daftar gambar -...

101
xi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh....................................... 10 Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau.................... 12 Gambar 2.3 Kerangka penelitian....................................................... 33 Gambar 3.1 Diagram alir metode penelitian...................................... 51 Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian.................................................... 58 Gambar 5.1 Peta Sampel Lapangan Citra Resolusi Tinggi................62 Gambar 5.2 Titik kontrol (GCP) pada koreksi geometrik................. 71 Gambar 5.3Pertampalan vektor sebelum dan sesudah Koreksi Geometrik........................................... 72 Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit warna 432....................................................................... 77 Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2 komposit 432................................................................. 78 Gambar 5.6 Peta Satuan Pemetaan Kerapatan Vegetasi.................... 81 Gambar 5.7 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi................ 83 Gambar 5.8 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan vegetasi.......................................................................... 85 Gambar 5.9 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan vegetasi.......................................................................... 86 Gambar 5.10 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan vegetasi........................................................................... 86 Gambar 5.11 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan vegetasi.......................................................................... 87 Gambar 5.12 Peta Kerapatan Kanopi Hutan Interpretasi Hibrida..... 91

Upload: duongnhan

Post on 22-Jun-2018

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh....................................... 10

Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau.................... 12

Gambar 2.3 Kerangka penelitian....................................................... 33

Gambar 3.1 Diagram alir metode penelitian...................................... 51

Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian.................................................... 58

Gambar 5.1 Peta Sampel Lapangan Citra Resolusi Tinggi................62

Gambar 5.2 Titik kontrol (GCP) pada koreksi geometrik................. 71

Gambar 5.3Pertampalan vektor sebelum dan

sesudah Koreksi Geometrik........................................... 72

Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit

warna 432....................................................................... 77

Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2

komposit 432................................................................. 78

Gambar 5.6 Peta Satuan Pemetaan Kerapatan Vegetasi.................... 81

Gambar 5.7 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi................ 83

Gambar 5.8 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan

vegetasi.......................................................................... 85

Gambar 5.9 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan

vegetasi.......................................................................... 86

Gambar 5.10 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan

vegetasi........................................................................... 86

Gambar 5.11 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan

vegetasi.......................................................................... 87

Gambar 5.12 Peta Kerapatan Kanopi Hutan Interpretasi Hibrida..... 91

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR-2........................................ 15

Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual

dan digital...........................................................................25

Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan

penelitian yang akan dilakukan......................................... 35

Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi................................ 47

Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi................................................... 48

Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik...................................49

Tebel 5.1 Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan.............. 63

Tabel 5.2 Titik GCP pada koeksi geometrik...................................... 70

Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2.............. 73

Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai

spektralnya....................................................................... 76

Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual

untuk Satuan Pemetaan..................................................... 80

Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi

pada Transformasi Indeks Vegetasi

(RVI, NDVI, TVI dan MSAVI) ....................................... 84

Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan nilai

kerapatan.......................................................................... 87

Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi............................................... 89

Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida............. 90

Tabel 5.10 Uji akurasi interpretasi hibrida....................................... 92

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai rata-rata satuan pemetaan kerapatan kanopi

vegetasi pada citra NDVI............................................ 101

Lampiran 2. Header Citra Satelit ALOS AVNIR-2........................... 104

Lampiran 3. Peta Kerapatan Kanopi Vegetasi Interpretasi Citra resolusi

Tinggi........................................................................... 107

Lampiran 4. Citra RVI....................................................................... 108

Lampiran 5. Citra NDVI.................................................................... 109

Lampiran 6. Citra TVI....................................................................... 110

Lampiran 7. Citra MSAVI................................................................ 111

Lampiran 8. Peta Inversi Regresi......................................................112

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk

perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk

radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan

bumi (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1986). Hasil dari rekaman tersebut

berupa data penginderaan jauh yang dalam penerapannya disebut citra

penginderaan jauh. Ada dua macam citra yang dihasilkan dari produk

penginderaan jauh, citra foto dan citra nonfoto (satelit). Citra foto dihasilkan

dari pemotretan foto udara dengan sensor berupa kamera. Sensor tersebut di

pasang pada wahana seperti pesawat terbang, balon udara, atau bahkan

pesawat tanpa awak (remote control). Adapun citra nonfoto adalah citra

yang dihasilkan dari pemotretan dengan satelit sebagai wahananya.

Citra hasil rekaman sensor penginderaan jauh memuat berbagai

macam informasi objek di permukaan bumi. Untuk dapat dimanfaatkan

secara optimal, maka citra ini harus diterjemahkan dalam bentuk informasi

tentatif objek. Setiap objek di permukaan bumi memiliki nilai reflektansi

yang berbeda-beda. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan objek di

permukaan bumi inilah yang nantinya dijadikan dasar pengenalan objek.

Tahap awal pengenalan citra inilah yang disebut dengan interpretasi citra.

Estes dan Simonette (1975 dalam Sutanto, 1986) mengatakan bahwa

interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra

dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya

objek tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan unsur-unsur pengenal objek

ataupun gejala yang terekam pada citra. Unsur-unsur inilah yang dinamakan

unsur interpretasi. Ada 9 jenis unsur interpretasi, rona atau warna, ukuran,

bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi (Estes et al., 1983

dalam Sutanto 1986). Tidak mutlak ke 9 unsur interpretasi tersebut

digunakan secara serentak untuk menginterpretasi objek. Melaui latihan

2

menginterpretasi citra baik di laboratrium maupun observasi lapangan

secara langsung akan dapat dikenali unsur-unsur interpretasi apa saja yang

paling berperan dalam identifikasi objek di permukaan bumi. Unsur

interpretasi yang paling berperan inilah yang kemudian disebut kunci

interpretasi. Menurut (Sabins, 1997), kunci interpretasi adalah karakteristik

atau kombinasi karakteristik (dalam hal ini diwakili oleh unsur-unsur

interpretasi) yang memungkinkan suatu objek pada citra dapat dikenali.

Interpretasi citra pada dasarnya terdiri dari dua proses, yakni proses

perumusan identitas objek dan elemen yang dideteksi pada citra dan proses

untuk menemukan arti pentingnya objek dan elemen tersebut (Lo, dalam

Sutanto 1986). Hasil dari proses inilah yang kemudian dikelompokkan

berdasarkan homogenitasnya, jadi dapat dikatakan bahwa proses interpretasi

pada dasarnya adalah mengelompokkan karakteristik/fenomena di

permukaan bumi berdasarkan kemiripan/homogenitasnya membentuk suatu

pola tertentu.

Menurut Sutanto (1986) interpretasi citra penginderaan jauh dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara visual atau manual dan

interpretasi secara digital. Manual dengan memanfaatkan penginderaan

melalui citra sedangkan interpretasi digital dilakukan dengan mendasarkan

pada informasi spektralnya. Proses interpretasi yang untuk selanjutnya

dilakukan klasifikasi adalah elemen yang sangat penting dalam menentukan

sukses tidaknya proses pemetaan. Banyak metode klasifikasi yang masih

digunakan hingga saat ini, terutama untuk klasifikasi digital. Beberapa

metode klasifikasi digital yang umum digunakan antara lain klasifikasi

multispektral, jaringan saraf tiruan, logika samar, klasifikasi berorientasi

obyek.

Sejauh ini hanya dikenal dua proses interpretasi, yakni manual dan

digital. Masing-masing dari interpretasi tersebut pastilah memiliki kelebihan

dan kekurangannya. Dalam rangka mereduksi kekurangan dan

mengoptimalkan kelebihannya maka dikembangkanlah satu teknik

interpretasi dengan menggabungan baik interpretasi digital maupun

interpretasi manual untuk mengidentifikasi objek tertentu di permukaan

3

bumi. Teknik interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan interpretasi

hibrida. Adapun interpretasi hibrida menurut Suharyadi (2010) adalah

teknik yang mengkombinasikan antara interpretasi visual untuk delineasi

objek, dan menggunakan prinsip-prinsip pola pengenalan spektral secara

digital untuk identifikasi objeknya.

Penggunaan berbagai metode interpretasi baik visual maupun digital

sebenarnya sama-sama untuk mempermudah dalam pengenalan objek di

permukaan bumi. Namun bagaimana kemudian metode tersebut nantinya

dapat diterima dan dimanfaatkan untuk analisis keruangan. Hal ini erat

kaitannya dengan kualitas data spasial yang dihasilkan. menurut Guptill dan

Morrison (1995) dalam Danoedoro (2012) kualitas data spasial adalah suatu

keadaan data yang harus diinformasikan keada pengguna data tersebut agar

mereka dapat memanfaatkannya secara proporsional; dan juga kepada para

praktisi atau peneliti yang dalam pekerjaannya menghasilkan keluaran

berupa peta atau citra agar mencantumkan informasi tentang keadaan data

yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Banyak aspek yang mempengaruhi kualitas data spasial, antara lain

lineage/riwayat data, akurasi posisi, akurasi atribut, kelengkapan,

konsistensi logis, akurasi semantik, dan informasi temporal (Guptil dan

Morrison, 1995 dalam Danoedoro 2012). Kualitas data yang dibicarakan

pada penelitian kali ini adalah kualitas data hubungannya dengan akurasi

semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik peta. Akurasi ini

menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan. Semakin

tinggi akurasinya, semakin baik data/peta yang dihasilkan.

Produk penginderaan jauh yang disebut citra penginderaan jauh saat

ini sudah banyak dimanfaatkan untuk kajian penutup dan atau penggunaan

lahan, tata ruang wilayah, hingga studi kebencanaan. Masing-masing citra

penginderaan jauh memiliki tingkat kedetilalan informasi yang disadap, hal

ini erat kaitannya dengan resolusi. Ada empat resolusi yakni resolusi

spasial, resolusi spektral, resolusi radiometeri, dan resolusi temporal

(Sutanto, 1986). Menurut Swain dan Davis (1978) resolusi adalah

kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi

4

secara spasial (keruangan) berdekatan atau secara spektral (sinar)

mempunyai kemiripan. Resolusi spasial merupakan petunjuk kualitas

sensor, semakin kecil objek yang dapat direkam olehnya, semakin detil

informasinya. Resolusi spektral adalah kemapuan sensor dalam

membedakan objek berdasarkan pantulan spektral dari objek itu sendiri.

Resolusi temporal terkait dengan waktu, yakni kemampuan sensor untuk

merekam ulang daerah yang sama. Sedangkan resolusi radiometri adalah

kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral objek.

Konsep resolusi berkaiatan erat dengan kualitas data spasial dalam

penginderaan jauh. Tidak semua data dapat digunakan begitu saja,

tergantung tujuan penggunaannya, dan output yang dihasilkan. . Citra-citra

skala kecil dengan resolusi yang kecil, NOAA misalnya digunakan untuk

analisis hingga tingkat regional dengan cakupan wilayah yang luas.

Sedangkan Landsat atau ASTER tingkat kedetilannya hanya terbatas pada

skala menengah begitu pula dengan ALOS. Lain halnya dengan IKONOS

atau QuickBird, citra ini dapat mencapai tingkat kedetilan tinggi karena

memiliki resolusi spasial yang tinggi pula. Kaitannya dengan hal tersebut,

maka penelitian yang dilakukan di sebagian Kabupaten Gunungkidul ini

menggunakan citra satelit resolusi menengah ALOS untuk kajian kerapatan

vegetasi sehingga output yang dihasilkan nanti dapat sesuai dengan apa

yang diharapkan. Variasi panjang gelombang yang dimiliki oleh citra ALOS

dengan sensor AVNIR-2 inilah yang dijadikan dasar dalam pengenalan

objek vegetasi di permukaan bumi. Dari sekian banyak metode interpretasi

vegetasi, transformasi indeks vegetasi masih dipercaya sebagai metode yang

memiliki keakuratan yang baik untuk pengenalan vegetasi di permukaan

bumi.

Pemetaan kerapatan vegetasi untuk penelitian kali ini dilakukan di

Kabupaten Gunungkidul dengan objek kajian berupa hutan. Berdasarkan

data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX daerah Istimewa

Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul

menduduki peringkat tertinggi di Yogyakarta atas wilayah hutannya dengan

total luasnya mencapai 14.859,50 Ha. Kondisi ini tentunya membutuhkan

5

manajemen hutan yang baik agar tetap menjadi hutan yang lestari. Ada

banyak parameter yang dapat diangkat guna optimalisasi potensi hutan, dan

salah satunya adalah kerapatan tegakan. Sebagaimana disebutkan oleh Davis

dan Johson (1986) dalam Sahid (2005) bahwa dua macam kegunaan

pengukuran tegakan hutan yaitu pertama untuk menunjukkan tegakan dalam

model yang digunakan untuk menaksir jumlah pertumbuhan dan hasil di

masa yang akan datang, dan kedua untuk memutuskan prestasi tegakan jika

dibandingkan dengan kriteria-kriteria tujuan pengelolaan. Hutan dalam

penelitian kali ini merujuk pada hutan jenis tegakan. Menurut Undang-

Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu

dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan tegakan menurut Howard

(1991) adalah suatu agregasi pohon yang cukup seragam komposisinya yang

dapat dibedakan dari tanaman di dekatnya. Berdasarkan dari rumusan

tegakan yang dikemukakan oleh Howard (1991) tersebut, maka proses

pemetaan vegetasi dapat diidentifikasi memalui perbedaan tekstur tegakan

pada citra penginderaan jauh.

1.2 Rumusan Masalah

Managemen pengelolaan hutan yang baik akan selalu membutuhkan

informasi mengenai pertumbuhan hutan yang dikelola baik dari sisi kualitas

maupun kuantitasnya. Informasi ini dapat diperoleh melalui pengamatan

secara berkala, namun hal ini tidak dapat diterapkan pada daerah yang luas

mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Oleh karena itu pendekatan

melalui penginderaan jauh sangat tepat diterapkan untuk kajian kehutanan.

Ilmu penginderaan jauh dalam analisis keruangan mutlak diperlukan,

termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Berbagai metode interpretasi hingga

saat inipun berkembang kian pesat seiring dengan perkembangan teknologi

yang mengikutinya. Salah satu metode interpretasi yang kian berkembang

saat ini adalah metode interpretasi hibrida. Prinsip dari interpretasi hibrida

6

adalah dengan menggabungkan dua metode interpretasi untuk mendapatkan

hasil yang lebih baik. Purwadi (2001) mengatakan bahwa metode yang

sering digunakan untuk interpretasi hibrida adalah dengan menggabungan

antara klasifikasi terselia (klasifikasi terkontrol) dan tak terselia (klasifikasi

tak terkontrol). Klasifikasi terselia, operator, analisis, atau pengguna

bertindak sebagai pengontrol kriteria klasifikasi seperti halnya pada

klasifikasi manual. Sebaliknya, klasifikasi tak terselia merupakan metode

klasifikasi yang sepenuhnya diputuskan secara otomatis oleh komputer

tanpa ada campur tangan manusia.

Seiring dengan perkembangannya, interpretasi hibrida dapat pula

dilakukan dengan menggabungkan antara interpretasi digital dan interpretasi

visual seperti yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) dengan hasil yang

dapat dipercaya. Tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida ini cukup

tinggi yakni di atas 80%. Hal inilah yang membuat interpretasi hibida

menjadi salah satu metode interpretasi yang mulai banyak digunakan dalam

penelitian penginderaan jauh untuk analisis objeknya.

Aplikasi penginderaan jauh dalam perkembangannya banyak

menggunakan respon spektral untuk identifikasi objek tertentu di

permukaan bumi. Salah satu metode yang memanfaatkan respon spektral

dalam identifikasi objek yakni transformasi cira. Transformasi citra yang

dilakukan adalah dengan membuat selisih dari beberapa saluran. Untuk

kajian vegetasi, ada beberapa teknik transformasi yang umum digunakan,

antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation

Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil

Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Teknik transformasi tersebut sama-

sama memanfaatkan respon spektral yang diberikan dengan memanipulasi

beberapa saluran guna menonjolkan objek vegetasi. Meskipun transformasi

indeks vegetasi yang disebutkan di atas sama-sama memanfaatkan saluran

merah dan inframerah dekat, namun antar satu dengan yang lain

menghasilkan julat indeks vegetasi yang berbeda karena menggunakan

algoritma yang berbeda pula. Untuk itu, perlu adanya suatu penelitian yang

7

mengkaitkan antara indeks vegetasi yang digunakan dengan akurasi yang

diharapkan.

Berawal dari asumsi bahwa setiap objek di permukaan bumi

memiliki pola spektral yang berbeda-beda, maka keberadaan vegetasi di

permukaan bumi pun dapat dideteksi dari citra penginderaan jauh. Salah

satu aplikasi dari penginderaan jauh untuk analisis vegetasi adalah dengan

melihat tingkat kerapatan kanopinya. Tingkat kerapatan konopi

menggambarkan seberapa rapat tutupan tajuk dari vegetasi pada suatu

wilayah (bukan jumlah vegetasi). Apabila dilihat melalui citra penginderaan

jauh maupun foto udara tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi memperkecil

kemungkinan terlihatnya objek tanah ataupun objek lain di bawahnya.

Dengan demikian, semakin banyak tutupan vegetasi, semakin banyak pula

nilai piksel murni vegetasi yang tergambarkan dalam analisis citra.

Merujuk pada permasalahan di atas, maka penggunaan metode

interpretasi hibrida untuk meningkatkan hasil akurasi penelitian yang

berkaitan dengan identifikasi kerapatan vegetasi di permukaan bumi

menjadi salah satu solusi dalam mempermudah interpretasi. Interpretasi

hibrida dalam penelitian kali ini dilakukan dengan menggabungkan antara

interpretasi manual/visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual dengan

menggunakan citra satelit resolusi tinggi, sedangkan interpretasi digital

dengan menggunakan beberapa indeks vegetasi. Hasil dari teknik

interpretasi visual digunakan sebagai masukan dalam analisis piksel dari

setiap indeks vegetasi yang digunakan, harapannya agar hasil yang didapat

lebih akurat untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi. Berdasarkan uraian di

atas, maka muncul pertanyaan penelitian yang melatarbelakangi

pelaksanaan penelitian ini, yaitu :

1. Apakah tehnik interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan

digital mampu memberikan akurasi yang baik untuk pemetaan

kerapatan kanopi vegetasi?

2. Bagaimana kondisi kerapatan kanopi tegakan hutan di sebagian

Kabupaten Gunungkidul?

8

3. Transformasi indeks vegetasi apa yang paling baik digunakan untuk

kajian kerapatan kanopi vegetasi dengan metode hibrida?

Mengacu pada permasalahan penelitian di atas, maka peneliti

melakukan penelitian dengan judul: Kajian Akurasi Interpretasi Hibrida

Menggunakan Empat Indeks Vegetasi untuk Pemetaan Kerapatan Kanopi di

Kawasan Hutan Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Interpretasi hibrida untuk mengoptimalkan kelebihan dan

meminimalisasi kekurangan yang ada pada metode interpretasi visual

maupun digital.

2. Memetakan kerapatan kanopi di kawaan hutan sebagian Kabupaten

Gunungkidul.

3. Mengkaji korelasi empat transformasi indeks vegetasi dengan data

kerapatan kanopi vegetasi untuk mendapatkan formula hibrida terbaik.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Pengaplikasian dan pengembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh

untuk pemetaan kerapatan vegetasi menggunakan citra satelit resolusi

menengah.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemegang kebijakan daerah setempat

terkait pembuatan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten

Gunungkidul khususnya yang berkaitan dengan kehutanan.

9

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Batasan dan Pengertian Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat

pesat, mulai dari sistem perekaman hingga data yang dihasilkan.

Kemampuannya dalam merepresentasikan permukaan bumi mulai dari skala

kecil hingga skala besar menjadikan ilmu penginderaan jauh sebagai salah

satu alat analisis dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Lillesand dan Kiefer

(1999) mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan

menganalisis menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek,

daerah, atau gejala yang dikaji. Untuk itu penginderaan jauh sederhananya

dapat diartikan sebagai pengambilan atau pengukuran data / informasi

mengenai sifat dari sebuah fenomena, obyek atau benda dengan

menggunakan sebuah alat perekam tanpa berhubungan langsung dengan

objek kajian.

Penginderaan jauh mampu menghasilkan data spasial (keruangan)

yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan

bumi dalam jumlah banyak dan waktu yang cepat. Keadaan ini

membutuhkan suatu sisitem pengolahan dan penanganan data yang tepat

agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Terkait dengan hal tersebut,

beberapa komponen utama yang mendasari penginderaan jauh antara lain

sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga elektromagnetik dengan objek,

sensor dan wahana, pengolahan data, dan pengguna. Komponen-komponen

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1).

10

Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)

Pemanfaatan penginderaan jauh baik dilihat dari jumlah penggunaan

maupun frekuensinya selama enam dasawarsa terakhir ini meningkat tajam

(Sutanto, 1986). Hal ini dilandasi oleh beberapa faktor, antar lain :

1. Citra dapat menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di

permukaan bumi dengan ujud dan letak obyek yang mirip di

permukaan bumi, lengkap dalam menggambarkan kenampakan

permukaan bumi, meliputi daerah yang luas dan permanen;

2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga

dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang

disebut stereoskop;

3. Karakteristik objek yang tampak dapat diwujidkan dalam bentuk

citra sehingga dapat dimungkinkan pengenalan objeknya;

4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit

dijelajahi secara terrestrial;

5. Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana;

6. Citra merupakan alat yang baik untuk memantau (monitoring)

perubahan penggunaan lahan.

Kemampuan penginderaan jauh dalam mengumpulkan informasi di

permukaan bumi tidak diragukan lagi. Seperti yang diungkapkan pula oleh

Purbowaseso (1996), penginderaan jauh diaplikasikan guna mengumpulkan

informasi yang diperlukan untuk mengartikan berbagai macam komponen

lingkungan kita yang lebih baik.

11

2.2 Karakteristik Pantulan Spektral Vegetasi dan Hubungannya

dengan Penginderaan Jauh

Respon spektral objek yang terbaca oleh sensor penginderaan jauh

berkaitan dengan sifat energi elektromagnetik objek. Besarnya energi

elektromagnetik yang yang terpancar dari setiap objek di permukaan bumi

yang kemudian ditangkap oleh sensor penginderaan jauh tergantung dari

sifat fisik maupun otik objek itu sendiri. Menurut Myers (1983), parameter

yang mempengaruhi pantulan kanopi vegetasi antara lain.

1. Sifat transmisi dedaunan.

2. Jumlah dan susunan keruangan daun.

3. Karakteristik aspek vegetasi yang meliputi aspek batang, tangkai,

dan dahan.

4. Karakteristik latar belakang vegetasi tumbuh.

5. Sudut azimuth, sudut pandang dan sudut zenith matahari.

Tiga objek utama yang dapat di kenali secara langsung melalui citra

penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ke tiga objek ini jika

dilihat dari kurva pantulan spektralnya memiliki perbedaan kurva yang

cukup signufikan sehingga mudah dalam identifikasinya. Dari ketiga objek

tersebut, vegetasi paling banyak memiliki variasi pantulan spektralnya yakni

tinggi pada saluran hijau, rendah pada saluran biru dan merah, dan sangat

tinggi pada saluran inframerah dekat. Berikut grafik kurva pantulan spektral

khusus untuk vegetasi (Gambar 2.2)

12

Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau

(Hoffer dalam Swain Davis 1978)

Secara umum informasi vegetasi dapat diperoleh pada wilayah

spektral antara 0,4 µm – 2,6 µm dengan karakteristik sebagai berikut (Swain

Davis, 1978):

1. Gelombang tampak (0,4 µm – 0,7 µm) ; pigmentasi mendominasi

respon spektral pada wilayah ini.

2. Inframerah dekat (0,8 µm – 1,2 µm) ; pantulan gelombang pada

panjang gelombang ini tampak meningkat secara jelas karena daun

hijau menyerap sangat sedikit energi pada wilayah ini.

3. Inframerah tengah (1,3 µm – 2,6 µm) ; air menyerap energi dengan

kuat khususnya pada panjang gelombang ini. Semakin berkurang

tingkat kelembaban pada daun, pantulan yang terjadi justru semakin

tnggi.

Ketiga aspek tersebut di atas menjadi ciri khas pengenalan objek

vegetasi di permukaan bumi melalui pendekatan panjang gelombang.

Sedangkan tinggi rendahnya pantulan vegetasi pada berbagai panjang

gelombang dipengaruhi oleh struktur internal daun, pigmen warna (klorofil),

13

dan kandungan air. Serapan yang tinggi pada saluran merah dan biru inilah

yang membuat mata manusia menagkap warna hijau pada daun sehat karena

saluran hujau memiliki daya serap rendah. Lain halnya dengan daun yang

layu atau tidak sehat. Kandungan klorofil yang sedikit, otomatis

mengakibatkan serapan tenaga pun berkurang sehingga dengan sendirinya

pantulan saluran merah justru akan bertambah. Kondisi inilah yang

mengakibatkan daun yang tidak sehat berwarna pucat kekuningan. Untuk

saluran inframerah dekat kurva pantulan akan sangat tinggi untuk daun

sehat. Hal ini sebagai akibat dari berkurangnya serapan energy dan

bertambahnya pantulan yang justru didominasi oleh kandungan air. Karena

daun hijau memiliki kandungan air yang tinggi maka pantulan pada saluran

inframerah dekat inipun sangat dominan, bahkan lebih tinggi dari saluran

hijau. Dengan demikian daun sehat memiliki pantulan tinggi pada saluran

hijau dan sangat tinggi pada saluran inframerah dekat.

Sebagaimana disebutkan bahwa tiga objek yang dapat secara langsung

dikenali melalui penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ketiga

objek ini memberikan variasi kurva pantulan yang berbeda namun sama-

sama kuat pada kisaran panjang gelombang 0,7µm – 1,3µm. Seiring dengan

perkembangan ilmu penginderaan jauh, maka saat ini telah dikembangan

berbagai teknik untuk mempermudah pengenalan objek di permukaan bumi

termasuk vegetasi. Terdapat beberapa macam cara untuk menonjolkan aspek

vegatasi yakni dengan transformasi digital, diantaranya penisbahan saluran,

pengurangan saluran, dan indeks vegetasi. Transformasi ini dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) transformasi yang dapat

mempertajam informasi tertentu, namun sekaligus menghilangkan atau

menekan informasi yang lain; (b) transformasi yang meringkas informasi

dengan cara mengurangi dimensionalitas data (Danoedoro, 2012). Dari

ketiga transformasi digital untuk vegetasi tersebut, indeks vegetasilah yang

sering digunakan dalam berbagai penelitian. Danoedoro, 2012 menyebutkan

bahwa indeks vegetasi mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi

ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomasaa,

Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil dan sebagainya.

14

2.3 Sistem Satelit ALOS

ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit buatan

Jepang yang berhasil diluncurkan pada 24 Januari 2006 dengan pesawat

peluncur roket H-IIA dari lokasi peluncuran Tanegashima Space Jepang

bagian selatan (JAXA, 2006). Misi utama satelit ini selain untuk

pengamatan daratan adalah untuk memberikan kontribusi terhadap aplikasi

kartografi.

Pergerakan satelit ALOS yang sinkron matahari ini berada pada

ketinggian 691,65 km di atas ekuator, dengan inklinasi 98,16 º dan resolusi

temporal 46 hari. Dengan massa kurang lebih 4000 kg, satelit ALOS hanya

dirancang untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun pada orbitnya.

Satelit ALOS dilengkapi dengan 4 kelebihan untuk misi pemetaan,

yakni 1) menghasilkan DEM (Digital Elevation Model) dengan akurasi

ketinggian 3-5 m dalam resolusi 2,5 m; 2) menghasilkan pemetaan tanpa

titik control tanah, atau yang biasa disebut GCP (Ground Control Point); 3)

mampu menghasilkan daerah pemetaan yang luas, dengan lebar liputan

hingga 70 m; 4) dan memiliki kapasaitas penanganan data yang besar.

Kelebihan-kelebihan di atas tersebut didukung dengan kemampuan

satelit ALOS sendiri yang dilengkapi dengan 3 sensor sekaligus, terdiri dari

2 sensor optik yakni PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for

Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (Advence Visible and Near Infrared

Radimeter type-2), dan sebuah sensor gelombang mikro yakni PALSAR

(Phased Array type L-Band Syntetic Aperture Radar).

Sensor PRISM membawa kamera pankromatik dengan resolusi spasial

2,5m pada nadir. Sensor ini terdiri dari 3 buah sistem optik, forward; nadir

dan backward yang masing-masing sistem optik membawa 3 cermin dan

beberapa detector CCD. Sensor yang bergerak dengan metode pushbroom

ini memiliki kemampuan pengarah sensor melintang jejak satelit kurang leih

1,5º sehingga mampu mencakup area dengan lebar 70 km untuk nadir dan

35 km untuk forward dan backward.

AVNIR-2 merupakan bentuk sempurna dari generasi sebelumnya,

yakni AVNIR yang semula menghasilkan resolusi spasial 16 meter menjadi

15

10 meter. Citra yang dihasilkan dari perekaman oleh sensor AVNIR-2

terdiri dari 4 band, 3 band pada saluran tampak antara lain saluran biru (0,45

µm – 0,52 µm), saluran hijau (0,52 µm – 0,60 µm), merah (0,63 µm – 0,69

µm) dan 1 band inframerah dekat (0,76 µm – 0,89 µm). Karena

keunggulannya inilah maka citra hasil perekaman AVNIR-2 diibaratkan

sebagai QuickBird atau WorldView-2-nya DigitalGlobe.

Kemudian sensor ALOS yang terakhir adalah PALSAR. Sensor ini

merupakan sensor radar yang memiliki resosusi spasial 10 meter hingga 100

meter. Bergerak pada kisaran frekuensi 1,27 GHz dan merupakan misi

lanjutan dari Synthetic Aperture Radar (SAR) dalam bentuk yang lebih

sempurna dari apa yang sudah dipasanga pada satelit JERS-1 (Japanase

Earth Resources Satellite-1). Kelebihan dari sensor ini adalah dapat

menembus awan dan hujan, dengan kata lain terbebas dari gangguan cuaca.

Penelitian kali ini memanfaatkan citra satelit ALOS dengan sensor

AVNIR-2 yang sangat mendikung untuk kajian vegetasi di permukaan

bumi. Berikut produk data standar AVNIR-2 yang disajikan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR-2

Level Defenisi

IA

Susunan data digital yang belum dipadatkan yang dilengkapi dengan

koefisienkalibrasi radiometrik dan koefisien koreksi geometrik. Data

dengan pengambilan miring-maju, tegak dan miring-mundur

disimpan dalam masing-masing file tersendiri

IB1 Data yang sudah dikalibrasi secara radiometrik pada masukan sensor

1B2 Data yang sudah dikoreksi geometrik secara sistematis

2.4 Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Hubungannya dengan Interpretasi

Vegetasi di Indonesia

Citra satelit ALOS merupakan salah satu satelit sumberdaya alam

yang banyak dimanfaatkan untuk kajian di darat, perairan, maupun

atmosfer. Dengan sensor AVNIR-2nya yang memiliki resolusi spasial

mencapai 10 meter, citra ini mampu menyajikan kenampakan di permukaan

bumi secara jelas dengan saluran multispektralnya yang terdiri dari 4 band

16

(visible dan Inframerah). Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi

penginderaan jauh saat ini, pemanfaatan citra satelit ALOS AVNIR-2 sudah

mulai berkembang sebagai alat analisis dalam bidang kehutanan kerana

kemampuan resolusinya spasialnya yang tinggi tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan

tropis terbaik dunia tentunya membutuhkan suatu kebijakan tersendiri dalam

hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Seperti yang tertulis dalam PP

No.24 tentang perlindungan hutan dalam pasal 1 menyebutkan bahwa

„Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi

kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh

perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit,

serta mempertahankan dan menjaga hakhak negara, masyarakat dan

perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat

yang berhubungan dengan pengelolaan hutan‟. Dengan keunggulannya

tersebut citra satelit ALOS AVNIR-2 dapat menjadi salah satu sarana untuk

managemen hutan di Indonesia.

Sebaimana kita ketahui bahwa setiap objek di permukaan bumi

memiliki karakteristik pantulan spektral yang berbeda-beda, begitupun

vegetasi. Secara umum pantulan spektral vegetasi akan tinggi pada panjang

gelombang 0,7µm – 1,3µm. Karena ALOS AVNIR-2 memiliki julat panjang

gelombang yang diperlukan untuk identifikasi vegetasi maka banyak

penelitian memanfaatkan citra ini untuk kajian vegetasi. Seperti yang

dilakukan oleh Anisa Pambudi dkk yang menggunakan citra ALOS

AVNIR-2 untuk meneliti keberadaan stok karbon hutan di sebagian

Kabupaten Kutai Barat. Variasi panjang gelombang yang dimiliki citra

ALOS AVNIR-2 inilah yang memungkinkan dapat dilakukan berbagai

macam penelitian dengan menurunkan informasi baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Proses pengenalan dan pemetaan objek dipermukaan bumi

khususnya yang berkaitan dengan kerapatan vegetasi hutan pada penelitian

kali ini tentunya membutuhkan citra dengan resolusi spasial yang baik. Citra

ALOS AVNIR-2 menjadi salah satu pilihan dalam melakukan hal tersebut.

17

Berdasarkan citra satelit ALOS AVNIR-2 saluran hujau (0,52-0.60 µm) dan

inframerah dekat (0,76-0.89 µm) dapat diturunkan informasi kerapatan

vegetasi. Baik secara visual maupun dengan memanfaatkan keunggulan tiap

saluran ALOS ANVIR-2 tersebut.

Tiap-tiap saluran citra satelit peka terhadap respons spektral objek

pada julat panjang gelombang tertentu. Hal inilah yang menyebabkan nilai

piksel pada berbagai saluran spektral sebagai cerminan tanggapan spektral

dari objek pun bervariasi. Adanya variasi tanggapan spektral yang terdapat

pada citra multispektral ALOS AVNIR-2 inilah yang menjadi salah satu

kelebihannya.

2.5 Interpretasi Citra

2.5.1 Interpretasi Visual

Data penginderaan jauh yang disebut dengan citra penginderaan jauh

adalah hasil dari interaksi antara tenaga elektromagnetik dengan objek di

permukaan bumi. Untuk dapat menyadap informasi tertentu dari citra ada

tiga tahap, yakni deteksi, identifikasi dan menilai arti pentingnya obyek. Ke

tiga tahap tesebut termasuk dalam proses interpretasi (Sutanto, 1986).

Menurut Sutanto, 1986 interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji

foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan

menilai arti pentingnya obyek tersebut. Ada sembilan unsur interpretsi

seperti yang dikemukakan oleh Sutanto (1986), meliputi rona/warna,

bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Berikut

penjelasannya.

1. Rona dan warna

Adalah tingkat kegelapan/kecerahan objek pada citra, dengan demikian rona

merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna

adalah wujud yang tampak pada mata, menunjukkan tingkat kegelapan yang

beragam. Mata kita menangkap warna hijau merah ataupun biru karena

pantulan dari objek yang diamati. Pada citra penginderaan jauh khususnya

untuk identifikasi kerapatan vegetasi rona dan warna ini sangat penting

18

karena dapat menunjukkan tingkat kerapatan kanopinya. Semakin gelap

warna akan semakin rapat vegetasi.

2. Bentuk

Merupakan variabel kualitatif yang memberikan kerangka suatu objek.

Dalam konteks ini bentuk dapat berupa bentuk yang tampak dari luar

(umum). Misalnya dalam hal ini bentuk sungai akan berbeda dengan bentuk

jalan. Bentuk gunung akan berbeda dengan bentuk lembah, dan sebagainya.

3. Ukuran

Merupakan atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume.

Ukuran objek di permukaan bumi berbeda-beda dan hal ini dapat diamati

melalui citra penginderaan jauh. Ukuran juga berkaitan dengan skala,

semakin detil skala semakin besar dan jelas objek yang diamati. Ukuran

gedung bertingkat otomatis akan berbeda dengan pabrik. Ukuran vegetasi

tegakan akan berbeda denfan vegetasi berupa semak belukar.

4. Tekstur

Biasa dinyatakan dalam wujud kasar, halus, ataupun bercak-bercak. Tekstur

ini merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona.

Tekstur dari sawah berbeda dengan tekstur dari tegalan pada citra

penginderaan jauh.

5. Pola

Merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek buatan manusia dan

beberapa objek alamiah yang membentuk susunan keruangan. Mengerucut

pada suatu susunan, misalnya pola teratur pada pemukiman mewah dan pola

tidak teratur pada pemukiman liar.

6. Bayangan

Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak

sama sekali ayau tampak samar-samar. Namun demikian, bayangan

merupakan faktor penting untuk mengamati objek-objek yang tersembunyi.

Biasanya unsur interpretasi bayangan digunakan untuk mengamati objek

yang tinggi. Vegetasi yang tinggi cenderung akan membentuk bayangan

ketimbang vegetasi yang lebih rendah.

19

7. Situs

Merupakan hasil pengamatan dari hubungan antar objekdi lingkungan

sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain. Penting dalam

identifikasi objek vegetasi, karena jenis vegetasi tertentu berada pada lokasi

tertentu.

8. Asosiasi

Keterkaitan antara objek satu dengan yang lain, berdasarkan asosiasi ini

apabila telah dikenali suatu objek tertentu maka dapat dijadikan petunjuk

bagi pengenalan objek yang lain. Sebagai contoh sawah irigasi pasti

berasosiasi dengan sungai atau dekat dengan sumber mata air karena

digunakan sebagai pengairan sawah tersebut.

Namun demikian tidak serta merta ke sembilan unsur interpretasi

tersebut digunakan secara serentak dalam identifikasi objek di permukaan

bumi. Ada unsur-unsur interpretasi yang kadang tidak perlu digunakan

ketika sudah teridentifikasi. Semakin banyak unsur interpretasi yang

dikenali maka semakin mengerucut pada satu informasi objek tertentu.

Selain ke sembilan unsur interpretasi tersebut di atas, sebenarnya tingkat

keberhasilan interpretasi bersifat subjektif, artinya tergantung pada si

penafsir. Menurut Lillesand et al (2007) keberhasilan interpretasi tergantung

pada pengetahuan dan pengalaman penafsir, sifat objek yang dikaji, dan

kulitas citra yang digunakan.

2.5.2 Pre-prosesing Citra

Citra hasil rekaman dari sensor penginderaan jauh tidak ada yang

sempurna. Kondisi atmosfer saat perekaman, efek gerakan sensor, dan

konfigurasai permukaan bumi mengakibatkan citra hasil rekaman sensor

tersebut banyak mengalami kesalahan. Kesalahan inilah yang selanjutnya

perlu dikoreksi agar dapat mendukung kegiatan pemetaan dan kajian

kewilayahan lainnya. Beberapa parameter kualitas citra yang sring

digunakan oleh para praktisi antara lain (Danoedoro, 2012); (a) tutupan

20

awan dan gangguan kabut, (b) korelasi antar saluran, (c) kesalahan

geometri, dan (d) kesalahan radiometri.

Proses perbaikan kualitas citra agar menghasilkan citra yang siap

pakai untuk aplikasi tertentu disebut restorasi citra yang dalam

penerapannya proses ini sering disebut dengan tahap pre-prosesing citra

karena dilakukan sebelum melakukan pengolahan citra lebih lanjut. Pada

penelirtian kali ini dilakukan dua tahap pre-prosesing citra antara lain

koreksi radiometri dan geometri citra.

2.5.2.1 Koreksi Geometri

Koreksi geometri adalah perbaikan kemencengan, rotasi, dan

perspektif citra akibat bentuk permukaan bumi yang melengkung,

ketidakstabilan satelit, maupun karena arah pengamatan yang tidak tegak

lurus permukaan bumi (sudut sensor tidak nol atau tidak ke arah nadir)

hingga citra memiliki orientasi, proyeksi, dan anotasi sesuai dengan yang

ada pada peta. Menurut Danoedoro, 1996 koreksi geometri adalah

penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga pada citra

digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di permukaan

bumi yang terekam sensor. Koreksi geometri ini dapat dilakukan dengan

dua cara pertama dengan menggunakan data dari wahana (model geometri

orbital) dan pengetahuan mengenai distorsi internal, kedua dengan

transformasi berdasarkan GCP (Ground Control Points) (Mather 2004,

dalam Danoedoro 2012).

Pada dasarnya setiap metode koreksi geometri citra baik bersumber

dari wahana maupun transformasi GCP sama-sama membutuhkan titik

kontrol lapangan atau GCP. GCP adalah suatu lokasi pada permukaan bumi

yang dapat diidentifikasi pada citra dan sekaligus dikenali posisinya pada

peta (Jansen, 2005). Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan dalam

koreksi geometri adalah menentukan titik kontrol (GCPs = Ground Control

Points). Titik kontrol ini berupa obyek yang terlihat pada citra sekaligus

terlihat pada peta rujukan yang digunakan dalam koreksi geometri. Titik

kontrol tersebut dapat berupa persimpangan antara sungai dengan jalan

21

ataupun persimpangan jalan, dan beberapa obyek lain yang tampak dengan

jelas pada citra maupun pada peta rujukan.

Sebaran titik GCP yang digunakan dalam koreksi geometri bersifat

subjektif, dapat berbeda-beda setiap orang. Namun pada dasarnya nilai GCP

ini tetap terkontrol dengan adanya RMSE (Root Mean Square Error).

RMSE digunakan untuk mengukur distorsi. Menurut Jansen (2005) RMSE

yang diperbolehkan adalah <0,5. Semakin kecil RMSE semakin tinggi

tingkat kedetilan peta.

2.5.2.2 Koreksi Radiometri

Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel agar

sesuai dengan yang seharusnya dengan mempertimbangkan faktor gangguan

atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan

nilai pantulan obyek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi

bukan merupakan nilai aslinya. Nilai pantulan menjadi lebih besar oleh

karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Metode-

metode sederhana yang sering digunakan untuk menghilangkan efek

atmosfer antara lain metode pergeseran histogram (histogram adjustment),

metode regresi, dan metode kalibrasi bayangan.

Mather (2004) dalam Danoedoro (2012), menyatakan bahwa ada

lima faktor yang berpengaruh terhada sinyal yang diterima oleh objek (dan

dicatat) oleh detektor pada sensor, yaitu :

1. Pantulan atau reflektansi objek,

2. Bentuk dan besaran interaksi atmosfer,

3. Kemiringan arah hadap lereng (aspect) tempat objek berada,

relatif terhadap azimuth matahari,

4. Sudut pandang sensor,

5. Sudut kemiringan matahari.

Koreksi radiometri pada penelitian kali ini dilakukan sampai tahap

kalibrasi sensor (at sensor radiance). Setiap sensor dan detektor memiliki

kemampuan untuk mendeteksi nilai radiansi minimum dan maksimum

22

objek. Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan

antara nilai piksel, gain, dan offset.

Lλ = Offset λ + Gain λ *(BV)λ.......................................... (1)

Dimana Gain λ = Lλ(maks) - Lλ(min) / BVλ(maks).................... (2)

2.5.3 Pengolahan Citra Digital

Data penginderaan jauh yang disebut citra, tidak begitu saja dapat

digunakan tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu. Untuk

menurunkan informasi dari citra penginderaan jauh agar dapat

dimanfaaatkan untuk berbagai keperluan saat ini telah banyak perangkat

lunak yang memberikan fasilitas pengolah citra baik untuk analisi citra,

analisis tambahan ataupun analisis berbasis SIG.

Salah satu cara untuk menurunkan informasi tertentu pada citra satelit

yakni dengan teknik klasifikasi. Ada dua macam teknik klasifikasi dalam

penginderaan jauh, klasifikasi digital atau klasifikasi multispektral dan

klasifikasi manual atau visual. Klasifikasi multispektral atau digital

merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi

tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria

tertentu, dan biasanya kriteria yang digunakan yakni nilai spektral atau nilai

kecerahan pada beberapa saluran sekaligus. Sedang klasifikasi manual

mengandalkan pada unsur-unsur interpretasi. Pada penelitian kali ini, teknik

klasifikasi yang digunakan untuk menurunkan informasi berupa kerapatan

vegetasi selain menggunkan teknik interpretasi manual adalah klasifiaksi

digital yakni dengan transformasi indeks vegetasi.

Pada dasarnya ada beberapa macam cara untuk menentukan nilai

indeks vegetasi yakni dengan membandingkan beberapa saluran (citra rasio,

normaslisasi, dan transformasi), dengan membuat selisihnya (diferent

vegetation index), dan tasseled cap. Namun yang digunakan dalam

penelitian kali ini metode yang digunakan adalah dengan membandingakan

beberapa saluran pada citra satelit ALOS AVNIR-2 menggunakan beberapa

tranformasi indeks vegetasi. Beberapa metode trasnsformasi indeks vegetasi

yang umum digunakan antara lain transformasi NDVI (Normalized

23

Different Vegetation Index), RVI (Ratio Vegetation Index), TVI

(Transformation Vegetation Index), dan MSAVI (Modified Soil Adjusted

Vegetation Index).

2.5.3.1 Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi merupakan hasil informasi nilai spektral dari

beberapa saluran untuk menonjolkan nilai spektral vegetasi. Dengan

demikian indeks vegetasi mampu dijadikan sebagai dasar dalam analisis

tingkat kerapatan vegetasi masupun analisis lain yang berhubungan dengan

aspek vegetasi. Donoedoro (1996) menuliskan beberapa bentuk

trasnsformasi indeks vegetasi, antara lain sebagai berikut.

Ratio Vegetation Indeks (RVI), merupakan salah satu indeks vegetasi

yang paling sederhana. Memiliki formula sebagai berikut.

RVI =NIR/red …………………. (3)

Normalized Difference vegetation Index (NDVI), merupakan

kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan

citra. Saluran yang digunakan dalam transformasi NDVI ini adalah

saluran merah dan inframerah dekat. Saluran merah dengan julat

panjang gelombang antara 0,4-0,7µm akan memberikan serapan

maksimal pada cahaya yang datang akibat dari adanya klorofil pada

proses fotosintesis. Sedangkan saluran inframerah dekat (0,7-1,2

µm) justru memberkan pantulan yang tinggi sebagai akibat adanya

jaringan mesophyll daun. Formula NDVI yang dikembangkan oleh

Meijerink et al. (1994) sebagai berikut:

NDVI = (NIR-red) / (NIR+red)……………........... (4)

Transformed Vegetation Index (TVI), adalah transformasi yang

dikembangkan untuk menghindari hasil negative pada NDVI.

Formulanya adalah sebagai berikut.

TVI =√{(NIR-Red) / (NIR+Red)} + 0,5…………….. (5)

Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI), merupakan suatu

transformasi indeks vegetasi yang dikembangkan dari trasnsformasi

NDVI untuk meminimalkan pengaruh pantulan nilai tanah pada

NDVI, dengan formula sebagai berikut.

24

MSAVI = (2 (NIR) + 1 - √(2(NIR)²+8(NIR-Red))/2.... (6)

2.6 Interpretasi Hibrida

Klasifikasi objek di permukaan bumi selain dengan interpretasi

visual dan digital, dapat pula dilakukan dengan menggabungkan dua metode

tersebut sekaligus yang dinamakan dengan interpretasi hibrida. Metode

interpretasi hibrida yang dilakukan oleh Lo and Choi (2004) adalah dengan

menggabungakan klasifikasi terselia dan tak terselia. Menurutnya, metode

tersebut dapat meningkatkan hasil akurasi. Berbeda dengan Lo dan Choi,

Suharyadi (2010) melakukan penelitian menggunakan interpretasi hibrida

untuk densifikasi bangunan di kota Yogyakarta dengan mengkombinasikan

antara interpretasi visual dan interpretasi digital. Hasilnya ternyata

memberikan tingkat ketelitian hingga 84,31 %.

Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharyadi (2010),

penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunungkidul ini

mengkombinasikan antara interpretasi visual dan digital namun untuk

identifikasi kerapatan vegetasi. Mengingat interpretasi visual dan digital

sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, diharapkan

dengan menggabungkan kedua metode interpretasi tersebut dapat

meningkatkan tingkat akurasi hasil baik dilihat dari sisi kualitas maupun

kuantitas citra tersebut. Berikut ini perbandingan antara metode interpretasi

visual dan digital (tabel 2.2).

25

Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual dan digital

Metode

Interpretasi Kelebihan Kekurangan

interpretasi

visual

1. Lebih optimal, karena selain rona

atau warna juga

mempertimbangkan unsur

interpretasi lainnya, seperti tekstur,

bentuk, ukuran, asosiasi dsb.

2. Hasil interpretasi lebih mudah

digunakan untuk analisis lebih

lanjut, seperti pemodelan spasial.

3. Tidak terlalu terpengaruh

gangguan/kerusakan pada citra

sepanjang tidak terlalu parah,

seperti kabut awan atau stripping

(kerusakan berupa garis-garis pada

citra).

1. konsistensi rendah,

jangankan orang yang

berbeda, satu orang

yang sama ketika

melakukan

interpretasi dua kali

pada citra yang sama

hasilnya bisa berbeda.

2. Kurang efisien jika

dihadapakan pada

wilayah yang luas.

3. Kualitatif dan

subyektif, sangat

tergantung

kemampuan dan

pengalaman

interpreter.

interpretasi

digital

1. Kuntitatif dan lebih objektif,

karena didasarkan pada analisis

data numerik (nilai piksel)

menggunakan algoritma statistik.

2. Efisien dihadapkan pada daerah

yang luas. Hanya perlu menunjuk

wilayah-wilayah tertentu sebagai

sampel, bahkan pada metode

klasifikasi tak terselia tidak perlu

menunjuk sampel sama sekali.

1. Kurang optimal

karena hanya

mempertimbangkan

rona dan warna,

sehingga apabila ada

objek yang berbeda

tetapi mempunyai

rona atau warna akan

terklasifikasikan

menjadi satu kelas.

2. Hasil klasifikasi

umumnya sulit

digunakan untuk

analisis lebih lanjut

seperti pemodelan

spasial, hal ini

dikarenakan jumlah

poligon yang terlalu

banyak.

3. Memerlukan kondisi

citra yang benar-

benar bebas dari

gangguan kabut,

awan, dsb.

Sumber : Samruni, 2009 dalam Gunawan, 2010

Tanpa mengurangi tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida

seperti yang telah disebut di atas, penelitian kali ini mencoba menerapkan

26

teknik interpretasi hibrida dengan menggabungkan antara interpretasi visual

dan digital. Interpretasi visual dengan citra resolusi tinggi sedangkan

interpretasi digital mengggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi

pada citra satelit ALOS AVNIR-2.

Selama ini metode interpretasi hibrida yang dilakukan oleh beberapa

peneliti telah banyak diterapkan untuk kajian daerah perkotaan. Penelitian

kali ini mencoba menerapkan metode interpretasi hibrida dengan

menggabungkan antara interpretasi citra penginderaan jauh resolusi tinggi

secara visual dengan interpretasi digital menggunakan beberapa indeks

vegetasi untuk kajian kerapatan hutan di Kabupaten Gunungkidul yang

notabene Kabupaten tersebut masih didominasi oleh tutupan lahan berupa

hutan. Salah satu penelitian yang juga menggunakan metode interpretasi

hibrida untuk kajian kanopi vegetasi pernah dilakukan oleh Gunawan (2009)

di Kabupaten Kulonprogo dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu

penelitian kali ini mencoba melakukan apa yang sudah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya dengan memasukkan unsur interpretasi citra resolusi

tinggi kemudian menganalisis hasilnya.

2.7 Akurasi Interpretasi

Berbicara akurasi berarti berbicara tentang kualitas data spasial.

Seberapa layak data spasial yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan

masukan dalam analisis keruangan. Akurasi menjadi sangat penting karena

menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan selain aspek

kualitas data spasial lainnya, yakni presisi, metadata, skala dan standar.

Aspek kulaitas data spasial baik akurasi, persisi, metadata, skala dan

standar menjadi sangat penting dalam analisis data penginderaan jauh.

Namun pada penelitian kali ini kualitas data spasial yang menjadi sorotan

adalah tentang akurasi semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik

yang dihasilkan pada peta.

Akurasi semantik dari peta yang dihasilkan dapat diterima oleh

pengguna jika mencaai ambang batas nilai akurasi keseluruhan, yakni 85%.

27

Hal ini senada dengan pernyataan Campbell (2002) dalam Suharyadi (2010),

bahwa standar minimum bagi penutup/penggunaan lahan berbasis

penginderaan jauh mempunyai ambang batas nilai akurasi keseluruhan

sebesar 85%. Harapannya dalam penelitian kali ini, tingkat akurasi yang

dihasilkan bisa lebih baik dari standar tersebut mengingat metode

interpretasi yang digunakanpun merupakan kombinasi dari metode

interpretasi visual dan digital.

2.8 Kajian Vegetasi

Vegetasi erat kaitannya dengan lingkungan. Hal ini tidak terlepas

dari bagaimana vegetasi tersebut sangat mempengruhi berbagai aspek di

permukaan bumi. Kehutanan berhubungan dengan vegetasi, ruang terbuka

hijau berbicara tentang vegetasi, hingga pertanian pun sangat dekat dengan

apa yang namanya vegetasi. Vegetasi dalam bahasan kali ini tidak hanya

dipandang sebagai individu, namun merupakan kumpulan tanaman yang

homogen yang meliputi wilayah tertentu di permukaan bumi.

Penelitian kali ini tidak memfokuskan pada tipe vegetasi, melainkan

liputan vegetasi khususnya kerapatan hutan. Bagaimana kondisi kerapatan

liputan vegetasi hutan di daerah kajian. Hal ini penting dilakukan

mengingat kondisi hutan di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun

ke tahun. Bahkan menurut data dari FWI & GFW (2001) dalam Sahid

(2005) laju kerusakan hutan pada tahun 1990-an tidak kurang dari dua juta

hektar per tahun atau dua kali lebih cepat dibandingkan laju kerusakan hutan

pada tahun 1980-an. Jika kondisi ini tetap dibiarkan maka tidak heran bila

Indonesia yang dikenal karena hutan tropisnya yang kaya sekarang bisa jadi

dikemudian hari hanya tinggal sejarah.

Salah satu jalan untuk meminimalisasi kerusakan hutan yang terus

meluas dari tahun ke tahun ini adalah dengan melakukan survei,

pengukuran, dan pemetaan hutan. Dengan begitu bisa dilihat bagaimana

status kawasan hutan, potensi, serta sebaran sumberdaya hutan sehingga

pengelolaan hutan akan semakin optimal.

28

2.9 Penelitian Sebelumnya

Y. Hirose dkk melakukan penelitian yang berkaitan dengan

pemetaan vegetasi dengan menggunakan metode hybrid pada tahun 2003 .

Metode hybrid yang dimaksud disini adalah metode interpretasi citra dengan

mengggabungan antara hasil analisa klasifikasi secara segmen based dan

image based melalui pendekatan nilai piksel dengan metode maksimum

likelihood. Adanya gangguan yang muncul ketika menggunakan metode

klasifikasi maksimum likelihood seperti kenampakan objek yang sangat

kecil justru menjadi kunci penting dalam penggunaan metode ini. Gangguan

tersebut dijadikan dasar dalam penggabungan antara klasifikasi berbasis

objek dengan klasifikasi berbasis piksel (maksimum likelihood).

Penelitan lain yang dilakukan oleh A. Rahman As-Syukur dan I.W.

Sandi Adnyana tahun 2009 juga mengkaji tentang vegetasi, bagaimana

kaitan antara indeks vegetasi yakni NDVI, SAVI dan MSAVI dengan

persentasi vegetasi. Hasilnya transformasi NDVI dan MSAVI memiliki

akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan SAVI.

Lo dan Choi dalam penelitiannya yang berjudul “Pemanfaatan Citra

Satelit landsat ETM+ untuk Pemetaan Penutup/Penggunaan Lahan di Kota

Metropolitan Atlanta Negara Bagian Georgia Amerika Serikat”

menggunakan pendekatan hibrida dalam interpretasi objek kajian. Metode

interpretasi hibrida yang digunakan yakni dengan menggabungkan antara

pendekatan supervised dan unsupervised dari data citra satelit Landsat

ETM+. Hasil yang didapat menyebutkan bahwa pendekatan hibrida

mempunyai akurasi keseluruhan 91,50 persen.

Penelitian lain yang menggunakan metode hibrida dilakukan pula

oleh Suharyadi tahun 2010. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, kali ini

Suharyadi menggabungkan antara interpretasi visual citra satelit resolusi

tinggi dengan interpretasi digital citra satelit resolusi menengah untuk kajian

densifikasi bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta. Prinsip dari metode

hibrida yang dilakukan oleh Suharyadi ini adalah dengan

mengkombinasikan antara kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh

interpretasi visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual unggul dalam

29

hal kedetilan objek namun tingkat konsistensi interpretasi rendah sedangkan

interpretasi digital mampu mengenali objek secara homogen namun kurang

untuk objek yang heterogen dengan tingkat konsisitensi tinggi. Hasil dari

penelitian yang dilakukan oleh beliau menyebutkan bahwa metode hybrid

ini memiliki tingkat akurasi ketelitian pemetaan sebesar 84,31 persen.

Penggunaan metode hibrida untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi

pernah dilakukan oleh Endra Gunawan tahun 2010 yakni dengan interpretasi

secara visual untuk membedakan variable fotomorfik dan interpretasi digital

menggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi, antara lain NDVI,

SAVI dan MSAVI. Dalam penelitian ini Endra lebih menekankan pada

analisis nilai spektral dari citra yang digunakan (ASTER) dengan tingkat

kerapatan vegetasi.

Penelitian lain yang menggunakan trasnformasi indeks vegetasi juga

dilakukan oleh Candra Djati Kartika pada tahun 2010 di Kabupaten Malang

Selatan. Penelitian yang mengkaji tentang lahan kritis ini memanfaatkan

transformasi indeks vegetasi yakni FCD, NDVI, RVI, DVI dan MSAVI

sebagai salah satu masukan dalam pembuatan peta liputan lahan yang juga

menjadi salah satu parameter dalam penentuan lahan kritis. Dari hasil

klasifikasi liputan lahan hasil ekstraksi citra Landsat ETM+ dengan

beberapa metode trasnformasi indeks vegetasi tersebut di atas selanjutnya di

uji tingkat akurasinya berdasarkan hasil uji lapangan.

Mengacu pada penelitian-penelitian tersebut di atas terutama yang

berkaitan dengan metode hibrida dan trasnsformasi indeks vegetasi, maka

penelitian yang akan dilakukan oleh Monica Mayda Pratiwi (2012) mencoba

menerapkan metode hibrida yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) untuk

pemetaan kerapatan tegakan hutan di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian

ini menggunakan citra satelit resolusi tinggi untuk menentukan kelas

kerapatan vegetasi dan citra satelit resolusi menengah untuk ekstraksi data

mengenai indeks vegetasinya. Kunci interpretasi hibrida untuk menentukan

tingkat kerapatan vegetasi diperoleh setelah dilakukan analisi korelasi antara

hasil transformasi indeks vegetasi dengan nilai kerapatan hasil lapangan.

30

Perbedaan maupun persamaan penelitian kali ini dengan penelitian

sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1.2.

2.10 Kerangka Pemikiran

Citra satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh

banyak kalangan harus diinterpretasi terlebih dahulu. Ada banyak metode

yang digunakan untuk menurunkan informasi dari citra penginderaan jauh

yang pada dasarnya sama-sama digunakan untuk mempermudah identifikasi

dan analisis objek tertentu di permukaan bumi. Tingkat kepercayaan dari

setiap metode interpretasi sangat penting, untuk itu diperlukan suatu

informasi yang dapat dijadikan dasar pembuatan peta agar siap pakai.

Informasi bantu ini berupa data lapangan.

Sensor penginderaan jauh merekam informasi objek di permukaan

bumi dengan menerjemahkannya dalam bentuk piksel. Karena setiap objek

memiliki karakteristik spektral yang berbeda, maka nilai piksel yang terbaca

pun berbeda. Dasar inilah yang dijadikan sebagai patokan dalam melakukan

pembedaan antar objek di permukaan bumi terutama untuk analisis

penginderaan jauh digital. Salah satu objek di permukaan bumi yang dapat

secara langsung disadap melalui citra penginderaan jauh adalah vegetasi.

Kajian mengenai vegetasi belakangan ini menjadi lebih sering dilakukan

mengingat perkembangan fisik wilayah yang begitu cepat memberikan

dampak buruk bagi keberadaan vegetasi. Biar bagaimanapun vegetasi

memberikan pengaruh besar bagi kemakmuran masyarakat, jika ternyata

keberadaan vegetasi dari tahun ke tahun cenderung berkurang maka akan

berdampak negatif bagi masyrakat itu sendiri.

Perkembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh menjadi alat

yang sangat efektif dalam menyajikan fenomena vegetasi di permukaan

bumi. Kemampuannya dalam memberikan informasi secara cepat sangat

sesuai digunakan untuk analisis sebaran vegetasi ataupun yang berkaitan

dengan informasi vegetasi lainnya seperti informasi kerapatan tegakan

hutan.

31

Citra satelit ALOS AVNIR-2 merupakan salah produk dari satelit

penginderaan jauh ALOS yang menggunakan saluran biru (0,42-0.5 µm),

saluran hijau (0,52-0,6 µm), merah (0,61-0,64 µm) dan inframerah dekat

(0,76-0,89 µm). Sehingga citra satelit dengan sensor ANIR-2 ini tergolong

ke dalam citra multispektral. Melihat pada julat panjang gelombang yang

disajikan oleh citra ALOS AVNIR-2 ini maka sangat dimungkinkan untuk

melakukan kajian mengenai vegetasi, karena vegetasi itu sendiri sangat peka

terhadap saluran inframerah dekat. Terlebih dengan keunggulan ALOS

AVNIR-2 yang memiliki resolusi spasial 10 meter, maka untuk kajian

vegetasi tentu saja hasilnya akan lebih baik.

Transformasi indeks vegetasi adalah salah satu metode yang dapat

diterapkan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 untuk menonjolkan objek

vegetasi serta mengetahui persebarannya. Ini merupakan teknik manipulasi

citra yang menggunakan beberapa saluran sekaligus dalam teknik

analisisnya. Transformasi indeks vegetasi menghasilkan nilai kecerahan

yang mempresentasikan objek vegetasi, semakin tinggi nilai kecerahannya

maka semakin banyak pula tutupan kanopi vegetasinya. Untuk mendapatkan

nilai kecerahan ini ada beberapa transformasi indeks vegetasi yang

digunakan antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference

Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan

Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI).

Lain halnya dengan citra satelit Google Earth. Citra ini tergolong ke

dalam citra satelit resolusi tinggi setara dengan citra satelit QuickBird.

Kualitas spasial dari gambar yang dihasilkan inilah yang menyebabkan citra

resolusi tinggi banyak dimanfaatkan dalam kajian keruangan termasuk

vegetasi. Melalui citra satelit ini, objek vegetasi dapat terlihat dengan jelas

baik sebaran maupun kerapatannya.

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh citra satetit seperti yang

tersebut di atas, melalui analisis citra penginderaan jauh dapat

dikombinasikan untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimal, khususnya

kajian tentang vegetasi. Analisis piksel vegetasi dilakukan menggunakan

metode transformasi citra pada citra ALOS AVNIR-2 sedangkan untuk

32

mengetahui kerapatan vegetasi menggunakan analisis visual citra yang

bersumber dari Google Earth. Metode tersebut dirancang untuk

mendapatkan hasil akurasi yang baik, sama halnya dengan metode

interpretasi hibrida. Interpretasi hibrida yang dilakukan pada penelitian kali

ini yakni dengan mengkombinasikan antara interpretasi visual dan digital

dengan maksud mendapatkan hasil akurasi pemetaan yang lebih baik.

Teknik interpretasi dengan menggunakan metode transformasi citra

menghasilkan nilai kecerahan indeks vegetasi, sedangkan untuk

memaksimalkan hasil analisis kerapatan vegetasi digunakanlah teknik

interpretasi citra resolusi tinggi. Hasil dari interpretasi visual citra resolusi

tinggi adalah tingkat kerapatan vegetasi. Dari sini kemudian diambil contoh

sampel guna dicocokkan dengan hasil transformasi indeks vegetasi sebagai

dasar penyusunan algoritma untuk mempermudah klasifikasi kerapatan

vegetasi. Algoritma untuk kerapatan vegetasi yang didapat dari proses

interpretasi hibrida tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dalam

pembuatan peta kerapatan vegetasi.

33

Gambar 2.3 Karangka pemikiran

Interpretasi Digital Interpretasi Manual

NDVI RVI TVI MSAVI

Analisis Korelasi

Interpretasi Hibrida

Klasifikasi Kerapatan Kanopi

Vegetasi dengan Korelasi Terbaik

Peta Kerapataan Kanopi Vegetasi

Citra Satelit Resolusi Tinggi

Perkembangan Ilmu dan

Teknologi Penginderaan Jauh

Pemetaan Kerapatan vegetasi

Citra Satelit Penginderaan Jauh

ALOS AVNIR-2

Interpretasi Citra

Managemen Pengelolaan

Hutan yang Buruk

34

Sejalan dengan perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi) maka berdampak pula pada perkembangan model dan metode

penelitian. Guna menghindari adanya overlap antar satu peneliti dengan

peneliti yang lain, di bawah ini disajikan tabel 2.3 yang menggambarkan

perbandingan penelitian yang sudah dilaksanakan dan penelitian yang adan

dilaksanakan.

35

No. Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi Penelitian Sumber Data Tujuan Metode Hasil

1. Lo dan Choi,

2004

Pemanfaatan Citra

Satelit Landsat

ETM+ untuk

Pemetaan Penutup

Lahan/Penggunaan

Lahan

Kota Metropolitan

Atlanta, Negara

Bagian Georgia,

Amerika Serikat

Citra Satelit

Lansat ETM+

Data Lapangan

Memetakan

penutup/penggunaan lahan

dengan menggunakan

pendekatan hybrid

Metode hibrida

dengan

pendekatan

supervised dan

unsupervised

Peta penutup lahan

dan penggunaan

lahan

2. Suharyadi, 2010 Interpretasi Hibrida

Citra Satelit Resolusi

Spasial Menegah

untuk Kajian

Densifikasi

Bangunan Daerah

Perkotaan di Daerah

Perkotaan

Yogyakarta

Kota Yogyakarta Citra Landsat

TM tahun 1994,

1996, 1998,

citra Landsat

ETM+ tahun

2001, 2003, dan

citra Aster

tahun 2006

1. Mengembangkan teknik

interpretasi hibrida untuk

menyadap informasi

kepadatan bangunan dari

citra satelit resolusi spasial

menengah di daerah

perkotaan Yogyakarta.

2. Pemetaan kepadatan

bangunan daerah perkotaan

Yogyakarta secara temporal

3. Mengkaji karakteristik

densifikasi bangunan di

daerah perkotaan Yogyakarta

Pendekatan

hibrida yakni,

menggunakan

kombinasi

interpretasi visual

untuk deliniasi

bloks bangunan,

dan analisis digital

untuk identifikasi

kepadatan

bangunan

Serial peta

kepadatan

bangunan

menggunakan

pendekatan hibrida

sesuai dengan tahun

perekaman

3. Endra Gunawan,

2010

Penggunaan Metode

Hybrid untuk

Identifikasi dan

Klasifikasi Kerapatan

Kanopi di Kabupaten

Kulonprogo

Sebagian Kabupaten

Kulonprogo

Yogyakarta

Citra Satelit

ASTER tahun

perekaman

2006

Peta RBI

Data Lapangan

1. Menggabungakan

kelebihan-kelebiahn yang

ada pada metode interpretasi

manual dan digital

2. Mengetahui hubungan

antara jumlah nilai piksel

murni dari vegetasi dengan

tingkat kerapatan kanopi

daun

3. Menyusun suatu rumusan

statistik berdasarkan nilai

piksel untuk memudahkan

identifikasi dan klasifikasi

tingkat kerapatan kanopi

daun

1.Transformasi

indeks vegetasi

2. Analisis

korelasi

1. Peta kerapatan

kanopi di sebagian

daerah Kulonprogo

2. Tabel hubungan

antara nilai spektral

dengan kerapatan

kanopi

4. A. Rahman

As‟Syukur dan

Analisis Indeks

Vegetasi

Denpasar Bali Citra ALOS

AVNIR-2 tahun

Evaluasi tata ruang kota

Denpasar berdasarkan peta

Transformasi

NDVI, SAVI, dan

Hubungan indeks

vegetasi dengan

Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan

36

I.W. Sandy, 2009 Menggunakan Citra

ALOS AVNIR-2 dan

Sistem Informasi

Geografis untuk

Evaluasi Tata Ruang

Kota Denpasar

perekaman

2006

Peta tata ruang

kota Denpasar

persebaran vegetasi MSAVI serta

overlay

tutupan vegetasi

untuk NDVI, SAVI,

dan MSAVI

Peta sebaran

vegetasi

berdasarkan atas

tutupannya di kota

Denpasar

5. Candra Sari Djati

Kartika, 2010

Perbandingan Forest

Canopy Density

Model dengan

Beberapa Indeks

Vegetasi Sebagai

Masukan dalam

Penentuan Lahan

Kritis di Kabupaten

Malang Selatan

Kabupaten Malang

Selatan

Citra Landsat

ETM+ tahun

2001

Peta RBI

Peta Tematik

klas erosi

Membandingan metode FCD

dengan beberapa indeks

vegetasi untuk mengetahui

liputan lahan sebagai bahan

masukan penentuan lahan

kritis

Pemetaan lahan kritis di

Kabupaten Malang Selatan

FCD, NVDI, RVI,

DVI, MSAVI

untuk liputan

lahan dan overlay

parameter (liputan

lahan, tingkat

erosi, lereng, dan

manajemen lahan)

untuk klasifikasi

lahan kritis

Peta liputan lahan

kritis di Kabupaten

Malang Selatan

6. Y.Hirose,

M.Mori, Y. A.

Kamatsu, dan

Y.Li

Vegetation Cover

Mapping Using

Hybrid Analysis of

IKONOS Data

Sebagian daerah

Altran Sungai

Niyodo Jepang

Citra IKONOS Pengembangan metode

pemetaan vegetasi untuk

menghasilkan metode survey

yang hemat biaya dan waktu

Segmen Based

Classification

Pixel Based

Classification

Hybrid (antara

segmen based dan

objek based

classification)

melalui pixel

based

Peta klasifikasi

vegetasi dengan

metode segmen

based, pixel based

dan hybrid

7. Monica Mayda

Pratiwi, 2012

Kajian Akurasi

Interpretasi Hibrida

Menggunakan Empat

Indeks Vegetasi

untuk Pemetaan

Kerapatan Kanopi di

Kawasan Hutan

Kabupaten

Gunungkidul

Sebagian Kabupaten

Gunungkidul,

Yogyakarta

-Citra ALOS

AVNIR-2 tahun

2009

-Citra resolusi

tinggi (Google

earth)

-Peta RBI

1. Mengetahui tingkat

akurasi interpretasi hibrida

yang ditunjukkan oleh citra

satelit ALOS AVNIR-2

menggunakan beberapa

transformasi indeks vegetasi

untuk identifikasi kerapatan

vegetasi

2. Mengetahui transformasi

Metode hibrida

(menggabungkan

antara interpretasi

visual dengan

interpretasi digital

beberapa

transformasi

vegetasi citra

ALOS AVNIR-2)

1. Informasi

statistik citra

hasil korelasi

antar saluran

dalam bentuk

tabel, diagram,

dan peta.

2. Tabel uji akurasi

hasil interpretasi

37

indeks vegetasi yang paling

sesuai diterapkan untuk

pemetaan kerapatan vegetasi

menggunakan teknik

interpretasi hibrida

3. Pemetaan kerapatan

vegetasi di Kabupaten

Gunungkidul

hibrida citra

satelit ALOS

ANVIR-2

3. Peta kerapatan

vegetasi hasil

interpretasi

hibrida dengan

akurasi terbaik

skala 1:50.000

38

2.11 Batasan Operasional

Akurasi : menunjukan kedekatan antara nilai prediksi/model dengan

nilai aktual (real).

Citra : gambaran suatu obyek atau suatu perujudan; suatu „image‟ pada

umumnya berupa sebuah peta, gambar, atau foto (Ford, 1979 dalam

Sutanto 1986).

Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan

(Undang-undang Kehutanan No.41, 1999).

Indeks Vegetasi : suatu bentuk trasnformasi spektral yang diterapkan

terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspel kerapatan

vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan misalnya

biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya

(Danoedoro, 2012).

Interpretasi : perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan

maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya

objek tersebut (Sutanto, 1986).

Interpretasi hibrida : metode interpretasi citra penginderaan jauh

dengan menggabungan antara interpretasi visual untuk delineasi objek

dan interpretasi digital dengan menggunakan prinsip-prinsip pola

pengenalan spektral secara digital untuk identifikasi objeknya

(Suharyadi, 2010).

Kanopi : kenampakan luar suatu vegetasi yang terdiri dari satu atau

beberapa layer pada suatu area tertentu.

Piksel : data yang mempunyai aspek (ukuran luas yang terwakili) dan

aspek spektral (besarnya nilai pantulan yang tercatat) (Danoedoro,

2012)

39

Resolusi : (disebut juga resolving power = daya pisah) adalah

kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan

informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral

mempunyai kesamaan (Swain dan Davis, 1978 dalam Danoedoro,

2012)

Transformasi : perubahan atau perpindahan bentuk yang jelas.

Vegetasi : semua spesies tumbuhan yang terdapat dalam suatu wilayah

yang luas yang memperlihatkan pola distribusi ruang dan waktu

(widoretno)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di dalam

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan

dalam penelitian kali ini meliputi interpretasi citra penginderaan jauh secara

manual dan digital, kerja lapangan untuk mengecek hasil akurasi interpretasi,

dan interpretasi hibrida. Berikut adalah penjabaran masing-masing metode

tersebut.

3.1 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi :

3.1.1 Bahan Penelitian

1. Citra Sateliti ALOS AVNIR-2 Kabupaten Gunungkidul, 4 saluran

spektral (biru, hijau, merah, inframerah dekat) dengan resolusi

spasial 10 m dan tanggal perekaman 20 Juli 2009.

2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang mencakup Kecamatan

Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan

Paliyan, dan Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul skala

1:25.000 tahun 1998.

3. Citra resolusi tinggi untuk interpretasi visual kerapatan vegetasi.

3.1.2 Alat Penelitian

1. Seperangkat komputer yang kompatibel dengan perangkat lunak

yang digunakan.

2. Perangkat lunak yang mendukung penelitian (ENVI 4.5, Arc GIS

9.3).

3. Printer Hp Disket D2466 (untuk mencetak naskah dan peta).

4. GPS (Global Positioning Sistem).

5. Meteran.

6. Kamera digital.

41

7. Software pengolah kata dan data (Ms.Word, Ms.Powerpoint,

Ms.Exel)

8. Tabel lapangan.

3.2 Pemilihan Daerah Penelitian

Penelitian untuk mengetahui kerapatan tegakan hutan ini dilakukan di

Kabupaten Gunungkidul berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang

dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun

2007. Kurang lebih ada 12 Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang

termasuk dalam wilayah KPH, namun penelitian kali ini hanya mengambil 5

Kecamatan, Kecamatan Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang,

Kecamatan Paliyan, dan Kecamatan Wonosari. Kecamatan-kecamatan tersebut

merupakan kecamatan dengan kondisi hutan yang masih baik. Selain itu ada

beberapa kecamatan yang khusus dijadikan sebagai kawasan hutan wisata

maupun hutan pendidikan. Kedua kawasan hutan ini memiliki fungsi penting

bagi masyarakat setempat maupun wisatawan. Selain merupakan ekosistem

karst dengan singkapan batuan kapur yang spesifik, kawasan hutan di beberapa

Kecamatan tersebut di atas letaknya juga strategis karena memiliki potensi

ekowisata untuk tujuan penelitian dan pendidikan (arboretum, penangkaran

rusa, pabrik penyulingan minyak kayu putih) serta menjadi obyek wisata yang

prospektif seperti rest area dan camping ground. Terlebih sejak tahun 2004

pemerintah melalui Kementrian Kehutanan Republik Indonesia telah

menetapkan kawasan hutan bunder di Kecamatan Playen sebagai taman hutan

raya. Kondisi ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di daerah

tersebut untuk melihat bagaimana sebaran vegetasi serta tingkat kerapatan

tegakannya.

42

3.3 Pengumpulan dan Perolehan Data

3.3.1 Pengumpulan Data

Informasi kerapatan vegetasi hasil interpretasi visual citra satelit

resolusi tinggi serta beberapa indeks vegetasi hasil transformasi digital dari

citra satelit ALOS-AVNIR-2.

3.3.2 Perolehan Data

Data diperoleh dari interprteasi visual dan digital serta hasil cek lapangan

untuk melihat tingkat ketelitian dari interpretasi.

3.4 Pengolahan Data

Data penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan

harus diolah terlebih dahulu. Ada beberapa tahap pengolahan citra yang

dilakukan pada penelitian kali ini antara lain koreksi citra (geometri dan

radiometri), transformasi citra (NDVI, RVI, TVI, MSAVI), interpretasi visual

citra resolusi tinggi dan tahap interpretasi hibrida. Berikut penejelasannya.

3.4.1 Koreksi Citra

3.4.1.1 Koreksi Geometri Citra Satelit Resolusi Tinggi

Koreksi citra pada citra resolusi tinggi ini diperlukan untuk

mendapatkan posisi sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Citra

perlu dikoreksi karena akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dan

pengambilan sampel pada tahapan interpretasi hibrida. Metode yang dilakukan

dalam koreksi geometri citra ini yakni dengan rektifikasi citra ke peta RBI yang

sudah terkoreksi geometri.

3.4.1.2 Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2

Selain koreksi geometri yang dilakukan pada citrasatelit resolusi tinggi

yang diperoleh dengan bantuan Google Earth, koreksi geometri juga dilakukan

pada citra ALOS AVNIR-2. Koreksi ini penting dilakukan karena citra ALOS

AVNIR-2 merupakan data utama yang digunakan dalam proses interpretasi

43

citra khususnya dalam menentukan indeks vegetasi. Untuk itu diperlukan

referensi data yang sama sehingga menghasilkan keluaran data yang

berkualitas. Proses koreksi geometri ini mengacu pada Peta Rupa Bumi

Indonesia (RBI), sama halnya seperti apa yang dilakukan pada koreksi

radiometri citra satelit QuickBird.

3.4.1.3 Koreksi Radiometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2

Koreksi radiometri diperlukan untuk meminimalkan kesalahan yang

disebabkan oleh gangguan atmosfer. Citra ALOS AVNIR-2 dengan level

koreksi 1B2 menandakan bahwa citra ini sudah terkoreksi baik geometri

maupun radiometrinya secara sistematis, namun untuk memastikan citra

tersebut telah benar-benar terkoreksi radiometri maka dilakukan pengecekan.

Objek yang tidak memberikan respon spektran sama sekali seharusnya bernilai

nol, jika tidak bernilai 0 maka dilakukan koreksi radiometri dengan

penyesuaian histogram.

Prinsip dari penyesuaian histogram adalah mengembalikan nilai piksel

terendah pada satu liputan citra sehingga bernilai 0. Jika nilai terendah piksel

tidak sama dengan 0, maka nilai tersebut dihitung sebagai bias. Koreksi

radiometri penyesuaian histogram dilakukan dengan mengurangkan seluruh

nilai piksel tersebut dengan nilai bias, sehingga nilai piksel yang memiliki

pantulan terendah kembali ke nilai pantulan aslinya, yakni 0.

Koreksi radiometri pada penelitian kali ini dilakukan sampai tahap

kalibrasi sensor (at sensor radiance). Setiap sensor dan detektor memiliki

kemampuan untuk mendeteksi nilai radiansi minimum dan maksimum objek.

Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan antara nilai

piksel, gain, dan offset.

Lλ = Offset λ + Gain λ *(BV)λ ......................................(7)

Dimana Gain λ = Lλ(maks) - Lλ(min) / BVλ(maks) ...............(8)

44

3.4.2 Transformasi Indeks Vegetasi

Transformasi indeks vegetasi yang diterapakan pada citra satelit ALOS

AVNIR-2 ini digunakan untuk mengubah nilai piksel agar menghasilkan suatu

nilai yang merepresentasikan dalam menyajikan fenomena yang berkaitan

dengan vegetasi. Teknik trasnformasi indeks vegetasi yang digunakan untuk

menurunkan informasi mengenai kerapatan vegetasi dalam penelitian kali ini,

diantaranya Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation

Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil

Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Berikut penjelasnnya.

3.4.2.1 Transformasi RVI (Ratio Vegetation Index)

Transformasi indeks yang pertama adalah RVI (Ratio Vegetation

Index). Transformasi ini juga menghasilkan efek yang sama terhadap

keberadaaan vegetasi. Menggunakan formula sebagi berikut.

RVI = NIR/red….........................................………...…. (9)

Penggunaan transformasi RVI dalam peneltian kali ini

dikarenakan daerah kajian memiliki topografi beragam, mulai datar

hingga bergunung. Transformasi RVI mampu meminimalisasi

gangguan akibat perbedaan topografi tersebut dengan menggunakan

ratio saluran inframerah dekat dan saluran merah.

3.4.2.2 Transformasi NDVI (Normalized Different Vegetation Index)

Model trasnsformasi ini mengkombinasikan antara teknik

penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Hasil transformasi ini

nantinya menghasilkan nilai indeks vegetasi dengan kisaran -1 samapai

+1 yang mana nilai +1 mempresentasikan objek vegetasi sedangkan -1

bukan vegetasi. Semakin mendekati nilai +1 berarti semakin banyak

objek vegetasi yang terdeteksi dan semakin menjauhi +1 objek vegetasi

semakin berkurang. Formulanaya adalah sebagai berikut.

NDVI = (NIR-red) / (NIR+red)……………..................… (10)

45

Berbagai penelitian yang menggunakan model transformasi ini

menunjukkan hasil yang paling baik ketimbang model transformaasi

lainnya. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan tahun

2010 untuk objek kajian yang sama, yakni kerapatan vegetasi.

Kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra

mamu menonjolkan objek vegetasi khususnya pada daerah dengan

vegetasi yang hampir seragam.

3.4.2.3 Transformasi TVI (Transformed Vegetation Index)

Transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan nilai

negatif pada transformasi NDVI. Salah satu dampak penghilangan

angka negatif ini adalah dapat menstabilkan variasi data NDVI sehingga

dapat memperbaiki data saat dilakukan analisis statistikFormulanya

adalah sebagai berikut.

TVI =√{(NIR-Red) / (NIR+Red)} + 0,5…………............…(11)

3.4.2.4 Transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index)

Berbeda dengan transformasi sebelumnya, model transformasi

ini dikembangkan untuk menekan gangguan latar belakang tanah.

Vegetasi pada daerah kajian memiliki karakteristik yang berbeda

sehingga kemungkinan perbedaan jenis tanah pun sangat besar. Adanya

gangguan yang berupa vaariasi respon spektral tanah saat proses

identifikasi vegetasi inilah yang menjadi latar belakang penggunaan

transformasi ini. Berikut adalah formula yang digunakan.

MSAVI = (2 (NIR) + 1 - √(2(NIR)²+8(NIR-Red))/2….......(12)

3.4.3 Interpretasi Kerapatan Vegetasi Secara Visual

Interpretasi kerapatan vegetasi dilakukan secara visual menggunakan

citra satelit resolusi tinggi. Karena citra yang yang digunakan memiliki format

digital maka interpretasi ini dilakukan dengan digitasi on screen. Tiap-tiap tipe

kerapatan vegetasi yang berbeda di citra didelineasi, hal ini untuk

46

mempemudah dalam pengambilan sampel di lapangan. Dari kelas satuan

pemetaan kerapatan vegetasi tersebut kemudian diambil blok-blok kecil untuk

selanjutnya dilakukan cek lapangan.

3.5 Penentuan Titik Sampel dan Cek Lapangan

Uji lapangan diperlukan untuk mengontrol hasil interpretasi serta untuk

penyusunan algoritma kerapatan vegetasi. Uji lapangan dilakukan pada setiap

satuan pemetaan kerapatan vegetasi yang dihasilkan dari metode interpretasi

visual. Setiap satuan pemetaan berupa kelas kerapatan vegetasi yang berbeda di

citra dibedakan , kemudian selanjutnya dilakukan cek lapangan. Penentuan

sampel untuk uji lapangan pada penelitian kali ini menggunakan teknik

purposif sampling. Teknik ini dipilih berdasarkan tujuan penelitian, yakni untuk

memperoleh informaasi mengenai kerapatan vegetasi.

Hasil dari cek lapangan satuan pemetaan kerapatan vegetasi hutan

tersebut dijadikan sebagai bahan masukan untuk memperoleh kunci interpretasi

hibrida. Peta hasil re-interpretasi setelah uji lapangan, dianggap mampu

mewakili kondisi sebenarnya di lapangan sehingga dapat menjadi peta referensi

dalam uji keakuratan hasil interpretasi hibrida.

3.6 Analisis Korelasi dan Regresi untuk Menyusun Kunci Interpretasi

Hibrida

Analisis korelasi dan regresi adalah metode yang digunakan untuk

mengukur hubungan antar dua variabel. Korelasi bertindak sebagai pengukur

bentuk hubungan sedangkan regresi adalah pengukur kuat tidaknya hubungan

tersebut. Pada penelitian kali ini variabel yang akan diuji korelasi adalah indeks

vegetasi dan satuan kelas kerapatan tegakan hutan. Analisis korelasi yang

digunakan untuk melihat hubungan antara kedua variabel tersebut adalah

analisis korelasi linear sederhana. Apabila kenaikan variabel yang satu

berbanding lurus dengan kenaikan variabel yang lain maka kedua variabel

47

dikatakan memiliki korelasi „positif‟ (+), sebaliknya jika kenaikan variabel

yang satu justru menyebabkan penurunan terhadap variabel yang lain maka

hubungan antara keduanya dinyatakan dengan korelasi „negatif‟ (-). Berikut ini

adalah tabel yang digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat hubungan

korelasi antar parameter.

Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi

Interval koefisien Tingkat hubungan

0,00 – 1,999 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,000 Sangat kuat

Sumber : Munir, (2007)

Masing-masing indeks vegetasi yang mencakup RVI, NDVI, TVI dan

MSAVI dilakukan analisis uji korelasi dengan kelas kerapatan tegakan hutan

hasil lapangan. Saluran yang menghasilkan korelasi paling baik kemudian

dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan kunci interpretasi. Kunci interpretasi

diperoleh melalui bentuk persamaan regrasi yang dihasilkan antara indeks

vegetaasi dan satuan kelas kerapatan hutan. Kunci interpretasi ini selanjutnya

digunakan untuk mempermudah pemetaan kerapatan tegakan hutan di daerah

kajian. Kunci interpretasi ini berupa nilai atau rumusan yang merepresentasikan

kerapatan vegetasi pada masing-masing kelas yang telah ditentukan. Berikut ini

adalah bentuk fungsi persamaan regresi yang digunakan, dimana Y adalah

variabel terikat dan X adalah variabel bebas.

Y = a + bX.......................................... (13)

48

3.7 Interpretasi Hibrida

Ada beberapa tahap yang dilakukan pada proses interpretasi hibrida

antara lain: (a) interpretasi visual untuk menentukan satuan pemetaan kerapatan

hutan sekaligus sebagai acuan pengambilan data di lapangan menggunakan

citra satelit resolusi tinggi; (b) interpretasi digital dengan menggunakan metode

transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2009; (c)

membangun kunci interpretasi hibrida dengan pendekatan analisis parameter

statistik dari dua metode interpretasi tersebut di atas. (d) menerapkan hasil

kunci interpretasi hibrida yang memiliki hasil korelasi terbaik pada citra satelit

ALOS AVNIR-2 tahun 2009 yang sebelumnya telah dilakukan interpretasi

terhadap satuan pemetaan tegakan hutan.

Interpretasi hibrida sesungguhnya terletak pada tahapan (c) dan (d). Cara

menggabungkan dua metode interpretasi yang berbeda ini (visual dan digital)

yakni dengan membuat hubungan parameter statistik pada masing-masing

transformasi indeks vegetasi dengan tingkat kerapatan yang didapat dari hasil

interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi yang telah dilakukan cek lapangan.

Algoritma yang di dapat dari analisis parameter statistik tersebut kemudian

dijadikan sebagai kunci interpretasi hibrida dalam klasifikasi kerapatan kanopi

tegakan hutan.

Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan kelas kerapatan tegakan

hutan pada interpretasi hibrida mengacu pada klasifikasi Howard (1991), yakni

sebagai berikut (Tabel 3.2).

49

Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi

Hutan sangat rapat > 80 %

Agak lebat/lebat 40 – 80 %

Terbuka 10 – 40 %

Hutan jarang 2 – 10 %

Sedikit/tidak ada pohon < 2 %

Sumber : Howard, 1991

3.8 Uji Akurasi Interpretasi

Tipe data pada penelitian kali ini adalah ordinal, artinya data yang

nilainya memiliki tingkatan dan tidak sejajar. Nilai kerapatan yakni sangat

rapat, agak rapat, jarang, terbuka, hingga sedikit merupakan bentuk dari data

ordinal. Metode uji akurasi yang dilakukan pada tipe data jenis ini dalam ilmu

penginderaan jauh lebih dikenal dengan nama tabel confusion matrix. Tabel ini

merupakan tabel matrix yang menghubungkan antara piksel hasil klasifikasi

dan ground truth data yang informasinya dapat diambil dari data lapangan

maupun peta yang sudah diverifikasi. Beberapa informaasi yang dapat diambil

dari erhitungan menggunakan tabel confusion matix antara lain overall

accuracy, producer accuracy, user accuracy, kappa coefficient, dan tau

coefficient.

Terdapat dua metode uji akurasi secara statistik, pertama dengan

mengandalkan data seampel yang diambil sebagai sumber referensi penilaian

akurasi dan uang kedua dengan mengandalkan sumber data yang independen,

yang tidak pernah digunakan dalam pengambilan sampel (Danoedoro, 2012).

Uji akurasi dalam penelitian kali ini dilakukan dengan merujuk pada tehnik uji

akurasi yang kedua, yakni dengan menggunkan data independen sebagai

sumber referensi. Data independen yang dimaksud adalah peta kerapatan

vegetasi citra resolusi tinggi yang telah diverifikasi, sedangkan data yang diuji

50

adalah peta hasil interpretasi hibrida. Metode uji akurasi ini dilakukan dengan

menumangsusunkan setiap poligon referensi dengan poligon hasil interpretasi.

Tabel 3.3 dibawah ini adalah contoh perhitungan uji akurasi dengan confusion

matrix.

Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik

kelas pasir terumbu

karang

makro

alga lamun laut total

user

accuracy

(%)

error

comission

(%)

pasir 14 2 0 0 0 16 87,5 12,5

terumbu

karang 1 36 3 4 0 44 81,82 18,18

makro alga 5 5 3 1 0 14 21,42 78,58

Lamun 0 2 0 14 0 16 87,5 12,5

Laut 0 3 0 0 5 8 62,5 37,5

Total 20 48 6 19 5 98

producer

accuracy (%) 70 75 50 73, 68 100 overall accuracy 73,46

error

omission (%) 30 25 50 26,32 0 Kappa 0,6222

Sumber: Wicaksono, 2011

Overall accuracy (%) = ............................ (14)

Producer Accuracy (%) = .................... (15)

User Accuracy (%) = ........................... (16)

Keterangan:

Jb : jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar

Js : jumlah sampel uji akurasi

Jssb : jumlah sampel uji akurasi suatu kelas yang terklasifikasi secara benar

Jss : jumlah sampel uji akurasi pada suatu kelas

Jskt : jumlah sampel uji akurasi yang terklasifikasi sebagai kelas tersebut

51

Interpretasi Visual

Citra Satelit ALOS AVNIR-2

Daerah Gunungkidul

Koreksi Citra

Koreksi Radiometrik

(level 1B)

Koreksi Geometrik

Citra ALOS AVNIR-2 Terkoreksi

Interpretasi Digital (Membandingkan

Antar Saluran)

Transformasi Indeks vegetasi

NDVI RVI TVI MSAVI

Analisis Piksel Hasil Transformasi

dengan Satuan Kerapatan Kanopi

Hutan Hasil Lapangan

Analisis Korelasi

Saluran dengan

Korelasi Terbaik

Kunci

Interpretasi

Hibrida

Peta RBI (Rupa Bumi

Indonesia) skala

1:25.000

Citra Satelit Resolusi

Tinggi daerah

Gunungkidul

Koreksi

Geometrik

Citra Terkoreksi

Interpretasi Visual

Blok Sampel Uji

Lapangan

Kerapatan Kanopi

Vegetasi Hasil

Interpretasi Citra

Resolusi Tinggi

Reklasifikasi

Peta Kerapatan Tegakan Hutan Hasil

Interpretasi Hibrida skala 1:50.000

Satuan Pemetaan

Kerapatan Vegetasi

Gambar 2.1 Diagram Alir Metode Penelitian

52

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Letak, Batas, Luas Daerah Penelitian

Daerah kajian dalam penelitian interpretasi hibrida pemetaan kerapatan

kanopi hutan dibatasi berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Daerah

Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan Republik

Indonesia tahun 2007. Penelitian dilakukan di Batas Daerah Hutan (BDH)

Kabupaten Gunungkidul yang mencakup Resort Pengelolaan Hutan (RPH)

Playen, Paliyan, dan Panggang di beberapa kecamatan antara lain Kecamatan

Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan

Kecamatan Wonosari dengan luas 5888,04 ha yakni sekitar 4% dari total luas

Kabupaten Gunungkidul.

Kabupaten Gunungkidul sendiri terletak di antara 07º16‟30” – 07 º

19‟30” LS dan 110 º 19‟30” - 110 º 25‟30” BT. Gunungkidul merupakan salah

satu dari lima kabupaten di wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) yang wilayahnya paling luas yakni kurang lebih 46% dari luas wilayah

DIY atau sekitar 1.485,36 km2. Ibu kota kabupaten adalah Wonosari yang

terletak sekitar 39 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Kabupaten

Gunungkidul memiliki 18 kecamatan, 144 desa dan 1536 dusun. Berikut ini

adalah batas wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Batas wilayah Kabupaten Gunungkidul:

Sebelah Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman (Propinsi DIY)

Sebelah Utara : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo (Propinsi Jawa

Tengah)

Sebelah Timur : Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah)

Sebelah Selatan : Samudera Hindia

53

Wilayah Kabupaten pada umumnya berbukit dan setengah dari luas

wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 15%. Berdasarkan kondisi

topografinya, wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi ke dalam tiga zone, yaitu

daerah perbukitan di bagian Utara dan sisi Timur yang disebut sebagai Zone

Baturagung, wilayah pegunungan karst di bagian Selatan yang disebut dengan

Zone Gunung Seribu dan daerah yang relatif datar di bagian tengah yang

disebut dengan Zone Ledok Wonosari (Soeharto, 2008). Daerah yang menjadi

fokus kajian kali ini berada pada zona Baturagung yang rata-rata memiliki

kemiringan lebih dari 15%. Zona ini membentang mulai dari arah Barat Laut

Kota Wonosari hingga Utara.

4.2 Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Penataan wilayah hutan di DIY telah dimulai sejak jaman penjajahan

Belanda. Kebijakan pemerintah ketika itu mengharuskan adanya pengelolaan

hutan untuk kelestarian lingkungan. Sistem pengelolaan hutan yang ketika itu

bernama Houtvesterij mulai berkembang dari satu saerah ke daerah lain.

Hingga akhirnya satu demi satu hutan di Jawa menganut sistem tersebut

termasuk DIY. Setelah masa penjajahan Belanda selesai, kegiatan penataan

hutan mengalami kemandekan, baru berjalan kembali setelah diakuinya

Kemerdekaan RI sekitar tahun 1950. Dari tahun ketahun sistem pengelolaan

hutan terus diperbaharui, berkembang dan akhirnya terbentuklah Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) di setiap daerah. Menurut P No. 6 tahun 2007 dan P

No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan, dan

Pemanfaatan Hutan Pasal 12 dijabarkan bahwa kegiatan penataan hutan di

wilayah KPH meliputi penataan batas, inventarisasi sumber daya hutan,

pembagian dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan

pemetaan.

Kabupaten Gunugkidul selain memiliki luas wilayah terbesar di DIY,

juga merupakan satu-satunya Kabupaten dengan luas wilayah hutan paling

54

besar yakni mencapai 13.105,50 ha. Ini artinya, Gunungkidul menduduki

peringkat pertama untuk luas hutan terbesar di DIY. Berdasarkan pengamatan

secara visual dari citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2007 komposit 321 (true

colour) hutan di Kabupaten Gunungkidul tersebar merata hampir diseluruh

bagian wilayahnya dengan di dominasi oleh tegakan jenis Jati (Tectona

grandis), Akasia (Acasia sp.), Mahoni (Swietenia macrophylla), Kayu Putih

(Eucalyptus globulus) dan Sengon (Albizia falcatana). Namun demikian,

batasan wilayah hutan dalam penelitian kali ini merujuk pada Batas Daerah

Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan Republik

Indonesia tahun 2010. BDH tersebut membawahi Resort Pengelolaan Hutan

(RPH). Di DIY terdapat 6 BDH, untuk Kabupaten Gunungkidul sendiri

memiliki 4 BDH antara lain BDH Karangmojo, Playen, Paliyan, dan Panggang.

Sisanya adalah BDH Yogyakarta dan BDH Kulonprogo.

4.3 Karakteristik Hutan di Daerah Kajian

Penelitian ini mengambil beberapa kawasan hutan berdasarkan Batas

Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan

(BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2010, antara lain pada BDH Playen,

BDH Panggang, dan BDH Paliyan. Ketiga BDH tersebut mencakup kawasan

hutan produksi, hutan lindung, dan tanaman hutan raya. Hutan Produksi

mendominasi sebagian BDH Playen dan Paliyan antara lain pada RPH Banaran,

Bunder, Wonolagi, Gubugrubuh, Menggaran, Kedungwalu, Kepek,

Karangmojo, dan Menggoro. Hutan lindung terdapat di sebagian BDH

Panggang dan Paliyan tepatnya pada RPH Kedungwalu dan Bibal. Sementara

untuk tanaman hutan raya hanya terdapat pada BDH Playen yang membawahi

kawasan hutan buder dan banaran.

Jenis tanaman pada BDH kajian antara lain Jati, Kayu Putih, Mahoni,

Kleresede (Glirecidea sp.), Sono (Dalbergia latifolia), dan Akasia. Meskipun

jenis tanaman yang mendominasi adalah jenis tanaman hutan produksi namun

55

pada dasarnya tetap mempunyai blok yang berfungsi sebagai blok pemanfaatan

terbatas yang juga berfungsi sebagai zona penyangga. Seperti yang tersebut

dalam aturan penetapan wilayah/blok kesatuan pengelolaan hutan Yogyakarta,

salah satu permasalahan yang dihadapi pengelolaan hutan saat ini adalah

semakin meningkatnya dinamika permasalahan sosial ekonomi. Pertumbuhan

penduduk yang tidak diimbangi dengan tersedianya kebutuhan pangan,

sandang, dan lapangan pekerjaan berdampak meningkatnya jumlah keluarga

miskin dan lonjakan jumlah pengangguran. Apabila kondisi ini terjadi di desa-

desa sekitar hutan, akan berdampak pada peningkatan interaksi penduduk

dengan sumber daya hutan baik bersifat konstruktif maupun destruktif.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan di

Yogyakarta tahun 2009, jumlah desa hutan dan/atau desa sekitar hutan paling

banyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul yakni 13 Kecamatan. Dengan

adanya blok pemanfaatan zona terbatas untuk hutan produksi yang berlokasi di

sekitar desa hutan diharapkan mampu menjadi pelindung bagi hutan itu sendiri

sehingga kelestariannya tetap terjaga.

4.4 Kondisi Fisik Daerah Penelitian

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu dari 5 Kabupaten di DIY

yang wilayahnya didominasi oleh perbukitan. Berdasarkan dari peta Geologi

yang dikeluarkan oleh BAPEDDA Kabupaten Gunungkidul tahun 2002 lahan

di Kabupaten Gunungkidul mimiliki tingkat kemiringan bervariasi,19%

diantaranya merupakan daerah datar dengan tingkat kemiringan 0°-2°,

sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan antara 15°-40° sebesar 39,54%

dan untuk kemiringan lebih dari lebih dari 40° sebesar 15,95%. Sementara jika

dilihat dari topografi, jenis batuan, jenis tanah, ketinggian, dan keadaan

hidrologi/sumber air, wilayah Kabupaten Gunungkidul terbagi menjadi tiga

zona wilayah sebagai berikut:

56

1. Zona Utara (Zona Baturagung)

Berada pada ketinggian 200 – 700 mdpal. Zona ini didominasi oleh

penggunaan lahan berupa hutan dengan kondisi lereng yang berbukit-bukit.

Sebagian besar tanahnya adalah latosol dengan dominasi tekstur lempung

hingga berpasir. Tanah jenis ini terbentuk dari batuan gunung api tua yang

telah mengalami pelapukan lebih lanjut dan terendapkan (sedimentasi).

Berwarna merah, coklat sampai kekuning-kuningan. Vegetasi jenis Jati,

Akasia, Mahoni, Kayu Putih, maupun Sengon banyak tumbuh di kawasan

ini. Tumbuhan tersebut di atas sama-sama mampu bertahan dalam kondisi

kering sekalipun, pada tanah lempung berpasir dan dengan iklim yang tegas

antara kemarau dan penghujan. Daerah yang menjadi kajian penelitian ini

paling banyak berada pada Zona Utara melihat persentase hutan dari data

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) tahun 2007 untuk Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta wilayah Gunungkidul paling tinggi

berada pada Zona Utara. Tidak heran mengapa pada zona ini idenifikasi

keberadaan vegetasi tidak sulit dilakukan. Sebagaimana terlihat pada

halaman lampiran, bagaimana rona piksel yang ditunjukkan oleh salah satu

transformasi indeks vegetasi pada zona utara ini sebagian besar adalah cerah.

Semakin cerah rona nilai piksel artinya semakin banyak tutupan vegetasinya.

2. Zona Tengah (Ledok/Basin Wonosari)

Zona ini berada pada ketinggian 150 – 200 mdpal.Dikelilingi oleh

perbukitan, dimana sebelah selatan dibatasi oleh perbukitan karst sedangkan

sebelah utara oleh perbukitan struktural. Tanah pada Ledok Wonosari ini

merupakan hasil pelapukan dan sedimentasi material dari daerah

disekitarnya, sehingga meskipun jenis tanahnya adalah mediteran atau terra

rosa namun lapisan tanahnya tebal dan subur. Penggunaan lahan digunakan

untuk tegalan, pertanian sistem tumpang sari dan pertanian semusim.

Sehingga Ledok Wonosari ini termasuk dalam kawasan yang paling

berkembang, baik dari sisi fisik maupun sosial ekonominya. Wilayah kajian

tidak banyak mengambil pada zona ini melihat kondisi vegetasi yang minim.

57

Rona piksel salah satu transformaasi indeks vegetasi pada halaman lampiran

pun sebagian besar menunjukkan rona gelap karena didominasi oleh lahan

terbangun.

3. Zona Selatan (Pegunungan Seribu)

Terletak pada ketinggian 0 – 300 mdpal dengan batuan penyusunnya

berupa batu kapur. Banyak terdapat bentukan lahan kars, berupa kerucut

kars, dome,danau-danau kars hingga sungai bawah tanah. Vegetasi pada

kawasan ini terdiri atas tumbuhan yang tumbuh secara alami dan tumbuhan

yang dibudidayakan untuk kepentingan ekonomi. Tanahnya terdiri atas

endapan batu gamping, berwarna merak kecoklatan hingga coklat kemerahan

yang disebut dengan terra rosa. Tipisnya lapisan tanah (20 – 100 m) dengan

sifat lempung hingga pasiran, sedikit aliran air permukaan serta

melimpahnya kandungan kalsium menyebabkan hanya tanaman lahan kering

yang mampu bertahan. Kondisi inilah yang menyebabkan wilayah zona

selatan didominasi oleh tanaman jati. Namun penelitian kali ini tidak

mengambil zona selatan sebagai wilayah kajian. Batas daerah kajian yang

digunakan mengacu pada Batas Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun

2007.

Kaitannya dengan iklim, Kabupaten Gunungkidul termasuk daerah yang

beriklim tropis. Curah hujan rata-rata 1.954,43 mm/tahun dengan jumlah hujan

rerata harian 103 hari/tahun. Bulan basah 7 bulan dan bulan kering 5 bulan.

Wilayah Gunungkidul bagian Utara memiliki curah hujan paling tinggi jika

dibandingkan dengan wilayah tengah dan selatan. Hal inilah yang menjadi salah

satu faktor mengapa hutan cukup berkembang di wilayah utara. Suhu udara

rata-rata harian 27,7º C, suhu minimal 23,2º C, dan suhu masksimum 32,4º C.

Kelembapan nisbi berkisar antara 80% - 85%, tidak terlalu dipengruhi oleh

tinggi tempat melainkan oleh musim. Gambar 3.1 berikut merupakan peta

lokasi penelitian untuk interpretasi hibrida.

58

59

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemrosesan Citra Digital Resolusi Tinggi

5.1.1 Koreksi Geometri Citra Resolusi Tinggi

Citra satelit resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian kali ini

diperoleh dengan memanfaatkan data dari Google Earth, untuk itu informasi

yang didapat hanya terbatas pada informasi visualnya. Dengan menggunakan

zoom level 17, kenampakan visual citra yang bersumber dari data Google Earth

setara dengan kenampakan visual yang ada pada citra satelit Quickbird

sehingga untuk identifkasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan baik.

Koreksi geometri citra mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)

skala 1:25.000. Perbedaan resolusi spasial antara keduanya menjadi hambatan

dalam koreksi ini. Namun karena output akhirnya nanti mengacu pada satu

sumber yang sama yakni peta RBI maka untuk koreksi geometri citra resolusi

tinggi ini tetap mengacu pada peta RBI.

Metode yang dilakukan dalam koreksi geometri citra resolusi dari data

citra satelit Google Earth adalah penyamaan koordinat, yakni dengan rektifikasi

citra ke peta. Peta yang digunakan sebagai base map adalah RBI, asumsinya

peta ini sudah memiliki koordinat maupun sistem proyeksi yang benar sehingga

dapat digunakan sebagai acuan untuk koreksi geometri citra. Dalam koreksi

geometri ini, citra hanya dipandang sebagai image sehingga sama sekali tidak

mempertimbangkan posisi piksel, hasilnya pun berupa data yang berbasis

vektor sehingga dalam mentransformasikan titik-titik koordinat peta ke citra

bisa dilakukan tanpa mengalami kesulitan. Yang dibutuhkan dalam koreksi

geometri ini adalah tingkat ketelitian yang tinggi, bagaimana memposisikan

objek di citra agar sama dengan koordinat peta acuan.

60

5.1.2 Interpretasi Visual Citra Resolusi Tinggi

Citra resolusi tinggi pada penelitian kali ini digunakan sebagai data

input dalam interpretasi hibrida. Informasi yang diambil dari citra resolusi

tinggi ini berupa data kerapatan kanopi vegetasi di area hutan pada daerah

kajian. Nilai kerapatan kanopi tersebut diperoleh dari interpretasi visual digitasi

on screen dengan mengandalkan unsur-unsur interpretasi. Unsur interpretasi

yang digunakan sebagai kunci interpretasi dalam mengambil nilai kerapatan

vegetasi antara lain warna/rona, tekstur, bentuk, pola, dan asosiasi. Karena citra

yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari Google Earth maka format

citra sudah bukan format asli sehingga hanya bisa digunakan untuk analisis

secara visual.

Interpretasi citra dimulai dengan melakukan pengamatan secara

menyeluruh pada daerah kajian. Kunci interpretasi digunakan untuk

mempermudah dalam penarikan batas antara kerapatan vegetasi satu dengan

yang lain. Kunci interpretasi warna/rona merupakan unsur yang paling

dominan. Semakin hijau semakin rapat. Selain itu ada tekstur, bentuk, pola, dan

asosiasi. Antara kunci interpretasi satu dengan yang saling saling

mempengaruhi. Misalnya warna/rona hijau, tekstur kasar, bentuk dan pola

menggerombol serta berasosiasi dengan sungai tergolong dalam vegetasi

tegakan sangat rapat. Jadi interpretasi visual disini hanya bertujuan membagi

darah penelitian menjadi blok-blok kerapatan tertentu tanpa nilai kuantitatif.

Blok kerapatan belum memiliki nilai kerapatan sebelum dilakukan cek

lapangan.

5.1.3 Penentuan Blok Sampel untuk Cek Lapangan

Pengambilan sampel bloks kerapatan vegetasi dilakukan dengan metode

purposive sampling, yaitu sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian.

Sampel diambil dengan mempertimbangkan kenampakan kerapatan vegetasi

secara visual, cara pengambilan sampel acak namun tetap beraturan. Setiap blok

61

sampel kerapatan diambil beberapa sampel yang selanjutnya dilakukan cek

lapangan.

Jumlah sampel yang ditentukan untuk cek lapangan adalah 30 sampel.

Tersebar merata mulai dari sisi utara hingga selatan pada daerah kajian. Peta di

bawah ini adalah sebaran sampel kerapatan vegetasi pada daerah kajian.

Gambar 5. berikut adalah citra resolusi tinggi yang digunakan untuk interpretasi

visual beserta sebaran titik sampel uji lapangan. Daerah yang dibatasi garis

putih merupakan daerah kajian penelitian. Sedangkan hasil kerapatan aktual di

lapangan untuk setiap sampel disajikan dalam tabel 5.

62

63

Tebel 5.1Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan

No. Sampel Kerapatan

(%) Foto lapangan Koordinat

1 12.102 81

X = 438759,2339

Y = 9118303,624

2 12.105 74

X = 438846,5466

Y = 9118246,077

3 12.103 80

X = 438884,9112

Y = 9118237,478

4 12.106 64

X = 438939,8124

Y = 9118330,744

5 12.104 65

X = 438986,776

Y = 9118222,265

6 6.23 46

X = 441365,8222

Y = 9117952,895

7 11.101 77

X = 442253,8772

Y = 9117172,177

64

8 11.100 48

X = 442931,2119

Y = 9117375,377

9 5.11 64

X = 444768

Y = 9118060

10 5.12 44

X = 445590

Y = 9117943

11 10.85 80

X = 443338

Y = 9118399

12 10.86 86

X = 443618

Y = 9118431

13 10.87 70

X = 443598

Y = 9118763

14 7.39 71

X = 444019

Y = 9119752

65

15 6.25 7

X = 445181

Y = 9120166

16

7.37 10

X = 445069

Y = 9120487

17 6.28 12

X = 444588

Y = 9121289

18 8.85 69

X = 443106

Y = 9120951

19 8.86 71

X = 443236

Y = 9120986

66

20 9.57 74

X = 443103

Y = 9121231

21 9.60 70

X = 444187

Y = 9122024

22 9.58 84

X = 444243,7567

Y = 9122149,73

23 9.59 78

X = 443807,0941

Y = 9121947,886

24 6.18 26

X = 445787

Y = 9125367

25 9.62 41

X = 447434

Y = 9127465

67

26 9.61 61

X = 447437

Y = 9127705

27 10.74 47

X = 448589

Y = 9127590

28 10.73 67

X = 448490

Y = 9127797

29 9.71

72

X = 448241

Y = 9128090

30 10.79 81

X = 449973

Y = 9127501

68

5.2 Pemrosesan Citra Satelit ALOS AVNIR-2

5.2.1 Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2

Citra satelit ALOS AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian kali ini

adalah citra dengan level koreksi 1B2, ini artinya citra tersebut sudah terkoreksi

geometri secara sistematis. Namun tetap harus dilakukan koreksi geometri

kembali, disesuaikan dengan data vektor yang digunakan dalam penelitian ini.

Peta yang digunakan sebagai acuan dalam koreksi geometri citra satelit ALOS

AVNIR-2 sama dengan peta yang digunakan untuk koreksi pada citra resolusi

tinggi, yakni RBI. Penggunaan acuan peta yang sama ini untuk mempermudah

dalam melakukan analisis citra. Metode yang diguanakan yakni image to

image, meskipun yang digunakan sebagai base adalah peta RBI namun dalam

prakteknya peta RBI tersebut tetap terbaca sebagai image bukan sebagai

map.Tahap awal dalam koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2 yakni

melakukan pemotongan citra yang mencakup daerah kajian. Luasnya daerah

kajian ditambah pula dengan topografinya yang beragam (bergunung hingga

dataran) menjadi alasan penggunaan algoritma polynomial orde 3.

Titik kontrol point atau GCP tersebar merata di seluruh bagian citra

dengan jumlah 33. Semakin banyak titik GCP asumsinya semakin akurat hasil

koreksi geometri. Objek yang dijadikan sebagai titik kontrol merupakan objek

yang sifarnya relatif tetap seperti bangunan, jalan, dan jembatan. Algoritma

yang digunakan dalam koreksi geometri ini adalah nearest neighbour, dengan

tujuan agar nilai piksel asli tidak berubah.

Keakuratan hasil koreksi geometri dapat dilihat dari RMS errornya,

semakin kecil nilainya akan semakin akurat hasilnya dalam arti semakin

mendekati titik sebenarnya di lapangan. Kendalanya, untuk mendapatkan nilai

RMS errror kecil dibutuhkan objek yang tetap dan terlihat dengan jelas baik

pada citra ALOS AVNIR-2 maupun peta RBI. Sedangkan pada citra maupun

peta tersebut objek yang dimaksud sangat minim dengan persebaran yang tidak

merata. Tabel 5.2 dibawah ini menyajikan sebaran titik GCP disertai RMS

69

errornya dimana rata-rata RMS error yang diperoleh dari 33 GCP sebesar 0,89.

Ini artinya dengan resolusi spasial citra 10 m maka di lapangan citra tersebut

mengalami pergeseran sebesar 8,89 m untuk tiap piksel. Nilai RMS error yang

cukup tinggi ini menunjukkan bahwa hasil koreksi geometrik untuk dearah

kajian tidak sempurna. Padahal nilai yang disarankan oleh Jansen tahun 2005

adalah < 0,5. Hal ini dikarenakan kondisi fisik daerah pemelitian yang sebagian

besar didominasi oleh perbukitan dan pegunungan serta sulitnya menemukan

objek yang tetap meskipun pengambilan titik GCP telah dilakukan berulang-

ulang.

70

Tabel 5.2 Jumlah GCP (Ground Control Point) pada koreksi geometri

Sumber : Koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2, 2013

71

a b

Gambar 5.2(a) Persebaran titik kontrol pada citra ALOS AVNIR-2

5.2(b) Persebaran titik kontrol peta Rupa Bumi Indonesia

(RBI)

Penggunaan algoritma polinomial tidak hanya mempengaruhi

perubahan posisi piksel saja, melainkan juga menyebabkan perubahan nilai

spektralnya. Proses resampling digunakan untuk tetap mempertahankan nilai

spektral pada tiap piksel. Metode resampling yang digunakan dalam koreksi ini

adalah nearest neightbour, dengan pertimbangan jenis resampling ini tetap

mempertahankan nilai piksel meskipun posisi piksel berubah.

Perubahan pergeseran citra sebelum dan sesudah koreksi dapat dilihat

pada gambar 5.3 (a) dan 5.3 (b). Dari pertampalan vektor pada citra, terlihat

bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan antara citra sebelum dan

sesudah koreksi. Ini artinya, meskipun kualitas citra berada pada level 1B2

namun belum tentu memiliki posisi sebenarnya terhadap acuan yang digunakan.

72

a b

Gambar 5.3(a) Pertampalan vektor sebelum koreksi geometri citra

5.3(b) Pertampalan vektor sesudak koreksi geometri citra

5.2.2 Koreksi Radiometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2

Koreksi radiometri dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra baik

secara visual maupun yang berkaitan dengan nilai pikselnya. Citra ALOS

AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian kali ini memiliki level koreksi 1B2

sehingga sudah terkoreksi geometri dan radiometri secara sistematis. Kualitas

citra yang dimaksud disini berkaitan dengan tujuan penelitian itu sendiri. Untuk

penelitian kali ini kualitas citra tidak hanya berhenti pada informasi dalam citra

sendiri melainkan juga mempertimbangkan faktor-faktor luar yang berpengaruh

terhadap kesalahan informasi citra. Sehingga tahapan koreksi radiometri yang

dilakukan pada penelitian kali ini mencapai tahap kalibrasi sensor (at sensor

radiance).

Nilai kepekaan yang tertangkap sensor pada masing-masing saluran

dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut adalah algoritma yang digunakan

beserta hasil koreksinya.

Lλ = Offset λ + Gain λ *(BV)λ................................. (17)

Dimana

Gain λ = Lλ(maks) - Lλ(min) / BVλ(maks)....................... (18)

73

Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2

No. Saluran Gain Offset

1 Saluran 1 0,5946 0,95

2 Saluran 2 0,5541 0,84

3 Saluran 3 0,4730 0,81

4 Saluran 4 0,6689 -0,00

Sumber: Header cittra ALOS AVNIR-2 tahun 2009

5.2.3 Transformasi Indeks Vegetasi

Perolehan informasi mengenai sebaran vegetasi dilakukan dengan

transformasi indeks vegetasi pada citra satelit ALOS AVNIR-2. Ada 4 jenis

transformasi citra yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi Ratio

Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),

Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation

Index (MSAVI). Pemilihan trasnformasi tersebut didasarkan pada kapasitas

citra satelit ALOS AVNIR-2 yang hanya terdiri dari 4 band yakni saluran biru

(0,45 – 0,52µm), saluran hijau (0,52 – 0,60µm), saluran merah (0,63 – 0,69µm),

dan saluran inframerah dekat (NIR) (0,76 – 0,89µm). Sehingga anadalan pada

model trasnformasi yang diterapkan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 ini

hanya pada saluran merah dan inframerah dekat. Penggunaan saluran merah

dan NIR pada sebagaian besar transformasi indeks vegetasi didasarkan pada

nilai tertinggi pantulannya. Vegetasi memberikan pantulan tertinggi pada NIR,

namun karena mata manusia hanya terbatas pada panjang gelombang visibel

maka daun sehat tampak hijau. Sehingga kombinasi dari dua pantulan (merah

dan inframerah dekat) mampu memberikan nilai/indeks kaitannya dengan

keberadaan vegetasi. Nilai indeks ini dapat bervariasi, tidak selalu sama

tergantung dari algoritma transformasi yang digunakan. Berikut hasil dari

masing-masing transformasi tersebut.

74

5.2.3.1 RVI

Transformasi indeks vegetasi paling sederhana yang digunakan dalam

penelitian kali ini adalah RVI (Ratio Vegetation Index). Indeks yang dihasilkan

merupakan rasio dari saluran merah dan inframerah dekat dengan nilai minimal

0,204109, maksimal 4,013212 dan rata-rata 1,409078. Objek vegetasi dari hasil

transformasi ini menunjukkan rona yang cerah, sedangkan non vegetasi

memiliki rona gelap.

Algoritma RVI yang digunakan hanya mengandalkan kemampuan

saluran merah dan inframerah dekat yang memang unggul dalam nenonjolkan

objek vegetasi, sehingga hanya ada dua kemungkinan objek yang dapat

diidentifikasi. Pertama objek vegetasi dan kedua non vegetasi. Semakin besar

nilai indeks yang dihasilkan, semakin cerah ronanya, dan semakin besar pula

kemungkinan keberadaan vegetasi.

5.2.3.2 NDVI

Indeks vegetasi selanjutnya adalah NDVI (Normalized Different

Vegetation Index). Sama seperti RVI, NDVI pun menggunakan saluran merah

dan inframerah dekat namun dengan algoritma yang berbeda. Kisaran nilai

yang dihasilkan antara -1 sampai 1. Dimana -1 non vegetasi dan 1 vegetasi.

Hasil trasnformasi NDVI pada daerah kajian menunjukkan rentang nilai

antara -0.660980 sampai 0.601054. Semakin mendekati 1 rona yang terlihat

pada citra semakin cerah, dan semakin cerah kenampakannya akan

menunjukkan daerah kajian semakin banyak tutupan vegetasi. Pada daerah

penelitian nilai maksimal indeks berada pada 0.601054. Ini artinya, tidak ada

objek yang benar-benar murni vegetasi. Bisa terjadi karena ada pantulan tanah

atau air yang berada diantara vegetasi mengingat resolusi spasial citra ALOS

ANVIR-2 sebesar 10 m yang berarti luasan dipermukaan bumi 100 meter

persegi. Dimana akan sangat sulit menemukan tutupan objek vegetasi yang

secara utuh menutupi permukaan bumi tanpa celah sedikitpun.

75

5.1.3.3 TVI

Transformasi indeks ketiga yang digunakan adalah TVI (Transformed

Vegetation Index). Model transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan

nilai negatif pada transformasi NDVI. Masih menggunakan saluran yang sama,

yakni merah dan inframerah dekat maka dihasilkan nilai indeks dengan

minimal 0.037842, maksimal 1.049311 dan rata-rata 0.799635. Nilai indeks

tersebut merepresentasikan tutupa vegetasi pada daerah kajian. Dimana nilai

indeks kecil memiliki rona gelap yang mengindikasikan tutupan vegetasi sedikit

dan nilai indeks besar memiliki rona cerah yang mengindikasikan tutupan

vegetasi rapat.

5.2.3.4 MSAVI

Terakhir adalah transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted

Vegetation Index). Model transformasi ini memiliki keunggulan mampu

menekan latar belakang tanah meskipun dengan menggunakan tipe saluran

yang sama seperti pada transformasi sebelumnya yakni merah dan inframerah

dekat. Tanah untuk kajian tutupan vegetasi dianggap sebagai gangguan karena

mempengaruhi nilai asli dari pantulan objek vegetasi.

Nilai indeks yang dihasilkan oleh transformasi ini yakni minimal -

7.166977 maksimal 1.500336 dan rata-rata 0.450420. Indeks yang dihasilkan

ini tidak memiliki acuan nilai tertentu karena persamaan yang digunakan bukan

merupakan persamaan yang telah dinormalisasi seperti pada transformasi

NDVI. Nilai indeks yang dihasilkan tergantung dari nilai spektral saluran yang

digunakan. Tabel 5.4 di bawah ini menggambarkan perbandingan informasi

spktral masing-masing transformasi yang digunakan.

76

Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai spektralnya

No. Jenis trasnformasi informasi spectral

maks Min rata-rata st.dev

1

RVI

4,013212 0,204109 1,409078 0,390784

2

NDVI

0,601054 -0,66098 0,14779 0,13916

3

TVI

1,049131 0,037842 0,779964 0,091889

4

MSAVI

1,500336 -7,16698 0,45042 0,485373

5.2.4 Interpretasi Visual Citra Satelit ALOS ANVIR-2

Interpretasi visual citra satelit ALOS AVNIR-2 bertujuan untuk

menyusun satuan pemetaan kerapatan kanopi hutan dalam interpretasi hibrida.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika melakukan interpretasi visual

selain unsur-unsur interpretasi adalah penyusunan citra komposit. Penyusunan

citra komposit bertujuan untuk menonjolkan objek tertentu sehingga

mempermudah pengenalan suatu objek. Komposit warna memanfaatkan tiga

saluran pada citra, dimana saluran yang digunakan adalah saluran-saluran yang

peka terhadap objek vegetasi. Saluran tersebut antara lain saluran hijau (0,52-

0,6 µm), merah (0,61-0,64 µm) dan inframerah dekat (0,76-0,89 µm) dengan

komposit 432 (inframerah dekat, merah, hijau). Gambar 5.4 di bawah ini adalah

77

grafik histogram citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit warna 432

pada daerah penelitian.

Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit warna 432

Grafik berwarna hitam adalah band 4, grafik berwarna merah band 3,

dan grafik berwarna hijau band 2. Masing-masing grafik menggambarkan

pesebaran jumlah nilai piksel pada rentang nilai kecerahan citra antara 0 – 255.

0 berarti sangat gelap dan 255 sangat cerah. Dari histogram tersebut dapat

dilihat bahwa tidak ada piksel yang benar-benar bernilai 0 maupun 255. Jumlah

piksel terbanyak dari 3 jenis saluran tersebut justru berada pada kisaran nilai

kecerahan 25 – 75. Ini artinya persentase nilai piksel gelap lebih dominan

daripada nilai piksel cerah. Semakin gelap berarti semakin banyak energi yang

terserap, karena 3 saluran tersebut memiliki pola yang sama dalam

memberikan respon pantulan vegetasi maka semakin gelap citra semakin

banyak persentasi vegetasi pada daerah kajian. Nilai inilah yang dijadikan

pedoman untuk mengetahui distribusi nilai piksel yang menunjukkan

keberadaan objek vegetasi.

Komposit saluran 432 yang digunakan untuk interpretasi visual

menghasilkan kenampakan objek vegetasi yang sangat jelas. Saluran 4

(inframerah dekat) dengan panjang gelombang 0,76-0,89 µm peka terhadap

objek vegetasi dan tanah. Saluran 3 (merah) yang memiliki panjang gelombang

0,61-0,64 µm peka terhadap pantulan vegetasi, sedangkan saluran 2 yang

78

berada pada kisaran panjang gelombang 0,52-0,60 µm merupakan puncak dari

pantulan vegetasi. Kombinasi komposit dari ketiga saluran tersebut di atas

menghasilkan kenampakan citra dengan dominan warna merah adan cyan.

Merah menunjukkan objek vegetasi dan cyan menunjukkan objek tanah.

Interpretasi visual citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit 432

sangat membantu dalam indentifikasi objek. Proses pengenalan objek yang

berkaitan dengan vegetasi dilakukan secara fotomorfik, yakni menggunakan

unsur interpretasi citra. Pengenalan objek dilakukan untuk membedakan kelas

kerapatan tegakan hutan daerah kajian berdasarkan unsur interpretasi citra.

Sehingga tidak semua unsur interpretaasi digunakan secara serentak, beberapa

unsur interpretasi yang dijadikan kunci interpretasi antara lain warna/rona,

tekstur, pola, bentuk, dan asosiasi. Secara visual tampilan citra ALOS AVNIR-

2 dengan resolusi spasial 10m cukup baik untuk membedakan antara vegetasi

lebat hingga jarang. Kenampakan citra ALOS ANVIR-2 dengan komposit 432

dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut.

Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2 komposit 432

Gambar tersebut di atas merupakan tampilan visual citra daerah kajian

dengan komposit 432. Dominan warna yang terlihat pada citra adalah warna

79

merah dan warna cyan, dimana objek vegetasi berwarna merah dan warna cyan

untuk objek tanah. Delineasi objek dilakukan secara Digitasi on Screen dengan

tanpa meninggalkan kunci interpretasi yang digunakan. Karena daerah kajian

pada penelitian ini berada pada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh

Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun 2007, maka asumsinya adalah

kawasan tersebut meskipun pada kenyataanya banyak terdapat blok-blok

nonvegetasi namun tetap dikatagorikan sebagai hutan. Sehingga dalam proses

interpretasi, tidak lagi membagi daerah penelitian menjadi hutan dan nonhutan

melainkan membagi menjadi blok-blok kecil yang menggambarkan perbedaan

tingkat kerapatannya.

Unsur interpretasi warna/rona menjadi aspek yang paling dominan

dalam melakukan interpretasi. Warna merah menunjukkan objek vegetasi,

semakin gelap ronanya mengindikasikan bahwa semakin rapat vegetasi.

Sebaliknya semakin cerah ronanya semakin jarang vegetasi. Delineasi objek

dilakukan dengan membedakan tingkat kecerahan rona yang terlihat.

Selanjutnya ada unsur interpretasi tekstur. Tekstur memudahkan dalam

membedakan objek vegetasi pada tingkat ketinggian yang berbeda. Perbedaan

ketinggian dapat menunjukkan perbedaan kerapatan vegetasi tegakan. Terakhir

adalah pola dan bentuk. Pada daerah kajian sebagian besar bentuk blok-blok

vegetasi tidak beraturan begitupun dengan polanya. Mengerombol pada

beberapa lokasi dan sangat jarang lokasi tertentu. Hal ini tidak lepas dari unsur

interpretasi yakni asosiasi. Vegetasi rapat sebagian besar berasosiasi dengan

sungai-sungai besar. Seperti terlihat pada sisi utara daerah kajian. Sungai Oyo

yang memotong sisi utara daerah kajian menjadi salah satu sumber kehidupan

bagi vegetasi disekitarnya. Tidak heran mengapa Kabupaten Gunungkidul yang

terkenal gersang justru menyiman potensi hutan yang luar biasa. Berikut ini

disajikan Tabel 4.4 mengenai beberapa contoh hasil delineasi objek hutan untuk

setiap kerapatan yang berbeda. Sementara peta satuan pemetaan kerapatan

kanopi daerah penelitin disajikan dalam Gambar 4.6 berikut.

80

Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual untuk Satuan Pemetaan

Nama Objek Ciri pengenalan Kenampakan pada cita ALOS

AVNIR-2

Kerapatan 1 - Warna/rona: cyan, biru muda, merah

pudar

- Bentuk tidak teratur

- Tekstur halus

Kerapatan 2 - Warna/rona: merah cerah, merah

kehitaman

- Bentuk tidak teratur

- Tekstus halus-kasar

- Asosiasi sungai

Kerapatan 3 - Warna/rona: merah muda, keputihan

- Bentuk tidak teratur

- Tekstur halus

Kerapatan 4 - Warna/rona: merah pudar,

kehitaman, gelap

- Bentuk tidak teratur

- Tekstur kasar

- Asosiasi sungai

Kerapatan 5 - Warna/rona: merah gelap,

kehitaman,

- Bentuk tidak teratur

- Tekstur kasar

- Asosiasi sungai

Kerapatan 6 - Warna/rona: merah pudar, cyan, biru

muda, biru, coklat muda

- Bentuk tidak teratur

- Tekstur kasar

- Aosiasi lahan terbangun

81

82

5.3 Pemetaan Kerapatan Vegetasi dengan Interpretasi Hibrida

5.3.1 Analisis Statistik Nilai Rata-Rata Sampel Blok Vegetasi pada Citra

Hasil Transformasi Indeks Vegetasi

Nilai indeks yang dihasilkan dari beberapa transformasi belum bernilai

apa-apa sebelum dikaitkan dengan data lapangan. Salah satu cara untuk

menghubungan antara nilai indeks dengan data lapangan adalah dengan analisis

statistik. Analisis statistik yang digunakan untuk penyusunan formula

kepadatan bangunan yakni dengan menggunakan nilai rata-rata blok sampel

kerapatan vegetasi. Blok bangunan diperoleh dari hasil interpretasi citra

resolusi tinggi yang telah memiliki nilai kepadatan. Analisis nilai rata-rata blok

kerapatan vegetasi dilakukan pada citra hasil transformasi indeks vegetasi

antara lain RVI, NDVI, TVI, dan MSAVI.

Nilai rata-rata indeks vegetasi diperoleh dengan cara

menumpangsusunkan antara blok sampel vegetasi (dalam bentuk vektor)

dengan masing-masing indeks vegetasi (dalam bentuk raster). Karena yang

digunakan adalah rata-rata nilai piksel maka diambil beberapa piksel di bagian

tengah blok vegetasi dengan membat ROI (Region of Interest). Gambar 5.6

berikut ini adalah contoh pembuatan ROI pada salah satu trasnformasi indeks.

83

Gambar 5.6 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi

Adapun Tabel 5.6 berikut menyajikan hasil tumpang susun antara blok

kerapatan vegetasi pada masing-masing indeks yang digunakan. Untuk melihat

hubungan antara parameter kerapatan dengan indeks vegetasi dilakukanlah

analisis statistik yakni korelasi dan regresi. Nilai kerapatan vegetasi tersebut

dikorelasikan dengan nilai rata-rata transformasi RVI, NDVI, TVI, dan

MSAVI. Hasil korelasi inilah yang menentukan indeks vegetasi apa yang paling

baik digunakan untuk pemetaan kerapatan vegetasi.

84

Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi pada Transformasi

Indeks Vegetasi (RVI, NDVI, TVI dan MSAVI)

No. Nilai

kepadatan No.sampel

Mean

RVI NDVI TVI MSAVI

1 80,81910 12.102 2,27517 0,38918 0,94295 1,11802

2 74,1056 12.105 2,07144 0,34839 0,92103 1,03023

3 80,4567 12.103 2,33847 0,39694 0,94673 1,13080

4 64,4096 12.106 1,67066 0,24926 0,86531 0,79236

5 64,8675 12.104 1,58824 0,22488 0,85100 0,72711

6 46,0538 6.23 1,32608 0,13751 0,79786 0,47482

7 77,1232 11.101 2,03903 0,34016 0,91642 1,01032

8 48,0733 11.100 1,13347 0,06195 0,74947 0,23010

9 64,1958 5.11 1,56779 0,22041 0,84866 0,71760

10 44,1485 5.12 1,28781 0,12274 0,78852 0,42794

11 80,0193 10.85 1,82625 0,33872 0,79887 0,78052

12 85,5468 10.86 2,36414 0,40522 0,95140 1,15028

13 70,463 10.87 1,71856 0,25968 0,87087 0,81382

14 71,1551 7.39 1,94951 0,32111 0,90605 0,96806

15 7,0147 6.25 0,81685 0,08970 0,08861 0,09474

16 5,1025 7.37 0,79704 -0,11671 0,61691 -0,54690

17 12,059 6.28 1,10782 0,05025 0,74152 0,18703

18 69,4891 8.85 1,44817 0,17892 0,82303 0,59366

19 70,6839 8.86 1,65648 0,24679 0,86412 0,78762

20 74,3647 9.57 2,03265 0,31568 0,71799 0,85990

21 70,0296 9.60 1,62611 0,20110 0,77520 0,66340

22 83,8225 9.58 2,51687 0,30368 0,83858 0,67055

23 77,9614 9.59 1,91680 0,31404 0,90221 0,95221

24 25,8889 6.18 1,35962 0,15190 0,80730 0,52342

25 30,9053 9.62 1,37546 0,15755 0,81079 0,54029

26 61,0428 9.61 1,72368 0,26531 0,87477 0,83482

27 46,9903 10.74 1,29106 0,10464 0,70376 0,21906

28 67,4126 10.73 1,63750 0,22960 0,85206 0,72148

29 71,7665 9.71 1,88435 0,30552 0,89738 1,03102

30 79,5260 10.79 1,98852 0,33026 0,91113 1,08948

Sumber : Pengolahan statistik citra tiap indeks vegetasi

5.3.1.1 Analisis Korelasi RVI dengan Kerapatan

RVI adalah salah satu model transformasi yang paling sederhana.

Berdasarkan analisis korelasi yang dilakukan antara RVI dengan nilai

kepadatan diperoleh korelasi sebesar

0,782. Gambar 4.8 adalah grafik

85

hubungan antara kerapatan di lapangan dengan transformasi RVI. Sumbu x

mewakili nilai kerapatan di lapangan sedangkan y adalah hasil transformasi

RVI. Nilai koefisien determinasi tersebut mendekati 1, artinya antara RVI

dengan kerapatan memiliki hubungan positif. Semakin besar atau semakin

mendekati 1 maka semkin rapat nilai kerapatan vegetasinya. Grafik hubungan

antara RVI dengan kerapatan dapat dilihat pada gambar 5.7 berikut.

Gambar 5.7 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan vegetasi

5.3.1.2 Analisis Korelasi NDVI dengan Kerapatan

Selanjutnya adalah NDVI. Indeks vegetasi ini paling umum digunakan

dalam berbagai penelitian yang berkaitan dengan vegetasi. Berdasarkan analisis

korelasi antara kedua parameter tersebut diperoleh korelasi sebesar 0,784. Nilai

koefisien korelasi tersebut paling tinggi jika dibandingkan dengan nilai

koefisien korelasi yang lain. Artinya variabel NDVI memiliki hubungan paling

kuat dengan nilai kerapatan vegetaasi. Nilai ini menunjukkan arah hubungan

positif, semakin tinggi indeks yang dihasilkan maka semakin tinggi pula

kerapatan vegetasinya. Gambar 5.8 menggambarkan hubungan antara NDVI

dan kerapatan. Sama halnya dengan transformasi indeks lain yang digunakan

dalam penelitian kali ini, ada beberapa point penting yang menjadi perhatian

terkait grafik hubungan dua variabel. Antara lain nilai kerapatan yang

tergambar pada sumbu x, nilai indeks pada sumbu y, sebaran sampel, dan garis

linear antara dua variabel terkait.

86

Gambar 5.8 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan vegetasi

5.3.1.3 Analisis Korelasi TVI dengan Kerapatan

TVI dikembangkan untuk menghilangkan nilai negatif pada NDVI. Dari

empat indeks vegetasi yang digunakan, TVI memiliki nilai korelasi paling

rendah dengan kerapatan vegetasi. Koefisien korelasi antara TVI dan kerapatan

adalah 0,489. Menurut Munir (2007) nilai tersebut memiliki tingkat hubungan

dengan kategori sedang. Pada Gambar 5.9 terlihat bahwa sebaran sampel

kerapatan untuk nilai TVI memiliki pola menyebar, sehingga garis linear yang

terbentuk kurang sempurna.

Gambar 5.9 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan vegetasi

87

5.3.1.4 Analisis Korelasi MSAVI dengan Kerapatan

Indeks terakhir yang digunakan untuk analisis kerapatan vegetasi adalah

MSAVI. Dengan melihat pada gambar 5.10 dapat diketahui bahwa koefisien

korelasi yang dihasilkan dari dua variabel tersebut adalah 0,75. Indeks yang

bernilai negatif (-) pada MSAVI menunjukkan tingkat hubungan yang paling

jauh. Semakin jauh letak sampel kerapatan pada rentang indeks yang digunakan

terhadap garis linearnya, menunjukkan sebaran data yang semakin tidak merata.

Gambar 5.10 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan vegetasi

Tabel 5.7 berikut merupakan tabel perbandingan koefisien korelasi yang

dihasilkan melalui analisis statistik nilai kerapatan dengan indeks vegetai yang

digunakan

Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan kerapatan

No.

Transformasi

indeks R

2

1 RVI 0,782

2 NDVI 0,784

3 TVI 0,489

4 MSAVI 0,750

Sumber: Analisis statistik citra

Nilai r pada tabel 4.7 adalah nilai korelasi dari masing-masing indeks

vegetasi yang digunakan. Koefisien korelasi terendah dihasilkan dari

transformasi TVI, meskipun sebenarnya transformasi TVI dirumuskan untuk

88

menghilangkan nilai negatif pada transformasi NDVI namun pada penelitian

kali ini justru koefisien korelasi dari kedua transformasi tersebut memiliki

selisih yang cukup jauh. Artinya, perubahan nilai indeks dari transformasi TVI

dan NDVI sangat berpengaruh pada perubahan statistiknya. Sedangkan untuk

transformasi RVI, NDVI, dan MSAVI selisih koefisien korelasinya tidak terlalu

jauh. RVI bekerja dengan baik pada topografi yang beragam seperti pada

daerah kajian, MSAVI menekan gangguan latar belakang tanah sedangkan

NDVI merupakan kombinasi yang paling baik untuk identifikasi keberadaan

vegetasi. Tidak heran mengapa ketiga jenis transformaasi tersebut

menghasilkan koefisien korelasi yang tinggi. Dari tabel tersebut dapat diketahui

bahwa korelasi paling tinggi ternyata pada transformasi NDVI sebesar 0,784.

Artinya, kerapatan vegetasi memiliki hubungan positif dan paling kuat pada

trasnformasi NDVI ketimbang jenis transformasi indeks lainnya. Jadi, untuk

pemetaan kerapatan vegetasi metode hibrida, transformasi yang digunakan

adalah transformasi NDVI dengan rumus fungsinya adalah Y= 0,004x – 0,045.

5.3.2 Formula Kerapatan Vegetasi untuk Interpretasi Hibrida

Indeks terpilih yang digunakan untuk penyusunan formula kerapatan

vegetasi adalah indeks yang memiliki koefisien korelasi tertinggi, dan indeks

tersebut adalah NDVI. Dari nilai NDVI inilah kemudian dibagi menjadi 5 kelas

kerapatan vegetasi yakni hutan sangat rapat, agak lebat/lebat, terbuka, jarang,

dan sedikit/tidak ada pohon. Tabel 5.8 merupakan formula kerapatan vegetasi

untuk interpretasi hibrida hasil tumpangsusun antara sampel kerapatan dengan

nilai rata-rata NDVI.

Nilai 0,276; 0,116 hingga -0,037 merupakan rentang nilai transformasi

NDVI yang dihasilkan dari persamaan regresi Y=0,004x – 0,045, dengan x

adalah nilai kerapatan vegetasi 2%, 10%, 40%, dan 80%. Setiap perbedaan

kerapatan vegetasi menunjukkan perbedaan kelas kerapatannya.

89

Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi

No Kelas Formula kerapatan vegetasi Kerapatan vegetasi

1 I NDVI≥0,276 Hutan sangat rapat

2 II NDVI≥0,116 AND NDVI≤0,275 Hutan agak lebat/lebat

3 III NDVI≥(-0,004) AND NDVI≤0,115 Terbuka

4 IV NDVI≥(-0,038) AND NDVI≤(-0,004) Jarang

5 V NDVI≤(-0,037)

Sedikit/tidak ada

pohon

Sumber : Pengolahan citra, 2013

Kelas I mewakili hutan sangat rapat dengan nilai indeks lebih besar

sama dengan dari 0,276. Kelas II hutan agak rapat/lebat berada pada rentang

nilai 0,116 sampai 0,275. Kelas III, IV, dan V berdasarkan formula kerapatan

vegetasi mulai terdapat indeks yang bernilai negatif dengan kerapatan berturut-

turut yakni terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Nilai negatif tersebut

sebagai akibat dari adanya objek non vegetasi yang berada di area hutan pada

wilayah kajian, seperti pemukiman, lahan kosong, maupun tubuh air.

5.3.3 Interpretasi Hibrida

Proses interpretasi hibrida dilakukan setelah setiap poligon satuan

pemetaan kerapatan vegetasi memiliki rata-rata nilai pada citra NDVI. Nilai

rata-rata tersebut akan digunakan untuk identifikasi tingkat kerapatan vegetasi

tiap poligon satuan pemetaan. Perolehan nilai rata-rata tiap satuan pemetaan

kerapatan vegetasi yakni dengan cara menumpangsusunkan poligon hasil

interpretasi visual dengan citra NDVI. Proses perhitungan nilai rata-rata

tersebut diperoleh dengan bantuan software pengolah data citra ENVI 4.5.

Setiap poligon yang telah ditumpangsusunkan dengan citra NDVI dilakukan

analisis statistik untuk memperoleh rata-rata nilai indeksnya. Setelah setiap

poligon memperoleh nilai rata-rata pada citra NVDI, maka formula kerapatan

vegetasi sudah bisa diterapkan.

90

Formula hibrida untuk kerapatan vegetasi yang telah diterapkan pada

masing-masing poligon satuan pemetaan otomatis menghasilkan poligon-

poligon dengan kelas kerapatan vegetasi tertentu. Hasil dari perhitungan

tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.

Kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida dikelompokkan ke dalam 5

kelas, antara lain hutan sangat lebat, agak lebat, terbuka, jarang, dan sedikit atau

tidak ada sama sekali. Tabel 5.9 berikut merupakan hasil interpretasi hibrida

untuk kerapatan vegetasi disertai luasannya.

Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida

No. Kelas kerapatan Persentase

Kerapatan Luas (ha)

1. Hutan sangat rapat > 80 % 1082,92

2. Agak lebat/lebat 40 – 80 % 2541,76

3. Terbuka 10 – 40 % 2062,32

4. Hutan jarang 2 – 10 % 201,04

5. Sedikit/tidak ada pohon < 2 % -

Dari 5 kelas tersebut, ternyata pada kelas sedikit/tidak ada sama sekali

jumlah luasan hutan adalah 0, ini artinya pada daerah kajian jumlah minimal

tegakan hutan diatas 2%. Peta di bawah ini adalah peta hasil interpretasi

hibrida.

91

92

5.4 Akurasi Interpretasi Hibrida

Uji akurasi interpretasi hibrida dilakukan dengan menumpangsusunkan

peta acuan hasil interpretasi visual resolusi tinggi dengan hasil peta dari

interpretasi hibrida. Peta hasil interpretasi visual citra resolusi tinggi dianggap

mewakili kondisi sebenarnya di lapangan sehingga peta ini dijadikan sebagai

sumber data referensi dalam uji akurasi interpretasi hibrida. Tehnik

tumpangsusun antara kedua peta ini dilakukan secara manual dengan sistem

grid, dan pembanding dilakukan grid demi grid. Ukuran grid yang digunakan

dalam uji akurasi ini 0,5 x 0,5 cm.

Hasil uji akurasi tersebut disajikan dalam tabel confusion matrix antar

grid pada tabel 5.10. Tabel 5.10 tersebut kelas kerapatan diwakilkan dengan

kelas 1, 2, 3, 4, dan 5. Kelas 1 dimulai dengan tingkat kerapatan paling tinggi,

dan seterusnya hingga kelas 5 tingkat kerapatan paling rendah. Kelas 1 (sangat

rapat/rapat), 2 (agak rapar/rapat), 3 (jarang), 4 (terbuka), dan 5 (sedikit/tidak

ada pohon).

Tabel 5.10 Uji akurasi interpretasi hibrida

HA

SIL

IN

TE

RP

RE

TA

SI

HIB

RID

A KELAS

KERAPATAN RESOLUSI TINGGI TOTAL

USER

ACC (%)

ERROR

COMISSION

(%) 1 2 3 4 5

1 407 39 13 1 0 460 88,48 11,52

2 75 1424 48 0 0 1547 92,05 7,95

3 0 45 1146 0 0 1191 96,22 3,78

4 0 10 3 140 0 153 91,50 8,50

5 0 0 0 0 0

TOTAL 482 1518 1210 141 3351

PRODUCER

ACC (%) 84,44 93,81 94,71 99,29

OVERALL

ACC (%) 93,02

ERROR

COMISSION

(%)

15,56 6,19 5,29 0,71

Perhitungan di atas memperlihatkan akurasi, baik akurasi pengguna

(user accuracy), akurasi penghasil (producer accuracy), maupun akurasi secara

keseluruhan (overall accuracy). Akurasi pengguna (user accuracy) pada kelas

93

kerapatan 1 sebesar 88,48 % yang berarti 88,48 % peluang grid yang

terklasifikasi secara tepat sebagai kelas 1 di lapangan. Sedangkan error

comission dari klasifikasi kelas 1 yakni 11,52 % yang artinya grid yang

terklasifikasi sebagai kelas 1 adalah bukan kelas 1 di lapangan. Nilai producer

accuracy pada kelas yang sama (kelas 1) adalah 84,44 %. Nilai ini berarti 84,44

% kelas 1 pada seluruh area riset diklasifikasikan secara benar sebagai kelas 1.

Sisanya merupakan error omission sebesar 15,56 % kelas 1 di lapangan yang

terklasifikasi bukan sebagai kelas tersebut.

Akurasi keseluruhan peta hasil interpretasi hibrida dihitung berdasarkan

jumlah grid yang terklasifikasi secara benar dibagi dengan jumlah seluruh grid

peta referensi. Hasilnya adalah 3117/3351 = 93,02 %. Adapun untuk penelitian

yang sama , seperti yang dilakukan oleh Gunawan tahun 2011 yang mengkaji

kerapatan kanopi hutan di Kabupaten Kulonprogo dengan interpretasi hibrida,

tingkat akurasi yang dihasilkan adalah 90,32 %. Selisih akurasi interpretasi

antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini menunjukkan bahwa hasil

interpretasi hibrida untuk objek yang sama pada daerah yang berbeda masih

lebih baik pada penelitian ini. Berdasarkan ketelitian yang dihasilkan oleh

interpretasi hibrida untuk pemetaan kerapatan tegakan vegetasi tersebut, nilai

akurasi 93,02 % termasuk ke dalam ketelitian tinggi menurut Campbell (2002)

dalam Suharyadi (2010). Artinya, interpretasi hibrida yang merupakan

kombinasi antara interpretasi visual dan digital untuk pemetaan kerapatan

vegetasi daerah kajian hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kajian lebih lanjut,

misalnya untuk analisis di bidang kehutanan.

Peta kerapatan vegetasi daerah kajian dengan metode interpretasi

hibrida di beberapa Kecamatan Kabupaten Gunungkidul setelah dilakukan cek

ketelitian interpretasi dapat dilihat pada Gambar 4.12 di bawah ini.

94

5.5 Karakteristik Kerapatan Vegetasi Daerah Kajian

Interpretasi hibrida kerapatan vegetasi hutan di Kabupaten Gunungkidul

dengan batasan wilayah BDH Playen, Paliyan, dan Panggang di Kecamatan

Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan

Kecamatan Wonosari diklasifikasikan ke dalam lima kelas kerapatan yang

mengacu pada Howard (1991), antara lain hutan sangat rapat, agak rapat/rapat,

terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Berdasarkan hasil interpretasi

tersebut dapat diketahui sebaran spasial serta pola kerapatan vegetasi hutan,

dimana sebagian besar daerah kajian ternyata di dominasi oleh hutan agak

lebat/lebat dengan tingkat kerapatan berkisar antara 40 – 80 %. Sedangkan

untuk kelas kerapatan sedikit/tidak ada pohon dengan persentase kerapatan < 2

% justru tidak ditemukan pada daerah kajian. Ini artinya, minimal persentase

kerapatan hutan adalah 2 %.

Informasi nilai kerapatan disajikan dengan gradasi warna hijau, mulai

dari hijau sangat tua hingga hijau sangat muda. Hijau sangat tua menunjukkan

tingkat kerapatan sangat tinggi, semakin muda warnanya semakin renggang

kerapatannya. Perbedaan kelas kerapatan dengan menggunakan gradasi warna

hijau ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan kelas kerapatan serta

menggambarkan sebaran pola spasialnya.

Kelas kerapatan sangat rapat/rapat tersebar di sisi utara dan selatan

daerah kajian dengan total luas 1.082,92 hektar. Berdasarkan dari pola

kerapatan kelas tersebut dapat diketahui bahwa aliran sungai sangat

berpengaruh terhadap sebaran vegetasi terutama vegetasi kelas kerapatan tinggi.

Terlihat di sisi utara daerah Kajian, hutan dengan kerapatan vegetasi kelas satu

memiliki pola yang linier mengikuti pola aliran Sungai Oyo. Sebagimana kita

ketahui bahwa sisi utara didominasi oleh bentukan lahan sturuktural dimana

jenis tanah dan batuan sebagian berumur tua dengan material sedimen yang

mendominasi. Kondisi inilah yang menjadikan tanah pada wilayah tersebut

subur. Sementara jenis tamanan pada kelas kerapatan sangat rapat/rapat di

95

dominasi oleh tanaman Jati (Tectona grandis) dan Kayu Putih (Eucalyptus

globulus) yang sebagain besar berada di kawasan hutan Wanagama yang

terletak di sisi utara daerah kajian dengan fungsi sebaagai hutan produksi.

Hasil interpretasi hibrida untuk kelas kerapatan antara 40-80% pada

daerah kajian memiliki luasan paling besar diantara kelas kerapatan lainnya,

yakni sekitar 43,17 % dari keseluruhan luas daerah kajian. Tersebar di sisi utara

dan menggerombol di sisi selatan daerah kajian. Berdasarkan hasil lapangan

menyebutkan bahwa tutupan kanopi vegetasi pada tipe kerapatan agak

lebat/lebat ini adalah hutan campuran, jati (Tectona grandis), kayu putih

(Eucalyptus globulus), mahoni (Swietenia macrophylla), dengan diselingi

semak belukar dan sebagian besar merupakan jenis Tahura (Tanaman Hutan

Rakyat). Sementara untuk kelas kerapatan terbuka antara 10-40 % mendominasi

bagian tengah daerah penelitian dengan 2.062,32 hektar. Sebagian besar tutupan

vegetasi pada tipe kerapatan ini adalah tegalan, kebun campuran, dan semak

belukar. Terdapat beberapa blok pemukiman terutama pada daerah yang berelif

datar, hal inilah yang menyebabkan tingkat kerapatan vegetasi cenderung

rendah. Terakhir adalah kelas kerapatan antara 2-10 % yang tergolong dalam

kelas kerapatan jarang. Presentasi kelas kerapatan ini paling sedikit

dibandingkan dengan tipe kerapatan lainnya, hanya sebesar 3,41 % dari total

keseluruhan daerah kajian. Dengan kondisi kerapatan 2-10%, ini berarti

sebagian besar penutup lahannya berupa lahan tidak bervegetasi atau hanya

berupa rerumputan dengan diselingi beberapa pohon, sehingga tanah akan

memberikan pantulan sangat besar ketimbang vegetasi. Hal ini dapat dilihat

pada citra hasil transformasi NDVI, daerah dengan kerapatan vegetasi rendah

memiliki rona/warna sangat gelap.

Perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan berkurang atau

bertambahnya tutupan kanopi vegetasi pada daerah kajian berdasarkan hasil

analisis citra selain karena jenis tanah maupun aspek fisik lainnya, ada indikasi

disebabkan karena musim dan pola panen/penebangan jenis pohon tertentu,

misalnya jati atau kayu putih. Musim sangat berpengaruh terhadap banyak

96

tidaknya tutupan vegetasi, hal ini disebabkan karena daerah kajian sebagian

besar berupa vegetasi meranggas dimana kharakteristik vegetasi ini akan

menggugurkan daunnya ketika musim kemarau dan bersemi kembali ketika

musim hujan. Kesalahan dalam proses lapangan dapat berakibat fatal, idealnya

lapangan dilakukan pada bulan yang sama dengan perekaman citra atau

minimal pada bulan dengan musim yang sama untuk meminimalisasi

kesalahan.

97

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan digital citra satelit

ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk pemetaan kerapatan kanopi

vegetasi dengan tingkat ketelitian tinggi, yakni 93,02%.

2. Dari beberapa indeks vegetasi yang digunakan antara lain RVI, NDVI,

TVI, dan MSAVI dalam proses interpretasi hibrida, ternyata yang

menunjukkan korelasi paling baik untuk kerapatan kanopi vegetasi

adalah transformasi NDVI dengan koefisien korelasi sebesar 0,784.

3. Kerapatan vegetasi pada daerah kajian didominasi oleh kerapatan agak

lebat/lebat (40-80%) dengan presentase kerapatan sebesar 43,12 % dan

luas 2541,76 ha. Jenis tanaman pada kelas tersebut antara lain , jati

(Tectona grandis), kayu putih (Eucalyptus globulus), mahoni (Swietenia

macrophylla) yang sebagain besar merupakan tipe hutan Tahura

(Tanaman Hutan Rakyat).

6.2 Saran

1. Tingkat akurasi interpretasi hibrida bisa jadi lebih baik lagi jika

memperhatikan waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan

sampel di lapangan, semakin mendekati dengan bulan perekaman citra

yang sama akan semakin baik khususnya untuk kawasan hutan

semusim.

2. Indeks vegetasi yang memiliki korelasi hampir sama dengan korelasi

yang dihasilkan oleh NDVI dapat pula digunakan untuk penyusunan

formula kerapatan kanopi vegetasi.

3. Managemen pengelolaan hutan yang baik tentunya membutuhkan

informasi mengenai kualitas dan kuantitas hutan itu sendiri termasuk

98

kondisi kerapatannya, sehingaa penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan oleh pemerintah agar semakin baik dalam

mengelola hutan.