bab ii tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41397/3/bab ii.pdf · antioksidan...

32
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Marigold (Tagetes erecta L.) 2.1.1. Klasifikasi (Khulbe, 2015) Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Tagetes Spesies : Tagetes erecta L. 2.1.2. Deskripsi umum Marigold (Tagetes erecta L.) merupakan tanaman yang biasa ditanam di kebun atau halaman sebagai tanaman hias. Marigold termasuk tanaman herbal yang kokoh, bercabang, asli Meksiko dan daerah hangat lainnya seperti di Amerika dan tersebar di daerah tropis dan subtropis termasuk India dan Bangladesh (Nikkon et al., 2009). Nama lain dari marigold adalah ades, saes (Sunda) atau bunga tahi kotok yang lebih dikenal masyarakat (Hidayat dan Rodame, 2015). Tanaman ini tumbuh cepat dengan ketinggian mulai dari kurcaci 6-8 inci, hingga tanaman menengah dan tinggi dan tumbuh tegak dengan ketinggian dari 10 sampai 3ft, menghasilkan bunga ganda mirip pompon hingga 5 di seberang dan memiliki periode berbunga lebih pendek dari pertengahan musim panas ke salju (Vijay et al., 2013) 2.1.3. Morfologi a. Akar Akar dari marigold merupakan akar tunggang (Sukarman&Chumaidi, 2010). b. Batang Batang bulat, hijau kecoklatan dengan permukaan yang agak kasar (Hidayat dan Rodame, 2015).

Upload: others

Post on 04-Nov-2019

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Marigold (Tagetes erecta L.)

2.1.1. Klasifikasi (Khulbe, 2015)

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Tagetes

Spesies : Tagetes erecta L.

2.1.2. Deskripsi umum

Marigold (Tagetes erecta L.) merupakan tanaman yang biasa ditanam di

kebun atau halaman sebagai tanaman hias. Marigold termasuk tanaman herbal yang

kokoh, bercabang, asli Meksiko dan daerah hangat lainnya seperti di Amerika dan

tersebar di daerah tropis dan subtropis termasuk India dan Bangladesh (Nikkon et

al., 2009). Nama lain dari marigold adalah ades, saes (Sunda) atau bunga tahi kotok

yang lebih dikenal masyarakat (Hidayat dan Rodame, 2015). Tanaman ini tumbuh

cepat dengan ketinggian mulai dari kurcaci 6-8 inci, hingga tanaman menengah dan

tinggi dan tumbuh tegak dengan ketinggian dari 10 sampai 3ft, menghasilkan bunga

ganda mirip pompon hingga 5 di seberang dan memiliki periode berbunga lebih

pendek dari pertengahan musim panas ke salju (Vijay et al., 2013)

2.1.3. Morfologi

a. Akar

Akar dari marigold merupakan akar tunggang (Sukarman&Chumaidi,

2010).

b. Batang

Batang bulat, hijau kecoklatan dengan permukaan yang agak kasar (Hidayat

dan Rodame, 2015).

6

c. Daun

Daun majemuk bertangkai, anak daun saling berhadapan. Permukaan atas

dan bawah daun berbulu halus dan rapat (Hidayat dan Rodame, 2015).

d. Bunga

Bunga berbentuk bonggol yang dikelilingi daun pelindung (Redaksi

AgroMedia, 2008). Bunga memiliki susunan mahkota bunga rangkap, warna cerah

yaitu putih, kuning, oranye hingga kuning keemasan atau berwarna ganda (Winarto,

2010).

2.1.4 Kandungan Kimia

Kandungan dari marigold (Tagetes erecta L.) diketahui dari beberapa

penelitian. Penelitian Gopi G et al. (2012)., Tereschuck M et al. (1997)., Perich M

et al. (1995), dalam Karwani (2015) tanaman Tagetes erecta menghasilkan unsur

kimia seperti thiophenes, flavonoid, karotenoid dan triterpenoid serta terbukti

mengandung quercetagetin, glukosida dari quercetagetin, fenolat, asam syringic,

methyl-3,5-dihydroxy-4- methoxy benzoate, quercetin, thienyl dan etil gallate.

Lutein adalah oksikarotenoid, atau xantofil, yang mengandung 2 kelompok akhir

siklik (satu beta dan satu cincin alfa-ionone) dan struktur isoprenoid C-40 dasar

yang umum untuk semua karotenoid. Ini adalah salah satu unsur utama dan pigmen

Gambar 2. 1 Bunga Marigold (Tagetes erecta L.)

(Gopi et al., 2012)

7

utama dalam Tagetes erecta. Marigold adalah salah satu sumber lutein yang paling

pekat yaitu mengandung 80-90% lutein (Quackenbush and Miller, 1972; dalam

Lokaewmance et al., 2011). Berikut analisis fitokimia Tagetes erecta (Devika et al,

2012).

Tabel II. 1 Analisis Fitokimia Bunga Marigold

(Devika et al, 2012)

Phytochemical

Tests

Leaf Steam Flower Root

Ethanol P.Ether Ethanol P.Ether Ethanol P.Ether Ethanol P.Ether

Carbonydrates + + + - + + + +

Tannin - - - - + - - -

Sapanin - - - - - - - -

Flavonoid + + - + ++ + + -

Alkaloid + + + + + + + +

Quinones - + + ++ ++ ++ - +

Glycosides - - - - - - - -

Cardiac

glycosides + - - - + - - -

Terpenoids - - - + - - +

Triterpeniods - - - + - + -

Phenols + - - - - - - -

Coumarins + + - + ++ + + -

Protanis - - - - - - - -

Steroid &

phytosteroids

- - - - - - - -

Phlobatannins - - - - - - - -

Anthraquinones - - - - - - - -

2.1.5 Khasiat

Di negara-negara Timur bunga marigold digunakan dalam karangan bunga

untuk kepentingan masyarakat dan agama, setelah itu biasanya langsung dibuang.

Bagian yang berbeda dari tanaman Tagetes erecta termasuk bunga digunakan untuk

obat rakyat. Bunganya terutama digunakan untuk menyembuhkan penyakit mata,

pilek, konjungtivitis, batuk, bisul, tumpukan darah dan untuk memurnikan darah

(Manjunath, 1969; Kirtikar et al., 1994; Ghani, 2003 dalam Khulbe, 2015).

Di Indonesia bunga marigold digunakan untuk mengobati infeksi saluran

pernafasan, anti radang, mengencerkan dahak, mengatasi batuk dan obat untuk

luka. Di Filipina digunakan untuk pengobatan anemia, menstruasi yang tidak

lancar, rematik dan sakit pada tulang. Minyak atsiri yang berasal dari bunga

marigold efektif menghambat pertumbuhan bakteri, antijamur pada saprolegnia,

ferax serta sebagai larvasida pada culex quinquefasciatus, dan Aedes aegypti

(Hidayat dan Rodame, 2015).

8

Diketahui aktivitas antioksidan dari bunga marigold (Tagetes erecta L.)

dilihat dari nilai IC50 beberapa penelitian. Dari penelitian Chivde et al. (2011) IC50

ekstrak etanol bunga marigold adalah 3,4 μg/mL dan penelitian lainnya dilihat dari

table berikut

Tabel II. 2 IC50 Ekstrak Bunga Marigold

(Valvoya et al., 2012)

Sample DPPH assay

IC50 (μg/mL)

Metanol extract 7.5±0.1

Ethanol extract 7.6±0.1

Petroleum ether fraction 100.1±12.4

Chloroform fraction 23.1±0.2

Ethyl acetate fraction 4.3±0.4

α-Tocopherol 3.5±0.2

2.2 Antioksidan

2.2.1 Definisi Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau

reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi

berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal.

Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi

dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya,

kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2011).

A. Karotenoid

Karotenoid termasuk alpha dan beta-karoten, beta-cryptoxanthin, lutein, dan

zeaxanthin, yang terdapat dalam sayuran dan buah-buahan serta kuning telur,

diketahui memiliki sifat antioksidan dimana dapat mengurangi kerusakan sel yang

disebabkan oleh radikal bebas (Bailey et al ., 2009; Johnson, 2009; Polidori et al.,

2009; Maiani et al., 2009; Santocono et al., 2007; Trevithick-Sutton et al., 2006,

dalam Pongcharoen et al., 2013). Konsumsi karotenoid juga dapat membantu

mengurangi risiko penyakit berbahaya (Chang et al., 2005; Jeong et al., 2009;

Pelucchi et al., 2008, dalam Pongcharoen et al., 2013), berhubungan dengan

penurunan stres oksidatif (Thomson et al., 2007; Tamimi et al., 2009) dan

kerusakan DNA (Santocono et al., 2007; Yong et al., 2009, dalam Pongcharoen et

al., 2013).

9

Senyawa karotenoid memiliki beberapa manfaat diantaranya adalah sebagai

prekursor vitamin A, antioksidan, peningkatan daya tahan tubuh, dan pengubahan

metabolisme kanker (Arab et al., 2001; Gross, 1991; Zeb dan Mehmud, 2004; Yan,

1998, dalam Sayuti dkk., 2015).

Gambar 2. 2 Struktur Kimia Lutein

(Sulistyaningrum, 2014)

Lutein memiliki rumus molekul C40H52O2 dengan berat molekul 644 dalton.

Molekul lutein memiliki ikatan rangkap, membentuk gugus hidroksil allylic reaktif

yang lebih kimiawi daripada ikatan ganda terkonjugasi pada zeaxanthin

(Kopczynski et al., 2005, dalam Pongcharoen et al., 2013).

Menurut Santocono et al. (2006); Roberts and Green. (2009), dalam

Pongcharoen et al. (2013) lutein dapat membantu melindungi kulit dari kerusakan

akibat radiasi ultraviolet dengan cara mengurangi photoageing dan

photocarcinogenesis yang dihasilkan dari iradiasi UVB (Astner et al., 2007, dalam

Pongcharoen et al., 2013). Sebuah studi sebelumnya pada manusia menunjukkan

bahwa konsumsi dan aplikasi eksternal lutein dapat melindungi kulit dari oksidasi.

Di penelitian tersebut, terdapat beberapa parameter seperti lipid permukaan, hidrasi,

aktivitas photoprotective, elastisitas, dan peroksidasi lipid dinilai (Palombo et al.,

2007, dalam Pongcharoen et al., 2013).

B. Flavonoid

Flavonoid memiliki struktur benzo-γ-pyrone, termasuk kelompok besar

senyawa polifenol (Mahomoodally, M.F et al., 2005, Pandey, A.K., 2007, dalam

Kumar, S et al., 2013). Flavonoid memiliki kelompok hidroksil fungsional yang

dapat memediasi efek antioksidannya dengan mengais radikal bebas dan atau

dengan mengkelat ion logam (Kumar, S et al., 2013). Kolelasi logam sangat penting

dalam pencegahan generasi radikal yang merusak target biomolekul (Leopoldini,

M. et al., 2006, Kumar et al., 2013, dalam Kumar, S et al., 2013). Flavonoid dibagi

10

menjadi berbagai kelas yaitu flavon (misalnya flavon, apigenin, dan luteolin),

flavonol (misalnya quercetin, kaempferol, myricetin, dan fisetin), flavanon

(misalnya flavanone, hesperetin, dan naringenin), dan lainnya (Middleton, E. J.

1998, dalam Kumar, S et al., 2013).

Gambar 2. 3 Struktur Kimia Flavonoid

(Khumar, S et al., 2013)

Flavonoid memberikan kontribusi pada aktivitas antioksidan dengan

mengikat (kelasi) ion-ion metal seperti Fe dan Cu. Ion-ion metal seperti Cu dan Fe

ini dapat mengkatalisis reaksi yang akhirnya memproduksi radikal bebas (Mira et

al., 2002; Muchtadi 2012, dalam Sayuti et al., 2015). Flavonoid juga dapat

menghambat enzim yang terlibat dalam pembentukan ROS, yaitu

mikrosomalmonooksigenase, glutathione S-transferase, suksinoksidase

mitokondria, NADHoxidase, dan lainnya (Brown, J.E. et al.,1998, dalam Kumar, S

et al., 2013).

2.2.2 Penggolongan Antioksidan

Secara alami tubuh memiliki sistem antioksidan sebagai mekanisme

perlindungan terhadap serangan radikal bebas yang ada didalam tubuh. Ada dua

macam antioksidan, antioksidan internal dan eksternal. Antioksidan internal adalah

antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Secara alami tubuh mampu

menghasilkan antioksidan sendiri, namun ada batasnya. Kemampuan tubuh untuk

memproduksi antioksidan alami akan semakin berkurang seiring bertambahnya

usia (Sayuti dkk., 2015).

Kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada

dasarnya bisa diatasi oleh antioksidan endogen seperti enzim catalase, glutathione

peroxidase, superoxide dismutase, dan glutathione S-transferase. Tetapi jika

11

senyawa radikal bebas dalam tubuh berlebih atau melebihi batas kemampuan

proteksi antioksidan seluler, maka untuk menetralkan radikal yang terbentuk

dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen (Reynertson,

2007, dalam Sayuti dkk., 2015).

A. Berdasarkan Sumber Perolehannya

Antioksidan digolongkan menjadi 2 yaitu antioksidan alami dan antioksidan

sintetis (buatan). Antioksidan alami digolongkan menjadi enzim dan vitamin.

Antioksidan golongan enzim yang dihasilkan oleh tubuh berupa superoxide

dismutase (SOD), glutation peroxidase, dan katalase. Sedangkan antioksidan

golongan vitamin di dapatkan dari bahan makanan yang berupa buah dan sayur,

misalnya alfatokoferol (vitamin E), beta karoten (vitamin A), dan asam askorbat

(vitamin C) (Zheng W, 2001 dalam Fitri, 2013). Antioksidan alami yang berasal

dari tumbuhan, umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat

berupa golongan flavonoid (Rajani et al., 2009; Pourmorad et al., 2006; Madhavi

et al., 1996, dalam Fitri, 2013).

Antioksidan sintetis banyak digunakan dalam produk makanan. Senyawa ini

dapat berasal dari derivat antioksidan alami (misalnya analog alfa tokoferol), anti-

oksidan golongan fenol (misalnya butil hidroksi anisol dan butil hidroksi toluen),

dan senyawa yang mengandung gugus sulfhidril (misalnya thiazolidin, ebselen, dan

dithiolethion) (Cadenas E, 1997; Cacic M et al., 2010, dalam Fitri, 2013). Contoh

antioksidan sintetis yang diijinkan untuk makanan, yaitu Butil Hidroksi Anisol

(BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, TertButil Hidroksi Quinon

(TBHQ) dan analog alfa tokoferol (Madhavi et al., 1996; Cadenas E, 1997, dalam

Fitri, 2013).

B. Berdasarkan Fungsi dan Mekanisme Kerja (Sayuti, 2015)

1. Antioksidan primer

Antioksidan primer bekerja mengubah radikal bebas yang ada menjadi

molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa radikal bebas

bereaksi, dengan cara mengikuti mekanisme pemutusan rantai reaksi radikal,

kemudian mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang radikal

sehingga menghasilkan produk yang lebih stabil dari produk awal. Contoh

12

antioksidan primer adalah Superoksida Dismutase (SOD), katalase dan protein

pengikat logam (Gpx).

2. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder berperan sebagai pengikat ion-ion logam, penangkap

oksigen, pengurai hidroperoksida menjadi senyawa non radikal, penyerap radiasi

UV atau deaktivasi singlet oksigen. Antioksidan sekunder adalah vitamin E,

vitamin C, ß-caroten, isoflavon, bilirubin, dan albumin. Antioksidan ini bekerja

dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau

menangkapnya (scavenger free radical) sehingga radikal bebas tidak bereaksi

dengan komponen seluler.

3. Antioksidan tersier

Antioksidan tersier bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang

disebabkan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim yang

memperbaiki DNA yaitu metionin sulfide reduktasu (Putra. 2008 dan Depkes.

2008, dalam Sayuti, 2015).

2.2.3 Manfaat Antioksidan

Antioksidan sangat diperlukan oleh tubuh untuk mengatasi dan mencegah

stres oksidatif. Stres oksidatif berperan penting dalam patofisiologi terjadinya

proses menua dan berbagai penyakit degeneratif, seperti kanker, diabetes mellitus

dan komplikasinya, serta aterosklerosis yang mendasari penyakit jantung,

pembuluh darah dan stroke (Setiati, 2003; Shihabi et al., 2002; Giacco et al., 2010;

dalam Werdhasari, 2014). Resiko terkena penyakit degeneratif dapat diturunkan

dengan mengkosumsi antioksidan dalam jumlah yang cukup (Winarsi, 2011).

Antioksidan dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas,

sehingga radikal bebas dapat diredam (Suhartono, 2002, dalam Kuncahyo dkk.

2007).

Antioksidan Menghambat Penuaan Dini

Penuaan adalah akumulasi perubahan progresif seiring waktu yang

berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan kematian

seiring pertambahan usia dan jumlah kerusakan akibat reaksi radikal bebas yang

terus-menerus terhadap sel dan jaringan. Kerusakan struktur dan fungsi mencirikan

penuaan (Liochev SI, 2015; Magalhaes JP, 2013; dalam Zalukhu et al., 2016).

13

Struktur sel yang berubah turut mengubah fungsinya, yang akan mengarah pada

proses munculnya penyakit, hal tersebut dapat terjadi pada kulit maupun organ yang

lain (Sayuti dkk, 2015).

Proses penuaan kulit pada dasarnya ada dua macam, yaitu (Muliyawan dan

Suriana, 2013) :

1. Penuaan kronologi (chonological aging ) Penuaan kronologi terjadi seiring

dengan bertambahnya usia. Proses ini terjadi karena adanya perubahan

struktur, fungsi, dan metabolik kulit khususnya lapisan dermis dan

epidermis seiring dengan bertambahnya usia.

2. Paparan cahaya (photoaging) Photoaging terjadi karena berkurangnya

kolagen dan serat elastis kulit akibat paparan sinar ultraviolet. Kolagen

adalah komposisi utama lapisan kulit dermis (lapisan bawah dermis).

Lapisan dermis merupakan lapisan kulit yang berperan untuk bertanggung

jawab pada sifat elastisitas dan halusnya kulit. Kedua sifat ini merupakan

kunci suatu kulit disebut indah dan awet muda. Apabila produksi kolagen

menurun pada lapisan dermis kulit, maka kulit akan terlihat kering dan tidak

elastis lagi.

Radikal bebas berperan dalam proses menua, dimana reaksi inisiasi radikal

bebas di mitokondria menyebabkan diproduksinya Reactive Oxygen Species (ROS)

yang bersifat reaktif (Werdhasari, 2014). Mitokondria merupakan sumber utama

produksi reactive oxygen species (ROS) (Salmon et al., 2010; dalam Zalukha,

2016). Pada kondisi normal, terjadi keseimbangan antara oksidan, antioksidan, dan

biomolekul. Radikal bebas yang berlebih menyebabkan antioksidan seluler natural

kewalahan, memicu oksidasi, dan berkontribusi terhadap kerusakan fungsional

seluler. Akumulasi radikal oksigen pada sel dan modifikasi oksidatif molekul

biologi (lipid, protein, dan asam nukleat) berperan dalam penuaan dan kematian sel

(Fusco et al., 2007; dalam Zalukhu et al., 2016). Antioksidan mampu menstabilkan

atau menonaktifkan radikal bebas sebelum menyerang sel (Zalukhu et al., 2016).

2.2.4 Mekanisme Kerja Antioksidan

Antioksidan bekerja menghentikan proses perusakan sel dengan

memberikan elektron kepada radikal bebas. Antioksidan akan menetralisir radikal

14

bebas sehingga tidak memiliki lagi kemampuan mencuri elektron dari sel dan DNA

(Sayuti dkk., 2015).

Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat dengan antioksidan melalui

(Winarsi, 2011):

1. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas yang baru

2. Menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi

(pemutusan rantai)

3. Memperbaiki kerusakan oleh radikal

2.2.5 Tingkat Aktivitas Antioksidan

Metode DPPH (1,1 Diphenyl-2-picrylhidrazyl) merupakan salah satu uji

untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas. Keutungan dari

metode DPPH sebagai uji antioksidan adalah sederhana, cepat, peka, hanya

memerlukan sedikit sampel, dan lebih reprodusibel dibandingkan metode lain

(Apak et al., 2004). Tingkat aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH

dapat digolongkan berdasarkan nilai IC50 seperta pada Tabel II. 3 (Jun, Yu, Fong,

Wan, Yang, and Ho, 2003).

Tabel II. 3 Tingkat Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

(Jun et al.,2003)

Aktivitas Sangat

kuat

Kuat Sedang Lemah Sangat

lemah

Nilai IC50 <50

μg/mL

50-100

μg/mL

101-250

μg/mL

250-500

μg/mL

>500

μg/mL

2.3 Radikal Bebas

2.3.1. Definisi Radikal Bebas

Menurut Soeatmaji (1998), dalam Subandi (2010), yang dimaksud radikal

bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih

elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Hal tersebut menyebabkan

molekul menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mencari pasangan dengan

mengambil elektron dari molekul atau sel lain disekitarnya. Sadikin (2008;17)

menjelaskan bahwa perbuatan radikal bebas tersebut akan membuat molekul sel

15

lain yang elektronnya dirampas terdestruktif. Berbagai jenis radikal bebas memiliki

potensi untuk berinteraksi terhadap molekul biologis dalam tubuh, seperti protein,

lipid, dan DNA, dan mencetuskan reaksi yang dapat merusak serta menyebabkan

kematian sel (Duthie GG, et al., 1999; Menvielle-Bourg FJ, 2005; dalam Dharma.

H.S., 2012).

Radikal bebas berasal dari dalam (endogen) maupun luar tubuh (eksogen).

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas endogen yang terbentuk

saat proses metabolisme aerobik dan reaksi sekunder transisi logam seperti copper

dan besi. Radikal bebas eksogen dapat berasal dari asap rokok, polusi, sinar

ultraviolet, radiasi pengion, dan lain lain (Duthie GG, et al., 1999; Menvielle-Bourg

FJ, 2005; dalam Dharma. H.S., 2012).

2.3.2. Bahaya Radikal Bebas

Kerusakan akibat pajanan radikal bebas dapat diminimalkan dengan

antioksidan. Di dalam tubuh, sistem pertahanan antioksidan kompleks bekerja

meminimalkan dampak pajanan radikal bebas baik endogen maupun eksogen yang

berlebih (Duthie GG, et al., 1999; Menvielle-Bourg FJ, 2005; dalam Dharma. H.S,

2012).

Pada kondisi stres fisik, infeksi, pajanan berlebih radikal bebas, kapasitas

antioksidan menjadi tidak memadai untuk menangkal radikal bebas. Kapasitas

antioksidan tubuh juga makin menurun seiring dengan pertambahan usia. Kondisi

pajanan radikal bebas melebihi kapasitas antioksidan tubuh disebut dengan stres

oksidatif. Stres oksidatif diketahui berperan terhadap timbulnya berbagai penyakit

inflamasi atau degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, aterosklerosis, artritis

reumatoid, kanker, dan proses penuaan dini (Fasset RG et al., 2011; Iwamoto T et

al., 2000; McNulty HP et al., 2007; Yamashita E., 2010, dalam Dharma, H.S.,

2012). Pada saat tubuh dipenuhi radikal bebas yang berlebihan, maka molekul yang

tidak stabil dalam tubuh dapat menyerang bagian tubuh yang sehat maupun yang

tidak sehat sehingga terjadi penyakit (Krisnadi, 2012). Proses masuknya radikal

bebas ke dalam tubuh dapat dilihat pada gambar 2.4

16

Gambar 2. 4 Proses Masuknya Radikal Bebas kedalam Tubuh

(Krisnadi, 2015)

Radikal bebas pada konsentrasi tinggi menyebabkan kematian sel,

gangguan sistem enzim, merusak DNA dan RNA sehingga terjadi mutasi gen

(Halliwell ang Gutteridge, 1992; Oberley, 2001, dalam Sayuti, 2015).

2.3.1. Mekanisme Radikal Bebas

Radikal bebas biasanya mengikat molekul besar seperti lemak, protein,

maupun DNA (pembawa sifat). Kerusakan molekul lemak, protein, maupun DNA

disebabkan karena rentan terhadap radikal bebas (Abate, 1990; Allen, 2000, dalam

Sayuti, 2015), yang terjadi dengan proses berikut :

1. Peroksidasi lemak, terjadi kerusakan pada membran sel yang kaya akan

sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh

bahan-bahan pengoksidasi. Hal tersebut sangat merusak karena merupakan

suatu proses berkelanjutan, dimana pemecahan hidroperoksida lemak,

sering melibatkan katalisis ion logam transisi.

2. Kerusakan protein, protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal

bebas daripada PUFA. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat

jarang kecuali bila sangat ekstensif. Hal ini terjadi jika radikal tersebut

17

mampu berakumulasi (jarang pada sel normal), atau bila kerusakannya

terfokus pada daerah tertentu dalam protein, salah satu penyebab kerusakan

adalah jika protein berikatan dengan ion logam transisi.

3. Kerusakan DNA, kerusakan di DNA menjadi suatu reaksi berantai, biasanya

kerusakan terjadi bila ada delesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat

diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal

oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada

radiasi biologis.

2.3.2. Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal

bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh (Murray et al., 2003,

dalam Werdhasari, 2014). Stres oksidatif terjadi jika produksi ROS alamiah tidak

dapat diseimbangkan oleh kapasitas antioksidan jaringan. Adanya ROS berlebihan

dapat menginduksi kerusakan komponen seluler secara ireversibel dan

menyebabkan kematian sel melalui jalur apoptosis intrinsik melalui mitokondria,

sehingga memicu kerusakan DNA mitokondria, disfungsi, dan peningkatan

apoptosis sel (Schöttker et al., 2015, Wang et al., 2013, dalam Zalukhu, 2016).

Penurunan stres oksidatif dapat dicapai melalui 3 tahap, yaitu (Poljsak B,

2011):

1. Menurunkan pajanan ke polutan lingkungan yang mengandung oksidan

2. Meningkatkan jumlah antioksidan endogen dan eksogen

3. Menurunkan stres oksidatif dengan menstabilkan produksi dan efisiensi

energi mitokondria.

Stres oksidatif endogen dapat dipengaruhi dengan dua cara, yaitu dengan mencegah

formasi ROS atau menghilangkan efek ROS dengan antioksidan.

1.4 Kulit

2.4.1. Struktur Kulit

Kulit merupakan lapisan atau jaringan yang menutup dan melindungi tubuh

dari bahaya yang dating dari luar.

Kulit terdiri dari 3 lapis:

18

Gambar 2. 5 Lapisan-lapisan dan Apendiks Kulit

(Mescher AL, 2010)

1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang terdiri atas epitel berlapis

gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak

mempunyai pembuluh darah maupun limfe.

Epidermis dibagi menjadi 5 lapisan:

1) Stratum corneum (lapisan tanduk)

2) Stratum lucidum (daerah sawar)

3) Stratum granulosum (lapisan seperti butir)

4) Stratum spinosum (lapisan sel duri)

5) Stratum germinativum (lapisan sel basal)

Stratum korneum merupakan lapisan yang dapat terdehidrasi yang selalu

terkelupas. Pada stratum basal biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi

selnya berfungsi untuk regenerasi epitel (Kalangi, 2013).

19

Gambar 2. 6 Lapisan-lapisan Epidermis Kulit

(Mescher AL, 2010)

2. Dermis

Dermis tersusun atas jaringan fibrosa dan jaringan ikat yang elastis. Dermis

terdiri dari dua lapisan dengan batas yang tidak tegas, stratum papilaris dan stratum

reticularis.

i. Stratum papilar, tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis

yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan

lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak

kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang

memberi nutrisi pada epitel di atasnya (Kalangi, 2013).

ii. Stratum pars reticular, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan

dengan lapisan hypodermis yang terdiri atas serabut kolagen. Serat-serat

kolagen ini berfungsi dalam membentuk jaringan-jaringan kulit yang

menjaga kekeringan dan kelenturan kulit (Maharani, 2013).

3. Hypodermis

Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan

limfe. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai penyangga bagi organ-organ

tubuh bagian dalam dan cadangan makanan (Maharani, 2013).

20

2.4.2. Fungsi Kulit

1. Fungsi proteksi

Pada dermis terdapat serabut elastis serta jaringan lemak subkutan berfungsi

mencegah trauma mekanik terhadap interior tubuh. Lapisan tanduk dan mantel

lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan mencegah masuknya air dari luar tubuh

dan mencegah penguapan air, juga sebagai barrier terhadap racun dari luar

(Tranggono dan Latifah, 2007).

2. Fungsi absorbsi

Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti

vitamin A, D, E, K, obat-obatan tertentu, oksigen, dan karbon dioksida (Djuanda,

2007). Absorbi melalui kulit terdapat dua jalur yaitu melalui epidermis dan kelenjar

sebasea dari folikel rambut (Tranggono dan Latifah, 2007).

3. Fungsi Ekskresi

Fungsi ekskresi kulit dibantu dengan dua perantara kelenjar eksokrinnya,

yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kelenjar sebasea melepaskan lipid

yang dikenal sebagai sebum (campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan

elektrolit) menuju lumen (Harien, 2010). Kelenjar keringat menguapkan air sekitar

400 mL setiap hari (Djuanda, 2007).

4. Fungsi persepsi

Kulit sensitif terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu, dan

nyeri. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis

(Djuanda, 2007). Rangsangan dari luar akan diterima oleh reseptor dan diteruskan

ke sistem saraf pusat selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri (Tranggono dan

Latifah, 2007).

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)

Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan kontriksi

pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya dipengaruhi saraf otonom

(Tranggono dan Latifah, 2007).

6. Fungsi pembentukan vit D

Pembentukan vit D terjadi dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan

pertolongan sinar matahari. Tetapi vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh tidak

21

cukup hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap

diperlukan (Djuanda, 2007).

2.5 Gel

2.5.1 Definisi Gel

Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari

suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang

besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (FI V, 2014).

2.5.2 Penggolongan Gel

A. Berdasarkan sifat fasa koloid (Lieberman, 1998), meliputi :

a. Gel anorganik, contoh : bentonit magma.

b. Gel organik, pembentuk gel berupa polimer.

B. Berdasarkan sifat pelarut (Lieberman,1998), meliputi :

a. Hidrogel (pelarut air)

Hidrogel umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik yang

saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti interaksi ionik,

ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel bersifat lunak, elastis sehingga

meminimalkan iritasi karena friksi pada jaringan sekitarnya. Kekurangan hidrogel

yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan yang rendah setelah mengembang.

Contoh : bentonit magma, gelatin.

b. Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)

Contoh: dispersi logam stearat dalam minyak dan plastibase (polietilen

dengan BM rendah yang terlarut dalam minyak mineral dan didinginkan secara

shock cooled).

c. Xerogel

Xerogel adalah gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang

rendah. Kondisi tersebut dapat dikembalikan ke keadaan semula dengan

menambahkan agen pengimbibisi, dan mengembangkan matriks gel. Contoh :

gelatin kering, tragakan ribbons, acacia tears, selulosa kering dan polystyrene.

C. Berdasarkan karakteristik cairan gel (gel hidrofilik dan gel hidrofobik)

a. Gel hidrofilik

Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan pengembang,

air, penahan lembab dan pengawet. Basis yang dimiliki umumnya terdiri dari

22

molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan dengan fase pendispersi.

Kelebihan hidrofilik disbanding hidrofobik yaitu sistem koloid hidrofilik lebih

mudah dibuat dan memiliki kestabilan yang lebih besar (Ansel, 1989). Karakteristik

gel jenis ini mempunyai aliran tiksotropik, tidak lengket, mudah menyebar, mudah

dibersihkan, kompatibel dengan beberapa eksipien dan larut dalam air (Rowe et al.,

2009).

b. Gel hidrofobik

Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik, bila

ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interaksi antara basis gel

dan fase pendispersi (Ansel, 1989). Basis yang dimiliki umumnya mengandung

parafin cair dan polietilen atau minyak lemak dengan bahan pembentuk gel koloidal

silika atau aluminium atau zink sabun (Lieberman, 1998).

D. Berdasarkan jumlah fasenya (FI V, 2014)

a. Sistem fase tunggal

Gel fase tungal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba

sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara

molekul makro yang terdispersi dan cairan. Walaupun gel-gel ini umumnya

mengandung air, etanol dan minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa.

Sebagai contoh, minyak mineral dapat dikombinasi dengan resin polietilena untuk

membentuk dasar salep berminyak.

b. Sistem dua fase

Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel

digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Dalam

sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relative besar, massa gel

kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit). Baik gel

maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat jika dibiarkan dan

menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan

untuk menjamin homogenitas.

23

2.5.3 Sifat dan Karakteristik Gel

Sifat dan karakteristik gel (Zats & Gregory, 1996), meliputi :

1. Swelling

Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat

mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan

berpenetrasi diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.

2. Sineresis

Proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan yang

terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel

terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang tegar. Terjadinya

kontraksi di dalam massa gel berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya

tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel

akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan

bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun

organogel.

3. Efek suhu

Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui

penurunan temperatur juga setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer seperti

MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin dan membentuk larutan yang

kental. Ketika suhu meningkat larutan tersebut akan membentuk gel.

4. Efek elektrolit

Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan mempengaruhi gel hidrofilik

dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada

dan koloid digaramkan (melarut).

5. Elastisitas dan rigiditas

Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,

selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas

dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten

terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik.

6. Rheologi

Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang

terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas dan menunjukkan

24

jalan aliran non–Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan

peningkatan laju aliran.

Menurut Lachman dkk., 2008, sediaan gel memiliki sifat sebagai berikut :

1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah

inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.

2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan

yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan

diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam

botol, pemerasan tube, atau selama penggunaan topikal.

3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan yang

diharapkan.

4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau

BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau

digunakan.

5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga

pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu.

6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh

pemanasan disebut thermogelation.

2.5.4 Keuntungan Gel

Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan penyebarannya baik pada kulit

2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit

3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik

5. Pelepasan obatnya baik

6. Untuk hidrogel: efek pendinginan pada kulit saat digunakan, penampilan

sediaan yang jernih dan elegan, pada pemakaian di kulit setelah kering

meninggalkan film tembus pandang, elastis, mudah dicuci dengan air,

pelepasan obatnya baik, kemampuan penyebarannya baik pada kulit

(Lachman, 1994).

25

2.5.5 Kekurangan Gel

Kekurangan sediaan gel (Lachman, 1994) sebagai berikut:

1. Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam air

sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar

gel tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut

sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat

2. Kandungan surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi dan harga lebih

mahal

2.6 Masker Peel Off

2.6.1 Pengertian Masker Peel Off

Masker adalah perawatan yang ditujukan untuk mengencangkan tonus (daya

bingkis) kulit serta merawat kulit dengan kandungan bahan yang terdapat dalam

kosmetik, untuk perawatan muka/kulit wajah yang memiliki manfaat yaitu memberi

kelembaban, merangsang sel-sel kulit, mengeluarkan kotoran dan sel-sel tanduk

yang melekat di kulit, menormalkan kulit dari gangguan jerawat, bintik hitam dan

mengeluarkan lemak yang berlebih pada kulit, mencegah, mengurangi keriput-

keriput dan hyperpigmentasi dan melancarkan peredaran darah (Rostamilis, 2005).

Kosmetik wajah dapat diperoleh dalam berbagai bentuk sediaan, salah satunya

masker wajah gel peel off (Vieira et al., 2009). Masker peel off merupakan masker

yang terbuat dari bahan polimer seperti polivinil alkohol dan bahan seperti lateks

dan senyawa karet alam (Shai et al.., 2009). Masker wajah peel off merupakan salah

satu jenis masker wajah yang mempunyai keunggulan dalam penggunaanya yaitu

dapat dengan mudah dilepas atau diangkat seperti membran elastis (Rahmawanty

et al., 2015). Masker diaplikasikan pada permukaan kulit dengan cara dioleskan,

ditunggu mengering, mengeras dan membentuk lapisan tipis, fleksibel serta

transparan biasanya 15-30 menit kemudian dikelupas seperti pada gambar 2.2.

26

Gambar 2. 7 Cara Menggunakan Masker Peel Off

(Shai et al.., 2009)

Keterangan: (A) Sepotong kain kasa yang telah dibasahi aquades

ditempatkan pada wajah; (B) Masker peel off dioleskan di atas kasa; (C) Setelah

waktu pengaplikasian selesai masker diangkat dengan cara dikelupas.

Masker wajah peel off dalam formulasinya digunakan basis polivinil alkohol

(PVA), setelah pengolesan dan pengeringan akan membentuk lapisan oklusif pada

wajah (Vieira et al., 2009). Formulasi masker wajah gel peel off, komposisi bahan-

bahan yang digunakan diantaranya adalah gelling agent, agent peningkat viskositas,

dan humektan akan mempengaruhi sifat fisika dan kimia dari masker wajah gel peel

off. Dalam formulasi masker peel off agen peningkat viskositas yang dapat

digunakan adalah HPMC, karbomer, HEC, gom, guar dan CMC Na (Vieira et al.,

2009; Septiani et al.., 2011). Humektan berfungsi menjaga kestabilan dengan cara

mengabsorbsi lembab dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari sediaan.

Selain menjaga kestabilan sediaan, secara tidak langsung humektan juga dapat

mempertahankan kelembaban kulit sehingga kulit tidak kering. Jenis humektan

yang banyak digunkan adalah gliserin, propilen glikol, dan sorbitol (Yuliani, 2010).

2.6.2 Karakteristik Masker Peel Off

Karakteristik ideal sediaan masker peel off menurut Grace et al., 2015:

1. Tidak terdapat partikel yang kasar

2. Tidak toksik

3. Tidak menimbulkan iritasi

4. Dapat membersihkan dan mengencangkan kulit

5. Memberikan efek lembab

6. Membentuk lapisan film yang seragam

27

7. Dapat kering pada waktu 5-30 menit

8. Mudah digunakan dan tidak timbul rasa sakit

2.6.3 Manfaat Masker Peel Off

Masker peel off memiliki beberapa manfaat di antaranya mampu

merilekskan otot-otot wajah, membersihkan, menyegarkan, melembabkan, dan

melembutkan kulit wajah (Vieira, 2009). Selain itu, masker wajah peel off juga

bermanfaat untuk memperbaiki serta merawat kulit wajah dari masalah keriput,

penuaan, jerawat dan dapat juga digunakan untuk mengecilkan pori (Grace et al.,

2015).

2.6.4 Kelebihan Masker Peel Off

Masker wajah peel off merupakan salah satu jenis masker wajah yang

mempunyai keunggulan dalam penggunaanya yaitu dapat dengan mudah dilepas

atau diangkat seperti membran elastis (Rahmawanty dkk., 2015). Masker wajah

peel off dapat meningkatkan hidrasi pada kulit kemunkinan karena adanya oklusi

(Velasco et al., 2014). Masker peel off cukup efektif mengangkat sel kulit mati,

komedo, minyak berlebih, dan penyumbatan pada pori-pori yang merupakan

kelebihannya dibandingkan masker lain Moris (1993) dalam Ningsih (2016).

2.6.5 Mekanisme Kerja Masker Wajah

Mekanisme kerja masker wajah adalah dengan meningkatkan suhu kulit

wajah sehingga peredaran darah menjadi lebih lancar dan penghantaran zat-zat gizi

ke lapisan permukaan kulit dipercepat sehingga kulit muka terlihat menjadi lebih

segar. Meningkatnya suhu dan peredaran darah yang menjadi lebih lancar

mengakibatkan fungsi kelenjar kulit meningkat, kotoran dan sisa-sisa metabolisme

dikeluarkan ke permukaan kulit, kemudian diserap oleh lapisan masker yang

mengering. Cairan yang berasal dari keringat dan sebagian cairan masker diserap

oleh lapisan tanduk, lapisan masker akan mengering tetapi lapisan tanduk tetap

kenyal, sifat ini menjadi lebih baik ketika lapisan masker dilepaskan yaitu terlihat

kulit yang keriput menjadi berkurang dan kulit wajah tidak hanya menjadi lebih

halus tetapi juga menjadi lebih kencang. Setelah masker dilepaskan, bagian cairan

yang telah diserap oleh lapisan tanduk akan menguap mengakibatkan terjadinya

penurunan suhu kulit wajah sehingga memiliki efek menyegarkan kulit (Ginting,

2015).

28

2.7 Ekstraksi

Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Macammacam metode

ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu :

2.7.1 Cara Ekstraksi Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut kemudian

dilakukan perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk

ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya

perbedaan kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan

terpekat didesak keluar. Proses ini terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan

konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan

dapat berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Keuntungan

metode ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana yang

mudah diusahakan (Ditjen POM, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan

penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Tahapan dalam perkolasi

terdiri dari tahap pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).

2.7.2 Cara Ekstraksi Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi menggunakan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang umumnya

dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut

relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

29

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada

temperatur 40-50ºC (Ditjen POM, 2000).

d. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dengan temperatur sampai

titik didih air, yaitu 30 menit pada suhu 90-100ºC (Ditjen POM, 2000).

2.8 Tinjauan Basis/Komponen Masker Peel Off

2.8.1 PVA (Polivinil Alkohol)

Gambar 2. 8 Struktur Kimia Polivinil Alkohol

(Rowe et al. 2009)

Sinonim : Airvol; Alcotex; Elvanol; Gelvatol; Gohsenol; Lemol;

Mowiol; Polyvinol; PVA; vinyl alcohol polymer.

Pemerian : Serbuk granular berwarna putih atau krem

Kelarutan : Larut dalam air, sedikit larut dalam etanol (95%)

Inkompatibilitas : Dengan bahan pengoksidasi seperti kalium permanganate

Penggunaan : Pembentuk lapisan film, lubrikan, agen penstabil,

meningkatkan viskositas

Polivinil alkohol merupakan suatu material yang dibuat melalui proses

alkoholisis dari polivinil asetat (PVAc). Polivinil alkohol memiliki sifat tidak

berwarna, padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organik

dan minyak, tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer

tersebut cukup tinggi (Harper & Petrie, 2003). Polivinil alkohol berupa serbuk

(powder) berwarna putih dan memiliki densitas 1,2000 - 1,3020 g/cm serta dapat

larut dalam air pada suhu 80ºC (Sheftel, 2000).

30

PVA memiliki kemampuan dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat

adesifnya. Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang

baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik (Ogur, 2005). Selain sebagai filming

agent karena dapat membentuk lapisan yang dapat dikelupas setelah mengering,

PVA juga sebagai agen peningkat viskositas. Film agent membentuk film setelah

pelarutnya menguap. Viskositas dan kekuatan film bervariasi, tergantung pada

derajat saponifikasi dan polimerisasi (Rowe et al., 2009). PVA berperan dalam

memberikan efek peel off karena memiliki sifat adhesive sehingga dapat

membentuk lapisan film yang mudah dikelupas setelah kering (Brick et al., 2014).

Polivinil alkohol digunakan sebagai pembentuk lapisan film masker wajah gel peel

off dengan rentang konsentrasi 10-16% (Lestari dkk., 2013). PVA juga dapat

digunakan sebagai gelling agent dengan konsentrasi 10-20%, dimana PVA

termasuk dalam polimer sintetik (Swarbrick, 2007).

Tabel II. 4 Spesifikasi Farmakope untuk Polivinil Alkohol

(Rowe et al., 2006)

2.8.2 PEG (Polietilen Glikol)

Gambar 2. 9 Struktur Kimia Polietilen Glikol

(Rowe et al., 2006)

31

Sinonim : Carbowax; Carbowax Sentry; Lipoxol; Lutrol E; Pluriol

E; polyoxyethylene glycol

Pemerian : Nilai polietilen glikol 200-600 adalah cairan; Nilai 1000

dan di atas adalah padatan pada suhu kamar. Nilai cairan

(PEG 200-600) terjadi sebagai cairan yang jernih, tidak

berwarna atau sedikit berwarna kuning, kental. Mereka

memiliki bau sedikit tapi khas dan rasa pahit dan sedikit

terbakar. PEG 600 dapat terjadi sebagai padatan pada

suhu kamar. Nilai padat (PEG> 1000) berwarna putih atau

putih putih, dan berkisar konsistensi dari pasta sampai

serpih lilin. Mereka memiliki bau samar dan manis. Kelas

PEG 6000 dan yang lebih tinggi tersedia sebagai bubuk

giling bebas.

Kelarutan : Semua kadar polietilena glikol larut dalam air dan

tercampur dalam semua proporsi dengan polietilena glikol

lainnya (setelah mencair, jika perlu). Larutan encer

dengan kadar molekul tinggi dapat membentuk gel.

Polietilena glikol cair larut dalam aseton, alkohol,

benzena, gliserin, dan glikol. Polietilen glikol padat larut

dalam aseton, diklorometana, etanol (95%), dan metanol;

namun tidak larut dalam lemak, minyak tetap, dan minyak

mineral.

Inkompatibilitas : Nilai polietilen glikol cair dan padat mungkin tidak sesuai

dengan beberapa zat pewarna.

Penggunaan : Dasar salep; plasticizer; pelarut; basis supositoria;

pelumas tablet dan kapsul

Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik

dari oksietilen dengan rumus struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah

rata-rata gugus oksietilen (Leuner and Dressman, 2000). PEG dibuat menjadi

bermacam-macam panjang rantainya. Terdapat beberapa jenis PEG berdasarkan

32

berat molekulnya dan yang paling banyak digunakan adalah polietilen glikol 200,

400, 600, 1000, 1500, 1540, 3350, 4000, dan 6000. Pemberian nomor menunjukkan

berat molekul rata -rata dari masing-masing polimernya. PEG yang memiliki berat

molekul rata-rata 200, 400 dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan

mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat. PEG

merupakan polimer larut air, polimer ini tidak berwarna, tidak berbau dan

kekentalannya berbeda-beda (Norvisari, 2008).

PEG mempunyai sifat stabil, mudah larut dalam air hangat, tidak beracun,

non-korosif, tidak berbau, tidak berwarna, memiliki titik lebur yang sangat tinggi

(580°F), tersebar merata, higoskopik (mudah menguap) dan juga dapat mengikat

pigmen. Sifat PEG yang lunak dan rendah racun membuatnya banyak dipergunakan

sebagai dasar obat salep, dan pembawa dari bahan obat. Sifat PEG yang larut dalam

air menyebabkan bahan obat mudah terlepas dan terserap pada kulit lebih cepat dari

minyak yang teremulsi dalam air (Safitri, 2010). Penggunaan PEG sebagai pelarut

juga dapat meningkatkan distribusi (penyebaran) obat didalam tubuh manusia

(Sweetman, 2009). Penggunaan PEG sebagai plasticizer berfungsi untuk

meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hidrogen dan

meningkatkan jarak antar molekul dari polimer (Bourtoom, 2007).

Tabel II. 5 Spesifikasi Polietilen Glikol dari JP, 2001

(Rowe et al., 2006)

33

Tabel II. 6 Spesifikasi Polietilen Glikol dari PhEur, 2005

(Rowe et al., 2006)

2.8.3 Nipagin (Metil paraben)

Gambar 2. 10 Struktur Kimia Nipagin

(Rowe et al., 2006)

Sinonim : E218; 4-hydroxybenzoic acid methyl ester; methyl p-

hydroxybenzoate; Uniphen P-23

Pemerian : Berupa kristal tak berwarna atau bubuk kristal putih. Tidak

berbau atau hampir tidak berbau dan memiliki sedikit rasa

panas.

Kelarutan : Larut dalam etanol 95% 1 dalam 3 bagian, propilen glikol 1

dalam 5 bagian

Inkompatibilitas : Aktivitas antimikroba sangat berkurang dengan surfaktan

nonionic seperti polisorbat 80, Tidak kompatibel dengan

bentonit, magnesium trisilicate, talk, tragacanth, sodium

alginat, penting minyak, sorbitol, dan atropin

Penggunaan : Pengawet antimikroba

34

Metil paraben dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan paraben

lain atau dengan agen antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, methylparaben adalah

pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Paraben efektif pada rentang

pH yang lebar dan memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas. Efektivitas

pengawet juga diperbaiki dengan penambahan propilen glikol (2-5%), atau dengan

menggunakan paraben dalam kombinasi dengan agen antimikroba lainnya. Metil

paraben (0,18%) bersama propilparaben (0,02%) telah digunakan untuk pelestarian

berbagai formulasi farmasi parenteral (Rowe et al., 2009).

2.8.4 Nipasol (Propil paraben)

Gambar 2. 11 Struktur Kimia Nipasol

(Rowe et al., 2006)

Sinonim : E216; 4-hydroxybenzoic acid propyl ester; Ni; propagin;

propyl p-hydroxybenzoate; Propyl parasept; Solbrol P;

Uniphen P-23.

Pemerian : Berupa serbuk putih, kristal, tidak berbau, dan hambar.

Kelarutan : Larut dalam etanol 95% 1 dalam 1,1 bagian, larut dalam

propilen glikol 1 dalam 3,9 bagian

Inkompatibilitas : Aktivitas antimikroba propilparaben berkurang secara

signifikan dengan adanya surfaktan nonionik. Magnesium

aluminum silicate, magnesium trisilicate, yellow iron

oxide, dan ultramarine blue juga telah dilaporkan dapat

menyerap propylparaben, sehingga mengurangi efikasi

pengawet.

Penggunaan : Pengawet antimikroba

35

Propil paraben dapat digunakan sendiri, dikombinasikan dengan ester

paraben lainnya, atau dengan agen antimikroba lainnya. Ini adalah salah satu bahan

pengawet yang paling sering digunakan dalam kosmetik. Paraben efektif pada

rentang pH yang lebar dan memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas.

Propil paraben (0,02% b / v) bersama dengan methylparaben (0,18% b / v) telah

digunakan untuk pelestarian berbagai formulasi farmasi parenteral (Rowe et al.,

2006).

2.8.5 PG (Propilen Glikol)

Gambar 2. 12 Struktur Kimia PG

(Rowe et al., 2006)

Sinonim : 1,2-Dihydroxypropane; E1520; 2-hydroxypropanol;

methyl ethylene glycol; methyl glycol; propane-1,2-diol.

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau

dengan rasa manis dan sedikit tajam yang menyerupai

gliserin.

Kelarutan : Tercampur dengan aseton, kloroform, etanol (95%),

gliserin, dan air; larut pada 1 dari 6 bagian eter

Inkompatibilitas : Tidak sesuai dengan reagen pengoksidasi seperti kalium

permanganat

Penggunaan : Pengawet antimikroba; desinfektan; humektan; plasticizer;

pelarut; stabilizer untuk vitamin, kosolven

Penggunaan PG sebagai humektan dalam sediaan topical adalah 15% dan

sebagai pelarut atau kosolven adalah 5-80% (Rowe et al., 2006).

36

2.8.6 Gliserin

Gambar 2. 13 Struktur Kimia Gliserin

(Rowe et al., 2006)

Sinonim : Croderol; E422; glycerine; Glycon G-100; Kemstrene;

Optim; Pricerine; 1,2,3-propanetriol; trihydroxypropane

glycerol.

Pemerian : Cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, kental,

higroskopik; Ini memiliki rasa manis, kira-kira 0,6 kali

lebih manis seperti sukrosa.

Kelarutan : Larut dalam air, metanol dan etanol 95%

Inkompatibilitas : Gliserin dapat meledak jika dicampur dengan zat

pengoksidasi kuat seperti kromium trioksida, kalium

klorat, atau kalium permanganat. Perubahan warna hitam

gliserin terjadi dengan adanya cahaya, atau pada kontak

dengan seng oksida atau bismut nitrat dasar.

Penggunaan : Pengawet antimikroba; emolien; humektan; plasticizer;

pelarut; agen pemanis; agen tonisitas

Dalam formulasi farmasi dan kosmetik topikal, gliserin digunakan terutama

untuk sifat humektan dan emoliennya. Penggunaan gliserin sebagai humektan dan

emolien adalah ≤ 30% (Rowe et al., 2006).