bab ii tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41397/3/bab ii.pdf · antioksidan...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Marigold (Tagetes erecta L.)
2.1.1. Klasifikasi (Khulbe, 2015)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Tagetes
Spesies : Tagetes erecta L.
2.1.2. Deskripsi umum
Marigold (Tagetes erecta L.) merupakan tanaman yang biasa ditanam di
kebun atau halaman sebagai tanaman hias. Marigold termasuk tanaman herbal yang
kokoh, bercabang, asli Meksiko dan daerah hangat lainnya seperti di Amerika dan
tersebar di daerah tropis dan subtropis termasuk India dan Bangladesh (Nikkon et
al., 2009). Nama lain dari marigold adalah ades, saes (Sunda) atau bunga tahi kotok
yang lebih dikenal masyarakat (Hidayat dan Rodame, 2015). Tanaman ini tumbuh
cepat dengan ketinggian mulai dari kurcaci 6-8 inci, hingga tanaman menengah dan
tinggi dan tumbuh tegak dengan ketinggian dari 10 sampai 3ft, menghasilkan bunga
ganda mirip pompon hingga 5 di seberang dan memiliki periode berbunga lebih
pendek dari pertengahan musim panas ke salju (Vijay et al., 2013)
2.1.3. Morfologi
a. Akar
Akar dari marigold merupakan akar tunggang (Sukarman&Chumaidi,
2010).
b. Batang
Batang bulat, hijau kecoklatan dengan permukaan yang agak kasar (Hidayat
dan Rodame, 2015).
6
c. Daun
Daun majemuk bertangkai, anak daun saling berhadapan. Permukaan atas
dan bawah daun berbulu halus dan rapat (Hidayat dan Rodame, 2015).
d. Bunga
Bunga berbentuk bonggol yang dikelilingi daun pelindung (Redaksi
AgroMedia, 2008). Bunga memiliki susunan mahkota bunga rangkap, warna cerah
yaitu putih, kuning, oranye hingga kuning keemasan atau berwarna ganda (Winarto,
2010).
2.1.4 Kandungan Kimia
Kandungan dari marigold (Tagetes erecta L.) diketahui dari beberapa
penelitian. Penelitian Gopi G et al. (2012)., Tereschuck M et al. (1997)., Perich M
et al. (1995), dalam Karwani (2015) tanaman Tagetes erecta menghasilkan unsur
kimia seperti thiophenes, flavonoid, karotenoid dan triterpenoid serta terbukti
mengandung quercetagetin, glukosida dari quercetagetin, fenolat, asam syringic,
methyl-3,5-dihydroxy-4- methoxy benzoate, quercetin, thienyl dan etil gallate.
Lutein adalah oksikarotenoid, atau xantofil, yang mengandung 2 kelompok akhir
siklik (satu beta dan satu cincin alfa-ionone) dan struktur isoprenoid C-40 dasar
yang umum untuk semua karotenoid. Ini adalah salah satu unsur utama dan pigmen
Gambar 2. 1 Bunga Marigold (Tagetes erecta L.)
(Gopi et al., 2012)
7
utama dalam Tagetes erecta. Marigold adalah salah satu sumber lutein yang paling
pekat yaitu mengandung 80-90% lutein (Quackenbush and Miller, 1972; dalam
Lokaewmance et al., 2011). Berikut analisis fitokimia Tagetes erecta (Devika et al,
2012).
Tabel II. 1 Analisis Fitokimia Bunga Marigold
(Devika et al, 2012)
Phytochemical
Tests
Leaf Steam Flower Root
Ethanol P.Ether Ethanol P.Ether Ethanol P.Ether Ethanol P.Ether
Carbonydrates + + + - + + + +
Tannin - - - - + - - -
Sapanin - - - - - - - -
Flavonoid + + - + ++ + + -
Alkaloid + + + + + + + +
Quinones - + + ++ ++ ++ - +
Glycosides - - - - - - - -
Cardiac
glycosides + - - - + - - -
Terpenoids - - - + - - +
Triterpeniods - - - + - + -
Phenols + - - - - - - -
Coumarins + + - + ++ + + -
Protanis - - - - - - - -
Steroid &
phytosteroids
- - - - - - - -
Phlobatannins - - - - - - - -
Anthraquinones - - - - - - - -
2.1.5 Khasiat
Di negara-negara Timur bunga marigold digunakan dalam karangan bunga
untuk kepentingan masyarakat dan agama, setelah itu biasanya langsung dibuang.
Bagian yang berbeda dari tanaman Tagetes erecta termasuk bunga digunakan untuk
obat rakyat. Bunganya terutama digunakan untuk menyembuhkan penyakit mata,
pilek, konjungtivitis, batuk, bisul, tumpukan darah dan untuk memurnikan darah
(Manjunath, 1969; Kirtikar et al., 1994; Ghani, 2003 dalam Khulbe, 2015).
Di Indonesia bunga marigold digunakan untuk mengobati infeksi saluran
pernafasan, anti radang, mengencerkan dahak, mengatasi batuk dan obat untuk
luka. Di Filipina digunakan untuk pengobatan anemia, menstruasi yang tidak
lancar, rematik dan sakit pada tulang. Minyak atsiri yang berasal dari bunga
marigold efektif menghambat pertumbuhan bakteri, antijamur pada saprolegnia,
ferax serta sebagai larvasida pada culex quinquefasciatus, dan Aedes aegypti
(Hidayat dan Rodame, 2015).
8
Diketahui aktivitas antioksidan dari bunga marigold (Tagetes erecta L.)
dilihat dari nilai IC50 beberapa penelitian. Dari penelitian Chivde et al. (2011) IC50
ekstrak etanol bunga marigold adalah 3,4 μg/mL dan penelitian lainnya dilihat dari
table berikut
Tabel II. 2 IC50 Ekstrak Bunga Marigold
(Valvoya et al., 2012)
Sample DPPH assay
IC50 (μg/mL)
Metanol extract 7.5±0.1
Ethanol extract 7.6±0.1
Petroleum ether fraction 100.1±12.4
Chloroform fraction 23.1±0.2
Ethyl acetate fraction 4.3±0.4
α-Tocopherol 3.5±0.2
2.2 Antioksidan
2.2.1 Definisi Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau
reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya,
kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2011).
A. Karotenoid
Karotenoid termasuk alpha dan beta-karoten, beta-cryptoxanthin, lutein, dan
zeaxanthin, yang terdapat dalam sayuran dan buah-buahan serta kuning telur,
diketahui memiliki sifat antioksidan dimana dapat mengurangi kerusakan sel yang
disebabkan oleh radikal bebas (Bailey et al ., 2009; Johnson, 2009; Polidori et al.,
2009; Maiani et al., 2009; Santocono et al., 2007; Trevithick-Sutton et al., 2006,
dalam Pongcharoen et al., 2013). Konsumsi karotenoid juga dapat membantu
mengurangi risiko penyakit berbahaya (Chang et al., 2005; Jeong et al., 2009;
Pelucchi et al., 2008, dalam Pongcharoen et al., 2013), berhubungan dengan
penurunan stres oksidatif (Thomson et al., 2007; Tamimi et al., 2009) dan
kerusakan DNA (Santocono et al., 2007; Yong et al., 2009, dalam Pongcharoen et
al., 2013).
9
Senyawa karotenoid memiliki beberapa manfaat diantaranya adalah sebagai
prekursor vitamin A, antioksidan, peningkatan daya tahan tubuh, dan pengubahan
metabolisme kanker (Arab et al., 2001; Gross, 1991; Zeb dan Mehmud, 2004; Yan,
1998, dalam Sayuti dkk., 2015).
Gambar 2. 2 Struktur Kimia Lutein
(Sulistyaningrum, 2014)
Lutein memiliki rumus molekul C40H52O2 dengan berat molekul 644 dalton.
Molekul lutein memiliki ikatan rangkap, membentuk gugus hidroksil allylic reaktif
yang lebih kimiawi daripada ikatan ganda terkonjugasi pada zeaxanthin
(Kopczynski et al., 2005, dalam Pongcharoen et al., 2013).
Menurut Santocono et al. (2006); Roberts and Green. (2009), dalam
Pongcharoen et al. (2013) lutein dapat membantu melindungi kulit dari kerusakan
akibat radiasi ultraviolet dengan cara mengurangi photoageing dan
photocarcinogenesis yang dihasilkan dari iradiasi UVB (Astner et al., 2007, dalam
Pongcharoen et al., 2013). Sebuah studi sebelumnya pada manusia menunjukkan
bahwa konsumsi dan aplikasi eksternal lutein dapat melindungi kulit dari oksidasi.
Di penelitian tersebut, terdapat beberapa parameter seperti lipid permukaan, hidrasi,
aktivitas photoprotective, elastisitas, dan peroksidasi lipid dinilai (Palombo et al.,
2007, dalam Pongcharoen et al., 2013).
B. Flavonoid
Flavonoid memiliki struktur benzo-γ-pyrone, termasuk kelompok besar
senyawa polifenol (Mahomoodally, M.F et al., 2005, Pandey, A.K., 2007, dalam
Kumar, S et al., 2013). Flavonoid memiliki kelompok hidroksil fungsional yang
dapat memediasi efek antioksidannya dengan mengais radikal bebas dan atau
dengan mengkelat ion logam (Kumar, S et al., 2013). Kolelasi logam sangat penting
dalam pencegahan generasi radikal yang merusak target biomolekul (Leopoldini,
M. et al., 2006, Kumar et al., 2013, dalam Kumar, S et al., 2013). Flavonoid dibagi
10
menjadi berbagai kelas yaitu flavon (misalnya flavon, apigenin, dan luteolin),
flavonol (misalnya quercetin, kaempferol, myricetin, dan fisetin), flavanon
(misalnya flavanone, hesperetin, dan naringenin), dan lainnya (Middleton, E. J.
1998, dalam Kumar, S et al., 2013).
Gambar 2. 3 Struktur Kimia Flavonoid
(Khumar, S et al., 2013)
Flavonoid memberikan kontribusi pada aktivitas antioksidan dengan
mengikat (kelasi) ion-ion metal seperti Fe dan Cu. Ion-ion metal seperti Cu dan Fe
ini dapat mengkatalisis reaksi yang akhirnya memproduksi radikal bebas (Mira et
al., 2002; Muchtadi 2012, dalam Sayuti et al., 2015). Flavonoid juga dapat
menghambat enzim yang terlibat dalam pembentukan ROS, yaitu
mikrosomalmonooksigenase, glutathione S-transferase, suksinoksidase
mitokondria, NADHoxidase, dan lainnya (Brown, J.E. et al.,1998, dalam Kumar, S
et al., 2013).
2.2.2 Penggolongan Antioksidan
Secara alami tubuh memiliki sistem antioksidan sebagai mekanisme
perlindungan terhadap serangan radikal bebas yang ada didalam tubuh. Ada dua
macam antioksidan, antioksidan internal dan eksternal. Antioksidan internal adalah
antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Secara alami tubuh mampu
menghasilkan antioksidan sendiri, namun ada batasnya. Kemampuan tubuh untuk
memproduksi antioksidan alami akan semakin berkurang seiring bertambahnya
usia (Sayuti dkk., 2015).
Kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada
dasarnya bisa diatasi oleh antioksidan endogen seperti enzim catalase, glutathione
peroxidase, superoxide dismutase, dan glutathione S-transferase. Tetapi jika
11
senyawa radikal bebas dalam tubuh berlebih atau melebihi batas kemampuan
proteksi antioksidan seluler, maka untuk menetralkan radikal yang terbentuk
dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen (Reynertson,
2007, dalam Sayuti dkk., 2015).
A. Berdasarkan Sumber Perolehannya
Antioksidan digolongkan menjadi 2 yaitu antioksidan alami dan antioksidan
sintetis (buatan). Antioksidan alami digolongkan menjadi enzim dan vitamin.
Antioksidan golongan enzim yang dihasilkan oleh tubuh berupa superoxide
dismutase (SOD), glutation peroxidase, dan katalase. Sedangkan antioksidan
golongan vitamin di dapatkan dari bahan makanan yang berupa buah dan sayur,
misalnya alfatokoferol (vitamin E), beta karoten (vitamin A), dan asam askorbat
(vitamin C) (Zheng W, 2001 dalam Fitri, 2013). Antioksidan alami yang berasal
dari tumbuhan, umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat
berupa golongan flavonoid (Rajani et al., 2009; Pourmorad et al., 2006; Madhavi
et al., 1996, dalam Fitri, 2013).
Antioksidan sintetis banyak digunakan dalam produk makanan. Senyawa ini
dapat berasal dari derivat antioksidan alami (misalnya analog alfa tokoferol), anti-
oksidan golongan fenol (misalnya butil hidroksi anisol dan butil hidroksi toluen),
dan senyawa yang mengandung gugus sulfhidril (misalnya thiazolidin, ebselen, dan
dithiolethion) (Cadenas E, 1997; Cacic M et al., 2010, dalam Fitri, 2013). Contoh
antioksidan sintetis yang diijinkan untuk makanan, yaitu Butil Hidroksi Anisol
(BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, TertButil Hidroksi Quinon
(TBHQ) dan analog alfa tokoferol (Madhavi et al., 1996; Cadenas E, 1997, dalam
Fitri, 2013).
B. Berdasarkan Fungsi dan Mekanisme Kerja (Sayuti, 2015)
1. Antioksidan primer
Antioksidan primer bekerja mengubah radikal bebas yang ada menjadi
molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa radikal bebas
bereaksi, dengan cara mengikuti mekanisme pemutusan rantai reaksi radikal,
kemudian mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang radikal
sehingga menghasilkan produk yang lebih stabil dari produk awal. Contoh
12
antioksidan primer adalah Superoksida Dismutase (SOD), katalase dan protein
pengikat logam (Gpx).
2. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder berperan sebagai pengikat ion-ion logam, penangkap
oksigen, pengurai hidroperoksida menjadi senyawa non radikal, penyerap radiasi
UV atau deaktivasi singlet oksigen. Antioksidan sekunder adalah vitamin E,
vitamin C, ß-caroten, isoflavon, bilirubin, dan albumin. Antioksidan ini bekerja
dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau
menangkapnya (scavenger free radical) sehingga radikal bebas tidak bereaksi
dengan komponen seluler.
3. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang
disebabkan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim yang
memperbaiki DNA yaitu metionin sulfide reduktasu (Putra. 2008 dan Depkes.
2008, dalam Sayuti, 2015).
2.2.3 Manfaat Antioksidan
Antioksidan sangat diperlukan oleh tubuh untuk mengatasi dan mencegah
stres oksidatif. Stres oksidatif berperan penting dalam patofisiologi terjadinya
proses menua dan berbagai penyakit degeneratif, seperti kanker, diabetes mellitus
dan komplikasinya, serta aterosklerosis yang mendasari penyakit jantung,
pembuluh darah dan stroke (Setiati, 2003; Shihabi et al., 2002; Giacco et al., 2010;
dalam Werdhasari, 2014). Resiko terkena penyakit degeneratif dapat diturunkan
dengan mengkosumsi antioksidan dalam jumlah yang cukup (Winarsi, 2011).
Antioksidan dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas,
sehingga radikal bebas dapat diredam (Suhartono, 2002, dalam Kuncahyo dkk.
2007).
Antioksidan Menghambat Penuaan Dini
Penuaan adalah akumulasi perubahan progresif seiring waktu yang
berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan kematian
seiring pertambahan usia dan jumlah kerusakan akibat reaksi radikal bebas yang
terus-menerus terhadap sel dan jaringan. Kerusakan struktur dan fungsi mencirikan
penuaan (Liochev SI, 2015; Magalhaes JP, 2013; dalam Zalukhu et al., 2016).
13
Struktur sel yang berubah turut mengubah fungsinya, yang akan mengarah pada
proses munculnya penyakit, hal tersebut dapat terjadi pada kulit maupun organ yang
lain (Sayuti dkk, 2015).
Proses penuaan kulit pada dasarnya ada dua macam, yaitu (Muliyawan dan
Suriana, 2013) :
1. Penuaan kronologi (chonological aging ) Penuaan kronologi terjadi seiring
dengan bertambahnya usia. Proses ini terjadi karena adanya perubahan
struktur, fungsi, dan metabolik kulit khususnya lapisan dermis dan
epidermis seiring dengan bertambahnya usia.
2. Paparan cahaya (photoaging) Photoaging terjadi karena berkurangnya
kolagen dan serat elastis kulit akibat paparan sinar ultraviolet. Kolagen
adalah komposisi utama lapisan kulit dermis (lapisan bawah dermis).
Lapisan dermis merupakan lapisan kulit yang berperan untuk bertanggung
jawab pada sifat elastisitas dan halusnya kulit. Kedua sifat ini merupakan
kunci suatu kulit disebut indah dan awet muda. Apabila produksi kolagen
menurun pada lapisan dermis kulit, maka kulit akan terlihat kering dan tidak
elastis lagi.
Radikal bebas berperan dalam proses menua, dimana reaksi inisiasi radikal
bebas di mitokondria menyebabkan diproduksinya Reactive Oxygen Species (ROS)
yang bersifat reaktif (Werdhasari, 2014). Mitokondria merupakan sumber utama
produksi reactive oxygen species (ROS) (Salmon et al., 2010; dalam Zalukha,
2016). Pada kondisi normal, terjadi keseimbangan antara oksidan, antioksidan, dan
biomolekul. Radikal bebas yang berlebih menyebabkan antioksidan seluler natural
kewalahan, memicu oksidasi, dan berkontribusi terhadap kerusakan fungsional
seluler. Akumulasi radikal oksigen pada sel dan modifikasi oksidatif molekul
biologi (lipid, protein, dan asam nukleat) berperan dalam penuaan dan kematian sel
(Fusco et al., 2007; dalam Zalukhu et al., 2016). Antioksidan mampu menstabilkan
atau menonaktifkan radikal bebas sebelum menyerang sel (Zalukhu et al., 2016).
2.2.4 Mekanisme Kerja Antioksidan
Antioksidan bekerja menghentikan proses perusakan sel dengan
memberikan elektron kepada radikal bebas. Antioksidan akan menetralisir radikal
14
bebas sehingga tidak memiliki lagi kemampuan mencuri elektron dari sel dan DNA
(Sayuti dkk., 2015).
Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat dengan antioksidan melalui
(Winarsi, 2011):
1. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas yang baru
2. Menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi
(pemutusan rantai)
3. Memperbaiki kerusakan oleh radikal
2.2.5 Tingkat Aktivitas Antioksidan
Metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhidrazyl) merupakan salah satu uji
untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas. Keutungan dari
metode DPPH sebagai uji antioksidan adalah sederhana, cepat, peka, hanya
memerlukan sedikit sampel, dan lebih reprodusibel dibandingkan metode lain
(Apak et al., 2004). Tingkat aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH
dapat digolongkan berdasarkan nilai IC50 seperta pada Tabel II. 3 (Jun, Yu, Fong,
Wan, Yang, and Ho, 2003).
Tabel II. 3 Tingkat Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
(Jun et al.,2003)
Aktivitas Sangat
kuat
Kuat Sedang Lemah Sangat
lemah
Nilai IC50 <50
μg/mL
50-100
μg/mL
101-250
μg/mL
250-500
μg/mL
>500
μg/mL
2.3 Radikal Bebas
2.3.1. Definisi Radikal Bebas
Menurut Soeatmaji (1998), dalam Subandi (2010), yang dimaksud radikal
bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Hal tersebut menyebabkan
molekul menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mencari pasangan dengan
mengambil elektron dari molekul atau sel lain disekitarnya. Sadikin (2008;17)
menjelaskan bahwa perbuatan radikal bebas tersebut akan membuat molekul sel
15
lain yang elektronnya dirampas terdestruktif. Berbagai jenis radikal bebas memiliki
potensi untuk berinteraksi terhadap molekul biologis dalam tubuh, seperti protein,
lipid, dan DNA, dan mencetuskan reaksi yang dapat merusak serta menyebabkan
kematian sel (Duthie GG, et al., 1999; Menvielle-Bourg FJ, 2005; dalam Dharma.
H.S., 2012).
Radikal bebas berasal dari dalam (endogen) maupun luar tubuh (eksogen).
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas endogen yang terbentuk
saat proses metabolisme aerobik dan reaksi sekunder transisi logam seperti copper
dan besi. Radikal bebas eksogen dapat berasal dari asap rokok, polusi, sinar
ultraviolet, radiasi pengion, dan lain lain (Duthie GG, et al., 1999; Menvielle-Bourg
FJ, 2005; dalam Dharma. H.S., 2012).
2.3.2. Bahaya Radikal Bebas
Kerusakan akibat pajanan radikal bebas dapat diminimalkan dengan
antioksidan. Di dalam tubuh, sistem pertahanan antioksidan kompleks bekerja
meminimalkan dampak pajanan radikal bebas baik endogen maupun eksogen yang
berlebih (Duthie GG, et al., 1999; Menvielle-Bourg FJ, 2005; dalam Dharma. H.S,
2012).
Pada kondisi stres fisik, infeksi, pajanan berlebih radikal bebas, kapasitas
antioksidan menjadi tidak memadai untuk menangkal radikal bebas. Kapasitas
antioksidan tubuh juga makin menurun seiring dengan pertambahan usia. Kondisi
pajanan radikal bebas melebihi kapasitas antioksidan tubuh disebut dengan stres
oksidatif. Stres oksidatif diketahui berperan terhadap timbulnya berbagai penyakit
inflamasi atau degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, aterosklerosis, artritis
reumatoid, kanker, dan proses penuaan dini (Fasset RG et al., 2011; Iwamoto T et
al., 2000; McNulty HP et al., 2007; Yamashita E., 2010, dalam Dharma, H.S.,
2012). Pada saat tubuh dipenuhi radikal bebas yang berlebihan, maka molekul yang
tidak stabil dalam tubuh dapat menyerang bagian tubuh yang sehat maupun yang
tidak sehat sehingga terjadi penyakit (Krisnadi, 2012). Proses masuknya radikal
bebas ke dalam tubuh dapat dilihat pada gambar 2.4
16
Gambar 2. 4 Proses Masuknya Radikal Bebas kedalam Tubuh
(Krisnadi, 2015)
Radikal bebas pada konsentrasi tinggi menyebabkan kematian sel,
gangguan sistem enzim, merusak DNA dan RNA sehingga terjadi mutasi gen
(Halliwell ang Gutteridge, 1992; Oberley, 2001, dalam Sayuti, 2015).
2.3.1. Mekanisme Radikal Bebas
Radikal bebas biasanya mengikat molekul besar seperti lemak, protein,
maupun DNA (pembawa sifat). Kerusakan molekul lemak, protein, maupun DNA
disebabkan karena rentan terhadap radikal bebas (Abate, 1990; Allen, 2000, dalam
Sayuti, 2015), yang terjadi dengan proses berikut :
1. Peroksidasi lemak, terjadi kerusakan pada membran sel yang kaya akan
sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh
bahan-bahan pengoksidasi. Hal tersebut sangat merusak karena merupakan
suatu proses berkelanjutan, dimana pemecahan hidroperoksida lemak,
sering melibatkan katalisis ion logam transisi.
2. Kerusakan protein, protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal
bebas daripada PUFA. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat
jarang kecuali bila sangat ekstensif. Hal ini terjadi jika radikal tersebut
17
mampu berakumulasi (jarang pada sel normal), atau bila kerusakannya
terfokus pada daerah tertentu dalam protein, salah satu penyebab kerusakan
adalah jika protein berikatan dengan ion logam transisi.
3. Kerusakan DNA, kerusakan di DNA menjadi suatu reaksi berantai, biasanya
kerusakan terjadi bila ada delesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat
diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal
oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada
radiasi biologis.
2.3.2. Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal
bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh (Murray et al., 2003,
dalam Werdhasari, 2014). Stres oksidatif terjadi jika produksi ROS alamiah tidak
dapat diseimbangkan oleh kapasitas antioksidan jaringan. Adanya ROS berlebihan
dapat menginduksi kerusakan komponen seluler secara ireversibel dan
menyebabkan kematian sel melalui jalur apoptosis intrinsik melalui mitokondria,
sehingga memicu kerusakan DNA mitokondria, disfungsi, dan peningkatan
apoptosis sel (Schöttker et al., 2015, Wang et al., 2013, dalam Zalukhu, 2016).
Penurunan stres oksidatif dapat dicapai melalui 3 tahap, yaitu (Poljsak B,
2011):
1. Menurunkan pajanan ke polutan lingkungan yang mengandung oksidan
2. Meningkatkan jumlah antioksidan endogen dan eksogen
3. Menurunkan stres oksidatif dengan menstabilkan produksi dan efisiensi
energi mitokondria.
Stres oksidatif endogen dapat dipengaruhi dengan dua cara, yaitu dengan mencegah
formasi ROS atau menghilangkan efek ROS dengan antioksidan.
1.4 Kulit
2.4.1. Struktur Kulit
Kulit merupakan lapisan atau jaringan yang menutup dan melindungi tubuh
dari bahaya yang dating dari luar.
Kulit terdiri dari 3 lapis:
18
Gambar 2. 5 Lapisan-lapisan dan Apendiks Kulit
(Mescher AL, 2010)
1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah maupun limfe.
Epidermis dibagi menjadi 5 lapisan:
1) Stratum corneum (lapisan tanduk)
2) Stratum lucidum (daerah sawar)
3) Stratum granulosum (lapisan seperti butir)
4) Stratum spinosum (lapisan sel duri)
5) Stratum germinativum (lapisan sel basal)
Stratum korneum merupakan lapisan yang dapat terdehidrasi yang selalu
terkelupas. Pada stratum basal biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi
selnya berfungsi untuk regenerasi epitel (Kalangi, 2013).
19
Gambar 2. 6 Lapisan-lapisan Epidermis Kulit
(Mescher AL, 2010)
2. Dermis
Dermis tersusun atas jaringan fibrosa dan jaringan ikat yang elastis. Dermis
terdiri dari dua lapisan dengan batas yang tidak tegas, stratum papilaris dan stratum
reticularis.
i. Stratum papilar, tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis
yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan
lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak
kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang
memberi nutrisi pada epitel di atasnya (Kalangi, 2013).
ii. Stratum pars reticular, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan
dengan lapisan hypodermis yang terdiri atas serabut kolagen. Serat-serat
kolagen ini berfungsi dalam membentuk jaringan-jaringan kulit yang
menjaga kekeringan dan kelenturan kulit (Maharani, 2013).
3. Hypodermis
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan
limfe. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai penyangga bagi organ-organ
tubuh bagian dalam dan cadangan makanan (Maharani, 2013).
20
2.4.2. Fungsi Kulit
1. Fungsi proteksi
Pada dermis terdapat serabut elastis serta jaringan lemak subkutan berfungsi
mencegah trauma mekanik terhadap interior tubuh. Lapisan tanduk dan mantel
lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan mencegah masuknya air dari luar tubuh
dan mencegah penguapan air, juga sebagai barrier terhadap racun dari luar
(Tranggono dan Latifah, 2007).
2. Fungsi absorbsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti
vitamin A, D, E, K, obat-obatan tertentu, oksigen, dan karbon dioksida (Djuanda,
2007). Absorbi melalui kulit terdapat dua jalur yaitu melalui epidermis dan kelenjar
sebasea dari folikel rambut (Tranggono dan Latifah, 2007).
3. Fungsi Ekskresi
Fungsi ekskresi kulit dibantu dengan dua perantara kelenjar eksokrinnya,
yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kelenjar sebasea melepaskan lipid
yang dikenal sebagai sebum (campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan
elektrolit) menuju lumen (Harien, 2010). Kelenjar keringat menguapkan air sekitar
400 mL setiap hari (Djuanda, 2007).
4. Fungsi persepsi
Kulit sensitif terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu, dan
nyeri. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis
(Djuanda, 2007). Rangsangan dari luar akan diterima oleh reseptor dan diteruskan
ke sistem saraf pusat selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri (Tranggono dan
Latifah, 2007).
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan kontriksi
pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya dipengaruhi saraf otonom
(Tranggono dan Latifah, 2007).
6. Fungsi pembentukan vit D
Pembentukan vit D terjadi dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari. Tetapi vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh tidak
21
cukup hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap
diperlukan (Djuanda, 2007).
2.5 Gel
2.5.1 Definisi Gel
Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (FI V, 2014).
2.5.2 Penggolongan Gel
A. Berdasarkan sifat fasa koloid (Lieberman, 1998), meliputi :
a. Gel anorganik, contoh : bentonit magma.
b. Gel organik, pembentuk gel berupa polimer.
B. Berdasarkan sifat pelarut (Lieberman,1998), meliputi :
a. Hidrogel (pelarut air)
Hidrogel umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik yang
saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti interaksi ionik,
ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel bersifat lunak, elastis sehingga
meminimalkan iritasi karena friksi pada jaringan sekitarnya. Kekurangan hidrogel
yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan yang rendah setelah mengembang.
Contoh : bentonit magma, gelatin.
b. Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)
Contoh: dispersi logam stearat dalam minyak dan plastibase (polietilen
dengan BM rendah yang terlarut dalam minyak mineral dan didinginkan secara
shock cooled).
c. Xerogel
Xerogel adalah gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang
rendah. Kondisi tersebut dapat dikembalikan ke keadaan semula dengan
menambahkan agen pengimbibisi, dan mengembangkan matriks gel. Contoh :
gelatin kering, tragakan ribbons, acacia tears, selulosa kering dan polystyrene.
C. Berdasarkan karakteristik cairan gel (gel hidrofilik dan gel hidrofobik)
a. Gel hidrofilik
Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan pengembang,
air, penahan lembab dan pengawet. Basis yang dimiliki umumnya terdiri dari
22
molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan dengan fase pendispersi.
Kelebihan hidrofilik disbanding hidrofobik yaitu sistem koloid hidrofilik lebih
mudah dibuat dan memiliki kestabilan yang lebih besar (Ansel, 1989). Karakteristik
gel jenis ini mempunyai aliran tiksotropik, tidak lengket, mudah menyebar, mudah
dibersihkan, kompatibel dengan beberapa eksipien dan larut dalam air (Rowe et al.,
2009).
b. Gel hidrofobik
Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interaksi antara basis gel
dan fase pendispersi (Ansel, 1989). Basis yang dimiliki umumnya mengandung
parafin cair dan polietilen atau minyak lemak dengan bahan pembentuk gel koloidal
silika atau aluminium atau zink sabun (Lieberman, 1998).
D. Berdasarkan jumlah fasenya (FI V, 2014)
a. Sistem fase tunggal
Gel fase tungal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba
sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara
molekul makro yang terdispersi dan cairan. Walaupun gel-gel ini umumnya
mengandung air, etanol dan minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa.
Sebagai contoh, minyak mineral dapat dikombinasi dengan resin polietilena untuk
membentuk dasar salep berminyak.
b. Sistem dua fase
Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel
digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Dalam
sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relative besar, massa gel
kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit). Baik gel
maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat jika dibiarkan dan
menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan
untuk menjamin homogenitas.
23
2.5.3 Sifat dan Karakteristik Gel
Sifat dan karakteristik gel (Zats & Gregory, 1996), meliputi :
1. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat
mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan
berpenetrasi diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.
2. Sineresis
Proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan yang
terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel
terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang tegar. Terjadinya
kontraksi di dalam massa gel berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya
tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel
akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan
bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun
organogel.
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui
penurunan temperatur juga setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer seperti
MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin dan membentuk larutan yang
kental. Ketika suhu meningkat larutan tersebut akan membentuk gel.
4. Efek elektrolit
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan mempengaruhi gel hidrofilik
dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada
dan koloid digaramkan (melarut).
5. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas
dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten
terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang
terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas dan menunjukkan
24
jalan aliran non–Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan
peningkatan laju aliran.
Menurut Lachman dkk., 2008, sediaan gel memiliki sifat sebagai berikut :
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan
yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan
diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam
botol, pemerasan tube, atau selama penggunaan topikal.
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan yang
diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau
BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau
digunakan.
5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
pemanasan disebut thermogelation.
2.5.4 Keuntungan Gel
Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan penyebarannya baik pada kulit
2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit
3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis
4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
5. Pelepasan obatnya baik
6. Untuk hidrogel: efek pendinginan pada kulit saat digunakan, penampilan
sediaan yang jernih dan elegan, pada pemakaian di kulit setelah kering
meninggalkan film tembus pandang, elastis, mudah dicuci dengan air,
pelepasan obatnya baik, kemampuan penyebarannya baik pada kulit
(Lachman, 1994).
25
2.5.5 Kekurangan Gel
Kekurangan sediaan gel (Lachman, 1994) sebagai berikut:
1. Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam air
sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar
gel tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut
sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat
2. Kandungan surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi dan harga lebih
mahal
2.6 Masker Peel Off
2.6.1 Pengertian Masker Peel Off
Masker adalah perawatan yang ditujukan untuk mengencangkan tonus (daya
bingkis) kulit serta merawat kulit dengan kandungan bahan yang terdapat dalam
kosmetik, untuk perawatan muka/kulit wajah yang memiliki manfaat yaitu memberi
kelembaban, merangsang sel-sel kulit, mengeluarkan kotoran dan sel-sel tanduk
yang melekat di kulit, menormalkan kulit dari gangguan jerawat, bintik hitam dan
mengeluarkan lemak yang berlebih pada kulit, mencegah, mengurangi keriput-
keriput dan hyperpigmentasi dan melancarkan peredaran darah (Rostamilis, 2005).
Kosmetik wajah dapat diperoleh dalam berbagai bentuk sediaan, salah satunya
masker wajah gel peel off (Vieira et al., 2009). Masker peel off merupakan masker
yang terbuat dari bahan polimer seperti polivinil alkohol dan bahan seperti lateks
dan senyawa karet alam (Shai et al.., 2009). Masker wajah peel off merupakan salah
satu jenis masker wajah yang mempunyai keunggulan dalam penggunaanya yaitu
dapat dengan mudah dilepas atau diangkat seperti membran elastis (Rahmawanty
et al., 2015). Masker diaplikasikan pada permukaan kulit dengan cara dioleskan,
ditunggu mengering, mengeras dan membentuk lapisan tipis, fleksibel serta
transparan biasanya 15-30 menit kemudian dikelupas seperti pada gambar 2.2.
26
Gambar 2. 7 Cara Menggunakan Masker Peel Off
(Shai et al.., 2009)
Keterangan: (A) Sepotong kain kasa yang telah dibasahi aquades
ditempatkan pada wajah; (B) Masker peel off dioleskan di atas kasa; (C) Setelah
waktu pengaplikasian selesai masker diangkat dengan cara dikelupas.
Masker wajah peel off dalam formulasinya digunakan basis polivinil alkohol
(PVA), setelah pengolesan dan pengeringan akan membentuk lapisan oklusif pada
wajah (Vieira et al., 2009). Formulasi masker wajah gel peel off, komposisi bahan-
bahan yang digunakan diantaranya adalah gelling agent, agent peningkat viskositas,
dan humektan akan mempengaruhi sifat fisika dan kimia dari masker wajah gel peel
off. Dalam formulasi masker peel off agen peningkat viskositas yang dapat
digunakan adalah HPMC, karbomer, HEC, gom, guar dan CMC Na (Vieira et al.,
2009; Septiani et al.., 2011). Humektan berfungsi menjaga kestabilan dengan cara
mengabsorbsi lembab dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari sediaan.
Selain menjaga kestabilan sediaan, secara tidak langsung humektan juga dapat
mempertahankan kelembaban kulit sehingga kulit tidak kering. Jenis humektan
yang banyak digunkan adalah gliserin, propilen glikol, dan sorbitol (Yuliani, 2010).
2.6.2 Karakteristik Masker Peel Off
Karakteristik ideal sediaan masker peel off menurut Grace et al., 2015:
1. Tidak terdapat partikel yang kasar
2. Tidak toksik
3. Tidak menimbulkan iritasi
4. Dapat membersihkan dan mengencangkan kulit
5. Memberikan efek lembab
6. Membentuk lapisan film yang seragam
27
7. Dapat kering pada waktu 5-30 menit
8. Mudah digunakan dan tidak timbul rasa sakit
2.6.3 Manfaat Masker Peel Off
Masker peel off memiliki beberapa manfaat di antaranya mampu
merilekskan otot-otot wajah, membersihkan, menyegarkan, melembabkan, dan
melembutkan kulit wajah (Vieira, 2009). Selain itu, masker wajah peel off juga
bermanfaat untuk memperbaiki serta merawat kulit wajah dari masalah keriput,
penuaan, jerawat dan dapat juga digunakan untuk mengecilkan pori (Grace et al.,
2015).
2.6.4 Kelebihan Masker Peel Off
Masker wajah peel off merupakan salah satu jenis masker wajah yang
mempunyai keunggulan dalam penggunaanya yaitu dapat dengan mudah dilepas
atau diangkat seperti membran elastis (Rahmawanty dkk., 2015). Masker wajah
peel off dapat meningkatkan hidrasi pada kulit kemunkinan karena adanya oklusi
(Velasco et al., 2014). Masker peel off cukup efektif mengangkat sel kulit mati,
komedo, minyak berlebih, dan penyumbatan pada pori-pori yang merupakan
kelebihannya dibandingkan masker lain Moris (1993) dalam Ningsih (2016).
2.6.5 Mekanisme Kerja Masker Wajah
Mekanisme kerja masker wajah adalah dengan meningkatkan suhu kulit
wajah sehingga peredaran darah menjadi lebih lancar dan penghantaran zat-zat gizi
ke lapisan permukaan kulit dipercepat sehingga kulit muka terlihat menjadi lebih
segar. Meningkatnya suhu dan peredaran darah yang menjadi lebih lancar
mengakibatkan fungsi kelenjar kulit meningkat, kotoran dan sisa-sisa metabolisme
dikeluarkan ke permukaan kulit, kemudian diserap oleh lapisan masker yang
mengering. Cairan yang berasal dari keringat dan sebagian cairan masker diserap
oleh lapisan tanduk, lapisan masker akan mengering tetapi lapisan tanduk tetap
kenyal, sifat ini menjadi lebih baik ketika lapisan masker dilepaskan yaitu terlihat
kulit yang keriput menjadi berkurang dan kulit wajah tidak hanya menjadi lebih
halus tetapi juga menjadi lebih kencang. Setelah masker dilepaskan, bagian cairan
yang telah diserap oleh lapisan tanduk akan menguap mengakibatkan terjadinya
penurunan suhu kulit wajah sehingga memiliki efek menyegarkan kulit (Ginting,
2015).
28
2.7 Ekstraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Macammacam metode
ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu :
2.7.1 Cara Ekstraksi Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut kemudian
dilakukan perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk
ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya
perbedaan kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan
terpekat didesak keluar. Proses ini terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan
dapat berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Keuntungan
metode ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana yang
mudah diusahakan (Ditjen POM, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan
penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Tahapan dalam perkolasi
terdiri dari tahap pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).
2.7.2 Cara Ekstraksi Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi menggunakan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
29
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50ºC (Ditjen POM, 2000).
d. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dengan temperatur sampai
titik didih air, yaitu 30 menit pada suhu 90-100ºC (Ditjen POM, 2000).
2.8 Tinjauan Basis/Komponen Masker Peel Off
2.8.1 PVA (Polivinil Alkohol)
Gambar 2. 8 Struktur Kimia Polivinil Alkohol
(Rowe et al. 2009)
Sinonim : Airvol; Alcotex; Elvanol; Gelvatol; Gohsenol; Lemol;
Mowiol; Polyvinol; PVA; vinyl alcohol polymer.
Pemerian : Serbuk granular berwarna putih atau krem
Kelarutan : Larut dalam air, sedikit larut dalam etanol (95%)
Inkompatibilitas : Dengan bahan pengoksidasi seperti kalium permanganate
Penggunaan : Pembentuk lapisan film, lubrikan, agen penstabil,
meningkatkan viskositas
Polivinil alkohol merupakan suatu material yang dibuat melalui proses
alkoholisis dari polivinil asetat (PVAc). Polivinil alkohol memiliki sifat tidak
berwarna, padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organik
dan minyak, tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer
tersebut cukup tinggi (Harper & Petrie, 2003). Polivinil alkohol berupa serbuk
(powder) berwarna putih dan memiliki densitas 1,2000 - 1,3020 g/cm serta dapat
larut dalam air pada suhu 80ºC (Sheftel, 2000).
30
PVA memiliki kemampuan dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat
adesifnya. Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang
baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik (Ogur, 2005). Selain sebagai filming
agent karena dapat membentuk lapisan yang dapat dikelupas setelah mengering,
PVA juga sebagai agen peningkat viskositas. Film agent membentuk film setelah
pelarutnya menguap. Viskositas dan kekuatan film bervariasi, tergantung pada
derajat saponifikasi dan polimerisasi (Rowe et al., 2009). PVA berperan dalam
memberikan efek peel off karena memiliki sifat adhesive sehingga dapat
membentuk lapisan film yang mudah dikelupas setelah kering (Brick et al., 2014).
Polivinil alkohol digunakan sebagai pembentuk lapisan film masker wajah gel peel
off dengan rentang konsentrasi 10-16% (Lestari dkk., 2013). PVA juga dapat
digunakan sebagai gelling agent dengan konsentrasi 10-20%, dimana PVA
termasuk dalam polimer sintetik (Swarbrick, 2007).
Tabel II. 4 Spesifikasi Farmakope untuk Polivinil Alkohol
(Rowe et al., 2006)
2.8.2 PEG (Polietilen Glikol)
Gambar 2. 9 Struktur Kimia Polietilen Glikol
(Rowe et al., 2006)
31
Sinonim : Carbowax; Carbowax Sentry; Lipoxol; Lutrol E; Pluriol
E; polyoxyethylene glycol
Pemerian : Nilai polietilen glikol 200-600 adalah cairan; Nilai 1000
dan di atas adalah padatan pada suhu kamar. Nilai cairan
(PEG 200-600) terjadi sebagai cairan yang jernih, tidak
berwarna atau sedikit berwarna kuning, kental. Mereka
memiliki bau sedikit tapi khas dan rasa pahit dan sedikit
terbakar. PEG 600 dapat terjadi sebagai padatan pada
suhu kamar. Nilai padat (PEG> 1000) berwarna putih atau
putih putih, dan berkisar konsistensi dari pasta sampai
serpih lilin. Mereka memiliki bau samar dan manis. Kelas
PEG 6000 dan yang lebih tinggi tersedia sebagai bubuk
giling bebas.
Kelarutan : Semua kadar polietilena glikol larut dalam air dan
tercampur dalam semua proporsi dengan polietilena glikol
lainnya (setelah mencair, jika perlu). Larutan encer
dengan kadar molekul tinggi dapat membentuk gel.
Polietilena glikol cair larut dalam aseton, alkohol,
benzena, gliserin, dan glikol. Polietilen glikol padat larut
dalam aseton, diklorometana, etanol (95%), dan metanol;
namun tidak larut dalam lemak, minyak tetap, dan minyak
mineral.
Inkompatibilitas : Nilai polietilen glikol cair dan padat mungkin tidak sesuai
dengan beberapa zat pewarna.
Penggunaan : Dasar salep; plasticizer; pelarut; basis supositoria;
pelumas tablet dan kapsul
Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik
dari oksietilen dengan rumus struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah
rata-rata gugus oksietilen (Leuner and Dressman, 2000). PEG dibuat menjadi
bermacam-macam panjang rantainya. Terdapat beberapa jenis PEG berdasarkan
32
berat molekulnya dan yang paling banyak digunakan adalah polietilen glikol 200,
400, 600, 1000, 1500, 1540, 3350, 4000, dan 6000. Pemberian nomor menunjukkan
berat molekul rata -rata dari masing-masing polimernya. PEG yang memiliki berat
molekul rata-rata 200, 400 dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan
mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat. PEG
merupakan polimer larut air, polimer ini tidak berwarna, tidak berbau dan
kekentalannya berbeda-beda (Norvisari, 2008).
PEG mempunyai sifat stabil, mudah larut dalam air hangat, tidak beracun,
non-korosif, tidak berbau, tidak berwarna, memiliki titik lebur yang sangat tinggi
(580°F), tersebar merata, higoskopik (mudah menguap) dan juga dapat mengikat
pigmen. Sifat PEG yang lunak dan rendah racun membuatnya banyak dipergunakan
sebagai dasar obat salep, dan pembawa dari bahan obat. Sifat PEG yang larut dalam
air menyebabkan bahan obat mudah terlepas dan terserap pada kulit lebih cepat dari
minyak yang teremulsi dalam air (Safitri, 2010). Penggunaan PEG sebagai pelarut
juga dapat meningkatkan distribusi (penyebaran) obat didalam tubuh manusia
(Sweetman, 2009). Penggunaan PEG sebagai plasticizer berfungsi untuk
meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hidrogen dan
meningkatkan jarak antar molekul dari polimer (Bourtoom, 2007).
Tabel II. 5 Spesifikasi Polietilen Glikol dari JP, 2001
(Rowe et al., 2006)
33
Tabel II. 6 Spesifikasi Polietilen Glikol dari PhEur, 2005
(Rowe et al., 2006)
2.8.3 Nipagin (Metil paraben)
Gambar 2. 10 Struktur Kimia Nipagin
(Rowe et al., 2006)
Sinonim : E218; 4-hydroxybenzoic acid methyl ester; methyl p-
hydroxybenzoate; Uniphen P-23
Pemerian : Berupa kristal tak berwarna atau bubuk kristal putih. Tidak
berbau atau hampir tidak berbau dan memiliki sedikit rasa
panas.
Kelarutan : Larut dalam etanol 95% 1 dalam 3 bagian, propilen glikol 1
dalam 5 bagian
Inkompatibilitas : Aktivitas antimikroba sangat berkurang dengan surfaktan
nonionic seperti polisorbat 80, Tidak kompatibel dengan
bentonit, magnesium trisilicate, talk, tragacanth, sodium
alginat, penting minyak, sorbitol, dan atropin
Penggunaan : Pengawet antimikroba
34
Metil paraben dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan paraben
lain atau dengan agen antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, methylparaben adalah
pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Paraben efektif pada rentang
pH yang lebar dan memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas. Efektivitas
pengawet juga diperbaiki dengan penambahan propilen glikol (2-5%), atau dengan
menggunakan paraben dalam kombinasi dengan agen antimikroba lainnya. Metil
paraben (0,18%) bersama propilparaben (0,02%) telah digunakan untuk pelestarian
berbagai formulasi farmasi parenteral (Rowe et al., 2009).
2.8.4 Nipasol (Propil paraben)
Gambar 2. 11 Struktur Kimia Nipasol
(Rowe et al., 2006)
Sinonim : E216; 4-hydroxybenzoic acid propyl ester; Ni; propagin;
propyl p-hydroxybenzoate; Propyl parasept; Solbrol P;
Uniphen P-23.
Pemerian : Berupa serbuk putih, kristal, tidak berbau, dan hambar.
Kelarutan : Larut dalam etanol 95% 1 dalam 1,1 bagian, larut dalam
propilen glikol 1 dalam 3,9 bagian
Inkompatibilitas : Aktivitas antimikroba propilparaben berkurang secara
signifikan dengan adanya surfaktan nonionik. Magnesium
aluminum silicate, magnesium trisilicate, yellow iron
oxide, dan ultramarine blue juga telah dilaporkan dapat
menyerap propylparaben, sehingga mengurangi efikasi
pengawet.
Penggunaan : Pengawet antimikroba
35
Propil paraben dapat digunakan sendiri, dikombinasikan dengan ester
paraben lainnya, atau dengan agen antimikroba lainnya. Ini adalah salah satu bahan
pengawet yang paling sering digunakan dalam kosmetik. Paraben efektif pada
rentang pH yang lebar dan memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas.
Propil paraben (0,02% b / v) bersama dengan methylparaben (0,18% b / v) telah
digunakan untuk pelestarian berbagai formulasi farmasi parenteral (Rowe et al.,
2006).
2.8.5 PG (Propilen Glikol)
Gambar 2. 12 Struktur Kimia PG
(Rowe et al., 2006)
Sinonim : 1,2-Dihydroxypropane; E1520; 2-hydroxypropanol;
methyl ethylene glycol; methyl glycol; propane-1,2-diol.
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau
dengan rasa manis dan sedikit tajam yang menyerupai
gliserin.
Kelarutan : Tercampur dengan aseton, kloroform, etanol (95%),
gliserin, dan air; larut pada 1 dari 6 bagian eter
Inkompatibilitas : Tidak sesuai dengan reagen pengoksidasi seperti kalium
permanganat
Penggunaan : Pengawet antimikroba; desinfektan; humektan; plasticizer;
pelarut; stabilizer untuk vitamin, kosolven
Penggunaan PG sebagai humektan dalam sediaan topical adalah 15% dan
sebagai pelarut atau kosolven adalah 5-80% (Rowe et al., 2006).
36
2.8.6 Gliserin
Gambar 2. 13 Struktur Kimia Gliserin
(Rowe et al., 2006)
Sinonim : Croderol; E422; glycerine; Glycon G-100; Kemstrene;
Optim; Pricerine; 1,2,3-propanetriol; trihydroxypropane
glycerol.
Pemerian : Cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, kental,
higroskopik; Ini memiliki rasa manis, kira-kira 0,6 kali
lebih manis seperti sukrosa.
Kelarutan : Larut dalam air, metanol dan etanol 95%
Inkompatibilitas : Gliserin dapat meledak jika dicampur dengan zat
pengoksidasi kuat seperti kromium trioksida, kalium
klorat, atau kalium permanganat. Perubahan warna hitam
gliserin terjadi dengan adanya cahaya, atau pada kontak
dengan seng oksida atau bismut nitrat dasar.
Penggunaan : Pengawet antimikroba; emolien; humektan; plasticizer;
pelarut; agen pemanis; agen tonisitas
Dalam formulasi farmasi dan kosmetik topikal, gliserin digunakan terutama
untuk sifat humektan dan emoliennya. Penggunaan gliserin sebagai humektan dan
emolien adalah ≤ 30% (Rowe et al., 2006).