pendahuluan -...

36
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Krisis Sejarah Sastra Tahun 2002, kelompok Horison, yang diketuai oleh Taufiq Ismail, menerbitkan semacam buku sejarah sastra Indonesia bertajuk Horison Sastra Indonesia. Buku ini berisi empat jilid, yang meliputi Kitab Puisi (jilid 1), Kitab Cerita Pendek (jilid 2), Kitab Nukilan Novel (jilid 3), dan Kitab Drama (jilid 4). Tidak ada satu pun dari jilid puisi dan cerpen yang memasukkan nama Sitor sebagai salah satu pengarang. Begitu pula, tahun 1995, buku Ketika Kata Ketika Warna yang juga dieditori oleh tim Horison mengumpulkan 50 penyair dan 50 pelukis tanah air, nama Sitor juga tak disebut di dalamnya. Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, yang tahun 2014 ini disusun oleh Jamal D Rahman dkk., juga disoroti, salah satunya, karena tak memasukkan nama Sitor sebagai salah satu tokoh sastra di sana. Sitor juga kehilangan nama, bukan hanya dalam kajian sastra Indonesia secara umum, melainkan juga pada kajian sejarah karya eksil. Tahun 2002, terbit buku Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, yang berisi 15 penyair yang dianggap POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 - 1981) ACHMAD FAWAID Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vuonghuong

Post on 04-Aug-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

1.1.1. Krisis Sejarah Sastra

Tahun 2002, kelompok Horison, yang diketuai oleh Taufiq Ismail, menerbitkan

semacam buku sejarah sastra Indonesia bertajuk Horison Sastra Indonesia. Buku

ini berisi empat jilid, yang meliputi Kitab Puisi (jilid 1), Kitab Cerita Pendek (jilid

2), Kitab Nukilan Novel (jilid 3), dan Kitab Drama (jilid 4). Tidak ada satu pun

dari jilid puisi dan cerpen yang memasukkan nama Sitor sebagai salah satu

pengarang. Begitu pula, tahun 1995, buku Ketika Kata Ketika Warna yang juga

dieditori oleh tim Horison mengumpulkan 50 penyair dan 50 pelukis tanah air,

nama Sitor juga tak disebut di dalamnya.

Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, yang tahun 2014

ini disusun oleh Jamal D Rahman dkk., juga disoroti, salah satunya, karena tak

memasukkan nama Sitor sebagai salah satu tokoh sastra di sana. Sitor juga

kehilangan nama, bukan hanya dalam kajian sastra Indonesia secara umum,

melainkan juga pada kajian sejarah karya eksil. Tahun 2002, terbit buku Di Negeri

Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, yang berisi 15 penyair yang dianggap

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

2

‘eksil’, namun Sitor tak masuk dalam daftar nama yang mengalami dislokasi

geografis tersebut.

Patut dimaklumi bahwa tiga buku pertama secara ideologis memang

berseberangan dengan Sitor, namun buku yang disebut terakhir tampaknya

memang perlu mempertimbangkan kembali atas ‘hilang’nya penyair Danau Toba

itu dalam daftar nama penyairnya. Demikian pula, catatan sejarah Maman S.

Mahayana, Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia

(2006), juga tidak menyebut Sitor dalam daftar pengarang cerpen angkatan 1945

sampai 1980an. Buku Maman memperpanjang catatan misterius Sitor dalam

sejarah sastra Indonesia kita.

1.1.2. Krisis Sejarah Estetis-Ideologis

Tidak semuanya memblacklist nama Sitor. Tahun 1982, Ajip Rosidi menulis

Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, yang merangkun nama-nama sastrawan dan

karya-karyanya dari 1900an sampai 1980an. Sitor termasuk dalam “Periode

Perkembangan (1945 - kini)” bersama dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai

Apin, Pramoedya A. Toer, Mochtar Lubis, Utuy T. Sontani, Balfas, Trisno

Sumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku ini

mengkategorisasikan Sitor sebagai sastrawan yang sevisi dengan Chairil dan

Pramoedya, baik secara estetis maupun ideologis.

Kajian historis Ajip di atas sebenarnya adalah kelanjutan dari esai panjang

H.B. Jassin yang ditulis sebelumnya, tahun 1952, berjudul “Angkatan ‘45”. Esai

itu lahir dari pembelaan Jassin terhadap kritik A.S. Dharta yang menyebut

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

3

‘angkatan ’45 sudah mampus!’. Esai yang pada akhirnya dibukukan dalam

Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay pada 1954 itu

menyebutkan bahwa sastrawan angkatan ’45 berbeda dari Pujangga Baru bukan

hanya dari gaya kepengarangan, melainkan juga dari visinya. Sitor, dengan

demikian, diklaim berbeda dari Pujangga Baru yang dikenal bergaya pantun

dengan Amir Hamzahnya itu.

Asep Sambodja lebih jelas lagi. Pada tahun 2010, buku sejarahnya

berjudul Historiografi Sastra Indonesia 1960an memasukkan Sitor sebagai

“sastrawan Lekra”. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengapa Sitor dianggap

berhaluan Lekra selain biografi singkat berupa latar belakang, aktivisme politik,

dan karya-karyanya. Buku yang lebih berupa pembagian total oposisi rezim

representasi semacam ini adalah respons Asep terhadap buku Yudiono K. S.,

Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, terbit 2007, yang dianggapnya cenderung

memihak sastrawan Manikebu dan karenya “harus segera direvisi!”.

1.1.3. Krisis Kajian Cerpen Sitor

Pada tahun 2009, JJ. Rizal, sejarahwan yang mungkin adalah satu-satunya di

Indonesia yang bergiat menulis sejarah Sitor, pada akhirnya menerbitkan

Menimbang Sitor Situmorang. Antologi ini memuat esai-esai panjang dan kritis

dari para kritikus semacam A. Teeuw, A. H. Johns, Afrizal Malna, Alle G.

Hoekema, Binhad Nurrohmat, C. H. Watson, D. S. Moeljanto, Farida

Soemargono, Harry Avelling, Hasyim Wahid, Johann Angelerler, Martina

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

4

Heinschke, Muhammad Haji Saleh, Pranita Dewi, Radhar Panca Dhana, Sitok

Srengenge, Subagio Sastrowardouo, dan V.S. Naipul.

Buku ini seperti oase di tengah minimnya kajian terhadap karya-karya

Sitor. Sayangnya, dari sekian banyak kritikus ini, hanya Teeuw, Avelling, dan

Hoekema yang menjadikan cerpen Sitor sebagai bahan analisisnya, itu pun tidak

semuanya. Teeuw menyinggung beberapa cerpen dalam kumpulan Pangeran

terbit tahun 1963 yang ‘meski ditulis lebih lama kemudian, namun sama tinggi

mutunya, bahkan lebih matang.’ Aveling menyebut “Ibu Pergi ke Surga” sebagai

‘cerpen yang menggambarkan keterasingan mirip dengan “The Outsider”nya

Albert Camus.’ Hoekema menyebut “Ibu Pergi ke Surga” sebagai ‘perpaduan

sinkretis antara tradisi Batak dan agama Kristen.’

Denys Lombard, dalam Histories Courtes d’Indonésie yang ditulisnya

tahun 1968, berupaya mengumpulkan, memilih, menerjemahkan, dan mengulas

cerpen Indonesia yang meliputi periode 1933 – 1968. Terpilihlah 68 cerpen dari

48 pengarang Indonesia yang dianggap karyanya bukan saja bermutu, tetapi juga

bersifat dokumen sejarah. Salah satu cerpen yang termasuk di dalamnya adalah

cerpen “Pangeran” yang berkisah salah satu aspek dalam filsafat dan kosmologi

Jawa. Sangat singkat, tetapi menurut Lombard, ‘tak ada satu pun kalimat yang tak

berwujud pengamatan yang cemerlang; sebuah masterpiece.’ Selain dari semua

itu, jarang sekali kritikus yang menyebut cerpen-cerpen Sitor.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

5

1.1.4. Signifikansi Objek Material

Berangkat dari refleksi sederhana itu, terdapat suatu gambaran tentang betapa

akutnya persoalan historis, epistemologis, dan material yang berkaitan dengan

bukan hanya sosok Sitor, melainkan juga karya-karyanya, khususnya cerpen,

dalam belantara sastra Indonesia. Ada yang problematis dari penulisan sejarah

yang—meski berusaha memperoleh hasil objektif—cenderung berpijak pada

subjektivitas penulisnya. Hal ini, misalnya, tampak pada buku-buku sejarah di

muka yang tidak memasukkan nama Sitor ke dalam daftar sastrawan Indonesia.

Buku-buku itu secara tidak langsung telah membangun rezim etis bahwa Sitor

berada di bawah atau ‘berbeda kelas’ dari nama-nama pengarang lain yang diakui.

Terdapat pula reduksi epistemologis yang diambil oleh para sejarahwan

sastra Indonesia dalam memasukkan Sitor ke dalam rezim representasi atau

kategori tertentu, sehingga memudahkan Sitor disebut, digolongkan, dan

diringkus(?) ke dalam kelompok sastrawan yang menganut ideologi tertentu

dibanding ideologi yang lain. Apa yang dilakukan oleh Ajip dan Asep, menurut

penulis, sama-sama membentuk rezim representasi dengan menyebut Sitor

sebagai semata-mata ‘angkatan ‘45’ dan sebagai ‘sastrawan Lekra’. Rezim ini

jelas problematik jika dihubungkan dengan keterlibatan politik dan produktivitas

estetika Sitor dalam hampir 100 tahun hidupnya. Rezim itu, tak ubahnya rezim

sebelumnya, akan memperlihatkan kesan seolah-olah Sitor berhenti hanya sebagai

angkatan ’45 dan sastrawan Lekra.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

6

Bukan hanya problem historis dan epistemologis, kita juga menghadapi

problem material ketika sedikit sekali kritikus yang berusaha menfokuskan kajian

mereka pada cerpen-cerpen Sitor. Bukan hanya karena cerpen-cerpen itu baru

dibukukan secara serius oleh Komunitas Bambu pada tahun 2011 kemarin,

melainkan juga karena secara kuantitas—harus diakui—cerpen Sitor yang

berjumlah 23 judul itu masih kalah jauh dibanding puisi-puisinya yang mencapai

lebih dari 650 judul! Jomplangnya jumlah antara cerpen dan puisi Sitor inilah

yang tampaknya mempengaruhi rendahnya minat kritikus terhadap cerpen Sitor,

karena puisi dianggap lebih mampu mendeskripsikan kehidupan Sitor yang

kompleks itu.

Penulis tidak menafikan hal tersebut. Namun, mengabaikan keberadaan

cerpen Sitor, berarti menghapus sekitar seperempat kehidupannya. Karena itulah,

studi ini didedikasikan secara khusus untuk membahas lebih detail cerpen-cerpen

Sitor, bukan semata-mata untuk mendudukkan (kembali) Sitor dalam tonggak

sejarah sastra modern di Indonesia, melainkan juga untuk melihat penyair Raja

Usu itu dari perspektif yang tidak, belum, atau sedikit disinggung oleh para

kritikus lain sebelumnya.

Pertanyaannya kemudian: Apa yang ditempuh oleh studi ini untuk

mencapai tujuan tersebut? Dan mengapa disposisi argumentatif yang dijadikan

pijakan oleh studi ini dianggap mampu menjawab tiga problem mendasar

sebagaimana yang sudah disebutkan di atas?

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

7

1.1.5. Signifikansi Objek Formal

Studi ini ingin menjelajahi salah satu aspek yang menurut penulis jarang ditempuh

oleh para kritikus dalam menganalisis cerpen-cerpen Sitor, yakni mimesis.

Mengapa harus mimesis? Mimesis menjadi isu fundamental dalam setiap kajian

seni dan/atau sastra. Setiap produk kesusastraan tidak akan lahir tanpa mimesis,

tanpa mengimitasi sesuatu yang dianggap orisinal: alam, kebenaran, keindahan,

situasi, gagasan, dan seterusnya. Mimesis juga mencakup banyak konteks:

emulasi, mimikri, ganda, teatrikalitas, realisme, identifikasi, korespodensi,

rekayasa, dan sebagainya.

Memang tidak semua seni/sastra itu mimetik, tetapi konsep seni/sastra itu

sendiri tak bisa dipahami tanpa teori mimesis. Sejak lebih dari 20 ribu tahun yang

lalu, dalam Republic, Plato menyatakan “seni adalah imitasi dari segala sesuatu

yang riil” (1991: 123). Ia adalah ilusi, sehingga perlu dibedakan dari yang asli,

dari alam dan kebenaran. Tetapi, konsep Platon ini ditentang keras, salah satunya,

oleh Jacques Derrida (1981: 187) yang menyatakan “seluruh sejarah interpretasi

seni telah bergerak dan berubah dalam berbagai kemungkinan logis yang

terbuka/dibuka oleh konsep mimesis”. Tanpa pengetahuan tentang mimesis,

hampir mustahil kita bisa memahami teori Barat tentang interpretasi artistik.

Signifikansi menggunakan mimesis terletak bukan hanya pada upaya

mencari esensi sastra sebagai imitasi, sejarah sebagai imitasi, seni sebagai imitasi,

melainkan juga pada pembuktian bahwa mimesis selalu mensyaratkan adanya

dialektika antara dua subjek/objek. Itu berarti bahwa setiap sejarah, sastra, seni,

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

8

atau apapun itu selalu melibatkan proses dialektis yang tidak sebentar. Dialektika

ini mempertemukan bukan hanya tokoh-tokoh dalam karya sastra, melainkan juga

sastra dan pengarangnya, serta pengarang dan aktivitas politisnya.

Namun, dialektika tersebut lahir bukan dari ruang kosong. Ia muncul,

pertama-tama, karena ada hasrat (desire), keinginan subjek untuk mengimitasi

subjek/objek lain. Sejarah agama-agama, tradisi, dan sastra selalu tidak lepas dari

hasrat ini. Demikian pula dalam cerpen-cerpen Sitor, hasrat tersebut bisa dilihat

dalam dialektika antartokoh. Dalam cerpen “Jin”, misalnya, yang mengisahkan

adat sesembahan kepada Dewa Sungai di Batak, memperlihatkan dialektika

mimetis seorang kepala adat yang ingin meniru apa yang dilakukan oleh

leluhurnya dengan menjadikan Aman Doang sebagai korban. Dialektika mimetis

yang selalu dimulai oleh hasrat inilah yang menjadi dasar bagi semua aktivitas

ritus, agama, dan kebudayaan kita (Girard, 1965: 43).

Kemunculan dialektika dalam struktur internal cerpen Sitor ini kemudian

dibawa ke ranah struktur eksternal yang melibatkan hubungan antara cerpen

tersebut dan sejarah kehidupan Sitor. Meski masih sangat samar-samar, terlihat di

sana bahwa dialektika struktur internal itu bukanlah suatu kebetulan, melainkan

suatu praasumsi yang objektivitasnya bisa diuji pada kondisi Sitor di kehidupan

nyata. Sitor mengalami banyak ketegangan, dialektika, pengalaman, dan “luka”

saat menulis cerpen-cerpennya. Cerpen “Peribahasa Jepang”, misalnya, ditulis

layaknya sebuah obituari bagi teman seperjuangan Sitor dari Jepang, Yukio

Mishima, yang meninggal karena tradisi harakiri.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

9

Akan tetapi, analisis yang berhenti hanya pada persoalan dialektika,

kontestasi, dan gerak ganda ini diyakini tidak seluruhnya mampu mengungkap sisi

ideologis dari cerpen-cerpen Sitor. Alih-alih mengungkap sisi ideologis, analisis

semacam itu—meski penting—seringkali tidak bisa melepaskan diri dari rezim

etis dan representatif di atas. Dialektika hanya mensyaratkan adanya

keterpecahan, yang tak jarang berakhir pada sintesis mesianik. Kita bisa

mengingat bagaimana beberapa kritikus yang telah disebutkan di muka pada

akhirnya terjebak pada kesimpulan yang bertendensi ‘teologis’ dan ‘mesianik’,

karena melihat latar belakang Sitor sebagai Kristiani, atau karena melihat teks

Sitor berkecenderungan ‘redemptif’ dan ‘terbelah dua.’

1.1.6. Signifikansi Isu Penelitian

Pertanyaannya kemudian: Apakah teks yang menawarkan dialektika tersebut

selalu diklaim berhaluan mesianis? Jika demikian, apa bedanya kecenderungan

mesianis ini dengan upaya mengidealisasi teks dan/atau sosok Sitor itu sendiri?

Tidak.

Sitor dan karya-karyanya tidak berhenti hanya pada dialektika dan

mesianisme itu, melainkan membawanya ke ranah politis, sebuah ranah yang

memungkinkannya untuk melampaui kelasnya sendiri sebagai penyair. Riset ini

didesain dalam kerangka “politik estetika” Sitor Situmorang, yang memperoleh

pendasarannya pada gagasan mimesis Jacques Ranciere. Bagi Ranciere, mimesis

seharusnya tidak memisahkan antara yang-estetis dari yang-politis; mimesis

seharusnya tidak melulu berkutat pada ‘dialektika antarseni’, tetapi juga

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

10

mempersoalkan ‘distribusi estetika’ (the distribution of sensible) yang dapat

menghapus segala upaya dialektis yang umumnya hanya mempertajam

antagonisme antarkelas/representasi seni. Dengan tidak memisahkan yang-estetis

dari yang-politis, potensi untuk membawa Sitor bermigrasi, berpindah-pindah,

berbolak-balik dari kelas penyair ke kelas wartawan ke kelas rohaniwan ke kelas

politikus, dan seterusnya, sangat mungkin dilakukan.

Berbeda dari banyak kritikus yang menjadikan karya-karya Sitor sebagai

cerminan dari aktivitas politiknya, sehingga tak jarang membuat mereka terjebak

dalam rezim etis (memandang Sitor sebagai ‘kelompok/kelas sastrawan’ yang

berbeda dari kelompok/kelas sastrawan-sastrawan lain) dan rezim representatif

(memandang karya Sitor hanya berhenti pada salah satu atau salah dua di antara

sekian banyak representasi seni, estetika, dan/atau sastra), apa yang ingin

diungkap oleh studi ini nantinya justru lebih radikal: melihat aktivitas politik

institusional sebagai estetika itu sendiri, bahkan melihat segala aktivitas di luar

politik institutisional itu sebagai bagian dari estetika, tanpa harus melepaskan

keterkaitannya dengan cerpen-cerpen yang ia hasilkan.

Akan tetapi, semua ini sulit dilakukan tanpa terlebih dahulu melacak

dialektika struktur internal (form) dan struktur eksternal (reference), tanpa

melacak luka dan apologia, dalam karya-karya Sitor dan kehidupannya. Dengan

terlebih dahulu melacak luka dan apologia dalam cerpen-cerpen Sitor, kita bisa

melihat kemungkinan adanya paradoksa, suatu ambiguitas yang bisa dijadikan

pijakan untuk melampaui keduanya. Hanya dengan cara inilah kita bisa melihat

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

11

ideologi (ideology) Sitor yang—menurut penulis—lebih kompleks dari apa yang

pernah ditulis oleh kritikus-kritikus lain.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Ada tiga pokok permasalahan yang ingin ditelusuri dalam studi ini.

1.2.1. Langkanya riset terhadap cerpen-cerpen Sitor pada umumnya disebabkan

bukan hanya oleh faktor material yang lebih memilih puisi-puisinya

sebagai objek kajian, melainkan juga oleh faktor historis dan

epistemologis yang memosisikan Sitor berada dalam kelas sastrawan yang

berbeda dari kelas sastrawan lainnya, baik secara ideologis maupun estetis.

1.2.2. Untuk merespons kedua masalah itu, dibutuhkan suatu analisis yang

cermat terhadap pertama-tama struktur internal dalam cerpen-cerpen Sitor

dengan menggunakan gagasan mimesis Rene Girard, untuk kemudian

dibuktikan secara historis melalui gagasan mimesis Erich Auerbach dalam

rangka menunjukkan bahwa Sitor selalu berada dalam gerak ganda yang

tak mudah dikategorisasi.

1.2.3. Agar dialektika ini tidak terjebak sekadar mengidealisasi ideologi Sitor,

maka gagasan mimesis ketiga dari Jacques Ranciere digunakan untuk

melihat kemungkinan diradikalkannya gerak-ganda tersebut ke isu politik

estetika yang tidak memisahkan yang-politis dari yang-estetis, begitu pula

sebaliknya, sehingga kompleksitas kehidupan Sitor dapat dijangkau dalam

kaitannya dengan cerpen-cerpennya.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

12

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat tiga pertanyaan penelitian yang

ingin dijawab dalam studi ini.

1.3.1. Bagaimana hasrat segitiga yang berpijak pada gagasan mimesis Rene

Girard merepresentasikan dialektika internal antartokoh dalam cerpen-

cerpen Sitor?

1.3.2. Bagaimana realisme figural yang berpijak pada gagasam mimesis Erich

Auerbach merepresentasikan dialektika eksternal antara cerpen-cerpen

Sitor dan sejarah yang membentuknya?

1.3.3. Bagaimana politik estetika yang berpijak pada gagasan mimesis Jacques

Ranciere merepresentasikan ideologi Sitor dalam kaitannya dengan

cerpen-cerpennya?

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1. Tujuan Teoretis

1. Memetakan tipologi tematik dan ideologis dari cerpen-cerpen Sitor dalam

kerangka gagasan trilogi mimesis (Girard, Auerbach, Ranciere).

2. Memberi sumbangsih teoretik bagi sekian banyak kritik sastra yang telah

ditulis terkait dengan karya Sitor Situmorang.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

13

1.4.2. Tujuan Praktis

1. Mendudukkan cerpen-cerpen Sitor sebagai objek kajian, selain puisi-

puisinya, yang perlu mendapat tempat tersendiri dalam kritik sastra.

2. Menyajian kajian akademis yang sistematis terkait dengan cerpen-cerpen

Sitor agar dapat dimanfaatkan untuk kajian-kajian lain yang serupa.

1.5. TINJAUAN PUSTAKA

1.5.1. Studi-studi terdahulu

Di Indonesia, khususnya, Komunitas Bambu adalah penerbit yang paling sering

menerbitkan karya-karya Sitor. Ia dikoordinatori oleh sejarahwan alumnus

Fakultas Sastra UI, J.J. Rizal, yang pada tahun 1998 skripsinya berjudul Sitor

Situmorang: Biografi Politik 1956-1967 telah membawanya menekuni sosok dan

kreativitas penyair Raja Usu itu. Biografi ini kemudian dipublikasikan dalam

bentuk buku berjudul Sitor Situmorang: Biografi Singkat 1924-2014 dan dirilis

menjelang acara “100 Kenangan Bersama Sitor Situmorang” di Freedom Institute,

Jakarta, 28 April 2015.

Dalam buku ini, Rizal mengajukan suatu deskripsi berbasis sejarah yang

cukup komprehensif tentang sepak-terjang Sitor dalam dunia politik sejak

kelahiran hingga menjelang kematiannya. Menurut Rizal (2014), Sitor termasuk

sedikit dari sastrawan yang tidak mengalami ambiguitas moral dan politik yang

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

14

membebani kaum intelektual sekular Indonesia modern. Ia menempuh jalan

individual yang eksistensialistik dan romantik sekaligus jalan Angkatan yang

melibatkan penciptaannya dengan berbagai pengalaman dalam bermacam-

macam zaman. Sebagai sebuah teks sejarah, buku Rizal memberi kontribusi

penting dalam riset ini dalam melacak politik ‘praktis’ yang dijalankan oleh Sitor,

meski ia tidak memberi cukup ruang bagi eksplorasi pengalaman estetis Sitor.

Biografi tersebut, menurut Rizal, menampilkan sosok Sitor yang tidak

diungkap dalam otobiografi yang ditulis oleh Sitor sendiri bertajuk Sitor

Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (1981). Otobiografi ini

mengungkap semacam kesaksian pribadi Sitor atas perjalanan hidupnya sendiri

sejak lahir hingga sekitar tahun 1970an. Uniknya, dari sekian banyak pengalaman

itu, Sitor tak menceritakan dukungan politiknya terhadap Soekarno, sesuatu yang

sempat dikritik oleh Ajip Rosidi (dalam Ridho, ), dan akhirnya dilengkapi secara

elegan dalam biografi politik gubahan Rizal. Sebagai sebuah kesaksian sejarah,

buku ini tentu sangat relevan untuk mengetahui kepribadian Sitor, tapi ia tidak

memberi arahan yang memadai tentang bagaimana proses kreativitas dan estetika

Sitor.

Estetika Sitor dielaborasi lebih komprehensif dalam buku Menimbang

Sitor Situmorang (2009), sebuah antologi esai yang memuat berbagai kesan,

catatan kritis, esai, komentar, dari berbagai pakar dan rekan sejawat Sitor, seperti

VS Naipaul, Subagio Sastrowardoyo, A. Teeuw, Alle Hoekema, Johann Angerler,

Martin Heinschke, dan sebagainya. Yang paling relevan dengan studi ini adalah

pembacaan Heinschke karena ia menimbang kembali migrasi-migrasi estetika

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

15

kesenian Sitor tahun 50-an. Alih-alih menganggapnya sebagai inkonsistensi,

Heinschke justru memandangnya sebagai representasi dari identitas sastrawan

yang mencari identitas di negeri yang juga mencari identitas. Antologi tersebut

jelas berguna dalam membangun kerangka umum estetika Sitor, namun ia tidak

terlalu detail menempatkan estetika dalam kaitannya dengan politik.

Sumbangsih teoretik terkait dengan tema studi ini berusaha dilakukan oleh

penelitian Novita Dyah, Simbol-Simbol Mimesis dalam Puisi-puisi Apollinaire

dan Sitor Situmorang: Sebuah Kajian Perbandingan (2003). Dalam riset

mahasiswi Sastra Prancis UGM ini, simbol-simbol mimesis, seperti air, sungai,

jembatan, musim gugur, hutan, angin, salju, jurang, pohon, yang digunakan oleh

kedua penyair asal Indonesia dan Prancis tersebut diperbandingkan untuk

mengetahui apa perbedaan dan kesamaan keduanya. Kredit harus diberikan pada

Dyah karena ia telah berusaha menggunakan mimesis Platon untuk mengakaji

karya-karya Sitor, yang tentu saja juga berkaitan dengan studi yang menggunakan

mimesis sebagai basis teoretisnya ini. Namun, riset tersebut masih berfokus pada

struktur internalnya, dan tidak lebih jauh menelusuri kemungkinan struktur

eksternal dan politik estetika yang dijalankan oleh kedua penyair itu.

1.5.2. Posisi Studi Ini

Studi ini menempuh jalan memutar dengan terlebih dahulu mengafirmasi studi-

studi sebelumnya untuk kemudian sedikit demi sedikit melampauinya. Studi ini

sepakat dengan apa yang ditulis oleh Rizal, utamanya dalam memahami Sitor

sebagai penyair yang mendapat pengaruh eksistensialistik, romantik, dan

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

16

nasionalis sekaligus. Namun, studi ini tidak sepakat dengan apa yang dibayangkan

Rizal secara negatif sebagai ‘ambiguitas’, karena justru ambiguitas inilah awal-

mula Sitor memperlihatkan radikalitas politiknya di ranah estetika, suatu

ambiguitas yang justru membawanya pada migrasi kelas.

Studi ini juga mengafirmasi otobiografi Sitor dalam hampir keseluruhan

kontennya, karena ia adalah kesaksian sejarah yang sulit sekali dibantah

objektivitasnya. Namun, dengan berpijak pada sikap Sitor yang tidak senang

dengan para kritikus yang menghubungkan karyanya dengan kepribadian

pengarangnya’, maka otobiografi itu penulis gunakan tak lebih sebagai batu

loncatan untuk melihat bukan hanya kepribadian, melainkan juga politik estetika

yang dijalankan oleh Sitor dengan tetap tidak memisahkan fakta sejarah yang

ditulis oleh pengarangnya sendiri.

Apa yang ditempuh oleh banyak kritikus dan sastrawan dalam buku

Menimbang Sitor Situmorang tentu memperoleh persetujuan teoretik pula dalam

studi ini. Yang terutama adalah studi Heinscke yang samar-samar relevan dengan

riset ini dalam memandang sejenis migrasi estetik Sitor. Namun, yang patut

disayangkan adalah langkanya kajian terhadap cerpen-cerpen Sitor pada hampir

semua esai dalam buku itu (karena umumnya berfokus pada puisi). Persis di titik

inilah, studi ini ingin memberi kontribusi tersendiri dalam mencurahkan energinya

untuk mengkaji cerpen-cerpen Sitor.

Hal ini pula yang luput dibicarakan oleh riset Novita Dyah, karena objek

materialnya adalah puisi-puisi Sitor. Tidak hanya itu, meskipun studi ini memiliki

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

17

relevansi teoretik dengan studi Dyah, ia tidak serta merta menyetujuinya karena

trilogi mimesis yang digunakan dalam riset ini justru ingin mengkritik mimesis

Platon. Artinya, studi ini mengafirmasi sekaligus mengkritik apa yang dilakukan

Dyah untuk memperlihatkan adanya kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa

ditarik dari penggunaan tiga gagasan mimesis kontemporer.

1.6. KERANGKA TEORI

1.6.1. Trilogi Mimesis

Ada tiga kerangka teoretik yang digunakan untuk menelaah cerpen-cerpen Sitor

ini. Ketiga-tiganya sama-sama menjadikan mimesis sebagai dasar pijak.

1. Gagasan hasrat segitiga Rene Girard digunakan untuk menelaah dialektika

antartokoh dalam cerpen-cerpen Sitor untuk menunjukkan bahwa Sitor

memang sejak awal berada bergerak ganda dalam struktur internal cerpen-

cerpennya.

2. Gagasan realisme figural Erich Auerbach diterapkan untuk menelusuri

struktur eksternal cerpen-cerpen tersebut dengan menyasar hubungan

historis antara cerpen Sitor dan kehidupannya di alam nyata, serta relasi

intertekstual cerpen-cerpen Sitor dan puisi-puisinya.

3. Gagasan politik estetik Jacques Ranciere dimanfaatkan untuk melampaui

tendensi teologis dari dua gagasan mimesis sebelumnya, sekaligus

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

18

memperlihatkan lebih jauh ideologi estetik yang dijalankan oleh Sitor

dengan, melalui, dan dalam cerpen-cerpennya.

Dari ketiga gagasan di atas, bisa dilihat bahwa argumentasi yang ingin

dibangun oleh studi ini mencakup tiga hal: bentuk (form), referensi (reference),

dan ideologi (ideology) dalam cerpen-cerpen Sitor.

Ketiga gagasan tersebut akan diuraikan lebih jauh berikut ini.

Mimesis 1: Rene Girard

Dasar Historis: Rene Girard lahir di Avignon, Prancis, persis di Hari Natal 1923.

Guru besar sastra di John Hopkins University, Baltimore, tahun 1961-1968.

Tahun 1966, bersama Barthes, Derrida, dan Lacan, mengorganisir simposium

bertema “The Languages of Criticism and the Sciences Man.” Di masa mudanya,

ia adalah pemikir kekiri-kirian. Ia juga agnostik selama 26 tahun. Pada perayaan

Paskah 1959, ia “bertobat” dan menjadi Katolik. Pertobataan itu, diakui Girard,

setelah ia mempelajari novel-novel karya penulis besar: Miquel de Cervantes,

Gustave Flaubert, Stendhal, Marcel Proust, dan Fyodor Dostojovsky. Girard

terheran-heran, bagaimana novelis-novelis klasik itu menuliskan pergulatan

tokoh-tokohnya melawan segala kesia-siaan diri, sampai akhirnya mereka mau

meninggalkan kesia-siaan itu, lalu menerima dirinya, apa adanya. Perilaku mereka

mirip dengan suatu pertobatan religius.

Hasrat Segitiga: Hasrat segitiga berpijak pada tiga gagasan penting:

mimesis, kambing hitam, dan Kristianitas. Bagi Girard, mimesis selalu diawali

oleh hasrat, keinginan untuk meniru. Subjek tidak benar-benar menghasrati objek,

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

19

melainkan menghasrati apa yang dihasrati subjek lain (mediator) terhadap objek

tersebut. Objek menjadi penting karena ia direbut dalam proses dialektis antara

subjek dan mediator. Terkadang, mediator yang semula adalah model, lama-lama

dianggap menjadi rival bagi subjek yang menghalangi hasratnya (Girard, 1965:

34). Agar subjek tidak terkesan meniru mediator, ia mencari korban. Korban ini

disebut sebagai ‘kambing hitam’, sehingga peniruannya terkesan ‘perlu dan

penting.’ Untuk memutus krisis korbani ini, dibutuhkan apologia. Apologia ini

bukanlah sekadar penyesalan atau permintaan maaf, melainkan juga penyingkapan

terhadap struktur ambigu identitas dalam hasrat segita. Dan Girard memilih jalur

apologetik ini melalui pertobatan religius (Perjanjian Baru) yang sebelumnya

sudah ia lakukan melalui pertobatan intelektualnya. Bagi Girard, Injil tidak hanya

menyingkap mekanisme kambing hitam, melainkan juga memutusnya melalui

figur Yesus yang rela menjadi korban atas penebusan dosa jemaat meski ia tak

bersalah (Sindhunata, 2007: 309).

Model Pembacaan: Girard memberi dasar teoretik yang memadai dalam

menelaah struktur internal karya sastra berdasarkan hasrat segitiga itu. Ini

dicontohkan pada analisisnya terhadap karya Miquel de Cervantes, Don Quixote.

Di sana diceritakan, dalam setiap objek yang diinginkan oleh ksatria Don Quixote,

Amadis selalu hadir. Amadis adalah pahlawan yang selalu dibayangkan oleh Don

Quixote. Bagi Girard, Don Quixote ingin menjadi pahlawan bukan karena

kepahlawanan (objek) yang demikian menariknya, bukan pula karena Don

Quixote sendiri (subjek) memang menghasratinya, melainkan karena ia ingin

meniru Amadis, yang menjadi tokoh idolanya, menjadi mediatornya. Untuk

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

20

meniru ini, tak jarang Don Quixote harus mencari korban (kambing hitam),

misalnya, saat ia menghajar seorang tukang pedati yang terpaksa menyingkirkan

baju zirahnya karena hendak mengambil air. Jadi, bukan subjek, tapi mediatorlah

yang menentukan objek bagi subjek. Subjek dan mediator tidak berada dalam

garis linear, melainkan dalam hubungan segitiga. Apologianya terletak ketika

eksistensi kepahlawanan itu disingkap sebagai imitatio (peniruan), seperti

peniruan Don Quixote terhadap Amadis, yang sama artinya dengan Imitatio

Christi (Mengikuti Jejak Kristus), yang menjadi eksistensi agama Kristen.

Idealisasi Mesianik: Jauh sebelum Girard, Hegel sebenarnya juga pernah

berbicara tentang hasrat. Perbedaannya, Hegel menyebut hasrat terjadi ketika

subjek (Tuan) menghasrati agar mediator (Budak) menghasrati hasrat subjek,

sehingga mengakuinya sebagai subjek (I desire the desire of the other). Pada

Girard, hasrat subjek diatur menurut apa yang dihasratkan mediator; subjek

menghasrati objek yang sama seperti yang dihasrati mediator (I desire according

to the other). Di sini, meskipun Girard berusaha melampaui Hegel, ia pada

kenyataannya terjebak pada idealisme Hegelian, utamanya ketika ia sampai pada

apologia Kristen. Jadi, tak ubahnya Hegel yang berbicara sintesis lahir dari

dialektika antara tesis dan antitesis, maka Girard juga berbicara apologia lahir dari

dialektika antara subjek, mediator, dan objek. Yang membedakan hanyalah proses

dialektika itu. Namun, keduanya sama-sama berakhir pada tendensi ‘mistika’,

tendensi ‘teologis.’ Apologia Girard adalah sintesis mesianik dari dialektika itu.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

21

Mimesis 2: Erich Auerbach

Dasar Historis: Lahir di Berlin tahun 1892 di lingkungan keluarga Yahudi. Belajar

hukum di Berlin University dari 1910 sampai 1913, tapi minatnya justru pada

filsafat, sejarah, seni, dan sastra Romantik. Dalam disertasinya, sebagaimana

Girard, Auerbach juga menyinggung Don Quixote yang disebutnya sebagai orang

yang dikungkung kebebasannya “karena selalu dipengaruhi oleh kepahlawanan

orang lain.” Para tokoh dalam novel Don Quixote, menurut Auerbach, dapat

dianggap sebagai representasi yang memprafigurasi sejarah estetika

pengarangnya, Cervantes. Tahun 1921, ia menerjamahkan buku Giambattista

Vico, The New Science, yang membawa minatnya pada historisisme estetis.

Ketika Nazi muncul, posisinya dicabut dan ia dibuang ke Istanbul Turki pada

1936. Bukunya, Mimesis: The Representation of Reality in Western Literature,

(dalam bahasa Jermannya terbit pertama kali tahun 2001), ditulis selama masa

‘eksil’nya di Istanbul. Mimesis menjadi semacam kritik apologetik terhadap

filologi Arya.

Realisme Figural: Menurut Hayden White (1999: 23), Mimesis-nya

Auerbach menggunakan model figuralis untuk “menjelaskan tidak hanya relasi

antara berbagai teks sastra melainkan juga relasi antara teks tersebut dan konteks

historisnya.” Apa yang dilakukan Auerbach adalah menjadikan teks sastra,

metafor-metafornya, bahasa simboliknya, dan representasi alegorisnya, bukan

sekadar sebagai ekspresi atas apa yang ingin disampaikan, melainkan

penyingkapan atas sesuatu yang lebih besar dari itu: tentang dunia (imanen) dan

sesuatu di luarnya (transenden). Auerbach membedakan antara alegori dan figura.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

22

Yang pertama sekadar bergerak “horizontal”, berkaitan dengan alam “temporal

dan kausal”, sementara yang kedua bergerak ganda antara yang “horizontal” dan

“vertikal”, antara alam eskatologis dan alam apokalptik. Realisme historis,

menurut Auerbach, seharusnya berpijak pada figura ini. Dibanding

memperlihatkan segalanya secara objektif dan terbuka, sejarah seharusnya tetap

menunjukkan something still concealed (sesuatu yang tersembunyi, misterius,

apokaliptik). Persis ketika Auerbach menarik sejarah ke titik terjauh ‘yang-akan-

datang’ itu, ia sebenarnya sedang menjalankan apologianya sendiri.

Model Pembacaan: Auerbach memberi pijakan teoretik yang penting

untuk menganalisis struktur eksternal cerpen-cerpen Sitor dalam kaitannya dengan

sejarah yang membetuknya, atau dengan puisi-puisinya. Hal ini dicontohkan oleh

Auerbach sendiri pada analisisnya terhadap novel Carvantes, Don Quixote, yang

dianggapnya memprafigurasi proyek estetika Carvantes itu sendiri yang

didasarkan pada dialektika antara sastra dan hukum, sebagaimana dalam proyek-

proyek estetika pengarang Jerman umumnya, seperti Goethe, Grimm, dan Franz

Kafka. Di bab pertama dalam bukunya Mimesis, Aeurbach memberi contoh lain

berupa hubungan antara Odysseus-nya Homer dan Perjanjian Lama. Menurut

Auerbach, saat menggambarkan momen penemuan luka Odysseus oleh Euryclea,

Homer menggunakan gaya bahasa “yang benar-benar eksternalistik, yang tampak,

yang jelas dan terang benderang dalam setiap sudutnya”. Sementara itu, momen

penyembelihan Ishak dalam Perjanjian Lama justru menggunakan bahasa dan

adegan “yang penuh misteri, ketakterungkapan, apokaliptik” (Auerbach, 1974: 5).

Bagi Auerbach, sejarah yang ingin mengungkap semuanya secara detail dan jelas

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

23

(alegori)—seperti yang dilakukan oleh Nazi, misalnya—perlu dikritik dan diganti

dengan sejarah yang juga menghargai the other (figura)—seperti yang dilakukan

oleh Yahudi melalui Perjanjian Lamanya. Inilah bentuk realisme yang

sesungguhnya.

Idealisasi Mesianik: Meskipun mimesis Auerbach bisa digunakan untuk

menelaah struktur eksternal cerpen-cerpen Sitor, yang berarti pula bahwa

gagasannya adalah tindak lanjut dari mimesis Girard, ia tak bisa lepas dari

apologia mesianiknya. Yang problematik dari Auerbach adalah idealisme

Hegeliannya, karena—seperti diakui sendiri—bahwa tujuan Mimesis adalah untuk

menulis sejarah, sejarah yang tidak bisa dibaca kecuali dalam romantisisme

Jerman dan tradisi Hegel. Sejarah idealisme Hegel yang selalu dikalim

bertendensi ‘mistika’ ini kemudian diperkuat kembali dengan gagasan Auerbach

tentang figura, yang merujuk pada mesianisme Yahudi. Artinya, Auerbach pun

tidak bisa lepas dari tendensi ‘teologis’ sebagaimana Girard. Bedanya, jika

Auerbach sejak awal menyadari bahwa gagasan mimesisnya lahir dari sebuah

“luka” (sebagai eksil Yahudi) untuk menjembatani dialektika tersebut (antara teks

dan sejarah), maka Girard baru menyadari itu di akhir ketika ia memutuskan untuk

melakukan pertobatan religius (sebagai penganut Kristen) setelah ia menjelaskan

dialektika tersebut. Kesamaannya adalah tendensi ‘apologia mistis’ Hegelian yang

terdapat pada gagasan mimesis mereka.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

24

Mimesis 3: Jacques Ranciere

Dasar Historis: Lahir di Aljeria pada tahun 1940. Dikenal sebagai murid

Althusser. Namun, setelah peristiwa Mei 1968, Ranciere berpisah dengan

gurunya. Ia bahkan menerbitkan sebuah esai pada tahun 1969 yang melancarkan

kritik keras terhadap pemikiran Althusser. Setelah berpisah dari Althusser,

Ranciere kemudian bergabung dengan semacam organisasi mahasiswa-pekerja

berhaluan Maois yang membuat dia mondar-mandir antara universitas dan pabrik.

Dalam periode akhir 1970an hingga awal 1980an, ia menerbitkan karya-karya

yang berpengaruh besar: The Night of Labor (1981) dan The Philosopher and His

Poor (1983). Tahun 1990, ia mengepalai Chairs of Aesthetic and Politics. Tahun

2000, terbit The Politics of Aesthetics yang menjadi salah satu buku teoretiknya

untuk menjembatani antara yang-estetis dan yang-politis.

Politik Estetika: Politik estetika dibangun atas dasar kritik Ranciere

terhadap Plato, Aristoteles, dan Marx. Ia mengkritik Plato karena archipolitics-

nya: memisahkan orang berdasarkan partisi dan kelas yang rigid (beda antara

seniman dan pekerja, misalnya). Aristoteles dikritik karena parapolitics-nya:

depolitisasi politik yang menempatkan konflik sebagai sesuatu yang inheren,

namun pada akhirnya dimasukkan lagi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih

lembek, semacam representasi. Kritiknya terhadap Marx disebabkan metapolitics-

nya: menolak segala sesuatu yang politik karena dianggap tak lebih dari etalase

dari kepentingan relasi produksi dominan (Robertus, 2010: 5). Ranciere

menawarkan gagasan “migrasi kelas”, yakni gerak subjek untuk melampaui

batasan-batasan sosial/ekonomi dan kebudayaan yang menempatkannya pada

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

25

posisi statis tertentu. Bagi Ranciere, mimesis seharusnya berada dalam poros

semacam ini. Karena subjek di sini sejak awal diposisikan sebagai subjek yang

berpikir, maka persisi di titik inilah Ranciere memasukkan yang estetis dalam

yang politis (Ranciere, 2004: 13). Yang estetis, bagi Ranciere, adalah kemampuan

berpikir dan berbuat, yang dimiliki oleh semua orang, sehingga

memungkinkannya bergerak ‘politis’ di antara kelas-kelas yang berbeda.

Model Pembacaan: Ranciere memberi gagasan penting dalam

menganalisis cerpen-cerpen Sitor dan kompleksitas gerakan politisnya di

lapangan. Dengan tidak memisahkan yang politis sebagai yang estetis, Ranciere

menawarkan arus ganda: arus melalui jalur subjek (pekerja yang menulis sastra)

dan arus melalui jalur sastra (karyanya). Wiji Thukul termasuk pada arus pertama,

karena ia dianggap sebagai buruh namun ia berhasil melakukan migrasi kelas

dengan membaca filsafat dan karya sastra, sementara Chairil Anwar masuk pada

arus kedua, karena karya-karyanya mampu melintasi batasan dan partisi sosial.

Meskipun puisi Chairil adalah estetika borjuis, ia tetap revolusioner karena

memberi kesempatan migrasi, menghapus partisi, termasuk m enghapus eksistensi

pengarangnya sendiri. Hal ini memungkinkan terjadi—apa yang disebut

Ranciere—sebagai revolusi estetika: guncangan terhadap seni yang telah

didefinisikan sebagai sebuah kerangka tindakan yang sistematis, guncangan

terhadap seluruh hierarki konsepsi dan sensibilitas.

Kompleksitas Material: Harus diakui, Ranciere memang mencoba

membumikan idealisme mimesis Girard dan Auerbach ke ranah yang sifatnya

lebih ‘material’ dan ‘politis’. Ia tidak hanya meradikalisasi apologia mesianik ke

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

26

dalam apologia yang benar-benar mengguncang dominasi kelas melalui

kesetaraan sebagai ontologi dan migrasi kelas sebagai epistemologinya. Namun,

menurut Hallward (2005: 43), titik berangkat ini rasanya tidak ditopang oleh

kenyataan-kenyataan konkret mengenai apa bentuk-bentuk politik kesetaraan yang

disampaikannya. Akibatnya, kita tidak memiliki tambatan yang memadai untuk

menjelaskan apa itu politik estetika. Karena itulah, Ranciere, bagi saya, bisa

ditutupi kekurangannya dengan mengintegrasikan gagasan mimesisnya ini dengan

dua gagasan mimesis sebelumnya, begitu pula sebaliknya.

1.6.2. Desain Teoretik

Hubungan antara trilogi mimesis ini dengan analisis yang nantinya akan

diterapkan pada cerpen-cerpen Sitor dapat dilihat pada gambar berikut.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

27

Gambar 1:

Desain Teoretik: Trilogi Mimesis dalam

Ibu Pergi ke Surga Sitor Situmorang

Subjek Mediator

Objek

STRUKTUR

INTERNAL

Cerpen Puisi

Sejarah

STRUKTUR

EKSTERNAL LUKA

Litera Historia

Apologia

ROH

ABSOLUT

Politik Estetika

AKSIOMA

KESETARAAN

“Idealis”

“Materialis”

MIMESIS 1 MIMESIS 2

MIMESIS 3

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

28

Gambar tersebut akan diuraikan lebih detail di bawah ini.

Bermula dari Hasrat Mimetik

Untuk mempermudah analisis terhadap mimesis sebagai struktur internal dalam

Ibu Pergi ke Surga, pertama-tama yang perlu dilakukan adalah menggunakan

gagasan Rene Girard yang berpijak pada apa yang disebutnya sebagai hasrat

segitiga. Mimesis selalu bermula dari “hasrat.” Aku menghasrati objek, pertama-

tama, bukan karena objek itu sendiri, melainkan karena aku meniru apa yang

dihasrati orang lain (mediator). Pada dialektika ini, hampir selalu ada korban yang

dipertaruhkan.

Girard menggambarkan operasi mimetis ini dalam segitiga hasrat

antartokoh dalam teks sastra (litera). Perhatikan, dalam segitiga itu, subjek pada

hakikatnya menghasrati apa yang dihasrati oleh mediator. Mimesis ini seringkali

berlangsung intens, yang membuat objek hasrat menjadi tidak penting, karena

yang terpenting adalah dialektika dan rivalitas itu. Pada akhirnya, intensitas

mimetik ini menjadikan mediator tak lagi sebagai mediator, melainkan sebagai

rival. Rivalitas, kegetaganga, kontestasi, adalah bagian lumrah dalam sebuah

dialektika.

Dari Hasrat menuju Luka

Hasrat mimetik, yang selalu menunda asal, arkhe, objek hasrat itu sendiri, pada

akhirnya melahirkan dialektika rivalis subjek vs mediator, yang tak jarang

memunculkan apa yang disebut Auerbach sebagai “luka.” Di sinilah relevansi

mimesis Girard dengan Auerbach. Cara Auerbach mengkritik Homer lahir dari

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

29

luka itu, luka seorang Yahudi eksil yang pernah diusir dari Jerman yang ingin

membuat sejarah layaknya Homer menceritakan luka Odysseus: terang, jelas,

begitu saja. Auerbach memandang Odyssues sebagai representasi sejarah

(historia) orang-orang Eropa yang memarjinalkan Perjanjian Lama dan penulis-

penulis Yahudi.

Membaca Ibu Pergi ke Surga, dengan demikian, perlu ditempatkan dalam

struktur eksternal mimetik itu sendiri. Ada dua hal yang dihendak ditelusuri:

referensi historis dan apologia idealis. Dua hal ini sejalan dengan cara Auerbach

membaca karya-karya sastra. Ia, pertama-tama, melihat hubungan karya tersebut

dalam merepresentasikan realitas, apa yang problematik, mengapa ia problematik.

Selanjutnya, ia melihat kemungkinan diradikalkannya pembacaan terhadap karya

tersebut berdasarkan perspektif mesianisme Yahudinya, perspektif yang melihat

teks sebagai sesuatu yang redemtif, terbuka. Cara ini bisa memutus mata rantai

korbani yang menubuh dalam karya sastra.

Dari Luka menuju Apologia

Persis ketika teks sastra dibaca melalui perspektif luka, suatu proses penyingkapan

atas sejarah yang melahirkan teks itu, sejarah yang dipenuhi dengan tragedi dan

dialektika, maka mimesis Auerbach samar-samar menawarkan apologia. Apologia

bukanlah sekadar duka cita dan penyesalan; apologia adalah penyingkapan atas

struktur ambigu identitas. Lebih tepatnya, apologia adalah sebentuk sintesis ideal

(Roh Absolut) atas segala dialektika yang berlangsung dalam teks maupun dalam

kenyataan sejarah.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

30

Nanti akan terlihat bagaimana Ibu pergi ke Surga sebenarnya

memperlihatkan di satu sisi pengaruh mesianik Kristen dalam diri Sitor dan di sisi

lain kekuatan tekstual Sitor yang sebagaimana diakuinya sendiri menempatkan

sastra, pertama-tama, sebagai kepastian yang tak mau dirumuskan (dalam sajak

“Baris Antara yang Dibaca”). Dari dialektika inilah, Sitor tampaknya lebih jauh

mencari obat atas luka itu melalui salvation, pembebasan, mesianisme; semacam

preskripsi umum terhadap semua dialektika tersebut.

Dari Apologia menuju Politik Estetika

Namun, berhenti pada apologia saja berarti mengabsolutkan Sitor sebagai ‘mitos’,

suatu kecenderungan yang sangat khas dalam pemikiran Hegelian. Karena itulah,

Sitor perlu dimitologisasi sekaligus didemitologisasi agar idealismenya “tetap

berpijak pada bumi.” Artinya, dua gagasan mimesis di atas perlu diradikalisasi

kembali melalui gagasan mimesis ketiga dari Jacques Ranciere, yang menekankan

penghapusan batas antara yang-estetis dan yang-politis. Dengan demikian, bukan

hanya cerpen-cerpen Sitor diposisikan sebagai estetika, dan karenanya ia politis,

melainkan juga beberapa aktivitas Sitor yang relevan bisa dianggap sebagai

bagian dari estetika itu sendiri.

Persis di titik inilah, Ibu Pergi ke Surga tidak semata-mata dianalisis

kemudian di angkat ke langit, layaknya sebagai seorang mistikus, yang hanya

punya idea, cita-cita, dan mesianisme, tanpa diturunkan kembali ke bumi.

Bagaimana pun, ibu adalah surga, tapi ia berada di telapak kaki. Ia idealis di satu

sisi, namun juga materialis di sisi lain. Ibu Pergi ke Surga perlu dinaikkan ke

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

31

langit, untuk kemudian diuji kapasitasnya dalam kenyataan sehari-hari. Sitor

mitos sekaligus bukan mitos. Karya-karyanya juga tak menunjukkan ia semata-

mata elitis. Ia terkadang ada di sekitar kita, berpikir, setara dengan kita (Aksioma

Kesetaraan), beranjak dari satu kelas ke kelas lain, memperlihatkan betapa

estetikanya dibangun tak berajak dari gerak politisnya.

1.7. METODE PENELITIAN

1.7.1. Pendekatan Penelitian

Dalam Kerangka Teori telah dijabarkan secara singkat bagaimana tiga gagasan

mimesis itu diterapkan dalam mendekati beberapa karya sastra. Masing-masing

menjadikan karya sastra sebagai objek analisis, namun pendekatan yang mereka

terapkan berbeda-beda, sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda.

1. Girard menggunakan pendekatan strukturalis untuk menelaah dialektia

antara subjek, mediator, dan objek untuk menunjukkan pola hasrat segita

yang beroperasi di dalamnya. Pendekatan yang serupa akan digunakan

dalam riset ini untuk menentukan mana subjek yang sedang berdialektika

dengan subjek lain (mediator), dan apa objek yang sebenarnya sedang

mereka hasrati.

2. Auerbach menggunakan pendekatan historis untuk menganalisis hubungan

antara teks satu dengan teks lain dalam mencari relasinya dengan sejarah

literatur Eropa. Pendekatan ini juga akan diterapkan dalam studi ini

dengan membandingkan antara cerpen-cerpen Sitor dan puisi-puisinya

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

32

dalam rangka mencari kemungkinan relasi historisnya dengan konteks

kehidupan Sitor.

3. Ranciere menggunakan pendekatan politis untuk menelusuri relasi

filosofis antara estetika dan politik dalam setiap kerja kemanusiaan yang

mencakup segala bidang kehidupan. Pendekatan yang sama juga berusaha

diterapkan dalam riset ini untuk mengetahui politik estetika yang

dijalankan oleh Sitor tanpa melepaskan hubungannya dengan cerpen-

cerpen yang ia tulis.

Meskipun tiga pendekatan ini mengasumsikan tiga hasil yang berbeda, ketiganya

tetap bisa diintegrasikan untuk membentuk suatu tipologi tertentu dari idealisme

dan materialisme Sitor, sebagaimana yang sudah dijelaskan secara singkat dalam

desain teoretik sebelumnya.

1.7.2. Metode Analisis

Kerangka teori yang digunakan dalam studi ini adalah trilogi mimesis. Problem

utama yang perlu dijawab terlebih dahulu adalah bagaimana penggunaan kerangka

teori ini dijabarkan dalam bangunan argumen riset ini secara keseluruhan

sehingga terwujud koherensi metode analisis dan tidak sekadar berciri eklektik?

Karena studi ini berpijak pada trilogi mimesis, maka langkah-langkah analisisnya

akan disesuaikan dengan pendekatan teoretik yang sudah dijelaskan sebelumnya.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

33

Tahap pertama – analisis mimesis 1 – melacak struktur internal

mencari tokoh-tokoh atau adegan-adegan dalam cerpen-cerpen Sitor yang

menampilkan dialektika hasrat mimetis, dan objek apa yang sedang

dihasrati.

memperlihatkan apa yang problematik dari operasi mimesis ini dalam

struktur internal cerpen-cerpen Sitor.

menelusuri kemungkinan adanya penyelesaian mesianistik dalam cerpen-

cerpen, yang nantinya bisa dihubungkan dengan figurasi mesianistik pada

tahap kedua.

Tahap kedua – analisis mimesis 2 – melacak struktur eksternal

Menelusuri hubungan antara cerpen-cerpen Sitor dengan puisi-puisinya

dalam konteks latar di mana teks itu diciptakan.

Menganalisis dialektika antara teks Sitor dan konteks historis Sitor saat itu

untuk menemukan gerak ganda yang ia jalankan secara sadar maupun tak

sadar.

Mencari sintesis mesianik dari pengalaman historis Sitor yang telah

disarikan dari analisis terhadap relasi antara teks dan konteks sebelumnya.

Tahap ketiga – analisis mimesis 3 – melacak politik estetika

Membangun beberapa tesis teoretik dari politik estetika yang akan

dibuktikan dalam kaitannya dengan gerakan Sitor di kehidupan nyata.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

34

Melusuri hubungan antara tesis-tesis tersebut dengan beberapa cerpen

Sitor yang dianggap merepresentasikan gerakan politik estetika Sitor itu

sendiri.

Mencari kemungkinan diradikalisasinya idealisme dua gagasan mimesis

sebelumnya melalui politik estetika Sitor yang sifatnya lebih ‘materialis.’

1.7.3. Sumber Data

Sumber Struktural

Sumber struktural ialah literatur yang tema utamanya berkaitan dengan tema

utama yang dikaji dalam studi ini, yakni cerpen-cerpen Sitor, gagasan hasrat

mimesis Rene Girard, gagasan realisme figural Erich Auerbach, gagasan politik

estetika Jacques Ranciere, dan beberapa catatan esai atau sejarah tentang Sitor.

Kategori sumber stuktural ini mencakup dua jenis literatur:

1. Yang pertama adalah sumber primer atau karya-karya yang ditulis

langsung oleh Sitor, Girard, Auerbach, dan Ranciere. Selain itu, kategori

ini juga meliputi beberapa karya yang sejak awal didedikasikan untuk

menelaah kehidupan dan karya Sitor, seperti buku-buku atau riset-riset

terbitan Komunitas Bambu.

2. Yang kedua adalah sumber sekunder atau karya-karya yang ditulis oleh

penulis lain, di luar penulis utama, namun secara langsung mendiskusikan

tema yang saya angkat dalam riset ini.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

35

Sumber Pendukung

Sumber pendukung adalah segala literatur yang beririsan dan mendukung tema

riset ini meski tidak membahas secara khusus dan ekstensif tentangnya. Sumber

pendukung tersebut umumnya mencakup esai, tulisan, wawancara, dari Internet

yang sedikit banyak menyinggung aktivitas dan kreativitas Sitor.

1.8. SISTEMATIKA PENYAJIAN

Bab ini disusun ke dalam lima bab utama. Bab I adalah Pendahuluan yang sedang

diuraikan ini dan karenanya tidak memerlukan keterangan lebih lanjut.

Bab II memuat kajian tentang struktur internal dalam cerpen-cerpen Ibu

Pergi ke Surga yang berpijak pada gagasan hasrat segitiga Rene Girard. Di

dalamnya akan disajikan bagaimana dialektika terjadi antartokoh dalam cerpen-

cerpen itu. Setelah itu akan dijelaskan pola kemungkinan apologetik yang bisa

diperoleh dari dialektika tersebut.

Bab III berisi uraian tentang struktur eksternal dalam cerpen-cerpen Ibu

Pergi ke Surga yang didasarkan pada realisme figural Erich Auerbach. Dalam bab

ini akan disajikan periodeisasi pembuatan prosa Sitor berdasarkan latar dan

pengalaman historis yang membentuknya. Disajikan pula pembacaan atas

hubungan historis-kontekstual antara cerpen Sitor dan pengalamannya, hubungan

intertekstual antara cerpen dan puisi-puisinya, serta kemungkinan apologetiknya.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88226/potongan/S2-2015-357402-chapter1.pdfSumardjo, Idrus, Achdiat K. Mihardja, dan Aoh K. Hadimadja. Buku

36

Bab IV berfokus pada politik estetika Sitor dengan meradikalisasi

apologia-apologia yang telah dijelaskan pada dua bab sebelumnya. Di sini akan

dibahas tendensi religius dari apologia tersebut dengan berfokus pada metafor Ibu

pergi ke Surga dan Si Anak Hilang. Selanjutnya akan dibahas 15 tesis politik

estetika yang bisa diterapkan untuk melampaui tendensi teologis tersebut untuk di

bawah ke ranah yang lebih politis.

Bab V merupakan Penutup. Bab ini akan berisi rangkuman menyeluruh

dari seluruh pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Rangkuman ini akan

diuraikan dalam rangka menjawab tiga pertanyaan penelitian yang telah disajikan

pada bab pertama. Selain rangkuman dan kerangka keseluruhan, bab ini juga

berisi rekomendasi untuk studi-studi selanjutnya.

POLITIK ESTETIKA SITOR SITUMORANG: TRILOGI MIMESIS DALAM IBU PERGI KE SURGA (1950 -1981)ACHMAD FAWAIDUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/