bab ii landasan teori a. tinjauan pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh...

26
4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus a. Definisi DM adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya (Purnamasari, 2009). Menurut WHO (2014) DM adalah suatu penyakit kronis yang terjadi karena ketidakmampuan insulin untuk memproduksi insulin yang cukup atau ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan insulin secara efektif yang mengakibatkan keadaan hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia yang kronis ini berhubungan dengan disfungsi dan kerusakan beberapa organ, khusunya mata, ginjal, saraf, pembuluh darah, dan jantung (ADA, 2014). b. Klasifikasi Berdasarkan etiologi dan patogenesisnya, DM diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. DM tipe 1 merupakan DM yang kejadiannya hanya 510% dari seluruh tipe DM. DM tipe 1 disebabkan karena defisiensi insulin absolut akibat reaksi autoimun yang menyebabkan rusaknya sel beta

Upload: others

Post on 10-Sep-2019

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

4

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus

a. Definisi

DM adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan

hiperglikemia akibat adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

ataupun keduanya (Purnamasari, 2009). Menurut WHO (2014) DM

adalah suatu penyakit kronis yang terjadi karena ketidakmampuan

insulin untuk memproduksi insulin yang cukup atau

ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan insulin secara efektif

yang mengakibatkan keadaan hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia

yang kronis ini berhubungan dengan disfungsi dan kerusakan

beberapa organ, khusunya mata, ginjal, saraf, pembuluh darah, dan

jantung (ADA, 2014).

b. Klasifikasi

Berdasarkan etiologi dan patogenesisnya, DM diklasifikasikan

menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain.

DM tipe 1 merupakan DM yang kejadiannya hanya 5–10% dari

seluruh tipe DM. DM tipe 1 disebabkan karena defisiensi insulin

absolut akibat reaksi autoimun yang menyebabkan rusaknya sel beta

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

5

pankreas. Kasus DM tipe 1 ditemukan paling sering pada anak-anak

sampai remaja, sehingga DM tipe 1 sering juga disebut sebagai

juvenile-onset diabetes (ADA, 2015).

Tipe DM yang kejadiannya paling banyak yaitu DM tipe 2 atau

yang sering disebut sebagai Non-Insulin Dependet Diabetes Mellitus

(NIDDM) dengan persentase kejadian 90-95% dari seluruh tipe DM.

DM tipe 2 disebabkan karena resistensi insulin dan/atau defisiensi

insulin relatif akibat berbagai faktor antara lain seperti obesitas,

sedikit aktifitas fisik , usia, dan genetik (ADA, 2015).

DM gestasional merupakan DM yang terjadi selama periode

kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada

masa kehamilan (biasanya trimester kedua dan ketiga). Pasien DM

gestasional memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (ADA,

2015).

c. Patogenesis

Hiperglikemia pada DM tipe 2 menyebabkan kerusakan

jaringan melalui 2 mekanisme yaitu perubahan glukosa yang

berulang akut pada metabolisme seluler dan perubahan glukosa

kronis yang akan merubah makromolekul stabil. Perubahan glukosa

yang terjadi secara akut, yaitu kurang dari 24 jam menyebabkan

terbentuknya schiff base sebagai hasil reaksi glukosa terhadap

protein tubuh. Pada fase akut ini sudah mulai terbentuk radikal bebas

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

6

yang sudah mampu mematikan sel sel pada jaringan tubuh.

Kerusakan jaringan pada fase akut ini bersifat reversibel, sehingga

pengaturan glukosa menjadi normal pada fase ini sangat penting.

Sedangkan perubahan glukosa yang terjadi secara kronis, yaitu

berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun, dapat

menyebabkan kerusakan jaringan yang irreversibel. Kerusakan yang

irreversibel ini disebabkan karena terbentuknya Advance

Glycosilation End-products (AGEs) yang bersifat toksik dan

merusak protein tubuh (Subiyantoro, 2002).

Terdapat beberapa patogenesis terjadinya DM tipe 2, yaitu

resistensi insulin, peran Reactive Oxygen Species (ROS), peran

lemak, dan peran inflamasi.

1) Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan sindrom yang berhubungan

dengan gangguan metabolik, termasuk DM tipe 2, obesitas,

hipertensi, dislipidemia, dan atherosklerosis. Resistensi insulin

terjadi akibat jaringan mengalami kekurangan respons terhadap

aktivitas insulin. Sebagai kompensasinya, pankreas akan

memproduksi insulin lebih banyak sehingga terjadi

hiperinsulinemia. Ketika pankreas sudah tidak bisa lagi

memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi

resistensi insulin, maka terjadilah gangguan toleransi glukosa

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

7

yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah setalah

makan.

Resistensi insulin terjadi jauh sebelum seseorang

menderita DM. Penelitian prospektif menyebutkan bahwa

resistensi insulin terjadi 10-20 tahun sebelum DM (Sugiarto,

2010).

2) Peran ROS

Keadaan hiperglikemia ekstraseluler akan menyebabkan

keadaan hiperglikemia intraseluler di sel beta pankreas sehingga

menyebabkan peningkatan ROS pada islet pankreas. ROS ini

menyebabkan kerusakan sel beta pankreas melalui aktivasi C-

Jun Terminal Kinase (JNK). Aktivasi JNK akan menyebabkan

penurunan gen ekspresi insulin pada sel beta pankreas sehingga

sekresi insulin berkurang dan terjadilah gangguan toleransi

glukosa (Sugiarto, 2010).

3) Peran Lemak

Peningkatan glukosa darah dan Free Fatty Acid (FFA)

dapat melemahkan fungsi islet sel beta pankreas. Konsentrasi

FFA yang tinggi akan melemahkan aktifitas insulin dan

disfungsi sel beta pankreas. Hal ini yang mendasari terjadinya

intoleransi glukosa (Sugiarto, 2010).

4) Peran Inflamasi

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

8

Hiperglikemi kronis akan menyebabkan meningkatnya

AGEs. Peningkatkan AGEs ini dapat mengaktifasi makrofag,

meningkatkan stress oksidatif, mengatur sintesis IL-1, IL-6, dan

TNF-α, serta meningkatkan produksi C-Reactive Protein (CRP).

CRP adalah marker chronic low grade inflammation, dimana

low grade inflammation inilah yang ikut berperan terhadap

pathogenesis DM tipe 2. Pada berbagai penelitian disebutkan

bahwa terjadinya peningkatan CRP dan low grade inflammation

merupakan risiko terjadinya DM tipe 2 (Sugiarto, 2010).

d. Faktor Risiko

Faktor risiko DM tipe 2 terbagi atas 3 yaitu:

1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, usia >45

tahun, riwayat keluarga dengan diabetes, riwayat melahirkan

bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat berat

badan lahir rendah <2,5 kg, dan riwayat pernah menderita DM

gestasional.

2) Faktor risiko yang dapat diperbaiki seperti berat badan lebih

(indeks massa tubuh > 23kg/m2), kurang aktivitas fisik,

hipertensi (≥140/90 mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dl

dan/atau trigliserida > 250 mg/dl, serta diet tinggi gula rendah

serat.

3) Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes seperti

pasien sindrom ovarium poli-kistik, atau keadaan klinis lain

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

9

yang terkait dengan resistensi insulin, sindrom metabolik,

riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa

terganggu dan riwayat penyakit kardiovaskuler (stroke,

penyempitan pembuluh darah koroner jantung, pembuluh darah

arteri kaki) (Tedjapranata, 2009).

e. Gejala dan Tanda DM

Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi

metabolik dari defisiensi insulin. Pasien DM tidak dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma darah puasa dan toleransi

glukosa sesudah makan karbohidrat dalam kadar normal. Ketika

kadar glukosa darah melebihi ambang toleransi ginjal, maka akan

terjadi glikosuria atau terdapatnya glukosa dalam urin. Glukosuria

akan menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan ekskresi

urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang.

Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

dan dapat menyebabkan dehidrasi. Glukosa yang hilang bersama

urin menyebabkan pasien juga mengalami keseimbangan kalori

negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar

(polifagia) akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien juga

akan mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012).

Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indoesia

(Perkeni) (2011), gejala DM dikelompokkan menjadi dua, yaitu

gejala klasik dan gejala lain .

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

10

1) Gejala klasik, meliputi: poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penuruan berat badan yang tidak diketahui sebabnya.

2) Gejala lain, meliputi: lemah badan, kesemutan, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita,

dan luka yang sulit sembuh.

f. Diagnosis

Menurut ADA (2015) diagnosis DM dapat ditegakkan dengan

beberapa cara yaitu :

1) Jika ditemukan gejala klasik dan hasil pemeriksaan glukosa

plasma sewaktu (GDS) ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa

plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau

2) Jika ditemukan gejala klasik dan hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien

tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau

3) Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral

(TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan

dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara

dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air, atau

4) Kadar HbA1C ≥ 6,5 %. Pemeriksaan HbA1C harus dilakukan

menggunakan metode yang sudah disersertifikasi oleh National

Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

11

dilakukan di laboratorium yang telah terstandardisasi dengan

baik.

g. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi pada DM dapat dibagi menjadi dua

yaitu:

1) Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia

dan hiperglikemia. Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah

lebih rendah dari 60 mg % dan gejala yang muncul yaitu

palpitasi, takikardi, mual muntah, lemah, lapar dan dapat terjadi

penurunan kesadaran sampai koma.Sedangkan hiperglikemia

dapat berupa Keto Asidosis Diabetik (KAD) dan Hiperosmolar

Non Ketotik (HNK). KAD ditandai dengan peningkatan kadar

glukosa darah yang tinggi yaitu 300-600 mg/dl, disertai dengan

adanya tanda gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat,

peningkatan osmolaritas plasma (300-320 mg/dl) dan

peningkatan anion gap. HNK ditandai dengan adanya

peningkatan kadar glukosa darah yang sangat tinggi yaitu 600-

1200 mg/dl, tanpa tanda gejala asidosis, osmolaritas meningkat

sangat tinggi yaitu 330-380 mg/dl, plasma keton (+/-), anion gap

normal atau sedikit meningkat (Perkeni, 2011).

2) Komplikasi Metabolik Kronik

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

12

Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua

pembuluh darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetika).

Angiopati diabetika dibagi menjadi dua yaitu: makroangiopati

(makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), yang

tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak

terjadi sekaligus bersamaan.

a) Makroangiopati, meliputi penyakit jantung koroner, stroke,

dan claudicatio intermittens.

b) Mikroangiopati, meliputi neuropati diabetika, nefropati

diabetika, dan retinopati diabetika (Perkeni, 2011).

2. DPN

a. Definisi

Definisi DPN secara sederhana adalah istilah yang

menunjukkan adanya gejala klinis maupun sub klinis gangguan

fungsi saraf perifer yang terjadi pada orang dengan DM, tanpa

adanya penyebab neuropati perifer lainnya (Quan, 2015).

Berdasarkan Toronto Consensus Panel on Diabetic Neuropathy,

DPN didefinisikan sebagai polineuropati sensori-motor simetrik

distal kronik yang diakibatkan oleh perubahan metabolik dan

mikrovaskuler sebagai akibat dari hiperglikemi kronis dan risiko

kardiovaskuler (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Menurut Subekti

(2009), DPN didefinisikan sebagai polineuropati sensori-motor

simetris distal yang ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

13

secara progresif dan fungsi motorik yang berlangsung pada bagian

distal yang berkembang ke arah proksimal.

b. Epidemiologi

DPN merupakan salah satu komplikasi kronik mikroangiopati

yang paling sering ditemui pada pasien DM tipe 2. Data

epidemiologi menyatakan bahwa lebih dari 50% orang dengan DM

dan 30–50 % orang dengan prediabetes mengalami DPN. Jumlah

pasien DM di dunia diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai

472 juta jiwa. Jika proporsi DPN sebesar 50% maka jumlah pasien

DPN di dunia pada tahun 2030 akan mencapai 236 juta jiwa. Dengan

meningkatnya jumlah pasien DPN seperti disebutkan di atas, angka

kematian, kesakitan, dan gangguan kualitas hidup akan ikut

meningkat (Tesfaye dan Selvarajah, 2012).

Pada pasien DPN pertama kali gejala yang dirasakan adalah

hilangnya sensasi pada bagian distal kaki. Pada 80 % pasien DPN

akan mengalami gejala berupa rasa kebal atau mati rasa; tidak

merasakan nyeri pada ujung kaki dan akan berkembang sampai ke

setengah bagian betis. Rasa kebal atau mati rasa juga dirasakan di

ujung – ujung jari tangan. Pola kelainan sensorik tersebut disebut

stocking and glove distribution. Gejala-gejala tersebut menjadi

faktor mudahnya terjadi infeksi di kaki dan jika tidak dirawat dengan

baik akan berkembang menjadi ulkus diabetik. Hal ini yang

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

14

menyebabkan DPN menjadi penyebab paling sering dilakukannya

amputasi non traumatik.

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pirart pada 4400

orang, ditemukan 12% dari jumlah tersebut telah mengalami DPN

pada saat didiagnosis DM dan lebih dari 50 % nya telah mengalami

DPN setelah menderita DM selama 25 tahun atau lebih (Tesfaye dan

Selvarajah, 2012). Sedangkan menurut penelitian lain yang

dilakukan oleh Oquejiofor et al. (2010), menyatakan bahwa pasien

yang telah menderita DM selama lebih dari 10 tahun hampir

seluruhnya mengalami DPN.

c. Patogenesis

Proses kejadian neuropati diabetika berawal dari hiperglikemi

kronik yang berakibat peningkatan aktivasi jalur poliol, sintesis

AGEs, pembentukan radikal bebas, dan aktivasi PKC. Aktivasi

berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi,

sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya

mioinositol dalam sel terjadilah neuropati diabetika (Subekti, 2009).

Proses dan faktor yang berperan dalam neuropati diabetika

yaitu:

1) Faktor Metabolik

Proses terjadinya neuropati diabetika berawal dari

hiperglikemia kronis. Hiperglikemia persisten menyebabkan

aktivasi jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

15

aldosereduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang

kemudian dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi

fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf

merusak sel saraf melalui beberapa mekanisme.Salah satu

kemungkinannya adalah akumulasi sorbitol dalam sel saraf

menyebabkan keadaan hipertonik intaseluler yang berakibat

pada edem saraf. Penimbunan sorbitol dalam saraf berakibat

pada terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf.

Penimbunan sorbitol dan penurunan mioinositol dalam sel saraf

menimbulkaan stress osmotik yang merusak mitokondria, dan

menstimulasi PKC. Aktifasi PKC menekan fungsi sodium-

potassium-ATP-ase, sehingga jumlah Na di dalam sel berlebihan

dan akibatnya mioinositol terhambat masuk ke dalam sel saraf

sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal saraf (Subekti,

2009).

Keadaan hiperglikemia kronis tidak hanya mengaktifasi

jalur poliol, namun juga menyebabkan terbentuknya AGEs.

AGEs bersifat sangat toksik dan merusak protein tubuh, salah

satunya protein di sel saraf. Terbentuknya AGEs dan sorbitol

menyebabkan sintesis dan fungsi Nitric Oxide (NO) menurun

sehingga mengakibatkan vasodilatasi berkurang, aliran darah ke

saraf menurun, dan bersama dengan rendahnya mioinositol di

dalam sel saraf, maka terjadilah DPN (Subekti, 2009).

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

16

2) Kelainan Vaskuler

Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan

kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia kronis memicu

terbentuknya radikal bebas oksidatif yang disebut ROS. ROS ini

membuat kerusakan endotel pembuluh darah dan menetralisir

NO yang menyebabkan terganggunya vasodilatasi

mikrovaskuler. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut

dapat melalui penebalan membrana basalis, thrombosis pada

arteriol intraneural, peningkatan agregrasi trombosit dan

berkurangnya deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran darah

ke saraf dan peningkatan resistensi vaskuler, stasis aksonal,

edem saraf dan demielinisasi pada saraf akibat iskmeik akut

(Subekti, 2009).

3) Mekanisme Imun

Mekanisme patogeniknya ditemukan adanya antineural

antibodies pada serum sebagian pasien DM. Autoantibodi yang

beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik

dan sensorik yang bisa dideteksi dengan imunoflorensens

indirek dan juga adanya penumpukan antibodi dan komplemen

pada berbagai komponen saraf suralis (Subekti, 2009).

4) Peran Nerve Growth Factor (NGF)

NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan

pertumbuhan saraf. Pada pasien DM, kadar NGF serum

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

17

cenderung turun dan berhubungan dengan derajat DPN. NGF

juga berperan dalam regulasi gen Substance P dan Calcitonin-

Gen-Regulated Peptide (CGRP). Peptid ini mempunyai efek

terhadap vasodilatasi, motilisasi intestinal dan nosiseptif, yang

kesemuanya itu mengalami gangguan pada neuropati diabetika

(Subekti, 2009).

d. Faktor Risiko

Faktor – faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya DPN

yaitu durasi/ lama menderita DM, kontrol gula darah yang buruk

ditinjau dari kadar HbA1C, dislipidemia, merokok, hipertensi,

obesitas, usia, dan komplikasi mikrovaskuler lain (Bansal et al.,

2014).

e. Manifestasi Klinis

Pada DPN terjadi gangguan sensorik (paling sering) dan

motorik. Manifestasi yang muncul tergantung bagian saraf mana

yang mengalami gangguan. Berdasarkan besar kecilnya serabut saraf

sensorik yang terkena, gejala DPN dapat dikelompokkan menjadi

dua, yaitu:

1) Serabut saraf besar : hilangnya rasa getar dan sentuhan, rasa

raba ringan, rasa terhadap posisi sendi, dan mati rasa.

2) Serabut saraf kecil : nyeri tertusuk, terbakar, tersengat listrik,

hilangnya sensasi suhu, alodinia.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

18

Gejala gangguan sensorik tersebut di atas menyebar simetris

kanan dan kiri sesuai pola stocking and glove distribution, menyebar

dari distal ke proksimal pada kaki dan tangan.

Gangguan pada saraf motorik menimbulkan manifestasi klinis

berupa kelemahan dan atrofi otot terutama otot kaki dan tungkai

bawah, kram, degenerasi tulang, perubahan pada kulit, rambut, dan

kuku, serta hilang atau menurunnya reflek tendo (Wirayana, 2013).

f. Klasifikasi

DPN atau juga sering disebut chronic, simetrical, length –

dependent sensorimotor polyneuropathy merupakan salah satu jenis

dari neuropati diabetika yang paling sering terjadi. Berikut beberapa

klasifikasi neuropati diabetika :

1) Menurut perjalanan penyakitnya, neuropati diabetika dibagi

menjadi:

a) Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala timbul sebagai

akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada

kelainan patologik sehingga masih reversibel.

b) Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai

akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini

masih ada komponen yang reversibel.

c) Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan

kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase

ini ireversibel. Kerusakan serabut saraf pada umumnya

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

19

dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses

perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu

lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati

simetris distal (Subekti, 2009).

2) Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi :

a) Neuropati Difus

1) Polineuropati sensori-motor simetris distal atau DPN,

2) Neuropati otonom : Neuropati sudomotor, neuropati

otonom kardiovaskuler, neuropati gastrointestinal,

neuropati genitourinaria,

3) Neuropati lower limb motor simetris proksimal

(amiotropi).

b) Neuropati Fokal

1) Neuropati kranial,

2) Radikulopati/pleksopati,

3) Entrapment neuropathy (Subekti, 2009).

3) Menurut Tesfaye et al. (2010), neuropati diabetika dapat

diklasifikasikan secara umum menjadi menjadi dua yaitu tipikal

DPN dan non – tipikal DPN.

a) Tipikal DPN

Tipikal DPN adalah chronic, simetrical, length –

dependent sensorimotor polyneuropathy, jenis yang paling

umum dan paling sering terjadi. Tipikal DPN disebabkan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

20

karena keadaan hiperglikemi kronis yang berakibat pada

gangguan metabolik (peningkatan jalur poliol, akumulasi

AGEs, pembentukan radikal bebas, aktivase protein kinase,

dan perubahan metabolism lipid) dan gangguan

mikrovaskuler.Tipikal DPN dikaitkan dengan durasi

menderita DM, kontrol glukosa darah, hipertensi,

hiperlipidemia, dan obesitas.

b) Non-Tipikal DPN

Non tipikal DPN berbeda dengan tipikal DPN

dalam hal onset, gejala, faktor risiko, dan patogenesisnya.

Non tipikal DPN muncul bersama dengan penyakit lainnya

dan waktu munculnya tidak dapat dipastikan. Gejala dapat

muncul sewaktu waktu, baik akut, subakut, maupun

kronik.Kriteria diagnosis, derajat keparahan, epidemiologi,

dan pathogenesis dari non tipikal DPN masih belum

diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut.

g. Diagnosis

Diagnosis DPN dapat ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda

klinik berupa gangguan sensorik dan motorik ditambah dengan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik

yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis DPN yaitu pemeriksaan

saraf motorik yang meliputi tes kekuatan otot dan refleks motorik

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

21

serta pemeriksaan saraf sensorik yang meliputi tes fungsi serabut

saraf besar (tes rasa getar dan rasa tekan menggunakan monofilamen

Semmes-Weinstein) dan tes fungsi serabut saraf kecil (tes sensasi

suhu dan nyeri) (Wirayana, 2013).

Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menentukan

sifat dan tingkat neuropati. Beberapa pemeriksaan penunjang yang

digunakan dalam mendiagnosis neuropati perifer yaitu

Elektromiografi (EMG), Nerve Conduction Velocity (NCV), CT

Scan, biopsi saraf dan biopsi kulit. EMG dilakukan dengan

memasukkan jarum halus ke dalam otot untuk membandingkan

jumlah aktivitas listrik yang ada pada saat otot relaksasi dan

kontraksi. Pemeriksaan EMG dapat membedakan antara kerusakan

saraf dan otot. NCV dilakukan dengan menggunakan sebuah probe

listrik yang akan merangsang serabut saraf sehingga dengan

sendirinya dapat menghasilkan impuls listrik dan sebuah elektroda

diletakkan di sepanjang jalur saraf untuk mengukur kecepatan

transmisi impuls saraf sepanjang jalur akson. Biopsi saraf dilakukan

dengan mengambil dan menilai sebagian jaringan saraf dari tungkai

bawah.Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi tentang

tingkatan kerusakan saraf, namun sangat sulit, invasif, dan dapat

menyebabkan komplikasi neuropati. Biopsi kulit dilakukan dengan

mengambil suatu jaringan kulit tipis untuk mengukur serabut saraf

akhir yang bertujuan untuk melihat kerusakan serabut saraf yang

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

22

lebih kecil. Pemeriksaan ini tidak invasif dan efek samping yang

ditimbulkan sedikit (Wirayana, 2013). Pemeriksaan penunjang yang

telah disebutkan di atas, semuanya diperlukan keahlian khusus,

peralatan khusus yang mahal dan hanya dimiliki oleh pusat

pelayanan kesehatan rujukan, serta harus dilakukan oleh tenaga

medis profesional sehingga kurang praktis dilakukan jika digunakan

klinis sehari-hari (Yang et al., 2014).

Pada saat ini telah banyak ditemukan berbagai sistem skoring

untuk skrining neuropati diabetika yang lebih praktis dan mudah

digunakan dalam klinis sehari-hari diantaranya yaitu MNSI

(Michigan Neuropathy Screening Instrumen), DNE (Diabetic

Neuropathy Examination), DNS (Diabetic Neuropathy Symptoms

score), CNE (Clinical Neurological Examination), NDS

(Neuropathy Disability Score), dan masih banyak lainnya (Yang et

al., 2014).

1) MNSI

MNSI adalah salah satu sistem skoring yang sering

digunakan sebagai alat diagnostik DPN yang simple, murah, dan

tidak invasif. MNSI terdiri dari dua bentuk yaitu kuesioner dan

pemeriksaan fisik. Kuesioner terdiri dari 15 pertanyaan yang

berisi tentang keluhan keluhan neuropati yang dialami pasien.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi inspeksi, penilaian

sensasi getar, reflek ankle, dan pemeriksaan Semmes-Weistein

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

23

monofilament. Interpretasi dari hasil kuesioner dan pemeriksaan

MNSI yaitu jika terdapat > 4 jawaban positif pada kuesioner

dan didapatkan > 2 skor pada pemeriksaan maka DPN dapat

ditegakkan. Berdasarkan penelitian Al-Geffari M (2012),

kuesioner MNSI dalam mendiagnosis DPN memiliki tingkat

sensitivitas sebesar 38% dan spesifisitas 96%. Jika kuesioner

dan pemeriksaan MNSI dilakukan kedua-duanya, sensitivitas

dan spesifisitasnya akan meningkat yaitu menjadi 50% dan 92%.

Namun salah satu pemeriksaan dalam MNSI, yaitu pemeriksaan

monofilamen membutuhkan keahlian khusus dan alat yang

masih belum ada di Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini,

peneliti hanya menggunakan kuesioner MNSI untuk diagnosis

DPN (Yang et al., 2014).

2) DNE

DNE adalah sebuah pemeriksaan yang diadaptasi dari

Neuropathy Disability Score (NDS), terdiri dari 8 pemeriksaan.

Pada pemeriksaan ini hanya kaki kanan yang diperiksa,

kemudian dilakukan skoring berdasarkan DNE. Nilai maksimum

dari pemeriksaan DNE yaitu 16. Jika didapatkan skor lebih dari

3, dapat dikatakan abnormal (Yang et al., 2014).

3) DNS

DNS adalah sebuah kuesioner untuk menilai adanya gejala

neuropati. Kuesioner DNS terdiri dari 4 pertanyaan untuk

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

24

menilai ada tidaknya gejala seperti nyeri, mati rasa, kesemutan,

dan ataksia. Skor maksimum dari DNS adalah 4. Jika pasien

mendapat skor ≥ 1, dapat dikatakan terdapat kelainan neurologi

(Yang et al., 2014).

4) CNE

CNE adalah sistem skoring yang digunakan untuk menilai

gangguan sensorik dan reflek pada tungkai bawah. Pemeriksaan

klinis dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan

neurologis, meliputi pemeriksaan tes sensorik, kekuatan otot,

dan reflek ankel. Skor maksimum dari CNE adalah 33. Jika

didapatkan skor 0 maka dapat dikatakan tidak ada neuropati,

skor 1–9 dikatakan derajat ringan, skor 10 – 18 dikatakan derajat

sedang, dan 19 – 33 dikatakan neuropati derajat berat (Yang et

al., 2014).

5) NDS

NDS adalah sebuah sistem skoring untuk menilai ada

tidaknya gangguan neuropati dengan melakukan pemeriksaan

seperti refleks ankel, tes vibrasi, tes sensasi suhu dan nyeri pada

ibu jari kedua kaki. Skor maksimum dari NDS adalah 10. Jika

didapatkan skor ≥ 6, dapat dikatakan terdapat gangguan nerupati

(Yang et al., 2014).

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

25

3. Hubungan lama menderita DM tipe 2 dan kadar gula darah dengan

kejadian DPN

DM merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

keadaan hiperglikemia kronis. Hiperglikemia yang kronis pada pasien

DM berhubungan dengan kerusakan dan disfungsi beberapa organ tubuh

terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Kerusakan

pada saraf akibat hiperglikemia kronis ini dapat berlanjut menjadi

neuropati diabetika melalui berbagai jalur baik melalui metabolik

maupun vaskuler. Peningkatan jalur poliol, sintesis AGEs, pembentukan

radikal bebas dan aktivasi PKC akibat hiperglikemi kronis berujung pada

kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan

bersama rendahnya mioinositol dalam sel maka terjadilah DPN (Subekti,

2009).

Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa kejadian DPN

berhubungan erat dengan lama dan beratnya DM (Subekti, 2009). Dalam

sebuah penelitian yang dilakukan Pirart pada 4400 pasiennya, dihasilkan

12% dari pasiennya yang baru pertama kali didiagnosis DM, telah

mengalami DPN, sedangkan lebih dari 50% pasiennya telah mengalami

DPN setelah menderita DM selama 25 tahun atau lebih (Tesfaye dan

Selvarajah, 2012). Hal ini membuktikan bahwa kejadian DPN terus

meningkat seiring dengan lamanya menderita DM (Feldman dan Vincent,

2004). Penelitian lain yang dilakukan pada 294 orang dengan DM tipe 2

menunjukkan bahwa lamanya menderita DM dan kadar HbA1c

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

26

merupakan faktor risiko yang signifikan pada kejadian DPN. Hasil

penelitian tersebut menyebutkan dari 294 pasien DM tipe 2, 19,7%nya

mengalami DPN. Prevalensi DPN meningkat seiring dengan

meningkatnya durasi menderita DM yaitu dari 14,1% (pasien telah

terdiagnosis DM tipe 2 selama 5 tahun) menjadi 27,8% (pasien telah

terdiagnosis DM tipe 2 selama 9-11 tahun). Kemudian hasil penelitian

tersebut juga menunjukan hubungan usia dengan kejadian DPN yaitu

11% dari pasien DPN berusia 23-40 tahun, dan prevalensinya meningkat

menjadi 32,3% pada pasien DPN yang berusia 60-80 tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

DPN. Ditemukan jumlah pasien DPN yang lebih tinggi pada pasien

dengan kebiasaan merokok, hipertensi, dan hiperkolestrolemia,

mikroalbuminuria, namun faktor-faktor tersebut bukan merupakan faktor

risiko DPN yang signifikan (Morkrid et al., 2010).

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

27

B. Kerangka Berpikir

Aktivasi

Jalur Poliol

Sorbitol di

dalam sel saraf

Fungsi dan Sintesis

Nitrit Oxide(NO)

Reactive oxygen

spescies (ROS)

DPN

AGEs

Vasodilatasi

mikrovaskuler

Aliran darah ke

saraf

Iskemik pada saraf

perifer

DM tipe 2

Kontrol Gula

Darah Buruk

Lama

Menderita

DM

Hiperglikemi kronis

Kerusakan endotel

vaskuler dan

menetralisir NO

Mioinositol

terhambat

Kadar mioinositol

dalam sel saraf

Kerusakan

vasa

nervosum

Kelainan

mikrovaskuler

Faktor risiko

kardiovaskuler :

Hipertensi,

Hiperlipidemia,

Merokok, Obesitas.

1.

2.

3.

Kontrol Gula

Darah Baik

Tidak DPN

Usia >60

tahun

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

28

Keterangan:

Garis tebal : Variabel yang diteliti

Tanda panah : Urutan peristiwa

Tanda panah di dalam kotak : panah ke atas berarti peningkatan, panah ke

bawah berarti penurunan.

C. HIPOTESIS

Ada hubungan antara lama menderita DM tipe 2 dan kadar gula darah

dengan kejadian DPN.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka · urin (poliuria) sehingga kadar air di dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam tubuh memicu rasa haus (polidipsi)

29