bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang perjanjian 1. pengertian...

27
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Dalam ilmu hukum menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal yang lebih bersifat abstrak, yang mana lebih menunjuk dalam hubungan hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang ataupun dua pihak atau lebih. Perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu seuatu perjanjian. Dengan demikian berarti suatu perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. 16 Perjanjian secara umum diatur dalam Buku III Kitab Undang- undang Hukum Perdata. Ketentuan perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa : “Suatu perjanjian (persetujuan) adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat beberapa pendapat para ahli. Adapun pendapat tersebut yaitu: 16 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan yang lahir Dari Perjanjian. Ed. I.Cet.II. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 2.

Upload: others

Post on 11-Feb-2020

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Dalam ilmu hukum menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan

perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal

yang lebih bersifat abstrak, yang mana lebih menunjuk dalam hubungan

hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang ataupun dua pihak atau

lebih. Perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian

adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu seuatu perjanjian. Dengan

demikian berarti suatu perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan

kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi para pihak yang

membuat perjanjian tersebut.

16 Perjanjian secara umum diatur dalam Buku III Kitab Undang-

undang Hukum Perdata. Ketentuan perjanjian dalam pasal 1313 KUH

Perdata dinyatakan bahwa : “Suatu perjanjian (persetujuan) adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih”.

Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian

terdapat beberapa pendapat para ahli. Adapun pendapat tersebut yaitu:

16 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan yang lahir Dari Perjanjian. Ed.

I.Cet.II. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 2.

22

a. Subekti

Memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan hukum

antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu

berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain

berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian

adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17

b. Abdul Kadir Muhammad

Memberikan pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum

yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena

perbuatan peristiwa atau keadaan.18

c. R. Setiawan

Menyatakan bahwa Persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak

lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, dan

sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan perbuatan tercakup

juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.19

Perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum, antara

dua orang tersebut, yang dinamakan dengan perikatan. Perjanjian itu

menerbitkan suatu perjanjian antara dua orang yang membuatnya. Definisi

17 Subekti. Hukum Perjanjian. Op.cit. hal 1. 18 Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung. 2004. Hal 6. 19 R.Setiawan.1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. BinaCipta. Bandung. Hal 9.

23

perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan

sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah

hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan, dimana

pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain

(debitur), berkewajiban memenuhi prestasi.20

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas menjelaskan beberapa

pengertian tentang perjanjian serta terkait perjanjian yang merupakan salah

satu sumber dari perikatan menegaskan kembali bahwa perjanjian

melahirkan sebuah perikatan, sehingga menciptakan kewajiban pada salah

satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut dimana kedua belah pihak

saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu

perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain,

hal tersebut merupakan sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu

kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih pihak kepada salah satu

atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut.

2. Unsur-unsur Perjanjian

Suatu perjanjian apabila diuraikan terdapat unsur-unsur yang ada

didalamnya, unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa

kelompok adalah sebagai berikut :

(1) Unsur Ensensialia

20 Riduan Syahrani. Op Cit. Hal.195.

24

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-kekentuan

berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau

lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang

membedakan secara prinsip dari jenis perjanjian lainya. Unsur

essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan

rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.21

Dari sekian banyak perjanjian yang diatur diluar Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, yang seringkali disebut dengan perjanjian

tidak bernama, dalam hal ini dapat digolongkan kedalam tiga

golongan besar yaitu:

a. Perjanjian yang secara prinsip masih mengandung unsur esensilia

dari salah satu perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata,

misalnya perjanjian pemberian kredit oleh perbankan, yang

mengandung unsur-unsur esensialia dari perjanjian pinjam

meminjam. Terhadap jenis perjanjanjian ini, makanya ketentuan

yang berlaku didalam KUH Perdata, sejauh perjanjian tersebut

tidak boleh disimpangi dan atau mengandung ketentuan-ketentuan

yang tidak diatur secara khusus atau berada oleh para pihak, adalah

mengikat bagi para pihak.

b. Perjanjian yang mengandung kombinasi dari unsur-unsur esensialia

dari dua atau lebih perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata,

misalnya perjanjian sewa-beli, yang mengandung baik unsur-unsur

21 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan yang lahir dari perjanjian.

Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal. 85.

25

esensialia jual beli maupun sewa menyewa yang diatur dalam KUH

Perdata. Untuk perjanjian-perjanjian jenis ini, maka kita harus jeli untuk

melihat unsur esensialia mana yang paling dominan, yang sebenarnya

menjadi tujuan diadakan perjanjian ini, untuk kemudian dapat

menentukan secara pasti ketentuan-ketentuan memaksa mana yang

diatur dalam KUH Perdata yang dapat dan harus diterapkan untuk tiap-

tiap perjanjian, serta ketentuan mana dalam KUH Perdata yang boleh

disimpangi serta diatur secara berbeda oleh para pihak.

c. Perjanjian yang sama sekali tidak mengandung unsur-unsur

esensialia dari perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, seperti

misalnya perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi atau yang

lebih populer dengan nama (Financial Lease). Meskipun dalam

perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ini, diatur mengenai

masalah sewa menyewa, dan opsi untuk membeli kebendaan yang

disewa guna usahakan dengan hak opsi, namun jika dilihat dari

sifat transaksi sewa guna usaha secara keseluruhan, transaksi ini

tidak mengandung unsur sewa menyewa maupun jual beli,

melainkan lebih merupakan suatu bentuk pembiyaan diluar

lembaga perbankan. Jadi dalam hal ini harus dapat ditentukan

terlebih dahulu unsur-unsur esensialia dari perjanjian ini, baru

kemudian dapat kita kembangkan untuk mencari dan menentukan

secara tepat kapan wanprestasi terjadi, apa akibat-akibat

wanprestasi tersebut, serta bagaimana menegakkan kembali

26

kewajiban debitor yang sebenarnya terhadap kreditor tanpa

merugikan kepentingan kreditor.22

(2) Unsur Naturalia

Unsur naturalia ini adalah unsur yang lazimnya melekat pada

perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam

suatu perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam

perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada

perjanjian.23 Unsur naturalia unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian

tertentu, setelah unsur essesialianya diketahui secara pasti misalnya

dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti

terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk

menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat jual

beli menghendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan

mentoleransi suatu jual beli dimana penjual tidak mau menanggung

cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya.24

(3) Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang

merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang

oleh para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan

secara berasama-sama oleh para pihak.Dengan demikian maka unsur ini

22 Ibid. Hal 87-89. 23 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit hlm 110-111. 24 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Op Cit Hlm 88-89.

27

pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus

dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.25

3. Asas-asas Perjanjian

Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat

dilakukan dengan sembarangan, namun dalam membuat dan

melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita mengetahui asas-asas yang

terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum dalam

perjanjian tersebut antara lain:

a. Asas Kebebasan Berkontrak, asas ini memiliki landasan hukumnya

pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “semua

persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa

setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang

ia kehendaki.

b. Asas Konsensualitas, asas ini memiliki landasan hukumnya pada

Pasal 1320 angka 1 yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah

satu sahnya suatu perjanjian jika adanya kesepakatan antara mereka

yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata sepakat

berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan,

paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).

25 Ibid.

28

c. Asas Kepercayaan, ketika seseorang yang mengadakan perjanjian

dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua

belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya

dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak

mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini,

para pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu

mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.26

d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang, asas ini dapat

dikatakan memiliki dasar hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH

Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian”. Hal ini

dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang

cakap dalam membuat suatu perjanjian oleh orang yang sudah

dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah

pengampuan seperti pada Pasal 433 KUH Perdata. Karena apabila

seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang

tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi

akan ketidakseimbangan dimana kondisi orang yang secara fisik

dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan

psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila

terdapat suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang

akan mengikatkan diri dalam perjnjian tersebut.

26 Mariam Darus Badrulzaman.dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. cet.I. Citra Aditya

Bakti. Bandung. Hal 87.

29

e. Asas Itikad Baik, asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3)

KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan

dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini menyatakan bahwa

sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur

haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad

baik didalamnya.

f. Asas Kepastian Hukum, bahwa pada Pasal 1338 KUH Perdata

menyatakan dalam suatu perjanjian sebagai produk hukum

haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana kepastian ini

terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu

memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

g. Asas perjanjian mengikat para pihak, asas ini memiliki landasan

hukum pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa

perjanjian berlaku (mengikat) sebagai undang-undang, dan pada

Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian

mengikat juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian

diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan. Secara umumnya suatu

perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut dalam

perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya

masing-masing sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.27

Pada dasarnya asas-asas umum dalam hukum perjanjian tersebut udah

sepatutnya digunakan dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian.

27 Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra.2010. Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak. Udayana University Press. Denpasar. Hal.49.

30

4. Syarat Syahnya Perjanjian

Selain dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan

melihat beberapa asas-asas umum dalam hukum perjanjian, juga suatu hal

yang wajib di penuhi dalam melaksanakan suatu perjanjian yaitu

memperhatikan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam ilmu hukum

kontrak (Law Of Contract) di Amerika ditentukan adanya empat syarat

sahnya perjanjian, yaitu :

(1) Adanya penawaran (offer) serta penerimaan (acceptance)

(2) Adanya penyesuaian kehendak (meeting of minds)

(3) Adanya prestasi (konsiderasi), dan

(4) Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties)

dan pokok persoalan yang sah (legal subject matter).28

Sedangkan dalam hukum eropa kontinental seperti kita, syarat sahnya

suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menjelaskan

terkait empat syarat sahnya suatu perjanjian antara lain :

a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya, maksud

dari kesepakatan itu adalah terjadinya suatu persesuaian pernyataan

kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, maksud dari kecakapan

disini adalah kecakapan dalam bertindak yaitu kecakapan atau

kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perbuatan

hukum itu sendiri adalah suatu perbuatan yang akan menimbulkan

28 Salim HS. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika Offset. Jakarta.

(selanjutnya disingkat Salim HS II ). Hal.161.

31

akibat hukum. Jadi orang yang akan mengadakan suatu perjanjian

adalah harus orang yang sudah cakap untuk melakukan perbuatan

hukum sebagaimana ditegaskan dan ditentukan pada KUH Perdata

dijelaskan bahwa orang cakap melakukan perbuatan hukum adalah

orang yang sudah dewasa. Untuk ukuran kedewasaan seseorang itu

sendiri juga dijelaskan yaitu berusia 21 tahun dan atau sudah kawin

(dijelaskan dalam Pasal 330 KUH Perdata). Sedangkan orang yang

tidak berwenang melakukan perbuatan hukum yaitu :

(1) Anak dibawah umur

(2) Orang yang masih dibawah pengampuan

(3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang dan pada uumnya semua orang yang oleh

undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu

(dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata).

c. Adanya suatu persoalan atau obyek tertentu, maksudnya adalah dalam

membuat dan melaksanakan suatu perjanjian haruslah ditentukan suatu

obyek atau persoalan yang jelas yang akan diperjanjiakan di dalam

perjanjian itu nantinya, obyek ataupun persoalan tersebut biasanya

berupa prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan

apa yang menjadi hak kreditur.29

d. Adanya suatu sebab yang halal, memang tidaklah terdapat

penjelasan terkait suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH

29 Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta. Liberty.

Hal.36.

32

Perdata. Namun Hoge Raad pada tahun 1927 memberi pengertian

suatu sebab yang halal (orzaak) sebagai suatu yang menjadi tujuan

para pihak. Kemudian pengertian lebih lanjut terkait suatu sebab

yang halal dijelaskan pada Pasal 1335 hingga 1337 KUH Perdata,

yang mana Pasal 1335 menjelaskan bahwa : “Suatu persetujuan

tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau

terlarang tidaklah mempunyai kekuatan hukum.”30

Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut.

Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak

dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Jadi, syarat sahnya suatu

perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.31 Sedangkan

dalam Pasal 1337 KUH Perdata pun disebutkan hal yang dilarang,

merupakan suatu sebab yang terlarang apabila bertentangan dengan

Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

5. Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

diterapkan perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam

suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik

disengaja maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa

(Overmacht/Force Majure).32 Untuk istilah wanprestasi ini, dalam hukum

30 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, Hal.161. 31 Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. op.cit. Hal.51. 32 Djaja S. Meliala. Hukum Perikatan dalam Prespektif BW, Nuansa Aulia. Bandung. 2012.

Hal. 175.

33

inggris disebut dengan istilah “default”, atau “nonfulfillment” ataupun

“beach of contract.33

Berdasarkan KUHPerdata, wanprestasi diatur dalam Pasal 1243

KUHPerdata yang menjelaskan :

“Penggantian biaya, rugi dan bunga tidak dipenuhinya suatu perkataan,

barulah mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai

memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika yang harus

diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam

tenggang waktu yang telah dilampaukan”.

Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan,

cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian, dalam

pengertian lain yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang

dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi

prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam

keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah

tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang

ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.

Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan

somasi oleh kreditur atau juru sita. Pengertian somasi adalah teguran dari

si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi

prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara

33 Munir Fuady. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Hal.

207.

34

keduanya.34 Tentang cara memberi teguran (sommatie) terhadap debitur

jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur

dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menentukan, bahwa teguran itu harus

dengan surat perintah atau akta sejenis.

Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian

wanprestasi. Adapun pendapat tersebut yaitu:

a. J Satrio

Suatu keadaan dimana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak

memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat

dipersalahkan kepadanya.35

b. Yahya Harahap

Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga

menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau

membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya

wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut

pembatalan perjanjian.36

c. Prodjodikoro

Wanprestasi adalah tidak adanya suatu prestasi dalam perjanjian,

ini berarti bahwa suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu

perjanjian. Dalam istilah bahasa Indonesia dapat dipakai istilah

34 Salim H.S. Hukum Kontrak. Sinar Grafika. Jakarta. 2006. Hal. 96. 35 J Satrio di kutip oleh Science Booth.htm. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam

Hukum Kontrak. diakses pada hari sabtu tanggal 24 Maret 2018, pukul 10.45 36 Yahya Harahap di kutip oleh Science Booth.htm. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi

Dalam Hukum Kontrak. diakses pada hari sabtu tanggal 24 Maret 2018, pukul 10.47

35

pelaksanaan janji untuk prestasi, sedangkan ketiadaan pelaksanaan janji

untuk wanprestasi.37

Untuk menentukan apakah seorang debitur dikatakan telah

melakukan wanprestasi, perlu ditentukan keadaan bagaimana debitur

dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, yaitu ada 3 macam:

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka

dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali

b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka

debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu.

c. Memenuhi prestasi tetap tidak sesuai atau keliru;

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru

tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak

memenuhi prestasi sama sekali.38

Wanprestasi akibat tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan

oleh dua kemungkinan alasannya, yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi

kewajiban maupun karena kelalaian;

37 Satrio, Yahya Harahap, Prodjodikoro di kutip oleh Science Booth.htm. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak. diakses pada hari sabtu tanggal 24 Maret 2018, pukul 11.50

38 Dody Apriansyah, 2009, “Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pembuatan Jembatan Antara CV. Jhon Bina Karya Dengan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Indragiri Hilir” (Skripsi Strata satu tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), hlm. 22-23

36

b. Karena keadaan memaksa (overmacht) force majure, jadi diluar

kemampuan debitur.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak

pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi

untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak

ada salah satu pihak yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.39 Apabila

debitur dalam keadaan wanprestasi, kreditur dapat memilih diantara beberapa

kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 1267 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yaitu :

a. Pemenuhan prestasi;

b. Ganti kerugian;

c. Pemenuhan prestasi ditambah ganti rugi;

d. Pembatalan perjanjian;

e. Pembatalan perjanjian ditambah ganti rugi.

6. Hapusnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian, harus benar-benar dibedakan daripada

hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan

persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Misalnya

pada perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga, maka perikatan

pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena

perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana.

Apabila, semua perikatan-perikatan daripada perjanjian telah hapus

seluruhnya, maka perjanjianpun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya

39 Munir Fuady. Hukum Kontrak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. Hal.88.

37

perjanjian, sebagai akibat hapusnya perikatan-perikatannya. Sebaliknya

hapusnya perjanjian, dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan-

perikatannya yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut,

misalnya sebagai daripada akibat pembatalan berdasarkan wanprestasi

(Pasal 1266 KUHPerdata), maka semua perikatan yang telah terjadi

menjadi hapus, perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan

apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Akan tetapi, dapat terjadi

bahwa harus pula berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi

kewajiban-kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan pernyataan

mengakhiri perjanjian, perjanjian sewa menyewa dapat diakhiri, akan

tetapi perikatan untuk membayar uang sewa yang telah dinikmati tidak

menjadi hapus karenanya.40

Perjanjian dapat hapus, karena :

a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian

akan berlaku untuk waktu tertentu;

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian;

c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus;

d. Menyatakan menghentikan perjanjian (opzegging);

e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;

f. Tujuan perjanjian telah tercapai; dan

40 R. Setiawan. Op.cit. hlm. 68.

38

g. Dengan persetujuan para pihak (herrooeping).41

Hal-hal yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian, telah disebutkan

dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

a. Karena pembayaran;

b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan

atau penitipan;

c. Karena pembaharuan utang;

d. Karena perjumpaan utang atau konpensasi;

e. Karena pencampuran utang;

f. Karena pembebasan utangnya;

g. Karena musnahnya barang yang terutang;

h. Karena pembatalan;

i. Karena berlakunya syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu

buku ini;

j. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab

tersendiri.42

B. Tinjauan Umum Tentang Sewa-Menyewa

1. Pengertian Sewa-Menyewa

Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur

dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire. Sewa-menyewa

41 Ibid. Hal. 69 42 Budiman N.P.D Sinaga. Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Presfektif

Sekretaris. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005. Hal. 20.

39

merupakan salah satu perjanjian timbal balik. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan

menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.43

Sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan

dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang

yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.44

Sewa menyewa seperti halnya jual beli, adalah suatu perjanjian

yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sewa

menyewa maupun jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah

biasa dipergunakan oleh masyarakat dalam rangka memenuhi

kepentingan-kepentingannya. Sewa menyewa dan jual beli adalah sama-

sama merupakan suatu perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan

barang. milik atas barang itu tetap berada di tangan yang menyewakan.45

2. Unsur Sewa-menyewa

Berdasarkan definisi dari sewa-menyewa, dapat disebutkan beberapa

unsur-unsur yag tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:

a. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa

b. Adanya konsesus antara kedua belah pihak

c. Adanya obyek sewa-menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak

maupun barag tidak bergerak.

43 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal. 833 44 Yahya Harahap, 1991. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni. Hal. 220. 45 Djoko Prakoso. 1997. Dasar Hukum Persetujuan di Indonesia. PT. Grafindo. Jakarta.

Hal. 56.

40

d. Adanya kewajiban dan pihak yang menyewakan untuk

menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda.

e. Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang

pembayaran kepada pihak yang menyewakan.46

3. Subjek dan Objek Sewa-menyewa

Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah orang atau

badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa

sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa

barang atau benda dari pihak yang meyewakan.

Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa-menyewa adalah barang

yang halal, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban,

dan kesusilaan. Barang yang menjadi obyek sewa-menyewa tersebut dapat

berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak.

4. Resiko atas Musnahnya Barang dalam Sewa-Menyewa

Resiko adalah suatu ajaran yang mewajibkan seseorang untuk memikul

suatu kerugian, apabila terdapat sesuatu diluar kemampuan salah satu

pihak yang menimpa benda menjadi obyek perjanjian. Dalam perjanjian

sewa-menyewa ini, barang itu berada pada pihak penyewa. Ketentuan

dalam Pasal 1553 KUH Perdata menyatakan, “ jika selama waktu sewa,

barang yang disewakan sama seklai musnah karena suatu kejadian yang

tidak sengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum jika uangnya

sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menuurt keadaan, apakah ia

46 Ibid. Hal.57

41

akan meminta pegurangan harga sewa ataukah ia akan meminta bahkan

pembatalan persetujuannya sewa; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal

itupun ia berhak atas suatu ganti-rugi”. Berdasarkan pasal tersebut maka

dalam hal musnahnya barag obyek sewa dapat dibagi menjadi dua macam,

yaitu musnah secara total dan musnah sebagian dari obyek sewa.

1) Jika barang disewakan oleh penyewa itu musnah secra keseluruhan

diluar kesalahanya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu

gugur demi hukum yang menanggung resiko atas musnahnya barag

tersebut adalah pihak yang menyewakan akan memperbaikinya dan

menanggung segala kerugiannya.

2) Jika barang yang disewa hanya sebaian yang musnah maka penyewa

dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga

sewa atau akan meminta pembatalah perjajian sewa-menyewa.

Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal ini, namun ia

tidak dapat menuntut pembayaran ganti kerugia kepada pihak yag

menyewakan.

5. Berakhirnya Sewa-menyewa

Secara umum berakhirnya sewa-menyewa selain dikarenakan oelh

musnahnya barang yang disewakan karena suatu bab yang tak disengaja

dapat membuat suatu perjanjian sewa-menyewa itu gugur demi hukum

sebagaisuatu resiko yang harus ditanggung oleh pemilik barang, suatu

perjanjian sewa-menyewa juga dapat berakhir apabila :

42

1) Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum,

apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukannya

suatu pemberhentian untuk itu (Pasal 1570 KUH Perdata).

2) Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir

pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia

hendak mengehentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-

tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat (Pasal

1571 KUH Perdata).

C. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban para pihak dalam

Perjanjian Sewa-menyewa.

Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat subyek dan obyek yang harus

terpenuhinya hak dan kewajiban dari para pihak yaitu pihak yang

menyewakan dan pihak yang menyewa, menurut KUHPerdata, adalah

sebagai berikut :

1. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan Adapun yang menjadi hak

dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah

ditentukan.

Sedangkan yang menjadi kewajiban bagi pihak yang mnyewakan dalam

perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu:

a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal

1550 ayat (1) KUHPerdata);

b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga

dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat

(2) KUHPerdata);

43

c. Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang

disewakan (Pasal 1550 ayat (3) KUHPerdata);

d. Melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551

KUHPerdata);

e. Menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552

KUHPerdata).

2. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa Adapun yang menjadi hak bagi

pihak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam keadaan

baik. Sedangkan yang menjadi kewajiban para pihak penyewa dalam

perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu:

a. Memakai barang sewa sebagaimana barang tersebut seakanakan

kepunyaan sendiri;

b. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal

1560 KUHPerdata).47

Dari ketentuan diatas cukuplah jelas bahwa para kedua pihak tersebut

memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan perjanjian

yang telah mereka sepakati.

D. Tinjauan Umum Rumah Susun

1. Pengertian Rumah Susun

Dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

memberikan pengertian Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat

yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian

47 Salim H.S.2010. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Cet. Ke- 5.

Sinar Grafika. Jakarta. hal 61-62.

44

yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun

vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki

dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang

dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan penjelasan

mengenai rumah susun yaitu gedung atau bangunan bertingkat terbagi atas

beberapa tempat tinggal (masing-masing untuk satu keluarga).

2. Pengertian Satuan Rumah Susun Sederhana Sewa

Dalam Pasal 1 angka (5) Peraturan Walikota Nomor 45 Tahun

2012 menyebutkan bahwa Satuan Rumah Susun Sederhana Sewa, yang

selanjutnya disebut Sarusunawa, adalah unit hunian pada rusunawa yang

diperuntukkan bagi keluarga kecil.

Rumah susun sederhana sewa yang selanjutnya disebut rusunawa,

adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun suatu lingkungan yang

terbagi dalam bagian-bagian yang diinstrukturkan secara fungsional dalam

arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang

masing-masing digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa

serta dibangun dengan menggunaka dana Anggaran Pendapatan dan

Belanja atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dengan fungsi

utamanya sebagai hunian.48

3. Jenis-jenis Rumah Susun

48 Agnessia Fery Andriyani. 2012. Efektifitas Pembangunan Rusunawa Semanggi Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Skripsi. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Hal. 18.

45

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 membedakan

Rumah Susun dengan beberapa jenis Rumah Susun, yaitu:

a. Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan

untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan

rendah.

b. Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan

untuk memenuhi kebutuhan khusus.

c. Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara dan

berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga,

serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.

d. Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan

untuk mendapatkan keuntungan.

Berdasarkan penggunaannya, Rumah Susun kemudian dapat

dikelompokkan menjadi:

a. Rumah susun hunian, yaitu rumah susun yang seluruhnya

berfungsi sebagai tempat tinggal.

b. Rumah susun bukan hunian, adalah rumah susun yang seluruhnya

berfungsi sebagai tempat usha dan atau kegiatan sosial.

c. Rumah susun campuran, merupakan rumah suusn yang sebagian

berfungsi sebagai tempat tinggal dan sebagian lagi berfungsi

sebagai tempat usaha.49

49 Imam Koeswahyono. Hukum Rumah Susun: suatu bekal pengantar pemahaman.Bayumedia.Malang.2004. Hal. 13-14.

46

Menurut Andrian Sutedi memberikan uraian mengenai jenis rumah

susun menurut fungsi penggunaannya, yaitu:

a. Rumah susun hunian, yaitu rumah susun yang digunakan untuk

akomodasi atau tempat tinggal seperti tempat tinggal seperti

perumahan, apartemen, town house, dan bangunan lainnya yang

berfungsi untuk tempat tinggal.

b. Rumah susun komersial, adalah bangunan yang digunakan untuk

kepentingan-kepentingan komersial seperti pertokoan, perkantoran,

pabrik, restoran, bank dan lain sebagainya.

c. Rumah susun industri, merupakan bangunan yang digunakan untuk

kepentingan industri misalnya penyimpanan barang dalam jumlah

besar atau tempat aktifitas pabrik dan industri lainnya.

d. Rumah susun keramahtamahan, misalnya hotel, motel, hostel dan

sebagainya.50

Dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1998

menyebutkan bahwa jenis-jenis rumah susun berdasarkan penyelenggara

pembangunan rumah susun meliputi :

a. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah

b. Koperasi, dan

c. Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dalam bidang pembangunan

rumah susun, serta swadaya masyarakat.

4. Status Kepemilikan Rumah Susun

50 Andrian Sutedi. Hukum Rumah Susun dan Apartemen. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hal 10

47

Rumah Susun Umum, Rumah Susun Khusus dan Rumah Susun

Negara merupakan tanggung jawab Pemerintah yang kemudian dapat

dilaksanakan oleh setiap orang denan mendapatkan kemudahan atau

bantuan pemerintah, sedangkan Rumah Susun Komersial dapat

dilaksanakan oleh setiap orang. Menurut ketentuan Pasal 17 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pembangunan

Rumah Susun dapat dilakukan diatas tanah:

1. Hak milik

2. Hak guna bangunan atau hak pakai diatas negara

3. Hak guna bangunan atau hak pakai diatas hak pengelolaan.

Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Khusus juga dapat dibangun dengan memanfaatkan tanah milik negara atau daerah atau tanah wakaf. Pemanfaatan tanah milik negara atau daerah dapat dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan, demikian halnya tanah dengan tanah wakaf dapat didayagunakan melalui sewa atau kerja sama peemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf.51

51 Ibid.,