelelahan, kecemasan,

apati, atau putus asa (Fiest dan Fiest, 2008).

Bandura mengindikasi bahwa self efficacy berhubungan dengan kondisi

fisik dan emosi (Luthans, 2010). Aspek Level (Magnitude) pada Self Efficacy

25

berkaitan dengan penilaian individu terhadap tingkat kesulitan dalam

menjalankan suatu tugas yang sedang dihadapinya (dalam Nurlaila, 2011).

Seseorang yang gagal dalam menjalankan tugas atau mentukan keadaan yang

terlalu menuntutnya cenderung akan lebih mengalami simptom fisiologis seperti

jantung berdebar, wajah memerah, tangan berkeringat, pusing dan lain-lain

(Alwisol, 2009). Nevid, Rathus, & Greene (2014) menjelaskan reaksi fisik yang

dialami ketika individu merasa cemas, seperti tangan berkeringat, jantung

berdebar, wajah memerah, pusing. Feist & Feist (2008) mengemukakan bahwa

ketika seseorang mengalami kecemasan yang tinggi maka mereka biasanya

memiliki self efficacy yang rendah, sementara mereka yang memiliki self efficacy

tinggi merasa mampu mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai

suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

Sumber sumber self efficacy adalah pengalaman penguasaan,

pengalaman pribadi atau pemodelan, persuasi sosial, dan peningkatan fisik dan

psikoloisi (Luthans, 2010). Orang sering mengandalakan perasaan mereka, secara

fisik dan emosi, untuk menilai kapabilitas mereka. Jika ada hal-hal negatif ( misal

orang sangat lelah dan atau tidak sehat secara fisik atau cemas/depresi dan atau

merasa tertekan), maka hal tersebut akan sangat mengurangi efikasi (Luthans,

2010). Jika keadaan fisik dan mental dalam keadaan baik, maka kondisi tersebut

tidak memberikan kontribusi pada efikasi individu. Jika individu berada dalam

kondisi mental dan fisik yang sehat maka hai ini merupakan titik awal yang baik

untuk membangun efikasi. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang

26

pada tuga yang menuntut kondisi fisik ataupun psikologis yang baik (Luthans,

2010).

Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal

antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Self efficacy merupakan variabel

pribadi yang penting, yang kalau di gabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan

pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang

yang penting (Alwisol, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mu’arifah

(2005), menyebutkan bahwa kecemasan yang tidak teratasi dapat menimbulkan

gangguan perilaku, berupa perilaku menghindar. Perilaku menghindar merupakan

salah satu gejala kecemasan berdasarkan aspek behavioral yaitu individu

cenderung berperilaku menghindar, melekat dan dependen atau tergantung serta

perilaku gelisah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Self efficacy berdasarkan

aspek Strength berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang

terhadap keyakinan atas kemampuanya. Orang yang yakin dirinya mampu dalam

menghadapi lingkunganya, maka ketika situasi dan lingkungan yang sedang

dihadapi menekan individu tersebut, individu akan merasa tenang dan tidak

khawatir, serta dapat berfikir jernih (Baron & Byrne, 2004). Sedangkan individu

akan menghindari tugas atau situasi yang diyakini diluar kemampuan individu,

sebaliknya individu akan mengerjakan aktivitas yang diyakini mampu untuk

diatasi (dalam Nurlaila, 2011). Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi

akan cenderung memilih tugas yang lebih sukar dan mengandung tantangan dari

pada individu yang memiliki self efficacy rendah. Self efficacy yang tinggi

membantu membuat perasaan tenang dalam mendekati tugas dan kegiatan yang

27

sulit. Sebaliknya, orang yang meragukan kemampuan dirinya, mereka bisa

percaya bahwa sesuatu itu lebih sulit daripada sebenarnya (dalam Mukhid, 2009).

Aspek Generality berkaitan dengan keyakinan individu akan

kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Banyak aktivitas

menuntut individu yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan

aktivitas tersebut. Menurut Bandura (Lhuthans, 2010) penilaian individu akan

kemampuannya juga mempengaruhi pola pemikiran. Individu yang merasa tidak

yakin akan kemampuannya mengatasi tuntutan lingkungan akan mempersepsikan

kesukaran lebih hebat daripada yang sesungguhnya. Individu yang memiliki self

efficacy yang kuat akan kemampuannya melakukan usaha untuk memenuhi

tuntutan lingkungan, sekalipun mengahadapi hambatan. Self efficacy juga

membentuk pemikiran tentang sebab-akibat. Ketika mencari penyelesaian

masalah, individu dengan self eficacy lebih tinggi cenderung mengatribusikan

kegagalannya pada kurangnya usaha, sementara individu dengan kemampuan

yang sama tetapi self efficacy lebih rendah menganggap kegagalan tersebut

berasal dari kurangnya kemampuan. Individu yang memiliki self efficacy tinggi

memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat kecemasan atau

depresi ketika mengerjakan tugas daripada individu yang self efficacy nya rendah

(Lhuthans, 2006).

Mutasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di Instansi Kepolisian.

Mutasi adalah pemindahan pegawai negeri pada Polri dari suatu jabatan ke

jabatan lain atau antar daerah (Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2012). mutasi

anggota Polri merupakan hal yang biasa dalam regenerasi bagian dari

28

kepentingan organisasi. Selain itu mutasi bagi anggota Polri selalu ada kapan saja

dan dimana saja. Anggota Polri tidak akan pernah mengetahui kapan akan

dimutasi dan dimana akan dimutasikan namun mutasi merupakan ketetapan wajib

bagi setiap Anggota Polri di Instansi Kepolisian. Sesuai dengan Peraturan

Kapolri No. 5 tahun 2006 tentang penerimaan anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia setiap anggota Polri harus bersedia ditempatkan di seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bersedia ditempatkan pada

semua bidang tugas pokok Polri. Dari hasil wawancara pertama dari 6 anggota

Polri Polres Gunungkidul dapat disimpulkan bahwa terdapat gejala gejala

kecemasan yang di alami dalam menghadapi mutasi anggota Polri di Polres

Gunungkidul.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahyu (2005) di

Lingkungan Pegawai UNY menyatakan bahwa perasaan khawatir serta

kecemasan menjadi salah satu dampak psikologis yang dialami oleh pegawai

yang mengalami Mutasi (pemindahan). Mutasi merupakan penempatan pegawai

yang sering dilakukan dalam organisasi. Mutasi atau perpindahan adalah

penempatan pegawai dalam suatu pekerjaan lain yang mengandung tugas-tugas,

tanggung jawab, status dan upah yang hampir sama dengan tugas-tugas, tanggung

jawab, status, dan upah dari pekerjaan yang sebelumnya. Pelaksanaan mutasi

dapat didasari oleh prakarsa pimpinan dengan pertimbangan pembinaan karir

pegawai dan atau untuk kepentingan organisasi (lembaga), tetapi dapat pula

terjadi karena keingian pegawai yang bersangkutan (dalam Rahayu, 2005).

Dalam penelitian Nuraini, Zulkarnaen, dan Listyani (2013) tentang Evaluasi

29

dampak kebijakan mutasi PNS dalam lingkungan dinas pendidikan Kabupaten

Sintang menunjukkan bahwa salah satu evaluasi dampak mutasi PNS yang

dirasakan adalah perasaan resah akan pekerjaannya setelah mutasi terjadi.

Perasaan resah merupakan salah satu gejala kecemasan, kecemasan bisa jadi

berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku (tampak

khawatir dan gelisah atau resah), maupun respon fisiologis tertentu (Barlow dan

Durand, 2009). Kecemasan bersifat kompleks dan merupakan keadaan suasana

hati yang berorientasi pada masa yang akan datang dengan ditandai adanya

kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang

akan datang (Barlow dan Durand, 2009).

Pada penelitian Were dan Ilyas (2016) tentang analisis Kebijakan Mutasi

Jabatan dan Implikasinya terhadap Kinerja PNS di Pemerintahan Kabupaten

Soppeng menjelaskan bahwa mutasi pegawai yang baik adalah salah satu sendi

lembaga yang baik karena dengan sistem mutasi pegawai yang tepat dan

dilaksanakan dengan baik akan menimbulkan kinerja yang tinggi, rasa tanggung

jawab dari sesuatu organisasi dan seluruh pegawai begitu pula sebaliknya apabila

tidak ada sistem mutasi pegawai yang baik secara formil akan menyebabkan

frustasi yang dapat menimbukan bahaya bagi organisasi. Kecemasan merupakan

produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang

untuk mencapai tujuan yang diinginkan (dalam Sutrisno, 2013). Dari beberapa

penelitan terdahulu yang telah dilakukan tentang Mutasi bagi karyawan maupun

anggota PNS didapatkan hasil bahwa Mutasi dapat menyebabkan kecemasan

30

pada individu yang bekerja baik di instansi pemerintahan maupun karyawan

swasta.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan adanya

hubungan antara self efficacy dengan kecemasan. Seperti penelitan eksperimen

yang dilakukan oleh Nurlaila (2011) yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan

bahwa pelatihan self efficacy menurunkan kecemasan siswa yang sedang

menghadapi Ujian Akhir Nasional. Selain itu, penelitian kuantitatif dari Riani dan

Rozali (2014) di Jakarta ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan

antara self efficacy dengan kecemasan. Penelitan berikutnya yang dilakukan oleh

Deviyanthi dan Widiasavitri (2016) di Bali menemukan bahwa terdapat

hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan komunikasi dalam

presentasikan tugas di depan kelas. Berdasarkan hasil penelitian sebelumya dapat

disimpulkan bahwa adanya hubungan negatif antara self efficacy dengan

kecemasan.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti mengasumsikan bahwa terdapat

pengaruh self efficacy terhadap kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri.

D. HIPOTESIS

Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada

hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi

anggota Polri. Semakin tinggi self efficacy maka semakin rendah kecemasan

menghadapi mutasi anggota Polri. Begitu pula sebaliknya, apabila self efficacy

rendah, maka semakin tinggi pula kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri.