bab 2 tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat
atau tenang (InfoDATIN, 2014).
Menurut World Health Organization (WHO), hipertensi adalah kondisi
dimana tekanan pembuluh darah meningkat secara persisten. Tekanan pembuluh
darah dibentuk dari kekuatan darah menekan dinding pembuluh darah arteri
melalui pompa dari jantung.
2.1.2 Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa insiden hipertensi pada orang dewasa
adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta pasien hipertensi di
Amerika dan hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi
(Yogiantoro, 2006).
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah yang dilakukan di Indonesia,
prevalensi hipertensi pada penduduk dengan usia 18 tahun ke atas pada tahun
2007 adalah sebesar 31,7% dengan prevalensi tertinggi berada pada Kalimantan
Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). Pada tahun 2013, terjadi
penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Berbagai faktor dapat
memengaruhi penurunan angka tersebut, seperti alat pengukur tensi yang berbeda,
6
masyarakat yang sudah sadar dan mengerti akan bahaya dari hipertensi
(InfoDATIN, 2014).
Berdasarkan Laporan Tahunan Rumah Sakit tahun 2012, penyakit pasien
rawat jalan terbanyak di rumah sakit tipe B, C dan D di JAWA Timur adalah
hipertensi, dengan jumlah pada rumah sakit tipe B adalah 112.583 kasus, rumah
sakit tipe C 42.212 kasus dan rumah sakit tipe D 3.301 kasus. Pada kasus pasien
dengan rawat inap, penyakit hipertensi pada rumah sakit tipe A dan C menjadi
kasus terbanyak kedua setelah anemia di rumah sakit tipe A (12.590 kasus) dan
diabetes mellitus di rumah sakit tipe C (7.355 kasus) (Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Timur, 2012).
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan sistolik dan diastolik menurut
European Society of Hypertension (ESH) dan European Society of Cardiology
(ESC) guidelines, sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi
Kategori Sistolik
(mmHg) Diastolik
(mmHg)
Optimal <120 Dan <80
Normal 120-129 Dan/atau 80-84
Tinggi normal 130-139 Dan/atau 85-89
Grade 1 140-159 Dan/atau 90-99
Grade 2 160-179 Dan/atau 10-109
Grade 3 >180 Dan/atau >110
Hipertensi sistolik terisolasi >140 Dan <90 (ESH dan ESC, 2013)
Hipertensi juga dapat dibagi berdasarkan penyebab, bentuk dan jenis lain.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut (InfoDATIN, 2014):
a. Berdasarkan penyebab hipertensi
i. Hipertensi primer (hipertensi esensial)
7
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui, namun banyak dikaitkan
dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang gerak dan pola
makan. Hipertensi jenis ini terjadi pada sekitar 90% pasien hipertensi.
ii. Hipertensi sekunder (hipertensi non esensial)
Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Terjadi pada sekitar 5-10%
pasien hipertensi dengan penyebab penyakit ginjal dan 1-2% akibat
kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu.
b. Berdasarkan bentuk hipertensi
Hipertensi diastolik, hipertensi campuran, dan hipertensi sistolik.
c. Berdasarkan jenis hipertensi lain (hipertensi pulmonal)
Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh
darah arteri pulmonal yang menyebabkan sesak napas, pusing dan pingsan
setelah melakukan aktivitas.
2.1.4 Faktor risiko
Faktor-faktor risiko yang mendorong terjadinya kenaikan tekanan darah
adalah (Yogiantoro, 2006) :
a. Diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok dan genetik.
b. Sistem saraf simpatis.
c. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi.
Modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi adalah endotel pembuluh darah
(utama), otot polos dan interstisium.
d. Pengaruh sistem otokrin yang berperan dalam sistem renin, angiotensin dan
aldosteron.
8
Selain itu, faktor risiko lain yang dapat menyebabkan hipertensi adalah
umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi lemak jenuh, kebiasaan minum
minuman beralkohol, kurang aktifitas fisik dan penggunaan obat-obatan yang
memicu terjadinya kenaikan tekanan darah (InfoDATIN, 2014).
2.1.5 Patogenesis
Menurut Price (2015), patogenesis pasti penyakit hipertensi sangat
kompleks. Terjadinya kenaikan tekanan darah diakibatkan interaksi dari berbagai
varibel atau faktor. Dapat dikarenakan faktor predisposisi genetik dan atau
kombinasi dari perubahan mekanisme, seperti ekskresi natrium dan air oleh ginal,
respon vaskular, serta sekresi renin.
Penjelasan lain yang dikemukakan oleh Yogiantoro (2006), terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh pada terjadinya peningkatan tekanan darah,
seperti asupan garam berlebih, jumlah nefron berkurang sehingga menyebabkan
retensi natrium pada ginjal (akibat dari kemampuan filtrasi menurun) dapat
menyebabkan volume cairan tubuh meningkat dan mengakibatkan preload pada
jantung juga meningkat, maka curah jantung meningkat.
Selain itu, stres juga mengakibatkan aktifitas berlebih saraf simpatis dan
peningkatan sekresi renin angiotensin secara berlebihan. Kedua hal ini
mengakibatkan konstriksi pada vena. Perubahan genetis yang mengakibatkan
perubahan pada membran sel, obesitas dan bahan-bahan dari endotel juga dapat
menyebabkan terjadinya hipertrofi secara struktural. Semua faktor tersebut
menyebabkan curah jantung dan tahanan perifer meningkat yang disebut juga
dengan hipertensi (Yogiantoro, 2006).
9
(Yogiantoro, 2006)
Gambar 2.1
Patogenesis Hipertensi
Obesitas dapat menyebabkan hipertensi karena terjadi sekresi yang berlebih
dari hormon kortisol dan aldosteron. Hal ini disebabkan karena adiposa subkutan
mensensitisasi sel adrenokortikal untuk memediasi pelepasan aldosteron, sehingga
peningkatan tekanan darah dapat terjadi (Flack et al, 2010).
2.1.6 Gejala
Perjalanan penyakit hipertensi terjadi sangat perlahan. Pasien hipertensi
mungkin tidak merasakan atau menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa
ini menyelubungi perkembangan penyakit hingga terjadi kerusakan organ.
Apabila muncul gejala, biasanya tidak spesifik, misalnya sakit kepala. Namun
Preload
Curah jantung Tahanan perifer
Retensi
natrium di
ginjal
Aktivitas
saraf
simpatis
Sekresi
renin
angioten
sin
Perubahan
membran sel
Volume cairan
tubuh
Hipertrofi
struktural
Konstriksi vena
Asupan
garam >>
Jumlah
nefron
<<<
Stres Perubahan
genetik
obesitas Bahan
dari
endotel
Hipertensi
10
dengan deteksi dini, pemeriksaan tekanan darah secara teratur dan penanganan
yang efektif mampu menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas akibat
hipertensi (Price, 2015).
Gejala hipertensi dapat bervariasi pada tiap individu. Gejala-gejala tersebut
antara lain sakit kepala, rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar, cepat
lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging, serta mimisan (InfoDATIN, 2014).
2.1.7 Diagnosis
Diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
hipertensi. Berikut adalah algoritma diagnosis untuk hipertensi :
(PERKI, 2015)
(PERKI, 2015)
Gambar 2.2
Algoritma Diagnosis Hipertensi
ATAU
ABPM (jika ada)
TD
bangun
<135/8
5 atau
24jam
TD bangun
>135/85
>85 DBP
24jam
>130SBP
>80 DBP
Lanjutkan
kontrol
Diagnosis
hipertensi
HBPM (jika ada)
<135/85
Ulang
HBPM
<135/85
Lanjutkan
>135
SBP atau
>85 DBP
Diagnosis
hipertensi
Pengukuran TD klinik
Kunjungan hipertensi 3
> 160 SBP
atau > 100
DBP
Diagnosis
hipertensi
<160/10O
ATAU
ABPM atau
HBPM jika ada
Kunjungan Hipertensi 4-5
>140 SBP atau
>90 DBP
Diagnosis
hipertensi
<140/90 Lanjutkan
kontrol
TIDAK
TD 140-179/90-109 mmHg
Kenaikan TD pada pengukuran di luar
klinik
Kenaikan TD pada Pengukuran acak di
klinik
Kunjungan hipertensi 1 Pengukuran
TD, Anamnesis, dan Pemeriksaan fisik
Permintaan uji diagnostik pada kunjungan 1
Kunjungan hipertensi 2 dalam 1 bulan
TD > 180/110 mmHg ATAU
TD 140-179/90-109 mmHg dengan kerusakan target
organ
Hipertensi urgensi/emergensi
Diagnosis hipertensi
YA
11
2.1.8 Komplikasi
Hipertensi jika tidak ditangani dengan baik atau tidak dikontrol maka akan
mengakibatkan kerusakan di berbagai organ. Menurut National Health Service
(NHS) di Inggris (2014), pada organ jantung dan pembuluh darah, hipertensi
dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi tersebut antara lain stroke.
Stroke dapat terjadi apabila suplai atau aliran darah ke otak terhenti atau
terjadinya perdarahan di otak. Selain itu, serangan jantung juga dapat terjadi
karena aliran darah ke sel-sel jantung juga terhenti. Embolism juga dapat terjadi
apabila terdapat gumpalan yang ikut mengalir di pembuluh darah dan menyumbat
aliran darah. Hipertensi juga dapat menyebabkan aneurisma dan vascular
dementia.
Selain dapat menyebabkan kerusakan di jantung dan pembuluh darah,
hipertensi juga dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal. Keadaan tekanan
darah yang terus-menerus tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
pada ginjal dan membuat fungsi dari ginjal menurun dan akhirnya menyebabkan
terjadinya gagal ginjal. Penyakit ginjal ini membutuhkan terapi kombinasi antara
obat-obatan dan pengaturan diet. Pada kasus yang serius membutuhkan dialisis
dan transplantasi ginjal (NHS England, 2014).
Departemen Kesehatan (2006) juga menyebutkan bahwa hipertensi dapat
menyebabkan rusaknya organ pada tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak dan
pembuluh darah besar.
12
2.1.9 Tatalaksana
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015) membuat
pedoman tentang tatalaksana pada penyakit hipertensi dengan membagi terapi
menjadi dua, yaitu :
a. Terapi non farmakologis
Mengatur pola hidup menjadi pola hidup yang sehat telah banyak terbukti
menurunkan tekanan darah dan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular. Pada pasien dengan hipertensi derajat 1 dan tanpa risiko penyakit
kardiovaskular lain, maka strategi mengatur pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal yang dapat dilakukan kurang lebih selama 4-6 bulan.
Apabila setelah jangka waktu tersebut tidak berhasil menurunkan tekanan darah
menjadi normal atau muncul risiko munculnya penyakit kardiovaskular lain, maka
dianjurkan untuk mulai menggunakan terapi farmakologis.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan adalah :
i. Penurunan berat badan. Strategi ini dilakukan dengan cara mengganti
makanan yang tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan
buah yang mengandung serat, vitamin dan mineral.
ii. Mengurangi asupan garam. Diet rendah garam dapat bermanfaat untuk
mengurangi dosis obat anti hipertensi pada pasien hipertensi dengan
derajat >2. Asupan garam yang dianjurkan adalah tidak melebihi 2
gr/hari.
iii. Olahraga. Olahraga yang teratur dengan durasi 30-60 menit/hari,
minimal 3 hari/seminggu dapat membantu penurunan tekanan darah.
Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara
13
khusus, dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau
menaiki tangga dalam melakukan aktifitas sehari-harinya.
iv. Mengurangi konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per
hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan
tekanan darah, sehingga mengurangi atau menghentikan konsumsi
alkohol akan membantu menurunkan tekanan darah.
v. Berhenti merokok. Merokok merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, pasien dianjurkan
untuk berhenti merokok.
b. Terapi farmakologis
Secara umum, terapi farmakologis pada hipertensi dimulai bila paien
hipertensi derajat 1 tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah menjalani
terapi pola hidup sehat >6 bulan atau pada pasien hipertensi derajat >2. Berikut
beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kepatuhan dan menjaga efek samping, yaitu :
i. Bila memungkinkan menggunakan dosis tunggal atau monoerapi.
ii. Bila sesuai, berikan obat generik (non-paten) dan dapat mengurangi
biaya.
iii. Berikan obat pada pasien usia lanjut (usia 55-80 tahun) dengan
memerhatikan faktor komorbid.
iv. Jangan mengombinasikan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-i) dengan Angiotensin II Receptor (ARBs).
v. Berikan edukasi menyeluruh tentang pengobatan pada penyakit
hipertensi.
14
vi. Melakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Berikut algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan PERKI
(2015)
(PERKI, 2015)
Gambar 2.3
Algoritma Tatalaksana Hipertensi
CCB + Thiazide + ACE-i/ ARB
Tekanan darah >140/90, dewasa >18 tahun
Usia >80 tahun, tekanan darah >150/90 atau >140/90 jika berisiko tinggi (diabetes, penyakit ginjal)
Mulai perubahan gaya hidup
(menurunkan berat badan, mengurangi garam dan alkohol, berhenti merokok)
Terapi medikamentosa
(mempertimbangkan ditunda untuk pasien stage 1 tanpa
komplikasi)
Mulai terapi medikamentosa
(Pada semua pasien)
Stage 1
140-159/90-99
Usia <60 tahun Usia >60 tahun
Jika perlu, tambahkan Jika perlu, tambahkan
Jika perlu Jika perlu
Stage 1
>160/100
Semua pasien
Mulai dengan 2
obat
Jika perlu
Kasus
khusus
Jika perlu, tambah obat lain mis. Spironolactone, agen sentral; B-blocker
Jika perlu, rujuk ke spesialis hipertensi
Penyakit ginjal
Diabetes
Penyakit koroner
Riwayat stroke
Gagal jantung ACE-i atau ARB CCB atau
Thiazide
CCB atau
Thiazide
ACE-i atau ARB
CCB atau Thiazide +
ACE-i atau ARB
CCB + Thiazide + ACE-i/
ARB
15
2.2 Dislipidemia
2.2.1 Definisi
Dislipidemia didefinisikan sebagai keadaaan peningkatan kadar kolesterol
total, kadar Low Density Lipoprotein (LDL), kadar trigliserida, atau terjadi
penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Dislipidemia ini merupakan
faktor risiko penting pada penyakit jantung koroner dan stroke (Fodor, 2015).
2.2.2 Epidemiologi
Menurut data epidemiologi, sebanyak 71 juta orang dewasa di United States
(US) dengan usia 20 tahun keatas memiliki kadar LDL yang tinggi. Meningkatnya
kadar LDL atau hiperkolesterol ini akan meingkatakan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular (Anastasopoulou, 2015).
Data di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi dislipidemia berdasarkan
kadar kolesterol total >200 mg/dL adalah 39,8%. Beberapa provinsi di Indonesia
seperti Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bangka Belitung dan
Kepulauan Riau mempunyai prevalensi dislipidemia >50% (PERKI, 2015).
2.2.3 Patofisiologi
Ditemukan tiga jenis lipid di dalam darah yaitu kolesterol, trigliserid dan
fosfolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dengan air, maka perlu dibuat
bentuk yang terlarut dan zat terlarut tersebut adalah protein dengan nama
apoprotein. Zat terlarut antara lipid dengan apoprotein disebut dengan lipoprotein.
Terdapat 6 jenis lipoprotein dalam tubuh, yaitu High Density Lipoprotein (HDL),
Low Density Lipoprotein (LDL), Intermediate Density Lipoprotein (IDL), Very
Low Density Lipoprotein (VLDL), kilomikron dan lipoprotein a kecil (Adam,
2006).
16
Terdapat 3 jalur metabolisme lipoprotein dalam tubuh. Metabolisme
tersebut adalah jalur metabolisme eksogen, jalur metabolisme endogen dan jalur
reverse cholesterol transport. Pada jalur metabolisme eksogen dimulai dari
makanan berlemak yang terdiri dari trigliserid dan kolesterol serta kolesterol yang
berasal dari hati yang disekresi bersama empedu berada di usus halus. Trigliserid
dan kolesterol dalam usus tersebut diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus.
Trigliserid akan diserap sebagai asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan
diubah kembali menjadi trigliserid di dalam usus halus dan bersama kolesterol
yang diubah menjadi kolesterol ester serta fosfolipid dan apolipoprotein akan
membentuk kilomikron (Adam, 2006).
Kilomikron tersebut akan masuk ke saluran limfe dan masuk ke aliran
darah. Trigliserid akan mengalami hidrolisis menjadi asam lemak bebas. Asam
lemak bebas ini akan berubah kembali menjadi trigliserid apabila disimpan di
jaringan lemak. Apabila kadar berlebih, sebagian akan diambil oleh hati menjadi
bahan pembentukan trigliserid hati. Kilomikron yang sudah kehilangan trigliserid
akan menjadi kilomikron remnant dan dibawa ke hati (Adam, 2006).
Pada jalur metabolisme endogen, trigliserid dan kolesterol akan disintesis
oleh hati ke dalam sirkulasi sebagi lipoprotein VLDL. VLDL akan mengalami
hidrolisis oleh enzim Lipoprotein Lipase (LPL), sehingga menjadi IDL. Sebagian
dari VLDL, IDL dan LDL akan kembali ke hati. Selain dibawa ke hati, LDL juga
akan dibawa ke jaringan steroidogenik, seperti kelenjar adrenal, testis dan
ovarium yang mempunyai reseptor kolesterol-LDL. Sebagian yang lain akan
mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag
dan akan menjadi sel busa (foam cell).
17
Jalur ketiga adalah jalur reverse cholesterol transport. Pada jalur ini, HDL
dilepaskan sebagai partikel kecil yang mengandung sedikit kolesterol. HDL
tersebut berasal dari usus halus dan hati, mempunyai bentuk gepeng. HDL ini
bertugas untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah
mengambil kolesterol pada makrofag, HDL akan berubah menjadi bulat.
Kemudian HDL membawa kolesterol langsung ke hati atau melalui VLDL dan
IDL untuk dibawa kembali ke hati (Adam, 2006).
(Anastasopoulou, 2015)
Gambar 2.4
Metabolisme Kolesterol
Partikel Low Density Lipoprotein (LDL) merupakan pembawa kolesterol
utama di dalam darah ke hepar maupun jaringan perifer atau jaringan
ekstrahepatik yang membutuhkan. Hal ini disebabkan LDL merupakan lipoprotein
yang mengandung paling banyak kolesterol dibandingkan dengan lipoprotein
lainnya. Jika terdapat kelebihan partikel LDL dalam darah, maka LDL tersebut
akan masuk ke lapisan sub-endotel pembuluh darah dan memicu terjadinya
18
pembentukan sel busa (foamy cell) yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
alur lemak (fatty streak). Selain itu, hipertrigliserid juga dapat dapat memicu
terbentuknya sel busa dan alur lemak. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
kenaikan kadar VLDL, IDL dan atau partikel kilomikron (Haryanto, 2013;
Anastasopoulou, 2015).
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi dislipidemia dapat berdasarkan atas penyebabnya, yaitu primer
yang tidak jelas sebabnya atau sekunder yang memiliki penyakit dasar, seperti
sindrom nefrotik, diabetes mellitus dan hipotiroidisme (Adam, 2006).
Berikut merupakan tabel klasifikasi dislipidemia berdasarkan penyebab dari
profil lipid yang menonjol :
Tabel 2.2 Klasifikasi Dislipidemia
Ketidaknormalan Penyebab
Hiperkolesterolemia Hipotiroidisme, ikterus obstruktif, anoreksia nervosa,
sindrom nefrotik, obat (siklosporin)
Hipertrigliseridemia Hepatitis, penyakit hepatobilier, alkohol, DM tipe 2,
kehamilan, obesitas, gagal ginjal
Campuran Obat (obat KB, kortikosteroid), mieloma
multipel,DM tipe 2, obesitas (Arisman, 2013)
2.2.5 Pemeriksaan kadar profil lipid
Pemantauan profil lipid penting dilakukan untuk memantau risiko terjadinya
penyakit yang ditimbulkan oleh dislipidemia. Pemantauan profil lipid ini idealnya
dilakukan satu kali dalam lima tahun. Ada dua metode yang dapat dilakukan pada
pemeriksaan kadar profil lipid. Pertama adalah metode spektrofotometri yang
dilakukan di laboratorium patologi klinik yang menggunakan darah vena. Namun
oleh karena biaya yang mahal, pengambilan darah vena yang cukup invasif pada
pasien membuat pasien menjadi enggan untuk melakukan pemeriksaan rutin profil
19
lipid darah. Kesulitan tersebut menyebabkan timbulnya metode pemeriksaan
kedua, yaitu electrode-based biosensor yang menggunakan darah kapiler.
Pada metode electrode-based biosensor ini memungkinkan pasien untuk
melakukan pemeriksaan secara mandiri dan rutin karena harga relatif lebih murah,
cara pemakaian mudah, waktu lebih cepat dan tidak terlalu invasif ketika
pengambilan sampel darah.
Menurut penelitian, dua metode pemeriksaan profil lipid ini tidak memiliki
perbedaan bermakna. Hal ini dimungkinkan karena teknologi electrode-based
biosensor berkembang semakin pesat karena tingginya kebutuhan pasien akan
sarana pemeriksaan penunjang yang cepat, murah dan mudah. Pada metode ini
akan membuat komponen-komponen tidak mudah berinteraksi dengan dunia luar
sehingga hasil yang ditampilkan akan lebih akurat. Meskipun tidak bermakna,
perbedaan yang ditimbulkan disebabkan oleh perbedaan kolesterol plasma kapiler
lebih tinggi 3,6% dibandingkan kadar plasma di vena (Suwandi, 2013).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan uji laboratoris
(Tabel 2.3). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari dan menemukan tanda
dan gejala khas, meskipun terkadang tidak ditemukan. Selain itu, pemeriksaan
fisik juga digunakan untuk menilai ada atau tidaknya faktor risiko. Manifestasi
klinis utama yang muncul biasanya berupa penyakit pembuluh darah iskemi,
pankreatitis dan xantomatosis. Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mencari gejala-
gejala tersebut (Arisman, 2013).
20
Tabel 2.3 Kadar Lipid Darah
Parameter yang diuji Kadar (mg/dL)
Optimal Borderline Berlebihan
Kolesterol total <200 200-240 >240
Kolesterol HDL >60 - <40
Kolesterol LDL <100 100-160 >160
Rasio kolesterol/HDL <4,5 4,5-5,5 >5,5
Rasio LDL/HDL <3 3-5 >5
Trigliserida 150 150-200 >200 (Arisman, 2013)
Kolesterol LDL dapat juga dihitung menggunakan rumus Friedwald, yaitu
kolesterol LDL (mg/dL) = kolesterol total – kolesterol HDL – (trigliserida/5).
Tetapi dengan syarat kadar trigliserida kurang dari 400 mg/dL (PERKI, 2015).
Pengambilan sampel darah untuk uji laboratoris profil lipid dilakukan
setelah pasien puasa 12 jam. Hal ini hanya diperlukan untuk pemeriksaan
trigliserid, sedangkan untuk kolesterol total dan HDL dapat diperiksa dalam
keadaan tidak berpuasa sebelumnya (PERKI, 2015).
2.2.7 Penilaian risiko
Penilaian risiko dianjurkan bagi pasien dengan (PERKI, 2015) :
a. Riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga.
b. Diabetes mellitus
c. Aterosklerosis di pembuluh darah manapun.
d. Keadaan klinis yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular prematur,
seperti hipertensi, obesitas (lingkar pinggang >90 cm untuk pria dan >80 cm
untuk wanita), penyakit inflamasi kronik autoimun (SLE, rematoid artritis,
psoriasis), penyakit ginjal kronik dengan GFR (Glomerulus Filtration Rate) <
60 ml/menit dan manifestasi klinis dislipidemia genetik (xanthelesma,
xanthoma).
21
e. Jika tidak terdapat keadaan di atas, maka pemeriksaan profil lipid dilakukan
bagi semua pria dengan usia >40 tahun dan wanita >50 tahun atau
pascamenopause.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menilai seberapa banyak faktor
risiko yang dimiliki pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan sasaran kadar
kolesterol LDL yang akan dicapai. Faktor risiko tersebut adalah (Adam, 2006) :
a. Usia pria >45 tahun dan wanita >55 tahun.
b. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dini, yaitu ayah < 55 tahun dan ibu
<65 tahun.
c. Kebiasaan merokok.
d. Hipertensi (>140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi).
e. Kolesterol HDL rendah (<40 mg/dL).
Faktor-faktor risiko diatas dibagi menjadi tiga kelompok risiko, yaitu
kelompok dengan risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendah. Klasifikasi
tersebut sebagai berikut :
Tabel 2.4 Klasifikasi Risiko
Kategori Risiko Sasaran Kolesterol
LDL (mg/dL)
Risiko tinggi
a. Ada riwayat penyakit arteri koroner (PAK) atau
penyakit kardiovaskular
b. Ada penyakit yang disamakan dengan PAK
- Diabetes mellitus
- Strok, penyakit arteri perifer, aneurisma
aorta abdominalis
- Risiko sedang (>2 risiko) yang diperkirakan
dalam waktu 10 tahun mempunyai risiko
PAK
<100
Risiko sedang (>2 faktor risiko) <130
Risiko rendah (0-1 risiko) <160 (Adam, 2006)
22
2.2.8 Tatalaksana
a. Non-farmakologis
Penatalaksanaan pasien dislipidemia dengan cara modifikasi gaya hidup,
seperti penurunan berat badan, olah raga dan menghindari makanan yang
mengandung tinggi kolesterol serta mengonsumsi sayur dan buah merupakan
tatalaksana yang penting dan berpengaruh terhadap penurunan kolesterol (Alwi,
2010).
Modifikasi gaya hidup yang dianjurkan adalah sebagai berikut (Adam,
2006) :
i. Terapi nutrisi medis
Pada prinsipnya terapi nutrisi yang dianjurkan kepada pasien
dislipidemia adalah pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien
dengan kadar kolesterol total atau LDL tinggi dianjurkan mengurangi
konsumsi lemak jenuh dan meningkatkan konsumsi lemak tidak jenuh.
Pada pasien dengan kadar trigliserid tinggi, dianjurkan mengurangi
konsumsi karbohidrat. Berikut adalah komposisi makanan untuk pasien
hiperkolesterolemia :
Tabel 2.5 Komposisi Makanan untuk Hiperkolesterolemia
Makanan Asupan yang Dianjurkan
Total lemak
- Lemak jenuh
- Lemak tidak jenuh
20-25% kalori total
<7% kalori total
10% kalori total
Karbohidrat 60% kalori total
Serat 30 gram/hari
Protein 15% kalori total
Kolesterol <200 mg/hari (Adam, 2006)
23
ii. Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan
kondisi dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisik dapat
dilakukan, seperti jalan kaki, bersepeda, naik turun tangga, berenang.
Sangat penting melakukan aktivitas fisik berdasarkan kemampuan dan
kesenangan pasien, hal itu bertujuan agar aktivitas tersebut dapat
dilakukan pasien dengan teratur.
b. Farmokologis
Apabila gagal dengan pengobatan non-farmakologis, maka harus dimulai
dengan pemberian obat penurun lipid. Anjuran untuk obat pilihan pertama
adalah golongan obat HMG-CoA reductase inhibitor. Golongan obat ini dipilih
karena sasaran utama dari terapi dislipidemia adalah menurunkan kadar
kolesterol-LDL. Namun apabila kadar trigliserid >400 mg/dL maka dimulai
dengan pemberian golongan obat derivat asam fibrat. Terdapat pula golongan
obat lain dengan mekanisme kerja berbeda-beda untuk mengobati
dislipidemia(Adam, 2006).
Obat-obat tersebut antara lain (Harvey, 2014) :
i. Penghambat HMG KoA reduktase
Obat jenis ini dapat menurunkan kadar kolesterol LDL yang
meningkat, sehingga dapat terjadi reduksi kejadian koroner bermakna
dan kematian akibat penyakit jantung koroner. Obat ini menghambat
langkah enzimatik pertama dalam pembuatan kolesterol, yaitu
menghambat HMG KoA reduktase, sehingga sintesis kolesterol
terhambat juga.
24
Contoh nama obat tersebut adalah rosuvastatin, atorvastatin,
simvastatin, pravastatin, lovastatin, fluvastatin.
ii. Niacin (nicotinic acid)
Niacin dapat menurunkan kadar LDL dengan cara menghambat
lipolisis pada jaringan adiposa, maka asam lemak yang digunakan hepar
untuk membuat trigliserid dan menjadi VLDL berkurang, sehingga
kadar LDL juga menurun.
iii. Fibrat (fenofibrat dan gemfibrozil)
Obat ini adalah derivat dari asam fibrat yang mampu menurunkan
kadar triasilglisero serum dan meningkatkan kadar HDL.
iv. Resin terikat-asam empedu
Resin atau sequestran asam empedu memiliki efek penurunan
kadar kolesterol. Obat ini bekerja dengan cara menjadi resin pengganti
yang berikatan dengan asam empedu dan garam empedu dalam usus
halus, kemudian kompeks resin dan asam empedu akan diekskresikan
melalui feses, sehingga mencegah asam empedu kembali ke hepar
melalu siklus enterohepatik.
Nama obat golongan ini antara lain adalah cholestyramine,
colestipol dan colesevelam.
v. Penghambat absorbsi kolesterol
Ezetimibe merupakan pbat penghambat absorbsi kolesterol di
usus halus secara selektif dan menyebabkan penurunan hantaran
kolesterol usus menuju hepar. Hal ini menyebabkan reduksi simpanan
25
kolesterol di hepar dan peningkatan bersihan kolesterol dari dalam
darah. Obat ini juga mampu meningkatkan kadar HDL.
vi. Terapi obat kombinasi
Penggunaan kombinasi obat antihiperlipidemia sering diperlukan
untuk mencapai tujuan terapi. Contohnya saja kombinasi antara
penghambat HMG KoA reduktase dengan resin pengikat-asam empedu
terbukti sangat bermanfaat dalam penurunan kadar kolesterol LDL.
Dapat juga kombinasi antara simvastatin dan ezetimibe digunakan
untuk menurunkan kadar LDL.
Berikut rangkuman karakteristik golongan obat antihiperlipidemia :
Tabel 2.6 Karakteristik Golongan Obat Antihiperlipidemia
Tipe Obat Efek terhadap
LDL
Efek terhadap
HDL
Efek terhadap
Trigliserid
Statin <<<< >> <<
Fibrat < >>> <<<<
Niacin << >>>> <<<
Tipe Obat Efek terhadap
LDL
Efek terhadap
HDL
Efek terhadap
Trigliserid
Sekuestran asam
empedu
<<< > Minimal
Penghambat
absorbsi
kolesterol
< > <
(Harvey, 2014)
2.3 Pola Hidup
Pola hidup adalah pola yang dideskripsikan seseorang melalui aktivitas
sehari-hari, kebiasaan yang dilakukan dan tingkat stress dan psikologis yang
dipengaruhi lingkungan keluarga dan kehidupan sosial. Pola hidup tersebut
meliputi kebiasaan makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, tingkat stres yang
dapat memengaruhi tingkat kesehatan seseorang (Trovato, 2012).
26
2.3.1 Pola makan
Makanan yang tidak sehat atau pola makan yang tidak baik akan
meningkatkan faktor risiko terhadap berbagai penyakit, seperti penyakit
kardiovaskular, kanker, diabetes dan kondisi-kondisi lain yang berhubungan
seperti obesitas. Rekomendasi spesifik untuk diet sehat adalah makan makanan
mengandung banyak vitamin dan mineral seperti buah, sayur dan kacang-
kacangan. Dianjurkan juga untuk membatasi konsumsi garam terutama pada
orang yang memiliki penyakit hipertensi. Disarankan juga untuk membatasi dan
mengontrol konsumsi gula dan lemak. Sangat dianjurkan untuk mengonsumsi
lemak tak jenuh (WHO).
Pada pasien hipertensi sangat dianjurkan untuk mengurangi pemasukan
natrium. Sebagai contoh makanan yang dibatasi penggunannya adalah garam
meja, makanan asap, makanan yang diawetkan baik menggunakan garam maupun
menggunakan bahan pengawet lain, bumbu- bumbu (bawang putih, garam,
seledri, monosodium glutamat, saus, kecap dan keju), minuman soda dan
makanan-makanan lain yang mengandung natrium (Moore, 2012).
Selain itu, pasien hipertensi juga dianjurkan mengonsumsi makanan yang
mengandung kalium. Hal ini dikarenakan kalium dapat memberikan efek
penurunan tekanan darah yang ringan dan juga dapat menggantikan kalium yang
hilang akibat pemakaian diuretik. Contoh makanan yang mengandung kalium
adalah apel, bayam, susu skim, jeruk, tomat, pisang, kentang. Kalsium juga dapat
diberikan pada pasien hipertensi. Dapat diberikan 2-3 gelas yogurt dalam sehari
(Moore, 2012).
27
Makanan yang mengandung rendah kolesterol dan lemak tak jenuh sangat
berperan penting terhadap tatalaksana pada pasien dislipidemia atau
hiperkolesterolemia. Makanan yang dapat dipilih adalah ikan, ayam tanpa kulit,
daging sapi tanpa lemak, susu skim, yogurt tanpa lemak, keju rendah lemak, putih
telur, buah segar, roti menggunakan minyak tak jenuh, minyak zaitun, minyak
sayur dan margarin rendah lemak (Moore, 2012).
2.3.2 Aktivitas fisik
Aktvitas fisik didefinisikan sebagai kegiatan dengan menggerakkan
tubuh oleh otot skelet dan membutuhkan energi untuk melakukannya. Inkativitas
fisik diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya berbagai penyakit yang
menyebabkan 3,2 juta kematian secara global (WHO).
Kegiatan seperti berjalan, bersepeda atau olahraga lainnya memiliki
manfaat yang signifikan untuk kesehatan. Sebagai contoh, aktivitas fisik dapat
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker usus besar, kanker
payudara serta menurunkan tingkat stress seseorang. Selain itu, aktivitas fisik
yang adekuat dan dengan cara yang benar akan menurunkan risiko fraktur pada
panggul dan verterbra serta dapat mengontro berat badan (WHO).
Data dari RISKESDAS (2013), menunjukkan bawa proporsi penduduk
yang kurang aktif dalam melakukan aktivitas fisik sedang berat sebanyak 26,1 %.
Terdapat 22 provinisi dengan penduduk yang beraktivitas fisik tergolong kurang
aktif berada di atas rata-rata Indonesia. Lima tertinggi provinsi tersebut adalah
Jakarta (44,2%), Papua (38,9%), Papua Barat (37,8%), Sulawesi Tenggara dan
Aceh (masing-masing 37,2%). Pada Jawa Timur, sebanyak 78,7% penduduk
melakukan aktivitas fisik secara aktif sebanyak 78,%.
28
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan
sebesar 10 mmHg pada tekanan darah lansia yang melakukan aktivitas atau
olahraga berjalan secara rutin, yaitu dengan ketentuan latihan pemanasan selama
10 menit, berjalan selama 30 menit dan pendinginan selama 5 menit. Pada
penelitian tersebut disebutkan bahwa olahraga dilakukan selama 40 kali dalam
waktu 8 minggu (Khomarun, 2013).
Aktivitas fisik terbukti mampu meningkatkan kadar HDL-kolesterol
karena terjadi peningkatan katabolisme lipoprotein yang kaya akan trigliserid oleh
karena peningkatan dari enzim Lipoprotein Lipase (LPL) di jaringan otot dan
lemak, sehingga kadar trigliserid dan VLDL akan turun dan komponen
katabolisme dari VLDL yang merupakan pembentuk dari HDL akan meningkat
(Mukarromah, 2010).
2.3.3 Kebiasaan merokok
Tembakau dalam rokok adalah satu dari faktor risiko utama pada penyakit
kronik, termasuk kanker, penyakit paru serta penyakit kardiovaskular (WHO).
Data menunjukkan bahwa proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari
pada usia 30-34 tahun sebesar 33,4%, usia 35-39 tahun 32,2%. Berdasarkan jenis
pekerjaan, petani, nelayan dan buruh merupakan proporsi perokok aktif setiap hari
terbesar dengan presentase 44,5% (RISKSDAS, 2013).
Tiap rokok mengandung kurang lebih 4.000 bahan kimia dan hampir 200
diantaranya beracun dan menyebabkan berbagai penyakit bagi tubuh. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna anatara
kebiasaan merokok dengan timbulnya penyakit hipertensi, dan juga orang dengan
29
mengonsumsi rokok dengan durasi kurang lebih 10 menit juga akan meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi (Setyanda, 2015).
Merokok dapat menyebabkan perubahan pada profil lipoprotein pada
serum. Perubahan tersebut adalah meningkatnya kadar kolesterol totaldan
trigliserid dan penurunan kadar HDL-kolesterol. Hal ini disebabkan oleh nikotin
yang berada dalam rokok dapat menstimulasi sekresinya hormon kortisol dan
hormon pertumbuhan (growth hormones) yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas (free fatty acid) yang akhirnya menstimulasi hepar
untuk memproduksi VLDL dan trigliserid (Mouhamed, 2013).
2.3.4 Faktor stress
Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa sekitar 38,45% dari sampel
penelitian dilaporkan dalam keadaan stress dan memiliki tekanan yang lebih
tinggi dari pada sampel yang tidak mengalami stress. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor psikologis juga berpengaruh dalam berbagai penyakit. Oleh karena itu,
pengendalian faktor stress juga harus dilakukan agar tercipta tujuan terapi yang
optimal (Hu et al, 2015).
Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa terdapat perbedaan respon
yang signifikan terhadap pria dengan wanita. Penelitian tentang respon emosional
ini menyebutkan bahwa pria memiliki peningkatan tekanan darah lebih besar
daripada wanita, meskipun wanita memiliki respon detak jantung yang lebih
besar(Hu et al, 2015).
Stres psikologis berkontribusi sebanyak 9% pada risiko terjadinya
hipertensi. Penelitian pada 52 negara menyebutkan bahwa terdapat hubungan
30
yang kuat antara infark mokard dengan keadaan stres yang terjadi di rumah, stres
finansial, dan stres terhadap permasalahan hidup lainnya (Hu et al, 2015).
Pada keadaan stress hormon kortisol dan katekolamin seseorang akan
meningkat dan menginduksi terbentuknya trigliserid dan meningkatnya kadar
LDL. Kortisol akan menginduksi produksi VLDL dari hepar, sehingga kadarnya
meningkat dalam darah (Marcondes et al, 2012).
2.4 Natural History of Disease (Perjalanan Penyakit)
Natural history of disease adalah perjalanan dari sebuah penyakit pada
seseorang dari waktu ke waktu tanpa diberikan pengobatan. Banyak penyakit
memiliki karakteristik perjalanan penyakit meskipun waktu dan gejala klinis yang
spesifik sebuah penyakit akan berbeda satu individu dengan individu lainnya,
sehingga menyebabkan cara pengobatan yang berbeda (CDC).
Manfaat dari memahami perjalanan suatu penyakit adalah agar dapat
mengantisipasi prognosis dan mengidentifikasi kemungkinan untuk melakukan
pencegahan. Selain itu, bermanfaat untuk mengetahui waktu perjalanan penyakit
sehingga dapat mengintervensi agar tidak jatuh ke keadaan yang lebih serius.
Umumnya, pencegahan dilakukan sebelum pasien terkena suatu penyakit atau saat
seseorang masih sehat. Pada gambar 2.5 digambarkan tentang fase dari perjalanan
suatu penyakit (AFMC).
31
(CDC)
Gambar 2.5
Natural History of Disease
Pada hipertensi, penyakit berjalan dari jarang muncul keadaan tekanan
darah tinggi hingga semakin lama semakin sering muncul hingga keadaan
persisten atau terus menerus tinggi. Setelah lama dalam keadaan tekanan darah
tinggi dan tanpa gejala, maka akan berkembang ke keadaan hipertensi
berkomplikasi atau terdapat kerusakan pada organ-organ tubuh. Mulai dari
pembuluh darah, jantung, ginjal, retina mata dan saraf. Menurut penelitian, pada
hipertensi esensial, penyakit berjalan pada pasien rata-rata pada usia 30 tahun dan
berkembang hingga menjadi hipertensi yang berkomplikasi pada usia 50-60 tahun
(Dreisbach, 2015).
2.5 Konsep Sehat Sakit
Triangle, web causation, wheel, hendrik l blum/la londe
2.5.1 Segitiga epidemiologi
Segitiga epidemiologi terdiri dari agen, host dan lingkungan. Teori pada
model ini disebutkan bahwa penyakit dihasilkan dari interaksi antara agen dan
host di lingkungan yang mendukung terjadinya transmisi agen (CDC).
32
(CDC)
Gambar 2.6
Segitiga Epidemiologi
Faktor agen, host dan lingkungan saling berhubungan dalam menimbulkan
penyakit. Berbeda penyakit membutuhkan perbedaan keseimbangan interaksi
antara ketiga komponen tersebut (CDC).
Agen merupakan mikroorganisme yang infeksius atau patogen. Misalnya,
bakteri, parasit atau mikroba lain. Umumnya, keberadaan suatu agen membuat
timbulnya suatu penyakit. Namun, keberadaan agen sendiri tidak selalu
menyebabkan penyakit, tergantung dari kemampuan agen untuk menyebabkan
penyakit dan jumlah dari agen tersebut (CDC).
Seiring berjalannya waktu, konsep agen semakin meluas. Selain
mikroorganisme, bahan kimia dan fisika yang menyebabkan penyakit atau luka
dapat dikatakan sebagai agen. Contohnya, gerakan mekanik yang berulang yang
menyebabkan terjadinya carpal tunnel syndrome.
Host adalah manusia yang terkena penyakit. Berbagai faktor intrinsik yang
dimiliki host, disebut faktor risiko, dapat memengaruhi respon terhadap agen
penyebab penyakit. Kesempatan untuk terpapar agen sering dipengaruhi oleh
kebiasaan, seperti kebersihan, jenis kelamin, kehidupan seksual dan usia. Faktor
33
lain yang dapat memengaruhi adalah genetik, nutrisi, status imunologi,
ketersediaan pengobatan dan keadaan psikologis (CDC).
Lingkungan termasuk faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi
kesempatan agen untuk menyebabkan penyakit. Faktor lingkungan, seperti
keadaan geografis, iklim, faktor biologis (contohnya serangga sebagai agen
transmisi), faktor sosial ekonomi (kepadatan, sanitasi) dan ketersediaan pelayanan
kesehatan. Meskipun segitiga epidemiologi ini berguna untuk berbagai penyakit,
namun segitiga epidemiologi ini kurang cocok bila digunakan untuk penyakit-
penyakit seperti pada kardiovaskular, kanker dan penyakit lain yang memiliki
penyebab yang multipel tanpa ada satu bagian yang menonjol (CDC).
2.5.2 The Force Field of Health (Konsep Faktor Risiko)
Terdapat empat aspek yang berperan terhadap kesehatan seseorang. Aspek
tersebut meliputi genetik, pelayanan kesehatan, lingkungan dan pola hidup.
Gambar 2.7 menggambarkan tentang konsep sehat sakit pada model ini.
(Newbold, 2010)
Gambar 2.7
Konsep Faktor Risiko
Genetik
Status Kesehatan Pelayanan
kesehatan Lingkungan
Perilaku
34
Genetik atau karakteristik yang diturunkan orangtua membuat seseorang
memiliki masalah kesehatan tertentu. Faktor genetik merupakan faktor yang tidak
dapat diubah untuk mengupayakan tidak timbulnya suatu penyakit. Sedangkan
pelayanan kesehatan berperan sebagai sarana promosi kesehatan, mencegah
masalah kesehatan, mendiagnosis dan mengobati penyakit yang diderita seseorang
serta meningkatkan kualitas hidup (Newbold, 2010).
Pola hidup meliputi kebiasaan yang dilakukan seseorang, seperti merokok,
olah raga, kebiasaan makan, kebiasaan menggunakan sabuk pengaman saat
berkendara yang berpengaruh terhadap kesehatan. Menurut penelitian, obesitas
yang diakibatkan tidak sehatnya pola makan dan tidak teraturnya dalam berolah
raga dapat mengakibatkan masalah pada kesehatan. Pada faktor lingkungan,
seperti faktor sosiokultural yang bergantung pada dimana seseorang tinggal,
sanitasi, sinar matahari, kepadatan penduduk, polusi udara dapat mempengaruhi
status kesehatan seseorang dan secara tidak langsung memengaruhi pola hidup
seseorang. Henrik Blum berpendapat bahwa lingkungan merupakan faktor kuat
dalam mempengaruhi kesehatan seseorang (Newbold, 2010).
Keempat faktor diatas, yaitu genetik, pelayanan kesehatan, lingkungan dan
pola hidup dapat berinteraksi dan saling memengaruhi satu sama lain sehingga
memengaruhi status kesehatan juga. Contohnya, lingkungan tinggal seseorang
memengaruhi pola hidup orang tersebut begitu juga ketersediaan pelayanan
kesehatan yang akhirnya ketiga faktor tersebeut memengaruhi status kesehatan
(Newbold, 2010).
35
2.5.3 Web of Causation
Web of causation menjelaskan tentang keterkaitan faktor-faktor atau agen
terhadap suatu penyakit. Model ini menjelaskan tentang penyebab multifaktorial
yang dapat berjalan dengan berbagai cara. Web of causation ini akan menjelaskan
lebih kompleks tentang kemungkinan penyebab dan perjalanan terjadinya suatu
penyakit. Model ini biasa digunakan untuk memahami penyakit-penyakit yang
kronis. Namun dapat pula digunakan untuk penyakit akibat perlukaan. Pada
gambar 2.8 dijelaskan tentang berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
beberapa penyakit sekaligus, yaitu hipertensi, stroke dan penyakit jantung, yang
ketiga penyakit ini juga saling berhubungan dan saling memengaruhi (Rockett,
2009).
(Rockett, 2009)
Gambar 2.8
Web of Causation
2.5.4 The Wheel of Causation
The wheel og causation terdiri dari host yang membawa genetik berbeda-
beda pada tiap individu, lalu dikelilingi oleh lingkungan (baik lingkungan
36
biologis, fisika dan sosial). Proporsi setiap faktor tergantung dari penyakitnya.
Contohnya, pada anemia sickle cell proporsi faktor genetik menyebabkan penyakit
menjadi besar. Sedangkan penyakit-penyakit infeksi, seperti campak, influenza
dan lainnya proporsi imunitas dari host dan keadaan lingkungan berkontribusi
lebih banyak (Rockett, 2009).
(Rockett, 2009)
Gambar 2.9
The Wheel of Causation