bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-1-00351-mtif-bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Persamaan Integral
Pengintegrasian (integration), bersama dengan pendiferensiasian
(differentiation), merupakan konsep matematika yang menjadi jantung dari kalkulus.
Berdasarkan Microsoft Encarta Premium 2006 Dictionary Tools, mengintegrasikan (to
integrate) berarti “membawa seluruhnya, bagian per bagian, menjadi sebuah bentuk
utuh; menyatukan; untuk mengindikasikan jumlah total ...” Secara matematik,
pengintegrasian dilambangkan dengan:
∫=b
adxxfI )( Pers. (2.1)
yang berarti integral dari fungsi f(x) dengan variabel bebas x, dievaluasi berdasarkan
batas x = a dan x = b. Fungsi f(x) dalam pers. (2.1) disebut integran (integrand).
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh kamus bahasa, “arti” dari pers. (2.1)
adalah nilai total atau penjumlahan (summation) dari f(x) dx dalam jangkauan x = a
hingga b. Berdasarkan faktanya, simbol ∫ sebenarnya merupakan sebuah huruf kapital
S yang diberi sentuhan gaya yang ditujukan untuk menandakan hubungan tertutup antara
pengintegrasian dan penjumlahan.
Gambar 2.1 berikut merupakan sebuah penggambaran secara grafik dari konsep
tersebut. Untuk fungsi yang terletak di atas sumbu x, integral yang dinyatakan oleh pers.
(2.1) mengacu kepada area di bawah kurva f(x) antara x= a dan b.
7
Gambar 2.1 Penggambaran secara grafik dari integral f(x) antara batas x = a dan b. Integral tersebut ekivalen dengan daerah di bawah kurva
Fungsi yang diintegrasikan akan memiliki satu dari tiga bentuk khusus berikut
ini:
• Sebuah fungsi kontinu sederhana, seperti sebuah polinomial, sebuah eksponensial,
atau sebuah fungsi trigonometri.
• Sebuah fungsi kontinu yang rumit, yang sulit atau tidak mungkin diintegralkan
secara langsung..
• Sebuah fungsi yang ditabulasikan, di mana nilai-nilai dari x dan f(x) diberikan pada
sejumlah titik tertentu (diskrit), sebagaimana seringkali terjadi pada kasus dengan
data lapangan atau data hasil eksperimen.
Pada kasus pertama, integral dari sebuah fungsi sederhana mungkin dapat
dievaluasi secara analitik menggunakan kalkulus. Untuk kasus kedua, solusi analitik
seringkali tidak praktis, dan terkadang mustahil, untuk diperoleh. Dalam hal ini,
demikian juga dengan kasus ketiga dari data diskrit, metode pendugaan/perkiraan harus
8
digunakan.
Pendekatan berorientasi visual digunakan untuk mengintegrasikan data
tertabulasi dan fungsi yang rumit pada masa sebelum komputer ditemukan. Sebuah
pendekatan berdasarkan intuisi yang sederhana adalah dengan menempatkan fungsi
tersebut pada sebuah kisi-kisi (grid) (Gambar 2.2) dan menghitung jumlah kotak-kotak
yang digunakan sebagai penduga dari daerah tersebut. Jumlah tersebut dikalikan dengan
daerah di mana setiap kotak memberikan sebuah perkiraan kasar mengenai daerah total
di bawah kurva. Perkiraan ini dapat diperhalus, dengan usaha tambahan, menggunakan
sebuah kisi-kisi yang lebih baik.
Gambar 2.2 Penggunaan dari sebuah kisi-kisi (grid) untuk menaksir sebuah integral
9
Pendekatan yang masuk akal lainnya adalah dengan membagi daerah tersebut
menjadi bagian-bagian berbentuk vertikal, atau strips, dengan tinggi yang setara dengan
nilai fungsi pada titik tengah setiap bagian (Gambar 2.3). Daerah dari persegi panjang
tersebut dapat kemudian dihitung dan dijumlahkan untuk memperkirakan.jumlah total
dari daerah tersebut. Pada pendekatan ini, diasumsikan bahwa nilai pada titik tengah
setiap bagian memberikan sebuah pendugaan yang sah dari rata-rata tinggi dari fungsi
untuk setiap strip. Sebagaimana dengan metode kisi-kisi, perkiraan yang diperhalus
adalah mungkin dengan menggunakan lebih banyak (dan lebih tipis) strips untuk
menaksir integral tersebut.
Gambar 2.3 Penggunaan dari persegi panjang atau strips untuk menaksir sebuah integral
2.2. Metode dan Integrasi Numerik
Walaupun pendekatan sederhana yang demikian memiliki sarana untuk
pendugaan yang cepat, teknik numerik alternatif juga tersedia untuk tujuan yang sama.
Tidak mengejutkan, cara yang paling sederhana dari metode ini mirip dalam hal jiwa
dari teknik nonkomputer.
10
Integrasi numerik atau metode kuadratur (quadrature) tersedia untuk
memperoleh integral-integral. Metode-metode ini, yang mana lebih mudah untuk
diimplementasikan dibandingkan dengan pendekatan kisi-kisi, sangat mirip jiwanya
dengan metode strip. Yaitu, tinggi fungsi dikalikan dengan lebar strip dan dijumlahkan
untuk memperkirakan integral tersebut. Bagaimanapun, melalui pemilihan yang cerdas
dari faktor pembobot (weighting factor), perkiraan yang dihasilkan dapat dibuat lebih
akurat dibandingkan dengan metode strip yang sederhana. Sebagaimana dalam metode
strip sederhana, integrasi numerik menggunakan data pada titik-titik tertentu. Karena
informasi berbentuk tabel sudah berbentuk demikian, maka hal itu dapat cocok dengan
banyak dari pendekatan-pendekatan numerik. Sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 2.4,
tabel tersebut dapat kemudian
dievaluasi dengan sebuah metode
numerik.
Gambar 2.4 Aplikasi dari sebuah metode integrasi numerik: (a) Fungsi kontinu yang rumit. (b). Tabel nilai diskrit dari f(x) yang dihasilkan dari sebuah fungsi. (c). Penggunaan salah satu metode numerik (metode strip) untuk menaksir integral yang berdasarkan kepada titik-titik diskrit. Untuk sebuah fungsi berbentuk tabel, data sudah dalam bentuk tabel (b); untuk itu, langkah (a) tidak diperlukan
11
2.3. Integrasi Romberg
Pada subbab 2.1., diketahui bahwa fungsi-fungsi yang akan diintegrasikan secara
numerik memiliki dua bentuk yang khas: sebuah tabel berisi nilai-nilai atau sebuah
fungsi. Bentuk dari data memiliki pengaruh terhadap pendekatan yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi integralnya. Untuk informasi berbentuk tabel (yang tidak dibahas
dan digunakan dalam skripsi ini), kita dibatasi oleh jumlah dari titik-titik yang diberikan.
Berlawanan dengan hal itu, Jika sebuah fungsi tersedia, maka kita dapat menghasilkan
sebanyak mungkin nilai dari f(x) yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat akurasi yang
dapat diterima (seperti gambar 2.4).
Integrasi Romberg merupakan teknik yang digunakan dalam integrasi numerik
untuk menganalisis kasus di mana fungsi yang akan diintegrasikan tersedia. Teknik ini
memiliki keunggulan untuk menghasilkan nilai-nilai dari fungsi untuk mengembangkan
skema yang efisien bagi pengintegrasian secara numerik. Integrasi Romberg didasarkan
pada ekstrapolasi Richardson (Richardson’s extrapolation), yang mana merupakan
metode untuk mengkombinasikan dua perkiraan integral secara numerik untuk
memperoleh nilai ketiga, yang lebih akurat. Integrasi Romberg merupakan algoritma
komputasi untuk mengimplementasikan ekstrapolasi Richardson melalui sebuah cara
yang sangat efisien. Teknik ini bersifat rekursif dan dapat digunakan untuk
menghasilkan sebuah perkiraan integral dalam batas toleransi kesalahan (error
tolerance) yang sudah ditentukan terlebih dahulu.
Integrasi Romberg didasarkan pada aplikasi beturut-turut (rekursif) dari aturan
trapesium (trapezoidal rule). Walau bagaimanapun, melalui manipulasi secara
12
matematik, hasil yang superior dapat dicapai dengan sedikit usaha.
2.3.1. Ekstrapolasi Richardson
Ekstrapolasi Richardson merupakan metode yang menggunakan dua
perkiraan dari sebuah integral untuk mengkomputasi pendugaan ketiga, yang
lebih akurat.
Perkiraan dan kesalahan (error) yang diasosiasikan dengan aturan
trapesium multi-aplikasi (multiple-application trapezoidal rule) dapat
digambarkan secara umum sebagai
)()( hEhII += Pers. (2.2)
di mana I adalah nilai yang sebenarnya dari integral tersebut, I(h) adalah
pendugaan dari sebuah aturan trapesium dengan aplikasi bersegmen n dengan
lebar langkahnya h = (b – a)/n, dan E(h) adalah kesalahan pemotongan
(truncation error). Jika kita membuat dua perkiraan yang berbeda menggunakan
lebar langkah h1 dan h2 dan memiliki nilai yang sebenarnya untuk error-nya,
)()()()( 2211 hEhIhEhI +=+ Pers. (2.3)
Sekarang ingat bahwa error dari aturan trapesium multi-aplikasi dapat
diperkirakan sebagai
"12
)(2
3
fnabEa
−−= Pers. (2.4)
Dengan n = (b - a)/h menjadi
13
"12
2 fhabE −−≅ Pers. (2.5)
Jika diasumsikan bahwa "f adalah konstan, tidak dipengaruhi oleh lebar
langkah. Pers. (2.5) dapat digunakan untuk menentukan bahwa rasio dari kedua
error adalah
22
21
2
1
)()(
hh
hEhE
≅ Pers. (2.6)
Perhitungan ini memiliki efek penting dalam penghilangan bagian "f dari
perhitungan. Dengan demikian, hal itu memungkinkan kita untuk menggunakan
informasi yang dinyatakan oleh pers. (2.5) tanpa terlebih dahulu mengetahui
turunan kedua dari fungsi tersebut. Untuk melakukan hal itu, kita ubah pers. (2.6)
menjadi
2
2
121 )()( ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛≅
hhhEhE Pers. (2.7)
yang mana dapat disubstitusikan ke dalam pers (2.3):
)()()()( 22
2
2
121 hEhI
hhhEhI +≅⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+ Pers. (2.8)
yang dapat disederhanakan menjadi
221
212 )/(1
)()()(hh
hIhIhE−
−≅ Pers. (2.9)
Hasilnya, kita telah mengembangkan sebuah perkiraan dari error pemotongan
14
dalam hal pendugaan integral dan lebar langkahnya. Perkiraan ini dapat
disubstitusikan ke dalam
)()( 22 hEhII += Pers. (2.10)
untuk menghasilkan sebuah pendugaan integral yang telah diperbaiki:
)]()([1)/(
1)( 12221
2 hIhIhh
hII −−
+≅ Pers. (2.11)
Hal ini menunjukkan (Ralston dan Rabinowitz, 1978) bahwa error dari
pendugaan ini adalah O(h4). Hasilnya, kita telah mengkombinasikan dua
perkiraan aturan trapesium dari O(h2) untuk menghasilkan sebuah penduga yang
baru dari O(h4). Untuk kasus khusus di mana intervalnya dibagi dua (h2 = h1/2),
persamaan ini menjadi
)]()([12
1)( 1222 hIhIhII −−
+≅ Pers. (2.12)
atau, dibentuk menjadi,
)(31)(
34
12 hIhII −≅ Pers. (2.13)
Pers. (2.4) memberikan sebuah cara untuk mengkombinasikan dua aplikasi
dari aturan trapesium dengan error O(h2) untuk menghitung penduga ketiga
dengan error O(h4). Pendekatan ini adalah sebuah subhimpunan dari sebuah
metode yang lebih umum untuk mengkombinasikan integral-integral dari O(h4)
pada basis dari tiga penduga aturan trapesium. Kedua penduga tersebut dapat,
15
dalam perubahannya, dikombinasikan untuk menghasilkan sebuah nilai yang
lebih baik dengan O(h6). Untuk kasus khusus di mana penduga trapesium yang
asli didasarkan kepada pembagian terus-menerus dari lebar langkah, persamaan
yang digunakan untuk keakuratan O(h6) adalah
lm III151
1516
−≅ Pers. (2.14)
di mana Im dan Il masing-masing adalah penduga yang lebih (more) dan kurang
(less) akurat. Dengan cara yang sama, dua hasil O(h6) dapat dikombinasikan
untuk menghitung sebuah integral O(h8) menggunakan
lm III631
6364
−≅ Pers. (2.15)
2.3.2. Algoritma Integrasi Romberg
Perhatikan bahwa koefisien dari masing-masing persamaan ekstrapolasi
(Pers. (2.13), Pers. (2.14), dan Pers. (2.15)) bertambah hingga mendekati satu.
Hasilnya, mereka merepresentasikan faktor-faktor pembobot yang, sejalan
dengan meningkatnya akurasi, menempatkan bobot yang secara relatif lebih
besar pada penduga integral superior. Formulasi-formulasi tersebut dapat
diekspresikan dalam bentuk yang umum yang cocok untuk diimplementasikan
pada komputer:
14
41
1,1,11
, −
−≅ −
−−+−
kkjkj
k
kj
III Pers. (2.16)
di mana Ij + 1,k – 1 dan Ij,k – 1, masing-masing adalah integral yang lebih dan kurang
16
akurat, dan Ij,k adalah integral yang diperbaiki. Indeks k menandakan tingkat dari
pengintegrasian, di mana k = 1 mengacu kepada penduga aturan trapesium yang
asli, k = 2 mengacu kepada O(h4), k = 3 kepada O(h6), dan seterusnya. Indeks j
digunakan untuk membedakan antara penduga yang lebih akurat (j + 1) dan
penduga yang kurang akurat (j). Sebagai contoh, untuk k = 2 dan j = 1, pers. 2.16)
menjadi
34 1,11,2
2,1
III
−≅ Pers. (2.17)
yang ekivalen dengan pers. (2.13).
Gambar 2.5 Penggambaran secara grafik dari barisan penduga integral f(x) = 0,2 + 25x – 200x2 + 675x3 – 900x4 + 400x5 dari a = 0 hingga b = 0,8, yang dihasilkan menggunakan
integrasi Romberg. (a) Iterasi pertama. (b) Iterasi kedua. (c) Iterasi ketiga
Bentuk umum yang direpresentasikan oleh pers. (2.16) merupakan hasil
karya Romberg, dan aplikasi sistematik untuk mengevaluasi integralnya dikenal
dengan nama Integrasi Romberg. Gambar 2.5 merupakan penggambaran secara
grafik dari barisan penduga integral yang dihasilkan menggunakan pendekatan
ini. Setiap matriks mengacu kepada sebuah iterasi tunggal. Kolom pertama
mengandung evaluasi terhadap aturan trapesium yang menggambarkan Ij,i, di
17
mana j = 1 adalah untuk sebuah aplikasi bersegmen tunggal (lebar langkahnya
adalah b – a), j = 2 adalah untuk sebuah aplikasi dengan segmen dua (lebar
langkahnya adalah (b – a)/2), j = 3 adalah untuk sebuah aplikasi bersegmen
empat (lebar langkahnya adalah (b – a)/4), dan seterusnya. Kolom matriks
lainnya dihasilkan oleh pengaplikasian pers. (2.16) secara sistematis untuk
memperoleh penduga yang lebih baik dari suatu integral secara berturut-turut.
Sebagai contoh, iterasi pertama (Gambar 2.5a) melibatkan perhitungan
penduga aturan trapesium bersegmen satu dan dua (I1,1 dan I2,1). Pers. (2.16)
kemudian digunakan untuk mencari elemen I1,2 = 1.367467, yang merupakan
sebuah error dari O(h4).
Sekarang, kita harus memeriksa untuk menentukan apakah hasil ini
cukup untuk keperluan kita. Sebagaimana dengan metode pendugaan lainnya,
sebuah kriteria pengakhiran (termination) atau penghentian (stopping)
dibutuhkan untuk menentukan keakuratan dari suatu hasil. Salah satu metode
yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah sebagai berikut
%100inisaatperkiraan
sebelumnyaperkiraaninisaatperkiraana
−=ε Pers. (2.18)
atau
%100,1
1,2,1
k
kka I
II −−=ε Pers. (2.19)
di mana aε adalah sebuah penduga dari persen error relatif. Hasilnya,
18
sebagaimana telah dilakukan sebelumnya pada proses iterasi lainnya, kita
membandingkan penduga yang baru dengan nilai sebelumnya. Ketika pergantian
antara nilai yang lama dan baru sebagaimana direpresentasikan oleh aε , berada
di bawah kriteria error sε yang telah ditentukan sebelumnya, maka perhitungan
dihentikan. Untuk gambar 2.5a, evaluasi ini menandakan perubahan sebanyak
21,8% terhadap hasil iterasi pertama.
Tugas dari iterasi kedua (Gambar 2.5b) adalah untuk memperoleh penduga
O(h6)—I1,3. Untuk itu, sebuah penduga aturan trapesium tambahan, I3,1 = 1,4848,
ditentukan. Kemudian penduga tersebut dikombinasikan dengan I2,1
menggunakan pers. (2.16) untuk menghasilkan I2.2 = 1,623467. Hasilnya, pada
gilirannya, dikombinasikan dengan I1,2 untuk menghasilkan I1,3 = 1,640533. Pers.
(2.17) dapat diaplikasikan untuk menentukan bahwa hasil tersebut
merepresentasikan sebuah perubahan sebanyak 1.0% ketika dibandingkan
dengan hasil I1,2 sebelumnya.
Iterasi ketiga (Gambar 2.5c) melanjutkan proses tersebut dengan cara yang
sama. Pada kasus ini, sebuah penduga trapesium ditambahkan ke dalam kolom
pertama, dan kemudian pers. (2.16) diaplikasikan untuk menghitung secara
berturut-turut integral yang lebih akurat sepanjang diagonal yang lebih rendah.
Setelah hanya tiga kali iterasi, karena mengevaluasi sebuah polinomial berordo
lima, hasilnya (I1,4 = 1,640533) adalah tepat.
Integrasi Romberg lebih efisien dibandingkan dengan aturan trapesium
dan aturan Simpson (tidak dibahas dalam skripsi ini). Sebagai contoh, untuk
19
menentukan integral yang ditunjukkan oleh f(x) = 0,2 + 25x – 200x2 + 675x3 –
900x4 + 400x5 dari a = 0 hingga b = 0,8, aturan Simpson 1/3 membutuhkan
sebuah aplikasi dengan segmen sebanyak 256 untuk menghasilkan sebuah
penduga dari 1,640533. Penaksiran yang lebih baik mustahil dilakukan karena
error yang disebabkan oleh pembulatan angka (di belakang koma). Berlawanan
dengan hal itu, integrasi Romberg mencapai hasil yang tepat (hingga tujuh angka
yang signifikan) dengan menggunakan aturan trapesium bersegmen satu, dua,
empat, dan delapan; yaitu, dengan pengevaluasian fungsi sebanyak 15 kali saja.
Perlu diingat bahwa integrasi Romberg dirancang untuk kasus di mana
fungsi yang akan diintegrasikan sudah diketahui. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan fungsi tersebut mengijinkan pengevaluasian yang dibutuhkan untuk
implementasi pertama dari aturan trapesium.
2.4. Kuadratur Gauss dan Gauss-Legendre
Kuadratur Gauss merupakan pendekatan metode numerik yang digunakan untuk
mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh persamaan Newton-Cotes, yaitu di mana
persamaan Newton-Cotes ini (contoh: aturan trapesium) melakukan pendugaan terhadap
suatu integral dengan berdasarkan kepada fungsi bernilai genap. Akibatnya, nilai dasar
yang digunakan dalam persamaan ini sudah ditentukan sebelumnya atau bersifat tetap.
Sebagai contoh, seperti pada gambar 2.6, aturan trapesium didasarkan kepada
pengambilan daerah pendugaan di bawah garis lurus yang menghubungkan nilai fungsi
pada akhir interval integrasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung area ini adalah
20
( ) ( ) ( )2
bfafabI
+−≅ Pers. (2.20)
di mana a dan b adalah batas integrasi dan b – a adalah jarak/lebar dari interval integrasi.
Karena aturan trapesium harus melewati titik akhir, maka akan muncul kasus-kasus
seperti gambar 2.6 di mana rumus tersebut menghasilkan error yang tinggi.
Gambar 2.6 (a) Penggambaran secara grafik dari aturan trapesium sebagai daerah di bawah garis lurus yang menghubungkan titik-titik akhir. (b) Sebuah pendugaan integral yang lebih baik yang diperoleh dengan cara mengambil area di bawah garis lurus yang melewati dua titik yang ada di antaranya. Dengan memposisikan titik-titik tersebut dengan bijak, maka error positif dan negatif menjadi berimbang, dan sebuah pendugaan integral yang lebih baik akan dihasilkan.
Sekarang, seandainya halangan titik dasar yang tetap tersebut dihilangkan dan
kita dengan bebas menempatkan titik-titik tersebut dengan bijak, maka kita dapat
menghasilkan sebuah garis lurus yang akan menyimbangkan error positif dan negatif.
Seperti gambar 2.6, kita akan melihat sebuah pendugaan integral yang telah diperbaiki.
Kuadratur Gauss adalah nama untuk sebuah teknik untuk mengimplementasikan
strategi tersebut. Rumus kuadratur Gauss ini disebut rumus Gauss-Legendre. Rumus
21
Gauss-Legendre dikembangkan dengan menggunakan teknik yang dapat menurunkan
rumus integrasi numerik seperti aturan trapesium yang menggunakan metode koefisien
tak tertentu.
2.4.1. Metode Koefisien Tak Tertentu
Metode koefisien tak
tertentu memberikan sebuah
pendekatan yang memiliki
perangkat untuk menurunkan teknik
integrasi lainnya seperti kuadratur
Gauss.
Gambar 2.7 Dua integral yang dievaluasi dengan tepat oleh aturan trapesium: (a)
sebuah konstan dan (b) sebuah garis lurus.
Sebagai contoh, pers. (2.20) dinyatakan sebagai
( ) ( )bfcafcI 10 +≅ Pers. (2.21)
di mana c adalah konstan. Ingat bahwa aturan trapesium akan menghasilkan hasil
yang tepat ketika fungsi yang diintegrasikan adalah sebuah konstan atau garis
lurus. Dua persamaan sederhana yang menggambarkan kasus tersebut adalah y =
1 dan y = x. Keduanya diilustrasikan pada gambar 2.7. Karena itu, persamaan
22
berikut akan menjadi
( )
( )∫
−
−=+
2/
2/10 1ab
abdxcc
dan
( )
( )∫
−
−=
−+
−−
2/
2/10 22ab
abdxx
abc
abc
atau, dengan mengevaluasikan integral,
abcc −=+ 10
dan
022 10 =−
+−
−ab
cab
c
Berikut adalah dua persamaan dengan dua variabel yang tidak diketahui yang
dapat diselesaikan dengan
210
abcc
−==
yang mana, ketika disubstitusikan kembali ke dalam pers. (2.21), sehingga
memberikan
( ) ( )bfab
afab
I22−
+−
=
yang sama dengan aturan trapesium.
23
2.4.2. Penurunan Rumus Gauss-Legendre Dua Titik
Seperti halnya penurunan aturan trapesium di atas, tujuan kuadratur
Gauss adalah untuk menentukan koefisien dari sebuah persamaan dari bentuk
( ) ( )1100 xfcxfcI +≅ Pers. (2.22)
di mana c adalah koefisien yang tidak diketahui. Walau bagaimanapun,
berlawanan dengan aturan trapesium yang menggunakan titik-titik akhir a dan b
yang tetap, argumen fungsi x0 dan x1 yang tidak tetap pada titik akhir, namun
tidak diketahui (Gambar 2.8). Dengan demikian, kita sekarang memiliki empat
variabel yang tidak diketahui yang harus dievaluasi, dan akibatnya, kita
membutuhkan empat kondisi untuk menentukan variabel yang tidak diketahui
tersebut secara tepat.
Gambar 2.8 Penggambaran secara grafik dari variabel x0 dan x1 untuk pengintegrasian dengan menggunakan kuadratur Gauss
Seperti halnya aturan trapesium, kita dapat memperoleh dua dari kondisi
tersebut dengan mengasumsikan bahwa pers. (2.22) cocok dengan integral dari
sebuah konstan dan sebuah fungsi linier secara tepat. Kemudian, untuk sampai
24
pada kedua kondisi lainnya, kita hanya melanjutkan argumen ini dengan
mengasumsikan bahwa kondisi ini juga cocok dengan integral dari sebuah fungsi
parabolik (y = x2) dan fungsi kubik (y = x3). Dengan melakukan hal itu, kita
menentukan keempat variabel yang tidak diketahui dan sebagai pertukarannya
menurunkan sebuah rumus integrasi linier dua titik yang tepat untuk kubik-
kubik. Keempat persamaan yang akan diselesaikan adalah
( ) ( ) 211
11100 ==+ ∫− dxxfcxfc Pers. (2.23)
( ) ( ) 01
11100 ==+ ∫− dxxxfcxfc Pers. (2.24)
( ) ( )321
1
21100 ==+ ∫− dxxxfcxfc Pers. (2.25)
( ) ( ) 01
1
31100 ==+ ∫− dxxxfcxfc Pers. (2.26)
Pers. (2.24) hingga pers. (2.26) dapat diselesaikan secara simultan dengan
110 ==cc Pers. (2.27)
...5773503.03
10 −=−=x Pers. (2.28)
...5773503.03
11 ==x Pers. (2.29)
yang mana bisa disubstitusikan ke dalam pers. (2.22) untuk menghasilkan rumus
Gauss-Legendre dua titik
25
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −≅
31
31 ffI Pers. (2.30)
Dengan demikian, kita sampai pada hasil yang menarik bahwa
penambahan yang sederhana nilai fungsi pada 3/1=x dan 3/1−
menghasilkan sebuah pendugaan integral yang memiliki keakuratan ordo ketiga.
Ingat bahwa batas integrasi pada pers. (2.23) hingga (2.26) adalah dari -1
hingga 1. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan perhitungan dan untuk
rumus tersebut seumum mungkin. Sebuah penggantian sederhana terhadap
variabel dapat digunakan untuk menerjemahkan batas lainnya dari integrasi ke
dalam bentuk ini. Hal ini dilakukan dengan mengasumsikan bahwa sebuah
variabel baru xd dihubungkan dengan variabel asli x dengan cara yang linier,
sebagaimana dalam
dxaax 10 += Pers (2.31)
Jika batas bawah, x = a, sama dengan xd = -1, nilai ini dapat disubstitusikan ke
dalam pers. (2.31) untuk menghasilkan
( )110 −+= aaa Pers (2.32)
Dengan cara yang sama, batas atas, x = b, sama dengan xd = 1, untuk
memberikan
( )110 aab += Pers (2.33)
Pers. (2.32) dan (2.33) dapat diselesaikan secara simultan menjadi
26
20aba +
= Pers (2.34)
dan
21aba −
= Pers (2.35)
yang dapat disubstitusikan ke dalam pers. (2.31) untuk menghasilkan
( ) ( )
2dxababx −++
= Pers. (2.36)
Persamaan ini dapat diturunkan untuk memberikan
ddxabdx2−
= Pers. (2.37)
Pers. (2.36) dan (2.37) dapat disubstitusikan untuk x dan dx, masing-masing, dalam
persamaan yang akan diintegrasikan. Penyubstitusian ini secara efektif
mengubah interval integrasi tanpa mengubah nilai dari integrasi tersebut.
2.4.3. Rumus dengan Jumlah Titik yang Lebih Banyak
Lebih jauh dibandingkan rumus dua titik dideskripsikan dalam subbab
sebelumnya, versi jumlah titik yang lebih banyak dapat dikembangkan dalam
bentuk umum
( ) )(...)( 111100 −−+++≅ nn xfdxfcxfcI Pers. (2.38)
di mana n adalah jumlah dari titik. Nilai untuk c dan x untuk (≤) enam titik
dirangkum dalam tabel 2.1.
27
Karena kuadratur Gauss memerlukan evaluasi fungsi pada titik dengan
jarak yang tidak seragam pada interval integrasi, hal ini tidak ditujukan untuk
kasus fungsi yang tidak diketahui. Oleh karena itu, metode ini tidak cocok untuk
permasalahan teknik yang berhubungan dengan data berbentuk tabel.
Bagaimanapun, ketika fungsinya diketahui, keefisienannya dapat menjadi sebuah
keuntungan. Hal ini sangat benar ketika sejumlah besar evaluasi integral harus
dilakukan.
Tabel 2.1 Faktor pembobot c dan argumen fungsi x yang digunakan dalam Gauss-Legendre
2.4.4. Analisis Error untuk Gauss-Legendre
Error dari rumus Gauss-Legendre dispesifikasikan secara umum oleh
(Carnahan et al., 1969)
28
( )[ ]( ) ( )[ ]
( ) ( )ξ223
432
!2232!12 +
+
++
+= n
n
t fnn
nE Pers. (2.39)
di mana n adalah jumlah titik dikurangi satu dan f(2n + 2)(ξ) adalah turunan ke (2n
+ 2) dari fungsi setelah perubahan terhadap variabel dengan ξ terletak di suatu
tempat pada interval -1 hingga 1. Perbandingan terhadap pers. (2.38) dengan tabel
2.1 menandakan kelebihan dari kuadratur Gauss dibandingkan dengan rumus
Newton-Cotes, menyediakan turunan dengan ordo yang lebih tinggi yang tidak
meningkat secara nyata dengan meningkatnya n.
2.5. Metode Simulasi Monte Carlo
Metode simulasi Monte Carlo merupakan sebuah kelas dari algoritma komputer
untuk melakukan simulasi terhadap sifat-sifat dari sistem kefisikaan dan
kematematikaan. Metode simulasi Monte Carlo sangat penting dalam perkomputasian
fisika dan bidang terapan yang berhubungan. Metode ini sudah teruji dalam
menyelesaikan persamaan integro-diferensial yang mendefinisikan bidang radiasi, dan
metode ini telah digunakan dalam perhitungan global illumination yang menghasilkan
citra yang terlihat nyata dari model buatan berdimensi tiga, untuk penerapan pada
permainan video, arsitektur, desain, film yang dihasilkan dengan komputer, efek khusus
dalam film, bidang bisnis, ekonomi, dan bidang lainnya. Metode ini terutama sangat
berguna untuk sistem pembelajaran dengan sejumlah besar derajat bebas berpasangan,
seperti cairan, material tidak teratur, dan benda padat yang berpasangan sangat kuat.
Lebih jauh, metode Monte Carlo berguna untuk memodelkan fenomena dengan
ketidakpastian yang signifikan pada input, seperti penghitungan dari resiko pada bisnis.
29
Yang menarik, metode Monte Carlo tidak memerlukan bilangan acak yang sejati agar
berjalan dengan baik. Banyak dari teknik-teknik yang sangat berguna menggunakan
barisan bilangan acak palsu (pseudo-random sequences) yang bersifat deterministik
(tanpa keacakan), membuatnya mudah untuk diuji dan melakukan simulasi ulangan.
Satu-satunya kualifikasi yang dibutuhkan untuk membuat simulasi yang baik adalah
agar barisan bilangan pseudo-random itu terlihat “cukup acak” dalam beberapa hal.
Gambar 2.9 Hasil plotting menggunakan R Language terhadap 1000 bilangan pseudo-random
Proses membuat bilangan tersebut tampak acak disebut proses pseudo-random,
sebuah proses yang terlihat acak tetapi tidak. Barisan pseudo-random secara khusus
memperlihatkan keacakan secara statistik yang dihasilkan oleh sebuah proses komputasi
yang seluruhnya bersifat deterministik/tanpa keacakan. Apa arti dari hal ini tergantung
pada penerapannya, namun secara khusus hal tersebut harus melewati sebuah tes
30
statistik berseri. Menguji apakah bilangan-bilangan tersebut terdistribusi secara seragam
atau mengikuti distribusi lainnya yang diinginkan ketika jumlah elemen yang cukup
besar dari barisan tersebut dipertimbangkan, merupakan salah satu yang paling
sederhana dan yang paling umum.
Sebuah algoritma Monte Carlo merupakan metode Monte Carlo yang digunakan
untuk mencari solusi dari permasalahan matematik (yang mungkin memiliki banyak
variabel) yang tidak mudah untuk dihitung dengan integral kalkulus atau metode
numerik lainnya. Keefisienannya secara relatif meningkat dibandingkan dengan metode
numerik lainnya bila dimensi dari permasalahan tersebut meningkat. Karena perulangan
dari algoritma dan sejumlah besar perhitungan dilibatkan, Monte Carlo merupakan
sebuah metode yang cocok untuk melakukan perhitungan dengan komputer, dengan
menggunakan banyak teknik dari simulasi komputer.
Bagian ini akan menjelaskan tentang teori probabilitas di balik integrasi Monte
Carlo. Oleh karena itu akan digunakan contoh hypercube C = [0,1)d dengan unit dimensi
d. Integrannya adalah sebuah fungsi f( xr ) yang diasumsikan real dan tidak negatif dan
tentunya dapat diintegrasikan terhadap C. Dengan demikian akan didefinisikan sebagai
berikut:
...,3,2,1)( == ∫ mxdxfIC
dmm
rr Pers (2.40)
sehingga I1 adalah integral yang dibutuhkan. Perlu diingat bahwa Im tidak selalu harus
tertentu (finite) untuk m ≥ 2. Dalam Monte Carlo, diasumsikan bahwa titik-titik integrasi
sebanyak N dipilih secara bebas, dari distribusi peluang seragam terhadap C. Hal itu
31
berarti bahwa himpunan titik X = { Nxxx rrr ...,,, 21 } di mana integrasi didasarkan,
diasumsikan menjadi sebuah anggota yang khas dari kelompok himpunan titik-titik
tersebut, sedemikian rupa sehingga distribusi peluang N yang dikombinasikan menunjuk
ke kelompok himpunan titik-titik tersebut bersifat seragam, bebas, dan bersitribusi
identik.
1),...,,,( 21 =NN xxxP Pers. (2.41)
Rata-rata dari kelompok himpunan di atas akan diambil, diasumsikan bahwa
sebuah himpunan titik dari X telah dihasilkan, dan nilai-nilai dari integran f( xr ) sudah
dihitung. Hal ini dilambangkan dengan fj ≡ f( xr j), j = 1, 2 , ... , N. Dari sini kita dapat
menghitung analogi diskrit dari integral Im yang dapat dihitung dalam waktu linier:
∑=
=N
j
mjm fS
1)( Pers. (2.42)
Penduga Monte Carlo dari integral tersebut menjadi
111 SN
E = Pers. (2.43)
Nilai harapan E1 dari himpunan kelompok titik-titik di atas adalah
∫∑ ===dC
d
ii Ixdxff
NE 11 )(1 rr Pers. (2.44)
yang mana merupakan integral yang dibutuhkan. Ini adalah basis dari metode Monte
Carlo. Kegunaannya terlihat jika kita menghitung ragam dari E1
32
)(1)( 212
21
21
21 II
NEEE −=−=σ Pers. (2.45)
Karena nilai di atas menurun sejalan dengan N-1, metode Monte Carlo sebenarnya
konvergen untuk N yang besar. Ingat bahwa O(N0), hubungan 21E , dan 2
1E saling
menghilangkan: hal ini merupakan sebuah fenomena biasa dalam pendugaan ragam jenis
ini.1 Ragam 21)(Eσ diduga dengan penduga error ordo pertama
213222
11 SN
SN
E −= Pers. (2.46)
sehingga kita memiliki
( ) ( )21
212
221343
22 4841 IIIIIII
NE −+−−=σ Pers. (2.47)
yang mana penduganya adalah
( )41
212
22
213
24
374 4841 SSNSSNSSNSN
NE −+−−= Pers. (2.48)
yang juga dapat dihitung dalam waktu linier; maka kita memiliki
( ) ( )4224
−+= NOEE σ Pers. (2.49)
Galat dari metode Monte Carlo ini adalah
1 Perlu diketahui bahwa apa yang diduga adalah rata-rata dari squared error, bukan error itu sendiri, dan
penguadratan dan perataan tidak menyebabkan perubahan. Karena itu, inilah alasan mengapa penduga
berordo dua dikatakan relevan.
33
( )∑∫=
−=N
ii
Cn xf
Ndxxf
d 1
1)(ε Pers. (2.50)
Jika nilai N besar, maka
( ) ( )2/1
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−= ∫ ∫ dxdxxfxf
s dc Cnε Pers. (2.51)
2.6. Metode Simulasi Quasi-Monte Carlo
Dalam analisis numerik, sebuah metode quasi-Monte Carlo merupakan metode
untuk perhitungan integral (atau permasalahan lainnya) yang didasarkan pada barisan
bilangan dengan ketidakcocokan/ketidaksesuaian yang rendah (low-discrepancy
sequences). Hal inilah yang membedakan metode quasi-Monte Carlo dengan metode
Monte Carlo yang menggunakan barisan bilangan acak palsu (pseudo-random).
Gambar 2.10 Hasil plotting menggunakan R Language terhadap 1000 bilangan quasi-random menurut barisan Sobol (Sobol sequence)
34
Monte Carlo dan quasi-Monte Carlo dinyatakan dengan cara yang sama.
Masalahnya adalah untuk menduga fungsi f sebagai rataan dari fungsi yang dievaluasi
pada sehimpunan titik-titik x1, ... , xN.
∫ ∑=
≈dC
N
i
xfN
duuf1
)(1)( Pers. (2.52)
di mana C adalah kubus dengan dimensi d, Cd = [0,1] x ... x [0,1]. Sehingga masing-
masing xi adalah sebuah vektor dari elemen sebanyak d. Dalam metode Monte Carlo, xi
adalah bilangan-bilangan pseudo-random. Dalam metode quasi-Monte Carlo, himpunan
tersebut adalah akibat dari sebuah barisan low-discrepancy atau disebut dengan bilangan
quasi-random.
Error pendugaan dari metode di atas dibatasi dengan sebuah syarat yang
proporsional terhadap ketidaksesuaian (discrepancy) dari himpunan x1, ... , xN, oleh
pertidaksamaan Koksma-Hlawka.
( ) ( ) ( ) ( )NNHKC
N
iN xDfVdxxfxf
N d
∗
=
•≤→ ∫∑1
1 Pers. (2.53)
di mana ( )NN xD∗ adalah discrepancy dan ( )fVHK adalah variasi (Hardy Krause).
Discrepancy adalah ukuran simpangan dari keseragaman suatu barisan titik-titik dalam
dD ]1,0[= . Discrepancy menyebabkan galat dalam metode quasi-Monte Carlo.
Discrepancy suatu barisan secara khusus yang digunakan untuk metode quasi-Monte
Carlo dibatasi oleh sebuah waktu konstan
35
( )NN dlog Pers. (2.54)
Sebagai perbandingan, dengan peluang bernilai satu, discrepancy yang diharapkan dari
barisan acak seragam (seperti yang digunakan dalam metode Monte Carlo) memiliki
ordo konvergensi
N
N2loglog Pers. (2.55)
menurut hukum dari algoritma teriterasi.
Hal ini memperlihatkan bahwa keakuratan dari metode quasi-Monte Carlo
meningkat lebih cepat dibandingkan dengan metode Monte Carlo. Walau bagaimanapun,
menurut Morokoff and Caflisch (1995, p218-230), keuntungan dari quasi-Monte Carlo
masih di bawah harapan dibandingkan dengan teorinya. Namun, masih menurut
penelitian Morokoff and Caflisch, metode quasi-Monte Carlo dapat menghasilkan hasil
yang lebih akurat dibandingkan dengan metode Monte Carlo dengan jumlah titik yang
sama. Morokoff and Caflisch menambahkan bahwa keuntungan dari quasi-Monte Carlo
jauh lebih baik jika integrannya halus (smooth) dan jumlah dimensi d dari integral
adalah kecil.
Untuk memperjelas, katakanlah terdapat sebuah fungsi D(x) dari himpunan titik
yang bertambah dengan ketidakseragamannya. D(x) = 0 terjadi jika himpunan titik
tersebut seragam sempurna dalam semua pernyataan, situasi yang ideal yang tidak
pernah dapat diperoleh untuk himpunan titik apapun. Metode quasi-Monte Carlo
didasarkan pada penggunaan himpunan titik x yang mana D(x) memiliki beberapa nilai s
36
(sangat banyak) yang lebih kecil dari s , nilai yang mungkin diharapkan untuk titik
yang bebas, terdistribusi identik, dan seragam yang sebenarnya.
Bagaimana menggunakan himpunan titik quasi-random setelah kita
memperolehnya? Hal yang pasti adalah dengan terlebih dahulu menentukan di kelompok
manakah himpunan quasi-random dari titik x menjadi anggota yang khas. Distribusi
dengan banyak titik dari himpunan titik PN yang demikian tidak lagi merupakan
kesatuan yang sederhana, yang akan berarti kebebasan dari titik-titik tersebut di dalam
himpunan titiknya. Karena itu, kita tulis distribusi dengan banyak titik sebagai
( ) ( )NNNN xxxsFN
xxxsP rrrrrr ,...,,;11,...,,; 2121 −= Pers. (2.56)
di mana kita telah mengantisipasi sebuah faktor 1/N sebelum korelasi dengan banyak
titik FN. FN(s; ...) harus simetris total; selain itu kita harus memiliki
( ) ( ) 1121121 ,,...,,;,...,,; +++∫= kd
kkC
kKk xdxxxxsFxxxsF rrrrrrrr Pers. (2.57)
Untuk memenuhi syarat minimum bahwa integral quasi-Monte Carlo haruslah tidak
bias, kita harus memiliki
( ) 1; 11 =xsP r Pers. (2.58)
sehingga
( )∫ =C
d xdxxsF 0,; 2212rrr Pers. (2.59)
Hal ini membangun sifat-sifat dari kelompok himpunan titik x yang mana
37
seharusnya pendugaan yang dilakukan didasarkan. Kita akan mengindikasikan sifat
alamiah quasi-Monte Carlo mengenai penduga dengan menggunakan (q). Berikut adalah
penduga pertama dari integral
( ) ∑=
=N
ij
q fN
E1
11 Pers. (2.60)
Penjumlahan akan berjalan dari 1 hingga N. Berdasarkan rataan (q) terhadap kelompok
quasi-random yang telah didiskusikan di atas, kita kemudian memiliki
( )( )
( ) 111 ;)( JxdxsPxfE d
Cq
q == ∫rrr Pers. (2.61)
sebagaimana sebelumnya: berdasarkan fakta bahwa distribusi satu titik adalah seragam,
pendugaan quasi-Monte Carlo memang tidak bias sebagaimana yang dimiliki oleh
metode Monte Carlo. Perbedaan yang jelas antara kedua metode tersebut tampak pada
pendugaan error ordo satu. Kita definisikan
( ) ( )jiji xxsFxx rrrr ,;1, 2+=α Pers. (2.62)
kemudian kita memiliki
( )( )( ) ( ) ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛+−= ∫ 212212
21
11N
OffIN
E qq ασ Pers. (2.63)
di mana
( ) ( ) ( )∫ ∫=C
dd xdxdxxxfxfff 2121211221 , rrrrrr αα Pers. (2.64)
dan lainnya.
38
Keuntungan dari metode quasi-Monte Carlo sekarang menjadi jelas: jika kita
dapat memastikan bahwa 12α > 1, yaitu saat 1xr dan 2xr “dekat” pada suatu pengertian,
maka error quasi-Monte Carlo akan lebih kecil dibandingkan metode Monte Carlo.
Sebuah himpunan titik quasi-Monte Carlo yang baik adalah himpunan titik yang mana
setiap titiknya saling menolak untuk beberapa perluasan.
Pendugaan error ordo pertama secara sederhana
( ) ∑∑==
−=N
iijji
N
ii
q ffN
fN
E1
31
222
11 α Pers. (2.65)
Mudah untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya
( )( )
( )( )( ) )( 2212
−+= NOEE qq
q
q σ Pers. (2.66)
ragam dari penduga ( )qE2 dapat dievaluasi menjadi
( )( ) ( ∫∫∫∫ +−−= kliklkiijjiijjiiq ffffffff
NE αααασ 22234
3
22 441
) ( )42 44 −+−+ ∫∫ NOfffffff kljkijlkjiiliklki ααααα Pers. (2.67)
yang mana penduga yang bersesuaian adalah
( )⎜⎜⎝
⎛−−= ∑∑∑
===
N
iijji
N
iijji
N
ii
q ffNffNfNN
E1
222
1
32
1
4374 41 αα
∑∑==
++N
iiliklki
N
ikliklki fffNfffN
1
2
1
2 44 αααα
39
⎟⎟⎠
⎞− ∑
=
N
ikljklkji ffff
14 αα Pers. (2.68)
2.6.1. Barisan Sobol (Sobol Sequence)
Barisan Sobol (Sobol sequence) dihasilkan dari sebuah himpunan
bilangan pecahan biner khusus sepanjang w bit, jiv dengan i = 1, 2, ... , w dan j =
1, 2, ... , d. Bilangan jiv disebut direction numbers.
Untuk menghasilkan direction numbers untuk dimensi j, digunakan
sebuah polinom primitif (tidak dapat disederhanakan lagi) terhadap bidang F2
dengan elemen {0, 1}. Polinom primitif tersebut dalam dimensi j akan menjadi
( ) 111
1 ++++= −− xaxaxxp q
qqj K Pers. (2.69)
Direction numbers tersebut dalam dimensi j dihasilkan menggunakan
hubungan q berulang berikut
( )qjqi
jqi
jqiq
ji
ji
ji vvvavavav 2112211 −−+−−−− ⊕⊕⊕⊕⊕= K Pers. (2.70)
di mana i > q. ⊕ menandakan operasi XOR. Bilangan wjv 21 ⋅ , wjv 22 ⋅ , ... , wjqv 2⋅
masing-masing dapat berupa bilangan integer ganjil lebih kecil dari 2, 22, ... , dan
2q. Barisan Sobol jnx ( ∑ =
=w
ii
ibn0
2 , ∈ib {0, 1}) dalam dimensi j dihasilkan oleh
jww
jjjn vbvbvbx ⊕⊕⊕= K2211 Pers. (2.71)
Sebuah polinom primitif yang berbeda harus digunakan untuk
40
menghasilkan barisan Sobol di masing-masing dimensi.