pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.1.1. Krisis Sejarah Sastra
Tahun 2002, kelompok Horison, yang diketuai oleh Taufiq Ismail, menerbitkan
semacam buku sejarah sastra Indonesia bertajuk Horison Sastra Indonesia. Buku
ini berisi empat jilid, yang meliputi Kitab Puisi (jilid 1), Kitab Cerita Pendek (jilid
2), Kitab Nukilan Novel (jilid 3), dan Kitab Drama (jilid 4). Tidak ada satu pun
dari jilid puisi dan cerpen yang memasukkan nama Sitor sebagai salah satu
pengarang. Begitu pula, tahun 1995, buku Ketika Kata Ketika Warna yang juga
dieditori oleh tim Horison mengumpulkan 50 penyair dan 50 pelukis tanah air,
nama Sitor juga tak disebut di dalamnya.
Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, yang tahun 2014
ini disusun oleh Jamal D Rahman dkk., juga disoroti, salah satunya, karena tak
memasukkan nama Sitor sebagai salah satu tokoh sastra di sana. Sitor juga
kehilangan nama, bukan hanya dalam kajian sastra Indonesia secara umum,
melainkan juga pada kajian sejarah karya eksil. Tahun 2002, terbit buku Di Negeri
Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, yang berisi 15 penyair yang dianggap
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
‘eksil’, namun Sitor tak masuk dalam daftar nama yang mengalami dislokasi
geografis tersebut.
Patut dimaklumi bahwa tiga buku pertama secara ideologis memang
berseberangan dengan Sitor, namun buku yang disebut terakhir tampaknya
memang perlu mempertimbangkan kembali atas ‘hilang’nya penyair Danau Toba
itu dalam daftar nama penyairnya. Demikian pula, catatan sejarah Maman S.
Mahayana, Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia
(2006), juga tidak menyebut Sitor dalam daftar pengarang cerpen angkatan 1945
sampai 1980an. Buku Maman memperpanjang catatan misterius Sitor dalam
sejarah sastra Indonesia kita.
1.1.2. Krisis Sejarah Estetis-Ideologis
Tidak semuanya memblacklist nama Sitor. Tahun 1982, Ajip Rosidi menulis
Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, yang merangkun nama-nama sastrawan dan
karya-karyanya dari 1900an sampai 1980an. Sitor termasuk dalam “Periode
Perkembangan (1945 - kini)” bersama dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai
Apin, Pramoedya A. Toer, Mochtar Lubis, Utuy T. Sontani, Balfas, Trisno
Sumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku ini
mengkategorisasikan Sitor sebagai sastrawan yang sevisi dengan Chairil dan
Pramoedya, baik secara estetis maupun ideologis.
Kajian historis Ajip di atas sebenarnya adalah kelanjutan dari esai panjang
H.B. Jassin yang ditulis sebelumnya, tahun 1952, berjudul “Angkatan ‘45”. Esai
itu lahir dari pembelaan Jassin terhadap kritik A.S. Dharta yang menyebut
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
‘angkatan ’45 sudah mampus!’. Esai yang pada akhirnya dibukukan dalam
Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay pada 1954 itu
menyebutkan bahwa sastrawan angkatan ’45 berbeda dari Pujangga Baru bukan
hanya dari gaya kepengarangan, melainkan juga dari visinya. Sitor, dengan
demikian, diklaim berbeda dari Pujangga Baru yang dikenal bergaya pantun
dengan Amir Hamzahnya itu.
Asep Sambodja lebih jelas lagi. Pada tahun 2010, buku sejarahnya
berjudul Historiografi Sastra Indonesia 1960an memasukkan Sitor sebagai
“sastrawan Lekra”. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengapa Sitor dianggap
berhaluan Lekra selain biografi singkat berupa latar belakang, aktivisme politik,
dan karya-karyanya. Buku yang lebih berupa pembagian total oposisi rezim
representasi semacam ini adalah respons Asep terhadap buku Yudiono K. S.,
Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, terbit 2007, yang dianggapnya cenderung
memihak sastrawan Manikebu dan karenya “harus segera direvisi!”.
1.1.3. Krisis Kajian Cerpen Sitor
Pada tahun 2009, JJ. Rizal, sejarahwan yang mungkin adalah satu-satunya di
Indonesia yang bergiat menulis sejarah Sitor, pada akhirnya menerbitkan
Menimbang Sitor Situmorang. Antologi ini memuat esai-esai panjang dan kritis
dari para kritikus semacam A. Teeuw, A. H. Johns, Afrizal Malna, Alle G.
Hoekema, Binhad Nurrohmat, C. H. Watson, D. S. Moeljanto, Farida
Soemargono, Harry Avelling, Hasyim Wahid, Johann Angelerler, Martina
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Heinschke, Muhammad Haji Saleh, Pranita Dewi, Radhar Panca Dhana, Sitok
Srengenge, Subagio Sastrowardouo, dan V.S. Naipul.
Buku ini seperti oase di tengah minimnya kajian terhadap karya-karya
Sitor. Sayangnya, dari sekian banyak kritikus ini, hanya Teeuw, Avelling, dan
Hoekema yang menjadikan cerpen Sitor sebagai bahan analisisnya, itu pun tidak
semuanya. Teeuw menyinggung beberapa cerpen dalam kumpulan Pangeran
terbit tahun 1963 yang ‘meski ditulis lebih lama kemudian, namun sama tinggi
mutunya, bahkan lebih matang.’ Aveling menyebut “Ibu Pergi ke Surga” sebagai
‘cerpen yang menggambarkan keterasingan mirip dengan “The Outsider”nya
Albert Camus.’ Hoekema menyebut “Ibu Pergi ke Surga” sebagai ‘perpaduan
sinkretis antara tradisi Batak dan agama Kristen.’
Denys Lombard, dalam Histories Courtes d’Indonésie yang ditulisnya
tahun 1968, berupaya mengumpulkan, memilih, menerjemahkan, dan mengulas
cerpen Indonesia yang meliputi periode 1933 – 1968. Terpilihlah 68 cerpen dari
48 pengarang Indonesia yang dianggap karyanya bukan saja bermutu, tetapi juga
bersifat dokumen sejarah. Salah satu cerpen yang termasuk di dalamnya adalah
cerpen “Pangeran” yang berkisah salah satu aspek dalam filsafat dan kosmologi
Jawa. Sangat singkat, tetapi menurut Lombard, ‘tak ada satu pun kalimat yang tak
berwujud pengamatan yang cemerlang; sebuah masterpiece.’ Selain dari semua
itu, jarang sekali kritikus yang menyebut cerpen-cerpen Sitor.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
1.1.4. Signifikansi Objek Material
Berangkat dari refleksi sederhana itu, terdapat suatu gambaran tentang betapa
akutnya persoalan historis, epistemologis, dan material yang berkaitan dengan
bukan hanya sosok Sitor, melainkan juga karya-karyanya, khususnya cerpen,
dalam belantara sastra Indonesia. Ada yang problematis dari penulisan sejarah
yang—meski berusaha memperoleh hasil objektif—cenderung berpijak pada
subjektivitas penulisnya. Hal ini, misalnya, tampak pada buku-buku sejarah di
muka yang tidak memasukkan nama Sitor ke dalam daftar sastrawan Indonesia.
Buku-buku itu secara tidak langsung telah membangun rezim etis bahwa Sitor
berada di bawah atau ‘berbeda kelas’ dari nama-nama pengarang lain yang diakui.
Terdapat pula reduksi epistemologis yang diambil oleh para sejarahwan
sastra Indonesia dalam memasukkan Sitor ke dalam rezim representasi atau
kategori tertentu, sehingga memudahkan Sitor disebut, digolongkan, dan
diringkus(?) ke dalam kelompok sastrawan yang menganut ideologi tertentu
dibanding ideologi yang lain. Apa yang dilakukan oleh Ajip dan Asep, menurut
penulis, sama-sama membentuk rezim representasi dengan menyebut Sitor
sebagai semata-mata ‘angkatan ‘45’ dan sebagai ‘sastrawan Lekra’. Rezim ini
jelas problematik jika dihubungkan dengan keterlibatan politik dan produktivitas
estetika Sitor dalam hampir 100 tahun hidupnya. Rezim itu, tak ubahnya rezim
sebelumnya, akan memperlihatkan kesan seolah-olah Sitor berhenti hanya sebagai
angkatan ’45 dan sastrawan Lekra.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Bukan hanya problem historis dan epistemologis, kita juga menghadapi
problem material ketika sedikit sekali kritikus yang berusaha menfokuskan kajian
mereka pada cerpen-cerpen Sitor. Bukan hanya karena cerpen-cerpen itu baru
dibukukan secara serius oleh Komunitas Bambu pada tahun 2011 kemarin,
melainkan juga karena secara kuantitas—harus diakui—cerpen Sitor yang
berjumlah 23 judul itu masih kalah jauh dibanding puisi-puisinya yang mencapai
lebih dari 650 judul! Jomplangnya jumlah antara cerpen dan puisi Sitor inilah
yang tampaknya mempengaruhi rendahnya minat kritikus terhadap cerpen Sitor,
karena puisi dianggap lebih mampu mendeskripsikan kehidupan Sitor yang
kompleks itu.
Penulis tidak menafikan hal tersebut. Namun, mengabaikan keberadaan
cerpen Sitor, berarti menghapus sekitar seperempat kehidupannya. Karena itulah,
studi ini didedikasikan secara khusus untuk membahas lebih detail cerpen-cerpen
Sitor, bukan semata-mata untuk mendudukkan (kembali) Sitor dalam tonggak
sejarah sastra modern di Indonesia, melainkan juga untuk melihat penyair Raja
Usu itu dari perspektif yang tidak, belum, atau sedikit disinggung oleh para
kritikus lain sebelumnya.
Pertanyaannya kemudian: Apa yang ditempuh oleh studi ini untuk
mencapai tujuan tersebut? Dan mengapa disposisi argumentatif yang dijadikan
pijakan oleh studi ini dianggap mampu menjawab tiga problem mendasar
sebagaimana yang sudah disebutkan di atas?
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
1.1.5. Signifikansi Objek Formal
Studi ini ingin menjelajahi salah satu aspek yang menurut penulis jarang ditempuh
oleh para kritikus dalam menganalisis cerpen-cerpen Sitor, yakni mimesis.
Mengapa harus mimesis? Mimesis menjadi isu fundamental dalam setiap kajian
seni dan/atau sastra. Setiap produk kesusastraan tidak akan lahir tanpa mimesis,
tanpa mengimitasi sesuatu yang dianggap orisinal: alam, kebenaran, keindahan,
situasi, gagasan, dan seterusnya. Mimesis juga mencakup banyak konteks:
emulasi, mimikri, ganda, teatrikalitas, realisme, identifikasi, korespodensi,
rekayasa, dan sebagainya.
Memang tidak semua seni/sastra itu mimetik, tetapi konsep seni/sastra itu
sendiri tak bisa dipahami tanpa teori mimesis. Sejak lebih dari 20 ribu tahun yang
lalu, dalam Republic, Plato menyatakan “seni adalah imitasi dari segala sesuatu
yang riil” (1991: 123). Ia adalah ilusi, sehingga perlu dibedakan dari yang asli,
dari alam dan kebenaran. Tetapi, konsep Platon ini ditentang keras, salah satunya,
oleh Jacques Derrida (1981: 187) yang menyatakan “seluruh sejarah interpretasi
seni telah bergerak dan berubah dalam berbagai kemungkinan logis yang
terbuka/dibuka oleh konsep mimesis”. Tanpa pengetahuan tentang mimesis,
hampir mustahil kita bisa memahami teori Barat tentang interpretasi artistik.
Signifikansi menggunakan mimesis terletak bukan hanya pada upaya
mencari esensi sastra sebagai imitasi, sejarah sebagai imitasi, seni sebagai imitasi,
melainkan juga pada pembuktian bahwa mimesis selalu mensyaratkan adanya
dialektika antara dua subjek/objek. Itu berarti bahwa setiap sejarah, sastra, seni,
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
atau apapun itu selalu melibatkan proses dialektis yang tidak sebentar. Dialektika
ini mempertemukan bukan hanya tokoh-tokoh dalam karya sastra, melainkan juga
sastra dan pengarangnya, serta pengarang dan aktivitas politisnya.
Namun, dialektika tersebut lahir bukan dari ruang kosong. Ia muncul,
pertama-tama, karena ada hasrat (desire), keinginan subjek untuk mengimitasi
subjek/objek lain. Sejarah agama-agama, tradisi, dan sastra selalu tidak lepas dari
hasrat ini. Demikian pula dalam cerpen-cerpen Sitor, hasrat tersebut bisa dilihat
dalam dialektika antartokoh. Dalam cerpen “Jin”, misalnya, yang mengisahkan
adat sesembahan kepada Dewa Sungai di Batak, memperlihatkan dialektika
mimetis seorang kepala adat yang ingin meniru apa yang dilakukan oleh
leluhurnya dengan menjadikan Aman Doang sebagai korban. Dialektika mimetis
yang selalu dimulai oleh hasrat inilah yang menjadi dasar bagi semua aktivitas
ritus, agama, dan kebudayaan kita (Girard, 1965: 43).
Kemunculan dialektika dalam struktur internal cerpen Sitor ini kemudian
dibawa ke ranah struktur eksternal yang melibatkan hubungan antara cerpen
tersebut dan sejarah kehidupan Sitor. Meski masih sangat samar-samar, terlihat di
sana bahwa dialektika struktur internal itu bukanlah suatu kebetulan, melainkan
suatu praasumsi yang objektivitasnya bisa diuji pada kondisi Sitor di kehidupan
nyata. Sitor mengalami banyak ketegangan, dialektika, pengalaman, dan “luka”
saat menulis cerpen-cerpennya. Cerpen “Peribahasa Jepang”, misalnya, ditulis
layaknya sebuah obituari bagi teman seperjuangan Sitor dari Jepang, Yukio
Mishima, yang meninggal karena tradisi harakiri.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Akan tetapi, analisis yang berhenti hanya pada persoalan dialektika,
kontestasi, dan gerak ganda ini diyakini tidak seluruhnya mampu mengungkap sisi
ideologis dari cerpen-cerpen Sitor. Alih-alih mengungkap sisi ideologis, analisis
semacam itu—meski penting—seringkali tidak bisa melepaskan diri dari rezim
etis dan representatif di atas. Dialektika hanya mensyaratkan adanya
keterpecahan, yang tak jarang berakhir pada sintesis mesianik. Kita bisa
mengingat bagaimana beberapa kritikus yang telah disebutkan di muka pada
akhirnya terjebak pada kesimpulan yang bertendensi ‘teologis’ dan ‘mesianik’,
karena melihat latar belakang Sitor sebagai Kristiani, atau karena melihat teks
Sitor berkecenderungan ‘redemptif’ dan ‘terbelah dua.’
1.1.6. Signifikansi Isu Penelitian
Pertanyaannya kemudian: Apakah teks yang menawarkan dialektika tersebut
selalu diklaim berhaluan mesianis? Jika demikian, apa bedanya kecenderungan
mesianis ini dengan upaya mengidealisasi teks dan/atau sosok Sitor itu sendiri?
Tidak.
Sitor dan karya-karyanya tidak berhenti hanya pada dialektika dan
mesianisme itu, melainkan membawanya ke ranah politis, sebuah ranah yang
memungkinkannya untuk melampaui kelasnya sendiri sebagai penyair. Riset ini
didesain dalam kerangka “politik estetika” Sitor Situmorang, yang memperoleh
pendasarannya pada gagasan mimesis Jacques Ranciere. Bagi Ranciere, mimesis
seharusnya tidak memisahkan antara yang-estetis dari yang-politis; mimesis
seharusnya tidak melulu berkutat pada ‘dialektika antarseni’, tetapi juga
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
mempersoalkan ‘distribusi estetika’ (the distribution of sensible) yang dapat
menghapus segala upaya dialektis yang umumnya hanya mempertajam
antagonisme antarkelas/representasi seni. Dengan tidak memisahkan yang-estetis
dari yang-politis, potensi untuk membawa Sitor bermigrasi, berpindah-pindah,
berbolak-balik dari kelas penyair ke kelas wartawan ke kelas rohaniwan ke kelas
politikus, dan seterusnya, sangat mungkin dilakukan.
Berbeda dari banyak kritikus yang menjadikan karya-karya Sitor sebagai
cerminan dari aktivitas politiknya, sehingga tak jarang membuat mereka terjebak
dalam rezim etis (memandang Sitor sebagai ‘kelompok/kelas sastrawan’ yang
berbeda dari kelompok/kelas sastrawan-sastrawan lain) dan rezim representatif
(memandang karya Sitor hanya berhenti pada salah satu atau salah dua di antara
sekian banyak representasi seni, estetika, dan/atau sastra), apa yang ingin
diungkap oleh studi ini nantinya justru lebih radikal: melihat aktivitas politik
institusional sebagai estetika itu sendiri, bahkan melihat segala aktivitas di luar
politik institutisional itu sebagai bagian dari estetika, tanpa harus melepaskan
keterkaitannya dengan cerpen-cerpen yang ia hasilkan.
Akan tetapi, semua ini sulit dilakukan tanpa terlebih dahulu melacak
dialektika struktur internal (form) dan struktur eksternal (reference), tanpa
melacak luka dan apologia, dalam karya-karya Sitor dan kehidupannya. Dengan
terlebih dahulu melacak luka dan apologia dalam cerpen-cerpen Sitor, kita bisa
melihat kemungkinan adanya paradoksa, suatu ambiguitas yang bisa dijadikan
pijakan untuk melampaui keduanya. Hanya dengan cara inilah kita bisa melihat
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
ideologi (ideology) Sitor yang—menurut penulis—lebih kompleks dari apa yang
pernah ditulis oleh kritikus-kritikus lain.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Ada tiga pokok permasalahan yang ingin ditelusuri dalam studi ini.
1.2.1. Langkanya riset terhadap cerpen-cerpen Sitor pada umumnya disebabkan
bukan hanya oleh faktor material yang lebih memilih puisi-puisinya
sebagai objek kajian, melainkan juga oleh faktor historis dan
epistemologis yang memosisikan Sitor berada dalam kelas sastrawan yang
berbeda dari kelas sastrawan lainnya, baik secara ideologis maupun estetis.
1.2.2. Untuk merespons kedua masalah itu, dibutuhkan suatu analisis yang
cermat terhadap pertama-tama struktur internal dalam cerpen-cerpen Sitor
dengan menggunakan gagasan mimesis Rene Girard, untuk kemudian
dibuktikan secara historis melalui gagasan mimesis Erich Auerbach dalam
rangka menunjukkan bahwa Sitor selalu berada dalam gerak ganda yang
tak mudah dikategorisasi.
1.2.3. Agar dialektika ini tidak terjebak sekadar mengidealisasi ideologi Sitor,
maka gagasan mimesis ketiga dari Jacques Ranciere digunakan untuk
melihat kemungkinan diradikalkannya gerak-ganda tersebut ke isu politik
estetika yang tidak memisahkan yang-politis dari yang-estetis, begitu pula
sebaliknya, sehingga kompleksitas kehidupan Sitor dapat dijangkau dalam
kaitannya dengan cerpen-cerpennya.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat tiga pertanyaan penelitian yang
ingin dijawab dalam studi ini.
1.3.1. Bagaimana hasrat segitiga yang berpijak pada gagasan mimesis Rene
Girard merepresentasikan dialektika internal antartokoh dalam cerpen-
cerpen Sitor?
1.3.2. Bagaimana realisme figural yang berpijak pada gagasam mimesis Erich
Auerbach merepresentasikan dialektika eksternal antara cerpen-cerpen
Sitor dan sejarah yang membentuknya?
1.3.3. Bagaimana politik estetika yang berpijak pada gagasan mimesis Jacques
Ranciere merepresentasikan ideologi Sitor dalam kaitannya dengan
cerpen-cerpennya?
1.4. TUJUAN PENELITIAN
1.4.1. Tujuan Teoretis
1. Memetakan tipologi tematik dan ideologis dari cerpen-cerpen Sitor dalam
kerangka gagasan trilogi mimesis (Girard, Auerbach, Ranciere).
2. Memberi sumbangsih teoretik bagi sekian banyak kritik sastra yang telah
ditulis terkait dengan karya Sitor Situmorang.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
1.4.2. Tujuan Praktis
1. Mendudukkan cerpen-cerpen Sitor sebagai objek kajian, selain puisi-
puisinya, yang perlu mendapat tempat tersendiri dalam kritik sastra.
2. Menyajian kajian akademis yang sistematis terkait dengan cerpen-cerpen
Sitor agar dapat dimanfaatkan untuk kajian-kajian lain yang serupa.
1.5. TINJAUAN PUSTAKA
1.5.1. Studi-studi terdahulu
Di Indonesia, khususnya, Komunitas Bambu adalah penerbit yang paling sering
menerbitkan karya-karya Sitor. Ia dikoordinatori oleh sejarahwan alumnus
Fakultas Sastra UI, J.J. Rizal, yang pada tahun 1998 skripsinya berjudul Sitor
Situmorang: Biografi Politik 1956-1967 telah membawanya menekuni sosok dan
kreativitas penyair Raja Usu itu. Biografi ini kemudian dipublikasikan dalam
bentuk buku berjudul Sitor Situmorang: Biografi Singkat 1924-2014 dan dirilis
menjelang acara “100 Kenangan Bersama Sitor Situmorang” di Freedom Institute,
Jakarta, 28 April 2015.
Dalam buku ini, Rizal mengajukan suatu deskripsi berbasis sejarah yang
cukup komprehensif tentang sepak-terjang Sitor dalam dunia politik sejak
kelahiran hingga menjelang kematiannya. Menurut Rizal (2014), Sitor termasuk
sedikit dari sastrawan yang tidak mengalami ambiguitas moral dan politik yang
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
membebani kaum intelektual sekular Indonesia modern. Ia menempuh jalan
individual yang eksistensialistik dan romantik sekaligus jalan Angkatan yang
melibatkan penciptaannya dengan berbagai pengalaman dalam bermacam-
macam zaman. Sebagai sebuah teks sejarah, buku Rizal memberi kontribusi
penting dalam riset ini dalam melacak politik ‘praktis’ yang dijalankan oleh Sitor,
meski ia tidak memberi cukup ruang bagi eksplorasi pengalaman estetis Sitor.
Biografi tersebut, menurut Rizal, menampilkan sosok Sitor yang tidak
diungkap dalam otobiografi yang ditulis oleh Sitor sendiri bertajuk Sitor
Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (1981). Otobiografi ini
mengungkap semacam kesaksian pribadi Sitor atas perjalanan hidupnya sendiri
sejak lahir hingga sekitar tahun 1970an. Uniknya, dari sekian banyak pengalaman
itu, Sitor tak menceritakan dukungan politiknya terhadap Soekarno, sesuatu yang
sempat dikritik oleh Ajip Rosidi (dalam Ridho, ), dan akhirnya dilengkapi secara
elegan dalam biografi politik gubahan Rizal. Sebagai sebuah kesaksian sejarah,
buku ini tentu sangat relevan untuk mengetahui kepribadian Sitor, tapi ia tidak
memberi arahan yang memadai tentang bagaimana proses kreativitas dan estetika
Sitor.
Estetika Sitor dielaborasi lebih komprehensif dalam buku Menimbang
Sitor Situmorang (2009), sebuah antologi esai yang memuat berbagai kesan,
catatan kritis, esai, komentar, dari berbagai pakar dan rekan sejawat Sitor, seperti
VS Naipaul, Subagio Sastrowardoyo, A. Teeuw, Alle Hoekema, Johann Angerler,
Martin Heinschke, dan sebagainya. Yang paling relevan dengan studi ini adalah
pembacaan Heinschke karena ia menimbang kembali migrasi-migrasi estetika
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
kesenian Sitor tahun 50-an. Alih-alih menganggapnya sebagai inkonsistensi,
Heinschke justru memandangnya sebagai representasi dari identitas sastrawan
yang mencari identitas di negeri yang juga mencari identitas. Antologi tersebut
jelas berguna dalam membangun kerangka umum estetika Sitor, namun ia tidak
terlalu detail menempatkan estetika dalam kaitannya dengan politik.
Sumbangsih teoretik terkait dengan tema studi ini berusaha dilakukan oleh
penelitian Novita Dyah, Simbol-Simbol Mimesis dalam Puisi-puisi Apollinaire
dan Sitor Situmorang: Sebuah Kajian Perbandingan (2003). Dalam riset
mahasiswi Sastra Prancis UGM ini, simbol-simbol mimesis, seperti air, sungai,
jembatan, musim gugur, hutan, angin, salju, jurang, pohon, yang digunakan oleh
kedua penyair asal Indonesia dan Prancis tersebut diperbandingkan untuk
mengetahui apa perbedaan dan kesamaan keduanya. Kredit harus diberikan pada
Dyah karena ia telah berusaha menggunakan mimesis Platon untuk mengakaji
karya-karya Sitor, yang tentu saja juga berkaitan dengan studi yang menggunakan
mimesis sebagai basis teoretisnya ini. Namun, riset tersebut masih berfokus pada
struktur internalnya, dan tidak lebih jauh menelusuri kemungkinan struktur
eksternal dan politik estetika yang dijalankan oleh kedua penyair itu.
1.5.2. Posisi Studi Ini
Studi ini menempuh jalan memutar dengan terlebih dahulu mengafirmasi studi-
studi sebelumnya untuk kemudian sedikit demi sedikit melampauinya. Studi ini
sepakat dengan apa yang ditulis oleh Rizal, utamanya dalam memahami Sitor
sebagai penyair yang mendapat pengaruh eksistensialistik, romantik, dan
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
nasionalis sekaligus. Namun, studi ini tidak sepakat dengan apa yang dibayangkan
Rizal secara negatif sebagai ‘ambiguitas’, karena justru ambiguitas inilah awal-
mula Sitor memperlihatkan radikalitas politiknya di ranah estetika, suatu
ambiguitas yang justru membawanya pada migrasi kelas.
Studi ini juga mengafirmasi otobiografi Sitor dalam hampir keseluruhan
kontennya, karena ia adalah kesaksian sejarah yang sulit sekali dibantah
objektivitasnya. Namun, dengan berpijak pada sikap Sitor yang tidak senang
dengan para kritikus yang menghubungkan karyanya dengan kepribadian
pengarangnya’, maka otobiografi itu penulis gunakan tak lebih sebagai batu
loncatan untuk melihat bukan hanya kepribadian, melainkan juga politik estetika
yang dijalankan oleh Sitor dengan tetap tidak memisahkan fakta sejarah yang
ditulis oleh pengarangnya sendiri.
Apa yang ditempuh oleh banyak kritikus dan sastrawan dalam buku
Menimbang Sitor Situmorang tentu memperoleh persetujuan teoretik pula dalam
studi ini. Yang terutama adalah studi Heinscke yang samar-samar relevan dengan
riset ini dalam memandang sejenis migrasi estetik Sitor. Namun, yang patut
disayangkan adalah langkanya kajian terhadap cerpen-cerpen Sitor pada hampir
semua esai dalam buku itu (karena umumnya berfokus pada puisi). Persis di titik
inilah, studi ini ingin memberi kontribusi tersendiri dalam mencurahkan energinya
untuk mengkaji cerpen-cerpen Sitor.
Hal ini pula yang luput dibicarakan oleh riset Novita Dyah, karena objek
materialnya adalah puisi-puisi Sitor. Tidak hanya itu, meskipun studi ini memiliki
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
relevansi teoretik dengan studi Dyah, ia tidak serta merta menyetujuinya karena
trilogi mimesis yang digunakan dalam riset ini justru ingin mengkritik mimesis
Platon. Artinya, studi ini mengafirmasi sekaligus mengkritik apa yang dilakukan
Dyah untuk memperlihatkan adanya kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa
ditarik dari penggunaan tiga gagasan mimesis kontemporer.
1.6. KERANGKA TEORI
1.6.1. Trilogi Mimesis
Ada tiga kerangka teoretik yang digunakan untuk menelaah cerpen-cerpen Sitor
ini. Ketiga-tiganya sama-sama menjadikan mimesis sebagai dasar pijak.
1. Gagasan hasrat segitiga Rene Girard digunakan untuk menelaah dialektika
antartokoh dalam cerpen-cerpen Sitor untuk menunjukkan bahwa Sitor
memang sejak awal berada bergerak ganda dalam struktur internal cerpen-
cerpennya.
2. Gagasan realisme figural Erich Auerbach diterapkan untuk menelusuri
struktur eksternal cerpen-cerpen tersebut dengan menyasar hubungan
historis antara cerpen Sitor dan kehidupannya di alam nyata, serta relasi
intertekstual cerpen-cerpen Sitor dan puisi-puisinya.
3. Gagasan politik estetik Jacques Ranciere dimanfaatkan untuk melampaui
tendensi teologis dari dua gagasan mimesis sebelumnya, sekaligus
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
memperlihatkan lebih jauh ideologi estetik yang dijalankan oleh Sitor
dengan, melalui, dan dalam cerpen-cerpennya.
Dari ketiga gagasan di atas, bisa dilihat bahwa argumentasi yang ingin
dibangun oleh studi ini mencakup tiga hal: bentuk (form), referensi (reference),
dan ideologi (ideology) dalam cerpen-cerpen Sitor.
Ketiga gagasan tersebut akan diuraikan lebih jauh berikut ini.
Mimesis 1: Rene Girard
Dasar Historis: Rene Girard lahir di Avignon, Prancis, persis di Hari Natal 1923.
Guru besar sastra di John Hopkins University, Baltimore, tahun 1961-1968.
Tahun 1966, bersama Barthes, Derrida, dan Lacan, mengorganisir simposium
bertema “The Languages of Criticism and the Sciences Man.” Di masa mudanya,
ia adalah pemikir kekiri-kirian. Ia juga agnostik selama 26 tahun. Pada perayaan
Paskah 1959, ia “bertobat” dan menjadi Katolik. Pertobataan itu, diakui Girard,
setelah ia mempelajari novel-novel karya penulis besar: Miquel de Cervantes,
Gustave Flaubert, Stendhal, Marcel Proust, dan Fyodor Dostojovsky. Girard
terheran-heran, bagaimana novelis-novelis klasik itu menuliskan pergulatan
tokoh-tokohnya melawan segala kesia-siaan diri, sampai akhirnya mereka mau
meninggalkan kesia-siaan itu, lalu menerima dirinya, apa adanya. Perilaku mereka
mirip dengan suatu pertobatan religius.
Hasrat Segitiga: Hasrat segitiga berpijak pada tiga gagasan penting:
mimesis, kambing hitam, dan Kristianitas. Bagi Girard, mimesis selalu diawali
oleh hasrat, keinginan untuk meniru. Subjek tidak benar-benar menghasrati objek,
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
melainkan menghasrati apa yang dihasrati subjek lain (mediator) terhadap objek
tersebut. Objek menjadi penting karena ia direbut dalam proses dialektis antara
subjek dan mediator. Terkadang, mediator yang semula adalah model, lama-lama
dianggap menjadi rival bagi subjek yang menghalangi hasratnya (Girard, 1965:
34). Agar subjek tidak terkesan meniru mediator, ia mencari korban. Korban ini
disebut sebagai ‘kambing hitam’, sehingga peniruannya terkesan ‘perlu dan
penting.’ Untuk memutus krisis korbani ini, dibutuhkan apologia. Apologia ini
bukanlah sekadar penyesalan atau permintaan maaf, melainkan juga penyingkapan
terhadap struktur ambigu identitas dalam hasrat segita. Dan Girard memilih jalur
apologetik ini melalui pertobatan religius (Perjanjian Baru) yang sebelumnya
sudah ia lakukan melalui pertobatan intelektualnya. Bagi Girard, Injil tidak hanya
menyingkap mekanisme kambing hitam, melainkan juga memutusnya melalui
figur Yesus yang rela menjadi korban atas penebusan dosa jemaat meski ia tak
bersalah (Sindhunata, 2007: 309).
Model Pembacaan: Girard memberi dasar teoretik yang memadai dalam
menelaah struktur internal karya sastra berdasarkan hasrat segitiga itu. Ini
dicontohkan pada analisisnya terhadap karya Miquel de Cervantes, Don Quixote.
Di sana diceritakan, dalam setiap objek yang diinginkan oleh ksatria Don Quixote,
Amadis selalu hadir. Amadis adalah pahlawan yang selalu dibayangkan oleh Don
Quixote. Bagi Girard, Don Quixote ingin menjadi pahlawan bukan karena
kepahlawanan (objek) yang demikian menariknya, bukan pula karena Don
Quixote sendiri (subjek) memang menghasratinya, melainkan karena ia ingin
meniru Amadis, yang menjadi tokoh idolanya, menjadi mediatornya. Untuk
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
meniru ini, tak jarang Don Quixote harus mencari korban (kambing hitam),
misalnya, saat ia menghajar seorang tukang pedati yang terpaksa menyingkirkan
baju zirahnya karena hendak mengambil air. Jadi, bukan subjek, tapi mediatorlah
yang menentukan objek bagi subjek. Subjek dan mediator tidak berada dalam
garis linear, melainkan dalam hubungan segitiga. Apologianya terletak ketika
eksistensi kepahlawanan itu disingkap sebagai imitatio (peniruan), seperti
peniruan Don Quixote terhadap Amadis, yang sama artinya dengan Imitatio
Christi (Mengikuti Jejak Kristus), yang menjadi eksistensi agama Kristen.
Idealisasi Mesianik: Jauh sebelum Girard, Hegel sebenarnya juga pernah
berbicara tentang hasrat. Perbedaannya, Hegel menyebut hasrat terjadi ketika
subjek (Tuan) menghasrati agar mediator (Budak) menghasrati hasrat subjek,
sehingga mengakuinya sebagai subjek (I desire the desire of the other). Pada
Girard, hasrat subjek diatur menurut apa yang dihasratkan mediator; subjek
menghasrati objek yang sama seperti yang dihasrati mediator (I desire according
to the other). Di sini, meskipun Girard berusaha melampaui Hegel, ia pada
kenyataannya terjebak pada idealisme Hegelian, utamanya ketika ia sampai pada
apologia Kristen. Jadi, tak ubahnya Hegel yang berbicara sintesis lahir dari
dialektika antara tesis dan antitesis, maka Girard juga berbicara apologia lahir dari
dialektika antara subjek, mediator, dan objek. Yang membedakan hanyalah proses
dialektika itu. Namun, keduanya sama-sama berakhir pada tendensi ‘mistika’,
tendensi ‘teologis.’ Apologia Girard adalah sintesis mesianik dari dialektika itu.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Mimesis 2: Erich Auerbach
Dasar Historis: Lahir di Berlin tahun 1892 di lingkungan keluarga Yahudi. Belajar
hukum di Berlin University dari 1910 sampai 1913, tapi minatnya justru pada
filsafat, sejarah, seni, dan sastra Romantik. Dalam disertasinya, sebagaimana
Girard, Auerbach juga menyinggung Don Quixote yang disebutnya sebagai orang
yang dikungkung kebebasannya “karena selalu dipengaruhi oleh kepahlawanan
orang lain.” Para tokoh dalam novel Don Quixote, menurut Auerbach, dapat
dianggap sebagai representasi yang memprafigurasi sejarah estetika
pengarangnya, Cervantes. Tahun 1921, ia menerjamahkan buku Giambattista
Vico, The New Science, yang membawa minatnya pada historisisme estetis.
Ketika Nazi muncul, posisinya dicabut dan ia dibuang ke Istanbul Turki pada
1936. Bukunya, Mimesis: The Representation of Reality in Western Literature,
(dalam bahasa Jermannya terbit pertama kali tahun 2001), ditulis selama masa
‘eksil’nya di Istanbul. Mimesis menjadi semacam kritik apologetik terhadap
filologi Arya.
Realisme Figural: Menurut Hayden White (1999: 23), Mimesis-nya
Auerbach menggunakan model figuralis untuk “menjelaskan tidak hanya relasi
antara berbagai teks sastra melainkan juga relasi antara teks tersebut dan konteks
historisnya.” Apa yang dilakukan Auerbach adalah menjadikan teks sastra,
metafor-metafornya, bahasa simboliknya, dan representasi alegorisnya, bukan
sekadar sebagai ekspresi atas apa yang ingin disampaikan, melainkan
penyingkapan atas sesuatu yang lebih besar dari itu: tentang dunia (imanen) dan
sesuatu di luarnya (transenden). Auerbach membedakan antara alegori dan figura.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Yang pertama sekadar bergerak “horizontal”, berkaitan dengan alam “temporal
dan kausal”, sementara yang kedua bergerak ganda antara yang “horizontal” dan
“vertikal”, antara alam eskatologis dan alam apokalptik. Realisme historis,
menurut Auerbach, seharusnya berpijak pada figura ini. Dibanding
memperlihatkan segalanya secara objektif dan terbuka, sejarah seharusnya tetap
menunjukkan something still concealed (sesuatu yang tersembunyi, misterius,
apokaliptik). Persis ketika Auerbach menarik sejarah ke titik terjauh ‘yang-akan-
datang’ itu, ia sebenarnya sedang menjalankan apologianya sendiri.
Model Pembacaan: Auerbach memberi pijakan teoretik yang penting
untuk menganalisis struktur eksternal cerpen-cerpen Sitor dalam kaitannya dengan
sejarah yang membetuknya, atau dengan puisi-puisinya. Hal ini dicontohkan oleh
Auerbach sendiri pada analisisnya terhadap novel Carvantes, Don Quixote, yang
dianggapnya memprafigurasi proyek estetika Carvantes itu sendiri yang
didasarkan pada dialektika antara sastra dan hukum, sebagaimana dalam proyek-
proyek estetika pengarang Jerman umumnya, seperti Goethe, Grimm, dan Franz
Kafka. Di bab pertama dalam bukunya Mimesis, Aeurbach memberi contoh lain
berupa hubungan antara Odysseus-nya Homer dan Perjanjian Lama. Menurut
Auerbach, saat menggambarkan momen penemuan luka Odysseus oleh Euryclea,
Homer menggunakan gaya bahasa “yang benar-benar eksternalistik, yang tampak,
yang jelas dan terang benderang dalam setiap sudutnya”. Sementara itu, momen
penyembelihan Ishak dalam Perjanjian Lama justru menggunakan bahasa dan
adegan “yang penuh misteri, ketakterungkapan, apokaliptik” (Auerbach, 1974: 5).
Bagi Auerbach, sejarah yang ingin mengungkap semuanya secara detail dan jelas
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
(alegori)—seperti yang dilakukan oleh Nazi, misalnya—perlu dikritik dan diganti
dengan sejarah yang juga menghargai the other (figura)—seperti yang dilakukan
oleh Yahudi melalui Perjanjian Lamanya. Inilah bentuk realisme yang
sesungguhnya.
Idealisasi Mesianik: Meskipun mimesis Auerbach bisa digunakan untuk
menelaah struktur eksternal cerpen-cerpen Sitor, yang berarti pula bahwa
gagasannya adalah tindak lanjut dari mimesis Girard, ia tak bisa lepas dari
apologia mesianiknya. Yang problematik dari Auerbach adalah idealisme
Hegeliannya, karena—seperti diakui sendiri—bahwa tujuan Mimesis adalah untuk
menulis sejarah, sejarah yang tidak bisa dibaca kecuali dalam romantisisme
Jerman dan tradisi Hegel. Sejarah idealisme Hegel yang selalu dikalim
bertendensi ‘mistika’ ini kemudian diperkuat kembali dengan gagasan Auerbach
tentang figura, yang merujuk pada mesianisme Yahudi. Artinya, Auerbach pun
tidak bisa lepas dari tendensi ‘teologis’ sebagaimana Girard. Bedanya, jika
Auerbach sejak awal menyadari bahwa gagasan mimesisnya lahir dari sebuah
“luka” (sebagai eksil Yahudi) untuk menjembatani dialektika tersebut (antara teks
dan sejarah), maka Girard baru menyadari itu di akhir ketika ia memutuskan untuk
melakukan pertobatan religius (sebagai penganut Kristen) setelah ia menjelaskan
dialektika tersebut. Kesamaannya adalah tendensi ‘apologia mistis’ Hegelian yang
terdapat pada gagasan mimesis mereka.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
Mimesis 3: Jacques Ranciere
Dasar Historis: Lahir di Aljeria pada tahun 1940. Dikenal sebagai murid
Althusser. Namun, setelah peristiwa Mei 1968, Ranciere berpisah dengan
gurunya. Ia bahkan menerbitkan sebuah esai pada tahun 1969 yang melancarkan
kritik keras terhadap pemikiran Althusser. Setelah berpisah dari Althusser,
Ranciere kemudian bergabung dengan semacam organisasi mahasiswa-pekerja
berhaluan Maois yang membuat dia mondar-mandir antara universitas dan pabrik.
Dalam periode akhir 1970an hingga awal 1980an, ia menerbitkan karya-karya
yang berpengaruh besar: The Night of Labor (1981) dan The Philosopher and His
Poor (1983). Tahun 1990, ia mengepalai Chairs of Aesthetic and Politics. Tahun
2000, terbit The Politics of Aesthetics yang menjadi salah satu buku teoretiknya
untuk menjembatani antara yang-estetis dan yang-politis.
Politik Estetika: Politik estetika dibangun atas dasar kritik Ranciere
terhadap Plato, Aristoteles, dan Marx. Ia mengkritik Plato karena archipolitics-
nya: memisahkan orang berdasarkan partisi dan kelas yang rigid (beda antara
seniman dan pekerja, misalnya). Aristoteles dikritik karena parapolitics-nya:
depolitisasi politik yang menempatkan konflik sebagai sesuatu yang inheren,
namun pada akhirnya dimasukkan lagi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih
lembek, semacam representasi. Kritiknya terhadap Marx disebabkan metapolitics-
nya: menolak segala sesuatu yang politik karena dianggap tak lebih dari etalase
dari kepentingan relasi produksi dominan (Robertus, 2010: 5). Ranciere
menawarkan gagasan “migrasi kelas”, yakni gerak subjek untuk melampaui
batasan-batasan sosial/ekonomi dan kebudayaan yang menempatkannya pada
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
posisi statis tertentu. Bagi Ranciere, mimesis seharusnya berada dalam poros
semacam ini. Karena subjek di sini sejak awal diposisikan sebagai subjek yang
berpikir, maka persisi di titik inilah Ranciere memasukkan yang estetis dalam
yang politis (Ranciere, 2004: 13). Yang estetis, bagi Ranciere, adalah kemampuan
berpikir dan berbuat, yang dimiliki oleh semua orang, sehingga
memungkinkannya bergerak ‘politis’ di antara kelas-kelas yang berbeda.
Model Pembacaan: Ranciere memberi gagasan penting dalam
menganalisis cerpen-cerpen Sitor dan kompleksitas gerakan politisnya di
lapangan. Dengan tidak memisahkan yang politis sebagai yang estetis, Ranciere
menawarkan arus ganda: arus melalui jalur subjek (pekerja yang menulis sastra)
dan arus melalui jalur sastra (karyanya). Wiji Thukul termasuk pada arus pertama,
karena ia dianggap sebagai buruh namun ia berhasil melakukan migrasi kelas
dengan membaca filsafat dan karya sastra, sementara Chairil Anwar masuk pada
arus kedua, karena karya-karyanya mampu melintasi batasan dan partisi sosial.
Meskipun puisi Chairil adalah estetika borjuis, ia tetap revolusioner karena
memberi kesempatan migrasi, menghapus partisi, termasuk m enghapus eksistensi
pengarangnya sendiri. Hal ini memungkinkan terjadi—apa yang disebut
Ranciere—sebagai revolusi estetika: guncangan terhadap seni yang telah
didefinisikan sebagai sebuah kerangka tindakan yang sistematis, guncangan
terhadap seluruh hierarki konsepsi dan sensibilitas.
Kompleksitas Material: Harus diakui, Ranciere memang mencoba
membumikan idealisme mimesis Girard dan Auerbach ke ranah yang sifatnya
lebih ‘material’ dan ‘politis’. Ia tidak hanya meradikalisasi apologia mesianik ke
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
dalam apologia yang benar-benar mengguncang dominasi kelas melalui
kesetaraan sebagai ontologi dan migrasi kelas sebagai epistemologinya. Namun,
menurut Hallward (2005: 43), titik berangkat ini rasanya tidak ditopang oleh
kenyataan-kenyataan konkret mengenai apa bentuk-bentuk politik kesetaraan yang
disampaikannya. Akibatnya, kita tidak memiliki tambatan yang memadai untuk
menjelaskan apa itu politik estetika. Karena itulah, Ranciere, bagi saya, bisa
ditutupi kekurangannya dengan mengintegrasikan gagasan mimesisnya ini dengan
dua gagasan mimesis sebelumnya, begitu pula sebaliknya.
1.6.2. Desain Teoretik
Hubungan antara trilogi mimesis ini dengan analisis yang nantinya akan
diterapkan pada cerpen-cerpen Sitor dapat dilihat pada gambar berikut.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
Gambar 1:
Desain Teoretik: Trilogi Mimesis dalam
Ibu Pergi ke Surga Sitor Situmorang
Subjek Mediator
Objek
STRUKTUR
INTERNAL
Cerpen Puisi
Sejarah
STRUKTUR
EKSTERNAL LUKA
Litera Historia
Apologia
ROH
ABSOLUT
Politik Estetika
AKSIOMA
KESETARAAN
“Idealis”
“Materialis”
MIMESIS 1 MIMESIS 2
MIMESIS 3
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
Gambar tersebut akan diuraikan lebih detail di bawah ini.
Bermula dari Hasrat Mimetik
Untuk mempermudah analisis terhadap mimesis sebagai struktur internal dalam
Ibu Pergi ke Surga, pertama-tama yang perlu dilakukan adalah menggunakan
gagasan Rene Girard yang berpijak pada apa yang disebutnya sebagai hasrat
segitiga. Mimesis selalu bermula dari “hasrat.” Aku menghasrati objek, pertama-
tama, bukan karena objek itu sendiri, melainkan karena aku meniru apa yang
dihasrati orang lain (mediator). Pada dialektika ini, hampir selalu ada korban yang
dipertaruhkan.
Girard menggambarkan operasi mimetis ini dalam segitiga hasrat
antartokoh dalam teks sastra (litera). Perhatikan, dalam segitiga itu, subjek pada
hakikatnya menghasrati apa yang dihasrati oleh mediator. Mimesis ini seringkali
berlangsung intens, yang membuat objek hasrat menjadi tidak penting, karena
yang terpenting adalah dialektika dan rivalitas itu. Pada akhirnya, intensitas
mimetik ini menjadikan mediator tak lagi sebagai mediator, melainkan sebagai
rival. Rivalitas, kegetaganga, kontestasi, adalah bagian lumrah dalam sebuah
dialektika.
Dari Hasrat menuju Luka
Hasrat mimetik, yang selalu menunda asal, arkhe, objek hasrat itu sendiri, pada
akhirnya melahirkan dialektika rivalis subjek vs mediator, yang tak jarang
memunculkan apa yang disebut Auerbach sebagai “luka.” Di sinilah relevansi
mimesis Girard dengan Auerbach. Cara Auerbach mengkritik Homer lahir dari
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
luka itu, luka seorang Yahudi eksil yang pernah diusir dari Jerman yang ingin
membuat sejarah layaknya Homer menceritakan luka Odysseus: terang, jelas,
begitu saja. Auerbach memandang Odyssues sebagai representasi sejarah
(historia) orang-orang Eropa yang memarjinalkan Perjanjian Lama dan penulis-
penulis Yahudi.
Membaca Ibu Pergi ke Surga, dengan demikian, perlu ditempatkan dalam
struktur eksternal mimetik itu sendiri. Ada dua hal yang dihendak ditelusuri:
referensi historis dan apologia idealis. Dua hal ini sejalan dengan cara Auerbach
membaca karya-karya sastra. Ia, pertama-tama, melihat hubungan karya tersebut
dalam merepresentasikan realitas, apa yang problematik, mengapa ia problematik.
Selanjutnya, ia melihat kemungkinan diradikalkannya pembacaan terhadap karya
tersebut berdasarkan perspektif mesianisme Yahudinya, perspektif yang melihat
teks sebagai sesuatu yang redemtif, terbuka. Cara ini bisa memutus mata rantai
korbani yang menubuh dalam karya sastra.
Dari Luka menuju Apologia
Persis ketika teks sastra dibaca melalui perspektif luka, suatu proses penyingkapan
atas sejarah yang melahirkan teks itu, sejarah yang dipenuhi dengan tragedi dan
dialektika, maka mimesis Auerbach samar-samar menawarkan apologia. Apologia
bukanlah sekadar duka cita dan penyesalan; apologia adalah penyingkapan atas
struktur ambigu identitas. Lebih tepatnya, apologia adalah sebentuk sintesis ideal
(Roh Absolut) atas segala dialektika yang berlangsung dalam teks maupun dalam
kenyataan sejarah.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Nanti akan terlihat bagaimana Ibu pergi ke Surga sebenarnya
memperlihatkan di satu sisi pengaruh mesianik Kristen dalam diri Sitor dan di sisi
lain kekuatan tekstual Sitor yang sebagaimana diakuinya sendiri menempatkan
sastra, pertama-tama, sebagai kepastian yang tak mau dirumuskan (dalam sajak
“Baris Antara yang Dibaca”). Dari dialektika inilah, Sitor tampaknya lebih jauh
mencari obat atas luka itu melalui salvation, pembebasan, mesianisme; semacam
preskripsi umum terhadap semua dialektika tersebut.
Dari Apologia menuju Politik Estetika
Namun, berhenti pada apologia saja berarti mengabsolutkan Sitor sebagai ‘mitos’,
suatu kecenderungan yang sangat khas dalam pemikiran Hegelian. Karena itulah,
Sitor perlu dimitologisasi sekaligus didemitologisasi agar idealismenya “tetap
berpijak pada bumi.” Artinya, dua gagasan mimesis di atas perlu diradikalisasi
kembali melalui gagasan mimesis ketiga dari Jacques Ranciere, yang menekankan
penghapusan batas antara yang-estetis dan yang-politis. Dengan demikian, bukan
hanya cerpen-cerpen Sitor diposisikan sebagai estetika, dan karenanya ia politis,
melainkan juga beberapa aktivitas Sitor yang relevan bisa dianggap sebagai
bagian dari estetika itu sendiri.
Persis di titik inilah, Ibu Pergi ke Surga tidak semata-mata dianalisis
kemudian di angkat ke langit, layaknya sebagai seorang mistikus, yang hanya
punya idea, cita-cita, dan mesianisme, tanpa diturunkan kembali ke bumi.
Bagaimana pun, ibu adalah surga, tapi ia berada di telapak kaki. Ia idealis di satu
sisi, namun juga materialis di sisi lain. Ibu Pergi ke Surga perlu dinaikkan ke
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
langit, untuk kemudian diuji kapasitasnya dalam kenyataan sehari-hari. Sitor
mitos sekaligus bukan mitos. Karya-karyanya juga tak menunjukkan ia semata-
mata elitis. Ia terkadang ada di sekitar kita, berpikir, setara dengan kita (Aksioma
Kesetaraan), beranjak dari satu kelas ke kelas lain, memperlihatkan betapa
estetikanya dibangun tak berajak dari gerak politisnya.
1.7. METODE PENELITIAN
1.7.1. Pendekatan Penelitian
Dalam Kerangka Teori telah dijabarkan secara singkat bagaimana tiga gagasan
mimesis itu diterapkan dalam mendekati beberapa karya sastra. Masing-masing
menjadikan karya sastra sebagai objek analisis, namun pendekatan yang mereka
terapkan berbeda-beda, sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda.
1. Girard menggunakan pendekatan strukturalis untuk menelaah dialektia
antara subjek, mediator, dan objek untuk menunjukkan pola hasrat segita
yang beroperasi di dalamnya. Pendekatan yang serupa akan digunakan
dalam riset ini untuk menentukan mana subjek yang sedang berdialektika
dengan subjek lain (mediator), dan apa objek yang sebenarnya sedang
mereka hasrati.
2. Auerbach menggunakan pendekatan historis untuk menganalisis hubungan
antara teks satu dengan teks lain dalam mencari relasinya dengan sejarah
literatur Eropa. Pendekatan ini juga akan diterapkan dalam studi ini
dengan membandingkan antara cerpen-cerpen Sitor dan puisi-puisinya
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
dalam rangka mencari kemungkinan relasi historisnya dengan konteks
kehidupan Sitor.
3. Ranciere menggunakan pendekatan politis untuk menelusuri relasi
filosofis antara estetika dan politik dalam setiap kerja kemanusiaan yang
mencakup segala bidang kehidupan. Pendekatan yang sama juga berusaha
diterapkan dalam riset ini untuk mengetahui politik estetika yang
dijalankan oleh Sitor tanpa melepaskan hubungannya dengan cerpen-
cerpen yang ia tulis.
Meskipun tiga pendekatan ini mengasumsikan tiga hasil yang berbeda, ketiganya
tetap bisa diintegrasikan untuk membentuk suatu tipologi tertentu dari idealisme
dan materialisme Sitor, sebagaimana yang sudah dijelaskan secara singkat dalam
desain teoretik sebelumnya.
1.7.2. Metode Analisis
Kerangka teori yang digunakan dalam studi ini adalah trilogi mimesis. Problem
utama yang perlu dijawab terlebih dahulu adalah bagaimana penggunaan kerangka
teori ini dijabarkan dalam bangunan argumen riset ini secara keseluruhan
sehingga terwujud koherensi metode analisis dan tidak sekadar berciri eklektik?
Karena studi ini berpijak pada trilogi mimesis, maka langkah-langkah analisisnya
akan disesuaikan dengan pendekatan teoretik yang sudah dijelaskan sebelumnya.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
Tahap pertama – analisis mimesis 1 – melacak struktur internal
mencari tokoh-tokoh atau adegan-adegan dalam cerpen-cerpen Sitor yang
menampilkan dialektika hasrat mimetis, dan objek apa yang sedang
dihasrati.
memperlihatkan apa yang problematik dari operasi mimesis ini dalam
struktur internal cerpen-cerpen Sitor.
menelusuri kemungkinan adanya penyelesaian mesianistik dalam cerpen-
cerpen, yang nantinya bisa dihubungkan dengan figurasi mesianistik pada
tahap kedua.
Tahap kedua – analisis mimesis 2 – melacak struktur eksternal
Menelusuri hubungan antara cerpen-cerpen Sitor dengan puisi-puisinya
dalam konteks latar di mana teks itu diciptakan.
Menganalisis dialektika antara teks Sitor dan konteks historis Sitor saat itu
untuk menemukan gerak ganda yang ia jalankan secara sadar maupun tak
sadar.
Mencari sintesis mesianik dari pengalaman historis Sitor yang telah
disarikan dari analisis terhadap relasi antara teks dan konteks sebelumnya.
Tahap ketiga – analisis mimesis 3 – melacak politik estetika
Membangun beberapa tesis teoretik dari politik estetika yang akan
dibuktikan dalam kaitannya dengan gerakan Sitor di kehidupan nyata.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
Melusuri hubungan antara tesis-tesis tersebut dengan beberapa cerpen
Sitor yang dianggap merepresentasikan gerakan politik estetika Sitor itu
sendiri.
Mencari kemungkinan diradikalisasinya idealisme dua gagasan mimesis
sebelumnya melalui politik estetika Sitor yang sifatnya lebih ‘materialis.’
1.7.3. Sumber Data
Sumber Struktural
Sumber struktural ialah literatur yang tema utamanya berkaitan dengan tema
utama yang dikaji dalam studi ini, yakni cerpen-cerpen Sitor, gagasan hasrat
mimesis Rene Girard, gagasan realisme figural Erich Auerbach, gagasan politik
estetika Jacques Ranciere, dan beberapa catatan esai atau sejarah tentang Sitor.
Kategori sumber stuktural ini mencakup dua jenis literatur:
1. Yang pertama adalah sumber primer atau karya-karya yang ditulis
langsung oleh Sitor, Girard, Auerbach, dan Ranciere. Selain itu, kategori
ini juga meliputi beberapa karya yang sejak awal didedikasikan untuk
menelaah kehidupan dan karya Sitor, seperti buku-buku atau riset-riset
terbitan Komunitas Bambu.
2. Yang kedua adalah sumber sekunder atau karya-karya yang ditulis oleh
penulis lain, di luar penulis utama, namun secara langsung mendiskusikan
tema yang saya angkat dalam riset ini.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
Sumber Pendukung
Sumber pendukung adalah segala literatur yang beririsan dan mendukung tema
riset ini meski tidak membahas secara khusus dan ekstensif tentangnya. Sumber
pendukung tersebut umumnya mencakup esai, tulisan, wawancara, dari Internet
yang sedikit banyak menyinggung aktivitas dan kreativitas Sitor.
1.8. SISTEMATIKA PENYAJIAN
Bab ini disusun ke dalam lima bab utama. Bab I adalah Pendahuluan yang sedang
diuraikan ini dan karenanya tidak memerlukan keterangan lebih lanjut.
Bab II memuat kajian tentang struktur internal dalam cerpen-cerpen Ibu
Pergi ke Surga yang berpijak pada gagasan hasrat segitiga Rene Girard. Di
dalamnya akan disajikan bagaimana dialektika terjadi antartokoh dalam cerpen-
cerpen itu. Setelah itu akan dijelaskan pola kemungkinan apologetik yang bisa
diperoleh dari dialektika tersebut.
Bab III berisi uraian tentang struktur eksternal dalam cerpen-cerpen Ibu
Pergi ke Surga yang didasarkan pada realisme figural Erich Auerbach. Dalam bab
ini akan disajikan periodeisasi pembuatan prosa Sitor berdasarkan latar dan
pengalaman historis yang membentuknya. Disajikan pula pembacaan atas
hubungan historis-kontekstual antara cerpen Sitor dan pengalamannya, hubungan
intertekstual antara cerpen dan puisi-puisinya, serta kemungkinan apologetiknya.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Bab IV berfokus pada politik estetika Sitor dengan meradikalisasi
apologia-apologia yang telah dijelaskan pada dua bab sebelumnya. Di sini akan
dibahas tendensi religius dari apologia tersebut dengan berfokus pada metafor Ibu
pergi ke Surga dan Si Anak Hilang. Selanjutnya akan dibahas 15 tesis politik
estetika yang bisa diterapkan untuk melampaui tendensi teologis tersebut untuk di
bawah ke ranah yang lebih politis.
Bab V merupakan Penutup. Bab ini akan berisi rangkuman menyeluruh
dari seluruh pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Rangkuman ini akan
diuraikan dalam rangka menjawab tiga pertanyaan penelitian yang telah disajikan
pada bab pertama. Selain rangkuman dan kerangka keseluruhan, bab ini juga
berisi rekomendasi untuk studi-studi selanjutnya.
POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/