bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep jarak kelahiraneprints.umm.ac.id/45706/3/bab 2.pdfmemulihkan dan...

21
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Jarak Kelahiran Jarak kelahiran merupakan interval antara dua kelahiran yang berurutan dari seorang wanita. Jarak kelahiran yang cenderung singkat dapat menimbulkan beberapa efek negatif baik pada kesehatan wanita tersebut maupun kesehatan bayi yang dikandungnya.Setelah melahirkan, wanita memerlukan waktu yang cukup untuk memulihkan dan mempersiapkan diri untuk kehamilan serta persalinan selanjutnya (Sawitri dkk, dalam Rifdiani, 2017). 2.1.1 Jarak Kelahiran Ideal Indonesia memiliki median jarak antar kelahiran selama 60,2 bulan dan hal ini dikatakan meningkat dibanding survei demografi pada tahun 2007. Jarak kelahiran yang dikatakan aman adalah 36-59 bulan. didapatkan data sebesar 75% ibu melahirkan dengan rentang ini. Sedangkan 10% pada rentang kurang dari 24 bulan (SDKI, 2012). Pengaturan jarak kelahiran ini dinilai penting untuk setiap pasangan agar dapat lebih siap untuk memiliki anak lagi dan menghindari terjadinya keadaan darurat pada ibu dan bayi (Fajarningtiyas, 2012). Rutstein (2011, dalam Fajarningtyas 2012) menyebutkan bahwa besarnya resiko kehamilan dan kelahiran adalah karena jarak kelahiran yang tidak ideal. Dalam hal ini adalah kelahiran yang kurang dari 24 bulan atau lebih dari 59 bulan. Selain itu Woolfson (2004, dalam Triwijayanti & Sari) yang mengatakan bahwa adanya perubahan perilaku pada anak yang terjadi akibat dekatnya jarak kelahiran antara kelahiran pertama dan kelahiran selanjutnya. Hal ini disebabkan orang tua menjadi terlalu fokus pada anak kedua sehingga proses tumbuh kembang pada anak pertama

Upload: lekhuong

Post on 06-Jul-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Jarak Kelahiran

Jarak kelahiran merupakan interval antara dua kelahiran yang berurutan dari

seorang wanita. Jarak kelahiran yang cenderung singkat dapat menimbulkan beberapa

efek negatif baik pada kesehatan wanita tersebut maupun kesehatan bayi yang

dikandungnya.Setelah melahirkan, wanita memerlukan waktu yang cukup untuk

memulihkan dan mempersiapkan diri untuk kehamilan serta persalinan selanjutnya

(Sawitri dkk, dalam Rifdiani, 2017).

2.1.1 Jarak Kelahiran Ideal

Indonesia memiliki median jarak antar kelahiran selama 60,2 bulan dan hal ini

dikatakan meningkat dibanding survei demografi pada tahun 2007. Jarak kelahiran

yang dikatakan aman adalah 36-59 bulan. didapatkan data sebesar 75% ibu

melahirkan dengan rentang ini. Sedangkan 10% pada rentang kurang dari 24 bulan

(SDKI, 2012). Pengaturan jarak kelahiran ini dinilai penting untuk setiap pasangan

agar dapat lebih siap untuk memiliki anak lagi dan menghindari terjadinya keadaan

darurat pada ibu dan bayi (Fajarningtiyas, 2012).

Rutstein (2011, dalam Fajarningtyas 2012) menyebutkan bahwa besarnya

resiko kehamilan dan kelahiran adalah karena jarak kelahiran yang tidak ideal. Dalam

hal ini adalah kelahiran yang kurang dari 24 bulan atau lebih dari 59 bulan. Selain itu

Woolfson (2004, dalam Triwijayanti & Sari) yang mengatakan bahwa adanya

perubahan perilaku pada anak yang terjadi akibat dekatnya jarak kelahiran antara

kelahiran pertama dan kelahiran selanjutnya. Hal ini disebabkan orang tua menjadi

terlalu fokus pada anak kedua sehingga proses tumbuh kembang pada anak pertama

9

sedikit terabaikan. Dampak yang terjadi adalah adanya kemunduran perilaku pada

anak dikarenkan oleh keinginan anak untuk merebut perhatian orang tua dari

adiknya.

Terdapat beberapa alasan perlunya jarak kelahiran menurut Ummah (2015),

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Belum pulihnya kondisi rahim ibu setelah kehamilan sebelumnya.

2. Dapat timbulnya beberapa resiko dalam kehamilan, salah satunya adalah

anemia.

3. Resiko terjadinya pendarahan pasca persalinan.

4. Waktu yang disediakan ibu untuk menyusui dan merawat bayi kurang karena

harus terbagi.

2.1.2 Dampak Jarak Kelahiran yang Terlalu Dekat

Ruswandiani dan Mainase (2015, dalam Monita, et.al, 2016) mengatakan

bahwa jarak kelahiran yang ideal adalah lebih dari dua tahun, karena tubuh

memerlukan kesempatan untuk memperbaiki persediaan, selain itu pertumbuhan dan

perkembangan janin juga akan terhambat jika organ-organ reproduksi terganggu.

Dari permasalahan tersebut juga akan muncul beberapa resiko, misalnya kematian

janin saat dilahirkan, BBLR, dan Kematian di usia bayi

Selain itu, resiko lain juga dapat terjadi seperti ketuban pecah dini dan

prematur karena kesehatan fisik dan rahim ibu masih memerlukan waktu untuk

beristirahat. Dalam waktu atau jarak kehamilan yang cukup dekat juga

memungkingkan ibu untuk masih menyusui, hal tersebut yang menyebabkan

terlepasnya hormon oktisosin yang memicu terjadinya kontraksi (Ummah, 2015).

Resiko yang ditimbulkan oleh jarak kehamilan yang terlalu dekat bukan hanya

terjadi pada ibu saja, hal ini juga bisa terjadi pada anak. Alasannya adalah ketika ibu

10

seharusnya masih menyusui dan memberikan perhatian kepada anaknya harus

tergantikan dengan perhatiaanya terhadap kehamilan barunya. Dengan situasi

tersebut, bisa saja terjadi pegabaian pada anak pertamanya baik secara fisik maupun

psikis. Hal tersebut menjadi alasan mengapa anak menjadi iri atau cemburu kepada

saudara kandungnya, dibuktikan dengan tidak gembiranya kakak terhadap kehadiran

adiknya atau bahkan menganggapnya musuh (Ummah, 2015).

2.1.3 Tahap Perkembangan dan Penerimaan Saudara Kandung

1. Masa usia bayi dan usia dini

Tumbuh kembang anak dimulai ketika anak terlahir, yaitu dimulai ketika anak

berusia 0 hari. Selanjutnya tumbuh kembang anak berlanjut pada masa usia bayi atau

usia 0-12/15 bulan. Pada masa ini terdiri dari masa neonatal (0-28 hari) dan masa

pascaneonatal (29 hari- 12/15 bulan). Ketika anak berada pada masa ini, anak masih

sangat bergantung kepada orang tua dan pengasuh, selain itu mereka juga akan

senang terhadap orang-orang yang sudah dikenal. Rasa malu dan cemas terhadap

orang yang tidak dikenal juga mulai timbul pada usia ini (Soetjiningsih & Ranuh,

2016).

Santrock (2011) juga menyebutkan bahwa pada usia bayi anak sudah mulai

mengalami emosi yang sederhana, emosi ini merupakan emosi primer seperti

perasaan marah, sedih, takut, terkejut, dan perasaan jijik. Selanjutnya, ketika anak

berada pada usia dini (1-2 tahun) mulai timbul emosi yang disadari, emosi ini meliputi

perasaan bingung, empati, cemburu, rasa bersalah,malu, dan bangga. Pada usia ini,

anak juga akan cenderung merasakan kecemasan berpisah dengan pengasuh (ibu).

Maka dari itu, pada usia ini anak masih belum bisa menerima kehadiran saudara

kandung atau anggota keluarga baru. Hal ini dikarenkan anak masih membutuhkan

dampingan dari orang tua atau pengasuh. Selain itu, anak juga baru saja dapat

11

merasakan perasaan cemburu yang membuat meningkatnya rasa tidak nyaman jika

adanya kehadiran anggota keluarga baru karena akan terjadinya pengabaian fisik

ataupun psikis pada anak atas kehadiran anggota keluarga baru tersebut (Conde-

Agudelo, et.al, 2012). Jika perasaan cemburu terhadap kehadiran anggota keluarga

baru atau yang biasa disebut sibling rivalry terjadi pada usia ini namun tidak diatasi

dengan baik, maka kejadian sibling rivalry tersebut akan berlangsung secara terus-

menerus dan berulang hingga dewasa (Bank & Michael, 1999 dalam Chaulagain, et.al,

2016).

2. Masa kanak-kanak awal

Menurut Santrock (2011) mengatakan bahwa masa kanak-kanak awal dimulai

ketika anak usia 2-7 tahun dimana sebagian besar anak-anak pada usia ini akan

mengalami konflik yang cukup sering dengan saudara kandung. Rata-rata terjadi

ketika anak berusia 2-4 tahun dan mulai menurun ketika usia 5-7 tahun. Reaksi yang

biasa diberikan orang tua adalah sama sekali tidak melakukan apa-apa. Orang tua

akan berfikir bahwa hal ini merupakan peristiwa yang umum dan wajar terjadi pada

anak-anak mereka (Santrock, 2011). Soetjiningsih & Ranuh (2016) menyebutkan

bahwa masa yang termasuk dalam usia prasekolah (3-6) tahun ini merupakan masa

dimana anak sudah memulai hidup mandirinya, dimana anak sudah mulai terbuka

dengan orang lain dan mulai tidak bergantung kepada orang tua atau pengasuh.

Namun anak juga akan memulai sifat agresifnya secara verbal dan fisik untuk

mengungkapkan kepemilikan dan keinginannya.

3. Masa kanak-kanak mengengah-akhir

Pada masa kanak-kanak menengah-akhir atau biasa disebut sebagai masa usia

praremaja ini anak akan mulai disibukkan dengan perkenalan dan kedekatan mereka

terhadap teman sebaya. Teman sebaya akan menjadi sangat penting dalam maasa ini.

12

Waktu kedekatan mereka dengan orang tua dan anggota keluarga akan menjadi

semakin berkurang jika dibandingkan ketika mereka berada pada masa kanak-kanak

awal. Hal ini menyebabkan minimnya interaksi yang terjadi antara anak dan anggota

keluarga pada masa ini (Santrock, 2011).

4. Masa remaja

Masa remaja merupakan masa dimana terjadinya konflik emosional yang

sangat memanas, dimana anak akan mengancam, menghina, atau bahkan melakukan

hal lain yang diperlukan agar mendapatkan kontrol. Pada masa ini mereka akan

memiliki hubungan yang lebih dekat dengan teman sebaya jika dibanding ketika

mereka menginjak masa kanak-kanak menengah-akhir. Kedekatan mereka dengan

teman sebaya membuat mereka semakin menjauhi peraturan yang dibuat oleh orang

tua mereka. Hal inilah yang membuat tingkat konflik antara orang tua dan remaja

semakin meningkat. Selain itu jika orang tua mulai frustasi dikarenakan perubahan

sikap yang terjadi pada anak, mereka akan mulai membandingkan dan hanya

memihak pada salah satu anak saja (Santrock, 2011).

Sikap orang tua yang hanya memihak satu anak saja ini disebut dominasi dan

favoritisme. Hal ini terjadi pada salah satu anak saja yang dianggap sebagai anak yang

mudah diatur. Secara tidak langsung, sikap ini akan menimbulkan dampak negatif

pada kedua anak sekaligus. Anak yang menerima sikap dominasi dan favoritisme akan

merasa bahwa dirinya menerima perlindungan dan kasih sayang lebih dari orang tua,

selain itu anak juga akan menunjukkan sikap baik kepada orang tua namun akan

menunjukkan sikap yang sebaliknya kepada saudaranya. Sedangkan dampak negatif

anak yang tidak mendapatkan sikap ini dari orang tua akan merasa semakin

terabaikan. Selain itu anak akan merasa semakin tidak mendapatkan pengawasan dari

orang tua. Sehingga membuat anak melakukan hal negatif baik di dalam maupun

13

diluar lingkungan rumah, dimana hal negative yang terjadi di dalam rumah akan

menyebabkan terjadinya pertengkaran antar saudara (Hurlock, 2014).

2.1.4 Hubungan Tumbuh Kembang Remaja dengan Jarak Kelahiran

Jarak kelahiran yang terlalu dekat akan menimbulkan terjadinya konflik antar

saudara. Hal ini timbul karena jarak yang dekat menyebabkan perkembangan antara

saudara menjadi sama, termasuk perkembangan emosional. Dalam perkembangan

yang sama ini menyebabkan kakak atau adik menjadi sulit mengalah (Niken, 2016).

Konflik yang terjadi diantara saudara ini akan sangat berbahaya jika timbul diusia

remaja. Perkembangan emosional remaja yang masih belum matang akan

menimbulkan konflik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan konflik dialami oleh

sesama remaja dimana perkembangan emosional mereka sama-sama belum stabil.

Selain itu, pertumbuhan fisik yang lebih kuat juga akan menyebabkan terjadinya

dampak konflik yang lebih besar pula (Santrock, 2011).

Teori lain yang juga disebutkan oleh Santrock (2011) bahwa remaja memiliki

pertumbuhan otak (bagian korteks prefrontal) yang lambat, sehingga membuat

remaja belum mampu mengendalikan emosinya dengan baik. Selain itu pertumbuhan

otak bagian amigdala yang berfungsi sebagai pusat emosi atau amarah justru

berkembang lebih cepat. Hal inilah yang membuat konflik sangat mudah dialami

ketika masa remaja.

Konflik yang dialami remaja dengan saudara kandung adalah konflik yang

terjadi sejak kecil. Konflik yang lebih sering dialami oleh anak pertama atau anak yang

lebih besar dikarenakan oleh beban tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua

terutama jika jarak usia anak terlalu kecil (Woolfson, 2004, dalam Triwijayanti & Sari,

2014). Hal ini akan mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, dan

kepribadian pada anak dimana anak tidak senang dengan kehadiran saudaranya yang

14

menjadi beban untuk dirinya. Pola yang seperti inilah yang akan berlangsung hingga

anak memasuki usia remaja dan membuat remaja memiliki konflik dengan saudara

secara terus menerus (McHale, et.al, 2012).

2.2 Konsep Sibling Rivalry

2.2.1 Pengertian Sibling Rivalry

Sibling atau yang sering disebut dengan saudara kandung adalah anak-anak

dengan orang tua yang sama, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.

Sedangkan rivalry adalah kompetisi antara saudara kandung untuk mendapatkan

perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Maka, sibling rivalry dapat

diartikan sebagai rasa kecemburuan, persaingan dan pertengkaran yang terjadi antara

saudara yang menimbulkan kompetisi untuk mendapatkan perhatian dari orang tua.

Persaingan di antara saudara kandung ini terjadi ketika keluarga memiliki lebih dari

satu anak. Pada kejadian sibling rivalry ini anak memiliki kecenderungan sikap yang

lebih nakal dikarenakan perasaan cemburu dan tersaingi atas kehadiran adik barunya

(Iswarati & Rahmadewi, 2003, dalam Thiaraciwi, et.al, 2015)

Sibling Rivalry cenderung dialami oleh anak pertama yang merasakan

hilangnya perhatian orang tua yang sebelumnya hanya diberikan kepada dirinya

(Wong, et.al, 2009). Hal ini banyak terjadi ketika anak menginjak usia 1-5 tahun dan

bisa saja kembali ketika anak usia 8-12 tahun. (Millman & Schaifer, 2007, dalam

Maghfroh, 2012). Namun, pendapat lain juga mengatakan bahwa anak-anak dapat

mengalami gejala tersebut hingga usia dewasa. Kemungkinan tersebut dapat terjadi

antara 20-30% dari 30-60% kejadian sibling rivalry di dunia (Bank & Michael, 1999,

dalam Chaulagain, et.al, 2016).

15

2.2.2 Penyebab Sibling Rivalry

Hanum dan Hidayat (2015) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor

dominan yang dapat menyebabkan terjadinya Sibling Rivalry, diantaranya adalah faktor

internal dan eksternal. Faktor internal meliputi perbedaan jenis kelamin, perbedaan

usia/ jarak kelahiran, urutan kelahiran, dan jumlah saudara kandung. Sedangkan

faktor eksternal adalah jenis pola asuh/sikap orang tua.

1. Faktor Internal

a. Perbedaan jenis kelamin

Hal ini terjadi karena perbedaan reaksi yang timbul antara saudara laki-laki

dan perempuan. Kombinasi antara perempuan dan perempuan akan memiliki lebih

banyak rasa kecemburuan jika dibanding kombinasi laki-laki dengan laki-laki atau

laki-laki dengan perempuan. Kakak perempuan akan lebih banyak bicara dan

mengatur kepada adik perempuannya jika dibandingkan kepada adik laki-lakinya.

Sedangkan kakak laki-laki akan lebih banyak bertengkar dengan adik laki-laki daripada

adik perempuannya (Bee & Boy, 2004, dalam Hanum & Hidayat, 2015).

b. Perbedaan usia / jarak kelahiran

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat mempengaruhi timbulnya kejadian

sibling rivalry karena jika jarak semakin dekat maka anak akan merasa bahwa

saudaranya akan merebut perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, namun jika

perbedaan usia cukup besar maka anak-anak akan lebih siap untuk berbagi dan saling

menyayangi satu sama lainnya (Chomaria, 2013, dalam Nugraheny, et.al, 2014).

Pendapat yang sama diungkapkan oleh Woolfson (2004, dalam Triwijayanti & Sari,

2014) menyebutkan bahwa jika jarak kelahiran atau perbedaan usia anak jauh, akan

terjadi tahap perkembangan yang jauh sehingga rasa persaingan dan kecemburuan

sangat minim terjadi. Kerugiannya adalah jarak yang begitu jauh membuat anak sulit

16

menjalin persahabatan. Jika perbedaan usia kecil, mungkin mereka akan menjadi

sahabat yang sangat dekat, namun karena mereka ada pada proses tumbuh kembang

yang hampir sama, maka akan timbul rasa bersaing, membenci dan perasaan tidak

nyaman oleh anak pertama karena merasa selalu diharuskan untuk bertanggung jawab

terhadap adikknya.

Jarak kelahiran atau perbedaan usia yang dapat memicu timbulnya sibling

rivalry adalah usia 0-5 tahun (Egbert & Jacob, 200, dalam Chaulagain, et.al, 2016).

Triwijayanti & Sari (2014) juga menyebutkan bahwa usia dibawah 5 tahun merupakan

usia yang paling banyak terjadi rekasi terhadap sibling atau saudara. Hal ini

dikarenakan kepribadian anak akan terbentuk ketika 5 tahun pertama. Pada usia 2-4

tahun, anak akan merasa bahwa dirinya merupakan pusat perhatian, anak akan merasa

marah ketika dirinya telah tidak menjadi pusat perhatian, konsep diri juga belum

terbentuk secara matang. Oleh sebab itu, perbedaan usia 2-4 tahun merupakan suatu

ancaman bagi anak untuk menerima kehadirn saudara atau anggota keluarga baru.

Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2011) bahwa usia sebelum 5 tahun

merupakan usia terjadinya puncak konflik dengan saudara kandung dan akan

berkurang ketika anak berusia 5-7 tahun.

c. Urutan kelahiran

Anak yang dilahirkan dalam keluarga yang sama belum tentu mendapatkan

pengalaman yang sama dalam keluarganya. Hal inilah yang mempengaruhi

kepribadian dan tingkah laku mereka. Selain itu, urutan kelahiran juga menentukan

bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan saudara, orang tua, atau bahkan

lingkungan sekitarnya (Hartanto, 2008, dalam Hanum & Hidayat, 2015).

17

d. Jumlah saudara kandung

Jumlah saudara kandung yang kecil justru akan menimbulkan terjadinya

perselisihan antara mereka. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah jika dalam satu

keluarga hanya terdapat dua anak, kedua anak tersebut akan lebih banyak

menghabiskan waktu bersama, maka perselisihan juga akan semakin sering terjadi.

Orang tua juga akan cenderung membela sang adik dan mengharapkan anak

pertamanya untuk mengalah (Hurlock, 2002, dalam Hanum & Hidayat., 2015).

2. Faktor eksternal

a. Jenis pola asuh/ sikap orang tua

Salah satu hal yang mendasari terjadinya sibling rivalry adalah tidak adilnya

orang tua dalam memperlakukan anak-anaknya. Anak-anak yang masih dalam tahap

tumbuh kembang akan merasa tersisihkan dengan perbedaan perlakuan tersebut

(Maghfuroh, 2012). Terdapat beberapa sikap yang khas dimiliki orang tua menurut

Hurlock (2003, dalam Tawainella, 2015), diantaranya melindungi secara berlebihan,

permisivitas (membiarkan anak bersikap sesuka hati), memanjakan, penolakan,

penerimaan, dominasi, tunduk pada anak, favoritisme, dan ambisius. Sikap orang tua

yang cenderung negatif ini akan saling berpengaruh dengan penyebab internal

(perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, urutan kelahiran, dan jumlah saudara

kandung). Hal ini dikarenakan sikap orang tua akan mempengaruhi pembentukan

karakteristik pada anak.

2.2.3 Reaksi Sibling Rivalry

Reaksi atau juga biasa disebut sebagai tanda tanda terjadinya sibling rivalry

terbagi menjadi dua reaksi, yakni reaksi secara langsung dan tidak langsung. Reaksi

langsung adalah reaksi yang sudah dilakukan menggunakan kekerasan fisik, misalnya

saja memukul, mencubit, atau menendang. Hal ini didasari oleh rasa persaingan

18

terhadap saudaranya. Sedangkan reaksi secara tidak langsung adalah reaksi yang

muncul akibat rasa kecemburuan terhadap saudaranya, dalam hal ini meliputi

membuat kenakalan, berpura-pura sakit, menangis tanpa sebab, dan melakukan hal

yang sudah lama atau tidak pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan semata-

mata untuk mencari perhatian orang tua yang dirasa telah direbut oleh saudaranya

(Sulistyawati, 2009, dalam Nugraheny, et.al, 2014)

2.2.4 Reaksi Sibling Rivalry pada Remaja

Reaksi sibling rivalry yang terjadi pada remaja terbagi menjadi psikis dan juga

fisik. Reaksi psikis pada remaja merupakan reaksi tidak langsung yang meliputi

perasaan cemburu, sebal, dan marah. Reaksi psikis ini disebabkan oleh beberapa hal

diantaranya adalah merasa diperlakukan tidak adil oleh orang tua, merasa bahwa

saudaranya memiliki kemampuan yang lebih dan merasa tidak suka ketika saudara

mencapai keberhasilan (Anchroni, 2012). Sedangkan reaksi fisik merupakan reaksi

langsung berupa memukul, mencubit, menjambak, meninju tembok, dan mendorong.

Reaksi ini akan muncul secara berbeda pada masing-masing individu karena

dipengaruhi oleh karakter dan kepribadian remaja (Herdian & Wulandari, 2014).

Apple, et.al (2016) menyebutkan hal yang sejalan dengan reaksi sibling rivalry dimana

memiliki dampak yang terjadi baik pada psikis dan fisik remaja. Dampak ini bukan

hanya menyebabkan cidera pada anak, namun juga bahkan kematian pada anak. Hal

ini sejalan dengan Straus, et,al. (2006, dalam Apple, 2016) yang mengatakan 74%

saudara kandung mengekspresikan kekerasan fisik dengan memukul dan mendorong

sedangkan 84% mengekspresikan dengan kekerasan verbal.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2018) memiliki klasifikasi atau

tingkatan terhadap tindak kekerasan fisik dimana kekerasan fisik digolongkan menjadi

tiga tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat. Kekerasan ringan merupakan kekerasan

19

yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk

menjalankan suatu pekerjaan. Kekerasan sedang adalah kekerasan yang yang

menimbulkan rasa sakit dan perawatan namun tidak mengakibatkan kecacatan.

Sedangkan kekerasan berat merupakan kekerasan yang dapat menimbulkan kecacatan

fisik.

Berikut merupakan bentuk reaksi fisik yang disesuaikan dengan

penggolongan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) :

1. Ringan : mendorong (tidak sampai terjatuh) / mencubit/ menjambak

2. Sedang : memukul (tangan/kaki)/ menendang (tangan/kaki)

3. Berat : melemparkan benda tajam/menonjok (kepala/dada/perut)/

mendorong hingga terjatuh

2.2.5 Segi positif Sibling Rivalry

Sibling rivalry tidak sepenuhnya menjadi hal yang negatif saja, namun juga bisa

menjadi hal yang positif karena secara tidak langsung sibling rivalry dapat mendorong

anak untuk mengatasi perbedaan karena mereka akan lebih terampil untuk

menghargai nilai dan pandangan orang lain. Selain itu dengan sibling rivalry anak juga

akan belajar untuk berkompromi dan bernegosiasi serta mengontrol sifat agresif. Segi

positif ini akan terbentuk jika orang tua menangani sibling rivalry dengan baik

(Wulandari & Handayani, 2011).

2.2.6 Segi Negatif Sibling Rivalry

Dampak sibling rivalryakan dirasakan secara berbeda oleh masing-masing anak,

tergantung pada karater dan polah asuh yang diberikan orang tua kepada anak.

Lingkungan juga sangat mempengaruhi pada dampak yang terjadi terhadap anak

(Putri, 2013). Sedangkan menurut Noviani (2007, dalam Magfuroh, 2012), dampak

20

negatif sibling rivalry adalah anak menjadi egois, minder, dan merasa tidak dihargai.

Hanuka (2008, dalam Magfuroh, 2012) juga menyebutkan bahwa selain kenakalan

anak dirumah yang dilakukan terhadap adiknya, sibling rivalry juga dapat berpengaruh

pada hubungan anak tersebut dengan teman-temannya di sekolah, bila terjadi

ketidakadilan di rumah yang membuat anak menjadi stress, bisa membuat anak

menjadi lebih tempramen dan agresif dalam kelakuannya di lingkungan luar dan

sekolah.

Sulistyawati (2009, dalam Nugraheny, et.al, 2014) juga menyebutkan bahwa

jika reaksi sibling rivalry terjadi secara terus-menerus dan tidak diantisipasi sejak dini,

maka anak akan bertingkah laku regresi (tingkah laku pada proses tumbuh

kembangnya yang terdahulu), memiliki self efficacy yang rendah, bertindak untuk

membahayakan saudaranya, dan bersifat dendam atau dengki terhadap saudaranya.

2.2.7 Cara Mengatasi

Sibling rivalry bukanlah sesuatu yang sangatlah berbahaya, namun jika cara

mengatasi anak-anak yang mengalami sibling rivalry tidak tepat maka hal ini bisa jadi

sangat berbahaya karena tindakan fisik yang berlebihan dapat menyakiti atau bahkan

menghilangkan nyawa anggota keluarga. Selain itu sibling rivalry yang terjadi hingga

usia dewasa juga akan mempengaruhi kepribadian seseorang. Berikut ini adalah cara

mengatasi sibling rivalry :

1. Pengetahuan ibu adalah hal penting yang harus diperhatikan dalam terjadinya

sibling rivalry. Ibu harus mengatahui bagaimana memperlakukan anak-anak

mereka secara adil. Salah satu caranya adalah dengan tidak memihak salah

satu anak atau memberikan kebebasan pada semua anak mereka secara sama.

Ibu atau orang tua juga bisa mengajarkan cara-cara yang positif untuk

21

mendapatkan perhatian orang tua. Hal lain yang juga bisa dilakukan orang tua

adalah dengan membuat kegiatan bersama keluarga untuk mengajarkan anak-

anaknya bekerja sama satu sama lain (Chaulagain, et.al, 2016).

2. Ketika terjadi perseteruan atau pertengkaran orang tua tidak memihak atau

menyalahkan salah satu diantara mereka. Hanya saja orang tua tetap harus

mengarahkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak baik dan

tidak semestinya dilakukan sehingga anak tidak akan mengulanginya kembali.

(Wulandari & Handayani, 2011).

3. Memberikan anak kesempatan untuk mengatakan atau mengungkapkan

perasaan mereka tentang apa yang dirasakan tentang saudara kandungnya

(Wulandari & Handayani, 2011).

2.3 Konsep Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Remaja adalah masa peralihan dalam rentang kehidupan manusia yang

menghubungkan antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Masa remaja juga

merupakan masa dimana cara berfikir menjadi lebih abstrak dan idealistic (Santrock,

2011). Pendapat lain mengatakan bahwa remaja berarti tumbuh dewasa. Klasifikasi

remaja menurut Santrock (2011) adalah remaja awal dengan rentang usia 10-12 tahun,

remaja menengah dengan rentang usia 13-17 tahun, dan remaja akhir dengan rentang

usia 18-22 tahun.

2.3.2 Perkembangan Kognitif Remaja

Poltekes Depkes Jakarta 1 (2010) menyebutkan bahwa terdapat beberapa

perbedaan perkembangan kognitif yang terjadi pada tahapan remaja, diantaranya

adalah sebagai berikut:

22

1. Remaja tahap awal

Remaja pada tahapan ini telah berfokus terhadap pengambilan keputusan,

dalam hal ini adalah keputusan yang ada di dalam rumah ataupun sekolah. Cara

berpikir yang logis juga mulai ditunjukkan oleh remaja pada tahap ini, sehingga

seringkali timbulnya pertanyaan mengenai kewenangan dan standar yang ada di

masyarakat atau di sekolah.

2. Remaja tahap menengah

Remaja mulai mengalami peningkatan pada interaksi dengan kelompok pada

tahap ini. Remaja juga mulai mengajukan pertanyaan, menganalisis dengan lebih

menyeluruh, dan mulai berfikir mengenai siapa diri mereka atau mulai mencari

identias diri. Dalam proses pencarian jati diri, remaja akan cenderung melakukan

kesalahan sehingga masa remaja tahap menengah ini membutuhkan pendampingan

yang cukup intens.

3. Remaja tahap akhir

Pada tahap remaja akhir, mulai timbul cara berfikir yang kompleks, hal ini

digunakan untuk memfokuskan diri dari masalah-masalah idealism, toleransi, dan

keputusan untuk pekerjaan, serta peran orang dewasa yang terdapat di masyarakat.

Pada tahap ini remaja sudah cukup mahir untuk menempatkan diri di lingkungan

sekitar. Cara berfikir yang lebih realistis membuat remaja pada tahap ini cenderung

tidak bermasalah meskipun ada beberapa remaja yang belum cukup baik ketika

memasuki masa ini.

2.3.3 Perkembangan Emosional dan Kepribadian Remaja

Dalam Santrock (2011) dikataakan bahwa ada tiga hal penting dalam

perkembangan emosional dan kepribadian yang terjadi pada remaja, diantaranya

adalaah harga diri, identitas, dan perkembangan emosional.

23

1. Harga diri

Harga diri adalah cara seseorang untuk mengevaluasi diri secara keseluruhan.

Harga diri ini cenderung tinggi pada masa anak-anak tetapi secara signifikan menurun

ketika masa remaja. Perbedaan gender juga turut mewarnai turunnya harga diri pada

masa remaja, hal ini dibuktikan dengan lebih banyaknya penurunan harga diri yang

terjadi pada remaja perempuan dibanding dengan remaja laki-laki. Penurunan harga

diri yang terjadi pada remaja awal tersebut lebih difokuskan pada citra tubuh negatif

ketika datangnya masa pubertas yang lebih banyak terjadi pada remaja perempuan

jika dibanding dengan remaja laki-laki.

2. Identitas

Identitas merupakan gambaran diri seseorang yang terdiri atas banyak bagian,

diantaranya adalah identitas karier, identitas politik, identitas agama, identitas

hubungan, identitas pretasi atau intelektual, identitas seksual, identitas etnis, identitas

minat, kepribadian dan fisik. Moratorium psikososial telah membantu remaja untuk

menentukan identitas diri mereka.Maka dari itu, pada masa ini masyarakat

memberikan kebebasan untuk mencoba identitas yang berbeda. Remaja yang

mencoba beberapa peran dari suatu identitas adalah untuk mencari tahu kecocokan

mereka dan pada akhirnya mereka akan meninggalkan peran yang tidak mereka sukai.

Remaja yang berhasil menyelesaikan konflik identitas diri mereka, maka mereka akan

muncul dengan kesadaran diri mereka yang baru. Sedangkan remaja yang tidak dapat

menyelesaikan konflik identitas diri mereka, maka mereka akan mengalami hal yang

telah disebut Erikson dengan kebingungan identitas.

3. Perkembangan emosional

Pada masa remaja awal akan terjadi fluktuatif atau naik turunnya emosi.

Remaja yang usianya lebih muda mungkin saja lebih mudah untuk merajuk, hal ini

24

disebabkan oleh belum tahunya remaja mengekspresikan perasaan yang dimilikinya

dengan baik.Pada masa ini seseorang juga memiliki sifat yang moody dan berubah-

ubah. Maka dari itu orang dewasa sangat perlu memahami bahwa hal tersebut adalah

hal yang normal dan umum terjadi pada usia remaja. Perubahan emosional pada

remaja disebabkan oleh variabilitas dalam hormon yang terjadi pada saat terjadinya

perubahan hormone yang sangat signifikan ketika remaja mengalami perkembangan

fisik.Beberapa peneliti juga menyebutkan bahwa perubahan fisik pada remaja dapat

menyebabkan meningkat peningkatan emosi yang negatif.

2.3.4 Pertumbuhan fisik pada remaja

1. Perubahan bentuk tubuh

Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan pada beberapa

bagian tubuhnya. Remaja laki-laki akan mengalami perubahan bentuk dada yang

membesar dan membidang, serta jakun akan lebih menonjol. Sedangkan pada remaja

perempuan akan mengalami perubahan pada pinggul dan payudara yang semakin

membesar serta putting susu yang lebih menonjol (Depkes, 2010)

2. Otak

Sejalan dengan bagian tubuh yang lain, otak juga mengalami perubahan

selama masa remaja, hanya saja perkembangan otak pada masa remaja masih pada

tahap awal saja. Otak belum sepenuhnya berkembang sehingga menjadikan remja

belum bisa mengontol emosinya dengan stabil (Depkes, 2010). Namun, penemuan

terbaru oleh para ilmuan yang terdapat pada Santrock (2011) adalah terdapat

perubahan yang signifikan pada struktural otak remaja, diantaranya :

a. Korpus kalosum

Korpus kalosum adalah serat saraf yang menghubungan dua belahaan otak.

Bagian ini menjadi lebih tebal pada usia remaja sehingga terjadi peningkatan

25

kemampuan untuk memproses informasi. Pada bagian ini yang menyebabkan remaja

menjadi sangat ingin tahu dan mudah menyerap informasi baik informasi baik

ataupun buruk.

b. Korteks prefrontal

Bagian ini adalah bagian untuk mengurangi emosi yang intens. Namun, pada

masa remaja bagian ini belum cukup berkembang seolah olah otak remaja belum

mampu mengendalikan emosi yang sangat kuat. Hal ini tidak seimbang dengan beban

emosi yang diterima oleh remaja yang sudah cukup berat, meliputi emosi yang datang

dari lingkungan rumah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.

c. Amigdala

Amigdala adalah pusat emosi (marah). Area ini berkembang lebih cepat jika

dibanding dengan korteks prefrontal. Pada bagian inilah yang menyebabkan remaja

lebih mudah marah ketika menghadapi tekanan atau emosi yang cukup kuat.

(Santrock, 2011)

2.3.5 Karakteristik Masa Remaja

Masa remaja memiliki karakteristik atau ciri-ciri.Hal inilah yang membedakan

masa remaja dengan masa sebelum atau sesudahnya (Hurlock, 1999, dalam Unayah &

Sabarisman, 2015) mengatakan bahwa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Masa remaja sebagai masa peralihan.

Masa remaja sebagai masa peralihan adalah pada masa ini terdapat perubahan

sifat dan perilaku. Perubahan tersebut terjadi karena anak sedang menyesuaikan dan

mempersiapkan diri untuk menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan pada masa remaja

anakakan melewati dua masa, yaitu masa anak-anak akhir dan juga masa dewasa awal.

Pada masa ini anak masih sulit untuk meninggalkan sifat kanak-kanak namun juga

merasa selalu ingin tahu mengenai kebiasaan yang dilakukan oleh orang dewasa.

26

2. Masa remaja sebagai masa perubahan.

Masa remaja disebut juga sebagai periode perubahan, hal ini dikarenakan

adanya lima perubahan yang bersifat universal, yaitu perubahan emosi, pola perilaku,

minat, tubuh, dan perubahan nilai. Pada masa remaja ini, seseorang akan cenderung

terus mencari apa yang mereka inginkan dan apa yang membuat diri remaja tersebut

nyaman. Namun terkadang remaja belum siap dan belum dapat mengontrol

perubahan ini secara baik. Maka dari itu, dibutuhkan orang tua atau orang terdekat

yang cukup banyak pada masa remaja untuk mengontrol perubahan yang terjadi pada

remaja.

3. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Alasan mengapa remaja dianggap sebagai usia yang bermasalah adalah karena

pada saat usia anak-anak mereka terbiasa didampingi oleh orang tua mereka, sehingga

masalah yang timbul juga akan diselesaikan oleh orang tua. Namun, pada saat remaja

orang tua akan menganggap bahwa remaja sudah dapat menyelesaikan masalah

mereka sendiri, sedangkan remaja masih menganggap bahwa orang tua akan tetap

menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.

4. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

Masa remaja adalah masa yang menimbulkan ketakutan. Hal ini dikarenakan

adanya anggapan bahwa remaja adalah seseorang yang tidak rapih, masyarakat juga

menganggap bahwa remaja tidak dapat dipercaya bahkan cenderung merusak. Selain

itu masa remaja dianggap sebagai masa yang sulit mengikuti peraturan baik di dalam

rumah atau di lingkungan masyarakat.

5. Masa remaja sebagai masa pencarian identitas.

Pada masa remaja seseorang akan memiliki keinginan untuk menunjukkan

siapa dirinya kepada masyarakat. Hal ini dapat berdampak baik dan sekaligus buruk

27

bagi remaja. Dampak baik akan timbul jika dalam pencarian identitas atau jati diri

remaja mengarah pada hal positif dan didampingi serta diarahkan oleh orang terdekat

remaja. Sedangkan dampak buruk akan timbul jika dalam proses pencarian jati diri

remaja luput dari perhatian orang tua dan orang terdekat remaja.

6. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Pada masa ini seseorang akan melihat dirinya bukan sebagaimana adanya,

tetapi mereka melihat diri mereka atau bahkan melihat orang lain sesuai dengan apa

yang mereka inginkan saja. Hal ini akan membuat remaja akan terlalu berambisi

dengan keinginannya namun mengabaikan kenyataan yang ada.

7. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Hal ini dikarenakan pada masa

remaja seseorang tidah memusatkan diri pada perilaku anak-anak lagi, namun mereka

akan memusatkan diri pada apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Namun,

terkadang pada masa ini remaja akan salah menempatkan diri dimana remaja

melakukan sesuatu yang seharusnya belum dilakukan pada usia tersebut.

2.3.6 Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah kejahatan yang dilakukan oleh anak muda, kejahatan

ini adalah salah satu bentuk penyakit sosial yang menyebakan adanya pengabaian

sosial sehingga remaja tersebut mengembangkan tingkah laku yang menyimpang.

Mayoritas terjadinya kenakalan remaja adalah usia 15 – 19 tahun, meingkat pada usia

21 tahun dan mulai menurun setelah usia 22 tahun. Sosial dan kultural memiliki peran

besar terhadap pembentukan tingkah laku kriminal atau kenakalan pada remaja.

Selain itu, terdapat beberapa faktor penyebab terjadi kenakalan remaja, diantaranya

sebagai berikut :

28

1. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri remaja itu sendiri, hal ini

meliputi krisis identitas, dan kontrol diri yang lemah.

2. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri remaja itu sendiri,

diantaranya adalah permasalahan remaja termasuk perceraian orang tua, adanya

teman sebaya yang kurang baik, dan komunitas atau lingkungan yang juga kurang

baik (Unayah & Sabarisman, 2015).

Studi terbaru juga mengatakan bahwa saudara kandung memiliki andil yang

cukup kuat atas terjadinya kenakalan remaja.Tingginya tingkat hubungan permusuhan

antara saudara kandung dan kenakalan saudara kandung yang lebih tua dikaitkan

dengan kenakalan saudara kandung yang lebih muda, baik saudara laki-laki maupun

perempuan (Santrock, 2011).