bab iii mediasi dalam perkara perdata

50
10 BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA. 1.1 Perdamaian sebelum Perma Nomor 1 tahun 2008. Sebagai metode penyelesaian sengketa secara damai, mediasi mempunyai peluang yang besar untuk berkembang di Indonesia. Dengan adat ketimuran yang masih mengakar, masyarakat lebih mengutamakan tetap terjalinnya hubungan silaturahmi antar keluarga atau hubungan dengan rekan bisnis daripada keuntungan sesaat apabila timbul sengketa. Menyelesaikan sengketa di pengadilan mungkin menghasilkan keuntungan besar apabila menang, namun hubungan juga menjadi rusak. Mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian sengketa yang baru dikenal di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya mediasi mempunyai banyak unsur yang sama dengan mekanisme

Upload: others

Post on 26-Mar-2022

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

10

BAB III

MEDIASI DALAM PERKARA

PERDATA.

1.1 Perdamaian sebelum Perma Nomor 1

tahun 2008.

Sebagai metode penyelesaian sengketa secara

damai, mediasi mempunyai peluang yang besar untuk

berkembang di Indonesia. Dengan adat ketimuran yang

masih mengakar, masyarakat lebih mengutamakan tetap

terjalinnya hubungan silaturahmi antar keluarga atau

hubungan dengan rekan bisnis daripada keuntungan

sesaat apabila timbul sengketa. Menyelesaikan sengketa

di pengadilan mungkin menghasilkan keuntungan besar

apabila menang, namun hubungan juga menjadi rusak.

Mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian

sengketa yang baru dikenal di Indonesia. Hal ini

disebabkan karena pada dasarnya mediasi mempunyai

banyak unsur yang sama dengan mekanisme

Page 2: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

11

musyawarah mufakat yang merupakan ruh penyelesaian

sengketa masyarakat Indonesia. Musyawarah ini sama

dengan esensi mediasi cara / budaya timur di mana para

pihak berkompromi dan saling mengalah untuk

mencapai titik temu yang menguntungkan semua pihak

hingga tercapai kesepakatan.

Penyelesaian perkara secara damai sebelum

dikeluarkannya Perma No.2 tahun 2003 Jo Perma No. 1

tahun 2008 sudah ada, didalamnya mengatur : (1) Jika

pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang

maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua

mencoba akan mendamaikan mereka.(2) Jika

perdamaian yang demikian itu dicapai, maka pada waktu

bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu,

dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati

perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan

berkekuatan hukum dan akan dijalankan sebagai

putusan yang biasa.

Penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau

dikenal dengan istilah “ dading “ telah diatur dalam pasal

Page 3: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

12

130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya.

Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan

diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang

berkembang sekarang.

Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan pada

pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg dan pasal 1851 KUH

Perdata. Hakim sebelum pemeriksaan perkara

dilakukan harus melakukan tahap mendamaikan dan

menawarkan kepada para Pihak untuk melakukan

perdamaian.

Jadi pasal 130 HIR telah mengatur lembaga

perdamaian , dimana hakim yang mengadili wajib

mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara

sebelum hakim melanjutkan pemeriksaan perkaranya ,

jadi perdamaian tersebut hanya bersifat anjuran yaitu

hakim hanya menawarkan dan bukan sebagai mediator

dan pasal tersebut tidak mengatur keharusan bagi

hakim untuk mengusahakan perdamaian diantara

pihak-pihak.

Page 4: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

13

3.2Perdamaian setelah Perma Nomor 1 tahun

2008.

Penggunaan metode perdamaian secara yuridis

formal di Indonesia dimulai dalam UU No. 22 Tahun

1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan1

dengan memakai terminology perantaraan. Setelah itu

mediasi marak digunakan untuk menyelesaikan

sengketa di akhir tahun 1990-an. Undang-Undang

Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 memberikan

pilihan kepada para pihak untuk menyelesaikan

sengketa melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.

Mediasi sebenarnya juga sudah diatur dalam Undang-

Undang yaitu UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.2 Namun hanya

satu Pasal saja dalam UU tersebut yang mengatur

mediasi sehingga tidak memadai untuk menyelesaikan

1 Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2 Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatin Penyelesaian Sengketa.

Page 5: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

14

sengeketa. Setelah itu barulah banyak bermunculan

bidang yang memakai mediasi sebagai pilihan

penyelesaian sengketa, seperti perburuhan, sumber daya

air, hak atas kekayaan intelektual (merk, paten, desain

industri, dan rahasia dagang), jasa konstruksi,

perlindungan HAM, perbankan dan asuransi. Semua

produk hukum tersebut memakai istilah yang berbeda-

beda, yaitu perantaraan, pilihan penyelesaian sengketa,

kesepakatan atau mediasi.

Mediasi di Pengadilan Indonesia didirikan pada

tahun 2003 berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI

No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(selanjutnya disingkat PerMA Mediasi). Sebelum

mengeluarkan PerMA Mediasi tersebut, Mahkamah

Agung RI (MARI) telah berupaya menghidupkan kembali

mekanisme perdamaian perkara oleh hakim dengan

mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

No. 1 Tahun 2002 mengenai Lembaga Damai. Namun

lembaga ini pun tidak berjalan efektif karena bentuknya

Page 6: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

15

SEMA yang hanya bersifat himbauan, tidak mengikat

pengadilan untuk melaksanakannya. Latar belakang

pendirian mediasi ini pengadilan bertujuan untuk

mengatasi masalah tumpukan perkara di Mahkamah

Agung RI, membuka kesempatan yang lebih lebar bagi

para pihak untuk mendapatkan keadilan terutama

untuk golongan yang lemah (vulnerable parties)seperti

orang miskin dan perempuan, serta untuk mengatasi

masalah korupsi di pengadilan.

Pada awal pendirian, mediasi di pengadilan

hanya dilaksanakan dalam lingkup peradilan umum

dengan membolehkan peradilan agama

mempraktekkannya. Namun sejak PerMA Mediasi direvisi

pada tahun 2008, peradilan agama juga wajib untuk

melaksanakan proses perdamaian perkara ini. Mediasi di

pengadilan merupakan proses yang wajib ditempuh oleh

para pihak sebelum jatuhnya putusan hakim. Setiap

putusan yang tidak berupaya menempuh proses

perdamaian ini dinyatakan batal demi hukum. Proses

Page 7: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

16

mediasi hanya bisa digunakan untuk mendamaikan

perkara perdata, dengan pengecualian beberapa kasus,

yaitu perkara yang diselesaikan melalui prosedur :

Pengadilan niaga;

Pengadilan hubungan industrial;

Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen;

Keberatan atas putusan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha.

Berdasarkan PerMA Nomor 1 tahun 2008 , pada

prinsipnya hakim dan non hakim diwajibkan untuk

terlebih dahulu mengikuti pelatihan sertifikasi mediator

yang dilakukan oleh lembaga terakreditasi Mahkamah

Agung RI. Namun dikarenakan anggaran pelatihan yang

terbatas dan jumlah hakim yang banyak, maka PerMA

Mediasi memberikan dispensasi kepada pengadilan yang

belum memiliki mediator bersertifikat untuk menunjuk

hakim yang belum mengikuti pelatihan menjadi

mediator.

Page 8: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

17

Adapun pemutusan perkara, baik melalui

pengadilan maupun arbitrase bersifat formal, memaksa,

menengok ke belakang, berciri pertentangan, dan

berdasarkan hak-hak. Artinya, apabila para pihak

melitigasi suatu sengketa, prosedur pemutusan perkara

diatur dalam ketentuan-ketentuan yang ketat dan suatu

konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian

yang lampau dan hak serta kewajiban legal masing-

masing pihak akan menentukan hasilnya. Kebalikannya,

mediasi sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke

depan, kooperatif, dan berdasar kepentingan. Seorang

mediator membantu pihak-pihak yang bersedia

merangkai suatu kesepakatan yang memandang ke

depan, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan

memenuhi standar kejujuran mereka sendiri. Seperti

halnya para hakim dan arbiter, mediator harus tidak

berpihak dan netral, tetapi mereka tidak mencampuri

untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran

Page 9: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

18

substantive, serta para pihak sendiri memutuskan

apakah mereka akan setuju atau tidak.3

Karena itu, mediasi sering dinilai sebagai

perluasan dari proses negosiasi. Hal ini disebabkan para

pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan

sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak

ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka

mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses

ajudikasi, di mana pihak ketiga menerapkan hukum

terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu

hasil, maka dalam mediasi pihak ketiga akan membantu

pihak-pihak yang bertikai dengan menerapkan nilai-nilai

terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-

nilai itu dapat meliputi hukum, rasa keadilan,

kepercayaan agama, etika, moral dan lain-lain.4

Dari uraian di atas, tampak penyelesaian

sengketa melalui ADR memiliki kebaikan atau

3 Garry Goodpaster, 1996, Tujuan Terhadap penyelesaian Sengketa,

dalam Seri dasar-Dasar hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia,

Jakarta, Ghalia Indonesia, halaman 12-13. 4 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,

Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Halaman 122

Page 10: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

19

keunggulan daripada proses penyelesaian melalui

ajudikasi. Penyelesaian sengketa melalui ADR jauh lebih

efisien dan efektif dibandingkan dengan penyelesaian

sengketa melalui institusi ajudikasi, dimana

penyelesaian lebih cepat, biaya lebih murah, dan paling

penting menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima

para pihak. Para pihak dapat mengatur sendiri cara dan

lamanya waktu penyelesaian sengketa dimaksud.

Di samping kelebihan – kelebihannya, institusi mediasi

ini juga ada kelemahannya, diantaranya :

1. Biasa memakan waktu yang lama;

2. Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi

putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu

kontrak;

3. Sangat digantungkan dari iktikad baik para pihak

untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai;

4. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik,

terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup

diberikan kepadanya, dan

Page 11: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

20

5. Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi,

kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang

penting yang tidak disampaikan kepada mediator

sehingga putusannya menjadi bias.5

1. Peran dan Fungsi Mediator Dalam Mediasi

Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai

“penengah” yang membantu para pihak untuk

menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Seorang

mediator juga akan membantu para pihak untuk

membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah

yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, guna

menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator

harus membantu para pihak yang bersengketa untuk

merumuskan pelbagai pilihan penyelesaian sengketanya.

Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat

diterima dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak.

Setidaknya peran utama yang mesti dijalankan seorang

mediator adalah mempertemukan kepentingan-

5 Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasionakl, Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis,Bandung,PT Citra Aditya Bakti, Halaman 50-51

Page 12: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

21

kepentingan yang saling berbeda tersebut agar mencapai

titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak

pemecahan masalahnya.

Seorang mediator mempunyai peran membantu

para pihak dalam memahami pandangan masing-masing

dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan

yang dianggap penting bagi mereka. Mediator

mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi

mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi,

penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan

serta membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan

emosi. Di samping itu, seorang mediator membantu para

pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan

menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan

kepentingan umum. Mediator pun akan sering bertemu

dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini

yang disebut caucus, mediator biasanya dapat

memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia

saling membagi informasi. Sebagai wadah informasi

antara para pihak , mediator akan mempunyai lebih

Page 13: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

22

banyak informasi menegnai sengketa dan persoalan-

persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu

menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi

terwujudnya suatu perjanjian atau kesepakatan.6

Mediator juga memberikan informasi baru bagi para

pihak atau sebaliknya membantu para pihak dalam

menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua

belah pihak untuk menyelesaikan perkara. Mereka dapat

menawarkan penilaian yang netral dari posisi masing-

masing pihak. Mereka juga dapat mengajarkan para

pihak bagaimaan terlibat dalam negosiasi pemecahan

masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif, dan

menemukan pemecahan yang kreatif terhadap konflik

mereka.7

Dengan demikian, seorang mediator tidak hanya

bertindak sebagai penengah belaka yang hanya

bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi,

tetapi ia juga harus membantu para pihak untuk

6 Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap…. Op. cit. Halaman. 16 7 Ibid, Halaman 16-17

Page 14: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

23

mendesain menyelesaikan sengketanya sehingga dapat

menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini

seorang mediator harus memiliki kemampuan

mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang

nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk

menyusun dan mengusulkan pelbagai pilihan

penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian,

mediator ini pun akan membantu para pihak dalam

menganalisis sengketa atau pilihan penyelesaiannya

sehingga akhirnya dapat menemukan rumusan

kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian

masalah yang akan ditindak lanjuti bersama pula.

2.Mediasi Yudisial (Peradilan) di Indonesia

Menurut pendapat penulis yang dimaksud

dengan mediasi yudisial dalam konteks Indonesia adalah

proses perdamaian suatu sengketa (mediasi) dalam

perkara Perdata dan di pengadilan yang bertindak

sebagai penengah (mediator) adalah seorang hakim aktif

yang bukan pemeriksa perkara atau anggota majelis

hakim pemeriksa perkara yang dilakukan sebelum

Page 15: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

24

sidang perkara.Dari definisi tersebut ada beberapa unsur

pengertian mediasi yudisial di Indonesia yang perlu

dijabarkan lebih rinci untuk dibandingkan dengan

pelaksanaan di Negara lain, yaitu:

1. Proses Perdamaian (mediasi)

Dalam proses mediasi ini hakim sebagai mediator

tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara

seperti dalam sidang pengadilan (litigasi). Peran

mediator dalam proses mediasi kemudian terbagi

dua : apakah hanya sebagai fasilitator yang

mengatur kelancaran proses mediasi (facilitative

approach) atau bisa memberikan saran dan

petimbangan hukum (evaluative approach). .

2. Sengketa perdata

Sesuai dengan yurisdiksi mediasi di pengadilan,

maka hanya perkara perdata yang bisa dicoba

untuk didamaikan.

3. Dilaksanakan di pengadilan

Mediasi yudisial hanya bisa dilakukan didalam

lingkup pengadilan untuk menjaga wibawa hakim

Page 16: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

25

dan integritas pengadilan sesuai dengan amanat

PerMA Mediasi.8

2. Mediator adalah hakim aktif

Hanya hakim yang masih bertugas yang bisa menjadi

mediator, bukan hakim yang sudah pensiun seperti

yang dipraktekkan di Negara lain, seperti di Amerika

Serikat. Sesuai ketentuan PerMA Mediasi, pada

prinsipnya hakim juga harus mengikuti pelatihan

sertifikasi mediator. Namun bila belum ada, maka

hakim yang belum bersertifikasi bisa menjadi

mediator.9

3. Mediator bisa merupakan anggota majelis hakim

pemeriksa perkara atau bukan pemeriksa perkara.

Kebanyakan mediasi yang berlangsung selama

pemeriksaan perkara dilakukan oleh anggota majelis

hakim pemeriksa perkara. Peran ganda tersebut bisa

mengganggu netralitas hakim.

8 Perma Mediasi, Pasal 20 ayat 2 9 Perma Mediasi, Pasal 9 ayat 3

Page 17: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

26

4. Dilakukan sebelum sidang perkara atau selama

pemeriksaan perkara berlangsung sebelum jatuhnya

putusan majelis hakim pemeriksa perkara.

Sejak revisi PerMA Mediasi pada tahun 2008, proses

mediasi di pengadilan juga dilaksanakan selama

pemeriksaan perkara berlangsung, tidak hanya

dilakukan sebelum sidang perkara.

3.Peluang Pelaksanaan Mediasi Yudisial (Peradilan)

Ada beberapa faktor yang mendukung

implementasi mediasi yudisial dalam sistem peradilan di

Indonesia, diantaranya adalah : prosedur penyelesaian

sengketa yang cepat, murah dan sederhana; kekuasan di

tangan para pihak; kekuatan eksekutorial kesepakatan

mediasi; dasar hukum yang kuat sesuai amanat hukum

acara perdata; budaya musyawarah dalam penyelesaian

sengketa; otoritas dan pengalaman hakim dalam

penyelesaian sengketa; dan Peningkatan penggunaan

metode ini di dunia internasional. Bab ini menganalisis,

secara lebih mendalam beberapa peluang untuk

Page 18: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

27

memaksimalkan pelaksanaan mediasi yudisial di

Indonesia.

a. Prosedur Penyelesaian Sengketa yang Cepat,

Murah dan Sederhana

Salah satu keunggulan utama mediasi bila

dibandingkan dengan proses pemeriksaan perkara

(litigasi) di pengadilan adalah prosedurnya yang relative

lebih cepat, murah dan sederhana. Sinergi antara

kewibawaan hakim dan pengadilan serta keunggulan

waktu mediasi yudisial inilah yang membuat metode ini

berkembang pesat di seluruh dunia.10 Di Indonesia,

proses mediasi yudisial di pengadilan hanya berlangsung

kurang lebih 2 (dua) bulan sejak penunjukan mediator

sampai mencapai kesepakatan.11 Waktu ini jauh lebih

cepat disbanding proses persidangan yang

menghabiskan waktu 6 (enam) bulan untuk

menyelesaikan kasus di tingkat pertama (pengadilan

negeri).12 Belum lagi kalau sebuah kasus mencapai

10 Chodosh. Judicial Mediation and Legal Culture 11 Pasal 13 ayat 3 PerMA No. 1 Tahun 2008 12Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1992

Page 19: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

28

tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali, kasus

tersebut dapat memakan waktu sampai 7 – 12 tahun.13

Dengan sedikitnya waktu yang digunakan untuk

menyelesaikan sengketa otomatis biaya yang dikeluarkan

juga lebih sedikit, termasuk biaya administrasi

pengadilan, jasa advokat, transportasi dan biaya lainnya.

Hal ini diperkuat lagi dengan kebijakan PerMA Mediasi

yang membebaskan para pihak dari biaya jasa mediator

yudisial. Kecuali bila para pihak memilih mediator non

hakim, maka mereka harus membayar biaya jasa sesuai

tarif dan kesepakatan karena sampai saat ini belum ada

standar pengenaan biaya jasa bagi mediator non-hakim

yang berpraktek di pengadilan. Namun karena mediator

dari berbagai kalangan profesi ini masih jarang

mendapat kesempatan untuk berpraktek sebagai

mediator di pengadilan, maka banyak dari mereka yang

tidak mengenakan biaya atau pro-bono.14 Selain ingin

mendapatkan pengalaman memediasi di pengadilan,

13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,

2005, Halaman. 154 14 Abdul Syukur, Court Annexed Medition for Settling Family Disputes in Indonesia

Page 20: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

29

banyak non – hakim (terutama para pensiunan pejabat)

yang memang ingin mendarmabaktikan skill dan

pengalaman mereka dalam menyelesaikan sengketa.

Pengalaman dan prestige yang mereka peroleh juga bisa

digunakan untuk modal iklan untuk mencari klien lebih

banyak dan mengembangkan jaringan (networking).

Prosedur mediasi juga sederhana seperti bernegosiasi

dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terminology atau

prosedur yang tidak dimengerti orang awam. Hakim

ketika berfungsi sebagai mediator tidak boleh

menggunakan prosedur litigasi peradilan dengan banyak

istilah hukum yang membingungkan. Bahkan bila

mediator yudisial menggunakan pendekatan fasilitatif

seperti yang telah dibahas dalam Bab I, maka hakim

sebagai mediator tersebut harus lebih mengutamakan

kepentingan para pihak dan sementara

mengesampingkan posisi dan hak pra pihak serta fakta

hukum dalam kasus tersebut dalam rangka mencapai

kesepakatan yang mereka inginkan.

Page 21: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

30

Sesuai dengan Laporan Penelitian 2010 yang

dilakukan oleh Indonesia – Australia Legal Development

Facility, kesederhanaan proses mediasi ini akan

memenuhi harapan para pengguna keadilan yang

menginginkan proses penyelesaian sengketa dalam

bahasa yang sederhana, jelas dan tidak teknis.15 Proses

mediasi juga memenuhi penyederhanaan proses

berperkara yang bertujuan untuk meningkatkan akses

keadilan masyarakat dan mengurangi arus perkara ke

tingkat kasasi seperti yang dicanangkan dalam Cetak

Biru Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung RI tahun

2010 – 2035.

Efisiensi dan efektivitas metode yang dimiliki membuat

mediasi semakin mendapat pengaruh dan dukungan

hingga sudah dipakai sebagai bagian dari sistem

peradilan di banyak Negara. Mediasi dalam sistem

peradilan memberikan angin segar di tengah

tersendatnya proses litigasi yang menyelesaikan perkara

15 IALDF, Memberi Keadilan Bagi Para Pnecari Keadilan (giving JusticetoParties)http://www.Ausasid.Gov.AU/Publication/PDF/Justi

ce Providing-Bahasa.Pdf, Jakarta< Indonesia-Australia Legal

Development Facility-Ausasid, 2010, Halaman 9

Page 22: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

31

dengan waktu lebih lama, berbiaya tinggi, dan dengan

prosedur legal formal yang kompleks.

b. Kekuasan di Tangan Para Pihak

Setelah satu keunggulan utama mediasi yang menjadi

pembda dengan metode penyelesaian sengketa yang lain

adalah pemberian kehendak atau kekuasaan (power)

kepada para pihak untuk menentukan jalannya proses

mediasi dan kesepakatan yang dihasilkan. Peletakan

kekuasaan pada para pihak inilah yang membuat

kesepakatan yang dihasilkan akan lebih memuaskan,

bertahan lama, dan dipatuhi para pihak karena semua

hal dalam proses mediasi diputuskan sendiri oleh

mereka.16 Dalam mediasi, bukan pihak ketiga (hakim

atau mediator sebagai penengah) yang berhak

menentukan arah, cara dan hasil akhir dari perundingan

seperti di pengadilan.

Oleh karena itu mediasi juga bisa berguna untuk

mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti seluruh

16 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan (Bluepint of Judiciary Reform), Jakarta, MARI, 2010, Halaman 30

Page 23: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

32

sendi hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan kecil

kemungkinan bagi pihak penengah untuk mempunyai

kesempatan bermain curang demi kepentingannya

sendiri. Bila para pihak melihat ada dugaan mediator

tidak bersikap netral atau berperilaku tidak patut, maka

para pihak bisa meminta mediator tersebut diganti atau

mundur dari proses mediasi setiap saat apabila mereka

inginkan. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar mediasi

yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk

menentukan kemauannya (principle of self-determination).

Walaupun mediator yudisial dimungkinkan untuk

menjadi evaluator dengan kewenangan yang lebih besar

untuk memberikan nasehat, pendapat hukum atau

bahkan mengusulkan solusi sengketa, kekuasaan tetap

berada di tangan para pihak untuk memutuskan. Karena

itu, mediasi bisa menjadi ujung tombak reformasi

hukum di Indonesia bisa dilaksanakan secara efektif dan

konsekuen.

Page 24: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

33

c. Kekuatan Eksekutorial Kesepakatan Mediasi

Kekuatan selanjutnya dari proses mediasi yudisial

adalah hasil akhir atau kesepakatan yang dikeluarkan

dalam bentuk Akta Perdamaian oleh pengadilan

mempunyai kekuatan eksekusi yang sama seperti

putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht). Oleh

karena itu akta perdamaian bersifat final dan mengikat

(binding) yang tidak bisa diajukan upaya hukum

selanjutnya, baik itu banding ke Pengadilan Tinggi

ataupun kasasi ke Mahkamah Agung. Kekuatan ini

berhubungan erat dan menjamin proses mediasi yang

cepat, murah dan sederhana seperti telah dibahas

sebelumnya. Kelebihan mediasi yudisial yang lebih final

dan mengikat bila berhasil mencapai kesepakatan ini

menarik banyak Negara di dunia untuk

mengintegrasikan dalam sistem peradilan mereka.

Keunggulan inilah yang tidak terdapat dalam mediasi

komunitas. Karena diselesaikan oleh dan untuk

masyarakat, kesepakatan yang dihasilkan dalam proses

ini hanya mengikat para pihak. Dari sudut pandang

Page 25: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

34

hukum, kesepakatan ini tidak mempunyai kekuatan

eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mematuhi

atau melanggar isi kesepakatan maka tidak ada

kekuatan 9dari Negara yang diwakili oleh pengadilan)

yang bisa memaksa pihak yang melanggar tersebut

untuk melaksanakannya. Karena itulah PerMA Mediasi

mencoba mengintegrasikan kekuatan eksekutorial dalam

sistem peradilan dengan kesepakatan yang dihasilkan di

luar pengadilan agar kesepakatan mediasi komunitas

bisa mempunyai kekuatan eksekutorial. Bila para pihak

berhasil mencapai kesepakatan perdamaian dengan

bantuan mediator bersertifikat(cetak tebal dari penulis)

di luar pengadilan, maka kesepakatan tersebut dapat

diajukan ke pengadilan yang berwenang untuk

memperoleh Akta Perdamaian resmi dari pengadilan

dengan cara mengajukan gugatan.17 Akta inilah yang

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama seperti

putusan dalam proses litigasi.

17 PerMA Mediasi Pasal 23 ayat 1

Page 26: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

35

Pengajuan gugatan ke pengadilan agar kesepakatan di

luar pengadilan mempunyai kesepakatan eksekutorial

harus disertai dengan kesepakatan perdamaian yang

dicapai serta dokumen – dokumen yang membuktikan

ada hubungan hukum para pihak dengan objek

sengketa.18 Selain itu, ada beberapa syarat lain yang

harus dipenuhi agar kesepakatan di luar pengadilan

tersebut memperoleh akte perdamaian dari pengadilan,

diantaranya adalah : sesuai kehendak para pihak; tidak

bertentangan dengan hukum; tidak merugikan pihak

ketiga; dapat dieksekusi; dan dilandasi dengan itikad

baik.19 Kebijakan dalam PerMA ini sebenarnya diadopsi

dari konsep mediasi Jepang sokketsu wakai yang

memungkinkan perdamaian di luar pengadilan

(community mediation) untuk mendapat pengesahan dari

pengadilan.20

Namun yang menjadi pertanyaan atau mungkin

menjadi kendala dari penerapan ketentuan ini adalah

18 Ibid, Ayat 2 19 Ibid, Ayat 3 20 MARI, Buku Komentar Peraturan MARI No. 10 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan,Jakarta, 2008

Page 27: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

36

Kesepakatan Perdamaian di luar pengadilan tersebut

dimediasi oleh mediator yang bersertifikat. Hal ini

tentunya memberatkan para pencari keadilan karena

masih terbatasnya jumlah mediator yang bersertifikat.

Ketentuan ini sebenarnya mendapat sambutan baik dari

professional hukum dan masyarakat luas. Mereka

menyatakan bahwa ketentuan ini akan membuat

semakin banyak masyarakat yang mempunyai peluang

untuk memperoleh keadilan (access to justice) terutama

dari golongan bawah; dan kesepakatan yang dicapai

akan lebih memenuhi rasa keadilan para pihak dan

sesuai dengan budaya setempat. Ketentuan ini juga

dapat menghasilkan dampak yang positif bagi

perkembangan hukum di Indonesia, yaitu selain

memenuhi asas peradilan yang cepat, murah dan

sederhana, tetapi juga mulai ada pengakuan hukum

terhadap penyelesaian sengketa yang berlaku di

masyarakat.21

21Abdul Syukur, Community Mediation in Bali and Papua< Access to Justice in Indonesia.

Page 28: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

37

Selain memberikan landasan hukum, usulan Undang

– Undang Mediasi ini bertujuan menguatkan peran non –

hakim atau professional sebagai mediator di pengadilan

sebagia pilihan untuk para pihak selain hakim. Apabila

landasan hukum ini tersedia, maka keenganan

pengadilan untuk memasukkan non-hakim ke dalam

daftar mediator di pengadilan selama ini dapat teratasi

dan peran non-hakim bisa diangkatkan. Selain itu,

undang – undang tersebut juga mengusulkan agar

mediasi tidak hanya bisa dilaksanakan di pengadilan,

tetapi juga di kepolisian, kejaksaan atau departemen

pemerintah lain hingga bisa menjangkau sasaran yang

lebih luas. Dengan demikian undang – undang ini bisa

menjadi payung hukum bagi pelaksanaan metode

mediasi di berbagai bidang seperti perbankan, asuransi,

perburuhan, lingkungan, dan lain-lain agar tidak tercerai

berai dan saling berbenturan.

Masih dipikirkan apakah usulan pembentukan

landasan hukum mediasi ini akan membuat undang –

undang yang berdiri sendiri atau dengan merevisi

Page 29: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

38

Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 tentagn Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang –

Undang tersebut, mediasi sudah dimasukkan sebagai

metode alternatif penyelesaian sengketa. Namun hal ini

hanya diatur dalam pelaksanaan mediasi. Sampai saat

ini usulan undang – undang tersebut masih dalam tahap

penyusunan oleh beberapa pihak penggiat mediasi di

tanah air. Penulis berharap para aktivis ini bisa saling

bekerjasama dan bersinergi untuk menyusun dan

menyokong Undang – Undang Mediasi di Indonesia.

Sesuai dengan perkembangan zaman, banyak

masyarakat Indonesia dewasa ini – terutama di daerah

perkotaan – ikut terpengaruh oleh era globalisasi yang

mengubah perilaku menjadi lebih individualis, enggan

berkorban hak dan kepentingannya ketika terjadi

sengketa dan lebih memilih ke pengadilan untuk

mendapatkan keadilan atas hak dan kepentingan

mereka. Walaupun demikian, musyawarah tetap dipakai

dan diutamakan dalam menyelesaikan sengketa untuk

menjaga harmoni di tengah masyarakat. Professor Bruce

Page 30: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

39

Barnes, pakar mediasi dari Universitas Hawaii – Amerika

Serikat yang lebih banyak mengadakan penelitian dan

mempublikasikan budaya penyelesaian sengketa di

wilayah Asia – Pasifik (termasuk Indonesia),

menyatakan:22

Perhaps due to the absence of a credible court

sistem the musyawarah may be the most important

institution for conflict resolution in Indonesia, including

business, and “civil” disputes as well as criminal disputes.

Decisions mde though this process have strong legitimacy

in the community since all the parties have been consulted

and involved in the process. The process is a collective,

consultative decision – making one in which all parties

who consider they have an interest in a matter talk it

though until a resolution is found. Everthing that is said is

considered equally correct, nd is applied towards solving

the problem as presented to the group. One of the

assumptions as presented to the group. One of the

22 Bruce Barnes, Culture, Conflict, and Mediation in the asia pacific, Maryland, University Press of America, 2007, Halaman. 109-110

Page 31: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

40

assumptions is the ultimate result will be consensus

(mufakat) among all present, acceptable as approprivate

by all parties.

(Mungkin karena disebabkan oleh ketiadaan sistem

peradilan yang dapat dipercaya, musyawarah merupakan

lembaga yang paling penting dalam perkara bisnis,

perdata, ataupun pidana. Keputusan yang dibuat dalam

proses musyawarah mempunyai legitimasi yang kuat di

masyarakat dikareankan semua pihak sudah dimintai

pendapat dan dilibatkan dalam proses. Proses

musyawarah bersifat kolektif dan pengambilan

keputusan yang konsltatif dimana semua pihak yang

merasa mempunyai keterlibatan kepentingan mencoba

mencari solusi yang tepat. Semua yang dikatakan dalam

proses dianggap benar dan dicoba diterapkan untuk

memecahkan masalah dalam kelompok. Satu asumsi

yang dihasilkan dari proses ini adalah hasil yang

disepakati (mufakat) akan diterima dan dipatuhi oleh

semua pihak).

Page 32: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

41

Musyawarah merupakan faktor yang sangat penting

untuk digunakan bagi kesuksesan pelaksanaan mediasi

yudisial di Indonesia. Hakim dapat memaksimalkan ruh

yang ada dalam metode ini untuk mendorong dan

menyemangati pihak yang bersengketa untuk

menyelesaikan sengketa mereka secara damai sesuai

dengan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hakim

juga bisa meyakinkan para pihak bahwa dengan

mamakai musyawarah sebagai metode penyelesaian

sengketa, maka para pihak akan mendapat beberapa

keuntungan, yaitu:23

Menjaga hubungan baik antar para pihak. Hal ini

penting terutama dalam sengketa keluarga ataupun

perkara bisnis yang lebih berorientasi keuntungan

jangka panjang dibandingkan menang sesaat

namun hubungan menjadi rusak;

Para pihak mempunyai kekuasaan untuk

menentukan proses dan kesepakatan yang

23 Himahanto Juwana, Dispute Resolution Prcess in Indonesia, IDE

Asian Law Series, No. 21, 2003.

Page 33: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

42

dihasilkan, tidak seperti di pengadilan dimana aktor

utama adalah pengacara dan hakim sebagai

pengambil keputusan;

Menghindari proses litigasi pengadilan yang

bermusuhan (adversarial);

Metode ini lebih singkat, murah dan prosedurnya

sederhana;

Sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

3.3Perma dan hakekat Kekuasaan Yudisial.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan instruksi

Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga

perdamaian dengan memerintahkan para hakim agar

menjadi penengah dalam dewan konsiliasi dan

memberikan saran yang menguntungkan para pihak.

Surat edaran ini menekankan kembali pemberdayaan

pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya

damai (lembaga dading) sebagaimana keketentuan dalam

pasal 130 HIR/pasal 154 Rbg yang bertujuan agar

Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara. Dan

karena dengan instruksi ini lembaga damai belum

Page 34: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

43

sempurna Mahkamah Agung mengeluarkan Perma

nomor 2 tahun 2003 yang mengatur tentang prosedur

mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung RI dan

disempurnakan dengan dikeluarkannya Perma Nomor 1

tahun 2008 tentang tentang prosedur mediasi di

Pengadilan.

Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana,

namun didalamnya terkandung pengertian yang sangat

mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan

menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan

keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan

secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan

fungsi dan tugas tersebut, penyelenggaraan peradilan

harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non

politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai

standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang

berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan

pengaruh kepentingan pihak-pihak.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 secara

komprehensif substansinya lebih lengkap bila

Page 35: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

44

dibandingkan dengan undang-undang kekuasaan

kehakiman sebelumnya, sehingga untuk memperkuat

dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan perlu dibarengi dengan upaya

membangun dan membentuk hakim yang baik dalam

beberapa perspektif, diantaranya dalam perspektif

intelektual, perspektif etik, perspektif hukum, perspektif

kehidupan beragama, perspektif tehnis peradilan dan

upaya tersedianya berbagai penunjangnya.

Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan

kehakiman melalui badan peradilan, tidak lain daripada

melaksanakan fungsi peradilan dengan batas-batas

kewenangan yang disebutkan undang-undang, maka

dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 yang dibarengi dengan upaya-upaya

tersebut di atas, diharapkan hakim melalui putusannya

sesuai harapan masyarakat dapat menerapkan hukum

dengan benar dan adil serta memberi manfaat bagi

pencari keadilan dan masyarakat pada masa kini dan

masa yang akan datang.

Page 36: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

45

ANALISIS

Hasil penelitian yang telah dilakukan adalah

bahwa Perma Nomor 1 tahun 2008 telah salah

mengintepretasikan HIR Pasal 130 HIR dan atau Pasal

154 RBg yaitu dalam menimbang huruf c yaitu bahwa

hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 HIR maupun

Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh

proses perdamaian yang dapat diintensifkan proses

mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan,

bahwa dalam hal ini Pengadilan sebagai lembaga Yudisial

hanya mendorong para pihak melakukan perdamaian

sendiri dan hakim hanya menganjurkan atau

menyarankan proses perdamaian tersebut pada hari

sidang pertama, dan apabila para pihak menyatakan

tidak akan melakukan perdamaian maka sidang akan

dilanjutkan, dalam hal ini Pengadilan hanya

melaksanakan fungsi sebagai lembaga ajudikasi bukan

sebagai lembaga mediasi.

Kemudian didalam Perma Nomor 1 tahun 2008

Pasal 2 ayat (3) dinyatakan tidak menempuh prosedur

Page 37: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

46

mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan

pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau

Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi

hukum dan Pasal 7 ayat (1) Pada hari sidang yang telah

ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak hakim

mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi

bahwa didalam Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg

kewajiban hakim untuk mengupayakan perdamaian

dengan memberikan kesempatan untuk berdamai dan

sifatnya hanya sebagai anjuran sehingga dapat

dikatakan bahwa Para Pihak dipaksa untuk melakukan

kewajiban mediasi sebelum perkaranya masuk keranah

ajudikasi.

Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01

Tahun 2008 disebutkan, pada hari sidang yang telah

ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim

mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dari

ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan

kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana

Page 38: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

47

kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak,

maka majelis hakim juga wajib untuk menolak / tidak

menerima gugatannya.

Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi

perubahan fundamental dalam praktek peradilan di

Indonesia.Pengadilan tidak hanya bertugas dan

berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan

perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban

mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang

berperkara.Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai

lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi

sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai

lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-

pihak yang bertikai. Dimana perdamaian yang semula

hanya sebagai anjuran sekarang menjadi kewajiban para

pihak, Pengadilan yang sebelumnya tidak aktif

mendorong para pihak untuk berdamai sekarang

Page 39: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

48

menjadi mediator yang bertugas aktif untuk melakukan

perdamaian kepada para pihak.

Dalam Perma Nomor 1 tahun 2008 Pasal 21 ayat

(1) dinyatakan bahwa Para Pihak atas dasar kesepakatan

mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap

perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau

peninjauan kembali atau terhadap perkara yang

diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan

kembali sepanjang perkara itu belum diputus, hal ini

menunjukkan bahwa perdamaian dapat dilakukan Para

Pihak sampai dengan upaya hukum jadi seharusnya

perdamaian dalam pemeriksaan tingkat pertama dapat

atau tidak harus dilakukan dan menjadi suatu

kewajiban bagi pihak-pihak yang berperkara.

A. Prinsip Kekuasaan Yudisial.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal

24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca

Page 40: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

49

Amandemen).Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh

Mahkamah Agung RI, Badan-badan peradilan lain di

bawah Mahkamah Agung (Peradilan Umum, PTUN,

Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah

Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945).

Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tersebut

diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan

Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan

Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan

tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili

serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

kepadanya). Akibat terlalaikannya proses mediasidalam

penyelesaian suatu perkara, maka putusan akan

menjadi batal demi hukum (Pasal 2 Perma No. 1 Tahun

2008). Konsekuensi pada Pasal 2 Perma No. 1 Tahun

2008, barulah dipahami sebagai landasan formildalam

melakukan tahapan persidangan, sehingga setiap

perkara wajib dilakukan mediasi, sementara disisi lain

intisari atau “tanggungjawab rasa keadilan belum

dioptimalkan oleh pengadilan itu sendiri (meskipun

Page 41: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

50

pihak pengadilan bersifat pasif). Berpegang pada Pasal 7

Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa: (1)

Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri

kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk

menempuh mediasi. Berdasarkan Pasal 7ayat (1) di atas,

terdapat suatu pemahaman bahwa mediasi hanya

wajibdi saat kedua belah pihak yang berperkara hadir di

persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar

bahwa mediasi hanya logis dilaksanakan apabila kedua

belah pihak berperkara hadir di persidangan.Karena

hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak

tersebut permufakatan dan kesepakatan perdamaian

dapat dilakukan bahkan tidak disyaratkan harus

dihadiri langsung oleh pihak prinsipal.Adapun kaitannya

dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 adalah bersifat

pengkhususan.

B. P

erma Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan dikaitkan dengan hakekat

Kekuasaan Yudisial.

Page 42: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

51

Dalam menyikapi hal tersebut penulis melihat bahwa

dengan dikeluarkannya Perma Nomor 1 tahun 2008

Mahkamah Agung telah telah salah menerapkan

hukumnya karena Hakim adalah pelaksana

KekuasaanYudisial yang tugasnya adalah memeriksa,

mengadili dan memutus perkara sehingga dengan

dikeluarkannya Perma No. 1 tahun 2008 menambahkan

beban tugas Hakim sebagai Ajudikasi dimana ketentuan

Undang-undang Dasar tahun 1945 dengan tegas

menyatakan Hakim dalam melaksanakan kekuasaan

Yudisial merdeka dalam campur tangan apapun dan

Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48

tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) dimana dalam

Perma nomor 1 tahun 2008 hakim diwajibkan menjadi

mediator dimana hakim dalam semua tingkatan

menduduki posisi sentral dalam proses peradilan yang

diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan

dengan menjadi hakim yang baik yang memiliki

integritas moral dan profesional yang diharapkan dapat

membuat putusan yang baik yang mencerminkan

Page 43: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

52

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudisial

tertinggi di Indonesia telah melepaskan tanggung

jawabnya sebagai ajudikator yang seharusnya

menjalankan fungsi memeriksa, mengadili dan memutus

perkara melalui Perma tentang Mediasi a quo.Faktor

yang paling mendukung pelaksanaan mediasi yudisial di

Indonesia adalah adanya dasar hukum yang kuat seperti

yang diamanatkan dalam hukum acara perdata. Pasal

130 HIR dan 154 Rbg hukum acara tersebut dengan

tegas memerintahkan hakim untuk mencoba

mendamaikan perkara perdata sebelum masuk proses

persidangan.

Sesuai dengan hierarki sumber hukum Indonesia Perma

merupakan produk hukum yang kedudukannya berada

dibawah konstitusi negara yaitu UUD 1945, sehingga

Perma Nomor 1 tahun 2008 yang mengatur tentang

mediasi dimana Hakim sebagai pelaksana ajudikator

kemudian perannya ditambahkan menjadi Hakim

Page 44: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

53

mediator adalah bentuk pelanggaran Undang-undang

diatasnya.

C. A

pakah Perma Nomor 1 tahun 2008 telah sesuai

dengan hukum ?

Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48

tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) disebutkan Kekuasaan

Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia. Pada ayat (2) disebutkan Hakim adalah Hakim

pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Badan

Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,

Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata

usaha Negara dan Hakim pada Pengadilan Khusus yang

berada dalam Lingkungan peradilan tersebut. Pada ayat

Page 45: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

54

(8) disebutkan Pengadilan Khusus adalah pengadilan

yang mempunyai kewenanangan untuk memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya

dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan

peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang

diatur dengan Undang-undang.

Dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

Nomor 48 tahun 2009 jelas dinyatakan bahwa pelaksana

Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dimana

Hakim adalah pelaksana ajudikasi yang tugasnya adalah

memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Dalam

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman dijelaskan Dalam menjalankan tugas dan

fungsi Hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga

kemandirian hakim, dan ayat (2) dijelaskan Segala

campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain

diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam

hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sehingga

Page 46: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

55

Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka

tanpa campur tangan pihak manapun dimana hakim

harus menjaga kemandiriannya, dengan menjadikan

hakim sebagai mediator sesuai ketentuan Perma akan

dikhawatirkan adanya pengaruh secara psikologis

terhadap pihak-pihak yang berperkara maupun

kemandirian hakim, karena prinsip mediasi adalah

netral maka harus di carikan mediator yang netral diluar

kekuasaan ajudikasi. Karena dalam mediasi apabila

Hakim menjadi mediator dikawatirkan akan hilang

netralitasnya jika mendengar informasi akan

membahayakan kredibilitas hakim, harus mampu

menjaga netralitasnya dalam proses lanjutan

pemeriksaan perkara ketika proses mediasi gagal

mencapai kesepakatan. Padahal dalam proses mediasi

banyak sekali informasi yang diberikan oleh para pihak

yang tidak jarang berisikan “senjata” untuk

memenangkan perkara. Mungkin juga ada pihak yang

membeberkan kelemahan kasusnya kepada mediator

dengan harapan dapat mencapai kesepakatan yang lebih

Page 47: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

56

menguntungkan dibanding bila harus mengikuti proses

persidangan. Secara logika para pihak yang sudah mau

mengikuti proses mediasi tentunya ingin mencapai

kesepakatan dengan berbagai alasan, entah karena

dianggap lebih menguntungkan secara waktu, biaya dan

energi, menjaga hubungan baik, bisa berkesempatan

menyampaikan buah pikiran secara bebas, atau sebab

lainnya. Penulis berpendapat bahwa kotradiksi kedua

kebijakan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan ini

merugikan kepentingan para pihak. Bila mediator

yudisial dilarang menjadi saksi (yang tidak menentukan

hasil akhir atau putusan yang dikeluarkan karena hanya

dimintai keterangan), maka sudah seharusnya mediator

tersebut juga tidak boleh menjadi pemeriksa perkara

yang akan menjatuhkan putusan. Hakim pemeriksa

perkara bukanlah malaikat yang bisa tetap menjaga

netralitas setelah mengetahui semua informasi dari

proses mediasi dan pertemuan terpisah. Karena itu perlu

dibuat langkah pengaman dengan melarang mereka

menjadi mediator dalam kasus yang sama. Apalagi

Page 48: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

57

kemudian PerMA Mediasi juga memberikan hak imunitas

(kekebalan) kepada mediator. Namun pada kenyataanya

bahwa hakim juga ikut berperan aktif sebagai Hakim

Mediasi untuk menyelesaikan suatu perkara ditingkat

peradilan atau LitigasiPerma Nomor 1 tahun 2008 pasal

11 ayat (6) Jika pada pengadilan yang sama tidak

terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang

bersertifikat, maka Hakim Pemeriksa Pokok Perkara

dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua

Majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator, hal

ini sangat bertentangan dengan undang-undang

kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa tugas

dan fungsi hakim sebagai ajudikasi yaitu mengadili dan

memutus perkara bukan sebagai mediator ditingkat

Pengadilan. Undang-undang Kekuasaan Kehakiman

telah menentukan secara eksplisit bahwa tugas dan

fungsi pokok Hakim adalah memeriksa, mengadili dan

memutus perkara. Namun dalam praktek peradilan

perdata di Indonesia tugas dan fungsi Hakim tidak hanya

seperti yang disebutkan dalam Undang-undang

Page 49: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

58

Kekuasaan Kehakiman saja namun dengan

dikeluarkannya PERMA No.1 tahun 2008 tugas Hakim

masih harus dibebani dengan tugas yang lain yaitu

mendamaikan para pihak yang berperkara menjadi

mediator dalam mediasi, sehingga dapatlah dilihat

bahwa Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

sangat bertentangan dengan PERMA No.1 tahun 2008

yang menjadikan Hakim sebagai seorang mediator. Jalan

keluar dari persoalan ini menurut penulis, bahwa agar

supaya mediasi atau perdamaian dapat lebih hidup lagi

atau berhasil mencapai hasil maksimal maka

seharusnya Hakim dibebaskan dari tugas dan fungsinya

selama ini sebagai mediator untuk mendamaikan para

pihak yang berperkara artinya lembaga Hakim mediator

dihapuskan, dan membentuk lembaga khusus yaitu

lembaga mediasi yang sifatnya ekstra yudisial yang

benar-benar fokus pada soal mediasi sehingga Hakim

tidak lagi dibebani sebagai mediator, jadi dapat

disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar tahun 1945

dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah

Page 50: BAB III MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA

59

dengan tegas menyatakan bahwa Lembaga Ajudikasi

mempunyai tugas untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara dimana setiap pihak yang datang ke

Pengadilan akan mendapatkan putusan dari hakim

namun dengan adanya Lembaga mediasi di Pengadilan

dimana para pihak yang datang ke Pengadilan

diwajibkan untuk mediasi terlebih dahulu menjadikan

lembaga Yudisial yang sebelumnya bertugas memutus

perkara kemudian menjadi lembaga mediasi telah

melanggar prinsip-prinsip hukum mengenai Kekuasaan

Yudisial seperti tercantum dalam Undang-undang Dasar

tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.