bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan teori 1. malariarepository.poltekkes-tjk.ac.id/546/2/bab...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Malaria
Malaria adalah suatu penyakit infeksi dengan demam berkala yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium (termasuk genus Protozoa) dan
ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina (Zulkoni, 2010). Malaria dapat
ditemukan di daerah-daerah dengan ketinggian 2.666 meter sampai dengan
daerah yang letaknya 433 meter di bawah permukaan laut. Sifat malaria dapat
berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tergantung pada beberapa faktor yaitu
faktor parasit yang terdapat pada nyamuk, faktor manusia yang rentan dan
faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup nyamuk vektor
malaria (Gandahusada, 2006).
Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala klinis
penyakit malaria khas dan mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan
teratur disertai menggigil. Pada waktu itu sudah dikenal febris tersiana dan
febris kuartana. Selain itu ditemukan kelainan limpa, yaitu splenomegali
(limpa membesar dan menjadi keras) sehingga dahulu penyakit malaria
disebut juga sebagai demam kura. Malaria diduga disebabkan oleh hukuman
dewa, karena pada waktu itu ada wabah di sekitar kota Roma (Sutanto, 2010).
Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh P. malariae, P. vivax, P.
falciparum dan P. ovale. Selain itu malaria juga dapat disebabkan oleh P.
knowlesi. Dari sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 67
spesies yang dapat menularkan malaria 24 diantaranya ditemukan di
Indonesia. Selain oleh gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara
langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah serta
dari ibu hamil kepada bayinya (Harijanto, 2000).
a. Klasifikasi
Phylum : Apikomplexa
Kelas : Sporozoa
Subkelas : Coccidiida
6
Ordo : Eucoccidides
Sub-ordo : Haemosporidiidea
Family : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : Plasmodium vivax
Plasmodium ovale
Plasmodium falciparum
Plasmodium malariae
(Harijanto, 2000).
b. Morfologi plasmodium
1) Plasmodium vivax
Sumber : Coatney, 2003
Gambar 2.1. Plasmodium vivax.
7
Keterangan :
1 : Eritrosit normal
2-6 : Trofozoit muda (stadium ring, tampak titik-titik halus Schuffner)
7-18 : Trofozoit (sitoplasmanya tampak berbentuk ameboid)
19-27 : Skizon (12–18 buah merozoit)
28 dan 29 : Makrogamet (betina)
30 : Mikrogamet (jantan)
2) Plasmodium malariae
Sumber : Coatney, 2003
Gambar 2.2. Plasmodium malariae.
8
Keterangan :
1 : Eritrosit normal
2-5 : Trofozoit muda (ring)
6-13 : Trofozoit
14-22 : Skizon (mengandung rata-rata 8 buah merozoit)
23 : perkembangan gametosit
24 : Makrogametosit (betina)
25 : Mikrogametosit (jantan)
3) Plasmodium falciparum
Sumber : Coatney, 2003
Gambar 2.3. Plasmodium falciparum.
9
Keterangan :
1 : Eritrosit normal
2-18 : Trofozoit
19-26 : Skizon (8-24 buah merozoit)
27 dan 28 : Makrogametosit (betina)
29 dan 30 : Mikrogametosit (jantan)
4) Plasmodium ovale
Sumber : Coatney, 2003
Gambar 2.4. Plasmodium ovale.
Keterangan :
1 :Eritrosit normal
2-5 : Trofozoit muda (ring)
6-15 : Trofozoit
16-23 : Skizon (mengandung 8 – 10 merozoit)
24 : Makrogamet (betina)
25 : Mikrogamet (jantan)
10
5) Plasmodium knowlesi
Sumber : Coatney, 2003
Gambar 2.5. Plasmodium knowlesi.
Keterangan :
1 : Eritrosit normal
2-9 : Trofozoit muda
10-12 : Trofozoit berkembang
13-15 : Tropozoit matang
16-23 : Skizon
24 : Makrogamet (betina)
25 : Mikrogamet (jantan)
11
c. Siklus hidup
Sumber : http://www.malwest.gr/
Gambar 2.6. Siklus hidup Plasmodium.
Siklus hidup dari keempat Plasmodium ini berlangsung secara seksual
(sporogoni) di dalam tubuh nyamuk Anopheles betina dan secara aseksual
(schizogoni) di dalam tubuh manusia. Siklus aseksual terjadi dalam eritrosit
(schizogoni eritrosit) dan di dalam parenkim hati (schizogoni eksoeritrosit)
yang terdiri dari schizogoni praeritrosit (schizogoni eksoeritrosit primer)
setelah sporozoit masuk dalam sel hati dan schizogoni eksoeritrosit sekunder
yang berlangsung dalam hati (Safar, 2010).
Ada dua macam sporozoit, yaitu yang langsung mengalami
pertumbuhan dan ada sporozoit yang menetap dalam periode tertentu, tetap
tidur (dormant) yang disebut hipnozoit, sampai menjadi aktif kembali dan
mengalami pembelahan schizogoni. Pada infeksi P. falciparum dan P.
malariae hanya terjadi satu periode aseksual yaitu sebelum siklus dalam
darah. Pada infeksi P. vivax dan P. ovale siklus eksoeritrosit dapat
12
berlangsung, terus sejalan dengan perjalanan penyakit bila tidak mendapat
pengobatan (Safar, 2010).
Bila nyamuk Anopheles betina yang mengandung stadium sporozoit
pada air ludahnya menggigit dan menghisap darah manusia, maka sporozoit
akan masuk melalui probosisnya ke dalam kulit lalu masuk ke dalam
peredaran darah. Sebagian sporozoit dihancurkan oleh sel fagosit. Setelah ½
sampai 1 jam, yang tidak difagosit akan masuk ke dalam sel hati, lalu
berkembangbiak (schizogoni praeritrosit). Inti parasit akan membelah
berulang-ulang hingga terbentuk skizon hati (skizon jaringan) berbentuk bulat
atau lonjong dan menjadi besar sampai 45 mikron. Pembelahan inti disertai
pembelahan sitoplasma yang mengelilingi setiap inti hingga membentuk
beribu-ribu merozoit berinti dua dengan ukuran 1,0-1,8 mikron. Fase ini
berlangsung beberapa waktu yang berbeda-beda antara bermacam-macam
Plasmodium (Safar, 2010).
Pada akhir stadium praeritrosit, skizon pecah, maka merozoit masuk
ke peredaran darah. Pada sinusoid hati merozoit akan menyerang eritrosit dan
sebagian akan difagositosis. Pada P. vivax dan P. ovale sebagian dari
merozoit menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu (beberapa bulan sampai 5
tahun) akan aktif kembali dan akan memulai schizogoni eksoeritrosit
sekunder (Safar, 2010).
Merozoit yang dilepas oleh skizon jaringan akan menyerang eritrosit,
maka akan terjadi siklus eritrosit yang dimulai dengan stadium trofozoit muda
yaitu parasit dalam eritrosit akan membentuk vakuola dan sitoplasmanya
membentuk lingkaran (bentuk cincin). Dalam masa pertumbuhan selanjutnya,
bentuk cincin menjadi tidak teratur (trofozoit tua). Parasit ini mencernakan
hemoglobin dalam eritrosit dan sisa metabolismenya berupa pigmen yang
mengandung zat besi dapat dilihat dalam parasit sebagai butir-butir berwarna
kuning tenguli, hingga tenguli hitam yang jelas terlihat pada stadium lanjut.
Setelah masa pertumbuhan, parasit berkembangbiak secara aseksual
(schizogoni). Inti parasit membelah diikuti oleh sitoplasma lalu membentuk
skizon. Skizon matang mengandung bentuk-bentuk bulat kecil yang terdiri
dari inti dan sitoplasma (merozoit). Setelah proses schizogoni selesai, eritrosit
13
pecah dan merozoit akan masuk aliran darah (sporulasi). Kemudian merozoit
akan memasuki eritrosit baru, maka siklus akan berulang. Proses schizogoni
berbeda-beda waktunya menurut spesiesnya. Pada P. vivax dan P. ovale
siklus schizogoni (fase eritrosit) berlangsung 48 jam, sedang P. malariae 2
jam dan P. falciparum kurang dari 48 jam (Safar, 2010).
Setelah terjadi beberapa siklus eritrositer 2 atau 3 generasi (3-15 hari),
merozoit yang keluar setelah skizon pecah, akan tumbuh menjadi bentuk
seksual (proses gametogoni atau gametositogenesis). Bentuk seksual tumbuh,
tapi intinya tidak membelah. Umumnya makrogametosit dalam pulasan
sitoplasmanya berwarna biru dengan inti yang kecil dan padat,
mikrogametosit sitoplasmanya berwarna biru pucat atau merah muda dengan
inti besar dan difus (Safar, 2010).
Bila nyamuk Anopheles betina menghisap darah penderita malaria, di
dalam lambung nyamuk eritrosit akan dicerna bersamaan dengan parasit
stadium aseksual, sedang parasit stadium seksual akan tumbuh.
Mikrogametosit akan mengalami proses eksflagelasi, yaitu intinya membelah
menjadi 4 sampai 8 lalu tumbuh menjadi bentuk flagel dengan ukuran 20-25
mikron, lalu melepaskan diri dan bergerak menuju gamet betina
(mikrogamet). Makrogametosit mengalami pematangan menjadi makrogamet.
Di dalam lambung nyamuk akan terjadi pembuahan dengan cara
sporogoni menghasilkan zigot yang berbentuk bulat dan tidak bergerak.
Dalam waktu 18-24 jam memanjang dengan ukuran 8-24 mikron (ookinet)
yang akan menembus dinding lambung membentuk ookista. Ookista ini akan
tumbuh menjadi besar sampai besarnya mencapai 500 mikron dengan inti
yang membelah dan dikelilingi oleh protoplasma yang membentuk sporozoit
dengan jumlah ribuan masuk rongga badan nyamuk, lalu pecah mencapai
kelenjar liur nyamuk, pada saat ini nyamuk menjadi bentuk infektif (Safar,
2010).
d. Cara infeksi
Infeksi dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu : Secara alami melalui
vektor, bila sporozoit dimasukkan ke dalam badan manusia dengan tusukan
nyamuk. Secara induksi (induced), bila stadium aseksual dalam eritrosit tidak
14
sengaja masuk dalam badan manusia melalui darah, misalnya melalui
transfusi, suntikan atau kongenital (bayi baru lahir mendapat infeksi dari ibu
yang menderita malaria melalui darah plasenta) (Sutanto, 2010).
e. Patologi dan Gejala Klinik
Masa sejak terjadinya infeksi parasit malaria sampai ditemukannya
parasit dalam darah di saat jumlah parasit telah melewati ambang
mikroskopik (microscopic threshold), disebut masa prepaten (prepaten
periode). Masa antara masuknya sporozoit ke dalam tubuh hospes sampai
timbulnya gejala demam, disebut masa tunas intrinsik. Masa ini berbeda-
beda, yaitu 12 hari untuk P. falciparum, 13-17 hari untuk P. vivax dan P.
ovale, dan 28-30 hari untuk P. malariae.
Perjalanan penyakit malaria terdiri dari demam yang disertai gejala
klinis yang diselingi periode bebas demam. Gejala klinik terpenting pada
malaria terdiri dari demam, splenomegali dan anemia (Safar, 2010).
Demam pada infeksi malaria terjadi sehubungan dengan pecahnya
sejumlah skizon matang secara periodik dan merozoit masuk ke dalam aliran
darah (sporulasi). Demam biasanya bersifat intermiten (febris intermitens),
dapat juga bersifat remiten (febris remitens) atau bersifat terus-menerus
(febris kontinua). Serangan malaria biasanya dimulai dengan gejala
prodromal, yaitu lesu, sakit kepala, hilangnya nafsu makan, kadang-kadang
disertai gejala mual dan muntah. Serangan demam yang khas terdiri dari 3
stadium, yaitu :
Stadium menggigil, dimulai dengan perasaan dingin yang amat sangat.
Nadi lemah tapi cepat, bibir dan jari tangan menjadi biru, kulit kering dan
pucat, kadang-kadang disertai muntah. Pada anak-anak sering disertai kejang-
kejang. Stadium ini dapat berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
Stadium acne (stadium puncak demam), dari perasaan dingin berubah
menjadi panas sekali, muka merah, kulit kering dan panas serasa terbakar,
sakit kepala hebat, ada rasa mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut
keras. Suhu naik sampai 41°C, penderita merasa sangat kehausan. Stadium ini
berlangsung 2 sampai 6 jam (Safar, 2010).
15
Stadium sudoris (stadium berkeringat), dimulai dengan penderita
berkeringat banyak, suhu badan turun dengan cepat hingga kadang-kadang
sampai di bawah ambang normal. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam
(Safar, 2010).
Pada malaria juga ditemukan splenomegali yaitu pembesaran limpa
yang merupakan gejala khas malaria menahun. Perubahan pada limpa
biasanya disebabkan oleh kongesti, kemudian limpa berubah warna menjadi
hitam karena pigmen yang ditimbulkan dalam eritrosit yang mengandung
parasit dalam kapiler dan sinusoid. Pembesaran limpa merupakan tanda fisik
yang penting pada malaria. Pada kasus-kasus primer, pembesaran limpa
masih kecil, hingga sulit teraba pada palpasi. Setelah beberapa kali
paraksismal biasanya pada minggu kedua, limpa tampak membesar dan dapat
diraba pada palpasi (Safar, 2010).
Anemia juga terjadi pada penderita malaria dengan serangan akut
kadar hemoglobin menurun secara mendadak. Anemia terutama tampak pada
malaria falsiparum karena penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat, juga
pada malaria menahun (Safar, 2010).
f. Vektor Malaria
Di seluruh dunia genus Anopheles diketahui jumahnya kira-kira
sebanyak 2000 spesies dan sudah diketahui sekitar 60 spesies sebagai vektor
malaria, sedang di Indonesia sudah sekitar 80 spesies dan 16 spesies telah
dibuktikan sebagai vektor malaria, yang berbeda-beda dari satu daerah ke
daerah lain bergantung kepada beberapa faktor, seperti iklim penyebaran
geografi dan tempat perndukan dari nyamuk Anopheles (Safar, 2010).
Tempat perindukan Anophelini ini terdiri dari 3 zone, yaitu : Zone
pantai dengan tanaman bakau, danau di pantai, rawa dan empang yang
terdapat di sepanjang pantai ditemukan Anopheles sundaicus dan Anopheles
subpictus. Zone pedalaman yang ada sawah, rawa, empang dan saluran irigasi
ditemukan An. Aconitus, An. Barbirostris, An. Subpictus, An. Nigerimus dan
An. Sinensis. serta zone kaki gunung dan gunung (Safar, 2010).
16
g. Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit
dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop. Diagnosis laboratorium
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu diagnosis dengan mikroskop cahaya
(pemeriksaan sediaan darah tebal dan darah tipis dengan pulasan Giemsa).,
metode lain tanpa menggunakan mikroskop, Rapid antigen detection test
(RDT) dan metode yang berdasarkan deteksi asam nukleat (hibridisasi DNA
atau RNA berlabel yang sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan PCR)
(Sutanto, 2010).
h. Faktor yang mempengaruhi malaria
1. Parasit
Dari 4 Plasmodium, strain Plasmodium dapat berbeda dengan strain
Plasmodium lainnya. Pola relaps dari strain P. vivax dapat berbeda dari satu
wilayah kdengan wilayah lainnya, begitu pula lamanya inkubasi strain P.
vivax pada suatu wilayah berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Sifat
parasit dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lain, terutama sensitivitas
terhadap berbagai obat anti malaria (Sutanto, 2010).
2. Manusia
Keadaan manusia dapat sebagai pengandung gamet yang dapat meneruskan
daur hidupnya dalam nyamuk, adalah penting sekali. Manusia ada yang
rentan, yang dapat ditulari dengan malaria, tapi ada pula yang lebih kebal dan
tidak mudah ditulari dengan malaria. berbagai bangsa (ras) mempunyai
kerentanan yang berbeda-beda (faktor rasial). Pada umumnya pendatang baru
ke suatu daerah endemi, lebih suseptibel terhadap malaria daripada penduduk
aslinya (Sutanto, 2010). Penyakit malaria dapat menginfeksi setiap
manusia,ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhimanusia
sebagai penjamu penyakit malaria antara lain:
a. Umur
Secara umum penyakit malaria tidak mengenal tingkatan umur. Hanya saja
anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Menurut Gunawan (2000),
perbedaan prevalensi malaria menurut umur dan jenis kelamin berkaitan
dengan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk.
17
Orang dewasa dengan berbagai aktivitasnya di luar rumah terutama di
tempat-tempat perindukan nyamuk pada waktu gelap atau malam hari, akan
sangat memungkinkan untuk kontak dengan nyamuk.
b. Jenis kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa penelitian Dwi dkk (2013) pria lebih banyak
menderita malaria daripada wanita. Pria 135 orang (54,4%) dan wanita 113
orang (45,6%), hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kekebalan tubuh, kebiasaan berada diluar rumah pada malam hari, lingkungan
tempat tinggal dan hal lainnya yang mendukung.
3. Vektor
Nyamuk Anopheles di dunia meliputi 2000 spesies, sedangkan yang
menularkan malaria kira-kira 60 spesies. Di Indonesia menurut pengamatan
terakhir ditemukan kembali 80 spesies Anopheles, yang berperan sebagai
vektor malaria 16 spesies dengan perindukan yang berbeda-beda (Safar,
2010).
4. Lingkungan
Keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap keadaan
malaria di suatu daerah. Pengaruh iklim penting sekali terhadap ada atau
tidaknya malaria. Di daerah yang beriklim dingin, transmisi malaria hanya
mungkin terjadi pada musim panas. Suhu udara, kelembaban dan curah hujan
merupakan faktor penting untuk transmisi penyakit malaria (Gandahusada,
2006).
Faktor lingkungan dibagi menjadi beberapa faktor :
a. Lingkungan Fisik
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang
optimum berkisar antara 20 dan 30℃. Kelembaban yang rendah
memperpendek umur nyamuk, tingkat kelembaban 60% merupakan batas
paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada umumnya hujan
akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria.
Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang
biaknya nyamuk Anopheles. Secara umum malaria berkurang pada ketinggian
yang semakin bertambah. Pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi
18
malaria. Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk
dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Pengaruh
sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Pengaruh
arus air berbeda-beda untuk setiap spesiesnya, ada yang menyukai perindukan
yang airnya statis/mengalir lambat, ada yang menyukai aliran air yang deras
dan ada juga yang menyukai air tergenang. Salah satu nyamuk Anopheles
dapat tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12 – 18% dan tidak
berkembang pada garam 40% ke atas.
b. Lingkungan Biologik
Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari
atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya.
c. Lingkungan Sosial-Budaya
Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya
bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat
kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan
masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan
lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan
menggunakan obat nyamuk (Harijanto, 2000).
2. Anemia
Anemia adalah kondisi dimana berkurangnya sel darah merah
(eritrosit) dalam sirkulasi darah atau massa hemoglobin sehingga tidak
mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen ke seluruh jaringan.
Anemia secara laboratorik yaitu keadaan apabila terjadi penurunan dibawah
normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell).
Secara klinis kriteria anemia di Indonesia umumnya adalah Hemoglobin < 10
g/dl, Hematokrit < 30% dan Eritrosit < 2,8 juta/mm3 (Tarwoto; Wartonah,
2008).
Anemia dapat diklasifikasikan menurut faktor-faktor morfologik sel
darah merah dan indeks-indeksnya atau menurut etiologi.
19
a. Berdasarkan klasifikasi morfologik anemia, mikro- atau makro- menunjukkan
sel darah merah dan kromik menunjukkan warnanya.
Anemia normokromik normositik atau normokrom normositer, sel
darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah
hemoglobin normal. Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan
darah akut, hemolisis, penyakit-penyakit yang meliputi infeksi, gangguan
endokrin, gangguan ginjal dan kegagalan sumsum tulang. Pada anemia jenis
ini kadar MCV dan MCHC normal (Price; Wilson, 2005). Kadar MCH pada
anemia jenis ini adalah normal (Kurniawan, 2016).
Anemia normokromik normokromik makrositik atau makrositer, yang
memiliki sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokromik karena
konsentrasi hemoglobin normal. Keadaan ini disebabkan oleh terganggunya
atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) atau asal folat atau
keduanya. Anemia normokromik dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker
karena agen-agen mengganggu sintesis DNA. Pada anemia jenis ini
didapatkan kadar MCV meningkat dan MCHC normal (Price; Wilson, 2005).
Kadar MCH pada anemia jenis ini adalah normal (Kurniawan, 2016).
Anemia hipokromik mikrositik atau hipokrom mikrositer. Mikrositik
berarti sel kecil dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena
warna berasal dari hemoglobin, sel-sel ini mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang kurang dari normal. Keadaan ini umumnya mencerminkan
influsiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada anemia
defisiensi besi, keadaan sideroblastik, kehilangan darah kronis, atau gangguan
sintesis hemoglobin seperti pada thalasemia. Pada anemia jenis ini terjadi
penurunan kadar MCV dan MCHC (Price; Wilson, 2005). Kadar MCH pada
anemia jenis ini normal atau dibawah normal (Kurniawan, 2016).
b. Berdasarkan etiologi
Anemia berdasarkan etiologi terjadi karena meningkatnya kehilangan
sel darah merah, dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran
sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma atau ulkus atau akibat
perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid atau
menstruasi. Penghancuran sel darah merah di dalam sirkulasi dikenal sebagai
20
hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan
ekstrinsik).
Anemia ini terjadi juga dikarenakan berkurangnya atau terganggunya
produksi sel darah merah (diseritropoiesis). Contohnya, keganasan jaringan
padat metastatik, leukimia, limfoma dan mieloma multipel, serta radiasi dapat
mengurangi produksi efektif sel darah merah (Price; Wilson, 2005).
3. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Anemia
a. Kadar Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel
darah merah. Normalnya dalam darah pada laki-laki 15,5 g/dl dan pada
wanita 14 g/dl. Rata-rata konsentrasi hemoglobin (MCHC = Mean Cell
Concentration of Haemoglobin) pada sel darah merah 32 g/dl.
Fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru dan
dalam peredaran darah untuk dibawa ke jaringan. Ikatan hemoglobin dengan
oksigen disebut oksihemoglobin (HbO2). Disamping oksigen, hemoglobin
juga membawa karbondioksida membentuk ikatan karbon
monoksihemoglobin (HbCO), juga berperan dalam keseimbangan pH darah
(Tarwoto; Wartonah, 2008).
Struktur hemoglobin terdiri dari dua unsur utama yaitu : Besi yang
mengandung pigmen hem dan protein globin yang mempunyai rantai panjang
dari asam amino. Ada empat rantai globin yaitu alpha (α), beta (β), delta (δ)
dan gamma (γ) (Tarwoto; wartonah, 2008).
Nilai rujukan hitung hemoglobin :
Pria : 12,5 g/dl – 16,5 g/dl
Wanita : ,5 g/dl – 15,5 g/dl (Rubenstein, dkk. 2005).
b. Hematokrit
Hematokrit (Ht) adalah volume sel-sel darah merah dalam 100 ml (1
dl) darah, dihitung dalam persen. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah
untuk mengukur konsentrasi sel-sel darah merah (eritrosit) dalam darah
(Riswanto, 2013).
21
Nilai rujukan hitung hematokrit :
Pria : 42% – 53%
Wanita : 39% - 45% (Rubenstein, dkk. 2005)
c. Hitung Eritrosit
Sel darah merah berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter sekitar
7,5 mikron, tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya sekitar 1 mikron
atau kurang, tersusun atas membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah
terjadi difusi oksigen, karbondioksida dan sitoplasma, tetapi tidak mempunyai
inti sel. Hitung sel darah merah adalah untuk mengukur jumlah sel darah
merah per milimeter kubik (mm3) darah. Normalnya tergantung umur dan
jenis kelamin (Tarwoto; Wartonah, 2008).
Nilai rujukan hitung jumlah eritrosit:
Pria : 4,6 juta/µl - 6,0 juta/µl
Wanita : 4,0 juta/µl - 5,0 juta/µl (Rubenstein, dkk. 2005).
d. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit atau indeks korpuskular adalah batasan untuk ukuran
dan isi hemoglobin eritrosit. Indeks eritrosit terdiri atas rerata volume sel
(Mean Corpuscular Volume (MCV), rerata kadar hemoglobin sel Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan konsentrasi kadar hemoglobin sel
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) yang kadang-kadang
disebut sebagai nilai eritrosit absolut. Indeks eritrosit dihitung dari
hematokrit/PCV, hemoglobin dan hitung eritrosit (Riswanto, 2013).
1) Mean Corpuscular Volume (MCV)
MCV mencerminkan volume atau ukuran rata-rata eritrosit, mikrositik
(ukuran kecil), normositik (ukuran normal) dan makrositik (ukuran besar).
Gangguan tertentu berkaitan dengan ukuran eritrosit bervariasi, tetapi ukuran
rata-rata tidak berubah. Hasil perhitungannya dinyatakan dalam femoliter
(fL). 1 fL = 10-15 liter (Riswanto, 2013). Nilai rujukan MCV:
Laki-Laki/Perempuan : 80-96 fL
(Rubenstein, dkk. 2005).
MCV (fL) = Hematokrit (%)
jumlah Eritrosit (juta/µl) x 10
22
2) Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa
memperhatikan ukurannya. Dengan mengukur MCH dapat digambarkan
normokromik (erirtrosit memiliki hemoglobin rerata normal) dan hipokromik
(eritrosit memiliki hemoglobin rerata kurang dari normal).
Hasil perhitungannya dinyatakan dalam pikogram (pg). 1 pg = 10-12 gram
(Riswanto, 2013). Nilai rujukan MCH:
Laki-Laki/Perempuan : 27-31 pg
(Rubenstein, dkk. 2005).
3) Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC menggambarkan konsentrasi hemoglobin per unit volume
eritrosit atau ratio kadar hemoglobin terhadap volume eritrosit. MCHC
menunjukkan normokromik atau hipokromik. Bila nilainya < 32%
menunjukkan hipokromik, dan bila nilainya 32–36% menunjukkan
normokromik. Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik,
defisiensi zat besi serta thalasemia (Riswanto, 2013). Nilai rujukan MCHC:
Laki-Laki/Perempuan : 32-36%
(Rubenstein, dkk. 2005).
4. Hubungan Anemia dengan Malaria
Keadaan anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi
malaria. Anemia lebih sering dijumpai pada penderita di daerah endemik,
anak-anak dan ibu hamil. Beberapa mekanisme terjadinya anemia karena
perusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoeiesis yang sementara,
hemolisis karena proses complement mediated immune complex,
eritrofagositosis dan penghambatan pengeluaran retikulosit (Harijanto, 2012).
MCH (pg) = Hb(g/dl)
jumlah Eritrosit (juta/µl) x 10
MCHC(%) = Hemoglobin(g/dl)
Hematokrit (%) x 100%
MCHC(%) = MCH(pg)
MCV (fL) x 100%
23
Anemia pada malaria mengakibatkan anemia hemolitik berat ketika
sel darah merah diinfeksi oleh parasit Plasmodium, yang menyebabkan
kelainan sehingga permukaan sel darah merah menjadi tidak teratur.
Kemudian sel darah merah yang mengalami kelainan segera dikeluarkan dari
sirkulasi oleh limpa (Price; Wilson, 2005). Anemia berat pada malaria
sering ditemukan pada anak-anak, terutama usia sampai 3 tahun, tetapi juga
dapat ditemukan pada 10-30% pasien dewasa. Penyebab bersifat
multifaktoral dan kompleks, meliputi 2 hal utama, yaitu penghancuran
eritrosit baik yang terinfeksi ataupun tidak terinfeksi parasit (hemolisis), dan
gangguan produksi eritrosit dalam sumsum tulang (diseritropoiesis)
(Harijanto, 2012).
Pada saat proses skizogoni, eritrosit yang terinfeksi parasit akan pecah
mengeluarkan berbagai toksin seperti hemozosi atau antigen parasit lain.
Toksin tersebut akan merangsang makrofag dan limfosit T helper
menghasilkan berbagai sitokin proinflamasi dalam jumlah banyak yang akan
mengganggu metabolisme sel, sitokin tersebut juga dapat memicu enzim
inducible nitric oxyde synthase (iNOS) pada sel endotel vaskuler untuk
menghasilkan nitric oxid (NO). Diduga sitokin dan NO dalam jumlah banyak
akan dapat mengganggu fungsi sel serta fungsi organ tertentu (Harijanto,
2012).
Anemia pada malaria juga dapat disebabkan karena hemolisis yang
terjadi akibat rusaknya eritrosit sewaktu pelepasan merozoit, penghancuran
eritrosit terinfeksi maupun tidak terinfeksi oleh sistem retikuloendotelial di
limpa karena deformitas eritrosit yang menjadi kaku sehingga tidak dapat
melalui sinusoid limpa, atau dapat juga disebabkan oleh mekanisme imun
(hemolitik imun). Pada mekanisme imun tersebut baik eritrosit yang
terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi akan diselubungi oleh antibodi igG
yang kemudian dihancurkan dalam limpa. Mekanisme hemolisis lain juga
dapat disebabkan oleh produksi ROS yang berlebihan yang dapat merusak
membran eritrosit dan menimbulkan anemia, karena eritrosit tidak berhasil
lolos dari sinusoid di pulpa merah limpa dan akan difagositosis oleh
makrofag. Berkurangnya kemampuan deformabilitas ini disebabkan oleh
24
kegagalan pompa Na+/K+ dengan akibat akumulasi Na+ intraseluler.
Kegagalan pompa Na+/K+ diduga disebabkan oleh kadar NO yang dipicu oleh
sitokin (Harijanto, 2012).
B. Kerangka Konsep
Penderita malaria di RSUD dr.
A. Dadi Tjokrodipo Bandar
Lampung tahun 2017 dan 2018
Anemia