bab i pendahuluan -...

23
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Kalimat pertama yang dilontarkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sesaat setelah diumumkannya keputusan PBB atas pengakuan kedaulatan Palestina pada 29 November 2012 silam adalah “Selama saya berkuasa, tak akan kubiarkan Negara Palestina berdiri sampai kapan pun.” 1 Pernyataan yang langsung diliput oleh semua media massa ini sontak membuat dunia internasional menyayangkan ucapan sang Perdana Menteri. Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak, ketegangan pun terjadi terutama bagi negara-negara Eropa Barat yang semula berada di sekeliling Israel, namun kini berbalik arah memihak Palestina. Istilah politik “Solusi Dua-Negara” atau disebut juga “Two-State Solution” sebenarnya merujuk pada dikeluarkannya Resolusi PBB No. 181 tahun 1947 tentang pemecahan Tanah Palestina menjadi dua bagian, yakni wilayah untuk bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Rencana pembagian ini sesuai dengan Mandat Britania Raya atas Tanah Palestina (1920-1948) yang dipercayakan oleh LBB ‘Liga Bangsa-bangsa’ untuk diadministrasikan pada masa setelah Perang Dunia I sebagai sebuah wilayah mandat setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Rencana pembagian disetujui oleh Majelis Umum PBB dengan perolehan suara 33 mendukung, 13 menolak, dan 10 abstain. Sejak saat itu, isu two- state solution untuk Israel-Palestina menjadi agenda utama PBB karena hingga hari ini kedua belah pihak masih bertikai atas keputusan yang dibuat 67 tahun silam. Ketidakpuasan datang dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui resolusi tersebut. Dimana sebesar 45% wilayah diperuntukkan bagi 70% total populasi bangsa Arab, sementara 55% wilayah lainnya diberikan pada bangsa Yahudi yang hanya memiliki 30% dari total populasi. Reaksi ini memicu pemberontakan dan mencapai puncaknya pada peristiwa Perang Enam Hari yang berlangsung tanggal 5-10 Juni 1967. Perang yang terjadi antara bangsa Arab-Israel ini dimenangkan oleh Israel dengan mengokupasi Jalur Gaza, Tepi Barat, Jerusalem Timur, Semenanjung Sinai, dan Dataran 1 E.Y. Kristanti, ‘Netanyahu: Negara Palestina Tak Akan Berdiri Selama Saya Berkuasa,’ mLiputan6 (daring), 17 Maret 2015, <http://m.liputan6.com >, diakses 29 Mei 2015.

Upload: vodung

Post on 08-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Kalimat pertama yang dilontarkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu,

sesaat setelah diumumkannya keputusan PBB atas pengakuan kedaulatan Palestina pada 29

November 2012 silam adalah “Selama saya berkuasa, tak akan kubiarkan Negara Palestina

berdiri sampai kapan pun.”1 Pernyataan yang langsung diliput oleh semua media massa ini

sontak membuat dunia internasional menyayangkan ucapan sang Perdana Menteri. Cerita

selanjutnya sudah bisa ditebak, ketegangan pun terjadi terutama bagi negara-negara Eropa

Barat yang semula berada di sekeliling Israel, namun kini berbalik arah memihak Palestina.

Istilah politik “Solusi Dua-Negara” atau disebut juga “Two-State Solution”

sebenarnya merujuk pada dikeluarkannya Resolusi PBB No. 181 tahun 1947 tentang

pemecahan Tanah Palestina menjadi dua bagian, yakni wilayah untuk bangsa Arab dan

bangsa Yahudi. Rencana pembagian ini sesuai dengan Mandat Britania Raya atas Tanah

Palestina (1920-1948) yang dipercayakan oleh LBB ‘Liga Bangsa-bangsa’ untuk

diadministrasikan pada masa setelah Perang Dunia I sebagai sebuah wilayah mandat setelah

runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Rencana pembagian disetujui oleh Majelis Umum PBB

dengan perolehan suara 33 mendukung, 13 menolak, dan 10 abstain. Sejak saat itu, isu two-

state solution untuk Israel-Palestina menjadi agenda utama PBB karena hingga hari ini kedua

belah pihak masih bertikai atas keputusan yang dibuat 67 tahun silam.

Ketidakpuasan datang dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui

resolusi tersebut. Dimana sebesar 45% wilayah diperuntukkan bagi 70% total populasi

bangsa Arab, sementara 55% wilayah lainnya diberikan pada bangsa Yahudi yang hanya

memiliki 30% dari total populasi. Reaksi ini memicu pemberontakan dan mencapai

puncaknya pada peristiwa Perang Enam Hari yang berlangsung tanggal 5-10 Juni 1967.

Perang yang terjadi antara bangsa Arab-Israel ini dimenangkan oleh Israel dengan

mengokupasi Jalur Gaza, Tepi Barat, Jerusalem Timur, Semenanjung Sinai, dan Dataran

1 E.Y. Kristanti, ‘Netanyahu: Negara Palestina Tak Akan Berdiri Selama Saya Berkuasa,’ mLiputan6 (daring), 17

Maret 2015, <http://m.liputan6.com>, diakses 29 Mei 2015.

2

Tinggi Golan. Melalui berbagai perundingan dan perjanjian, Israel akhirnya sepakat

mengembalikan Semenanjung Sinai ke pangkuan Mesir. Status Dataran Tinggi Golan

sekarang lebih cenderung kearah penyelesaian internasional terkait pertumbuhan ISIS yang

semakin intens disana, dan sejak 2005 Israel sudah menarik mundur pasukannya ‘IDF’ dari

Jalur Gaza. Sedangkan tiga wilayah lainnya tetap dibawah otoritas Israel sampai hari ini.

Selama lebih dari 60 tahun, upaya menciptakan two-state solution untuk Israel-Palestina

dilakukan melalui beragam perundingan perdamaian. Mulai dari Perjanjian Camp David I/II

(1978/2000), Konferensi Madrid (1991), Perjanjian Oslo I/II (1993/1995), Protokol Hebron

(1997), Perjanjian Wye River I/II (1998/1999), hingga Resolusi Dewan Keamanan PBB No.

242 dan 338.2 Meski dalam rentang pelaksanaannya tidak pernah absen dari pemberontakan

dan perang (Intifada’ I dan II).

Dinamika perdamaian di Timur Tengah sempat menunjukkan kemajuan pada masa

pemerintahan kedua PM Yitzhak Rabin (1992), dengan ditandatanganinya Perjanjian Oslo I

(1993). Hal ini penting karena bukan berarti perdana menteri yang lain tidak pernah

melakukan perundingan, hanya kebanyakan perundingan tersebut akhirnya gagal dan

perjanjian akhirnya dilanggar. Sedangkan Rabin adalah sosok yang menginginkan

perdamaian, terbukti dengan sikapnya yang menaati perjanjian, meski ia tahu tidak akan

mudah mengembalikan wilayah okupasi. Rumusan kedaulatan Palestina sesungguhnya sudah

tercantum dalam Perjanjian Oslo, yaitu adanya kesepakatan saling mengakui eksistensi

bangsa dan negara masing-masing.3 Dengan asumsi bahwa tanpa adanya saling pengakuan,

tentu kesepakatan menjadi kurang berarti. Baru selanjutnya rangkaian jadwal rencana

penyelesaian damai Israel-Palestina dapat dimulai. Menurut pandangan Yitzhak Rabin,

2 Resolusi DK PBB No.242 (22/11/1967); berisi tentang ketentuan penarikan mundur pasukan Israel dari

seluruh wilayah aneksasi dalam Perang Enam Hari 1967. Resolusi DK PBB No.338 (22/10/1973); berisi tentang tuntutan gencatan senjata di Perang Yom Kippur. (Data terlampir) 3 Sesuai dengan isi surat tanpa kepala yang dikirimkan oleh masing-masing kepala negara dan ditandatangani

keduanya pada 9&10 September 1993. Isi surat Yasser Arafat; “In firm conviction thereof, I would like to confirm the following PLO commitments: The PLO recognizes the right of the State of Israel to exist in peace and security” (Text of Letters Exchanged between Israel and the PLO on Mutual Recognition, 9 September 1993, dalam Palestine Documents, p. 513.) Isi surat Yitzhak Rabin; “Mr. Chairman, in response to your letter of 9 September 1993, I wish to confirm to you that, in light of the PLO commitments included in your letter, the Goverment of Israel has dicided to recognize the PLO as the representatives of the Palestinian People and commence negotiations with the PLO within the Middle East Peace Process” (Letter from Yitzhak Rabin to Yasser Arafat, 10 September 1993, dalam Palestine Documents, pp. 514-515.) Seperti dikutip dalam disertasi Ibnu Burdah, ‘Hambatan Kelompok Messianis terhadap Proses Perdamaian Israel-Palestina 1990-2000’, UGM: 2007, p. 106.

3

sikapnya tidaklah lunak, melainkan sikap pragmatis yang memang dibutuhkan untuk masa

depan Israel.

Benjamin Netanyahu mengawali periode pertamanya sebagai perdana menteri pada

1996-1999. Kemudian berlanjut periode kedua dan seterusnya berturut-turut mulai 2009

hingga sekarang. Sejak awal karirnya ia sudah menunjukkan pola kebijakan garis keras

dengan membatalkan semua isi Perjanjian Oslo yang sengaja dibuat sebagai peta perdamaian

kedua negara. Sikap kerasnya ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sikap serupa dari

politik Hamas Palestina, sehingga timbul perasaan was-was akan ancaman keamanan negara.

Saat tidak menjabat sebagai perdana menteri pun, Bibi panggilan akrab Benjamin, masih

berpolitik dalam Knesset (parlemen Israel) dengan posisi Menteri Luar Negeri, Menteri

Keuangan, Pemimpin Oposisi, dan Ketua Partai Likud, secara bergantian antara tahun 2002-

2008.

Selama melaksanakan kebijakan politik luar negerinya, Israel masih mengantongi

banyak dukungan negara-negara anggota PBB. Situasi di forum internasional tersebut

berbalik 180 derajat, tepatnya setelah Israel menggelar ‘Operation Cast Lead’ atau Perang

Gaza di tahun 2008-2009. Karena tindakannya tersebut, Israel mendapat ancaman tuntutan

kejahatan kemanusiaan atas pelanggaran HAM yang diajukan PLO ‘Palestinian Liberty

Organization’ (yang diketuai Mahmoud Abbas), ke meja Mahkamah Pidana Internasional

atau ICC. Pada perang tersebut, Israel dituduh telah melakukan genosida menghilangkan

ribuan nyawa warga sipil Palestina lewat penembakan bom fosfor putih yang digunakan

sebagai senjata. Isu ini merebak sangat cepat dan terbilang cukup mudah untuk merubah

kawan menjadi lawan. Hal-hal yang menyebabkan beralihnya dukungan negara-negara

anggota PBB menjadi berpihak pada Palestina juga patut disoroti disamping pernyataan keras

penolakan yang dikeluarkan oleh PM Benjamin Netanyahu. Memasuki milenium baru, dunia

internasional lebih memusatkan perhatian pada penghargaan tentang hak asasi manusia dan

isu-isu lingkungan. Sehingga segala tindakan yang mengindikasikan hilangnya nyawa orang

lain atau membatasi hak dasar manusia untuk menentukan nasib sendiri akan dinilai

melanggar norma hak asasi manusia. Begitu juga dengan segala tindakan eksploitasi alam

tanpa memikirkan dampak buruk yang mungkin terjadi juga akan dinilai melanggar norma

lingkungan.

Kata kunci yang dapat kita gunakan untuk melihat fenomena perubahan sikap negara-

negara anggota PBB terkait konflik Israel-Palestina adalah peran “norma” yang wilayah

operasinya berpengaruh internasional. Yakni pengertiannya yang sudah disepakati secara

universal. Bahasan tentang hak asasi manusia secara umum sesungguhnya sudah eksplisit

4

tertulis dalam Pasal tiga Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB; 10

Desember 1948 – yang menyatakan, “Everyone has the right to life, liberty and security of

person”.4 Diterimanya DUHAM secara luas telah memperkuat posisinya sebagai hukum

kebiasaan internasional (customary international law), dan ketentuannya bersifat mengikat

negara-negara di dunia sebagai norma. Namun baru selepas perang dingin, tepatnya di

pertengahan tahun 2000an, isu ini mulai ramai lagi diperbincangkan untuk kemudian

diperjuangkan. Negara-negara Skandinavia-lah yang menjadi pelopor gerakan perdamaian,

karena memang banyak perjanjian perdamaian yang digagas dan ditandatangani di negara ini

sebelumnya. Artinya, norma internasional tentang HAM adalah yang menjadi alasan

keberpihakan Benua Biru tersebut ke sisi Palestina. Karena mereka menilai konflik Israel-

Palestina yang tak kunjung selesai dan telah memakan banyak korban jiwa akibat perang,

seharusnya sudah hilang dari muka bumi ini. Menegaskan kembali bahwa segala bentuk

penindasan di atas dunia tidak lagi relevan digunakan untuk memperoleh kekuasaan, dan hak

menentukan nasib sendiri (self-determination) dianggap sesuai dengan semangat yang

didengungkan oleh HAM. Oleh karena itu, kesempatan ini menjadi momentum untuk

merubah nasib bangsa Palestina.

Keputusan Sidang Umum PBB tanggal 29 November 2012, membawa angin segar

bagi kemajuan perjuangan Palestina menuju kemerdekaan. Voting yang dilakukan pada 193

negara anggota menghasilkan 138 suara dukungan untuk pengakuan kedaulatan Palestina.

Selebihnya, sembilan negara menyatakan tidak setuju, termasuk diantaranya AS, Kanada, dan

Israel. Dan sisanya sebanyak 41 negara abstain dalam voting tersebut. Dengan adanya

pengakuan ini, Palestina resmi menjadi ‘Negara Pengamat Non-Anggota’ di PBB.

Peningkatan status Palestina membuka kesempatan untuk bergabung di badan-badan resmi

PBB. Pemilihan tanggal itu pun bukan suatu kebetulan. Karena tepat 65 tahun yang lalu,

Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 181 dengan memecah tanah Arab menjadi dua

bagian, namun tidak terwujud dan hanya menjadi akta kelahiran bagi negara Israel. Pada

tahun 2012, PBB baru menyelesaikan keputusan yang tertunda tersebut dengan mengeluarkan

akta kelahiran negara Palestina.5

Disisi lain, ini adalah kekalahan diplomatik memalukan bagi AS dan Israel. Meskipun

Palestina telah diakui kedaulatannya oleh PBB dan dunia, Israel tetap tidak menerima

keputusan tersebut. Negara Yahudi ini tetap akan menduduki wilayah Palestina yang

4 United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (daring), 10 December 1948,

<http://www.un.org/en/documents/udhr/>, diakses 10 September 2015. 5 Pernyataan Abbas seperti dimuat BBC., ‘29 November, Tanggal Keramat Israel Direbut Palestina’, mLiputan6

(daring), 2012, <http://m.liputan6.com>, diakses 29 Maret 2015.

5

diokupasi sejak 1967 tersebut, dan terus melangsungkan aktifitas pembangunan lebih dari

3000 permukiman Yahudi di kantong-kantong wilayah yang sudah ditetapkan pihak

internasional sebagai self-determination bangsa Palestina. Langkah sepihak ini diputuskan

oleh Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dan delapan menteri kabinet senior.

Rencana pendudukan yang diberi nama program E-1 ini akan dilakukan di wilayah Tepi

Barat dan Jerusalem Timur. Tindakan Bibi dengan menolak kedaulatan dan terus

menganeksasi wilayah Palestina terbilang sangat beresiko. Gedung Putih bahkan berkali-kali

memeringatkan Israel untuk tidak menjalankan program E-1-nya. Sebab selain akan

memotong wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur, pendudukan itu juga akan

mempermalukan AS sebagai sekutu yang sudah berulang kali menginisiasi perundingan

damai kedua negara. Terlebih lagi program E-1 akan menutup jalan solusi antar dua negara.

Dengan kata lain, peta jalan damai yang sudah dilakukan selama ini akan sia-sia.

Benjamin Netanyahu memasuki arena politik Israel sebagai seseorang dalam

kelompok neokonservatif. Neokonservatisme adalah sebuah kelompok “sayap kanan” yang

mengusung ide politik berdasarkan pada privatisasi, liberalisasi, penghapusan peran

pemerintah di sektor publik, dan kebijakan politik luar negeri “garis keras”. Untuk melacak

pengaruh neokonservatisme dalam keputusan kebijakan politik Israel adalah dengan

mengidentifikasi sumber kuasa, dimana paradigma politik baru didasarkan pada ajaran atau

prinsip yang kemudian berhasil menumbuhkan keyakinan masyarakat.6 Kebangkitan

neokonservatisme di Israel adalah dampak dari gagalnya peace-process tahun 2000 dan

putusnya hubungan dari dua isu sebelumnya; peace-making dan liberalisasi. Oleh sebab itu,

setiap tindakan negosiasi dengan Palestina akan dianggap melemahkan bahkan memecah

konsensus yang telah ada dan dapat mengancam posisi neokonservatif di arena perpolitikan

Israel. Politik inilah yang dijalankan Netanyahu sejak kembali terpilih sebagai Perdana

Menteri pada 2009 hingga saat ini, 2015.

Sikap keras kepala Bibi tidak jelas akan menguntungkan siapa. Karena negara besar

yang berpihak pada Israel kini hanya tersisa AS dan Kanada saja. Boleh jadi rasa optimisme

Bibi tinggi dengan adanya dukungan AS, meski di sisi lain pemerintah AS merasa masalah

ini seharusnya diselesaikan secara damai. Berubahnya haluan negara-negara Eropa Barat

memihak Palestina menjadi pukulan telak bagi Israel, Bibi menganggapnya sebagai

pengkhianatan. Situasi politik internasional juga sudah jauh berbeda jika dibandingkan pada

tahun 1990-an. Norma perang dan penjajahan sudah bergeser menjadi norma perdamaian dan

6 G.B. Porat, ‘Netanyahu's Second Coming: A Neoconservative Policy Paradigm?,’ Israel Studies, Vol. 10, No. 3,

The Right in Israel (Fall, 2005), pp. 225-245.

6

hak asasi manusia. Di tengah tekanan dunia internasional yang seperti itulah akhirnya

menimbulkan pertanyaan, mengapa Israel bisa bertahan dengan keputusan sepihaknya dan

sampai kapan. Jawaban termudah bisa dianggap karena kehadiran Amerika Serikat sebagai

negara adidaya dan salah satu negara pemegang hak veto di PBB, yang akan selalu berada di

sisi Israel, sehingga tekanan dan kecaman yang datang dari dunia internasional lantas tidak

membuat Bibi memperlunak kebijakannya. Tetapi justru frontal menyatakan perlawanan dan

siap bertempur. Namun disamping itu, sejarah juga merekam jika hubungan AS-Israel

ternyata tidak selamanya harmonis seperti yang awam pikirkan.

Berangkat dari latar belakang diatas, peneliti merasa perlu menganalisis sebab-sebab

pilihan rasional Bibi menolak Resolusi 67 ditengah posisi Israel di forum dan iklim dunia

internasional yang tidak mendukung. Cita-cita Israel untuk mendirikan sebuah negara Yahudi

di seluruh wilayah Palestina terbukti mampu membangkitkan gerakan Zionis ratusan tahun

silam. Idealisme tersebut cenderung masih bisa diterapkan bagi kelompok

mesianis/masyarakat yang konservatif. Namun seiring dengan perkembangan zaman,

idealisme bukanlah satu-satunya alasan yang mendasari keputusan seorang aktor rasional

seperti Benjamin Netanyahu. Terdapat kepentingan politik di sana-sini dan kalkulasi untung-

rugi yang turut diperhitungkan. Alternatif alasan tersebut yang nantinya akan peneliti

kemukakan melalui analisis penelitian kualitatif yang bersudut pandang teori permainan zero-

sum (zero-sum game theory), dimana akan merefleksikan pilihan rasional kebijakan politik

sang agen/aktor pembuat keputusan. Bagi dunia internasional abad ini, idealisme hanyalah

faktor penunjang, dan tidak bisa lagi dijadikan pembenaran untuk menghalang-halangi hak

menentukan nasib sendiri suatu bangsa. Penelitian ini akan menyajikan analisis tentang

rasionalitas keputusan agen/aktor dalam menolak resolusi. Pilihan rasional yang kemudian

disebut sebagai strategi memenangkan permainan zero-sum, merupakan sebuah strategi

pertarungan menang-kalah agen-agen rasional melalui perhitungan matematika sederhana

optimalisasi payoff (ganjaran tertinggi/keuntungan terbesar) di panggung konflik politik

hubungan internasional.

I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

“Mengapa PM Israel Benyamin Netanyahu menolak mematuhi Resolusi 67 berikut status

kedaulatan Palestina yang dikeluarkan PBB tanggal 29 November 2012 ?”

7

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi latar belakang keputusan rasional Benjamin

Netanyahu menolak Resolusi 67 ditengah posisi dan iklim dunia internasional yang tidak

mendukung bagi Israel. Analisis dalam penelitian ini nantinya digunakan untuk memahami

kebijakan dan perilaku politik Sang Perdana Menteri sebagai strategi mempertahankan

eksistensi serta bagaimana solusi dua-negara antara Isrel-Palestina seharusnya dilakukan.

I.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memberikan alternatif analisis dari sudut pandang Israel, sebagai upaya

mengimbangi banyaknya penelitian yang umumnya memojokkan posisi Israel atas kebijakan

politiknya di dunia internasional, khususnya yang menyangkut konfliknya dengan Palestina.

Peneliti menyadari bahwa lebih mudah memberi pembelaan kepada pihak yang secara

eksplisit tertindas (Palestina), daripada mencari pembenaran atas perilaku agresif yang

dilakukan Israel. Namun, justru kontradiksi ini memicu peneliti untuk menyajikan gambaran

perilaku Israel yang tidak patut sepenuhnya dipersalahkan atas semua kejadian yang

menimpa Palestina.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan dan

pemahaman yang cukup baik terhadap sebagian persoalan yang sesungguhnya terjadi antara

Israel-Palestina, dan dapat dijadikan bahan pertimbangan serta saran untuk mengedukasi

masyarakat Indonesia dalam merespon dan menentukan sikap yang tepat, arif, dan berwibawa

terhadap persoalan tersebut – baik pada level individu maupun kelompok sesuai dengan

prinsip, keyakinan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

I.5. TINJAUAN PUSTAKA

Peninjau buku, Leslie Wagner mengemukakan asumsinya terhadap argumen tentang

“rights to Israel” adalah sebuah zero-sum game.7 Yakni bila satu pihak mendapatkan, maka

pihak lain akan kehilangan. Filosofi ini yang umumnya berlaku bagi kedua pihak yang

bertikai. Ia juga menyebutkan ketidakcocokan judul dan isi buku yang ditinjaunya. Alex

7 L. Wagner, ‘Rights as a Zero-Sum Game,’ Jewish Political Studies Review, Vol. 22, No. 3/4 (Fall 2010), pp. 135-

137.

8

Grobman memberi bukunya judul ‘The Palestinian Right to Israel’, namun isinya cenderung

membahas “Jewish rights to Israel”. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah adanya

keyakinan bahwa klaim Yahudi akan sejarah dan tanah yang dijanjikan sangat luar biasa,

sehingga kasus Palestina dianggap tidak lebih layak menerima pengujian yang serius.

Menelusuri jejak konflik Israel-Palestina tidak cukup hanya melihat dari situasi yang terjadi

beberapa tahun saja, tetapi harus melakukan kilas balik paling tidak seratus tahun ke

belakang. Pengalaman masa lalu yang menyusun narasi sejarah panjang, sehingga

menghadirkan kekinian yang dapat kita saksikan hari ini.

Runtuhnya kekaisaran Ottoman pada PD I waktu itu (1914-1918) dapat dikatakan

sebagai titik tolak nasib Tanah Arab. Keluar sebagai negara pemenang perang, Britania Raya

mendapat mandat menentukan masa depan wilayah bekas kekuasaan Ottoman tersebut.

Deklarasi Balfour (1917) adalah yang pertama kali menyatakan bahwa sebagian Tanah Arab

diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Sikap keberatan muncul dari negara Arab lainnya yang

menganggap bahwa Palestina bukanlah entitas yang terpisah dan bisa diberikan kepada siapa

saja, melainkan merupakan bagian dari wilayah selatan Suriah. Meski perbandingan populasi

penduduk Arab dan Yahudi di Palestina 40:1, hal ini tidak mengubah apapun dalam Deklarasi

Balfour. Hingga setelah PD II berakhir, PBB mengeluarkan Resolusi 181 tentang partisi

wilayah Tanah Arab, dan negara Israel kemudian resmi berdiri. Fenomena yang terlihat sejak

saat itu adalah resistensi bangsa Arab terhadap meningkatnya migrasi Yahudi ke Israel

(gerakan zionis). Kenyataan ini turut meningkatkan tindak kekerasan yang berujung pada

kekacauan (perang). Okupasi Israel atas wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur

pada peristiwa Perang Enam Hari (1967) menjadi akar rentetan konflik selama 48 tahun

terakhir, dengan Palestina yang berusaha merebut kembali ketiga wilayah tersebut.

Alex Grobman menyatakan bahwa narasi historis sengketa Tanah Arab

menghantarkan pada dua isu fundamental, yakni; hak untuk Israel dan ikatan abadi antara

Yahudi dengan tanah Israel itu sendiri.8 Selama ini bangsa Arab tidak pernah menerima

kehadiran Yahudi di Timur Tengah. Penyerangannya kepada Israel adalah bentuk

pengingkaran terhadap eksistensi sejarah Yahudi yang mengaitkan zionisme dengan rasisme.

Menilik kembali pembagian wilayah dan proses perdamaian, Grobman mengontraskan upaya

Yahudi dalam berkompromi dengan kekerasan pendirian bangsa Arab adalah sebagai berikut;

“The Arab/Israel conflict is about Israel’s rights to exist, not the size of the Jewish state.”9

8 A. Grobman, ‘The Palestinian Rights to Israel’. Balfour Books, 2010, p. 326.

9 Grobman, p.326.

9

Berdasarkan uraian di atas, peneliti sepakat dengan Wagner atas asumsi zero-sum

game pada pengamatan kasus Israel-Palestina. Bila Grobman mengatakan bahwa konflik ini

hanya tentang Israel yang berupaya menunjukkan eksistensinya, maka hal tersebut hanya bisa

dicapai dengan kekuasaan. Atau lebih tepatnya menunjukkan eksistensi melalui penguasaan

wilayah. Ukuran luas negara memang bukanlah satu-satunya indikator, namun

mempertahankan ukuran yang telah dimiliki sebelumnya menjadi sangat penting dan

menentukan kredibilitas. Sehingga ketika satu pihak harus kehilangan, maka

perbandingannya lurus dengan ia kehilangan eksistensinya. Dalam pertarungan satu lawan

satu seperti ini, pemenang mendapatkan sejumlah sama dari kehilangan pihak yang kalah

(zero-sum game). Hal ini sesuai dengan perhitungan matematika sederhana dan kenyataan

bahwa tanah (land) tidak tumbuh/berkembang biak.

Sejalan dengan ide diatas, Gideon Doron dan Rebeca Kook dari Universitas Tel Aviv

menyatakan bahwa permainan zero-sum sudah dimulai sejak kedatangan pertama kaum

Zionis Yahudi.10

Sebuah permainan yang memberikan solusi keuntungan hanya pada satu

pihak saja. Oleh karenanya, potensi ketidakstabilan akan selalu mewarnai keadaan dan titik

keseimbangan (ekuilibrium) sementara merupakan hal terbaik yang bisa dicapai. Inti

permainan dalam konteks ini adalah terkait masalah teritori. Kepuasan pada level konflik ini

melibatkan jaminan hak dasar individual dengan mengabaikan batas-batas teritori yang ada,

untuk kemudian mendefinisikan ulang pengertian hubungan antara hak individu dan hak

kolektif. Bagi Yahudi, wilayah sengketa adalah ‘Eretz Israel’ (Tanah Israel). Sedangkan bagi

bangsa Arab, wilayah tersebut adalah Tanah Palestina.

Dalam tulisannya yang dirilis tahun 2001, Doron dan Kook sempat menyebutkan

bahwa kebangkitan masyarakat sipil Palestina terkait Tepi Barat dan jalur Gaza pada

Desember 1987 telah mengubah karakter konflik menjadi ‘negative-sum game’. Dimana

dalam permainannya tidak ada pemenang, karena sebenarnya semua pihak kalah.11

Namun

selang puluhan tahun berlalu, dengan kenyataan masih terdapat dominasi atas sengketa

wilayah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa konflik Israel-Palestina lebih relevan

dikatakan sebagai sebuah ‘zero-sum game’.

10 S.A. Nagel, ‘Resolving International Disputes Through Super-optimum Solutions; Chap 8,’ Nova Science

Publisher Inc., 2001, p. 101. 11

Nagel, p. 102.

10

I.6. KERANGKA TEORITIS

I.6.1. Model Aktor Rasional

Rational Actor Model (RAM) digunakan untuk memahami keputusan yang diambil

oleh negara-bangsa, organisasi, atau sosok penting dalam suatu negara. Konsep ini

menggunakan bentuk dasar investigasi dimana seseorang yang terlibat adalah karakter

rasional. RAM menghasilkan berbagai asumsi untuk menghantarkan ke kemungkinan

penjelasan dari aksi aktor tersebut. Setiap asumsi yang dijelaskan merupakan sebuah aksi dan

perilaku yang merefleksikan niat dan tujuan. Setiap asumsi dimana aksi tersebut dipilih

merupakan perhitungan solusi terhadap suatu masalah strategis. Penjelasan terdiri dari apa

yang nampak dari tujuan yang hendak dicapai dan bagaimana tindakan yang diambil menjadi

plihan rasional untuk dilakukan. Asumsi-asumsi inilah kunci dari RAM, yang menilai

aktornya secara rasional.

Model ini hanya merujuk pada aktor yang memegang kendali suatu negara sebagai

dasar teorinya. Dengan tidak melibatkan peran dari organisasi atau permainan politik negara

dalam pembuatan keputusannya. Model ini hanya mensyaratkan peran pemimpin. Pemimpin

yang kemudian menguji keputusan yang ia ambil dan mengasumsikan keputusan itu rasional.

Dasar keputusannya adalah asumsi perilaku rasional – bukan hanya perilaku yang cerdas,

tetapi perilaku yang dimotivasi oleh perhitungan secara sadar akan untung-rugi, perhitungan

yang berbalik ke dasar yang jelas dan secara internal konsisten pada sistem nilai. Melalui

definisi rasionalitas pemimpin, akan lebih mudah menjelaskan langkah-langkah selanjutnya

yang dibuat oleh si pemimpin. Berikut empat konsep kunci yang digunakan dalam RAM,

antara lain; (1)Cita-cita dan tujuan negara, (2)Alternatif yang ada, (3)Konsekuensi, dan

(4)Pilihan yang dibuat oleh negara. Dengan empat konsep ini, kita dapat menganalisis alasan

pemimpin negara dalam pembuatan keputusan menggunakan RAM.12

Pada kasus Kedaulatan Palestina oleh PBB yang ditentang oleh Israel, konsep kunci

RAM berguna untuk menentukan sebab dan akibat dari “penolakan” dengan melihat pada

pemimpin negara Israel yang mengeluarkan keputusan tersebut. Ketika PBB meresmikan

Kedaulatan Palestina, kala itu Israel dipimpin oleh Benyamin Netanyahu. Saat Netanyahu

mendengar Mahmoed Abbas, Presiden Palestina, gencar mencari dukungan dan berhasil

meyakinkan PBB untuk memberi Palestina kedaulatan, Bibi tahu bahwa Abbas sedang

menantang cita-cita dan tujuan Israel terhadap Palestina.

12 E. Swanson, ‘The Rational Actor Model,’ dalam Zelikow, P (eds), ‘Essence of Decision,’ Longman, New York,

1999.

11

Konsep pertama RAM adalah menentukan cita-cita dan tujuan suatu negara. Cita-cita

Bibi adalah menguasai seluruh tanah Palestina dengan memperluas kantong-kantong

permukiman Yahudi di wilayah okupasi. Bibi berusaha keras untuk mengagalkan upaya

Palestina untuk merdeka dan memperoleh kedaulatan. Oleh karena ancaman ini, Abbas

berusaha keras melobi seluruh anggota PBB dan membuat mereka menandatangani

referendum tentang kedaulatan Palestina, agar tidak kehilangan lebih banyak lagi wilayah

yang dianeksasi Israel. Negara anggota PBB merespon dengan merubah arah keberpihakan

mereka ke Palestina, sebagian memilih abstain dan banyak yang meninggalkan Israel. Dari

193 negara anggota PBB, didapat 138 negara yang menyetujui pengakuan kedaulatan bagi

bangsa Palestina. Suara dari negara-negara ini atau boleh peneliti katakan aliansi yang

kemudian menentukan keputusan PBB atas pengakuan kedaulatan Palestina, secara langsung

menantang cita-cita Israel sebagai negara yang berkonflik dengan Palestina. Dan sebuah

tantangan mengakibatkan respon.

Merespon keputusan PBB tersebut, Bibi memiliki dua pilihan/alternatif utama

(konsep kedua RAM). Pertama, ia tidak melakukan apa-apa. Israel, entah sampai kapan akan

menerima keputusan itu. Mematuhi apa yang disyaratkan PBB, termasuk menghentikan

perluasan permukiman. Kedua, menolak dan memberi tekanan diplomatis kepada PBB,

dengan menegaskan isu terorisme yang semakin besar di kawasan Timur Tengah yang

berusaha diperangi oleh PBB. Karena memberi kedaulatan di wilayah tersebut sama saja

dengan membuat kuasa teroris semakin besar. Alternatif kedua telah jelas diambil Bibi dalam

menyikapi keputusan PBB. Sikap penolakan tersebut dibarengi dengan tindakan tetap

memasang pasukan militernya di daerah konflik dan membangun permukiman.

Konsep ketiga RAM adalah mendiskusikan konsekuensi dari alternatif tersebut. Atau

lebih tepatnya mendiskusikan alasan-alasan dari alternatif yang dipilih. Dari sini akan

dijelaskan mengenai pertimbangan untung-rugi dari pilihan alasan yang ada. Menentang

kedaulatan Palestina tidak hanya karena alasan kekuasaan atas tanah Arab, banyak

kemungkinan faktor yang melatarbelakangi Bibi (sebagai aktor) atas tindakan yang

dilakukannya. Kemudian keempat, mendiskusikan pilihan yang dibuat oleh negara. Dalam

hal ini menekankan pada analisis alasan Bibi (sebagai pihak Israel) yang berpengaruh paling

besar terhadap reaksi (tindakan) penolakan tersebut. Yakni pemilihan alasan paling rasional

dari alternatif alasan yang ada beserta analisisnya.

Penjelasan dari beberapa paragraf diatas akan membantu peneliti menjawab

pertanyaan tentang mengapa Netanyahu membuat keputusan (penolakan/tidak memtuhi)

tersebut. Bagaimana RAM membantu menganalisis dan menemukan alasan sebuah keputusan

12

dibuat? Secara sistematis melalui empat konsep yang ditawarkan, RAM menjadi konsep dan

model yang cocok untuk menganalisis alasan dari beberapa pilihan alasan yang ada. Untuk

kemudian membuat peneliti memahami sepenuhnya bahwa terjadinya suatu peristiwa tidak

lantas tanpa sebab, tetapi dengan menguji karakter rasional yang mempengaruhinya.

I.6.2. Teori Permainan ‘zero-sum game’

Teori permainan (game theory) merupakan studi formal tentang pengambilan

keputusan (decision making), dimana pemain-pemainnya (yang biasa disebut agen) harus

membuat keputusan yang berpotensi memengaruhi keputusan pemain yang lain. Konsep

teoritis permainan diaplikasikan saat aksi agen-agen tersebut saling bergantung satu sama

lain. Pendekatan pengambilan keputusan berdasar pada asumsi dari rasionalitas aktor dalam

situasi kompetisi. Masing-masing aktor akan mencoba untuk memaksimalkan keuntungan

dan meminimalkan kerugian di bawah kondisi ketidakpastian dan ketidaksempurnaan

informasi. Kondisi tersebut menuntut tiap aktor mengurutkan peringkat berdasarkan

kecenderungan keinginan (preferences), perkiraan peluang, dan mencoba untuk mengenali

apa yang aktor lain akan lakukan.13

Teori permainan pertama kali diperkenalkan melalui analisis studi duopoli dari

Antoine Cournot pada 1838. Kemudian seorang matematikawan Perancis, Emile Borel

mengemukakan kembali teori ini pada 1921, dan dikembangkan lebih lanjut oleh John von

Neumann tahun 1928 dalam kajian “theory of parlor game”. Teori permainan ditetapkan

sebagai teori yang berdiri sendiri setelah tahun 1944 lewat publikasinya dalam buku ‘Theory

of Games and Economic Behavior’, karya von Neumann dan Oscar Morgenstern (ahli

matematika ekonomi). Selanjutnya pada 1950, John Nash (juga seorang ahli matematika)

memopulerkan teori permainan yang didemonstasikan berbeda dari pendahulunya dengan

menawarkan konsep “non-cooperative” dalam ekuilibriumnya (Nash-equilibrium).

Dari latar belakang para pakarnya, teori permainan sering dijabarkan sebagai cabang

dari ilmu matematika terapan dan ilmu ekonomi yang mempelajari tentang pengambilan

keputusan dalam rangka untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan, teori permainan kemudian juga relevan dalam beberapa

kajian ilmu yang lain. Dalam kajian ilmu politik, teori permainan kemudian berkembang dan

menjadi efektif digunakan untuk menentukan strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan

pencapaian tujuan maupun kepentingan nasional suatu negara. Terapannya terlihat dalam

13

T.L. Turocy & B.von Stengel, ‘Game Theory,’ CDAM Research Report LSE-CDAM-2001-09. October 8, 2001, p. 2.

13

praktik pengambilan keputusan (secara rasional) oleh aktor-aktor dalam hubungan

internasional.

Bermain menggunakan teori ini mensyaratkan tiga hal pokok, antara lain;

(1)rasionalitas untung-rugi, (2)solusi optimal agen, dan (3)ekuilibrium payoff. Kolaborasi

pertimbangan ketiga faktor tersebut yang akhirnya memengaruhi pengambilan keputusan

rasional oleh seorang/suatu agen. Bentuk paling sederhana teori permainan adalah dengan

melibatkan dua orang pemain, permainan satu lawan satu ini disebut ‘battle of sexes’.

Klasifikasi berdasarkan jumlah pemain dicirikan dengan adanya kepentingan yang berbeda

dari masing-masing pemain. Sehingga permainan berjalan dengan hasil akhir menang-kalah.

Model permainan seperti ini dikenal dengan nama ‘zero-sum game’, yakni suatu kondisi

permainan dimana pemenang mendapatkan keuntungan sebanding jumlah kerugian yang

diderita oleh agen yang kalah (zero).14

Dalam teori permainan, ‘zero-sum game’ dipecahkan menggunakan solusi

ekuilibrium Nash, yang diformulasikan oleh John Nash pada 1951. Ekuilibrium Nash disebut

juga ekuilibrium strategi, merupakan sepasang strategi ketika pilihan yang diambil A adalah

pilihan optimal terhadap kondisi pilihan yang diambil B, dan sebaliknya.15

Masing-masing

pemain mempunyai kesempatan yang sama yang tidak dapat secara sepihak dirubah oleh

salah satu pemain untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Ekuilibrium Nash

adalah konsep solusi dari permainan non-kooperatif, dimana outcome optimal permainan

sudah ditentukan, yaitu jika salah satu menang maka yang lain kalah sejumlah perbandingan

yang sama. Tiap pemain diasumsikan mengetahui strategi ekuilibrium pemain yang lain

(karena hanya ada dua kemungkinan; menang-kalah), dan tidak ada pemain yang akan

diuntungkan dengan menyimpang dari strategi yang sudah ditentukan setelah

mempertimbangkan pilihan lawan. Matriks payoff ekuilibrium Nash diilustrasikan sebagai

berikut;

14

R.B. Myerson, ‘Game Theory: Analysis of Conflict,’ Harvard University Press, Cambridge MA, 1991, pp. 370-375. 15

Myerson, pp. 370-375.

14

Pada ilustrasi diatas dijelaskan bahwa ketika B memilih kiri, maka payoff A adalah

(2) atau (0). Ketika B memilih kanan, maka payoff A adalah (0) atau (1). Ini berarti bahwa

ketika B memilih kiri, A akan memilih atas; dan ketika B memilih kanan, A akan memilih

bawah. Oleh karena itu, pilihan optimal A tergantung pada pikirannya tentang apa yang B

akan lakukan, dan sebaliknya. Kita dapat mengatakan bahwa seperangkat strategi adalah

sebuah ekuilibrium Nash, jika pilihan A optimal dengan mempertimbangkan pilihan B, dan

pilihan B optimal dengan mempertimbangkan pilihan A. Tidak ada seorang pun mengetahui

apa yang orang lain akan lakukan jika dia harus membuat pilihan strateginya sendiri. Tetapi

setiap orang boleh memiliki beberapa ekspektasi tentang apa yang orang lain akan pilih.

Sebuah ekuilibrium Nash dapat diinterpretasikan sebagai seperangkat ekspektasi pilihan dari

setiap orang, ketika pilihan orang lain terungkap, tidak ada individu yang ingin merubah

perilakunya.

Dalam ilustrasi tersebut, strategi (atas, kiri) adalah sebuah ekuilibrium Nash. Sebagai

buktinya, jika A memilih atas maka hal terbaik untuk B lakukan adalah memilih kiri – karena

payoff B dari memilih kiri adalah (1) dan dari memilih kanan adalah (0). Dan jika B memilih

kanan, maka hal terbaik untuk A lakukan adalah memilih bawah – karena A akan

mendapatkan sebuah payoff (1) daripada (0). Oleh sebab itu jika A memilih atas, pilihan

optimal untuk B adalah memilih kiri; dan jika B memilih kanan, maka pilihan optimal untuk

A adalah bawah – demikian sebaliknya. Jadi kita memiliki sebuah ekuilibrium Nash; yakni

setiap orang membuat pilihan optimal dengan mempertimbangkan pilihan orang lain. Pola

ekuilibrium Nash akan tetap berlaku selama tidak ada pemain yang merubah strateginya,

kendati mengetahui segala tindakan dari pihak lawannya.16

Ekuilibrium Nash menyatakan

bahwa dua atau lebih pihak yang berlawanan dalam permainan diberikan pengetahuan akan

pilihan masing-masing, dan mereka tidak melihat ada keuntungan dari tindakan merubah

16

P. Weirich, ‘Equilibrium and Rationality:Game Theory Revised by Decision Rules,’ University Press, Cambridge, 1998, pp. 48-59.

15

pilihan yang ditawarkan tersebut, yang artinya pemain tidak akan menyimpang dari pilihan

mereka. Dalam ekuilibrium ini, pilihan yang ditawarkan merupakan satu-satunya pilihan

optimal yang dapat diperoleh pemain untuk memaksimalkan keuntungan maupun

meminimalkan kerugian. Selama agen bersikap rasional, maka wajar bagi agen yang lain

untuk memperkirakan lawannya mengikuti seperti yang direkomendasikan dalam matriks.

Sebuah permainan dapat dikatakan sebagai ‘zero-sum game’ jika dari semua outcome-

nya, jumlah payoff untuk semua pemain adalah nol (zero). Pada kondisi ‘zero-sum game’

yang melibatkan dua pemain, ilustrasinya adalah satu pemain menang, sementara yang

lainnya kalah, sehingga posisi keduanya akan selalu berlawanan. Pemain rasional pada

kategori ini berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan yang optimal,

dengan sendirinya terjadi kerugian pada pihak lain. Bagi kedua pemain, kompromi tidaklah

memberikan keuntungan bagi mereka. Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya kerja sama

sudah tidak ada. Permainan yang disebut ‘zero-sum game’ (kalau satu pemain menang berarti

(+1) dan yang lain kalah (-1), maka jumlahnya=0), pada kategori ini dapat dilihat bahwa jika

pihak A mengalami kerugian (-10), maka pihak B mendapatkan keuntungan (+10). Pada

pilihan yang lain juga berlaku kaidah yang sama, yaitu jika pihak A mendapat perolehan

keuntungan (+7), maka pihak B akan mengalami kerugian (-7).

Melalui matriks payoff ekuilibriumnya, Nash mencoba mengatakan bahwa tidak ada

keadaan ‘win-win solution’. Rasionalitasnya mengarahkan agen untuk memahami bahwa

dalam sebuah persaingan, ketika salah satu menang maka yang lain kalah, itulah yang

dinamakan ekuilibrium versi Nash. Sejalan dengan hal tersebut, ‘zero-sum game’ menjadi

aplikasi yang cocok dalam mendemonstrasikannya. Telah banyak diketahui, teori permainan

sudah banyak diadopsi dalam ilmu-ilmu sosial politik, tak terkecuali ilmu hubungan

internasional. Keputusan rasional (kebijakan politik) seorang pemimpin negara dapat

ditelusuri menggunakan landasan teori permainan ini.

Pada konteks hubungan internasional, seorang agen dalam ‘zero-sum game’ adalah

sosok rasional pemimpin negara yang sangat memikirkan untung-rugi. Keputusan ini

sepenuhnya berada di tangan sang agen dengan pertimbangan kepentingan nasional. Motif

agen melakukan kepentingan nasionalnya dibagi menjadi empat variabel; individu, ideologi,

organisasi, dan strategi. Keempat motif tersebut meski disesuaikan kembali dengan dimensi

ketertarikan (interests) agen, yaitu dimensi; individu, kelompok, dan negara.17

Motif dan

dimensi kepentingan nasional akan memengaruhi hasil pilihan keputusan rasional agen.

17

D.S. Papp, ‘Contemporary International Relations: A Framework for Understanding’ (2nd ed.), MacMillan Publishing Company, New York, 1988, p. 29.

16

Itulah mengapa seringkali keluar kebijakan yang berbeda meski agen berasal dari organisasi

yang sama, kebijakan yang sama dari agen dengan latar belakang organisasi yang berbeda,

ataupun perpaduan keduanya. Apa yang ingin peneliti sampaikan adalah bahwa motif dan

dimensi dari banyak sisi hanyalah faktor pendukung bagi agen untuk bahan pertimbangan,

karena sesungguhnya apa yang benar-benar agen putuskan lewat pilihan rasional sepenuhnya

berada di tangan agen sebagai seorang pemimpin negara.

Refleksi kepentingan nasional dalam ‘zero-sum game’ langsung dapat terlihat sebagai

ide kaum realis, dimana interaksinya dengan agen yang lain melalui instrumen politik

internasional hanya dalam rangka untuk memaksimalkan keuntungan. Namun tidak ada yang

salah dengan pandangan ini, karena kenyataannya tidak ada seorang pun yang mau menderita

kerugian. Sehingga setiap keputusan rasional ditengarai menjadi pilihan optimal dari setiap

situasi. Oleh sebab itu, setiap kepentingan nasional apapun selalu merefleksikan pilihan

rasional untung-rugi.

I.6.3. Operasionalisasi Teori

Beberapa kata kunci yang dapat dipakai sebagai panduan teori zero-sum game antara

lain; battle of sexes (pertarungan antar pihak yang berlawanan), a game without saddle point

(sebuah permainan tanpa titik keseimbangan) – mengisyaratkan apa yang didapat pemenang

sejumlah sama dengan yang kehilangan (kalah), payoff matrix=profit matrix (masing-masing

agen mempunyai peluang yang sama dalam mengoptimalkan payoff-nya), Nash equilibrium

(model perhitungan yang mengisyaratkan agen adalah rasional dan akan patuh pada pola

matriks, karena tindakan menyimpang tidak akan menguntungkan agen sama sekali=tidak

rasional).

Nash equilibrium adalah suatu keseimbangan (ekuilibrium) tanpa adanya titik

keseimbangan, dengan ilustrasi angka positif yang satu lebih besar dari lainnya; (1,2) atau

(2,1). Sedangkan posisi (0,0) mengindikasikan keadaan tidak bergerak atau tidak ada yang

mendapatkan dan kehilangan. Dengan kata lain suatu keadaan tanpa pertarungan/ konflik.

Pola payoff matrix-nya sebagai berikut:

17

Matriks Nash merupakan bentuk pola paling sederhana karena hanya ada dua

kemungkinan; bila tidak menang maka kalah, dan bila kalah maka yang lain menang. Angka

(1) dan (2) mengisyaratkan pilihan optimal bagi masing-masing agen. Karena bentuknya

sederhana maka dapat langsung kita tentukan nilai row minima dan column maxima

matriksnya, yakni bilangan (1) dan (2) itu sendiri. Sehingga model perhitungan matriks zero-

sum didapat sebagai berikut18

:

P1 P2

A1 2 1

A2 1 2

Rumus: Hasil hitungan:

P1 = A22 – A21 P1 = 2 – 1 = 1

A11 + A22 – (A12 + A21) 2 + 2 – (1 + 1) 2

P2 = A11 – A12 P2 = 2 – 1 = 1

A11 + A22 – (A12 + A21) 2 + 2 – (1 + 1) 2

V = A11.A22 – A21.A12 V = 2.2 – 1.1 = 3

A11 + A22 – (A12 + A21) 2 + 2 – (1 + 1) 2

Perhitungan strategi optimal:

S1 = P2 – P1 = ½ – ½ = 0

S2 = P1 – P2 = ½ – ½ = 0

ZERO-SUM

18

J. Fox & M. Guyer, ‘Equivalence and Stooge Strategies in Zero-Sum Games,’ The Journal of Conflict Resolution, Vol. 17, No. 3, September 1973, pp. 517-520.

18

Keterangan:

P1 dan P2 adalah Player 1 dan Player 2, dengan perhitungan peluang masing-masing

agen.

V adalah value atau nilai nash equilibrium. Artinya nilai pertarungan agen tidak akan

bisa seimbang. Satu angka akan lebih besar dari lainnya, yang mengindikasikan salah

satu agen akan menang sedangkan agen lainnya menderita kekalahan.

S1 dan S2 adalah strategi optimal yang dapat dilakukan oleh kedua pemain. Hasil

hitungannya menunjukkan bahwa strategi apapun yang dijalankan agen merupakan

implementasi dari zero-sum game.

I.7. HIPOTESIS

Benyamin Netanyahu menjabat Perdana Menteri Israel selama hampir sepuluh tahun

dikenal sebagai pemimpin “bertangan besi”. Kebijakan politik luar negerinya terbilang garis

keras terkait penyelesaian konflik Israel-Palestina. Ia menjadi satu-satunya pemimpin dari

Partai Likud, partai beraliran neokonservatisme di Knesset yang paling lama bertahan di kursi

kepemimpinan perdana menteri. Ia juga dikenal tidak pernah berkompromi soal sengketa

wilayah dari okupasi Perang Enam Hari. Sikap kerasnya ini bisa jadi dipengaruhi oleh aliran

politik sayap kanan Likud yang neokonservatisme, yakni aliran yang memperjuangkan

berdirinya Israel Raya. Meski demikian, kenyataan tersebut tidak mengharuskannya menutup

diri dari setiap perundingan perdamaian. Karena sebelumnya PM Ariel Sharon, juga dari

Partai Likud, masih membuka diri pada beberapa proses perundingan perdamaian.

Pasca penolakan keputusan PBB atas kedaulatan Palestina pada 29 November 2012

yang ia lakukan secara sepihak bukanlah tanpa resiko. Karena keputusan itu dibuat

berdasarkan mayoritas suara negara-negara anggota. Menolak keputusan tersebut berarti

menolak eksistensi PBB sebagai lembaga resmi internasional dan menolak eksistensi negara-

negara anggotanya. Apalagi adanya kenyataan bahwa Israel sudah kehilangan banyak negara

pendukung di forum internasional tersebut. Dengan kata lain, secara internasional posisi

Israel seharusnya sudah terdesak dan tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti keputusan PBB.

Namun, Bibi mengambil sikap yang mencengangkan dengan menolaknya. Konsekuensi yang

jelas mengancam di depan mata tidak membuatnya bergeming. Sebagai decision maker, Bibi

telah mengalkulasi cost and benefit dari tindakannya. Dan dengan kalkulasi yang ia lakukan

19

secara rasional, keputusan menolak berada pada tingkat tertinggi perhitungan keuntungan

yang akan ia dapatkan.

Teori permainan menganalisis fenomena ini sebagai zero-sum, yakni sebuah

permainan dimana dua pihak yang berseteru mati-matian memenangkan pertarungan. Karena

zero-sum, maka hanya ada satu pihak yang akan keluar sebagai pemenang permainan. Tidak

ada pembagian kekuasaan atau kompromi, oleh sebab itu tidak ada win-win solution. Ketika

satu pihak menang, pihak yang lain akan menderita kekalahan sejumlah yang sama. Dan

ekuilibrium milik Nash menawarkan pola payoff matrix yang sejalan dengan kalkulasi

untung-rugi permainan zero-sum.

Fenomena konflik Israel-Palestina, oleh peneliti diilustrasikan sebagai arena

pertarungan antara kedua pemimpin negara tersebut sebagai agen rasionalnya, yakni

Mahmoud Abbas (Palestina) dan Benjamin Netanyahu (Israel). Layaknya sebuah permainan,

selalu terkait dengan aksi dan reaksi. Artinya, saat satu pihak melakukan aksi maka pihak

yang lain akan bereaksi terhadapnya. Dalam permainan zero-sum, setiap agen dianggap

mempunyai intelijensi. Setiap keputusan yang dibuat agen dalam aksi dan reaksi adalah

rasional, dan akan mengikuti pola yang sudah ditetapkan pada payoff matrix ekuilbrium

Nash.

Aksi yang dilakukan Abbas untuk memenangkan pertarungan adalah menantang Bibi

dengan diresmikannya pengakuan kedaulatan Palestina oleh PBB pada 29 November 2012.

Kemudian reaksi yang dilakukan Bibi terkait aksi Abbas adalah menolak mengakui

kedaulatan tersebut. Pada matriks payoff, aksi Abbas bisa masuk angka (1) atau (2), begitu

juga dengan reaksi Bibi mempunyai peluang angka yang sama. Apa yang dilakukan

selanjutnya adalah mengidentifikasi keputusan rasional Bibi. Penolakannya terhadap

kedaulatan Palestina menempatkan dirinya pada posisi “pemenang” untuk sementara.

Dikatakan demikian karena kalkulasi keuntungan yang didapat agen jauh lebih besar daripada

keuntungan jikalau ia menerima kedaulatan itu.

Merujuk pada rumusan masalah penelitian yang menanyakan, “Mengapa Benyamin

Netanyahu menolak mematuhi Resolusi 67 berikut status kedaulatan Palestina yang

dikeluarkan PBB tanggal 29 November 2012 ?”, beberapa hasil analisis rasional yang

melatarbelakanginya antara lain; Pertama, adanya butir yang menyebutkan bahwa status

wilayah Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur yang didapatkan Israel lewat Perang

20

Enam Hari 1967 diserahkan kepada keputusan menentukan nasib sendiri rakyat Palestina.19

Artinya, Israel harus siap kehilangan semua wilayah tersebut ke pihak lawan

(kehilangan=kekalahan). (a)Analisisnya, ketentuan mengembalikan wilayah (land) menjadi

tidak relevan bila hanya ditukar dengan sebuah ikrar perdamaian (peace). Kedua pihak sama-

sama butuh berdamai dengan tidak berperang lagi, namun status wilayah sengketa bukanlah

hal yang dapat dipertukarkan atau dibagi. Dengan kata lain, yang seharusnya berlaku adalah

peace for peace, dan bukan land for peace. Sebagai aktor rasional, Bibi tidak mau

melepaskan wilayah-wilayah tersebut karena perolehannya dianggap sah sebagai

kemenangan perang terdahulu, sehingga Israel tidak berkewajiban mengembalikan apa pun.

Lagipula bangsa Arab yang memulai perang kala itu. (b)Secara geopolitik, ketentuan

pengembalian ini sangat merugikan Israel. Karena selama 67 tahun terakhir Israel telah

banyak membangun infrastruktur di sana. Letaknya yang strategis penting bagi kelangsungan

perekonomian Israel, terutama dalam meningkatkan liberalisasi ekonomi hubungan kerja

samanya dengan AS. Ketika itu dituntut untuk dikembalikan (kehilangan=kekalahan) dan

tidak ada insentif apa pun bagi Israel yang sudah mengeluarkan banyak dana, maka negara

menjadi sangat merugi secara materi. (c)Di ketiga wilayah tersebut banyak terdapat

pemukiman Yahudi yang sudah menetap selama puluhan tahun. Sehingga sebagai kepala

negara, Bibi berkewajiban untuk melindungi rakyatnya. Menolak kedaulatan

mengindikasikan ia menjadi pemenang di permainan ini karena tidak harus kehilangan suatu

apa.

Kedua, Bibi tidak ingin proposal tuntutan kejahatan kemanusiaan pelanggaran HAM

atas Operation Cast Lead 2008-2009 yang diajukan PLO terhadap Israel, naik ke meja

Mahkamah Internasional. Sejak PLO mengajukan tuntutan pada 2009, PBB membentuk Tim

Pencari Fakta untuk melakukan investigasi terkait masalah ini. Hingga hari ini hasil laporan

yang dinamakan Goldstone Report masih terhambat dalam proses investigasi, meski

sebenarnya bukti yang didapatkan sudah cukup kuat. Investigasi hanyalah upaya pengalihan,

karena syarat utama kasus ini dapat diproses adalah jika pelanggaran dilakukan oleh negara

atas negara lain. Artinya, ketika ada indikasi pelanggaran kedaulatan terhadap negara lain.

Posisi Palestina yang hanya diakui sebagai bangsa oleh Israel, tidak akan pernah cukup kuat

untuk menuntut tanggung jawab Israel ke meja Mahkamah Internasional. Eksistensi Palestina

sebagai bangsa (bukan negara), dianggap “tidak bertuan” dan tidak mempunyai kekuatan

hukum internasional. Kasus serupa pernah terjadi antara Jerman dan Israel. Saat itu Israel

19

United Nations, Resolution 67/19 General Assembly: Code: A/RES/67/19 (daring), 29 November 2012, <www.un.org/ga/search/vm_doc.asp?symbol=A/67/L.28>, diakses 10 September 2015.

21

baru bisa menuntut Jerman bertanggung jawab atas genosida anti-semit semasa Nazi-Hitler

ketika Israel sudah menjadi negara merdeka. Tepatnya tuntutan ini diajukan tahun 1954,

melalui Perjanjian Reparasi atau Perjanjian Ganti Rugi yang ditandatangani oleh PM Israel

David Ben Gurion dan Kanselir Jerman Barat Konrad Adenaver, yang mengharuskan Jerman

membayar uang ganti rugi kepada Israel dan korban individu sebesar 25 miliar euro dengan

tenggat waktu sampai tahun 2007. Menolak kedaulatan menghindarkannya dari tanggung

jawab tuntutan pelanggaran HAM, karena tidak harus membayar suatu apa.

Ketiga, Bibi menolak kedaulatan Palestina karena kala itu Israel sedang dalam masa

kampanye menyambut Pemilu tanggal 22 Januari 2013. Demi terpilih kembali, ia harus

konsisten pada arah politik partai yang neokonsevatisme dengan pertimbangan banyak

pemilih yang cenderung konservatif juga. Karena jika ternyata ia salah perhitungan dan

mayoritas pemilih adalah kaum moderat yang cinta perdamaian, maka ia akan kalah. Satu hal

yang pasti mengapa Bibi begitu yakin akan pemilih konservatif adalah karena adanya proyek

E-1 yang sedang berjalan di bawah otoritasnya. Proyek permukiman untuk Yahudi ini

menjadi daya tarik pemilih, karena menjanjikan ketersediaan tempat tinggal (entah tanah

aneksasi atau tidak). Seorang pemilih (meski moderat), ketika dihadapkan dengan situasi

seperti ini, dapat dengan mudah berubah pikiran di saat terakhir. Selain itu, gerakan zionis

yang masih terus berlangsung, membuat pertambahan penduduk Israel semakin meningkat.

Mereka datang dari seluruh penjuru dunia untuk dapat tinggal menetap di Israel, dan mereka

berpeluang besar menyumbangkan suara. Menolak kedaulatan memberi Bibi peluang

memenangkan pemilu sehingga ia dapat melanjutkan proyek pemukiman (E-1) yang sedang

dijalankannya. Jadi agen rasional menolak kedaulatan Palestina karena profit payoff yang

didapatkan mengindikasikan ia tidak menderita kerugian lebih besar. Satu-satunya kerugian

yang diderita hanyalah kehilangan pendukung serta hal normatif lainnya, dan kalkulasi

perhitungannya jauh lebih kecil jika dibandingkan harus kehilangan aset, mendapat hukuman,

bahkan berhenti berkarir.

Dari hasil analisis di atas, menolak kedaulatan Palestina adalah praktik permainan

zero-sum agen rasional memenangkan pertarungan dengan matriks profit optimum pemenang

mendapatkan semuanya (the winner takes all). Benjamin Netanyahu memperoleh payoff (2)

dalam hitungan matriks ekuilibrium Nash dan menempatkan dirinya pada posisi “pemenang

untuk sementara”. Peneliti katakan sementara karena sesungguhnya permainan tidak pernah

benar-benar berakhir. Reaksi Bibi sebagai akibat aksi Abbas dapat dinilai sebagai aksi oleh

Abbas dan menimbulkan reaksi bagi dirinya (Abbas). Sesuai hukum ekuilibrium Nash,

22

peluang setiap agen adalah sama, sehingga Abbas pun masih mempunyai peluang untuk

membalikkan keadaan dan mendapat payoff (2) pada babak permainan lanjutan.

I.8. METODE PENELITIAN

I.8.1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, dengan mendasarkan pada studi

literatur. Sebagaimana umumnya bahwa studi literatur dilakukan dengan menghimpun data

dari berbagai literatur, baik di perpustakaan maupun di tempat-tempat lain. Pengolahan data

dilakukan secara rasional dengan menggunakan pola pikir tertentu menurut hukum logika.20

Literatur yang dipergunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku, tetapi juga berupa bahan-

bahan dokumentasi, majalah, koran dan lain- lain, berupa bahan tertulis. Dari literatur

tersebut dapat ditemukan berbagai teori, prinsip-prinsip, pendapat, gagasan-gagasan dan lain-

lain, yang dapat dipergunakan untuk analisa dan memecahkan masalah yang diselidiki atau

diteliti.

I.8.2. Teknik Analisis Data

Teknik analisis dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah yang ditempuh

dalam suatu penelitian kualitatif sebagai berikut: pengumpulan data, penilaian (pemilihan)

data, penafsiran (interpretasi) data, dan penyimpulan data hasil interpretasi. Dalam langkah

pertama, data yang telah dikumpulkan kemudian disusun dan dipilah terlebih dahulu sebelum

diolah lebih lanjut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang sesuai dan komprehensif

sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya adalah melakukan interpretasi data atau

pemberian makna terhadap data dan mencari korelasi antara berbagai konsep. Dengan

langkah-langkah ini akan memungkinkan peneliti untuk merumuskan secara lebih cermat

data mana yang paling relevan dan dibutuhkan sehingga koreksi bisa berlangsung selama

proses pengumpulan data sampai dengan analisa final. Langkah terakhir adalah memuat

simpulan terhadap hasil interpretasi.

20 H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998, p. 32.

23

I.9. JANGKAUAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian dari kali kedua Benjamin

Netanyahu mendapatkan jabatan di Knesset sebagai Perdana Menteri, yakni antara tahun

2009 hingga 2015. Termasuk didalamnya berada keputusan PBB tentang kedaulatan

Palestina pada 29 November 2012.

I.10. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini dapat dikemukakan secara garis besar sebagai

berikut :

Bab I Pendahuluan. Bagian ini membahas mengenai materi penelitian, yaitu latar

belakang problematik kedaulatan Palestina yang ditentang oleh Israel. Kemudian dilanjutkan

dengan rumusan masalah pilihan peneliti. Bab ini mencakup juga tinjauan pustaka dan

kerangka teoritis yang berguna untuk membantu peneliti menyusun hipotesis.

Bab II dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran umum dinamika eksistensi

Israel melalui episode hubungannya dengan beberapa pemimpin negara Amerika Serikat,

arsitektur keamanan di Timur-Tengah, dan kontestasi norma HAM di PBB sehingga dapat

membantu peneliti dalam menentukan arahan persoalan penelitian.

Bab III akan memaparkan jalannya penelitian. Bagian ini mencakup rancangan

penelitian terkait metode analisis data serta operasionalisasi teori dalam penetapan posisi dua

pihak bertikai – yakni kerangka pertarungan aktor rasional Netanyahu versus Abbas dengan

narasi posisi dominasi Netanyahu dalam matriks permainan zero-sum.

Bab IV Pembahasan, adalah isi dari penelitian, merupakan hasil analisis topik

penelitian dengan menggunakan teori yang telah dipilih peneliti. Bagian ini adalah jawaban

dari rumusan masalah yang meliputi ganjaran optimal Netanyahu untuk terus berkuasa atas

wilayah okupasi (Tepi Barat dan Jerusalem Timur), strategi melepaskan diri dari tuntutan

pidana dan perdata internasional, dan keuntungan politik memenangkan jabatan perdana

menteri (sekali lagi).

Bab V Kesimpulan, yakni uraian singkat mengenai analisis alasan PM Israel

Benjamin Netanyahu menolak kedaulatan Palestina, yang dipandang sebagai kesimpulan

utama dari jawaban rumusan masalah penelitian ini – sekaligus kemungkinan pengembangan

studi lebih lanjut.